Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum yang berupa hasil penelitian; kajian teori; studi kepustakaan; dan analisa / tinjauan putusan pengadilan. Jurnal RechtsVinding terbit secara berkala tiga nomor dalam setahun pada bulan April, Agustus dan Desember. Pembina Adviser
: Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI
Pemimpin Umum Chief Executive Officer
: Noor M. Aziz, S.H., M.H., M.M. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN
Wakil Pemimpin Umum Vice Chief Executive Officer
: Purwanto, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi Editor in Chief
: Arfan Faiz Muhlizi, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara)
Anggota Dewan Redaksi Editorial Board
: Suherman Toha, S.H., M.H., APU. (Hukum Tata Negara) Ahyar Ari Gayo, S.H., M.H. (Hukum Islam dan Adat) Suharyo, S.H., M.H. (Hukum Pidana)
Redaktur Pelaksana Managing Editor
: Teguh Imansyah, S.IP., M.Si.
Sekretaris Secretaries
: Apri Listiyanto, S.H. Ade Irawan Taufik, S.H. Ema Elviyani Br. Sembiring, S.H.
Tata Usaha Administration
: Nunuk Febriananingsih, S.H., M.H. Endang Wahyuni Setyawati, S.E. Eko Noer Kristiyanto, S.H. Nevey Varida Ariani, S.H., M.H.
Desain Layout Layout and cover
: Tyas Dian Anggraeni, S.H., M.H.
Mitra Bestari Peer Reviewer
: Prof. Dr. IBR Supancana, S.H., LL.M. (Hukum Bisnis) Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M. (Hukum Perdata) Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D. (Hukum Pidana) Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. (Hukum Pidana) Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N. (Hukum Perdata)
Alamat: Redaksi Jurnal RechtsVinding Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. Mayjen Sutoyo Cililitan Jakarta, Telp.: 021-8091908 ext.105, Fax.: 021-8002265 e-mail:
[email protected];
[email protected];
[email protected]
Isi Jurnal RechtsVinding dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
Vo lu me 1 Nomo r 1, A p ril 2 0 1 2
PENGANTAR REDAKSI
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
Puji syukur kehadirat Allah, SWT, yang atas perkenan-Nya Jurnal RechtsVinding (JRV) ini dapat diterbitkan. Terbitnya JRV merupakan hasil kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas segenap warga Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional (Puslitbangsiskumnas) dengan restu dan arahan dari Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). JRV digagas untuk pertama kali pada 2 Januari 2012 dengan maksud untuk meningkatkan manfaat hasil penelitian hukum sehingga berdampak pada perbaikan dan kemaslahatan kehidupan masyarakat. JRV juga diharapkan mampu menjadi referensi terkini dari kemajuan ilmu hukum. Nama “Rechtsvinding” diambil dari salah satu aliran hukum yang memandang bahwa hukum bukan semata-mata peraturan perundang-undangan, tetapi bukan pula semata-mata rasa keadilan yang tumbuh di dalam masyarakat, melainkan dialektika dari keduanya. Istilah “Rechtsvinding” juga sering sekali digunakan dalam sistem peradilan dengan padanan “penemuan hukum oleh Hakim”. Untuk konsepsi terakhir, Hakim diposisikan bukan sekedar sebagai corong undang-undang, tetapi sebagai penyelaras antara peraturan perundang-undangan dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, gagasan-gagasan ilmiah yang dimuat dalam JRV pun diharapkan mampu menggambarkan proses dialektis antara peraturan perundang-undangan dengan rasa keadilan masyarakat. Untuk Volume 1 Nomor 1 ini, JRV memuat artikel yang merefleksikan gambaran dialektis antara peraturan perundang-undangan dan rasa keadilan masyarakat untuk tiga pokok bahasan utama: proses legislasi, kebijakan hukum pertanahan, dan proses pengelolaan administrasi pemerintahan. JRV diawali dengan tulisan Wicipto Setiadi yang menyoroti masalah pembangunan hukum di Indonesia. Tulisan tersebut mempertegas kembali bahwa dalam melaksanakan pembangunan hukum, satu hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang di dalamnya terdapat elemen kelembagaan, materi hukum, dan budaya hukum. Selanjutnya, Noor Muhammad Aziz menggambarkan lebih jauh bahwa dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan bagian yang menjadi sangat penting dan tidak boleh terabaikan adalah pengkajian, penelitian dan naskah akademik. Kedua tulisan ini pada dasarnya merupakan pemikiran tentang bagaimana pembentukan hukum nasional dapat lebih responsif menggali rasa keadilan masyarakat, serta tetap berpegang pada asas-asas hukum dan Konstitusi sebagai lambang kesepakatan nasional. Dalam pembangunan hukum bidang pertanahan Nurhasan Ismail menggambarkan bahwa politik hukum pertanahan perlu dikembalikan untuk menjamin terwujudnya kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu langkah yang ditawarkan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah perlunya menerapkan politik hukum pertanahan prismatik sebagai refleksi atas rasa keadilan masyarakat. Tulisan ini bergayung sambut dengan tulisan Tyas Dian Anggraeni yang menyoroti masalah pertanahan juga memaparkan proses dialektis hukum pertanahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal mempunyai sistem pengelolaan tanah yang khusus.
i
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Dalam hal pengelolaan negara, dialektika hukum dan masyarakat juga tergambar dari tulisan Tirta N. Mursitama yang memandang bahwa dalam membangun pelayanan publik yang transparan perlu kerjasama masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah yang dimotori oleh birokrasi. Tulisan ini kemudian disambut oleh Arfan Faiz Muhlizi yang melihat bahwa birokrasi sebagai motor pengelolaan pemerintahan perlu mendapatkan penyegaran dengan mereformulasi salah satu kewenangan yang dimiliki oleh birokrasi. Kewenangan ini adalah diskresi. Reformulasi diskresi juga sangat diperlukan dalam rangka penataan hukum administrasi. Masih dalam lingkup penataan hukum administrasi, Apri Listiyanto melihat bahwa pengelolaan pemerintahan yang baik juga perlu memperhatikan pembaharuan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Upaya mewujudkan Good Governance juga dibahas oleh Nunuk Febriananingsih yang memaparkan bahwa kebebasan informasi adalah hak asasi yang fundamental sekaligus prasyarat utama menuju pengelolaan Negara yang lebih baik. Kondisi administrasi pemerintahan juga dibahas oleh Adharinalti yang menyoroti masalah ketenagakerjaan tidak berdokumen. Semoga gagasan-gagasan yang dibangun dan dipaparkan berbagai artikel di nomor perdana ini dapat menyemarakan khasanah pemikiran hukum dan berkontribusi bagi pembangunan hukum yang berkeadilan.
ii
Redaksi
DAFTAR ISI
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Pengantar Redaksi …………………………………………………………………………………………………….... Daftar Abstrak
ing
Pembangunan Hukum Dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum Wicipto Setiadi …………………….......................…………………………………………………………….....
i-ii
1-15
17-31
Arah Politik Hukum Pertanahan Dan Perlindungan Kepemilikan Tanah Masyarakat Nurhasan Ismail ……………………………………………………………………………….....................……..
33-51
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional Dalam Urusan Pertanahan Di Daerah Istimewa Yogyakarta Tyas Dian Anggraeni …………………………………………………………………………………....................
53-73
Peran Serta Masyarakat Dan Dunia Usaha Dalam Mewujudkan Sistem Transparansi Nasional Pelayanan Publik Tirta N. Mursitama ……………………………………………………………………………………………...........
75-91
Reformulasi Diskresi Dalam Penataan Hukum Administrasi Arfan Faiz Muhlizi ………………………………………………………………………..................……………...
93-111
Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Apri Listiyanto …………………………………………………………………………………………........……………
113-133
Keterbukaan Informasi Publik Dalam Pemerintahan Terbuka Menuju Tata Pemerintahan Yang Baik Nunuk Febriananingsih ……………………………………………………………………..................…….…..
135-156
Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Irregular Di Luar Negeri Adharinalti ………………………..................…………………………………………………………………………
157-173
lR ec hts V
ind
Urgensi Penelitian Dan Pengkajian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Noor Muhammad Aziz .........…………………………………………………...................…………………...
Jur
na
Biodata Penulis Indeks Pedoman Penulisan Jurnal RechtsVinding
iii
Volume 1 Nomor 1, April 2012
UDC: 34.04 Wicipto Setiadi Pembangunan Hukum Dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 1-15
BP HN
Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
lR ec hts V
ind
ing
Konstitusi menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa hukum merupakan sesuatu yang supreme. Dengan supremasi hukum diharapkan lahir ketertiban (order) atau tata kehidupan masyarakat yang harmonis dan berkeadilan sehingga hukum dapat berperan dalam menjaga stabilitas negara. Dari empat belas tahun pasca reformasi Indonesia, pembangunan hukum menjadi salah satu agenda utama, namun Indonesia belum mampu keluar dari berbagai persoalan hukum, dan bahkan terjebak ke dalam ironi sebagai salah satu negara paling korup. Penelitian yang mengangkat permasalahan tentang kondisi penegakan hukum saat ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kepustakaan. Dari hasil penelitian terlihat bahwa prestasi penegakan hukum mulai terlihat dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih juga terlihat beberapa masalah di berbagai sisi. Satu satu hal penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanakan pembangunan hukum, yaitu hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang di dalamnya terdapat elemen kelembagaan, elemen materi hukum, dan elemen budaya hukum. Kata kunci: supremasi hukum, pembangunan hukum, stabilitas nasional, penegakan hukum
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge UDC: 34.04
Wicipto Setiadi
Development of Law in Order to Enhancement Supremacy of Law RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 1, April 2012, page 1-15
Jur
na
The Constitution declare that Indonesia is a state of law. Provision implies that the law is something that is supreme. With the rule of law is expected to appear order or a harmonious society and justice so that law can play a role in maintaining the stability of the country. Of the fourteen years of post-reform Indonesia, development of the law became one of the main agenda, but Indonesia has not been able to get out of a variety of legal issues, and even stuck to the irony as one of the most corrupt countries. The research raised issues about the current state of law enforcement is being carried out by using literature methods. From the research shows that achievement of law enforcement began to appear in recent years, although it is also seen some problems on the various sides. One of the important things that must be considered in implementing the construction of the law, the law must be understood and developed as an integrated system in which there is institutional elements, elements of legal substance, and legal culture elements. Keywords: supremacy of law, development of law, national stability, law enforcement
Volume 1 Nomor 1, April 2012
UDC: 340.134 Noor Muhammad Aziz
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
Urgensi Penelitian dan Pengkajian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 17-31
lR ec hts V
ind
ing
Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, penelitian merupakan aspek penting dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, disamping aspek drafting. Karena bukan sesuatu yang mustahil apabila suatu undang-undang dibentuk tanpa didasari suatu riset yang komprehensif dan mendalam hasilnya akan menuai permasalahan baru.Tulisan ini akan mengangkat permasalahan mengenai bagaimana manfaat penelitian hukum dalam kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris ditemukan bahwa penelitian hukum sangat bermanfaat untuk mendukung Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tertentu, khususnya dalam menuangkan aspek-aspek berkaitan dengan masalah yuridis, sosiologis dan filosofis. Disamping itu Penelitian Hukum juga bermanfaat untuk menyusun rencanarencana pembangunan hukum yang lebih responsif tanpa keluar dari asas-asas pembentukan hukum. Oleh karena itu optimalisasi hasil penelitian untuk pembentukan peraturan perundang-undangan memerlukan langkah-langkah yuridis dimana penelitian perlu dimasukkan dalam satu alur proses legislasi. Kata kunci: legislasi, naskah akademik, pengkajian, penelitian
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge UDC: 340.134
Noor Muhammad Aziz
Urgency of Legal Research and Analysis of The Establishment of Legislation RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 1, April 2012, page 17-31
Jur
na
In Law No. 12 Year 2011 on the Establishment Regulation of legislation, research is an important aspect in the preparation of legislation, as well as aspects of drafting. For it is not impossible if a law is based on established without a comprehensive and in-depth research results will reap new problems. His paper will raise issues about how the benefits of legal research in the activities of the establishment of laws and regulations. By using a juridical approach to empirical research found that the law is very useful to support the Academic Manuscript particular bill, especially in the pouring aspects related to legal issues, sociological and philosophical. Besides, Legal Research is also useful to draw up development plans are more responsive law without departing from the principles of the legal establishment. Therefore, the optimization results for the formation of legislation requiring judicial measures which research needs to be included in the legislative process flow. Keywords: legislation, academic draft, analysis, research
Volume 1 Nomor 1, April 2012
UDC: 349.43 Nurhasan Ismail
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
Arah Politik Hukum Pertanahan Dan Perlindungan Kepemilikan Tanah Masyarakat Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 33-51
lR ec hts V
ind
ing
Penguasaan dan pemanfaatan tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan arah dari politik hukum pertanahan Indonesia yang bertujuan untuk menjamin terwujudnya kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Wujud dari hal tersebut terlihat dari adanya perhatian khusus kepada kelompok masyarakat lemah melalui kebijakan pertanahan. Belakangan, terjadi pergeseran politik pertanahan, dimana penguasaan dan pemanfaatan tanah hanya didapat oleh sekelompok kecil masyarakat, yaitu perusahaan besar. Tulisan yang membahas tentang politik hukum pertanahan nasional saat ini dan bentuk perlindungan hak kepemilikan tanah masyarakat dilakukan dengan metode penelitian sosio-yuridis. Dari hasil penelitian terlihat bahwa pada saat ini terdapat upaya untuk menghidupkan kebijakan pertanahan yang mengembalikan keseimbangan seperti yang diinginkan UUPA. Langkah yang ditawarkan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menerapkan politik hukum pertanahan prismatik yang mendasarkan pada beberapa prinsip seperti prinsip keberagaman hukum dalam kesatuan, prinsip persamaan atas dasar ketidaksamaan, prinsip mengutamakan keadilan dan kemanfaatan di atas kepastian hukum, dan prinsip diferensiasi fungsi dalam keterpaduan. Kata Kunci: politik hukum, agraria, hukum prismatik, land reform
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge UDC: 349.43
Nurhasan Ismail
Political Direction of Land Law and Protection Of People’s Land Ownership RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 1, April 2012, page 33-51
Jur
na
Land use and tenure are stipulated in the Basic Agrarian Law (UUPA) is the political direction of the Indonesian land law aimed at ensuring the realization of prosperity for all Indonesian people. Manifestations of this evident from the presence of particular concern to the community weaker over land policy. Indonesia. Later, the political shift of land, land use and tenure which obtained only by a small group of people, the big companies. Studies that discuss the political current national land law and forms of protection of land rights community do with socio-legal research methods. From the research shows that there are now efforts to turn the land policy that restores the balance as desired UUPA. Measures offered to make this happen is to apply the law of the land prismatic politics based on several principles like the principle of legal diversity in unity, the principle of equality on the basis of inequality, the principle that the justice and expediency over the rule of law, and the principle of differentiation in functionality integration. Keywords: politic of law, agrarian, prismatic law, land reform
Volume 1 Nomor 1, April 2012
UDC: 349.43 Tyas Dian Anggraeni
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional Dalam Urusan Pertanahan Di Daerah Istimewa Yogyakarta Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 53-73
lR ec hts V
ind
ing
Tanah dalam konsep budaya Jawa menjadi hal yang amat sakral dan penting. Bagi masyarakat Jawa, tanah memiliki nilai yang setara dengan harga diri manusia. Seperti halnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tanah memiliki nilai tersendiri, termasuk juga sistem pengelolaannya. Bahkan Undang-undang Nasional tidak mampu menembus sistem pengelolaan tanah di DIY. Tulisan ini akan mengkaji lebih jauh tentang sejarah keistimewaan urusan pertanahan di Kasultanan dan Paku Alaman Yogyakarta dan realitasnya dalam menyikapi Rancangan Undang-Undang keistimewaan Yogyakarta. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, sejarah penguasaan dan pemilikan tanah oleh raja atau Sultan Yogyakarta dan Paku Alam merupakan pelaksanaan kesepakatan dari perjanjian Giyanti yang dikukuhkan kembali dalam amanat penggabungan diri Sultan dan Paku Alam ke dalam Pemerintahan Republik Indonesia. Dengan demikian Yogyakarta mempunyai sistem pengelolaan tanah yang khusus, ada yang mengikuti hukum pertanahan nasional, dan ada pula yang masih diatur oleh Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman. Agar tidak menimbulkan masalah atau polemik baru dalam dinamika politik dan sejalan dengan sistem hukum nasional, masalah pertanahan di DIY perlu mendapat perhatian khusus. Kata kunci: agraria, kesultanan Yogyakarta, keistimewaan daerah, politik
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge UDC: 349.43
Tyas Dian Anggraeni
Interaction of Local Law and National Law in Matter of Land in Yogyakarta RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 1, April 2012, page 53-73
Jur
na
Land in the concept of Javanese culture into something that is sacred and important. For the Javanese, the land has a value equivalent to human dignity. As in the Special Region of Yogyakarta (DIY), the land has value, including its management system. Even the National Law can not penetrate the soil management systems in the province. This paper will examine further features of the history of land affairs in the Sultanate of Yogyakarta and Paku Alaman and reality in the bill addressing the privilege of Yogyakarta. By using a normative juridical methods, the history of the control and ownership of land by the king or the Sultan of Yogyakarta and Paku Alam is an implementation of the agreement Giyanti agreement which reaffirmed the mandate of merging himself Sultan and Paku Alam to the Government of the Republic of Indonesia. Thus Yogyakarta has a special system of land management, there are following the national land laws, and some are still governed by the Sultanate and Rijksblad Rijksblad Paku Alaman. In order not to cause any problems or new polemical and political dynamics in line with the national legal system, problems of land in the province needs special attention. Keywords: agrarian, land, the sultanate of Yogyakarta, the privilege, politics
Volume 1 Nomor 1, April 2012
UDC: 343.123.5 Tirta N. Mursitama
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
Peran Serta Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Mewujudkan Sistem Transparansi Nasional Pelayanan Publik
ing
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 75-91
lR ec hts V
ind
Pelayanan publik merupakan pilar penting reformasi birokrasi yang menjadi tolok ukur kinerja pemerintah. Namun, lebih dari sepuluh tahun reformasi bergulir dan implementasi otonomi daerah, fakta memperlihatkan masih minimnya perubahan substansial dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana keterkaitan organisasi masyarakat, dunia usaha dan layanan publik; serta bagaimana peran organisasi masyarakat dan dunia usaha dalam mendorong terwujudnya transparansi pelayanan publik. Dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris, tulisan ini menyimpulkan bahwa dalam pelayanan publik, terdapat 3 (tiga) aktor yang terlibat, yaitu: masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah yang dimotori oleh birokrasi. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri melainkan saling berkaitan dan mendukung perwujudan sistem transparansi nasional. Untuk itu perlu dibangun strategi kerjasama segitiga antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam rangka mewujudkan birokrasi yang professional, efisien, cepat, dan bekerja berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Kata Kunci: transparansi, pelayanan publik, birokrasi, korupsi
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge UDC: 343.123.5
Tirta N. Mursitama
Public and Business Participation in Building National Public Service Transparency System RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 1, April 2012, page 75-91
Jur
na
Public service is one of the important pillars of bureaucracy reform which serves as a benchmark of government performance. However, after more than a decade of reform and the implementation of local autonomy, it shows a limited progress of public service in Indonesia. This article attempts to address two questions: 1) How are the interlinkages between civil society and business in public service? 2) What is the role of civil society and business in promoting public service transparency? By utilizing empirical approach, this article concludes that there are three key actors involved in public services namely society, business, and government which are heavily interrelated and supportive in promoting national public service transparency system. Hence, we need to develop a strategy of triangular cooperation among government, community and business in order to create a professional and efficient bureaucracy on the basis of good governance principles. Keywords: transparency, public service, bureaucracy, corruption
Volume 1 Nomor 1, April 2012
UDC: 342.922 Arfan Faiz Muhlizi Reformulasi Diskresi Dalam Penataan Hukum Administrasi Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 93-111
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
lR ec hts V
ind
ing
Instrumen hukum paling klasik untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur adalah Hukum Administrasi Negara (HAN). Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan tersebut, birokrasi menjadi alat yang efektif didalam menjalankan pengelolaan negara. Persoalan hukum dari birokrasi yang menjadi permasalahan saat ini adalah persinggungan asas legalitas (wetmatigheid) dan diskresi (pouvoir discretionnaire) pejabat negara (eksekutif). Tulisan ini berusaha menjawab permasalahan di atas dengan lebih menitikberatkan bahasan mengenai “diskresi” dalam hukum administrasi. Dengan metode yuridis normative, penelitian ini menyimpulkan bahwa diskresi memang diperlukan dalam hukum administrasi, khususnya di dalam menyelesaikan persoalan dimana peraturan perundang-undangan belum mengaturnya atau hanya mengatur secara umum. Disamping itu diskresi juga diperlukan dalam hal terdapat prosedur yang tidak dapat diselesaikan menurut administrasi yang normal. Dengan demikian penataan Hukum Administrasi menjadi sangat penting dan tentunya bukan sekedar melihat dari sisi pembentukan atau penataan peraturan perundang-undangan terkait administrasi negara, tetapi lebih jauh dari itu adalah penataan tatanan hukum yang terdiri dari struktur, substansi, dan kultur masyarakat, birokrasi, dan penegak hukum. Kata kunci: administrasi, legisme, rechtsvinding, kewenangan, diskresi
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge UDC: 342.922
Arfan Faiz Muhlizi
Reformulation of Discretion in the Arrangement Administrative Law RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 1, April 2012, page 93-111
Jur
na
The most classical legal instruments to carry out government administration in order to realize a just and prosperous society is the Law of State Administration (HAN). To achieve the objectives of the government, the bureaucracy into an effective tool in the management of state run. Legal issues of bureaucracy which is the case today is the intersection of the principle of legality (wetmatigheid) and discretionary (pouvoir discretionnaire) state officials (executive). This article tries to answer the above problems with a more focused discussion on the “discretion” in administrative law. With normative juridical methods, the study concluded that discretion was necessary in administrative law, especially in solving problems in which the legislation has not been set or simply set in general. Besides, discretion is also required in case there are procedures that cannot be resolved according to the normal administration. Thus the arrangement of Administrative Law to be very important and certainly not just a look from the side of the formation or arrangement of the legislation related to state administration, but further than that is the arrangement of the legal order which consists of the structure, substance, and the culture of the society, bureaucracy, and enforcement the law. Keywords: administration, legisme, rechtsvinding, authority, discretion
Volume 1 Nomor 1, April 2012
UDC: 341.04 Apri Listiyanto Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 113-133
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
lR ec hts V
ind
ing
Pengadaan barang dan jasa secara ideal bertujuan untuk menjamin efisiensi, transparansi, dan keadilan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan oleh pemerintah. Dalam praktik, pelaksanaan pengadaan barang/jasa masih banyak sekadar memenuhi kewajiban administratif tanpa mempedulikan aspek substantifnya. Tulisan ini akan membahas ten tang pembenahan regulasi di bidang pengadaan barang dan jasa. Melalui penelitian yuridis normatif, penelitian ini menemukan regulasi terkait dengan pengadaan barang dan jasa memiliki kelemahan, khususnya berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka mekanisme kerja, tradisi, dan perilaku birokrasi yang berpotensi menghambat terwujudnya pemerintahan yang bersih, pembaharuan peraturan perlu disesuaikan agar fleksibilitas pengadaan barang dan jasa memenuhi kebutuhan pemerintah dan sekaligus menghindari ditabraknya prinsip pengadaan yang ada. Disamping itu perlu pula adanya pembenahan terhadap regulasi di bidang Pengadaan Barang dan Jasa, yaitu dari Peraturan Presiden diubah menjadi Undang-Undang. Kata kunci : pembaharuan, fleksibilitas, kepastian hukum, pemerintahan yang baik
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge UDC: 341.04
Apri Listiyanto
Reformation Regulation of Goods and Services Government Procurement RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 1, April 2012, page 113-133
Jur
na
Procurement of goods and services are ideally aimed at ensuring efficiency, transparency and fairness in the implementation of development activities by the government. In practice, the implementation of the procurement of goods / services are still a lot just to meet the administrative duties regardless of the substantive aspects. This paper will discuss the reform of regulation in the field of public procurement. Through normative juridical research, this study found the regulations related to procurement of goods and services have drawbacks, particularly with regard to the implementation mechanisms of goods / services. To address these concerns, the mechanism of action, traditions, and bureaucratic behavior that could potentially hinder the realization of good governance, regulatory reform needs to be adjusted so that the flexibility of the procurement of goods and services meet the needs of government and at the same time avoiding existing procurement principles. Besides, it also needs a revamping of the regulation in the areas of Procurement, which is converted to the President of the Regulations Act. Keywords: Reformation, Flexibility, law certainty, good governance
Volume 1 Nomor 1, April 2012
UDC: 343.123.5 Nunuk Febriananingsih
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
Keterbukaan Informasi Publik Dalam Pemerintahan Terbuka Menuju Tata Pemerintahan Yang Baik Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 135-156
ind
ing
Kebebasan informasi merupakan hak asasi yang fundamental. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa informasi lembaga pemerintah dan non pemerintah dianggap sulit dijangkau masyarakat. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana kesiapan lembaga-lembaga pemerintah dalam mengimplementasikan UU KIP dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi jaminan kepada masyarakat untuk mengakses informasi dari badan publik, meskipun lembaga pemerintah belum siap mengimplementasikan UU KIP. Hal ini terlihat dari belum tersedianya informasi terkait dengan urusan tata kepemerintahan seperti kebijakan publik dan pelayanan publik. Untuk itu Pemerintah perlu segera mengimplementasikan UU KIP sesuai dengan yang diamanatkan oleh PP Nomor 61 Tahun 2010 tentang pelaksanaan UU KIP. Kata kunci: keterbukaan informasi publik, pemerintahan yang baik, pemerintahan terbuka
lR ec hts V
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge UDC: 343.123.5
Nunuk Febriananingsih
Transparantion of Public Information in Open Government through Good Governance RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 1, April 2012, page 135-156
Jur
na
Freedom of information is a fundamental human right. Past experience shows that information and non-governmental agencies are considered hard to reach communities. Issues raised in this paper is how the readiness of government agencies in implementing the law is in an effort to realize good governance. By using the method of normative legal research note that the Act No. 14 of 2008 concerning Freedom of Information gives assurance to the public to access information from public bodies, although the government agency implementing the law is not yet ready. This is evident from the unavailability of information relating to the affairs of governance such as public policy and public service. For the Government should immediately implement in accordance with the law is mandated by the Government Regulation Number 61 Year 2010 concerning the implementation of the law is. Keywords: public disclosure, good governance, open government
Volume 1 Nomor 1, April 2012
UDC: 349.23 Adharinalti
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Irregular Di Luar Negeri Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 157-173
lR ec hts V
ind
ing
Indonesia merupakan salah satu negara terbesar yang mengirimkan warga negaranya bekerja ke luar negeri, namun banyak diantaranya tidak memiliki dokumen yang sah (dalam kondisi irregular). Dengan statusnya tersebut, hakhak mereka beserta keluarganya banyak yang tidak tertunaikan dan diperlakukan tidak semestinya. Bagaimana perlindungan terhadap mereka merupakan permasalahan yang harus diberikan solusinya. Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan normatif ini memperlihatkan bahwa tenaga kerja Indonesia yang tidak berdokumen (irregular situation) beserta keluarganya secara hukum mendapatkan perlindungan. Perlindungan tersebut terlihat dalam International Convention 1990 on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, meskipun hingga saat ini pemerintah belum meratifikasi konvensi tersebut. Untuk mendapatkan perlindungan terhadap worker irregular perlu diupayakan ratifikasi atas konvensi tenaga kerja Indonesia yang tidak berdokumen (irregular situation) beserta keluarganya. Kata kunci: tenaga kerja, bantuan hukum, hak asasi manusia
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge UDC: 349.23 Adharinalti
Protection of Irregular Indonesian workers in Overseas
RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 1, April 2012, page 157-173
Jur
na
Indonesia is one of the largest countries that send their citizens to work in a foreign country, but many of them do not have valid documents (in the irregular condition). With such status, their rights and their families many of which are not guaranteed and should not be treated. How to protect against them is a problem that should be the solution. In a study using a normative approach shows that Indonesian workers are undocumented (irregular situation) and their families are legally protected. Protection is seen in the 1990 International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, although until now the government has not ratified the convention. To obtain the protection of irregular workers have sought ratification of the Convention of Indonesian workers are undocumented (irregular situation) and his family. Keywords: workers, legal aid, human rights
Vo lu me 1 Nomo r 1, A p ril 2 0 1 2
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
PEMBANGUNAN HUKUM DALAM RANGKA PENINGKATAN SUPREMASI HUKUM (Development of Law in Order to Enhancement Supremacy of Law) Wicipto Setiadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. Mayjen Soetoyo No. 10 Cililitan Jakarta Timur Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 20 Januari 2012; revisi: 24 Februari 2012; disetujui: 14 Maret 2012
lR ec hts V
ind
Abstrak Konstitusi menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa hukum merupakan sesuatu yang supreme. Dengan supremasi hukum diharapkan lahir ketertiban (order) atau tata kehidupan masyarakat yang harmonis dan berkeadilan sehingga hukum dapat berperan dalam menjaga stabilitas negara. Dari empat belas tahun pasca reformasi Indonesia, pembangunan hukum menjadi salah satu agenda utama, namun Indonesia belum mampu keluar dari berbagai persoalan hukum, dan bahkan terjebak ke dalam ironi sebagai salah satu negara paling korup. Penelitian yang mengangkat permasalahan tentang kondisi penegakan hukum saat ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kepustakaan. Dari hasil penelitian terlihat bahwa prestasi penegakan hukum mulai terlihat dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih juga terlihat beberapa masalah di berbagai sisi. Satu satu hal penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanakan pembangunan hukum, yaitu hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang di dalamnya terdapat elemen kelembagaan, elemen materi hukum, dan elemen budaya hukum. Kata kunci: supremasi hukum, pembangunan hukum, stabilitas nasional, penegakan hukum
Jur
na
Abstract The Constitution declare that Indonesia is a state of law. Provision implies that the law is something that is supreme. With the rule of law is expected to appear order or a harmonious society and justice so that law can play a role in maintaining the stability of the country. Of the fourteen years of post-reform Indonesia, development of the law became one of the main agenda, but Indonesia has not been able to get out of a variety of legal issues, and even stuck to the irony as one of the most corrupt countries. The research raised issues about the current state of law enforcement is being carried out by using literature methods. From the research shows that achievement of law enforcement began to appear in recent years, although it is also seen some problems on the various sides. One of the important things that must be considered in implementing the construction of the law, the law must be understood and developed as an integrated system in which there is institutional elements, elements of legal substance, and legal culture elements. Keywords: supremacy of law, development of law, national stability, law enforcement
Pembangunan Hukum dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum (Wicipto Setiadi)
1
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
BP HN
lR ec hts V
ind
Reformasi konstitusi telah menegaskan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: ”Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ketentuan tersebut mengandung makna antara lain bahwa adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta jaminan keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Artinya, dengan hukum yang benarbenar supreme diharapkan akan melahirkan ketertiban (order) atau tata kehidupan yang harmonis dan keadilan bagi masyarakat, dengan demikian pada gilirannya hukum dapat berperan dalam menjaga stabilitas bagi sebuah negara. Namun demikian berdasarkan penga laman sepuluh tahun reformasi yang hendak menjadikan pembangunan hukum sebagai salah satu agenda utamanya, Indonesia terjebak ke dalam ironi. Sedikitnya ada dua ironi. Pertama, Indonesia diketahui secara internasional sebagai salah satu negara paling korup tetapi koruptor yang dapat dijerat dengan hukum masih belum memuaskan, baik kuantitas maupun kualitas. Kedua, sebagaimana disebut di atas, secara konstitusional Indonesia menetapkan diri nya sebagai negara hukum tetapi dalam kenyataannya hukum belum dapat ditegakkan dengan baik. Penegakan hukum masih dianggap sebagai hal yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbaikan ekonomi nasional yang belum kunjung pulih.
Pemerintah secara tegas mengakui masih banyaknya permasalahan di bidang hukum yang belum bisa teratasi. Di bidang kelembagaan hukum, misalnya, masih terdapat permasalahan: (a) kurangnya independensi kelembagaan hukum, terutama lembagalembaga penegak hukum membawa akibat terabaikannya prinsip impartialitas dalam banyak putusan lembaga yudikatif. Hal ini akan berperan terhadap terjadinya degradasi kepercayaan masyarakat kepada sistem hukum maupun goyahnya kepastian hukum; (b) Independensi lembaga hukum harus disertai dengan akuntabilitas. Namun demikian dalam praktik, pengaturan tentang akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau lembaga mana ia harus bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawabannya. Hal yang demikian telah memberikan kesan tiadanya transparansi di dalam proses penegakan hukum; (c) Di samping itu, sinyalemen tentang kurangnya integritas dari para penyelenggara negara juga sangat memprihatinkan. Kasus-kasus hukum yang sedang berlangsung di berbagai lembaga negara, berpengaruh besar terhadap memudarnya supremasi hukum serta semakin berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.
ing
A. Pendahuluan
2
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 1-15
B. Permasalahan Dari uraian di atas kemudian dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah kondisi penegakan hukum telah menunjukkan supremasi hukum?
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ind
Berdasarkan identifikasi masalah seba gaimana diuraikan di atas, maka tulisan ini masuk dalam penelitian hukum yang normatif dengan studi kepustakaan. Untuk itu tulisan ini mempergunakan metode penelitian yuridis normatif.1 Namun demikian tetap
BP HN
C. Metode Penelitian
tiang penyangga dan alat untuk membangun kehidupan yang harmonis, berkeadilan dan berkepastian dalam masyarakat yang tertib, ternyata juga dilanda krisis yang tak kalah hebatnya. Korupsi, konflik daerah, dan tindak kekerasan dalam bentuk main hakim sendiri kini masih marak menandai hebatnya krisis ini. Kekecewaan menjadi tidak terelakkan dengan kenyataan bahwa amanat reformasi untuk menegakkan hukum melalui pemberantasan KKN dan kasus-kasus lainnya menjadi semakin memilukan ketika jantung penegakan hukum diterpa badai hebat dengan diketahuinya keterlibatan para penegak hukum dalam kasus KKN yang mencolok mata. Ketika intervensi rezim penguasa terhadap hukum berkurang di era kebebasan ini, nyatanya kekuatan lain—yang berhubungan dengan pasar—dapat melakukan penetrasi ke dalam lembaga-lembaga penegak hukum yang sama kuat dengan rezim sebelumnya. Penegakan hukum yang bersifat “tebang pilih” tak terhindarkan, meski penyebabnya bukanlah faktor politis seperti pada era sebelumnya. Faktor-faktor teknis yang berkaitan dengan kekuatan dan profesionalitas lembaga dan aparat menjadi sangat menentukan dalam memberikan keadilan hukum bagi rakyat. Penegakan hukum sangat bergantung pada
ing
2. Apakah penegakan supremasi hukum akan berpengaruh positif bagi stabilitas nasional dalam rangka mewujudkan Negara demokratis? 3. Bagaimana arah pembangunan hukum menuju terwujudnya supremasi hukum?
lR ec hts V
akan menggunakan data penelitian empiris2 sebagai pendukung. Dengan demikian pokok permasalahan diteliti secara yuridis normatif. Tulisan ini juga menggunakan pendekatan sosio hukum, sehingga memiliki perspektif lebih luas dengan melihat hukum dalam hubungannya dengan sistem sosial, politik, dan ekonomi masyarakat.3
D. Pembahasan
1. Penegakan Hukum sebagai Refleksi Supremasi Hukum
na
Masalah penegakan hukum pasca Reformasi menghadapi situasi yang semakin kompleks dan pelik. Hukum yang semula diharapkan menjadi
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hlm. 15. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet. v, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 13-14, dan juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979) hlm. 15. Penelitian empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data-data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Pemikiran empiris ini disebut juga pemikiran sosiologis. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, ibid. Reformasi Hukum di Indonesia, Hasil Studi Perkembangan Hukum, Proyek Bank Dunia (Jakarta: Cyberconsult, 1999) hlm. 153.
Jur
1
2
3
Pembangunan Hukum dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum (Wicipto Setiadi)
3
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
tegas untuk memutus hubungan dengan kasuskasus peninggalan Orde Baru. Ada 3 (tiga) cara. Pertama, melakukan amputasi (pemberhentian massal) atas pejabat-pejabat birokrasi terutama birokrasi penegak hukum, yang berada pada usia dan level tertentu, melalui Undang-Undang Lustrasi agar tindakan hukum dapat dilakukan secara tegas dan lugas. Kedua, melakukan pemutihan dengan memberikan pegampunan secara nasional (national pardon) atas para pelaku pelanggaran di masa lalu, dengan alasan bahwa sangat sulit melakukan penyelesaian secara tegas berdasarkan hukum atas kasus yang begitu banyak dan rumit dan yang dilakukan oleh mereka sebagai akibat adanya sistem yang memaksa ketika itu.4 Ketiga, perlu ada pergeseran orientasi paradigma atas konsepsi Negara hukum dari rechtsstaat menjadi the rule of law seperti yang banyak dikembangkan di negara-negara Anglo Saxon. Dengan paradigma ini maka setiap upaya penegakan hukum akan mampu melepaskan diri dari jebakan-jebakan formalitas-prosedural serta mendorong para penegak hukum untuk kreatif dan berani menggali nilai-nilai keadilan serta menegakkan etika dan moral di dalam masyarakat dalam setiap penyelesaian kasus hukum. Meski ada banyak wajah suram penegakan hukum, terlihat pula beberapa prestasi menggembirakan dalam penegakan hukum. Prestasi KPK dapat disebut sebagai contoh dari ”sedikit” keberhasilan dalam penegakan hukum.
Jur
na
lR ec hts V
ind
aparat yang bersih, peduli dan profesional baik di kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan seluruh jajaran birokrasi yang menjalankan fungsi-fungsi penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap para koruptor yang telah menyengsarakan rakyat banyak adalah indikator yang sering didengungkan rakyat untuk mengukur seberapa jauh komitmen pemerintah dalam sektor ini. Tindakan represif harus bersifat imparsial dan non diskriminatif, sehingga mudah mendapat dukungan masyarakat, apalagi untuk kasus korupsi yang luar biasa. Hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi semestinya menjadi momentum baru dalam perang total melawan korupsi, seraya memperbaiki kinerja Kepolisian, Kejaksaan serta Kehakiman agar menjadi ujung tombak penegakan keadilan. Problem penegakan hukum selama ini disebabkan, paling tidak, oleh dua hal yakni persoalan politik dan persoalan paradigmatik. Persoalan politik adalah warisan birokrasi yang korup dan rekrutmen politik yang keliru. Sedangkan persoalan paradigmatik adalah ambiguitas orientasi atas konsepsi Negara hukum. Berdasarkan pemetaan masalah tersebut maka solusi yang ditawarkan untuk politik penegakan hukum adalah solusi politik dan solusi paradigmatik. Solusi politik yang dimaksudkan adalah untuk mengatasi kasus-kasus KKN dan pelanggaran HAM warisan masa lalu perlu diselesaikan dengan keputusan politik yang
4
4
Menurut Mahfud MD, pada masa beliau menjabat sebagai Menteri Kehakiman, pernah merancang Rancangan Undang-Undang Lustrasi dan Pemutihan ini, tetapi terhenti bersamaan dengan lengsernya Gus Dur sebagai Presiden. Lebih jauh lihat http://mahfudmd.com/ index.php?page= web. BeritaDetail&id=152&PHPSESSID=oi 7k16ehepf8hj65p6r5o58813, diakses pada 15 Februari 2012.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 1-15
Volume 1 Nomor 1, April 2012
3. Arah Pembangunan Hukum
Pembangunan hukum merupakan upaya sadar, sistematis, dan berkesinambungan untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang semakin maju, sejahtera, aman, dan tenteram di dalam bingkai dan landasan hukum yang adil dan
Jur
na
lR ec hts V
ind
Presiden Repubik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, dalam berbagai kesempatan menugaskan kepada Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) memikirkan bagaimana memelihara dan mem pertahankan stabilitas nasional Indonesia pada era keterbukaan, kebebasan dan demokrasi. Presiden berharap, idiom penciptaan stabilitas tidak melulu dikaitkan dengan Orde Baru, otoritarian dan bertentangan dengan demokrasi. Menurut Presiden, masyarakat Indonesia belum memberikan perhatian sungguh-sungguh terhadap stabilitas. Padahal pembangunan di negara penganut sistem demokrasi apa pun memerlukan stabilitas nasional yang baik. Guncangan terhadap stabilitas nasional pasti ada. Hanya, guncangan harus dikelola dengan baik. Teori yang mengatakan stabilitas berbanding terbalik dengan kebebasan dan keterbukaan masih bisa diperdebatkan. Namun pendekatan seperti ini sebaiknya ditinggalkan karena negara penganut stabilitas dengan pendekatan otoriter suatu saat akan mengalami periode instabilitas yang membahayakan. Hal ini berbeda dengan teori The New Way to Understand Why The Nation Rise and Fall karya Bremmer yang dinilai
BP HN
2. Stabilitas Nasional sebagai Pendukung Supremasi Hukum
relevan dengan persoalan di Indonesia.5 Teori itu mengatakan bahwa negara yang terbuka terhadap kebebasan dan keterbukaan justru bisa memiliki stabilitas yang mampu mengatasi guncangan internal tanpa harus khawatir negara itu akan jatuh. “Jadi dia punya kapasitas untuk menghadapi guncangan ekonomi, sosial, keamanan, dan politik sedemikian rupa.” Pengelolaan stabilitas di era keterbukaan ini diperlukan karena kita menginginkan pembangunan demokrasi yang di dalamnya mengakomodasi harmoni dengan kebebasan dan keterbukaan, penegakan hukum dan toleransi. Meskipun stabilitas tidaklah inheren dengan demokrasi. Stabilitas dapat dibuat tanpa demokrasi. Hal ini terjadi di Indonesia (pada era Orde Baru), Malaysia dan Singapura yang meski stabil namun tidak demokratis. Sebuah negara dapat disebut demokratis bila rule of law-nya bekerja. Selain itu juga tidak ada lagi konflik separatis, dan tidak ada kekerasan di masyarakat yang diselesaikan di luar prosedur hukum. Stablilitas yang kemudian tercipta adalah stabilitas dalam kerangka demokrasi dan bukan stabilitas yang otoriter.
ing
KPK dipandang institusi yang lebih berhasil menegakkan hukum karena personalia di KPK diseleksi dari orang-orang yang relatif bersih dan birokrasinya bukanlah birokrasi warisan lama.
5
Lebih jauh lihat Ian Bremmer, The J Curve: A New Way to Understand Why The Nation Rise and Fall, (Simon & Schuster, Inc. 2006). Lihat juga http://www.jcurvebook.com/.
Pembangunan Hukum dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum (Wicipto Setiadi)
5
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
a. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. b. Politik hukum harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara. c. Politik hukum harus dipandu oleh nilainilai Pancasila sebagai dasar negara, yaitu: berbasis moral agama, menghargai dan melindungi hak asasi manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur bangsa, meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat, dan membangun keadilan sosial. d. Apabila dikaitkan dengan cita hukum negara Indonesia, maka politik hukum harus melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa, mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakatan, mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum) serta menciptakan toleransi hidup beragama berdasar keadaban dan kemanusiaan. Pada prinsipnya, kerangka utama strategi politik mengenai pembangunan hukum nasional itu selama tiga dasawarsa yang lalu
6
Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Globalisasi, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 1998), hlm. 28. Pada dasarnya, fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool of social engeneering) relatif masih sesuai dengan pembangunan hukum nasional saat ini, namun perlu juga dilengkapi dengan pemberdayaan birokrasi (beureucratic engineering) yang mengedepankan konsep panutan atau kepemimpinan, sehingga fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dapat menciptakan harmonisasi antara elemen birokrasi dan masyarakat dalam satu wadah yang disebut “beureucratic and social engineering” (BSE). Lihat Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 7. Dirangkum dari Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1982). Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, BPHN, 2006. Dalam konteks ini politik hukum diartikan sebagai arah yang harus ditempuh dalam pembuatan dan penegakan hukum guna mencapai cita-cita dan tujuan negara.
Jur
na
7
lR ec hts V
ind
pasti.6 Pelaksanaan pembangunan tersebut merupakan upaya untuk mencapai tujuan negara sebagaimana yang tercakup dalam alinea keempat UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Filosofi yang dianut dalam pembangunan hukum nasional selama kurang lebih 40 (empat puluh) tahun yaitu konsep hukum pembangunan yang menempatkan peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.7 Dalam konsep yang demikian, pelaksanaan pembangunan hukum mempunyai fungsi: sebagai pemelihara dalam ketertiban dan keamanan, sebagai sarana pembangunan, sebagai sarana penegak keadilan, dan sebagai sarana pendidikan masyarakat.8 Oleh karena itu apabila dalam pelaksanaan pembangunan, hukum diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara, maka politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar, yaitu9:
8 9
6
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 1-15
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
memodifikasi beberapa teori hukum, terutama teori Roscoe Pound “Law as a tool of social engineering” yang berkembang di Amerika Serikat. Apabila dijabarkan lebih lanjut maka secara teoritis Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja dipengaruhi cara berpikir dari Herold D. Laswell dan Myres S. Mc Dougal (Policy Approach) ditambah dengan teori Hukum dari Roscoe Pound (minus konsepsi mekanisnya). Mochtar mengolah semua masukan tersebut dan menyesuaikannya pada kondisi Indonesia.11 Ada sisi menarik dari teori yang disampaikan Laswell dan Mc Dougal dimana diperlihatkan betapa pentingnya kerja sama antara pengemban hukum teoritis dan penstudi pada umumnya (scholars) serta pengemban hukum praktis (specialists in decision) dalam proses melahirkan suatu kebijakan publik, yang di satu sisi efektif secara politis, namun di sisi lainnya juga bersifat mencerahkan. Oleh karena itu maka Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja memperagakan pola kerja sama dengan melibatkan keseluruhan stakeholders yang ada dalam komunitas sosial tersebut. Dalam proses tersebut maka Mochtar Kusumaatmadja menambahkan adanya tujuan pragmatis (demi pembangunan) sebagaimana masukan dari Roescoe Pound dan Eugen Ehrlich dimana terlihat korelasi antara pernyataan Laswell dan
Jur
na
lR ec hts V
ind
mempunyai konsep dasar yang sama, yaitu UUD 1945. Landasan idealnya sama, yakni Pancasila, landasan politis operasionalnya pun sama, yakni tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD itu, dan landasan struktural kelembagaan pemerintah yang akan mendukung beban pembangunan itu pun sama, yakni sistem pemerintah presidensial. Persoalan terbesar pembangunan hukum nasional pun masih belum berubah, yaitu: adanya kesenjangan antara UUD 1945, yang jelas-jelas menurut teks dan jiwanya adalah disemangati asas keadilan sosial dan berpihak pada konsep sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan garis politik dan Perundangundangan yang menyusul di bawahnya.10 Mencuatnya kembali paradigma kerakyatan dan keadilan sosial ke permukaan, menjadi indikasi bahwa paradigma inilah yang harus dipergunakan untuk menata kembali sistem hukum yang bertalian dengan tatanan kehidupan berpolitik itu, baik mengenai keorganisasian, pemilihan umum, dan penataan lembaga-lembaga perwakilan rakyat termasuk perimbangan kekuasaan dan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah pada tahun-tahun yang lalu. Perspektif pembangunan hukum nasional hingga saat ini pun masih merujuk pada teori yang dibangun oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menggubah dan
Bandingkan dengan Solly Lubis, Pembangunan Hukum Nasional, makalah disampaikan pada: Seminar Pembangunan Hukum Naional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, di Denpasar, 14-18 Juli 2003. 11 Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan, (Jakarta: CV Utomo, 2006), hlm. 411. 10
Pembangunan Hukum dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum (Wicipto Setiadi)
7
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
3. Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional.12 Saat ini telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi, dan dari sistem sentralistik ke dalam sistem otonomi. Perubahan paradigma tersebut sudah tentu berdampak terhadap sistem hukum yang dianut selama ini yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak berpihak kepada kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat dan produk hukum yang lebih mengedepankan dominasi kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah. Hal ini juga berdampak pada: pertama, kecenderungan sistem otonomi menjadi lebih diperluas; dan kedua, kecenderungan sistem multipartai yang berdampak terhadap sistem kabinet presidensial yang selama ini dianut dalam UUD 1945. Ketiga, kecenderungan pemisahan (bukan pembedaan) secara tegas (separation bukan differentiation) antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Fenomena ketiga sangat berpengaruh terhadap law making process, dan law enforcement process. Keempat, masuknya pengaruh-pengaruh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke dalam pengambilan keputusan pemerintah dan proses legislasi. Kelima, adanya perintah kepada Presiden untuk melaksanakan pemberantasan
Jur
na
lR ec hts V
ind
Mc Dougal bahwa kerja sama antara akademisi hukum (peneliti) dan pengemban hukum praktis itu idealnya mampu melahirkan teori hukum (theory about law), teori yang mempunyai dimensi pragmatis atau kegunaan praktis. Mochtar Kusumaatmadja secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangunan masyarakat. Pokokpokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu agar dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang tertulis dan sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih jauh, Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih luas dari hukum sebagai alat karena: 1. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada tempat lebih penting. 2. Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu.
Ibid. hlm. 415.
12
8
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 1-15
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
juga telah menegaskan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum.13 Hukum nasional yang demokratis setidaknya mempunyai karakter dan alur pikir sebagai berikut: a. Hukum nasional dibuat sesuai dengan citacita bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur berdasar falsafah negara. b. Hukum nasional dirancang untuk mencapai tahap tertentu dari tujuan negara sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, c. Hukum nasional harus menjamin integrasi bangsa dan negara baik teritori maupun ideologi, mengintegrasikan prinsip demokrasi dan nomokrasi, artinya pembangunan hukum harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat melalui prosedur dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel; dan berorientasi pada pembangunan keadilan sosial; dan menjamin hidupnya toleransi beragama yang berkeadaban. Sebagai implementasi dari hal tersebut, maka hukum nasional harus mengabdi kepa da kepentingan nasional, dan menjadi pilar demokrasi untuk tercapainya kesejahteraan rakyat dan secara sosiologis menjadi sarana untuk tercapainya keadilan dan ketertiban masyarakat. Tujuan dari hukum yang demokratis tidak saja hanya tercapainya keadilan, akan tetapi juga terciptanya ketertiban (order). Hukum harus berfungsi menciptakan keteraturan
Jur
na
lR ec hts V
ind
KKN dan menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa semakin menambah beban pemerintah yang tidak kecil di masa kini dan masa mendatang. Kelima hal di atas secara mutatis mutandis akan mempengaruhi pula konsep pembangunan hukum nasional yang akan diterapkan. Dalam melaksanakan pembangunan hukum, satu hal penting yang harus diperhatikan adalah, bahwa hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang di dalamnya terdapat elemen kelembagaan, elemen materi hukum, dan elemen budaya hukum. Hukum Nasional adalah kesatuan hukum yang dibangun untuk mencapai tujuan Negara yang bersumber dari falsafah dan konstitusi negara, di dalam kedua hal itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia. Semua diskursus tentang hukum nasional yang hendak dibangun, haruslah merujuk kepada keduanya, dengan demikian upaya reformasi hukum, akan sangat tergantung kepada reformasi konstitusi. Bila konstitusi yang dibangun masih memberi peluang bagi lahirnya sebuah otoritarianisme, maka tidaklah akan lahir sebuah hukum nasional yang demokratis. Reformasi konstitusi yang telah berlangsung, melalui beberapa kali amandemen UUD 1945, membawa perubahan yang sangat besar, terhadap hukum nasional. Perubahan tersebut, telah mengarahkan kepada cita-cita negara hukum, sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi konstitusional. Amandemen tersebut
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
13
Pembangunan Hukum dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum (Wicipto Setiadi)
9
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
Namun demikian, maraknya kelahiran berbagai komisi negara saat ini perlu ditata dan dikaji ulang urgensi pembentukannya dan eksistensinya secara selektif agar benar-benar bermanfaat dan tidak membebani kinerja dan perekonomian nasional. Pengkajian ulang tersebut paling tidak mencakup: a. tingkat kepercayaan keberadaannya; b. kadar urgensinya; c. eksistensi dan kinerjanya; dan d. efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugasnya. Dengan demikian harus dilakukan tindak lanjut yang mencakup: a. penguatan dan pemberdayaan SAB yang masih diperlukan; b. pengintegrasian SAB yang tugas dan fungsinya tumpang tindih; c. penghapusan atau penggabungan SAB yang tidak mempunyai urgensi dan eksistensi. Saat ini tata hubungan dan tata kelola lembagalembaga utama maupun penunjang tersebut belum jelas diatur, sehingga mengakibatkan disharmoni, yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan, dan mengakibatkan konflik antar lembaga. Oleh karena itu tata hubungan antar lembaga negara perlu diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan secara khusus. Salah satu persoalan mendasar, dalam membangun hukum nasional yang demokratis, adalah, bagaimana membuat sistem hukum yang kondusif bagi keberagaman sub-sistem, keberagaman substansi, pengembangan bidangbidang hukum yang dibutuhkan masyarakat, juga kondusif bagi terciptanya kesadaran hukum masyarakat, dan kebebasan untuk melaksanakan
Jur
na
lR ec hts V
ind
sebagai prasyarat untuk dapat memberikan perlindungan bagi rakyat dalam memperoleh keadilan, keteraturan, dan ketenangan dan bukan untuk menyengsarakannya. Pembangunan hukum nasional yang demokratis, harus meminimalisisasi pemberlakuan dan penerapan norma yang justru menimbulkan ketidakadilan, karena penerapan praktik hukum yang demikian akan menimbulkan ketidakadilan baru. Pembangunan hukum adalah konsep yang berkesinambungan dan tidak pernah berhenti sehingga penegakan hukum tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi waktu saat hukum itu ditetapkan dan berlaku. Selain tidak bijaksana, hal tersebut pada gilirannya akan berpotensi mengingkari kepastian hukum itu sendiri. Prinsip non-retroaktif itu sendiri telah digariskan di dalam Pasal 28 I UUD NRI 1945 yaitu hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Meskipun demikian, frasa ‘yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun’ mendapat kritik karena ada norma-norma internasional, perkecualian terhadap prinsip non-retroaktif, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia. Perubahan UUD 1945 telah berimplikasi pada lahirnya banyak lembaga negara atau organ, baik lembaga utama (primary constitution organs) maupun lembaga pendukung/penunjang (state auxiliary body/SAB). Peran auxiliaries bodies dibutuhkan untuk memperkuat pelaksanaan tugas pelayanan publik, penegakan hukum dan peradilan serta pembentukan dan perencanaan hukum.
10
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 1-15
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
peraturan lain sudah dapat dilakukan sejak dini, sehingga dapat menghindari kendala di atas. Tidak kurang dari Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, ketika membuka Konvensi Hukum Nasional pada tanggal 15 April 2008 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Jakarta, mengingatkan pentingnya penyusunan naskah akademik, dalam menata dan memantapkan sistem hukum nasional, melalui perundang-undangan yang bisa mengeksplorasi pikiran-pikiran yang jernih dan pikiran-pikiran yang benar agar tidak dangkal, dan betul-betul memperhatikan segi filosofis, segi sosiologis, segi historis, serta dapat dipertanggungjawabkan. Dalam rangka pembangunan hukum nasional, maka diperlukan pula adanya suatu Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional (GDSPHN) yang jelas. GDSPHN merupakan sebuah desain komprehensif, yang menjadi pedoman bagi seluruh stakeholders, yang mencakup seluruh unsur dari mulai perencanaan, legislasi, diseminasi dan budaya hukum masyarakat. Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional merupakan guide line komprehensif, yang menjadi titik fokus dan tujuan seluruh stakeholder pembangunan hukum, yang mencakup desain struktur pembangunan hukum secara utuh. Grand design harus diawali dengan pemikiran paling mendasar, sebagai berikut: a. Pembangunan hukum harus mencakup: Asas, Norma, Institusi, proses-proses dan
Jur
na
lR ec hts V
ind
hak-hak, dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan aturan yang berlaku. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang disusun melalui instrumen perencanaan penyusunan undang-undang yang dikenal dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas)14, dan membuka kran pengujian undang-undang melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Prolegnas dibuat untuk menjamin ketepatan isi dan ketepatan prosedur yang didasarkan pada falsafah dan UUD NRI 1945. Untuk kali pertama dalam sejarah peraturan perundangundangan di Indonesia, ditetapkan Prolegnas jangka menengah 2005-2009 melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 01 Pebruari 2005 sebanyak 284 RUU. Kemudian untuk Prolegnas 2010-2014 terdapat 247 RUU. Sedangkan judicial review dilakukan sebagai koreksi agar pembentukan undang-undang harus konsisten secara asas, oleh karena itu penyusunan RUU harus didasarkan atas sebuah kajian dan penelitian yang mendalam yang meliputi aspek asas-asas, norma, institusi dan seluruh prosesnya yang dituangkan dalam suatu Naskah Akademik (NA). NA itu sendiri merupakan landasan dan pertanggungjawaban akademik untuk setiap asas dan norma yang dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang. Dengan disusunnya NA RUU diharapkan proses harmonisasi dan keterkaitannya dengan
Program Legislasi Nasional adalah instrument perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. (lihat Undang-Undang No. 12 Tahun 2011).
14
Pembangunan Hukum dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum (Wicipto Setiadi)
11
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
keadilan, penegakan hukum, dan sikap masyarakat terhadap hukum, tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi waktu dan yurisdiksi. Kita juga perlu belajar, dari berbagai negara yang saat ini memiliki sistem dan politik hukum yang demokratis, tetapi bermula dari sejarah panjang dan mengalami masa-masa yang sangat bertolak belakang dengan prinsip-prinsip demokrasi itu, seperti adanya perbudakan. Melalui penerapan prinsip law as a tool of social engineering, negara tersebut kemudian berhasil mengubah pola pikir, karakter, dan budaya hukum masyarakatnya, menjadi demokratis, dan menjunjung tinggi HAM, tanpa mengingkari kenyataan dan prinsip legalitas, dan menjadikan segala fakta filosofis, sosiologis, yuridis yang ada dalam sejarah sebagai modal untuk membangun hukum modernnya. Respon terhadap perkembangan global adalah suatu keniscayaan. Namun demikian, prinsip hukum modern yang terkait dengan kedaulatan, imunitas negara, kewajiban negara untuk melindungi warganegaranya, dan menjaga keutuhan wilayah, dan seluruh infrastruktur negaranya, adalah landasan yang harus selalu dipegang teguh dalam pembangunan hukum nasional, sehingga dengan demikian, hukum yang dibangun akan menjadi instrumen yang bermanfaat dan maslahat, sesuai pilar utama yaitu hukum yang mengabdi pada kepentingan bangsa dan negara secara utuh.
Jur
na
lR ec hts V
ind
penegakkannya dengan tanpa mengabaikan budaya hukum; b. Dalam rangka harmonisasi hukum, diperlukan suatu mekanisme legislasi yang lebih sistemik, komprehensif dan holistik; c. Konsistensi pada hirarki regulasi yang berpuncak pada konstitusi. d. Pengabdian kepada kepentingan nasional sebagai pilar untuk tercapainya tujuan hukum, yaitu terciptanya keadilan dan ketertiban dalam rangka negara kesejahteraan. e. Grand design dilakukan per sektor hukum. Dalam rangka keadilan dan kepastian hukum, pembangunan hukum harus dilihat secara utuh, yang tidak terlepas dari sejarah. Di dunia ini, tidak ada negara yang langsung serta-merta memiliki infrastruktur hukum yang mapan dan demokratis, tanpa melalui proses perubahan yang panjang. Karena hukum adalah refleksi dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu koreksi, penyempurnaan dan perubahan orientasi hukum harus dilakukan dengan tetap memegang teguh asas dan kepastian hukum serta paradigma perubahan dan kenyataan adanya dimensi waktu dan kondisi yang sangat menentukan perkembangan hukum itu sendiri. Pembangunan hukum, tidaklah terlepas dari sejarah negara itu sendiri. Oleh karena itu, dengan telah dimulainya reformasi, tidaklah berarti kita memulai segala sesuatunya dari nol. Semua hal yang baik, yang ada dalam produk-produk hukum positif yang sudah ada, harus menjadi modal pembangunan hukum, sementara yang tidak baik, dan tidak sesuai lagi, harus kita koreksi dan perbaiki. Pembangunan hukum adalah konsep yang berkesinambungan, dan tidak pernah berhenti, sehingga masalah
12
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 1-15
E. Penutup 1. Kesimpulan Beberapa prestasi penegakan hukum mulai terlihat dalam beberapa tahun terakhir, meski
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
demokrasi secara baik. Pembangunan di negara penganut sistem demokrasi apa pun memerlukan stabilitas nasional yang baik. Menurut teori The New Way to Understand Why The Nation Rise and Fall karya Brumer dikatakan bahwa negara yang terbuka terhadap kebebasan dan keterbukaan justru bisa memiliki stabilitas yang mampu mengatasi guncangan internal tanpa harus khawatir negara itu akan jatuh. Pengelolaan stabilitas di era keterbukaan ini diperlukan karena keinginan membangun demokrasi yang di dalamnya mengakomodasi harmoni dengan kebebasan dan keterbukaan, penegakan hukum dan toleransi. Salah satu upaya struktural yang bisa dilakukan untuk mewujudkan hal ini adalah menegakkan supremasi hukum. Pembangunan hukum nasional hingga saat ini pun masih merujuk pada Teori Hukum Pembangunan. Pokok-pokok pikiran yang me landasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang tertulis dan sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat melalui mekanisme yang demokratis. Dalam melaksanakan pembangunan hukum, satu hal penting yang harus diperhatikan adalah, bahwa hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang di dalamnya terdapat elemen kelembagaan, elemen materi hukum, dan elemen budaya hukum. Hukum
Jur
na
lR ec hts V
ind
masih juga terlihat beberapa masalah di berbagai sisi. Masalah penegakan hukum pasca Reformasi menghadapi situasi yang semakin kompleks dan pelik. Hukum yang semula diharapkan menjadi tiang penyangga dan alat untuk membangun kehidupan yang harmonis, berkeadilan dan berkepastian dalam masyarakat yang tertib, ternyata juga dilanda krisis yang tak kalah hebatnya. Ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini. Pertama, melakukan amputasi (pemberhentian masal) atas pejabatpejabat birokrasi terutama birokrasi penegak hukum, yang berada pada usia dan level tertentu melalui UU Lustrasi agar tindakan hukum dapat dilakukan secara tegas dan lugas. Kedua, melakukan pemutihan dengan memberikan pegampunan secara nasional (national pardon) atas para pelaku pelanggaran di masa lalu, dengan alasan bahwa sangat sulit melakukan penyelesaian secara tegas berdasarkan hukum atas kasus yang begitu banyak dan rumit dan yang dilakukan oleh mereka sebagai akibat adanya sistem yang memaksa ketika itu. Ketiga, perlu pergeseran orientasi paradigma atas konsepsi Negara hukum dari rechtsstaat menjadi the rule of law seperti yang banyak dikembangkan di Negara-negara Anglo Saxon. Dengan paradigma ini maka setiap upaya penegakan hukum akan mampu melepaskan diri dari jebakan-jebakan formalitas-prosedural serta mendorong para penegak hukum untuk kreatif dan berani menggali nilai-nilai keadilan serta menegakkan etika dan moral di dalam masyarakat dalam setiap penyelesaian kasus hukum. Supremasi hukum diperlukan dalam rangka mewujudkan stabilitas nasional sebagai salah satu prasyarat dapat berjalannya mekanisme
Pembangunan Hukum dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum (Wicipto Setiadi)
13
Volume 1 Nomor 1, April 2012
2. Saran
BP HN
nilai keadilan serta menegakkan etika dan moral di dalam masyarakat dalam setiap penyelesaian kasus hukum.
DAFTAR PUSTAKA
ing
Asshiddiqie, Jimly, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Globalisasi, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 1998). Atmasasmita, Romli, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003. Bremmer, Ian, The J Curve: A New Way to Understand Why The Nation Rise and Fall, ( Simon & Schuster, Inc. 2006). Lihat juga http://www.jcurvebook. com/. Cyberconsult, Reformasi Hukum di Indonesia, Hasil Studi Perkembangan Hukum, Proyek Bank Dunia (Jakarta: Cyberconsult, 1999). Hartono, Sunaryati, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1982). Lubis, Solly, Pembangunan Hukum Nasional, Makalah Disampaikan Pada:Seminar Pembangunan Hukum Naional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasionaldepartemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, di Denpasar, 14-18 Juli 2003. Mahfud, MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, BPHN, 2006. Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan, (Jakarta: CV Utomo, 2006). Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet. V, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001). Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian
ind
Nasional adalah kesatuan hukum yang dibangun untuk mencapai tujuan Negara yang bersumber dari falsafah dan konstitusi negara. Di dalam kedua hal itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia. Pembangunan hukum harus dilihat secara utuh, yang tidak terlepas dari sejarah. Oleh karena itu, dengan telah dimulainya reformasi, tidaklah berarti segala sesuatunya harus dimulai dari nol. Semua hal yang baik, yang ada dalam produk-produk hukum positif yang sudah ada, harus menjadi modal pembangunan hukum, sementara yang tidak baik, dan tidak sesuai lagi, harus kita koreksi dan perbaiki.
Jur
na
lR ec hts V
Perlu didorong diundangkannya UU Lustrasi Nasional agar tindakan hukum dapat dilakukan secara tegas dan lugas. Sekaligus memberikan pegampunan secara nasional (national pardon) atas para pelaku pelanggaran di masa lalu, dengan alasan bahwa sangat sulit melakukan penyelesaian secara tegas berdasarkan hukum atas kasus yang begitu banyak dan rumit dan yang dilakukan oleh mereka sebagai akibat adanya sistem yang memaksa ketika itu. Perlu terus-menerus disosialisasikan dalam berbagai forum akademis pergeseran orientasi paradigma atas konsepsi Negara hukum dari rechtsstaat menjadi the rule of law agar pembangunan hukum dapat bergerak secara lebih dinamis. Dengan paradigma ini maka setiap upaya penegakan hukum akan mampu melepaskan diri dari jebakan-jebakan formalitasprosedural serta mendorong para penegak hukum untuk kreatif dan berani menggali nilai-
14
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 1-15
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990).
