ekamant NEWS Gubernur Jateng Apresiasi Peran Ekamant dalam Memperkuat Branding Kota Jepara Sebagai Pusat Ukir Dunia
PROFILE Value & Quality has to be Equal - CC Tsai, Director PT AKT Indonesia
Indonesia Woodworking Magazine
No.
Magazine for Ekamant’s Premier Customer
41
Juli 2014
communication and educational media
FORMAT-4 perfect 812 The New Generation of Edgebanders
AT THE HEART OF A WORLD OF TIMBER SWEDEN Kalmar +46 480 49 69 91
[email protected] www.skanditra.com
Content
of WOODMAG 41
24
53 EKAMANT NEWS:
“Gubernur Jateng Apresiasi Peran Ekamant dalam Memperkuat Branding Kota Jepara Sebagai Pusat Ukir Dunia” PRODUCT & TECHNOLOGY “Meningkatkan Efisiensi Energi pada Operasional Pabrik Penggergajian Kayu” 6 “TAIYO” 56 SPECIAL REPORT “Seminar Grading AHEC: Giliran Jakarta dan Solo” 10 “Looking Something New? Go to the MIFF” 16 POST SHOW REPORT “WOODSHOWGLOBAL 2014” 14 PEFC NEWS “Global Public Consultation of Tropical Appendix Commences” 15 BIZ NEWS “Satu Indonesia, Dua Warna” 20 “Wood-Mizer expands sawmill production space at European headquarters” 36 “American hardwood veneer takes 2
PROFILE: CC Tsai,
Director PT AKT Indonesia
“Value & Quality has to be Equal”
center stage at International Furniture Fair Singapore (IFFS)in March 2014” 38 “The Malaysian Timber Council publishes ‘Malaysian Hardwood Guide’” 38 “27th ASEAN Furniture Industries Council (AFIC) annual meet in Vietnam” 39 “But the trees are still there!” 40 “NHLA Kiln Drying Certification Program Expands Its Reach Now replaces USDA Phytosanitary Certificate in 32 countries” 41 “A Note to Architects, Builders and Specifiers: Timber is the Ultimate ‘Green’ Construction Material” 42 “Indonesia progresses towards PEFC endorsement” 44 “American Hardwood exports up 28% in Greater China and 4% in Southeast Asia reaching US$1.4billion in 2013” 45
PROFILE “Membidik Pasar Peremajaan Mesin” 30 RESENSI BUKU 34 INDUSTRY NEWS “Forest certification week - linking sustainable forest product supply chains through Asia” 46 “2014 S.E. Asian furniture shows” 47 EVENT “Hardwood Grading Seminars in Indonesia” 50 “Calendar of events” 51 EKAMANT NEWS “Ekamant Bantu Pelajar Korban Banjir” 52 EKAMANT SOLUTION “Taiyo Sander Series” 54
Editorial
Catatan Editor
Managing Director Jodi H. Susanto EDITOR IN CHIEF Arief Odon
[email protected] Editor Emir Wiraatmadja Managing Director
[email protected] Jodi H. Susanto Technical Editor Editor in chief Tandiono Arief Odon
[email protected] [email protected] circulation Editor Dewi Rubiane Emir Wiraatmadja
[email protected] [email protected] ADVERTISING Technical Editor Reza Muhammad Arief Tandiono
[email protected] [email protected] Contributor circulation Michael Buckley Dewi Rubiane Michael Hermens
[email protected] GRAPHIC DESIGN Contributor Zevanya Audrey Michael Buckley
[email protected] Michael Hermens Publish by GRAPHIC Pose MediaDESIGN Indokreasi, for PT. Ekamant Zevanya AudreyIndonesia
[email protected] alamat redaksi Puri Cinere Publish byBlok C3 No. 8 Depok 16513 - Indonesia Pose Media Indokreasi, for PT. Ekamant Indonesia alamat redaksi Puri Cinere Blok C3 No. 8 Depok 16513 - Indonesia
E
disi ke empatpuluh satu WoodMag kembali menampilkan permesinan sebagai cover story. Kali ini Felder Group disajikan kehadapan para pembaca agar bisa memberikan referensi sekaligus pilihan terhadap kebutuhan peremajaan mesin-mesin produksi. Menurut Country Manager Felder Group Indonesia George Lunarso A., kebutuhan tersebut sudah sangat mendesak. Kebanyakan industri furnitur dan woodworking di negeri ini sudah ada sejak 20 bahkan 25 tahun lalu. “Hanya sedikit dari mereka yang sudah melakukan peremajaan mesin-mesinnya,” katanya saat ditemui di kantornya di Semarang. Jika kondisi ini diabaikan maka hilanglah salah satu daya saing industri ini dipentas dunia. Itu sebabnya George yakin bila peluang untuk peremajaan mesin sangat besar pada saat ini. Simak pembicaraannya dalam rubrik Profile. Simak juga wawancara redaksi WoodMag dengan Direktur PT AKT CT Tsai yang mengungkapkan bahwa negeri ini ternyata memiliki potensi luar biasa dalam industri instrumen musik. Perusahaan yang memproduksi ukelele dengan brand Mahalo untuk pasar internasional memilih kota kecil Pasuruan di Jawa Timur sebagai basis produksinya. Lantas apa kepanjangan dari nama perusahaan ini. Simak dalam rubrik Profile. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tiba-tiba menghadiri lomba pengamplasan yang berlangsung di Jepara, bulan April lalu. Lomba yang disponsori PT Ekamant Indonesia ternyata sangat diapresiasi oleh Gubernur Ganjar. Menurutnya, ini merupakan bantuan langsung dari PT Ekamant Indonesia terhadap penguatan branding Jepara sebagai sentra ukiran di Jawa Tengah dan nasional. Simak laporannya dalam rubrik Ekamant News. Simak juga resensi buku Mozaik Seni Ukir Jepara yang ditulis oleh Hadi Prayitno dan rekan-rekan. Sebuah buku yang mengantarkan kita pada pemahaman akan perkembangan seni ukir Jepara hingga dewasa ini. Selamat membaca.
- Arief Odon -
Editor in chief
Total Abrasives Solution Arief Odon
41 Juli 2014
4
Products & Technology
ANCHORSEAL
®
PREVENTING DEGRADE AND LOSSES OF LUXURY WOOD IN FRESH CUT ROUND WOOD AND SAWN WOOD. 7-9 OCTOBER 2013 | FLORENCE - ITALY
Losses From End Checking during hardwood production can be from 5%- 20% depending on the refractory nature of the individual species
heat technician checking gauges
K Efisiensi Meningkatkan
Energi pada Operasional
Pabrik Penggergajian Kayu
ehutanan Berkelanjutan merupakan sebuah industri yang “Hijau” karena banyak alasan. Tidak hanya karena kayu dapat diperbarui, digunakan kembali, didaur ulang dan terurai secara hayati, produk kayu solid yang dibuat pun akan menyimpan karbon. Dalam hal penggunaan energi, dibutuhkan energi yang relatif lebih kecil untuk menghasilkan produk kayu solid. Di AS, seluruh industri Produk Hutan hanya mengonsumsi 12 % total asupan energi industri manufaktur AS. Industri Manufaktur Kayu (hardwood & softwood) hanya menggunakan 5% saja. Namun demikian, seiring meningkatnya biaya energi, para pemilik dan pengelola pabrik penggergajian kayu perlu menemukan cara mengonsumsi energi dalam jumlah yang paling sedikit untuk menghasilkan produk mereka. Konsumsi energi dapat mencakup hampir 10 % dari biaya operasional pabrik penggergajian kayu. Meningkatnya biaya energi dapat berdampak signifikan pada marjin keuntungan produksi kayu, yang di AS umumnya sekitar 3 – 4 %. Menemukan cara untuk menghemat energi tanpa mengor-
Concessionaires, small holders and sawmills can benefit with increased profit, while conserving natural resources, a sustainable forestry practice.
ANCHORSEAL® wax emulsion end sealer – easy to apply with brush or sprayer
Kiln boiler
6
DryKiln with Lumber
Lumber Stacks drying Protected with Anchorseal
Global Wood Protection Specialists BUFFALO, NY USA www.uccoatings.com +1-716-833-9366
[email protected]
bankan mutu akan membantu mempertahankan keuntungan di pasar global yang kompetitif. Pabrik penggergajian kayu pada umumnya terdiri dari lima operasional utama termasuk pengelupasan kulit kayu, penggergajian kayu, perapihan dan pemotongan bagian ujung, side-cuts chipping, dan pengeringan kayu. Jika sebuah penggergajian kayu hanya memproduksi kayu hijau kasar dan tidak memiliki fasilitas kiln-dry, listrik akan menjadi energi primer yang dikonsumsi; jika tidak, panas pembakaran atau uap akan menjadi komponen penggunaan energi yang paling penting. Dalam beberapa tahun belakangan ini, semakin banyak pabrik penggergajian kayu yang menambah kapasitas kiln-dry untuk menambah nilai pada produk mereka. Kiln-dry benar-benar proses yang paling intensif energi dalam produksi kayu kering permukaan – menggunakan 6 hingga 9 kali lebih banyak energi dari operasional penggergajian kayu itu sendiri! Kualitas pengeringan yang meningkat dengan konsumsi energi yang lebih rendah merupakan sebuah sasaran yang dapat dicapai, dengan cara yang tepat. Menggunakan kiln yang efisien energi, menjalankan jadwal kiln yang benar untuk masing-masing spesies, menjaga peralatan tetap terpelihara, menutup kebocoran, memasang fiting lampu yang hemat energi adalah hal-hal yang harus dievaluasi. Namun semuanya ini, meskipun ber-
harga, tidak menambah penghematan sebesar mengurangi jumlah penggunaan kiln-dry. Salah satu langkah yang paling menguntungkan untuk mengurangi penggunaan Dry Kiln adalah mengeringkan kayu dengan udara sebelum menempatkannya ke dalam kiln. Sejumlah besar air dapat dihilangkan dari kayu hijau hanya dalam beberapa hari pengeringan dengan udara. Untuk setiap persen air yang hilang dalam pengeringan, energi dalam pengeringan kiln selanjutnya akan berkurang sebesar 50 hingga 85 BTU per kaki papan. Untuk kiln yang digunakan secara konvensional, dengan kapasitas 50.000 kaki papan (125 meter kubik) ini sama dengan 2,5 hingga 4,25 juta BTU yang dapat dihemat untuk setiap 1 persen air yang hilang dalam pengeringan dengan udara. Tentukan biaya per satu juta BTU dan Anda bisa menghitung penghematannya. Cara terbaik untuk melindungi hardwood hijau Anda saat pengeringan adalah mengaplikasikan pelapis ujung emulsi-lilin pada kedua ujung kayu bulat dan kayu papan sesegera mungkin setelah penggergajian. Pelapisan ujung, juga dikenal sebagai penutup ujung, digunakan untuk mengendalikan proses pengeringan kayu bulat dan kayu papan selama penyimpanan, selama pengangkutan, dan untuk pengeringan dengan udara atau kiln. Hal ini mencegah retak dan pecah di bagian ujung kayu bulat dan kayu papan yang baru saja digergaji yang akan memakan biaya mahal. Setelah dikeringkan dengan
udara kayu papan akan masuk ke dalam kiln, sisa lapisan lilin yang ada akan mencair dan menguap selama siklus pengeringan kiln. Ada banyak merek penutup ujung, namun penutup ujung merek ANCHORSEAL digunakan oleh sekitar 90 % operasional penebangan dan penggergajian hardwood di Amerika Utara dan terus tumbuh di seluruh dunia – dengan pengguna di lebih dari 30 negara di 6 benua. Dengan mencegah cacat dan degradasi akibat pengeringan, setiap potong kayu memiliki lebih banyak material yang dapat digunakan. Standar mutu tinggi tetap terjaga bahkan dengan penggunaan energi dry-kiln yang lebih sedikit, dan keuntungan akan meningkat. Apakah pabrik penggergajian kayu mengekspor hardwood atau hardwood hasil olahan untuk penggunaan domestik, penutup ujung digunakan untuk melindungi mutu dan nilai kayu hijau mereka selama pengeringan dengan udara, penyimpanan dan pengangkutan. Melalui teknik pengeringan dengan udara yang benar, pabrik penggergajian kayu dengan kapasitas pengeringan kiln dapat mengurangi konsumsi energi mereka secara besarbesaran serta meningkatkan tingkat keuntungan dan daya saing bisnis mereka. Untuk informasi lebih lanjut tentang permasalahan energi, mintalah Reducing Energy Costs In Sawmills, karya Gene Wengert, Presiden, The WoodDoctor’s Rx, LLC. Hubungi U-C Coatings:+1-716-833-9366,
[email protected], www.uccoatings.com
www.felder-group.co.id
The new Edgebander Generation from FELDER It´s all about HOW a job gets done! NEW
perfect 710 x-motion/e-motion
Lumb er a Shade ir-dry she ds wit -dry c h urtain sides
perfect 608 x-motion plus
NEW
perfect 812 x-motion/e-motion
NEW
Quality and precision made in AUSTRIA
NEW NEW
G 680
G 670
G 660
G 500
G 460
G 330
G 320
G 220
Your dependable local partner for outstanding woodworking solutions! Log covers keep logs cooler
8
FELDER GROUP INDONESIA J1. Imam Bonjol 46A 50139 Semarang, Central Java
Telp. +62 24 253 2554 Fax. +62 24 253 2554
[email protected]
Special Report
“Seminar Grading AHEC:
Giliran Jakarta & Solo” John chan, Regional Director American Hardwood Export council yang berkedudukan di HongKong menyebutkan minat industri kayu olahan Indonesia terhadap kayu impor tidaklah menyurut. Hal ini diungkapkan dalam pidato pembukaan seminar kayu keras Amerika yang diselenggarakan bersama dengan National Hardwood Lumber Association (NHLA) di Jakarta dan Solo pada awal Desember 2013 lalu.
M
enurut Chan, sekalipun terjadi pelemahan Rupiah namun impor kayu keras asal Amerika serikat justru meningkat antara 25% hingga 30%. Selain itu, jika dulu kebanyakan dalam bentuk log atau kayu bulat maka saat ini lebih banyak pesanan dalam bentuk kayu gergajian (lumber). Salah satu kunci dari keberhasilan itu adalah penerbitan brosur teknis kayu keras Amerika yang sangat informatif dalam bahasa Indonesia. “Kehadiran kayu impor ini memberikan tambahan pilihan sekalipun banyaknya kayu tropis lokal yang teramat indah,” jelasnya. Hal ini diungkapkan John Chan dalam pembukaan grading seminar AHEC pada 3 Desember 2013 lalu. Seminar ini merupakan kelanjutan dari seminar serupa yang digelar di Surabaya dan Semarang pada bulan september sebelumnya. Dalam sesi
10
seminar yang digelar di Jakarta dihadiri oleh 67 peserta. Sedangkan sesi di Solo dihadiri oleh sekitar 70 peserta. Sayangnya, sesi seminar di Jakarta kali ini digelar di ruangan yang sebenarnya tidak didesain untuk acara serupa. Akibatnya hanya dengan jumlah peserta sedemikian ruangan benar-benar tersesaki. Untuk bergerak pun, terasa sangat tidak leluasa. Sedangkan di Solo, seminar berlangsung di Ball room 2 dan 3 Hotel Novotel. Ruangan jauh lebih lega dibanding dengan sesi di Jakarta. Pembicara dalam seminar kali ini adalah NHLA head of inspector Dana Spessert dan Michael Buckley dari World Hardwood. Spessert dengan pengalaman panjangnya mengupas secara tuntas mengenai apa yang disebut sebagai peraturan grading yang berlaku di Amerika Serikat. Menurutnya, aturan ini sudah ber-
laku selama seratus tahun terakhir dan “Tidak banyak mengalami perubahan,” jelasnya. Kalau pun ada perubahan maka itu bisa dilakukan hanya sekali dalam jangka empat tahun. Itu pun lebih ke arah penyempurnaan hitungan matematisnya. Sedemikian bakunya aturan grading itu telah memberikan kemudahan pemahaman tidak hanya bagi produsen di Amerika sana, tapi juga pelanggan ataupun calon pelanggan dari berbagai belahan dunia. Nyaris semua bisa memahaminya dan mendapatkan kesamaan persepsi mengenai grading kayu mana yang akan diperdagangkan.
Formula Penentuan Grade
Hitungannya memang sangat teknis seperti yang diperagakan oleh Spessert.
Misalnya saja untuk grade tertinggi yang meliputi FAS, FAS-One-Face (FAS/1F) and Select maka diperlukan memenuhi standar tertentu. Grade FAS sebenarnya berasal dari grade First and Second. Grade ini menyediakan kayu gergajian dengan kualitas terbaik, umumnya digunakan untuk furnitur kualitas teratas, joinery interior dan moulding kayu solid. Untuk grade ini dipersyaratkan lebar minimal 6 inchi dan panjang minimal 8 feet. Minimum yield yang harus dicapai adalah 83 1/3% atau 10/12. Artinya muka lembar kayu yang harus bersih dari cacat atau defect sebesar prosentase itu hingga benar-benar mulus 100%. Dan ini berlaku untuk kedua sisi atau muka papan kayu yang sama. Untuk bisa memahami perhitungan matematis itu maka peserta diperkenalkan lebih dulu dengan Board Foot alias BF. Ini merupakan satuan pengukuran yang lazim digunakan untuk lembaran kayu gergajian di sana. Formulanya adalah lebar dalam inchi dikalikan dengan panjang dalam feet dikalikan ketebalan dalam inchi. Lantas dibagi oleh 12. Persentase dari bagian yang clear atau bagus untuk tiap grade didasarkan pada pembagian dengan angka pembagi tetap ini. Surface Measure (SM) dalam ukuran square feet pun yang merupakan satuan pengukuran surface area dari permukaan papan juga harus dipahami. Untuk grade FA One Face (F1F) maka salah satu sisinya harus memenuhi ketentuan FAS. Sedangkan sisi lainnya harus memenuhi ketentuan Number 1 Common grade. Ini memberikan jaminan bagi pelanggan untuk membeli paling tidak satu sisi dengan grade FAS. Untuk grade ini sering kali dikapalkan dengan
komposisi 80:20. Artinya 80% memenuhi persyaratan FAS dan 20% memenuhi persyaratan F1F. Namun menurut Spessert, komposisi ini sebenarnya diserahkan pada perjanjian antara penjual dan pembeli. Untuk grade Select, memiliki kesamaan persyaratan dengan grade F1F hanya saja panjang dan lebar yang diperbolehkan berbeda. Select membolehkan papan dengan minimal lebar 4 inchi dan panjang 6 feet. Grade ini umumnya terkait dengan hutan di wilayah utara Amerika Serikat dan bisanya dikapalkan berkombinasi dengan grade FAS, artinya kayu dengan grade FAS umumnya salah satu sisinya bisa merupakan kombinasi dengan grade F1F atau Select. Sementara sisi lain dari lembar kayu gergajian yang sama tetap memiliki grade FAS. Untuk Common grades tersedia Number 1 Common dan Number 2A Common. Grade No. 1 Common atau No. 1C umumnya dirujuk sebagai grade kabinet, karena beradaptasi pada ukuran standar pintu lemari kabinet dapur yang berlaku nyaris di seluruh Amerika serikat. Untuk grade ini dipersyaratkan minimum lebar 3 inchi dan panjang 4 feet. Minimal yield untuk clear face cuttings adalah 66 2/3% atau 8/12 hingga dibawah ketentuan minimum untuk grade FAS sebesar 83 1/3%. Clear cutting minimal yang diperbolehkan untuk grade ini adalah 3 inchi kali 3 feet atau 4 inchi kali 2 feet. Kedua muka dari lembaran kayu gergajian yang sama haruslah memenuhi persyaratan minimal untuk grade ini. Untuk grade Number 2A Common atau No. 2C dirujuk sebagai grade ekonomis. Harga dan kecocokannya untuk beragam bagian furnitur. Garde ini juga
“Akankah SVLK memicu peningkatan penjualan kayu impor?” Hal yang patut diduga mendorong peningkatan konsumsi kayu impor adalah ketidak pastian akan pemberlakuan Sistem Verfikasi Legal Kayu (SVLK) Indonesia. sekalipun SVLK dinyatakan berlaku pada Januari 2014, namun ternyata pemberlakuannya masih menyisakan keraguan terutama penerimaannya secara internasional. Kebanyakan pelaku industri lokal yang berorientasi ekspor masih meragukan sistem ini diterima secara internasional, terutama dalam pasar Uni Eropa. Apalagi Uni Eropa selama ini memang terlihat sangat berkepentingan dalam pemberlakuan European Uni Trade Regulation (EUTR) atas Indonesia. Kesimpangsiuran dan ketidak jelasan itu lah yang mendorong keyakinan bahwa kayu impor merupakan jawabannya. Nyaris semua pelaku industri kayu olahan di Indonesia meyakini bahwa kayu impor tidak memiliki persoalan serupa dengan kayu lokal. Sekaligus diyakini bila kayu impor sudah disertai sertifikasi legal yang diterima secara internasional. Peralihan ini nampaknya akan memperbesar konsumsi kayu impor di masa depan. Sekalipun diperkirakan pangsa pasarnya masih di bawah 20% dari total konsumsi di saat puncak produksi terjadi.
11
merupakan pilihan bagi industri lantai kayu Amerika Serikat. Lebar minimum yang diperbolehkan adalah 3 inchi dengan panjang minimal 4 feet. Sedangkan yield minimalnya adalah 50% atau 6/12 hingga di bawah grade No. 1C sebesar 66 2/3%.
