1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Suku Batak dikenal sebagai salah satu suku terbesar yang ada di Indonesia, sekaligus sebagai suku yang berpegang teguh pada budayanya. Pada sistem kekerabatan Batak, dikenal sistem Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga) yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan orang Batak Toba. Harahap dan Siahaan menyatakan, bahwa orang Batak sangat menghayati Dalihan Na Tolu sebagai sebuah sistem yang memberi pedoman bagi orientasi, persepsi dan definisi dalam realitas masyarakat Batak Toba (1987:5). Dengan demikian orang Batak sangat menjunjung dan melestarikan nilai-nilai budaya tersebut, sebab jika tidak melaksanakan adat-istiadat akan disebut sebagai orang yang tidak maradat. Pernikahan Masyarakat Batak berpegang teguh pada sistem Dalihan Na Tolu. Suku Batak meyakini bahwa pernikahan bukan hanya persoalan ikatan perempuan dan laki-laki menjadi sepasang suami istri yang sah di hadapan agama, namun pernikahan merupakan sebuah silsilah baru yang dapat meneruskan keturunan dan mempertahankan silsilah lama.
2
Di dalam sebuah perkawinan, suku Batak Toba dikenal sering menggunakan sistem perkawinan jujur (sinamot) yaitu perempuan yang dinikahkan oleh keluarganya kepada laki-laki dengan syarat membayar harga sinamot, dengan arti bahwa status marga perempuan sebagai anak dari ayahnya akan dilepaskan dan harus mengikut status keluarga dari suaminya. Sinamot atau harga maskawin merupakan poin dasar yang tidak dapat dipisahkan dalam perkawinan adat Batak, sebab marhata sinamot (merundingkan)
adalah
penentu
apakah
sebuah
pernikahan
dapat
dilaksanakan. Perkawinan Batak harus berlandaskan pada adat-istiadat yang sudah ditentukan. Sebuah perkawinan dapat terlaksana apabila melewati tahap demi tahap, seperti Martandang (berkunjung), memberi tanda, merundingkan uang mahar sinamot), dan persetujuan keluarga dari kedua belah pihak (Tambunan, 1982:136). Sinamot merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi; terkadang sebuah rencana perkawinan dapat saja dibatalkan akibat
harga
sinamot yang tidak sesuai dari perbincangan antara mempelai laki-laki dan perempuan. Bukan hanya karena ketidaksepakatan antara kedua orangtua mempelai saja namun kerabat atau keluarga lainnya juga ikut memengaruhi (Simanjuntak, 2009:102) Pembayaran
sinamot
(harga)
berdampak
pada
kedudukan
perempuan dalam keluarga. Kedudukan suami istri tidaklah seimbang maksudnya kedudukan suami lebih tinggi dibandingkan perempuan (suami
3
sebagai pemimpin atau kepala keluarga sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga). Hampir dalam seluruh aspek kehidupan, laki-laki menjadi penguasa atas perempuan, baik dalam aspek ekonomi, politik, agama, adatistiadat. Hal ini disebabkan karena hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah bentuk dominasi dari kekuasaan dan didukung oleh gender sehingga menghasilkan proses budaya yang dibakukan dan akhirnya berakhir pada budaya patriarki artinya laki-laki mengontrol atas perempuan. Orang Batak mengenal tiga falsafah hidup yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon (kekayaan, keturunan dan kehormatan). Kehidupan masyarakat Batak dilandasai pada ketiga falsafah tersebut. Suku Batak meyakini jika memiliki banyak keturunan (gabe) maka kehidupan akan bahagia, sebab jika banyak keturunan maka harta akan semakin berlimpah dan kehormatan pun akan menjadi miliknya. Dengan demikian suku Batak berusaha selalu menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Banyak anak-anak orang Batak bersekolah ke luar Sumatera, merantau jauh ke negeri orang untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan yang lebih baik. Dahulu anak laki-laki lah yang selalu diutamakan untuk disekolahkan tinggitinggi, namun seiring perkembangan jaman, anak perempuan pun ikut disekolahkan. Perempuan Batak yang memperoleh pendidikan tinggi akan memengaruhi tingkat derajat sosialnya di masyarakat. Gelar yang diperoleh melalui perguruan tinggi menjadi suatu kepuasan tersendiri bagi orang Batak,
4
apalagi gelar Sarjana dianggap sebagai kehormatan serta meningkatkan derajat sosial seseorang. Melalui gelar kesarjanaan tersebut, orang Batak akan memperoleh status, jabatan, kekuasaan dan kekayaan (Simanjuntak: 2009:183). Dengan demikian, seorang perempuan
yang memeroleh
pendidikan, jabatan, ekonomi yang tinggi akan memengaruhi tingkat kebesaran sinamot pada pernikahan. Perempuan yang disekolahkan tinggitinggi adalah dengan tujuan untuk memeroleh sinamot yang tinggi. Hal seperti itulah yang menjadi persoalan penting, pendidikan dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai harga jual seorang perempuan (Manik, 2011: 24) Kekuasaan merupakan sebuah kata yang tidak lagi lazim di dalam perkembangan ilmu pengetahuan, banyak para pakar yang membahas dan mencoba menjelaskan konsep kekuasaan, misalnya Russel, Hobbes, Nietzsche, Weber, Machiavelli, Foucault, Gramsci
dan lain sebagainnya.
