ISSN 0854-3844 STT NO.2239/SK/DITJENPPG/STT/1996
Volume 17, Nomor 1, Januari—April 2010 REDAKSI Penanggung Jawab Roy V. Salomo Pemimpin Editor Eko Prasojo Dewan Editor Agus Maulana, Amy S. Rahayu, Azhar Kasim, Bob Waworuntu, Bhenyamin Hoessein, Chandra Wijaya, Eko Prasojo, Ferdinand D. Saragih, Martani Huseini, Roy V. Salomo, Sudarsono Hardjosukarto, Gunadi, Haula Rosdiana, Irfan Ridwan Maksum, Lisman Manurung Redaktur Pelaksana Rachma Fitriati Sekretaris Redaktur Eko Sakapurnama Editor Teknik Defny Holidin Kesekretariatan Elsie Sylviana, Gema Fikri A. P. Diterbitkan Oleh: Pusat Kajian Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Alamat Redaksi Ruang Redaksi Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi Gedung Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi, Lantai 2, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424 Telp/Fax: 021 78849145 Email:
[email protected],
[email protected] [email protected] http://www.jurnalbisnisbirokrasi.com JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI BISNIS & BIROKRASI merupakan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinil tentang pengetahuan dan informasi riset atau aplikasi riset, beserta pengembangan terkini dalam bidang administrasi dan kebijakan publik, bisnis, dan fiskal. Jurnal ini merupakan sarana publikasi dan ajang berbagi karya riset dan pengembangannya dalam bidang-bidang yang bersangkutan. Pemuatan artikel pada jurnal ini dialamatkan ke ruang redaksi. Informasi lengkap mengenai pemuatan artikel dan petunjuk penulisan artikel tersedia pada setiap terbitan. Artikel yang masuk akan melalui proses seleksi mitra bestari dan atau dewan editor. Sejak 1993 jurnal ini terbit secara berkala sebanyak tiga kali naskah tidak dipungut biaya. dalam setahun (Januari, Mei, dan September). JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI BISNIS & BIROKRASI is a scientific journal which publishes original articles on the most recent knowledge, researches or applied researches and other developments in the fields of public, business, and fiscal administration and policies. The journal provides a broad-bases forum for the publication and sharing of ongoing researches and development efforts in the respective fields. Articles should be sent to the editorial office. Detailed information on how to submit articles and instructions to the authors are available in every edition. All submitted articles will be subjected to peer-review and may be edited. Since 1993 this journal has been published three times a year (January, May, and September ). charges are made for submission.
Volume 17, Nomor 1, Januari—April 2010
DAFTAR ISI Analisis Kebijakan Pemberian Insentif Pajak atas Sumbangan dalam Kegiatan Penelitian dan Pengembangan
Firmansyah
1-14
Eksistensi BPKP dalam Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
Agung Suseno
15-30
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Industri
Syahruddin
31-42
Pengaruh Remunerasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik
Bambang Sancoko
43-51
Negosiasi dalam Reformasi Pemerintahan Daerah
Moh. Ilham A. Hamudy
52-60
Persepsi Karyawan tentang Penerapan Analisis Jabatan
Billyawan Sugiantoro
Analisis Faktor Akuntansi dan Non Akuntansi dalam Memprediksi Peringkat Obligasi Perusahaan Manufaktur
Grace Putri Sejati
70-78
Pengaruh Komunitas Merek terhadap Word of Mouth
Fauzan M. Basalamah
79-89
61-69
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Jan–Apr 2010, hlm.1-14
ISSN 0854-3844
Volume 17, Nomor 1
Analisis Kebijakan Pemberian Insentif Pajak atas Sumbangan dalam Kegiatan Penelitian dan Pengembangan FIRMANSYAH1* 1
PT IFS Solutions Indonesia
Abstract. The research aims to analyze the tax incentive policy for the donation given to research and development activities in Indonesia, as stated in Law No. 36 of 2008 on the Income Tax. The research is descriptive and uses qualitative approach. The result of the research shows that the tax incentive policy for the donation given to research and development activities in Indonesia successfully increases the number of donations and therefore support the increase of innovative products of the research and development activities. Keywords: tax incentive, donation, innovation
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) suatu negara dipengaruhi oleh kemampuan sumber daya manusia melakukan inovasi dalam bidang teknologi agar mampu bersaing dalam era persaingan global. Di era perdagangan dan pembangunan ekonomi mendatang, tak mungkin lagi bisa bertahan hanya dengan mengandalkan industri-industri manufaktur konvensional. Hal ini sudah mulai dirasakan dan terbukti bahwa beberapa negara telah menempatkan teknologi informasi sebagai salah satu motor penggerak utama dan pemacu pembangunan. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) merupakan unsur kemajuan peradaban manusia yang sangat penting. Oleh karena itu, kemampuan IPTEK nasional perlu terus dikembangkan dalam rangka meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa untuk mempercepat pencapaian tujuan negara, turut berkontribusi mencapai kesejahteraan rakyat, serta memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional. Pembangunan IPTEK ditujukan untuk membantu pemecahan persoalan kemandirian bangsa melalui peningkatan dan diversifikasi produksi kebutuhan dalam negeri dan persaingan usaha dengan produk barang dari luar negeri. Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan investasi asing dan lokal dalam pembangunan ekonominya. Pemerintah Indonesia, untuk mendukung penciptaan iklim investasi asing yang kondusif, telah mengeluarkan berbagai macam peraturan dan kebijakan ekonomi termasuk reformasi di bidang perpajakan agar lebih menarik bagi investor asing dan lokal untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Upaya menarik investor asing untuk menanamkan investasinya sampai saat ini masih merupakan salah satu dari agenda pemerintah khususnya investasi asing yang bersifat langsung (Rahayu, 2005). Investor sendiri masih didukung dengan teknologi dan *Korespendensi: +628568445848;
[email protected]
hasil penelitian perusahaan dari luar negeri yang berbasis pada tujuan bisnis semata. Kemajuan perkembangan IPTEK di Indonesia memberikan kontribusi pada terciptanya lapangan pekerjaan, menghemat devisa negara dengan penggunaan produk lokal, menghasilkan devisa dari ekspor, dan kemajuan pendidikan nasional dengan kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing dalam era globalisasi. Salah satu bukti keberhasilan anak bangsa dalam kompetisi piranti lunak dunia, Imagine Cup, Dimaz Pramudya beserta Tim SOAK (Smart Operational Agricultural Tool Kit) asal Australia menjadi juara dalam kategori paling bergengsi ‘Software Design’. Pengembangan hak kekayaan intelektual pada hakikatnya adalah pengembangan sumber daya manusia (SDM), sebab hak kekayaan intelektual berurusan dengan produk dan proses yang berkaitan dengan olah pikir manusia. Seiring dengan pengembangan sistem hak kekayaan intelektual, diharapkan akan berkembang pula SDM yang mampu menciptakan budaya inovasi dan inventif. Inovasi sebagai sumber bagi perbaikan menjadi kata kunci yang tak lagi dapat diabaikan. Inovasi tak lagi harus dianggap sebagai barang eksklusif bagi kalangan tertentu atau kelompok masyarakat maju saja. Keberhasilan yang ditunjukkan oleh banyak pihak (perusahaan, industri atau beberapa negara lain) tak saja menjadi bukti empiris tentang pentingnya inovasi dalam peningkatan daya saing, tetapi juga sebenarnya memberikan pelajaran yang berharga bagaimana mendorong perkembangan inovasi. Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan IPTEK secara garis besar adalah sebagai berikut. Pertama, masih lemahnya sinergi kebijakan IPTEK dengan bidang pembangunan lainnya seperti pendidikan dan industri, sehingga IPTEK belum memberikan hasil yang maksimal. Sebagai contoh adalah belum tertatanya mekanisme intermediasi IPTEK yang menjembatani interaksi antara penghasil IPTEK dan pengguna. Akibatnya adalah penyebaran IPTEK ke masyarakat dan
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.1-14
2
% Anggaran Litbang / APBN
0,5
0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 2005
2006
2007
2008
% Anggaran Litbang / APBN % Anggaran / PDB
Gambar 1. Statistik Anggaran Penelitian dan Pengembangan terhadap APBN dan PDB, 2005-2008 Sumber: Potret anggaran penelitian dan pengembangan penilaian pemerintah selama tahun 2005-2008, Kementistek RI, Desember 2008
2007
2008
pengembangan, pemanfaatan, dan penyebarluasan maka melimpahnya anugerah sumber daya alam dan murahnya tenaga kerja yang menjadi tumpuan bagi denyut perekonomian Indonesia tak lagi dapat diandalkan sebagai pijakan utama dan jaminan bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat serta persiapan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Bukti keseriusan pemerintah atas pengembangan IPTEK itu salah satunya dengan menyiapkan insentif untuk industri kreatif berbasis teknologi dan informasi serta budaya organisasi, dengan harapan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 6 miliar pada tahun 2010. Insentif itu mencakup perlindungan produk budaya, pajak, kemudahan memperoleh dana pengembangan, fasilitas pemasaran dan promosi, hingga pertumbuhan pasar domestik dan internasional. Mengutip pernyataan mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Kusmayanto Kadiman, dalam sebuah seminar di Jakarta yang menyatakan bahwa: “...pemberian insentif pajak untuk kegiatan penelitian dan pengembangan dapat mendatangkan investasi baru atau setidaknya meningkatkan kualitas investasi yang sudah ada di Indonesia” (2008). Pandangan yang mengkaitkan antara insentif perpajakan dengan kualitas investasi sesungguhnya bukan suatu hal yang baru, tetapi secara substansial telah menjadi pokok perhatian yang mendalam bagi banyak pemerintahan di seluruh dunia, bahkan negara tetangga, Malaysia, juga memberikan insentif pajak atas kegiatan penelitian dan pengembangan ini. Pada tanggal 22 Juni 2007 diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi. PP ini mengatur alokasi sebagian pendapat-an badan usaha di dalam Pasal 2 sebagai berikut, (1) badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produksi dan/atau daya saing barang dan/atau jasa yang dihasilkan; (2) badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Koperasi. Selanjutnya PP Nomor 35 Tahun 2007 ini mengatur mengenai pelaksanaan kegiatan peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi yang diatur dalam Pasal 4 sebagai berikut, (a) penelitian, pengembangan dan/atau penerapan teknologi; dan/atau, (b) pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan. Sedangkan pemberian insentif atas pengalokasian sebagian pendapatan badan usaha untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi
pengetahuan, % Anggaran / PDB
0,45
dunia usaha belum efektif. Kedua, belum berkembangnya budaya IPTEK di kalangan masyarakat sehingga belum menciptakan iklim inovasi yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kreatifitas sumber daya manusia. Ketiga, masih rendahnya sumber daya yang dialokasikan baik pemerintah maupun swasta dalam kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan IPTEK. Menurut laporan United Nation Education Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyarankan agar pengeluaran suatu bangsa terhadap IPTEK tidak kurang dari 1% dari GDP (BAPPENAS, 2009). Anggaran pengeluaran pemerintah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia untuk kegiatan penelitian dan pengembangan untuk beberapa tahun terakhir dapat dilihat berdasarkan gambar 1. Berdasarkan gambar 1 terlihat bahwa anggaran pemerintah untuk penelitian dan pengembangan terhadap APBN dan PDB selama 2005-2008 adalah kurang lebih 0,45% dan 0,09%. Hal ini senada dengan harapan mantan Menteri Negara Penelitian dan Teknologi, Kusmayanto Kadiman, yang menyatakan bahwa jumlah anggaran dana untuk penelitian dan pengembangan Indonesia menyeimbangi proporsi dana penelitian dan pengembangan beberapa negara maju yaitu sebesar 3% dari PDB (Warta Kota, 25 Juli 2007). Kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi dan semakin adil dapat diwujudkan melalui peningkatan daya saing. Menyikapi hal ini, bermacam upaya dilakukan oleh berbagai negara untuk meningkatkan daya saing pada beragam. Perjalanan sejarah semakin meyakinkan bahwa pengetahuan (dalam arti luas), tanpa maksud menyederhanakan persoalan, sebagai salah satu faktor – namun bukan satu-satunya – yang semakin menentukan daya saing. Pemanfaatan pengetahuan yang semakin baik memungkinkan peningkatan daya saing yang semakin tinggi. Tanpa perbaikan dalam
FIRMANSYAH, ANALISIS KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK
2500
Seni 2000
Ilmu Pengetahuan
1500
Aplikasi Komputer
1000
500
0
Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan I - 2007 II - 2007 III - 2007 IV - 2007 I - 2008 II - 2008 III - 2008
Gambar 2. Statistik Permintaan Pendaftaran Ciptaan (Produk Seni, Ilmu Pengetahuan, dan Aplikasi Komputer) Tahun 20072008 Sumber: Ditjen HaKI, Kemenkem HAM RI, www.haki.go.id 8 Maret 2009.
teknologi diatur dalam Pasal 6 sebagai berikut, (1) badan usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif; (2) insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan. Pengertian dari pasal yang dijabarkan di atas adalah pemerintah akan memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang menyisihkan sebagian pendapatannya untuk mendanai kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk mendorong perusahaan berinvestasi di suatu proyek atau sektor tertentu, meliputi namun tidak terbatas pada pengurangan tarif pajak untuk laba, tax holiday, pengurangan tarif untuk importasi peralatan, komponen, dan bahan baku. Sejalan dengan peraturan di atas, maka kebijakan insentif pajak ini juga diatur di dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Pasal 6 ayat (1) huruf j bahwa besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun pasal tersebut tidak mengakomodir penjelasan lebih lanjut mengenai definisi kegiatan litbang, siapa saja yang dikategorikan sebagai penerima sumbangan litbang, oleh karena itu diperlukan peraturan perundang-undangan lebih lanjut yang mengatur permasalahan di atas. Sumbangan perusahaan merupakan salah satu dana sosial yang potensial di Indonesia. Potensi dana sosial ini dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan meningkatnya minat perusahaan di Indonesia untuk memberikan sumbangan dan/atau terlibat dalam kegiatan sosial. Peningkatan itu terlihat dari maraknya kegiatan sosial yang didukung atau didanai perusahaan yang terekam dalam liputan media. Kebijakan insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan diharapkan mampu mendukung
3
meningkatnya jumlah penciptaan produk inovasi hasil litbang. Salah satu produk inovasi litbang adalah produk piranti lunak Saat ini produk inovasi ini dikuasai oleh beberapa perusahaan multi nasional sehingga perusahaan lokal harus mampu bersaing dengan inovasi produk software yang lebih berkualitas dan mampu dijangkau oleh konsumen. Upaya perusahaan swasta nasional untuk melakukan inovasi produk software adalah melakukan penelitian dan pengembangan dengan jumlah dana yang tidak sedikit (baik dari pihak internal maupun eksternal) dengan bekerjasama dengan peneliti dari perguruan tinggi di dalam negeri, hal ini dikarenakan awal basis lahirnya inovatorinovator baru berasal dari proses pendidikan formal. Adanya kebijakan pemberian insentif pajak untuk kegiatan penelitian dan pengembangan diharapkan akan meningkatkan jumlah penciptaan hak kekayaan intelektual. Berdasarkan gambar 2 diketahui bahwa jumlah permintaan pendaftaran ciptaan khusus untuk aplikasi komputer di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual - Kementrian Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada tahun 2007 adalah stabil di angka +/- 100 aplikasi, sedangkan pada tahun 2008 (sampai dengan Triwulan III) jumlah permintaan pendaftaran ciptaan mencapai angka +/- 400 aplikasi. Sedangkan untuk pendaftaran ciptaan untuk ilmu pengetahuan dan aplikasi komputer masih berada di bawah seni. Dapat dilihat bahwa jumlah permintaan pendaftaran ciptaan mengalami stagnasi, sehingga pemerintah perlu melakukan intervensi. Salah satu bentuk intervensi pemerintah adalah dengan menggunakan instrumen kebijakan pajak. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kebijakan insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia. Kebijakan ini diatur dalam PP Nomor 35 tahun 2007. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif (Guba dan Linclon, 1985). Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini tergolong penelitian cross sectional (Bailey, 1999). Peneliti melakukan pengamatan dalam penelitian ni mengenai kebijakan pemberian insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia melalui empat sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak pemerintah, praktisi, akademisi, dan wajib pajak. Menurut Neuman (2006), hal ini disebut triangulation observers, lebih baik melihat sesuatu dari beberapa sudut daripada hanya melihat dari satu sisi. Pemilihan informan (key informant) pada penelitian difokuskan
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.1-14
4
Perkembangan IPTEK di Indonesia Minimnya Kreatifitas Sumber Daya Manusia Dalam Penciptaan dan Pemanfaatan Hasil Penelitian dan Pengembangan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan di Indonesia
Peran Swasta (Perusahaan)
Peran Pemerintah
Kebijakan Pemberian Insentif Pajak berupa tax deductions (Pasal 6 ayat (1) huruf j. UU Nomor 36 Tahun 2008)
Sumbangan untuk Penelitian, Pengembangan, Penerapan Teknologi, dan/atau Pemanfataan Hasil Penelitian dan Pengembangan Perguruan Tinggi dan/atau Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Meningkatnya Produk Inovasi Hasil Litbang dan Investasi Berbasis Penelitian dan Pengembangan
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009
pada representasi atas masalah yang diteliti (Bungin, 2003). Adapun dalam menjawab permasalahan penelitian ini, peneliti membatasi fokus pembahasan: (1) Sumbangan yang dikeluarkan oleh perusahaan lebih ditekankan dalam bentuk uang tunai dan natura. Kedua jenis sumbangan tersebut merupakan beban operasional perusahaan secara akuntansi komersial, sehingga menjadi salah satu komponen dalam menghitung beban pajak terutang di Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan Badan; (2) aspek perpajakan yang diteliti adalah Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan (perusahaan) dan terbatas pada sisi perusahaan sebagai pemberi sumbangan (donor), sedangkan ketentuan terkait bagi sisi penerima sumbangan (donee) hanya sebagai pendukung analisis. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Dasar Pemikiran Dasar pemikiran yang pertama yaitu tingginya tren pemberian sumbangan perusahaan. Seiring dengan semakin tingginya rasa kepedulian perusahaan untuk membantu kesejahteraan, dan kemandirian bangsa, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan pendidikan, pemerintah merasa pembangunan suatu negara tidak bisa bergerak secara sendiri dari program-program kerja pemerintah saja. Namun perlu bantuan dari pihak swasta (perusahaan) dan masyarakat. Pemerintah mengharapkan dukungan dan bantuan dari masyarakat (perusahaan dan individu) untuk menyukseskan program-program yang dianggap penting dan strategis. Bentuk bantuan yang dapat diberikan oleh perusahaan dan individu adalah dalam bentuk dana (uang), hal ini bertujuan untuk membantu mendanai kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia. Besarnya potensi dana sosial perusahaan tergambar dalam dua penelitian PIRAC mengenai “Pola dan Potensi Derma Perusahaan”. Penelitian awal PIRAC
menganalisa aktivitas derma dan sosial perusahaan yang terekam dalam liputan dan dokumentasi media selama tahun 2001. Dalam kurun waktu tersebut tercatat ada 279 kegiatan penyaluran dana dan kegiatan sosial yang dilakukan oleh 80 perusahaan. Adapun jumlah dana sosial yang dialokasikan oleh perusahaan mencapai Rp. 115,3 milyar. Data tersebut terkonfirmasi dalam survei lanjutan PIRAC tahun 2003 yang melibatkan 226 perusahaan di sepuluh kota besar di Indonesia sebagai respondennya. Hampir semua perusahaan (93%) mengaku pernah memberikan sumbangan dalam tiga tahun terakhir. Alokasi dana yang disumbangkan adalah Rp 236 juta/tahun (perusahaan multinasional), Rp 45 juta/tahun (perusahaan nasional), Rp 16 juta/ tahun (perusahaan lokal), dengan rata-rata sumbangan Rp 60 juta/tahun. Jumlah itu akan terus meningkat karena perusahaan berkomitmen akan menaikkan jumlah sumbangannya jika mendapatkan reward yang memadai, misalnya pemotongan pajak. Meski potensinya cukup besar, penyaluran sumbangan belum dilakukan secara terencana dan terfokus. Pemberian sumbangan selama ini lebih bersifat insidentil, atau dapat dikatakan sekedar merespon permintaan sumbangan. Pendayagunaan sumbangannya pun masih terbatas pada halhal yang sifatnya charity dan kebutuhan jangka pendek. Dana sosial perusahaan tetap menjadi salah satu sumber alternatif dana sosial yang potensial. Oleh karena itu, penelitian mengenai dana sosial perusahaan ini merupakan proyek yang amat penting untuk mengetahui secara lebih valid potensi, pola, dan perilaku perusahaan dalam membelanjakan dana sosialnya. Sejumlah negara, di antaranya Amerika Serikat dan Filipina, menerapkan kebijakan pengurangan pajak (tax deduction) bagi perusahaan yang banyak memberi sumbangan untuk kepentingan sosial. Hal ini dilakukan untuk mendorong perusahaan agar mempunyai keinginan menyumbang kegiatan sosial. Di Indonesia, ketentuan tersebut belum pernah diberlakukan sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, menarik untuk melihat bagaimana tanggapan perusahaan jika ketentuan tersebut diberlakukan di Indonesia. Pada pembahasan mengenai jenis-jenis fasilitas pajak yang diberikan sebelumnya terdapat istilah tax saving yang dapat diartikan sebagai sejumlah nilai penghematan pajak yang didapatkan oleh investor dalam rangka pemberian pajak. Sedangkan cash flow dapat diartikan sebagai penghematan pengeluaran uang untuk satu periode waktu tertentu. Fasilitas pajak yang diberikan oleh suatu negara akan terasa manfaatnya apabila investor yang bersangkutan dapat menikmati penghematan pajak sebesar pengorbanan pemerintah atas tax revenue yang hilang. Tujuan awal dari subsidi itu adalah pemberian subsidi bagi penanam modal yang kemudian dapat dibagi menjadi dua, yaitu subsidi langsung antara lain dapat berbentuk pinjaman uang ataupun bentuk subsidi lainnya dan subsidi tidak
FIRMANSYAH, ANALISIS KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK
Tabel 1. Kolaborasi Riset Lembaga Litbang/Perguruan Tinggi dan Perusahaan ASEAN
Negara Indonesia
2006
2007
2.8
3.1
Malaysia
4.9
4.9
Singapura
5.2
5.3
Thailand
4.2
4.1
Filipina
2.9
3.1
Vietnam
2.8
2.9
Sumber: Situs Resmi Kementerian Negara Riset dan Teknologi – Republik Indonesia.
langsung antara lain berupa fasilitas pajak. Sementara di sisi lain, pemerintah nampak cukup kesulitan dalam menyediakan dana untuk lembaga litbang yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia, serta mengalokasikan dana yang terbatas itu ke dalam pos pengeluaran yang tepat berdasarkan skala urgensi tertentu. Setidaknya saat ini pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat mengenai pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional, yaitu memenuhi target Millenium Development Goals di tingkat internasional dan Rencana Kerja Pemerintah di tingkat nasional. Di sisi lainnya terdapat keinginan perusahaan untuk ikut menyisihkan pendapatannya untuk membantu mendanai kegiatan sosial masyarakat. Kepedulian perusahaan ini tergambar dari semakin meningkatnya jumlah sumbangan yang dikeluarkan perusahaan untuk bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dasar pemikiran yang kedua yaitu adanya permasalahan yang dihadapi dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Negara-negara berkembang semakin menyadari bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasionalnya. Upaya yang dilakukan saat ini adalah meningkatkan daya saing dalam membuka akses menuju pasar internasional (market pull production). Pengalaman beberapa negara maju dan negara berkembang menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi berakar pada kemampuan teknologi dan inovasi yang dimiliki. Kemampuan teknologi yang tinggi memberikan kekuatan untuk bersaing dan peluang dalam kancah perdagangan internasional yang kompetitif. Penguasaan ilmu pengetahuan dan pengembangan, dalam hal ini penciptaan produk inovasi hasil litbang dalam negeri, akan menentukan keberhasilan persaingan dengan produk inovasi luar negeri. Dapat dibayangkan jika Indonesia yang terdiri dari banyaknya jumlah sumber daya manusia, namun hanya sedikit orang yang mampu menghasilkan suatu karya inovasi, maka produk-produk yang ada di pasar masyarakat akan dikuasai oleh produk inovasi dari luar negeri. Keberhasilan negara-negara maju di Asia Timur tidak dapat diulang dengan mudah oleh negara berkembang, tapi perlu diciptakan kondisi tertentu dan negara-negara
5
tersebut juga pada awalnya mengalami permasalahan yang dihadapai dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dijabarkan sebagai berikut. (1) keterbatasan sumber daya IPTEK; (2) belum berkembangnya budaya IPTEK; (3) belum optimalnya mekanisme intermediasi IPTEK; (4) lemahnya sinergi kebijakan IPTEK; (5) belum terkaitnya kegiatan riset dengan kebutuhan nyata; (6) belum maksimalnya kelembagaan litbang; (7) masih rendahnya aktivitas riset di perguruan tinggi; dan (8) kelemahan aktivis riset. Memperhatikan permasalahan yang dikemukakan di atas, masih ada permasalahan lain yang menyebabkan keengganan perusahaan untuk melakukan kerjasama dengan lembaga litbang dan perguruan tinggi, baik itu berupa bantuan sumbangan dana tunai (cash) atau bentuk-bentuk kerjasama lainnya. Budaya sulitnya mengurus perizinan pada birokrasi lembaga pemerintahan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perusahaan tidak tertarik melakukan kegiatan litbang atas dasar perizinan menyulitkan. Beberapa kendala yang dihadapi untuk membangun kolaborasi antara lembaga litbang dan industri, salah satunya adalah adanya perbedaan kepentingan dan sudut pandang antara pelaku riset dan pelaku usaha. Produk-produk riset lahir dari lingkungan dan budaya yang lebih fleksibel dan masih memungkinkan adanya kesalahan-kesalahan dalam penelitian, sementara itu budaya di sektor produksi lebih mengedepankan pentingnya nilai tambah. Salah satu faktor keberhasilan penciptaan produk inovasi hasil litbang adalah adanya kolaborasi yang meningkat dari lembaga litbang/perguruan tinggi dan perusahaan. Kolaborasi ini menghasilkan suatu kerjasama yang kuat, sehingga produk inovasi yang dihasilkan memiliki kualitas unggul yang dapat dikomersialisasi ke pasar. Berdasarkan tabel 1 terlihat kolaborasi riset universitas dengan perusahaan Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun 2006 ke 2007 (skala 1-7), semakin tinggi angka ini menunjukkan semakin besar kolaborasi riset universitas dengan perusahaan. Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand pada tahun 2006 dan 2007, kolaborasi riset universitas dengan perusahaan di Indonesia masih lebih rendah. Memperhatikan masih lemahnya kolaborasi riset lembaga litbang/perguruan tinggi dan perusahaan yang mengakibatkan terhambatnya proses penelitian produk inovasi, maka pemerintah (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) berupaya mendirikan sebuah lembaga intermediasi litbang yang bertindak sebagai mediator antara peneliti/lembaga litbang dan perusahaan jika ingin melakukan kerjasama litbang. Lembaga intermediasi ini tidak membatasi diri sebagai lembaga yang hanya fokus pada suatu objek bidang penelitian yang sama saja, namun mencakup keseluruhan objek bidang penelitian yang ada. Lembaga intermediasi yang dibentuk oleh
6
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.1-14
Pemerintah sampai saat ini adalah Business Innovation Center (BIC) dan Business Technology Center (BTC). Pembenahan sistem intermediasi menjadi hal yang mendesak dan diperlukan oleh BIC sebagai mediator untuk membuat sebuah wadah pertemuan yang terstruktur yang memudahkan para inovator bertemu dengan para investor. Melalui BIC, para inovator diharapkan dapat menawarkan karya mereka sesuai dengan kebutuhan pasar sehingga siap untuk dikomersialisasikan dan ditawarkan secara menarik kepada investor. Kuantitas lembaga litbang yang ada di Indonesia, khususnya lembaga litbang pemerintah (departemen dan non-departemen) cukup banyak dan tersebar di hampir setiap lembaga/institusi pemerintah, namun tidak efektif dan efisien dari program kerja yang dilakukan oleh masing-masing lembaga litbang pemerintah (departemen dan non-departemen). Hal ini dapat terlihat dari benturan program kerja beberapa lembaga litbang pemerintah yang memiliki fokus litbang yang sama, sebagai contoh: Balai Litbang Departemen Pertanian dan Balai Litbang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kedua lembaga litbang itu memiliki salah satu objek penelitian yang sama yaitu padi unggul, yang mengakibatkan tidak efisiennya program kerja kedua lembaga litbang tersebut. Lembaga litbang yang ada di lingkungan Pemerintah (departemen dan non-departemen) ini memerlukan dana untuk pembiayaan kegiatan litbang dan operasional sehari-hari. Jumlah dana yang dikeluarkan oleh masingmasing lembaga litbang pemerintah itu tidak sedikit dan sebagian besar didanai dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Memperhatikan jumlah lembaga litbang yang cukup banyak, pemerintah kurang mampu untuk mendanai semua pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga litbang yang ada di departemen maupun institusi pemerintah lainnya. Hal ini terkait dengan terbatasnya alokasi dana untuk lembaga litbang, sehingga pemerintah mencari sumber pendanaan baru yang berasal dari pihak perusahaan (swasta). Semakin meningkatnya jumlah sumbangan perusahaan untuk kegiatan litbang mengakibatkan naiknya jumlah klaim biaya fiskal yang diajukan oleh perusahaan. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, diatur bahwa sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia dengan diatur oleh Peratuan Pemerintah dapat dijadikan biaya fiskal dalam menghitung pajak penghasilan di akhir tahun. Namun, terdapat permasalahan yang mungkin akan timbul mengenai sumbangan kepada pihak-pihak siapa sajakah yang diakui sebagai penerima sumbangan litbang itu, sehingga dapat diklaim oleh perusahaan sebagai biaya fiskal. Pihak-pihak yang diakui sebagai penerima bantuan dana sumbangan perusahaan itu adalah peneliti
yang bergerak secara individual atau yang tergabung dalam lembaga yang bergerak di bidang pendidikan dan litbang, serta perguruan tinggi yang nyata-nyata melakukan kegiatan litbang untuk menghasilkan produk inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat. Pada umumnya kebijakan pengurangan pajak di beberapa negara di dunia, yang diberikan oleh donatur atas sumbangan kepada individu atau pemberian sumbangan secara langsung kepada masyarakat, tidak semata-mata jumlah sumbangan yang dikeluarkannya itu langsung dapat dijadikan sebagai pengurang pajak. Dengan kata lain, donatur (perusahaan) tidak bisa mengklaim insentif pajak berupa pembebanan biaya fiskal jika telah melakukan pemberian sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan secara langsung ketika melakukan penghitungan jumlah pajak yang terutang pada akhir tahun. Semua negara mensyaratkan agar sumbangan tersebut disalurkan melalui organisasi yang dianggap memenuhi syarat bila ingin dijadikan sebagai pengurang pajak penghasilan. Lebih dari itu, negara juga menentukan organisasi atau lembaga mana yang dianggap memenuhi syarat sebagai penerima sumbangan yang bisa menjadi pengurang biaya dalam menghitung jumlah pajak yang harus dibayar perusahaan. Jika individu atau perusahaan menyumbang ke organisasi atau lembaga tersebut, maka negara mengakui sumbangannya sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan (Abidin dkk., 2007). Begitu pula dengan sumbangan litbang, pemerintah mengatur lembaga litbang/ perguruan tinggi mana saja yang diakui dan terdaftar sebagai penerima sumba-ngan litbang. Lembaga litbang/perguruan tinggi adalah organisasi nirlaba dan perguruan tinggi yang bergerak di bidang kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan, dan penerapan teknologi. Pengelompokkan lembaga-lembaga litbang ilmu pengetahuan dan teknologi berdasarkan aktivitas riset dan pengelolaannya adalah sebagai berikut: (1) Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) Ristek; (2) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Departemen; (3) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Daerah; (4) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Perguruan Tinggi; (5) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Swasta; dan (6) Dewan Riset Nasional (DRN) dan Dewan Riset Daerah (DRD). Berdasarkan data tersebut, lembaga litbang/perguruan tinggi yang melakukan penelitian dan pengembangan terbagi sesuai dengan kepentingan dan program kerja masing-masing lembaga litbang itu sendiri dan tujuan akhir dari kegiatan litbang masing-masing lembaga litbang/ perguruan tinggi itu adalah menghasilkan produk inovasi. Setiap kegiatan litbang untuk menghasilkan suatu produk inovasi yang memiliki nilai tambah bagi masyarakat memerlukan tahapan (proses) litbang. Tahapan (proses) penelitian tidak terlepas dari faktorfaktor penunjang serta sarana dan prasarana riset yang
FIRMANSYAH, ANALISIS KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK
memadai menjadi syarat utama keberhasilan penelitian, yaitu (1) adanya kesadaran masyarakat; (2) kecukupan dana yang memadai; (3) hasil penelitian harus diterapkan; (4) kebebasan dalam meneliti; dan (5) peneliti memiliki kualitas yang memenuhi syarat. Keberhasilan suatu kegiatan riset tidak hanya memerlukan bantuan dana (uang) saja, namun juga kepedulian dari masyarakat untuk mendukung kegiatan litbang, sehingga hasil penelitian dapat diterapkan di kehidupan masyarakat dan pada akhirnya dapat menjadi budaya bangsa. Agar kegiatan litbang berjalan dengan efektif, diperlukan faktor-faktor penunjang litbang serta sarana dan prasarana yang memadai. Begitu pula dengan pengalokasian dana pemerintah untuk membiayai aktivitas litbang dilakukan secara transparan dan terbuka, sehingga alokasi dana litbang tersebut menjadi efisien dan tepat guna. Jadi, pemerintah tidak perlu melakukan pemborosan uang untuk program kegiatan litbang yang sama. Dasar pemikiran ketiga yaitu rencana pembangunan nasional melalui kebijakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Pembangunan Indonesia telah dilakukan semenjak merdeka dari penjajahan negara asing. Pada saat itu pembangunan Indonesia dicanangkan dan dijalankan berdasarkan program Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang lebih mengutamakan pada sektor ekonomi dan pertahanan dan keamanan. Namun, pembangunan tersebut belum memperhatikan sektor ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis pada kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan produk inovasi. Pengembangan IPTEK nasional belum menjadi agenda utama pembangunan nasional saat itu. Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional berkaitan dengan kegiatan inovasi. Kegiatan inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/ atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi, dengan kata lain inovasi dapat diartikan sebagai proses dan/atau hasil pengembangan atau pemanfaatan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman untuk menciptakan (memperbaiki) produk (barang dan/atau jasa), proses, dan/atau sistem yang baru yang memberikan nilai (terutama ekonomi dan sosial) yang berarti (signifikan). Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka membangun peradaban bangsa. Sejalan dengan paradigma baru di era globalisasi yaitu Tekno-Ekonomi, teknologi menjadi faktor yang memberikan kontribusi siginifikan dalam peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Pentingnya pengembangan IPTEK ini telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2009-2014 dengan arah kebijakan
7
dalam Pe-ningkatan IPTEK yang ditujukan untuk: (a) mempertajam prioritas penelitian, pengembangan, dan rekayasa IPTEK yang berorientasi pada permintaan dan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha dengan roadmap yang jelas; (b) meningkatkan kapasitas dan kapabilitas IPTEK dengan memperkuat kelembagaan, sumberdaya, dan jaringan IPTEK di pusat dan daerah; (c) menciptakan iklim inovasi dalam bentuk pengembangan skema insentif yang tepat untuk mendorong penguatan struktur industri; dan (d) menanamkan dan menumbuhkembangkan budaya IPTEK untuk meningkatkan peradaban bangsa. Bidang ilmu pengetahuan dasar merupakan landasan kekuatan utama yang melekat/membudaya pada masyarakat untuk mendukung tujuan pengembangan program tersebut. Oleh karena itu, kemampuan sumber daya manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan dasar menjadi salah satu faktor berhasilnya arah kebijakan peningkatan kemampuan IPTEK. Arah kebijakan peningkatan kemampuan IPTEK yang tertuang dalam Buku Putih Indonesia 2005-2025 (2006) difokuskan pada enam bidang prioritas, yaitu (1) pembangunan ketahanan pangan; (2) penciptaan dan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan; (3) pengembangan teknologi dan manajemen transportasi; (4) pengembangan teknologi informasi dan komunikasi; (5) pengembangan teknologi pertahanan dan keamanan; dan (6) pengembangan teknologi kesehatan dan obatobatan. Berdasarkan arah kebijakan peningkatan kemampuan IPTEK, diketahui beberapa sektor pembangunan yang menjadi prioritas pemerintah, yaitu pembangunan ketahanan pangan, penciptaan dan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan, pengembangan teknologi dan manajemen transportasi, pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan teknologi pertahanan dan keamanan, dan pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan. Pemerintah memprioritaskan enam sektor pembangunan IPTEK yang merupakan sektor-sektor strategis yang mampu meningkatkan sumber daya manusia dan meningkatkan produk inovasi hasil litbang. Pembangunan ekonomi nasional melalui peran pajak tidak hanya dapat terlaksana hanya dengan fungsi pajak budgetair saja, namun masih terdapat fungsi pajak lainnya yaitu regulerend. Kebijakan pemberian insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia lebih mengarah kepada fungsi regulerend pemerintah untuk mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan gambar 4 terlihat kebijakan strategis pemerintah yang tertuang dalam peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia diharapkan dapat memperkuat landasan pembangunan dan mempercepat perkembangan IPTEK, mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan sumber daya IPTEK secara lebih efektif, menggalakkan pembentukan jaringan, dan mengikat semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah
8
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.1-14
Aktivitas Litbang
O U T P U T
M A N F A A T
C O N T O H M A N F A A T
Peningkatan pengetahuan dan keahlian
Keluaran yang mempengaruhi aktivitas masa depan
Manfaat langsung karena penggunaan lain dari hasil litbang (penggunaan tidak diketahui)
Manfaat kompetensi karena penggunaan pengetahuan dan keahlian bagi pemberian advis dan pemecahan masalah.
Manfaat sistem inovasi – karena inovasi yang lebih kuat dan/atau lebih efisien.
Hasil litbang yang pada akhirnya digunakan atau penggunaan litbang lain atas dasar hasil litbang yang bersangkutan – untuk pengembangan produk dan proses baru, dan lainnya.
a. Pengembangan peraturan pemerintah atas dasar advis dari peneliti. b.Pengembangan produk baru atas dasar keahlian yang diperoleh dari proses litbang.
Hasil Litbang
Manfaat langsung karena penggunaan hasil litbang bagi tujuan komersialisasi dan kebijakan pemerintah (penggunaan diketahui)
a. Pengembangan produk hasil litbang b.Pengembangan proses produksi yang baru atas dasar hasil litbang
a. Peningkatan aktivitas inovatif sebagi hasil yang berkembang selama proses litbang. b.Pengembangan produk baru menggunakan peralatan dan fasilitas yang tersedia sebagai hasil dari upaya litbang.
Gambar 4. Manfaat Ekonomi dari Upaya Litbang Sumber: Williams dan Rank (1998 ), diadopsi dari Advisory Council on Science and Technology (http://acst-ccst.gc.ca/intel/report-web2/).
daerah, maupun masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam usaha memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun beberapa sasaran kebijakan IPTEK adalah sebagai berikut: (1) meningkatnya kemampuan sumber daya manusia dalam menguasai, memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) meningkatnya sarana dan prasaran bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) meningkatnya kualitas dan kuantitas penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) berkembangnya pemanfaatan teknologi tepat guna bagi industri; dan (5) tertatanya kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dasar pemikiran keempat yaitu melaksanakan amanat dari Undang-Undang. Kemungkinan untuk menetapkan sumbangan perusahaan sebagai tax reliefs sangat bergantung pada kekuatan dan kelogisan alasan-alasan mengapa kebijakan ini perlu ditetapkan. Kebijakan ini ditetapkan bukan hanya justifikasi dari teori yang ada, tetapi juga berdasarkan dari pengalaman beberapa negara lainnya yang lebih dahulu menetapkan kebijakan yang serupa. Pemerintah lebih cenderung memilih insentif pajak berupa tax deduction atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan karena memiliki kelebihan berupa jumlah penerimaan pajak yang lebih besar dibandingkan menerapkan insentif pajak berupa tax credit. Kebijakan insentif pajak ini lebih mengarah pada fungsi pajak regulerend, namun tidak bisa dipungkiri
bahwa penerimaan pajak menjadi salah satu kebutuhan penting penerimaan negara untuk membiayai anggaran belanja negara. Upaya-upaya pemerintah melalui berbagai kebijakannya untuk menggenjot penerimaan negara dari sektor perpajakan tentunya harus ditimbang secara proporsional agar setiap kebijakan pajak tidak menimbulkan distorsi dalam perekonomian nasional (Fajar, 2005). Oleh karena itu, pemerintah menjalankan fungsi pajak regulerend tidak semata-mata mengabaikan fungsi pajak budgetair, sehingga kedua fungsi pajak ini dapat dijalankan secara bersamaan. Selain itu, pengaturan kegiatan litbang hanya boleh dilakukan di Indonesia merupakan salah satu pertimbangan khusus dalam penyusunan kebijakan ini. Penentuan ke-giatan litbang harus dilakukan di Indonesia adalah ditujukan untuk meningkatkan jumlah penciptaan hak kekayaan intelektual produk dalam negeri dan mempermudahkan pihak fiskus melakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan pembuktian alat bukti pembayaran (kuitansi) atas sumbangan tersebut. Selain itu, kegiatan litbang harus dilakukan di Indonesia agar dapat memberikan dampak pada penyerapan tenaga kerja peneliti dan tenaga pendukung peneliti, penggunaan bahan baku penelitian yang berasal dari dalam negeri, dan kemudahan pemerintah untuk mengawasi kegiatan litbang yang dianggap penting dan memiliki risiko tinggi jika tidak diawasi. Kebijakan insentif pajak atas sumbangan litbang
FIRMANSYAH, ANALISIS KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK
diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap sinyalemen bahwa fasilitas fiskal masih kurang optimal, meskipun fasilitas selain fikal yang ada sudah cukup memadai. Di masa mendatang, kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat integral dapat lebih dikembangkan dalam mengatasi permasalahan di masyarakat yang semakin kompleks dan lebih bersifat lintas sektoral, juga sekaligus meningkatkan efektivitas dari berbagai kebijakan pemerintah. Negara Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Oleh sebab itu, pemerintah dalam melaksanakan fungsinya harus berpedoman kepada konstitusi (hukum dasar) termasuk dalam hal melaksanakan pemungutan pajak. Peraturan Perundang-undangan menurut pasal 1 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dalam peraturan perundang-undangan terdapat hierarki hukum, yaitu UUD 1945, UU/PERPU, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan pemberkasan. Penyusunan kebijakan pemberian insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia juga melalui proses pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut yang melibatkan beberapa pihak (stakeholders). Santosa Yodo (2009) dalam laporan kerja “Peran Intermediasi dalam Membangun Kolaborasi Lembaga Litbang dan Industri” yang diunduh dari situs resmi Kementerian Negara Riset dan Teknologi memaparkan bahwa secara umum sistem yang mendukung peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional dalam menghasilkan prosuk hasil inovasi terdiri dari empat komponen utama, yaitu sistem pendidikan dan litbang, sistem industri, sistem politik, dan framework condition yang memungkinkan terjadinya interaksi antara pelaku dalam sistem inovasi. Proses pembuatan kebijakan ini melibatkan beberapa pihak (stakeholders) yang terdiri dari pihak pemerintah (departemen dan non-departemen), perusahaan dan asosiasi, serta lembaga nirlaba litbang dan perguruan tinggi. Undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang telah disahkan harus dilaksanakan oleh segenap masyarakat Indonesia. Salah satu asas pembentukan perundang-undangan yaitu “dapat dilaksanakan”. Yang dimaksud dengan asas ”dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Suatu pe-raturan pemerintah apapun bentuknya
9
tentu saja jika sudah disahkan harus dapat dilaksanakan oleh masyarakat. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j menetapkan bahwa sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah boleh dijadikan sebagai biaya fiskal, artinya bahwa biaya sumbangan litbang itu boleh diklaim sebagai pengurang penghasilan bruto untuk menghitung jumlah pajak penghasilan terutang di akhir tahun. Namun, yang menjadi permasalahan sekarang adalah belum dikeluarkannya peraturan perundang-undangan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), dan lainnya yang menjelaskan informasi ketentuan teknis lebih lanjut mengenai sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan ini. Kebijakan pemberian insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia merupakan kebijakan pajak baru yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagaimana yang diubah terakhir kali atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Sebagai sebuah kebijakan baru yang belum ada peraturan kebijakan yang mengatur sebelumnya, maka kebijakan ini belum mempunyai pedoman (patokan) untuk melakukan pembaruan (revisi) mengenai kekurangan yang tidak diatur pada peraturan perundang-undangan perpajakan sebelumnya. Evaluasi dilakukan untuk melakukan evaluasi untuk melengkapi kekurangan dan kendala yang dihadapi dari timbulnya kebijakan insentif pajak atas sumbangan litbang yang baru ditetapkan ini. Anatomi kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), pendidikan, dan industri dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu telaah dokumen kebijakan propenas dan peraturan perundangan di ketiga bidang tersebut dan analisis praktek pelaksanaan kebijakan dan program IPTEK, industri, dan pendidikan di lapangan dikaitkan dengan rumusan sinergi kebijakan yang ada. Dalam melakukan anatomi kebijakan pada ketiga bidang tersebut, tahapan analisis dilakukan melalui pengelompokkan kebijakan kedalam dua bentuk. Pertama, kebijakan yang bersifat arahan nasional, yaitu kebijakan bersifat makro, baik bersifat jangka panjang, menengah, dan pendek. Kebijakan yang ditampilkan dalam kajian ini adalah kebijakan dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas). Kebijakan arahan nasional di bidang IPTEK, pendidikan, dan industri yang dianalisis adalah kebijakan ketiga bidang tersebut dalam dokumen Program Pembangunan Nasional (Propenas), yang juga merupakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000. Kedua, kebijakan yang bersifat regulasi, dalam bentuk peraturan perundangan terhadap satu bidang tertentu. Bentuk peraturan perundangan tersebut, bisa dalam
10
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.1-14
Perusahaan/Asosiasi
Perguruan Tinggi
Lembaga Litbang
Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia
Masyarakat
Departmen Kehakiman dan HAM RI
Dewan Perwakilan Rakyat RI
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Departemen Keuangan Republik Indonesia
BKF - Depkeu RI
DJP - Depkeu RI
Presiden Republik Indonesia
UU No. 36 Tahun 2008 (Pasal 6 ayat (1) huruf j.)
