FAKTOR RISIKO OBESITAS PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA BOGOR
RIKSA ADITYA PRAMUDITA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT RIKSA ADITYA PRAMUDITA. Risk Factor of Obesity at Elementary School Children in Bogor. Supervised by FAISAL ANWAR and SRI ANNA MARLIYATI. The purpose of this study was to find out the influence of food consumption pattern, physical activity, heredity, infant feeding history, and dominant risk factors on obesity in elementary school children in Bogor. The observation was held between May and September 2011 at Insan Kamil Elementary School. The samples for this study were 80 students of 9 – 11 years old (40 obese students and 40 normal students) selected from grades IV and V by random sampling technique. Food consumption pattern, physical activity, parents nutritional status, and infant feeding history of the students were identified and measured by using questionnaire and interview technique. The obtained data then was analyzed by using bivariate and multivariate (logistic regression) statistics tests. The results of study showed that there were significant influences of birth weight (r = 0.253, p = 0.023), father nutritional status (r = 0.408, p = 0.000), energy adequacy level (r = 0.557, p = 0.000), fat consumption (r = 0.458, p = 0.000), soft drink consumption frequency (r = 0.314, p = 0.005), fast food consumption frequency (r = 0.311, p = 0.005), fatty food consumption frequency (r = 0.469, p = 0.000), playing time (r = -0.271, p = 0.015), on obesity of children. The result of logistic regression test showed that dominant and influential variables on the obesity were father nutritional status (OR = 1.494), mother nutritional status (OR = 1.446), energy adequacy level (OR = 1.073), fast food consumption frequency (OR = 4.028), and fatty food consumption frequency (OR = 9.071). Keywords: risk factor, obesity, elementary school children
RINGKASAN RIKSA ADITYA PRAMUDITA. Faktor Risiko Obesitas pada Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor. Dibawah bimbingan Faisal Anwar dan Sri Anna Marliyati. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor risiko obesitas pada anak sekolah dasar obes di Kota Bogor serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) mempelajari karakteristik anak dan karakteristik keluarga anak sekolah dasar obes di Kota Bogor, 2) mengidentifikasi riwayat makan dan kebiasaan makan anak sekolah dasar obes di Kota Bogor, 3) mempelajari pola konsumsi anak sekolah dasar obes di Kota Bogor, 4) mengukur aktivitas fisik anak sekolah dasar obes di Kota Bogor, dan 5) menganalisis faktor risiko yang berhubungan dengan obesitas. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai September 2011. Penelitian dilakukan di SD Insan Kamil yang berada di Kota Bogor. Populasi dalam penelitian ini adalah anak SD kelas IV dan V yang memiliki status gizi obes dan normal. Status gizi contoh ditetapkan berdasarkan IMT menurut umur standar WHO 2007. Penelitian diawali dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan anak SD kelas IV dan V yang diperkirakan mengalami obesitas di SD Insan Kamil Bogor. Jumlah contoh dipilih berdasarkan kelengkapan pengisian kuesioner, yaitu 40 anak obes dan 40 anak dengan status gizi normal. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik anak (jenis kelamin, berat lahir anak, berat badan, dan tinggi badan anak), karakteristik keluarga (berat badan dan tinggi badan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, pengetahuan gizi ibu), riwayat makan anak (pemberian ASI, pemberian susu formula, pemberian makanan padat), kebiasaan makan anak (konsumsi energi, protein, lemak, konsumsi cemilan, frekuensi konsumsi sayur dan buah, frekuensi konsumsi fast food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak), dan aktivitas fisik anak (waktu tidur; lama menonton televisi, bermain game, internet; dan bermain di luar rumah). Berat badan anak diukur langsung menggunakan timbangan injak dan pengukuran tinggi badan anak menggunakan microtoise. Konsumsi pangan anak diketahui dengan pencatatan makanan (food record) selama 1x24 jam pada hari libur dan food recall selama 1x24 jam pada hari sekolah. Data aktivitas fisik diperoleh melalui metode pencatatan dan wawancara 2x24 jam, satu hari sekolah dan satu hari libur. Data sekunder meliputi keadaan umum sekolah dan data murid SD Insan Kamil Bogor (nama, kelas, dan nomor telepon). Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entri, dan analisis data. Data dientri menggunakan Microsoft Excel 2010 dan dianalisis dengan SPSS 16.0 for windows. Data yang telah dikategorikan dianalisis secara deskriptif, uji beda t-test dan Mann-Whitney U, analisis korelasi Pearson dan Spearman, dan binary regresi logistik. Murid dari penelitian ini adalah murid SD kelas 4 dan kelas 5 dengan kisaran umur 9-11 tahun. Karakteristik anak menunjukkan sampel yang diambil sebagian besar adalah laki-laki. Sebagian besar dari kelompok anak berstatus gizi normal dan obes sebagian besar lahir dengan berat badan normal. Namun persentase anak yang lahir dengan BBLR/berat lebih cenderung lebih banyak pada kelompok anak obes, yaitu 17,5% anak obes yang lahir dengan BBLR/berat lebih dan 2,5% anak berstatus gizi normal yang lahir dengan BBLR/berat lebih.
Dari kelompok anak obes sebagian besar berasal dari ayah yang status gizinya overweight (45%). Anak yang berstatus gizi normal sebagian besar memiliki ayah yang berstatus gizi normal (62,5%). Sebagian besar anak yang berstatus gizi normal dan obes masing-masing dari ibu yang berstatus gizi normal, yaitu 70% pada kelompok anak berstatus gizi normal dan 50% dari anak obes. Hampir separuh (45%) dari kelompok anak obes mimiliki ibu yang overweight. Karaktersitik orang tua menunjukkan sebagian besar anak obes dan anak berstatus gizi normal memiliki orang tua yang berpendidikan tinggi. Kelompok anak obes, sebagian besar berasal dari keluarga yang pendapatannya antara 510 juta rupiah (42,5%) dan sebanyak 25% berasal dari keluarga dengan pendapatan di atas 10 juta rupiah per bulan. Sebanyak 72,5% anak obes memiliki ibu dengan pengetahuan gizi yang baik. Riwayat makan anak menunjukkan anak obes sebagian besar tidak mendapatkan ASI eksklusif pada waktu bayinya (80%). Terdapat 57,5% anak obes yang diberi susu formula lebih awal atau sebelum usia 6 bulan. Terdapat 50% anak obes yang diberikan makanan padat sebelum usia 6 bulan. Asupan zat gizi anak menunjukkan rata-rata asupan energi anak obes lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal, yaitu anak berstatus gizi normal 2007 ± 403 kkal/kap/hari dan anak obes 2406 ± 388 kkal/kap/hari. Rata-rata asupan lemak anak obes lebih tinggi dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal, yaitu anak berstatus gizi normal 68,8 ± 22,5 g/kap/hari dan anak obes 89,2 ± 19,9 g/kap/hari. Rata-rata asupan protein anak obes lebih rendah dibandingkan anak dengan status gizi normal, yaitu anak berstatus gizi normal 70,4 ± 22,8 g/kap/hari dan anak obes 67,4 ± 20,1 g/kap/hari. Sebanyak 52,5% anak obes dengan tingkat kecukupan energi lebih dan 57,5% anak obes dengan tingkat kecukupan protein lebih. Kebiasaan makan anak menunjukkan sebagian besar anak obes suka ngemil (87,5%). Terdapat 60% anak obes yang suka ngemil makanan ringan. Sebagian besar anak obes yang mengonsumsi sayur 1-3 kali tiap minggu (45%) dan mengonsumsi buah 1-3 kali tiap minggu (55%). Sebagian besar anak obes mengonsumsi soft drink 4-6 kali tiap minggu (35%) dan hanya 7,5% anak berstatus gizi normal yang suka mengonsumsi soft drink 4-6 kali tiap minggu. Hampir separuh (45%) anak obes yang mengonsumsi fast food 4-6 kali tiap minggu. Lebih dari separuh (67,5%) anak obes yang mengonsumsi makanan berlemak 4-6 kali tiap minggu. Aktivitas fisik anak menunjukkan sebanyak 77,5% anak obes yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam untuk tidur dalam satu hari, 85% anak obes menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain game, dan internet dalam satu hari, dan 70% anak obes yang menghabiskan waktunya bermain di luar rumah kurang dari 2 jam per hari. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara berat lahir anak (p=0,023; r=0,253), IMT ayah (p=0,000; r=0,408), tingkat kecukupan energi (p=0,000; r=0,557), konsumsi lemak (p=0,000; r=0,458), frekuensi konsumsi soft drink (p=0,005; r=0,314), fast food (p=0,005; r=0,311), dan makanan berlemak (p=0,000; r=0,469) dengan kejadian obesitas pada anak. Namun Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara lamanya waktu bermain di luar rumah (p=0,015; r=-0,271) dengan kejadian obesitas pada anak. Faktor risiko yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak adalah IMT ayah (OR 1,494), IMT ibu (OR 1,446), TKE (OR 1,073), frekuensi konsumsi fast food (OR 4,028), dan frekuensi konsumsi makanan berlemak (OR 9,071).
FAKTOR RISIKO OBESITAS PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA BOGOR
RIKSA ADITYA PRAMUDITA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Nama NIM
: Faktor Risiko Obesitas pada Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor : Riksa Aditya Pramudita : I14070001
Disetujui : Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS NIP. 19520413 198103 1 003
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si NIP. 19600205 198903 2 002
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA Assalamua’alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Perilaku Gizi pada Anak Sekolah Dasar Obes di Kota Bogor” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Program Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, saran, kritikan, semangat, dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji atas semua saran dan masukannya demi kesempurnaan skripsi ini.
3.
Yeni Awadipura, Nadia Svenskarin, Rizwana Syarifah, dan M. Azizul Hakim Imaduddin selaku pembahas seminar.
4.
Kepala Sekolah SD Insan Kamil Bogor, guru wali kelas 4 dan kelas 5, dan para staf yang telah memberi izin dan bantuan selama penelitian.
5.
Bapak dan Mamah yang selalu mendoakan, memberikan kasih sayang yang tulus, memberikan semangat, tenaga, kehadiran, serta saran dan kritikan dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas semua yang telah diberikan baik dukungan moril maupun materi selama menempuh pendidikan. Aa Rangga yang selalu memberikan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini dan kedua adik penulis yaitu Reka dan Neng Roisa yang selalu mendoakan dan memberikan semangatnya.
6.
Rendy yang selalu memberi semangat, doa, bantuan, kehadiran, dan dorongan kepada penulis hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
7.
Diana Lestari dan Nadya Bellatrix Paramaita yang telah membantu dalam pengolahan data, memberikan saran, semangat, dan hadir dalam seminar.
8.
Teman-teman S1 Mayor Ilmu Gizi angkatan 44 yang selalu memberikan saran, doa, dan semangatnya kepada penulis.
9.
Alhana teman sesama alumni SD, SMP, dan SMA Insan Kamil yang telah membantu dalam pengambilan data.
10. Adik-adik murid SD Insan Kamil yang telah membantu, menemani, bersedia diwawancarai, dan telah membantu kelancara penelitian. 11. Orang tua murid SD Insan Kamil yang telah bersedia mengisi kuesioner dan membantu kelancaran penelitian. 12. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya penulis pribadi dan semua pihak pada umumnya. Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, Oktober 2011
Riksa Aditya Pramudita
RIWAYAT HIDUP Riksa Aditya Pramudita dilahirkan di Kota Bogor pada tanggal 2 September 1989 dari pasangan Dr. Ir. H. Wawan Hermawan, MS. dan Dra. Hj. Neneng Solihat. Penulis merupakan anak ke dua dari empat bersaudara. Pendidikan dasarnya ditempuh di SD Insan Kamil Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan menengah pertamanya di SMP Insan Kamil Bogor, lulus tahun 2005. Pendidikan menengah atasnya ditempuh di SMA Insan Kamil Bogor dan lulus pada tahun 2007. Kemudian pada tahun yang sama penulis diterima di Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa, penulis merupakan anggota Himpunan Mahasiswa Gizi (Himagi) 2008-2011 dan menjadi seksi dana usaha pada Seminar Nasional Senzasional 2010. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Ciadeg, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor pada bulan Juni-Agusutus 2010. Kemudian pada 21 Februari 2011 – 11 Maret 2011 penulis mengikuti Internship Dietetik (ID) di RSUD Ciawi Bogor.
iv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................. iv DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... viii PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................
1
Tujuan ...............................................................................................
3
Kegunaan ..........................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................
4
Obesitas........................................................ .....................................
4
Karakteristik Anak ........................................................................
4
Faktor Keturunan .........................................................................
5
Karakteristik Keluarga ..................................................................
6
Riwayat Makan Anak ...................................................................
7
Kebiasaan Makan ........................................................................
