FILITRA BUDAYA
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS
Nomor: 1
Volume I
Januari 2013
http://sasda.fs.uns.ac.id
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
KEARIFAN LOKAL DALAM SERAT DUMBASAWALA (Sebuah Tinjauan Semiotik) Oktavia Dwirahmawati (C0108046) Abstrak Serat Dumbasawala merupakan karya sastra yang berbentuk puisi Jawa (tembang). Berdasarkan strukturnya Serat Dumbasawala karya R.Ng. Atmasasana terjalin dalam 11 Pupuh (canto) atau 521 bait (stanza). Selain itu juga memakai beberapa sarana sastra (kagunan basa dan bahasa sandi). Kagunan basa memanfaatkan sarana purwakanthi, tembung garba, pepindhan, dasanama, serta bahasa sandi yang meliputi sasmita tembang, candrasengkala. Secara semiotik Serat Dumbasawala berisi tanda atau simbol sifat-sifat manusia yang digambarkan melalui sifat-sifat hewan. Terkait dengan tanda-tanda semiotik tersebut, Serat Dumbasawala berisi ajaran atau kearifan lokal mengenai pemimpin yang berbudi luhur, tekun dalam bekerja, serta selalu mawas diri yang masih relevan dengan kehidupan sekarang. Kearifan lokal yang terdapat dalam Serat Dumbasawala diyakini dapat memperkokoh jati diri suatu masyarakat sehingga dapat menumbuhkan harga diri dan kepercayaan diri serta meningkatkan harkat dan martabat suatu negara. Kata Kunci: Kearifan lokal, Serat Dumbasawala, Semiotik Abstract Serat Dumbasawala is the literary treasures of Java. Structure based of Serat Dumbasawala labour R.Ng Atmasasana woven into 11 canto and 521 stanzas. In addition it also uses some literary devices (kagunan basa and bahasa sandi). Kagunan basa use purwakanthi, tembung garba, pepindhan, dasanana, also code language that consist of sasmita tembang, candrasengkala. Serat Dumbaswala contains a semiotic sign or symbol human character that illustrated by animal character. Associated with these semiotic signs, Serat Dumbasawala contains or local wisdom of the leader of a virtuous, persevering in work also always beware that stiil relevan with reality. Therefore case believe can be solid his self in society to get up self respect and his confidence also raise status of country. Keyword: Local Wisdom, Serat Dumbasawala, Semiotic 1. Pendahuluan Warisan budaya nenek moyang atau leluhur di antaranya berupa karya-karya sastra yang di dalamnya terkandung nilai-nilai ajaran tertentu, yang pada saat ini masih perlu digali dan dikembangkan kembali. Salah satu yang menjadi bagian dari karya sastra itu terwujud dalam bentuk naskah lama. Naskah lama Indonesia yang beraneka ragam merupakan wujud karya sastra yang muncul pada masa itu (Atar Semi 1993:1). Naskah mencakup banyak hal, salah satunya adalah memuat banyak segi kehidupan, nilai dan manfaat naskah juga sangat menguntungkan bagi masyarakat untuk melestarikan dan menghidupkan kembali nilai budaya lama yang telah berkembang dan terpelihara di masa lalu. Dengan banyaknya warisan budaya bangsa, naskah merupakan dokumen yang paling menarik dibanding dengan puing-puing bangunan peninggalan sejarah dan warisan budaya lainnya.
1
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
Serat Dumbasawala karya R. Ng. Atmasasana merupakan karya sastra Jawa yang berbentuk tembang. Serat karya R. Ng. Atmasasana ini merupakan koleksi perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta, dengan nomor katalog Ks 103 146 Na SMP 107/4 berbentuk tembang macapat sebanyak 11 pupuh, yaitu pupuh Durma: 20 bait, pupuh Gambuh: 25 bait, pupuh Pangkur: 19 bait, pupuh Dhandhanggula: 18 bait, pupuh Pucung: 183 bait, pupuh Sinom: 16 bait, pupuh Kinanthi: 38 bait, pupuh Mijil: 48 bait, pupuh Durma: 62 bait, pupuh Asmaradana: 37 bait, pupuh Sinom: 55 bait. Di dalamnya berisi tentang kearifan lokal, yang merupakan nilai-nilai yang berlaku di dalam suatu masyarakat, yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari oleh masyarakat. Rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana struktur yang membangun Serat Dumbasawala yang berupa kagunan basa yang meliputi purwakanthi, tembung garba, pepindhan, dasanama, serta bahasa sandi yang meliputi sasmita tembang dan candrasengkala? (2) Bagaimanakah Serat Dumbasawala dilihat dari perspektif semiotik (tanda-tanda semiotik dalam Serat Dumbasawala)?; (3) Adakah kearifan lokal yang terkandung dalam Serat Dumbasawala serta relevansinya dengan kehidupan sekarang? Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini di antaranya mendeskripsikan struktur yang membangun Serat Dumbasawala yang berupa kagunan basa yang meliputi purwakanthi, tembung garba, pepindhan, dasanama, serta bahasa sandi yang meliputi sasmita tembang dan candrasengkala; mendeskripsikan perspektif semiotik (tanda-tanda semiotik) dalam Serat Dumbasawala; mendeskripsikan kearifan lokal yang terkandung dalam Serat Dumbasawala serta relevansinya dengan kehidupan sekarang. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori semiotik yang meliputi indeks dan simbol. 2. Metode Penelitian Bentuk penelitian ini adalah penelitian sastra, yaitu suatu pencarian pengetahuan dan pemberimaknaan dengan hati-hati dan kritis secara terus-menerus terhadap masalah sastra. Dalam hal ini tentulah metode kualitatif lebih serasi digunakan dalam penelitian sastra, karena dinilai sesuai dengan teori yang diterapkan yakni semotika sastra. Makna karya sastra sebagai tanda adalah makna semiotiknya, yaitu makna yang bertautan dengan dunia nyata. Sumber data dalam penelitian ini berupa teks yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret dengan judul naskah Serat Dumbasawala Versi 11 Pupuh (Sebuah Tinjauan Filologis), skripsi filologi Tarya Adinugroho pada tahun 2004, mahasiswa Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret. Data dalam penelitian ini berupa data semiotik yang berupa simbol-simbol serta tanda-tanda indeksitas. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis. Content analysis merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi (Muhadjir, 2000:68). Studi tentang proses dan isi komunikasi tersebut merupakan dasar bagi semua ilmu sosial. Pembentukan dan pengalihan perilaku dan polanya berlangsung lewat komunikasi verbal. Secara teknis content analysis mencakup upaya: 1) klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi, 2) menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi, 3) menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis struktural dan analisis semiotik sastra. Analisis struktural merupakan teknik analisis berdasarkan unsur-unsur yang mempunyai peran dan fungsi dalam totalitas teks, sedangkan analisis semiotik adalah teknik analisis berdasarkan kompleks tanda/kode (Endraswara, 2003:63-64). Teknik penggarapannya menggunakan analisis deskriptif komparatif dengan perinciannya sebagai berikut. Pertama, dianalisis data berdasarkan metode struktural yang berupa 2
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
kagunan basa yang meliputi purwakanthi, tembung garba, pepindhan, serta bahasa sandi yang meliputi sasmita tembang, dasanama, candrasengkala. Kedua, hasil analisis ini diperjelas dengan analisis semiotik mengenai tanda/kode yang terkandung pada Serat Dumbasawala, tujuannya untuk mendapatkan makna secara maksimal, yaitu dapat menghubungkan sistem yang berada di luarnya. Sistem yang berada di luar karya sastra adalah semua anasir, data, fenomena, yang mereaksi bagi sebuah kelahiran karya sastra tersebut. Ketiga, menganalisis isi Serat Dumbasawala guna mengetahui kearifan lokal yang terdapat di dalamnya. Keempat, setelah mendapatkan data dari sumber data kemudian data yang terpakai dideskripsikan. Hasil analisis disusun sebagai hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan a. Analisis Struktural Serat Dumbasawala dibangun dengan kagunan basa dan bahasa sandi. Kagunan basa memanfaatkan purwakanthi, tembung garba, serta pepindhan. Bahasa sandi memanfaatkan sasmita tembang, dasanama, dan candrasengkala. Purwakanthi disebut juga rima, yaitu persajakan yang diulang-ulang pada akhir baris atau akhir kata tertentu pada setiap barisnya. Purwakanthi ada tiga macam : Purwakanthi guru swara, Purwakanthi guru sastra, dan Purwakanthi lumaksita. Purwakanthi guru swara merupakan perulangan pada bunyi vokal seperti dalam kutipan di bawah ini: Dhampyak-dhampyak sira mami (Dr/12/5) ‘beramai-ramai masuk gelanggang aduan’ Pola purwakanthi guru swara /a/ tampak dalam kata dhampyak-dhampyak ‘beramai-ramai’ bunyi vokal /a/ terdapat pada suku kata ketiga dari depan dan pada suku kata kedua dari belakang dengan posisi tertutup; sedangkan, bunyi /a/ pada kata sira ‘engkau’ terdapat pada suku kata pertama dari belakang, dengan posisi terbuka. Pada kata sira ‘engkau’ menggunakan vokal /a/ berbunyi /O/ dalam bahasa Jawa disebut dengan a swara jejeg. Bunyi /a/ pada kata mami ‘saya’ terdapat pada suku kata kedua dari depan dengan posisi tertutup. Wanti-wanti mantêp têkèng pati (Mj/41/4) ‘prinsipnya mantap sampai mati’ Wanti-wanti mantêp têkèng pati ‘prinsipnya mantap sampai mati’ di atas apabila diucapkan sangat merdu sebab adanya bunyi vokal /i/ yang muncul secara berturut-turut. Adanya purwakanthi guru swara akibat munculnya vokal /i/ secara berulang-ulang menyebabkan kemerduan baris dalam tembang Purwakanthi guru sastra identik dengan aliterasi yaitu sajak berdasarkan pada persamaan konsonan. Dadi bibi baboni ing kawibawan (Pc/2/4) ‘jadikan suri tauladan pula dalam kewibawaanmu’ Pada data di atas bunyi purwakanthi guru sastra /b/ muncul di awal kata serta suku kata kedua seperti dalam kata bibi baboni ‘suri tauladan’ serta pada suku kata ketiga, yaitu pada kata kawibawan ‘kewibawaan’. Dhadhag dhadha ênya dhadha endi dhadha (Pc/87/4) ‘membusungkan dada ini dada mana dada’ Dalam data di atas terdapat tuturan Dhadhag dhadha ênya dhadha endi dhadha ‘membusungkan dada ini dada mana dada’. Pola purwakanthi guru sastra /dh/ memperlihatkan bahwa bunyi /dh/ dalam kata dhadhag dan dhadha terdapat pada suku kata pertama dan kedua; bunyi /D/ pada kata dan endi ‘mana’ terdapat pada suku kata kedua. Purwakanthi lumaksita adalah persajakan berdasarkan persamaan kata, suku kata akhir dengan suku kata awal yang berturutan atau persamaan huruf akhir dengan huruf awal yang berturut-turut dalam suatu baris dengan baris berikutnya.
3
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
Wuwuh-wuwuh wuwuh winahaning kawruh/ wruh ananing dina/ dinadar dana mênuhi/ anênimpen ing sêkar suji saroja// (Pc, V/ 3) ‘Apalagi ditambah dengan pengertian-pengertian yang luas. Mengetahui apa yang terjadi sehari-hari. Tak ubahnya bagai menyimpan rangkaian (untaian) bunga saroja yang indah.’ Amêmayu mayungi kang sêdya ayu/ kayuyun mawarna/ warnanen mêmanuh tami/ tamanana ing sojar pajar prasaja// (Pc, V/20) ‘Menjaga dan merawat keinginan baik. Hiasi dengan perbuatan baik. Terapkan pada perkataan yang benar.’ Dalam data di atas terlihat kehebatan sang pujangga dalam menata kalimat secara apik dengan mempergunakan purwakanthi lumaksita. Adanya purwakanthi lumaksita ini mampu mendekatkan kata-kata dan menunjukkan kepaduan makna antarkata dalam lariklarik atau antarlarik dalam Serat Dumbasawala. Selain itu mampu menekankan struktur ritmik sebuah kalimat dalam larik atau antarlarik, dan memberi tekanan bunyi dan makna pada kata-kata yang mengandung purwakanthi lumaksita. Secara umum, fungsi purwakanthi lumaksita untuk menegaskan perasaan yang diungkapkan penyair. Tembung garba merupakan gabungan dua kata di mana kata pertama berakhir vokal terbuka dan kata kedua berawalan dengan vokal, sehingga menimbulkan bunyi baru. Pada Pupuh I bait 3 baris 7: praptèng prapta + ing prapta (datang) Pada Pupuh I bait 13 baris 5 yitneng yitna + ing yitna (waspada) Pada Pupuh I bait 18 baris 1 prawireng prawira + ing prawira (pahlawan) Pepindhan adalah gaya bahasa perbandingan atau persamaan, yang berguna untuk mempertimbangkan arti atau penggambaran. Dalam Serat Dumbasawala ini pengarang menggunakan pepindhan ditandai dengan kata lir. Kalimat yang menunjukkan gaya bahasa tersebut dapat dilihat pada : Pupuh VI bait 14 baris 3 Yayi sireku sru longka/ mina lawan Margapati/ Kinon mangerti lir janma/ sinimak tan bisa sami/ kang sawiji nambungi/ kakang botên pisan ingsun/ mina lan Margadipa/ kinarya têpa palupi/ sêmu sêmon pangera mring badan liyan// ‘Jangan kau samakan ikan dengan Margapati, hewan tak mengerti seperti manusia, apapun juga keadaannya tak sama”, teman lain menyelanya, “bukan maksudku memisalkan ikan dan Margapati (singa) sebagai suri tauladan bagi manusia, 4
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
apalagi untuk menyindir-nyindir keadaan orang lain.’ Kata lir pada bait di atas menjelaskan bahwa hewan tidak bisa disamakan dengan manusia karena hewan tidak memiliki akal seperti manusia. Dasanama adalah dua kata atau lebih yang mewakili konsep yang sama. Pengarang mempergunakan dasanama untuk mengungkapkan arti yang sama. Dalam Serat Dumbasawala ini ada beberapa dasanama yang ditemui, yaitu sebagai berikut: Narpati pada ( Pupuh II bait 12 baris 3 ) divariasikan dengan kata Sang Aji pada (Pupuh IV bait 1 baris 1). Narendra pada (Pupuh VI bait 2 baris 3), Jeng Sripamasa pada (Pupuh VI bait 3 baris 9), Gusti pada (Pupuh IX bait 5 baris 7). Kesemuanya itu mengandung arti yang sama yaitu ‘raja’. Bahasa sandi meliputi sasmita tembang, dan candrasengkala. Sasmita tembang merupakan tanda ataupun isyarat yang lazim digunakan pada pergantian dari suatu pola persajakan suatu pupuh ke pola persajakan pupuh berikutnya. Isyarat ini berupa suatu kata atau konstruksi gramatikal yang mempunyai tautan dengan nama suatu jenis metrum yang dimaksud oleh isyarat tersebut (Karsono, 2010:81). Dalam Serat Dumbasawala ada beberapa sasmita tembang yang ditemukan, seperti dalam Pupuh I bait 20 berikut: Kinon mundhut mêdal laju angajêngna/ prawira Baruklinthing / mungsuhna lan singa/ tutul gêdhe kang galak/ sandhika pra among sami/ rumagang lawan/ anêmbang gambuh sami// ‘Untuk segera dibawa ke depan, kambing si prawira Baruklinthing, untuk diadu dengan seekor harimau tutul yang besar dan ganas.’ Para gandek segera melaksanakan tugasnya dengan bernyanyi gambuh bersama.’ Pada data di atas, terdapat kata gambuh yang mengisyaratkan ada tautan antara tembang durma dengan tembang selanjutnya yaitu tembang gambuh. Candrasengkala merupakan penunjuk angka tahun secara tersamar yang diujudkan dengan kata-kata. Candrasengkala sering ditemukan dalam karya sastra berpola persajakan macapat sebagai petunjuk saat dimulainya penulisan suatu karya sastra (yang biasanya terletak di bagian awal karya sastra sebagai manggala), saat berakhirnya penyalinan suatu karya sastra dan kadang-kadang terletak di tengah karangan untuk menunjuk suatu peristiwa tertentu (Karsono, 2010:92). Pada Pupuh I bait ke 2 baris 2 pujangga menuliskan candrasengkala : trus luhur sarira ji. Candrasengkala itu berarti menunjukkan tahun Jawa 1809 (1880 Masehi). Pada Naskah Serat Dumbasawala sebelum dituliskan tahunnya juga terlebih dahulu bertuliskan hari, tanggal, bulan, dan wuku yaitu sebagai berikut: ...singunkara Baruklinthing/ ri Sabtu benjang/ tanggal trilikur sasi// saban wawu ing warsa sangkalanira/ trus luhur sarira ji…….yang berarti peristiwa dalam cerita tersebut terjadi pada hari Sabtu pagi tanggal 23 bulan Saban wuku Wawu tahun Jawa 1809 (1880 tahun Masehi). b. Analisis Semiotik Serat Dumbasawala menampilkan sifat-sifat hewan yang dapat dijadikan suri tauladan. Dumba yang mempunyai arti domba, sedangkan sawala mempunyai arti perkelahian atau beradu. Jadi Dumbasawala bisa diartikan sebagai perkelahian atau peraduan antara domba-domba yang dapat dijadikan sebagai suri tauladan, seperti yang tertulis pada Pupuh 1 bait 2berikut: 5
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
Saban wawu ing warsa sangkalanira/ trus luhur sarira ji/ ginadhang prang lawan/ singa tutul ungaran/ nèng Langènharjo Wêdari/ supaya dadya/ kontapira ing wrêdi// ‘Wuku Wawu ditandai “candra sengkalan” taun Jawa 1809. ‘Dipersiapkan (domba-domba) untuk bertanding (berperang, beradu) melawan harimau tutul dari Ungaran. Bertempat di Pesanggrahan Langenharja. Kesemuanya itu akan dijadikan suri tauladan bagi seisi praja (kerajaan keraton Surakarta).’ Menjadi seorang abdi atau bawahan, kesetiaan terhadap majikan merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar lagi, karena dengan kesetiaan tersebut dapat tercapailah suatu hubungan yang harmonis antara bawahan dengan majikannya. Kesetiaan tidak hanya ditujukan kepada sesama manusia tetapi juga antara manusia dengan hewan peliharaannya. Seperti halnya kesetiaan yang ditunjukkan oleh Dhadhungawuk, seekor kambing milik raja yang sangat setia terhadap majikannya yaitu Pakubuwana ke IX, meskipun kesehariannya hanya diperintahkan untuk diadu. Simbol adalah tanda yang menunjukkan tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya (Racmad Djoko Pradopo, 2007: 120). Tokoh-tokoh hewan yang menjadi sorotan utama dalam Serat Dumbasawala mempunyai makna tersendiri, karena tokoh tersebut mempunyai simbol tertentu. Ada beberapa macam hewan yang dalam Serat Dumbasawala merupakan simbol dari sifat-sifat manusia, di antaranya adalah garuda, ikan, kancil, kambing, badak, bantheng, kuda, gajah, dan naga. Garuda secara harafiah merupakan salah satu jenis burung pemakan daging yang memiliki sayap yang besar, dalam Serat Dumbasawala Pupuh IX bait 11 garuda merupakan simbol dari sifat manusia yang memiliki pengetahuan yang luas, dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan dari lawannya, menakutkan, tetapi jauh dari perbuatan ingkar. Seperti terdapat dalam Pupuh IX bait 11 berikut: Yêkti tama kudu kukuh bakuh marang/ mumpangati doh maring/ panggawe kiyanat/ sajroning rêrêmbugan/ durung dadi ngathika mring/ nomêr sajuga/ kang ambêg pêksi// ‘Benar-benar baik dan kuat, jauh dari perbuatan ingkar. Rencanakan pada satu arah saja. Prajurit harus berwatak seperti burung. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat ditarik beberapa pemahaman.’ Hubungan sebab akibat (indeks) dalam naskah Serat Dumbasawala memang tidak banyak, bahkan tidak ditemukan adanya ikon karena naskah Serat Dumbaswala lebih banyak menjelaskan tentang sifat-sifat manusia sebagai simbol (lambang). Pengarang naskah Serat Dumbasawala menjelaskan tentang kearifan lokal melalui berbagai bentuk simbol dari sifat-sifat manusia yang digambarkan dalam beberapa sifat hewan. 6
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
Simbol-simbol banyak ditemukan dalam naskah Serat Dumbaswala, hal tersebut dapat dipahami karena naskah Serat Dumbaswala adalah naskah piwulang ‘ajaran’. Hubungan antara penulis dan pembaca bersifat searah. Dengan kata lain, terdapat jarak antara pembaca dan penulis sehingga penggunaan simbol yang disepakati bersama oleh penulis dan pembacanya kemungkinan hal tersebut dapat dilakukan, sehingga maksud penulis Serat Dumbasawala untuk mencapai kearifan lokal dapat tersampaikan dengan lebih mudah. c. Kearifan Lokal Kearifan lokal dalam Serat Dumbasawala yang berkaitan dengan alalisis semiotik dalam penelitian ini hanya dibatasi pada kearifan lokal menjadi pemimpin yang berbudi luhur, tekun dalam bekerja, serta selalu mawas diri. Pemimpin yang berbudi luhur, pemimpin merupakan panutan bagi yang dipimpin. Oleh karena itu, dalam pengangkatan seorang pemimpin haruslah memenuhi kriteria yang mewakili sosok seorang pemimpin, di antaranya yaitu wawasan luas, segala perbuatannya penuh dengan perencanaan yang matang serta jauh dari perbuatan ingkar, seperti halnya seekor burung garuda yang digambarkan dalam Serat Dumbaswala. Kriteria seorang pemimpin itulah yang secara praktis akan menjadi objek yang dicermati oleh orang lain. Seperti dalam Pupuh IX bait 11 berikut: Yêkti tama kudu kukuh bakuh marang/ mumpangati doh maring/ panggawe kiyanat/ sajroning rêrêmbugan/ durung dadi ngathika mring/ nomêr sajuga/ wadya kang ambêg pêksi// ‘Benar-benar baik dan kuat, jauh dari perbuatan ingkar. Rencanakan pada satu arah saja. pemimpin harus berwatak seperti burung.’ Tekun dalam bekerja; dalam setiap pekerjaan yang dijalani, manusia hendaknya selalu tekun dan jangan pernah mengeluh, dengan begitu segala pekerjaan yang dijalani akan terasa lebih ringan untuk dikerjakan. Tekun bekerja serta tidak pernah mengeluh dalam setiap pekerjaan yang dilakoninya, dalam Serat Dumbasawala disimbolkan seperti sapi dan kerbau yang selalu tekun serta menuruti segala perintah sang majikan. Seperti dalam Pupuh X bait 20 berikut: Sira amiliha dasih/ kang ambêg kêbo kalawan/ sapi dwi iku watake/ rosa pitaya tur nora/ umengêng ing pakaryan/ ing sapakon bangun turut/ rèrèh-ririh tindakira// ‘Kamu pilih orang yang bersifat kerbau dan sapi. Sifatnya kuat untuk disuruh dan tidak mengeluh saat bekerja. Dalam perintah selalu menurut. Pelan-pelan dalam bekerja.’ Mawas diri berarti orang selalu waspada terhadap apa yang ada, segala tingkah laku ataupun perbuatan penuh dengan perhitungan yang tepat, tidak tergesa-gesa (grusagrusu). Serat Dumbaswala mengajarkan untuk selalu bertindak waspada, jangan sampai terjerumus ke dalam hal yang tidak baik karena kurangnya kewaspadaan. Seperti halnya 7
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
ikan yang digambarkan dalam Serat Dumbaswala karena sifat kurang waspadanya terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga membuat dirinya mudah terjerumus bahkan dapat mematikan dirinya sendiri. Seperti dalam Pupuh VI bait 11 di bawah ini: Sangsara wit tan prayitna/ kadi mina jroning warih/ marêm mêmangsa mêmangsan sadaya warah ing warih/ dumandakan mina sami/ kang tinakdir bade lampus/ pan sami nurut hawa/ amawas mêmangsan adi/ dumèh sampun kalêbu sajroning tirta/ ‘Awal sengsara berpangkal pada kurang waspada. Seumpama ikan dalam air, puas dengan memakan makanan apa saja yang ada dalam air. Kurang waspadanya makanan yang mematikan termakan pula, itu dikarenakan kebodohannya tidak bisa membedakan dengan seksama. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama, terdapat beberapa kearifan lokal yang dapat membangun jati diri seseorang melalui berbagai macam sifat-sifat hewan yang merupakan simbol dari sifat manusia. Pengarang Serat Dumbasawala menjelaskan tentang kearifan lokal melalui berbagai bentuk sifat-sifat manusia yang digambarkan dalam beberapa sifat hewan. Kedua, isi Serat Dumbasawala tersebut dapat untuk memberikan nasihat serta cambuk bagi para pembaca untuk selalu berhati-hati dalam menyelesaikan persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi dengan cara yang baik dan benar. Dengan memahami isi Serat Dumbaswala dapat menjadikan pembelajaran bagi para generasi muda untuk dapat meningkatkan harga diri serta jati diri dalam meningkatkan harkat serta martabat suatu negara. 4. Simpulan dan Saran a. Simpulan Dari analisis Serat Dumbasawala dalam kajian semiotik, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan: 1). Dalam analisis struktur puisi Serat Dumbasawala dibangun dengan kagunan basa dan bahasa sandi. Kagunan basa memanfaatkan purwakanthi, tembung garba, pepindhan, dasanama. Bahasa sandi yang memanfaatkan sasmita tembang dan candrasengkala. 2). Serat Dumbasawala dibangun dengan tanda/kode yang menyertakan simbol-simbol sifat manusia yang digambarkan melalui sifat-sifat hewan. Tanda-tanda semiotik dalam Serat Dumbasawala meliputi unsur indeks, dan simbol. Melalui indeks serta simbol tersebut pengarang hendak menyampaikan sifat-sifat hewan yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran untuk memperkokoh jati diri di dalam suatu komunitas. 3). Dalam penelitian ini, kearifan lokal meliputi cara menjadi pemimpin yang berbudi luhur, tekun dalam bekerja, dan selalu mawas diri. Kearifan lokal dalam masyarakat berperan penting sebagai pengokoh jati diri sehingga dapat menumbuhkan harga diri dan kepercayaan diri serta meningkatkan harkat dan martabat suatu Negara. b. Saran Penelitian terhadap Serat Dumbasawala ini masih kurang sempurna, karena dalam penelitian ini baru memiliki struktur dan tanda dengan memanfaatkan teori struktural dan semiotik. Secara khusus, diharapkan penelitian ini dapat ditindaklanjuti
8
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
dengan penelitian lain terhadap Serat Dumbasawala sebagai karya Jawa klasik maupun sebagai karya sastra piwulang untuk pemahaman yang lebih luas dan lebih jelas.