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979).
Pembangunan Hukum dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum (Wicipto Setiadi)
15
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
URGENSI PENELITIAN DAN PENGKAJIAN HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Urgency of Legal Research and Analysis of the Establishment of Legislation) Noor Muhammad Aziz Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. Mayjen Soetoyo No. 10 Cililitan Jakarta Timur Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 27 Januari 2012; revisi: 23 Februari 2012; disetujui: 15 Maret 2012
lR ec hts V
ind
Abstrak Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, penelitian merupakan aspek penting dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, disamping aspek drafting. Karena bukan sesuatu yang mustahil apabila suatu undang-undang dibentuk tanpa didasari suatu riset yang komprehensif dan mendalam hasilnya akan menuai permasalahan baru.Tulisan ini akan mengangkat permasalahan mengenai bagaimana manfaat penelitian hukum dalam kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris ditemukan bahwa penelitian hukum sangat bermanfaat untuk mendukung Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tertentu, khususnya dalam menuangkan aspek-aspek berkaitan dengan masalah yuridis, sosiologis dan filosofis. Disamping itu Penelitian Hukum juga bermanfaat untuk menyusun rencana-rencana pembangunan hukum yang lebih responsif tanpa keluar dari asas-asas pembentukan hukum. Oleh karena itu optimalisasi hasil penelitian untuk pembentukan peraturan perundang-undangan memerlukan langkah-langkah yuridis dimana penelitian perlu dimasukkan dalam satu alur proses legislasi. Kata kunci: legislasi, naskah akademik, pengkajian, penelitian
Jur
na
Abstract In Law No. 12 Year 2011 on the Establishment Regulation of legislation, research is an important aspect in the preparation of legislation, as well as aspects of drafting. For it is not impossible if a law is based on established without a comprehensive and in-depth research results will reap new problems. His paper will raise issues about how the benefits of legal research in the activities of the establishment of laws and regulations. By using a juridical approach to empirical research found that the law is very useful to support the Academic Manuscript particular bill, especially in the pouring aspects related to legal issues, sociological and philosophical. Besides, Legal Research is also useful to draw up development plans are more responsive law without departing from the principles of the legal establishment. Therefore, the optimization results for the formation of legislation requiring judicial measures which research needs to be included in the legislative process flow. Keywords: legislation, academic draft, analysis, research
Urgensi Penelitian dan Pengkajian Hukum dalam Pembentukan ... (Noor Muhammad Aziz)
17
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
B. Permasalahan
Dari latar belakang di atas, penulisan ini diarahkan untuk menjawab beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Apa pengertian penelitian hukum dan apa manfaat penelitian hukum dalam pembentukan peraturan perundangundangan yang baik? 2. Bagaimana mekanisme yang tepat dalam rangka optimalisasi hasil penelitian bagi kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik?
2
18
C. Metode Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian di atas, tulisan ini menggunakan pendekatan yuridis empiris2, yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat gejala-gejala sosial yang berkaitan dengan hukum dalam praktek legislasi di Indonesia.
Tulisan ini diolah kembali dari makalah yang pernah Penulis sampaikan dalam Forum Dialog: Urgensi Penelitian dan Pengkajian Hukum Dalam Pembentukan Sistem Hukum Nasional, tanggal 31 Maret 2011 di Medan, Sumatera Utara. Penelitian empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data-data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Pemikiran empiris ini disebut juga pemikiran sosiologis. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normati: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hlm. 15.
Jur
1
na
lR ec hts V
ind
Aspek Regulasi pada dasarnya merupakan komponen inti dari setiap pergerakan kehidupan, terlebih dalam hal pengambilan suatu kebijakan. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kebijakan yang akan dikeluarkan memerlukan perangkat pendukung setidaknya terdapat tiga hal utama perangkat pendukung dari setiap kebijakan yaitu Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Barang, dan Perangkat Regulasi (peraturan perundang-undangan). Penyusunan perangkat regulasi tentu bukan merupakan sesuatu yang paralel dan menempel dari aspek-aspek pendukung lainnya dari suatu kebijakan. Undang-undang No.12 Tahun 2011 (sebagai pengganti Undang-undang No.10 Tahun 2004) tentang Pedoman Pembentukan Peraturan perundang-undangan secara teknis telah mengatur tentang hal yang berhubungan dengan tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan. Teknis dan tata cara yang dituangkan dalam undang-undang tersebut lebih banyak menyoroti dari aspek drafting, padahal ada hal-hal yang penting yang perlu mendapat perhatian, seperti di mana sumbersumber atau bahan-bahan untuk penyusunan draft perundang-undangan itu didapat atau penelitian apa saja yang diperlukan sebagai bahan penyusunan draft peraturan perundangundangan. Hal ini penting untuk dikaji lebih dalam karena bukan sesuatu yang mustahil
apabila suatu undang-undang dibentuk tanpa didasari suatu riset yang komprehensif dan mendalam hasilnya akan menuai permasalahan baru, misalnya ditolak masyarakat karena bertentangan dengan persepsi masyarakat, terdapat materi yang bertentangan dengan UUD yang menyebabkan diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, atau sulit diimplementasikan oleh aparat penegak hukum di tengah-tengah masyarakat.
ing
A. Pendahuluan1
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 17-31
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
Namun dalam perkembangannya research juga mulai digunakan dalam ilmu ekonomi, ilmuilmu sosial dan terakhir dalam ilmu hukum dan ilmu politik.5 Dalam penelitian yang dilakukan untuk bidang teknik dan ilmu pengetahuan alam berbeda dengan penelitian untuk bidang sosial. Penelitian bidang teknik dan ilmu pengetahuan alam tidak memberikan penilaian, tetapi yang dikejar adalah obyektifitasnya karena hanya matematik dan ilmu-ilmu alam saja yang dianggap dapat menghasilkan ilmu yang obyektif. Sedangkan pemikiran dan penelitian di bidang-bidang lainnya, terutama yang menyangkut kehidupan mental manusia, baik sebagai perorangan (psikologi), maupun di dalam masyarakat (seperti sejarah, sosiologi, hukum, politik dan sebagainya) tidak mungkin menghasilkan ilmu, atau merupakan kegiatan ilmiah. Hal itu disebabkan manusia dan masyarakat terlalu cepat berubah-ubah, sehingga sulit mengadakan eksperimen secara berulang-ulang, yang akan dapat menghasilkan hasil penelitian yang sama.6 Research yang semula dipakai dalam arti penelitian yang digunakan bagi suatu tujuan praktis (applied research) biasanya dikaitkan dengan “development” atau pengembangan sehingga dikenal dengan “Research and Development” atau penelitian dan pengembangan (Litbang) dan Perencanaan
ind
Pendekatan yuridis empiris mengkaji bagaimana ketentuan normatif diwujudkan senyatanya di masyarakat. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis normatif3 karena menggunakan data sekunder sebagai sumber tambahan, berupa berbagai peraturan perundang-undangan dan referensi dokumen lain yang terkait dengan pengkajian, penelitian dan proses legislasi. Sedangkan dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis yakni akan menggambarkan secara keseluruhan obyek yang diteliti secara sistematis dengan menganalisis data yang diperoleh.
D. Pembahasan
lR ec hts V
1. Pengertian Penelitian Hukum dan Manfaat Penelitian Hukum Dalam Pembentukan Perundang-undangan
na
Penelitian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan obyektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkankan prinsip-prinsip umum.4 Penelitian sebenar nya merupakan terjemahan dari “research”. Pengertian research awalnya digunakan untuk penelitian di bidang teknik dan ilmu alam.
lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet. v, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 13-14; Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam dan Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979) hal.15. Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Cetakan Pertama, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988). Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hlm. 96. Ibid., hlm. 97.
Jur
3
4
5 6
Urgensi Penelitian dan Pengkajian Hukum dalam Pembentukan ... (Noor Muhammad Aziz)
19
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
lebih baik, menyangkut penelitian materi, maupun yang mengenai orang, organisasi dan struktur perusahaan atau jawatan. Berdasarkan materi metodologi penelitian yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dikutip oleh Sunaryati Hartono menyebutkan macam-macam penelitian yang dikenal yaitu penelitian historis, penelitian deskriptif, penelitian perkembangan, penelitian kasus dan penelitian lapangan, penelitian korelasional, penelitian eksperimental sungguhan, dan penelitian eksperimental semu atau penelitian tindakan. Sedang tugas ilmu dan penelitian adalah: a. menggambarkan secara jelas dan cermat hal-hal yang dipersoalkan; b. menerangkan kondisi-kondisi yang mendasari peristiwa; c. menyusun teori, artinya mencari dan merumuskan dalil-dalil (hukum-hukum atau kausalitas mengenai hubungan antara kondisi yang satu dan kondisi yang lain, atau hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain); d. membuat prediksi, atau ramalan, estimasi dan proyeksi peristiwa-peristiwa yang akan (bakal) terjadi, atau gejala-gejala yang akan timbul; e. melakukan pengendalian atau pengarahan, yaitu melakukan tindakan-tindakan guna mengendalikan atau mengarahkan peristiwaperistiwa atau gejala-gejala tertentu ke arah yang dikehendaki.
Jur
na
lR ec hts V
ind
(Planning). Namun sesuai perkembangannya kata penelitian biasanya desertai dengan kata keterangan atau kata yang menunjukan tujuan atau kegunaan penelitian itu, misalnya7: a. Basic Research, yaitu penelitian yang bertujuan memperoleh dasar-dasar atau asas-asas baru suatu cabang ilmu tertentu, sehingga penelitian semacam ini tidak secara langsung (tetapi hanya secara tidak langsung) bermanfaat bagi praktik. Karena itu basic research diterjemahkan menjadi penelitian murni. b. Applied Reseach, yaitu penelitian yang dilakukan dengan maksud supaya hasilnya secara langsung dapat diterapkan ke dalam praktik atau di dalam proses produksi. Oleh karena itu penelitian terapan ini biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dan jawatan-jawatan, bekerjasama dengan universitas-universitas. c. Deskriptive Research/Survey, yaitu penelitian yang menganalisis data-data yang dikumpulkan, serta melaporkannya sekedar untuk informasi baru. d. Diagnostic atau Prescriptive Research, yaitu penelitian untuk menemukan cara bagaimana mengatasi suatu masalah. e. Offensive Reseach, yaitu penelitian jangka panjang dengan maksud menemukan halhal baru dalam ilmu pengetahuan, yang belum diketahui oleh bangsa-bangsa lain di dunia, seperti penelitian ruang angkasa. f. Service Research, yaitu penelitian untuk memperoleh produksi dan mutu barang yang
7
20
Ibid., hlm. 100-102.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 17-31
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
korelasional atau penelitian kausal-komparatif dapat diadakan.11 Akan tetapi, penelitian perkembangan (development research), penelitian dasar (basic research), dan penelitian terapan lainnya yang menyangkut hukum tidaklah dapat dilakukan menurut metode-metode penelitian sosial, tetapi membutuhkan metode penelitian yang berbeda dan khas, yang sesuai dengan objek atau materi hukum itu sendiri, yaitu normanorma hukum. Oleh karena itu, perlu sekali dibedakan antara penelitian hukum dan penelitian sosial.12 Macam-macam penelitian hukum yang dilakukan antara lain dapat dibedakan sebagai berikut13: a. Menurut bidang hukum yang diteliti misalnya: 1) Penelitian Hukum Adat; 2) Penelitian Hukum Pidana; 3) Penelitian Hukum Perdata; 4) Penelitian Hukum Dagang; 5) Penelitian Hukum Publik Internasional; 6) Penelitian Hukum Tata Negara;
lR ec hts V
ind
Penelitian hukum sebenarnya berasal dari dua kata yaitu penelitian8 dan hukum9. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk memperoleh data dan informasi tentang norma atau kaedah hukum, bila sesuatu materi hukum telah diatur dalam peraturan perundangundangan, dan aspek-aspek hukum/kebutuhan hukum masyarakat tentang sesuatu materi yang belum diatur kemudian ingin untuk diatur sebagai ius constituendum.10 Melihat banyaknya pengertian atas hukum, maka pendekatan penelitian yang dilakukan juga berbeda. Apabila hukum dianggap sebagai suatu disiplin atau sistem ajaran tentang kenyataan (arti yang ke-2 dari pandangan Soerjono Soekanto), atau sebagai perilaku yang teratur dan ajeg (arti yang ke-8), bahwa benar dapat dilakukan penelitian empiris sosiologis terhadap Hukum itu. Sedang apabila hukum itu dianggap sebagai “petugas” (arti ke-6), proses (arti ke-7) sebagai lembaga hukum (legal institution), atau sebagai tata hukum positif (arti ke-4), penelitian hukum historis deskriptif, penelitian kasus, penelitian
Pengertian seperti yang tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan obyektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkankan prinsip-prinsip umum. Sedang dalam kajian BPHN tentang Kedudukan dan Peranan Penelitian Hukum Dalam Proses Pembentukan Peraturan Perundangundangan dikatakan bahwa penelitian adalah suatu proses untuk mengumpulkan informasi tentang sesuatu. 9 Soerjono Soekanto misalnya mengartikan hukum sebagai :1) Hukum dalam arti ilmu (pengetahuan) hukum; 2) Hukum dalam arti disiplin atau sistem ajaran tentang kenyataan; 3) Hukum dalam arti kaidah atau norma; 4) Hukum dalam arti tata hukum atau hukum positif tertulis; 5) Hukum dalam arti keputusan pejabat; 6) Hukum dalam arti petugas; 7) Hukum dalam arti proses pemerintah; 8) Hukum dalam arti perilaku yang teratur atau ajeg; 9) Hukum dalam arti jalinan nilai-nilai. Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja menambahkan bahwa hukum mempunyai arti Lembaga Hukum Masyarakat. 10 BPHN, Pengkajian Hukum tentang Kedudukan dan Peranan Penelitian Hukum Dalam Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Tahun 1999, hal.17. 11 Sunaryati Hartono, Op.Cit., hlm. 118. 12 Menurut Sunaryati Hartono saat ini memang banyak sarjana, baik dari kalangan sarjana sosiologi maupun dari kalangan sarjana hukum sendiri, masih mengira bahwa karena ilmu hukum dikelompokkan ke dalam ilmu-ilmu sosial, metode penelitian Hukum juga (harus) sama dengan metode peneltian yang digunakan untuk penelitian empiris sosiologis. 13 Sunaryati Hartono, Op.Cit., hlm. 118-121.
Jur
na
8
Urgensi Penelitian dan Pengkajian Hukum dalam Pembentukan ... (Noor Muhammad Aziz)
21
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
a. Para peneliti tidak menggunakan satu metode penelitian dan/atau satu gaya penulisan saja. Akan tetapi, para peneliti menggunakan suatu kombinasi dari beberapa metode penelitian dan gaya penulisan secara serentak. b. Metode-metode penelitian yang dikombinasikan itu bergantung kepada: 1) subjek penelitian (materi penelitian); 2) tujuan penelitian (objek penelitian); 3) besar kecilnya dana penelitian; 4) sarana penelitian yang tersedia; 5) tenaga peneliti yang tersedia; 6) waktu peneliti yang tersedia; 7) lingkungan/tempat peneliti dilakukan.
lR ec hts V
na
Jur
c. Menurut metode dan cara penulisan/ penyajian penelitian: 1) Penelitian deskriptif;
Sunaryati Hartono, Op.Cit., hlm. 121.
14
22
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 17-31
perwatakan
Menurut Sunaryati Hartono, kiranya sulit diterima, bahwa untuk sekian banyak macam penelitian hanya satu metode penelitian saja yang paling cocok dan benar. Hal ini dikarenakan ragam penelitian dan penulisan itu biasanya tidak muncul dalam bentuk yang murni, tetapi menunjukan sifat condong ke arah (overheersend) salah satu bentuk penelitian. Oleh karena itu kecenderungan yang terjadi adalah14:
ind
b. Menurut kegunaan hasil penelitian: 1) Penelitian untuk keperluan pemeriksaan perkara di muka pengadilan, yang dilakukan oleh: Polisi, Jaksa, Pengacara, Hakim. 2) Penelitian yang dilakukan oleh konsultan hukum untuk keperluan negosiasi; 3) Inventarisasi Perundang-undangan; 4) Inventarisasi Jurisprudensi; 5) Penelitan untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran; 6) Peneltian untuk mengetahui tentang keadaan hukum yang sebenarnya (penerapan hukum); 7) Penelitian tentang kesadaran hukum suatu golongan atau kelompok masyarakat; 8) Penelitian untuk menentukan kebijaksanaan pemerintah di dalam salah satu bidang hukum; 9) Penelitian untuk menyusun rancangan Pembangunan hukum (jangka panjang);
2) Penelitian editoral; 3) Penelitian tentang (charakterisketch); 4) Penelitian reflektif; 5) Penelitian eksploratif; 6) Penelitian kritis
ing
7) Penelitian Hukum Adminstrasi Negara; 8) Penelitian Hukum Perselisihan; 9) Penelitian Hukum Agraria; 10) Penelitian Hukum Laut; 11) Penelitian Hukum Lingkungan; 12) Penelitian Hukum Angkasa; 13) dan sebagainya.
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
solusinya, langkah apa yang harus dilakukan untuk mendekatkan kenyataan hukum (das sein) dengan ideal hukum (das sollen) agar 2 (dua) variable (law in books dan law in action) menjadi sama? Pertanyaan berikutnya adalah manakah yang harus berubah dari kedua variable tersebut, apakah hukumnya yang harus diubah agar sesuai dengan tuntutan masyarakat atau sebaliknya, yaitu tingkah laku masyarakat yang harus berubah mengikuti kehendak hukum? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus terlebih dahulu dilakukan penelitian hukum, apakah dalam bentuk penelitian hukum normatif atau penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dinamakan penelitian hukum normatif dan penelitian yang meneliti data primer disebut penelitian hukum sosiologis.17 Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menganalisis hubungan timbal balik antara fakta hukum dengan fakta sosial dimana hukum dilihat sebagai independent variable dan fakta sosial dilihat sebagai dependent variable. Dengan demikian penelitian jenis ini bermula dari norma-norma hukum baru menuju ke fakta-fakta. Bila ternyata ada kesenjangan antara keduanya, maka yang harus diubah adalah fakta-fakta sosial agar sesuai dengan dengan keinginan hukum sebab diasumsikan bahwa hukum telah lengkap dan final sehingga
Jur
na
lR ec hts V
ind
Memandang hukum sebagai suatu sistem biasanya akan melihat kepada keberadaan sistem hukum nasional sebagaimana dikemukakan oleh W. Friedman, yakni terdiri atas Materi Hukum (Legal Substance), Struktur (Legal Structure) dan Budaya Hukum (Legal Culture).15 Di sisi lain sistem hukum juga dipahami akan mencakup sarana dan prasarana dari hukum itu sendiri. Sesuai dengan keberadaan hukum secara filosofis, sosiologis, dan yuridis, maka korelasi dari kedua teori tersebut dalam suatu sistem hukum nasional adalah dengan melihat sejauhmana effektifitas suatu sistem hukum dapat berlaku dengan baik ditengah-tengah masyarakatnya. Kita tidak dapat menjelaskan tentang efektifitas hukum tanpa membicarakan lebih dahulu tentang hukum dalam tataran normative (law in books) dan hukum dalam tataran realita (law in action), sebab tanpa membandingkan kedua variable ini adalah tidak mungkin untuk mengukur tingkat efektifitas hukum. Donald Black berpendapat bahwa efektifitas hukum adalah masalah pokok dalam sosiologi hukum yang diperoleh dengan cara memperbandingkan antara realitas hukum dalam teori, dengan realitas hukum dalam praktek sehingga nampak adanya kesenjangan antara keduanya16. Hukum dianggap tidak efektif jika terdapat perbedaan antara keduanya. Untuk mencari
Friedman W, Legal Theory, Fifth Edition, (New York: Columbia University Press, 1967). hlm. 29. Soerjono Soekanto tentang Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, dalam buku Zulfadli Barus, Berfikir Kritis dan Sistemik Dalam Filsafat Hukum, (Jakarta: CELS, 2004), hlm. 48. 17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV Radjawali, 1985), hlm. 15. 15 16
Urgensi Penelitian dan Pengkajian Hukum dalam Pembentukan ... (Noor Muhammad Aziz)
23
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
yang cermat, berketerandalan dan sahih untuk menjelaskan serta menjawab permasalahan yang ada20. Menurut pandangan Sunaryati Hartono, penelitian hukum normatif, merupakan kegiatan sehari-hari seorang sarjana hukum. Bahkan, penelitian hukum yang bersifat normatif hanya mampu dilakukan oleh seorang sarjana hukum. Sebagai seorang yang sengaja dididik untuk memahami dan menguasai disiplin hukum. Oleh karena itu, penelitian hukum normatif bukanlah merupakan hal yang baru bagi dosen Fakultas Hukum. Akan tetapi, karena bertahun-tahun terjadi salah paham, seakan-akan penelitian hukum yang bersifat ilmiah harus bersifat Socio yuridis atau socio legal, rasanya kini perlu disadari kembali betapa pentingnya metode penelitian normatif itu.21 Beberapa kegunaan dari metode penelitian hukum normatif dapat dilihat sebagai berikut22: a. Untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah hukum positifnya mengenai suatu masalah yang tertentu dan ini merupakan tugas semua sarjana hukum. b. Untuk dapat menyusun dokumen-dokumen hukum (seperti gugatan, tuduhan, pembelaan, putusan pengadilan, akta notaris, sertifikat, kontrak dan sebagainya) yang diperlukan oleh masyarakat. Hal ini menyangkut pekerjaan notaris, pengacara,
na
lR ec hts V
ind
yang harus diubah adalah fakta sosialnya. Jadi, hukum di sini berfungsi sebagai alat ketertiban sosial. Itulah sebabnya penelitian ini disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal, sehingga bersifat kualitatif. Dengan bantuan ilmu-ilmu sosial, penelitian hukum diperkaya dengan kemungkinan dipergunakannya metode dan teknik yang lazim dipergunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, sehingga memungkinkan dilakukannya penelitian hukum siologis atau sociological research.18 Bilamana terjadi inefektifitas hukum karena adanya kesenjangan antara law in books dan law in action, maka perubahan-perubahan pun diperlukan. Sebelum dilakukan perubahan tentu harus dilakukan penelitian. Menurut Soetandyo “Penelitian Hukum” adalah seluruh upaya untuk mencari dan menemukan jawaban yang benar (right answer) dan/atau jawaban yang tak sekali-kali keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan hukum19. Penelitian akan kian terasa diperlukan apabila kian banyak saja permasalahan bermunculan dalam kehidupan. Semakin kompleks suatu kehidupan sejalan dengan kian maraknya kehidupan berbangsa dan bernegara, dan sehubungan dengan itu kian banyak pula bermunculan masalah-masalah di dalam kehidupan hukum akan semakin banyak pula diperlukan penelitian dengan hasil-hasil
Ronny Hanitijo Soemitro, Masalah-Masalah Sosiologi Hukum, (Bandung: Sinar Baru, 1989), hlm. 110. Soetandyo Wignyosoebroto, Sebuah Pengantar Ke arah perbincangan tentang Pembinaan Penelitian Hukum Dalam PJP II (Makalah), Disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Bagi Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II, Juli 1995. 20 Ibid., 21 Sunaryati Hartono, Op.Cit., hlm. 139-140. 22 Sunaryati Hartono, Op.Cit., hlm. 140. 18
Jur
19
24
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 17-31
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
(lihat butir 6), atau hendak menyusun suatu rencana pembangunan hukum (butir 7). Akan tetapi, dalam penelitian mengenai dampak suatu lembaga hukum dalam masyarakat, atau penelitian hukum yang menyangkut pembangunan hukum masa depan (futuristik atau antisipatoris), juga diperlukan metode penelitian tentang masa depan (futurologi), metode penelitian hukum normatif disamping metode penelitian sosial atau metode penelitian sosial legal. Dengan demikian, kegiatankegiatan seperti itu merupakan kegiatan yang interdisipliner. Disamping hal-hal diatas, penelitian hukum masih dapat dibedakan menjadi Penelitian hukum monodisipliner dan Penelitian hukum interdisipliner23. Disamping itu ada hal lain yang menjadi pembeda seperti : a. Penelitian hukum dalam rangka tugastugas di bidang hukum (notaris, pengacara, pejabat, jaksa, dsb). a. Penelitian hukum untuk mencapai jenjang kesarjanaan yang tertentu (misalnya laporan pendidikan klinis hukum S1, S2, S3). b. Penelitian hukum untuk pendalaman dan pengembangan ilmu hukum (penulisan, textbook, monografi, dan penelitian untuk mempelajari asas-asas hukum positif atau untuk mengembangkan asas-asas hukum yang baru), termasuk penelitian dasar/Basic research). c. Penelitian hukum untuk menyusun bahanbahan penelitian hukum yang baru, seperti penyusunan inventarisasi, ensiklopedi
Jur
na
lR ec hts V
ind
jaksa, hakim, dan pejabat (government lawyers). c. Untuk menulis makalah/ceramah atau buku hukum. d. Untuk dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apakah dan bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah yang tertentu. e. Untuk melakukan penelitian dasar (basic research) di bidang hukum, khususnya apabila kita mencari asas hukum, teori hukum, dan sistem hukum, terutama dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas hukum baru pendekatan hukum yang baru, dan sistem hukum nasional (yang baru). f. Untuk menyusun rancangan undang-undang, atau peraturan perundang-undangan (termasuk keputusan-keputusan) yang baru (legislative drafting) g. Untuk menyusun rencana-rencana pembangunan hukum, baik rencana jangka pendek dan jangka menengah, tetapi terlebih-lebih untuk menyusun rencana jangka panjang. Metode penelitian normatif dapat digunakan sebagai satu-satunya metode penelitian, seperti yang dapat dilakukan dalam kegiatan 1,2,3,4 dan 5. Penelitian seperti itu merupakan penelitian yang monodisipliner. Akan tetapi, metode penelitian normatif tu dapat digunakan bersama-sama dengan metode penelitian lain, misalnya, bersama-sama dengan metode penelitian sosial. Hal ini merupakan conditio sine qua non apabila kita hendak menyusun RUU
Sunaryati Hartono, Op.Cit., hlm. 142-143.
23
Urgensi Penelitian dan Pengkajian Hukum dalam Pembentukan ... (Noor Muhammad Aziz)
25
Volume 1 Nomor 1, April 2012
f.
BP HN
Selanjutnya dapat juga dibedakan antara penelitian hukum yang merupakan penelitian: a. Sejarah Hukum; b. Hukum positif; c. Perbandingan hukum; dan d. Hukum yang akan datang (futuristic).
lR ec hts V
g.
ing
e.
atau legal planning (butir 8) senantiasa harus merupakan penelitian interdisipliner (karena selalu menyinggung masalah kegunaan/manfaat RUU atau kebijaksanaan yang bersangkutan) apabila penelitian ini benar-benar ingin berbobot dan hasilnya dapat dilaksanakan. Disamping itu penelitian hukum juga dibedakan dalam24: a. Penelitian hukum murni, misalnya untuk mengembangkan suatu teori. b. Penelitian terapan yang lebih memen tingkan aksiologi seperti penyusunan naskah akademik RUU, dan sebagainya.
ind
d.
hukum, kamus hukum, komentar terhadap peraturan perundang-undangan, komentar terhadap putusan pengadilan, dan sebagainya. Penelitian hukum untuk menulis makalah sebagai kerangka acuan diskusi atau seminar. Penelitian hukum untuk menyusun naskah akademik suatu RUU baru. Penelitian hukum untuk menemukan suatu kebijaksanaan (Policy) Pemerintah yang baru, yang sebaiknya diambil dalam sektor pembangunan yang tertentu, misalnya penelitian hukum mengenai Kebijaksanaan di bidang hukum Perhubungan, atau di bidang perumahan, dan sebagainya. Penelitian hukum untuk menentukan rencana pembangunan hukum, misalnya untuk menentukan bidang hukum apa saja yang perlu dikembangkan dalam lima tahun mendatang supaya perangkat Hukum Indonesia siap menampung dan mengayomi berbagai kebutuhan yang akan timbul.
Jur
na
Penelitian hukum tersebut dalam butir 1, 2, 3, 4, dan 5 biasanya merupakan penelitian hukum monodisipliner, walaupun ada juga tesis (S2) atau disertasi (S3), monograf atau makalah yang bersifat multidisipliner atau interdisipliner. Akan tetapi, penelitian hukum untuk menyusun naskah akademik RUU (butir 6) dan untuk menemukan kebijaksanaan apa yang diperlukan untuk pengembangan sektor pembangunan yang tertentu (butir 7), -apalagi untuk mengadakan perencanaan hukum
Sunaryati Hartono, Op.Cit., hlm. 144.
24
26
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 17-31
Berdasarkan berbagai pengertian dan pembagian penelitian hukum di atas maka para peneliti dapat memilih atau menggunakan metode mana yang ideal dalam suatu penelitian, yang penting hasil penelitiannya dapat dipahami dan bermanfaat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu untuk mengetahui atau mengenal apa dan bagaimanakah latar belakang mengenai suatu masalah hukum tertentu secara komprehensif sebagai bahan Naskah Akademik RUU. Penelitian hukum dirasakan peranannya dalam pelaksanaan penyusunan peraturan perundang-undangan, karena penelitian hukum
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
ini, serta mekanisme pentahapan pembentukan legislasinya. Berdasarkan hasil kajian BPHN dasar dari pelaksanaan kegiatan penelitian baru diatur secara jelas semenjak tahun 1993, yaitu dalam TAP MPR No. II/MPR 1993 tentang GBHN.25 Begitu juga dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004 –2009 dikatakan bahwa kegiatan penelitian diperlukan dalam rangka pembentukan hukum, khususnya untuk dapat lebih memahami kenyataan yang ada dalam masyarakat. Dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga secara implisit menyinggung mengenai penelitian hukum ini. Pembentukan hukum secara umum dikenal sebagai pembentukan peraturan perundangundangan.26 Pelaksanaanpembentukanperaturan perundang-undangan biasanya dilakukan dengan memperbaharui peraturan yang telah ada yang dikenal dengan “dimensi pembaharuan” dan membuat peraturan yang sama sekali baru yang dikenal dengan “dimensi penciptaan”. Penyusunan peraturan perundangundangan, khususnya undang-undang dalam pelaksanaannya terbagi dalam 3 (tiga) tahap, yaitu Tahap Pra-Legislasi, Tahap Legislasi, dan Tahap Pasca Legislasi.
lR ec hts V
ind
akan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan substansi peraturan perundang-undangan, khususnya dalam menjawab aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah yuridis, sosiologis dan filosofis. Selain itu, penelitian juga bermanfaat untuk menyusun rencana-rencana pembangunan Hukum yang lebih responsif, baik rencana jangka pendek dan jangka menengah, dan terlebih-lebih untuk menyusun rencana jangka panjang. Manfaat yang begitu besar dari penelitian diharapkan dapat membantu para drafter dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih responsif tanpa keluar dari asas-asas pembentukan hukum. Dengan kata lain bahwa hasil penelitian diharapkan mampu membentuk naskah akademik yang berkualitas karena di dalamnya memuat latar belakang pemikiran, landasan filosofis, sosiologis, yuridis, dan tujuan pembentukan suatu RUU, dan naskah akademik, juga berfungsi sebagai sarana informasi analitis, serta forecasting atas suatu RUU sehingga kelak undang-undang yang dibentuk itu punya kualitas sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat
2. Mekanisme dan Optimalisasi Pene litian Hukum dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Jur
na
Untuk mengetahui peran penelitian dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, maka sebaiknya diketahui apa yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan penelitian hukum
a. Tahap Pra-Legislasi. Dalam Tahap Pra Legislasi akan dilalui proses: (i) Perencanaan RUU; (ii) Persiapan penyusunan
Lihat : Pengkajian tentang Peranan dan Kedudukan Penelitian Hukum Dalam Proses Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta: Puslitbang BPHN, Tahun 1999). 26 Lihat Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 25
Urgensi Penelitian dan Pengkajian Hukum dalam Pembentukan ... (Noor Muhammad Aziz)
27
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
Melihat tahapan pelaksanaan penyusunan undang-undang di atas, maka penelitian sebenarnya sebagai sub sistem penyusunan suatu undang-undang, yaitu pada tahap pra-legislasi, sebagai rangkaian yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam sistem penyusunan undangundang yaitu sebagai langkah pendahuluan. Dalam proses penyusunan peraturan perundangundangan bagian yang menjadi sangat penting dan tidak boleh terabaikan adalah melihat pada hasil-hasil penelitian dan pengkajian serta naskah akademik yang pernah dilakukan, karena hasil pelaksanaan dari ketiga kegiatan tersebut akan sangat menentukan kualitas dari rancangan peraturan perundang-undangan yang akan disusun. Berdasarkan pola pikir dan kerangka pembangunan hukum yang disusun oleh BPHN kegiatan pengkajian adalah kegiatan penginventarisasian berbagai permasalahan hukum yang timbul di dalam masyarakat, oleh karena itu tinjauannya bersifat inter dan multi disipliner. Dalam pengkajian harus dapat diidentifikasikan berbagai dimensi masalah yang meliputi aspek teknologi, sosial, manajerial politik, ekononomi, agama, hankam dll. Dari pengkajian tersebut dapat tersimpulkan cara bagaimana kita sebaiknya mengatasi masalah hukum yang kita hadapi, mekanisme apa yang perlu ditingkatkan, atau sarana dan prasarana yang diperlukan.27 Karenanya sebagian besar dari pengkajian hukum justru dimaksudkan untuk mengkaji :
lR ec hts V
ind
Rancangan Undang-undang yang terdiri dari Pengkajian, Penelitian, dan penyusunan naskah akademik; (iii) Teknik Penyusunan Rancangan Undang-undang yang terdiri dari pengajuan Izin Prakarsa kepada Presiden, Penyusunan Rancangan Undang-undang Antar Kementerian, dan Sosialisasi Rancangan Undang-undang yang dilanjutkan dengan finalisasi penyusunan Rancangan Undang-undang; dan (iv) Perumusan RUU yang terdiri dari Teknis Penyusunan Rancangan Undang-undang dan penyampaian Amanat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi kegiatan penelitian dan pengkajian dilakukan pada tahap pra-legislasi sebagai langkah pendahuluan sebelum penyusunan naskah akademik guna mendapatkan bahan baku untuk menyusun naskah akademik dimaksud, kemudian dituangkan dalam naskah RUU sebelum diserahkan ke DPR. b. Tahap Legislasi
Dalam Tahap Legislasi akan dilalui proses: (i)
Pembahasan Rancangan Undang-undang Oleh DPR; (ii) Pengesahan RUU Oleh Presiden; dan (iii) Pengundangan Rancangan Undang-undang menjadi Undang-undang. c. Tahap Pasca Legislasi
Jur
na
Dan pada Tahap Pasca Legislasi akan dilalui proses: (i) Pendokumentasian Undang-undang; (ii) Penyebarluasan Undang-undang; (iii) Penyuluhan Undang-undang; (iv) Penerapan Undang-undang; dan (v) Harmonisasi Undangundang.
BPHN, Departemen Kehakiman RI, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, 1995/1996, hlm. 100.
27
28
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 17-31
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
proses gejala sosial tentang aspek-aspek hukum dari materi yang diteliti. Data dan informasi itu dapat berupa aspekaspek hukum dari perkembangan kebutuhan hukum masyarakat terhadap suatu materi yang telah diatur, atau dapat pula berupa aspek-aspek hukum/ kebutuhan hukum baru masyarakat terhadap materi yang belum pernah diatur. Berdasarkan data dan informasi yang lengkap yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian/ pengkajian hukum itulah kemudian dilakukan penyusunan naskah akademik yang akan menjadi embrio dari suatu rancangan undang-
undang. Penyusunan suatu naskah rancangan undang-undang yang tidak didasarkan pada data dan informasi yang lengkap dan akurat akan sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan baik dari segi praktis maupun dari segi ilmiah. Berdasarkan hal tersebut sangat perlu penelitian hukum diefektifkan dengan sebaikbaiknya, baik yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, maupun oleh lembaga-lembaga penelitian lainnya.
lR ec hts V
ind
1) Masalah-masalah hukum apa yang terjadi di dalam masyarakat, dan bagaimana mengatasinya; 2) Bagaimana kita dapat dan harus mewujudkan dan menyempurnakan Sistem Hukum Nasional kita, yang mencakup Budaya Hukum, Materi Hukum, Lembaga dan Aparatur serta Sarana dan Prasarana Hukum; 3) Bagaimana kita dapat mempercepat proses pembangunan hukum; 4) bagaimana kita harus merencanakan pembangunan hukum Nasional kita dan menyusun Rencanna Pembangunan hukum Nasional jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek; 5) memonitor dan mengevaluasi penerapan UU baru di dalam masyarakat;
Jur
na
Dalam kaitannya dengan pembentukan mate ri hukum jika hasil pengkajian menyimpulkan, bahwa diperlukan peraturan atau pranata atau hukum yang baru, maka dilakukan penelitian yang lebih menekankan pada penelitian normatif, yang digabung dengan pendekatan sosio-legal dan perbandingan hukum28. Penelitian adalah suatu kegiatan yang dilakukan menurut metode ilmiah yang sistematik untuk menemukan data atau informasi, dan atau teknologi baru, membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran hipotesa, sehingga dapat dirumuskan teori atau proses gejala alam atau sosial. Bertolak dari pengertian penelitian tersebut, maka penelitian hukum bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang
E. Penutup
1. Kesimpulan
Terdapat beragam pengertian penelitian hukum, yang kesemuanya itu mengarah pada suatu proses mencari jawab atas permasalahan hukum. Penelitian hukum pada dasarnya adalah seluruh upaya untuk mencari dan menemukan jawaban yang benar (right answer) dan/atau jawaban yang tak sekali-kali keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan hukum.
Ibid.
28
Urgensi Penelitian dan Pengkajian Hukum dalam Pembentukan ... (Noor Muhammad Aziz)
29
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ing
BP HN
perundang-undangan yang diawali dengan kegiatan penelitian, pengkajian, penyusunan naskah akademik, yang kemudian dituangkan dalam draft RUU, atau dengan kata lain bahanbahan kegiatan penelitian dan pengkajian hukum dimasukkan dalam satu alur proses legislasi karena pengkajian, penelitian dan penyusunan naskah akademik adalah kegiatan serumpun yang menghimpun data dan informasi bagi permulaan penyusunan peraturan perundangundangan.
2. Saran
Untuk efektifnya kegiatan-kegiatan penelitian hukum yang dilakukan, maka perlu diusahakan : 1) koordinasi penelitian hukum; 2) peningkatan kemampuan tenaga fungsional peneliti hukum; 3) adanya suatu sistem penelitian hukum yang baik; 4) adanya kesatuan faham di antara peneliti hukum mengenai konsepsi atau metode yang semestinya dipergunakan dalam penelitian hukum untuk keperluan pembentukan per aturan perundang-undangan;
Jur
na
lR ec hts V
ind
Manfaat penelitian hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah untuk mendapatkan bahan baku (raw material) dari seluruh aspek baik yuridis, sosiologis maupun filosofis secara lengkap dan akurat yang kemudian dijadikan bahan untuk penyusunan Naskah Akademik, dan dari naskah akademik tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk pasal-pasal dalam suatu rancangan undang-undang. Penelitian hukum tersebut akan dapat memecahkan persoalanpersoalan yang berkaitan dengan substansi peraturan perundang-undangan, sehingga dapat memperlancar proses pembahasan di DPR, dan dapat memprediksi bahwa undangundang tersebut akan dapat diterapkan secara efektif di masyarakat, atau dengan kata lain dapat membantu para drafter dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih responsif tanpa keluar dari asas-asas pembentukan hukum. Sedangkan mekanisme dalam rangka optimalisasi hasil penelitian bagi kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan perlu ada langkah-langkah juridis untuk mengakomodasi peran penelitian secara lebih jelas dalam peraturan perundang-undangan. Di dalam aturan yang mengatur tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan saat ini belum disebutkan secara lebih eksplisit mengenai penelitian dan peran penelitian hukum. Padahal disadari bahwa agar produk peraturan perundang-undangan kita baik dan berkualitas perlu adanya mekanisme yang komprehensif dalam pembentukan peraturan
30
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 17-31
Untuk lebih menjamin agar hasil penelitian hukum dapat lebih berguna dalam penyusunan, baik dalam naskah akademik maupun rancangan undang-undang, para peneliti dianjurkan memahami juga teknis drafting peraturan perundang-undangan.
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
Jur
na
lR ec hts V
ind
Barus, Zulfadli, Berfikir Kritis dan Sistemik Dalam Filsafat Hukum, (Jakarta: CELS, 2004) BPHN, Departemen Kehakiman RI, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, 1995/1996. BPHN, Pengkajian Hukum tentang Kedudukan dan Peranan Penelitian Hukum Dalam Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Tahun 1999. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cetakan Pertama, 1988). Friedman, W, Legal Theory, Fifth Edition, (New York: Columbia University Press, 1967). Hartono, CFG Sunaryati, penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994).
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV Radjawali, 1985). Soemitro, Ronny Hanitijo, Masalah-masalah Sosiologi Hukum, (Bandung: Sinar Baru, 1989) Wignyosoebroto, Soetandyo, Sebuah Pengantar Ke arah perbincangan tentang Pembinaan Penelitian Hukum Dalam PJP II (Makalah), pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum Sebagai Sebagai Modal Bagi Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II, Juli 1995. Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara 1945 Beserta Perubahannya. Republik Indonesia, Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
ing
DAFTAR PUSTAKA
Urgensi Penelitian dan Pengkajian Hukum dalam Pembentukan ... (Noor Muhammad Aziz)
31
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
ARAH POLITIK HUKUM PERTANAHAN DAN PERLINDUNGAN KEPEMILIKAN TANAH MASYARAKAT
(Political Direction of Land Law and Protection Of People’s Land Ownership) Nurhasan Ismail Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta Jl. Sosio Justicia Bulaksumur Yogyakarta Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 19 Januari 2012; revisi: 2 Maret 2012; disetujui: 15 Maret 2012
lR ec hts V
ind
Abstrak Penguasaan dan pemanfaatan tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan arah dari politik hukum pertanahan Indonesia yang bertujuan untuk menjamin terwujudnya kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Wujud dari hal tersebut terlihat dari adanya perhatian khusus kepada kelompok masyarakat lemah melalui kebijakan pertanahan. Belakangan, terjadi pergeseran politik pertanahan, dimana penguasaan dan pemanfaatan tanah hanya didapat oleh sekelompok kecil masyarakat, yaitu perusahaan besar. Tulisan yang membahas tentang politik hukum pertanahan nasional saat ini dan bentuk perlindungan hak kepemilikan tanah masyarakat dilakukan dengan metode penelitian sosioyuridis. Dari hasil penelitian terlihat bahwa pada saat ini terdapat upaya untuk menghidupkan kebijakan pertanahan yang mengembalikan keseimbangan seperti yang diinginkan UUPA. Langkah yang ditawarkan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menerapkan politik hukum pertanahan prismatik yang mendasarkan pada beberapa prinsip seperti prinsip keberagaman hukum dalam kesatuan, prinsip persamaan atas dasar ketidaksamaan, prinsip mengutamakan keadilan dan kemanfaatan di atas kepastian hukum, dan prinsip diferensiasi fungsi dalam keterpaduan. Kata Kunci: politik hukum, agraria, hukum prismatik, land reform
Jur
na
Abstract Land use and tenure are stipulated in the Basic Agrarian Law (UUPA) is the political direction of the Indonesian land law aimed at ensuring the realization of prosperity for all Indonesian people. Manifestations of this evident from the presence of particular concern to the community weaker over land policy. Indonesia. Later, the political shift of land, land use and tenure which obtained only by a small group of people, the big companies. Studies that discuss the political current national land law and forms of protection of land rights community do with socio-legal research methods. From the research shows that there are now efforts to turn the land policy that restores the balance as desired UUPA. Measures offered to make this happen is to apply the law of the land prismatic politics based on several principles like the principle of legal diversity in unity, the principle of equality on the basis of inequality, the principle that the justice and expediency over the rule of law, and the principle of differentiation in functionality integration. Keywords: politic of law, agrarian, prismatic law, land reform
Arah Politik Hukum Pertanahan ... (Nurhasan Ismail)
33
Volume 1 Nomor 1, April 2012
A. Pendahuluan1 Tanpa Nasi”. Ungkapan tersebut dapat dimaknai sebagai ungkapan ”asal omong atau asal bunyi” karena dinilai tidak mengandung makna apapun. Bagi sekelompok orang tertentu, hidup tanpa memiliki tanah sepertihalnya makan tidak harus nasi bukanlah persoalan hidup. Bagi kelompok ini, yang penting bukanlah memiliki tanahnya, namun ada tanah yang dapat disewa dari pemiliknya atau ada tanah kosong tanpa peduli siapa yang mempunyai dan
Memiliki tanah terkait dengan harga diri (nilai
sosial), sumber pendapatan (nilai ekonomi),
kekuasaan dan hak previlise (nilai politik), dan tempat untuk memuja Sang Pencipta (nilai
sakral-budaya). Tidak mempunyai tanah berarti kehilangan harga diri, sumber hidup, kekuasaan,
dan tempat penghubung antara manusia dengan Sang Pencipta.
Keniscayaan dan kebutuhan memiliki tanah
sudah tertanam sudah sedemikian mendalam dalam lintasan sejarah kehidupan manusia.
ind
dapat digunakan untuk mendirikan bangunan
merupakan suatu keniscayaan dan kebutuhan.
ing
“Hidup Tanpa Memiliki Tanah Bagai Makan
BP HN
bahan pangan yang mengandung karbohidrat
tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha. Bagi kelompok ini juga merasa tidak perlu memiliki
Hal ini ditunjukkan dalam berbagai ungkapan daerah2:
kegiatan usaha sehingga mereka dapat menjaga
”sakdhumuk batok senyari bumi, yen perlu ditohi pati” atau ”ango’ apoteya tolang ebanding apoteya mata” atau ”uissi la pernah merigat” atau ”ulos na so boi maribak”.
keberlangsungan hidup.
Ungkapan-ungkapan ini menggambarkan
tanah namun cukup ada bangunan yang dapat
lR ec hts V
digunakan untuk tempat tinggal atau tempat
Pandangan demikian hanya dianut oleh
kedudukan dan fungsi tanah yang begitu
sebagian kecil umat manusia karena gaya
sangat penting bagi kehidupan manusia. Tanah
hidup yang nomaden atau karena sikap
merupakan
pesimis terhadap hidup atau sebagai bentuk
dari tanah mengalir semangat harga diri,
”pembangkangan”
kemakmuran, kekuasaan, dan
terhadap
ketidak-mau-
sumber
penghidupan
karena
kesakralan.
tahuan negara terhadap keberadaan mereka
Oleh karenanya, setiap orang berjuang untuk
atau ketidakhadiran negara dalam kehidupan
memiliki
mereka. Namun bagi mayoritas manusia,
Perjuangan tersebut disertai tekad bulat untuk
memiliki tanah seperti halnya makan nasi atau
mengorbankan nyawa daripada menanggung
dan
mempertahankannya.
Jur
na
tanah
1
2
34
Tulisan ini diolah dari makalah yang penulis sampaikan dalam Seminar bertema: “Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional” yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, pada tanggal 17 November 2011. Departemen Penerangan RI, Pertanahan Dalam Era Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Ditjen Agraria Departemen Dalam Negeri, 1982) hlm. 18.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 33-51
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Namun seperti dikatakan oleh seorang
BP HN
malu atau kehilangan harga karena tidak punya
pemikir Islam bahwa yang paling berat dalam
tanah. bermakna
kehidupan adalah melaksanakan amanah.
fungsi memiliki tanah bagi setiap manusia
Dalam perjalanan pembangunan politik, politik
baik dalam kesendiriannya maupun kelompok.
pembangunan ekonomi, dan lebih khusus
Para Pendiri Negara ini sudah menitipkan satu
politik pembangunan hukum pertanahan, kita
amanah melalui Pasal 33 ayat (3) UUD Negara
sebagai bangsa belum mampu memahami
RI 1945 kepada para penguasa negara Republik
dan melaksanakan isi amanah. Kebijakan
Indonesia agar mengatur penggunaan sumber
pertanahan
daya alam termasuk tanah untuk meningkatkan
sepenuhnya menjabarkan kandungan semangat
kemakmuran
Indonesia.
amanah konstitusi dan UUPA. Akibatnya, bangsa
Sumber daya tanah dan sumber daya alam
Indonesia semacam terkena ”karma” atas
lainnya bukanlah milik satu golongan tertentu,
pengingkaran amanah berupa konflik hukum
namun kepunyaan kita semua sebagai bangsa.
dan kepentingan struktural pertanahan yang
Kepada negara sebagai organisasi kekuasaan
tidak mereda intensitasnya sampai ungkapan
bangsa dibebankan amanah untuk mengatur
konflik yang paling tinggi berupa tuntutan
penggunaan tanah bagi kemakmuran seluruh
merdeka seperti yang terjadi di Papua.
begitu
teramat
rakyat
dikembangkan
belum
lR ec hts V
ind
seluruh
yang
ing
Menyadari
komponen tertentu.
bangsa
dan
bukan
kelompok
Tulisan ini mencoba memberikan gambaran
perjalanan arah politik hukum pertanahan yang
Amanah yang tersurat dalam Pasal 33 ayat
terjadi secara singkat dan dampaknya dalam
(3) UUD Negara RI 1945 mengandung dasar
aspek tertentu terhadap perlindungan hukum
dan sekaligus arahan bagi politik pembangunan
kepemilikan tanah masyarakat. Dalam perjalanan pembangunan politik,
lainnya. Amanah tersebut kemudian dijabarkan
politik pembangunan ekonomi, dan lebih khusus
dengan semangat yang konsisten dan progresif
politik pembangunan hukum pertanahan, kita
ke dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960
sebagai bangsa belum mampu memahami
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
dan melaksanakan isi amanah. Kebijakan
yang disebut juga dengan Undang-Undang
pertanahan
Pokok Agraria (UUPA). Penjabaran ke dalam
sepenuhnya menjabarkan kandungan semangat
UUPA masih dalam tataran asas-asas hukum
amanah konstitusi dan UUPA. Akibatnya, bangsa
yang harus dikembangkan ke dalam berbagai
Indonesia semacam terkena ”karma” atas
peraturan pelaksanaan yang lebih kongkret
pengingkaran amanah berupa konflik hukum
Jur
na
hukum pertanahan dan sumber daya alam
yang
dikembangkan
belum
untuk
dan kepentingan struktural pertanahan yang
meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat
tidak mereda intensitasnya sampai ungkapan
sehingga
dapat
lebih
operasional
Indonesia.
Arah Politik Hukum Pertanahan ... (Nurhasan Ismail)
35
Volume 1 Nomor 1, April 2012
D. Pembahasan
BP HN
konflik yang paling tinggi berupa tuntutan merdeka seperti yang terjadi di Papua.
1. Arah Politik Hukum Pertanahan
B. Permasalahan
Politik hukum pertanahan dalam pengertian
diangkat dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana arah politik hukum pertanahan nasional saat ini? 2. Bagaimana dampak politik hukum per tanahan saat ini terhadap perlindungan hak kepemilikan tanah masyarakat? 3. Bagaimana
alternatif
politik
hukum
mengurangi dampak negatif dari politik hukum pertanahan yang ada saat ini?
sudah tertuang dalam UUPA. Di satu sisi, UUPA berkedudukan sebagai penjabaran tujuan dan
prinsip hukum dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI 1945 namun di sisi lain UUPA beserta prinsipprinsip
hukumnya
berkedudukan
sebagai
sumber bagi pengembangan kebijakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan nasional. Arahnya adalah untuk menjamin terwujudnya kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, UUPA mengandung prinsip-prinsip penguasaan dan pemanfaatan tanah untuk mendorong
lR ec hts V
C. Metode Penelitian
sebagai pedoman untuk mewujudkan tujuan
ind
pertanahan di masa depan dalam rangka
pilihan tujuan dan prinsip hukum yang digunakan
ing
Dari uraian di atas, permasalahan yang
Tulisan ini menggunakan pendekatan sosio
hukum, dengan maksud ingin melihat lebih
jauh daripada sekedar pendekatan doktrinal,
sehingga memiliki perspektif lebih luas dengan melihat hukum agraria dalam hubungannya dengan sistem sosial, politik, dan ekonomi masyarakat.3
kemajuan bidang ekonomi, industri, dan bidang lain yang pelaksanaannya tergantung pada ketersediaan tanah. Namun demikian UUPA juga memberikan perhatian khusus terhadap kelompok masyarakat yang lemah dan termarjinalkan oleh kebijakan pertanahan pada masa sebelumnya. Dengan
pilihan
prinsip-prinsip
yang
dimaksudkan menjamin terwujudnya tujuan tersebut, UUPA dapat ditempatkan sebagai
na
hukum progresif4 atau Hukum Prismatik.5 Sebagai
Cyberconsult, Reformasi Hukum di Indonesia, Hasil Studi Perkembangan Hukum, (Jakarta: Bank Dunia, 1999), hlm. 153. 4 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Penjelajahan Suatu Gagasan, dalam Majalah Newsletter, Kajian Hukum Ekonomi dan Bisnis, Nomor 59, Desember 2004. 5 Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan : Pendekatan Ekonomi-Politik, (Jakarta-Yogyakarta: Huma dan Magister Hukum UGM, 2007)
Jur
3
36
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 33-51
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dan menumpuknya pemilikan tanah pada
instrumen untuk menciptakan suatu perubahan
segelintir orang (Pasal 6 dan Pasal 7 jo.Pasal 17),
masyarakat yang maju di bidang ekonominya
dorongan ke arah konservasi sumber daya tanah
melalui penataan struktur pemilikan tanah,
melalui pembebanan kewajiban memelihara
yang di satu sisi mendorong ke arah perubahan
kesuburan tanah dan larangan pemilikan tanah
pertanian dan industri yang semakin maju
absentee sebagai penyeimbang agar tekanan
namun dengan tidak mengabaikan keadilan
pada produktivitas tanah tidak menimbulkan
dalam pengertian terciptanya pemerataan
kerusakan terhadap fungsi dan kemampuan
pemilikan tanah.
fisik tanah (Pasal 15 dan Pasal 10), pemberian
ing
BP HN
hukum progresif, UUPA dimaksudkan sebagai
perlakuan khusus kepada kelompok yang lemah
UUPA dijabarkan dari 2 (dua) kelompok nilai
dan marjinal dengan membebankan kewajiban
sosial yaitu modern dan tradisional sesuai
kepada pemerintah (negara) untuk melindungi
dengan kemajemukan masyarakat Indonesia.
golongan ekonomi lemah dan pendistribusian
Penjabaran nilai sosial modern tercermin dari
tanah kepada mereka sebagai penyeimbang pada
prinsip-prinsip: individualisasi kepemilikan hak
prinsip persamaan beserta semangat persaingan
atas tanah (Pasal 4 jo.Pasal 9 dan pasal-pasal hak
yang mengiringi (Pasal 11 dan Pasal 17), dan
atas tanah), dorongan pemanfaatan tanah yang
pencegahan dominasi dalam penguasaan dan
dapat menghasilkan produksi yang setinggi-
pengusahaan tanah oleh perusahaan dengan
tingginya melalui kewajiban memanfaatkan
kewajiban kegiatan usaha di sektor pertanian
secara intensif (Pasal 10, Pasal 13, dan Pasal
dan industri dilakukan dalam wadah koperasi
15), persamaan akses bagi setiap orang
dan larangan monopoli (Pasal 12 dan Pasal 13).
untuk mempunyai tanah di seluruh wilayah
Melalui prinsip-prinsip hukum yang diramu
Indonesia dengan tidak membedakan status
dari perpaduan antara nilai sosial modern
kewarganegaraan atau jender (Pasal 4 dan Pasal
dan tradisional dimaksudkan agar pengaturan
9 dan pasal-pasal hak atas tanah), dan pemberian
penguasaan dan pemanfaatan tanah mengarah
kepemilikan tanah bagi pengembangan usaha
pada terciptanya ke makmuran yang merata
berskala besar di sektor pertanian atau industri
bagi semua orang dan kelompok masyarakat.
dengan batasan tertentu (Pasal 28 dan Pasal
Melalui
35).
tersebut, UUPA di satu sisi hendak mendorong
na
lR ec hts V
ind
Sebagai hukum prismatik, prinsip-prinsip
perpaduan
prinsip-prinsip
hukum
kemajuan ekonomi pertanian dan industri
dari prinsip-prinsip: pelekatan fungsi sosial
dengan memberikan hak atas tanah secara
hak atas tanah dan pembatasan luas tanah
individual kepada setiap orang atau perusahaan
Jur
Penjabaran nilai sosial tradisional tercermin
yang dapat dipunyai setiap orang sebagai
dalam skala besar dan mewajibkan kepada
pencegah
kepemilikan
mereka berproduksi secara optimal. Namun di
tanah tidak mengarah kepemilikan mutlak
sisi lain, UUPA berusaha mencegah terjadinya
agar
individualisasi
Arah Politik Hukum Pertanahan ... (Nurhasan Ismail)
37
Volume 1 Nomor 1, April 2012
sosial-ekonomi-politik
negatif
dari proses pencapaian kemajuan dengan
beroperasinya perusahaan melalui pemerintah daerah.
BP HN
dampak
membebankan fungsi sosial hak atas tanah,
Tujuannya jelas, agar terdapat pemerataan
kewajiban konservasi tanah, perlakuan khusus
penguasaan dan pemilikan tanah sebagai dasar
bagi kelompok yang lemah, pewadahan dalam
bagi pemerataan kemakmuran dan keuntungan
koperasi bagi usaha skala besar, dan larangan
dari perusahaan berskala besar yang dapat
monopoli.
dinikmati secara bersama oleh para karyawan
dan masyarakat di sekitar perusahaan. Namun
dalam UUPA, dalam perjalanan pelaksanaannya
demikian, cara dan tujuan yang sudah konsisten
belum dapat dijabarkan secara utuh baik pada
dengan UUPA tersebut mengalami kegagalan
masa Orde Lama maupun Orde Baru dan Orde
karena beberapa sebab, yaitu: Pertama, kurang
Reformasi.
Pada masa Orde Lama, politik
kuat dan konsentratifnya komitmen pemerintah
hukum pertanahan sudah mengarah pada upaya
untuk melaksanakan program landreform dan
mewujudkan pemerataan kemakmuran bagi
kepemilikan saham perusahaan karena pimpinan
seluruh rakyat. Melalui program landreform
negara terlalu sibuk dengan persoalan politik
yang sudah diatur dalam UU No.56 Tahun 1960
konfrontatif. Hal ini menyebabkan pemerintah
beserta peraturan pelaksanaannya, perombakan
tidak cukup mempunyai kekuatan untuk
lR ec hts V
ind
ing
Semangat hukum prismatik yang terkandung
struktur penguasaan tanah yang timpang sudah
melawan perlawanan para tuan tanah baik di
dimulai dengan mengambilalih tanah-tanah
tingkat pengembangan kebijakan di parlemen
kelebihan dari batas maksimum dan tanah-tanah
melalui partai nasionalis dan keagamaan
absentee, yang kemudian direncanakan untuk
yang menjadi afiliasi para tuan tanah maupun
didistribusikan kepada kelompok masyarakat
di tingkat pelaksanaannya,
yang tidak mempunyai tanah. Tanah-tanah yang
tanahnya diambil alih untuk dijadikan obyek
dikuasai langsung negara ditetapkan sebagai
landreform. Kedua, kebijakan yang konfrontatif dan
masyarakat yang belum mempunyai tanah.
revolusioner terhadap terhadap perusahaan
Semangat koperasi sebagai wadah pengusahaan
berskala besar yang menguasai tanah yang sangat
tanah dalam skala luas sudah dimulai melalui
luas terutama yang berstatus perusahaan asing
Peraturan Menteri Agraria dan Pertanian No.11
dengan cara melakukan tindakan nasionalisasi.
Tahun 1962 yang
menetapkan kepemilikan
Kebijakan nasionalisasi dilancarkan sejak tahun
saham dari perusahaan terbagi menjadi 3
1958 sampai 1963 kepada perusahaan asing
bagian yaitu 50% tetap dipunyai oleh pendiri
baik yang bergerak di bidang perkebunan dan
na
obyek landreform untuk didistribusikan kepada
Jur 38
yang tidak rela
perusahaan, 25% diserahkan kepada karyawan,
sektor perekonomian lainnya. Tanah-tanah hasil
dan 25% kepada masyarakat di sekitar tempat
nasionalisasi itu kemudian tidak dijadikan obyek
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 33-51
landreform, namun ditempatkan di bawah
Volume 1 Nomor 1, April 2012
tanah bagi kegiatan usaha perkebunan dan
sebagian dari perusahaan tersebut dikelola oleh
industri. Liberalisasi dan swastanisasi belum
ABRI, yang kemudian justru menjadi salah satu
terlalu
sumber konflik pertanahan antara ABRI dengan
perusahaan swasta yang sudah diberikan
masyarakat di sekitarnya.6
peranan dilakukan pengawasan yang cukup
BP HN
pengawasan ABRI. Dalam perkembangannya,
banyak
dikembangkan.
Terhadap
ketat seperti persyaratan pemberian luas
pemerintah dari salah satu kekuatan partai
tanah disesuaikan dengan ”equity capital” atau
politik yang ada dan kemudian melakukan
modal yang dipunyai oleh perusahaan. Hal
tindakan pengambil-alihan tanah secara sepihak
ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
dari para tuan tanah. Kekuatan partai politik
spekulasi penguasaan tanah dan mencegah
tersebut kemudian dalam peristiwa Gerakan
terjadinya dampak negatif kepada masyarakat.
30 September 1965 telah dinilai melakukan
ing
Ketiga, adanya sikap tidak percaya kepada
Namun dalam perkembangannya, pelan
tapi pasti terutama sejak pertengahan dekade
pengambilalihan tanah secara sepihak dinilai
1980’an dan semakin intensif awal 1990’an,
juga tidak sah dan di era Orde Baru kemudian
swastanisasi dan liberalisasi semakin menjadi
diserahkan
tanah;
mainstream substansi kebijakan pertanahan,
Keempat, kemiskinan yang merajalela di akhir
bahkan semakin mengarah pada komoditisasi
pemerintahan Orde Lama yang disebabkan oleh
tanah yang berdampak negatif bagi perlindungan
kegagalan program Berdiri Di Atas Kaki Sendiri
kepemilikan tanah masyarakat7. Perkembangan
(BERDIKARI) di semua bidang merupakan
tersebut dapat dicermati dari beberapa fakta
faktor penyebab gagalnya arah politik hukum
yaitu :
kepada
tuan
lR ec hts V
kembali
ind
pemberontakan terhadap negara. Akibatnya,
pertanahan di Era Orde Lama.
Pada masa Orde Baru, terjadi perubahan
ideologi pembangunan dari sosialisme ala
Indonesia yang dikembangkan oleh Soekarno
ke arah kapitalisme beserta anak kandungnya berupa liberalisasi dan swastanisasi penguasaan dan
pemanfaatan
tanah.
Pada
awalnya,
na
pemerintah Orde Baru masih mempertahankan peranan badan usaha milik negara (BUMN) dalam
instrumen pemerataan kepemilikan tanah. Pemati-surian bermakna adanya kebijakan untuk tidak melaksanakan lagi program landreform (Policy of non Enforcement) meskipun peraturan perundang-undangan yang mengaturnya secara formal tetap berlaku. Pemati-surian program landreform ini
semakin
sempurna
ketika
dalam
masyarakat berkembang persepsi keterkaitan
Jur
penguasaan dan pemanfaatan/pengusahaan
a. ”Pemati-surian” program landreform sebagai
6 7
Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik : Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 60-61. Ifdhal Kasim, Tanah Sebagai Komoditas: Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru, (Jakarta : ELSAM, 1996).
Arah Politik Hukum Pertanahan ... (Nurhasan Ismail)
39
Volume 1 Nomor 1, April 2012
setiap orang dan badan hukum untuk menempatkan komoditas.
memiliki tanah
Kebebasan
tanah
sebagai
tanah
sebagai
serta barang
menguasai
dan
memiliki tanah tampak dari: (a) tidak dikembangkannya kebijakan pembatasan kepemilikan tanah bagi tanah pekarangan yang menurut UU No.56 Tahun 1960 diamanahkan untuk diatur; (b) begitu juga
sebagai obyek mendapatkan keuntungan yang
sebanyak-banyaknya
dari
tanah
dengan mengabaikan fungsi sosial hak atas
tanah sebagaimana diamanahkan Pasal 6 UUPA. Kebebasan ini secara yuridis dibuka kemungkinannya
melalui
Kepmenpera
No.11/KPTS/1994
tentang
Pedoman
Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun dan Kepmenpera No.9/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah;
ind
perusahaan berbadan hukum mempunyai
(a) kebebasan memperjual belikan tanah
ing
b. Adanya kebebasan dan persaingan bagi dan
menjadikan
barang komoditas dapat dicermati dari:
yang sudah dilarang.
menguasai
c. Kebebasan
BP HN
landreform dengan Partai Komunis Indonesia
kebebasan mempunyai tanah seberapa pun
luas yang diinginkan meskipun di dalamnya
terkandung penguasaan spekulatif yang
Hak Guna Usaha untuk menyerahkan pengusahaan tanah kepada perusahaan lain melalui Kontrak Manajemen Pengusahaan
lR ec hts V
bertentangan dengan prinsip Pasal 6 UUPA.