Menurut Foucault kekuasaan tidak terbangun atas keinginan-keinginan baik secara individual atau kolektif dan bukan pula atas kepentingan-kepentingan. Kekuasaan itu bersifat menyebar bukan terpusat. Kekuasaan itu merasuki seluruh bidang kehidupan manusia baik kecil maupun besar, laki-laki dan perempuan, keluarga, sekolah, kampus, dan lain sebagainya (Foucault, 1998:27-35) Foucault juga mengatakan bahwa pengetahuan memproduksi kuasa sebagaimana kuasa juga memproduksi pengetahuan. Kuasa akan muncul bila ada pengetahuan, seperti ada relasi di antara keduanya.
5
Pengetahuan mengandung kuasa seperti kuasa juga mengandung pengetahuan (Hidayat 2004:236). Bagi Foucault kekuasaan juga tidak selamanya bersifat negatif, yang mengandung larangan dan kewajiban namun kekuasaan beroperasi secara positif dan produktif. Kekuasaan diterima dan diterapkan dengan baik oleh masyarakat. Pelaksaan kekuasaan secara terus-menerus menciptakan pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan tak henti-hentinya menimbulkan kekuasaan. Secara operasional, kekuasaan merupakan strategi yang menyebar, terpencar dan hadir dalam seluruh jejaring yang dijerat (Nirmalawati, 2008:58) Foucault dalam konsep kekuasaan tidak hanya didasarkan pada kedaulatan yuridis dan intitusi-intitusi negara, melainkan makna kekuasaan dianalisa
pada studi teknik, taktik dominasi dan hukum digunakan atau
dijadikan oleh kekuasaan sebagai sistem penampilan menurut Foucault dalam Wibowo (2008:22), menyatakan bahwa: Kendati hukum telah dapat digunakan untuk menampilkan suatu kekuasaan yang pada dasarnya dipusatkan pada pungutan harta dan nyawa, hukum benar-benar asing dan tidak mempan terhadap prosedur baru kekuasaan yang tidak berfungsi dengan hukum tetapi dengan teknik, tidak dengan undang-undang tetapi dengan pembakuan, tidak dengan hukuman tetapi dengan pengendalian, dan yang diterapkan pada berbagai tataran dan dengan berbagai bentuk yang melampaui batas kekuasaan Negara berikut peralatannya. Berbagai penjelasan yang dilontarkan Foucault sangat menunjukan kebrutalan dari kekuasaan di abad modern, seperti yang Foucault nyatakan bahwa hukum saja sudah diperalat oleh kekuasaan. Kekuasaan yang
6
dijalankan beroperasi secara natural dan produktif, nyaman, bersifat normal dan
disiplin.
Kekuasaan
pengetahuan
perlahan-lahan
memperbudak
masyarakat. Sebagian orang yang menguasai pengetahuan menciptakan ruang-ruang kebenaran dan itu diikuti dengan baik oleh masyarakat, karena kekuasaan yang dipakai sudah menggunakan teknik berupa pembakuan pengendalian dan merasuk pada tataran dengan berbagai bentuk. Sama seperti kekuasaan pada budaya dan sistem adat-istiadat Batak diciptakan, sudah dibakukan, dikendalikan, sehingga masyarakat Batak tidak dapat lepas dari budaya yang ada dan tanpa disadari bahwa seluruh sistem itu adalah bentuk kekuasaan. Kekuasaan yang ada pada Dalihan Na Tolu, budaya Patrilineal dan falsafah Batak, memengaruhi kedudukan dan status perempuan Batak dalam ranah keluarga dan sosial. Sinamot adalah bentuk kekuasaan yang dibalut dalam budaya. Peneliti ingin menggali lebih dalam terkait kekuasaan yang ada pada sinamot. Apakah kekuasaan itu ada pada perempuan sebagai subjek dari mempelai perempuan yang melangsungkan pernikahan, atau kekuasaan itu ada pada Raja Parhata dari pihak laki-laki dan perempuan, atau kekuasaan itu beroperasi pada sistem kekerabatan patrilinial dan Dalihan Na Tolu sebagai suatu budaya yang sudah mengakar dan melekat dalam seluruh kehidupan masyarakat Batak.
7
2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut: a. Bagaimana konsep kekuasaan Michel Foucault? b. Apa hakikat Sinamot dalam perkawinan adat Batak Toba? c. Bagaimana konsep kekuasaan Foucault meninjau kekuasaan yang ada pada Sinamot? 3. Keaslian Penelitian Fokus penelitian ini adalah tentang kekuasaan yang ada pada sinamot dalam perkawinan suku Batak Toba dan ditinjau dari pemikiran kekuasaan Foucault. Sejauh penelusuran dan pengamatan penulis mengenai karya-karya ilmiah di lingkungan Fakultas Filsafat UGM maupun di luar Fakultas Filsafat UGM, belum ada penelitian yang mengkaji dan membahas mengenai kekuasaan yang ada pada sinamot dalam kajian pemikiran kekuasaan Foucault, meskipun telah banyak penelitian yang menggunakan teori
kekuasaan Foucault untuk menganalisis objek materialnya. Berikut
penulis menemukan naskah ilmiah yang berkaitan dengan sinamot dalam perkawinan adat Batak Toba serta pemikiran tentang Kekuasaan Foucault: a. Disertasi yang ditulis oleh Bungaran Antonius Simanjuntak, dengan judul: Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, pada tahun 1994.
