ISSN 1411-0016
Volume I, Nomor 2, Januari 2014
Diterbitkan oleh: Bidang Bidang Sport Science & Penerapan Iptek Olahraga KONI Pusat
2| ISSN 1411-0016
Volume I, Nomor 2, Januari 2014
Pelindung: Ketua Umum KONI Pusat Penasehat: Wakil Ketua Umum I, II, III, IV dan V KONI Pusat Sekretaris Jenderal KONI Pusat Penanggung Jawab: Ketua Bidang Sport Science dan Penerapan Iptek Olahraga Pemimpin Redaksi: Lilik Sudarwati, Psi. Tim Editor/Penyunting: Dr. Rer. Nat. Chaidir, Apt. Fotografer & Design Grafis: Fajar Hardi Yudha & Aang Singgih Haryono Sekretariat: Dody Handoko & Kunti Handayani Alamat Redaksi: Bidang Sport Science & Penerapan Iptek Olahraga KONI Pusat Jl. Pintu I Senayan Jakarta 10270 Telp : (021) 5712594 (Direct) (021) 5737494 (hunting), ext. 64 Email :
[email protected] Homepage : http://www.koni.or.id Facebook : KONI Pusat Twitter : @KONIPusat
JUARA
| Januari 2014
Pengantar Salam Olahraga, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Rakhmat dan Berkah-Nya sehingga Jurnal Iptek Olahraga KONI Pusat dapat kembali diluncurkan. Pertama-tama kami ucapkan Selamat Tahun Baru 2013, semoga kiranya di tahun-tahun mendatang Prestasi Olahraga Nasional dapat lebih membanggakan bagi Bangsa dan Negara. Bidang Sport Science dan Penerapan Iptek Olahraga KONI Pusat mencoba untuk meluncurkan kembali Jurnal Iptek Olahraga yang sempat tersendat. Adapun judul Jurnal Iptek Olahraga KONI Pusat yang diluncurkan kembali adalah “Juara” yang di dalamnya terdapat 6 (enam) artikel dari berbagai disiplin ilmu. Kiranya Jurnal “Juara” ini dapat memberikan manfaat bagi para Atlet, Pelatih, dan Pembina Olahraga untuk menunjang peningkatan prestasi Atlet di masa-masa yang akan datang. Kami, menyadari Jurnal ini masih jauh dari sempurna untuk itu kami mohon kritik dan saran dari pembaca untuk meningkatkan kualitas baik secara materi maupun secara tampilan. Terimakasih dan selamat membaca. PATRIOT! Salam, REDAKSI
—3—
4|
JUARA
| Januari 2014
Daftar Isi
Kata Pengantar....................................................................................... 3 1. Hubungan Kecepatan Reaksi dan Daya Ledak Otot Tungkai Terhadap Akselerasi 30 Meter Pada Lari Cepat 100 Meter, Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta Oleh: Drs. Bambang Kridasuwarso, M.Pd., Dr. Ika Novitaria M., M.Si., dan Nandang Eka Laya, S.Pd...............
7
2. Pendidikan Olympism (Suatu PTK Upaya Meningkatkan Pemahaman Nilai-nilai Pendidikan Jasmani di SMPK Penabur V Jakarta) Oleh: Johansyah Lubis dan Indra Melani Naury Nababan................. 25 3. Model Tes Bakat Bulutanagkis Perspektif Domain Fisik Oleh: Sapta Kunta Purnama............................................................. 41 4. Kebijakan Olahraga di Indonesia Oleh: Neneng Nurosi Nurasjati......................................................... 59 5. Pentingnya Asupan Gizi Didalam Pembinaan Atlet Oleh: Leane Suniar........................................................................... 69 6. Ketahanan Mental dan Kohesivitas Tim Pada Cabang Olahraga Permainan Oleh: Juriana, M.Si., Psikolog ........................................................... 79 7. Multilateral Penting Untuk Cabang Olahraga Renang Oleh: Sudradjat Wiradihardja............................................................ 89
—5—
6|
JUARA
| Januari 2014
Hubungan Kecepatan Reaksi dan Daya Ledak Otot Tungkai Terhadap Akselerasi 30 Meter Pada Lari Cepat 100 Meter, Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta Oleh: Drs. Bambang Kridasuwarso, M.Pd, Dr. Ika Novitaria M., M.Si dan Nandang Eka Laya, S.Pd Dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta
RINGKASAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecepatan reaksi, daya ledak otot terhadap akselerasi 30 m pada lari cepat 100 m. Penelitian ini dilakukan di Fakultas Ilmu Keolahragaan untuk pengambilan data kecepatan reaksi dan daya ledak otot, sedangkan untuk pengambilan data akselerasi 30 m pada lari cepat 100 m dilakukan di Gelanggang Olahraga Mahasiswa Soemantri Brojonegoro Kuningan. Pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling sehingga diperoleh sampel berjumlah 51 mahasiswa. Adapun instrumen yang digunakan untuk tes kecepatan reaksi adalah Whole Body Reaction Tester, untuk daya ledak otot tungkai menggunakan Standing Long Jump dan untuk tes askelerasi menggunakan Leight Gate. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik regresi dan korelasi sederhana maupun berganda. Hasil analisis data menunjukkan bahwa 1) terdapat hubungan yang positif antara kecepatan reaksi terhadap akselerasi 30m pada lari cepat 100m koefisien korelasi nilai rx1y sebesar 0,53 dan koefisien determinasi sebesar 0,28 yang berarti bahwa jumlah kontribusinya sebesar 28%. 2) —7—
8 | Drs. Bambang Kridasuwarso, M.Pd., Dkk. terdapat hubungan yang positif antara daya ledak otot tungkai dengan akselerasi 30m dengan koefisien korelasi nilai rx2y sebesar 0,54 dan koefisien determinasi sebesar 0,29 yang berarti bahwa jumlah kontribusinya sebesar 29%. 3) terdapat hubungan yang positif antara kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai terhadap akselerasi 30m dengan koefisien korelasi Ry12 sebesar 0,46 dan koefisien determinasi sebesar 0,2116 atau 21,16%. Artinya kecepatan reaksi dan daya ledakn otot tungkai memberikan kontribusi terhadap akselerasi 30 m pada lari 100 m sebesar 21,16%. Kata Kunci: Kecepatan Reaksi, Daya Ledak Otot Tungkai, Akselerasi 30 m A. PENDAHULUAN Atletik merupakan salah satu cabang olahraga yang sering dilakukan oleh kalangan masyarakat karena selain di samping tidak dituntut untuk mengeluarkan biaya, juga dapat dengan mudah dilakukan baik tua maupun muda. Atletik merupakan cabang olahraga yang mendasar dari semua cabang olahraga, karena dalam atletik sendiri mempunyai gerakan paling mendasar yang menjadi kebiasaan kita sehari-hari seperti Berjalan, berlari, melompat dan melempar. Melihat dari hal di atas jadi sewajarnya apabila Atletik menjadi Induk dari semua cabang olahraga, karena dalam cabang olahraga yang lain sudah mengandung unsur-unsur gerakan yang terdapat pada Atletik. Sprint atau lari cepat merupakan salah satu nomor lomba dalam cabang olahraga atletik, nomor ini adalah yang paling bergengsi dalam cabang olahraga atletik. Dalam perlombaan lari dimana peserta berlari dengan kecepatan maksimal sepanjang jarak yang ditempuh yaitu 100 meter sampai dengan 400 meter. Nomor lari 100 meter merupakan nomor yang paling bergengsi dalam setiap kejuaraan atletik baik ditingkat nasional maupun internasional. Daya tarik nomor ini adalah bagaimana para atlet mempergunakan kecepatannya secara maksimal untuk berlari secepat mungkin agar menjadi yang tercepat. Tujuan utama dari lari sprint adalah untuk menghasilkan kecepatan horizontal, yang dihasilkan dari dorongan badan ke depan. Kecepatan lari ditentukan oleh panjang langkah dan frekuensi langkah. Untuk bisa berlari cepat seorang atlet harus bisa meningkatkan kedua-duanya. Tujuan teknik selama perlombaan adalah untuk mengerahkan jumlah optimum daya kepada tanah di dalam waktu yang pendek. Untuk dapat menguasai JUARA
| Januari 2014
Hubungan Kecepatan Reaksi dan Daya Ledak Otot Tungkai Terhadap Akselerasi 30 Meter...
|9
sebuah gerakan, khususnya teknik lari cepat 100 meter maka seorang pelatih haruslah mengetahui ilmu tentang gerak dan penerapannya di lapangan. Pada saat berlari seorang sprinter membutuhkan tenaga yang sangat besar terutama pada bagian tungkai agar bisa membawa beban yaitu tubuhnya sendiri, dalam hal ini difungsikan oleh daya ledak otot tungkai sebagai penggeraknya. Selain itu kecepatan reaksi berfungsi ketika atlet menerima stimulus berupa aba-aba sehingga bisa merespon stimulus itu secepat mungkin. Dari uraian di atas terdapat spesifikasi kecepatan yang akan membutuhkan faktor fisik yang berbeda yaitu kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai. Menurut IAAF lari sprint 100m dibagi dalam beberapa tahap, yaitu: tahap reaksi, tahap akselerasi, tahap transisi, tahap kecepatan maksimum, tahap pemeliharaan dan tahap finish. Akselerasi adalah kemampuan untuk meningkatkan kecepatan gerakan dalam jumlah waktu yang sangat minim. Tahap akselerasi merupakan suatu tahap gerak lari setelah meninggalkan start block. Menurut Kardjono (2008, h. 36) dalam Modul mata kuliah pembinaan kondisi fisik, melalui alat Speedogram yaitu (grafik yang menggambarkan kecepatan atlet dalam menempuh suatau jarak tertentu), dapatlah dilihat bahwa kecepatan maksimal dicapai setelah 30m atau 5-6 detik setelah star2. Yang artinya bahwa tahap akselerasi terjadi setelah tahap reaksi hingga mencapai jarak maksimal 30m. Pada saat start (tahap reaksi) kecepatan reaksi dan power akan berperan membangun peningkatan kecepatan (akselerasi). Dengan demikian kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai mempunyai hubungan dalam peningkatan kecepatan (akselerasi) 30m pada lari sprint 100 meter. Dalam pentahapan lari sprint di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tahap akselerasi merupakan salah satu faktor utama dalam sprint 100 m, karena dengan kemampuan akselerasi yang baik maka seorang sprinter tersebut sudah memiliki salah satu faktor penentu dalam keberhasilan lari sprint 100m. Adapun faktor kondisi fisik yang berpengaruh dalam tahap akselerasi yaitu kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai. Kecepatan reaksi berfungsi pada waktu start (tahap reaksi) semakin baik kecepatan reaksinya maka semakin pendek wakru mereaksinya, sedangkan daya ledak otot tungkai berfungsi untuk menggerakan tungkai dan membawa beban yaitu tubuh atlet itu sendiri. Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
10 | Drs. Bambang Kridasuwarso, M.Pd., Dkk. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang hubungan kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai terhadap akselerasi 30 m pada lari cepat 100 m pada mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan. B. PERUMUSAN MASALAH Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah terdapat hubungan yang positif antara kecepatan reaksi terhadap akselerasi 30 m pada lari cepat 100 m pada mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta? 2. Apakah terdapat hubungan yang positif antara daya ledak otot tungkai daya ledak otot tungkai terhadap akselerasi 30 m pada lari cepat 100 m pada mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta? 3. Apakah terdapat hubungan yang positif antara kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai terhadap akselerasi 30 m pada lari cepat 100 m pada mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta? C. TINJAUAN PUSTAKA 1. Akselerasi 30 meter
Tahap akselerasi merupakan suatu tahap gerak lari setelah meninggalkan start block, dalam tahap ini yang harus diperhatikan adalah memperhatikan badan agar tetap dalam posisi condong ke depan, gerakan lengan kuat, demikian juga gerakan kaki harus cepat dan kuat, untuk mendapatkan tenaga dorongan ke depan semaksimal mungkin. Akselerasi adalah kemampuan untuk meningkatkan kecepatan gerakan dalam jumlah waktu minim. Melalui speedogram (yaitu grafik yang menggambarkan kecepatan atlet dalam menempuh suatu jarak tertentu), dapat dilihat bahwa kecepatan maksimal dapat diperoleh setelah 30 m. Dalam buku kepelatihan sprint yang di keluarkan oleh pengurus besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesa (2004, h:24) akselerasi 30 m dijadikan sebagai kontrol test atlet sprint 100m. Akselerasi dapat ditingkatkan salah satunya dengan meningkatkan kualitas kekuatan otot. Hal itu di perkuat oleh bunyi hukum Newton II (percepatan suatu benda adalah seimbang JUARA
| Januari 2014
Hubungan Kecepatan Reaksi dan Daya Ledak Otot Tungkai Terhadap Akselerasi 30 Meter...
| 11
atau sebanding dengan kekuatan yang menyebabkan, lebih besar kekuatan berarti lebih banyak percepatan). Sebagai contoh seorang sprinter melakukan percepatan lari dari start block adalah sebanding dengan kekuatan yang dikenakan terhadap start block. Lebih besar gaya atau kekuatan yang dikenakan maka akselerasinya akan lebih besar meninggalkan start block. Akselerasi awal dalam lari sprint sangat penting, semakin dekat jarak sprint maka semakin besar penekanan pada waktu reaksi dan akselerasi. Dalam kejuaraan atletik, para atlet nomor sprint dapat memulai pertandingan dengan memanfaatkan starting block yang memungkinkan akselerasi dengan lebih cepat. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa akselerasi adalah kemampuan untuk meningkatkan kecepatan gerakan dalam jumlah waktu yang sangat minim. Untuk menghasilkan akselerasi yang baik diperlukan kemampuan kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai yang bail pula karena kedua komponen ini merupakan dasar utama dalam menghasilkan akselerasi yang baik. 2. Kecepatan Reaksi
Dalam cabang olahraga kondisi fisik seorang atlet memegang peranan yang sangat penting karena tanpa kondisi fisik yang baik maka seorang atlet tidak mungkin mempunyai keterampilan teknik yang baik pula. Oleh karena itu seorang atlet perlu melakukan latihan-latihan fisik untuk menigkatkan kondisi fisik. Secara keseluruhan komponen kondisi fisik meliputi daya tahan, kecepatan, kekuatan, kecepatan reaksi, daya ledak, koordinasi, keseimbangan, kelincahan, kelentukan dan ketepatan. Kecepatan merupakan kemampuan melawan tahanan gerak yang berbeda-beda dengan kecepatan yang setinggi-tingginya. Kecepatan menjadi faktor penentu di nomor lari cepat khususnya dalam cabang olahraga atletik, kecepatan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam suatu pertandingan. Dalam olahraga atletik kecepatan reaksi sangat penting apalagi pada nomor lari 100 meter terutama pada saat melakukan start jongkok (saat aba-aba yaak) atau pada saat pistol starter berbunyi. Sehingga pelari harus mempunyai kecepatan reaksi yang bagus untuk mendorong atau menggerakan tubuh ke depan secepat-cepatnya. Dalam aktivitas nomor lari cepat 100 meter, kecepatan keluar tolakan dari start block merupakan hal yang sangat diperlukan agar dengan segera Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
12 | Drs. Bambang Kridasuwarso, M.Pd., Dkk. kaki menolak start block mendahului lawan. Kecepatan reaksi menurut Arie S. Sutopo (2006, h:6) adalah suatu kualitas yang memungkinkan suatu jawaban secepat mungkin setelah menerima rangsangan. Kecepatan reaksi dikemukakan oleh Zimmermann yang diterjemahkan oleh Paulus L Pesurney (2004, h.1) bahwa: kecepatan reaksi adalah kemampuan untuk bereaksi secepat mungkin terhadap rangsangan. Kecepatan reaksi mencakup waktu dari terjadinya rangsangan misalnya saat tembakan pistol dalam start lomba lari sprint sampai saat terjadinya kontraksi otot yang pertama. Menurut Suharno H.P. (1993, h:33) bahwa faktor-faktor penentu khusus kecepatan reaksi yaitu: tergantung dari dari susunan syaraf, daya orientasi situasi yang dihadapi oleh atlet, ketajaman panca indra dalam menerima rangsangan, kecepatan gerak dan daya ledak otot. Alat yang digunakan dalam melakukan tes kecepatan reaksi yaitu Whole Body Reaction Test yaitu dengan mengukur kecepatan reaksi telinga dan kaki (suara). Beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam usaha meningkatkan pengembangan kecepatan reaksi yaitu meningkatkan pengenalan terhadap situasi persepsi khusus dan mengotomatisasikan semaksimal mungkin jawaban motorik yang perlu dibuat atau sikap kinetis yang perlu dipilih dalam situasi nyata. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya metode latihan yang mengkondisikan atlet pada situasi pertandingan yang sesungguhnya dimana atlet dituntut melakukan gerakan secepat–cepatnya dalam waktu yang singkat. Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kecepatan reaksi adalah kemampuan individu dalam melakukan gerakan dari mulai adanya stimulus hingga berakhirnya respon dalam waktu yang sesingkat–singkatnya. 3. Hakikat Daya ledak otot tungkai
Kondisi fisik dalam berolahraga merupakan salah satu prasyarat yang sangat diperlukan dalam usaha meningkatkan prestasi dan juga untuk kebugaran jasmani. Kondisi fisik menurut Grosser (2005, h:3) adalah semua kemampuan jasmani yang menentukan prestasi yang realisasinya dilakukan melalui kesanggupan pribadi. Olahraga atletik merupakan olahraga yang melibatkan semua anggota tubuh dan membutuhkan komponen fisik untuk dapat melakukan gerakan secara eksplosif khususnya untuk nomor sprint. JUARA
| Januari 2014
Hubungan Kecepatan Reaksi dan Daya Ledak Otot Tungkai Terhadap Akselerasi 30 Meter...
| 13
Sesungguhnya yang dibutuhkan dalam cabang olahraga bukan hanya kekuatan saja, akan tetapi kekuatan yang disertai unsur kecepatan yang disebut dengan istilah Power. Pengertian Power menurut Tudor O. Bompa (2009, h.233) adalah hasil dari Speed x Strength. Maka kedua komponen ini menurut Aaron Holt (2010, h: 11) perlu diperhatikan terlebih dahulu dalam pelaksanaan program latihan untuk membentuk power. Pengertian power menurut Hamidsyah Noer (1993, h. 140) adalah bahwa power adalah merupakan kemampuan otot atau sekelompok otot untuk melawan beban/ tahanan dengan kecepatan tinggi dalam satu gerakan. Power adalah kemampuan mengeluarkan kekuatan/tenaga maksimal dalam waktu yang tercepat. Berdasarkan uraian di atas, perpaduan antara kekuatan dan kecepatan merupakan hal yang utama untuk meghasilkan daya ledak yang optimal. Untuk mengembangkan dan meningkatkan kekuatan secara optimal atau kearah yang lebih baik lagi tentunya diperlukan latihan dengan menggunakan metode yang baik. Orang yang mempunyai kekuatan belum tentu mempunyai daya ledak yang bagus begitu pula dengan orang yang mempunyai kecepatan. Jadi kedua komponen ini harus dipadukan dan dilatih agar menghasilkan daya ledak yang bagus. Dalam melatih perlu disesuaikan dengan karakteristik cabang olahraganya dan tekhnik yang akan dilatih. Pada saat pelari akan melakukan start jongkok dengan menggunakan start block, dibutuhkan kemampuan power otot tungkai yang sangat baik agar pelari tersebut dapat keluar dengan cepat khususnya pada jarak 30 meter pertama, karena pada jarak ini merupakan salah satu faktor utama penentu tingkat keberhasilan seorang sprinter dalam lomba lari 100 meter. Maka dalam hal ini daya ledak otot tugkai sangat penting untuk dilatih dan dikembangkan. Daya ledak otot tungkai adalah kemampuan daya ledak yang dimiliki tungkai dimana besar kecilnya kemampuan tersbut dipengaruhi oleh otot yang melekat dan membungkus otot tersebut. Tungkai adalah bagian bawah manusia yang berfungsi untuk menggerakan tubuh seperti berjalan, berlari, dan melompat. Tejadinya gerakan pada otot tersebut disebabkan karena adanya otot dan tulang. Kemampuan yang dimiliki tungkai merupakan sumbangan yang tidak dapat diabaikan dalam menciptakan daya ledak otot tungkai. Begitu pula kecepatan merupakan suatu kemampuan gerak Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
14 | Drs. Bambang Kridasuwarso, M.Pd., Dkk. yang ditimbulkan atas dasar system syaraf dan perangkat otot. Kedua unsur tersebut merupakan faktor utama dalam menciptakan daya ledak otot tungkai. Untuk meningkatkan kemampuan daya ledak otot tungkai guna mem bangun peningkatan prestasi keterampilan gerak, maka dalam melatih kekuatan dan kecepatan tersebut merupakan prioritas utama, Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Harsono bahwa dalam explosive power selain unsur kekuatan terdapat unsur kecepatan. Untuk mendapat tenaga ledak yang tinggi perlu faktor-faktor penunjang lain selain kekuatan dan kecepatan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ateng sebagai berikut: Seseorang disebut bertenaga penuh adalah individu yang mempunyai tingkat kekuatan otot yang tinggi, tingkat kecepatan yang tinggi, tingkat kemampuan yang tinggi dalam mengintegrasikan kecepatan dan kekuatan otot. Begitu pula juga dengan pendapat Soebroto tentang faktor-faktor yang mempengaruhi daya ledak otot sebagai berikut: Kecuali itu produksi kerja secara explosif menambah satu unsur baru, yaitu hubungan dengan system syaraf. Maka penentu-penentu tenaga daya ledak otot (muscule power) ialah: Kekuatan otot, Kecepatan rangsangan syaraf dan Kecepatan kontraksi otot. Sesuai dengan pendapat di atas, maka untuk mendapatkan daya ledak yang baik diperlukan faktor-faktor lain selain kekuatan dan kecepatan, yaitu kecepatan rangsangan syaraf, kecepatan kontraksi otot yang dikoordinasikan dalam satu kesatuan yang utuh sehingga akan menghasilkan daya ledak yang tinggi. Daya ledak tersebut pada dasarnya dapat dikembangkan dan ditingkatkan kemampuannya melalui latihan dengan menekankan pada pengerahan kekuatan otot secara maksimal dan lamanya kontraksi berlangsung dalam waktu yang sesingkat memungkin. Dengan latihan tersebut daya ledak dapat ditingkatkan dan dikembangkan secara optimal. Berdasarkan hal tesebut, maka guna meningkatkan kemampuan daya ledak. Sesuai dengan pendapat di atas, maka untuk mendapatkan daya ledak yang baik diperlukan faktor-faktor lain selain kekuatan dan kecepatan, yaitu kecepatan rangsangan syaraf, kecepatan kontraksi otot yang dikoordinasikan dalam satu kesatuan yang utuh sehingga dapat menghasilkan daya ledak otot yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut, guna JUARA
| Januari 2014
Hubungan Kecepatan Reaksi dan Daya Ledak Otot Tungkai Terhadap Akselerasi 30 Meter...
| 15
meningkatkan kemampuan daya ledak perlu diberikan latihan gerak yang menitikberatkan pada unsur kekuatan dan unsur kecepatan. Dari uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa kekuatan dan kecepatan merupakan hal yang utama untuk meghasilkan daya ledak yang optimal, Daya ledak otot tungkai adalah kemampuan daya ledak yang dimiliki tungkai dimana besar kecilnya kemampuan tersebut dipengaruhi oleh otot yang melekat dan membungkus otot tersebut. D. KERANGKA BERPIKIR 1. Hubungan Kecepatan Reaksi Terhadap Akselerasi 30 meter Pada Lari Cepat 100 meter.
Kecepatan menjadi faktor penentu di nomor lari cepat khususnya dalam cabang olahraga atletik, kecepatan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam suatu pertandingan. Dalam olahraga atletik kecepatan reaksi sangat penting apalagi pada nomor lari 100 meter terutama pada saat melakukan start jongkok (saat aba-aba yaak) atau pada saat pistol starter berbunyi. Sehingga pelari harus mempunyai kecepatan reaksi yang bagus untuk mendorong atau menggerakan tubuh ke depan secepat-cepatnya. Pentahapan dalam teknik 30 meter pada lari sprint 100 meter, terdiri dari beberapa bagian yang diantaranya adalah tahapan start, start yang baik adalah dimana seorang pelari dapat secepat mungkin melakukan jawaban kinetis setelah menerima stimulus berupa aba-aba. Untuk dapat melakukan jawaban kinetis secepat mungkin dalam merespon stimulus maka factor kecepatan reaksi akan mempunyai peran yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena pada saat melakukan start tujuan utama dari bagian lari pada tahapan ini adalah bagaimana begerak lebih cepat dari lawan setelah mendengar aba-aba berupa bunyi. Dengan demikian diduga mempunyai hubungan yang berarti terhadap akselerasi 30 meter pada lari cepat 100 meter. 2. Hubungan Daya Ledak Otot Tungkai Terhadap Akselerasi 30 meter Pada Lari Cepat 100 meter.
