Efektivitas Penggunaan Edukasi Dan Perjanjian Bermaterai Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien TB Paru Di Puskesmas Ngamprah Dan Puskesmas Cimareme Kabupaten Bandung Barat Ferdinan Sihombing STIKes Santo Borromeus, Jl. Parahyangan Kavling 8 Blok B No. 1 Kota Baru Parahyangan, Padalarang – Bandung Barat 40558. E-mail:
[email protected] _________________________________________________________________________ ABSTRAK Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan serius di Indonesia termasuk di Kabupaten Bandung Barat. Jika pada umumnya puskesmas ketika menemukan kasus baru TB melakukan edukasi pasien, berbeda di Puskesmas Ngamprah, petugas melakukan edukasi pasien disertai membuat perjanjian bermaterai. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan efektivitas edukasi di Puskesmas Cimareme dengan edukasi dan perjanjian bermaterai di Puskesmas Ngamprah terhadap kepatuhan minum obat pasien TB paru. Penelitian ini merupakan studi komparatif dengan rancangan two-group posttest-only dimana satu kelompok diberikan edukasi dan diikuti dengan pembuatan perjanjian bermaterai, dan satu kelompok yang lain hanya diberikan edukasi. Kedua kelompok kemudian diukur tingkat kepatuhan minum obat dengan menggunakan Morisky Medication Adherence Scales ( MMAS). Penelitian dilakukan pada Bulan Mei 2015 dengan sampel sebanyak 40 yang terbagi 20 kelompok eksperimen dan 20 kelompok kontrol. Setelah uji normalitas data, analisis bivariat uji t tidak berpasangan dilakukan untuk menguji perbedaan antara kedua kelompok. Hasil penelitian menunjukkan hasil uji paired t test kepatuhan minum obat di kedua kelompok diperoleh nilai p = 0,313 lebih besar dari nilai α (0,05). Kesimpulan penelitian adalah tidak terdapat perbedaan efektivitas antara edukasi dan edukasi disertai perjanjian bermaterai terhadap kepatuhan minum obat pasien TB. Dengan kesimpulan penelitian ini, disarankan agar penggunaan perjanjian bermaterai dapat dipertimbangkan kembali karena tidak banyak bermanfaat. Kata kunci: edukasi; kepatuhan minum obat TB; perjanjian bermaterai
PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di Indonesia hingga saat ini. Dalam situasi TB di dunia yang memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan terutama di 22 negara dengan beban TB paling tinggi di dunia, World Health Organization (WHO) melaporkan dalam Global Tuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir ini. Insidens TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun 2010-2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini, beban global akibat TB masih tetap besar. Pada tahun 2011 Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati urutan keempat setelah India, Cina, Afrika Selatan. Indonesia merupakan negara dengan beban tinggi TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk penemuan kasus TB di atas 70% dan angka kesembuhan 85%, meskipun masih ada pelayanan kesehatan (swasta) yang masih belum
melaksanakan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) maupun International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) (Menkes, 2014). Upaya memperluas penerapan strategi DOTS masih merupakan tantangan besar bagi Indonesia dalam pengendalian tuberkulosis. Monitoring dan evaluasi telah dilakukan pada tahun 2005 dengan hasil angka putus obat yang masih tinggi mencapai 50-85 % meskipun angka penemuan kasus tuberkulosis sudah cukup tinggi (Kemenkes, 2013). Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Tingginya angka putus obat mengakibatkan tingginya kasus resistensi kuman terhadap OAT (obat anti TB) yang membutuhkan biaya yang lebih besar dan bertambah lamanya pengobatan. Kasus penyakit TB sangat terkait dengan faktor perilaku dan lingkungan. Faktor lingkungan, sanitasi dan higiene terutama sangat terkait dengan keberadaan kuman, dan proses timbul serta penularannya. Faktor perilaku sangat berpengaruh pada kesembuhan dan bagaimana mencegah untuk
