FORMULASI INSEKTISIDA BERBAHAN AKTIF PROFENOFOS MENGGUNAKAN SURFAKTAN DIETANOLAMIDA (DEA) OLEIN SAWIT
HANDUWENI SURTINING DEWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Formulasi Insektisida Berbahan Aktif Profenofos Menggunakan Surfaktan Dietanolamida (DEA) Olein Sawit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2017 Handuweni Surtining Dewi F351124061
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait
RINGKASAN HANDUWENI SURTINING DEWI. Formulasi Insektisida Berbahan Aktif Profenofos Menggunakan Surfaktan Dietanolamida (DEA) Olein Sawit. Dibimbing oleh MULYORINI RAHAYUNINGSIH dan ERLIZA HAMBALI. Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama di Indonesia yang konsumsinya selalu meningkat dari tahun ketahun, namun peningkatan konsumsi ini tidak seiring dengan kapasitas produksi biji kering kedelai dalam negeri, sehingga untuk memenuhi kebutuhan kacang kering kedelai dalam negeri pemerintah harus mengimport kacang kering kedelai setiap tahun. Salah satu penyebab rendahnya kapasitas produksi tanaman kedelai adalah karena adanya serangan hama ulat grayak. Pengendalian hama ulat grayak di lapangan umumnya dilakukan dengan penyemprotan insektisida berbahan aktif profenofos. Profenofos merupakan bahan aktif insektisida yang tidak boleh diaplikasikan secara langsung karena sangat beracun, sehingga perlu untuk dilarutkan terlebih dahulu, namun profenofos tidak dapat larut dalam air, oleh sebab itu diperlukan suatu formulasi pelarut yang tepat dan bahan-bahan lainnya yang dapat menunjang kinerja profenofos sehingga dapat membentuk emulsi yang baik dan meningkatkan efektifitas insektisida profenofos. Salah satu bahan yang digunakan untuk dapat membentuk emulsi yang baik adalah surfaktan, pada penelitian ini digunakan surfaktan non ionik dietanolamida (DEA) olein sawit. Pada formulasi insektisida, surfaktan DEA berperan sebagai pendispersi, penghomogen, perekat dan perata pada emulsi insektisida yang terbentuk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan formulasi larutan insektisida profenofos terbaik dengan dietanolamida (DEA) sebagai surfaktannya, selain itu juga untuk mendapatkan informasi sifat fisiko-kimia larutan insektisida yang dihasilkan dan untuk mendapatkan informasi efektifitas kinerja larutan insektisida yang dihasilkan dalam pengendalian hama ulat grayak. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, tahap pertama yaitu formulasi konsentrat larutan insektisida, tahap kedua yaitu uji sifat fisiko-kimia konsentrat larutan insektisida dan tahap ketiga yaitu uji efektifitas larutan insektisida pada ulat grayak (LC50). Formulasi insektisida dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor, faktor pertama merupakan konsentrasi surfaktan DEA sebesar 0, 10, dan 15%, faktor kedua merupakan konsentrasi bahan aktif profenofos sebesar 40, 50, 60%. Dilakukan analisis of variance (ANOVA) pada data hasil uji sifat fisiko-kimia konsentrat larutan insektisida dan hasil berbeda nyata diuji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, surfaktan DEA mampu membentuk emulsi yang baik pada larutan insektisida profenofos dan pelarut natrium etoksida. Perlakuan terbaik yang didapatkan dari tahap formulasi adalah larutan insektisida dengan penambahan surfaktan DEA 10% dan bahan aktif profenofos 40%. Hasil uji sifat fisiko-kimia menunjukkan bahwa ukuran droplet berkisar antara 1,76 – 2,07 µm, sudut kontak berkisar antara 11,575 - 24,218˚, densitas berkisar antara 0,996 – 0,998 g/cm3, tegangan permukaan berkisar antara 16,56 – 40,72 dyne/cm, viskositas 1,032-1,078 cP dan pH berkisar antara 6, 87 – 8,22. Sedangkan hasil uji
efektifitas insektisida terhadap ulat grayak instar tiga (LC 50) adalah sebesar 574 ppm bahan aktif dalam air. Kata kunci: dietanolamida, insektisida, profenofos,ulat grayak
SUMMARY
HANDUWENI SURTINING DEWI. Formulation of Insecticide Profenofos Using Surfactant Diethanolamide (DEA) Based on Palm Olein. Supervised by MULYORINI RAHAYUNINGSIH and ERLIZA HAMBALI. Soybean is one of the major food commodities in Indonesia that the consumption is increasing each year,but this is not in line with thedomestic soybean production capacity, so the government had to import soybeans each year to full fill the domestic need. One cause of the low production capacity is the armyworm attact. Generally, the armyworm attack controled by spread insecticide profenofos. Profenofos is insecticides active ingredient that should not applied directly, because it is highly toxic. So, it need to be dissolved, but profenofos couldn’t dissolved in water. So that, it need the right formulation between the solvent and other ingredients which can supprot the profenofos performance, make good emultion and increase the effectiveness of the insecticide. One of that ingredient is surfactant. This research used surfactant diethanolamide (DEA) based on palm olein. The function of surfactant DEA in insecticide formulation are as homogenizer, dispersant, sticker and spreader agent. The aims of this research are to obtain the best emultion insecticide product based on profenofos as the active ingredients and DEA as the surfactant, moreover it also to obtain information of the physico-chemical properties and to obtain information of the insecticide effectiveness to control armyworm attact. This research began from formulation of the insecticide concentrate, then followed by physico-chemical properties test and last stage was the effectiveness of insecticide test to armyworm (LC50). The formulation test performed with compeletely randomized design (CRD) with two factors, first factor is DEA concentration (0, 10, 15%) and the second factor is profenofos concentration (40, 50, 60%). The data of physico-chemical properties test was analyzed by analysis of variance (ANOVA) and the significant result tested by Duncant Multiple Range Test (DMRT). The result showed that, surfactant DEA could make good emultion between profenofos and sodium ethoxide as the solvent. The best treatment which obtain from formulation stage is concentrate with DEA 10% and profenofos 40%. The physico-chemical properties test result showed that droplet size is 1,76-2,07 µm, contact angle 11,575-24,218˚, density 0,996-0,998 g/cm3, surface tension 16,5640,72 dyne/cm, viscosity 1,032-1,078 Cp and pH 6,87-8,22. The effectiveness of the insecticide to armyworm (LC50) is 574 ppm active ingredient in water. Keywords: armyworm, diethanolamide, insecticide, profenofos
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta DilindungiUndang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantum kan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalambentuk apa pun tanpaizin IPB
FORMULASI INSEKTISIDA BERBAHAN AKTIF PROFENOFOS MENGGUNAKAN SURFAKTAN DIETANOLAMIDA (DEA) OLEIN SAWIT
HANDUWENI SURTINING DEWI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Mohamad Yani, M. Eng
PRAKATA
Alhamdulillahi rabbil’alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahuwata’alasang pemilik segala ilmu diseluruh alam yang telah melimpahkan rahmat dan pertolonganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Formulasi Insektisida Berbahan Aktif Profenofos Menggunakan Surfaktan Dietanolamida (DEA) Olein Sawit. Tiada satu helai daun pun jatuh di muka bumi ini tanpa seizinNya, maka terselesaikannya karya ilmiah ini semata-mata karena izin dan kehedak Allah SWT. Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si dan Prof. Dr. Erliza Hambali selaku komisi pembimbing atas curahan ilmu dan arahan sejak dimulainya penelitian hingga terselesaikannya karya ilmiah ini, serta kepada staff laboratorium SBRC, Fisiologi dan Toksikologi Serangga IPB dan seluruh rekan-rekan atas bantuan dan kebersamaannya selama masa studi. Selain itu, terimakasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada ibu, ayah, suami dan anak-anak tercinta atas segala doa dan dukungannya baik disaat-saat sulit maupun mudah. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat di dunia dan menjadi pemberat timbangan amal shalih diakhirat kelak.
Bogor, Januari 2017
Handuweni Surtining Dewi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Rancangan Percobaan 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Larutan Insektisida Sifat Fisiko-Kimia Konsentrat Larutan Insektisida Ukuran Droplet Sudut Kontak Densitas Tegangan Permukaan Viskositas Derajat Keasaman (pH) Efektifitas Larutan Insektisida Terhadap Ulat Grayak (LC50) 4 KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
x x x 1 1 2 3 3 3 3 4 5 6 6 6 10 11 12 14 15 16 17 19 22 22 25 40
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Formulasi Konsentrat Insektisida 5 Rata-rata hasil uji fisika-kimia larutan insektisida (0,07% profenofos dalam air) 11 Hasil pengamatan uji efektifitas insektisida 20 Perbandingan Insektisida Profenofos dan Buprofezin (Ferdian 2015) dengan DEA sebagai surfaktannya 21
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Alur kerangka pemikiran 4 Struktur kimia profenofos 7 Struktur kimia natrium etoksida 8 Struktur kimia dietanolamida 8 Struktur emulsi konsentrat larutan insektisida profenofos dengan DEA 9 Konsentrat larutan insektisida profenofos dan larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air 10 7 Konsentrat larutan insektisida tanpa surfaktan DEA dan larutan insektisida tanpa surfaktan DEA sebesar 0,07% bahan aktif dalam air 10 8 Sebaran ukuran droplet larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air 12 9 Kurva hubungan larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air terhadap sudut kontak 13 10 Kurva hubungan larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air terhadap densitas 14 11 Kurva hubungan larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air terhadap tegangan permukaan 15 12 Kurva hubungan larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air terhadap viskositas 17 13 Kurva hubungan larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air terhadap pH 19 14 Pengamatan mortalitas ulat grayak instar 3 pada jam ke-48 21
DAFTAR LAMPIRAN 1 Prosedur analisis fisika kimia larutan insektisida 26 2 Data hasil penelitian, sidik ragam dan uji lanjut DMRT formulasi insektisida terhadap parameter fisika kimia 27 3 Diagram alir penelitian dan dokumentasi gambar-gambar penelitian 36 4 Hasil perhitungan pengenceran konsentrat insektisida 39