Kemampuan sprint 30 meter pertama pada lari cepat 100 meter seperti yang telah dijabarkan dikerangka teori merupakan hasil dari frekuensi langkah kaki, panjang langkah kedua faktor di atas tentu harus ditunjang Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
16 | Drs. Bambang Kridasuwarso, M.Pd., Dkk. oleh daya ledak otot tungkai yang baik. Seperti diketahui salah satu peran tungkai adalah sebagai penegak badan atau penahan bearat badan, selain itu fungsi daya ledak otot tungkai juga sebagai penggerak utama ketuka melakukan start khususnya pada saat langkah pertama berperan dalam mengangkat paha pada gerakan lari.hal ini dapat menyebabkan bertambahnya daya atau tenga untuk mendorong tungkai. Demikian halnya pada saat seorang atlet yang memiliki berat badan lebih besar secara ototmatis harus mempunyai daya ledak yang besar. Hal ini dikarenakan ketika berlari atlet tersebut memikul berat badannya melalui tungkai, seiring dengan fungsi tungkai itu sendiri. Selain itu untuk mendapatkan panjang langkah yang lebar faktor daya ledak juga mempunyai peran yang penting karena daya ledak berperan sebagai tenaga yang selain menahan berat badan pada saat berlari juga sebagai penggerak tungkai pada saat melangkah. Dengan memiliki daya ledak yang tinggi maka tenaga atau tolakan juga akan tinggi. Sesuai dengan hukum Newton III makin besar aksi yang dilakukan oleh tungkai ke tanah makin besar pula reaksi berupa daya dorong yang berlawanan arah dari gaya aksi sehingga akan didapat panjang langkah yang panjang. Dengan demikian diduga terdapat hubungan yang berarti antara daya ledak tungkai terhadap akselerasi 30 meter pada lari cepat 100 meter. 3. Hubungan Kecepatan Reaksi Dengan Daya Ledak Otot Tungkai Terhadap Akselerasi 30 meter Pertama Pada Lari Cepat 100 meter
Kecepatan reaksi dan daya ledak merupakan dua faktor kondisi fisik yang sangat dibutuhkan dan sangat berpengaruh dalam keberhasilan 30 meter pada lari cepat 100 meter. Kecepatan reaksi berperan pada saat start dimana pada saat aba-aba dibunyikan maka secepat mungkin bereaksi, untuk melakukan jawaban kinetis yang telah diproses pada susunan syaraf otot. Makin cepat reaksi makin cepat jawaban kinetis yang diberikan sehingga atlet dapat mendahului lebih cepat dari pada atlet yang lain pada saat start. Daya ledak yang merupakan perpaduan antara kekuatan dan kecepatan mengharuskan dimilikinya kualitas otot yang baik Karena sesuai dengan fungsi daya ledak sebagai tenaga penggerak. Makin tinggi tingkat daya JUARA
| Januari 2014
Hubungan Kecepatan Reaksi dan Daya Ledak Otot Tungkai Terhadap Akselerasi 30 Meter...
| 17
ledak makin tinggi memudahkan atlet membawa beban pada saat berlari cepat. Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka di duga ada pengaruh langsung antara kemampuan kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai terhadap prestasi. E. HIPOTESIS PENELITIAN Berdasarkan kerangka teoretik dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan yang positif antara kecepatan reaksi terhadap akselerasi 30 m pada lari cepat 100 meter. 2. Terdapat hubungan yang positif antara daya ledak otot tungkai terhadap akselerasi 30 m pada lari cepat 100 meter. 3. Terdapat hubungan yang positif antara kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai terhadap akselerasi 30 m pada lari cepat 100 meter. F. METODOLOGI PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Hubungan kecepatan reaksi terhadap akselerasi 30 m pada lari cepat 100 meter pada mahasiswa FIK UNJ, 2. Hubungan daya ledak otot tungkai terhadap akselerasi 30 m pada lari cepat 100 meter pada mahasiswa FIK UNJ, 3. Hubungan kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai terhadap akselerasi 30 m pada lari cepat 100 meter pada mahasiswa FIK UNJ. Penelitian ini dilakukan di labaoratoriun somatokinetika FIK UNJ dan di Gelanggang Olahraga Remaja Soemantri Brodjonegoro Kuninang, Jakarta Selatan. Penelitian dilakukan pada bulan November 2012. Berdasarkan kajian permasalahan serta tujuan penelitian, maka metode yang digunakan adalah metode survey dengan pendekatan disain korelasional. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai. Sedangkan variabel terikatnya adalah akselerasi 30 meter. Pola keterkaitan antar variabel penelitian terlihat pada gambar berikut ini:
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
18 | Drs. Bambang Kridasuwarso, M.Pd., Dkk. X1 Y X2 Gambar 3.1.: Konstelasi hubungan antara kecepatan reaksi (X1) dan daya ledak otot tungkai (X2), terhadap akselerasi 30 meter (X3)
Keterangan: X1: Kecepatan reaksi X2: Daya ledak otot tungkai Y: Akselerasi 30 meter
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa KKO A FIK UNJ yang sedang mengambil mata kuliah atletik 1. Adapun jumlah sampel yang diambil sebanyak 51 mahasiswa. Sedangkan teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik total sampling. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pengukuran terhadap variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini sebagai data penelitian. Untuk mengukur kecepatan reaksi digunakan Whole Body Reaction Test, untuk mengukur daya ledak otot tungkai menggunakan Standing Long Jump Test, dan untuk mengukur akselerasi 30 m menggunakan Light Gate. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang dilaksanakan untuk melihat pola hubungan antar variabel dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara kecepatan reaksi, daya ledak otot tungkai dan akselerasi 30 meter pada mahasiswa FIK UNJ. Data yang diperlukan untuk keperluan analisis adalah data tentang kecepatan reaksi (X1), daya ledak otot tungkai (X2), dan akselerasi 30 m (Y) mahasiswa FIK UNJ. Adapun hipotesa statistik yang diajukan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut: 1. HO : Px1Y = 0 H1 : Px1Y > 0 2. HO : Px2Y = 0 H1 : Px2Y > 0
JUARA
| Januari 2014
Hubungan Kecepatan Reaksi dan Daya Ledak Otot Tungkai Terhadap Akselerasi 30 Meter...
| 19
3. HO : ρx1 x2Y = 0 H1 : ρx1 x2Y > 0
Keterangan: H0 = Hipotesis Null H1 = Hipotesis Alternatif Px1Y = Hubungan kecepatan reaksi terhadap akselerasi 30 m Px2Y = Hubungan daya ledak otot tungkai terhadap akselerasi 30 m ρx1 x2Y = Hubungan kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai terhadap akselerasi 30 m G. HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Data
Deskripsi data dari hasil penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum mengenai penyebaran distribusi data berupa ukuran letak distribusi frekuensi yaitu rata-rata, nilai maksimum, nilai minimum, simpangan baku, modus, median serta distribusi frekuensi. Secara empiris data variabel akselerasi 30 m meter mempunyai rentang skor sebesar 53,03, yaitu dengan skor terendah 47,12 dan skor tertinggi 100,15. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa skor rata-rata sebesar 79,97, dengan simpangan baku 10,34. Sedangkan secara empiris data variabel kecepatan reaksi mempunyai rentang skor sebesar 0,42, yaitu dengan skor terendah 2,73 dan skor tertinggi 3,15. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa skor ratarata sebesar 2,88, dengan simpangan baku 0,087. Dan secara empiris variabel daya ledak otot tungkai mempunyai rentang skor sebesar 47,63, yaitu dengan skor terendah 23,44 dan skor tertinggi 71,07. Berdasarkan hasil analisis data dapat dikemukakan bahwa skor rata-rata sebesar 48,88, dengan simpangan baku sebesar 11,07. 2. Pengujian Hipotesis
a. Hubungan Kecepatan reaksi dengan Akselerasi 30 Meter Hubungan kecepatan reaksi terhadap akselerasi dapat diketahui atau diperkitakan dengan persamaan Ý =-100,59 + 62,69X1. Artinya hasil Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
20 | Drs. Bambang Kridasuwarso, M.Pd., Dkk. akselerasi dapat diketahui atau diperkirakan dengan persamaan regresi tersebut jika variabel kecepatan reaksi (X1) dengan akselerasi 30m (Y) ditunjukan oleh koefisien korelasi ry1 = 0,53. Koefisien itu harus diuji terlebih dahulu mengenai keberartiannya sebelum digunakan untuk mengambil kesimpulan. Hasil uji koefisien korelasi tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 4.4. Hasil Uji Keberartian Koefisien Korelasi X1 dengan Y Koefisien Korelasi 0,53
T hitung 4,36
T tabel 1,67
Sedangkan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi variabel kecepatan reaksi dengan akselerasi 30 meter diperoleh bahwa kontribusinya sebesar 28% sedangkan 72% merupakan variansi faktor lainnya. b. Hubungan Daya ledak otot tungkai dengan Akselerasi 30 Meter Hubungan daya ledak otot tungakai terhadap akselerasi 30m dinyatakan pleh persamaan regresi Ý = 55,11 + 0,51X₂. Artinya akselerasi 30m dapat diketahui atau diperkirakan dengan persamaan regresi tersebut jika variable daya ledak otot tungkai (X2) diketahui. Hubungan daya ledak otot tungkai (X2) terhadap akselerasi 30m (Y) ditunjukan oleh koefisien korelasi ry2 = 0,54. Koefisien korelasi tersebut harus diuji terlebih dahulu mengenai keberartiannya sebelum digunakan untuk mengambil kesimpulan. Hasil uji koefisien korelasi tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 4.5. Hasil Uji Keberartian Koefisien Korelasi X2 dengan Y Koefisien Korelasi 0,54
T hitung 4,5
T tabel 1,67
Sedangkan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi variabel daya ledak otot tungkai dengan akselerasi diperoleh bahwa kontribusinya sebesar 29% sedangkan 71% merupakan variansi faktor lainnya. c. Hubungan Kecepatan reaksi dan Daya ledak otot tungkai dengan Akselerasi 30 Meter Hubungan kecepatan reaksi (X1) dan daya ledak otot tungkai (X2) terhadap akselerasi 30m dinyatakan (Y) dinyatakan oleh persamaan regresi Ŷ = 92,05 – 20,15 X1 + 0,94 X2 Sedangkan hubungan antara ketiga variabel tersebut harus di uji terlebih dahulu mengenai keberartiannya, sebelum JUARA
| Januari 2014
Hubungan Kecepatan Reaksi dan Daya Ledak Otot Tungkai Terhadap Akselerasi 30 Meter...
| 21
digunakan untuk mengambil kesimpulan. Hasil uji koefisien korelasi ganda tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 4.6. Hasil Uji Keberartian Koefisien Korelasi Ganda Koefisien Korelasi 0,46
F hitung 23
F tabel 3,19
Untuk mengetahui seberapa besar kontribusi variabel kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai dengan akselerasi 30 meter, diperoleh bahwa kontribusinya sebesar 21% sedangkan 79% merupakan variansi faktor lainnya. H. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah dipaparkan penelitian ini menghasilkan temuan sebagai berikut: 1. Kecepatan reaksi berpengaruh langsung positif terhadap akselerasi 30 meter. Artinya bahwa kecepatan reaksi yang baik dapat meningkatkan akselerasi 30 meter. 2. Daya ledak otot tungkai berpengaruh langsung positif terhadap akselerasi 30 meter. Artinya bahwa daya ledak otot tungkai yang baik dapat meningkatkan akselerasi 30 meter. 3. Kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai berpengaruh langsung positif terhadap akselerasi 30 meter. Artinya, kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai yang baik dapat meningkatkan akselerasi 30 meter. 2. Saran
Dengan dasar kesimpulan yang telah disusun, dapat dikemukakan beberapa saran bagi perwujudan dan peningkatan akselerasi 30 meter pada khususnya maupun sebagai pedoman bagi cabang olahraga lainnya. 1. Bagi para pembina dan pelatih atletik diharapkan selalu memperhatikan kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai yang dimiliki oleh masing-masing atlet atau mahasiswanya dan meningkatkan akselerasi 30 meter agar dapat meningkatkan prestasi pada cabang olahraga atletik di semua nomor cabang atletik. Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
22 | Drs. Bambang Kridasuwarso, M.Pd., Dkk. 2. Para pelatih atletik dapat memberikan berbagai bentuk latihan dalam rangka peningkatan kecepatan reaksi dan daya ledak otot tungkai sehingga dapat meningkatkan akselerasi 30 meter pada nomor-nomor lari pendek. 3. Untuk kalangan akademisi dibidang olahraga disarankan untuk melakukan penelitian lain di cabang olahraga lain, sehingga semua dapat memberikan perhatian untuk dapat meningkatkan kecepatan reaksi yang baik pada semua atlet.
DAFTAR PUSTAKA Aip, Syarifudin. Atletik, Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti PPTK, 1992 Ahmad, Sofian. Ilmu urai tubuh manusia untuk perawat. Jakarta: Turagung, 1965. Arie. S. Sutopo, Buku Penuntun Ilmu Faal Kerja, Jakarta: FIK UNJ, 2006. Bandung, 2008 Abdul Kadir ateng, Azas dan landasan pendidikan jasman. Jakarta: P dan K Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. 1992 Bompa Tudor O, Teori Dan Metodolgi Kepelatihan, Terjem Johansyah Lubis, Jakarta: UNJ, 2009. Bouchard, Claude Etall Masalah–masalah dalam kedokteran olahraga, Latihan olahraga dan coaching, terjemahan Drs. Moeh Soebroto. Jakarta: Ditjen Dikluspora Depdikbud RI, 1978 Dadang, M. Kinesiologi Jakarta: FPOK IKIP Jakarta, 1987. Hardianto, Wibowo. Anatomi Sistematika Lokomotor. Jakarta: FPOK IKIP Jakarta. 1994.. IAAF.Pengenalan Teori Kepelatihan.1993 Grosser. Latihan Fisik Olahraga. Terjemahan Paulus L Pesurney. Jakarta: Koni Pusat, 2005. Sajoto. Peningkatan dan pembinaan kekuatan kondisi fisik dalam olahraga. Semarang: Dahara Prize, 1998.
JUARA
| Januari 2014
Hubungan Kecepatan Reaksi dan Daya Ledak Otot Tungkai Terhadap Akselerasi 30 Meter...
| 23
Soebroto, Masalah-masalah dalam kedokteran olahraga latihan olahraga dan coaching.Jakarta: Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Depdik, 1978. Sudjana, Metoda Statistika, Bandung, Tarsino: 2002. Sugiono, Metoda Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D Alfabeta: 2008. Suharno. Metode Penelitian. Jakarta: Koni Pusat, 1993. U. Jonath, et. Al. Terjemahan Soeparno, Atletik2. Jakarta: Rosda Jaya. 1987. Woeryanto. Program Jangka Pendek. Jakarta: FPOK IKIP, 1993. Jakarta.Dinas Olahrag. Petunjuk Atletik. Jakarta: Disorda, 1996. Woeryanto. Latihan peguatan otot Jakarta: FPOK IKIP Jakarta. 1988. Zimermmann, Latihan Fisik Olahraga, diterjemahkan oleh Pesurney, Paulus Levinus KONI Pusat, 2005. Zimermmann, Latihan Kecepatan Dan Kekuatan, diterjemahkan oleh Pesurney, Paulus Levinus KONI Pusat KONI Pusat,2004. www.Peakperformance.com. Kecepatan adalah. Diakses tgl 02 September 2012 pukul 22.11 wib Http://file.upi.edu/mekanika gerak. Diakses tgl 20 agustus 2012 pukul 22.18 wib www.Sport-fitnes-advisor.com/athletics-training.html. Diakses tgl 15 agustus 2012 pukul 12.10 wib www.TopendSport.Com/power-adalah. Diakses tgl 15 agustus 2012 pukul 12.17 wib www. Power-System.com/info/tungkai-atas.html. diakses tgl 20-5-2011. pukul 10:52
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
24 | Drs. Bambang Kridasuwarso, M.Pd., Dkk.
JUARA
| Januari 2014
PENDIDIKAN OLYMPISM
(Suatu PTK Upaya Meningkatkan Pemahaman Nilai-nilai Pendidikan Jasmani di SMPK Penabur V Jakarta) Oleh: Johansyah Lubis dan Indra Melani Naury Nababan
ABSTRACT The Use of Olympic Education Video as a Teaching Media to Enhance The Values of Physical Education Comprehension of 7th Grade Students at SMPK BPK Penabur V Cipinang Indah. The goal of this research is to enhance physichal education values comprehension of 7th grade student of SMPK BPK Penabur V Cipinang Indah which implemented by olympic education video as a teaching media. Hopefully this research could be an innovation in teaching and learning process. The research was held at SMPK BPK Penabur V Cipinang Indah East Jakarta, on March and April 2010. It uses the Action Reseach (AR) method. The numbers of responden for this research are 70 students in VIIA and VIIB. This research also involve the physical education teacher as a collaborator. The research has a two cycles which in each cycle has four steps, planning, implementing, analizing, and reflecting. First cycle has one meeting class and the second cycle has one meeting class too, so all the cycle has two meeting class. The result of the research are: The implementation of media video of olympism can help the teacher to delivered the material in an easy way about the value of physical education that sometimes hard to transffered if the teacher only teaching with describe it in front of the class. Key words: Pendidikan, Olympism, nilai-nilai pendidikan jasmani
— 25 —
26 | Johansyah Lubis dan Indra Melani Naury Nababan A. PENDAHULUAN Pendidikan jasmani sebagai salah satu bagian dari pendidikan juga meliputi tiga aspek kognisi, afektif dan psikomotor. Untuk itu penyelenggaraan penjas di sekolah-sekolah, bukanlah bertujuan sekedar memberikan pengetahuan keterampilan gerak (Psikomotor) saja, tetapi mempunyai jangkauan yang sangat luas. Pada jenjang pendidikan usia remaja atau SMP kelas VII (usia 12-13 tahun) dalam masa ini, siswa berada pada masa peralihan dari masa anakanak ke masa dewasa yang sering disebut masa remaja dan di dalamnya terjadi perubahan baik dari segi fisik, emosional, dan mental. Dalam tahap ini siswa sedang belajar mengenali dirinya sendiri dan sedang dalam proses mencari jati diri. Pendidikan jasmani sangat berperan didalam menolong siswa dalam fase ini untuk membentuk kognitif, psikomotor dan afektif siswa yaitu menunjang tercapainya pengenalan diri dan penginternalisasian nilai-nilai yang baik (Freeman; 1987). Pelaksanaan proses internalisasi nilai itu bukan melalui pengajaran konvensional di dalam kelas yang bersifat kajian teoritis, namun melibatkan unsur fisik mental, intelektual, emosional dan sosial, salah satunya dapat melalui materi sejarah olahraga yaitu melalui pendidikan olimpiade/ olympism yang didalamnya mengajarkan nilai-nilai luhur seperti yang terdapat dalam pendidikan jasmani. Baron Pierre de Coubertin yang merupakan bapak olimpiade modren memiliki angan-angan bahwa melalui olahraga dapat membuka peluang untuk terciptanya dialog dan saling pengertian antar negara dan antar bangsa, menciptakan kehidupan yang damai di dunia melalui kegiatan olahraga antar bangsa. Dengan tujuan olimpiade (Olympism) dapat membentuk watak manusia melalui latihan-latihan olahraga yang disiplin juga untuk mengembangkan perdamaian dunia melalui hubungan persaudaraan diantara para atlet-atlet dari segala bangsa. Olimpiade menjunjung nilai keunggulan skill/keterampilan serta ketahanan tubuh yang prima dalam bertanding, sekaligus menuntut ketaatan pada peraturan permainan yang jujur dan semangat yang sportif (fair play). Olimpiade mewujud nyatakan nilai-nilai olahraga tersebut secara kuat dan memberikan pelajaran-pelajaran tentang hidup yang dapat
JUARA
| Januari 2014
Pendidikan Olympism (Suatu PTK Upaya Meningkatkan Pemahaman Nilai-nilai Pendidikan...
| 27
menggugah dan memperlengkapi manusia menjadi manusia seutuhnya. Keyakinan inilah yang diharapkan juga terwujud melalui pendidikan jasmani, karena nilai-nilai yang tertuang dalam olympism tertuang juga dalam pendidikan jasmani. Oleh karena itu sangat disayangkan bila guru pendidikan jasmani hanya mengajar dalam tataran psikomotorik saja. Permasalahan ini mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian tindakan dengan menggunakan media pembelajaran audio visual/video. Media pembelajaran video yang peneliti pilih untuk melaksanakan penelitian ini dikarenakan ingin mengaplikasikan pembelajaran pendidikan jasmani yang mengembangkan peran siswa untuk aktif dalam pembelajaran, karena model pembelajaran pendidikan jasmani tidak harus terpusat pada guru, tetapi pada siswa. Orientasi pembelajaranpun disesuaikan dengan perkembangan anak, isi dan urusan materi serta cara penyampaikan disesuaikan sehingga menarik dan menyenangkan. Peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap nilai-nilai pendidikan jasmani dan untuk meningkatkan pemahaman siswa akan nilai-nilai pendidikan jasmani itu, peneliti menggunakan pendekatan Pendidikan/nilai-nilai olympism yang dikemas melalui video pembelajaran. Penelitian ini dirumuskan apakah media pembelajaran video tentang pendidikan olympism dapat meningkatkan pemahaman nilai-nilai pendidikan jasmani pada siswa kelas VII SMPK Penabur Cipinang tahun ajaran 2009/2010? B. KAJIAN TEORITIS 1. Nilai-Nilai Pendidikan Jasmani
Salah satu tujuan belajar adalah pembentukan pemahaman siswa didik akan bahan ajar yang dipelajari menurut definisinya “pemahaman adalah suatu dasar bagi segala tindakan seseorang”(Ali Imron: 1996; 26). Pemahaman memberikan kontribusi yang besar. pemahaman adalah kemampuan anak-anak didik didalam proses berpikirnya dalam mengungkapkan sesuatu yang telah dialami dan diamatinya. Misalnya mengungkapkan sesuatu bentuk keterampilan dan menjelaskannya secara lebih luas (aip syarifuddin;1994) (Poerwadarminta 1984). Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
28 | Johansyah Lubis dan Indra Melani Naury Nababan Pendidikan jasmani menurut ICSPE(International Council of Sport and Physical Education) memberikan batasan pendidikan jasmani “sebagai proses pendidikan seseorang sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai aktivitas jasmani dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keterampilan jasmani, pertumbuhan, dan pembentukan watak” (Syarifudin; 2000;8). Empat komponen sebagai tujuan yang sangat penting dalam pengem bangan program pendidikan jasmani, yaitu: 1. merangsang pertumbuhan dan perkembangan organik 2. keterampilan neuro muskuler motorik 3. perkembangan intelektual 4. perkembangan emosional. (Harsuki;2003, 52) Pada kenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu bidang kajian yang sungguh luas. Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia. Lebih khusus lagi, penjas berkaitan dengan hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lainnya: hubungan dari perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya. Fokusnya pada pengaruh perkembangan fisik terhadap wilayah pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dari manusia itulah yang menjadikannya unik. Tidak ada bidang tunggal lainnya seperti pendidikan jasmani yang berkepentingan dengan perkembangan total manusia. Adapun nilai-nilai yang ada di dalam Pendidikan Jasmani yaitu mampu mendorong tumbuh kembangnya perilaku positif, di antaranya: gaya hidup bugar, sportif, kerjasama, kedisiplinan, tanggungjawab, toleransi dan prakarsa atau kepemimpinan. Dengan demikian siswa memahami nilai-nilai yang ada di pendidikan jasmani, siswa juga diharapkan untuk dapat mengorganisir nilai-nilai, menentukan hubungan antar nilai dan menjadikannya karakter dalam diri siswa (Depdiknas). Sumber lain menyatakan bahwa nilai nilai yang terdapat dalam pendidikan jasmani adalah sebagai berikut: 1. Kedisiplinan, yaitu kepatuhan kepada peraturan atau tata tertib, seperti datang tepat waktu, mengikuti semua kegiatan, dan pulang tepat waktu.