Mengaplikasikan Formula Grading
Untuk melakukan grading ini, spessert mendemonstrasikan pengukurannya secara manual. Dengan menggunakan lembaran kayu gergajian, ia mendemonstrasikan dengan dibantu sejumlah peserta yang menjadi sukarelawan dadakan. Dengan menggunakan tongkat ‘ajaibnya’, Spessert mendemonstrasikan bagaimana melakukan perhitungan dan penentuan grade mana yang sesuai dengan masingmasing muka lembaran kayu. Awalnya seperti biasa terjadi sedikit kebingungan akibat perbedaan standar pengukuran. Di Indonesia standar yang digunakan adalah metrik, sementara Amerika terbiasa menggunakan standar imperial. Namun itu hanya terjadi sesaat dan kemampuan beradaptasi peserta yang menjadi sukarelawan mampu mengatasi persoalan ini. Pengukuran tidak hanya dilakukan sekali, namun beberapa kali dengan peserta yang berbeda, tujuannya jelas membuat peserta seminar di kedua kota memahami bagaimana pengaplikasian formula penggolongan tersebut. Dalam sesi di Jakarta, praktik pengukuran ini menemui kendala dari sempitnya ruangan. Sejumlah sukarelawan terpaksa harus memadati sisis tertentu, karena sisi lain dari meja demo tak lagi menyisakan ruang. Sementara peserta seminar lainnya mau tidak mau terpaksa terhalangi pandangannya. Jalan keluarnya, Spessert yang dibantu oleh Michael I. Buckley dari World Hardwood terpaksa melakukan pengulangan pengukuran yang memakan waktu lebih lama. Menurut Spessert, pemahaman akan grade akan membuat calon pelanggan di Indonesia memahami bahasa yang sama. “Grading rules akan memudahkan pelang-
12
gan tahu material seperti apa yang akan dibelinya”. Ini akan mengurangi terjadinya ketidak sepahaman yang akan menyulitkan komunikasi nantinya. Selain itu “Peserta perlu mengenali secara cermat akan spesifikasi material yang akan digunakannya,” jelasnya. Itu sebabnya ia mengatakan dirinya sangat senang bila berhasil membuat seseorang paham atau lebih paham dari sebelumnya. Michael Buckley mengatakan diperlukan pengenalan secara cermat akan menjauhkan pelanggan ataupun calon pelanggan dari duga-menduga, alias menebak material yang akan digunakannya. Menurutnya, kayu red oak memiliki banyak varian dan tekstur yang membuatnya nyaris mirip dengan kayu white oak. Ia juga menyarankan untuk mengenali karakter dari masing-masing material. Misalnya, kayu red oak memiliki poripori yang cukup besar, sehingga tidak bisa dibuat menjadi wadah penampungan cairan seperti tong anggur. “Pori-pori yang besar akan membuat cairan yang ada di dalamnya mudah merembes keluar,” jelasnya. Ketika ditanya oleh seorang peserta, apakah kayu yang sama bisa dicat atau di stain. Jawabannya jelas yaitu tetap bisa sekalipun memerlukan lebih banyak cat untuk keperluan itu. Sesi seminar di Solo, yang baru kali pertama diadakan dihadiri oleh sekitar 64 peserta. Ada peserta yang jauh-jauh datang dari Semarang dan mereka tetap mengikuti seminar hingga usai. Peserta di Solo sangat tertolong dengan luas ruangan yang digunakan. Ini membuat sebagian besar peserta bisa maju mengelilingi meja demo saat praktik pengukuran dan penggolongan dilakukan. Para peserta di Solo bahkan lebih aktif dalam melakukan praktik pengukuran itu. Tidak cukup sekali, bahkan pengukuran diulangi dua tiga kali dengan sukarelawan yang berbeda. Menanggapi pertanyaan salah satu peserta soal grade comsel, Spessert mengemukakan jika grade ini sebenarnya bukanlah grade resmi NHLA. Tapi “Lebih merupakan grade yang disepakati para peniaga alias trader”. Untuk pasar ekspor, minimal permukaan papan yang clear ha-
rus memenuhi persyaratan grade Number 1 Common atau bahkan sedikit lebih baik lagi. Ukuran minimal papannya sangat variatif bergantung pada spesies, wilayah dan pemasoknya. Untuk defect atau cacat, bisa dikatakan agak membingungkan karena tidak berlaku baku untuk seluruh spesies dan “bergantung pula pada kawasan panennya,” jelas Spessert. Ia mencontohkan bahwa jika pepohonan itu tumbuh di kawasan Selatan yang lebih hangat, maka pohon bersangkutan memiliki waktu yang relatif lebih panjang dalam pertumbuhannya. Ini memungkinkan terserapnya lebih banyak mineral ke dalam proses pertumbuhannya sehingga memungkinkan terjadinya defect relatif lebih banyak. Saat ini, spesies terbanyak yang dipanen di Amerika adalah red oak. Bahkan saking banyaknya bisa dikatakan sebagai spesies yang sangat dominan. Menurut Spessert, spesies white oak Amerika Utara nyaris memiliki kemiripan dengan spesies serupa asal Eropa. Spesies ini juga banyak di ekspor ke Eropa. Sementara American ash memiliki lebih banyak varian warna, bak pada sap atau heartwoodnya. Diameter kayu cherry cederung lebih besar dengan bagian sapwood yang lebih kering, sementara heartwoodnya cenderung berwarna merah ati. Kayu hickory memiliki fleksibilitas lebih tinggi. Ia memperlihatkan inspector ‘magic’ stick yang bisa ditekuk secara maksimal tanpa mengalami kerusakan bahkan pecah. Kayu ini juga sangat solid sehingga mampu menahan beban berat, seperti saat digunakan dalam membolakbalik kayu yang sedang digrading. Spesies hard mapple sangat cocok untuk keperluan pembuatan lantai kayu. Sedangkan soft mapple biasanya dipilih untuk digunakan sebagai material furnitur. Spesies red mapple memiliki kuantitas mencapai 35% dalam hutan di Amerika Serikat. Jumlah yang cukup besar. Spesies ini diproses secara khusus dalam penggergajiannya sehingga bisa menghasilkan nilai tambah cukup besar.
C
M
Y
CM
MY
CY
CMY
K
panel
PRO ASIA
Post Show Report
PEFC News
Global Public Consultation of Tropical Appendix Commences
WOODSHOWGLOBAL 2014
S
trategic Marketing & Exhibition with the brand of “ Woodshowglobal” had continued its activity to encourage timber producers and wood & wood machinery industries to promote their products and explore new markets in the region through the 8th edition of Dubai Woodshow 2014 which has been successfully held in Dubai International Convention and Exhibition Centre from 8th April to 10th April 2014. There were 500 brands, suppliers and manufacturers from the wood and wood machinery industry participated from 40 different countries with 8,349 visitors came from 95 countries all over the world. Visitors by region & visitors by industry, see chart. Prior to Dubai Woodshow 2014, there was also Indonesia Woodshow 2014 been held in Jakarta, Indonesia from 14th March to 17th March 2014 which was in conjuction with International Furniture and Craft Fair Indonesia ( Iffina 2014 ) hosted by Asmindo at Senayan Eco Park. The 2nd edition of Indonesia woodshow 2014 was intended for the timber suppliers and wood machinery industries to explore the markets in furniture manufacturers . Exhibitors were from China, Taiwan, Brussels, Singapore , Malaysia and Indonesia with 2500 + visitors coming. It was not a big exhibition but it provided some updates of the new tehnology for the furniture industry. Next 2015 woodshowglobal will again conducting Dubai woodshow 2015 (30th March to 1st April 2015 ) , Indonesia Woodshow scheduled in March 2015 and Cairowoodshow scheduled in October 2015.
14
PEFC is pleased to invite stakeholders worldwide to contribute to the global public consultation of PEFC ST 1003:2010, Appendix 2, Guidelines for interpretation for some natural forests, including tropical forests by 1 July 2014.
T
he Appendix is based on the recognition that while the overarching principles for sustainable forest management are similar across all types of forests, the complexity of some natural forests, including tropical natural forests, combined with their environmental and socio-economic importance at local, national and international levels, has brought them to the attention of the general public and stakeholder groups around the world and suggests the need for additional interpretation of requirements. In considering such interpretation, however, it is important to note the particular issues and challenges. These are not necessarily restricted only to tropical forests, being shared by some non-tropical forest types, and indeed are not necessarily relevant for all tropical forests. These are principally: • Poor or underdeveloped governance processes, acknowledging that governance is an issue that dominates the sustainable management of all types of forest in all countries at all stages of economic development. The term governance here comprises not just the honest and efficient governance of a country’s forest resources, but also the presence of appropriate legal and land tenure systems, laws and their implementation, the provi-
sion of adequate funds and the existence of motivated and trained staff. • Forests are often home to, or provide significant economic dependencies for local communities, including indigenous peoples, with poor living standards, and whose needs and rights need particular consideration in national certification schemes. Forest products and services utilized for local use may be as, or even more, important than the production from commercial forestry operations • Deforestation and the conversion of forest to other forms of land use outside any formal land use planning process. Of special concern are forest operations in natural ‘frontier’ forests which were not subjected to infrastructural development before. The opening of forestry infrastructure (roads, townships) in previously inaccessible areas may trigger human migration, deforestation and forest degradation and economic activities which may conflict with the social and environmental goals of sustainable forest management and which require planning and management. • Rich biological diversity, particularly, but not only, in tropical forests, calls for adapted silvicultural/management measures different from those in many other temperate or boreal forest types.
• Despite these inherent complexities and values, many regions have limited resources allocated to administration, training and research related to forest management. This Appendix seeks to provide further guidance of specific relevance in tropical natural forests, or any other forest regions where the above characteristics apply, which may not be explicitly reflected in PEFC ST 1003:2010. It is the responsibility of the national standard setting process to define the relevance of this guidance to national circumstances. PEFC values stakeholder input and invites all interested parties to provide feedback and comments, using PEFC’s Online Consultation Tool, by 1 July 2014 at www. pefc.org This draft appendix to PEFC ST 1003:2010 provides guidance for the PEFC assessment of forest management standards which are used for the certification of natural forests, including but not limited to tropical forests, where particular issues and challenges are evident. This document is now subject to public consultation until 1st July 2014. All comments are welcome and will be considered in the further development of the document.
15
Special Report
“Looking Something New?
Go to the MIFF”
“Dihadang Kenaikan Upah Minimum” Industri furnitur Malaysia kali ini menghadapi persoalan yang cukup pelik. Pasalnya, sejak Januari 2014, pemerintah federal telah memberlakukan kenaikan upah minimal sebesar MYR200. Jumlah yang cukup besar, dan bisa-bisa menjadi beban bagi perkembangan industri ini dalam berapa tahun ke depan. Yang menjadi persoalan adalah kenaikan upah minimal itu tidak terkait dengan kondisi perekonomian dunia yang masih belum membaik hingga saat ini. Seperti yang diakui oleh Profesor Dr. Jegatheswaran Ratnasingam dari University of Putra Malaysia adalah kenaikan upah itu juga tidak terkait dengan kenaikan produktivitas dari tenaga kerjanya. Ia setuju terhadap pernyataan bahwa hingga saat ini tidak penah ada hitungan matematis yang bisa menjelaskan korelasi antara kenaikan upah dan kenaikan produktivitas, serta berapa lama kenaikan produktivitas itu bisa tercapai maksimal pada tingkat upah tertentu.
P
erekonomian dunia bisa saja belum pulih benar dari keterpurukan dalam tiga tahun terakhir ini, tapi itu tidak berarti industri dan bisnis juga ikut terpuruk bersamanya. Nyatanya, sekalipun seorang pengamat industri furnitur meragukan perkembangan yang cukup positif dalam industri furnitur Malaysia. Namun itu tidak menutupi gempitanya kebangkitan kembali industri ini seperti yang tercermin dalam Malaysian International Furniture Fair (MIFF) 2014. Pameran MIFF kali ini memang tidak bisa dibilang biasa, apalagi momennya bertepatan dengan ke duapuluh kalinya pameran ini terselenggara sejak tahun 1995. Kali ini MIFF merayakan kegemilangannya dalam dua puluh tahun perjalanannya. Menurut Chairman MIFF Dato’ Dr. Tan chin Huat, pada awalnya pameran ini hanya 152 eksibitor lokal. Dua puluh tahun kemudian, pameran yang sama telah di-
16
ikuti lebih dari 500 ekshibitor dari 13 negara, dan menempati lahan lebih dari 80.000 meter persegi. Sejak berapa tahun terakhir, pameran digelar dalam dua venue yaitu Putra World Trade Center (PWTC) dan Malaysia External Trade Development Corporation Exhibition and Convetion Center (MECC). Dalam pidato pembukaan MIFF di Grand Ballroom Hotel Seri Pasific, Kuala Lumpur, Dato’ Tan menyebutkan dalam dua puluh tahun perjalanannya MIFF telah menjelma “Become one of the premier furniture trade shows in the world and the leading industry event in Southeast Asia”. Keberhasilan MIFF karena berfokus pada pemenuhan kebutuhan harapan dari para eksibitor dan buyer serta memberikan pameran yang sangat terorganisir secara baik. Ia juga menambahkan bila pertumbuhan pesat dan keberhasilan yang telah diraih juga karena dukungan yang luar
biasa dari para eksibitor, buyer, berbagai kementerian dan lembaga pemerintahan Malaysia, serta tidak ketinggalan media lokal dan internasional. Dalam pidato pembukaannya, Chief Executive Officer (CEO) UBM Asia Jime Essink menyebutkan bahwa kunci keberhasilan pameran kali ini dan sebelumnya karena pihaknya bisa memberikan layanan yang efektif bagi pengunjung dan eksibitor. Selain itu, ditunjang dengan keberhasilan untuk menciptakan bisnis yang riil, membuka peluang baru sekaligus menjadi pintu gerbang pada pasar baru yang sedang berkembang pesat. Tidaklah heran jika ia menyebutkan bahwa pihaknya mendedikasikan MIFF sebagai satu dari tujuh pameran akbar berskala global bagi industri furnitur, terutama di Malaysia. Wakil Sekretaris Jenderal Kementerian Industri dan Perdagangan Internasional Mohammad Ridzal Sherrif menyebutkan
bahwa industri furnitur Malaysia sangat berorientasi ekspor. Nilai ekspornya pada tahun 2013 lalu mencapai MYR7.4 milyar. Bandingkan dengan target eskpor furnitur Indonesia tahun ini yang ditetapkan oleh Menteri perindustrian MS. Hidayat sebesar USD3 milyar. Dengan nilai sebesar itu, Malaysia menempati urutan ke delapan dalam jajaran negara-negara pengeskpor furnitur terbesar di dunia. Industri furnitur negeri jiran ini memang merupakan salah satu pemasok devisa utama. Itu sebabnya pemerintah Malaysia sangat serius dalam membina dan mengembangkannya. Pameran MIFF tahun lalu telah menyumbang penjualan ekspor sebesar USD854 juta, maka tak pelak bila pameran ini dilihat sebagai salah satu platform terpenting bagi ekspor furnitur Malaysia. Tahun ini tercatat tiga belas negara yang turut berpartisipasi dalam pameran akbar ini, selain Malaysia tercatat Amerika Serikat, China, Hongkong, India, Indonesia, Inggris, Iran, Singapura, Korea Selatan,
Spanyol, Taiwan dan Vietnam. Sejumlah delegasi dagang dari Belgia, Jepang, Korea Selatan dan Russia; juga menghadiri pameran kali ini. Delegasi Jepang mungkin tercatat yang selalu hadir dalam pameran ini dari tahun ke tahun. Selain itu tercatat peserta pameran asal Bangladesh yang hadir sebagai peninjau dalam pameran akbar kali ini. Perjalanan selama dua dasawarsa ini telah berhasil menjadikan MIFF sebagai salah satu daya tarik dalam sirkuit Asia. Betapa tidak, MIFF sudah mampu berdiri sejajar dengan sejumlah pameran ternama dalam sirkuit Asia. Salah satu daya tarik MIFF adalah kemampuannya menghadirkan produk-produk yang lebih bernuansa modern dan kontemporer. Namun sedikit berbeda dengan pameran sebelumnya, even MIFF ke duapuluh kalinya berhasil mengejutkan para pengunjung yang datang kali ini. Koleksi yang dipamerkan dalam pameran kali ini lebih ‘meriah’ dibandingkan sebelumnya. Jika banyak pengunjung
tetap yang selalu berpikiran bahwa koleksi dan desain yang ditampilkan pameran kurang lebih sama dengan sebelumnya. Maka tahun ini bisa dijumpai begitu banyak desain baru yang tak pernah terbayangkan bisa ditemukan dalam pameran MIFF. Hadirnya eksibitor dari berbagai negara tentu menjadi sebagian pemicu dari perubahan yang terjadi. Resol Group misalnya yang boothnya menggunakan nama Resinas Olot SL menampilkan parabotan menggunakan material fibreglass dan polypropylene (PP) merupakan salah satunya. Koleksi-koleksinya yang cenderung modern kontemporer tentu langsung menarik minat para pengunjung. Tak pelak jika perusahaan ini langsung membukukan lebih dari 50 penjualan hanya pada hari pertama pameran. Sedangkan Taiwan Mirror Glass Enterprise co., Ltd., menyebutkan jika pameran ini berhasil kebutuhan mendasar bagi pertumbuhan brand baru yang serius dalam membangun pasarnya di kawasan Asia Tenggara.
17
Perusahaan yang sudah keempat kalinya mengikuti pameran ini berhasil meraup sekitar 20 hingga 30 persen dari penjualannya hanya melalui MIFF semata. Membangun brand dan pasar baru juga menjadi motivasi eksibitor asal Indonesia. Olympic misalnya termasuk eksibitor yang berhasil membangun brand-nya secara internasional maupun regional. Tak hanya itu, perusahaan asal Bogor, Jawa Barat ini juga berhasil melakukan penjualan ke sejumlah pasar ekspor yang sebelumnya tidak terlalu dikenal di Indonesia. Dengan konsisten perusahaan ini selalu hadir dalam pameran MIFF dari tahun ke tahun. Bagi banyak eksibitor, konsistensi untuk hadir di MIFF merupakan upaya terbaik untuk tetap berhubungan dengan pasar yang telah ada maupun dengan pasar yang baru sekali. Semuanya dilakukan dalam satu waktu dan satu tempat saja, yaitu MIFF. Desain-desain baru yang ‘lebih berani’ juga ditampilkan oleh eksibitor lokal. GPacific enterprise asal Malaysia misalnya menampilkan desain kursi stand alone yang terlihat klasik namun dengan warna-warni kontemporer. Kursi-kursi ini bisa dipadukan dengan berbagai meja ternyata juga bisa distacking, sehingga mudah dalam penyimpanannya. Untuk pertama kalinya, furnitur dari rotan alam mulai bermunculan dalam pameran MIFF. Di even PWTc, penampilan furnitur rotan alam tidak sebanyak yang bisa dijumpai dalam even yang digelar di Mecc. Dalam even di Mecc, nyaris seluruh eksibitornya berasal dari sentra industri furnitur Malaysia di Muar, Johor. Sekalipun desainnya masih cenderung konvesional
dengan warna coating yang cenderung gelap, namun penampilannya mengindikasikan come back-nya furnitur ini ke pasar internasional. Pameran kali ini juga dilengkapi dengan penampilan Forest Research Institute of Malaysia (FRIM). Lembaga riset milik pemerintah federal Malaysia berhasil melakukan terobosan dalam tekologi pengeringan kayu karet. Jenis kayu yang banyak digunkanan dalam industri furnitur Malaysia. Teknologi terbosoan yang disebut sebagai teknologi yang ramah lingkungan ini disebut sebagai High Temperature Drying (HTD). Oleh kepala Advanced processing and Design Programme, Forest Product Division FRIM Dr. Tan Yu-Eng disebutkan bahwa teknologi ini berhasil menurunkan penggunaan borates, namun bisa mempertinggi stablitas kayu gergajian sekaligus memotong waktu proses dari semula dua minggu menjadi hanya satu-dua hari. Keseluruhan operasi ini bisa dilakukan dalam sekali jalan, dengan merubah kayu karet yang masih hijau menjadi kayu gergajian kering. Seperti yang diakui Dr. Tan, pengembangan ini sudah dipelopori para pendahulunya choo Kheng Ten dan Dr. Sik Huei Shing sejak sepuluh tahun lalu. Tujuan awalnya adalah menjawab munculnya regulasi Uni Eropa terhadap penggunaan bahan kimia seperti borate dalam proses pengeringan kayu yang ada selama ini. Tidak hanya berhasil meyuguhkan produk yang borates-free, sekaligus ramah lingkungan tapi juga produk kayu gergajian yang siap guna proses produksi selanjutnya. Teknologi yang sama juga sedang diuji aplikasikan terhadap kayu tropis de-
ngan lunak hingga yang memiliki tingkat kekerasan menengah. Namun menurut Profesor Dr. Jegatheswaran Ratnasingam dari Fakultas Kehutanan Universitas Putra Malaysia menyebutkan perlunya pengamatan akan berapa banyak peningkatan konsumsi energi yang dipakai dalam proses ini. “Semakin tinggi temperatur berakibat kian banyak konsumsi energi yang diperlukannya,” jelasnya secara singkat. Saat berdiskusi di booth WoodMag, Dr. Jegatheswaran Ratnasingam menyebutkan bahwa pihaknya juga akan mempresentasikan terobosan baru yang menampilkan green wood dalam pameran MIFF kali ini. Menurutnya, green wood yang akan dipublikasikan ini berasal dari pokok kelapa sawit. Malaysia memang dikenal sebagai salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Ini membuat negeri jiran ini memiliki potensi suplai yang luar biasa, jika pokok atau batangnya berhasil diproses menjadi material bagi kebutuhan industri furnitur atau kayu olahan lainnya. Ia mengungkapkan bahwa terobosan itu masih bersifat percobaan, sehingga skalanya belum bisa mencapai skala komersial. “Masih dibutuhkan sedikitnya tiga tahun guna penelitian dan pengembangan sangat intensif untuk bisa mencapai skala tersebut,” jelasnya. Namun jelas terobosan ini membawa harapan akan tersedianya material yang berlimpah di masa depan.