8
Disertasi ini menjelaskan terkait konflik yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat orang batak, disebabkan karena ketidak seimbangan sosial budaya atau adat-istiadat. Seperti Dalihan Natolu, sistem kekerabatan Patrilineal dan falsafah orang batak yakni Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon (Kekayaan, Keturunan dan Kehormatan). Melalui kekuasaan akan dapat diperoleh kehormatan, pengakuan dan juga kekayaan. Melalui jalur kekuasaan tersebut sering menimbulkan konflik sosial. b. Skripsi yang ditulis oleh Hanifa Erfandari, dengan judul: Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga Ditinjau Dari Teori Kekuasaan Michel Foucault, pada tahun 2006. Skripsi ini membahas tentang kekerasan dalam rumah tangga yang semakin meningkat. Kekuasaan yang didominasi oleh suami menjadikan legitimasi melakukan kekerasan terhadap seorang istri. Konsep kekuasaan Foucault dijadikan sebagai objek formal untuk mengkaji makna kekuasaan yang pada kekerasan rumah tangga. c. Tesis yang ditulis oleh Widya Nirmalawati, dengan judul: Tubuh, Seksualitas dan Relasi Kuasa Dalam Seri Sex and The City, pada tahun 2008. Tesis ini mengkaji terkait Serial TV yang berjudul Sex and The City yang bercerita mengenai kehidupan empat perempuan lajang dengan latar belakang
kota New York. Fokus dari seri ini
menjelaskan
9
tentang
kepentingan
perempuan
dalam
kehidupannya,
berupa
kepuasan kebutuhan. Salah satunya adalah seksualitas. Melalui Serial TV ini si penulis menyuarakan seksualitas dari sudut pandang perempuan, seperti tubuh-tubuh perempuan yang dimanifestasikan oleh masing-masing tokoh pemeran. Sedangkan pemikiran Foucault tentang teori seksualitas dan kekuasaan, digunakan si penulis sebagai salah satu pisau analisis untuk mengkaji objek material yaitu Sex and The City. d. Jurnal yang ditulis oleh Jhonson Pardosi, dengan judul: Makna Simbolik, Umpasa, Sinamot dan Ulos pada Perkawinan Adat Batak Toba, pada tahun 2008. Jurnal ini menjelaskan tentang makna simbolik dari tiga simbol Dalihan Na Tolu yang wajib dilaksanakan dalam perkawinan adat Batak Toba yakni, Umpasa, Sinamot dan Ulos. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa falsafat dari sinamot memiliki makna adalah proses memberi dan menerima, makna simbol itu diterapkan pada pemberian ulos disaat pelaksanaan pesta. e. Skripsi yang ditulis oleh A. Herry Prasetyo Wibowo, dengan judul: Wacana Anti-Komunis Di Indonesia Dalam Perspektif Konsep Kekuasaan Michel Foucault, pada tahun 2008. Skripsi ini membahas terkait wacana anti-komunis di Indonesia yang dikaji melalui konsep kekuasaan Foucault. Hasil penelitian dari si
10
penulis menyatakan bahwa Wacana komunis yang masih bertahan di Orde baru merupakan dampak kepatuhan yang dihasilkan dari mekanisme kuasa disiplin yang akhirnya menghasilkan kepatuhan terhadap kebenaran serta menghasilkan pengetahuan yang membangun realitas dan dominasi terhadap komunis. f. Tesis yang ditulis oleh Hamzah Fansuri, dengan judul: Melacak Perkembangan
Sosiologi
Indonesia:
Antara
Kekuasaan
dan
Reproduksi Pengetahuan, pada tahun 2011. Tesis ini menjelaskan terkait perkembangan sosiologi Indonesia yang dipengaruhi oleh situasi sosial dan politik dari dalam negeri maupun luar negeri, melalui pendekatan genealogis dan kekuasaan yang diperkenalkan oleh Foucault. Makna kekuasaan yang digagas oleh Foucault berguna untuk melihat wacana yang diproduksi melalui hubungan otoritas kelembangaan, otoritas individu dan praktek pewacanaan yang ilmiah serta secara rasional. g. Jurnal yang ditulis oleh Rumasta Simalango, dengan judul: Fungsi Uang Jujur (Sinamot) Pada Perkawinan Menurut Adat Masyarakat Batak Toba di Desa Sabungan Ni Huta Kecamatan Bonggur Ni Huta Kabupaten Samosir, pada tahun 2011. Jurnal ini menjelaskan tentang fungsi Sinamot yaitu sebagai syarat sah untuk pernikahan, syarat hubungan kekerabatan (dalam adat), syarat
11
untuk mengunjungi dan meminta bantuan pada perempuan. Dalam pemberian sinamot unsur Dalihan Na Tolu harus selalu dilibatkan. h. Jurnal yang ditulis oleh Helga Septiani Manik, dengan judul: Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat Perkawinan Suku Bangsa Batak Toba di Perantauan Surabaya, pada tahun 2012. Jurnal ini menjelaskan tentang fungsi dan makna Sinamot dalam perkawinan adat Batak Toba yang berlokasi di Surabaya, hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa makna tradisi sinamot adalah sebagai sarana untuk mengikat hubungan kekerabatan dari dua mempelai. i. Skripsi yang ditulis oleh Haposan Viktor Situmorang, dengan judul: Peran Dalihan Na Tolu dalam Adat Marhata Sinamot pada Masyarakat di Desa Urat Timur Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir, pada tahun 2013. Skripsi ini Menjelaskan tentang peran Dalihan Na Tolu dalam adat marhata Sinamot, berlokasi di Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Dalihan Na Tolu menjadi peran penting dalam kehidupan social Batak Toba, Dalihan Na Tolu menjadi sumber hukum dan landasan utama yang dipakai oleh masyarakat Batak dalam berinteraksi dalam sosial dan Dalihan Na Tolu memegang peran penting sebagai struktur utama untuk menerangkan setiap stuktur-struktur adat.