(b) pembolehan perusahaan pemegang
Baru pada tahun 1999 dengan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.2 Tahun 1999 tentang Ijin Lokasi dilakukan pembatasan namun luasannya masih cukup
tinggi; (c) diabaikannya ketentuan batas maksimum pemilikan tanah pertanian yang
sudah menjadi kebiasaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 ayat (2) PP No.40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai.
d. Terjadinya
persegeseran
dari
politik
pertanahan yang mendorong pemerataan
1960; (d) masuknya instansi pemerintah
pemilikan tanah sebagai cara mewujudkan
baik secara langsung atau melalui badan
kemakmuran
usaha milik negara/daerah yang didirikan
pertanahan yang mendorong ke arah
menjadi pesaing baru dalam penguasaan
konsentrasi penguasaan dan pemanfaatan
dan pemanfaatan tanah melalui Hak Pakai
tanah pada sekelompok kecil subyek
Selamanya atau Hak Pengelolaan yang
terutama perusahaan besar. Pergeseran
kemudian dikategorikan sebagai ”Barang
ini sejalan dengan logika kapitalisme, yaitu
Milik Negara/Instansi Pemerintah” di luar
sumberdaya tertentu termasuk tanah tidak
kepentingan tempat mendirikan kantor atau
perlu
di luar misi pelayanan publik.
mungkin orang, namun cukup dikuasai dan
na
sudah ditentukan dalam UU No.56 Tahun
Jur 40
atau bentuk yang lain jika praktik demikian
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 33-51
rakyat
didistribusikan
ke
arah
kepada
politik
sebanyak
dimanfaatkan oleh subyek tertentu yang
Volume 1 Nomor 1, April 2012
bagi kesejahteraan pemilik tanah mengalami
baik secara permodalan maupun manajemen
penurunan.
dan penguasaan teknologi.
terkandung dalam Permendagri No.15 Tahun
e. Melalui
konsentrasi
penguasaan
dan
pemanfaatan tanah oleh perusahaan berskala besar
diharapkan
terjadi
pemerataan
BP HN
mempunyai kemampuan mengusahakan
Demikian
semangat
yang
1975 tentang Pembebasan Hak Atas Tanah
Bagi Kepentingan Umum dan Keppres No.55 Tahun 1993 yang menjadi penggantinya.
Pada masa Orde Reformasi sekarang,
kerja dan upah yang ditentukan dalam
semangat kebijakan kapitalistik, liberal, dan
bentuk
Kabupaten/
persaingan tidak mengalami perubahan. Artinya
Propinsi” (UMK/P) dengan dasar kebutuhan
kebijakan pertanahan masih melanjutkan yang
fisik minimum (KFM) dan bukan kebutuhan
sudah ada dan dipraktikkan pada masa Orde
hidup minimum (KHM). Berbagai kebijakan
Baru, bahkan melalui instansi sektoral kebijakan
dikembangkan untuk mendukung terjadinya
kapitalistik dan liberal itu semakin meningkat,
konsentrasi penguasaan dan pemanfaatan
meskipun Badan Pertanahan Nasional berusaha
tanah oleh perusahaan berskala besar ini
untuk
berupa kemudahan mendapatkan perijinan
pada semangat UUPA namun tidak cukup
lokasi (Permennag No.2 Tahun 1993 yang
mendapatkan dukungan dari instansi sektoral.
diganti dengan Permennag No.2 Tahun
Hal ini dapat dicermati dari 2 (dua) kelompok
1999), fasilitas perpajakan, dan termasuk
kebijakan, yaitu :
pembiaran hak tradisional masyarakat lokal
a. Terdapat kebijakan atau rencana kebijakan
atau hak ulayat masyarakat hukum adat.
pertanahan yang dibangun oleh instansi
Meskipun untuk hak ulayat sudah terdapat
sektoral di luar Badan Pertanahan Nasional
kebijakan yaitu Permennag/Ka.BPN No.5
yang semakin meningkatkan intensitas
Tahun 1999 yang memberikan perhatian
semangat kapitalistik dan liberal di bidang
namun aplikasinya oleh pemerintah daerah
pertanahan yaitu :
belum ditindaklanjuti sehingga kebijakan
1) rencana kebijakan Kementerian Pertanian
Minimum
lR ec hts V
ind
”Upah
ing
kemakmuran melalui ketersediaan lapangan
yang populis tersebut tidak mempunyai pengaruh apapun.
meredam
dan
mengembalikannya
yang akan membuka jutaan hektar tanah untuk pertanian pangan melalui ”Food Estate Program”. Pemerintah
tanah bagi terujudnya kepentingan negara
dalam rangka menjamin ketahanan
atau umum. Artinya rakyat pemilik tanah
dan
diminta berkorban dengan cara melepaskan
membuka tanah pertanian baru, namun
hak atas tanah untuk diserahkan kepada
penguasaan dan pemanfaatannya akan
pemerintah dengan besaran ganti rugi yang
diberikan kepada perusahaan berskala
diinginkan pemerintah meskipun dampaknya
besar dan bukan didistribusikan kepada
Jur
na
f. Ideologisasi pengorbanan oleh rakyat pemilik
kedaulatan
pangan
berencana
Arah Politik Hukum Pertanahan ... (Nurhasan Ismail)
41
Volume 1 Nomor 1, April 2012
bertujuan untuk menjamin kepastian
merupakan
dan perlindungan hukum bagi setiap
kelanjutan dari kebijakan konsentrasi
perusahaan perkebunan yang sudah
penguasaan dan pemanfaatan tanah
mendapatkan ijin dan HGU. Namun
yang sudah dikembangkan di masa
di sisi lain, ketentuan dapat menjadi
Orde Baru. Sebaliknya kebijakan ini
ancaman bagi warga masyarakat hukum
memang sudah mengabaikan semangat
adat yang atas dasar hak ulayatnya untuk
pemerataan pemilikan tanah pertanian
memanfaatkan tanah yang sama namun
yang dikehendaki oleh dasar politik
belum mendapatkan rekognisi apapun
kebijakan
ini
petani.
memang
bagi penggunaan tanah oleh perusahaan
pertanahan yaitu UUPA; 2) masih
dalam
rangka
ing
masyarakat
BP HN
Artinya,
warga
menjamin
ketahanan dan kedaulatan pangan,
4) Melalui UU Rumah Susun yang baru disahkan oleh DPR, pemerintah didorong
ind
pemerintah melalui badan usaha milik
perkebunan.
untuk melanjutkan semangat liberalisasi
pertanian yang dipunyai petani untuk
penguasaan dan pemanfaatan tanah
diusahakan tanaman pangan. Di satu
dengan cara memperkuat kepemilikan
sisi rencana kebijakan ini menunjukkan
tanah oleh orang asing baik untuk
kepedulian
ditempati
lR ec hts V
negara berencana untuk menyewa tanah
pemerintah
terhadap
sebagai
sarana
kebutuhan pokok masyarakat, namun di
investasi. Dengan kebijakan demikian,
sisi lain rencana tersebut menunjukkan
pemerintah dinilai seakan-akan ter
semangat liberal pemerintah dengan
hormat di mata investor asing. Namun
tidak ingin membina petani agar mampu
yang sebenarnya, pemerintah menjadi
berproduksi lebih optimal lagi;
tidak terhormat di mata warga negaranya
3) pemberian
perlindungan
kepada
penguasaan dan pemanfaatan tanah oleh
perusahaan perkebunan berskala besar dari kemungkinan terjadinya tuntutan
atau pendudukan tanah atau gangguan
sendiri karena begitu sangat sulitnya warga negara menengah ke bawah mendapatkan tanah bagi bangunan Rumah Susun Sederhana/Bersubsidi.
5) Semakin
intensifnya
dengan cara kriminalisasi terhadap setiap
pemerintah atau pemerintah daerah
gangguan kegiatan usaha perkebunan.
menguasai dan memanfaatkan tanah
Hal ini ditentukan dalam Pasal 21 UU
di luar pelayanan publik yaitu bagi
No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
kegiatan usaha. Hal ini dilakukan dengan
Di satu sisi, ketentuan Pasal 21 tersebut
memanfaatkan Hak Pakai Selamanya
na
liberalisme
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 33-51
di
kalangan
semangat
terhadap kegiatan usaha oleh siapa pun
Jur 42
maupun
instansi
Volume 1 Nomor 1, April 2012
sektoral lainnya termasuk oleh aparat
untuk
penegak hukum. Kebijakan yang dimaksud
digunakan
pendapatan.
sebagai
Pemanfaatan
sumber demikian
dimungkinkan oleh UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP
yaitu :
1) Penyusunan RPP Reforma Agraria yang sudah dimulai pada awal pemerintahan
No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
SBY,
Barang Milik Negara/Daerah. Di satu sisi, tersebut
kemungkinan katan
pendapatan
pemerintah/
pemerintah daerah sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Dari sisi
ini
tampaknya
lagi
beritanya.
Kendalanya
dapat
ditebak yaitu Reforma Agraria yang sebenarnya dapat menjadi sarana untuk meningkatkan produksi pertanian dengan tetap menjunjung tinggi pemerataan pemilikan tanah, dinilai menjadi faktor
ind
lain, kebijakan tersebut justru telah
RPP
tidak berlanjut dan tidak terdengar
membuka
diperolehnya pening
namun
ing
kebijakan
BP HN
atau Hak Pengelolaan yang dipunyai
menempatkan pemerintah/pemerintah
penghambat bagi pengembangan usaha
daerah sebagai ”pesaing” warga negara
perkebunan atau pertanian berskala
untuk mendapatkan tanah. Pemerintah/
lR ec hts V
pemerintah daerah seharusnya menjadi
fasilitator dan advokator agar setiap warga negara dapat mempunyai tanah.
Namun dengan kedudukan sebagai
pesaing, bukan tidak mungkin nantinya, justru warga negara harus menyewa
tanah untuk tempat tinggal atau kegiatan
usaha dari pemerintah/ pemerintah
daerah seperti yang terjadi pada zaman kolonial. b. Di
tengah-tengah
meanstream
politik
pertanahan yang kapitalistik dan liberal Badan
Pertanahan
na
tersebut, (BPN)
besar yang kapitalistik dan liberal.
berusaha
untuk
Nasional
menghidupkan
kebijakan pertanahan yang mengembalikan
Jur
keseimbangan seperti yang diinginkan UUPA. Namun demikian, kebijakan tersebut tidak cukup mendapatkan dukungan dari instansi
Penilaian demikian sebenarnya sudah dikembangkan dan ditanamkan sejak Orde Baru.
2) Pemberlakuan PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar sebagai pengganti PP No.36 Tahun 1998. PP ini di satu pihak mengandung politik pertanahan yang akan
menertibkan
perusahaan hektar
yang
dengan
tanah
terlantar
mencapai
jutaan
kerugian
negara
mencapai triliunan rupiah. Di pihak lain, BPN berniat untuk menempatkan tanah terlantar tersebut sebagai obyek landreform
sehingga
mendorong
terjadinya pemerataan tanah pertanian / perkebunan. Namun demikian, PP yang sedemikian populisnya ini kehabisan
Arah Politik Hukum Pertanahan ... (Nurhasan Ismail)
43
Volume 1 Nomor 1, April 2012
harus menghadapi satu bentuk perlawanan
instansi sektoral pendukung liberalisasi
baru yaitu kriminalisasi atau korupsisasi oleh
dan
tanah
Penegak Hukum terhadap setiap pembayaran
maupun perusahaan berskala besar
ganti rugi yang melampaui Nilai Jual Obyek
yang mempunyai kekuatan pengaruh
Pajak (NJOP) padahal NJOP menurut Perpres
yang sangat tinggi dalam pelaksanaan
hanyalah pedoman awal dalam pelaksanaan
kebijakan.
musyawarah yang akan menentukan besarnya
penguasaan
3) Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
dan
perubahannya
dalam
Perpres No.65 Tahun 2006. Perpres ini sebenarnya mengandung semangat untuk pemilik tanah yang akan diambil dengan
kepentingan umum yang diwakili oleh instansi
pemerintah
sebagaimana
UUPA.
Upaya
penyeimbangan
kepentingan tersebut dilakukan melalui
menempati tanah puluhan tahun sebagaimana ditentukan dalam PP No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jika kriminalisasi atau korupsisasi terus berlanjut, maka penegakan hukum telah menjadi kekuatan baru bagi proses marjinalisasi dan kemiskinan warga negara pemilik tanah yang terkena pengadaan tanah dan belum bersertifikat .
tanah wajib menyerahkan tanahnya
2. Dampak Politik Hukum Pertanahan Terhadap Perlindungan Hak Kepemilikan Tanah Masyarakat
jika sungguh-sungguh diperlukan bagi
Arah dan prinsip politik hukum pertanahan
keseimbangan hak dan kewajiban. Pemilik
kepentingan umum, namun pemerintah
wajib memberikan ganti rugi yang layak untuk
menjamin
keberlangsungan
kesejahteraan pemilik tanah.
yang berlangsung sampai sekarang seperti yang digambarkan di atas telah berkontribusi terhadap berbagai persoalan sosial-ekonomi dan politik, yaitu :
Namun semangat keseimbangan dalam
a. Konflik
kewenangan
antar
instansi
Perpres tersebut tidak mampu melawan
pemerintah yang terkait dengan pertanahan
”Ideologisasi
Demi
yaitu BPN di satu pihak dengan Kementerian
Kepentingan Umum” yang sudah ditanamkan
Kehutanan, Kementerian Pertanian dan
sejak Orde Baru. Artinya rakyat diharuskan
kementerian
untuk berkorban untuk kepentingan umum
konfliknya adalah perbedaan cara dalam
termasuk harus menerima jika pengorbanan
mewujudkan amanah Pasal 33 ayat (3)
itu menuntut mereka dalam kondisi miskin. Di
UUD Negara RI 1945. Di satu pihak terdapat
samping itu, semangat keseimbangan tersebut
kebijakan
na
pengorbanan
Rakyat
Jur 44
yang tidak bersertipikat meskipun mereka sudah
lR ec hts V
dikehendaki oleh Pasal 6 dan Pasal 18
ganti rugi terhadap setiap kepemilikan tanah
ind
menyeimbangkan antara kepentingan
ganti rugi yang sebenarnya dan pembayaran
ing
spekulasi
BP HN
kekuatan menghadapi perlawanan baik
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 33-51
terkait
yang
lainnya.
Sumber
mengembangkan
cara
Volume 1 Nomor 1, April 2012
memanfaatkan tanah yang sangat luas/
tanah untuk mewujudkan kemakmuran
besar, namun sebagian besar warga
seluruh komponen rakyat, sedangkan yang
masyarakat
lain
konsentrasi
memanfaatkan bagian sumberdaya yang
penguasaan dan pemanfaatan tanah untuk
relatif terbatas. Secara umum, tingkat
mewujudkan arah politik hukum pertanahan
kesenjangan semakin meningkat seperti
tersebut.
ditunjukkan oleh Indeks Gini sebesar
mengembangkan
cara
BP HN
pemerataan penguasaan dan pemanfaatan
0,308 pada tahun 1999 dan 0,363 pada
b. Arah dan prinsip politik hukum pertanahan kapitalistik
dan
liberal
yang
digunakan selama ini memang di satu sisi telah menimbulkan kemajuan dalam pembangunan
sektor
perkebunan
dan
menunjukkan bahwa 0,2% dari penduduk Indonesia menguasai sekitar 56% aset berupa
hukum
pertanahan
juga
menguasai dan memanfaatkan sisanya
telah
sebesar 44%. Data lain di bidang pertanian
lR ec hts V
Di antara dampak sampingan negatif adalah:
1) terjadinya kesenjangan dalam pengu
asaan dan pemanfaatan sumber daya alam berupa tanah. Dengan kata lain, ketimpangan
dalam
dan
penduduk Indonesia yang harus bersaing
mendatangkan dampak sampingan negatif.
ada
perkebunan,
tanah pertanian9, sehingga ada 99,80%
keberhasilan atau dampak positif tersebut, politik
properti,
ind
properti di Indonesia. Namun di balik
tahun 2005.8 Data di bidang pertanahan
ing
yang
hanya menguasai dan
distribusi
penguasaan dan pemilikan tanah. Ada sekelompok kecil subyek menguasai dan
menunjukkan bahwa pada tahun 2003 sebanyak 70% rumah tangga petani hanya menguasai tanah pertanian ratarata sebesar 0,17 Ha.10 Sebaliknya ada 10% penduduk pedesaan yang menguasai 55,3% tanah pertanian11.
Bahkan jika dibandingkan dengan sektor perkebunan kelapa sawit, setiap perusahaan rata-rata menguasai 7.500 Ha.12
Jur
na
Joyo Winoto, Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, tulisan yang disampaikan dalam Kuliah Umum di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur – Yogyakarta, 2007, hlm. 5. 9
[email protected], Ketimpangan Kepemilikan Aset Sebagai Penyebab kemiskinan, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2008). 10 Zulfadhli, H, Tanah Untuk Petani, tulisan yang disampaikan dalam Seminar Nasional HKTI ”Reforma Agraria, Pelaksanaan otonomi Daerah, dan Penataan Ruang, 2009; lihat juga Iwan N. Selamat, Ketimpangan Struktur Agraria Indonesia, 2009. 11 Khudori, Petani, Kemiskinan, dan Reforma Agraria, dalam Kompas, Jakarta, 16 Maret 2007. 12 NN, Palm Oil Problem : Plantation Companies in Conflict With Villagers, Tuesday, May, 19th, dalam The Jakarta Post, Jakarta, 2009, hlm. 5. 8
Arah Politik Hukum Pertanahan ... (Nurhasan Ismail)
45
Volume 1 Nomor 1, April 2012
kendaraan pribadi. Konsekuensinya, pejalan
mutakhir,
kualitatif
kaki atau pesepeda harus berjalan di ruang
kesenjangan khususnya di perkotaan dapat
pedestarian yang sempit atau menggunakan
dicermati dari fakta, yaitu : (1) betapa sulitnya
bagian pinggir badan jalan dengan resiko
memperoleh tanah bagi pembangunan
tertabrak kendaraan bermotor.
rumah susun milik atau rumah susun
2) realitas
namun
secara
sewa yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat
berpenghasilan
BP HN
Data kuantitatif di atas memang tidak
sulitnya
kaum
miskin
digunakan
Pemerintah
pada
tahun 2010 yaitu sebesar Rp 211.726,perkapita/perbulan, maka pada tahun 2010 masih terdapat 13.33% atau 31.02
perkotaan
juta orang miskin.17 Jumlah orang miskin
ind
(2)
yang
ing
masyarakat menengah-atas13;
menjadi
dengan patokan angka garis kemiskinan
namun sebaliknya begitu sangat mudahnya mewah atau menegah bagi kelompok
masih
problem bangsa Indonesia. Jika diukur
rendah,
perolehan tanah untuk membangun rumah
kemiskinan
akan semakin tinggi lagi jika memasukkan
bahkan tempat usaha kecil atau pasar
orang yang memperoleh penghasilan
tradisional yang sudah ada mengalami
tepat pada angka garis kemiskinan atau
kemandegan atau penggusuran14. Sebaliknya
menggunakan angka garis kemiskinan
penyediaan ruang tanah bagi pasar-pasar
yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-
modern seperti mall atau bisnis ritel dan
Bangsa yaitu sebesar US$ 3 atau sekitar Rp
bagi pembangunan kantor pemerintah
750.000,- perkapita/perbulan.18 Terlepas
dengan mudah dapat disediakan15. Pelan tapi
dari pro-kontra kriteria dan jumlah orang
pasti kemudahan itu telah menggusur dan
miskin, jumlah orang miskin di beberapa
meminggirkan kelompok miskin perkotaan
daerah berada di atas rata-rata angka
dan pedagang tradisional .
kemiskinan nasional yaitu mencapai
(3) sempitnya ruang pedestarian bagi
2 – 3 kali lipat. Sebagian besar orang
lR ec hts V
mendapatkan ruang tempat berusaha,
16
pejalan kaki atau pesepeda karena ruang lintas
hanya
diperuntukkan
bagi
na
lalu
miskin itu berada di daerah pedesaan yaitu mencapai 64,23 pada tahun 2010. Sebagian daerah yang menjadi kantong-
Eko Budihardjo, Mitropolis atau Miseropolis, dalam Kompas, Jakarta, Sabtu 22 September 2007, hlm. 6. Lucinda, Di Tengah Kepungan Bisnis Ritel, dalam Harian Bernas, Yogyakarta, tanggal 18 Mei 2010, hlm. 4. Kompas, 2008, Tajuk Rencana : Kasus dan Penggusuran, Sabtu 26 Januari, hlm. 6. Patrick McAuslan, Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), hlm. 16. Berita Resmi Statistik, Profil Kemiskinan Di Indonesia 2010, dalam Berita Resmi Statistik No.45/07/Th XIII, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 1 Juli 2010). 18 Kompas, 2011, Kemiskinan Tampak Nyata, Senen, 15 Agustus, hlm. 15. 15 16 17 13
Jur
14
46
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 33-51
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dan aset. Jumlah dan intensitas konflik
sumberdaya alam yang relatif miskin,
terus
namun sebagian lainnya berada di
rendahnya tingkat harapan masyarakat
wilayah yang mempunyai sumberdaya
akan kemungkinan terjadinya perubahan
alam
kebijakan
yang
sangat
kaya.
Kantong
BP HN
kantong kemiskinan tersebut mempunyai
berlangsung
yang
sejalan
akan
dengan
memberikan
perlindungan hukum terhadap akses
miskin sumberdaya alam masih dapat
memperoleh tanah atau hak atas tanah.
dipahami meskipun itu menunjukkan
Akibatnya masyarakat lokal dalam kondisi
kurang
tanpa harapan akan adanya perubahan
maksimalnya
tanggungjawab
pelaksanaan
negara.
Sebaliknya,
suatu keprihatinan besar dan pertanyaan mendasar harus dikemukakan terhadap
mengungkapkannya
dalam
bentuk-
bentuk konflik. Semula bentuk konfliknya hanya tindakan ”reclaiming” terhadap hak historis atau hak konstitusional
ind
kantong kemiskinan yang terdapat di
ing
kemiskinan yang terdapat di daerah yang
mereka atau tindakan pendudukan
alam seperti di Papua, Kalimantan,
lokasi-lokasi yang menjadi obyek konflik.
dan Sumatera termasuk di wilayah
Namun ketika bentuk konflik tersebut
pesisirnya.
tidak mendapatkan respon positif dari
lR ec hts V
daerah yang sangat kaya sumberdaya
3) Politik hukum pertanahan juga telah mendorong terjadinya konflik struktural antar kelompok subyek yaitu :
(a) berlangsung dan berkembangnya konflik
struktural yang dipicu oleh kebijakan
negara yang mendorong terjadinya kesenjangan
sosial
ekonomi
dan
kemiskinan di daerah yang sangat kaya
sumberdaya alam. Konflik struktural itu
melibatkan kelompok masyarakat lokal baik atas dasar kebutuhan dan historis
na
mempunyai keterkaitan dengan obyek konflik, para pelaku usaha atau investor yang memperoleh akses dan aset
Jur
dalam skala besar, dan pemerintah atau pemerintah daerah sebagai pelaksana kewenangan negara dalam pembuatan kebijakan dan pendistribusian akses
negara, konfliknya berubah menjadi tindakan kekerasan seperti yang terjadi di Pasuruan, Kebumen, Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Puncak konflik berupa tuntutan pemisahan diri atau keluar dari ikatan Negara Kesatuan RI seperti yang pernah terjadi di Aceh serta yang sudah dan terus berlangsung di Papua.
(b) Konflik struktural antara pemilik tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Konflik ini akan terus berlangsung karena di satu sisi pemilik tanah merasa tidak mendapatkan
perlindungan
hukum
terhadap hak-hak individunya dengan
Arah Politik Hukum Pertanahan ... (Nurhasan Ismail)
47
Volume 1 Nomor 1, April 2012
khususnya dengan memberikan pengakuan
Namun di sisi lain, instansi pemerintah
dan penghormatan terhadap kewenangan
didorong untuk mencari cara untuk
pemerintahan
mempercepat perolehan tanah termasuk
sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 18B ayat
cara yang represif seperti konsinyasi
(2) UUD Negara RI 1945. Namun pengakuan
ganti rugi ke Pengadilan meskipun tanpa
dan penghormatan tersebut harus sesuai
persetujuan pemilik tanah tanpa berupaya
dengan kepentingan bangsa dan negara sebagai
memenuhi
konsekuensi dari komitmen kebangsaan yang
harapan
pemilik
tanah
BP HN
rendahnya ganti rugi yang diberikan.
sudah kita sepakati.
keberlangsungan kesejahteraan mereka
b. Prinsip persamaan ketidaksamaan;
No.36 Tahun 2005.
ing
mendapatkan ganti rugi yang menjamin sebagaimana dikehendaki oleh Perpres
dampak negatif dari politik hukum pertanahan mengembangkan politik hukum pertanahan yang ”prismatik”. Arah politik hukum pertanahan
prismatik ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemajuan
perekonomian
Indonesia melalui penataan penguasaan dan
pemanfaatan tanah namun tetap memberikan
perhatian terhadap kelompok yang lemah secara dengan
memberikan
akses kepada mereka mempunyai tanah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, politik hukum pertanahan prismatik mendasarkan pada prinsip
na
hukum tertentu sebagai dasar pengembangan kebijakan pertanahan, yaitu : a. Prinsip
keberagaman
hukum
dalam
Jur
Kesatuan;
Prinsip ini menekankan pada penghormatan
terhadap perbedaan hukum yang terdapat dalam masyarakat di bidang pertanahan
48
dasar
ekonomi terutama di masyarakat majemuk seperti
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 33-51
Indonesia
harus
dikembangkan
kebijakan pertanahan yang mendasarkan pada realita ketidaksamaan (perbedaan) di antara
lR ec hts V
yang ada, maka perlu pemikiran untuk
sosial-ekonomi-politik
atas
adat
mewujudkan adanya persamaan secara sosial
ind
Untuk mengurangi atau bahkan meniadakan
mendorong
hukum
Prinsip ini menekankan bahwa untuk
3. Alternatif Politik Hukum Pertanahan
dan
masyarakat
kelompok-kelompok masyarakat. Bagi kelompok
yang sudah mampu, dapat mempunyai tanah berdasarkan persyaratan dan prosedur yang umum berlaku. Namun bagi kelompok yang lemah harus ada intervensi negara untuk memberikan kemudahan dan fasilitas pemberian tanah. Dengan adanya perbedaan perlakuan tersebut, semua kelompok akan mencapai persamaan kondisi sosial ekonomi. c. Prinsip
mengutamakan
keadilan
dan
kemanfaatan di atas kepastian hukum; Prinsip ini menekankan bahwa mewujudkan
pemerataan penguasaan dan pemilikan tanah merupakan kebijakan yang lebih memenuhi rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Berdasarkan prinsip ini, menumpuk penguasaan dan pemanfaatan tanah merupakan tindakan
Volume 1 Nomor 1, April 2012
oleh Soekarno ke arah kapitalisme beserta anak
hanya menimbulkan kecemburuan sosial dan
kandungnya berupa liberalisasi dan swastanisasi
penelantaran tanah yang merugikan kepentingan
penguasaan dan pemanfaatan tanah. Pada masa
bersama.
reformasi terdapat upaya untuk menghidupkan diferensiasi
fungsi
dalam
keterpaduan; Prinsip ini menekankan bahwa di satu sisi pembagian kewenangan di antara instansi pemerintah
merupakan
suatu
kebutuhan
untuk terjadinya efektivitas pencapaian tujuan bersama.
Oleh
karenanya
harus
dicegah
terjadinya egoisme sektoral yang menyebabkan tujuan bersama. Untuk itu, keterpaduan di
antara instansi pemerintah menjadi keniscayaan agar kebijakan yang dikembangkan tidak saling
Namun demikian, kebijakan tersebut tidak cukup mendapatkan dukungan dari instansi
sektoral lainnya termasuk oleh aparat penegak hukum.
Beberapa dampak politik hukum pertanahan
terhadap perlindungan hak kepemilikan tanah masyarakat adalah: 1) Konflik
E. Penutup
1. Kesimpulan
Arah politik hukum pertanahan pada
awalnya adalah untuk menjamin terwujudnya kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, UUPA mengandung prinsip-prinsip penguasaan dan
pemanfaatan tanah untuk mendorong kemajuan
bidang ekonomi, industri, dan bidang lain yang pelaksanaannya tergantung pada ketersediaan
na
tanah. UUPA juga memberikan perhatian khusus
terhadap kelompok masyarakat yang lemah dan termarjinalkan oleh kebijakan pertanahan pada
Jur
masa sebelumnya. Tetapi pada masa Orde Baru, terjadi perubahan ideologi pembangunan dari sosialisme ala Indonesia yang dikembangkan
kewenangan
antar
instansi
pemerintah yang terkait dengan pertanahan yaitu BPN di satu pihak dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan
lR ec hts V
tumpang-tindih dan saling menafikan.
keseimbangan seperti yang diinginkan UUPA.
ind
terjadinya hambatan terhadap pencapaian
kebijakan pertanahan yang mengembalikan
ing
d. Prinsip
BP HN
yang tidak adil dan tidak bermanfaat karena
kementerian
terkait
lainnya.
Sumber
konfliknya adalah perbedaan cara dalam mewujudkan amanah Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI 1945. Di satu pihak terdapat kebijakan
yang
mengembangkan
cara
pemerataan penguasaan dan pemanfaatan tanah untuk mewujudkan kemakmuran seluruh komponen rakyat, sedangkan yang lain
mengembangkan
cara
konsentrasi
penguasaan dan pemanfaatan tanah untuk mewujudkan arah politik hukum pertanahan tersebut;
2) terjadinya kesenjangan dalam penguasaan dan
pemanfaatan
sumberdaya
alam
berupa tanah. Ada sekelompok kecil subyek menguasai dan memanfaatkan tanah yang sangat luas/besar, namun sebagian besar warga masyarakat hanya menguasai dan
Arah Politik Hukum Pertanahan ... (Nurhasan Ismail)
49
Volume 1 Nomor 1, April 2012
DAFTAR PUSTAKA
relatif terbatas;
Berita Resmi Statistik No.45/07/Th XIII, Profil Kemiskinan Di Indonesia 2010, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 1 Juli 2010). Budihardjo, Eko, Mitropolis atau Miseropolis, (Kompas, Sabtu 22 September 2007). Departemen Penerangan RI, Pertanahan Dalam Era Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Ditjen Agraria Departemen Dalam Negeri, 1982). Ismail, Nurhasan, Perkembangan Hukum Pertanahan : Pendekatan Ekonomi-Politik, (JakartaYogyakarta: Huma dan Magister Hukum UGM, 2007). Kasim, Ifdhal, Tanah Sebagai Komoditas : Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru, (Jakarta: ELSAM, 1996). Khudori, Petani, Kemiskinan, dan Reforma Agraria (Kompas, 16 Maret 2007). Kompas, 2008, Tajuk Rencana : Kasus dan Penggusuran, Sabtu 26 Januari. Kompas, 2011, Kemiskinan Tampak Nyata, Senen, 15 Agustus. Lucinda, Di Tengah Kepungan Bisnis Ritel, (Yogyakarta, Harian Bernas, 2010). Mas’oed, Mohtar, Ekonomi dan Struktur Politik : Orde Baru 1966-1971 (Jakarta: LP3ES, 1989). McAuslan, Patrick, Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata (Jakarta, PT Gramedia, 1986). Rahardjo, Satjipto, Hukum Progresif : Penjelajahan Suatu Gagasan, (Majalah Newsletter, Kajian Hukum Ekonomi dan Bisnis, Nomor 59, Desember 2004). The Jakarta Post, 2009, Palm Oil Problem : Plantation Companies in Conflict With Villagers, Tuesday, May, 19th. Universitas Gadjah Mada, 2008, Ketimpangan Kepemilikan Aset Sebagai Penyebab kemiskinan, Portal UGM(C)UGM, Kontak Webmaster :
[email protected]. Winoto, Joyo, Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, (Bulaksumur – Yogyakarta, Kuliah Umum, Balai Senat Universitas Gadjah Mada, 2007).
kemiskinan di Indonesia masih
tinggi; 4) terjadi konflik struktural pertanahan. Alternatif yang ditawarkan untuk mengu rangi atau bahkan meniadakan dampak negatif dari politik hukum pertanahan saat ini adalah mengembangkan politik hukum pertanahan yang ”prismatik” dengan bersandar pada Prinsip keberagaman hukum dalam Kesatuan; Prinsip persamaan atas dasar ketidaksamaan; Prinsip
ind
mengutamakan keadilan dan kemanfaatan di atas kepastian hukum; Prinsip diferensiasi fungsi dalam keterpaduan.
lR ec hts V
2. Saran
ing
3) Tingkat
BP HN
memanfaatkan bagian sumberdaya yang
Dalam rangka mengembangkan sistem hukum nasional ke depan perlu diadopsi
prinsip-prinsip politik hukum pertanahan yang prismatik.
Perlu koordinasi dan penyamaan persepsi antar instansi pemerintah yang terkait dengan
pertanahan yaitu BPN di satu pihak dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian
dan kementerian terkait lainnya mengenai cara
pemerataan penguasaan dan pemanfaatan tanah untuk mewujudkan kemakmuran seluruh
Jur
na
komponen rakyat.
50
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 33-51
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Zulfadhli, H, 2009, Tanah Untuk Petani, tulisan yang disampaikan dalam Seminar Nasional HKTI ”Reforma Agraria, Pelaksanaan otonomi Daerah, dan Penataan Ruang; lihat juga Iwan N. Selamat, Ketimpangan Struktur Agraria Indonesia, 2009.
Arah Politik Hukum Pertanahan ... (Nurhasan Ismail)
51
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
INTERAKSI HUKUM LOKAL DAN HUKUM NASIONAL DALAM URUSAN PERTANAHAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Interaction of Local Law and National Law in Matter of Land in Yogyakarta) Tyas Dian Anggraeni Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN Jl. Mayjen Soetoyo No. 10 Cililitan Jakarta Timur Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 25 Januari 2012; revisi: 22 Februari 2012; disetujui: 16 Maret 2012
lR ec hts V
ind
Abstrak Tanah dalam konsep budaya Jawa menjadi hal yang amat sakral dan penting. Bagi masyarakat Jawa, tanah memiliki nilai yang setara dengan harga diri manusia. Seperti halnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tanah memiliki nilai tersendiri, termasuk juga sistem pengelolaannya. Bahkan Undang-undang Nasional tidak mampu menembus sistem pengelolaan tanah di DIY. Tulisan ini akan mengkaji lebih jauh tentang sejarah keistimewaan urusan pertanahan di Kasultanan dan Paku Alaman Yogyakarta dan realitasnya dalam menyikapi Rancangan Undang-Undang keistimewaan Yogyakarta. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, sejarah penguasaan dan pemilikan tanah oleh raja atau Sultan Yogyakarta dan Paku Alam merupakan pelaksanaan kesepakatan dari perjanjian Giyanti yang dikukuhkan kembali dalam amanat penggabungan diri Sultan dan Paku Alam ke dalam Pemerintahan Republik Indonesia. Dengan demikian Yogyakarta mempunyai sistem pengelolaan tanah yang khusus, ada yang mengikuti hukum pertanahan nasional, dan ada pula yang masih diatur oleh Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman. Agar tidak menimbulkan masalah atau polemik baru dalam dinamika politik dan sejalan dengan sistem hukum nasional, masalah pertanahan di DIY perlu mendapat perhatian khusus. Kata kunci: agraria, kesultanan Yogyakarta, keistimewaan daerah, politik
Jur
na
Abstract Land in the concept of Javanese culture into something that is sacred and important. For the Javanese, the land has a value equivalent to human dignity. As in the Special Region of Yogyakarta (DIY), the land has value, including its management system. Even the National Law can not penetrate the soil management systems in the province. This paper will examine further features of the history of land affairs in the Sultanate of Yogyakarta and Paku Alaman and reality in the bill addressing the privilege of Yogyakarta. By using a normative juridical methods, the history of the control and ownership of land by the king or the Sultan of Yogyakarta and Paku Alam is an implementation of the agreement Giyanti agreement which reaffirmed the mandate of merging himself Sultan and Paku Alam to the Government of the Republic of Indonesia. Thus Yogyakarta has a special system of land management, there are following the national land laws, and some are still governed by the Sultanate and Rijksblad Rijksblad Paku Alaman. In order not to cause any problems or new polemical and political dynamics in line with the national legal system, problems of land in the province needs special attention. Keywords: agrarian, land, the sultanate of Yogyakarta, the privilege, politics
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional dalam Urusan Pertanahan ... (Tyas Dian Anggraeni)
53
Volume 1 Nomor 1, April 2012
A. Latar belakang menjadi hal yang amat penting sebagaimana diungkapkan
dalam
pepatah
“Sakdhumuk
bathuk sanyari bhumi, ditohi pati, pecahing dhadha wutahing ludira”. Makna dari ungkapan tersebut
bahwa
kedudukan
tanah
bagi
masyarakat Jawa yang agraris nilainya setara dengan harga diri manusia yang dicerminkan dengan dahi, akan dikukuhi sampai pecahnya dada, dan tumpahnya darah.1 Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal khusus. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) seakan
tidak
mampu
menembus
Terdapat lembaga di Keraton yang mengurusi
tentang pertanahan yaitu lembaga Kawedanaan
Ageng Purnakawan Wahono Sarto Griyo.Suatu
lembaga yang ada di Keraton yang menetapkan kebijakan mengenai tanah Keraton.
Sedangkan untuk pengurusan sehari-hari
atau operasionalnya tanah milik Kasultanan dan Pura Pakualaman dilakukan oleh Paniti
Kismo.Paniti Kismo adalah sejumlah abdi dalem yang tergabung dalam satuan khusus, bertugas melakukan pengelolaan tanah Kasultanan dan
ind
mempunyai sistem pengelolaan tanah yang
dan Pakualaman.
ing
Tanah dalam konsep dan budaya Jawa
BP HN
tanah ini diatur berdasarkan Rijksblad Kasultanan
sistem
pengelolaan tanah yang khusus dan mandiri
yang cukup rapi sampai di tingkat desa dan mempunyai otoritas penuh dalam pengelolaan serta pemanfaatan tanah Kasultanan dan Pura
lR ec hts V
tersebut. Sebagai bekas wilayah Kasultanan dan
Paku Alaman. Organisasi ini mempunyai struktur
Pura Pakualaman, DIY mempunyai tiga kelompok
status tanah dengan sistem hukum yang berbeda pengaturannya. Pertama, tanah bekas hak barat
yang dipunyai oleh orang-orang Eropa dan Timur Asing. Tanah model ini telah dikonversi menjadi
salah satu hak atas tanah menurut UUPA dan tunduk pada ketentuan hukum agraria nasional.
Kedua, tanah milik Kasultanan dan Pakualaman
yang telah diberikan menjadi milik perorangan atau desa. Tanah ini diatur dengan Peraturan Daerah. Ketiga, tanah milik Sultan dan Pakualam
na
yang berada di bawah kewenangan Kasultanan
Jur
dan Pakualaman. Penguasaan dan penggunaan
Paku Alaman untuk berbagai kepentingan dan kesejahteraan rakyat di Yogyakarta. Hingga saat ini keberadaan tanah Kasultanan
dan Pura Paku Alaman tersebut terhampar luas di berbagai daerah di Yogyakarta. Tanah-tanah tersebut dipergunakan untuk kepentingan rakyat, seperti digunakan atau ditempati sebagai rumah tinggal, gedung sekolah, perkantoran, lahan pertanian, penghijauan, tempat ibadah, dan pemakaman. Rakyat berhak menggunakan tanah tersebut, namun tidak bisa mengambil alih hak kepemilikannya. Dari sini dapat dilihat bahwa Sultan dan Paku Alam mempunyai hak
Soedargo, Hukum Agraria dalam Era Pembangunan, Prisma, nomor 6, tahun 1973, hlm. 47.
1
54
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 53-73
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Hingga saat ini belum ada WNI non pribumi
Pura Paku Alaman (domein verklaring).
yang diberikan hak milik atas tanah.
BP HN
milik penuh atas seluruh tanah Kasultanan dan Rakyat yang kebetulan menempati tanah-
Seorang WNI non pribumi yang ingin
tanah Kasultanan dan Pura Paku Alaman dibekali
membeli tanah milik rakyat, harus melalui proses
dengan Serat Kekancingan sebagai tanda bahwa
administrasi yang cukup
dia mempunyai hak untuk tinggal di tanah
proses yang harus dilalui dimulai dengan proses
tersebut. Kaitannya dengan pajak, berbekal
pelepasan hak atas tanah oleh rakyat. Proses ini
Serat Kekancingan yang dikeluarkan oleh
mengakibatkan tanah tersebut kembali menjadi
keraton tersebut, rakyat yang memanfaatkan
tanah negara yang dikuasai oleh Pemerintah
tanah tersebut terbebas dari pungutan pajak
Daerah. Kemudian pihak yang berkepentingan
tanah sebagaimana diatur dalam hukum
mengajukan
agraria nasional. Bahkan rakyat pun tidak
kepada Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
perlu menyerahkan Glondhong Pengarem-
Hak yang diberikan juga bukan hak milik atas
arem atau semacam uang terima kasih kepada
tanah tersebut, namun hak yang bisa diberikan
pihak keraton karena boleh menggunakan
untuk WNI non pribumi adalah Hak Guna Usaha
tanah tersebut. Dengan kata lain tanah milik
(HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB).
ing
permohonan
ind Langkah
lR ec hts V
Kasultanan dan Pura Pakualaman tersebut
panjang. Tahapan
tersebut
pemberian
bukan
hak
merupakan
digunakan secara gratis oleh rakyat Yogyakarta
tindakan diskriminasi namun lebih kepada
serta diperkenankan untuk bisa menempati
perlindungan terhadap rakyat, terutama rakyat
tanah itu secara turun temurun. Disinilah
kecil yang hidup sebagai petani. Pertimbangan
terletak hubungan erat antara sultan dengan
atas tindakan tersebut dikarenakan WNI non
rakyatnya. Sultan berharap dapat berbagi rasa
pribumi biasanya mempunyai tingkat kehidupan
dengan rakyatnya melalui sistem penataan
ekonomi yang lebih tinggi dari pada golongan
tanah yang tidak saling membebani.
pribumi.
untuk
Pertimbangan lain adalah mengingat wilayah
kesejahteraan rakyatnya secara langsung, Sultan
Yogyakarta yang sempit. Pemberian hak milik
juga menerapkan prinsip larangan pengasingan
bagi WNI non pribumi, dikhawatirkan akan
tanah atau memperalihkan tanah kepada Warga
menyebabkan rakyat kecil menjadi terdesak.
Negara Indonesia (WNI) non pribumi (saat ini
Bahkan dikhawatirkan rakyat ini nantinya hanya
disebut WNI keturunan). Prinsip ini diatur dalam
menjadi kaum buruh di tanah mereka sendiri.
Rijksblad Kasultanan dan Pura Pakualaman dan
Kebijakan yang dilakukan tersebut merupakan
telah diadopsi oleh Pemerintah Daerah dengan
bagian dari budaya luhur “Tahta untuk Rakyat”
penggunaan
tanah
Jur
na
Selain
kebijakan yang tertuang dalam Instruksi Kepala
yang sangat dijaga oleh Sultan. Tanah lahirkan
Daerah Istimewa Yogyakarta No. K./898/I/A/75.
tahta, tahta untuk rakyat, dimana rajanya
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional dalam Urusan Pertanahan ... (Tyas Dian Anggraeni)
55
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Pasal 26 yang secara utuh mengatur mengenai
singgasana bermartabat berdiri kokoh untuk
pertanahan. Kemudian Pasal 7, Pasal 35 dan
mengayomi rakyat.2
Pasal 37 .
di
kalbu
rakyat.
Budaya adiluhur yang mengedepankan
Mengenai kewenangan urusan di bidang
kesejahteraan rakyat tersebut wajib dilestarikan.
pertanahan dalam draf RUU Keistimewaan DIY
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa budaya
yang diajukan oleh pemerintah, diatur dalam
tersebut seakan bertentangan dengan prinsip
Pasal 7 ayat (2) d
hukum nasional, yaitu UUPA dan Undang-
“Kewenangan dalam urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pertanahan dan penataan ruang”.
terutama jajaran pemerintah pusat berharap bahwa,
budaya
adiluhur
tersebut
dapat
ing
Undang Kewarganegaraan. Banyak kalangan
Sedangkan dalam penjelasan Pasal itu
disebutkan bahwa kewenangan dalam urusan
modernitas dan berjiwa nasionalis. Dengan
pertanahan dan penataan ruang meliputi
dasar nasionalisme saat ini keistimewaan DIY
kewenangan untuk mengatur dan mengurus
diusulkan untuk diatur dalam suatu undang-
kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan
undang.
Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond.
ind
dirasionalisasikan sesuai dengan nilai-nilai
Khusus di bidang pertanahan, Sultan dan
lR ec hts V
Diskusi yang berkembang dalam pembicaraan
konsep keistimewaan Yogyakarta, terdapat
Pakualam sebagai Gubernur Utama dan Wakil
tiga hal penting yang mengisi keistimewaan
Gubernur Utama berwenang memberikan
Yogyakarta, yaitu:
arahan
1. bidang pemerintahan;
persetujuan dan veto terhadap Rancangan
2. bidang pertanahan,
Peraturan Daerah yang diajukan DPRD dan
3. bidang kebudayaan.
Gubernur dan/atau Peraturan Daerah yang
Khusus mengenai urusan pertanahan, hingga
akhir tahun 2011 masih masuk dalam daftar inventaris masalah (DIM) yang belum disepakati pembahasannya, berdasarkan draf Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Provinsi
na
Daerah Istimewa Yogyakarta (RUU Keistimewaan DIY) yang diusulkan oleh pemerintah. Terdapat beberapa pasal yang terkait dengan
Jur
masalah pertanahan dalam RUU ini. Pertama,
2
56
BP HN
Demikianlah
bercermin
kebijakan,
pertimbangan,
berlaku yang mengatur masalah pertanahan. Pola
yang
diusung
dalam
draf
RUU
Keistimewaan DIY menempatkan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama yang mempunyai fungsi sebagai simbol, pelindung, penjaga budaya, pengayom dan pemersatu masyarakat. Sedangkan
dalam
hal
penyelenggaraan
pemerintahan dilaksanakan oleh Gubernur,
http://www.kotajogja.com/, diakses tanggal 5 Januari 2012.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 53-73
umum
Volume 1 Nomor 1, April 2012
pertanahan
di
Yogyakarta
lebih
kepada
akan menimbulkan pertanyaan, ketika nantinya
persetujuan atau penolakan saja terhadap
Kepala Daerah (Gubernur) dan Wakil Kepala
rancangan Peraturan Daerah Istimewa yang
Daerah (Wakil Gubernur) bukan Sultan atau
diajukan DPRD dan Gubernur dan/atau Peraturan
Paku Alam yang sedang jumeneng atau bertahta,
Daerah yang berlaku dan bukan merupakan
dimanakah letak keistimewaan Yogyakarta.
hak mengatur dan semacam hak memiliki atas
BP HN
selaku Kepala Daerah. Hal tersebut tentunya
Sebab salah satu keistimewaan Yogyakarta
tanah. Sultan dan Paku Alam tidak memiliki hak
adalah kepala daerahnya yang dipimpin oleh
tunggal yang kuat dalam pengaturan peruntukan
Sultan yang sedang Jumeneng atau bertahta
tanah
saat itu dalam rangka menjaga norma-norma
banyak perubahan terutama terkait masalah
dasar yang diwariskan secara turun temurun.
pertanahan di Yogyakarta ketika nantinya RUU
kekhawatiran
tersebut
veto sebagaimana diatur dalam draf Penjelasan Pasal 7
RUU Keistimewaan DIY bagi Sultan
ataupun Paku Alam. Apabila melihat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (online) , kata veto merupakan kata benda yang mempunyai
arti hak konstitusional penguasa atau pemegang
pemerintahan untuk mencegah, menyatakan,
menolak, atau membatalkan keputusan. Hak veto biasanya melekat pada salah satu lembaga tinggi negara merupakan suara tunggal istimewa
untuk dalam pengambilan keputusan yang memiliki efek menghambat atau meniadakan keputusan mayoritas. Dalam
hubungannya
dengan
urusan
pertanahan, berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa hak veto yang diberikan kepada
na
terjadi
Keistimewaan DIY menjadi undang-undang. Hal inilah yang akan dibahas dalam penulisan ini.
B. Permasalahan Dari uraian di atas, dirumuskan perma
salahan sebagai berikut:
lR ec hts V
3
Akan
ind
pemerintah pusat memberikan semacam hak
sebelumnya.
ing
Menyikapi
seperti
pertanahan di Kasultanan dan Paku Alaman Yogyakarta?
2. Bagaimana urusan pertanahan di Yogyakarta dalam menyikapi RUU Keistimewaan DIY?
C. Metode Penelitian Penulisan ini didasarkan pada penelitian
hukum
normatif.4
Data
yang
digunakan
adalah data sekunder yang diperoleh dari buku kepustakaan, artikel, serta peraturan perundangan yang berkaitan dengan masalah pertanahan di Yogyakarta.
Jur
Sultan dan Paku Alam terutama dalam urusan
1. Bagaimana sejarah keistimewaan urusan
3 4
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/, diakses tanggal 5 Januari 2012. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 14.
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional dalam Urusan Pertanahan ... (Tyas Dian Anggraeni)
57
Volume 1 Nomor 1, April 2012
D. Pembahasan
BP HN
maka mereka dibebani kerja tanpa upah untuk
1. Sejarah Keistimewaan Urusan Pertanahan di Kasultanan dan Paku Alaman Yogyakarta
kepentingan Raja.8
Sejarah penguasaan dan pemilikan tanah
pemegang domein. Sultan telah menentukan
oleh raja atau Sultan Yogyakarta dan Paku Alam
atau menetapkan hak-hak atas tanah yang dapat
merupakan pelaksanaan kesepakatan dari
dimiliki oleh rakyatnya, yaitu meliputi:
perjanjian Giyanti. Perjanjian yang dilaksanakan
a. Hak anggaduh;
di daerah Giyanti pada tanggal 13 Februari
b. Hak angganggo (memakai) turun–temurun;
1755 membagi Kerajaan Mataram menjadi
c. Hak andarbeni (memiliki);
dua, yaitu Kasunanan Surakarta (Susuhunan)
d. Hak pungut hasil;
dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
e. Hak didahulukan;
(Kasultanan).5 Pada masa kekuasaan Inggris,
f. Hak blengket.
Berdasarkan
kewenangannya
sebagai
ind
ing
pemilik dan penguasa tanah mutlak atau
oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles, wilayah Kasultanan Yogyakarta disempitkan lagi
Pengaturan tersebut berlaku di seluruh
wilayah
Kasultanan
dan wilayah Pakualaman.6 Hasil perjanjian
domeinverklaring
Yogyakarta.
tersebut
ini
Asas
merupakan
lR ec hts V
pada tahun 1813 menjadi wilayah Kasultanan
Giyanti menyatakan bahwa Sultan Hamengku
pernyataan sepihak dari Sultan. Seperti yang
Buwono mempunyai hak milik (domein) atas
termuat dalam Pasal 1 Rijksblaad Kasultanan
tanah di wilayah barat Kerajaan Mataram dan hal
No. 16 tahun 1918 :
ini tetap harus hidup dalam kesadaran hukum
masyarakat.7 Konsekuensi dari diberlakukannya asas domein tersebut maka rakyat tidak
mempunyai hak eigendom. Penguasaan tanah oleh rakyat melalui hak anggaduh (menggarap)
dengan kewajiban menyerahkan separo atau sepertiga hasil tanahnya jika merupakan tanah
“Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektine kadarben ing liyan, mawa wenang eigendom, dadi bumi kagungane Kraton Ingsun Ngayogyakarta. “ (Seluruh tanah yang tidak ada tanda bukti yang dimiliki seperti eigendom menjadi milik keraton Yogyakarta).
na
pertanian dan apabila berupa tanah pekarangan,
Moedjanto, G., Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal.13. Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981), hlm. 18. KPH Notoyudo dalam Umar Kusumoharyono, Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta setelah berlakunya UU No. 5 / 1960, Yustisia Edisi Nomor 68, Mei - Agustus 2006, hlm. 2. 8 Boedi Harsono, Undang – Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, (Djakarta: Djambatan, 1968), hlm. 56. 7
Jur
5 6
58
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 53-73
Volume 1 Nomor 1, April 2012
sebagai pemilik hak atas tanah mereka, hal itu
BP HN
Pernyataan yang terkesan mengedepankan
terbukti dengan terus berlangsungnya kegiatan
memunculkan pertanyaan apakah perbuatan
seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan
tersebut bukan merupakan tindakan sewenang-
sebagainya yang dilakukan oleh rakyat di tanah
wenang. Berangkat dari pemahaman pada masa
mereka. Raja pun tidak menganggap dirinya
tersebut, rakyat percaya bahwa sultan atau raja
sebagai pemilik tanah dalam arti yang luas.
adalah seorang suci. Rakyat merasa bangga jika
Yang diminta dari rakyat hanyalah penyetoran
miliknya diperlukan oleh raja, pemimpin mereka
sebagian dari hasil bumi atas tanah mereka dan
yang suci.9 Hal tersebut berlaku juga dalam
raja hanya mengatur segala urusan pertanahan
sejarah Kasultanan Yogyakarta.
di wilayahnya.10
tersebut
menggelitik
Terdapat beberapa perbuatan raja yang pada
ing
untuk
feodalisme
Terdapat beberapa pembabakan pengaturan
pertanahan di Yogyakarta, menurut kronologi
tindakan sewenang-wenang. Namun selama
sejarah yang intinya adalah sebagai berikut11:
ind
masa sekarang ini menurut kita merupakan tekanan tersebut tidak berat bagi rakyat perbuatan tersebut menjadi suatu hukum adat.
Kekuasaan raja tidak hanya mempengaruhi hak sehingga hak milik berubah menjadi hak mengelola tanah atau hak memungut hasil
saja. Kekuasaan menguatkan paham milik
raja (vorstendomein) dan hak milik raja
(vorsteneigendomsrecht) karena menurut adat raja adalah segala-galanya. Semuanya adalah untuk raja dan kepunyaan raja. Dalam
1918, yakni saat dimulainya reorganisasi keagrariaan. Pada masa kabekelan/apanage ini berlaku asas bahwa tanah adalah milik
lR ec hts V
ulayat persekutuan, tetapi juga perorangan,
Periode pertama, berlangsung hingga tahun
pelaksanaannya
pemahaman
tersebut hanya ditujukan untuk menghormati dan menjunjung raja mereka. Sebab dalam
kerabat dan pejabat keraton sebagai tanah lungguh, sedang rakyat hanya mempunyai wewenang anggadhuh (meminjam). Dalam hal ini rakyat tidak memiliki hak hukum atas sebidang tanah, tetapi hanya sekedar menggarapnya. Oleh karenanya zaman ini merupakan zaman penderitaan bagi rakyat kecil, dimana selain diharuskan menyerahkan sebagian hasil tanamnya, rakyat masih
Jur
na
kenyataannya rakyat tetap menganggap dirinya
raja; sebagian diantaranya diberikan kepada
B. Ter Haar, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan oleh K. ng. Soebakti Poesponot, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm. 78. 10 Erman Rajagukguk, Pemahaman Rakyat tentang Hak atas Tanah, Prisma, Jakarta, 1979, hlm. 4. 11 http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/05/hukum-pertanahan-di-yogyakarta-sebelum.html. diakses tanggal 4 Februari 2011.
9
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional dalam Urusan Pertanahan ... (Tyas Dian Anggraeni)
59
Volume 1 Nomor 1, April 2012
diwajibkan bekerja di perusahaan-perusahaan
kannya perubahan dalam sistem pemilikan
Pasal 4
tanah tahun 1918 hingga tahun 1950-an. Pa da masa ini raja melepaskan hak-haknya atas sebagian terbesar dari tanah yang termasuk wilayahnya, yang kemudian menjadi hak milik pribumi anggota masyarakat desa, dan diadakannya pembagian baru dari persilpersil tanah untuk penduduk desa.12 Peraturan
perundang-undangan
yang
ind
mengatur tentang proses perubahan sistem pemilikan tanah ini adalah Rijksblad Kasultanan
1918 No. 16 tanggal 8 Agustus 1918, yang beberapa pasalnya berbunyi sebagai berikut:
turun temurun, sarta siji-sijine kalurahan sepira kang dadi wajibe dhewe-dhewe, dipasrahi amranata dhewe ngatase angliyaake bumi sajerone sawetara lawase sarta angliyerake wewenange nganggo bumi mau, semono iku mawa angelingi pepacak kang wis utawa kang bakal ingsun dhawuhake, utawa kang panin¬dake terang dhawuhingsung.
lR ec hts V
Pasal 3
Kejaba wewenange penggadhuh tumrap bumi lungguhe lurah sarta perabot kelurahan tuwin bumi kang diparingake minangka dadi pensiune (pengarem-arem) para bekel kang dilereni, iku wenang penggadhuh kang kasebut ing bab 3 diparingake marang kalurahan mawa anglestareake wewenange kang padha nganggo bumi ing nalika tumindake pembangune pranatan anyar, wewenange nganggo bumi kang dienggo nalika iku, ditetepake
ing
pertanian.
(1) Sakabehe bumi kang wus kapranata maneh kang wus terang dienggo uwong cilik dienggoni utawa diolah ajeg utawa nganggo bera pangolahe, kadidene kang kasebut ing register kelurahan, iku padha diparingake marang kalurahan anyar mawa wewenang panggadhuh cara Jawa, dene bumi kang diparingake marang siji-sijine kalurahan mau, bumi kang kalebu ing wewengkone kalurahan miturut register kalurahan.
Jur
na
(Semua tanah yang terletak dalam wilayah yang telah diorganisir yang nyatanyata dipakai rakyat, baik yang ditempati maupun yang diolah secara tetap atau tidak tetap sebagaimana tercatat dalam register kalurahan, diberikan kepada kalurahan baru tersebut dengan hak anggadhuh /
Ibid.
12
60
BP HN
Periode kedua, ditandai dengan dilaksana
inlandsbezitsrecht. Ada pun tanah yang diberikan kepada masing-masing kalurahan itu adalah tanah yang termasuk dalam register kalurahan).
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 53-73
(Kecuali hak anggadhuh atas tanah lungguh lurah dan perabot kelurahan serta tanah yang diberikan sebagai tanah pensiun para bekel (pamong desa) yang diberhentikan, hak anggadhuh / inlandsbezitsrecht yang tersebut pada pasal 3 diberikan kepada kelurahan dengan melestarikan hak para pemakai tanah pada saat berlakunya reorganisasi, hak pakai itu ditetapkan turun temurun (erfelijk gebruiksrecht), dan kelurahan diserahi mengatur sendiri mengenai ‘angliyaake’ tanah untuk sementara waktu (tijdelijke
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Mengenai proses perubahan pertanahan
di wilayah Paku Alaman diatur dalam Rijksblad
Paku Alaman 1918 No. 18 tanggal 17 Agustus 1918 yang isinya sama atau hampir sama dengan ketentuan diatas.
Periode akhir periode kedua ini tidak bisa
dipastikan
waktunya,
ind
(1) ing samangsa-mangsa ingsung kena mundhut kondur bumi sawatara bageyan kang padha diparingake marang kalurahan mawa wewenang penggadhuh, menawa bumi mau bakal diparingake marang kabudidayan tetanen iku bakal ingsun paringi wewenang ing atase bumi mau miturut pranatan bab pamajege bumi, mungguh laku-lakune kang kasebut ing ndhuwur iki bakal kapranatan kamot ing pranatan.
BP HN
Pasal 5
tanah yang dipergunakan oleh penduduk, apabila tidak untuk kepentingan umum dan dengan ganti rugi yang ditetapkan oleh Patih Kerajaan dengan persetujuan Residen di Yogyakarta dan telah mendengar pendapat komisi taksir. Pelaksanaan hal ini akan diatur kemudian dengan peraturan Patih Kerajaan).
ing
voorveending) dan ‘angliyer-ake’ hak pakai tanah (overdracht van dat gebruiksrecht), dengan mengingat peraturan yang sudah atau akan ditetapkan kemudian.
Pasal 6
karena
sekitar tahun 1950-an terjadi banyak peristiwa penting yang berkaitan dengan bidang agraria seperti dihapuskannya pajak kepala tahun 1946, digantikannya pajak tanah dengan pajak
lR ec hts V
(Sewaktu-waktu hak anggadhuh / inlandsbezitsrecht yang diberikan kepada kalurahan dapat ditarik kembali jika tanah itu diperlukan untuk perusahaan pertanian / landbouw onderneming menurut aturan penyewaan tanah/grondhuur reglement).
disebabkan
pendapatan tahun 1951, dan diberikannya hak milik perseorangan turun-temurun tahun 1954. Periode ketiga, berlangsung sejak tahun 1950-
na
Kejaba tumrap lelakon kang kasebut ing bab 5, ingsun ora bakal mundhut bumikang dianggo uwong cilik kang katemtoake ing bab 3, menawa ora tumrap kaperluane ngakeh, semono iku mawa amaringi karugian kang tinam¬toake dening Pepatihingsun, sabiyantu kalayan Kanjeng Tuan Residen ing Ngayogyakarta, sawuse karembug dening kumisi juru taksir, dene panindake kang bakal tinamtoake ing tembe kamot ing layange undang-undang Pepatihingsun.
Jur
(Selain untuk keperluan dimaksud pasal 5, Pemerintah tidak akan menarik kembali tanah-
an, hingga tahun 1984 yakni saat diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada periode ini berlaku ketentuan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan secara hak oleh pihak lain adalah domain Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Keraton memberikan hak anggadoh ke kelurahan. Keraton memberikan hak anggadoh turun temurun kepada rakyat yang nyata-nyata dipergunakan rakyat dan mulai saat ini muncul Buku Administrasi Tanah di tiap-tiap kelurahan.13
Risalah Rapat Panitia Kerja Komisi II DPR RI, Tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin,10 Oktober 2011, hlm. 3
13
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional dalam Urusan Pertanahan ... (Tyas Dian Anggraeni)
61
Volume 1 Nomor 1, April 2012
ini, urusan pertanahan
merupakan urusan rumah tangga Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Daerah
Istimewa
Yogyakarta memberi hak milik turun temurun
Keprabon yang di dalam Rancangan Undang-
BP HN
Pada periode
Undang sudah ada defenisinya.
Ketiga, tanah Keraton yang dipakai sebagai rumah jabatan.
atas bidang tanah pada Warga Negara Indonesia.
Keempat, tanah Keraton yang dipakai oleh
Tanda sah hak milik tanah di Yogyakarta, diluar
pihak lain yaitu instansi pemerintah atau lembaga
tanah sultan adalah model D, E, dan daftar atau
badan hukum swasta maupun perorangan, baik
register leter C. Sedangkan tanah sah hak milik di
dengan perjanjian maupun hanya ijin saja.
Jadi selama ini eksistingnya apabila misalnya
adalah petikan register bawenang andarbabumi
kalau pihak ketiga itu mengadakan keinginan
miras layang kurat petikan soko yatno pustoko.
untuk itu biasanya dari pihak Keraton maupun
Dalam penggunaan tanah milik keraton,
Pakualaman ada kerja sama dengan bupati
ing
Yogyakarta yang berada di dalam wilayah sultan
daerah setempat, dan secara operasional bupati
menyatakan bahwa siapa saja baik perorangan
ini yang akan mengatur dengan pihak ketiga.
maupun badan hukum dapat memanfaatkan
Tetapi ada juga yang langsung yaitu dengan
dan menggunakan tanah keraton tersebut
perjanjian. Kalau dengan masyarakat yaitu
asalkan jelas peruntukannya dan melaporkan
hanya ijin saja, yaitu dengan cara magersari.
IX)
lR ec hts V
(Hamengkubuwono
ind
pernah
Sultan
ke lembaga yang berwenang menangani.
Kelima, tanah Keraton yang masih digarap
Sebab bagi Sultan yang penting adalah adanya
oleh masyarakat, tidak ada bangunan, baik
pengakuan bahwa tanah tersebut adalah tanah
dengan ijin maupun tidak. Termasuk yang di
Keraton.
Pasir Besi yang di arah Kulon Progo ini dengan
Sedangkan penggunaan tanah Sultan Ground
tanah Paku Alam Ground, kemudian kalau di
dan Pakualaman Ground dapat digolongkan
Yogya umumnya, selain di Kulon Progo tersebar
menjadi14:
adalah Sultan Ground.
Satu, tanah Keraton yang sudah diberikan
Keenam, tanah-tanah keraton yang masih
kepada para sentono dengan kekacingan
kosong sama sekali dan belum dikuasai oleh
(sertifikat/surat yang dikeluarkan Keraton) , jadi
pihak lain.
para sentono ini termasuk kerabat.
na
Kedua, tanah Keraton yang digunakan untuk
Jur
keperluan eksistensi Keraton yaitu mungkin
Sedangkan berdasarkan kedudukan tanah
dan fungsinya masing-masing yakni dapat dibagi menjadi15:
Ibid. hlm. 6 Mochammad Tauchid., Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Bagian Pertama, (Djakarta: Tjakrawala, 1952), hlm. 135.
14 15
62
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 53-73
Volume 1 Nomor 1, April 2012
II. Tanah yang diberikan Sultan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk kantor, gedung; III. Tanah yang diberikan kepada orang asing (WNA): hak Eigendom, Opstal; IV. Tanah
Golongan
diberikan
menurut
golongan abdi dalem; V. Tanah
Kasentanan
diberikan
kepada
keluarga/ kerabat Raja; VI. Tanah pekarangan Bupati, untuk pegawai dengan perkampungan di sekelilingnya; pusat pemerintahan diberikan ke Patih (Rijkbestuurder);
Hak milik atas tanah tidak diberikan kepada
warga negara Indonesia non-pribumi dengan pertimbangan melindungi warga pribumi yang secara ekonomis tergolong lemah. Dapat
Yogyakarta
dirasakan sangat
disini peduli
bahwa
Sultan
dan
selalu
mengutamakan keberpihakan terhadap nasib
lR ec hts V
VIII. Pekarangan penduduk di luar tanah-tanah I-VII;
(Menjual atau memindahkan hak milik atau hak pakai atas tanah … kepada yang bukan bangsa Jawa (baca: bangsa Indonesia) dan juga menyewakan atau menggaduhkan tanah kepada bukan bangsa Jawa (baca: bangsa Indonesia) … dilarang).
ind
VII. Tanah Kebonan dan pekarangan di luar
”adol utawa angliyerake wewenang andarbeni utawa nganggo bumi … marang wong kang dudu bangsa Jawa lan maneh nyewaake utawa nggaduhake bumi gawe marang wong kang dudu bangsa Jawa, … kalarangan”.
