FILOSOFI DALIHAN NA TOLU:
KREASI ADAT BATAK DALAM HARMONI DAN TOLERANSI Zainal Efendi Hasibuan Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Padangsidimpuan Jalan T. Rizal Nurdin KM. 4,5 Sihitang Padangsidimpuan E-mail:
[email protected]
Abstrak Indonesia sebagai negara yang majemuk, potensial terjadinya konflik. Untuk menanggulangi konflik, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggali nilai-nilai harmoni dan toleransi dari akar-akar adat budaya. Penelitian ini mencoba menjawab persoalan tersebut dengan mengkaji nilai-nilai harmoni dan toleransi dalam adat Batak Dalihan na tolu, dengan pendekatan library riset, dan teknik content analisys. Kajian ini menemukan, bahwa dalam adat Batak yang dikenal dengan dalihan na tolu, terkandung konsep kekeluargaan, persaudaraan, yang diikat dengan tali darah yang dapat merekat tali hubungan satu sama lain. Sehingga menjadi alat penting untuk menciptakan harmoni dan toleransi baik antar umat beragama maupun antar etnis, ras, dan golongan. Kesemuanya dirajut dengan tali persaudaraan dalihan na tolu, yang terdiri dari mora, kahanggi, dan anak boru. Abstract Indonesia as a pluralistic country has the potential for conflict. To overcome the conflict, one of the efforts that can be done is to explore the values of harmony and tolerance of indigenous in cultural wisdom. This study attempts to answer these issues by reviewing the values of harmony and tolerance in Batak Dalihan na tolu, with the approach of a research library, and engineering content analisys. This study found that in traditional Batak known Dalihan na tolu, contained the concept of kinship, brotherhood, tied with a rope cord blood can stick relation to each other. So it becomes an important tool to create harmony and good interreligious tolerance and inter-ethnic, racial, and class. All are knitted by kinship Dalihan na tolu, consisting of mora, Kahanggi, and son Boru. Kata kunci: Dalihan Na Tolu, Harmoni, dan Toleransi
Filosofi Dalihan Na Tolu
Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai negara pluralis, multy suku, budaya, ras, golongan, dan agama. Elit pemikir era awal kemerdekaan Indonesia menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbol kebersamaan, yang dipegang erat oleh Burung Garuda. Kemajemukan jangan dijadikan sebagai ajang permusuhan, namun sebagai bukti kekuasaan Sang Pencipta, yang menjadikan makhluk berpasang-pasangan supaya saling kenal-mengenal. Pluralisme hendaknya dimaknai bahwa keragaman yang ada, diapahami sebagai Kesempurnaan (al-kamiliyah) dan Kemahayakayaan Sang Pencipta, semuanya berasal dari yang Esa dan kembali kepada yang Esa. Perbedaan adalah rahmat, al-ikhtilāfu baina ummat rahmat, hanya orang yang tidak bisa menerima perbedaanlah orang yang tidak memahami esensi perbedaan. Kemajemukan perlu dipupuk dengan semangat harmoni dan toleransi antar etnis, ras, dan umat beragama. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menggali nilai-nilai toleransi yang terdapat pada budaya lokal. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji falsafah dalihan na tolu sebagai way of life dan struktur organisasi pada adat Batak.1 berasal dari bahasa Arab yaitu al’-adat, yang artinya kebiasaan. Ada juga yang berpendapat bahwa adat berasaldari bahasa Sansekerta yaitu, a berarti bukan, dan dato berarti sifat kebendaan. Dengan demikian adat berarti sifat immaterial, menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan dengan sistem kepercayaan. Kusumadi Pudjosewarjo sebagaimana dikutip Zainal Efendi Hasibuan, mendefinisikan adat sebagai tata cara yang sudah terpakai lazim, sudah dipakai, dan berdasarkan keinsyafan bahwa itu patut diaplikasikan. Adat adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat, sudah, sedang, dan akan diadatkan. Dalam seminar sehari di Sipirok Tor Sibohi tahun 1992, adat didefinisikan dengan norma sosial yang berlaku di masyarakat, secara turun-temurun yang mengatur interaksi hubungan sosial. Sehingga tercipta keserasian sosial itu. Hazairin berpendapat, bahwa adat adalah suatu kebiasaan yang dilakukan suatu masyarakat tertentu, secara berulang-ulang, pada waktu dan tempat tertentu, tanpa diketahui kapan mulanya, dan kapan akhirnya. Adat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan mengikatnya tergantung masyarakat yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak dari pada perasaan keadilannya. Agar adat tetap tumbuh sumbur, maka regenerasi dalam mengajarkan adat merupakan sebuah kemestian. Karena ia merupakan sebuah kebiasaan yang mentradisi, maka adat tetap eksis ketika masyarakat setempat masih mau mengembangkan dan mengaplikasikan dalam interaksi sosial. Adat berarti sesuatu yang dikerjakan atau 1Adat
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
55
Zainal Efendi Hasibuan
Tanah Batak terletak di pulau Sumatera sebelah utara, dahulu dinamai pulau morsa, maknanya pulau tempat ular sa (sawah), sebangsa ular yang besar.2 Bangsa Batak yang berdiam di daerah tapanuli (baca: Tapiannauli, pancuran atau air yang indah) dan di luar daerah Tapanuli terbagi kepada sub suku Toba, Pakpak, Dairi, Mandailing dan Angkola, 3 dan Simalungun. Parlindungan menjelaskan, bahwa Suku bangsa Batak adalah Proto Malayan, seperti juga suku bangsa Toraja. Bukannya Neo Malayan, seperti Suku-suku Bangsa Jawa, Bugis, Aceh, Minangkabau, Sunda, Madura, dan lain sebagainya. Bahasa Batak dan Tulisan Batak merupakan sesuatu very interesting ethnologic and philologic museum, yang selama 3000 tahun tidak pernah dikacau oleh pangaruh Hindu, Arab, Tiongkok dan lain-lain.4 Secara geografis, suku Batak dapat dibagi ke dalam enam sub suku, yaitu 1) Batak Toba (Tapanuli), mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, menggunakan bahasa Batak Toba, 2) Batak Simalungun, mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan menggunakan bahasa Batak Simalungun, 3) Batak Pakpak, mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan, dan menggunakan bahasa Pakpak, 4) Batak Mandailing, mendiami Kabupaten Panyabungan, sebagaian Kabupaten Pasaman, Wilayah Pakantan, dan Muara Sipongi, dan menggunakan bahasa Batak Mandailing, geografis mereka lebih dekat dengan Padang, 5) Batak Karo, mendiami Kabupaten Karo, Langkat, dan sebagian Aceh, dan menggunakan bahasa Batak Karo, 6) Batak Angkola. Kawasan luat Angkola, terbagi dua, yaitu Angkola Julu dan Angkola Jae. Angkola adalah salah satu sub Suku Bangsa Batak yang berasal dari Sumatera Utara yang tinggal di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. diucapkan berulang-ulang, sehingga diangap baik dan diterima oleh jiwa dan akal sehat. (Lihat Zainal Efendi Hasibuan, Studi komprehensif Adat Budaya Batak Angkola (Padang Sidimpuan, 2013), hlm. 1-2). 2E.St.. Haharap, Perihal Bangsa Batak (Jakarta: Bagian Bahasa Djawatan Kebudayaan, 1960), hlm. 9 3Ibid., hlm. 10. 4Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanko Rao: Teror Agama islam Madzhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833 (t.tp.: Tanjung Pengharapan, t.thlm.), hlm. 19.