JUARA
| Januari 2014
Pendidikan Olympism (Suatu PTK Upaya Meningkatkan Pemahaman Nilai-nilai Pendidikan...
| 29
2. Kejujuran, yaitu kejujuran dalam perkataan dan perbuatan, seperti tidak berbohong, dan tidak berlaku curang. 3. Tanggungjawab, yaitu kesadaran untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang diberikan, seperti menyelesaikan tugas-tugas selama kegiatan berlangsung. 4. Sopan santun, yaitu sikap hormat kepada orang lain, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan sikap, seperti berbicara, berpakaian, dan duduk yang sopan. 5. Hubungan sosial, yaitu kemampuan untuk berinteraksi sosial dengan orang lain secara baik, seperti menjalin hubungan baik dengan guru dan sesama teman, menolong teman, dan mau bekerjasama dalam kegiatan yang positif (www. portalpendidikan.com) Nilai tersebut adalah: kerjasama, menghormati peraturan, pemecahan masalah, pengertian, bersosialisasi dengan oranglain, kepemimpinan, menghormati oranglain, nilai dari sebuah usaha, belajar bagaimana untuk menang/kalah, bagaimana bertanding, kejujuran, berbagi, harga diri, kepercayaan, menghormati diri sendiri, kegembiraan, kerjasama dalam tim, kedisiplinan, kepercayaan diri. (Ali Maksum; 2003) Pada penelitian ini peneliti hanya membahas nilai-nilai yang ada didalam pendidikan jasmani yaitu: Kejujuran (fairplay), menghormati/ Menghargai (respect), keunggulan (excellence). Dengan pengertian: 1. kejujuran merupakan nilai yang tercermin dalam perkataan dan perbuatan, seperti tidak berbohong, dan tidak berlaku curang, mematuhi peraturan yang ada. 2. menghormati/menghargai merupakan nilai yang mencerminkan sikap hormat kepada orang lain, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan sikap, seperti berbicara, berpakaian dan bagaimana pentingnya memperlakukan orang lain dengan hormat serta terwujud juga dalam sikap menolong teman. 3. keunggulan merupakan nilai yang mencerminkan sebuah usaha melakukan yang terbaik (Johansyah; 2009). Maka dengan ini peneliti merumuskan pengertian atau definisi pemahaman nilai-nilai pendidikan jasmani yaitu: suatu dasar bagi sebuah Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
30 | Johansyah Lubis dan Indra Melani Naury Nababan tindakan terhadap nilai-nilai yang terdapat didalam penjas tersebut yang sifatnya melekat dan bertahan lama, sehingga nantinya diharapkan menjadi rujukan/pedoman pribadi untuk membentuk pembuatan keputusan dan perilaku. 2. Media Pembelajaran Video
Penggunaan media dalam pembelajaran tentunya tidak bermaksud mengganti cara mengajar, melainkan untuk melengkapi dan membantu guru dalam menyampaikan materi. Istilah kata media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari kata “medius” yang secara harafiah berarti pengantar atau perantara (Syaiful Bahri;2006, 120). Makna umumnya ”media adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima atau penyalur pesan”. Menurut Association of Education and Communication Technology (AECT) memberi batasan tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi (Wahyu sri, 2007). Menurut Gagne dalam Azhar Arsyad secara umum mengatakan bahwa: Media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder, kaset, video kamera, video rekorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer (Azhar Arsyad; 2006, 4). Pendapat yang sama juga diungkapkan Briggs (1970) ”bahwa media pembelajaran adalah sarana untuk memberikan perangsang bagi pembelajar supaya proses belajar terjadi” (Yusufhadi Miarso: 2004, 457). Menurut Sudjana dikutip oleh Azhar Arsyad mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa, yaitu: a. Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar. b. Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran. c. Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui kata-kata guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tak kehabisan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap jam pelajaran. JUARA
| Januari 2014
Pendidikan Olympism (Suatu PTK Upaya Meningkatkan Pemahaman Nilai-nilai Pendidikan...
| 31
d. Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasian dan memerankan. Dari pendapat pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu alat fisik yang digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat menyalurkan pesan yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong teorjadinya proses mengajar yang disengaja, bertujuan, dan terkendali. Para ahli memiliki pandangan yang searah mengenai hal ini. Perbandingan pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol perbedaannya. Kurang dari 90% hasil belajar seseorang diperoleh indera pandang, dan hanya sekitar 5% diperoleh melalui indera dengar dan 5% lagian dengan indera lainnya (Baugh.1986). Sementara itu Dale memperkirakan bahwa pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang berkisar 75%, melalui indera sekitar 13%, dan 12% melalui indera lainnya. 3. Pendidikan Olympism
Olympism adalah dasar dan filosofi kehidupan yang mencerminkan dan mengkombinasikan keseimbangan antara jasmani (badan yang sehat) dan rohani (kemauan, moral dan kecerdasan) serta mengharmonikan antara kehidupan keolahragaan, kebudayaan dan pendidikan, sehingga dengan demikian dapat diciptakan keselarasan kehidupan yang didasarkan pada kebahagiaan dan usaha yang mulia, nilai nilai pendidikan yang baik dan penghargaan pada perinsip perinsip etika yang berlaku. Itulah yang tertulis dalam Olympic Charter pasal 11 yang dikatakan: Excellence atau nilai keunggulan, merupakan nilai yang mengacu pada pemberian terbaik seseorang terhadap suatu bidang, excellence/nilai keunggulan bukan semata berbicara tentang kemenangan atai, namun tentang usaha/partisipasi itu sendiri, mengacu pada usaha keras seseorang untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal yang dilakukan sebagai seorang individu maupun kelompok, berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik dan melakukan yang terbaik dalam keseharian hidupnya serta menggabungkan kekuatan tubuh, pikiran dan keinginan. Nilai persahabatan atau friendship merupakan nilai yang menganjurkan Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
32 | Johansyah Lubis dan Indra Melani Naury Nababan kita untuk mengingat bahwa olahraga adalah alat untuk saling memahami antar individu dan orang-orang dari seluruh penjuru dunia. Olimpiade menginspirasi seluruh umat manusia untuk mengatasi perbedaan politik, ekonomi, jenis kelamin, ras, atau agama serta menjunjung tinggi persahabatan dari pada perbedaan-perbedaan tersebut. Sedangkan respeck adalah menghargai diri sendiri dan orang lain, respek tidak hanya berarti kepatuhan untuk mentaati suatu aturan, melainkan menggambarkan sikap yang tepat dan semangat yang tepat di mana seseorang mampu mengendalikan dirinya sendiri. (International Fair Play Chapter). Selain itu fair play juga mengandung definisi jujur yaitu sesuatu mencerminkan keadaan yang sesungguhnya yang tercermin dalam sikap, perkataan serta tindakan. Dalam penelitian ini peneliti membatasi nilai-nilai yang akan di teliti lebih lanjut yaitu nilai excellence/nilai keunggulan, fairplay/nilai kejujuran, dan nilai respect/nilai menghargai. 4. Karakteristik Siswa SMP Kelas VII (anak usia 12-13 thn)
Anak usia 12-13 tahun yang dalam tabel periodisasi perkembangan berdasarkan umur termasuk ke dalam masa adolesensi. Adolesensi atau remaja adalah individu-individu yang berusia 10 sampai 18 tahun untuk perempuan atau berusia 12 sampai 20 tahun untuk laki-laki (sugianto;1993, 27). Tabel. 1 Periodisasi Perkembangan Berdasarkan Umur Fase Perkembangan -Fase Sebelum Lahir Awal Embrio Janin -Bayi Neonatal -Anak-anak Anak kecil Anak besar perempuan Anak besar laki-laki -Adolesensi Perempuan Laki-laki -Dewasa Dewasa muda Dewasa madya Dewasa tua (lanjut usia) JUARA
| Januari 2014
Batasan Umur Selama 9 bulan 10 hari Saat pembuahan sampai 2 minggu 2 sampai 8 minggu 8 minggu sampai saat lahir Saat lahir sampai 1 atau 2 tahun Saat lahir sampai 4 minggu 1 atau 2 sampai 10 atau 12 tahun’ 1 atau 2 sampai 6 tahun 6 sampai 10 tahun 6 sampai 12 tahun 10 sampai 18 tahun 12 sampai 20 tahun 10/20 sampai 40 tahun 40 sampai 60 tahun 60 tahun lebih
Pendidikan Olympism (Suatu PTK Upaya Meningkatkan Pemahaman Nilai-nilai Pendidikan...
| 33
Masa adolesensi ini merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak untuk menjadi dewasa. Masa ini merupakan masa pertumbuhan yang pesat, yang ditandai dengan perkembangan biologis yang kompleks. Gejala-gejala pertumbuhan dan perkembangan yang menonjol pada masa adolesensi (remaja) adalah: 1) Pertumbuhan ukuran tubuh; 2) Perkembangan jaringan tubuh; 3) Perkembangan seksual; 4) Perubahan fisiologis. Karakteristik sosial dan emosional yang menonjol pasa usia ini adalah: 1) Perkembangan ke arah kejantanan untuk anak laki-laki, dan feminin untuk anak wanita. 2) Membentuk kelompok dengan teman sejenis; 3) Usaha keras untuk menjadi orang terbaik di dalam permainan bertujuan untuk diakui atau dikagumi oleh teman-temannya; 4)Memiliki ketakutan pribadi yang sederhana. Kadang-kadang berfikir untuk melarikan diri; 5) Jarang mau bersikap rendah hati. Karakteristik mental: 1) Ruang lingkup perhatian bertambah; 2) Kemampuan berfikir bertambah karena anak-anak telah memiliki pengalaman-pengalaman; 3) Minat terhadap macam-macam permainan yang terorganisir bertambah; 4) Sangat berhasrat ingin menjadi dewasa; 5) Kuat berimajinasi dan dapat mengekspresikan dirinya (Supandi). Berdasarkan penjabaran di atas mengenai karakteristik siswa SMP kelas VII (usia 12-13 tahun) disimpulkan bahwa pada masa ini, siswa berada pada masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa yang sering disebut masa remaja dan di dalamnya terjadi perubahan baik dari segi fisik, emosional, dan mental. 5. Hubungan Nilai-Nilai Penjas dengan Pendidikan Olympism
Kehadiran nilai-nilai yang terkandung dalam pendididkan Olympism menyatukan serta menggambarkan nilai-nilai yang ada dalam pendidikan jasmani, nilai-nilai tersebut saling terkait dan diharapkan dapat diadopsi sedemikian rupa untuk diaplikasikan dalam pendidikan jasmani dan kehidupan sehari-hari siswa didik. Olympism adalah sebuah filosofi pendidikan dan pengembangan diri. Sebagai contoh dalam pendidikan jasmani dipelajari atletik, dalam hal ini Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
34 | Johansyah Lubis dan Indra Melani Naury Nababan nomor lari, secara tidak langsung sudah terkandung pendidikan/nilai-nilai Olympism yaitu excellence/nilai keunggulan. Disimpulkan bahwa terdapat kesamaan antara nilai-nilai penjas dengan nilai-nilai olympism, maka lewat penelitian ini peneliti membatasi nilai-nilai tersebut menjadi nilai-nilai: menghormati/respect,kejujuran/ fairplay, dan keunggulan/Excellence. Peneliti menggunakan media pembelajaran video tentang pendidikan olympism dalam perannya untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap nilai-nilai pendididikan jasmani, dalam hal ini media pembelajaran video menjadi sumber belajar atau alat peraga dalam membantu proses pembelajaran penjas di sekolah. Pengambilan data dalam penelitian ini dilaksanakan di SMPK BPK Penabur V Cipinang Indah Jakarta Timur, Jl. Taruna Barat Blok KKCipinang Indah II dan mengambil siswa kelas VII A dan VII B sebagai responden penelitian yang berjumlah 70 Siswa. Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada hari selasa tanggal 23 Maret 2010 dan tanggal 13 April 2010. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan/Action Research, sesuai dengan variabel-variabel yang akan diteliti, pemahaman nilai-nilai penjas sebagai variabel terikat dan pendidikan olympism sebagai variabel bebas. Tabel 2. Kisi-Kisi Penilaian Pemahaman Nilai-Nilai Pendidikan Jasman Variabel Pemahaman NilaiNilai Pendidikan Jasmani
Aspek/dimensi Indikator Nilai Respect (menghargai) Menghargai orang lain Menghargai diri sendiri/tubuh Nilai Excellence (unggul) Tetap berjuang sekalipun belum mendapat hasil yang maksimal Mempunyai motivasi untuk melakukan yang terbaik Bekerja keras untuk mencapai suatu tujuan Nilai Fairplay Jujur, tidak berdusta, curang, menipu (kejujuran) Perkataan sejalan dengan tindakan Mematuhi peraturan
C. PROSES PELAKSANAAN PENELITIAN TINDAKAN 1. Pelaksanaan Siklus I
Pada kesempatan ini tindakan yang harus dilakukan peneliti adalah proses pembelajaran dikelas dengan menggunakan media video sebagai JUARA
| Januari 2014
Pendidikan Olympism (Suatu PTK Upaya Meningkatkan Pemahaman Nilai-nilai Pendidikan...
| 35
alat penyampaian nilai-nilai pendidikan jasmani. Hal ini didasarkan pada tujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa pada nilai-nilai pendidikan jasmani. 2. Pelaksanaan Tindakan
Peneliti memulai pembinaan dengan mengimplementasikan tindakan dalam proses pembelajaran sesuai dengan skenario pembelajaran yang sudah disepakati peneliti dan kolaborator, yaitu: menyiapkan lingkungan belajar dan melakukan pemutaran video Olympism dalam upaya meningkatkan pemahaman siswa terhadap nilai-nilai pendidikan jasmani. Pada pertemuan peneliti ini siswa diberikan pengarahan tentang apa yang akan mereka lakukan sepanjang jam pembelajaran berlangsung. Adapun yang dilakukan siswa pada pertemuan ini adalah: 1. Siswa diberikan pengarahan tentang angket yang harus mereka isi 2. Siswa diberikan pengarahan singkat tanpa memberi tahu lebih jauh/ detail 3. Siswa kembali mengisi angket yang sudah dibuat oleh peneliti. 3. Hasil Observasi
Pengamatan yang dilakukan kolaborator selama berlangsungnya pembelajaran memberikan hasil sebagai berikut: 1. Persiapan penayangan video membutuhkan waktu, karena Laptop dan LCD perlu dikondisikan dan cukup memakan waktu. 2. Selama penayangan video pembelajaran siswa menikmati setiap proses pembelajaran. 3. Masih ada sebagian kecil siswa yang bercanda pada saat penayangan. 4. Analisis dan Refleksi
Tujuan dari pembinaan yang dilakukan seperti yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu yaitu agar siswa mengalami peningkatan pemahamannya akan nilai-nilai pendidikan jasmani melalui media video tentang pendidikan/nilai-nilai olympism. Adapun saran dari kolaborator dalam siklus yang pertama ini adalah Perlu adanya persiapan tehnis yang lebih matang, yaitu peneliti diharapkan datang lebih awal kesekolah untuk menyiapkan materi video sebelum penelitian dimulai, saran lainnya yaitu Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
36 | Johansyah Lubis dan Indra Melani Naury Nababan kolaborator melihat ada satu cuplikan cerita dalam video yang adegannya terlalu ekstrim dan perlu dihilangkan. Melihat hasil tes pada siklus I ini yaitu masih belum meningkatnya pemahaman rata-rata siswa yaitu sebanyak 80%, maka diperlukan tindakan lanjutan atau siklus II dengan memperhatikan pertimbangan yaitu hal tehnis dalam persiapan penayangan video dan pengkondisian siswa agar lebih sungguh-sungguh didalam menyaksikan penayangan video pembelajaran. D. PELAKSANAAN SIKLUS II 1. Perencanaan Tindakan
Tindakan yang dilakukan pada siklus ke dua ini tidak jauh berbeda dengan tindakan yang diberikan pada siklus yang pertama, karena tindakan yang dilakukan pada siklus ke dua ini, mempunyai tujuan yang sama dengan siklus yang pertama. Pada siklus ke dua ini mengalami sedikit perbedaan materi video yang ada, terdapat penambahan kisah dan penjelasan yang lebih rinci dibanding video pertama yang diberikan pada siklus I, namun secara garis besar hal ini tidak mengubah keseluruhan tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan hasil refleksi pada siklus pertama, peneliti dan kolaborator mendiskusikan hasil pengamatan yang terjadi dari siklus pertama mengenai hal tehnis persiapan penayangan video dan masalah beberapa siswa yang kurang kondusif. Hasil refleksi pada siklus I menghasilkan solusi yang akan dilakukan pada siklus ke II ini, yaitu: 1. Peneliti dan kolaborator menyiapkan kondisi media dan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penayangan video pembelajaran 2. Siswa yang terlihat kurang sungguh-sungguh hasil dari refleksi siklus I, dipindahkan duduknya ke barisan paling depan, hal ini dimaksudkan agar siswa tersebut lebih fokus dan tidak membuat keributan yang mengganggu konsentrasi jika siswa tersebut duduk dibelakang. 2. Pelaksanaan Tindakan
Sebelum penayangan video pembelajaran berlangsung siswa dipastikan dulu telah siap mengikuti kegiatan pembelajaran hari itu. Setelah siswa JUARA
| Januari 2014
Pendidikan Olympism (Suatu PTK Upaya Meningkatkan Pemahaman Nilai-nilai Pendidikan...
| 37
menyaksikan video pembelajaran, siswa diinstruksikan kembali untuk mengisi angket pemahaman nilai-nilai pendidikan jasmani. 3. Hasil Observasi
Hasil observasi yang diperoleh selama berlangsungnya tindakan adalah sebagai berikut: 1. Siswa mulai menyadari apa yang disampaikan oleh video pembelajaran. 2. Siswa sudah makin tertib dari pertemuan di siklus sebelumnya. 3. Waktu persiapan tidak membutuhkan waktu yang lama, kolaborator dan guru sudah terbiasa waktu mempersiapkan penayangan video pembelajaran. 4. Siswa menikmati dan makin antusias didalam menyaksikan video pembelajaran. 4. Analisis dan Refleksi
Tujuan di Siklus II ini adalah sebagian besar siswa memiliki pemahaman yang baik akan nilai-nilai yang ada didalam pendidikan jasmani. Siswa bisa memberikan feed back atau umpan balik dari apa yang mereka telah dapat yaitu dengan memberikan rangkuman dari video pembelajaran yang ada. Selain itu siswa juga dapat menyebutkan indikator nilai-nilai yang ada dalam pendidikan jasmani. Saran kolaborator dalam siklus II ini adalah durasi video yang telah diputar pada siklus yang pertama sebaiknya perlu dikurangi atau dipersingkat agar siswa tidak merasa bosan, tanpa mengubah isi atau tujuannya. 5. Rekapitulasi Data
Deskripsi data pada penelitian ini meliputi nilai terendah, nilai tertinggi, rata-rata, simpangan baku dan dari variable yang diteliti, berikut data lengkapnya: Tabel 3. Rekapitulasi Data Penelitian NO. 1. 2. 3. 4.
Variabel Skor Tertinggi Skor Terendah Rata-Rata Simpangan Baku N
Awal 120 65 90,44 10.79
Siklus I 123 61 95,68 11,92 70
Siklus II 123 65 98,82 12,37
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
38 | Johansyah Lubis dan Indra Melani Naury Nababan Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Data Penelitian No. 1. 2. 3.
Kategori Baik Cukup/Kurang Sangat Kurang N
Rentang Nilai 89-130 47-88 26-46
Awal F 39 31 70
% 55,71% 44,29% 100%
Pemahaman Siklus I F % 52 74,29% 18 25,71% 70 100%
F 59 11 70
Siklus II % 84,29% 15,71% 100%
6. Hasil Penelitian
Dibawah ini disajikan mengenai diagram batang data pemahaman awal, siklus I dan Siklus II hasil penelitian.
Gambar 1. Diagram Batang Hasil penelitian.
Setelah dilakukan tes awal untuk mengetahui kondisi pemahaman siswa sebelum menggunakan media pembelajaran video diperoleh data sebesar 55,71% yang pemahamannya masuk dalam kategori baik, 44,29% yang masuk dalam kategori cukup/kurang dan tidak ada siswa yang masuk dalam kategori sangat kurang. Dari grafik diatas juga digambarkan bahwa pada tes siklus I, siswa yang masuk kategori pemahamannya baik sejumlah 74,29%, 25,71% yang masuk dalam kategori kelompok siswa yang pemahamannya cukup/kurang dan tidak ada siswa yang pemahamannya sangat kurang. Pada tes siklus II, siswa yang masuk kategori pemahamannya baik meningkat sejumlah 59 orang (84,29%), siswa yang pemahamannya cukup/kurang sejumlah 11 orang (15,71%), dan tidak ada siswa yang pemahamannya sangat kurang. Atau secara keseluruhan peningkatan pemahaman siswa dalam penelitian ini adalah sebesar 28,58%. JUARA
| Januari 2014
Pendidikan Olympism (Suatu PTK Upaya Meningkatkan Pemahaman Nilai-nilai Pendidikan...
| 39
Menurut peneliti dan kolaborator penelitian berhenti sampai disini dan tidak dilanjutkan ke siklus berikutnya, karena permasalahannya sudah terjawab. 7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan pemahaman nilai-nilai Pendidikan Jasmani siswa kelas VII SMPK BPK Penabur V Cipinang Indah Jakarta Timur. melalui pemberian video pembelajaran tentang pendidikan olympism.
DAFTAR PUSTAKA Ali Imron, (1996) Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Amir Hamzah, (1985) Media Audio-Visual, Jakarta: PT. Gramedia. Azhar Arsyad,(2006) Media Pembelajaran, Jakarta: PT. Raja Grasindo. Eveline S dan Dewi Salma, (2004) Mozaik Teknologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media. Harsuki, (2003) Perkembangan Olahraga Terkini(Kajian Para Pakar), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kunandar,(2007) Guru Profesional, Jakarta: PT Raja Grafindo. Mengajar Pendidikan Jasmani Pendekatan Pendidikan Gerak di SD, Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional, 2001 Poerwadarminta, (1984) Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Peng. Bahasa Depdikbud, Jakarta, Balai Pustaka. Rusli Lutan, (2001) Asas-asas pendidikan jasmani: Pendidikan gerak di Sekolah Dasar, Jakarta, Direktorat Jenderal Olahraga, Depdiknas. Rusli Lutan,(2001) Olahraga dan Etika Fair play, Jakarta, Direktorat Jenderal Olahraga. Sugianto, (1993) Pertumbuhan dan Perkembangan Gerak, KONI Pusat, Jakarta. Suharsimi Arikunto, (2003) Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta, Bumi Aksara. Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
40 | Johansyah Lubis dan Indra Melani Naury Nababan Suharsimi Arikunto, (2006) Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi), Bumi Aksara, Jakarta. Syarifudin, (2000) Kunci Sukses Pengembangan Program Pendidikan Jasmani, Jakarta, PT Ardadizya Jaya. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, (2006) Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, Rineka Cipta. The Olympic Games in Ancient Greece, Ekdotike Athenon S.A, Athens, 2003. Wahyu Sri A, (2007) Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan, Jakarta, CV Multi Karya Mulya. Wijaya Kusuma dan Dedi Dwigatama,(2009) Mengenal Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta, PT Indeks, Yusufhadi Miarso, (2004) Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta, Prenada Media. Wahyu Sri A, (2007) Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan, Jakarta, CV Multi Karya Mulya. Johansyah “etika dan moral dalam pendidikan jasmani menuju olahraga prestasi” www.koni.com Jurnal Pendidikan Jasmani, Fakultas Ilmu Keolahragaan UNJ, Mei 2004. www.portalpendidikan.co.id Ali Maksum, FIK Universitas Negeri Surabaya, www.google.com www. wordpress.com www.olympic.org
JUARA
| Januari 2014
Model Tes Bakat Bulutanagkis Perspektif Domain Fisik Sapta Kunta Purnama
ABSTRACT The purpose of this research are: 1) Create test battery of physical domain perspective badminton performance; 2) Know the validity of the tests; 3) Develop the norm of performance tests. This method used the construction of observational of research instruments. Target population is 12-13 years old badminton players. Qualified badminton players are players who aged 12-13 years and had been practicing for at least three years, with the exercise frequency is at least 3 times a week and player’s badminton club listed in the Badminton Association of Indonesia (PBSI) in Central Java. According to objective of this research, technique used to take the sample applied 2 stages, namely: 1) Stratified random sampling, to test the instrument, 2) Judgment sampling technique for the preparation of the norms. The results of the research are: 1) Produced a test battery, namely: a) The test battery of performance for male player are (1) The length of his foot, (2) Tennis ball fetching, (3) Shadow badminton,(4) Multistage run; and b) The test battery of performance for female players consisting of: (1) The length of her foot, (2) Tennis ball fetching, (3) 40 meter run, (4) Shadow badminton, (5) Multistage run; 2) The validity of male category is 0,927 and 0.921 for female, the rate of differencial is at very good rate category and has significant with degree of freedom P = 0.05. Norm for badminton gifted child due to T-score are 252 for male, 302 for female . Keywords: Talent, gifted, identification, physical domain, instrument, test battery, badminton
— 41 —
42 | Sapta Kunta Purnama A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah
Sistem pemanduan dan pengembangan bakat olahraga belum dilaksanakan secara baik di Indonesia. Hal ini dipaparkan oleh Menpora seperti terlihat pada gambar 1 dibawah ini: 25 Keahlian Khusus
19 Mengenai Dasar-dasar & Penggunaan
14 Mengenai Permulaan Pengetahuan Dasar
25 pelatnas, try out & alat yang langka
Prestasi Puncak
KONI
Tidak ada/kurang sekali kesempatan kompetisi dan latihan teratur dengan peralatan yang patut untuk membentuk pilihan cabang olahraga
19 Spesialisasi
14
Tidak ada pembinaan usia dini yang teratur berkesinambungan membentuk dasar minat, disiplin, sportivitas.
