PERLINDUNGAN KONSUMEN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Analisa Terhadap UU No. 8 Th. 1999) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (SSY)
Oleh :
RIDWAN NIM : 102043124930
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat yang tidak terhingga kepada segenap umat-Nya, Salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT., akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul PERLINDUNGAN KONSUMEN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Analisis Terhadap UU No. 8 Tahun 1999) Betapapun hambatan dan kesulitan seakan terasa ringan, berkat dukungan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada : 1. Bapak. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA, MM, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum beserta Bapak. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
3. Bapak Dr. JM. Muslimin, P.hD dan Bapak. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. 4. Majelis Ulama Indonesia yang telah memberikan data-data dan literaturliteratur yang berhubungan dengan kebutuhan penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. 5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Ayah dan bunda yang tercinta H. Lukman Hakim dan Hj. Romlah yang senantiasa mendoakan, mendukung dan membantu ananda (penulis), baik moril maupun materil. 8. Kakanda Ardiamsyah yang selalu menemani dan memberikan dukungan, semangat dan motifasi kepada adinda (penulis). 9. Para rekan-rekan mahasiswa/i Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2002, yang telah menkontribusikan dukungannya kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 10. Segenap sahabat terdekat di lingkungan Rumah (rayap-rayap) Abu, Yuyu, Baba, Andi, Gendut, Qway.
ii
Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang terbaik dari apa yang telah dikontribusikan kepada penulis baik moril maupun materil. Mudah-mudahan ini bukanlah karya ilmiah terakhir, yang dipersembahkan oleh penulis, semoga skripsi ini bermanfaat, Amien.
1431 H Jakarta, 13 Syawal 22 September 2010 M
Penulis Ridwan
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................
i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..........................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................
8
D. Review Kepustakaan ...................................................................
9
E. Metode Penulisan Skripsi ............................................................. 10 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II
KONSEP HUKUM ISLAM TENTANG MAKANAN HALAL DAN HAK-HAK KONSUMEN A. Pengertian Makanan Halal .......................................................... 15 B. Dasar Hukum Makanan Halal ...................................................... 18 C. Syarat-syarat dan Kriteria Makanan Halal Dalam Islam .............. 22 D. Sistem dan Prosedur Penetapan Produk Halal .............................. 23 E. Hakikat dan Hak-hak Konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen .............................................................. 31
iv
BAB III
KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia .................................................................................... 34 B. Asas dan Tujuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ......... 39 C. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Muslim dalam UndangUndang No.8 Tahun 1999 ............................................................ 47
BAB IV
ANALISIS TERHADAP UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
DALAM
PERSPEKTIF
ISLAM A. Analisis Terhadap Bentuk-bentuk Perlindungan Ponsumen Dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.................................................................................... 60 B. Analisis Relevansi UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Jaminan Kehalalan Produk Bagi Konsumen Muslim ........................................................................................ 77 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 91 B. Saran .......................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 95 LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini kedudukan konsumen sangat lemah, antara lain disebabkan oleh tingkat kesadaran dan tingkat pendidikan konsumen yang relatif masih rendah, hal ini diperburuk dengan anggapan sebagian pengusaha yang rela melakukan apapun demi produk
mereka, tanpa
memperhitungkan kerugian-kerugian yang akan dialami oleh konsumen, juga pemahaman mereka tentang etos-etos bisnis yang tidak benar, seperti anggapan bahwa bisnis harus memperoleh keuntungan semata-mata, bisnis tidak bernurani, ada juga yang beranggapan bahwa bisnis itu memerlukan banyak biaya maka akan merugikan apabila dibebani dengan biaya-biaya sosial, dan sebagainya. Perhatian terhadap perlindungan konsumen sangat diperlukan mengingat setiap orang pada suatu waktu, apakah sendiri atau berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu barang atau jasa tertentu. Oleh karena itu diperlukan pemberdayaan konsumen. Patut disyukuri kini di Indonesia telah memiliki undang-undang yang mengatur tentang perlindungan konsumen, yaitu dikeluarkannya undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan terhadap konsumen. UU ini disahkan oleh BJ Habibie Presiden peralihan pada saat itu. 1 1
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002 ), h. 13
1
2
Dalam undang-undang tersebut, disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Undang-undang ini menunjukkan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang dan jasa yang nyaman dikonsumsi olehnya, salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agamanya, yaitu halal. Selanjutnya dalam undangundang ini juga disebutkan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa. Hal ini memberikan pengertian kepada kita bahwa keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan demikian perusahaan tidak dapat dan serta merta mengklaim bahwa produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan. Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan akan terwujud suatu tatanan masyarakat dan hukum yang baik, dan terjadi keseimbangan antara produsen dan konsumen yang baik, sehingga tercipta suatu perekonomian yang sehat dan dinamis sehingga tercapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sehubungan dengan uraian di atas Islam telah mangajarkan bahwa setiap perbuatan yang merugikan pihak lain itu dilarang, terutama dalam pemakaian barang atau jasa. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an Surat An-nisa :
3
Allah berfirman:
Artinya : “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah membunuh dirimu, sesungguhnva Allah adalah maha penyayang kepadamu”. (Q.S. An-Nisa/ 4: 29) Dalam ayat tersebut secara jelas Allah telah mensyariatkan bahwa transaksi ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia harus dengan cara yang baik dan benar, yaitu harus saling merelakan, dan cara-cara yang batil dilarang oleh Agama. Pembeli atau konsumen seharusnya menerima barang dalam kondisi baik dan dengan harga yang wajar. Mereka juga harus diberitahu apabila terdapat kekurangan-kekurangan pada suatu barang. 2 Islam melarang produk-produk di bawah ini ketika berhubungan dengan konsumen atau pembeli3 : 1. Penggunaan alat ukur atau timbangan yang tidak tepat. 2. Penimbunan dan pemanipulasian harga. 3. Penjualan barang palsu atau rusak 4. Bersumpah untuk mendukung sebuah penjualan. 5. Membeli barang-barang curian
2
Rafik Isa Beekum, Etika Bisnis Islami, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004 ), h. 72.
3
Ibid, h. 73-75
4
6. Larangan mengambil bunga atau riba. Dengan demikian ini membuktikan, bahwa Islam adalah agama yang universal. Karena mengatur segala kebutuhan dan kegiatan manusia, tak terkecuali dalam hal muamalah, misalnya perekonomian dan bisnis dengan berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah. Al-Quran merupakan wahyu yang diturunkan dengan berbagai tujuan. Diantara tujuan tersebut adalah membasmi kemiskinan materiil dan spiritual, kebodohan, penyakit dan penderitaan hidup serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang agama, sosial, ekonomi, dan juga politik.4 Selain itu AlQuran juga merupakan sumber ajaran agama Islam yang menyangkut semua dimensi kehidupan manusia. Dengan tujuan eksistensinya, Al-Quran merupakan sumber ajaran yang memuat nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur aktifitasaktifitas manusia termasuk aktifitas ekonomi dan bisnis. 5 Kalau kita bicara tentang konsumen, pada mulanya memang tidak mengenal suku bangsa. Namun kita sebagai umat Islam hendaklah dapat memilih produk-produk mana yang aman dikonsumsi oleh muslim. Dengan kata lain, ada legalitas. Misalnya hak konsumen dalam kebersihan, kesehatan, keamanan, juga kehalalan. Karena dalam Islam mengkomsumsi yang halal, suci dan baik
4
5
Quraish Shihab. Wawasan al-Quran. (Bandung : Mizan, 1996), h. 12
Mohammad R. Lukman Fauroni. Vlsi al-Quran Tentang Etika Dan Bisnis, ( Jakarta : Salemba Diniyah ), h. 4.
5
merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib, sebagai mana dalam firman Allah SWT :
Artinya : ”Hai sekalian manusia! makanlah yang halal lagi baik dan apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S AlBaqarah 2: 168 ) Ayat di atas juga menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu perwujudan dan rasa syukur dan keimanan kepada Allah, sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal di pandang sebagai mengikuti ajaran setan, karena mengkonsumsi yang tidak halal (haram) menyebabkan segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah SWT.6 Sebagai konsumen yang menduduki peringkat mayoritas, umat Islam harus melindungi bahan-bahan makanannya dan bahan pencemaran bahan-bahan haram, baik bahan utamanya maupun bahan aditif dalam proses pengolahannya. Karena bagaimanapun masalah halal lebih terfokus pada hubungan langsung antara manusia dengan Tuhannya, yang tidak boleh ditutupi hanya untuk kepentingan praktis, misalnya kepentingan ekonomi, bisnis, politik, stabilitas, dan lain-lain yang belum jelas kecenderungannya. Oleh karena itu maka pemerintah bersama dengan ulama atau pemuda agama Islam berkewajiban untuk melakukan pengawasan dan hal-hal yang dapat 6
Departemen Agama RI, Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majlis Ulama Indonesia, 2003, h. 2
6
mempengaruhi kehalalan dan bahan pokok, bahan tambahan, produksi dan pengedaran makanan serta minuman. 7 Kasus-kasus makanan halal yang dapat meragukan masyarakat akan mempunyai dampak negatif tidak hanya berpengaruh bagi perusahaan itu sendiri, tetapi juga bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat dan bangsa pada umumnya. Yang paling penting bagi seorang muslim dalam hal makanan dan minuman adalah suatu yang erat sekali kaitannya dengan ibadah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan wadah musyawarah para ulama zu’ama, dan cendekiawan muslim dipandang sebagai lembaga paling berkompeten dalam pemberian jawaban masalah sosial keagamaan (ifta) yang senantiasa timbul dihadapi masyarakat Indonesia. Hal ini mengingat bahwa lembaga ini merupakan wadah bagi semua umat Islam Indonesia yang beraneka ragam kecenderungan dan madzhabnya, oleh karena itu fatwa yang dikeluarkan oleh MUI diharapkan dapat diterima oleh seluruh kalangan dan lapisan masyarakat, serta diharapkan pula dapat menjadi acuan pemerintah dalam pengambilan kebijaksanaan. Salah satu wujud nyata dan upaya MUI adalah dengan dibentuknya lembaga pengkajian pangan, obat-obatan, dan kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP. POM MUI). Fungsi dan lembaga ini adalah melakukan penelitian, audit dan pengkajian secara seksama dan menyeluruh terhadap produk-produk
7
h. 2
Departeman Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, ( Jakarta : 2003),
7
olahan. Hasil penelitiannya kemudian dibawa ke komisi fatwa untuk membahas dalam sidang komisi dan kemudian difatwakan hukumnya, yakni fatwa halal, jika sudah diyakini bahwa produk bersangkutan tidak mengandung unsur-unsur benda-benda haram atau najis. 8 Dengan adanya kejelasan label halal ini diharapkan konsumen muslim menjadi tenang ketika menkonsumsi makanan. sebagaimana dalam undangundang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen telah dicantumkan dalam pasal 8 UUPK, disamping itu pemerintah juga telah mengeluarkan UU no. 76 /1996 tentang pangan dan (PP) no. 69 I 1999 pasal 10 ayat 1, juga dipertegas oleh SK Menteri Agama RI no. 518 tentang labe1isasi halal. 9 Meski demikian masih banyak para produsen yang tidak memperdulikan tentang kehalalan produk mereka. Sedangkan mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, jadi sejauh manakah UU no. 8 tahun 1999 ini merespon kepentingan hukum Islam perlu diteliti lebih lanjut. Berdasarkan latar belakang inilah penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul : “PERLINDUNGAN KONSUMEN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ”. (Analisa Terhadap UU No. 8 Th. 1999)
8
9
Departeman Agama, Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal, h. 6
Wiwid Prast, “Bread Talk Dan Masalah Serti/Ikasi Halal’, Dalam Furqon, IV, 18, Mei 2006. hlm.47
8
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk menghindari luasnya permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, maka penulis merasa perlu membatasi permasalahan yang akan dibahas. Untuk itu, penulis hanya akan membahas tentang UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dan setelah melihat pembatasan masalah, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen ? 2. Bagaimana hakikat UU perlindungan konsumen dan nilai Islam
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Skripsi Penulisan skripsi ini disusun dengan tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap UU no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah hakikat UU perlindungan konsumen Adapun manfaat dan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu sumber informasi bagi akademisi, praktisi dan penelitian selanjutnya. 2. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu pedoman kehalalan produk yang bisa dikonsumsi konsumen muslim
9
D. Review Kepustakaan 1. Muhammad Ihsan (102046225379) Judul : Efektifitas Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Asuransi Syari’ah Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. (Studi Kasus AJB Bumi Putera 1912 cabang Syari’ah) Membahas tentang : Klausula baku yang dikeluarkan oleh perusahaan Asuransi Syari’ah serta akibat hukumnya ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan Konsumen. Hubungan antara akad Asuransi Syari’ah dan ketentuan pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 dalam perjanjian Asuransi Syari’ah. 2. Siti Nurseha (103046128321) Judul : Hubungan Antara Persepsi Konsumen Terhadap Loss Leader Princing Dengan Keputusan Pembelian Konsumen Pada Alfa Mart. Membahas tentang :Bagaimana persepsi konsumen terhadap leader pricing yang dilakukan alfa mart & adakah hubungan antara persepsi konsumen terhadap loss leader pricing dengan keputusan pembelian konsumen. 3. Muhammad Fauzi Rahula (101046122355) Judul : Sikap Konsumen Terhadap Promosi Product Fast Food Dalam Perspektif Islam.