PAMERAN INTERNASIONAL UNTUK KOMPONEN, PRODUK SETENGAH JADI DAN AKSESORIS UNTUK INDUSTRI MEBEL
P O R D E N O N E F A I R 14-17 OktObER 2014-04-05
Arah yang tepat
untuk bisnis Anda
Exposicam srl Via G. Carducci, 12 20123 Milano - Italy Tel: +39 0286995712 Fax: +39 0272095158
[email protected]
www.exposicam.it
Biz News
“Satu Indonesia,
Dua Warna” Ada yang berbeda dengan pelaksanaan pameran furnitur di Indonesia tahun ini. Pameran yang sebenarnya tergabung dalam sirkuit Asia, kini menjadi dua even yaitu Indonesia International Furniture Expo (IFEX) dan International Furniture and craft Fair Indonesia alias IFFINA. Keduanya diselenggarakan dalam dua tempat terpisah, namun berhimpitan dalam satu hari yang sama. Kehadiran kedua pameran secara berhimpitan ini mungkin dengan penyelenggaraan pameran serupa di Kuala Lumpur, Malaysia. Artinya, ke depan nanti, Indonesia mungkin akan memiliki dua pameran furnitur dan kerajinan berskala internasional dalam waktu nyaris bersamaan.
Indonesia International Furniture Expo (IFEX)
Pegelaran IFEX yang merupakan pertama kalinya langsung bisa menarik perhatian eksibitor dan pengunjung. Dukungan penuh United Business Media (UBM) Asia yang dikomandoi Jime Essink memperlihatkan begitu mumpuninya jaringan kerja internasional sehingga mampu mendatangkan para buyer dari berbagai negara. Dukungan pemerintah juga cukup solid, sekalipun sudah memasuki masa-masa kampanye pemilihan legislatif. Ini tampak dengan hadirnya Menteri Perindustrian MS Hidayat dan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam acara pembukaan yang berlangsung pada tanggal 11 Maret 2014. Menteri Perindustrian MS Hidayat sendiri sangat optimis terhadap masa depan industri furnitur nasional. Sedemikian optimisnya ia mencanangkan target perolehan devisa sebesar USD3 milyar
20
dalam tahun ini saja. Ia bahkan mencanangkan perolehan devisa sebesar USD 5 milyar dalam berapa tahun mendatang. Optimisme Menteri Hidayat ini tampaknya bersambut dengan ramainya pengunjung selama pameran ini berlangsung hingga 14 Maret lalu. Hari pertama pameran yang diikuti oleh lebih dari 200 eksibitor sudah cukup ramai dikunjungi oleh calon buyer dari manca negara. Padahal di jam yang sama opening ceremony masih berlangsung. IFEX yang bisa dibilang sebagai penerus dari pameran furnitur sebelumnya yang sudah masuk dalam jaringan sirkuit Asia, memang mampu untuk menyuguhkan penampilan yang luar biasa. Sekalipun terbilang baru pertama kali diadakan, namun desain-desainnya yang ditampilkan menjadi pembeda yang sangat signifikan dengan pameran seperti Malaysian International Furniture Fair (MIFF) yang juga diorganisir oleh UBM Asia. Jika dalam pameran MIFF kali ini, desain furnitur dengan material rotan sudah mulai bermunculan. Maka koleksi serupa
juga dapat dijumpai dalam pameran IFEX. Yang membuatnya beda adalah, jumlah stan yang memajang koleksi furnitur rotan alami di IFEX justru lebih banyak. Desainnya jelas lebih bertemakan modern kontemporer sehingga lebih menarik perhatian pengunjung. Warna-warninya pun tidak lagi konvensional, tapi sudah beragam warna. Ada koleksi kursi rotan yang stand alone namun dapat distacking dalam penyimpanannya. Secara keseluruhan, desain-desain yang ditampilkan dalam pameran kali ini memang jauh lebih beragam. Bahkan bisa dikatakan koleksi-koleksinya sangat berkarakter Indonesia, dan ini yang menjadi pembeda dengan banyak koleksi furnitur dari negara-negara Asia Tenggara maupun Asia lainnya. Penggunaan kayu solid sangatlah dominan dan bisa dibilang menjadi ciri koleksi furnitur asal Indonesia. Di booth Kayon Design yang terletak di Hall D misalnya, menampilkan mebel yang meggunakan material kayu jati recycle yang sudah dilaminasi. Jika selama ini material serupa digunakan dalam bentuk
utuh, maka manufaktur satu ini berhasil menampilkan secara berbeda sehingga menampilkan semacam panel kayu jati recycle yang tak seragam permukaannya. Diberapa bagian panel yang sama, terdapat potongan kayu yang berukir namun sisanya merupakan kayu solid yang mulus permukaannya. Stan Mauson International juga berada di Hall D. Suplier kayu asal Taiwan ini memilih tema country yang cukup menarik perhatian. Perhatikan tiang-tiang yang dibangun dengan menggunakan kayu thermowood yang diimpor dari Eropa Utara. Penampilan dan kehalusannya sangat memukau. Padahal menurut salah seorang staf Mauson International Stella, kayu tersebut hanya digrinder dan belum tersentuh amplas sekalipun. Pengunjung juga dibuat berdecak kagum dengan penampilan kayu impor yang dijadikan sebagai lantai kayunya. Diseberangnya stan French Timber menyajikan empat buah busana yang dibuat dengan menggunakan veneer asal Perancis. Untuk mewujudkannya, Frech Timber bekerja sama dengan sekolah mode Esmod di Jakarta Selatan. Keempat busana terpilih itu merupakan hasil kompetisi yang digelar kedua institusi itu. Hasilnya cukup menganggumkan sekalipun bukan untuk dikenakan sehari-hari. Sayangnya, nyaris sebagian besar pengunjung terkonsentrasi ke hall A dan D yang letaknya memang lebih strategis. Kedua hall ini tampaknya selalu menjadi sajian terbaik dan dihuni oleh eksibitor yang sudah memiliki nama dan catatan panjang. Sementara hall B dan C serta tenda penghubung seharusnya juga ramai karena letaknya berdampingan dengan foodhall yang ramai dikunjungi saat coffebreak ataupun makan siang. Di Hall C, kehadiran stan Ekamant Indonesia ternyata juga bisa menjadi daya tarik tersendiri. Stan ini menampilkan produk terbarunya yang sangat inovatif. Produk ini berupa amplas-amplas bagi pengamplasan profil manual seperti star disc, flower disc, non woven disc, dan nylon brush abrasives. Produk inovatif dilengkapi pula dengan pneumatic die grinder. Selain itu, ditampilkan pula perangkat serupa yang berbentuk seperti obeng yang ujungnya dilengkapi dengan velcro. Stan ini juga membagikan secara gratis alat pengamplas profil yang berbentuk seperti obeng yang ujungnya dilengkapi dengan velcro. Tinggal menambahkan amplas berbacking kain untuk bisa digunakan. Tak pelak pengunjung yang didominasi kalangan pabrikan dan pengukir sangat antusias dalam menyaksikan piranti kerja baru ini. Pameran yang pertama kali terselenggara ini diklaim oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Mebel dan kerajinan Rotan (AMKRI) Abdul Sobur diikuti oleh
kurang dari 500 eksibitor. Selama empat hari penyelenggaraannya di Jakarta International Expo (JIE) Kemayoran pameran ini berhasil menyedot hampir 5000 pengunjung dari 128 negara, dan menghasilkan transaksi on spot USD220 juta. “Ini belum terhitung dengan potensi transaksi yang menyertainya sebesar USD1 milyar,” jelasnya. Fantastis bukan? Optimisme semacam ini bisa jadi karena dukungan UBM Asia yang sudah terbukti dalam pameran serupa di Kuala Lumpur dan Shanghai. Apalagi diprediksi, tahun ini kondisi perekonomian dunia sudah kian membaik dari tahun sebelumnya. Tidak heran bila dalam pameran yang sama juga juga IFEX Indonesia Designer. Program semacam ini, dalam pengalaman MIFF sangatlah berguna bagi mempertemukan antara produsen dan desainer furnitur. Dua komunitas yang sering kali berjalan sendiri-sendiri ketimbang beriringan dan bersinergi. Bisa jadi ini merupakan langkah strategis dalam menghidupkan industri furnitur Indonesia guna mengejar target perolehan devisa di tahun-tahun mendatang. Optimisme ini juga muncul dari sejumlah eksibitor yang awalnya mereka raguragu dalam memutuskan keikut sertaannya dalam pameran IFEX yang pertama ini. Namun, keraguan itu mulai meluntur pada hari pertama pameran. Salah seorang eksibitor mengatakan bahwa “Orangorang yang sama bisa saya jumpai dalam pameran kali ini”.
7th IFFINA (International Furniture and Craft Fair Indonesia)
IFFINA tetap masih berlanjut. Pengurus Asosiasi Industri mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) yang dikomandoi oleh Taufik Gani tetap bertekad untuk mempertahankan eksistensi pameran berskala internasional ini. Hal ini ditunjukkan dengan tetap terselenggaranya pameran IFFINA ketujuh di kawasan Parkir Timur Senayan. Sekalipun semuanya harus mengulangi dari awal lagi. Sebuah langkah yang cukup berani sekalipun berisiko besar. Dibayangi dengan kegagalan, pameran IFFINA ketujuh pun digelar pada tanggal 14 hingga 17 Maret lalu. Parkir Timur Senayan benar-benar disulap menjadi taman kota yang tak hanya rindang tapi juga aman. Tak ada dijumpai pula tukang parkir liar yang suka memalak seperti kebanyakan pameran lainnya. Ini tentu sudah mendatangkan kenyamanan tersendiri bagi pengunjung terutama international buyers.
Dalam sambutan pembukaannya, Menteri Kehutanan Ir. Zulkifli Hassan yang membatalkan cutinya menyebut kehadirannya sebagai dukungan penuh pemerintah terhadap terselenggaranya pameran yang sudah masuk dalam sirkuit Asia ini. Menteri Zulkifli yang tidak pernah absen dalam upacara pembukaan pameran IFFINA sebelumnya mengatakan bahwa hingga saat ini kerja sama dengan Uni Eropa dalam bidang SVLK sudah diratifikasi. Artinya, Uni Eropa sudah tidak lagi meributkan persoalan legalitas kayu tropis asal Indonesia. Pengakuan ini membuat dunia internasional tak lagi bisa berkelit dengan mengatakan kayu merbau dan sengon bisa berasal dari negeri mana saja. Karena kedua spesies ini melalaui ratifikasi SVLK diakui dunia internasional hanya berasal dari Indonesia. Disinilah manfaat SVLK benar-benar bisa dirasakan, sekalipun masih harus ditanyakan bagaimana dampaknya atas kinerja industri pengguna kedua spesies kayu tersebut. Ini tentu melegakan, sekalipun tak berarti industri pengolahan kayu dan furnitur serta kerajinan Indonesia bisa berleha-leha sementara waktu. Kerja keras tampaknya menjadi penanda eksistensi dan kemajuan industri furnitur Indonesia, terutama mereka yang tergabung dalam Asmindo. Pameran IFFINA keenam kalinya yang diselenggarakan tahun lalu tampaknya menjadi puncak kejayaan penyelenggaraannya. Padahal dengan mulai pulihnya perekonomian dunia, pameran ini harus memulai lagi dari awal. “Back to square one, back to the early begining,” ujar seorang eksibitor. Hal senada pun dilontarkan oleh seorang buyer setia pameran ini. Ia kecewa dengan sedikitnya jumlah peserta pameran yang hanya berjumlah kurang dari 200 eksibitor, dan kebanyakan merupakan perusahaan kecil dan menengah dalam industri ini. Pameran kali ini tampaknya bisa dikatakan “Kembali ke khittah” alias kembali ke basic. Ini merupakan langkah yang sangat positif karena jarang pameran berskala internasional yang masuk dalam sirkuit Asia bisa mengakomodasi perusahaan menengah dan kecil. Sebuah terobosan yang memungkinkan perusahaan-perusahaan itu menapak masuk gelanggang bisnis internasional. Kehadiran eksibitor semacam ini ternyata mampu menyedot pengunjung yang jumlahnya mencapai 4000 orang dalam empat hari penyelenggaraannya. Sejumlah eksibitor mampu tampil beda. Madero International yang merupakan supplier alias pemasok kayu tidak menampilkan kayu yang menjadi komoditasnya. Madero justru tampil dengan menggandeng kelompok desainer muda menyuguhkan beragam desain furnitur.
22
Tentunya dengan menggunakan material kayu yang dipasok oleh Madero International. “Kami ingin memperlihatkan bagaimana hasil akhir dari produk yang menggunakan kayu-kayu itu,” ujar Director Kuswidiarso. Karya-karya desainerdesainer muda Brainless ternyata mampu menarik perhatian sebagian pengunjung. Sedemikian tertariknya, pengunjung pun ramai-ramai mempertanyakan secara gamblang harga jual dari masing-masing desain. Di booth Chin Craft Indonesia yang berasal dari Lamongan Jawa Timur, ditampilkan beragam koleksi batik kayu. Produknya mulai dari pigura jam hingga bangku kayu yang berbatik. Sementara di booth Kamtumi, koleksi furnitur bergaya Perancis yang dengan tampilan berbeda. Menggunakan finishing yang bertemakan post modern sangat mendominasi dalam booth yang cukup sempit. Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian pengunjung. Booth Katama Prima Global menampilkan desain yang berbeda dengan kebanyakan perusahaan serupa asal Jepara. Salah satu desain yang menarik adalah koleksi kerajinan yang menampilkan perpaduan antara kayu solid dan timah cor. Koleksi ini sebenarnya tidak baru sama sekali, namun kembali ditampilkan setelah ada permintaan pasar yang cukup
signifikan. Ditampilkan pula koleksi meja kerja yang menonjolkan konstruksi kaki yang tidak konvensional. Tak tampak sama sekali bahwa kedua koleksi itu diproduksi oleh sebuah perusahaan yang berlokasi di sentra ukir nasional. Sekalipun menurut Octaviani D dari Katama., perusahaannya juga tetap memproduksi furnitur outdoor dan antik yang kental dengan ciri khas furnitur Jepara. Hall A yang berada diujung menjadi tempat yang paling ramai dikunjungi. Nyaris hall ini tidak pernah sepi dari pengunjung, apalagi di sini berkumpulnya sebagian besar eksibitor besar. Hall lain juga tidak kalah sepinya, karena event organizernya berhasil memecah konsentrasi eksibitor yang diperkirakan akan menjadi magnet pengunjung. Kemampuan mengidentifikasi ini menjadikan pameran IFFINA kali semakin hidup, dan tidak terjadi penumpukan pengunjung di satu titik. Kehadiran kedua pameran ini cukup bisa memperkaya dan memperluas jangkauan penjualan produk furnitur dan kerajinan Indonesia. para penyelenggaranya, dengan masing-masing jangkauan pemasarannya diharapkan tidak saja berkontribusi atas kemajuan industri di masa depan, tapi juga mengkokohkan posisi Indonesia dalam sirkuit Asia sekaligus menggaungkannya dalam pentas internasional.
Profile
CC Tsai,
Director PT AKT Indonesia:
Value &Quality has to be Equal
K
ualitas memang menjadi salah satu faktor yang mendrive sebuah perusahaan untuk terus-menerus meningkatkan performanya. Namun hanya terobsesi pada kualitas bisa menjadikan produk sebuah pabrikan justru tak terjangkau oleh pasar potensialnya. Sekalipun harus diakui kualitas yang baik akan membuat pelanggannya menjadi setia. Lihat saja bagaimana merek otomotif papan atas seperti Mercedez-Ben dan Ferrari mampu membuat pelanggannya sangat loyal dengan produk-produknya. Kualitas yang bagus bahkan teramat bagus, membuat sebuah merek atau brand mampu menciptakan ceruk pasarnya sendiri. Sebuah pasar yang relatif kecil dengan tingkat loyalitas tinggi dan tidak rentan terhadap perubahan harga. Sebuah pasar yang menjamin perolehan margin keuntungan secara lebih pasti. Loyalitas inilah tampaknya dibidik oleh Director PT AKT Indonesia CC Tsai. Pria asal Taiwan yang sudah lebih dari lima belas tahun bergelut memproduksi instrumen musik ukelele menyadari jika kualitas yang menjadi acuannya harus lah memberikan nilai setara. “It has to equal,” katanya saat diwawancarai di instalasi manufakturnya di Pasuruan, Jawa Timur. “Di pabrik ini, kami tidak memproduksi sesuatu yang berkualitas tinggi, but building the best value,” jelasnya. “Definitely the best for the value,” tegas Tsai. Itu sebabnya instrumen musik Ukelele yang diproduksinya dengan brand Mahalo telah dipasarkan ke tujuh puluh delapan negara. padahal lima belas tahun lalu, ketika mitranya yang berasal dari Jepang memulai order pertamanya pasarnya masih terbatas. “Jumlahnya sangat terbatas dan hanya untuk toko instrumen musik yang dikelolanya,” tambahnya. Mahalo yang dalam bahasa Hawai’i berarti terima kasih, kemudian disetujui oleh
mitranya untuk digunakan sebagai brand satu-satunya bagi produksi selanjutnya. “Without hestitase, ia tak berkeberatan bila kami membuat brand ini terkenal di seluruh dunia,” jelasnya. Kepercayaan inilah yang membuatnya pihaknya bersikukuh untuk tetap mempertahankan tradisi kualitas produk yang setara dengan nilainya. Baginya membangun sebuah brand bukanlah hasil kerja semalam. “Butuh waktu bertahun-tahun agar pelanggan menyadarinya,” jelasnya. Ini merupakan investasi jangka panjang untuk bisa membuat sebuah brand kuat dan bagus. Ini membutuhkan komitmen dan kerja keras secara konsisten. Kualitas merupakan hal yang niscaya bagi pihaknya. Ini membuat semua pihak yang berhubungan dengannya, mulai dealer, distributor hingga ke konsumen akhirnya bisa merasakan perbedaannya. Menurutnya, dalam banyak kasus “Sejumlah orang pasti akan berupaya mencari produk subtitusi serupa yang lebih murah sekalipun akhirnya mereka kembali ke Mahalo”. Pengalaman inilah yang membuatnya sangat mempercayai kualitas merupakan yang pertama, tapi ia tetap menekankan bila kualitas dan nilai haruslah setara. Ia dengan gamblang mengatakan bila pihaknya bukanlah pembuat pembuat ukelele terbaik, “But definitely the best quality for the price you pay,”
26
sambungnya. Itu sebabnya ia menyebutkan tanpa keraguan bila pihaknya secara jelas bisa membedakan mana kualitas yang baik dan mana yang buruk. Tanpa ragu pihaknya bisa memutuskan meningkatkan atau bahkan menggantikannya agar tetap memperoleh kualitas terbaik. Untuk mendapatkan yang terbaik sekaligus setara bukanlah pekerjaan mudah, dan bisa dihasilkan dalam satu atau dua hari. jika terjadi sebuah kesalahan, pihaknya harus segera mengganti dan memperbaikinya. “Harus ada pergantian dan itu dilakukan dari hari ke hari agar bisa perfect,” katanya. Ia menampik pihaknya sudah mencapai kesempurnaan karena pengalaman panjangnya, “It’s endless work to do quality improvement,” lanjutnya. Berfokus pada perbaikan kualitas inilah yang membuat pihaknya tetap setia pada brand Mahalo. Hanya satu brand dan tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk melahirkan brand keduanya. “Kami cukup puas dan senang dengan yang telah dicapai dan dilakukan selama lima belas tahun terakhir,” jawabnya secara diplomatis. Keputusan yang sangat cermat untuk situasi dan kondisi yang ada, sehingga membuatnya perusahaan ini tidak tergoda dalam permainan kualitas yang bisa memerosotkannya sewaktu-waktu.
“Nantinya tak hanya Ukelele”
Berdiri diatas lahan seluas 18.000 meter persegi di Pasuruan, hingga awal Februari lalu telah berdiri dua bangunan berupa fasilitas perkantoran yang menjadi satu dengan gudang, serta fasilitas produksi ukelele. Namun menurut Tsai, yang justru berdiri terlebih dulu dibandingkan dengan kedua bangunan itu, justru bangunan kantin yang letaknya di sudut belakang lahan. Rencananya, lahan seluas ini masih akan dibangun dua fasilitas lainnya. Awalnya, seperti yang diutarakan Tsai, akan didirikan fasilitas produksi gitar elektrik dan fasilitas produksi untuk bass serta gitar akustik. “Itu merupakan proyek berikutnya dan direncanakan akan mulai dilakukan pada awal tahun 2015 mendatang,” jelasnya. Namun untuk produksi gitar elektrik masih akan mengalami penundaan sambil menunggu membaiknya perkembangan perekonomian.
Dari Pasuruan ke Pentas Musik Dunia
April 2014 akan menjadi tonggak bersejarah yang menandai dimulainya ekspor ukelele Mahalo ke seluruh dunia. Sekalipun diakui Tsai “Saya tidak tahu ekspor
CASCOW
TM
CASCOW dapat digunakan pada segala jenis kayu, untuk menyamarkan doreng, alur minyak dan burik hitam pada kayu jati, bisa juga untuk blue satin / discolor pada kayu mahoni. Pinus, sengon dan kayu berwarna putih lainnya.
perdana ini akan ditujukan ke negara mana”. Saat ini, sekitar 78 negara telah menjadi tujuan ekspor ukelele Mahalo. Pasar terbesar untuk saat ini adalah Inggris (United Kingdom). Sebelumnya, pasar Amerika Serikat merupakan yang terbesar. Situasi perekonomian yang kurang baik di negeri Paman Sam telah melemahkan daya serapnya akhir-akhir ini. Agar bisa melakukan eskpor perdananya, perusahaan ini telah mempekerjakan sekitar 300 tenaga kerja. Perekrutannya dilakukan secara bertahap, dan memprioritaskan bagi mereka yang telah berpengalaman kerja di industri serupa. Hasilnya rekrutmen ini ternyata cukup bisa dibanggakan karena sejak awal produksinya, kontrol kualitas yang diterapkan sangat ketat. Namun tidak ada hambatan yang berarti dalam berproduksi. Untuk pembuatan headboard diterapkan sistem tiga lapis. Sistem ini memungkinkan bagian tesebut mampu menahan tarikan tak searah yang terjadi, sekaligus membuat ikatannya lebih stabil. Selain memproduksi ukelele dengan coating atau finishing konvesional, AKT Indonesia juga sedang mempersiapkan seri pelangi alias rainbow. Seri ini terdiri dari sepuluh warna sesuai gradasi warna pelangi yang bila dijejerkan dalam display akan terlihat sangat cool alias keren banget.
