FORMULA ADITIF BERBASIS MINYAK ATSIRI PADA BENSIN RON 88 Yohanes Hutabalian1, Sutanto1, Reista Anggaraini2 1
Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pakuan 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
ABSTRAK Pembakaran yang tidak sempurna dan kualitas bahan bakar yang rendah merupakan penyebab polusi udara. Aditif yang terdapat di pasaran saat ini dapat memperbaiki kualitas bahan bakar namun menimbulkan gas buang yang bersifat toksik dan mencemari lingkungan. Minyak atsiri merupakan senyawa yang volatile, bersifat oksigenat dan memiliki titik didih rendah mirip dengan bensin, sehingga memungkinkan digunakan sebagai zat aditif pada bensin. Penelitian ini bertujuan membuat formula aditif berbasis minyak atsiri yaitu minyak cengkeh, minyak sereh wangi, minyak pala dan etanol. Telah dibuat 9 (sembilan) formula dengan komposisi minyak atsiri dan etanol yang berbeda untuk ketiga jenis minyak atsiri. Komposisi minyak atsiri:etanol pada setiap formulasi masing-masing 25:75 ; 50:50 ; 100:0. Formula aditif tersebut ditambahkan pada bensin sebesar 2000 ppm v/v. Evaluasi terhadap hasil pengujian sifat fisika kimia dilakukan berdasarkan SK Direktur Jenderal Migas No. 933.K/10/DJM.S/2013. Untuk mengetahui kinerja bahan bakar setelah penambahan aditif dilakukan pengujian kinerja mesin. Hasil penelitian menunjukkan bensin+aditif dengan kode formula S25 memiliki angka oktan tertinggi yakni 89,1 RON. Hasil uji kinerja dengan bensin ber-aditif dan bensin RON 88 sebagai referens menunjukkan peningkatan torsi dan daya sebesar 1,01% dan 1,13 %, penurunan konsumsi bahan bakar sebesar 6,16% dan penurunan emisi gas CO dan HC sebesar 4,07 % dan 8,08 %. Kata kunci : Bensin, aditif, minyak atsiri, kinerja mesin. PENDAHULUAN Pada saat ini, pencemaran udara di kawasan perkotaan semakin memprihatinkan. Salah satu sektor penyumbang polusi udara terbesar adalah sektor transportasi terutama emisi kendaraan bermotor. Penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) yang dikenal sebagai bahan bakar minyak (BBM) pada kendaraan bermotor memberikan kontribusi yang cukup besar pada polusi udara akibat emisi yang ditimbulkan. Penyebab polusi udara terutama ditimbulkan oleh pembakaran BBM yang tidak sempurna, oleh karena itu salah satu upaya untuk menurunkan polusi adalah dengan meningkatkan efisiensi pembakaran menggunakan bahan aditif. Aditif adalah suatu bahan yang ditambahkan ke dalam BBM dengan jumlah yang sangat kecil. Tujuan
penambahan aditif adalah untuk menyempurnakan pembakaran di dalam mesin sehingga energi/tenaga yang dihasilkan lebih besar dari sebelumnya. Secara umum terdapat dua jenis bahan aditif BBM, yaitu senyawa organik-logam (metalic compound) dan organik-nonlogam (non metallic compound). Metallic compound merupakan bahan anti knocking yang mengandung logam, diantaranya adalah tetra ethyl lead (TEL) dengan rumus kimianya Pb(C2H5)4, tetra methyl lead (TML) dengan rumus Pb(CH3)4, metilsiklopentadienil manganez trikarbonil (MMT) rumus kimianya adalah CH3C5H4Mn(CO)3. TEL adalah zat anti knocking yang mengandung timah hitam (Pb) sehingga merupakan cairan berat, begitu juga dengan TML yang dapat larut dalam bensin dan berfungsi menaikan
2
angka oktan. Namun jenis aditif ini mulai ditinggalkan karena kandungan logam Pb menimbulkan gas buang yang bersifat toksik, demikian juga dengan MMT. Bahan bakar bensin adalah senyawa hidrokarbon yang kandungan oktana atau isooktananya tinggi. Di Indonesia terdapat tiga jenis bensin, yakni bensin RON 88, bensin RON 91, dan bensin RON 95. Angka oktana (Research Octane Number-RON) merupakan parameter terpenting didalam spesifikasi bahan bakar motor karena berkaitan langsung dengan kualitas bahan bakar yang akan mempengaruhi proses pembakaran di dalam ruang bakar dan sekaligus menentukan tingkat efisiensi termal motor (Setiyawan, 2012). Angka oktana suatu bahan bakar bensin diperoleh dengan membandingkan kinerjanya pada mesin uji CFR dengan campuran bahan