10
Membahas tentang : Gambaran umum responden KFC M.T Haryono jakarta Selatan Serta karakteristik konsumen berdasarkan pada pengetahuan dan status ekonomi. 4. Siti Rohmah (101046122319) Membahas Tentang :Bagaimana proses sertifikasi halal pada product Papa Ron’s Pizza dan apakah label halal sebagai suatu upaya perlindungan konsumen muslim, berpengaruh penjualan produk dan dapat memenuhi prefensi dikalalngan konsumen Papa Ron’s Pizza.
E. Metode Penulisan skripsi Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang mendasarkan kajiannya pada kajian literatur murni atau penelitian kepustakaan. Karena kajian ini adalah analisis UU maka untuk mendapatkan hasil yang diharapkan dan untuk memperoleh data yang obyektif serta otentik, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut: 1. Pendekatan perundang-undangan Dalam metode ini peneliti perlu memahami hirarki, dan asas-asas dalam perundang–undangan. Menurut pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 2004, peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Selanjutnya, Pasal 7 (1) UU No. 10 Tahun 2004 menetapkan jenis dan
11
hirarki perundang-undangan Republik Indonesia. Menurut ketentuan tersebut, Jenis dan hirarki peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. c. Peraturan Pemerintah. d. Peraturan Presiden. e. Peraturan Daerah. 10 Oleh karena dalam pendekatan perundang-undangan peneliti bukan saja melihat kepada bentuk peraturan perundang-undangan saja, melainkan juga menelaah materi muatannya, perlu kiranya peneliti mempelajari dasar ontologis lahirnya undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam penerapan sebuah
undang-undang
harus
mencerminkan
gagasan
yang
ada
dibelakangnya, yaitu keadilan. Undang-Undang bukan sekedar produk tawarmenawar politik. 11 2. Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitian dokumentasi yang dikuatkan dalam jenis penelitian kepustakaan atau libray research.12 Maka pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian perundang-undangan, sehingga diharapkan penulis dapat berkonsentrasi dalam penelusuran dan
10
Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007) h. 96
11
Ibid, h. 102
12
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : UI Press, 1986 ), h. 102
12
pengumpulan bahan-bahan pustaka dan data-data literatur yang relevan dengan penelitian dalam skripsi ini. Adapun sumber-sumber pengumpulan data ini diambil: a. Sumber Data Primer Sumber data primer yaitu informasi yang langsung mempunyai wewenang dan bertanggungjawab terhadap pengumpulan data sumber. 13 Sumber data primer yang digunakan adalah UU RI NO 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu informasi yang tidak secara langsung mempunyai wewenang dan tanggungjawab terhadap informasi yang ada padanya.14 Sumber data sekunder yang digunakan adalah kitab-kitab (Tafsir, Hadits, Fiqih) yang menerangkan tentang cara bermuamalah dalam Islam serta sumber-sumber lain seperti Buku-Buku, Artikel llmiah, dan referensi lain yang berkaitan dengan pembahasan ini. 3. Analisis Data Sebagai tindak lanjut pengumpulan data, maka analisis data menjadi sangat signifikan untuk menuju penelitian ini dan dalam menganalisa data penulis menggunakan analisis deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah
13
Muhammad Ali, Penelitian Pendidikan; Prosedur dan Strategi, ( Bandung : Angkasa, 1993), h. 42 14
Ibid.
13
yang diselidiki dengan cara menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. 15
F. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memperoleh gambaran yang bersifat utuh dan menyeluruh serta ada keterkaitan antar bab yang satu dengan yang lain dan untuk lebih mempermudah dalam proses penulisan skripsi ini, perlu adanya sistematika penulisan. Adapun sistematika pada penulisan skripsi ini akan melalui beberapa tahap bahasan yaitu: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini merupakan gambaran secara keseluruhan skripsi yang meliputi: Latar belakang masalah, Perumusan masalah, Tujuan penulisan skripsi, Metode penulisan skripsi, Analisis data, Sistematika penulisan skripsi.
BAB II
KONSEP ISLAM TENTANG MAKANAN HALAL DAN HAKHAK KONSUMEN (VERSI MUI) Pada bab ini pembahasannya meliputi: Pengertian dan Dasar hukum makanan halal, Syarat-syarat dan kriteria makanan halal. dan Sistem dan Prosedur Penetapan Produk Halal. Serta hakikat Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
15
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, ( Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1991 ), h. 63
14
BAB III
KETENTUAN
UNDANG-UNDANG
NO.8
TAHUN
1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Bab tiga merupakan hal-hal yang menyangkut: Latar belakang lahirnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, azas dan tujuan UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. BAB IV
ANALISA TERHADAP UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM Analisis yang dibahas meliputi: Analisis terhadap bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Analisis terhadap UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen perspektif hukum Islam.
BABV
PENUTUP Bab ini merupakan rangkaian akhir dan penulisan skripsi yang meliputi: Kesimpulan, Saran-saran, Sedangkan pada bagian akhir skripsi ini berisi daftar pustaka, lampiran-lampiran.
BAB II KONSEP ISLAM TENTANG MAKANAN HALAL DAN HAK-HAK KONSUMEN
A. Pengertian Makanan Halal Secara etimologi makan adalah memasukan sesuatu melalui mulut. 1 Dalam bahasa Arab makanan berasal dari kata at‟tha‟âm dan jamaknya alat‟imah yang artinya makanan-makanan.2 Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam yaitu segala sesuatu yang dimakan oleh manusia, sesuatu yang menghilangkan lapar.3 Halal berasal dari bahasa arab yang artinya membebaskan, memecahkan, membubarkan dan membolehkan. Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam yaitu segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakan, atau mengerjakan sesuatu yang boleh dikerjakan menurut Syara’ 4 Sedangkan menurut buku petunjuk teknis sistem produksi halal yang diterbitkan oleh Departemen Agama menyebutkan bahwa makanan adalah : barang yang dimaksudkan untuk dimakan dan diminum oleh manusia, serta bahan
1
W.J.S. Peorwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, Cet. V, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976), h.662 2
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h.853 3
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. h.25
4
Ibid.
15
16
yang digunakan dalam produksi makanan dan minuman. Sedangkan halal adalah : sesuatu yang boleh menurut Islam. 5 Jadi pada intinya, makanan halal adalah makanan yang baik yang dibolehkan memakannya menurut ajaran Islam, yaitu sesuai dengan tuntunan AlQur’an dan Al-Hadits. Sedangkan pengertian makanan yang baik yaitu segala makanan yang dapat membawa kesehatan bagi tubuh, dapat menimbulkan nafsu makan dan tidak ada larangan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Tetapi dalam hal yang lain diperlukan keterangan yang lebih jelas berdasarkan ijma' dan qiyas terhadap sesuatu nash yang sifatnya umum yang harus digali oleh ulama agar kemudian tidak menimbulkan hukum yang syubhat (menimbulkan keraguraguan). Dan para ulama telah sepakat (ijma') tentang halalnya binatang-binatang ternak seperti unta, sapi, kerbau, dan kambing serta diharamkannya segala sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya dalam bentuk keracunan, timbulnya penyakit atau adanya efek samping, dengan demikian para ulama memberikan keterangan tentang hukum-hukum makanan dan minuman. Banyak ulama mengungkapkan pendapatnya tentang "halal" diantaranya sebagai berikut6 : Kata "halâl" berasal dari bahasa Arab. Menurut Ibn Manzhur, halal itu berasal dari kata "al hillu yang berarti tidak terikat (al-thalâq). Lafazh halal 5
Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk teknis pedoman sistem produksi halal, Departemen Agama RI, Jakarta: 2003. hlm. 3. 6
Hussein Bahresy, Pedoman Fiqh Islam, ( Surabaya : Al-Ikhlas, 1981 ), h. 303.
17
merupakan lawan dari kata "haram", sedangkan lafazh "haram" itu pada asalnya berarti mencegah atau merintangi (al-man‟u). Oleh karena itu, setiap yang mengharamkan itu menjadi tercegah atau terlarang. Ibn Manzhur menjelaskan bahwa haram itu berarti segala sesuatu yang diharamkan Allah.7 Atas dasar itu, al-Munawi memberikan definisi halal "sesuatu yang tidak diharamkan". Maka, di dalamnya terkandung sesuatu yang dimakruhkan atau diperbolehkan.8 Definisi ini masih kabur karena belum memberikan batasan yang jelas dan spesifik. Al-Jurjani memberikan definisi halal sebagai “sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa”.9 Menurut Qal'aji dan Qunaibi, lafazh halal itu berasal dari halla al-syai'i apabila sesuatu itu telah menjadi mubah. Oleh karena itu, pengertian halal identik dengan
"mubah",10
mengidentikkan
maka
keduanya
wajar seperti
apabila tercermin
Al-Qardlawi dalam
secara
definisi
eksplisit
halal
yang
diberikannya yaitu “sesuatu yang mubah yang diizinkan oleh Syar'i untuk dikerjakan”.11 7
Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Juz XV. h.9
8
Muhammad Abd Al-Rauf al-Munawi, Al-Taufîq „ala Muhimmât al-Ta‟rif Mu‟jam Lughowi Mutshalahi, ( Beirut : Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1990 ), cet ke-1, h.20. 9
Al-Jurjani, Al-Ta‟rifat, (Mesir : Maktabah wa Mathba’ah Mushtafa al-Halabi wa Auladuh, 1936), h.82
h.14
10
Wahbah al-Zuhaily, Al-Tafsir al-Munîr, Juz II, h.72.
11
M. Yusuf al-Qardlawi, Al-Halâl wa al-Haram Fi al-Islâm, (t.t.: Dar al-Ma’rifah, 1985),
18
Dalam definisi yang diungkapkan al-Qardlawi tersebut terdapat dua unsur. Pertama, sesuatu yang mubah yang terdapat dalam dzat. Dengan demikian, secara substantif benda tersebut dzatnya adalah mubah. Kedua, "yang diizinkan oleh Syar'i” jadi makanan halal adalah berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang diperbolehkan untuk dingerjakan.
B. Dasar Hukum Makanan Halal. Pada asalnya : segala sesuatu yang diciptakan Allah itu halal, tidak ada yang haram, kecuali jika ada nash (dalil) yang mengharamkannya. 12 Sebagaimana dalam sebuah kaidah fikih :
13 Artinya : Pada asalnya segala sesuatu itu mubah (boleh) sebelum ada dalil yang mengharamkannya. Para ulama, dalam menetapkan prinsip bahwa segala sesuatu asal hukumnya boleh, , merujuk kepada ayat al Qur'an :
... Artinya : Dialah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu di bumi... (QS. Al-Baqarah/ 2 : 29) Dari ayat di atas dapat dikatakan bahwasanya makanan yang diharamkan oleh Islam sangatlah sedikit, sebaliknya makanan yang dibolehkan oleh Islam
12
Yusuf Qardhâwi, Halal Haram Dalam Islam, (Solo: Era Intermedia, 2003), h.36.
13
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Utama, 1994), cet.I, h.127
19
sangatlah
banyak,
jadi
selama
belum
ada
nash
yang
melarang
atau
mengharamkannya, akan kembali pada asalnya, yaitu boleh. Dalam hal makanan, ada yang berasal dari binatang ada pula yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Ada binatang darat dan ada pula binatag laut. Ada binatang yang boleh dimakan dan ada pula binatang yang najis dan dilarang memakannya. Demikian juga makanan yang berasal dari bahan tumbuhtumbuhan. Marilah kita mempelajari keterangan dari Al-Qur'an dan Hadits yang menyatakan makanan dan minuman yang halal dan yang haram dan kesimpulan hukum yang diambil dari pada keduanya. Kepedulian Allah SWT sangat besar terhadap soal makanan dan aktifitas makan untuk makhluknya. Hal ini tercermin dari firman-Nya dalam al-Qur'an mengenai kata tha'am yang berarti "makanan" yang terulang sebanyak 48 kali dalam berbagai bentuknya. Ditambah pula dengan kata akala yang berarti "makan" sebagai kata kerja yang tertulis sebanyak 109 kali dalam berbagai derivasinya, termasuk perintah "makanlah" sebanyak 27 kali. Sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan makan yaitu "minum" yang dalam bahasa Al-Qur'an disebut syariba terulang 39 kali.14
14
Tiench Tirta Winata, Makanan Dalam Perspektif Al-Qur‟an Dan Ilmu Gizi, (Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2006), h.1.
20
Pada dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhtumbuhan sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan adalah halal kecuali yang beracun dan membahayakan nyawa manusia.15 Dasar hukum Al-Qur'an tentang makanan halal diantaranya yaitu
Artinya : "dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNYA". (QS. Al-Mâ'idah/ 5 : 88) Juga dalam surat Al-Nahl
Artinya : Makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-NYA menyembah. (QS. Al-Nahl/ 16 : 114). Ayat-ayat di atas bukan saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal hukumnya wajib karena merupakan perintah agama, tetapi menunjukkan juga hal tersebut merupakan salah satu bentuk perwujudan rasa syukur dan keimanan kita kepada Allah. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan. Sebenarnya dalam Al-Qur'an makanan yang diharamkan pada pokoknya hanya ada empat yaitu dalam surat Al-Baqarah :
15
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, h.7
21
Artinya : "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut (nama) selain Allah. Tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah/ 2 : 173)
Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa makanan yang diharamkan diantaranya : 1. Bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih ; termasuk didalamnya hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat disembelih, hanya bangkai ikan dan belalang saja yang boleh kita makan. 2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir, maksudnya adalah darah yang keluar pada waktu penyembelihan sedangkan darah yang tersisa setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan.