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu komoditi pangan utama di Indonesia. Kebutuhan terhadap komoditas kedelai ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan kebutuhan ini dikarenakan kedelai dapat dijadikan berbagai macam produk, baik sebagai bahan pangan utama, pakan ternak, maupun sebagai bahan baku industri skala besar hingga kecil atau rumah tangga. Akan tetapi peningkatan kebutuhan ini tidak seiring dengan kapasitas produksi dalam negeri kedelai. Data dari Kementerian Pertanian produksi kedelai 2015 berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) I Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 998.870 ton biji kering kedelai, sedangkan konsumsi masyarakat mancapai 2,54 juta ton biji kering kedelai yang terdiri dari konsumsi langsung penduduk sebesar 2 juta ton biji kering kedelai, pakan ternak sebesar 3.000 ton biji kering kedelai, benih sebesar 39.000 ton biji kering kedelai, industri non makanan sebesar 446.000 ton biji kering kedelai, dan susu sebesar 49.000 ton biji kering kedelai. Defisit kedelai ini menyebabkan Indonesia harus mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produksi kedelai nasional adalah serangan hama tanaman kedelai yaitu ulat grayak. Ulat grayak Spodoptera litura dapat menyebabkan kehilangan panenhingga 80%, bahkan tanaman puso bila tidak dikendalikan (Marwoto dan Suharsono 2008). Pengendalian hama ulat grayak umumnya dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida berbahan aktif profenofos. Bahan aktif insektisida merupakan zat kimia yang tidak boleh diaplikasikan secara langsung karena sangat beracun dan berbahaya bagi manusia dan lingkungan, oleh sebab itu bahan aktif insektisida memerlukan pelarut dan bahan tambahan lainnya untuk membentuk suatu formula yang tepat. Keberadaan bahan tambahan sangat diperlukan karena memilki peranan penting dalam mekanisme kerja bahan aktif. Bahan tambahan yang digunakan dalam formulasi juga dapat menentukan bentuk formulasi insektisida. Bentuk formulasi insektisida yang ada saat ini diantaranya adalah Emulsifiable concentrate (EC), Wettable powder (WP), Solution concentrate (SL), Suspension concentrate (SC), Water dispersible granules (WG), Granules(GR) dan lain-lain (Knowles 2008). Surfaktan adalah suatu zat bersifat aktif permukaan yang memiliki molekul yang ampifilik yaitu memiliki dua gugus yang berlainan sifat dalam satu molekulnya yaitu gugus hidrofilik (suka air) dan lipofilik (suka minyak). Surfaktan mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan (surface tension) suatu mediumantar dua fase yang berbeda derajat polaritasnya seperti pada cairan dengan cairan, padatan dengan cairan, ataupun gas dengan cairan. Istilah permukaan menunjuk pada antarmuka di mana salah satu fasenya berupa udara (gas) (Rosen 2004). Jika dilarutkan ke dalam pelarut pada konsentrasi rendah, surfaktan akan memiliki kemampuan untuk menempatkan diri pada antarmuka dua jenis media yang tidak saling melarut, sehingga secara signifikan mengubah karakteristik fisik antarmuka tersebut. Bahan aktif permukaan pada surfaktan mampu memodifikasi karakteristik permukaan suatu cairan atau padatan, hingga bersifat sebagai bahan penggumpal, bahan pembasah,
2
emulsifier, pendispersi, bahan adhesif dan lain sebagainya (Georgou et al., 1992; Hui 1996). Salah satu jenis surfaktan yang berpotensi digunakan untuk aplikasi insektisida ulat grayak pada tanaman kedelai adalah surfaktan dietanolamida (DEA). DEA akan berperan dalam mendispersikan, menghomogenkan, meratakan dan merekatkan bahan aktif dengan bahan aditif lainnya dan media pembawanya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) tahun 2012, surfaktan DEA memiliki nilai tegangan permukaan yang paling rendah (20.97 dyne/cm) di bandingkan surfaktan yang lain seperti APG (21-22 dyne/cm), etoksilat (23-25 dyne/cm), dan lauril betain (31,17 dyne/cm) yang banyak dipakai pada industri pestisida. Oleh karena itu surfaktan DEA sangat berpotensi untuk meningkatkan efektifitas insektisida (Suryani, et al., 2012). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ferdian (2015) menunjukan bahwa surfaktan DEA olein sawit mampu membentuk emulsi yang baik dan meningkatkan efektifitas insektisida berbahan aktif buprofezin untuk penegndalian hama wereng coklat. DEA dapat diproduksi dari metil ester maupun dari asam lemak yang direaksikan dengan reaktan dietanolamina. DEA yang beredar di pasaran saat ini berasal dari minyak kelapa dan dari palm kernel oil (PKO) yang harganya cukup mahal. Namun SBRC LPPM IPB telah dapat memproduksi surfaktan DEA dengan bahan baku yang lebih murah, yaitu olein sawit. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu penelitian pemanfaatan surfaktan DEA untuk aplikasi kedalam berbagai produk, salah satunya adalah insektisida. Profenofos merupakan bahan aktif berupa cairan yang tidak dapat larut didalam air namun dapat larut dalam pelarut organik. Umumnya, industri pestisida menggunakan pelarut organik paraxylene yang ketersediaanya sulit didapatkan sehingga pada penelitan ini dilakukan kajian penggunaan pelarut yang tepat dan formulasi larutan insektisida profenofos dengan surfaktan dietanolamida olein sawit dalam bentuk EC.
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan efektifitas insektisida profenofos dalam pengendalian hama ulat grayak (Spodoptera litura) dengan memanfaatkan dietanolamida (DEA) olein sawit sebagai surfaktannya. Tujuan khusus dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Mendapatkan formulasi larutan insektisida profenofos terbaik dengan dietanolamida (DEA) sebagai surfaktannya 2. Mendapatkan informasi sifat fisikokimia larutan insektisida yang dihasilkan 3. Mendapatkan informasi efektifitas kinerja larutan insektisida yang dihasilkan dalam pengendalian hama ulat grayak (Spodoptera litura)
Ruang Lingkup Penelitian 1.
Surfaktan yang digunakan adalah dietanolamida (DEA) dari bahan baku olein sawit
3
2. 3. 4. 5.
Bahan aktif insektisida yang digunakan adalah profenofos Pelarut profenofos yang digunakan adalah natrium etoksida Ujisifat fisiko-kimia larutan insektisida yang dihasilkan meliputi sudut kontak, ukuran droplet, densitas, tegangan permukaan, viskositas dan pH Uji efektifitas insektisida yang dihasilkan adalah uji LC50
2 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Aplikasi surfaktan pada formula insektisida, berperan dalam meningkatkan kemampuan penetrasi bahan aktif ke dalam tanaman inang dan hama sasaran serta menyebarkannya ke seluruh jaringan tanaman. Sifat utama dari surfaktan yang dimanfaatkan dalam hal ini adalah kemampuannya membasahi (wetting ability), menghomogenkan, menyebarkan atau mendispersi (dispersing/spreading ability), merekatkan dan membantu penetrasi (penetrating ability).Surfaktan bekerja dengan cara memperluas penyebaran genangan (coverage) larutan insektisida pada permukaan daun sehingga semprotan insektisida tersebar lebih merata. Dengan penggunaan surfaktan tersebut, permukaan daun yang tertutup larutan insektisida menjadi lebih luas dan menjadikan larutan insektisida bertahan lebih lama pada tanaman. Surfaktan dietanolamida (DEA) termasuk dalam kelompok surfaktan nonionik yang berfungsi sebagai pendispersi yang baik, penurun tegangan permukaan dan tegangan antar muka yang cukup efektif. Saat ini DEA merupakan bahan aktif permukaan yang mulai banyak digunakan pada produk insektisidakarena mudah ditangani dan sistem emulsi produk yang dihasilkan relatif stabil. Pemanfaatan surfaktan DEA olein sawit pada formulasi larutan insektisida dengan bahan aktif profenofos diharapkan dapat membentuk emulsi yang baik dan meningkatkan efektifitas insektisida yang dihasilkan dalam pengendalian hama ulat grayak. Alur kerangka pemikiran dtunjukkan pada Gambar 1.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Desember 2015. Tempat penelitiandilakukan di laboratoriumSurfactant and Bioenergy Research CenterLembagaPenelitiandanPengabdiankepadaMasyarakatInstitutPertanian Bogor (SBRC LPPM-IPB) danlaboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu Vortex Heidolph Reax top, dan Homogenizer rotor statorDaihan model HG-15D, homogenizer Tokebi (22000 rpm). Alat lain yang digunakan untuk analisis sampel yaitu berupa pH
4
meter (pH Meter Schott), density meter (Anton Paar DMA 4500M), potensiometer (Spinning Drop Tensiometer), viscometer (Rheometer Brookfield DV-III Ultra). Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan dietanolamida (DEA) yang diperoleh dari SBRC LPPM IPB, bahan aktif profenofos dari PT. Petrosida Gresik. Bahan lainnya yaitu NaOH dan etanol 96%.
Surfaktan
Berperan sebagai penetrasi dan penyebar bahan aktif
Digunakan dalam formulasi insektisida
Dietanolamida (DEA) Olein sawit
Surfaktan DEA berperan sebagai pendisperi, penghomogen, perata dan perekat yang baik.
Berpotensi sebagai surfaktan dalam formulasi insektisida.
Bahan aktif Profenofos
Digunakan dalam penegndalian hama ulat grayak
Tidak dapat larut dalam air
Dilakukan formulasi dengan pelarut yang tepat dan DEA olein sawit sebagai surfaktannya
Larutan insektisida profenofos dengan surfaktan DEA olein sawit membentuk emulsi yang baik dan meningkatkan efektifitas insektisida yang dihasilkan. Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran
Metode Penelitian Formulasi Konsentrat Larutan Insektisida Formulasi larutan konsentrat insektisida pada penelitian ini dilakukan dengan mencampurkan pelarut NaOH dalam etanol atau natrium etoksida kedalam bahan aktif profenofos dengan variasi konsentrasi 40%, 50% dan 60%, kemudian diikuti dengan penambahan surfaktan DEA dengan variasi konsentrasi 0%, 10% dan 15%, kemudian dilakukan pengadukan menggunakan homogenizer selama 5 menit dengan kecepatan 22000 rpm. Tahap ini menghasilkan konsentrat larutan
5
insektisida. Diagram alir formulasi larutan insektisida disajikan pada Lampiran 3. Tabel formulasi konsentrat larutan insektisida ditunjukan pada Tabel 1.
DEA 0% 10% 15%
Tabel 1 Formulasi konsentrat larutan insektisida Profenofos Kode 40% 50% B1 B2 A1 A1B1 A1B2 A2 A2B1 A2B2 A3 A3B1 A3B2
60% B3 A1B3 A2B3 A3B3
Uji Sifat Fisiko-Kimia Konsentrat Larutan Insektisida Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh surfaktan DEA dan bahan aktif profenofos terhadap sifat fisik emulsi yang dihasilkan. Konsentrat larutan insektisida yang dihasilkan dari tahap sebelumnya kemudian dilakukan pengenceran dengan konsentrasi 700 ppm atau 0,07% bahan aktif profenofos di dalam 100 ml air untuk diuji sifat fisiko-kimianya. Sifat fisiko-kimia larutan yang diuji yaitu sudut kontak dan ukuran droplet (µm), densitas (g/cm3), tegangan permukaan (dyne/cm), viskositas (cP) dan pH. Rumus pengenceran untuk mendapatkan 700 ppm konsentrat larutan insektisida dalam air adalah sebagai berikut: ( )( ) ( )
Keterangan: A = Jumlah konsentrat yang ditimbang B = Jumlah larutan encer yang diinginkan C = Kadar bahan aktif yang diinginkan dalam larutan encer D = Kadar bahan aktif dalam larutan konsentrat Hasil perhitungan pengenceran setiap larutan konsentrat dapat dilihat pada Lampiran 4. Data hasil uji kemudian dilakukan analysis of variance untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter uji, perlakuan dengan pengaruh nyata kemudian dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Uji Efektifitas Insektisida pada Ulat Grayak (LC50) Efektifitas larutan insektisida ditentukan dengan cara uji mortalitas larutan terhadap ulat grayak. Serangga uji adalah Spodoptera litura instar tiga yang dipelihara di laboratorium fisiologi dan toksikologi serangga IPB, sedangkan pakan uji adalah daun tanaman kedelai. Pengujian dilakukan dengan metode celup, larutan insektisida diencerkan menjadi lima konsentrasi bahan aktif yaitu, 400; 475; 550; 625; dan 700 ppm profenofos didalam 100 ml air, serta kontrol berupa surfaktan DEA dan pelarut tanpa bahan aktif profenofos didalam 100 ml air. Serangga uji dipersiapkan didalam cawan petri sebanyak 10 ekor. Daun kedelai yang akan digunakan untuk pengujian dicuci terlebih dahulu dengan air dan dibilas dengan aquades, kemudian dikeringanginkan. Daun yang sudah kering
6
dicelupkan kedalam larutan insektisida hingga seluruh daun terbasahi oleh larutan kemudian dikeringanginkan kembali sebelum dimasukkan ke dalam cawan petri berisi serangga uji. Setiap cawan diberi enam lembar daun kedelai yang sudah dicelup dan dilakukan pengamatan pada jam ke-48 dan 72. Tahap ini dilakukan sebanyak lima kali ulangan, diagram alir uji efektifitas insektisida pada ulat grayak dtunjukan pada Lampiran 3. Dilakukan analisis probit terhadap jumlah populasi serangga yang mati untuk menentukan efektifitas formula dengan melihat nilai(Lethal Concentration) LC50.