bakar referens yang terdiri dari campuran isooktana atau 2,2,4 trimetilpentana dengan heptana. Isooktana dianggap sebagai bahan bakar paling baik karena hanya pada kompresi tinggi saja isooktana memberikan bunyi ketukan (detonasi) pada mesin. Sebaliknya, heptana dianggap sebagai bahan bakar paling buruk. Angka oktana 100, artinya bahan bakar bensin tersebut setara dengan isooktana murni. Angka oktana 80, artinya bensin tersebut merupakan campuran 80 % isooktana dan 20 % heptana (Mathur, 1980). Minyak atsiri merupakan suatu bahan alam yang tersusun dari komponenkomponen yang bersifat mudah menguap, berat jenisnya rendah dan dapat melarutkan bahan organik (Ketaren, 1985). Minyak atsiri yang dapat memperbaiki sifat pembakaran BBM adalah minyakminyak atsiri yang mengandung senyawa hidrokarbon bercabang, mengandung senyawa oksigenat, dan mempunyai titik didih dan viskositas rendah (Ma’mun, dkk 2011). Minyak atsiri memiliki kelompok senyawa yang mengandung oksigen dengan rumus empiris C10H16O dan C10H18O (Guenther, 1987). Beberapa senyawa minyak atsiri memiliki atom
oksigen, seperti yang ditunjukkan Gambar 1. Oksigenat adalah senyawa organik cair yang mengandung atom oksigen dapat dicampur ke dalam bensin untuk menambah angka oktan riset bensin. Selama pembakaran, oksigen tambahan di dalam bensin dapat mengurangi emisi karbon monoksida (CO), NOx dan CO2 serta material- material pembentuk ozon atmosferik (Yuliarita. dkk, 2012).
Gambar 1. Struktur Sitronelal (Priatmoko,2004) dan Geraniol (Sastrohamidjojo, 2004) merupakan minyak atsiri yang memiliki atom oksigen
Komponen oksigen yang terkandung dalam struktur kimia minyak atsiri diharapkan dapat menyempurnakan sistem pembakaran sehingga menghasilkan polutan yang lebih rendah dibanding aditif organik logam yang ada. Oleh karena itu perlu dibuat formulasi minyak bensin dengan bahan serta melakukan pengujian fisika maupun kimia dan uji kinerja unutk mnegetahu pengaruh penambahan aditif terhadap kinerja bahan bakar. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan adalah bensin RON 88, minyak atsiri yang terdiri dari minyak sereh wangi, cengkeh, pala dan etanol teknis 70%. Peralatan yang digunakan adalah alat uji sifat fisika kimia bahan bakar yang meliputi: density meter (Anton PaaR DMA 4500), viskositas kinematik, mesin research octane number (CFR F-1), korosi bilah tembaga (Koehler), alat uji distilasi (Automated Distillation Tester, AD-6), alat uji tekanan uap Reid (Tanaka, model AVP30D), alat uji kandungan sulfur (Oxford Instrument Lab-X3500SCl), Chassis dynamometer , alat uji emisi, alat uji
3
konsumsi bahan bakar dan seperangkat gelas laboratorium. Pengujian Fisika Kimia Minyak Atsiri Dilakukan pengujian berat jenis (ASTM D 4052) dan viskositas (ASTM D 445). Pembuatan Formula Aditif Pada penelitian ini disiapkan 9 (Sembilan) formula aditif yang disiapkan dengan memvariasikan komposisi minyak atsiri dan etanol. Komposisi formula aditif di perlihatkan pada Tabel 1. Tabel. 1 Komposisi aditif berbasis minyak atsiri Kode Minyak Minyak Etanol Formula Atsiri Atsiri (%) (%) S25 25 75 Sereh S50 50 50 Wangi S100 100 0 C25 25 75 50 50 C50 Cengkeh 100 0 C100 P25 25 75 P50 50 50 Pala 100 0 P100 Ket: S=Sereh Wangi, C=Cengkeh, P=Pala.
Pengujian Fisika Kimia Bensin dan Bensin+aditif Pengujian fisika kimia dilakukan pada bensin RON 88 dan bensin RON 88 +aditif sesuai dengan SK Dirjen Migas No. 933..K/10/DJM.S/2003 tanggal 19 November 2013. Penambahan aditif ke dalam Bensin 88 dilakukan pada konsentrasi aditif sebesar 2000 ppm (0,2 %). Bensin RON 88 yang sudah ditambah aditif selanjutnya diuji sifat fisika kimianya, meliputi uji angka oktan (ASTM D 2699), tekanan uap Reid (ASTM D 323), distilasi (ASTM D 86), korosi bilah tembaga (ASTM D 130), berat jenis (ASTM D 4052). kandungan sulfur (ASTM D 4294). Kemudian Bensin RON 88+aditif. yang memiliki peningkatan angka oktan tertinggi dipilih untuk dilanjutkan ke pengujian kinerja emisi gas buang dan konsumsi bahan bakar.