DAFTAR PUSTAKA Atar Semi. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. Karsono H Saputra. 2010. Sekar Macapat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Muhamad Rohmadi,dkk. 2011. Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa: Teori dan Pembelajaran. Surakarta: Pelangi Press. Noeng Muhadjir. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin. Rachmat Djoko Pradopo. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya. Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Tarya Adinugroho. 2004. Serat Dumbasawala Versi 11 Pupuh (Sebuah Tinjauan Filologis). Surakarta: Skripsi Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
9
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
CARIYOS ANÈH-ANÈH (Suatu Tinjauan Filologis) Dewinta Ayu Hapsari C0108025 Abstrak Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu suntingan teks Cariyos Anèh-Anèh yang bersih dari kesalahan dan ajaran moral yang terkandung dalam teks Cariyos Anèh-Anèh. Tujuan penelitian ini adalah menyajikan suntingan teks Cariyos Anèh-Anèh yang bersih dari kesalahan dan mengungkapkan ajaran moral yang terkandung dalam Cariyos AnèhAnèh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode standar (biasa). Simpulan penelitian ini adalah Cariyos Anèh-Anèh koleksi Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta bernomor katalog MSB L.81/SK 93 Rol.60 no.3 merupakan naskah tunggal. Di dalamnya terdapat banyak varian, setelah melalui cara kerja filologi maka suntingan teks Cariyos Anèh-Anèh dalam penelitian ini merupakan teks yang bersih dari kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Cariyos Anèh-Anèh adalah naskah yang berjenis sastra. Ajaran moral tersebut tertuang dalam cerita-cerita yang ringan untuk dipahami. Kata kunci: Cariyos Anèh-Anèh, filologi, ajaran moral Abstract Problem statements in this research are the editing of Cariyos Anèh-Anèh which is no mistakes and the moral value which contained in the Cariyos Anèh-Anèh. The purposes of this research are to present the editing version of Cariyos Anèh-Anèh which is no mistake in editing and to describe any kind of moral value in the Cariyos Anèh-Anèh. The method or methods of the standard critical edition (commonly) used in the method editor Cariyos Anèh-Anèh. The conclusions ofthis research are Cariyos Anèh-Anèh from Library Museum Negeri Sonobudoyo collection catalog number MSB L.81/ SK 93 Rol.60 no.3 is a single script. In Cariyos AnèhAnèh there are many variants, after by philology procedure so editing of text Cariyos Anèh-Anèh in this research were no mistakes and can be scientific responsibilty. Cariyos Anèh-Anèh is kind of literary script. There are moral value in simple stories in Cariyos Anèh-Anèh and easy to understand. Keyword: Cariyos Anèh-Anèh, philology, moral value 1. Pendahuluan Naskah-naskah lama menyimpan berbagai informasi penting lebih banyak daripada peninggalan sejarah yang lain dari masa lampau, salah satunya adalah naskah Jawa. Behrend (1990) menggolongkan naskah-naskah Jawa menjadi beberapa bagian untuk mempermudah dalam penelitian dan ditinjau dari segi isinya. Berdasarkan klasifikasi dari Behrend (1990), peneliti tertarik untuk meneliti naskah jenis sastra berjudul Cariyos Anèh-Anèh. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan dari berbagai katalog, hanya ditemukan satu manuskrip yang berjudul Cariyos Anèh-Anèh yaitu naskah carik berbentuk têmbang tersimpan di Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta dengan nomor MSB/L81 SK 93 (Behrend 1990). Microfilm dari naskah tersebut tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan kode Rol.60 No.3. Cariyos Anèh-Anèh
10
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
(selanjutnya disingkat CAA) yang tersimpan di Perpustakaan Negeri Sonobudoyo disajikan dalam bentuk puisi atau têmbang. Naskah ini terdiri dari 232 halaman, berisi tentang cerita-cerita yang merupakan anecdotes dari Eropa, Timur Tengah, dan Cina, dan di setiap pupuhnya disertai rêrênggan atau wêdana yang melambangkan isi cerita tersebut. CAA merupakan naskah tulisan tangan (manuscript) dengan huruf Jawa berbahasa Jawa Baru ragam krama serta banyak disisipi kata-kata dari bahasa Indonesia, bahasa Belanda dan bahasa Arab. Naskah ini disalin pada hari Sabtu tanggal 8 Jumadilakir, tahun Ehe 1780 sesuai dengan sengkalan ‘muluk bujangga wiku wong’. Disebutkan naskah ditulis pada hari Sabtu tanggal 8, tetapi setelah dilakukan penelusuran tanggal 8 Jumadilakir jatuh pada hari Selasa Wage, 30 Maret 1852, sehingga belum diketahui secara pasti kebenarannya. Alasan pertama diadakan penelitian tersebut adalah di dalam CAA ini terdapat banyak variant, oleh karena itu perlu adanya kajian filologis guna mendapatkan suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Beberapa permasalahan tersebut antara lain kesalahan pemenuhan metrum têmbang yang meliputi guru wilangan (lacuna dan adisi) dan guru lagu, kesalahan penulisan kata yang meliputi lacuna, adisi, hipercorrect, corrupt dan transposisi, dan varian ketidakkonsistenan penulis dalam menggunakan aksara rekan dan dalam menulis kata. Alasan kedua adalah dari segi isi naskah CAA sangat menarik untuk diungkapkan sisi moralitasnya. Dari ke-58 cerita di atas beberapa di antaranya memuat pesan moral, antara lain ajaran kepemimpinan yaitu kepemimpinan raja. Ajaran moral kepemimpinan raja tertuang dalam beberapa pupuh yang tertulis dalam naskah CAA. Salah satunya adalah cerita dalam Pupuh XXVII têmbang Pucung yakni pesan atau ajaran yang disampaikan oleh seorang pemimpin bernama Prabu Alfonsus yaitu memiliki sifat penuh pengampunan pada orang-orang yang menyimpang dari aturan negara. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu suntingan teks CAA yang bersih dari kesalahan dan ajaran moral yang terkandung dalam CAA. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah menyajikan suntingan teks CAA yang bersih dari kesalahan atau yang mendekati asli sesuai dengan cara kerja filologi dan mengungkapkan nilai ajaran moral yang terkandung di dalam naskah dan teks CAA. CAA merupakan naskah yang digolongkan dalam jenis sastra (Behrend, 1990) dan masuk dalam kategori dongeng. Dongeng dibagi menjadi empat yaitu dongeng binatang, dongeng biasa, lelucon dan anekdot, dan dongeng berumus. Cerita-cerita dalam CAA (58 buah) masuk ke dalam golongan dongeng lelucon dan anekdot. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau terkenal dan terkadang berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Dalam sebuah karya sastra terkandung berbagai nilai dan ajaran, salah satunya adalah ajaran moral. Franz Magnis Susena (1984: 15) menyatakan bahwa ajaran moral adalah ajaran, wejangan-wejangan atau khotbah-khotbah sebagai kumpulan ketetapan baik secara lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang lebih baik. Menurut (dalam Burhan, 1995: 322), moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Pesan moral biasanya bersifat universal dan dapat diterapkan dalam berbagai segi atau aspek kehidupan baik diri sendiri, lingkungan keluarga, masyarakat luas, serta dalam sebuah negara. Salah satu ajaran moral yang terkandung dalam Cariyos Anèh-Anèh adalah ajaran moral kepemimpinan untuk raja. Kepemimpinan adalah hubungan mempengaruhi (dari pemimpin) dan hubungan kepatuhan-kepatuhan para pengikut atau bawahan, karena dipengaruhi oleh kewibawaan pemimpin (Kartini Kartono, 2005: 2). Seorang pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas unggul dan sifat-sifat yang utama, misalkan saja adil, jujur, bijaksana, penuh kasih sayang, memiliki intelegensi tinggi dan seterusnya. Pardi 11
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
Suratno (2006: 2) juga mepaparkan, bahwa pemimpin, dalam hal ini seorang raja juga harus memiliki rasa asih terhadap musuh yang sudah menyerah. 2. Metode Penelitian Bentuk penelitian ini adalah penelitian filologi, yang objek kajiannya mendasarkan pada manuskrip dan penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian perpustakaan atau library research. Berdasar pada inventarisasi yang telah dilakukan ditemukan satu naskah yang berjudul Cariyos Anèh-Anèh pada Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sonobudoyo Yogyakarta (Behrend, 1990). Sehingga sumber data dalam penelitian ini adalah Perpustakaan Negeri Sonobudoyo Yogyakarta yang merupakan tempat penyimpanan naskah CAA. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks dari naskah CAA yang berbentuk puisi atau tembang yang terdiri dari 232 halaman dengan nomor katalog MSB/ L81, kode koleksi SK 93 dan microfilm dengan nomor Rol.No.60.3. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka (library research), yaitu dengan menggunakan katalog naskah yang tersimpan di berbagai perpustakaan, museum atau instansi lain. Langkah berikutnya ialah melakukan pengamatan (observasi) dan membuat deskripsinya secara rinci. Langkah berikutnya adalah mengumpulkan data dengan cara mentransfer gambar dari microfilm yang sebelumnya dipasangkan dalam alat yang bernama microreader untuk dipindah datanya (dengan sistem scanning) ke dalam komputer. Setelah itu data masuk dalam program Adobe Photoshop untuk selanjutnya diubah formatnya. Selanjutnya dilakukan pengeditan dengan program Microsoft Office Picture Manager 2010 dan Paint. Selain itu juga dilakukan teknik pendokumentasian digital (tehnik fotografi) untuk buku-buku yang menjadi data sekunder. Analisis data menggunakan metode penyuntingan naskah tunggal dengan metode edisi standar yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan dan pembetulan dicatat di tempat yang khusus (aparat kritik) agar selalu dapat diperiksa dan dibandingkan dengan bacaan naskah sehingga masih memungkinkan penafsiran lain oleh pembaca (Baried, dkk, 1983: 109). Metode standar digunakan karena isi naskah dianggap sebagai cerita biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut pandang agama atau bahasa. Analisis data yang terakhir adalah dengan interpretasi isi yang terkandung dalam naskah atau teks. Analisis data pada kajian isi dilakukan setelah suntingan teks, aparat kritik, dan sinopsis. Kajian isi menekankan ajaran moral yang terkandung dalam CAA. Hal ini didukung dengan data penunjang yaitu buku-buku, kamus, artikel, makalah, maupun akses internet. Jadi kandungan moral dalam naskah CAA, sehingga mudah dipahami oleh pembaca. 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan a. Deskripsi naskah Deskripsi naskah merupakan gambaran singkat serta rincian tentang kondisi fisik naskah maupun garis besar isi naskah yang dituangkan secara ringkas untuk mempermudah pengenalan terhadap sebuah naskah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat deskripsi suatu naskah yaitu judul naskah; nomor naskah; tempat penyimpanan naskah; asal naskah; keadaan naskah; ukuran naskah; tebal naskah; jumlah baris per halaman; huruf, aksara, tulisan; cara penulisan; bahan naskah; bahasa naskah; bentuk teks; umur naskah; pengarang/penyalin; asal-usul naskah; fungsi sosial naskah; dan ikhtisar teks/cerita. Judul naskah Cariyos Anèh-Anèh, tersirat pada bait pertama pupuh Dhandhanggula (pada gatra ke 6 dan 7). Nomor naskah tersebut hanya terdapat dalam katalog Museum Sonobudoyo Yogyakarta dengan nomor katalog MSB/ L81 dan kode koleksi SK 93, sedangkan kode microfilmnya adalah Rol no.60.3 tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Behrend, 1990). Selain itu microfilm naskah 12
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
tersebut juga tersimpan di Laboratorium Filologi, Jurusan Sastra Daerah, Universitas Sebelas Maret dengan kode microfilm Pos.MSB-60 (Rec.0014). Tempat penyimpanan naskah adalah di Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta, sedangkan microfilmnya tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta dan Laboratorium Filologi, Jurusan Sastra Daerah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Asal naskah adalah Yogyakarta. Keadaan naskah masih cukup baik, bagian sudut-sudutnya agak rapuh. Beberapa bagian naskah yang berlubang sudah diperbaiki. Jilidannya masih rapi, utuh dan lengkap. Sampul naskah dari kulit binatang berwarna coklat tua yang bagian pinggirnya sedikit terkelupas dan terdapat motif pada bagian permukaan sampul. Ukuran sampul naskah 20,5 cm X 33 cm, sedangkan ukuran teks 13,5 cm X 20 cm. Naskah ini terdiri dari 232 halaman. Berbentuk puisi atau têmbang macapat, terdiri dari 62 pupuh. Jumlah baris per halaman tidak menentu, sebab pada tiap awal cerita disertai dengan rêrênggan atau wêdana rênggan, jumlah minimalnya ialah 3 baris per halaman dan jumlah maksimalnya mencapai 18 baris per halaman. Ditulis dengan huruf Jawa (aksara Jawa carik). Tulisan rapi, jarak baris dan jarak huruf teratur, ukuran huruf sedang, bentuk huruf sedang memanjang. Jarak antarhuruf relatif dan jarak antarbaris renggang, tulisan bagus dan rapi. Ditulis dengan tinta berwarna hitam kecoklatan. Naskah CAA ditulis menggunakan bahasa Jawa tetapi ditemukan pula kata-kata serapan dari bahasa Indonesia dan bahasa Arab, serta terdapat beberapa nama-nama asing dari daerah Eropa, Cina, dan Timur Tengah. Cara penulisan yaitu ditulis bolak balik (recto verso), pengaturan ruang tulisan rapi dan cermat, tiap baris ditulis secara lurus ke samping diteruskan ke bawahnya dan seterusnya, ditulis dengan tinta warna hitam kecoklatan dengan penekanan yang tidak terlalu keras sehingga tinta tidak tembus, spasi atau jarak antarbaris dan antarhuruf cukup renggang. Naskah tersebut ditulis diatas kertas impor yang terdapat watermark berupa singa bermahkota menghadap ke kiri membawa pedang di dalam lingkaran yang bertuliskan ‘PROPATRIA EUISQUE LIBERTATE’, serta di atas lingkaran terdapat mahkota dan terdapat countermark ‘J v H’. ‘J v H’ kemungkinan besar merupakan singkatan dari Joh van Houtum, kertas tersebut diproduksi sekitar tahun 1737-1787 di Arnhem dan Apeldoorn, Belanda. Pada bait pertama pupuh Dhandhanggula terdapat kolofon yang menyebutkan bahwa naskah tersebut ditulis pada hari Sabtu 8 Jumadilakir tahun Ehe. Serta terdapat sengkalan ‘muluk bujangga wiku wong’ yang menunjukkan angka tahun Jawa 1780, namun dalam penelusurannya ternyata tidak jatuh pada hari Sabtu melainkan jatuh pada hari Selasa Wage, 30 Maret 1852. Sehingga dapat disimpulkan naskah telah berusia kurang lebih 160 tahun. Di dalam naskah disebutkan ‘...tuwan Winter juru basa’ (Pupuh I Dhandhanggula, pada 1, gatra 8) yaitu Carel Frederik Winter yang menulis naskah tersebut. Winter atau Carel Frederik Winter merupakan seorang keturunan Belanda yang bekerja sebagai transliteur (penerjemah resmi) di Surakarta sejak tahun 1818 sampai akhir hayatnya yaitu tahun 1859. Prof. T. Roorda seorang dosen di Akademi Delf, Belanda bekerja sama dengan C.F Winter, menulis karya sastra Belanda ke dalam bahasa Jawa yang kemudian tulisan-tulisan tersebut dimuat di majalah-majalah mingguan di Belanda serta diterbitkan dalam bentuk buku di Indonesia (dalam artikel mingguan Djoko Lodang No.822, 1988). b. Kritik Teks, Suntingan Teks, dan Aparat Kritik CAA adalah sêrat yang ditulis dengan aksara Jawa carik, sehingga transliterasi merupakan langkah penting yang harus dilakukan dalam rangka penyuntingan teks. Setelah melakukan transliterasi, penulis melakukan kritik teks bertujuan untuk menyusun suntingan teks CAA. Kritik teks merupakan pengkajian, pertimbangan, perbandingan dan penentuan teks yang asli atau teks yang paling unggul kualitasnya, serta pembersihan teks dari berbagai macam kesalahan. Melalui proses kritik teks, ditemukan kesalahan13
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
kesalahan atau varian dalam teks CAA. Metode yang digunakan dalam menyunting CAA adalah metode standar. Dalam menyunting sebuah teks, penulis harus memperhatikan pemenggalan kata, sebab cara penulisan naskah CAA yang tidak mengenal pemenggalan antarkata, ejaan yang berpedoman pada Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa, kebenaran konteksnya, dan kesesuaian metrum atau konvensi têmbang. Kata atau kelompok kata yang dinilai kurang tepat atau berubah, dalam suntingan teks akan dibiarkan sesuai teks aslinya dan akan diberi nomor kritik sebagai tanda bahwa kata atau kelompok kata tersebut telah dievaluasi. Hal ini dilakukan untuk tetap mempertahankan teks aslinya dengan pertimbangan bahwa naskah CAA adalah naskah tunggal dan penulis juga ingin memberi kebebasan kepada pembaca untuk mengecek langsung bacaan naskah yang asli atau memiliki penafsiran sendiri. Berikut ini adalah beberapa contoh varian yang ditemukan dalam naskah CAA berikut keterangan gambar, kritik teks dan suntingan teks: 1) Kesalahan pemenuhan metrum (guru wilangan dan guru lagu) dalam têmbang. • Lakuna
Gb. 1 kekurangan suku kata dalam têmbang Kinanthi (Pupuh XI, pada 8, gatra 4) yang tertulis 7i seharusnya 8i, “.....kang tinya amangsuli, thole sira ing....”, mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan konvensi têmbang menjadi “kang tinanya amangsuli”. Terjemahan: ‘... yang bertanya menjawab, bocah (anak lelaki) engkau...’. • Adisi
Gb. 2 kelebihan kata dalam têmbang Mêgatruh (Pupuh XV, pada 11, gatra 5) yang tertulis 9o seharusnya 8o, “......prapti, wus sun pêsthi mulya mêngkono.”, mengalami pembetulan berdasarkan konvensi têmbang menjadi “wus pêsthi mulya mêngkono”. Terjemahan: ‘.... datang, sudah pasti saya memperoleh kemuliaan’. • Kesalahan pemenuhan guru lagu
Gb. 3 kesalahan pemenuhan guru lagu dalam têmbang Kinanthi (Pupuh XLV, pada 27, gatra 4), “ amanggih sakêthi angsan,” yang tertulis 8a seharusnya 8i. Terjemahan: ‘ menemukan seratus ribu (uang emas) dalam laci lemari’. 2) Kesalahan dalam penulisan kata, yaitu: • Lacuna
Gb. 4 kelebihan suku kata pada pupuh XXV Dhandhanggula, pada 7, gatra 1, “rumangsuking susum bayu”, mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan
14
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
linguistik menjadi badan...‘ • Adisi
“sungsum”. Terjemahan: ‘merasuk ke dalam sungsum
Gb. 5 kelebihan suku kata pada pupuh VIII Pucung, pada 5, gatra 5, “mumpung dungrung lah dèn age...”, mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik menjadi “durung”. Terjemahan: ‘.... kebetulan belum maka segeralah. ‘ • Hipercorrect
Gb. 6 pada Pupuh III Gambuh, pada 2, baris 4,” nalendra dyah”, mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik menjadi “narendra”. 3) Corupt adalah bagian naskah yang rusak atau berubah sehingga sulit terbaca.
