20
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 20–40
FILSAFAT POLITIK KANT DAN RELEVANSINYA BAGI PERLINDUNGAN MARTABAT MANUSIA Fransiskus Sales Lega Prodi Teologi STKIP St. Paulus Ruteng, Jl.Jend.Ahmad Yani, No.10, Ruteng-Flores 86508 e-mail:
[email protected]
Abstract: Political Philosophy of Kant and its Relevance For the Protection of Human Dignity. This article is aimed to explore the concept of political philosopy addressed by Kant. Immanuel Kant is a political philosopher who is very much concerned with human dignity in his political philosophy. Politics is an inherent part of human life. No man is apolitic. By politics human being is able to humanize himself and others. Kant emphasized that human is a being with dignity. If politics is undestood as an instrument for humanizing human being, so politics never dehumanize human dignity. On the other hand, it plays a significant role in protecting human dignity. According to Kant, protection to human dignity can be guaranteed by state and republican constitution and the progress of international partnership toward everlasting peace, which is free from exploiting war as an instrument of achieving it. Keywords: political philosophy, human dignity, state, dan perpetual peace Abstrak: Filsafat Politik Kant dan Relevansinya Bagi Perlindungan Martabat Manusia. Politik merupakan bagian yang inheren dari kehidupan segenap umat manusia. Tidak ada manusia yang apolitis. Melalui politik manusia mampu memanusiakan diri dan sesamanya. Kant menegaskan bahwa manusia adalah mahkluk yang bermartabat. Jika politik dilihat sebagai sarana untuk memanusiakan manusia, maka politik tidak pernah boleh melecehkan martabat manusia. Politik harus memainkan peranan penting dalam melindungi martabat manusia. Immanuel Kant adalah filsuf politik yang menempatkan martabat manusia pada pusat filsafat politiknya. Menurut Kant, perlindungan terhadap martabat manusia dapat dijamin oleh negara-negara dan konstitusi yang berbentuk republikan dan kemajuan kerjasama internasional demi terciptanya perdamaian abadi tanpa menggunakan perang sebagai sarana mencapainya. Kata Kunci: filsafat politik, martabat manusia, negara, dan perdamaian abadi
PENDAHULUAN
penulis, Kant tidak hanya terkenal karena ketiga karya kritiknya itu, tetapi juga refleksi kritisnya tentang realitas politik. Buku Perpetual Peace yang diterbitkan 9 tahun sebelum wafatnya mengandung pemikiran-pemikiran bernas tentang politik. Williams Howard (2003: v) menyatakan bahwa secara umum mungkin orang beranggapan bahwa filsafat politik Kant tidak sepopuler pemikiran para filsuf ternama dalam bidang filsafat politik. Atau pemikiran politiknya mungkin kurang revolusioner seperti karyanya dalam bidang epistemologi, etika dan estetika. Tetapi Howard melihat bahwa filsafat politik Kant tetap menunjukkan kekhasannya terhadap filsafat politik yang dikonstruksi oleh para filsuf lainnya.
Ketika kita berbicara tentang pemikiran filosofis Immanuel Kant, hal yang mungkin terlintas dalam benak kita adalah kritik. Kritik adalah kata pertama dalam tiga karya besar Kant dalam bidang filsafat. Buku kritik pertama berjudul Critique of Pure Reason berkaitan dengan epistemologi. Buku kritik kedua berjudul Critique of Practical Reason membahas etika. Buku kritik ketiga berjudul Critique of Judgement mengulas tentang putusan estetis. Judul dan isi ketiga buku ini secara gamblang menunjukkan hakikat filsafat sebagai kritik. Ketiga buku ini membuat Kant dijuluki sebagai perintis dan pendasar era kritisisme dalam filsafat. Meskipun demikian, hemat
20
Lega, Filsafat Politik Kant dan Relevansinya ...
Katrin Flikschuh (2000:2), dalam bukunya yang berjudul Kant and Modern Political Philosophy, menyatakan bahwa salah satu tema sentral dalam filsafat politik Kant adalah kebebasan. Karena itu, menurut Flikschuh, Kant digolongkan ke dalam atau bahkan lebih dari pemikir-pemikir besar tradisi liberal, seperti Hobbes, Locke, Rousseau dan John Stuart Mill. Hal yang sama juga diakui oleh Stephen Palmquis. Menurut Palmquis (2002:371), Kant sering dipandang sebagai salah satu pendiri ideologis demokrasi liberal modern. Pemikiran Kant sangat memengaruhi perkembangan sistem politik barat berikutnya, termasuk yang kini disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam filsafat moral, Kant menenun suatu gagasan yang sangat fundamental tentang martabat manusia. Menurut Kant, manusia adalah makhluk yang bermartabat, makhluk yang mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh diperlakukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan apa pun. Dalam risalah politiknya, Kant tetap mempertahankan gagasan ini. Menurut Kant, negara harus menjamin perlindungan terhadap martabat manusia. Negara harus menjamin bahwa setiap individu harus diperlakukan sebagai pribadi yang bermatabat. Dewasa ini, bidang politik, di satu sisi, sungguh mengalami kemajuan yang sangat signifikan, baik politik pada level nasional dan internasional, maupun pada level lokal. Pada level nasional, muncul usahausaha untuk membenahi sistem dan praktik politik. Banyak negara mengembangkan bentuk negara demokrasi. Negara demokrasi dipandang sebagai bentuk ideal yang memungkinkan manusia mengaktualisasikan potensi-potensinya sebagai ens sociale. Pada tataran internasional, mekarnya kerja sama dalam bidang politik luar negeri. Kerja sama politik transnasional selalu berorientasi para transfomasi kualitas hidup manusia. Pada level lokal, masyarakat mulai sadar akan pentingnya wadah untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi politiknya. Masyarakat sudah mulai berani memperjuangkan hak-hak politiknya melalui wadah organisasi yang mereka bentuk. Di sisi lain, kita harus mengakui bahwa politik mengalami regresi. Pada level internasional, kita menyaksikan bahwa perang seringkali masih digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik antarnegara. Negara-negara yang sangat menghormati hak-hak asasi manusia pun seringkali memilih perang sebagai cara mengatasi konflik. Ini sungguh merupakan sebuah
21
kontradiksi politik. Pada level nasional dan lokal, para calon pemimpin seringkali menjadikan rakyat sebagai sarana untuk memuluskan ambisi kekuasaan. Di Indonesia, misalnya, kita terus menyaksikan praktik-praktik politik yang menyimpang. Politik yang mengusung cita-cita memanusiakan manusia justru membuat manusia menjadi tidak manusia. Politik menjadi arena untuk merendahkan dan menghancurkan sesama. Hal ini menunjukkan bahwa politik masih harus terus dibenahi agar mencapai tujuan luhurnya yakni kesejahteraan umat manusia. Tulisan ini hendak menampilkan pemikiran filsafat politik Kant, secara khusus konsepnya tentang negara dan perdamaian abadi. Hemat penulis, pandangan Kant tentang negara dan perdamaian abadi memiliki implikasi penting bagi usaha menegakkan martabat manusia. Ada hubungan yang sangat kuat antara filsafat moral dan filsafat politik Kant. Gagasan tentang martabat manusia dalam filsafat moral dipertegas lagi dalam filsafat politiknya. Penulis mengakui bahwa tulisan ini tidak bermaksud memaparkan seluruh filsafat politik Kant. Ini disebabkan oleh keterbatasan sumber tentang filsafat politiknya. Penulis mendasarkan kajian kritis ini pada buku Perpetual Peace yang ditulis 9 tahun sebelum Immanuel Kant wafat. APA ITU FILSAFAT POLITIK? Filsafat dan ilmu di satu sisi memiliki kesamaan, tetapi di sisi lain memiliki perbedaan. Kesamaan filsafat dan ilmu berkaitan dengan aspek objektif, metodis, sistematis, kritis, koheren, dan universal. Perbedaan antara filsafat dan ilmu terletak dalam cara memandang realitas. Ilmu pada umumnya dicirikan oleh pembatasan objek kajiannya atau hanya mendekati bagian tertentu dari realitas sedangkan filsafat memandang realitas dalam totalitasnya. Ilmuilmu empiris menyelidiki sesuatu berdasarkan apa yang bisa diindrai, sedangkan filsafat berusaha menemukan struktur fundamental atau sebab yang terdalam bagi kenyataan. Filsafat tidak menyiapkan jawaban yang siap pakai, tetapi jawaban filafat selalu bersifat terbuka. Berdasarkan pembedaan antara filsafat dan ilmu di atas, kita bisa menyatakan bahwa filsafat politik berbeda dengan ilmu politik. Mungkin dari sisi objek materialnya sama, tetapi dari objek formalnya berbeda. Ilmu politik membahas tema-tema seputar negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan, pembagian serta alokasi (Kaelan, 2003:96). Pada tataran tetentu, filsafat juga berbicara
22
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 20–40
tentang tema-tema ilmu politik. Filsafat politik bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental dan eksistensial tentang negara dan kekusaan. Titik tolak setiap refleksi filsafat politik adalah konsep tentang negara. Filsafat politik merupakan satu cabang filsafat moral (praktis) yang merefleksikan secara ilmiah-filosofis persoalan institusi dan organisasi kenegaraan. Refleksi tentang negara perlu dibuat, sebab dalam sejarah negara tidak selalu ada dan tidak semua manusia atau kelompok budaya hidup dalam negara (Madung, 2013:1–2). Dalam filsafat politik, martabat manusia merupakan salah satu tema sentral. Politik pada hakikatnya diusahakan untuk memajukan atau meningkatkan kualitas kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial. Politik membuat manusia menjadi semakin mausiawi. Itu berarti politik adalah sarana atau alat untuk membantu manusia merealisasikan potensi-potensinya. Bukan sebaliknya, manusia sebagai sarana politik. Politik yang sesungguhnya harus respek terhadap martabat manusia. Madung mengakui bahwa Kant adalah filsuf yang menjadikan martabat manusia sebagai bagian integral dari filsafat moralnya. Gagasan tentang martabat manusia yang banyak diakui hingga kini berasal dari Kant. Menurut Kant, manusia mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh diperlakukan sebagai sarana. Sarana adalah sesuatu yang dipakai untuk mencapai tujuan lain. Meskipun demikian, setiap manusia sebagai tujuan dalam dirinya membutuhkan pengakuan dari yang lain dan dari dirinya. Pengakuan tersebut bersifat timbal balik. Tuntutan akan pengakuan dari sesama seringkali membuat martabat manusia rentan untuk dilecehkan (Madung, 2003: 154–156). NEGARA SEBAGAI SALAH SATU TEMA FILSAFAT POLITIK Miriam Budiarjo (Umaruddin, dkk., 1999:9) mendefinisikan negara sebagai “suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-udangan melalui kontrol monopolistik dari kekuasaan yang sah”. Berdasarkan definisi ini, ada empat unsur pokok negara, yakni wilayah kedaulatan, rakyat, pemimpin, dan undang-undang. Pertama, Setiap negara mempunyai wilayah yang batas-batasnya diakui oleh negara lain. Pengakuan kedaulatan atas wilayah kekuasaan suatu negara penting untuk keamanan
warga negara menata hidupnya dalam wilayah negaranya. Batas teritotial ini menjadi dasar bagi setiap negara untuk melawan setiap bentuk inovasi negara lain. Kedua, rakyat atau warga negara. Negara dibentuk untuk menjamin kebutuhan warga negara. Rayat atau warga negara adalah unsur pokok pembentuk sebuah negara. Ketiga, pemimpin. Pemimpin adalah fasilitator dan motivator kemajuan dan kesejahteraan warga negara. Keempat, undangundang. Setiap negara mempunyai undang-undang. Undang-undang sebagai sarana yang memungkinkan semua elemen dalam negara itu menjalankan perannya secara proporional. Jacques Maritain (1951:12–13), dalam bukunya yang berjudul Man and the State, mengartikan negara sebagai bagian dan agen instrumental dari lembaga politik. Ia merupakan bagian tertinggi dalam lembaga politik. Negara berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan pemeliharaan hukum, pengembangan kesejahteraan umum dan administrasi hal-hal publik. Ia ada untuk rakyat. Karena itu, negara harus dikontrol oleh rakyat. H.M. Fried (Cotton dan Service:3) mengartikan negara sebagai “sistem pemerintahan terpusat yang timbul dari beberapa sistem kelembagaan yang tidak sederajat di mana pemimpin-pemimpin, kelompok pemimpin mempunyai akses khusus terhadap sumbersumber yang menopang dan mendukung kehidupan”. Ada tiga gagasan kunci dalam pengertian negara yang digagaskan oleh Fried, yakni sistem pemerintahan yang terpusat, gradasi dalam sistem pemerintahan, dan akses bagi pemimpin untuk mendapatkan sesuatu. Para pemimpin mengalami keuntungan karena sistem pemerintahan terpusat. Magnis Suseno (1988:170) memahami negara dari dua sudut tinjauan. Pertama, negara adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis. Kedua, negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis itu, yang menata dan dengan demikian menguasai wilayah itu. Relasi yang harmonis antara kedua unsur ini sangat penting untuk mewujudkan cita-cita hidup bernegara. Warga masyarakat yang tinggal dalam satu kesatuan politis selalu membutuhkan pemimpin untuk memfisilitasi hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam negara. Pemimpin negara bukan menjamin kepentingan politis sekelompok orang saja atau rezimnya, tetapi semua masyarakatkan yang ada di bawah kekuasaannya. Madung (2013:17–53) mengidentifikasi lima model klasik alasan berdirinya negara. Pertama,
Lega, Filsafat Politik Kant dan Relevansinya ...