35
tidak terinfeksi kuman TB. Dimulai dari perilaku hidup sehat (makan makanan yang bergizi dan seimbang, istirahat cukup, olahraga teratur, hindari rokok, alkohol, hindari stress), memberikan vaksinasi dan imunisasi baik pada bayi, balita maupun orang dewasa. Penderita hendaknya berperilaku tidak meludah sembarangan, menutup mulut apabila batuk atau bersin, dan terutama kepatuhan untuk minum obat dan pemeriksaan rutin untuk memantau perkembangan pengobatan serta efek samping (Putra, 2012). Penatalaksanaan lingkungan, terutama pada pengaturan syarat-syarat rumah sehat diantaranya pencahayaan, ventilasi, luas hunian dengan jumlah anggota keluarga, kebersihan rumah dan lingkungan tempat tinggal. Melalui pemberdayaan keluarga sehingga anggota rumah tangga yang lain dapat berperan sebagai pengawas menelan obat (PMO), sehingga tingkat kepatuhan minum obat penderita dapat ditingkatkan yang pada gilirannya kesembuhan dapat dicapai (Lestari, 2012). Dalam menyukseskan upaya pemberantasan TB, maka peran petugas kesehatan dalam surveillance dan pencatatan pelaporan yang baik merupakan suatu keharusan, termasuk juga melakukan pendidikan pasien, keluarga, dan juga masyarakat melalui edukasi, konseling atau pemantauan secara terpadu, terintegrasi dengan upaya-upaya lainnya. Menarik, jika petugas di Puskesmas Cimareme Kab. Bandung Barat (seperti halnya di kebanyakan puskesmas) dalam pelaksanaan DOTS -sesuai standarnya- telah memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya pengobatan yang sinambung tanpa putus, Puskesmas Ngamprah (juga di Kab. Bandung Barat) merasa perlu menambahkan dengan mengadakan perjanjian tertulis dengan pasien yang dibubuhi materai yang ditandatangani pasien dan keluarga sebagai PMO. Berikut sejumlah data yang diperoleh dari Bidang Penyehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (PLP2) Dinas Kesehatan Kab. Bandung Barat sampai dengan Triwulan III tahun 2015;
Jumlah Tahun 2016
Pasien Baru TB Pasien drop out Pasien relaps Pasien Single drug resistance Pasien multi drugs resistance
Puskesmas Ngamprah Tw Tw Tw. .I . II III 11 10 13
Puskesmas Cimareme Tw Tw Tw. .I . II III 31 43 35
0
2
0
0
2
0
0
0 1
0
2
6 0
0
2
2
Tujuan Penelitian a. Mengidentifikasi tingkat kepatuhan minum obat pasien TB di Puskesmas Cimareme b. Mengidentifikasi tingkat kepatuhan minum obat pasien TB di Puskesmas Puskesmas Ngamprah c. Mengetahui perbedaan efektivitas yang siginifikan antara edukasi dan edukasi disertai perjanjian bermaterai terhadap kepatuhan minum obat pasien TB. Urgensi penelitian Kepatuhan pasien yang rendah menjadi salah satu faktor terjadinya resistansi obat (Samsuridjal Djauzi, 2012). Hal ini karena pengobatan TB baru tuntas setelah enam bulan, dan dalam banyak kasus pasien berhenti sebelum waktunya karena merasa sudah sehat. Dampaknya adalah multidrugs-resistant tuberculosis (MDR-TB), yang berarti kuman sudah kebal terhadap dua obat lini pertama TB, yaitu rifampicin dan isoniazid. MDR-TB tentu saja memerlukan pengobatan yang lebih canggih dan dalam jangka waktu yang panjang sehingga lebih mahal biayanya. DOTS adalah metode pengawasan untuk meningkatkan ketaatan pasien menuntaskan pengobatan. Di puskesmas, misalnya, pasien TB wajib minum obat di depan petugas kesehatan. Inovasi lain misalnya, ada program menukar ongkos dengan