Gb. 7 pada Pupuh XXVII Pocung, pada 3, gatra 3 ‘saèstu ju....’ pada kata tersebut salah satu hurufnya mengalami corrupt disebabkan naskah asli yang berlubang, sehingga mengakibatkan kata tersebut tidak terbaca. 4) Ketidakkonsistenan menggunakan aksara dalam menulis sebuah kata, misalnya ketidakkonsistenan menggunakan aksara rekan dalam menulis kata ‘khakim’, kata ‘kakim’ dan kata ‘khakhim’, yaitu:
Gb. 8 penulisan kata ‘khakim’ , “...ulun matur panduka khakim,..” (Pupuh I Dhandhanggula, pada 4, gatra 9). Terjemahan: ‘Saya berkata pada paduka hakim’.
Gb. 9 penulisan kata ‘kakim’ , “... kakim lon pasrangkara,...” (Pupuh I Dhandhanggula, pada 5, gatra 10). Terjemahan: ‘Hakim kemudian berkata pelan’.
Gb. 10 penulisan kata ‘khakhim’ , “.. kya khakhim inggih kawula,...” (Pupuh XLV Kinanthi, pada 12, gatra 5). Terjemahan: ‘Hakim, benar saya...’.
15
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
5) Transposisi adalah pertukaran letak suku kata, kata, maupun kelompok kata.
Gb. 11 pertukaran letak sandhangan pada Pupuh LIII Asmaradana, pada 13, gatra 1, ‘sahega mangkat nak mami’, mengalami pembetulan pada kata ‘sahega’ menjadi ‘saha ge’ menurut konteks kalimat. Terjemahan: ‘ Segeralah berangkat anakku’. Berikut ini adalah contoh suntingan teks disertai dengan aparat kritik naskah CAA yaitu Pupuh XXVII dan Pupuh XLVIII : Rêrênggan Manyura Rêsmi (Pucung, XXVII) 1. [68] pitulikur pasale1 kang sêkar pocung/ kang kocap carita/ panjênêngan narapati/ ajêjuluk Sri Khalpon ... -[69]sus2 kang ngrêngga// 2. ing nêgara Naplès sisilih praja gung/ kaojat sudibya/ lêpas panggraita sêkti/ guna srana tyas alus pinujya mantra// 3. ambêg darma wêlasan babudènipun/ sênadyan wontêna/ abdi kang saèstu ju...3/ ingapura datan sah winulang arja// 4. nuli wontên abdi dalêm ingkang mau/ dhuh Gusti Sri Nata/ ngrênggani Naplès sasili/ kados pundi karsa dalêm maharaja// 5. dene abdi dalêm juti ala kudur/ dursila andadra/ dumadak tuwan wêlasi/ angapura sinung sih botên anduga// 6. kados pundi ing kêrsa dalêm sinuwun/ ulun nuwun wulang/ punapa botêna dadi/ ngusutakên bêsêm tejaning nagara// 7. risang narpa aji pasrangkara arum/ apa durung manggya/ wasiyating nabi murti/ Adam Kawa tumurun ing alam dunya// 8. awasiyat ing putra wayah sêdarum/ purwa tututira/ kapya manungsa kang bêcik/ yêkti sangking jêjêg adiling narendra// 9. dene tutute wong ala sawêgung4/ murang ing nêgara/ wit sangking kawlasaning sih/ dadi tutut i-[70]lang karpanirèng driya// 10. dadya gumêr bupati nayaka anung/ èstu durung arja/ wali kasêbdaning aji/ Sri Narendra miyoskên sêbda kang nyata// 11. lah ta sira kapya bupati nung-anung/ sarupane padha/ wadya bala ing Sasili/ apa gêlêm diwêngkoni macan galak// 12. apa sira kabèh nora sasumurup/ watak sato khewan/ ambêg siya-siyèng jalmi/ yèn wêlasan angsur ambêking manungsa// 13. sarêng myarsa sêbdanira jêng Sang Mulku/ tumungkul sêdaya/ kungkulan ing sêbda gati/ anggêr kukuh adiling wong nyêkêl praja// Rêrênggan Singa Parang Guthak (Pangkur, XLVIII) 1. [152] laju kojah sinoma/ ingkang kocap jalma ngêrum nêgari/ nênggih iku bangsa luhur/ pilênggah wus bupatya/ tamping ing rèh kapya babundhêling dhusun/ tuwa buru golèk macan/ sêsaosan pêndhak warsi// 2. macan gêbong lèrèk miwah/ tutul ko-[153]mbang kapya kang ponang dikbi/ kêrana nêgari ing Rum/ langka tan ana sima/ sangking manca jajahan ing wana gung5/ kocap bopati tampingan/ kang darbe abdi sawiji// 1
fasale @ (ketidakkonsistenan penggunaan aksara rekan) Kata tersebut mengalami corrupt, sebab salah satu hurufnya tertutup iluminasi dan tidak terbaca. 3 Kata tersebut mengalami corrupt, sebab kertas yang berlubang dan satu huruf tidak terbaca. Tetapi berdasarkan konteks kalimat, kata tersebut adalah juti * @. 4 dene tutute wong kang ala sawêgung # (kekurangan satu suku kata, seharusnya 12u) 5 sangking manca jajahan ing wana agung # (kekurangan satu suku kata, seharusnya 12u) 2
16
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
3. kêna dosa raja pêjah/ wus kabênêr ingkang aran Endroklis/ miruda minggat ing dalu/ sangking ajrih kinisas/ ingupaya lami tita tan kêpangguh/ ubêng nagri tuwin wana/ tan panggya sira Endroklis// 4. minggat nusup ngayam alas/ jurang-jurang jêro dipun lêbêti/ sungril-sungril singup-singup/ sumêngka minggah cala/ wus kalunta-lunta lêpas inggatipun/ wana tanah ing Ifrikah/ pun Endrok umpêtan dhêpit// 5. lumêbèng sajroning guwa/ dèrèng arga rungkut singup maluwih/ datan mangan datan nginum/ sayah saklangkung lêsah/ kêpanasên ngungsi guwa bantar turu/ cinatur guwa punika/ pakipone lorèk dikbi// 6. gêmbong maluwih gêngira/ saturangga wayah byar injing6/ sang macan sêmana mantuk/ guwa pakiponira/ sangking ngambil mêmangsan apêksa turu/ kagyat dènira umingal/ jro guwa ana wong guling// 7. gêro-gêrêng nèng dagannya/ sang Endroklis kagyat anuli tangi/ dharodhok7 anyipta lampus/ ma-[154]can gêrêng ngucapa/ eh ta jalma aja sira maras takut/ ingsun wêdi marang sukma/ lamun sikara mring jalmi// 8. balik ingsun iki susah/ luwih sakit sikilku ngarêp kering/ têka dene amêthunthung/ beda lawan kang kanan/ sira macan sikile kang lara abuh/ tinumpangakên ing panggyan/ nira jalma sang Endroklis// 9. gêrêng lêga amêmêlas/ minta-minta pitulungan dilati/ sang Endroklis ingkang suku/ manah nir sampun nêkat/ tandya nora tinubruk lawan binêkuk/ sukèng tyas angrasa gêsang/ sang Endroklis mari ajrih// 10. nèng panggyan ngiling-ngilingan/ sabab abuh katon slusubên ing ri/ dinudut wus kêna ucul/ rah mêdal pinijêtan/ nanah untas ènthèng mulya sakitipun/ sang macan trêngginas mêdal/ nora suwe nuli bali// 11. abopong ponang mênjangan/ pinurakên ngarêpira Endroklis/ purak daging gajihipun/ dèn pelawan angagar/ gêni dadi daging gajih binakar wus/ matêng kang kinarya mangan/ nèng jro guwa si Endroklis// 12. sêlamanira mêngkana/ saya trêsna sanak lan macan jami/ tan towong ing panganipun/ macan ingkang ngupaya/ sakêlangkung manrimanira jro kalbu/ a[155]pa ingsun walêsêna/ sang jalma amitulungi// 13. yèn siyang runtung dadolan/ sirèng wana ana jalma udani/ nêngna ingkang sampun kumpul/ Endroklis lawan macan/ gêntya kocap bupati tampingan nêngguh/ prapta alas ing Imrikah/ baburu ngupayèng dikbi// 14. gêmbong tutul lawan kombang/ sêsaosan pamêngane Sang Aji/ narendra gêng nagri ing rum/ lawan kidang mêncangan8/ kêbo danu banthèng èstri lawan jalu/ sungu dwi kinarya carat/ cakur obat wadhah pranti// 15. abêkta sakêthi jalma/ pêrantine dènira ngangkah dikbi/ kala luwang myang bakukung/ tinitik ingulatan/ lamun wontên tilas tapak macan anung/ pinêrsudi minrih kêna/ sawênèh macan dèn blêdig// 16. kapèpèt tandya dèn canggah/ sampun angsal astha kang ponang dikbi/ nuli ana ingkang matur/ bakukungnya wus angsal/ macan agêng kagila ngungkuli kang wus/ kêna ginarabog samya/ juga macan kagiring9// 17. kocapa ingkang singidan/ anèng guwa tatèng dènira bukti/ sanake macan tan pangguh/ luwe kaluwen boga/ nora krasan tan ana rowange jalmu/ dadya mêtu sangking guwa/ mingak-minguk kya kaèksi// 18. marang jalma bujung sisam/ [156] gya manyêlak Endroklis tanya aris/ ki sanak sintên tinuduh/ pêngagêng bujung sima/ lon sumaur bupati tamping ing Rum10/ osiking tyas kabênêran/ ingsun arsa asrah pati// 6 7 8 9
saturangga wayah byar injing-injing # (kekurangan dua suku kata, seharusnya 11i) dharodhog * mêncangan * juga macan pun kagiring # (kekurangan satu suku kata, seharusnya 8i)
17
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
19. marang ing bêndaraningwang/ nora kêlar pisah tan awor jalmi/ tan antara gya andulu/ sênapatining lampah/ nora samar yèn iku bêndaranipun/ cakêta nuli sinapa/ lah sira iku Endroklis// 20. gadhêpêk anêmbah-nêmbah/ gih bêndara kawula asrah pati/ matur saneskaranipun/ unggyan lami singidan/ gya manuduh Endroklis kinon amikut/ saosasêna mring nêgara/ pama dèn kunjuking aji// 21. iku sujalma kang minggat/ si Endroklis dèn duwa lawan dikbi/ ujar iku dosa lampus/ iku ana juga11/ macan gêdhe sêmune galak saklangkung/ suwunên iku dèn duwa/ kêlawan jalma Endroklis// 22. rampung wêwêling gya kentar/ wus kairit sima lawan Indroklis12/ datan kawarna ing ngênu/ prapta ngêrum nêgara/ sampun kunjuk kapya panuwuning prabu/ sêmana sampun kalilan/ pêngadune besuk Isnin// 23. wong gladhag akarya unggyan/ pêng-[157]abênan kêrangkèng kidul waringin/ salèr tratak rambat kukuh/ jêmbar saèstu pelak/ wus ngundhangan kapya sujalma ing dhusun/ risang kangjêng maha raja/ angabên macan lan jalmi// 24. ri Isnèn jêbêg naningal/ lun-alun lèr kêbêg pênuh sujalmi/ ajêjêl mangewu-ewu/ prajurit ingkang samya/ anjajari wiyosira jêng Sang Prabu/ bêndara putra sêntana/ punggawa mantri bupati// 25. pêpatihira narendra/ risang wajir aklamu tuhu wêgig/ sêbarang cocok lan prabu/ pêrdongga ri wusnya/ sang Endroklis sampun linêbokên kurung/ binusanan lir pêngantyan/ rêspati dadote kuning// 26. sasumping gajah ulingan/ agarutan cêlananira putih/ curiga pinugut pucuk/ jèngkèng madhêp ing nata/ wus pinilih-pilih sima pribadi gung/ barung kodhok ngorèk munya/ Endroklis tan darbe gêtih// 27. daradhog anyipta pêjah/ wus anêdyaa layar marang pati/ pinêtokên kang sima gung/ dhasar anglih manggalak/ krura anggroman nracak krangkèng mandhuwur/ anjlok13 mangandhap lumiyat/ medet lèr wontên sujalmi// 28. maharsa nubruk sêkala/ nanging wurung sima mawas mawanti/ [158] Endroklis jêngêr anjêntung/ grègèli curiganira/ wus tan samar tingalira kang sima gung/ yèn iku sudaranira/ ingkang anambani sikil// 29. buntut ngawêt dwi kupingnya/ ngadêg bênêr lumaku mindhik-mindhik/ adilati tangan suku/ colat-colot abungah/ sasuwene datan sah ingambus-ambus/ suku bahu miwah tangan/ nira kalih sang Endroklis// 30. tan samar pandulonira/ lamun macan sanakane wus arji/ duk kala anèng wana gung/ yèn jalma kêkanginan/ pisah lawan ing mangke têmbe kêpangguh/ gêrênggêrêng amêmêlas/ isthane kadya nangisi// 31. kapya jalma gêgawokan/ tansah eram goyang kêpala sami/ angêndika jêng Sang Prabu/ èh Endrok kaya ngapa/ dene macan kawan sira luwih lulut/ matur saha awot sêkar/ dhuh gusti ratuning bumi// 32. ature kapya dèn andhar/ sanèskara madya wusana titi/ langkung trustha Sang aprabu/ lah sun uripi sira/ lan kasraha macan dadiya sadulur/ Endroklis sujud ing kisma/ wus winêtokakên sami// 33. sujalma kêlawan macan/ tansah kinthil bungah nèng ngarsa wuri/ apindha sona dèn ing-[159]u/ ingkang bakda mung alam/ datan mawi sikara mring jalma tut14/ tulus dènya saduluran/ Endroklis amalês arji//
10 11 12 13 14
lon sumaur kya bupati tamping ing Rum # (kekurangan satu suku kata, seharusnya 12u) iku ana sajuga # (kekurangan satu suku kata, seharusnya 7a) Endroklis @ anjlog * datan mawi sikara mring jalma tutut # (kekurangan satu suku kata, seharusnya 12u)
18
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
34. êliting dongèng mêngkana/ dene iku sato galak maluwih/ tur wus panganane jalmu/ sêpa prandènira bisa15/ sirna ilang galake maluwih tutut/ anrima ing kabêcikan/ nira jalma amalês sih// 35. manungsa manèh mêngkana/ wus wajibe trima sokur ing ati/ amalês sih lan rahayu/ mring sapadhaning jalma/ kang bêciki karya arja badanipun/ saha nampani ganjaran/ ing sukma tikel sêdèsi// Keterangan: * : edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik # : edisi teks berdasarkan konvensi têmbang @ : edisi teks berdasarkan konteks kalimat c. Kajian Isi Cerita-cerita dalam naskah CAA selain memiliki fungsi untuk menghibur, juga memiliki fungsi edukasi sebagai pendidikan. Karena di dalamnya juga memuat pendidikan moral, salah satunya adalah ajaran moral kepemimpinan yang dituangkan dalam beberapa pupuh yang memuat cerita-cerita kepemimpinan raja. Ajaran moral pada hakikatnya pencerminan dari budi pekerti yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Nilai moral merupakan nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu ajaran moral dalam naskah CAA yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari adalah ajaran tentang kasih sayang atau welas asih. Sifat welas asih merupakan sifat yang harus dimiliki oleh setiap individu, tidak terkecuali sebagai seorang pemimpin. Dalam naskah CAA, ajaran welas asih disampaikan dalam beberapa bait. Yang pertama, dalam bait 9 dan 12 Pupuh XXVII têmbang Pucung yakni pesan atau ajaran welas asih yang disampaikan oleh seorang pemimpin bernama Prabu Alfonsus yang bertahta di negara Naplès. Kutipan bait tersebut adalah sebagai berikut: dene tutute wong kang ala sawêgung/ murang ing nêgara/ wit sangking kawlasaning sih/ dadi tutut i-[70]lang karpanirèng driya// ‘maka orang yang memiliki banyak sifat buruk, menyimpang dari aturan negara, maka dari itu pula harus kita kasihi, sehingga hilanglah keburukan dalam hatinya.’ Prabu Alfonsus adalah contoh seorang pemimpin yang memiliki sifat penuh pengampunan pada orang-orang yang menyimpang terhadap aturan negara dan berharap seluruh keburukan atau penyimpangan tersebut akan hilang dengan sendirinya. Selain itu, beliau juga menyampaikan pesan tentang sikap welas asih yang harus dimiliki oleh setiap individu, yang terdapat pada bait 12, yaitu: apa sira kabèh nora sasumurup/ watak sato khewan/ ambêg siya-siyèng jalmi/ yèn wêlasan angsur ambêking manungsa// ‘apa kalian semua tidak mengerti, watak dari hewan, adalah kejam (bengis) pada manusia, sedangkan welas asih tentulah sifat dari manusia.’ Dalam kedua bait Pupuh XXVII tersebut dikisahkan bahwa Prabu Alfonsus merupakan Raja yang bersifat halus hatinya, berbudi luhur, dan penuh pengampunan yang dapat dilihat dari kedua bait têmbang di atas. Sifat-sifat tersebut juga harus dimiliki seorang pemimpin, agar negara dapat mencapai seluruh tujuannya, memperoleh keselamatan, dan kesejahteraan untuk semuanya. Selain dua bait di atas, dalam naskah CAA juga terkandung pesan moral untuk mengasihi sesama. Pesan moral tersebut tidak hanya ditujukan untuk seorang pemimpin saja, melainkan lebih kepada semua manusia yang wajib mengasihi sesama. Pesan moral untuk saling mengasihi tersebut tertuang dalam Pupuh XLVIII bait ke-34 dan 35. Pada Pupuh XLVIII kisah persahabatan antara manusia dan hewan yang saling mengasihi sehingga Sang Raja belajar dari sifat kasih sayang antara hewan dan manusia tersebut, seperti kutipan têmbang Pangkur di bawah ini: 15
sêpa dènira bisa
# (kelebihan satu suku kata, seharusnya 7a)
19
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
34. êliting dongèng mêngkana/ dene iku sato galak maluwih/ tur wus panganane jalmu/ sêpa dènira bisa/ sirna ilang galake maluwih tutut/ anrima ing kabêcikan/ nira jalma amalês sih// 35. manungsa manèh mêngkana/ wus wajibe trima sokur ing ati/ amalês sih lan rahayu/ mring sapadhaning jalma/ kang bêciki karya arja badanipun/ saha nampani ganjaran/ ing sukma tikel sêdèsi// ‘maksud dari dongeng tersebut, bahwa hewan yang begitu liarnya, yang biasanya memangsa manusia, yang tidak berperasaan pun akhirnya dapat, lenyap seluruh sifat liar dan keburukannya, menerima kebaikan, dan membalas kebaikan manusia.’ ‘apalagi manusia, sudah menjadi kewajibannya bersyukur dalam hati, membalas dengan penuh kasih sayang, terhadap sesama manusia, yang baik terhadap dirinya, dan menerima pahala, berlipat ganda jumlahnya.’ Dari kutipan kedua bait di atas, dapat dilihat bahwa hewan yang begitu liarnya seperti harimau mampu membalas rasa kasih sayang dari seorang manusia yang ikhlas menolongnya. Tentu manusia yang tidak seliar harimau atau binatang lainnya, memiliki rasa kasih sayang yang lebih kepada sesama manusia, makhluk hidup lain dan juga lingkungan. 4. Simpulan & Saran a. Simpulan Cariyos Anèh-Anèh koleksi Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta Hadiningrat bernomor katalog MSB/ L.81 SK 93 Rol 06 No.03 yang berbentuk têmbang macapat adalah naskah tunggal. Di dalamnya ditemukan banyak varian seperti kesalahan pemenuhan metrum têmbang (lacuna, adisi dan kesalahan pemenuhan guru lagu), varian kesalahan penulisan kata (lacuna, adisi, hipercorect, corrupt, dan transposisi), dan varian ketidakkonsistenan penulis yaitu ketidakkonsistenan penulis dalam menggunakan huruf atau aksara, misalnya saja aksara rekan. Suntingan teks CAA dengan edisi standar ini dijadikan dasar suntingan teks dengan pembetulan kesalahan berdasarkan interpretasi penulis dan konteks kalimat dengan pertanggungjawaban secara ilmiah yaitu berdasarkan konvensi têmbang dan disertai dengan pertimbangan linguistik. Setelah melalui cara kerja filologis, maka penulis dapat menyajikan suntingan teks CAA yang bersih dari kesalahan dan dekat dengan naskah asli. CAA adalah naskah berjenis sastra, yang merupakan kumpulan 58 cerita yang ber-genre anekdot dan lelucon yang dituangkan dalam 62 pupuh têmbang. Ajaran moral kepemimpinan yang terkandung di dalam naskah CAA, antara lain ajaran moral kepemimpinan Raja yaitu welas asih. Welas asih merupakan sifat dasar yang tidak hanya wajib di miliki oleh seorang pemimpin, tetapi juga wajib di miliki oleh setiap individu. b. Saran Penelitian terhadap Cariyos Anèh-Anèh ini terbatas pada kajian filologis dan kajian isi. Untuk kajian yang lebih mendalam, maka peneliti menyarankan kepada semua pihak dari berbagai bidang ilmu, misalnya linguistik khususnya stilistika, sastra, filsafat, sosiologi maupun bidang ilmu lain untuk dapat memanfaatkan penelitian ini dengan sebaik-baiknya. Selain itu, untuk mendapatkan hasil penelitian secara lengkap, maka pembaca dapat mengecek langsung data hasil penelitian yang tersimpan di Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret.