Rancangan Percobaan Formulasi larutan insektisida pada tahap ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor dan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (Bangun, 1991). Faktor pertama merupakan konsentrasi surfaktan DEA sebesar 0, 10 dan 15%. Faktor kedua merupakan konsentrasi bahan aktif profenofos 40, 50, dan 60%. Model matematis dari rancangan percobaan ini adalah sebagai berikut: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan: Yijk
= nilai pengamatan akibat pengaruh penambahan bahan aktif profenofos konsentrasi ke-i dan surfaktan DEA konsentrasi ke-j pada formula insektisida ulangan ke-k
µ
= rataan umum
αi
= pengaruh penambahan bahan aktif profenofos konsentrasi ke-i
βj
= pengaruh penambahan surfaktan DEA konsentrasi ke-j
(αβ)ij
= pengaruh interaksi antara penambahan bahan aktif profenofos konsentrasi ke-i dan konsentrasi surfaktan DEA ke-j
εijk
= pengaruh acak penambahan bahan aktif profenofos konsentrasi ke-i, konsentrasi surfaktan DEA ke-j dan ulangan ke-k
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Konsentrat Larutan Insektisida Pada tahapan formulasi konsentrat insektisida, bahan aktif yang digunakan adalah profenofos karena masih diizinkan dan pada aplikasinya di lapangan profenofos merupakan bahan aktif yang umum dan efektif digunakan untuk
7
pengendalian hama ulat grayak. Sedangkan surfaktan yang digunakan pada penelitian ini adalah surfaktan dietanolamida (DEA) olein sawit. Formulasi tersebut didasarkan pada kaidah umum formulasi pestisida yang dapat digolongkan dalam dua golongan besar yaitu formulasi cair dan formulasi padat. Formulasi cair dipilih dalam penelitian ini dengan pertimbangan mudah di dalam proses pelarutan sebelum aplikasi. Formulasi cair biasanya terdiri dari bahan aktif, pelarut dan bahan tambahan seperti pengemulsi, perata, perekat dan lain-lain. EC (Emulsifiable Concentrate), merupakan salah satu jenis formulasi cair yang dibuat dengan melarutkan bahan aktif dalam pelarut tertentu dan dengan menambahkan satu macam atau lebih surfaktan atau pengemulsi (Djojosumarto 2008). Larutan insektisida pada penelitian ini dibuat dalam bentuk EC. Produk insektisida yang banyak beredar dipasaran merupakan campuran bahan-bahan berupa bahan aktif dan bahan tambahan (adjuvant). Bahan aktif merupakan senyawa kimia beracun yang memiliki peranan dalam membunuh serangga, sedangkan keberadaan bahan tambahan sangat diperlukan karena berperan penting dalam mekanisme kerja bahan aktif. Bahan tambahan yang sering digunakan dalam formulasi insektisida antara lain pelarut (solvent), surfaktan (emulsifier), perekat (sticker), pembasah (wetting agent), pewarna (colouring agent) dan lain-lain (Djojosumarto 2008). Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent). Surfaktan merupakan molekul amphipatic yang memiliki sifat hidrofilik yang bersifat polar dan hidrofobik yang bersifat non polar. Karena sifat ini surfaktan dapat larut dalam larutan yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogennya seperti air dan minyak. Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara luas pada hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rieger 1985). Surfaktan dietanolamida (DEA) yang digunakan pada penelitian ini merupaka jenis surfaktan nonionik. Profenofos memiliki rumus kimia O-(4-bromo-2-klorofenil) O-etil S-propil fosforotioat (Wood 2012). Profenofos termasuk golongan organofosfat yang bersifat racun perut dan racun kontak (Djojosumarto 2008). Ditinjau dari struktur molekulnya profenofos memiliki kutub-kutub negatif pada gugus Chlor dan Brom sehingga secara umum profenofos memiliki elektro negatifitas (bermuatan relatif negatif). Struktur molekul yang besar menyebabkan profenofos tidak dapat larut dalam air dan tidak menguap pada suhu udara namun dapat menerima gugus positif dari senyawa lain. Sifat kimia dan fisika profenofos tersebut menyebabkan formulasi larutan insektisida profenofos dilakukan dalam bentuk emulsi dan diperlukan formulasi yang tepat agar larutan insektisida yang dihasilkan dapat membentuk emulsi yang baik. Struktur kimia profenofos ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur Kimia Profenofos (Wood 2012)
8
Pembentukan emulsi konsentrat larutan insektisida pada penelitian ini dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel profenofos menggunakan homogenizer. Berdasarkan muatan negatifnya maka profenofos dapat dilapisi dengan senyawa bersifat kation atau senyawa yang bermuatan relatif positif, dalam penelitian ini digunakan larutan natrium hidroksida (NaOH) dalam etanol (C2H5OH) atau natrium etoksida (NaOC2H5). Struktur kimia natrium etoksida ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Struktur Kimia Natrium Etoksida (Fauziah 2016) Natrium etoksida memiliki kutub positif pada gugus natriumnya dan pada gugus –CH3, oleh sebab itu natrium etoksida dapat membentuk ikatan Van Der Waals dengan profenofos. Gugus –Na bermuatan positif akan menuju gugus –Cl dan –Br, membentuk ikatan Van der Waals sehingga partikel profenofos memiliki lapisan pelindung dengan muatan negatif yang dihasilkan oleh gugus CH3 dari natrium etoksida. Lapisan pelindung ini menghasilkan zeta potensial yang berfungsi meningkatkan kestabilan koloid. Ikatan yang terbentuk dinilai kurang kuat sehingga jika dilakukan pengenceran dengan air akan terlepas dan emulsi kembali terpisah, oleh sebab itu ditambahkan suatu surfaktan yang dapat membentuk lapisan baru, pada penelitian ini digunakan dietanolamida (DEA) dari olein sawit. Gugus etanol pada surfaktan DEA memiliki muatan positif sehingga DEA akan menuju gugus –CH3 pada natrium etoksida, membentuk ikatan Van der Waals baru dan membentuk lapisan pelindung baru sehingga jarak lapisan terluar sampai ke partikel profenofos menjadi lebih jauh dan koloid menjadi semakin stabil karena total zeta potensial yang terbentuk menjadi lebih besar. Jika emulsi ini dicampurkan ke dalam air maka lapisan air (mantel air) akan terbentuk pula dengan terikatnya air pada gugus –CH3 pada DEA. Semakin besar zeta potensial maka koloid akan semakin stabil. Struktur kimia DEA ditunjukkan pada Gambar 4. Struktur emulsi yang terbentuk antara bahan aktif profenofos, natrium etoksida dan surfaktan DEA diduga seperti yang ditunjukan pada Gambar 5.
Gambar 4 Struktur Kimia Dietanolamida (Soraya 2007)
9
Dietanolamida
Natrium etoksida
Profenofos
Gambar 5 Struktur Emulsi Konsentrat Larutan Insektisida Profenofos dengan DEA Penampakan secara visual konsentrat larutan insektisida yang terbentuk pada tahap ini berwarna kuning kecoklatan dan transparan serta beraroma khas bahan aktif profenofos yang menyerupai aroma pekat bawang putih dan sangat menyengat. Bahan aktif profenofos tidak menguap pada suhu ruang, maka aroma yang timbul diduga berasal daribahan aroma yang ditambahkan. Warna kecoklatan yang nampak pada konsentrat ini diduga berasal dari gugus-gugus kromofor pada bahan aktif profenofos dan surfaktan DEA. Setelah dilakukan pengenceran dengan air sebesar 0,07% bahan aktif, larutan encer yang terbentuk berwarna putih susu, beraroma khas profenofos namun tidak terlalu menyengat. Perubahan warna kecoklatan menjadi putih setelah diencerkan dengan air diduga karena pada saat pembentukan emulsi pada media air terbentuk mantel air yang cukup banyak sehingga memberikan pengaruh kepada gugus kromofor yang dimiliki oleh profenofos dan DEA sehingga menghasilkan kesan warna putih. Konsentrat larutan insektisida profenofos dengan surfaktan DEA dan larutan insektisida sebesar 0,07% bahan aktif ditunjukkan pada Gambar 6. Konsentrat larutan insektisida tanpa penambahan surfaktan DEA yang dihasilkan pada penelitian ini akan segera terpisah kembali setelah dilakukan pengenceran dengan konsentrasi sebesar 0,07% bahan aktif sehingga perlakuan larutan insektisida tanpa penambahan DEA tidak dapat diaplikasikan terhadap ulat grayak pada tahap penelitian berikutnya. Pemisahan yang terjadi tersebut diduga karena ikatan Van Der Waals yang ada pada profenofos dan natrium etoksida kurang kuat sehingga ketika dilakukan pengenceran ikatan tersebut terlepas kembali akibat tekanan yang diberikan oleh air. Konsentrat larutan insektisida tanpa surfaktan DEA dan larutan insektisida tanpa surfaktan DEA encer sebesar 0,07% bahan aktif dalam air ditunjukkan pada Gambar 7.
