Daftar isi 1. Antara aku kau dan hujan__________________________7 2. Janji Haikal________________________________________15 3. Ihwal Kenangan___________________________________21 4 Hujan yang Membawaku___________________________29 5. Pilihan Hari________________________________________35 6. Mengeja Relung Nayla____________________________45 7. Rumah Hira________________________________________51 8. Menunggu Lara___________________________________57 9. Tanya yang Tak Tereja____________________________61 10. Dialog Dua Jiwa___________________________________65 11. Ti________________________________________________69 12. Sebingkai Cerita__________________________________75 13. Kembalinya Si Baen_______________________________81 14. Pak Uban________________________________________89 15.Catatan Sahari___________________________________101 16. Lelaki yang menunda damai______________________107 17. Pada Sebuah Perjalanan_________________________113 18. Aku dan Lelaki Sore Itu____________________________119 19. Malam Peramu Mimpi_____________________________125 20. Aku dan Mimpi yang Kutemu_______________________129 21. Labirin Mimpi_____________________________________135 22. Pak Yunyi________________________________________139 23. Semua Tentang Kita______________________________145
2
Membaca cerpen-cerpen seorang Anhar seperti membaca kehidupan lebih dekat dan lebih erat. Saat itu pula, ia seperti mengajak pembaca bertualang dalam dunia yang telah lama ada tapi dengan cara yang berbeda. Tak ragu saya menyatakan, Ia adalah cerpenis yang piawai meramu kehidupan dalam tiap ceritanya. Cerpen-cerpennya adalah potongan-potongan kehidupan yang sayang jika tak dibaca…. ~Fitri AB ( Penyair, Mahasiswi Pasca sarjana Unimed) Cerpen-cerpen Anhar memadukan realita dengan sentuhan imajinasi, perpaduan ini membuat cerpen-cerpen Anhar kaya akan nilai estetis tanpa harus kehilangan kontekstualitas zamannya. Cerpen-cerpen Anhar perlu dibaca semua pecinta sastra, dan menjadi renungan bersama. ~Jones Gultom ( Redaktur Sastra Harian Medan Bisnis) Santun, kesan pertama saya ketika mengenal seorang Anhar. Tulisannya terkesan ringan, tak perlu mengernyit dahi untuk menikmatinya, tapi selalu mampu membawa saya “berhenti” dari rutinitas berfikir untuk sejenak hanyut dalam alur ceritanya. Dan sepertinya lelaki penyuka hujan ini romantis… hehehe. “hujan adalah seribu tangan yang menjulur membawa kotak-kotak cerita, maka ceritakanlah hujanmu…” ~Seroja white (Seorang Ibu, Pendidik & Penulis) “Kurindui” karya yang tercipta dari seorang pujangga si peramu mimpi. Kata-kata indah namun sederhana. Setiap cerpennya memiliki roh, yang akan menghipnotis jiwa-jiwa yang kosong akan cerita-cerita imajinatif. ~Tri Periwi (Pecinta sastra, Mahasiswi UMN AW Medan) Kekuatan cerita-cerita seorang Muhammad Anhar adalah terletak pada cara Ia mengubah sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu cerita yang sulit ditebak, misterius, namun mengesankan! ~Irwansyah (Ketua KOMA Medan)
3
Sering kali menyayat, meski tak luput atas besarnya rasa cinta. Sederhana, punya ciri khas yang tidak luput dalam tiap ceritacerita yang ditulisnya… ~Ernisa Purba (Mata Pena NBC Medan, Owner Aeki T-Sirt) Anhar itu sahabat yang sejak dulu kukenal baik & sederhana. Dia adalah pemimpi tingkat tinggi yang tak pernah mau kehilangan api semangatnya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya itu. Salut buatmu Anhar, semoga semua mimpi-mimpimu terwujud. Tetap sederhana ya! ~Azrina Purba (Mahasiswi Pasca sarjana Unimed, Guru) Melukis jejak lewat kata, itu lebiasaanmu. Kata demi kata mengalir apa adanya, tapi kali ini kumaknainya sebagai sesuatu yang sederhana & menghanyutkan. Teruslah berjejak lewat kata, aku menantinya… ~Lisa (Mahasiswi B.Inggris UMN AW, penulis) Hanya satu kata yang tepat saya katakan, “Indah!” karya yang mampu memberi kesan tersendiri bagi pembacanya. Pemilihan diksi yang manis dan romantis, selalu memaksaku untuk terus mengikuti alur cerita hingga aku terperangah di tiap ending cerita yang dibuatnya! ~Ayu Sundari Lestari ( Mahasiswi, Cerpenis Medan) Membaca tulisan Bang Anhar, tak ubahnya menikmati secangkir kopi. Belum akan berhenti sebelum tandas tegukan terakhir. Setelahnya juga tak henti, menyulut rasa penasaran, tentang siapa sebenarnya tokoh dalam cerita. ~Ulfa Zaini (Prosais, Mahasiswi Bahasa Indonesia Unimed) Berbicara tentang Anhar, tak lengkap jika tak bersinggungan dengan cerpen-cerpennya yang selalu khas, mengalir serta ending cerita-ceritanya yang menarik itu. Mantap! ~El Surya (Penggagas KOMA Medan)