Gambar 5. Proses Perumusan UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 6 ayat (1) huruf j tentang Sumbangan Dalam Rangka Kegiatan Penelitian dan Pengembangan yang dilakukan di Indonesia Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009
bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan sebagainya. Dalam kaitan ini dikaji substansi hukum pada beberapa perundangan di bidang pendidikan, IPTEK, dan industri, yaitu (a) pengembangan SDM dan pendidikan berupa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (b) penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; (c) perlindungan hak kekayaan intelektual (Intelektual Properti Right) berupa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten; dan (d) pengembangan industri berupa Undang-Undang Nomor 11/1970 tentang Penanaman Modal Asing. B. Implikasi Yang Ditimbulkan Implikasi pertama yang ditimbulkan adalah berpotensi meningkatnya minat perusahaan dan naiknya jumlah sumbangan perusahaan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia. Seiring dengan dikeluarkannya kebijakan pemberian insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia ini, diharapkan akan menaikkan minat kedermawanan pihak swasta untuk memajukan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, baik dalam hal kuantitas sumbangan (jumlah dana) dan kuantitas jumlah pendonor (perusahaan). Jika perusahaan telah mengeluarkan sumbangan (dana) untuk kegiatan litbang, maka perusahaan dapat membiayakan sumbangan tersebut di dalam perhitungan Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Badan. Seiring dengan potensi meningkatnya minat perusahaan untuk menyisihkan sebagian pendapatannya untuk mendanai kegiatan litbang, maka diharapkan akan berpengaruh pada peningkatan jumlah sumbangan yang terkumpul dari donatur (perusahaan). Hasil survei
yang dilakukan oleh PIRAC memperlihatkan meski lebih banyak (50%) yang belum memberi jawaban yang pasti apakah mereka akan menaikkan jumlah sumbangannya jika diberlakukan aturan pengurangan pajak karena telah menyumbang, tetapi cukup banyak responden (37%) yang merespon pertanyaan ini secara tegas menyatakan akan menaikkan jumlah sumbangannya jika diberi fasilitas tersebut. Ini adalah salah satu pertanda bahwa potensi sumbangan perusahaan akan semakin besar jika didukung oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Karena itu reaksi positif dunia usaha terhadap ide ini perlu ditindaklanjuti dengan memulai kampanye dengan mewacanakannya di tengah masyarakat serta melakukan advokasi peraturan hukum tersebut di lembaga legislatif (Saidi, 2003). Kebijakan insentif pajak atas sumbangan perusahaan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan tidak selalu diberi tanggapan (respon) positif oleh perusahaan karena kebijakan ini ibarat dua sisi mata uang yang berbeda. Kebijakan ini memiliki celah (lopeholes) yang dapat berakibat pada meningkatkan keinginan perusahaan (wajib pajak) untuk mengecilkan jumlah pajak terutang dengan melakukan skema transaksi penghindaran pajak yang sistematis. Jumlah sumbangan dana yang dikeluarkan oleh perusahaan ini yang menjadi perhatian penting bagi pihak otoritas pajak (Direktorat Jenderal Pajak) dalam mengawasi kebenaran pengeluaran dana (uang) tersebut yang dibebankan pada pos biaya sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan perusahaan. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri karena belum adanya Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diamanatkan Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Pemeriksaan dan pengawasan pajak ditujukan untuk menemukan indikasi praktik-praktik melawan ketentuan hukum perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak (perusahaan) dengan cara menyajikan laporan keuangan komersial dan pajak yang tidak benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Mengenai batasan jumlah sumbangan untuk kegiatan litbang ini tidak dibatasi dengan nominal angka, namun ada kriteria untuk melihat transaksi biaya sumbangan ini benar apa adanya. Selain itu, masih terdapat permasalahan lain yang menjadi perhatian otoritas pajak (Direktorat Jenderal Pajak) yaitu pengawasan mengawasi laporan pajak (Surat Pemberitahuan) yang disampaikan oleh wajib pajak (perusahaan). Jika wajib pajak (perusahaan) diindikasikan melakukan tindakan melawan hukum berupa tindakan pidana pajak dengan cara memasukkan komponen biaya sumbangan untuk kegiatan litbang dan mengklaim biaya fiskal untuk pengeluarannya itu, maka diperlukan pemeriksaan dengan cara melihat traksaksi yang dilakukannya. Respon yang diberikan dari wajib pajak
FIRMANSYAH, ANALISIS KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK
(perusahaan) atas kebijakan insentif pajak ini dibedakan menjadi dua, yaitu (1) respon positif, berpotensi naiknya minat perusahaan untuk ikut menyumbang dana untuk kegiatan litbang, namun tetap memperhatikan kondisi keuangan dan hasil bermanfaat pula bagi perusahaan dan (2) respon negatif, berpotensi naiknya tindakan pelanggaran yang akan dilakukan oleh perusahaan dengan memanfaatkan celah (lopeholes) dengan melakukan skema transaksi penghindaran pajak secara sistematis. Memperhatikan respon yang diberikan oleh wajib pajak (perusahaan) terhadap kebijakan insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan ini, maka langkah lebih lanjut dari pemerint-ah untuk melakukan evaluasi kebijakan sehingga kebijakan ini bisa tepat sasaran adalah penting untuk dilakukan. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi dan menghindarkan upaya perusahaan (wajib pajak) melakukan tindak pidana perpajakan berupa penghindaran pajak. Implikasi kedua yaitu meningkatnya konsentrasi lembaga litbang dan perguruan tinggi melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan produk inovasi. Kegiatan penelitian dan pengembangan produk inovasi yang ditujukan untuk komersialisasi setidaknya melibatkan dua belah pihak yang saling menunjang keberhasilan litbang itu sendiri. Pihak perusahaan sebagai pendonor dana mempunyai kepentingan untuk mengembangkan produk inovasi akan meminta bantuan kepada peneliti litbang dalam proses pengerjaannya. Sedangkan peneliti litbang berupaya untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan maksimal dan meminimalisir risiko kegagalan yang akan terjadi dari penelitian tersebut. Berdasarkan kepentingan litbang, maka kerjasama litbang dapat terbentuk dua bagian. Pertama, permintaan (technology request) yaitu sebuah penelitian dapat terjadi karena sebuah permintaan dari perusahaan kepada lembaga nirlaba litbang dan/atau peneliti untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada. Contoh: perusahaan manufaktur memiliki mesin pabrik produksi yang memiliki masalah dengan suaranya yang berisik. Perusahaan tersebut dapat meminta bantuan kepada lembaga nirlaba litbang dan/atau peniliti untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kedua, penawaran (technology offer) yaitu sebuah penelitian dapat terjadi karena sebuah penawaran yang dilakukan oleh peneliti dan/ atau lembaga litbang untuk mengkomersialisasikan produk inovasi hasil temuannya, agar dapat diproduksi masal dan dijual ke masyarakat. Dalam kasus ini, produk hasil inovasi telah ditemukan atau sebagian besar ditemukan, namun perlu bantuan perusahaan untuk memproduksi masal hasil temuan tersebut. Contoh: seorang peneliti menemukan indikasi bahan pangan baru yang terbuat dari kulit udang (bahan aktif kitosan) dan bahan ini sangat baik untuk kesehatan. Karena peneliti tersebut mempunyai kendala dan keterbatasan sumber daya manusia dan keuangan, maka peneliti tersebut menawarkan hasil produk inovasinya itu
11
kepada perusahaan untuk diproduksi masal dan dijual kepada masyarakat. Apabila sudah terjadi kesepakatan antara perusahaan dan lembaga litbang/peneliti untuk menciptakan suatu produk inovasi, maka dimulailah proses ke-giatan litbang itu sendiri. Di setiap tahapan aktivitas, kegiatan litbang memiliki berbagai resiko kegagalan, sehingga untuk menghasilkan produk litbang dibutuhkan langkah-langkah aktivitas litbang yang panjang dan memakan waktu. Berikut adalah tahapan (proses) yang dilalui untuk menghasilkan produk inovasi: (1) penelitian dasar; (2) prototype; (3) scalling up; dan (4) komersialisasi hasil produk litbang. Proses (tahapan) kegiatan penelitian dan pengembangan tidak selamanya akan berjalan mulus sampai berhasil ditemukannya produk inovasi, hal ini dikarenakan di dalam perjalanan tahapan aktivitas litbang akan ditemui berbagai masalah yang memungkinkan penelitian dan pengembangan itu mengalami kegagalan. Beberapa kendala tersebut adalah sebagai berikut (1) resiko; (2) biaya; (3) kecocokan; (4) tidak visible; dan (5) simply invisible. Memperhatikan beberapa kendala yang dihadapi ketika proses litbang yang lebih mengarah kepada kendala teknis, diharapkan dengan adanya kebijakan pemberian insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan mampu memberi dorongan kepada peneliti yang tergabung dalam lembaga litbang/perguruan tinggi untuk meningkatkan kinerja untuk menghasilkan produk inovasi hasil litbang. Dengan demikian, konsentrasi peneliti tidak terpecah dengan permasalahan dana (uang) yang menjadi salah satu faktor penunjang keberhasilan melakukan penelitian dan pengembangan produk. Implikasi ketiga yaitu terbukanya lapangan kerja baru. Sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009, pemerintah telah menetapkan sasaran-sasaran indikatif penurunan tingkat pengangguran menjadi 7% hingga 8%. Tantangan yang dihadapi pada tahun 2009 dalam memecahkan masalah ketenagakerjaan meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama, penciptaan kesempatan kerja terutama lapangan kerja formal seluas-luasnya. Tantangan ini tidak mudah untuk diatasi karena beberapa tahun terakhir ini, lapangan kerja informal masih dominan dalam menyerap tenaga kerja yang jumlahnya terus meningkat. Kedua, perpindahan pekerja dari pekerjaan yang memiliki produktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi. Ketiga, peningkatan kesejahteraan pada pekerja informal yang mencakup 70% dari seluruh tenaga kerja. Pemerintah menempuh beberapa kebijakan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan tersebut, yaitu pertama, menciptakan lapangan kerja formal seluas-luasnya, mengingat lapangan kerja formal lebih produktif dan lebih memberikan perlindungan sosial kepada pekerja dibandingkan sektor informal. Dengan kualifikasi ang-
12
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.1-14
Tabel 2. Jumlah Paten Yang Diberikan oleh Ditjen Hak Kekayaan Intelektual – Kemenkeh HAM 2I tahun 2002
Tahun
Dalam Negeri
Luar Negeri
Total
Paten
Paten Sedehana
Jumlah
Paten
Paten Sedehana
Jumlah
1994
5
26
31
54
7
61
92
1995
14
27
41
376
23
399
440
1996
19
41
60
883
17
900
960
1997
15
26
41
961
19
980
1.021
1998
10
6
16
1.021
157
1.365
1.380
1999
7
21
28
1.267
6
1.273
1.301
2000
5
13
18
1.048
8
1.056
1.074
2001
9
40
49
1.325
24
1.349
1.398
2002
21
51
72
2.471
14
2.485
2.557
2003
16
61
77
2.828
6
2.834
2.911
2004
28
68
96
1.870
21
1.891
1.987
Jumlah
150
391
541
14.291
307
14.598
15.139
Sumber: Ditjen HaKI Kemenkeh HAM RI, www.haki.go.id, 8 Maret 2009.
katan kerja yang tersedia, lapangan kerja formal yang diciptakan didorong ke arah industri padat karya, industri menengah dan kecil, serta industri yang berorientasi ekspor. Kedua, mendorong perpindahan pekerja dari pekerjaan yang berproduktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi dengan meningkatkan kualitas dan kompetensi pekerja. Peningkatan kualifikasi dan kompetensi pekerja dapat dilaksanakan antara lain dengan pelatihan berbasis kompetensi dan pelatihan melalui pemagangan di tempat kerja. Upaya-upaya pelatihan tenaga kerja perlu terus ditingkatkan dan disempurnakan agar peralihan tersebut dapat terjadi. Ketiga, mendorong sektor informal melalui fasilitas kredit Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para pekerja informal. Peningkatan ini dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan tingkat kesejahteraan antara pekerja informal dengan pekerja formal. Kegiatan litbang untuk menghasilkan produk inovasi memerlukan tenaga ahli (peneliti) dan tenaga pendukung (tenaga kerja administrasi, operasional teknis, dan pemasaran) yang saling bekerjasama. Semakin meningkatnya jumlah kegiatan litbang yang didukung dengan meningkatnya sumbangan masyarakat, diharapkan mampu meningkatkan aktivitas kegiatan yang dilakukan oleh lembaga litbang, sehingga mampu menyerap tenaga kerja. Implikasi yang keempat yaitu berpotensi meningkatnya produk inovasi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan serta penciptaan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Dikeluarkannya kebijakan insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan ini, memiliki dampak pada peneliti dan tenaga kerja lainnya yang berinteraksi langsung dengan proses penciptaan produk inovasi. Sebelum kebijakan ini ada, secara psikologis seorang peneliti akan memikirkan hambatan-hambatan yang akan
dihadapi sebelum dan/atau selama proses melakukan kegiatan litbang produk inovasi berjalan, salah satunya adalah pendanaan. Hasil yang ingin dicapai untuk menciptakan produk inovasi menjadi terhambat. Keterkaitan meningkatnya jumlah dana yang diterima oleh lembaga litbang dan jaminan kehidupan peneliti terhadap produktivitas kerja peneliti diharapkan mampu memberikan peluang bagi peneliti untuk tetap fokus melakukan kegiatan litbang produk inovasi. Seiring dengan meningkatnya produktivitas kerja peneliti, maka diharapkan pendaftaraan hak kekayaan intelektual atas paten dan hak cipta akan meningkat. Pengelolaan kekayaan intelektual pada dasarnya dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat, yang secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) mendapatkan keuntungan bisnis (finansial), (2) jaminan keamanan legal di masa datang (dasar bagi klaim legal atas penggunaan kekayaan intelektual secara “tidak legal” oleh pihak lain dan/atau perlindungan dari klaim legal atas HKI oleh pihak lain tentang penggunaan kekayaan intelektual tertentu), (3) akumulasi aset intelektual bagi peningkatan kapasitas (capacity building) individu dan lembaga (organisasi), dan (4) memperoleh pengakuan (acknowledgement) dan penghargaan (appreciation) atas kompetensi atau prestasi intelektual. Adapun tujuan dari penjaminan hak kekayaan intelektual adalah sebagai berikut (1) ditegakkannya peraturan Hukum Kekayaan Intelektual (HKI), memberi “kejelasan hukum” mengenai hubungan kekayaan intelektual penemu/pencipta, pemilik, perantara dengan yang menggunakan untuk jangka waktu tertentu; (2) memberikan “penghargaan” atas keberhasilan seseorang atau sekelompok orang, baik berupa karya cipta atau temuan dari hasil penelitian; (3) mempromosikan dengan “mempublikasikan penemuan atau karya cipta” secara terbuka bagi masyarakat dalam bentuk dokumen paten dan hak cipta; (4) mendorong atau merangsang
FIRMANSYAH, ANALISIS KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK
terciptanya suatu “alih informasi” melalui karya cipta serta “alih teknologi” melalui paten, menjadi penemuan yang lebih menguntungkan dari temuan sebelumnya tanpa kesepakatan dari pihak yang terkait; dan (5) memberikan perlindungan bagi “kemungkinan peniruan” karena temuan merupakan hasil dari suatu penelitian yang mengandung risiko akan ditiru orang lain untuk dikembangkan. Berdasarkan tabel 2 terlihat pengelompokkan pengajuan paten dari dalam negeri dan luar negeri. Paten yang diberikan kepada produk inovasi dalam negeri selama tahun 1993 sampai 2004 sebanyak 541 paten (relatif stabil dan tidak ada perubahan kenaikkan yang signifikan), berbeda dengan paten yang diberikan kepada produk inovasi luar negeri sebanyak 14.598 paten (meningkat pesat). Selain itu, perbandingan jumlah paten yang diberikan kepada produk inovasi dalam negeri dan luar negeri yang cukup jauh, yang mengakibatkan produk inovasi dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk inovasi luar negeri. Permasalahan yang lain yang terkait dengan hak kekayaan intelektual adalah pembajakkan hak cipta dan paten oleh pihak yang ingin memanfaatkan keuntungan komersil tanpa keinginan berusaha menciptakan karya sendiri. Tindakan pidana melanggar hukum ini dapat terjadi dan meluas salah satu faktor penyebabnya adalah tidak berjalannya proses hukum atas pelanggaran penyalahgunaan hak kekayaan intelektual kepada pelaku pembajakkan sehingga dapat memberikan efek jera. Mengingat pentingnya jaminan hukum atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan penciptaan produk inovasi hasil litbang, maka peraturan hukum mengenai paten dan hak cipta perlu dibenahi sehingga mampu memberikan payung hukum atas produk-produk inovasi hasil litbang. Berdasarkan laporan Business Software Alliance (BSA) dan International Data Corporation (IDC) dalam “Annual Global Software Piracy Study 2007”, Indonesia mempunyai angka pembajakan 84% di dunia atau berada di posisi ke-12, masih tergolong tinggi. Kendati masih tergolong tinggi, angka persentase pembajakan software telah mengalami penurunan dari 2006 yang mencapai 85% (Harifaningsih, 2009). Kebijakan pemberian insentif pajak kepada perusahaan yang menyumbangkan dana (uang) dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia diharapkan mampu meningkatkan jumlah pendaftaraan paten produk inovasi dalam negeri. Menyadari bahwa pengetahuan/teknologi masyarakat merupakan aset bangsa yang penting, upaya peningkatan pendokumentasian, pengembangan dan perlindungan hukum atas hak kekayaan intelektual (paten dan cipta) menjadi perhatian penting lainnya yang dihadapi pemerintah. Oleh karena itu, masih diperlukan proses hukum atas pelanggaran penyalahgunaan hak kekayaan intelektual guna melindungi hak pemilik paten dan cipta tersebut
13
Implikasi kelima yaitu potensi penerimaan negara berupa pajak dan non-pajak. Dampak yang dapat ditimbulkan dari kebijakan pemberian insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan salah satunya adalah potensi penerimaan negara. Dampak yang ditimbulkan dari kebijakan ini dikelompokkan menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang, sebagai berikut. Pertama, jangka pendek. Bagi pemerintah akan berdampak pada jumlah penerimaan pajak menjadi lebih kecil, karena jumlah pajak yang disetor oleh perusahaan kecil yang diakibatkan diakuinya biaya fiskal atas sumbangan perusahaan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia. Karena kebijakan insentif pajak ini baru berlaku sejak 1 Januari 2009, maka belum bisa diukur jumlah pajak yang berkurang dari klaim biaya fiskal perusahaan ini untuk tahun pajak 2009. Berdasarkan pernyataan di atas, kebijakan insentif pajak ini lebih mengarah untuk mempercepat tumbuhnya aktivitas litbang sebagai pondasi meningkatnya produk inovasi yang memiliki nilai komersial. Salah satu fungsi pajak yaitu fungsi regulerend, fungsi ini digunakan sebagai alat penggerak pencapaian tujuan nasional dengan mengesampingkan fungsi budgetair (penerimaan negara). Dampak kedua yaitu dampak jangka panjang. Salah satu indikator keberhasilan inovasi produk hasil litbang adalah komersialisasi produk litbang ke pasar, sehingga menghasilkan penerimaan dari hasil penjualan produk tersebut. Seiring dengan bertambahnya jumlah penerimaan negera sehingga mampu meningkatkan jumlah produksi massal produk inovasi tersebut, maka dampak jangka panjang bagi pemerintah dapat terlihat dari potensi penerimaan negara berupa pajak dan non-pajak. Potensi penerimaan negara berupa pajak, antara lain pajak penghasilan atas pendapatan yang diterima oleh perusahaan dan lembaga litbang dari hasil penjualan produk hasil litbang dan pajak pertambahan nilai dari harga jual produk tersebut di setiap jalur distribusi barang. Sedangkan potensi penerimaan negara non-pajak antara salah satunya adalah meningkatnya jumlah bantuan dana hibah dari pihak luar negeri untuk meningkatkan kualitas kegiatan litbang di dalam negeri karena telah mengembangkan produk inovasi yang mempunyai nilai komersial di pasar internasional. Gunadi (2005) berpendapat bahwa kebijakan insentif pajak ini memiliki rangkaian dampak yang berpengaruh pada sektor-sektor perekonomian negara (multiply effects) dalam jangka panjang nanti. KESIMPULAN Dasar pemikiran kebijakan pemberian insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia adalah untuk mengakomodir tren pemberian sumbangan perusahaan yang semakin meningkat sebagai rasa
14
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.1-14
kepedulian perusahaan untuk membantu kesejahteraan, dan kemandirian bangsa, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan pendidikan; mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh lembaga litbang yang tidak bisa fokus terhadap kegiatan litbang produk inovasi karena terbatas oleh kendala pembiayaan litbang; menyukseskan rencana pembangunan nasional melalui kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka membangun peradaban bangsa; dan melaksanakan amanat Undang -Undang yang terkait dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sistem pendidikan nasional, serta penguasaaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersinergi dengan ketentuan peratur-an perundang-undangan perpajakan, khususnya pajak penghasilan. Implikasi yang ditimbulkan dari kebijakan pemberian insentif pajak atas sumbangan dalam rangka kegiatan dan penelitian yang dilakukan di Indonesia adalah berpotensi meningkatnya minat perusahaan dan jumlah sumbangan perusahaan untuk mendanai kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia; meningkatnya konsentrasi lembaga nirlaba litbang dan perguruan tinggi untuk melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan produk inovasi; terbukanya lapangan kerja baru berupa tenaga peneliti baru dan tenaga pendukung litbang; meningkatnya produk inovasi hasil litbang, khususnya produk inovasi dalam negeri sehingga berdampak pada naiknya jumlah penciptaan hak kekayaan intelektual; dan potensi penerimaan negara berupa pajak dan non-pajak dalam jangka waktu pendek dan panjang. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Hamid, Yuni Kusumawati, dan Zaim Saidi. 2007. Kebijakan Insentif Perpajakan untuk Organisasi Nirlaba: Pembelajaran dari Mancanegara. Depok: Piramedia. Advisory Council on Science and Technology. http://acst-ccst.gc.ca. Bailey, Kenneth D. 1999. Methods of Social Research. New York: The Free Press. Baghana, Rufin and Pierre Mohnen. 2002. Effectiveness of R&D Tax Incentives in Small and Large Enterprise in Quebec, Canada. Canada: OECD Tax Guideline for Scientific and Experimental Development.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Creswell, John W. 2003. Researh Design: Qualitative and Quantitative Approaches (Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatitif), disunting oleh Aris Budiman, Bambang Hasbroto, Chryshnanda. Jakarta: KIK Press. Fajar, Mohammad. 2006. Perlakuan Pajak Penghasilan atas Uffit pada Industri Hulu Migas. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.14, No.3 (September). Guba, Egon G. and Yvonna S. Lincoln. 1985. Naturalistic Inquiry. California: SAGE Publications. Gunadi. 2005. Akuntansi Pajak. Jakarta: PT. Grasindo. Hasil Penelitian Bermanfaat, Perusahaan Bebas Pajak. Warta Kota, 25 Juli 2007. Judisseno, Rimsky K., Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. 2006. Buku Putih Indonesia 2005-2025: Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta. Neuman, W. Laurence. 2006. Social Research Method: Qualitative and Quantitative Approach. USA: Pearson Education Inc. Ning, Rahayu. 2005. Kebijakan Investasi Asing (Foreign Direct) di Indonesia dan Vietnam. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.13, No.1 (Januari). Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. www. bappenas.go.id. 2009. Purba, A.Zen Umar. 2009. Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. www.haki.go.id. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 78. Saidi, Zaim. 2003. Sumbangan Sosial Perusahaan. Jakarta: Piramedia. Shome, Parthasarathi. 1995. Tax Policy Handbook. Washington DC: International Monetary Fund. Soemitro, Rochmat. 1988. Pajak dan Pembangunan. Bandung: PT. Eresco. Yodo, Santoso. 2009. Peran Intermediasi dalam Membangun Kolaborasi Lembaga Litbang dan Industri. www.ristek.go.id.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Jan–Apr 2010, hlm. 15-30
ISSN 0854-3844
Volume 17, Nomor 1
EKSISTENSI BPKP DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN AGUNG SUSENO1* 1
Pasca Sarjana Ilmu Administrasi FISIP UI
Abstract. The existence of BPKP financial and development control is still in dilemma, because in the process of controlling it still encounters problems. This research aimed to describe the controlling process, the controlling problem, and the performance of BPKP (Board of Finance and Development Control). This research used qualitative approach with the method of in-depth interview. The result of this research indicated that BPKP still encountered problems such as human resource quality, budgets, facilities, working method, negative perception from society, and dominant external controller. Despite all the problems, BPKP still plays an important role in controlling Indonesian finance and development. Keywords: controlling process, controlling problem
PENDAHULUAN Reformasi telah memberikan dampak yang signifikan bagi Indonesia. Tidak hanya pada pemegang kekuasaan tetapi reformasi juga telah mengubah sistem pengawasan dan tata pemerintahan. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah salah satu lembaga pengawas internal pemerintah yang memegang peranan penting dalam pengawasan. Sejak Orde Baru (Orba), lembaga ini diberi wewenang yang besar untuk melakukan pengawasan di Indonesia. Namun, setelah tumbangnya rezim Orba, lembaga ini justru dikebiri fungsinya secara perlahan-lahan. Penguatan kembali fungsi-fungsi lembaga pengawas eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Inspektorat Jendral (Itjen) dan Inspektorat Daerah (Itda) membuat fungsi yang selama ini dijalankan oleh BPKP berkurang. Objek pengawasan yang berada di BUMN/D juga telah digantikan fungsi pengawasannya oleh akuntan publik. Pengawasan tidak disertai dengan pendistribusian otoritas baik secara internal kepada bawahan maupun secara eksternal kepada instansi-instansi lain yang terkait dengan pelayanan publik (Prasojo,2006). Padahal, pengawasan yang terkotak-kotak atas pengawasan bidang pemerintahan, bidang keuangan, bidang pembangunan, dan bidang kesejahteraan sebenarnya memiliki satu teori dalam bangun mekanismenya (Maksum, 2006). Kondisi di atas memunculkan isu pembubaran BPKP sebagai lembaga pengawas. Penyebabnya, dengan membubarkan BPKP maka akan tercipta kondisi yang efisien dan efektif dalam pengawasan. Lembaga yang dijadikan “kambing hitam” adalah BPKP. Pertama, fokus pengawasan BPKP hanya pemeriksaan keuangan, sedangkan pengawasan terha*Korespondensi: +628561262262 ;
[email protected]
dap pembangunan belum dijalankan dengan baik. Kedua, transparansi dari pengawasan yang dilakukan oleh BPKP juga hanya beredar pada kalangan tertentu saja, terutama elit birokrasinya. Menurut Alfred (1988), tujuan pengawasan adalah menjamin pekerjaan mengikuti rencana; mencegah kekeliruan; memperbaiki efisiensi; mewujudkan ketertiban pada pekerjaan; menjajaki dan memperbaiki kekeliruan secara lebih mudah dan meyakinkan; mengenali dan menggambarkan prestasi yang maksimal; dan memperbaiki kualitas manajemen secara keseluruhan. Menurut Hidayat, dkk (2005) di dalam melakukan pengawasan, terdapat kendala-kendala yang dihadapi. Kendala-kendala yang dihadapi antara lain: pertama, pejabat yang salah menangkap makna dan esensi sesungguhnya terhadap tugas-tugas pengawasan. Kedua, persepsi beberapa pihak bahwa pengawasan hanya untuk mencari-cari kesalahan. Ketiga, sikap apatisme dan tidak mau peduli karena menilai pengawasan sudah dilakukan secara fungsional, padahal pengawasan merupakan salah satu fungsi manaje-men yang sejajar dengan fungsi lainnya. Keempat, di kalangan tertentu adanya perasaan ewuh pakewuh dalam melaksanakan pengawasan, sehingga nampak ada kontroversi antara rasa kebersamaan dengan sikap lugas dalam melaksanakan tugas. Kelima, kesalahan dalam menempatkan seseorang pada kedudukannya, sehingga kurangnya penguasaan atasan terhadap substansi masalah yang harus diawasi. Keenam, kolusi atau persekongkolan antara pimpinan dan bawahan. Ketujuh, ketakutan akan timbulnya reaksi karena pimpinan mempunyai kelemahan sendiri yang mungkin akan dibongkar bawahan. Terakhir, kebiasaan menyenangkan pimpinan, asal atasan senang sehingga memastikan kreativitas dan inovasi serta hilangnya objektivitas. Alfred (1988) berpendapat bahwa pengawasan mempunyai karakteristik, yaitu antara lain pengawasan mudah dipahami; pengawasan memberikan informasi yang
16
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 15-30
akurat dan tepat waktu; pengawasan bersifat ekonomi; dan pengawasan diterima oleh pekerja atau pegawai dan pimpinan. Suatu pengawasan akan bermakna bilama-na dapat memainkan peranannya dengan baik. Indikatornya adalah sebagai berikut (Hidayat dkk., 2008) pihak yang diawasi merasa terbantu, sehingga dapat mencapai visi dan misinya secara efektif dan efisien; dapat menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi, dan akuntabilitas; dapat menimbulkan suasana saling percaya di dalam dan di luar lingkungan operasi organisasi; dapat meningkatkan akuntabilitas organisasi; dapat meningkatkan kelancaran operasi organisasi; dan dapat mendorong terwujudnya good governance. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan proses dan hambatan-hambatan yang terjadi dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di BPKP; dan eksistensi BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di Indonesia. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif (Neuman,2006). Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui bagaimana eksistensi BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di Indonesia. Berdasarkan tujuan penelitian, jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif yang memiliki perhatian menyajikan gambaran yang lengkap tentang BPKP, proses dan hambatan yang dihadapi dalam pengawasan keuangan dan pembangunan, serta eksistensi BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di Indonesia. Berdasarkan manfaat penelitian, penelitian ini termasuk dalam penelitian murni yang memiliki orientasi akademis dan ilmu pengetahuan yang menjelaskan pengawasan di dalam BPKP. Berdasarkan dimensi waktunya, jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian cross sectional. Metode yang dipakai pada penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan strategi analisis data kualitatif tipe the illustrative method. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengawasan merupakan bagian yang tidak pernah terpisahkan dalam fungsi manajemen. Walaupun pengawasan merupakan bagian terakhir dalam urutan manajemen organisasi, namun keberadaan dalam urutan tersebut tidak mengurangi fungsi vitalnya dalam manajemen. Pengawasan digunakan sebagai salah satu alat ukur dimana roda organisasi dapat berjalan dengan baik atau tidak dalam pencapaian tujuan suatu organisasi. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Robert Kreitner (1992) “control
is the process of taking the necessary preventive or corrective actions to ensure that the organization’s mission and objectives are accomplished as effectively and efficiently as possible”, bahwa pengawasan dijadikan sebagai alat pemastian untuk tercapainya tujuan secara efektif dan efisien. Pengawasan tidak hanya berlaku pada skala manajemen kecil saja, melainkan organisasi setingkat negara juga membutuhkan pengawasan. Pengawasan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan negara, khususnya dalam pengelolaan keuangan negara. Keuangan negara merupakan bagian yang perlu diawasi karena jika tidak diawasi akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan negara bahkan akan menyebabkan kerugian bagi negara itu sendiri. Segala urusan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan negara, khususnya dalam hal keuangan negara, harus diiringi dengan pengawasan agar berjalan sesuai dengan tujuan dan aturan yang telah ditetapkan. Suatu negara pasti memiliki tujuan dan untuk mencapai tujuan tersebut salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melaksanakan fungsi pengawasan dengan mendirikan lembaga-lembaga pengawas. Lembagalembaga pengawas yang dibentuk ini memiliki karakteristik berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini salah satu cirinya dapat dilihat dengan adanya lembaga pengawas eksternal dan lembaga pengawas internal. Gunawan dkk. (2007) menjelaskan salah satu jenis pengawasan dapat dibedakan berdasarkan subjeknya, yaitu pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Di Indonesia, pengawasan juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengawasan internal dan pengawasan eksternal, dimana setiap pengawasan tersebut memerlukan lembaga untuk menanganinya. Lembaga pengawas eksternal yang berada dalam pemerintahan adalah BPK. Pemerintah sendiri mempunyai lembaga pengawas internal yaitu APIP yang terdiri atas inspektorat kabupaten, inspektorat provinsi dan itjen. Selain itu, lembaga pengawas internal yang berada di bawah presiden adalah BPKP. BPK sebagai lembaga pengawas eksternal memiliki tanggung jawab untuk memberikan hasil pemeriksaannya terhadap DPR, DPD, dan DPRD. Jenis pemeriksaan yang dilakukannya beragam, seperti pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang dihasilkan oleh pemerintah, pemeriksaan kinerja, pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dan lain-lain. Itda baik tingkat I dan tingkat II juga memiliki peranan dalam pengawasan yang ditugaskan oleh kepala daerah, pengguna dari laporan adalah kepala daerah. Itjen memiliki tugas untuk melakukan pengawasan dan hasil laporannya diserahkan kepada kepala lembaga atau kepala departemen. Lembaga terakhir yang memiliki tugas untuk melakukan pengawasan internal presiden, yaitu BPKP, merupakan lembaga pembina untuk implementasi sistem pengendalian intern pemerintah dan juga memiliki fungsi pengawasan yang dilakukan di seluruh Indonesia.
SUSENO, EKSISTENSI BPKP DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
17
Kegiatan Pengawasan BPKP
Pre-emtif
Preventif
Represif
Sosialisasi dan konsultasi
Bimbingan teknis, pengembangan/penyusunan sistem, kajian, inventarisasi BMN, assessment GG, pelayanan publik, audit keuangan, kinerja, operasiobnal, dan tujuan tertentu
Audit investigasi, perhitungan kerugian Negara, dan memberikan keterangan ahli
Gambar 1. Kegiatan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP Sumber: LAKIP BPKP 2008
Lembaga-lembaga pengawas baik eksternal dan internal tersebut memiliki peran penting dalam penyelenggaraan negara, terkhusus yang menjadi perhatian dalam penelitian saat ini adalah lembaga pengawas internal pemerintah yang dilakukan oleh BPKP. BPKP dalam kegiatan pengawasan memegang peranan untuk melakukan pengawasan di seluruh Indonesia. Peranan pengawasan yang diberikan begitu besar ini setidaknya akan menimbulkan hambatan dalam pengawasan. Hambatan itu muncul baik dari sisi internal ataupun eksternal BPKP, mulai dari SDM, keuangan, peralatan pengawasan, dan lain-lain. Berbagai macam hambatan yang timbul ini menyebabkan eksistensi BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan merupakan isu yang menarik untuk dipelajari. A. Proses Pengawasan Keuangan dan Pembangunan di BPKP Proses pengawasan yang dilakukan oleh BPKP selama ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pengawasan dilakukan di awal, di tengah, dan di akhir periode. Di awal dan di tengah periode, BPKP melakukan tindakan pre-emtif dan preventif sedangkan di bagian akhir dilakukan dengan represif. Tindakan pre-emtif dilakukan dengan cara sosialisasi dan deseminasi. Tindakan preventif dilakukan dengan cara bimbingan teknis dan asistensi. Sedangkan tindakan represif dilakukan dengan cara audit investigasi. Di BPKP, pengawasan pre-emtif dan preventif dikelompokkan ke dalam fungsi pembinaan. Pembinaan ini dilakukan terhadap lembaga-lembaga pemerintah baik departemen, non-departemen maupun BUMN/D. Berbeda dengan kedua pengawasan tersebut, pengawasan represif merupakan pengawasan yang bersifat pemeriksaan. Hal ini dilakukan karena dalam perjalanan proses pe-ngawasan ditemukan penyimpangan-penyimpangan sehingga diperlukan pemeriksaan lebih lanjut atas penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan. Hal senada juga diungkapkan oleh Wursanto IG (1986) bahwa menurut waktu pengawasan, terdapat
pengawasan preventif dan represif dimana represif merupakan pengawasan yang dilakukan setelah terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Menurut data tahun 2008, kegiatan sosialisasi dilakukan sebanyak 742 kali di daerah-daerah. Sosialisasi ini bisa berbentuk sosialisasi LAKIP, anggaran berbasis kinerja, manajemen resiko, dan lain-lain. Kegiatan sosialisasi ini dilaksanakan di daerah Jakarta, Kutai, Samarinda, Palu, Halmahera, Bali, Deli Serdang, Medan, Nias, Tanjung Balai, Bontang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Lampung, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, dan sebagainya. BPKP melakukan 404 asistensi yang tersebar di seluruh pemerintah kota, kabupaten, dan provinsi. Di samping itu, asistensi ini juga dilakukan perwakilan-perwakilan BPKP di setiap provinsi dan BUMN/D. Koordinasi dan Forum Koordinasi dilaksanakan di Jakarta dan Yogyakarta sebanyak lima kali. Koordinasi dilakukan dengan pihak penyidik, yaitu kejaksaan dan kepolisisan. Selain itu, koordinasi juga dilakukan dengan pemda/ instansi lain di daerah. Forum koordinasi dilaksanakan berkaitan dengan kegiatan penyidikan/investigasi. Evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, LAKIP, kinerja, atas OPAD, atas program peningkatan kinerja, dan efektivitas pelaksanaan program dilaksanakan sebanyak 2.518 kali. Evaluasi tersebut dilaksanakan di Aceh Utara, NTT, Bali, Pagar Alam, Balikpapan, Gunung Mas, Sikka, Banjo, Jakarta, Flores, Gayo Lues, Halmahera, dan sebagainya. BPKP telah melaksanakan 5.341 kali berupa audit selama tahun 2008 dilaksanakan tersebar di seluruh Indonesia, baik PDAM, Pearl Oil, Bantuan Langsung, Ujung Pandang, Salatiga, Lombok Tengah, Nunukan, Sumbawa, Tegal, Tanah Toraja, Pare-Pare, Jeneponto, Maros, Mamuju, Bontang, Blora, Lampung Selatan, Samarinda, Musi Rawas, dan sebagainya. Audit tersebut berupa audit operasional, audit keuangan, audit kinerja, audit investigasi, audit dana bantuan, dan audit umum. Tabel 1 menunjukkan kegiatan pengawasan yang dilakukan
18
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 15-30
Tabel 1. Program Kerja Pemeriksaan Tahunan (PKPT) BPKP tahun 2008
Kegiatan
Jumlah
Daerah (Instansi Pemerintah Kota, Kabupaten, dan POLRI)
Asistensi
404
Bogor, Ciamis, Indramayu, Cimahi, Samarinda, Kalimantan Timur, PDAM, Jawa Tengah, Wonogiri, Cepu, Kendari, Bombana, Kolaka Utara, dsb.
Koordinasi dan Forum Koordinasi
5
Yogyakarta dan Jakarta
Sosialisasi
742
Jakarta, Kutai, Samarinda, Palu, Halmahera, Bali, Deli Serdang, Medan, Nias, Tanjung Balai, Bontang, NTT, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Lampung, NAD, Sumatera Utara, dsb.
Audit
5.341
PDAM, Pearl Oil, Bantuan Langsung, Ujung Pandang, Salatiga, Lombok Tengah, Nunukan, Sumbawa, Tegal, Tanah Toraja, Pare-Pare, Jeneponto, Maros, Mamuju, Bontang, Blora, Lampung Selatan, Samarinda, Musi Rawas, dsb.
Evaluasi
2.518
Aceh Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali, Pagar Alam, Balikpapan, Gunung Mas, Sikka, Banjo, Jakarta, flores, Gayo Lues, Halmahera, dsb.
Bantuan Teknis, Tenaga, dan Operasional
208
Dumai, NAD, Kampar, Banten, Denpasar, Irian Jaya, Muara Enim, Sumatera Selatan, Yogyakarta, Bengkulu, Sulawesi Selatan
Bantuan Luar Negeri (ADB, IBRD, UNDP, dan IDA)
2.262
Mamasa, Lombok Tengah, Dompu, Kediri, Ciamis, Jene Ponto, dsb
Deseminiasi
5
Jakarta
Bimbingan Teknis
1.171
Pemerintah Kota dan Kabupaten
Review
149
Bogor, Ujung Pandang, Jakarta, Pontianak, Jambi, Bandung, Medan, Kolaka, Kendari, Gorontalo, dsb.
Kajian
39
Jakarta
Pendampingan
436
Cimahi, Bandung, Jakarta, Malang, Nganjuk, Pasuruan, Ponorogo, Kediri, Madiun, Magetan, dsb.
Pemberian Keterangan Ahli
1.054
NAD, Lampung, Sumatera Selatan, Jakarta, Jambi Riau, NTT, Banten, Bali, Sulawesi Tenggara, dsb.
Perhitungan Kerugian Negara
730
Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara, Bali, Jakarta, Sulawesi Tenggara, dsb.
Kegiatan-kegiatan lain
1.063
BUMN, BUMD, Pemda, dsb.
Sumber: Data diolah kembali, PKPT 2008 Tabel 2. Realisasi Pencapaian Kinerja Program tahun 2008
Kegiatan Pengawasan
Rencana Penugasan
Realisasi Penugasan
Capaian (%)
- Audit dengan Tujuan Tertentu
735
748
101,77
- Audit Investigasi
462
527
114,07
- Audit Keuangan
1.506
1.577
104,71
- Audit Kinerja
830
1.112
133,98
- Audit Operasional
897
1.133
126,31
- Perhitungan Keuangan Negara
911
1.437
157,74
Jumlah
5.341
6.534
122,34
Audit
Sumber: Data diolah kembali LAKIP BPKP 2008
oleh BPK. Dari data tabel 1, audit menduduki peringkat teratas dengan jumlah yang dilaksanakan oleh BPKP yaitu sebanyak 5.341 kali. Dari nilai tersebut, BPKP telah mengerjakan tugas tersebut lebih dari target yang dimilikinya. Berdasarkan LAKIP BPKP 2008, BPKP
telah mampu menyelesaikan audit sebanyak 6.534 kali. Selain itu BPKP telah mendapatkan predikat memuaskan karena capaian terhadap audit tersebut melebihi angka 100% dari target yang telah ditetapkan, rentang capaian BPKP tepatnya 122,34%. Tabel 2 menunjukkan data audit yang ditargetkan dan realisasi
SUSENO, EKSISTENSI BPKP DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
19
Gambar 2. Konfigurasi Domain Pengawasan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Negara Sumber: LAKIP BPKP 2008
audit yang telah dilakukan oleh BPKP: Tabel 2 mencerminkan bahwa dalam pengawasan internal pemerintah terdapat pos-pos untuk melakukan pengawasan represif atau audit. Walaupun BPKP melakukan audit, namun audit tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh BPK. Tindakan BPKP sebagai auditor internal pemerintah tidak memberikan opini terhadap lembaga yang diperiksanya sedangkan BPK memberikan opini. Opini yang dikeluarkan oleh BPK, misalnya wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian dan disclaimer terhadap lembaga yang diperiksanya. Perbedaan lain antara BPK dan BPKP juga terlihat dari pelaporan yang dibuat oleh masing-masing lembaga. BPK sebagai lembaga pengawasan eksternal pemerintah hasil pemeriksaan yang dilakukannya dilaporkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sebagai perwakilan masyarakat, sedangkan BPKP memberikan hasil pengawasan yang dilakukan kepada presiden. Pada alur review yang dilakukan oleh BPKP, selama ini dimulai dari Departemen Keuangan yang memberikan surat perintah kepada itjen untuk menghubungi BPKP dalam me-review laporan keuangan, kemudian dikeluarkan rekomendasi atas re-view yang dikeluarkan oleh BPKP. Setelah itu, laporan keuangan dikembalikan untuk dilakukan perbaikan oleh Depkeu atas rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPKP. Jika laporan tersebut telah selesai, maka diberikan kepada presiden untuk disahkan sebagai laporan keuangan pemerintah. Alur pengawasan selama ini dilakukan oleh BPKP,
yaitu menteri meminta kepada BPKP untuk melakukan review terhadap pelaksanaan keuangan, semisal PNBP. Setelah melakukan review, BPKP memberikan rekomendasi terhadap laporan keuangan tersebut, lalu dengan mengkombinasikan laporan keuangan dan target pencapaian negara, Menkeu meminta agar PNBP ini dapat melonjak setiap tahunnya. Gambar 2 menjelaskan bagaimana proses dalam pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawasan internal pemerintah. Dari gambar tersebut terlihat bahwa setiap lembaga pengawas memiliki jenjang dan tugas yang berbeda. Di samping itu, pengawasan yang dilakukan oleh masing-masing lem-baga pengawas juga dibedakan atas dasar kategori pengawasan, ruang lingkup pengawasan, tujuan pengawasan, dan kompetensi dari SDM yang dimiliki. Garis koordinasi dapat ditunjukkan dalam gambar tersebut bahwa dari tingkat terendah, menengah, tinggi, dan berakhir di presiden. Alur review di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Handoko (2003) bahwa terdapat tahap-tahap dalam proses pengawasan. Tahap-tahap tersebut, yaitu tahap pertama dengan melakukan penetapan standar (standar-standar fisik, standar-standar moneter, dan standar-standar waktu). Pada tahap dua dengan melakukan penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan. Pada tahap tiga dengan melakukan pengukuran pelaksanaan kegiatan. Pada tahap empat dengan melakukan pembandingan pelaksanaan dengan standar dan analisa penyimpangan. Terakhir pada tahap lima dengan melakukan pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan.
20
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 15-30 Tabel 3. Audit Dana Dekonsentrasi yang Dilakukan oleh BPKP No
Kegiatan
Daerah
1
Audit Operasional Dana Dekonsentrasi atas Program Bantuan dan Jaminan Sosial Provinsi Gorontalo Tahun 2007/2008
Kota Gorontalo
2
Audit Operasional Dana Prov. Sulawesi Utara Dekonsentrasi atas Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Propinsi Sulawesi Utara Tahun 2007/2008
3
Audit Operasional Dana Dekonsentrasi Departemen Sosial pada Dinas Sosial Provinsi Banten Tahun Anggaran (TA) 2007 & 2008
Prov. Banten dan Jawa Barat
4
Audit Operasional Dana Dekonsentrasi pada Perpustakaan Nasional
Kota Banda Aceh, Medan, Padang, Pekan Baru, Jambi, Bengkulu, Bandar Lampung, Jakarta Selatan, Kab. Serang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Palu, Kendari, Ujung Pandang, Kupang, Ambon, Jayapura, Gorontalo, Kab. Tanjung Pinang, Ternate, Mataram, Mamuju, Manado, Palembang, Bangka Belitung
5
Audit Operasional Dana Kota Samarinda Dekonsentrasi Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Terpencil dan Penyandang Masalah Lainnya Sumber: data diolah kembali, PKPT 2008
Proses yang dilakukan BPKP dalam pengawasan selama ini dengan merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Handoko memiliki kemiripan. Ketika awal pemeriksaan terhadap keuangan pemerintah, BPKP melakukan penyiapan pegawai yang akan mereview laporan tersebut atas permintaan dari Menteri Keuangan. Terakhir ketika laporan tersebut sudah selesai, jika timbul adanya penyimpangan maka akan diberikan rekomendasi. Sebelum diserahkan ke presiden, Depkeu memperbaiki atas rekomendasi yang diberikan oleh BPKP. Namun proses yang selama ini dijalankan ole BPKP belum terdefinisikan dengan jelas, bahkan hal itu sudah menjadi masalah pada skala pengawasan nasional karena definisi pengawasan yang diterapkan di Indonesia juga belum terdefinisikan dan menyebabkan kegiatan pengawasan tidak berlangsung secara terusmenerus. Hal ini terjadi pada pengawasan internal yang dilakukan oleh BPKP. Selama ini dekonsentrasi Depdagri belum pernah merasakan pengawasan yang dilakukan oleh BPKP. Dekonsentrasi Depdagri hanya mengetahui yang mengawasi dan memeriksa selama ini adalah Itjen dan BPK, sedangkan BPKP tidak pernah memeriksa dana-dana dekonsentrasi Keaktivan BPKP dalam pengawasan belum terlihat oleh lembaga lain, khususnya karena selama ini, pengawasan yang dilakukannya dilihat telah diganti-
kan posisinya oleh BPK. BPKP dalam program kerja tersebut telah melaksanakan pemeriksaan atas dana dekonsentrasi yang diberikan ke setiap daerah. 70 kali BPKP melakukan audit atas dana dekonsentrasi pada daerah, semisal Banda Aceh, Medan, Padang, dan lain-lain. Dana dekonsentrasi yang diaudit oleh BPKP adalah dana dekonsentrasi Perpustakaan Nasional, Departemen Sosial pada Dinas Sosial, pemberdayaan fakir miskin, komunitas terpencil dan penyandang masalah lainnya, program bantuan dan jaminan sosial, dan program pelayanan dan rehabilitasi sosial. Tabel 3 terlihat bahwa BPKP telah melakukan pengawasan atas dana dekonsentrasi. Ketidakutuhan tersebut salah satu cerminnya dari dana dekonsentrasi tersebut. Hal ini terjadi karena BPKP tidak melakukan pengawasan atau pemeriksaan secara langsung terhadap dana dekonsentrasi melainkan hanya mengambil sampel data dari Depkeu. Di samping itu, BPKP juga bisa tidak melaporkan akan dilakukan pemeriksaan ke daerah tertentu kepada depdagri atau departemen pemberi tugas dekonsentrasi. Kemalasan instansi pemerintah terhadap pelaporan itulah yang menjadi penyebab BPK dalam opininya selalu memberikan pernyataan tidak berpendapat atau disclaimer atas laporan pemerintah. Bob Ronald F. Sagala mengemukakan terhadap lembaga pemerintah yang tidak mau menyampaikan
SUSENO, EKSISTENSI BPKP DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN 21
Presiden
3
1
2
1
2
Kepala Daerah
BPKP
3
2
Menteri Keuangan
5
4
5
5
Inspektorat Daerah 4
Desentralisasi
Menteri-menteri RI (min. menteri keuangan) 3
Inspektorat Jendral Depkeu
Dekonsentrasi
4
&
Inspektorat Jendral Departemendepartemen Program-program kerja
Tugas Perbantuan
Gambar 3. Alur Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
Ket. Gambar: 1 = Garis kewenangan 2 = Garis koordinasi antar lembaga-lembaga negara di bawah presiden 3 = Garis pelaporan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pegawas 4 = Garis pengawasan terhadap program lembaga 5 = Garis koordinasi antar lembaga pengawas
laporan dan mencari data ke tempat lain, diindikasikan terjadi ketidakharmonisan hubungan antarlembaga pengawas internal pemerintah. Masing-masing lembaga mempertahankan ego yang menyebabkan terlihatnya arogansi masing-masing lembaga. BPKP sebagai lembaga pengawas internal pemerintah, saat ini juga tidak melakukan pengawasan kecuali berdasarkan atas Memorandum of Understanding (MoU) atau kerja sama yang telah dibuat. Hal ini menyebabkan pengawasan yang dilakukannya tidak menyentuh apa yang seharusnya dilakukan oleh BPKP pada saat sebelum reformasi. Gambar 3 merupakan alur pengawasan bahwa alur pelaporan keuangan di Indonesia adalah Depkeu selaku BUN mengumpulkan laporan dari masing-masing departemen dan non-departemen sebelum dilaporkan kepada presiden. BUN memberikan wewenang kepada BPKP untuk memeriksa atas laporan keuangan tersebut. Setelah itu BPKP akan memberikan rekomendasi atas laporan tersebut, dan BUN sebagai pemberi perintah memperbaiki jika ada kesalahan. Setelah semuanya sudah diperbaiki maka akan diserahkan kepada presiden. Berikut ini gambar alur pengawasan keuangan dan pembangunan dari hasil penemuan yang peneliti dapatkan. Dari gambar 3, garis nomor 1 merupakan garis kewenangan presiden terhadap lembaga-lembaga di bawahnya. Garis nomor 2 merupakan garis koordinasi antar lembaga-lembaga negara di bawah presiden.
Garis nomor 3 meru-akan garis pelaporan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pegawas. Garis nomor 4 merupakan garis pengawasan terhadap program lembaga. Garis nomor 5 merupakan garis koordinasi antar lembaga pengawas. Terjadinya hambatan dalam pengawasan keuangan dan pembangunan penulis berikan tanda garis merah dan berada pada nomor 5 tersebut. Contoh kasus pengawasan dana dekonsentrasi merupakan sebagian kecil dari masalah yang timbul dalam pengawasan. Masalah-masalah yang terjadi dalam proses pengawasan yang dilakukan oleh BPKP menyebabkan selama pengawasan perjalanan proses pengawasan terdapat hambatan-hambatan. Hambatanhambatan yang terjadi selama proses pengawasan menyebabkan pengawasan keuangan dan pembangunan tidak dapat berjalan dengan baik. B. Hambatan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan di BPKP Peranan BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di Indonesia yang begitu besar telah menimbulkan banyak masalah dalam pengawasan itu sendiri. Masalah-masalah dalam pengawasan keuangan dan pembangunan ini berakibat pada timbulnya berbagai macam hambatan yang nantinya jika tidak ditangani akan berubah menjadi “penyakit” bagi pemerintah dalam mengelola negara.
22
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.15-30
Dari hasil penelitian ditemukan hambatan dalam pengawasan dimulai dari SDM, anggaran untuk melakukan pengawasan, sarana dan prasarana yang digunakan untuk melakukan pengawasan, metode kerja dalam pengawasan, persepsi negatif terhadap pengawasan, dan dominannya lembaga pengawas eksternal. Menurut Hidayat dkk. (2005) kendala dalam pengawasan terjadi ketika adanya pejabat yang salah menangkap makna dan esensi sesungguhnya terhadap tugas-tugas pengawasan dan adanya persepsi beberapa pihak bahwa pengawasan dimaksudkan hanya untuk mencari-cari kesalahan. Ada kesamaan antara penemuan peneliti dengan teori yang dikemukakan peneliti bahwa dalam pengawasan juga terdapat hambatan baik internal ataupun eksternal. Ada lima hambatan yang dialami oleh lembaga pemerintah khususnya BPKP. Kelima hambatan itu adalah man, money, material, machine, dan method. Sementara berdasarkan temuan lapangan, peneliti menemukan dua hambatan pengawasan keuangan dan pembangunan di BPKP lagi, yaitu persepsi negatif terhadap pengawasan dan dominannya lembaga pengawas eksternal. Hambatan yang terjadi dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di BPKP sebagai berikut. Hambatan pertama yaitu sumber daya manusia (SDM). Banyak sekali hambatan pengawasan keuangan dan pembangunan yang terjadi selama ini, salah satunya adalah SDM. SDM merupakan faktor utama dalam pengawasan karena jika tidak ada SDM yang terjadi adalah tidak akan ada proses pengawasan. Masalah yang muncul dari SDM ini terjadi biasanya karena minimnya kesadaran SDM terhadap pengawasan itu sendiri, termasuk pula SDM yang ada di BPKP. Perubahan formasi yang terjadi di Indonesia sejak 1998 berdampak pula pada pergeseran wewenang, tugas dan fungsi BPKP. BPKP tidak bisa lagi mengawasi secara penuh instansiinstansi pemerintah pusat maupun daerah dan juga BUMN/D. Hal ini menjadikan SDM yang belum bisa memahami dampak perubahan itu, tidak dapat berbuat banyak dalam melaksanakan pengawasan karena berkurangnya kekuatan yang dimiliki BPKP. Perubahan BPKP ke arah quality assurance dan consulting memberikan dampak bahwa ada pegawai BPKP yang tidak menghendaki terjadinya perubahan karena sudah terbiasa dengan budaya yang ada. Perubahan itu memberikan dampak pada pegawai tersebut seperti terjadinya penolakan dan kinerjanya cenderung menjadi tidak baik. Permasalahan lain yang mempengaruhi dalam proses pengawasan keuangan dan pembangunan, yaitu perilaku. Perilaku di inspektorat misalnya memberikan pengaruh terhadap pegawai pengawasan keuangan dan pembangunan disebabkan reward yang didambakan pegawai tidak ada dan pegawai tersebut menbandingkannya dengan instansi swasta. Hal ini yang sangat mempengaruhi
pengawai khususnya etos kerja yang rendah dan penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai. Hambatan SDM berikutnya adalah SDM yang melakukan pengawasan belum seluruhnya memiliki kualifikasi yang memadai dalam memahami definisi pengawasan itu sendiri. SDM yang sebagian besar memiliki latar belakang di bidang akuntansi membuat pengawasan pada sektor lain kurang dikuasai oleh auditor BPKP. Hal ini membuat pengawasan yang dilakukan oleh pengawas dari instansi pemerintah hanya berkutat pada masalah laporan akuntansi dari kegiatan-kegiatan atau proyek yang dilakukan oleh instansi tersebut yang dikenal dengan pemeriksaan. Selain itu, ranah-ranah audit atas kinerja dalam hal ini merupakan bidang manajemen juga menjadi kendala yang harus dialami oleh BPKP selama ini. Dalam melakukan pengawasan, SDM yang dimiliki BPKP berdasarkan strata pendidikan yang didapatkan dari bagian kepegawaiaan tahun 2009, sebesar 8 orang (0,14%) berpendidikan S3, sebesar 439 orang (7,24%) berpendidikan S2, sebesar 2.876 orang (48,63%) berpendidikan S1/DIV, sebesar 1.309 orang (22,13%) berpendidikan D3, sebesar 21 orang (0,36%) berpendidikan D1, sebesar 1.133 orang (19,16%) berpendidikan SLTA, sebesar 51 orang (0,86%) berpendidikan SLTP, dan sebesar 77 orang (1,30%) berpendidikan SD. Berdasarkan data kepegawaian tahun 2009 yang diklasifikasikan atas strata jabatan, sebesar 421 orang (7,12%) merupakan penjabat struktural, sebesar 3.460 orang (58,51%) merupakan penjabat fungsional auditor, sebesar 20 orang (0,34%) merupakan Widyaiswara, sebesar 109 orang (1,84%) merupakan analis kepegawaiaan, sebesar 53 orang (0,9%) merupakan pranata computer, sebesar 5 orang (0,08%) merupakan dokter, sebesar 3 orang (0,05%) merupakan perawat, sebesar 524 orang (8,86%) merupakan pegawai non struktural/fungsional dan sebesar 1249 orang (21,12%) merupakan jabatan fungsional umum. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa jabatan yang ada di BPKP tidak didukung dengan pendidikan yang memadai. Cukup banyak SDM yang menduduki strata jabatan yang tinggi namun tidak diimbangi dengan pendidikan yang tinggi. Masih banyak terdapat SDM berpendidikan di bawah S1 dibandingkan dengan SDM yang berpendidikan minimal S1. Keadaan ini dapat berdampak pada kinerja BPKP yang kurang maksimal dalam melaksanakan kegiatannya. Seperti halnya BPKP, lembaga pengawas lainnya inspektorat juga memiliki hambatan di dalam SDM. Hendar Fradesa menjelaskan bahwa kendala dalam SDM yang selama ini terjadi di inspektorat adalah kompetensi dari aparatur lembaga pengawasan tersebut masih kurang di bidang akuntansi. Kebutuhan pada tenaga-tenaga akuntansi untuk mengaudit laporan keuangan di daerah masih dibutuhkan dan yang berikutnya adalah tenaga dari latar belakang hukum serta SDM
SUSENO, EKSISTENSI BPKP DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
yang berlatar belakang lainnya. Kebutuhan yang masih belum terpenuhi di Itjen dan Itda adalah masalah SDM yang berlatar belakang akuntansi. Keminiman pegawai yang berlatar belakang akuntansi ini menyebabkan beberapa kegiatan atau proyek yang seharusnya bisa dilakukan pengawasan, hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan pada akhir periode. Pada tabel SDM yang dimiliki oleh itjen menggambarkan bahwa minimnya SDM yang ahli di bidang akuntansi atau pengawasan pun masih terjadi dibandingkan dengan BPKP. Jika merujuk kembali pada gambar 1 mengenai konfigurasi domain pengawasan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara kolom kompetensi (SDM) maka akan terlihat komposisi SDM di Inspektorat memang 50% lebih kecil SDM yang berasal dari akuntansi dibandingkan dengan BPKP yang memiliki SDM yang berlatar belakang akuntasi sebesar 75%. Data dari LAKIP Maret 2009 Inspektorat Jendral Depkeu menunjukkan bahwa terdapat satu orang (0,2%) yang memiliki kompetensi strata pendidikan S3, sebanyak 92 orang (16%) yang memiliki kompetensi strata pendidikan S2, 215 orang (37,2%) yang memiliki kompetensi strata pendidikan S1/DIV, 143 orang (25%) yang memiliki kompetensi strata pendidikan D3, 28 orang (5%) yang memiliki kompetensi strata pendidikan D1, sebesar 83 orang (15%) yang memiliki kompetensi strata pendidikan SLTA, 4 orang (0,7%) yang memiliki kompetensi strata pendidikan SLTP, dan terakhir 6 orang (0,9%) yang memiliki kompetensi strata pendidikan SD. SDM yang ditempatkan di Itjen dan Itda merupakan SDM yang termarjinalkan dan merupakan SDM yang tidak lagi digunakan dalam pemerintah pusat. Wajar jika kemampuan dalam pelaksanaan pengawasan di bawah rata-rata dari SDM yang ada di pusat. Hal inilah yang juga menjadi perbedaan antara BPKP dan inspektorat karena dengan minimnya SDM ini menyebabkan pengawasan yang dilakukan oleh dua lembaga tersebut ditangani langsung atas inisiatif pelaksana kegiatan. Selain itu, kekurangan dan ketidakmerataan spersifikasi aparat inilah yang menyebabkan ketidaksinambungan antara BPKP dengan Itjen dan Itda timpang. Hal yang lain yang juga mempengaruhi SDM dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di BPKP adalah kegiatan ataupun proyek, lebih banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah SDM yang ada untuk melakukan pengawasan. Ini yang menyebabkan BPKP tidak bisa melakukan pengawasan dalam waktu yang bersamaan dan secara keseluruhan. BPKP harus melakukan pengawasan di kabupaten seluruh Indonesia, sedangkan SDM tidak mencukupi jumlahnya sebanyak itu dalam waktu bersamaan. Di beberapa lembaga atau instansi, aparat pengawas juga belum bisa menjangkau seluruh kegiatan atau proyek-proyek yang begitu banyak dan besar sehingga menyebabkan pengawasan yang dilakukan oleh
23
lembaga pengawasan hanya berfokus di akhir periode saja. Penyebabnya adalah SDM dalam melaksanakan kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan masih mengalami kekurangan. Pengawasan jumlah SDM yang tidak sebanding dengan jumlah proyek atau kegiatan menjadi persoalan. Hal ini menjadi masalah jika ditarik benang merah dalam pengawasan di Indonesia, dimana pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawas hanya sebatas pada pemeriksaan laporan keuangan saja bukan pada aktivitas pengawasan yang berjalan secara continue. Adanya rotasi pegawai dalam struktur pemerintahan, menjadikan penyebab timbulnya permasalahan pula dalam pengawasan keuangan dan pembangunan. Hal ini dikarenakan, rotasi pegawai berdampak pada ahli-ahli yang sengaja dipersiapkan dalam kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan harus dipindah ke tempat baru dalam struktur pemerintah, sedangkan posisi yang lama digantikan oleh orang lain yang bisa jadi belum mengetahui seluk beluk pengawasan keuangan dan pembangunan yang dilakukan oleh lembaga tersebut. Sistem pengaturan struktur yang selalu berpindahpindah sering kali menjadi salah satu penyebab pengawasan tidak berjalan. Kondisi ini memberikan dampak bahwa tidak ada aparat tetap dalam jabatannya. Permasalahan ini menyebabkan ahli-ahli yang sudah dipersiapkan dalam pengawasan keuangan dan pembangunan harus beradaptasi dengan lingkungan dan pekerjaannya yang terus berganti. Pegawai negeri sipil struktural seperti aparat pengawas keuangan dan pembangunan yang terjadi di inspektorat berbeda dengan pegawai negeri sipil fungsional seperti guru. Dimana mereka dari awal menjadi guru akan terus menjadi guru sedangkan pegawai inspektorat akan selalu berpindahpindah selama masih menjadi pegawai negeri sipil. Berdasarkan LAKIP BPKP 2008 berkaitan dengan pemberian opini “tidak memberikan pendapat” (disclaimer opinion) oleh BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, salah satu penyebabnya disclaimer opinion adalah belum memadainya SDM pengelola keuangan negara, khususnya di bidang akuntansi. Hambatan kedua yaitu anggaran. Anggaran menjadi faktor penentu dalam kegiatan atau aktivitas pengawasan. Walaupun bukan semata-mata faktor utama yang menjadi ukuran keberhasilan kegiatan pengawasan, tetapi faktor ini menjadi penting manakala lembaga-lembaga pengawas ingin melakukan kegiatannya serta menyukseskan kegiatan pengawasan. Hal ini disebabkan anggaran merupakan modal untuk membiayai seluruh kegiatan pengawasan, mulai dari biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pengawasan, salary atas aparat-aparat yang melakukan pengawasan, pengadaan barang dan jasa di bidang pengawasan, hingga peningkatan kinerja bagi aparataparat peng-awas itu sendiri. Memandang BPKP sebagai lembaga pengawas
24
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 15-30
Tabel 4. Hasil Pengadaan dan Pendistribusian Sarana dan Prasarana No
Uraian
Target
Realisasi
%
1
Pengadaan Sarana dan Prasarana Gedung
2.029
2.119
104,44
2
Pengadaan Kendaraan Operasional
3
3
100
3
Pengadaan Tanah dan Pematangan Lahan
29.764
31.046
104,31
4
Pembangunan Gedung Kantor
12.607
9.417
74,70
Jumlah
44.403
42.585
95,91
Sumber: LAKIP BPKP 2008
intern pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi besar, secara otomatis anggaran yang dibutuhkannya pun besar. Keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah khususnya pemerintah pusat adalah anggaran yang dimilikinya tidak hanya diperuntukkan bagi satu lembaga, melainkan seluruh lembaga di Indonesia. Pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk mendanainya. Oleh sebab itu, muncul hambatan atas anggaran tersebut dengan posisi BPKP yang saat ini membutuhkan anggaran yang besar tetapi tidak didukung dengan dana yang besar juga yang disediakan oleh pemerintah pusat. Hambatan anggaran ini terjadi karena BPKP sebagai lembaga pengawas ingin melakukan kegiatan pengawasan namun anggaran yang diberikan tidak cukup memadai untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Pada peningkatan kinerja aparat-aparat, problematika yang muncul adalah BPKP tidak mampu membiayai keseluruhan aparat tersebut yang menginginkan peningkatan kinerjanya dengan menempuh pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri. Selain dana pengawasan yang minim terjadi di BPKP, pengalokasian dana anggaran yang ditujukan untuk melakukan pengawasan juga minim di inspektorat. Kendala anggaran menjadi penentu untuk disediakannya sarana dan prasarana pendukung kegiatan pengawasan, sehingga kadangkala kebutuhan tersebut tidak terpenuhi diakibatkan anggaran yang ada tidak mencukupi. Dari beberapa penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa anggaran juga merupakan kendala yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan pengawasan keuangan dan pembangunan. Anggaran bisa menjadi hambatan manakala tidak ada prinsip money follow function. BPKP berdasarkan LAKIP 2008 telah menggunakan dana sebesar Rp 546,62 miliar dari anggaran dana yang disediakan oleh pe-merintah sebesar Rp 594,35 miliar atau sebesar 91,97% menggunakan dana yang dianggarkan untuk menunjang kegiatan BPKP. Hambatan ketiga yaitu sarana dan prasarana. Hambatan lain yang menjadi masalah dalam pengawasan adalah sarana dan prasarana untuk mendukung pengawasan sangat minim, dimana sarana dan pra-
sarana ini dibutuhkan sebagai upaya mendukung pengawasan yang dilakukan oleh BPKP ataupun lembaga pengawas lainnya. Pengawasan ataupun kegiatan audit yang dilakukan oleh BPKP mengalami kekurangan dalam alat pendukung seperti Personal Computer (PC), notebook, internet, alat tulis kantor (ATK), dan lain-lain. Kendala kekurangan ini harus segera dipenuhi seiring dengan makin berkembangnya pengawasan yang dilakukan oleh BPKP. Walaupun kondisi dalam pengawasan mengalami kekurangan, akan tetapi BPKP pusat mencoba memenuhi kebutuhan tersebut dengan tetap melakukan pengadaan barang yang dibutuhkan dalam proses pengawasan yang dilakukan oleh BPKP, tabel 4 adalah data pengadaan barang yang dilakukan oleh BPKP. Berdasarkan tabel 4 terlihat realisasi kegiatan pengadaan dan penyuluhan sarana dan prasarana sebesar 95,91% dari target yang ditetapkan. Tidak terpenuhinya target pemenuhan kebutuhan yang dilakukan oleh BPKP karena adanya penghematan dana anggaran tahun 2008 sebesar 7% dari anggaran yang ada sesuai dengan Instruksi Menteri Keuangan Nomor S-1/MK.02/2008. Di samping itu, BPKP mengakui bahwa penyediaan kendaraan bermotor roda empat dan kendaraan bermotor roda dua tidak dapat terpenuhi karena adanya kebijakan pengadaan kendaraan operasional secara selektif. Keempat, metode kerja. Perubahan metode ker-ja dalam pemerintahan juga menjadi salah satu penghambat dalam pengawasan keuangan dan pembangunan. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab dimana aparat-aparat yang sudah terbiasa dengan tempat nyaman dalam pemerintahan tidak ingin pindah. Padahal dengan tuntutan pekerjaan yang lebih maju sangat mempengaruhi kinerja pemerintahan. Metode kerja yang sekarang diterapkan oleh BPKP adalah metode kerja yang menuntut SDM tidak hanya memiliki keahlian di dalam satu bagian saja, melainkan dibutuhkan integritas dari SDM untuk memahami tuntutan zaman. SDM yang telah terbiasa dengan metode kerja yang lama menjadi kendala dalam lembaga BPKP karena ketika perubahan metode kerja diperlukan untuk perbaikan kinerja, main setting SDM sulit untuk
SUSENO, EKSISTENSI BPKP DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN 25
Tabel 5. Jawaban Penelitian Proses dan Hambatan BPKP dalam Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
Lembaga
BPKP
Itda dan itjen
Akademisi
Teori
Jenis Pengawasan
Tiga jenis pengawasan, yaitu pre-emtif, preventif, dan represif
Pengawasan Kinerja, Pengawasan Berkala/ Reguler, dan Pemeriksaan Khusus
Belum ada definisi yang jelas pengertian pengawasan di Indonesia
Pengawasan yang bersifat pencegahan, pengawasan setelah terjadinya suatu penyimpangan
Hambatan Pengawasan
Hambatan internal Man, Money, Method, Material, dan Machine. Hambatan eksternal dominannya peran BPK dan belum adanya suatu payung hukum keberadaan BPKP secara spesifik dan dalam skala nasional.