10
A
B
Gambar 6 Konsentrat larutan insektisida profenofos (A) dan larutan insektisida 0,07% bahan aktif dalam air (B)
C
D
Gambar 7 Konsentrat Larutan insektisida tanpa surfaktan DEA (C) dan Larutan insektisida tanpa surfaktan DEA encer sebesar 0,07% bahan aktif dalam air (D) Sifat Fisiko-Kimia Konsentrat Larutan Insektisida Uji sifat fisiko-kimia larutan insektisida pada penelitian ini dilakukan dengan pengenceran konsentrat larutan insektisida sebesar 700 ppm bahan aktif atau 0,07% bahan aktif dalam air. Aplikasi insektisida profenofos pada ulat grayak instar tiga di laboratorium dilakukan dengan variasi konsentrasi hingga 700 ppm bahan aktif, maka pengenceran dengan konsentrasi tersebut bertujuan agar sifat-sifat fisiko-kimia larutan insektisida yang dihasilkan pada tahap ini dapat mewakili sifat fisiko-kimia larutan insektisida yang digunakan untuk aplikasi pada ulat grayak pada tahap berikutnya di laboratorium. Hasil uji larutan insektisida untuk ukuran droplet berkisar antara 1,76 – 2,07 µm, sudut kontak berkisar antara 11,575 - 24,218˚ , densitas berkisar antara 0,996 – 0,998 g/cm3, tegangan permukaan berkisar antara 16,56 – 40,72 dyne/cm, viskositas 1,032-1,078 cP dan pH berkisar antara 6, 87 – 8,22. Rata-rata hasil uji
11
fisika kimia larutan insektisida 0,07% bahan aktif dalam air ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Rata-rata hasil uji fisika kimia larutan insektisida dalam air Profenofos (%) Surfaktan DEA (%) 40 50 Ukuran Drop Plate (µm ) 0 1,84 ± 0,33a 1,77 ± 0,13a 10 1,99 ± 0,29a 2,06 ± 0,16a a 15 1,78 ± 0,05 1,85 ± 0,28a Sudut Kontak (˚) 0 22,830 ± 0,238b 14,398 ± 0,367b b 10 18,477 ± 0,747 13,631 ± 0,304a 15 13,730 ± 0,519b 12,137 ± 0,292a Densitas (g/cm3) 0 0,996 ± 0,000a 0,996 ± 0,000a a 10 0,997 ± 0,001 0,998 ± 0,000b 15 0,997 ± 0,001b 0,998 ± 0,000b Tegangan Permukaan (dyne/cm) 0 40,72 ± 1,28c 19,26 ± 1,14a 10 27,22 ± 0,68c 19,39 ± 1,07a b 15 26,89 ± 1,55 16,56 ± 0,96a Viskositas (cP) 0 1,032 ± 0,003a 1,038 ± 0,003a 10 1,078 ± 0,008b 1,075 ± 0,005b b 15 1,075 ± 0,013 1,077 ± 0,008b pH 0 8,21 ± 0,04a 6,87 ± 0,85b 10 8,15 ± 0,04a 7,89 ± 0,04a a 15 8,12 ± 0,02 7,76 ± 0,05a
0,07% bahan aktif
60 2,07 ± 0,05a 1,95 ± 0,19a 1,76 ± 0,06a 24,218 ± 0,557b 23,543 ± 0,376b 11,575 ± 0,467a 0,997 ± 0,001b 0,998 ± 0,000b 0,998 ± 0,000b 32,63 ± 0,68c 28,09 ± 3,28c 19,57 ± 1,74a 1,040 ± 0,013a 1,073 ± 0,012b 1,078 ± 0,002b 7,79 ± 0,06a 7,31 ± 0,04a 7,21 ± 0,01a
Keterangan: Angka pada kolom dan baris yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 0,05
Ukuran Droplet Ukuran droplet pada penelitian ini diukur dalam satuan mikro. Menurut Ferdian (2015), produk emulsi memiliki homogenitas yang baik apabila memiliki ukuran droplet yang baik dan seragam. Semakin kecil ukuran droplet menunjukkan bahwa suatu emulsi memiliki homogentias yang tinggi. Oleh karena itu pengamatan terhadap parameter ukuran droplet diperlukan untuk memastikan emulsi larutan insektisida yang dihasilkan memiliki droplet berukuran mikron yang menjadi indikasi bahwa emulsi yang terbentuk sudah baik dan homogen. Analisa ukuran droplet pada tahap ini dilakukan dengan pengenceran setiap larutan insektisida dengan akuades sebesar 700 ppm. Hasil analisa ukuran droplet berkisar antara 1,76 – 2,07 µm, hal ini menunjukkan bahwa larutan insektisida pada penelitian ini memiliki ukuran droplet yang baik. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan deMan (1997) bahwa pada sistem emulsi, droplet berukuran lebih dari 0.1 μm atau 0.1-50 μm berbentuk butiran yang terdispersi dengan baik
12
terhadap cairan lainnya. Semakin kecil ukuran droplet menunjukkan sifat emulsi yang baik. Produk insektisida diharapkan memiliki ukuran droplet yang kecil karena erat kaitannya dengan penerapan larutan insektisida di lapang. Ukuran droplet yang kecil menunjukkan bahwa partikel yang terbentuk berukuran kecil, semakin kecil ukuran partikel larutan insektisida maka akan semakin efisien dalam aplikasinya di lapang. Menurut Budi (2009), alat spuyer yang umum digunakan oleh petani dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman adalah Hollowcone yang memiliki 4 lubang dan menghasilkan ukuran butiran semprot 20-600 mikron. Semakin kecil ukuran partikel larutan insektisida dalam satuan mikron maka akan semakin banyak kandungan larutan insektisida yang ada pada setiap butiran semprot, maka penggunaannya menjadi semakin efisien. Ukuran droplet larutan insektisida pada penelitian ini dapat dikatakan sudah cukup baik untuk aplikasinya di lapang. Hasil analisis data dengan analisis varian menunjukan bahwa perlakuan penambahan surfaktan DEA dan bahan aktif profenofos berbeda tidak nyata terhadap ukuran droplet serta tidak terdapat interaksi antara keduanya pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 2). Sebaran ukuran droplet larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air ditunjukkan pada Gambar 8.
A2B1
Gambar 8 Sebaran ukuran droplet larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air Sudut Kontak Sudut kontak diukur untuk melihat kemampuan larutan insektisida ulat grayak menempel dan menyebar pada daun kedelai. Insektisida diharapkan memiliki kriteria sudut kontak sekecil mungkin. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan larutan insektisida untuk dapat menempel dan menyebar secara merata pada permukaan obyek. Sudut 0omenjelaskan tidak adanya sudut yang dihasilkan sehingga tetesan larutan menempel dengan baik, sudut 90o menjelaskan tetesan larutan pada obyek hanya mampu menempel namun tidak dapat tersebar, sedangkan untuk sudut 180o menjelaskan tetesan larutan tidak mampu menempel pada permukaan obyek dan langsung tergelincir (Ferdian, 2015). Profenofos merupakan bahan aktif jenis racun kontak dan racun perut, sehingga perlu diamati kemampuan emulsi larutan insektisida profenofos dalam
13
menempel dan menyebar pada permukaan daun. Semakin baik penempelan dan penyebaran larutan insektisida pada permukaan daun maka aplikasi larutan insektisida tersebut akan semakin efektif karena kemungkinan kontak dan termakannya bahan aktif oleh serangga sasaran semakin besar. Hasil pengukuran sudut kontak insektisida pada penelitian ini berkisar antara 11,575 - 24,218˚ yang menunjukkan bahwa ukuran droplet larutan insektisida yang dihasilkan pada penelitian ini sudah cukup baik, dapat menempel dan menyebar pada daun, rentang sudut kontak ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan daya serap alami oleh permukaan daun. Hasil analisis varian pada data sudut kontak menunjukan bahwa surfaktan DEA dan bahan aktif profenofos beserta interaksinya memberikan pengaruh nyata terhadap larutan insektisida sebesar 700 ppm dalam air (Lampiran 2). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan permukaan daun dalam menyerap surfaktan DEA dan bahan aktif profenofos. Kurva hubungan formulasi larutan insektisida terhadap sudut kontak ditunjukkan pada Gambar 9. Pengaruh nyata yang diberikan surfaktan DEA terhadap larutan insektisida yang dihasilkan pada penelitian ini membuktikan bahwa surfaktan DEA dapat berperan dalam mendispersikan, menghomogenkan, meratakan dan merekatkan bahan aktif profenofos dengan natrium etoksida sebagai pelarut. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Yu et al. (2009) bahwa pengamatan visual dari tetesan larutan yang mengandung surfaktan dapat menembus dan menyebar diantara rambut-rambut halus pada permukaan daun, melalui kapilaritas. Sedangkan, tetesan larutan tanpa surfaktan tidak dapat menyebar dan hanya menempel pada permukaan daun.
Sudut Kontak (˚)
30 25 20 15 10 5 0 A1B1A1B2A1B3A2B1A2B2A2B3A3B1A3B2A3B3 Perlakuan Gambar 9 Kurva hubungan formulasi larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air terhadap sudut kontak Keterangan: A1: Penambahan DEA 0% A2: Penambahan DEA 10% A3: Penambahan DEA 15% B1: Penambahan Profenofos 40%
14
B2: Penambahan Profenofos 50% B3: Penambahan Profenofos 60%
Densitas Larutan insektisida profenofos pada penelitian ini merupakan sistem emulsi minyak dalam air (o/w) yang ditunjukkan oleh terdispersinya fase minyak kedalam pendispersi berupa air. Densitas merupakan parameter penting untuk dianalisa karena nilai densitas berkaitan dengan nilai tegangan permukaan yang merupakan salah satu faktor kestabilan suatu emulsi. Densitas atau masa jenis didefinisikan sebagai perbandingan jumlah bobot suatu bahan terhadap jumlah volume penyusun bahan tersebut. Analisis densitas dilakukan dengan menggunakan alat density meter. Hasil analisa menunjukan bahwa densitas larutan insektisida berkisar antara 0,996 – 0,998 g/cm3. Hasil analisis data dengan analisis varian menunjukan bahwa penambahan surfaktan DEA dan bahan aktif profenofos berpengaruh nyata terhadap densitas larutan, serta terdapat interaksi antara surfaktan DEA dan bahan aktif profenofos didalam larutan insektisida 700 ppm dalam air (Lampiran2). Kurva hubungan formulasi larutan insektisida terhadap densitas ditunjukkan pada Gambar 10. Hasil uji lanjut DMRT menunjukan bahwa penambahan surfaktan DEA dan bahan aktif profenofos berbeda nyata terhadap densitas pada selang kepercayaan sebesar 95% dan terdapat interaksi dalam larutan insektisida 700 ppm dalam air (Lampiran 2). Hasil berbeda nyata ini dapat disebabkan oleh surfaktan DEA memiliki densitas lebih kecil daripada densitas bahan aktif profenofos, pelarut dan air yang digunakan sebagai pengencer sehingga penambahan surfaktan DEA dapat menurunkan densitas larutan insektisida 700 ppm dalam air.