Ada
dua
macam
darah
yang
dibolehkan
untuk
kita
mengkonsumsinya yaitu jantung dan limpa. 3. Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram, darahnya, dagingnya, maupun tulangnya. 4. Binatang yang ketika disembelih menyebut selain nama Allah.
22
Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat produk pangan halal menurut syari'at Islam adalah : 1. Halal dzatnya; 2. Halal cara memperolehnya; 3. Halal dalam memperosesnya; 4. Halal dalam penyimpanannya; 5. Halal dalam pengangkutannya; 6. Halal dalam penyajiannya;
C. Syarat-syarat dan Kriteria Makanan Halal Menurut Islam. Dalam hal makanan sebenarnya ada dua pengertian yang bisa kita kategorikan kehalalannya yaitu halal dalam mendapatkannya dan halal dzat atau substansi barangnya. Halal dalam mendapatkannya maksudnya adalah benar dalam mencari dan memperolehnya. Tidak dengan cara yang batil. Jadi, makanan yang pada dasar dzatnya halal namun cara memperolehnya dengan cara yang batil seperti : mencuri, hasil korupsi dan perbuatan batil lainnya, maka secara otomatis berubah stasus hukumnya menjadi haram. Makanan halal secara dzatiyah (substansi barangnya), menurut Sayyid Sabiq dibagi dalam dua kategori, yaitu jamad (benda mati) dan hayawan (binatang).16
16
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Direkorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tanya Jawab Seputar Produk Halal, (Jakarta, 2003), h.7
23
Yang termasuk makanan dan minuman yang halal adalah : 1. Bukan berarti dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih menurut ajaran Islam. 2. Tidak mengandung sesuatu yang digolongkan sebagai najis menurut ajaran Islam. 3. Dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan sebagai mana huruf a, b, c, dan d di atas atau benda yang dihukumkan sebagai najis menurut ajaran Islam.
D. Sistem dan Prosedur Penetapan Produk Halal. Produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat-obatan, maupun kosmetika, kiranya dapat dikategorikan dalam kelompok mutasyabihat (syubhat), apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non muslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur atau menggunakan bahan-bahan yang haram atau tidak suci. Dengan demikian, produk-produk olahan tersebut bagi umat Islam jelas bukan merupakan persoalan sepele, tetapi merupakan
persoalan
besar.
Maka
wajarlah
jika
umat
Islam
sangat
berkepentingan untuk mendapatkan ketegasan tentang status hukum produk-
24
produk tersebut, sehingga apa yang akan mereka konsumsi tidak menimbulkan keresahan dan keraguan. Semua persoalan-persoalan tersebut harus segera mendapat jawabannya. Membiarkan persoalan tanpa jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan atau ketidakpastian tidak dapat dibenarkan, baik secara Syar’i maupun secara i’tiqodi. Atas dasar itulah, para ulama dituntut untuk segera mampu memberikan jawaban dan berupaya memberikan kehausan umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan dengan persoalan yang mereka hadapi itu, terutama mengenai produkproduk yang akan dikonsumsi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan wadah musyawarah para ulama zu’ama, dan cendekiawan muslim dipandang sebagai lembaga paling berkompeten dalam pemberian jawaban masalah sosial keagamaan (ifta) yang senantiasa timbul dihadapi masyarakat Indonesia. Hal ini mengingat bahwa lembaga ini merupakan wadah bagi semua umat Islam Indonesia yang beraneka ragam kecenderungan dan madzhabnya, oleh karena itu fatwa yang dikeluarkan oleh MUI diharapkan dapat diterima oleh seluruh kalangan dan lapisan masyarakat, serta diharapkan pula dapat menjadi acuan pemerintah dalam pengambilan kebijaksanaan. Salah satu wujud nyata dari upaya MUI adalah dengan dibentuknya lembaga pengkajian pangan, obat-obatan, dan kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP. POM MUI). Fungsi dari lembaga ini adalah melakukan penelitian, audit dan pengkajian secara seksama dan menyeluruh terhadap produk-produk
25
olahan. Hasil penelitiannya kemudian dibawa ke komisi fatwa untuk membahas dalam sidang komisi dan kemudian difatwakan hukumnya, yakni fatwa halal, jika sudah diyakini bahwa produk bersangkutan tidak mengandung unsur-unsur benda-benda haram atau najis. 17
Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah/ 2 : 173) Menurut ayat di atas, benda yang termasuk kelompok haram li-zatih sangat terbatas, yaitu darah yang mengalir dan daging babi ; sedang sisanya termasuk kedalam kelompok haram li-ghoirih yang karena cara penanganannya tidak sejalan dengan syari’at Islam. Selain kedua benda yang dijelaskan al-Qur’an itu, benda haram li-zatih juga dijelaskan dalam sejumlah hadits Nabi ; misalnya binatang buas dan binatang bertaring, dan sebagainya. Demikian juga alkohol (khamar). Untuk kepentingan penetapan fatwa halal, MUI hanya memperhatikan apakah suatu produk mengandung unsur-unsur benda haram li-zatih atau haram li-ghairih yang karena cara penanganannya tidak sejalan dengan syari’at Islam, atau tidak. Dengan arti kata, MUI tidak sampai mempersoalkan dan meneliti 17
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Direkorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : Departemen Agama RI, 2003), h.7
26
keharamannya dari sudut haram li-ghairih, sebab masalah ini sulit dideteksi, dan persoalannya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Prosedur dan penetapan mekanisme penetapan fatwa, sama dengan penetapan fatwa secara umum. Hanya saja, sebelum masalah tersebut (produk yang dimintakan fatwa halal) dibawa ke Sidang Komisi, LP.POM MUI terlebih dahulu melakukan penelitian dan audit ke pabrik bersangkutan. Untuk lebih jelasnya, prosedur dan mekanisme penetapan fatwa halal, secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada para auditor LP.POM tentang benda-benda haram menurut syari’at Islam. Dalam hal ini benda haram li-zatih dan haram li-ghairih yang karena cara penanganannya tidak sejalan dengan syari’at Islam. Dengan arti kata, para auditor harus mempunyai pengetahuan memadai tentang bendabenda haram tersebut. 2. Para auditor melakukan penelitian dan audit ke pabrik-pabrik (perusahaan) yang meminta sertifikasi halal, pemeriksaan yang dilakukan meliputi : a. Pemeriksaan secara seksama terhadap bahan-bahan produk, baik bahan baku maupun bahan tambahan (penolong) b. Pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian bahan produk. 3. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa di laboratorium, terutama bahanbahan yang dicurigai sebagai benda haram atau mengandung benda haram (najis), untuk mendapat kepastian
27
4. Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih dari satu kali, dan tidak jarang pula auditor (LP.POM) menyarankan bahkan mengharuskan agar mengganti suatu bahan yang dicurigai atau diduga mengandung bahan yang haram (najis) dengan bahan yang diyakini kehalalannya atau sudah bersertifikat halal dari MUI atau dari lembaga lain yang dipandang berkompeten, jika perusahaan tersebut tetap menginginkan mendapat sertifikat halal dari MUI 5. Hasil pemeriksaan dan audit LP.POM tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah Berita Acara, dan kemudian Berita Acara itu diajukan ke Komisi Fatwa MUI untuk disidangkan 6. Dalam Sidang Komisi Fatwa, LP.POM menyampaikan dan menjelaskan isi Berita Acara, dan kemudian dibahas secara teliti dan mendalam oleh sidang komisi 7. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang diragukan kehalalannya, atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang dipandang tidak transparan oleh Sidang Komisi, dikembalikan kepada LP.POM untuk dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan bersangkutan 8. Sedangkan produk yang telah diyakini kehalalannya oleh Sidang Komisi, diputuskan fatwa halalnya oleh Sidang Komisi. 9. Hasil Sidang Komisi yang berupa fatwa halal kemudian dilaporkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk di-tanfz-kan dan keluarkan Surat Keputusan Fatwa Halal dalam bentuk Sertifikat Halal.
28
Untuk menjamin kehalalan suatu produk yang telah mendapat Sertifikat Halal, MUI menetapkan dan menekankan bahwa jika sewaktu-waktu ternyata diketahui produk tersebut mengandung unsur-unsur bahan haram (najis), MUI berhak mencabut Sertifikat Halal produk bersangkutan. Disamping itu, setiap produk yang telah mendapat Sertifikat Halal diharuskan pula memperhatikan atau memperpanjang Sertifikat halalnya setiap dua tahun, dengan prosedur dan mekanisme yang sama. Jika, setelah dua tahun terhitung sejak berlakunya Sertifikat Halal, perusahaan bersangkutan tidak mengajukan permohonan (perpanjangan) Sertifikat Halal perusahaan itu dipandang tidak lagi berhak atas sertifikat Halal, dan kehalalan produk-produknya diluar tanggung jawab MUI. Bagi masyarakat yang ingin mendapat informasi tentang produk (perusahaan) yang telah mendapat Sertifikat Halal MUI dan masa keberlakuannya, LP.POM MUI telah menerbitkan Jurnal Halal. 18 Hasil kajian yang memerlukan fatwa MUI disampaikan kepada MUI untuk mendapat fatwa halal. Hasil kajian yang memerlukan fatwa MUI dan yang telah mendapat fatwa halal dari MUI diterbitkan sertifikat halalnya dan dikukuhkan oleh Menteri Agama. Adapun prosedurnya sebagai berikut : 1. Sistem Sertifikasi Halal Menteri Agama melalui lembaga pemeriksa halal menyerahkan sertifikat halal kepada pemohon dengan tembusan kepada badan pengawas obat dan makanan. Sertifikat halal berlaku selama dua tahun dan dapat 18
Ibid, h.18-20.
29
diperbarui untuk jangka waktu yang sama sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Menteri Keuangan atas usul Menteri Agama menetapkan struktur biaya sertifikasi halal yang sama terhadap pemohon. Sertifikat halal dapat dicabut apabila pelaku usaha pemegang sertifikat yang bersangkutan melakukan pelanggaran dibidang halal setelah diadakan pemeriksaan oleh lembaga pemeriksa halal dan mendapat rekomendasi dari KHI untuk pencabutan sertifikat halal. Setiap pelaku usaha yang telah mendapatkan sertifikat halal terhadap produknya mencantumkan keterangan atau tulisan halal dan nomor sertifikat pada label setiap kemasan produk dimaksud. Bentuk, warna dan ukuran tentang keterangan atau tulisan halal dan nomor registrasi halal ditetapkan oleh Menteri Agama. Produk pangan, obat, kosmetika dan produk lain berasal dari luar negeri yang dimasukkan ke Indonesia berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam keputusan ini. Sertifikat halal yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi luar negeri dapat diakui setelah melakukan perjanjian saling pengakuan yang berlaku timbal balik (re-ciprocal), penilaian terhadap lembaga sertifikasi, dan tempat proses produksi. Perjanjian tersebut dilaksanakan oleh Menteri Agama dan badan yang berwenang di luar negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Biaya Biaya pemeriksaan, sertifikat halal, dan survailen ditanggung oleh pelaku usaha yang mengajukan permohonan. Besar biaya pemerikasaan dan
30
biaya sulvailen ditetapkan oleh lembaga pemeriksa halal, sedangkan biaya sertifikasi ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Biaya sertifikasi disetorkan ke kas negara. 3. Pembinaan, Pengawasan Dan Pelaporan Pembinaan pelaku usaha di bidang penerapan sistem jaminan halal dilaksanakan oleh Departemen Agama. Pengawasan terhadap produksi, impor dan peredaran produk halal dilaksanakan oleh instansi yang berwenang. 4. Landasan Hukum a) UU No. 7/1996 tentang Pangan Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab label dan iklan pangan pasal 30, 34, dan 35. b) PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan Ada dua pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No.69 ini yaitu pasal 3, ayat (2), pasal 10 dan 11. c) Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan. Demikianlah sistem dan prosedur produk halal yang dilakukan oleh pemerintah
dalam
rangka
melindungi
konsumen
muslim
agar
hanya
mengkonsumsi makanan halal. Karena masalah kehalalan barang yang mereka konsumsi menyangkut diterima tidaknya ibadah seorang muslim.