8
Aktivitas Fisik ............................................................................... 11 Penilaian Status Gizi.......................................................................... 14 Dampak Obesitas pada Anak ............................................................ 15 KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................ 17 METODE ...................................................................................................... 19 Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian ............................................... 19 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh .................................................. 19 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................... 20 Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 22 Definisi Operasional........................................................................... 28 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 30 Gambaran Umum Sekolah ................................................................ 30 Karakteristik Anak .............................................................................. 31 Faktor Keturunan ............................................................................... 33 Karakteristik Keluarga ........................................................................ 35 Pendidikan Orang Tua ................................................................ 35 Pendapatan Keluarga ................................................................. 37 Pengetahuan Gizi Ibu ................................................................. 38
v
Riwayat Makan Anak ......................................................................... 39 Pemberian ASI Eksklusif ............................................................ 39 Pemberian Susu Formula ........................................................... 40 Pemberian Makanan Padat ........................................................ 41 Kebiasaan Makan .............................................................................. 42 Asupan Zat Gizi .......................................................................... 42 Kebiasaan Konsumsi Camilan .................................................... 46 Frekuensi Konsumsi Sayur dan Buah ......................................... 48 Frekuensi Konsumsi Fast Food dan Soft Drink ........................... 50 Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak.................................... 51 Aktivitas Fisik ..................................................................................... 53 Waktu Tidur ................................................................................ 53 Waktu Menonton TV, Bermain Game, dan Internet .................... 54 Waktu Bermain di Luar ............................................................... 55 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Obesitas ............................ 57 Hubungan Karakteristik Anak dengan Obesitas.......................... 58 Hubungan Faktor Keturunan dengan Obesitas ........................... 58 Hubungan Riwayat Makan Anak dengan Obesitas ..................... 59 Hubungan Kebiasaan Makan Anak dengan Obesitas ................. 59 Hubungan Aktivitas Fisik Anak dengan Obesitas ........................ 61 Faktor Risiko Obesitas................................................................ 62 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 66 Kesimpulan ........................................................................................ 66 Saran ................................................................................................. 67 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 68 LAMPIRAN..................................................................................................... 71
vi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Kategori status gizi anak berdasarkan IMT/U .......................................... 14 2. Klasifikasi IMT menurut WHO .................................................................. 15 3. Jenis dan cara pengumpulan data ........................................................... 22 4. Pengkategorian variabel penelitian .......................................................... 24 5. Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan berat badan lahir .............. 32 6. Sebaran anak berdasarkan faktor keturunan ........................................... 33 7. Sebaran anak berdasarkan kombinasi IMT ayah dan IMT ibu ................. 34 8. Sebaran anak berdasarkan pendidikan orang tua.................................... 36 9. Sebaran anak berdasarkan pendapatan keluarga ................................... 37 10. Sebaran anak berdasarkan dua kategori pendapatan keluarga ............... 37 11. Sebaran anak berdasarkan pengetahuan gizi ibu .................................... 38 12. Sebaran anak berdasarkan riwayat makan anak ..................................... 39 13. Rata-rata asupan energi, protein, dan lemak per kapita per hari.............. 43 14. Sebaran anak berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein........... 44 15. Sebaran anak bedasarkan persen kontribusi lemak ................................ 45 16. Sebaran anak berdasarkan kebiasaan ngemil ......................................... 46 17. Sebaran anak berdasarkan jenis camilan ................................................ 47 18. Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi sayur dan buah ............. 49 19. Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi soft drink dan fast food .. 50 20. Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak ....... 51 21. Sebaran anak berdasarkan alokasi kegiatan ........................................... 53 22. Hubungan antara karaktersitik anak dengan obesitas.............................. 57 23. Hubungan antara faktor keturunan dengan obesitas ............................... 58 24. Hubungan antara riwayat makan anak dengan obesitas.......................... 59 25. Hubungan antara kebiasaan makan anak dengan obesitas..................... 59 26. Hubungan antara aktivitas fisik anak dengan obesitas............................. 62 27. Faktor risiko obesitas pada anak ............................................................. 63
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran yang berhubungan dengan obesitas pada anak Sekolah Dasar di Kota Bogor................................................................... 18
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kuesioner ................................................................................................ 72 2. Jumlah kelas dan murid SD Insan Kamil Bogor ....................................... 83 3. Data jenis kelamin, umur, BB, TB, Z-score IMT/U .................................... 84 4. Data rata-rata asupan energi, protein, dan lemak .................................... 86 5. Hasil uji beda t-test dan Mann-Whitney U ................................................ 88 6. Hasil uji korelasi pearson dan spearman antara variabel ......................... 89 7. Hasil uji Regresi Logistik.......................................................................... 90
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional khususnya dalam bidang gizi dan kesehatan, beberapa tahun belakangan ini berdampak baik bagi penurunan jumlah penderita kasus gizi kurang di Indonesia dan dunia. Namun keberhasilan tersebut diikuti oleh peningkatan prevalensi gizi lebih pada masyarakat. Berdasarkan catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003, tidak kurang dari 1,2 miliar penduduk dunia mengalami obesitas. Data survei yang dikumpulkan oleh WHO sejak tahun 1983 hingga 2004 menggambarkan bahwa 17 dari 28 negara di dunia (dua negara di Afrika, satu negara di Amerika Utara, satu negara di Amerika Latin, 3 negara di Asia, 8 negara di Eropa, dan dua negara di Oceania), mengalami peningkatan prevalensi obesitas (Nishida & Mucavale 2005). Obesitas merupakan suatu keadaan terjadinya kelebihan berat badan melebihi 20% dari berat badan normal. Obesitas ditandai dengan penimbunan lemak yang berlebihan pada berbagai bagian tubuh, terutama pada pinggang, pinggul, dan lengan atas (Siagian 2004). Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, bahkan WHO menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemi global, sehingga obesitas sudah merupakan suatu masalah kesehatan yang harus segera ditangani (WHO 2000). Prevalensi obesitas meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2007, prevalensi obesitas pada anak-anak usia 6 dan 14 tahun mencapai 9,5% untuk pria, sedangkan pada perempuan mencapai 6,4%. Kondisi ini meningkat dari tahun 1990-an yang berkisar 4% (RISKESDAS 2007). Menurut RISKESDAS (2010) secara nasional masalah kegemukan pada anak umur 6-12 tahun masih tinggi yaitu 9,2% atau masih di atas 5,0%. Prevalensi kegemukan pada anak laki-laki umur 6-12 tahun lebih tinggi dari prevalensi pada anak perempuan yaitu berturut-turut sebesar 10,7% dan 7,7%. Berdasarkan tempat tinggal prevalensi kegemukan lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan prevalensi di perdesaan yaitu berturut-turut sebesar 10,4% dan 8,1%. Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas di masa dewasa dan berpotensi mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif di kemudian hari. Profil lipid darah pada anak obesitas menyerupai profil lipid
2
pada penyakit kardiovaskuler dan anak yang obesitas mempunyai risiko hipertensi lebih besar. Penelitian Syarif (2003) menemukan hipertensi pada 20– 30% anak yang obesitas, terutama obesitas tipe abdominal. Ancaman obesitas di kalangan anak-anak juga melanda Indonesia (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Faktor utama terjadinya obesitas adalah adanya ketidakseimbangan asupan energi dengan keluaran energi. Asupan energi tinggi bila konsumsi makanan berlebihan, sedangkan keluaran energi menjadi lebih rendah bila metabolisme tubuh dan aktivitas fisik rendah (IOTF 2004). Hal tersebut banyak dialami oleh golongan masyarakat tingkat menengah ke atas. Di Indonesia, terutama di kota-kota besar, dengan adanya perubahan gaya hidup yang menjurus ke westernisasi dan sedentary berakibat pada perubahan pola makan atau konsumsi masyarakat yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, tinggi lemak, dan kolesterol, terutama terhadap penawaran makanan siap saji (fast food) yang berdampak meningkatkan risiko obesitas (Heird 2002). Salah satu penyebab obesitas pada anak dapat terjadi karena faktor genetik. Hal ini merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari. Bila ayah atau ibu memiliki kelebihan berat badan, hal ini dapat diturunkan pada anak. Selain itu kebiasaan makan anak yang gemar terhadap makanan cepat saji (fast food) yang umumnya mengandung lemak dan minuman ringan (soft drink) yang mengandung gula yang tinggi juga merupakan penyebab obesitas pada anak. Selain karena masalah konsumsi pangan, aktivitas fisik pada anak juga mempengaruhi terjadinya obesitas pada anak. Dulu permainan anak yang umumnya dilakukan adalah permainan fisik yang mengharuskan anak berlari, melompat, atau gerakan lainnya, namun kini digantikan dengan permainan anak yang kurang melakukan gerak badannya seperti game elektronik, komputer, internet, atau televisi yang cukup dilakukan dengan hanya duduk di depannya tanpa harus bergerak. Kegemukan tidak hanya disebabkan oleh kebanyakan makan dalam hal karbohidrat, lemak, maupun protein, tetapi juga karena kurangnya aktivitas fisik (Almatsier 2003). Dengan demikian obesitas pada anak memerlukan perhatian yang serius dan pananganan yang sedini mungkin, dengan melibatkan peran serta orang tua. Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai faktor risiko obesitas pada anak sekolah dasar di Kota Bogor.
3
Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor risiko obesitas pada anak sekolah dasar obes di Kota Bogor serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tujuan Khusus 1. Mempelajari karakteristik anak dan karakteristik keluarga anak sekolah dasar obes di Kota Bogor. 2. Mengidentifikasi riwayat makan dan kebiasaan makan anak sekolah dasar obes di Kota Bogor. 3. Mempelajari pola konsumsi anak sekolah dasar obes di Kota Bogor. 4. Mengukur aktivitas fisik anak sekolah dasar obes di Kota Bogor. 5. Menganalisis faktor risiko obesitas pada anak. Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan informasi kepada masyarakat mengenai faktor risiko pada anak sekolah dasar yang dapat dijadikan acuan untuk mencegah kejadian obes pada anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada orangtua anak sekolah obes untuk mengubah perilaku gizinya dengan meningkatkan aktifitas fisik dan mengatur pola konsumsi anak sehingga dapat mengubah status gizi obes pada anak. Selain itu, informasi ini dapat menjadi masukan bagi pihak sekolah untuk memberikan materi dan praktek gizi seimbang dalam pengajaran sehingga dapat membina perilaku gizi anak menjadi lebih baik.