beras untuk pasien TB di salah satu puskesmas. Setiap pasien yang datang mengambil obat mendapat 5 kg beras per bulan. Artinya, jika dalam satu keluarga ada tiga pasien TB, mereka akan menerima 15 kilogram beras. Ini adalah contoh inovasi yang berdampak ganda: menyembuhkan TB sekaligus memperbaiki gizi keluarga yang pada gilirannya akan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit pada keluarga miskin. Inovasi tidak harus berupa barter beras. Lokasi puskesmas yang sering tidak mudah diakses pasien dari pelosok dapat diatasi dengan petugas yang mendatangi pasien untuk membagikan obat. Berbagai inovasi perlu dilakukan untuk memperkuat penerapan strategi DOTS demikian menurut Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014 (Kemenkes, 2011) METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan two group posttest only design untuk mengetahui efektifitas antara edukasi dan edukasi disertai perjanjian bermaterai terhadap kepatuhan minum obat pasien TB paru. Penelitian ini dilakukan di dua puskesmas di Kabupaten Bandung Barat yaitu Puskesmas Cimareme dan Puskesmas Ngamprah pada Bulan Mei 2015. Populasi dalam penelitian adalah pasien TB paru pada tahap intensif. Pada tahap intensif penderita
36
TB paru mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap Obat Anti TB (OAT). Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi pasien TB paru seringkali menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Kebanyakan pasien tidak datang selama fase intensif karena tidak adekuatnya motivasi terhadap kepatuhan berobat dan kebanyakan pasien merasa lebih baik pada akhir fase intensif dan merasa tidak perlu kembali untuk pengobatan selanjutnya (Astuti, 2014). Berdasarkan data triwulan II dan III yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat diketahui jumlah pasien yang aktif pengobatan di Pkm. Ngamprah 23 pasien, di Pkm. Cimareme 78 pasien. Sampel penelitian diambil sebanyak 40 orang yang terbagi 20 orang di kelompok edukasi (PKM Cimareme) dan 20 orang di kelompok edukasi disertai perjanjian bermaterai (PKM Ngamprah). Cara pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan data primer yang diperoleh secara langsung dengan cara melakukan pengkajian kepatuhan minum obat pada pasien TB paru. Alat pengumpulan data menggunakan Morisky Medication Adherence Scales ( MMAS). Untuk analisis data, sebelumnya dilakukan uji normalitas skor MMAS untuk kepatuhan minum obat dengan menggunakan uji Saphiro-wilk. Jika didapatkan nilai p>0,05 berarti data berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan melakukan independent samples t test untuk membandingkan kepatuhan minum obat pada kelompok edukasi dan kelompok edukasi yang disertai perjanjian bermaterai.
Keterangan: Tahun ke-1 dari Rencana 1 tahun Diagram 1. Bagan Alir Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien TB di Puskesmas Cimareme (N=20) dan di Puskesmas Ngamprah (N=200 Tabel 1. Kategori Kepatuhan Pasien Obat Responden TB Kategori Jumlah PKM Patuh 20 Cimareme Tidak 0 Patuh PKM Patuh 20 Ngamprah Tidak 0 Patuh
Gambar 1. Contoh Perjanjian Bermaterai di Puskesmas Ngamprah Berikut ini adalah diagram alir penelitian:
TB Makan Prosentase 100% 0 100% 0
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 20 pasien TB di Pkm. Cimareme dan 20 pasien TB di Pkm. Ngamprah keseluruhannya pada kategori patuh minum obat TB. Dari tabel ini terlihat bahwa tidak ada perbedaan kepatuhan pada pasien yang makan obat TB di kedua puskesmas ini. B.
Perbedaan efektivitas yang siginifikan antara edukasi dan edukasi disertai perjanjian bermaterai terhadap kepatuhan minum obat pasien TB.