model eudaimonistis. Model ini menegaskan bahwa negara dibutuhkan sebagai syarat untuk mencapai kebahagiaan dan pengembangan hidup yang baik. Kedua, model utilitarisme. Model ini menekankan prinsip kegunaan. Negara mempunyai tugas untuk mengupayakan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Negara memiliki fungsi kritis guna mendobrak ketaksamaan dan privilese sosial. Ketiga, model teori kontrak strategis Thomas Hobbes. Model ini berpijak pada konsep rasionalitas strategis. Negara didirikan atas pertimbangan rasional strategis. Keempat, model teori kontrak moral. Model ini berpijak pada rasionalitas etis atau moral. Menurut Kant, pendirian negara merupakan jawaban rasional atas tuntutan hak kebebasan kodrati dan tuntutan untuk melindungi hak milik. Kelima, model komuniter intersubjektif: model ini memberikan penekanan pada identitas sosial dan kultural sebuah bangsa. DUA FILSUF YANG MEMPENGARUHI PANDANGAN KANT TENTANG NEGARA Thomas Hobbes Hobbes menjelaskan pandangannya tentang negara bertolak dari analisis tentang keadaan alamiah manusia. Manusia secara alamiah sama, tetapi hal ini tidak membuat manusia merasa aman karena masing-masing orang mengklaim sesuatu sebagai miliknya. Perebutan objek yang sama menimbulkan perselisihan antarmanusia. Menghancurkan sesama merupakan jalan untuk mendapatkan objek yang mau dicapai. Hobbes menyatakan: Dari persamaan kemampuan ini timbul persamaan harapan dalam mencapai tujuan kita. Oleh sebab itu, bila ada dua orang yang menginginkan suatu barang yang sama yang tidak dapat dinikmati sekaligus oleh keduanya, mereka menjadi bermusuhan; dalam usaha mencapai tujuan...mereka berusaha menghancurkan atau menguasai yang lain (Noer, 1997:108).
Hobbes menggambarkan keadaan alamiah manusia sebagai keadaan bebas tanpa batas. Semua orang bebas karena belum ada lembaga atau orang yang memiliki wewenang untuk mengatur orang lain. Ia bebas melakukan apa yang diinginkannya untuk mempertahankan diri. Dalam keadaan alamiah, ide tentang benar dan salah, adil dan tidak adil tidak ada karena tidak ada penguasa dan hukum. Kekuatan dan penipuan adalah dua keutamaan pokok. Perang adalah moment pembuktian kekuatan (Schmandt, 2002:312).
23
Kondisi kebrutalan dan peperangan mendorong individu untuk memuat pakta sosial. Mereka memberi janji untuk mendirikan lembaga dengan wewenang mutlak untuk menata mereka melalui undangundang dan memaksa mereka semua agar taat kepada undang-undang itu. Mereka memberi segala kekuasaan dan kebebasan mereka kepada satu orang atau dewan untuk mengatur kehidupan mereka. Setiap orang menyerahkan hak untuk memerintah dirinya sendiri kepada orang lain yang berperan sebagai pemimpin. Segala tindakannya berada di bawah pengawasan seseorang atau sekelompok orang pemimpin (Copleston, 1964:33). Penguasa tidak terlibat dalam membuat perjanjian. Karena itu, ia tidak terikat oleh perjanjian itu. Penguasa memiliki kekuasaan atas mereka yang membuat janji. Penguasa dipilih melalui pemungutan suara. Mereka yang mendapat suara terbanyak, tanpa harus mendapat suara mutlak, akan menduduki kekuasaan dalam sebuah negara (Peters, 1967:42). Penguasa memiliki kekuasaan mutlak untuk menetapkan undang-undang untuk menjamin ketentraman warga. Rakyat tidak boleh mempersoalkannya. Penguasaan dan kebijakannya bebas dari berbagai arus kritik dan debat publik. Semua pendapat dan doktrin diseleksi oleh penguasa sebelum dipublikasikan. Hobbes (Noer, 1997:105) menyatakan: Kekuasaannya tidak dapat diserahkan kepada yang lain tanpa persetujuannya. Kekuasaannya itu tidak dapat lepas dari tujuannya. Ia tidak dapat dituduh oleh salah seorang rakyatnya melakukan pelanggaran; ia tidak dapat dihukum oleh mereka; dialah hakim tentang apa yang perlu bagi perdamaian; dan penentu hukum tentang doktrin-doktrin; dialah satusatunya pembentuk undang-undang; dia hakim tertinggi pada perselisihan-perselisihan; dan tentang waktu-waktu dan kesempatan perang dan damai; padanya terserah untuk memilih anggota pemerintah, penasihat, panglima-panglima dan semua pejabat dan menteri yang lain dan untuk menentukan ganjaran, hukuman, penghormatan dan penghargaan.
Meskipun penguasa memiliki kekuasaan atas banyak hal, namun Hobbes juga mengakui kebebasan individu dalam bidang tertentu yang tidak harus mendapat campur tangan dari pemerintah, seperti hak atas jual beli, penghasilan, cara kehidupan, dan menyekolahkan anak-anak di tempat yang cocok (Schmandt, 2002:321).
24
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 20–40
Individu membentuk hidup bersama di bawah seorang penguasa dengan tujuan untuk melingungi dirinya. Oleh karena itu, ia dapat menentang penguasa yang bertindak merusakkan kehidupannya. Ia mempunyai hak untuk menentang penguasa jika penguasa menyuruhnya “untuk membunuh atau melukai dirinya sendiri; atau membiarkan orangorang menyerangnya; atau tidak bisa menggunakan makanan, air, obat-obatan atau segala sesuatu yang tanpanya ia tidak bisa hidup” (Noer, 1997:106). Jika penguasa menindas atau mengancam para warganya, maka mereka akan berusaha untuk melindungi diri dengan kekuatannya sendiri. Tindakan sewenang-wenang dari penguasa terhadap hak mempertahankan hidup dari para warga menghancurkan kontrak yang telah dibuat. Konsekuensinya negara bubar dan masyarakat kembali ke keadaan alamiahnya (Magnis-Suseno, 1988:211). Beberapa hal yang perlu dicermati dari apa yang diklaim Hobbes dalam teorinya tentang negara. Pertama, perang, perebutan kekuasaan dan penindasan terhadap sesama manusia merupakan realitas yang dihadapi dan dialami Hobbes selama hidupnya. Sejarah kekerasan terhadap manusia pada zamannya turut menentukan pandangan Hobbes tentang manusia. Hobbes, dalam analisisnya tentang keadaan alamiah manusia, mereduksi manusia pada sifat kebinatangan yang selalu berjuang meempertahankan hidupnya dengan mengalahkan para pesaingnya. Kedua, motivasi dasar orang membuat perjanjian untuk hidup bersama. Menurut Hobbes, perasaan paling kuat pada manusia adalah adalah ketakutan akan kematian dan keinginan untuk mendapatkan kehidupan. Hal ini akan hilang jika orang bersedia melepaskan kondisi alamiahnya dan membuat perjanjian dengan orang lain. Analisis Hobbes tentang munculnya negara berbeda dengan Plato. Bagi Plato, manusia membentuk hidup bersama untuk mempermudah pemenuhan segala kebutuhannya. Negara harus dilihat sebagai suatu sistem pelayanan yang mengharuskan warga negara bertanggung jawab atas sesamanya (Rapar, 1988:61–62) Hobbes melihat kebutuhan untuk membentuk negara berdasarkan kondisi eksternal yang menekan manusia, sedangkan Plato melihatnya sebagai sesuatu yang hakiki pada manusia. Ketiga, penguasa memiliki kekuasaan mutlak. Memberikan kekuasaan mutlak kepada penguasa tanpa pengontrolan undang-undang dan rakyat
mengimplikasikan beberapa hal berikut: pertama, para warga kehilangan hak publisitasnya. Kedua, penguasa menjadi pribadi yang memiliki kebebasan penuh dalam negara. Ia bebas menentukan apa yang baik dan benar untuk negara. Membebaskan penguasa dari pengontrolan undang-undang dan para warga pada dasarnya tidak mendukung tercapainya ketentraman dan keteraturan dalam negara. J.J. Rousseau Pandangan Rousseau tentang negara terdapat dalam tulisannya yang berjudul Social Contract. Berbeda dengan Hobbes yang menggambarkan keadaan alamiah sebagai keadaan perang dan ketakutan akan kematian dan keinginan untuk hidup secara bebas, Rousseau justru memandang manusia dalam kondisi primitifnya sebagai bebas dari segala wewenang orang lain (Schmandt, 1997:391). Kondisi manusia menjadi buruk ketika manusia masuk ke dalam suatu masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan kesenian merusak moralitas manusia. Meskipun demikian, manusia tidak mungkin akan kembali ke kondisi primitifnya ini. Manusia harus mengakui eksistensi masyarakat. Kontrak sosial memungkinkan peralihan dari kebebasan alamiah ke dalam kebebasan sipil dan moral. Manusia kehilangan kebebasan natural dan hak yang tidak terbatas atas segala sesuatu, tetapi manusia, melalui kontrak sosial, akan memperoleh kebebasan sipil dan jaminan atas hak miliknya (Copleston, 1964:83). Manusia sebagai makhluk yang berkebebasan sangat berakar dalam pemikiran Rousseau. Kebebasan, baginya, tidak boleh dihapus. Karena itu, kontrak yang dibuat di antara semua individu harus tetap terjaga agar kebebasan manusia tetap dilindungi. Membentuk hidup bersama bertujuan untuk memberikan ruang yang proporsional bagi setiap orang untuk lebih pasti dalam mengekspresikan otonomi dan kebebasannya. Suatu bentuk persekutuan harus dibangun yang berakibat bahwa semua kekuatan masyarakat dikerahkan untuk melindungi pribadi dan milik tiap anggota yang bersekutu, sedemikian rupa sehingga tiap anggota yang bersekutu dengan kawan-kawannya menjadi patuh pada kemauannya sendiri, dan tetap berada dalam keadaan bebas sebagaimana sebelumnya (Noer, 997:161).
Kebutuhan akan kesatuan dalam masyarakat dan keinginan akan diri yang otonom dan bebas akan tercapai kalau setiap anggota rela menyerahkan diri
Lega, Filsafat Politik Kant dan Relevansinya ...