Pengujian Kinerja Mesin a. Uji Torsi dan Daya Pengujian torsi dan daya mesin dilakukan pada posisi gigi (gear) 4 terhadap putaran mesin diatas bangku uji sepeda motor, dimana mesin kendaraan dihidupkan sampai temperatur 600-700C atau sesuai rekomendasi manufaktur dan sistem aksesoris dalam kondisi mati. Pengkondisian putaran idle dilakukan pada 1400 ± 100 rpm. Putaran mesin dinaikan hingga putaran 3000 rpm sampai roda belakang berputar, tombol switch ditekan untuk memulai merekam data. Akselerasi dilakukan hingga didapatkan putaran mesin maksimum (8000 rpm). Tombol switch ditekan untuk mengakhiri data. Putaran mesin diturunkan hingga putaran idle. Data disimpan dan dicetak sebagai hasil pengujian. b. Prosedur Pengujian Bahan Bakar
Konsumsi
Pengujian konsumsi bahan bakar bertujuan untuk mengetahui waktu yang diperlukan kendaraan untuk menghabiskan 100 mL bahan bakar dalam kecepatan yang beragam. Dimulai dengan bahan bakar diisi pada sepeda motor kemudian mesin dihidupkan dan ditunggu beberapa saat sampai cukup panas. Waktu konsumsi bahan bakar dihitung pada 100 mL untuk masing-masing kecepatan 30 Km/jam, 60 Km/jam, dan 80 Km/jam. Dilakukan pengujian duplo untuk setiap masingmasing bahan bakar. c. Prosedur Buang
Pengujian
Emisi
Gas
Cara uji yang digunakan untuk mengukur kadar gas karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon (HC) yaitu mengacu pada KEPMEN LH 05/2006 tentang emisi kendaraan bermotor kategori L. Prinsip pengujian idle dilakukan dengan cara menghisap gas buang kendaraan bermotor ke dalam alat uji gas analyzer kemudian diukur kandungan konsentrasi gas CO
4
dalam satuan persen (%), dan HC dalam satuan ppm yang terukur pada alat uji.
Viskositas merupakan indikasi dari kemudahan suatu cairan untuk mengalir..
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Uji Fisika Kimia Bensin dan Bensin+aditif a. Angka Oktana Riset
A. Hasil Pengujian Minyak Atsiri
Fisika
Kimia
Angka oktan merupakan salah satu sifat bensin yang terpenting bagi motor, hal ini berkaitan dengan fenomena ketukan (knocking) yang mungkin bisa terjadi selama proses pembakaran di dalam silinder ruang bakar. Angka oktana yang tinggi akan memperbaiki proses pembakaran sehingga efisiensi juga meningkat. Grafik perubahan angka oktan akibat penambahan aditif hasil formulas dapat dilihat di Gambar 2.
Hasil pengujian fisika kimia minyak atsiri disajikan pada Tabel 2. Parameter yang diuji dalam SNI untuk minyak atsiri adalah keadaan warna, bau, berat jenis, indeks bias dan kelarutan dalam etanol. Tabel 2. Hasil Uji Fisika Kimia Minyak Atsiri
Cengke h
Paramete r Uji Berat Jenis Warna
Satua n g/cm3
Hasil Uji 1,021
Viskositas Berat Jenis Warna
Cst g/cm3
kuning pucat 4,0 0,872 tidak berwarn a
Pala
Viskositas Berat Jenis Warna
Cst g/cm3
kuning pucat
Sereh Wangi
Viskositas
1,2 0,887
Cst
3,9
SNI 1,025 – 1,949 kuningcoklat tua 0,950 – 1,910 tidak berwarnakuning coklat 0,880 – 0,922 kuning pucatkuning kecoklata n -
Keterangan: CSt (Centistoke); 1 cSt = 0,01 St (Stoke) atau 0,1x10-3 m2/s
Berdasarkan data di atas, berat jenis minyak sereh wangi yang digunakan masih dalam batasan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan, sementara berat jenis minyak cengkeh dan pala sedikit di bawah nilai minimum berat jenis yang dipersyaratkan. Berat jenis minyak atsiri tersebut perlu diketahui karena berpengaruh terhadap bahan bakar, dimana penambahan yang terlalu banyak dikhawatirkan akan mempengaruhi berat jenis bensin yang nilainya dibatasi. Warna sampel minyak atsiri sesuai dengan warna yang ditetapkan oleh setiap SNI.