Pengawasan hanya mencari-cari kesalahan, SDM fungsional yang sering di-rolling, jumlah personil tidak sebanding dengan jumlah kegiatan yang diperiksa, tidak ada koordinasi, anggaran masih minim, sarana dan prasarana masih rendah, etos kerja yang masih rendah, dan pengawasannya hanya dengan post audit.
Pelaksanaan pengawasan belum didefinisikan dengan jelas dikarenakan dalam organisasi negara, antara departemen satu dengan departemen yang lain belum merasa satu tubuh sehingga tidak ada proses yang inherent dalam proses pengawasan.
Salah menangkap makna dan esensi, mencari-cari kesalahan, apatisme, kesalahan dalam menempatkan seseorang, hilangnya objektivitas, dan persekongkolan antara pimpinan dan bawahan.
Pertanyaan
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
dirubah. Bahkan, tidak jarang kinerja BPKP menjadi menurun akibat proses perubahan tersebut. SDM yang masih belum menerima perubahan kerja kadang kala terjadi penolakan terhadap apa yang dikerjakannya sehingga dapat menyebabkan performance yang dimilikinya menurun seiring menurunnya kepuasan kerja. Hal ini menyebabkan kinerja pada bagian tersebut juga mengalami kemunduran jika SDM tersebut berpengaruh secara signifikan. Bahkan bisa jadi pada skala BPKP itu sendiri akan menyebabkan kinerjanya menurun. Hambatan kelima yaitu persepsi negatif terhadap pengawasan. Persepsi terhadap lembaga pengawas yang hanya mencari-cari kesalahan juga terjadi, dimana persepsi yang belum berubah atas pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawas memberikan dampak terhadap kinerja yang ditampilkan oleh lembaga pengawas itu sendiri. Menurut Hidayat dkk. (2005) salah satu kendala dalam pengawasan adalah adanya persepsi beberapa pihak bahwa pengawasan dimaksudkan hanya untuk mencari-cari kesalahan. Adanya persepsi ini menyebabkan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawas menjadi tidak berjalan dengan lancar karena sudah ada penolakan terlebih dahulu oleh lembaga yang diawasi. Bob Ronald F. Sagala berpendapat pengawasan yang dilakukan tidak berjalan secara continue disebabkan karena adanya anggapan bahwa inspektorat melakukan pengawasan hanya ingin memasukkan pegawai lembaga yang diperiksa ke penjara akibatnya laporan kepada BPK selalu disclaimer.
Persepsi negatif terhadap pengawasan membuat tidak terjadinya pengawasan dengan baik. Aparat pengawas menjadi kurang nyaman dalam melakukan pengawasan. Selain itu, adanya kesan negatif ini terjadi ewuh pekewuh antara yang diperiksa dan yang memeriksa. Namun, kondisi ini biasanya akan sangat berpengaruh sekali bagi penjabat atau pegawaipegawai yang ternyata melakukan penyimpangan. Mereka merasa khawatir suatu saat penyimpangan yang mereka lakukan akan diketahui dan dikenakan sanksi pegawai. Hambatan keenam yaitu dominannya lembaga pengawas eksternal. Perubahan yang terjadi di Indone-sia telah menggiring BPKP ke dalam pembatasan kewenangan. BPKP menyerahkan sebagian kewenangannya kepada BPK sebagai lembaga pengawas eksternal pemerintah dan inspektorat sebagai lembaga pengawas internal pemerintah. Kegamangan dalam pengawasan menimbulkan wacana adanya pembubaran BPKP karena keberadaannya menjadi persoalan di mata lembaga pengawas. Walaupun tidak menutup mata bahwa ada pula yang masih membutuhkan BPKP dalam pengawasan karena fungsinya sebagai pembina pengawasan masih dibutuhkan untuk membantu pengelolaan organisasi. Kewenangan yang berubah ini, membuat BPKP hanya memiliki kewenangan berdasarkan by order saja. Pengawasan-pengawasan yang dilakukannya mengkhususkan pada langkah-langkah yang dapat diperbaiki sendiri oleh BPKP. Sebagai contoh kasus, penanganan Batubara di Kalimantan, BPKP tidak serta-merta melakukan pengawasan ataupun pemeriksaan, namun
26
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.15-30
Gambar 5. Komposisi Opini BPK Tahun 2008 Sumber: LAKIP BPKP 2008
jika diberikan wewenang oleh pemerintah, BPKP baru akan melakukan pemeriksaan. Hal seperti inilah yang membuat pengawasan yang dilakukan oleh BPKP tidak memiliki daya terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Monitoring terhadap pelaksanaan proyek ataupun pelaporan keuangan justru telah ditutupi dengan keberadaaan BPK ataupun inspektorat itu sendiri. Hal ini menjadi penjelasan terhadap posisi BPKP saat ini, dimana BPKP menjalankan fungsi hanya sebatas permintaan saja. Berdasarkan tabel 5 yang merupakan jawaban penelitian, proses pengawasan di BPKP dilakukan dengan tiga kegiatan utama, yaitu pre-emtif, preventif, dan represif. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan oleh BPKP untuk mengontrol kegiatan yang dilakukan oleh instansi-instansi terkait yang berhubungan langsung dengannya. Proses yang dilakukan BPKP dalam pengawasan ini memiliki berbagai macam kegiatan dimulai dengan sosialisasi, konsultasi, bimbingan teknis, pengembangan/penyusunan sistem, kajian, inventarisasi Barang Milik Negara, assessment good governance, pelayanan publik, audit keuangan, kinerja, operasional, dan tujuan tertentu serta audit investigasi, perhitungan kerugian negara, dan memberikan keterangan ahli. Menurut data tahun 2008, kegiatan audit masih menempati urutan paling tertinggi dalam pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh BPKP. Proses yang dilakukan cukup panjang ini, merupakan gambaran proses yang terjadi dalam pengawasan di Indonesia. BPKP sebagai reviewer atas laporan keuangan pemerintah memiliki kewenangan me-review atas laporan tersebut hanya berdasarkan permintaan. Namun, hal ini kadangkala terjadi tata hubungan antar lembaga tersebut tidak terjalin dengan baik. Seperti, proses pengawasan yang dilakukan oleh BPKP tidak mendapatkan antusiasme dari beberapa
pihak karena pengawasannya saat ini sudah digantikan posisinya oleh BPK, Itjen, dan Itda. Posisi dalam pengawasan yang sudah digantikan tersebut, telah membuat kewenangan yang dimiliki oleh BPKP termarjinalkan dan dipandang sebelah mata atas pengawasan keuangan dan pembangunan karena tidak pernah melakukan pengawasan atas kegiatan ataupun proyek. Masing-masing lembaga pengawas ingin melakukan pengawasan dengan cara masing-masing, namun kondisinya tidak dibarengi dengan kemampuan SDM yang dimiliki mereka. Proses pengawasan yang saat ini dimiliki oleh BPKP menimbulkan beberapa hambatan dalam pengawasan seperti yang dijelaskan di atas, adanya salah tangkap makna dari dilakukannya pengawasan, tidak dilakukannya pengawasan karena pengawasan merupakan proses yang sangat panjang, jumlah SDM yang terbatas sehingga tidak memiliki kemampuan dalam menjalankan fungsi pengawasan secara menyeluruh, anggaran pelaksanaan pengawasan yang terbatas, sarana dan prasarana yang kurang memadai, perubahan metode kerja yang tidak seluruhnya diterima oleh pegawai, perspektif negatif terhadap lembaga pengawas yang hanya mencari-cari kesalahan serta dominannya lembaga pengawas eksternal. Hambatan yang terjadi selama ini telah menimbulkan celah masalah dalam pengawasan di Indonesia. Eksistensi BPKP dalam pengawasan mulai dipertanyakan, untuk menjamin celah-celah kebocoran dana dapat diawasi terus dan tidak ada lagi kebocoran anggaran. Jangan sampai hal-hal yang berdampak pada opini disclaimer yang dikeluarkan oleh BPK terus saja ada. Berdasarkan data disclaimer opinion yang dikeluarkan oleh BPK, sebesar 40% opini disclaimer atas pelaporan keuangan pemerintah pusat maupun daerah masih. Angka tersebut membuat menduduki opini disclaimer peringkat pertama. Gambar 5 me-nunjukkan data opini
SUSENO, EKSISTENSI BPKP DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
BPK tahun 2008. Jika kondisi ini terus terjadi bukan tidak mungkin BPKP menjadi kambing hitam akibat lemahnya pengontrolan dana-dana dari pemerintah pusat. Ini menandakan bahwa selama ini adanya ketidakserius-an dalam pengawasan. Bahkan bukan tidak mungkin definisi pengawasan yang selama ini dilakukan bukan suatu proses yang inherent dalam pengawasan melainkan proses pemeriksaan setiap akhir anggaran. Kondisi yang seperti ini menjadi pertanyaan dalam pengawasan pemerintahan, dimana eksistensi BPKP dalam sistem pengawasan keuangan dan pembangunan di Indonesia. C. Eksistensi BPKP dalam Pengawasan Keuangan dan Pembangunan di Indonesia Peneliti melihat beberapa permasalahan dalam eksistensi yang dapat dibahas, yaitu mengenai urgensi BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di Indonesia, isu overlapping dan duplikasi pengawasan keuangan dan pembangunan yang dilakukan oleh BPKP, efektivitas pengawasan keuangan, dan pembangunan yang dilakukan oleh BPKP, dan isu pembubaran BPKP. Permasalahan pertama yaitu urgensi BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di Indonesia. Pasca reformasi ini, pengawasan yang dilakukan oleh BPKP telah termarjinalkan atau semakin dipersempit ruang geraknya. Kondisi ini memberikan dampak bahwa keberadaannya dalam pengawasan memungkinkan tarik-ulur untuk dipertahankan. BPKP pasca reformasi dan sebelum adanya PP mengenai SPIP, kondisinya tidak stabil. Ada yang menginginkan BPKP dirubah formatnya dan ada pula yang sampai menginginkan BPKP bubar, sehingga setiap langkah yang diambil dalam melakukan pengawasan ataupun pemeriksaan mendapatkan sorotan tajam dari publik. Keberadaan BPKP dalam sistem pengawasan di Indonesia saat itu sedang dalam posisi yang sangat dilematis. Bahkan hal itu mengakibatkan beberapa aparat pengawas pindah pekerjaan dan sesama lembaga negara saling menjatuhkan satu sama lain. Namun, saat ini setelah PP Nomor 60 Tahun 2008 mengenai SPIP terbentuk pada bulan Agustus, sebagai auditor internal pemerintah, peran BPKP menjadi sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan BPKP ditugaskan sebagai pengawal rancangan keuangan dan akuntabilitas presiden (RKAP), pembantu presiden dalam rangka mewujudkan akuntabilitas, dan pembina bagi APIP yang berada pada itda, itjen, dan juga BUMN/D. Kewenangan yang dilakukan oleh BPKP saat ini lebih menekankan kepada pembinaan terhadap APIP lembaga pengawas baik kota/kabupaten hingga BUMN/D. Walaupun begitu, peranannya sebagai lembaga pengawas tetap ada namun berdasarkan permintaan, dan sampai saat ini pun peran yang dijalankan masih sangat diperlukan. Pengawasan
27
yang dilakukan oleh BPKP masih sangat diperlukan. Hal ini mengingat fungsinya BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan yang dilakukan di Itda, yaitu sebagai pembina. Di samping itu, menurutnya inspektorat memerlukan wadah untuk mengkonsultasikan berbagai macam keluhan pada persoalan dalam pengawasan yang dilakukannya. Dukungan dari inspektorat dalam menanggapi isu urgensi BPKP dalam pengawasan merupakan wujud bahwa BPKP sebagai lembaga pengawas intern pemerintah masih diperlukan. Walaupun keberadaannya hanya sebatas permintaan namun menjadi urgent ketika Itda mengalami kesulitan dalam pengawasan ataupun pemeriksaan dan dalam meningkatkan kemampuan dari APIP-APIP yang dimiliki oleh inspektorat. Perubahan BPKP yang ke arah new BPKP telah membawa BPKP berperan sebagai audit lintas sektoral, pembina bagi APIP, dan penugasan khusus dari presiden. Kebutuhan yang saat ini sudah termanifestasi, telah membuat peran BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di Indonesia masuk ke dalam kategori diperlukan. Hal ini disebabkan pekerjaan BPKP yang sudah jelas arahnya membuat BPKP menjadi lembaga yang dituntut membantu pemerintah dalam mewujudkan tata kelola yang baik atau good governance khususnya akuntabilitas presiden. Namun, belajar dari hambatan yang terjadi dalam pengawasan bahwa pengawasan di Indonesia ini belum terdefinisikan dan masih sering terjadinya “bolong-bolong” dalam pengawasan, menuntut BPKP agar segera melakukan dan memfokuskan pekerjaan memperbaiki hal-hal tersebut. Manajemen atas lembaga-lembaga pengawas di bawahnya merupakan tuntutan utama agar pengawasan dalam pengawasan keuangan dan pembangunan dapat berjalan dengan baik. Di samping itu agar opini tidak berpendapat yang diberikan oleh BPK dapat diperbaiki dan dipantau oleh BPKP. Hal ini sesuai dengan peranan BPKP dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP pasal 49 menyebutkan bahwa tugas dari BPKP adalah kegiatan yang bersifat lintas sektoral, kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh menteri keuangan selaku bendahara umum negara, dan kegiatan lain berdasarkan penugasan dari presiden. Permasalahan kedua yaitu overlapping dan duplikasi pengawasan keuangan dan pembangunan. Overlapping dalam pengawasan yang dilakukan oleh BPKP terjadi karena BPKP sebagai aparat pengawas, melakukan aktivitasnya selalu berbenturan dengan lembaga pengawas lain sehingga tumpang tindih atau pun duplikasi pekerjaan tidak mungkin dapat terhindarkan. Hal ini membuat lembaga yang diperiksa oleh lembaga-lembaga pemeriksa tersebut tidak dapat bekerja dan menyelesaikan laporan tepat waktunya karena waktu yang ada hanya disediakan untuk pemeriksaan. Kasus-kasus overlapping dan duplikasi
28
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.15-30
dalam pemeriksaan ataupun pengawasan tidak akan terjadi jikalau terjadipun akan dikomunikasikan antar lembaga pengawas. Pengawasan BPKP yang sekarang ini sudah berubah formatnya, mengindikasikan bahwa BPKP dalam melakukan pengawasan tidak lagi terjadi overlapping dan duplikasi pengawasan. BPKP yang saat ini sudah tidak melakukan audit kecuali atas permintaan membuat pengawasannya tidak mengalami bentrok antara lembaga pengawas lain. Pasca reformasi, fungsi yang dimiliki oleh BPKP saat ini sudah berkurang sehingga peran koordinator yang dilakukan oleh BPKP tidak berjalan lagi. BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan sudah tidak terjadi lagi overlapping. Hal ini dikarenakan BPKP sebagai lembaga pengawas yang fungsinya saat ini melakukan audit atas permintaan saja membuat BPKP tidak terlalu berkecimpung terhadap masalah pengawasan yang terjadi di suatu departemen, lembaga, ataupun BUMN karena tugasnya sudah diserahkan kepada masing-masing lembaga. Artinya, indikasi terjadinya overlapping tidak terjadi. Hal ini terlihat dari peran yang saat ini dimiliki oleh BPKP, bahwa mereka tidak akan melakukan pengawasan kecuali atas permintaan. Namun, kondisi yang harus diperhatikan bahwa pengawasan yang memiliki wawasan untuk melakukan pengawasan kecuali atas permintaan ke depan akan menyebabkan terjadi apatisme terhadap pengawasan itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Hidayat, dkk (2005) bahwa salah satu kendala dalam pengawasan adalah adanya sikap apatisme dan tidak mau peduli karena menilai pengawasan sudah dilakukan pengawasan fungsional. Kendala pengawasan dewasa ini yang diidentifikasi oleh peeliti saat melakukan penelitian adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait seperti Itda dan Itjen tidak berjalan dengan baik akibat pengawasan di level bawah seperti inspektorat daerah maupun jendral tidak secara simulating melakukan pengawasan dan dengan keterbatasan SDM yang berlatar belakang akuntansi menyebabkan kemampuan institusi tersebut dalam mengungkap beberapa permasalahan jauh di atas ratarata seperti BPKP. Hal inilah yang menjadi persoalan dalam pengawasan, sehingga overlapping dalam pengawasan tidak terjadi justru yang terjadi adalah lembaga-lembaga di level bawah ini justru tidak dapat melaporkan kasus-kasus yang memang tidak bisa diselesaikan olehnya. Permasalahan yang ketiga yaitu kebermaknaan pengawasan keuangan dan pembangunan. Masalah eksistensi BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan juga dapat dikaji lewat efektivitas pengawasan yang dilakukan BPKP. Efektivitas pengawasan yang digunakan oleh peneliti dalam mengukurnya adalah dengan menggambarkan sampai sejauh mana kebutuhan presiden dan stakeholder
terhadap hasil pengawasan yang dilakukan oleh BPKP. Efektif atau tidaknya pengawasan yang dijelaskan oleh Alfred (1988) bahwa salah satu pengawasan efektif jika hasil pengawasan digunakan oleh pekerja atau pimpinan. Hal ini dikarenakan BPKP sebagai lembaga internal pemerintah atau presiden memiliki akses dalam memberikan pendapat atas apa yang dilihat dan dikajinya terhadap permasalahan yang terjadi di Indonesia. Selain itu, dengan bekerja sebagai lembaga internal pemerintah secara otomatis BPKP dijadikan sebagai tangan kanan atas kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah itu sendiri. Kebutuhan pemerintah terhadap BPKP menjadi semakin besar dikarenakan BPKP memiliki tugas dan fungsi yang sudah jelas setelah terbitnya PP Nomor 60 Tahun 2008 pasal 49 serta memiliki tenaga yang handal dibandingkan dengan itda dan itjen. Selain itu, BPKP pasca reformasi 1998 masih memiliki peran dalam mengisi pengawasan di pemerintahan. Kondisi ini membuat BPKP masih bisa dikatakan efektif dalam melakukan pengawasan karena keberadaan BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di Indonesia masih diperlukan oleh pemerintah. Seperti yang dilakukan oleh BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan, internal pemerintah maupun dari pihak swasta nonpemerintah seperti BUMN/D menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan oleh BPKP walaupun BPKP saat ini peranannya sebatas panggilan atau by order. Contoh kasus yang ditangani oleh BPKP yang berkaitan dengan rekomendasi, yaitu kasus penunggakan pajak di perusahaan Batubara Kalimantan Timur. Terdapat enam perusahaan, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, PT Adaro Indonesia, dan PT BHP Kendilo Coal diperkirakan memiliki utang kepada negara Rp 7 triliun dari tahun 2001 hingga 2007. Pemerintah yang diwakili oleh Departemen Keuangan dan ESDM meminta BPKP untuk mengaudit enam perusahaan tersebut. Setelah diaudit oleh BPKP, kelima perusahaan batubara bersedia membayar sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh BPKP bahwa kelima perusahaan memiliki beban pajak Rp 600 miliar (Sunandar, 2009). Pengawasan yang dilakukan oleh BPKP memiliki dampak yang belum berpengaruh pada pengawasan didasarkan atas pendapat akademisi. Namun kondisi tersebut berbeda dengan kenyataan yang ada. Peran BPKP dalam pengawasan diperlukan dalam penanganan temuan-temuan sebelumnya. Hasil rekomendasi yang diberikan oleh BPKP dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Pengawasan yang dilakukan oleh BPKP saat ini sudah mengikuti teori yang ada. Selain itu, BPKP bermakna bagi pengawasan yang dilakukannya karena baik pemerintah maupun BUMN/D sudah menggunakan hasil rekomendasi yang diberikan oleh BPKP atas pengawasan yang dilakukan. Pada
SUSENO, EKSISTENSI BPKP DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
29
Tabel 6. Opini Publik terhadap BPKP
Opini Publik
Skala
Persentase
Jumlah Opini
Opini yang berkembang terhadap BPKP dalam berita yang berhubungan dengan tugas, fungsi, dan eksistensi BPKP
Baik Sekali
2,16%
45
Baik
69,81%
1.450
Cukup
25,22%
524
Tidak Baik
2,79%
58
Tidak Baik Sekali
-
-
Tidak Berpendapat
0,02%
1
Sumber: Diolah kembali dari LAKIP BPKP 2008
Tabel 7. Jawaban Penelitian Eksistensi BPKP dalam Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Lembaga BPKP
Itda dan itjen
Akademisi
Pertanyaan Urgensi BPKP
BPKP sangat diperlukan untuk mengawal RKAP, membatu presiden dalam mewujudkan akuntabilitas serta menjadi pembina terhadap semua APIP di Indonesia.
BPKP sebagai lembaga yang menaungi itda dan itjen.
Selama definisi pengawasan yang dilakukan sudah terdefinisikan dengan baik.
Overlapping dan Duplikasi Pengawasan
BPKP melakukan audit atas permintaan, oleh sebab itu sudah tidak ada overlapping.
Tidak ada overlapping dan duplikasi pengawasan.
Tidak ada overlapping dan duplikasi pengawasan yang ada BPKP tidak bisa mengcover celah-celah dalam pengawasan.
Efektivitas Pengawasan
efektif
-
-
Pembubaran BPKP
Tidak ada isu pembubaran, presiden sebagai penyelenggara negara sangat membutuhkan auditor internal sebagai kepanjangan tangan presiden untuk mengawasi pelaksanaan pembangunan.
Tidak perlu ada pembubaran karena BPKP memiliki fungsi yang penting dalam pemerintahan.
Tidak perlu ada pembubaran dalam pengawasan di Indonesia selama BPKP dan itjen dapat mengisi celah-celah yang tidak bisa di-cover dalam UU keuangan negara.
Sumber: Diolah kembali dari jawaban narasumber
penanganan maupun bimbingan terhadap pemerintah, BPKP masih diperlukan. Di samping itu, pengawasan yang dilakukannya masih dibutuhkan oleh pemerintah. SDM yang handal dari BPKP banyak yang ditarik ke lembaga-lembaga pemerintah lain. Namun, secara spesifik penelitian terhadap efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh BPKP belum pernah ada. Artinya, pengawasan yang dilakukan oleh BPKP bisa dikatakan efektif. Hal ini dapat dilihat dari pendapat-pendapat yang diberikan oleh aparat BPKP. Tabel 6 menggambarkan bahwa opini yang berkembang terhadap BPKP atas pengumpulan berita yang berhubungan dengan tugas, fungsi, dan eksistensi BPKP sepanjang 2008, sebanyak 45 berita (2,16%) dari 2.078 berpendapat baik sekali peranan, eksistensi, dan prestasi BPKP dalam membantu manajemen pemerintah,sebanyak 1.450 berita (69,81%) dari 2.078 berpendapat baik peranan BPKP dalam membantu manajemen pemerintah, sebanyak 524 berita (25,22%) dari 2.078 berpendapat cukup atas BPKP namun tidak
menonjolkan peranan, eksistensi, dan prestasi BPKP dalam pemerintah, sebanyak 58 responden (2,79%) dari 2.078 berpendapat tidak baik, berita tersebut berkaitan dengan pendeskridit terhadap BPKP secara kelembagaan, dan tidak ada berita tentang BPKP yang berkaitan dengan pembubaran BPKP. Permasalahan yang keempat yaitu isu pembubaran BPKP. Sepanjang per-ubahan yang terjadi di Indonesia, BPKP sebagai lembaga pengawas mengalami berbagai persoalan. Salah satunya adalah isu mengenai pembubaran BPKP. Hal ini disebabkan karena BPKP dinilai sebagai aktor orde baru yang melaksanakan pengawasan hanya untuk mempertahankan kekuasaan dari rezim Soeharto, sehingga hal ini menjadi drama yang menarik ketika timbul pertentangan da-lam pemerintah untuk mempertahankan BPKP atau membubarkannya. Di samping itu, BPKP sebagai lembaga pengawas juga dinilai melakukan pengawasan yang hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh inspektorat daerah atau jendaral dan BPK.
30
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.15-30
Namun, isu pembubaran itu saat ini sudah mulai tidak terdengar setelah terbitnya PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP. Kondisinya, posisi dari BPKP sesudah diperjelas dalam peraturan tersebut sehingga isu pembubaran tidak lagi terdengar dan saat ini lembaga-lembaga pemerintah juga mengetahui peran yang baru dari BPKP. Artinya, terlihat masih ada ruang bagi BPKP untuk tetap dipertahankan posisinya dalam proses pengawasan keuangan dan pembangunan di Indonesia. Di samping itu, peran yang saat ini sudah ada walaupun didukung dengan PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP, menurutnya masih harus diperkuat dengan menemukan formulasi dalam menyelesaikan masalahmasalah. Masalah-masalah yang dikemukakan oleh Dwi Martani merupakan masalah opinion disclaimer yang diberikan oleh BPK ke beberapa pemerintah daerah di Indonesia dan departemen. Terdapat indikasi bahwa peran BPKP dalam pengawasan keuangan dan pembangunan masih bisa dipertahankan. Namun kondisi yang harus dikejar oleh pemerintah melalui dua skenario, yaitu pertama bagaimana membentuk BPKP sebagai lembaga pembimbing bagi pemerintah yang benar-benar membimbing dalam pelaporan keuangan, bukan sebagai lembaga pengawas yang setiap saat harus mengawasi. Kedua, menjadikan BPKP sebagai lembaga pengawas yang benar-benar mengawasi sehingga pengawasan itu berjalan tidak hanya dilakukan diakhir periode laporan keuangan, melainkan dilakukan secara menyeluruh sejak perencanaan dibuat. Tabel 7 menunjukkan BPKP di dalam pengawasan keuangan dan pembangunan masih diperlukan namun peranannya harus diperhatikan dari kinerja yang dilakukan oleh BPKP dalam pengawasan. Hal ini disebabkan selama ini pengawasan belum dijalankan dengan baik dalam artian pengawasan dilakukan hanya mengandalkan pelaporan keuangan tanpa pengawasan secara inherent, sejak awal pengawasan hingga selesainya proses anggaran. Di samping itu, permasalahan yang terjadi adalah BPKP tidak proaktif dalam pengawasan keuangan dan pembangunan. Kepercayaan yang masih diberikan oleh pemerintah terhadap eksistensi dari BPKP ini, harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Keberadaan BPKP dalam pengawasan juga dijadikan sebagai lembaga yang seharusnya dapat mengkordinasikan antar lembaga satu dengan lembaga lainnya agar tercipta laporan akuntansi pemerintah yang akuntabel. Jika laporan akuntansi dari pemerintah sudah akuntabel maka opini disclaimer terhadap laporan keuangan bisa diminimalisasikan. Selain itu, dengan kepercayaan pemerintah terhadap BPKP seharusnya BPKP bisa benarbenar membimbing lembaga-lembaga pengawas yang kurang memberikan dampak pada proyek atau kegiatan yang diawasinya.
KESIMPULAN Proses pengawasan keuangan dan pembangunan yang dilakukan BPKP selama ini, yaitu BPKP melakukan pemeriksaan atas permintaan dari presiden dan BUN. Ketika laporan tersebut sudah selesai, maka akan diberikan rekomendasi untuk dilakukan perbaikan. BUN diharuskan memperbaiki atas rekomendasi yang diberikan oleh BPKP, sebelum diserahkan ke presiden. Pada proses pengawasan keuangan dan pembangunan yang dilakukan oleh BPKP, terdapat masalah-masalah yang kemudian menjadi hambatan dalam pengawasan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti menemukan hambatan dalam pengawasan keuangan dan pembangunan yang dialami oleh BPKP, yaitu SDM, anggaran untuk melakukan pengawasan, sarana dan prasarana yang digunakan untuk melakukan pengawasan, metode kerja dalam pengawasan, persepsi negatif terhadap pengawasan, dan dominannya lembaga pengawas eksternal. Dari hasil penelitian, eksistensi pengawasan keuangan dan pembangunan yang dilakukan oleh BPKP masih diperlukan. Hal ini disebabkan BPKP sebagai lembaga pengawas internal pemerintah memiliki fungsi yang masih diperlukan oleh lembaga-lembaga pengawas internal lainnya. Peran yang saat ini dijalankan oleh BPKP adalah sebagai pengawas internal pemerintah, mengawasi kegiatan tertentu yang meliputi kegiatan yang bersifat lintas sektoral, pengawas kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh Menkeu selaku BUN, dan kegiatan lain berdasarkan perintah presiden. DAFTAR PUSTAKA Gunawan, Sabar. 2007. Kajian Kinerja Lembaga Pengawasan Daerah, Bandung: PKP2A I LAN. Handoko, T. Hani. 2003 . Manajemen. Ed. 2, Yogyakarta : BFE Yogyakarta. Hidayat, Dayat. 2008. Evaluasi Kinerja dan Pengembangan Model Kelembagaan Lembaga Pengawas Daerah. Wacana Kinerja, Vol. 11, No. 1 (Maret). Kreitner, Robert. Management. 5th ed., Boston: Houghton Mifflin company, 1992. Maksum, Irfan Ridwan. 2006. Pengawasan Internal Daerah Otonom oleh DPRD. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 14, No. 4 (Desember). Neuwman, L. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach (Sixth Edition). New York: Pearson Education Inc. Prasojo,Eko. 2006. Reformasi Birokrasi di Indonesia: Beberapa catatan Kritis. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 14, No. 1 (Januari). Sagala, Bob Ronald F.. Wawancara pribadi. 4 Mei 2009. Sunandar. “Lima Perusahaan Batubara Sepakat Bayar Royalty 600 M.” 18 Februari 2009
.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Jan–Apr 2010, hlm. 31-43
ISSN 0854-3844
Volume 17, Nomor 1
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Industri SYAHRUDDIN1* Bagian Pelayanan Risalah dan Putusan Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
1
Abstract. The research aims to evaluate the implementation of industrial area development policy in Karawang Regency, West Java. The research uses qualitative approach with in-depth interview with the related officials. The result of research shows that there has not been an effective communication among institutions, and there is a low availability of resources, i.e. human resources and infrastructures to arrange and implement the industrial area development policy. In addition, the industrial area development has not been the special focus of local government since industrial area developer is merely considered as an area development company instead of an investment partner, necessary to develop the industrial sector. The local government of Karawang Regency needs to improve its bureaucracy structure and bureaucracy culture in order to provide excellent public service and to use information technology advancement to attract investors.
Keywords: public policy, local government, bureaucracy structure
PENDAHULUAN Kebijakan pengembangan kawasan industri ya-ng diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996 merupakan langkah yang ditempuh pemerintah pusat dalam mendorong peningkatan in-vestasi di sektor industri serta memberikan kepastian hukum dan mengatur pengelolaan kawasan industri dalam suatu daerah. Kawasan industri adalah suatu daerah yang didominasi oleh aktivitas industri yang mempunyai fasilitas kombinasi terdiri dari peralatan-peralatan pabrik (industrial plants), sarana penelitian dan laboratorium untuk pengembangan, bangunan perkantoran, bank, serta fasilitas sosial dan fasilitas umum (Dirdjojuwono, 2004). Pembangunan kawasan industri di Indonesia pertama dimulai pada tahun 1973 yaitu dengan berdirinya Jakarta Industrial Estate Pulo Gadung (JIEP), kemudian tahun 1974 dibangun Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER), selanjutnya dibangun Kawasan Industri Cilacap (tahun 1974), menyusul Kawasan Industri Medan (tahun 1975), Kawasan Industri Makasar (tahun 1978), Kawasan Industri Cirebon (tahun 1984), dan Kawasan Industri Lampung (tahun 1986) (Kwanda, 2000). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009, tujuan pembangunan kawasan industri adalah untuk (a) mengendalikan pemanfaatan ruang; (b) meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan; (c) mempercepat pertumbuhan industri di daerah; (d) meningkatkan daya saing In-dustri; (e) meningkatkan daya saing investasi; dan (f) memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan inftrastruktur, yang terkoordinasi antar sektor terkait. Keenam tujuan tersebut merupakan arah kebijakan pembangunan kawasan industri yang *Korespondensi: +62818 900 370; syahruddin.suseno@ mahkamahkonstitusi.co.id
ditempuh untuk mendorong pembangunan industri yang dilakukan melalui pembangunan lokasi industri berupa Kawasan Industri (Sagala dkk., 2004). Lumbuun (2005) berpendapat bahwa pemerintah daerah perlu mengembangkan perekonomian dan investasi di daerahnya. Pengembangan kawasan industri penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Melalui pertumbuhan ekonomi satu persen saja dapat menyerap tenaga kerja sekitar seratus ribu orang (Soeling, 2007). Hal yang penting diantisipasi dari perkembangan kawasan industri adalah mengendalikan dan mengawasi terjadinya proses alih fungsi (konversi) lahan pertanian yang berlebihan akibat kebutuhan guna pembangunan lokasi industri dan pemukiman. Pertumbuhan industri menimbulkan konsekuensi logis meningkatnya permintaan terhadap lahan untuk industri, pemukiman, dan lain-lain yang sebelumnya lahan tersebut sebagaian besar digunakan untuk areal pertanian. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996 telah diatur bahwa pembangunan kawasan industri tidak mengurangi tanah pertanian. Hal ini penting untuk mengantisipasi terjadinya pengalihan lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian yang akan mengurangi areal pertanian dan mengganggu produktivitas hasil pertanian terutama padi. Alih fungsi lahan pertanian akan menimbulkan pengaruh sosial dan ekonomi masyarakat karena berkurangnya areal pertanian berakibat semakin berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor pertanian dan mengancam kapasitas produksi hasil pertanian khususnya komoditi beras. Namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009, pengaturan alih fungsi lahan tidak disebutkan secara tegas, hanya diatur dalam bentuk pengendalian pemanfaatan ruang. Di samping mendorong kemajuan industri, pemerintah juga merumuskan kebijakan publik pembangunan kawasan industri yang berwawasan ling-
32
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17 No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 31-42
Tabel 1. Nama dan Luas Perusahaan Kawasan Industri di Kab. Karawang tahun 2008 NO
NAMA PERUSAHAAN
LUAS (Ha)
1
Aneka Inti Sejahtera
500
2
Bintang Puspita Dwikarya
400
3
Canggih Bersaudara Muliajaya
300
4
Daya Kencanasia
210
5
Hab & Son's
358
6
Indotaisei Indah Development
700
7
Karawang Jabar Industrial Estate
506
8
Karawang tatabina Industrial Estate 314
9
Kawasan Industrial Kujang Cikampek
140
10
Maligi Permata Industrial Estate
1100
11
Mandalapratama Permai
300
12
Mitra Karawangjaya
430
13
Persadanusa Makmurindo
300
14
Pertiwi Lestari
7100
15
Pradidhana Anugerah
250
16
Rasindo Perkasa
100
17
Sejatibuana Jayadharma
200
18
Sitiswadaya Permai
500
19
Sumber Air Mas Pratama
500
20
Suryacipta Swadaya
1400
Sumber: Data HKI tahun 2008 dalam http://www.hki-industrialestate.com
kungan, yang erat kaitannya dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan yang terkena langsung dampaknya. Hal ini dapat menimbulkan masalah kesehatan akibat pencemaran udara dan air, mempengaruhi kualitas tanah atau lahan sekitarnya sehingga dapat menurunkan produksi pertanian. Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang berupaya menyusun kebijakan publik yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat Karawang melalui pembangunan sektor pertanian (yang terkenal sebagai kota lumbung padi Jawa Barat) dan kemajuan atau pertumbuhan sektor industri melalui implementasi pembangunan kawasan industri di Kabupaten. Kesejahteraan, pelayanan, dan kemakmuran rakyat adalah produk dari sistem administrasi negara secara keseluruhan (Prasojo, 2006). Pada tabel 1 disebutkan perusahaan pengelola kawasan industri yang berlokasi di Kabupaten Karawang. Adapun industri yang beroperasi dalam kawasan industri adalah berbagai jenis produksi dengan beraneka produk olahan seperti komponen otomotif, manufaktur, mesin pengolahan logam, kimia olahan, dan lain berbagai jenis produk industri. Kebijakan publik merupakan kewenangan pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya dalam hubungannya dengan masyarakat dan dunia usaha. Pada dasarnya kebijakan pemerintah dalam mengembangkan kawasan industri merupakan kebijakan negara yang
berorientasi pada kepentingan publik (masyarakat). Menurut Suharto (2005), kebijakan (policy) adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Lebih lanjut Islamy (1997) menguraikan beberapa elemen penting dalam kebijakan publik bahwa kebijakan publik itu dalam bentuk peraturannya berupa tindakan-tindakan pemerintah, dilaksanakan dalam bentuk yang nyata dan mempunyai tujuan tertentu untuk kepentingan seluruh masyarakat. Evaluasi kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang terhadap pengembangan kawasan industri dapat dianalisis berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karawang Nomor 19 Tahun 2004 (Perda Nomor 19 Tahun 2004) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karawang. Peraturan daerah tersebut memberikan pedoman penetapan lokasi investasi yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat serta menjadi dasar kebijakan untuk pemanfaatan ruang bagi kegiatan pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan kawasan industri. Asas-asas yang dianut dalam Perda tersebut adalah (1) pemanfaatan ruang untuk semua kepentingan seca-ra terpadu, berdayaguna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan; (2) persamaan, keadilan, dan perlindung-an hukum; dan (3) keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat
SYAHRUDDIN, EVALUASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
33
Evaluasi Kebijakan
Gambar 1. Proses Kebijakan Publik oleh Willian Dunn Sumber: Dunn, 1999 Communication
Resources Implementation Dispositions
Bureaucrati Structure
Gambar 2. Hubungan Antar Faktor dalam suatu Implementasi Kebijakan Sumber: Edwards III, 1980
Langkah pertama bagi pembuat kebijakan publik adalah merumuskan masalah dan menempatkannya dalam agenda kebijakan. Kemudian, masalah-masalah yang telah diidentifikasi dan dicari pemecahannya disusun dalam bentuk formulasi kebijakan. Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan, dipilih yang mungkin terbaik dan selanjutnya mencari dukungan dari pihak legislatif dan yudikatif. Apabila suatu kebijakan sudah mendapatkan dukungan publik dan telah disusun dalam bentuk program panduan rencana kegiatan, maka kebijakan tersebut harus dilaksanakan oleh badanbadan administrasi maupun oleh unit kerja pemerintah di tingkat bawah. Setelah kebijakan dilaksanakan perlu adanya penilaian untuk melihat sampai sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Proses implementasi kebijakan dipengaruhi oleh berbagai variabel baik yang individual maupun variabel organisasional dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Menurut Edwards III (1980), implementasi kebijakan adalah salah satu tahap antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhi oleh empat variabel: Pertama, adanya komunikasi atau penyampaian pesan dari pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan. Edwards III (1980) berpendapat bahwa suatu komunikasi yang baik tergantung oleh tiga faktor yang menentukan, yaitu (a) transmisi (transmission), apabila suatu kebijakan telah ditetapkan, maka itu menjadi perintah untuk dilaksanakan; (b) kejelasan (clarity), apabila kebijakan akan diimplementasikan, maka harus diikuti oleh petunjuk pelaksanaan yang jelas diterima oleh pelaksana kebijakan; dan (c) konsistensi (consistency), suatu implementasi kebijakan akan efektif
dan berdayaguna apabila perintah pelaksanaannya konsisten, yakni petunjuk pelaksanaan kebijakan tidak saling bertentangan. Kedua, sumber daya (resources) yang dalam hal ini adalah staf yang memadai. Staf ini harus memiliki keahlian yang terampil dan kompeten dalam melaksanakan tugasnya, wewenang dan fasilitasfasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usulusul guna melaksanakan pelayanan publik. Ketiga, adanya variabel sikap seperti yang dinyatakan Edwards III (1980), bahwa jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan, berarti ada dukungan sehingga mereka akan melaksanakan kebijakan sesuai dengan yang diinginkan. Tipikal kepribadian atau pandangan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan memiliki korelasi positif dengan keberhasilan implementasi kebijakan. Hal ini terjadi karena ada kesesuaian pandangan mengenai isi dan tujuan kebijakan yang akan diterapkan oleh pelaksana di lapangan. Selanjutnya Edwards III (1980) menyatakan bahwa ada dua hal penting berkenaan dengan sikap (dispositions), yaitu pengangkatan birok-rasi (staffing bureaucracy) dan insentif bagi pelaksana kebijakan. Staffing bureaucracy menekankan pada pentingnya pembuat kebijakan untuk menyusun atau menempatkan staf-staf yang sepaham dalam struktur organisasi demi menjamin pelaksanaan sesuai dengan yang direncanakan. Keempat, adanya struktur birokrasi (bureaucratic structure), yang sangat mempengaruhi implementasi kebijakan publik. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badanbadan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan.
34
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17 No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 31-42
Pengumpulan Data
Reduksi data Penyajian Data
Gambar 3. Analisis Data Model Interaktif Sumber: Miles and Huberman (1984)
Edwards III (1980) mengidentifikasikan dua karakteristik utama birokrasi dalam pelaksanaan implementasi: pertama, adanya standard operating procedures (SOP). Hal ini penting untuk pedoman keseragaman dalam bekerja dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang selanjutnya dapat menimbulkan fleksibilitas dan kesamaan dalam menerapkan peraturan. Apabila standard operating procedures telah ditetapkan dan berlaku, maka memudahkan para pelaksana kebijakan karena telah jelas tugas pokok dan fungsi masing-masing elemen organisasi (unit kerja) dan bagaimana melaksanakan pekerjaan tersebut. Kedua, fragmentasi berasal dari tekanan dan pengaruh eksternal organisasi. Seperti politisi, pemangku kepentingan (stakeholder), dan lembaga sosial masyarakat (nongovernment organitation). Fragmentasi birokrasi menimbulkan konsekuensi lemahnya koordinasi antar instansi akibat intervensi faktor eksternal Penelitian ini memfokuskan pada deskripsi evaluasi implementasi kebijakan pemerintah dalam mengembangkan kawasan industri. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi kebijakan pengembangan kawasan industri di Kabupaten Karawang. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode evaluasi bersifat kualitatif. Data-data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan wawancara langsung kepada para informan yang terkait dengan objek masalah yang akan dikaji. Selain itu, observasi dilakukan terhadap birokrasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Karawang, perusahaan pengelola kawasan industri, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Analisis data primer dan sekunder dilakukan dari hasil pencatatan dan rekaman wawancara secara bebas maupun terpimpin serta semua data yang diperoleh dari hasil penelitian terdahulu, informasi dari media massa/surat kabar, peraturan perundang-undangan serta dokumen lainnya yang dapat mendukung data dan informasi penelitian. Teknik
Penarikan kesimpulan analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1984). HASIL DAN PEMBAHASAN Kebijakan pengembangan kawasan industri di Kabupaten Karawang didasarkan pada Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karawang yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Karawang Nomor 19 Tahun 2004. Implementasi kebijakan Tata Ruang Wilayah melalui pendekatan partisipatif sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karawang dapat dievaluasi dan ditinjau kembali apabila Perda tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan situasi, kondisi, dan perkembangannya. Selanjutnya, kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah perlu ditindaklanjuti ke dalam rencana yang lebih rinci secara operasional oleh masing-masing instansi/badan dalam bentuk kegiatan rencana kerja tahunan yang ditetapkan oleh Bupati Karawang. Pendekatan Edwards III (1980) digunakan untuk mengkaji implementasi kebijakan pengembangan kawasan industri di Kabupaten Karawang. Edwards III (1980) menyebutkan bahwa suatu kebijakan sekalipun diimplementasikan dengan baik, namun bila tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan. Demikian juga apabila suatu kebijakan yang telah direncanakan sangat baik namun dalam implementasinya kurang baik, maka bisa saja kebijakan tersebut mengalami kegagalan. Terdapat dua pertanyaan penting untuk mengkaji implementasi kebijakan pengembangan kawasan industri yaitu prakondisi apa yang diperlukan oleh faktor-faktor atau variabel yang mempengaruhi kebijakan pengembangan kawasan industri di kabupaten karawang sehingga implementasi kebijakan pengembangan kawasan indus-
SYAHRUDDIN, EVALUASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI
Kebijakan Pengembangan Kawasan Industri (Perda No. 19 Thn 2004)
Dinas Perindustrian
implementasi
Dinas Pertanahan
35
1 .PENGELOLA KAWASAN INDUSTRI
Dinas Lingkungan Hidup 2. MASYARAKAT
Gambar 4. Arah komunikasi Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2004 Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008
tri dapat berhasil dan hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi kebijakan pengembangan kawasan industri mengalami kegagalan. A. Mengkomunikasikan Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang Kebijakan pengembangan kawasan industri oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan pada tanggal 8 Nopember 2004 dan ditempatkan dalam lembaran daerah Lembaran Daerah Kabupaten Karawang Tahun 2004 Nomor 19 seri E. Sesuai dengan Pasal 75 Bab XIV disebutkan bahwa penempatan Perda Nomor 19 Tahun 2004 itu dalam lembaran daerah ditujukan agar setiap orang dapat mengetahuinya. Tindak lanjut setelah Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah disusun adalah Bupati dengan kewenangan yang dimilikinya menyusun petunjuk pelaksana (juklak) menerjemahkan substansi Perda dalam bentuk keputusan dan peraturan yang dapat dijadikan pedoman dan arahan bagi pejabat dibawahnya yaitu para Kepala Dinas atau jabatan setingkatnya di bidang industri, pertanahan, lingkungan hidup, dan tenaga kerja. Proses komunikasi antara kebijakan pembangunan industri dengan instansi terkait dijelaskan pada gambar 4. Penjelasan dan arahan dari Bupati Karawang dilakukan melalui rapat koordinasi antar instansi terkait dan penjelasan tentang dasar kebijakan serta tujuan yang hendak dicapai dalam rapat kerja yang diadakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang. Penjelasan yang disampaikan sangat penting bagi setiap pimpinan instansi sebagai unit pelaksana untuk menerjemahkan isi kebijakan yang kemudian disusun dalam bentuk program kerja. Koordinasi antar instansi terkait sangat penting dalam pengembangan kawasan industri. Hal pokok terlaksananya kordinasi yang baik adalah terjalinnya komunikasi yang lancar antar instansi dan ini sangat ditentukan oleh pengertian yang luas dan mendalam bagi masing-masing pimpinan instansi dalam memahami kebijakan yang akan diimplementasikan. Selanjutnya peraturan daerah tersebut perlu disebarluaskan kepada masyarakat melalui kegiatan sosialisasi dan pemberitahuan melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik, seperti siaran televisi, siaran radio, pemuatan dikoran, majalah, dan berbagai media kegiatan seni budaya.
