1
Kajian Kecelakaan Lalu Lintas Tambang di PT SS Jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan Tahun 2012 Berdasarkan Konsep Sistem Pertahanan Swiss Cheese Model Menggunakan Human Factors Analysis and Classification System in Mining Industry (HFACS-MI) Farida Tasya, Ridwan Zahdi Syaaf Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok E-mail:
[email protected]
Abstrak Dalam setiap aktivitas pertambangan, terdapat potensi bahaya yang menimbulkan risiko terjadinya kecelakaan. Jenis kecelakaan menabrak merupakan kecelakaan yang banyak terjadi pada operasi lalu lintas tambang jobsite PT SS dan kejadiannya cenderung berulang. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang sistem pertahanan dalam mencegah kecelakaan sesuai dengan kerangka pikir Swiss Cheese Model. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui analisis data kecelakan lalu lintas tambang di salah satu jobsite di PT SS, suatu perusahaan kontraktor pertambangan batubara terbuka, dengan menggunakan Human Factors Analysis and Classification System in Mining Industry (HFACS-MI). Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap 53 kasus kecelakaan lalu lintas tambang, permasalahan yang banyak ditemukan di antaranya adalah skill-based error, adverse mental states, coordination and communication, inadequate leadership, dan organizational process. Dapat disimpulkan bahwa sistem pertahanan yang ada untuk mencegah kecelakaan lalu lintas tambang masih belum optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan sistem pertahanan, baik yang ditargetkan kepada individu ataupun organisasi, agar risiko kecelakaan dapat dikendalikan. Kata Kunci: Kecelakaan lalu lintas tambang; tabrakan; sistem pertahanan; Swiss Cheese Model, HFACS-MI
Abstract In mining process activities, there are potential hazards that poses a risk to be an accident. Collision is one of accident types that frequently happen on mining traffic operations jobsite PT SS and it has tendency to occur repeatedly. This study aimed to gain an overview of defences system in preventing accidents according to Swiss Cheese Model framework. The research was conducted with a qualitative approach through mining traffic accident data analysis in one of jobsite in PT SS, an open coal mining contractor company, using the Human Factors Analysis and Classification System in Mining Industry (HFACS-MI). Based on the analysis of 53 cases of mining traffic accidents, revealed that the most common problems were skill-based errors, adverse mental states, coordination and communication, inadequate leadership, and organizational process. It can be concluded that the existing defences system to prevent mining traffic accidents has not been optimal yet. Therefore, defences system improvement, either targeted to the individual or organizational, is needed to control accident risk. Key words: Mine traffic accident; collision; defences system; Swiss Cheese Model; HFACSMI
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
2
PENDAHULUAN Industri pertambangan batubara merupakan salah satu usaha yang terus berkembang di dunia, termasuk di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari peningkatan volume produksi batubara dari tahun ke tahun, baik di tingkat nasional maupun global[1]. Dalam setiap aktivitas industri pertambangan terdapat potensi bahaya yang dapat menimbulkan risiko terjadinya kecelakaan yang berdampak pada keselamatan pekerja. Pertambangan berkontribusi besar terhadap jumlah kecelakaan kerja di dunia. Di Amerika Serikat, pertambangan merupakan industri dengan death rate tertinggi jika dibandingkan dengan industri lainnya, seperti pertanian, konstruksi, dan transportasi, berdasarkan jumlah kematian per 100.000 pekerja[2]. Kementerian ESDM mencatat jumlah kecelakaan kerja dalam pertambangan batu bara dan mineral Indonesia selama tahun 2009 mencapai 303 jiwa yang meliputi 176 orang mengalami kecelakaan ringan, 83 orang mengalami kecelakaan berat, dan 44 orang meninggal[3]. Pandangan tentang bagaimana kecelakaan terjadi terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Sekitar tahun 1920, Heinrich melakukan penelitian dan menemukan bahwa faktor penyebab kecelakaan terdiri dari unsafe act sebesar 88%, unsafe condition sebesar 10%, dan faktor lainnya yang tidak terdefinisikan sebesar 2%[4]. Dari hasil studi tersebut, terbentuk suatu teori kecelakaan yang disebut „Teori Domino‟ dengan pandangan yang menitikberatkan pencegahan kecelakaan pada tindakan tidak selamat dan kondisi tidak selamat. Tindakan tidak selamat menjadi permasalahan utama yang menyebabkan kecelakaan terjadi. Sedangkan, dewasa ini, tindakan selamat dilihat sebagai suatu gejala yang timbul dari permasalahan-permasalahan faktor mendasar lainnya dalam organisasi[5] sehingga kecelakaan tidak lagi dilihat sebagai peristiwa individu, melainkan sebuah fenomena organisasi. Menurut Reason, kecelakaan yang terjadi dalam perusahaan bukan merupakan kecelakaan individu, melainkan kecelakaan organisasi di mana banyak pihak dalam organisasi perusahaan yang terlibat, baik individu ataupun keseluruhan manajemen, dan terdapat kontribusi berbagai faktor (pada tingkat organisasi yang berbeda[6]. Melalui teori Swiss Cheese Model, James Reason menjelaskan bahwa kecelakaan dalam organisasi terjadi karena adanya sistem pertahanan yang kurang optimal untuk mengendalikan hazard yang ada[7]. Kegagalan sistem pertahanan yang ada terbentuk dari kondisi laten dan kegagalan aktif. Tindakan tidak selamat merupakan suatu bentuk kegagalan aktif dalam sistem pertahanan tersebut, yakni berhubungan dengan peristiwa kecelakaan secara langsung. Sementara itu, kondisi laten dalam sistem organisasi tidak tampak secara langsung dan terakumulasi hingga memicu timbulnya kegagalan aktif ataupun berinteraksi dengan kegagalan aktif tersebut[6].