12
j. Skripsi yang ditulis oleh Yusniar Rovince Lasria Naibaho, dengan judul: Makna Simbolik Jambar Pada Perkawinan Adat Masyarakat Batak Toba Dalam Kajian Solidaritas Sosial Emile Durkheim, pada tahun 2015. Skripsi ini membahas tentang simbol Jambar yang ada pada perkawinan adat Batak Toba. Makna simbol yang diperoleh adalah berupa unsur kekerabatan untuk mengikat tali kekeluargaan pada sistem adat Adat Dalihan Na tolu. Objek formal yang dipakai untuk menganalisis adalah teori Solidaritas Sosial dari Emile Durkheim. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan kajian secara filsafati. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi siapapun yang membutuhkan, adapun manfaat yang diharapkan sebagai berikut: a. Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu dan pengetahaun terkait teori kekuasaan Foucault yang dipakai sebagai pisau analisis untuk menelaah masalah tentang kekuasaan dalam budaya. b. Bagi Perkembangan Filsafat Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi akademis
Filsafat
yang
mengkaji
masalah-masalah
terkait
13
kekuasaan pada ranah budaya dan adat-istiadat nusantara, serta memperkaya studi filsafat dalam mengembangkan pemikiran Foucault. c. Bagi Bangsa dan Negara Indonesia Penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi terhadap masyarakat luas terkait masalah kekuasaan pada Sinamot dalam perkawinan adat Batak Toba, dimana menggunakan sudut pandang yang berbeda yaitu secara filsafat. Dan diharapkan masyarakat luas memahami dan mengerti terkait permasalahn tersebut.
B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui konsep pemikiran kekuasaan Foucault. 2. Mengetahui hakikat Sinamot dalam perkawinan adat Batak Toba. 3. Menganalisa secara kritis kekuasaan yang ada pada sinamot dari konsep kekuasaan Foucault.
14
C. Tinjauan Pustaka Manusia merupakan suatu kajian yang selalu menarik untuk dikaji baik dalam segi ilmu sosial, psikologis, filsafat dan lain sebagainya. Manusia adalah makhluk pelaku budaya dan sekaligus pencipta budaya, sehingga manusia juga disebut sebagai mahluk berbudaya. Seluruh kehidupan manusia berada pada ruang lingkup kebudayaan, karena manusia hidup dalam budaya, maka kebudayaan itu adalah suatu gerak, dinamik yang selalu berkembang terus-menerus, namun yang sering menimbulkan masalah adalah ketika kebudayaan itu dianggap sebagai sebuah kebenaran yang hakiki, sehingga mengakibatkan sebuah pemujaan yang berlebihan dan sebagian orang menggunakan kebudayaan sebagai alat untuk berkuasa (Moertopo1978: 10) Dalam berbudaya, manusia tidak dapat menerima apa saja yang disediakan oleh alam, manusia menginginkan yang lebih, sehingga manusia mengubahnya dan mengembangkan lebih lanjut. Menurut Klages dalam Widagdho (1993: 35), mengatakan bahwa: Budaya merupakan bahaya bagi manusia sendiri. Budaya yang dimaksud umpama teknik, peradaban, pabrik berasap, udara yang penuh debu, kota yang kotor, hutan yang lebih gundul, kediktatoran akal, dan budi yang tamak. budaya itu menguasai, menyalahgunakan, menjajah dan mematikan. Kekuasaan budaya dilihatnya dimana-mana. Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yakni berupa tata kelakukan, sehingga adat itu berfungsi sebagai pengatur tata berperilaku dalam masyarakat. Misalnya; perilaku bersopan santun, Pemahaman
15
masyarakat terkait adat bukanlah istilah hukum adat melainkan “adat” saja, artinya bahwa adat merupakan “kebiasaan”
dari masyarakat. Adat ialah
ketetapan dari masyarakat yang jika dilanggar akan diberi sanksi oleh masyarakat. Dalam buku Simanjuntak yang berjudul “Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba”, adat menurut Wensinck dan Krames adalah entommene adat yaitu pengambilan sebagian idiomisasi atau modifikasi. Dari konsep adat tersebut, orang Batak memiliki tiga tingkatan adat yaitu adat inti, adat na taradat, dan adat na niadathon Selengkapnya dikatakan demikian “Adat inti adalah seluruh kehidupan yang terjadi (in ilo tempore) pada permula penciptaan dunia oleh dewata mulajadi na bolon. Sifat adat ini konservatif tidak berubah. Adat na taradat merupakan adat yang secara nyata dimiliki oleh kelompok desa, negeri, persekutuan agama, maupun masyarakat. Adat na iadathon adalah segala adat yang sama sekali baru dan menolak adat inti dan adat na taradat. Tingkatan ketiga ini merupakan adat yang menolak kepercayaan hubungan adat dengan Tuhan. Tingkatan ketiga ini merupakan konsepsi agama baru seperti Kristen, Islam, dll (Simanjuntak, 2009: 96) Hukum adat perkawinan adalah hukum masyarakat yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan negara, yang mengatur tata-tertib perkawinan sehingga jika terjadi pelanggaran, maka yang mengadili atau menyelesaikan adalah hukum adat itu sendiri. Perkawinan dalam adat Batak merupakan perkawinan eksogami yaitu perkawinan antar orang Batak yang tidak satu marga. Seorang perempuan yang sudah dilamar dan menikah akan meninggalkan marganya dan mengikut marga suami. Hal itu memiliki tujuan