0,9985 Densitas (g/cm3)
0,998 0,9975 0,997 0,9965 0,996 0,9955 0,995 A1B1A1B2A1B3A2B1A2B2A2B3A3B1A3B2A3B3 Perlakuan
Gambar 10 Kurva hubungan formulasi larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air terhadap densitas Keterangan: A1: Penambahan DEA 0% A2: Penambahan DEA 10%
15
A3: Penambahan DEA 15% B1: Penambahan Profenofos 40% B2: Penambahan Profenofos 50% B3: Penambahan Profenofos 60%
Tegangan Permukaan (dyne/cm)
Tegangan Permukaan Tegangan permukaan suatu cairanadalahtekananinternal yang disebabkan olehdaya tarik menarikmolekulke bawah permukaan padapermukaancairan(Kamalakar et al. 2013). Tegangan permukaan dirumuskan sebagai = F/d, adalah tegangan permukaan, F adalah gaya tegangan permukaan dalam satuan N dan d adalah panjang atau diameter dengan satuan m sehingga tegangan permukaan memiliki satuan N/m. Formula profenofos dalam natriumetoksida dengan surfaktan DEA merupakan sistem emulsi sehingga timbulnya tegangan permukaan disebabkan oleh partikel dalam emulsi dan pelarutnya. Perubahan tegangan permukaan dipengaruhi oleh kandungan partikel dan ukuran partikel dipermukaan emulsi tersebut. Kurva hubungan formulasi larutan insektisida terhadap tegangan permukaan ditunjukkan pada Gambar 11. Hasil analisa menunjukan bahwa tegangan permukaan larutan insektisida 700 ppm dalam air berkisar antara 16,563 – 40,717 dyne/cm. Data tegangan permukaan juga menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan surfaktan DEA maka tegangan permukaan menjadi semakin kecil, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Indrawijaya (2015) pada hasil penelitiannya mengenai larutan insektisida nabati dari minyak nimba dengan surfaktan DEA bahwa makin tinggi konsentrasi surfaktan menyebabkan tegangan permukaan makin rendah sampai mencapai suatu konsentrasi dimana tegangan antar mukanya konstan. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 Perlakuan
Gambar 11 Kurva hubungan formulasi larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air terhadap tegangan permukaan Keterangan: A1: Penambahan DEA 0% A2: Penambahan DEA 10% A3: Penambahan DEA 15% B1: Penambahan Profenofos 40%
16
B2: Penambahan Profenofos 50% B3: Penambahan Profenofos 60% Hasil analisis data dengan analisis varian menunjukan penambahan surfaktan DEA dan bahan aktif profenofos berbeda nyata terhadap tegangan permukaan dan terdapat interaksi antara keduanya (Lampiran 2). Hasil uji lanjut DMRT menunjukan bahwa penambahan surfaktan DEA dan bahan aktif profenofos berbeda nyata terhadap tegangan permukaan pada selang kepercayaan 95% dan terdapat interaksi antara keduanya (lampiran 2). Larutan profenofos dalam natriumetoksida dengan surfaktan DEA merupakan sistem emulsi sehingga timbulnya tegangan permukaan disebabkan oleh partikel dalam emulsi dan pelarutnya. Perubahan tegangan permukaan dipengaruhi oleh kandungan partikel dan ukuran partikel dipermukaan emulsi tersebut. Hasil berbeda nyata dapat disebabkan oleh sifat surfaktan DEA yang dapat menurunkan densitas formula, semakin kecil densitas maka kerapatan antar partikel akan semakin renggang, sehingga gaya tarik menarik antar partikel menjadi semakin lemah, oleh sebab itu tegangan permukaan menjadi semakin kecil. Sifat utama surfaktan adalah sebagai bahan aktif permukaan (Probowati et al. 2012). Gaya tarik permukaan fluida terhadap udara akan semakin rendah karena adanya pengaruh surfaktan. Nilai tegangan permukaan yang kecil menunjukkan gaya tarik antar partikel yang kecil pada permukaan suatu larutan. Larutan insektisida diharapkan memiliki tegangan permukaan yang rendah karena berkaitan dengan sudut kontak yang menjadi faktor penting dalam menentukan sifat larutan insektisida yang baik. Tegangan permukaan yang rendah dari larutan insektisida dapat menurunkan sudut kontak insektisida pada permukaan daun sehingga meningkatkan area semprot insektisida (Yang et al. 2014).
Viskositas Viskositas merupakan salah satu sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran dan gaya antar molekul. Viskositas menunjukkan tingkat kekentalan suatu fluida. Semakin tinggi nilai viskositas maka semakin tinggi pula tingkat kekentalan suatu fluida, yang mengindikasikan berubahnya struktur dan ikatan antar molekul. Kenaikan viskositas disebabkan karena meningkatnya konsentrasi partikel, demikian pula dengan sifat alir bahan akan tergantung pada viskositas dan densitas cairan (Rasdiana, 2016). Pengendalian hama ulat grayak di lapang dilakukan dengan cara penyemprotan menggunakan alat spray. Salah satu vaktor penting yang akan mempengaruhi penggunaan larutan insektisida pada alat sprey adalah viskositas, semakin tinggi nilai viskositas larutan akan semakin sulit untuk disemprotkan, semakin rendah viskositas larutan insektisida, maka akan lebih mudah untuk disemprotkan. Oleh karena itu, viskositas larutan insektisida pada penelitian ini perlu untuk diamati. Data hasil analisa menunjukan bahwa viskositas larutan insektisida yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 1,032-1,078 cP. Hasil analisis data dengan ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan penambahan surfaktan DEA berbeda nyata terhadap viskositas, sedangkan perlakuan penambahan bahan aktif
17
profenofos berbeda tidak nyata terhadap viskositas dan tidak terdapat interaksi antara keduanya (lampiran 2). Kurva hubungan konsentrasi DEA larutan insektisida terhadap viskositas ditunjukkan pada Gambar 12.
Viskositas (cP)
1,1 1,08 1,06 1,04 1,02 1 0,98 A1
A2
A3
Perlakuan DEA Gambar 12 Kurva hubungan konsentrasi DEA larutan insektisida terhadap viskositas Keterangan: A1: Penambahan DEA 0% A2: Penambahan DEA 10% A3: Penambahan DEA 15% Menurut Holmberg (2002) viskositas tinggi disebabkan karena konsentrasi partikel yang tinggi pula, demikian juga sifat alir bahan tergantung pada viskositas dan densitas cairan.Cairan yang mudah mengalir dikatakan memiliki viskositas rendah dan sebaliknya bahan-bahan yang sulit mengalir memiliki viskositas yang tinggi. Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa perlakuan penambahan surfaktan DEA berbeda nyata terhadap viskositas pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 2), hal ini dapat disebabkan oleh surfaktan DEA yang memiliki viskositas yang tinggi dibandingkan dengan viskositas profenofos dan pelarut, sehingga perlakuan penambahan surfaktan DEA memiliki pengaruh nyata terhadap viskositas. Hal ini juga didukung oleh data sebelumnya, yaitu penambahan surfaktan DEA berpengaruh nyata terhadap densitas yang merupakan salah satu faktor nilai viskositas. Selain itu, dapat dilihat pula larutan insektisida pada penelitian ini memiliki ukuran droplet yang kecil, sehingga dapat dikatakan emulsi larutan insektisida memiliki ukuran partikel yang kecil, semakin kecil ukuran partikel maka luas permukaan untuk gaya gesek semakin besar sehingga viskositas menjadi semakin besar.
Derajat Keasaman (pH) Produk insektisida diharapkan tidak memiliki pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi karena dapat merusak tanaman yang disemprotkan, kerusakan
18
tersebut diantaranya adalah daun menjadi kering dan dapat merusak zat hijau daun (klorofil) yang sangat penting bagi kelangsungan hidup tanaman. Klorofil memiliki ikatan rangkap pada struktur molekulnya, pH yang terlalu asam atau terlalu basa dapat merusak ikatan rangkap tersebut sehingga merusak fungsi klorofil, salah satu kerusakan yang nampak secara visual adalah daun menjadi kering dan kekuningan. Bahan aktif profenofos merupakan racun kontak dan racun perut. Saluran pencernaan serangga memiliki tiga bagian, yaitu usus bagian depan (stomodeum), usus bagian tengah (mesenteron) dan usus bagian belakang (proctodeum), bagian usus yang berperan penting dalam pencernaan makanan adalah usus bagian tengah yang biasanya bersifat basa, pH insektisida dengan mode of action racun perut sangat berperan dalam mengganggu saluran pencernaan serangga, pH insektisida dapat merubah pH saluran pencernaan serangga sehingga serangga menjadi tidak nafsu makan, iritasi dan akhirnya mengalami kematian. Serangga memiliki bermacam-macam enzim penceraan yang berperan penting dalam metabolisme serangga, diantaranya adalah amylase, maltase, invertase, peptidase, triptase dan lipase. Secara umum pH insektisida dapat mendegradasi enzim-enzim dalam saluran pencernaan serangga sehingga merusak fungsi enzim-enzim tersebut dan mengganggu metabolisme pencernaan serangga. Oleh sebab itu, pengamatan terhadap pH pada penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian pengaruh pH terhadap insektisida, bakterisida, akarisida dan herbisida telah dilakukan oleh David dan Mate (2011), Thuyet et al (2013), Pangloli dan Hung (2013), Bhika (2014), Shahgoli dan Ahangar (2015) serta Zaki et al. (2015) dan hasil menunjukkan bahwa pada pH tinggi keefektifan pestisida menurun, hal itu terjadi karena waktu paruh pestisida menjadi lebih singkat. Waktu paruh adalah lamanya deposit bahan aktif pesitisda berada pada sasaran atau bagian tanaman tinggal 50%. Dengan demikian, lamanya organisme penggnaggu tumbuhan (OPT) terpapar oleh bahan aktif pestisida juga lebih singkat. Oleh sebab itu, pengamatan terhadap pH larutan insektisida pada penelitian ini perlu dilakukan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pH larutan insektisida yang dihasilkan berkisar antara 6,87-8,21, namun dari data dapat dilihat bahwa larutan insektisida memiliki pH cenderung menuju basa, yaitu pH diatas 7. Insektisida pada umumnya memiliki pH 7-8, maka dapat disimpulkan bahwa pH larutan insektisida yang dihasilkan pada penelitian ini masih termasuk kedalam pH insektisida yang beredar pada umumnya. pH adalah derajat keasaman yang dinyatakan sebagai –Log [H+] oleh sebab itu pada penelitian ini, data nilai pH ditransformasi kedalam bentuk logaritma agar diperoleh nilai [H+] sebelum dilakukan analisis varian dan uji lanjut. Hasil analisis data dengan ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan penambahan surfaktan DEA berbeda tidak nyata terhadap pH, sedangkan bahan aktif profenofos berbedanyata dan terdapat interaksi antara keduanya (Lampiran 2). Kurva hubungan formulasi larutan insektisida terhadap pH ditunjukkan pada Gambar 13. Hasil uji lanjut dengan DMRT menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bahan aktif profenofos berpengaruh nyata terhadap pH pada selang kepercayaan 95%, dan terdapat interaksi antara surfaktan DEA dan bahan aktif profenofos (lampiran 2). Hal ini dapat disebabkan oleh interaksi antara surfaktan DEA dan
19
bahan aktif profenofos memiliki sifat basa sehingga dapat menaikan konsektrasi [H+] pada larutan insektisida sehingga pH menjadi basa.