dan segala kekuatannya kepada semua orang yang membuat kontrak. Penyerahan tidak bermuara pada kehilangan apa yang diserahkan tetapi akan mendapatkannya kembali dan orang akan mendapat kekuatan yang lebih besar untuk mempertahankan apa yang dimilikinya (Betts, 1994:55). Gagasan ini menunjukkan kesamaan serentak perbedaan antara Hobbes dan Rousseau. Keduanya sependapat bahwa semua orang harus menyerahkan haknya dalam kontrak itu. Tetapi bagi Hobbes, penyerahan hak itu diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang, sedangkan bagi Rousseau, penyerahan hak-hak itu terjadi di antara mereka semua yang terlibat dalam kontrak. Kontrak sosial itu memungkinkan terbentuknya kehendak umum. Apa itu kehendak umum? Kehendak umum merupakan persoalan yang sangat fundamental dalam pemikiran politik Rousseau. Kehendak umum selalu benar dan selalu memelihara kesejahteraan umum. Untuk menjelaskan hal ini, ia membuat distingsi antara kehendak setiap orang dan kehendak umum. Kehendak umum terarah kepada kepentingan umum dan bernilai universal, sedangkan kehendak setiap orang bernilai partikular dan terarah kepada kepentingan privat (Betts, 1994:66). Apakah kehendak umum merupakan kehendak semua orang? Rousseau menyadari bahwa kehendak umum tidak selalu merupakan suara dari mereka semua yang terlibat dalam kontrak sosial. Ada kemungkinan bahwa ada orang yang tidak setuju dengan apa yang diklaim sebagai kehendak umum. Untuk mengatasi hal ini, menurut Rousseau, kita bisa menempuh jalur suara mayoritas. Anggota yang tidak sepakat disebabkan oleh kekurangan pengetahuan tentang kepentingan bersama. Karena itu, kesadaran bernegaranya perlu dibina agar menyadari kepentingan umum. Rousseau tidak menyangkal bahwa setiap individu memiliki kepentingan pribadi yang bertentangan dengan kehendak umum itu. Orang bisa dipaksa untuk melakukan kehendak umum apabila ia menolak untuk melaksanakannya. Pemaksaan ini tidak bermaksud menyangkal kebebasannya, tetapi membuat dia menjadi bebas. Dalam pengertian bahwa ia hidup di bawah kehendak umum (Betts, 1994: 58). Negara, bagi Rousseau, adalah penjelmaan kehendak umum. Rakyat tidak diperintahkan oleh sesuatu yang berasal dari luar dirinya, tetapi oleh kehendak umum yang menuntun mereka dalam kehidupan bersama. Semua warga diarahkan oleh
25
kehendak umum menuju kepentingan umum (Betts, 1994:63). Kehendak umum, meskipun pada titik tertentu diperoleh melalui suara terbanyak, bukan sesuatu yang heteronom. Kehendak umum bisa menjadi kehendak saya sendiri. Proses internalisasi kehendak umum memungkinkan adanya kesadaran posesif akan kehendak umum. Negara yang sah, dalam perspektif Rousseau, harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat adalah otoritas tertinggi dalam negara. Kedaulatan itu mutlak. Itu berarti bahwa kekuatan hukum hanya ada pada rakyat. Kedaulatan rakyat, bagi Rousseau, tidak dapat dialihkan atau dipindahkan kepada orang lain (Betts, 1994:63). Kehendak rakyat, karena berhubungan dengan otonomi dan kebebasannya, tidak dapat didelegasikan dalam menentukan kehendak umum. Kedaulatan rakyat juga tidak dapat dibagi karena ia berasal dari kehendak umum. Membaginya berarti kita hanya memiliki kehendak partikular dan karena itu, bukan kedaulatan. Kita tidak dapat membagi kedaulatan itu ke dalam kekuasaan-kekuasaan, seperti kekuasaan legislatif dan eksekutif. Eksekutif hanya berhubungan dengan administrasi pemerintahan. Ia adalah instrumen penguasa. Penguasa adalah rakyat (Copleston, 1964:85). Rakyat, sebagai yang memiliki kedaulatan tertinggi dalam negara, membuat hukum. Hukum adalah suara dari kehendak umum atau kehendak rakyat. Dalam konteks ini, Rousseau berbeda dengan Hobbes. Hobbes memberikan kebebasan sepenuhnya kepada seseorang atau sekelompok penguasa untuk menetapkan undang-undang. Bagi Rousseau, pembentukan hukum menuntut partisipasi warga negara. Hal ini mengandung cita-cita luhur Rousseau tentang kebebasan dan otonomi individu. Rousseau mengehendaki agar orang menjalankan hukum yang dikehendakinya sendiri. Bagaimana rakyat membuat undang-undang? Rakyat dapat berkumpul secara periodik untuk menetapkan undang-undang atau membicarakan persoalan publik. Rousseau merasa bahwa kebebasan lebih terjamin ketika rakyat berkumpul secara periodik untuk menyatakan kehendak umum. Hal ini sangat sulit untuk sebuah negara yang sangat luas. Pemikiran Rousseau hanya cocok untuk negara kota atau polis-polis. Hukum merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan bersama. Hukum memiliki hubungan erat dengan keadilan. Dengan hukum kita bisa
26
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 20–40
memutuskan apa yang adil dan tidak adil dari perilaku kita. Karena itu, dalam konteks ini perlu ada konvensi-konvesi dan hukum-hukum yang bertujuan memadukan hak-hak dengan kewajiban-kewajiban. Semua negara yang diperintahkan oleh hukum disebut republik, apa pun bentuk administrasinya, karena hanya kepentingan umum yang memerintah dan segala hal publik dilihat sebagai sesuatu yang berharga. Semua pemerintahan yang legitim adalah republikan. Hubungan kerja sama dalam sebuah negara dianalogikan dengan kekuatan moral yang memutuskan tindakan dan kekuatan fisik yang melaksanakannya. Bila saya berjalan menghadapi sesuatu, pertama, saya hendaknya ingin menghadapinya dan kedua, kaki saya menghantar saya ke sana. Lembaga politik juga berhubungan dengan kekuatan dan kehendak. Kekuatan berhubungan dengan eksekutif dan kehendak berhubungan dengan legislatif. Kekuatan legislatif adalah milik rakyat. Pemerintah melaksanakan tugas yang dipercayakan rakyat. Pemerintah sebagai pelaksana tugas yang dipercayakan oleh rakyat bukan karena kontrak antara rakyat dan pemerintah tetapi karena kehendak penguasa. Rakyat dapat mengangkat dan memberhentikan orang yang dipercayakan untuk melaksanakan tugas negara. Kepatuhan kepada pemerintah tidak berarti bahwa pemerintah berkuasa atas rakyat. Ketaatan terhadap hukum bukan ketaatan terhadap sesuatu yang heteronom karena hukum yang ditaati adalah hukum yang dibuat secara bersama oleh para warga. Ketaatan terhadap hukum, karena itu, bersifat otonom. Berdasarkan uraian atas pemikiran politik Rousseau ini, maka ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, indentifikasi antara negara dan kehendak umum. Kehendak umum adalah negara atau negara adalah kehendak umum. Dalam konteks ini, Rousseaui tidak menyelesaikan persoalan kekuasan mutlak yang berada pada tangan satu orang atau beberapa orang dalam perspektif Hobbes, tetapi malah menawarkan satu ekstrim lain. Jika kehendak umum diperoleh melalui suara mayoritas, maka kehendak mayoritas adalah negara dan negara adalah kehendak mayoritas. Lebih lanjut Rousseau menjelaskan bahwa kehendak umum selalu benar. Jika demikian halnya, maka kehendak mayoritas juga benar. Namun dalam kenyataannya kita melihat bahwa hal yang dikehendaki oleh banyak orang belum tentu benar. Ada kemungkinan bahwa orang meyakini secara bersama hal keliru.
Kedua, pemikiran Rousseau tentang kehendak umum akan mempersempit ruang bagi minoritas untuk mendapat tempat dalam merumuskan kepentingan umum. Memaksakan kelompok tertentu untuk menerima apa yang dikehendaki mayoritas justru memperlemah klaim Rousseau sendiri tentang kebebasan manusia. Jika ia konsekuen dengan pemikiran dasarnya bahwa kebebasan warga negara harus tetap dipertahankan, maka ia juga harus menganjurkan agar mayoritas menyesuaikan diri dengan minoritas. Ketiga, Rousseau mengidealkan negara yang mengharuskan keterlibatan semua warga negara dalam menentukan undang-undang atau menetapkan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan publik. Negara seperti ini tidak cocok untuk negara demokrasi dengan wilayah yang luas. Negara dalam perspektif Rousseau hanya cocok untuk polis-polis era Yunani antik atau negara kota. Negara demokrasi, pada masa kini, menekankan pembagian kekuasaan dalam negara. PANDANGAN KANT TENTANG NEGARA Kondisi Alamiah (State of Nature) Hobbes mengklaim kondisi alamiah manusia sebagai kondisi yang ditandai oleh perang permanen untuk mempertahankan diri. Rousseau melihat kondisi pramasyarakat sebagai kondisi bebas tanpa otoritas luar yang memerintah. Manusia bebas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi ia dikuasai oleh naluri bukan rasio. Dalam masyarakat sipil, manusia menggunakan rasionya. Kant, dalam filsafat politiknya, menjelaskan terbentuknya negara bertolak dari sudut pandang moral. Hobbes dan Rousseau, menurut Kant, menjelaskan adanya negara dengan mendasarkan diri pada penjelasan historis faktual. Kant mengklaim bahwa analisis atas keadaan alamiah manusia dalam perspektif Hobbes dan Rousseau tidak menjawab pertanyaan tentang apa yang membuat manusia bisa menerima otoritas pembuat undang-undang. Hobbes dan Rousseau menggiring kita untuk membayangkan kondisi alamiah manusia sebagai fakta pranegara dan mendasarkan kewajiban politik pada pengandaian faktual akan kondisi alamiah itu (Howard, 2003:218–219). Penolakan Kant terhadap klaim Hobbes dan Rousseau tentang kondisi alamiah pranegara didasarkan atas klaim moral yang telah dijelaskannya. Manusia, sebagai makhluk noumenal, harus taat pada hukum yang dikehendakinya sendiri. Analisis
Lega, Filsafat Politik Kant dan Relevansinya ...
atas keadaan alamiah manusia yang bercorak faktual tidak bisa menjawab pertanyaan tentang prinsipprinsip yang mendasari kewajiban politik manusia dalam masyarakat. Meskipun Kant menolak analisis Hobbes dan Rousseau tentang keadaan alamiah, namun ia juga bertanya tentang hal ini dalam filsafat politiknya. Menurut Kant, salah satu pertanyaan yang harus dijawab oleh filsuf politik adalah mengapa manusia memutuskan untuk meninggalkan kondisi alamiahnya? Hal yang membedakan Kant dengan Hobbes dan Rousseau adalah Kant melihat pertanyaan ini sebagai pertanyaan etis, sedangkan bagi Hobbes dan Rousseau pertanyaan ini dilihat sebagai pertanyaan faktual. Bagi Kant, adanya negara didasarkan atas pembenaran a priori. Pembenaran a priori atas adanya negara bertujuan untuk menjelaskan pijakan moral bagi ketertiban sosial (Howard, 2003: 221). Kondisi alamiah, dalam perspektif Kant, adalah adanya ketidakpastian umum karena ketiadaan aturan umum. Dalam kondisi alamiah ini, semua orang mampu mengklaim hak original atau natural mereka atas kebebasan. Keadaan alamiah ini tidak ditandai oleh ketiadaan hak-hak karena semua manusia dipikirkan di sini sebagai pemegang-pemegang hak original atas kebebasan, tetapi kurangnya atau tidak ada hukum sipil publik yang kuat melindunginya. Konsekuensinya dalam keadaan seperti ini, klaim-klaim legitim atas hak privat berada dalam konflik permanen (Lutz-Bachmann, 2005:110). Kurangnya atau ketiadaan hukum yang menjamin hak-hak mendorong setiap orang untuk meninggalkan kondisi alamiah ini. Manusia harus membentuk hukum sipil agar konflik permanen dalam keadaan alamiah itu bisa direkonsiliasi dan dimediasi. Manusia harus membentuk hukum untuk meligitimasi klaim-klaim hak atas sesuatu. Persoalan pokok Kant dalam kaitannya dengan hak atas kepemilikan sesuatu adalah “cara mendapatkan sesuatu yang sifatnya eksternal untuk dijadikan milik kita” (Howard, 2003:109–110). Menurut Kant, ada dua cara memiliki suatu benda. Pertama, kepemilikan fisik atas suatu benda. Hal ini berhubungan dengan kepemilikan nyata atas suatu objek. Objek itu berada dalam genggaman kita. Kedua, kepemilikan terpahami. Ini berarti sesuatu tetap milik saya sekalipun ia tidak berada dalam genggaman saya. Kepemilikan seperti ini didasarkan atas hukum. Kepemilikan terpahami disebut sebagai possesio noumenon dan kepemilikan
27
fisik disebut possesio phaenomenon (Howard, 2003:110–111). Gagasan Kant tentang kepemilikan tetap didasarkan atas kondisi alamiah. Kondisi alamiah bukan dilihat sebagai realitas faktual atau empiris tetapi realitas moral. Ia merupakan ide dari akal budi praktis. Di sini Kant menekankan kondisi alamiah sebagai dalil a priori untuk memberikan landasan rasional keberadaan hak alamiah. Hak itu sah ketika manusia membentuk masyarakat sipil. Kontrak Sosial sebagai Gagasan A priori Akal Budi Praktis Hobbes memahami kontrak sosial sebagai jalan untuk mengubah konflik permanen dalam keadaan alamiah akibat ketiadaan hukum menuju kondisi damai. Hal ini menuntut pelepasan hak absolut atas segala hal dan pembentukan otoritas publik yang mempunyai kekuatan untuk memaksa warga negara tunduk pada perjanjian sosial. Menurut Kant, negara adalah sesuatu yang mengada melalui penerapan kehendak umum dari anggota individualnya. Kontrak sosial, dalam perspektif politik Hobbes dan Rousseau, dilihat sebagai suatu fakta empiris. Kontrak sosial, menurut Kant, tidak harus memiliki realitas empiris. Kontrak sosial bukan sebagai sesuatu yang faktual historis, melainkan tindakan yang mesti kita andaikan terjadi ketika kita membayangkan hubungan antara kita dengan negara. Sebagai warga negara kita mesti bertindak seolah-olah kesepakatan semacam itu memang ada. Dengan ini kita bisa memahami mengapa kita wajib mentaati peraturan dalam negara (Howard, 2003:239–240). Kontrak sosial akan memenuhi tujuannya apabila ia dipandang sebagai gagasan moral yang membimbing kita ke dalam negara. Kontrak sosial merupakan gagasan a priori akal budi praktis. Kontrak sosiak, dalam pengertian ini, dilihat sebagai pandangan moral. Hal ini memungkinkan kita untuk hidup dalam masyarakat. Gagasan Kant tentang kontrak sosial ini berkaitan dengan gagasan Rawls tentang hakikat awal atau posisi awal. Rawls (Howard, 2003:11) menyatakan: Kita tidak harus memahami kesepakatan awal sebagai kesepakatan untuk memasuki sebuah masyarakat tertentu atau membangun pemerintahan tertentu. Justru gagasan pemandunya adalah bahwa prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat, merupakan objek kesepakatan awal itu, adalah prinsip yang diterima oleh orang-orang bebas dan bernalar dalam
28
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 20–40
posisi awal kesetaraan sebagai batasan fundamental peneguh bagi kebersamaan mereka.