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
3
Kerangka Swiss Cheese Model telah digunakan sebagai metode penyelidikan kecelakaan dengan pengembangan detail-detail kegagalan pada tingkatan sistem pertahanan sesuai dengan karakteristik organisasi. Human Factors Analysis and Classification System (HFACS) merupakan salah satu metode investigasi yang dikembangkan oleh Dr. Scott Shappell dan Dr. Douglas Wiegmann dari teori Swiss Cheese Model dan pertama kali digunakan di bidang penerbangan angkatan laut Amerika Serikat. HFACS mendeskripsikan human error pada empat tingkat sistem pertahanan, yaitu tindakan operator yang tidak selamat, prakondisi untuk tindakan tidak selamat, pengawasan yang tidak selamat, dan pengaruh organisasi[7,8]. Jessica M. Patterson & Dr. Scott Shappell memodifikasi framework HFACS untuk digunakan sebagai alat investigasi dan analisa kecelakaan di pertambangan Queensland, Australia, yaknni Human Factors Analysis Classification in Mining Industry (HFACS-MI) . Terdapat beberapa penyesuaian dalam kategori-kategori HFACS-MI dengan karakteristik industri pertambangan. PT SS merupakan perusahaan nasional yang bergerak di bidang jasa pertambangan batubara. Berdasarkan data administratif Divisi SHE PT SS, 41% kecelakaan yang terjadi di seluruh jobsite selama tahun 2012 tergolong jenis kecelakaan menabrak. Kecelakaan menabrak merupakan kejadian di mana unit Alat-Alat Berat (A2B) atau sarana transportasi membentur objek lainnya hingga menimbulkan kerusakan atau cedera dan yang terjadi di lalu lintas operasi tambang. Kecelakaan menabrak juga merupakan jenis kecelakaan yang banyak terjadi di jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan. Berdasarkan data statistik Divisi SHE PT SS, frekuensi kejadian jenis kecelakaan menabrak di jobsite tersebut mengalami peningkatan tiap tahunnya. Property damage cost yang ditimbulkan dari kejadian tersebut juga mengalami peningkatan, hingga mencapai Rp 4 miliar di tahun 2012. Dengan kecenderung terjadinya jenis kecelakaan menabrak yang berulang pada lalu lintas operasi tambang di jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan dan besarnya kerugian yang dialami menimbulkan pertanyaan apakah upaya pencegahan kecelakaan lalu lintas tambang di PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan belum efektif, di mana sesuai kerangka pikir Swiss Cheese Model digambarkan bahwa kecelakaan terjadi karena sistem pertahanan dalam organisasi belum optimal. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji sistem pertahanan pada kecelakaan lalu lintas tambang di PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan tahun 2012 dengan menggunakan model analisis Human Factors Analysis and Classification System in Mining Industry (HFACS-MI).
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
4
TINJAUAN TEORITIS Perspektif tentang Kecelakaan Terdapat beberapa pandangan mengenai
bagaimana kecelakaan terjadi yang
digambarkan dalam teori atau model kecelakaan. Fokus utama dalam perspektif mengenai kecelakaan terus berkembang dari masa ke masa, dimulai dari pandangan dengan konsep berpikir linier berupa rangkaian kejadian hingga pandangan yang lebih kompleks dan sistemik. Seiring dengan perkembangan teori atau model kecelakaan, pandangan terhadap keterlibatan manusia dalam kecelakaan juga turut berkembang. Kontribusi individu secara langsung dalam kecelakaan seringkali berupa tindakan tidak selamat. Terdapat beberapa pandangan yang menggambarkan kenapa tindakan tidak selamat dapat terjadi dan bagaimana dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut terhadap keberlangsungan operasi, antara lain the plague model, the person model, the legal model, dan the system model[9]. The Plague Model berpandangan bahwa kekeliruan yang dilakukan manusia merupakan bagian dari sifat mendasar dalam karakteristik manusia. The Person Model berpandangan bahwa tindakan tidak selamat yang dilakukan oleh seseorang merupakan suatu pilihan individu itu sendiri karena manusia dilihat sebagai agen yang memiliki kebebasan dalam menentukan perilakunya sendiri. The Legal Model berpandangan bahwa kesalahan yang dilakukan seseorang
hingga menimbulkan dampak yang merugikan
merupakan bentuk kelalaian dan individu tersebut layak untuk mendapatkan sanksi hukum. Ketiga pandangan tersebut, Pandangan ini menitikberatkan kesalahan yang terjadi sepenuhnya kepada manusia. The System Model memiliki pandangan secara sistemik di mana tindakan tidak selamat tidak terjadi begitu saja hingga menyebabkan kecelakaan terjadi, melainkan terdapat faktor-faktor lainnya yang berkontribusi, baik organisasi ataupun sistem secara keseluruhan. Swiss Cheese Model yang dikembangkan oleh Reason merupakan salah satu model mengenai kecelakaan dengan pandangan the system model[9]. Melalui teori Swiss Cheese Model, Reason menggambarkan bahwa terdapat hubungan antara potensi bahaya (hazard), pertahanan (defences), dan kerugian (losses). Pertahanan yang dimaksud terdapat pada faktor manusia, teknis, dan organisasi[10]. Apabila kondisi sistem pertahanan kurang atau tidak memadai, potensi bahaya akan menembus palang pertahanan hingga kontak dengan individu atau asset yang rentan sehingga kerugian timbul. Berdasarkan konsep tersebut, kecelakaan terjadi ketika terdapat kegagalan atau kekurangan pada sistem pertahanan sehingga potensi bahaya yang ada tidak dapat dikendalikan[7]. Kegagalan atau kekurangan yang terjadi pada tingkatan sistem pertahanan dalam perusahaan digambarkan sebagai lubang-lubang pada tiap
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
5
lapisan pertahanan yang diilustrasikan seperti lubang-lubang pada lapisan keju. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan, perlu menutup lubang-lubang pada lapisan keju tersebut atau dengan kata lain memperbaiki kekurangan pada lapisan-lapisan sistem pertahanan agar potensi bahaya yang muncul dapat dikendalikan. Secara umum, dasar pemikiran dari Swiss Cheese Model yang dikemukakan oleh Reason menjelaskan bahwa terdapat interaksi antara kondisi laten dalam sistem organisasi (seperti desain, peralatan, pengawasan, prosedur, training, dan maintenance yang tidak memadai) dan tindakan tidak selamat yang dilakukan oleh manusia di tingkat operator sebagai bentuk kegagalan aktif, serta keduanya berkontribusi dalam kecelakaan[13]. Reason tidak menspesifikasi tiap-tiap lapisan pertahanan, namun hanya menekankan bahwa kegagalan atau kelemahan pada tingkatan sistem pertahanan terbentuk dari kondisi laten dan kegagalan aktif[9, 10]. Kondisi laten umumnya timbul dari ketidaksesuaian strategi atau keputusan yang dibuat oleh pihak manajemen perusahaan. Keputusan tersebut akan mempengaruhi kinerja individu di tempat kerja, namun dampaknya tidak timbul dengan segera. Kondisi laten dapat memicu kemungkinan kegagalan aktif. Kondisi