31
E. Hakikat Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dan Hak-Hak konsumen Telah disebutkan dalam undang-undang perlndungan konsumen bahwa tujuannya adalah unuk melindungi para konmsumen dari produsen yang tidak bertanggung jawab atau mengenyampingkan kepentingan konsumen. Dibawah ini adalah Hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh produsen, ada 9 Hak-hak konsumen, yaitu : 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan\atau jasa; 2. Hak untuk memilih barang dan\atau jasa serta mendapatkan barang dan\atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan\ atau jasa; 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan\atau jasa yang digunakan; 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani srecara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
32
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan\atau penggantian, apabila barang dan\jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagai mestinya; 9. Hak-hak yang diatur dalam dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Republik Indonesia menganut falsafah Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, UU tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) sebagai produk dari Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, terikat pada pandangan hidup dan dasar negara itu. Falsafah hukum perlindungan konsumen juga adalah Pancasila. Guna memenuhi butir-butir falsafah tersebut, UU No. 8 Tahun 1999 menegaskan, bahwa perlindungan
konsumen
Indonesia
berdasarkan
"manfaat,
keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan, serta kepastian hukum" (pasal 2 dan penjelasan pasal) 1. Tujuan UU Perlindungan konsumen : a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. b. mengangkat
harkat
dan
martabat
konsumen
dengan
cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/atau jasa. c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum
dan
mendapatkan informasi.
keterbukaan
informasi
serta
akses
untuk
33
e. Menumbuhkan
kesadaran
pelaku
perlindungan konsumen sehingga
usaha
mengenai
tumbuh sikap
yang
pentingnya jujur
dan
bertanggung jawab dalam menjalankan usaha. f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 2. Fungsi UU Perlindungan Konsumen a. Menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha; dan b. Mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya. 3. Keberadaan Undang-Undang Konsumen semata-mata untuk memberikan kepastian hukum terhadap segala yang diperoleh konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa, untuk membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandiriannya melindungi diri sendiri hingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai akses negatif pemakaian, penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya. Disamping itu, juga kemudahan dalam proses menjalankan sengketa konsumen
yang
timbul
karena
kerugian
harta
bendanya,
keselamatan/kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen.
BAB III KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia. Pada dasarnya kalau berbicara mengenai perlindungan konsumen maka tidak terlepas dari gerakan perlindungan konsumen diseluruh dunia. Sebab konsumen bukanlah masalah nasional saja, melainkan juga sudah menjadi permasalahan
di
seluruh
dunia.
Sebagaimana
diketahui
perkembangan
perekonomian yang sangat pesat telah menghasilkan berbagai jenis barang atau jasa yang dapat dikonsumsi. Dengan berbagai produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informatika, telah menyebabkan perluasan ruang gerak arus transaksi barang atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu Negara.1 Az. Nasution menggambarkan fenomena ini dengan “dunia yang secara teknis dan psikologis makin mengecil menyebabkan denting garpu disalah satu ujung dunia terdengar jelas di ujung lainnya”.2 Konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik maupun
1
Gunawan Wijaya, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, ( Jakarta : Gramedia, 2000 ), h.
2
Az. Nasution, Konsumen Dan Hukum, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995 ), h. 61
11.
34
35
yang berasal dari luar negeri. Kondisi yang demikian disatu sisi sangat bermanfaat bagi konsumen, karena kebutuhan yang diinginkan dapat dipenuhi dengan disertai kebebasan untuk memilih variasi barang atau jasa tersebut. Tetapi disisi yang lain dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang, dimana konsumen pada posisi yang lemah. Konsumen hanya dijadikan objec aktivitas bisnis untuk meraup laba sebeser-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Fenomena di atas kemudian mengilhami gerakan perlindungan konsumen diseluruh dunia. Oleh karena itu lahirlah gerakan konsumen diseluruh dunia yang merupakan bukti bahwa hak-hak masyarakat (konsumen) dijunjung tinggi dan dihargai. Adapun gerakan perlindungan konsumen secara teroganisir diawali pada tahun 1891, yaitu dengan terbentuknya Liga Konsumen yang untuk pertama kali di New York, pada tahun 1898 di tingkat Nasional Amerika Serikat terbentuk Liga Konsumen Nasional (The Nasional Consumer‟s League).
Organisasi ini
tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga pada tahun 1903 telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20 negara bagian.3 Pada tahun 1962 Presiden AS John F. Kennedy menyampaikan Consumer Message kepada konggres, dan ini dianggap sebagai era baru gejolak konsumen. Setelah itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi nomor 39/248
3
Wijaya, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, h. 13.
36
Tahun 1985 tentang perlindungan konsumen (guidelenis for consumerprotecton), juga merumuskan hak-hak konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi:4 1. Perlindungan Konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; 2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen. 3. Tersedianya informasi yang menandai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kepentingan pribadi. 4. Pendidikan konsumen. 5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif. 6. kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen. Sampai dengan tahun 1995, CI telah mempunyai 203 anggota yang berasal dari 80 negara termasuk Indonesia. Di Indonesia ditandai dengan terbentuknya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tanggal 11 mei 1973. Dalam perkembangannya di Indonesa telah terbentuk kurang lebih 19 organisasi konsumen termasuk Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) semarang. Sejak YLKI didirikan muncul panca hak konsumen yang terdiri atas :5 1. Hak atas keamanan dan keselamatan. 2. Hak informasi. 4
Ibid, h. 27-28.
5
Nasution, Konsumen Dan Hukum, h. 30.
37
3. Hak untuk memilih. 4. Hak untuk didengar. 5. Hak atas lingkungan hidup yang baik. Secara konseptual hak-hak konsumen tersebut dalam bentuk konsep rancangan UUPK hukum yang disampaikan pada pemerintah dan semua pihak yang bertanggung jawab agar dimasukan dalam jaringan hukum Indonesia sehingga dapat menjadi salah satu instrument hukum.6 Pada tahun 1981 untu pertama kalinya YLKI mengusulkan kepada pemerintah
Indonesia
untuk
mengeluarkan
Undang-undang
perlindungan
konsumen, karena banyaknya keluhan konsumen yang disampaikan kepada lembaga ini. Tetapi usulan ini ditolak dengan alasan di Indonesia telah ada aturan yang membahas tentang konsumen. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan masalah konsumen itu termuat dalam lingkungan hukum perdata (KUH Perdata, KUHD, dan lain-lain) maupun hukum publik (Hukum Pidana, hukum administrasi, hukum internasional, hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan lain-lain). Disamping itu bentuk lain dari hubungan dan masalah konsumen terdapat pula penanggulangnnya dalam etika bisnis yang lazim disebut regulasi sendiri (Self regulation) dari kalangan pengusaha atau profesi ( antara lain : kode etik, kode pemasaran, kode praktek pengusaha atau profesi) 7 Oleh karena itu
6
Ibid, h. 80.
7
Ibid, h. 62.
38
pemerintah beranggapan belum perlu adanya peraturan perundang-undangan yang baru. Tetapi pada kenyataannya “Hukum Konsumen” yang dimaksud oleh pemerintah Indonesia, menurut Az.Nasution, SH, banyak yang mengalami kendala dalam pemanfaatannya, yaitu8: 1. Peraturan perundang-undangan tersebut diterbitkan bukan untuk tujuan khusus untuk menghatur dan atau melindungi. 2. Dalam peraturan tersebut tidak menyebutkan dengan jelas apa yang dimaksud dengan kepentingan konsumen. 3. Kebebasan kalangan pelaku usaha dalam
bisnis telah banyak merugikan
konsumen, hal ini membuktikan bahwa perundang-undangan tersebut sudah tidak memadai lagi. 4. Hukum acara yang berlaku tidak mudah dimanfaatkan oleh konsumen yang dirugikan. 5. Berbagai kepentingan konsumen sebagaimana yang telah disepakati oleh PBB dalam resolusi tentang pedoman perlindungan konsumen memerlukan sarana dan prasarana hukum untuk dapat diwujudkan bagi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat Indonesia melalui organisasi konsumen terus berusaha agar undang-undang perlindungan konsumen di Indonesia dapat segera terbentuk. Dan akhirnya perjuangan selama bertahun-tahun itu membuahkan hasil, yaitu pada tanggal 20 April 1999 pemerintah telah bersedia mengeluarkan 8
Ibid., h. 80-81
39
UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang disahkan oleh presiden B.J Habibie (Presiden Indonesia pada waktu itu). Dengan munculnya UUPK ini diharapkan akan dapat
mendidik
masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajibankewajiban yang dimiliki konsumen dan pelaku usaha. Dalam konsiderans Undang-Undang ini dikatakan bahwa untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Agar tercipta suatu kegiatan perekonomian yang baik dan sah menurut hukum Islam serta tidak merugikan bagi konsumen.
B. Asas dan Tujuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan yang dimaksud sebagai konsumen di sini adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jadi yang dimaksud konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir, bukan untuk diperjual belikan kembali. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, Keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Sedangkan maksud dari pasal ini yaitu perlindungan konsumen
40
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 1. Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memmberikan manfaat sebesar-besesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan
atas
keamanan
dan
keselamatan
kepada
konsumen
dalam
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum. Memperhatikan substansi pasal 2 UU Perlindungan Konsumen demikian penjelasannya,
tampak
bahwa
perumusannya
mengacu
pada
filosofi
41
pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia. Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum hal ini masih terdapat kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan, dan sering antara tujuan yang satu dengan yang lainnya terjadi benturan. Asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen di samping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. Menyangkut asas keseimbangan yang dikelompokan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara lansung di antara para pihak tetapi melalui
42
berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Keseimbangan
perlindungan
antara
pelaku
usaha
dan
konsumen
menampakan fungsi hukum sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial. Dalam konsep efisiensi, suatu proses dikatakan telah mencapai efisiensi apabila proses yang bersangkutan menghasilkan output maksimal dengan input minimum. Di bidang ekonomi konsep tersebut menjelma dalam bentuk; efficient production, efficient exchange, dan utilitarian efficiency. Dalam hubungan ini, maka pranata hukum juga perlu dilihat sebagai “faktor produksi”, yang baru menjadi efisien apabila nilai ekonomi barang dan jasa telah dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pranata hukum bersangkutan. Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokan dalam 3 (tiga) kelompok di atas yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi.9 Dalam Pasal 3 UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa, perlindungan konsumen bertujuan :
9
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007 ), h.35.
43
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang atau jasa. 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. 6. Meningkatkan kwalitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamtan konsumen. Pasal 3 UUPK ini merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam pasal 2, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus
44
membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 di atas. Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan angka 3, dan angka 5. sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan angka 1, angka 2, termasuk angka 3, dan 4, serta angka 6. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan angka 4. pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada angka 1 sampai dengan angka 6 terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda. Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam angka 1 sampai dengan angka 6 dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Termasuk dalam hal ini substansi ketentuan pasal demi pasal yang akan diuraikan dalam bab selanjutnya.
Unsur
masyarakat
sebagaimana
dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektifitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas undangundang adalah tiga unsur yang saling berkaitan.
45
Bila
mencermati
susunan
hak-hak
konsumen
dalam
UUPK
ini
kenyamanan, keamanan,dan keselamatan barang dan jasa merupakan prioritas hak yang utama.ketentuan ini memang sangat tepat mengingat kebutuhan barang dan atau jasa yang harus dipenuhi oleh setiap konsumen terutama yang berkaitan dengan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Islam memandang bahwa kebutuhan semacam ini merupakan sesuatu yang bersifat dloruri (primer).10 Oleh karena itu para ahli hukum Islam telah sepakat bahwa memelihara kebutuhan ini merupakan kebutuhan syari‟ah (maqosid al-syariah) yang utama.11 Namun agar pemenuhan kebutuhan tersebut tetap
selaras
dengan
ajaran
Islam,
pelaksanaannya
harus
senantiasa
memperhatikan ketetapan-ketetapan hukum Islam itu sendiri. Sehingga konsumen akan dapat merasakan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Konsumen juga mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Untuk memilih dan mengetahui kondisi dan jaminan barang dan jasa tertentu, informasi dari barang dan atau jasa yang sah untuk dikonsumsi. Semua transaksi yang dilakukan antara konsumen dan pelaku usaha akan sempurna bila transaksi tersebut jelas, terang, jauh dari praktek-praktek penipuan, pemalsuan, dan menutupi cacat atau aib. Jika
10
11
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, ( Bandung : LPPM UNISBA, 1995 ), h.101.
Zainuddin Ahmad, Al-qur’an Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, ( Yogyakarta : Dana Bakti wakaf, 1995 ), h.21
46
yang demikian dilakukan maka sebagaiman dikatakan oleh Rasulallah SAW dalam sabdanya :
: 12 Artinya : “Diceritakan Badal bin Mahrab, diceritakan Syu’bah dari Qatadah berkata saya mendengar Abi Khulail pembicaraan dari Abdullah bin Harist dari Hakim bin Hizam RA. Bahwa Rasulallah berkata : “dalam jual beli dengan cara khiyar selagi belum terpisa ataupun sudah terpisa jarak, jika terdapat kejujuran dan kejelasan diantara mereka maka terdapat berkah dalam transaksinya dan Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, maka Allah akan menghapus berkah dari transaksi tersebut” (HR. Al Bukhârî) Jika Allah telah menghapus berkah dari transaksi ini, maka syari‟at tidak bisa membiarkan transaksi tersebut berlaku ataupun meluluskannya. Dengan kata lain hukum Islam melarang adanya informasi yang tidak jelas apalagi tidak benar dari pelaku usaha. Oleh karena itu Islam memberikan kepastian bahwa hak mendapatkan informasi yang jujur, jelas dan harus mendapat jaminan hukum. Hal ini senada dengan pasal 7 dan pasal 8 bahwa, pelaku usaha tidak boleh tidak harus mengikuti ketentuan produks secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Dengan pelabelan ini konsumen dapat mengetahui apakah barang tersebut boleh dikonsumsi bagi konsumen muslim 12
Al-Maktabah al-Syamilah, Muhammad bin Ismaîl Abu Abdullah al-Bukhârî, Sahîh alBukhârî, ( Yaman: Ridwana, 2008 ), Juz.2, h.733., no.1976.