16
untuk memperoleh dan melanjutkan keturunan dari marga anak laki-laki, sesuai dengan sistem budaya Batak yang bersifat patrilineal yakni garis keturunan diwariskan pada anak laki-laki. Bentuk perkawinan yang sering dipakai dalam perkawinan adat Batak Toba adalah perkawinan jujur yaitu perkawinan yang didahului dengan pertunangan (membayar sinamot) dan disetujui oleh kedua orang tua mempelai, namun ada beberapa bentuk pernikahan yang kadang terjadi yaitu perkawinan yang melanggar seperti perkawinan lari yakni dengan cara menculik
gadis
idamannya
dengan
kekerasan
dan
gadis
itu
pun
menyetujuinnya, perkawinan dengan godaan, perkawinan dengan mengabdi, perkawinan levirate (ganti tikar), perkawinan saudara perempuan, bigamy dan poligami (Vergouwen, 2004: 199-200) Perempuan yang dilamar oleh pihak paranak dibeli dalam harga maskawin (mahar), melalui pembayaran tersebut perempuan menjadi milik dari keluarga si laki-laki dan kekuasaan perempuan tidak menjadi miliknya dalam kerabat keluargannya. Perempuan Batak yang telah dipinang oleh lakilaki akan tetap menyebut keluarganya menjadi Hula-hula dan hula-hula itu akan mengagapnya sebagai affina (hubungan besan) (Vergouwen, 2004: 197198)
17
Kata Sinamot sama dengan Tuhor, istilah sinamot dalam bahasa Batak Toba adalah berupa uang atau ternak yang dipakai untuk mendapatkan calon istri. Menurut Simanjuntak (2009:96) bahwa istri disebut ditinuhor. sebelum upacara perkawinan terlaksana, akan didahului dengan marhata Sinamot. hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjajaki berapa besar beban yang ditanggung oleh kedua belah pihak mempelai dalam perkawinan tersebut. Bagi orang Batak status sosial merupakan sesuatu hal yang sangat berarti, karena status sosial mampu memengaruhi harga diri seseorang, baik secara individual maupun kelompok, status tersebut juga dianggap penting karena mengandung unsur kekuasaan yang dapat dipergunakan dalam mencapai cita-cita atau tujuan. Untuk memperoleh status yang tinggi orang Batak menggunakan jalur pendidikan sebagai jalan utama dan bagi orang Batak pendidikan dipandang sebagai jalur mobilitas dalam mencari pangkat. (Simanjuntak, 2009:11) Ada tiga falsafah orang batak yang dipegang sebagai pandangan hidup yaitu hamoraon, hagabeon dan hasangapon (kekayaan, keturunan dan kehormatan), esensi dari ketiga falsafah ini adalah kepemilikan atas status dan kekuasaan. Kekuasaan biasanya diperoleh melalui jalur pendidikan, dengan demikian orang Batak dapat mencapai status yang lebih tinggi, sehingga tidak heran orang Batak selalu berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak-
18
anaknya setinggi mungkin, meskipun modal yang dipakai tidaklah sedikit namun tetap berjuang demi mendapatkan status tersebut. Agar pendidikan itu tercapai, maka diperlukan harta sebagai biaya dalam memperoleh jabatan dalam pendidikan formal maupun informal, sehingga dibutuhkan modal dalam posisi ekonomi berupa kekayaan. Dengan demikian ada hubungan erat antara kekayaan dengan pendidikan, dan jika keduanya terpenuhi maka status sosial tersebut akan tercapai dan kehormatan pun akan menjadi indikasi yang diperoleh secara tidak langsung dan hal itu akan memberikan kepuasan tersendiri. Bagi masyarakat Batak memang tidak ada digunakan status seperti penggunaan status sosial yang digunakan oleh masyarakat Bali berdasarkan kasta, seperti Brahmana, Satria, Waisya dan Sudra. Namun status yang berlaku di Batak, ditentukan oleh kelas sosial yang ada pada struktur Dalihan Na Tolu (Tungku nan tiga). Dalihan Na Tolu memiliki tiga unsur yakni Hulahula (Pemberi istri), Boru (penerima istri) dan Dongan tubu (saudara semarga). Ketiga unsur ini memiliki status yang berbeda, status tertinggi ada pada Hula-hula, sedangkan Boru dan Dongan tubu memiliki status yang sederajat, lebih rendah dibawah hula-hula. Stuktur Dalihan Na Tolu ini memiliki fungsi untuk mengatur tata hubungan sesama anggota masyarakat, baik itu dalam kerabat dekat, maupun kerabat luas (Simanjuntak, 2009: 80) Harga sinamot seseorang perempuan mempengaruhi kemeriahan atas acara pesta pernikahan yang dilangsungkan. Besar kecilnya harga jual
19