0
Dasar-dasar Permulaan Olahraga
0
Masyarakat/Keluarga/Sekolah Keolahragaan
Gambar 1. Pengembangan Olahraga Nasional Sumber: Kemenpora, Sarasehan Perumusan Kebijakan Pembangunan Keolahragaan, Senayan,1-2-2010.
Pada gambar 1 disebutkan tidak ada pembinaan usia dini yang teratur dan berkesinambungan, kurang sekali kesempatan kompetisi dan latihan teratur dengan peralatan yang layak untuk membentuk pilihan cabang olahraga. Banyak referensi menyatakan bahwa untuk dapat berprestasi olahraga secara maksimal perlu didukung oleh banyak faktor, termasuk yang utama adalah faktor keberbakatan atau telanta. Salah satu referensi yang dikemukakan Mc Gregor (2008:3) menyimpulkan dari beberapa pendapat para ahli bahwa sukses di olahraga adalah hasil dari satu interaksi kompleks dari variabel yang sepenuhnya dipahami, oleh sebab itu menjadi juara tidak mungkin menelantarkan aspek bakat perorangan. Kajian terhadap perkembangan teknologi olahraga mempunyai dampak terhadap sistem pembinaan olahraga prestasi, khususnya terhadap prediksi dalam hal kemampuan fisik dan fisiologis yang dapat dipersiapkan sejak awal bagi calon-calon atlet berpotensi. JUARA
| Januari 2014
Model Tes Bakat Bulutanagkis Perspektif Domain Fisik
| 43
Cabang olahraga bulutangkis merupakan andalan Indonesia untuk bersaing di tingkat internasional, namun sejak tahun 2010 prestasi atletatlet bulutangkis Indonesia dinilai mulai turun peringkat. Menurunnya prestasi bulutangkis Indonesia ditandai dengan gagalnya tim piala Thomas Indonesia dan tim Uber seperti yang dilaporkan harian Kompas (Rabu 24 Mei 2012) dari Wuhan, China; kalah di perempat final oleh tim Thomas dan Uber Jepang dengan skor yang sama 2-3, Kemudian pada olimpiade 2012 London bulutangkis gagal mempersembahkan medali. Salah satu faktor penurunan prestasi tersebut diprediksi karena kurangnya atlet-atlet muda yang menjadi pelapis atlet-atlet senior. Masalah minimnya jumlah atlet muda sebagai pelapis atlet utama perlu segera diatasi dengan menambah kuantitas calon atlet yang potensiaI dan sesuai dengan keberbakatannya. Identifikasi bakat olahraga pada anak-anak perlu diadakan sedini mungkin dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi olahraga. Dengan pengidentifikasian bakat yang tepat maka program pemanduan bakat olahraga akan berjalan efektif dan efisien. Sebagai contoh: kriteria identifikasi bakat calon atlet andalan Nasional di dalam Renstra PRIMA (2010:13) disebutkan sekurang-kurangnya memenuhi; (1) sehat jasmani dan rokhani sesuai dengan standar PRIMA, (2) berprestasi tingkat Nasional dan atau Internasional, (3) memiliki komitmen, (4) memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme, (5) mengedepankan rasa saling pengertian, persahabatan, solidaritas, dan fair play, (6) dinominasikan oleh induk organisasi olahraga yang bersangkutan. Dari kondisi tersebut, perlu adanya kajian mengenai bagaimana mengembangkan dan mengefektifkan model identifikasi bakat olahraga bulutangkis yang berkaitan dengan kemampuan fisik melalui instrumen tes bakat bulutangkis yang efektif dan efisien. Dengan diketahuinya bakat calon atlet bulutangkis maka proses pembinaan prestasi menjadi jelas, selain itu juga pembinaan selanjutnya menjadi lebih efektif dan efisien dibanding membina calon atlet yang belum diketahui keberbakatannya. 2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan sesuai dengan fokus penelitian maka penelitian ini berorientasi pada penyusunan rangkaian tes bakat bulutangkis perspektif domain fisik, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
44 | Sapta Kunta Purnama 1. Bagaimana susunan rangkaian tes bakat bulutangkis perspektif domain fisik? 2. Apakah rangkaian tes bakat bulutangkis perspektif domain fisik valid? 3. Bagaimana norma hasil tes bakat bulutangkis perspektif domain fisik? B. KAJIAN TEORI 1. Kajian Teori Variabel
a. Bulutangkis Bulutangkis merupakan permainan yang bersifat individual namun dapat dimainkan dengan cara satu orang lawan satu orang atau dua lawan dua. Permainan ini menggunakan shuttlecock sebagai obyek yang dimainkan (dipukul), dan raket sebagai alat pemukul. Game dimainkan hingga 21 poin dengan selisih poin minimal 2, pemenang pertandingan adalah yang terbaik dari tiga game (the best three winning sets), jika terjadi suatu keadaan poin sama, yaitu: 20-20 atau lebih, maka yang telah unggul selisih dua yang memenangkan game/set, nilai akhir untuk keadaan ini (deuce) adalah 30. Gerak dasar dalam permainan bulutangkis terdiri dari gerakan lari cepat, meloncat, melangkah, lari maju-mundur, bergerak ke samping kanan dan kiri, gerak berputar, dan membuat langkah lebar. Semua gerak dan aktivitas itu dibutuhkan agar pemain dapat memukul cock dalam sikap dan posisi tubuh yang tetap terkontrol baik. Gerakan-gerakan tersebut berlangsung dalam tempo lama dan berulang-ulang, akibatnya terjadi proses lelah (fatique) pada pemain. Banyak pakar berpendapat mengenai bulutangkis, Tahir Djide (2007:6) mengatakan “bulutangkis adalah permainan yang menuntut power, kekuatan, ketahanan, keberanian, penalaran, mental, dan kelincahan. Sejalan dengan pendapat tersebut Downey (1980:42) menyatakan bahwa semua gerakan dalam bulutangkis tergantung pada kontraksi otot, sehingga melibatkan dua faktor utama, yaitu: 1) Sumber energi yang dibutuhkan otot untuk berkontraksi (akan melibatkan pemeriksaan sistem energi); 2) Kualitas kontraksi otot yang dianggap mewakili kekuatan otot. Kedua
JUARA
| Januari 2014
Model Tes Bakat Bulutanagkis Perspektif Domain Fisik
| 45
faktor tersebut harus diperhatikan untuk memahami sepenuhnya dasar fisiologis pelatihan. Dari hasil survey dalam kejurnas bulutangkis pada bulan Juli 2010 di Surakarta dengan game 21, didapat bahwa waktu reli (in play) reli paling lama 37.62 detik; paling singkat 0.19 detik; rata-rata 6.41 detik; istirahat antar reli 16,28, lamanya main rata-rata 13.35 menit/set, paling lama 25 menit/set; paling singkat 6 menit/set; rata-rata jumlah reli 35 kali/set. Hasil tersebut memberikan indikasi yang lebih jelas dari permainan bulutangkis, bahwa penggunaan tiga sistem energi tubuh saat bermain bulutangkis adalah sebagai berikut: ATP-PC and LA
ATP-PC; LA & O2
O2
% Aerobic
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
% Anaerobic
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Waktu Mnt, dtk
0.5
0.20
0.60
1.30
2.15
3.30
10.0
12.0
14.0
28.0
180
reli pendek
reli panjang
Set pendek
Set panjang
Gambar 2. Penggunaan Sistem Energi Bulutangkis Sumber: Modifikasi Jack Jake Downey dan David Brodie,1980
Gambar 2 menunjukkan angka prosentase perkiraan sumber energi aerobik dan anaerobik untuk memenuhi kebutuhan energi maksimum dalam bulutangkis. Dari angka observasi menunjukkan bahwa reli terlama 37.62 detik berarti intensitas tersebut menunjukkan persentase dari energy anaerobic sebesar ± 90%, permainan bisa berlangsung hanya 6 menit dan akan membuat tuntutan pada ketiga sistem energi. Hal penting yang berkaitan dengan bulutangkis adalah karakteristik yang melekat pada permainan ini, yaitu: permainan dapat berlangsung cepat dan dapat berlangsung lama. Pemain harus mampu bergerak cepat menjelajahi sudut-sudut lapangannya dengan gerakan cepat, explosive, mampu menggunakan berbagai teknik memukul cock dengan berbagai gerakan yang harmonis dan terarah (accuracy).
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
46 | Sapta Kunta Purnama b. Bakat Bulutangkis Istilah bakat/berbakat (gifted) pertamakali diperkenalkan oleh Whipple dalam Reni (2002:45) untuk menunjukkan keadaan anak yang memiliki kemampuan super. Di dalam kamus psikologi Gulo (1987:17) ”bakat” sama dengan ability; kecakapan; kemampuan yaitu istilah yang dikaitkan dengan kemampuan atau potensi untuk menguasai suatu keahlian ataupun pemilikan keahlian itu sendiri. Dengan kadar kualitas yang unggul diharapkan memiliki peluang besar untuk mencapai prestasi tinggi dan menonjol di dalam bidangnya. Berkaitan dengan bakat Utami Munandar (1982:14) mengemukakan tentang anak berbakat yaitu: “mereka yang oleh orang-orang ahli di bidangnya diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi karena mempunyai keunggulan”. Klasifikasi tentang keberbakatan menurut para pakar bervariasi di www.education.com (2-1-2012) dilaporkan bahwa populasi anak berbakat meliputi tiga kelompok: anak berbakat dengan derajat tinggi (highly giftted), di atas 2-3 persen populasi (Sorenson), kemudian Martinson menyebutkan bahwa anak berbakat intelektual adalah top 5% atau 2%, dan mempertimbangkan 11-15% sebagai talenta, (Hallahan dan Kauffman, 2003) menyatakan bahwa 3% sampai 5% dari populasi adalah berbakat dan bertalenta. Variabilitas di beberapa negara dalam mengidentifikasi siswa dengan karunia bakat dan talenta, ada yang menyebutkan kurang dari 3%, ada yang lebih dari 10% (Heward, 2006). Dari uraian di atas dapat dijelaskan tentang bakat bulutangkis, yaitu merupakan suatu kemampuan khusus yang tampak dari beberapa komponen tertentu yang harus dimiliki atlet bulutangkis agar berprestasi secara maksimal. Atlet berbakat bulutangkis adalah mereka yang memiliki ciri-ciri khusus untuk dapat berkembang menunjang keberhasilan berprestasi di cabang olahraga bulutangkis. c. Identifikasi Bakat Bulutangkis Sukarman (1987) menyatakan bahwa dalam olahraga dituntut kualitas kekuatan, ketahanan, kelenturan dan keahlian dari tubuh, maka perlu kualifikasi meliputi; (1) medis, (2) fisik, (3) mental dan (4) ketrampilan. Dalam kualifikasi medis sebaiknya dilaksanakan pemeriksaan kesehatan JUARA
| Januari 2014
Model Tes Bakat Bulutanagkis Perspektif Domain Fisik
| 47
dan gejala-gejala penyakit yang mungkin diderita calon atlet. Dalam kualifikasi fisik paling tidak norma yang harus diukur adalah kekuatan, kelenturan, kelincahan dan ketahanan. Dalam kualifikasi psikologis perlu diidentifikasi oleh para psikolog, dan dalam kualifikasi ketrampilan diperlukan tes ketrampilan khusus cabang olahraga. Berkaitan dengan seleksi bakat, Bompa (1999:277) mengemukakan bahwa ada 2 metode untuk seleksi bakat, yaitu: (1) seleksi alam; dan (2) seleksi ilmiah. Seleksi alamiah adalah seleksi dengan cara mengembangkan kemampuan seorang atlet dalam olahraga mengikuti perkembangan alam. Seleksi ini menganggap bahwa seorang atlet berpartisipasi pada cabang olahraganya karena situasi dan kondisi setempat. Seleksi ilmiah adalah cara untuk memilih calon atlet yang memiliki potensi dalam olahraga, sehingga diperkirakan akan berhasil dalam proses latihan dan dapat meraih prestasi yang tinggi. Melalui seleksi ilmiah calon atlet dapat diketahui potensinya berdasarkan parameter yang terukur. Melalui seleksi ilmiah tuntutan kualitas-kualitas tersebut dapat diidentifikasi secara cermat. Lebih lanjut Bompa (1994: 31-33) mengemukakan bahwa kriteria utama dalam identifikasi bakat adalah: kesehatan, kualitas biomotorik, keturunan, dan didukung oleh fasilitas olahraga, iklim serta ketersediaan ahli. Sejalan dengan Bompa, Bloomfield (1994:268) berpendapat bahwa identifikasi bakat dapat dilakukan secara sederhana dan dengan pendekatan ilmiah. Cara sederhana berdasarkan kriteria yang mudah diamati, misalnya pemain basket dan bola voli karena permainannya menuntut sasaran dan net yang tinggi, maka postur tubuh yang tinggi diperlukan sebagai parameter seleksi. Cara ilmiah disertai penyusunan suatu test baterry yang menyeluruh untuk menjaring calon atlet. Identifikasi bakat olahraga menurut Kemenegpora (1998:4) adalah suatu upaya yang dilakukan secara sistematik untuk mengidentifikasi seseorang yang berpotensi dalam olahraga, sehingga diperkirakan orang tersebut akan berhasil latihan dan dapat meraih prestasi puncak. Komponen utama dari identifikasi bakat Menurut MacCurdy dapat di kategorikan sebagai berikut: (1) antropometrik, (2) fisik, (3) psikologis, (4) teknis/taktik, (5) hasil pertandingan, dan (6) tak terukur.
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
48 | Sapta Kunta Purnama Pengukuran antropometrik dapat digunakan untuk mengukur tinggi, berat, panjang telapak kaki, somatotip tubuh dan elemen antropometrik/ biometrik lainnya. Tes fisik dapat berguna dalam memprediksi kemampuan masa depan dalam dunia olahraga, pada pemain usia 13-14 tahun kemampuan motorik khusus cabang olahraga, terutama kecepatan reaksi dan kelincahan menjadi kinerja penentu, faktor kekuatan dan daya tahan anaerobik memainkan peran yang semakin penting. Setiap elemen tes baterai untuk pemain muda harus mencakup evaluasi keterampilan seperti berlari, melompat, melempar, menangkap, koordinasi, kecepatan khusus olahraga tertentu, kelincahan, kekuatan, fleksibilitas, daya tahan dan sejenisnya. Tes psikologis memberikan wawasan tentang bidang-bidang seperti percaya diri, kepribadian diri, dan motivasi. Teknis/taktis aspek penting untuk mengevaluasi, pada tahap awal (usia 7-10 tahun) seorang anak harus memiliki tingkat rata-rata penguasaan bola dan dalam memanipulasi raket, pada sekitar usia 12 tahun anak harus menguasai teknik servis, forehand, backhand, smes, memiliki gerak kaki yang cukup baik dan kemampuan untuk membuat penyesuaian atau beradaptasi dengan situasi yang berbeda di lapangan. Mengidentifikasi bakat hanya didasarkan pada hasil yang diperoleh dalam kompetisi usia di bawah 10-12 tahun merupakan cara yang kurang tepat. Tak terukur, merupakan aspek lain dari identifikasi bakat yang mencakup berbagai faktor yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai fisiologis, fisik, psikologis, atau teknis/taktis. Beberapa contoh yang tidak terukur antara lain memiliki perasaan yang bagus untuk permainannya, dapat menyesuaikan dengan baik untuk kondisi yang berbeda, memiliki naluri pembunuh, menikmati permainan, bermain lebih baik di pertandingan penting, suka tantangan, atau memiliki antisipasi yang tepat. Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat disarikan bahwa dalam identifikasi bakat bulutangkis sama dengan olahraga yang lain, yaitu perlu adanya analisis tentang kriteria khusus yang berkaitan dengan kebutuhan penampilan puncak cabang olahraga yang ditekuni (profil atlet yang juara), yang meliputi aspek fisik, psikologis dan dukungan lingkungannya. JUARA
| Januari 2014
Model Tes Bakat Bulutanagkis Perspektif Domain Fisik
| 49
Profil atlet bulutangkis dapat dilihat dari catatan atau data base pemainpemain nasional Indonesia hasil tes atlet PRIMA (2011) yang berprestasi di tingkat Internasional, antara lain; Taufik Hidayat tinggi badan 175 cm, berat badan 68,9 kg, kelincahan 34 kali per menit, lompat tegak 36 cm, kekuatan genggam 51 kg, VO2 max 57.6 cc/kg/bb; Simon Santosa tinggi badan 176,4 cm, berat badan 70 kg, kelincahan 43 kali per menit, lompat tegak 57 cm, kekuatan genggam 43 kg, VO2 max 52.2 cc/kg/bb; D. Hayom Rumbaka tinggi badan 182.5 cm, berat badan 72 kg, kelincahan 60 kali per menit, lompat tegak 54 cm, kekuatan genggam 64 kg, VO2 max 46.8 cc/kg/bb; Adriyanti Firdasari tinggi badan 170.7 cm, berat badan 62.1 kg, kelincahan 47 kali per menit, lompat tegak 53 cm, kekuatan genggam 31 kg, VO2 max 33 cc/kg/bb: Liliyana Natsir tinggi badan 166.9 cm, berat badan 62.5 kg, kelincahan 36 kali per menit, lompat tegak 53 cm, VO2 max 46.8 cc/kg/bb. Pemain top dunia saat ini, antara lain; Lin Dan (China, tinggi badan 178cm, berat badan 78 kg); Lee Chong Wei (Malaysia, tinggi badan 174cm, berat badan 60kg, VO2 max 68 cc/kg/bb juara Japan Open, 25 September 2009), wawancara dengan Misbun Sidek. Dengan adanya tuntutan pada pengembangan komponen kondisi fisik pemain bulutangkis yang telah disebutkan di atas, maka komponenkomponen fisik tersebut dapat dipakai sebagai indikator penentuan unsurunsur tes bakat pada calon atlet bulutangkis. d. Domain Fisik Sistem klasifikasi tujuan belajar yang secara luas digunakan di Indonesia sekarang ini menurut Sugiyanto (1993:1) pada dasarnya menganut sistem klasifikasi yang dirintis oleh Benjamin S. Bloom bersama kawan-kawan. Sistem klasifikasi tersebut dikenal dengan istilah “Taxonomy of Educational Obyectives”, yang terdiri dari tiga domain atau ranah, dapat juga berarti kawasan, yaitu: (1) domain kognitif, (2) domain afektif, dan (3) domain psikomotor. Selain tiga domain tersebut, di dalam pendidikan olahraga dikenal juga adanya “domain fisik”. Pada dasarnya domain fisik ini secara implisit bisa dicakup di dalam domain psikomotor; tetapi dengan membaginya dalam domain tersendiri bisa lebih memperjelas atau mempertajam analisis tentang hakikat olahraga. Domain psikomotor mengaji terhadap gerakangerakan tubuh; sedangkan domain fisik merupakan kajian tentang daya fisik yang mewujudkan gerakan tubuh. Pentingnya kualitas fisik di dalam Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
50 | Sapta Kunta Purnama Mengenai domain fisik Annarino, Cowell dan Hazelton (1978:83) membaginya menjadi 4 kategori, yaitu: (1) ketahanan otot, (2) kekuatan otot, (3) ketahanan kardiovaskular, dan (4) fleksibilitas. Ketahanan otot merupakan kemampuan otot melakukan sesuatu aktivitas secara berulang-ulang dan berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang. Kekuatan otot merupakan kemampuan otot untuk melakukan kontraksi guna membangkitkan tenaga untuk melawan beban. Ketahanan kardiovaskular sebagai kemampuan fungsional jantung dan paru-paru dalam mensuplai oksigen untuk kerja otot dalam waktu lama. Fleksibilitas sebagai rentang gerak sendi atau kemungkinan menggerakkan tubuh dan anggota tubuh sejauh mungkin. Klasifikasi yang dikembangkan oleh para ahli tersebut di atas memberi kan gambaran yang lebih terperinci mengenai domain fisik. Pengertian domain fisik dalam penelitian ini adalah kemampuan biomotor atau komponen kebugaran/fitness yang diperlukan atlet sesuai cabang olahraga dan perannya. 2. Konstruk Variabel
a. Validitas 1) Tes antropometrik tinggi badan dimaksudkan untuk mengukur panjang tubuh. 2) Tes tinggi duduk dimaksudkan untuk mengukur rasio panjang togok dan panjang tungkai. 3) Tes rentang lengan dimaksudkan untuk mengukur lebar biacromial. 4) Tes panjang telapak kaki dimaksudkan untuk mengukur panjang telapak kaki aktif pemain (kanan bagi yang tidak kidal). 5) Tes kelenturan bahu dimaksudkan untuk mengukur luas rentangan sendi bahu (shoulder) ke arah belakang badan semaksimal mungkin. 6) Tes kecepatan reaksi dimaksudkan untuk mengukur kecepatan seseorang untuk bereaksi terhadap rangsangan. 7) Tes lempar tangkap bola tenis dimaksudkan untuk mengukur koordinasi mata tangan. 8) Tes kekuatan genggam tangan dimaksudkan untuk mengukur kekuatan genggam (peras) tangan. JUARA
| Januari 2014
Model Tes Bakat Bulutanagkis Perspektif Domain Fisik
| 51
9) Tes lempar bola basket dimaksudkan untuk mengukur kekuatan tubuh bagian atas. 10) Tes loncat tegak dimaksudkan untuk mengukur tinggi jangkauan. 11) Tes lompat jauh tanpa awalan dimaksudkan untuk mengukur jauhnya loncatan. 12) Tes baring duduk 1 menit dimaksudkan untuk mengukur daya tahan otot anggota tubuh bagian atas. 13) Tes hexagon obtacle dimaksudkan untuk mengukur ketangkasan atau mobilitas. 14) Tes langkah bulutangkis dimaksudkan untuk mengukur efisiensi kerja kaki (foot work) pemain bulutangkis. 15) Tes kelincahan dimaksudkan untuk mengukur kelincahan. 16) Tes lari cepat 40 meter dimaksudkan untuk mengukur kecepatan maksimal. 17) Tes lari multitahap dimaksudkan untuk mengukur kapasitas aerobic maksimal. b. Reliabilitas 1) Tes tinggi badan, tinggi duduk dan rentang lengan telah teruji reliabilitasnya sesuai Kemenpora (1998:24). 2) Reliabilitas tes-retes untuk tes panjang telapak kaki untuk putra maupun putri adalah r = 0.99. 3) Reliabilitas tes-retes untuk tes kelenturan bahu untuk putra r = 0.95, putri r = 0.90. 4) Reliabilitas tes-retes untuk tes kecepatan reaksi dengan metode korelasi rgg adalah untuk putra r = 0.70; putri r = 0.60. 5) Reliabilitas tes-retes untuk tes lempar tangkap bola tenis untuk putra r = 0.84; putri r = 0.88. 6) Reliabilitas tes-retes untuk tes kekuatan genggam tangan untuk putra r = 0.90; putri r = 0.79. 7) Reliabilitas tes-retes untuk tes lempar bola basket untuk putra r = 0.88; putri r = 0.92. 8) Reliabilitas tes-retes untuk tes loncat tegak untuk putra r = 0.81; putri r = 0.84. Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
52 | Sapta Kunta Purnama 9) Reliabilitas tes-retes untuk tes lompat jauh tanpa awalan untuk putra r = 0.92; putri r = 0.96. 10) Reliabilitas tes-retes untuk tes baring duduk 1 menit untuk putra r = 0.96; putri r = 0.94. 11) Reliabilitas tes-retes untuk tes hexagon obtacle untuk putra r = 0.84; putri r = 0.93. 12) Reliabilitas tes-retes untuk tes langkah bulutangkis untuk putra r = 0.92; putri r = 0.92. 13) Reliabilitas tes-retes untuk tes kelincahan untuk putra r = 0.88; putri r = 0.87. 14) Reliabilitas tes-retes untuk tes lari cepat 40 meter untuk putra r = 0.90; putri r = 0.91. 15) Reliabilitas tes-retes untuk tes lari multitahap untuk putra r = 0.98; putri r = 0.97. C. METODOLOGI PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuat model tes bakat bulutangkis berdasarkan perspektif domain fisik. Tujuan secara rinci adalah sebagai berikut: 1. Menyusun rangkaian tes bakat bulutangkis perspektif domain fisik. 2. Mengetahui validitas rangkaian tes bakat bulutangkis. 3. Menyusun norma hasil tes bakat bulutangkis. 2. Metode Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasional bersifat prediktif. Menurut Pedhazur (1991:305) dalam penelitian observasional terdapat dua aspek yang dapat dikembangkan, yaitu penelitian predikdif yang ber tujuan memprediksi kriteria melalui prediktor tertentu dan penelitian eksplanaratori yang tujuannya menguji hipotesis.