47
atau tidak. Dan pelabelan halal ini dilakukan atas pengawasan dan sertifikasi dari Badan LPPOM MUI.
C. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Muslim dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999. Dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dijelaskan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang dan jasa yang nyaman dikonsumsi olehnya, salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agama Islam, yaitu halal. Kehalalan suatu makanan atau produk bukan hanya terletak pada adanya unsur babi atau tidak. Banyak unsur lainnya yang menyebabkan suatu makanan atau minuman menjadi haram. Misalnya unsuf fermentasi atau unsur lainnya seperti alkohol. Sup ikan belum halal karena dalam memasak ikan menggunakan ang cui atau arak, adahal ikan itu adalah makanan yang halal. Demikian juga anggur, buah anggur itu halal, tapi setelah menjadi minuman maka nggur tersebut menjadi haramg.13 Contoh yang lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap bersikukuh bahwa vaksin maningitis (radang selaput otak) yang disuntikan peda jemaah haji 13
Minuman cap badak kok tak ada label halalnya pak?, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http://ariesaja.wordpress.com/2009/06/24/minuman-cap-badak-kok-tak-ada-label-halalnya-pak/# more-386.
48
Indonesia tetap haram. MUI menolak fakta yang disodorkan Depkes, bahwa vaksin itu bebas dari DNA babi. “Hasil uji Badan Obat dan Makanan (POM) membuktikan hasil akhir vaksin bebas dari DNA babi. Akan tetapi, dalam proses pembuatan terjadi persinggungan dengan unsur babi, yaitu trypsin (enzim) yaang berasal dari porcine yang bersumber dari enzim babi. 14 Contoh lainnya adalah apa yng telah dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), bahwa BPOM mengingatkan kepada masyarakat agar tidak menggunakan peralatan makan melamin. Pasalnya menurut data BPOM, peralatan makan „melamin‟ yang bila digunakan untuk mewadahi makanan berair, asam atau panas akan melepaskan formalin. Akibatnya penggunaan berbagai produk yang mengandung melamin tersebut dalam jangka panjang beresiko menimbulkan gangguan ginjal dan kandung kemih, gagal ginjal, kerusakan organ tubuh, kanker, hingga kematian. 15 Selain contoh di atas terdapat juga kasus yang baru-baru ini kita dengar dan menjadi pembicaraan umum, yaitu kasus pidana pencemaran nama baik dengan tersangka Prita Mulyasari (32) dengan penuntut rumah sakit Omni adalah salah kaprah. Seharusnya pihak rumah sakit memberikan penjelasan kepada pasien dalam hal ini konsumen tentang kondisi kesehatan dan pemeriksaannya.
14
Mediakonsumen, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap bersikukuh, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http://www.mediakonsumen.com/artikel931.html. 15
Ibid.
49
“ini malah konsumennya dikenakan pencemaran nama baik dengan alat UU Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE)”. Dalam Pasal 4 UU PK disebutkan hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. “Dan tulisan Prita dalam email merupakan bentuk meminta penjelasan bukan pencemaran nama baik”.16 Adapun salah satu pasal yang menjelaskan tentang hal tersebut dapat ditemukan pada pasal 4 mengenai hak dan kewajiban konsumen. Pada pasal ini disebutkan bahwa hak konsumen adalah : 1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. 2. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan. 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
16
Mediakonsumen, Kasus pidana pencemaran nama baik, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http://www.mediakonsumen.com/artikel931.html.
50
6. Hak untuk mendapat permintaan dan pendidikan konsumen. 7. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 8. Hak untuk mendapatkan Kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari sembilan butir hak-hak konsumen yang diuraikan di atas, terlihat bahwa kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen hal ini jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Kelayakan produk tersebut merupakan "standar minimum" yang harus dimiliki atau dipenuhi oleh suatu barang dan atau jasa tertentu sebelum barang dan atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas.17 Dengan demikian, jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan dalam menggunakan barang dan atau jasa, terutama yang dibutuhkan konsumen untuk mempertahankan hidupnya seperti sandang, pangan, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan sanitasi (kebutuhan pokok) sangat dibutuhkan bagi konsumen. Untuk menjamin bahwa suatu barang dan atau jasa dalam 17
Widjaya, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, h.39.
51
penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan penggunanya, maka konsumen mempunyai hak untuk memilih barang dan atau jasa yang dibutuhkan secara bebas, atas dasar keyakinan diri sendiri dan bukan karena pengaruh lingkungan luar (Iklan, lingkungan dan sebagainya). Konsumen berhak menentukan pilihannnya, disinilah ungkapan konsumen adalah raja sudah saatnya diwujudkan, sehingga tidak hanya sekedar slogan semata. Untuk menjamin hak pilihan konsumen ini, menurut LP2K (Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen) sekarang harus diciptakan iklim usaha yang tidak monopolis. Dengan demikian, produsen tidak bisa seenaknya memaksa konsumen untuk membeli atau menggunakan produk tertentu tanpa informasi yang jelas tentang produk tersebut. Sedangkan pasal yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban pelaku usaha diterangkan pada pasal 7 UUPK. Di sini disebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah : 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha. 2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benda dan jujur serta tidak diskriminatif. 4. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau jasa diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.
52
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan. 6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan. 7. Memberikan Kompensasai, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Sementara dalam pasal 8 UUPK desebutkan ; 1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang : a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan yang sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut. c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan atau jasa tersebut.
53
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan komposisi proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut. f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut. g. Tidak mencantumkan kadar kadaluarasa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. h. Tidak mengikuti ketentuan berfroduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "Halal" yang dicantumkan dalam label. i.
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal poembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.
j.
Tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.
54
3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan-pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa informasi tersebut meliputi: 1. Manfaat atau kegunaan barang. 2. Efek samping yang dapat timbul dari pemakaian barang dan atau jasa tersebut. 3. Tanggal kadaluarsa. 4. Nama dan alamat perusahaan dan nomor pendaftaran (registration). Adapun informasi di atas dapat diperoleh dengan cara : 1. Secara langsung dari pedagang. 2. Keterangan yang tercantum dalam table kemasan. 3. Melalui promosi media cetak dan media elektronik. Dengan ketentuan di atas maka konsumen memiliki hak untuk dilindungi dari berbagai merek atau iklan-iklan yang menipu dan mengelabui (yang tidak benar). Konsumen secara kolektif atau individu memiliki hak untuk didengar keluhan dan pendapatnya menyangkut hal-hal yang berkaitan erat dengan keputusan atau kebijakasanaan yang akan berakibat pada dirinya yang dibuat oleh pelaku usaha. Disamping itu konsumen juga memiliki hak untuk menyuarakan kepentingannya
sebagai
konsumen
dalam
pembuatan
dan
pelaksanaan
kebijaksanaan pemerintah. Hak untuk di dengar ini dapat diaktualisasikan dengan
55
cara mengadu baik kepada produsen (pelaku usaha) apabila konsumen dirugikan atau dikecewakan, maupun kepada pemerintah untuk meminta bantuan peraturan yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Selanjutnya dalam pasal 34 ayat 1 hurup f UUPK ini disebutkan bahwa Badan
Perlindungan
pengaduan
tentang
Konsumen
Nasional
perlindungan
mempunyai
konsumen
dari
tugas
"menerima
masyarakat,
lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha". Adapun mengenai proses pengajuan keluhan atau bahkan gugatan sengketa konsumen akan dibahas dalam sub bahasan berikutnya. Sebagaimana disebutkan dalam UUPK pasal 31, bahwa dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk BPKN. Selanjutnya dalam pasal 33 ayat 1 UU tersebut dijelaskan bahwa BPKN bertugas : 1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen. 2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen. 3. Melakukan penelitian terhadap barang dan atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen. 4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 5. Menyebrluaskan
informasi
melalui
media
mempunyai
perlindungan
konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen.
56
6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyrakat, lembaga perlindungan konsumen dari masyarakat atau pelaku usaha. 7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen. Selanjutnya dalam pasal 45 UUPK tersebut diatas dikatakan : 1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 2. Penyelesain sengketa konsumen dapat di tempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Adapun yang dimaksud denda sengketa konsumen dalam ketentuan tersebut adalah sengketa antara konsumen sebagai penggugat yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi, menggunakan, memanfaatkan barang dan atau jasa terhadap pelaku usaha sebagai tergugat yang memproduksi, menyediakan, menjual, mengiklankan barang dan atau jasa. Mengenai
mekanisme
gugatan
atas
pelanggaran
pelaku
usaha
sebagaiamana dinyatakan dalam pasal 46 ayat 1 UUPK dapat dilakukan oleh : 1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan. 2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. 3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
57
tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. 4. Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian meteri yang besar dan atau korban yang tidak sedikit. Kemudian sebagaimana disebutkan di atas bahwa penyelesaian konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 48 UUPK : "Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45". Adapun proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 49 ayat 1 UUPK : "Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di daerah tingkat II untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan". Sementara itu dalam pasal 52 huruf a UUPK dinyatakan bahwa salah satu tugas dan wewenang BPKS adalah : "Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dapat dilakukan dengan cara melakukan mediasi, arbritase atau konsilidasi". Dengan adanya ketentuan di atas maka kepentingan konsumen yang selama ini dirugikan oleh pelaku usaha di harapkan akan dapat diselesaikan secara adil.
58
Pentingnya pemberian informasi yang jelas bagi konsumen bukanlah tugas dari pelaku usaha semata-mata, melainkan juga tugas konsumen untuk mencari apa dan bagaimana informasi yang dianggap relevan yang dapat dipergunakan untuk membuat suatu keputusan tentang penggunaan, pemanfaatan maupun pemakaian dan atau jasa tertentu. Untuk itu, pendidikan tentang "perlindungan konsumen" menjadi suatu hal yang signifikan, tidak hanya memberikan bargaining position yang lebih kuat pada konsumen untuk menegakan hakhaknya, melainkan juga agar dapat tercipta aturan main yang lebih fair bagi semua pihak. Dalam pasal 29 UUPK ini disebutkan bahwa : 1. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 2. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait. 3. Menteri sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. 4. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana di maksud dalam ayat (2) meliputi upaya untuk : a) Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen.
59
b) Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. c) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur oleh peraturan pemerintah.
BAB IV ANALISIS TERHADAP UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Analisis Terhadap Bentuk-bentuk Perlindungan Konsumen dalam Undangundang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam ketentuan Undang-undang perlindungan konsumen, penulis hanya akan membahas beberapa poin tentang perlindungan konumen secara global saja. dengan alasan peraturan ini diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Bila mengingat banyaknya peraturan perundangan di Indonesia, rasanya mustahil untuk membahasnya satu persatu dalam kesempatan yang relatif singkat ini. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab III bahwa, Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan yang dimaksud sebagai konsumen di sini adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jadi yang dimaksud konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir, bukan untuk diperjual belikan kembali. Memperhatikan
substansi
pasal
2
Undang-undang
Perlindungan
Konsumen demikian penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada
60
61
filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi tiga asas, yaitu1 : 1. Asas kemanfaatan, yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen. 2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan 3. Asas kepastian hukum. Dari ketiga asas ini, asas yang paling menonjol adalah asas keadilan, demikian pula hubungannya dengan substansi pasal 1 angka (1) dalam bab sebelumnya, dapat dikatakan hukum ini dalam lingkup kajian hukum ekonomi. Hukum ekonomi yang dimaksud yaitu, mengakomodasi dua aspek hukum sekaligus diantaranya aspek hukum publik dan aspek hukum privat (perdata). Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktifitas yang berhubungan dengan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Asas-asas hukum perlindungan konsumen yang dikelompokkan dalam tiga kelompok di atas, dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas
1
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2004 ), cet.1, hlm.26.
62
keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan memaksimalisasi, dan asas kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Dalam Pasal 3 UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa Perlindungan konsumen bertujuan : 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/atau jasa; 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen”. Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan huruf e.
63
Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a dan huruf b termasuk huruf c dan d serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, karena dalam rumusan pada huruf a sampai huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda. Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan tujuan khusus dalam huruf a sampai f akan dapat tercapai maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan sub sistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektifitas undang-undang perlindungan konsumen, kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efekifitas perundangundangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan. Pasal 3 Undang-Undang perlindungan konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam pasal 2, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Untuk mewujudkan tujuan UUPK, pemerintah bertujuan atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen (pasal 29 ayat (4) UUPK) sebagaimana berikut :
64
1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen. 2. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 3. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen. Menurut penulis inti dari UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen ini bertitik beratkan pada hak dan kewajiban saja, sedangkan pasalpasal berikutnya adalah penunjang dan kelanjutan dari hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, seperti sangsi, klausa baku, pidana, dan lain sebagainya. Bila mencermati susunan hak-hak konsumen dalam UUPK ini, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan barang dan jasa merupakan prioritas hak yang utama. Ketentuan ini memang sangat tepat mengingat kebutuhan barang dan/ atau jasa yang harus dipenuhi oleh setiap konsumen terutama yang berkaitan dengan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Islam memandang bahwa kebutuhan semacam ini merupakan sesuatu yang bersifat dzoruri (primer).2 Oleh karena itu para ahli hukum Islam telah sepakat bahwa memelihara kebutuhan ini merupakan kebutuhan syari’ah (maqosid syari‟) yang utama.3 Namun agar pemenuhan kebutuhan tersebut tetap
2
3
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, ( Bandung : LPPM UNISBA, 1995 ), h.101.