4
TINJAUAN PUSTAKA Obesitas Pengertian kegemukan sering kali disamakan dengan obesitas, padahal kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda, kegemukan (overweight) adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, untuk pria dan wanita masing-masing melebihi 20% dan 25% dari berat tubuh. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kegemukan dan obesitas bisa terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Juvenil obesity adalah obesitas yang terjadi pada usia muda (anak-anak) (Rimbawan & Siagian 2004). Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu penyakit multifaktoral yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi, dan gizi yaitu prilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Obesitas pada anak, disebabkan oleh masukan makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan pakai susu formula dalam botol, padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai ketentuan berat badan bayi (Darmono 2006). Beberapa faktor penyebab obesitas diuraikan di bawah berikut: Karakteristik Anak Menurut WHO (2000), perempuan cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas, sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Proper et al. (2006) menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih bayak waktu untuk santai saat akhir minggu atau waktu senggang. Berat badan pada saat lahir sangat berpengaruh pada berat badan anak kemudian. Bayi yang lahir dengan berat badan lebih atau rendah berisiko menjadi obesitas di kemudian harinya. Bayi yang di dalam kendungan menderita kekurangan gizi akan membutuhkan asupan energi dan lemak yang tinggi setelah berada di luar kandungan. Bayi-bayi ini akan melalui proses
5
pertumbuhan cepat, hingga mencapai ukuran tertentu. Setelah tumbuh lebih besar, sistem tubuh meraka adalah sistem dengan “gaya hemat”. Istilah ini berarti janin yang kekurangan makanan pada saat berada dalam kandungan akan tumbuh sebagai individu yang mengatur tubuhnya untuk menyimpan lemak lebih banyak dan lebih efesien dalam penggunaannya (Parson et al. 2001). Seorang anak yang terlahir akan memiliki kriteria berat badan saat dilahirkan. Bayi dikatakan lahir dengan berat normal jika berat badannya antara 2500-3800 gram. Bayi dikatakan lahir dengan BBLR jika berat badannya kurang dari 2500 gram. Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat lahir lebih dengan risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti menemukan bahwa berat lahir rendah (BBLR) memiliki risiko yang lebih rendah menjadi obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0,50; Cl 95%: 0,32-0,77) dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian obesitas pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan (OR: 1,76; Cl 95%: 1,12,2,78) dan anak laki-laki (OR: 2,42; Cl 95%: 2,06-2,86) (Oldroyd et al. 2010). Faktor Keturunan Parenteral fatness merupakan faktor genetik yang berperan besar, bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14% (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak yang gemuk pula. Faktor genetik turut menentukan jumlah sel lemak dalam lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada bayi selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel yang relatif sama besar (Zainun 2002). Effendi (2003) menyatakan bila kedua orang tua mengalami kegemukan, maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas mencapai 66–80%. Bila salah satu orang tua mengalami kegemukan maka kemungkinan anak mengalami obesitas sekitar 20–51%. Bahkan bila kedua orangtuanya memiliki status gizi normal, anak memiliki kemungkinan gemuk sebesar 7-14%. Penelitian yang dilakukan Badan Internasional Obesity Tak Force (IOTF) dari badan WHO yang mengurusi masalah kegemukan pada anak menyebutkan
6
hasil yang berbeda, bahwa faktor genetik hanya berpengaruh 1% dari kejadian obesitas pada anak, sedangkan 99% disebabkan faktor lingkungan (Darmono 2006). Karaktersitik Keluarga Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
atau
masyarakat
untuk
menyerap
informasi
dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita & Fallah 2004). Pendidikan ayah diduga berkaitan dengan tingkat status ekonomi keluarga, karena pendidikan orang tua berhubungan dengan tingkat pendapatan orang tua. Tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi anaknya. Makin tinggi tingkat pendidikan maka pendapatan pun akan semakin tinggi. Pendapatan keluarga yang tinggi berarti kemudahan dalam membeli dan mengonsumsi makanan enak dan mahal yang mengandung energi tinggi seperti fast food (Padmiari & Hadi 2001). Perubahan pengetahuan sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktivitas bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anakanak bermain diluar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer atau games, menonton televisi atau video dibanding melakukan aktivitas fisik. Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Menurut Soekirman (2000), Bannet menemukan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Peningkatan pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Selain itu, menurut Nasoetion dan Riyadi (1994) keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pemilihan bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik. Tingkat pendapatan
7
merupakan faktor yang menuntukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan menigkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Menurut hasil penelitian Yueniwati dan Rahmawati (2001), terdapat hubungan antara pendidikan terakhir ibu dengan pengetahuan ibu tentang obesitas pada anak. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak karena dengan pendidikan yang baik maka orangtua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak dan sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut pengetahuan ibu tentang obesitas pada anak juga berhubungan dengan status pekerjaan ibu, yaitu apakah ibu bekerja atau tidak. Riwayat Makan Anak Menurut Darmono (2006), obesitas pada anak disebabkan oleh masukan makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan mengonsumsi susu formula dalam botol. Padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai dengan kebutuhannya. Anak yang biasa meminum susu dalam botol, jumlah masukan makanan pada anak tidak dapat dihitung dengan tepat, bahkan para orang tua cenderung memberikan susunya lebih kental, sehingga melebihi porsi yang dibutuhkan anak. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kries dan Rudiger (1999) yang melibatkan 9357 anak sekolah di Bavaria Jerman ditemukan prevalensi kejadian obesitas lebih tinggi pada anak yang tidak pernah mendapat ASI, yakni sekitar 4,5%, tidak setinggi prevalensi obesitas pada anak yang pernah mendapat ASI pada masa bayinya yakni hanya 2,8%. Anak yang diberi ASI pada masa bayinya akan memiliki kemungkinan 0,75 kali (yang berarti lebih kecil) untuk menjadi obes dibandingkan anak yang tidak diberi ASI pada masa bayinya. Ini berarti pemberian ASI sejak bayi memiliki faktor protektif pada kejadian obesitas pada masa anak. Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian ASI pada masa bayi dapat menurunkan risiko anak menjadi obes, baik pada masa kanaknya ataupun setelah ia menjadi dewasa. Penelitian Bogen, Hanusa, dan Whitaker (2004) menyebutkan bahwa pembenan ASI pada anak bisa menurunkan risiko obesitas pada anak 0,70 (95%
8
Cl 0,61-0,80). Peranan faktor gizi dimulai sejak dalam kandungan di mana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi energi dari karbohidrat dan lemak, serta kebiasaan mengonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Kebiasaan Makan Kebiasaan adalah pola perilaku yang diperoleh dari pola yang terjadi berulang-ulang. Sedangkan kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan juga dikaitkan dengan cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengonsumsi, dan menggunakan makanan yang tersedia, yang didasarkan pada faktor-faktor psikologi, fisiologi, sosial, dan budaya di mana ia hidup (Suhardjo 2003). Selain itu, menurut Khumaidi (1989) kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Kebiasaan makan yang tergesa-gesa, termasuk kurang mengunyah akan membawa
efek
yang
kurang
menguntungkan
bagi
pencernaan
dan
mengakibatkan cepat merasa lapar kembali. Rasa lapar yang sering muncul akan befakibat pada konsumsi makan yang tidak pada waktunya dan berlebihnya intake makanan. Begitu pula jika frekuensi makan tidak teratur. Jarak antara dua waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk makan labih banyak dan melebihi batas (Wirakusumah 1994). Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan sehingga terjadilah kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar obesitas terjadi akibat makan yang berlebihan. Pola makan tidak teratur, sering ngemil atau makan camilan, sementara aktivitas kurang (Hartoyo 2007). Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan 12 kali, selain itu peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
9
Dijelaskan lebih lanjut, makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Selain itu, kapasitas penyimpanan makronutrien juga menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan akan dioksidasi, sedangkan karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Menurut Popkin (2007), camilan sebenarnya penting bagi anak, sebab perutnya kecil dan ia perlu ngemil lebih sering. Namun apapun camilannya dalam sehari, seharusnya hanya memberikan 20 persen dari total energinya. Kebiasaan mengonsumsi camilan biasanya dilakukan saat anak menonton televisi, bermain game, dan saat belajar. Ketiga kegiatan tersebut merupakan aktivitas fisik yang sangat rendah, namun dalam waktu bersamaan anak mengonsumsi makanan yang mengandung cukup banyak energi. Tidak seimbangnya antara konsumsi energi dengan aktivitas fisik yang dilakukan merupakan salah satu penyebab obesitas pada anak. Menurut RISKESDAS (2007), penduduk dikategorikan ‘cukup’ konsumsi sayur dan buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ’kurang’ apabila konsumsi sayur dan buah kurang dari ketentuan di atas. Secara keseluruhan, penduduk umur 1014 tahun yang kurang mengonsumsi buah dan sayur sebesar 93,6% (<5 porsi per hari). Berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita, dengan meningkatnya strata juga tampak pengurangan prevalensi kurang konsumsi buah dan sayur, dengan perkataan lain, semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita perbulan, semakin tinggi konsumsi buah dan sayur. Penelitian yang dilakukan oleh Cornell University (2003) menyatakan bahwa anak-anak yang minum lebih dari 12 ons soft drink meningkat berat badannya secara signifikan dibandingkan dengan anak-anak dengan konsumsi kurang dari 6 ons per hari. Hal ini disebabkan karena anak-anak tidak
10
mengurangi makanan utama yang dimakan dan ditambah dengan peningkatan kalori yang berasal dari minuman tersebut. Semakin banyak minuman yang dikonsumsi, maka semakin besar asupan kalori dan semakin tinggi pertambahan berat badannya. Fast food atau ready-to-eat-food jadi pilihan utama orang tua yang sibuk atau konsumsi ketika menghabiskan waktu bersama keluarga pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan karena pengolahannya yang cenderung cepat karena menggunakan tenaga mesin, terlihat bersih karena penjamahnya adalah mesin, restoran yang mudah ditemukan serta karena pelayanannya yang selalu sedia setiap saat, bagaimanapun cara pemesanannya (Worthington & William 2000). Menurut WHO (2000), perkembangan food industry yang salah satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko obesitas. Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko terjadinya obesitas (OR = 11,0). lni berarti mengonsumsi fast food akan berisiko 11 kali mengalami
obesitas
jika
dibandingkan
dengan
mereka
yang
tidak
mengonsumsinya. Lemak memiliki kandungan energi dua kali lebih banyak dibandingkan dengan protein. Makan makanan berlemak dengan jumlah yang sama dengan protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak terasa lezat dan memiliki “mouth-feel” yang enak. Makanan berlemak biasanya rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk dikunyah dan ditelah daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005). Penelitian lain mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity) hal ini terjadi pada subjek di mana asupan tertinggi dari energi berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan lebih banyak berisiko 1,26 kali (pria) dan 1,25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalamin kegemukan (Castillon et al. 2007). Menurut kelompok umur 10-14, terdapat 13,5% anak yang sering mengonsumsi makanan berlemak dan 2,1% anak yang sering mengonsumsi jeroan. Penduduk yang “sering” makan makanan berlemak dan jeroan dianggap sebagai berperilaku konsumsi makanan berisiko. Perilaku konsumsi makanan berisiko dikelompokkan “sering” apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Menurut tingkat pendidikan, pola
11
prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung meningkat sesuai dengan meningkatnya pendidikan. Menurut tipe daerah, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak ditemukan lebih tinggi di perkotaan dibanding perdesaan. Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan kuintil ekonomi (RISKESDAS 2007). Aktivitas Fisik Menurut Almatsier (2003) ativitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh, di samping metabolisme basal. Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energi expenditure. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktvitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian di Jepang menunjukkan pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga berisiko 0,48 kali mengalami obesitas. Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang menonton televisi 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibandingkan mereka yang menonton televisi 2 jam setiap harinya (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Obesitas atau kegemukan yang parah terjadi karena tidak adanya keseimbangan energi, di mana energi intake jauh lebih besar dibandingkan energi expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik. Energy intake ialah energi yang dikonsumsi sebagai makanan dan minuman yang dapat dimatabolisme dalam tubuh kita (WHO 2000). Sebuah penelitian yang diadakan di Inggris oleh tim peneliti dari ALSPAC (Avon Longitudinal Study of Parents and Children) yang meneliti anak sejak dalam kandungan hingga usia 7 tahun, menemukan kaitan antara menonton televisi dengan kejadian obesitas. Odds ratio kemungkinan menjadi obesitas meningkat linier dengan bertambahnya waktu menonton televisi. Anak yang menonton televisi 4 sampai 8 jam perminggu di usia 3 tahun, maka kemungkinan untuk menjadi obes (odds ratio) pada usia 7 tahun adalah 1,37 kali lebih besar. Secara keseluruhan anak yang menonton televisi lebih dari delapan jam seminggu memiliki kemungkinan menjadi obes 1,55 kali lebih besar dibandingkan
12
anak yang menonton televisi kurang dari depalan jam perminggu (Reilly et al. 2005). Dijelaskan lebih lanjut, menonton televisi merupakan salah satu bentuk bermain pasif yang membuat anak merasa bahagia dan senang. Kesenangan ini tidak selamanya berdampak positif bila dilakukan secara berlebihan. Menonton televisi berisiko menyebabkan obesitas karena aktivitas fisik ini telah mengambil waktu anak yang seharusnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas fisik. Berkurangnya aktivitas fisik pada akhirnya akan berakibat menurunkan energi yang digunakan (energy expenditure). Menonton televisi juga sangat berkaitan erat dengan kebiasaan makan makanan ringan (snacking) yang akan memberikan asupan energi yang tinggi pada anak. Ketidakseimbangan neraca energi inilah yang menyebabkan obesitas (Reilly et al. 2005). Penelitian tersebut menyebutkan bahwa, aktivitas tidur menjadi salah satu aktivitas yang harus disoroti. Terdapat hubungan yang erat antara jumlah waktu tidur anak dengan kejadian obesitas. Selain itu, pendapat yang sama pada penelitian yang dilakukan tahun 1960-2000 menyebutkan, kejadian kegemukan meningkat dua kali lipat terjadi pada mereka yang memiliki kelebihan tidur 1 hingga 2 jam (Boyles 2005). Menurut Yayasan Tidur Nasional, usia bayi dari satu hingga tiga tahun seharusnya tidur selama 12-14 jam, anak TK berusia 3-5 tahun seharusnya tidur 11-13 jam, dan usia 5-10 tahun seharusnya tidur selama 8,5-9,25 jam per malam. Beberapa penelitian telah menghubungkan tidur yang singkat dengan kelebihan berat badan pada anak dan remaja. Bell dan mitra peneliti Dr. Frederick Zimmerman dari Universitas California telah mencatat dalam laporan mereka. Tetapi, kebanyakan dari penelitian tersebut hanya melihat satu waktu saja, menyebabkan sulit untuk menentukan tidur yang cukup sehingga anak menjadi obesitas atau sebaliknya. Lebih lama tidak tidur berarti lebih banyak kesempatan untuk makan. Menurut Bell orang dewasa yang kurang tidur memiliki selera makan yang berbeda dan hormon yang berhubungan dengan rasa lapar, seperti leptin dan ghrelin, hal ini dapat terjadi pada anak (Priyambodo 2010). Penelitian menunjukkan ada hubungan yang bertolak belakang antara IMT dan aktivitas fisik. Menurun dan rendahnya tingkat aktivitas fisik dipercaya sebagai salah satu hal yang menyebabkan obesitas. Tren kesehatan terkini juga menunjukkan prevalensi obesitas meningkat bersamaan dengan meningkatnya perilaku sedentary dan berkurangnya aktivitas fisik (WHO 2000).
13
Penelitian menunjukkan bahwa penurunan pengeluaran energi sehari-hari tanpa penurunan bersamaan dalam konsumsi energi total merupakan faktor yang mendasari dalam peningkatan obesitas. Pemeriksaan terakhir dari Department of Education’s Early Childhood Longitudinal Survey (ECLS-K) menemukan bahwa peningkatan satu jam dalam kegiatan aktivitas fisik per minggu menghasilkan penurunan 0,31 (sekitar 1,8%) dalam indeks massa tubuh pada anak perempuan overweight, sedangkan ada penurunan yang lebih kecil untuk anak laki-laki. Studi ini menyimpulkan bahwa memperbanyak kegiatan aktivitas fisik (olah raga) di sekolah sampai setidaknya lima jam per minggu dapat mengurangi 9,8-5,6% anak perempuan yang overweight. Saat ini, sekolah mengurangi jumlah bermain atau aktivitas fisik yang diterima anak selama jam sekolah. Hanya sekitar sepertiga anak-anak SD memiliki kegiatan aktivitas fisik (olah raga) harian, dan kurang dari seperlima memiliki program ekstrakurikuler olah raga di sekolah mereka (Health & Human Services 2011). Aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktifitas fisik dikategorikan ‘cukup’ apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Menurut kelompok umur 10-14 tahun yang kurang melakukan aktifitas sebanyak 66,9% (<150 menit/minggu). Berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi prevalensi kurang aktifitas fisik. Prevalensi kurang aktifitas fisik penduduk perkotaan (57,6%) lebih tinggi di banding perdesaan (42,4%), dan semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktifitas fisik (RISKESDAS 2007). Perilaku kurang mengonsumsi sayur dan/atau buah (<5 porsi per hari), kurang aktifitas fisik (<150 menit/minggu), dan merokok setiap hari merupakan perilaku yang menjadi faktor risiko untuk penyakit tidak menular utama (penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, kanker, stroke, penyakit paru obstruktif kronik) (RISKESDAS 2007).