JUARA
| Januari 2014
Model Tes Bakat Bulutanagkis Perspektif Domain Fisik
| 53
3. Karakteristik Responden
Karakteristik responden dibedakan menjadi dua, yaitu (1) karakteristik untuk tujuan penyusunan rangkaian tes, dan (2) karakteristik untuk tujuan penyusunan norma rangkaian tes baru. Karakteristik responden untuk tujuan penyusunan rangkaian tes memenuhi kriteria umur 12-13 tahun di eks karesidenan Surakarta, pemain bulutangkis rangking 1-4 pada kelompok umur tersebut di kabupaten/kota asal reponden pada tahun 2011. Karateristik responden untuk tujuan penyusunan norma memenuhi kriteria umur 12-13 tahun, usia kronologis mengikuti latihan bulutangkis minimal 3 tahun dan frekuensi latihan minimal 3 kali seminggu, pada klubklub bulutangkis usia dini. 4. Kisi-kisi Instrumen Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen No Indikator 1 Tinggi Badan
2
3
4
5
6
7
8
Yang Diukur Panjang tubuh saat berdiri tegak dari lantai ke ujung kepala Tinggi Duduk Panjang tubuh saat duduk dari alas permukaan tempat duduk hingga bagian atas kepala dalam centimeter Rentang Lengan Jarak horisontal antara dua ujung jari tengah tangan saat lengan terentang di samping badan setinggi bahu Panjang telapak kaki Panjang jarak horisontal antara ujung jari kaki dengan ujung tumit Kelenturan bahu Kemampuan ekstensio dua lengan seluas mungkin sebanyak 3 kali pengukuran Kecepatan reaksi Kemampuan mereaksi dengan gerakan menangkap obyek/ penggaris yang dijatuhkan Lempar-tangkap bola Kemampuan melempar dan tenis menangkap bola tenis secara simultan dengan teknik under arm kearah sasaran sebanyak 20 kali Kekuatan genggam Kekuatan maksimal tangan tangan dalam menggenggam sebanyak 2 kali
Hasil Alat Ukur Angka tinggi badan dalam Pita pengukur 0,5 centimeter Skor tinggi badan dukurangi tinggi duduk dibagi tinggi badan dikalikan 100% Angka panjang rentang lengan dalam centimeter
Pita pengukur
Angka panjang telapak kaki dalam centimeter
Pita pengukur
Angka tertinggi dari ketiga hasil pengukuran dalam centimeter Angka rata dari sepuluh kali hasil pengukuran dalam centimeter Jumlah keberhasilan melempar dan menangkap bola tenis secara simultan dari 20 kali percobaan Angka tertinggi dari 2 hasil pengu-kuran dalam kilogram
Flexiometer
Pita pengukur
Penggaris 40 cm Sasaran berbentuk lingkaran dengan diameter 30 cm Grip dinamometer
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
54 | Sapta Kunta Purnama No Indikator 9 Melempar bola basket
10
11
12
13
14
15
16
17
Loncat tegak
Yang Diukur Kemampuan kedua lengan tangan melempar bola basket ke arah depan badan secara bersama-sama Kemampuan meloncat ke arah vertikal setinggi mungkin
Hasil Angka tertinggi jauhnya melempar dari dua hasil pengukuran dalam meter
Angka tertinggi jarak meloncat dari dua hasil pengukuran dalam centimeter Loncat jauh tanpa Kemampuan meloncat ke arah Angka tertinggi jarak horizontal sejauh mungkin meloncat dari dua hasil pengukuran dalam centimeter Baring duduk 1 menit Kemampuan melakukan Jumlah gerakan baring gerakan baring duduk secara duduk tanpa ada selang maksimal dalam waktu 1 menit berhenti, dalam waktu 1 menit Hexagonal obstacle Kecepatan gerakan melompat Angka tercepat dari dua bolak-balik ke enam arah kali hasil pengukuran (hexagon) dalam tiga putaran dalam detik Kelincahan Kecepatan berlari bolak-balik Angka tercepat dari dua menem-puh jarak 5 meter kali hasil pengukuran sebanyak 5 kali dalam detik Langkah bulutangkis Kecepatan gerak kerja kaki dan Angka tercepat dari dua tangan dalam menyelesaikan kali hasil pengukuran tugas menyentuh 4 target dalam detik Lari 40 meter Kecepatan lari/sprint Angka tercepat dari dua menempuh jarak 40 meter kali hasil pengukuran dalam detik Lari multitahap Kapasitas aerobic maksimal Banyaknya level dan shuttle lari bolak sesuai irama cadence.
Alat Ukur Pita pengukur
Pita pengukur
Pita pengukur
Gerakan baring duduk
Stopwatch
Stopwatch
Stopwatch
Stopwatch
Cadence/tape recorder dan Stopwatch
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian
Berdasarkan kepada hasil perhitungan analisis seleksi tes dengan metode seleksi tes dari Wherry-Doolittle adalah sebagai berikut: 1. Terdapat dua jenis rangkaian tes bakat bulutangkis perspektif domain fisik, yaitu; a. Rangkaian tes bakat untuk pemain putra, terdiri dari (1) panjang telapak kaki, (2) lempar tangkap bola tenis, (3) langkah bulutangkis (4) lari multitahap. b. Rangkaian tes bakat untuk pemain putri, terdiri dari (1) panjang telapak kaki, (2) lempar tangkap bola tenis, (3) lari 40 meter, (4) langkah bulutangkis, (5) lari multitahap. JUARA
| Januari 2014
Model Tes Bakat Bulutanagkis Perspektif Domain Fisik
| 55
2. Validitas tes bakat untuk putra = 0.927, untuk putri = 0.921, kategori validitas kedua tes tersebut termasuk sangat baik dan mempunyai daya pembeda yang signifikan pada taraf (P = 0.05). 3. Norma hasil tes bakat bulutangkis berdasarkan total T-skor, untuk pemain putra berbakat skor ≥ 252 dan untuk pemain putri berbakat skor ≥ 302. 2. Kesimpulan
1. Terdapat dua rangkaian tes bakat bulutangkis perspektif domain fisik, yaitu: a. Rangkaian tes bakat bulutangkis untuk pemain putra, terdiri dari; pertama, tes panjang telapak kaki; kedua, lempar tangkap bola tenis;, ketiga, langkah bulutangkis; dan keempat lari multitahap. b. Rangkaian tes bakat bulutangkis untuk pemain putri terdiri dari; pertama, panjang telapak kaki; kedua, lempar tangkap bola tenis;, ketiga, langkah bulutangkis; keempat, lari 40 meter; dan kelima, lari multitahap 2. Validitas rangkaian tes bakat bulutangkis perspektif domain fisik, merupakan validitas prediktif, yaitu: a. Validitas tes bakat bulutangkis untuk pemain putra r = 0.927. b. Validitas tes bakat bulutangkis untuk pemain putri r = 0.921. c. Tes bakat bulutangkis untuk pemain putra mempunyai daya pembeda yang signifikan, hasil perhitungan uji normalitas adalah {c 2h= 9.175 < c 2t 0,95 (16) = 26.3}. d. Tes bakat bulutangkis untuk pemain putri mempunyai daya pembeda yang signifikan, hasil perhitungan uji normalitas adalah {c 2h= 5.256 < c 2t 0,95 (14) = 23.07}. 3. Terdapat dua macam norma tes bakat bulutangkis, yaitu: a. Norma tes bakat bulutangkis untuk pemain putra; 1) kategori baik sekali skor 252 ke atas, (2) kategori baik skor 219-251, (3) kategori cukup skor 182-218, (4) kategori kurang skor 160-181, (5) kategori kurang sekali skor kurang dari 159. b. Norma tes bakat bulutangkis untuk pemain putri; 1) kategori baik sekali skor 302 ke atas, (2) kategori baik skor 269-301, (3) kategori Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
56 | Sapta Kunta Purnama cukup skor 232-268, (4) kategori kurang skor 201-231, (5) kategori kurang sekali skor kurang dari 200. 3. Saran
1. Untuk melaksanakan seleksi atau identifikasi calon atlet bulutangkis sebaiknya menggunakan tes bakat bulutangkis perspektif domain fisik. 2. Tes bakat bulutangkis perspektif domain fisik mempunyai validitas yang baik, namun hal tersebut baru merupakan langkah awal dari seluruh sistem pembinaan, oleh karena itu kesinambungan proses pembinaan dan latihan harus dilakukan. 3. Penelitian ini hanya berfokus pada aspek fisik, maka dalam pembinaan selanjutnya, faktor psikologis, teknik, strategi, sistem pelatihan dan faktor tak terukur, perlu diperhatikan ketika melaksanakan proses pemanduan bakat bulutangkis. 4. Perlu verifikasi atau penelitian longitudinal pada pemain yang diduga berbakat hingga pencapaian prestasinya.
DAFTAR PUSTAKA Annarino, Anthony A., et. al. Curriculum Theory and Design in Physical St. Luis: The C.V. Mosby Company: 1978. Arnot, M.D. Robert Burns, dan Gaines, Charles Latham. Sport Selection, New York: The Viking Press, 1984. Bloomfield, John Ackland dan Elliot Bruce C., Applied Anatomy and Biomechanic in sport, Melbourne: Blackwell Scientific Publications: 1994. Bompa,Tudor O., G. Gregory Haff, Periodization Theory and Methodology of Training, New York: Kendall/Hunt Publishing Company: 2009. -----.,Theory and Methodology of Training, Dubuque, Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company: 1994. Colvin, Geoff, Talent Is Overrated, New York: Penguin Group USA Inc.: 2008. Djaali dan Pudji Mulyono, Pengukuran dalam Bidang Pendidikan, Jakarta: PT Grasindo: 2008. JUARA
| Januari 2014
Model Tes Bakat Bulutanagkis Perspektif Domain Fisik
| 57
Djide,Taher. Memahami Sistem, Metode dan Model Pelatihan Olahraga Bulutangkis di Indonesia, Penataran Pelatih Bulutangkis Tingkat Dasar (Semarang, April 2007). Downey, Jake and David Brodie, Get Fit For Badminton a Practical Guide to Training for Players & Coaches: London: Pelham Books Ltd.: 1980. Garrett, H.E., Statistics in Psychology and Education. New York: Longmans, Green & Co.: 1954. Harian Kompas, Rabu, 24 Mei 2012. Harrow, Anita J., A Taxonomy Of The Psychomotor Domain: A Guide For Developing Behavioral Objectives, New York: David Mc Kay Company Inc.: 1972. Harsono, Pola Sistem Pembinaan Olahragawan Berbakat (Makalah), Jakarta: TOT Pelatih Madya: 2002. Hasil tes atlet PRIMA 28 Juni 2011. Hawadi-Akbar, Reni, Identifikasi Keberbakatan Intelektuan Melalui Metode Non Tes, Jakarta: PT Grasindo, 2002, dikutip dari Passow: 1985 Irianto, Djoko Pekik, dkk., Materi Pelatihan Kondisi Fisik Dasar, Jakarta: Asdep Pengembangan Tenaga dan Pembina Keolahragaan, Kemenpora: 2009. Jackson, Roger, Sport Administration Manual, Lausanne, Switzerland: Roger Jackson & Associates Ltd.: 2005. Journal of Sports ciences, (http://www.tandfonline.com/doi/abs/2000), internet akses, 21 Maret, 2012) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Grasindo:1990. Kartono, Kartini dan Dali Gulo, Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya, 1987. Kennedy, Declan., Áine Hyland., Norma Ryan, Writing and Using Learning Outcomes: a Practical Guide, (http://sss.dcu.ie, Internet diakses Pebruari 2012) MacCurdy, Doug, Talent Identification Around The World. Home page online. Avaliable fromhttp://www.itftennis.com: Internet diakses 3 junuary 2011. Menpora, Sarasehan Perumusan Kebijakan Pembangunan Keolahragaan, Jakarta: Kemenpora RI, Senayan:1 Februari 2010. Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
58 | Sapta Kunta Purnama Munandar, Utami, et al. Anak-anak Berbakat Pembinaan dan Pendidikannya, Jakarta: CV Rajawali:1982. Nossek,Josef General Theory of Training. Logos: National for Sports: 1982. Pasurney, Paulus, Hight Performance Training, Bogor: Paparan Workshop bagi Pelatih PAL, Gunung Geulis: 28 Oktober 2008. -----, Latihan Fisik Olahraga (terjemahan: Konditioninstraining, Grosser, Starischka, Zimmerman, Jakarta: KONI Pusat, 2005. Pedhazur. Elazar J., Measurement, Design, and Analysis An Integrated Approach. Hove and London: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers: 1991. Pedoman Pemanduan Bakat Olahraga, Jakarta: Kemenegpora: 1998. Pemanduan Bakat Olahraga, Jakarta: Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga: 1998. PRIMA, Rencana Strategis Bidang Keolahragaan Tahun 2010-2014, Jakarta: Kementerian Pemuda dan Olahraga RI: 2010. Sudjana, Analisis Korelasi dan Regresi, Bandung: Tarsito: 1992. Sudjana, Metode Statistika, Bandung: Tarsito: 1992. Sugiyanto, Belajar Gerak, Surakarta: UNS Press:1993. Sukardi, Evaluasi Pendidikan Prinsip & Operasionalnya, Jakarta: PT Bumi Aksara: 2010. Sukarman, Dasar Olahraga untuk Pembina Pelatih dan Atlet, Jakarta: Inti Indayu Press: 1987. Verducci, Frank M., Measurement concepts in Physical Education, St. Louis, Missouri: The CV Mosby Company: 1980.
JUARA
| Januari 2014
Kebijakan Olahraga di Indonesia1 Neneng Nurosi Nurasjati2 A. PENDAHULUAN Olahraga kini mengalami transformasi yang luar biasa pada berbagai aspek kehidupan manusia. Hal ini akan terus berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia dari masa ke masa. Olahraga pada awalnya hanya berhubungan dengan olah fisik kemiliteran dan di lingkup gereja menjadi kebijakan pemerintah seperti presiden, perdana menteri, maupun raja. Pada pembukaan Olimpiade Barcelona 1992, Raja Juan Carlos membuka sendiri event itu di tengah sorotan mata dunia dan beredarnya berbagai isu politis. Event Olimpiade Barcelona dikaitkan dengan berbagai isu seperti Catalonian Nationalism, Uni Eropa Supra Nationalism, dan disintegrasi Yugoslavia.3 Dari hasil pengamatan selama bertahun-tahun, dua faktor yang diyakini menjadi kunci sukses dalam perolehan medali di ajang Olimpiade adalah kemakmuran ekonomi (economic prosperity) dan jumlah penduduk yang besar. Stamm dan Lemprecht (2001) meneliti bahwa pada periode 1960-1984 setengah dari faktor kesuksesan negara-negara di Olimpiade dipengaruhi tiga variabel yakni jumlah penduduk, lama tidaknya keanggotaan Komite Olimpiade Internasional (IOC), dan tingkat pem bangunan ekonomi.4
1Makalah
2Karateka & Pelatih Nasional. Member of NOA-KOI, Fasilitator Culture and Education Commission-KOI 3Barrie Houlihan,”Sport, Policy, and Politics: A Comparative Analysis”, (United Kingdom: Routledge, 1997).p.1 4Mick Green and Barrie Houlihan,”Elite Sports Development: Policy Learning and Political Priorities”, (United Kingdom: Routledge, 2005).p.1
— 59 —
60 | Neneng Nurosi Nurasjati Variabel keempat yang dipertimbangkan adalah faktor ideologi komunis yang dianut beberapa negara peserta Olimpiade. Sejak tahun 1956, 10% negara-negara Komunis yang sukses di Olimpiade mengumpulkan 64% hingga 83% dari total medali yang direbutkan. Pada tahun 1956, 10% dari negara pengumpul medali terbanyak meraup sekitar 46% dari total medali, sedangkan di Olimpiade Musim Dingin 2002 di Salt Lake City, jumlah medali yang direbut oleh 10% negara tersukses itu meningkat menjadi 72%. Di negara-negara sukses yang memiliki kemakmuran ekonomi dan sumberdaya atlet, kesuksesan yang telah diperole, dicoba dipertahankan melalui turun tangan pemerintah dalam pembuatan kebijakan olahraga, dan dalam pemberian dana olahraga. Inggris misalnya. Pemerintah Inggris mengeluarkan dana tidak kurang dari £ 100 juta selama empat tahun untuk mempersiapkan 600 atlet ke Olimpiade Sydney 2002. Negara-negara lain juga melakukan hal sama. Australia misalnya. Seperti ditulis Hogan dan Norton (2000), pada periode 1980-1996, pemerintah Australia mengeluarkan dana sekitar Aus$ 918 juta untuk atlet di Olimpiade. Hasilnya, 25 medali emas dan total 115 medali Olimpiade. Jika dihitung per keping medali emas, biaya yang dikeluarkan mencapai AUS$ 37 juta. Jika dibagi total medali yang diperoleh di Olimpiade, ongkos per medalinya mencapai AUS$ 8 juta.5 Usaha untuk bisa meraih kesuksesan di pentas olahraga internasional, khususnya Olimpiade, dilakukan banyak negara termasuk Indonesia. Pemerintah mau tidak mau harus ikut berperan membantu induk organisasi olahraga maupun organisasi-organisasi olahraga dalam mendorong tumbuhnya manajemen olahraga yang profesional, pelatih berkualitas tinggi, maupun pelaksanaan program latihan yang bermutu. Di Australia, keberadaan Institut Olahraga Australia (Australian Institute of Sports) pada 1981 dan pembentukan Komisi Olahraga Australia (Australian Sports Commission) pada 1985 adalah manifestasi kepedulian negara terhadap perkembangan olahraga. Terdapat konsensus antara dua partai yang berkuasa di Australia untuk sama-sama berkomitmen 5Hogan
K dan Norton K,”The ‘price’ of Olympic Gold”, Journal of Science and Medicine in Sport. 2000 Jun;3(2):203-18 JUARA
| Januari 2014
Kebijakan Olahraga di Indonesia
| 61
memajukan olahraga, terlepas dari siapapun yang berkuasa.6 Komitmen pemerintah dilakukan secara sistematik, terpogram, dan berdasarkan pendekatan sains olahraga. Kanada di periode 1970-an sudah menunjukkan kepedulian untuk membuat kebijakan-kebijakan di bidang olahraga, salah satunya adalah program kaderisasi atlet di Olimpiade. Program itu menuai hasil namun diwarnai tragedi doping oleh sprinter Ben Johnson pada Olimpiade Seoul 1988. Kanada membuat kebijakan ’sport delivery system’ yang dikembangkan menjadi Canadian Sports Policy dan An Act to Promote Physical Activity and Sport-Bill C-12.7 Perkembangan kebijakan olahraga di Inggris di era 1990-an dipengaruhi oleh dua faktor yakni, pertama, pada 1994 Lotere Nasional (National Lottery) memberikan 1/5 dari pendapatan bersih mereka untuk olahraga. Kedua, pada 1995, Pemerintahan Konservatif Inggris (Conservative Government) mengeluarkan buku Sport: Raising the Game, yang merupakan pernyataan kebijakan pertama di Inggris dalam 20 tahun terakhir. Dua kebijakan penting dalam buku Sport: Raising the Game – olahraga anak muda dan olahraga prestasi – dituangkan dalam dokumen kebijakan Partai Buruh dengan judul A Sporting Future for All. Masing-masing negara memiliki pemahaman yang berbeda mengenai kebijakan olahraga. Faktor yang mempengaruhi adalah struktur dari pemerintahan negara yang bersangkutan, organisasi-organisasi olahraga atau lembaga keolahragaan yang berpengaruh, dan pola-pola yang mendominasi dalam sebuah pengambilan keputusan di sebuah negara.8 Jenkins (1978) mendefinisikan kebijakan publik adalah satu set keputusan-keputusan yang saling berhubungan yang diambil oleh seorang atau kelompok aktor politik mengenai pemilihan sasaran dan rata-rata raihan mereka di dalam suatu situasi khusus di mana keputusan-keputusan ini diperlukan, pada prinsipnya, di dalam kekuasaan yang bisa dicapai oleh para aktor politik itu.