Ziauddin Ahmad, Al Qur‟an Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, ( Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf, 1995 ), h.21.
65
selaras dengan ajaran Islam, pelaksanaanya harus senantiasa memperhatikan ketetapan-ketetapan hukum Islam itu sendiri. Sehingga konsumen itu sendiri akan dapat merasakan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Bahkan dengan aspek kenyamanan, Islam memandang bahwa hal ini merupakan kebutuhan pokok dan tepat guna, karena memberikan kesenangan dan kenyamanan kepada konsumen. 4 Dalam Islam juga mengajarkan tentang etika tidak boleh berlebihlebihan atau bersifat boros. Sifat yang diistilahkan dalam Al Qur’an dengan ishrof dan tabdzir ini, sangat dilarang dalam Islam. Allah SWT. Berfirman dalam surat AlA’râf :
Artinya : “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah sangat tidak menyukai orang yang berlebihlebihan”. (QS. Al-A’râf / 7 : 31) Menurut
Afzlur Rahman sifat
berlebih-lebihan berpotensi untuk
menumbuh kembangkan in dustri-industri yang tidak kondusif dan tidak bermoral serta kejahatan dan kekacauan dalam masyarakat yang akhirnya dapat menghancurkan kesatuan dan integritas d alam masyarakat. Dalam kontek ini perilaku yang demikian jelas sangat bertentangan dengan kepentingan kenyamanan, keselamatan dan keamanan konsumen. Berkaitan dengan hal ini 4
h.42.
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, ( Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf, 1995 ),
66
Monzer kahf mengatakan, pola konsumsi berlebih-lebihan merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan dan dikutuk oleh Islam. 5 Sementara itu M. Abdul manan mengatakan, bahwa pada hakekatnya perilaku konsumsi umat islam itu dikendalikan oleh lima prinsip, yaitu prinsip keadilan, kebersihan, kesederhanaan, kemurah hati dam moralitas. 6 Dengan demikian barang dan/atau jasa yang boleh dikonsumsi adalah yang berguna dan baik yang manfaatnya menimbulkan perbaikan secara material, moral, maupun spiritual pada konsumennya. Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kenyamanan, keamanan keselamatan untuk mengkonsumsi barang dan/atau jasa dalam perspektif hukum Islam, tidak hanya bersifat duniawi semata, melainkan juga akhirat. Atau dengan kata lain hak kenyamanan, keamanan, keselamatan, untuk mengkonsumsi barang dan atau jasa harus selalu mengindahkan aspekaspek tersebut. Sebagai konsekwensinya, pelaku usaha yang tidak mengindahkan ketentuan di atas hendaknya tidak diberi izin oleh pemerintah untuk mengoperasikan usahanya. dan apabila sudah mendapat izin maka izinnya harus dicabut. Konsumen memiliki hak untuk memilih barang dan atau jasa yang dibutuhkan baik kualitas maupun kuantitasnya secara bebas atas keyakinan diri
5
6
Monzer Khaf, Ekonomi Islam., ( Yogyakarta : Putaka Pelajar, 1995 ), h.28.
M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, ( Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf,1995 ), h.45.
67
sendiri. Ia tidak boleh dibujuk atau dipaksa untuk memilih atau membeli suatu barang atau jasa tertentu. James F Angel mengatakan, konsumen adalah raja. Ia bukan bidak yang tidak dapat berfikir, yang dapat dimanipulasi semuanya semuanya oleh pembujuk komersial. 7 Atas dasar inilah produk sutu barang dan atau jasa yang ditawarkan pelaku usaha dapat diterima atau ditolak berdasarkan sejauh mana keduanya dipandang relevan dengan kebutuhan dan gaya hidup. Dalam Islam hak untuk memilih barang dan atau jasa ini disebut dengan hak khiyar. Menurut Sayyid Sabiq, hak khiyar berarti mencari kebaikan dari perkara melangsungkan atau membatalkan transaksi. Adapun mengenai kesesuaian nilai tukar Sayyid Sabiq berpendapat bahwa ini harus dilaksanakan secara wajar, pelaku usaha dilarang untuk menjerumuskan konsumen. Akan halnya dengan kesesuaian kondisi barang dan/atau jasa serta jaminan yang dijanjikan menurut hukum Islam telah jelas adanya. Maksudnya bahwa setiap manfaat yang diperoleh dari barang dan/atau jasa yang diperjualbelikan adalah milik/hak konsumen. Oleh karena itu jika dikemudian hari terdapat ketidaksesuaian kondisi barang dan/atau jasa yang dijanjikan maka ia berhak mendapatkan gantinya. Konsumen berhak memilih barang dan/atau jasa yang dimiliki konsumen, maka sangat tidak etis jika masih terdapat usaha-usaha yang sifatnya monopolistis. Sebab secara tidak langsung pola usaha semacam ini akan menghambat kepentingan diatas.
7
James F Angel, dkk, Periaku Konsumen, ( Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994 ), h.9.
68
Konsumen juga mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Untuk memilih dan mengetahui kondisi suatu barang dan jasa tertentu, informasi dari barang dan/atau jasa yang sah untuk dikonsumsi. Semua transaksi yang dilakukan antara konsumen dan pelaku usaha akan sempurna bila transaksi tersebut jelas, terang, jauh dari praktek-praktek penipuan, pemalsuan, dan menutupi cacat atau aib. 8 Jika yang demikian dilakukan maka sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
: 9 Artinya : “Diceritakan Badal bin Mahrab, diceritakan Syu‟bah dari Qatadah berkata saya mendengar Abi Khulail pembicaraan dari Abdullah bin Harist dari Hakim bin Hizam RA. Bahwa Rasulallah berkata : “dalam jual beli dengan cara khiyar selagi belum terpisa ataupun sudah terpisa jarak, jika terdapat kejujuran dan kejelasan diantara mereka maka terdapat berkah dalam transaksinya dan Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, maka Allah akan menghapus berkah dari transaksi tersebut” (HR. Al Bukhârî)
Dr. ahmad Muhammad al Assad dan Dr. Ahmad Abdul Karim mengatakan, jika Allah telah menghapuskan berkah dari transaksi ini, maka 8
Drs. Imam Saefudin, Sistem Dan Tujuan Ekonomi Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1999 ),
h.208. 9
Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhârî, Sahih Al-Bukhârî, (Yaman : Ridwana, 2008 ), Juz.2, h.733., no.1976.
69
syari’at
tidak
bisa
membiarkan
transaksi
tersebut
berlaku
atau
pun
meluluskannya. 10 Dengan kata lain hukum Islam melarang adanya informasi yang tidak jelas apalagi tidak benar dari pelaku usaha. Oleh karena itu Islam memberikan kepastian bahwa hak mendapatkan informasi yang jujur, jelas dan benar harus mendapat jaminan hukum. Hal ini juga sesuai dengan pasal 7 dan 8 bahwa, pelaku usaha tidak boleh tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Dengan pelabelan ini konsumen dapat mengetahui apakah barang tersebut boleh dikonsumsi bagi konsumen muslim maupun tidak. Dan pelabelan halal ini dilakukan atas pengawasan dan sertifikasi dari Badan LPPOM MUI. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Disadari atau tidak semua masyarakat adalah konsumen, bahkan pelaku usaha sekalipun. Berkaitan dengan ketentuan ini, konsumen secara kolektif atau individu memiliki hak untuk didengar keluhan dan pendapatnya menyangkut barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Menurut Ibn Rusyd bila terdapat ketidaksesuaian antara kondisi barang dan juga harga yang diterima dengan yang dijanjikan konsumen diperbolehkan untuk mengadukannya kepada pelaku usaha. Hal ini menurutnya masih dalam rangka khiar.11 Senada dalam hal ini Sayid Sabiq mengatakan, jika penjual dan
10 11
Saefudin, Sistem Dan Tujuan Ekonomi Islam, h.209. Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahîd, ( Semarang : Wahana Keluarga, tth ), h. 105.
70
pembeli berselisih tentang kondisi barang dan/atau jasa, dan masing-masing beralternatif, tetapi tidak ada kejelasan diantara keduanya, maka yang dipegang adalah ucapan penjual dengan sumpah seperti yang dilakukan Ustman. Ada pula yang mengatakan adalah pembeli dengan sumpah. 12 Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dalam konteks transaksi bisnis sekarang ini maka konsumen jelas memiliki hak untuk didengar keluhan dan pendapatnya baik kepada pelaku usaha sendiri maupun penentu kebijakan yang lain semisal pemerintah. Sebab dalam prakteknya dewasa ini pembuat kebijakan mengenai ketentuan barang dan/jasa termasuk dalam hal harga, tidak sepenuhnya hak pelaku usaha. Atau dengan kata lain kebijakan mengenai harga dan barang dan/atau jasa itu sendiri dibuat bersama antara pelaku usaha dan pemerintah. Dengan demikian konsumen tidak hanya menerima keputusan secara sepihak melainkan melibatkan secara bersamasama. Menurut Juhaya S. Praja, terdapat lima prinsip dalam melaksanakan kegiatan mu’amalah yaitu taba‟dulul manafi‟ (memberikan keuntungan dan manfaat bersama), pemerataan, „an taradhin (suka sama suka), „adâmul ghurûr (tidak boleh terdapat tipu daya), kebaikan dan takwa, dan musyawarah (kerjasama).13 Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut secara tidak langsung konsumen secara sah dan meyakinkan mempunyai hak untuk didengar pendapat
12
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Penerjemah : Mauludin, ( Bandung : Al Maarif, 1987 ), h.
13
Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 113–114.
101.
71
dan keluhannya agar setiap kebijakan yang dibuat dapat sesuai dengan prinsip di atas. Hal ini sesuai dengan pasal 34 ayat 1 bahwa badan perlindungan konsumen
nasional
mempunyai
tugas
“menerima
pengaduan
tentang
perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha”. Sering terjadi konsumen menderita kerugian akibat mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa. Pada saat demikian kemungkinan besar yang akan muncul adalah sengketa antara para pihak yang terlibat, yang diistilahkan disini dengan sengketa konsumen. Dalam kondisi seperti ini konsumen memerlukan bantuan hukum (advokasi) dalam rangka untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara hukum. Sebab sebagaimana di atur dalam pasal 48 dan 49 UUPK ini, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Untuk kepentingan ini tidak semua konsumen memiliki keahlian di bidang tersebut. Oleh karena itu suatu keharusan bilamana konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan advokasi dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen. Dalam Islam dikenal adanya lembaga peradilan yang disebut al qadla. Disamping itu ada lagi yang disebut dengan Lembaga Tahkim, Wilayah Madzalim, Wilayah Hisbah dan Lembaga Ifta‟.14 Disamping lembaga-lembaga
14
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, ( Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997 ), h. 48.
72
tersebut juga dikenal satu lagi yaitu as Shulhu.15 Lembaga-lembaga inilah yang akan menyelesaikan setiap persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat Islam. Secara historis, telah banyak sengketa konsumen yang dapat diselesaikan melalui lembaga-lembaga tersebut. Namun bila dicermati maka secara etimologis lembaga-lembaga di atas memang jelas berbeda dengan lembaga peradilan di Indonesia, demikian juga dalam hal pelaksanaannya, sebab lembaga tersebut harus mendasarkan keputusannya dengan hukum Islam. Sedangkan lembaga peradilan Indonesia mendasarkan keputusannya kepada hukum positif yang berlaku. Tetapi secara substansial lembaga tersebut sama-sama bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang ada dalam masyarakat. Sehingga ditemukan satu keputusan yang adil. Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen baik melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan tidak ada masalah, termasuk dalam hal kewenangannya sejauh hal ini untuk melindungi semua pihak terutama yang teraniaya. Hasbi ash Shiddieqi mengatakan, bahwa suatu keharusan untuk
melindungi kepentingan orang-orang
yang
teraniaya dan untuk
menghilangkan sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat. 16 Oleh karena itu sangat tepat kiranya jika dewasa ini banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti YKLI dan LP2K yang didirikan untuk memperjuangkan hak konsumen yang merasa dirugikan. Demikian pula perlu 15
Ibid, h. 49.
16
Ibid, h. 38.
73
disambut langkah pemerintah yang akan mendirikan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap daerah. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen Untuk melaksanakan hak-hak yang disebutkan di atas diperlukan adanya satu pemahaman yang cukup mengenai masalah konsumen. Oleh karena itu pembinaan dan pendidikan konsumen merupakan suatu hal yang sangat diperlukan oleh konsumen. Melalui pembinaan dan pendidikan konsumen akan timbul dalam masyarakat wawasan yang luas mengenai apa, mengapa, dan bagaimana mengkonsumsi barang dan jasa. 17 Dengan demikian konsumen akan dapat merasakan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hal ini sesuai dengan pasal 29 UUPK bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta di laksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”. Dalam rangka inilah menurut Qardhawi, Islam mengarahkan pola konsumsi umat Islam ke dalam lima hal, yaitu pendidikan moral, pendidikan masyarakat, pendidikan ekonomi, pendidikan kesehatan, dan pendidikan politik. 18 Pendidikan moral mengandung maksud bahwa setiap pembatasan terhadap pemanfaatan dan penggunaan barang dan/atau jasa merupakan sarana untuk 17
18
mendidik
masyarakat
hidup
sederhana.