“Pasuruan: PIlihan Terlogis”
Pasuruan tampaknya menjadi opsi paling logis diantara pilihan akan lokasi pabrik Mahalo didirikan di Indonesia. Kota di tepi pantai utara Jawa Timur yang berjarak dua jam berkendaraan menjadi salah satu dari pilihan selain Jakarta dan Surabaya. Pada awalnya, Tsai bahkan sempat melirik Tangerang yang letaknya berdekatan dengan Jakarta. Namun akhirnya pilihannya jatuh ke Pasuruan. Kota kabupaten ini dipandangnya lebih kondusif bagi pertumbuhan industrinya, mulai dari rata-rata cuaca pertahunnya. Lantas dinilai “Lebih nyaman dan aman, dengan tingkat Upah Minimum Regional yang relatif rendah, serta bebas dari macet seperti di Jakarta atau bahkan Surabaya sendiri,” jelasnya. Kesemua faktor itu tampaknya bisa memikat AKT Indonesia untuk melabuhkan pilihan pendirian pabriknya di sini.
“Semua sudah paham”
Menurut Tsai, kehadiran perusahaannya di sini memang difokuskan pada penggunaan kayu tropis lokal sebagai bahan baku utamanya. Sekalipun dikatakannya tidak semua jenis kayu lokal bisa digunakan untuk kebutuhan industri ini. Kayu yang di-
gunakan meliputi sengon, nyatoh, mahoni dan sonokeling. Kayu sonokeling yang dikenal sebagai Indonesian rosewood misalnya sangat sesuai digunakan sebagai material untuk pembuatan fingerboard dan bridge. Untuk pembuatan badannya akan digunakan kayu nyatoh atau sengon. “Semua pengetahuan material ini sudah bukan lagi rahasia karena telah dipahami oleh semua produsen instrumen musik serupa di dunia”, jelasnya. Ia mengatakan tidaklah mungkin menggunakan kayu spruce untuk pembuatan fingerboard atau bridge. Ini dikarenakan kayu jenis ini hanya cocok untuk body bagian belakang. Kayu jenis ini memiliki respon yang bagus terhadap vibrasi suara.
“Rahasia dibalik nama AKT Indonesia”
PT AKT Indonesia tampaknya menuai keiinginan tahu dari sejumlah orang mengenai kepanjangan dari singkatan tersebut. Namun selidik punya selidik, ternyata seperti yang disampaikan Asisstant Director Febri H, AKT tidak memiliki kepanjangan apapun. AKT ya AKT, “Nama tersebut dibuat oleh Mister Tsai agar mudah diucapkan oleh orang Indonesia,” jelasnya.
CASCOW merupakan bahan kimia untuk perawatan kayu yang tidak berbahaya bagi manusia maupun hewan, aman digunakan pada furniture maupun peralatan rumah tangga lainnya.
CASCOW WHITE AGENT, dapat mengubah kayu dari yang sebelumnya berwarna gelap menjadi lebih terang dan tidak terlalu kontras. CASCOW CONDITIONING WOOD & RECOVERY SYSTEM, untuk mengubah kayu yang berwarna terang (putih) menjadi lebih gelap seperti kayu tua.
CASCOW merupakan pewarna kayu terbaik karena tidak mengubah serat dan tekstur kayu. Warna meresap 3-4 mm, sehingga tidak hilang bila diamplas atau tergores.
Herman Hosana (Owner) (031) 7119 8008 081 651 8908 / 087759457888 / 0821 3942 5888
Sejahtera Chemical Wood Treatment Chemical Specialist
w w w. ca scowonl i ne. com
For furniture export, the uniformity wood color is the main quality factor for outdoor or indoor furniture made from teak. The environmental issue deal with global warming is also the important requirement of furniture exports to US and Europe. Making excellent uniformity color furniture, high quality wood with uniform color is necessary. That’s why we must have wood in big volume, because we have to select the uniform color and reject many different color wood that resulting high cost on production.
Email:
[email protected] Office: Jl. Bronggalan 2h No. 7a, Surabaya. Telp: 031 - 3811025 Fax: 031 - 3811056
The increasing price of teak and other Javanese hardwood, but the price of export furniture is very competitive making us as industrialists need to do some tricks to push production cost without sacrificing quality for export. One of the tricks is selecting economical material be equal with wood bleaching process. Cascow White Agent is wood bleaching product that is accepted by environment according to the laboratory Surabaya, in which the result show chemical substances contained in Cascow White Agent appropriate with the standart for exporting furniture of one of US export furniture industry in Surabaya. The result of the test is enclosed.
New Formula Treatment Perwarna Kayu Tanpa Jemur! “Cascow White Agent sangat membantu dalam menyamakan warna dan memudahkan proses finishing..” (Karipin, Manager Produksi CV Property) Before
After
Profile sidary.
George Lunarso A.,
Country Manager Indonesia Felder Group:
F
Membidik Pasar Peremajaan Mesin
elder is back! Produsen mesinmesin produksi kayu olahan seperti furnitur asal Eropa secara serius menggarap pasar Indonesia sejak akhir medio 2013. Felder Group yang menaungi merek Felder, Hammer dan Format 4 ini ternyata sangat serius dalam mengembangkan pasarnya dengan mendirikan kantor di Semarang, Jawa Tengah. Ini didorong dengan pertimbangannya akan potensi pasar di Indonesia yang cukup besar. “Jika tidak cukup besar, kami memilih untuk bekerja sama dengan distributor lokal seperti yang terjadi di Philipina, Vietnam, Korea Selatan dan Jepang,” ujar Country Manager Indonesia George Lunarso A. Sekalipun yakin akan besar potensi itu, namun diakuinya jika pasar mesin disini
30
justru didominasi produk mesin keluaran negara Asia seperti Tiongkok dan Taiwan. “Paling banyak pangsa mesin asal Eropa hanyalah 30%,” jelas almunus Pendidikan Kayu Atas (PIKA) Semarang. Itu pun harus dibagi antara mesin Eropa tulen dengan mesin serupa bermerek Eropa tapi diproduksi di negara-negara Asia. Kondisi ini tidak membuat Felder mundur karena sejak awal disadari jika kondisi permesinan di banyak pabrikan di sini sudah memasuki masa uzur. “Kebanyakan pabrikan membeli mesin produksinya pada akhir dekade 1990-an,” katanya. Sehingga saat ini yang “dibutuhkan adalah peremajaan sekaligus bisa mengupgrade kualitas produk akhirnya,” jelasnya. Apalagi dinamika pasar global saat ini memperlihatkan bahwa kualitas
akan menjadi kunci penentu kesuksesan Industri kayu olahan di masa depan. George Lunarso: Sebenarnya Felder mulai buka kantor disini sejak September 2013, WoodMag: Lantas faktor apa yang mendorong Felder untuk berbisnis di sini? George Lunarso: Mereka melihat potensi pasar yang besar. Jika tidak sebesar itu maka Felder cenderung memilih opsi bekerja sama dengan distributor seperti yang terjadi di Philipina, Vietnam, Jepang atau Korea Selatan. Sistem ini dalam pandangannya tidaklah fokus dibanding jika dihandle langsung. Dengan menangani secara langsung, marketnya dan servisnya bisa lebik baik lagi. Untuk itu Felder akan membuat semacam perusahaan sub-
WoodMag: Terus terang saja industri pengolahan kayu di sini lebih banyak digambarkan sebagai sunset industry. Lantas dari sudut pandang mana Felder bisa melihat pasar permesinan untuk industri di sini cukup prospektif? Lagi pula pasar permesinan industri di sini sudah didominasi oleh mesin-mesin buatan Tiongkok? George Lunarso: Ya dan harus diakui kebanyakan pabrikan disini masih sangat price oriented. Sebenarnya mereka juga berorientasi terhadap kualitas, namun terbentur pada daya belinya. Saya dan Felder melihat saat ini ada perubahan dinamika dalam pasar. Saat ini banyak manufaktur atau pelaku industri kayu olahan yang bangkrut akibat mengabaikan kualitas. Paling tidak, daya saing kalah dengan sesama pelaku industri yang akan pentingnya peningkatan kualitas, baik lewat upgrade inovasi dan efisiensi. Efisiensi menjadi salah satu perhatian mereka pada saat ini salah satunya efisiensi terhadap penggunaan mesin. Ini mirip kepemilikan kendaraan bermotor yang sudah tua yang tentu menelan biaya perawatan tidak kecil, dibanding kepemilikan kendaraan yang baru. Downtime mesin-mesin lama umumnya lebih besar dan tingkat produktivitas relatif lebih rendah dibanding mesin-mesin baru. Efisiensi yang bisa diperoleh karena menggunakan mesin baru memungkinkan pemangkasan penambahan tenaga kerja. Mesin yang canggih mampu mengurangi sejumlah proses kerja yang sebelumnya ada. Saya tahu dari sejumlah rekan yang bergerak dalam industri manufaktur kayu olahan. Mereka bilang untuk menginves mesin baru yang canggih tidaklah ringan, namun ini memungkinkan mereka bisa mempertahankan jumlah tenaga kerjanya sekaligus melipatkan produktivitasnya. Itu menghindarkannya dari kepusingan akibat pertambahan jumlah pekerjanya. Mesin-mesin itu ‘kan tidak mengenal upah lembur, tidak pernah demo atau meminta Tunjangan Hari Raya. Mesin-mesin baru menawarkan produktivitas dan efisiensi yang jauh lebih baik. Kami yakin jika mesin-mesin produksi Eropa lebih efisien dalam hal penggunaan power dan tingkat presisi yang lebih tinggi. Kalau tidak ada kesalahan pemrosesan berarti tidak ada pekerjan yang diulangi. Jadi menghemat waktu dan bahan baku. Belum lagi penggunaan daya listriknya lebih hemat dibanding mesinmesin Asia. Ini terbukti dari pengoperasian harian keduanya. Kelebihan lain dari me-
sin-mesin produksi Eropa adalah bekerja dengan sangat “ringan” dalam pemrosesan benda kerja. Gak ngoyo lah. Kalau makin ngoyo ‘kan makin boros jadinya. WoodMag: Tapi pricing itu menjadi orientasi utama dan produk Eropa terkendala dengan kesiagaan teknisi dan suku cadangnya. Lantas bagaimana mengatasinya? George Lunarso: Itu yang menjadi fokus kami disini. Saat ini kami mensiagakan teknisi lokal guna mengantisipasinya. Ini akan lebih baik dari pada mendatangkan teknisinya langsung dari Eropa. Selain lebih dekat customer, biaya juga lebih rendah. Bagi kami lebih baik mengirimkan teknisi lokal untuk mempelajarinya langsung disana guna mengupgrade pengetahuan dan ketrampilannya. Teknisi kami sudah dua kali pergi ke markas Felder di Eropa. Tahun ini, dia akan berangkat kembali untuk menjalani pelatihan di sana. Felder merencanakan ia bisa menjadi leader technician untuk pasar di Asia Tenggara. WoodMag: Berapa jumlahnya saat ini? George Lunarso: Baru satu orang. Dia yang direncanakan akan menjadi leader sekaligus trainer bagi calon-calon teknisi berikutnya. WoodMag: Bagaimana dengan pengadaan spareparts? George Lunarso: Kami sudah mulai mempersiapkan untuk kebutuhan itu....
WoodMag: Bagaimana dengan ketersediaan fast moving spareparts-nya? George Lunarso: Ya, itu kami lakukan. Di luar itu, jika pun kami harus mengadakan secepatnya maka akan dterbangkan langsung dengan layan ekspedisi ekspres dari Eropa. WoodMag: Ada warehouse untuk itu di kawasan Asia Tenggara misalnya? George Lunarso: Untuk saat ini belum ada, tapi untuk kawasan Asia maka kami rencanakan akan menjadi yang pertama. Itu adalah komitmen kami. After sales service adalah yang paling awal bagi pelanggan kami. Itu semuanya harus ada terlebih dahulu. Terus terang banyak calon pelanggan atau pelanggan produk Eropa yang kelimpungan begitu tahu harus menunggu kedatangan teknisi atau suku cadangnya dari Eropa. Kami menyadari jika mesin tidak bekerja beberapa hari sudah merupakan kerugian bagi perusahaan. Itu yang kami tidak inginkan terjadi disini. Ketersediaan suku cadang juga menjadi perhatian kami, bahkan ketersediaan itu pun harus selalu ready. Hanya dalam hitungan hari kerja, suku cadang yang baru harus sudah terpasang di mesin pelanggan. WoodMag: Kembali ke persoalan kenapa peluang di sini kok bisa dikatakan prospektif padahal dikatakan sebagai sunset industry? George Lunarso: Kebanyakan mesin yang dimiliki industri ini umurnya sudah belasan tahun, dan sudah harus diremajakan.
31
Kebanyakan pembeliannya terjadi pada dekade 1990-an. Memang sebagian dari mesin itu diklaim pemiliknya masih dalam kondisi baik, tapi diakui pula sudah mulai tidak relevan untuk kebutuhan saat ini. Mereka sadar jika sekarang saatnya mencari mesin pengganti yang lebih baik lagi. Di Eropa, mesin produksi yang umurnya mencapai 10 tahun sudah pasti digantikan dengan yang terbaru. WoodMag: Lantas bagaimana Felder menyadarkan calon pelanggannya bahwa mesin-mesin yang ada sudah tidak efisien dan akan membebani mereka? George Lunarso: Itu pekerjaan rumah buat kami. Merubah mindset tidaklah mudah. Hanya sedikit dan hanya beberapa perusahaan berskala besar disini yang memikirkannya. Mereka bahkan sudah berpikir menjual mesin tuanya guna digantikan mesin baru. Tapi tidak semua menyadari jika mesin berumur itu bukannya menguntungkan lagi. Mereka yang tahu sudah berhitung akan depresiasinya secara detil. Rata-rata depresiasinya tercapai dalam lima tahun pertama, dan pasti sudah balik modal. Lima tahun kedua, tinggal menikmati keuntungannya. Saat itu mereka mulai menyisihkan penghasilannya guna mendanai investasi brikutnya. Ini pekerjaan yang sulit untuk merubah mindset mereka. WoodMag: Padahal disini praktiknya umur mesin rata-rata mencapai dua puluh tahunan?
George Lunarso: Betul. WoodMag: Malahan sudah menjadi beban bagi mereka? George Lunarso: Ini menarik Pak. Kalau bapak-bapak melihat bagaimana kondisi permesinan dalam industri kayu olahan kita. Di PIKA contohnya, sebagian mesinnya sudah berumur dua puluh tahun atau lebih, tapi masih terawat dengan baik. Di pabrik, perawatannya belum tentu sebaik itu. Siapa pun bisa menjadi operatornya. Sense of belonging di pabrik sangat kurang. Di PIKA, dari awal sudah diberi tahu soal perawatan harian, mingguan, bahkan persemesternya. saat saya dididik di sana, setiap semester dilakukan pengecekan besar-besaran. Ini menentukan tindakan yang harus diambil, seperti pergantian pelumas atau suku cadang. Di pabrik, apa yang diajarkan di sekolah belum tentu bisa diterapkan sepenuhnya di lapangan. Teman-teman menemukan ganjalan penerapannya, mulai dari keengganan pekerja untuk melakukannya atau manajemen yang berorientasi pada terpenuhinya target produksi. Jadi memang tidak selalu ada jadwal untuk pemeliharaan yang benar-benar taat azas. WoodMag: Kalau dalam industri Information and Communication Technology (ICT) dikenal istilah downtime. Katakanlah sebuah server punya downtime sebanyak 5% dalam setahun, lantas bagaimana dengan mesin-mesin di industri ini?
George Lunarso: Mesin-mesin produksi Felder sejak awal dirancang untuk lowmaintenance bahkan maintenance-free. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, sejak awal kami sarankan untuk bekerja dengan benar dan sesuai prosedurnya. Mesin harus dicek secara berkala. Kami pernah bertanya langsung ke end-user di Eropa karena mereka berpengalaman dalam pengunaan sehari-harinya. Kebanyakan dari mereka mengakui kalau mesin ini seperti yang diklaim pabriknya yaitu low manitenance. Kalau perawatan rutin mereka pun melakukan ke semua mesin yang dimilikinya seperti membersihkannya usai digunakan. Mereka juga terbiasa melakukan perawatan berkala sebelum liburan. Jadi tidak ada yang luar biasa dalam merawatnya. Celakanya, disini kebanyakan pekerja tidak terbiasa melakukan hal yang sama. Soal downtime tergantung kebiasaan operatornya. Banyak dari mereka tidak memiliki latar belakang yang cukup guna menghandle mesin semacam ini. Mereka nyaris tidak tahu karakternya. Banyak juga yang sudah hengkang padahal saat mesin datang justru merekalah yang dilatih untuk menghandlenya. Kalau mesin-mesin itu tidak heavy duty pasti sudah jebol jika dihajar dengan kondisi semacam ini. Saya yakin mesin-mesin Felder akan cukup tangguh menghadapi persoalan semacam ini. Itu sebabnya, saya selalu bilang ke calon pelanggan jika mereka perlu mesin-mesin yang bandel, karena keterbatasan dan kebiasaan tenaga kerjanya.
Awalnya dibilang sayang dong padahal justru mesin-mesin bandel buatan Eropa inilah yang mampu mengakomodasi kondisi kerja yang ada. Perlu dorongan lebih keras dari manajemen pabriknya agar apa yang sudah dilatihkan bisa diaplikasikan. Yang repot itu ‘kan kalau mereka adjust mesinnya by feeling. Ini tidak diperbolehkan karena sudah ada standar seperti yang ada dalam Standard Operational Procedures, kecuali SOP-nya memang by feeling. Working pressure pasti ada tapi faktor mentalitas lah yang paling berpengaruh. Dipikirnya toh hasilnya masih bagus. Kalaupun ada kesalahan masih bisa dikoreksi dengan pengamplasan. Jadi selalu ada alasan untuk bersikap permisif, seperti juga pada pergantian suku cadang tepat pada waktunya. WoodMag: Kembali ke soal kenapa Felder melihat peluang pasar disini prospektif? George Lunarso: Ketika Felder mulai mengenal PIKA, disadari jika institusi ini memiliki jaringan luas dalam industri ini. Ini terjadi pada tahun 2012. Felder mendapatkan banyak informasi tentang prospek industri ini. Sekalipun saat itu, bisnis ini sedang terimbas fluktuasi perekonomian global. Namun mereka sangat optimis dengan pasar disini. Tiga puluh tahun lalu, Felder pernah berpameran disini. Saat itu, katanya banyak pabrikan disini yang menggunakan mesin-mesin asal Eropa. Saat itu banyak permintaan hanya saja spesifikasinya tidak sesuai dengan keenam mesin yang dipamerkan disini. Satu mesinnya pun disumbangkan ke PIKA, sedang sisanya sudah diminati distributor lokal. Skala Felder saat itu belumlah sebesar sekarang, dan belum ada sumber daya yang bisa difokuskan untuk mengembangkan pasar baru seperti di sini. Pernah sekitar 10 tahun yang lalu ada satu orang asing di Indonesia yang bisa menjual mesin Felder lebih dari seratus unit hanya dalam dua tahun keagenannya. Saya mengenalnya secara tidak sengaja saat menawarinya untuk membeli mesin ini. Dia bilang hingga hari ini, ia tidak pernah mendapat complain dari pelanggannya disini. WoodMag: Jenis mesin apa yang paling banyak dijualnya? George Lunarso: Kebanyakan mesinmesin standar seperti planner thicknesser, spindle moulder, panel saw, multi boring, edgebander. Pebisnis mesin-mesin asal Eropa untuk jenis ini nyaris tidak ada
disini. Kebanyakan produsen Eropa lebih fokus menjual pada mesin-mesin industri yang fisiknya besar-besar. Padahal kami juga menjual mesin serupa dan kami tidak hanya focus pada mesin-mesin standard saja. Untuk mesin-mesin standar, banyak industri disini bilang tidak memerlukan mesin-mesin Eropa untuk menanganinya. Ketika sudah memiliki dan mengoperasikannya, barulah disadari akan kebutuhannya pada kualitas produksi dimana mesin eks-Eropa memiliki keunggulan yang lebih . Mesin eks-Eropa itu sekalipun sudah berumur puluhan tahun masih halus suara motornya. Hasil kerjanya pun masih lebih presisi dan tahan banting dibanding dengan mesin serupa buatan negara-negara Asia. WoodMag: Mereka paham dengan persoalan itu? George Lunarso: Ya tapi sekali lagi persoalannya adalah budjet. Ini yang membuat banyak pabrikan mengcombine-nya. Harus diakui dominasi mesin-mesin Asia sangat kuat. Mereka tidak hanya merajai di segmen mesin standar, tapi juga eksis di
segmen mesin industri. Mesin eks-Eropa Total pangsa mesin eks-Eropa mungkin tidak mencapai 30%. Itu harus dibagi antara mesin Eropa tulen dengan mesin eks-Eropa yang diproduksi di negara-negara Asia. Felder hingga saat ini masih mempertahankan sistem produksi inhouse total di Eropa sana. WoodMag: Apakah Felder masih mempertahankan kebijakan made in Europe? George Lunarso: Ya, Felder tetap akan mempertahankan produk-produk kami diproduksi di Austria. WoodMag: Bagaimana dengan pricing policy dan perlindungannya terhadap fluktuasi nilai tukar? George Lunarso: Hingga saat ini kami masih fokus pada penjualan tunai. Persoalan pre-finance belum menjadi perhatian kami saat ini. Ke depan memang sudah terpikirkan persoalan ini. Kami akan menjajaki kerja sama dengan sejumlah institusi keuangan untuk mewujudkan fasilitas pre-finacing, terutama untuk mesin-mesin berskala besar.