89.5 89
RON
Minyak Atsiri
88.5 88 87.5 87
Formula
Gambar 2. Angka Oktana Bensin dan Bensin+aditif Berdasarkan hasil pengujian, bensin murni yang digunakan sebelum penambahan aditif mempunyai angka oktana riset 88,5 yang artinya bensin yang digunakan memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Pada penambahan adotof sebanyak 2000 ppm ke dalam bensin tersebut, masingmasing formula aditif menimbulkan pengaruh yang berbeda. Formula aditif S25 memiliki peningkatan angka oktan tertinggi dibanding dengan aditif yang lainnya yakni sebesar 89,1. Didalam formula S25 terdapat 25 % minyak sereh wangi dan 75 % etanol. Komposisi etanol yang besar cenderung menaikkan angka oktan. Hasil penelitian Setiyawan (2012),
5
menunjukkan angka oktana riset dari etanol jauh lebih tinggi dibanding dengan premium, dimana etanol mencapai angka sekitar 127 (hasil ekstrapolasi). Penambahan etanol pada bensin yang digunakan penelitian oleh Menezes (2005) setiap penambahan 5% etanol hanya menaikkan angka oktana campuran sebesar rata-rata 1,04 poin. Berdasarkan tabel diatas penambahan aditif S25 0,2 % v/v menaikkan angka oktana sebesar 0,6 point b. Tekanan Uap Reid Hasil pengukuran tekanan uap Reid bahan bakar bensin diperlukan untuk mengetahui kecenderungan terbentuknya sumbatan uap (vapour lock) dalam karburator mesin yang disebabkan karena penguapan bensin itu sendiri. Mengingat bensin tersusun dari ratusan senyawa hidrokarbon mulai dari
fraksi ringan (C4) sampai dengan fraksi menengah (C10-12), maka pengukuran tekanan uap Reid hanya mengindikasikan kemudahan menguap untuk fraksi ringan yang terkandung di dalam bensin. Hasil uji tekanan uap Reid dari bensin dasar dan bensin+aditif disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil pengujian RVP bensin murni adalah 60,9 kPa, RVP pada bensin+aditif tidak mengalami perubahan yang signifikan dan seluruhnya masih memenuhi batasan nilai RVP yang ditentukan. Menurut Semar dan Yuliarita (2011) tekanan uap Reid yang rendah (<62 kPa) sangat menguntungkan karena dapat mencegah terjadinya sumbatan uap (vapor lock) terutama pada mesin kendaraan bermotor berbahan bakar bensin yang memakai karburator. Dengan demikian semua aditif memberikan pengaruh yang positif terhadap bahan bakar bensin 88.
75 70 RVP (kPa)
65 60 55
Bensin C25 C50 C100 S25 S50 S100 P25 P50 P100 60.9 60.3 60.9 60.9 60.9 60.9 61.1 60.5 60.3 61
50 45 40
Formula
Gambar 3. Tekanan uap Reid bensin dan bensin+aditif
c. Distilasi Hasil uji temperatur distilasi sampel bensin+aditif 0,2 % v/v terhadap temperatur distilasi, disajikan pada Gambar 4. Dari Gambar 4 terlihat bahwa setiap sampel menunjukkan kenaikan temperatur distilasi pada setiap kenaikan volume penguapan bahan bakar. Hal ini dikarenakan bensin terdiri dari ratusan hidrokarbon fraksi ringan (C4-C12) yang mempunyai temperatur awal penguapan (IBP) rata-rata sebesar 380C dan fraksi menengah (C10-C12) mempunyai
temperatur akhir penguapan (EP) rata-rata sebesar 1830C. Minyak atsiri terdiri dari C10 untuk kelompok monoterpen dan C15 untuk kelompok seskuiterpen, oleh karena itu secara teoritik penambahan aditif dengan komposisi minyak atsiri yang besar akan menaikan temperatur akhir penguapan, tetapi karena penambahan aditif yang relatif kecil maka tidak tampak perubahan yang signifikan. Namun pencampuran aditif ke dalam bensin memberikan pengaruh positif terhadap sifat penguapan bensin penguapan bensin dan diuraikan di bawah ini:
6
200
Temperatur Distilasi, 0C
180
Merata distribusi bahan bakar
160
Bensin
140
C25 C50
Kecenderungan pemanasan mesin
120
C100
100
P25
80
P50
60
P100 S100
40
S50
20 0 Kemudahan menyala
S25
IBP
5
10
20
30
40
50
60
70
80
90
E.P
Penguapan Bahan Bakar, % Volume
Gambar 4. Hasil Uji Destilasi Bensin dan Bensin+aditif -
-