56
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
Filosofi Dalihan Na Tolu
Nama Angkola berasal dari nama sungai, yakni batang Angkola (batang: sungai) yag diberi nama seorang penguasa yang bernama Rajendra Kola (angkola /yang dipertuan kola), melalui Padang Lawas, dan kemudian berkuasa di saat itu. Di sebelah selatan batang angkola diberi nama Angkola Jae (hilir) dan di sebelah utara sungai batang angkola diberi nama Angkola julu (hulu). Suku Batak Angkola sendiri mengenal paham kekerabatan patrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Angkola mengenal marga. Di Angkola hanya dikenal beberapa marga saja, antara lain Siregar, Harahap, Hasibuan, Rambe, Daulay, Tanjung, Ritonga, dan Hutasuhut. Agama suku Batak mayoritas Islam dan sebagaian Kristen. Awalnya suku ini memeluk agama parmalim, penganut kepercayaan animisme, disebut Si Pelebegu atau Parbegu, artinya menyembah begu, atau menyembah roh. Begu, ialah roh atau badan yang tidak berdaging, yang sakti.5 Tuhan terbesar pada adat Batak disebut Debata Mulajadi Nabolon. Tuhan yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada.6 Pendekatan dalam tulisan ini menggunakan pendekatan filosofis, menekankan fundamental structure dan ide-ide dasar, menghindari persoalan yang tidak relevan dengan pembahasan. Langkah-langkah penulisan yang dilakukan: Pertama, mencari fundamental structure dan ide-ide dasar pada data untuk digunakan sebagai pijakan bagi refleksi filosofis. Kedua, melakukan analisis filosofis dengan berpegang kepada unsur-unsur metodis umum, seperti interpretasi, induksi-induksi, koherensi intern, deskripsi, holistika, dan refleksi pribadi. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi, dalam arti menelaah dokumen-dokumen tertulis, baik yang berasal dari sumber primer maupun sumber skunder (dalam hal ini adalah kajian-kajian tentang basis filosofi dalihan natolu dengan kajian-kajian terkait). Hasil telaahan tersebut kemudian dicatat dalam komputer sebagai alat bantu. Analisis data diawali dengan proses reduksi (seleksi) data untuk St. Harahap, op.cit., hlm. 58. Andar M., Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), cet. ke-2, hlm. 7. 5E.
6Lumbantobing
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
57
Zainal Efendi Hasibuan
mendapatkan informasi yang lebih terfokus pada rumusan persoalan yang ingin dijawab oleh penelitian ini. Selanjutnnya proses deskripsi, yaitu menyusun data itu mnjadi sbuah teks naratif. Pada saat penyusunan data menjadi teks naratif inilah dilakukan analisis data dan dibangun teori-teori yang siap untuk diuji kembali kebenarannya, dengan tetap berpegang pada pendekatan filosofis. Setelah itu, dilanjutkan proses penyimpulan, yaitu menyimpulkan data yang sudah dianalisis dan ditulis. Filosofi Dalihan Na Tolu Umumnya orang Batak mempunyai falsafah Dalihan Na Tolu,7 yang terdiri dari mora, kahanggi, dan anakboru. Ketiganya bersama-sama membentuk sebuah komunitas masyarakat (microcosmic).8 Sistem sosial Dalihan Na Tolu juga merupakan refleksi dari Debata Na Tolu. Batara Guru, penguasa benua bawah, diwakili mora, memakai simbol ulos. Soripada, penguasa Benua Tengah, diwakili dongan kahanggi, memakai simbol pustaha, berisi aturan-aturan yang mengatur tata-tertib dan kerjasama keseluruhan kosmos. Balabulan, penguasa Benua Atas, diwakili oleh anakboru, memakai simbol piso.9 Masing-masing unsur tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda, namun saling melengkapi satu sama lain. Dalihan Na Tolu atau secara harfiah “tungku yang tiga” adalah satu lembaga adat kemasyarakatan Batak yang merupakan satu kesatuan.10 Dalihan Na Tolu adalah suatu sistem adat yang sangat terbuka, demokratis dan berkembang. Anak laki-laki dalam suatu keluarga tidak selalu harus mengawani Boru Tulangnya, tetapi dia dapat juga kawini dengan gadis dari marga-marga yang lain sehingga Dalihan Na Tolu tersebut semakin berkembang dan meluas. M. A., Kamus Budaya Batak Toba (Jakarta: Balai Pustaka 1987), hlm. 28. O. L., Ph., The Structure of The Toba-Batak Belief in The High God (South and South-East Celebes Institute For Culture, Jakarta, Cet. 3, 1994), p. 150. 9Niken Nababan, Falsafah Dalihan Na Tolu dalam Masyarakat Batak, Tesis Program Pasca Sarjana Magister Theologi STT Nazarene Indonesia Yogyakarta: 2011. 10Syahmerdan Lubis, Adat Hangoluan Mandailing (Tapanuli Selatan: t.tp.: t.th.) , cet.ke-1, , hlm. 91 7Marbun, 8Tobing
58
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
Filosofi Dalihan Na Tolu
Orang Batak memiliki banyak tutur sapa kekerabatan. Ini merupakan bukti bahwa hubungan kekerabatan dalam masyarakat Batak sangat kuat. Nilai kekerabatan ini diajarkan kepada anak-anak sejak usia balita dengan cara memperkenalkan mereka kepada kerabat-kerabat keluarga sekaligus dengan sapaan tutur yang tepat. Dalihan na tolu adalah filosofi atau wawasan sosial kultural yang menyakut masyarakat dan budaya Batak. Perannya dalam kehidupan sehari-hari sangat besar seperti halnya menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalihan Na Tolu artinya tungku yang tiga, yakni tiga buah batu yang dipakai sebagai landasan atau tumpuan periuk untuk memasak. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak maka tungku tidak dapat digunakan inilah yang dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan. Kadang-kadang satu dari ketiga buah batu tersebut bisa saja miring sehinggga periuk yang diletakkan di atasnya ikut miring dan tidak stabil.11 Untuk memperkuat dan menstabilkan posisinya di pergunakanlah suatu bahan pengganjal yang diselibkan di bawah batu yang miring itu, bahan pengganjal inilah disebut sebagai Sihal-Sihal. Falsafah Dalihan Na
Tolu dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital karena digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup keuarga.12 Dalihan Na Tolu sebagai basic structure dari adat Batak sangat dominan dalam pelaksanaan prosesi adat. Nenek moyang zaman dahulu selalu belajar dan mengambil hikmah arti filosofis dari alam lingkungan mereka. Benda-benda, tumbuh-tumbuhan yang ada di sekliling mereka menjadi guru yang sangat berharga dan berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat pada waktu itu dan kenyatannya dalam banyak hal 11Diapari
gelar Patuan Naga Humala Parlindungan, Adat Istiadat Perkawinan Dalam
Masyarakat Batak (Medan: CV Mitra, 2011), hlm. 17. 12Ibid.