BP HN
Tanah yang dipakai Sultan Sendiri;
ing
I.
IX. Sawah Mahosan yang dikerjakan dan
dipelihara Bekel dengan membayar pajak (Pajeg/Paos);
Kembali kepada kekuasaan Sultan, selain
mempunyai hak milik atas tanah di wilayahnya
secara utuh pada masa tersebut, terdapat prinsip lain yang unik dalam urusan pertanahan
Kasultanan Yogyakarta dan Pura Pakulaman untuk kepemilikan tanah bagi WNI non
pribumi yang masih berlaku hingga sekarang. Berdasarkan Rijksblad Kasultanan 1918 nomor
na
16 juncto 1925 nomor 23, serta Rijksblad Paku
Alaman 1918 nomor 18 juncto 1925 nomor 25,
yang secara langsung mengokohkan legitimasi politik kepemimpinannya sebagaimana prinsip manunggaling kawula gusti (bersatunya rakyat dan raja) . Kebijakan Sutan dalam Rijksblad yang telah diadopsi menjadi Peraturan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut sebenarnya telah sesuai dan selaras dengan UUPA yang juga mempunyai misi untuk melindungi golongan masyarakat yang lemah.16 Prinsip dan kebijakan yang seakan mengandung ketidakadilan dan diskriminasi tersebut dapat diterima. Dalam hukum, suatu pandangan bahwa ketidakadilan dan
diskriminasi
dalam
kebijakan
dan
Jur
Pasal 6 ayat (1) :
rakyatnya. Bagi Sultan, rakyat merupakan bagian
16
Tri Widodo Utomo, Hukum Pertanahan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Navila, 1992), hlm. 120.
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional dalam Urusan Pertanahan ... (Tyas Dian Anggraeni)
63
Volume 1 Nomor 1, April 2012
penentuan sendiri cara pengangkatan dan
kepentingan yang lemah dapat dibenarkan dan
pemberhentian pimpinan daerahnya termasuk
kemudian dikokohkan dalam istilah “diskriminasi
juga
positif (positive discrimination) atau keadilan
Berdasarkan keistimewaan tersebut, saat ini di
korektif (corrective justice).17
Yogyakarta terdapat beberapa kelompok status
Masih berlangsungnya pengaturan oleh
BP HN
perlakuan yang dimaksudkan untuk melindungi
mengatur
urusan
pertanahannya.
tanah dengan sistem hukum yang berbeda pengaturannya antara lain:
dualisme hukum pertanahan di Yogyakarta.
a. Tanah bekas hak barat yang di miliki oleh
Namun hal tersebut merupakan konsekuensi
orang-orang Eropa dan Timur asing yang
berawal dari keluarnya Amanat Sri Paduka Sultan
ing
Sultan dan Pakualam menimbulkan kesan adanya
Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku
b. Tanah milik (domein) Kasultanan dan
Alam VIII pada tanggal 5 September 1945 yang
Pakualaman yang sudah diberikan menjadi
menyatakan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta
milik perorangan dan desa sejak tahun 1954
Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman adalah
tunduk pada ketentuan dalam beberapa
dari keistimewaan yang dimiliki oleh Yogyakarta dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
menjadi salah satu hak atas tanah menurut UUPA dan tunduk pada ketentuan hukum agraria nasional.
lR ec hts V
ind
Keistimewaan yang dimiliki oleh Yogyakarta
pada tahun 1960 yang sudah di konversi
daerah istimewa dan merupakan bagian dari
Peraturan Daerah.
c. Tanah-tanah milik (domein) Sultan dan Paku
wilayah Republik Indonesia.
Sultan Yogyakarta tetap dalam keduduk
Alam yang berada di bawah kewenangan
annya sebagai kepala pemerintahaan yang
Kasultanan dan pakualaman yang penguasaan
mengendalikan
dan penggunaannya diatur berdasarkan
semua
wilayah
kekuasaan
kesultanan. Keistimewaan yang dimiliki oleh
Rijksblad Kasultanan dan Pakualaman.
Sultan tidak terbatas pada status kepala daerah,
Perbedaan pengaturan yang menimbul
melainkan juga pemerintahan, pertanahan, pendidikan, kebudayaan, anggaran keistimewaan dan posisi keraton.
Dalam amanat Penggabungan diri tersebut
na
Sultan dan Paku Alam menyertakan kewenangan untuk menangani segala urusan pemerintahan
di daerahnya. Hak tersebut antara lain untuk
Jur
mengatur pemerintahannya yang meliputi
kan dualisme hukum tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketika berbicara dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia tentunya merupakan persoalan yang serius dan harus segera diselesaikan, ketika status keistimewaan suatu daerah dapat mengalahkan hukum nasional yang berlaku. Hal ini juga tidak bisa sepenuhnya dianggap mengabaikan
Maria Sumardjono SW, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi , Kompas , Jakarta, 2001. Sacipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal.13.
17 18
64
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 53-73
Volume 1 Nomor 1, April 2012
menyelenggarakan proses pemerintahannya
hukum terutama dalam hal pertanahan selaras
dari masa ke masa.
juga dengan sikap nasionalisme Sultan HB IX ketika menyatakan untuk bergabung dengan NKRI. Sultan HB IX pada saat itu sangat
BP HN
keberadaan keraton Yogyakarta, sebab kepastian
2. Realitas urusan pertanahan dalam menyikapi RUU Keistimewaan DIY
mengharapkan bahwa terjadinya penggabungan
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa
Keraton Yogyakarta dengan Republik Indonesia
Sultan dan Paku Alam mempunyai kewenangan
yang masih sangat muda tersebut diharapkan
mutlak
akan memperkokoh Negara Kesatuan Republik
wilayahnya. Dalam RUU Keistimewaan DIY,
Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh.
Kewenangan urusan pertanahan diatur pada
rangka
pembangunan
hukum,
yang merupakan proses mengakomodasi dan
pertanahan
di
Bab IV tentang Kewenangan, dalam Pasal 7 : 1) Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagai
daerah
otonom
ind
merespon terhadap dua dunia yaitu dunia cita-
urusan
ing
Dalam
terhadap
mencakup kewenangan dalam urusan-
dibangun diharapkan daya jangkau berlaku ke
urusan pemerintahan Provinsi sebagaimana
masa yang akan datang tetapi dengan tidak
dimaksud dalam Undang-Undang tentang
mengabaikan kondisi-kondisi yang ada pada
Pemerintahan Daerah dan urusan-urusan
saat sekarang.18 Maka faktor sejarah dan realita
istimewa yang ditetapkan dalam Undang-
dalam kehidupan masyarakat saat ini kini akan
Undang ini.
lR ec hts V
cita atau ide dan dunia nyata, jika hukum yang
menjadi bahan untuk menyusun peraturan perundang-undangan di masa mendatang.
Berdasarkan latar belakang tersebut regulasi
2) Kewenangan
dalam
urusan
istimewa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
berupa undang-undang yang secara tegas
a. penetapan fungsi, tugas dan wewenang
mengatur aspek-aspek keistimewaan Yogyakarta
Gubernur Utama dan Wakil Gubernur
sangat diperlukan. Undang-Undang tersebut
Utama;
pada satu sisi harus mempertimbangkan
b. penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi;
sejak tahun 1950. Dan pada sisi yang lain, harus
c. kebudayaan; dan
dapat menyesuaikan dengan perkembangan
d. pertanahan dan penataan ruang.
na
keistimewaan Yogyakarta yang sudah diakui
masyarakat yang ada. Kehadiran undang-
3) Penyelenggaraan
undang tersebut juga diharapkan akan mampu
urusan-urusan
menciptakan hal
urusan
istimewa
dalam
sebagaimana
hukum
terutama
dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada
pertanahan
sehingga
nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan
kepastian
Jur dalam
kewenangan
akan sangat berguna bagi Yogyakarta dalam
kepada rakyat.
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional dalam Urusan Pertanahan ... (Tyas Dian Anggraeni)
65
Volume 1 Nomor 1, April 2012
langkah-langkah pemerintah yang dipandang
BP HN
4) Pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam sebagaimana
bertentangan dengan atau menyimpang dari
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
norma-norma dasar yang dikenal dan dianut
dengan Perdais.
oleh masyarakat Yogyakarta.
istimewa
Dalam penjelasan Pasal itu disebutkan bahwa:
pengunaan hak veto tersebut. Bagaimana kekuatan veto yang dimiliki oleh Sultan dan
Paku Alam juga harus dipertegas. Samakah dengan kekuatan hak veto yang dimiliki oleh
lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki efek mempengaruhi bahkan merubah setiap resolusi Dewan Keamanan. Apakah Sultan dan Paku Alam boleh menggunakan hak veto
ind
“Kewenangan dalam urusan pertanahan dan penataan ruang meliputi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond. Khusus di bidang pertanahan, Sultan dan Pakualam sebagai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama berwenang memberikan arahan umum kebijakan, pertimbangan, persetujuan dan veto terhadap rancangan Peraturan Daerah Istimewa yang diajukan DPRD dan Gubernur dan/atau Peraturan Daerah yang berlaku.”
Harus diberikan batasan-batasan yang jelas
ing
urusan-urusan
dengan bebas. Sebab jika digunakan dengan bebas maka dapat menimbulkan kesewenangwenangan.
lR ec hts V
Dan ketika dibatasi maka alasan-alasan apa
Dalam naskah akademik RUU tentang
Keistimewaan DIY tergambar bahwa hak veto yang nantinya akan diberikan untuk Sultan
dan Paku Alam merupakan “senjata” mereka dalam melaksanakan fungsi kontrol terhadap
kebijakan dalam urusan pertanahan untuk rakyat Yogyakarta. Namun pemberian hak veto tersebut belum memecahkan rumitnya urusan
pertanahan di Yogyakarta. Kerumitan yang nantinya timbul antara lain pada mekanisme
pengaturan hak veto tersebut nantinya ketika
na
akan di implementasikan, hak veto yang diberikan kepada Sultan dan Pakualam ketika nanti Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bukan Sultan
Jur
atau Paku Alam yang sedang jumeneng lebih terkait pada mekanisme pengaturan, bukan tentang hak milik atas tanah. Hak veto yang diberikan lebih kepada sebuah kontrol terhadap
66
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 53-73
saja yang dapat menjadi dasar digunakannya hak veto oleh Sultan. Selain itu apakah hak veto Sultan bersifat mutlak, artinya langsung menggugurkan rancangan peraturan daerah yang diajukan baik oleh pemerintah daerah maupun DPRD. Sebab jika hak veto tersebut bersifat mutlak maka bagaimana dengan nasib rancangan perda yang telah disusun apakah masih boleh diajukan kembali. Mekanisme tersebut harus dipikirkan dengan matang agar nantinya tidak menimbulkan masalah baru. Ketika
nantinya
Gubernur
dan
Wakil
Gubernur tidak dijabat oleh Sultan atau Paku Alam atau kerabat keraton sebagai akibat dari sistem pemilihan kepala daerah langsung. Dikhawatirkan kepala daerah yang terpilih nantinya kurang memahami secara arif dan benar bagaimana relasi masyarakat dengan tanah.
Volume 1 Nomor 1, April 2012
terjadi di Yogyakarta tentunya menimbulkan
yang dengan semena-mena menghapuskan
ketidakpastian
dan/ atau mengambilalih hak-hak rakyat yang
merugikan masyarakat sendiri terutama mereka
telah diberikan oleh Sultan dan Paku Alam.
yang telah turun temurun mendapatkan
Kekhawatiran
terbesar
adalah
terjadi
kepercayaan
BP HN
Kekhawatiran bahwa akan muncul sifat otoriter
hukum,
yang
menggunakan
sebenarnya
tanah-tanah
Kasultanan dan Pura Pakulaman. Secara hukum
menukar aset tanah wewengkon Kasultanan
nasional status mereka terhadap tanah tersebut
dan Pura Pakualaman kepada investor baik
menjadi tidak jelas karena tidak tercatat secara
domestik apalagi investor asing melalui produk
nasional.
hukum Peraturan Gubernur. Sehingga cepat atau
ing
tindakan melepaskan dan/atau melakukan tukar-
Selain Pasal 7 yang mengatur urusan
kewenangan dibidang pertanahan. Dalam RUU
oleh pihak Kasultanan dan Pura Paku Alaman
Keistimewaan DIY urusan pertanahan diatur
bahwa wewengkon keraton nantinya hanya
juga dalam Pasal 10 :
ind
lambat akan terjadi hal-hal yang di khawatirkan
tinggal selebar terkembangnya payung (mung
Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama
berwenang:
kari sak megaring songsong).
a. Memberikan arah umum kebijakan dalam
yang berlebihan. Sebab sebagaimana telah
penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah
terurai di atas dalam sejarah pengaturan tanah
Provinsi, kebudayaan, pertanahan, penataan
di Kasultanan Yogyakarta dan Pura Pakualaman,
ruang, dan penganggaran;
lR ec hts V
Kekhawatiran tersebut bukanlah sesuatu
kewenangan Sultan dan Paku Alam tidak hanya terbatas dalam keikutsertaan
atau
b. Memberikan
persetujuan
terhadap
rancangan Perdais yang telah disetujui
hanya merupakan hak konstitusional penguasa
bersama
untuk mencegah, menyatakan, menolak, atau
Istimewa Yogyakarta dan Gubernur;
membatalkan keputusan saja semacam hak
oleh
c. Memberikan
DPRD
saran
Provinsi
dan
Daerah
pertimbangan
veto. Namun juga termasuk memiliki tanah
terhadap rencana perjanjian kerjasama yang
dan mendistribusikan kepada rakyatnya untuk
dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi
kesejahteraan rakyatnya.
dengan pihak ketiga yang membebani
Menghilangkan suatu tradisi yang telah
na
lama hidup dalam suatu masyarakat terlebih
tidak pernah ada konflik di dalamnya yang menyebabkan
perpecahan
tentunya
tidak
Jur
mudah. Masyarakat sudah terlanjur nyaman dengan
kondisi
tersebut
apalagi
ketika
dirasa tidak merugikan diri mereka. Namun dualisme pengaturan urusan pertanahan yang
masyarakat. Pasal yang secara utuh mengatur masalah
pertanahan diatur pada Bagian Ketiga tentang Pertanahan dalam Pasal 26 : 1) Dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pertanahan
dan
penataan
ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional dalam Urusan Pertanahan ... (Tyas Dian Anggraeni)
67
Volume 1 Nomor 1, April 2012
- mendaftarkan
Badan
Hukum,
dan
pada huruf c kepada Badan Pertanahan
Kasultanan
Nasional Republik Indonesia;
mempunyai hak milik atas Sultanaat Grond. Pakualaman
2) Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri
mempunyai hak milik atas Pakualamanaat
Paku Alam IX dalam kedudukannya sebagai
Grond.
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah
3) Sebagai
Badan
Hukum,
Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud
Pakualaman merupakan subyek hukum yang
dalam Pasal 34 huruf (e) mempunyai tugas
Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond dengan sebesar-besarnya ditujukan untuk sosial, dan kesejahteraan masyarakat.
5) Ketentuan lebih lanjut tentang Badan Hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
menyiapkan kerangka umum kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond, serta penataan ruang Provinsi Daerah Istimewa
ind
pengembangan kebudayaan, kepentingan
ing
4) Sebagai Badan Hukum, Kasultanan dan berwenang mengelola dan memanfaatkan
Yogyakarta;
Berbagai pasal yang terdapat dalam RUU
Keistimewaan DIY masih belum memberikan kepastian hukum. Salah satunya sebagaimana
lR ec hts V
6) Tata guna, pemanfaatan, dan pengelola an Sultanaat Grond dan Pakualamanaat
Grond serta penataan ruang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diatur lebih lanjut dengan Perdais.
telah diuraikan diatas, terkait hak veto dalam rangka pelaksanaan kewenangan Sultan dan Paku Alam. Hal lain yang terkesan belum memberikan
Setelah semua aturan terkait kewenangan
kepastian hukum adalah kedudukan Sultan dan
selanjutnya
Paku Alam dalam urusan pertanahan, juga tidak
mengatur mengenai tugas atau kewajiban
ditegaskan urusan pertanahan yang mana yang
yang dibebankan kepada Sultan dan Paku Alam
menjadi keistimewaan Sultan dan Paku Alam.
untuk melakukan konsolidasi dan klasifikasi
Sebab seperti telah diurai diatas, bahwa tanah
pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 35
di Yogyakarta bermacam-macam jenis dan
huruf (c dan d):
golongannya. Sehingga menimbulkan pertanyaan
1) Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku
apakah pertanahan yang diatur terutama dalam
Alam IX masing-masing dalam kedudukannya
Pasal 10 apakah sama dengan Pasal 7 ataukah
sebagai Sri Sultan dan Sri Paku Alam memiliki
dengan pertanahan sebagaimana diatur dalam
tugas:
Pasal 26 RUU Keistimewaan ini.
bidang
pertanahan,
pasal
Jur
na
di
68
klasifikasi
konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud
ditetapkan sebagai Badan Hukum. 2) Sebagai
hasil
BP HN
(2) huruf d, Kasultanan dan Pakualaman
- melakukan konsolidasi dan klasifikasi
Pertanahan dalam Pasal 7 dan Pasal 10 tidak
Sultanaat Grond dan Pakualamanaat
dijelaskan dengan lebih rinci, berbeda dengan
Grond;
pertanahan yang ada dalam Pasal 26 di sebutkan
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 53-73
Volume 1 Nomor 1, April 2012
HPL
merupakan
bentuk
khusus
dari
BP HN
dengan lebih rinci yaitu Sultanaat Ground dan Paku Alamanaat Ground. Hal ini dikhawatirkan
Hak Menguasai Negara (HMN), sebab HPL
akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-
mempunyai kewenangan yang bersifat publik
beda tentang pertanahan tersebut. Kondisi
disamping juga kewenangan yang bersifat
ini akan menyulitkan terkait dengan dengan
perdata terbatas. Dengan HPL, maka Kasultanan
pelaksanaan teknisnya nanti dilapangan, sebab
dan
nantinya ada perbedaan antara Sultanaat
kewenangan antara lain :
Ground, Pakualamanaat Ground, tanah milik
1) Menyusun
Pakualaman rencana
dapat
melakukan
peruntukan
dan
penggunaan tanah-tanah yang dimiliki untuk
juga belum dipaparkan secara rinci mengenai
ing
Pemerintah Daerah DIY dan milik rakyat DIY, dan
Pura
hak atas tanahnya. Dalam hal ini termasuk
2) Menggunakan sendiri tanah-tanah yang
juga tanah milik masing-masing ahli waris dari
berbagai kepentingan dan kegiatan yang bersifat sosial, budaya dan ekonomi dengan
Sultan dan Pakualaman.
tetap mengedepankan serta berpijak pada prinsip “Tahta untuk rakyat”.
ind
Selain status pertanahan dalam RUU ini
juga kedudukan Sultan sebagai pihak yang
diperuntukkan
mempunyai
bidang
terkait langsung dengan simbol-simbol dan
pertanahan di Yogyakarta. Diperlukan suatu
eksistensi lembaga Kasultanan dan Pura
rumusan yang komprehensif tentang pengaturan
Pakualaman.
istimewa
dalam
lR ec hts V
hak
bagi
kepentingan
yang
hak atas tanah yang dimiliki oleh Sultan. Harus
3) Sedangkan untuk tanah-tanah yang saat ini
dibedakan dengan sedemikian rupa mana hak-
digunakan oleh rakyat baik untuk tempat
hak yang seharusnya menjadi hak pemerintah,
tinggal maupun untuk kegiatan usaha, sejalan
dan mana yang seharusnya menjadi hak yang
dengan prinsip Tahta untuk Rakyat, maka
memang karena keistimewaan Yogyakarta
pengurusannya
menjadi hak dari Sultan dan Pakualam.
rakyat yang bersangkutan sesuai dengan
Dalam rangka memberikan kepastian
rencana
tetap diserahkan kepada
peruntukan
dan
penggunaan
tanah sebagaimana telah disusun dalam
berbagai macam diskusi maupun sarasehan.
perjanjian awal penggunaan tanah milik
Salah satu bentuk pemberian hak atas tanah
Kasultanan dan Pura pakualaman. Untuk
kepada Kasultanan dan Pakualaman19:
kepastian hukumnya, terhadap tanah-tanah
• Hak Pengelolaan (HPL) bagi Kasultanan dan
ini pihak kasultanan dan Pura Pakulaman
na
hukum terhadap keraton telah banyak dilakukan
dapat merekomendasikan kepada Badan
Jur
paku alaman.
Nurhasan Ismail, Sistem Pertanahan di DIY dalam Kerangka keistimewaan, Makalah Seminar yang diselenggarakan PARWI FOUNDATION, 26 April 2003, Novotel, hlm. 9.
19
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional dalam Urusan Pertanahan ... (Tyas Dian Anggraeni)
69
Volume 1 Nomor 1, April 2012
hukum privat seperti Yayasan atau berdasarkan
Yogyakarta untuk memberikan Hak Guna
penetapan dari dengan Perda sebagai badan
Bangunan atau Hak Pakai kepada rakyat
hukum publik.
Nasional
(BPN)
BP HN
Propinsi
Pertanahan
Pengaturan status tanah mana pun yang
hilang. Di sisi lain rakyat yang menguasai dan
nantinya diterapkan dan dipilih, diharapkan
menggunakan tanah-tanah milik Kasultanan
mampu memberikan kepastian hukum urusan
dan Pura Pakualaman juga semakin diperkuat
pertanahan di Yogyakarta. Pengaturan tersebut
status hak nya sehingga secara yuridis dan
penting dalam rangka penataan dan pengelolaan
ekonomis lebih duntungkan.
kepemilikan aset dan tanah Kasultanan dan
Berdasarkan hukum yang berlaku, HPL hanya dapat diberikan kepada instansi pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) baik dari negara dan Pihak Kasultanan dan Pura Pakulaman, karena hingga saat ini status mereka belum jelas apakah merupakan badan hukum
Langkah yang tidak kalah penting adalah
pendataan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengenai tanah-tanah di Yogyakarta berdasarkan penggolongannya. Agar nantinya dalam RUU Keistimewaan DIY ini dapat dilampirkan data pertanahan di Yogyakarta secara lebih terperinci antara Sultanaat Ground,
lR ec hts V
publik atau badan hukum privat.
Pakualaman.
ind
sehingga perlu penegasan dan penentuan sikap
ing
yang menguasainya, sehingga HPL-nya tidak
• Pemberian Hak Milik (HM)
Hak milik adalah hak atas tanah yang hanya
mengandung kewenangan-kewenangan yang bersifat keperdataan saja. Dengan HM pihak
Kasultanan dan Pura Pakualaman masih dapat melaksanakan prinsip “Tahta Untuk Rakyat”
melalui pemberian HGB atau Hak Pakai diatas tanah HM kepada warga masyarakat yang sudah
menguasai dan menggunakan. HM hanya dapat diberikan kepada orang perseorangan yang
berstatus Warga Negara Indonesia Tunggal,
na
sehingga badan hukum baik privat maupun
publik pada prinsipnya tidak dapat mempunyai HM, kecuali ditunjuk langsung oleh pemerintah.
Jur
Sehingga Kasultanan dan Pura Pakualaman dimungkinkan menjadi badan hukum dengan HM, asalkan mereka membentuk badan
70
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 53-73
Pakualamanaat Ground, tanah milik pemerintah DIY,tanah milik rakyat. Menanggapi
kekhawatiran
masya
rakat Yogyakarta dengan munculnya RUU Keistimewaan
DIY
yang
ditakutkan
akan
mengganggu atau mengambil tanah milik Keraton yang telah lama mereka kelola, baik sebagai tempat tinggal, tanah garapan, untuk sekolahan, tempat ibadah dan lain sebagainya. Ada baiknya kekhawatiran tersebut dihilangkan, karena
apabila
digarap
dan
dirumuskan
dengan serius, RUU Keistimewaan DIY ini akan memberikan kepastian hukum dalam urusan pertanahan. Manfaat
langsung yang dirasakan oleh
rakyat Yogyakarta terhadap tanah yang mereka tempati, walaupun berstatus magersari namun tercatat dalam sistem hukum nasional. Kondisi
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Kadipaten Pakualaman adalah daerah istimewa
Yogyakarta yang hidup dalam koridor hukum
dan merupakan bagian dari wilayah Republik
NKRI.
Indonesia. Dalam amanat Penggabungan diri
BP HN
ini tentunya menguntungan juga bagi rakyat
tersebut Sultan dan Paku Alam menyertakan
E. Penutup
kewenangan untuk menangani segala urusan
1. Kesimpulan
pemerintahan di daerahnya.
oleh raja atau Sultan Yogyakarta dan Paku alam merupakan pelaksanaan kesepakatan dari perjanjian Giyanti. Perjanjian yang dilaksanakan di daerah Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 membagi Kerajaan Mataram menjadi
tanah yang khusus. Sebagian diatur dengan UUPA atau mengikuti hukum pertanahan nasional
yang berlaku dan beberapa wilayah masih diatur oleh Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman.Kondisi ini sebagai akibat dari pemberian status daerah istimewa di Yogyakarta.
ind
dua, yaitu Kasunanan Surakarta (Susuhunan)
Yogyakarta mempunyai sistem pengelolaan
ing
Sejarah penguasaan dan pemilikan tanah
dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
(Kasultanan). Pada masa kekuasaan Inggris,
oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles,
hak untuk mengatur dan mengurus pertanahan secara mandiri. Urusan pertanahan pada masa Kasultanan diatur sendiri oleh Sultan dibantu
lR ec hts V
wilayah Kasultanan Yogyakarta disempitkan lagi
Dimana salah satu bentuk keistimewaan adalah
pada tahun 1813 menjadi wilayah Kasultanan dan wilayah Pakualaman. Hasil perjanjian
Giyanti menyatakan bahwa Sultan Hamengku
Buwono mempunyai hak milik (domein) atas tanah di wilayah barat Kerajaan Mataram dan
hal ini tetap harus hidup dalam kesadaran
hukum masyarakat. Masih berlangsungnya pengaturan
oleh
Sultan
dan
Pakualam
menimbulkan kesan adanya dualisme hukum pertanahan di Yogyakarta. Namun hal tersebut
merupakan konsekuensi dari keistimewaan yang
na
dimiliki oleh Yogyakarta dibandingkan dengan
daerah lain di Indonesia. Keistimewaan yang dimiliki oleh Yogyakarta berawal dari keluarnya
Jur
Amanat Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada tanggal 5 September 1945 yang menyatakan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
abdi dalemnya yang disebut Paniti Kismo. Berdasarkan Risjkblad yang dikeluarkan oleh
lembaga Kasultanan dan Paku Alaman Sultan dan Pakualam berkuasa penuh dan mutlak atas tanah yang ada di wilayahnya. Kasultanan mempunyai kewenangan untuk menyusun rencana peruntukan dan penggunaan tanahtanah yang dipunyai untuk berbagai kepentingan dan kegiatan yang bersifat sosial, budaya dan ekonomi. Kasultanan dan Paku Alaman berwenang untuk menggunakan sendiri tanahtanah yang diperuntukkan bagi kepentingan mereka terutama yang terkait langsung dengan simbol dan eksistensinya. Seiring perjalanan waktu
ternyata
keistimewaan
Yogyakarta
semakin kabur karena tidak sinergis dengan hukum nasional yang ada. Kebutuhan akan adanya undang-undang baru yang melindungi
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional dalam Urusan Pertanahan ... (Tyas Dian Anggraeni)
71
Volume 1 Nomor 1, April 2012
keistimewaan
Yogyakarta
mutlak dibutuhkan. Urusan pertanahan dalam draft RUU Keistimewaan DIY diatur dalam Pasal 7 ayat (2) d “Kewenangan dalam urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pertanahan dan penataan ruang”. Dalam penjelasan Pasal itu disebutkan bahwa kewenangan dalam urusan pertanahan dan penataan ruang meliputi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepemilikan, penguasaan
dan
pengelolaan
Sultanaat
Grond dan Pakualamanaat Grond. Khusus
Harsono, Boedi, Undang–Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, (Djakarta: Djambatan, 1968). Rajagukguk, Erman, Pemahaman Rakyat tentang Hak atas Tanah, Prisma, Jakarta,1979. Notoyudo, KPH dalam Umar Kusumoharyono, Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta setelah berlakunya UU No. 5 / 1960, Yustisia Edisi Nomor 68 Mei - Agustus 2006. Sumardjono, Maria SW, kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas , Jakarta, 2001. Moedjanto, G., Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994). Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982). Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981). Soedargo, Hukum Agraria dalam Era Pembangunan, Prisma, nomor 6, tahun 1973. Soekanto,Suryono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003). Haar, Ter, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan oleh K. ng. Soebakti Poesponot, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985). Utomo, Tri Widodo, Hukum Pertanahan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Navila, 1992). Tauchid, Mochammad, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Bagian Pertama, (Djakarta: Tjakrawala, 1952). Ismail, Nurhasan, Sistem Pertanahan di DIY dalam Kerangka keistimewaan , Makalah Seminar yang diselenggarakan oleh PARWI FOUNDATION, 26 April 2003, Novotel. Risalah Rapat Panitia Kerja Komisi II DPR RI, Tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin,10 Oktober 2011. http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
ind
di bidang pertanahan, Sultan dan Pakualam
DAFTAR PUSTAKA
BP HN
mengatur
ing
dan
sebagai Gubernur utama dan Wakil Gubernur utama berwenang memberikan arahan umum
kebijakan, pertimbangan, persetujuan dan veto
lR ec hts V
terhadap rancangan Peraturan Daerah Istimewa yang diajukan DPRD dan Gubernur dan/atau Peraturan Daerah yang berlaku.
2. Saran
Perlu kajian lebih mendalam serta sosialisasi
yang lebih luas atas RUU Keistimewaan DIY, terutama terkait pengaturan pertanahan agar tidak menimbulkan masalah atau polemik baru,
khususnya dalam urusan pertanahan harus diatur dengan cermat sehingga nantinya tidak memunculkan masalah baru yang berpotensi
na
menimbulkan perpecahan di kalangan internal masyarakat yogyakarta serta selaras dengan
Jur
sistem hukum nasional.
72
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 53-73
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
http://www.kotajogja.com/ http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/05/ hukum-pertanahan-di-yogyakarta-sebelum. html.
Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional dalam Urusan Pertanahan ... (Tyas Dian Anggraeni)
73
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
PERAN SERTA MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA DALAM MEWUJUDKAN SISTEM TRANSPARANSI NASIONAL PELAYANAN PUBLIK (Public and Business Participation in Building National Public Service Transparancy System) Tirta N. Mursitama Departemen Hubungan Internasional Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27 - Kebon Jeruk Jakarta Barat Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 17 Januari 2012; revisi: 28 Februari 2012; disetujui: 16 Maret 2012
lR ec hts V
ind
Abstrak Pelayanan publik merupakan pilar penting reformasi birokrasi yang menjadi tolok ukur kinerja pemerintah. Namun, lebih dari sepuluh tahun reformasi bergulir dan implementasi otonomi daerah, fakta memperlihatkan masih minimnya perubahan substansial dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana keterkaitan organisasi masyarakat, dunia usaha dan layanan publik; serta bagaimana peran organisasi masyarakat dan dunia usaha dalam mendorong terwujudnya transparansi pelayanan publik. Dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris, tulisan ini menyimpulkan bahwa dalam pelayanan publik, terdapat 3 (tiga) aktor yang terlibat, yaitu: masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah yang dimotori oleh birokrasi. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri melainkan saling berkaitan dan mendukung perwujudan sistem transparansi nasional. Untuk itu perlu dibangun strategi kerjasama segitiga antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam rangka mewujudkan birokrasi yang professional, efisien, cepat, dan bekerja berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Kata Kunci: transparansi, pelayanan publik, birokrasi, korupsi
Jur
na
Abstract Public service is one of the important pillars of bureaucracy reform which serves as a benchmark of government performance. However, after more than a decade of reform and the implementation of local autonomy, it shows a limited progress of public service in Indonesia. This article attempts to address two questions: 1) How are the interlinkages between civil society and business in public service? 2) What is the role of civil society and business in promoting public service transparency? By utilizing empirical approach, this article concludes that there are three key actors involved in public services namely society, business, and government which are heavily interrelated and supportive in promoting national public service transparency system. Hence, we need to develop a strategy of triangular cooperation among government, community and business in order to create a professional and efficient bureaucracy on the basis of good governance principles. Keywords: transparency, public service, bureaucracy, corruption
Peran Serta Masyarakat Dan Dunia Usaha Dalam Mewujudkan Sistem ... (Tirta N. Mursitama)
75
Volume 1 Nomor 1, April 2012
A. Pendahuluan1 reformasi birokrasi yang menjadi tolok ukur kinerja pemerintah. Namun, lebih dari sepuluh tahun reformasi bergulir dan implementasi otonomi daerah, fakta memperlihatkan masih minimnya
perubahan
substansial
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik di negeri ini. Indeks integritas pelayanan publik pada tahun 2010 pun menujukkan penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Beberapa instansi maupun daerah memang menunjukkan
peran organisasi masyarakat. Sedangkan bagian ketiga berupa penutup.
B. Permasalahan
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana
keterkaitan
organisasi
masyarakat, dunia usaha dan layanan publik?
2. Bagaimana kondisi pelayanan publik saat ini?
ind
peningkatan kualitas pelayanan pelayanan
memaparkan kerangka kerja untuk menganalisa
ing
Pelayanan publik merupakan pilar penting
BP HN
serta keterkaitan antara ketiganya. Bagian kedua
publik, namun secara umum kualitas pelayanan
3. Bagaimana peran organisasi masyarakat dan
publik masih sangat kurang bahkan cenderung
dunia usaha dalam mendorong terwujudnya
bobrok.
transparansi pelayanan publik?
lR ec hts V
Tulisan ini bertujuan membahas peran
organisasi masyarakat sebagai bagian dari
C. Metode Penelitian
masyarakat madani (civil society) dan dunia
Berdasarkan permasalahan dan tujuan
usaha dalam mendorong terwujudnya sistem
penelitian di atas, penelitian ini dilakukan
transparansi
nasional
Argumentasi
yang
pelayanan
publik.
dengan menggunakan pendekatan empiris2,
dikedepankan
adalah
yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat
kerjasama antara pemerintah, swasta dan
gejala-gejala sosial yang berkaitan dengan
masyarakat
hukum di tengah masyarakat.
dalam
transparansi
mewujudkan
sistem
pelayanan
publik
nasional
D. Pembahasan
merupakan sebuah keharusan.
Tulisan ini terbagi dalam tiga bagian utama. Pertama,
upaya
pendefinisian
organisasi
1. Korelasi Organisasi Masyarakat, Dunia Usaha dan Layanan Publik
na
masyarakat, dunia usaha dan layanan publik
Tulisan ini diolah kembali dari makalah yang penulis dipresentasikan dalam Seminar Nasional Sistem Transparansi Nasional Pelayanan Publik yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Has Asasi Manusia Republik Indonesia di Yogyakarta, 15 Maret 2011. 2 Penelitian empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data-data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Pemikiran empiris ini disebut juga pemikiran sosiologis. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 2011), hlm. 14-15.
Jur
1
76
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 75-91
Volume 1 Nomor 1, April 2012
pelayanan publik berasaskan: kepentingan
Organisasi masyarakat diartikan sebagai
umum,
society organizations (CSOs). Dalam batasan ini yang termasuk di dalamnya adalah organisasi keagamaan,
organisasi
berbasis
massa,
perserikatan, organisasi berbasis etnik, organisasi komunitas, organisasi non-pemerintah, asosiasi profesional dan organisasi yang memiliki afiliasi politik.3 Untuk kepentingan pembahasan dalam tulisan ini organisasi dan atau jaringan yang disebut di atas diposisikan di luar aparat negara
keprofesionalan,
hak
dan
partisipatif,
kesamaan
kewajiban,
persamaan
perlakuan / tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus
bagi kelompok, rentan, ketepatan waktu, serta kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Birokrasi merupakan aktor utama dalam
penyediaan pelayanan publik. Birokrasi pada prinsipnya merupakan gabungan fungsi dari berbagai faktor dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai mesin negara, birokrasi memiliki legitimasi tunggal untuk menghadirkan pelayanan prima kepada publik. Adapun faktor-
b. Dunia Usaha
Dunia usaha secara sederhana diartikan
faktor utama yang mempengaruhi pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan
lR ec hts V
sebagai kalangan pengusaha / entrepreneur baik dalam konteks individual maupun gabungan dalam asosiasi pengusaha.
kepegawaian,
proses
pengawasan,
dan
Faktor-faktor tersebut merupakan penentu
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pelayanan
di Indonesia antara lain adalah kelembagaan, akuntabilitas.4
c. Layanan Publik tentang
keseimbangan
hukum,
ind
yang formal.
hak,
kepastian
ing
organisasi-organisasi masyarakat madani, civil
BP HN
a. Organisasi Masyarakat
Publik
menyebutkan
bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau
na
pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik. Menurut
Namun, faktanya saat ini memperlihatkan bahwa faktor-faktor tersebut belum mampu disinergikan,
bahkan
ada
kecenderungan
terdapat faktor yang hilang.
2. Kondisi Terkini Pelayanan Publik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara
reguler menyelenggarakan survei integritas pelayanan publik baik di pusat maupun di
Jur
Pasal 4 undang-undang ini, penyelenggaraan
baik-buruknya proses pelayanan yang diberikan.
3
4
Hans Antlov, Rustam Ibrahim dan Peter van Tuij, “NGO Governance and Accountability in Indonesia: Challenges in a Newly Democratizing Country” dalam Lisa Jordan dan Peter van Tuij (eds), “NGO Accountability: Politics, Principles and Innovations”, (London: Earthscan, 2006), hlm. 146. Eko Prasodjo, Reformasi Kedua, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009) hlm. 80.
Peran Serta Masyarakat Dan Dunia Usaha Dalam Mewujudkan Sistem ... (Tirta N. Mursitama)
77
Volume 1 Nomor 1, April 2012
publik terus memburuk. Ini menandakan ada
menggambarkan bahwa integritas pelayanan
permasalahan dalam pelayanan publik. Bahkan
publik meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2008.
untuk pelayanan publik di daerah di bawah
Namun sejak tahun 2008, integritas pelayanan
standar minimum yang ditetapkan KPK.
BP HN
daerah sejak tahun 2007. Grafik 1 di bawah ini
Dalam tabel 1 disajikan hasil survei integritas
publik baik di pusat maupun di daerah terus
pelayanan publik tahun 2010 yang memiliki
mengalami penurunan.
skor nilai di atas 6. Unit layanan di bawah ini
di tingkat pusat adalah 6,84 kemudian menurun
dikategorikan memiliki integritas pelayanan
menjadi 6,64 pada tahun 2009. Pada tahun 2010
yang baik. Para pemakai jasa merasa puas
kembali mengalami penurunan ke angka 6,16.
dengan pelayanan yang mereka dapatkan. Salah
Walau masih di atas angka 6 yang merupakan
satu contohnya, adalah izin pemasukan dan
standar minimal pelayanan publik yang dianggap
pengeluaran benih pada Kementerian Pertanian
memadai.
yang mendapatkan skor tertinggi sebesar 7,7
ind
ing
Pada tahun 2008, indeks pelayanan publik
disusul oleh Badan Koordinasi Penanaman
Kondisi demikian dapat digambarkan secara
Modal dalam pelayanan izin usaha tetap (IUT)
lebih detail dengan gambar Grafik 1.
dengan nilai 7,67.
Sedangkan untuk indeks integritas pelayanan
Sedangkan dalam laporan tentang hal yang
lR ec hts V
publik di tingkat daerah pun setali tiga uang
alias sama saja. Penurunan juga terjadi sejak
sama, KPK juga mengeluarkan daftar indeks
tahun 2008 dari 6,69 menjadi 6,46 pada
integritas daerah terpilih pada tahun 2010.
tahun 2009 dan semakin memburuk di tahun
Pada tabel 2 terlihat bahwa skor tertinggi hanya
2010 menjadi 5,07. Dari hasil survei tersebut
mencapai 5,82 yang diperoleh Jakarta Barat.
menunjukkan
Sementara itu kota-kota besar seperti Surabaya
bahwa
integritas
pelayanan
8 7 6 5 4 3 2 1 0
6,64 6,46
6,84 6,69
5,53
na
SKOR NILAI
Grafik 1 Integritas Pelayanan Publik 2007-2010
Pusat Daerah
0
Jur
2007
2008
2009 Tahun
Sumber: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2011
78
6,16 5,07
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 75-91
2010
Tabel 1 Unit Layanan yang Memiliki Indeks Di atas 6 No.
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Indeks Integritas
Unit Layanan
1
Izin pemasukan dan pengeluaran benih – Kementerian Pertanian
7,7
2
Izin Usaha Tetap – Badan Koordinasi Penanaman Modal
3
Izin pemasukan karkas, jeroan dan daging dari luar negeri - Kementerian Pertanian
7,56
4
Pengajuan Tanda Pendaftaran Tipe Kendaraan Bermotor (TPT) – Kementerian Perindustrian
7,56
5
Penerbitan Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT) - Badan Koordinasi Penanaman Modal
7,5
6
Pendaftaran MD/ML – Badan Pengawas Obat dan Makanan
7,48
7
Sewa Lahan – PT. Kawasan Berikat Nusantara
8
Layanan Kas ke Bank Umum – Bank Indonesia
9
Izin prinsip dan izin usaha BPR – Bank Indonesia
10
Jasa Pelayanan Logistik – PT. Kawasan Berikat Nusantara
11
Layanan legislasi bagi dokumen yang akan digunakan di luar negeri – Kementerian Luar Negeri
7,14
12
Perizinan Ekspor/Impor terhadap barang-barang yang termasuk kategori makanan dan obatobatan – Badan Pengawas Obat dan Makanan
7,13
13
Sertifikasi Peralatan – Kementerian Komunikasi dan Informatika
7,13
14
Sertifikasi Produk – PT. Sucofindo
7,07
15
Izin prinsip dan izin tetap industri obat tradisional – Kementerian Kesehatan
7,06
16
Izin Pengangkutan BBM – Kementerian Energi dan SDM
7,06
17
Layanan Kepengurusan Paspor Dinas – Kementerian Luar Negeri
7,05
18
Sertifikasi ISO – PT. Sucofindo
7,03
19
Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (UIPHHK) – Kementerian Kehutanan
6,99
20
Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan bukan kayu pada hutan produksi – Kementerian Kehutanan
6,98
21
Izin Penyimpanan LPG/LNG – Kementerian Energi dan SDM
6,95
22
Izin Stasiun Radio - Kementerian Komunikasi dan Informatika
6,91
23
Sertifikasi Guru – Kementerian Pendidikan
6,88
24
Restitusi PPN – Kementerian Keuangan
6,77
25
Izin penyalur alat kesehatan – Kementerian Kesehatan
6,74
26
Rawat Jalan - RSCM
6,7
27
Rawat Inap - RSCM
6,62
28
Layanan Fasilitas Pelabuhan – PT. Pelindo II
6,53
na
lR ec hts V
ind
ing
7,67
7,45 7,37 7,34 7,17
Layanan Pendirian Balai Latihan Kerja – Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
6,48
30
Izin impor bahan baku – Kementerian Perdagangan
6,43
31
Izin Pendidikan Luar Sekolah – Kementerian Pendidikan Nasional
6,33
32
Layanan Kapal (Jasa Labuh dan Tambat) – PT. Pelindo II
6,22
33
Pembuatan KTKLN – BNP2TKI
6,05
Jur
29
Sumber: KPK, 2011 (http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1645)
Peran Serta Masyarakat Dan Dunia Usaha Dalam Mewujudkan Sistem ... (Tirta N. Mursitama)
79
Volume 1 Nomor 1, April 2012
sebagian besar aparatur negara kita, dimana
sebesar 5,52 menempati urutan ke 9 dan 4,7 di
kepentingan kelompok menjadi tujuan utama
posisi ke 20.
daripada menjalankan fungsi utama sebagai abdi masyarakat.
Tabel 2 Indeks Integritas Daerah No.
Kota
di pusat maupun daerah terindikasi karena
persoalan sikap dan perilaku koruptif. Struktur
1
Jakarta Barat
5,82
2
Samarinda
5,8
3
Jakarta Utara
5,78
4
Tanjung Pinang
5,72
5
Serang
5,66
terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem
6
Pontianak
5,59
7
Yogyakarta
5,59
sosial yang terbentuk dalam masyarakat telah
8
Bandung
5,57
9
Surabaya
5,52
10
Ambon
5,4
11
Jakarta Pusat
5,39
12
Jakarta Timur
5,14 4,97
5
15
Jayapura
4,91
16
Mataram
4,89
17
Pekanbaru
4,89
18
Palembang
4,83
19
Semarang
4,73
20
Makassar
4,72
21
Bandar Lampung
4,54
22
Medan
4,44
ing
melahirkan sikap dan perilaku yang permisif
perjalanan birokrasi di negeri ini. Birokrat telah
berkembang sebagai penguasa dan bukan
na
sebagai pelayan publik. Implikasinya semakin menyulitkan peningkatan kualitas pelayanan.
Jur
Paradigma usang ini juga tercermin dari perilaku
6
80
dan menganggap korupsi sebagai suatu hal yang
ind
Manado Jakarta Selatan
apatisme dan sikap yang cenderung toleran
wajar dan normal. Fenomena ini sesuai dengan pernyataan
Daniel Lev bahwa:5 “Semua lembaga pemerintahan di tingkat nasional dan lokal telah diperlemah secara fungsional selama masa Orde Baru. Hal ini bukanlah sekadar praktik korup, tetapi—dan secara lebih mendalam lagi—merupakan masalah etos, sebuah re-orientasi yang menjauh dari tanggung jawab sebagaimana didefinisikan secara legal (terutama terhadap publik) dan mendekat kepada kemudahan, pemberian dan kesempatan yang berasal dari cantolan ke kekuasaan politik
lR ec hts V
13 14
dan sistem politik yang korup telah melahirkan
Hal ini tidak lepas dari sejarah panjang
Buruknya integritas pelayanan publik baik
Indeks Integritas Daerah
Sumber: KPK, 2011 (http://www.kpk.go.id/modules/ news/article.php?storyid=1645)
5
BP HN
dan Makassar masing-masing memiliki nilai
Begitu juga pemikiran Thoha dimana struk
tur birokrasi, norma, nilai, dan regulasi yang ada dalam birokrasi Indonesia memang masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara.6 Kegagalan pemerintah ini memunculkan
Daniel Lev , The State and Law Reform in Indonesia, dalam Tim Lindsey, ed., Law Reform in Developing and Transition States, (London: Routledge. 2007). Eko Prasojo, Op. Cit, hlm. 50.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 75-91
Volume 1 Nomor 1, April 2012
perwujudan
sistem
transparansi
nasional.
masyarakat, karena kebutuhan dan aspirasinya
Pemerintah berada di puncak segitiga karena
tidak dapat diakomodasi. Outcome kualitas dan
memiliki legitimasi yang otoritatif yang diperoleh
kinerja pelayanan publik juga dirasakan masih
dari
jauh dari harapan masyarakat.
jalannya roda pemerintahan (dalam hal ini
BP HN
sikap apatis dari pengguna layanan, dalam hal ini
warganya
dalam
menyelenggarakan
disamakan pengertian antara pemerintahan
saja karena akan berkembang menggurita
dan negara). Dengan demikian, pemerintah juga
dalam sikap mental bangsa Indonesia. Penulis
memiliki kekuatan memaksa yang sah secara
menawarkan
segitiga
hukum untuk diterapkan kepada warganya
mewujudkan birokrasi yang professional, efisien,
dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan.
cepat, dan bekerja berdasarkan prinsip-prinsip
Hal ini berupa pelayanan publik yang dilakukan
tata kelola yang baik (good governance).
oleh para pejabat publik atau birokrasi.
strategi
kompleksitas
perma
Sedangkan dua pilar penyangga berikutnya
ind
Memperhatikan
kerjasama
ing
Realitas ini tidak bisa dibiarkan begitu
adalah swasta dan masyarakat. Kedudukan swasta
kerja yang dapat digunakan dalam mewujudkan
atau dunia usaha penting karena menyediakan
transparansi pelayanan publik. Kerangka kerja
kebutuhan pemerintah dan masyarakat dalam
ini visualisasi dan modifikasi dari tulisan Eigen
hal
tentang peran masyarakat
mekanisme pasar. Swasta memiliki hubungan
lR ec hts V
salahan yang timbul, berikut adalah kerangka
madani.
7
menggerakkan
perekonomian
melalui
yang sangat dekat dengan pemerintah. Bahkan demi memperlancar kepentingan bisnisnya, swasta hampir selalu mengiyakan apa yang dikatakan atau diminta oleh pemerintah. Disinilah potensi pelanggaran prinsip-prinsip good governance bisa terjadi. Pilar
penyangga
berikutnya
adalah
masyarakat, dalam hal ini masyarakat madani. Pemerintah
dapat
berdiri
tegak
karena
mendapat legitimasi dari masyarakat yang memilihnya. Apalagi dalam sistem demokrasi,
pilar yaitu pemerintah, swasta / dunia usaha dan
pemerintah harus mempertanggungjawabkan
masyarakat. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri
semua kebijakan dan tindakannya kepada
melainkan saling berkaitan dan mendukung
masyarakatnya. Pemerintah ada untuk melayani
Jur
na
Kerangka kerja segitiga ini terdiri dari tiga
7
Peter Eigen, “The Role of Civil Society”, dalam Corruption and Integrity Improvement Initiatives in Developing Countries, hlm. 83-89, diakses dari http://www.undp.org/ governance/contactcdrom_contents/CONTACT.doc/ corruption_report/chapter05.pdf
Peran Serta Masyarakat Dan Dunia Usaha Dalam Mewujudkan Sistem ... (Tirta N. Mursitama)
81
Volume 1 Nomor 1, April 2012
masuknya civil society ketika negara memberikan
maka masyarakat harus melakukan kontrol dan
pelayanan kepada rakyatnya. Legitimasi tunggal
selanjutnya koreksi atas kebijakan atau tindakan
masih
tersebut.
kepanjangan kebijakan politik yang dikonversi
BP HN
masyarakat. Apabila sebaliknya yang terjadi
melekat
kepada
birokrasi
sebagai
menjadi pelayanan publik sebagai salah satu
swasta dan masyarakat ini tidak bisa berdiri sendiri.
wujudnya. Ruang pengawasan pun saat ini
Untuk mewujudkan sistem transparansi nasional
seolah berada dalam ruang yang hampa karena
mereka harus saling bekerja sama mengingat
dalam proses artikulasinya kepada pemangku
secara
kebijakan, seringkali tidak ditanggapi dan hanya
alamiah
hakekat
masing-masing
adalah berbeda sehingga saling melengkapi. Pemerintah
menyediakan
kepemimpinan
ing
Kerangka kerja segitiga antara pemerintah,
bersifat seremonial semata. Selain itu, peranan masyarakat madani
tidak lagi sekedar pengawasan dari luar sebagai
penggerak perekonomian. Masyarakat madani
alternatif dari fungsi pengawasan internal
hadir dan menjadi penggerak bila pemerintah
birokrasi yang ada. Melainkan, masyarakat
dan atau swasta tidak mampu mencapai hasil
madani dapat sekaligus melakukan penguatan
yang seharusnya dicapai secara sah atau dengan
peran kelembagaan lainnya. Oleh karena itu
kata lain melahirkan penyimpangan yang harus
penguatan peran masyarakat sipil ini penting
dikoreksi.
lR ec hts V
ind
politik sedangkan swasta berlaku sebagai mesin
karena posisinya sebagai stakeholders sekaligus
3. Peran Civil Society dan Dunia Usaha
penerima manfaat pelayanan. Terdapat
beberapa
padangan
tentang
a. Posisi Peran Civil Society
peran masyarakat madani sebagai satu pilar
Implementasi konsep Trias politika bangsa
penopang kerangka kerja segitiga yang dapat
kita semakin luntur kredibilitasnya. Kondisi ini
memberikan ruang sekaligus peluang bagi civil society untuk menjadi bagian penting dalam
pelayanan publik. Faktor pengawasan memang ranah yang paling memungkinkan untuk organisasi masyarakat dalam mengawal sekaligus penyeimbang
na
menjadi
penyelenggaraan
kebijakan publik.
Apalagi, Sistem Administrasi Indonesia
dilakukan dalam mendorong terwujudkan sistem transparansi nasional. Pertama, peran civil society dalam monitoring penyelenggaraan pelayanan publik selama ini meliputi advokasi dan pengawasan yang teridentifikasi dalam bentuk katalisator dialog (catalyst of dialogue), melakukan
penyeimbang
kepentingan
(balancing interest), pemberian sinyal (picking up signals), dan mobilisasi untuk aksi bersama.8
Jur
belum memberikan ruang yang formal bagi
Studi peran civil society dalam monitoring kegiatan Operasi Pasar Khusus (OPK) beras di Kelurahan Galur Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat, Siregar, Abdul Malik, http://www.digilib.ui.ac.id/.
8
82
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 75-91
Volume 1 Nomor 1, April 2012
diperhatikan
dalam
masyarakat
yang profesional kepada pejabat publik atas
dalam agenda
sesuatu hal (baca: kebijakan publik dan atau
dinamika
memang mulai menguat
dapat memberikan asistensi, nasehat-nasehat
BP HN
Identifikasi peran-peran tersebut apabila
pemberantasan sikap dan perilaku korupsi.
rancangannya).
Peran sosialisasi tersebut diatas juga meliputi
dengan instrumen dialog antara pembuat
pemberian penjelasan atas keuntungan dan
kebijakan, pemberi layanan dan masyarakat
manfaat suatu rancangan atau kebijakan publik
sebagai subjek sekaligus objek kebijakan.
baik kepada masyarakat luas maupun pejabat
Dialog ini biasanya dilakukan untuk mencapai
publik itu sendiri. Peran ini dapat dilakukan
konsensus atau kesepakatan bersama antara
dalam
pemerintah,
stakeholders
campaign) membangun kesadaran masyarakat
lainnya untuk memformulasikan dan membuat
dan juga aparat pemerintah. Sedangkan dari
role model penyelenggaraan kebijakan.
sisi konsultasi, civil society menerapkan peran
dan
bentuk
kampanye
ind
masyarakat
ing
Peran civil society sebagai katalis dilakukan
Lokus peran civil society dalam memi
publik
(public
sebagai katalisator proses berbagi pengetahuan
nimalisir perilaku permisif sekarang ini tidak
(knowledge
sharing)
lagi berkutat pada tataran hilir semata.
pelatihan-pelatihan.
hingga
melakukan
Peran civil society yang ketiga adalah menjadi
dalam rangka memperbaiki paradigma para
sumber ide-ide/gagasan pemikiran baru yang
pemangku kebijakan untuk menjalankan tugas
inovatif demi perbaikan pelayanan publik. Ide
dan tanggung jawabnya sebagai abdi negara.
inovatif ini dapat digali dari kekayaan pengetahuan
lR ec hts V
Penguatan peran di tataran hulu juga tampak,
peran
lokal (indigenous knowledge) maupun berasal
yang kedua. Penguatan peran civil society
dari pengalaman keberhasilan dari negara lain.
dalam melakukan sosialisasi dan konsultasi.
Masyarakat madani dapat melakukan riset
Penguatan ini difokuskan dalam membangun
tentang pengalaman terbaik di berbagai negara
kerangka hukum dan kebijakan publik. Bentuk
tentang suatu hal (misal, pemberantasan
advokasi yang dilakukan antara lain dengan
korupsi) yang kemudian disesuaikan dengan
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
konteks lokal ke-Indonesiaan. Misalnya, lahirnya
publik saat formulasi kebijakan publik dalam
produk undang-undang diantaranya UU No. 30
bentuk undang-undang, peraturan pemerintah
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
pusat dan daerah (Perda) dilaksanakan.
Tindak Pidana Korupsi.
tersebut
berkait
na
Hal
dengan
Dalam konteks ini, masyarakat madani sebagai
Jur
berperan
sumber
keahlian
dan
pengetahuan yang spesifik dan independen bagi birokrasi. Dengan atribut yang dimiliki berbagai organisasi masyarakat ini, mereka
Contoh lain sosialiasi dan kampanye publik yang dilakukan masyarakat madani adalah adanya dukungan yang besar terhadap diskriminasi perlakuan hukum terhadap rakyat kecil yang kerap terjadi akhir-akhir ini seperti kasus Aguswandi pengecas handphone, kasus Prita
Peran Serta Masyarakat Dan Dunia Usaha Dalam Mewujudkan Sistem ... (Tirta N. Mursitama)
83
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
Berdasarkan kerangka kerja segitiga di
atas, peran swasta merupakan penggerak dari dinamika perekonomian suatu bangsa.
Dunia usaha menjadi pilar yang strategis karena memiliki dua peran tak terpisahkan bak dua sisi mata uang. Pertama, dunia usaha
potensial berkontribusi pada berjalannya sistem pelayanan publik yang profesional, cepat, efisien, dan berbiaya rendah. Yakni dengan
berperan
mendorong birokrasi untuk melakukan praktek-
pendidikan
terhadap
praktek pelayanan publik berdasarkan prinsip
masyarakat luas. Pendidikan dirasa penting
good governance dalam sistem pelayanan
untuk
publik yang baik.
dalam
civil
society
memberikan
menumbuhkembangkan
ind
juga
Terakhir,
semangat
mengedepankan
Dunia usaha tidak mentolerir atau tidak
transparansi mengingat pola perilaku korupsi
memberikan uang sogok, tidak memberikan
tidak akan bisa ditumbangkan dengan ancangan
hadiah atau iming-iming barang, uang, dan
parsial. Penumbangan pola perilaku korupsi
atau jasa tertentu bagi para pelayan pelayanan
meniscayakan ancangan holistik yang ditandai
publik dalam melayani kepentingan dunia
perubahan seluruh wilayah kepribadian, baik
usaha. Yang harus ditunjukkan oleh dunia usaha
wilayah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap
adalah bagaimana mendapat pelayanan terbaik,
dan kemauan), dan behavioral (tindakan).
cepat, dengan biaya yang jelas dan pasti setelah
Dalam
memenuhi persyaratan yang diperlukan.
dengan
lR ec hts V
antikorupsi
kesempatan
yang
sama,
sangat
Dunia usaha harus cerewet dalam arti
sosial yang bersifat menolak, menentang, serta
kritis dengan mendorong pemerintah untuk
menghukum korupsi di satu sisi, tetapi juga
membangun sistem pelayanan publik yang baik.
menerima, mendukung, dan menghargai sikap
Dengan kata lain, dunia usaha dapat berpartisipasi
antikorupsi. Peran masyarakat sipil, utamanya
mewujudkan sistem transparansi nasional bila
LSM, menjadi penting sebagai salah satu subyek
ia tidak memberikan imbalan tertentu bagi para
pengkondisian itu. Di sinilah esensi peran yang
birokrat dalam menjalankan tugasnya. Bila ini
kelima berupa membangun kapasitas (capacity
tercapai maka dunia usaha berperan positif
building) terutama bagi warga negara.
dalam menggerakkan perekonomian bangsa
na
diperlukan juga pengkondisian lingkungan
Jur 84
b. Peran Dunia Usaha: Dua Sisi Mata Uang
ing
melawan RS Internasional Omni Tangerang hingga memunculkan solidaritas massa berupa penggalangan ”koin keadilan untuk Prita”, sampai Kasus seorang nenek Minah melawan PT RSA di Banyumas yang didakwa mencuri tiga biji kokoa dan lain-lain. Hal ini menunjukkan semakin tingginya kesadaran masyarakat terhadap peran mereka dalam mewujudkan transparansi dalam pelayanan publik. Kemampuan melakukan pengawasan atas jalannya kebijakan atau proses penegakan hukum tersebut merupakan wujud peran keempat dari civil society.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 75-91
dengan cara-cara berbisnis yang berlandaskan etika dan prinsip tata kelola yang baik.
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dapat
menghambat
terwujudnya
sistem
Model ini terdiri dari tiga komponen utama yaitu
BP HN
Peran kedua adalah, dunia usaha berpotensi
komponen modal masyarakat dan karakteristik daerah,
menghancurkan sistem pelayanan publik yang
(governance dalam arti luas) dan komponen
sudah ada, yang semestinya ditingkatkan, bila
model pemerintah pusat. Komponen pertama
dunia usaha melakukan tindakan-tindakan
adalah modal masyarakat dan karakteristik
yang melawan etika dan melanggarkan prinsip
daerah. Letaknya ada di bagian paling bawah
good governance. Misalnya, karena ingin cepat
model tersebut. Komponen ini berupa modal,
mendapatkan izin maka dunia usaha memberikan
kapasitas, kapabilitas, karakteristik khas yang
iming-iming hadiah tertentu kepada oknum
dimiliki daerah tersebut dan melekat pada
birokrat. Masih banyak contoh lain seperti
masyarakat setempat.
kenginan mendapatkan keringanan hukuman,
komponen
modal
pemerintahan
ing
transparansi nasional. Bahkan berpotensi pula
Hal ini dapat digambarkan dengan diagram
berikut ini yang di dalamnya terbagi-bagi
dan keinginan mendapatkan dispensasi atas
menjadi enam sub komponen:
syarat-syarat tertentu dan lain-lain.
ind
keinginan menang dalam tender pemerintah
a. Ketersediaan dan kualitas tenaga kerja, adanya modal finansial dan sumber daya
Dalam tulisan ini akan dipaparkan salah satu
lR ec hts V
hasil penelitian yang penulis dan tim lakukan
alam yang dimiliki daerah tersebut.
tentang best practice pelayanan usaha di tiga kota
b. Bahan baku yang tersedia dan sejauh mana
di Indonesia pada era otonomi daerah9. Dalam
proses produksi bisa berjalan dengan
penelitian ini melibatkan peran masyarakat dan
baik dalam mendukung rantai produksi
dunia usaha dalam pelayanan publik khususnya
perusahaan sehingga menciptakan nilai
perizinan usaha di Purbalingga, Makassar dan
tambah (value added).
c. Kearifan lokal (local wisdom), budaya
Banjarbaru. Dari
temuan,
paparan
dan
analisa
perusahaan
dan
semangat
kewira
dalam penelitian yang dilakukan kemudian
usahaan para pelaku usaha di daerah
diabstraksikan ke dalam sebuah model best
tersebut.
integratif
d. Tentu tidak kalah pentingnya adalah
seperti gambar di atas. Model ini menjelaskan
terjaganya ketertiban, keamanan dan
bagaimana best practice perijinan usaha suatu
cita rasa keramahan masyarakat.
perijinan
usaha
na
practice
yang
daerah dapat terbangun di era otonomi daerah
e. Komitmen dan kepedulian terhadap
yang memiliki berbagai permasalahan dan
lingkungan hidup sehingga setiap aktifitas
harus menghadapi tantangan yang kompleks.
bermasyarakat,
berproduksi
Jur
bekerja,
9
Tirta N. Mursitama, Hamid Chalid, Desy Hariyati dan Sigit Indra Prianto, Reformasi Pelayanan Perizinan dan Pembangunan Daerah: Cerita Sukses Tiga Kota (Purbalingga, Makassar, Banjarbaru), (Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, 2010). Peran Serta Masyarakat Dan Dunia Usaha Dalam Mewujudkan Sistem ... (Tirta N. Mursitama)
85
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dalam perusahaan maupuan dalam
kedaerahan yang dimiliki oleh daerah tersebut.
sektor lain pun harus memperhatikan
Dua arus intepretasi besar ini sangat dinamis.
pelestarian lingkungan. Lebih dalam lagi,
Di satu sisi peraturan-peraturan pusat kadang
bagaimana mampu mewujudkan ekologi
secara substansi terlalu umum atau melakukan
hijau (green ecology).
generalisasi untuk seluruh wilayah Indonesia.
f. Seberapa besar pasar yang ada di wilayah
Belum lagi seringnya aturan pusat itu berganti
tersebut, kemampuan teknologi yang
ketika implementasi di daerah belum berjalan
dimiliki para pelaku usaha.
dengan sempurna akibatnya minimnya sosialiasi.
kedua
adalah
modal
na
Komponen
pemerintahan (governance dalam arti luas). Dalam komponen kedua yang terpenting adalah bagaimana visi dan misi daerah dapat disusun
Jur
dengan mempertimbangkan intepretasi atas modal pemerintah pusat berupa peraturanperaturan pemerintah pusat dan intepretasi atas modal masyarakat dan karakteristik
86
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 75-91
Hal ini semakin rumit bila peraturan tersebut merupakan produk pertarungan kepentingankepentingan tertentu demi meraih kekuasaan atau melanggengkannya. Sedangkan di sisi yang lain, kemampuan
intepretasi pemerintah daerah atas modal masyarakat dan karakteristik wilayah juga tidak kalah penting. Diperlukan kejelian melihat,
Volume 1 Nomor 1, April 2012
lihai menyiasati agar mendapatkan berkah
modal tersebut ke dalam bentuk visi dan misi
positif dari perdagangan bebas dan ACFTA
daerah. Jadi, visi dan misi daerah merupakan
ini. Walaupun untuk hal terakhir, Indonesia
produk akhir dari tarikan-tarikan intepretasi
dalam posisi yang lemah dan dirugikan.
atas peraturan pemerintah pusat dan modal
Artinya keuntungan yang kita dapatkan
masyarakat dan karakteristik daerah. Hasil
jauh lebih kecil dibandingkan yang China
akhir visi dan misi daerah tidak bisa serta
dapatkan;
BP HN
menganalisis dan akhirnya mengejawantahkan
c. otonomi daerah (power shifting from
berat dari salah satu sisi saja, misalnya apakah
central to local government) dan pemberian
intepretasi atas peraturan-peraturan pemerintah (central government heavy) atau intepretasi atas masyarakat dan karakteristik daerah (local
wewenang yang lebih besar kepada daerah sebenarnya bisa menjadi peluang. Daerah bisa
mengejawantahkan
pemikiran-
pemikiran mereka sendiri dan akhirnya
ind
heavy). Tentu, seberapa besar komposisi di
ing
merta dikatakan sebagai intepretasi yang lebih
antara keduanya, hanya diketahui dan dipahami
mengimplementasikannya
oleh pemerintahan daerah dengan segenap
ditetapkan dana visi dan misi daerah;
pranata politik, pelaku usaha dan masyarakat di daerah tersebut.
lR ec hts V tidaklah
cukup
karena
berperan
penting
untuk
mengatur tata hubungan antar lembaga
dalam
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya,
penyusunan visi dan misi daerah faktor yang
mengatur agar tidak ada penyalahgunaan
mempengaruhi sangat kompleks. Merujuk pada
wewenang (abuse of power) di antara para
model di atas, di dalam lingkaran penyusunan
aktor yang terlibat. Dengan demikian, ide-ide
visi dan misi daerah dipengaruhi juga oleh sub
tersebut dapat disusun tidak hanya secara
elemen lain yaitu:
sistematis dan secara substantif memenuhi
a. kekuatan dan pengaruh globalisasi yang
syarat, tetapi juga secara prosedural dan
paling tidak akan menimbulkan tuntutan
mekanismenya pun jelas. Akhirnya, dengan
pembebasan tarif atau penurunan tarif
adanya tata kelola yang baik ini menjamin
hingga seminim mungkin, terjadi arus masuk
adanya
dan keluar barang (free flow of goods) dan
responsibilitas, keadilan dan independensi
jasa (free flow of services) hingga sumber
di dalam proses pemerintahan daerah.
na
tersebut
setelah
d. tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)
Ternyata intepretasi atas dua komponen
tentu
daya manusia (free of natural person/skilledlabor);
Jur
b. adanya perdagangan bebas hingga secara spesifik ditandatanganinya perjanjian bebas antara ASEAN dan China (ASEAN China Free Trade Agreement). Daerah harus lebih
transparansi,
akuntabilitas,
Dari modal pemerintahan (governance dalam arti luas) lahirlah suatu kreatifitas, terobosan-terobosan
berupa
inovasi
yang
bertujuan meningkatkan pembangunan daerah. Tidak lain tidak bukan inovasi ini lahir dari
Peran Serta Masyarakat Dan Dunia Usaha Dalam Mewujudkan Sistem ... (Tirta N. Mursitama)
87
Volume 1 Nomor 1, April 2012
mempertimbangkan
dinamika
E. Penutup
BP HN
proses di dalam modal pemerintahan setelah intepretasi
1. Kesimpulan
modal pemerintah pusat dan modal daerah inovasi harus melalukan serangkaian investasi. Ada yang beresiko tinggi dengan imbal yang tinggi (high risk, high return) atau investasi dengan resiko sedang atau rendah dengan imbal yang tentu tidak setinggi investasi lainnya. Serangkaian investasi, dalam konteks ini adalah dalam bidang usaha ekonomi bertujuan untuk mendorong penanaman modal yang
dalam pelayanan publik, terdapat 3 (tiga) aktor yang terlibat, yaitu: masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah yang dimotori oleh birokrasi. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri melainkan saling berkaitan dan mendukung perwujudan sistem
transparansi
daerah itu, maupun dari luar daerah tersebut)
hingga penanaman modal asing dari luar negeri. Inovasi yang terus-menerus, kadang gagal tapi
best practice dalam perijinan usaha (cerita sukses dalam reformasi perijinan usaha).