Pendidikan
masyarakat
James F. Angel, Periaku Konsumen, hlm. 5–6.
Yusuf Qardhâwi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah Didin Hafidudin, ( Jakarta : Robbani Press, 1997 ), h. 262–271.
74
mengandung maksud bahwa pembatasan pemanfaatan dan penggunaan barang dan/atau jasa merupakan sarana untuk mengatasi kesenjangan sosial yang terlalu lebar. Pendidikan ekonomi bertujuan agar masyarakat selalu bersikap produktif dan tidak konsumtif. Pendidikan kesehatan mengandung maksud bahwa pembatasan pemanfaatan dan penggunaan barang dan/atau jasa bertujuan untuk menjaga kesehatan sebagai unsur terpenting dalam kehidupan. Tersirat dalam uraian di atas bahwa ajaran Islam tidak hanya membuka wacana perilaku konsumen yang berorientasi pada kepuasan materiil, tetapi juga kepuasan spirituil. Dengan demikian pendidikan konsumen tidak hanya bermanfaat bagi konsumen secara individu, tetapi juga konsumen secara kolektif bahkan seluruh bangsa. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Secara faktual sepertinya tidak dapat ditemukan di muka bumi ini suatu komunitas masyarakat tanpa adanya suatu perbedaan. Baik ras, suku, maupun agama. Apalagi di bumi nusantara ini yang serba majemuk. Dalam suatu kondisi masyarakat yang demikian seringkali dalam beberapa hal muncul sikap diskriminatif antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Tak terkecuali dalam pelayanan konsumsi. Oleh karena itu, dalam rangka melindungi setiap kepentingan konsumen hak untuk diperlakukan tanpa diskriminatif harus diwujudkan dengan sebenarbenarnya tidak hanya sebagai slogan semata. Hukum Islam sangat mendukung terselenggaranya ketentuan ini. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurât :
75
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurât/ 49 : 13) Ayat di atas menghendaki bahwa sesama manusia itu tidak ada perbedaan dengan alasan apapun. Berkaitan dengan konteks inilah Juhaya S. Praja mengatakan, Islam memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut : Prinsip tauhid, al „adl (keadilan), amar ma‟ruf nahi munkar, al huriyah (kebebasan), al musa‟wah (persamaan), at Ta‟awun (tolong menolong), dan Tasa‟muh (toleransi).19 Semua prinsip ini diharapkan dapat dijadikan pedoman umat Islam bahwa tidak ada kebenaran sama sekali untuk memperlakukan orang lain secara tidak benar dan tidak jujur apalagi bertindak diskriminatif, termasuk dalam masalah konsumsi. Hak untuk mendapatkan konpensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sudah merupakan suatu keharusan, bila barang dan/atau jasa yang diterima oleh konsumen tidak sesuai dengan perjanjian untuk
19
Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 78.
76
mendapatkan konpensasi ganti rugi. Dalam epistemologi hukum Islam hal ini disebut dengan tadlmin atau iwadl. M. Daud Ali mengatakan, hukum Islam memiliki azas perlindungan hak yang berarti bahwa semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan yang halal dan sah, harus dilindungi. Bila hal itu dilanggar maka pihak yang dirugikan berhak untuk menutut. Hal ini sesuai dengan pasal 19 UUPK yaitu “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan kerugian konsumen akibat menkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Juga pada pasal 24 UUPK bahwa “Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain tanpa melakukan perubahan atas barang dan/atau usaha tersebut, pelaku usaha lain dalam sebuah transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha apabila tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi”. Adapun ganti rugi yang dapat dilakukan adalah bisa dengan diganti dengan barang dan/atau jasa seperti pada saat perjanjian, atau dengan membayar harganya. Pembayaran ganti rugi ini selanjutnya akan menjadi hak milik konsumen. Sebab dalam hukum Islam dinyatakan bahwa radlmin dan ta‟widl merupakan salah sebab dari kepemilikan.
77
Demikianlah uraian tentang bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen di tinjau dari perspektif hukum Islam.
B. Analisis Relevansi UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Jaminan Kehalalan Produk Bagi Konsumen Muslim. Sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, jadi sudah jelas kalau konsumen terbesar adalah konsumen muslim. Meski demikian, hak-hak dasar keberagamaannya belum terjamin secara maksimal oleh kebijakankebijakan pemerintahan, khususnya dalam urusan yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Padahal semestinya makanan atau apapun yang dikunsumsi oleh konsumen muslim tersebuuut harus sudah di standarisasi sesuai dengan hukum Islam, bukan semata-mata hanya menurut hokum dagang, untung rugi saja. Hal yang sering terjadi di pasar tradisional maupun swalayan besar halal haram makanan yang sijual belikan seringkali berbaur. Tersamarkan oleh kepiawaian produsen makanan tersebut. Dalam ajaran Islam, sangat mementingkan kebaikan dan kebersihan di semua aspek, baik dari makanan maupun barang gunaan. Karena umat Islam diperintahkan untuk memakan dan mengkonsumsi bahan-bahan makanan yang baik, suci dan bersih saja, karena hal ini berkaitan dengan hukum halal maupun
78
haram. Oleh karena itu umat Islam perlu mengetahui informasi yang jelas mengenai barang yang mereka gunakan.20 Islam sangat menekankan pentingnya aspek keselamatan dan keamanan dalam menkonsumsi barang dan/ atau jasa. Dalam Islam faktor nyaman dalam hal ini adalah adanya jaminan halal, atau makanan tersebut sudah jelas kehalalannya (boleh) dan thayyib (baik).21 Dalam Surat Al Maidah Allah SWT. berfirman :
Artinya : “Mereka menanyakan kepadamu : “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah:”Dihalalkan bagimu yang baik-baik (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu(waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”. (QS. Al-Mâidah / 5 : 4) Berkaitan dengan itu, Monzer Kahf memberikan satu sifat lagi yaitu, rizq.22 Kata thayyib menurut Kahf, menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian dan keindahan. Sedangkan kata ar rizq menunjukkan konotasi bahwa Allah adalah
20
Imam Masykur Alie, Bunga Rampai Jaminan Produk Halal Di negara Anggota Mabims, Bagian Proyek Sarana dan Pra Sarana Produk halal Direktoat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, ( Jakarta : Departemen Agama RI, 2003 ), h.21 21
M. Quraisy Shihab, Membumikan al Qur‟an, ( Bandung : Mizan, 1996 ), h. 287.
22
Khaf, Ekonomi Islam, h. 25.
79
pemberi rahmat sebenarnya dan pemasok semua kebutuhan makhluk hidup. Rangkaian sifat ini menurut Quraish shihab menunjukkan bahwa yang berhak dikonsumsi adalah yang memenuhi syarat tersebut. Dalam Undang Undang perlindungan kondumen yang Berkaitan dengan hal tersebut, dinyatakan dalam pasal 8 ayat 1 huruf a s/d h sebagaimana berikut : 1. Pelaku usaha dilarang untuk memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: 2. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan. 3. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; 4. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; 5. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; 6. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; 7. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
80
8. Tidak
mencantumkan
tanggal
kadaluwarsa
atau
jangka
waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. 9. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara "halal" yanh di cantumkan dalam label. Dengan adanya ketentuan ini maka setiap produsen dalam memproduksi suatu barang dan /atau jasa mempunyai kewajiban untuk: 1. Mentaati atau memenuhi persyaratan peraturan atau ketentuan yang telah di tetapkan pemerintah. 2. Menjamin hasil produksinya aman atau tidak berbahaya bila dikonsumsi. Sebenarnya bila diperhatikan lebih jauh ketentuan “halal” dalam pasal 8 UUPK poin h, belum jelas karena halal dalam arti luas adalah aman untuk dikonsumsi atau boleh dikonsumsi oleh konsumen. Karena tidak dijelaskan apakah hal itu juga halal bagi konsumen muslim. Memgingat begitu umumnya makna kosumen. Menyangkut perlindungan konsumen terhadap produk halal, dibutuhkan jaminan kehalalan suatu produk pangan yang di wujudkan diantaranya dalam bentuk
sertifikat
halal.
Yang
dengan sertifikat
halal produsen dapat
mencantumkan logo halal dalam tiap kemadan hail produksi, sehingga kondumen dapat mengetahui dengan jelas barang yang akan mereka konsumsi. Yang jadi masalah sekarang, bagaimana menjamin bahwa sertifikat halal tersebut telah memenuhi kaidah syari’ah yang ditetapkan oleh hukum Islam .
81
Suatu produk pangan, dalam hal ini berhubungan dengan kompetensi lembaga yang mengeluarkan sertifikat, standa halal yang digunakan, personel yang terlibat dalam sertifikasi dan auditing juga mekanisme sertifikat halal itu sendiri. Dengan demikian, diperlukan adanya suatu standar dan system yang dapat menjamin kebenaran hasil sertifikasi halal. 23 Pengwasan terhadap makanan/minuman baru bisa dilakukan oleh pemerintah apabila produsen mendaftarkan produk mereka secara administratif, pada Lambaga Pengkajian Pangan kosmetika dan Obat-obatan (LPPOM). secara tertulis kepada pemohon disertai alasan. Dalam masalah pelabelan ini UUPK di dukung oleh beberapa peraturan pemerintah dan Undang undang lainnya, sebagaimana berikut : 1. UU No. 7/1996 tentang Pangan Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab label dan iklan pangan pasal 30, 34, dan 35. bunyi pasal dan penjelasan pasal tersebut adalah sebagai berikut : a. Pasal 30 1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, didalam dan atau di kemasan pangan.
23
Anton Apriyantono dan Nur Bowo, Panduan Belanja Dan Sertifikasi Halal, ( Jakarta : Khoirul Bayan, 2003 ), h.25
82
2). Label,
sebagaiman
dimaksud
pada
ayat
(1)
memuat
sekurangkurangnya keterangan mengenai : a) Nama produk b) Daftar bahan yang digunakan c) Berat bersih atau isi bersih d) Nama dan alamat pihak yang memproduksi e) Keterangan tetang halal ; dan f) Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa Penjelasan pasal 30 ayat 2 (e): keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun, pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Adapun keterangan tentang halal dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Dengan pencantuman halal pada label pangan, dianggap telah terjadi pernyataan dimaksud dan setiap orang yang membuat
pernyataan tersebut
bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut. b. Pasal 34 Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama
83
atau kepercayaan tertentu, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut. Penjelasan : dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya. 2. PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan Ada dua pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No. 69 ini yaitu pasal 3, ayat (2), pasal 10 dan 11. a. Pasal 3 ayat (2) Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya : 1). Nama produk 2). Daftar bahan yang digunakan 3). Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia 4). Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa b. Pasal 10 1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut
halal bagi umat
Islam,
bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.
84
2). Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label. Penjelasan Pasal 10 : pencantuman keterangan halal atau tulisan ”halal” pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf latin, harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa indonesia dan huruf latin. Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan, tetapi harus pula dibuktikan dalam proses produksinya. c. Pasal 11 1). Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
85
2). Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksankan berdasrkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut. Penjelasan pasal 11: (1) pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun setiap oran yang memproduksi dan atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakannya sebagai produk yang halal, sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan halal pada label produknya. Untuk menghindarkan timbulnya keraguan di kalangan umat Islam terhadap kebenaran pernyataan halal tadi, dan dengan demikian untuk kepentingan kelangsungan atau kemajuan usahanya, sudah pada tempatnya bila pangan yang dinyatakannya sebagai halal tersebut diperiksakan terlebih dahulu pada lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Pemeriksaan
tersebut
dimaksudkan
untuk
memberikan
ketenteraman dan keyakinan umat Islam bahwa pangan yang akan dikonsumsi memang aman dari segi agama. (2). Lembaga keagamaan yang dimaksudkan adalah Majelis Ulama Indonesia. Pedoman ini bersifat umum, dan antara lain meliputi persyaratan bahan, proses atau produknya. 3. Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan ”Halal” pada Label Makanan.