6D
Adair dan W Vamplew,”Sport in Australian History”, (New York: Offord University Press,
1997)
7Green,
op.cit., p.3 op.cit, p.22-23
8Houlihan,
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
62 | Neneng Nurosi Nurasjati Jones B. (1994) yang dikutip dalam Hylton (2001) menekankan tiga tahapan dalam perjalanan kebijakan (policy journey) yakni inisiasi (initiation), formulasi (formulation), dan implementasi (implementation). Model lebih detil mengenai perjalanan pembuatan kebijakan dipaparkan Hogwood and Gunn (1984:4) yang dikutip dalam Hylton (2001).9 Tahapan menurut Hogwood dan Gunn adalah: 1. Keputusan untuk memutuskan (deciding to decide issue search or agenda setting) 2. Keputusan untuk bagaimana memutuskan (deciding how to decide or issue infiltration) 3. Pendefinisian isu-isu (issue definition) 4. Peramalan (forecasting) 5. Setting tujuan dan prioritas (setting objectives and priorities) 6. Analisis Pilihan (option analysis) 7. Penerapan kebijakan, pengawasan, dan control (policy implementation, monitoring, and control) 8. Evaluasi dan review (evaluation and review) 9. Pemeliharaan kebijakan, suksesi, dan pemutusan (policy maintenance, succession, or termination) Model ini adalah ideal untuk pengambilan keputusan secara rasional dimana urutan siklusnya adalah pembuat kebijakan mendefinisikan permasalahan-permasalah kebijakan (policy problems), merencanakan strategi kebijakan (plan policy strategies), implementasi kebijakan yang terbaik yang terpilih, dan mengevaluasi hasil dari penerapan kebijakan tersebut. Siklus berputar lagi ketika diperoleh masukan dari pelaksanaan kebijakan yang diarahkan ke kebijakan awal yang dipilih. Kebijakan dapat dipresentasikan sebagai proses yang rasional. Namun dalam praktiknya, kebijakan dapat berupa keputusan yang irasional, pragmatik, dan incremental yang dipengaruhi oleh vested interest yang kuat. Contohnya adalah keputusan mengenai tuan rumah sebuah kegiatan olahraga multievent seperti Olimpiade Musim Dingin. Disinyalir 9Kevin
Hylton,”Sports Development: Policy, Process, and Practice”, (United Kingdom: Routledge, 2001). p.7-8 JUARA
| Januari 2014
Kebijakan Olahraga di Indonesia
| 63
adalah kepentingan politik internal dari federasi olahraga internasional, agensi transnasional, media sponsorship, yang merupakan hasil lobi-lobi perwakilan/tim yang ditunjuk. Tahapan pembuatan kebijakan publik dapat dilihat pada gambar berikut: Information for policymaking Study of policy content
Study of policy process
Study of policy outputs
Process advocacy
EVALUATION Analise as political actor
Policy studies (knowlwdge of policy and policy process)
Policy advocacy
Political actor as analyst
Policy analysis (knowledge in the policy process)
Gambar 1. Tahapan pembuatan kebijakan publik (Hogwood & Gunn, 1984 dalam Hylton, 2001)
Proses pengambilan kebijakan tidak bisa lepas dari ideologi yang dianut sebuah negara dan birokrasi yang ada. Blow dan Meyer (1987: 5) mengatakan birokrasi adalah organisasi besar dan merupakan lembaga yang sangat berkuasa yang mempunyai kemampuan sangat besar untuk berbuat kebaikan atau keburukan.10 MC Webber mengemukakan enam konsep birokrasi modern yakni:11 1. Distribusi kegiatan/pembagian tugas melalui cara yang telah ditentukan, ahli khusus dengan jabatan khusus (spesialisasi). 2. Prinsip birokrasi dalam pengorganisasian kantor setiap jenjang melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan dikontrol oleh atasannya. 3. Peraturan perundangan yang jelas konsisten dilaksanakan untuk memberikan kejelasan tanggung jawab dan prosedur kerja. 4. Sine era et studio (formal dan tidak bersifat pribadi, like or dislike). 5. Pembinaan karier yang didasarkan atas senioritas atau prestasi atau gabungan serta memunculkan semangat korps (espirit de corps). 10Dr. K. Suhendra, S.H., M.Si., “Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan Masyarakat”, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2006). p.30 11Ibid, p.34-35
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
64 | Neneng Nurosi Nurasjati 6. Pengalaman mendapat penghargaan di samping prestasi dan jasa. Ideologi politik didefinisikan sebagai refleksi dari dunia dan refleksi pada dunia. Salah satu fungsi utamanya adalah memberikan perspektif fakta-fakta pada dunia dan menyoroti isu-isu kunci, debat-debat, dan permasalahan-permasalahan yang perlu dikerjakan. Ideologi oleh karena itu memberikan pengertian tentang bagaimana dunia bekerja seperti yang digariskan oleh visi dan misi (mission statement) sejauh mana dunia perlu berubah dan dimanage. Dalam perhitungan analisis kebijakan dan rasional pembuatan keputusan konvensional, ideologi memberikan nilai posisi, yang ideal dan resep-resep bertindak, mengingat ilmu-ilmu tentang kebijakan (policy sciences) dapat memberikan pengetahuan teknis dan menyarankan kepada pengambil kebijakan bersikap rasional, netral, dan efisien.12 Untuk menganalisis proses perubahan kebijakan olahraga oleh para elit politik, Green dan Houlihan (2005) melakukan pendekatan melalui mesolevel theoretical approach menggunakan instrumen the advocacy coalition framework (ACF). Dalam mengamati proses kebijakan di Australia, Inggris, dan Kanada, Green dan Houlihan menggunakan metodologi yang dikembangkan Marsh.et.al (1999) yang mengidentifikasi tujuh faktor yang mempengaruhi penghitungan kepuasan (satisfactory account) dalam kebijakan politik olahraga. Ketujuh satisfactory account itu adalah: 1. Should have a strong historical perspective, being theoretically informed but empirically grounded (Harus memiliki perspektif sejarah olahraga yang kuat, baik pendekatan secara teoritik maupun empirik). 2. Needs a sophisticated, rather than a simplistic, conception of change. (Kebutuhan yang masuk akal, memiliki konsep perubahan). 3. Should recognise the importance of political, economic, and ideological factors in any explanation of change, rather than exclusively emphasising one of them (Harus mengakui pentingnya faktor-faktor politik, ekonomi, dan ideologi dalam menjelaskan perubahan) 4. Must recognise that any explanation has to take account of the international as well as the domestic context within which change occurs. 5. Perlu untuk underpinned oleh suatu posisi epistemological yang di kembangkan dan yang dinyatakan. 12Kevin
JUARA
Hylton, op.cit. p 7-18
| Januari 2014
Kebijakan Olahraga di Indonesia
| 65
6. Harus menggunakan suatu pendekatan dialektika kepada struktur dan agen, dibandingkan memberi prioritas kepada yang lain.. 7. Harus mengakui adanya hubungan penting antara material dan idealisme. Dominant core policy paradigm
Orientation towards implementation
* Social inclusion and stakeholding * Work, employment, and enterprise * Moral and urban regeneration * Excellence,creativity, and cool Britannia * Partnerships and networking * ‘Joined-up government’ * Regionalism and devolution
VARIABLES
PHYSICAL EDUCATION (PE) AND SCHOOL SPORT
SPORTS DEVELOPMENT POLICY THEMES SPORTS PARTICIPATION
ELITE SPORT
General policy objectives
1. Increased sports participation (curricular and extra-curricular) 2. Increased quality of school sports 3. Improved talent identification and development
1. Increased participation 2. Community regeneration 3. Moral regeneration 4. Social inclusion
International sporting success in sports deemed to be culturally significant and/or internationally prestigious
1. Sport: Raising the Game 2. A Sporting Future for All 3. The Government’s Plan for Sports 4. Lottery Strategy 1998 ‘Investing for our sporting future’ 5. Young People and Sports survei 1999 6. National Curriculum for Physical Education 7. Active School programme 8. National Junior Sports Programme
1. PAT 10 report to Social Exclusion Unit 2. Sport England 1998 Annual Report (more people, etc) 3. Lottery Strategi 1998 ‘Investing for our sporting future’
1. Sport: Raising the Game 2. A Sporting Future for All 3. The Government’s Plan for Sports 4. Lottery Strategy 1998 ‘Investing for our sporting future’ 5. World Class Performance Programme
1. Under 11 years in general 2. Talented children and adoslecent in particular 3. 2 hours for Physical Education
1. Geographical areas of multiple deprivation 2. Youth at risk, women, and ethnic minorities
1. Success in the Olympic and Paralympic Games and other major international competitions 2. Success in major team sports, expecially football and cricket
Key policy sources
Specific targets
Gambar 2 Sports development policy di Inggris (Houlihan & White, 2002)
B. KEBIJAKAN OLAHRAGA INDONESIA Kebijakan olahraga di berbagai negara tergantung pada struktur pemerintahan, perkembangan olahraga di negara yang bersangkutan, perkembangan organisasi-organisasi olahraga, dan dominant pattern of policy-making13. Dalam era Orde Baru, kebijakan pembangunan olahraga tertuang dalam Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam Pelita VI pem binaan olahraga sebagai salah satu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, diarahkan pada peningkatan kondisi kesehatan fisik, mental, dan, rohani manusia Indonesia, dalam upaya pembentukan watak
13Barrie
Houlihan, op.cit. p22-24 Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
66 | Neneng Nurosi Nurasjati dan kepribadian, disiplin dan sportivitas, serta pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya agar dapat meningkatkan citra bangsa dan kebanggaan nasional. Hal ini sekaligus pengakuan, bahwa olahraga dapat dijadikan alat untuk menciptakan manusia-manusia yang unggul.14 Dalam GBHN, peran dan fungsi olahraga dalam tata masyarakat Indonesia sudah jelas yaitu pertama-tama, olahraga merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia yaitu mencakup jasmani, mental, dan rohani. Olahraga juga ditujukan untuk pembentukan watak dan kepribadian, disiplin, dan sportivitas yang tinggi serta peningkatan prestasi yang dapat membangkitkan rasa kebanggaan nasional. GBHN mencantumkan tentang gerakan memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat yang lalu kita kenal sebagai Panji Olahraga yang dicanangkan Presiden RI pada tanggal 19 Januari 1981 pada Musornas KONI IV. Panji Olahraga ini adalah strategi pembangunan keolahragaan nasional yang terus-menerus harus ditumbuhkembangkan sepanjang masa secara bertahap dan meningkat dari PJP I ke PJP II dan selanjutnya. Sasarannya yaitu, Keluarga Berolahraga, Masyarakat Berolahraga, dan akhirnya Bangsa Berolahraga. Sejak Menpora Abdul Gafur mencanangkan panji-panji olahraga nasional yaitu memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat, budaya berolahraga di Indonesia semakin meluas. Segala lapisan masyarakat aktif berolahraga. Ada yang benar-benar untuk menjaga kesehatan jasmani, ada juga untuk menunjukkan loyalitas politik, peningkatan prestasi, ataupun sebagai status sosial. Kehadiran Menpora dalam dunia olahraga Indonesia sempat mem bingungkan para pembina olahraga prestasi. Peran dan pembagian tugas dengan KONI Ke-XVII (1988), Menpora memberikan ketegasan kedudukan dan fungsi KONI dan Kantor Menpora, yakni KONI sebagai lembaga nonpemerintah lebih bertanggung jawab atas pembinaan prestasi olahraga. Sedangkan tugas Menpora sebagai aparat pemerintah lebih menekankan kepada adanya partisipasi masyarakat secara keseluruhan.
14Fritz
E. Simandjuntak,” Olahraga dalam GBHN 1993-1998”, Kompas, Sabtu, 12 Juni 1993,
p.4 JUARA
| Januari 2014
Kebijakan Olahraga di Indonesia
| 67
Meskipun dalam pelaksanaannya seringkali tumpang tindih, masyarakat cenderung melihat, bahwa Menpora lebih banyak melakukan aktivitas seremonial dan aktivitas olahraga yang bersifat massal dan politis daripada prestasi. Namun, dalam GBHN 1993, tanggung jawab Menpora juga mencakup bidang prestasi. Untuk itu, Menpora sebagai pembantu Presiden harus menjalankan amanat yang dituangkan dalam GBHN; tugas-tugasnya mencakup pencarian bakat, pembibitan, pendidikan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Menpora juga bertanggung jawab terhadap perbaikan gizi olahragawan, metode pelatihan, tersedianya prasarana dan sarana olahraga baik di lingkungan sekolah maupun umum. Bahkan juga meliputi sistem penghargaan terhadap olahragawan, pelatih dan pembina yang berprestasi untuk menjamin masa depannya. Ada anggapan, bahwa semua tugas tersebut sebelumnya dibebankan kepada KONI dan induk organisasi olahraga. Dalam Undang-Undang nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional Bab V pasal 12 ayat 1 dikatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan serta standar disasi bidang keolahragaan secara nasional. Dalam ayat 2 dikatakan bahwa pemerintah daerah mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijakan dan mengoordinasikan pembinaan dan pengembangan keolahragaan serta melaksanakan standardisasi bidang keolahragaan di daerah.15 Ruang lingkup olahraga meliputi olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. Keolahragaan nasional bertujuan memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, prestasi, kualitas manusia, menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan kesatuan bangsa, memperkukuh ketahanan nasional, serta mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa. Pada pasal 21 Undang-Undang No. 3/tahun 2005 mengenai Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa ”Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga sesuai dengan 15Kementerian
Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia,”Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional” Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
68 | Neneng Nurosi Nurasjati kewenangan dan tanggung jawabnya. Pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengolahraga, ketenagaan, pengorganisasian, pendanaan, metode, prasarana dan sarana, serta penghargaan keolahragaan. Pembinaan dan pengembangan keolahragaan dilaksanakan melalui tahap pengenalan olahraga, pemantauan, pemanduan, serta pengembangan bakat dan peningkatan prestasi. Pembinaan dan pengembangan keolahragaan dilaksanakan melalui jalur keluarga, jalur pendidikan, dan jalur masyarakat yang berbasis pada pengembangan olahraga untuk semua orang yang berlangsung sepanjang hayat.”
DAFTAR PUSTAKA Barrie Houlihan,”Sport, Policy, and Politics: A Comparative Analysis”, (United Kingdom: Routledge, 1997) D Adair dan W Vamplew,”Sport in Australian History”, (New York: Offord University Press, 1997) Fritz E. Simandjuntak,” Olahraga dalam GBHN 1993-1998”, Kompas, Sabtu, 12 Juni 1993 Hogan K dan Norton K,”The ‘price’ of Olympic Gold”, Journal of Science and Medicine in Sport. 2000 Jun;3(2):203-18 Hogan K dan Norton K,”The ‘price’ of Olympic Gold”, Journal of Science and Medicine in Sport. 2000 Jun;3(2) Kevin Hylton,”Sports Development: Policy, Process, and Practice”, (United Kingdom: Routledge, 2001) K. Suhendra, S.H., M.Si. Dr., “Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan Masyarakat”, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2006) Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia,”UndangUndang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional” Mick Green and Barrie Houlihan,”Elite Sports Development: Policy Learning and Political Priorities”, (United Kingdom: Routledge, 2005)
JUARA
| Januari 2014
Pentingnya Asupan Gizi Didalam Pembinaan Atlet Leane Suniar
G
izi berasal dari bahasa arab yaitu ghidza, artinya makanan-minuman yang memenuhi zat-zat gizi secara makro nutrient (H arang, lemak, protein, air) dan mIkro nutrient (vitamin dan Mineral) yang harus dikonsumsi agar tubuh dalam keadaan kesehatan yang optimal. A. ISTILAH GIZI
Istilah gizi dan ilmu gizi baru dikenal di Indonesia sekitar tahun 1950, sebagai terjemahan kata bahasa Inggris yaitu “Nutrition”. Kata Gizi sering dihubungkan dengan kesehatan tubuh, untuk menyediakan energi, membangun, memelihara dan membentuk jaringan tubuh, serta mengatur proses-proses kehidupan di dalam tubuh. Fungsi makanan-minuman bagi atlet yang belum dewasa juga untuk pertumbuhan, perkembangan, sedangkan fungsi gizi secara umum adalah mempertahankan kesehatan. Penggunaan makanan tersebut akan melalui suatu proses digesti1, absorpsi2, transportasi, penyimpanan, metabolisme3 dan pengeluaran zat–zat yang tidak digunakan oleh tubuh. Gizi atau nutrisi mengandung zat-zat gizi (nutrien). Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh agar organ-organ melakukan fungsinya. Zat gizi tersebut didapat melalui makanan-minuman yang dikonsumsi oleh atlet.
1Digesti
proses mengubah makanan menjadi substansi kimia yang dapat diabsorpsi dan diolah. pengambilan zat ke dalam atau melalui jaringan 3Metabolisme jumlah semua proses fisik dan kimiawi di mana substansi hidup diorganisasi dihasilkan dan dipertahankan (anabolisme), dan juga transformasi di mana energi yang ada digunakan untuk organisme (katabolisme). 2Absorpsi
— 69 —
70 | Leane Suniar Pemantauan status gizi yang harus dilakukan oleh Pembina, pelatih dan atlet merupakan bagian penting dalam penanganan atlet. Sedangkan status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu status gizi lebih, status gizi baik, status gizi kurang, dan status gizi buruk. Status gizi sebagai hasil intetraksi antara asupan zat-zat gizi melalui makanan-minuman yang konsumsi dengan kebutuhan tubuh yang menghasilkan nilai tertentu. Status gizi didapat dengan menggunakan pengukuran berat badan (Kg) dan tinggi badan (m) (BB (Kg) IMT (Indeks Massa Tubuh)= ----------- (TB2 (m) Keterangan: - BB : Berat Badan (kg) - TB : Tinggi Badan (m) Nilai IMT dengan status gizi baik menurut National Institute of Health berkisar: 18,5 – 22,9 Kg/m2 (Asia Pasifik) Dukungan Nutrisi harus memenuhi persyaratan baik secara kualitas maupun kwantitas sehingga pada waktu pembinaan untuk pencapaian prestasi dapat lebih singkat. Status gizi yang baik didapat karena dukungan gizi yang memenuhi persyaratan secara kuantitatif dan kualitatif. Dengan terpenuhinya persyaratan tersebut atlet dapat berlatih dan bertanding dengan teknik yang baik untuk mencapai prestasi maksimal. Pengetahuan dan pemahaman dukungan gizi perlu diketahui baik oleh pembina, pelatih maupun atlet, oleh karena dukungan gizi diperlukan untuk: - Mempertahankan/mengembalikan status gizi menjadi baik - Mempertahankan kelangsungan fungsi tubuh - Memperbaiki dan membentuk jaringan baru - Menunjang tumbuh kembang atlet (bagi atlet remaja) MAL ABSORBSI merupakan masalah yang sering ditemukan pada seorang atlet. Mal absorbsi merupakan keadaan dimana seorang atlet JUARA
| Januari 2014
Pentingnya Asupan Gizi Didalam Pembinaan Atlet
| 71
salah menkonsumsi makanan-minuman oleh karena ketidaktahuan atau pemberian yang salah oleh pelatih, sebagai akibat; • Lama latihan menjadi lebih panjang • Keluarga (harus berpisah) dalam waktu yang lama • Biaya menjadi tinggi Yang diharapkan: Atlet dapat merubah sikap dan prilaku sehingga kebiasaan makanminum harus sesuai dengan kebutuhan dan menu seimbang. Salah satu gejala klinis yang di temui pada waktu mengikuti pelatihan/ periodisasi umum adalah hal kelelahan, seringkali kemampuan berlatih menurun dan dapat terjadi Anorexia, hilangnya selera makan – minum pada atlet yang mengalami kelelahan yang dapat memperburuk status gizi atlet. Status gizi yang buruk berkaitan dengan turunnya daya tahan tubuh yang dapat berakibat mudahnya terserang penyakit infeksi. Menelaah Peran Gizi di dalam Pembinaan/pelatihan atlet untuk pen capaian prestasi dimana zat-zat gizi Makro; Hidrat Arang berperan sebagai pengatur metabolism tubuh, penghasil energy dan sebagai cadangan energi. Protein berfungsi untuk memperbaiki dan membentuk jaringan. B. PEMBAHASAN Kelelahan/Keletihan merupakan perasaan tidak nyaman di tubuh (bagian tubuh). Bila seseorang atlet berlatih dengan intensitas tinggi maka tubuh akan meningkatkan metabolisme dan juga heart rate4. Hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan tubuh terhadap suplai energi yang diperoleh melalui asupan makanan–minuman yang di konsumsi. Di sini lah peran gizi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lain bagi atlet. Bila gizi tidak tercukupi atau terpenuhi dengan baik maka kondisi fisk dapat menjadi tidak baik. Asupan gizi yang tidak tercukupi atau terpenuhi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk, berkompetisi, kemampuan untuk mencapai prestasi dan juga menuruhkan daya tahan tubuh yang dapat memperbesar risiko timbulnya penyakit. 4Heart
rate denyut jantung. Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
72 | Leane Suniar Latihan berat menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Peningkatan suhu tubuh tersebut juga mengakibatkan peningkatan kebutuhan energi dan air. Atlet harus meningkatkan asupan energi melalui makanan– minuman bergizi serta meningkatkan asupan vitamin dan mineral. Pengeluaran keringat yang berlebihan ini menyebabkan kehilangan cairan tubuh, sehingga meningkatkan kebutuhan akan cairan. Oleh karena itu, penyediaan cukup cairan sangat penting. Dianjurkan agar tempat-tempat latihan/pertandingan untuk menyediakan air untuk dikonsumsi. Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan imunitas5/kekebalan tubuh adalah keadaan status gizi atlet yang tidak baik/menurun. Ketidak cukupan gizi dapat mengganggu latihan dan kemampuan fisik untuk merespons intruksi pelatih. Untuk dapat melakukan latihan yang baik di perlukan makronutrien dan mikronutrien untuk pembelahan sel normal, suplai energi, protein dan lipid yang berfungsi sebagai zat pembangun/ membentuk zat aktif, serta vitamin & mineral untuk membatasi kerusakan dan pembentukan jaringan baru. Pembelahan sel perlu dipertahankan dalam keadaan normal, agar terbentuk komponen-komponen selular termasuk komponen sel imun. Makronutrien & Mikronutrien diperlukan untuk menghasilkan energi dalam aktivitas metabolik sel, dan berperan dalam pelepasan energi. Ketika latihan berat, kebutuhan energi akan meningkat. Oleh karena itu penting untuk diberi asupan makronutrien dan mikronutrien yang cukup. Pertahanan oleh sistem imun melibatkan sejumlah protein (seperti immunoglobulin, sitokin, dll) dan subtansi derivat lemak (prostaglandin) yang disintesis dari asam amino dan dengan prekursor lipid yang sesuai. • • • •
Pada latihan yang berat dalam waktu yang lama: Energi yang dihasilkan dipakai sebagai suplai energi terjadi kehilangan protein tubuh akibat respons metabolisme Penggunaan protein tersebut diubah menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis menghasilkan energi. aktivitas sistem imun dalam merespons antigen
5Imunitas
perlindungan terhadap penyakit tertentu; daya respons yang meningkat terhadap penolakan antigenik. JUARA
| Januari 2014
Pentingnya Asupan Gizi Didalam Pembinaan Atlet
| 73
Dalam metabolisme tubuh, yang berperan sebagai penghasil energi adalah makronutrien (karbohidrat, lemak, dan protein) yang memiliki peran structural, dimana Karbohidrat dan lemak merupakan penyedia energi utama. Karbohidrat memiliki fungsi utama sebagai sumber energi dalam bentuk glukosa. Glukosa yang diperoleh melalui makanan akan dipecah menjadi ATP oleh tubuh untuk menghasilkan energi. Kebutuhan karbohidrat rata-rata 60-70% dari total Kalori. Pada latihan yang berat, kebutuhan karbohidrat dapat mencapai 85%, Sedangkan lemak, sebagian besar merupakan trigliserida dan triasilgliserol (TAG). Produk turunannya berupa fosfolipid dan sterol (contoh yang paling diketahui adalah kolesterol). Triasilgliserol dipecah untuk menghasilkan energi dan menyusun cadangan energi utama dalam tubuh yang tersimpan didalam jaringan adiposa. Asam lemak penting untuk struktur dan fungsi membran sel. Asam lemak tersebut diperoleh dari diet karena merupakan asam lemak esensial. Bila lemak telah dimetabolisme di hati maka terdapat residu (ampas) berupa zat keton yang oleh tubuh hanya terbatas penggunaannya. Keadaan dimana hati memproduksi banyak zat keton sebagai akibat metabolisme lemak, maka akan terjadi penimbunan zat keton didalam darah yang menyebabkan keadaan ketosis. Hal tersebut biasa terjadi pada orang yang kelelahan dan bila tubuh tidak mempunyai pasokan makronutrien lain selain lemak di dalam jaringan adiposa Kebutuhan lemak rata-rata dalam keadaan normal sekitar 20-25% dari total Kalori. Protein terdiri dari berbagai asam amino tunggal. Asam amino tersebut dipecah dan digunakan sebagai sumber energi apabila suplai karbohidrat dan lemak telah dipakai habis. Pemecahan asam amino ini biasanya merupakan suatu respons terhadap trauma ataupun infeksi, karena yang berfungsi sebagai penyuplai energy utama adalah karbohidrat dan lemak Kebutuhan protein rata-rata 10-15% dari total Kalori. Inti dari metabolisme adalah siklus asam sitrat/siklus krebs. Hasil metabolisme dari ke tiga makronutrien akhirnya akan memasuki siklus asam sitrat. Melalui siklus asam sitrat ini akan dihasilkan energi dalam bentuk ATP.
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
74 | Leane Suniar Karbohidrat
glukosa
Lemak
gliserol
Protein
asam lemak
asam amino asam keto
pirufat ↔ laktat
NH2 urea
asetil KoA badan keton sitrat oksaloasetat
siklus TCA
ATP + NADH
Kelompok vitamin B terutama terlibat dalam: • siklus TCA • asetil KoA • metabolisme protein
α-katoglutarat
Gambar 1. Proses Metabolisme Karbohidrat, Lemak dan Protein
Protein diperlukan untuk memelihara struktur dan fungsi tubuh. Kebutuhan protein meningkat selama latihan berat, banyaknya kerusakan dan adanya pembentukan jaringan, masa pemulihan setelah cedera dan sakit. Protein mengandung struktur nitrogen. Bila makanan yang dikonsumsi berlebihan protein, maka kelebihan protein tersebut akan dipecah di dalam hati untuk mengeluarkan nitrogen sehingga yang tersisa hanya karbon, hidrogen, dan oksigen yang dapat digunakan untuk produksi panas dan energi. Sangat penting untuk menjaga keseimbangan nitrogen didalam tubuh. Keseimbangan nitrogen adalah selisih antara besarnya asupan dengan kehilangan nitrogen (jumlah nitrogen yang keluar dari tubuh atau terpakai). Keseimbangan nitrogen dikatakan positif apabila jumlah asupan sama dengan pengeluaran. Sedangkan keseimbangan nitrogen dikatakan negatif apabila kehilangan melebihi jumlah asupan. Keadaan keseimbangan nitrogen negatif mungkin diakibatkan oleh latihan yang berat yang menyebabkan keletihan, cedera, kelaparan, atau kondisi katabolic pada kondisi yang ekstrim (tidak biasa). Mikronutrien berperan dalam berbagai mekanisme pertahanan tubuh. Berikut ini adalah beberapa mikronutrien dan fungsinya di dalam tubuh. Vitamin A, perannya dalam integritas permukaan epidermis dan mukosa yang berfungsi sebagai barier fisik terhadap lingkungan. Fungsi JUARA
| Januari 2014
Pentingnya Asupan Gizi Didalam Pembinaan Atlet
| 75
lainnya sebagai pengaktivasi sel makrofag dan diferensiasi monosit. Vitamin A diperoleh dalam makanan hewani seperti daging, hati, susu dan produk olahannya, telur, lemak ikan dan minyak ikan. Sedangkan dalam makanan nabati diperoleh dari sayur-sayuran hijau dan merah, serta buah-buahan berwarna jingga/merah. Defisiensi vitamin A dihubungkan dengan peningkatan kebutuhan dan keparahan penyakit infeksi, terutama penyakit saluran nafas. Vitamin B6, berperan untuk sintesis asam nukleat dalam pembentukan DNA dan RNA. Defisiensi dari Vitamin B6 menyebabkan gangguan proses pembentukan DNA dan RNA, serta mempengaruhi proses proliferasi limfosit dan Sitoksin. Vitamin B6 diperoleh dalam sereal berbiji utuh, kacang-kacangan, daging, ikan dan kentang. Selain itu terdapat juga vitamin B1 yang berfungsi sebagai koezim untuk metabolisme energy dan panas tubuh. Vitamin B1 diperoleh dalam beras dan cereal. Vitamin C ditemukan tinggi pada leukosit yang berperan sebagai pertahanan tubuh. Vitamin C berfungsi sebagai pelindung terhadap stres oksidatif yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Vitamin C terutama diperoleh dari makanan nabati. Sumber makanan yang banyak mengandung vitamin C adalah buah jeruk, tomat dan sayuran hijau. Vitamin D memiliki fungsi sebagai imunomodulator, karena sebagian besar sel imun memiliki reseptor untuk vitamin D. Hal tersebut menandakan bahwa vitamin D berperan dalam mengatur respons imun. Vitamin D tersedia dalam makanan seperti susu dan produk olahannya, lemak ikan, daging dan telur. Saat ini telah diketahui bahwa vitamin D juga disintesis dalam kulit melalui membran plasma 7-dehydrocholestrol (human keratinocytes) yang terpapar radiasi sinar ultraviolet B (UVB). Ketidak cukupan vitamin D seringkali ditemukan diperoleh dari diet maupun ketidakcukupan sinar matahari merupakan salah satu penyebab tingginya prevalensi osteoporosis terutama pada atlet yunior. Vitamin E berperan dalam menurunkan efek immunosupresif yang ditimbulkan oleh radikal bebas. Fungsi lainnya adalah meningkatkan imunitas selular dan humoral. Sumber vitamin E dalam diet diperoleh melalui minyak nabati, sereal berbiji utuh, sayuran berdaun hijau, serta kacang-kacangan.