9 8 7
pH
6 5 4 3 2 1 0 A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 Perlakuan
Gambar 13 Kurva hubungan formulasi larutan insektisida 0,07% profenofos dalam air terhadap pH Keterangan: A1: Penambahan DEA 0% A2: Penambahan DEA 10% A3: Penambahan DEA 15% B1: Penambahan Profenofos 40% B2: Penambahan Profenofos 50% B3: Penambahan Profenofos 60%
Efektifitas Larutan Insektisida Terhadap Ulat Grayak (LC50) Larutan insektisida yang digunakan pada tahap ini adalah larutan yang mengandung 40% profenofos dan suraktan DEA 10%, data yang dihasilkan diolah dengan analisis probit untuk menentukan LC50. Nilai LC50 merupakan konsentrasi insektisida yang dibutuhkan untuk mematikan 50% populasi serangga uji. Variasi pengenceran adalah sebesar 400 hingga 700 ppm bahan aktif profenofos dengan selang 75 ppm dan kontrol adalah pelarut dan surfaktan DEA dalam air tanpa bahan aktif profenofos. Data hasil analisis probit untuk uji efektifitas formula ditunjukan pada tabel 3. Total populasi ulat yang digunakan adalah 50 ulat. Data pada tabel menunjukan bahwa surfaktan DEA dan natrium etoksida tidak menyebabkan kematian ulat, namun surfaktan DEA dapat mempertahankan profenofos tetap berada
20
dipermukaan daun sehingga surfaktan DEA dapat meningkatkan efektifitas penggunaan formula insektisida dengan bahan aktif profenofos. Hasil analisis probit menunjukan bahwa LC50 formula insektisida pada penelitian ini adalah sebesar 574 ppm. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari (2015) menunjukkan bahwa LC50 untuk insektisida komersial berbahan aktif profenofos terhadap ulat grayak instar tiga dengan metode semprot pada skala laboratorium adalah sebesar 1,37 mL/L atau 1370 ppm, jika dibandingkan dengan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa larutan insektisida profenofos dengan surfaktan DEA olein sawit dan pelarut natrium etoksida memiliki tingkat toksistas yang lebih baik dan lebih efektif dari pada insektisida profenofos komersial, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Nafari (2012), bahwa hasil LC50 yang lebih besar menandakan tingkat toksisitas yang lebih kecil. Oleh karena itu semakin kecil nilai LC 50 maka semakin baik tingkat toksistasnya. Profenofos merupakan salah satu jenis insektisida organofosfat. Menurut Achmadi (2008) dan Sartono (2002). Golongan organofosfat merupakan jumlah pestisida terbesar yang beredar di pasar dan banyak digunakan dalam bidang pertanian. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai. Keracunan organofosfat dapat terjadi melalui mulut, inhalasi, dan kulit. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa nilai LC50 yang didapatkan dari insektisida profenofos dan surfaktan DEA olein sawit sangat rendah yaitu hanya 574 ppm bahan aktif dalam air. Mekanisme kerja profenofos yaitu menghambat kerja enzim asetilkolinesterase sehingga neurotransmitter asetilkolin yang berikatan dengan reseptornya di daerah pasca sinapsis saraf pusat tidak terurai dan menimbulkan impuls saraf secara terus menerus. Gejala yang ditimbulkan berturut-turut eksitasi (kegelisahan), konvulsi (kekejangan), paralisis (kelumpuhan), dan akhirnya kematian (Matsumura 1985; Seigefried dan Scharf 2001; Djojosumarto 2008). Pengamatan mortalitas ulat grayak instar tiga pada jam ke-48 dapat ditunjukkan pada Gambar 14. Tabel 3. Hasil pengamatan uji efektifitas formula insektisida Konsentrasi konsentr Konsentrasi at Jumlah Mortalitas ulat pada Analisis probit bahan insektisi kematia pengamatan jam jam ke-48 aktif da n ulat ke-48 (%) (LC50) (ppm) dalam air (%) y = 12.39x 0 0 0 0 29.18 0,10 400 2 4 5 0,12 475 7 14 2 0,14 550 18 36 574 ppm 0,16 625 39 78 0,18 700 41 82
21
Kontrol
Perlakuan
Gambar 14 Pengamatan mortalitas ulat grayak instar 3 pada jam ke-48 Penelitian mengenai larutan insektisida dengan surfaktan DEA olein sawit juga telah dilakukan oleh Ferdian (2015) dengan bahan aktif buprofezin dan pelarut solvesso 150 dan Indrawijaya (2015) dengan bahan aktif nabati dari minyak nimba, kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa surfaktan DEA mampu membentuk emulsi yang baik pada larutan insektisida dan dapat berfungsi sebagai pendispersi, penghomogen, perata dan perekat yang baik pada larutan insektisida. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi laternatif pilihan selain insektisida profenofos yang telah ada dipasaran, karena menggunakan surfaktan dietanolamida (DEA) olein sawit yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan surfaktan pada umumnya yang disintesis dari minyak bumi atau gas alam, serta pelarut pada insektisida penelitian ini memiliki ketersediaan yang lebih mudah didapatkan dan lebih murah dari pada pelarut insektisida profenofos komersial yang menggunakan paraxilen. Tabel 4. Perbandingan Insektisida Profenofos dan Buprofezin (Ferdian 2015) dengan DEA sebagai surfaktannya. Parameter Insektisida Profenofos Insektisida Buprofezin (Ferdian 2015) Ukuran Droplet (µm) 1,76 – 2,07 2,45 – 3.28 Sudut Kontak (˚) 11,575 – 24, 218 17,572o– 27,052 3) Densitas (g/cm 0,996 – 0,998 0,997 – 0,998 Tegangan Permukaan (dyne/cm) 16,56 – 40,72 23,55 – 26,43 Viskositas (cP) 1,032 – 1,078 8,750 – 9,448 pH 6,87 – 8,22 10.03 – 10.42 Serangga sasaran Ulat Grayak Wereng Cokelat LC50(ppm) 574 1661 Uji efektifitas pada penelitian ini dilakukan pada skala laboratorium dengan metode celup, namun pada aplikasinya dilapangan insektisida profenofos umumnya dilakukan dengan penyemprotan terhadap tanaman kedelai yang
22
terserang hama ulat grayak, oleh karena itu masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas insektisida profenofos dengan surfaktan DEA olein sawit pada skala rumah kaca dengan simulasi cuaca agar didapatkan hasil yang lebih dapat mewakili aplikasi insektisida ini dilapangan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Larutan insektisida terbaik yang diperoleh dari penelitian ini adalah larutan insektisida dengan kadar bahan aktif profenofos 40% dalam pelarut natrium etoksida dan surfaktan DEA 10% (A2B1). Hasil uji sifat fisiko-kimia larutan insektisida ini adalah ukuran droplet berkisar antara 1,76 – 2,07 µm, sudut kontak berkisar antara 11,575 - 24,218˚, densitas berkisar antara 0,996 – 0,998 g/cm3, tegangan permukaan berkisar antara 16,56 – 40,72 dyne/cm, viskositas 1,0321,078 cP dan pH berkisar antara 6, 87 – 8,22. Efektifitas insektisida terhadap ulat grayak instar tiga (LC50)adalah sebesar 574 ppm bahan aktif dalam air. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas insektisida profenofos dengan surfaktan DEA olein sawit pada skala rumah kaca dengan simulasi cuaca agar didapatkan hasil yang lebih dapat mewakili aplikasi insektisida ini dilapangan.
DAFTAR PUSTAKA Bangun MK. 1991. Rancangan Percobaan. Medan: Fakultas Pertanian USU. Bergenstahl BA, Claesson PM. 1990. Surface Forces in Emulsions. Di dalam: K. Larsson, S.E. Firberg (Ed.). Food Emulsi. Marcel-Dekker, Inc. New York. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Padi, Jagung dan Kedelai. Berita Resmi Statistik No. 62/07/ Th. XVIII. Budi GP. 2009. Beberapa Aspek Perbaikan Penyemprotan Pestisida untuk Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman. Jurnal Agritech. 11(6): 72 David I, Mate E. 2011. Influences of Spray Water Quality on The Efficacy of Some Herbicide. J. Magy. Gyom. Tech. 12(1): 31 De Man JM. 1997. Kimia Makanan. Kosasih Padmawinata, Penterjemah Bandung: ITB Pr. Terjemahan dari: Food Chemistry. Departemen Pertanian. 2008. Panduan pelaksanaan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT) kedelai. Jakarta. Departemen Pertanian. [Ditlintan] Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2013. Laporan Luas dan Serangan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia 2013. Ditlintan,Jakarta. Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta Selatan: PT Agromedia Pustaka.
23
Fauziah S, Supartono, Mursiti S. 2016. Sintesis Senyawa Dihidropirimidinion dari Etil Asetoasetat. Indonesian Journal of Chemical Science 21(9): 61 Ferdian MA. 2015. Kajian Stabilitas Emulsi Produk Insektisida Hama Wereng Coklat Menggunakan Surfaktan DEA Metil Ester Olein Sawit [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Georgiou G, Lin SC, Sharma MM. 1992. Surface Active Compounds From Microorganisms (Revew). J. Biotechnol. 10: 60-65 Hambali E, Suryani A, Rivai M, Sutanto AI, Nisya FN, Nurkania A.2013.Pengembangan Teknologi Proses Produksi Surfaktan Dietanolamida (DEA) dari Metil Ester Olein Sawit dan Aplikasinya untuk Personal Care Products.Bogor :SBRC IPB Indrawijaya B. 2015. Analisis Kinerja Surfaktan Dietanolamida Sebagai Adjuvant Pada Insektisida Nabati Minyak Nimba [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kamalakar K, Tenneti S, Yarra M, Rachapudi BNP, Malampali SLK. 2013. Sythesis of Thumba, Castor and Sal Fatty Ethanolamide Based Anionic Surfactants. J. Surf. Det. S11743-013-1500-2 Knowles A. 2008. Recent Developments of Safer Formulations of Agrochemicals.J. Environ. 28:35 – 44 Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada tanaman kedelai. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(4): 131-136. Pangloli P, Hung YC. 2013. Effect Water Hardness and pH on Efficacy of Chlorine Based Sanitizers for Inactivating Eschercia coli O15:H7 and Listeria monocytogenes. Food Control. 32(31): 626 Probowati A, Paradigma CG, Diyono I. 2012. Pembuatansurfaktandariminyakkelapamurni(VCO) melaluiproses amidasidengankatalisNaOH. Teknologi Kimia danIndustri.Vol.1, No.1 Hal 424-432 Purnamasari HD. 2015. Status Resistensi Hama Ulat Grayak )Spodoptera litura F.) Asal Karangploso Malang Terhadap Insektisida Sintetik Profenofos [Skripsi]. Jember (ID): Universitas Jember. Randinini S, Buck RP, Covington AK. 2001. The Measurement of pH Definition. Standards and Procedures. IUPAC Provisional Recomendations. Sanatkaran N, Masalova I, Malkin AY. 2014. Effect of surfactant on interfacial film and stability of highly concentrated emulsions stabilized by various binary surfactant mixtures. J. Colloids and Surfaces A: Physicochem. Eng. Aspects 461; 85 – 91. Shahgoli H, Ahangar AG. 2014. Factors Controlling Degradation of Pesticides in The Soil Environment: A revew. Agric. Sci. Dev. 3(8): 273 Siegfired BD, Scharf ME. 2001. Mechanisms of organophospate resistence in insects. Di dalam: Ishaaya I, editor. Biochemical Sites of Insectiside Action and Resistence. New York (US): Springer-Verlag. Hlm 269-287. Thuyet DQ, Watanabe H, Ok J. 2013. Effect of pH on the Degradation of Imidacloprid and Fipronil in Paddy Water. J. Pesticide Sci. 28(4): 223 Wood A. 2012. Compendium of presticide common name: profenofos. http://www.alanwood.net/pesticides/profenofos.html [7 Jan 2013]
24
Yang Y, ME Leser, AA Sher, DJ McClements. 2013. Formation and stability of emulsions using a natural small molecule surfactant:QuillajaSaponin(QNaturale). Food Hydrocoll. 30: 589-596 Yu Y, H Zhu, JM Frantz, ME Reding, KC Chan, HE Ozkan. 2009. Evaporation and Coverage of Pesticide Droplets on Hairy and Waxy Leaves. J. Biosyst. Eng. 104: 324-334 Zaki MS, Ata NS, Fawzy O, Shalaby SS. 2015. Pesticides in Environment. J. Life Sci. 12(2): 176
25
Lampiran 1. Prosedur analisis fisikokimia larutan insektisida
1. pH (SOP for pH Meter Schott) Uji derajat keasaman dilakukan dengan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi terlebih dahulu dengan larutan Buffer pH 4, Buffer pH 7, dan buffer pH 10. Nilai pH sampel dihitung dengan cara mencelupkan elektroda ke dalam larutan sampel, kemudian tekan tombol Enter pada pH meter. Nilai stabil yang ditunjukkan alat adalah nilai pH sampel.Pengukuran nilai pH dilakukan sebanyak 2 kali untuk setiap sampel.