Sosialisasi yang jelas diharapkan dapat memberikan pemahaman yang luas bagi masyarakat sehingga akan menumbuhkan kasadaran dalam menggunakan hak dan kewajibannya terhadap rencana tata ruang wilayah di Kabupaten Karawang. Secara umum dalam pandangan Edwards III (1980) terdapat tiga faktor penting dalam proses komunikasi kebijakan, yaitu transmisi, jelas, dan konsisten. Berikut akan dijelaskan ketiga faktor tersebut dalam implementasi kebijakan pengembangan kawasan industri di Kabupaten Karawang. Pertama, terdapat beberapa hambatan dalam mentransmisikan implementasi kebijakan pengembangan kawasan industri, yakni (1) pertentangan pendapat antara Bupati sebagai sebagai pejabat publik yang dipengaruhi oleh pandangan politik partai dan para pejabat dan staf instansi sebagai birokrat karier yang menjalankan administrasi negara; (2) perencana, penyusun, dan pelaksana, serta pengawasan kebijakan pengembangan kawasan industri adalah para birokrasi yang bekerja sangat birokratis. Birokrasi mempunyai struktur hierarkis dalam rentang organisasi berlapis, sehingga setiap informasi yang disampaikan menjadi kurang efektif dan rentan terjadi distorsi substansi kebijakan; dan (3) sikap para pimpinan instansi terkait sebagai pelaksana lapangan yang mengabaikan apa yang sudah jelas tercantum dalam isi Perda Nomor 19 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karawang dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui isi kebijakan tentang pengembangan kawasan industri dan tujuan yang diharapkan atas kebijakan tersebut. Kedua, kebijakan pengembangan kawasan industri yang diterima oleh pimpinan instansi harus dikomunikasikan secara jelas dan terinci. Menurut Edwards III (1980), seringkali instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. Apabila terjadi hal seperti ini, maka dapat mengakibatkan terhambatnya tujuan yang diharapkan dari implementasi kebijakan untuk mengembangkan kawasan industri di Kabupaten Karawang. Ketiga, konsistensi implementasi kebijakan pengembangan kawasan industri yang diikuti dengan berbagai petunjuk pelaksanaan harus jelas dan konsisten dalam memberikan panduan bagi Kepala Dinas Perindustrian untuk menjalankan kebijakan yang menjadi kewenangannya. Perda Tata Ruang Wilayah
36
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17 No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 31-42
Bupati Karawang
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Sekretaris Daerah Karawang
BAPEDA
Gambar 5. Struktur Organisasi Pemda dalam Kebijakan industri Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008
menyangkut kawasan industri mendasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Padahal dalam rangka mempercepat pengembangan kawasan industri, pemerintah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri. Ketidakcermatan menyusun landasan dasar Perda Nomor 19 Tahun 2004 sangat berpengaruh pada akselerasi pertumbuhan dan perkembangan pembangunan kawasan industri. Selain itu, Perda yang disusun lemah pertimbangan hukum yang mendasarinya. Hal ini menjadi pertimbangan da-lam mengevaluasi Perda tersebut pada tahun 2009 sehingga kebijakan pengembangan kawasan industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Karawang. B. Sumber-Sumber (Recources) yang mendukung implementasi kebijakan Pemda Karawang Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) serta Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar merupakan instansi yang berwenang menjalankan kebijakan pengembangan kawasan industri. Kedua instansi tersebut dituntut untuk menyediakan dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara maksimal. Kemampuan para staf mengelola administrasi negara yang melaksanakan dan menerjemahkan kebijakan pengembangan kawasan industri sangat menentukan dalam memberikan pelayanan publik kepada dunia usaha dan masyarakat. Salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh birokrasi pemerintah daerah adalah terbatas atau sedikitnya pejabat yang mempunyai kompetensi sesuai bidang tugasnya berdasarkan pendidikan dan pengalaman kerja bahkan banyak jabatan profesinya tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Apalagi dengan berlakunya otonomi daerah yang memberikan keleluasaan bagi pejabat pemerintah daerah untuk menetapkan promosi dan mutasi pegawai sesuai dengan kepentingannya bukan berdasarkan kecakapan atau keterampilannya.
C. Sikap (Dispositions) Staf Pelaksana dalam Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang Apabila para pejabat dan staf Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar telah mendukung kebijakan yang telah ditetapkan tersebut, maka implementasi kebijakan yang dilaksanakan cenderung sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Kebijakan yang dilaksanakan oleh para pelaksana baik pejabat maupun staf Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar akan efektif apabila cara berpikir, sikap atau perspektif sama dengan Bupati dan Pimpinan serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Karawang sebagai pihak yang menetapkan kebijakan. Kesamaan pandangan dan sikap tersebut sangat diperlukan dalam bagi keberhasilan usaha untuk mencapai tujuan pengembangan kawasan industri. Kesamaan sikap ini juga harus ditunjukkan oleh instansi terkait lainnya seperti pejabat dan staf Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pertambangan dan Energi, Dinas Penerangan, dan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang. D. Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure) Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang Kebijakan pengembangan kawasan industri pada dasarnya dilaksanakan oleh dua institusi yang terkait langsung mengimplementasikan Peraturan Daerah Kabupaten Karawang Nomor 19 Tahun 2004. Institusi yang melaksanakan kebijakan tersebut adalah Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Karawang dan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar Kabupaten Karawang. Kedua institusi tersebut berbeda tugas pokok dan fungsinya serta mempunyai masing-masing program kegiatan yang mempengaruhi efektivitas keberhasilan kebijakan pengembangan kawasan industri. Bappeda Kabupaten Karawang menyelenggarakan manajemen pemerintahan di bidang perencanaan daerah dan penilaian pelaksanaannya serta tugas perbantuan
SYAHRUDDIN, EVALUASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI
Tabel 2. Perkembangan Kontribusi Sektor Pertanian dan Sektor Industri dalam PDRB Kabupaten Karawang No.
Tahun
Pertanian (%)
Industri (%)
1.
2001
13,96
46,11
2.
2002
11,80
51,45
3.
2003
10,92
53,62
4.
2004
10,35
53,34
5.
2005
9,38
52,91
6. 2006 6,48 52,84 Sumber: RKPD Kab. Karawang dalam www.karawangkab. go.id.
yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Tugas pokok demikian menjadikan Bappeda sebagai lembaga yang sangat strategis bagi perencanaan semua program kegiatan berbagai kebijakan termasuk usaha pengembangan kawasan industri. Selain Bappeda, instansi yang terlibat mengimplementasikan kebijakan pengembangan kawasan industri adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar. Keberadaan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar disusun berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004 tentang pembentukan Dinas Daerah, kemudian ditindaklanjuti melalui Peraturan Bupati Karawang Nomor 29 Tahun 2006 tentang perubahan struktur organisasi dan tata kerja Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar. Tugas pokok dinas ini adalah membantu Bupati dalam melaksanakan sebagian kewenangan daerah di bidang perindustrian. Adapun fungsinya adalah mengatur dan mengurus kegiatan teknis operasional, melaksanakan pengembangan program, serta memberikan perizinan dan pelayanan masyarakat di bidang perindustrian. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar mempunyai visi terwujudnya industri yang tangguh untuk kesejahteraan masyarakat Kabupaten Karawang. Misinya adalah menjadikan sektor industri sebagai penggerak utama roda perekonomian melalui pembinaan dan pengembangan serta pelayanan prima kepada masyarakat. Struktur birokrasi Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar merupakan susunan organisasi tata kerja yang membawa tanggungjawab mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan. Bentuk organisasi tersebut diitata untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan sebagai instansi yang memberikan pelayanan publik dalam menjalankan kebijakan pengembangan kawasan industri. Kebijakan umum dalam RPJMD Kabupaten Karawang 2006 – 2010 dalam penguatan struktur industri di antaranya adalah mendorong terwujudnya peningkatan utilitas kapasitas, memperluas basis usaha dengan penyederhanaan prosedur perizinan, dan meningkatkan iklim persaingan yang sehat dan berkeadilan. Kebijakan ini tidak efektif sebab pengurusan izin masih dilaksanakan pada masing-masing instansi yang berbeda prosedur standar operasinya.
37
E. Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Industri Arah kebijakan pemerintah daerah dalam mendorong pengembangan kawasan industri merupakan bagian kebijakan pemerintah daerah dalam membangun dan mengembangkan perekonomian daerah sejalan dengan visi dan misi yang telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2006. Pada visi Kabupaten Karawang disebutkan bahwa terwujudnya masyarakat Karawang yang se-jahtera melalui pembangunan di bidang pertanian dan industri yang selaras dan seimbang berdasarkan iman dan taqwa. Melalui visi ini jelas terlihat bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Karawang dapat dilakukan melalui penguatan dan bertumpu pada pembangunan sektor pertanian dan sektor industri yang selaras dan seimbang. Sebagai tindak lanjut dari pembangunan pertanian yang berbasis ekonomi rakyat maka dikembangkan pola agro industri yang didukung oleh sektor industri. Berdasarkan rumusan visi dan misi tersebut nyata perhatian Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang sangat menekankan pentingnya sektor pertanian bahkan menjadi andalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa Karawang dikenal sebagai lumbung padi dan tersedianya lahan pertanian yang luas dengan dukungan irigasi teknis yang baik serta sumber daya manusia Mengharapkan sektor pertanian sebagai tumpuan harapan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dewasa ini. Perubahan kontribusi sektor pertanian yang sekarang lebih dominan diberikan oleh sektor industri dapat dilihat pada tabel 2. Berdasarkan data statistik tersebut terjadi penurunan kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai indikator bahwa sektor pertanian sudah rendah peranannya dalam Perekonomian Daerah Kabupaten Karawang. Kenaikan kontribusi sektor industri dalam PDRB menunjukkan bahwa industri menjadi sektor yang sangat produktif dan berkembang pesat di daerah yang sebelumnya terkenal sebagai lumbung padi nasional. Kenaikan peranan sektor industri memberikan harapan dan peluang bagi berkembangnya usaha pengelolaan kawasan industri. Kebijakan umum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Karawang 2006 – 2010 dalam penguatan struktur industri di antaranya adalah mendorong terwujudnya peningkatan utilitas kapasitas; memperluas basis usaha dengan penyederhanaan prosedur perizinan, meningkatkan iklim persaingan yang sehat dan berkeadilan. Kebijakan ini tidak efektif sebab pengurusan izin masih dilaksanakan pada masing-masing instansi yang berbeda prosedur standar operasinya. Selain itu
38
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17 No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 31-42
informasi dan waktu penyelesaian izin yang diperlukan tidak jelas dan tidak ada kepastian. Pengurusan izin masing-masing instansi belum menggunakan sistem pelayanan satu atap yang mempermudah bagi investor mengurus izin usahanya. Padahal apabila menggunakan kemajuan teknologi dengan menggunakan fasilitas internet, akan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Pengembangan kawasan industri perlu dukungan pemerintah daerah melalui peningkatan pelayanan publik yang dapat mendorong terwujudnya iklim investasi yang baik bagi dunia usaha. Pelayanan publik yang diberikan merupakan implementasi kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan dunia usaha dan masyarakat. Kebijakan yang disusun merupakan arah dan pedoman bagi birokrasi dan pengusaha pemilik modal serta penduduk sekitar daerah kawasan industri, sehingga terjalin kepentingan yang selaras antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Pada Peraturan Daerah Kabupaten Karawang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karawang terdapat berbagai kebijakan pemerintah daerah mengenai pedoman dan dasar program kegiatan pembangunan seperti bidang sosial, ekonomi, sarana dan prasarana, lingkungan hidup, dan sebagainya. Rencana Tata Ruang Wilayah sangat terkait langsung dengan penentuan lokasi industri dan arah pemusatan kegiatan industri di Kabupaten karawang. Perda tersebut dapat menjadi pedoman dan dasar kebijakan bagi pemerintah daerah untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya kawasan industri sejalan dengan perbaikan iklim investasi sehingga menarik minat investor membangun pabrikpabrik industri dalam kawasan yang telah tertata dan dikelola dengan baik. Peraturan daerah mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karawang ditetapkan pada tanggal 8 Nopember 2004. Jangka waktu Peraturan daerah tersebut berakhir sampai dengan tahun 2013 yang dievaluasi setiap lima tahun. Perda Tata Ruang Wilayah menyangkut kawasan industri mendasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Padahal dalam rangka mempercepat pengembangan Kawasan Industri, pemerintah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri. Pada Pasal 20 dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996 dinyatakan bahwa “Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri sebagaimana diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 98 Tahun 1993 dinyatakan tidak berlaku”. Ketidakcermatan menyusun landasar dasar Perda Nomor 19 Tahun 2004 sangat berpengaruh pada akselerasi pertumbuhan dan perkembangan pembangunan kawasan industri. Selain itu Perda yang disusun lemah pertimbangan hukum
yang mendasarinya. Hal ini menjadi pertimbangan dalam mengevaluasi Perda tersebut pada tahun 2009 sehingga kebijakan pengembangan kawasan industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Karawang. Evaluasi implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Karawang Nomor 19 tahun 2004 yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan industri dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, rencana pengembangan struktur ruang yang dilihat melalui adanya prasarana transportasi. Prasarana transportasi merupakan tulang punggung pola distribusi baik barang maupun orang dan sangat mendukung bagi pengembangan kawasan industri. Kebijakan Umum Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang sesuai RPJMD Karawang 2006 - 2010 dalam pengembangan struktur ruang adalah meningkatkan pembangunan infrastruktur wilayah. Pembangunan transportasi jalan sangat penting peranannya dalam kegiatan pembangunan sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi dunia usaha dan nilai sosial bagi masyarakat. Dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kabupaten Karawang disebutkan bahwa pada tahun 2007 telah dibangun: jalan sepanjang 347.976,90 M’; pengerasan/pembangunan jalan sepanjang 21.520 M’; pembangunan jembatan sepanjang 23,52 M’; pembangunan pembuatan box culvert sepanjang 44,50 M’; pengurugan tanah box culvert sepanjang 48 M’; perbaikan emplacement sepanjang 94 M’; dan rehabilitasi jalan sepanjang 7.442 M’. Pembangunan sarana transportasi menuju kawasan industri telah tersedia dengan adanya jalan bebas hambatan (tol) Jakarta – Cikampek yang bersebelahan dengan wilayah pengembangan kawasan industri. Keberadaan jalan tol tersebut sangat mendukung bagi kelancaran arus transportasi menuju pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara Udara Soekarno – Hatta Cengkareng. Pembangunan dan pengembangan kawasan industri di Kabupaten Karawang sangat strategis dan ekonomis dipandang dari segi lokasinya. Hal ini didukung dengan posisi Kabupaten Karawang yang terletak pada jalur transportasi darat yang mudah dilalui dari dan ke pelabuhan laut dan bandara udara serta Ibu kota Jakarta, sehingga memungkinkan kelancaran bagi mobilitas arus orang dan barang. Apalagi Kota Karawang bersebelahan dengan jalur lingkar Jabotabek yang memungkinkan kawasan industrinya menjadi pilihan alternatif yang kompetetif bagi investor. Berdasarkan Pasal 36 Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2004 disebutkan bahwa pembiayaan pembangunan infrastruktur wilayah dialokasikan dari sumber anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah serta masyarakat dan dunia usaha atau dalam bentuk kerjasama pembiayaan. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka pada tanggal 14 Mei 2009 telah diresmikan pembukaan pintu tol
SYAHRUDDIN, EVALUASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI
Karawang Barat 2 yang memudahkan akses transportasi menuju kawasan industri di sekitarnya. Pintu tol yang pembangunan konstruksinya dimulai sejak bulan Mei 2007 dibiayai seluruhnya oleh Karawang International Industrial City (KIIC) dengan biaya keseluruhan sebesar Rp 40 milyar. Pintu tol baru dan Jalan Tol Cikampek akan langsung terhubung dengan jalan sepanjang 1,5 kilometer. Sementara lahan yang terpakai untuk konstruksi seluas 2,5 hektar disumbangkan oleh Taman Pemakaman San Diego Hills, Lippo Group. Setelah diresmikannya gerbang tol tersebut, maka akan memudahkan akses transportasi menuju kawasan industri Karawang International Industry City (KIIC) dan akan meningkatkan pendapatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jalan alternatif antar kawasan di sebelah selatan kawasan industri Teluk Jambe kawasan industri Cikarang yang telah direncanakan dalam tata ruang wilayah dibangun tanpa ada peningkatan kualitas sehingga sukar dilalui. Kondisi jalan tersebut dibangun tanpa konstruksi beton sehingga tidak dapat dilalui oleh alat transportasi industri di atas kapasitas 10 ton. Dengan kondisi tersebut, maka jalan alternatif antar kawasan industri yang melintasi Teluk Jambe – Cikarang menjadi tidak efektif. Dengan tersedianya gerbang pintu tol Karawang Timur dan telah dibukanya gerbang pintu tol Karawang Barat 2 yang langsung menuju akses jalan kawasan industri, maka semua pabrik dalam kawasan industri di Karawang lebih baik menggunakan jalan tol daripada jalan alternatif. Kedua, rencana pengembangan kawasan andalan di Kabupaten Karawang yang terdiri dari: kawasan industri, kawasan permukiman, kawasan jalur perhubungan, dan kawasan lahan basah pada jalur pantai utara. Kawasan industri dibagi dua kelompok yaitu kelompok kawasan industri yang dikelola oleh perusahaan yang menyediakan tapak bangun dan menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan, dan kelompok zona industri. Pasal 7 Keppres Nomor 41 Tahun 1996 menyatakan bahwa Perusahaan Kawasan Industri wajib melakukan kegiatan pengembangan dan pengelolaan kawasan industri. Dalam pengelolaan dan pengembangannya, Perusahaan Kawasan Industri wajib melakukan kegiatan: (1) Menyediakan dan tanah, (2) Menyusun rencana tapak tanah, (3) Merencanakan teknis kawasan, (4) Menyusun analisis mengenai dampak lingkungan, 5.) Menyusun tata tertib kawasan industri, (6) Pematangan tanah, (7) Memasarkan kapling industri, dan (8) Membangun serta mengadakan prasarana dan sarana penunjang termasuk pemasangan instalasi/ peralatan yang diperlukan. Selain dari kewajiban tersebut, maka pemberian izin lokasi kepada perusahaan kawasan industri dilakukan berdasarkan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Berdasarkan peraturan tersebut jelas bahwa pengembangan kawasan industri sangat ditentukan
39
oleh rencana tata ruang wilayah sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan daerah Kabupaten Karawang Nomor 19 Tahun 2004. Pemusatan kegiatan industri Karawang berlokasi di bagian selatan yakni di Kecamatan Klari, Teluk Jambe Barat dan Teluk Jambe Timur, Kota Karawang, Jatisari, Pangkalan, dan Cikampek. Berdasarkan sarana dan prasarana yang tersedia bagi kegiatan industri, lokasi industri dapat dibedakan dalam tiga kategori: (1) Kawasan Industri yaitu tempat pemusatan kegiatan industri yang dikelola oleh perusahaan yang memiliki izin kawasan; (2) Zona Industri yaitu daerah industri yang peruntukkannya diizinkan untuk pembangunan dan pengembangan industri; dan (3) Kota Industri yaitu industri yang dibangun dalam wilayah perkotaan yang umumnya industri yang kurang menggangu lingkungan dan dalam skala kecil. Pada tahun 2005, Seksi Industri Logam Mesin, Elektronika dan Aneka telah menyusun Data Kawasan Industri dan Perusahaan Industri di Kabupaten Karawang. Dalam laporan tersebut diuraikan komposisi lahan untuk kawasan industri, kota industri, dan zona industri. Jumlah lahan yang disediakan seluas 19.055,10 ha. Pengelola pengembang kawasan industri dalam melakukan kegiatan usahanya menghadapi berbagai masalah yang penyelesaiannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang. Permasalahan yang dihadapi oleh Karawang International Industry City (KIIC) adalah persoalan keamanan terhadap masalah kuli bongkar muat yang selalu menimbulkan ketegangan antara perusahaan dengan para kuli bongkar muat yang sebagian besar adalah penduduk di sekitar kawasan. Para kuli memaksa hak bongkar muat dengan harga yang ditentukan sendiri oleh para kuli kepada perusahaan dalam kawasan. Cara kerja dan harga yang diatur kuli bongkar muat selalu menjadi keluhan pengusaha. Pengelola Kawasan Industri Mitrakarawang mengeluhkan kondisi jalan menuju kawasan industri, yang pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Akses jalan menuju kawasan industri yang buruk dapat menggangu kelancaran arus transportasi. Bagi Perusahaan Pengelola Kawasan Industri Kujang Cikampek masalah pelayanan publik dalam menciptakan iklim investasi yang baik menjadi perhatian utama. Pemerintah daerah diharapkan dapat mempermudah pengurusan berbagai ijin dengan ketentuan biaya yang jelas dan tidak memberatkan serta cepat penyelesaiannya. Pengelola kawasan industri di Kabupaten Karawang akan dapat mengembangkan usahanya apabila ada jaminan dan kepastian hukum, iklim investasi yang baik, dan tersedianya lahan untuk membangun dan mengambangkan kawasan industri. Kondisi itu sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan Pemerintah Daerah
40
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17 No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 31-42
Kabupaten Karawang. Kewajiban pihak dunia usaha dalam hal ini pengelola kawasan industri dalam mengembangkan kawasan industri telah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1996 pada Pasal 8. Berbagai permasalahan yang dihadapi tersebut di atas bersumber dari pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah daerah harus dapat memperbaiki birokrasi sehingga dalam menyelenggarakan administrasi kepemerintahan, para aparatur Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang dapat mewujudkan pelayanan publik yang baik, efisien, dan efektif. Demikian pula bagi masyarakat penduduk di sekitar kawasan industri dapat memanfaatkan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dengan adanya kawasan industri. Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang mempunyai kewenangan yang jelas sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah. Berdasarkan landasan hukum tersebut, sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996, maka sebagai Bupati dan berbagai jajaran pimpinan dan staf dinas terkait mempunyai kewenangan yang jelas dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan pengembangan kawasan industri. Pengembangan kawasan andalan yang dilaksanakan di antaranya melalui program pengembangan industri (Perda Nomor 19 tahun 2004 Pasal 38 angka 2), dalam rangka mewujudkan kawasan andalan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Kegiatan yang dilakukan untuk melaksanakan program ini adalah mendorong masuknya investasi melalui regulasi dan perizinan serta mengarahkan pengembangan kegiatan industri di lokasi kawasan industri (industrial estate). Regulasi dan perizinan selama ini selalu dikeluhkan oleh pengusaha dan dianggap sebagai penghambat minat investor menanamkan modalnya. Banyak hal yang melatarbelakangi penyebabnya di antaranya kualitas sumber daya manusia rendah akibat rekrutmen yang salah, pendidikan dan pelatihan yang tidak terarah dan kurang berkesinambungan, sarana dan prasarana kerja yang terbatas, kesejahteraan yang rendah, dan informasi yang kurang efektif. Pengaturan perizinan sangat terikat pada prosedur administasi sesuai rentang kewenangan organisasi. Adapun izin yang harus dimiliki oleh pengusaha pengelola kawasan industri menurut Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996 adalah persetujuan prinsip, izin lokasi industri, izin usaha kawasan industri, permohonan Hak Guna Bangunan Induk dan Tanah, dan izin perluasan industri. Proses perizinan dilaksanakan oleh masing-masing instansi terkait
yang belum dilaksanakan secara terpadu. Hal ini menyulitkan bagi pengusaha dalam mengurus berbagai izin yang diperlukan sehingga banyak memerlukan biaya dan waktu serta tidak ada kepastian usaha. Kebijakan pengembangan kegiatan industri yang diarahkan di lokasi kawasan industri menjadi tidak efektif karena banyaknya perusahaan yang masih beroperasi di luar kawasan industri. Pembagian peruntukkan lahan untuk kawasan industri dan zona industri serta kota industri menjadi penghalang yang mengurangi minat investor untuk berkonsentrasi membangun pabrik dalam kawasan industri. Hal ini disebabkan pertimbangan biaya dan efektivitas usaha yang lebih praktis apabila berusaha di zona industri atau di kota industri. Selain itu harga yang ditawarkan pengelola kawasan industri untuk pemanfataan pabrik yang siap bangun atau siap huni dinilai masih tinggi. Untuk mengatasi masalah ini perlu kiranya pemerintah daerah bersama pemerintah provinsi dan pemerintah pusat mencari jalan keluar agar pengusaha kecil dan menengah dapat masuk berusaha di kawasan industri melalui pemberian insentif dan subsidi bagi pengelola kawasan industri dan bantuan modal bagi pengusaha kecil dan pengusaha menengah. Pengembangan kawasan industri memberikan dampak bagi masyarakat sekitarnya. Sebelum berkembang sektor industri, sektor pertanian paling besar kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian yang mencakup tanaman bahan makanan, peternakkan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan kehutanan mendominasi lapangan usaha. Namun sektor pertanian yang selama ini menjadi andalan penciptaan lapangan kerja tidak dikelola secara baik dalam bentuk usaha tani (farm enterprise) bahkan cenderung masih bersifat subsistem. Setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 53 tahun 1989 yang mengatur pembangunan kawasan industri, terjadi perubahan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Pembangunan kawasan industri memerlukan lahan dan tenaga kerja serta menimbulkan pencemaran udara, air, dan tanah. Masyarakat agraris yang bekerja tanpa perlu sertifikasi pendidikan berbeda dengan tenaga kerja sektor industri yang memerlukan tingkat pendidikan dan keahlian tertentu. Begitu pula cara kerja sektor industri yang teratur dan berdasarkan waktu berbeda dengan bekerja disektor pertanian yang sangat dipengaruhi musim tanam. Berkembangnya sektor industri salah satu penyebab terjadinya alih fungsi lahan yang sebelumnya digunakan sebagai areal pertanian berubah menjadi kawasan industri, daerah pemukiman, dan tempat usaha lainnya. Keberadaan kawasan industri pada dasarnya akan menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan usaha bagi masyarakat dan penduduk sekitar kawasan. Namun dalam kenyataannya angkatan kerja serta tenaga kerja dari penduduk setempat sedikit yang terserap bahkan untuk pekerjaan yang tanpa sederhana sekalipun,
SYAHRUDDIN, EVALUASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI
seperti cleaning service, tenaga pengaman, dan supir. Perusahaan industri yang beroperasi dalam kawasan industri lebih menitikberatkan pada tenaga kerja yang produktif, loyal, dan disiplin. Demi mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas, perusahaan akan menggunakan berbagai kriteria sehingga syarat utama yang diperlukan adalah tingkat pendidikan dan sikap perilaku serta disiplin. Pada kenyataannya angkatan kerja dan tenaga kerja lokal terutama yang hidup dalam garis kemiskinan relatif rendah tingkat pendidikannya. Hal ini disebabkan masyarakat di Kecamatan Teluk Jambe Barat, Teluk Jambe Timur, Kecamatan Ciampel, dan sekitar kawasan sebelum dibangun areal industri sebahagian besar bekerja di sektor pertanian. Budaya kerja tani yang diterima turun temurun berubah dengan munculnya sektor industri yang mempengaruhi orientasi dan harapan bagi angkatan kerja muda yang produktif. Sektor usaha pertanian sudah mulai tidak menarik bahkan dewasa ini berkembang sektor jasa yang lebih menguntungkan daripada bekerja di sektor pertanian. Keadaan ini menjadi dilematis bagi masyarakat Karawang sekitar kawasan industri. Di satu sisi mereka kalah bersaing dengan tenaga kerja pendatang yang lebih agresif dan sabar di lain pihak mereka menjadi penonton di daerahnya sendiri. Dalam kondisi demikian, muncul berbagai gejolak sosial yang apabila tidak terkendali dapat menjadi keresahan sosial. Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang terhadap pemberdayaan masyarakat atau penduduk sekitar kawasan industri adalah mengembangkan ekonomi kerakyatan pada sektor pertanian dengan pola agrobisnis dan agroindustri yang didukung oleh sektor industri lainnya. Melalui kebijakan ini diharapkan tenaga kerja di sektor pertanian tidak beralih usaha dengan permasalahan yang dihadapi petani dewasa ini, yaitu (1) rendahnya kesejahteraan dan relatif tingginya tingkat kemiskinan petani, (2) lahan pertanian yang semakin menyempit, (3) terbatasnya akses ke sumber daya produktif terutama akses terhadap sumber daya permodalan yang diiringi dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia, (4) penguasaan teknologi masih rendah, dan (5) lemahnya infrastruktur di sektor pertanian. Berbagai kelemahan tersebut dan keterbatasan yang dihadapi petani menjadikan sektor pertanian khususnya budidaya padi sudah tidak menarik lagi sebagai lapangan usaha terutama bagi angkatan kerja muda. Padahal angkatan kerja muda inilah sebagai tenaga kerja yang sangat produktif dan diharapkan dapat membawa pembaharuan disektor pertanian. Angkatan kerja muda di pedesaan yang relatif lebih baik pendidikannya akan masuk pasar tenaga kerja yang lebih luas mendapatkan kesempatan kerja dan kesempatan usaha di luar sektor pertanian. Padahal sektor pertanianlah yang membiayai pendidikannya
41
tersebut. Pada pasar tenaga kerja, informasi permintaan tenaga kerja bagi pabrik-pabrik di kawasan industri sangat terbatas diterima oleh angkatan muda terdidik yang ada dipedesaan sekitar kawasan. Apalagi sistem penerimaan karyawan yang tidak transparan dengan kriteria yang tidak jelas, akan menambah sulit-nya bagi angkatan kerja di sekitar kawasan untuk mendapatkan pekerjaan sebagai operator pabrik dalam kawasan industri. Hal ini menyebabkan meningkatnya pengangguran terdidik dan menambah jumlah pengangguran keseluruhan di pedesaan. Permintaan tenaga kerja meningkat sejalan dengan bertambahnya perusahaan yang beroperasi di kawasan industri (tenant). Peningkatan ini menjadi tantangan bagi penduduk usia kerja produktif dan kompetitif bersaing dengan pekerja pendatang dan peraturan ketenagakerjaan serta kebijakan pemerintah daerah. Melalui penerimaan tenaga kerja yang selektif dan cenderung diskriminatif serta adanya perusahaan pengerah tenaga kerja yang memasok tenaga kerja outsourcing (sistem kontrak kerja lepas), telah membatasi kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal. Memang pada kenyataannya pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh perusahaan di Indonesia termasuk perusahaan di kawasan industri Karawang. Keuntungan yang di-peroleh perusahaan yang melakukan outsourcing adalah penghematan biaya (cost saving), perusahaan bisa memfokuskan kepada kegiatan utamanya (core business), dan akses kepada sumber daya (resources) yang tidak dimiliki oleh perusahaan. Permasalahannya adalah adanya perusahaan yang menyalurkan tenaga kerja tidak profesional dan hanya mencari keuntungan belaka tanpa ada seleksi yang adil dan pembinaan yang baik. Bahkan banyak perusahaan yang mengelola outsourcing menarik kutipan (biaya administrasi dan fee) kepada calon tenaga kerja dan memanfaatkan kesempatan ini untuk keuntungan semata. Keterbatasan kesempatan kerja dan kesempatan usaha membuat penduduk sekitar menjadi pengangguran dan baik terselubung maupun memang tidak bekerja. Besarnya tingkat pengangguran kaum mu-da di sekitar kawasan industri sangat rentan dan rawan menimbulkan keresahan sosial serta mudah dipengaruhi untuk melakukan tindakan kriminal yang mengganggu keamanan pabrik di kawasan industri. Untuk mengatasi masalah sosial inilah program peningkatan keberdayaan masyarakat melalui pembinaan dan pengembangan diversifikasi usaha sangat tepat untuk dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan kemudahan akses pasar dan pengembangan sarana informasi serta komunikasi bagi masyarakat pedesaan. Pengangguran sangat erat kaitannya dengan kemiskinan dan kemiskinan disebabkan oleh terbatasnya kemampuan orang memperoleh penghasilan yang mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks ber-
42
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17 No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 31-42
kaitan erat dengan tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi geografis, dan kondisi lingkungan. Data tahun 2007 yang bersumber dari RKPD Kabupaten Karawang tahun 2009 menyebutkan bahwa dibandingkan dengan tahun 2006, terjadi penurunan rumah tangga miskin (rtm) dari 191.618 rtm menjadi 155.121 rtm pada tahun 2007. Penurunan tingkat kemiskinan ini menunjukkan adanya perbaikan ekonomi bagi masyarakat Karawang. Dampak pengembangan kawasan industri bagi masyarakat sekitar kawasan industri sangat positif apabila kawasan industri sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan kesempatan kerja bagi angkatan kerja penduduk sekitar kawasan dan memperluas kesempatan usaha bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Pada pembangunan daerah khususnya pengembangan kawasan industri, peran serta masyarakat lokal adalah sebagai modal sosial (social capital) dalam rangka mencapai masyarakat madani (civil society). Berbagai kegiatan pembangunan pengembangan kawasan industri selama ini dipandang kurang efektif dan inefisien karena tidak bermanfaat bagi masyarakat lokal. KESIMPULAN Implementasi kebijakan pengembangan kawasan industri di Kabupaten Karawang masih terhambat, belum terjalin komunikasi yang efektif antara pembuat kebijakan (bupati) dengan pelaksana di lapangan (pejabat dan staf instansi terkait) dan pengelola kawasan industri. Selain itu, rendahnya kualitas pejabat dan staf Badan Perencanaan Daerah serta Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar menghambat evaluasi pelaksanaan program kegiatan pengembangan kawasan industri dalam memberikan pelayanan publik. Hambatan ini juga ditambah dengan kurang tersedianya sarana kerja yaitu internet dan
komputer untuk memberikan pelayanan secara on-line dan memberikan informasi kepada masyarakat luas secara cepat dan tepat. Sikap pejabat terkait cenderung mempertimbangan kepentingan politik daripada kemampuan dan profesionalitas. Selanjutnya, perubah-an struktur birokrasi dan perubahan tugas pokok dan fungsi instansi menjadikan unit kerja kurang fokus dalam menjalankan kewenangannya. DAFTAR PUSTAKA Dirdjojuwono, Roestanto W. 2004. Kawasan Industri Indonesia: Sebuah Konsep Perencanaan dan Aplikasinya. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda. Dunn, William. 1999. Analisa Kebijakan Publik. Jogjakarta: Gajah Mada Press. Edwards III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington: Congressional Quarterly Press. Islamy, M. Irfan. 1997. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Kwanda, Timoticin. 2000. Pengembangan Kawasan Industri di Indonesia. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol.28, No.1 (Juli). Lumbuun, T. Gayus. 2005. Permasalahan Investasi di Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.13, No.2 (Mei). Miles, Mathew B., and A. Michael Huberman. 1984. Qualitative data Analysis: A Source book of New Members. Beverly Hills, CA: SAGE. Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang. Peraturan Daerah No. 19 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Lembaran Daerah Kabupaten Karawang Tahun 2004 Nomor 19 seri E. Prasojo, Eko. 2006. Reformasi Birokrasi di Indonesia: Beberapa Catatan Kritis. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.14, No.1 (Januari). Republik Indonesia. Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1966 Tentang Kawasan Industri. Sagala, Aryanto, dkk. 2004. Penyusunan Rencana Pengembangan Kawasan Industri. Jakarta: BPPT Press. Soeling, Pantius.D. 2007. Pertumbuhan Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.15, No.1 (Januari). Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Jan–Apr 2010, hlm.43-51 ISSN 0854-3844
Volume 17, Nomor 1
Pengaruh Remunerasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik BAMBANG SANCOKO1* Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan, Kementerian Keuangan
1
Abstract. This research studies the influence of gift remuneration to the services quality of The State Exchequer Service Office (KPPN) Jakarta I. Remuneration represents one part of the bureaucracy reform programs. KPPN represents the sample office specified by the Department of Finance to administer public service reform programs. The research uses quantitative approach and the method of survey. The result of the research indicates that the remuneration can give motivation to the officers to increase their performance. The achievement is marked by the good performance service (service excellent). The program of remuneration run by the Department of Finance can be operated at direct interconnection with other governmental institutions, especially with the public service. Keywords: bureaucracy reform, remuneration, service quality
PENDAHULUAN Pelayanan publik di Indonesia mempunyai peran penting bahkan vital pada kehidupan ekonomi dan politik. Pelayanan publik juga merupakan unsur paling penting dalam meningkatkan kualitas hidup sosial di dalam masyarakat manapun. Secara ideal, tujuan utama pemerintah tersebut berada (Saragih, 2006). Mengingat pelayanan publik memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Tetapi, kualitas pelayanan publik sampai saat ini secara umum masih belum baik. Buruknya kualitas pelayanan publik menimbulkan krisis kepercayaan di masyarakat terhadap birokrasi publik. Krisis kepercayaan ditunjukkan dengan munculnya berbagai bentuk protes dan demonstrasi kepada birokrasi baik di tingkat pusat maupun di daerah (Dwiyanto, 2006). Pemerintah yang diwakili Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sendiri mengakui bahwa masyarakat selama ini masih merasakan prosedur dan mekanisme pelayanan yang berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif, dan kurang konsisten sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu, dan biaya (www.tempointeraktif.com, 2003). Ardin (2007) menilai kualitas pelayanan kepada masyarakat selama reformasi dirasakan semakin menurun dan buruk ditandai dengan lamanya waktu pengurusan dan biaya siluman yang semakin tinggi. Lebih memprihatinkan lagi, penyedia pelayanan kepada masyarakat di beberapa instansi pemerintah secara terang-terangan dan tanpa rasa malu meminta sejumlah uang tertentu yang tidak rasional jumlahnya. Kasus korupsi dalam pelayanan publik sudah menjadi praktek sehari-hari di Indonesia dan bahkan sudah terlembaga yang melibatkan semua *Korespondensi: +6281380624300; [email protected]
pihak terkait yang saling menjaga rahasia dan saling melindungi (Prasojo, 2006). Untuk mengatasi masalah pelayanan publik yang buruk ini, maka mendesak dilakukan reformasi birokrasi dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah pada masyarakat. Pemerintah telah menyiapkan delapan Undang-Undang untuk mengawal pelaksanaan reformasi birokrasi sebagai berikut. (1) UndangUndang tentang Kementerian dan Kementerian Negara; (2) Undang-Undang tentang Pelayanan Publik; (3) Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan; (4) Undang-Undang tentang Etika Penye-lenggara Negara; (5) Undang-Undang tentang Kepegawaian Negara; (6) Undang-Undang tentang Badan Layanan Umum/Nirlaba; (7) Undang-Undang tentang Pengawasan Nasional; (8) Undang-Undang tentang Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Peraturan perundangan tersebut kemudian dikombinasikan dalam rangka reformasi birokrasi menjadi UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian dan Kementerian Negara. Saat ini, juga sudah diterbitkan grand design reformasi birokrasi dalam bentuk Peraturan Menpan No.15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, yang merupakan cetak biru reformasi hingga tahun 2025 (www.menpan.go.id). Reformasi pelayanan publik sendiri merupakan prime mover (penggerak utama) yang dinilai strategis untuk memulai pembaharuan praktik governance (Dwiyanto, 2005). Reformasi pelayanan publik dinilai sebagai entry point dan penggerak utama karena upaya untuk mewujudkan nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik governance yang baik dalam pelayanan publik dapat dilakukan secara lebih nyata dan mudah. Produk dari pela-yanan publik didalam negara demokrasi paling tidak harus memenuhi tiga indikator, yakni responsiveness, responsibility, dan accountabi-
44
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 43-51
Gambar 1. Kerangka Umum Reformasi Birokrasi Sumber: Peraturan Menpan Nomor 15 tahun 2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi
lity (Lenvine, 1990). Konsep kualitas menjadi ukuran keberhasilan organisasi bukan saja pada organisasi bisnis, tetapi juga pada orga-nisasi atau institusi pemerintah sebagai lembaga penyedia pelayanan publik (Fitriati, 2010). Pemerintah dituntut untuk senantiasa melakukan survey mengenai keinginan dan penilaian masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan. Terlebih, kualitas merupakan bahasan yang penting dalam penyelenggaraan pelayanan. Berkaitan dengan kualitas pelayanan, Gronroos (1990) mendefinisikan pelayanan (service) sebagai suatu aktivitas atau rangkaian aktivitas, terjadi interaksi dengan seseorang atau mesin secara fisik dan penyediaan kepuasan pelanggan. Pelayanan (service) adalah sesuatu manfaat yang bersifat intangible, yang dibayar langsung atau tidak langsung dan biasanya meliputi komponen fisik besar atau kecil atau teknikal (Lehtinen dan Andressen, tt; Gronroos, 1990). Kotler dan Bloom dalam Gronroos (1990) memberi definisi pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Gronroos (1990) sendiri memberi definisi pelayanan sebagai suatu aktivitas atau rangkaian aktivitas baik yang sifat intangible-nya banyak atau sedikit, berlangsung dalam interaksi antara pelanggan dan pegawai pelayanan dan/atau sumberdaya fisik atau barang dan/atau sistem penyedia
pelayanan, yang disediakan sebagai penyelesaian masalah pelanggan. Konsep kualitas menjadi ukuran keberhasilan organisasi bukan saja pada organisasi bisnis, tetapi juga pada organisasi atau institusi pemerintah sebagai lembaga penyedia pelayanan publik. Pemerintah dituntut untuk senantiasa melakukan survei mengenai keinginan dan penilaian masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan. Terlebih, kualitas merupakan bahasan yang penting dalam penyelenggaraan pelayanan. Negara dan sistem pemerintahan menjadi tumpuan pelayanan warga negara dalam memperoleh jaminan atas hak-haknya, karenanya peningkatan kualitas pelayanan (quality of services) akan menjadi penting (Zauhar 2001; Prasojo, Pradana dan Hiqmah, 2006). Kaitannya dengan kualitas pelayanan, sejumlah ahli menjelaskan konsep ini dengan pengertian yang saling menguatkan sesuai dengan perspektif yang digunakan untuk menentukan ciri-ciri pelayanan yang spesifik (Feigenbaum 1986; Lovelock 1994 Bahil dan Gising 1998, Goetsh dan Davis 1994; Mulyawati 2003, WE. Deming, 1986; Sinambela dkk 2006). Selain itu, ukuran kualitas pelayanan ditentukan oleh banyak faktor yang bersifat intangible (tidak nyata/ tidak berwujud) dan memiliki banyak aspek psikologis yang rumit untuk diukur (Zeithaml, Parasuraman dan Berry, 1990). Idealnya pengukuran kualitas pelayanan dilakukan terhadap dua dimensi yang saling terkait
SANCOKO, PENGARUH REMUNERASI TERHADAP KUALITAS LAYANAN PUBLIK
45
Gambar 2. Dimensi SERVQUAL Sumber: Zeithaml, Parasuraman dan Berry, 1990
Customer Word-of-Mouth Communications
Personal Needs
Past Experience
Expected Service Gap 5 Perceived Service
Service Delivery
Provider
Gap 4
External Communications to Customers
Gap 3 Service Quality Spesifications
Gap 1
Gap 2 Management Perceptions of Customer Expectations
Gambar 3. Model Konseptual dari Kualitas Pelayanan Sumber: Zeithaml, Parasuraman dan Berry, 1990
dalam proses pelayanan yakni penilaian kepuasan pelanggan, pada dimensi pengguna layanan/pelanggan (service users) dan penilaian yang dilakukan pada penyedia pelayanan (service providers). Zeithaml dkk. (1990) kemudian mengembangkan service quality gap model kedalam suatu instrumen skala pengukuran 10 dimensi yang dinamakan SERVQUAL (gambar 2). Pada perkembangannya kesepuluh dimensi ini kemudian disederhanakan menjadi lima dimensi kualitas pelayanan (Zeithaml, 1990), yakni: Tangible (Nyata, Berwujud), Reliablility (Keandalan), Responsiveness (Cepat tanggap), Assurance (Jaminan), dan Emphaty (Empati). Pengukuran kualitas pelayanan dilakukan terhadap dua dimensi yang saling terkait dalam proses pelayanan yak-ni penilaian kepuasan pada dimensi pengguna layanan/pelanggan (service users) dan penilaian yang dilakukan pada penyedia pelayanan (service providers).
Untuk menilai suatu pelayanan mempunyai kualitas yang baik atau tidak, tidak dapat hanya menggunakan standar pelayanan yang ada, tetapi diukur berdasarkan persepsi pelanggan. Pengukuran persepsi kualitas pelayanan dilakukan menggunakan insrumen SERVQUAL terhadap dimensi-dimensi pelayanan yang dimiliki. Kualitas pelayanan menurut Zeithaml, Parasuraman dan Berry (1990) diukur menggunakan insrumen SERVQUAL terhadap lima dimensi (gambar 3). Kualitas pelayanan publik merupakan hasil inter-aksi dari tiga aspek, yaitu sistem pelayanan yang di-bangun organisasi penyedia layanan, sumberdaya manusia pemberi pelayanan, strategi pelayanan, serta pelanggan atau pengguna layanan (Albrecht dan Zemke, 1990) Ketiga aspek tersebut saling terkait serta berinteraksi satu dengan yang lainnya dan direkatkan oleh suatu budaya organisasi yang diarahkan kepada kebutuhan pelanggan.
46
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 43-51
Kaitannya dengan penelitian ini, sejumlah penelitian terdahulu mencatat adanya hubungan yang sangat erat antara kompensasi dengan kualitas pelayanan yang diberikan oleh sumber daya manusia pemberi pelayanan. Radjagukguk (2007) meneliti pengaruh antara program modernisasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Empat berupa (1) pemberian hadiah kepada pegawai pajak, (2) kecepatan pelayanan, (3) sikap ramah dan sopan santun, (4) kemampuan dan penguasaan peraturan, dan penampilan ruang pelayanan yang semakin baik dan rapi kualitas pelayanan bagi wajib pajak setelah diterapkan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem kompensasi mempunyai pengaruh terhadap kualitas pelayanan. Penelitian lainnya menyimpulkan ada pengaruh sistem remunerasi dengan penggajian terhadap kualitas pelayanan (Zalbianis dan Sanusi, 2006). Penelitian senada dilakukan Permana (2007) di tiga kota Yogyakarta, Depok, dan Tangerang, yang menemukan bahwa salah satu penyebab yang mempengaruhi kualitas pelayanan adalah faktor remunerasi yang diterima pegawai. Penelitian-penelitian ini membuktikan adanya pengaruh kompensasi terhadap kualitas layanan publik. Berkaitan dengan remunerasi atau kompensasi, Werther dan Davis (1996) mengatakan: “Compensation is what employees receive in exchange for their contribution to the organization”. (Kompensasi adalah apa yang diterima para pekerja sebagai balasan/ pertukaran dari kontribusi yang diberikannya kepada organisasi). Pengertian yang sama disampaikan Handoko (1991) bahwa kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka. Sedangkan Deluca (1993) menjelaskan: “The sum total of payments, direct and indirect that an employee is given in exchange for service provided. There may be as many as five elements, including: base pay, shortterm incentives, long-term incentives, benefits, and perquisites.” Mondy dan Noe (1993) mengatakan: “Compensation refers to every type of reward that individuals receive in return for their labor”. Senada dengan Mondy dan Noe, Milkovich dan Newman (2002) memberi definisi: “Compensation refers to all forms of financial returns and tangible services and benefits employees receive as part an employemnet relationship”. Sementara dimensi kompensasi menurut Mondy dan Noe (1993) terdiri dari financial dan non financial. Dimensi financial merupakan reward yang diterima individu atas tenaga yang diberikan, terdiri dari direct financial dan indirect financial. Dimensi non financial merupakan kepuasan yang diterima dari job itu sendiri atau suasana yang mendukung. Selain faktor kompensasi, kualitas pelayanan atau kinerja pegawai pelayanan dipengaruhi juga oleh motivasi pegawai yang bersangkutan. Menurut McCloy, Campbell dan Cuedeck dalam Milkovich dan Newman (2002) fakta membuktikan bahwa kinerja pegawai tergantung pada tiga faktor utama yaitu skill, knowledge, dan motivation.
Faktor-faktor ini dirumuskan dalam persamaan: Employee performance = f (S, K, M) Dimana: S = Skill and ability to perform task K = Knowledge of acts, rules, principles, and procedures M = Motivation to perform Organisasi memerlukan orang yang berkompeten (memiliki skill dan knoewledge) untuk mendapatkan kontribusi terhadap kinerja. Tetapi orang yang berkompeten tersebut tidak akan memberikan kontribusi apapun apabila tidak memiliki motivasi. Oleh karena itu, organisasi perlu mencari cara untuk memotivasi pegawai sehingga bisa menggunakan skill dan knowledge untuk membantu organisasi mencapai tujuannya. Berkaitan dengan motivasi, Milkovich dan Neuman (2002) mendefinisikan sebagai kesediaan seseorang untuk melakukan beberapa sikap tertentu. DeCenzo dan Robbins (1994) mendefinisikan, motivasi adalah sesuatu yang didorong oleh kemampuan bertindak untuk memenuhi kebutuhan. Sementara Werther dan Davis (1996) mengatakan, motivasi mengarahkan seseorang untuk mengambil tindakan yang disebabkan orang tersebut ingin melakukannya. Sedangkan Mondy dan Noe (1993) memberi definisi yang lebih luas yaitu motivasi sebagai kesediaan untuk mengusahakan terus menerus dalam mengejar tujuan organisasi. Teori-teori yang menjelaskan tentang motivasi yang berhubungan dengan remunerasi antara lain adalah Maslow’s Need Hierarchy Theory (Maslow, 2004); Herzberg’s Two Factor Theory (Herzberg; Milkovich dan Newman, 2002); Expectacy Theory (Vroom; Armstrong dan Murlis, 2001); Equity Theory (Adams; Milkovich dan Newman, 2002); Reinforcement Theory (Milkovich dan Newman, 2002); Goal Setting Theory (Latham & Locke; Milkovich dan Newman, 2002); Agency Theory (Milkovich dan Newman, 2002). Meskipun ada pengecualian, secara umum pemberian upah akan menghasilkan kinerja pegawai dan organisasi yang lebih baik (Cooke, tt; Milkovich dan Neuman, 2002). Kaitannya remunerasi dan pelayanan, penelitian ini memfokuskan pada kajian kualitas pelayanan di Departemen Keuangan. Sebagaimana birokrasi pada umumnya, kualitas layanan di Departemen Keuangan juga banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Padahal Departemen Keuangan dinilai sangat strategis karena merupakan lem-baga pemerintah pengelola fiskal negara. Instansi ini memiliki kantor vertikal yang tersebar di seluruh Indonesia dan bersifat holding type organization, dengan jumlah pegawai sekitar 60.000 orang. Pemerintah kemudian menjadikan Departemen Keuangan sebagai salah satu pilot project program reformasi birokrasi. Departemen ini mulai melakukan reformasi birokrasi, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan dan Nomor 31/KMK.01/2007 tentang Pembentukan Tim Reformasi Birokrasi
SANCOKO, PENGARUH REMUNERASI TERHADAP KUALITAS LAYANAN PUBLIK
47
Gambar 4. Model Analisis Pengaruh Remunerasi terhadap Kualitas Pelayanan Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009 Tabel 1. Operasionalisasi Konsep Pengaruh Remunerasi terhadap Kualitas Pelayanan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Jakarta I Konsep Remunerasi Sumber : Mondy, Noe (1993: 445), Hasibuan (2007: 122)
Variabel Remunerasi
Kategori Tidak Layak/ Setuju Kurang Layak/Setuju Layak/Setuju Sangat Layak/ Setuju
Dimensi Finansial
Motivasi Sumber : Armstrong dan Murlis (2001: 29), Mondy dan Noe (1993: 445) dan Hasibuan (2007: 122)
Motivasi
Tidak Layak/ Setuju Kurang Layak/ Setuju Layak/Setuju Sangat Layak/ Setuju
Extrinsic
Pelayanan Sumber : Zeithaml, Parasuraman dan Berry (1990: 25-26)
Kualitas pelayanan
Tidak Baik/ Setuju Kurang Baik/ Setuju Baik/Setuju Sangat Baik/ Setuju
Tangibles
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
-
Reliability Responsiveness Assurance
Emphaty
Indikator Nilai remunerasi dibanding dengan instansi pemerintah lainnya Nilai remunerasi dibanding kinerja yang diberikan Nilai remunerasi dibanding senioritas dalam daftar pegawai Nilai remunerasi dibanding pengalaman yang dimiliki Nilai remunerasi dibanding level (grade yang dimiliki) Nilai remunerasi dibanding potensi yang dimiliki Nilai remunerasi dibanding kebutuhan yang harus dipenuhi Penilaian pegawai bahwa remunerasi memberi motivasi
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4.
Tersedianya sarana fisik kantor Kuantitas sarana fisik kantor yang tersedia Kemudahan penggunaan sarana kantor Kesesuaian sarana kantor dengan perkembangan jaman (modern) Pelaksanaan janji/motto Pelaksanaan janji/motto sudah akurat Pelaksanaan janji perbaikan atas saran sebelumnya Kesigapan melayani pelanggan Kecepatan menanggapi permintaan/pertanyaan Proaktif melayani pelanggan Kompetensi pegawai yang memberikan pelayanan Sopan santun pegawai yang memberikan pelayanan Pelayanan bisa dipercaya, amanah dan jujur Pelayanan bisa memberi jaminan pelayanan bebas dari pungutan
1. 2. 3.