4
Kumpulan cerita yang sangat menarik dengan bahasa yang indah membuat pembaca hanyut ke dalamnya. Sastranya amat terasa dengan ciri khas seorang Anhar” ~Venny Mandasari, Cerpenis) Membaca cerpen-cerpen Bang Anhar, ibarat memakan durian. Tak cukup sekali, pun harum baunya. ~ Maulana Satrya Sinaga (Penyair ) Alur cerita-cerita yang dibangunnya begitu bagus, diksinya juga memumpuni. Secara keseluruhan sangat imajinatif. ~Tiflatul Husna (Penyair, ) Seperti tengah menikmati hangatnya suguhan teh di sore hari yang basah. Menentramkan jiwa. Filosofi hidup dan cinta yang diolah secara sederhana namun sarat makna. Salute to Muhammad Anhar! Good job. Proud of you! ~Setiawati (Entreprenuer, Penulis) Muhammad Anhar, adalah penulis dengan kejernihan hati, kesederhanaan jiwa. Semua itu terasa dalam cerita-cerita yang ia tuturkan. ~Abdillah Putra Siregar (Guru, Novelis) Segala mimpi akhirnya menjadi nyata, “Bravo kak Anhar!” ~Wulandari Persiani, Guru TK Khalifah, penulis) Saya mengenal Mas Anhar dari blognya. Saya suka membaca tulisan-tulisan Mas Anhar karena gaya bahasanya memang bagus. Buku ini sangat menarik, saya harus punya buku ini. ~Din Afriansyah (Penggiat IT, Blogger Sumut ) Tulisan adalah saksi bisu sejarah, meski ia bisu, nyatanya ia berbicara lebih ketimbang lisan. Begitupula dengan buku ini. ~Nurmayani (Mahasiswi Bahasa UMN Medan)
5
Gerimis masih menggaris di etalase toko.Sama sepertiku yang kini menggarisi rindu. Ya, rindu padamu, perempuan pecinta hujan. 6
Dulu, kerapkali kudengar senandungmu tentang hujan dan seperti biasa aku pun larut di dalamnya. Sungguh, suaramu dan hujan adalah paduan suara yang indah, teramat indah. Sesuatu yang indah diingatan, setidaknya hingga hari ini. “Maaf,” Sepotong katamu saat itu terangsur. Aku tahu, dari gurat wajah yang mengeras, dari jari manismu yang kini telah terlingkar cincin sakral. Aku tahu, telah tertutup sudah asa untuk memilikimu. Ah! Segalanya seperti mimpi. Andai engkau sudi berkisah tentang lelaki pilihan keluargamu itu, tentu aku berlega hati dan bisa menerima kata maafmu, setidaknya saat ini. Kau, perempuan berparas manis datang sore ini ketika gerimis bertandang. Tepat ketika aku pulang dari kantor dan berteduh di emperan toko. Berdiri bersama tubuh-tubuh yang terjebak garis-garis hujan. Di sini, aku menunggu bus atau becak yang akan mengantar ke tempat reparasi sepeda motorku. Di tempat ini pula, kita bertemu, aku senang kamu datang. Hanya ulas senyum yang tersungging, tak ada tingkah lain. Hanya diam dan kagum yang menyemat. Betapa merasa sangat beruntung menemukanmu lagi di tempat ini. Perempuan bertubuh cahaya, gumamku. Dalam diammu yang dingin, kamu menyihir korneaku untuk senantiasa melirik. Oh! Mata berpelangi itu sangat magnetis! Batinku. Aku beruntung, mungkin lebih tepat dikatakan takdir. Baru tiga detik yang lalu, seorang ibu tua dengan bawaan banyak menabrakku. Ini ibu itu meminta maaf, berkali-kali seraya menyumpah-nyumpah dirinya yang kurang awas. Tangan yang keriput itu mencoba membersihkan kemejaku yang terkena saus dagangannya. Tanganku segera menahan. Pelan, sopan. Kurasa tidak pantas sesosok tua memperlakukanku begitu, apalagi bukankah ini tidak sengaja dilakukan. Aku bergumam, risih. 7