2.Densitas (SOP for Densitymeter Anton Paar DMA 4500M) Pengukuran densitasproduk insektisida dilakukan dengan menggunakan alat Densitymeter Anton Paar DMA 4500M. sampel dilarutkan pada air sebanyak 20 ml pada konsentarasi 0,2 %, kemudian dimasukkan ke dalam tabung sampel alat pada kondisi suhu 30oC. Nilai yang dimunculkan di layar adalah nilai densitas sampel.
3. Ukuran droplet (SOP for Microskop Leica ICC 50 HD) Mikroskop Leica ICC 50 HD adalah alat yang digunakan untuk pengukuran droplet.Sebelum digunakan untuk analisis droplet, maka terlebih dahulu diatur nilai satuan hasil pembacaan diameter droplet sesuai yang diinginkan. Kemudian disiapkan kaca alas dan tutup kaca yang telah dibersihkan dengan alkohol.Diteteskan sampel pada kaca preparat ±1 tetes kemudian ditutup dengan cover glass (dipastikan tidak ada gelembung udara karena dapat mengganggu pengamatan). Setelah preparat jadi, kemudian dipasangkan pada meja preparat dan disesuaikan pembesaran lensa objektif yang digunakan. Diatur pencahayaan dan focus kamera mikroskop, lalu dicari objek yang diinginkan.Pengamatan dilakukan dengan perbesaran 1000x. Setelah memperoleh objek yang diinginkan maka gambar yang diperoleh disimpan dan diukur diameter droplet yang diperoleh. Satuan hasil pengukuran diameter droplet yaitu µm.
4. Tegangan permukaan (SOP for Spinning Drop Tensiometer) Pengukuran tegangan permukaan dilakukan dengan menggunakan alat Spinning drop tensiometer. Sampel dilarutkan dengan konsentrasi 0,2% sebanyak 20 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung sampel hingga hampir penuh tetapi sisakan sedikit ruang untuk udara didalamnya kemudian tabung ditutup dan dimasukkan ke dalam alat Spinning Drop Tensiometer. Set suhu 30 oC dan kecepatan rotasi alat 6000rpm. Nilai Tegangan permukaan sampel diperoleh dari nilai diameter gelembung udara didalam tabung yang kemudian dikonversikan menjadi tegangan permukaan oleh alat.
26
5. Sudut kontak (SOP for Contact Angle Analyzer Phoenix 300) Pengukuran densitasproduk insektisida dilakukan dengan menggunakan alat Contact Angle Analyzer Phoenix 300.sampel dilarutkan pada air sebanyak 20 ml pada konsentarasi 2 %, kemudian dimasukkan ke dalam syringe. Sampel diteteskan dan kemudian pengamatan sudut kontak dilakukan 5 menit setelah tetesan jatuh pada obyek.Nilai sudut kontak diperoleh dengan menarik sudut pada sisi-sisinya.Rata-rata nilai yang dimunculkan di layar adalah nilai sudut kontak sampel.
6. Viskositas (SOP For Rheometer Brookfield DV-III Ultra) Alat yang digunakan adalah Rheometer Brookfield DV-III Ultra.Sampel sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam wadah kemudian diukur viskositasnya dengan menggunakan viscometer (spindle SC4-18; torque 14%) dengan kecepatan 90 rpm.Nilai Viskositas (cP) sampel merupakan nilai stabil yang dimunculkan di layar Rheometer.
Lampiran 2. Data hasil penelitian, sidik ragam dan uji lanjut DMRT formulasi larutan insektisida terhadap parameter fisikokimia 1. Ukuran droplet (µm) a. Data hasil uji ukuran droplet (µm) Ulangan Perlakuan 1 2 A1B1 1,51 2,3 A1B2 1,95 1,67 A1B3 2,12 2,09 A2B1 2,37 1,91 A2B2 1,83 2,12 A2B3 2,14 1,69 A3B1 1,78 1,71 A3B2 1,93 1,48 A3B3 1,67 1,80
3 1,72 1,69 2,01 1,68 2,22 2,02 1,84 2,14 1,80
Rata-rata
sd
1,84 1,77 2,07 1,99 2,06 1,95 1,78 1,85 1,76
0,33 0,13 0,05 0,29 0,17 0,19 0,05 0,28 0,06
b. Sidik ragam ukuran droplet (µm) Penetapan hipotesis H0 : τ1= τ2=τ3= ... ... =τ9 (rataan antar perlakuan sama) Perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap ukuran droplet H1 : τi ≠ τj (minimal ada satu perlakuan yang berbeda) Minimal ada satu perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau tingkat kesalahan (α) 5% Dasar pengambilan keputusan : Jika F tabel > F hitung maka H0 di terima Jika F tabel < F hitung maka H0 di tolak
27
Tabel ANOVA Sumber Keragaman
DB
JK
KT
Fhitung
F tabel
Keterangan
A
2
0,221
0,11
2,2159
3,55
ns
B
2
0,016
0,008
0,1599
3,55
ns
AB
4
0,267
0,067
1,3394
2,93
ns
E
18
0,896
0,05
Keterangan * ** ns
: : berbeda nyata : berbeda sangat nyata : berbeda tidak nyata
2. Sudut Kontak (˚) a. Data hasil uji sudut kontak (˚) Ulangan Perlakuan 1 2 A1B1 22,778 22,623 A1B2 14,102 14,809 A1B3 24,085 24,829 A2B1 17,867 18,255 A2B2 13,440 13,472 A2B3 23,710 23,718 A3B1 13,140 14,117 A3B2 12,259 11,804 A3B3 11,040 11,898
3 23,091 14,281 23,739 19,310 13,982 23,112 13,934 12,349 11,787
Rata-rata 22,830 14,398 24,218 18,477 13,631 23,543 13,730 12,137 11,575
sd 0,238 0,368 0,557 0,747 0,304 0,376 0,519 0,292 0,467
b. Sidik ragam sudut kontak (˚) Penetapan hipotesis H0 : τ1 = τ2 = τ3 = ... ... =τ9 (rataan antar perlakuan sama) Perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap sudut kontak H1 : τi ≠ τj (minimal ada satu perlakuan yang berbeda) Minimal ada satu perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap sudut kontak. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau tingkat kesalahan (α) 5% Dasar pengambilan keputusan : Jika F tabel > F hitung maka H0 di terima Jika F tabel < F hitung maka H0 di tolak
28
Tabel ANOVA Sumber Keragaman
DB
JK
KT
Fhitung
F tabel
Keterangan
A
2
313,8
156,9
756,19
3,55
**
B
2
202,4
101,2
487,74
3,55
**
AB
4
122
30,5
146,99
2,93
**
E
18
3,734
0,207
Keterangan : * : berbeda nyata ** : berbeda sangat nyata ns : berbeda tidak nyata
c. Uji lanjut DMRT sudut kontak Interaksi Rata-rata A3B3 11,575 A3B2 12,137 A2B2 13,631 A3B1 13,730 A1B2 14,398 A2B1 18,477 A1B1 22,830 A2B3 23,543 A1B3 24,218
D05
Ref.
0,7813 0,82 0,8441 0,861 0,8733 0,8825 0,8844 0,8954
12,356 12,395 12,419 12,436 12,448 12,458 12,459 12,471
Notasi a a b b b b b b
Keterangan: data diurutkan dari yang terkecil hingga terbesar
3. Densitas (g/cm3) a. Data hasil uji densitas (g/cm3) Ulangan Perlakuan 1 2 A1B1 0,996 0,996 A1B2 0,996 0,996 A1B3 0,997 0,997 A2B1 0,997 0,997 A2B2 0,998 0,998 A2B3 0,998 0,998 A3B1 0,997 0,997 A3B2 0,998 0,998 A3B3 0,998 0,998
3 0,996 0,996 0,997 0,997 0,998 0,998 0,997 0,998 0,998
Rata-rata 0,996 0,996 0,997 0,997 0,998 0,998 0,997 0,998 0,998
b. Sidik ragam densitas (g/cm3) Penetapan hipotesis H0 : τ1 = τ2 = τ3 = ... ... =τ9 (rataan antar perlakuan sama) Perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap densitas H1 : τi ≠ τj (minimal ada satu perlakuan yang berbeda)
sd 0,000 0,000 0,001 0,001 0,000 0,000 0,001 0,000 0,000
29
Minimal ada satu perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap densitas Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau tingkat kesalahan (α) 5% Dasar pengambilan keputusan : Jika F tabel > F hitung maka H0 di terima Jika F tabel < F hitung maka H0 di tolak Tabel ANOVA Sumber Keragaman
DB
JK
KT
F hitung
F tabel
Keterangan
A
2
4×10-6
2×10-6
431,62
3,55
**
B
2
5×10-5
2×10-6
519,08
3,55
**
AB
4
1×10-6
4×10-7
74,846
2,93
**
E
18
9×10-8
5×10-9
Keterangan : * : berbeda nyata ** : berbeda sangat nyata ns : berbeda tidak nyata
c. Uji lanjut DMRT densitas Interaksi Rata-rata A1B1 0,996 A1B2 0,996 A2B1 0,997 A3B1 0,997 A1B3 0,997 A2B2 0,998 A3B3 0,998 A2B3 0,998 A3B2 0,998
D05 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001
Ref. 0,997 0,997 0,997 0,997 0,997 0,997 0,997 0,997
Notasi a a b b b b b b
Keterangan: data diurutkan dari yang terkecil hingga yang terbesar
4. Tegangan Permukaan (dyne/cm) a. Data hasil uji tegangan permukaam (dyne/cm) Ulangan Perlakuan 1 2 3 A1B1 42,33 40,61 39,21 A1B2 17,81 19,37 20,59 A1B3 33,4 32,73 31,75 A2B1 27,25 28,04 26,37 A2B2 19,12 18,23 20,82 A2B3 31,29 29,39 23,59 A3B1 26,25 29,03 25,39 A3B2 17,85 16,29 15,55 A3B3 20,73 20,87 17,11
Rata-rata 40,72 19,26 32,63 27,22 19,39 28,09 26,89 16,56 19,57
sd 1,28 1,14 0,68 0,68 1,07 3,28 1,55 0,96 1,74
30
b. Sidik ragam tegangan permukaam (dyne/cm) Penetapan hipotesis H0 : τ1 = τ2 = τ3 = ... ... =τ9 (rataan antar perlakuan sama) Perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap tegangan permukaan H1 : τi ≠ τ j (minimal ada satu perlakuan yang berbeda) Minimal ada satu perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tegangan permukaan Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau tingkat kesalahan (α) 5% Dasar pengambilan keputusan : Jika F tabel > F hitung maka H0 di terima Jika F tabel < F hitung maka H0 di tolak Tabel ANOVA Sumber Keragaman
DB
JK
KT
Fhitung
F tabel
Keterangan
A
2
443,8
221,9
60,28
3,55
**
B
2
803,2
401,6
109,09
3,55
**
AB
4
208,5
52,13
14,159
2,93
**
E
18
66,27
3,682
Keterangan * ** ns
: : berbeda nyata : berbeda sangat nyata : berbeda tidak nyata
c. Uji lanjut DMRT tegangan permukaan Interaksi Rata-rata D05 A3B2 16,56 A1B2 19,26 3,2912 A2B2 19,39 3,4541 A3B3 19,57 3,556 A3B1 26,89 3,6269 A2B1 27,22 3,6789 A2B3 28,09 3,7177 A1B3 32,63 3,7255 A1B1 40,72 3,772 Keterangan: data diurutkan dari yang terkecil hingga terbesar
Ref.