Distilasi 10 % volume penguapan (T10) Distilasi 10% vol. penguapan (T10) bahan bakar bensin memegang peranan penting dalam kemudahan menyalakan mesin pada kondisi dingin (cold starting), makin rendah suhu distilasi 10 % vol. penguapan (maksimum 74oC) makin mudah mesin dinyalakan pada kondisi dingin. Hasil pengujian suhu distilasi 10 % vol. penguapan sampel bensin murni 51,2oC dan suhu distilasi 10 % volume penguapan setiap sampel bensin+aditif masih dibawah batas maksimum yang ditetapkan pemerintah, seperti disajikan pada Gambar 4. artinya penambahan 0,2% semua aditif ke dalam bensin tidak mengubah kemampuan bensin dasar untuk digunakan pada penyalaan suhu dingin. Distilasi 50 % volume penguapan (T50) Distilasi 50% vol. penguapan (T50) bahan bakar bensin memegang peranan penting dalam kecenderungan pemanasan mesin (warm up). Untuk mencapai maksud tersebut maka bahan
-
bakar bensin harus mempunyai suhu distilasi 50% vol. penguapan berada pada batasan 75oC – 125oC. Hasil pengujian suhu distilasi 50% vol. Penguapan sampel bensin murni dan bensin+aditif masih dalam rentang batasan yang ditetapkan pemerintah, seperti yang disajikan pada Gambar 4. Distilasi 90 % volume penguapan (T90) Distilasi 90% vol. penguapan (T10) bahan bakar bensin mempengaruhi meratanya distribusi bahan bakar pada setiap silinder mesin. Makin tinggi suhu distilasi 90% vol. penguapan (maksimum 180oC) makin tidak merata distribusi bahan bakar di setiap silinder mesin. Hasil pengujian temperatur distilasi 90% vol. penguapan dari sampel bensin murni adalah 174,50C sedangkan penambahan setiap aditif pada bensin cenderung menurunkan temperatur 90 % volume penguapan bensin seperti yang disajikan pada Gambar 4. Artinya penambahan aditif dapat meningkatkan pemerataan distribusi bahan bakar bensin di setiap
7
silinder mesin distribution). -
-
kendaraan
(fuel
Titik Didih Akhir Temperatur titik didih akhir (end point) dibatasi maksimum 215oC menurut spesifiksi Bensin 88 yang ditetapkan Pemerintah. Pencampuran aditif ke dalam bensin dasar memberikan hasil titik didih akhir distilasi masih dibawah batas maksimum spesifikasi yang ditetapkan Pemerintah. Dengan demikian dapat mencegah kemungkinan terjadinya distribusi bahan bakar yang tidak terbakar ke dalam minyak lumas di karter mesin kendaraan (fuel dillution). Seperti diketahui bahwa bahan bakar yang titik didihnya melebihi batas maksimum 215oC lebih sulit terbakar sehingga akan masuk/jatuh ke ruang pelumas karter mesin. Bercampurnya bahan bakar dengan pelumas karter mesin akan merusak pelumas karter dan berdampak pada kerusakan pada bagian-bagian mesin yang berputar di dalam karter mesin. Residu Volume residu menurut spesifikasi bensin premium maksimum 2 % vol. dimaksudkan agar pada aplikasinya tidak terjadi pengotoran yang berlebih di ruang bakar mesin. Hasil pengujian residu sampel bensin+aditif adalah 1,0 %. Dengan demikian bensin+aditif ini
(a) Bensin, S25, S50, S100
memenuhi spesifikasi residu bahan bakar bensin jenis 88 yang ditetapkan Pemerintah. d. Korosi Bilah Tembaga Korosi Bilah Tembaga (copper strip corrosion, CSC) bahan bakar bensin maksimum No.1 atau kelas 1 yang diukur dengan alat uji ASTM D-130. Pembagian kelas pada uji korosi bilah tembaga untuk mengidentifikasi kecenderungan terjadinya korosi pada sistem saluran bahan bakar yang terbuat dari tembaga, kuningan, dan perunggu. Terdapat 4 kelas pada bilah tembaga yakni kelas 1-4. Kelas 1 menunjukkan tingkat kepudaran ringan, kelas 2 menunjukkan tingkat kepudaran menengah, kelas 3 menunjukkan tingkat kepudaran tinggi, dan kelas 4 menunjukan tingkat terjadinya korosi. Hasil pengujian disajikan pada Gambar 5 dan Tabel 3 Berdasarkan warna hasil pengujian bahan bakar dengan sampel bensin, masuk pada kelas 1a dan pada sampel bensin+aditif didapatkan sampel dengan komposisi minyak atsiri terbesar seperti C100, S100, P100 cenderung mengalami perubahan warna menjadi gelap seperti yang disajikan pada Gambar 5 dan Tabel 3. Namun demikian korosi bilah tembaga Bensin+aditif ini ini memenuhi spesifikasi korosi bilah tembaga spesifikasi bahan bakar bensin jenis 88 yang ditetapkan Pemerintah dalam SK Migas No.933.K/10/DJM.S/2013.