perempuan, ditentukan berdasarkan status yang diperoleh melalui tingkat pendidikan, tingkat penghasilan dan tingkat jabatan. Suku Batak yang mengadopsi sistem budaya patrilineal, menjadikan kedudukan perempuan Batak lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Hampir seluruh aspek kehidupan orang Batak, perempuan didominasi oleh kekuasaan atas laki-laki sesuai dengan sistem budaya yang ada. Di dalam proses pemberian sinamot perempuan tidak memiliki kuasa untuk menentukan harga sinamotnya, yang menentukan adalah raja-raja adat dari kedua mempelai yang berkumpul, bermusyawarah untuk menentukan sinamot perempuan tersebut. Proses penentuan sinamot ditentukan oleh Raja parhuta (juru bicara adat), ada Raja parhuta dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Kedua Raja parhuta ini melakukan proses tawar-menawar untuk memperoleh harga sinamot sesuai dengan kesepakatan dan demi kebaikan bersama. Di dalam proses tawar-menawar tersebut, pihak laki-laki berusaha untuk menawarkan harga sinamot serendah mungkin sesuai dengan kesepakatan dari pihak laki-laki yang sebelumnya sudah dirundingkan sebelum datang menghampiri keluarga perempuan, sedangkan dari pihak perempuan berusaha akan selalu menaikkan jumlah sinamot berdasarkan status sosial yang sudah diperoleh. Dalihan Na tolu memiliki peran penting dalam adat marhata Sinamot. Hula-hula merupakan inti dari segala kegiatan sebab setiap pembicaraan dan kesepakatan yang tercipta bersumber dari rasa pengertian
20
kelompok hula-hula. Hula-hula yang tidak ada dalam rencana pernikahan maka acara marhata sinamot tidak akan dilangsungkan. Pada acara pernikahan bagian boru juga penting sebab boru adalah elemen
yang
dibutuhkan dalam seluruh pelaksanaa pesta, dari segi tenaga dan waktu. Boru adalah si loja-loja (orang yang sibuk) mulai dari tahap marhusip hingga terlaksananya marhata sinamot sedangkan dongan tubu adalah teman bertukar pikir bagi suhut (tuan rumah atau yang bersangkutan) dan hula-hula (Situmorang, 2013: 86-87) D. Landasan Teori Penelitian ini menggunakan pendekatan dari filsafat sosial. Secara khusus akan menggunakan konsep kekuasaan dari Michel Foucault. Filsafat menurut J.A. Leighton adalah harus mencakup lengkap dengan pandangan dunia atau konsepsi yang beralasan mengenai seluruh kosmos dan suatu pandangan hidup yang mengajarkan tentang nilai-nilai, makna-makna dan tujuan-tujuan hidup manusia (Kodhi & Soejadi, 1988: 4). Filsafat sosial adalah filsafat yang mengkaji segala sesuatu tentang ruang lingkup manusia dan masyarakat melalui metode refleksi. Metode ini dipakai untuk memahami fakta-fakta sosial dengan berlandaskan pada hakekat dan martabat manusia. Filsafat sosial ini akan menghubungkan fakta-fakta tersebut terhadap tujuan hidup manusia, yang akhirnya menimbulkan persoalan-persoalan tentang nilai (Mulyono, 1983: 25-27).
21
Kekuasaan menurut kata asalnya dapat dipisahkan menjadi “ke”, “kuasa” dan “an”. Kata “kuasa” adalah kata benda, yang apabila diberi awalan dan akhiran, tetap menjadi kata benda, maka kekuasaan, adalah kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok orang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keinginan dan tujuan orang yang mempunyai kekuasaan tersebut (Budiardjo, 1977:10) Isjwara, menyatakan bahwa kekuasaan adalah gejala sosial, yang terdapat dalam pergaulan hidup. Kekuasaan merupakan gejala antar individu, atau antara individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok, atau negara dengan negara. Kata kuasa digunakan Nietzsche untuk mewujudkan manusia unggul, sesuai dengan pemikirannya, kuasa adalah usaha dan proses, sedangkan kekuasaan adalah hasil dari proses itu sendiri. Biasanya kekuasaan muncul akibat adanya suatu tujuan yang ingin dicapai, yang menyangkut kepentingan umum (1982:45) Prastowo (2005:7) menyatakan bahwa menurut Machiavelli kekuasaan adalah politik begitu juga sebaliknya politik adalah kekuasaan, sebab politik baginya adalah sebuah rimba yang berdiri sendiri lepas dari pengaruh-pengaruh agama ataupun ajaran moral tertentu. Politik baginya adalah sebuah peperangan, sehingga seorang penguasa harus dapat meninggalkan
moral-moral
dan
berjuang
untuk
mempertahankan
22
kekuasaannnya, seorang penguasa dihalalkan memerintah dengan tangan besi dan absolut sekalipun harus memakai kekerasan. Strategi kekuasaan yang digunakan Foucault adalah kuasa faktual, kuasa tidak dibahas secara metafisis tetapi secara mikrofisika. Artinya Foucault memahami konsep kekuasaan dari relasi-relasi kuasa yang ditimbulkan, sebuah jaringan yang ditimbulkan kekuasaan dari instansiinstansi sosial, bukan fokus pada pengertian kuasa secara hakiki, seperti pemahaman metafisika. Pembahasan kuasa bukan menanyakan apakah kuasa itu, namun mencari fungsi kuasa itu pada bidang tertentu (Bertens, 1984: 486). Kuasa itu bukanlah kepemilikan atau kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang namun kuasa itu ada di mana-mana, kekuasaan itu dipraktikkan dalam ruang lingkup manapun. Menurut Foucault dalam Wibowo (2008:24), mengatakan bahwa: Kekuasaan ada di mana-mana; bukan karena mencukupi segalanya, namun karena datang dari mana-mana. Kekuasaan “itu”- yang permanen, terulang, beku, memproduksi sendiri- hanyalah dampak menyeluruh, yang tampil berdasarkan semua mobilitas itu. Kekuasaan adalah perangkaian yang bertopang pada setiap mobilitas dan sebaliknya berusaha membekukan mereka. Menurut Foucault, kekuasaan tidaklah diberikan, ditukar ataupun dicari, melainkan dilaksanakan, dan pelaksanaan ini hanya ada dalam tindakan. Sekali lagi, manusia juga mengetahui bahwa kekuasaan pada