33
Resensi Buku
Judul : Mozaik Seni Ukir Jepara Penulis : Hadi Priyanto, et.,al. Penerbit : Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik dan Tenun Jepara, Pemerintah Kabupaten Jepara, cetakan pertama 2013 Percetakan : Surya Offset Semarang Halaman : xiv+282
I
nilah salah satu buku dari sekian yang mencatatkan historis dan perjalanan panjang seni ukir Jepara. Seni ukir yang sudah mendunia, dan mampu menggerakan perekonomian kabupaten Jepara sekaligus memposisikannya sebagai sentra ukiran dalam peta industri nasional. Buku yang ditulis oleh Hadi Priyanto, Soekarno, Muhammadun Sanomae, Sugiyanto, Suhali, Kus Haryadi, Sutarya dan Sulismato. Serta disunting oleh Udik Agus DW., Sunardi Ks., Mustaqim Umar; bisa menjadi referensi mengenai sejarah panjang seni dan industri ukir di kabupaten ini. Buku yang dibuka dengan sambutan Bupati Jepara Ahmad Marzuqi ini terbagi dalam tujuh bab. Pada bab pertama, demi mencari akar sejarah pertumbuhan seni ukir penulis secara tidak sengaja mencampurkan antara mitos dengan fakta sejarah. Sub bab Jepara dalam lintasan sejarah lebih banyak mendasarkan pada pemaparan mitos mengenai Ratu Shima sebagai penguasa Jepara dalam kurun abad ke enam hingga ke sembilan. Sayangnya penulisan tidak bercerita bagaimana hubungan antara periode ini dengan pertumbuhan seni ukir di Jepara. Demikian pula sub bab Legenda Seni Ukir Jepara, penulis tampaknya larut dalam menceritakan mitos ketimbang fakta sejarah. Fakta sejarah baru dijumpai
34
dalam sub bab Seni Ukir Jepara dalam Bingkai Sejarah dan Ratu Kalinyamat dan Situs Mantingan. Jika sub bab terdahulu menyuguhkan rekaan akan sejarah yang lebih logis akan pertumbuhan awalnya. Sub bab berikutnya menggambarkan dengan cermat situs yang menjadi bukti kuat pada masa awal pertumbuhan seni ini. Situs ini sangat penting karena kaya dengan berbagai ornamen ukiran di atas batu karang putih dan relief di dindingnya. Motifnya sangat kental dengan nuansa seni ukiran Islam, yang berbaur dengan pengaruh Hindu serta Tiongkok. Bahkan terdapat pula motif yang berasal dari zaman purba. Hiasannya bermotif flora atau tetumbuhan, geometris dan fauna yang disamarkan atau distilir. Motif terakhir ini merupakan bukti kecemerlangan para seniman ukir lokal saat itu. Tanpa meninggalkan kaidah agama Islam yang melarang mahkluk bernyawa sebagai hiasan dekoratif, mereka tetap bisa menuangkan gagasannya akan bentuk fauna sekalipun dengan teknik penyamaran. Sedemikian halusnya teknik tersebut, berhasil menyamarkan siluet berbagai binatang seperti gajah, monyet dan kepiting sehingga nyaris tidak bisa dibedakan dengan motif tetumbuhan. Sayangnya, pemaparan ini terputus begitu saja dan langsung masuk ke masa Raden Ajeng Kartini.
Raden Ajeng Kartini ternyata memiliki kontribusi besar bagi pengembangan besar seni ukir Jepara. Tokoh wanita inilah yang melakukan quantum leap bagi seni ukir ini. Kartini lah yang mengenalkan komersialisasi pada para pengrajin ukir. Tujuannya adalah untuk mengangkat kesejahteraan para pengukir, karena sebelumnya karya-karya indah mereka dijual dengan harga sangat murah. Apa yang dilakukan Kartini beserta adik-adiknya tak hanya berhasil mengangkat derajat kesejahteraan seniman ukir Jepara, tapi juga mengenalkan karya ukir pada dunia dan membuka pasar baru bagi produk ini. Ia juga mendorong para pengukir untuk melampaui batas tabu dengan meminta para pengrajin mengukirkan tokoh wayang atau makhluk hidup lain di permukaan kotak yang akan dipasarkan itu. Ia juga lah yang mendorong mereka untuk membuat beragam furnitur, mulai dari meja, kursi, lemari, tempat tidur hingga kursi pengantin. Ia juga merintis kerjasama dengan perusahaan dagang Belanda Oost en West, usai Pameran Karya Wanita di Den Haag. Inilah cikal berkembangnya ukiran Jepara memasuki tahap industrialisasi. Di sinilah masuk berbagai motif bergaya Eropa dalam seni ukir Jepara. Kartini pula lah yang mengilhami ter-
bentuknya institusi pendidikan Openbare Ambachtsschool oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda Pada 1 Juli 1929. Formalisasi pendidikan seni ini haruslah berhadapan dengan ketrampilan otodidak dari para pengukir. Sekolah ini juga mengajarkan berbagai motif ukir dari daerah lain di Jawa dan Madura. Di era kepemimpinan M. Ngabehi Wignyopangukir sekolah ini memperoleh pengajaran ornamen Pajajaran dan Bali. Di samping pengembangan aliran dekoratif seperti pewayangan dan pohon berdaun lebar. Institusi pendidikan ini dikembangkan dari Sekolah Kerajinan Negeri menjadi Sekolah Teknik Menengah Ukir Ir. Soekarno menjadi Presiden RI. Di sekolah inilah, generasi pertama seniman ukir terdidik Jepara berkesempatan mengembangkan kemampuan dan ketrampilannya. Kian banyak ornamen dan motif ukir yang dikembangkan dan dikuasai oleh hasil didiknya. Tragisnya, baru pada tahun 1993, pendidikan tinggi yang mengakomodasi
seni ukir lahir di sini. Di mulai dengan Akademi Teknologi Industri Kayu (ATIKA) yang nantinya bermetamorfosa menjadi Sekolah Tinggi Teknologi dan Desain Nadhatul Ulama (STTDNU) di tahun 2004. Penulis juga berhasil memaparkan secara menarik ciri khas dari motif-motif yang ada dalam ukiran Jepara. Ini mulai dari motif asli Jepara, Bali, Madura, Pajajaran, Mataram, Majapahit, Semarang, Yogyakarta, Pekalongan, Cirebon dan Surakarta. Sentral pembahasannya adalah ukiran Jepara, mulai dari karakteristik, ciri visual gaya ukiran Jepara hingga makna filosofisnya. Terdapat juga ketidak konsistenan dalam penggunaan istilah seperti yang terdapat di Bab IV Ragam Produk Seni Ukir Jepara. Dalam sub bab ragam Produk Terapan, penulis menggunakan istilah Gaya berdasarkan aliran atau asal dari motif yang digunakan. Ada Gaya Portugisan, Perancisan, Rafflesan, dan Majapahitan. Inkonsistensi ditemukan dalam Gaya Kompeni dan Jengki. Inkonsitensi yang muncul mungkin karena pengaruh berbahasa Jawa. Yang menjadi keprihatinan saat ini adalah bagaimana seni ukir Jepara dengan segala motifnya yang telah ada, dan yang akan ada bisa terlindungi secara hukum. Kasus pengklaiman motif ukir yang umum di Jepara oleh sebuah perusahaan
Penanaman Modal Asing, tampaknya harus menjadi pelajaran berharga dan sebetulnya juga cukup pahit. Paling tidak dua motif tradisional khas Jepara sudah dipatenkan atas nama perusahaan tersebut. Pemerintah Kabupaten Jepara saat dipimpin Bupati Hendro Martojo tampaknya memilih metode Pendaftaran Indikasi Geografis sebagai payung hukumnya. Namun tidak diceritakan sampai seberapa efektifnya perlindungan hukum dengan cara ini? Dan bagaimana dengan kelanjutan kasus klaim seperti yang diceritakan di atas? Buku ini sebenarnya cukup menarik untuk dijadikan referensi, namun masih terdapat beberapa hal yang mengganggu. Penggunaan kertas berwarna berbeda di setiap bab mengurangi kenyamanan membaca. Pemilihan kertas mat yang memantulkan sinar lampu juga membuat mata pembaca lebih mudah lelah. Penempatan gambar ukiran yang sama secara melintang disemua halaman benar-benar mengganggu kenyamanan membaca. Penggunaan foto ilustrasi beresolusi rendah seperti di halaman 13, 116, 119, 121 dan 123 juga sukses mengurangi bobot detil yang seharusnya bisa menonjolkan keindahannya.
35
English Section
Biz News
Wood-Mizer expands sawmill production space at European headquarters
Representing a new era for Wood-Mizer Industries, the 4,250 square metre new production building and offices will support growth.
of Poland’s most well-known and award winning theatre groups from Warsaw. “The guiding principles focused on flexibility, expanding production to a new level, and creating a good working environment for our employees,” Mr Vivers shares. “The architects have designed a stunning building around our practical needs. The expansion of our European headquarters gives us a solid base to move up to the next stage in the sawmilling industry globally.” Based in Kolo, Poland, Wood-Mizer Industries manufactures and supplies sawmills and sawmill blades to Europe, Africa, and most of Asia. Located in Indiana, the company’s global headquarters manufactures and sells equipment into North and South America and the South Pacific.
An additional 4,250m2 production building sets the stage for a new era of growth for the company.
I
n January, 2014, Wood-Mizer Industries, the world’s leading thin-kerf sawmill manufacturer, celebrated the opening ceremonies of their newly completed 4,250 square metre production hall at their European headquarters, which almost doubles the company’s sawmill production area. Richard Vivers, President of Wood-Mizer Holdings, shares that the vision for the expanded production met a growing need for more space, and sets the stage for further growth. “Growth in overall sales volume and product range were both causes for the expansion. Over the years, we started getting more involved in industrial installations of bigger machinery. As we developed into Asia and Africa, where they have long, large tropical logs, the machines became bigger, and you simply need more floor space to be able to build bigger machinery.” Designed by AiG Architects and constructed by BUDREM, companies that Wood-Mizer has worked with many times before, the new building will allow WoodMizer’s production team to be as flexible as possible with future material flow. The roof can support heavy overhead cranes anywhere in the building, and the concrete floor is 30cm (11.8in) thick, enabling heavy machines to be moved anywhere in the building without reinforcement. New of-
36
Cutting of the ribbon
fices will house Wood-Mizer’s production and purchasing teams. The building also features a large modern kitchen, large conference rooms, and expanded employee break and locker rooms. A new access road from the main highway and expanded exterior parking and equipment staging areas also played a significant role in the project. “The design and construction of the new access road and production facility
is a perfect blend of the architects’ vision to serve our immediate needs and future goals, as well as a testament to the professional performance of our main contractors,” comments Robert Baginski, COO of WMI. The opening ceremonies were well attended by government officials, business partners, board members, and Wood-Mizer’s international management team. Entertainment was provided by ROMA, one
The reinforced concrete floor is 30cm (11.6 in) thick throughout the whole building. Machinery canbe installed anywhere without further preparation.
Richard Vivers, President of Wood-Mizer Holdings Inc.
37
English Section
Biz News
American hardwood veneer takes center stage at International Furniture FairSingapore (IFFS)in March 2014
The American Hardwood Export Council (AHEC) has provided the Singapore Furniture Industries Council (SFIC) withAmerican hardwood material to decorate this year’s IFFS opening ceremony backdrop.This takescenter stage at the design seminar area in Hall 6 at the Singapore Expo where Minister Lim Hng Kiang, as Guest of Honour, officiates the opening on March 13, 2014. The beautiful circular structure made with American Black Cherry veneer was designed by the award winning designer Jarrod Lim. Jarrod spoke about his structure saying“I wanted to use the American Cherry veneer in an unusual way, rather than just as asurface, giving it real texture, which I believe we have achieved.” The American Black Cherry veneer has been supplied by Eddy Budiono, a specialist veneer distributor PT. AbadiIndorona based in Jakarta. And that is not the only AHEC backdrop hanging around town during Singapore’s Design Week under the ‘SingaPlural’ brand. Right down the iconic Orchard Road,are banners bearing the AHEC logo as supporter for the week which also sees the IFFS take place. AHEC’s relationship with the Singapore’s Furniture Industries Council as sponsor of events goes back many years. American hardwoods are used by manufacturers all over Southeast Asia for fine furniture, much of which can be seen at the IFFS. American hardwood veneer has been popular to furniture designers, interior designers, architects and furniture producers as it enables it to produce high quality, sliced and rotary cut veneer. Total sliced production is nearly 669 million square metres annually, with exports representing 354 million square metres - 53% of total production. American Cherry (Prunus serotina) is one of these - a premium wood with a creamy white sapwood and rich reddish brown heartwoodwhich has a fine uniform straight grain and smooth texture being popular for its subtle grain patterns and warm colours. Furniture designer Jarrod Lim has designed the simple, yet striking, Cherry veneer backdrop so that it enhances the design seminars main purpose which is to inform and showcase Southeast Asia’s designers.
38
The Malaysian Timber Council publishes ‘Malaysian Hardwood Guide’
27th ASEAN Furniture Industries Council (AFIC) annual meet in Vietnam
T
he Malaysian Timber Council (MTC) attends up to 40trade events around the world annually, in established and new markets. It will promote hardwood products ranging from logs and sawntimber to mouldings, veneer, plywood, particleboard, medium density fiberboard (MDF), wooden and rattan furniture, builders’ carpentry and joinery items, as well as niche-market products like picture frames, pre-finished parquetry, wooden doors and laminated veneer lumber. These hardwood products are now detailed in a new free publication to be distributed at all events attended by MTC. “The Malaysian Hardwood Guide is an introduction to the exciting world of Malaysian timber-based products, whether made predominantly using Malaysian timbers, or in combination with other timber species from around the world,” says Datuk Aaron Ago Dagang, Chairman of MTC.The articles in this inaugural edition of the Guide are meant to provide background information on many of these products, as well as feature a few exciting projects in which Malaysian timbers have been applied to excellent effect.The Guide should assist traders, manufacturers, specifiers and developers to understand the choices of hardwood products available fromMalaysia. For a free copy of the Guide and to learn more about Malaysian timbers and Malaysia’s commitment to strike a balance between forest conservation and deriving socio-economic benefits from forests, visit www.mtc.com.my. Media contact: Michael Buckley
[email protected]
Delegations from all ASEAN member countries held the 27th AFIC Working Committee Meeting & Conference in Ho Chi Minh City from 11th – 13th December. Hosted by the local furniture association HAWA, the AFIC Committee welcomed new members Cambodia and Laos.
A
FIC was established in 1978 as a regional trade organisation with prime objectives of promoting the interests of the ASEAN furniture industries. It constituent members represent furniture industries of each ASEAN country and are certified by their respective ASEAN Chamber of Commerce or the equivalent. In the case of Singapore that is the Singapore Furniture Industries Council (SFIC) one of the industry leaders in ASEAN, for many of its members manufacture throughout the region. Current 2013/14 Chair, General Secretary and Secretariat is Indonesia – with Ambar Tjahyono (former Chairman of ASMINDO and newly elected Member of the Indonesian Parliament) now as AFIC Chairman. A number of presenters and observers were also welcomed to the event, which was marked by some extraordinarily hospitable and cultural Vietnamese entertainment at a private residence along the Saigon River on the second evening. Closed committee meetings on day one discussed, for example, the forthcoming round of ASEAN furniture shows in March, following which an open half-day seminar was held on day two. Topics covered “Regional Timber Trade and Legality Assurance” presented by Dr To Xuan Phuc of Forest Trends, Andre Sundriyo repre-
senting Indonesia’s furniture association ASMINDO and the GIZ Forestry Program from Germany working in Vietnam. Dr To gave a review of the base-line data of Vietnam’s timber production, consumption and the imports on which its flourishing wood processing industries depend. He also underlined the importance of China in every aspect of supply and demand. ASMINDO outlined the progress that the Indonesian government has made with its SVLK legality licencing system, towards final implementation. The second session followed with information-sharing topics on PEFC’s progress in ASEAN, presented by Michael Buckley; and on the 2014 Furnipro wood industry exhibition to be held in November in Singapore by Kolnmesse. Buckley explained what PEFC is and how it works by endorsing national schemes, giving an update on PEFC’s status in ASEAN countries. Having recently held its annual General Assembly in Kuala Lumpur, PEFC is now working with Indonesia, Myanmar, Philippines and Thailand. He reported on the event in Kuala Lumpur and also explained PEFC Chain of Custody certification for countries not yet endorsed; and offered the newly launched Tool Kit – a step by step guide to establishing national schemes. The seminar closed with a pre-
sentation from Chongqing Furniture Association – a region with a population of 30 million in the upper Yangtzekiang River in southwest China - with which AFIC signed an MOU for future cooperation at the closing ceremony. Finally in the afternoon, two factory visits were on offer for those seminar delegates unfamiliar with furniture manufacturing in Vietnam. Minh Phat Co Ltd (Mifaco), with 800 employees, produces interior furniture almost exclusively from local plantation material (Rubberwood and Acacia) and ships 200 containers per month mainly to the USA. Hiep Long Fine Furniture, a smaller producer focused heavily on Teak for outdoor furniture and temperate hardwoods for interior furniture, demonstrated production of the highest quality. Both companies are entirely Vietnamese owned and were much appreciated for their warm welcome and theopenness of their information. One the final day delegations were hosted on plant visits to Singapore-owned KODA Saigon Co Ltd making furniture for the retail trade and to the locally owned AA Corporation, the leading fit out company supplying major development projects particularly in the hotel sector.
39
English Section
Biz News
But the trees are still there!
M
By World Hardwoods© 2014
uch has been said and written in the trade media in recent months about the shortage and rising prices of Oak lumber. In the USA Asian buyers have been very active searching for scarce supplies and some have turned to Europe, as prices of both American White and Red Oak have risen and many mills sold out. In fact the trees are still there in the forest;just the market has changed. Oak is a dominant species in many northern hemisphere temperate hardwood forests. In the USA it accounts for 34% of the vast growing hardwood stock there. In Europe Oak is a preferred species, growing widely, for many applications in construction, furniture and flooring. It accounts for more than 70% of all hardwood flooring in USA and about 66% in Europe. Oak trees also grow across Russia, China, Japan and Korea and are far more widespread than many people realise. In fact, from fossil evidence, the first ever Oak (Quercus) to grow on the planet was in the mountains of Thailand, not now known for Oak supplies. There are indeed about 450 species of Oak, although there are far fewer commercially available. And finally there are the well-known Eucalypts, such as ‘Tasmanian’ Oak, which are not true Quercus. So, why is there a current shortage of Oak? A recent report by the UN Timber Committee in Geneva suggested that hardwoods in the USA, including Oak, are under-utilised and thus increasing much more than the current harvest levels. Analysis of 2012 Forest Inventory Assessmentby the US forest Service indicates thatin the US Oak is growing 88 million m3 per year while the harvest is 52 million m3 per year. The net volume (after harvest) is increasing 36.2 million m3 each year. U.S. oak growth exceeds harvest in all states except Texas (where harvests have been high relative to growth partly owing to Oak Wilt disease control measures and partly to gradual replacement by softwood forest types). And therein lies the problem. At the peak of American hardwood lumber production there was no shortage of trees or of sawn lumber. Through the 1990s and into the new decade exports and domestic markets were strong. But since the financial crisis of 2008 the production capacity dropped dramatically in response
40
(Source: Hardwood Market Report 2013)
(Source: US Forest Service 2013)
to reduced domestic demand and a slowdown in many export markets, particularly in Europe. Consequently sawmills reduced shifts and some closed. Skilled workers were lost and loggers found other jobs. But, most significantly, banks finally lost interest in the hardwood industry and finance became even tighter. Most American hardwood companies are small by any standard and many are family run and family financed. As the market came back, they were not easily able to turn on the production tap. Hardwood lumber production, even in the best managed and well financed companies has a lead time, often lengthened by poor weather which in turn restricts logging. In 2013 the US construction industry and economy both turned the corner, demand for dry hardwood, ready to ship, has increased and some markets, especially in Asia have continued to grow. It is also important to bear in mind that few logs, except veneer logs, produce 100% grade lumber. Less than 40% of American hardwood sawn lumber production is graded.The balanceof ungraded production has to find domestic markets in pallets, packaging, rail-ties and lower quality uses,which cannot meet export specifications, and is therefore an additional limiting factor for increased production for some mills. Eastern Russia is shipping some volumes of Oak to China, but is unlikely to be able to satisfy other markets in Asia, especially where production is ultimately
A close look at the US Export statistics for Asia (excluding Japan and Korea) in 2013, shows the extent to which U.S. exports to Asia overall have continued to grow: Lumber to Greater China was valued at US$843 million, up 33% and Southeast Asia lumber was US$215 million, up 10% on the previous year.US lumber to Indonesia was US$19.3 million - down 6%, Malaysia was US$18.6 million - down 4%, Philippines was US$0.7 million, Singapore was US$2.1 million and Thailand was US$20 million - down 6%. However Vietnam, at US$154.9 million, was up 18.2%.
destined for environmental-sensitive markets and where due diligence on source is required by law. In any case the Russian Oak resource in the east is small compared to that in the USA. Recent data is not available, but at the end of the Soviet era, total Oak growing stock in the whole of Russian Eastern Russia was 260 million m3, so only around 7% of US growing stock. Since then all the indications are that Oak harvests in Eastern Russia have been well in excess of growth suggesting that growing stock will now be significantly less. That leaves Europe as the main alternative, where there are many sources of varying capacities. French and German Oak producers are well known for quality; and in terms of specification they offer the advantage
of metric measurement. However many are relatively small by American standards and cannot supply the consistent volumes required by large Asian furniture, doors and flooring producers. More importantly there is no consistent grading system operating across Europe, such as the NHLA Grading Rules, and cutting methods are also different. In consequence it
is often necessary for buyers to inspect quality and yield mill-by-mill, or work through an agent rather than buy directly as they prefer,and as is the custom,in the USA.Eastern European supplies are often shipped by Italian and other European exporters and agents, but it can be difficult for Asian buyers to predict yield and to compare like-with-like quality, compared
to their regular suppliers. Finally, there is the issue of Oak type. American Red Oak is preferred in the USA domestic market and in some export markets; and is the more readily available, accounting for about 19% of the entire hardwood resource in the USA. American White Oak, accounting for 15% of the forest stock is preferred by many Asian and some European markets, and although it is similar to European Oak the two are different in character. Russian Oak is similar to Japanese and Chinese Oak, but different from other Oaks. The issue being that consumers often prefer, and even insist, to stick with the particular Oak species they know, leaving less flexibility for manufacturers to chop and change when prices fluctuate. The important message is that the trees are still there, growing all the time and especially in the case of the USA also increasing in standing volume as the annual growth and removals chart above shows. It is just the market that has changed from a buyer’s market to a seller’s market for the first time in a long while, which has sent waves through the trade.