20
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
DAFTAR PUSTAKA Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sonobudaya Yogyakarta. Jakarta: Djambatan. Burhan Nurgiyantoro. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Churchill, W.A. 1965. Watermarks In Paper : In Holland, England, France, Etc.In the XVII and XVIII Centuries and Their Interconnection. Amsterdam: Menno Hertzberger&Co. Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka. Frans Magnis, Suseno. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia. Kartini Kartono. 2005. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali Pers. Pardi Suratno. 2006. Sang Pemimpin. Yogyakarta: Adi Wacana. Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Jawa. Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers Maatschappij. Siti Baroroh Baried, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
21
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
NAMA PARABAN ORANG JAWA DI KOTA YOGYAKARTA (Sebuah Tinjauan Semiotik) Leli Septiana Virganita (C0108074) Abstrak Nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta adalah nama panggilan yang disamarkan, tidak resmi, diambil dari leksikon bahasa Jawa dan dipakai untuk memanggil seseorang, dengan maksud mengejek atau merendahkan seseorang dalam situasi santai. Nama paraban hidup sebagai bagian dari tradisi lisan Jawa yang di wariskan turun temurun dari generasi satu ke generasi berikutnya. Secara semiotik nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta berisi tanda yang meliputi ikon yang di gambarkan melalui sifat-sifat hewan, bentuk fisik, jenis pofesi, jenis tumbuhan, dan tokoh pewayangan yang unik. Nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta memiliki banyak fungsi, fungsi nama paraban bagi si pemberi nama yaitu sebagai kebanggaan, ciri kelompok (khas), branding, sesuatu harus di terima, memperoleh posisi dalam komunitasnya, terapi sosial, keamanan, sedangkan bagi pihak pemberinya, nama paraban diberikan untuk menjalin keakraban, melecehkan dalam suasana informal, ejekan. Kata Kunci: Nama paraban, Semiotik Abstract Nick name in Yogyakarta town is disguise, without ceremony, taken away from by Javanese lexicon and weared to call someone, for the purpose of jeering or debasing someone in easy going situation. Nick name live as the part of oral tradition of Java which is endowing is hereditary the than generation one to next generation.. By semiotik the nick name in Yogyakarta town contain sign covering depicted ikon pass the nature of animal, physical form, pofesi type, plant type, and unique puppets figure. Nick name has many function, the name function for the owner of nick name is pride, group characteristics (typical), branding, something to be accepted, to a position in the community, social therapy, and community safety. As for the donor, the nick name given to establish intimacy, in an informal harass, ridicule. Keyword: Nick Name, Semiotic
1. Pendahuluan Penelitian nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta adalah bahwa budaya Jawa mempunyai aturan tradisi yang sama, nama orang selalu ditulis dengan huruf besar sebagai bentuk penghormatan bagi penyandangnya. Berawal dari itulah, peneliti menganggap masalah nama paraban dapat berhubungan dengan masalah-masalah di luar aspek kebahasaan. Nama seseorang di dalam lingkungan masyarakat tidak hanya terkait dengan pemiliknya atau keluarganya saja. Namun terkait pula dengan aspek-aspek yang lain, misalnya waktu, tempat, suasana atau peristiwa, status sosial, sejarah, dan tradisi khas. Nama paraban merupakan produk masyarakat yang dapat menjelaskan sebuah masalah tentang masyarakat. Nama paraban biasanya diberikan setelah nama diri yang bersangkutan, namun pada beberapa kasus nama paraban digunakan sebagai nama panggilan. Dari pernyataan
22
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
ini dapat dipahami bahwa nama paraban adalah gambaran dari individu atau sebuah kolektif atau kelompok yang berbasis pada tradisi lisan. Artinya, nama paraban dapat disebut sebagai bagian dari foklor atau tradisi lisan yang berkembang dalam bahasa Jawa. Berdasarkan objeknya, jenis-jenis paraban cukup bervariasi. Nama paraban biasanya diambil dari berbagai keadaan yang tidak normal, antara lain adalah pekerjaan atau profesi tertentu, keadaan fisik atau mental tertentu (kelainan, cacat), nama-nama binatang, nama-nama tumbuhan, nama-nama dalam pewayangan yang lucu, kata-kata khusus yang mengandung citra rasa buruk (Sahid, 2010:47). Rumusan masalah yang akan diteliti berupa bagaimanakah latar belakang sosial budaya nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta? Bagaimanakah bentuk-bentuk nama paraban orang Jawa di Yogyakarta berdasarkan perspektif semiotika C.S Peirce yang meliputi tanda-tanda ikonis, indeksikal, dan simbol? Apa saja fungsi nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta? Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini di antaranya mengungkapkan latar belakang sosial budaya nama paraban orang Jawa di Yogyakarta; mengungkapkan bentuk -bentuk nama paraban orang Jawa di Yogyakarta berdasarkan perspektif semiotika C.S Peirce yang meliputi tanda-tanda ikonis, indeksikal, dan simbol; mengungkapkan fungsi nama paraban orang Jawa di Yogyakarta Landasan teori yang digunakan dalam penelitian tentang Nama Paraban Orang Jawa di Kota Yogyakarta ini menggunakan teori semiotik C.S Pierce. 2. Metode Penelitian Bentuk penelitian ini adalah penelitian sastra, khususnya deskriptif kualitatif. Pemanfaatan bentuk penelitian deskriptif kualitatif dapat digunakan untuk mengolah dan menganalisis informasi secara akurat dalam penelitian tentang Nama Paraban Orang Jawa di Kota Yogyakarta. Data dalam penelitian nama paraban Orang Jawa di kota Yogyakarta adalah informan, yaitu orang-orang warga masyarakat Yogyakarta yang mengetahui dengan baik terhadap masalah nama paraban yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Observasi langsung dan wawancara. Teknik ini menurut peneliti untuk mengamati secara langsung menggunakan alat indera, yaitu peneliti menemui langsung informan di kota Yogyakarta dan peneliti bertanya kepada informan tentang nama paraban yang disandangnya. Narasumber atau informan adalah masyarakat pendukung yang mengetahui permasalahan dalam penelitian, khususnya masyarakat di kota Yogyakarta, yaitu peneliti bertemu langsung dengan informan, dan melakukan wawancara secara bertatap muka. Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta yaitu, Pengumpulan data yaitu dengan cara mengumpulkan data dari informasi melalui wawancara. Reduksi data, setelah data terkumpul kemudian dilanjutkan dengan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dari hasil observasi data yang masih bersifat belum tertata, tujuannya untuk memilah-milah data yang digunakan. Maksudnya untuk menyaring data sesuai dengan tujuan penelitian. Penyajian data, merupakan kegiatan penyatuan data yang telah direduksi, maka dapat diketahui segala sesuatu yang terjadi, sehingga berguna dalam analisis selanjutnya. Kemudian dilanjutkan dengan mereduksi hasil penyajian data. Penarikan kesimpulan, setelah data dianalisis kemudian dirumuskan guna mendapatkan landasan ( pengkajian ) yang kuat, yaitu dengan cara mereduksi secara cermat dan berusaha mendapatkan kesimpulan setelah data diperoleh secara siklus. Pada saat proses pengumpulan data berlangsung, peneliti selalu melakukan reduksi data dan sajian data. Dan ketika pengumpulan data telah berakhir peneliti masih terus melakukan reduksi data dan sajian data sampai dengan penarikan kesimpulan dan verifikasi data dengan waktu penelitian yang masih tersisa.
23
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan a. Analisis Latar Belakang Sosial Nama Paraban Nama paraban di kalangan masyarakat Yogyakarta merupakan hal yang sudah biasa. Berdasarkan pencarian di lokasi penelitian menunjukkan bahwa nama paraban memiliki sebaran wilayah dan latar belakang sosial budaya yang tergolong unik. Nama paraban hidup di dalam kolektif yang tidak lagi mengenal kelas, strata sosial, golongan, dan komunitas tertentu. Nama paraban ada di setiap pergaulan di manapun saja. Setiap nama paraban yang dimiliki oleh para anggota masyarakat memiliki makna tertentu. Pada umumnya, apabila secara fisik maupun sifat seseorang itu memiliki kemiripan yang jelek dengan aslinya, seperti benda, binatang, atau tokoh yang negatif maka nama-nama paraban itu akan dilekatkan kepadanya. Pada awalnya sebuah nama paraban dirasakan sebagai sesuatu yang melecehkan atau bahkan menyakiti seseorang yang menyandang. Karena sebagian besar nama paraban diberikan oleh kawan-kawan sepermainan pada masa kanak-kanak, maka meskipun menjadi sebuah pelecehan pemilik nama akan tetap menerimanya. Hal ini disebabkan oleh kesertamertaan semua relasi sepermainannya. Dari setiap nama paraban yang diberikan terkadang ada nama paraban sebagai pengingat. Nama paraban biasanya berasal dari sisa masa kecil, atau sejak dari orang tersebut berada dalam komunitasnya. Nama paraban akan terus terbawa hingga tua (Geertz, 2001). Nama paraban akan menjadi pengingat bahwa sesorang tidak selalu memiliki makna yang sama bagi orang lain. Menurut Wati Pesek (21 tahun), dengan nama paraban inilah kita dipuja, dimaki, disayang dan dirindukan. Nama paraban tidak akan dicatat sebagai nama resmi, hanya disebutkan dan diingat saja. Orang tua memberi kita nama pasti ada maknanya, agar kelak menjadi anak yang baik. Selain nama lengkap yang diberikan ketika dilahirkan, ada juga nama-nama yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari, atau istilahnya nama paraban. Biasanya nama paraban adalah penggalan kata dari nama asli atau julukan yang diberikan pada seseorang baik karena sifatnya atau karena sebuah peristiwa tertentu. Nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta banyak dimiliki oleh sebagian besar masyarakat yang berada di Kota Yogyakarta. Dunia pendidikan dalam hal ini pelajar atau mahasiswa yang masih sering menggunakan nama paraban dalam berinteraksi dengan sesama teman cenderung untuk menyebut nama teman agar lebih cepat mengenal antara satu dengan yang lainnya. Dan mahasiswa saat ini sering memunculkan nama-nama paraban tersebut berdasarkan bentuk tubuh, cara berbicara, kebiasaan atau yang lainnya. Nama paraban juga bisa memberikan motivasi yang baik dengan sesama teman jika hal tersebut tidak terlalu menyinggung perasaan orang lain. Paraban, dalam bahasa Jawa berarti nama panggilan atau sapaan tetapi penggunaannya terbatas pada kalangan atau komunitas tertentu saja. Istilah lainnya nick name. Hampir bisa dipastikan paraban berbeda sama sekali dengan nama asli yang tertera di akta kelahiran atau ijazah. Paraban bisa berasal dari ciri fisik seseorang, penampilan atau kebiasaan seseorang, peristiwa tertentu yang dialami, atau dari sumber-sumber lain yang tidak terlalu jelas asalnya. Nama paraban sering digunakan di setiap komunitas khususnya di kota Yogyakarta. Dengan adanya nama paraban, dalam komunitas bisa menjadikan lebih akrab antara yang satu dengan yang lainnya. Nama paraban berkembang di masyarakat luas, misalnya di lingkungan pelajar dan mahasiswa, di lingkungan kerja, dan di lingkungan tempat tinggal. Dari usia yang masih anak-anak, dewasa, bahkan yang sudah tua masih banyak yang memakai nama paraban. Nama paraban berkembang sangat cepat, ketika mereka bertemu dengan seseorang yang baru dikenalnya, misalnya saat mereka sama-sama berada di sebuah tempat kerja yang baru, agar mereka lebih akrab dan tidak merasa canggung, mereka sering memakai nama paraban. Di dalam kehidupan sehari-hari, pemberian nama paraban sepertinya telah membudaya. Sebagian besar semua orang mempunyai nama paraban. Nama paraban itu 24
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
diberikan oleh anggota komunitas terhadap seseorang. Sikap orang terhadap nama paraban itu berbeda-beda. Ada yang menerimanya dengan senang hati, ada yang terpaksa menerimanya karena merasa tidak berdaya untuk menolaknya. Nama paraban itu menjadi ungkapan keakraban dan mampu menumbuhkan keakraban dalam hidup bersama. b. Analisis Semiotik Dalam makalah ini, analisis semiotik meliputi ikon. Ikon adalah tanda yang didasarkan atas “keserupaan” atau “kemiripan” di antara representamen dan objeknya, entah objek tersebut betul-betul eksis atau tidak. Akan tetapi, sesungguhnya ikon tidak semata-mata mencakup citra-citra “realistis” (Djoko Padopo, 2007: 120). Menurut konsep ikon dalam semiotika Peirce, ikon yang terdapat dalam nama paraban yaitu terbatas yang mewakili bentuk fisik seseorang. Karena ikon adalah suatu gambaran yang dapat dilihat jelas atau kasat mata serta memahami maknannya juga jelas. Ikon berdasarkan fisik misalnya Tukiyo Njembling, Njembling merupakan bagian tubuh manusia yang besar, khususnya pada bagian perut. Tukiyo mempunyai bentuk tubuh yang besar, khususnya pada bagian perut. Sehingga di lingkungan rumahnya banyak orang yang memanggil Tukiyo dengan panggilan Njembling. Dalam lingkungannya, nama Njembling lebih terkenal daripada nama Tukiyo. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini: Kutipan: “Disekitar lingkungan, saya sering dipanggil oleh sebagian orang dengan panggilan Njembling, karena pada bagian perut saya besar jadi banyak orang yang memanggil saya dengan nama Njembling. Dipanggil dengan sebutan Njembling sudah sejak saya sekitar berumur 30 tahun, ketika itu karena porsi makan saya banyak, dan karena saya jarang olahraga, perut saya membuncit hingga sekarang (Tukiyo Njembling, 40 tahun, wawancara, 15 Juni 2012)”. Ikon berdasarkan jenis hewan yaitu Wakino Prenjak. Nama tambahan sebagai bentuk paraban yaitu Prenjak, diberikan kepada Wakino oleh teman-teman sekolahnya karena Wakino gemar sekali berbicara yang kemudian diasosiasikan dengan istilah “berkicau seperi burung Prenjak”. Hingga sekarang nama Prenjak masih melekat pada diri Wakino. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini: Kutipan: “Saya sering dipanggil teman-teman dengan panggilan Wakino Prenjak bermula dari saya adalah orang yang mempunyai banyak bicara, sehingga teman-teman memanggilnya dengan panggilan Prenjak. Prenjak sendiri adalah nama hewan yang mempunyai ciri banyak mengoceh, maka dari itu saya dipanggil Prenjak karena saya banyak bicara (Wakino Prenjak, 20 tahun, wawancara, 12 Juni 2012)”. Ikon berdasarkan jenis profesi yaitu, Heru Guru. Sejak usianya yang ke 31 tahun, Heru sudah diangkat sebagai pegawai negeri di sebuah Sekolah Dasar. Di lingkungan rumahnya banyak yang memanggil Heru dengan panggilan Mas Guru. Karena panggilan itu mudah dihafal. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini: Kutipan: “Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Heru, saya bekerja sebagai guru. Diangkat sebagai pegawai negeri sejak umur 31 tahun, banyak orang yang memanggil saya dengan sebutan Mas Guru, khususnya sekitar lingkungan saya. Nama tersebut masih melekat hingga sekarang (Heru Guru 37 tahun, wawancara, 15 Juli 2012)”. Ikon berdasarkan tokoh pewayangan yaitu, Indah Cangik. Di antara abdi raja yang bertugas melayani bendara-bendara putri di keputren, ada dua abdi yang populer, satu diantaranya adalah Cangik. Dinamakan Cangik karena abdi putri yang satu ini mempunyai ciri fisik yang menonjol, yaitu dagunya menjorok ke depan, dalam bahasa Jawa disebut ‘Nyangik.’ Oleh karena ciri fisik inilah, ia kemudian dikenal dengan nama 25
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
Cangik. Nama paraban ini lebih populer ketimbang nama asli pemberian orang tua. Indah sering dipanggil Cangik oleh teman-temannya, karena dagunya sedikit menjorok ke depan seperti salah satu tokoh dalam pewayangan yang dikenal dengan nama Cangik. Pemberian nama Cangik sudah lama, sejak Indah belajar di sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini: Kutipan: “Saya disekolah sering dipanggil teman-teman dengan panggilan Cangik, karena dagu saya yang sedikit menjorok ke depan seprti dalam tokoh pewayangan yaitu Cangik, sehingga teman-teman sering memanggil saya dengan panggilan tersebut (Indah Cangik 20 tahun, wawancara, 28 Juni 2012)”. Ikon berdasarkan jenis tumbuhan yaitu, Jarot Oyot.Oyot adalah akar dari tumbuhan. Jarot sering dipanggil oleh teman-temannya dengan panggilan Jarot ,Jarot di panggil Oyot karena akhiran ot yang mempunyai kesamaan. Sedang oyot itu sendiri merupakan jenis dari pada tumbuhan dalam bahasa Jawa, yang mempunyai arti akar. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini: Kutipan: “Nama saya Jarot dipanggil Oyot karna akhiran ot yang mempunyai kesamaan. Sedang Oyot itu sendiri merupakan jenis dari pada tumbuhan dalam bahasa Jawa, yang mempunyai arti akar. Saya dipanggil Oyot sejak umur saya 10 oleh temanteman, sekarang umur saya 21 tahun (Jarot Oyot, 21 tahun, wawancara, 25 Juni 2012)”. Ikon berdasarkan kata-kata khusus yaitu, Yanti Cebret. Yanti dipanggil Cebret karena sejak kecil orang tuanya memanggil yanti dengan panggilan Cebret. Mulai saat itu nama paraban Cebret lebih terkenal daripada nama Yanti. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini: Kutipan: “Saya juga tidak tahu mbak kenapa sejak kecil saya dipanggil Cebret, saya pernah bertanya sama ibu kenapa saya dipanggil Cebret, tetapi ibu juga tidak tahu artinya, malah sampai sekarang saya terkenalnya dengan nama Yanti Cebret, bukan Yanti Sulistiawati (Yanti Cebret, 25 tahun, wawancara 25 Juli 2012)”. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat ditarik beberapa pemahaman, bahwa dalam penelitian nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta, semuanya menggunakan ikon. Karena berdasarkan pengamatan peneliti, bahwa nama paraban orang Jawa di Kota Yogyakarta memiliki makna yang semuanya hampir mirip dengan keadaan yang sebenarnya. Jadi nama paraban orang jawa di kota Yogyakarta semuanya menggunakan ikon. Ikon dalam nama paraban orang jawa di kota Yogyakarta cukup banyak ditemukan karena dalam nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta banyak menjelaskan tentang julukan yang membentuk nama paraban itu sendiri. c. Fungsi Nama Paraban Nama paraban memiliki banyak fungsi, fungsi nama paraban dapat di bagi menjadi dua, bagi penyandangnya dan si pemberi nama paraban. Nama paraban bagi penyandangnya yaitu sebagai berikut. Kebanggaan yaitu mempunyai nama paraban, sungguh sangat senang jika ada orang yang memanggil kita dengan nama paraban tersebut. Nama paraban seperti semacam atribut yang membanggakan diri. Dengan adanya nama paraban, maka orang lain berpendapat lain dan hal tersebut merupakan kondisi yang sangat membanggakan. Nama paraban yang kita miliki pada kenyataannya dapat meningkatkan rasa percaya diri kita. Kita menjadi begitu bangga pada saat ada orang yang memanggil kita dengan nama paraban tersebut. Orang yang mempunyai nama paraban pasti akan merasa bangga dan semua itu karena semua orang mengenal dirinya. Hal ini terlihat dari kutipan berikut: Kutipan: 26
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
“Berbicara khusus mengenai nama dan panggilan saya tersebut, sebenarnya panggilan apapun yang ditempelkan ke saya tidak menjadi persoalan, selama pilihan kata yang digunakan untuk mewakili diri saya tidak menyinggung perasaan saya dan keluarga saya. Sampai saat ini, saya tidak keberatan dipanggil dengan Ndut, bahkan kian terbiasa. Terlebih lagi ada sedikit rasa senang waktu dipanggil Ndut, karena akhirnya saya memiliki panggilan lain yang lebih variatif, kreatif dan inovatif, jadi tidak hanya melulu Tut dan ti, yang semuanya ‘mbulet’ di wilayah nama depan saya saja. Karena nama paraban menurut saya adalah bisa dijadikan sebagai kebanggaan tersendiri, karena bisa lebih percaya diri, (Tuti Ndut, 39 tahun, wawancara, 15 Juni 2012)”. Ciri kelompok (khas) yaitu Sebagian besar dalam sebuah komunitas khususnya di Yogyakarta mempunyai nama paraban. Dalam kehidupan sehari-hari, pemberian nama paraban sepertinya telah membudaya. Nama paraban itu diberikan oleh anggota komunitas terhadap seseorang. Karena pemberian nama paraban dalam sebuah kominitas merupakan suatu ciri khas dari kelompoknya. Sebuah nama paraban dapat bercirikan karakter atau cirri khas yang mudah untuk diingat. Hal ini terlihat dari kutipan berikut: Kutipan: “ Ketika saya berada di suatu komunitas, teman-teman saya pasti mempunyai sebuah nama paraban, nama paraban tersebut merupakan suatu cirri dari sebuah komunitas. Dalam masyarakat luas, nama paraban bukanlah hal yang asing bagi mereka, melainkan sudah menjadi cirri khas bagi kelompok tersebut, (Eko Kodok, 20 tahun, wawancara 13 Juni 2012)”. Branding (merk) yaitu Kelompok orang dan organisasi seringkali diberi nama paraban oleh orang lain. Nama paraban mungkin adalah bentuk singkat dari sebuah nama, atau mungkin berasal dari sebuah peristiwa atau suatu karakteristik fisik atau yang lainnya. Sementara nama paraban tidak memiliki status atau kepentingan yang sama seperti nama sebenarnya, itu dapat digunakan secara pantas. Nama paraban dalam kehidupan sehari-hari juga bisa dijadikan sebagai branding (merk) bagi penyandangnya. Nama paraban memang sangat banyak dipakai oleh masyarakat Jawa, khususnya di kota Yogyakarta. Hal ini terlihat dari kutipan berikut: Kutipan: “Nama paraban merupakan suatu branding atau merk bagi penyandangnya. Karena dengan adanya nama paraban tersebut, kita bisa di ibaratkan sebagai pakaian, yang mempunyai merk yang dapat membedakan dengan orang lain, (Wanto Kancil, 25 tahun, wawancara 13 Juni 2012)”. Sesuatu yang harus di terima yaitu seburuk apapun paraban yang telah di terima dari komunitas, adalah sebuah penghargaan, bukanlah pelecehan atau penghinaan. Justru terkadang seseorang merasa bangga. Karena nama paraban itu memuat prestasi dan kebolehan tersendiri, bahkan sebuah gelar kepakaran. Selain itu bergantung kepada masing-masing individu tersebut dalam menanggapi nama paraban yang diberikan kepadanya. Nama paraban merupakan pemberian dari suatu komunitasnya, dan nama paraban itu harus diterima oleh seseorang yang diberi nama paraban tersebut. Karena dalam kenyataannya saat ini tidak sedikit masyarakat Yogyakarta yang memiliki nama paraban, hal tersebut terkadang membuat orang lebih berbangga diri dan lebih percaya diri. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini: Kutipan: “Beberapa teman yang lain juga punya nama panggilan masing-masing yang tidak terlalu hewani ataupun merepresentasikan keistimewaan yang mereka miliki. Mereka dianugerahi nama-nama tersebut karena masih ada sangkut pautnya dengan nama asli mereka. Sebut saja: Kukuh dipanggil Kupret, Rohmad jadi Somad, Upik sama dengan Luthfi, Ari aka Ayik, Rina alias Rince, Monika adalah Momon, serta panggilan-panggilan lain yang juga bermutasi dari nama-nama asli mereka. Seburuk
