Fenomena Ekonomi Jalanan: Ngana Pe Bodi, Bikin Pusing Semua Orang Bramantyo Djohanputro, PhD Penulis: Dosen dan konsultan manajemen bidang keuangan, investasi, dan risiko Lecturer and consultant of management in finance, investment, and risk Sekolah Tinggi Manajemen PPM (PPM School of Management) Contact:
[email protected] [email protected] Blog: www.bram39.wordpress.com
“Malenggang patah-patah, …..”, mungkin tidak sekedar syair lagu yang dinyanyikan ketiga pria selama perjalanan bus patas AC nomor 63 jurusan Bekasi – Pasar Baru. Mungkin juga patah-patah seperti patahnya hati dan sanak keluarga mereka yang menunggu periuk mengepul dari hasil menghibur para penumpang bus. Ada yang cuek, simpati, ada juga yang tersenyum setengah nyinyir. Haruskah peduli? Mulanya hanya duduk-duduk di kursi belakang. Menjelang masuk tol, ketiga pria berdiri, menuju ke posisi tengah. Pria dengan kopiah putih memegang tamborin. Seorang lagi dengan kaos lusuh memegang okulele. Pria setengah tambun, rambut pajang dengan jaket hitam memegang gitar. Seorang ibu yang duduk di dekat mereka bertiga merasa kurang nyaman. Paling tidak, dia tidak dapat duduk sambil tidur. Tanpa mempedulikan perasaan ketiga pria penyanyi jalanan tersebut, si Ibu muda denga baju batik berpindah ke kursi belakang. Terpaksa atau Sudah Pilihan? Ketiga pria tersebut tentunya mereka telah berkeluarga. Kalaupun ada yang belum, paling tidak penampilan mereka menunjukkan usia yang sudah masuk kategori pria berkeluarga. Pernikahan kan bukan masalah pertimbangan ekonomi. Dalam tradisi, penikahan lebih terkait dengan faktor usia. Rejeki dapat dicari sambil jalan, begitu kata banyak orang. Mereka yang tidak menghendaki situasi seperti itu ternyata sudah sangat banyak. Kalau Anda naik bus patas AC nomor 63 dari Bekasi tujuan Pasar baru, akan ada sekitar tiga kelompok pengamen bergantian “menghibur Anda”. Kelompok pertama mulai dari Bekasi sampai Rawamangun, tepat
Fenomena Ekonomi Jalanan#
1
setelah turun jalan tol. Kelompok kedua menggantikan posisi sampai depan PGI, ujung Jalan Salemba Raya. Kloter terakhir dari depan PGI sampai pasar Senen, atau langsung Pasar Baru. Tentunya bukan pilihan ketiga pria setengah baya untuk rajin naik bus kota untuk mengais nafkah dari sisa kembalian uang para penumpang. Kalau ada pilihan, mereka akan lebih memilih pekerjaan yang lebih terhormat. Ada yang bilang, yang penting kantong tebal, badan sehat, otak pintar. Ada lagi yang berseloroh,”hidup itu prinsipnya: menjadi anak dimanja, remaja hurahura, pemuda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk sorga”. Enak amat kalau hal itu bisa terpenuhi. Bukankah setiap orang harus melalui perjuangan. Dan hidup ini menjadi berarti karena adanya perjuangan dan menikmati hasil perjuangan. Lebih baik menjadi buruh pabrik daripada menjadi pengamen. lebih baik bekerja kotor karena dirasa lebih terhormat daripada menjadi pengamen. tetaapi kalau kesempatan itu tidak ada, atau kalau kalah bersaing, apa ada pilihan lain selaoin mengamen? Kualitas individu akhirnya menjadi jawaban, sejauh mana seseorang mampu bersaing di dunia kerja. Kualitas tersebut bermacam bentuknya. Pendidikan bukan satu-satunya bekal mencari nafkah. Lebih dari itu, kemampuan menciptakan relasi, memanfaatkan emosi, dan kedewasaan spiritual menjadi kuci penting untuk bersaing dan keluar dari sistem ekonomi jalanan. “Yang penting tidak mencuri, ….” demikianlah salah satu baris lagu gubahan seorang pengamen kecil. Pekerjaan mengamen merupakan alternatif di kota Jakarta yang tidak harus berhadapan dengan masalah hukum, perasaan dosa, dan hal-hal negatif lainnya. Dua anak, yang tampaknya kakak-beradik, juga menyanyikan lagu sendu gubahan mereka sendiri, ”Kalau saja ibu masih ada, mungkin saya tidak begini….”