Kemudahan untuk ditemui atau dihubungi Bahasa yang digunakan mudah dipahami Berusaha untuk mengetahui pelanggan dan kebutuhannya
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009
Pusat Departemen Keuangan Tahun Anggaran 2007. Program utama dalam reformasi birokrasi di Departemen Keuangan meliputi empat poin, yaitu: (1) penataan organisasi dan kelembagaan, (2) perbaikan tata laksana, (3) peningkatan sumber daya manusia, dan (4) pembenahan sistem pengawasan. Perbaikan sistem remunerasi atau kesejahteraan adalah bagian dari manajemen SDM. Proses ini diawali sejak rekrutmen, pembinaan karir, hingga pensiun. Karenanya, apabila program reformasi berokrasi ini berhasil, maka akan dikembangkan dan diterapkan pola yang sama di departemen atau lembaga pemerintah lain. Salah satu instansi yang menjadi melaksanakan pelayanan di Departemen Keuangan dalam program reformasi birokrasi adalah Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I. Layanan di KPPN sering dikeluhkan oleh para pihak yang menjadi mitra KPPN. Persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik adalah berbelit-belit, tidak transparan, adanya pungutan tidak
resmi. Kualitas layanan KPPN yang buruk ini sudah menjadi stigma bagi KPPN (Majalah Treasury, 2007). Oleh karena itu, sejak tanggal 30 Juli 2007, KPPN Jakarta I ditetapkan menjadi KPPN Percontohan bersama 18 KPPN lainnya di seluruh Indonesia untuk merepresentasikan layanan unggulan di Departemen Keuangan. Instansi ini melayani kantor/instansi pemeintah lain dalam hal pembayaran tagihan belanja negara guna melaksanakan tugas pemerintahan untuk melayani masyarakat. KPPN Percontohan mengemban misi sebagai institusi pelayanan yang memenuhi unsur: transparansi, cepat, tepat, dan tanpa biaya. Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh remunerasi terhadap kualitas pelayanan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I. METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian adalah kuantitatif dengan
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 43-51
48
Tabel 2. Tanggapan Pegawai KPPN terhadap Remunerasi dan Motivasi Remunerasi 44
Valid
N
Missing
0
Motivasi 44 0
Mean
2.6919
3.2727
Std. Deviation
.46023
.54404
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009
jenis penelitian deskriptif (Creswell, 2002) dengan populasi seluruh pegawai KPPN Jakarta I, termasuk pegawai kantor/satuan kerja instansi pemerintah dan bendahara/staf kantor/satuan kerja instansi pemerintah yang dilayani oleh KPPN Jakarta I. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner dengan menggunakan metode sampling insindental terhadap 148 resonden. Remunerasi merupakan variabel independent (X) dan pelayanan merupakan variabel dependent (Y). Dalam penelitian ini penulis juga menempatkan variabel antara yaitu motivasi. Selanjutnya dalam melakukan analisis penelitian digambarkan model analisis seperti terlihat pada gambar 4. Hipotesis penelitian adalah : a. Hipotesis Kerja “Pemberian remunerasi akan meningkatkan kinerja pegawai sehingga kualitas pelayanan yang diberikan akan meningkat”. b. Hipotesis Statistik: Ho: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan atas pemberian remunerasi terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik di KPPN Jakarta I. Ha: Terdapat pengaruh yang signifikan atas pemberian remunerasi terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik di KPPN Jakarta I. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Variabel Remunerasi dan Motivasi Tanggapan pegawai KPPN Jakarta I terhadap pemberlakuan remunerasi cenderung baik dengan nilai mean 2,6919 dengan skala pengukuran 1-4 (lihat tabel 2). Data ini menunjukkan bahwa pemberian remunerasi belum sepenuhnya memenuhi harapan responden. Remunerasi yang diterima pegawai terbukti dapat memberikan motivasi pegawai di KPPN Jakarta I dengan nilai mean 3,2727. Hasil ini menunjukkan hasil bahwa program perbaikan remunerasi dalam reformasi birokrasi dapat menciptakan kesiapan organisasi dan sumber daya manusianya untuk meningkatkan kinerjanya. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi jawaban responden. Sesuai dengan teori remunerasi yang telah dibahas sebelumnya bahwa penentuan besarnya
Tabel 3. Tanggapan Responden terhadap Pelayanan Sebelum dan Sesudah Remunerasi Variabel Pelayanan
Mean Sebelum 2,5814
Standard Deviasi Sesudah
3,2080
Sebelum 0,52862
Sesudah 0,44799
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009 Tabel 4. Tanggapan Responden terhadap Pelayanan Sebelum dan Sesudah Remunerasi menurut Lima Dimensi Servqual Dimensi Pelayanan
Mean Sebelum Sesudah
Standard Deviasi Sebelum Sesudah
Tangibles 2,3706 tergantung 3,2088 dari satu 0,58708 0,47221 remunerasi tidak hanya faktor saja Reliability 2,5216 3,1843 0,68900 tetapi juga dipengaruhi faktor lainnya, diantaranya 0,57622 peResponsiveness 2,5882 3,1500 0,56656 0,59286 kerjaan itu sendiri, faktor-faktor dari dalam pegawai, Assurance 2,7324 3,4265 0,68768 0,51005 kebijakan organisasi, dan dunia kerja 0,54471 di luar kantor Emphaty 2,6794 3,0647 0,53226 Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009
yang bersangkutan. Hasil ini memperkuat pendapat Hasibuan (2007) bahwa kompensasi (remunerasi) akan memberikan motivasi seseorang untuk bekerja dengan baik dan mendorong berprestasi. Motivasi akan mendorong pegawai bekerja dengan baik dan benar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan maupun sesuai dengan harapan pelanggan. Penelitian ini juga membuktikan bahwa kinerja pegawai tergantung pada tiga faktor utama, salah satunya motivation (Milkovich dan Neuman, 2002). Sementara peneliti lain menyatakan uang merupakan hal yang pen-ting bagi seseorang, karena merupakan instrumen dalam pemenuhan sebagian besar kebutuhan (Armstrong dan Murlis, 2001). Selanjutnya Armstrong dan Murlis menyimpulkan bahwa pembayaran (kompensasi) dapat memberi motivasi, menggali prestasi, dan menguatkan perilaku yang diinginkan. B. Deskripsi Variabel Pelayanan Hasil penilaian berdasarkan lima dimensi pelayanan ternyata menunjukkan semua dimensi pelayanan dirasakan oleh pelanggan meningkat setelah dilakukan reformasi birokrasi (tabel 3). Semua dimensi pelayanan memiliki nilai lebih dari 3,0000 berarti pelayanan KPPN Jakarta I baik. Tanggapan responden sebelum diberlakukan remunerasi, pelayanan KPPN Jakarta I cukup baik yaitu 2,5789, sedangkan setelah diberlakukan remunerasi pelayanan KPPN Jakarta I meningkat menjadi 3,2062. Nilai yang lebih besar dari 3,0000 menunjukkan bahwa kualitas pelayanan KPPN Jakarta I baik. Peningkatan nilai kualitas pelayanan sebelum pegawai diberi remunerasi dengan sesudahnya adalah 0,6166. Tabel 4 menunjukkan, nilai kualitas pelayanan terbesar berada pada dimensi assurance (jaminan). Artinya, pegawai kantor/satuan kerja instansi pemerin-tah dan bendahara atau staf kantor atau satuan kerja instansi pemerintah yang dilayani oleh KPPN Jakarta I.
SANCOKO, PENGARUH REMUNERASI TERHADAP KUALITAS LAYANAN PUBLIK
49
Tabel 5. Uji Korelasi antara Remunerasi dan Motivasi S_RENUM Spearman's rho
S_RENUM
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
S_MOTIV
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
S_MOTIV
1.000
.303(*)
.
.046
44
44
.303(*)
1.000
.046
.
44
44
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009 Tabel 6. Uji Beda Perubahan Pelayanan KPPN Jakarta I Sebelum dan Sesudah Remunerasi
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
PLYN_S PLYN_B
TANG_S – TANG_B
REL_S REL_B
RESP_S RESP_B
ASSUR_S ASSUR_B
EMPH_S EMPH_B
-7.084(a)
-7.197(a)
-6.398(a)
-5.690(a)
-6.532(a)
-5.303(a)
.000
.000
.000
.000
.000
.000
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009
Sedangkan nilai kualitas pelayanan terendah pada dimensi emphaty, yaitu dimensi yang berhubungan dengan kepedulian dan perhatian individu dalam organisasi dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Peningkatan terbesar terjadi pada dimensi tangible sebesar 0,838, sedangkan terendah dirasakan pada dimensi emphaty sebesar 0,3853. Apabila dianalisis lebih lanjut, dimensi assurance (jaminan) merupakan dimensi yang terbesar yang dirasakan pegawai, dibandingkan dimensi tangible, reliability, responsiveness, dan emphaty (Zeithamal, dkk 1990). Hal ini berarti pengetahuan pegawai serta kemampuan mereka dalam menyampaikan kepercayaan dan keyakinan kepada pelanggan, lebih dirasakan oleh pelanggan dibandingkan dengan peningkatan kualitas pegawai yang memberikan pelayanan. Pelanggan lebih merasakan adanya jaminan dibanding dimensi non fisik dalam pelayanan. C. Analisis Variabel Analisis hubungan antara remunerasi dengan motivasi dilakukan dengan melihat ada tidaknya korelasi antara variabel remunerasi dengan motivasi. Analisis untuk tujuan tersebut dilakukan dengan analisis nonparametric menggunakan uji rank spearmens. Hal ini dimungkinkan karena data remunerasi dan motivasi bersifat ordinal. Adapun hasil output analisis yang dilakukan dengan SPSS adalah sebagaimana tabel 5 berikut. Berdasarkan tabel 5, diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,303 dengan nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,046. Korelasi antara dua variabel dianggap signifikan apabila nilainya 0.05 atau kurang. Karena nilai sig. (2-tailed) kurang dari 0,05 maka H0 yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara remunerasi dan motivasi ditolak, sedangkan Ha yang menyatakan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara remunerasi dengan motivasi tidak ditolak. Karena koofisien korelasi yang diperoleh positif, maka hal ini berarti bila tanggapan terhadap pemberlakuan remunerasi bertambah baik maka akan menyebabkan motivasinya bertambah baik. Dengan demikian, hipotesis kerja yang menyatakan pemberian remunerasi akan meningkatkan kinerja pega-wai sehingga kualitas pelayanan yang diberikan akan meningkat diterima. Jadi, teori yang mengatakan uang merupakan sumber motivasi sehingga karyawan akan bekerja dengan baik terbukti. Berkaitan dengan hal ini, Handoko (1992) menyatakan bahwa bagi mayoritas karyawan, uang masih tetap merupakan motivasi kuat – atau bahkan paling kuat. Analisis pengaruh pemberlakuan reformasi remunerasi terhadap pelayanan dilakukan dengan melihat ada tidaknya perubahan nilai pelayanan sebelum dilakukan remunerasi dengan sesudah dilakukan remunerasi. Analisis untuk tujuan tersebut dilakukan dengan analisis nonparametric menggunakan uji Wilcoxon. Uji ini dilakukan karena data pada penelitian ini ternyata tidak berdistribusi normal. Analisis ini melibatkan dua pengukuran pada subjek yang sama terhadap suatu pengaruh atau perlakuan tertentu yaitu Kualitas Pelayanan sebelum diberlakukannya remunerasi dan sesudah diberlakukannya remunerasi. Uji Wilcox-on merupakan penyempurnaan uji Sign, tetapi memperhatikan besarnya perbedaan perlakuan. Adapun hasil output analisis yang dilakukan dengan SPSS adalah sebagai berikut. Tabel 6 menunjukkan variabel pelayanan dimensinya nilai asymp. Sig (2-tiled) sebesar 0,000. Perubahan dinyatakan signifikan apabila nilai nilai asymp. Sig (2-tiled) sama dengan 0,05 atau kurang. Karena nilai asymp. Sig (2-tiled) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 maka H0 yang menyatakan tidak terdapat
50
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 43-51
perubahan nilai sebelum dilakukan remunerasi dengan sesudah dilakukan remunerasi ditolak. Sedangkan Ha yang menyatakan ada perubahan nilai sebelum dilakukan remunerasi dengan sesudah dilakukan remunerasi tidak ditolak sehingga secara signifikan bahwa pelayanan dan semua dimensinya mengalami perubahan antara sebelum dilakukan remunerasi dengan sesudah dilakukan remunerasi. Pada dimensi tangibles, kualitas pelayanan mendapatkan nilai asymp. Sig (2-tiled) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 maka dapat diartikan terdapat perubahan yang signifikan. Hal ini ditunjang oleh adanya ruang tunggu yang nyaman, jumlah pegawai yang melayani memadai, dan pegawai yang melayani berpenampilan menarik. Dari segi penyediaan informasi untuk memantau proses penyelesaian pelayanan 49,5% responden menilai baik dan bahkan 43,5% responden menilai sangat baik. Pada dimensi reliability, kualitas pelayanan mendapatkan nilai asymp. Sig (2-tiled) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 maka dapat juga diartikan terdapat per-ubahan yang signifikan. Penilaian ini didasarkan pada pemenuhan janji/motto pelayanan, janji/motto sudah sesuai dengan harapan responden, dan adanya perbaikan atas usul yang diberikan responden. Pada dimensi responsiveness, kualitas pelayanan mendapatkan nilai asymp. Sig (2-tiled) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 maka dapat juga diartikan terdapat perubahan yang signifikan. Hal ini dikarenakan responden memberikan penilaian baik terhadap aspek kesigapan pegawai KPPN untuk melayani, cepatnya menanggapi pertanyaan, proaktif melayani, dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan. Pada dimensi assurance, kualitas pelayanan mendapatkan nilai asymp. Sig (2-tiled) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 maka hal ini juga berarti terdapat perubahan yang signifikan. Hal ini merupakan hasil penilaian responden terhadap pegawai yang berkompeten dalam melayani, sopan, bisa dipercaya, amanah, dan jujur. Penilaian responden juga meliputi faktor pelayanan yang bebas dari pungutan liar yang dinyatakan dengan sangat baik (65,9%) dan baik (31,8%). Hal ini merupakan salah satu bukti keberhasilan reformasi birokrasi yang mampu merubah stigma birokrasi yang sarat dengan pungutan liar. Pelayanan yang bebas pungutan liar ini menjadi prestasi yang sering disebutkan Menteri Keuangan di berbagai forum. Pada dimensi emphaty, kualitas pelayanan mendapatkan nilai asymp. Sig (2-tiled) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 maka hal ini juga berarti terdapat perubahan yang signifikan. Dalam dimensi ini responden menilai baik terhadap faktor kemudahan menghubungi atau menemui pegawai yang melayani, pegawai melayani dengan bahasa yang digunakan mudah dipahami, pegawai yang melayani menanyakan keperluan dari responden, dan pegawai meminta kritik
serta saran saat melayani. Berdasarkan hasil ini dan hasil deskripsi variabel pelayanan dan dimensinya seperti yang sudah diterangkan sebelumnya maka terlihat bahwa. Pertama, terdapat per-ubahan signifikan dari pelayanan sebelum diberlakukan remunerasi dengan sesudah diberlakukan remunerasi.Kedua, ada perubahan signifikan dari dimensi pelayanan Tangibles sebelum diberlakukan remunerasi dengan sesudah diberlakukan remunerasi. Ketiga, terdapat per-ubahan signifikan dari dimensi pelayanan Realibility sebelum diberlakukan remunerasi dengan sesudah diberlakukan remunerasi. Keempat, ada perubahan signifikan dari dimensi pelayanan responsiveness sebelum diberlakukan remunerasi dengan sesudah diberlakukan remunerasi. Kelima, terdapat perubahan signifikan dari dimensi pelayanan assurance sebelum diberlakukan remu-nerasi dengan sesudah diberlakukan remunerasi. Keenam, terdapat perubahan signifikan dari dimensi pelayanan Emphaty se-belum diberlakukan remunerasi dengan sesudah diberlakukan remunerasi. Dengan demikian, dari hasil penelitian ini hipotesis kerja yang menyatakan “Pemberian remunerasi akan meningkatkan kinerja pegawai sehingga kualitas pelayanan yang diberikan akan meningkat” dinyatakan tidak ditolak. Demikian pula dengan hipotesis statistik Ha yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan atas pemberian remunerasi terhadap pe-ningkatan kualitas pelayanan publik di KPPN Jak-arta I dinyatakan tidak ditolak. Sedangkan Ho yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan atas pemberian remunerasi terhadap pe-ningkatan kualitas pelayanan publik di KPPN Jakarta I dinyatakan ditolak. KESIMPULAN Dari rangkaian kegiatan penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan pemberlakuan remunerasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kualitas pelayanan pegawai KPPN Jakarta I yang dirasakan pelanggan. Penilaian kualitas pelayanan KPPN Jakarta I yang paling besar peningkatannya dirasakan oleh pelanggan adalah dimensi tangibles yang berhubungan dengan sarana dan prasarana. Dimensi ini merupakan dimensi atas faktor yang tam-pak di mata pelanggan (fisik). Sementara dimensi reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty yang berhubungan dengan SDM lebih rendah peningkatannya dibanding dimensi tangibles. Empat dimensi pelayanan yang terakhir pelaksanaannya tergantung pada faktor manusia. Penilaian paling rendah dirasakan oleh pelanggan adalah peningkatan pelayanan pada dimensi emphaty DAFTAR PUSTAKA Ardin, Isa Sofyan. 2007. Kualitas Pelayanan Malah Buruk, http:www. kompas.com, 23 November.
SANCOKO, PENGARUH REMUNERASI TERHADAP KUALITAS LAYANAN PUBLIK
Armstrong, Michael & Murlis, Helen. 2001. The Art of HRD : Reward Management, Crest Publishing House, New Delhi. Deluca, Matthew J. 1990. Handbook of Compensation Management, Prentice Hall, Inc., New Jersey. Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. G.T. Milkovich, J.M. Newman. 2002. Compensation, Seventh Edition. Boston: The McGraw-Hill Companies, Inc. Gronroos, Christian. 1990. Service Management and Marketing. Toronto: Lexington Books. Handoko, M. 1992. Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta: Kanisius. Lenvine, Charless H., dkk. 1990. Public Administration: Calenges, Choices, Consequences. Illions: Scott Foreman. Mondy, R. Wayne & Noe III, Robert M. 1992. Human Resource Management Fifth Edition.. USA: Allyn and Bacon. Parasuraman, A, Berry, L.L, Zeithaml, V.A. 1990. Refinement and reassessment of the SERVQUAL scale. Journal of Retailing, Vol. 67 No.4. Prasojo, Eko. 2006. Reformasi Birokrasi di Indonesia: Beberapa Catatan Kritis. Jurnal Ilmu Admnistrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Volume 14, Nomor 1 (Januari). Radjagukguk, Angela Meilani. 2007. Analisis Kompensasi, Kode Etik dan Kualitas Pelayanan di KPP Pratama Jakarta Gambir IV FISIP UI.
51
Saragih, Ferdinand D. 2006. Menciptakan Pelayanan Publik yang Prima Melalui Metode Benchmarking Praktis. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.14, No.3 (September). Sinambela, Lijan Poltak. 2006. Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: PT Bumi Aksara. Tamin, Faisal dalam Seminar Nasional “Menuju terciptanya single identity number” di Hotel Indonesia, Senin, 13 Oktober 2003. Werther, William B & Davis, Keith. 1996. Human Resources and Personel Management, Boston: McGraw Hill, Inc. Zalbianis & Rossi Sanusi.2006. Hubungan Besar Sisa Gaji yang Dibawa Pulang dan Komitmen Organisasi Dengan Ketidakhadiran Karyawan di Dinas Kesehatan Propinsi Jambi, Working Paper Series No. 13 November, KMPK Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Zauhar, Soesilo. 2001. Administrasi Pelayanan Publik: Sebuah Perbincangna Awal. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Jurusan Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Vol.1, No.2 (Maret). Zeithaml, Valerie A, A. Parasuraman and Leonard L. Berry. 1990. Delivering Quality Service, Balancing Customer Perception and Expectations. USA: The Press. ____, Mary Jo Bitner. 1996. Service Marketing. New York: McGraw Hill Companies, Inc. ____. 1988. Consumer Perceptions of price, Quality, and Value: A Mean-End Model & Synthesis of Evidence. Journal of Marketing, Vol.52.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Jan–Apr 2010, hlm. 52-60
ISSN 0854-3844
Volume 17, Nomor 1
Negosiasi dalam Reformasi Pemerintahan Daerah MOH. ILHAM A. HAMUDY1* Badan Litbang Kementrian Dalam Negeri RI
1
Abstract. The aim of the research is to analyze the process of negotiation or power sharing, between the stake holders which entirely affects the reform process, and the bureaucracy restructuring in order to support the reform process and public service in the Jembrana Regency, Bali - especially in health insurance policy. The research is descriptive and uses qualitative approach with the method of field research. The result of the research shows there are two factors that affect the local government reform in Jembrana Regency, i.e. the strong political commitment from the Regent, and the establishment of a stable centripetal democracy model. Keywords: political negotiation, governance reform, health insurance
PENDAHULUAN Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan, karena itulah kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi terus terjadi dalam kurun waktu yang lama sejak kita merdeka (Prasojo, 2006). Oleh karena itu, dilakukanlah berbagai reformasi di dalam pemerintahan. Reformasi pemerintahan (khususnya pelayanan publik) di beberapa daerah di Indonesia relatif beragam bentuknya. Bentuk-bentuk reformasi pemerintahan di daerah di antaranya berupa perampingan organisasi pemerintah daerah, restrukturisasi dalam penganggaran daerah (lebih berpihak pada masyarakat), perencanaan pembangunan partisipatif, dan peningkatan dalam pelayanan publik (Prasojo, 2004; Eko, 2008; Leisher dan Nachuk, 2006). Daerah-daerah yang melakukan reformasi pemerintahan, misalnya, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Purbalingga, dll. Kabupaten Jembrana dianggap cukup berhasil dalam merestrukturisasi birokrasi, anggaran, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik yaitu adanya perubahan secara makro di bidang kesehatan, pendidikan, dan pengurangan angka kemiskinan. Kabupaten Jembrana berhasil menekan angka kemiskinan dari 19,4 persen pada 2001 menjadi 10,9 persen pada 2003. Di bidang pendidikan, terdapat penurunan angka putus sekolah dari 0,08 persen di tahun 2001 menjadi 0,02 persen pada 2003. Sedangkan di bidang kesehatan salah satunya adalah penurunan angka kematian bayi dari 15,25 persen di tahun 2001 menjadi 8,39 persen pada 2003 (Eko, 2008). Reformasi pemerintahan seperti yang berlaku di Jembrana, sejatinya dipengaruhi oleh faktor kepala daerah. Faktor kepemimpinan kepala daerah menjadi prasyarat penting dalam reformasi pemerintahan di daerah. Berbicara mengenai kepemimpinan tidak bisa terlepas daripada makna “The Management of *Korespondensi: +628157151127; [email protected]
People”, yaitu bagaimana seseorang mampu menggerakkan orang-orang lain sesuai dengan keinginannya (Hardjo, 2005). Komitmen politik, visi dan misi yang jelas, konsistensi dalam melaksanakan perubahan, dan keandalan dalam mengelola konflik, dari pimpinan daerah merupakan prasyarat penting untuk melakukan perubahan (Sakri, eds, 2008). Selain faktor kepala daerah, reformasi pemeritahan di daerah juga dipengaruhi oleh seberapa besar partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan pemerintah. Penelitian yang dilakukan Sumarto (2008) menunjukkan Kabupaten Kebumen, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kota Surakarta, dan Kota Pare-Pare, selain dukungan kepala daerah, reformasi pemerintahan di daerah juga dipengaruhi partisipasi masyarakat, dukungan politik legislatif, birokrasi, civil society, dan kelompok akademisi/expertise (Takeshi, 2006). Kendati begitu, berbagai penelitian tentang reformasi pemerintahan di daerah belum banyak menjelaskan berbagai konsekuensi yang berpotensi muncul (sebagai akibat dari reformasi) dan strategi-strategi penyelesaiannya. Reformasi pemerintahan mengandung arti adanya perubahan kelembagaan, organisasi, strategi, prosedur, dll. Perubahan ini tidak jarang menimbulkan pro dan kontra di antara berbagai kelompok kepentingan. Bahkan reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan cenderung akan melahirkan resistensi (Caiden, 1969; Sasli dan Flassy, tt). Resistensi ini akan terus berlangsung sepanjang proses perubahan menunjukkan adanya kerugian dan menimbulkan perubahan. Pengetahuan yang rinci mengenai penyebab dan dampak dari suatu reformasi akan mempengaruhi keberhasilan reformasi itu sendiri dan mengurangi resistensi dari pemangku kepentingan. Pengelolaan konflik kepentingan di antara pemangku kepentingan menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan agenda reformasi di daerah. Sebaliknya, kegagalan dalam mengelola konflik kepentingan di antara pemangku kepentingan akan berdampak buruk terhadap agenda reformasi di daerah. Dua kasus,
HAMUDY, NEGOSIASI DALAM REFORMASI PEMERINTAHAN DAERAH
Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Banyuwangi, menunjukkan relasi antar pemangku kepentingan menentukan keberhasilan dan kegagalan agenda reformasi yang diusung oleh kepala daerah. Kedua kepala daerah (Jembrana dan Banyuwangi) pada masa awal pemerintahannya relatif memiliki modal politik yang sama, yaitu sama-sama didukung oleh partai kecil. Pada tahun 2000, I Gede Winasa hanya diusung oleh partai kecil (PPP dan PAN) di DPRD (www.forplid. net). Demikian pula halnya dengan Bupati Banyuwangi (periode 2005-2010) terpilih yakni Ratna Ani Lestari hanya didukung oleh partai-partai gurem di Banyuwangi. Pada masa awal pemerintahannya, kedua kepala daerah ini mendapatkan resistensi yang cukup besar dari berbagai kelompok kepentingan. Meski memiliki modal politik yang relatif sama, namun dalam pelaksanaan reformasi pelayanan publik keduanya memiliki hasil akhir yang berbeda. Jembrana yang secara bertahap dapat melaksanakan agenda reformasi pelayanan publik, berhasil dalam melakukan perombakan organisasi birokrasi, penyederhanaan struktur dan prosedur pelayanan publik, pencangkokan strategi baru, dll. Pada tahun 2003 Jembrana berhasil dalam menyelenggarakan pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis bagi masyarakat. Sebaliknya, Banyuwangi masih sibuk dengan penyelesaian resistensi dari berbagai pemangku kepentingan seperti legislatif, birokrat, tokoh masyarakat, dll (Eko, 2008). Reformasi pemerintahan di daerah merefleksikan adanya kombinasi berbagai kekuatan dari power holder baik internal maupun eksternal yang terus sa-ling berkontestasi dalam seluruh proses yang berlangsung. Aktivitas pelayanan publik diharapkan mampu melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik dalam proses perencanaan pelaksanaan maupun dalam evaluasi. Sedangkan dalam konteks pemerintah daerah, reformasi pelayanan publik melibatkan eksekutif, legislatif, dan masyarakat. Eksekutif bertindak sebagai perencana dan pelaksana dari agenda reformasi pelayanan publik, legislatif memberikan berbagai pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana eksekutif, dan masyarakat bertindak sebagai penerima manfaat dari pelayanan publik. Reformasi penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan kerja sama berbagai pihak yang terlibat. Tanpa adanya kesepakatan pihak-pihak yang terkait yaitu kepala daerah, legislatif, dan masyarakat, reformasi pemerintahan relatif sulit terjadi. Negosiasi merupakan salah satu mekanisme dalam mencapai kesepakatan di antara berbagai pihak yang bekerja sama dalam melakukan suatu kegiatan. Dalam penelitian ini, ada beberapa konsep pokok yang memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, yaitu negosiasi dan reformasi penyelengaraan pemerintahan. Negosiasi dimaknai sebagai proses pengambilan keputusan yang bersifat interpersonal antara 2 orang atau lebih untuk menyepakati pengalokasian
53
sumberdaya yang terbatas (Thompson, 2000). Proses negosiasi secara khusus melibatkan unsur-unsur persuasi, pemaksaan (coercion), manipulasi, pertukaran (exchange), dan lainnya, dalam mencapai keputusan akhir. Pengertian tersebut mengasumsikan sedikitnya lima unsur dalam negosiasi (Goldman dan Rojot, 2002), yakni (1) adanya aktor-aktor yang bernegosiasi, (2) adanya power yang dimiliki oleh aktor-aktor yang terlibat dalam proses negosiasi, (3) setiap pihak yang terlibat dalam proses negosiasi juga memiliki ketergantungan terhadap power yang lainnya, (4) adanya sumberdaya yang diperebutkan oleh pihak-pihak yang terlibat, dan (5) setiap pihak berkepentingan untuk membangun kesepakatan dan keputusan kolektif. Pada konteks negosiasi, konsep kekuasaan (power) sangat penting untuk memahami proses dan hasil dari negosiasi (keputusan kolektif). Kekuasaan akan mempengaruhi proses dan hasil akhir (keputusan kolektif) dari negosiasi. Konsep kekuasaan (power) dalam tulisan ini mengikuti Foucault (1980) yang dimaknai sebagai suatu nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu. Kekuasaan bukan sesuatu yang melekat, dimiliki, dan digunakan oleh pihak tertentu. Kekuasaan digunakan secara aktif oleh setiap aktor dalam melakukan interaksi. Setiap pihak dimungkinkan untuk mengambil keuntungan dalam bernegosiasi (Haryatmoko, 2003). Pengertian ini mengisyaratkan bahwa (1) kekuasaan menyebar dan hadir berada dimana-mana dalam kehidupan masyarakat, (2) kekuasaan hanya muncul jika terjadi interaksi antara dua pihak atau lebih. Dengan menggunakan konsep-konsep tersebut, negosiasi tidak hanya mengacu pada satu event atau moment tertentu di mana pihak-pihak yang berkepentingan bertemu dan melakukan negosiasi. Lebih dari itu, proses negosiasi juga terjadi dalam aktivitas seharihari, dalam berbagai bentuk dan dimanapun di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Sementara itu, reformasi dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan (termasuk dalam pelayanan publik) dilihat sebagai suatu proses interaksi antara kebijakan yang ada, kelompok kepentingan, pelaksana, dan lingkungan sosial-politik (Brinkerhoff dan Crosby, 2002). Di sisi lain, reformasi dalam sektor administrasi publik dipandang sebagai ‘the artificial inducement of administrative transformation against resistance’ (Caiden, 1969; Sasli dan Flassy, tt). Definisi ini mengandung beberapa implikasi: (1) reformasi administrasi merupakan kegiatan yang dibuat oleh manusia (man made), tidak bersifat tiba-tiba, otomatis maupun alamiah; (2) reformasi administrasi merupakan suatu proses; dan (3) resistensi beriringan dengan proses reformasi administrasi. Hal ini menegaskan, reformasi penyelenggaraan pemerintahan merupakan proses politik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Reformasi pemerintahan tidak hanya terkait dengan persoalan pengembangan kelembagaan baru, perampingan organisasi, penyederhanaan prose-
54
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 52-60
dur, pengadopsian strategi-strategi baru dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Namun lebih dari itu, reformasi pelayanan publik bersentuhan dengan persoalan relasi antara pemerintah dengan komponen lainnya yang ada di masyarakat. Agenda dan proses dalam melakukan perubahan dipengaruhi oleh kepentingankepentingan berbagai kelompok yang terlibat, seperti kepala daerah, birokrat, legislatif, masyarakat, dll. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses negosiasi antar pemangku kepentingan yang memungkinkan terjadinya reformasi pemerintahan dalam mewujudkan pelayanan kesehatan (JKJ) di Jembrana dengan memetakan strategi bupati dan kondisi apa saja yang memungkinkan negosiasi tersebut berhasil mendorong bergulirnya program JKJ di Jembrana. Penelitian ini juga memusatkan perhatian pada relasi antara pemegang kekuasaan (pemangku kepentingan) baik di antara pemerintah (antarbirokrat, birokrat dengan legislatif, kepala daerah dengan birokrat, kepala daerah dengan legislatif) maupun di antara pemerintah dengan masyarakat, baik dalam konteks partisipasi masyarakat pada proses perencanaan dan penganggaran maupun dalam konteks perubahan (reform) pelayanan publik (khususnya dalam konteks pemberian jaminan kesehatan kepada khalayak ramai di Jembrana). Fokus penelitian ini berusaha mencermati: (1) proses negosiasi/power sharing di antara pemangku kepentingan yang memengaruhi proses reformasi secara keseluruhan (2) kondisi dan strategi yang dilakukan pemerintah (kepala daerah) dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik buat masyarakatnya. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan memiliki tujuan penelitian yang bersifat deskriptif. Proses pengumpulan data melalui pengamatan, literature review, dan wawancara mendalam (indepth-interview). Penelitian yang memiliki tujuan dipahami dengan maksud untuk membuat gambaran mengenai fakta masyarakat dan pemerintahan, sifat-sifat, dan gejala-gejala sosial di Jembrana secara sistematik. Adapun gejala sosial dan pemerintahan yang dideskripsikan secara sistematik dalam penelitian ini adalah negosiasi dalam reformasi penyelenggaraan pemerintahan, khususnya yang berkait dengan pelayanan jaminan kesehatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Nama Kabupaten Jembrana dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi primadona dalam setiap seminar, diskusi, lokakarya dan aktivitas ilmiah lain terkait dengan prestasinya dalam memberikan pelayanan kebutuhan dasar rakyatnya. Beberapa media mencatat prestasi Jembrana dalam membebaskan seluruh biaya pendidikan tingkat dasar (SD) hingga menengah atas (SMA). Belum puas dengan itu, Pemerintah Kabupaten Jembrana juga membebaskan
biaya kesehatan kepada rakyatnya dengan mengikutsertakan rakyatnya pada program Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ). Selain itu, Jembrana juga melakukan penguatan ekonomi rakyat secara langsung program penyediaan dana bergulir dan dana talangan. Di tengah meningkatnya angka putus sekolah (drop out) akibat mahalnya biaya pendidikan dan banyaknya rakyat yang menderita malnutrisi akibat membumbungnya biaya kesehatan, Pemkab Jembrana memutuskan untuk menggratiskan biaya kebutuhan dasar masyarakat itu. Menurut Bupati Winasa, kunci sukses Jembrana dalam penyelenggaraan pemerintahan ialah ‘Manajemen DOA’ yaitu Efisiensi Dana, Orang, dan Alat. Jembrana berasal dari kata ”Jimbar” dan ”Wana” yang berarti hutan belantara. Jembrana, atau Bumi Mekepung, demikian nama julukan kabupaten itu adalah salah satu kabupaten dari 9 kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Bali, terletak di belahan paling barat Pulau Dewata, Bali, membentang dari arah barat ke timur pada 8°03’40” – 8°60’48” LS dan 114°25’53”-114°42’40” BT. Luas wilayah Jembrana 84,180 km² atau 14,96 persen dari luas wilayah Pulau Bali. Apabila dilihat dari pemanfaatan luas wilayah Jembrana, maka 7.871 Ha dimanfaatkan sebagai lahan sawah, 25.525 Ha perkebunan, 5.458 Ha pemukiman, 41.809 Ha hutan, 356 Ha tambak/kolam, 26 Ha waduk atau rawa, dan lain-lain 3.135 Ha. Secara administratif wilayah kabupaten Jembrana dibagi menjadi 5 kecamatan, 46 desa, 9 kelurahan, 212 dusun, dan 38 lingkungan. Sampai pertengahan tahun 2000, keadaan Jembrana masih terbelakang dibandingkan Jembrana saat ini. Saat itu, tingkat kesejahteraan masyarakat Jembrana masih rendah (termasuk kabupaten termiskin di wilayah Provinsi Bali) dengan jumlah keluarga miskin 12.206 keluarga atau 19,4 persen dari total keluarga. Belum lagi, tingkat kematian bayi sebanyak 15,25 per 1.000 lahir hidup; dan tingkat drop out sekolah yang cukup tinggi. Keadaan ini diperparah dengan lemahnya kinerja birokrasi daerah, besarnya pemborosan anggaran, tambunnya struktur organisasi pemerintah daerah dan semakin lengkap dengan sangat terbatasnya keuangan daerah dengan jumlah PAD yang hanya Rp 2,5 miliar dan APBD sebesar Rp 66,9 miliar. Oleh sebab itu, sejak dilantik pada 15 September 2000 bersama Wakil Bupati, I Ketut Suania, oleh Gubernur Provinsi Bali saat itu, I Dewa Made Berata, Bupati I Gede Winasa sudah mulai merancang program pembangunan dan pemerintahan yang pro rakyat. Program-program itu di antaranya, penyediaan sumber daya manusia yang handal melalui pendidikan gratis, pemberian Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ), dan menaikkan daya beli masyarakat. Dari ketiga program itu, Winasa menuangkannya dalam visi dan misi Jembrana secara utuh dengan sasaran ideal “mewujudkan masyarakat Jembrana yang sehat, cerdas, sejahtera, dan berbudaya.”. A. Negosiasi Memuluskan JKJ Kabupaten Jembrana, yang telah melakukan berbagai inovasi dalam menjalankan pemerintahan daerah sejak 2001, memberikan contoh yang baik tentang model pemerin-
HAMUDY, NEGOSIASI DALAM REFORMASI PEMERINTAHAN DAERAH
tahan dan rute reformasi birokrasi di daerah. Titik awal reformasi berangkat dari inisiatif dan komitmen kuat Bupati I Gede Winasa yang sejak awal berupaya mengubah paradigma “politik sebagai panglima”, agar menjadi “manajemen sebagai panglima”, agar pemerintahan dan pelayanan publik (khususnya program JKJ) berjalan lebih baik, efisien, dan efektif. Inisiatif awal bupati tentu tidak berlangsung secara mulus karena ide-ide reformasi dilawan oleh kalangan birokrat senior dan politisi DPRD. Pada titik itulah bupati secara intens bernegosiasi. Awalnya, saat para teknokrat sudah mulai melakukan perhitungan anggaran, bupati bekerja keras “menjinakkan” berbagai aktor politik di Jembrana, dengan cara membuat keseimbangan politik antara birokrat senior dengan birokrat muda, melakukan akomodasi berbagai kelompok-kelompok politik dalam parlemen, mengambil posisi Ketua DPC PDIP, dan mencari dukungan politik di level akar rumput dan kelompok-kelompok minoritas. Tidak sampai satu tahun, berbagai negosiasi politik bisa dilakukan dengan sempurna dan kekuasaan berada di tangan bupati dan dia berhasil melakukan “penjinakkan” politisi di Jembrana. B. “Menjinakkan” Politisi Winasa adalah seorang PNS yang secara karier struktural birokrasi sudah mentok pada posisi Kepala Bidang di Dinas Kesehatan Provinsi Bali (Putra dkk., 2009). Untuk ukuran saat itu, karier kepegawaiannya sebagai PNS sudah tidak dapat ditingkatkan lagi ke jenjang Kepala Dinas. Selain itu, Winasa juga bergiat di dunia akademis sampai pada posisi Dekan Fakultas Kedokteran Gigi, khususnya di Universitas Mahasaraswati, Denpasar. Untuk mengaktualisasikan diri, Winasa memasuki dunia pemerintahan lewat ranah politik praktis mulai dari LSM. Pada pemilihan Bupati Jembrana 1999, Winasa mencalonkan diri melalui partai Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional yang masing-masing hanya memiliki 2 dan 1 kursi di DPRD. Kala itu, proses pemilihan kepala daerah masih dilakukan oleh anggota DPRD berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Perhitungan secara matematika politik, posisi Winasa tidaklah mungkin memenangkan kontestasi politik itu dengan calon lain yang diusung Partai Golkar (6 kursi), TNI-Polri (4 kursi), dan PDIP (17 kursi). Pada pemilihan tahap awal, I Ketut Sandiasa yang diusung PDIP menjadi favorit untuk memenangkan pemilihan bupati itu. Adapun I Ketut Suania, jagoan dari Partai Golkar berada pada posisi kedua yang memiliki kans. Pemilihan kepala daerah langsung diharapkan dapat memperkuat kedudukan kepala daerah sekaligus mengurangi intervensi DPRD agar “transaksi politik” yang melahirkan money politic dapat diminimalisasi (Prasojo, 2005). Winasa melakukan gerilya politik yang masif sehingga Winasa dan tim suksesnya berhasil membalikkan keadaan. Partai Golkar yang tadinya mengajukan calon bupati sendiri bersama TNI-Polri, merapat ke Winasa. I Ketut Suania menurunkan ambisinya dan mencalonkan
55
diri mendampingi Winasa sebagai Wakil Bupati. Meskipun dengan tambahan dukungan Partai Golkar dan Fraksi TNIPolri (10 kursi), posisi Winasa masihlah tertinggal jauh dengan dukungan yang dimiliki I Ketut Sandiasa dengan 17 kursi. Namun pada saat penentuan, 5 orang pendukung Sandiasa membelot dan memberikan kemenangan kepada Winasa dengan dukungan 18 kursi berbanding 12 kursi. Kemenangan Winasa ini justru membawa kerusuhan yang tidak dapat terelakkan karena warga Jembrana sebagian besar adalah simpatisan PDIP dan kecewa dengan hasil pemilihan tersebut. Amuk massa menolak Winasa terus berlanjut. Pelantikan Winasa pun sempat tertunda dua bulan, sebab massa memaksa untuk membatalkannya. Pengerahan massa dari lawan-lawan politik Winasa ini menimbulkan kericuhan dan korban jiwa. Duduknya Winasa di tampuk kekuasaan, tidak serta merta memadamkan kemarahan masyarakat. Massa tetap menolak kemenangan Winasa. Ditambah lagi, fraksi terbesar di DPRD Jembrana, PDIP tidak mendukung Winasa. Praktis, di dua tahun awal kepemimpinannya, Winasa kesulitan untuk menjalankan roda pemerintahannya. Untuk meredam penolakan ini, Winasa mengeluarkan berbagai program populis dengan mengirimkan beragam bantuan sosial yang diambil dari APBD, lalu dibagi-bagikan ke desa-desa dan sembari terus mencoba mendekati PDIP. Pada momen Rakercabsus PDIP pada Juni 2005, I Ketut Sandiasa, rival Winasa dulu, yang juga Ketua DPC (Dewan Pengurus Cabang) PDIP, dilengserkan. Winasa mengambil singgasana Ketua DPC PDIP yang tadinya diduduki Sandiasa dan akhirnya fraksi PDIP di DPRD Jembrana praktis dikendalikan Winasa. Itulah langkah pertama yang Winasa lakukan untuk memuluskan langkahnya memimpin Jembrana. Dalam setiap forum di lingkungan DPC PDIP, Winasa selalu menekankan, semua kebijakan populis yang diambil (termasuk program JKJ), pada hakikatnya adalah kebijakan PDIP yang pro rakyat. Oleh karena itu, kebijakan itu mesti didukung, diamankan, dan diperjuangkan oleh setiap kader PDIP, terutama yang duduk di DPRD Jembrana. Maka tidak heran, setelah Winasa memimpin PDIP di Jembrana, suara kritis di DPRD, kian menjadi sumbang dan tidak ada lagi kritik dan pengawasan yang tegas. C. Menata Birokrasi Setelah politik berlangsung kondusif, maka langkah berikutnya adalah melakukan penataan birokrasi. Birokrasi di Jembrana dirasionalisasi, struktur kelembagaan perangkat daerah dipangkas, pengadaan barang-jasa ditata kembali dan dilakukan pengawasan secara ketat, serta anggaran dibuat secara efisien, yang kemudian hasilnya direlokasi untuk memberi memperbaiki akses pendidikan dan kesehatan (pemberian asuransi kesehatan JKJ) serta untuk menggerakkan ekonomi lokal. Penataan birokrasi di lingkungan Pemkab Jembrana dimulai dengan menempatkan administrator pemerintahan yang handal. Untuk mem-back-up administrasi pemerintahannya, Winasa mengambil pejabat dari Ke-
56
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 52-60
menterian Dalam Negeri (Kemdagri) untuk dijadikan Sekretaris Daerah, yaitu Gede Suinaya. Strategi Winasa ini dianggap jitu dengan menempatkan Suinaya sebagai sekretaris daerah. Suinaya yang berpengalaman di birokrasi dan jaringan yang kuat di tingkat pusat, pada gilirannya mampu mem-back-up kepemimpinan Winasa. Kemampuan Suinaya dalam bernegosiasi dengan para pejabat di beberapa departemen terutama di lingkungan Kemdagri membuat Jembrana mampu mendapatkan berbagai bantuan dana untuk membiayai pembangunan, yang membutuhkan biaya besar. Di samping itu, melalui Suinaya pula pencitraan Jembrana di tingkat nasional terangkat dan Kemdagri menjadi corong yang ampuh untuk pencitraan Jembrana di tingkat nasional. Keberadaan Suinaya di jajaran elit Jembrana, sempat berakhir sebentar. Hubungan antara Winasa dan Suinaya ini meregang ketika pada 2006 Winasa memecat Suinaya sebagai Sekda dan menggantinya dengan Widyatmika, yang sebelumnya menjabat Kepala Bappeda Jembrana. Jabatan Sekda akhirnya dipegang oleh Widyatmika selama lebih kurang dua tahun. Sementara itu, Suinaya dimutasi ke Inspektorat Daerah sebagai auditor di Jembrana. Penurunan jabatan ini dilakukan karena berbagai alasan yang terkesan sangat politis yang oleh beberapa pihak Suinaya dianggap tidak loyal kepada Winasa. Namun setelah Widyatmika memasuki masa pensiun, jabatan Sekda dipegang kembali oleh Suinaya. Selanjutnya, Bupati Winasa melakukan restrukturisasi organisasi pemerintahan daerah (Perda Nomor 10 Tahun 2000 tentang Struktur Organisasi Pemerintah Kabupaten Jembrana). Terobosan Winasa untuk melakukan perampingan birokrasi sesungguhnya diperkuat oleh kerangka regulasi nasional di masa itu (PP Nomor 84 Tahun 2000 dan PP Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Daerah). Tujuan dari pemberlakukan PP itu adalah untuk memastikan efisiensi dalam aktivitas pemerintahan di daerah. Dalam PP itu, ditetapkan jumlah minimal unit-unit pemerintahan (dinas, kantor, dan badan) yang ada di lingkungan pemerintahan di daerah. Kedua PP itu hendak membaca kecenderungan pemerintah daerah untuk menambah jumlah instansinya dan pegawai di dalamnya yang berpengaruh pada beban yang harus ditanggung anggaran pemerintah daerah dalam membayar gaji para pegawai, sangat searah dengan gagasan Winasa untuk menjalankan reformasi birokrasi. PP yang sejalan dengan gagasan efisiensi yang didengungkan Winasa itu mampu mengurangi pemborosan anggaran publik. Di Jembrana, langkah perampingan dilakukan dengan memotong jumlah dinas dari sembilan menjadi tujuh, jumlah kantor berkurang menjadi tujuh, dan badan yang hanya dua. Restrukturisasi ini membawa implikasi pada hilangnya jabatan dalam struktur organisasi pemerintah daerah. Langkah ini juga menimbulkan resistensi dari birokrasi. Namun Winasa menunjukkan sikap tegas dengan melakukan mutasi. Pada batas-batas tertentu, langkah restrukturisasi ini di-
anggap jitu karena mampu mengefisiensikan anggaran. Belakangan, ketika PP Nomor 41 Tahun 2007 keluar, struktur birokrasi di Jembrana menjadi sedikit lebih gemuk sebab Winasa mencoba mengadopsi PP itu. Padahal sebelumnya struktur birokrasi di Jembrana jauh lebih ramping ketimbang yang diperintahkan oleh PP Nomor 41 Tahun 2007. Winasa juga menerapkan strategi profesionalisasi birokrasi dengan mekanisme rekrutmen yang berbasiskan kompetisi. Istilah yang berlaku di sana adalah “lelang jabatan” dan fit and proper test yang diadakan secara berkala. Lelang jabatan (job tender) dilakukan untuk pejabat di eselon III dan IV, sedangkan fit and proper test dilakukan untuk pejabat eselon II. Dalam lelang jabatan, setiap pegawai yang telah memenuhi syarat administratif berupa tingkat kepangkatan dan lainnya diperbolehkan mendaftarkan diri untuk mengisi lowongan yang tersedia. Penilaian akan dilakukan oleh tim penyeleksi yang keputusannya ditentukan oleh bupati. Sedangkan pelaksanaan fit and proper test dilakukan oleh tim dari Universitas Udayana, Denpasar. Hasil fit and proper test itu akan diberikan kepada bupati dan bupati yang menentukan keputusan akhirnya. Sepintas, langkah Bupati Winasa ini terkesan sangat elok, penuh transparansi, dan kompetisi yang sehat. Akan tetapi, sebenarnya tidaklah begitu. Aneka macam istilah, job tender dan fit and proper test itu hanyalah politik pencitraan Bupati Winasa saja kepada pemerintah pusat dan daerah-daerah lain sebagai proyek percontohan, seolah-olah Jembrana melakukan good governance. Penuturan informan di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda. Salah seorang informan, yang juga menjabat salah satu kepala bidang (kabid) di Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial menerangkan, lelang jabatan untuk formasi eselon III dan IV itu hanya formalitas. Sementara itu, untuk eselon II, fit and proper test yang dilakukan setali tiga uang dengan job tender. Meski secara uji publik dinyatakan lulus, penilaian Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan) yang memenuhi syarat untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, tidak serta-merta lulus. Jika penilaian Bupati Winasa berbanding terbalik dengan fit and proper test tersebut, maka yang bersangkutan tidak mendapatkan jabatan yang dikompetisikan. Singkatnya, tanpa persetujuan Bupati Winasa, seseorang tidak dapat menduduki jabatan tertentu. Pada titik inilah sebenarnya Winasa mampu mencengkram birokrasi. D. JKJ dan Kesehatan untuk Semua Setelah bupati melewati negosiasi yang panjang dan alot yang berujung pada penjinakkan dan penataan birokrasi yang efisien barulah bupati mampu merumuskan dan merealisasikan program JKJ. Ide awal program ini sejatinya dilandasi pemahaman bahwa jaminan pelayanan kesehatan pada asasnya diperuntukkan untuk semua warga Jembrana. ”Kesehatan adalah hak masyarakat” merupakan slo-
HAMUDY, NEGOSIASI DALAM REFORMASI PEMERINTAHAN DAERAH
57
Tabel 1. Indikator Kesehatan
Tahun Angka Kematian Bayi /1000 KH Angka Kematian Ibu / 100 ribu KH Angka Kematian Balita/1000 KH Angka Kesakitan Angka Harapan Hidup
Sumber: www.jembrana.go.id
2004 8,39 105 10,00 Belum terdata 71,25
gan yang sekarang direalisasikan di Jembrana dengan meningkatkan terus sarana dan prasarana kesehatan bagi masyarakat dan menerapkan sistem asuransi kesehatan sebagai salah satu alternatif pemenuhan hak masyarakat. Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) merupakan program unggulan Kabupaten Jembrana di bidang kesehatan sejak 2002 hingga sekarang. JKJ adalah lembaga asuransi kesehatan masyarakat Jembrana yang dibentuk berdasarkan SK Bupati Jembrana Nomor 572 Tahun 2002 pada 18 Desember 2002. Proses pengembangan program JKJ sebenarnya bermula dari evaluasi Pemerintah Kabupaten Jembrana pada 2001 yang menemukan beberapa hal krusial yang harus segera dibenahi melalui beberapa pertimbangan, di antaranya yaitu pemanfaatan RSUD Negara tidak begitu optimal, rata-rata bed of rate (BOR) 58-60 persen dan kunjungan rata-rata di puskesmas hanya sekira 3040 orang per hari. Keluarga miskin hanya 15-20 persen yang memanfaatkan sarana rumah sakit dan tidak banyak yang memanfaatkan kartu miskin untuk berobat di puskesmas dan rumah sakit. Kemudian, bila dilihat pemanfaatan APBD, subsidi obat untuk puskesmas dan rumah sakit mencapai Rp 3,5 miliar pertahun, sementara pendapatan daerah dari sektor kesehatan kurang lebih Rp 1 miliar, yang dapat dikatakan pendapatan semu (pendapatan kotor). Akhirnya, Pemerintah Kabupaten Jembrana menetapkan kebijakan bahwa subsidi pemerintah yang semula untuk obat-obatan RSU dan puskesmas, dialihkan dan diberikan kepada masyarakat sebagai subsidi premi asuransi kesehatan kepada lembaga asuransi yaitu Lembaga JKJ. Dengan demikian puskesmas dan RSU menjadi swadana, kecuali obatobat khusus/program disubsidi oleh pemerintah. Saat ini JKJ merupakan UPT Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Jembrana, yang nantinya akan dikembangkan menjadi perusahaan daerah yang bergerak di bidang asuransi kesehatan. JKJ yang dilaksanakan sejak 2002 oleh Badan Pelaksana (Bapel) Jaminan Sosial Daerah memang dibuat untuk “memanjakan” masyarakat Bumi Mekepung dalam pelayanan kesehatan. Operasional JKJ digerakkan oleh Tim Persiapan JKJ dan Bapel JKJ. Tim Persiapan JKJ mempunyai tugas menyiapkan pengoperasionalan JKJ, yaitu (1) penyelesaian administrasi yang berkaitan dengan Lembaga JKJ, (2) penghitungan besarnya premi dan tarif pelayanan PPK, (3) sosialisasi dan advokasi program-program JKJ, dan (4) persiapan sistem verifikasi pelayanan kesehatan. Program ini menjadi program andalan Jembrana. Melalui program ini pula Jembrana
2005 10,11 129,66 3,11 29,85 71,34
2006 14,25 50,87 2,54 27,85 71,40
2007 9,21 134,74 2,0 19,46 71,45
2008 7,75 70,47 0,7 19,22 71,50
selalu menjadi rujukan best practice bagi daerah-daerah lain yang ingin mewujudkan program kesehatan gratis bagi warganya. Pembenahan dan perbaikan sejak program digulirkan sampai akhirnya pemerintah melalui SK Bupati Nomor 31 Tahun 2003 mengambil kebijakan dengan mengalihkan subsidi yang pertama sekali untuk pengadaan obat di puskesmas dan rumah sakit kemudian dialihkan ke masyarakat yang memiliki KTP Jembrana melalui satu lembaga asuransi yang dibangun Pemerintah Kabupaten Jembrana, yaitu Lembaga Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ). Subsidi ini diberikan kepada seluruh masyarakat Jembrana dalam bentuk premi untuk biaya rawat jalan tingkat pertama di unit pelayanan kesehatan yang mengikat kontrak kerja dengan Badan Penyelenggara (Bapel) JKJ. Pada saat yang bersamaan, puskesmas dan rumah sakit diwajibkan untuk mencari dana sendiri untuk kebutuhan rutin termasuk obat-obatan, hanya obat-obatan khusus/program khusus yang dibantu oleh pemerintah daerah (program imunisasi, malaria, TBC, demam berdarah, diare, dan kusta serta program gizi). Subsidi untuk premi ditetapkan sebesar Rp 3,3 miliar untuk tahun 2003, Rp 6,7 milar untuk tahun 2004, tahun 2005 subsidi sebesar Rp 8 miliar, dan Rp 12,9 miliar pada 2009. Dengan subsidi premi ini, masyarakat Jembrana berhak memiliki kartu keanggotaan JKJ yang dapat digunakan untuk biaya berobat rawat jalan di setiap penyedia pelayanan kesehatan (PPK-1 sampai PPK-3) baik milik pemerintah maupun swasta (dokter/ drg/bidan/praktik swasta/poliklinik RS swasta kelas C) tanpa dipungut bayaran. Khusus untuk di bidan hanya berlaku pelayanan Ante Natal Care (ANC/pemeriksaan ibu hamil-sebelum melahirkan) dan pelayanan KB. Pelayanan di PPK-1 premi masyarakat disubsidi penuh oleh pemerintah dimana klaim oleh dokter umum PPK-1 maksimal sebesar Rp 27.000 per kali kunjungan. Kunjungan ulang dengan diagnosis sama hanya boleh diklaim kalau tenggat waktu kunjungan pertama dengan berikutnya minimal 3 hari. Apabila sebelum 3 hari pasien datang lagi dengan kasus yang sama, maka segala biaya pengobatan menjadi tanggungan PPK-1 bersangkutan. Sedangkan, biaya pelayanan kesehatan gigi besarnya klaim ditentukan lebih bervariasi yaitu untuk biaya pelayanan gigi tanpa tindakan adalah sesuai dengan tarif dokter umum sebesar Rp 27.000. Bila dengan tindakan diatur dengan sistem paket sebagai berikut cabut gigi susu sebesar Rp 15.000; cabut gigi permanen Rp 30.000; tumpatan sementara Rp 20.000; dan tumpatan permanen
58
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 52-60
sebesar Rp 30.000. Sementara, biaya pelayanan bidan, untuk PPK-1 bidan hanya boleh menangani pelayanan ANC dan pelayanan KB sederhana (pil dan suntik) tidak dibenarkan menangani pasien di luar kebidanan. Jasa untuk pelayanan bidan klaim dibayar maksimal sebesar Rp 15.000 dengan perincian jasa medis sebesar Rp 6.000 dan obat-obatan Rp 9.000. Sejauh ini, komitmen pemerintah Kabupaten Jembrana dalam bidang kesehatan sedikit banyak telah meningkatkan mendongkrak tingkat perbaikan kualitas hidup masyarakatnya. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, angka kematian bayi, meski tidak terlalu signifikan, telah menurun dari level 8,39 per 1000 KH di tahun 2004 menjadi 7,75 per 1000 KH di tahun 2008. Begitu pula dengan angka kesakitan yang menurun dari 29,85 pada 2005 menjadi 19,22 pada 2008. Peningkatan kualitas hidup ini juga berlaku pada angka harapan hidup penduduk Jembrana dari 71,25 pada 2004 menjadi 71,50 pada 2008. Kendati begitu, tidak bisa secara serta merta menyatakan bahwa naiknya kualitas hidup masyarakat Jembrana sangat berkorelasi positif dengan adanya program JKJ. Sebab, berbagai variabel peningkatan kualitas hidup itu sangat dipengaruhi oleh aspek yang tidak terkait secara langsung dengan program JKJ, seperti menurunnya kualitas hidup masyarakat Bali secara keseluruhan. Merujuk pada keberhasilan JKJ ini, saat ini Jembrana telah menaikan anggaran premi JKJ sebesar yang tadinya Rp 10 miliar menjadi Rp 12,9 miliar untuk tahun 2009. Biaya tersebut digunakan untuk membayar klaim dari PPK dan klinik swasta, yang besarannya lebih kurang 97,5 persen. Sisa anggaran digunakan untuk keperluan operasional sehari-hari, seperti pembelian alat kebersihan dan ATK karena biaya untuk operasional sehari-hari tidak di-cover oleh APBD. Khusus untuk keluarga miskin (gakin) pelayanan kesehatan tidak dilakukan pemungutan biaya (gratis) termasuk biaya percetakan kartu. Bapel JKJ diminta untuk tidak melakukan pungutan biaya terhitung mulai 1 Februari 2005. Menyempurnakan program JKJ telah terbit program Jembrana Identitas Diri (JID) merupakan gabungan antara KTP SIAK dan JKJ. Program ini baru berjalan pada Mei 2009 lalu, dan semua warga berhak memiliki JID. JID ini memiliki chip komputer di dalamnya. Seseorang dapat berobat di dokter manapun di Jembrana tanpa khawatir rekam medisnya tidak terbaca oleh dokter yang berbeda. Hal ini dikarenakan di dalam JID itu ada rekam medis, alatnya pun akan dimiliki oleh RSU dan Puskesmas menggunakan anggaran APBD. Jika dokter berpraktik sendiri, maka mereka harus membeli nantinya. E. Bupati sebagai “Orang Kuat” Penjelasan tentang keberhasilan Jembrana dalam melakukan negosiasi dan reformasi pemerintahan melalui pelayanan kesehatan gratis ini (JKJ), salah satunya disebabkan oleh hadirnya bupati sebagai orang kuat
secara politik dan pengelolaan birokrasi yang ketat. Menilik berbagai studi politik terkini menunjukkan, adanya pengakuan terhadap peran penting dari orang kuat dalam dinamika politik di ranah lokal (Savirani, 2004) Migdal (1988) memaparkan kehadiran orang kuat sebagai akibat dari lemahnya kapasitas negara dalam berbagai hal. Terutama, kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya yang digunakan untuk keperluan warga masyarakat. Kegagalan negara secara nasional, untuk menjalankan fungsinya inilah yang mendorong ruangruang politiknya diisi oleh orang kuat. Berbeda dengan Migdal, Sidel (1999) memaparkan, tumbuh suburnya orang kuat bukan karena lemahnya negara dan kuatnya masyarakat, melainkan justru karena kuatnya negara. Orang-orang kuat ini menjadi sebagaimana mereka karena kuatnya negara. Negara melalui kebijakannya telah memfasilitasi penguatan orang kuat di daerah atau dalam definisi yang ia gunakan yaitu, “predatory power brokers who achieve monopolistic control over both coercive and economic resources within give territorial jurusdiction or bailiwick.” Kekuatan predator yang memperoleh kontrol monopolistik yang diperoleh baik dengan cara kekerasan atau penguasaan sumber daya ekonomi dalam sebuah wilayah administratif. Selain itu, kekuatan yang kuat di tingkat lokal ini juga berlangsung dalam kondisi transisional sebuah negara yang sedang menjadi, atau dalam tahapan the successive phase of state formation. Terlepas dari latar belakang yang berbeda dari kemunculan orang kuat, kedua studi, baik Migdal dan Sidel, memberikan kerangka eksplanasi yang meyakinkan dalam upaya memahami dinamika politik lokal di Jembrana. Tatkala kita berbicara tentang orang kuat di Jembrana, maka kita berbicara tentang fenomena Bupati Winasa. Winasa tidak begitu saja muncul sebagai pemimpin yang kuat. Ia memperolehnya dengan cara yang tidak mudah. Ketika pertama kali muncul dalam era kompetisi politik tahun 2000, Winasa belum memiliki akar politik yang kuat sebab Winasa berasal dari partai minoritas di Jembrana. Kendati begitu, situasi menjadi berubah ketika Winasa akhirnya mampu membangun basis dukungan politik yang kuat dari partai politik dominan (menjadi Ketua DPC PDIP) yang menguasai DPRD. Dengan menguasai kendali atas PDIP yang dominan di DPRD, posisi tawar Winasa semakin meyakinkan untuk bertarung dalam pilkada langsung tahun 2005. Winasa berhasil kembali meraih dukungan politik mayoritas dari rakyat Jembrana sejumlah 88 persen. Dengan mandat yang cukup besar, ditambah dengan pergeseran pendulum politik dari legislative heavy ke executive heavy pasca implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Winasa telah berhasil membangun basis politik yang sangat kuat. Keberhasilan Winasa membangun basis politik yang
HAMUDY, NEGOSIASI DALAM REFORMASI PEMERINTAHAN DAERAH
kuat, diikuti dengan keterampilan untuk menggunakan “energi kekuasaan”, yakni birokrasi, yang dicengkramnya untuk menjalankan kepemimpinan dan pemerintahan yang efektif. Pelajaran penting dari Jembrana menunjukkan, keduanya tidak dapat dipisahkan. Antara legitimasi politik dengan efektivitas kepemimpinan merupakan dua faktor yang saling mengukuhkan. F. “Kebaikan Hati” Bupati Dari uraian di atas, tampak dominasi bupati dalam membuat berbagai inovasi dan reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Jembrana. Padahal, sejatinya reformasi tersebut tidak boleh berlangsung secara voluntaristik, yang berangkat dari kebaikan seorang pemimpin daerah. Dalam konteks ini, pengalaman reformasi pemerintahan di Jembrana dilakukan secara tidak partisipatif, tetapi dimulai dari inisiatif bupati yang dikomunikasikan (engagement) kepada berbagai pihak, yang menghasilkan konsensus dan dukungan (support) dari rakyat (Eko, 2008). Di Jembrana, praktis tidak dijumpai organisasi masyarakat sipil (OMS) yang kuat. Kalau pun ada, sifatnya sangat insidental, bergantung pada isu yang berkembang. Kebanyakan OMS hanya bergerak pada isu yang berkenaan dengan pemberantasan korupsi yang acap dialamatkan kepada pemerintah daerah, utamanya Bupati Winasa, seperti JAMAK (Jaringan Masyarakat Anti Korupsi) yang dimotori I Ketut Sujana. Sejauh ini, memang ada OMS lain seperti Maha Boga Marga (MBM). Namun MBM hanya berkutat pada kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan program khususnya berupa koperasi simpan pinjam (kospin). Sekarang MBM sedang melebarkan sayap dengan mencoba untuk terlibat dalam partisipasi perumusan kebijakan pembangunan di Jembrana (musrenbang), kendati kapasitas MBM yang sangat terbatas karena SDM yang kurang. Reformasi pemerintahan di Jembrana berjalan melalui proses dan hasil pertarungan politik antar aktor politik. Pertarungan yang tajam di awal pemerintahan Winasa sempat menghasilkan fragmentasi politik yang mempersulit reformasi pemerintahan. Akan tetapi Bupati Winasa berhasil melakukan tekanan kepada birokrasi dan DPRD tanpa harus melewati proses negosiasi yang ‘alot’. Reformasi pemerintahan di Jembrana dilalui dengan komitmen bupati (elit) tetapi tidak ada partisipasi rakyat. Maka yang terjadi adalah reformasi elitis yang membuat rakyat pasif dan tergantung sehingga reformasinya rapuh dan tidak berkelanjutan. Tidak adanya partisipasi rakyat dan matinya negosiasi politik di antara pemangku kepentingan, akibat dominasi bupati, berdampak pada pemeliharaan status quo. Memahami hal ini, kuatnya dominasi politik bupati, kiranya tepat jika perhatian kita terhadap reformasi pemerintahan di Jembrana dilihat dengan menggunakan bingkai analisis kekuasaan. Analisis kekuasaan itu berbicara tentang beberapa pertanyaan:
59
siapa yang memformulasi agenda kebijakan; siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana; serta siapa mengetahui apa, siapa, kenapa dan bagaimana (Manor, 1999; Moore and Putzel, 2000; Johnson dan Start, 2001). Meskipun aktor-aktor politik lokal sangat beragam, namun di Jembrana, aktor politik dominan dikuasai oleh bupati. Kondisi di Jembrana sejatinya telah mematahkan analisis Hambleton (2004) yang secara umum memilah dua aktor besar dalam politik lokal: elit pemerintah lokal dan organisasi masyarakat. Reformasi kebijakan, ungkap Hambleton, sejatinya dihasilkan dari para penggerak perubahan (drivers of change) dalam tubuh elit dan gerakan kekuatan yang lebih luas dalam masyarakat (aksi komunitas dan gerakan politik). Ada tiga tantangan dalam konteks ini: (1) pengkajian ulang peran politisi, birokrat, dan warga beserta pola relasi tiga pilar itu; (2) pengembangan etos inovasi dalam pelayanan publik; dan (3) revitalisasi struktur-proses politik lokal yang melibatkan kaum marginal dalam pembuatan keputusan. KESIMPULAN Titik awal reformasi pemerintahan di Jembrana melalui peningkatan layanan kesehatan (JKJ), sejatinya berangkat dari inisiatif dan komitmen kuat Bupati I Gede Winasa. Negosiasi politik yang dilakukan Bupati Winasa dalam merealisasikan program JKJ nyaris absen. Sebab, kuatnya posisi Winasa sejatinya telah membungkam kompromi politik di antara pemangku kepentingan, baik itu di tingkat DPRD maupun birokrasi. Sejak awal bupati berupaya mengubah paradigma “politik sebagai panglima” menjadi “manajemen sebagai panglima”, agar pemerintahan dan pelayanan publik berjalan lebih baik, efisien, dan efektif. Inisiatif awal bupati dalam menggulirkan program JKJ tentu tidak berlangsung secara mulus karena ide-ide reformasi dilawan oleh kalangan birokrat senior dan politisi DPRD. Di saat para teknokrat sudah mulai melakukan perhitungan anggaran, sang bupati bekerja keras berkompromi dengan berbagai aktor politik di Jembrana, dengan cara membuat keseimbangan politik antara birokrat senior dengan birokrat muda, melakukan akomodasi berbagai kelompok-kelompok politik dalam parlemen, mengambil posisi Ketua DPC PDIP, mencari dukungan politik di level akar rumput dan kelompok-kelompok minoritas. Tidak sampai satu tahun, berbagai kompromi politik bisa dilakukan dengan sempurna dan kekuasaan berada dalam genggaman bupati dan dia berhasil melakukan penjinakkan politik di Jembrana. Setelah politik berlangsung kondusif, maka langkah berikutnya adalah melakukan penataan kelembagaan dan reformasi anggaran. Birokrasi dirasionalisasi, struktur kelembagaan perangkat daerah dipangkas,
60
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 52-60
pengadaan barang-jasa ditata kembali dan dilakukan pengawasan secara ketat, serta anggaran dibikin efisien, yang kemudian hasilnya direlokasi untuk memperbaiki akses kesehatan (JKJ). Kompromi politik yang dilakukan bupati, hanya berlangsung sekian waktu saja. Ketika ia berhasil melakukan kompromi politik, bupati secara terus menerus dan masif menggunakan kekuasaannya untuk menjalankan roda pemerintahan di Jembrana. Negosiasi yang acap dilakukan di awal pemerintahannya berangsur mati, berganti dengan dominasi politik bupati. Semua lawan politik yang berusaha mengkritisi kebijakan bupati diredam dengan berbagai cara. Kondisi itu sangat dipengaruhi oleh kuatnya dominasi politik bupati. Sehingga, dapat dikatakan, secara ringkas, “kisah sukses” Jembrana dalam program JKJ sejatinya ditentukan oleh tiga hal, yaitu “kebaikan hati” bupati, terbangunnya model demokrasi sentripetal (memusat) yang stabil, serta absennya partisipasi masyarakat sipil. DAFTAR PUSTAKA Brinkerhoff, Derick W. and Benjamin Crosby. 2002. Managing Policy Reform: Concepts and Tools for Decision-Makers in Developing and Transitioning Countries. London: SAGE. D.S Putra, dkk. 2009. Jejak Langkah: Sebuah Catatan Kehidupan I Gede Winasa. Denpasar: Panakom. Eko, Sutoro. 2008. “Pro Poor Budgeting: Politik Baru Reformasisi Anggaran Daerah untuk Pengurangan Kemiskinan”. Working Paper /IV/June. Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977. New York: Panthenon Books. Goldman Alvin L. and Jacques Rojot. 2002. Negotiation: Theory and Practice. Amsterdam: Kluwer. Hambleton, R. 2004. “Beyond New Public Management, City Leadership: Democratic Renewal and the Politics of Place”. Paper to the City Futures International Conference. Chicago, Illinois, USA, 8-10 July. Hardjo, Rainingsih. 2005. Mencari Sosok Pemimpin yang Ideal. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi. Vol.13, No.1 (Januari).