14
Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan konsumsi pangan. Metode antropometri menggunakan pengukuran-pengukuran dimensi fisik dan komposisi tubuh. pengukuran tersebut bervariasi menurut umur dan derajat gizi sehingga bermanfaat terutama pada keadaan terjadinya ketidakseimbangan energi dan protein secara kronis. Antropometri dapat mendeteksi malnutrisi derajat sedang dan berat. Keuntungan lain dari pengukuran antropometri adalah memberikan informasi mengenai riwayat gizi masa lampau (Riyadi 2003). Di dalam ilmu gizi status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga merupakan kombinasi antara ketiganya. lndikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan tidak hanya dipengaruhi oleh umur tetapi juga oleh tinggi badan (TB). lndikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000). Menurut WHO (2007) bahwa pengukuran status gizi pada anak usia 5-19 tahun sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan IMT/U dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kategori status gizi anak berdasarkan IMT/U Variabel =-3 SD -3 SD < Z < -2 SD -2 SD < Z < +1 SD +1 SD < Z < +2 SD +2 SD < Z < +3 SD =+3 SD
Kategori Severe underweight Underweight Normal Overweight Obese Severe obese
Status gizi orang dewasa secara antropometri salah satunya dapat diketahui dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT). IMT dihitung dengan cara membagi berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m2). Badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2005 mengeluarkan kategori IMT yang cocok untuk masyarakat Asia. Kriteria IMT orang dewasa menurut WHO disajikan pada Tabel 2.
15
Tabel 2 Klasifikasi IMT menurut WHO Status Gizi Kurang Normal
Lebih
Klasifikasi
cut-off points
Kurus tingkat berat Kurus tingkat sedang
< 16.00 16.00-16.99
Kurus tingkat ringan
17.00-18.49
Normal
18.50-24.99
Overweight Pra-obese Obese
≥25.00 25.00-29.99
Obes kelas I Obes kelas II
30.00-34.99 35.00-39.00
Obes kelas III
≥40.00
≥30.00
Sumber: WHO (2005) Dampak Obesitas pada Anak Obesitas mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang anak (aspek organik dan psikososial), anak berisiko tinggi obesitas di masa dewasa dan berpotensi mengalami berbagai penyakit kardiovaskuler dan diabetes mellitus, kelainan
metabolik
seperti
atherogenesis,
resistensi
insulin,
gangguan
trombogenesis, dan karsinogenesis (Yussac et al. 2007). Anak-anak dengan kelebihan berat badan atau kegemukan dapat mengalami kesulitan bergerak dan terganggu pertumbuhannya karena timbunan lemak yang berlebihan pada organ-organ tubuh yang seharusnya berkembang. Obesitas pada anak juga perlu diwaspadai, karena jika berlanjut hingga dewasa biasanya lebih sulit diatasi, mungkin karena faktor penyebab yang sudah menahun dan sel-sel lemak yang sudah bertambah banyak dan bertambah besar ukurannya. Obesitas atau kegemukan di masa anak-anak bisa berisiko diabetes tipe 2, asma, darah tinggi, apnea, gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, dislipidemia, gangguan hati, serta gangguan emosional di masa dewasa (Aini 2008). Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), anak obes berisiko mengalami gangguan kesehatan seperti berikut ini: Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler Faktor Risiko ini meliputi peningkatan kadar insulin, trigliserida, LDLkolesterol dan tekanan darah sistolik serta penurunan kadar HDL- kolesterol. Anak obesitas cenderung mengalami peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, sekitar 20-30% menderita hipertensi.
16
Diabetes Mellitus Tipe-2 Diabetes mellitus tipe-2 jarang ditemukan pada anak obesitas. Hampir semua anak obesitas dengan diabetes mellitus tipe-2 mempunyai IMT > + 3SD. Obstruktive Sleep Apnea Sering dijumpai pada anak obesitas dengan kejadian 1/100 dengan gejala mengorok. Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak di daerah dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan. Gangguan Ortopedik Pada anak obesitas cenderung berisiko mengalami gangguan ortopedik yang disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya epifisis kaput femoris yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan terbatasnya gerakan panggul. Pseudotumor Serebri Pseudotumor serebri akibat peningkatan ringan tekanan intrakranial pada obesitas disebabkan oleh gangguan jantung dan paru-paru yang menyebabkan peningkatan kadar CO2 dan memberikan gejala sakit kepala, papil edema, diplopia, kehilangan lapangan pandang perifer dan iritabilitas.
17
KERANGKA PEMIKIRAN Prevalensi anak yang menderita obesitas di Indonesia semakin meningkat. Banyak faktor yang memicu semakin meningkatnya angka obesitas pada anak, di antaranya adalah pengaruh parenteral fatness, karakteristik anak, karakteristik keluarga, aktifitas fisik, dan kebiasaan makan pada anak. Parenteral fatness berkaitan dengan status gizi orang tua yang diketahui dari IMT yang diukur berdasarkan berat badan dan tinggi badan. Seseorang mengalami obesitas dapat terjadi karena salah satu atau kedua orang tuanya mengalami obesitas pula. Menurut Effendi (2003) faktor keturunan berpengaruh terhadap gangguan keseimbangan energi. Bila kedua orang tua tidak gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 9%. Bila salah satu orang tua gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 41-51%, sedangkan bila kedua orang tua gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk sebesar 6680%. Karakteristik anak meliputi jenis kelamin, berat badan lahir, berat badan sekarang, dan tinggi badan sekarang. Karakteristik keluarga meliputi pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, pengetahuan gizi ibu, dan pola konsumsi keluarga. Pengetahuan gizi ibu diukur dengan memberikan pertanyaan pada kuesioner yang ditujukan untuk ibu. Aktivitas fisik lebih menyoroti pada banyaknya waktu yang dihabiskan anak untuk tidur, menonton televisi, dan bermain di luar rumah dalam satu hari. Kebiasaan makan mencakup riwayat makan anak dan konsumsi pangan. Riwayat makan yang diteliti adalah riwayat pemberian ASI, pemberian susu formula, dan pemberian makanan padat. Konsumsi pangan yang diteliti adalah konsumsi makan harian, konsumsi cemilan, konsumsi sayur dan buah, konsumsi makanan berlemak, konsumsi fast food, dan konsumsi soft drink. Konsumsi cemilan, soft drink, fast food, dan makanan berlemak diperkirakan dapat memberikan pengaruh terhadap tingkat konsumsi energi pada anak yang nantinya berhubungan dengan terjadinya obesitas pada anak. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambar dalam skema di Gambar 1.
18
Faktor Keturunan (Parenteral fatness) IMT orang tua
Karakteristik Anak Berat badan lahir Jenis kelamin Berat badan Tinggi badan
Riwayat Makan Anak Pemberian ASI Pemberian susu formula Pemberian makanan padat
Karakteristik Keluarga Pendidikan orang tua Pendapatan keluarga Pengetahuan gizi ibu
Aktivitas Fisik Anak Jumlah waktu tidur Menonton televisi, main game, dan internet Bermain di luar rumah
Obesitas
Kebiasaan Makan Anak Asupan zat gizi Frekuensi konsumsi sayur dan buah Kebiasaan konsumsi cemilan Frekuensi konsumsi fast food Frekuensi konsumsi soft drink Frekuensi konsumsi makanan berlemak
Keterangan: : Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan obesitas pada anak sekolah dasar di Kota Bogor
19
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian diawali dengan survei pendahuluan dari beberapa Sekolah Dasar (SD) di Kota Bogor, dilanjutkan pengumpulan data lewat kuesioner pada bulan Mei sampai dengan September 2011. Penelitian dilakukan di SD Insan Kamil yang berada di Kota Bogor. Pemilihan SD yang dijadikan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan sekolah swasta yang rata-rata muridnya dari keluarga ekonomi menengah ke atas, peluang memperoleh anak obes cukup tinggi, dan merupakan sekolah dengan kategori SD favorit di Kota Bogor. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah anak sekolah dasar (SD) kelas IV dan V yang memiliki status gizi obes dan normal. Contoh pada penelitian ini yaitu anak sekolah dasar kelas IV dan V yang bersekolah di Sekolah Dasar Insan Kamil Bogor dengan status gizi obes dan normal. Kriteria inklusi anak obes adalah 1) laki-laki atau perempuan berusia 9-11 tahun dengan kondisi sehat; 2) memiliki status gizi obes (indeks z-skor >+2); 3) contoh bersedia mengikuti penelitian. Kriteria inklusi anak dengan status gizi normal adalah 1) laki-laki atau perempuan berusia 9-11 tahun dengan kondisi sehat; 2) memiliki status gizi normal (-2 < z-skor ≤ +1); 3) contoh bersedia mengikuti penelitian. Adapun kriteria eksklusinya adalah 1) contoh tidak bersedia mengikuti penelitian; 2) pengisian kuesioner yang tidak lengkap. Pemilihan anak sekolah dasar kelas IV dan V dilakukan secara purposive dengan asumsi anak kelas IV dan V sudah dapat diajak berkomunikasi dengan baik, mengerti dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di dalam kuesioner, dan mampu mengisi kuesioner dengan baik. Sementara itu anak kelas VI tidak dijadikan contoh karena sudah sibuk dengan kegiatan Ujian Negara (UN). Status gizi contoh ditetapkan berdasarkan IMT menurut umur standar WHO 2007. Jumlah murid SD Insan Kamil adalah 1181 anak. Jumlah anak kelas 4 dan kelas 5 adalah sebanyak 398 anak. Penelitian diawali dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan anak SD kelas IV dan V yang diperkirakan mengalami obesitas di SD Insan Kamil Bogor. Jumlah awal anak obes yang diperoleh saat penimbangan adalah 60 anak. Kemudian dilakukan pengukuran dan tinggi badan anak SD kelas IV dan V yang diperkirakan memiliki status gizi normal. Jumlah
20
awal anak yang memiliki status gizi normal saat penimbangan adalah 50 anak. Penentuan jumlah sampel minimal yang digunakan pada penelitian ini
n
z12 / 2 P (1 P ) d2
menggunakan rumus: Keterangan : Z
= 1,96 ( = 0,05)
P
= prevalensi gizi lebih pada anak di perkotaan (10,4%)
d
= toleransoi estimasi (10% atau 0,1)
Berdasarkan rumus, jumlah sampel minimal adalah 36 anak obes. Berdasarkan kelengkapan pengisian kuesioner, jumlah contoh yang dipilih dari 60 anak obes dan 50 anak dengan status gizi normal yaitu 40 anak obes dan 40 anak dengan status gizi normal. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer mencakup karakteristik anak (jenis kelamin, berat lahir anak, berat badan, dan tinggi badan anak), karakteristik keluarga (berat badan dan tinggi badan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan pengetahuan gizi ibu), riwayat makan anak (pemberian ASI, pemberian susu formula, dan pemberian makanan padat), kebiasaan makan anak (konsumsi energi, protein, dan lemak, frekuensi konsumsi sayur dan buah, cemilan, fast food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak), dan aktivitas fisik anak (waktu tidur, lama menonton televisi, bermain game, internet, dan bermain di luar rumah). Berat badan anak diukur langsung menggunakan timbangan injak yang telah dikalibrasi dengan ketelitian 0,5 kg, dan pengukuran tinggi badan anak menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Data status gizi anak diperoleh dengan menggunakan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U) dengan menggunakan software WHO Anthroplus 2007. Nama, umur, dan tanggal lahir anak diperoleh dengan pengisian kuesioner olah anak. Data berat lahir anak, karakteristik keluarga (berat badan dan tinggi badan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan pengetahuan gizi ibu) dan riwayat makan anak (pemberian ASI, pemberian susu formula, dan pemberian makanan padat) diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh orang tua anak di rumah.