27
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
apapun nama paraban tersebut, kita pasti dapat menerimanya (Andri Codot, 24 tahun, wawancara 26 Juni 2012)”. Memperoleh posisi dalam komunitasnya yaitu di Jawa, khususnya di kota Yogyakarta ada kebiasaan seseorang mengganti nama sebenarnya dengan nama paraban ketika seseorang tersebut berada dalam suatu komunitasnya, baik di lingkungan kerja, setelah orang yang bersangkutan telah bekerja atau mendudkui jabatan tertentu. Pemberian nama paraban ini merupakan pemberian gelar yang disesuaikan dengan profesinya. Hal tersebut terlihat dari kutipan berikut ini: Kutipan: “ Pakde saya waktu kecil bernama Sutardjo. Ketika dewasa bekerja di lingkungan pamong praja, terakhir menjabat sebagai Wedana di Rembang. Begitu masuk di lingkungan pamong praja namanya kemudian berganti menjadi Tardiopranoto. Nama “pranoto”, “prodjo”, atau “nagoro” adalah nama-nama gelar untuk mereka yang berkecimpung dibidang pengelolaan pemerintahaan. Untuk yang memilih karir sebagai prajurit akan mendapat nama gelar “Yoedo” atau “Manggolo”. Presiden kita bernama Susilo Bambang Yudhoyono. Saya kurang tahu apakah nama Yudhoyono ini sudah dari kecil atau tambahan setelah masuk Akabri, (Dhany Genter 22 tahun, wawancara 21 Juni 2012)”. Terapi social yaitu di kota Yogyakarat mempunyai bayak komunitas, misalnya komunitas sepeda, tatto, punk, sepeda motor dan lain sebagainya. Dengan adanya komunitas tersebut, mereka sering bertemu. Lama kelamaan menimbulkan adanya panggilan-panggilan akrab, yaitu nama paraban. Nama paraban merupakan karya individu atau kolektof yang mampu memberi batas wilayah sosial. Akibatnya mereka dapat diterima dalam habitat masyarakat yang complex. Keamanan yaitu pada umumnya nama paraban yang kita berikan kepada seseorang merupakan julukan seseorang. Nama paraban ini digunakan untuk memanggil seseorang tanpa orang lain mengetahui siapa. Dengan demikian kita menyembunyikan identitas asli seseorang. Penyembunyian ini semata-mata untuk memberikan nama alais. Suatu saat nama paraban ini memang kita perlukan sebagai upaya untuk melakukan sesuatu yang tersembunyi. Misalnya untuk para petugas penyamaran yang harus melakukan tugas penyusupan ke dalam lingkungan kelompok yang akan diselidiki. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini: Kutipan: “Nama paraban kadang juga bisa dipakai untuk keamanan, yaitu karena dimasyarakat luas banyak terjadi suatu ancaman dan untuk keamanannya maka nama asli harus dilindungi. Tetapi jika suatu forum meminta identitas asli, maka si penyandang nama paraban tersebut juga harus bisa menyerahkan identitas aslinya (Arif Gareng, 21 tahun, wawancara 20 Juni 2012)”. Fungsi nama paraban paraban orang Jawa di kota Yogyakarta bagi pemberi nama paraban adalah sebagai berikut. Menjalin keakraban yaitu ketika seseorang mempunyai tingkat keakraban tinggi dengan seseorang lainnya, maka nama paraban merupakan pengantar komunikasi yang paling efektif. Dengan nama paraban ini, maka kita dapat memanggil secara bebas pada teman kita. Nama paraban ini merupakan pengkondisian suasana sehingga tidak terjadi jarak diantara mereka. Kenyataannya, jika seseorang berkawan akrab dengan orang lainnya, maka pada saat komunikasi, mereka akan berada pada kondisi khusus. Kondisi khusus yang kita maksudkan dalam hal ini adalah keakraban khusus. Mereka begitu akrab sehingga hilang sekat penghalang diantara mereka. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut: Kutipan: “Baru pada masa menjadi mahasiswa sajalah, saya merasakan nikmatnya menjadi bagian dari suatu komunitas pertemanan. Sebenarnya di waktu-waktu sebelumnya, perasaan seperti masa itu pernah juga saya alami ketika masih SMP, tapi bagi saya 28
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
masa kuliah adalah masa yang paling berkesan (dalam hal ini kuliah S1, karena saya sebelum S1 juga pernah kuliah D3 tapi cuma ikut dua semester awal), (Ali Tonggos. 22 tahun, wawancara 21 Juni 2012)”. Melecehkan dalam suasana informal yaitu Nama julukan atau paraban bisa saja terdengar dan terasa kasar serta tidak menyenangkan. Khususnya apabila digunakan orang yang membenci orang yang dijulukinya. Terkadang nama paraban bisa menjadikan suatu pelecehan dalam suasana informal. Namun sebaliknya dapat terdengar dan terasa manja bila dipakai oleh orang yang mencintai atau menyayangi orang tersebut. Hal tersebut terlihat dari kutipan berikut ini: Kutipan: “Pada saat berbicara mengenai nama paraban, sebenarnya problem ini cukup paradoksal didalam sebuah komunitas. Di satu sisi, penggunaan nama paraban makin mendekatkan, mengakrabkan dan mendobrak eksistensi seseorang di dalam komunitas, tetapi di lain pihak, penggunaan nama paraban mampu merendahkan atau bahkan menjatuhkan mental seseorang yang akan berujung pada terhambatnya proses pembentukan karakter dalam diri seseorang. Selain itu, nama paraban yang ada mampu menunjukkan citra sebuah komunitas, citra yang terbangun melalui kehidupan komunitas sehari – hari (Febri Kampleng, 19 tahun, wawancara 22 Juni 2012)”. Ejekan yaitu nama paraban berawal dari sapaan ringan dan kecil dalam kehidupan bersama, menjadi sebuah kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Terkadang, karena terlalu biasa dipanggil dengan nama paraban maka nama resminya sendiri sering tidak dikenal atau terlupan. Perendahan yang dimaksud adalah kurang atau bahkan tidak adanya sikap saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lain. Hal ini terungkap dalam pemanggilan nama seseorang dengan tidak semestinya. Pemberian nama paraban ini tidaklah mengganti nama yang sebenarnya, tetapi sadar atau tidak, pemberian nama paraban seakan menutup nama yang sesungguhnya.Biasanya orang dengan seenaknya memberi nama paraban tanpa harus minta izin dengan orang yang akan diberi nama paraban. Tiba-tiba saja ada yang memanggil seperti itu, kemudian diikuti oleh teman yang lain, karena dianggap lucu. Jika nama paraban yang tidak bagus dianggap sebagai lelucon. Orang memberi nama paraban pasti karena dengan alasan tertentu. Biasanya, nama paraban orang Jawa di Yogyakarta berasal dari nama ejekan sewaktu kecil, ada juga yang muncul begitu saja ketika beranjak remaja. Kutipan: “Penggunaan nama paraban ini, bukanlah sesuatu yang amat luar biasa melainkan hal kecil dan sederhana yang mampu “menjatuhkan” seseorang secara perlahan. Kesadaran untuk meninggalkan budaya ini terbentuk ketika setiap warga komunitas memiliki kemauan untuk saling menghargai. Memanggil nama orang sebagaimana mestinya, merupakan salah satu bentuk nyata tanda penghargaan terhadap orang lain. Terkadang nama paraban bisa dijadikan sebuah ejekan bagi si pemberi nama, (Rendy Koplo, 25 tahun, wawancara 25 Juli 2012)”. Dari uraian diatas maka dapat di simpulkan fungsi nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta. Selain nama resmi, ada juga nama-nama paraban yang kita dapat ketika berinteraksi dengan lingkungan entah itu bertujuan untuk memperolok atau justru memuji namun yang pasti nama tersebut mencerminkan diri kita bagi orang lain dan tentu saja tanpa aqiqah. Demikian pentingnya nama-nama paraban dalam kehidupan kita, khususnya di Yogyakarta maka semua orang terus berusaha menggunakannya untuk namanya seharihari. Harapan yang menjadi tujuan pemakaian nama paraban ini tidak lain terkait dengan beberapa alasan, baik alasan untuk keamanan maupun yang sekedaran saja. Tetapi yang
29
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
jelas dengan nama-nama paraban tersebut tumbuh dan berkembang rasa bangga dan aman di dalam diri kita. Nama paraban dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta merupakan suatu hal yang sudah membudaya. Dari anak-anak, dewasa, hingga orang tua memakai nama paraban. Nama paraban merupakan suatu kebanggan bagi penyandangnya, karena dengan adanya nama paraban, mereka lebih percaya diri. Dalam suatu komunitas di Yogyakarta, nama paraban merupakan suatu cirri khas yang sering digunakan. 4. Simpulan dan Saran a. Simpulan Dari analisis nama paraban dalam kajian semiotik, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu 1) Nama paraban biasanya diberikan setelah nama diri yang bersangkutan, namun pada beberapa kasus nama paraban digunakan sebagai nama panggilan. Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa nama paraban adalah gambaran dari individu atau sebuah kolektif atau kelompok yang berbasis pada tradisi lisan. Nama paraban biasanya diambil dari berbagai keadaan yang tidak normal, profesi, keadaan fisik atau mental tertentu (kelainan, cacat), nama-nama binatang, jenis tumbuhan, tokoh dalam pewayangan yang lucu, kata-kata khusus yang mengandung citra rasa buruk. 2) Nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta, jika di analisis dengan teori semiotika C.S Pierce hanya terdapat ikon saja. Karena semua nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta muncul dari tanda-tanda yang mirip atau hampir sama dengan keadaan yang sebenarnya. 3) Dalam penelitian nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta memiliki banyak fungsi. Fingsi nama paraban orang Jawa di kota Yogyakarta di bagi menjadi dua, yaitu bagi pemilik dan bagi pemberi nama. Fungsi nama paraban bagi pemilikinya yaitu sebagai Kebanggaan, ciri Kelompok (khas), branding, sesuatu harus diterima, memperoleh posisi dalam komunitasnya, terapi sosial, keamanan, sedangkan bagi pihak pemberinya, nama paraban diberikan untuk menjalin keakraban, melecehkan dalam suasana informal, ejekan. b. Saran Bertolak dari kesimpulan diatas, maka selanjutnya disampaikan beberapa saran mengenai Nama Paraban Orang Jawa di Kota Yogyakarta, sebagai berikut : 1) Penelitian nama paraban orang Jawa sangat minim, sehingga perlu diteliti lebih lanjut. 2) Nama paraban orang Jawa perlu dilakukan di luar wilayah Yogyakarta agar penelitian nama paraban lebih berkembang.
DAFTAR PUSTAKA Geertz, C. (1983). Abangan, santri, priyayi dalam masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya Rachmat Djoko Pradopo. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya. Sahid Teguh Widodo. 2010. Penelitian Perkembangan Pembentukan Nama Orang Jawa. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
30
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
PEMAKAIAN ALIH KODE DAN CAMPUR KODE BAHASA JAWA DI PASAR ELPABES PROLIMAN BALAPAN SURAKARTA (Sebuah Tinjauan Sosiolinguistik) Sukmawan Wisnu Pradanta C0107048 Abstrak Perumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu 1) bagimanakah bentuk AK dan CK di Pasar Elpabes Proliman Balapan, Surakarta? 2) bagaimanakah fungsi AK dan CK di Pasar Elpabes Proliman Balapan, Surakarta? 3) faktor apa sajakah yang melatarbelakangi pemakaian AK dan CK di Pasar Elpabes Proliman Balapan, Surakarta?. Tujuan penelitian ini adalah 1) mendeskripsikan bentuk AK dan CK. 2) menjelaskan fungsi AK dan CK. 3) menjelaskan faktor yang melatarbelakangi pemakaian AK dan CK yang terjadi di Pasar Elpabes Proliman Balapan, Surakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian di Pasar Elpabes Proliman Balapan, Surakarta. Sumber data penelitian ini berasal dari informan yang dipilih berdasarkan penutur yang berperan di Pasar Elpabes Proliman Balapan, Surakarta. Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan tuturan. Dalam hal ini sampel berupa tuturan bahasa Jawa yang terdapat AK dan CK bahasa Jawa di Pasar Elpabes Proliman Balapan, Surakarta. Metode pengambilan data dengan metode simak. Sedangkan, metode analisis data menggunakan metode agih dan padan. Kata kunci: Alih Kode, Campur Kode, Sosiolingustik Abstrack The problem statement that would be discussed in this research are; how is the form of SC and MC in Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta? What is the function of those codes? What factors causing the use of those two codes in Pasar Elpabes Proliman Balapan, Surakarta?.The purpose of this research are; to describe the form of SC and MC, to expand on the function of SC and MC, to explain the factor causing the use of these two kinds of codes in Pasar Elpabes Proliman Balapan, Surakarta. The methods we employ in this study is descriptive-qualitative method. The location we choose is Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta. We use the informan as the source in collecting the datas. The informan we choose based on Javanesse native speaker. The population in the study is all the Javanesse words or expressions containing SC and MC in Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta. We do the observation method to collect all the data, meanwhile, we use distributional and equivalent method in analysing the data. Keyword: Swifting Code, Mixing Code, Sociolinguistic 1. Pendahuluan Sebagai alat interaksi dan alat komunikasi, bahasa dapat dikaji secara internal dan eksternal, kajian secara internal, artinya pengkajian bahasa itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologi, struktur morfologi, struktur sintaksis. Kajian secara internal, berarti kajian bahasa dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan (Abdul
31
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 1). Penelitian bahasa dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang melatarbelakangi penggunaan bahasa termasuk dalam kajian sosiolinguistik. Masalah utama yang dibahas oleh sosiolinguistik menurut Nababan (1993: 3) ialah: (1) mengkaji bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan; (2) menghubungkan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri, dan ragam bahasa dengan situasi serta faktor-faktor sosial dan budaya; (3) mengkaji fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat. Peneliti tertarik untuk mengkaji pemakaian alih kode dan campur kode bahasa Jawa di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta. Alasannya adalah: (1) Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta merupakan pasar yang menjual berbagai peralatan elektronik, onderdil sepeda, dan pakaian bekas. (2) Penjual maupun pembeli mayoritas laki-laki dan berasal dari berbagai daerah. (3). Penutur di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta menguasai pemakaian bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. (4) Keseharian masyarakat bahasa di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta menggunakan lebih dari satu bahasa, sehingga dimungkinkan munculnya alih kode dan campur kode. Penelitian mengenai pemakaian bahasa Jawa oleh masyarakat Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta ini terdapat beberapa masalah, seperti: bentuk bahasa, ragam bahasa, tingkat tutur, alih kode dan campur kode, kedwibahasaan yang terdapat dalam bahasa, dan faktor penentu penggunaan ragam bahasa. Untuk memudahkan pembahasan masalah dan untuk mengarahkan agar penelitian ini tidak lepas dari sasarannya, maka permasalahan dibatasi hanya pada bentuk alih kode dan campur kode, fungsi alih kode dan campur kode, serta faktor yang melatarbelakangi pemakaian alih kode dan campur kode bahasa Jawa di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, menjelaskan fungsi alih kode dan campur kode yang terjadi di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, dan menjelaskan faktor yang melatarbelakangi pemakaian alih kode dan campur kode yang terjadi di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta. Ditinjau dari segi nama, sosiolingistik menyangkut sosiologi dan linguistik dan keduanya berkaitan erat. Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur: sosio- dan linguistik. Berdasarkan pendapat dari Nababan (1993: 2), sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Yang berkaitan dengan sosiolinguistik, dalam konfrensi sosiolinguistik berpendapat bahwa, masalah-masalah yang dikaji atau dibahas dalam sosiolinguistik adalah identitas sosial dari penutur, identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, tingkatan variasi dan ragam linguistik, penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan dan masyarakat, dan bahasa itu tidak dapat berdiri sendiri, sehingga penelitian-penelitian bahasa itu selalu memperhitungkan faktorfaktor lain di luar bahasa. Faktor-faktor tersebut seperti faktor sosial, misalnya status sosial, umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan sebagainya, sedang faktor situasional, misalnya siapa pembicara, kepada siapa ia berbicara, kapan, di mana, mengenai masalah apa. Alih kode adalah peristiwa mengganti bahasa atau ragam bahasa karena berubah pendengar atau topik, atau tempat berbicara, dan sebagainya (PELLBA 2, 1989: 194). Bentuk Alih kode menurut Suwito (1983: 69) apabila alih kode itu terjadi antar bahasabahasa daerah dalam satu bahasa nasional, atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antarbeberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek, alih kode disebut bersifat intern. Sedangkan apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli dengan 32
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
bahasa asing, maka disebut alih kode ekstern. Gusnetti (2007: 66) menjelaskan fungsi alih kode menjadi tujuh fungsi komunikatif. Fungsi komunikatif yang dimaksud adalah : (1) interaksi, (2) menimbulkan suasana humor, (3) mengulang, (4) mengutip, (5) menjelaskan, (6) mempertegas, (7) sebagai alat retorik. Peneliti memberikan gambaran faktor yang melatarbelakangi pemakaian alih kode adalah (1) penutur, (2) pokok pembicaraan, (3) untuk membangkitkan rasa humor, (4) untuk sekedar bergengsi. Faktor yang melatarbelakangi alih kode dari beberapa pendapat tersebut ternyata juga ditemukan alam tuturan di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, namun perlu pemahaman lebih lanjut. Faktor yang melatarbelakangi alih kode dalam penelitian ini lebih mengarah pada faktor sosio-situasional. Campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Termasuk dalam pemakaian kata, klausa idiom, sapaan dan lain-lain (Kridalaksana dalam Margawati, 2009: 22). Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, bentuk campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam antara lain ialah: penyisipan unsur-unsur yang berujud kata, penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa, penyisipan unsur-unsur yang berujud bentuk baster, penyisipan unsur-unsur yang berujud perulangan kata, penyisipan unsur-unsur yang berujud ungkapan atau idiom, penyisipan unsur-unsur yang berujud klausa. Dwi Sutana dalam Hario W (2011, 18-19) membagi beberapa fungsi campur kode untuk penghormatan, menegaskan suatu maksud tertentu, menunjukkan identitas diri, pengaruh materi pembicaraan. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode antara lain (1) identifikasi peranan, (2) identifikasi ragam, dan (3) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarkhi status sosialnya. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan nampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain, dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya (Suwito, 1983: 75). Pasar adalah pranata yang mengatur komunikasi dan interaksi antara penjual dan pembeli yang bertujuan untuk mengadakan transaksi-transaksi pertukaran benda dan jasa, dan tempat hasil transaksi dapat disampaikan pada waktu yang akan datang berdasarkan harga yang telah ditentukan (Koentjoroningrat dalam Saputra 2010: 16). Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta merupakan bagian dari pasar tradisional yaitu sebagai tempat bertemunya para pelaku pasar dari berbagai wilayah di sekitar Solo, Boyolali, Sukoharjo, dan Karanganyar sehingga terdapat interaksi bahasa yang beragam dari pelaku pasar. 2. Metode Penelitian Penelitian alih kode dan campur kode bahasa Jawa di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta bersifat deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif yaitu pemerian data yang berupa kata-kata dan bukan angka-angka, yang berusaha memberikan dan menjelaskan berbagai segi kebahasaan yang muncul sebagai fenomena penelitian sehingga apa yang dihasilkan adalah paparan apa adanya (Sudaryanto, 1992: 62). Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, karena tempat tersebut masyarakatnya memiliki latar belakang yang khas yaitu budaya Jawa, serta masih menggunakan bahasa Jawa. Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta dipilih sebagai lokasi penelitian dengan alasan sebagai berikut: terdapat interaksi bahasa karena pasar sebagai tempat berkumpulnya orang, bahasa Jawa yang digunakan di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta masih beragam, pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta merupakan salah satu pasar tradisional yang masih aktif di Surakarta. Data dalam penelitian ini berupa data lisan. Data lisan berupa tuturan bahasa Jawa. Tuturan yang dimaksud adalah: (1) yang mengandung alih kode dan campur kode, (2) berupa kata, frasa maupun kalimat, dan (3) tuturan tersebut wajar dan alami yang digunakan oleh masyarakat Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta. Tuturan yang 33