37
Tabel 2. Hasil Uji T Skor MMAS
Untuk mengetahui perbedaan efektivitas edukasi dan perjanjian bermaterai terhadap kepatuhan minum obat pasien TB paru di Puskesmas Ngamprah dan Puskesmas Cimareme Kab. Bandung Barat ketentuannya sebagai berikut: Hipotesis: H0=tidak terdapat perbedaan efektivitas edukasi dan perjanjian bermaterai terhadap kepatuhan minum obat pasien TB paru di Puskesmas Ngamprah dan Puskesmas Cimareme Kab. Bandung Barat. Ha = terdapat perbedaan efektivitas edukasi dan perjanjian bermaterai terhadap kepatuhan minum obat pasien TB paru di Puskesmas Ngamprah dan Puskesmas Cimareme Kab. Bandung Barat Kriteria keputusan: a) Terima H0 jika nilai p > 0,05 b) Tolak H0 jika nilai p < 0,05 Diketahui nilai p = 0,313 dan ini adalah > 0,05, maka H0 diterima, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan efektivitas edukasi dan perjanjian bermaterai terhadap kepatuhan minum obat pasien TB paru di Puskesmas Ngamprah dan Puskesmas Cimareme Kabupaten Bandung Barat. Berdasarkan hasil pengolahan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas edukasi dan perjanjian bermaterai terhadap kepatuhan minum obat pasien TB paru di Puskesmas Ngamprah dan Puskesmas Cimareme Kabupaten Bandung Barat adalah sama atau tidak ada perbedaan yang bermakna. Dalam penelitian ini metode yang diterapkan di Puskesmas Ngamprah (menggunakan pemberian edukasi, penunjukan PMO, dan perjanjian bermaterai) praktik sama efektifnya dengan di Puskesmas Cimareme (menggunakan pemberian edukasi, penunjukan PMO) terhadap kepatuhan pasien TB untuk makan obat. Berdasarkan hasil penelitian mengenai kepatuhan minum obat TB pada pasien-pasien yang mendapatkan program pengobatan tidak selalu harus disertai dengan “pemaksaan’ atau dalam istilah Lawrence Green (2005) dikenal sebagai reinforcing untuk menyebabkan
perubahan perilaku atau memunculkan sebuah perilaku yang diinginkan. Menurut Wong (2004), kepatuhan adalah segala sesuatu di mana perilaku pasien sesuai dengan program yang ditentukan (misalnya meminum obat). Dalam penelitian ini, tindakan berupa edukasi dan penentuan PMO juga berhasil membuat pasien menjadi patuh untuk minum obat. SIMPULAN 1. Tingkat kepatuhan minum obat pasien TB di Puskesmas Cimareme seluruhnya dalam kategori patuh 2. Tingkat kepatuhan minum obat pasien TB di Puskesmas Ngamprah seluruhnya dalam kategori patuh 3. Tidak terdapat perbedaan efektivitas yang siginifikan antara edukasi dan edukasi disertai perjanjian bermaterai terhadap kepatuhan minum obat pasien TB. DAFTAR PUSTAKA Huda, Achmad Adityawan Choerul. 2013. Swallowing Drugs Supervisory Role overview Families with Patients Healing with Pulmonary TB in Bawen Health Center Semarang District. Skripsi. Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Ibrahim, Luka Mangveep et al. 2014. Factors associated with interruption of treatment among Pulmonary Tuberculosis patients in Plateau State, Nigeria. The Pan African Medical Journal - ISSN 1937-8688. Kemenkes RI. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Kemenkes RI. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014. Lestari, Sri. 2012. Hubungan Antara Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan Keberhasilan Pengobatan Penderita Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Wonosobo I. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong. Menkes RI. 2014. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk. 02.02/Menkes/305 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Mohamed, Yousif, Ottoa, dan Bayoumi. 2007. Knowledge of Tuberculosis: A Survey among Tuberculosis Patients in Omdurman, Sudan. Sudanese Journal of Public Health: January, Vol.2 (1) Nepal AK, Shiyalap K, Sermsri S, Keiwkarnka B. 2012. Compliance with DOTS among tuberculosis patients under community based DOTS strategy in Palpa District, Nepal. Int J Infect Microbiol;1(1):14-19. Putra, Ogi Andyka. 2012. Studi Kasus Mycobacterium Tuberculosis Yang Resisten Terhadap Antibiotik Lini Pertama Pada Pasien
38
Tuberkulosis Di RSUP Fatmawati. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Rohmana, Suhartini, dan Suhenda. 2014. FaktorFaktor Pada Pmo Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Di Kota Cirebon. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 1 Maret.
39