Menurut Rawls, posisi awal ini tentunya tidak dianggap sebagai perkara historisitas faktual, apalagi kondisi primitif budaya. Ia dipahami sebagai situasi hipotetis yang ditengarai mengarah ke konsep keadilan tertentu. Bentuk Pemerintahan dan Konstitusi: Republikan Bentuk negara, menurut Kant, dapat dibagi menurut orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah atau menurut bentuk administrasi yang dijalankan atas rakyat oleh pemerintah. Yang pertama disebut bentuk kedaulatan (the form of soveregnty) dan yang kedua disebut bentuk pemerintahan (the form of goverment). Ada tiga bentuk kedaulatan. Pertama, otokrasi. Otokrasi adalah bentuk kekuasaan dalam negara berada pada tangan satu orang. Kedua, aristokrasi. Aristokrasi adalah kekuasaan yang berada di tangan beberapa orang bijaksana. Ketiga, demokrasi. Demokrasi adalah bentuk kedaulatan yang berada di tangan semua warga negara. Semua warga negara memiliki kekuasaan untuk memerintah (Kant, 1989:13). Bentuk pemerintahan didasarkan atas cara bagaimana negara menggunakan kekuasaannya. Ini didasarkan atas konstitusi yang merupakan perwujudan kehendak umum warga negara. Hanya ada dua bentuk pemerintahan, yakni republikan dan despotik. Republikan adalah prinsip politik yang memisahkan kekuasaan eksekutif (administrasi) dari kekuasaan legislatif. Despotisme, sebagai lawan dari bentuk republikan, adalah kekuasaan yang membuat dan melaksanakan hukum secara sewenangwenang berada di tangan satu orang. Bentuk kedaulatan demokrasi, yang hanya dijalankan di atas kertas dalam sebuah negara, merupakan bentuk pemerintahan yang despotik (Howard, 2003:228). Dalam rangka pembentukan konstitusi republikan, Kant mendukung pembatasan jumlah orang yang menjalankan pemerintahan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan representasi mereka dalam negara. Pembentukan konstitusi diharapkan terjadi secara gradual menuju konstitusi republikan. Sehubungan dengan tiga bentuk kedaulatan dalam negara, Kant melihat bahwa bentuk kedaulatan aristokrasi lebih sulit daripada monarki untuk mencapai konstitusi yuridis yang lengkap. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pembentukan konstitusi
yuridis tidak mungkin bagi bentuk kedaulatan demokrasi kecuali melalui kekerasan. Demokrasi yang dikritik Kant adalah demokrasi yang terlampau memberi kebebasan kepada setiap orang untuk memerintah dalam negara. Pemerintahan seperti ini tidak memungkingkan terbentuknya sebuah konstitusi yuridis karena semua orang menghendaki agar apa yang dikehendakinya diterima. Kant menekankan pentingnya sistem pemerintahan reperesentatif. Oleh karena itu, Kant tidak terlalu memperhatikan bentuk kedaulatan, tetapi bentuk pemerintahan. Menurut Kant, sistem representatif ini hanya mungkin dalam bentuk pemerintahan republikan (Kant, 1989:15). Kant, kelihatannya, mengikuti pola pembagian kekuasaan seperti yang dibuat oleh Locke dan Montesqueu. Kekuasaan politik, menurut Montesqueu, dibagi atas tiga, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Penyelewengan kekuasaan terjadi apabila kekuasaan itu tidak dibatasi dengan undang-undang (Schmandt, 2002:374). Kant menganalogikan hubungan antara ketiga kekuasaan itu seperti hubungan antara ketiga bagian silogisme praktis dalam logika. Premis mayor silogisme ini adalah undang-undang yang dibuat oleh legislatif. Premis minornya adalah eksekutif yang bertugas memastikan ditaatinya hukum oleh individu. Kesimpulannya adalah yudikatif. Ia memiliki tugas memutuskan bagaimana hukum diterapkan dalam kasus tertentu. Hubungan antara silogisme dan ketiga kekuasaan ini terletak dalam independensi dan dependensi antara ketiganya (Kant, 1989:14). Meskipun ketiga kekuasaan itu memiliki hubungan yang erat, namun Kant menolak ketergantungan total satu kekuasaan pada kekuasaan lain atau menolak satu kekuasaan menguasai kekuasaan lainnya. Satu-satunya konstitusi yang diturunkan dari kesepakatan asli dan atasnya semua legislasi yuridis dari seseorang harus didasarkan adalah republikan. Konstitusi republikan, menurut Kant, didasarkan atas tiga prinsip, yakni pertama, kebebasan anggota masyarakat sebagai manusia. Kedua, prinsip ketergantungan semua hal di atas sebuah legislasi umum yang tunggal. Ketiga, prinsip kesamaan atau equlitas sebagai warga negara. Konstitusi republikan, oleh karena itu, adalah satu-satunya yang merupakan basis original dari setiap bentuk konstitusi. Tujuan utama konstitusi republikan adalah menjadikan suatu bangsa mampu menentukan diri. Konstitusi ini didasarkan atas asumsi bahwa setiap
Lega, Filsafat Politik Kant dan Relevansinya ...
warga negara memberikan persetujuan atas tindakan penguasa melalui perwakilan. Rakyat mentaati undang-undang berdasarkan kehendaknya. Rakyat, di bawah konstitusi republikan, merasa mempunyai hak untuk mengawasi tindakan eksekutif karena tindakannya hanya dilaksanakan dalam batasan undang-undang yang disusun oleh perwakilan rakyat (Howard, 2003:330). Dengan gagasan konstitusi republikan ini, Kant menolak abasolutisme negara Hobbes. Hobbes menekankan penyerahan kebebasan original untuk memperoleh hak untuk mempertahankan hidup. Penyerahan hak original ini merupakan jaminan bagi seseorang untuk dilindungi oleh penguasa dari ancaman atas dirinya. Penyerahan hak kebebasan original ini tidak sepenuhnya menjamin perlindungan atas martabat manusia (Lutz-Bachmann, 2005:111). Konstitusi republikan menjamin perlindungan atas hak-hak fundamental manusia dalam tataran relasi intersubjektif. Peraturan politik republikan didasarkan atas hak-hak fundamental yang tidak dapat dicabut dari anggotaya. Semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk terlibat dalam proses politik. Dalam hal ini, masyarakat diberi kesempatan yang sama untuk membentuk partai politik, memilih pemimpin negara dan parlemen, mengontrol dan mengkritisi pelaksanaan kebijakan pemerintah dan kegiatan para wakil rakyat dan memberi kesempatan yang sama untuk menyatakan pemikiran berhubungan dengan masalah publik atau kenegaraan (Lutz-Bachmann, 2005:113). Konstitusi republikan merupakan satu-satunya konstitusi yang mendukung tercapainya perdamaian abadi dalam sebuah negara. Optimisme Kant didasarkan atas kenyataan bahwa konstitusi ini didasarkan atas kebebasan warga negara, legislasi umum dan kesetaraan semua warga negara. Kant menganjurkan agar semua negara hendaknya membentuk konstitusi republikan. Konstitusi republikan, meski sulit dibentuk dan dipertahankan, namun ia hendaknya diusahakan secara perlahan-lahan. Perkembangan moral manusia akan membantu pembentukan konstitusi republikan. VISI PERDAMAIAN ABADI: KIAT MELINDUNGI MARTABAT MANUSIA Kant memberikan sembilan pasal untuk mendukung terciptanya perdamaian abadi. Kesembilan pasal ini dibagi atas dua bagian, yakni enam pasal pembukaan dan tiga pasal definitif bagi perdamaian
29
abadi. Keenam pasal pada bagian pertama merupakan pasal persiapan bagi perumusan pasal definitif perdamaian abadi. Pasyarat bagi Perdamaian Abadi Kant, dalam Perpetual Peace, mengajukan enam pasal pendahuluan sebagai prasyarat bagi perdamaian abadi. Kant membagi keenam pasal ini atas dua kelompok besar bedasarkan gradasi kemendesakan penerapannya. Pasal pertama, kelima dan keenam adalah pasal yang sangat mendesak, sedangkan pasal kedua, ketiga dan keempat bisa ditunda pelaksanaannya. Pasal pertama: “Tidak ada pakta perdamaian dianggap valid di mana ada sesuatu yang disembunyikan untuk perang yang akan datang” (Kant, 1989:3). Pasal ini menekankan pembuatan janji yang bersifat terbuka antara negara tanpa intrik atau pretensi untuk menghancurkan negara lain setelah perjanjian dibuat. Pretensi-pretensi tersembunyi tidak mendukung terciptanya perdamaian. Negara yang membuat perjanjian hanya akan mengalami adanya gencatan senjata, tetapi bukan perdamaian yang berarti berakhirnya permusuhan (Kant, 1989:3–4). Pasal kelima: “Tidak ada negara yang mencampuri urusan konstitusi atau pemerintahan negara lain dengan cara paksa” (Kant, 1989:7). Pasal ini menekankan respek terhadap negara lain. Setiap negara, sebagai negara yang merdeka, memiliki hak dan kebebasan untuk mengatur negaranya. Mengintervensi urusan satu negara oleh negara lain merupakan pelanggaran terhadap otonomi sebuah negara. Hal ini merupakan api yang menyulut konflik antara negara. Dengan demikian, ikhtiar untuk membangun perdamaian abadi sulit tercapai. Kekacauan atau kejahatan yang terjadi pada satu negara bukan kondisi yang memungkinkan negara lain untuk mencampuri secara paksa urusan negara lain, tetapi itu hendaknya dilihat sebagai peringatan bagi negara lain untuk tidak melakukan atau menciptakan sesuatu yang menimbulkan kekacauan seperti yang terjadi di negara lain (Kant, 1989:7). Franz Nuscheler melkihat pasal kelima Kant menekankan penolakan intervensi dengan paksaan. Oleh karena itu, fokus persoalan adalah pada term “by force”. Intervensi paksa oleh kekuasaan asing terhadap urusan negara lain merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan sebuah negara (Nuscheler, 2005:119).