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
diambil adalah tuturan yang mengandung alih kode dan campur kode secara wajar dan alami. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari informan. Informan yang dimaksud yaitu pedagang dan pembeli yang terpilih. Kriteria informan yang terpilih yaitu, (1) pedagang dan pembeli, (2) penutur bahasa Jawa, (3) tidak memiliki cacat fisik pada alat ucapnya. Alat penelitian ini meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama dalam penelitian ini adalah penutur di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta dan penutur itu sendiri. Adapun alat bantu dalam penelitian ini berupa: alat perekam, tape recorder, alat tulis, buku saku, komputer dan printer, flasdisk, kertas serta buku tulis. Populasi penelitian ini adalah semua tuturan di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta yang terdapat pada sumber data. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah tuturan yang mengandung alih kode dan campur kode yang dapat mewakili populasi. Metode pengumpulan data menggunakan metode simak (pengamatan/observasi). Teknik dasar yang dipakai adalah teknik sadap. Penelitian dilakukan dengan penyimakan yang dilanjutkan dengan menyadap pemakaian bahasa dari informan, sedangkan teknik lanjutannya yaitu teknik simak bebas libat cakap (SBLC). Teknik simak libat-libat cakap (SLC), rekam dan catat. Metode yang dipakai untuk menganalisis data adalah metode agih dan padan. Metode agih adalah metode analisis data yang alat penentunya berasal dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 15). Metode agih menggunakan teknik dasar BUL (Bagi Unsur Langsung). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual data, menjadi unsur-unsur yang bersangkutan dengan membentuk satuan lingual. Metode agih dengan teknik dasar BUL hanya diterapkan untuk mengetahui bentuk campur kode dan alih kode. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya berasal dari luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode penyajian hasil analisis data adalah metode deskriptif, formal, dan informal. Hasil dari analisis data disajikan dalam bentuk kaidah-kaidah yang berkaitan dengan pemakaian alih kode dan campur kode bahasa Jawa di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta yang berupa kalimat-kalimat yang kemudian dilengkapi dengan pemerian yang lebih rinci. 3. Hasil Analisis dan Pembahasan Analisis membahas mengenai tiga hal yaitu bentuk, fungsi dan faktor yang melatarbelakangi pemakaian alih kode dan campur kode. Ketiganya ditulis berdasarkan pemakaian. Pertama, pengklasifikasian bentuk, mengenai fungsi pemakaian dan faktor yang melatarbelakangi alih kode bahasa Jawa, kedua pengklasifikasian bentuk, mengenai fungsi pemakaian dan faktor yang melatarbelakangi campur kode bahasa Jawa di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta. a. Bentuk Alih Kode 1) Alih Kode dari Bahasa Jawa Ragam Ngoko ke dalam Bahasa Indonesia O1: “…Modal karo sok-sok sing dibangkeli ora etuk dagangan, mulih nganggur. Jadi, berharap dari orang-orang yang keliling dari kampung ke kampung…” ‘…Biaya dan kadang-kadang yang dipesan tidak dapat dagangan, pulang tidak bekerja. Jadi, berharap dari orang-orang yang keliling dari kampung ke kampung…’ Data ini merupakan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang barang bekas di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pedagang barang bekas. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dari tuturan tersebut terdapat alih kode intern. Terjadi peralihan tuturan atau alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam bahasa Indonesia. Alih kode terjadi pada peralihan 34
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
tuturan dari bahasa Jawa ragam ngoko yaitu modal karo sok-sok sing dibangkeli ora etuk dagangan, mulih nganggur. Beralih ke dalam bahasa Indonesia yaitu Jadi, berharap dari orang-orang yang keliling dari kampung ke kampung. 2) Alih Kode dari Bahasa Jawa Ragam Krama ke dalam Bahasa Indonesia O1 : “Niki napa ajeng wonten relokasi napa mboten? ‘Ini apa mau ada relokasi apa tidak? O2 : “… Kurang tahu, kita itu dari pedagang belum dapat informasi konkrit dari pasar, Pemkot, dari pengurus pasar kita belum tahu, nanti kalau sudah ada rapat baru kita tahu, kita menyimpulkan…” ‘Kurang tahu, kita itu dari pedagang belum dapat informasi konkrit dari pasar, Pemkot, dari pengurus pasar kita belum tahu, nanti kalau sudah ada rapat baru kita tahu, kita menyimpulkan.’ Data di atas merupakan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios barang bekas di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh dua orang yaitu pengunjung pasar dan pedagang pasar. Bentuk peristiwa tutur adalah dialog, dari tuturan tersebut terdapat alih kode intern. Terjadi peralihan tuturan atau alih kode dari bahasa Jawa ragam krama ke dalam bahasa Indonesia. Alih kode terjadi pada peralihan tuturan (O1) dari bahasa Jawa ragam krama yaitu niki napa ajeng wonten relokasi napa mboten? Menuju bahasa Indonesia yaitu kurang tahu, kita itu dari pedagang belum dapat informasi konkrit dari pasar, Pemkot, dari pengurus pasar kita belum tahu, nanti kalau sudah ada rapat baru kita tahu, kita menyimpulkan…yang dilakukan oleh (O2). 3) Alih Kode dari Bahasa Jawa Ragam Ngoko ke dalam Bahasa Jawa Ragam Krama O1 :“…Arep ndandani bor. Lha nika pun dientosi…” ‘…Mau memperbaiki bor. Lha itu sudah ditunggu...’ Data di atas merupakan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta tanggal 2 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pengunjung pasar. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dari tuturan tersebut terdapat alih kode intern. Terjadi peralihan tuturan atau alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam bahasa Jawa ragam Krama. Alih kode terjadi pada peralihan tuturan dari bahasa Jawa ragam ngoko yaitu Arep ndandani bor. Beralih ke dalam bahasa Jawa ragam krama yaitu Lha nika pun dientosi. b. Fungsi Alih Kode 1) Lebih Persuasif Membujuk atau Menyuruh Mitra Tutur (O2) O1:“Sepatu kalih sandal niku. Pinten?” ‘Sepatu dan sandal itu. Berapa?’ O2:“Dijahit mubeng, karo iki limalas” ‘Dijahit meligkar, dan ini lima belas’ O1:“Limalas?nggih pun, dadose mbenjing enjing napa rada awan? ‘Lima belas?ya sudah. Jadinya besok pagi apa agak siang?’ O2:“Hla isamu jam pira Mas? ya rada awan wae renea!” ‘Lha bisanya jam berapa Mas? ya agak siang saja kesini! Data di atas menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di kios sol sepatu di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta pada tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pemilik kios sol sepatu dengan seorang pengguna jasa. Bentuk peristiwa tutur adalah dialog, dari tuturan tersebut terdapat alih kode intern. Terjadi peralihan tuturan atau alih kode dari bahasa Jawa ragam krama ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko. Alih kode terjadi pada peralihan tuturan (O1) dari bahasa Jawa ragam krama yaitu Limalas?nggih pun, dadose mbenjing enjing napa rada awan?. Kemudian (O2) menjawab dengan tuturan dalam bahasa Jawa ragam ngoko Hla isamu jam pira Mas? Ya rada awan wae 35
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
renea!. Tujuan atau fungsi alih kode adalah lebih persuasif dalam upaya membujuk dan menyuruh pembeli atau pengguna jasa sol sepatu untuk datang pada siang hari. Itu ditunjukkan dengan tuturan Hla isamu jam pira Mas? ya rada awan wae renea!. 2) Lebih Argumentatif Meyakinkan Mitra Tutur (O2) O1:“…Nggih gedhe sakmenten niki, dadi niku modele ngeten tapi kotak, tesih enten karete, wong kula nggarap teng tingkat telu, niku king ngisor dha krungu kabeh, parani wong kampung. Dar dor dar dor dikira tembakan, wong tembaktembakan wong mateni apa piye, wong mboten kok. Saya sudah ijin Pak RT RW, ini sudah ada ijinnya dari POLTABES…” ‘…Ya besar seperti ini, jadi itu modelnya begini tapi kotak, masih ada karetnya, lha saya menggerjakan di lantai tiga, itu dari bawah semua mendengar, didatangi orang kampung. Dar dor dar dor dikira tembakan, orang tembaktembakan orang membunuh apa gimana, lha tidak kok. Saya sudah ijin Pak RT RW, ini sudah ada ijinnya dari POLTABES…’ Data di atas menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di kios reparasi mesin pompa air di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta pada tanggal 6 Juni 2012. Tuturan dilakukan oleh Pengunjung pasar. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dari tuturan tersebut terdapat alih kode intern. Terjadi peralihan tuturan atau alih kode dari bahasa Jawa ragam krama ke dalam bahasa Indonesia. Alih kode terjadi pada peralihan tuturan (O1) dari bahasa Jawa ragam krama yaitu Nggih gedhe sakmenten niki, dadi niku modele ngeten tapi kotak, tesih enten karete, wong kula nggarap teng tingkat telu, niku king ngisor dha krungu kabeh, parani wong kampung. Dar dor dar dor dikira tembakan, wong tembaktembakan wong mateni apa piye, wong mboten kok. Kemudian (O1) beralih kedalam bahasa Indonesia Saya sudah ijin Pak RT RW, ini sudah ada ijinnya dari POLTABES. Tujuan atau fungsi alih kode adalah Lebih Argumentatif Meyakinkan Mitra Tutur (O2) Itu ditunjukkan dengan tuturan Saya sudah ijin Pak RT RW, ini sudah ada ijinnya dari POLTABES. 3) Lebih Komunikatif Untuk Menjelaskan O1:“Umpami yen njenengan angsal dagangan disetorke teng kios napa disade ngoten?” ‘Seumpama kalau anda dapat dagangan disetorkan ke kios apa dijual beitu?’ O2:“Ya termasuk, tergantung dapatnya dagangan dan kriterianya, mungkin kalau barang itu siap jual, tapi kalau barang itu harus disortir atau di pilah, dibawa pulang dulu. “Ya termasuk, tergantung dapatnya dagangan dan kriterianya, mungkin kalau barang itu siap jual, tapi kalau barang itu harus disortir atau di pilah, dibawa pulang dulu.” Data di atas menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang barang bekas di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta pada tanggal 28 Agustus 2012. Percakapan dilakukan oleh pengunjung dan pedagang pasar. Bentuk peristiwa tutur adalah dialog, dari tuturan tersebut terdapat alih kode intern. Terjadi peralihan tuturan atau alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa ragam krama. Alih kode terjadi pada peralihan tuturan (O1) dari bahasa Jawa ragam krama yaitu Umpami yen njenengan angsal dagangan disetorke teng kios napa disade ngoten?. Kemudian (O2) menjawab dengan tuturan dalam bahasa Indonesia yaitu Ya termasuk, tergantung dapatnya dagangan dan kriterianya, mungkin kalau barang itu siap jual, tapi kalau barang itu harus disortir atau dipilah, dibawa pulang dulu. Tujuan atau fungsi alih kode adalah Lebih Komunikatif untuk Menjelaskan. Itu ditunjukkan dengan tuturan dari (O2) yaitu Ya termasuk, tergantung dapatnya dagangan dan kriterianya, mungkin kalau barang itu siap jual, tapi kalau barang itu harus disortir atau dipilah, dibawa pulang dulu.
36
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
4) Lebih Prestis O1:“Teng mriki napa njenengan?” ‘Di sini sedang apa Anda?” O2:“Golek dagangan Mas” ‘mencari dagangan Mas’ O1:“Njenengan pedagang mriki?” ‘Anda pedagang disini?” O2: “Ya dikatakan pedagang, pedagang, dikatakan bukan ya bukan, karena tidak menetap” ‘Ya dikatakan pedagang, pedagang, dikatakan bukan ya bukan, karena tidak menetap’ Data tersebut menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang barang bekas di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta pada tanggal 28 Agustus 2012. Percakapan dilakukan dua orang pengunjung pasar. Bentuk peristiwa tutur adalah dialog, dari tuturan tersebut terdapat alih kode intern. Terjadi peralihan tuturan atau alih kode dari bahasa Jawa ragam karma ke dalam bahasa Indonesia. Pada dialog data di atas terdapat dua alih kode intern pertama saat (O1) menggunakan tuturan dari bahasa Jawa ragam krama yaitu Teng mriki napa njenengan? (O2) menjawab dengan tuturan dalam bahasa Jawa ragam ngoko yaitu Golek dagangan Mas. Kemudian alih kode intern kedua terjadi saat (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam krama yaitu Njenengan pedagang mriki? Dan (O2) menjawab dengan tuturan yaitu Ya dikatakan pedagang, pedagang, dikatakan bukan ya bukan, karena tidak menetap. Tujuan atau fungsi alih kode adalah Lebih Prestis atau gengsi karena faktor sosio-situasional tidak mengharuskan penutur untuk beralih kode. Pada saat itu (O2) ingin menjawab pertanyaan (O1) yang sebenarnya bisa menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko atau ragam krama namun pada saat itu karena sedikit gengsi maka menggunakan bahasa Indonesia. Itu ditunjukkan dengan tuturan dari (O2) yaitu Ya dikatakan pedagang, pedagang, dikatakan bukan ya bukan, karena tidak menetap. 5) Menimbulkan Rasa Simpatik O1:“Ingkang mendhet?” ‘Yang mencari?’ O2:“Yang cari kan orang dari daerah Gemolong semuanya Mas, nanti kan kalau transportasinya sulit kan kasihan, dari sini naik turun langsung di depan.” ‘Yang cari kan orang dari daerah Gemolong semuanya Mas, nanti kan kalau transportasinya sulit kan kasihan, dari sini naik turun langsung didepan.’ Data di atas menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang barang bekas di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta pada tanggal 28 Agustus 2012. Percakapan dilakukan oleh pedagang dan pengunjung pasar. Bentuk peristiwa tutur adalah dialog, dari tuturan tersebut terdapat alih kode intern. Terjadi peralihan tuturan atau alih kode dari bahasa Jawa ragam krama ke dalam bahasa Indonesia. Alih kode terjadi pada peralihan tuturan (O1) dari bahasa Jawa ragam krama yaitu Ingkang mendhet?. Kemudian (O2) menjawab dengan tuturan dalam bahasa Indonesia yaitu Yang cari kan orang dari daerah Gemolong semuanya Mas, nanti kan kalau transportasinya sulit kan kasihan, dari sini naik turun langsung di depan. Tujuan atau fungsi alih kode adalah untuk menimbulkan rasa simpatik terhadap para pemasok barang bekas yang kebanyakan berasal dari daerah Gemolong. Itu ditunjukkan dengan tuturan dari (O2) yaitu Yang cari kan orang dari daerah Gemolong semuanya Mas, nanti kan kalau transportasinya sulit kan kasihan, dari sini naik turun langsung di depan.
37
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
c. Faktor Yang melatarbelakangi Pemakaian Alih Kode 1) Penutur (O1) O1:“…Modal karo sok-sok sing dibangkeli ora etuk dagangan, mulih nganggur. Jadi, berharap dari orang-orang yang keliling dari kampung ke kampung…” ‘Biaya dan kadang-kadang yang dipesan tidak dapat dagangan, pulang tidak bekerja. Jadi, berharap dari orang-orang yang keliling dari kampung ke kampung.’ Data di atas merupakan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pedagang barang bekas. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dari tuturan tersebut terdapat alih kode intern. Terjadi peralihan tuturan atau alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam bahasa Indonesia. Alih kode terjadi pada peralihan tuturan dari bahasa Jawa ragam ngoko yaitu modal karo sok-sok sing dibangkeli ora entuk dagangan, mulih nganggur. Beralih ke dalam bahasa Indonesia yaitu Jadi, berharap dari orang-orang yang keliling dari kampung ke kampung. Faktor yang melatarbelakangi alih kode dalam data di atas adalah faktor penutur (O1). Dibuktikan dengan (O1) yaitu seorang pedagang barang bekas yang dengan sadar beralih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko kedalam bahasa Indonesia, dikarenakan ingin mengubah situasi yaitu dari situasi tidak resmi ke situasi resmi. 2) Pokok Pembicaraan O1:“…Ya jenenge manungsa enek sing ngajeni enek sing ora. Masalah kendala itu saling menjatuhkan harga…” ‘…Ya namanya manusia ada yang menghargai ada yang tidak. Masalah kendala itu saling menjatuhkan harga.’ Data di atas merupakan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pedagang pasar. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dari tuturan tersebut terdapat alih kode intern. Terjadi peralihan tuturan atau alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam bahasa Indonesia. Alih kode terjadi pada peralihan tuturan dari bahasa Jawa ragam ngoko yaitu ya jenenge manungsa enek sing ngajeni enek sing ora. Beralih ke dalam bahasa Indonesia yaitu Masalah kendala itu saling menjatuhkan harga. Faktor yang melatarbelakangi alih kode dalam data adalah pokok pembicaraan. Sebelumnya tuturan (O1) mengenai sifat-sifat manusia menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko, lalu beralih kode kedalam bahasa Indonesia untuk menerangkan tentang topik pembicaraan yaitu kendala yang terjadi antar pedagang di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta. 3) Untuk Membangkitkan Rasa Humor O1:“Kancane kan dha mbengok-mbengok, nyolong neh wae ben etuk sangu sepuluh yuta” ‘temannya kan mengolok-olok, mencuri lagi saja biar dapat uang saku sepuluh juta” O2: “Sing nyangoni sapa kuwi?” ‘Yang memberi uang saku siapa?” O1: “Juragane” ‘Majikannya’ O2: “Apik kuwi juragane. Kuwi enek ngunu cacahe sepuluh mumet kok. Kula nggih, kula nggih, kula wau bibar nyolong.” Data tersebut menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu warung angkringan di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta pada tanggal 5 September 2012. Tuturan 38
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
dilakukan oleh pengunjung pasar. Bentuk peristiwa tutur adalah dialog, dari tuturan tersebut terdapat alih kode intern. Terjadi peralihan tuturan atau alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko. Alih kode terjadi pada peralihan tuturan (O1) dari bahasa Jawa ragam ngoko yaitu Kancane kan dha mbengok-mbengok, nyolong neh wae ben etuk sangu sepuluh yuta. Kemudian (O2) menjawab ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko yaitu Sing nyangoni sapa kuwi? Diteruskan dengan tuturan (O1) Juragane. alih kode terjadi saat (O2) melakukan tuturan dari bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Jawa ragam krama Apik kuwi juragane. Kuwi enek ngunu cacahe sepuluh mumet kok. Kula nggih, kula nggih, kula wau bibar nyolong. Faktor yang melatarbelakangi alih kode dalam data di atas adalah untuk membangkitkan rasa humor. (O2) menggunakan alih kode untuk menyegarkan suasana dikarenakan pembicaraan dengan (O1) dinilai terlalu serius dan tegang karena (O1) merasa iri, karena temannya yang mencuri mendapat pesangon sepuluh juta, sedangkan dia yang bekerja apa adanya tidak mendapat perhatian khusus dari majkannya. 4) Untuk Sekedar Bergengsi O1:“Njenengan pedagang mriki?” ‘Anda pedagang sini?’ O2: “Ya dikatakan pedagang, pedagang, dikatakan bukan ya bukan, karena nggak menetap” ‘Ya dikatakan pedagang, pedagang, dikatakan bukan ya bukan, karena tidak menetap’ Data di atas merupakan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang angkringan di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta tanggal 2 Agustus 2012. Percakapan dilakukan oleh dua orang penutur. Bentuk peristiwa tutur adalah dialog, dari tuturan tersebut terdapat alih kode intern. Terjadi peralihan tuturan atau alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam bahasa Jawa ragam Krama. Alih kode terjadi pada peralihan tuturan (O1) dari bahasa Jawa ragam krama yaitu Njenengan pedagang mriki?. Kemudian (O1) melakukan alih kode dengan tuturan dalam bahasa Indonesia Ya dikatakan pedagang, pedagang, dikatakan bukan ya bukan, karena nggak menetap. Faktor yang melatarbelakangi alih kode pada data adalah untuk sekedar bergengsi. Sebenarnya (O2) bisa menjawab dengan bahasa Jawa, namun gengsi menjawab pertanyaan lawan bicara (O1) mengenai kegiatan (O2) di pasar. sehingga (O2) menjawab dengan bahasa Indonesia. d. Bentuk Campur Kode 1) Penyisipan Kata Dasar O1 : “Nek aluminium niku kekuatane ming limang tahun, saya maneh karbon, karbon niku mung telung tahun.” ‘Tapi aluminium itu kekuatannya hanya lima tahun, apalagi kalau karbon, karbon itu tiga tahun.” Data di atas menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang sepeda di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pedagang. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan terdapat campur kode intern. Campur kode intern terjadi dengan penyisipan kata dasar berbahasa Indonesia yaitu kata aluminium dan kata karbon, masuk kedalam satu bahasa inti, bahasa Jawa ragam krama yaitu nek aluminium niku kekuatane ming limang tahun, saya maneh karbon, karbon niku mung telung tahun. 2) Penyisipan Kata Jadian O1: “Ora nuh gari masang kok kok, nanging nganggo speedometer.” ‘Tidak, tinggal memasang kok, tapi memakai speedometer.’