Sambil tersenyum teduh, aku membantu ibu tua itu mengemasi dagangannya. Tanpa disangka, kamu memerhatikan, turut jongkok mendengarku yang berceloteh ringan menghibur si ibu tua. Mata kita sempat beradu, ada beberapa detik, semacam magnet yang menahan kedipan. Selesai. Sebelum ibu itu beranjak, masih sempat aku selipkan beberapa lembar rupiah ke dalam lipatan daun pisang dagangannya, sembari menitip pesan agar lebih berhati-hati. Mataku masih mengekori sosok itu. Ah! Betapa aku tersentuh. Masih kutatap langkah ringkih itu hingga di tikungan pertokoan. Ibu tua berhenti dan menggelar dagangan di sudut emper yang terlindung dari tempias hujan. Sebentar saja, berkerubung pembeli. Pelangggannya mungkin, gumamku. Aku tak sadar, entah sejak kapan mata yang sesejuk hujan itu memerhatikanku. Aku melihatmu. kamu berpaling, aku pura-pura menyembunyikan wajah di balik koran. Selang beberapa waktu aku memejamkan mata. Meredup sejenak. Ada yang dingin merambat, mengalir lembut, suara itu. Perlahan kuturunkan koran. Sempat aku ingin melonjak saat wajahmu yang tiba-tiba menyembul di balik lembaran koranku. Berlagak kalem, sempat kuangsur tanya. Kau menjawab dengan seulas senyum bijak. ”Maaf bang, korannya kebalik!” katamu yang serta merta membuat wajahku pias. Tak mau berlama menanggung malu, bergegas kutembus hujan sembari mendekap tas yang berisi beberapa lembar tulisanku. Engkau memanggilku. Tepatnya memanggil namaku. “Hari! Kamu masih menulis cerpen?” Bait tanya menyerbu bak hujan, menimpa-nimpa kepala. Kamu mengejarku lalu mengimbangi langkahku yang cepat. “Masih,” jawabku pendek
8
“Ehem! Apakah masih menulis tentangku?” sambungmu. Aku menatap, kamu membulatkan mata, lucu. Aku menggeleng. Rambutku yang lumayan lebat membuat beberapa percik air membasahi wajah putihmu. “Eeh! maaf,” Ujarku gugup melihat ulah yang kubuat sendiri. “Sudah ada yang lain ya? Maaf kalau begitu, nggak apa, tapi aku suka lihat kamu bantu ibu tua tadi, jarang ada pemuda seperti itu,” “Oh... Iya, makasih,” sambungku datar. “Kau tahu, aku selalu bahagia saat hujan turun seperti ini,” Ujarmu seraya mendongakkan wajah. Tangan kaurentangkan seolah ingin memeluk hujan. Ah! Perempuan yang aneh. Bukankah bedak di wajahmu akan luntur? Tapi, hei! Aku tidak melihatnya menyeka wajah karena itu. Wajahmu benar-benar polos, tak merias muka. Masih ada perempuan sebegini cantik? Tanpa poles kosmetik? Gumamku sambil tetap memandangi wajah yang masih juga menengadah itu. Tubuh kita kian basah. Tulisanku yang baru saja kuketik pun akan bernasib sama. Entahlah! itu tak kupedulikan. Kurasa amat sayang meninggalkan saat-saat bersamamu. Sungguh, aku mencintaimu lagi dalam waktu sesingkat ini, dalam debur hujan yang kian deras. Kamu masih juga berceloteh. Tentang kisah hujan. Masih seputar hujan. Masih saat hujan. Rambutmu yang ikal itu kini lurus mengikuti air yang mengalir membasahi baju merah mudamu. Kamu mengajakku berlari, sesaat kita berhenti untuk melepas sepatu. Aku kerap berpesan agar hati-hati, kamu mengangguk sembari tertawa riang. Aku tak tega menahan, kuikuti larimu yang kini menuju lapangan.
9
Tampak sekerumunan anak kecil, kau mengitari mereka dan ikut larut bermain kecipak air. Anak-anak itu tak terusik sama sekali, mereka semakin riang bermain dan saling melempar lumpur. Kamu menarikku, mengajak turut berkecipak dalam satu kubangan. Aku terpeleset, kamu terkekeh sehingga menyembulkan deretan gigimu yang serupa awan terang. Ah! matamu yang serupa telaga membuatku urung menasehati, aku malah tertawa lepas. Aku mengejar, dapat! Tanganmu sempat kutangkap, tapi karena licin akhirnya pegangan itu terlepas dan kamu tergelincir, jatuh dalam genangan air yang bercampur guguran dedaun. Kamu meringis seraya merengek memintaku menarikmu bangkit dari kubangan itu. Aku iba, lekas kujulurkan tangan. Ow! Aku lengah, curang! Kamu membalasku. Kini kita berdua tercebur dalam kubangan itu. Kemeja kotak-kotakku kian lamur, celana flanelku pun bersimbah lumpur. Kamu menatapku. Dalam. Sekejap tersenyum, tapi licik! Kedua tanganmu menciduk air dan menyiramnya ke arahku. Tak pelak wajahku semakin tak karuan. Aku membalas. Kita berbalasan. Kita tergelak, bebas, bahagia. Ah, Ulahmu barusan tidak lantas buatku marah, kamu memang seumpama hujan, menyejukkan dan mengail rindu untuk menemuimu. Ya, perempuan hujan, aku memanggilmu. Walau kadang menyebalkan, engkau selalu kurindukan, benarbenar persis seperti hujan. Hujan bersalin gerimis. Sebentar lagi pasti akan reda dan senja yang merona merah saga itu akan menyapa kita. Kini kulihat wajahmu, tanganmu, tubuhmu, bibirmu, memucat. Aku tanya mengapa, kamu hanya membisu. Kedua bola matamu malah asyik menekuri rinai hujan yang masih membasah di rambutku. “Aku harus pergi,” ujarmu
10