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
59
Zainal Efendi Hasibuan
masih
dipakai
dan
dilestarikan
sampai
saat
ini
sepanjang
tidak
bertentangan dengan agama Islam. Sebagai contoh di zaman nenekmoyang kita yang masih hidup sangat sederhana, jika mereka mau menanak atau merebus sesuatu dengan menggunakan periuk, pertamatama mereka membuat dalihan (tungku) dari batu alam sebnyak tiga biji. Batu-batu tersebut tertanam kokoh di tanah yang disebut tataring (perapian) dengan posisi segi tiga sama sisi yang disebut Dalihan Na Tolu. Gunanya, apabila mereka mau memasak sesuatu, periuknya ditaruh di atas tungku tadi dan baru dinyalakan api dari bawahnya. Jika salah satu dari batu ini tidak ada, maka akan sulit meletakkan periuk di atasnya. Pemikiran Dalihan Na Tolu ini menjadi basic structure filosofis hubungan sosial di kalangan Batak merupakan simbol hubungan kekerabatan dari Khanggi-Anak Boru dan Mora. Demikian juga halnya bila salah satu dari hubungan ini tidak hadir dalam sidang peradatan, mustahil biss dijalankan acara adat yang dibicarakan dalam persidangan. Sedangkan hubungan kekerabatan ini terjadi karena adanya hubungan perkawinan. Munculnya Dalihan Na Tolu adalah akibat hubungan kekerabatan yang terjadi karena perkawinan antara marga. Dalihan Na Tolu adalah suatu sistem adat yang sangat terbuka, demokratis dan berkembang. Anak laki-laki dalam suatu keluarga tidak selalu harus mengawini Boru Tulangnya, tetapi dia dapat juga kawin dengan gadis dari marga-marga yang lin, sehingga Dalihan Na Tolu tersebut semakin berkembang dan meluas. Keluarga dari marga yang dikenal sebelumnya namun karena adanya hubungan perkawinan antara anak laki-laki dengan anak gadis dengn marga tersebut dengan sendirinya terjadi perubahan dalam menyandang predikat menjadi Mora atau Anakboru. Hubungan kekerabatan marga ini sangat bervariasi, sehingga menimbulkan pertalian kekerabatan Dalihan Na Tolu yang bervariasi pula. Hal ini bias terjadi karena banyaknya marga-marga yang ada di dalam lingkungan etnis Batak. Unsur Dalihan Na Tolu dalam Masyarakat Batak
60
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
Filosofi Dalihan Na Tolu
Batak merupakan salah satu sub suku Indonesia yang kaya akan nilai-nilai budaya. Suku Batak terdiri atas beberapa sub suku yaitu: Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Mandailing, Batak Angkola dan Batak Pakpak.13 Dalihan Na Tolu itu merupakan suatu lembaga adat yang penting dalam masyarakat adat batak yang terdiri dari tiga unsur yaitu, Mora (hulahula), Kahanggi (dongan tubu/sabutuha) dan Anak Boru, yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Mora atau Hula-Hula Mora adalah fihak keluarga isteri atau fihak yang memberi isteri kepada fihak pertama.14 Mora adalah kelompok keluarga dari nenek perempuan, keluarga ibu, keluarga isteri dan keluarga parumaen (istri Anak). Golongan mora tidak tergolong dalam satu marga saja. Mora bisa bertingkat-tingkat, yaitu: 1) mora pengambilan istri ataupun mora pengambilan boru. Mora ini baru satu kali memberikan Anak gadisnya kepihak Anakboru. Kalau dalam pergaulan kelompok mora dialah tingkatan yang terakhir, walaupun dalam prakteknya sering dikedepankan, 2) mora Ulubondar Naso Hasop-sopan. Mora ulubondar adalah keluarga pangkal ibu kita. Kalau digelanggang paradaton harus ditunjukkan bahwa hormat kita melebihi menghadapi mora ini dibanding mora pengambilan istri kita.15 Ada dua bentuk tingkatan mora dalam persidangan upacara adat, yaitu16 1) Mora Parutangan Boli. Pihak mora ini dan mereka satu nenek (saparompuan) atau satu hariman, tidak wajar hadir pada upacara persidangan Anak boru, yaitu pada sidang marpege-pege, sidang mangupa di na haroan boru, 2) Mora dongan satahi. Mora ini, ada juga yang menyebut mora ama. Tutur mora timbul bukan karena hubungan perkawinan yang sangat dekat. Cuma menurut jalur hubungan keluarga dari berbagai pihak dalam hubungan kekeluargaan masyarakat kita harus Tinggi Barani Perkasa Alam, Partuturon Menurut Adat Tapanuli Selatan, (Meda : CV Mitra, 2014), hlm. 25. 14L.S. Diapari BBA gelar Patuan Naga Humala Parlindungan, Perkembangan Adat Istiadat Masyarakat Suku Batak Tapanuli Selatan (Jakarta: t.tp., 1987), hlm. 57. 15 Syahmerdan Lubis, op.cit., hlm. 93. 16Baumi G. Siregar, Partuturon: Cara Bertutur Sopan Santun Menurut Adat Tapanuli Selatan (Padangsidimpuan: t.tp., 1990), hlm. 24. 13Sutan
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
61
Zainal Efendi Hasibuan