21
Konsumsi pangan anak diketahui dengan pencatatan makanan (food record) selama 1x24 jam pada hari libur dan food recall selama 1x24 jam pada hari sekolah. Konsumsi pangan anak pada hari libur (food record) diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh contoh, disertai dengan keterangan lengkap cara pengisian dan contoh pengisian. Konsumsi pangan anak pada hari sekolah (food recall) diperoleh dari pencatatan kuesioner dengan metode wawancara. Pola konsumsi anak yang terdiri dari frekuensi konsumsi sayur dan buah, cemilan, fast food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak diperoleh menggunakan kuesioner yang diisi oleh anak yang sebelumnya telah mendapat penjelasan tentang cara pengisiannya dari peneliti. Data aktivitas fisik anak yang terdiri dari alokasi waktu tidur; lama menonton televisi, bermain game, dan internet; dan bermain di luar rumah diperoleh dari pencatatan kuesioner mengenai alokasi waktu kegiatan yang dilakukan dalam waktu 2x24 jam, yaitu satu hari sekolah dan satu hari libur dengan metode wawancara. Secara lengkap kuesioner penelitian untuk orang tua dan anak disajikan pada Lampiran 1. Pemantauan pengisian kuesioner dilakukan dengan bantuan pihak sekolah. Setiap anak mendapatkan surat pengantar dari sekolah untuk orang tua yang juga menerangkan cara pengisisan kuesioner sehingga orang tua akan lebih mudah mengisinya. Pengumpulan kuesioner dari tiap anak dibantu oleh pihak sekolah. Kuesioner yang terkumpul kemudian diperiksa kelengkapan pengisiannya oleh peneliti. Data sekunder meliputi keadaan umum sekolah (letak sekolah, kegiatan ekstrakulikuler sekolah, jadwal kegiatan belajar mengajar di sekolah), dan data murid SD Insan Kamil Bogor (nama, tanggal lahir, dan jenis kelamin). Untuk lebih jelasnya jenis dan cara pengumpulan data primer dapat dilihat pada Tabel 3.
22
Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data No. 1.
2.
Variabel Karakteristik anak
Karakteristik keluarga
-
Jenis Data Jenis kelamin Berat lahir anak Berat badan
-
Tinggi badan
-
Berat badan dan tinggi badan orang tua Pendidikan orang tua Pendapatan keluarga Pengetahuan gizi ibu
-
3.
Riwayat makan anak
-
4.
Kebiasaan makan anak
-
5.
Aktifitas fisik anak
Pemberian ASI Pemberian susu formula Pemberian makanan padat Pangan harian
Pola konsumsi: - Cemilan - Sayur dan buah - Fast food - Soft drink - Makanan berlemak - Waktu tidur - Lama menonton televisi, bermain game, dan internet - Bermain di luar rumah
Cara Pengumpulan Data Pengisian kuesioner (jenis kelamin dan berat lahir anak) - Timbangan injak dengan ketelitian 0.5 kg - Microtoise dengan ketelitian 0.1 cm - Pengisian kuesioner (berat badan, tinggi badan, pendidikan, dan pendapatan keluarga) - Pengisisan kuesioner yang berisikan pertanyaan tentang pengetahuan gizi seimbang dan obesitas (pengetahuan gizi ibu) - Pengisian kuesioner oleh orang tua anak -
-
-
-
Food Record 1x24 jam pada hari libur dan food recall 1x24 pada hari sekolah Food frequency questionnaire (FFQ) (konsumsi sayur, buah, cemilan, makanan berlemak, makanan manis, fast food, dan soft drink) Pengisian kuesioner dengan metode pencatatan dan wawancara 2 x 24 jam selama 1 hari sekolah dan 1 hari libur
Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, cleaning, dan analisis. Proses editing adalah pemeriksaan seluruh kuesioner setelah data terkumpul. Coding adalah pemberian angka atau kode tertentu yang telah disepakati terhadap jawaban-jawaban pertanyaan dalam kuesioner, sehingga memudahkan pada saat memasukkan data ke komputer. Entry adalah memasukkan data jawaban kuesioner sesuai kode yang telah ditentukan untuk masing-masing variabel sehingga menjadi suatu data dasar. Cleaning yaitu melakukan pengecekan terhadap isian data yang di luar pilihan jawaban yang disediakan kuesioner atau isian data yang di luar kewajaran. Data yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia menggunakan program komputer.
23
Data status gizi anak diperoleh dengan menggunakan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U) dengan menggunakan software WHO Anthroplus 2007. Hasil yang diperoleh berdasarkan indikator IMT/U dikategorikan ke dalam status serve underweight (=-3SD), underweight (-3SD
+3SD) (Soekirman 2000). Data berat badan dan tinggi badan orang tua digunakan untuk menghitung IMT orang tua anak. IMT dihitung dengan cara membagi berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m2). Hasil yang diperoleh kemudian dikategorikan ke dalam status gizi kurus (≤18,50), normal (18,50-24,99), overweight (25,00-29,99), dan obes (≥30,00) (WHO 2005). Data pengetahuan gizi diukur dengan cara memberikan skor terhadap setiap
jawaban
pertanyaan
mengenai
tingkat
pengetahuan
gizi.
Data
pengetahuan gizi ibu diperoleh dengan memberikan 20 buah pertanyaan pilihan ganda dengan memilih jawaban yang paling benar (correct-answer multiple choice) dalam bentuk kuesioner. Skor jawaban ibu setiap satu pertanyaan diberi skor satu (1) bila memilih jawaban benar dan skor nol (0) bila memilih jawaban yang salah atau tidak memilih jawaban. Tingkat pengetahuan ibu anak obes dan normal tentang gizi dihitung dengan cara menjumlahkan skor dan dikelompokkan menjadi tiga kategori tingkat pengetahuan, yaitu kurang jika skor nilai kurang dari 60% (<60%), cukup jika skor antara 60-80%, dan baik jika lebih dari 80% (>80%) (Khomsan 2000). Pengkategorian variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
24
Tabel 4 Pengkategorian variabel penelitian No.
Variabel
1.
Jenis kelamin
2.
Berat badan lahir
3.
Status gizi ayah (WHO 2005)
4.
Status gizi ibu (WHO 2005)
5.
Pendidikan orang tua
6.
Pendapatan keluarga perbulan
7.
Pengetahuan gizi ibu (Khomsan 2000)
8.
Tingkat kecukupan energi (TKE) (Depkes 1996)
9.
Tingkat kecukupan protein (TKP) (Depkes 1996)
10.
Konsumsi sayur
11.
Konsumsi buah
12.
Konsumsi cemilan
13.
Konsumsi fast food
14.
Konsumsi soft drink
15.
Konsumsi makanan berlemak
16.
Waktu tidur
17.
Menonton televisi, bermain game, dan internet
18.
Bermain di luar
1. 2. 1. 2. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 1. 2. 1. 2.
Kategori Laki-laki Perempuan Normal BBLR/Lebih Kurus Normal Overweight Obes Kurus Normal Overweight Obes SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Perguruan tinggi/sederajat < 3.000.000 3.000.000–5.000.000 5.000.000–10.000.000 > 10.000.000 Kurang : <60% Sedang : 60%-80% Baik : >80% Defisit tingkat berat : <70% AKG Defisit tingkat sedang : 70-79% AKG Kurang : 80-89 % AKG Cukup : 90-119% AKG Lebih : ≥120% AKG Defisit tingkat berat : <70% AKG Defisit tingkat sedang : 70-79% AKG Kurang : 80-89 % AKG Cukup : 90-119% AKG Lebih : ≥120% AKG Setiap hari 4-6 kali/minggu 1-3 kali/minggu Tidak pernah Setiap hari 4-6 kali/minggu 1-3 kali/minggu Tidak pernah Ya Tidak Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari ≤8 Jam >8 Jam ≤2 Jam >2 Jam ≥2 Jam <2 Jam
25
Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam gram/URT dikonversi ke dalam nilai zat gizi dengan menggunakan Daftar Konsumsi Bahan Makanan sehingga dapat diketahui kandungan gizi masingmasing bahan pangan. Kemudian dilakukan perhitungan tingkat kecukupan gizi untuk energi dan protein. Adapun rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi adalah: KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan: KGij
= Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan yang dikonsumsi
Bj
= Berat bahan makanan j (gram)
Gij
= Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j
BDDj = % bahan makanan j yang dapt dimakan (Sumber: Hardinsyah & Briawan 1994) Pengukuran tingkat kecukupan energi dan protein merupakan tahap lanjutan dari penghitungan konsumsi pangan. Tingkat kecukupan konsumsi merupakan persentase konsumsi aktual anak dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan WNPG tahun 2004. Secara umum tingkat kecukupan zat gizi dapat dirumuskan sebagai berikut: TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan: TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i AKGi = Kecukupan zat gizi i yang dianjurkan Ki
= Konsumsi zat gizi i
(Sumber : Hardinsyah & Briawan 1994) Analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Analisis univariat meliputi : a. Karakteristik anak (umur, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan, dan berat badan lahir). b. Karakteristik keluarga (berat badan dan tinggi badan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan pengetahuan gizi ibu). c. Riwayat makan anak (pemberian ASI, pemberian susu formula, dan pemberian makanan padat).
26
d. Asupan zat gizi anak (konsumsi energi, protein, dan lemak, tingkat kecukupan energi, protein, dan % kontribusi lemak). e. Kebiasaan makan anak (frekuensi konsumsi sayur dan buah, cemilan, fast food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak). f.
Aktivitas fisik anak (alokasi waktu tidur, lama menonton televisi, bermain game, internet, dan lama bermain di luar rumah).
2. Analisis bivariat digunakan untuk mengtahui hubungan antara variabel independen dengan dependen. Uji yang digunakan adalah uji korelasi Pearson dan Spearman. Variabel hubungan yang diteliti menggunakan uji korelasi Pearson di antaranya adalah: a. Menganalisis hubungan karakteristik anak (berat badan lahir) dengan obesitas. b. Menganalisis hubungan faktor keturunan (IMT ayah dan IMT ibu) dengan obesitas. c. Menganalisis hubungan asupan zat gizi anak (TKE, TKP, dan konsumsi lemak) dengan obesitas. d. Menganalisis hubungan aktivitas fisik anak (alokasi waktu tidur; lama menonton televisi, bermain game, internet; dan lama bermain di luar rumah) dengan obesitas. Variabel hubungan yang diteliti menggunakan uji korelasi Spearman di antaranya adalah: a. Menganalisis hubungan karakteristik anak (jenis kelamin) dengan obesitas. b. Menganalisis hubungan kebiasaan makan anak (frekuensi konsumsi sayur dan buah, cemilan, fast food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak) dengan obesitas. 3.
Uji beda t-test digunakan untuk menguji perbedaan karakteristik anak (berat lahir anak), faktor keturunan (IMT ayah dan IMT ibu), karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu), konsumsi harian anak (konsumsi energi, protein, dan lemak), dan aktivitas fisik anak (waktu tidur; lama menonton televisi, bermain game, internet; dan bermain di luar rumah) antara anak berstatus gizi normal dan anak obes.
4.
Uji beda Mann-Whitney U digunakan untuk menguji perbedaan karakteristik keluarga (pendidikan orang tua, pendapatan keluarga), riwayat makan anak (pemberian ASI, pemberian susu formula, dan pemberian makanan padat),
27
dan kebiasaan makan anak (frekuensi konsumsi sayur dan buah, fast food dan soft drink, frekuensi konsumsi makanan berlemak, dan konsumsi cemilan) antara anak berstatus gizi normal dan anak obes. 5.
Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui nilai faktor risiko atau Odds Ratio (OR) variabel independen terhadap variabel dependen. Seluruh variabel independen yang berhubungan dengan obesitas dan diduga menjadi faktor risiko kejadian obesitas dianalisis bersama-sama untuk mengetahui variabel independen mana yang paling berpengaruh terhadap variabel dependen. Analisis ini menggunakan model multiple logistic regression dengan metode enter. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
( x)
e 0 1x1 2 x 2 3 x3 4 5 x5 6 x6 ...nxn 1 e 0 1x1 2 x 2 3 x3 4 5 x5 6 x6 ...nxn
Keterangan : (x)
: Peluang kejadian obesitas (1=obes, 0=tidak obes)
e
: Eksponensial
β0
: Konstanta
β1 – βn : Koefisien regresi X1
: Berat lahir
X2
: IMT ayah
X3
: IMT ibu
X4
: Pengetahuan gizi ibu
X5
: Pemberian susu formula <6 bulan
X6
: TKE
X7
: Frekuensi konsumsi soft drink
X8
: Frekuensi konsumsi fast food
X9
: Frekuensi konsumsi makanan berlemak
X10
: Frekuensi konsumsi sayur dan buah
X11
: Lamanya bermain di luar
28
Definisi Operasional Obes adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, yang berdasarkan standar WHO 2007, memiliki nilai z-skor untuk IMT menurut umur >+3 SD. Anak Sekolah adalah anak yang menjalani pendidikan sekolah yang terdaftar di Dinas Pendidikan Kota Bogor yang berusia 9 sampai 11 tahun. Karakteristik anak adalah data yang berisi jenis kelamin anak, berat lahir anak, berat badan, dan tinggi badan sekarang. Pendidikan adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ditempuh yang dikategorikan menjadi tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, dan tamat Perguruan Tinggi. Pendapatan keluarga adalah bersarnya pendapatan atau penghasilan keluarga yang diperoleh dalam sebulan yang terdiri dari penghasilan ayah maupun ibu (bila bekerja) yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga. Pengetahuan gizi ibu adalah pemahaman ibu terhadap gizi dan kesehatan secara umum dan tentang obesitas yang diketahui bedasarkan jawaban ibu terhadap pertanyaan pada kuesioner yang diberikan. Riwayat makan adalah keterangan apakah anak diberikan ASI ekslusif dan pada usia berapa anak mulai diberikan susu formula. Riwayat makan juga mencakup keterangan pada usia berapa anak pertama kali diberikan makanan padat. ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu saja tanpa tambahan susu atau makanan lain sampai bayi berusia 6 bulan. Susu formula adalah susu selain ASI yang diberikan pada anak sebelum usia 6 bulan. Makanan padat adalah makanan yang ditujukan untuk anak usia 6 bulan ke atas yang tidak berbantuk cair, seperti bubur dan biskuit. Kebiasaan makan adalah mencakup asupan zat gizi yang diketahui dengan pencatatan makanan (food record) selama 2x24 jam, kebiasaan makan sayur dan buah, cemilan, fast food, soft drink, dan makanan berlemak. Konsumsi buah dan sayur adalah kebiasaan makan buah dan sayur pada anak yang dinilai berdasarkan frekuensi selama satu minggu. Anak dikatakan kurang konsumsi sayur dan buah adalah anak yang mengonsumsi buah dan sayur kurang dari 4 porsi selama 7 kali dalam seminggu.