30
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 20–40
Pasal keenam: “Negara yang berperang dengan negara lain tidak boleh mengijinkan berlangsungnya tindakan permusuhan. Tindakan permusuhan itu meliputi pemanfaatan pembunuh atau narapidana, pelanggaran perjanjian, hasutan untuk berkhianat dalam negara lawan, dan lain-lain” (Kant, 1989:7). Dalam pasal ini, Kant melarang pemakaian warga untuk melakukan kejahatan di negara lain demi kepentingan politik. Ia melihat hal ini sebagai tindakan yang tidak terhormat. Kant menegaskan bahwa perang merupakan cara yang menyedihkan dalam keadaan alamiah, di mana masing-masing negara menyatakan haknya dan tidak ada kelompok yang dapat diputuskan tidak adil. Kondisi alamiah merupakan kondisi tanpa hukum yang mengatur kehidupan warga. Pasal kedua: “Tidak ada negara merdeka, kecil atau besar, yang eksistensinya merupakan hasil dari pewarisan, perdagangan, pembelian atau pemberian negara lain” (Kant, 1989:4). Dalam pasal ini Kant menekankan gagasan kedaulatan sebuah negara sebagai hasil usaha bangsa itu sendiri dan bukan pemberian atau belaskasihan bangsa lain. Kant menolak gagasan tentang eksistensi sebuah negara sebagai hasil pemberian atau donasi negara lain. Pewarisan atau pemberian berhubungan dengan barang dan bukan negara yang terdiri dari manusia. Dalam pasal kedua ini, Kant menyerukan kembali apa yang ditegaskan dalam filsafat moralnya. Negara adalah masyarakat manusia yang otonom. Kant melihat bahaya jika sebuah negara dilihat sebagai hasil donasi atau pemberian bangsa lain. Hanya barang yang bisa dilihat sebagai pemberian. Memandang negara sebagai pemberian akan mengarah ke identifikasi antara manusia yang ada dalam sebuah negara dengan barang. Konsekuensinya adalah orang akan berbuat apa saja terhadap mereka yang hidup dalam negara yang merupakan hasil pemberian (Kant, 1989:4). Pasal ketiga: “Pasukan penjaga perdamaian (tentara) akan segera ditiadakan” (Kant, 1989:5). Dalam hal ini Kant berbicara tentang pasukan penjaga perdamaian. Menurut Kant, tentara tetap (tentara sebagai sebuah profesi) merupakan salah satu sebab adanya perang karena mereka selalu mengancam negara lain oleh karena kesiapan mereka untuk berperang dan selalu berlomba dalam hal jumlah tentara (Kant, 1989:5). Oleh karena itu, Kant menganjurkan adanya tentara sukarela yang bekerja hanya pada saat yang dibutuhkan demi keamanan negara. Tentara sukarela tidak melihat
dirinya berprofesi sebagai tentara, sedangkan tentara melihat itu sebagai profesi. Perang merupakan tindakan yang merendahkan martabat manusia. Manusia dipakai untuk mencapai tujuan lain di luar dirinya. Kant, dalam pasal ini, menegaskan “membayar manusia untuk membunuh atau dibunuh sama dengan menggunakan mereka sebagai mesin-mesin belaka dan alat-alat di tangan orang lain (negara) dan ini tidak sesuai dengan hak-hak manusia dalam persona kita sendiri”. Manusia adalah tujuan dalam dirinya sendiri. Ia tidak pernah boleh diperlakukan sebagai sarana belaka. Pasal keempat: “Hutang-hutang nasional tidak dikontrakan untuk urusan eksternal negara”. (Kant, 1989:6). Pasal ini berbicara tentang hutang nasional. Hutang nasional menghambat terciptanya perdamaian bila hutang nasional itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan alat perang. Di sini Kant tidak bermaksud menolak secara mutlak adanya hutang luar negeri. Ia menolak hutang nasional yang bertujuan untuk menyiapkan dana bagi pemenuhan fasilitas perang. Syarat bagi Perdamaian Abadi Kant dalam Section II dari Perpetual Peace, memberikan tiga syarat bagi terciptanya perdamaian abadi. Perdamaian abadi akan tercipta apabila manusia mencintai hukum dan bukan perang. Hukum adalah dasar dan conditio sine qua non bagi perdamaian abadi. Dengan ini, Kant menolak adagium klasik sivis pacem, para bellum. Bagi Kant, jika kita menghendaki damai, persiapkanlah perdamaian dengan memperkuat peraturan hukum (Nuscheler, 2005:120). Ketiga syarat perdamaian ini merupakan hukum yang mengatur relasi antarmanusia baik pada tataran nasional maupun internasional. Sehubungan dengan ketiga syarat ini, penulis hanya menguraikan syarat kedua dan ketiga karena syarat pertama sudah diuraikan pada bagian sebelumnya. Hukum Bangsa-bangsa Hendaknya Didasarkan atas Federasi Negara Merdeka Jacques Maritain, pada bab terakhir dari bukunya Man and the State, berbicara tentang masalah pemerintahan dunia atau global. Masalah pemerintahan global ini berhubungan dengan masalah perdamaian abadi (Maritain, 1951:189). U. Thant, dalam tulisannya United Nations Peace Force, menekankan perlunya garansi bagi relasi antarbangsa.
Lega, Filsafat Politik Kant dan Relevansinya ...
Upaya menuju pembentukan peraturan dunia membutuhkan jaminan-jaminan, pengaruh yang moderat dan agen yang bekerja dan diterima secara bersama. Agensi ini memungkinkan relasi antarbangsa dapat dibangun dan diperlihara. Thant menyebut Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai agen yang menjamin relasi antarbangsa itu (Thant, 1991:192). Pemikiran Kant tentang hukum bangsa-bangsa yang didasarkan atas federasi negara-negara merdeka merupakan upaya untuk mencapai perdamaian abadi. Karena itu, uraian pada bagian ini mau menjelaskan gagasan Kant tentang hukum bangsabangsa sebagai salah satu syarat bagi terciptanya perdamaian abadi. Kant, dalam pasal definitif pertama bagi perdamaian abadi, menganjurkan konstitusi republikan sebagai konstitusi yang memungkinkan semua warga negara mematuhi hukum yang dibuatnya sendiri. Konstitusi republikan menjamin kebebasan warga negara. Republik dalam pengertian Kant adalah model pemerintahan yang didasarkan atas hukum dan pemisahan kekuasaan. Dengan demikian, Kant menghendaki sebuah pemerintahan representatif. Hal yang esensial bagi Kant adalah bahwa pemisahan kekuasaan dan konstitusi menjamin kebebasan dan kesamaan warga. Kant yakin bahwa konstitusi republikan menjamin terciptanya perdamaian internal, yakni perdamaian antarwarga dalam sebuah negara melalui hukum yang demokratis. Hanya negara yang demokratis bisa hidup dalam damai dengan negaranegara tetangganya. Negara yang tidak menerima konstitusi republikan tidak akan pernah menolak menolak konsep perang sebagai kelanjutan politik (Lutz-Bachmann, 2005:112). Bertolak dari gagasan tentang konstitusi republikan sebagai konstitusi yang mendukung terwujudnya perdamaian abadi, Kant bergerak ke gagasan tentang konstitusi bangsabangsa yang didasarkan atas federasi negaranegara merdeka. Federasi ini tidak bertujuan untuk membentuk negara internasional yang berdaulat. Pembentukan konstitusi sipil atau negara didasarkan atas keinginan setiap individu untuk menjamin dan melindungi apa yang menjadi miliknya dan milik orang lain. Kant menghendaki agar jaminan atas hak milik ini juga mencakupi relasi antarbangsa. Setiap bangsa harus menghargai hak orang lain atas miliknya. Hal ini terjadi kalau orang mengakui adanya konstitusi yang mirip dengan konstitusi sipil. “Each of them may and should for the sake of its own security demand that the others enter
31
with it into a constitution similar to civil constitution, for under such constitution each can be secure in his right” (Kant, 1989:16). Relasi antarnegara yang berada di bawah konstitusi yang mirip dengan konstitusi sipil akan membentuk sebuah liga bangsa-bangsa, tetapi bukan menjadi sebuah negara yang terdiri dari bangsa-bangsa. Hal ini konradiktoris karena sebuah negara mengimplikasikan adanya sebuah relasi antara pemimimpin dan bawahannya. Pembentukan negara internasional, secara praktis, tidak memungkinkan adanya sebuah sistem pelayanan yang baik oleh penguasa. Kant melukiskan masyarakat barbar sebagai masyarakat yang bebas tanpa terikat oleh hukum. Mereka lebih suka kebebasan yang tidak berperikemanusiaan daripada kebebasan rasional. Menurut Kant, hal seperti ini merupakan sesuatu yang buruk. Kant memberi contoh perbedaan kebiadaban antara orang Eropa dan Amerika. Perbedaan besar antara dua kebiadaban ini terletak dalam kenyataan bahwa banyak suku di Amerika sudah dimakan oleh musuh, sedangkan orang Eropa lebih mengetahui bagaimana menggunakan musuh yang ditaklukkan daripada memakan mereka. Mereka, bahkan, dilihat sebagai sarana yang berguna untuk memperkuat angkatan perang (Kant, 1989:16–17). Federasi negara merdeka akan terhambat oleh kondisi kejahatan yang ada dalam diri manusia. Meskipun demikian, Kant, sebagai seorang evolusionis dalam memahami perkembangan dan kemajuan pribadi manusia, berharap bahwa perubahan dalam diri manusia terjadi secara bertahap. Optimisme akan evolusi kesadaran moral ini didasarkan atas kenyataan bahwa manusia memiliki sikap respek terhadap konsep hukum. Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang belum aktif dalam diri manusia, yakni sebuah disposisi moral yang lebih baik atau lebih besar untuk menjadi tuan atas prinsip kejahatan yang ada dalam dirinya. Kant optomis bahwa suatu waktu manusia hidup dalam damai. Manusia tidak mungkin hidup dalam konflik permanen. Manusia, sebagai makhluk rasional, mampu berperilaku moral. Tetapi, suatu hal yang tiak dapat disangkal juga bahwa pada sisi lain, manusia tidak sepenuhnya dikuasai oleh kemampuan rasionalnya. Dorongan impulsif dan egoistis membuat manusia hidup dalam konflik (Howard, 2003:1). Perkembangan pemahaman tentang tanggung jawab moral akan membantu terciptanya masyarakat yang damai dan human. Bila semua orang
32
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 20–40
orang sudah matang secara moral, maka perdamaian abadi akan terwujud. Hal ini terjadi karena relasi antarmanusia dibangun di atas sikap respek terhadap martabat manusia sebagai nilai yang sangat fundamental dalam diri manusia (Howard, 2003:18– 20). Kemajuan pemahaman tentang tanggung jawab moral manusia adalah adalah sesuatu yang terjadi secara evolusioner. Demikian halnya dalam upaya membangun perdamaian dalam hidup manusia. Jean Chevalier, dalam bukunya Dynamics of Peace, memahami upaya membangun perdamaian sebagai suatu proses yang panjang yang membutuhkan banyak kualitas hati dan pikiran. Membangun perdamaian membutuhkan waktu dan kesabaran. Selain itu, ia juga menuntut gerakan hati narani (Chevalier, 1986:11). Kant yakin bahwa federasi negara-negara merdeka yang berpayungkan konstitusi republikan akan membantu terciptanya perdamaian abadi. Sehubungan dengan federasi negara merdeka ini, Kant membedakan liga perdamaian (foedus pacificum) dan pakta perdamaian (pactum pacis). Pakta perdamaian berusaha untuk mengakhiri satu perang, sedangkan liga perdamaian berusaha untuk mengakhiri semua perang selama-lamanya. Liga perdamaian ini berpretensi untuk memelihara dan menjamin kebebasan negara itu sendiri dan negara lain dalam kesatuan dengannya, tanpa ada kebutuhan pada mereka untuk patuh pada hukum sipil dalam negara-negara lain (Kant, 1989:18). Pembentukan federasi damai, dalam perspektil Kant, adalah suatu proyek panjang. Ia tidak dapat diwujudkan dalam waktu singkat, tetapi hal itu akan terjadi secara perlahan-lahan. Kant (1989:18) memandang ide federasi negara-negara merdeka ini sebagai sebuah ide praktis. Karena jika nasib baik menuntun bahwa suatu bangsa yang kuat dan tercerahkan dapat membentuk sebuah republik itu sendiri, yang dari kodratnya harus diarahkan ke perdamaian abadi, ini memberikan titik tumpu kepada federasi dengan negara-negara lain, sehingga mereka bersatu dengannya dan memelihara kebebasan menurut ide hukum bangsa-bangsa. Lama kelamaan dengan asosiasi seperti ini, federasi secara perlahan-lahan diperluas.
Kant dengan optimisme evolusionernya yakni bahwa federasi damai akan terwujud, tetapi membutuhkan proses panjang. Dalam konteks ini, setiap negara yang sudah menyadari dan memahami pentingnya federasi damai hendaknya mampu
mewartakannya kepada negara-negara lain dengan cara yang tidak merendahkan bangsa lain, tetapi melalui sebuah persetujuan bebas. Ide-ide Kant tentang konfederasi negaranegara merdeka, menurut Gallie, adalah ide yang sangat persuasif untuk memberikan terang bagi pembangunan dan relasi internasional (Gallie, 1980: 33). Menurut Bachmann, pembentukan hukum publik internasional bukan hanya masuk akal tetapi sudah muncul dan nyata (Lutz-Bachmann, 2005: 114). Dalam terang pemikiran yang sama, Nuscheler melihat bahwa pemerintahan global atau pembentukan relasi dan hukum internasional bukanlah sebuah proyek romantis, tetapi realistis menanggapi tantangan globalisasi dan bencana global. “Federasi republik bebas” adalah utopia realistik dan filsafat politik Kant lebih daripada sebuah “mimpi indah” (Nuscheler, 2005:127). Federasi negara-negara merdeka bertujuan untuk mewujudkan perdamaian abadi di antara umat manusia. Idealisme Kant tentang federasi negara merdeka yang memungkinkan terwujudkan perdamaian abadi bukan ilusi. Hal ini terwujud dalam pembentukan perserikatan bangsa-bangsa. Tujuan pembentukan perserikatan bangsa-bangsa, sebagaimana tertera dalam pasal satu United Nations Charter, antara lain: Untuk memelihara perdamaian internasional, untuk mengembangkan relasi pertemanan antara bangsa-bangsa berdasarkan hormat terhadap prinsip kesamaan hak-hak, untuk mencapai kerja sama intenasional dalam mengatasi masalah-masalah internasional dalam bidang ekonomi, sosial, kultural dan mengembangkan dan mendorong respek terhadap hak-hak manusia dan kebebasan fundamental daru semua orang tanpa pembedaan berdasarkan ras, seks, bahasa atau agama (Fahey and Amstrong, 1991: 209).