laten umumnya timbul dari ketidaksesuaian strategi atau keputusan yang dibuat oleh pihak manajemen perusahaan. Keputusan tersebut akan mempengaruhi kinerja individu di tempat kerja, namun dampaknya tidak timbul dengan segera. Kondisi laten dapat memicu kemungkinan kegagalan aktif yang merupakan kegagalan yang secara langsung berkaitan dengan kejadian kecelakaan, yakni tindakan tidak selamat. Reason mengklasifikasikan tindakan tidak selamat atau kegagalan manusia (human failure) menjadi dua kategori, yaitu error dan violation[11]. Human error didefinisikan sebagai kegagalan dari tindakan yang direncanakan dalam mencapai hasil sesuai yang diharapkan, tanpa adanya campur tangan dari kejadian yang tidak terduga[11]. Berbeda dengan error, violation atau pelanggaran merupakan penyimpangan dari ketentuan-ketentuan dalam prosedur, standar, atau peraturan yang dilakukan secara sengaja. Berdasarkan intensi atau niat dari tindakan yang dilakukan, Reason mengklasifikasikan error menjadi dua tipe, yaitu slips/lapses dan mistakes[11]. Slips/lapses merupakan kegagalan dalam melaksanakan tindakan yang diharapkan secara tidak sadar. Slip/lapses berkaitan dengan performa skill-based, yakni kinerja individu dalam melakukan tugas rutin yang dan umumnya melibatkan keterampilan fisik dan motorik individu[11, 12]. Sedangkan, mistakes adalah kekeliruan dalam menentukan tindakan dengan tidak disengaja. Mistakes terbagi menjadi rule-based mistakes dan knowledge-based mistakes. Rule-based error terjadi saat individu melakukan prosedur yang keliru atau menerapkan prosedur yang salah secara tidak disengaja[12], dan knowledge-based
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
6
mistakes, terjadi ketika individu menghadapi situasi yang tidak dikenali dan tidak memiliki informasi atau pengetahuan yang cukup untuk menangani situasi tersebut[11]. Rule-based error umum terjadi pada kondisi-kondisi yang diatur dengan ketentuan dalam prosedur kerja, sedangkan knowledge-based error terjadi pada situasi yang tidak biasa. Human Factors Analysis and Classification System in Mining Industry (HFACS-MI) Human Factor Analysis and Classification System in Mining Industry (HFACS-MI) merupakan salah satu model investigasi dan analisis kecelakaan yang berlandaskan teori kecelakaan „Swiss Cheese Model’ dari James Reason, khusus diterapkan di industri pertambangan[14]. Dalam HFACS-MI dijabarkan 21 kategori kegagalan sistem pertahanan dalam 6 tingkat sistem pertahanan. Penambahan satu tingkat sistem pertahanan „faktor luar‟ berupa faktor eksternal organisasi dilakukan untuk dapat mengevaluasi peranan faktor luar organisasi pada kecelakaan tambang[14]. Selain itu, terdapat beberapa penyesuaian dari kategori-kategori HFACS dalam HFACS-MI[14]. Tingkat pertama dari model HFACS-MI adalah unsafe act
atau „tindakan tidak
selamat‟ yang merupakan tindakan dari pekerja/operator yang secara langsung menyebabkan terjadinya kecelakaan[15]. Sesuai dengan HFACS yang dikembangkan sebelumnya, tindakan tidak selamat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu error dan pelanggaran. Pada HFACS-MI, error terbagi menjadi tiga tipe, yakni decision error, routine disruption, dan perceptual error. Sementara itu, pelanggaran terbagi
menjadi dua, yaitu routine dan
exceptional. Tingkat Kedua adalah precondition of unsafe acts atau „prakondisi tindakan tidak selamat‟. Faktor di tingkat ini merupakan kondisi pendahulu yang mempengaruhi performa kerja dan dapat memicu terjadinya tindakan tidak selamat. Kondisi tersebut terdiri dari faktor lingkungan (environment factors),
kondisi operator (condition of operators), dan faktor
personalia/kepegawaian (personnel factors). Faktor lingkungan terbagi menjadi dua kategori, yakni faktor lingkungan fisik (physical environment) dan faktor lingkungan teknologi (technological environment). Kondisi faktor lingkungan yang buruk dapat menimbulkan kondisi yang berisiko untuk memicu terjadinya kecelakaan. Kondisi operator yang dimaksud berkaitan dengan kondisi mental (adverse mental states) dan kondisi fisik (adverse physiological states) saat bekerja serta keterbatasan fisik ataupun mental yang dimiliki oleh pekerja (pyhsical/mental limitations). Faktor personalia merupakan faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi kepegawaian dalam organisasi, meliputi koordinasi dan komunikasi
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
7
antar pekerja (coordination & communication)
dan kesiapan karyawan untuk bekerja
(personal readiness). Di tingkat ketiga, yakni unsafe leadership atau „kepemimpinan tidak selamat‟. Tindakan seseorang yang berperan posisi pimpinan dapat mempengaruhi kinerja dan tindakan pekerja[15]. Posisi pimpinan yang dimaksud adalah atasan pada setiap jenjang/tingkat dalam organisasi, baik operasional ataupun manajemen. Tingkat sistem pertahanan ini terbagi menjadi empat kategori, yaitu kepemimpian yang tidak memadai (inadequate leadership), kegagalan dalam memperbaiki masalah yang diketahui (failure to correct known problems), perencanaan operasi yang tidak tepat (planned inappropriate operations), dan pelanggaran kepemimpinan (leadership violation). Tingkat keempat adalah organization influences atau „pengaruh organisasi‟. Tingkat ini menelusuri dengan memperhatikan kekurangan pada tingkat tertinggi manajemen secara makro. Terdiri dari tiga kategori, yaitu manajemen sumber daya (resource management), iklim organisasi (organizational climate), dan proses organisasi (organizational process). Tingkat kelima atau tingkat terakhir pada HFACS-MI adalah outside factors atau „faktor luar‟ yang mencakup aspek eksternal organisasi yang dapat mempengaruhi sistem organisasi, meliputi faktor regulasi (regulatory factors) yang merupakan aspek pemerintahan dan faktor lain (other factors) seperti masyarakat yang berada di lokasi perusahaan, tuntutan hukum, dan kondisi perekonomian. METODE PENELITIAN Sumber data Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Kajian sistem pertahanan dilakukan terhadap 53 kasus kecelakaan dengan kategori jenis kecelakaan menabrak yang tercatat dalam dokumen pencatatan insiden PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan selama tahun 2012 dengan meninjau dokumen laporan hasil investigasi kecelakaan. Dokumen laporan hasil investigasi kecelakaan PT SS berisi informasi yang berkaitan dengan kejadian insiden, yakni informasi umum kejadian, klasifikasi insiden, rincian/kronologis kejadian, dan hasil analisis penyebab kecelakaan yang ditentukan berdasarkan Root Cause Analysis Technique (RCAT) dari IRCA. Selain itu, peneliti juga menggunakan dokumen perusahaan lainnya yang terkait dengan penelitian sebagai data pendukung. Di samping itu, peneliti juga mengumpulkan data pendukung melalui teknik wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD).