(b) C25, C50, C100
Gambar 5. Hasil Uji Korosi Bilah Tembaga
(c) P25, P50, P100
8
Tabel 3. Hasil uji korosi bilah tembaga No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sampel Bensin Bensin + C25 Bensin + C55 Bensin + C100 Bensin + P25 Bensin + P50 Bensin + P100 Bensin + S25 Bensin + S50 Bensin + S100
SK Migas
Kelas 1a 1a 1a 1b 1a 1a 1b 1a 1a 1b Kelas 1
minyak atsiri jarang ditemukan mengandung atom belerang dalam strukturnya, namun agak spesifik dalam beberapa jenis tanaman seperti senyawa alil isotiosianat dan dikrotil sulfida yang memiliki atom belerang. Belerang tidak terdapat pada pada senyawa cengkeh, pala dan sereh wangi (Guenther, 1987). Berdasarkan Tabel 4 presentase kandungan sulfur ini masih jauh di bawah batasan maksimum spesifikasi bensin 88 yang ditetapkan pemerintah dalam SK Migas No.933.K/10/DJM.S/2013. f. Berat Jenis
Kandungan sulfur (sulphur content) dalam spesifikasi bensin 88 ditetapkan maksimum sebesar 0,05 % massa yang diukur dengan metode uji ASTM D-4294. Pengukuran kandungan sulfur dimaksudkan untuk mengetahui indikasi terbentuk deposit yang menyebabkan keausan mesin, dan indikasi pencemaran lingkungan oleh gas belerang oksida (SOx) yang keluar bersama gas buang kendaraan bermotor selain itu sulfur dapat bersifat korosif terhadap logam pada saluran bahan bakar. Tabel 4. Data Hasil Uji Kandungan Sulfur No
Sampel
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bensin Bensin + C25 Bensin + C55 Bensin + C100 Bensin + P25 Bensin + P50 Bensin + P100 Bensin + S25 Bensin + S50 Bensin + S100 SK Migas
Kandungan Sulfur (%) 0,017 0,020 0,018 0,017 0,018 0,018 0,018 0,017 0,017 0,017 Maks 0,05
Hasil pengujian kandungan sulfur sampel pada setiap bensin+aditif yakni berkisar 0,017 % - 0,020 % massa, hal ini karena
Berat jenis bahan bakar bensin 88 dalam spesifikasinya ditetapkan yaitu batasannya 0,715-0,770 g/cm3. Hasil uji sampel bensin+aditif menunjukkan mengalami kenaikan berat jenis pada aditif yang komposisi minyak atsirinya besar. Hal ini disebabkan minyak atsiri tersebut memiliki berat jenis yang lebih besar daripada berat jenis bensin seperti yang disajikan pada Tabel 1. Hasil pengujian berat jenis disajikan pada Gambar 6, dari hasil tersebut maka untuk seluruh sampel bensin+aditif masih dibawah batas maksimum yang ditetapkan Pemerintah dalam SK Dirjen Migas No.933.K/10/DJM.S/2013. 0.73 Berat Jenis
e. Kandungan Sulfur
0.728 0.726 0.724 0.722 0.72
Formula
Gambar 6. Berat Jenis Bensin dan Bensin+aditif
9
2. Pemilihan Aditif Untuk Uji Kinerja Mesin
Berdasarkan semua hasil uji sifat fisika kimia, maka formula aditif yang dilanjutkan untuk pengujian kerja mesin adalah aditif S25. Hal ini karena penambahan aditif S25 pada bensin 88 meningkatkan angka oktan paling optimum yaitu sebesar 0,6 point. Angka oktan merupakan parameter terpenting didalam spesifikasi bahan bakar motor karena angka oktan berkaitan langsung dengan kualitas bahan bakar motor yang akan mempengaruhi proses pembakaran di dalam ruang bakar dan sekaligus menentukan tingkat efisiensi termal motor (Setiyawan, 2012). Hasil uji parameter lainnya dengan menggunakan aditif ini memenuhi spesifikasi yang ditetapkan pemerintah dalam SK Migas No.933.K/10/DJM.S/2013. B. Hasil Pengujian Kinerja Mesin Penelitian ini menggunakan sepeda motor berkaburator. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui efek penggunaan bahan bakar yang mengandung aditif dan tidak mengandung