Hukum Kewarganegaraan Dunia Akan Dibatasi pada Hospitalitas Universal Persoalan fundamental, yang menjadi fokus perhatian Kant dalam hubungan dengan hukum kewarganegaraan dunia, adalah bukan pertanyaan tentang kedermawanan atau belaskasihan, tetapi soal hak. Hukum kewarganegaraan dunia hendaknya dibatasi oleh syarat-syarat hospitalitas universal. Hospitalitas merupakan hak orang asing untuk tidak diperlakukan sebagai musuh bila ia tiba di negara lain. Hak seorang asing untuk diterima dengan ramah tanpa memperlakukannya sebagai musuh
Lega, Filsafat Politik Kant dan Relevansinya ...
didasarkan atas kepemilikan umum atas permukaan bumi. Orang harus bersikap toleran terhadap kehadiran yang lain di dalam negaranya. Menurut Kant, tidak seorang pun yang memiliki hak lebih dari yang lain atas bagian tertentu dari muka bumi ini (Kant, 1989:20–21). Gagasan kesetaraan harus mendasari setiap perilaku, bukan saja dengan orang sebangsa, tetapi juga ketika kita berhadapan dengan orang lain yang berasal dari bangsa lain. Kant menganjurkan agar setiap orang yang mencari tempat pengungsian pada salah satu negara di dunia harus diterima dan diperlakukan sebagai manusia. Deklarasi universak Hak Asasi Manusia dalam pasal 14 menegaskan bahwa “setiap orang berhak mencari dan mendapat suaka di negara-negara lain untuk menjauhi pengejaran” (Baehr, dkk., 2001:283). Seorang asing mempunyai hak untuk tidak diperlakukan sebagai musuh bila ia tiba di negara lain. Hak orang asing untuk menempati suatu wilayah bersifat sementara. Karena itu, Kant menganjurkan hak tinggal ini harus didasarkan atas sebuah persetujuan dengan negara di mana seseorang mencari suaka atau perlindungan (Kant, 1989:21). Kesepakatan untuk tinggal sementarara ini bertujuan agar seorang asing memiliki klaim legitim atas haknya untuk menempati bagian tertentu dalam wilayah negara lain. Kant yakin bahwa negara-negara di dunia akan masuk dalam relasi damai satu dengan yang lain. Hal ini mengandaikan adanya hukum. Umat manusia akan secara perlahan-lahan dihantar lebih dekat ke dalam konstitusi kewarganegaraan dunia. Hukum kewarganegaraan dunia ini juga mendukung perwujudan sikap respek terhadap martabat manusia dan hak manusia di mana saja ia berada. Kant mengecam negara-negara yang menjajah dan memeras bangsa lain. Kant mengangkat contoh pemerasan lewat perdagangan yang telah dilakukan oleh negara-negara beradab. Mereka melakukan ketidakadilan terhadap daerah yang mereka kunjungi. Selain itu, nereka mengecam warga yang mereka kunjungi. Lebih buruk lagi sikap bangsa beradab yang menganggap penduduk asli yang mendiami suatu wilayah sebagai tidak ada manusia yang menghuninya. Mereka menganggap penduduk asli itu tidak ada atau menganggap mereka bukan manusia. Misalnya, penduduk asli yang mendiami benua Amerika (Kant, 1989:21–22). Kriteria perkembangan umat manusia, menurut Kant, adalah bahwa hak-hak manusia dihormati
33
secara bersama. Manusia, sebagai makhluk yang setara, harus merasakan secara bersama penindasan dan perendahan terhadap hak-hak manusia di mana saja. Garansi bagi Perdamaian Abadi Kant, sebagai filsuf anti perang, melihat perang sebagai kejahatan terbesar yang menimpa masyarakat manusia dan sumber segala dan semua penyimpangan moral. Perang adalah bentuk ekstrim dari kejahatan pada umumnya, yang dapat diatasi dengan penegakan hukum-hukum (Gallie, 1980:21). Perang adalah kejahatan yang ekstrem karena ia menghancurkan banyak hal. Manusia, dalam kondisi perang, diperlakukan sebagai sarana bukan sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Perang, secara moral, adalah sesuatu yang buruk. Akal budi praktis, menurut Kant, melarang kita untuk berperang. Hal ini harus dilhat sebagai kewajiban. Kita mempunyai kewajiban untuk tidak berperang. Perang bukan jalan di mana setiap orang mencari hak-haknya (Kant, 1989:57–58). Kant tidak membeda-bedakan jenis-jenis perang. Baginya, semua jenis perang itu buruk dan harus dilarang (Gallie, 1980:29–30). Penghargaan terhadap hukum merupakan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan konflik. Hak-hak setiap orang sah hanya di bawah sebuah konstitusi bukan perang. Gandhi, yang terkenal dengan gerakan nonviolence-nya menegaskan bahwa nonviolence adalah kekuatan terbesar dari manusia. Ia lebih kuat dari senjata terkuat yang ditemukan oleh kepintaran manusia. Menurut Gandhi, perbuatan menghancurkan bukan hukum manusia (Fahey dan Amstrong, 1991:172). Respek terhadap manusia hanya mungkin dalam kondiri damai. Perdamaian akan terwujud kalau manusia rela membeci perang dan mencintai diplomasi dalam menyelesaikan setiap konflik. Menerima hukum, dalam konteks ini, adalah sebuah imperatif kategoris. Relasi antarmanusia akan berjalan baik apabila hukum, baik hukum positif maupun hukum moral, diakui otoritasnya dan dilaksanakan. Kant, dalam Suplemen I dari Perpetual Peace, berbicara tentang jaminan bagi perdamaian abadi. Dalam konteks ini, Kant tidak menawarkan sebuah jaminan yang begitu mudah bagi terciptanya perdamaian abadi. Jaminan perdamaian abadi yang dimaksudkan Kant berhubungan dengan apa yang telah ditegaskan sebelumnya, yakni soal konstitusi republikan, konfederasi negara-negara merdeka dan gagasan tentang kewarganegaraan dunia. Kant
34
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 20–40
sadar bahwa gagasan tentang konfederasi negaranegara merdeka itu sulit diwujudkan dan mungkin akan gagal. Karena itu, jaminan bagi konfederasi negara-negara merdeka, menurut Kant, adalah mengingat terus-menerus akan bahaya aktual atau ancaman perang (Gallie, 1980:28). Kant yakin bahwa konstitusii republikan merupakan satu-satunya konstitusi yang cocok bagi perlindungan hak-hak manusia. Tetapi konstitusi ini paling sulit untuk dibangun dan lebih sulit untuk dipelihara, sehingga banyak orang mengatakan bahwa “a republic would have to be a nation of angels, because men with their selfish inclinations are not capable of constitution of such sublime form” (Kant, 1989:29–30). Menurut Kant, masalah dalam sebuah negara bisa diatasi apabila manusia mengoptimalkan penggunaan akal budinya dan menjauhkan diri dari segala kecendrungan egoistis. Perdamaian adalah kondisi di mana manusia hidup di bawah jaminan hukum. Semua hak milik dijamin oleh hukum. Prinsip hukum yang mengatur kehidupan bersama tidak berasal dari pengalaman orang yang menjalankannya, tetapi diturunkan dari prinsip akal budi praktis (Kant, 1989:58). Hukum yang berasal dari prinsip empiris-material, sebagaimana yang Kant tegaskan dalam filsafat moralnya, tidak menjamin universalitas, tetapi bersifat partikular dan menjangkau kepentingan kelompok tertentu saja. Konstitusi republikan, yang memungkinkan warga negara bebas, merupakan konstitusi yang mendukung konfederasi negara-negara merdeka. Ide tentang hukum internasional mengandaikan eksistensi negara yang independen. Pembentukan hukum internasional tidak mengarah ke pembentukan satu negara bersama yang mengatasi semua negara yang ada. Menggabungkan semua negara di bawah satu kekuasaan tertinggi akan mengarah ke pembentukan satu monarki universal (Kant, 1989:31). Kant tidak menyangkal bahwa pertentangan antara negara selalu bisa terjadi, namun kemajuan peradaban mabusia yang terjadi secara perlahan-lahan terarah ke harmoni yang lebih besar dalam prinsip-prinsip mereka akhirnya menuntun ke persetujuan damai. Hubungan antara Moral dan Politik Praksis politik tidak hanya menuntut kecerdasan politik, tetapi juga kecerdasan moral. Bagi Kant, kecerdasan politik pada dasarnya memiliki
hubungannya dengan moral ketika kecerdasan politik tersebut tidak serta merta menjadikan orang lain semata-mata sebagai sarana untuk kepentingannya sendiri (Dua, 2013:xxi). Praktik politik yang baik dan benar harus mengusung prinsip respek terhadap martabat manusia. Praktik politik tidak boleh menghancurkan kemanusiaan, baik kemanusiaan di dalam diri politisi itu sendiri, maupun kemanusiaan orang lain. Moralitas, in se, adalah totalitas hukum yang memerintah tanpa syarat. Kita bertindak menurut hukum moral yang memerintah tanpa syarat. Menurut Kant, adalah absurd jika kita mengatakan bahwa kita tidak bisa melakukan kewajiban kita. Hal ini absurd karena kita mengenal otoritas konsep kewajiban. Mengenal otoritas konsep kewajiban membuat kita melaksanakan kewajiban kita. Moralitas, menurut Kant, berurusan dengan doktrin praktis tentang hak. Karena itu, politik sebagai doktrin praktis tentang hak dan moralitas sebagai doktrin teoritis tentang hak tidak bertentangan (Kant, 1989:35). Politik menyatakan “Be ye wise as serpents; morality adds as limitating conditions, ‘and guileless as doves” (Kant, 1989:35). Kedua perintah ini mau menjelaskan hubungan antara moralitas dan politik. Menurut Kant, jika kedua perintah ini dilihat dalam kerangka ketidakberhubungan satu dengan yang lainnya, maka moralitas dan politik bisa dilihat sebagai dua sfer yang bertentangan. Tetapi jika dua kualitas kewajiban itu selalu dilihat dalam kerangka unitas, maka pertanyaan tentang bagaimana konflik antara moralitas dan politik diselesaikan tidak dapat disikapi sebagai satu persoalan. Politik adalah sebuah sfer yang berurusan dengan hal publik. Para politisi, yang secara spesifik dan intensif berkecimpung dalam politik, hendaknya memiliki kejelian dan kecermatan dalam mencari kemungkinan-kemungkinan terbaik dalam menata urusan-urusan publik. Kejelian dan kecermatan ini harus dilandasi oleh moralitas. Moralitas harus menjadi basis bagi semua kebijakan publik. Moralitas mengarahkan setiap tindakan politisi. Dengan demikian politisi bukan hanya mengandalkan kecermatan dalam urusan publik, tetapi lebih dari itu harus bersikap jujur. Perdamaian abadi akan tercapai apabila kita membentuk undang-undang atau membentuk hukum publik. Kehendak masing-masing individu untuk hidup di bawah satu kondisi yuridis belum cukup untuk merealisasikan perdamaian abadi. Perdamaian
Lega, Filsafat Politik Kant dan Relevansinya ...