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
8
Manajemen dan Analisis Data Peneliti menggunakan dua tahap analisis, yakni content analysis dan taxonomic analysis. Dalam hal ini, peneliti meninjau konten laporan hasil investigasi kecelakaan menabrak (narasi kejadian, keterangan wawancara, temuan investigasi, kesimpulan, dan rekomendasi tindakan perbaikan), hasil wawancara, dan hasil FGD. Selanjutnya, peneliti melakukan analisis taksonomi (taxonomic analysis) dengan mengkategorisasi kegagalan sistem pertahanan berdasarkan domain pada setiap kategori di tingkatan HFACS-MI. Ruang lingkup analisis dibatasi pada tingkatan tindakan operator yang tidak selamat (unsafe acts), prakondisi tindakan yang tidak selamat (precondition of unsafe acts), kepemimpinan yang tidak selamat (unsafe leadership), dan pengaruh organisasi (organizational influences). Klasifikasi pada kategori error di tingkat unsafe act menggunakan taksonomi error menurut Reason, yaitu skill-based error, rule-based error, dan knowledge-based error[11]. HASIL PENELITIAN Karakteristik Kecelakaan Kecelakaan lalu lintas tambang berdasarkan jenis kejadian adalah menabrak bundwall atau tanggul (28%), menabrak unit lain yang berada di depan (26%), menabrak unit yang berada di belakang (15%), menabrak unit lain di sampingnya (15%), dan menabrak peralatan atau boulder (15%). Menurut lokasi kejadian, kasus kecelakaan menabrak banyak terjadi di area over burden (OB) hauling road (25%). Selain itu, kecelakaan menabrak juga banyak terjadi di area tambang, yakni di area disposal (25%) dan area front (23%). Kasus lainnya (21%) terjadi di area kerja lainnya, antara lain pitshop, change shift area (CSA), sump, ROM, parkir RFU, dan workshop. Sebagian besar kecelakaan menabrak di lalu lintas tambang melibatkan section operation (89%). Proporsi kasus kecelakaan menabrak terbesar berdasarkan posisi jabatan karyawan yang terlibat adalah driver Dump Truck (DT) (75%) dan operator Alat Angkut Berat (A2B) (13%), antara lain Dozer (DZ) atau Hauling Truck (HT). Pada karyawan section HRGA, kecelakaan menabrak yang menimpa driver trailer sebanyak 4 kasus (8%) dan Kecelakaan driver sarana dan support sebanyak 1 kasus (2%). Terdapat 1 kasus kecelakaan menabrak yang menimpa mekanik/helper. Kecelakaan sering kali terjadi pada shift kerja III (57%) yang beroperasi pukul 23.01-07.00 WITA. Kecelakaan pada shift tersebut berulang kali terjadi pada rentang waktu pukul 03.01-07.00 WITA. Di samping itu, kecelakaan juga banyak terjadi pada shift kerja I yang beroperasi pukul 07.01 – 15.00 WITA, yakni pada rentang waktu pukul 08.01-12.00 WITA dan 13.01-14.00 WITA.
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
9
Kajian dengan HFACS-MI Hasil kajian sistem pertahanan berdasarkan kategori HFACS-MI dalam 53 kasus kecelakaan menabrak di lalu lintas tambang PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil tinjauan data sekunder, faktor kegagalan sistem pertahanan pada setiap kasus kecelakaan dapat teridentifikasi lebih dari satu faktor kegagalan (multifaktor) dalam setiap kategori. Maka dari itu, persentase kategori pada tiap tingkatan HFACS-MI jika dijumlahkan dapat melebihi 100% karena pada suatu kasus kecelakaan dapat berkaitan dengan lebih dari satu kategori. Tabel 1. Frekuensi dan Persentase Kegagalan Sistem Pertahanan pada Kecelakaan Lalu Lintas Tambang di PT SS Jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan Tahun 2012 Kategori HFACS-MI
N (%) Kasus Kecelakaan (N = 53)
Organizational Influences Resource Management Organizational Climate Organizational Process
12 0 15
(22,6) (0) (28,3)
Unsafe Leadership Inadequate Leadership Planned Inappropriate Operations Failure to Correct Known Problem Leadership Violations
29 3 9 2
(54,7) (5,7) (17,0) (3,8)
Precondition of Unsafe Acts Environmental Factors Physical Environment Technical Environment Condition of Operators Adverse Mental States Adverse Physiological States Physical & Mental Limitation Personnel Factors Communication & Coordination Personal Readiness
19
(35,8)
10
(18,9)
42 5 2
(79,2) (9,4) (3,8)
23 13
(43,4) (24,5)
Unsafe Acts Skill based Errors Rule based Error Knowledge based Errors Violation
43 13 5 19
(81,1) (24,5) (9,4) (35,8)
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
10
Kegagalan sistem pertahanan di tingkat organizational influences yang teridentifikasi dalam 43,3% kecelakaan adalah kategori organizational process (28%) dan kategori resource management (23%). Permasalahan pada organizational process berkaitan dengan pengelolaan prosedur operasi yang menunjang pelaksanaan aktivitas organisasi beserta pengelolaan sistem manajemen keselamatan dan program manajemen risiko. Pada kategori resource management, permasalahan yang ditemukan meliputi manajemen sumber daya fisik (seperti pengadaan, perawatan dan perbaikan fasilitas fisik operasi) dan manajemen sumber daya manusia (seperti sistem pengembangan dan pelatihan, rekrutmen dan pengalokasian tenaga kerja). Kategori organizational climate tidak teridentifikasi dalam data kecelakaan yang dianalisis. Kegagalan di tingkat unsafe leadership teridentifikasi dalam 57% kasus kecelakaan yang dianalisis. Kategori yang banyak teridentifikasi dalam kasus yang dianalisis adalah inadequate leadership (55%), yakni terkait permasalahan pada aspek bimbingan dan pengawasan operasi dan pelaksanaan program pelatihan. Kategori selanjutnya adalah failure to correct known problem (17%) yang meliputi permasalahan identifikasi, pelaporan, dan tindakan perbaikan terhadap potensi bahaya dan risiko yang ditemukan selama operasi kerja. Kegagalan di tingkat unsafe acts dan precondition of unsafe acts teridentifikasi dalam seluruh kasus kecelakaan. Pada tingkat precondition of unsafe acts, aspek yang memiliki kontribusi terbesar dalam kasus kecelakaan adalah adverse mental states (79%) pada condition of operators, selanjutnya adalah communication & coordination (43%) pada personnel factors, dan physical environment (36%) pada environment factors. Penurunan kondisi mental yang dialami oleh operator dalam sebagian besar kecelakaan lalu lintas tambang adalah kesadaran/awareness terhadap kondisi atau situasi (76% kasus) dan berkaitan juga dengan stres psikologis.Di samping kondisi mental, faktor kondisi pekerja lainnya yang berkontribusi dalam kejadian menabrak adalah adverse physiological states berupa kelelahan saat bekerja atau fatigue (6% kasus) akibat rest time yang kurang atau beban kerja yang melebihi kapasitas. Permasalahan utama dalam kategori personnel factors merupakan proses komunikasi (42%) antar karyawan dalam operasi kerja. Kondisi area kerja (26%) menjadi faktor terbesar dalam kategori physical environment yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan menabrak di lalu lintas operasi tambang PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan.