memanggil mora. Kalau ini boleh hadir dalam upacara marpege-pege, mangupa di Na haroan boru. Kelompok mora terdiri dari 1) iboto ni inang ni suhut (Tulang) dan turunannya, 2) Simatua Ni Suhut (Ayah dari istri Suhut), dan kahangginya, 3) tunggane (iboto ni saripe ni suhut) dan turunannya, 4) bona Tualang (mora ni Ompung ni uhut), 5) bona ni Ari (Mora Ni Amang Ni Ompung Ni Suhut dan Amang ni Amang Na lopus tuginjang, 6) tulang Rorobot (Tulang ni istri ni Suhut atau Tulang ni Inang ni Suhut/Ompung ni Suhut), disebut juga mora ni mora, 7) mora ni sude Kahanggi.17 Kelompok kerabat yang membuat boru untuk dipersunting jadi istri oleh anak boru. Kelompok kerabat mora ini sangat menyayangi kerabat anak borunya, demikian juga anak boru sangat menghormati moranya. Pihak hula-hula memiliki kedudukan yang terhormat dalam masyarakat batak. penghormatan tersebut harus selalu ditunjukkan dengan sikap, perkataan dan perbuatan. Orang batak harus somba marhula-hula yang berarti harus bersikap hormat, tunduk serta patuh terhadap hula-hula. Keputusan hula-hula dalam musyawarah adat sulit di tentang dalam adat batak yang peternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lakilaki pihak perempuan pantas dihormati karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada suatu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan kepada tingkat ibu tetapi sampai kepada tingkat ompung (kakek) dan seterusnya.18 Mora diibaratkan sebagai sumber air dalam kehidupan karena dianggap merupakan pangalapan pasu-pasu dohot pangalapn tua yakni merupakan sumber berkat dan kebahagiaan terutama berkat berupa keturunan putra dan putri.pihak boru tidak akan berani melawan hulahulanya karena diyakini perbuatan itu akan dikutuk oleh sahala hula-hula sihingga dia tidak akan memperoleh keturunan, sengsara, jatuh sakit, panen gagal, kemalangan dan sebagainya.
Siregar, Buku Panduan Pelaksanaan Acara adat di Luat Harajaon Marancar (Marancar Godang: Bamus Marancar, 2006), hlm. 115. 18Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, Burangir Barita (Medan: Mitra Medan, 2011), hlm. 28. 17Zulfikar
62
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
Filosofi Dalihan Na Tolu
2. Kahanggi (Dongan Tubu/Sabutuha) Kahanggi adalah satu kalompok kerabat satu marga. Istilah-istilah lain yang menyangkut kerabat kahanggi ini antar lain dongan sa ama sa ina, dongan sa ompung, dongan sa mudar atau sahaturunan.19 Di Toba kahanggi disebut dengan dongan sabutuha atau biasa disebut dongan samarga atau pardonganon. Pada awalnya adalah lahir dari sepasang suami-istri, keturunan mereka kemudian beranak pinak namun istilah dongan sabutuha tidak hilang walaupun mereka lahir dari rahim ibu yang berbeda-beda dalam generasi yang berbeda-beda pula dan dari ibu yang bermarga berbedabeda tetapi dari ayah cikal bakal, kakek dari satu marga. Pengertian ini kiranya sejalan dengan ungkapan orang Batak, na salakka sasingkoru,
sasanggar saria-ria, na saanak boru suang holong ni na marsada ina.20 Kahanggi adalah saudara semarga atau sekelompok masyarakat dalam satu rumpun marga, yaitu orang-orang seketurunan menurut garis bapak; para turunan laki-laki dari satu leluhur. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat, mereka menyatukan diri. Misalnya, Toga Sihombing, terdiri dari Silaban, Lumbantoruan, Nababan dan Hutasoit. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Itulah sebabnya orang Batak diperintahkan untuk manat markahannggi, yang artinya: menaruh hormat dan bersikap hati-hati kepada saudara semarga agar tidak menyakiti hatinya. Untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian), orang Batak selalu membicarakannya terlebih dahulu dengan saudara semarga. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Apabila dalam suatu adat 19Sutan
Tinggi Barani Perkasa Alam, Tutur Poda (Medan: Mitra Medan, 2011), hlm,
7.
Ibid, hlm, 20.
20
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
63
Zainal Efendi Hasibuan
Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan sampai pada perkelahian. Masalah warisan juga sering menjadi penyebab pertikaian di kalangan namarkahanggi. Hal itu dapat dipahami, karena suatu keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Karena dekatnya hubungan na mardongan tubu, dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya. Misalnya panggilan “ho” (kau), “ampara” (saudara), “amani aha” (bapa si …), dan lain-lain, panggilan yang sangat akrab. Namun harus diingat, dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang menimbulkan pertikaian atau perkelahian. Kelompok tutur kahanggi, yaitu 1) dongan sa ama Ni Suhut (Abang dan Adek laki-laki), 2) Ama martinodohon (Amangtua dan Amanguda) dan anak dan turunannya, 3) ompu martinadohon dan turunannya, 4) dongan samarga ni suhut, 5) dongan sa ompung suhut boru martinadohon (Pulik marga/Berlainan marga), 6) dongan sa ina ni suhut (pulik marga), 7) pareban (kakak beradik isteri).21 Anak Boru Anak boru yaitu kelompok kerabat yang mengambil istri dari kerabat mora, kelompok kerabat mengambil boru ini sangat royal kepada pihak keluarga istrinya yaitu moranya. Status sosial misalnya pangkat dan jabatan tinggi tidak mempengaruhi tugas-tugas anak boru di dalam suatu pesta adat dan pergaulan kekrabatan. Anak boru sebagai kerabat yang bekerja keras membela moranya, senantisa menyadari bahwa tugasnya sebagai anak boru adalah bekerja untuk kejayaan dan kebahagian moranya. Julukan kepada anak boru itu anatara lain, 1) na gogo menjujung, maknanya anak boru ini senantiasa berdaya upaya menjujung moranya agar tetap terpandang, berbahagia, kaya karena kalau moranya terpandang, bahagia dan kaya maka anak boru dengan sendirinya ikut merasakan hal itu, 2) na juljul tu jolo, maknanya anak boru sebagai pendukung mora senantiasa berada di depan merintis jalan, menghilangkan segala rintangan di jalan yang hendak dilalui mora, 3) na 21Zulfikar
64
Siregar, op.cit., hlm. 114.