NHLA Kiln Drying Certification Program Expands Its Reach
Now replaces USDA Phytosanitary Certificate in 32 countries
M
EMPHIS, TENN. – The National Hardwood Lumber Association’s Kiln Drying Certification Program has recently expanded its country acceptance to include the twenty-eight countries that comprise the European Union*. The National Hardwood Lumber Association (NHLA) operates an Animal and Plant Health Inspection Services (APHIS) approved Certification of Kiln Drying Sawn Hardwood Lumber Program. The Program,
initiated by APHIS, is controlled through a Memorandum of Understanding (MOU) between the two organizations. The Program achieves the same goals as the APHIS Phytosanitary Certificate but at less cost to both APHIS and the U.S. hardwood industry. The system mirrors the successful softwood certification program previously developed by APHIS for the European Union. The Program involves regular inspections of subscribing hardwood facilities in the U.S. by both NHLA contracted inspectors and APHIS inspectors to ensure continuing conformance to the Kiln Drying Sawn Hardwood Standard. “The USDA is confident that the rigorous kiln dried treatment criteria and auditing process required for participation in the NHLA kiln drying certification program achieve the same level of efficacy as APHIS’ inspection and issuance of phytosanitary certificates.” - Edward Avalos, USDA Under Secretary for Marketing and Regulatory Programs to the European Union on August 3, 2010
The European Union joins Australia, Brazil, Venezuela and Vietnam that accept the NHLA KD Certificate as an equivalent to the APHIS Phytosanitary Certificate. China and Mexico are currently reviewing acceptance of the NHLA KD Certificate. Information will be released on additional country acceptance as NHLA is notified. Companies interested in learning more about the program, or would like to join can contact Chief Inspector Dana Spessert at 901-399-7551 or by email at
[email protected]. *The European Union acceptance includes oaks, sycamore, hard maple and pacific coast maple – but not ash. The world’s largest and oldest hardwood industry
association, NHLA represents more than 1,200 companies and individuals that produce, use and sell North American hardwood lumber, or provide equipment, supplies or services to the hardwood industry. It was founded in 1898 to establish a uniform system of grading rules for the measurement and inspection of hardwood lumber. Since 1980, its headquarters have been in Memphis, Tenn. To learn more about NHLA, please visit www.nhla.com.
41
English Section
Biz News
A Note to Architects, Builders and Specifiers: Timber is the Ultimate ‘Green’ Construction Material By: Datuk Yeo Heng Hau
Chief Executive Officer, Malaysian Timber Council (MTC)
Of the many construction materials out there, timber is
sometimes still under-appreciated amongst members of the architectural, design and construction fraternity. This issue is further exacerbated by misconceptions that wood is not a sophisticated, versatile or durable building material. This is far from the truth as timber is one of the world’s top performing construction materials. Tried and tested over centuries, its inherent beauty, strength and durability has seen it remain as one of the favourite choices of building material among many
T
he durability of timber and how it has stood the test of time is best illustrated by the Horyuji Temple in Nara, Japan which is officially the world’s oldest wooden building. Dendrochronological studies of the wood have shown that they came from trees felled in AD 594. Contrary to what modern society believes, timber, applied and maintained correctly, can in fact, outlast other materials such as steel and concrete. One fine example within Malaysian shores is a wooden Palace called Seri Menanti in the state of Negeri Sembilan which has stood steady for 105 years (and counting!)
Timber Imprisons Carbon, and More
42
With the increasing emphasis on ‘green’ construction or sustainable building, there is a greater need for resources that significantly reduce the carbon footprint of a building, while enhancing the quality and cost-efficiency of a project and ensuring the comfort and safety of its occupants, over the entire lifetime of the building. As a building material that is renewable, carbon neutral and amenable to advanced engineering specifications, incorporating timber into a building’s design is one of the easiest ways to reduce a project’s environmental impact and cost (e.g., through prefabricated timber members that can be easily installed on-site to reduce construction time). Why? Because timber is the only building material that stores atmospheric
architects and engineers. carbon. The facts speak for themselves: 1. 2.
3.
The carbon that is absorbed by trees in their lifetime remains “imprisoned” in the wood; On average, a single tree is capable of “locking” up to a whole tonne of carbon during its lifetime; When trees die and the wood rots, the absorbed carbon will return to the air, contributing to CO2 buildup in the atmosphere.
In short, by harvesting trees before they die of old age, we are able to lock up the carbon and prevent it from returning to the atmosphere. Hence, incorporating timber in a design can easily lower the carbon footprint of the project, be it for structural or decorative purposes. Timber also requires a lot less energy for processing compared to other building materials. For example, trees require 1.5 mJ/kg of energy to turn into timber building materials compared to 435 mJ/kg of energy needed to transform bauxite to aluminum. The Life Cycle Assessment (LCA) research by renowned entities such as the UN’s Food and Agriculture Organization in 2002, the UK Building Research Establishment in 2002 and the US Consortium for Research on Renewable Materials in 2004 have all shown timber’s cradle-to-grave ecological quotient to be superior to that of steel, concrete and plastics. In 2012,
the American Hardwood Export Council (AHEC) published the report of the first stage of its LCA of rough-sawn kiln-dried American hardwood lumber. The report contains data on the environmental profile of U.S. rough-sawn, kiln-dried hardwood lumber using a comprehensive set of environmental impacts, from point of harvest in the U.S. through to delivery at the importers yard in major export markets. It provides quantitative data on Global Warming Potential, Acidification Potential, Eutrophication Potential, Photochemical Ozone Creation Potential, and Ozone Depletion Potential. If similar LCA’s were conducted on other building materials to examine their environmental impact, timber would definitely come out tops and win hands-down in all these categories.
Timber R&D Supports a Compelling Case
Material
Energy required for conversion of raw material into usable building form (mJ/kg)
Bauxite - Aluminum
435
Iron ore - Steel
35
Trees - Timber building materials
1.5
structure, the weight of the timber material to be used can be as much as 16 times less than steel, or five times less than concrete. This is also the reason why Glulam or glued-laminated timber is often specified for large-span areas, enabling innovative pillar-less construction (including curved dimensions) for public projects like indoor stadiums and hospitals. Glulam is a highly engineered product that is flexible, stronger but lighter than steel, fire resistant, and most importantly, ecologically sustainable. MTC has been an advocate and promoter of Glulam since 2005 and strongly believes that this engineered product has a huge potential to create a big impact in the Malaysian timber and construction industry. In many developed countries, Glulam has also been used to create vehicular bridges, public pavilions, large span buildings, and Olympic stadiums, fulfilling even the most demanding design, engineering and safety requirements. In promoting the use of more timber as part of eco-friendly construction practices, MTC has been spearheading efforts to introduce Glulam in Malaysia by encouraging collaborations between the private and public sectors, like the Malaysian Public Works Department.
Going Vertical with Timber
In the last century alone, timber has repeatedly risen boldly and ingeniously to design and engineering expectations, in ways that no other material has. Major timber-based projects such as the Metropol Parasol (Spain), the Cutty Sark Pavilion (UK), the Sheffield Winter Garden (UK), the Centre Pompidou (France) and the Han-
nover Convention Centre (Germany) invigorate the imagination with their creative contours that not only turn heads, but also challenge the public’s preconceived ideas and values about timber, and invite both converts and skeptics alike, to really open their hearts and minds to timber’s infinite possibilities in enhancing man’s spatial and built-form experience. Timber engineering research thus far has proven tall wooden buildings as lightweight, efficient structures with the potential to respond dynamically to turbulent wind load. For example, the ninestorey timber Stadthaus Apartments in London used exclusively Cross Laminated Timber (CLT) walls with a two-hour fire rating. It is the first of its kind and this height with its load-bearing walls, floor slabs, as well as stair and lift cores made entirely of timber. The tower houses 29 apartments. CLT’s technical strength is similar to precast concrete, but timber’s advantages lie in its lighter weight, thermal properties, and a production process that is a lot less CO2-emitting compared to concrete and steel. In short, CLT is a durable, strong, versatile and sustainable alternative to conventional structural materials. In August 2013, the Stadthaus was overtaken by Melbourne’s The Forté, now officially the world’s tallest residential timber building. Sited in Victoria Harbour in Melbourne, Australia, The Forté houses 23 boutique apartments. The Forté’s frame was built using CLT, while the walls, floors and ceiling were all made of solid timber. CLT proves that timber, with its high strength-to-weight ratio, is strong and yet light enough for safe vertical construction. It is also natural, and provides a warmer living experience that is appreciated by
many.
Timber Is En Vogue Forever
Timber is exciting and inspirational. It performs on so many levels. It is aesthetically beautiful and easily sourced. Building in timber is one of the most eco-friendly solutions for housing the earth’s growing population. It is the only building material that can be grown, requiring no special infrastructure apart from what nature readily provides - soil, water and the sun. It has been estimated that the current rate of 50 per cent urbanisation in the modern world will reach 70 per cent by 2040. Forward thinking urban architects in many countries are already developing blueprints for constructing timber high-rises. As a building material, once timber’s technical and inherent properties are adequately understood, it is only a matter of imagination for it to exceed design and performance expectations. ‘Green’ design is increasingly becoming a pre-requisite for modern-day construction. Building owners and developers are becoming more discerning with genuine interest for built forms that support sustainable choices: from certified building materials to smart energy-saving devices and recyclable resources. The desire for incorporating ‘greener’ alternatives into personal and commercial choices has also gained traction in Malaysia. One of MTC’s objectives is to generate awareness on timber as a building material among construction industry players and consum-
Developments and advancements in engineered wood products and in timber treatments (e.g., termite-resistance and fire-retardation) have opened up more options for incorporating timber into one’s built environment. And in key areas - acoustics, thermal performance and strength – timber is capable of not just fulfilling a wide range of technical specifications, but also providing solutions for both form and function that is not easily matched by other materials. Timber also has a high strength-to-weight ratio i.e., for the same strength required for a given
43
English Section ers. MTC encourages them to confidently embrace timber as a high quality, flexible, sustainable and eco-friendly construction material from a renewable resource. As one of the countries in the world with a significant amount of their land area still covered in natural forest, it is easy for Malaysia to embrace the philosophy of loving wood. Although Malaysia has achieved significant economic growth, thanks to its strong forestry policies, 56% of its land area is still covered in natural forest. Apart from its solid history of timber architecture and forestry management, trees grow so easily in the Malaysian climate, given the huge amount of rain and sunshine that the country is blessed with. Under Malaysia’s sustainable forest management practices, forest species are being re-planted continuously to provide
American Hardwood exports up 28% in Greater China and 4% in Southeast Asia reaching US$1.4billion in 2013
not just ecological services of absorbing CO2 as they grow, but also to support the nation’s socio-economic activities. Malaysia is also in the process of establishing 375,000ha of fast-growing forest plantations by the year 2020 to supplement the country’s raw material needs. For as long as there is a human need for the built form, timber will continue to amaze with its versatility and capacity to be bent, carved, conditioned, glued, joined, oiled, laminated, nailed, painted, peeled, polished, sanded, sawn, screwed, sliced, turned, treated and varnished to suit any design specification. Whatever the requirements, there will always be a timber species to suit any design style at any time. Timber is versatile, durable, warm, sustainable, eco-friendly, beautiful and natural. In short, timber is timeless.
A
Indonesia progresses towards PEFC endorsement Indonesia has become the third Asian country, after Malaysia and China, to seek PEFC endorsement. During the recent PEFC General Assembly in Kuala Lumpur, the Indonesian Forest Certification Cooperative (IFCC) submitted its forest certification scheme to the PEFC International to initiate the assessment process. One of the initial steps of the PEFC assessment was a public consultation to gather feedback fromstakeholders globally to provide feedback on IFCC’s compliance with PEFC International’s Sustainability Benchmarks.. With these results now in, an independent consultant will start the detailed assessment, with results expected by August 2014. To achieve PEFC endorsement, the Indonesian Forest Certification Scheme must meet all of PEFC’s globally recognized Sustainability Benchmark requirements. “We appreciate the opportunity that PEFC is providing independent national forest certification systems such as IFCC to develop its own standards tailored to our national and local political, economic, social, environmental and cultural realities,” says Dradjad H Wibowo, Chairman of the IFCC. “Finding the right balance that protects forests and the people who depend on them is critical to achieving long term sustainability. PEFC’s bottom up approach has enabled Indonesian stakeholders to develop a robust standard that considers Indonesia’s unique needs and therefore
44
has the potential of wide adaptation.” With more than 50% of Indonesia’s land area forested, the country’s rainforest is the third-largest in the world. It is considered one of the five most speciesrich countries in the world, home to about 10% of all known species of plants, mammals and birds. It is estimated that 80 million Indonesians rely on forests for their livelihood. Responsible management of the country’s forest resources are also important from an economic point of view: Smallholders and industrial forestry operators, along with pulp and paper producers, depend on forests and contribute approximately US$21 billion to the economy — around 3.5 % of Indonesia’s GDP. More than 4 million people are employed by this industry. “Forest certification is critically important, not only to promote sustainable forest management practices but also to add additional economic in addition to environmental and social values to our forest resource,” emphasizes Mr Wibowo. “The IFCC standard contains strict requirements that prevent conversions of certified forest areas, yet the challenge remains that uncertified forest areas are converted to other land uses that offer a better financial return. Through the market access that certification provides, we will be able to encourage forest owners and managers to sustainably manage their resources to the long-term benefit of all instead of seeking short-term financial gains through conver-
sions,” explains Mr Wibowo. PEFC has the most rigorous assessment process for national certification systems seeking international recognition. In addition to the comprehensive and inclusive process at national level, all standards are subjected to an independent thirdparty evaluation, global public consultation, a review by the Panel of Experts and consideration by the PEFC Board of Directors before PEFC members decide about the endorsement of a particular national system. Elsewhere in the Asia region, early February was marked by PEFC’s announcement of its decision to endorse the Chinese Forest Certification Scheme (CFCS). The announcement followed a 13 month assessment process which commenced in December 2012. This landmark achievement will not only enable the expansion of PEFC forest management certification and chain of custody in China, but no doubt increase the production and trade of PEFC certified products throughout the region and globally.
merican hardwood lumber exports worldwide were up US$2.96 billion in value in 2013 according to the United States Department of Agriculture which reflects increased unit prices. Much of the global increase was due to continuing market development in Asia, and especially in Greater China, to where exports of American hardwood lumber were valued at US$843 million, an increase of 33% in comparison to 2012 figures. The value of American hardwood lumber exports to Southeast Asia totaled US$284.8million with an increase of 4% from 2012 which once again highlights the growth within ASEAN markets. Vietnam led all Southeast Asian countries with US hardwood lumber imports in 2013,up 18% to US$154.9 million. Vietnam has been the largest importer of American hardwood in the region for some yearsin which Tulipwood (Yellow Poplar) and White oak are the leading species, up this year by 29% and 9% in volume respectively. American Walnut has increased by 49% from 2012 which could be due to the expansion of Vietnam’s domestic consumption market for joinery and furniture products as well as exports. American Black Walnut is very fashionable for use in furniture, cabinet making, architectural interiors and high class joinery. Hardwood log shipments from the USA to Vietnam were down 11% by valueat US$35.8 million, as buyers convert to buying sawn lumber. Indonesia is still the second largest market among the Southeast Asian nations overall, however lumber exports have decreased by6% toUS$19.3 million
in 2013. Hardwood logs dropped 29% to US$4.3 million, showing that many producers in Indonesia are turning to lumber and veneer as a raw material rather than logs. White Oak and Red Oak led the species but American Walnut was the fastest increasing species in Indonesia - up a staggering 92% from 2012. Malaysiaimported US lumber valued at US$18.6 million, a drop of 4%. Imports of veneer registered an increase of 11% to US$5 million indicating the fact that producers are using more veneer as a raw material. American Walnut is Malaysia’s second largest imported species with a rise of 24%. Thailandcontinues to be the fourth largest market in Southeast Asia for American hardwood products. Once again ve-
Hardwood Lumber
%
neer had the largest import value growth of US$0.2 million with an increase of 628% in stark comparison to log imports which decreased 46%. Singapore and Philippines are relatively small markets where demand for American hardwood lumber has reached US$2.1 million and US$0.7 million respectively. Singapore furniture industry remains highly competitive with its neighbours by setting up production facilities in China, Vietnam, Malaysia and Indonesia. “Southeast Asian markets will continue to be a very important role in the growth of US hardwood exports in 2014,” said John Chan, AHEC Director for Greater Chinaand Southeast Asia.
Hardwood Log
%
Hardwood veneer
%
Greater China
$843,000,000.00
33%
$269,400,000
5%
$21,000,000
10%
Vietnam
$154,900,000.00
18.20%
$35,800,000
-11%
$4,700,000
28%
Indonesia
$19,300,000.00
-6%
$4,300,000
-29%
$6,000,000
-16%
Malaysia
$18,600,000.00
-4%
$5,300,000
-8%
$5,000,000
11%
Thailand
$20,000,000.00
-6%
$3,900,000
-46%
$200,000
628%
Singapore
$2,100,000.00
-12%
$300,000
-27%
$800,000
16%
Philippines
$700,000.00
-25%
$200,000
26%
N/A
N/A
Total
$1,058,600,000
$319,200,000
$37,700,000
Percentage increases and decreases of hardwood lumber, logs and veneer in China and SEA in 2013
45
English Section
Industry News
Forest certification week - linking sustainable forest product supply chains through Asia
The Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) has held its 18th General Assembly and Stakeholder Dialogue, for the first time in a tropical country. Recognizing that Asia holds the key to unlocking the production and trade of sustainable forest products, and in recognition of the growing importance of the region, PEFC selected Malaysia to hold the 18th General Assembly. The General Assembly was officially opened by the Malaysian Minister of Plantations and Commodities at a ceremony attended by PEFC members from 47 countries. The Stakeholder Dialogue offered a wide range of working sessions and side events attended by over 300 delegates from around the world. In his opening address PEFC Chairman Mr William Street stated “We believe that the well-being of the people who own, live in and depend on forests is the single most important criteria to determine if a forest is being sustainably managed. If the people who work in and depend on the forests cannot survive, then the forests themselves will perish. With more than 300,000 people working in the timber industry in Malaysia, the social dimensions of sustainability are critically important to the rural development of Malaysia,” he said. “MTCC, as the first forest certification system globally that integrated social requirements in Chain of Custody certification, protecting worker’s rights along the entire supply chain, plays an important role in advancing the livelihoods of these people. The Malaysian standard sets an example for appropriately balancing the different stakeholder needs and expectations in maintaining and advancing the forest resources, and serves as a model for other countries across Asia. We are looking forward to continuing our work with Malaysia, our members in China and Indonesia, and interested stakeholders in countries such as India, Japan, the Philippines, Thailand, and Vietnam to develop and promote forest certification in their respective countries and advance the sustainable forest management agenda”, Mr Street emphasized. This landmark event was jointly organised by PEFC and the Malaysian Timber Certification Council (MTCC). Addressing the AGM, YB Datuk Amar Douglas Uggah Embas, the Malaysian Minister of Planta-
46
General Assembly. SFI was one of 37 PEFC National Governing Bodies representing 38 forest certification standards from around the globe at this PEFC forest certification week in KL. SFI-certified area has grown to just over 100 million hectares in North America, representing 25 per cent growth since last year. Other PEFC members recognized for the greatest growth in certified forest area were PEFC France, and PEFC Poland. Award recipients for the greatest growth in PEFC Chain of Custody (COC) certificates were PEFC France, MTCC (Malaysia) and PEFC Spain. Ben Gunneberg commented “I am so pleased to see PEFC members contribute to certified forest area and chain of custody growth throughout the supply chain across North
America, Europe and Asia.”
Stakeholder Dialogue
The week-long event, which had commenced with closed sessions on forest auditing and brand development, concluded with a wide choice of open side events and workshops to cater for the specific interests of different delegates, including keynote presentations from Emmanuel Ze Meka, CEO of ITTO, and Ben Gunneberg. “Value Chain Discussions” were held by three panels of experts on ‘Sawn & Plywood’ led by Sheam Satkuru, MTC, ‘Panels & Furniture’ led by industry consultant Michael Buckley and ‘Paper & Board’ by Genevieve Chua, MD Paperlinx. Other presentations included ‘Sustainability ini-
tiatives across the region’, ‘Highlights from forest certification organisations in Asia’ and ‘Mainstreaming sustainability: What’s still needed?’ The final day concluded with nine workshop options ranging from dialogues on FLEGT, plantation forests, PEFC project certification and the launching of PEFC’s new ‘Toolkit for Developing National Certification Schemes’. Speaking after the event Ben Gunneberg said “This General Assembly was a major tipping point in mainstreaming forest certification in Asia”. Sponsors for the week were APP Timber, Bracelpa, Bureau Veritas, MTCC, MWV and Raft. Further information can be found at www.pefc.org
2014 S.E. Asian furniture shows tion Industries and Commodities said “Malaysia is committed to manage its forests in a sustainable manner to take full benefits of the environmental, social and economic benefits they provide. While lack of financial resources, institutional capacity and human resources often hampers the implementation of good practices in the forests, Malaysia already pledged to keep at least fifty per cent of its land area under forest cover at the Earth Summit in 1992, and in 1998 established the Malaysian Timber Certification Council (MTCC) to promote responsible forest management”, continued the Minister. “The Malaysian standard achieved a significant milestone by becoming the first Asian national forest certification system to achieve international recognition by PEFC, and today one third of the Permanent Reserved Forests in Malaysia is certified as sustainably managed. Responsible forestry is key to Malaysia’s future. The Malaysian timber industry is one of the major contributors of the country’s export earnings. In 2012, the timber sector generated almost €4.6 billion of export earnings and contributed close to 2.9% of the country’s total merchandise exports. The long-term availability of timber from healthy forests is thus of strategic importance for Malaysia.”