. Si gadis memulai dengan ‘mengumumkan’ akan membagi amplop untuk diisi pemberian seleranya. Saat sang kakak, yang laki-laki, mulai menyanyikan lagu gubahnnya dengan diiringin musik tutup botol, mulailah si gadis berjalan dari kursi ke kursi meletakkan amplop di pangkuan penumpang. Sambil terkantuk-kantuk, sebagian penumpang terbangun menyambut amplop sambil mendengar nyanyian sumbang. Sebagian saja mengisi amplop, sebagian lagi kembali menikmati kantuk mereka. Tetapi ada juga kelompok pengamen pemuda yang tidak kelihatan layaknya pengamen. Dengan kaos oblong yang sedikit lusuh, si pemuda mulai menyetel gitar sambil berdiri bersandar di kursi di baris tengah. Dari raut mukanya waktu mendengar suara gitarnya tidak pas, tampak dia tahu mengenai gitar dengan baik. Setelah siap, datanglah pemuda gondrong
Fenomena Ekonomi Jalanan#
2
jangkung dengan baju putih. Si pemuda jangkung mengambil gitar dari rekannya, memetik lagu, meluncurlah lagu-lagu dari si kaos oblong. Astaga! Sepanjang perjalanan sekitar satu jam keduanya menyanyikan lagulagu orang bule. Pengambilan nada bagus, pengucapan bahasa Inggrisnya pun bagus. Siapa akan percaya kalau mereka benar-benar pengamen? Atau mahasiswa yang sedang iseng? Mungkin karena suara yang bagus, tampaknya mereka banyak mengais rejeki saat itu. Setelah keluar dari tol, mereka siap-siap turun dari bus. Si kaos oblong berjalan ke belakang dan mengambil jaket yang dititipkan di belakang. dari jaketnya, mereka semakin meragukan kalau mereka benar-benar pengamen. Salahkah mengatakan mereka seharusnya tidak mengamen? Atau itu hanya pilihan mereka dan orang lain tidak berhak menghakimi keputusan mereka? Lagu Gereja Dalam Bus Kota Lebih dari itu, bahkan banyak ke pengamen menyanyikan lagu-lagu gereja. Lagu yang hanya dilakukan di ruang tertutup oleh “orang-orang yang telah bertobat”. Salahkah menyanyikan lagu gereja untuk mengamen? Cukup sulit menjawabnya, sesulit menjawab pertanyaan “Salahkah menyanyikan lagu gereja hanya di rangan tertutup?. Paling tidak, ada sentuhan ekonomi pada lagu-lagu gereja. Sebagian orang mengatakan, pengamen yang menyanyikan lagu gereja mendapat uang cukup banyak. Paling tidak seorang pemberi bersedia memberikan limaratus rupiah. Sedangkan lagu-lagu lain yang dinyanyikan dengan nada sumbang tidak menjanjikan penghasilan yang menggiurkan. Salahkah menyanyikan lagu gereja di dalam bus untuk mengamen? Bukankah itu hanya bentuk komersialisasi lagu gereja? Apa bedanya dengan mereka yag menyanyi lagu gereja dan dibayar dengan cara mereka ke dalam kaset, acara pertunjukan Natal, dan sebagainya? Siapa mereka yang menyanyikan lagu gereja? Mungkin anak-anak Kristen, atau anak-anak ayng pernah atau sedang sekolah di sekolah Kristen. Atau mereka hanya iseng, menengar dari orang lain, kemudian memanfaatkannya. Berdasarkan jumlah, lebih banyak anak-anak, termasuk remaja, yang menyanyikan lagu gereja di dalam bus daripada pengamen pemuda atau yang lebih tua. Jumilah, sebut saja begitu, si ibu yang pindah duduk ke belakang, merupakan salah satu yang pagi itu tidak memberi harapan kepada pengamen bus kota. Seperti halnya berdagang, tidak semua orang yang melewati toko akan belanja. Demikian juga tidak semua penumpang harus “membeli” suara
Fenomena Ekonomi Jalanan#
3