abadi akan terwujud apabila kehendak-kehendak individual disatukan menjadi kehendak kolektif. Dalam hal ini, semua individu, secara bersama, menghendaki damai (Kant, 1989:36). Sehubungan dengan moral dan politik, Kant membedakan antara politisi moral dan moralis politik. Politisi moral adalah orang yang sungguh memilih prinsip-prinsip politik yang sesuai dengan moralitas. Sedangkan moralis politik adalah orang yang mereka-reka moralitas supaya cocok dengan kepentingan kalangan negarawan (Kant, 1989:36). Politisi moral akan menjadikan moralitas sebagai basis bagi semua keputusan politiknya. Ia tidak terobsesi untuk mengutamakan kepentingan pribadi tetapi selalu terarah kepada kepentingan umum. Kesadaran akan kewajiban yang ada dalam diri politisi moral memampukannya untuk melihat tujuan moral tindakannya. Politisi moral diharapkan mampu mempengaruhi politisi lain sehingga mereka dapat melepaskan tujuan egoistis dan berusaha untuk berpayung di bawah konsep kepentingan umum. Politisi moral juga harus memperhatikan peranan filsafat dalam perjuangannya, sehingga dengan itu ia akan menjembatani moralitas dan politik. Politisi moral harus tetap menjaga kebebasan warga. Kebebasan tidak boleh dikorbankan, meskipun demi perdamaian abadi. Hal ini benar. Apa gunanya kita memperjuangkan perdamaian abadi kalau warga negara yang harus menikmatinya dikorbankan demi tujuan itu (Howard, 2003:54–55). Moralis politik tidak mampu menghubungkan moralitas dan politik sebagai satu ikatan yang kuat. Ia hanya memperjuangkan kepentingan segelintir orang yang berkuasa. Ia akan memanfaatkan kelemahan warga untuk memanipulasi berbagai kebijakan politik demi mencapai tujuan egoistis. Ia akan memanfaatkan keyakinan akan kewajiban dalam diri individu demi mencapai tujuan yang tidak benar (Howard, 2003:56–57). Perdamaian abadi memiliki hubungan dengan prinsip-prinsip akal budi praktis. Menurut Kant, jika perdamaian abadi adalah suatu kewajiban atau keharusan, maka prinsipnya harus diturunkan dari prinsip formal akal budi praktis dan bukan prinsip material. Prinsip formal mengandung keharusan tanpa syarat, sedangkan prinsip material mengandung kewajiban yang mengandaikan syarat-syarat empiris untuk mencapai tujuannya. Prinsip material biasanya digunakan oleh para moralis politik. Prinsip material menyinggung soal hukum sipil dan internasional serta hukum kewarganegaraan dunia
35
hanyalah soal teknis. Prinsip formal biasa digunakan oleh para politisi moral, yang melihat persoalan mengenai hukum sipil, hukum internasional dan hukum kewarganegaraan dunia sebagai persoalan moral (Kant, 1989:42–43). Jadi secara objektif atau teoritis tidak ada pertentangan antara moralitas dan politik. Meskipun demikian, secara subjektif, dalam kecendrungan egoistis manusia, konflik akan tetap ada. Moralitas dalam konteks ini, berfungsi sebagai batu asah keutamaan. Politik yang sejati tidak pernah mengambil suatu langkah atau kebijaksanaan tanpa memberikan respek kepada moralitas (Kant, 1989:46). Dunia moral memberikan kita kita konsepsi ideal mengenai masyarakat di mana individu memperlakukan sesamanya sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Dunia politik menyediakan arena penting bagi perwujudan cita-cita ini. Berkat kemauan baik dari politisi moral, cita-cita itu dapat memainkan peranan yang tepat dalam politik. Suatu hal yang mesti diperhatikan bahwa upaya mencapai masyarakat yang sempurna adalah usaha yang terjadi secara gradual (Howard, 2003:59). Prinsip Publisitas Publisitas merupakan salah satu konsep penting dalam filsafat politik Kant. Dalam hubungan dengan publisitas ini, Kant mengetengahkan gagasan tentang pentingnya keterbukaan dalam menata sebuah relasi politik baik pada tataran nasional maupun pada tataran internasional. Semua klaim politik harus dinyatakan secara terbuka dan membuka kemungkinan bagi publik untuk mengkritisi semua klaim itu. Publisitas berkaitan erat dengan hak dan keadilan. Semua hukum yang ditetapkan dan klaim politik yang legal harus mengandung unsur publisitas (Kant, 1989:47). Aspek publisitas memungkinkan terbentuknya hukum yang adil. Hukum yang adil harus mampu mengakomodasi kepentingan semua orang yang berada di bawah hukum itu. Prinsip publisitas merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam negara demokrasi. Semua warga negara harus mempunyai ruang mempertanyakan otoritas dan semua kebijakan yang dirancang dan ditetapkan. Kebutuhan untuk mempertanyakan otoritas muncul dari fakta bahwa warga negara dalam demokrasi representatif memilih wakil-wakil yang memerintah atas nama warga negara. Karena itu, warga negara mempunyai tanggung jawab yang penting untuk mengawasi dan
36
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 20–40
mengkritisi tingkahlaku para wakil mereka (Kymlicka, 2002: 289). Prinsip publisitas ini sangat penting karena tidak semua keputusan yang diambil oleh pemerintah dapat mengakomodasi kepentingan semua warga negara. Karena itu, kebutuhan akan perlunya wacana publik didasarkan atas tuntutan bahwa keputusan pemerintah harus bersifat publik. Hal ini dapat dijalankan lewat diskusi yang bebas dan terbuka. Hal ini bukan hanya soal partisipasi dalam urusan publik, tetapi juga menyangkut bagaimana orang mendengarkan, memahami dan menanggapi dengan penuh hormat sudut pandang orang tentang suatu persoalan. Hukum moral, menurut Kant, harus bertolak dari prinsip formal dan bukan prinsi material. Prinsip formal menjamin tuntutan imperatif kategoris dari sebuah kewajiban moral. Demikian juga hukum publik, baik hukum sipil (ius civitatis) maupun internasional (ius gentium) harus dibebaskan dari prinsip-prinsip empiris material. Prinsip formal menjamin terbentuknya hukum yang adil. Prinsip ini bebas dari segala pertimbangan kepentingan diri atau kelompok. Sedangkan prinsip material adalah prinsip yang bersyarat. Ia mengandung pamrihpamrih tertentu dan cendrung mengutamakan kepentingan privat. Karena itu, Kant merumuskan formula transendental hukum publik sebagai berikut: “All actions relating to the right of other men are unjust if their maxim is not consistent with publicity” (Kant, 1989:47). Prinsip ini tidak hanya mengandung nilai etis, tetapi juga mengandung nilai yuridis. Keadilan akan tercipta apabila para pemimpin diarahkan oleh kepentingan publik. Namun para pelayan publik seringkali kurang memperhatikan kepentingan publik. Dalam situasi seperti ini, setiap warga negara mempunyai hak untuk mengkritisi pemerintah. Hal ini merupakan aplikasi dari prinsip publisitas. Sehubungan dengan pengejawantahan prinsip publisitas ini, Kant, kelihatannya menolak tindakan kekerasan untuk memberhentikan seorang pengusasa. Kant tidak menolak perlawanan terhadap penguasa, tetapi ia mempersoalkan cara mengkritisi penguasa yang tidak adil. Kritikan terhadap penguasa sangat dibutuhkan demi terbentuknya kebijakan-kebijakan yang bersifat publik. Menurut Kant, dalam kondisi tertentu kita boleh melawan penguasa (Kant, 1989:47). Semua warga negara mempunyai hak untuk mengkritisi kebijakan penguasa. Kritikan terhadap
penguasa harus menggunakan jalur-jalur konstitusional, sehingga hal itu tidak merugikan warga negara sendiri. Jalur konstitusional ini menjamin bahwa kita tidak melanggar hak atas kebebasan yang kita miliki (Howard, 2003:197–198). Prinsip ini bukan hanya berlaku dalam relasi antara penguasa dengan warga dalam satu negara tetapi juga dalam relasi antarbangsa. Prinsip publisitas ini penting agar setiap negara tidak menyembunyikan sesuatu yang justru membahayakan relasi itu sendiri. Menyembunyikan kepentingan tertentu dalam membangun relasi antarbangsa tidak mendukung terciptanya perdamaian abadi. RELEVANSI FILSAFAT POLITIK KANT BAGI PERLINDUNGAN MARTABAT MANUSIA Syarat Melindungi Martabat Manusia: Mencintai Hukum dan Membenci Perang Kant, dalam filsafat moralnya, telah merumuskan pandangan tentang martabat manusia. Filsafat politik Kant, secara khusus dalam buku Perpetual Peace, tidak bermaksud merumuskan satu gagasan baru tentang martabat manusia. Gagasan itu, dalam filsafat politiknya, tetap dipertahankan. Kant sadar bahwa tugasnya belum selesai dengan merumuskan secara ketat dan mendalam batasan mengenai martabat manusia. Martabat manusia sebagai gagasan yang luhur seringkali dilanggar, direndahkan, diperkosa dan dilecehkan. Perang, bagi Kant, merupakan salah satu contoh perendahan terhadap martabat manusia. Perang merupakan hal yang paling buruk dalam sejarah kemanusiaan karena manusia seringkali diperbudak dan dijadikan sebagai sarana belaka. Perang bukan sarana untuk menciptakan damai atau menyelesaikan konflik antarmanusia atau antarbangsa. Perang bukan merupakan kondisi yang memungkinkan respek terhadap martabat manusia. Perdamaian merupakan syarat mutlak pertumbuhan dan perkembangan manusia ke arah cita-cita dirinya. Kondisi damai ini akan tercipta kalau manusia menerima hukum sebagai sarana untuk mengatur kehidupan bersama. Hukum, bukan perang, adalah sarana untuk menciptakan perdamaian. Hukum, sebabagai sarana yang memungkinkan perdamaian, bukan hanya hukum yang berlaku dalam relasi antarwarga dalam sebuah negara (ius civitatis), tetapi juga hukum yang berlaku pada tataran relasi antarbangsa (ius gentium), dan relasi antarwarga asing dengan suatu negara (ius cosmopoliticum). Kant menjangkarkan visi perdamaian
Lega, Filsafat Politik Kant dan Relevansinya ...
abadi bagi umat manusia di atas ketiga hukum ini. Pandangan tentang perdamaian yang didasarkan pada ketiga hukum ini merupakan hal yang sangat penting dalam filsafat politik Kant. Hemat penulis, Kant menggagaskan ketiga hukum ini bertolak dari tesis bahwa martabat manusia merupakan hal yang universal. Universalitas martabat manusia menuntut semua orang di mana saja, kapan saja, dan dalam situasi apa saja untuk menghormatinya. Respek terhadap martabat manusia membutuhkan hukum untuk menjabarkan langkah praktis menghormatinya. Kant yakin bahwa ketiga bentuk konstitusi yang menjadi syarat terciptanya perdamaian abadi merupakan konstitusi yang ideal untuk melindungi martabat dan hak-hak dasar manusia. Hukum memungkinkan orang dapat menuntut orang lain apabila hak-haknya dilanggar atau dilecehkan. Visi perdamaian abadi yang dijangkarkan pada ketiga hukum ini bukan merupakan sesuatu yang utopis. Konstitusi republikan (konstitusi demokratis) sebagai konstitusi yang mengatur relasi antarwarga dalam sebuah negara merupakan konstitusi ideal pada era ini. Negara sebagai urusan publik hanya dapat dijamin oleh konstitusi republikan atau konstitusi demokrasi. Demikian juga, hukum bangsabangsa dan hukum kewarganegaraan dunia. Federasi negara-negara merdeka bertujuan untuk mengatasi secara bersama masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia. Kerja sama antarnegara merupakan hal yang ideal untuk mengatasi persoalan multidimensional. Kerja sama yang bersifat transnasional dan transkultural akan berjalan dengan baik apabila dijamin oleh peraturan yang baik. Hal yang sangat menarik dalam visi perdamaian Kant adalah optimisme akan adanya perubahan ke arah yang baik dalam sejarah manusia. Perubahan ke arah yang baik adalah sesuatu yang terjadi secara evolusioner. Konstitusi republikan dan federasi negara-negara merdeka yang berpayungkan konstitusi republikan adalah sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan. Meskipun demikian, hal ini harus tetap diusahakan. Ia harus diusahakan secara perlahanlahan. Revolusi dan peperangan kurang membawa manusi kepada situasi yang baik. Upaya mewujudkan perubahan dengan revolusi seringkali mengorbankan banyak manusia. Perang untuk mewujudkan suatu tatanan damai adalah kekerasan terhadap kemanusiaan. Perdamaian harus diwujudkan dengan cara memperkuat tatanan hukum yang adil. Hanya dengan memperkuat tatanan yang adil kita dapat mengharapkan suatu tatanan dunia baru yang
37
damai. Dalam konteks ini, gagasan Kant tentang perlunya hukum sebagai sarana perwujudan tatanan damai menjadi ide yang tetap diamini sepanjang zaman. Kant merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah dunia yang memikirkan dan menggagaskan pentingnya perdamaian dunia. Ia juga merupakan tokoh penting yang membidani lahirnya berbagai organisasi pada tataran internasional yang bertujuan melindungi martabat manusia. Menghormati Otonomi atau Kedaulatan Negara Lain Relasi damai antarnegara akan terwujud dan terpelihara jika setiap negara mengakui otonomi atau kedaulatan negara lain. Mengakui otonomi setiap negara berarti mengakui kebebasan setiap negara untuk menentukan cita-cita warga yang membentuk sebuah negara. Pengakuan otonomi setiap negara dilandaskan pada keyakinan bahwa setiap negara mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Usaha untuk mencapai tujuan atau cita-cita bersama dalam satu negara adalah hak setiap negara. Karena itu, Kant melarang setiap negara mengintervensi secara paksa urusan negara lain. Pernyataan ini mengimplikasikan pengakuan akan hak setiap negara untuk mengurus negaranya. Menempatkan hal ini dalam kerangka hak mengandung sebuah imperatif moral yang bersifat kategoris bahwa setiap negara harus menghormati negara lain. Mengakui otonomi setiap negara untuk mewujudkan cita-cita warga negara tidak berarti menutup pintu terhadap negara lain. Kant hanya melarang intervensi yang dilakukan dengan menggunakan paksaan. Setiap negara tetap terbuka untuk menerima input atau kritikan dari negara-negara lain sehubungan dengan persoalan-persoalan yang terjadi dalam satu negara. Masalah kemanusiaan atau kekerasan atau kejahatan terhadap kemanusiaan dalam suatu negara adalah masalah universal. Menempatkan kejahatan atau kekerasan terhadap kemanusiaan dalam kerangka persoalan universal memungkinkan setiap negara untuk secara bersama mengatasi persoalan itu. Dalam konteks ini, setiap negara yang mengalami kemerosotan respek terhadap kemanusiaan harus terbuka terhadap negara lain untuk secara bersama mengatasi persoalan itu. Hal ini tidak melanggar otonomi sebuah negara, tetapi membuat sebuah negara semakin beradab. Hemat penulis, melarang intevensi dengan memakai paksaan adalah ide yang akan harus dipertahankan. Ide
38
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 20–40
ini harus tetap digemakan apabila ada negara yang mempunyai kecenderungan untuk menguasai negara lain.