Haryatmoko. 2003. Etika, Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas. Johnson, Craig dan Daniel Start . 2001. Rights, Claims and Capture: Understanding the Politics of Pro-poor Policy. London: Overseas Development Institute. Leisher, Susannah Hopkins and Stefan Nachuk. 2006. Making Services Work for the Poor: A Synthesis of Nine Case Studies from Indonesia. Manor, J. 1999. The Political Economy of Democratic Decentralisation. Directions in Development Series. Washington DC: World Bank. Migdal, Joel. 1988. Strong Societies and Weak States: State Society Relation and State Capabilities in the Third World. Princeton: Princeton University Press. Moore, M. and Putzel, J. 2000. “Thinking Strategically About Politics and Poverty”, IDS Working Paper 101. Prasojo, Eko et al. 2004. Identifikasi dan Pemetaan Inovasi Program Pemerintah Kabupaten Jembrana. Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota, FISIP UI. Prasojo, Eko. 2005. Pilkada, Demokratisasi, dan Good Governance. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 13, No. 2 (Mei). ____. 2006. Reformasi Birokrasi di Indonesia: Beberapa Catatan Kritis. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 14, No. 1 (Januari). Rais, Sasli dan Dance Y. Flassy. tt. Reformasi Administrasi Publik Untuk Membangun Daya Saing Daerah: Kajian Perspektif Resource Based. Sakri, Diding (eds.). 2008, Dari Konsep ke Tindakan: Upaya Kelompok Miskin Mewujudkan Kebijakan Daerah Pro Rayat Miskin. Bandung: Perkumpulan Inisiatif. Savirani, Amalinda. 2004. The Emergence of Local Strongman in the New Desentralisation in Indonesia. Tesis master, tidak diterbitkan. International School for Humanities and Social Sciences. Amsterdam: Universiteit van Amsterdam. Siahaan, Henry. 2009. Bebas Iuran Sekolah, Jaminan Kesehatan, dan Dana Bergulir. www.forplid.net Sidel. John. 1999. Capital, Coercion and Crime: Bossism in the Philippines. California: Stanford University Press. Sumarto, Hetifah Sj. 2008. Membangun Partisipasi Warga dalam Tata Pemerintahan Daerah di Indonesia: Praktik, Kebijakan, dan Agenda. Jakarta: LGSP USAID. Takeshi, Ito. 2006. The Dynamics of Local Governance Reform in Decentralizing Indonesia: Participatory Planning and Village Empowerment in Bandung, West Java, Asian and African Area Studies. Thompson, L. 2000. The mind and heart of the negotiator (2nd ed.). Upper Sadde River, NJ: Prentice-Hall.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Jan—Apr 2010 hlm. 61-69 ISSN 0854-3844
Volume 17, Nomor 1
Persepsi Karyawan tentang Penerapan Analisis Jabatan Billyawan Sugiantoro1* Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI
1
Abstract. The aim of the research is to study the perception of the operational employees toward the result of functional analysis in Micro Banking District Center, Jakarta of PT Bank Mandiri, Tbk (Persero). The research is descriptive and uses quantitative approach. The data were collected by spreading questionnaires, using stratified random sampling technique. The result of the research shows that the perceptions of the Bank Mandiri’s employees toward functional analysis result is ranging “good”. However improvement in the aspects of compensation, facility completeness and compatibility, and educational suitability are still needed. .Keywords: functional analysis, functional requirements
Pendahuluan Krisis ekonomi yang menghantam seluruh dunia, berpengaruh terhadap perekonomian di Indonesia. Lesunya kegiatan ekonomi produksi menyebabkan sejumlah perusahaan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja. Besarnya jumlah pemutusan hubungan kerja tersebut ditindaklanjuti oleh masyarakat dengan cara mengembangkan usaha mikro sebagai langkah untuk bertahan hidup. Usaha kecil dan menengah (UKM) dapat dipandang sebagai katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional. Perannya dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja diharapkan menjadi langkah awal bagi upaya pemerintah menggerakkan sektor produksi pada berbagai lapangan usaha. Pemerintah memberikan kesempatan kredit usaha rakyat atau KUR bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mengoptimalkan pertumbuhan usaha mikro melalui penerbitan kebijakan KUR pada tanggal 5 November 2007. Masyarakat dengan peluang emas ini diharapkan bangkit di tengah gejolak ekonomi Indonesia. Gambar 1 memperlihatkan data jumlah usaha mikro di berbagai daerah Indonesia dan jangkauan kreditnya. Pesatnya pertumbuhan sektor usaha mikro menjadi daya tarik bagi pihak perbankan untuk menjalin kerjasama berupa pemberian kredit usaha mikro. Di saat kondisi krisis seperti ini, perbankan lebih fokus menyalurkan kredit ke sektor mikro yang selama ini memiliki risiko kredit macet sangat kecil. Hampir semua pelaku perbankan setuju, peluang penyaluran kredit ada pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Sektor tersebut dinilai tidak terlalu terganggu dampak krisis. Bank Mandiri melihat potensi pertumbuhan kredit di Indonesia masih sangat besar dan berupaya menempatkan diri pada posisi terbaik. Hal ini tercermin dari adanya kenaikan laba bersih Bank Mandiri pada tahun 2004 sebesar 14,6% atau setara dengan Rp. 5,26 triliun (Suharini, 2008). * Korespondensi: +62811922241; [email protected]
Tabel 1 memperlihatkan ketatnya persaingan antara Bank Mandiri BRI, BNI, BCA, dan Danamon dalam memperebutkan pasar perkreditan di Indonesia. Ketatnya persaingan tersebut menyebabkan setiap bank harus selalu mencermati keadaan lingkungan dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi agar dapat terus bertahan dan mencapai keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Dunia perbankan merupakan suatu bisnis yang bertumpu pada pemasaran jasa intermediary sehingga pelayanan kepada nasabah merupakan salah satu kunci penting dalam memperoleh kepuasan nasabah. Berangkat dari pemikiran tersebut, setiap bank perlu mengutamakan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki sebagai garda terdepan dalam menjalin hubungan yang baik dengan nasabah. Penentuan sukses atau gagal sebuah perusahaan dalam menghadapi persaingan dunia bisnis saat menjalankan operasional binis ditentukan oleh tingkat kualitas sumber daya manusia yang dipekerjakan (Nawawi, 2001). Persepsi dapat diartikan sebagai proses yang timbul akibat adanya sensasi, yaitu aktivitas merasakan atau penyebab dari keadaan emosi yang menggembirakan (Suharini, 2008). Secara umum, persepsi juga merupakan hal yang dinamis karena prinsipnya karyawan akan berpikir rasional dan mendasarkan persepsinya pada pengalaman (Setiadi, 2003; Suharini, 2008). Setiap manusia mempunyai perbedaan persepsi, kepribadian, dan pengalaman hidupnya (Hardjo, 2005). Setiap perusahaan untuk mengakomodasi kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas perlu melakukan perencanaan sumber daya manusia yang tepat. Kegiatan-kegiatan perencanaan sumber daya manusia yang lebih spesifik dapat dinilai dengan mengetahui seberapa efektif kegiatan-kegiatan tersebut, bersamasama dengan penerimaan tenaga kerja dan beradaptasi dengan karakteristik lingkungan yang terus berubah (Schuler dan Jackson, 1999). Adanya perencanaan sumber daya manusia yang baik, mendorong perusahaan untuk meningkatkan produktivitas kerja yang baik dengan berdasarkan pada kompetensi. Oleh karena
62
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 61-69
Pasar belum tergarap Pasar telah tergarap
10.802
6.172 4.541
4.874
Sumatra
Jawa & Bali
Kalimantan
4.859
2.130 419
250
985
252
Sulawesi
Lainnya
Gambar 1. Penyebaran Geografis dan Penetrasi Kredit Mikro Sumber: BPS 2007 Tabel 1. Perkembangan Kredit 11 Bank Teratas di Indonesia Dalam trilyun rupiah
Posisi
Dalam persen
Nama
Jun
Dec
Jun
Bank
2006
2006
2007
y-o-y
y-t-d
Mandiri
10 0 .0 8
10 9 .3 8
10 6 .8 9
6 .8 1
(2 .2 7 )
BRI 8 2 .2 6 BNI 6 0 .5 4 BCA 5 2 .9 3 Danamon 3 7 .0 5 Niaga 3 0 .7 1 Permata 2 2 .0 4 Panin 16 .9 8 BII 2 0 .2 2 BTN 16 .6 6 Lippo 9 .7 5 Total 715.12 Sumber: Economic Review, 2007
9 0 .2 8 6 6 .6 4 6 1.6 0 4 1.16 3 3 .19 2 3 .8 0 19 .14 2 1.4 1 18 .0 9 11.9 8 792.30
9 8 .7 8 7 8 .4 5 6 4 .0 7 4 4 .4 3 3 4 .2 0 2 4 .7 7 2 3 .5 3 2 3 .2 4 1 9 .4 7 14 .9 6 861.50
2 0 .0 7 2 9 .5 8 2 1.0 4 19 .9 3 11.3 7 12 .3 8 3 8 .5 3 14 .9 2 16 .8 9 5 3 .4 3 20.47
9 .4 1 17 .7 2 4 .0 2 7 .9 3 3 .0 4 4 .0 7 2 2 .9 5 8 .5 6 7 .6 7 2 4 .9 3 8.73
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
itu, perencanaan sumber daya manusia yang mampu menetapkan kualifikasi sumber daya manusia secara tepat, akan diperoleh sumber daya manusia yang memiliki kinerja tinggi dan secara bersama-sama membentuk kinerja perusahaan yang tinggi. Sebaliknya, dari kualifikasi yang tidak akurat akan menghasilkan sumber daya manusia dengan kinerja rendah sehingga berdampak pada hasil kinerja perusahaan yang rendah (Nawawi, 2001). Analisis jabatan sebagai dasar atau pedoman untuk melakukan perencanaan sumber daya manusia. Pengertian analisis jabatan yaitu suatu bentuk pengembangan uraian terperinci dari tugas-tugas yang harus dilakukan dalam suatu jabatan, penentuan hubungan dari suatu jabatan dengan jabatan lain yang ada, dan penentuan tentang pengetahuan, keterampilan dan kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan karyawan untuk melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien (Robbins, 2002). Analisis jabatan merupakan hal yang perlu dilakukan oleh perusahaan sebagai dasar dalam penentuan strategi sumber daya manusia yang tepat dalam menghadapi persaingan. Sebuah penelitian telah dilakukan oleh Tom D. Taber dan Theodore D. Peters pada tahun 1991 dengan judul ”Assessing the Completeness of a Job Analysis Procedure”. Penelitian tersebut menggunakan
Growth
Share Dec Jun 06 07 13 2 .4 1 .8 1 11.4 0 11.4 7 8 .4 1 9 .11 7 .7 7 7 .4 4 5 .2 0 5 .16 4 .19 3 .9 7 3 .0 0 2 .8 8 2 .4 2 2 .7 3 2 .7 0 2 .7 0 2 .2 8 2 .2 6 1.5 1 1.7 4 100,0 100,0
Position Analysis Questionnaire (PAQ) secara kuantitatif dan didukung dengan wawancara mendalam untuk mengidentifikasi karakteristik jabatan, karakteristik karyawan dan karakteristik prosedur evaluasi jabatan yang mempengaruhi persepsi karyawan mengenai sistem tersebut. Penelitian tersebut menghasilkan gambaran bahwa walaupun hasil rata-rata dari kelengkapan evaluasi jabatan menunjukkan angka yang tinggi, terdapat perbedaan persepsi mengenai sistem evaluasi jabatan di tingkat pekerjaan administratif, teknisi, dan klerikal. Sementara itu, sebuah definisi lain mengenai analisis jabatan, yaitu analisis jabatan (job analysis) merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengetahui mengenai isi dari suatu jabatan (job content) yang meliputi tugastugas, pekerjaan-pekerjaan, tanggung jawab, kewenangan dan kondisi kerja, dan mengenai syarat-syarat kualifikasi yang dibutuhkan (job requirements) seperti pendidikan, keahlian, kemampuan, pengalaman kerja dan lain-lain, agar seseorang dapat menjalankan tugas-tugas dalam suatu jabatan dengan baik (Sofyandi, 2008). Berdasarkan jenisnya, analisis jabatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu analisis jabatan tradisional (traditional job analysis) dan analisis jabatan yang berorientasi pada hasil (result-oriented job analysis) (Gomes, 1995). Suatu perusahaan dengan melaksanakan analisis jabatan
Sugiantoro, persepsi karyawan terhadap PENERAPAN analisis jabatan
Tabel 2. Jumlah Karyawan Operasional MBDC Jakarta Sudirman (per 30 Januari 2009) No 1 2 3 4
Keterangan Mikro Kredit Analyst Mikro Kredit Sales Mikro Mandiri Collection Cluster Admin JUMLAH
Jumlah 73 255 26 6 360
Sumber: Data kepegawaian MBDC Jakarta Sudirman, 2009
secara tepat dapat mengetahui dengan pasti rincian tugas masing-masing bagian dalam perusahaan dan dapat mengetahui persyaratan yang dibutuhkan dari seorang karyawan untuk dapat melaksanakan tugastugas tersebut. Hal ini berdampak pada kemampuan perusahaan untuk menetapkan dan menerapkan strategi sumber daya manusia yang tepat sehingga dapat menghasilkan sumberdaya-sumberdaya manusia yang berkualitas bagi kegiatan operasional perusahaan. Mencermati kondisi tersebut, Micro Banking District Center Jakarta Sudirman, PT Bank Mandiri, Tbk. (Persero) sebagai distrik terbesar di Indonesia yang memiliki 72 micro business unit (data Januari 2009) dan mengusung misi Bank Mandiri -yang ingin menjadi perusahaan publik terkemuka (Blue Chip Company) di Asia Tenggara (Regional Champion Bank)- di sektor kredit mikro perlu melakukan upaya untuk menciptakan suatu keunggulan bersaing. Bank Mandiri memiliki komitmen untuk terus mengembangkan kinerja dalam rangka menjadi bank yang berskala internasional (Suharini, 2008). Sebagai pemberi layanan yang bergerak di bidang jasa, efisiensi, dan efektivitas pelayanan kepada nasabah menjadi hal yang perlu diperhatikan. Faktor sumber daya manusia merupakan salah satu elemen kunci dalam mencapai kinerja yang diharapkan untuk mencapai kondisi tersebut. Berangkat dari pemikiran tersebut, analisis jabatan sangat diperlukan dalam rangka menentukan strategi sumber daya manusia yang tepat guna menghadapi ketatnya persaingan di dunia kredit perbankan. Hal tersebut diperlukan terutama guna menghindari terjadinya overlapping dengan cara merancang struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan serta pembagian tanggung jawab dari tiap-tiap bagian secara jelas dan menyeluruh. Pada saat ini, terdapat beberapa permasalahan terkait deskripsi pekerjaan di Micro Banking District Center Jakarta Sudirman, PT Bank Mandiri, Tbk. (Persero), yaitu terjadinya tumpang tindih pekerjaan akibat adanya pembagian tugas yang kurang sesuai (hasil wawancara dengan Cluster Admin, Micro Credit Analyst dan Micro Credit Sales pada bulan Januari 2009). Berdasarkan fakta tersebut, terlihat bahwa analisis jabatan sangat diperlukan guna menentukan strategi sumber daya manusia yang tepat dalam rangka menghadapi persaingan. Sementara itu, perspektif karyawan sebagai pelaksana hasil dari analisis jabatan sangatlah penting untuk diperhatikan. Efektivitas penerapan analisis jabatan
63
akan menimbulkan persepsi di dalam diri karyawan mengenai penerapan analisis jabatan tersebut, yang akan berdampak pada motivasi kerja karyawan yang bersangkutan. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif (Neuman, 2003) yang bersifat deskriptif (Prasetyo dan Jannah, 2005). Adapun hal yang ingin diteliti adalah persepsi karyawan operasional tentang penerapan analisis jabatan di Micro Banking District Center Jakarta Sudirman, PT Bank Mandiri, Tbk. (Persero). Populasi penelitian ini adalah karyawan operasional di Micro Banking District Center Bank Mandiri Jakarta Sudirman (tabel 2) dengan jumlah sampel adalah 78 orang yang diperoleh dari rumus Slovin oleh Consuelo dkk., (Prasetyo dan Jannah, 2005). Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode stratified, artinya dibentuk strata, tingkatan atau kelompok. Dengan kata lain, populasi dibagi terlebih dulu menjadi tingkatan atau kelompok yang berbeda. Selanjutnya sampel ditarik secara random dari setiap kelompok sehingga bisa meliputi setiap strata yang berbeda untuk mewakili populasi secara keseluruhan (Istijanto, 2005). Adanya perbedaan jumlah anggota strata yang sangat signifikan, maka jenis stratified random sampling yang dipergunakan adalah proporsional dengan operasionalisasi konsep seperti tabel 3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil dari penelitian mengenai persepsi karyawan operasional tentang hasil analisis jabatan di MBDC Jakarta Sudirman, PT Bank Mandiri, Tbk (Persero) bisa dilihat pada tabel 3. Tabel 4 menunjukkan bahwa kedua dimensi, ya-itu dimensi uraian jabatan dan dimensi persyaratan jabatan menunjukkan hasil dengan kategori baik. Adapun nilai total maupun rata-rata dari dimensi uraian jabatan lebih tinggi dari yang ditunjukkan oleh dimensi persyaratan jabatan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa karyawan operasional MBDC Jakarta Sudirman, PT Bank Mandiri, Tbk (Persero) merasakan adanya ke-sesuaian yang lebih besar antara uraian jabatan dan kondisi nyata bila dibandingkan dengan kesesuaian antara persyaratan jabatan dan kondisi nyata. Secara keseluruhan dari dua puluh tiga indikator, hanya empat yang menunjukkan hasil dengan kategori cukup baik, selebihnya ada delapan belas indikator yang menunjukkan hasil dengan kategori baik, bahkan ada satu indikator yang menunjukkan hasil dengan kategori sangat baik. Adapun nilai rata-rata yang didapat dari keseluruhan dua puluh tiga indikator menunjukkan angka 294,48. Artinya persepsi karyawan operasional MBDC Jakarta
64
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 61-69
Tabel 3. Operasionalisasi Konsep Konsep
Variabel
Dimensi
Uraian jabatan (Job Description)
Analisis Jabatan (Job analysis)
Penerapan Analisis Jabatan
Sub Dimensi
Indikator
Skala
(a)Wewenang
1. Kewenangan terdefinisikan secara jelas 2. Tidak overlapping dengan posisi lain 3. Kesesuaian wewenang dengan posisi
Ordinal
(b) Tanggung jawab karyawan
1. Memperoleh kejelasan mengenai tanggung jawab yang diemban secara keseluruhan 2. Arah pertanggungjawaban jelas 3. Kompensasi yang diberikan sesuai dengan tanggung jawab pekerjaan
Ordinal
(c) Kondisi pekerjaan
1 Peraturan atau kebijaksanaan perusahaan dapat dipahami 2 Adanya kejelasan koordinasi dalam melaksanakan pekerjaan
Ordinal
(d) Fasilitas kerja
1. Kelengkapan fasilitas untuk mendukung kelancaran pekerjaan 2. Kesesuaian fasilitas dengan kebutuhan pekerjaan
Ordinal
(e) Standar hasil kerja (a) Pendidikan dan pelatihan
Persyaratan Jabatan (Job Specification)
(b) Kompetensi
1. Kejelasan mengenai target yang diharapkan 2. Kesesuaian target dengan bidang pekerjaan 1. Kesesuaian tanggung jawab pekerjaan dengan latar belakang pendidikan 2. Kesesuaian tanggung jawab pekerjaan dengan latar belakang pengalaman kerja 3. Efektivitas pelatihan dalam menunjang pekerjaan 1. Kesesuaian pekerjaan dengan pengetahuan 2. Kesesuaian pekerjaan dengan keahlian 3. Kesesuaian pekerjaan dengan keterampilan 4. Kesesuaian pekerjaan dengan minat 5. Pengetahuan yang dimiliki dapat menunjang pekerjaan secara efektif 6. Keahlian yang dimiliki dapat menunjang pekerjaan secara efektif 7. Keterampilan yang dimiliki dapat menunjang pekerjaan secara efektif 8. Minat yang dimiliki dapat menunjang pekerjaan secara efektif
Ordinal Ordinal
Ordinal
Sumber: Pengolahan data penelitian dari Gomes (1995) dan Sofyandi (2008)
Sudirman, PT Bank Mandiri, Tbk (Persero) atas hasil analisis jabatan menunjukkan hasil yang baik. Dari hasil pengambilan data, diperoleh informasi mengenai karakteristik responden seperti pada tabel 5. Data yang terkumpul memperlihatkan bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki (gambar 3). Hal ini dikarenakan posisi MKS dan MMC merupakan bidang pekerjaan yang membutuhkan mobilitas tinggi. Hanya pada posisi MKA dan CA yang ditempati oleh jenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam proporsi yang seimbang. Mengenai jabatan responden, data memperlihatkan bahwa posisi MKS memiliki porsi terbanyak, diikuti oleh MKA, MMC, dan CA secara berurutan. Perbedaan jumlah yang cukup signifikan tersebut dikarenakan adanya kebijakan perusahaan mengenai proporsi ideal jumlah karyawan pada setiap micro business unit (MBU). Usia responden menunjukkan bahwa mayoritas responden berada pada rentang usia 17 tahun sampai dengan 43 tahun. Hal ini sesuai dengan peraturan perusahaan, batas usia maksimal dalam penerimaan karyawan adalah 35 tahun dengan mempertimbangkan produktivitas yang diharapkan. Sebagian besar responden memiliki masa
kerja antara 0 tahun sampai dengan 2 tahun. Pesatnya perkembangan kredit usaha mikro sejak tahun 2007 menyebabkan dibukanya cabang-cabang baru yang dengan sendirinya membutuhkan karyawan-karyawan baru. Selain itu, kredit usaha mikro juga memiliki angka turnover yang cukup tinggi. Mayoritas responden memiliki latar belakang pendidikan setingkat S1. Hal tersebut sesuai dengan peraturan perusahaan yang mensyaratkan setiap karyawan minimal berijazah D3. Hal ini dimaksudkan agar setiap karyawan dapat bekerja sesuai dengan standar kinerja dan dapat mencapai target yang telah ditetapkan. Namun pada tabel juga terdapat sebagian kecil responden yang hanya berijazah SMA/sederajat. Hal tersebut menunjukkan masih adanya pelanggaran terhadap syarat administratif dalam penerimaan karyawan. Sebagian besar responden pernah memiliki pekerjaan yang sesuai atau berhubungan dengan bidang pekerjaan saat ini. Latar belakang pekerjaan yang berhubungan merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan dalam penerimaan karyawan karena dengan demikian maka karyawan tersebut dianggap telah memiliki pengalaman dan tidak perlu memulai pembelajaran
Sugiantoro, persepsi karyawan terhadap PENERAPAN analisis jabatan
Tabel 4. Tabel Skor dan Rentang Skala No 1 2 3 4 5 6 7 8
Pernyataan Wewenang terdefinisi dengan jelas Wewenang sesuai dengan bidang pekerjaan Wewenang tidak tumpang tindih dengan jabatan lain Adanya kejelasan tanggung jawab Adanya kejelasan alur pertanggungjawaban Kompensasi sesuai dengan tanggung jawab Peraturan dan kebijakan perusahaan dapat dipahami Adanya kejelasan alur koordinasi
STS 0 0 1 0 0 9 1 0
9
TS 0 2 8 6 4 26 4 6
Persepsi R 2 4 8 5 7 7 5 5
Tersedianya fasilitas yang lengkap 6 25 Fasilitas yang tersedia sesuai dengan kebutuhan 10 5 18 pekerjaan 11 Adanya kejelasan mengenai target kinerja 0 4 12 Target kinerja sesuai dengan bidang pekerjaan 0 2 Total skor dimensi Uraian Jabatan Rata-rata skor dimensi Uraian Jabatan (3537 / 12) Latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang 4 18 13 pekerjaan Latar belakang pekerjaan sesuai dengan bidang 3 14 14 pekerjaan Adanya pelatihan yang efektif dalam menunjang 5 9 15 pekerjaan Pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan bidang 16 0 11 pekerjaan Keahlian yang dimiliki sesuai dengan bidang 0 10 17 pekerjaan Keterampilan yang dimiliki sesuai dengan bidang 18 2 7 pekerjaan 19 Minat yang dimiliki sesuai dengan bidang pekerjaan 3 8 Pengetahuan yang dimiliki efektif dalam menunjang 20 1 4 pekerjaan Keahlian yang dimiliki efektif dalam menunjang 21 1 3 pekerjaan Keterampilan yang dimiliki efektif dalam menunjang 22 0 3 pekerjaan Minat yang dimiliki efektif dalam menunjang 23 1 4 pekerjaan Total skor dimensi Persyaratan Jabatan Rata-rata skor dimensi Persyaratan Jabatan (3236 / 11) Total Skor Rata Rata Skor (6773 / 23) Sumber: Hasil pengolahan data, 2009
4
S 54 54 47 52 52 28 56 56
SS 22 18 14 15 15 9 12 11
Skor
26
17
257
332 322 279 310 312 239 308 306
9
33
13
265
16 13
48 49
10 14
298 309 3537 294,75
65
Ket Sangat Baik Baik Baik Baik Baik Cukup Baik Baik Baik Cukup Baik Cukup Baik Baik Baik Baik
19
29
8
253
11
36
14
278
Cukup Baik Baik
14
36
14
279
Baik
9
42
16
297
Baik
11
44
13
294
Baik
10
47
12
294
Baik
14
44
9
282
Baik
2
56
15
314
Baik
3
54
17
317
Baik
5
51
19
320
Baik
9
48
16
308 3236 294,18 6773 294,48
Baik Baik Baik
Gambar. 2 Kategori Persepsi Berdasarkan Rentang Skala Sumber: Hasil pengolahan data, Juni 2009
dari awal. Namun hal ini bukan merupakan persyaratan mutlak karena MBDC Jakarta Sudirman juga membuka kesempatan bagi calon karyawan yang belum bekerja maupun calon karyawan dari latar belakang pekerjaan yang berbeda.
B. Dimensi Uraian Jabatan Persepsi karyawan operasional MBDC Jakarta Sudirman terkait dengan dimensi uraian jabatan dikategorikan baik. Hal ini terlihat nilai rata-rata dari 12 indikator yang menunjukkan dimensi uraian jabatan mencapai 294,75 (tabel 6). Ada satu parameter yang mencapai kriteria sangat baik yaitu kejelasan wewenang dari setiap jabatan, nilai
66
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 61-69
Tabel 5. Karakteristik Responden Karakteristik Responden
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Frekuensi 62 16
Jabatan MKS MKA MMC CA
55 16 6 1
Usia Karyawan 17 tahun - 30 tahun 30 tahun - 43 tahun 43 tahun - 55 tahun
47 31 0
Masa Kerja 0 tahun - 2 tahun 2 tahun - 4 tahun 4 tahun - 6 tahun
53 13 12
Latar Belakang Pendidikan SMA / sederajat D3 S1 S2
2 24 51 1
Latar Belakang Pekerjaan Belum Pernah Bekerja Berhubungan Tidak Berhubungan
5 40 33
Jumlah
78
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009
yang diperoleh mencapai 332. Sedangkan tiga parameter mendapatkan nilai cukup dengan nilai terendah mencapai 239. Parameter pemberian kompensasi yang diberikan perusahaan dianggap cukup sesuai dengan tanggung jawab yang dimiliki karyawan. Dari tabel 6, kita bisa melihat ada beberapa indikator dalam dimensi uraian jabatan. Pertama, kejelasan definisi wewenang. Data menunjukkan bahwa hampir seluruh responden merasakan adanya kejelasan mengenai wewenang masing-masing. Fakta ini didukung dengan adanya uraian wewenang dalam bentuk tertulis yang diberikan kepada setiap karyawan sesuai dengan bidang masing-masing. Selain itu, pada proses rekrutmen dan seleksi pun para calon karyawan telah diberikan gambaran mengenai wewenang dari setiap posisi yang dituju. Kedua, kesesuaian wewenang dengan bidang pekerjaan. Data memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menganggap wewenangnya telah sesuai dengan bidang pekerjaan. Hal ini berarti bahwa sebagian besar karyawan telah dapat memahami bidang pekerjaannya dan merasa telah mendapat hak-hak yang diperlukan untuk dapat bekerja sesuai dengan bidang pekerjaan masing-masing. Ketiga, wewenang tidak tumpang tindih dengan jabatan lain. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasa bahwa terdapat batasan yang jelas dalam pemberian wewenang sesuai dengan bidang
pekerjaan masing-masing. Keempat, kejelasan tanggung jawab. Data pada tabel 6 memperlihatkan bahwa sebagian besar karyawan merasa telah memperoleh mengenai tanggung jawab sesuai dengan jabatannya. Hanya ada beberapa karyawan di MBU tertentu yang merasakan ketidakjelasan dalam menjalankan pekerjaan. Kelima, kejelasan alur pertanggungjawaban. Melalui data tersebut, terlihat bahwa mayoritas responden telah memperoleh kejelasan mengenai alur pertanggungjawaban. Alur pertanggungjawaban dari setiap jabatan telah tertera pada lembar uraian jabatan. Keenam, kesesuaian kompensasi dengan tanggung jawab. Data tersebut memperlihatkan adanya penyebaran persepsi yang merata di antara responden mengenai kesetujuan dan ketidaksetujuan. Mengenai kompensasi itu sendiri, terdapat dua aspek utama, yaitu financial dan non financial. Dari segi financial, kepuasan terhadap besaran gaji yang diterima bersifat subjektif dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti biaya hidup di lokasi tertentu dan beban yang harus ditanggung. Faktor yang tidak kalah penting adalah aspek non financial, seperti adanya perasaan nyaman di lingkungan kerja, adanya pengakuan atas prestasi, kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan adanya jenjang karir yang jelas. Dengan memperhatikan data dan fakta tersebut, dapat terlihat bahwa tingkat kepuasan karyawan operasional terhadap kompensasi masih terbilang rata-rata. MBDC Jakarta Sudirman belum mampu memberikan kompensasi yang dapat memuaskan seluruh karyawan operasional dan belum mencakup keseluruhan aspek kompensasi. Ketujuh, peraturan dan kebijakan perusahaan dapat dipahami. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasa bahwa peraturan dan kebijakan perusahaan telah dapat dipahami dengan jelas. Hal tersebut berarti MBDC Jakarta Sudirman telah berhasil menanamkan nilai-nilai perusahaan kepada karyawan dan dengan demikian karyawan dapat diharapkan untuk berperilaku dan bekerja sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perusahaan. Kedelapan, kejelasan alur koordinasi. Berdasarkan data tersebut, dapat terlihat bahwa mayoritas responden berpendapat alur koordinasi di MBDC Jakarta Sudirman telah tertera dengan jelas. Kesembilan, tersedianya fasilitas yang lengkap. Data tersebut menunjukkan adanya keberagaman persepsi di antara responden mengenai kelengkapan fasilitas dalam melaksanakan pekerjaan. Untuk posisi CA dan MKA, MBDC Jakarta Sudirman telah menyediakan fasilitas yang cukup berupa perangkat komputer, printer, pesawat telepon, mesin faksimile, mesin fotokopi, dan sistem jaringan. Namun untuk posisi MMC dan MKS yang memiliki mobilitas tinggi, MBDC Jakarta Sudirman belum mampu menyediakan fasilitas secara optimal. MBDC Jakarta Sudirman memang menyediakan perangkat kamera untuk kepentingan dokumentasi. Namun MMC dan MKS diharuskan untuk menggunakan kendaraan sendiri
67
Sugiantoro, persepsi karyawan terhadap PENERAPAN analisis jabatan
Tabel 6. Dimensi Uraian Jabatan No
Pernyataan
1 Wewenang terdefinisi dengan jelas 2 Wewenang sesuai dengan bidang pekerjaan 3 Wewenang tidak tumpang tindih dengan jabatan lain 4 Adanya kejelasan tanggung jawab 5 Adanya kejelasan alur pertanggungjawaban 6 Kompensasi sesuai dengan tanggung jawab 7 Peraturan dan kebijakan perusahaan dapat dipahami 8 Adanya kejelasan alur koordinasi 9 Tersedianya fasilitas yang lengkap 10 Fasilitas yang tersedia sesuai dengan kebutuhan pekerjaan 11 Adanya kejelasan mengenai target kinerja 12 Target kinerja sesuai dengan bidang pekerjaan Total skor dimensi Uraian Jabatan Rata-rata skor dimensi Uraian Jabatan (3537 / 12)
STS 0 0 1 0 0 9 1 0 6 5 0 0
Persepsi TS R S 0 2 54 2 4 54 8 8 47 6 5 52 4 7 52 26 7 28 4 5 56 6 5 56 25 4 26 18 9 33 4 16 48 2 13 49
SS 22 18 14 15 15 9 12 11 17 13 10 14
Skor
Ket
332 322 279 310 312 239 308 306 257 265 298 309 3537 294,75
Sangat Baik Baik Baik Baik Baik Cukup Baik Baik Baik Cukup Baik Cukup Baik Baik Baik Baik
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009
tanpa memperoleh reimburse pengeluaran bensin dan biaya parkir. Melalui data dan fakta tersebut, dapat terlihat bahwa MBDC Jakarta Sudirman belum mampu memberikan kepuasan atas kelengkapan fasilitas kepada karyawan operasional MBDC Jakarta Sudirman secara keseluruhan. Kesepuluh, kesesuaian fasilitas dengan kebutuhan pekerjaan. Dengan memperhatikan data tersebut, dapat terlihat bahwa selain sejumlah responden yang menyatakan persetujuan terhadap kesesuaian fasilitas dengan kebutuhan pekerjaan, terdapat sejumlah responden yang mengungkapkan ketidaksetujuannya. Salah satu hal yang menjadi masalah adalah mengenai kuantitas peralatan yang masih di bawah kebutuhan. Namun yang menjadi pokok permasalahan adalah mengenai kualitas fasilitas, terutama sistem jaringan yang terkadang menjadi faktor penghambat efektivitas pekerjaan. Kesebelas, adanya kejelasan mengenai target kinerja. Data pada tabel 6 memperlihatkan adanya persetujuan dari sebagian besar responden mengenai adanya kejelasan target kinerja di MBDC Jakarta Sudirman. Hal tersebut berarti MBDC Jakarta Sudirman telah mampu merumuskan target kinerja yang diharapkan dari setiap karyawan dengan baik sehingga dapat dipahami oleh karyawan. Setiap karyawan operasional dapat berusaha dengan lebih giat dan terfokus pada suatu tujuan tertentu sehingga dapat mencapai prestasi yang baik. Keduabelas, kesesuaian target dengan bidang pekerjaan. Berdasarkan data pada tabel 6, dapat ter-ihat bahwa mayoritas responden mengungkapkan persetujuan atas kesesuaian target kinerja dengan bidang pekerjaan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa MBDC Jakarta Sudirman telah menetapkan target kinerja yang rasional dan dapat diterima oleh karyawan. Dengan demikian, karyawan
dapat bekerja dengan baik sesuai dengan bidang pekerjaan masing-masing dan memiliki motivasi untuk mencapai target kinerja yang memungkinkan untuk diraih. C. Dimensi Spesifikasi Jabatan Persepsi karyawan operasional MBDC Jakarta Sudirman terkait dengan dimensi spesifikasi jabatan juga dikategorikan baik. Hal ini terlihat nilai rata-rata dari 11 indikator yang menunjukkan dimensi uraian jabatan mencapai 294,18 (tabel 7). Pertama, kesesuaian bidang pekerjaan dengan latar belakang pendidikan. Dapat terlihat dari tabel 7 bahwa ada keberagaman persepsi responden mengenai kesesuaian bidang pekerjaan dengan latar belakang pendidikan. Hal tersebut dikarenakan para responden memiliki latar belakang disiplin ilmu yang beragam pula. Kesulitan dalam mencari pekerjaan di lapangan pekerjaan yang sesuai menjadi salah satu faktor penyebab fenomena ini. Kedua, kesesuaian bidang pekerjaan dengan pengalaman kerja. Hasil penelitian menunjukkan walaupun mayoritas responden menyatakan persetujuan atas kesesuaian bidang pekerjaan dengan pengalaman kerja, juga terdapat sejumlah responden yang menyatakan ketidaksetujuan dan ragu-ragu. Peneliti menemukan fakta bahwa responden yang menyatakan “tidak setuju” dan “sangat tidak setuju” memang belum pernah bekerja atau berasal dari latar belakang yang berbeda, misalnya sebagai teknisi. Sedangkan responden yang menyatakan “ragu-ragu"’ memiliki latar pengalaman kerja di bidang yang bukan perkreditan, namun cakupan pekerjaannya mendekati, seperti perbankan dan pemasaran bantuan finansial. Ketiga, adanya pelatihan yang efektif. Berdasarkan data tabel 7, dapat terlihat bahwa masih terdapat se-
68
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 61-69
Tabel 7. Dimensi Persyaratan Jabatan No
Pernyataan
1 Latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang pekerjaan 2 Latar belakang pekerjaan sesuai dengan keahlian. 3 Adanya pelatihan yang efektif dalam menunjang pekerjaan 4 Pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan bidang pekerjaan 5 Keahlian yang dimiliki sesuai dengan bidang pekerjaan 6 Ketrampilan yang dimiliki sesuai dengan bidang pekerjaan 7 Minat yang dimiliki sesuai dengan bidang pekerjaan 8 Pengetahuan yang dimiliki efektif dalam menunjang pekerjaan 9 Keahlian yang dimiliki efektif dalam menunjang pekerjaan 10 Ketrampilan yang dimiliki efektif dalam menunjang pekerjaan 11 Minat yang dimiliki efektif dalam menunjang pekerjaan Total skor dimensi Persyaratan Jabatan Rata-rata skor dimensi Persyaratan Jabatan (3236 / 11)
STS 4 3 5 0 0 2 3 1 1 0 1
Persepsi TS R S 18 19 29 14 11 36 9 14 36 11 9 42 10 11 44 7 10 47 8 14 44 4 2 56 3 3 54 3 5 51 4 9 48
SS 8 14 14 16 13 12 9 15 17 19 16
Skor
Ket
253 Cukup Baik 278 Baik 279 Baik 297 Baik 294 Baik 294 Baik 282 Baik 314 Baik 317 Baik 320 Baik 308 Baik Baik 3236 294,18
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009
jumlah responden yang menyatakan ketidaksetujan atas pernyataan adanya pelatihan yang efektif. Pada kenyataannya, MBDC Jakarta Sudirman telah mengadakan beberapa program pelatihan bagi karyawankaryawan operasionalnya. Pelatihan-pelatihan tersebut antara lain kursus yang bertempat di Learning Center Tanah Abang bagi para MKA yang berupa pembekalanpembekalan singkat mengenai cara peng-operasian sistem dan penyempurnaannya. Selain itu para MKS baru juga diberikan pelatihan berupa on the job training selama setengah bulan di MBU lain sehingga MKS tersebut dapat memahami prosedur kerja sebelum terjun langsung di MBU tempatnya bertugas. Berdasarkan data dan fakta tersebut, dapat terlihat bahwa MBDC Jakarta Sudirman telah mengadakan program pelatihan bagi para karyawan operasional, namun yang menjadi permasalahan adalah efektivitas pelatihan itu sendiri, yang dipengaruhi oleh cara-cara pelatihan dan daya tangkap dari setiap individu yang berbeda-beda. Keempat, kesesuaian pengetahuan karyawan operasional dengan bidang pekerjaan. Data pada tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasakan bahwa pengetahuan yang mereka miliki telah sesuai dengan bidang pekerjaan. Pentingnya pengetahuan mengenai bidang pekerjaan telah disadari oleh MBDC Jakarta Sudirman, sehingga dalam melakukan proses seleksi karyawan baru, hal tersebut menjadi salah satu faktor pertimbangan. Beberapa MBU juga berinisiatif untuk melakukan briefing karyawan secara berkala untuk bertukar informasi dan menambah pengetahuan. Kelima, kesesuaian keahlian karyawan operasional dengan bidang pekerjaan. Berdasarkan data pada tabel 7, terlihat bahwa mayoritas responden menyatakan persetujuan atas pernyataan keahlian karyawan operasional telah sesuai dengan bidang pekerjaan. Fakta tersebut memperlihatkan bahwa MBDC Jakarta Sudirman telah cukup berhasil menempatkan karyawan
di posisi yang sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Salah satu faktor penentu keberhasilan tersebut adalah dengan dilakukannya wawancara dan psikotes dalam proses seleksi. Seorang karyawan dapat bekerja sesuai dengan standar yang diharapkan. Keenam, kesesuaian keterampilan karyawan operasional dengan bidang pekerjaan. Data pada tabel 7 memperlihatkan bahwa mayoritas responden menyatakan persetujuan atas pernyataan keterampilan karyawan operasional telah sesuai dengan bidang pekerjaan. Data tersebut menunjukkan bahwa MBDC Jakarta Sudirman telah cukup berhasil menempatkan karyawan di posisi yang sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Yang menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan tersebut adalah wawancara dan psikotes yang dilakukan dalam proses seleksi penerimaan karyawan. Seorang karyawan tidak akan merasa canggung dalam melaksanakan pekerjaan. Ketujuh, kesesuaian minat karyawan operasional dengan bidang pekerjaan. Berdasarkan data pada tabel 7, terlihat bahwa sebagian besar responden menyatakan persetujuan atas pernyataan minat karya-wan operasional telah sesuai dengan bidang pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa MBDC Jakarta Sudirman telah cukup berhasil menempatkan karyawan di posisi yang sesuai dengan minat yang dimiliki. Salah satu faktor penentu keberhasilan tersebut adalah dengan dilakukannya wawancara dan psikotes dalam proses seleksi. Kesesuaian minat dapat mempengaruhi motivasi karyawan dalam bekerja, karena dengan demikian maka karyawan tersebut dapat bekerja dengan penuh semangat untuk menyelesaikan tugas sebaik-baiknya. Kedelapan, efektivitas pengetahuan karyawan operasional dalam menunjang pekerjaan. Data pada tabel 7 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden merasa pengetahuan yang mereka miliki telah dapat menunjang pekerjaan secara efektif. MBDC Jakarta Sudirman terus berupaya untuk meningkatkan pengetahuan karyawan
Sugiantoro, persepsi karyawan terhadap PENERAPAN analisis jabatan
operasionalnya. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan membuat bulletin perusahaan yang mencakup informasi yang dibutuhkan oleh para karyawan. Cara lainnya adalah dengan berlangganan surat kabar umum maupun lokal sehingga para karyawan dapat mengetahui berita-berita terhangat yang berkaitan dengan usaha kredit mikro, mengetahui harga pasaran agunan serta mengetahui prospek dan perkembangan usaha di daerah sekitar guna mencari calon debitur potensial. Kesembilan, efektivitas keahlian karyawan operasional dalam menunjang pekerjaan. Berdasarkan data pada tabel 7, dapat terlihat secara signifikan bahwa sebagian besar responden berpendapat keahlian yang mereka miliki telah dapat menunjang pekerjaan secara efektif. Hal ini menunjukkan bahwa MBDC Jakarta Sudirman telah mampu memperoleh dan membentuk karyawan operasional yang dapat bekerja secara baik sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Kesepuluh, efektivitas keterampilan karyawan operasional dalam menunjang pekerjaan. Berdasarkan data pada tabel 7, dapat terlihat dengan jelas bahwa sebagian besar responden berpendapat keterampilan yang mereka miliki telah dapat menunjang pekerjaan secara efektif. Hal ini menunjukkan bahwa MBDC Jakarta Sudirman telah mampu memperoleh dan membentuk karyawan operasional yang dapat bekerja secara baik sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Kesebelas, efektivitas minat karyawan operasional dalam menunjang pekerjaan. Berdasarkan data pada tabel 7, dapat terlihat dengan jelas bahwa sebagian besar responden berpendapat minat yang mereka miliki telah dapat menunjang pekerjaan secara efektif. Hal ini menunjukkan bahwa MBDC Jakarta Sudirman telah mampu memperoleh dan membentuk karyawan operasional yang dapat bekerja secara baik sesuai dengan minat yang dimiliki. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dari hasil penelitian, simpulan dari penelitian ini adalah persepsi karyawan operasional MBDC Jakarta Sudirman, PT Bank Mandiri, Tbk. (Persero) mengenai hasil analisis jabatan secara umum menunjukkan hasil dengan rentang skala “Baik”. Adapun dimensi uraian jabatan dan
69
dimensi persyaratan jabatan juga menunjukkan hasil dengan rentang skala “Baik”, dengan catatan berbeda pada indikator kejelasan definisi wewenang yang menunjukkan hasil dengan rentang skala “Sangat Baik”. dan juga terdapat beberapa indikator yang memperlihatkan hasil dengan rentang skala “Cukup Baik”, seperti mengenai kompensasi, kelengkapan fasilitas, kesesuaian fasilitas dan kesesuaian latar belakang pendidikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil analisis jabatan di MBDC Jakarta Sudirman, PT Bank Mandiri, Tbk. (Persero) telah dipersepsikan dengan baik dan sesuai dengan kondisi yang dihadapi. DAFTAR PUSTAKA Gomes, Faustino Cardoso. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Andi Offset. Hardjo, Rainingsih. 2005. Mencari Sosok Pemimpin yang Ideal, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 13, No. 1 (Januari). Istijanto. 2005. Riset Sumber Daya Manusia : Cara Praktis Mendeteksi Dimensi Dimensi Kerja Karyawan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Nawawi, H. Hadari. 2001. Perencanaan Sumber Daya Manusia untuk Organisasi yang Kompetitif. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Neuman W.L. 2003. Social Research Methods : Quantitative and Qualitative Approaches. USA : Allyn and Bacon. Prasetyo, Bambang dan Lina M. Jannah. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Robbins, Stephen P. 2002. Perilaku Organisasi Jilid 2 : Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta : Prenhallindo. Schuler, Randall S. and Susan E. Jackson. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia Menghadapi Abad ke-21, Jakarta : Erlangga. Suharini, Mieke, 2008. Persepsi Nasabah Terhadap Penerapan Sistem Layanan Produk dan Jasa E-Banking, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Volume 15, Nomor 3, SeptDes. Sofyandi, Herman. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2008. Taber, Tom D. and Theodore E. Peters. 1991. “Assessing the Completeness of a Job Analysis Procedure”. Journal of Organizational Behavior, Vol.12, No.7 (December).