Notasi
19,85 20,02 20,12 20,19 20,24 20,28 20,29 20,34
a a a b c c c c
31
5. Viskositas (cP) a. Data hasil uji viskositas (cP) Ulangan Perlakuan 1 2 A1B1 1,035 1,030 A1B2 1,040 1,040 A1B3 1,050 1,045 A2B1 1,070 1,085 A2B2 1,075 1,070 A2B3 1,075 1,060 A3B1 1,070 1,065 A3B2 1,070 1,085 A3B3 1,080 1,075
3 1,030 1,035 1,025 1,080 1,080 1,085 1,090 1,075 1,080
Rata-rata 1,032 1,038 1,040 1,078 1,075 1,073 1,075 1,077 1,078
sd 0,003 0,003 0,013 0,008 0,005 0,012 0,013 0,008 0,002
b. Sidik ragam viskositas (cP) Penetapan hipotesis H0 : τ1 = τ2 = τ3 = ... ... =τ9 (rataan antar perlakuan sama) Perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap tegangan permukaan H1 : τi ≠ τj (minimal ada satu perlakuan yang berbeda) Minimal ada satu perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tegangan permukaan Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau tingkat kesalahan (α) 5% Dasar pengambilan keputusan : Jika F tabel > F hitung maka H0 di terima Jika F tabel < F hitung maka H0 di tolak Tabel ANOVA Sumber Keragaman
DB
JK
KT
Fhitung
F tabel
Keterangan
A
2
0,009
0,005
62,272
3,55
**
B
2
0,00002
0,0000
0,1605
3,55
ns
AB
4
0,0001
0,00004
0,4938
2,93
ns
E
18
0,001
0,00008
Keterangan * ** ns
c. A
: : berbeda nyata : berbeda sangat nyata : berbeda tidak nyata
Uji lanjut DMRT viskositas Average D05 Ref.
Notasi
0
1,037
10
1,076
0,0086
1,045
A
15
1,077
0,009
1,085
B
Keterangan: data diurutkan dari yang terkecil hingga terbesar
32
6. pH a. Data hasil uji pH Perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
1 8,19 6,43 7,78 8,12 7,85 7,27 8,12 7,71 7,21
Ulangan 2 8,18 6,35 7,85 8,15 7,88 7,34 8,10 7,76 7,20
3 8,25 7,85 7,73 8,19 7,93 7,32 8,14 7,80 7,22
b. Data hasil transformasi pH kedalam [H+] Ulangan Perlakuan 1 2 3 -9 -9 A1B1 6,46 × 10 6,61 × 10 5,62 × 10-9 -7 -7 A1B2 3,76 × 10 4,52 × 10 1,41 × 10-8 -8 -8 A1B3 1,66 × 10 1,41 × 10 1,86 × 10-8 A2B1 7,59 × 10-9 7,08 × 10-9 6,46 × 10-9 A2B2 1,41 × 10-8 1,32 × 10-8 1,17 × 10-8 A2B3 5,37 × 10-8 4,57 × 10-8 4,79 × 10-8 A3B1 8 × 10-9 8 × 10-9 7 × 10-9 A3B2 2 × 10-8 2 × 10-8 2 × 10-8 -8 -8 A3B3 6 × 10 6 × 10 6 × 10-8
Rata-rata 8,21 6,87 7,79 8,15 7,89 7,31 8,12 7,76 7,21
Rata-rata 6,23 × 10-9 2,81 × 10-7 1,64 × 10-8 7,04 × 10-9 1,30 × 10-8 5,08 × 10-8 7,67 × 10-9 2,00 × 10-8 6,00 × 10-8
sd 0,04 0,85 0,06 0,04 0,04 0,04 0,02 0,05 0,01
sd 5,336 × 10-10 2,340 × 10-7 2,255 × 10-9 5,659 × 10-10 1,212 × 10-9 4,101 × 10-9 5,773 × 10-10 4,052 × 10-24 0
c. Sidik ragam kepekatan [H+] Penetapan hipotesis H0 : τ1 = τ2 = τ3 = ... ... =τ9 (rataan antar perlakuan sama) Perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap kepekatan [H+] H1 : τi ≠ τ j (minimal ada satu perlakuan yang berbeda) Minimal ada satu perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kepekatan [H+] Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau tingkat kesalahan (α) 5% Dasar pengambilan keputusan : Jika F tabel > F hitung maka H0 di terima Jika F tabel < F hitung maka H0 di tolak
33
Tabel ANOVA Sumber Keragaman
DB
JK
KT
Fhitung
F tabel
Keterangan
2
3×10-14
2×10-14
2,7945
3,55
ns
B
2
-14
4×10
-14
2×10
3,5472
3,55
**
AB
4
1×10-13
3×10-14
4,5257
2,93
**
E
18
1×10-13
6×10-15
A
Keterangan * ** ns
: : berbeda nyata : berbeda sangat nyata : berbeda tidak nyata
a. Uji lanjut DMRT kepekatan [H+] Interaksi Rata-rata A1B1 6×10-9 A2B1 7×10-9 A3B1 8×10-9 A2B2 1×10-8 A1B3 2×10-8 A3B2 2×10-8 A2B3 5×10-8 A3B3 6×10-8 A1B2 3×10-8
D05
Ref.
Notasi
1×10-7 1×10-7 1×10-7 1×10-7 1×10-7 2×10-7 2×10-7 2×10-7
1×10-7 1×10-7 2×10-7 2×10-7 2×10-7 2×10-7 2×10-7 2×10-7
a a a a a a a b
Keterangan: data diurutkan dari yang terkecil hingga terbesar
7. Uji Efektifitas Larutan Insektisida Terhadap Ulat Grayak a. Data mortalitas ulat grayak jam ke-48 Konsentrasi Log C Populasi Ulat mati Mortalitas (ppm) (%) 0 50 0 0 400 2,602 50 2 4 475 2,677 50 7 14 550 2,74 50 18 36 625 2,796 50 39 78 700 2,845 50 41 82
Probit
4,64 5,77 5,92
34
b. Kurva linear mortalitas ulat
5,90 5,70 5,50 5,30
Series5
5,10
Linear (Series5)
4,90 4,70 y = 12,39x - 29,18 4,50 2,7
Perhitungan LC50: y = 12,39x – 29,18 5 = 12,39x – 29,18 x = 2, 759 LC50 = 102,759 = 573,69 = 574
2,75
2,8
2,85
2,9
35
Lampiran 3. Diagram alir penelitian dan dokumentasi gambar-gambar penelitian 1. Diagram alir penelitian a. Diagram alir formulasi larutan insektisida Bahan aktif Profenofos (40%, 50%, 60%)
Natrium etoksida
Pencampuran 1
Larutan profenofos dalam natrium etoksida Surfaktan DEA (0%, 10% dan 15%)
Pencampuran 2
Konsentrat larutan insektisida profenofos dengan surfaktan DEA
Homogenasi selama 5 menit, kecepatan 22000 rpm
Konsentrat larutan insektisida profenofos dengan surfaktan DEA dalam bentuk Emulsiable Concentrate (EC)
36
b. Diagram alir uji efektifitas insektisida
Daun kedelai (6 lembar)
Air
Pembilasan 1
Konsentrat insektisida (DEA 10% : Profenofos 40%) Aquadest Pengenceran (400; 475; 550; 625; dan 700 ppm profenofos dalam air)
Pembilasan 2
pengeringanginan
Pencelupan Laruan insektisida encer
Spodoptera litura instar 3 (10 ekor)
Peletakan pada cawan petri
Pengamatan
Data mortalitas
Analisis probit
LC50
pengeringanginan
Daun kedelai dengan perlakuan insektisida
37
2. Dokumentasi gambar-gambar a. Bahan aktif profenofos
b. Surfaktan dietanolamida (DEA)
38
c. Pelarut natrium etoksida
Lampiran 4. Hasil perhitungan pengenceran konsentrat larutan insektisida Setiap larutan insektisida diencerkan dengan konsentrasi 700 ppm bahan aktif dalam air. Dengan rumus pengenceran seperti dibawah ini: ( )( ) ( )
Keterangan: A = Jumlah konsentrat yang ditimbang B = Jumlah larutan encer yang diinginkan C = Kadar bahan aktif yang diinginkan dalam larutan encer D = Kadar bahan aktif dalam larutan konsentrat Contoh: Pengenceran konsentrat larutan insektisida perlakuan A2B1 (DEA 10% : Profenofos 40%) dengan konsentrasi 700 ppm bahan aktif dalam 100 ml air, maka: ( (
)(
= 0,175 = 0,18
) )
Jadi, untuk mendapatkan 700 ppm bahan aktif dalam 100 ml air dari konsentrat A2B1 diambil konsentrat sebanyak 0,18 ml.
39
Tabel hasil perhitungan pengenceran konsentrat larutan insektisida: Perlakuan B (mL) C (ppm) D (ppm) A (mL) A1B1 100 700 400000 0,18 A1B2 100 700 500000 0,14 A1B3 100 700 600000 0,12 A2B1 100 700 400000 0,18 A2B2 100 700 500000 0,14 A2B3 100 700 600000 0,12 A3B1 100 700 400000 0,18 A3B2 100 700 500000 0,14 A3B3 100 700 600000 0,12
40
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 3 Februari 1988 sebagai putri bungsu dari tiga bersaudara pasangan bapak Ir. Bambang Handoko dan ibu Suryati. Pendidikan sarjana ditempuh dijurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember dan lulus pada tahun 2011. Ditahun yang sama penulis sempat bekerja di PT. Jakarana Tama, Ciawi, Bogor sebagai staff Quality Control (QC) organoleptik hingga tahun 2012. Pada tahun 2012 penulis memutuskan untuk melanjutkan jenjang pendidikan magister di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh program sarjana penulis mengikuti unit kegiatan mahasiswa pecinta alam fakultas sebagai kepala biro humas dan berkesempatan mengikuti beberapa pendakian yaitu pegunungan Hyang-Argopuro 3088 mdpl, Taman Nasional Meru Betiri trans Bnadealit-Sukamade, dan lain-lain. Selain itu, penulis juga pernah berkesempatan mengikuti seminar sebagai partisipant pada Seminar Nasional dan Focus Group Discussion: Ketahanan Pangan Nasional, Persembahan Indonesia Untuk Dunia (2009), seminar Kehalalan Pangan Indonesia (2010) dan seminar Penerapan Sistem Manajemen Mutu Pada Pengolahan Produk Dalam Kemasan (2010). Bagian dari tesis ini telah penulis presentasikan secara oral pada International Conference On Biomass: Technology, Application and Sustainable Development yang diselenggarakan pada tanggal 10-11 Oktober 2016.