39
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
Data di atas merupakan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios bengkel sepeda motor di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pedagang. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan terdapat campur kode ekstern. Campur kode ekstern terjadi dengan penyisipan kata jadian berbahasa Inggris yaitu kata speedometer yang berasal dari kata dasar speed ‘cepat’ dan meter ‘ukuran’ masuk kedalam satu bahasa inti, bahasa Jawa ragam ngoko yaitu ora nuh gari masang kok kok, nannging nganggo speedometer. 3) Berwujud Penyisipan Frasa O1: “Mboten wani mas, empat puluh, kilakipun mawon mboten angsal.” ‘Tidak berani mas, empat puluh, kulakannya saja tidak boleh’ Data di atas merupakan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang kaos olahraga di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pedagang. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan terdapat campur kode intern. Campur kode intern terjadi dengan penyisipan frasa berbahasa Indonesia yaitu empat puluh, masuk kedalam satu bahasa inti, bahasa Jawa ragam krama yaitu mboten wani mas, empat puluh, kilakipun mawon mboten angsal. 4) Berwujud Penyisipan Perulangan Kata O1: “Pasar mriki sae mas, lancar-lancar mawon.” ‘Pasar disini bagus mas, lancar-lancar saja.” Data di atas merupakan peristiwa tutur yang terjadi di depan Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh penjaga parker setempat. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan terdapat campur kode intern. Campur kode intern terjadi dengan penyisipan kata ulang berbahasa Indonesia yaitu lancar-lancar, masuk kedalam satu bahasa inti, bahasa Jawa ragam krama yaitu pasar mriki sae mas, lancar-lancar mawon. 5) Berwujud Penyisipan Baster O1: “Niki kan celana basket, lha nek ngeten niki kalih dasanan.” ‘Ini kan celana basket, lha kalau seperti ini duapuluhan.’ Data di atas merupakan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang kaos olahraga di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pedagang. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan terdapat campur kode intern. Campur kode intern terjadi dengan penyisipan baster yaitu celana basket, masuk kedalam satu bahasa inti, bahasa Jawa ragam krama yaitu niki kan celana basket, lha nek ngeten niki kalih dasanan. 6) Berwujud Penyisipan Klausa O1: “Sar nangka nuh, sar nangka kuwi pelayanannya mengecewakan, kapok aku.” ‘Sar nangka dong, sar nangka itu pelayanannya mengecewakan, kapok saya.’ Data tersebut merupakan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang onderdil sepeda motor di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pengunjung pasar. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan terdapat campur kode intern. Campur kode intern terjadi dengan penyisipan klausa berbahasa Indonesia yaitu pelayanannya mengecewakan, masuk kedalam satu bahasa inti, bahasa Jawa ragam ngoko yaitu sar nangka nuh, sar nangka kuwi pelayanannya mengecewakan, kapok aku. e. Fungsi Campur Kode 1) Lebih Argumentatif Meyakinkan Mitra Tutur
40
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
O1:“Aku mau golek rana durung ketemu kok. Hla iki ora saka pihak instansi kok, iki saka kemahasiswaan. Lha ini tadi suratnya.” ‘Saya tadi mencari kesana belum ketemu kok. Lha ini tidak dari pihak instansi kok, ini dari kemahasiswaan. Lha iki mau surate.’ Data di atas menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang barang bekas di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pedagang. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan diatas terdapat campur kode intern. Campur kode berwujud penyisipan frasa dalam bahasa Indonesia yaitu pihak instansi dan campur kode berwujud penyisipan kata kemahasiswaan masuk ke dalam satu kalimat dengan bahasa inti yaitu bahasa Jawa ragam ngoko aku mau golek rana durung ketemu kok. Hla iki ora saka pihak instansi kok, iki saka kemahasiswaan. Lha iki mau surate. Tujuan atau fungsi campur kode adalah lebih argumentatif meyakinkan kepada pedagang lain yang akan diwawancarai bahwa pewawancara bukan dari pihak instansi akan tetapi dari kemahasiswaan. 2) Lebih Persuasif Menyuruh Mitra Tutur O1:“Niki Mas, jaket, delapan puluhan, nek sing niki seratus dua puluh.” ‘Ini Mas, jaket, delapan puluhan, kalau yang ini seratus dua puluh.” Data di atas menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang kaos olahraga di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pedagang. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan diatas terdapat campur kode intern. Campur kode berwujud penyisipan kata dalam bahasa Indonesia yaitu jaket dan campur kode berwujud penyisipan frasa delapan puluhandan seratus dua puluh masuk ke dalam satu kalimat dengan bahasa inti yaitu bahasa Jawa ragam krama Niki Mas, jaket, delapan puluhan, nek sing niki seratus dua puluh. Tujuan atau fungsi campur kode adalah lebih persuasif membujuk atau menyuruh mitra tutur yaitu untuk membeli jaket yang harganya delapan puluh ribu dan seratus dua puluh ribu. 3) Menegaskan Maksud Tertentu O1:“Niki kan celana basket, hla nek ngeten niki kalih dasanan.” ‘Ini kan celana basket, lha kalau seperti ini dua puluhan.’ Data di atas menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang kaos olahraga di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pedagang. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan diatas terdapat campur kode ekstern. Campur kode berwujud penyisipan baster yaitu celana basket masuk ke dalam satu kalimat dengan bahasa inti yaitu Niki kan celana basket, hla nek ngeten niki kalih dasanan. Tujuan atau fungsi campur kode menegaskan suatu maksud tertentu yaitu bahwa celana basket itu harganya lebih mahal dari celana biasa yang harganya dua puluh ribuan.
4) Lebih Prestis O1:“Golek sound system rega murah ki lho Mas.” ‘Mencari soundsystem harga murah ini (lho) Mas.’ Data di atas menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 6 Juni 2012. Tuturan dilakukan oleh pengunjung pasar. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan diatas terdapat campur kode ekstrn berupa Campur kode berwujud penyisipan frasa dalam bahasa Inggris yaitu sound system masuk ke dalam satu kalimat dengan bahasa inti yaitu bahasa Jawa ragam ngoko yaitu Golek sound sytem rega murah ki hlo Mas.Tujuan atau fungsi campur kode dalam data tersebut adalah lebih prestis atau hanya lebih singkat dan jelas menunjukkan bahwa soundsystem yang dimaksud adalah pengeras suara. Apabila frasa sound system disesuaikan dengan bahasa yang digunakan maka akan lebih panjang kalimat yang digunakan. 41
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
f. Faktor Yang Melatarbelakangi Pemakaian Campur Kode 1) Identifikasi Peranan atau Peran Sosial Penutur O1:“Sampun Mas, mulai tahun delapan puluh enam.” ‘Sudah Mas, mulai tahun delapan puluh enam’ Data di atas menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang barang bekas di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pedagang. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan diatas terdapat campur kode intern. Campur kode berwujud penyisipan klausa dalam bahasa Indonesia yaitu mulai tahun delapan puluh enam masuk ke dalam satu kalimat dengan bahasa inti yaitu bahasa Jawa ragam krama yaitu Sampun Mas, mulai tahun delapan puluh enam. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode tersebut adalah peran sosial penutur yang menjelaskan dan meyakinkan pendengar dengan menekankan pada satu klausa yang menjelaskan bahwa beliau sudah bekerja sejak lama di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta. 2) Prinsip Kesopanan dan Kesantunan Penutur (O1) O1:“Aku mau golek rana durung ketemu kok. Hla iki ora saka pihak instansi kok, iki saka kemahasiswaan. Lha iki mau surate.” ‘Saya tadi mencari kesana belum ketemu kok. Lha ini tidak dari pihak instansi kok, ini dari kemahasiswaan. Lha ini tadi suratnya.’ Data di atas menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang barang bekas di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 28 Agustus 2012. Tuturan dilakukan oleh pedagang. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan diatas terdapat campur kode intern. Campur kode berwujud penyisipan frasa dalam bahasa Indonesia yaitu pihak instansi dan campur kode berwujud penyisipan kata kemahasiswaan masuk ke dalam satu kalimat dengan bahasa inti yaitu bahasa Jawa ragam ngoko aku mau golek rana durung ketemu kok. Hla iki ora saka pihak instansi kok, iki saka kemahasiswaan. Lha iki mau surate. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode tersebut adalah prinsip kesopanan dan kesantunan penutur. Penutur menempatkan dirinya menghormati mitra tutur yang bukan dari pihak instansi tapi dari kemahasiswaan dengan tujuan agar diperbolehkan untuk melakukan wawancara dengan pedagang yang lain. Karena biasanya pedagang enggan diwawancarai secara individu jika itu berasal dari pihak instansi. 3) Penutur (O1) Ingin Menafsirkan Atau Menjelaskan maksud Yang Diinginkannya O1:“Aku isa yen nganggo speedometer, enek pelek kae dibeteli, mburi wae rongatus ngarep satus, modal sangangpuluh thok.” ‘Saya bisa kalau memakai speedometer, ada pelek itu dipukuli, belakang saja dua ratus depan seratus, modal sembilan puluh saja.’ Data di atas menunjukkan peristiwa tutur yang terjadi di salah satu kios pedagang onderdil dan bengkel sepeda motor di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta, tanggal 6 Juni 2012. Tuturan dilakukan oleh karyawan bengkel sepeda motor. Bentuk peristiwa tutur adalah monolog, dalam tuturan diatas terdapat campur kode ekstrn berupa Campur kode berwujud penyisipan kata dalam bahasa Inggris yaitu speedometer dan campur kode intern berwujud penyisipan kata dalam bahasa Indonesia yaitu pelek dan modal masuk ke dalam satu kalimat dengan bahasa inti yaitu bahasa Jawa ragam ngokoyaitu Aku isa yen nganggo speedometer, enek pelek kae dibeteli, mburi wae rongatus ngarep satus, modal sangangpuluh tok. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode yaitu penutur ingin menjelaskan atau maksud yang diinginkannya yaitu bahwa penutur bisa memperbaiki kecepatan sepedanya jika memakai speedometer dan menjelaskan proses pengerjaannya serta modal yang harus dikeluarkan oleh calon pengguna jasa bengkel sepeda motor. 42
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
4. Simpulan dan Saran Berdasarkan analisis data pemakaian alih kode dan campur kode bahasa Jawa di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Pemakaian AK bahasa Jawa di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu: (1) AK dari bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam bahasa Indonesia, (2) AK dari bahasa Jawa ragam krama ke dalam bahasa Indonesia, (3) AK dari bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam bahasa Jawa ragam krama. CK yang ditemukan di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta dibagi menjadi berbagai macam bentuk menurut struktur kebahasaan yang terlibat di dalamnya sebagai berikut: (1) CK berwujud penyisipan kata dasar, (2) CK berwujud penyisipan kata jadian, (3) CK berwujud penyisipan frasa, (4) CK berwujud penyisipan perulangan kata, (5) campur kode berwujud penyisipan baster, (6) CK berwujud penyisipan klausa. Fungsi pemakaian AK yang ditemukan di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta adalah sebagai berikut: (1) lebih persuasif membujuk atau menyuruh mitra tutur (O2), (2) lebih argumentatif meyakinkan mitra tutur, (3) lebih komunikatif untuk menjelaskan, (4) lebih prestis, (5) menimbulkan rasa simpatik. Beberapa fungsi CK yang ditemukan di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta adalah (1) lebih argumentatif meyakinkan mitra tutur (O2), (2) lebih persuasif menyuruh mitra tutur, (3) menegaskan maksud tertentu, (4) lebih prestis. Kemudian mengenai faktor yang melatarbelakangi pemakaian AK yang ditemukan di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta adalah (1), penutur (O1), (2) pokok pembicaraan, (3) untuk membangkitkan rasa humor, (4) untuk sekedar bergengsi. Ditemukan faktor yang melatarbelakangi pemakaian CK di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta adalah (1) identifikasi peranan atau peran sosial penutur, (2) prinsip kesopanan dan kesantunan penutur (O1), dan (3) penutur (O1) ingin menafsirkan atau menjelaskan maksud yang diinginkannya. Penelitian ini hanya membahas pemakaian AK dan CK bahasa Jawa di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta (Sebuah Tinjauan Sosiolinguistik). Oleh karena itu, kiranya perlu penelitian lebih lanjut, terutama dengan yang berhubungan dengan sosiolinguistik lainnya seperti fungsi fatis dan interferensi. Serta faktor munculnya alih kode dan campur kode yang lain agar penelitian ini tuntas. Atau dengan pendekatan yang lain seperti pragmatik, semantik, dan struktur bahasanya, karena dalam tuturan bahasa di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta terdapat keunikan tersendiri yang berbeda dari kelompok lain.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Chaer dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Ayu Margawati P. “Penggunaan Bahasa Jawa Etnis Cina di Pasar Gede Surakarta dalam Ranah Jual Beli (Suatu Kajian Sosiolinguistik)”.Skripsi. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Bambang Kuswanti Purwo. 1989. PELLBA Pertemuan Linguistik lembaga Bahasa Atma Jaya. Yogjakarta:. Kanisius. Dewangga Saputra. 2010. “Politik Eksistensi Pasar Tradisional (Studi Kasus Politik Eksistensi Pedagang Kelontong Pasar Tradisional)”. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. Gusnetti. 2007. “Penggunaan Bahasa Mubalik dalam Pengajian Ramadhan di Mesjid Cahaya Rohani Pasir Sebelah Padang (Suatu Tinjuan Sosiolinguistik)”. Makalah. Surakarta: Universitas Sebelas Maret
43
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
Hario Wicaksono. 2011. “Penggunaan Bahasa Jawa Oleh Tukang Becak di Stasiun Balapan Surakarta (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)”. Skripsi. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas sebelas Maret. Nababan P.W.J. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. _________.1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogjakarta: Duta Wacana University Press.
44
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
CITRA TUHAN DAN MANUSIA DALAM SERAT KIDUNG WEDHA NIRWANA ( Sebuah Tinjauan Filosofis ) Aprilia Indah Pertiwi C0108002 Abstrak Permasalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah struktur Serat Kidung Wedha Nirwana yang meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia dan lapis metafisis? (2) Bagaimanakah citra Tuhan dan manusia dalam Serat Kidung Wedha Nirwana? (3) Bagaimanakah hubungan manusia dengan sang pencipta dalam Serat Kidung Wedha Nirwana?. Kesimpulan yang didapat dari analysis kandungan Serat Kidung Wedha Nirwana adalah menampilkan struktur
cerita di mana unsur-unsur yang berdasarkan strata norma yang meliputi, (1) Lapis bunyi, (2) Lapis arti yang terdiri dari padan kata, tembung garba, tembung wancahan, pepindhan, citra dengaran, citra pengelihatan, alegori, (3) Lapis norma yang terdiri dari objek, latar, dan pelaku, (4) Lapis dunia, (5) Lapis metafisis. Filosofis yang disajikan dalam Serat Kidung Wedha Nirwana adalah mengenai citra Tuhan dan manusia yang terdiri dari, (1) sifat –sifat Tuhan, (2) Kekuasaan Tuhan, (3) manusia dan tujuan hidupnya. Serta menggangkat persoalan tentang hubungan manuisa dengan sang pencipta yang mengenai tentang kedekatan manusia dengan Tuhan dan kesatuaan manusia dengan sang pencipta. Kata Kunci: Citra Tuhan dan manusia, Serat Kidung Wedha Nirwana, Filosofis Abstract The problems are discussed in this research (1) How is the structure of Serat Kidung Wedha Nirwana which include layer of sound (phoneme), layer of meaning, layer of object, layer of world and layer of metaphysic? (2) How is the God and human relationship in Sekar Kidung Wedha Nirwana? and (3) How is the relationship between human being and the creator in Sekar Kidung Wedha Nirwana?. The conclusion of this research is to present the structure story of Serat Kidung Wedha Nirwana from values of the text, such as (1) layer of sound (phoneme), (2) layer of meaning consist of synonym, tembung garba, tembung wancahan, pepindhan, auditory image, visual image, allegory, (3) layer of norm consist of object, setting, and character, (4) layer of world, (5) layer of metaphysic. The philosophy of Serat Kidung Wedha Nirwana are the relasionship between God and human consist of (1) The characteristics of God, (2) The power God, (3) The goal of human life. It performed relationship between human and creater, closer both of them and unity human with their creator. Keyword: Citra Tuhan dan manusia, Serat Kidung Wedha Nirwana, Phylosofys
45
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
1. Pendahuluan Bangsa Indonesia kaya akan budaya dan memiliki warisan dari nenek moyang/leluhurnya di masa lampau. Warisan budaya tersebut di antaranya berupa karya sastra yang terkandung nilai-nilai ajaran tertentu yang pada saat ini kiranya masih perlu digali dan dikembangkan kembali. Salah satu yang menjadi bagian dari karya sastra itu terwujud dalam bentuk naskah lama. Salah satu naskah lama yang di dalamnya mengandung pemikiran citra Tuhan dan manusia, dan hubungan manusia dengan sang pencipta adalah Serat Kidung Wedha Nirwana. Serat Kidung Wedha Nirwana ini sudah diteliti oleh Margono angkatan 2004 pada tahun 2011 melalui sebuah tinjauan filologis. Di dalam penelitianya, Margono meneliti bagaimanakah suntingan teks naskah Serat Kidung Wedha Nirwana yang bersih dari kesalahan dan mendekati aslinya sesuai dengan cara kerja filologis, serta skripsi ini mengkaji tentang deskripsi naskah, suntingan naskah, kritik teks dan nilai moral. Terkait dengan hal di atas, maka peneliti berkeinginan untuk meneliti naskah Serat Kidung Wedha Nirwana yang merupakan naskah koleksi pribadi dan merupakan naskah tunggal. Serat Kidung Wedha Nirwana terdiri dari tiga kata yaitu: kidung yang artinnya tembang, wedha artinya ajaran, sedangkan nirwana artinya surga (Poerwadarminta, 1939:4). Serat Kidung Wedha Nirwana adalah karya sastra yang berupa tembang yang berisi ajaran tentang surga. Alasan meneliti naskah ini adalah: Pertama naskah Serat Kidung Wedha Nirwana merupakan karya sastra yang berbentuk tembang dan baru dikaji secara filologis, jadi untuk memudahkan penikmat dalam menelaah isi serta ajaran yang terdapat dalam Serat Kidung Wedha Nirwana tersebut perlu dikaji dari sudut pandang lain. Kedua dengan menganalisis secara struktural Serat Kidung Wedha Nirwana dikarenakan menampilkan struktur cerita di mana unsur-unsur yang berdasarkan strata norma yang meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia dan lapis metafisis. Ketiga dengan menganalisis secara filsafat Serat Kidung Wedha Nirwana dikarenakan bertujuan agar menerangkan citra Tuhan dan manusia, dan hubungan manusia dengan sang pencipta yang terkandung dalam naskah tersebut yang terdiri dari kedekatan manusia dengan Tuhan, kesatuan manusia dengan Tuhan beserta hal-hal yang menjadikan manusia menjalankan perintah Tuhan. Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkosentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkosentrasian struktur fisik dan struktur batin (Herman J Waluyo, 1995: 25).
Pendekatan struktural dalam penelitian karya sastra merupakan langkah awal untuk penelitian selanjutnya. Analisis struktural merupakan tahap awal dalam penelitian karya sastra yang tidak dapat dihindari, karena analisis semacam ini baru memungkinkan pengertian yang optimal (Teeuw, 1983:61). Makna unsurunsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:125). Dalam menganalisis struktur Serat Kidung Wedha Nirwana ini akan berpegang dari salah satu ahli sastra yaitu Roman Ingarden. Menurut Roman Ingarden dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2007:14 unsur-unsurnya berdasarkan strata norma, yaitu lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia, lapis metafisis. Filsafat adalah ilmu induk pengetahuan, filsafat telah dikenal manusia sejak 2000 tahun lebih yang lalu pada masa Yunani kuno. Kini filsafat telah mendapatkan lahan yang baru, mungkin harus bergandeng tangan dengan agama, beserta pula dengan ilmu-ilmu positif lainnya. Ilmu filsafat sangat berguna bagi para mahasiswa dan juga kalangan umum yang ingin menjelaskan persoalan hidup dan kehidupan mereka, ikhwal tradisi kemasyarakatan ataupun menyangkut soal-soal pemikiran dan penghayatan keagamaan mereka.