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Jan—Apr 2010 hlm.70-78 ISSN 0854-3844
Volume 17, Nomor 1
Analisis Faktor Akuntansi dan Non Akuntansi dalam Memprediksi Peringkat Obligasi Perusahaan Manufaktur GRACE PUTRI SEJATI1* PT e-Trading Securities
1
Abstract. The research aims to explain the influence of accounting and non-accounting factors in predicting the bonds level. This research uses quantitative approach and takes samples by using purposive sampling technique, that is bonds of manufacture companies listed in Jakarta Stock Exchange (Now is known as Indonesian Stock Exchange, after mergered with Surabaya Stock Exchange) and listed in the level of bonds issued by Pefindo in the period of 2003 to 2008. The result of the research shows that the accounting factor that affects the prediction of bonds level is growth, while the non-accounting level that does not affect the prediction of bonds level is auditor reputation. .Keywords: bonds, auditor reputation, Indonesia Stock Exchange
PENDAHULUAN Menempatkan dana pada satu aktiva yang diharapkan dapat meningkatkan nilainya di masa depan disebut sebagai kegiatan investasi. Secara umum investasi dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu, pertama investasi pada real assets seperti tanah, emas, benda seni, dan kedua, investasi pada financial assets dengan memperjualbelikan aset-aset pada pasar keuangan. Pasar keuangan adalah transfer dana dari pihak yang mempunyai dana yang lebih kepada pihak yang kekurangan dana dan digunakan untuk menyalurkan dana dari pihak yang tidak mempunyai kesempatan investasi secara produktif kepada pihak yang mempunyai efisiensi ekonomi lebih besar. Pasar keuangan dapat dibagi menjadi pasar saham, pasar hutang atau pasar obligasi dan tingkat bunga, serta pasar mata uang luar negeri (Manurung dkk., 2003). Di antara pasar keuangan yang ada, saat ini investasi dalam pasar obligasi mengalami perkembangan yang cukup baik dari tahun ke tahun, walaupun perkembangannya masih cukup lamban jika dibandingkan dengan saham. Perkembangan yang lamban tersebut salah satu kendalanya adalah kondisi pasar obligasi yang tersedia belum dioptimalkan oleh pelaku pasar modal dan pemahaman mengenai instrumen obligasi di kalangan masyarakat umum yang masih terbatas (Raharjo, 2004). Pada laporan tahunan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) tahun 2002 menunjukkan bahwa nilai emisi obligasi perusahaan lebih besar dibandingkan dengan emisi saham. Penyebab emisi obligasi lebih besar dibandingkan emisi saham, antara lain (1) penurunan suku bunga sejak tahun 1999, (2) pengetatan peluncuran kredit perbankan nasional, dan (3) berkurangnya kepercayaan modal * Korespondensi: +628568005187; [email protected]
asing pada perusahaan Indonesia (Gaol, 2005). Pada tabel 1, t e r l i h a t pada pasar obligasi korporasi, nilai kapitalisasi pasarnya hampir tiap tahun meningkat, hanya pada tahun 2001 yang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Kapitalisasi mengalami peningkatan di tahun 2003. Hal yang sama terjadi pada pasar obligasi pemerintah, penurunan kapitalisasi pasar juga hampir jarang terjadi kecuali di tahun 2003. Kenaikan kapitalisasi terbesar terjadi pada tahun 2002. Terdapat sejumlah pendapat yang menjelaskan alasan perusahaan menerbitkan obligasi. Keuntungan dari perusahaan apabila menerbitkan obligasi dibandingkan menerbitkan saham antara lain tidak adanya campur tangan pemilik dana terhadap perusahaan dan tidak ada controlling interest oleh pemilik obligasi terhadap perusahaan seperti halnya perusahaan yang menerbitkan saham (Suta, 2000). Menurut Keown (2005), obligasi merupakan sekuritas yang sangat disukai karena biaya untuk menerbitkannya cukup murah dibandingkan dengan mengeluarkan saham, selain itu obligasi juga mempunyai efek tax shield bagi perusahaan. Rahardjo (2004) menyatakan obligasi merupakan sumber pendanaan yang lebih disukai perusahaan dibanding peminjaman di lembaga perbankan karena adanya pengetatan prosedur pinjaman di lembaga perbankan sehingga pihak perusahaan yang sedang membutuhkan dana untuk ekspansi bisnis mulai melirik instrumen obligasi sebagai salah satu alternatif penggalangan dana. Selain itu, penerbitan obligasi saat ini menghasilkan cost of fund yang lebih rendah dibandingkan dengan peminjaman kredit dari perbankan yang bunga kreditnya mencapai 17-18%, sedangkan tingkat bunga obligasi yang harus dibayarkan hanya sekitar 13% dan emiten obligasi juga tidak diharuskan menyediakan jaminan kredit sebagaimana diisyaratkan jika perusahaan mengajukan pinjaman ke bank. Selain perusahaan penerbit (emiten), pasar obligasi
SEJATI, ANALISIS FAKTOR AKUNTANSI DAN NON AKUNTANSI
71
Tabel 1. Jumlah Emiten Obligasi dan Kapitalisasi Pasar Obligasi di Indonesia Kapitalisasi Obligasi (Rp Miliar) Jumlah Emiten Total Periode Obligasi Obligasi Obligasi Korporasi Kapitalisasi Korporasi Pemerintah 2000
259.621,00
19.891,41
31.634,88
311.147,29
2001
239.271,20
19.236,59
64.654,28
323.162,07
2002
268.776,60
20.205,28
397.967,17
686.949,05
2003
460.366,00
45.465,01
390.482,24
896.313,25
2004
679.949,10
61.300,20
399.304,20
1.140.553,50
2005
801.252,70
62.891,34
399.859,31
1.264.003,35
2006
1.249.074,50
67.805,54
418.751,20
1.735.631,24
2007
1.988.326,20
84.653,03
475.577,78
2.548.557,01
Sumber: www.bapepamlk.depkeu.go.id, 2007
juga mulai disukai oleh para investor. Haryanti (2003) berpendapat bahwa perkembangan obligasi yang pesat ini antara lain dikarenakan rendahnya tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan tingkat suku bunga deposito sehingga investor lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di obligasi. Faerber (2000) menyatakan bahwa investor lebih memilih berinvestasi pada obligasi dibanding saham karena dua alasan, yaitu (1) volatilitas saham lebih tinggi dibanding obligasi sehingga mengurangi daya tarik investasi pada saham dan (2) obligasi menawarkan tingkat pengembalian yang positif dengan pendapatan tetap (fixed income). Selain itu, menurut Darmadji dan Fakhruddin (2006), pemegang obligasi akan me-nerima pendapatan berupa bunga secara rutin selama berlakunya obligasi dan para investor juga dapat menghasilkan pendapatan atas kenaikan nilai nominal obligasi ke harga premium di pasar se-kunder. Setiap investor selalu mengharapkan suatu hasil atau keuntungan dari kegiatan investasi yang dilakukannya. Namun, dalam dunia investasi selalu terdapat kemungkinan dimana harapan investor tidak sesuai dengan kenyataan, atau selalu terdapat risiko. Investor yang menanamkan dana di pasar obligasi harus mewaspadai adanya risiko perusahaan penerbit obligasi tidak mampu memenuhi janji yang telah ditentukan, yaitu risiko perusahaan tidak mampu membayar kupon maupun mengembalikan pokok obligasi (risiko default atau risiko gagal bayar). Agar investor memiliki gambaran tingkat risiko ketidakmampuan perusahaan dalam membayar, maka di dalam dunia surat hutang atau obligasi dikenal suatu tingkat yang menggambarkan kemampuan bayar perusahaan penerbit obligasi. Tingkat kemampuan membayar kewajiban tersebut dikenal dengan istilah peringkat obligasi. Ketersediaan kredit atau pinjaman dikaitkan dengan kondisi ekonomi sehingga kontraksi pinjaman secara khusus menimbulkan resesi. Implikasinya perusahaan-perusahaan kecil menjadi sangat sensitif terhadap variasi kondisi pasar obligasi (Saragih,
2005). Peringkat obligasi mencerminkan kelayakan kredit perusahaan untuk bisa membayar kewajibannya terkait dengan suatu surat hutang tertentu, secara umum peringkat obligasi dibagi menjadi dua, yaitu investment grade (AAA, AA, A, dan BBB) dan non investment grade (BB, B, CCC, dan D). Investor dapat menggunakan jasa agen pemeringkat untuk mendapatkan informasi mengenai peringkat obligasi. Agen pemeringkat (rating agency) adalah lembaga independen yang menerbitkan peringkat dan memberikan informasi mengenai risiko kredit untuk berbagai surat hutang (bond rating atau peringkat obligasi) maupun peringkat untuk perusahaan itu sendiri (general bond rating) sebagai petunjuk tingkat keamanan suatu obligasi bagi investor. Terdapat beberapa lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia yang tercantum dalam Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/8/DPNP tanggal 31 Maret 2005, antara lain Standard and Poor’s Ratings, Moody’s Indonesia, Fitch Ratings, Kasnic Credit Rating Indonesia, dan Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) (Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/8/DPNP, 2005). PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) dipilih untuk digunakan sebagai agen pemeringkat utama dalam penelitian ini karena hingga saat ini Pefindo telah melakukan pemeringkatan terhadap lebih dari 400 perusahaan nasional dan multinasional dari berbagai sektor industri. Tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap peringkat yang dikeluarkan oleh Pefindo juga tercermin dari dominasi Pefindo yang mencapai hampir 95% dari total peringkat surat hutang korporasi yang tercatat di Indonesia. Selain itu, Pefindo merupakan satu-satunya lembaga pemeringkat di Indonesia yang memiliki default data dan default study, yang dipakai oleh berbagai lembaga dan institusi termasuk oleh Bank Indonesia. Para agen pemeringkat menggunakan berbagai faktor untuk menilai dan memberikan peringkat kepada obligasi perusahaan. Salah satu faktor yang digunakan oleh agen pemeringkat adalah informasi
72
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.70-78
akuntansi yang tersedia. Informasi ini diberikan dalam bentuk laporan keuangan perusahaan. Bagian dari laporan keuangan yang mendapatkan perhatian paling besar untuk digunakan dalam memprediksi peringkat obligasi adalah profitabilitas, likuiditas, size perusahaan, dan growth perusahaan (Altman, 1977) Rasio profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri. Menurut Kamstra dkk. (2001), rasio profitabilitas yang diukur dengan return on assets (ROA) mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan laba karena rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat aset tertentu. Ketika laba perusahaan tinggi maka akan memberikan peringkat obligasi yang tinggi pula. Likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban finansial jangka pendek tepat pada waktunya. Burton, dkk. (1998) menyatakan bahwa tingkat likuiditas yang tinggi akan menunjukkan kuatnya kondisi keuangan perusahaan sehingga secara finansial akan mempengaruhi prediksi peringkat obligasi. Di samping itu, menurut Elton and Gruber (1995), size (ukuran perusahaan) juga dapat mempengaruhi prediksi peringkat obligasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Horrigan (1966), size perusahaan diproyeksikan dengan total assets. Perusahaan-perusahaan besar kurang berisiko dibandingkan perusahaan-perusahaan kecil karena perusahaan kecil memiliki risiko yang lebih besar. Perusahaan-perusahaan yang mempunyai aset lebih besar cenderung memiliki kemampuan bersaing yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan- perusahaan yang memiliki aset kecil. Menurut Burton, dkk., (1998), growth (pertumbuhan perusahaan) merupakan faktor akuntansi yang mempengaruhi prediksi peringkat obligasi karena growth yang positif dalam annual surplus dapat mengindikasikan atas berbagai kondisi financial. Para peneliti tersebut memprediksi bahwa perusahaan penerbit obligasi yang memiliki growth tinggi dari tahun ke tahun pada bisnisnya, memiliki kemungkinan lebih besar untuk memperoleh peringkat obligasi yang tinggi daripada perusahaan penerbit obligasi yang memiliki pertumbuhan yang rendah. Hasil penelitian Kamstra dkk. (2001) menunjukkan bahwa faktor- faktor kuantitatif hanya dapat digunakan untuk memprediksi peringkat obligasi secara tepat sekitar 78%. Oleh karena itu, selain faktor-faktor akuntansi, terdapat faktor-faktor non akuntansi yang turut dipertimbangkan mengenai keterangan tentang obligasi yang terdapat dalam prospektus, seperti re-putasi auditor (auditor’s reputation) yang juga dapat digunakan untuk mempengaruhi prediksi peringkat obligasi. Argumentasi yang mendasari dimasukkannya reputasi auditor adalah semakin tinggi reputasi auditor maka akan memberikan hasil audit yang dapat dipercaya sehingga semakin kecil kemungkinan
perusahaan mengalami kegagalan. Pada tahun 1979, awalnya dikenal “Delapan Besar” atau big 8 perusahaan jasa profesional dan akuntansi internasional yang menangani mayoritas pekerjaan audit, kemudian berkurang menjadi “Lima Besar” melalui serangkaian merger. “Lima Besar” menjadi “Empat Besar” atau big 4 setelah keruntuhan kantor auditor Arthur Andersen pada tahun 2002 karena keterlibatan dalam Skandal Enron. Auditor big 4 tersebut adalah Pricewaterhouse Coopers, Deloitte Touche Tohmatsu, Ernst&Young, dan KPMG. Pengguna informasi keuangan merasa bahwa auditor big 8 menjamin kualitas laporan keuangan yang lebih baik untuk perusahaan dan pemerintah daerah (Allen, 1994). Sementara di Indonesia, emiten yang diaudit oleh the big 4 akan mempunyai obligasi yang termasuk dalam investment grade karena semakin baik reputasi auditor maka akan mempengaruhi peringkat obligasi. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai obligasi faktor-faktor apa saja (baik akuntansi dan non akuntansi) yang mempengaruhi dalam memprediksi peringkat obligasi di pasar obligasi Indonesia. Penelitian mengenai obligasi masih jarang dilakukan di Indonesia dan penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian di Indonesia lainnya karena penelitian ini berusaha melihat penggabungan antara faktor akuntansi dan faktor non akuntansi yang mempengaruhi prediksi peringkat obligasi perusahaan manufaktur di Indonesia. METODE PENELITIAN Analisis dilakukan untuk menentukan pengaruh variabel bebas (profitabilitas, likuiditas, growth, size, dan reputasi auditor) terhadap variabel terikat yaitu peringkat obligasi perusahaan manufaktur tahun 20032008. Pengujian menggunakan regresi logistik karena variabel terikatnya merupakan variabel dummy yaitu variabel yang memiliki dua alternatif. Modelnya sebagai berikut (Kamstra dkk., 2001). RATING = β0 + β1Auditor + β2CR + β3Growth + β4ROA + β5Size + eit............(1) Keterangan: RATING : peringkat obligasi Y=1, jika peringkat obligasi termasuk investment grade Y=0, jika peringkat obligasi termasuk non investment grade β0 : intercept Auditor : variabel kategorikal, 1 jika obligasi diaudit oleh big 4, 0 jika obligasi diaudit oleh selain big 4 CR : current ratio (ukuran dari likuiditas) Growth : diukur dengan book to market ratio
SEJATI, ANALISIS FAKTOR AKUNTANSI DAN NON AKUNTANSI
73
Tabel 3. Uji Wald Variable in the Equation B Step
Auditor
a 1
-23,707 ,116 -11,175 18,110 ,042 26,222
CR Growth ROA Size Constant
S.E.
Wald
9556,139 ,402 4,089 19,933 ,116 9556,140
,000 ,083 7,469 ,825 ,131 ,000
Df
Sig. 1 1 1 1 1 1
,998 ,774 ,006 ,364 ,717 ,998
Exp(B) ,000 1,123 ,000 7E+007 1,043 2E+011
a. Variable(s) entered on step 1: Auditor, CR, Growth, ROA, Size. Sumber: Pengolahan data penelitian dari Bursa Efek Indonesia, 2009 Tabel 2. Uji Keseluruhan Model Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square
Df
12,521
8
Sig. ,129
Sumber: Pengolahan Data Penelitian dari Bursa Efek Indonesia, 2009
ROA : return on assets (ukuran dari profitabilitas) Size : diproksikan dengan total assets eit : error term Hipotesis penelitian merupakan anggapan sementara yang masih harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis yang diterapkan dalam penelitian ini adalah: Ho1 = faktor akuntansi tidak mempengaruhi prediksi peringkat obligasi H11 = faktor akuntansi mempengaruhi prediksi peringkat obligasi Ho2 = faktor non akuntansi tidak mempengaruhi prediksi peringkat obligasi H12 = faktor non akuntansi mempengaruhi prediksi peringkat obligasi Ho3 = faktor akuntansi dan faktor non akuntansi secara bersamaan tidak mempengaruhi prediksi peringkat obligasi H13 = faktor akuntansi dan faktor non akuntansi secara bersamaan mempengaruhi prediksi peringkat obligasi Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif, Pickard (2007). Teknik existing statistics yang didapat dari laporan keuangan perusahaan, berupa publikasi baik berbentuk bahan tertulis maupun softcopy dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Populasi dalam penelitian ini adalah obligasi perusahaan dari manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2003-2008. Sedangkan teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Adapun kriteria dalam pengambilan sampel adalah sebagai berikut: (1) obligasi perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2003-2008; (2) perusahaan manufaktur tidak delisting dari BEI selama periode 2003-2008; (3) obligasi perusahaan manufaktur telah memperoleh
peringkat dari Pefindo; (4) perusahaan menerbitkan data-data keuangan yang lengkap selama tahun 20032008 dan dapat diandalkan. Berdasarkan kriteriakriteria tersebut, terpilihlah 10 sampel obligasi perusahaan manufaktur yang akan diteliti dan dilihat laporan keuangannya per kuartal. Terakhir, melakukan pengujian normalitas. Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas ini dapat dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolmogorov-Smirnov Test pada program SPSS dan melihat apakah nilai Asymp.Sig.(2-tailed) > 0,05 sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada proses analisis data untuk model logit, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menguji apakah model logit sesuai dengan data (fit). Untuk melakukan pengujian tersebut, dapat dilakukan deng-an menggunakan “Hosmer and Lemeshow Test“. Tabel 2 menunjukkan nilai signifikansi Hosmer and Lemeshow Test sebesar 0,129 sehingga model regresi ini layak digunakan. Jadi, dengan tingkat signifikansi diatas 0,05, dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan antara observed dan predicted value untuk variabel terikat, artinya model logit dapat digunakan untuk memprediksi. Setelah melakukan pengujian model secara keseluruhan, langkah berikutnya adalah melakukan pengujian terhadap masing-masing variabel bebas, yaitu variabel reputasi auditor, current ratio, growth, ROA, dan size. Hal ini perlu dilakukan karena mungkin saja ada variabel bebas yang tidak signifikan secara statistik atau tidak mempengaruhi variabel terikat. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan Uji Wald (tabel 3): Pada Uji Wald tabel 3, terlihat bahwa variabel reputasi auditor tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap prediksi peringkat obligasi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi dari variabel tersebut sebesar 0,998. Nilai tersebut lebih
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.70-78
74
Tabel 5. Classification Tablea
Tabel 4. Uji Kelayakan
Predicted
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 41,480a
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
,480
,649
a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found. Sumber: Pengolahan data penelitian dari Bursa Efek Indonesia, 2009
besar dari taraf signifikansi 5%. Variabel CR juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap prediksi peringkat obligasi karena nilai signifikansi dari variabel tersebut sebesar 0,774, lebih besar dari taraf signifikansi 5%. Variabel growth memberikan pengaruh yang signifikan terhadap prediksi peringkat obligasi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi dari variabel tersebut sebesar 0,006. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5%. Variabel ROA tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap prediksi peringkat obligasi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai signifikansi dari variabel tersebut sebesar 0,364. Nilai ini lebih besar dari taraf signifikansi 5%. Kemudian variabel size tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap prediksi peringkat obligasi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai signifikan dari variabel tersebut sebesar 0,717. Nilai ini lebih besar dari taraf signifikansi 5%. Selanjutnya dapat disimpulkan, berdasarkan output tabel 2 bahwa variabel bebas yang signifikan pada penelitian ini hanya variabel growth. Namun, meskipun hanya ada satu variabel independen yang signifikan tetap harus mengikutsertakan semua variabel independen dalam model logit berikut: RATING = 26,222 - 23,707Auditor + 0,116CR – 11,175Growth + 18,110ROA + 0,042Size Dengan demikian, dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa terdapat variabel bebas yang dominan dapat digunakan untuk memprediksi peringkat obligasi perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia adalah variabel growth yang diukur dengan book to market value of common equity dengan nilai signifikan sebesar 0,006 persen. Setelah taksiran model logit diperoleh, selanjutnya adalah menguji apakah model logit tersebut memang baik digunakan untuk menjelaskan data atau tidak. Untuk mengetahui bahwa model logit dapat menjelaskan data, dapat dilihat melalui nilai pseudo R-square. Output yang menampilkan nilai pseudo R-square model: Berdasarkan tabel 4 terlihat nilai Cox & Snell R Square sebesar 0,480 dan nilai Nagelkerke R Square
Rating 0
Observed Step 1
Rating Overall Percentage
0 1
19 2
Percentage Correct
1 5 34
79,2 94,4 88,3
a. The cut value is ,500 Sumber: Pengolahan data penelitian dari Bursa Efek Indonesia, 2009
sebesar 0,649, artinya 64,9% variabel bebas dapat menjelaskan variabel terikat sehingga prediksi peringkat obligasi yang dipengaruhi oleh faktor akuntansi dan non akuntansi, maupun tidak dipengaruhi oleh faktor akuntansi dan non akuntansi dapat diterangkan oleh variabel bebasnya dan sisanya sebesar 35,1% prediksi peringkat obligasi dipengaruhi oleh variabel lain. Hal ini menunjukkan bahwa model sudah cukup bagus. Selain melalui nilai pseudo R-square, pengujian lain untuk menilai apakah model logit yang diperoleh sudah bagus atau tidak dapat dilihat melalui tabel klasifikasi. Tabel klasifikasi menunjukkan seberapa besar atau seberapa kuatkah model logit dapat memprediksi peringkat obligasi perusahaan manufaktur berada pada tingkatan investment grade atau non investment grade. Berikut ini adalah output tabel klasifikasi. Berdasarkan hasil dalam tabel 5, menunjukkan bahwa 79,2% model logit dapat memprediksi dengan benar prediksi peringkat untuk obligasi perusahaan manufaktur yang non investment grade (nilai 0), sedangkan 94,4% model logit dapat memprediksi dengan benar prediksi peringkat untuk obligasi perusahaan manufaktur yang investment grade (nilai 1). Secara keseluruhan, model logit dapat memprediksi dengan benar sebesar 88,3%. Selain itu, kesalahan model logit dalam memprediksi cukup kecil. Pada obligasi-obligasi perusahaan manufaktur yang sebenarnya memiliki peringkat non investment grade namun diprediksi memiliki peringkat investment grade adalah sebesar (100 – 79,2)% = 20,8%. Lalu, kesalahan berikutnya yang merupakan kesalahan yang besar, yaitu obligasi-obligasi perusahaan manufaktur yang sebenarnya memiliki peringkat investment grade namun diprediksi memiliki peringkat non investment grade adalah sebesar (100 – 94,4)% = 5,6%. Dari tabel 5, karena persentase bahwa model logit dapat memprediksi dengan benar sudah besar dan persentase kesalahan dalam memprediksi yang cukup kecil, maka dapat dikatakan bahwa model logit yang didapatkan sudah cukup baik. Dari pembahasan sebelumnya, diketahui bahwa variabel independen yang signifikan dalam memprediksi peringkat obligasi perusahaan manufaktur adalah growth. Selanjutnya akan diuji, apakah variabel independen lain yang tidak signifikan (auditor, current
SEJATI, ANALISIS FAKTOR AKUNTANSI DAN NON AKUNTANSI
Tabel 6. Model Penuh
Tabel 8. Uji Normalitas One-Sample KolmogorovSmirnov Test
Model Summary Step -2 Log likelihood 1
41,480a
75
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
,480
,649
a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found. Sumber: Pengolahan data penelitian dari Bursa Efek Indonesia, 2009 Tabel 7. Model Reduksi
Model Summary Step
-2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1
64,981a
,231
,313
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001. Sumber: Pengolahan data penelitian dari Bursa Efek Indonesia, 2009
ratio, ROA, dan size) selain variabel growth tersebut dapat dikeluarkan dari model. Untuk mengujinya, yang perlu diperhatikan adalah nilai Log Likelihood model penuh (yang mengandung semua variabel terikatnya) dan Log Likelihood model reduksi (model yang variabel terikatnya hanya growth). Pada tabel 6 terlihat bahwa model penuh penelitian ini memiliki nilai untuk -2 Log likehood atau ln Lp = 41,480. Sedangkan nilai Cox & Snell R Square sebesar 0,480 dan nilai Nagelkerke R Square sebesar 0,649. Berdasarkan tabel 7, dapat dilihat bahwa nilai untuk -2 Log likelihood model residual atau ln LR = -64,981 dan nilai untuk -2 Log likelihood model penuh atau ln LP = -41,480 dan selanjutnya dilanjutkan dengan menghitung uji G: Karena nilai G = 23,501> 9,48773 = X2 0,05,4, maka H0 ditolak, artinya dari uji statistik G tersebut
dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat signifikansi 5%, model penuh lebih baik. Berdasarkan uji One Sample-Kolmogorov Smirnov Test, yaitu uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui apakah variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal, analisis uji normalitas nilai residual data disajikan pada tabel 8 berikut. Berdasarkan tabel 8 terlihat bahwa Asymp.Sig. (2-tailed) memiliki nilai 0,073 atau sign. p > 0,05 sehingga diputuskan bahwa data residual memiliki distribusi yang normal atau H0 diterima dan menolak Ha.
N Normal Parametersa,b Most Extreme Differences KolmogorovSmirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Difference between observed and predicted probabilities 60 ,0000000 Mean ,32824823 Std. Deviation Absolute ,166 ,100 Positive Negative -,166 1,286 ,073
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Sumber: Pengolahan data penelitian dari Bursa Efek Indonesia, 2009
Berdasarkan hasil pengolahan data dengan regresi logit, penelitian ini menyimpulkan bahwa reputasi auditor tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prediksi peringkat obligasi. Istilah pengorbanan emiten untuk memakai auditor yang berkualitas akan diinterpretasikan oleh investor bahwa emiten mempunyai informasi yang tidak menyesatkan mengenai prospeknya pada masa mendatang serta mengurangi ketidakpastian ternyata tidak sesuai dalam penelitian ini. Perusahaan yang diaudit oleh big 4 atau tidak diaudit oleh big 4 ternyata tidak mempunyai pengaruh terhadap prediksi peringkat obligasi, karena perusahaan penerbit yang diaudit oleh big 4 belum tentu obligasi yang diterbitkannya memperoleh peringkat investment grade dan perusahaan yang tidak diaudit oleh big 4 belum tentu obligasi yang diterbitkannya memperoleh peringkat non investment grade. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Allen (1994) yang mengindikasikan bahwa pengguna informasi keuangan merasa bahwa auditor big 8 menyediakan kualitas audit yang lebih baik untuk perusahaan dan pemerintah daerah. Hasil ini tidak sesuai dengan yang diharapkan, dimana auditor seharusnya mempunyai hubungan yang positif dengan tingkat peringkat obligasi sehingga berarti para investor di pasar sekunder tidak perlu mempertimbangkan informasi reputasi auditor yang digunakan perusahaan penerbit dalam mengambil keputusan membeli, menjual, atau menyimpan obligasi yang dimilikinya. Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan pendapat dari Holland and Horton (1993) yang menyatakan bahwa adviser yang profesional (auditor dan underwriter yang mempunyai reputasi tinggi) dapat digunakan sebagai tanda atau petunjuk terhadap kualitas perusahaan emiten. Oleh karena itu, hendaknya menjadikan perhatian, baik bagi auditor maupun lembaga yang terkait untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas pengauditan sehingga benar-benar bermanfaat terhadap investor dan calon emiten dalam mengambil keputusan berinvestasi dan bisnis. Temuan yang menyatakan bahwa CR tidak dapat menjadi prediktor dalam menentukan peringkat obligasi
76
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.70-78
sesuai dengan hipotesis yang disebutkan dalam penelitian Horrigan (1966). Pada penelitian tersebut, Horrigan menyatakan bahwa rasio likuiditas jangka pendek tidak berpengaruh signifikan terhadap peringkat obligasi. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Burton (1998) yang menunjukkan bahwa variabel likuiditas yang diukur dengan rasio lancar mempunyai pengaruh terhadap prediksi peringkat obligasi. Hasil ini tidak sesuai dengan yang diharapkan, CR itu seharusnya mempunyai hubungan yang positif dengan tingkat peringkat obligasi. Oleh karena itu, hendaknya pihak manajemen perusahaan penerbit obligasi untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas operasional perusahaan sehingga informasi CR yang ada pada laporan keuangan perusahaan penerbit obligasi benar-benar bermanfaat uuntuk investor dan agen pemeringkat dalam mengambil keputusan berinvestasi dan mem-berikan peringkat obligasi. Pada penelitian ini, growth perusahaan ternyata mempunyai pengaruh terhadap prediksi peringkat obligasi. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pottier dan Sommer (1999) mengenai industri asuransi di Amerika Serikat. Penelitian ini menemukan bukti bahwa growth bisnis yang kuat berhubungan positif dengan keputusan pemeringkatan dan grade yang diberikan oleh pemeringkat obligasi. Pada umumnya dengan growth perusahaan yang baik akan memberikan peringkat yang investment grade. Investor dalam memilih investasi pada obligasi sebaiknya melihat pengaruh growth perusahaan karena apabila growth perusahaan dinilai baik maka perusahaan penerbit obligasi akan memiliki peringkat obligasi investment grade. Profitabilitas yang diukur dengan ROA ternyata tidak berpengaruh dalam memprediksi peringkat obligasi, apakah obligasi tersebut mempunyai peringkat investment grade atau non investment grade. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kamstra (2001) dan Burton (1998) yang menunjukkan bahwa variabel profitabilitas yang diukur dengan ROA mempunyai pengaruh untuk prediksi peringkat obligasi. Hal ini dimungkinkan karena adanya perbedaan pengukuran dari ROA. Penelitian yang dilakukan oleh Kamstra (2001) dan Burton (1998) untuk mengukur ROA diperoleh dari perbandingan operating profit dengan total assets, sedangkan pada penelitian ROA diperoleh dari perbandingan net income dengan total assets. Oleh karena itu, investor tidak disarankan untuk memilih perusahaan penerbit obligasi yang mempunyai profitabilitas perusahaan yang baik. Hasil ini tidak sesuai dengan yang diharapkan, dimana ROA seharusnya mempunyai hubungan yang positif dengan tingkat peringkat obligasi karena profitabilitas merupakan informasi tingkat keuntungan yang dicapai perusahaan. Informasi ini akan memberikan informasi kepada pihak luar mengenai efektivitas operasional perusahaan. Hal ini hendaknya dijadikan
perhatian, baik bagi pihak manajemen perusahaan penerbit obligasi untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas operasional perusahaan sehingga informasi ROA yang ada pada laporan keuangan perusahaan penerbit obligasi benar-benar bermanfaat terhadap investor dan agen pemeringkat dalam mengambil keputusan berinvestasi dan memberikan peringkat obligasi. Terakhir, size perusahaan yang diproksikan dengan total assets tidak mempengaruhi prediksi peringkat obligasi. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Andry (2005), yang mengemukakan penolakan tentang hubungan size dengan prediksi peringkat obligasi. Al-asan yang dapat diberikan adalah karena pada umumnya untuk melihat peringkat obligasi, hal yang diperhatikan adalah segala sesuatu dari segi kewajiban atau utang perusahaan. Sehingga seberapapun besarnya jumlah harta perusahaan tersebut tidak akan mempengaruhi peringkat obligasi. Seharusnya size mempunyai hubungan yang positif dengan tingkat peringkat obligasi karena size perusahaan dinyatakan sebagai determinan dari kesuksesan perusahaan, dengan alasan pertama, ukuran perusahaan dapat menentukan tingkat kemudahan perusahaan memperoleh dana dari pasar modal. Perusahaan kecil umumnya kekurangan akses ke pasar modal yang terorganisir, baik untuk obligasi maupun saham. Kedua, ukuran perusahaan menentukan kekuatan tawar-menawar dalam kontrak keuangan. Perusahaan besar biasanya dapat memilih pendanaan dari berbagai bentuk hutang, termasuk penawaran spesial yang lebih menguntungkan dibandingkan yang ditawarkan perusahaan kecil. Ketiga, ada kemungkinan pengaruh skala dalam biaya dan return membuat perusahaan yang lebih besar dapat memperoleh lebih banyak laba. Namun, hal tersebut tidak dapat dibuktikan pada penelitian ini karena hasilnya menyatakan size perusahaan tidak signifikan untuk menentukan prediksi peringkat obligasi. Oleh karena itu, para investor di pasar sekunder tidak perlu mempertimbangkan informasi size perusahaan yang ada pada laporan keuangan perusahaan penerbit untuk digunakan dalam mengambil keputusan membeli, menjual, menyimpan obligasi yang dimilikinya, maupun untuk memprediksi peringkat obligasi. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis obligasi, selain kinerja keuangan yang tercermin dari rasio keuangan, karakteristik perusahaan sebagai faktor internal yang mempengaruhi obligasi, terdapat faktor eksternal yang ikut mempengaruhi penilaian obligasi. Faktor eksternal tersebut dapat berupa kondisi pasar, kebijakan pemerintah dan faktor lainnya. Menurut Susaptoyono (2007), kondisi pasar perusahaan manufaktur saat periode penelitian dapat dikatakan kurang baik. Selain karena tingginya harga minyak dunia yang mengakibatkan meningkatnya biaya operasional, industri manufaktur sendiri tengah mengalami penurunan kinerja ekspor. Kondisi
SEJATI, ANALISIS FAKTOR AKUNTANSI DAN NON AKUNTANSI
yang kurang baik ini secara tidak langsung ikut mempengaruhi penilaian obligasi perusahaan manufaktur yang mengikutsertakan kinerja industri dalam pertimbangan penilaiannya. Kondisi pasar juga menentukan prediksi peringkat obligasi perusahaan penerbit. Apabila barang-barang produksi perusahaan manufaktur sedang diminati oleh konsumen, maka pendapatan perusahaan meningkat dan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memberikan peringkat obligasi. Apabila barang-barang produksi perusahaan manufaktur sedang mengalami penurunan pembelian atau kurang diminati oleh konsumen, maka peringkat obligasi dapat mengalami penurunan. Kebijakan moneter secara tidak langsung ikut mempengaruhi penilaian obligasi. Di bidang keuangan, kebijakan moneter berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga, nilai tukar dan harga saham disamping volume dana masyarakat yang disimpan di bank, kredit yang disalurkan bank kepada dunia usaha, penanaman dana pada saham, dan obligasi. Sementara itu di sektor riil, kebijakan moneter selanjutnya mempengaruhi kegiatan konsumsi, investasi dan produksi, ekspor dan impor, serta harga-harga barang dan jasa pada umumnya (Pohan, 2008). Situasi politik juga berdampak terhadap perusahaan manufaktur, kondisi negara yang tidak kondusif seperti perang atau kerusuhan pasca pemilu membuat perusahaan dalam negeri tidak menarik perhatian investor asing untuk menanamkan modalnya pada perusahaanperusahaan manufaktur tersebut. Hal ter-sebut dapat membuat perusahaan manufaktur yang sedang membutuhkan tambahan dana dari penerbitan obligasi memperoleh peringkat yang rendah karena kurang banyaknya peminat obligasi perusahaan ter-sebut. Selain itu, dampak krisis keuangan global juga berpengaruh terhadap keadaan perusahaan manufaktur. Kebangkrutan serta likuidasi yang melanda negara Amerika Serikat memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kondisi perekonomian terutama sektor industri di Indonesia. Perusahaan-perusahaan manufaktur Indonesia yang mempunyai hubungan kerja sama menjadi terganggu, anak-anak cabang perusahaan luar negeri yang ada di Indonesia melakukan pengurangan pegawai, serta omset penjualan yang menurun. Hal tersebut diatas dapat dijadikan bahan pertimbangan di luar faktor akuntansi dan non akuntasi internal yang dapat juga mempengaruhi prediksi peringkat obligasi atau pertimbangan agen pemeringkat memberikan peringkat obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan penerbit. KESIMPULAN Penelitian prediksi peringkat obligasi dengan menggunakan model regresi logit pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan Pefindo ini merupakan salah satu penelitian yang menggabungkan faktor akuntansi dan faktor
77
non akuntansi dalam memprediksi peringkat obligasi. Pada pengujian tentang faktor akuntansi yang berpengaruh terhadap prediksi peringkat obligasi, hasil penelitian menyatakan bahwa faktor akuntasi dapat mempengaruhi prediksi peringkat obligasi, karena growth merupakan bagian dari faktor akuntansi tersebut. Sedangkan untuk pengujian tentang faktor non akuntansi yang berpengaruh terhadap prediksi peringkat obligasi, hasil penelitian menyatakan bahwa faktor non akuntansi, yaitu reputasi auditor tidak dapat mempengaruhi prediksi peringkat obligasi. Terakhir untuk pengujian tentang faktor non akuntansi dan faktor non akuntansi yang secara bersamaan berpengaruh terhadap prediksi peringkat obligasi, hasil penelitian menyatakan bahwa faktor akuntansi dan faktor non akuntansi tidak mempengaruhi prediksi peringkat obligasi secara bersamaan. Pengakuan Tulisan penelitian ini adalah semata-mata hasil penelitian pribadi dan tidak mewakili sikap atau pendapat organisasi atau institusi/perusahaan yang berkaitan dengan saya langsung/tidak langsung. DAFTAR PUSTAKA Allen, Arthur C. 1994. The Effect of Large Firm Audits on Municipal Bond Rating Decisions. A Jornal of Practice & Theory, Vol.13. Altman, Edward 1. 2000. Predicting Financial Distress of Companies & Revising The 2-score and zeta models. Andry, Wydia. 2005. “Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Prediksi Peringkat Obligasi.” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.8, No.2, September. Burton, B., Mike Adams, and Philip Hardwick. 1998. The Determinants of Credit Ratings in United Kingdom Insurance Industry. The Journal of Risk and Insurance. Darmadji, Tjiptono., dan Hendy M. Fakhruddin. 2006. Pasar Modal di Indonesia: Pendekatan Tanya Jawab. Jakarta: Salemba Empat. Elton, Edwin J., and Martin J Gruber. 1995. Modern Portfolio Theory and Investment Analysis. (5th ed.). New York: John Willey & Sons. Inc. Faerber, Esme. 2000. Fundamentals of The Bond Market. New York: McGraw- Hill. Gaol, Marusaha Lumban. 2005. Determinan Premi Risiko Obligasi Perusahaan (Studi Empiris di Bursa Efek Surabaya). Jurnal Ilmu Adminstrasi dan Organisasi, Bisnis&Birokrasi, Vol. 13, No.1. (Januari). Haryanti, Sri. 2003. “Euforia Itu Belum Berlalu.” Investor, edisi 85, 10-23 September. Holland, K., and Hoston, J. (1993). Initial Public Offering in The Inlisted securities Market; The Impact of Professional Advisers Accounting and Business Reserach. 24 (93). Horrigan, James O. 1966. The Determination of Long-Term Credit Standing With Financial Ratios. Journal of Accounting Research, Vol 4.
78
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm.70-78
Kamstra, Mark., Peter Kennedy, and Teck-Kin Suan. 2001. Combining Bond Rating Forecasts Using Logit. The Financial Review, May, pp.75-96. Keown, Arthur J., et al. 2005. Financial Management. (10th ed.). New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.7/8/DPNP tanggal 31 Maret 2005. Manurung, Jonni., Adler Haymans Manurung, Ferdinand D Saragih, dan Marusaha Lumban Gaol. 2003. Pasar Keuangan dan Lembaga Keuangan Bank dan Bukan Bank. Jakarta: PT. Adler Manurung Press. Pickard, Alison Jane. 2007. Research Methods in Information. London: Facet Publishing. Pohan, Aulia. 2008. Kerangka Kebijakan Moneter dan Implementasinya di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Pottier, Steven W., and David W Sommer. 1997. Agency Theory and Life Insurer Ownership Structure. The Journal of Risk ang
Insurance, Vol.64, No.3. _____. 1999. Capital Ratios and Property-Liability Insurer Insolvencies Working paper, University of Georgia. Rahardjo, Sapto. 2004. Panduan Investasi Obligasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Saragih, Ferdinand D. 2005. Menjelaskan Perilaku Imbal Hasil Saham dari Perspektif Model Asset Pricing: Suatu Studi Literatur Bagi Peneliti di Bidang Keuangan dan Inverstasi. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.13, No.3 (September). Susaptoyono, Yogyo. 2007. “Ekonomi Mikro (Sektor Riil dan Sektor Manufaktur) Belum Pulih.” Bisnis Indonesia, edisi 26, 6 Juli. Suta, I Putu Gede Ary. 2000. Menuju Pasar Modal Modern. Jakarta: Yayasan Sad Satria Bhakti. Jumlah Emiten Obligasi dan Kapitalisasi Pasar Obligasi di Indonesia. 2007. www.bapepamlk.depkeu.go.id
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Jan–Apr 2010, hlm. 79-89
ISSN 0854-3844
Volume 17, Nomor 1
Pengaruh Komunitas Merek terhadap Word of Mouth FAUZAN MUHAMMAD BASALAMAH1* PT Spire Indonesia
1
Abstract. This research examines the implications of brand community of Honda Vario Club toward the words of mouth of Honda Vario. This research aimed to study the effect of brand community on the words of mouth in Honda Vario Club, and the dimensions of brand community which significantly influence the words of mouth in Honda Vario Club. The data of this quantitative research were collected through questionnaires filled out by members of Honda Vario Club. The result shows that the brand community significantly influences the words of mouth in Honda Vario Club. In addition, the customer-company relationships and customer-brand relationships also significantly influence the words of mouth. Keywords: customer-company relationships, customer-brand relationships.