aditif terhadap kinerja mesin sepeda motor. Untuk pengukuran kinerja mesin dilakukan pada saat gigi (gear) 4 dan putaran mesin ditingkatkan hingga 8000 RPM. Alasan dipilihnya kondisi tersebut perbandingan putaran roda dan putaran mesin adalah 1:1. Hasil pengukuran daya disajikan dalam Horse Power (HP) dengan satuan kilowatt dan Torsi dengan satuan Nm. 1. Torsi dan Daya a. Torsi Torsi dan daya dari motor bakar diperoleh dari hasil pengkonversian energi termal (panas) hasil pembakaran menjadi energi mekanik. Torsi didefenisikan sebagai momen putar yang terjadi pada poros output mesin akibat adanya pembebanan dengan sejumlah massa (kg). Pengukuran torsi dapat dilakukan dengan meletakan mesin yang akan diukur torsinya pada bangku uji (engine testbed) dan poros keluaran dihubungkan dengan rotor dynamometer. Kecenderungan hasil uji torsi bahan bakar bensin dan bensin+aditif terhadap putaran mesin sepeda motor di atas bangku uji masingmasing disajikan pada Gambar 7
Gambar 7. Grafik Hasil Uji Torsi Sepeda Motor
Berdasarkan Gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa bensin+aditif mengalami kenaikan torsi sebesar 1.01 % pada 6000 rpm dibandingkan dengan bensin tanpa aditif. Kenaikan torsi ini disebabkan oleh naiknya angka oktan
bahan bakar campuran bensin+aditif. Peningkatan angka oktan, menyebabkan tekanan dan temperatur pembakaran semakin tinggi sehingga energi pembakaran yang dihasilkan juga semakin besar. Selain itu kenaikan angka oktan
10
menyebabkan proses pembakaran menjadi lebih sempurna sehingga energi hasil pembakaran bahan bakar dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menghasilkan torsi. b. Daya Daya didefenisikan sebagai besarnya tenaga yang dihasilkan motor tiap satuan waktu. Kecenderungan hasil uji daya bahan bakar bensin dan bensin+aditif terhadap putaran mesin sepeda motor di atas bangku uji masing-masing disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bensin+aditif menghasilkan daya 1,13% lebih besar dibanding bensin tanpa aditif. Pada setiap RPM daya yang dihasilkan dari kedua bahan bakar tersebut cenderung
sama, namun bensin+aditif mengalami peningkatan pada saat 6000 RPM mencapai 5,53 kW, sedangkan besarnya torsi pada bensin adalah 5,15 kW. Seperti halnya pada pengujian torsi, kenaikan daya ini disebabkan oleh naiknya angka oktan dari bahan bakar campuran aditif S25. Kenaikkan angka oktan ini, menjadikan tekanan dan temperatur pembakaran akan semakin tinggi sehingga energi pembakaran yang dihasilkan juga akan semakin besar. Di samping itu, dengan naiknya angka oktan ini menyebabkan proses pembakaran menjadi lebih sempurna sehingga energi hasil pembakaran bahan bakar dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menghasilkan daya mesin.
Gambar 8. Grafik Uji Daya Sepeda Motor
2. Hasil Uji Konsumsi Bahan Bakar Konsumsi bahan bakar motor bensin merupakan nilai atau ukuran keekonomian motor bensin tersebut. Konsumsi bahan bakar diukur dengan mengukur lamanya waktu yang diperlukan untuk menghabiskan sejumlah bahan bakar tertentu bahan bakar tersebut. Hasil uji konsumsi bensin 88 dan bensin+aditif per 100 mL bahan bakar dilakukan terhadap kendaraan bermotor roda dua dengan
sistem penyalaan karburator. Hasil uji konsumsi bahan bakar disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa hasil uji konsumsi bahan bakar bensin+aditif memiliki konsumsi lebih hemat dilihat dari besarnya waktu yang diperlukan untuk mengkonsumsi 100 mL dibandingkan dengan bensin tanpa aditif, rata-rata berkurang 6 % terhadap bensin 88 tanpa aditif. Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian bahan bakar bensin+aditif.