46
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
Pandangan tentang Tuhan, kita tidak tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak. Memang mungkin bagi seseorang untuk mengatakan bahwa Tuhan ada atau tidak ada. Pandangan-pandangan tersebut adalah pandangan-pandangan yang pokok tentang watak dan adanya Tuhan. Masing-masing mempunyai hubungan dan kebanyakan dapat ditemukan dalam kelompok agama-agama dunia ( Rasjidi, 1984:45). Dalam penelitian
ini peneliti memakai filsafat Tuhan yang lebih menekankan pada karya sastra itu sendiri dan menekankan pada teori (Rasjidi, 1984). Sehingga nantinya dalam penelitian ini mengungapkan bagaimana citra Tuhan dan manusia dan bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan yang terdiri dari kedekatan manusia dengan Tuhan, kesatuan manusia dengan Tuhan beserta hal-hal yang menjadikan manusia menjalankan perintah Tuhan. 2. Metode Penelitian Bentuk penelitian ini adalah penelitian sastra yaitu pencarian pengetahuan pemberi makna dengan hati-hati dan kritis secara terus menerus terhadap masalah sastra. Dalam pengertian ini penelitian sastra merupakan suatu disiplin ilmu yang mempunyai objek yang jelas mempunyai pendekatan dan metode yang jelas (Atar Semi, 1993:18). Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah edisi teks Serat Kidung Wedha Nirwana yang terdiri dari 8 pupuh, karya Margono mahasiswa Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta 2011. Naskah ini merupakan karya Ki Gedhe Mudyantara Sutawijaya yang diwariskan kepada menantunya yaitu Bapak Suwarno. Data primer merupakan data pokok, data dalam penelitian ini adalah struktur yang meliputi unsur-unsur yang berdasarkan Srata Norma yang meliputi struktur lapis bunyi, lapis arti, lapis dunia, lapis objek dan lapis metafisis, serta aspek filosofis yang meliputi citra tuhan dan manusia, serta hubungan manusia dengan sang pencipta yang ada dalam teks serta data sekundernya data yang berupa keterangan dari buku-buku, artikel, dan referensi lain yang dapat mendukung analisis ini. Teknik pengumpulan data merupakan langkah-langkah yang ditempuh guna mendapatkan data yang diperlukan. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu Content Analysis. atau kajian isi, yaitu menganalisis isi yang terdapat dalam karya sastra. Kajian ini merupakan metode penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Weber dalam Lexy J Moleong, 2007:163) Cara kerja analisis ini adalah melakukan serangkaian kerja, menganalisis berbagai dokumen yang telah ada. Dari content analysis data yang diperoleh dikaji secara cermat agar dapat mengambil kesimpulan mengenai data yang dapat digunakan dalam penelitian ini serta nilai-nilai penting yang menjadi pokok persoalan yang selanjutnya dianalisis. Teknik analisis data, data-data yang dibutuhkan setelah data terkumpul dengan lengkap, langkah berikutnya adalah menganalisis data. Pada tahap ini data yang akan dimanfaatkan sedemikian rupa agar berhasil menyimpulkan kebenaran yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian. Dengan data yang dikumpulkan oleh peneliti maka untuk menganalisis data-data tersebut menggunakan analisis kualitatif interaktif. Proses analisis yang dilakukan yaitu dengan cara mereduksi data yang telah terkumpul, artinya menyederhanakan atau membuang halhal yang tidak relevan kemudian mengadakan penyajian data sehingga memungkinkan untuk ditarik suatu kesimpulan. Apabila yang ditarik dirasa kurang mantap karena datanya masih kurang, dengan demikian peneliti dapat mengumpulkan data kembali di lapangan. Setelah data terkumpul dengan lengkap diadakan lagi penyajian data yang tersusun secara sistematis, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan akhir. 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan a. Analisis Struktural
47
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
Serat Kidung Wedha Nirwana dalam bentuk Tembang Macapat merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahami struktur tersebut perlu dianalisis setiap unsur-unsurnya. Analisis berdasarkan strata norma dimaksudkan untuk menemukan makna setiap gejala yang nampak dari Serat Kidung Wedha Nirwana berupa lapis-lapis atau strata norma. Secara berurutan akan disajikan analisis Serat Kidung Wedha Nirwana berdasarkan strata norma yang meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis objek yang berupa latar dan pelaku, lapis dunia dan lapis metafisis. Bunyi mengandung aspek tinggi rendah atau nada, panjang pendek dan lemah – kuat. Pemakaian unsur bunyi lebih intensif digunakan dalam seni musik namun dalam seni sastra, bunyi juga menjadi salah satu unsur pembangun. Serat Kidung Wedha
Nirwana menggunakan satu bentuk konvensi sastra yang sama dalam satu stuktur karya sastra yaitu puisi terikat. Bentuk puisi terikat, konvensi atau matra yang digunakan dalam Serat Kidung Wedha Nirwana adalah konvensi tembang macapat. Asonansi /a/ dalam Serat Kidung Wedha Nirwana muncul dengan bervariasi. Pola letak asonansi /a/ yaitu 1) di awal kata atau suku kata pertama, 2) suku penultima (suku kata kedua dari belakang), 3) suku antepenultima (suku ketiga dari belakang), 4) suku ultima (suku pertama dari belakang). Pemanfaatan asonansi /a/ dapat dilihat dalam data sebagai berikut. praja lan bangsa pribadi ( I/6/4 ) ‘negara dan bangsa ini’
tan liya saking budaya ( I/6/5 ) ‘tidak lain dari budaya’ Aliterasi yaitu semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Aliterasi /b/ dalam tembang Serat Kidung Wedha Nirwana tidak banyak dijumpai. Bunyi /b/ ada yang muncul di awal kata dan di tengah. Selain itu bunyi /b/ dapat berfungsi membantu menciptakan ritmik pada kata dengan kata berikutnya. Pola letak aliterasi /b/ bervariasi 1) di awal kata atau suku kata pertama (ultima), 2) suku penultima (suku kata kedua dari belakang), 3) suku antepenultima (suku ketiga dari belakang), 4) suku ultima (suku pertama dari belakang). tri bawana wus kabêkan (III/1/3) ‘tiga dunia telah penuh’ pan binabar-] balabar kang panca driya (II/16/9) ‘sudah ada tersebar dalam pancaindra’ Padan kata adalah dua kata atau lebih yang mewakili konsep yang sama. Pengarang mempergunakan padan kata untuk mengungkapan arti yang sama. Dalam Serat Kidung Wedha Nirwana ini beberapa padan kata yang sering ditemui, yang seperti: Hyang Widhi, Lahhi, Paring Urip,Gusti,Hyang Agung, Hyang Suksmadi kesemuanya itu mengandung arti yang sama yaitu Tuhan. Tembung garba adalah gabungan dua kata, kata pertama berakhir vokal terbuka dan kata kedua berawal dengan vokal sehingga menimbulkan bunyi baru. Berikut tembung garba yang dapat dijumpai Serat Kidung Wedha Nirwana antara lain: Pranawèng = Pranawa + ing (Jiwa) (I/15/4) Praptèng = Prapta + ing (Ada di) (II/2/4)
Anèng = Ana + ing (Ada di) (III/15/5) Kata di atas mendapat tambahan kata ing. Dalam kata tersebut bunyi vokal a+i menjadi bunyi vokal è. Tembung wancahan adalah kata yang disingkat. Dalam Serat Kidung Wedha Nirwana penyingkatan kata dilakukan dengan cara menghilangkan satu suku kata di depan, penghilang satu suku kata terakhir, dan dengan penghapusan bunyi vokal pada
48
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
satu suku kata tertentu. Contoh pupuh I Kinanthi bait 15 baris 4 : Mrih = Amrih (Agar) artinya kata di samping terdapat penghilangan satu suku kata a di depan. Adanya tembung wancah bertujuan untuk menyesuaikan suku kata dengan konvensi guru wilangan. Pepindhan adalah gaya bahasa perbandingan atau persamaan, yang berguna untuk mempertimbangkan arti atau penggambaran. Contoh pupuh II Sinom bait 5 baris 3: Pindha sarah néng samodra artinya seperti sampah di samudra. Citra dengaran ialah suatu benda yang dapat memberi gambaran pada indra pendengaran. Guna dari indra pendengaran ini bagi pembaca atau pendengar ialah untuk menangkap situasi dan makna dengan kesan yang muncul pada indra pendengaran dari satu teks. Misalnya: Osik dayaning ngagêsang/ kang akarya obah sranduning dhiri/ rumagang manut sakayan/ wangsit panyipta budya/ tidha tidha bênêr miwah luputipun/ wisik sa(b)da déning jiwa/ tan bisa salah punik//. ‘Gerak kekuatan hidup/ yang menggerakkan seluruh diri ini/ bersama ikut
menghidupi/ ilham menjadikan budi/ was – was akan benar dan salah/ ilham dijadikan oleh jiwa/ tak bisa salah ini//.’ Kata tidha tidha bênêr miwah luputipun pada baris 5 bait 10 pupuh III Pangkur, misalnya mampu memberi citra dengaran suara yang keluar dari diri manusia sehingga lebih merasakan hal yang menegangkan. Citra lihat atau penglihatan adalah suatu tanda yang dapat memberi kesan atau gambaran pada indera penglihatan. Di pupuh IV bait 7 baris 1 – 5: Jiwa cahya padhang karya urip/ pêrak nyênêt anèng nggyanig gêsang/ linarap rasa uripé/ kapindho luru(b)ipun/ rasa osik sasmita budi……… ‘Jiwa bersinar terang seperti hidup/ dekat dengan tempatnya hidup/ bersinar
rasa hidupnya/ kedua selimutnya/ rasa bergerak pertandanya budi……’ Bait di atas mencerminkan citra lihatan bahwa jiwa bersinar terang seperti hidup yang dekat dengan tempat hidupnya. Lapis objek, latar, pelaku. Objek yang dikemukakan adalah mengenai hubungan manusia dengan sang pencipta yang berisikap bahwa manusia dengan sang pencipta hubungannya sangatlah dekat dan menyatu. Aspek latar atau setting meliputi aspek ruang dan waktu, terjadinya peristiwa-peristiwa. Ruang adalah tempat atau lokasi peristiwaperistiwa yang diamati baik yang eksteren maupun yang interen. Waktu dapat dijelaskan dalam cerita, yaitu kapan terjadinya peristiwa yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa yang disajikan, biasanya secara jelas tertulis atau secara tersirat, tempatnya terjadi di Hutan, Gunung yang lebat dan Alam yang kosong. Sedangkan waktunya pada waktu yang terang. Pelaku adalah pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah peristiwa Serat Kidung Wedha Nirwana menampilkan pelaku dengan fungsinya. Tokoh dengan sebutan Tuhan adalah salah satu tokoh yang ada di dalam cerita ini. Tuhan merupakan tempat bersadarnya manusia, tempat berlindungnya dan berserah dirinya manusia dan selalu dekat dengan manusia, selain itu pelaku-pelakunya manusia, anak cucu, laki-laki, perempuan, guru, siswa, tua muda, dan ibu. Lapis dunia merupakan suatu yang tidak perlu dinyatakan tetapi sudah secara implisit dari gabungan dan jalinan objek-objek yang dikemukakan latar, pelaku, serta struktur cerita. Serat Kidung Wedha Nirwana menampilkan sebagai berikut : menuliskan mengenai hubungan manusia dengan sang pencipta yang bermanfaat bagi para manusia dan juga untuk kehidupannya kelak. Harapan yang ditulis di dalam serat ini kepada manusia (termasuk anak cucu) adalah Serat Kidung Wedha Nirwana merupakan salah satu naskah yang dapat dipergunakan untuk sarana dalam upaya mendekatkan diri dengan Tuhan yang bertujuan untuk lebih memahami dan mendekatkan diri supaya memiliki kehidupan yang lebih baik, sejahtera dan bahagia.
49
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
Lapis kelima ini adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca atau pendengar lebih mendalam memahami isi yang disampaikan oleh pengarang. Di dalam Serat Kidung Wedha Nirwana lapis ini menggambarkan suatu hubungan dengan sang pencipta agar manusia lebih mendekatkan diri dan berserah kepada yang menciptakannya. Dengan membaca Serat Kidung Wedha Nirwana diharapkan manusia dapat memahami dan betapa pentingnya Tuhan di dalam hidup manusia serta memahami bagaimana citra Tuhan dan manusia, dan hubungan manusia dengan sang pencipta itu seperti apa. Kemudian tidak hanya itu yang harus diketahui oleh manusia, bahwa tidak ada yang namanya mati melainkan kekal selamanya. b. Analisis Filosofis Sesuai dengan judulnya, Serat Kidung Wedha Nirwana merupakan serat yang berisikan citra Tuhan dan manusia yang di dalamnya mengemukakan berbagai hal tentang Tuhan beserta manuisa. Tuhan merupakan dzat yang tidak dapat dibayangkan, sangat dekat namun tidak bersentuhan dan jauh tanpa pembatasan. Tuhan berada sebelum adanya alam dan lebih tinggi derajatnya daripada alam. Manusia merupakan ciptaan dari Tuhan sebagai makhluk yang paling tinggi martabatnya karena manusia dianugrahi akal dan pikiran, dan manusia akan selalu berusaha untuk mempergunakan segala sarana yang dimilikinya untuk kembali kepada Tuhan. Di bawah ini akan diuraikan tentang citra Tuhan dan manusia dari unsur-unsur di atas. Citra Tuhan meliputi: pada dasarnya Tuhan mempunyai sifat-sifat yang mulia. Salah satu sifat yang dimiliki Tuhan ialah adil, sifat cahaya maksudnya sifat kewibawaan atau merendahkan diri hal ini tidak boleh diabaikan, sifatnya seperti bintang ialah memberikan sinar indah kemilau, sifatnya seperti bulan memancarkan sinar di kegelapan malam. Seperti yang terkutip dalam pupuh III
pangkur bait 22 sebagai berikut: Kutipan: Bumi gêni angina tirta/ kadang papat catur daya kang name/ raga rasa angganipun/ surya panas kang daya/ pan dumunung ing wadhuk pangrêmêtipun/ sakèking boga punika/ rasa mapan siji siji//
‘Bumi api angin air/ sedulur papat catur daya yang bernama/ raga rasa badannya/ matahari panas yang kuat/ yang berakhir di perut/ banyaknya pangan ini/ rasa nempati satu-satu//’ Tuhan mempunyai sifat seperti bumi api dan angin maksudnya seperti bumi mempunyai sifat yang kuat sekaligus murah hati sehingga sifat ini pada nantinya akan diajarkan kepada manusia, sedangkan sifat seperti api mempunyai kemampuan untuk membakar dan menghancur leburkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya dan yang dikehendakinya, dan seperti angin selalu ada dimana-mana, tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi ruang kosong maksudnya Tuhan itu tidak akan membedakan umatnya dengan derajatnya, melainkan akhlaknya. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu merupakan sifat mulia. Tuhan dapat melakukan apa yang dikehendakinya. Tuhan adalah Maha Kuasa, dalam artiannya boleh melakukan segala yang dikehendaki-Nya, akan tetapi perbuatannya berdasarkan sifat-sifat yang suci. Tuhan maha mengetahui segala-galanya, termasuk sekarang, masa depan bahkan segala yang kita fikirkan. Oleh sebab itu Tuhan maha mengetahui segalanya. Tuhan berada di mana-mana dan hal ini bermakna bahwa Tuhan hadir di semua tempat, tetapi tidak bermakna Tuhan ialah semua benda. Kekuasaan Tuhan sangat besar telah menciptakan alam semesta ini, di mulai dari alam yang kosong beserta semua isinya. Manusia diciptakan di dunia ini menyerupai Tuhan. Manusia di atas segala ciptaan lainnya dan diberi kuasa yang lebih dari mereka. Manusia berbeda dengan binatang karena manusia mempunyai akal pikiran yang sehat. Manusia itu tercipta dari
50
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
tanah liat, dimata Tuhan manusia itu mulia dari ciptaan lainnya. Seperti yang terkutip pada pupuh III Pangkur bait 16 di bawah ini: Kutipan: Sanadyan nunggal kang warna/ nanging sêpi cahya ingkang dumêling/ muhung pamoring lêlêmpung/ iku cuwilanira/ kadang papat catur daya aranipun/ barang mati raga rasa/ ywa sulap lamun sumandhing// ‘Walaupun menyatu dengan warnanya/ tapi sepi cahaya yang terang/ hanya pamornya tanah liat/ itu bagian kita/ sedulur papat catur daya namanya/ sesuatu yang mati raga dan rasa/ yang menyilaukan tapi bersandingan//’ Pada bait di atas menjelaskan bahwa manusia itu berasal dari tanah liat yang telah dijelaskan manusia terlahir di dunia ini memiliki kadang papat lima pancer meliputi kakang kawah adhi ari-ari yang telah dimiliki oleh manusia sejak lahir dan merupakan bagian dari manusia, dan setiap manusia pasti memilikinya. Manusia ciptaan Tuhan yang paling mulia yang diberi akal pikiran yang sehat sehingga manusia bisa membedakan mana yang seharus ia lakukan dan mana yang tidak. Manusia mempunyai tujuan hidup agar mampu mencapai suatu kebahagian nantinya, dengan demikian berikut ini manusia memiliki sifat-sifat yang nantinya untuk mencapai suatu kebahagiaan di antaranya ialah: mempunyai jiwa yang tentram dan hati yang tenang, bisa mengendalikan hawa nafsu dan mempunyai kesabaran, dan menjalankan segala perintah Tuhan. Serat Kidhung Wedha Nirwana merupakan serat yang berisikan tentang ajaran hidup, ajaran tersebut pada dasarnya mengenai perilaku-perilaku manusia yang menuntun manusia untuk mencapai surga, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Kesempurnaan hidup manusia hanya dapat tercapai bila manusia mau berusaha dan mengasah apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sehingga manusia akan mencapai hidupnya yang tentram, sejahtera dan bahagia. Hubungan manusia dengan sang pencipta yang terdapat di dalam Serat Kidung Wedha Nirwana menyimpan amanat kepada pembaca bahwa manusia dengan Tuhan hubunganya sangat dekat, berikut ini akan diuraikan tentang gambaran hubungan manusia dengan Tuhan dari unsur-unsur di atas. Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang yang tinggi martabatnya, karena manusia dianugrahi akal dan pikiran. Dengan akal pikiran itulah manusia mempunyai hubungan yang dekat dengan Tuhan seperti yang diungkapkan pada pupuh I Kinanthi bait 13 yang telah terkutip di bawah ini berbunyi sebagai berikut : Kutipan : Kasunyatan tanpa kawruh/ suwung sakèh rasa sêpi/ muhung sarira priyangga / kang sinihan ing Hyang Widhi/ ngaléla katon kang cahya/ mawa prabawaning lahhi// ‘Kenyataan tanpa pengetahuan/ hilang dari rasa kesepian/ hanya diri kita/ yang berdekatan dengan Tuhan/ terlihat jelas sebuah cahaya/ yang merupakan kewibaan Tuhan//’ Pada prinsipnya Tuhan berada sangat dekat dengan manusia, namun manusia tak mampu melihatnya. Bisa di katakan di dalam memahami tentang Tuhan, apabila manusia itu mampu memahami dirinya maka akan mampu mengenalnya sangat dekat dengan dirinya bahkan dapat menyatu dengannya. Seperti yang diungkapkan lewat bait ini ….‘muhung sarira priyangga / kang sinihan ing Hyang Widhi / ngaléla katon kang cahya / mawa prabawaning lahhi // ‘yang mengatakan bahwa hanya diri kita (manusia) yang berdekatan dengan Tuhan karena telah terlihat jelas dengan adanya sebuah cahaya yang menyinari manusia yang merupakan suatu kewibawaan Tuhan.’ Bersatunya manusia dengan Tuhan untuk mengetahui asal usulnya. Manusia yang dapat bersatu dengan Tuhan karena asal dan hakekatnya manusia sama dengan Tuhan. Pada hakekatnya manusia terlahir di dunia ini bukan kehendak manusia itu sendiri, tetapi manusia hidup di dunia ini termasuk alam semesta beserta isinya ada yang menciptakan. Dan yang menciptakan itu semua ialah Tuhan yang Esa. Manusia hidup di dunia ini pada hakekatnya hanyalah sebuah titipan dan pada akhirnya kembali kepada sang pencipta atau 51
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
yang menciptakannya. Seperti yang terkutip pada pupuh Pangkur bait 20 dan pupuh Mijil bait 4, 6 di bawah ini menjelaskan tentang kesatuan manusia dengan Tuhan yaitu sebagai berikut. Kutipan: Salugu naming sajuga / ingkang langgêng kawawa amêngkoni / gumêlar urip lan lampus / sining wang uwung ika / jiwa urip sapatêmon néng wêngku jantung / jiwa marêk ngarséng yatma / néng madyantara puniki-] // ‘Sederhana tetapi keseluruhan / yang kekal ikut membatasi / adanya hidup dan mati / dalam angkasa ini / jiwa hidup bertemunya batasan yang sebenarnya / jiwa menuju pada yatma / di angkasa ini //’ Purwanira prabawèng suksmadi / yatma jiwaning wong / kêlêt lêkêt kêkêt lan anggané / angga pindha gêsang néng donyèkti/ têmah tamtu dadi/ balêgêring wujud// ‘Pertama terpengaruh keluhuran suksma / yatma jiwanya orang / lengket menyatu dengan pribadinya / pribadi seperti hidup di dunia ini / akhirnya pasti jadi / sejatinya wujud //’
Poma jiwa lumêkê(t)ing urip / lumiput angêng wong / liniputan ing rasa puluté / nunggal titik marêng dumadi / jaba jêro sami / sami rila gapyuk // ‘Seumpama jiwa melekat dalam hidup / meliputi setiap manusia / diliputi disetiap rasa yang melekat / menyatu satu tempat ketika diciptakan / luar dalam sama / sama rela bertemu //’ Pada kutipan-kutipan di atas semakin jelas dalam menjelaskan bahwa adanya hidup dan mati di dunia diibaratkan seperti ‘urip mampir ngombe’ yang artinya hidup di dunia ini hanya sebentar dan mati merupakan kehidupan yang kekal abadi. Kesatuan manusia dengan Tuhan nantinya pada saat manusia itu mati. Seperti yang terkutip pada pupuh di atas walaupun jiwa yang melekat kepada hidup manusia di dunia yang meliputi setiap insannya dan jiwa yang menyatu dengan Tuhan maka akan menyatu dalam satu tempat yang diciptakannya. Karena raga diri ini diibaratkan …’ dhiri pindha galodhog kéwala / mulih mring mula mulané / sinusup liring kambu / ‘…hanya seperti gelodog dan nantinya akan manusia itu kembali ke asal muasalnya yang menyusup seperti lebah. 4. Simpulan dan Saran Dari analisis Serat Kidung Wedha Nirwana dalam kajian filosofis, maka penulis dapat mengambil kesimpulan yaitu bahwa Serat Kidung Wedha Nirwana merupakan karya sastra yang di dalamnya menerangkan citra Tuhan dan manusia. Serat Kidung Wedha Nirwana ditulis dalam bentuk tembang macapat yang terdiri dari delapan pupuh. Dalam analisis Serat Kidung Wedha Nirwana dapat diambil kesimpulan, yaitu analisis struktur puisi dibangun dengan lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis latar, pelaku, lapis dunia, lapis metafisis. Lapis bunyi memanfaatkan asonansi, aliterasi, dan guru lagu. Lapis arti memanfaatkan padan kata, tembung garba, tembung wancahan, pepindhan, citra dengaran atau pendengaran, citra lihatan atau penglihatan, alegori. Lapis objek, latar, daan pelaku merumuskan objek Serat Kidung Wedha Nirwana dalam gambaran hubungan manusia dengaan Tuhan yaitu dekat dan menyatu, latar menunjukan tempat dan waktu, pelaku memunculakan tokoh Tuhan. Lapis dunia menjelaskan bahwa manusia (termasuk anak cucu) adalah Serat Kidung Wedha Nirwana merupakan salah satu naskah yang dapat dipergunakan untuk sarana dalam upaya mendekatkan diri dengan Tuhan yang mana bertujuan untuk lebih memahami dan mendekatkan diri supaya memiliki kehidupan yang lebih baik, sejahtera dan bahagia. Lapis metafisisnya adalah manusia dapat memahami dan betapa pentingnya Tuhan di dalam hidup manusia serta manusia harus mempunyai perilaku yang baik agar mencapai suatu kebahagian.Di lihat dari isinya pengarang Ki Gedhe Mudyantara Sutawijaya berusaha memberikan nasihat untuk para
52
FILITRA BUDAYA NO. 1, VOLUME I, JANUARI 2013
pembaca agar kita hidup di dunia ini tidak lupa dengan Tuhan, selalu mengigat tentang sifat-sifat Tuhan dan mengetahui kekuasaan yang dimiliki Tuhan. Melalui citra Tuhan dan manusia kita sebagai pembaca semestinya sadar bahwa Tuhan itu segala-Nya untuk kita. Karena Serat Kidung Wedha Nirwana merupakan ajaran tentang surga. Hubungan manusia dengan sang pencipta berperan penting sebagai penguat untuk mengetahui kedekatan manusia dengan Tuhan dan mengetahui asal usul manusia dan nantinya akan bersatu kembali dengan Tuhan. Dengan demikian manusia akan bersatu kembali dengan Tuhan dan mendapatkan sebuah kebahagian. Serat Kidung Wedha Nirwana hanya merupakan salah satu dari sekian banyak karya sastra lama ( naskah ) yang ada di Indonesia, khususnya yang ada di Jawa jika kita sadar dan peduli untuk mencoba menggali naskah-naskah yang ada niscaya kita akan mendapatkan berbagai pengetahuan yang tidak sedikit, tidak hanya sebatas pada aspek moralnya saja, akan tetapi bahkan sangat kompleks dengan berbagai ilmu-ilmu yang lain. Mengenai permasalahan-permalahan yang ada di dalam Serat Kidung Wedha Nirwana ini mengenai citra Tuhan dan manusia dan hubungan manusia dengan sang pencipta, untuk itu maka perlu adanya penelitian terhadap studi yang lain dengan karya sastra yang sejaman, sebelum dan sesudahnya untuk mengetahui bagaimana permasalahanpermasalahan di atas.
DAFTAR PUSTAKA Atar Semi, 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Herman J. Waluyo, 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Lexy J. Moleong. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Margono. 2011. Serat Kidung Wedha Nirwana Sebuah Tinjauan Filologis. Surakata: Skripsi. Poerwadarminta, W. J. S. 1939. Boesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters’Uitgevers Maatschappij. Rachmat Djoko Pradopo. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rasjidi, Prof. Dr. H. M. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. PT Midas Surya Jakarta. Grafindo.
Teeuw, A. 1983. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
53