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
Filosofi Dalihan Na Tolu
torjok tu pudi, maknanya menopang ata menyangga dari belakang mora. Apabila mora mengambil kesulitan dan hendak mundur dalam melakukan sesuatu maka anak boru segera tampil di belakang untuk menolongnya agar cita-cita mora berhasil, tungkot dina landit, maknanya tungkot atau tongkat berguna di tempat jalan yang licin sebagai penopang badan agar tidak terjatuh. Begitulah peranan anak boru senantiasa sebagai tongkat agar dalam masa paling sukar mora jangan sampai jatuh tersungkur dalam hal ini anak boru berfungsi sebagai tongkat, 4) sulu-sulu dina golap maknanya anak boru sebagai pelita di tengah kegelapan bagi moranya. Apabila mora dalam kesulitan hidup seolah berada dalam kegelapan, kehilangan arah maka anak boru berfungsi sebagai pelita yang menerangi moranya agar tidak kehilangan arah dalam kehidupannya. Anakboru merupakan tongkat dalam melalui jalan yang licin dan merupakan obor dalam kegelapan,22 5) sitambai na hurang maknanya adalah boru manutupi kekurangan moranya. Hidup tak ada yang sempurna kadangkadang seseorang kaya raya tetapi mempunyai kelemahan dalam pemikiran atau seseorag berfikir cerdas dan jernih namun kehidupannya secara meteril menyedihkan, 6) sihorus na lobi maknanya apabila moranya berprilaku atau berkata yang melewati batas kewajaran tata karma, kesopan santunan maka anak boru segera bertindak mengatasinya agar kesan terhadap moranya tetap baik, 7) piri-piri manyongging maknanya sebagai manusia biasa, anak boru juga memilki batas-batas kesabaran. Bisa terjadi anak boru sangat marah kepada moranya tetapi kemarahan ini tidak di sampaikan kepada moranya,238) goruk-goruk hapinis, maknanya kunci, palang atau pagar yang menjaga agar orang tidak memasuki suatu tempat yang dilindungi, 9) bungkiulan tonga-tonga, maknanya hubungan atap rumah, dalam hal ini anak boru berfungsi sebagai pemersatu dan juru damai bagi seluruh moranya. Pihak Anakboro adalah anak perempuan, saudara perempuan dari laki-laki, kelompok Marga dari menantu laki-laki. Kelompok anak boru terdiri diri 1) boru ni Suhut (Hela) dan Turunannya, 2) Namboru Ni Suhut 22L.S.
Diapari, op.cit., hlm. 57. Tinggi Barani Perkasa Alam, Burangir Barita, op.cit., hlm. 34.
23Sutan
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
65
Zainal Efendi Hasibuan
dan kahangginya dan Turunannya, 3) Amangboru Ni Suhut (Anak dari Iboto ni Ompung Suhut dan turunannya) atau Boru Na Gojong, disebut juga Anak Boru Pusako/Goruk-goruk Hapinis), 4) Boru Ampuan (Na Ro Sian Na Asing/Suku Lain), 5) Semua Anak Boru Ni Kahanggi, 6) Babere Ni Suhut/Sibuat Bere atau Pisang Raut, disebut juga Mora ni Mora, 7) Mora Ni Sude Kahanggi.24
Elek maranaboru adalah suatu sikap lemah lembut terhadap pihak “boru” agar dengan cara itu mereka mampu secara ikhlas mendukung pelaksanaan
acara adat. Bersikap lembut ini memiliki arti luas yang
dapat diuraikan sebagai berikut: 1) tidak boleh memperlakukan boru dengan sikap yang tidak pantas, 2) tidak boleh menyuruh atau memerintah
boru dengan paksa di segala waktu dan segala hal, 3) tidak boleh membentak-bentak boru, 4) tidak boleh menolak keinginan boru, 5) jika terpaksa harus menolak karena tidak tersedia apa yang diharapkan boru, maka tidak boleh memarahinya tapi harus menyampaikan dengan katakata yang halus, 6) harus lemah-lembut dalam berkata-kata dan bersikap santun saat menyuruh atau mengharapkan sesuatu dari boru, 7) harus bersikap baik dan menyapa dengan halus setiap saat. Orang Batak selalu merasa bersatu dengan negerinya yaitu tanah Batak yang disebut dengan istilah bona pasogit atau bona ni pinasa. Mengenai sistem nilai yang merupakan warisan para leluhur sangat dijunjung tinggi. Adat adalah pusaka yang tidak kunjung usang. Adat haruslah selalu dilestarikan dan dijunjung tinggi ini terlukis dari ungkapan atau pepatah berikut: raja na di jolo, martungkot siala gundi, adat pinungka
ni na parjolo, siihut honon ni parpudi, yang artinya raja yang di depan bertongkat siala gundi adat yang diciptakan orang dahulu harus diikuti orang yang kemudian. Demokrasi Dalihan Na Tolu Kedudukan unsur Dalihan Na Tolu pada hakikatnya sama tinggi dengan alasan-alasan sebagai berikut,25 1) kalau membuat satu keputusan 24Zulfikar
Siregar, op.cit., hlm. 115. Lubis, op.cit , hlm. 103-107.