Hal terakhir yang tidak bisa ditinggalkan adalah,
langkah
pemerintahan,
yang
pelaku
dilakukan
usaha
di
pelaku
daerah
(dalam modal pemerintahan) itu harus pula mempertimbangkan
atau
ditujukan
untuk
kepentingan stakeholders yang luas. Pemangku kepentingan ini pada intinya adalah publik,
bukan individu-individu atau elit-elit tertentu.
Dengan demikian fungsi kontrol juga akan
na
berjalan. Yakni, apakah produk dari modal
pemerintahan tadi selaras dengan apa yang dicitakan/diharapkan publik. Bila tidak, bisa
Jur
dipastikan investasi-investasi yang dilakukan tidak akan berhasil dan tidak akan menjadi cerita-cerita sukses reformasi perijinan usaha.
88
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 75-91
Pemerintah
legitimasi yang otoritatif yang diperoleh dari warganya dalam menyelenggarakan jalannya roda
pemerintahan.
Dengan
demikian,
pemerintah juga memiliki kekuatan memaksa yang sah secara hukum untuk diterapkan kepada warganya dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini berupa pelayanan
lR ec hts V
tak sedikit yang berhasil, akhirnya melahirkan
nasional.
memiliki peran sangat penting karena memiliki
ind
lebih tinggi lagi baik secara domestik (dari
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
ing
dalam bentuk investasi. Untuk dapat melahirkan
publik yang dilakukan oleh para pejabat publik atau birokrasi. Kedudukan swasta atau dunia usaha juga penting karena menyediakan kebutuhan pemerintah dan masyarakat dalam hal
menggerakkan
perekonomian
melalui
mekanisme pasar. Swasta memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pemerintah. Bahkan demi memperlancar kepentingan bisnisnya, swasta hampir selalu mengiyakan apa yang dikatakan atau diminta oleh pemerintah. Disinilah potensi pelanggaran prinsip-prinsip good governance bisa terjadi. Pilar penyangga berikutnya adalah masyarakat, dalam hal ini masyarakat madani. Pemerintah dapat berdiri tegak karena mendapat legitimasi dari masyarakat yang memilihnya. Apalagi dalam sistem demokrasi, pemerintah harus mempertanggungjawabkan semua kebijakan
Volume 1 Nomor 1, April 2012
yang paling memungkinkan untuk organisasi
Pemerintah ada untuk melayani masyarakat.
masyarakat dalam mengawal sekaligus menjadi
Apabila sebaliknya yang terjadi maka masyarakat
penyeimbang
harus melakukan kontrol dan selanjutnya
publik. Selain itu, peranan masyarakat madani
koreksi atas kebijakan atau tindakan tersebut.
dapat
tindakannya
kepada
BP HN
masyarakatnya.
dan
penyelenggaraan
sekaligus
melakukan
kebijakan
penguatan
peran kelembagaan lainnya. Oleh karena itu
KPK, integritas pelayanan publik baik di pusat
penguatan peran masyarakat sipil ini penting
maupun di daerah terus mengalami penurunan.
karena posisinya sebagai stakeholders sekaligus
Pada tahun 2008, indeks pelayanan publik di
penerima manfaat pelayanan. Masyarakat
tingkat pusat adalah 6,84 kemudian menurun
madani juga berperan sebagai sumber keahlian
menjadi 6,64 pada tahun 2009. Pada tahun
dan pengetahuan yang spesifik dan independen
2010
ke
bagi birokrasi. Dengan atribut yang dimiliki
angka 6,16. Walau masih di atas angka 6 yang
berbagai organisasi masyarakat ini, mereka
merupakan standar minimal pelayanan publik
dapat memberikan asistensi, nasehat-nasehat
yang dianggap memadai. Ini menandakan
yang profesional kepada pejabat publik atas
ada permasalahan dalam pelayanan publik.
sesuatu hal (baca: kebijakan publik dan atau
Bahkan untuk pelayanan publik di daerah di
rancangannya). Selain itu masyarakat madani
bawah standar minimum yang ditetapkan KPK.
dapat juga menjadi menjadi sumber ide-ide/
Buruknya integritas pelayanan publik baik
gagasan pemikiran baru yang inovatif demi
di pusat maupun daerah terindikasi karena
perbaikan pelayanan publik. Ide inovatif ini
persoalan sikap dan perilaku koruptif. Struktur
dapat digali dari kekayaan pengetahuan lokal
dan sistem politik yang korup telah melahirkan
(indigenous knowledge) maupun berasal dari
apatisme dan sikap yang cenderung toleran
pengalaman keberhasilan dari negara lain.
terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem
Masyarakat madani dapat melakukan riset
sosial yang terbentuk dalam masyarakat telah
tentang pengalaman terbaik di berbagai negara
melahirkan sikap dan perilaku yang permisif
tentang suatu hal (misal, pemberantasan
dan menganggap korupsi sebagai suatu hal yang
korupsi) yang kemudian disesuaikan dengan
wajar dan normal.
konteks
mengalami
penurunan
lR ec hts V
ind
kembali
ing
Menurut survei yang dilaksanakan oleh
lokal
ke-Indonesiaan.
Misalnya,
lahirnya produk undang-undang diantaranya
kita semakin luntur kredibilitasnya. Kondisi ini
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
memberikan ruang sekaligus peluang bagi civil
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang
society dan dunia usaha untuk menjadi bagian
tak kalah penting adalah bahwa masyarakat
Jur
na
Implementasi konsep Trias politika bangsa
penting dalam pelayanan publik. Masyarakat dapat menjalankan peran peng
awasan. Faktor pengawasan memang ranah
madani
dapat
memberikan
pendidikan
terhadap masyarakat luas. Pendidikan dirasa penting
untuk
menumbungkembangkan
Peran Serta Masyarakat Dan Dunia Usaha Dalam Mewujudkan Sistem ... (Tirta N. Mursitama)
89
Volume 1 Nomor 1, April 2012
yang melawan etika dan melanggarkan prinsip
transparansi mengingat pola perilaku korupsi
good governance. Misalnya, karena ingin
tidak akan bisa ditumbangkan dengan ancangan
cepat mendapatkan izin maka dunia usaha
parsial. Penumbangan pola perilaku korupsi
memberikan
meniscayakan ancangan holistik yang ditandai
kepada oknum birokrat. Masih banyak contoh
perubahan seluruh wilayah kepribadian, baik
lain seperti kenginan mendapatkan keringanan
wilayah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap
hukuman, keinginan menang dalam tender
dan kemauan), dan behavioral (tindakan).
pemerintah
Dalam
dispensasi atas syarat-syarat tertentu dan lain-
yang
sama,
sangat
iming-iming
dan
keinginan
tertentu
mendapatkan
menerima, mendukung, dan menghargai sikap
antikorupsi. Peran masyarakat sipil, utamanya
strategi kerjasama segitiga antara pemerintah,
LSM, menjadi penting sebagai salah satu subyek
masyarakat dan dunia usaha dalam rangka
pengkondisian itu. Disinilah esensi peran yang
mewujudkan
kelima berupa membangun kapasitas (capacity
efisien, cepat, dan bekerja berdasarkan prinsip-
diperlukan juga pengkondisian lingkungan sosial yang bersifat menolak, menentang, serta
lain.
2. Saran
Dari uraian di atas, maka perlu dibangun
lR ec hts V
ind
menghukum korupsi di satu sisi, tetapi juga
building) terutama bagi warga negara.
birokrasi
yang
professional,
prinsip tata kelola yang baik (good governance).
Dunia usaha potensial berkontribusi pada
Penguatan peran masyarakat sipil ini penting
berjalannya sistem pelayanan publik yang
karena posisinya sebagai stakeholders sekaligus
profesional, cepat, efisien, dan berbiaya rendah.
penerima manfaat pelayanan.
Yakni dengan mendorong birokrasi untuk
Selain itu, dunia Usaha perlu lebih kritis
dengan
berdasarkan prinsip good governance dalam
membangun sistem pelayanan publik yang
sistem pelayanan publik yang baik. Dunia usaha
baik. Dengan kata lain, dunia usaha dapat
harus menunjukkan bagaimana mendapat
berpartisipasi mewujudkan sistem transparansi
pelayanan terbaik, cepat, dengan biaya yang
nasional bila ia tidak memberikan imbalan
jelas dan pasti setelah memenuhi persyaratan
tertentu bagi para birokrat dalam menjalankan
yang diperlukan. Dunia usaha dapat pula
tugasnya. Bila ini tercapai maka dunia usaha
berpotensi menghambat terwujudnya sistem
berperan
transparansi nasional. Bahkan berpotensi pula
perekonomian
menghancurkan sistem pelayanan publik yang
berbisnis yang berlandaskan etika dan prinsip
Jur
na
melakukan praktek-praktek pelayanan publik
sudah ada, yang semestinya ditingkatkan, bila dunia usaha melakukan tindakan-tindakan
90
hadiah
ing
kesempatan
BP HN
semangat antikorupsi dengan mengedepankan
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 75-91
mendorong
positif
pemerintah
dalam
bangsa
tata kelola yang baik.
untuk
menggerakkan
dengan
cara-cara
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
Jur
na
lR ec hts V
ind
Antlov, Hans, Rustam Ibrahim dan Peter van Tuij, NGO Governance and Accountability in Indonesia: Challenges in a Newly Democratizing Country dalam Lisa Jordan dan Peter van Tuij (eds), NGO Accountability: Politics, Principles and Innovations, (London: Earthscan, 2006). Eigen, Peter, The Role of Civil Society”, dalam Corruption and Integrity Improvement Initiatives in Developing Countries, http://www.undp.org/ governance/ contactcdrom_contents/ CONTACT. doc/ corruption_report/chapter05.pdf. Lev, Daniel, The State and Law Reform in Indonesia, dalam Tim Lindsey, ed., Law Reform in Developing and Transition States, (London: Routledge, 2007).
Malik, Abdul, Studi peran civil society dalam monitoring kegiatan Operasi Pasar Khusus (OPK) beras di Kelurahan Galur Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat, Siregar, http://www.digilib.ui.ac. id/. Mursitama, Tirta N., Hamid Chalid, Desy Hariyati dan Sigit Indra Prianto, Reformasi Pelayanan Perizinan dan Pembangunan Daerah: Cerita Sukses Tiga Kota (Purbalingga, Makassar, Banjarbaru), (Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, 2010). Prasodjo, Eko, Reformasi Kedua, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009). Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normati: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 2011).
ing
DAFTAR PUSTAKA
Peran Serta Masyarakat Dan Dunia Usaha Dalam Mewujudkan Sistem ... (Tirta N. Mursitama)
91
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
REFORMULASI DISKRESI DALAM PENATAAN HUKUM ADMINISTRASI (Reformulation Of Discretion In The Arrangement Administrative Law) Arfan Faiz Muhlizi Puslitbang BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. Mayjen Soetoyo No. 10 Cililitan Jakarta Timur Email:
[email protected]
Naskah diterima: 24 Januari 2012; revisi: 29 Februari 2012; disetujui: 20 Maret 2012
lR ec hts V
ind
ing
Abstrak Instrumen hukum paling klasik untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur adalah Hukum Administrasi Negara (HAN). Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan tersebut, birokrasi menjadi alat yang efektif didalam menjalankan pengelolaan negara. Persoalan hukum dari birokrasi yang menjadi permasalahan saat ini adalah persinggungan asas legalitas (wetmatigheid) dan diskresi (pouvoir discretionnaire) pejabat negara (eksekutif). Tulisan ini berusaha menjawab permasalahan di atas dengan lebih menitikberatkan bahasan mengenai “diskresi” dalam hukum administrasi. Dengan metode yuridis normative, penelitian ini menyimpulkan bahwa diskresi memang diperlukan dalam hukum administrasi, khususnya di dalam menyelesaikan persoalan dimana peraturan perundang-undangan belum mengaturnya atau hanya mengatur secara umum. Disamping itu diskresi juga diperlukan dalam hal terdapat prosedur yang tidak dapat diselesaikan menurut administrasi yang normal. Dengan demikian penataan Hukum Administrasi menjadi sangat penting dan tentunya bukan sekedar melihat dari sisi pembentukan atau penataan peraturan perundang-undangan terkait administrasi negara, tetapi lebih jauh dari itu adalah penataan tatanan hukum yang terdiri dari struktur, substansi, dan kultur masyarakat, birokrasi, dan penegak hukum. Kata kunci: administrasi, legisme, rechtsvinding, kewenangan, diskresi
Jur
na
Abstract The most classical legal instruments to carry out government administration in order to realize a just and prosperous society is the Law of State Administration (HAN). To achieve the objectives of the government, the bureaucracy into an effective tool in the management of state run. Legal issues of bureaucracy which is the case today is the intersection of the principle of legality (wetmatigheid) and discretionary (pouvoir discretionnaire) state officials (executive). This article tries to answer the above problems with a more focused discussion on the “discretion” in administrative law. With normative juridical methods, the study concluded that discretion was necessary in administrative law, especially in solving problems in which the legislation has not been set or simply set in general. Besides, discretion is also required in case there are procedures that cannot be resolved according to the normal administration. Thus the arrangement of Administrative Law to be very important and certainly not just a look from the side of the formation or arrangement of the legislation related to state administration, but further than that is the arrangement of the legal order which consists of the structure, substance, and the culture of the society, bureaucracy, and enforcement the law. Keywords: administration, legisme, rechtsvinding, authority, discretion
Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi (Arfan Faiz Muhlizi)
93
Volume 1 Nomor 1, April 2012
A. Pendahuluan sangat besar akan melahirkan Pemerintahan yang kuat (strong government). Dalam Negara kesejahteraan,
pemerintahan
yang
kuat
memang diperlukan dalam rangka membawa masyarakatnya menuju ke tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Tetapi sejarah juga merekam bahwa Pemerintahan yang kuat juga berpotensi melahirkan perbuatan penyelenggara negara yang
merugikan
masyarakatnya
dengan
terjadinya penyalahgunaan kewenangan atau
Gagasan
tentang
penyelenggaraan
kekuasaan yang baik, dapat dilaksanakan melalui
2 (dua) pendekatan; personal dan sistem. Secara personal telah dimulai pada masa Plato.
Menurut Plato3, penyelenggaraan kekuasaan
yang ideal dilakukan secara paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana haruslah
menempatkan diri selaku ayah yang baik lagi arif dalam tindakannya terhadap anak-anaknya sehingga terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Pada
ind
dilaksanakannya diskresi secara berlebihan.
kepada wewenang itu.
ing
Kekuasaan yang mendapat dukungan politik
BP HN
menyimpang dari tujuan yang telah diberikan
Penyalahgunaan wewenang dalam konsep
hukum administrasi selalu diparalelkan dengan konsep detournement de pouvoir.1 Dalam
dirumuskan sebagai: het oineignlijk gebruik
makn van haar bevoegdheid door de overheid. Hirvan is sprake indien een overheidsorgaan zijn bevoegdheid kennelijk tot een order doel
heeft gebruik dan tot doeleinen waartoe
die bevoegdheid is gegeven. De overheid schendt
aldus
het
specialiteitsbegensel
yang diterjemahkan secara bebas sebagai “penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya”.2 Dalam hal ini pejabat menggunakan
untuk
tujuan
lain
yang
na
wewenangnya
2 3
94
filosof, karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Tetapi murid Plato, Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya saja tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna. Oleh karena itu, pendekatan sistem dengan
bersandar pada hukum merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa mengubah gagasannya yang
Philipus M. Hadjon, Kriminalisasi Perbuatan Administrasi Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Makalah disampaikan dalam Continuing Legal Education BPHN Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 9 September 2009. Ibid. J.H. Harper, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiaveli, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) hlm. 54.
Jur
1
menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang
lR ec hts V
Verklarend Woordenboek Openbaar Bestuur
bagian lain, Plato mengusulkan agar negara
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 93-111
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Pembatasan kekuasaan dengan pengaturan
BP HN
semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang
secara
dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih ini bisa dilakukan
negara yang baik, menurut Plato, ialah yang
dengan dua mekanisme. Pertama, dengan
didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.
menggunakan mekanisme check and balance6
Berdasarkan pendapat Plato ini, maka pemerintahan
terwujudnya
antara lembaga-lembaga negara dengan adanya
di
pembagian kekuasaan, serta memberi ruang
dasarkan pada hukum merupakan salah satu
politik yang luas bagi hidupnya kelompok oposisi
alternatif yang baik dalam penyelenggaraan
sebagai kekuatan pengontrol; Kedua, adalah
negara.
mekanisme
Penyelenggaraan hukum
ini
pemerintahan sangat
yuridis
yang
mengedepankan
penting
regulasi yang di antaranya melahirkan UU No.
dalam rangka pembatasan kekuasaan guna
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
menghindari kekuasaan yang absolut, karena
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
akan menimbulkan kerusakan yang besar,
Nepotisme, (UU KKN) dan UU No. 31 Tahun 1999
sebagaimana pendapat Lord Acton, power
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tends to corrupt, absolute power corrupt
(UU TPK) yang kemudian diubah dengan UU No.
absolutely.4 Kerusakan yang besar akibat
20 Tahun 2001 dan berbagai Hukum Administrasi
absolutisme kekuasaan ini terjadi karena selalu
Negara (HAN) yang di antaranya adalah UU
ada nafsu untuk mempertahankan kekuasaan
No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
dengan berbagai cara, dan perilaku defensif
Negara sebagaimana diubah UU No.9 Tahun
akibat ketakutan kehilangan kekuasaan. Hal ini
2004 dan UU No.51 Tahun 2009. Mekanisme
sebagaimana yang dikatakan Aung San Suu Kyi
pertama
bahwa “It is not power that corrupts, but fear.
keseimbangan dalam penyelenggaraan negara,
Fear of losing power corrupts those who wield
sedangkan mekanisme kedua dilakukan untuk
it, and fear of the scourge of power corrupts
mendapatkan sebuah kepastian hukum.
lR ec hts V
ind
berdasarkan
yang
menuju
ing
penyelenggaraan
hukum
those who are subject to it.”
dilakukan
untuk
mendapatkan
5
Jur
na
Dikutip dari Sri Soemantri Martosoewignjo, Undang-Undand Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya Dalam Kehidupan Bernegara, Makalah disampaikan pada Stadium Generale dan 40 Tahun Pengabdiannya di Universitas Padjadjaran Bandung, 2001, hlm. 7. 5 Kalimat ini dikutip dari statement Aung San Suu Kyi ketika dibebaskan oleh Rezim Militer Burma dari Penjara dan menjadi tahanan kota pada 2010. Lebih jauh lihat web resmi Piece Pledge Union di http://www.ppu.org.uk/ people/suukyi.html, bandingkan juga dengan http://chandrasway.blogspot.com/2010/12/aung-san-suu-kyi-iam-happy-because-i.html 6 Suprianto mengatakan bahwa “Tidak mungkin mengharapkan pemerintah sebagai suatu komponen dari proses politik memenuhi prinsip pemerintahan yang bersih apabila tidak memiliki moral, Proaktif serta check and balances. Lebih jauh lihat Suprianto, 2004, Syariat Islam dalam Mewujudkan “Clean Governance and Good Government” dalam www. transparansi.or.id. hlm. 1. 4
Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi (Arfan Faiz Muhlizi)
95
Volume 1 Nomor 1, April 2012
tujuan ini tidak tercapai. Dengan demikian
BP HN
Hukum Administrasi (HAN) merupakan untuk
mekanisme juridis maupun politis di atas harus
terselenggaranya pemerintahan yang baik.
dibuat sedemikian rupa sehingga benar-benar
Penyelenggaraan pemerintahan lebih nyata
mampu mendorong tercapainya tujuan dan
dalam HAN, karena di sini akan terlihat
bukan menghambat pencapaian tujuan.
instrumen
hukum
paling
klasik
Salah satu alat negara yang paling penting
masyarakat, kualitas dari hubungan pemerintah
untuk mencapai tujuan itu adalah birokrasi. Untuk
dengan masyarakat inilah setidaknya dapat
itu birokrasi perlu dibangun sedemikian rupa
dijadikan ukuran apakah penyelenggaraan
sehingga menjadi baik dan mampu mendorong
pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu
percepatan pencapaian tujuan. Pemerintahan
sisi HAN dapat dijadikan instrumen yuridis
yang bersih identik dengan birokrasi yang baik.
oleh pemerintah dalam rangka melakukan
Tetapi dalam membangun birokrasi yang bersih
pengaturan, pelayanan, dan perlindungan bagi
dengan mekanisme yuridis, salah satu persoalan
masyarakat, di sisi lain HAN memuat aturan
hukum yang mengedepan adalah persinggungan
normatif tentang bagaimana pemerintahan
asas legalitas yang mengutamakan kepastian
dijalankan,
dikatakan
hukum (wetmatigheid) dan diskresi (pouvoir
Sjachran Basah,7 bahwa salah satu inti hakikat
discretionnaire) pejabat negara (eksekutif) yang
ind
sebagaimana
lR ec hts V
atau
ing
konkrit hubungan antara pemerintah dengan
HAN adalah untuk memungkinkan administrasi
justru mengesampingkan asas legalitas dan
negara menjalankan fungsinya, dan melindungi
lebih mengutamakan efisiensi (doelmatigheid).
administrasi negara dari melakukan perbuatan
Saat ini mekanisme yuridis begitu dominan
yang salah menurut hukum.
yang ditandai dengan dilakukannya formalisasi
diingat bahwa penyelenggara negara bukan
terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan Yang
hanya berkewajiban untuk baik dan bersih
Baik, yang pada awalnya merupakan code of
dalam penyelenggaraan tugasnya mengelola
ethic ke dalam peraturan perundang-undangan.
negara, tetapi lebih dari itu adalah berkewajiban
Hal ini terlihat dengan pembentukan beberapa
memenuhi tercapainya masyarakat yang adil
regulasi di bidang ini, seperti UU Pelayanan
dan makmur. Pemerintahan yang baik dan
Publik, dan penyusunan RUU Administrasi
bersih bukanlah tujuan, melainkan sarana
Pemerintahan. Namun demikian perlu dijaga
untuk mencapai tujuan. Artinya, pemerintahan
agar jangan sampai regulasi ini berimbas pada
yang bersih tidak akan bernilai apapun apabila
terjadinya kriminalisasi perbuatan administrasi
Jur
na
Di sisi lain, dalam mengelola Negara perlu
7
96
digunakan dalam rangka reformasi birokrasi
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 6.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 93-111
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Di
dalam
menjalankan
pemerintahan,
BP HN
yang dilakukan oleh pejabat administrasi (birokrat). Salah satu hal yang menyebabkannya
Pemerintah
telah
dilengkapi
dengan
adalah makin terkikisnya ruang diskresi sebagai
kewenangan-kewenangan baik yang bersifat
akibat menguatnya ketidakpercayaan terhadap
atributif maupun yang bersifat delegatif.
code of live selain peraturan perundang-
Dengan adanya perkembangan masyarakat,
undangan tertulis.
maka seringkali terdapat keadaan-keadaan
Perlu diingat bahwa diskresi muncul karena
tertentu/mendesak yang membuat Pajabat/
adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus
Badan administrasi pemerintahan tidak dapat
dicapai, tujuan bernegara dari faham negara
menggunakan
kesejahteraan
menciptakan
kewenangan yang bersifat terikat (gebonden
kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri
bevoegheid), dalam melakukan tindakan hukum
bahwa negara Indonesia pun merupakan
dan tindakan faktual secara normal.
khususnya
bentuk negara kesejahteraan modern yang
ing
kewenangannya
tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam
memajukan kesejahteraan umum, melekatnya
paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945
fungsi
tersebut tergambarkan secara tegas tujuan
dalam welfare state (negara kesejahteraan)
bernegara yang hendak dicapai. Hal tersebut
menimbulkan beberapa konsekuensi terhadap
mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan
penyelenggaraan
mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi
pemerintah harus berperan aktif mencampuri
masyarakat (public service) yang mengakibatkan
bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
administrasi negara tidak boleh menolak untuk
Untuk itu kepada pemerintah dilimpahkan
mengambil
bertindak
bestuurszorg atau public service. Agar servis
dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-
publik dapat dilaksanakan dan mencapai hasil
undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu
maksimal, kepada administrasi negara diberikan
untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan
suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak
kepada
atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai
untuk
Sebagai negara yang bertujuan untuk
ind
adalah
lR ec hts V
memajukan
keputusan
administrasi
ataupun
negara
(pemerintah)
kesejahteraan
pemerintahan
disebut freies ermessen sepanjang tidak ada
penanganan secara cepat, sementara terhadap
penyalahgunaan kewenangan (detournament
permasalahan itu tidak ada, atau masih belum
de povoir).
dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya legislatif8
membutuhkan
yang
kemudian
Jur
na
permasalahan
lembaga
yang
yaitu
suatu kebebasan bertindak yang seringkali juga
oleh
pelik
umum
8
Patuan Sinaga, Hubungan antara kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dalam SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001) hlm. 73.
Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi (Arfan Faiz Muhlizi)
97
Volume 1 Nomor 1, April 2012
SF Marbun9 mengatakan bahwa dengan diberikannya
kebebasan
bertindak
(freies
ermessen) kepada administrasi negara dalam melaksanakan tugasnya mewujudkan welfare state atau social rechtsstaat di Belanda sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa akibat dari freies ermessen akan menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Oleh karena itu untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi warga masyarakat, tahun 1950 Panitia de Monchy di
Dari uraian di atas, dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Mengapa diskresi diperlukan dalam hukum administrasi?
2. Upaya apa yang bisa dilakukan untuk mereformulasi
diskresi dalam penataan
hukum administrasi?
C. Metode Penelitian Berdasarkan
identifikasi
masalah
sebagaimana diuraikan di atas, maka tulisan ini masuk dalam penelitian hukum yang normatif,
ind
Netherland membuat laporan tentang asas-
BP HN
kewenangan bebas berupa diskresi.
B. Permasalahan
ing
dalam hukum administrasi negara diberikan
asas umum pemerintahan yang baik atau
algemene beginselen van behoorlijk bestuur.
Pada mulanya timbul keberatan dari pejabat-
penelitian juridis normatif. 10 Dengan metode yuridis normatif dimak
sudkan untuk menjelaskan berbagai peraturan
lR ec hts V
pejabat dan pegawai-pegawai pemerintah di
untuk itu tulisan ini mempergunakan metode
Netherland karena ada kekhawatiran bahwa Hakim atau Pengadilan Administrasi kelak akan
mempergunakan istilah itu untuk memberikan penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang diambil pemerintah, namun keberatan
demikian sekarang ini telah lenyap ditelan masa
na
karena telah hilang relevansinya.
perundang-undangan yang terkait dengan hukum administrasi. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan
sosio hukum, dengan maksud ingin melihat lebih jauh daripada sekedar pendekatan doktrinal, sehingga memiliki perspektif lebih luas dengan
SF Marbun, Menggali dan Menemukan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik Di Indonesia, dalam SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 205. 10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hlm. 15. Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup (1) asas-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, (4) perbandingan hukum, (5) sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet. v, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979), hlm. 15.
Jur
9
98
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 93-111
Volume 1 Nomor 1, April 2012
yang tidak mewajibkan badan atau pejabat tata
hubungannya dengan sistem sosial, politik, dan
usaha negara menerapkan wewenangnya, tetapi
ekonomi masyarakat.11
memberikan pilihan sekalipun hanya dalam hal-
BP HN
melihat hukum administrasi negara dalam
hal tertentu sebagaimana ditentukan dalam
D. Pembahasan
peraturan dasarnya.13 Selanjutnya Sjachran
1. Diskresi Dalam Hukum Administrasi
Basah mengatakan bahwa freies ermessen adalah
Menurut Kamus Hukum,12 diskresi berarti
kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri,
situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Sedangkan menurut hukum yang di cita-citakan (ius constituendum). Konsepsi ini berbeda dengan Rancangan Undang-Undang 2008, di mana dalam Pasal 6 mengartikan diskresi
sebagai
wewenang
badan
atau
pejabat pemerintahan dan atau badan hukum
dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan dalam negara hukum berdasarkan Pancasila.14 Sedangkan Diana Halim Koentjoro mengartikan freies ermessen sebagai kemerdekaan bertindak administrasi negara atau pemerintah (eksekutif) untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam keadaan kegentingan yang memaksa, dimana peraturan penyelesaian untuk masalah
lR ec hts V
lainnya yang memungkinkan untuk melakukan
pilihan dalam mengambil tindakan hukum dan atau tindakan faktual dalam administrasi pemerintahan.
Selain itu, terdapat beberapa pakar hukum
yang memberikan definisi diskresi secara
bervariasi. Di antaranya adalah Indroharto, Sjachran
tindakan-tindakan administrasi negara itu sesuai
ind
Administrasi Pemerintahan Draft bulan Juli
akan tetapi dalam pelaksanaannya haruslah
ing
kebebasan mengambil keputusan dalam setiap
Basah,
Diana
Halim
Koentjoro,
Esmi Warassih, dan S. Prajudi Atmosudirjo. Indroharto
menyebut
wewenang
diskresi
mengatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan publik, para birokrat dapat menentukan kebijaksanaannya sendiri untuk menyesuaikan dengan situasi dimana mereka berada, terutama yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya seperti informasi, dana, tenaga ahli, tenaga-tenaga terampil maupun mengenai pengetahuan yang mereka miliki. Itu berarti, diskresi merupakan fenomena
na
sebagai wewenang fakultatif, yaitu wewenang
itu belum ada.15 Lebih lanjut Esmi Warassih
Reformasi Hukum di Indonesia, Hasil Studi Perkembangan Hukum, Proyek Bank Dunia (Jakarta: Cyberconsult, 1999) hlm. 153. 12 JCT Simorangkir dkk,Kamus Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 38. 13 Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 99-101. 14 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), hlm. 3. 15 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 41.
Jur
11
Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi (Arfan Faiz Muhlizi)
99
Volume 1 Nomor 1, April 2012
asalkan tidak melampaui/melanggar batas-
di
suatu
batas tersebut, sedangkan pada diskresi
kebijaksanaan publik. Dengan adanya diskresi
terikat, Undang-Undang menetapkan beberapa
ini diharapkan agar dengan kondisi yang ada
alternatif keputusan dan administrasi negara
dapat dicapai suatu hasil atau tujuan yang
bebas memilih salah satu alternatif keputusan
maksimal.
yang disediakan oleh undang-undang.
dalam
mengimplementasikan
16
S. Prajudi Atmosudirjo17 mendefinisikan
BP HN
yang amat penting dan fundamental, terutama
Contoh konkrit dari diskresi terikat adalah
ketentuan mengenai hukuman disiplin berat
(Perancis), freies ermessen (Jerman) sebagai
bagi Pegawai Negeri Sipil berupa pemberhentian
kebebasan bertindak atau mengambil keputusan
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 huruf b
dari para pejabat administrasi negara yang
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979
berwenang dan berwajib menurut pendapat
tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil,
sendiri.
bahwa
yaitu dalam hal pemberhentian karena dihukum
diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan
telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi
karena dengan sengaja melakukan suatu tindak
negara harus berdasarkan ketentuan Undang-
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
dijelaskannya
lR ec hts V
Selanjutnya
(Inggris),
ind
discretion
ing
discretionair
diskresi,
Undang. Akan tetapi tidak mungkin bagi undang-
penjara setinggi-tingginya 4 (empat) tahun,
undang untuk mengatur segala macam kasus
atau diancam dengan pidana yang lebih berat.
posisi dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa
Dengan kesadaran semacam ini maka kemudian
pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam
populer sebuah prinsip perundang-undangan
pasal ini dapat dilakukan dengan hormat
yang mengatakan bahwa “there is no rule
atau tidak dengan hormat, satu dan lain hal
without exception”. Oleh sebab itu perlu adanya
tergantung pada pertimbangan pejabat yang
kebebasan atau diskresi dari administrasi negara
berwenang atas berat atau ringannya perbuatan
yang terdiri atas diskresi bebas dan diskresi
yang dilakukan dan besar atau kecilnya akibat
terikat.
yang ditimbulkan oleh perbuatan itu.
Pada diskresi bebas, Undang-Undang hanya batas-batas
na
menetapkan
dan
administrasi
Jur
negara bebas mengambil keputusan apa saja
Meskipun maksimum ancaman pidana
terhadap
suatu
tindak
pidana
telah
ditetapkan, namun pidana yang dijatuhkan/
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: PT. Suryandaru Utama, 2005), hlm. 138139. 17 S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 82. 16
100
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 93-111
Volume 1 Nomor 1, April 2012
contoh kasusnya akan diuraikan didalam bagian
pidana itu dapat berbeda-beda sehubungan
hasil penelitian dan pembahasan.
BP HN
diputuskan oleh Hakim terhadap jenis tindak dengan berat ringannya tindak pidana yang
Bila menoleh kembali ke belakang, secara
dilakukan dan atau besar kecilnya akibat yang
teoritis diskresi merupakan jalan keluar yang
ditimbulkannya. Berhubung dengan itu, maka
diberikan atas berbagai kelemahan aliran
dalam mempertimbangkan apakah Pegawai
legisme yang melahirkan asas legalitas.
Asas legalitas sebenarnya hanya dianut oleh
pidana kejahatan itu akan diberhentikan atau
rezim hukum pidana. Hukum Administrasi tidak
tidak atau apakah akan diberhentikan dengan
mengikuti asas ini. Tetapi pesinggungan kedua
hormat ataukah tidak dengan hormat haruslah
rezim hukum ini terjadi ketika terjadi perbuatan
dipertimbangkan faktor-faktor yang mendorong
melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat
Pegawai
bersangkutan
negara. Sebagai contoh, dalam UU No. 31 Tahun
melakukan tindak pidana kejahatan itu, serta
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
harus pula dipertimbangkan berat ringannya
Korupsi (UU TPK) yang kemudian diubah dengan
putusan pengadilan yang dijatuhkan.
UU No. 20 Tahun 2001. Di sini terlihat bahwa
Sipil
yang
ind
Negeri
ing
Negeri Sipil yang telah melakukan tindak
perbuatan administrasi negara telah mengalami
menjatuhkan hukuman disiplin berat dapat
kriminalisasi dengan merumuskan bahwa “…….
menentukan sendiri hukuman disiplin berat
secara melawan hukum melakukan perbuatan
yang akan dijatuhkannya apakah berupa
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
pemberhentian dengan hormat tidak atas
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
permintaan sendiri ataukah pemberhentian
negara atau perekonomian negara,18. Serta “…..
tidak dengan hormat tergantung penilaiannya
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
mengenai berat ringannya pelanggaran yang
atau sarana yang ada padanya karena jabatan
dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil sehingga
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
apakah Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
negara atau perekonomian negara….”.
lR ec hts V
Dalam hal ini, pejabat yang berwenang
Penggunaan istilah “dapat” di dalam UU
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
TPK bisa dimaknai bahwa perbuatan-perbuatan
ataukah pemberhentian tidak dengan hormat
yang berpotensi merugikan keuangan negara
merupakan diskresi yang terikat. Mengenai
atau
perekonomian
negara
merupakan
Jur
na
pantas dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian
Selengkapnya baca pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Pasal ini pernah diajukan judicial review oleh Ir.Dawud Djatmiko pada 2006 dalam perkara Nomor : 003/PUU-IV/2005, tetapi hal terkait kata-kata “dapat” justru tidak mendapatkan perhatian dari Mahkamah Konstitusi. Bandingkan dengan http: //www.transparansi. or.id/ artikel/ pemberantasan-korupsi-tak-sebatas-legalitas/
18
Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi (Arfan Faiz Muhlizi)
101
Volume 1 Nomor 1, April 2012
harus dipahami dengan jalan mengadakan
tersebut belum terjadi. Hal ini merupakan
rekonstruksi hukum.
BP HN
perbuatan pidana meski kerugian negara celah multiinterpretasi yang justru “menggoda”
Marcus Lukman sebagaimana dikutip oleh
oknum-oknum pengawas dan penegak hukum
Saut P Panjaitan19 mengatakan bahwa persoalan-
untuk melakukan penyalahgunaan kewenangan
persoalan penting yang mendesak, sehingga
(detournament de povoir). Bahkan terdapat
memerlukan
kecenderungan untuk mengadili secara pidana
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
sebuah produk kebijakan yang dikeluarkan oleh
a. Persoalan-persoalan yang muncul harus
pejabat negara yang seharusnya diadili secara
menyangkut kepentingan umum, yaitu:
atau Executive review) atau secara Tata Usaha Negara.
sekurang-kurangnya
ing
Tata Negara (lewat mekanisme Judicial Review
diskresi,
kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat banyak/ bersama, serta kepentingan pembangunan.
b. Munculnya persoalan tersebut secara tiba-
terlalu menitikberatkan pada unsur kerugian
tiba, berada di luar rencana yang telah
negara,
ditentukan.
sementara
pertimbangan
ind
Selain itu, perumusan pasal ini juga masih
bahwa
perbuatan tersebut merupakan diskresi yang
peraturan
lR ec hts V
bermanfaat bagi kepentingan umum atau tidak
d. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut,
kurang diperhatikan.
Hal ini menimbulkan
perundang-undangan
belum
mengaturnya atau hanya mengatur secara
ketakutan aparat birokrasi sehingga tidak berani
umum,
menjalankan tugasnya karena tidak ada ruang
mempunyai kebebasan untuk menyelesaikan
sama sekali melakukan freies ermessen.
atas inisiatif sendiri.
Diskresi lahir dari aliran Rechtsvinding
sehingga
e. Prosedurnya
tidak
administrasi
dapat
negara
diselesaikan
yang menyadari bahwa pembuat undang-
menurut administrasi yang normal, atau jika
undang tidak dapat mengikuti kecepatan
diselesaikan menurut prosedur administrasi
gerak masyarakat atau proses perkembangan
yang normal justru kurang berdaya guna dan
sosial yang sangat dinamis, sehinggga undang-
berhasil guna.
f. Jika persoalan tersebut tidak diselesaikan
tidak dapat lengkap dan tidak dapat mencakup
dengan cepat, maka akan menimbulkan
segala-galanya. Di sini selalu ada leemten
kerugian bagi kepentingan umum.
na
undang selalu ketinggalan. Undang-undang
Jur
(kekosongan dalam undang-undang), sehingga
Marcus Lukman sebagaimana dikutip oleh Saut P. Panjaitan, Makna dan Peranan Freies ErmessenDalam Hukum Administrasi Negara dalam SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001) hlm. 117.
19
102
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 93-111
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dan BPK. Lingkup Pemerintahan tersebut
bahwa sebagian kekuasaan yang dipegang oleh
juga tidak termasuk kekuasaan Presiden yang
badan pembentuk undang-undang dipindahkan
bersifat Kenegaraan (staatrechtelijk), sebagai
ke dalam tangan pemerintah/administrasi
penyelenggara negara. Pemerintahan dalam
negara, sebagai badan eksekutif. Hal ini bukan
uraian ini semata-mata diartikan sebagai
berarti bahwa terjadi pergeseran supremasi
lingkungan jabatan administrasi negara atas
badan legislatif diganti oleh supremasi badan
yang dalam bahasa ilmu administrasi negara
eksekutif20,
(Public
dianggap
administrasi
negara telah melakukan penyelesaian masalah tanpa harus menunggu perubahan Undang-
Administration),
disebut
birokrasi
(beauraucracy) atas bestur (Bestuur).
ing
karena
BP HN
Dengan adanya freies ermessen ini berarti
Secara keilmuan banyak definisi tentang
hukum
tersebut terjadi karena pada prinsipnya Badan/
para sarjana.23 Dari sekian banyak definisi
Pejabat
tidak
yang ada, inti “hukum administrasi” adalah
boleh menolak untuk memberikan pelayanan
keseluruhan peraturan yang berkaitan dengan
kepada masyarakat dengan alasan hukumnya
penyelenggaraan pemerintahan (het geheel
tidak ada ataupun hukumnya ada tetapi tidak
van regels betreffende het besturen) dan yang
jelas, sepanjang hal tersebut masih menjadi
menyatakan hubungan hukum (rechtsbetrekking)
kewenangannya.
pemerintah dengan warga negara.
pemerintahan
lR ec hts V
administrasi
administrasi
yang
dikemukakan
ind
Undang dari bidang legislatif21, tetapi hal
Dalam perkembangannya, diskresi ini lebih
Hukum
administrasi
terdiri
dari
dua
bagian, yaitu bagian khusus dan bagian
Hukum Administrasi (Negara) biasa disebut juga
umum. Pada bagian khusus (bijzonder deel)
dengan Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum
yakni hukum-hukum yang terkait dengan
Tata Pemerintahan. Lingkup Pemerintahan22
bidang-bidang pemerintahan tertentu seperti
dalam Hukum Administrasi, adalah berada pada
hukum lingkungan, hukum tata ruang, hukum
lingkungan jabatan di luar kekuasaan Legislatif,
kesehatan, hukum perpajakan, hukum cukai,
Yudikatif, dan kekuasaan yang dijalankan MPR,
hukum yang bersifat sektoral, dan lain-lain.
na
banyak dibicarakan dalam hukum administrasi.
Bandingkan dengan A. Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000), hlm. 46. 21 Bandingkan dengan Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 42. 22 Bagir Manan, “Orasi pada Seminar RUU Administrasi Pemerintahan se – Sumatera di Medan ” 29 Juni 2005. 23 Marbun, “Makalah pada seminar Indonesia – Jerman – RUU tentang Administrasi Pemerintahan, di Jakarta, 5 April 2005.
Jur
20
Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi (Arfan Faiz Muhlizi)
103
Volume 1 Nomor 1, April 2012
berpengaruh bagi public service, penegakan
yakni berkenaan dengan teori-teori dan prinsip-
hukum, perlindungan hukum bagi rakyat, dan
prinsip yang berlaku untuk semua bidang hukum
usaha pemberantasan korupsi.
administrasi.24
BP HN
Sedangkan bidang umum (algemeen deel),
Perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan
Jika dipetakan lebih jauh, hingga saat
di bidang administrasi pemerintahan yang perlu
di
dilakukan adalah bersifat menyeluruh. Namun
bidang hukum administrasi masih bersifat
ada hal-hal yang segera perlu dilakukan, terutama
sektoral dan bahkan ada yang tidak normatif.
untuk menjamin kelancaran perencanaan dan
Peraturan
Hukum
pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian,
Administrasi di Indonesia yang masih sektoral,
perbaikan administrasi pemerintahan perlu
(bijzondere bestuurswetten) mengakibatkan:25
dilakukan secara bertahap menurut prioritas-
Pertama, tidak ada standard baku menyangkut
prioritasnya.
Peraturan
perundang-undangan
Perundang-undangan
istilah di bidang hukum administrasi, asas maupun
ing
ini,
/konsep. contoh: “keputusan tata usaha negara”
menyempurnakan HAN yang telah ada tersebut
dijumbuhkan dengan “keputusan administratif”,
adalah dengan melakukan Kodifikasi Hukum
atau “melampaui kewenangan” dijumbuhkan
Administrasi. Dalam rangka melakukan Kodifikasi
dengan “penyalahgunaan wewenang”. Kedua,
Hukum Administrasi Umum, terdapat 3 (tiga)
lR ec hts V
ind
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk
hukum
komponen dasar hukum administrasi yang perlu
administrasi. contoh: asas praesumptio iustae
diperhatikan, yaitu:27 Pertama, hukum untuk
causa
rechtmatigheid)
penyelenggaraan pemerintahan (het recht voor
tidak diikuti oleh sebagian besar peraturan
het besturen door de overdheid; recht voor het
perundang-undangan sektoral. Ketiga, tidak
bestuur: normering van het bestuursoptreden).
terdapat pemahaman yang sama menyangkut
Kedua, hukum oleh pemerintah (het recht dat
konsep-konsep dalam hukum administrasi.
uit dit bestuur onstaat; recht van het bestuur
Misal: diskresi dijumbuhkan dengan melanggar
: nadere regelgeving, beleidsregels, concrete
undang-undang, penyalahgunaan wewenang
bestuursbesluiten). Ketiga, hukum terhadap
dijumbuhkan dengan penyalahgunaan sarana
pemerintah yaitu hukum yang menyangkut
dan kesempatan, serta penggunaan delegasi dan
perlindungan hukum bagi rakyat terhadap
tidak terdapat sinkronisasi asas (vermoeden
van
na
mandat secara salah.26 Kondisi demikian sangat
Jur
Ibid. Philipus M. Hadjon, RUU Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Hukum Administrasi, diakses dari http:// dialektikahukum.blogspot.com /2009/02/ruu-administrasi-pemerintahan-dalam.html. 26 Ibid. 27 Ibid. 24 25
104
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 93-111
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Harmonisasi hubungan Rancangan Undang-
BP HN
tindakan pemerintahan (het recht tegen het
undang tentang Administrasi Pemerintahan
bestuur).
dengan Undang-undang tentang Peradilan
administasi dalam rangka penyelenggaraan
Tata Usaha Negara, terlihat secara jelas dalam
pemerintah. Selain diskresi ini, beberapa bagian
pandangan dari Paulus Effendi Lotulung28 yang
utama lain dalam penyelenggaraan pemerintah
menyatakan bahwa Undang-undang Peradilan
adalah: sumber wewenang: atribusi, delegasi
Tata Usaha Negara lebih banyak menekankan
dan mandat; Asas penyelenggaraan peme
pada hukum acara atau prosedur di peradilan,
rintahan. Berdasarkan asas negara hukum, asas
sehingga lebih banyak bersifat hukum prosedural
dasar adalah asas legalitas (rechtmatigheid
(Formal), yang berlaku bagi badan peradilan (hal
van bestuur); dan prosedur penggunaan
mana memang formal karena ditujukan untuk
wewenang.
suatu badan peradilan). Di sisi lainnya tidak
Salah satu agenda penataan HAN adalah tentang
Administrasi
yang dimuat di dalamnya dan itu pun tidak secara lengkap atau jelas dijabarkan, sehingga berpotensi menimbulkan multi interpretasi diantara para hakim sesamanya apalagi para
lR ec hts V
UU
banyak ketentuan hukum materil (substansial)
ind
2. Reformulasi Diskresi dan Penataan HAN pembentukan
ing
Diskresi merupakan bagian utama dari hukum
Pemerintahaan yang hingga saat ini masih
penyelenggara administrasi negara. Hal senada
dibahas. Dalam rangka pembentukan UU
dikemukakan oleh A.A. Oka Mahendra29 yang
tersebut, perlu dilakukan juga harmonisasi
melihat bahwa RUU Administrasi Pemerintahan
terhadap
perundang-undangan
secara umum perlu mengatur hukum materil
yang lain. Salah satu yang paling penting
penyelenggaraan administrasi pemerintahan
adalah harmonisasi antara RUU Administrasi
atau mengatur syarat-syarat dan tata cara
Pemerintahan dengan UU Peradilan Tata Usaha
pembuatan keputusan Tata Usaha Negara yang
Negara serta UU Pemberantasan Korupsi agar
dapat dijadikan landasan yuridis untuk menilai
diskresi bisa dimasukkan sebagai bagian yang
prosedur dan materi muatan keputusan Tata
penting.
Usaha Negara sesuai atau tidak dengan Undang-
Jur
na
peraturan
Paulus Effendi Lotulung,, Makalah pada seminar Indonesia-Jerman, Tinjauan Umum atas Rancangan UndangUndang Administrasi Pemerintahan, Jakarta, 5 April 2005. 29 AA. Oka Mahendra, “Harmonisasi RUU Administrasi Pemerintahan dengan Undang-Undang Peradilan TUN dan Undang-Undang lainnya”, Makalah pada Seminar Nasional RUU Administrasi Pemerintahan, Jakarta, 13 Oktober 2005. 28
Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi (Arfan Faiz Muhlizi)
105
Volume 1 Nomor 1, April 2012
keputusan wajib mempertimbangkan tujuan
yang baik.
diskresi, peraturan perundang-undangan yang
BP HN
undang dan asas-asas umum pemerintahan
menjadi dasar diskresi dan asas-asas umum
perlu dipahami bahwa penataan HAN ke depan
pemerintahan yang baik. Selanjutnya ayat (2)
perlu memperhatikan fungsi dan tujuan dari
dan ayat (3) menyebutkan bahwa penggu
kegiatan pemerintahan itu sendiri. Hal ini
naan diskresi wajib dipertanggungjawabkan
penting untuk bisa menempatkan posisi diskresi
kepada pejabat atasannya dan masyarakat
dalam penyelenggaraan negara, sebagaimana
yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang
yang diungkapkan Talizidhuhu Ndraha30 yang
telah diambil serta dapat diuji melalui upaya
menyebutkan bahwa kegiatan pemerintahan
administratif atau gugatan di Peradilan Tata
harus sesuai dengan tujuan lembaga yang
Usaha Negara.
bersangkutan
(pemerintah)
yang
telah
ing
Dalam melakukan harmonisasi tersebut,
Ketentuan
tersebut
berarti
Rancangan
fungsi hakiki Pemerintahan, yaitu Pelayanan
Pemerintahan bukan hanya akan memberi
(service), pemberdayaan (Empowerment) dan
batas-batas penggunaan diskresi oleh Badan/
pembangunan (development).
Pejabat administrasi Pemerintahan, akan tetapi
itu,
Rancangan
Administrasi
juga mengatur mengenai pertanggung-jawaban
lR ec hts V
pemahaman
ind
ditetapkan. Menurut Ryaas Rasyid31 ada tiga
Dengan
Undang-Undang
bahwa
Undang-undang Administrasi Pemerintahan,
Badan/Pejabat
merumuskan
pengertian
terhadap penggunaan diskresi yang tidak
Pemerintahan”
adalah
“Administrasi
Administrasi
Pemerintahan
dalam
hanya bersifat pasif dalam arti menunggu
mengambil tindakan hukum dan atau tindakan
adanya gugatan dari masyarakat melalui
faktual
Pengadilan Tata Usaha Negara akan tetapi
tatalaksana
badan atau pejabat pemerintahan.
Rancangan
Undang-Undang
Administrasi
juga bersifat aktif dengan adanya kewajiban memper-tanggungjawabkan
Pasal 6 ayat (1) memberi batasan terhadap
diskresi kepada Pejabat atasannya mengingat
diskresi dengan menyebutkan bahwa Pejabat
hal tersebut merupakan suatu kewajiban
pemerintahan dan atau badan hukum lainnya
yang sifatnya melekat pada kewenangan yang
yang menggunakan diskresi dalam mengambil
menjadi dasar adanya diskresi itu sendiri32
na
Pemerintahan Draft bulan Juli 2008 dalam
penggunaan
Talizidhuhu Ndraha, Makalah pada Semiloka I, Kajian Reformasi Hukum Administrasi Pemerintahan, “Fungsi Pemerintahan”, Jakarta, 27 April 2004. 31 Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan : Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, (Jakarta : P.T. Yarsif Watampone, 1997), hlm. 11-12 32 Rusma Dwiyana, Akuntabilitas Administrasi dan Hukum Atas Keputusan Administrasi Pejabat Pemerintahan, diunduh dari www.wordpress.com, Januari 2009.
Jur
30
106
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 93-111
Volume 1 Nomor 1, April 2012
di
dalam
penjelasannya
disebutkan
bahwa pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan
alasan-alasan
pengambilan
keputusan diskresi.
jaminan dan perlindungan hukum, baik bagi
BP HN
dan
warga negara maupun administrasi negara.33
Penggunaan freies ermessen oleh Badan/
Pejabat administrasi negara dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting dan
mendesak serta tiba-tiba yang sifatnya kumulatif.
Pasal 6 RUU Administrasi Pemerintahan telah
Bisa saja muncul persoalan yang penting tapi
mengatur
melaporkan
tidak mendesak untuk segera diselesaikan. Ada
tindakan diskresi kepada atasan dalam bentuk
pula kemungkinan muncul persoalan mendesak,
tertulis dengan memberikan alasan-alasan
tapi tidak terlalu penting untuk diselesaikan.
pengambilan
namun
Suatu persoalan baru dapat dikualifikasi sebagai
apabila ketentuan tersebut tidak dilaksanakan
persoalan penting apabila persoalan tersebut
tidak ada sanksinya sehingga hal tersebut dapat
menyangkut kepentingan umum, sedangkan
menyebabkan
kriteria kepentingan umum harus ditetapkan
kewajiban
keputusan
diskresi,
Badan/Pejabat
ind
tentang
Administrasi
Pemerintahan yang menerbitkan keputusan berdalih
bahwa
keputusan
oleh suatu peraturan perundang-undangan.
yang
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat
diambilnya bukan keputusan diskresi ataupun
disimpulkan bahwa penggunaan kewenangan
berdalih ia tidak tahu bahwa keputusan
diskresi
yang diambilnya adalah keputusan diskresi.
pemerintahan hanya dapat dilakukan dalam
Walaupun demikian paling tidak dengan akan
hal tertentu dimana peraturan perundang-
dijadikannya batas-batas penggunaan diskresi
undangan yang berlaku tidak mengaturnya
sebagai suatu norma yang mengikat, maka
atau karena peraturan yang ada yang mengatur
hal tersebut sudah cukup untuk menghindari
tentang sesuatu hal tidak jelas dan hal tersebut
dilaksanakannya penyalahgunaan wewenang
dilakukan dalam keadaan darurat/mendesak
(detournement de pouvoir) dan perbuatan se
demi kepentingan umum yang telah ditetapkan
wenang-wenang (willekeur) oleh Badan/Pejabat
dalam suatu peraturan perundang-undangan.
lR ec hts V
diskresi
ing
Tetapi yang disayangkan adalah meskipun
Administrasi
Pemerintahan,
sebab
tujuan
oleh
Dalam
Badan/Pejabat
perkembangannya,
administrasi
Rancangan
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
dan menjadikan Hukum Administrasi Negara
akan
menunjang kepastian hukum yang memberi
Pengadilan Tata Usaha Negara melalui Pasal
memperluas
kewenangan
absolut
Jur
na
utama dari normatifisasi adalah menciptakan
Rusli K. Iskandar, Normatifisasi Hukum Administrasi Negara, dalam SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 187.
33
Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi (Arfan Faiz Muhlizi)
107
Volume 1 Nomor 1, April 2012
organisasi/lembaga baik yang struktural maupun
untuk memeriksa dan memutus perkara yang
non struktural.35
BP HN
44 yang menyebutkan bahwa kewenangan berkaitan dengan tindakan badan atau pejabat
Kontrol ekstern yang berbentuk organisasi/
pemerintahan dan atau badan hukum lainnya
lembaga yang bersifat struktural sudah diatur
yang menimbulkan kerugian material maupun
di dalam Undang-Undang Nomor. 37 Tahun
immaterial dilaksanakan oleh Pengadilan Tata
2008 tentang Ombudsman RI yang berwenang
Usaha Negara.
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik
baik yang dilaksanakan oleh penyelenggara
menguji perkara-perkara yang berkaitan dengan
negara dan pemerintahan, termasuk yang
tindakan badan atau pejabat pemerintahan dan
diselenggarakan oleh BUMN, BUMD dan BHMN
atau badan hukum lainnya yang menimbulkan
serta badan swasta atau perorangan yang diberi
kerugian material maupun immaterial, maka
tugas menyelenggarakan pelayanan publik
semakin
tertentu yang sebagian atau seluruh dananya
fungsi
Pengadilan
Tata
ind
lengkap
ing
Dengan adanya tambahan kewenangan untuk
Usaha Negara sebagai fungsi kontrol yuridis
terhadap pemerintah. Lintong Oloan Siahaan34 mengatakan bahwa Pemerintah sebagai pelayan
E. Penutup
1. Kesimpulan
lR ec hts V
(public service) mempunyai kekuasaan (power)
bersumber dari APBN dan/atau APBD36
untuk melaksanakan tugas pelayanannya tadi, yang apabila disalahgunakan akan menjadi
fatal akibatnya dari segi hukum. Untuk itu perlu adanya kontrol, yang dengan demikian kemungkinan akan adanya penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan dan lain-lain
dapat dihindari atau diperkecil kemungkinan. Kontrol yuridis merupakan bagian dari kontrol lain-lainnya
terhadap
pemerintah
seperti
kontrol politis, kontrol melalui tromol-tromol
na
pos, kontrol intern administrasi, kontrol ekstern
Diskresi
diperlukan
administrasi dalam rangka
dalam
hukum
menyelesaikan
persoalan yang peraturan perundang-undangan belum mengaturnya atau hanya mengatur secara umum, sehingga administrasi negara mempunyai kebebasan untuk menyelesaikan atas inisiatif sendiri. Diskresi juga diperlukan apabila terdapat prosedur yang tidak dapat diselesaikan menurut administrasi yang normal, atau jika diselesaikan menurut prosedur administrasi yang normal justru kurang berdaya
Lintong Oloan Siahaan, Wewenang PTUN menunda berlakunya Keputusan Pemerintah, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2006), hlm. 10. 35 Lintong Oloan Siahaan, Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia, Studi Tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2005), hlm. 42-43. 36 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
Jur
34
108
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 93-111
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Reformulasi
diskresi dalam penataan
hukum administrasi sangat diperlukan meski telah ada kesepakatan secara teoritis bahwa pada dasarnya diskresi tidak bisa sembarangan dipakai. Diskresi hanya bisa dipakai pada keadaan-keadaan tertentu, seperti apabila terjadi kekosongan hukum; adanya kebebasan interprestasi; adanya delegasi perundangundangan; serta demi pemenuhan kepentingan umum. Selain itu, pembuatan diskresi juga serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Di antara asas-asas umum pemerintahan yang baik yang paling mendasar adalah larangan wewenang
dan
public administration.” AUPB ini pada dasarnya adalah code of ethic. Tetapi setelah lahirnya
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, (UU KKN) telah terjadi formalisasi
AUPB
larangan
dalam
hukum
positif.
Formalisasi ini diadopsi juga oleh UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah UU No.9 Tahun 2004 dan UU No.51 Tahun 2009 yang menjadi pedoman penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara. Formalisasi ini juga terlihat dengan disusunnya RUU
Administrasi
Pemerintahan
sebagai
bagian dari reformasi birokrasi. Keberadaan UU tersebut nantinya bisa menjadi batasan secara
lR ec hts V
penyalahgunaan
sementara di USA disebut “The principle of good
ind
dibatasi oleh asas-asas hukum administrasi
Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur,
BP HN
yang sangat cepat.
ing
guna dan berhasil guna, atau perlu penanganan
sekali berkembang. Di Belanda AUPB ini disebut
bertindak sewenang-wenang. Tetapi euforia
semangat pemberantasan korupsi melihat
bahwa tanpa dituangkan dalam regulasi (baca: undang-undang) maka pagar yang membatasi
kewenangan mengeluarkan diskresi pejabat
negara akan mudah diterobos oleh pejabat negara. Pemikiran semacam ini dilandasi oleh pengalaman historis bahwa pada masa lalu,
diskresi yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara cenderung merugikan masyarakat dan
mengeruk kekayaan negara. Padahal teori
na
mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) yang menjadi dasar pembuatan
diskresi sudah banyak, tapi dalam prakteknya
Jur
tidak dijalankan oleh para pejabat. Hal inilah yang mendorong formalisasi AUPB dalam hukum positif. Teori mengenai asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AUPB) telah banyak
hukum pembuatan diskresi sebagai fungsi kontrol mencegah terjadinya detournament de povoir.
2. Saran Perlu ada kesadaran dari aparan penegak
hukum dan legislator bahwa kepastian bukan satu-satunya tujuan hukum, masih ada keadilan dan kemanfaatan yang bisa diraih dengan mengembalikan ruang bagi code of life di luar undang-undang. Undang-undang juga tidak dapat dibuat sangat terinci (detail) melainkan hanya
memberikan
algemeene
richtlijnen
(pedoman umum) saja. Karenanya undangundang tidak dapat mencakup segala-galanya. Undang-undang bukan obat mujarab yang bisa menyelesaikan semua persoalan, karena ia tidak dapat mengikuti kecepatan gerak masyarakat
Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi (Arfan Faiz Muhlizi)
109
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Perlu ada kesadaran bahwa penataan Hukum Administrasi Negara bukan sekedar dipahami sebagai pembentukan atau penataan peraturan
perundang-undangan
terkait
administrasi Negara, tetapi lebih jauh dari itu adalah penataan tatanan hukum yang terdiri dari struktur, substansi, dan kultur masyarakat, birokrasi, dan penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Jur
na
lR ec hts V
ind
Atmosudirjo, S. Prajudi, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994). Bagir Manan, “Orasi pada Seminar RUU Administrasi Pemerintahan se – Sumatera di Medan ” 29 Juni 2005. Bank Dunia, Reformasi Hukum di Indonesia, Hasil Studi Perkembangan Hukum, (Jakarta: Cyberconsult, 1999). Basah, Sjachran, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, (Bandung Alumni, 1997). Basah, Sjachran, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1992). Dwiyana, Rusma, Akuntabilitas Administrasi dan Hukum Atas Keputusan Administrasi Pejabat Pemerintahan, diunduh dari www.wordpress. com, Januari 2009. Hadjon, Philipus M., RUU Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Hukum Administrasi, Makalah. Harper, JH., Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiaveli, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002). Indroharto, Usaha memehami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993). Koentjoro, Diana Halim, Hukum Administrasi Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004).
BP HN
undang-undang selalu ketinggalan.
Lotulung, Paulus Effendi, Makalah pada seminar Indonesia-Jerman, Tinjauan Umum atas Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Jakarta, 5 April 2005. Mahendra, AA. Oka, Harmonisasi RUU Administrasi Pemerintahan dengan Undang-Undang Peradilan TUN dan Undang-Undang lainnya, Makalah pada Seminar Nasional RUU Administrasi Pemerintahan Jakarta, 13 Oktober 2005. Marbun, SF dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001). Marbun, SF, Makalah pada seminar Indonesia – Jerman – RUU tentang Administrasi Pemerintahan, di Jakarta, 5 April 2005. Martosoewignjo, Sri Soemantri, Undang-Undand Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya Dalam Kehidupan Bernegara, Makalah disampaikan pada Stadium Generale dan 40 Tahun Pengabdiannya di Universitas Padjadjaran, Bandung 2001. Ndraha, Talizidhuhu, Makalah pada Semiloka I, Kajian Reformasi Hukum Administrasi Pemerintahan, “Fungsi Pemerintahan”, Jakarta, 27 April 2004. Panjaitan, Saut P., Makna dan Peranan Freies ErmessenDalam Hukum Administrasi Negara dalam SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001). Rasyid, Ryaas, Makna Pemerintahan : Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, 1996. Siahaan, Lintong Oloan, Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia, Studi Tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2005). Siahaan, Lintong Oloan, Wewenang PTUN menunda berlakunya Keputusan Pemerintah, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2006). Simorangkir, JCT dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2008). Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet.v, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001).
ing
atau proses perkembangan sosial, sehinggga
110
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 93-111
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
Suprianto, 2004, Syariat Islam dalam Mewujudkan “Clean Governance and Good Government” dalam www. Transparansi.or.id. Warassih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: PT. Suryandaru Utama, 2005). http://www.ppu.org.uk/people/suukyi.html http://chandrasway.blogspot.com/2010/12/aungsan-suu-kyi-i-am-happy-because-i.html http: //www.transparansi. or.id/ artikel/ pemberantasan-korupsi-tak-sebatas-legalitas/
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979). Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta,: CV. Rajawali, 1990). Soetami, A. Siti, Hukum Administrasi Negara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000).
Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi (Arfan Faiz Muhlizi)
111
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
PEMBAHARUAN REGULASI PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH (Reformation Regulation of Goods and Services Government Procurement) Apri Listiyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN Jl. Mayjen Soetoyo No. 10 Cililitan Jakarta Timur Email:
[email protected]
Naskah diterima: 26 Januari 2012; revisi: 2 Maret 2012; disetujui: 20 Maret 2012
lR ec hts V
ind
ing
Abstrak Pengadaan barang dan jasa secara ideal bertujuan untuk menjamin efisiensi, transparansi, dan keadilan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan oleh pemerintah. Dalam praktik, pelaksanaan pengadaan barang/jasa masih banyak sekadar memenuhi kewajiban administratif tanpa mempedulikan aspek substantifnya. Tulisan ini akan membahas ten tang pembenahan regulasi di bidang pengadaan barang dan jasa. Melalui penelitian yuridis normatif, penelitian ini menemukan regulasi terkait dengan pengadaan barang dan jasa memiliki kelemahan, khususnya berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka mekanisme kerja, tradisi, dan perilaku birokrasi yang berpotensi menghambat terwujudnya pemerintahan yang bersih, pembaharuan peraturan perlu disesuaikan agar fleksibilitas pengadaan barang dan jasa memenuhi kebutuhan pemerintah dan sekaligus menghindari ditabraknya prinsip pengadaan yang ada. Disamping itu perlu pula adanya pembenahan terhadap regulasi di bidang Pengadaan Barang dan Jasa, yaitu dari Peraturan Presiden diubah menjadi Undang-Undang. Kata kunci : pembaharuan, fleksibilitas, kepastian hukum, pemerintahan yang baik
Jur
na
Abstract Procurement of goods and services are ideally aimed at ensuring efficiency, transparency and fairness in the implementation of development activities by the government. In practice, the implementation of the procurement of goods / services are still a lot just to meet the administrative duties regardless of the substantive aspects. This paper will discuss the reform of regulation in the field of public procurement. Through normative juridical research, this study found the regulations related to procurement of goods and services have drawbacks, particularly with regard to the implementation mechanisms of goods / services. To address these concerns, the mechanism of action, traditions, and bureaucratic behavior that could potentially hinder the realization of good governance, regulatory reform needs to be adjusted so that the flexibility of the procurement of goods and services meet the needs of government and at the same time avoiding existing procurement principles. Besides, it also needs a revamping of the regulation in the areas of Procurement, which is converted to the President of the Regulations Act. Keywords: Reformation, Flexibility, law certainty, good governance
Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Apri Listiyanto)
113
Volume 1 Nomor 1, April 2012
A. Pendahuluan dewasa ini merupakan isu startegis dan penting, baik dalam prespektif perdagangan internasional, maupun dari prespektif hukum nasional dan implikasinya terhadap hukum Indonesia berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: pertama, Organisasi Perdagangan Dunia mengagendakan isu baru (new issues), yang salah satunya mengenai transparansi dan perlakuan non diskriminatif dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah sesuai dengan
berbagai ketentuan organisasi internasional4, kelima, kesepakatan dalam forum internasional
memiliki implikasi normatif maupun ekonomi
yang signifikan terhadap kebijakan regulasi pengadaan barang dan jasa pemerintah suatu negara.5
Pengadaan
barang/jasa
untuk
kepen
tingan pemerintah merupakan salah satu alat untuk menggerakkan roda perekonomian, dalam rangka meningkatkan perekonomian nasional guna mensejahterakan kehidupan
ind
persaingan dan liberalisasi perdagangan,1 kedua,
bilateral yang telah banyak dirumuskan dalam
ing
Pengadaan barang dan jasa pemerintah
BP HN
norma hukum yang bersifat regional maupun
negara berkembang sebaliknya mengambil
sikap defensif dan melakukan upaya protektif dan preferensi dalam pelaksanaan pengadaan dalam pengadaan barang dan jasa merupakan
perdebatan panjang dan kontroversial antara negara keempat,
dan jasa terutama di sektor publik terkait erat dengan penggunaan anggaran Negara. Yang menjadi titik penting dari itu adalah urgensi
lR ec hts V
barang/jasa pemerintah,2 ketiga, liberalisasi
rakyat Indonesia, karena pengadaan barang
maju
dan
terdapat
negara
polarisasi
berkembang,3 yang
perlu
ditelaah, yakni terdesentralisasinya ketentuan-
ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah
pelaksanaan pengadaan yang efektif dan efisien serta ekonomis untuk mendapatkan manfaat maksimal dari penggunaan anggaran. Hal ini disebabkan karena pengadaan barang dan jasa sebagian besar dibiayai oleh keuangan Negara, baik melalui APBN maupun non-APBN.
dari norma hukum internasional ke dalam
Jur
na
www.wto.org, laporan hasil pertemuan tingkat menteri, Pada Singapore Meeting, yang diselenggarakan di Singapura pada 9-13 Desember 1996, dilanjutkan di Jenewa pada 18-20 Mei 1998; Seatle (AS), 30 November sampai 3 Desember 1999, Doha (Qatar), 10-14 November 2001; dan di Cancun Meksiko pada 10-14 September 2003, dan di Hongkong pada 2006. 2 Paul J. Carrier, Soverignity Under The Agreement On Government Procurement, Minnesotta Journal of Global Trade, Winter 1997, hlm. 85. 3 Ibid, hlm. 87. 4 Martin Dischendorfer, The Existence and Development of Multilateral Rules on Government Procurement Under the Framework of the WTO, Public Procurement Law Review, (Sweet & Maxwell Limited and Contrutors, 2000), hlm. 543. 5 Frank J. Gracia, Trade and Justice: Lingking The Trade Linkage Debates, University of Pennsylvania Journal of International Economic Law, 1998. hlm. 391. 1
114
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 113-133
Volume 1 Nomor 1, April 2012
pengadaan ini. Lebih dari 20 tahun yang lalu,
dan jasa pemerintah merupakan bagian penting
Begawan Ekonomi Indonesia, Profesor Soemitro
dalam agenda proses transformasi mewujudkan
Djojohadikusumo, sudah mensinyalir 30-50
keadilan
tatanan
persen kebocoran Anggaran Pendapatan dan
pemerintahan yang makin bersih dan berwibawa
Belanja Negara akibat praktek korupsi, kolusi,
(good governance and clean government).
dan nepotisme yang berkaitan dengan kegiatan
Proses transformasi dimaksud merupakan
pengadaan barang dan jasa pemerintah.6
upaya membawa Indonesia dari sebuah negara
Sementara itu, hasil kajian Bank Dunia dan
dengan tata kelola pemerintahan yang buruk,
Bank Pembangunan Asia yang tertuang dalam
karena merajalelanya praktik korupsi, kolusi,
Country Procurement Assessment Report (CPAR)
dan nepotisme (KKN), menjadi sebuah negara
tahun 2001 menyebutkan, bahwa kebocoran
dengan tata kelola pemerintahan yang lebih
dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah
baik, lebih bersih dan lebih berwibawa, dan
sebesar 10-50 persen.7 Kebocoran ini dapat
bebas dari berbagai kepentingan pribadi,
disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang
kelompok, dan golongan.
miskin, kondisi pelayanan publik yang buruk,
ing
membangun
ind
guna
BP HN
Pengembangan sistem pengadaan barang
kekuasaan sewenang-wenang para pejabat
guna menciptakan persaingan usaha yang sehat,
publik,8 hukum dan peraturan yang bermacam-
efisiensi belanja negara, sekaligus public service
macam dengan penerapan lemah, minimnya
delivery, yaitu dengan mewujudkan instrumen
lembaga pengawas, relasi patron-klien, dan
pengadaan
tidak adanya komitmen dan kehendak politik.
lR ec hts V
Sebagai salah satu indikator kunci perubahan
(procurement)
yang
kredibel.
Perubahan tersebut merupakan bagian dari
Kurangnya
pengelolaan dan pemanfaatan APBN dalam
disinyalir menjadi persoalan terbesar penyebab
menunjang berjalannya fungsi pemerintahan.
terjadinya korupsi, sehingga korupsi tidak hanya
Pengadaan barang dan jasa harus dapat
dilaksanakan secara efektif dan efesien serta
transparansi
dan
akuntabilitas
dilakukan pada level individu dan bisnis, bahkan politik. Munculnya permasalahan-permasalahan di
kerugian negara sangat besar dalam proses
atas mendorong pemerintah untuk memper
na
dapat dipertanggungjawabkan, karena potensi
8 6
www.kpk.go.id/modules/news/ makepdf. php? Storyid. www.antikorupsi.org/ indo/ index2. php? option=com_content&do. Korupsi sangat parah terjadi di hampir setiap relasi dengan penguasa. Sebuah studi Bank Dunia pada 1999 menyebutkan, sekitar 85,7 persen perusahaan yang disurvei mengatakan selalu atau sering kali berhadapan dengan korupsi saat berinteraksi dengan pejabat publik. Patologi pengadaan barang dan jasa pemerintah ini meliputi mark-up harga, pemerasan, penyalahgunaan wewenang, bisnis dengan orang dalam, nepotisme dan pemalsuan.
Jur
7
Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Apri Listiyanto)
115
Volume 1 Nomor 1, April 2012
C. Metode Penelitian
jasa, dengan tonggak awal yaitu dengan di mana prinsip reformasi kebijakan umum pemerintah seperti “good governance” atau Tata Kelola Pemerintahan yang Baik mulai diterapkan pada tataran operasional. Keinginan untuk menciptakan pengadaan barang/jasa yang bersih, akuntabel dan bebas KKN merupakan usaha pemerintah untuk mewujudkan
good
governance,
melalui
penelitian ini akan mengurai bagaimana usaha
pendekatan
bidang pengadaan barang/jasa (government procurement).
yang
digunakan
beberapa
berkaitan
dengan
pengumpulan data dan informasi; analisis; serta penyajian. Jenis dari penelitian hukum ini adalah penelitian yuridis normatif.9 Penelitian yuridis
normatif yaitu berupa penelitian kepustakaan
(library research) untuk memperoleh data-data baik yang bersumber kepada berbagai data dan informasi yang ”di release” oleh pemerintah; tulisan para ahli dalam bentuk buku, jurnal, artikel lepas, surat kabar, maupun informasi yang tersebar di dunia maya; pengalaman para praktisi dan pengambil putusan; kebijakan dan regulasi nasional dan internasional; dan lainlain sebagainya yang terkait dengan proses
B. Permasalahan
lR ec hts V
pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Berangkat dari latar belakang uraian di atas,
Salah satu ciri dari penggunaan pendekatan
maka pokok permasalahan yang akan diteliti
normatif, yaitu melalui analisis dan kajian
adalah:
terhadap norma-norma terkait yang berlaku
1. Apa
urgensi
pemerintah
melakukan
(“existing laws and regulations”). Pendekatan
perubahan regulasi pengadaan barang/
normatif ini dipandang relevan guna menilai
jasa?
sejauhmana norma-norma yang berlaku masih
2. Permasalahan apa saja yang perlu di benahi sebagai
upaya
pembaharuan
regulasi
pengadaan barang/jasa pemerintah? 3. Bagaimana
usaha
melaksanakan
pemerintah
pembaharuan
dan kecenderungan khususnya pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Analisis yang dilakukan dalam penelitian
regulasi
ini difokuskan pada norma-norma yang terkait dengan hukum dan kebijakan, oleh karena itu bersifat normatif-kualitatif. Serta dalam
Jur
na
mampu mengakomodasikan perkembangan
dalam
pengadaan barang/jasa pemerintah?
9
116
penelitian
ind
pemerintah dalam memperbaharui regulasi di
Dalam
ing
diterbitkannya Keppres Nomor 80 Tahun 2003
BP HN
baharui regulasi di bidang pengadaan barang/
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hlm. 26.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 113-133
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dibelanjakan melalui proses pengadaan barang
analitis.
dan jasa pemerintah. Nilai tersebut belum
BP HN
penyajian hasil penelitian bersifat deskriptif
termasuk belanja oleh Badan Usaha Milik
D. Pembahasan
Negara/Badan Usaha Milik Daerah (BUMN/
1. Urgensi Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
BUMD) maupun Anggaran Pendapatan dan
Dalam
hukum,
tahun 2005 mencapai 97 triliun (25% dari
kegiatan pengadaan barang/ jasa pemerintah
APBN).12 Sementara itu, Rancangan APBN 2007,
ditinjau dari perspektif hukum Indonesia,
pendapatan negara diprediksikan sebesar 693
memiliki arti penting dengan argumentasi
triliun rupiah dan belanja negara mencapai 726,3
sebagai berikut: pertama, pengadaan barang
triliun rupiah.13 Kedua, pengadaan barang dan
dan jasa pemerintah memiliki arti strategis
jasa pemerintah merupakan sektor signifikan
dalam proteksi dan preferensi bagi pelaku usaha
dalam upaya pertumbuhan ekonomi,14 Ketiga
dalam negeri.10 Hal ini dapat dilihat dari besaran
sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah
alokasi
barang/jasa
yang mampu menerapkan prinsip-prinsip tata
pemerintah yang mencapai persentase signifikan
pemerintahan yang baik akan mendorong
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
efisiensi dan efektifitas belanja publik sekaligus
(APBN). Setiap tahun, sektor pengadaan barang
mengondisikan
dan jasa pemerintah membelanjakan dana yang
pemerintah, swasta dan masyarakat dalam
cukup besar. Anggaran untuk sektor ini dalam
penyelenggaraan good governance. Keempat,
APBN tahun anggaran 2001, tidak kurang dari
bahwa ruang lingkup pengadaan barang dan
Rp.66,57 triliun atau (20% dari APBN), tahun
jasa pemerintah meliputi berbagai sektor dalam
2002 sekitar Rp78,15 triliun (23% dari APBN),
berbagai aspek dalam pembangunan bangsa.
pengadaan
ing
lR ec hts V
anggaran
pembangunan
ind
konteks
Belanja Daerah (APBD).11 Belanja Pemerintah
perilaku
tiga
pilar
yaitu
World Trade Organization on Government Procurement: The Plurilateral Agreement Overview of the Agreement of Government Procurement., 2005. hlm. 2. 11 Latar Belakang Kebijakan dikeluarkannya Keppres Nomor 80 Tahun 2003, tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, hlm. 1. 12 Laporan Sementara Realisasi APBN Tahun Anggaran 2005, Periode 1 Januari 2005 sampai dengan 30 Desember 2005 (Jakarta: Direktur Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan RI, 2006). 13 Iman Sugema, ”Anggaran Tidak Memberi Ruang Untuk Menstimulasi Pertumbuhan Ekonomi” (Jakarta: INDEF, 2006). 14 Latar Belakang Kebijakan dikeluarkannya Keppres No. 80 Tahun 2003, Kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi berkisar 0,6% pada tahun 2001 (Pertumbuhan ekonomi tahun 2001 sebesar 3,44%), pada tahun 2002 sebesar 0,74, dengan angka pertumbuhan ekonomi 3,66%. Mengingat betapa besarnya nilai pengadaan dan sumbangannya pada perekonomian serta banyak pihak yang terlibat dalam proses pengadaan yang baik akan berdampak luas bagi perubahan perilaku, baik pada jajaran birokrasi, maupun kalangan pelaku usaha dan masyarakat pada umumnya
Jur
na
10
Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Apri Listiyanto)
117
Volume 1 Nomor 1, April 2012
yang terukur (calculable structure) dari suatu
sampai dengan 1990-an pengadaan barang/
ekspektasi sehingga hukum mampu memeran
jasa pemerintah diatur oleh Keppres Nomor
kan sebagai “conditional programming” yang
12 Tahun 1979, Keppres Nomor 16 Tahun
secara normatif dapat dikatakan bahwa jika
1994, dan Keppres Nomor 18 Tahun 2000.
kondisi tertentu terpenuhi, maka konsekuensi
Pada prinsipnya keputusan-keputusan presiden
tertentu akan mengikuti dan menciptakan suatu
tersebut mengatur administrasi pengadaan,
conditional programming yang harus memenuhi
kebijakan perlindungan kepada perusahaan
persyaratan sebagai berikut:15
BP HN
Pada masa orde baru yaitu pada 1970-an
Pertama, hukum harus diketahui dan secara
dan kebijakan untuk mendorong penggunaan
reasonable jelas sehingga para aktor akan
produksi dalam negeri dan perluasan lapangan
mengetahui kosekuensi yang ditimbulkan,
kerja. Permasalahan-permasalahan pokok yang
selain itu hukum harus cukup jelas untuk
muncul dari pelaksanaan keputusan-keputusan
menginformasikan pesan pada intellegent
presiden
adalah:
people, baik dengan sendirinya maupun dengan
1) peraturan/pengaturan yang ada kurang
bantuan lawyer tentang apa yang diharuskan
memadai lagi menghadapi tantangan dengan
menurut hukum.
di
antaranya
ind
dimaksud
ing
“pribumi”, perusahaan nasional dan setempat,
semakin besarnya volume APBN dan APBD yang
lR ec hts V
Kedua, harus adanya akses secara bebas
semakin meningkat dan dampaknya terhadap
dan fair terhadap informasi sehingga tercipta
pertumbuhan ekonomi, 2) masih tingginya
transparansi, dan ketiga, pembuat keputusan
tingkat kebocoran dalam pelaksanaan APBN/
dalam hal ini pemerintah harus mentaati aturan
APBD, 3) Adanya ketidakjelasan pengaturan
dan menegakkannya. Berdasarkan elemen-
dan benturan aturan yang mengatur pengadaan
elemen di atas, bahwa pembangunan hukum
barang/jasa pemerintah, dan 4) diperlukannya
yang mempunyai level tinggi harus mengandung
kebijakan dalam menghadapi tantangan ke
hal-hal berikut ini:
depan seperti: liberalisasi perdagangan dan
Government Procurement Aggreement dalam Panel WTO.
Menurut
Luhmann,
hukum
modern
na
memfasilitasi kegiatan bisnis, ekonomi dan
Jur
kegiatan lainnya melalui penciptaan struktur
……..clear, known laws, widespread information concerning what ever it is the law treats; decision-makers-accountability for, independence form, decisions resultscomprises predictability and form of the foundation for rule-based behavior throughout society.16
Luhman, Niklas, A Sociological Theory of Law, Elizabeth King and Martin Albrow (ed). Martin Albrow (London: Routledge & Kegan Paul, 1985), hal.184. 16 Ibid. hlm. 184. 15
118
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 113-133
Volume 1 Nomor 1, April 2012
pengadaan barang/jasa yang berlaku secara
bahwa masyarakat yang berdasarkan rule of
internasional. Dengan demikian semua pihak
law lebih efisien daripada berdasarkan tradisi
harus memahami dan mempelajarinya agar
atau patronage based system, dan di Indonesia,
kita dapat bersaing dalam era globalisasi dan
hukum
perdagangan babas tersebut;
patronage based.
bersifat
personalised
dan
17
Terhadap pengaturan pengadaan barang/ jasa pemerintah maka diperlukan pengaturan hukum yang jelas dan mampu memenuhi perkembangan pasar, sehingga prinsip kepastian hukum diperoleh oleh para pihak yang terlibat dalam proses pengadaan tersebut. Pengadaan hukum nasional maupun hukum internasional harus
berdasarkan
persaingan
sehat,
transparansi, efisiensi dan nondiskriminasi.
pemerintah sering kali bermasalah dan terjadi berbagai macam penyimpangan, baik dari segi kualitas barang yang tidak sesuai, maupun adanya unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) antara pejabat pemerintah dengan para penyedia barang dan jasa. Banyaknya penyimpangan tersebut, justru dinilai oleh banyak kalangan menyebabkan rendahnya
lR ec hts V
Dalam konteks regulasi internasional di bidang pengadaan
barang
dan
jasa
pemerintah
(government procurement) perlu diketahui
perkembangannya, dengan alasan sebagai berikut:
Pengadaan barang dan jasa di lingkungan
ind
barang/jasa pemerintah baik berdasarkan
2. Permasalahan-Permasalahan Imple mentasi Regulasi Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah
ing
masih
BP HN
Secara ekonomi, fakta telah membuktikan
a. Dalam jaman globalisasi dan era per
dagangan bebas, masyarakat Indonesia mau
tidak mau harus mengikuti perkembangan
dan kemajuan yang terjadi di dunia, termasuk perkembangan dalam bidang pengadaan barang dan jasa.
b. Dalam era globalisasi dan perdagangan
jasa.18 Ketatnya tata cara pengadaan barang
dan
jasa
pemerintah,
ketakutan
Pejabat
terhadap pengusutan polisi, jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta proses tender yang memakan waktu cukup lama, mulai dari pengumuman tender, tahap pra kualifikasi, pasca kualifikasi, sampai dengan pengumuman pemenang tender, menjadi indikasi lemahnya penyerapan anggaran tersebut. Dengan
perkataan
lain,
mekanisme
kerja, tradisi, dan perilaku birokrasi menjadi
Jur
na
bebas menuntut pemberlakukan tata cara
penyerapan anggaran pengadaan barang dan
Ibid. hlm. 185. Sebagai contoh realisasi belanja negara, khususnya belanja barang dan modal. pada Mei 2007 realisasi belanja barang dan modal cuma 15% meningkat jadi 37,8% pada Juni. Bahkan memasuki triwulan terakhir realisasinya baru 58%, baru setelah November dana yang dibelanjakan mencapai Rp 604,15 triliun atau 80% dari total belanja di APBN Perubahan 2007 Rp 752,4 triliun.
17 18
Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Apri Listiyanto)
119
Volume 1 Nomor 1, April 2012
yang tidak sehat. Hal ini akan berdampak
pemerintah yang bersih. Hal ini mengingat
pada tingginya harga pasaran karena banyak
penyimpangan/pelanggaran
perusahaan kompetitor yang gulung tikar akibat
dalam
penga
daan adalah buruknya kualitas barang dan jasa
BP HN
permasalahan yang potensial menghambat
tidak mampu membayar suap.
yang dihasilkan sehingga tidak dapat melayani
Banyak permasalahan yang mengemuka
kepentingan publik secara efektif dan efisien,
dalam proses pengadaan barang dan jasa,
sehingga masyarakat menjadi pihak yang paling
mulai dari daya serap anggaran yang rendah19
dirugikan.
yang selalu terkonsentrasi pada akhir tahun pengadaan
anggaran, sampai kepada penyimpangan proses
barang dan jasa yang baik merupakan alat
pengadaan yang berakibat pada kerugian Negara.
yang tepat untuk penerapan kebijakan publik
Meskipun undang-undang tentang keuangan
di seluruh sektor dan merupakan instrumen
negara dan perangkat undang-undang tentang
dalam membangun tata kelola yang balk dan
perbendaharaan negara telah dilaksanakan,
tata pemerintahan yang baik. Sebaliknya,
namun masalah lambatnya penyerapan dana
penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan
APBN
barang dan jasa akan meningkatkan angka
masih saja terus terjadi. Berdasarkan data dari
kemiskinan dan menyebabkan ketidakmerataan
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
ing
tentang
lR ec hts V
ind
Undang-undang
oleh
kementerian
negara/lembaga
pembangunan akibat penyelewengan uang
tahun anggaran 2006 dan 2007, realisasi belanja
negara di luar kepentingan rakyat. Selain itu
pemerintah pusat yang sebagian dilaksanakan
juga akan menciptakan perilaku buruk yang
oleh kementerian negara/lembaga maupun
mendorong persaingan usaha yang tidak sehat
dana yang ditransfer ke daerah berupa dana
karena didasari dengan penyuapan, bukan
perimbangan, belum mencerminkan persentase
karena kualitas dan manfaat. Untuk sektor
yang menggembirakan berdasarkan periode per
swasta,
pengadaan
semester.
barang dan jasa berdampak pada ketidakadilan,
Salah
penyimpangan
dalam
alasan
yang
dikemukakan
berkaitan dengan rendahnya realisasi belanja
na
ketidakseimbangan, dan iklim kompetisi usaha
satu
Sebagai ilustrasi, misalnya realisasi anggaran hingga Mei 2009 penyerapan anggaran belanja negara mencapai Rp.286,95 triliun atau 27,67 persen. Angka serapan anggaran ini dinilai rendah karena masih terdapat surplus cash yang cukup banyak, yaitu mencapai Rp.69,210 triliun. Hal ini tidak jauh berbeda, jika dibandingkan penyerapan Anggaran belanja pemerintah pusat dalam semester I tahun 2008 mencapai Rp 246.860,9 miliar atau menyerap 35,4 persen (mengalami peningkatan sebesar 1,7 persen dari realisasi semester I tahun 2007) dari pagu alokasi anggaran belanja pemerintah pusat yang ditetapkan dalam APBN-P 2008 sebesar Rp. 697.071,0 miliar. Bila dibandingkan dengan realisasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam periode yang sama • semester I tahun 2007 sebesar Rp. 168.675,4 miliar, maka realisasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam semester I tahun 2008 tersebut berarti mengalami peningkatan sebesar Rp78.835,0 miliar atau sekitar 46,9 persen. Sumber: http://www.lkpp.go.id/v2/diskusi-post.php?fid=12&tid=2.
Jur
19
120
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 113-133
Volume 1 Nomor 1, April 2012
yang
transparan
barang dan jasa pemerintah yang tertuang
lamanya proses tender akan memperlambat
di Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang
kerja kementerian/ lembaga pemerintah yang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
seharusnya sudah mempergunakan anggaran
Pemerintah.20 Banyak pejabat yang berwenang
untuk menjalankan proyek publik. Oleh karena
kerap merasa takut melihat makin banyaknya
itu, perlu dipertimbangkan agar kementerian/
pengadaan barang dan jasa yang menjadi
lembaga pemerintah memiliki hak prerogatif
kasus pengusutan polisi, jaksa dan Komisi
untuk menetapkan pemenang, yang menutup
Pemberantasan Korupsi (KPK).21 Selain itu proses
kemungkinan perusahaan yang kalah tender
tender yang memakan waktu cukup lama, mulai
tidak perlu menuntut ke pengadaan lagi,
dari pengumuman tender, tahap pra kualifikasi,
sepanjang proses tender berlangsung jujur
pasca kualifikasi, sampai dengan pengumuman
dan transparan.22 Permasalahan ini diperparah
pemenang tender.
oleh terbitnya aturan-aturan pengecualian atas
akuntabel,
namun
ing
ind
Salah satu proses yang dinilai menghambat,
dan
BP HN
barang adalah ketatnya tata cara pengadaan
klausul dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Dalam proses tender pengadaan barang
pemerintah yang harus diumumkan ke publik
dan jasa terdapat beberapa hal yang sering
dalam bentuk iklan dan semua perusahaan
terjadi
peserta tender harus diverifikasi. Aturan
resiko korupsi, yaitu (1) fenomena banting
ini, ternyata dalam realisasinya dinilai justru
harga, yang menyebabkan persaingan tidak
memperlambat kerja departemen, apalagi
sehat. Hal ini terjadi karena adanya aturan
jika perusahaan yang kalah tender menuntut
yang harus memprioritaskan the least bidder,
ke pengadian. Meskipun aturan ini ditujukan
sementara tawaran harga di bawah 60% dari
untuk
patokan nilai proyek hampir bisa dipastikan
lR ec hts V
misalnya persyaratan tender oleh kantor
menjamin
penyelenggaraan
tender
penyimpangan
yang
menimbulkan
Seorang Pengamat ekonomi dari Institute for Development Economy and Finance, Aviliani, menyatakan, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 tahun 2003 menjadi salah satu faktor penyebab lambatnya serapan dana APBN 2009 oleh sejumlah departemen. Keppres tersebut membuat proses pengadaan barang dan proyek baru bisa selesai dalam waktu delapan bulan sementara proyek departemen seharusnya sudah dijalankan. 21 Kasus-kasus pengadaan barang dan jasa yang dewasa ini dalam penyelidikan Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, misalnya adalah Pengadaan Mobil Pemadam Kebakaran dan Ambulans yang terjadi di berbagai provinsi di Indonesia yang melibatkan Gubernur. Disamping itu juga, terdapat kasus pengadaan Radio Komunikasi di Departemen Kehutanan yang kasusnya meluas tidak terkendali. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrrahman Ruki, pada awal Januari 2007, mencatat 75% kasus korupsi berkaitan dengan procurement. Hal ini sejalan dengan laporan Country Procurement Assessment Report pads 2001, bahwa belanja pengadaan di Indonesia bocor 10-50%. Salah satu celah terjadinya kerugian negara dari kegiatan procurement adalah payung hukum yang kurang memadai. 22 Pendapat yang disampaikan oleh Aviliani, Kontan, tanggal 26 Desember 2007.
Jur
na
20
Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Apri Listiyanto)
121
Volume 1 Nomor 1, April 2012
cenderung ke produk tertentu; (3) Sub kontrak,
Pengadaan barang dan jasa saat terjadi
yang seharusnya pemerintah bisa menolak
bencana beresiko terjadi korupsi, karena
tender yang dikontrakkan lagi ke pihak lain. Jika
adanya jumlah dana yang besar dan harus
pengawasannya tidak benar, maka akan terjadi
dibelanjakan secara cepat untuk menanggulangi
peyimpanganpenyimpangan.
permasalahan kemanusiaan. Resiko korupsi
23
Selain dalam
BP HN
barang yang susah ditemukan di pasar, yang
b. Masa Tanggap Darurat Saat Bencana Alam
standar mutunya rendah; (2) Spesifikasi teknis
proses pengadaan barang dan jasa ini, beberapa
muncul
faktor dan hal yang berpotensi meningkatkan
pengadaan barang dan jasa, dan adanya tekanan
resiko korupsi adalah sebagai berikut:
agar bantuan dikirim secepatnya kepada korban
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa sering terdapat kecenderungan bahwa belanja barang dan jasa dilakukan pada akhir tahun
anggran. Belanja yang mendesak pada akhir tahun
penyimpangan. Hai ini terjadi, karena transaksi pada periode ini kurang diawasi secara ketat. Di
banyak lembaga publik, banyak dana yang tidak
proses
ing
sulitnya
Masalah korupsi yang terjadi saat situasi
darurat adalah pengelolaan prioritas bantuan yang membutuhkan bukti transaksi dan hal lain seperti efisiensi. Oleh karena itu, perlu pengaturan harus
lR ec hts V
anggaran ini, sering menjadi subyek terjadinya
oleh
yang membutuhkan.
ind
a. Belanja Mendesak di Akhir Tahun Anggaran
disebabkan
khusus
dapat
yang
secara
esensial
mengurangi
resiko
korupsi
dengan memberikan jaminan terhadap sistem manajemen yang dilakukan secara benar, akuntabel dan transparan.
terbelanjakan hingga akhir tahun anggaran se
c. Kurangnya Akses Informasi
hingga mendorong pejabat di lembaga tersebut
Meski pemerintah telah mengeluarkan
untuk segera menghabiskannya untuk sesuatu
yang sebenarnya tidak diperlukan. Akibatnya, banyak dana yang menghilang atau dihabiskan dalam waktu singkat menjelang akhir tahun
anggaran. Dalam situasi “darurat” tersebut,
na
biasanya proses tender dilakukan dengan
penunjukan langsung meski sebenarnya proses
namun dengan penerapan yang lemah dapat menimbulkan peluang untuk memanipulasi informasi. Oleh sebab itu, transparansi dan kebebasan atas informasi merupakan komponen penting dalam upaya mengurangi terjadinya korupsi. Akses informasi perlu disediakan secara efisien dan layak, misalnya penggunaan
Jur
tender terbuka masih memungkinkan.
kebijakan mengenai kebebasan atas informasi,
http://cros.sip.co.id/hukumonline/ detail. asp?id=19321 &c1=Wawancara Kasus Korupsi Pengadaan Barang.
23
122
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 113-133
Volume 1 Nomor 1, April 2012
seluruh peserta tender mendapat perlakuan
sebagainya.
sama. Lebih lanjut juga diperlukan informasi
BP HN
situs internet, atau pengumuman di radio dan
tentang struktur kepemilikan resmi perusahaan
d. Standarisasi Dokumen Tender
dalam dokumen tender. Beberapa tanda potensi resiko yang harus diperhatikan mengenai status
lainnya akan lebih mudah dipredikasi dan lebih
kepemilikan resmi perusahan agar dapat diambil
sistematis. Bila tidak ada standarisasi dokumen
langkah-langkah pencegahannya, adalah:
tender akan menimbulkan upaya manipulasi yang
1) Perusahaan dengan struktur kepemilikan
menyebabkan kerancuan dalam pengambilan
tidak jelas, tetapi sering memenangkan
ing
Standarisasi dokumen tender dan pengadaan
kontrak-kontrak besar pemerintah;
keputusan.
2) Anggota keluarga dari pejabat tinggi publik
e. Penetapan Peserta Tender
yang memegang kepemilikan dan memegang peran dalam sebuah perusahaan;
ind
Adanya kecenderungan untuk menentukan
3) Kelompok masyarakat yang berhubungan
beresiko mengurangi tingkat fairness dalam
dekat (kolega) dengan pejabat publik atau
proses pengadaan barang dan jasa dan biasanya
kelompok bisnis yang dipimpin oleh pejabat
diikuti dengan peningkatan biaya pembelian.
publik; dan
lR ec hts V
peserta tender tertentu sebagai pemenang akan
Jika peserta tender telah ditetapkan, penting untuk memastikan proses tersebut dilakukan secara bersih dan jelas serta mengikuti
4) Pejabat
publik
kerap
datang
atau
berhubungan dengan pemilik perusahaan.
peraturan administratif menurut aturan-aturan
g. Keikutsertaan Perusahaan “Boneka”
yang berlaku.24
Perusahaan-perusahaan boneka biasanya
f. Keikutsertaan Perusahaan Milik Pejabat Publik Jika perusahaan peserta tender dimiliki oleh
pejabat publik, maka sistem transparansi dan akuntabilitas tidak dapat dipastikan berjalan
na
dengan baik, karena sering terjadi kepemilikan perusahaan tidak diperiksa terlebih dahulu. Oleh
secara aktif dan hanya dibuat untuk membantu menyembunyikan identitas pemiliknya. Selain itu, sub kontraktor dilakukan untuk membuat perjanjian yang kolutif antar sesama peserta tender. Bank Dunia mengindikasikan tandatanda keterlibatan perusahaan semacam ini dalam tender, antara lain:
Jur
sebab itu, diperlukan persyaratan khusus, bahwa
berbadan hukum resmi, namun tidak beroperasi
Misalnya, jika negara atau organisasi untuk pengadaan barang lokal dengan menyertakan calon kontraktor atau supplier yang telah dipilih -- diperbolehkan oleh Bank Dunia kepada negara berkembang- maka sejak awal negara atau organisasi tersebut harus terbuka dan menjelaskan tentang siapa dan jumlah persentase pemilihan talon kontraktor yang dipilih.
24
Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Apri Listiyanto)
123
Volume 1 Nomor 1, April 2012
sub kontraktor pada proyek besar; 2) Perusahaan
tersebut
terdaftar
Akibatnya, harga pasaran akan menjadi tinggi, karena banyak perusahaan kompetitor yang
dalam
yuridiksi yang memperbolehkan kerahasiaan
gulung tikar akibat tidak mampu membayar suap.
kepemilikan dan pengelolanya; menghendaki
Dari permasalahan di atas akan me pembayaran
munculkan berbagai dampak yang merugikan,
faktur secara rahasia yang diatur secara
berikut ini di sajikan beberapa dampak akibat
hukum; 4) Adanya pekerjaan yang terselubung dalam portofolionya; 5) Struktur kepemilikan terdiri dari kantor hukum atau kelompok bisnis;
praktik menyimpang dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintah:
ing
3) Perusahaan
a) Dampak Finansial
Dampak Finansial dapat terdiri dari:
1) Pengeluaran yang tidak penting dengan biaya mahal untuk pembelanjaan, investasi,
ind
6) Minimnya fasilitas yang dimiliki perusahaan; Jalur komunikasi untuk perusahaan berupa
jasa, sehingga pendapatan negara menjadi
tempat tinggal perorangan atau layanan mesin penjawab telepon; dan Tidak adanya catatan
rendah;
2) Sub perincian kualitas penyediaan atau pekerjaan tidak sesuai dengan harga yang
lR ec hts V
kinerja dalam database perusahaan.
Pengaturan pengadaan barang dan jasa
yang baik merupakan alat yang tepat untuk
penerapan kebijakan publik di seluruh sektor
dibayar;
3) Pembebanan kewajiban keuangan kepada pemerintah
dan merupakan instrumen dalam membangun
kemiskinan dan menyebabkan ketidakmerataan
pembelanjaan
atau
atau tidak bermanfaat yang secara ekonomi
yang baik. Sebaliknya, korupsi dalam pengadaan
barang dan jasa akan meningkatkan angka
atas
penanaman modal yang tidak diperlukan
tata kelola yang baik dan tata pemerintahan
biasanya bernilai sangat besar; dan
4) Pembebanan atas biaya perbaikan awal kepada pemerintah yang kerap diikuti
pembangunan akibat penyelewengan uang negara diluar kepentingan rakyat. Selain itu
dengan berbagai alasan biaya perawatan.
juga akan menciptakan perilaku buruk yang
b) Dampak Ekonomi
na
mendorong persaingan usaha yang tidak sehat karena didasari dengan penyuapan, bukan karena kualitas dan manfaat. sektor
Jur
Untuk
swasta,
korupsi
dalam
pengadaan barang dan jasa akan berdampak pada
ketidakadilan,
ketidakseimbangan,
dan iklim kompetisi usaha yang tidak sehat.
124
BP HN
1) Ketidakjelasan bentuk pekerjaan sebagai
Dampak ekonomi dapat terdiri atas beban
kepada pemerintah untuk biaya pelaksanaan, perawatan dan peminjaman hutang untuk investasi atau pembelanjaan, yang tidak digunakan secara benar demi kepentingan ekonomi negara. Lebih jauh, dampak ekonomi dapat terjadi apabila tingkat penanaman modal
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 113-133
Volume 1 Nomor 1, April 2012
perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan
korupsi yang dapat mengancam penyelenggara
korupsi untuk tidak merasa harus menanamkan
bisnis,
modal berbentuk inovasi karena korupsi telah
kelak
mempengaruhi
membuat mereka tidak mampu mengakses
pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja.
pasar.
c) Dampak Lingkungan Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dapat mengakibatkan dampak buruk bagi lingkungan. Karena proyek-proyek yang dikerjakan, sering tidak mengikuti standarisasi lingkungan yang berlaku. Akibat dari penolakan mengikuti standarisasi tersebut akan berdampak kerusakan parah pada lingkungan dalam jangka tingginya resiko masalah kesehatan.
Resiko
dan
kerusakan
dapat
terjadi
pada
kesehatan dan keselamatan manusia sebagai akibat
kualitas
lingkungan
yang
buruk,
penanaman modal yang anti-lingkungan atau ketidakmampuan
memenuhi
standarisasi
kesehatan dan lingkungan. Penyimpangan
yang merugikan akan menyebabkan kualitas
pembangunan buruk, yang dapat berdampak pada
Penerapan hukum yang konsisten sangat
diperlukan. Ketika orang menyadari bahwa pelaku korupsi di lingkungan pemerintahan tidak dijatuhi hukuman yang memadai, mereka akan menilai bahwa pemerintah tak dapat dipercaya. Kemudian secara moral, masyarakat seakan mendapat pembenaran atas tindakannya mencurangi pemerintah karena dianggap tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Demikian pula dengan perusahaan yang
lR ec hts V
d) Dampak pada Kesehatan Keselamatan Manusia
Kepercayaan
ind
panjang dan tentunya berimplikasi pada
f) Menurunnya Tingkat kepada Pemerintah
ing
sehingga
BP HN
terus berkurang sebagai akibat tingginya angka
kerentanan
bangunan
sehingga
memunculkan resiko korban.
na
membuat
kurangnya
kompetisi yang akhirnya mengarah kepada daya
Jur
kurangnya
kesempatan untuk melakukan aktivitas bisnisnya, jika peserta tender yang melakukan korupsi tidak mendapat hukuman. Meski sesungguhnya hasil pekerjaannya jauh lebih baik dibanding perusahaan korup yang mengandalkan korupsi untuk mendapatkan tender dengan kualitas pekerjaan yang buruk.
3. Usaha Pemerintah Dalam Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
e) Dampak pada Inovasi Penyimpangan,
jujur, akan menjadi rugi karena kehilangan
inovasi.
Perusahaan-
perusahaan yang bergantung pada hasil korupsi tak akan menggunakan sumber dayanya untuk melakukan inovasi. Hal ini akan memicu
Peraturan perundang-undangan nasional khusus mengatur pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang sekarang berlaku adalah Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010. Sebelum Peraturan Presiden ini diterbitkan sebagai bentuk penyempurnaan atas pedoman
Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Apri Listiyanto)
125
Volume 1 Nomor 1, April 2012
g. Konsistensi kebijakan pengadaan barang/
BP HN
pengadaan sebelumnya telah berlaku Keppres
jasa pemerintah.
Nomor 80 Tahun 2003 yang selama hampir tahun
pedoman
terakhir
dalam
digunakan
pelaksanaan
sebagai
pengadaan
barang dan jasa dan dalam pelaksanaanya Keppres tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan. Keppres Nomor 80 Tahun 2003 sebagai pembenahan regulasi sebelumnya yang diatur dalam Keppres Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah, namun dalam pelaksanaanya terdapat berbagai kekurangan
yang perlu
di
sempurnakan,
Tahun 2003 telah terbit Keppres Nomor 18 Tahun 2000, di mana ketentuan tentang pengadaan
barang dan jasa tidak diatur tersendiri dalam
satu Keppres akan tetapi diatur dalam beberapa pasal dan Keppres tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejak dimulainya REPELITA I pada tahun
1969 sampai tahun 1999 tercatat ada 16 Keppres tentang hal tersebut yang sebagian pasal-pasalnya mengatur tentang pelaksanaan
ind
sehingga kembali diadakan penyempurnaan
Sebelum munculnya Keppres Nomor. 80
ing
tujuh
melalui penetapan Perpres terbaru yaitu
Nomor 54 Tahun 2010, yang pada tahun 2011 telah terbit kembali perubahan Perpres Nomor
Keppres Nomor 18 Tahun 2000 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Instansi Pemerintah mengatur ketentuan-
lR ec hts V
54 Tahun 2010 yaitu melalui Perpres Nomor
pengadaan barang dan jasa.
35 Tahun 2011 yang poin perubahan hanya mencakup tentang penunjukan langsung jasa
konsultasi dalam keadaan tertentu serta kriteria keadaan tertentu.
Sebenarnya pada Keppres Nomor 80 tahun
2003 telah mencakup perubahan kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah antara lain:
a. Mengurangi ekonomi biaya tinggi dan untuk meningkatkan efisiensi,
na
d. Melindungi dan memperluas peluang usaha kecil/koperasi kecil,
produksi/jasa
Jur
dalam negeri,
f. Meningkatkan
profesionalisme
pelaksana dan pengelola proyek,
126
(i)
ketentuan
umum
pengadaan barang dan jasa yang mencakup, pengertian,
maksud
dan
tujuan,
prinsip
dasar, etika dan ruang lingkup pengadaan barang dan jasa (pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah pusat, propinsi,
kabupaten/kota serta BUMN dan BUMD), (ii) ketentuan pelaksanaan pengadaan barang pengadaan, sanggahan, pelelangan gagal, dan
c. Penyederhanaan Prosedur,
penggunaan
tentang
dan jasa termasuk ketentuan tentang metode
b. Meningkatkan persaingan sehat,
e. Mendorong
ketentuan
SDM
pengadaan barang dan jasa yang dibiayai dengan dana pinjaman/ hibah luar negeri, (iii) ketentuan tentang perjanjian/kontrak pengadaan barang dan jasa, (iv) ketentuan tentang pengawasan pelaksanaan pengadaan serta (v) ketentuan tentang pendayagunaan produksi dalam negeri dan peran serta usaha kecil/koperasi setempat.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 113-133
Volume 1 Nomor 1, April 2012
tetap mengacu pada kaidah-kaidah yang berlaku
BP HN
Keppres Nomor 18 Tahun 2000 telah di lengkapi dengan Petunjuk Teknis Pengadaan
dalam
Barang/Jasa Instansi Pemerintah, yang me
barang/jasa Pemerintah.
pengadaan barang, jasa pemborongan, jasa lainnya dan jasa konsultasi, pendayagunaan produksi dalam negeri, usaha kecil dan ko perasi, pengawasan pemeriksaan, sertifikasi dan kualifikasi penyedia barang dan jasa. Dan sejak terbitnya Keppres Nomor 80 Tahun 2003 maka Keppres Nomor 18 Tahun 2000 sudah tidak berlaku lagi. 80 Tahun 2003 ini telah mengalami beberapa kali
perubahan dan terakhir diatur dengan Perpres
Nomor 95 Tahun 2007 tanggal 23 Oktober 2007
Pertimbangan-pertimbangan ditetapkannya karena mendesaknya waktu pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Daerah di tahun 2005 sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga perlu diadakan pengadaan dan pendistribusian surat suara, kartu pemilih serta perlengkapan pelaksanaan
80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, adapun perubahan tersebut sebagai berikut:
pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara cepat dengan tetap
lR ec hts V
tentang Perubahan Ketujuh atas Keppres Nomor
pengadaan
b. Perpres Nomor 32 Tahun 2005
ind
Dalam perkembangannya, Keppres Nomor
pelaksanaan
ing
muat ketentuan lebih rinci tentang prosedur
pedoman
mengutamakan
aspek kualitas, keamanan dan tepat waktu; dalam rangka percepatan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemilihan Kepala
a. Perpres Nomor 61 Tahun 2004
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dengan segera
melengkapi
menetapkan penyedia barang/jasa melalui
Keppres No. 80 Tahun 2003, dikarenakan
penunjukan langsung dengan tetap mengacu
pengakhiran
pembubaran
kepada kaidah-kaidah yang berlaku dalam
badan khusus yang dibentuk untuk penyehatan
pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa
perbankan
Pemerintah.
Perpres
ini
dibentuk
tugas
sebagaimana
dan
dimaksud
dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
na
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 harus diselesaikan dengan cepat; dan sebagai upaya
percepatan pengembalian kekayaan negara
Jur
dan menunjang perbaikan kondisi ekonomi nasional, dengan segera menetapkan konsultan penilai melalui penunjukan langsung dengan
c. Perpres Nomor 70 Tahun 2005 Ditujukan guna memperlancar pelaksanaan
tugas
Badan
Rekonstruksi
Pelaksana
Rehabilitasi
Wilayah
dan
dan
Kehidupan
Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, khususnya dalam melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa
Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Apri Listiyanto)
127
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dan panitia/pejabat pengadaan dalam rangka
NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera
meningkatkan kompetensi keahlian pengadaan
Utara (sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
barang/jasa pemerintah
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
kembali batas waktu kewajiban syarat sertifikasi
Indonesia Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan
bagi Pejabat Pembuat Komitmen dan panitia/
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan
pejabat pengadaan dalam pengadaan barang/
Kehidupan Masyarakat Provinsi Nangroe Aceh
jasa pemerintah.
BP HN
untuk rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi
Darussalam (NAD) dan Kepuluan Nias Provinsi
e. Perpres Nomor 79 Tahun 2006
Sumatera Utara). Melalui penyesuaian Pedoman Pemerintah sesuai kondisi yang ada, diharapkan pelaksanaannya dapat dilakukan dengan cepat, prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil bagi semua pihak serta akuntabel.
adaan
Provinsi
peng
perumahan
bagi
masyarakat
Nanggroe
Aceh
Darussalam
Sumatera Utara yang terkena bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami oleh Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, melalui
Pertimbangan-pertimbangan ditetapkannya
penyesuaian Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
yaitu dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
Barang/Jasa Pemerintah agar pelaksanaannya
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
dapat dilakukan dengan cepat, efektif dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
efisien dengan tetap berpegang pada prinsip
Perbendaharaan Negara, beberapa ketentuan
persaingan sehat, transparan, terbuka dan
dan istilah di dalam Pedoman Pelaksanaan
perlakuan yang adil bagi semua pihak serta
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah perlu
akuntabel.
diubah agar selaras dengan kedua undang-
f. Perpres Nomor 85 Tahun 2006
undang dimaksud; peningkatkan transparansi
dan kompetisi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah serta untuk mewujudkan efisiensi
na
dan efektifitas pengelolaan keuangan negara, melalui penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai tata cara pengumuman dalam rangka
Jur
pengadaan barang/jasa pemerintah; perolehan hasil
yang
maksimal
dalam
pelaksanaan
sertifikasi bagi Pejabat Pembuat Komitmen
128
percepatan
(NAD) dan masyarakat Kepulauan Nias Provinsi
lR ec hts V
d. Perpres Nomor 8 Tahun 2006
guna
ind
efektif dan efisien dengan tetap berpegang pada
Ditujukan
ing
Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa
melalui pengaturan
Pertimbangan-pertimbangan ditetapkannya
karena
mendesaknya
waktu
pelaksanaan
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2006 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 113-133
Volume 1 Nomor 1, April 2012
sangat fragmentatif dan tidak dapat mengikuti
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga
perubahan yang berlangsung demikian cepat. Di
perlu
tanda
samping itu, Keputusan Presiden ini tidak cukup
penduduk, pengadaan dan pendistribusian
memadai dalam mengatasi permasalahan-
surat suara, kartu pemilih, serta perlengkapan
permasalahan yang timbul dalam proses
pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan
pengadaan barang dan jasa, sehingga diperlukan
Wakil Kepala Daerah secara cepat dengan tetap
perubahan-perubahan
mengutamakan aspek kualitas, keamanan dan
pengadaan barang dan jasa, sebagai salah satu
tepat waktu; dan guna percepatan pengadaan
upaya untuk meningkatkan transparansi dan
dan pendistribusian perlengkapan pemilihan
kompetisi dalam pengadaan barang dan jasa.
pengadaan
kartu
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
yang
mengatur
ing
dilakukan
BP HN
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Oleh sebab itu, pada tanggal 6 Agustus
2010 telah ditetapkan Peraturan Presiden No.
jasa melalui penunjukan langsung dengan tetap
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/
mengacu pada kaidah-kaidah yang berlaku
Jasa Pemerintah yang diharapkan membawa
dalam
perubahan-perubahan ke arah:
pedoman
pelaksanaan
ind
dengan segera menetapkan penyedia barang/
pengadaan
a. Menciptakan iklim yang kondusif untuk
barang/jasa Pemerintah.
persaingan sehat, efisiensi belanja negara
lR ec hts V
g. Perpres Nomor 95 Tahun 2007
Pertimbangan-pertimbangan ditetapkannya dalam rangka peningkatan derajat kesehatan
masyarakat melalui pengadaan obat dan alat kesehatan yang perlu didukung dengan jaminan,
ketersediaan obat generik dan alat kesehatan; dan percepatan pengadaan dan pendistribusian
bahan dan obat generik, dengan segera menetapkan penyedia barang/jasa melalui
penunjukan langsung dengan tetap mengacu pada
kaidah-kaidah
yang
berlaku
dalam
na
pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa Pemerintah.
Sampai dengan Agustus 2010, pengaturan
tentang pengadaan barang dan jasa didasarkan
Jur
atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Barang/Jana Pemerintah. Namun, pengaturan ini dinilai
dan mempercepat pelaksanaan APBN/APBD (debottlenecking);
b. Memperkenalkan aturan, sistem, metoda dan prosedur yang lebih sederhana dengan tetap memperhatikan good governance;
c. Memperjelas konsep swakelola; d. Memberikan Klarifikasi Aturan; e. Mendorong terjadinya inovasi, tumbuh suburnya ekonomi kreatif serta kemandirian industri stratetgis;
f. Memperkenalkan
sistem
Reward
&
Punishment yang lebih adil. Upaya pembaharuan melalui penerbitan
Perpres No 54 Tahun 2010 yang pada saat diterbitkan masih dimungkinkan berlakunya Keppres 80 Tahun 2003 sampai dengan sebelum tahun 2011. Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tersebut merupakan revisi atas Keppres Nomor
Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Apri Listiyanto)
129
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Selain itu kebijakan umum pengadaan
pengadaan jasa pemerintah selama ini. Dengan
barang/jasa pemerintah juga dimaksudkan
Perpres ini diharapkan dapat menciptakan iklim
untuk mendorong peningkatan penggunaan
yang kondusif untuk persaingan sehat, efisiensi
produksi dalam negeri, memperluas lapangan
belanja negara dan mempercepat pelaksanaan
kerja dan mengembangkan industri dalam
APBN/APBD
negeri
serta mendorong terjadinya
BP HN
80 Tahun 2003 yang menjadi acuan pelaksanaan
meningkatkan
koperasi
serta
dan
usaha
inovasi, tumbuh suburnya ekonomi kreatif
kecil
kelompok
serta kemandirian industri strategis dan yang
masyarakat dalam pengadaan barang/jasa,
terpenting adalah meminimalisir multitafsir
serta menyederhanakan ketentuan dan tata
serta hal-hal yang belum jelas dalam Keppres
cara untuk mempercepat proses pengambilan
terdahulu.
keputusan dalam pengadaan barang/jasa, sesuai
ing
termasuk
peran
dengan prinsip dasar Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai satu
Barang/Jasa Pemerintah yaitu efisien, efektif,
lembaga yang berwenang dalam hal membuat
terbuka, bersaing, transparan, dan adil/tidak
regulasi di bidang pengadaan barang dan jasa
diskriminatif serta akuntabel.
ind
Menurut Lembaga Kebijakan Pengadaan
Dari uraian di atas terlihat bagaimana
ini lebih komprehensif dari sebelumnya. Sebab
fleksibelnya ketentuan pengadaan barang dan
lR ec hts V
substansi aturan pengadaan barang dan jasa
aturan baru ini menyangkut perubahan struktur
jasa. Hal ini ditujukan tidak lain untuk memenuhi
maupun substansi pengaturannya. Dengan
kebutuhan pemerintah dan guna menghindari
demikian, kita akan melahirkan aturan baru”
ditabraknya prinsip pengadaan yang ada, dan
pengadaan barang/jasa tanpa meninggalkan
yang paling penting adalah adanya kepastian
prinsip-prinsip good governance yang telah
hukum atas proses pengadaan barang dan jasa.
dianut oleh Keppres Nomor 80 Tahun 2003, seperti efisien dan efektif, terbuka dan bersaing,
E. Penutup 1. Kesimpulan
transparan dan akuntabel.
Hadirnya Perpres Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya
Perpres Nomor 35
Tahun 2011 adalah dalam rangka memberi
na
kesempatan kepada pengusaha untuk ikut dalam proses pengadaan barang pemerintah. Dengan adanya Perpres tersebut diharapkan ada
Jur
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, selain menghindari terjadinya tumpang tindih dalam pengadaan barang/jasa.
130
Perubahan yang dinamis dalam pengaturan
barang dan sangat urgen agar mampu memenuhi perkembangan pasar, sehingga prinsip kepastian hukum diperoleh oleh para pihak yang terlibat dalam proses pengadaan tersebut. Kegiatan pengadaan barang/ jasa pemerintah ditinjau dari perspektif hukum Indonesia, memiliki arti penting dengan argumentasi sebagai berikut: pertama, pengadaan barang dan jasa pemerintah memiliki arti strategis dalam
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 113-133
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Usaha
pemerintah
untuk
melakukan
BP HN
proteksi dan preferensi bagi pelaku usaha dalam negeri. Kedua, pengadaan barang dan
pembaharuan peraturan terlihat dari banyaknya
jasa pemerintah merupakan sektor signifikan
perubahan yang terjadi atas peraturan tentang
dalam upaya pertumbuhan ekonomi, Ketiga
pengadaan
sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah
perundang-undangan nasional khusus mengatur
yang mampu menerapkan prinsip-prinsip tata
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang
pemerintahan yang baik akan mendorong
sekarang berlaku adalah Peraturan Presiden No.
efisiensi dan efektivitas belanja publik sekaligus
54 Tahun 2010. Sebelum Peraturan Presiden ini
mengondisikan
yaitu
diterbitkan sebagai bentuk penyempurnaan atas
pemerintah, swasta dan masyarakat dalam
pedoman pengadaan sebelumnya, telah berlaku
penyelenggaraan good governance. Keempat,
Keppres Nomor 80 Tahun 2003 yang selama
bahwa ruang lingkup pengadaan barang dan
hampir tujuh tahun terakhir digunakan sebagai
jasa pemerintah meliputi berbagai sektor dalam
pedoman
berbagai aspek dalam pembangunan bangsa.
barang dan jasa dan dalam pelaksanaanya
pilar
dan
jasa.
ing
tiga
dalam
ind
perilaku
barang
pelaksanaan
Peraturan
pengadaan
Mekanisme kerja, tradisi, dan perilaku
Keppres tersebut telah mengalami beberapa
birokrasi menjadi permasalahan yang potensial
kali perubahan. Keppres Nomor 80 Tahun 2003
menghambat
bersih.
sebagai pembenahan regulasi sebelumnya yang
Pengadaan barang dan jasa di lingkungan
diatur dalam Keppres Nomor 18 Tahun 2000
pemerintah sering kali bermasalah dan terjadi
tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah,
berbagai macam penyimpangan, baik dari segi
namun dalam pelaksanaanya terdapat berbagai
kualitas barang yang tidak sesuai, maupun
kekurangan
adanya unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
sehingga kembali diadakan penyempurnaan
(KKN) antara pejabat pemerintah dengan
melalui penetapan Perpres terbaru yaitu
para penyedia barang dan jasa. Ketatnya tata
Nomor 54 Tahun 2010, yang pada tahun 2011
Cara pengadaan barang dan jasa pemerintah,
telah terbit kembali perubahan Perpres Nomor
ketakutan Pejabat terhadap pengusutan polisi,
54 Tahun 2010 yaitu melalui Perpres Nomor
jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
35 Tahun 2011 yang poin perubahan hanya
serta proses tender yang memakan waktu
mencakup
cukup lama, mulai dari pengumuman tender,
Jasa Konsultasi dalam keadaan tertentu serta
tahap pra kualifikasi, pasca kualifikasi, sampai
kriteria keadaan tertentu. Hal ini menunjukkan
dengan
fleksibilitas
yang
na
lR ec hts V
pemerintah
pengumuman
pemenang
tender,
Jur
yang menyebabkan lemahnya penyerapan
yang perlu
tentang
di
sempurnakan,
Penunjukan
ketentuan
pengadaan
Langsung
barang
dan jasa, agar mampu memenuhi kebutuhan
anggaran juga merupakan masalah yang perlu
pemerintah sekaligus menghindari ditabraknya
diselesaikan.
prinsip pengadaan yang ada.
Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Apri Listiyanto)
131
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dan Jasa dari sekadar Perpres menjadi undangundang dalam rangka memberi landasan hukum yang kuat, karena pengaturan pengadaan barang dan jasa melalui suatu peraturan presiden kurang memberi landasan hukum yang kuat. Serta untuk memberi kepastian hukum, karena dengan peningkatan pengaturan pengadaan barang dan jasa dari Perpres menjadi UndangUndang akan lebih memberi kepastian hukum. Perpres 54 Tahun 2010 dari sisi hirarki peraturan
ind
perundang-undangan dapat dikesampingkan
BP HN
Perlu peningkatan regulasi Pengadaan Barang
of the WTO, Public Procurement Law Review, Article Copyright (c) 2000 Sweet & Maxwell Limited and Contrutors, 2000. Gracia, Frank J., Trade and Justice: Lingking The Trade Linkage Debates, University of Pennsylvania Journal of International Economic Law, Pennsylvania 1998. Kovacs, Attila, The Global Procurement Harmonization Initiative, 14 Public Procurement Review, 2005. Linarelli, John, The WTO Agreement on Government Procurement and the UNCITRAL Model Procurement Law, 1 Asian Journal. WTO & International Health and Policy, 317, 2006. Luhmann, Niklas, A Sociological Theory of Law, Elizabeth King and Martin Albrow(ed). Martin Albrow, Routledge & Kegan Paul, London, 1985. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006). Sugema, Iman, “Anggaran Tidak Memberi Ruang Untuk Menstimulasi Pertumbuhan Ekonomi,” , INDEF, 2006. Kontan, 26 Desember 2007. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2005). Direktur Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan RI, Laporan Sementara Realisasi APBN Tahun Anggaran 2005, Periode 1 Januari 2005 sampai dengan 30 Desember 2005, Jakarta, 2006. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Latar Belakang Kebijakan dikeluarkannya Keppres Nomor 80 Tahun 2003. tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, LN. Nomor 75 Tahun 1959. Republik Indonesia, Keputusan Presiden R.I. Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelakasanaan Anggaran Belanja Negara. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 1997, tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Republik Indonesia,Keputusan Presiden R.I. Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah.
ing
2. Saran
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, diantaranya UU dan PP. Padahal substansi
yang diatur dalam Perpres 54 Tahun 2010 kerap
lR ec hts V
berbenturan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, seperti UU tentang Jasa Konstruksi, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, UU Otonomi Daerah. Sehingga, para pelaksana pengadaan barang dan jasa kerap
terkendala dalam meiaksanakan tugas dengan tumpang
tindihnya
peraturan
perundang-
undangan yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa.
DAFTAR PUSTAKA
Jur
na
Bahar, Ujang, Hukum dan Pengurusan Keuangan Negara, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1987). Black, Henry Campbel, Black Law’s Dictionary, Sixth Edition, St Paul Minn, West Publishing Co. Carrier, Paul J., Soverignity Under The Agreement On Government Procurement, Minnesotta Journal of Global Trade, Minnesotta , Winter 1997. Dischendorfer, Martin, The Existence and Development of Multilateral Rules on Government Procurement Under the Framework
132
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 113-133
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
www.oecd.org/dataoecd/1/36/37130136 www. wto.org www.antikorupsi.org/indo/index2.php?option= com_content& do www.bpkp.go.id/viewberita. ph p?aksi =view&start = 2101 id=1667 www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid =1259; www.kppu.go.id/baru/index.php?type=art&aid= 251
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
Republik Indonesia, Keputusan Presiden R.I. Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Republik Indonesia, Peraturan Presiden R.I. Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Republik Indonesia, Peraturan Presiden R.I. Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden R.I. Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pembaharuan Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Apri Listiyanto)
133
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PEMERINTAHAN TERBUKA MENUJU TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK (Public Information Disclosure in Open Government Towards Good Governance) Nunuk Febriananingsih Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN Jl. Mayjen Soetoyo No. 10 Cililitan Jakarta Timur Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 9 Februari 2012; revisi: 1 Maret 2012; disetujui: 21 Maret 2012
lR ec hts V
ind
Abstrak Kebebasan informasi merupakan hak asasi yang fundamental. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa informasi lembaga pemerintah dan non pemerintah dianggap sulit dijangkau masyarakat. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana kesiapan lembaga-lembaga pemerintah dalam mengimplementasikan UU KIP dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi jaminan kepada masyarakat untuk mengakses informasi dari badan publik, meskipun lembaga pemerintah belum siap mengimplementasikan UU KIP. Hal ini terlihat dari belum tersedianya informasi terkait dengan urusan tata kepemerintahan seperti kebijakan publik dan pelayanan publik. Untuk itu Pemerintah perlu segera mengimplementasikan UU KIP sesuai dengan yang diamanatkan oleh PP Nomor 61 Tahun 2010 tentang pelaksanaan UU KIP. Kata kunci: keterbukaan informasi publik, pemerintahan yang baik, pemerintahan terbuka
Jur
na
Abstract Freedom of information is a fundamental human right. Past experience shows that information and non-governmental agencies are considered hard to reach communities. Issues raised in this paper is how the readiness of government agencies in implementing the law is in an effort to realize good governance. By using the method of normative legal research note that the Act No. 14 of 2008 concerning Freedom of Information gives assurance to the public to access information from public bodies, although the government agency implementing the law is not yet ready. This is evident from the unavailability of information relating to the affairs of governance such as public policy and public service. For the Government should immediately implement in accordance with the law is mandated by the Government Regulation Number 61 Year 2010 concerning the implementation of the law is. Keywords: public disclosure, good governance, open government
Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka ... (Nunuk Febriananingsih)
135
Volume 1 Nomor 1, April 2012
A. Pendahuluan mengadopsi Resolusi 59 (1) yang menyatakan bahwa “Kebebasan informasi adalah hak asasi yang fundamental dan merupakan tanda dari seluruh kebebasan yang akan menjadi titik perhatian PBB”.1 Oleh sebab itu hak atas informasi kemudian menjadi salah satu hak yang diakui secara internasional, yang diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal HAM PBB yang menyatakan bahwa:
tidak saja merupakan hak asasi melainkan juga hak konstitusional rakyat Indonesia. Esensi dari
pengakuan ini adalah bahwa hak atas informasi sebenarnya merupakan hak yang melekat pada
diri setiap manusia baik sebagai warga negara maupun sebagai pribadi.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
ing
Sejak Tahun 1946 Majelis Umum PBB
BP HN
Dengan demikian, maka hak atas informasi
telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak 30 April 2008 dan mulai berlaku setelah dua tahun diundangkan, tepatnya 30 April 2010. UU KIP adalah undang-undang yang
Indonesia pun sudah memberikan pengakuan
pelaksanaan penyelenggaraan negara maupun
ind
“Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan mengemukakan pendapat dan gagasan; hak ini mencakup hak untuk memegang pendapat tanpa campur tangan, dan mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan melalui media apapun tanpa mempertimbangkan garis batas negara.”
untuk memperoleh informasi publik dalam rangka mewujudkan serta meningkatkan peran serta aktif masyarakat dalam penyelenggaraan
lR ec hts V
atas hak informasi sebagaimana diatur dalam konstitusi Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
memberikan jaminan terhadap semua orang
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945 (UUD NRI Tahun 1945) Pasal 28F yang menyatakan bahwa:
1
136
baik
pada
tingkat
pengawasan
pada tingkat pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. UU KIP menjadi landasan operasional
yang memberi jaminan terbukanya akses informasi bagi masyarakat secara luas dari lembaga-lembaga negara, lembaga publik non pemerintah dan perusahaan-perusahaan publik yang mendapat alokasi dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), bantuan luar negeri dan dari himpunan dana masyarakat. Dengan demikian, keberadaan UU KIP semakin menegaskan bahwa akses masyarakat terhadap
Jur
na
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”
negara,
Toby Mendel, Freedom of Information as an Internationally Protected Human Right, article 19. (www.article19. org, diakses pada tanggal 07 Januari 2012).