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
Faktor 'Prakondisi Tindakan Tidak Selamat'
11
Kesadaran/awareness (CM) Komunikasi (PC) Kondisi area kerja (EP) Pengalaman pekerja (PR) Pengunaan waktu istirahat (PR) Kondisi alat dan peralatan (ET) Housekeeping (EP) Rambu/tanda peringatan (ET) Kelelahan/fatigue (CP) Psikologis (CM) Desain area kerja (ET) Kondisi medis (CP) Keterbatasan mental (CL) Kebugaran fisik (PR) Desain alat dan peralatan (ET) Koordinasi (PC)
75,5% 41,5% 26,4% 11,3% 9,4% 7,5% 7,5% 5,7% 5,7% 3,8% 3,8% 3,8% 3,8% 3,8% 1,9% 1,9% 0%
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% Persentase Faktor (N = 53)
Gambar 1. Distribusi Faktor-Faktor Sistem Pertahanan di Tingkat Precondition of Unsafe Acts pada Kecelakaan Lalu Lintas Tambang di PT SS Jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan Tahun 2012
Berdasarkan hasil analisis, didapati bahwa kategori kegagalan yang banyak terjadi di tingkat unsafe acts adalah skill-based error (81%), selanjutnya adalah violation (36%), rulebased error (25%), dan knowledge-based (9%). Kejadian skill-based error dalam kecelakaan lalu lintas antara lain berupa teknik/cara kerja dalam mengoperasikan unit (41% kasus), ketepatan waktu (21%), dan kegagalan dalam pelaksanaan tugas (19%). Sementara itu, rulebased error yang dialami pekerja dalam kecelakaan didasari oleh kekeliruan persepi terhadap situasi (13% kasus) dan pemahaman prosedur (8%). Violation atau pelanggaran yang dilakukan oleh operator seluruhnya merupakan penyimpangan terhadap ketentuan dalam
Faktor ' Tindakan Tidak Selamat'
peraturan dan prosedur operasi kerja.
Teknik/cara kerja (ES) Peraturan dan prosedur kerja (V) Ketepatan waktu (ES) Pelaksanaan tugas (ES) Persepsi (ER) Pemahaman prosedur (ER) Situasi darurat (EK) Prosedur (EK) Prioritas kerja (ER) Penggunaan alat/peralatan/APD (ER) Pengetahuan bahaya dan risiko (EK)
41,5% 35,8% 20,8% 18,9% 13,2% 7,5% 3,8% 3,8% 1,9% 1,9% 1,9% 0%
10%
20%
30%
40%
50%
Persentase Faktor (N = 53)
Gambar 2. Distribusi Faktor-faktor Sistem Pertahanan di Tingkat Unsafe Acts pada Kecelakaan Lalu Lintas Tambang di PT SS Jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan Tahun 2012
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
12
PEMBAHASAN Organizational Influences Sebagian besar kegagalan organisasi yang teridentifikasi dalam kasus yang dianalisis adalah kategori organizational process (28%). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian lainnya dari para ahli[15,
16]
. Kegagalan yang banyak terjadi berkaitan dengan
prosedur. Salah satu contoh permasalahan terkait faktor prosedur yang ditemukan dari hasil analisis kasus kecelakaan menabrak adalah prosedur belum diterapkan secara konsisten dan belum diketahui oleh semua pihak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya di mana permasalahan dalam prosedur organisasi merupakan faktor kegagalan yang juga banyak teridentifikasi, baik dalam kasus kecelakaan pertambangan di Amerika atau Australia[15]. Peningkatan dalam hal prosedur perlu dilakukan untuk mengurangi risiko kecelakaan dengan tidak hanya menyediakan prosedur, melainkan perlu memastikan bahwa prosedur yang tersedia selalu diperbaharui, dikomunikasikan kepada para karyawan, dan prosedur yang tersedia menggambarkan praktik operasi kerja yang selamat[15]. Oleh karena itu, prosedur yang sudah tersedia perlu ditinjau kembali untuk memastikan bahwa prosedur masih sesuai dengan praktik kerja di lapangan. Terdapat kebijakan pengendalian dokumen yang diatur dalam „Standar Prosedur Pengelolaan Dokumen dan Catatan‟ bahwa seluruh dokumen yang digunakan sebagai acuan operasional PT SS harus selalu ditinjau kembali oleh masing-masing departemen terkait atau pemilik proses minimal dua tahun sekali. Namun, hal tersebut masih belum diterapkan dengan baik, termasuk di jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan. Kegagalan dalam organization process lainnya yang juga banyak ditemukan adalah aspek safety management system & risk management program (13%), antara lain berkaitan dengan program fatigue management, pelaksanaan Management of Change, dan Hazard Identification and Risk Assessment (HIRA). Program fatigue mangement di PT SS terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu Supervisor Fatigue Observation (SFO), checklist bugar selamat, dan fatigue awareness melalui komunikasi radio dan monitor jigsaw, serta edukasi karyawan beserta anggota keluarganya melalui Training Rest Management. Management of Change di jobsite PT SS masih belum terlaksana dengan baik, terdapat kekurangan dalam identifikasi dan pelaporan tindakan perubahan, serta implementasi commissioning. Aspek resource management atau manajemen sumber daya di tingkat organisasi berkaitan dengan kebijakan perusahaan yang berhubungan dengan pengalokasian dan pemeliharaan sumber daya perusahaan yang terdiri dari alat/peralatan, fasilitas, keuangan, dan
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
13
karyawan[14]. Permasalahan manajemen sumber daya yang banyak ditemukan dalam kasus menabrak di PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan adalah manajemen sumber daya fisik (15%), di antaranya adalah desain area operasi tidak sesuai, kurangnya daya dukung material, tidak ada evaluasi pada alat yang dimodifikasi, keterbatasan sarana untuk pemeliharaan jalan. Timbulnya kondisi berbahaya di area operasi dipengaruhi oleh kurangnya daya dukung material dan pelaksanaan maintenance yang tidak optimal akibat banyak unit dozer (DZ) yang mengalami breakdown. Permasalahan dalam manajemen sumber daya manusia (8%) juga ditemukan dalam beberapa kasus kecelakaan yang dianalisis, antara lain sistem pelatihan operator tidak memadai, tidak ada penempatan dumpman pada beberapa area disposal, proses seleksi yang tidak memadai, dan keterbatasan sumber daya pengawas. Tidak
ditemukan
keterangan
yang
menggambarkan
kegagalan
pada
aspek
organizational climate dalam kasus yang dianalisis. Organization climate atau iklim organisasi merupakan atmosfir atau suasana kerja dalam organisasi yang dapat tergambar dalam struktur, budaya, dan kebijakan[14]. Beberapa contoh faktor iklim organisasi adalah pendelegasian wewenang, kebijakan perusahaan, dan kebiasaan dalam organisasi[17]. PT SS telah memiliki kebijakan tertulis mengenai keselamatan, kesehatan kerja, dan lingkungan yang telah dikomunikasikan secara tertulis dan lisan. Namun, berdasarkan keterangan dalam data audit internal SMK3L PT SS di jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan pada tahun 2011 dan 2012, beberapa karyawan masih belum memahami apa yang harus dilakukan terkait dengan kebijakan K3L PT SS. Hal ini dapat menunjukkan bahwa kebijakan tersebut belum tertanam dengan baik pada karyawan. Komitmen manajemen terhadap keselamatan merupakan salah satu faktor yang secara konsisten menggambarkan iklim keselamatan di organisasi[18]. Dalam studi yang dilakukan oleh Lekka et al., ditemukan bahwa komitmen manajemen terhadap keselamatan dan penegakan kebijakan keselamatan yang konsisten memiliki keterkaitan yang positif dengan persepsi terhadap iklim keselamatan di organisasi dan tingkat perilaku berisiko[18]. Komitmen organisasi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dapat meliputi prioritas K3 dalam operasi kerja dan penyediaan sumber daya untuk mendukung operasi yang selamat[18]. Operasi di lapangan terkadang masih belum memperhatikan nilai keselamatan dikarenakan tuntutan produksi. Salah satu praktik dan perilaku manajemen pada tiap tingkat pimpinan untuk menunjukan komitmen terhadap K3 memiliki lingkup keterlibatan yang berbeda[18]. Pada tingkat senior management, salah satu pembuktian komitmen yang nyata terhadap K3 adalah menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk operasi K3. Sementara itu, komitmen di tingkat supervisor dapat ditunjukkan melalui komunikasi secara rutin dan