25Syahmerdan
66
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
Filosofi Dalihan Na Tolu
suhut, Anak boru, dan mora harus hadir dengan hak suara yang sama, 2) Dalihan Na Tolu secara harfiah adalah 3 batu yang sama tinggi yang digunakan tumpuan penjerangan untuk memasak. Semua yang dimasak kalau tidak datar tumpuannya yang tiga akan tumpah yang dimasak, 4) giliran mora, Anak boru dengan suhut berganti-ganti laksana mandi dipancuran bergiliran, 5) Anak boru memberi kata putus, kalau ada satu permasalahan di antara suhut, diupayakan didamaikan oleh mereka yang bersaudara kandung ataupun familinya, 6) dalam hal mengahadapi kesulitan pihak suhut, penyelesaian biaya pesta adat selalu di atasi mora bersama Anak boru dimana: 1/3 pembiayaan ditanggung suhut, 1/3 dipikulkan kepada kelompok mora, dan 1/3 dibebankan kepada kelompok Anak boru. Selanjutnya dalam adat Batak, sikap demokratis dapat dilihat dari sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yang disebut Raja. Sifat-sifat Raja dalam adat Batak di antaranya: 1) Partalaga nasohiang,
parmual naso sude. Maknanya,
suka memberikan palayanan terhadap tamu dengan sebaik-baiknya, 2) Parmata-mata ni honas, teliti dan selalu memperhatikan rakyatnya, baik perangai, kehadiran pada acara siriaon dan siluluton, 3) parholong naso sude, sifat kasih-sayang terhadap rakyatnya, 5) ni somba di balian, manyomba digagasan, maknanya disebababkan
kebaikan, keramahan dan wibawa raja, rakyatnya selalu hormat padanya, 4) Arian marsipur-pur, borngin markarilas, maknanya, siang hari Raja terlihat bahagia dan tidak adaa baginya masalah yang tidak dapat diselesaikan, sementara di malam hari ternyata Si Raja selalu berpikir untuk kesejahteraan rakyatnya, 5) Ngot manuturi, modom mamodai, maknanya selalu memberikan nasehat pada acara musyawarah (martahi). Ketika ia diam, tingkah lakunya menjadi teladan, 6) Marsuhat dos bahatna, marjual (manimbang) dos borat na, maknya berlaku adil terhadap siapa saja, 7) Natama di juluan, natupa di talaga, maknanya cerdas dalam menanggapi segala persoalan, 8) nadumandan butuha, nasumiga jari-jari, napataya-taya
adat, napagana-gana ugari, maknanya mengetahui segala urusan adat, 9) Sisuan bangun-bangun, sibaen namasa namuba, maknanya orang yang yang menetapkan peraturan berdasarkan hasil forum musyawarah, 10)
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
67
Zainal Efendi Hasibuan
Sitip-tip tungko diadian, maknanya sebagai orang yang menentukan batasbatas urusan adat. Keharmonisan Dalihan Na Tolu Ketertiban hubungan tiga unsur Dalihan Na Tolu dijaga dan dipelihara. Keharmonisan antar unsur berlangsung atas dasar keseimbangan yang serasi antara hak dan kewajiban. Ada tiga Nasihat penting yang dipegang teguh oleh orang Batak agar keharmonisan hubungan antar unsur Dalihan Na Tolu tetap terpelihara. Ketiga Nasihat itu adalah, hormat marmora, manat markahanggi, dohot elek maranakboru 26 Manat artinya teliti, hati-hati, bertenggang rasa, dan sabar. Sikap dan perilaku ini mutlak diperlukan dalam pergaulan sehari-hari. Potensi konflik dalam kalangan kerabat sakahanggi jauh lebih besar jika dibandingkan dengan potensi konflik dengan Anak boru dan mora. Apabila dalam suatu dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremahkan teman semarganya biasanya akan berakhir dengan dengan perdebatan sengit bahkan bahkan pada perkelahian. Hal itu dapat dipahami kerena suatu keluarga yang bersaudara antar abang dan adik diikat oleh kasih sayang dalam adat Batak, namardongan tubu dapat selalu memanggil nama khususnya kepada tingkat yang dibawahnya. Misalnya panggilan “ho”, “langkam”, “amani aha” dan lain-lain penggilan yang sangat akrab. Namun harus diingat dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang dapat menimbulkan pertikaian atau perkelahian. Hal ini dapat terjadi pada tonggo raja (perencana acara puncak adat) yang tidak menempatkan posisi dongan tubu sesuai dengan kepentingan adat. Elek artinya pandai mengambil hati “malo membuat roha” agar yang diambil hatinya senantiasa baik dan setia. Elek Maranak boru bermakna agar mora pandai menyenangkan hati Anak borunya. Ini penting sekali, karena Anak boru adalah ulang punggung, soko guru bagi segala peristiwa adat di kalangkan kerabat mora. Apabila Anak boru mogok, pastilah horja di 26Boruna
Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak, Horja: Adat Istiadat Dalihkan Na
Tolu (Jakarta: 1993), hlm. 102-103.
68
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
Filosofi Dalihan Na Tolu
kerabat mora akan gagal. Anak boru bukan hanya sebagai tenaga kerja, menajer atau pemberi bantuan modal dan material lainnya bagi menyukseskan horja di dalam kerabat mora. Akan tetapi anak boru juga memegang peranan penting sebagai juru damai dan pemeliharaan ketentraman hidup moranya. Nasution, menjelaskan, anak boru sebagai pemberi semangat kepada suhut (sebagai moranya), jika terjadi kesulitan Anak boru melengkapinya kekurangannya, jika ada kelebihan anak boru berhak pula memperoleh kelebihan tersebut.27 Hormat Marmora maksudnya hormat kepada klan yang memberi isteri dijadikan sistem sosial oleh suku bangsa Batak dan Minangkabau. Di Miangkabau dinamakan mamak-kemanakan sama dengan istilah tulangbabere.28 Mora dipandang sebagai sumber kehidupan, kesejahteraan lahir dan batin bagi Anak boru, antara lain karena mora telah memberikan gadis mereka kepada Anak boru yang kemudian melahirkan keturunan Anak bioru. Mora memiliki sahala yang ditebarkannya kepada Anak boru antara lain dengan pemberkatan ketika pahoras tondi dan menyulangi Anak boru. Kreasi Dalihan na tolu dalam Harmoni dan Toleransi Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Suku Batak diikat tali persaudaraan dengan konsep Dalihan na tolu, yaitu kahanggi, mora, dan anak boru. Bila ditelaah nilai-nilai yang terkandung dalam adat
dalihan na tolu, terlihat betapa tingginya harmoni dan toleransi antar umaat beragama yang dilahirkannya. Tiga unsur dalihan na tolu memiliki peran satu sama lain, dan hendaknya saling tolong-menolong. Kahanggi keluarga terdekat dalam satu marga, dongan satahi pada acara siriaon dan siluluton. Mora disebut juga oleh orang toba dengan Hala-hula, adalah penasehat, orang yang dihormati dan didengarkan perkataannya, maka distilahkan dengan hormat marmora, yakni hormat kepada mora. Anakboru, adalah barisan keluarga menantu laki-laki, yang bertugas penting pada acara siriaon dan siluluton, meraka adalah sihorus nalobi si tamba nahurang. Natuion, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman (Medan: Forkala Prov. Sumatera Utara, 2005), cet. Ke-1, hlm. 96. 28L.S. Diapari BBA, op.cit., hlm. 58. 27Pandapotan