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 135-156
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Secara umum, UU KIP diharapkan akan membangun keterbukaan informasi di lembaga pemerintah dan non pemerintah yang selama ini
dianggap
sulit
dijangkau
masyarakat.
Secara khusus, eksistensi regulasi mengenai keterbukaan informasi publik dapat mendorong suatu masyarakat menjadi lebih demokratis dengan memungkinkan adanya akses masyarakat terhadap informasi yang dimiliki pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun
1. Bagaimana materi muatan dalam UndangUndang Keterbukaan Informasi Publik?
2. Sejauh mana kesiapan lembaga-lembaga pemerintah dalam mengimplementasikan UU KIP?
3. Bagaimana
implementasi
informasi terbuka
publik
(open
pendidikan dan lembaga kesehatan, misalnya rumah sakit. Oleh sebab itu UU KIP mendukung
transparansi informasi di seluruh lembaga penyelenggaraan pemerintahan demokratis yang
diharapkan membawa perubahan paradigma pemerintah dalam mengelola informasi publik
dari pemerintahan yang tertutup menuju
pemerintahan yang terbuka. Jika sebelum UU KIP diundangkan, paradigmanya adalah seluruh
informasi publik adalah rahasia kecuali yang
terbuka, namun setelah UU KIP diundangkan, paradigma tersebut bergeser menjadi seluruh
informasi publik adalah terbuka untuk di akses masyarakat kecuali yang dikecualikan/rahasia
na
dengan pengencualian yang terbatas (Maximum
government)
menuju
C. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu berupa penelitian
kepustakaan
(library
research)
untuk memperoleh data-data berupa dokumen hukum baik yang berupa peraturan perundangundangan, Keputusan Komisi Informasi, Jurnal, makalah dan buku-buku yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti.2 Penelitian kepustakaan (library research)
ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder, berupa bahan-bahan hukum yang meliputi yaitu:3
1. bahan hukum primer, peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan penulisan ini antara lain
Jur
Access Limited Exemption / MALE).
pemerintahan
(good governance)?
lR ec hts V
pemerintah yang merupakan salah satu syarat
dalam
keterbukaan
terciptanya tata pemerintahan yang baik
ind
lembaga-lembaga publik lain seperti lembaga
BP HN
diakui oleh konstitusi UUD NRI Tahun 1945.
B. Rumusan Masalah
ing
informasi merupakan hak asasi manusia yang
2
3
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 15. Sri Mamudji, dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2005), hlm. 28.
Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka ... (Nunuk Febriananingsih)
137
Volume 1 Nomor 1, April 2012
secara yuridis sesuai dengan perkembangan
Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 2010 tentang
hukum yang berlaku. Analisa data dilakukan
Pelaksananaan UU KIP, Keputusan Komisi
secara kualitatif normatif, yakni dengan cara
Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar
menjabarkan dengan kalimat-kalimat sehingga
Layanan
Keputusan
diperoleh bahasan atau paparan yang sistematis
Komisi Informasi No. 2 Tahun 2010 tentang
agar mudah dimengerti serta digunakan untuk
Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi
melakukan analisis dengan mengkaji data hasil
serta
perundang-undangan
penelitian berdasarkan teori dan dokumen
lainnya sebagai bahan pembanding dalam
hukum. Dengan analisa tersebut diharapkan
penulisan ini.
pada akhirnya dapat mengungkapkan masalah
peraturan
Publik,
2. bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan lebih
yang terjadi secara rinci dan menghasilkan suatu kesimpulan.4
D. Pembahasan
ind
lanjut pada bahan hukum primer. Bahan
ing
Informasi
BP HN
UUD NRI tahun 1945, UU KIP, Peraturan
hukum sekunder yang digunakan dalam
1.
penelitian ini berupa bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku, jurnal-jurnal,
artikel, laporan penelitian yang sudah ada
Salah satu elemen penting dalam mewujudkan
lR ec hts V
sebelumnya, internet dan berbagai publikasi
ilmiah dan referensi yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
3. bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan
yang memberi petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder antara lain kamus hukum, kamus bahasa
Indonesia, buku pegangan dan sebagainya yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian.
penyelenggaraan negara yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak atas informasi menjadi sangat penting karena makin terbuka penyelenggaraan negara untuk diawasi
publik,
penyelenggaraan
negara
tersebut makin dapat dipertanggungjawabkan. Hak setiap orang untuk memperoleh informasi juga relevan untuk meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik. Partisipasi atau pelibatan
analitis, yakni menggambarkan peraturan yang
masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan
berlaku seperti UU KIP dan kemudian dianalisa
keterbukaan informasi publik.5
Jur
na
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif
4 5
138
Materi Muatan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
M. Asiam Sumhudi, 1986, hlm. 45-47 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, ditetapkan di Jakarta tanggal 30 April 2008, Lembaran Negara RI Nomor 61, tahun 2008 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4846 Tahun 2008, bagian Penjelasan Umum.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 135-156
Volume 1 Nomor 1, April 2012
hak setiap orang untuk memperoleh informasi;
April 2008 dalam Lembaran Negara Republik
(2) kewajiban badan publik menyediakan dan
Indonesia Tahun 2008 Nomor 61 dan Tambahan
melayani permintaan informasi secara cepat,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
tepat waktu, biaya ringan/proporsional dan
4846 dan mulai berlaku efektif sejak 2 tahun
cara sederhana; (3) pengecualian bersifat ketat
diundangkan yaitu tanggal 30 April 2010. UU KIP
dan terbatas; (4) kewajiban badan publik untuk
yang terdiri dari 14 Bab 64 Pasal ini menghendaki
membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan
tersedianya informasi secara lengkap, tersusun
informasi.6
Tujuan dan asas keterbukaan informasi
ing
rapi, dan terpusat pada satu institusi badan
BP HN
UU KIP telah diundangkan pada tanggal 30
informasi publik. Dengan demikian informasi
publik
yang dibutuhkan menjadi mudah diakses
memberikan arah, landasan, acuan dan jaminan
baik
maupun
tentang pemenuhan hak publik atas informasi
masyarakat dan otomatis menghemat biaya dan
yang didasarkan pada ketentuan peraturan
mengefisienkan waktu kerja yang diperlukan
perundang-undangan. UU KIP ini dimaksudkan
ketika menelusuri dan mencari informasi yang
untuk mewujudkan penyelenggaraan negara
sebelumnya terserak atau tidak tertata dengan
yang baik, transparan, efektif dan efisien,
baik. Hal ini sangat penting demi meningkatkan
akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan.7
pegawai
pemerintah
KIP
pada
dasarnya
adalah
lR ec hts V
ind
oleh
UU
hubungan baik antara instansi pemerintah
Sebagaimana termaktub dalam Pasal 2
dengan masyarakat. UU KIP ini mengamanatkan
UU KIP, asas UU KIP adalah sebagai berikut:
empat peraturan turunan yaitu:
Pertama, setiap informasi publik bersifat
a. PP tentang masa retensi (masa berlakunya
terbuka dan dapat di akses oleh setiap
kerahasiaan);
pengguna informasi publik; Kedua, informasi
b. PP tentang ganti rugi;
publik yang dikecualikan bersifat ketat dan
c. Peraturan Komisi Informasi tentang standar
terbatas; Ketiga, setiap informasi publik harus
layanan informasi;
dapat diperoleh setiap pemohon informasi
d. Peraturan Komisi Informasi tentang prosedur penyelesaian sengketa;
Keberadaan UU KIP sangat penting sebagai
ringan, dan cara yang sederhana; Keempat, informasi publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai undang-undang, kepatuhan dan kepentingan umum, didasarkan pada pengujian
Jur
na
landasan hukum yang berkaitan dengan (1)
publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya
6 7
Ibid. N.G.B. Mandica-Nur, Panduan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Untuk Petugas Pengelola dan Pemberi Informasi di Badan Publik, (IRDI dan USAID, Cetakan Pertama, 2009), hlm. 7. Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka ... (Nunuk Febriananingsih)
139
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Dalam asas dan tujuan UU KIP, tampak jelas
informasi diberikan kepada masyarakat, serta
bahwa UU KIP memberikan jaminan atas hak
setelah dipertimbangkan dengan seksama
warga negara atas informasi. Sejalan dengan
bahwa
dapat
hal tersebut, sudah sewajarnya jika terdapat
melindungi kepentingan yang lebih besar
batasan-batasan tertentu atas informasi yang
daripada membukanya dan sebaliknya.
dikecualikan atau tidak dapat disampaikan
menutup
informasi
publik
Adapun tujuan dari UU KIP tergambar pada
BP HN
tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu
kepada publik.8
Pasal 3, yaitu: warga
negara
untuk
adalah Lembaga Eksekutif (Kementerian Negara,
mengetahui rencana pembuatan kebijakan
Lembaga Negara, Lembaga Pemerintah Non
publik, program kebijakan publik, dan proses
Kementerian), Lembaga Legislatif (Sekretariat
pengambilan keputusan publik, serta alasan
DPR, DPD, DPRD), Lembaga Yudikatif (MK, MA,
pengambilan suatu keputusan publik;
Kejaksaan Agung, Komisi Yudisial), BUMN,
b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; peran
aktif
BUMD, Komisi Negara, Komisi Independen, Parpol, LSM, Yayasan, Ormas. Dengan demikian
masyarakat
dapat dikatakan bahwa tidak ada lembaga
dalam pengambilan kebijakan publik dan
pemerintah maupun non pemerintah seperti
lR ec hts V
c. meningkatkan
ing
hak
ind
a. menjamin
Badan publik yang di maksud dalam UU KIP
pengelolaan Badan Publik yang baik; d. mewujudkan yang dan
baik,
efisien,
penyelenggaraan
yaitu
transparan,
akuntabel
serta
yang di maksud dalam UU KIP terbebas dari
negara
kewajiban
efektif
publik.
dapat
dipertanggungjawabkan;
informasi
kepada
Secara normatif, hak dan kewajiban pemohon
dan pengguna informasi publik dan badan
e. mengetahui alasan kebijakan publik yang
publik sebagai penyedia informasi telah diatur
mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
dalam Pasal 4-8 UU KIP secara rinci, namun
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan
terdapat aspek-aspek yang perlu diperhatikan
mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
antara lain: Pertama, alasan permintaan
g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan
informasi, keharusan mengemukakan alasan
informasi di lingkungan badan publik untuk
untuk meminta informasi publik akan menjadi
menghasilkan
hambatan dalam penyediaan informasi karena
na
layanan
informasi
yang
alasan-alasan itu tidak bersifat universal; Kedua, batasan melanggar hak-hak pribadi, hal ini akan
Jur
berkualitas
8
140
memberikan
Ahmad M. Ramli, KIP dan Good Governance, Makalah disampaikan pada Seminar Sosialisasi UU KIP di Jakarta, Tahun 2009, hlm. 3.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 135-156
Volume 1 Nomor 1, April 2012
publik, namun untuk memperolehnya harus
pribadi yang bersangkutan; Ketiga, batasan
dilakukan dengan mengajukan permintaan.
tentang rahasia jabatan. Perlu batasan yang
Yang termasuk dalam kategori informasi ini
jelas tentang hal-hal yang berkaitan dengan
antara lain: daftar seluruh informasi dalam
rahasia jabatan, sebab akan menimbulkan
penguasaan badan publik; keputusan badan
dualisme
berakibat
publik dan pertimbangannya; kebijakan badan
pada ketidakpercayaan pada lembaga dalam
publik dan dokumen pendukungnya; rencana
memberikan informasi kepada publik.
proyek dan anggaran tahunannya; perjanjian
persepsi
yang
dapat
BP HN
menimbulkan multi tafsir tergantung perspektif
badan publik dengan pihak ketiga, informasi
diumumkan secara berkala diatur dalam Pasal
dalam pertemuan yang bersifat terbuka untuk
9 UU KIP. Informasi tersebut harus disediakan/
umum; prosedur kerja yang berkaitan dengan
diumumkan secara rutin, teratur dan dalam
layanan publik; laporan layanan akses informasi
jangka waktu tertentu setidaknya setiap 6 bulan
dan informasi lain yang telah dinyatakan terbuka
sekali.
untuk diakses publik berdasarkan putusan
Penyebaran
wajib
disediakan
informasi
ind
yang
ing
dan
Informasi
disampaikan
dengan cara yang mudah dijangkau masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami,
sengketa informasi publik. Disamping
berbagai
jenis
informasi
dalam UU KIP tersebut diatas yang wajib
publik (seperti profil, kedudukan, kepengurusan,
disediakan oleh badan publik, terdapat informasi
maksud dan tujuan didirikannya badan publik
yang dikecualikan. Pasal 17 UU KIP menyebutkan
tersebut); informasi yang berkaitan dengan
kategori informasi yang dikecualikan, yaitu:
kegiatan dan kinerja badan publik; informasi
a. Informasi publik yang apabila dibuka dan
tentang laporan keuangan dan informasi lain
diberikan kepada pemohon informasi publik
yang diatur dalam peraturan perundang-
dapat menghambat proses penegakan
undangan.
hukum;
lR ec hts V
meliputi: informasi yang berkaitan dengan badan
Informasi yang harus diumumkan secara
b. Informasi publik yang apabila dibuka dan
serta merta diatur dalam Pasal 10, dimana
diberikan
informasi
tanpa
publik dapat mengganggu kepentingan
penundaan. Informasi yang di maksud adalah
perlindungan hak atas kekayaan intelektual
informasi yang menyangkut ancaman terhadap
dan perlindungan dari persaingan usaha
hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum,
tidak sehat;
wajib
diumumkan
na
ini
misalnya informasi tentang bencana, kerusuhan
Jur
massal dan lain-lain.
Informasi yang wajib tersedia setiap saat
diatur dalam Pasal 11 UU KIP. Informasi ini
kepada
pemohon
informasi
c. Informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
sifatnya wajib dan rutin disediakan badan
Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka ... (Nunuk Febriananingsih)
141
Volume 1 Nomor 1, April 2012
seseorang (privacy) dengan ketentuan pihak yang
diberikan kepada pemohon informasi publik
rahasianya diungkap memberikan persetujuan
dapat
tertulis dan/atau pengungkapan yang terkait
mengungkapkan
kekayaan
alam
BP HN
d. Informasi publik yang apabila dibuka dan
dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan
Indonesia; e. Informasi publik yang apabila dibuka dan
publik. Selain terkait dengan privacy seseorang,
informasi
informasi publik yang dikecualikan terkait
publik dapat merugikan ketahanan ekonomi
dengan keuangan negara juga bisa diakses
nasional;
dengan mengajukan permintaan izin kepada
kepada
pemohon
f. Informasi publik yang apabila dibuka dan
Presiden dengan ketentuan:
ing
diberikan
diberikan kepada pemohon informasi publik
a. Perkara pidana diajukan oleh Kapolri, Jaksa
dapat merugikan kepentingan hubungan
Agung, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dan/atau
luar negeri;
pimpinan lembaga negara penegak hukum
ind
g. Informasi publik yang apablila dibuka dapat
mengungkapkan akta otentik yang bersifat
lainnya yang diberi wewenang oleh undang-
pribadi dan kemauan terakhir ataupun
undang.
b. Perkara perdata yang berkaitan dengan
wasiat seseorang;
keuangan atau kekayaan negara diajukan
lR ec hts V
h. Informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan
kepada
pedoman
oleh Jaksa Agung sebagai pengacara negara.
informasi
publik dapat mengungkap rahasia pribadi,
memorandum atau surat-surat antar badan
publik atau intra badan publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan;
i. Informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang. Informasi
publik
timbangkan
demikian, kepentingan
dengan
memper
pertahanan
dan
kemanan negara juga kepentingan umum, presiden dapat menolak permintaan informasi yang dikecualikan. Badan publik wajib mempunyai standar
prosedur operasional tata cara pengecualian
dikecualikan
apabila
informasi.
Standar
prosedur
operasional
informasi
tersebut setidaknya memuat tentang tata
menimbulkan
cara pengecualian informasi di internal publik,
konsekuensi sebagaimana diatur dalam Pasal
klasifikasi informasi yang dikecualikan serta
17 dan dengan menutup informasi dapat
tindakan terhadap masing-masing klasifikasi
melindungi kepentingan yang lebih besar
tersebut,
daripada membukanya. Namun demikian,
berdasarkan Pasal 17 UU KIP, tata cara permintaan
akses terhadap informasi yang dikecualikan
izin untuk membuka informasi mengenai akta
tetap dapat dilakukan sepanjang informasi yang
otentik yang bersifat pribadi dan informasi
dikecualikan tersebut menyangkut data pribadi
pribadi lainnya, tata cara membuka informasi
dipertimbangkan
tersebut
jika
membuka
dapat
Jur
na
publik
142
Namun
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 135-156
alasan
pengecualian
informasi
Volume 1 Nomor 1, April 2012
antara badan publik dan pengguna informasi
hukum. Badan Publik wajib meninjau standar
publik yang berkaitan dengan hak memperoleh
prosedur operasional tersebut secara berkala
dan
setidaknya satu tahun sekali dan menyampaikan
peraturan perundang-undangan. Mediasi adalah
hasilnya kepada Komisi Informasi.
penyelesaian sengketa informasi publik antara
BP HN
yang dikecualikan dalam rangka penegakan
menggunakan
informasi
berdasarkan
para pihak melalui bantuan mediator komisi
Bab VII, Pasal 23 – 50. Komisi Informasi adalah
informasi. Sedangkan Ajudikasi adalah proses
lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan
penyelesaian sengketa informasi publik antara
UU KIP dan peraturan pelaksanaannya. Komisi
para pihak yang diputus oleh Komisi Informasi.
Informasi terdiri atas Komisi Informasi Pusat,
ing
Komisi Informasi (KI) diatur dalam UU KIP
Menurut data yang diperoleh dari KI Pusat
sejak Juli 2010 hingga Maret 2011 terdapat
Komisi Informasi Kabupaten/Kota. Komisi ini
224 perkara. Dari jumlah itu tidak semua
juga bertugas untuk menetapkan petunjuk
ditangani KI Pusat. Data hingga Desember 2010
teknis
publik.
menunjukkan 11 permohonan penyelesaian
Berkaitan dengan kewenangan ini KI Pusat sudah
sengketa informasi bukan kewenangan KI
menerbitkan Peraturan Komisi Informasi Nomor
Pusat, sehingga dilimpahkan ke KI Provinsi; 22
1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi
sengketa informasi selesai melalui mediasi; 7
Publik. Selain itu, KI juga mempunyai wewenang
sengketa informasi selesai melalui ajudikasi; 65
untuk membuat mekanisme penyelesaian
sengketa informasi dalam proses mediasi; dan
sengketa informasi publik. Berkaitan dengan
38 sengketa informasi dalam proses analisis
kewenangan ini KI Pusat sudah mengeluarkan
Majelis
Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun
Sisanya, perkara tersebut dinyatakan tidak layak
2010 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa
menjadi sengketa informasi. Pada tahun 2010
Informasi Publik. Dalam hal kewenangan untuk
ada 17 perkara yang dinyatakan tidak layak,
menyelesaikan sengketa informasi publik, tugas
sedangkan pada Januari – Maret 2011 sudah
Komisi Informasi baik di pusat maupun provinsi
mencapai 29 perkara.9
layanan
informasi
lR ec hts V
standar
ind
Komisi Informasi Provinsi dan jika dibutuhkan
Pemeriksaan
Pendahuluan
(MPP).
adalah menerima, memeriksa dan memutus permohonan penyelesaian sengketa informasi
na
publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi
non-litigasi. Yang dimaksud dengan Sengketa
Jur
Informasi Publik adalah sengketa yang terjadi
9
Komisi Informasi, Laporan 1 Tahun Implementasi UU KIP, April Tahun 2011.
Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka ... (Nunuk Febriananingsih)
143
ind
ing
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
lR ec hts V
Sumber: www.komisiinformasi.go.id, diakses tanggal 07 Januari 2012.
144
Sumber: www.komisiinformasi.go.id, diakses tanggal 07 Januari 2012.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 135-156
Volume 1 Nomor 1, April 2012
informasi publik. Kesalahpahaman ini dapat
permohonan sengketa informasi yang ditangani
berujung pada sengketa informasi publik
KI Pusat diajukan oleh individu WNI (56%), Badan
antara pemohon dan pemberi informasi publik.
Hukum (42%) dan Kelompok Orang (2%).10
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan
BP HN
Dari sisi kualifikasi pemohon, mayoritas
cara diajukan ke Komisi Informasi, dengan
paling banyak diminta adalah berkaitan dengan
tahapan mediasi (sifatnya final dan kesepakatan
informasi anggaran dan keuangan badan publik
mengikat) dan dengan ajudikasi non litigasi.
dan Daftar Informasi Publik. Dalam rangka
Data yang diperoleh dari Komisi Informasi Pusat,
mendorong keterbukaan informasi anggaran
dalam proses penyelesaian sengketa KI Pusat
dan keuangan di semua Badan Publik, KI Pusat
mendorong agar diselesaikan kedua belah pihak
sudah menyampaikan Surat Edaran Nomor
melalui mediasi secara sukarela. Menurut data,
1 Tahun 2011 yang pada intinya membuka
sepanjang Tahun 2010-2011 jumlah sengketa
informasi RKA-KL dan DIPA Badan Publik.11
yang berhasil di mediasi mencapai 21 perkara
ind
ing
Dari sisi kualifikasi informasi, informasi yang
(9,37%), sedangkan yang di putus melalui
publik, tidak tertutup kemungkinan terjadi
ajudikasi mencapai 7 perkara. Selebihnya masih
kesalahpahaman antara pemohon dan pemberi
dalam proses mediasi dan administrasi.12
na
lR ec hts V
Dalam pelaksanaan pelayanan informasi
Jur
Sumber: www.komisiinformasi.go.id, diakses tanggal 07 Januari 2012
Ibid. Ibid. 12 Ibid. 10 11
Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka ... (Nunuk Febriananingsih)
145
Volume 1 Nomor 1, April 2012
pemerintahan atau badan publik harus bersedia
dimungkinkan penyelesaian sengketa informasi
secara terbuka dan jujur memberikan informasi
melalui gugatan pengadilan yang diatur dalam
yang dibutuhkan publik, hal seperti ini bagi
Pasal 47-48 UU KIP. Pengajuan gugatan dilakukan
sebagian atau mungkin seluruhnya dari aparat
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
pemerintah atau badan publik merupakan hal
apabila yang digugat adalah Badan Publik
yang belum atau tidak terbiasa untuk dilakukan.
Negara dan ke Pengadilan Negeri apabila yang
Tetapi implikasi ini beserta konsekuensinya
digugat adalah Badan Publik Bukan Negara.
tetap harus dihadapi sejalan dengan penerapan UU KIP.
ing
2. Kesiapan Lembaga Pemerintah Dalam Implementasi UU KIP
Implikasi penerapan UU KIP terhadap
masyarakat atau publik adalah terbukanya akses bagi publik untuk mendapatkan informasi
pemerintah dan warganegaranya, secara garis
yang berkaitan dengan kepentingan publik,
ind
Jika dilihat dari konteks hubungan antara besar implikasi penerapan UU KIP tersebut
terbukanya akses bagi publik untuk berpartisipasi
melekat pada dua pihak, yaitu penyelenggara
aktif dalam proses pembuatan kebijakan publik,
pemerintahan dan masyarakat atau publik.
termasuk didalamnya akses untuk pengambilan
Pada
pemerintahan,
keputusan dan mengetahui alasan pengambilan
ada beberapa implikasi penerapan UU KIP,
keputusan yang berkaitan dengan kepentingan
seperti kesiapan lembaga pemerintah untuk
publik. Kemudian implikasi yang dipandang
mengklasifikasikan informasi publik menjadi
sangat
informasi yang wajib disediakan dan diumumkan
penerapan UU KIP ini daya kritis masyarakat
secara berkala, informasi yang wajib diumumkan
atau publik terhadap kinerja penyelenggaraan
serta
pemerintahan
penyelenggara
lR ec hts V
pihak
merta,
dan
informasi
yang
wajib
penting
adalah
dengan
terutama
adanya
pelayanan
publik
disediakan. Implikasi lain bagi pemerintah pada
semakin meningkat dan diperkirakan tingkat
saat UU KIP diterapkan nantinya adalah semua
penilaian atau pengaduan masyarakat atau
urusan tata kepemerintahan berupa kebijakan-
publik terhadap kualitas layanan publik juga
kebijakan publik, baik yang berkenaan dengan
semakin meningkat. Implikasi lain sejalan dengan meningkatnya
pemerintah, penyusunan anggaran pemerintah,
daya kritis masyarakat, adalah peningkatan
na
pelayanan publik, pengadaan barang dan jasa maupun pembangunan harus diketahui oleh
pengetahuan
publik, termasuk juga isi keputusan dan alasan
hak mereka dalam pelayanan publik yang
pengambilan
publik
disediakan oleh lembaga pemerintah. Sehingga
serta informasi tentang kegiatan pelaksanaan
apabila suatu saat terjadi ketimpangan atau
kebijakan publik tersebut beserta hasil-hasilnya
permasalahan
harus terbuka dan dapat diakses oleh publik.
maka akan banyak pengaduan masyarakat
Jur
keputusan
kebijakan
Sehingga ada konsekuensi bahwa aparatur
146
BP HN
Selain mediasi dan ajudikasi non litigasi,
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 135-156
masyarakat
dalam
mengenai
pelayanan
hak-
publik,
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dan baru disahkan Law Concerning Access
tersebut.
pengetahuan
to Information (UU tentang Akses terhadap
masyarakat mengenai proses penyelenggaraan
Informasi yang dikuasai Badan Administratif);
pemerintahan, juga merupakan implikasi yang
di tahun 1995 anggaran jamuan 23,6 milyar
akan dihadapi dalam penerapan UU KIP. Dan
yen, sementara pada tahun 1997 hanya 12
hal tersebut dapat meningkatkan minat dan
milyar yen di setiap provinsi. (disini terjadi
keinginan masyarakat untuk berperan serta dan
efisiensi 58%);
Meningkatnya
BP HN
berkaitan dengan kualitas pelayanan publik
c. membuka peluang partisipasi masyarakat
pemerintahan sesuai dengan kapasitas masing-
dalam mengawasi penyelenggaraan negara
pemerintahan, maka timbul suatu pertanyaan
ing
berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan
sejauh mana kesiapan lembaga pemerintah
e. Bagi masyarakat, memperoleh jaminan
masing. Dengan melihat berbagai implikasi yang telah disebutkan di atas baik yang dihadapi masyarakat
maupun
penyelenggara
d. bagi badan publik, mendapatkan umpan balik dari masyarakat tentang kinerja badan publik;
ind
oleh
dan pelayanan publik;
implikasi
kepastian hukum atas hak untuk memperoleh
tersebut, paling tidak adalah selama satu tahun
informasi publik dan terhindar dari perlakuan
sejak UU KIP efektif diterapkan ada langkah-
sewenang-wenang dari aparatur negara.
mengantisipasi
berbagai
lR ec hts V
dalam
langkah baik itu beberapa kebijakan maupun
penguatan kelembagaan pemerintah daerah untuk meminimalkan benturan yang terjadi akibat implikasi penerapan UU KIP.
UU KIP jika diterapkan akan banyak memberikan manfaat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Manfaat tersebut antara lain:13
a. dapat mengurangi tingkat korupsi, sebab semakin tinggi akses publik terhadap laporan
keuangan maka semakin rendah tingkat korupsi, demikian sebaliknya;
na
b. memperoleh indikasi dini adanya praktek mal administrasi dan tindak pidana korupsi,
efisiensi anggaran. Di Jepang, UU KIP
awal yang harus dilakukan untuk kesiapan pemerintahan dalam penerapan UU KIP adalah sesuai amanat UU KIP. Selama 2 (dua) tahun sejak diundangkannya UU KIP telah dipersiapkan pula perangkat peraturan perundang-undangan dibawahnya sebagai peraturan pelaksananya. Komisi Informasi di bentuk sebagai amanat UU KIP. Setelah dibentuknya Komisi Informasi baik di tingkat pusat, provinsi dan jika dibutuhkan di bentuk pula KI di tingkat Kabupaten/Kota, sebagai peraturan pelaksana UU KIP dan sesuai dengan amanat Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 58 UU KIP, Pemerintah menerbitkan Peraturan
Jur
diusulkan sejak tahun 1960 oleh masyarakat,
Dalam rangka implementasi tersebut, langkah
Usman Abdhali Watik, Implikasi UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik terhadap Peningkatan Pelayanan Publik, (Surabaya: Universitas Kristen Petra, 26 Juli 2010), hlm. 3-5.
13
Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka ... (Nunuk Febriananingsih)
147
Volume 1 Nomor 1, April 2012
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dari
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
pelayanan informasi publik. Keduanya memiliki
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
paradigma yang bertolak belakang. Paradigma
yang diundangkan pada tanggal 23 Agustus
bidang humas adalah mengontrol informasi
2010 dalam LNRI Tahun 2010 Nomor 99.
yang akan disampaikan dan membentuk citra
BP HN
Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2010 tentang
instansi yang diinginkan. Sedangkan paradigma
di lingkungan lembaga pemerintah dibutuhkan
pelayanan informasi publik adalah MALE
beberapa tambahan struktur, infrastruktur dan
(Maximum Access Limited Exemption), yakni
staf yang secara khusus mengelola dan memberi
memberikan informasi sebanyak-banyaknya
pelayanan informasi. Namun demikian, struktur
dengan pengecualian yang terbatas dan tidak
yang akan di bentuk harus sederhana, efisien
mutlak. Bersifat ketat artinya, pengecualian
dan ramping, sehingga permintaan informasi
informasi dilakukan dengan pengujian seksama
tidak melalui jenjang birokrasi yang berbelit-
dengan mempertimbangkan berbagai aspek
belit dan memakan waktu yang lama.
legal, kepatutan dan kepentingan umum.
ind
ing
Dalam rangka mengimplementasikan UU KIP
Bersifat terbatas artinya, alasan pengecualian
Pasal 12-15 telah mengatur tentang Pejabat
hanya didasarkan pada ketentuan Pasal 17 UU
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
KIP, dan dengan memperhatikan jangka waktu
lR ec hts V
Dalam PP Pelaksanaan UU KIP pada Bab IV
Mengingat informasi biasanya dikelola oleh
pengecualian informasi Informasi. Informasi
bidang hubungan masyarakat (humas) yang ada
yang telah dikecualikan dapat dinyatakan
di beberapa lembaga pemerintah, maka sering
terbuka untuk melindungi kepentingan umum
muncul usulan agar humas diperluas fungsi dan
yang lebih besar. Berdasarkan monitoring yang dilakuan KI
perannya sehingga mencakup bidang pelayanan
dimungkinkan
Pusat terhadap Badan Publik sebagaimana
berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (2) PP
terlampir dalam Lampiran I Peraturan Komisi
Pelaksanaan UU KIP, dimana dikatakan bahwa
Informasi Pusat No. 1 Tahun 2010, mayoritas
dalam hal PPID belum ditunjuk, tugas dan
Badan Publik belum melakukan langkah-
tanggung jawab PPID dapat dilakukan oleh unit
langkah yang diamanatkan UU KIP seperti:
atau dinas di bidang informasi, komunikasi,
(i) membuat peraturan internal mengenai
dan/atau kehumasan. Namun demikian, PPID
pelaksanaan UU KIP; (ii) menunjuk PPID (Pejabat
sudah harus ditunjuk paling lama 1 (satu) tahun
Pengelola Informasi dan Dokumentasi); dan
terhitung sejak PP ini diundangkan sebagaimana
(iii) menetapkan daftar informasi publik yang
di maksud dalam Pasal 21 ayat (1).
terbuka dan yang dikecualikan.
publik.
Hal
ini
Jur
na
informasi
148
Jadi dapat disimpulkan bahwa penunjukan
Badan Publik negara yang sudah membuat re
PPID sifatnya adalah wajib (mandatory). Hal ini
gulasi internal dan menunjuk PPID ada 22, antara
memang sudah sesuai, sebab bidang humas
lain Kementerian Komunikasi dan Informatika,
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 135-156
Volume 1 Nomor 1, April 2012
masyarakat
mengembangkan
kemampuan
Kehutanan, Kementerian Kebudayaan dan
dan kreativitasnya demi mencapai tujuan
Pariwisata, DPR RI, DPD RI, Polri, Kementerian
bersama.14
BP HN
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Salah satu hak yang dimiliki masyarakat
Arsip Nasional, Komisi Pemilihan Umum
sesuai konstitusi UUD NRI 1945 adalah hak untuk
(KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
memperoleh keterbukaan informasi publik.
Kementerian Perhubungan, Kementerian Negara
Pembahasan tentang keterbukaan informasi
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
publik (public access to information) di dalam
Anak, Kementerian Koordinator Kesejahteraan
sistem negara yang demokratis (democratic
Rakyat, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
state) selalu terkait dengan pemerintahan
(LIPI), Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung,
yang terbuka (open government) dan tata
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
pemerintahan yang baik (good governance).
(BPKP), Kementerian Kesehatan, Kementerian
Tiga konsep ini saling terkait satu sama lain,
Pendidikan Nasional, Kementerian Pekerjaan
sebab segala bentuk turunan dari pemerintahan
Umum, Kementerian Pendayagunaan Aparatur
demokratis
Negera dan Reformasi Birokrasi, Mahkamah
menjamin hak asasi manusia.
ind
memang
dimaksudkan
untuk
Good Governance mensyaratkan peme
lR ec hts V
Agung.
ing
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan,
rintahan terbuka (open government) sebagai
3. Keterbukaan Informasi Publik Dalam Pemerintahan Terbuka (Open Government) Menuju Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)
masi (public access to information) merupa
Hakekat pemerintahan adalah pelayanan
Pemerintahan terbuka adalah penyelenggaraan
kepada masyarakat. Pemerintahan ada karena
pemerintahan yang transparan, terbuka dan
kehendak rakyat. Untuk itu pemerintahan
partisipatoris.16 Hal ini mencakup seluruh proses
diadakan bukan untuk melayani dirinya sendiri,
pengelolaan sumber daya publik sejak dari
tetapi
proses pengambilan keputusan, pelaksanaan
untuk
melayani
masyarakat
serta
kan salah satu prasyarat untuk menciptakan pemerintahan yang terbuka (open government).
serta evaluasinya.
Jur
na
menciptakan kondisi yang menginginkan setiap
salah satu pondasinya.15 Kebebasan infor
Ryaas Rasyid, Desentralisai Dalam Menunjang Pembangunan Daerah Dalam Pembangunan Administrasi Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES), hlm. 13. 15 Mas Achmad Santosa, Good Governance dan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2001), Bab III. 16 Ibid. 14
Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka ... (Nunuk Febriananingsih)
149
Volume 1 Nomor 1, April 2012
adanya jaminan atas 5 (lima) hal:
masyarakat langsung
17
karena
akan
berhubungan
BP HN
Pemerintahan yang terbuka mensyaratkan
dengan
kepentingan
masyarakat
a. Hak untuk memantau perilaku pejabat
sebagai konstituen politik dan lingkungan
publik dalam menjalankan peran publiknya
pelayanan birokrasi. Kepemerintahan yang
(right to obsverve);
baik (good governance) mensyaratkan dalam
b. Hak untuk memperoleh informasi (right to
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan publik tidak semata-mata
infomation);
didasarkan pada pemerintah (government)
proses pembentukan kebijakan publik (right
atau negara (state) saja, tapi harus melibatkan
to participate);
seluruh elemen, baik dalam intern birokrasi
d. Kebebasan berekspresi yang salah satunya
demikian
memperoleh
informasi
mereka dan bagaimana pertanggungjawaban
publik
untuk
merupakan
salah
penting untuk mewujudkan
setiap kebijakan yang telah dijalankan. Konsep governance mulai berkembang pada
awal 1990-an ditandai dengan adanya cara
lR ec hts V
satu prasyarat
hak
saja yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk
ind
e. Hak untuk mengajukan keberatan terhadap
Dengan
maupun di luar birokrasi publik (masyarakat) sehingga masyarakat dapat mengetahui apa
diwujudkan dalam kebebasan pers; penolakan atas hak-hak yang ditolak.
ing
c. Hak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam
pemerintahan
terbuka.
Perwujudan
pemerintahan terbuka dapat dilihat sebagai
upaya untuk mencegah timbulnya praktek-
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam mengelola sumber daya publik. Hal
pandang (point of view) yang baru terhadap peran
governance sebagai berikut:18
(good governance).
Komitmen moral pemerintah merubah menjadi
dalam
Nations Development Program mendefinisikan
mewujudkan tata pemerintahan yang baik
kekuasaan
(government)
menjalankan sistem pemerintahan. United
ini menjadi pondasi utama dalam rangka
paradigma
pemerintah
paradigma
pelayanan publik dan adanya tata pemerintahan
na
yang baik (good governance) menjadi prasyarat
Jur
yang penting dalam menciptakan partisipasi
”Governance is the exercise of economic, political, and administrative authority to manage a country’s affair at all levels and means by which states promote social cohesion, integration, and ensure the well being of their population”. (“Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan di bidang ekonomi, politik, dan administrasi untuk mengelola berbagai
Koalisi Untuk Kebebasan Informasi, Melawan Ketertutupan Informasi Menuju Pemerintahan Terbuka, Cetakan II, (Jakarta: USAID, 2003), hlm. 18. 18 Sedarmayanti, Good Governance, Kepemerintahan yang Baik, Bagian Dua, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 3. 17
150
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 135-156
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dalam istilah kepemerintahan memiliki dua arti, yaitu: a. Nilai-nilai
yang
menjunjung
tinggi
kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional yang mandiri, berkelanjutan, dan berkeadilan
membagi 9 (sembilan) karakteristik good governance, sebagai berikut:20 a. Participation.
b. Aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan nasional
mempunyai
suara
warga
dalam
negara
pembuatan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi
institusi legitimasi
yang mewakili kepentingannya;
b. Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan
dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama Hukum dan HAM.
c. Transparancy. Transparansi di bangun atas dasar kebebasan arus informasi. Prosesproses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Iinformasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
lR ec hts V
tersebut.
d. Responsiveness.
Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma “Rule Government”
Setiap
ind
sosial.
BP HN
Sedangkan kata “good” yang berarti “baik”
dunia, utamanya ke negara-negara dunia ketiga
ing
urusan negara pada setiap tingkatan dan merupakan instrument kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kepaduan sosial, integrasi, dan menjamin kesejahteraan masyarakat”).
yang
menyandarkan
pada
proses-proses
Lembaga-lembaga harus
mencoba
dan untuk
melayani setiap stakeholders.
e. Concensus Orientation. Good governance
peraturan perundang-undangan yang berlaku
menjadi
perantara
menjadi paradigma “Good Governance” di
berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik
mana penyelenggaraan negara yang solid dan
bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam
bertanggung jawab, serta efisien dan efektif,
hal kebijakan maupun prosedur-prosedur.
dengan menjaga “kesinergian” interaksi yang
f. Equity. Semua warga negara, baik laki-
konstruktif diantara domain-domain negara,
laki
sektor swasta dan masyarakat (society).19
kesempatan
na
UNDP sebagai institusi global yang sukses
maupun
kepentingan
perempuan
untuk
yang
mempunyai
meningkatkan
atau
menjaga kesejahteraan mereka.
Jur
mengekspor paket good governance ke seluruh
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, LAN dan BPKP, 2000. 20 Dahlan Thaib, Transparansi dan Pertanggungjawaban Tindakan Pemerintah, disampaikan dalam Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945, diselenggarakan oleh BPHN, 2006, hlm. 5-6. 19
Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka ... (Nunuk Febriananingsih)
151
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai
ketiganya adalah instrumen yang diperlukan
BP HN
g. Effectiveness & Eficiency. Proses-proses
untuk mencapai manajemen publik yang baik.
dengan apa yeng telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia
PRINSIP AKUNTABILITAS
sebaik mungkin.
Akuntabilitas
h. Accountability. Para pembuat keputusan
yang
menjamin
publik
adalah
prinsip
bahwa
setiap
kegiatan
pemerintahan
dapat
penyelenggaraan
masyarakat
bertanggungjawab
dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh
lembaga-lembaga
pelaku kepada pihak-pihak yang terkena
kepada
(society)
publik
dan
ing
dalam pemerintahan, sektor swasta dan
stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung
dampak
pada
keputusan
hubungannya dengan efektivitas pelaksanaan
yang dibuat, apakah keputusan tersebut
UU KIP, prinsip akuntabilitas ini memiliki 2
untuk kepentingan internal atau eksternal
aspek yaitu komunikasi publik oleh pemerintah
orgaisasi.
dan hak masyarakat terhadap akses informasi.
i. Strategic Vision.
dan
sifat
kebijakan.
Dalam
ind
organisasi
penerapan
Para pemimpin dan
Keduanya akan sulit dilakukan jika pemerintah
publik harus mempunyai perspektif good
tidak menangani dengan baik kinerjanya karena
governance dan pengembangan sumber
menajemen kinerja yang baik adalah titik awal
lR ec hts V
21
daya manusia yang luas dan jauh ke depan
dari transparansi.
sejalan dengan apa yang diperlukan untuk
Prinsip Transparansi
pembangunan semacam ini.
Jelas bahwa komponen ataupun prinsip yang
melandasi tata pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, namun paling tidak terdapat sejumlah prinsip
yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu (1) Akuntabilitas; (2) Transparansi; dan (3) Partisipasi
Masyarakat. Ketiga prinsip ini tidak dapat
na
berjalan sendiri-sendiri, terdapat hubungan
adalah
prinsip
yang
menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Komunikasi publik menuntut usaha afirmatif dari pemerintah untuk membuka dan mendiseminasi informasi maupun aktivitasnya yang relevan. Transparansi harus seimbang dengan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-
Jur
yang sangat erat dan saling mempengaruhi dan
Transparansi
Joko Widodo, Good Governance: Telaah dari dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Insan Cendekia) hlm. 25-26.
21
152
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 135-156
Volume 1 Nomor 1, April 2012
pemerintah menjadi bertanggung jawab kepada
individu. Keterbukaan membawa konsekuensi
semua
adanya kontrol yang berlebih-lebihan dari
dengan proses maupun kegiatan dalam sektor
masyarakat dan bahkan oleh media massa.
publik.
Karena itu, kewajiban akan keterbukaan harus
BP HN
informasi yang mempengaruhi hak privasi
stakeholders
yang
berkepentingan
diimbangi dengan nilai pembatasan, yang
Prinsip Patisipasif
mencakup kriteria yang jelas dari Badan Publik
Partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang
tentang informasi apa saja yang akan diberikan
memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan
dan pada siapa informasi tersebut diberikan.
keputusan
setiap
ing
di
penyelenggaraan
pemerintahan. Partisipasi dibutuhkan dalam
dalam Bab IV, Pasal 10-16 untuk Informasi yang
memperkuat demokrasi, meningkatkan kualitas
wajib disediakan dan diumumkan dan Bab V,
dan efektivitas layanan publik. Setidak-tidaknya
Pasal 17 untuk informasi yang dikecualikan.
ada 2 (dua) alasan mengapa sistem partisipatoris
Disini peran media menjadi sangat penting bagi
dibutuhkan dalam negara demokratis. Pertama,
transparansi pemerintah, baik sebagai sebuah
bahwa sesungguhnya rakyat sendirilah yang
kesempatan untuk berkomunikasi pada publik
paling paham mengenai kebutuhannya. Kedua,
maupun menjelaskan berbagai informasi yang
bermula dari kenyataan bahwa pemerintahan
relevan sekaligus juga sebagai ”watchdog”
yang modern cenderung luas dan kompleks
atas berbagai perilaku menyimpang dari aparat
menjadikan birokrasi tumbuh membengkak di
birokrasi.
luar kendali. Oleh sebab itu untuk menghindari
lR ec hts V
ind
Dalam UU KIP ketentuan tersebut diatur
Prinsip Transparansi paling tidak dapat di ukur melalui sebuah indikator seperti: a. Mekanisme
yang
alienasi
warga negara, maka para warga
negara itu harus di rangsang dan di bantu
menjamin
sistem
keterbukaan dan standarisasi dari semua
dalam membina hubungan dengan aparat pemerintah.
proses-proses pelayanan publik;
b. Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaanpertanyaan
publik
tentang
berbagai
kebijakan dan pelayanan publik maupun
na
proses-proses di dalam sektor publik;
c. Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun
Jur
penyimpangan tindakan aparat publik di dalam kegiatan melayani.
E. Penutup 1. Kesimpulan UU
KIP
ini
menghendaki
tersedianya
informasi secara lengkap, tersusun rapi, dan terpusat pada satu institusi badan informasi publik. Dengan demikian informasi yang dibutuhkan menjadi mudah di akses baik oleh pegawai pemerintah maupun masyarakat dan
Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek
otomatis menghemat biaya dan mengefisienkan
pelayanan publik pada akhirnya akan membuat
waktu kerja yang diperlukan ketika menelusuri
Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka ... (Nunuk Febriananingsih)
153
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Pariwisata, DPR RI, DPD RI, Polri, Kementerian
terserak atau tidak tertata dengan baik. Hal
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan,
ini selaras dengan beberapa asas dalam UU
Arsip Nasional, Komisi Pemilihan Umum
KIP, yaitu; Pertama, setiap informasi publik
(KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
bersifat terbuka dan dapat di akses oleh setiap
Kementerian Perhubungan, Kementerian Negara
pengguna informasi publik. Kedua, informasi
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
publik yang dikecualikan bersifat ketat dan
Anak, Kementerian Koordinator Kesejahteraan
terbatas. Ketiga, setiap informasi publik harus
Rakyat, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
dapat diperoleh setiap pemohon informasi
(LIPI), Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung,
publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
ringan, dan cara yang sederhana. Keempat,
(BPKP), Kementerian Kesehatan, Kementerian
informasi publik yang dikecualikan bersifat
Pendidikan Nasional, Kementerian Pekerjaan
rahasia sesuai undang-undang, kepatuhan dan
Umum, Kementerian Pendayagunaan Aparatur
kepentingan umum, didasarkan pada pengujian
Negera dan Reformasi Birokrasi, Mahkamah
tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu
Agung.
ind
ing
BP HN
dan mencari informasi yang sebelumnya
Implementasi UU KIP terlihat dari hubungan
informasi diberikan kepada masyarakat, serta
antara
dan
warganegaranya.
dapat
Penerapan UU KIP melekat pada 2 (dua)
melindungi kepentingan yang lebih besar
pihak, yaitu penyelenggara pemerintahan dan
daripada membukanya dan sebaliknya.
masyarakat atau publik. Pada sisi penyelenggara
bahwa
menutup
informasi
publik
pemerintahan, penerapan UU KIP antara lain
mengimplementasikan UU KIP. Hal ini terlihat
menyediakan informasi publik, baik informasi
dari belum dilakukannya langkah-langkah yang
yang sifatnya wajib, berkala, dan serta merta.
diamanatkan UU KIP oleh mayoritas badan
Implementasi lainnya adalah bahwa segala
publik seperti: (i) membuat peraturan internal
kegiatan urusan tata kepemerintahan seperti
mengenai pelaksanaan UU KIP; (ii) menunjuk PPID
kebijakan publik, pelayanan publik, pengadaan
(Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi);
barang dan jasa pemerintah, penyusunan
dan (iii) menetapkan daftar informasi publik
anggaran (DIPA) termasuk isi keputusan dan
yang terbuka dan yang dikecualikan. Meski
alasan pengambilan kebijakan publik harus
pun demikian, ditemukan bahwa terdapat
terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat.
na
Lembaga pemerintah belum betul-betul siap
22 lembaga publik yang sudah membuat
2. Saran
Jur
regulasi internal dan menunjuk PPID, antara lain Kementerian Komunikasi dan Informatika,
Pemerintah perlu meningkatkan penerapan
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
UU KIP agar partisipasi masyarakat terhadap
Kehutanan, Kementerian Kebudayaan dan
154
pemerintah
lR ec hts V
setelah dipertimbangkan dengan seksama
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 135-156
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Pemerintah perlu meningkatkan tanggung jawab dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehingga tujuan menciptakan tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel dan partisipasif dapat tercapai sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Pemerintah harus siap dan sungguh-sungguh dalam mengimplementasikan UU KIP ini, dengan menunjuk pejabat penyedia informasi publik (PPID) dalam sebagaimana diamanatkan PP
ind
Nomor 61 Tahun 2010 tentang pelaksanaan UU KIP, karena penunjukan PPID ini bersifat wajib (mandatory).
Makalah-Makalah Ahmad M. Ramli, KIP dan Good Governance, Makalah disampaikan pada Seminar Sosialisasi UU KIP di Jakarta, Tahun 2009. Dahlan Thaib, Transparansi dan Pertanggungjawaban Tindakan Pemerintah, disampaikan dalam Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945, diselenggarakan oleh BPHN, 2006 Komisi Informasi, Laporan 1 Tahun Implementasi UU KIP, April Tahun 2011. Usman Abdhali Watik, Implikasi UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik terhadap Peningkatan Pelayanan Publik, Universitas Kristen Petra, Surabaya, 26 Juli 2010 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, ditetapkan di Jakarta tanggal 30 April 2008, Lembaran Negara RI Nomor 61, tahun 2008 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4846 Tahun 2008. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
lR ec hts V
DAFTAR PUSTAKA Buku
BP HN
meningkat.
dan Pemberi Informasi di Badan Publik, IRDI dan USAID, Cetakan Pertama, 2009 Mandica-Nur, Notrida G.B., Panduan Keterbukaan Informasi Publik Untuk Petugas Pengelola dan Pemberi Informasi di Badan Publik, Penerbit IRDI-Kemenkominfo-USAID-DRSP, Cetakan Pertama, Jakarta, Tahun 2009. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990). Sedarmayanti, Good Governance, Kepemerintahan yang Baik, Bagian Dua, (Bandung: Mandar Maju, 2000). Mamudji, Sri, dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2005). Rasyid, Ryaas, Dentralisai Dalam Menunjang Pembangunan Daerah Dalam Pembangunan Administrasi Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES)
ing
kinerja penyelenggaraan pemerintahan semakin
Jur
na
Suranto, Hanif dan Agus Mulyono, Dari Lokal Mengepung Nasional, Dinamika Proses Legislasi Kebebasan Memperoleh Informasi Publik Di Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: Koalisi Untuk Kebebasan Informasi, 2007). Widodo, Joko, Good Governance: Telaah dari dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Insan Cendekia) Koalisi Untuk Kebebasan Informasi, Melawan Ketertutupan Informasi Menuju Pemerintahan Terbuka, Cetakan II, Jakarta, Tahun 2003. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, LAN dan BPKP, 2000. Santosa, Mas Achmad, Good Governance dan Hukum Lingkungan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2001. Mandica-Nur, N.G.B., Panduan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Untuk Petugas Pengelola
Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka ... (Nunuk Febriananingsih)
155
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
30 April 2010, Lembaran Negara RI Nomor 272 Tahun 2010. Republik Indonesia, Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun 2010 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik, ditetapkan di Jakarta tanggal 20 Agustus 2010.
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
Keterbukaan Informasi publik, ditetapkan di Jakarta tanggal 20 Agustus 2010, Lembaran Negara RI Nomor 99 Tahun 2010. Republik Indonesia, Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, ditetapkan di Jakarta tanggal
156
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 135-156
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
PERLINDUNGAN TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA IRREGULAR DI LUAR NEGERI (Protection of Irregular Indonesian Workers in Overseas)
Adharinalti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN Jl. Mayjen Soetoyo No. 10 Cililitan Jakarta Timur Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 25 Januari 2012; revisi: 6 Maret 2012; disetujui: 21 Maret 2012
lR ec hts V
ind
Abstrak Indonesia merupakan salah satu negara terbesar yang mengirimkan warga negaranya bekerja ke luar negeri, namun banyak diantaranya tidak memiliki dokumen yang sah (dalam kondisi irregular). Dengan statusnya tersebut, hak-hak mereka beserta keluarganya banyak yang tidak tertunaikan dan diperlakukan tidak semestinya. Bagaimana perlindungan terhadap mereka merupakan permasalahan yang harus diberikan solusinya. Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan normatif ini memperlihatkan bahwa tenaga kerja Indonesia yang tidak berdokumen (irregular situation) beserta keluarganya secara hukum mendapatkan perlindungan. Perlindungan tersebut terlihat dalam International Convention 1990 on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, meskipun hingga saat ini pemerintah belum meratifikasi konvensi tersebut. Untuk mendapatkan perlindungan terhadap worker irregular perlu diupayakan ratifikasi atas konvensi tenaga kerja Indonesia yang tidak berdokumen (irregular situation) beserta keluarganya. Kata kunci: tenaga kerja irregular, bantuan hukum, hak asasi manusia
Jur
na
Abstract Indonesia is one of the largest countries that send their citizens to work in a foreign country, but many of them do not have valid documents (in the irregular condition). With such status, their rights and their families many of which are not guaranteed and should not be treated. How to protect against them is a problem that should be the solution. In a study using a normative approach shows that Indonesian workers are undocumented (irregular situation) and their families are legally protected. Protection is seen in the 1990 International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, although until now the government has not ratified the convention. To obtain the protection of irregular workers have sought ratification of the Convention of Indonesian workers are undocumented (irregular situation) and his family. Keywords: workers, legal aid, human rights
Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia Irregular di Luar Negeri (Adharinalti)
157
Volume 1 Nomor 1, April 2012
A. Pendahuluan
penting dalam kehidupan manusia sehingga setiap
orang
membutuhkan
pekerjaan.
Pekerjaan dapat dimaknai sebagai sumber penghasilan
seseorang
untuk
memenuhi
kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Dapat juga dimaknai sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri sehingga seseorang merasa hidupnya menjadi lebih berharga baik bagi dirinya, keluarganya maupun lingkungannya. Oleh karena itu hak atas pekerjaan merupakan wajib dijunjung tinggi dan dihormati.
Brunei, Hongkong dan negara lainnya.
Bahwa hak TKI untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di
luar negeri, telah dijamin melalui Pasal 31 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Undang-Undang
(UUD 1945). Pasal 27 ayat (2) menyatakan
bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan. Namun pada kenyataannya, keterbatasan akan lowongan kerja di dalam
negeri menyebabkan banyaknya warga negara Indonesia / Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mencari pekerjaan ke luar negeri. Dari tahun ke tahun
jumlah mereka yang bekerja di luar negeri semakin meningkat.
Indonesia merupakan salah satu negara
na
terbesar yang mengirim warga negaranya untuk bekerja di luar negeri baik atas dasar permintaan negara yang bersangkutan maupun atas inisiatif
aktif Pelaksana Penempatan TKI yang mencari
Jur
Ketenagakerjaan).
Penempatan tenaga kerja ke luar negeri diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum (Pasal 32 ayat (2) UU Ketenagakerjaan). Selanjutnya, Pasal 34 UU Ketenagakerjaan
lR ec hts V
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
lapangan kerja di luar negeri. Negara tujuan
158
(UU
ind
hak asasi yang melekat pada diri seseorang yang
negara Timur Tengah, Malaysia, Singapura,
ing
Pekerjaan mempunyai makna yang sangat
BP HN
pengiriman TKI ke luar negeri antara lain negara-
mengamanatkan bahwa ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Untuk
menjalankan amanat tersebut, maka pada tanggal 18 Oktober 2004 diberlakukan UndangUndang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKI LN). Sebelum diberlakukannya UU PPTKI LN, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemenakertrans)
membuat
keputusan untuk memberikan landasan hukum dalam penempatan TKI ke luar negeri yaitu KEP-104 A/MEN/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, namun keputusan tersebut tidak mencakup pengaturan perlindungan TKI di luar negeri.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 157-173
Volume 1 Nomor 1, April 2012
tidak saja disebabkan pelanggaran keimigrasian
antara lain menyangkut legalitas pengiriman
semata melainkan juga karena kondisi lain.
TKI ke luar negeri. Banyak TKI yang dipulangkan
Pelanggaran keimigrasian yang dimaksud adalah
dari negara tempat mereka bekerja misalnya di
masuknya TKI ke negera tujuan penempatan
Malaysia, menyusul diberlakukannya Peraturan
tanpa dokumen yang sah, atau mereka datang ke
Perburuhan Malaysia yang berkaitan dengan
negara tujuan penempatan dengan berdokumen
tenaga kerja luar negeri. Tidak adanya dokumen
sah namun selama di sana dokumen sah tersebut
yang sah menjadi salah satu penyebab
menjadi tidak sah lagi. Contoh kasus adalah over
pengusiran TKI. Pemu-langan secara paksa ini
stay dan peyalahgunaan paspor (menggunakan
tidak hanya terhadap tenaga kerja Indonesia
visa umroh dan/atau haji untuk bekerja di luar
(buruh imigran) saja, melainkan juga terhadap
negeri). Selain itu, kondisi irregular juga terjadi
keluarganya.
ketika TKI mengalami perlakuan tidak manusiawi
ing
BP HN
Permasalahan klasik yang sering timbul
dari majikan, dan kemudian melarikan diri
orang-orang asing dan mengembalikan mereka
sedangkan dokumen mereka masih berada di
ke negara asalnya. Akan tetapi kekuasaan
tangan majikan, padahal dokumen sah untuk
mengusir dan cara-cara pengusiran adalah dua
dapat masuk ke negara lain adalah paspor.1
ind
Negara memiliki wewenang untuk mengirim
Penyebab utama munculnya tenaga kerja
terhadap orang asing dengan cara-cara yang
yang berangkat secara gelap/lewat belakang
pantas.
(tidak berdokumen) antara lain biaya yang lebih
lR ec hts V
hal yang berbeda. Pengusiran harus dilakukan
Setiap orang yang akan masuk ke negara
murah dan prosesnya yang realtif cepat. Tenaga
lain harus disertai dengan dokumen yang
kerja tidak berdokumen menjadi masalah serius
sah. TKI yang masuk ke negara tujuan
karena rawannya perlindungan hukum bagi
penempatan dengan membawa dokumen yang
yang bersangkutan dan melemahkan posisi
sah, dinamakan TKI dengan kondisi regular.
tawar (bargaining position) dengan pengguna
Sedangkan TKI yang tidak memiliki dokumen
jasa tenaga kerja. Dengan mudahnya mereka
yang sah ketika dan/atau selama berada di
menekan TKI dengan kondisi irregular ini.
negara tujuan penempatan, dinamakan TKI
TKI
dengan
kondisi
irregular
sering
mendapatkan perlakuan tidak manusiawi.
legal-ilegal bagi TKI sudah tidak relevan lagi
Selain tidak diberikan tempat tinggal yang
mengingat TKI yang tidak berdokumen sah
layak, mereka juga sering tidak memperoleh
Jur
na
dengan kondisi irregular. Penggunaan istilah
1
Hugo Graeme and W. R. Bohning, Providing Information to Outgoing Indonesian Migrant Workers, First Published, (Manila: International Labour Office, 2000), hlm. 14-15.
Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia Irregular di Luar Negeri (Adharinalti)
159
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Anggota Keluarganya). Dalam konvensi tersebut
sehari mereka hanya mendapatkan jatah
terlihat bahwa salah satu instrumen hukum
makan sekali, padahal mereka bekerja dari
internasional tidak hanya melindungi pekerja
subuh hingga tengah malam. Mereka juga tidak
migran saja melainkan juga bagi anggota keluarga
mendapatkan hari libur, sebagai pembantu
mereka. Perlindungan bagi anggota keluarga
rumah tangga, mereka bekerja
tujuh hari
pekerja harus sama dengan perlindungan bagi
dalam seminggu. Mereka juga tidak memiliki
pekerja migran itu sendiri. Perlindungan ini
asuransi kesehatan dan asuransi jiwa, sehingga
merupakan hak bagi para pekerja migran dan
apabila mereka sakit, ataupun meninggal dunia,
menjadi tanggung jawab negara (pengirim
tidak ada jaminan biaya untuk pengobatan dan
dan penerima) karena tidak dapat dipungkiri
pengembalian jenazah ke Indonesia. Mereka
bahwasanya para pekerja migran ini (baik yang
bekerja di bawah ancaman sang majikan. Jika
berkondisi reguler maupun irregular) telah
mereka bertindak atas ketidaknyaman tersebut
memberikan sumbangan yang cukup besar bagi
maka si majikan akan melaporkan status mereka
pertumbungan ekonomi di negara pengirim dan
ke pihak kepolisian sebagai pekerja yang tidak
penerima. Indonesia belum meratifikasi satupun
berdokumen sah.
konvensi internasional mengenai perlindungan
ind
ing
BP HN
jatah makan yang selayaknya. Kadang dalam
pekerja imigran. Di Asia, hanya Philipina yang
lR ec hts V
Dengan dokumen-dokumen resmi, TKI dapat lebih aman dan mendapatkan perlindungan
telah menandatangani dan meratifikasi semua
hukum saat bekerja di luar negeri. Dalam UU
Konvensi
PPTKI LN, perlindungan TKI diatur dalam Bab VI
kerjanya di luar negeri2.
Pasal 77 – Pasal 84. Lalu bagaimana dengan TKI dengan kondisi irregular, apakah mereka juga
Terkait dengan perlindungan tenaga kerja migran,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
telah mengeluarkan konvensi yaitu International Convention on The Protection on The Rigth
bagaimana perlindungan yang diberikan kepada TKI di luar negeri yang berkondisi irregular. Untuk mengetahui hal ini maka perlu dijawab permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi perlindungan TKI di luar
Families 1990 (Konvensi Internasional tentang
negeri secara umum?
Jur
Perlindungan Semua Pekerja Imigran dan
“RI Belum Ratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Migran” (Kompas, 9 September 1995).
2
160
tenaga
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui
na
of All Migrant Workers and Member of Their
perlindungan
B. Permasalahan
berhak mendapatkan perlindungan yang sama halnya dengan TKI berkondisi reguler?
mengenai
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 157-173
Volume 1 Nomor 1, April 2012
di mana mereka akan bekerja, apakah akan
BP HN
2. Apakah telah dilaksanakan perlindungan
bekerja di dalam negeri atau bekerja di luar
hukum TKI irregular di luar negeri?
negeri. Keterbatasan lowongan kerja di dalam
C. Metode Penelitian
negeri menyebabkan banyaknya TKI mencari
penelitian normatif. Dalam penelitian normatif digunakan data sekunder berupa ketentuanketentuan hukum nasional dan internasional serta bahan-bahan bacaan yang terkait dengan tema yang diperoleh melalui studi dokumen (studi kepustakaan). Dalam mengolah dan kualitatif.
jumlah TKI yang bekerja di luar negeri semakin meningkat,
tetapi
permasalahannya
pun
semakin meningkat pula.
Bekerja di luar negeri merupakan hak
setiap warga negara, sehingga Pemerintah ber kewajiban menyelenggarakan mekanisme pe laksanaan hak warga negara tersebut. TKI bukan komoditas sehingga pengaturan mekanisme
ind
menganalisis data digunakan metode analisis
pekerjaan ke luar negeri. Dari tahun ke tahun
ing
Metode penelitian yang digunakan adalah
penempatannya harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ke depan kita harus
D. Pembahasan 1. Perlindungan TKI di Luar Negeri
saja menguntungkan secara ekonomis tetapi juga
lR ec hts V
Setidaknya ada dua pasal dalam konstitusi
mampu mempengaruhi penempatan TKI tidak
kita yang mengatur tentang hak atas pekerjaan. Pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (2) dan
Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945. Pasal 27 ayat (2) berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”, sedangkan Pasal 28 D ayat (2)
berbunyi: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap
Berdasarkan Pasal 34 UU Ketenagakerjaan,
penempatan tenaga kerja di luar negeri diatur dengan undang-undang. Untuk menjalankan amanat tersebut maka dibuatlah undangundang tersendiri yang mengatur mengenai penempatan TKI di luar negeri. Sebagaimana diketahui bahwa penempatan
TKI di luar negeri itu rentan dengan perlakuan tidak manusiawi atau perlakuan eksploitatif lainnya di negara penerima. Oleh karenanya maka
Jur
na
orang diberikan kebebasan untuk memilih
mampu meningkatkan aspirasi kemanusiaan.3
“Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Indonesia (Sektor Pembantu Rumah Tangga) di Luar Negeri (Bagian II).” (http://hukum.kompasiana.com/2010/12/15/perlindungan-hukum-terhadap-tenaga-kerja-indonesia-sektorpembantu-rumah-tangga-di-luar-negeri-bagian-ii/) Diakses pada tanggal 3 Januari 2012.
3
Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia Irregular di Luar Negeri (Adharinalti)
161
Volume 1 Nomor 1, April 2012
a. Perlindungan norma kerja;
dilepaskan dari aspek perlindungannya. Dengan
b. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
demikian, judul undang-undang sebagaimana amanat Pasal 34 UU Ketenagakerjaan adalah
c. Perlindungan Sosial Tenaga Kerja, berupa
Undang-Undang tentang Penempatan dan
perlindungan upah, Jamsostek, jaminan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan,
Negeri.
dan tabungan hari tua.