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
14
terlibat dalam kegiatan K3. Telah terdapat ketentuan mengenai keterlibatan manajemen dalam aktivitas K3, yakni dalam prosedur inspeksi terencana. Dalam prosedur tersebut disebutkan bahwa kegiatan inspeksi terencana dilakukan mulai dari tingkat Group Leader (GL) sampai dengan Manager/Project Manager/Deputy Project Manager. Namun, pada penerapannya masih belum optimal. Unsafe Leadership Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar faktor kegagalan di tingkat ini termasuk dalam kategori inadequate leadership (67%) yang merupakan kondisi kepemimpinan tidak mendukung pelaksanaan operasi kerja yang selamat. Dalam penelitian ini, kategori failure to correct known problem juga cukup berkontribusi di tingkat unsafe leadership (21%). Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya[15, 19]. Faktor kegagalan kategori inadequate leadership yang banyak teridentifikasi dalam kasus kecelakaan berkaitan dengan bimbingan dan pengawasan (42%). Kegagalan yang terjadi antara lain tidak ada pengawasan pada saat operasi kerja, pengawasan operasi kerja tidak optimal, supervisor tidak melaksanakan pemantauan kondisi operator pada shift malam, pengawasan dan konseling program bugar selamat tidak optimal. Permasalahan tersebut timbul dari keterbatasan sumber daya pengawas di lapangan dan kompetensi pengawas yang belum memadai dalam memberikan bimbingan dan pengawasan operasi kerja. Penentuan kebutuhan pengawas operasi di jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan diperhitungkan berdasarkan rasio fleet, tetapi belum memperhatikan jarak jangkauan tiap fleet, umumnya satu pengawas bertanggungjawab terhadap 3 fleet. Dengan kondisi area operasi jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan yang cukup luas, beberapa lokasi operasi sering kali diluar jangkauan pengawas. Selain itu, sistem shift kerja pengawas tidak sesuai dengan shift kerja operator, di mana shift kerja pengawas terbagi menjadi dua shift dan shift kerja operator terbagi menjadi tiga shift, sehingga pengawasan operasi tidak berjalan dengan optimal. Dengan area operasi tambang yang luas dan terbatasnya jumlah pengawas, memungkinkan pekerja untuk beroperasi di luar jangkauan pengawasan manajemen[14]. Kendala tersebut dapat diatasi dengan adanya sarana komunikasi yang komprehensif antara pengawas dan operator, baik melalui briefing sebelum melakukan tugas atau pun pemantauan melalui jaringan komunikasi[14]. Terdapat briefings pra operasi di jobsite PT SS yang menjadi salah satu bagian dari tugas dan tanggung jawab pengawas operasi, yakni tool box meeting atau disebut dengan „Pembicaraan 5 Menit (P5M)‟, namun konsistensi pelaksanaannya perlu diperhatikan.
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
15
Terkait dengan kompetensi pengawas, beberapa pengawas produksi di lapangan belum memahami risiko di area pengawasannya dengan baik. Berdasarkan data tahun 2012, pelatihan internal pembekalan POP untuk Departemen Produksi mencapai 77%. Beberapa pengawas lapangan masih belum mendapatkan training pembekalan POP (Pengawas Operasional Pertama). Di samping itu, telah dilaksanakan pelatihan safety leadership kepada pengawas operasi jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan (frontline supervisor). Pelatihan tersebut memberikan pemahaman mengenai tugas dan tanggung jawab pengawas operasi terkait K3L. Namun, pelaksanaan pelatihan tersebut untuk pengawas produksi baru mencapai 11%. Pada kategori Failure to Correct Known Problem, bentuk kegagalan yang banyak terjadi berkaitan dengan potensi bahaya dan risiko yang teridentifikasi tetapi tidak dilaporkan (9%). Jika keberadaan potensi bahaya tidak dilaporkan, maka suatu saat potensi bahaya tersebut dapat menimbulkan insiden karena karena belum terdapat pengendalian bahaya. Di samping itu, terdapat beberapa kejadian di mana kondisi berbahaya yang teridentifikasi tidak ditangani segera atau pelaksanaan maintenance tidak sesuai ketentuan. Precondition of Unsafe Acts Dari seluruh kegagalan pada kategori adverse mental states, faktor yang mendominasi sebagai prakondisi tindakan tidak selamat pada operator adalah faktor kesadaran (awareness) pekerja (76%). Kesadaran (awareness) pekerja ini perlu menjadi perhatian utama karena memiliki kontribusi yang besar sebagai faktor pendukung untuk operator melakukan tindakan tidak selamat. Faktor pekerjaan seperti karakteristik tugas, tekanan pekerjaan, beban kerja dan tingkat kerumitan merupakan aspek-aspek yang dapat mempengaruhi situation awareness pekerja[20,21]. Selain itu, terdapat faktor lainnya yaitu stres[20,21] dan motivasi[21]. Faktor kegagalan yang terjadi antara lain operator tidak memperhatikan kondisi sekitar, tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan, perhatian operator yang terbagi pada dua aktivitas, perhatian operator terdistraksi, perhatian operator hanya terfokus pada satu hal, dan mindset dalam melakukan pekerjaan. Temuan tersebut sejalan dengan aspek-aspek kegagalan situation awareness berdasarkan yang dikemukakan dalam penelitian Gordon et al., antara lain distraksi perhatian, kurang konsentrasi, perhatian yang teralihkan atau terbagi, persepsi yang tidak sesuai (misperception), dan terlalu fokus pada suatu hal[21]. Kondisi operasi tambang yang monoton dapat menjadi salah satu faktor yang mengurangi tingkat awareness operator saat mengoperasikan unit. Saat pekerja yang melaksanakan tugas yang sudah sering kali
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
16