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
69
Zainal Efendi Hasibuan
Dalihan na tolu dirajut oleh tali darah kekeluargaan yang harus saling menyayangi dan menghormai satu sama lainnya, sehingga terwujud harmoni kekeluargaan. Suku Batak dirajut dengan Sa lak- lak sa singkoru, sa sanggar sa ria-ria, sa , sa anak sa boru hibul mar sada ina. Tidak membiarkan famili keluarga kita dalam keadaan miskin, tidak berpunya, saling tolongmenolong. Sebagai sati ikatan keluarga, tidak memandang perbedaan agama sebagai penghambat dalam menjalankan sikap toleransi, semunya adalah satu darah, satu ibu yang diistilahkan dengan hibul suang sada ina. Semua anak-anak harus disayangi dan dicintai, karena orang yang dewasa dianggap sama dalam memberikan nasehat kepada yang lebih mudah, diistilahkan dengan saanak saboru. Anak orang lain, jika bersalah hendaknya diluruskan dengan memberikan nasehat, pendidikan, dan teguran agar berada di jalan yang benar, memahamai pastak pago-pago dan poda dohot uhum. Marsipago dongan do di hangoluan, tappar masipagodangan. Satu orang di antara keluarga yang memliki kemampuan di bidang tahta, jabatan, dan harta benda, semua kaumnya harus dibela dan diperhatikannya. Tidak dibenarkan menceritakan aib keluarga sendiri, ceritakanlah budi pekerti dan sikap bainya. Ceritakan keunggulannya, wibawanya, prestasinya, agar orang lain juga menghargainya, inilah yang disebut dengan tappar marsipagodangan. Makanya orang Batak mengatakan, “Sada pe si ma si sugaan ubi, sada pena maradong, dohot ma hitaa maruli.” Filsafat hidup ini yang memberikan motivasi kepada sesama orang Batak, agar saling tolong-menolong untuk memajukan keturunan dan kaum keluarga. Inilah yang menjadikan banyak orang Batak menjadi maju di perantauan, biar menjadi Kambing di kampung sendiri, akan tetapi menjadi Benteng di perantauan.” Di perantauan orang Batak harus berusaha sungguh-sungguh, sehingga berhasil, menjadi orang elit dan penting di perantauan, bila sudah pulang ke kampung halaman bisa membantu keluarga mencapai kesuksesan. Orang Batak juga mengenal istilah, “Rantingna do rantosna, rim ni
tahi do gogona.” Mola torop di namarkahanggi, torop muse mai di
70
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
Filosofi Dalihan Na Tolu
namarkoum.” Maknanya adalah bila ingin melaksanakan sebuah hajat, hendaknya dimusyawarahkan terlebih dahulu, agar apa yang diinginkan mendapat dukungan dari keluarga. Sikap ini juga merupakan bias dari mantap dan terbinanya persaudaraan na markahanggi. Bila seseorang markahanggi itu terbina dengan baik, maka ia akan sukses dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia pandai beradaptasi dan bersosialisasi, karena telah terbiasa di lingkungan keluarga. Hasibuan mengatakan, bahwa orang Batak Angkola telah terbiasa berprinsip songon siala sampagul , rap tu ginjang rap tu toru, mola madabu
rap margulu, mola malamun saulak lalu. Muda mangimpal tola jadi palupalu. , Artinya kesatuan yang teguh, kerja sama, sistem organisasi yang kuat. Nasution, menambahkan, bahwa Suhut dengan dukungan kahangginya harus melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggungjawab. Sabara sabustak, salumpat ssaindege, muda madabu rap margulu (Satu kandang, satu lumpur, sama-sama melompat, kalau jatuh sama-sama). Songon tampulon aek, sigaton lai-lai (Seperti memisah air, dan membelah bulu ayam akan bersatu kembali). Maknanya, seia sekata, seiring sejalan, senasib sepenanggungan. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Suhut dan kahangginya tidak dapat dipisah satu sama lain, seperti memisah air di dalam satu wadah, akan besatu kembali.29 Rukrek parau
mangalap tu rapotna (kalau dinding perahu renggang harus dirapatkan agar tidak masuk air). Maknanya, meskipn terjadi perselisihan paham bukan mengakibatkan perpecahan, namun akan mempererat hubungan.30 Antara suhut dan kahanngginya terhadap anak boru, maupun terhadap mora harus bersikap sesuai dengan kedudukannya. Antara suhut terhadap kahangginya harus bijaksana, terhadap anak boru harus pandai mengambil hatinya, terhadap mora harus hormat. Walaupun diantara ketiganya berbeda-bedaa, namun satu sama lainnya tidak ada yang lebih rendah. Mereka harus saling menghormati, saling menghargai kedudukan
29Pandapotan
Natuion, op.cit., hlm. 95-96.
Ibid.
30
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
71
Zainal Efendi Hasibuan
masing-masing sesuai dengan situasii, kondisi dan kedudukannya yang dapat berganti.31 Untuk menikmati kesenangan orang Batak berprinsip sira naancim
pandaian, naioban sian siboga, sai mura pancarian, dapot loma ni roha. Salluppat saindega, sapangambe sapanaili aso totop hamu di bagasan dame. Maksudnya sia sekata, mulai saat ini sampai seterusnya32. Inilah prinsip rukun damai di Tapanuli Selatan tanpa membedakan agama dan golonganm semuanya harus bersatu padu untuk mencapai sukses. Filsafat di atas menjadi pandangan hidup bagi orang Batak Angkola, tidak membedakan suku, agama, asalkan sudah menjadi keluarga bagi orang Batak, maka ia harus dibela. Asalkan tinggal di negeri orang Batak Angkola, dengan sendirinya menjadi keluarga yang harus dihormati dan dihargai. Apalagi di tengah warga Tapanui Selatan yang mayoritas beragama Islam, maka akan selalu mengedepankan toleransi, saling menghargai, menghormati antar pemeluk umat beragama. Susan Rodgers, sebagai dikutip Marpaung, menyebutkan bahwa pihak Islam cukup loyal terhadap adat yang beragama Kristen dan demikian sebaliknya. Islam di Sipirok [katakanlah Tapanuli Selatan] berbeda dengan Islam yang ada di daerah sekitarnya (tetangganya), seperti Islam di Aceh dan Miangkabau. Ketika kaum Kristen memberi wejangan dengan upacara adat yang selalu bernafaskan al-kitabiyah demikian juga yang Muslim selalu bertitik tolak atas nilai ke-Islaman dan selalau mengacu kepada satu kesatuan di antara sesama mereka. IslamKristen makin menyatu di dalam adat dan menjadikan hal tersebut menjadi kebanggaannya ketika mengundang kerabat lainnya untuk mengikuti sebuah pesta adat. Konsep dalihan na tolunya cukup tinggi nilai toleransinya karena berbasis bukan kepada agama.33
Ibid., hlm. 97.