Sesuai dengan namanya, undang-
undang ini secara umum mengatur tentang luar negeri. Untuk aspek perlindungannya diatur dalam Pasal 77-84 UU PPTKILN. Setiap Calon TKI / TKI mempunyai hak memperoleh
perlindungan
sesuai
kepada TKI di luar negeri diperlukan koordinasi lintas sektoral yang melibatkan peran serta para pemangku kepentingan baik di dalam maupun di luar negeri. Tanpa adanya kerjasama dengan instansi dan pihak-pihak terkait, maka
ind
untuk
Dalam rangka pemberian perlindungan
ing
penempatan dan perlindungan tenaga kerja di
dengan peraturan perundang-undangan, mulai
dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan (Pasal
pelaksanaan tugas-tugas pokok tersebut akan sulit dilaksanakan secara optimal. Di dalam negeri, instansi terkait diantaranya Kemenakertrans, Kementerian
lR ec hts V
77 UU PPTKILN). Pelaksana Penempatan TKI Swasta bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan kepada Calon TKI / TKI sesuai
dengan perjanjian penempatan (Pasal 82
PPTKILN). Setiap Calon TKI / TKI yang bekerja ke luar negeri baik secara perseorangan maupun
yang ditempatkan oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikuti program pembinaan
dan perlindungan TKI (Pasal 83 PPTKILN).
Program pembinaan dan perlindungan TKI diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Akan tetapi peraturan pemerintahnya sampai saat ini
na
belum diterbitkan. Dalam
UU
Ketenagakerjaan,
perlin
dungan terhadap hak-hak tenaga kerja dapat
Jur
dikelompokkan sebagai berikut:
162
BP HN
aspek penempatan TKI di luar negeri tidak dapat
Luar
Negeri,
Pemerintah
Daerah, instansi keimigrasian, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Indonesia (BNP2TKI), aparat penegak hukum dan instansi teknis terkait lainnya. Sedangkan lembaga swasta adalah Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) beserta jaringan rekruternya serta organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat. Di luar negeri, instansi atau lembaga yang
berperan dalam perlindungan TKI antara lain Perwakilan RI, Perwakilan Pelaksana Penempatan TKI Swasta, Mitra Usaha Pelaksana Penempatan TKI, pengguna jasa TKI, dan instansi resmi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan di negera penerima,
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 157-173
juga
lembaga/organisasi
resmi
Volume 1 Nomor 1, April 2012
negeri dari bentuk Keputusan Menteri
yang berkompeten di bidang ketenagakerjaan
Tenaga Kerja No. 104 A/Kepmen/1999
atau hak asasi manusia serta Non Government
tentang Penempatan TKI ke Luar Negeri
Organization (NGO) yang bergerak di bidang
menjadi UU PPTKILN;
Pemberian perlindungan terhadap WNI di luar negeri, termasuk TKI merupakan salah satu tugas pokok Perwakilan RI di luar negeri sesuai dengan amanat yang tertuang dalam UUD 1945 dan Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (UU Hubungan LN). Perlindungan kepada warga negara Indonesia di
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Pembentukan BNP2TKI ini didasarkan pada
Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia;
c. penyederhanaan
birokrasi
pelayanan
ind
luar negeri ini, termasuk pemberian bantuan dan
b. pembentukan Badan Nasional Penempatan
ing
ketenagakerjaan / Hak Asasi Manusia (HAM).
BP HN
seperti Badan Perserikatan Bangsa-bangsa
penyuluhan hukum, serta pelayanan konsuler
penempatan TKI seperti penyederhanaan
(Bab V Pasal 18 – 24 UU Hubungan LN).
prosedur penempatan yang semula 24
Selain peran instansi, lembaga, maupun
d. meringankan beban biaya yang ditanggung
lR ec hts V
organisasi tersebut, keberhasilan perlindungan
simpul menjadi 14 simpul;
TKI bergantung pada diri TKI itu sendiri. Dalam
hal ini adalah kemampuan dan kemauan TKI untuk memberdayakan dan melindungi dirinya.
Melalui Instruksi Presiden Nomor 06 tahun
2006 tentang Reformasi Kebijakan Sistem
Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, para pemangku kepentingan telah melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan pelayanan
penempatan dan perlindungan kepada TKI ke luar negeri. Langkah-langkah tersebut adalah:4
a. peningkatan dasar hukum atau landasan
na
hukum yang menjadi dasar pengaturan
biaya
fiskal,
tidak
menaikkan
biaya
paspor, membebaskan biaya pengurusan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), membebaskan biaya Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP);
e. meningkatkan kualitas TKI melalui pelatihan keterampilan, kemampuan, bahasa dan persiapan mental. Hanya akan menempatkan TKI yang dinilai sudah memenuhi syarat kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang ditunjuk oleh Kemenakertrans;
Jur
penempatan dan perlindungan TKI di luar
oleh Calon TKI dengan membebaskan
“Peran Atase Ketenagakerjaan untuk Meningkatkan Perlindngan TKI di Luar Negeri”, (http://kampungtki.com/ baca/22868) Diakses pada tanggal 3 Januari 2012.
4
Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia Irregular di Luar Negeri (Adharinalti)
163
Volume 1 Nomor 1, April 2012
perlindungan bagi TKI, seperti ILC, sidang
harta TKI melalui program asuransi TKI yang
IOM, pertemuan UNIFEM, dan pertemuan
dilaksanakan oleh lima Konsorsium Asuransi.
CEDAW;
Dalam hal ini, Konsorsium Asuransi tersebut
l. melakukan
juga diwajibkan untuk bekerjasama dengan
delapan negara penempatan yaitu Malaysia, Korea Selatan, Jordania, Kuwait, Taiwan, Australia dan Uni Emirat Arab dalam bentuk penandatanganan Memorandum of penandatanganan
MoU
dengan
terdaftar 496 PPTKIS;
m. turut melaksanakan pemberantasan tindak
pidana perdagangan orang, khususnya yang menyangkut TKI sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang melalui pencegahan (tindak pidana) dan penanganan (korban),
enam
dengan cara: peningkatan kewaspadaan
negara, yaitu: Qatar, Yunani, Kuwait dan
masyarakat mengenai ciri dan modus
Yordan (revisi), Jepang, Brunei Darussalam serta Maroko;
operandi tindak pidana perdagangan orang,
lR ec hts V
pelatihan anti perdagangan orang, penelitian,
h. membentuk
empat
sentra
perluasan kesempatan kerja, perlindungan
layanan
penempatan dan perlindungan TKI (SP3TKI)
korban, dan pembentukan gugus tugas;
di Serang, Denpasar, Riau, dan Kuala
n. membina dan pemberdayaan TKI purna
Tungkal;
i. membentuk
agar dapat memanfaatkan penghasilannya
Atase
Ketenagakerjaan
di
menjadi usaha ekonomi produktif dengan
lima negara, di luar negara-negara yang
memberikan
telah
pengembangan
memiliki
Atase
Ketenagakerjaan,
bimbingan usaha,
wirausaha, pendampingan,
yaitu Singapura, Brunai Darussalam, Korea
membangun akses untuk memperoleh kredit
Selatan, Qatar dan Yordania;
modal Perbankan. Mendorong terbentuknya
j. melakukan penandatanganan kesepakatan
na
bersama dengan pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum;
Jur
k. berpartisipasi aktif dalam forum international yang
164
penerbitan
ind
Understanding (MoU). Saat ini dipersiapkan
dan
ing
g. meningkatkan hubungan bilateral dengan
registrasi
SIPPTKIS, dimana sampai saat ini telah
lembaga bantuan hukum/lawyer di negara penempatan TKI;
BP HN
f. memberikan perlindungan terhadap hak dan
diharapkan
dapat
meningkatkan
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 157-173
Asosiasi TKI purna yang dimaksudkan sebagai wadah integrasi dan konsultasi TKI Purna dalam meningkatkan dan mengembangkan potensi dan usaha yang mereka miliki.
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dengan baik bahasa di negara, di mana mereka
Ibarat dua sisi mata uang, pengiriman TKI ke
migran sesuka hati karena mereka tahu buruh
luar negeri selain memberikan dampak positif
migran ini tidak memiliki kekuatan dan sulit
berupa peningkatan kesejahteraan keluarga
mengorganisasikan diri supaya memiliki posisi
mereka dan penerimaan devisa negara, juga
tawar secara kolektif.
BP HN
2. Perlindungan Hukum TKI Irregular di Luar Negeri
bekerja. Majikan bisa memperlakukan buruh
Untuk dapat bekerja di luar negeri, para
kekerasan fisik/psikis yang menimpa TKI baik
calon tenaga kerja harus mengikuti prosedur
sebelum, selama bekerja, maupun pada saat
yang telah ditentukan baik oleh negara penerima
pulang ke daerah asal, penempatan yang tidak
maupun oleh negara pengirim agar segala
sesuai, standar gaji yang rendah karena tidak
akibat hukum sebagai legal workers dapat
sesuai kontrak kerja yang disepakati, pelecehan
diberlakukan kepada para pekerja tersebut.
seksual, dan kasus tenaga kerja yang tidak
Salah satu prosedur yang harus dilakukan oleh
berdokumen sah, sering muncul seiring dengan
para calon tenaga kerja migran adalah dengan
proses pengiriman TKI kita ke luar negeri.
melengkapi dokumen-dokumen penting.
ind
ing
memunculkan berbagai permasalahan. Kasus
Tidak jarang pula, pelanggaran pengiriman
murah dan mudahnya proses pengiriman,
tenaga kerja ke luar negeri juga dilakukan oleh
tingkat pendidikan dan keterampilan yang
PPTKIS yang dapat menyebabkan tiadanya
masih rendah, rendahnya gaji di negeri sendiri
perlindungan
serta ketiadaan informasi ke desa-desa tentang
misalnya: PPTKIS lebih memfokuskan diri
tata cara bekerja di luar negeri, disebut-sebut
pada upaya mendapatkan calon sebanyak-
sebagai penyebab bermigrasinya warga negara
banyaknya daripada menunggu permintaan
kita ke luar negeri sebagai TKI yang tidak
(job order) negara asal, tidak adanya pelatihan
berdokumen yang sah.
dan pembinaan bagi calon sesuai dengan
lR ec hts V
Sempitnya lahan pekerjaan di dalam negeri,
bagi
tenaga
kerja
migran,
ketentuan yang berlaku, tidak memberikan
memperkerjakan tenaga kerja yang tidak
informasi yang jelas dan lengkap kepada calon
berdokumen sah untuk masuk ke negaranya
tenaga kerja migran yang akan berangkat ke
karena upahnya yang jauh lebih murah juga
luar negeri, serta sistem perjanjian kerja yang
tidak perlu membayar “levy”. Buruh migran
lebih menguntungkan PPTKIS ketimbang para
pun dapat dengan mudah di eksploitasi oleh
calon-calon yang bersangkutan. Singkatnya,
majikannya karena sang majikan tahu bahwa
PPTKIS lebih mengedepankan aspek perolehan
perlindungan kepada buruh migran sangat
profit yang sebanyak-banyaknya ketimbang
minim, apalagi buruh migran itu tidak memahami
mengindahkan peraturan perundang-undangan
Jur
na
Majikan di luar negeri lebih senang
Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia Irregular di Luar Negeri (Adharinalti)
165
Volume 1 Nomor 1, April 2012
pengiriman tenaga kerja ke luar negeri
negara asal. Hal ini menyebabkan adanya ketidak-
(Art. 3);
seimbangan perbandingan antara jumlah calon
3) pelayanan kesehatan bagi tenaga kerja
tenaga kerja migran dengan jumlah yang diminta
migran (Art. 5);
berdasarkan job order negara asal.
4) penerapan
Mereka ini menjadi masalah serius karena
pihak
rawannya perlindungan bagi yang bersangkutan
bagi
mempromosikan
atau
ing
I Art. 8 dan Annex II Art. 3).
Konvensi ini ditandatangani di Jenewa pada
tanggal 1 Juli 1949. Menurut data International
mendapatkan perlindungan baik untuk dirinya
Labour Organization (ILO) tahun 2011, baru 49
sendiri maupun untuk keluarganya.
negara yang telah meratifikasinya. Indonesia
ind
berkondisi regular pun tidak sedikit yang tidak
Keberadaan tenaga kerja yang irregular ini telah meyita perhatian dunia sehingga
belum meratifikasi konvensi ini. b. Peraturan-peraturan yang diatur dalam Konvensi
lR ec hts V
keberadaannya perlu diatur dalam suatu
ILO
No.
143/1975
tentang
instrumen hukum internasional. Instrumen-
Convention
instrumen tersebut antara lain adalah:
Abusive
a. Peraturan-peraturan tenaga kerja migran
Equality and Opportunity and Treatment
Corcerning
Condition
Promotion
of
97/1949 tentang Concerning Migration for
Keadaan Disalahgunakan dan Peningkatan
Employment (Migrasi Untuk Pekerja Migran),
Kesempatan
antara lain:
Migran). Konvensi ini ditandatangani di
1) hak atas pelayanan dan informasi yang
Jenewa pada tanggal 24 Juni 1975. Menurut
2) Langkah-langkah
untuk
mencegah
Jur
na
propaganda yang menyesatkan mengenai
www.ohchr.org. Diakses tanggal 12 Januari 2012.
5
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 157-173
Worker
In
of
tenaga kerja migran (Art.2);
Imigrant
and
Migration
yang diatur dalam Konvensi ILO No.
akurat dan cuma-cuma untuk membantu
166
yang
hukum
kerja migran illegal (clandestine) (Annex
position) dengan negara pengguna jasa tenaga berkondisi irregular, tenaga kerja migran yang
sanksi
mengorganisasikan kebe-radaan tenaga
dan melemahkan posisi tawar (bargaining kerja. Jangankan tenaga kerja migran yang
BP HN
yang berlaku dan tidak sesuai dengan job order
Terhadap
(Migrasi Tenaga
Dalam Kerja
data ILO tahun 2011, baru 23 negara saja yang meratifikasinya dan Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Konvensi ini antara lain mengatur:
Volume 1 Nomor 1, April 2012
yang
tidak
berdokumen
sah
(berkondisi
BP HN
1) kewajiban bagi negara penerima untuk menghormati hak-hak tenaga kerja
irregular), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
migran (Art. 1);
melalui Majelis Umum telah mengeluarkan
dilakukan untuk menindaklanjuti tentang keberadaan tenaga kerja migran illegal yang memperkerjakan tenaga kerja migran secara illegal (Art. 2 dan 3); 3) Pengaturan
tentang
persamaan
kesempatan mengenai jabatan, jaminan sosial, dan kebebasan individual atau kolektif bagi tenaga kerja migran dan anggota-anggota keluarganya
(Art. 10);
tanggal
18 Desember 1990 yang kemudian menjadi
Konvensi Internasional.5 Konvensi tersebut dikenal dengan nama International Convention
on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, yang
terdiri dari 93 Pasal yang terbagi dalam 9 Bab yang terpisah dengan Preamble. Secara umum Konvensi Tahun 1990 ini tidak hanya mengatur perlindungan tenaga kerja migran yang memiliki
ind
beserta
Resolusinya dengan nomor 45/158
ing
2) penekanan pada usaha-usaha yang perlu
dokumen (regular situation) saja melainkan juga yang tidak berdokumen (irregular situation)
4) Konvensi ini dalam konsiderannya juga
Berikut ini substansi
Konvensi Tahun 1990 tersebut:
lR ec hts V
mengakui adanya fakta-fakta tentang
termasuk keluarganya.
imigran gelap (clandestain), sehingga
PART I
: Scope and Definition.
perlu diterapkan suatu standar khusus
PART II
: Non-discrimination with respect to
yang bertujuan untuk meng-eliminasi terjadinya
perlakuan
kejam
atau
penyalahgunaan yang lebih jauh terhadap tenaga kerja migran illegal (eksploitasi).
Dari kedua instrumen hukum internasional
itu dapat terlihat bahwa eksistensi tenaga kerja migran yang tidak berdokumen sah ini secara faktual ternyata diakui oleh setiap negara sehingga perlu menerapkan suatu standar
na
khusus guna mengeliminir terjadinya lonjakan
pengiriman dan pengeksploitasian secara besarbesaran. Untuk memberikan perlindungan
Jur
yang lebih nyata kepada tenaga kerja migran
rights.
PART III : Human rights of all migrant workers and members of their families.
PART IV : Other rights of migrant workers and members of their families who are documented or in a regular situation.
PART V : Provisions applicable to particular categories of migrant workers and members of their families
PART VI : Promotion of sound, equitable, humane and lawful conditions in connection with international
Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia Irregular di Luar Negeri (Adharinalti)
167
Volume 1 Nomor 1, April 2012
f. Terlibat aktif dalam pembuatan kontrak
of their families
kerja;
PART VII : Application of the Convention
BP HN
migration of workers and members
g. Hak untuk berkumpul kembali dengan keluarga mereka;
PART VIII : General provisions
h. Pengecualian dalam hal pajak dan kewajiban
PART IX : Final provisions Menurut Konvensi ini, bahwa setiap pekerja migran dan keluarganya mempunyai hak-hak
bea dan cukai;
i. Hak untuk memilih aktivitas.
asasi berupa:
Konvensi ini tidak mengatur hak-hak khusus
un-documented workers or in a regular situation
b. Persamaan di hadapan hukum;
secara tersendiri. Namun bukan berarti mereka
c. Hak untuk memiliki kerahasiaan pribadi;
tidak mendapatkan perlindungan.
e. Kebebasan berkumpul / berserikat; f. Mengirimkan pendapatan;
Tahun 1990 disebutkan bahwa: The Convention recognizes that “the human problems involved in migration are even more serious in the case of irregular migration” and the need to encourage appropriate action “to prevent and eliminate clandestine movements and trafficking in migrant workers, while at the same time assuring the protection of their fundamental human rights”.
lR ec hts V
g. Hak untuk mendapatkan informasi.
Di dalam pembukaan (Preamble) Konvensi
ind
d. Persamaan sebagai warga negara;
ing
a. Hak kebebasan dasar;
Di sisi lain, hak-hak lain pekerja migran yang berdokumen sah (dalam kondisi reguler) dan anggota keluarga mereka, adalah:
a. Hak untuk mendapatkan cuti (Art. 38); b. Bebas untuk bertindak;
c. Bergerak bebas dalam wilayah kerja mereka dan bebas memilih dimana mereka ingin bertempat tinggal (Art. 39);
d. Hak untuk berpartisipasi dalam politik,
kegiatan masyarakat, dan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan (Art. 41 dan 42);
na
e. Persamaan sebagai warga negara dalam
mengakses pendidikan, kursus dan pelayanan
kenyataan bahwa mereka berada dalam kondisi yang irregular bukanlah suatu alasan untuk merampas hak-hak meraka dari prinsip-prinsip persamaan sebagai warga negara dalam hal pemberian upah dan kondisi-kondisi pekerjaan lainnya termasuk upah lembur, upah kerja, upah cuti mingguan, dan upah libur karena hari libur, memperoleh keamanan, perawatan kesehatan, dan lain-lainnya (Art. 25). Mereka
Jur
sosial;
Dari pembukaan konvensi tersebut di atas,
168
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 157-173
Volume 1 Nomor 1, April 2012
dalam keadaan darurat (Art. 28).
Terhadap TKI yang berkondisi irregular dikarenakan
6
Bagaimana pun juga, hak-hak fundamental
manusiawi
BP HN
juga berhak untuk mendapatkan pertolongan
mengalami
dari
majikan,
perlakuan dan
tidak
kemudian
para pekerja migran yang tidak berdokumentasi
melarikan diri, tidak bisa ditangani semata-
ini tetap diberikan oleh konvensi ini, setidak-
mata sebagai persoalan keimigrasian. Mereka
tidaknya karena mereka adalah sama sebagai
adalah korban yang harus dipulihkan.
Kebijakan penempatan TKI di luar negeri
Indonesia yang tercatat sebagai anggota dari
pada masa mendatang perlu lebih memberikan
organisasi ILO belum menandatangani konvensi
perlindungan kepada TKI tanpa melihat legal
ini.
ataupun illegal, karena secara konstitusional,
dan
warga
Negara,
ing
sayangnya,
manusia
negara kita memang telah menjamin hak setiap
meskipun memiliki status TKI tidak berdokumen
warga negara atas pekerjaan dan penghidupan
yang sah, mereka tidak boleh dianiaya atau
yang layak bagi kemanusiaan serta terpenuhinya
diperlakukan atau dibunuh secara kejam, tidak
perlindungan setiap orang dalam memenuhi
berperikemanusiaan atau menghina (Pasal
haknya untuk bekerja dan mendapatkan
6 Deklarasi Internasional Hak Asasi Manusia
imbalan serta perlakuan yang adil dan layak
(International Declaration of Human Right)).
dalam hubungan kerja. Akan tetapi pengaturan
Selain itu juga, mereka tidak dapat menjadi
lebih lanjut jaminan tersebut dinilai belum
sasaran
sewenang-wenang,
maksimal dan belum seutuhnya melindungi
penahanan atau pengasingan (Pasal 9 Deklarasi
keluarganya di luar negeri. Jika diamati lebih
Internasional Hak Asasi Manusia (International
lanjut, pasal pengaturan penempatan TKI di
Declaration of Human Right)).
LN dalam UU PPTKILN lebih banyak mengatur
lR ec hts V
ind
Sebagai manusia yang memiliki hak asasi,
penangkapan
TKI tidak berdokumen berserta keluarganya
tentang penempatan, yaitu mulai dari Pasal 10
juga berhak mendapatkan bantuan hukum
sampai Pasal 76 (ada 67 pasal) ketimbang pasal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
mengenai perlindungan yang hanya
undangan di negara tujuan serta hukum dan
dengan 14 pasal (mulai Pasal 77 sampai Pasal
kebiasaan internasional. Pemberian hak ini
84).
menjadi tanggung jawab bersama perwakilan
Dalam
UU
Ketenagakerjaan
diatur
dan
UU
PPTKILN tidak diatur perlindungan TKI yang
dengan perwakilan PPTKIS.
tidak
berdokumen
(irregular
condition)
Jur
na
Republik Indonesia di negara tujuan penempatan
6
Asbjorn Eide; Catarina Krause; Allan Rosas, Ed., Economic, Social and Cultural Rights: A Textbook Secondary Revised Edition. (Martinus Nijhoff Publishers), hlm. 391-392.
Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia Irregular di Luar Negeri (Adharinalti)
169
Volume 1 Nomor 1, April 2012
termasuk dalam memberikan perlindungan
perlu meratifikasi International Convention
kepada TKI baik yang berdokumen maupun
on the Protection of the Rights of All Migrant
yang tidak berdokumen.
Workers and Members of Their Families 1990 mengingat juga Indonesia sebagai salah satu
E. Penutup
negara pengirim tenaga kerja ke luar negeri
1. Kesimpulan
terbanyak baik yang berdokumen maupun tidak
Berdasarkan
a. posisi tawar kita terhadap negara penerima paling
tidak
sejajar
dalam
negosiasi
pembuatan perjanjian bilateral dengan negara tujuan penempatan. Kita dapat dengan skema internasional sebagai bahan utama perjanjian tersebut;
b. kasus tindakan tidak manusiawi terhadap
khususnya yang dialami TKI kita beserta keluarganya, setidaknya menjadi berkurang;
c. bukti konsistensi political will pemerintah mewujudkan
politik
hukum
perlindungan TKI di luar negeri beserta keluarganya
terutama
TKI
yang
tidak
berdokumen sah;
d. kerjasama dengan negara-negara dalam
mengurangi tindakan tidak manusiawi akan lebih meningkat
berdokumen
(irregular
situation)
beserta
keluarganya juga mendapatkan perlindungan. Perlindungan yang dimaksud adalah berupa terpenuhinya hak asasi manusia yang berlaku bagi seluruh buruh migran. Hak asasi manusia bagi tenaga kerja yang dilindungi UUD 1945 berupa perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja serta penghindupan yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan hak asasi manusia
lR ec hts V
tenaga kerja yang berkondisi irregular
dalam
atas dapat disimpulkan bahwa TKI yang tidak
ind
meletakkan perlindungan buruh migran
pembahasan tersebut di
ing
berdokumen. Dengan meratifikasinya maka:
pekerja migran sebagaimana yang diamanatkan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, antara lain berupa Hak kebebasan (Basic Freedom); Persamaan di hadapan hukum (Due Process), Hak untuk memiliki kerahasiaan pribadi (Right to Privacy), Persamaan sebagai warga negara (Equality with Nationals); Kebebasan berkumpul/berserikat (Right to Union Activities); Menyampaikan
meratifikasi Konvensi 1990 ini,
pendapatan (Transfer of earnings); dan Hak untuk
semangat perlindungan terhadap warga negara
mendapatkan informasi (Right to Information).
termasuk TKI baik yang tertuang dalam konstitusi
Mereka juga berhak mendapatkan pemberian
maupun dalam peraturan lainnya, semakin
upah dan dan kondisi-kondisi pekerjaan lainnya
mencerminkan konsistensi political will negara
termasuk upah lembur, upah kerja, upah cuti
dalam membuat politik hukum perburuhan kita
mingguan, dan upah libur karena hari libur,
Jur
na
Dengan
170
BP HN
beserta keluarganya. Oleh karena itu kita
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 157-173
Volume 1 Nomor 1, April 2012
DAFTAR PUSTAKA
serta
Anam, M .Choirul. “3 Status , Ratifikasi , dan Perlindungan Buruh Migrant: Belajar dari Meksiko”, Sebuah Pengantar. Disampaikan dalam acara FGD Legal Frame Work on Migrant Worker. BPHN. Jakarta, 26 April 2011.
pertolongan
dalam
keadaan darurat. Bagai-manapun juga hak-hak fundamental para pekerja migran yang tidak berdokumentasi ini tetap diberikan, setidaktidaknya karena mereka adalah sama sebagai manusia dan warga negara. Mereka juga tidak boleh dianiaya atau diperlakukan atau dibunuh secara kejam, tidak berperikemanusiaan atau menghina. Dari aspek hukum, mereka tidak dapat menjadi sasaran penangkapan sewenangwenang,
penahanan
atau
pengasingan
Eide, Asbjorn; Catarina Krause; Allan Rosas, ed. Economic, Social and Cultural Rights: A Textbook Secondary Revised Edition. (Martinus Nijhoff Publishers).
ind
dan berhak untuk mendapatkan bantuan
Bonasahat, Albert. “Konvensi Internasional tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Menguatkan Kerangka Kebijakan Indonesia: Observasi dan Rekomendasi dari ILO”. Disampaikan dalam acara FGD Legal Frame Work on Migrant Worker di BPHN, Jakarta, 26 April 2011.
ing
mendapatkan
BP HN
memperoleh keamanan, peratwatan kesehatan,
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional dari
Graeme, Hugo and W. R. Bohning. Providing Information to Outgoing Indonesian Migrant Workers. First Published. (Manila: International Labour Office, 2000).
lR ec hts V
perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan penempatan dengan perwakilan PPTKIS.
Terhadap TKI yang tidak berdokumen karena menjadi korban penganiayaan majikan dan
sehingga dia melarikan diri, harus mendapatkan perlindungan pemulihan fisik dan mentalnya di
samping pemenuhan hak asasi manusianya dan
RI Belum Ratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Migran”. (Jakarta: Kompas, 9 September 1995).
pemberian bantuan hukum.
2. Saran
Indonesia
harus
segera
meratifikasi
International Convention on the Protection of
na
the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families 1990.
Perlu diberikan penyuluhan kepada calon
TKI agar tidak menjadi TKI tidak berdokumen.
Jur
Protecting the Least Protected: Rights of Migrant Workers and The Role of Trade Unions: Guidelines for Trade Unions, Labour Education 1996/2 No. 103.
Sunarno. Kebijakan Perlindungan TKI di Luar Negeri dan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Disampaikan dalam acara FGD Legal Frame Work on Migrant Worker di BPHN, Jakarta, 26 April 2011. The new Lexicon; Webster Dictionary at The English Language. Vol. I. (Dansburg: Lexicon Inc, 1995).
Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia Irregular di Luar Negeri (Adharinalti)
171
Volume 1 Nomor 1, April 2012
_________. Undang-undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN Tahun 2003 No.39. TLN No. 4279.
“Moratorium tak Kurangi Minat WNI jadi TKI”. (http:// nasional. Viva news. com/news/read/263428minat-masyarakat-daerah-jadi-tki-masih-tinggi) Diakses pada tanggal 3 Januari 2012.
_________. Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri. UU No. 37 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No. 156. TLN No. 3882.
________. Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. _________. Instruksi Presiden Nomor 06 Tahun 2006 tentang Reformasi Kebijakan Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
ind
“Peran Atase Ketenagakerjaan untuk Meningkatkan Perlindngan TKI di Luar Negeri”. (http:// kampungtki.com/baca/22868.) Diakses pada tanggal 3 Januari 2012.
________. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. UU No. 21 Tahun 2007. LN Tahun 2007 No. 58. TLN No 4720.
ing
“Pemerintah harus Jamin Pemulangan TKI Ilegal.” (http:// nasional. vivanews.com/ news/read/260071-pemerintah-harus-jaminpemulangan-tki-ilegal) Diakses pada tanggal 3 Januari 2012.
BP HN
“Buruh Migran Indonesia Terancam Kebijakan Anti Buruh Migran”. (www.hukumonline.com). Diakses pada tanggal 12 Januari 2012.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. No. 104 A/Kepmen/1999 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri.
lR ec hts V
“Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Informal.” (http://yudicare.wordpress. com/2011/03/17/perlindungan-hukum-tenagakerja-indonesia-tki-informal/.) Diakses pada tanggal 3 Januari 2012.
“Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Indonesia (Sektor Pembantu Rumah Tangga) di Luar Negeri (Bagian II)”. (http://hukum. kompasiana.com/ 2010/12/15/perlindunganhukum-terhadap-tenaga-kerja-indonesiasektor-pembantu-rumah-tangga-di-luar-negeribagian-ii/) Diakses pada tanggal 3 Januari 2012. Indonesia. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
na
_________. Undang-undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. UU No. 40 Tahun 2004. LN Tahun 2004 No. 150. TLN No. 4456.
Jur
_________. Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. UU No. 39 Tahun 2004, LN Tahun 2003 No. 39. TLN No. 4279.
172
Universal Declaration of Human Right. The International Convention 1990 on The Protection of All Migrant Workers and Members of Their Families. International Convenant on Civil and Political Right. International Labour Organization. Convention Number 97 Revised 1949 Migration for Employment. _________. Convention Number 143 1975 Migration in Abusive Condition and The Promotion of Equality of Opportunity and Treatment of Migrant Workers. A Primer on The UN Convention on The Protection of The Right of All Migrant Workers and Member of The Families”. Right of Migrant Workers, Philippine Migrant Rights Watch
Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 1, April 2012, hlm. 157-173
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Asian Partnership in International Migration, December 1997.
Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia Irregular di Luar Negeri (Adharinalti)
173
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
Biodata Penulis
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Wicipto Setiadi, lahir di Purbalingga, 11 September 1957. Saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM. Sebelumnya pernah menjabat sebagai Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan, dan Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan pada Kementerian yang sama. Menyelesaikan S1 bidang Hukum Tata Negara di Uiversitas Gajah Mada. Kemudian melanjutkan S2 pada bidang yang sama di Universitas Padjajaran dan S3 di Universitas Indonesia. Pernah mengikuti Legislative Drafting pada 1986 dan 1996, serta International Law Course pada tahun 2000 di Australia.
lR ec hts V
ind
ing
Noor Muhammad Aziz, lahir di Kebumen, 1 November 1953. Saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM. Sebelumnya menjabat sebagai Kepala Divisi Pelayanan Hukum di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI di Provinsi Sumatera Utara. Menyelesaikan S1 bidang Hukum di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 1978, S2 pada bidang yang sama di Universitas Tarumanegara (UNTAR) Jakarta tahun 2000, dan S2 bidang manajemen di UPI YAI Jakarta tahun 2002. Pernah mengikuti short Course Legal Drafting tingkat dasar pada tahun 1987 dan tingkat lanjutan pada 1991 di Belanda, serta studi banding pembentukan peraturan perundang-undangan di Australia tahun 2011. Untuk bidang hukum HKI, pernah mengikuti short course Intellectual Property Rights di WIPO Geneva Switzerland, pada tahun 1991 dan short course Penegakan Hukum HKI atas sponsor JICA di Jepang tahun 2006. Nurhasan Ismail, lahir di Madura, 14 Juni 1955. Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.Menyelesaikan S1 bidang Hukum di UGM, S2 Program Studi Sosiologi di UGM. Pernah mengikuti Overseas Short Course on : Political-Economy of Development in the Third World, di Northern Illinois University, dan menyelesaikan S3 bidang hukum di UGM. Tyas Dian Anggraeni, lahir di Yogyakarta,10 September 1979. Kasubbid Penelitian Kebutuhan Hukum, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM. Menyelesaikan S1 bidang Hukum di Universitas Janabadra,Yogyakarta. Kemudian melanjutkan S2 pada bidang yang sama di Universitas Indonesia, Jakarta.
Jur
na
Tirta Nugraha Mursitama (Lektor Kepala Ekonomi Politik Internasional). Lahir di Semarang, 10 September 1974. Merupakan ketua departemen Hubungan Internasional Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara (BINUS). Menyelesaikan S1 Hubungan Internasional di FISIP UI, S2 dan S3 bidang manajemen Graduate School of Management Gakushuin University, Tokyo, Jepang. Pernah menjabat Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) tahun 2009-2010 dan Direktur Eksekutif Center for East Asian Cooperation Studies (CEACoS) UI serta peserta angkatan pertama Future Defense Leaders Workshop 2010 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
Arfan Faiz Muhlizi, lahir di Tuban, 17 Desember 1974. Saat ini menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Fasilitasi Jabatan Peneliti Hukum dan Penelitian, Puslitbangsiskumnas, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM. Menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya pada 1999. Kemudian menyelesaikan S2 pada bidang yang sama di Universitas Indonesia, Jakarta pada 2005. Apri Listiyanto, lahir di Wonogiri, 23 April 1982. Analis Hukum pada Bidang Pertemuan Ilmiah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM. Menyelesaikan S1 bidang Hukum di Universitas Sebelas Maret.
ing
Nunuk Febriananingsih, lahir di Klaten, 08 Februari 1977. Merupakan Analis Hukum pada Sub Bidang Penelitian Hubungan Hukum dan Masyarakat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM. Menyelesaikan S1 bidang Hukum di Universitas Indonesia, Jakarta. Kemudian melanjutkan S2 pada bidang yang sama di Universitas Padjajaran, Bandung.
Jur
na
lR ec hts V
ind
Adharinalti, lahir di Padang, 8 Nopember 1978. Saat ini menjabat sebagai Kasubbid Penelitian Hukum Tidak Tertulis, Puslitbangsiskumnas, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM Menyelesaikan S1 dan S2 bidang Hukum di Universitas Indonesia, Jakarta.
INDEKS
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
A
Albert Bonasahat 172
A. Siti Soetami 103
Algemeen
- Beginselen van Behoorlijk Bestuur 98,
A.A. Oka Mahendra 105
109
Abdi Dalem 54, 63, 72
- Deel 103
Abdul Malik 82
- Richtlijnen 110
ing
Abdhali Watik Usman 146
Alienasi 152
Absentee 37, 38
Amanat
Abuse of Power 87
- Presiden 28
- draft 12, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 66 Accountability 77, 118, 151 Aceh 48, 128 ACFTA 87
- Sri Paduka 64, 72
ind
Academic
Amandemen 6, 9, 10 Ambiguitas 4 Amerika serikat 7, 8 Amputasi 4, 14
Adharinalti 157
Anglo saxon 5, 14
Administrasi 55, 62, 82, 93-110, 117, 144,
Ango’ Apoteya Tolang Ebanding Apoteya 34
lR ec hts V
Adat 22, 41, 42, 49, 59
146, 148, 150 Advokasi 82, 83
Aparat 4, 18, 43, 50, 77, 83, 102, 145, 152, 162
Advokator 43
Aparatur 29, 80, 145, 147, 148, 154
Agama 7, 10, 11, 29, 38, 49, 51, 77
Apri Listiyanto 113
Agraria
Arab 164
22, 35, 36, 38, 40, 43, 54, 55, 60,
61, 64
Arfan Faiz Muhlizi 93
Agraris 54
Aristoteles 94
Aguswandi 84
Asas - Hukum 25, 26, 35, 98, 100, 104, 109
Ahmad M. Ramli 140
- Legalitas 96, 100, 101, 105
Ajudikasi 143, 144, 145
- Penyelenggaraan Pemerintahan 104
Akuntabel 10, 116, 121, 122, 128, 130, 139,
- Umum Pemerintahan yang Baik 96, 98,
Jur
na
Agus Mulyono 155
140, 154
Akuntabilitas 2, 77, 87, 106, 115, 123, 150, 151
105, 106, 109 Asbjorn Eide 168 ASEAN 87
Asia 115, 160
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
- migrant 165, 169, 170
Asistensi 83, 90
Business 75
Aspirasi 10, 80, 83, 161
C
Asuransi 160, 163
Calculable 118
Atase 163, 164
Catalyst of Dialogue 82
Atribusi 104
CEDAW 164
Aung San Suu Kyi 95
Central Government Heavy 87
ing
Assessment 17, 115, 120
Charakterisketch 22
Australia 164
China 87
Authority 150
Civil Society 76, 77, 81, 82, 83, 84, 89,
B Bagir Manan 103 Balancing Interest 82 Banjarbaru 85
- of Ethic 96, 109 - of Live 97
Cohesion 150 Concrete Bestuursbesluiten 104
lR ec hts V
Bargaining Position 159, 165
ind
Code
Beauraucracy 103
Conditio Sine Qua Non 25
Belanda 8, 63, 98, 109
Constituendum 21, 99
Beleidsregels 104
Constitution 11
BERDIKARI 39
Convention Corcerning Migration in Culture
Bestuur 94, 98, 103, 104, 105, 109
166
Bestuurszorg 97
Corrupt 81, 95
Bijzonder Deel 103
Corruption 81
Birokrasi 4, 5, 6, 14, 76, 77, 80, 81, 82, 83, 84,
Cultural 168
88, 90, 91, 96, 102, 103, 109, 110, 119, 131, 147, 148, 149, 151, 152, 154, 163
D
Daerah Istimewa Yogyakarta 53, 62
Bisnis 46, 81, 84, 89, 91, 115, 118, 123, 124,
Dahlan Thaib 150
na
Birokrat 80, 84, 85, 91, 96, 99 125
Daniel Lev 80 Dawud Djatmiko 101
Budaya
Declaration 169
Jur
Boedi Harsono 58
- Hukum 9, 12, 13, 15, 23, 29
Buruh
Defensif 95, 114 Degradasi 2
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Delegasi 104, 109
Domestik 67, 88
Delegatif 97
Dominasi 9, 37
Demokrasi 5, 6, 7, 9, 10, 13, 14, 81, 89, 152
Donald Black 23
Demokratis 3, 6, 9, 10, 11, 13, 15, 137, 148, 152
E
Ecology 86
Deskriptif 19, 20, 21, 22, 116, 138
Economic 114, 150, 168
Deskriptive 20
Efektif 8, 31, 114, 115, 119, 128, 130, 139, 140, 146, 150
Desy Hariyati 85
Efektivitas 11, 23, 24, 50, 117, 128, 131, 151,
Detournement de Pouvoir 94, 107
Diana Halim Koentjoro 99, 103 Diferensiasi 50, 51 Dignity 53
Eficiency 151 Efisien
81, 84, 91, 96, 114, 118, 119, 122,
128, 130, 139, 140, 147, 150
Efisiensi 11, 96, 115, 117, 118, 122, 126, 128,
lR ec hts V
DIPA 144, 154
152
ind
Development 1, 20, 21, 106, 114, 120, 150 Diagnostic 20
ing
Democracy 148
129, 130, 131, 146
Disclosure 135
Eigendom 58, 59, 63
Diskresi 93-109
Eko Budihardjo 46
Discretion 93, 100
Eko Prasodjo 77
Discretionary 93
Ekologi 86
Discretionnaire 96, 97
Eksekutif 9, 96, 99, 103, 140
Diseminasi 12, 152
Eksistensi 11, 58, 62, 70, 72, 99, 137, 167
Disharmoni 11
Eksplisit 2, 10, 31
Diskriminasi
Eksploitatif 161, 165, 167
- Positif 64
Eksploratif 12, 22 Empiris 3, 18, 19, 21, 76
Diskursus 9
Empowerment 106
Diskusi 26, 56, 69
Enforcement 9, 39
Dispensasi 85, 91
Enhancement 1
Doelmatigheid 96
Ensiklopedi 26
Doktrinal 24, 36, 98
Entrepreneur 77
Domein 58, 64, 71
Equity 39, 151
Domeinverklaring 55, 59
Equivalent 53
Jur
na
Diskriminatif 4, 77, 114, 130
Erfelijk Gebruiksrecht 61
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
151, 154
Eropa 54, 64
Governance 85, 86, 88, 135, 149, 150
Esmi Warassih 99
Government 25, 53, 87, 93, 94, 95, 113, 115,
Establishment 17
116, 118, 119, 135, 137, 148, 149, 150,
Ethic 96, 109
162
Etika 106
H
Eugen Ehrlich 8
Hak
ing
Etnik 77
- Andarbeni 58
Executive review 102
- Anggaduh 58
Exemption 137, 147
- Angganggo 58
F Feodalisme 59 Filosof 6
ind
- Asasi Manusia 7, 10, 136, 148, 162, 169, 170
- Blengket 58
Falsafah 9, 10, 11, 15
lR ec hts V
Finansial 124
- Eigendom 58, 63 - Guna Bangunan (HGB) 55, 70
Flexibility 113
- Guna Usaha (HGU) 40, 55
Food Estate Program 42
- Informasi 136, 138, 139
Forecasting 27
- Memungut Hasil 59
Fragmentatif 129
- Mengelola Tanah 59
Frank J. Gracia 114
- Milik 55, 58, 59, 60, 62, 63, 66, 68, 70,
Freedom 136, 170 Free
71 - Milik Raja 59
- Flow of Goods 87
- Pakai 40, 43, 61, 63, 70
- Flow of Services 87
- Pengelolaan 40, 43, 69
- of Natural Person 87
- Previlige 34 - Pungut Hasil 58
Futuristik 26
- Ulayat 41, 42, 59
Futurologi 26
- Veto 57, 66, 67, 69
Jur
na
Freies Ermessen 97, 98, 99, 100, 102, 107
G
Good governance 87, 89, 91, 115, 116 117, 130, 131, 135, 137, 140, 148, 149, 150,
Hakim 3, 22, 25, 98, 100, 105 Hamengku Buwono 58, 62, 64, 68, 71, 72 Hamid Chalid 85 Hanif Suranto 155
Hans Antlov 77
Informasi
Harmonis 2, 3, 14
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
20, 21, 27, 30, 31, 99, 116, 118,
122, 123, 135-154 Information 135
Herold D. Laswell 7, 8
Infrastruktur 13, 147
Hindia Belanda 8, 63
Inggris 58, 71
Hipotesis 19, 21
Inisiatif 97, 99, 102, 108, 158
Hirarki 12, 132
Inlandsbezitsrecht 60, 61
Historis 12, 20, 21, 47, 48, 109
Inovasi 88, 125, 129, 130
History 53 Holistik 12, 84, 90 Hugo Graeme 159 Hukum
ing
Harmonisasi 12, 29, 105
Inovatif 83, 90 Instabilitas 5
Instrument 8, 11, 150
- Positif 21 - Prismatik 36, 37, 38, 49, 51 - Progresif 36
ind
Integrasi 7, 10, 150, 164 Integrated 1 Integratif 85
Integration 33, 150
I
lR ec hts V
Integritas 2, 76, 78, 79, 80, 89 Intensif 37, 39
Ian Bremmer 5
Intepretasi 86, 87, 88
Ideologi 10, 39, 50
Interaksi 53, 115, 150
Ideologisasi 41, 44
Interdisipliner 26, 27
Ifdhal Kasim 39
Intermediasi 150
Ijin
Internal 5, 14, 73, 82, 148, 151, 153
- Lokasi 40 ILC 164
Internasional 2, 8, 10, 22, 84, 114, 116, 118, 119, 136, 160, 161, 166, 167, 169, 171
Intervensi 3, 49,
Imigrasi 159, 162, 169
Inventarisasi 22, 26,
Immaterial 107
Investasi 43, 88, 124
Impartialitas 2, 4
Investor 43, 48, 67
Implikasi 11, 80, 114, 145, 146
Ironi 2
Important 1
Irregular 157-171
Indigenous 83, 90
Ius Constituendum 21, 99
Individualisasi 37
Izin Prakarsa 28
Jur
na
Iman Sugema 117
Indroharto 99
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
J
- Sosial 6, 7, 10, 150
Keamanan 5, 6, 66, 85, 127, 129, 141, 148,
J.H. Harper 94
153, 168, 170
Jaksa Agung 142 Javanese 53
Kearifan Lokal 66, 85
JCT Simorangkir 99
Kebebasan 3, 5, 11, 14, 40, 94, 97, 98, 99,
Jepang 146, 164
100, 102, 108, 122, 136, 149, 150, 151,
Jerman 100, 103, 105
161, 166, 170
Keberagaman 11, 49, 51
ing
Jimly Asshiddiqie 6
Kebijakan Publik 8, 82, 83, 89, 90, 119, 123,
Jordania 164
136, 140, 145, 149, 154
Joko Widodo 151
Kebudayaan 20, 56, 64, 66, 68, 148, 153
Joyo Winoto 45 Judicial Review 11, 12, 18, 101, 102 Jurisprudensi 22 Justice 114
ind
Kebumen 48
Judicial 11, 12, 18, 102
Kedaulatan
- Hukum 7 - Rakyat 7
lR ec hts V
Keistimewaan 62, 69
K
Kemajemukan 37 Kemanusiaan
Kadipaten Pakualaman 58, 64, 72 Kalimantan 47, 48
7, 122, 125, 158, 161, 169,
170
Kapitalisme 39, 41, 50
Kodifikasi 104
Kapitalistik 41-45
Kognitif 84, 90
Kasultanan
Kolektif 165, 166
- Ngayogyakarta Hadiningrat 72
- Yogyakarta 58, 59, 63, 67, 71
58, 64, 71,
Kolonial 43 Kolusi 95, 109, 115, 119, 131, 149 Komisi - Independen 140
Katalisator 82, 83
- Informasi 137
Kausalitas 20
- Pemberantasan Korupsi (KPK) 4, 78, 119,
na
Kasunanan 58, 71
Kausal-Komporatif 21
Jur
Kawedanaan 54 Keadaban 7, 10 Keadilan
- Korektif 64
120, 131, 142, 148, 153 - Pemilihan Umum (KPU) 148, 153 - Yudisial 140 Konfrontatif 38 Konsensus 83
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Konservasi 37
- Research 17, 135
Konsolidasi 68
- Structure 23
Konstitusi 45, 101
- Substance 23
Legalitas 96, 100, 101, 105
Konversi 54, 64, 82
Legislasi 9, 11, 12, 19, 28, 29
Koperasi 37, 38, 126, 130
Legislatif 97, 103, 140
Korea 164
Legislation 17, 93
Korelasional 20, 21
Legislative Drafting 25
Korupsi 3, 4, 80, 83, 84, 89, 90, 95, 101, 104, 105, 109, 115, 119, 120, 121, 122, 124, Korupsisasi 44, 45 Koruptor 2, 4 Kreatifitas 88, 148 Kredibel 115
Legitimasi 63, 77, 81, 82, 88, 89, 150 Liberal 41, 42, 43, 44, 45 Liberalisasi 39, 42, 44, 50, 114, 118 Lintong Oloan Siahaan 108 Local Wisdom 85 Lokasi 40, 41, 48 Lord Acton 95
lR ec hts V
Kriminalisasi 42, 44, 45, 94, 96, 101
Legisme 8, 93, 101,
ind
125, 131, 146, 149,
ing
Konvensi 12, 160, 166, 167, 168, 170
Krisis 3, 14
LP3ES 39, 148
Kuwait 164
Lustrasi 4, 14, 15
L
M
Lampung 48, 80
M. Choirul Anam 172
Landbouw Onderneming 61,
Machiaveli 94
Landreform 38, 39, 40, 44,
Madani 76, 77, 81, 82, 83, 89, 90
Law
Mahfud MD 4, 6
- Certainty 113
Mahkamah - Agung 42, 148, 154
- in Action 23, 24
- Konstitusi 101
na
- Enforcement Process 9 - in Books 23, 24
Makassar 79, 80, 85
- Making Process 9
Mal Administrasi 146 Malaysia 6, 158, 159, 164
Legal
Mandat 45, 104
Jur
Leemten 102
- Culture 23
Mandate 53
- Issues 1, 17, 93
Mandatory 147, 154
Manunggaling Kawula Gusti 63
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Mutatis Mutandis 9
Manuscript 17
N
Maria SW Sumardjono 64
N.G.B Mandica-Nur 139
Marjinal 36, 37, 45, 50
Nadere Regelgeving 104
Martabat 56, 158,
Nangroe Aceh Darussalam (NAD) 128
Martin Dischendorfer 114
Nasionalis 38, 56
Mas Achmad Santosa 149
Nasionalisasi 38
ing
Marcus Lukman 102
Nasionalisme 56, 65
Mataram 58, 71, 80
Naskah Akademik (NA) 12, 26-31, 66
Mayoritas 34, 57, 144, 148, 153
National Law 53
Media 136, 152 Mediasi 143, 144 Mediator 143 Mobilisasi 82
Negosiasi 22, 169 Nepotisme 95, 109, 115, 119, 131, 149 Netherland 98 Ngayogyakarta Hadiningrat 58, 64, 71, 72
lR ec hts V
Mochammad Tauchid 63
National Pardon 4, 14, 15
ind
Meanstream 43
Mochtar Kusumaatmadja 7, 8, 21
Nias 127, 128
Modal 13, 15, 24, 32, 39, 79, 85, 86, 87, 88,
Niklas Luhmann 118
119, 124, 125, 164
Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) 44
Model 54, 62, 83, 85, 87
Nomokrasi 7, 10
Modern 13, 37, 46, 97, 118, 152
non- retroaktif 10
Modernitas 56
Noor Muhammad Aziz 17
Modifikasi 7, 81,
Norma 10, 12, 15, 21, 24, 57, 66, 80, 107,
Moedjanto G. 58
Mohtar Mas’oed 39
114, 116, 162,
Normatif 3, 19, 23, 24, 25, 29, 58, 76, 96, 98,
Monitoring 82, 148
103, 114, 116, 137, 138, 140, 161
Normative 23, 114, 135, 157
Monograf 26
Nunuk Febriananingsih 135
Monopoli 37, 38
Nurhasan Ismail 33, 36, 69
na
Monodisipliner 25, 26
Jur
Moral 5, 7, 14, 15, 95, 125, 149 Multidisiplin 26, 29
O
Multipartai 9
Offensive 20
Multitafsir 130, 140
Open Government 135, 137, 148, 149
Openbaar 94 Operasional
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Pancasila 6, 7, 99 7, 35, 54, 62, 116, 136, 142,
143
Paniti Kismo 54, 72
Panitia De Monchy 98
Oposisi 95
Papua 35, 47, 48
Opstal 63
Paradigma 4, 5, 7, 9, 13, 14, 15, 80, 83, 137,
Optimal 18
147, 149, 150
Orde
Paralel 18, 9
- Lama 38, 39 - Reformasi 38, 41 Order 1, 2, 10, 75, 93, 165 Orientasi 4, 10, 13, 14, 15, 80 Otentik 142 Otonom 65
Partai 9, 38, 39, 40 Pasuruan 48
Paternalistik 94
Patrick McAuslan 46 Patronage 118 Patron-Klien 115 Patuan Sinaga 97
lR ec hts V
Otonomi 9, 46, 64, 76, 85, 87, 132, 151
Parpol 140
ind
117
Parlemen 38
ing
- Baru 4, 5, 6, 38, 39, 41, 42, 44, 50, 80,
Otoritarian 5, 9
Paul J. Carrier 114
Otoritas 54
Paulus Effendi Lotulung 105
Otoriter 5, 6, 67
Penetrate
Overdheid 104
Pengadilan 22, 25, 26, 48, 98, 100, 101, 106,
Overdracht Van Dat Gebruiksrecht 61 Overheersend 22
107, 145
Perancis 100 Perda 67, 71, 83
P
Perdais 66, 68
Pajak
Perdata 22, 70, 132, 142 Perjanjian Giyanti 58, 71
- Tanah 55, 61
Pers 149
na
- Pendapatan 61
Paku Alam VIII 64, 72
Pakualam 54, 56, 64, 69, 72
Jur
Pakualaman
- Ground 56, 62
Pakualamanaat Grond 66, 68, 69, 71, 73 Pamong Desa 61
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 47, 160, 162, 167 Persil 60 Philipus M Hadjon 94, 104 Politik - Hukum 6
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
- Hukum Pertanahan 33
- Campaign 83
- Disclosure 135
Polri 142, 148, 153
- Service 75, 83, 97, 104, 108
Population 150
Publik 69, 70, 71, 75-92
Portofolio 123
Publikasi 138
Pouvoir Discretionnaire 96, 97
Pungutan 55
Praesumptio Iustae Causa 104
Punishment 130
Pragmatis 8
Purbalingga 85
Prescriptive 20 Presiden
5, 9, 12, 28, 103, 117, 118, 120,
Pribumi 55, 60, 63, 117 Primary Constitution Organs 11
Principle of Good Public Administration 103 Prita 84
Pustoko 62 Putusan
Putusan Pengadilan 25, 26, 100, 101, 142
Q
Qatar 114, 164
lR ec hts V
Primer 3, 24, 76, 137, 138
Purnakawan 54
ind
125, 129, 131, 132, 142, 163 Presidensial 7, 9
ing
Pura Pakualaman 54, 67, 70, 71
Preferensi 114, 117, 131
Privacy 142, 170 Privilege 53
Problem 4, 46, 47, 168 Procedures
Process 9, 170
Profesional 4, 77, 83, 84, 90, 91, 126 Progresif 35, 36, 52 Prolegnas 11, 12 Promote 150
na
Proporsional 139
Protektif 114, 117, 131 Province 53
Jur
Proyeksi 21
Psikologi 19 Public
- Administration 103, 109
R
Raffles 58 Rajagukguk 59 Ratifikasi 160 Reach Communities 135 Rechtmatigheid van Bestuur 105 Rechtsbetrekking 103 Rechtsstaat 4, 14, 15, 98 Rechtsvacuum 97 Rechtsvinding 102 Reclaiming 48 Reform 33, 113 Reforma Agraria 43, 46 Reformasi Birokrasi 75, 76, 109, 148, 154 Reformation 113 Register 60
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Register Leter C 62
Rusma Dwiyana 106
Regular 159, 165, 167, 168
Rustam Ibrahim 77
Regulasi 12, 18, 64, 65, 80, 95, 96, 109, 113,
Ryaas Rasyid 106, 148
115, 116, 119, 125, 130, 132, 137, 148, 153
S
S. Prajudi Atmosudirjo 99, 100
Rekognisi 42
Sakdhumuk Batok Senyari Bumi 34
Rekonstruksi 102, 127, 128
Satjipto Rahardjo 36, 65
Rekrutmen 4
ing
Rehabilitasi 127, 128
Saut P Panjaitan 102 Sedarmayanti 150
Relevan 5, 98, 116, 138, 152, 159 REPELITA 126 Represif 4, 48 Resolusi 66, 136, 167 Responsibilitas 87
Sengketa 34, 108, 109, 138, 139, 141, 143, 144, 145
Sentralistik 9 Separation 9
Serat Kekancingan 55
lR ec hts V
Responsiveness 150
Selo Soemardjan 58
ind
Relatif 6
Retensi 139
SF Marbun 97, 98, 102, 103, 107
Retroaktif 10
Shidarta 8
Revolusioner 38
Sigit Indra Prianto 85
Reward 130
Singapura 114, 158, 164
Reward And Punishment 130
Sinkronisasi 98, 104
Rezim 3, 4, 95, 101
Sinyalemen 2
Rijkbestuurder 63
Sipil 80, 82, 84, 89, 90, 91, 100, 101
Rijksblad 54, 55, 60, 61, 63, 64, 72,
Sistem
Ritel 46
RKA-KL 144
na
Role Model 83
Ronny Hanitijo Soemitro 24
- Hukum 2, 6, 7, 9, 11, 12, 23, 25, 29, 51, 54, 64, 71, 73 - Transparansi Nasional 75, 76, 81, 82, 84, 85, 88, 91
Sistematik Hukum 98
RPJM 28
Sistematis 11, 21
Rule Government 150
Siti Soetami 103
Rule of law 4, 6, 14, 15, 118, 150
Sjachran Basah 96, 99
Rusli K. Iskandar 107
Soebakti Poesponot 59
Jur
Roscoe Pound 7, 8
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Soemitro Djojohadikusumo 115
Survey 20
Soerjono Soekanto 3, 18, 19, 21, 23, 24, 58,
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 5, 12
76, 98, 137
Susuhunan 58, 71
Soetandyo Wignyosoebroto 24
Swadaya 9, 162
Solidaritas 84
Swastanisasi 39, 50
Solly Lubis 7 Sosiologi 3, 10, 12, 13, 18, 19, 21, 23, 24, 27,
T
ing
Tahta 56, 57, 70
30, 76, 99
Taiwan 164
Soverignity 114 Sri Mamuji 3, 18, 19, 21, 23, 24, 58, 76, 98,
Talizidhuhu Ndraha 105 Tanah
Sri Soemantri Martosoewignjo 95 Staatrechtelijk 103 Stabilitas Nasional 3, 5, 14 Stability 1
- Absentee 37, 38
ind
137
- Golongan 63 - Kasentanan 63 - Kebonan 63
lR ec hts V
Stakeholders 8, 12, 82, 83, 88, 90, 91, 150, 151, 152 Standar
- Layanan Informasi 138, 139, 143 - Minimal Pelayanan 78, 89
- Lungguh 60, 61 - Negara 55 - Pekarangan 63 - Terlantar 44
Tangerang 84 Ter Haar 59
Subsidi 43
Tirta N. Mursitama 75, 85
Sulawesi 48
Transparan 75-91
Sultan Ground 56, 58, 62
Transparancy 75-91
Sultan Hamengku Buwono IX 64, 65, 68
Transparansi 75-91
Sultanaat Grond 66, 68, 69
Tri Widodo Utomo 64
Sumatera 47, 103, 127, 128
Tyas Dian Anggraeni 53
na
State Auxiliary Body 11
Sunaryati Hartono 6, 19-27
U
Supremasi Hukum 1, 2, 3, 5, 14
Uissi La Pernah Merigat 34
Supreme Court 8
Ujang Bahar 133
Suprianto 95
Ulos Na So Boi Maribak 34
Surakarta 58, 71
Universal Declaration of Human Right 136
Jur
Supremacy of Law 1
Y
Upah Minimum Kabupaten/Propinsi 41 Urgency 17
BP HN
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Yayasan 71, 140
Establishment 17
Yogyakarta 53
Urgensi 17
Yuridis Empiris 18, 19
UUPA 35-51, 54, 56, 64, 72
Yurisdiksi 123
Yurisprudensi 8
V Variable 23, 24
Zaman 8, 43, 60
Vermoeden Van Rechtmatigheid 104 Veto 56, 57, 66, 67, 69, 73 Voorveending 61 Vorstendomein 59
W
lR ec hts V
Vorsteneigendomsrecht 59
Zulfadli Barus 23
ind
Verklarend Woordenboek Openbaar Bestuur 94
ing
Z
Value Added 85
W. Friedman 23
W. R. Bohning 159
Wahono Sarto Griyo 54 Watchdog 152
Welfare State 97, 98 Wewengkon 60, 67 Willekeur 107
Woordenboek 94
Jur
na
Workers 157
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL RECHTSVINDING
Jurnal RechtsVinding merupakan media caturwulanan di bidang hukum, terbit sebanyak 3 (tiga) nomor dalam setahun (Januari-April; Mei-Agustus; September-Desember). Jurnal RechtsVinding diisi
oleh para pakar hukum, akademisi, penyelenggara negara, praktisi serta pemerhati dan penggiat
hukum. Redaksi Jurnal RechtsVinding menerima naskah karya tulis ilmiah di bidang hukum yang belum
ing
pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Redaksi menerima naskah karya tulis ilmiah bidang Hukum dari dalam dan luar lingkungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
ind
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
2. Jurnal RechtsVinding menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaksi. Dewan Redaksi dan Mitra Bestari akan memeriksa naskah yang akan masuk dan berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan.
3. Naskah dikirim berbentuk Karya Tulis Ilmiah berupa:
lR ec hts V
a. Hasil Penelitian; b. Kajian Teori;
c. Studi Kepustakaan; dan
d. Analisa / tinjauan putusan lembaga peradilan.
4. Judul naskah harus singkat dan mencerminkan isi tulisan serta tidak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital dengan posisi tengah (centre) dan huruf tebal (bold). Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Apabila naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia maka judul dalam Bahasa Indonesia ditulis di atas Bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya. Judul kedua ditulis miring (italic) dan di dalam kurung. 5. Abstrak memuat latar belakang, permasalahan, metode penelitian, kesimpulan dan saran. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia (maksimal 200 kata) dan Bahasa Inggris (maksimal 150
na
kata). Abstrak ditulis dengan huruf cetak miring (italic) dalam 1 (satu) alinea dengan spasi 1 (satu) dan bentuk lurus margin kanan dan kiri / justify. Hindari pengunaan singkatan dalam abstrak. Di bawah abstrak dicantumkan minimal 3 (tiga) dan maksimal 5 (lima) kata kunci, ditulis dengan huruf cetak miring (italic). Abstract dalam Bahasa Inggris maka diikuti kata kunci
Jur
(Keywords) dalam Bahasa Inggris. Abstrak dalam Bahasa Indonesia maka diikuti kata kunci dalam Bahasa Indonesia.
6. Sistematika Penulisan:
Sistematika penulisan harus memenuhi dan secara berurutan mencakup:
Volume 1 Nomor 1, April 2012
Judul;
-
Nama Penulis (diketik di bawah judul ditulis lengkap dengan menyebutkan gelar. Jika
BP HN
-
penulis terdiri lebih dari satu orang maka harus ditambahkan kata penghubung ’dan’ (bukan lambang ’&’); Nama Instansi Penulis;
-
Abstrak;
-
Kata Kunci;
-
Pendahuluan (berisi latar belakang);
-
Permasalahan;
-
Metode Penelitian (berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, metode analisis data);
ing
-
Pembahasan;
-
Kesimpulan (berisi kesimpulan dan saran).
7. Aturan Teknis Penulisan:
ind
-
a. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, diserahkan dalam bentuk file elektronik (soft copy) dalam program MS Office Word serta 2 (dua) rangkap dalam bentuk
lR ec hts V
cetakan (print out).
b. Jumlah halaman naskah 20 s.d. 25 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka. Bila lebih dari 25 halaman, redaksi berhak untuk menyunting ulang, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis.
c. Ditulis dengan menggunakan MS Office Word pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm), font Calibri ukuran 12, spasi 1,5, kecuali tabel (spasi 1,0). Batas / margin atas, batas bawah,
tepi kiri dan tepi kanan 3 cm.
d. Penyebutan istilah di luar Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris harus ditulis dengan huruf cetak miring (italic).
-
Jur
na
- - - -
e. Penyajian Tabel: Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font Calibri ukuran 12; Tulisan ‘Tabel’ dan ‘nomor’ ditulis tebal (bold), sedangkan judul tabel ditulis normal; Gunakan angka Arab (1, 2, 3, dst.) untuk penomoran judul tabel; Tabel ditampilkan rata kiri halaman (bukan center); Jenis dan ukuran font untuk isi tabel bisa disesuaikan menurut kebutuhan (Times New Roman atau Arial Narrow ukuran 8—11) dengan jarak spasi tunggal); Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel, rata kiri, menggunakan font Calibri ukuran 10.
-
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
f. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (foot note) mengikuti Turabian Style.
Penulisan model catatan kaki menggunakan font Cambria 10. Penulisan model catatan kaki dan Daftar Pustaka dengan tata cara penulisan sebagai berikut: -
Buku (1 orang penulis): Wendy Doniger, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1999), hlm. 65.
-
Buku (2 orang penulis): Guy Cowlishaw and Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago: University of Chicago Press, 2000), hlm. 104–7.
-
Buku (4 orang atau lebih penulis): Edward O. Laumann et al., The Social Organization
ing
of Sexuality: Sexual Practices in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994), hlm. 262. -
Artikel dalam Jurnal: John Maynard Smith, “The Origin of Altruism,” Nature 393 (1998): 639.
Artikel dalam jurnal on-line: Mark A. Hlatky et al., “Quality-of-Life and Depressive Symptoms
ind
-
in Postmenopausal Women after Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/Progestin Replacement Study (HERS) Trial,” Journal of the American Medical Association 287, no. 5 (2002), http://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108. -
lR ec hts V
html#aainfo (diakses tanggal 7 Januari 2004).
Tulisan dalam seminar : Brian Doyle, “Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (makalah disampaikan pada the annual international meeting for the Society of Biblical Literature, Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002).
-
Website / internet : Evanston Public Library Board of Trustees, “Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library,
http://www.
epl.org/library/strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005).
g. Penulisan Daftar Pustaka: -
Bahan referensi yang dijadikan bahan rujukan hendaknya menggunakan edisi paling muktahir;
-
Penulisan daftar pustaka diklasifikasikan berdasarkan jenis acuan yang digunakan, misal
na
Peraturan Perundang-undangan, Buku, Artikel, Internet;
-
Penulisan daftar pustaka disusun berdasarkan alphabet;
-
Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian
Jur
(termasuk skripsi, tesis, disertasi), buku terbitan resmi, atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah;
-
Penggunaan referensi dari internet hendaknya menggunakan situs resmi yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya.
Volume 1 Nomor 1, April 2012
BP HN
8. Naskah dikirimkan dalam bentuk file elektronik (softcopy) dan cetakan (hardcopy) yang
dilampiri dengan biodata singkat (CV) penulis, alamat e-mail, nomor telepon, naskah dapat dikirim melalui:
[email protected];
[email protected] dan
[email protected].
9. Naskah dapat dikirimkan atau diserahkan secara langsung kepada:
ing
Redaksi Jurnal RechtsVinding Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta, Telp.: 021-8091908 ext.105; Fax.: 021-8002265.
10. Naskah yang belum memenuhi format dan ketentuan di atas tidak akan diseleksi. Dewan Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk tanpa merubah substansi. Kepastian atau
ind
penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Dewan Redaksi Jurnal RechtsVinding.
Jur
na
lR ec hts V
Artikel yang tidak dimuat akan dikembalikan ke penulis melalui e-mail.