dilakukan, perhatian terhadap pekerjaan cenderung kurang sehingga awareness pekerja menurun[22]. Saat ini PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan telah menerapkan pengendalian secara engineering dengan memasang fatigue alarm pada unit dump truck dan hauling truck. Alarm tersebut dapat berfungsi untuk mengendalikan fokus perhatian operator unit saat beroperasi dengan memberikan peringatan berupa bunyi dengan interval waktu tertentu agar konsentrasi operator tetap terjaga. Selain konsentrasi operator, permasalahan pada awareness pekerja yang banyak terjadi pada kasus kecelakaan menabrak adalah operator kurang memperhatikan lingkungan sekitar saat mengoperasikan unit. Penggunaan anti-collision system dapat menjadi pengendalian untuk meningkatkan kewaspadaan operator saat mengoperasikan unit[15]. Kategori adverse physiological states yang terkait dengan faktor kelelahan/fatigue saat bekerja (3%) dan faktor kondisi medis (2%) tidak berkontribusi secara signifikan pada kejadian menabrak di PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan. PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan telah memiliki pertahanan untuk mengatasi potensi timbulnya kelelahan atau gangguan kesehatan operator selama bekerja dengan menggunakan pengendalian engineering berupa fatigue alarm yang telah disebutkan sebelumnya dan pengendalian administratif melalui Fatigue Management yang terdiri dari program Supervisor Fatigue Observation (SFO), komunikasi fatigue awareness, checklist bugar selamat dan training rest management. Kegagalan dalam hal komunikasi yang terjadi dalam kasus kecelakaan menabrak PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan antara lain tidak ada komunikasi aktif antar operator unit, operator tidak berkomunikasi dengan supervisor, channel radio yang crowded, gagal untuk memberikan peringatan atau informasi, dan tidak tersedianya alat komunikasi. PT SS telah memiliki prosedur sistem komunikasi dengan radio yang menjelaskan mengenai ketentuan penggunaan radio komunikasi dalam operasi kerja. Namun, masih terdapat kekurangan dalam penerapannya, permasalahan komunikasi yang banyak terjadi adalah komunikasi antar operator saat beroperasi tidak dilakukan dengan baik. Faktor pada physical environment yang banyak ditemukan pada kecelakaan menabrak selama tahun 2012 di PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan berkaitan dengan kondisi area kerja. Kondisi-kondisi berbahaya yang muncul di area kerja tersebut dipengaruhi oleh efektifitas pelaksanaan maintenance area kerja. Ketersediaan alat dan personil operasi Pit Service masih belum memadai untuk penanganan area operasi jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan sehingga pelaksanaan maintenance seringkali terhambat. Selain maintenance area
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
17
kerja secara berkala, pengendalian kondisi area kerja juga dapat dilakukan dengan sistem identifikasi dan pelaporan kondisi berbahaya oleh pekerja atau pun sistem pemantauan kondisi area kerja oleh supervisor area. PT SS telah memiliki prosedur pelaksanaan inspeksi area kerja yang telah tercantum pada Manual Sistem Manajemen K3 PT SS dan Sistem Operasi PT SS, namun masih terdapat keterbatasan dalam pelaksanaannya. Selain itu, terdapat hazard report untuk pelaporan kondisi-kondisi berisiko yang teridentifikasi. Namun, permasalahan yang terjadi adalah penanganan dan follow-up terhadap temuan pada kedua program tersebut masih belum memadai Unsafe Acts Tindakan tidak selamat yang lebih banyak terjadi kasus kecelakaan menabrak tahun 2012 di PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan adalah error (tidak sengaja), dibandingkan dengan tindakan pelanggaran (sengaja). Skill-based error merupakan kegagalan yang paling banyak terjadi. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya[16, 19]. Kejadian error tersebut berkaitan dengan teknik kerja, ketepatan waktu dan gangguan pelaksanaan tugas. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh kemahiran dan tingkat kewaspadaan operator saat melaksanakan tugas. Seperti yang dikemukakan oleh Patterson & Shappell, strategi pengendalian yang perlu dilakukan terhadap faktor pelaksanaan tugas yang kurang hati-hati adalah meningkatkan kewaspadaan operator[19]. Salah satu bentuk pengendalian yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan operator dan mencegah terjadinya kegagalan yaitu dengan menggunakan alarm pendeteksi jarak pada unit sehingga membantu operator untuk menjaga jarak aman dengan unit lain yang berada di sekitarnya[15]. Untuk aspek kecakapan operator dalam menyelesaikan tugas, ini PT SS di jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan telah melakukan refreshment training untuk karyawan yang selesai dari cuti lapangan, tetapi hanya dengan mengerjakan soal tertulis dalam satu hari. Untuk mengoptimalisasi refreshment training, perlu didukung dengan refreshment secara praktik untuk mengelola keterampilan pekerja sebelum kembali beroperasi di lapangan Di samping itu, tindakan rule-based error cukup banyak terjadi, yakni kekeliruan tindakan operator karena kurang memahami prosedur dan persepsi yang tidak sesuai. Saat ini, operator PT SS di jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan telah mendapatkan pelatihan safety awareness melalui induksi bagi operator yang baru mulai bekerja dan operator yang ditransfer. induksi dilaksanakan dengan memberikan informasi-informasi terkait aspek K3 dan prosedur kerja yang perlu diperhatikan selama beroperasi. Namun, pelaksanaan induksi
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
18
tersebut masih belum cukup efektif untuk memastikan pemahaman operator dalam penerapan prosedur-prosedur kerja yang disampaikan dalam pelatihan. Tindakan violation (pelanggaran) yang terjadi dipengaruhi oleh tingkat kedisiplinan pekerja terhadap peraturan kerja dan konsistensi penegakan peraturan oleh pengawas atau pihak pimpinan sehingga beberapa penyimpangan peraturan yang dilakukan operator menjadi suatu kebiasaan. KESIMPULAN PT SS telah melakukan beberapa upaya pengendalian sebagai bentuk sistem pertahanan untuk mencegah kecelakaan lalu lintas tambang di jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan. Namun, masih terdapat beberapa kelemahan pada sistem pertahanan tersebut sehingga kecelakaan menabrak di lalu lintas tambang masih banyak terjadi. Hasil yang diperoleh dari tinjauan ulang data kecelakaan lalu lintas tambang dalam penelitian ini dapat menggambarkan kebutuhan peningkatan sistem pertahanan perusahaan, baik pada individu ataupun organisasi, untuk dapat mengatasi potensi bahaya dan risiko yang ada sehingga kecelakaan dapat dicegah. Di samping itu, hasil penelitian ini dapat menjadi feedback ataupun pembanding terhadap hasil analisis kecelakaan yang selama ini sudah dilakukan oleh perusahaan. Meskipun peneliti tidak menyertai tingkat Outside Factor dalam penelitian ini, beberapa aspek eksternal perusahaan juga ditemukan memiliki peranan dalam keberlangsungan operasi PT SS sebagai perusahaan kontraktor pertambangan, seperti kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh perusahaan klien atau tanggung jawab sosial dengan masyarakat yang berada di lingkungan operasi perusahaan. SARAN Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap sistem pertahanan PT SS jobsite Tanjung, Kalimantan Selatan dalam kecelakaan lalu lintas tambang, saran yang dapat diberikan untuk meningkatkan kinerja pengendalian potensi bahaya dan risiko kecelakan lalu lintas operasi tambang adalah dengan perbaikan sistem pertahanan sebagai berikut. Pencegahan Kondisi Laten Saran perbaikan sistem pertahanan untuk mencegah terjadinya kondisi laten yang dapat memicu terjadinya kecelakaan lalu lintas tambang adalah sebagai berikut. a.