23
dasarnya bukan merupakan pelestarian dan reproduksi hubungan-hubungan ekonomi, tetapi terutama merupakan suatu hubungan kekuatan. Foucault mengkritisi karya-karya terakhir tentang wacana, Foucault
ingin
memperlihatkan
fakta-fakta
dibalik
dominasi
dan
menunjukkan hakikat tersembunyi dan kebrutalannya. Seperti yang Foucault katakan Menunjukkan isi dan bentuk yang mana hak (tidak hanya hukum saja, melainkan seluruh masalah kompleks aparat, intitusi, dan aturanaturan yang bertanggungjawab atas aplikasinya) memindahkan dan menempatkan hubungan yang bukan merupakan hubungan kedaulatan saja, melainkan juga hubungan dominasi (Foucault, 2002:119) Foucault juga memberikan jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan terkait
keadilan, kedaulatan, dan kepatuhan dari subjek-subjek individual
dengan menggantinya dengan dominasi dan penaklukan. Foucault menjawab “ seharusnya analisis kita tidak terarah pada bangunan kedaulatan yuridis, aparat-aparat negara dan ideologi-ideologi yang bergabung dengannya, melainkan langsung mengarah riset pada hakikat kekuasaan, pada bentukbentuk pemaksaan, perubahan-perubahan dan pemanfaatan sistem lokalnya, dan aparat-aparat strategis. Kekuasaan menjadi baik, dikatakan Foucault dengan demikian: Apa yang membuat kekuasan terlihat baik, apa yang membuatnya diterima adalah fakta sederhana bahwa ia tidak hanya hadir di depan kita sebagai kekuatan yang berkata tidak, namun ia juga melintas dan memproduksi benda-benda, menginduksi kesenangan, membentuk
24
pengetahuan dan memproduksi wacana. Ia perlu disadari sebagai jaringan produktif yang bekerja di seluruh lembaga sosial, lebih daripada sekedar sebuah instasi negatif yang berfungsi represif (Foucault, 2002:54) Foucault menggunakan genealogi sebagai metode penelitiannya, arti dari genealogi adalah memecahkan masalah dengan memakai kerangka sejarah lebih dari sekedar revitalisasi sederhana subjek fenomenologis, sebuah bentuk sejarah yang dapat membangun pengetahuan, wacana, bidang-bidang objek, dan lain sebagainya tanpa mengacu pada subjek yang bersifat transendental. Artinya sejarah digunakan Foucault sebagai alat kerangka untuk
menganalisis
pengetahuan,
bukan
sejarah
yang
membentuk
pengetahuan dan wacana-wacana. Makna kekuasaan memang sulit untuk dirumuskan dari pemikiran Foucault, namun sebagaimana yang dikatakannya bahwa kekuasaan bukan sebuah lembaga dan bukan pula sebuah struktur, bukan semacam daya yang terdapat pada seseorang. Kekuasaan adalah nama yang diberikan pada situasi yang strategis, rumit, dalam masyarakat tertentu. Kekuasaan yang dimaksud Foucault harus dipahami seperti: Pertama sebagai bermacam hubungan kekuatan, yang imanen di bidang hubungan kekuatan itu berlaku, dan yang merupakan unsurunsur pembentuk dan organisasinya; kedua permainan yang dengan jalan perjuangan dan pertarungan tanpa henti mengubah, memperkokoh, memutarbalikkanya; ketiga berbagai hubungan kekuatan yang saling mendukung sehingga membentuk rangkaian atau sistem, atau sebaliknya kesenjangan dan kontradiksi yang saling mengucilkan; terakhir strategi tempat hubungan-hubungan kekuatan
25
itu berdampak, dan rancangan umumnya atau kristalisasinya dalam lembaga terwujud dalam perangkat negara, perumusan hukum dan hegemoni sosial (Foucault, 2000: 115) Konsep kekuasaan Foucault, diharapkan akan membantu untuk menganilisis dan membongkar strategi dan mekanisme yang tersembunyi dalam adat-istiadat sinamot dalam pernikahan adat Batak Toba. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian filsafat yang bersifat kualitatif dengan menggunakan pandangan filosofis untuk mengkaji suatu permasalahan penting, dengan mengunakan studi pustaka yang berkaitan dengan konsep kekuasaan dalam ranah adat-istiadat Batak. 2. Bahan dan Materi Penelitian terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) Sumber Primer a) Buku
berjudul
Kuasa/Pengetahuan,
“Power/Knowledge: terjemahan
Wacana dari
Power/Knowledge Selected Interviews and Other Writings 1972-1977” karya Michel Foucault tahun 2002 yang diterbitkan oleh Penerbit Bentang Budaya, Jogjakarta b) Buku berjudul “Seks & Kekuasaan, terjemahan dari Historie de la Sexualite 1: La Volonte de Savoiralih”
26
karya Michel Foucault, alih bahasa Rahayu S. Hidayat tahun 1997 yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta c) Buku berjudul “Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba: Edisi Revisi” karya Antonius Simanjuntak tahun 2009 yang diterbitkan oleh Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta d) Buku berjudul “Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba”