86
Kepmenkes ini memuat perubahan penting kepmenkes sebelumnya, kelihatannya perubahan ini sebagai konsekwensi adanya SKB tiga lembaga yaitu Depag, Depkes dan MUI. Pasal-pasal yang berubah dan sekaligus relevan dengan masalah sertifikasi halal adalah sebagai berikut : a. Pasal 8 Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan ”Halal” wajib siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal. b. Pasal 10 1). Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 8 dan hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud Pasal 9 dilakukan evaluasi oleh Tim Ahli Majelis Ulama Indonesia. 2). Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh Fatwa. 3). Fatwa MUI sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan. c. Pasal 11 Persetujuan pencantuman tulisan ”Halal” diberikan berdasarkan Fatwa dari komisi Fatwa MUI. d. Pasal 12 Berdasarkan fatwa dari MUI, Direktur Jenderal memberikan :
87
1). Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat ”Halal” 2). Penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat ”Halal” Jadi untuk pemberian label jaminan halal harus memperhatikan hal-hal di atas, produsen tidak bisa asal mencantumkan label halal walaupun sudah meyakini produk yang mereka produksi halal, sebelum melalui pengujian dan pengawasan dari badan LPPOM, yang dalam hal ini dilakukan oleh LPPOM MUI. Dengan kejelasan label ini konsumen dapat merasa aman ketika menkonsumsi makanan. Demikianlah kenyataannya bahwa, dalam Undang Undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen ini, penulis merasa masih kurangnya respon pemerintah terhadap jaminan kehalalan produk bagi konsumen muslim, sebagai perlindungan konsumen yang menduduki tingkat mayoritas di negeri ini. Namun setidaknya kita dapat merasa sedikit lega karena, peraturan tentang jaminan kehalalan produk ini mulai dibahas dalam ketentuan-ketentuan lain, semoga diwaktu yang akan datang pemerintah lebih peduli terhadap hak-hak konsumen muslim Berdasarkan seluruh uraian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasanya terdapat hubungan yang erat antara konsumen dan pelaku usaha. Hal ini memang sebagai konsekuensi logis dari adanya akibat hukum. Dengan kata lain lahirnya hak konsumen secara otomatis akan memunculkan kewajiban dari pelaku usaha. Yang jelas semua ketetapan hukum Islam yang dibuat adalah tidak
88
lain
bertujuan
untuk
melindungi
mashalih
(kemaslahatan-kemaslahatan)
manusia.24
Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat Al-Anbiyâ :
Artinya : “Tidaklah Kami utus engkau Muhammad kecuali untuk menjadi rahmat buat sekalian alam”. ( QS. Al-Anbiyâ / 21 : 107 ) Kata rahmat dalam ayat di atas tidak lain adalah bahwa tujuan akhir dari setiap pengundangan hukum syara’ adalah terwujudnya kemaslahatan manusia. 25 Para Fuqaha dalam memandang kemaslahatan ini, merekamengklasifikasinya menjadi tiga kelompok yaitu untuk memelihara kebutuhan dharuri, hajji dan tahsini yang merupakan tujuan dari syari’at Islam (maqasid as Syar‟i).26 Bila dikaitkan dengan konteks perlindungan hak konsumen maka hal ini sangat relevan dengan konsep kemaslahatan di atas. Oleh karena itu merupakan suatu anjuran (mandub) bagi setiap muslim yang mukalaf dan fardlu kifayah untuk menegakkan dan mendukung terselenggaranya hak-hak konsumen dengan semestinya.
24
Yang dimaksud mashalih menut Ash Satibi yang dikuti oleh Dr. M. Khalid Mas’ud, adalah mashalih yang membicarakan substansi kehidupan manusia, dan pencapaian yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektual yang mutlak. Mashalih ini diwujudkan demi kepentingan dunia dan akhirat. (Lihat Dr. M. Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam Dan Perubahan Sosial, (Surabaya : Al Ikhlas, 1995), h. 229–230). 25 Dahlan Idhami, Karakteristik Hukum Islam, ( Jakarta : Media Sarana Press, 1987 ), h. 20. 26
Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 101.
89
Meskipun demikian dalam pelaksanaannya, terdapat aturan perlu diperhatikan. Dalam pelaksanaan suatu hak akan membawa akibat hukum sebagai berikut: 1. Menyangkut pelaksanaan dan penuntutan hak. Para pemilik hak harus melaksanakan hak-haknya itu dengan cara-cara yang disyari’atkan. 2. Menyangkut pemeliharaan hak. Syari’at Islam telah menetapkan agar setiap orang berhak untuk memelihara dan menjaga haknya itu dari segala bentuk kesewenangan orang lain. 3. Menyangkut penggunaan hak. Hukum Islam telah menyatakan bahwa hak itu harus digunakan untuk hal-hal yang disyari’atkan oleh Islam. Bila mencermati seluruh uraian di atas terlihat adanya Relevansi konsep Islam dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan konsumen khususnya yang berkaitan dengan hak-hak konsumen. Hal ini tentunya sejalan dengan kaidah yang mengatakan:
Artinya : “Suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kemaslahatan rakyatnya”. Indikasi ini meyakinkan penulis bahwa terdapat transformasi nilainilai hukum Islam ke dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Sebab sebagaimana dikatakan oleh C.S.T. Kansil sumber hukum dalam pembentukan hukum adalah dapat ditinjau dari aspek ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan
90
sebagainya. 27 Menurut hemat penulis hukum Islam termasuk salah satu di antara sumber hukum tersebut. Hal ini dibuktikan dengan pengalaman sejarah bahwa pembentukan hukum nasional tidak terlepas dari aspek hukum Islam. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen tersebut merupakan manifestasi dari nilai-nilai hukum Islam yang bersifat universal, yang harus didukung pelaksanaannya.
27
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1992 ), h. 44.
BAB V PENUTUP
Tinjauan dan penelaahan tentang perlindungan konsumen yang penulis sajikan baik peninjauan dalam perspektif hokum Islam ini adalah merupakan rasa keingin tahuan penulis dan merupakan waktu yang tepat untuk memahami perihal perlindungan konsumen. Untuk itulah, dalam mengakhiri penyusunan skripsi ini perlu sedikit dan merupakan suatu keharusan bagi penulis untuk memberikan uraian yang merupakan kesimpulan dari apa-apa yang sudah penulis kemukakan di muka dan beberapa saran yang mungkin dapat terealisasikan, berikut kesimpulan dan sarannnya. A. Kesimpulan. Dari seluruh uraian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ketentuan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen secara substansial sangat relevan dengan nilai-nilai hukum Islam. Bahkan dapat dikatakan terdapat transformasi hukum Islam ke dalam ketentuan tersebut. Karena tujuan UU ini untuk melindungi segenap konsumen Indonesia, termasuk didalamnya konsumen muslim, dan nilainilai yang terkandung didalamnya sudah sesuai dengan hukum Islam, karena tidak bertentangan dengan al Qur’an dan as sunah.
91
92
2. Relevansi Undang-undang
perlindungan konsumen terhadap
jaminan
kehalalan produk bagi konsumen muslim, masih sangat minim. Karena begitu sedikitnya point yang membahas kawajiban pelaku usaha untuk berproduksi secara “halal”, sebagaimana “halal” yang tercantum dalam label. Sedangkan dalam Islam masalah kehalalan merupakan suatu hal yang bersifat dharuri (primer), yang hal ini menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, karena diterima tidaknya amalan ibadah seseorang tergantung dari kehalalan yang mereka konsumsi. Jadi dibutuhkan ketegasan mengenai produk tersebut, dalam hal ini pemerintah diharapkan dapat melakukan pembaharuan atau pengawasan istilah “halal” Supaya konsumen muslim dapat merasa tenang ketika mengkonsumsi suatu barang atau jasa tertentu. Karena, Melindungi dan memperjuangkan
hak-hak
konsumen
sesuai
dengan
peraturan
perundangundangan secara benar dan adil merupakan tindakan yang sangat dianjurkan bagi setiap orang yang mukallaf, dan fardhu kifayah bagi seluruh umat.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas penulis berusaha memberikan saransaran sebagai berikut : 1. Kepada pemerintah, penulis harapkan untuk dapat memberlakukan UndangUndang Perlindungan Konsumen sebagaimana mestinya, sehingga hak-hak konsumen dapat senantiasa terjaga dan terlindungi.
93
2. Terobosan terhadap kebijakan harus lebih kuat lagi untuk melindungi para konsumen di Indonesia yang kini dengan mendapatkan barang yang diimporkan dari berbagai Negara. 3. Mengingat mayoritas konsumen Indonesia adalah orang Islam, pemerintah harus senantiasa mengawasi barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Dalam hal ini pemerintah dapat berkerjasama dengan organisasi keIslaman yang berkompeten, seperti Majelis Ulama Indonesia. 4. Pemerintah seharusnya lebih giat lagi dalam mengkampanyekan dan mensosialisasikan hak-hak konsumen dalam rangka perlindungan konsumen serta memberdayakan aparat-aparatnya di seluruh daerah di Indonesian, sehingga para konsumen lebih mengetahui secara umum tentang hak-haknya. 5. Bagi cendekiawan muslim, diharapkan untuk senantiasa melakukan kajian dan diskusi mengenai masalah konsumen dalam perspektif hukum Islam yang memadai mengenai konsumen. 6. Terselenggaranya peraturan mengenai hak-hak konsumen dengan semestinya tergantung bagaimana konsumen itu sendiri dalam menyikapinya. Oleh karena itu konsumen diharapkan untuk dapat memahami, kemudian melaksanakan peraturan tersebut.
C. Penutup Demikian sekilas pembahasan tentang perlindungan konsumen dalam Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen yang ditinjau
94
dalam perspektif hukum Islam, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan penulis yang sangat terbatas. Oleh karena itu segala kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan ini. Namun demikian penulis tetap berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat, khususnya bagi diri penulis. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. 2006. Departemen Penerangan R.I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahub 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Bandung : Nuansa Aulia, 2006. Departemen Agama RI. Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majlis Ulama Indonesia, 2003. Departeman Agama RI. Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal. Jakarta : 2003. Departemen Agama RI. Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal direktorat Jenderal bimbingan masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Petunjuk teknis pedoman sistem produksi halal. Jakarta : 2003. Departemen Agama RI. Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Direkorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tanya Jawab Seputar Produk Halal. Jakarta : 2003. Departemen Agama RI. Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Direkorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia. Jakarta : 2003 Ahmad, Zainuddin. Al-qur‟an Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan. Yogyakarta : Dana Bakti wakaf, 1995. Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. Jakarta : Chandra Pratama, 1996. Ali, Muhammad. Penelitian Pendidikan; Prosedur dan Strategi. Bandung : Angkasa, 1993. Alie, Imam Masykur. Bunga Rampai Jaminan Produk Halal Di negara Anggota Mabims, Bagian Proyek Sarana dan Pra Sarana Produk halal Direktoat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Jakarta : Departemen Agama RI, 2003. Apriyantono, Anton dan Bowo, Nur. Panduan Belanja Dan Sertifikasi Halal. Jakarta : Khoirul Bayan, 2003.
95
96
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997. Bahresy, Hussein. Pedoman Fiqh Islam. Surabaya : Al-Ikhlas, 1981. Beekum, Rafik Isa. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004. Bukhârî, al, Muhammad bin Ismaîl Abu Abdullah. Sahîh al- Bukhârî, Yaman: Ridwana, 2008. Dahlan, Abdul aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Engel, James F, dkk. Periaku Konsumen. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994. Fauroni, Mohammad R. Lukman. Vlsi al-Quran Tentang Etika Dan Bisnis. Jakarta : Salemba Diniyah, T.th. Idhami, Dahlan. Karakteristik Hukum Islam. Jakarta : Media Sarana Press, 1987. Jurjani, Al. Al-Ta‟rifat. Mesir : Maktabah wa Mathba’ah Mushtafa al-Halabi wa Auladuh, 1936. Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Balai Pustaka, 1992. Khaf, Monzer. Ekonomi Islam. Yogyakarta : Putaka Pelajar, 1995. Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Dina Utama, 1994. Cet.I. Mahmud, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007. Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia. Surabaya : Pustaka Progresif, 2002. Manan, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf,1995. Manzhur, Ibn. Lisan al-Arab, Juz XV. Mediakonsumen, Kasus pidana pencemaran nama baik, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http://www.mediakonsumen.com/artikel931.html.
97
Mediakonsumen, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap bersikukuh, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http://www.mediakonsumen.com/artikel931.html. Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2004. Cet.1. Munawi, al, Muhammad Abd Al-Rauf. Al-Taufiq „ala Muhimmat al-Ta‟rif Mu‟jam Lughowi Mutshalahi. Beirut : Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1990. Cet.I. Nasution, Az. Konsumen Dan Hukum. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1991. Praja, Juhaiyya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung : LPPM UNISBA, 1995. Prast, Wiwid. “Bread Talk Dan Masalah Serti/Ikasi Halal‟, Dalam Furqon, IV, 18, Mei 2006. Peorwadarminta, W.J.S. Pustaka, 1976.
Kamus Bahasa Indonesia, Cet. V. Jakarta : PN. Balai
Qardlawi, al, M. Yusuf. Al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam. t.t.: Dar al-Ma’rifah, 1985. ------------. Halal Haram Dalam Islam. Solo: Era Intermedia, 2003. ------------. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah Didin Hafidudin. Jakarta : Robbani Press, 1997. Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf, 1995. Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid. Semarang : Wahana Keluarga, tth. Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah, Penerjemah : Mauludin. Bandung : Al Maarif, 1987. Saefudin, Imam. Sistem Dan Tujuan Ekonomi Islam. Bandung : Pustaka Setia, 1999. Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran. Bandung : Mizan, 1996. ------------, Membumikan Al-Qur‟an. Bandung : Mizan, 1996.
98
Shofie, Yusuf. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002. Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1986. Wijaya, Gunawan. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Gramedia, 2000. Winata, Tiench Tirta. Makanan Dalam Perspektif Al-Qur‟an Dan Ilmu Gizi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2006. Wordpress. “Minuman cap badak kok tak ada label halalnya pak?”. artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http://ariesaja.wordpress.com/2009/06/24/minumancap-badak-kok-tak-ada-label-halalnya-pak/#more-386 Zuhaili, al, Wahbah. Al-Tafsir al-Munir. Yaman : Ridwana, 2008.