29
Konsumsi fast food dan soft drink adalah kebiasaan makan fast food dan soft drink pada anak yang dinilai berdasarkan frekuensi selama satu minggu. Konsumsi makanan berlemak adalah kebiasaan seseorang makan makanan berlemak yang dinilai berdasarkan frekuensinya selama satu minggu. Aktivitas fisik merupakan jenis kegiatan fisik anak (tidur; menonton televisi, bermain game, dan internet; dan bermain di luar rumah) yang dilakukan bersamaan dengan hari pencatatan konsumsi makan selama 2x24 jam.
30
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah Sekolah Dasar (SD) Insan Kamil beralamat di Jalan Raya Dramaga Km. 6 Bogor. Sekolah ini pertama kali didirikan pada tahun 1986. SD Insan Kamil memiliki 2 gedung sekolah, yaitu Gedung A dan Gedung B. Gedung B ditempati oleh anak kelas 1 SD sampai kelas 4 SD, sedangkan Gedung A ditempati oleh anak kelas 5 dan 6 SD. Sekolah ini mendapatkan akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M). SD Insan Kamil juga masuk dalam daftar 10 besar SD Negeri dan Swasta di Kota Bogor. Sekolah Dasar Insan Kamil dengan status disamakan, dikembangkan dengan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang memadukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Madrasah Diniyah. Perpaduah Kurikulum ini diimplementasikan menjadi program pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup (life skill) yang berakar kuat pada konsep ‘ubudiyah (hidup adalah ibadah). Visi sekolah ini yaitu dengan berlandaskan konsep ibadah, SD Insan Kamil unggul prestasi. Adapun misi dari sekolah ini adalah mendidik murid-murid agar menghayati dan mengamalkan bahwa hidup adalah ibadah, belajar adalah ibadah, dan prestasi adalah ibadah sehingga murid-murid memiliki: (1) penguasaan ilmu-ilmu diniyah, ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi, (2) motivasi yang kuat untuk memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya dan seluas-luasnya kepada masyarakat melalui amaliah, ubudiyah/muamalah, dan (3) kesadaran yang mendalam bahwa keberhasilan hanya disandarkan kepada pandangan dan penilaian Allah SWT. Jumlah guru sekolah sebanyak 77 orang. Tingkat pendidikan guru diantaranya 52 orang sarjana dan 25 orang lainnya diploma. Jumlah staf tata usaha sekolah 5 orang. Jumlah murid sebanyak 1181 orang yang terdiri 662 lakilaki dan 519 perempuan. Kelas 1 sampai kelas 5 masing-masing terdiri dari 7 kelas, dan kelas 6 terdiri dari 8 kelas. Data lengkap jumlah kelas dan murid tiap kelas dapat dilihat di Lampiran 2. Sarana yang dimiliki sekolah antara lain sarana pendidikan (2 gedung masing-masing 3 lantai), sarana ibadah (mesjid dan musholla), sarana penunjang (Lab. Komputer, ruang serbaguna, aula, perpustakaan, dan Lab. IPA), sarana olah raga (lapangan futsal, tenis meja, senam dan tae kwon do, lapangan bulutangkis dan volly, lapangan basket, dan UKS), dan sarana kebersihan dan
31
lingkungan (saniter dengan 20 kamar mandi, WC keramik putih, air PDAM, dan lapangan parkir luas). Kantin yang dimiliki sebanyak 3 kantin, 1 kantin di Gedung A dan 2 kantin di Gedung B. Tiap kantin memiliki berbagai macam jenis makanan mulai dari makanan ringan, makanan kemasan, kue basah, gorengan, nasi paket, nasi uduk, bihun goreng, es krim, dan berbagai macam minuman. Jam pelajaran di SD Insan Kamil pada hari Senin hingga Kamis dan Sabtu dimulai pada pukul 07.00 WIB hingga 11.30 WIB (Kelas 1 dan Kelas 2), sedangkan Kelas 3 sampai Kelas 6 sampai pukul 13.00 WIB. Hari Jumat jam pelajaran dimulai pada pukul 07.00 WIB dan selesai pada pukul 10.00 WIB (Kelas 1 hingga Kelas 6). Jam istirahat Kelas 1 dan Kelas 2 pada pukul 09.30 WIB sampai 10.00 WIB sedangkan Kelas 3 hingga Kelas 6 pada pukul 10.00 WIB hingga 10.30 WIB. Waktu istirahat biasanya digunakan murid untuk jajan, bermain, dan mengobrol dengan teman. Ektrakurikuler yang ada di sekolah ini di antaranya adalah Al-Qur,an, english course, jarimatika, klub sains, klub olimpiade matematika, biola, seni lukis, komputer, robotics, futsal, tae kwon do, dan karate. Tiap ekstrakulikuler memiliki jadwal kegiatan masing-masing, jam kegiatan biasa dilakukan setelah jam sekolah berakhir. Setiap murid diwajibkan mengikuti minimal satu kegiatan ekstrakulikuler. Karakteristik Anak Murid dari penelitian ini adalah murid SD kelas 4 dan kelas 5 dengan kisaran umur 9-11 tahun. Rata-rata murid berumur 10,4 ± 0,6 tahun. Sebagian besar umur murid berada pada usia 10 dan 11 tahun. Karakteristik anak mencakup berat badan, tinggi badan, jenis kelamin, dan berat badan lahir. Berat badan dan tinggi badan digunakan untuk mengukur IMT anak. Rata-rata berat badan dari anak dengan status gizi obes adalah 53,7 ± 6,9 kilogram, dengan kisaran 40-66 kilogram. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki ratarata berat badan 29,2 ± 3,6 kilogram, dengan kisaran 23-38 kilogram. Data umur, jenis kelamin, BB, TB, dan IMT anak terdapat pada Lampiran 3. Rata-rata berat badan lahir dari anak dengan status gizi obes adalah 3343 ± 542 gram, dengan kisaran 1600-4200 gram. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata berat badan lahir 3135 ± 350,7 gram, dengan kisaran 2500-3900 gram. Tabel 5 menunjukkan sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan berat badan lahir. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes sebanyak 70% adalah anak laki-laki. Nilai ini tidak berbeda
32
jauh dengan kelompok anak berstatus gizi normal yaitu sebanyak 65% adalah anak laki-laki. Tabel 5 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan berat badan lahir Karakteristik Anak Perempuan Jenis Kelamin Laki-laki Total Berat Badan Normal Lahir BBLR/Lebih Total
Normal n % 14 35,0 26 65,0 40 100,0 39 97,5 1 2,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 12 30,0 28 70,0 40 100,0 33 82,5 7 17,5 40 100,0
Total n 26 54 80 72 8 80
% 32,5 67,5 100,0 90,0 10,0 100,0
p value -
0,045
Menurut WHO (2000), perempuan cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas, sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Proper et al. (2006) menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai saat akhir minggu atau waktu senggang. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak berstatus gizi normal dan obes sebagian besar lahir dengan berat badan normal. Sebanyak 97,5% anak dari kelompok anak dengan status gizi normal lahir dengan berat badan normal dan sebanyak 82,5% anak dari kelompok anak obes lahir dengan berat badan normal. Namun persentase anak yang lahir dengan BBLR/berat lebih cenderung lebih banyak pada kelompok anak obes, yaitu 17,5% anak obes yang lahir dengan BBLR/berat lebih, sedangkan hanya 1 dari 40 (2,5%) anak berstatus gizi normal yang lahir dengan BBLR/berat lebih. Anak yang lahir dengan BBLR/lebih adalah anak yang lahir dengan berat badan di luar kisaran 2500-3800 gram. Berdasarkan hasil uji statistik terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,045) berat badan lahir antara anak berstatus gizi normal dan anak obes. Seorang anak yang terlahir akan memiliki kriteria berat badan saat dilahirkan. Bayi dikatakan lahir dengan berat normal jika berat badannya antara 2500-3800 gram. Bayi dikatakan lahir dengan BBLR jika berat badannya kurang dari 2500 gram. Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat lahir lebih dengan risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti menemukan
33
bahwa berat lahir rendah (BBLR) memiliki risiko yang lebih rendah menjadi obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0,50; Cl 95%: 0,32-0,77) dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian obesitas pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan (OR: 1,76; Cl 95%: 1,12,2,78) dan anak laki-laki (OR: 2,42; Cl 95%: 2,06-2,86) (Oldroyd et al. 2010). Faktor Keturunan Genetik atau parenteral fatness ditentukan dengan menghitung IMT orang tua dengan pengkategorian status gizi menjadi kurus, normal, overweight, dan obes. Rata-rata IMT ayah dari anak dengan status gizi obes adalah 26,6 ± 3,9 kg/m2, dengan kisaran 20,2-37,6 kg/m2. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata IMT ayah 23,9 ± 2,7 kg/m2, dengan kisaran 18,6-29,4 kg/m2. Tabel 6 merupakan sebaran anak berdasarkan faktor keturunan yaitu berdasarkan status IMT ayah dan IMT ibu. Tabel 6 Sebaran anak berdasarkan faktor keturunan Faktor Keturunan Kurus Normal IMT ayah Overweight Obes Total Kurus Normal IMT ibu Overweight Obes Total
Normal n % 25 62,5 15 37,5 0 0,0 40 100,0 2 5,0 28 70,0 7 17,5 3 7,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 13 32,5 18 45,0 9 22,5 40 100,0 0 0,0 20 50,0 18 45,0 2 5,0 40 100,0
p value
Total n 38 33 9 80 2 47 25 6 80
% 47,5 41,2 11,3 100,0 2,5 58,8 31,2 7,5 100,0
0,001
0,143
Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes sebagian besar berasal dari ayah yang status gizinya overweight (45%). Pada kelompok anak yang berstatus gizi normal tidak ada anak yang ayahnya berstatus gizi obes, sedangkan dari kelompok anak obes terdapat 22,5% anak memiliki ayah obes. Anak
yang berstatus gizi normal
sebagian besar memiliki ayah yang berstatus gizi normal yaitu sebanyak 62,5%. Tidak ada ayah yang berstatus gizi kurus baik dari anak obes maupun anak yang berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,001) IMT ayah antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
34
Rata-rata IMT ibu dari anak dengan status gizi obes adalah 25,0 ± 2,8 kg/m2, dengan kisaran 18,7,2-32,5 kg/m2. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata IMT ibu 23,8 ± 4,4 kg/m2, dengan kisaran17,1-38,9 kg/m2. Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak yang berstatus gizi normal dan obes masing-masing dari ibu yang berstatus gizi normal, yaitu 70% pada kelompok anak berstatus gizi normal dan 50% dari anak obes. Hampir separuh (45%) dari kelompok anak obes mimiliki ibu yang overweight, sedangkan dari kelompok anak berstatus gizi normal hanya 17,5% ibu yang overweight. Terdapat 5% dari kelompok anak obes memiliki ibu obes, sedangkan 7,5% dari kelompok anak berstatus gizi normal memiliki ibu obes. Tidak ada dari kelompok anak obes memiliki ibu yang berstatus gizi kurus, sedangkan terdapat 5% ibu bersatatus gizi kurus dari kelompok anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,143) IMT ibu antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14%. Perubahan lingkungan gizi ketika anak berada dalam kandungan menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama kerentanan terhadap pemrograman janin yang di kemudian hari bersama-sama dengan pengaruh diet dan stres lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai penyakit di kemudian hari. Berikut disajikan sebaran anak berdasarkan kombinasi antara IMT ayah dan IMT ibu yang terdapat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran anak berdasarkan kombinasi IMT ayah dan IMT ibu IMT ayah dan IMT ibu Kurus dan Normal Normal dan Normal Overweight dan Kurus Overweight dan Normal Overweight dan Overweight Obes dan Normal Obes dan Overweight Total
Normal n % 1 2,5 19 47,5 1 2,5 12 30,0 4 10,0 2 5,0 1 2,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 0 0,0 6 15,0 0 0,0 16 40,0 7 17,5 5 12,5 6 15,0 40 100,0
Total n 1 24 1 28 11 8 7 80
% 1,2 30,0 1,2 35,0 13,8 10,0 8,8 100,0
Berdasarkan hasil yang terdapat pada Table 7 dapat diketahui bahwa hampir separuh (47,5%) anak berstatus gizi normal berasal dari kedua orang tua yang berstatus gizi normal. Pada kelompok anak obes, sebagian besar (40%) anak obes berasal dari ayah overweight dan ibu normal atau ayah yang normal
35
dan ibu yang overweight. Bahkan terdapat 15% anak obes yang berasal dari kedua orang tua yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Internasional Obesity Task Force (IOTF) dari badan WHO menyebutkan bahwa faktor genetik hanya berpengaruh 1% dari kejadian obesitas pada anak, sedangkan 99% disebabkan faktor lingkungan (Darmono 2006). Effendi (2003) menyatakan bila kedua orang tua mengalami kegemukan, maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas mencapai 66–80%. Bila salah satu orang tua mengalami kegemukan maka kemungkinan anak mengalami obesitas sekitar 20–51%. Bahkan bila kedua orangtuanya memiliki status gizi normal, anak memiliki kemungkinan gemuk sebesar 7-14%. Karakteristik Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama seorang anak berinteraksi. Keluarga juga yang menentukan jenis makanan yang akan dikonsumsi. Kondisi obesitas biasanya terjadi pada keluarga yang memiliki perekonomian di atas rata-rata, karena kemampuannya untuk memberikan makanan yang penuh gizi pada anaknya. Karakteristik keluarga mencakup pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan pengetahuan gizi ibu. Pendidikan Orang Tua Kualitas pendidikan dari orang tua mungkin saja mempengaruhi kualitas dari keluarga itu sendiri, karena pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan pengetahuan gizi seseorang. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Menurut Atmarita & Fallah (2004), tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
atau
masyarakat
untuk
menyerap
informasi
dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Sebaran anak berdasarkan pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel 8.