11
Tabel 5. Hasil Uji Konsumsi Bahan Bakar
Posisi Gigi
Konsumsi BBM / 100 ml (Detik) Bensin 88 Bensin + Aditif 566 587 304 335 251 266
Kecepatan
2 3 4
30 60 80
Konsumsi BBM / 100 km (Liter) Bensin 88 Bensin + Aditif 1,97 1,84 1,67
1,90 1,67 1,57
Rata-rata
3. Hasil Uji Emisi Gas Buang Hasil uji emisi gas buang disajikan pada Tabel 6 sebagai berikut: Tabel 6. Hasil Uji Emisi Gas Buang Emisi Gas Buang
Bensin 88
Bensin+Aditif
Efek Perubahan (%)
CO (%)
0,246
0,236
4,07
CO₂ (%)
5,95
6,08
-2,18
HC (ppm)
99
91
8,08
Ket: Metode Idle (2500 RPM)
Berdasarkan data tersebut bensin+aditif menurunkan emisi CO dan HC sementara emisi CO2 mengalami kenaikan dibandingkan dengan bensin tanpa aditif. Hal ini menunjukan bahwa bensin+aditif menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna, dimana karbon terbakar sempurna sehingga menghasilkan konsentrasi karbon dioksida lebih besar, sebaliknya konsentrasi karbon oksida dan hidrokarbon menurun. Selain itu, tersedianya atom oksigen pada sitonelal atau geraniol, yaitu komponen utama minyak sereh wangi, dapat berperan sebagai “penyedia oksigen” secara internal. Hal ini sesuai dengan Choi (1999) yang mengemukakan bahwa atom oksigen di dalam bahan bakar berperan untuk mengoksidasi jelaga dan gas karbon monoksida (CO) sehingga pembakaran menjadi lebih sempurna, serta menurut Ma’mun (2010) bio-aditif serai wangi
Efek Perubahan (%) -3,58 -9,25 -5,64 -6,16
dapat berfungsi sebagai katalisator dan mempunyai sifat detergensi pada sistem bahan bakar mesin sehingga memberikan manfaat; menghemat BBM, menyempurnakan proses pembakaran BBM, membersihkan sistem bahan bakar, dan menurunkan kadar emisi dari gas buang. KEPMEN LH 05/2006 tentang emisi kendaraan bermotor kategori L membatasi kandungan emisi CO adalah 5,5% dan HC sebesar 2400 ppm, maka hasil uji emisi bensin dan bensin+aditif jauh di bawah batas maksimum yang ditetapkan oleh Pemerintah. KESIMPULAN 1. Dihasilkan 9 (Sembilan) formula aditif. Aditif dengan kode formula S25 merupakan aditif yang tertinggi meningkatkan angka oktana bensin 88. Penambahan aditif S25 sebesar 0,2 % v/v dapat meningkatkan angka oktan bensin 88 sebesar 0,6 point. 2. Bensin+aditif S25 meningkatkan torsi dan daya mesin sebesar 1,01 % dan 1,13%, dibandingkan bensin murni. 3. bensin+aditif S25 dapat menghemat konsumsi bahan bakar sebesar 6,16 % dan menurunkan emisi gas buang karbon monoksida (CO) dan 4,07 % hidrokarbon (HC) 8,08 %. DAFTAR PUSTAKA Badan Standar Nasional. (1995). SNI 063953-1995. Minyak Sereh. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Badan Standar Nasional. (2006). SNI 062387-2006. Minyak Daun Cengkih.
12
(Syzigium aromaticum (L) Merr). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Badan Standar Nasional. (2006). SNI 062388-2006. Minyak Pala (Myristica fragrans). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Choi, C.H., Reitz, R.Y.1999. An Experimental Study on The Effects of Oxygenated Fuel Blends and Multiple Injection Strategies on Diesel Engine Emission. Journal of Fuel. (78); 1303-1317. Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri. Jilid I. Penerbit UI. UI-Press: Jakarta. Ketaren. S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta Ma’mun,. Suhirman, S. Mulyana, H. dan Kustiwa, D. 2011. Minyak Atsiri Sebagai Bio Additif Untuk Penghematan Bahan Bakar Minyak. Ballittro. Bogor. Ma’mun. 2010. Penggunaan Minyak Seraiwangi Sebagai Bahan Bio-Aditif Bahan Bakar Minyak. Ballitrro: Sinar Tadi Edisi 24 – 30 November 2010. Bogor. Mathur M.L., Sharma R.P., 1980. A Course In Internal Combustion Engines. Published by J.C Kapur, for Dhanpat Rai & Sons, Nai Sarak, Delhi. Menezes de., Da Silva R., Renanto Cataluna, E.W. 2005. Effect additives on the antiknock properties and Reid vapour pressure of gasoline, Fuel. Vol 84. pp. 951-9, Elsevier. Priatmoko. 2004. Reaksi Isopulegol Hasil Siklisasi Sitronelal dengan Logam Natrium, Tionil Klorida dan Fosfortribromida. Berkala Ilmiah Mipa. UGM. Yogyakarta. Vol 14 (1); 49-62.
Sastohamidjojo, Hardjono. 2004. Kimia Minyak Atsiri. UGM-Press. Yogyakarta. Semar, Djainuddin dan Yuliarita, Emi. 2011. Meramu Bensin Ramah Lingkungan dengan Pemanfaatan Butanol. Lembar Publikasi Lemigas. Jakarta. 45. (1); 1-10. Setiyawan, Atok. 2012. Kajian Eksperimental Pengaruh Etanol Pada Premium Terhadap Karakteristik Pembakaran Kondisi Atmosferik Dan Bertekanan Di Motor Otto Silinder Tunggal Sistem Injeksi. Disertasi. Universitas Indonesia. Depok. Yuliarita, Emi. dkk. 2012. Studi Hubungan Kandungan Oksigenat dan Oksigen dalam Bensin untuk Pengembangan Spesifikasi. Kelompok BBMG - KP3 Teknologi Aplikasi Produk – LEMIGAS. (tidak diterbitkan).