Mengoptimalkan peninjauan ulang terhadap prosedur (SOP, WI, dan JSA) yang ada agar sesuai dengan perkembangan kondisi operasi di lapangan.
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
19
b.
Mengoptimalkan penerapan Management of Change untuk setiap perubahan yang terjadi, baik perubahan pada alat dan peralatan operasi ataupun metode operasi.
c.
Meninjau ulang standar penentuan area dan sistem shift kerja pengawas operasi, serta mengoptimalkan pelaksanaan pelatihan Safety Leadership untuk pengawas operasi.
d.
Meninjau ulang kualitas pelaksanaan safety talk dan safety briefing sebagai forum komunikasi untuk penyampaian prosedur dan lesson learned.
e.
Meninjau ulang kualitas hazard report, inspeksi area kerja dan alat/peralatan kerja, serta tindak lanjut perbaikan terhadap temuan yang dilaporkan.
f.
Menyusun sistem pengembangan kompetensi khusus operator produksi sesuai kompetensi yang dibutuhkan untuk pengoperasian unit, serta mengoptimalkan pelaksanaan refreshment training dan induksi dengan pemberian orientasi lapangan dan/atau praktik dengan simulator dengan tujuan meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam menerapkan prosedur, tidak hanya sebatas pengetahuan saja.
Pencegahan Kegagalan Aktif Saran perbaikan sistem pertahanan untuk mencegah terjadinya kegagalan aktif (active failure) yang dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas tambang adalah sebagai berikut. a.
Membedakan tindakan penanganan dan pemberian konsekuensi antara kejadian error dan pelanggaran. Pada tindakan error, pekerja membutuhkan bimbingan dan pembinaan secara khusus, tidak hanya sanksi secara administratif.
b.
Meningkatkan kewaspadaan operator saat mengoperasikan unit dengan memasang alarm pendeteksi jarak (Collision Avoidance System/CAS) pada unit operasi penambangan yang berisiko tinggi untuk menabrak, antara lain dump truck, bulldozer, dan excavator.
c.
Mengoptimalkan pelaksanaan Supervisor Fatigue Observation dan komunikasi fatigue awareness melalui radio pada waktu-waktu kritis, yakni pada rentang waktu 03.0007.00 dan 13.01-14.00.
d.
Meninjau ulang kemampuan komunikasi dan koordinasi dalam operasi kerja, khususnya pada karyawan Departemen Operation di lapangan, terkait dengan penerapan teknik komunikasi secara efektif.
e.
Meningkatkan kedisiplinan dan motivasi karyawan untuk bekerja sesuai dengan ketentuan dalam peraturan dan prosedur kerja dengan menjaga konsistensi penerapan sistem reward & punishment.
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013
20
Selanjutnya, penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan menyertai Outside Factors untuk mendapatkan
gambaran
mengenai
kondisi-kondisi
eksternal
yang
mempengaruhi
keberlangsungan organisasi perusahaan secara lebih mendalam. DAFTAR REFERENSI 1.
2. 3.
4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14.
15.
16. 17.
18. 19.
20. 21. 22.
Edy, Tjatur Sapto. 2009. “Pertambangan nasional kini dan mendatang.” Bisnis Indonesia, Selasa 28 Juli 2009. http://www.djmbp.esdm.go.id/modules.php?_act=detail&sub=news_article&news_id=3130. (16 November 2012) Goetsch, David L. 2005. Occupational safety and health: For technologist, engineers, and managers. 5th Ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Ciptapratama, Ade. 2010. “Analisis insiden unsafe act berdasarkan faktor prakondisi di PT Bukit Makmur Mandiri Utama Jobsite Lanna Harita Indonesia tahun 2010.” Skripsi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia -- Depok. Heinrich, H. W., Petersen, Dan, Ross, Nestor. 1980. Industrial accident prevention: A safety management approach. New York: McGraw-Hill. Mol, Tania. 2003. Productive safety management. Burlington: Elsevier. Reason, James. 1997. Managing the risk of organizational accidents. Burlington: Ashgate. Wiegmann, Douglas A. & Shappell, Scott A. 2003. A human error approach to aviation accident analysis: The Human Factors Analysis and Classification System. Aldershot: Ashgate. Wiegmann, Douglas A. & Shappell, Scott A. 2001. “A human error analysis of commercial aviation accidents using the Human Factors Analysis and Classification System (HFACS).” Office of Aviation Medicine, Federal Aviation Administration, US Department of Transportation. DOT/FAA/AM-01/3. Reason, James. 2008. The human contribution: Unsafe acts, accident and heroic recoveries. Burlington: Ashgate. Reason, James. 1997. Managing the risk of organizational accidents. Burlington: Ashgate. Reason, James. 1990. Human error. New York: Cambridge University Press. Sedam, Michael W. 2008. “Human error: A manageable certainty.” Air Beat Magazine, NovemberDecember. Salmon, Paul M., et al. 2011. Human factors methods and accident analysis: Practical guidance and case study applications. Burlington: Ashgate. Patterson, Jessica & Shappell, Scott. 2009. Human factors in Queensland mining: QME project to improve identification and awarness of the role of human factors in mining incidents and accidents. Queensland: Simtars. Patterson, Jessica Marie. 2009. “Human error in mining: A multivariable analysis of mining accidents/incidents in Queensland, Australia and The United States of America using The Human Factors Analysis and Classification System framework.” Dissertation for the Degree Doctor of Philosophy Industrial Engineering. Clemson University. Lenné, Michael G., et al. 2012. “A sytem approach to accident causation in mining: An Application of the HFACS method.” Accident Analysis and Prevention, 48, 111-117. Berry, Katherine Alice. 2010. “A meta-analysis of human factors analysis and classification system causal factors: Establishing benchmarking standards and human error latent failure pathway associations in various domains.” Dissertation for the Degree Doctor of Philosophy Industrial Engineering.Clemson University. Lekka, Chrysanthi, Healey, Nicola. 2012. A review of the literature on effective leadership behaviours for safety. London: Health and Safety Executive. Patterson, Jessica .M. & Shappell, Scott A. 2010. “Operator error and system deficiencies: Analysis of 508 mining incidents and accidents from Queensland, Australia using HFACS” Accident Analysis and Prevention, 42, 1379-1385. Endsley, Mica R. 1999. “Situation awareness in aviation systems.” Garland, D.J., Wise, J. A., and Hopkin, V.D. (Eds.) Handbook of aviation human factors. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Gordon, R et al. 2005. “Designing and evaluating a human factors investigation tool (HFIT) for accident analysis.” Safety Science, 43, 147-171. Sneddon, Anne, Mearns, Kathryn, and Flin, Rhona. 2006. “Situation awareness and safety in offshore drill crews.” Cogn Tech Work, 8, 255-267.
Kajian kecelakaan..., Farida Tasya, FKM UI, 2013