karya
J.C.Vergouwen
tahun
2004
yang
diterbitkan oleh Penerbit LKiS Pelangi Aksara, Jakarta e) Jurnal berjudul “Fungsi Uang Jujur (Sinamot) Pada Perkawinan Menurut Adat Masyarakat Batak Toba di Desa Sabungan Ni Huta Kecamatan Bonggur Ni Huta Kabupaten Samosir” karya Rumasta Simalango tahun. 2011 yang diterbitkan oleh JUPIIS (Pendidikan Ilmu Sosial), Medan f) Skripsi berjudul “Peran Dalihan Na Tolu dalam Adat Marhata Sinamot pada Masyarakat di Desa Urat Timur Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir” karya Haposan
Viktor
Situmorang
tahun
2013
diterbitkan oleh Universitas Negeri Medan, Medan
yang
27
2) Sumber Sekunder a. Buku berjudul “Foucault Untuk Pemula” karya Lydia Alix Fillingham tahun 2001 yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta b. Tesis berjudul “Diskursus Tentang Modernitas Antara Jurgen Habermas dan Michel
Foucault:
Suatu
Tinjauan Epistimologi” karya Arinto Nurcahyono tahun 2002 yang diterbitkan oleh Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta c. Buku berjudul “Tubuh yang Rasis: Telah Kritis Michel Foucault Atas Dasar-Dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa” karya Seno Joko Suyono tahun 2002 yang diterbitkan oleh Penerbit Lkis, Yogyakarta 3) Bahan Pendukung a. Buku berjudul “Metodologi Penelitian Filsafat” karya Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair tahun 1996 yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta b. Buku berjudul “Filsafat Barat Abad XX: Prancis” karya Kees Bertens tahun 1985 yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia, Jakarta
28
c. Buku berjudul “Filsafat Sosial” karya Suyadi Mulyono tahun 1983 yang diterbitkan oleh Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3. Alur Penelitian Alur penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: a. Inventarisasi data, dilakukan pengumpulan data melalui sumber referensi yang beragam untuk menjelaskan objek material dan objek formal penelitian, serta menguraikan secara deskripsi apa yang sudah diteliti oleh para peneliti terdahulu. b. Sistematisasi data, data yang diperoleh dari objek material dan objek formal akan diolah agar membentuk satu struktur dengan keterarahan yang menyeluruh dan sistematis. Kemudian akan dipilah sesuai dengan tujuan penelitian. c. Evaluasi Kritis, data yang sudah di kategorisasikan dengan baik, akan dilanjutkan pada penunjukkan kekuatan-kekuatan dan kelemahankelemahan dari objek material, kemudian akan dilakukan evaluasi kritis dari interpretasi para tokoh. 4. Analisis hasil penelitian dengan memperhatikan unsur-unsur metodis berikut: a. Deskripsi, yakni menjelaskan secara kompeherensif mengenai objek material penelitian yakni dimensi kekuasaan pada Sinamot dalam Adat-istiadat Batak Toba, yang kemudian akan di
29
dideskripsikan dan dikaitkan pada objek formal yaitu
konsep
kekuasaan Foucault, agar dapat dipahami secara edukatif dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. b. Interpretasi, yakni memahami dan memaknai konsep kekuasaan Foucault, sehingga akan diperoleh pemahaman terkait dimensi kekuasaan yang ada pada Sinamot dalam pernikahan adat Batak Toba. c. Koherensi Internal, yakni mencari keterkaitan logis antara Sinamot dalam
pernikahan adat-istiadat Batak Toba terhadap konsep
kekuasaan Foucault. d. Refleksi, yakini merefleksikan secara kritis terkait dimensi kekuasaan yang ada pada Sinamot ditinjau dari konsep pemikiran Foucault.
F. Hasil yang Telah Dicapai Dari penelitian ini hasil yang ingin dicapai adalah sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan, yakni: 1. Memperoleh pemahaman tentang konsep kekuasaan Michel Foucault. 2. Memperoleh pemahaman terkait hakikat Sinamot dalam perkawinan adat Batak Toba. 3. Memperoleh penjelasan dimensi kekuasaan yang ada pada Sinamot jika ditinjau dari kekuasaan Michel Foucault.
30
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, yakni: BAB I: Menguaraikan pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang akan digunakan, hasil yang akan dicapai dan sistematika penulisan BAB II: Menguraikan dan menjelaskan Biografi Foucault, Karya-karya pemikiran Foucault, tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran Foucault, Metodologi pengetahun Foucault, pokok-pokok pemikiran kekuasaan Foucault. BAB III: Menguraikan dan menjelaskan Sinamot dalam adat-istiadat perkawinan Batak Toba, Dalihan Na tolu, Budaya Patrilinial, serta Falsafah orang Batak yang terdiri lagi tiga unsur (Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon) BAB IV: Menguraikan analisa dimensi kekuasaan dalam Sinamot pada pernikahan adat Batak Toba, dilihat dari kacamata kekuasaan Foucault. BAB V: Rangkaian penutup penelitian yakni, Kesimpulan dan saran.