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
76 | Leane Suniar Mineral Zink berperan penting dalam perkembangan komponen imunitas selular, terutama limfosit T. Peran lainnya dalam aktivitas kemotaksis, fagositik, dan pelindung terhadap stres oksidatif. Bila terjadi keletihan, infeksi, kadar Zink di dalam plasma akan berkurang. Zink diperoleh dalam makanan yang mengandung protein, seperti daging, makanan laut, dan produk susu Diet tinggi Kalori tinggi protein (TKTP) disarankan pada periodisasi umum dan latihan yang berat Tujuan diet ini untuk memberikan makanan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan Kalori dan protein yang bertambah, guna mencegah serta mengurangi kerusakan jaringan tubuh atau menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal. Diet tinggi Kalori tinggi protein ini juga diberikan kepada atlet gizi kurang, baru sembuh dari penyakit dengan panas tinggi.
Untuk memudahkan penyelenggaraan, maka makanan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut ditambahkan berupa tambahan lauk dan susu. Sumber protein hewani diperoleh dari telur, daging ayam, hati, ikan, susu, dan keju. Sumber protein nabati diperoleh dari kacangkacangan dan produk olahannya seperti tempe dan tahu. JUARA
| Januari 2014
Pentingnya Asupan Gizi Didalam Pembinaan Atlet
| 77
C. PENUTUP Kesimpulan
Gizi diperlukan untuk dapat mencapai kesehatan. Tanpa pemenuhan asupan gizi yang adekuat, seorang atlet tidak dapat mencapai prestasi yang optimal. Pemenuhan asupan makronutrien dan mikronutrien mutlak diperlukan, terutama pemenuhan karbohidrat sebagai penghasil energi dan protein yang berperan dalam perbaikan, pembentukan jaringan serta fungsi tubuh yang mengalami kerusakan. Beberapa vitamin juga berperan penting dalam pencapaian prestasi. Saran
Gizi merupakan faktor utama dalam pembinaan dan pertandingan untuk mencapai prestasi optimal. Oleh karena itu diharapkan semua pembina, pelatih maupun atlet dapat memantau status gizi. Pemantauan bisa dilakukan dengan mengukur Index Massa Tubuh (IMT) atlet. Pembina dan pelatih harus menyarankan agar atlet mengkonsumsi makanan yang memenuhi kriteria gizi seimbang. Selain itu, tenaga gizi juga dapat melakukan penyuluhan guna meningkatkan pengetahuan mengenai pentingnya asupan gizi agar dapat memanah dengan konsentrasi teknik yang baik dan dapat berprestasi.
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
78 | Leane Suniar
JUARA
| Januari 2014
Ketahanan Mental dan Kohesivitas Tim Pada Cabang Olahraga Permainan Oleh: Juriana, M.Si, Psikolog
Dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta
C
abang olahraga permainan merupakan cabang olahraga yang menarik, sehingga selalu cukup banyak penontonnya selama pertandingan. Cabang olahraga permainan yang menggunakan strategi dan biasanya berdurasi cukup lama, membuat olahraga ini semakin menarik untuk ditonton dari awal hingga akhir. Pembinaan cabang olahraga permainan pun diperkirakan memakan biaya lebih banyak karena melibatkan jumlah atlet yang lebih banyak, terlebih yang bersifat beregu seperti: sepak bola, bola basket, bola voli, dan lain-lain. Disamping membutuhkan persiapan fisik dan taktik yang prima, cabang olahraga permainan juga membutuhkan persiapan mental psikologis yang matang. Selain ketahanan mental pribadi, ketahanan atau kohesivitas tim juga sangat dibutuhkan pada cabang olahraga permainan yang beregu. Berikut ini akan diuraikan tentang aspek psikologis yang berperan dalam cabang olahraga permainan tersebut. A. KETAHANAN MENTAL
1. Pengertian dan Dimensi Ketahanan Mental
Ketahanan mental diartikan sebagai pendirian yang tak tergoyahkan untuk mencapai tujuan meskipun berada di bawah tekanan (Loehr, 1982). Menurut Goldsmith (2011), kompetisi bukan sekedar cepat, melainkan bagaimana mempertahankan kemampuan fisik dan teknik dalam keadaan tertekan, sakit, dan lelah. Dalam kondisi tersebut, penting menyatukan antara tubuh dan pikiran (body and mind). Ketahanan mental menjadi hal yang penting agar atlet dapat tampil prima dalam setiap pertandingan dan dapat mencapai prestasi yang lebih baik dari sebelumnya. — 79 —
80 | Juriana, M.Si., Psikolog Sesuai dengan karakteristik cabang olahraga permainan, beberapa dimensi ketahanan mental yang terkait yaitu: komitmen, fokus, dan awareness (Cher, 2012). Komitmen. Setiap atlet yang ingin mencapai kesuksesan yang ia tetapkan, harus menunjukkan komitmen terhadap hal yang ingin dia raih dan melalui prosesnya. Tanpa komitmen, seperti memulai sesuatu dan tidak memiliki kekuatan atau dorongan untuk menyelesaikannya. Hambatan merupakan bagian dan paket yang tak terpisahkan dari kehidupan seorang atlet. Apakah itu berupa cedera, kritik publik atau pihak lawan yang kuat, atlet harus menghadapi mereka cepat atau lambat. Yang lebih penting adalah adanya komitmen dan kekuatan kemauan untuk mencoba mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Seringkali atlet yang hanya mengambil jalan yang mudah dan memilih menyerah. Ini merupakan sesuatu yang tidak akan dilakukan atlet sejati. Atlet yang berkomitmen akan memberikan usahanya yang terbaik untuk mengatasi hambatan apapun yang menghalangi jalannya. Seperti ungkatan yang menyebutkan “dimana ada kemauan, pasti ada jalan”. Ketika seorang atlet sudah berkomitmen terhadap cabangnya, mereka harus dapat “membakar semua jembatan” dan melakukan apa saja untuk merealisasikan komitmen mereka. Seringkali, orang yang berkomitmen terhadap sesuatu, mendapatkan kesenangan dari kegiatan tersebut. Dengan kata lain, mereka harus menikmati aktivitasnya sebelum berkomitmen. Atlet yang unggul dalam olahraga yang mereka pilih adalah yang benar-benar menikmati permainan tersebut. Mereka berkomitmen terhadap olahraga pilihan mereka karena menikmati perannya. Bukan untuk popularitas ataupun uang, tetapi lebih pada kenikmatan yang mereka peroleh dari partisipasi dalam olahraga tersebut. Tak dipungkiri, popularitas merupakan insentif tambahan untuk mereka yang unggul dalam olahraga itu; namun lebih jauh, setelah hal ini tercapai, hal yang membuat atlet meneruskan langkanya adalah kesenangan instrinsik, yang mereka peroleh dari permainan olahraga tersebut. Fokus. Sebuah pepatah mengatakan “letakkan masa depanmu di tangan yang baik, yaitu tanganmu sendiri”. Fokus dapat dilakukan jika hati atlet berperan di dalamnya. Untuk menjadi juara, maka atlet harus
JUARA
| Januari 2014
Ketahanan Mental dan Kohesivitas Tim Pada Cabang Olahraga Permainan
| 81
memiliki hati juara. Atlet yang tidak menempatkan hati di dalam cabangnya maka ia tidak akan pernah sukses. Hati adalah roh dan antusiasme dalam melaksanakan tugas. Atlet yang menjalankan cabor yang tidak disukainya hanya akan memberikan upaya minimum yang diperlukan dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas latihannya sehari-hari. Seringkali hati mendapatkan tantangan, salah satunya keberanian untuk gagal. Sukses itu memang manis dan gagal itu pahit. Itu sebabnya orang merindukan keberhasilan dan membenti kegagalan. Namun memiliki pemikiran seperti itu akan merugikan atlet. Ketika atlet memiliki mental semacam ini, mereka kemudian akan membangun rasa takut terhadap kegagalan. Kesimpulannya, jika hati atlet ada di tempat yang tepat dan fokus terhadap pertandingan, maka atlet akan bisa mengatasi seluruh rintangan dan memperoleh kesuksesan. Awareness. Adalah kesadaran atau perhatian terhadap berbagai hal. Para juara selalu mengetahui kekuatan mereka. Ketika mereka menyadari kekuatan mereka, maka mereka akan berlatih dan berusaha untuk meningkatkannya. Apapun kekuatannya, seorang atlet harus menyadari bakat yang dimiliki dan berusaha memperkuatnya, sehingga kekuatan ini dapat membantunya memenangkan pertandingan dan menjadi juara. Atlet juga memiliki kesalahan dan kelemahan. Pemain tenis yang memiliki kemampuan pukulan forehand yang sangat bagus, mungkin saja memiliki kelemahan dalam backhand yang dapat dimanfaatkan oleh lawannya. Yang dapat dilakukan para atlet untuk membantu mereka mengatasi kelemahannya adalah berusaha memperbaiki kelemahan mereka dan meningkatkan kemampuan mereka di bagian tersebut. Dengan upaya yang konsisten, para atlet akan mampu menekan kelemahan mereka dan sebagian bahkan mungkin mengubahnya menjadi kekuatan. Dalam olahraga, atlet perlu mengetahui lawan tanding mereka dan apa saja kekuatan dan kelemahannya. Para pelatih dan pembina adalah orang-orang yang seringkali mengumpulkan informasi tentang lawan, dan mereka akan menghabiskan waktu untuk menganalisis dan mengetahui kelemahan lawan. Dengan informasi yang diperlukan, strategi dan taktik dapat diformulasikan untuk menghadapi lawan dalam rangka meraih kemenangan.
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
82 | Juriana, M.Si., Psikolog Selain kesadaran terhadap kekuatan dan kelemahan diri sendiri sekaligus milik lawan, kondisi kesadaran penting lain yang diperlukan oleh atlet adalah kesadaran situasional. Artinya, selama permainan atau pertandingan atlet atlet perlu memahami kapan harus menggunakan strategi yang berbeda, mungkin untuk mengubah tempo permainan atau pertandingan untuk memberikan hasil yang menguntungkan bagi mereka. Oleh karena itu, memiliki keterampilan saja terkadang tidak cukup. Seorang atlet harus mengembangkan kesadaran situasional untuk membuat permainan lebih lengkap. 2. Latihan Ketahanan Mental
Menurut Gunarsa, Soekasah, dan Satiadarma (1996), latihan mental didefinisikan sebagai:“ a systematic, regular and longterm training to detect and develop resources and to learn to control performance, behavior, emotions, moods, attitudes, strategies and bodily processes”. Latihan mental diartikan sebagai latihan yang dilakukan atlet untuk meningkatkan fungsi berpikirnya agar dapat mengendalikan tubuh dan tindakannya. Latihan mental merupakan latihan yang dilakukan untuk memperoleh ketahanan mental, sehingga dapat mencapai prestasi yang prima dalam setiap pertandingan. Latihan mental yang penting dikuasai oleh atlet adalah: relaksasi dan visualisasi. Relaksasi. Relaksasi merupakan prosedur penting dalam program latihan mental. Relaksasi juga merupakan prosedur awal yang harus dilaksanakan dalam program latihan mental (Weinberg and Gould, 1995). Hal ini dikarenakan dalam kondisi relaks seseorang lebih terbuka peluangnya untuk memusatkan perhatian. Menurut Wolpe (1982), efek otomis yang menyertai relaksasi dilawankan dengan ciri-ciri kecemasan. Dengan demikian, prosedur relaksasi dapat membantu atlet untuk mengubah perilakunya menjadi lebih baik di dalam maupun di luar gelanggang olahraga (Mohr, 2001). Selain itu, Stevens dan Lane (2001) menjelaskan bahwa prosedur relaksasi dapat membuat seseorang lebih mampu mengendalikan suasana hatinya, sehingga atlet tersebut tidak mudah dipengaruhi oleh gangguangangguan emosional sesaat yang mungkin muncul dari dalam dirinya sendiri maupuan dari luar dirinya. Apabila atlet menjalani prosedur JUARA
| Januari 2014
Ketahanan Mental dan Kohesivitas Tim Pada Cabang Olahraga Permainan
| 83
relaksasi dengan baik, hal itu sendiri sudah cukup efektif untuk meredakan kecemasan yang dialami, karenanya hal tersebut membuka peluang lebih besar bagi atlet untuk memenangkan pertandingan (Fletcher dan Hanton, 2001). Kondisi relaks menunjukkan bahwa fungsi kognitif mereka menjadi lebih baik, kondisi mereka menjadi lebih tenang dan prestasi mereka mengalami peningkatan. Relaksasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah relaksasi otot progresif dasar (progressive muscular relaxation). Tujuannya adalah agar atlet dapat mengontrol tekanan dalam setiap kelompok otot utama di dalam tubuh. Otot yang dilatih antara lain otot tangan, wajah, leher, bahu, perut, dan kaki (Rushal, 2008). Sebelum melakukan latihan relaksasi progresif, diajarkan bagaimana memperlambat pernapasan, yang dalam penelitian ini menggunakan pernapasan rasio. Atlet diminta menarik napas dalam dua hitungan lambat, menahan napas dalam dua hitungan, mengeluarkan napas dalam empat hitungan, dan mengulangi proses ini untuk sepuluh pernapasan (Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga, 2011). Visualisasi. visualisasi merupakan bentuk kreasi mental yang dilakukan secara sadar dan disengaja dan bertujuan untuk membentuk persepsi sesuatu dengan jalan membentuk imaji kreatif di dalam benak seseorang (Fanning, 1988). Melalui proses mental kreatif ini, seseorang dapat mengubah persepsinya terhadap sesuatu karena ia membentuk imaji suatu keadaan dalam berbagai bingkai persepsi, atau melihat suatu keadaan tertentu dari berbagai sudut pandang. Dalam proses visualisasi seorang individu melakukan latihan mental dengan menggunakan kondisi precues (pra-isyarat). Kondisi pra-isyarat ini melibatkan aspek konsentrasi dan dilandasi oleh tiga hal utama. Pertama, hal yang divisualkan harus terlebih dahulu tertanam dalam ingatan seseorang. Kedua, untuk memfungsikan perilaku sesuai dengan pra-isyarat seseorang harus memusatkan perhatian secara sungguh-sungguh pada sasaran perilaku, jika hal ini tidak dilakukan maka arah perilaku mungkin akan menyimpang. Ketiga, perhatian harus berlangsung terus di dalam area pra-isyarat hingga tercapainya sasaran perilaku (Eversheim dan Block, 2002). Shone (1984) mengemukakan bahwa imaji yang muncul di dalam proses visualisasi merupakan hal yang amat penting karena imaji tersebut Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
84 | Juriana, M.Si., Psikolog memberi pengaruh tidak hanya pada psikis tetapi juga pada ketubuhan seeorang. Metode visualisasi merupakan metode yang menyatukan aspek kognitif dan perilaku. Informasi yang dimiliki seseorang dan gerakan yang dilakukan oleh orang terebut merupakan dua hal yang berpasangan secara erat (Savelbergh dan Kamp, 2000). Oleh karena itu, mereka menekankan pentingnya kekhasan latihan visualisasi bagi masing-masing cabang olahraga, bahkan nomor-nomor pertandingan yang bersifat spesifik atau individual. Pelatih memiliki peran yang penting dalam latihan mental, karena pelatih yang bertemu atlet sehari-hari. Namun begitu, konsultan psikologi olahraga harus menjelaskan lebih dahulu kepada pelatih tentang prinsip dan filosofi latihan mental. Menurut Satiadarma (2000), penyusunan program latihan mental hendaknya tetap diserahkan kepada psikolog olahraga, namun pelaksanaannya dapat dilakukan oleh para pelatih setelah mereka memperoleh pelatihan khusus untuk memberikan pelatihan keterampilan psikologis yang dimaksud. Waktu yang dibutuhkan untuk latihan mental bervariasi, sekitar 10-15 menit untuk awalnya, dilakukan 3-5 kali per-minggu dalam sesi latihan. Latihan mental adalah proses, dan idealnya terus dilanjutkan selama atlet masih berlatih olahraga (Weinberg dan Gould, 1995). B. KOHESIVITAS TIM 1. Pengertian dan Dimensi Kohesivitas
Dalam cabang olahraga permainan yang bersifat beregu, unsur-unsur hubungan interpersonal, kerjasama, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan kelompok sangat banyak diperlukan untuk mengembangkan suatu tim. Keterpaduan tim (team cohesiveness) akan memberikan makna tersendiri bagi tim dalam melakukan aktivitasnya. Kohesivitas itu sendiri berasal dari bahasa latin cohaesus yang erarti bersatu atau tetap bersama (Carron dalam Silva III dan Weinberg, 1984). Konsep dari ‘tetap bersama’ ini mengacu pada perluasan dari anggotaanggota suatu kelompok yang ngin tetap terus sebagai anggota dari kelompoknya. Kohesivitas adalah suatu tendensi atau kecenderungan tetap bersama dan bersatu baik secara fisik maupun logika (The Pinguin Dictionary of Psychology, 1985). Kohesivitas juga diartikan suatu bentuk JUARA
| Januari 2014
Ketahanan Mental dan Kohesivitas Tim Pada Cabang Olahraga Permainan
| 85
pengukuran dari seberapa menariknya suatu kelompok bagi masing-masing anggotanya (Feldman, 1985). Carron, et all (1992) menyatakan bahwa kohesivitas bersifat multi dimensional. Ia menyarankan bahwa berbagai persepsi tentang tim diorganisasikan dan diintegrasikan oleh anggota-anggota tim menjadi dua kategori umum: a. Pertama, integrasi tim (group integration), mewakili persepsi setiap anggota dari tim yang menunjukkan kedekatan, kesamaan, dan keterikatan dalam suatu grup secara menyeluruh sebagai satu kesatuan, atau dengan kata lain menunjukkan derajat kebersamaan suatu kelompok. Integrasi tim ini terdiri dari dua dimensi, yaitu (1) integrasi tim dalam tugas; dan 2) integrasi tim secara sosial. b. Kedua, ketertarikan individu terhadap tim (individual attraction to the group). Ketertarikan individu terhadap tim mewakili interaksi perasaan anggota secara individu tentang kelompoknya, keterlibatan peran pribadi mereka dan keterlibatan dengan anggota-anggota alainnya. Ketertarikan individu terhadap tim ini terdiri dari dua dimensi yaitu: 1) ketertarikan individu terhadap tugas tim; dan 2) ketertarikan individu terhadap tim secara sosial. Atlet pada suatu tim cabang olahraga berkohesi karena suatu tujuan bersama yaitu ingin berprestasi baik secara pribadi maupun bagi kesuksesan tim, pemuasan akan kebutuhan afiliasi, kontribusi pada harga diri, dan lain-lain (Carron, 1984). 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kohesivitas
Carron, Brawley, dan Widmeyer (1992) menyatakan bahwa lingkungan atau situasi, individu, kepemimpinan, dan tim merupakan aspek-aspek pendukung terbentuknya kohesivitas. Suatu contoh yang sempurna dari kohesivitas tugas adalah ketika individu-individu yang terlibat dalam suatu tim bekerjasama dalam mencapai suatu tujuan yang memuaskan keinginan berprestasi mereka. Oleh karena itu, kerjasama menjadi suatu sinonim dari kohesifitas tim (Cox, 1985). Deutsch (dalam Cox, 1985) mendefinisikan suatu situasi kerjasama sosial sebagai situasi dimana tujuan-tujuan dari individu saling berkaitan satu sama lain, yang merupakan suatu korelasi positif antara pencapaianJurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
86 | Juriana, M.Si., Psikolog pencapaian yang mereka peroleh. Individu-individu yang telibat dalam satu tim yang sama dapat mencapai tujuan hanya jika peserta-peserta lainnya dapat mencapai tujuan-tujuannya pula. Contohnya, seorang spiker bola voli hanya dapat mengharapkan operan dari tosser yang akan menerima dari pemain belakang, untuk kemudian menyeberangkan bola dan memperoleh angka. Kerjasama antar anggota-anggota yang tergabung dalam satu tim yang sama dapat mengarah pada keadaan yang saling menguntungkan, meningkatkan prestasi dan kohesivitas tim. Karakteristik pribadi dari setiap anggota tim mempengaruhi tipe kohesivitas yang dibangun dan bagaimana cara mereka mempersepsikan kohesivitas tersebut. Brawley (1990) melaporkan bahwa latar belakang sosial, gender, attitudes, kemampuan, level dari kompetisi, komitmen, dan kepribadian memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kohesivitas. Kesamaan yang signifikan pada sbagian atau keseluruhan dari faktor-faktor tersebut akan membentuk kemungkinan adanya suatu konsensus dalam tujuan-tujuan dan tugas-tugas tim. Homogenitas dari tim merupakan faktor yang berhubungan dengan kohesivitas tim dan sukses. Homogenitas tim mengacu pada seberapa besar kemiripan yang dimiliki individu-individu yang tergabung dalam suatu tim berkaitan dengan latar belakang budaya, latar belakang suku bangsa, status sosial ekonomi, dan agama. Peran dari pemimpin merjupakan suatu hal yang penting dalam membangun kohesivitas tim. Komunikasi yang tidak ambigu, jelas, dan konsisten dari pelatih dan kapten berkaitan dengan tujuan-tujuan tim, tugas-tugas tim, dan peran-peran anggota tim memainkan pengaruh besar dalam kohesivitas (Caron, 1993; Yukelson, 1993). Seorang pemimpin yang melibatkan anggota-anggota tim dalam mengambil keputusan bagi tim akan membantu terbangunnya kohesivitas melalui peningkatan rasa kepemilikan dan investasi dari setiap anggota terhadap tim mereka (Westre dan Weiss, 1991). Selain itu, berbagi pengalaman tim memiliki peranan yang penting dalam membangun dan mempertahankan kohesivitas. Pengalaman yang umum dari sejumlah kesuksesan atau kegagalan akan menciptakan suatu pengalaman terbagi, dan tindakan mempersatukan sebagai satu tim untuk melawan perlakuan dari tim lawan dapat meningkatkan kohesivitas. Carron (1993) menjelaskan bahwa aspek-aspek dari tim seperti: struktur tim, JUARA
| Januari 2014
Ketahanan Mental dan Kohesivitas Tim Pada Cabang Olahraga Permainan
| 87
posisi, status, peran, norma, stabilitas, dan komunikasi secara signifikan mempengaruhi kohesivitas. Konsep dari stabilitas tim disini berhubungan dengan kohesivitas tim dalam kaitannya dengan jumlah tahun atau lamanya suatu grup atlet tetap bersama. Hal ini juga mengacu pada konsistensi tim. Kita akan mengharapkan tim-tim yang relatif tetap konstan selama periode waktu tertentu akan lebih stabil, kohesif, dan pada akhirnya lebih sukses. Tim-tim membutuhkan sejumlah waktu tertentu untuk membangun suatu level kohesivitas yang optimal untuk mencapai prestasi. Sejumlah waktu yang dibutuhkan tersebut akan sangat bervariasi dari tim yang satu ke tim yang lainnya dan juga dari cabang olahraga satu ke cabang olahraga lainnya (Donnelly dalam Cox, 1985). Kohesivitas memiliki konsekuensi, sebagai hasil dari terbentuknya kohesivitas antar anggota dalam suatu tim. Carron (1984) menyatakan ada dua konsekuensi yang terjadi, yaitu konsekuensi yang dihasilkan kelompok dan konsekuensi yang dihasilkan secara individual. Prestasi merupakan salah satu konsekuensi yang dihasilkan kelompok. Hasil penelitian tentang efek dari tim pada prestasi menemukan bahwa tim-tim yang semakin kohesif akan semakin sukses.
LAMPIRAN: PANDUAN LATIHAN RELAKSASI PROGRESIF Pembuka: Mulailah untuk rileks… pejamkan matamu, jernihkan pikiranmu … Tarik nafas dalam-dalam melalui hidung… tahan hingga empat hitungan(1)… buang nafas melalui mulut… lakukan berulangkali… tarik dan lepaskan(2)…. kosongkan pikiranmu(3)....... Rasakan pikiran dan tubuhmu ringan, melayang(4)… tarik nafas, tahan…dan buang nafas(5). 1. Mulailah dengan tangan kanan, kepalkan tangan dengan kekuatan 90%... tahan… semakin kuat mengepal… rasakan ketegangan otot tangan (8detik)… lalu lepaskan...., biarkan ketegangan hilang, rasakan tangan benar-benar rileks(10detik)… Lakukan untuk tangan kiri, kepalkan… tahan(8detik)… lepaskan(10detik)... Sekarang bersiap untuk mengepal kedua tangan, kepalkan sekuat-kuatnya(8detik).....