31
Efendi Hasibuan, Manajemen Pendidikan Berbasis Character Building: Transformasi Adat Budaya dan Agama dalam Bingkai Pendidikan karakter (Medan: 32Zainal
Permata Mitra Sari, 2015), cet. Ke-1, hlm. 99 33Adolu Bastian Marpaung, Jiwa Kerukunan Masyarkat Sipirok (Pematangsiantar: Lembaga Studi Agama, Pembangunan dan Kebudayaan (L-SAPA), 2010), hlm. 105.
72
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
Filosofi Dalihan Na Tolu
Orang Batak mengaku sebagai suku yang paling toleran di seluruh Indonesia. Menurut mereka, kerusuhan dengan motif etnik maupun agama tidak akan masuk ke “tanah air” mereka. Sudah menjadi hal yang lazim di sana bahwa orang Muslim membantu orang Kristen yang merayakan Natal, dan sebaliknya, orang Kristen juga membantu orang Muslim yang merayakan Lebaran. Toleransi itu terjadi karena ada pertalian adat atau dalihan na tolu yang sangat kuat dipegang oleh orang Batak. Secara umum orang Batak tidak bermasalah dengan etnik-etnik yang lain, termasuk dengan etnik keturunan Tionghoa. Dalam banyak hal, orang Tionghoa malah mendapat perhatian khusus dari orang Batak. Di Sumatera Utara, di mana-mana terdapat orang Tionghoa, dan mereka menyatu dengan penduduk setempat. Harahap menjelaskan, bahwa dalihan na tolu memiliki mekanisme pengelolaan konflik, sehingga konflik tidak akan berlarut-larut. Sumber konflik pada umumnya menyangkut pembagian harta pusaka, dan kelompok yang paling potensial berkonflik adalah dalam kalangan kelompok kahanggi. Sangat jarang orang Batak berkonflik dengan anak boru, terlebih-lebih dengan mora.34 Penutup
Filosofi Dalihan na tolu, adalah tiga fungsionaris Adat Batak, yang dirajut dengan tali darah dan pernikahan, yang terdiri darai mora, kahanggi, dan anakboru. Setiap orang Batak, dalam acara adat siriaon dan siluluton, pada saat tertentu disebut mora, saat lain disebut kahanggi, dan di saat lain disebut anakboru. Ketiganya memeainkan peran dan fungsinya masingmasing dengan penuh tanggung jawab. Penghayatan mendalam terhadap posisi dan tugas masing-masing menjadi alat yang amat kuat untuk merajut kebersamaan dan sikap toleransi yang tinggi dalam beragama dan hubungan antar etnis. Hamidi Harahap, dkk, Wlilliem Iskandar (1840-1876): Sebagai Pejuang Pendidikan Daerah Sumatera Utara (Medan: Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara Kerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara, 1997), hlm. 24. 34Basyral
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
73
Zainal Efendi Hasibuan
Daftar Pustaka Alam, Sutan Tinggi Barani Perkasa, Burangir Barita, Medan: Mitra Medan, 2011. -----------, Partuturon Menurut Adat Tapanuli Selatan, Medan: Mitra Medan, 2014. -----------, Tutur Poda, Medan: Mitra Medan, 2011. Boruna Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak, Horja: Adat Istiadat Dalihkan Na Tolu, Jakarta: 1993. Diapari gelar Patuan Naga Humala Parlindungan, Adat Istiadat Perkawinan Dalam Masyarakat Batak, Medan: Mitra Medan, 2011. ----------, Perkembangan Adat Istiadat Masyarakat Suku Batak Tapanuli Selatan, Jakarta: t.p., 1987. Harahab, E.St.., Perihal Bangsa Batak, Jakarta: Bagian Bahasa Djawatan Kebudayaan, 1960. Harahap, Basyral Hamidi, dkk, Wlilliem Iskandar (1840-1876): Sebagai Pejuang pendidikan Daerah Sumatera Utara, Medan: Pemerintah Derah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara Kerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara, 1997. Hasibuan, Zainal Efendi, Manajemen Pendidikan Berbasis Character
Building: Transformasi Adat Budaya dan Agama dalam Bingkai Pendidikan karakter, Medan: Permata Mitra Sari, 2015.
Studi Komprehensif Adat Budaya -----------, Padangsidimpuan: Setia Abadi, 2013.
Batak
Angkola,
Lubis, Syahmerdan, Adat Hangoluan Mandailing, Tapanuli Selatan, t.p.: t.th. Lumbantobing Andar M., Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. 2, 1996. Marbun, M. A., Kamus Budaya Batak Toba, Balai Pustaka, Jakarta, 1987. Marpaung, Adolu Bastian, Jiwa Kerukunan Masyarkat Sipirok, Pematangsiantar: Lembaga Studi Agama, Pembangunan dan Kebudayaan (L-SAPA), 2010. Nababan, Niken, Falsafah Dalihan Na Tolu dalam Masyarakat Batak, Tesis
Program Pasca Sarjana Magister Theologi STT Nazarene Indonesia Yogyakarta: 2011.
74
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
Filosofi Dalihan Na Tolu
Nasution, Pandapotan, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman, Medan: Forkala Prov. Sumatera Utara, 2005. Parlindungan, Mangaradja Onggang, Pongkinangolngolan Sinambela gelar
Tuanko Rao: Teror Agama islam Madzhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833, t.tp.: Tanjung Pengharapan, t.th.
Siregar, Zulfikar, Buku Panduan Pelaksanaan Acara adat di Luat Harajaon Marancar, Marancar Godang: Bamus Marancar, 2006. Tobing O. L., Ph., The Structure of The Toba-Batak Belief in The High God, South and South-East Celebes Institute For Culture, Jakarta, Cet. 3, 1994.
Studi Multidisipliner Volume 2 Edisi 2 2015 M/1437 H
75