mereka. Apalagi penumpang seperti Jumilah meresa dipaksa mendengar apa yang tidak ingin didengar. Mungkin karena takut, atau toleransi saja, penumpang diam saja dalam bus. Ternyata mengamen merupakan kebiasaan bukan saja masa krisis. Jauh sebelum Indonesia masuk jurang krisis, pengamen bus kota sudah banyak. Kalau digabungkan dengan mereka yang bernasib “sial” lainnya, jumlh semaki besar saja. Pengemis jalanan, pemalak, dan sebangsanya, mengamali pertumbuhan. Pertumbuhan jumlah pengamen, pengemis, dan lainnya, bukan saja menyentuh masalah ekonomi tetapi sosial dan moral. Seseorang yang sudah telanjur masuk ke dunia amen-mengamen tidak gampang keluar. Lebih parah lagi, wanita tuna susila akan mempertaruhkan nyawa bila berani keluar dari pekerjaan. Manajemen tangan besi dan kekerasan sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Masalah moral, apaan ini? Sebagian orang mengatakan, peminta-minta, dengan pengamen merupakan bagian di dalamnya, tidak saja terdiri dari orang-orang miskin, sebagian merupakan peminta musiman yang sekedar memanfaatkan suasana tertentu. Sebagian lagi, yang merupakan peminta permanen, sebenarnya cukup “kaya”, memiliki rumah, bahkan sawan di kampung halaman. Seroang kawan pernah mengatakan kepada saya hasil perbincangan dengan seorang pengemis. Menurutnya, si pengemis memiliki dua rumah dan dua istri di kampung. Astaga! Siapa Bertanggung Jawab Siapa yang harus menyelesaikan masalah ini? Apakah Jumilah bertanggung jawab? Atau ini juga merupakan bagian dari panggilan semua orang, termasuk orang kristen? Kalau merupakan tugas panggilan, apa tugas orang Kristen terhadap persoalan ini? Apakah pengentasan kemiskinan, termasuk pengamen, merupakan tugas negara semata? Rasanya sulit menggantungkan penyelesaian masalah ini pada Pemda DKI. Patokannya jelas. Kalau bukan warga DKI, Pemda tidak akan mengucurkan uang. Masih ingat masalah penggusuran? Bang Yos mengatakan, tentunya tugas pemerintah pusat untuk mengurusi masalah mereka yang kena gusur karena mereka bukan warga DKI. Nah lho! Bagaimana kalau mereka adalah ber-KTP DKI? Belum tentu Pemda sanggup menyelesaikannya juga. Kalau begitu, apa yang musti dilakukan oleh gereja? Diakonia merupakan salah satu tugas yang secara rutin dilakukan gereja. Besarnya sumbangan gereja kepada kaum miskin bervariasi. Ada yang punya perhatian tinggi, ada yang sekedar pelengkap kegiatan karena gereja
Fenomena Ekonomi Jalanan#
4
“harus” melakukan diakonia. Segencar-gencarnya kegiatan diakonia gereja, total anggarannya tidak lebih dari 30% dari anggaran pengeluarann. Sudah cukupkah? Yang perlu dievaluasi bukan sekedar cukup tidaknya anggaran diakonia. Berapapun yang disediakan, masyarakat akan tetap membutuhkan. Rasanya gereja tidak perlu berpretensi akan menyelesaikan masalah kemiskinan sendirian. Banyak lembaga lain juga berminat melakukannya. Yang lebih penting lagi adalah efektivitas pelayanan diakonia gereja. Tindakan diakonia dalam bentuk pemberian natura cocok kalau yang menerima dalam kondisi benar-benar membutuhkan materi. Kalau mereka sebenarnya punya pilihan lain, diakonia bentuk lain yang lebih kreatif sangat diperlukan. Istilah pasarannya, tidak memberi ikan tetapi kail. Kalau perlu, kail pun tidak perlu diberi tetapi cukup diajari bagaimana memperoleh kail. Karena banyaknya yang perlu bantuan, gereja pun perlu menentukan prioritas. Untuk kelompok atau orang tertentu perlu mendapat perhatian intensif, tetapi bagi lainnya perlu diabaikan. Mungkin benar juga tindakan Jumilah, yang ngeloyor saja tanpa memperhatikan nasib pengamen. ********
Fenomena Ekonomi Jalanan#
5