PENDAHULUAN Pemasaran sebagai suatu strategi untuk memenuhi kebutuhan individu memiliki tujuan akhir untuk memperoleh loyalitas konsumen (customer loyalty). Di era hypercompetition para pemasar sudah mampu memberikan pelayanan dan manfaat yang relatif sama atas merek yang dimilikinya sehingga hanya merek yang memberikan nilai lebih yang dapat memenangkan hati konsumen agar konsumen menjadi loyal (customer loyalty). Nilai lebih yang dimaksud tidak hanya keberhasilan untuk memenuhi kebutuhan dasar para konsumen, tetapi juga keberhasilan untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri konsumen dan sosialisasi seperti membuat komunitas untuk berinteraksi satu dengan yang lain. Sebuah merek dapat memiliki beberapa asosiasi, satu atau lebih diantaranya dapat mendominasi (Rosinta, 1996). Merek dapat menjadi sarana atau wahana untuk bertemu dengan orang lain, membangun relationships, dan menemukan orangorang yang memiliki satu minat di mana konsumen saling berinteraksi (Yuswohady, 2004). Wahana tersebut dikenal dengan komunitas. Komunitas merek adalah komunitas yang tidak terikat secara geografi dan mempunyai struktur sosial yang mengatur hubungan di antara pencinta merek (Muniz dan O’Guinn, 2001). Sementara menurut peneliti lain, komunitas merek merupakan customer centric, keberadaan dan arti dari komunitas tidak terpisahkan dari pengalaman konsumen daripada merek tersebut (McAlexander, Schouten, dan Koeing, 2002). Komunitas merek juga tidak terlepas dari interaksi antar anggotanya agar memperkuat soliditas komunitas merek. Hubungan yang kuat dalam komunitas merek dapat dilihat pada gambar 1. Hubungan dalam komunitas merek dapat dibagi menjadi empat macam hubungan, yaitu hubungan antara konsumen dengan produk (customer-product relationship), antara konsumen dengan merek (cus*Korespendensi: +6281310771003; [email protected]
tomer-brand relationship), antara konsumen dengan perusahaan (customer-company relationship), dan antara konsumen dengan konsumen (customer-customer relationship) (McAlexander, Schouten, dan Koeing, 2002). Kaitannya dengan komunitas, kita melihat mulai munculnya kesadaran perusahaan terhadap penting-nya komunitas. Hal ini ditunjukkan dengan adanya programprogram keanggotaan klub atau klub konsumen yang merupakan contoh komunitas yang dibentuk oleh produsen untuk meningkatkan hubungan mereka dengan konsumen (Kartajaya, 2003). Berbeda dengan klub konsumen, komunitas konsumen terbentuk karena adanya kebutuhan untuk bertukar pengetahuan dan berbagi pengalaman mengenai produk dan merek yang sama. Komunitas konsumen yang dimaksud adalah komunitas yang dapat memberikan kontribusi kepada produsen (Hasto Palupi, 2007). Komunitas konsumen sendiri pada awalnya dicetuskan oleh Boorstin (1973) dengan konsep yang disebutnya dengan consumption community. Boorstin mengatakan bahwa pada masa depan di era mobilitas tinggi, orang-orang tidak hanya melihat pemukiman sebagai basis sense of community tetapi juga melihat adanya perasaan komunal dari kebiasaan konsumsi. Adanya perasaan komunal ini ditegaskan kembali oleh Goodwin (1997) yang menjabarkannya sebagai rasa persahabatan dengan perbincangan santai, keterbukaan, dengan adanya kebiasaan menolong antar sesama. Schiffman dan Kanuk (2000) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menjadikan suatu kelompok atau komunitas memiliki kekuatan untuk mempengaruhi anggotanya, antara lain adalah karena faktor pengalaman dan informasi, kredibilitas, atraktifitas, dan jenis produk yang dikonsumsi komunitas itu sendiri. Terkait dengan strategi pemasaran yang dijalankan oleh suatu produsen, terdapat segmenting, targeting, dan positioning, dengan adanya komunitas konsumen maka segmenting telah berubah menjadi communitazition (Yuswohady, 2008). Communitization merupakan strategi pemasaran untuk membentuk komunitas
80
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 79-89
Marketer
Brand
Focal Customer Customer
Product
Gambar 1. Customer-Centric Model of Brand Community Sumber: McAlexander, Schouten, & Koeing (2002)
konsumen atau memanfaatkan komunitas konsumen yang sudah ada (Kartajaya, 2008). Perubahan tersebut dikarenakan komunitas konsumen merupakan saluran pemasaran yang terbaik karena anggota komunitas merupakan pengguna langsung yang bisa saling mempengaruhi dan merekomendasikan kepada orang lain (Joko, 2007). Komunitas konsumen dapat berupa komunitas yang terbentuk berdasarkan produk tertentu, seperti Bike to Work. Terdapat juga komunitas yang terbentuk dari merek yang disebut dengan komunitas merek, seperti Honda Vario Club. Komunitas merek terdiri dari konsumen yang sangat loyal pada merek tertentu. Merek tersebut hanya memfasilitasi terjadinya interaksi antarkonsumen (Yuswohady, 2008). Semakin intens interaksi antar anggota, semakin kuat basis konsumen dalam komunitas merek. Anggota komunitas ini dihubungkan dengan merek yang menghubungkannya dengan komunitas tersebut seperti Honda Vario Club dengan merek Honda Vario. Kuatnya hubungan yang kuat antaranggota dalam komunitas merek membuat anggota komunitas merek menjadi juru bicara kepada orang lain. Anggota komunitas merek memberikan rekomendasi kepada calon pelanggan lain (Yuswohady, 2008). Sehingga konsumen dalam komunitas dapat menjadi juru bicara atau “papan iklan berjalan” yang efektif bagi perusahaan, seperti yang dikemukakan oleh Yuswohady (2008) bahwa customer is the truly salesman. Konsumen yang puas akan merek yang digunakannya akan memberitahukan kelebihan-kelebihan merek tersebut kepada orang lain, dan selanjutnya konsumen akan merekomendasikannya kepada orang lain. Rekomendasi pelanggan merupakan alat promosi dan penjualan yang sangat efektif dalam mempengaruhi calon prospek (Silverman, 2001). Hal ini merupakan salah satu strategi komunikasi pemasaran yang mendasar yang disebut dengan Word of Mouth. Dunia pemasaran benar-benar berkisar pada word of mouth, bukan pada iklan. Banyak pemasar yang baru menyadari bahwa membuat pelanggan
menjual produk perusahaan merupakan cara terbaik untuk meningkatkan penjualan. Besarnya frekuensi orang membicarakan merek kepada orang yang tepat dengan cara yang benar merupakan hal yang paling penting yang dapat diupayakan oleh seorang pemasar. Hal ini merupakan esensi dari pemasaran word of mouth. Word of mouth merupakan pusat dari dunia pemasaran dan metode pilihan untuk menjual produk (Silverman, 2001). Word of Mouth (WOM) bermakna pendapat mengenai suatu produk tertentu yang diperjualbelikan di antara orang-orang pada suatu waktu tertentu (Rosen, 2004). Sedangkan The Word of Mouth Marketing Association (WOMMA) dalam buku “Beyond Buzz: the Next Generation of Word” mendefinisikan Word of Mouth adalah membuat orang untuk berbicara tentang produk dan jasa perusahaan, dan membuat pembicaraan tersebut berlangsung dengan mudah (Kelly, 2007). Word of Mouth adalah komunikasi mengenai produk dan jasa yang dibicarakan oleh orangorang (Silverman, 2001). Komunikasi ini dapat berupa pembicaraan atau testimonial. Sedangkan Wels dan Prensky (1996) menyatakan komunikasi Word of Mouth adalah komunikasi informal antara konsumen mengenai suatu produk. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan Word of Mouth (WOM) adalah komunikasi berupa pembicaraan maupun testimonial yang dilakukan orang yang membicarakan mengenai suatu produk atau jasa. Word of mouth sendiri telah menjadi suatu fenomena yang menarik di dalam dunia pemasaran dan komunikasi, dimana word of mouth menjadi salah satu kekuatan dalam pasar (Kotler, 2000). Saat ini kekuatan word of mouth mulai disadari dan dimanfaatkan oleh banyak perusahaan, mengingat iklan-iklan di media massa tidak lagi efektif sebagai alat promosi karena konsumen hanya bisa mengingat lima sampai tujuh iklan per hari (Schiffman dan Kanuk, 2000). Word of mouth lebih dipercaya dibandingkan oleh seorang sales person, dan dapat menjangkau konsumen lebih cepat daripada iklan maupun direct-mail, karena kekuatan
BASALAMAH, PENGARUH KOMUNITAS MEREK
81
Tabel 1. Posisi Faktor Manfaat Komunitas Konsumen Nama Komunitas
Speed to Buy
Advocat
Price Insensitivity
Ratarata
1
Liverpool Football Fans Club (BIGREDS)
3.917
4.315
3.423
3.885
2
Honda Vario Club (HVC)
3.994
4.310
2.778
3.694
3
Indonesian Progressive rock Society (IPS)
3.597
3.966
3.483
3.682
4
Toyota Kijang Club Indonesia (TKCI)
3.653
3.947
3.393
3.664
5
Indosat Community (IS)
3.380
4.250
2.660
3.430
No
Sumber: Majalah SWA, Data Diolah Peneliti
word of mouth terletak pada kemampuannya dalam memberikan rekomendasi (referral). Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Dye (2000) bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang senang sekali untuk membagi pengalamannya tentang sesuatu. Word of mouth lebih dipercaya dibandingkan oleh seorang sales person, dan dapat menjangkau konsumen lebih cepat daripada iklan maupun direct-mail, karena kekuatan word of mouth terletak pada kemampuannya dalam memberikan rekomendasi (referral). Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Dye (2000) bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang senang sekali untuk membagi pengalamannya tentang sesuatu. Misalnya, membicarakan restoran, produk yang dibeli atau film yang ditonton kemudian merekomendasikannya kepada orang lain. Bila pengalaman tersebut positif maka rekomendasi tersebut bisa menjadi alat promosi yang efektif sehingga menghasilkan sukses bagi produk tersebut, dan sebaliknya jika terjadi pengalaman negatif maka bisa menghasilkan kehancuran bagi produk tersebut. Termasuk pada komunitas pengguna Honda Vario. Honda Vario merupakan produk yang berbeda dengan Yamaha Mio (Manopol dan Dewanda, 2007). Oleh karena itu, strategi pemasaran Honda Vario adalah dengan iklan-iklan interaktif. Selain itu, Astra Honda Motor (AHM) selaku pemegang merek juga membina hubungan dengan konsumennya melalui komunitas Honda Vario Club (HVC) - untuk meningkatkan loyalitas pelanggan. AHM sangat mendukung kegiatan Honda Vario Club dalam hal sponsorships dana, dan seragam klub. Di acara yang diselenggarakan AHM, HVC juga dilibatkan seperti HVC dilibatkan dalam mengontrol kualitas pelayanan dan produk Honda Vario (Manopol dan Handayani, 2007). Hal ini menunjukkan manfaat komunitas merek kepada perusahaan. Kaitannya dengan ini, Majalah SWA telah melakukan riset mengenai komunitas merek pada perusahaan yang dilihat dari tiga faktor pada tahun 2007. Pertama, anggota komunitas akan membeli produk apa pun yang berkaitan dengan komunitas (speed to buy), kedua, anggota komunitas akan segera membeli produk dari produsen, walaupun terjadi kenaikan harga (price insensitivity), dan ketiga, anggota komunitas akan mempengaruhi orang agar ikut membeli produk yang mereka konsumsi. Tabel 1.
menunjukkan Honda Vario Club berada pada peringkat kedua, sedangkan pada peringkat pertama Liverpool Football Fans Club (BIGREDS). Honda Vario Club memiliki ikatan hubungan yang kuat antara merek dengan konsumen yang menyebabkan konsumen akan membeli atau mengkonsumsi produk AHM. Perusahaan yang pintar memanfaatkan komunitas akan membuahkan hasil yang baik, karena dalam komunitas terdapat anggota komunitas yang akan membicarakan merek dan kemudian merekomendasikan merek tersebut kepada orang lain baik keluarga maupun kerabat kantornya. Semakin banyaknya komunitas yang bermunculan, baik yang berdiri sendiri maupun yang didirikan oleh perusahaan. Perusahaan perlu melakukan strategi dalam memanfaatkan komunitas-komunitas. Astra Honda Motor sebagai salah satu produsen motor skutik Honda Vario menyadari manfaat keberadaan komunitas saat ini. Komunitas yang berhubungan dengan Honda Vario, yaitu Honda Vario Club. Honda Vario Club berdiri secara independensi tanpa intervensi dari perusahaan. Hubungan antara Astra Honda Motor dengan Honda Vario Club saling menguntungkan. Astra Honda Motor memberikan bantuan dana atau sponsorship bila Honda Vario Club melakukan kegiatan, begitu pula dengan Astra Honda Motor bila punya acara maka Honda Vario Club akan dilibatkan atau diberitahukan terlebih dahulu. Honda Vario Club juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan motor Honda seperti anggota Honda Vario Club menjadi mystery shopper yang menilai cara kerja dealer motor Honda (Manopol dan Handayani, 2007). Berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh Honda Vario Club seperti touring dan kumpul bareng bertujuan untuk mempererat hubungan antar anggota Honda Vario Club. Komunikasi yang terjadi antar anggota Honda Vario Club seperti memberikan informasi mengenai produk-produk yang mereka konsumsi dan rekomendasi orang lain untuk menggunakan produk Honda Vario. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah (1) melihat pengaruh komunitas merek terhadap word of mouth pada komunitas Honda Vario Club, dan (2) mengetahui dimensi-dimensi dalam komunitas merek yang paling
82
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 79-89
Komunitas Merek Customer-Company Relationships Customer-Product Relationships Customer-Brand Relationships
Word of Mouth
Customer-Customer Relationships Gambar 2. Model Struktural Regresi Dimensi dalam Konstruk Variabel Komunitas Merek dengan Variabel Word Of Mouth Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009
mempengaruhi word of mouth dalam komunitas Honda Vario Club. Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan ini adalah pendekatan kuantitatif yang lebih mementingkan metode pengukuran dan sampling karena menggunakan pendekatan deduktif yang menekankan prioritas yang mendetail pada koleksi data dan analisis (Hair dkk., 2006). Berdasarkan tujuan, penelitian ini merupakan penelitian eksplanasi sehingga penelitian ini bertujuan menjelaskan pengaruh komunitas merek terhadap word of mouth. Populasi dari penelitian ini adalah anggota komunitas Honda Vario Club Jakarta, Depok, dan Bekasi. Sampel penelitian adalah komunitas Honda Vario Club Jakarta, Depok, dan Bekasi sebanyak 100 orang. Unit analisis adalah anggota komunitas Honda Vario Club Jakarta, Depok, dan Bekasi. Sementara unit observasi adalah individu anggota komunitas Honda Vario Club Jakarta, Depok, dan Bekasi. Lokasi penelitian di tempat komunitas Honda Vario Club berkumpul atau kopi darat yaitu di Jl. Asia Afrika (Patung Panahan), Bekasi, dan Depok. Teknik penarikan sampel pada penelitian ini menggunakan nonprobability sampling dengan teknik purposive/judgemental. Teknik sampel yang digunakan purposive/judgemental, teknik penentuan sampel untuk tujuan tertentu saja dan dilakukan berdasarkan kriteria tertentu yang ada pada responden (Neuman, 2006). Pada pelaksanaan teknik ini peneliti menggunakan pertimbangan tertentu (Umar, 1999). Peneliti dengan penilaiannya memilih elemenelemen yang akan dimasukkan ke dalam sampel karena elemen tersebut dianggap mewakili atau memang sesuai dengan populasi yang sedang diteliti (Malhotra, 2004). Sehingga kriteria sampel responden sebagai berikut: (1) Konsumen Honda Vario yang menjadi anggota Honda Vario Club di Jakarta, Bekasi, dan Depok; (2) Anggota Honda Vario Club yang minimal
sudah menjadi anggota minimal 3 bulan. Hal ini karena anggota Honda Vario Club selama 3 bulan sudah mengikuti kegiatan-kegiatan Honda Vario Club sehingga value yang berada dalam Honda Vario Club sudah bisa didapatkan. Dalam penelitian ini digunakan multiple regression digunakan untuk mencari tahu hubungan antara dimensi-dimensi dalam variabel independen yaitu komunitas merek terhadap word of mouth sebagai variabel dependen dalam penelitian ini (Hair, Bush, dan Ortinau, 2003). data yang diperoleh tersebut dianalisis dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (Neuman, 2003). Sementara Dalam model analisis penelitian akan dijelaskan pengaruh komunitas merek terhadap word of mouth dalam komunitas Honda Vario Club. Dalam model penelitian ini akan dilihat hubungan-hubungan dalam komunitas merek Honda Vario Club. Setelah melihat hubungan dalam komunitas merek, kemudian akan tercipta word of mouth terhadap merek Honda Vario. Berdasarkan model analisis penelitian, maka hipotesis dalam penelitian ini terdiri dari hipotesis utama dan hipotesis turunan. Hipotesis utama dari penelitian ini adalah: Ho : Tidak ada pengaruh signifikan antara komunitas merek terhadap word of mouth Ha : Ada pengaruh signifikan antara komunitas merek terhadap word of mouth Dan hipotesis turunan dari penelitian ini adalah: Ho1 : Tidak ada pengaruh signifikan antara dimensi customer-company relationships terhadap word of mouth Ha1 : Ada pengaruh signifikan antara dimensi customer-company relationships terhadap word of mouth Ho2 : Tidak ada pengaruh signifikan antara dimensi customer-product relationships terhadap word of mouth Ha2 : Ada pengaruh signifikan antara dimensi customer-product relationships terhadap word of
BASALAMAH, PENGARUH KOMUNITAS MEREK
83
Tabel 2. Operasionalisasi Konsep Variabel Word of Mouth Konsep
Variabel
Dimensi
Sub-Dimensi
Indikator
Kategori
Skala
- Pelopor - Menarik perhatian - Aktif - Berorientasi pada tujuan
Dynamic
- Ramah Skala Likert - Disukai - Suka membantu 1 : Sangat Tidak - Harga diri Setuju - Bijak Komunitas - Teknologi Interval CustomerBusiness-wise 2 : Tidak Setuju Merek Komunitas - Pintar (Skala Company (McAlexander Merek - Terorganisir likert) Relationship et al, 2002) 3 : Ragu-ragu - Mempunyai reputasi Character - Terhormat 4: Setuju - Etika - Keuangan yang baik 5 : Sangat Setuju - Pelayanan Succesful - Pangsa pasar - Laporan keuangan - Menjauhkan diri Withdrawns - Suka berahasia - Berhati-hati Sumber: Pengolahan data penelitian dari Spector (1961), Schifferstein & Hekkert (2008), Fournier (1998), dan Muniz Co-operative
Tabel 3. Operasionalisasi Konsep Variabel Word of Mouth Konsep
Variabel
Dimensi
SubDimensi
Positive Experience Customer Satisfacition
Word of Mouth
Contagious Product
Kategori
Skala
- Kebutuhan emosional konsumen - Iklan menarik - Membantu orang lain - Mengurangi kecemasan
Negative Experience
Word of Mouth
Indikator - Puas terhadap produk
- Mencegah orang lain - Menentang produk
Skala Likert
- Informasi - Produk yang bangga
1 : Sangat Tidak Setuju
- Produk yang nyaman
2 : Tidak Setuju
- Produk yang puas
3 : Ragu-ragu
- Produk yang mengiklankan dirinya sendiri
4: Setuju
- Produk yang meninggalkan jejak
Interval (Skala likert)
5 : Sangat Setuju
- Produk yang menjadi lebih berguna ketika lebih banyak orang menggunakannya - Produk yang sesuai - Produk yang mudah digunakan Sumber: Pengolahan data penelitian dari Rosen (2004), Richins (1984), Schiffman dan Kanuk (2000)
mouth Ho3 : Tidak ada pengaruh signifikan antara antara dimensi customer-brand relationships terhadap
word of mouth Ha3 : Ada pengaruh signifikan antara dimensi customer-brand relationships terhadap word
84
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 79-89
Tabel 4. Model Penelitian Dimensi dalam Konstruk Variabel Komunitas Merek terhadap Word Of Mouth Model Penelitian Dimensi dalam Konstruk Variabel Komunitas Merek terhadap Variabel Word of Mouth
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
.754
.568
.549
.67380060
Sumber: Hasil pengolahan data dengan SPSS 15, 2010 Tabel 5. Uji ANOVA Model Penelitian Dimensi dalam Konstruk Variabel Komunitas Merek terhadap Word Of Mouth Model Penelitian Dimensi dalam Konstruk Variabel Komunitas Merek terhadap Variabel Word of Mouth
N
F
Sig
100
30.548
.000 (a)
Sumber: Hasil pengolahan data dengan SPSS 15, 2010 of mouth Ho4 : Tidak ada pengaruh signifikan antara dimensi customer-customer relationships terhadap word of mouth Ha4 : Ada pengaruh signifikan antara dimensi customer-customer relationships terhadap word of mouth Berdasarkan hipotesis tersebut, maka operasionalisasi konsepnya dapat dilihat pada tabel 2 dan 3. Hasil dan Pembahasan A. Analisis Regresi Dimensi dalam Konstruk Variabel Komunitas Merek terhadap Variabel Word of Mouth Pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk mencari tahu mengenai pengaruh dari dimensi-dimensi yang terdapat dalam konstruk variabel independen komunitas merek terhadap variabel dependen word of mouth. Dimensi-dimensi yang diukur dalam penelitian ini adalah dimensi customer-company relationships, customer-product relationships, customer-brand relationships, dan customer-customer relationships. Nilai word of mouth sebagai variabel dependen didapatkan dari faktor regresi (regression factor score) dari dua sub dimensi yaitu customer satisfacition dan contagious product. Nilai tersebut kemudian diregresikan dengan nilai faktor regresi (regression factor score) dari variabel independen, yaitu dimensi-dimensi komunitas merek (customercompany relationships, customer-product relationships, customer-brand relationships, dan customer-customer relationships). Pada tabel 4 terlihat bahwa nilai R yaitu sebesar .754, nilai koefisien korelasi ini menunjukkan bahwa hubungan antara keempat dimensi dalam variabel independen komunitas merek dan variabel dependen
word of mouth adalah sangat kuat. Kemudian pada nilai R square pada tabel model summary di atas menunjukkan bahwa variabilitas word of mouth 56.8% dapat dijelaskan oleh variabel komunitas merek yang terdiri dari customer-company relationships, customerproduct relationships, customer-brand relationships, dan customer-customer relationships. Sedangkan sisanya sebesar 43.2% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model regresi. Pada tabel 5 terlihat bahwa nilai signifikansi .000 lebih kecil dari α < 0.05. Hal tersebut menunjukkan bahwa keempat dimensi dari variabel independen komunitas merek (customer-company relationships, customer-product relationships, customer-brand relationships, dan customer-customer relationships) secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen word of mouth. Tabel 6 menggambarkan nilai koefisien regresi dari model penelitian dimensi dalam konstruk komunitas merek terhadap word of mouth. Nilai signifikansi masingmasing dimensi dalam variabel komunitas merek, maka dimensi customer-company relationships dan customerbrand relationships mem-iliki pengaruh terhadap variabel word of mouth karena nilai signifikansinya dibawah 0.05 sedangkan dimensi customer-product relationships dan customer-customer relationships memiliki nilai signifikan-si diatas 0.05, sehingga kedua dimensi tersebut tidak memiliki pengaruh terhadap variabel word of mouth. B. Analisis Hipotesis Penelitian Pada penelitian ini terdapat empat buah hipotesis yang diuji. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji statistik t yang membantu menentukan secara relatif mengenai pentingnya setiap variabel di dalam model penelitian, serta mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen seca-
BASALAMAH, PENGARUH KOMUNITAS MEREK
85
Tabel 6. Koefisien Regresi Model Penelitian Dimensi dalam Konstruk Variabel Komunitas Merek terhadap Word of Mouth Variabel Independen
Koefisien Regresi
Konstanta
Standard Error
Nilai t
Sig.
.068
.056
.956
Signifikansi Hubungan
customer-company relationships
.347
.089
3.885
.000
Signifikan
customer-product relationships
-.011
.090
-.122
.903
Tidak Signifikan
customer-brand relationships
.469
.115
4.081
.000
Signifikan
customer-customer relationships
.033
.096
.346
.730
Tidak Signifikan
Sumber: Hasil pengolahan data dengan SPSS 15, 2010 ra parsial (Rangkuti, 2005). Dasar tidak ditolaknya hipotesis adalah nilai t yang berada di atas 1.9842 atau di bawah -1.9842. Hal ini akan berhubungan dengan nilai signifikansi variabel, dimana nilai t yang berada diantara angka -1.9842 dan 1.9842 akan memiliki nilai signifikansi di atas 0.05 yang menyebabkan hipotesis ditolak. Pengaruh dimensi customer-company relationships terhadap word of mouth. Hipotesis pertama mengkaitkan dimensi pertama dari komunitas merek yaitu dimensi customer-company relationships terhadap word of mouth. Berdasarkan uji statistik t hipotesis ini dapat dibuktikan seperti pada tabel 7. Uji statistik pada tabel 7 menyatakan bahwa ada pengaruh antara dimensi customer-company relationships terhadap word of mouth, hal ini dapat dilihat dari nilai t hitung > t tabel, yaitu 3.885 > 1.9841 dan dengan signifikansi sebesar .000 < .005 sehingga hipotesis tidak ditolak. Artinya, dimensi customer-company relationships memiliki pengaruh terhadap word of mouth yang terjadi dalam Honda Vario Club. PT. Astra Honda Motor melalui Honda Vario memiliki citra perusahaan yang baik di mata anggota Honda Vario Club yang menyebabkan anggota komunitas membicarakan Honda Vario. Hal ini dikarenakan anggota Honda Vario Club memiliki kepribadian untuk memenuhi kebutuhan konsumen yaitu memproduksi motor yang irit bahan bakar (pada sub-dimensi dynamic dan co-operative). Selain itu, anggota Honda Vario Club mempersepsikan citra PT. Astra Honda Motor sebagai perusahaan yang sukses (successful) dalam bidang keuangan. Citra perusahaan yang bagus di mata konsumen akan menimbulkan word of mouth positif juga. Citra perusahaan tersebut dipersepsikan oleh anggota Honda Vario Club karena anggota Honda Vario Club pernah mengundang Honda Vario Club kunjungan ke pabrik PT. Astra Honda Motor, dan anggota Honda Vario Club memberikan
saran kepada perusahaan. Analisis Ha2: Pengaruh dimensi customer-product relationships terhadap word of mouth. Hipotesis kedua pada penelitian ini mengkaitkan dimensi kedua dari komunitas merek yaitu dimensi customer-product relationships terhadap word of mouth. Berdasarkan uji statistik t hipotesis ini dapat dibuktikan seperti pada tabel 8. Tabel 8 menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antara dimensi customer-product relationships terhadap word of mouth, hal ini dapat dilihat dari nilai t hitung < t tabel, yaitu -0.122>-1.9841 dan dengan signifikansi sebesar 0.903>0.005 sehingga hipotesis ditolak. Dapat disimpulkan bahwa dimensi customer-product relationships tidak memiliki pengaruh terhadap word of mouth yang terjadi dalam Honda Vario Club. Customer-product relationships dapat dianggap sebagai pengalaman konsumen mengkonsumsi produk atau disebut product experience. Product experience tidak mempengaruhi word of mouth Honda Vario, disebabkan karena sebagian anggota Honda Vario Club tidak terlalu menyukai warna Honda Vario. Sedangkan slogan Honda Vario yang dikemukakan oleh perusahaan yakni colour experience. Selain itu motor Honda Vario dalam Honda Vario Club banyak yang sudah dimodifikasi karena responden tidak terlalu suka warna dan bentuk. Hal ini mungkin dapat menyebabkan anggota Honda Vario Club tidak membicarakan word of mouth Honda Vario. Analisis Ha3: Pengaruh Dimensi Customer-Brand Relationships terhadap Word Of Mouth. Hipotesis ketiga mengkaitkan dimensi ketiga dari komunitas merek yaitu dimensi customer-brand relationships terhadap word of mouth, yakni untuk melihat apakah terdapat hubungan antara dimensi customer-brand relationships terhadap word of mouth. Berdasarkan uji statistik t hipotesis ini dapat dibuktikan seperti pada tabel 9.
86
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 79-89
Tabel 7. Hasil Uji Ha1
Hipotesis Ha1
Deskripsi
Koef. Regresi
Standard Error
Nilai t
Nilai Sig.
Ditolak/ Tidak Ditolak
.347
.089
3.885
.000
Tidak ditolak
Adanya pengaruh antara dimensi customercompany relationships dengan word of mouth
Sumber: Hasil pengolahan data dengan SPSS 15, 2010 Tabel 8. Hasil Uji Ha2
Hipotesis
Deskripsi
Koef. Regresi
Standard Error
Nilai t
Nilai Sig.
Ha2
Adanya pengaruh antara dimensi customer-product relationships dengan word of mouth
Ditolak/ Tidak Ditolak
-.011
.090
-.122
.903
Ditolak
Sumber: Hasil pengolahan data dengan SPSS 15, 2010
Uji statistik tabel 9 menunjukkan bahwa ada pengaruh antara dimensi customer-brand relationships terhadap word of mouth, hal ini dapat dilihat dari nilai t hitung > t tabel, yaitu 4.081 > 1.9841 dan dengan signifikansi sebesar 0.000 < 0.005 sehingga hipotesis tidak ditolak. Dapat disimpulkan bahwa dimensi customer-brand relationships memiliki pengaruh terhadap word of mouth yang terjadi dalam Honda Vario Club. Adanya pengaruh antara customer-brand relationships dengan word of mouth, disebabkan karena anggota Honda Vario Club menyukai dan loyal pada Honda Vario. Konsumen yang loyal akan merek tertentu akan membicarakan merek tersebut (Schiffman dan Kanuk, 2000). Anggota Honda Vario Club sangat merasakan keintiman dengan Honda Vario karena Honda Vario irit bahan bakar dan nyaman dalam berkendara. Hal-hal tersebut yang membuat responden sering membicarakan Honda Vario. Analisis Ha4: Pengaruh Dimensi CustomerCustomer Relationships terhadap Word Of Mouth. Hipotesis keempat mengkaitkan dimensi keempat dari komunitas merek yaitu dimensi customer-brand relationships terhadap word of mouth. Berdasarkan uji statistik t hipotesis ini dapat dibuktikan seperti pada tabel 10. Uji statistik pada tabel 10 menyatakan bahwa tidak ada pengaruh antara dimensi customercustomer relationships terhadap word of mouth, hal ini dapat dilihat dari nilai t hitung < t tabel, yaitu .346 < 1.9841 dan dengan signifikansi sebesar .730 > .005 sehingga hipotesis ditolak. Artinya, dimensi customer-customer relationships tidak memiliki pengaruh terhadap word of mouth yang terjadi dalam Honda Vario Club. Tidak ada pengaruhnya customer-customer relationships anggota Honda Vario Club terhadap
word of mouth disebabkan hubungan antar konsumen sudah terjalin dengan kuat sesuai dengan moto Honda Vario Club, yaitu ABSOLUTE BROTHERHOOD. Kuatnya hubungan antar konsumen Honda Vario dimana keberadaan merek Honda Vario tidak melekat dalam komunitas tersebut, menyebabkan tidak terjadinya word of mouth yang baik dalam komunitas Honda Vario Club. C. Implikasi Manajerial Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh komunitas merek (brand community) terhadap word of mouth dan variabelvariabel dalam komunitas merek yang mempengaruhi word of mouth. Komunitas merek yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah Honda Vario Club (HVC) di DKI Jakarta, Bekasi, dan Depok. Pada penelitian ini komunitas merek sebagai variabel independen dan word of mouth sebagai variabel dependen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunitas merek berpengaruh positif terhadap word of mouth di benak responden yang merupakan anggota komunitas Honda Vario Club dan hubungan antarvariabel sangat kuat. Hal ini berarti semakin tinggi penilaian responden terhadap komunitas Honda Vario Club maka semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap word of mouth. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Yuswohady (2008) mengenai hubungan antara komunitas merek dengan word of mouth. Anggota dalam komunitas merek merupakan konsumen yang menjadi juru bicara yang efektif. Dan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa customer-company relationships dan customerbrand relationships memiliki hasil yang signifikan terhadap word of mouth anggota Honda Vario Club. Sementara itu, dimensi customer-product relationships dan customer-customer relationships
BASALAMAH, PENGARUH KOMUNITAS MEREK
Tabel 9. Hasil Uji Ha3 Hipotesis
Deskripsi
Koef. Regresi
Standard Error
Nilai t
Nilai Sig.
Ha3
Adanya pengaruh antara dimensi customer-brand relationships dengan word of mouth
Ditolak/ Tidak Ditolak
.469
.115
4.081
.000
Tidak Ditolak
87
Sumber: Hasil pengolahan data dengan SPSS 15, 2010
Tabel 10. Hasil Uji Ha4 Hipotesis
Deskripsi
Koef. Regresi
Standard Error
Nilai t
Nilai Sig.
Ha4
Adanya pengaruh antara dimensi customer-customer relationships dengan word of mouth
Ditolak/ Tidak Ditolak
.033
.096
.346
.730
Ditolak
Sumber: Hasil pengolahan data dengan SPSS 15, 2010
menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap word of mouth anggota Honda Vario Club. Dimensi customer-company relationships memberikan pengaruh yang signifikan terhadap word of mouth. Dimensi customer-company relationships merupakan hubungan antara konsumen dengan perusahaan dimana konsumen mempersepsikan kepribadian perusahaan atau citra perusahaan yang disebut corporate image. Citra perusahaan yang dimiliki oleh PT. Astra Honda Motor selaku produsen Honda Vario yaitu produsen motor yang ekonomis, harga terjangkau, dan irit bahan bakar, hal ini sesuai dengan visi dan misi PT. Astra Honda Motor sendiri untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Citra perusahaan yang sudah baik oleh anggota Honda Vario Club membuat anggota Honda Vario Club membicarakan maupun merekomendasikan Honda Vario kepada orang lain. Hal ini dapat dilihat pada awal terbentuknya Honda Vario Club PT. Wahana sebagai dealer motor Honda membantu dan membina Honda Vario Club sampai sekarang ini. Bahkan saat peluncuran Honda Vario CBS terbaru di Jakarta Motor Show 2009, Honda Vario Club secara resmi diundang oleh PT. Astra Honda Motor untuk memeriahkan acara tersebut. Hubungan yang baik antara produsen dengan anggota Honda Vario seharusnya ditingkatkan lebih baik agar anggota Honda Vario Club juga memberikan saran atau kritikan terhadap motor Honda Vario yang terbaru. Sedangkan dimensi customer-product relationships tidak signifikan terhadap word of mouth dalam Honda Vario Club, menunjukkan bahwa anggota Honda Vario Club belum mencapai tahap kesenangan dalam mengkonsumsi Honda Vario. Hal ini bisa disebabkan karena pada munculnya Honda Vario masih terdapat kekurangan dalam produknya, tetapi hal ini sudah teratasi ketika Honda Vario Club
diundang untuk melihat pabrik pembuatan Honda. Para anggota Honda Vario Club memberikan saran mengenai Honda Vario, PT. Astra Honda Motor pun menerima saran anggota Honda Vario Club dengan terbuka, bahkan PT. Astra Honda Motor memperbaiki Honda Vario sesuai dengan saran. Dan hal lain yang menyebabkan dimensi customerproduct relationships tidak signifikan terhadap word of mouth yaitu Honda Vario Club belum pernah mengadakan kegiatan dimana menguji ketangguhan maupun keiritan motor Honda Vario. Dimensi customer-brand relationships memiliki hubungan yang signifikan terhadap word of mouth dalam Honda Vario Club. Hal ini dikarenakan asal mula dari Honda Vario Club yaitu konsumen-konsumen yang membicarakan merek Honda Vario dalam milis sehingga timbul Honda Vario Club. Hubungan yang kuat antara merek dengan konsumen memberikan dampak bahwa konsumen semakin loyal menggunakan merek tersebut seperti menggunakan Honda Vario dalam melakukan pekerjaan sehingga anggota Honda Vario Club juga membicarakan merek Honda Vario kepada orang lain. Pembicaraan mengenai Honda Vario terjadi bila salah satu anggota menanyakan masalah mengenai Honda Varionya yang menyebabkan para anggota lainnya membicarakan Honda Vario. Sementara itu unsur customer-customer relationships juga tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap word of mouth. Hal ini dapat dikarenakan oleh hubungan antar konsumen yang terjadi dalam Honda Vario Club sudah bagus, responden seringkali berinteraksi dengan anggota komunitas Honda Vario Club lainnya dengan mengikuti kopdar, bakti sosial, touring, dan vario gathering yang bertujuan untuk memperkuat keber-samaan antar anggota. Kopdar yang diadakan oleh Honda Vario Club Jakarta diadakan seminggu dua kali, sedangkan Honda
88
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 17, No. 1, Jan—Apr 2010, hlm. 79-89
Vario Club Depok dan Bekasi diadakan seminggu sekali. Tetapi hubungan yang kuat antar anggota tersebut tidak diperkuat dengan merek Honda Vario sehingga tidak menimbulkan pembicaraan mengenai Honda Vario, dan Honda Vario Club belum mencapai brand religion dimana konsumen sangat tergila-gila dengan Honda Vario. Peneliti melihat ada beberapa hal yang perlu dila-kukan oleh PT. Astra Honda Motor selaku produsen Honda Vario dan PT. Wahana selaku dealer motor Honda dan Pembina Honda Vario Club untuk membuat komunitas merek yang meningkatkan pembicaraan mengenai Honda Vario (word of mouth). Pertama PT. Astra Honda Motor harus lebih sering mengadakan kegiatan yang diperuntukkan oleh Honda Vario Club untuk meningkatkan corporate image atau citra perusahaan dalam Honda Vario Club dengan me-libatkan Honda Vario Club dalam diskusi mengenai Honda Vario. Kedua, pihak PT. Astra Honda Motor sesekali mengikuti kopi darat Honda Vario Club untuk menjaga hubungan dengan konsumen secara langsung. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota Honda Vario Club. Pengaruh positif antara variabel komunitas merek dengan variabel word of mouth diketahui sebesar 56.8%, berarti bahwa komunitas merek dapat mem-pengaruhi 56.8% terjadinya word of mouth. Dimensi komunitas merek yang memiliki signifikansi hubungan dalam mempengaruhi word of mouth dalam komunitas Honda Vario Club yaitu dimensi customer-company relationships dan customer-brand relationships. Kedua dimensi tersebut memberikan pengaruh terhadap word of mouth Honda Vario, hal ini disebabkan karena PT. Astra Honda Motor mempunyai citra yang baik dan sesuai dengan responden yaitu anggota Honda Vario Club dan konsumen merasakan hubungan yang kuat dengan merek seperti menggunakan Honda Vario kemanapun responden berpergian. Sedangkan dua dimensi lainnya yakni customerproduct relationships dan customer-customer relationships tidak memberikan signifikan terhadap word of mouth. DAFTAR PUSTAKA Boorstin, D.J. 1973. The American: The Democratic Experience. NY: Random House. Dye, Renee. 2000. “The Buzz on Buzz,” Harvard Business Review, 78 (6). Fournier, Susan. 1998. "Consumers and Their Brands: Developing Relationship Theory in Consumer Research," Journal of ConsumerResearch, 24 (March).
Goodwin, C. 1997. Communality as a Dimension of Service Relationships. Journal of Consumer Psychology, Vol.5. Hair, Joseph F., Bush, & Ortinau. 2006. Marketing Research: Within a Changing Information Environment. New York: McGraw-Hill. Hasto Palupi, Dyah. 2007. Survei Konsumunitas 2007: Potensi dan Ekspresi Komunitas Konsumen Indonesia. Majalah SWA 24/XXIII/8 – 21 November 2007. Joko, Sugiarsono. 2007. Seni Membidani dan Mengendarai Komunitas. November 8, 2007. http://www.swa.co.id. Kartajaya, Hermawan. 2008. Peran Komunitas Online. September 26, 2008. http://web.bisnis.com. ____. 2008, November 1. The 3CS to Win the Mind Share. Kompas Kelly, Lois. 2007. Beyond Buzz: the Next Generation of Word of Mouth Marketing. New York: AMACOM. Malhotra, Naresh K. 2005. Riset Pemasaran: Pendekatan Terapan. Jakarta: INDEKS. Manopol, Yuyun & Dewanda, Afiff M. 2007. Ramai-ramai Genjot Pasar Motor Skutik. November 8, 2007. http://www. swa.co.id. Manopol, Yuyun & Handayani, Tutut. 2007, November 21. Honda Vario Club: Ciptakan Brand Ambassador secara Alami. Majalah SWA 24/XXIII/8 – 21 November 2007 Marsha L. Richins 1984, "Word Of Mouth Communication As Negative Information", in Advances in Consumer Research Volume 11, eds. Thomas C. Kinnear, Provo, UT : Association for Consumer Research, Pages: 697-702. McAlexander, James H., Schouten, John W., & Koeing, Harold F. 2002. Building Brand Community. Journal of Marketing, Vol.66. Muniz, Albert M. & O’Guinn, Thomas C. 2001. Brand Community. Journal of Consumer Research, 27. Neuman, William Lawrence. 2003. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. New York: Pearson Education Inc. ____. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. 6th ed. Boston: Allyn and Bacon. Rosen, Emanuel. 2004. Kiat Pemasaran dari Mulut ke Mulut (Zoelkifli). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Schiffman, L.G., & Kanuk, L.L. (2000). Consumer Behavior. 7th edition. New Jersey: Prentice Hall International. Rosinta, Febrina. 1996. Pengaruh Citra Merek terhadap Loyalitas Pelanggan Museum Nasional. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis dan Birokrasi, vol. 15, No. 1 (Januari). Schifferstein, Hendrik N.J. & Hekkert, Paul. 2008. Product Experience. Elsevier Ltd: . Schiffman, L.G., & Kanuk, L.L. 2000. Consumer Behavior. 7th edition. New Jersey: Prentice Hall International. Silverman, George. 2001. The Secrets of Word-of-Mouth Marketing: How to Trigger Expontential Sales through Runaway Word-of-Mouth. US: AmaCom. Spector, Aaron J. 1961. Basic Dimensions of the Corporate Image. Journal of Marketing, 25. Umar, Husein. 1999. Metodologi Penelitian: Aplikasi dalam Pemasaran. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wels, William D. & Prensky, David. 1996. Consumer Behavior.
BASALAMAH, PENGARUH KOMUNITAS MEREK
New York: John Wiley & Sons. Yuswohady. 2004. Great Community Marketing. WARTA EKONOMI no.14/THN XVI/14 Juli 2004.
89
Yuswohady. 2008. CROWD: Marketing Becomes Horizontal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Jan–Apr 2010
Volume 17, Nomor 1
Index Penulis Volume 17, Nomor 1 Fitriati, Rachma, 79. Firmansyah, 1. Hamudy, Moh. Ilham A., 52. Sancoko, Bambang, 43. Sejati, Grace Putri, 70.
Sugiantoro, Billyawan, 61. Suseno, Agung, 15. Syahruddin, 31. Wardani, Sinta, 79.
Index Subyek Volume 17, Nomor 1 Analisis Jabatan, 61. Bank Mandiri, 61. BPKP, 15. Faktor Akuntansi, 70. Faktor Non-Akuntansi, 70. Implementasi Kebijakan, 31. Insentif Pajak, 1. Jembrana, Bali, 52. Karawang, Jawa Barat, 31. Kawasan Industri, 31. Karyawan, 61. Komunitas Merek, 79. KPPN, 43.
Kualitas Pelayanan, 43. Pelayanan Publik, 43. Pemerintahan Daerah, 52. Penelitian dan Pengembangan, 1. Pengawasan Kekayaan, 15. Pengawasan Pembangunan, 15. Peranan Publik, 44. Peringkat Obligasi, 70. Persepsi, 61. Perusahaan Manufaktur, 70. Reformasi, 52. Remunerasi, 43. Word of Mouth, 79.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Jan–Apr 2010
Volume 17, Nomor 1
PERSANTUNAN Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi mengucapkan terima kasih kepada Dewan Editor dan Mitra Bestari yang telah berpartisipasi pada Volume 17 Nomor 1, Januari-April 2010 Agus Maulana, Pakar Manajemen Stratejik, Magister Manajemen Institut Pertanian Bogor Amy S. Rahayu, Pakar Manajemen Pelayanan Publik, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Alois Agus Nugroho, Pakar Etika Bisnis, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta Bambang Supriyono, Pakar Pemerintahan Daerah, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Budi Frensidy, Pakar Investasi dan Pasar Modal, Konsultan Pasar Modal, Penulis Buku Matematika Keuangan, Kolumnis Tetap Harian Bisnis Indonesia dan Tabloid Kontan Chandra Wijaya, Pakar Manajemen Investasi, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Didik J. Rachbini, Pakar Ekonomi Politik, Universitas Mercu Buana dan Institut Pertanian Bogor Djaka Permana, Pakar Manajemen Sumber Daya Manusia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau Eddy Mangkuprawira, Pakar Perpajakan, Dosen Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Pajak Indonesia, dan Konsultan Pajak Effy Zalfiana Rusfian, Pakar Ilmu Komunikasi Pemasaran, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Eko Prasojo, Pakar Pemerintahan Daerah, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ferdinand Dehoutman Saragih, Pakar Keuangan Bisnis, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Gunadi, Pakar Perpajakan Internasional, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Harfiyah Widiawati, Konsultan Bahasa dan Editor Ahli, Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia Haula Rosdiana, Pakar Kebijakan Perpajakan, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Iman Santoso, Pakar Perpajakan, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan Partner Ernst & Young Tax Consultant Irfan Ridwan Maksum, Pakar Pemerintahan Daerah, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Liberty P Sihombing, Penulis Buku, Pakar Linguistik, dan Konsultan Bahasa dari Antar Bahasa Language Service Muhamad Hisyam. Pakar Kemasyarakatan, Peneliti Utama Pusal Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Rachman Untung Budiman, Pakar Manajeman Investasi, PT Panin Life Roy V. Salomo, Pakar Pemerintahan Daerah, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Rozan Anwar, Pakar Manajemen Sumber Daya Manusia, Master Trainer, Konsultan Manajemen Strategik dan SDM, Pendiri PT Daya Dimensi Indonesia Sudarsono Hardjosukarto, Pakar System Thinking dan Organisasi Pembelajar, Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Jan–Apr 2010
Volume 17, Nomor 1
ISSN 0854-3844
PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI, BISNIS & BIROKRASI Penulis diharapkan berpedoman kepada ketentuan yang dibuat ketika menyiapkan naskahnya. Semua naskah yang dikirim akan ditelaah oleh satu editor dan paling sedikit dua reviewer. Penulis bisa mengajukan nama-nama calon reviewer. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Bisnis & Birokrasi memegang prinsip anonymous (tanpa nama) ketika dilakukan review terhadap naskah dimana identitas baik penulis maupun reviewer akan dijaga kerahasiaannya. I. BENTUK NASKAH Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Bisnis & Birokrasi menerima naskah dalam bentuk hasil penelitian (research article), ulasan (review), baik dalam Bahasa Indonesia maupun dalam Bahasa Inggris. 1. Hasil Penelitian (Research Article), ide penting dan asli (original) dalam ilmu administrasi yang memiliki ruang lingkup penelitian yang luas, serta pembahasan temuan yang mendalam, baik dalam bentuk field research maupun desk research. 2. Ulasan (Review) dapat berupa perkembangan keilmuan terkini, ringkasan hasil beberapa penelitian dengan penekanan pada ide penelitian selanjutnya (what next research idea), perkembangan kebijakan di tingkat nasional dan internasional, pemikiran mendalam peneliti, perkembangan telaah buku-buku yang menjadi pokok ilmu. Catatan: Kepioniran isi tulisan ditentukan oleh kemutakhiran state-of the art ilmu dan teknologi yang dikandung, kecanggihan sudut pandang dan pendekatan, kebaruan temuan bagi ilmu (novelties, new to science) yang disajikan, ketuntasan penggarapan (tidak hanya mengulang penelitian sejenis sebelumnya, tidak memermutasikan metodologi dan objek, tidak memecah satu persoalan penelitian dalam serangkaian tulisan), dan kehebatan teori serta keluasan perampatan setiap artikel yang dimuatnya. (Sumber: Keputusan Dirjen DIKTI No. 11/DIKTI/Kep./2006 tentang Paduan Akreditasi Berkala Ilmiah, Dirjen DIKTI, Depdiknas, 2006, hal. 9) II. PENGIRIMAN NASKAH Naskah dikirim ke Ruang Redaksi Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Gedung B Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi Lantai 2 Kampus FISIP Universitas Indonesia, Depok 16424 Atau kirim email ke: [email protected], bisnis.birokrasi_ [email protected], atau telp/faks +6221 78849145 Penulis diharap menyebutkan bentuk naskah yang dikirim: Hasil Penelitian (Research Article), atau Ulasan (Review) di POJOK KANAN ATAS HALAMAN JUDUL ARTIKEL.
Naskah dikirim dalam tiga hard copy, satu soft copy dalam bentuk CD atau melalui email [email protected] dan bisnis. [email protected]. III. FORMAT NASKAH 1. Naskah dapat berupa hasil pemikiran maupun hasil penelitian. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan gaya naratif. Pembabakan dibuat sederhana sedapat mungkin menghindari pembabakan bertingkat. Tabel dan gambar harus mencantumkan sumber. Tabel dan gambar diberi nomor secara berurut sesuai dengan kemunculannya. Semua kutipan dan referensi dalam naskah harus tercantum dalam daftar pustaka dan sebaliknya, sumber bacaan yang tercantum dalam daftar pustaka harus ada dalm naskah. 2. Nomor halaman diletakkan di ujung kanan atas. Bagian pertama tulisan tidak perlu diberi halaman. 3. Nomor baris diletakkan di sebelah kiri tiap kalimat 4. Halaman cover harus menunjukkan judul tulisan, nama penulis, institusinya, dan korespondensi berupa nomor telepon dan e-mail (diharapkan e-mail institusi). 5. Angka dilafalkan dari satu sampai sepuluh, kecuali jika digunakan dalam tabel atau daftar dan ketika digunakan dalam unit atau kuantitas matematika, statistik, atau teknis, misalnya empat hari, 5 kilometer, 25 tahun. Semua angka lainnya disajikan secara numerik. 6. Persentase dan desimal untuk penggunaan teknis dapat menggunakan simbol (%) dan (,). 7. Tabel dan gambar diletakkan pada halaman yang terpisah dan diletakkan pada akhir teks. Masing-masing tabel atau gambar diberi nomor dan judul lengkap yang menunjukkan isi tabel atau gambar. 8. Acuan ke masing-masing tabel atau gambar harus ada dalam teks. IV. URUTAN NASKAH Naskah disusun dengan urutan sebagai berikut : 1. Judul dalam Bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah Bahasa Indonesia, Judul dalam Bahasa Inggris untuk naskah bahasa Inggris (judul maksimum 14 kata) 2. Nama lengkap penulis tanpa gelar 3. Nama, telepon, dan email penulis untuk korespondensi 4. Abstrak dalam bahasa Inggris (diutamakan di bawah 200 kata). Abstrak diharapkan mencakup latar belakang masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan kontribusi penelitian 5. Kata kunci (keywords) dalam Bahasa Inggris paling banyak 3-5 kata kunci yang akan memudahkan pemberian indeks. Kata pertama menjadi kata yang paling penting, dan diurut seterusnya 6. Korespondensi penulis pada catatan kaki halaman pertama 7. Bentuk naskah terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu (1) Hasil Penelitian (Research Article). Naskah dibuat menggunakan Microsoft Office Word. Seluruh bagian dalam naskah diketik dengan huruf times new roman. Ukuran 12 pt, spasi 1, ukuran kertas A4, dan margin
PEDOMAN PENULISAN
2 cm untuk semua sisi serta jumlah halaman tidak melebihi 25 halaman termasuk daftar pustaka. Untuk kepentingan penyuntingan naskah seluruh bagian naskah (termasuk tabel, gambar, dan persamaan matematika) dibuat dalam format yang dapat disunting oleh editor. Editor dapat meminta data yang digunakan dalam gambar untuk kepentingan penyuntingan. Struktur artikel ini meliputi 1. Judul 2. Nama penulis 3. Jabatan institusi 4. Abstrak dan Keywords 5. Pendahuluan (termasuk kerangka teori dan tujuan penelitian) 6. Metode Penelitian 7. Hasil dan Pembahasan 8. Kesimpulan 9. Daftar Pustaka, dengan mempertimbangkan a. derajat kemutakhiran bahan yang diacu dengan melihat proporsi, diharapkan mencakup minimal 60% terbitan sepuluh tahun terakhir, b. semakin tinggi pustaka primer yang diacu, semakin tulisan bermutu, c. keseringan pengarang mengacu pada diri sendiri (self citation) dapat mengurangi nilai jurnal. 7. Ucapan terima kasih jika ada. (2) Ulasan (Review). Naskah dibuat menggunakan Microsoft Office Word. Seluruh bagian dalam naskah diketik dengan huruf times new roman. Ukuran 12 pt, spasi 1, ukuran kertas A4, dan margin 2 cm untuk semua sisi serta jumlah halam tidak melebihi 20 halaman termasuk daftar pustaka. Struktur artikel ini meliputi 1. Abstrak dan Keywords 2. Pendahuluan (termasuk kerangka teori) 3. Pembahasan 4. Kesimpulan 5. Daftar Pustaka, dengan mempertimbangkan a. derajat kemutakhiran bahan yang diacu dengan melihat proporsi, diharapkan mencakup minimal 60% terbitan sepuluh tahun terakhir, b. keseringan pengarang mengacu pada diri sendiri (self citation) dapat mengurangi nilai jurnal. 6. Ucapan terima kasih jika ada. V. DOKUMENTASI Acuan Karya yang diacu harus menggunakan format penulis-tahun. yang mengacu pada karya pada daftar acuan. Dalam teks, karya diacu dengan cara berikut : nama akhir/ keluarga penulis dan tahun dalam tanda kurung. Contoh (Andi, 1984), dua penulis (Andi dan Clark, 1984), lebih dari dua penulis (Andi dkk., 1984), lebih dari dua sumber diacu bersamaan (Andi, 1984; Cipta, 1990), dua tulisan atau lebih oleh satu penulis (Andi, 1984; 1990). Acuan penulisan yang merupakan karya institusional sedapat mungkin harus menggunakan akronim atau singkatan sependek mungkin. Contoh: (Komite SAK-IAI, PSAK28, 1984)
Catatan Kaki Catatan kaki tidak digunakan untuk acuan. Catatan kaki digunakan hanya untuk perluasan informasi yang jika dimasukkan ke dalam teks bisa mengganggu kontinuitas bacaan. Catatan kaki diketik dalam spasi 1 dan ditempatkan pada akhir teks. Daftar Acuan (Daftar Pustaka) Setiap naskah harus mencantumkan daftar Acuan (Daftar Pustaka) yang isinya hanya karya yang diacu. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penulisan daftar pustaka adalah 1. nama penulis didahului dengan penulisan nama belakang atau nama keluarga, 2. disusun secara urut berdasarkan abjad, 3. tidak menyebutkan nomor halaman, 4. penulisan dilakukan dengan sistem paragraf menggantung. Contoh : Buku: Bromley, Daniel W. 1989. Economic Interests and Institutions, the Conceptual Foundations of Public Policy. New York: Basil Blackwell. Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline Fieldbook: the Art and Practice of the Learning Organization. New York: Currency-Doubleday. ____. 1994. The Fifth Discipline Fieldbook: Strategies and Tools for Building a Learning Organization. New York: Currency-Doubleday. Keterangan: jika ada lebih dari satu buku yang dikarang oleh seorang penulis, tidak perlu menulis nama lagi, hanya membuat garis sepanjang empat ketukan. Peraturan Perundang-Undangan: Republik Indonesia. Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. ____. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32. Jurnal : Chotim, Erna E dan Yulia I. Sari. 1999. Krisis: Peluang bagi Usaha Kecil?. Jurnal Analisis Sosial. Vol. 4 No. 1 (Januari). Hardjosoekarto, Sudarsono. 1993. Perubahan Kelembagaan: Teori, Implikasi, dan Kebijakan Publik. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Volume 1, Nomor 1 (Januari). Internet : Depdiknas Libatkan Elemen Masyarakat Dalam Berantas Buta Huruf. 2005. www.kompas.com. 27 Januari. Kramadibrata, Ade Moetangad. 2004. Pengelolaan Sampah Terpadu. www.detik.com. 13 Mei. SUMBER : Keputusan Dirjen DIKTI No. 11/DIKTI/Kep./2006 tentang Paduan Akreditasi Berkala Ilmiah, Dirjen DIKTI, Depdiknas, 2006. HAYATI Journal of Biosciences, Penerbit: Perhimpunan Biologi Indonesia dan Departemen Biologi FMIPA IPB, ISSN 0854-8587
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi BISNIS & BIROKRASI Naskah yag diserahkan penulis haruslah sebuah karya yang tidak melanggar hak cipta (copyright) yang ada. NAskah yang dimasukkan harus yang belum pernah diterbitkan dan tidak dikirimkan pada waktu yang bersamaan kepada penerbit lain. Hak cipta atas semua material termasuk yang berbentuk cetak, elektronik dan bentuk lainnya dipegang oleh Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi BISNIS dan BIROKRASI. Untuk itu penulis perlu menyetujui pengalihan hak cipta dengan mengisi dan menandatangani Pernyataan Pengalihan Hak Cipta dibawah ini untuk diserahkan bersamaan dengan penyerahan naskah. Pernyataan Pengalihan Hak Cipta dalam bentuk softcopy (hasil pemindaian/scan). Setelah naskah telah melewati proses penyuntingan substansi dan positif diterima, penulis mengirimkan berkas Pernyataan Hak Cipta dalam bentuk hardcopy asli ke alamat redaksi Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi BISNIS & BIROKRASI.
Pernyataan Pengalihan Hak Cipta Tulisan Hak Cipta dari tulisan yang tertera dibawah ini dialihkan kepada Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi BISNIS & BIROKRASI dan berlaku efektif sejak tulisan diterima dan dipublikasikan. Pengalihan Hak Cipta mencakup hak ekslusif untuk mencetak kembali dan mendistribusikan tulisan, termasuk menerjemahkan, reproduksi fotografi, microform, bntuk elektronik atau bentuk reproduksi lainnya. Penulis menjamin tulisan ini adalah hasil karya asli dan penulis mempunyai wewenang penuh untuk mengalihkan hak cipta. Penulis menandatangani dan menerima tanggung jawab untuk memberikan Tulisan ini atas nama penulis yang lain.
Judul Tulisan : ……………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………… Penulis (sebutkan semua) : ……………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………
……………………………………… Tanda Tangan Penulis (atas nama)
………………. Tanggal
Untuk diisi oleh Ketua Dewan Editor: Diterbitkan pada Volume…………….., Nomor …………………, Tahun ………………….. FORMULIR INI DAPAT DIFOTOKOPI
Kepada yth :
Redaksi Jurnal Bisnis dan Birokrasi Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI Kampus Baru FISIP UI Gedung B Lt.2 Ruang Jurnal Bisnis % Birokrasi Telp/fax : (021)78849145 E-mail : [email protected], [email protected]
FORMULIR BERLANGGANAN JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI BISNIS & BIROKRASI Mohon dicatat sebagai pelanggan Jurnal Bisnis & Birokrasi Nama Lengkap
:
Pekerjaan
:
Alamat Rumah
:
Telepon/Hp
:
Nama Institusi
:
Alamat
:
Telepon
:
Bersama ini kami mohon dikirimkan Jurnal Bisnis & Birokrasi untuk : 1 kali 6 bulan sebanyak……………..expl. @ Rp.30.000,- = Rp. …………………………………. 1 tahun sebanyak……………………expl. @ Rp.30.000,- = Rp. ………………………………….. Pembayaran di muka melalui : Tunai Rp. ………………………………………… Terbilang : Transfer ke : BNI Cab UI Depok a/n : FISIP UI Non BP No. Rek . 127 3000 295
Hormat kami,
(
Nama Pelanggan
, 20.....
)