Two organizations join PEFC International as International Stakeholder Members
During the week PEFC welcomed the European Timber Trade Federation (ETTF) and the International Council of Forest and Paper Associations (ICPFA) as PEFC Inter-
national Stakeholder members. Ben Gunneberg, PEFC Secretary General, said “We are looking forward to enhanced opportunities for collaboration in our common effort to promote responsible forestry.” “The ETTF has long been a supporter of both sustainable forest management and forest certification,” said André de Boer, ETTF Secretary General. “By becoming a PEFC International Stakeholder member, we hope that our expertise and experience will benefit both PEFC and the broader PEFC community.” “As a leader promoting dialogue around issues of interest to the international forest and paper community, including forest sustainability, standards and management, the ICFPA aims to actively contribute to the further development and strengthening of the relationship between the global forest products industry and PEFC,” said Donna Harman, ICFPA President and President and CEO of the American Forest & Paper Association (AF&PA). These two new members are joining the Weyerhaeuser Company as new PEFC International Stakeholder members in 2013. Weyerhaeuser became part of the PEFC family earlier this year and has a long tradition in forest management since it began operations in 1900. The company also manages a further 128,115 hectares of timberland in Uruguay, all PEFC certified.
PEFC International Recognizes Global Leaders
The Sustainable Forestry Initiative® (SFI®) Inc. was recognized during the week for the greatest increase in forest certification of the PEFC national members at the
By World Hardwoods© 2014
It was all change for the annual round of seven furniture shows in Southeast Asia in March this year, with new organisers, new venues and new dates that made a visit to all of them practically impossible by any one person. That can’t be good
for buyers and presumably not for the exhibitors.
T
he shows are undoubtedly appealing to different market sectors, but as the global furniture market recovers, there really is no telling who may turn up to any particular show as they come for different reasons. Some come to see all their existing suppliers and most to see what’s new. 2014 will be noted for a year of improved presentation and augmented designs on a scale not seen recently during the market downturn. MIFF, Malaysia: “It has been an exciting journey for the last 20 years,” said global event organiser UBM plc, new owners of the Malaysian International Furniture Fair (MIFF). “From humble beginnings in 1995, MIFF has since grown into Southeast Asia’s No. 1 furniture fair and a global top 10 industry show,” UBM suggested. The twenty years were celebrated in style at the opening reception for media and VIPs; and later at an exceptionally spectacular Buyer’s night party. This year’s five day show claimed 500 exhibitors and “over 6,000 quality buyers from over 140 countries” according to the organisers.
Oak and plastic chair spotted at TIFF
47
English Section
Rubberwood table with Cherry veneer from Interwood, Vietnam
Malaysia ranks as the 8th largest exporter of furniture in the world and exports around 80% of its production, valued at RM7.4 billion (US$2.27 billion) in 2013. With large markets in USA, Japan and Australia, it has a strong position in the global furniture industry. With tremendous growth in exports to UAE, Saudi Arabia, Philippines and Russia, Malaysia is now eyeing countries like Algeria, Greece, Puerto Rico and Libya. It has always been known for its wood based furniture, owing to its natural resources. The government has set an annual growth target of 6.5% for wood based furniture, targeted to reach up to RM53 billion by year 2020. Despite numerous economic downturns, the industry is still supported by a strong global demand for which the country does not yet have the labour or material resources. While lower priced Chinese and Vietnamese furniture pose strong competition, Malaysian furniture continues to try to set itself apart with original design that places importance on aesthetics as well as its good work ethics. Opening the show, a spokesman on behalf of the indisposed Minister of Trade called on the Malaysian industry to increase technological innovation and improve design capabilities - a call heard regularly over the last few years. One answer from MIFF was a very comprehensive set of awards for Furniture Design, Furniture Excellence and Best Presentation at the show. And on 6th March seminars were held on ‘Global Design Malaysian Perspective’ and ‘The Italian Taste in Interiors’. One of the long serving judges of Malaysian furniture awards suggested that “the Malaysian industry has now upped its game in understanding the different tastes of the individual markets it serves”. Among the more numerous visitors there were many from the Middle East, Russia and Eastern Europe and plenty from within ASEAN and Australia which is a major market for many Malaysian manufacturers. Buyers in many cases were there to meet their existing suppliers – all under
48
Dato Dr Tan Chin Huat, Chairman MIFF with Mr Jerry Tan, Sec Gen ASEAN Furniture Industries Council
one roof and, although the visitor traffic appeared to be brisk, the layout of PWTC defies assessment. The overall impressions at MIFF 2014 were of more variety in furniture, perhaps less wood material than previously and a general improvement in design. What has undoubtedly reduced is the number of producers, stacking dark brown (stained Rubberwood) furniture high and selling cheap. Some of the Rubberwood furniture has come of age in the sense of lifting itself out of the low price trap via improved design. Meanwhile there was a choice of other species despite the dominance of Rubberwood, which is said to account for about 70% of wood furniture production in Malaysia. Malaysian local species from natural forests such as Nyatoh, Kembang Semangkok (KSK) and Meranti were well in evidence, but most striking was the prevalence of veneer grown all over the world for so many collections. Many manufacturers are sourcing their veneer from producers in China which buy logs globally. EFE, Malaysia: The 10th Export Furniture Exhibition was billed as “the oncea-year premier International Furniture Showcase to meet with furniture business manufacturers from all throughout Malaysia and the region.” In this case the show, owned by the Malaysian Furniture Entrepreneurs Association (MFEA) and presenting exclusively Malaysian manufacturers, was held at its new venue at Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC) – a much improved location. VIFA, Vietnam: The annual Vietnam show opened with the announcement that furniture exports were up 19.2% in 2013 at US$5.6 billion, but coupled with a call for manufacturers to “focus more on the domestic market” which is also growing in Vietnam, according to Ms Nguyen Thi Hong, Deputy Chairwoman of the HCMC People’s Committee. There were noticeable changes of which the most striking was the very crowded first day with apparently more visitors than ever before. The show is al-
ways a relatively small one, but opening just ahead of Singapore may have encouraged more people first to call into Saigon. Many of the larger manufacturers, especially the Taiwanese-owned companies, never exhibit at VIFA, but that leaves the field clear for smaller companies which this year introduced new collections that caught the eye. Colour was everywhere, and so was Acacia furniture, more in interior than the traditional outdoor models for which central Vietnam manufacturers have been known. Acacia is now reported to run as high as 50-70% of production for many companies. Rubberwood was less common, but there was plenty of American Oak in all kinds of guises. IFEX, Indonesia: At this inaugural show (as if there are not enough conflicting shows each March in Southeast Asia) a good turnout of foreign and local visitors was reported for the first day and exhibitors, mainly Indonesian, seemed pleased with the level and number of buyers. The majority of furniture collections were wood-based – featuring Teak, reclaimed material, plywood, veneer and a small amount of American hardwood as well as bamboo and rattan. Noticeable trends on display focused on sustainability, outdoor including rattan and some high-end furniture. Promoting young designers within every hall was an area dedicated to them, exhibiting anything from chairs to lighting. IFFS, Singapore: This is the top of the tree for higher end furniture, of superior quality and design; generally well presented by producers from 35 countries around the globe showing to a very international audience from 100 countries. Singapore companies manufacturing mainly offshore account for SD$6 billion (US$4.7 billion) in sales and growing, many with design at the heart of their success. At the show American and European hardwoods were well in evidence with widespread collections of Black Walnut and White Oak most prominent, but surprises were also there to be found, such as one
Malaysian manufacturer using Tulipwood (Yellow Poplar) painted to look like metal. The show was busy and most exhibitors interviewed seemed happy with the level of visitors, most of which agreed that IFFS is by far the best in the region in terms of the offering, quality and variety. TIFF, Thailand: The Bangkok show was anticipated to be the most comprehensive furniture exposition ever staged in Thailand so, given the clash of dates and some security concerns, 1,800 overseas visitors on the first day was considered quite an achievement. The show finished with two ‘public’ days. Mrs. Duangkamol Jiambutr, Deputy Director-General of the Department of International Trade (DITP), revealed that, “The market value of Thailand’s exported furniture and parts was worth US$1,238 million in 2013, an 8.34% growth over the same figure in 2012. For 2014, we expect market value to grow to reach the level of US$1,300 million.” This is a show generally noted for fine design and there were several displays of one-off designs from the many furniture design colleges and institutions in Thailand. IFFINA, Indonesia: This now small exhibition comprised a series of marquees joined together, with limited air conditioning in a car park with mainly local companies and no big players. Exhibitors said the show was busy on the first day but thereafter was very quiet. Most visitors/buyers were thought to be local. The show was similar to IFEX insofar as it was promoted as an international show; however all press material was available only in Bahasa Indonesia language, as was the opening ceremony. Main species were Teak, recycled Teak, Acacia and Indonesian Pine in a lot of craft and woodworking exhibits. There was an environmental presence with a few of the exhibitors showcasing an ‘Indonesian Legal Wood’ sign with certificate
Black Walnut desk & chair at IFFS
number. SWITCH-Asia had its own stand showcasing legalised wood in Asia, saying this was Asia’s equivalent to EUTR. Environmental issues: For an industry now beset by legislation, regulations and ENGO watchdogs, there was little comfort on offer or on public view, for buyers of ‘green’ furniture products. In the seven regional shows there were only occasional FSC and PEFC logos. Several exhibitors displayed Indonesian SVLK legality signs. The use of water-based paints and stains was widespread. Trends at the 2014 shows If these shows are anything to go by, the furniture market for Southeast Asian manufacturers is currently all about colour and texture and a greater variety of species. Colours and species remain generally dark with a continued reduction in the number of collections displaying wood in its own natural colour. This has huge implications by allowing the use of a wide range of species that become unrecognisable in their final finish. Dark stains, paints and even metallic finishes on wood were commonplace. That allows the disguise of Rubberwood, which in Malaysia is quoted as accounting for up to 80% of all wood furniture. In Vietnam the same is true for Acacia. It also allows the use of many local tropical species such as Malaysian KSK, Indonesian Mindy and imported American Tulipwood. Many of the veneers laminated on particle board and MDF are also unrecognisable such as European Birch and many sources of Oak and Ash. By contrast, literally, there is an emergence of offsetting natural wood colours with painted drawer fronts and small sections in pastel sky blue and pink or salmon. Despite the long-term trend in grey and dark-coloured wood there were some first signs of a return to featuring natural wood colours. Three leading manufactur-
ers launched models in natural cherry and one in white maple, not seen in Southeast Asia for several years, except in Thailand for collections aimed at Japan where light coloured wood is still very popular. It is noteworthy that this trend was more prevalent in Singapore where furniture for higher-end markets is shown. Textured finishes were also everywhere, from sandblasted, wire-brushed, scraped, gouged, bevelled, rough-sawn, hewn, burnished, rough-sanded and more. In some cases these are hand-crafted but in many cases are becoming part of the mechanical process. It has elevated the ‘character’ and ‘rustic’ look to another level. Furniture form was noticeable for some changes. Tapering table edges are infinitely more elegant than standard square-edges, but require manufacturing techniques that may add value as well as cost. Emphasising well-made joints between table and chair tops and the legs has reached a higher level than previously and the use of contrasting wood with other materials has gone from strength to strength. The use of unusually contrasting colours (pink) against natural wood (walnut) is clearly a new trend, as is the use of metallic paint, instead of actual metal, is another. To some extent the very rustic and rough finishes are moderating slightly with less severe wire-brushing. Distressing techniques of ‘chain bashing’ and nail holes have all but disappeared – replaced by more gentle and subtle distressing. In conclusion, the 2014 furniture offering in Southeast Asia is best defined as one of greater variety than for some years. That may become increasingly important as markets expand in Asia where it is not just a question of taste, but also of culture, style, habits and even room size and access.
AHEC booth at IFEX
49
Event
Hardwood Grading Seminars in Indonesia
September saw an event jointly held by AHEC and NHLA in one of Southeast Asia’s key emerging markets. ‘American Hardwood Lumber Grading’ half day seminars were held first in Semarang and Surabaya, being two of the most important wood processing hubs in the country which still has huge potential to grow its hardwood imports, despite its own massive forest resources. Dana Spessert, NHLA Chief Inspector, conducted both seminars. Semarang, Central Java The seminar in Semarang was opened by John Chan, Regional Director for AHEC based in Hong Kong, who referred to the growing market for American hardwood lumber in Indonesia, one of six ASEAN countries that AHEC targets. Despite its recent currency devaluation, which has raised the cost of imports by as much as 25 - 30%, Indonesia is buying more hardwood sawn lumber from the USA as manufacturers continue to switch from logs to lumber. AHEC publishes its technical brochures in the local Bahasa Indonesia language, “which provide additional choices of American species alongside Indonesia’s own beautiful woods” said Chan. Dana Spessert established his own hardwood credentials by referring to his start in a family lumber yard at the age of
50
four! But NHLA had been involved even longer, “having been established in 1898 in order to regularise grading standards for the trade in hardwood lumber’ he said. He pointed out that these standards are increasingly accepted around the world, in fact one of the few systems, and now NHLA is open to international partnership membership from overseas. “The goal of the NHLA Grading Rules is to value the hardwood” was a key message that Spessert delivered to a professional audience of over 50 in Semarang, many of which appeared very keen to learn more in an interactive and lively Q&A session after the formal presentation. The programme also included a summary of all the commercially available species. The dialogue in Semarang focused, as ever, on the issues of shrinkage and variance in quality from one supplier to another. The Chief Inspector made the point that in high speed volume production the grader may have only a few seconds to make grade decisions and even the most experienced and qualified inspector can vary. Nevertheless variances can be up and down and should cancel out. Spessert also covered some of the differences in grading Western red alder and American black walnut as two species that, in practice, have exceptional variations from the standard rules. In Surabaya the delegates, who numbered 40, were welcomed by John Chan who said that it was good to be back after two years in a city were the market is growing so fast. He also welcomed the presence of APP Timber, a local member of NHLA, and urged new and returning delegates to ask some of the many questions that arise. “This lumber grading seminar is a platform for exchange of information in both directions,” he concluded. In fact the Surabaya seminar turned into an extended practical exercise in grading, with Spessert leading a very enthusiastic group of Indonesians who took turns to grade sample boards. For both seminars simultaneous translation was provided, although the level of understanding and speaking English is usually high with Indonesians involved in international trade, as was the case in both Semarang and Surabaya. ‘Onward and Upward’ AHEC brought its 2013 series of grading seminars in Indonesia to a close, with large audiences in Jakarta and Solo. With the now well publicized shortage of some grade lumber during this cur-
rent upturn in U.S. domestic and export markets, it is vital buy the correct grade for the job in hand, mainly to avoid waste and incorrect material pricing. Opening each seminar, NHLA’s Chief Inspector Dana Spessert said that the function of NHLA grading “is to give any piece of lumber its true value” as well as estimating the yield in determining the three main grades. More than 70 delegates from manufacturing, trading and the design sectors participated in Jakarta to hear the principles of the NHLA measurement cuttings method of grading, which estimates yield from any individual board. “FAS top grade yields 83 1/3rd % clear lumber, while the ‘furniture grade’ #1 Common yields 66 2/3rds % clear lumber in smaller cuttings and finally #2 Common yields 50% - all graded from the poor side of the board,” Mr Spessert explained. Small groups were then invited to grade sample boards under his watchful eye. Each seminar finished with a review of the commercially available hardwood species from the USA and with lively question and answer sessions. In Solo, the famed city of batik in Java, about 50 participants came from all over the region and as far away as Semarang, where grading seminars had been held earlier in the year. All delegates were provided with simultaneous translation and written guides to NHLA Grading in Bahasa Indonesia language. Various questions were asked, ranging from the core issues related to the different grades, defects such as cracking, wood colour variations as well as certification issues, kiln drying and KD technology that is used commonly in the USA. Addressing each audience in December, John Chan AHEC’s director based in Hong Kong, said that “exports from US since 1992 had grown from US$17.5 million to US$34 million in 2012, an increase of 94%, averaging 4.4% annual growth.” He explained AHEC’s missions and role in promoting US hardwoods in the past 22 years in Southeast Asia, including Indonesia, and encouraged delegates to participate with AHEC in future programmes; offering assitance through AHEC on questions related to supply and demand and technical aspects. Mr Chan confirmed AHEC’s intention “to continue supporting its growing markets in Southeast Asia with technical and grading seminars – onward and upward!”
Calendar of Events JUNE 4-6 : INTERIOR LIFESTYLE TOKYO
Tokyo Big Sight West Hall Tokyo, Japan Tel : +81 3 3262 8443 Fax : +81 3 3262 8442 E-mail :
[email protected] Web : www.interior-lifestyle.com
6-9 : CHINA FURNITURE & WOODWORKS Star-Sea Convention & Exhibition Centre/Dalian World Expo Plaza Dalian China Tel : +86 441 82538649 Fax : +86 411 82538678 Web : www.dlfa.cc/mgjx
25-27 : AHEC 19TH SOUTHEAST ASIA AND GREATER CHINA CONVENTION The St. Regis Tianjin Tianjin, China Tel : +852 2724 0228 Web : www.ahec-china.org
JULY 3-6 : INTERNATIONAL FURNITURE FAIR CHENGDU New International Exhibition Centre Chengdu, China Tel : +86 28 86280444 Fax : +86 28 86280491 E-mail :
[email protected] Web : www.iffcd.com
E-mail :
[email protected] Web : www.lasvegasmarket.com
AUGUST 20-23 : INTERBUILD AFRICA 2014 NASREC Johannesburg, South Africa Tel : +27 (0) 11 835 1565 Fax : +27 (0) 86 510 4892 E-mail :
[email protected] Web : www.interbuild.co.za
20-23 : IWF
Georgia World Congress Centre Georgia, US Tel : +404 693 8333 Fax : +404 693 8350 E-mail :
[email protected] Web : www.iwfatlanta.com
SEPTEMBER 10-13 : FMC CHINA
Shanghai World Expo Exhibition & Convention Centre Shanghai, China Tel : +86 21 64371178 Fax : +86 21 61154988 E-mail :
[email protected] Web : www.fmcchina.com.cn
10-14 : BIFE-SIM 2014
Romexpo Exhibition Centre Bucharest, Romania Tel : +40 21 207 7000 Ext. 1124 E-mail :
[email protected] Web : www.bife-sim.ro
27-31 : LAS VEGAS MARKET World Market Centre Las Vegas, US Tel : +1 702 599 9621 Fax : +1 702 599 9622
8-12 : TRADEXPO INDONESIA 2014
Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta Tel : +62 21 2353 8844 / +62 21 2352 8645 Fax : +62 21 2352 8645 E-mail : tradexpoindonesia@kemendag. go.id Web : www.tradexpoindonesia.com
14-17 : SICAM 2014 PORDENONE FAIR
International Exhibition Of Components, Semifinished Product And Accessories For The Furniture Industry Tel : +39 02 86995712 Fax : +39 02 72095158 E-mail :
[email protected] Web : www.exposicam.it
22-25 : CAIRO INTERNATIONAL WOOD & WOOD MACHINERY SHOW
Cairo International Convention Centre Tel : +202 2271 9777 Fax : +202 2670 8866 E-mail :
[email protected] Web : www.cairowoodshow.com
NOVEMBER 5-8 : FURNIPRO ASIA
OCTOBER
Marina Bay Sands Singapore Tel : +65 6500 6748 Fax : +65 6294 8403 E-mail :
[email protected] Web : www.furniproasia.com
3-6 : HO CHI MINH CITY EXPO 2014
6-8 : FENESTRATION CHINA
10-13: FURNITEX
Melbourne Exhibition Centre Melbourne, Australia Tel : +1300 656 184 E-mail :
[email protected] Web : www.furnitex.com.au
Kuala Lumpur, Malaysia Tel : +603 7842 9863 Fax : +603 7842 7863 E-mail :
[email protected] Web : www.tradelink.com.my/woodtech
Tan Binh Exhibition & Convention Centre Ho Chi Minh City, Vietnam Fax : +84 8 3822 4536 E-mail :
[email protected]
8-11 : ASEANWOOD WOODTECH
China International Exhibition Centre (New Venue), Beijing, China Tel : +86 10 84718166/84712661 Fax : +86 10 84719746 E-mail :
[email protected] Web : www.fenestration.com.cn
Putra World Trade Centre
51
Ekamant News
Ekamant Bantu Pelajar Korban Banjir
Gubernur Jateng Apresiasi Peran Ekamant Dalam Memperkuat Branding Kota Jepara Sebagai Pusat Ukir Dunia
G
B
anjir parah yang terjadi di Jepara beberapa waktu lalu, berdampak cukup serius pada sektor pendidikan. Selain banyak lembaga pendidikan yang ikut terendam, ribuan pelajar di daerah ini juga mengalami kerugian akibat banyaknya peralatan sekolah yang rusak atau hilang terbawa banjir. Untuk meringankan beban para pelajar ini, PT. Ekamant Indonesia, Rabu (26/3), memberikan sejumlah bantuan kepada mereka. Bantuan diserahkan Bupati Jepara H. Ahmad marzuqi, SE, bersama perwakilan PT. Ekamant Indonesia Kabupaten Jepara Haryono di SMP Negeri 1 Kalinyamatan. “PT. Ekamant Indonesia adalah produsen amplas kayu yang mengandalkan Jepara sebagai pasar utama seiring posisinya sebagai penghasil mebel dan ukir kayu terbesar di Indonesia. Makanya mereka tergerak untuk peduli terhadap pelajar di Jepara yang menjadi korban banjir,” kata Kepala Bagian Humas Setda Jepara Drs. Hadi Priyanto, MM yang menjadi bagian dari rombongan Pemkab Jepara yang ikut menyaksikan penyerahan bantuan. Bantuan yang diserahkan pada kesempatan tersebut, terdiri dari 1.450 tas sekolah dan 552 kaos. Selain dari Ekamant, BPJS Kesehatan Jepara juga ikut memberikan seribu paket buku tulis. Sedangkan dari bantuan yang dihimpun dari pelajar nonkorban banjir di Jepara, terdiri dari 702 tas sekolah dan 31 doos buku tulis. Bantuan yang terhimpun dalam bentuk uang sebesar Rp. 10 juta, diserahkan sebagai uang transport. Perwakilan Ekamant Haryono menyatakan, bantuan tas untuk anak-anak sekolah itu diharapkan menumbuhkan kembali semangat mereka untuk bersekolah. “Terutama anak-anak yang kurang mampu,” katanya. Di bidang pendidikan, dampak banjir Jepara memang berdampak cukup parah. Kerugian materiil di bidang ini diperkirakan
52
sebesar Rp. 6,25 miliar dalam bentuk kerusakan sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan roboh, terendamnya komputer, media pembejaran elektronika, buku-buku, serta sarana prasarana yang lain. Setidaknya, terdapat 116 sekolah yang terkena dampak banjir, terdiri dari 25 TK/RA, 80 SD/MI, 8 SMP/MTs, serta 3 SMA/MA/SMK. Jumlah sekolah terendam tersebut, tersebar di 14 dari 16 kecamatan yang ada di Jepara. Bupati Jepara Ahmad marzuqi berharap, bencana banjir yang telah terjadi hendaknya menjadi bahan introspeksi bagi semua elemen untuk mengelola alam dengan lebih baik lagi. “Jangan justru mencari kambing hitam atas bencana itu,” katanya. Sementara itu, pada tahun 2015 Pemerintah Kabupaten Jepara akan membangun gedung bertingkat di SM N 1 Kalinyamatan. hal ini sekaligus sebagai antisipasi jika suatu saat bencana tak diharapkan itu kembali datang.