CATATAN KRITIS TERHADAP FILSAFAT POLITIK KANT
Peranan Politisi Moral
Munkinkah Konstitusi Republikan Membantu Negara menolak Perang Sebagai Sarana Politik?
Kekuasaan, kehormatan, kekayaan, prestise, dan lain-lain merupakan tawaran yang sangat menarik dan memikat hati kebanyakan politisi sepanjang sejarah. Ketertarikan dan keterpikatan tawarantawaran itu membuat para politisi atau setia pada fungsinya sebagai politisi, dalam hal ini mereka mengabdi kepada kepentingan umum, atau menyimpang dari fungsinya, dalam hal ini mereka mengutamakan interese pribadi atau kelompok. Banyak politisi berusaha untuk bersembunyi atau mengenakan selubung ajaran moral untuk memuluskan tujuan atau kepentingan pribadi atau kelompok. Tatanan politik yang baik akan terwujud apabila politisi menerima dan menjadikan moralitas sebagai pedoman dan fundamen segala perjuangan politiknya. Moralitas dan politik menurut Kant adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Moralitas merupakan jiwa dari politik dan politik menyediakan berbagai mekanisme yang memungkinkan ideal moralitas terwujud dalam kehidupan bersama. Moralitas harus menjadi basis dalam mengambil dan menentukan berbagai kebijakan politik. Distingsi antara politisi moral dan moralist politik adalah hal yang sangat penting dalam pemikiran politik Kant. Politisi moral adalah orang yang sungguh memilih prinsip-prinsip politik yang sesuai dengan moralitas dan menjadikan moralitas sebagai basis semua keputusan politik. Politisi moral adalah tokoh yang mampu membawa pembaharuan dalam kehidupan bersama. Sedangkan moralist politik adalah orang yang mereka-reka moralitas supaya cocok dengan kepentingan kalangan negarawan. Moralist politikakan selalu terobsesi pada kepentingan pribadi atau kelompok. Ia bisa bersembunyi di balik ajaran moral demi mencapai tujuan pribadi atau menjadikan ajaran moral sebagai sarana untuk mengelabui publik (Kant, 1989:36). Politisi moral merupakan dambaan semua warga negara. Kebutuhan akan tampilnya politisi moral menjadi sangat urgen di tengah situasi di mana mereka yang mengurus hal-hal publik lebih suka dan lebih mudah menjadi moralist politik. Kebutuhan akan tampilnya politisi moral mejadi semakin urgen di tengah situasi di mana ajaran moral dijadikan sebagai mantel atau topeng untuk menyembunyikan segala macam kebobrokan para politisi.
Kant yakin bahwa hanya negara demokratis yang hidup berdamai dengan negara-negara tertangganya. Optimisme Kant didasarkan atas prinsip yang menjiwai sebuah negara demokratis. Negara demokratis menghormati kebebasan dan mengakui kesamaan semua manusia. Hak-hak manusia diakui sebagai sesuatu yang inheren dalam martabat manusia. Karena itu absurd jika sebuah negara demokratis bergolak dengan negara-negara tetangganya. Matthias Lutz Bachmann melihat bahwa Kant telampau optimis akan kekuatan dan kebaikan sebuah negara demokratis. Kant yakin bahwa hanya warga negara yang mengkui konstitusi republikan atau demokrasi mampu menolak perang (LutzBachmann, 2005:112). Hemat penulis, keyakinan Kant akan penolakan perang oleh warga negara yang bernaung di bawah konstitusi republikan didasarkan atas dua hal. Pertama, warga negara atau rakyat adalah subjek yang menentukan hukum. Rakyat terlibat dalam menentukan berbagai kebijakan politik. Karena itu, perang yang sangat merugikan warga negara pasti harus ditolak. Kedua, negara yang mengabaikan peran warga atau tidak melibatkan warga dalam menentukan hukum dan berbagai kebijakan publik tidak akan menolak perang. Pemimpin akan mengerahkan segala kekuatan warga negaranya bila kekuasaan politiknya terancam oleh kekuatan lain. Pemerintahan yang despotik tidak akan menolak perang. Sedangkan warga negara demokrasi menolak perang. Namun hal ini belum terbukti secara empiris. Perkembangan politik demokrasi belum menunjukkan bahwa warga negara yang berada di bawah konstitusi demokrasi akan menolak perang sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah-masalah politik. Nasionalisme warga dapat saja menjadi pendorong untuk menyetujui peran apabila negara mengalami konflik dengan negara-negara lain. Franz nuscheler juga amat pesimis dengan klaim Kant bahwa warga negara yang bernaung di bawah konstitusi republikan atau demokrasi lebih mencintai damai daripada kediktatoran (Nuscheler, 2005:122). Hal ini memiliki evidensi empiris yang lemah. Hemat penulis, kelemahan Kant bukan pada prinsip demokrasi yang diyakininya, tetapi Kant kurang
Lega, Filsafat Politik Kant dan Relevansinya ...
memperhatikan kelemahan manusia dalam mewujudkan demokrasi itu. Mungkinkah Sebuah Negara Tanpa Tentara? Menurut Kant, tentara tetap (sebagai satu profesi) merupakan salah satu sebab adanya perang karena mereka selalu mengancam negara lain oleh karena kesiapan mereka untuk berperang dan selalu berlomba dalam hal jumlah tentara (Kant, 1989:5). Oleh karena itu, Kant menganjurkan adanya tentara suka rela yang hanya bekerja pada saat yang dibutuhkan demi keamanan negara. Memandang tentara sebagai sebab adanya perang kelihatannya kurang meyakinkan. Kant, dengan itu mempersempit peran tentara, yakni hanya dalam hubungan dengan mempertahankan negara dari agresi negara lain. Tentara sebenarnya bukan sebab adanya perang. Mereka bisa saja hanya menjalankan perintah pemimpin negara. Konflik politik antarnegara yang tidak dapat diselesaikan secara diplomatis bisa mengantar orang untuk mencari jalan lain yakni melalui perang. Kehadiran tentara tetap dibutuhkan untuk membantu terciptanya keamanan dalam negara. Yang terpenting adalah bahwa mereka harus tetap diingatkan bahwa mereka adalah pelindung rakyat dan penjaga keamanan. KESIMPULAN Pada bagian penutup ini, penulis menegaskan bebarapa hal sehubungan dengan pemikiran politik Kant. Pertama, perdamaian dan hukum. Perdamaian merupakan kondisi yang memungkinkan respek terhadap martabat manusia. Perdamaian akan terwujud kalau manusia membentuk hukum yang adil dan human dan berusaha untuk hidup dalam bimbingan hukum yang adil dan human itu. Hukum merupakan sarana untuk membantu perwujudan perdamaian abadi. Semua konflik politik, baik yang terjadi pada aras nasional maupun internasional harus diselesaikan dengan hukum yang diakui secara bersama. Karena itu, perang sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik harus ditolak, karena perang membuat manusia menjadi sarana bukan tujuan dalam dirinya sendiri. Secara singkat kita dapat mengatakan law, yes! war, no! Kedua, kewarganegaraan dunia. Kondisi alam, sosial, politik, budaya dan keamanan dalam sebuah negara akan mempengaruhi mobilisasi warga dalam suatu negara. Kondisi alam, sosial, politik, budaya dan keamanan yang tidak kondusif mendorong
39
warga dalam suatu negara untuk mencari suaka atau perlindungan di negara lain. Dalam konteks seperti ini, gagasan kewarganegaraan dunia merupakan gagasan yang sangat penting untuk melindungi mobilisasi warga suatu negara ke negara lain. Gagasan kewarganegaraan dunia menunjukkan bahwa semua manusia adalah sama. Semua orang mempunyai hak untuk menempati bagian tertentu dari muka bumi ini yang diatur menurut hukum. Karena itu, semua orang harus diterima dan diperlakukan sebagai manusia di mana saja ia berada. Kant meletakkan basis yang sangat kuat bagi hukum kewarganegaraan dunia, yakni hospitalitas universal. Semua orang yang mencari perlindungan atau ingin menempati bagian tertentu dari wilayah sebuah negara hendaknya diterima sebagai sesama manusia yang patut dihormati. Ketiga, pengakuan kedaulatan sebuah negara dan respek terhadap otonomi setiap negara. Eksistensi sebuah negara bukan pemberian atau donasi dari negara lain, tetapi merupakan kesatuan manusia yang memiliki wilayah tertentu dengan latar belakang historis tertentu. Karena itu, negara yang mengintervensi urusan negara lain dengan menggunakan paksaan merupakan pelanggaran terhadap otonomi sebuah negara. Hal ini harus ditolak karena akan menyulutkan api pertentangan antarnegara. Keempat, pasukan penjaga perdamaian. Kant, kelihatannya, menolak adanya tentara sebagai sebuah profesi. Tentara juga bisa menjadi sebab adanya perang karena mereka selalu melatih diri dalam hal menghancurkan musuh-musuh dalam perang. Kant mengharapkan agar suatu saat profesi sebagai tentara dihilangkan. Kelima, moralitas dan politik. Moralitas dan politik merupakan dua sfer yang memiliki hubungan yang sangat erat. Moralitas memberikan standar ideal mengenai nilai-nilai kemanusiaan dan politik menjabarkan idealisme itu dalam berbagai kebijakan praktis menyangkut hidup manusia. Oleh karena itu, prinsip moral harus menjadi standar berbagai kebijakan politik. Kebijakan politik dilandasi moralitas akan membantu terciptanya dunia yang human. Keenam, prinsip publisitas. Prinsip ini merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah negara demokrasi. Setiap kebijakan politik, pada prinsipnya, harus bersifat publik. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil harus melewati uji publik, misalnya melalui berbagai debat dan diskusi yang terbuka. Hal ini bertujuan untuk menjamin tuntutan publik dari suatu kebijakan politik.
40
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 20–40
DAFTAR RUJUKAN Baehr, P., dkk. 2001. Instrumen Internasional Pokokpokok Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Chevalier, J. 1986. Dynamics of Peace. Paris: Unesco. Copleston, F. 1964. A History of Philosophy, Hobbes to Hume, Vol. ke-5. London: Burns and Oates Limited. _______. 1964. A History of Philosophy, Wolff to Kant, Vol. ke-6. London: Burns and Oates LTD. Dua, M. 20013. “Prolog” dalam Madung, Otto Gusti. Filsafat Politik Negara dalam Bentangan Diskursus Filosofis. Maumere: Ledalero. Fahey, J.J., dan Amstrong, R. 1991. A Peace Reader Essentials Reading on War, Justice, Non Violence and World Order. New York: Paulist Press. Flikschuh, K. 2003. Kant and Modern Political Philosophy. New York: Cambridge University Press. Fried, H.M. 1967. The Evolution of Political Society. New York: Random House. Gallie, B.W. 1980. Philosophers of Peace and War. London: Cambridge University Press. Gandhi. 1991. Non Violence, dalam J.J., Fahey and R. Amstrong, A Peace Reader Essentials Reading on War, Justice, Non Violence and World Order. New York: Paulist Press. Kant, I. 1989. Perpetual Peace, Translated by Lewis White Beck. New York: Macmillan Publishing Company. Kymlicka, W. 2002. Contemporary Political Philosophy. New York: Oxford University Press. Lutz-Bachmann, M. 2005. “Human Rights, Political Democracy and Global Order: Reflection on the Consequences of Kant’s Practical Philosophy in a Globalizing World”, Discursus, Vol. ke-4. No. 2, p. 110.
Madung, O.G. 2013. Filsafat Politik Negara dalam Bentangan Diskursus Filosofis. Maumere: Ledalero. Magnis-Suseno, F. 1988. Etika Politik. Jakarta: Gramedia. Maritain, J. 1951. Man and State. Chicago: The University of Chicago Press. Noer, D. 1997. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan. Nuscheler, F. 2005. “Kant’s ‘Perpetual Peace’ and the Concept of Global Governance-Vision or Illusion”, Discursus, Vol. ke-4.No.2, p. 119. Palmquis, S. 2002. Pohon Filsafat. Diterjemahkan Shodiq Muhammad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Peters, S.R. 1967. “Thomas Hobbes”, dalam P. Edward (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Vol. 4. New York: Macmillan Publishing Co and the Free Press. Rapar, H.J. 1988. Filsafat Politik Plato. Jakarta: Rajawali Press, Rousseau, J.J. 1994. Discourse on Political Economy and the Social Contract, Translated by Cristopher Betts. New York: Oxford University Press. Schmandt, H.J. 2002. Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Thant, U. 1991. “United Nations Peace Force”, dalam J.J. Fahey and R. Amstrong, A Peace Reader Essentials Reading on War, Justice, Non Violence and World Order. NewYork: Paulist Press. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. ke-3. Jakarta: Balai Pustaka. Umaruddin, M. dkk. 1999. Mengasah Naluri Publik Memahami Nurani Politik. Yogyakarta: LKiS. Williams, H. 2003. Filsafat Politik Kant. Surabaya: JPPress dan Jakarta: DPP IMM.