36
Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan pendidikan orang tua Karakteristik Orang Tua Pendidikan Ayah
SMP SMA PT
Total Pendidikan Ibu Total
SMP SMA PT
Normal n % 1 2,5 8 20,0 31 77,5 40 100,0 5 12,5 12 30,0 23 57,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 2 5,0 6 15,0 32 80,0 40 100,0 1 2,5 13 32,5 26 65,0 40 100,0
Total n 3 14 63 80 6 25 49 80
p value
% 3,8 17,5 78,7 100,0 7,5 31,2 61,3 100,0
0,839
0,333
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar anak yang obes memiliki orang tua yang berpendidikan sampai ke perguruan tinggi (80%), 15% memiliki ayah yang berpendidikan SMA, dan hanya 5% memiliki ayah yang berpendidikan SMP. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan kelompok anak yang berstatus gizi normal. Dari kelompok anak yang berstatus gizi normal, sebanyak 77,5% memiliki ayah yang berpendidikan perguruan tinggi (PT), 20% memiliki ayah yang berpendidikan SMA, dan hanya 2,5% memiliki ayah berpendidikan SMP. Namun persentase ayah yang berpendidikan perguruan tinggi lebih tinggi pada kelompok anak obes dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,839) pendidikan ayah antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Hal ini diduga rata-rata tingkat pendidikan ayah antara dua kelompok tersebut sama. Pendidikan ayah diduga berkaitan dengan tingkat status ekonomi keluarga, karena pendidikan orang tua berhubungan dengan tingkat pendapatan orang tua. Tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi anaknya. Makin tinggi tingkat pendidikan maka pendapatan pun akan semakin tinggi. Pendapatan keluarga yang tinggi berarti kemudahan dalam membeli dan mengonsumsi makanan enak dan mahal yang mengandung energi tinggi seperti fast food (Padmiari & Hadi 2001). Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak obes memiliki ibu yang berpendidikan perguruan tinggi (PT) (65%), sedangkan dari kelompok anak berstatus gizi normal terdapat 57,5% memiliki ibu yang berpendidikan perguruan tinggi (PT). Persentase ibu yang berpendidikan sampai perguruan tinggi ternyata lebih tinggi pada kelompok anak obes dibandingkan dengan kelompok anak berstatus gizi normal. Tidak terdapat perbedaan yang
37
signifikan (p=0,333) pendidikan ibu antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Pendapatan Keluarga Kondisi
obesitas
biasanya
terjadi
pada
keluarga
yang
memiliki
perekonomian di atas rata-rata. Hal ini dikarenakan kemampuannya untuk membeli dan memberikan makanan yang penuh gizi pada anaknya. Pendapatan keluarga adalah total dari pendapatan ayah dan ibu setiap bulannya. Tabel 9 merupakan sebaran anak berdasarkan pendapatan keluarga. Tabel 9 Sebaran anak berdasarkan pendapatan keluarga Normal
Karakteristik Orang Tua n Pendapatan Keluarga
<3 Juta 3-5Juta 5-10 Juta >10 Juta
Total
4 14 14 8 40
% 10,0 35,0 35,0 20,0 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 3 7,5 10 25,0 17 42,5 10 25,0 40 100,0
Total n
% 8,8 30,0 38,7 22,5 100,0
7 24 31 18 80
Tabel 9 menggambarkan dari kelompok anak obes, sebagian besar berasal dari keluarga yang pendapatannya antara 5-10 juta rupiah (42,5%) dan sebanyak 25% berasal dari keluarga dengan pendapatan di atas 10 juta rupiah per bulan. Pada kelompok anak dengan status gizi normal sebesar 20% berasal dari keluarga dengan pendapatan di atas 10 juta rupiah per bulan. Nilai ini tidak jauh berbeda, namun jika dikelompokkan lagi menjadi dua kategori pendapatan keluarga, yaitu di bawah 5 juta rupiah per bulan dan di atas 5 juta rupiah terdapat perbedaan yang semakin terlihat (Tabel 10). Tabel 10 Sebaran anak berdasarkan dua kategori pendapatan keluarga Karakteristik Orang Tua Pendapatan <5 Juta Keluarga ≥5Juta Total
Normal n % 18 45,0 22 55,0 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 13 32,5 27 67,5 40 100,0
Total n 31 49 80
% 38,8 61,2 100,0
p value 0,306
Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak obes memiliki orang tua dengan pendapatan di atas 5 juta rupiah per bulan (67,5%). Pada kelompok anak dengan status gizi normal, sebesar 55% memiliki orang tua dengan pendapatan di atas 5 juta rupiah per bulan sebesar 55% dan 45% dari orang tua dengan pendapatan di bawah 5 juta rupiah per bulan. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan (0,306) pendapatan keluarga antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
38
Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Menurut Soekirman (2000), Bannet menemukan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Peningkatan pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Selain itu, menurut Nasoetion dan Riyadi (1994) keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pemilihan bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menuntukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan menigkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan gizi ibu pada penelitian ini diukur dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh ibu di rumah. Pertanyaan yang diajukan sebanyak 20 soal mengenai pengetahuan gizi umum dan pengetahuan mengenai obesitas. Rata-rata nilai pengetahuan gizi ibu dari anak dengan status gizi obes adalah 86,5 ± 10,9 dengan kisaran 50-100. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata nilai pengetahuan gizi ibu 87,75 ± 11,9 dengan kisaran 35-100. Pengetahuan gizi ibu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kurang (skor <60%), sedang (60-80%), dan baik (>80%) (Khomsan 2000). Sebaran anak berdasarkan pengetahuan gizi ibu dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran anak berdasarkan pengetahuan gizi ibu Karakteristik Orang Tua Pengetahuan Gizi Ibu Total
Kurang Sedang Baik
Normal n % 1 2,5 8 20,0 31 77,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 1 2,5 10 25,0 29 72,5 40 100,0
Total n 2 18 60 80
% 2,5 22,5 75,0 100,0
p value
0,626
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes ternyata sebagian besar memiliki ibu dengan pengetahuan gizi yang baik (72,5%). Bila dibandingkan dengan kelompok anak yang berstatus gizi normal, ternyata 77,5% anak yang berstatus gizi normal memiliki ibu dengan pengetahun gizi yang baik. Nilai ini tidak jauh berbeda, namun persentase pengetahuan gizi ibu yang baik lebih tinggi pada kelompok anak berstatus gizi normal. Hal ini dapat
39
dikatakan ada kecenderungan ibu yang berpengetahuan gizi baik memiliki anak yang berstatus gizi normal. Namun berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,626) pengetahuan gizi ibu antara anak berstatus gizi normal dan anak obes. Menurut hasil penelitian Yueniwati dan Rahmawati (2001), terdapat hubungan antara pendidikan terakhir ibu dengan pengetahuan ibu tentang anak obes. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan anak, dan sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut, pengetahuan ibu tentang obes pada anak juga berhubungan dengan status pekerjaan ibu, yaitu ibu bekerja atau tidak. Riwayat Makan Anak Riwayat makan anak yang dimaksud adalah kondisi konsumsi anak pada saat masih bayi. Riwayat makan anak terdiri dari pemberian ASI eksklusif, pemberian susu formula, dan pemberian makanan padat. Pemberian ASI Eksklusif ASI sangat penting bagi bayi untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lain yang diperlukan oleh bayi. Pemberian ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa makanan lain dari mulai bayi dilahirkan sampai dengan uisa 6 bulan. Tabel 12 menggambarkan sebaran anak berdasarkan riwayat makan anak. Tabel 12 Sebaran anak berdasarkan riwayat makan anak Riwayat Makan Anak ASI Eksklusif Total Pemberian Susu Formula < 6 bulan Total Pemberian Makan Padat < 6 bulan Total
Ya Tidak Tidak Ya Tidak Ya
Normal n % 12 30,0 28 70,0 40 100,0 26 65,0 14 35,0 40 100,0 25 62,5 15 37,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 8 20,0 32 80,0 40 100,0 17 42,5 23 57,5 40 100,0 20 50,0 20 50,0 40 100,0
Total n 20 60 80 43 37 80 45 35 80
% 25,0 75,0 100,0 53,8 46,2 100,0 56,2 43,8 100,0
p value 0,305
0,045
0,263
Berdasarkan hasil yang terdapat pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes sebagian besar tidak mendapatkan ASI eksklusif pada waktu bayinya. Sebanyak 32 dari 40 (80%) anak obes tidak mendapatkan ASI
40
eksklusif waktu bayi, sedangkan dari kelompok anak berstatus gizi normal, 70% tidak mendapatkan ASI eksklusif waktu bayi. Dari sampel anak berstatus gizi normal dan obes, ternyata sebanyak 75% ibu tidak memberikan ASI eksklusif pada anaknya. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,305) pemberian ASI eksklusif antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Menurut Darmono (2006), obesitas pada anak disebabkan oleh asupan makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan mengonsumsi susu formula dalam botol. Padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai dengan kebutuhannya. Anak yang biasa meminum susu dalam botol, jumlah asupan makanan pada anak tidak dapat dihitung dengan tepat, bahkan para orang tua cenderung memberikan susunya lebih kental, sehingga melebihi porsi yang dibutuhkan anak. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kries dan Rudiger (1999) yang melibatkan 9357 anak sekolah di Bavaria Jerman ditemukan prevalensi kejadian obesitas lebih tinggi pada anak yang tidak pernah mendapat ASI, yakni sekitar 4,5%, dibandingkan dengan prevalensi obesitas pada anak yang pernah mendapat ASI pada masa bayinya yakni hanya 2,8%. Anak yang diberi ASI pada masa bayinya akan memiliki kemungkinan 0,75 kali (yang berarti lebih kecil) untuk menjadi obes dibandingkan anak yang tidak diberi ASI pada masa bayinya. Ini berarti pemberian ASI sejak bayi memiliki faktor protektif pada kejadian obesitas pada masa anak. Pemberian Susu Formula Riwayat makan anak mengenai pemberian susu formula dikategorikan menjadi dua, yaitu pemberian susu formula sebelum usia anak 6 bulan dan pemberian susu formula setelah usia anak 6 bulan. Berdasarkan hasil pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa kecenderungan obes dialami anak yang diberi susu formula sebelum usia 6 bulan. Terdapat 23 dari 40 (57,5%) anak obes yang diberi susu formula lebih awal atau sebelum usia 6 bulan. Berbeda dengan kelompok anak berstatus gizi normal, sebanyak 65% anak berstatus gizi normal tidak diberi susu formula sebelum usia 6 bulan. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,045) pemberian susu formula antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
41
Terdapat 42,5% anak obes yang tidak diberi susu formula sebelum usia 6 bulan namun mengalami obes. Hal ini bisa saja terjadi karena anak yang tidak diberikan susu formula sebelum usia 6 bulan, namun dalam pertumbuhannya diberikan makaan dengan jumlah yang lebih dari kecukupannya dan tidak diimbangi dengan aktifitas fisik, maka anak akan tumbuh dengan status gizi obes. Pemberian susu formula dalam takaran yang sesuai dan frekuensi yang tidak berlebih juga akan membantu konsumsi energi yang seimbang pada anak. Menurut Darmono (2006), obesitas pada anak disebabkan oleh masukan makanan yang berlebih. Anak yang biasa minum susu dalam botol, jumlah masukan makanan pada anak tidak dapat dihitung dengan tepat, bahkan para orang tua cenderung memberikan susunya lebih kental, sehingga melebihi porsi yang dibutuhkan anak. Berdasarkan penelitian Yueniwati & Rahmawati (2001), didapatkan hasil bahwa anak yang mengalami obes, sebelas di antaranya mendapatkan susu yang osmolaritasnya tinggi. Pemberian susu dengan osmolaritas tinggi (terlalu kental) akan menyebabkan terjadinya asupan energi yang melebihi kebutuhan optimal. Pemberian Makanan Padat Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui tidak ada perbedaan yang nyata antara pemberian makanan padat sebelum usia 6 bulan dengan status gizi obes pada anak. Hal ini dikarenakan pada kelompok anak obes, baik anak yang diberi makanan pada sebelum usia 6 bulan dan setelah usia 6 bulan memiliki persentase yang sama (50%). Sebanyak 25 dari 40 (62,5%) anak berstatus gizi normal tidak diberi makanan padat (biskuit bayi) sebelum usia 6 bulan, sedangkan hanya 37,5% anak berstatus gizi normal yang diberi makanan padat setelah usia 6 bulan. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang siginifikan (p=0,263) pemberian makanan padat antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Berdasarkan penelitian Yueniwati & Rahmawati (2001), pemberian makanan padat yang terlalu dini (sebelum usia 6 bulan) pada anak merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya obesitas pada anak. Pada anak yang mendapatkan makanan padat terlalu dini (bubur bayi, biskuit, dan nasi tim sebelum 6 bulan) masukan energi akan melebihi kebutuhan energinya. Dari penelitian didapatkan hasil bahwa anak yang mengalami obes, sebelas di antaranya mendapatkan susu yang osmolaritasnya tinggi. Pemberian susu
42
dengan osmolaritas tinggi (terlalu kental) akan menyebabkan terjadinya asupan energi yang melebihi kebutuhan optimal. Kebiasaan Makan Kebiasaan adalah pola perilaku yang diperoleh dari pola yang terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan juga dikaitkan dengan cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengonsumsi, dan menggunakan makanan yang tersedia, yang didasarkan pada faktor-faktor psikologi, fisiologi, sosial, dan budaya di mana ia hidup (Suhardjo 2003). Menurut Khumaidi (1989) kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Kebiasaan makan yang dilihat di penelitian ini di antaranya adalah konsumsi harian dengan menghitung energi, protein, dan lemak, konsumsi sayur dan buah, konsumsi fast food, konsumsi soft drink, dan konsumsi makanan berlemak. Asupan Zat Gizi Pengukuran asupan zat gizi anak menggunakan metode food record 1x24 jam pada hari libur dan metode food recall 1x24 jam pada hari sekolah. Kemudian konsumsi pangan dari dua hari tersebut dirata-ratakan. Metode food record ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah lebih akurat, sedangkan kelemahannya adalah perlu adanya partisipasi tinggi dari responden dan pola konsumsi pangan rumah tangga bisa berubah. Kelebihan dari metode food recall yaitu mudah dalam melaksanakannya, tidak membebani responden, biaya murah, dan cepat. Namun metode ini juga memiliki kekurangan yaitu kurang dapat menggambarkan asupan makan sehari-hari jika dilakukan satu hari dan ketepatannya tergantung dari daya ingat responden. Asupan
energi
anak
berstatus
gizi
normal
berkisar
1169-2854
kkal/kap/hari, sedangkan asupan energi anak obes berkisar 1691-3318 kkal/kap/hari. Data asupan energi, protein, dan lemak anak terdapat pada Lampiran 4. Rata-rata asupan energi, protein, dan lemak anak berstatus gizi normal dan anak obes dapat dilihat pada Tabel 13.