foto lomba ukir dan mengamplas
ubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam sambutannya saat membuka Lomba Mengamplas dan Lomba Mengukir II tahun 2014 di alun-alun Jepara Sabtu (12/4) lalu, memberikan apresiasi kepada PT. Ekamant Indonesia yang telah menjadi sponsor tunggal event tersebut. “Saya memberikan apresiasi kepada PT. Ekamant Indonesia yang telah berperan dalam penguatan branding Jepara,” kata Ganjar. Pembukaan acara yang langka ini dihadiri oleh Bupati Jepara, Wakil bupati Jepara, dan pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jepara. Hadir juga, Managing Director PT. Ekamant Indonesia Jodi H. Susanto. Branding kota menurut Ganjar sangat penting untuk promosi sebuah daerah. Branding yang sukses, mampu menjadikan memori setiap orang hanya tertuju pada kota tersebut ketika berbicara mengenai produk yang disematkan sebagai branding kota. “Kalau ada yang mencari produk ukir kayu, ya, ke Jepara ini satu-satunya pilihan. Demikian juga saat orang ingin belajar ukir,” demikian Ganjar memaparkan mimpinya. Dalam pandangan Ganjar, lomba tersebut menjadi bagian dari revitalisasi kerajinan ukir kayu dalam perekonomian daerah. “Revitalisasi ukir kayu sebagai produk unggulan daerah yang sedang digalakkan pemerintah daerah, akan menempatkan produk ini pada tempat yang lebih tinggi,” lanjutnya. Gubernur yang sempat berdialog dengan beberapa peserta mengaku terkesan dengan produk ukiran Jepara yang terus diminati pasar luar negeri. “Tahun depan
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo_opening event lomba
semoga lebih kreatif lagi dengan jumlah peserta yang lebih banyak dari hari ini,” kata Ganjar terkait lomba yang diikuti total 400 peserta tersebut. Seluruh peserta, selain memperebutkan hadiah total sebesar Rp. 9,95 juta, juga mendapatkan t-shirt dan uang saku masing-masing sebesar Rp. 25 ribu yang semuanya berasal dari PT. Ekamant Indonesia sebagai sponsor. Pada kesempatan tersebut gubernur juga menandatangani prasasti ornamen ukiran khas Jepara yang akan dipasang pada gedung dan bangunan pemerintah di daerah tersebut. Upaya memperkuat branding Jepara pusat ukir dunia melalui pemasangan ornamen, ini telah diinstruksikan Bupati Jepara H. Ahmad Marzuqi, SE, melalui Peraturan Bupati Jepara Nomor 10 Tahun 2014 tentang Pemberian Ornamen Ukiran pada Gedung dan Bangunan Lain Milik Pemerintah Daerah. “Kami berharap pemasangan ornamen ukir pada gedung dan bangunan lain milik pemerintah daerah, akan secepatnya selesai dan bisa diikuti masyarakat. Karena masyarakat memang diharapkan berpartisipasi pada bangunan yang menjadi haknya. Ketentuan ini terdapat pada pasal 9,” Kata Ketua Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik, dan Tenun Jepara Hadi Priyanto, MM. Selain memasang ukiran kayu pada gedung dan bangunan untuk mempertegas jati diri Jepara sebagai pusat ukir dunia, daerah ini akan membuka jurusan Kriya Ukir di SMK Negeri 2 Jepara mulai tahun ajaran 2014/2015. “Kalau skill turun temurun keluargakeluarga pengukir di Jepara ini bisa dipertegas dengan pendidikan pada lembaga pendididkan formal, maka saat produk Jepara bersaing head to head dengan
produk serupa dari negara manapun, Jepara yang juara,” demikian penilaian gubernur. Maka, gubernur berharap upaya revitalisasi benar-benar menjadi momentum bangkitnya kembali ukiran dan seluruh produk Jepara. Sementara itu, terdapat sejumlah kegiatan lain terkait pengembangan seni ukir. Dalam pendokumentasian sejarah ukir, gubernur juga meresmikan museum ukir mini. “Salah satu saksi bisu pengembangan ukiran Jepara secara formal adalah Openbare Ambacht School yang sekarang menjadi SMP N 6 Jepara. Di sekolah tersebut banyak karya ukir klasik yang harus dilestarikan. Makanya di sekolah tersebut didirikan museum ukir yang diresmikan oleh Pak Ganjar. Nama museumnya pun Openbare Ambacht School,” kata Hadi Priyanto. Ke depan, koleksi museum ini diharapkan terus bertambah sehingga semakin banyak sejarah ukir yang bisa diceritakan. Di tempat yang sama, Jodi H. Susanto kepada wartawan menyampaikan apresiasi kepada para pengrajin wanita Jepara yang ternyata kemampuannya tidak kalah dengan para pengrajin pria. Ini merupakan potensi SDM yang luar biasa yang harus terus dikembangkan antara lain melalui pendidikan formal. “PT. Ekamant indonesia akan terus bersama memperkuat branding kota Jepara sebagai kota ukir dan sekaligus sebagai salah satu pasar terbesar PT. Ekamant,” kata Jodi. Pihaknya telah memulai kerja sama sejak tahun lalu saat mencatatkan rekor MURI mengukir bersama terbanyak.
53
Ekamant Solution
Taiyo Sander Series Pengamplasan profil dengan mengunakan Various Shapes Sander
Pada edisi sebelumya sudah dibahas beberapa pengamplasan profil dengan mengunakan mesin Versatile Grinder beserta jenis amplas yang digunakan. Pada edisi ini masih membahas pengamplasan profil akan tetapi dengan mengunakan jenis mesin yang berbeda yaitu Various Shapes Sander series. Pada mesin ini dimungkinkan untuk melakukan pengamplasan permukaan profil dengan lekukan yang berfariasi, sehingga mempermudah dan mempercepat proses pengamplasan
Proses pengamplasan pada celah atau lubang dengan mengunakan Versatile air rasp
Pada umumnya di industri ukiran maupun furnitur sering bahkan selalu ada pengamplasan pada celah celah ataupun lubang yang sangat memakan waktu untuk mengamplas bagian tersebut. Biasanya pengamplasan dilakukan hand sanding, yaitu dengan cara menggulung amplas sekecil mungkin kemudian digosokan diantara celah atau lubang pada ukiran. Untuk mengatasi permasalahan tersebut PT. Ekamant Indonesia melakukan product-development yaitu dengan mengeluarkan produk mesin Taiyo sander jenis versatile air rasp untuk pengrajin maupun industri kayu Indonesia, sehingga bisa mempermudah dan mempercepat proses pengamplasan tersebut.
sudah ditempelkan velcro sehingga sangat mudah dalam pengunaan, hanya dengan cara memotong sesuai dengan ukuran pad yang digunakan. Amplas tersebut dapat dipesan berbentuk roll dengan ukuran 100mm x 5000mm.
Proses pengamplasan sudut sempit pada ukiran dengan mengunakan Detail & Corner Sander
Pada kemasan mesin ini juga disertakan beberapa Pad yang bisa diganti ganti sesuai dengan kebutuhan. Sehingga dengan satu mesin bisa melakukan berbagai macam jenis pengamplasan
Proses pengamplasan ukiran dengan mengunakan mesin Versatile grinder
Untuk melakukan pengamplasan secara menyeluruh dengan hasil yang sempurna terkadang kita banyak menemui permasalahan, salah satu permasalahan yang sering terjadi yaitu melakukan pengamplasan pada bagian bagian sudut, sehingga selalu dilakukan dengan cara manual atau hand sanding. Hal ini tentunya akan memperlama proses produksi. Oleh sebab itu Taiyo sander series juga mengeluarkan jenis mesin Detail & corner sander untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Indonesia sangat terkenal dengan ukiran, dan banyak industri furnitur mengunakan ukiran menjadi ornamen penting pada furnitur tersebut yang menambah nilai jual furnitur tersebut dimanca negara. Akan tetapi untuk memenuhi permintaan pasar yang sangat besar dibutuhkan proses yang sangat cepat, sedangkan untuk melakukan pengamplasan pada ukiran sangat susah dan lama karena hanya bisa dilakukan dengan cara manual. Oleh sebab itu PT. Ekamant Indonesia juga mengeluarkan jenis mesin Versatile grinder untuk mempercepat proses pengamplasan pada ukiran maupun patung, tanpa menghilangkan nilai seni dan keindahan ukiran dan patung tersebut.
Pada kemasan mesin ini juga disertakan beberapa Pad yang bisa diganti ganti sesuai dengan kebutuhan. Sehingga dengan satu mesin bisa melakukan berbagai macam jenis pengamplasan.
Pada kemasan mesin ini juga disertakan beberapa jenis amplas yang bisa diganti ganti sesuai dengan kebutuhan.
Pada satu paket kemasan mesin ini juga disertakan beberapa pad yang mempunyai variasi ukuran profil yang berbeda beda.
Berikut contoh pengunaan:
Stroke speed: 16.000 r.p.m Berikut merupakan beberapa contoh aplikasi pengamplasan (lihat gambar di bawah) Untuk amplas yang digunakan bisa mengunakan amplas dengan backing A –C paper yang sudah ditempelkan velcro sehingga sangat mudah dalam pengunaan, hanya dengan cara memotong sesuai dengan ukuran pad yang digunakan. Amplas tersebut dapat dipesan berbentuk roll dengan ukuran 100mm x 5000mm.
Cara kerja mesin ini adalah bergerak maju dan mundur sehingga sangat cepat dalam proses pengikisan. Pada setiap kemasan mesin ini disertakan beberapa pilihan Pad yang bisa digunakan sesuai degan kebutuhan besar, kecil, bulat maupun bersudut celah atau lubang yang akan diamplas. Amplas yang digunakan sama dengan semua jenis mesin Taiyo sander series yaitu amplas dengan backing A –C paper yang
a.v.g. Air Conds 0.20m3/min
Proses pembentukan dan pengamplasan rustic mengunakan Power Sander
Power sander bisa digunakan untuk pengerjaan permukaan kayu terlihat lebih alami dengan memunculkan serat maupun jenis lainya dengan mengunakan beberapa pilihan (kawat, nilon, amplas) sesuai dengan yang diinginkan.
Proses pengamplasan sudut rata dan pinggir dengan tenaga dan kecepatan lebih besar mengunakan Inner hole polisher
Pada pengamplasan bagian bidang rata tanpa sudut bisanya sangat mudah dilakukan, akan tetapi pada saat berhadapan dengan bidang yang akan diamplas berupa sudut sempit maka biasanya sudah tidak bisa dikerjakan dengan mesin dan kembali ke manual hand sanding, dengan mesin ini pengamplasan tersebut tetap bisa dilakukan dengan mengunakan mesin yaitu Inner hole polisher. Masih terdapat beberapa jenis Taiyo sander. Dari beberpa jenis Taiyo sander diatas adalah salah satu sarana pendukung untuk mempermudah dan mempercepat proses pengamplasan yang selama ini banyak dikerjakan secara manual. Untuk informasi dan spesifikasi lebih detail semua jenis Taiyo sander bisa menghubungi PT. Ekamant Indonesia.
54
55
Products & Technology / Taiyo
Taiyo TJ500
Taiyo ECO DS TAIYO ECO DS Adalah amplas serbaguna yang cocok untuk pengamplasan hand sanding dengan jenis backing semi fleksibel yang cukup tebel dan mengunakan jenis pasir Aluminium oxide memungkinkan proses pengamplasan menjadi lebih baik & efisien untuk permukaan rata dan berkontur, untuk semua jenis kayu keras maupun lunak pada setiap grit.
TAIYO TJ500 Adalah amplas serbaguna yang cocok untuk pengamplasan hand sanding maupun untuk aplikasi belt sander dengan jenis backing yang sangat fleksibel dan mengunakan jenis pasir Aluminium oxide memungkinkan proses pengamplasan menjadi lebih baik & efisien untuk permukaan berkontur (ukiran) maupun rata, untuk semua jenis kayu keras maupun lunak pada setiap grit.
De s c r i p t ion
De s c r i p t ion Backing
J Cloth
Boanding
Resin over resin
Grit
Aluminium oxide
Coating
Open coat
Grit range
AA 40 – 400
Grain side color
Red
Back side color
Brown
Backing
JF Cloth
Boanding
Resin over resin
Grit
Alumunium oxide
Coating
Open coat
Grit range
AA 60 – 400
Grain side color
Red
Back side color
White
Characteristics Removal Rate
Very high
Removal Rate
Very high
Lifetime
Long
Lifetime
Long
Stability
High
Stability
High
Clogging
Low
Clogging
Low
Finish
Rough - good
Finish
Rough - good
Uses
Uses
Dipergunakan untuk Hand Sanding pada bidang rata dan berkontur dengan menggunakan Pad atau tatakan dari karet.
Dipergunakan untuk Hand Sanding pada bidang rata dan berkontur dengan menggunakan Pad atau tatakan dari karet.
Biasanya digunakan untuk pengamplasan kayu, besi, dll.
Biasanya digunakan untuk pengamplasan kayu, besi, dll.
Media yang diamplas: kayu, besi dll
Media yang diamplas: kayu, besi dll
Market Segment: Retail, woodworking & metalworking
Market Segment: Retail, woodworking & metalworking
Ava i l a b l e F o r m s
56
Characteristics
Ava i l a b l e F o r m s
57
Taiyo BLUE TAIYO BLUE Adalah amplas serbaguna yang cocok untuk pengamplasan hand sanding maupun untuk aplikasi belt sander dengan jenis backing yang sangat fleksibel dan mengunakan jenis pasir Aluminium oxide memungkinkan proses pengamplasan menjadi lebih baik & efisien untuk permukaan berkontur (ukiran) maupun rata, untuk semua jenis kayu keras maupun lunak pada setiap grit.
TAIYO KSCW SS Adalah amplas serbaguna yang cocok untuk pengamplasan hand sanding dengan jenis backing yang sangat lentur dan tahan air dengan mengunakan jenis pasir Sillicon carbide memungkinkan proses pengamplasan menjadi lebih efisien dan mendapatkan hasil yang sangat baik.
De s c r i p t ion
Backing
JF Cloth
Boanding
Resin over resin
Grit
Alumunium oxide
Coating
Coating
Open coat
Grit range
C Paper Resin over resin Silicon carbide Open coat CC 60 – 2000
Grit range
AA 60 – 400
Grain side color
Black
Grain side color
Red
Back side color
Brown
Back side color
Blue
De s c r i p t ion
Characteristics Removal Rate
Very high
Lifetime
Long
Stability
High
Clogging
Low
Finish
Rough - good
Uses Dipergunakan untuk Hand Sanding pada bidang rata dan berkontur dengan menggunakan Pad atau tatakan dari karet. Biasanya digunakan untuk pengamplasan kayu, besi, dll. Media yang diamplas: kayu, besi dll Market Segment: Retail, woodworking & metalworking
Ava i l a b l e F o r m s
58
Taiyo KSCW SS
Backing Boanding Grit
Characteristics Removal Rate
Very high
Lifetime
Long
Stability
High
Clogging
Low
Finish
Rough - good
Uses Dipergunakan untuk Hand Sanding dengan menggunakan Pad atau tatakan dari karet. Pengamplasan dilakukan dengan menggunakan air. Biasanya digunakan untuk pengamplasan dempul dan permukaan cat. Media yang diamplas: Dempul, besi dll Market Segment: Automotive dan Body Repair.
Ava i l a b l e F o r m s
59
Taiyo KXAN TAIYO KXAN Adalah amplas lubricated yang cocok untuk pengamplasan hand sanding dengan mengunakan jenis pasir Aluminium Oxide yang dilapis dengan stearate pada permukaan pasir, memungkinkan proses pengamplasan menjadi lebih efisien dan mendapatkan hasil yang sangat baik.
Taiyo KSCN TAIYO KSCN Adalah amplas lubricated yang cocok untuk pengamplasan hand sanding dengan mengunakan jenis pasir Sillicon carbide yang dilapis dengan stearate pada permukaan pasir, memungkinkan proses pengamplasan menjadi lebih efisien dan mendapatkan hasil yang sangat baik.
De s c r i p t ion
De s c r i p t ion
Backing
C Paper
Backing
C Paper
Boanding
Resin over resin
Boanding
Resin over resin
Grit
Alumunium oxide
Grit
Silicon carbide
Coating
Open coat
Coating
Open coat
Grit range
AA 80 – 400
Grit range
CC 120 – 400
Grain side color
White
Grain side color
White
Back side color
Brown
Back side color
Brown
Characteristics
Characteristics
Removal Rate
Very high
Removal Rate
Very high
Lifetime
Long
Lifetime
Long
Stability
High
Stability
High
Clogging
Low
Clogging
Low
Finish
Rough - good
Finish
Rough - good
Uses
Uses
Dipergunakan untuk Hand Sanding dengan menggunakan Pad atau tatakan dari karet.
Dipergunakan untuk Hand Sanding dengan menggunakan Pad atau tatakan dari karet.
Sangat tepat untuk pengamplasan lacuer pada kayu dan rotan
Product ini direkomendasikan untuk proses pengamplasan kering pada besi, tembok dan juga kayu pada bangunan
Market Segment: Woodworking
Market Segment: Woodworking
Ava i l a b l e F o r m s
60
Ava i l a b l e F o r m s
61
Taiyo TX100 TAIYO TX100 Adalah amplas dengan backing kain polycatton yang kuat cocok untuk pengamplasan kalibrasi maupun intermediate pada mesin wide belt sander maupun pada mesin yang mengunakan narrow belt, dengan penis pasir Aluminium oxide yang memungkinkan proses pengamplasan menjadi lebih cepat dan efisien untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Taiyo TX200Y TAIYO TX200Y Adalah amplas dengan backing kain polyester yang sangat tebal cocok untuk pengamplasan kalibrasi maupun intermediate pada mesin wide belt sander maupun pada mesin yang mengunakan narrow belt, dengan penis pasir Aluminium oxide yang memungkinkan proses pengamplasan menjadi lebih cepat dan efisien untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
De s c r i p t ion
De s c r i p t ion
Backing
X / Y Cloth
Backing
X / Y Cloth
Boanding
Resin over resin
Boanding
Resin over resin
Grit
Alumunium Oxide
Grit
Alumunium Oxide
Coating
Open coat
Coating
Open coat
Grit range
AA 60 – 400
Grit range
AA 40 – 400
Grain side color
Red
Grain side color
Red
Back side color
Black
Back side color
Yellow
Characteristics Removal Rate
Very high
Removal Rate
Very high
Lifetime
Long
Lifetime
Long
Stability
High
Stability
High
Clogging
Low
Clogging
Low
Finish
Rough - good
Finish
Rough - good
Uses
Uses
Dipergunakan untuk pengamplasan dengan mesin, dengan ukuran Wide belt maupun Narrow belt.
Dipergunakan untuk pengamplasan dengan mesin, dengan ukuran Wide belt maupun Narrow belt.
Product ini direkomendasikan untuk proses pengamplasan kering pada kayu, besi, tembok dan juga bidang lain.
Product ini direkomendasikan untuk proses pengamplasan kering pada kayu, besi, tembok dan juga bidang lain.
Market Segment: Woodworking & Metalworking
Market Segment: Woodworking & Metalworking
Ava i l a b l e F o r m s
62
Characteristics
Ava i l a b l e F o r m s
63
Taiyo TX300 TAIYO TX300 Adalah amplas dengan backing kain cotton yang cocok untuk pengamplasan intermediate pada mesin wide belt sander maupun pada mesin yang mengunakan narrow belt, dengan penis pasir Aluminium oxide yang memungkinkan proses pengamplasan menjadi lebih cepat dan efisien untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
De s c r i p t ion Backing
X Cloth
Boanding
Resin over resin
Grit
Alumunium Oxide
Coating
Open coat
Grit range
AA 60 – 400
Grain side color
Red
Back side color
Green
Characteristics Removal Rate
Very high
Lifetime
Long
Stability
High
Clogging
Low
Finish
Rough - good
Uses Dipergunakan untuk pengamplasan dengan mesin, dengan ukuran Wide belt maupun Narrow belt. Product ini direkomendasikan untuk proses pengamplasan kering pada kayu, besi, tembok dan juga bidang lain. Market Segment: Woodworking & Metalworking
Ava i l a b l e F o r m s
64