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
88 | Juriana, M.Si., Psikolog lepaskan(10detik). Rasakan perbedaan antara tangan dalam ketegangan dan tangan yang rileks. 2. Kemudian pindah ke kepala... kerutkan dahi, alis mata, kencangkan rahang dan bibir, tahan(8detik).. lepaskan perlahan(10detik)… rasakan ketegangan hilang bersamaan dengan mengendurnya otot wajah.... Atur napas.... 3. Tarik dagu ke arah leher sekuat-kuatnya, tahan(8detik).... lepaskan perlahan, rileks(10detik)....Tarik nafas....lepaskan dan rileks.... 4. Angkatlah bahu mendekati telinga, tahan(8detik).. dan lepaskan(10detik).. Rasakan rileks di seluruh tubuh… menjalar ke perut, paha, kaki sampai ujung jari kaki… rasakan rileks yang semakin dalam. 5. Aturlah nafas… kemudian alihkan perhatian ke perut… pelan-pelan kencangkan otot perut, kempiskan dan tarik ke dalam ke arah tulang punggung, tahan(8detik) dan lepaskan perlahan(10detik).... 6. Sekarang fokuskan perhatian pada kaki...Tarik tumit mengarah ke atas, tahan(8detik).... lepaskan(10detik)… arahkan ujung jari-jari ke depan, tahan(8detik)... dan lepaskan(10detik). Rasakan semua ketegangan lepas dari tubuhmu.... Penutup: Tarik napas dalam-dalam, dan lepaskan(1). Setiap tarikan napas berarti kamu menghirup tenaga dan gairah baru(2).. saat kamu membuang napas berarti melepaskan kelelahan dan ketegangan(3)… TARIK, tenaga dan gairah baru… LEPASKAN kelelahan dan ketegangan(4). TARIK, tenaga dan gairah baru… LEPASKAN kelelahan dan ketegangan(4). Saat ini seluruh tubuhmu rileks… bebas dari ketegangan dan berada dalam perasaan tenang dan damai… Gerakan jari-jari kaki dan tangan, bersiap membuka mata pada hitungan nol.... tarik napas dalam-dalam… tahan… tiga…dua…satu…nol. Latihan relaksasi selesai.
JUARA
| Januari 2014
Multilateral Penting untuk Cabang Olahraga Renang1 Sudradjat Wiradihardja2 A. PENDAHULUAN Mengamati proses dan penerapan suatu program latihan yang diberikan kepada para atlet cabang olahraga Renang pada beberapa perkumpulan di beberapa daerah, termasuk di wilayah DKI Jakarta sebagai baro meter pembinaan beberapa cabang olahraga termasuk cabang olah raga renang, khususnya pada atlet renang kelompok umur IV atau pada ditingkat pemula, penerapan latihan antara atlet pemula dengan atlit yunior diatas 10 tahun umumnya hampir tidak ada perbedaan pemberian metoda latihan, bahkan beban latihan pun hampir tidak dapat dibedakan antara kelompok 10 tahun kebawah dengan kelompok umur 10 tahun keatas. Dari hasil pengamatan tersebut dapat diambil suatu asumsi bahwa pemberian metode latihan belum memperhatikan perbedaan individu, serta belum mencerminkan perkembangan dan pertumbuhan anak, serta tidak melihat karakteristik anak pada saat itu, seperti halnya bahwa pada usia kelompok umur dibawah 10 tahun anak sudah diberikan latihan-latihan spesifik kecabangan, bahkan mengarah overload, sehingga anak sudah memperlihatkan keperkasaanya dan menunjukkan prestasi maximal pada usia dini. Bahkan melebihi kemampuan anak pada usianya. Jika dilihat dari kejuaraan antar perkumpulan, maupun pada kejuaraan nasional kelompok umur banyak terjadi pemecahan rekor nasional pada kelompok
1Judul
Makalah adalah dosen FIK UNJ, pada matakuliah Perkembangan Motorik dan Renang. Pelatih Nasional cabang olahraga Selam Prestasi. Wasit Internasional Renang (FINA) dan Wasit Internasional Selam Prestasi (CMAS) 2Penulis
— 89 —
90 | Sudradjat Wiradihardja umur dibawah 10 tahun atau pada kelompok umur IV, sedangkan pada Kelompok umur diatasnya sedikit sekali terjadi pemecahan atau perbaikan rekor maupun rekor baru, bahkan atlet-atlet yang memasuki usia golden age sedikit demi sedikit menghilang yang disebabkan sulitnya untuk meningkatkan prestasi, dan bahkan ada yang cidera akibat dari latihan yang spartan. Data dibawah ini adalah catatan pemecahan rekor baru nasional pada kelompok umur. Rekor Pecah KU IV(<10thn) III(11-12thn) II(13-15thn) I(16-17thn)
Tahun 2005 12 9 7 5
Tahun 2006 14 10 8 4
Tahun 2007 10 9 7 3
Tahun 2008 9 7 6 2
Tahun 2009 14 8 4 3
Tahun 2010 12 10 8 4
Tahun 2011 11 9 6 5
Tahun 2012 6 5 4 1
Tabel 1 dari data Pribadi dan dokumen
15 10 5
Ta h Ta un hu 20 Ta n 05 hu 20 Ta n 06 hu 20 Ta n 07 hu 20 Ta n 08 hu 20 Ta n 09 hu 20 Ta n 10 hu 20 n 11 20 12
0
I II III IV
Grafik 1 Penurunan jumlah pemecahan rekor baru pada Kelompok Umur yang lebih tinggi
Sangatlah memprihatinkan pada usia dini atlet muda usia telah masuk pada latihan seperti orang dewasa, dan telah menampilkan penampilan prestasi yang sangat menakjubkan dengan rekor baru yang diciptakan melebihi rekor baru yang dipecahkan oleh perenang kelompok umur diatasnya. Anak telah diberikan latihan-latihan yang mengarah kepada spesialisasi seperti latihan kekuatan yang melebihi kapasitas yang dimiliki, bahkan latihan daya tahan yang terus menerus, yang berlebihan pula, seperti berlatih dengan waktu yang lama tanpa ada modifikasi, variasi gerakan dan gerakan-gerakan yang multi atau berbagai variasi yang disesuaikan
JUARA
| Januari 2014
Multilateral Penting Untuk Cabang Olahraga Renang
| 91
dengan karakteristik perkembangan dan pertumbuhan anak, anak bahkan berlatih setiap minggu lebih dari enam kali. Dari berbagai buku diingatkan bahw seorang atlet muda memiliki kebutuhan yang sangat berbeda dengan mereka yang remaja atau dewasa muda, baik dalam melindungi kesehatan anak, maupun dalam memastikan kemajuan latihan. Dalam mengatur program latihan untuk anak diperlukan para pakar pertumbuhan dan perkembangan yang dapat memberikan masukan tentang karakteristik anak3. Dalam buku lain, bentuk-bentuk latihan gerak yang diperlukan untuk anak khususnya untuk perkembangan menyeluruh diperlukan latihan gerak multilateral. B. MULTILATERAL Istilah multilateral adalah banyak variasi, atau macam-macam, sebenarnya sudah tidak asing lagi dalam dunia olahraga. Bahkan lebih dari 25 tahun Rusia telah melakukan penelitian tentang hal ini. Alhasil, lebih dari 90% atlet-atlet Rusia yang menjadi juara dunia baik pada multi even seperi Olympiade, maupun single even, adalah produk dari pembinaan multilateral. (Bompa; 2010) Rusia merajai pada hampir semua cabang olahraga, sebelum terpecah seperti saat ini. Pembinaan multilateral tersebut, ternyata diterapkan juga pada negara Cina, German, Amerika, Australia dan beberapa negara maju lainnya. Pada tahun 1995 UU Olahraga Cina dan Dewan Negara meluncurkan program kebugaran nasional. Meski tahun 1990 program kebugaran ini sudah parnah diluncurkan bagi semua lapisan masyarakat. Hasilnya, para atlet China memenangkan 1123 kejuaraan dunia, memecahkan rekor 880 kali dan menduduki ranking ke-1 dalam Asian Games, memecahkan rekor Olympiade. Sebagai contoh, ekstrakurikuler di Guangzhaou untuk Sekolah Dasar dikelola dengan baik dan profesional, dilaksanakan setelah jam pelajaran setiap hari dan disesuaikan dengan kecabangan olahraga yang tetap mengacu pada gerak multilateral.
3Sport
Administration Manual, IOC. 2010.p.95 Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
92 | Sudradjat Wiradihardja Apa sebenarnya gerak multilateral tersebut? Gerak multilateral yang juga disebut multi-skill adalah pengembangan berbagai keterampilan dan kemampuan motorik (motor ability) dengan adaptasi berbagai kebutuhan beban latihan untuk mengembangkan adaptasi menyeluruh. Gerak multilateral merupakan suatu pengembangan yang berbasis keleluasaan gerak pada anak sebagai upaya penanaman dasar yang luas (broad base) pada pembinaan prestasi dikemudian hari. Artinya seorang anak harus mengalami keleluasaan gerak dasar yang meliputi lari, lompat, lempar, mengguling, merangkak, telungkup, terlentang, merayap dan lain-lain. Dalam pembinaan multilateral ini pun turut berkembang aspek psikologis, fisiologis dan fisik secara harmonis. Hal tersebut berarti bahwa setiap anak pada usia muda membutuhkan pembinaan gerak multilateral sebagai fondasi gerak yang diperlukan untuk membangun kesegaran jasmani yang baik maupun mempersiapkan diri menuju latihan keterampilan motorik, ke arah pengembangan selanjutnya pada olahraga prestasi. Anak yang memiliki landasan multilateral yang kuat akan dapat mencapai kinerja olahraganya dengan lebih baik jika dibandingkan anak yang tidak memiliki fondasi ini. Ilmuwan olahraga seperti Bompa, Thompson, maupun ahli-ahli yang lain, mengakui pentingnya pembinaan multilateral yang ditandai dengan dimasukkannya pembinaan multilateral ini dalam piramida sistem pembinaan atlet menuju level elit (Elite level), menuju golden age. Maturation
Hight Performance
Junior Athlets
Training
Childhooddhood
Multilateral Development
Bompa & Haff.p.32 Model tahapan untu latihan jangka panjang
Kenyataannya, telah terjadi kesenjangan antara konsep di atas dengan aplikasi di lapangan, banyak cabang olahraga di Indonesia yang telah mengkhususkan satu cabang olahraga saja pada anak, dengan dalih pembinaan usia dini, penanaman olahraga sedini mungkin. Kalimat seperti ini sering sekali terucap di masyarakat. Akibatnya adalah berjatuhannya JUARA
| Januari 2014
Multilateral Penting Untuk Cabang Olahraga Renang
| 93
korban pada atlet yang tidak mampu mencapai kinerja optimalnya pada usia emas. Praktik melatih anak yang spartan, ambisius, dan kurang bertanggung jawab menghasilkan berbagai akibat yang buruk. Kita sering melihat para atlet potensial mengalami cedera dan meninggalkan olahraganya. Seperti dikatakan diatas, bahwa dalam pembinaan multilateral turut berkembang aspek psikologis, fisiologis dan fisik secara harmonis. Namun apabila penerapan bentuk-bentuk latihannya seperti untuk orang dewasa, maka akan terjadi inharmonisasi pada faktor: 1. Psikologis. Anak pada umunya belum siap menerima kekalahan bahkan tidak jarang anak pun tidak siap menerima kemenangan. Penomena ini sering ditemukan ketika orang tuanya mengadu kepada pelatih bahwa anaknya tidak mau lagi bertanding karena takut kalah, setelah dia merasakan enaknya sebuah kemenangan. Sebaliknya, tidak mau bertanding karena dikalahkan oleh orang yang jauh lebih bagus, lebih besar postur tubuhnya, lebih baik tekniknya maupun hal-hal lainnya. Terlebih ketika anak mengalami cedera yang cukup serius, dampaknya akan lebih panjang karena sebuah trauma. Berbeda halnya dengan atlet dewasa yang menerima sebuah kemenangan, kekalahan bahkan cedera, sebagai suatu bagian menuju prestasi puncak. Dalam kondisi seperti ini atlet muda cepat frustasi, minder dan meninggalkan latihannya. Selain dari pada itu perlu dipahami bahwa manusia adalah mahluk “homoluden” artinya mahluk yang senang bermain. Apalagi dengan anak-anak, yang dunia bermainnya masih lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa. Suatu keharusan seorang pelatih untuk membuat kreatifitas saat melatih anak, agar unsure bermainnya tidak dihilangkan. Suatu observasi pernah dilakukan penulis pada sebuah pusat pelatihan renang di Scuba University. Setiap awal sesi latihan anak-anak diajarkan terlebih dahulu life saving dengan istiah mereka cakuy. Namun sebelumnya diberikan permainan berupa gamegame yang cukup menarik yang melibatkan unsur gerak motorik dasar seperti melompat, mengguling, berjalan, berlari, menghindar, mundur, dan berbagai maneuver lainnya yang tidak bisa didapatkan dalam latihan inti kecabangan olahraganya. Game-game seperti ini ternyata membuat anak-anak senang dan antusias sehingga tanpa sadar, mereka telah melatih fisiknya, kemmampuan motoriknya, psikologisnya (seperti percaya diri, mandiri, berani) bahkan social ability (seperti Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
94 | Sudradjat Wiradihardja membutuhkan teman, mengajak bicara, mengajak menjadi satu tim, mencari pasangan secara bergantian dll). Bahkan game-game seperti ini bisa dijadikan bagian dari pemanasan, terlebih pada suhu atau cuaca dingin. Karena kondisi lingkungan sering berpengaruh terhadap mood anak menjelang latihan. Latihan inti mereka lebih sedikit dan tidak terlalu fokus pada penguasaan dan peningkatan suatu teknik. 2. Fisiologis. Kerja maksimal dari fungsi organ tubuh seperti jantung, paruparu, ginjal yang secara langsung mempengarui system hormononal. Beberapa kasus menunjukan bahwa atlet yang terlalu dini mendapatkan pembebanan dalam latihan, akan mengalami pembesaran yang tidak normal pada otot jantung dengan ditandai penebalan jantung. Kasus lain menyebutkan beberapa atlet mengalami gangguan ginjal karena mengalami ekskresi yang berlebih tanpa diimbangi dengan intake air yang cukup. Akibatnya kekeringan pada ginjal, pada kejadian yang terus menerus dan berlangsung lama akan mengalami kefatalan dan kerusakan pada fungsi ginjal karena dehidrasi. Beberapa kasus pada atlet senam, yang mengalami pembebanan latihan terlalu dini dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, mengalami gangguan hormon dengan keterlambatan mendapatkan menstruasi, bahkan ada yang baru menstruasi pada usia 19 tahun. Bahaya lain adalah osteoporosis pada anak, mudah cedera dan pertumbuhan yang terhambat. 3. Fisik. Pada anatomis manusia, terdapat tulang epipisis, khsusnya pada anak yang sedang mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Tulang rawan ini berfungsi sebagai bantalan sendi, yang pada setiap masa pertumbuhan berfungsi pesat untuk pertumbuhan. Kenyataanya, beberapa cabang olehraga yang memberikan pembebanan kepada anak di bawah umur, membuat tulang lunak ini tidak dapat berkembang, dan mengalami cedera. Sering kita lihat di masyarakat, cabang olahraga seperti senam yang memberikan pembebanan latihan seperti untuk orang dewasa, maka anak akan kontet atau pendek. Dari segi fisik yang lain, tumbuh kembang otot tidak sempurna, atau di sisi lain pertumbuhan otot pada anak, seperti ototnya orang dewasa keras dan kurang lentur, otot mudah cedera dan pada jangka panjang mengalami cacat permanen, karena pada dasarnya secara fisik anak belum siap menerima pembebanan berlebih. JUARA
| Januari 2014
Multilateral Penting Untuk Cabang Olahraga Renang
| 95
Spesialisasi kecabangan olahraga yang terlalu dini pada anak, juga akan menuntut volume latihan tinggi atau intensitas yang tinggi. Pada spesialisasi kecabangan ini menuntut anak melakukan gerakan-gerakan sejenis secara berulang-ulang, sehingga hanya otot-otot tertentu saja yang bergerak, tanpa diimbangi perkembangan otot pada bagian tubuh yang lain. Sering menjadi penyebab overuse syndrome serta kelelahan yang berlebihan, memudahkan anak rentang terhadap cedera yang lebih fatal. Anak-anak bukanlah orang dewasa dalam versi kecil atau miniatur orang dewasa. Artinya bahwa anak harus dipandang sebagai anak, baik dari segi ukuran maupun kemampuan fisik dan mentalnya. Mereka memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam melaksanakan kegiatan fisik, mental dan sosial sehingga memiliki sifat yang khas dalam mengadaptasi lingkungannya. (Peter JI. Thompson, Introduction To Coaching Theory). Namun demikian bukan berarti anak-anak tidak dapat diberikan latihan gerak atau olahraga, masa kanak-kanak merupakan masa yang paling aktif secara fisik dalam pertumbuhan manusia. Mereka sangat unik karena setiap tahap pertumbuhan mengalami perkembangan dan perubahan fisik mental yang besar. C. GERAK MULTILATERAL YANG DIBUTUHKAN UNTUK CABANG OLAHRAGA RENANG Seperti diketahui bahwa cabang olahraga renang adalah cabang olahraga yang paling banyak melibatkan otot besar maupun kecil. Sehingga cabang olahraga ini menjadi salah satu cabang olahraga terbaik yang dapat membantu percepatan pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun kemampuan intelegensi. Untuk itu cabang olahraga ini pulalah yang harus melatih otot-otot besar maupun kecil sebelum menentukan pilihan latihan secara spesifik ke arah peningkatan prestasi. Dengan kata lain olahraga renang harus mempersiapka fondasi pertumbuhan otot secara menyeluruh lebih mutlak adanya. Oleh karenanya gerakan-gerakan multilateral inilah yang dapat membentuk fondasi yang dibutuhkan. Karena apabila secara khusus cabang olahraga renang dispesialisasikan terlalu dini maka kekhawatiran dan hal-hal yang telah disebutkan diatas akan menjadi lebih banyak korbannya pada usia lebih awal.
Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
96 | Sudradjat Wiradihardja Adapun bentuk-bentuk latihan multilateral yang dibuthkan oleh cabang olahraga renang diantaranya: 1. Gerak lokomotor, yaitu gerakan yang berpindah dari satu titik ke titik yang lain. Contoh gerakan multilateral yang mendukung cabang olahraga renang diantaranya: a. Berbagai macam gerak berjalan, berlari b. Berbagai macam gerak menggelinding c. Berbagai macam gerak meloncat d. Berbagai macam gerak melompat e. Berbagai macam gerak meluncur f. Berbagai macam gerak berguling g. Berbagai macam gerak roll h. Berbagai macam gerak merangkak Semua gerakan diatas dapat dilakukan di darat maupun di air. 2. Gerak nonlokomotor, yaitu gerakan bertumpu pada satu engsel atau persendian. Contoh gerakan multilateral yang mendukung cabang olahraga renang diantaranya: a. Berbagai macam gerak berputar b. Berbagai macam gerak mengayun c. Berbagai macam gerak menendang d. Berbagai macam gerak melempar e. Berbagai macam gerak menangkap f. Berbagai macam gerak memilin g. Berbagai macam gerak menekuk Semua gerakan diatas dapat dilakukan di darat maupun di air. 3. Gerak manipulative, yaitu gerakan yang menggunakan alat atau objek tertentu. Contoh gerakan multilateral yang mendukung cabang olahraga renang diantaranya adalah semua gerakan diatas dengan menggunakan alat atau objek benda lain, seperti bola, tali, tongkat, pelampung, fin dan lain-lain.
JUARA
| Januari 2014
Multilateral Penting Untuk Cabang Olahraga Renang
| 97
Ketiga gerakan inilah yang merupakan gerak dasar untuk menunjang gerak yang lebih spesialisasi, seperti teori yang dikemukakan oleh AJ.Arrow, dengan teori ranah gerak, seperti pada gambar dibawah ini: Pesan & Keindahan Pengg. Otot Link. Tk. Kesulitan Visual Auditory Kinestetik Taktil
GERAKAN DASAR REFLEK
MOTOR SKILL
MOTOR ABILITY MOTOR PERCEPCION
DISKURSIVE MOVEMENT
Fleksibility Acuraty Strenght Speed Endurance Balance Coordination Agility
Lokomotor Nonlok Manipulatif
Ref. Postural
Perhatikan tangga gerak ke dua yang berwarna merah menunjukan gerak dasar yang harus dilalui untuk menuju tangga gerak yang lebih tinggi hingga mencapai tangga gerak ke lima yaitu keterampilan motorik (renang). Tangga ke dua akan menunjang tangga gerak ke tiga dan selanjutnya. Jika gerak dasar pada tangga ke 2 ini tidak baik, maka akan berpengaruh pada kualitas tangga gerak berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA BJ. Sharkey. Coaches Guide to Sport Physiology. (USA: Human Kinetics. 1986). Carl Gabbard, Elizabeth LeBlanc, dan Susan Lowy, Physical Educatic Building the Foundation (USA Prentice Hall New jersey, 1987). David Kember. Action Learning and Action Research, Improving The Quality of Teaching and Learning. (London.Biddles Ltd,2000). FINA Rule 2009-2013 Glee Johnson,California State Board of Educataion. Physical Education Model Content Standards for. California Public Schools. (USA. Califonia Department of Education 2006). Husein Argasasmita. Proses Pembinaan Olahraga Prestasi di Indonesia Tinjauan dan Kacamata Sosiologi Olahraga. (Semarang. Universitas Negeri Semarang. 2005). Jims Brown, Sport Talent, How to identify and Develop Outstantes. (USA Human Kinetics.2001). Jurnal Iptek Olahraga, Volume I
| No. 2
98 | Sudradjat Wiradihardja Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Penyajian Data dan Informasi Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Tahun 2008, (Jakarta: Kemenegpora, 2008). Malina et all. Growth Maturation, and Physical Activity. (USA. Human Kinethics. 2004). Sheila Kogan. Step by step A Complete Movement Education Curriculum. (USA. Human Kinetics. 2004). Tudor O. Bompa. Total Training For Young Champions (USA: Human Kinetics. 2000). Tudor O. Bompa. G. Gregory Haff. Periodization Theory and Methodology of Training.5th ed.(USA: Human Kinetic,2009).
JUARA
| Januari 2014
Petunjuk Bagi Penulis
1. Artikel belum pernah dimuat dalam media cetak lain, diketik spasi rangkap pada kertas kuarto sepanjang 10-20 halaman, dalam bentuk disket program Microsoft Word beserta hasil cetaknya (print out) sebanyak 1 eksemplar. Diserahkan paling lambat 3 bulan sebelum bulan penerbitan. 2. Artikel merupakan hasil penelitian atau non penelitian (gagasan konseptual, kajian teori, aplikasi teori bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Olahraga). 3. Artikel ditulis dalam bentuk essai, disertai judul subbab (heading). Peringkat judul subbab dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda: PERINGKAT 1 (huruf besar semua rata dengan tepi kiri) Peringkat 2 (huruf besar-kecil dan dicetak tebal) Peringkat 3 (huruf besar-kecil dan dicetak tebal miring) 4. Artikel hasil penelitian memuat: • Judul • Nama Penulis • Abstrak (memuat tujuan, metode, dan hasil penelitian: 50–75 kata) • Kata-kata Kunci Pendahuluan (tanpa subjudul, memuat latar belakang masalah,
perumusan masalah, dan rang kuman kajian teoritik) • Metode • Hasil • Pembahasan • Kesimpilan dan Saran • Daftar Pustaka 5. Artikel Non Penelitian memuat: • Judul • Nama Penulis • Abstrak (50–75 kata) • Kata-kata Kunci Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat pengantar topik utama diakhiri dengan rumusan tentang hal-hal pokok yang akan dibahas) • Subjudul (sesuai dengan kebutuhan) • Subjudul (sesuai dengan kebutuhan) • Subjudul (sesuai dengan kebutuhan) • Penutup (atau Keseimpulan dan Saran) • Daftar Pustaka 6. Daftar Pustaka hanya mencantum kan sumber yang dirujuk dalam uraian saja, diurutkan alfabetis. Disajikan seperti contoh berikut: Annarino, A.A., Cowell, C.C., and Hazelton, H.W. 1980. Curriculum Theory and Design in Physical. London: Cv. Mosby Company.
— 99 —
100 |
JUARA
| Januari 2014