43
Tabel 13 Rata-rata asupan energi, protein, dan lemak per kapita per hari Energi dan Zat Gizi Energi (kkal/kap/hari) Protein (g/kap/hari) Lemak (g/kap/hari)
Satus Gizi Anak Normal Obes 2007 ± 403 2406 ± 388 70,4 ± 22,8 67,4 ± 20,1 68,8 ± 22,5 89,2 ± 19,9
p value 0,000 0,536 0,000
Berdasarkan hasil pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa rata-rata asupan energi anak obes lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal, yaitu dengan rata-rata asupan anak berstatus gizi normal 2007 ± 403 kkal/kap/hari dan anak obes 2406 ± 388 kkal/kap/hari. Hasil uji t-test menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata antara asupan energi anak obes dan anak berstatus gizi normal (p=0,000). Asupan lemak anak berstatus gizi normal berkisar 26,5-130,4 g/kap/hari, sedangkan asupan lemak anak obes berkisar 48,9-142,3 g/kap/hari. Sama halnya dengan asupan energi, rata-rata asupan lemak anak obes lebih tinggi dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal, yaitu dengan rata-rata asupan lemak anak berstatus gizi normal 68,8 ± 22,5 g/kap/hari dan anak obes 89,2 ± 19,9 g/kap/hari. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang nyata (p=0,000) antara rata-rata asupan lemak anak obes dengan anak status gizi normal. Asupan protein anak berstatus gizi normal berkisar 35,2-121,7 g/kap/hari, sedangkan asupan energi anak obes berkisar 39,4-135,5 g/kap/hari. Berbeda dengan rata-rata asupan energi dan lemak contoh, rata-rata asupan protein anak obes ternyata lebih rendah dibandingkan anak dengan status gizi normal, yaitu rata-rata asupan protein anak berstatus gizi normal 68,8 ± 22,5 g/kap/hari dan anak obes 67,4 ± 20,1 g/kap/hari. Asupan protein anak berstatus gizi normal cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan anak obes. Protein tidak terlalu berpengaruh dalam pembentukan sel lemak. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan akan dioksidasi, sedangkan karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata asupan protein anak obes dengan anak status gizi normal (p=0,536).
44
Menurut Hartoyo (2007), obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan sehingga terjadilah kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar obesitas terjadi akibat makan yang berlebihan. Menurut Hardinsyah dan Martianto (1988) tingkat kecukupan zat gizi seseorang atau kelompok orang dapat diketahui dengan cara membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan angka kecukupannya. Kecukupan zat gizi antar individu berbeda menurut berat badan, jenis kelamin, umur, keadaan fisiologis, dan lain-lain. Rata-rata tingkat kecukupan energi dari anak dengan status gizi obes adalah 118,2 ± 19,4 % dengan kisaran 82,5-161,8%. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata tingkat kecukupan energi 92,0 ± 25,0 dengan kisaran 44,2-143,4%. Rata-rata tingkat kecukupan protein dari anak dengan status gizi obes adalah 135,8 ± 42,8 % dengan kisaran 78,8-301,1 %, sedangkan kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata tingkat kecukupan protein 132,6 ± 50,1 % dengan kisaran 52,3-256,9 %. Tingkat kecukupan energi dan protein dibedakan menjadi lima; defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), kurang (80-89 % AKG), cukup (90-119% AKG), dan lebih (≥120% AKG) (Depkes 1996). Sebaran anak berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran anak berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein Tingkat Kecukupan
Energi
Protein
Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Kurang Cukup Lebih Total Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Kurang Cukup Lebih Total
Normal n % 7 17,5 3 7,5 11 27,5 15 37,5 4 10,0 40 100,0 2 5,0 1 2,5 7 17,5 10 25,0 20 50,0 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 0 0,0 0 0,0 5 12,5 14 35,0 21 52,5 40 100,0 0 0,0 1 2,5 3 7,5 13 32,5 23 57,5 40 100,0
Total n 6 3 17 29 25 80 2 2 9 23 44 80
% 7,5 3,8 21,2 36,2 31,3 100,0 2,5 2,5 11,2 28,8 55,0 100,0
p value
0,000
0,761
Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak obes memiliki tingkat kecukupan energi lebih (52,5%) dan cukup (35%). Hal ini berbeda dengan kelompok anak berstatus gizi normal, anak berstatus gizi normal cenderung mengonsumsi energi dengan tingkat kecukupan energi yang cukup (37,5%) dan kurang (27,5%). Bahkan tidak ada anak obes dengan tingkat
45
kecukupan energi defisit tingkat sedang dan defisit tingkat berat, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal terdapat 7,5% anak dengan tingkat kecukupan energi defisit tingkat sedang dan 17,5% anak dengan tingkat kecukupan energi defisit tingkat berat. Anak yang obes cenderung memiliki kebiasaan pola makan berlebih serta mengonsumsi makanan dalam jumlah lebih banyak setiap kalinya. Selain itu anak yang obes juga sangat menyukai aktivitas makan. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang sangat signifikan (p=0,000) tingkat kecukupan energi antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes sebanyak 57,5% mempunyai tingkat kecukupan protein pada kategori lebih. Hal yang sama terjadi pada kelompok anak berstatus gizi normal, separuh (50%) memiliki tingkat kecukupan protein pada kategori lebih. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan kelompok anak obes, namun pada kelompok anak obes nilai persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,761) tingkat kecukupan protein antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Pertumbuhan anak sebaiknya didukung oleh konsumsi zat gizi yang cukup. Menurut Almatsier (2003), protein merupakan bagian terbesar tubuh setelah air yang mempunyai fungsi yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Oleh karena itu protein sangat dibutuhkan dalam proses pertumbuhan anak. Sebaran anak bedasarkan persen kontribusi lemak terhadap konsumsi energi dapat dilihat pada Tabel 15. Rata-rata konsumsi energi pada anak obes adalah 2406 ± 388 kkal setiap hari. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan rata-rata konsumsi energi anak normal yaitu 2007 ± 403 kkal setiap hari. Tabel 15 Sebaran anak bedasarkan persen kontribusi lemak Status Gizi Anak Normal Obes
Rata-rata Konsumsi Energi Lemak (kkal/kap/hari) (g/kap/hari) 2007 ± 403 68,8 ± 22,5 2406 ± 388 89,2 ± 19,9
% Kontribusi Lemak
p value
30,4 33,4
0,027
Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa kontribusi konsumsi lemak anak obes cenderung lebih banyak dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal. Kontribusi lemak pada anak obes sebesar 33,4% sedangkan pada anak dengan status gizi normal sebesar 32,0%. Nilai tersebut tidak jauh berbeda, namun kontribusi lemak pada anak obes lebih tinggi dibandingkan dengan anak
46
berstatus gizi normal. Kisaran kontribusi lemak pada anak obes adalah 21,643,6%, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal adalah 14,444,9%. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,027) persen kontribusi lemak antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Menurut Almatsier (2003), konsumsi lemak perlu diawasai karena tidak boleh melebihi seperempat dari kebutuhan energi. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi lemak tidak boleh lebih dari 25%. Kontribusi lemak baik pada anak obes dan anak berstatus gizi normal ternyata melebihi 25%. Maka kedua kelompok tersebut mengonsumsi lemak melebihi batas yang telah dianjurkan. Nilai ini mungkin saja terjadi, karena nilai konsumsi yang diketahui adalah konsumsi saat ini, di mana kedua kelompok tersebut banyak mengonsumsi makanan yang berlemak dan makanan yang digoreng saat dilakukan food record dan food recall. Kebiasaan Konsumsi Camilan Makanan camilan biasa dikonsumsi di luar jam makan utama. Tabel 16 merupakan sebaran anak berdasarkan kebiasaan ngemil anak dengan kejadian kegemukan anak. Tabel 16 Sebaran anak berdasarkan kebiasaan ngemil Kebiasaan Ngemil Tidak Ya Total
Normal n % 9 22,5 31 77,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 5 12,5 35 87,5 40 100,0
Total n % 14 17,5 66 82,5 80 100,0
p value 0,242
Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa kelompok anak obes sebagian besar suka ngemil. Terdapat 35 dari 40 (87,5%) anak obes yang suka ngemil, sedangkan hanya 5 dari 40 (12,5%) anak obes yang tidak suka ngemil. Hal yang sama terjadi pada anak berstatus gizi normal, terdapat 77,5% anak berstatus gizi normal yang suka ngemil dan 22,5% anak berstatus gizi normal yang tidak suka ngemil. Dari kelompok anak berstatus gizi normal dan obes sebanyak 66 dari 80 (82,5%) anak suka ngemil. Namun persentase anak yang suka ngemil lebih tinggi pada kelompok anak obes. Berdasarkan hasil uji MannWhitney U tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,242) kebiasaan ngemil antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Kebiasaan ngemil ini tidak buruk apabila dimaksudkan untuk membantu penyediaan energi yang kurang dari asupan makanan utama sehari-hari, tetapi perlu diperhatikan jenis camilannya. Tidak ada bantahan bahwa beberapa jenis
47
camilan termasuk bergizi.
Camilan dikatakan buruk apabila berlebihan
kandungan gula, garam, dan lemak, tetapi rendah protein, vitamin, dan mineral. Sebaran anak berdasarkan jenis makanan camilan yang biasa dikonsumsi dapat dilihat pada Tabel 17. Kebiasaan konsumsi camilan terdiri atas jenis camilan makanan ringan, biskuit, es krim, coklat, dan gorengan. Tabel 17 Sebaran anak berdasarkan jenis camilan Jenis Camilan Makanan Ringan Total Biskuit
Tidak Ya Tidak Ya
Total Es Krim
Tidak Ya
Total Coklat
Tidak Ya
Total Gorengan Total
Tidak Ya
Normal n % 25 62,5 15 37,5 40 100,0 22 55,0 18 45,0 40 100,0 38 95,0 2 5,0 40 100,0 37 92,5 3 7,5 40 100,0 38 95,0 2 5,0 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 16 40,0 24 60,0 40 100,0 25 62,5 15 37,5 40 100,0 29 72,5 11 27,5 40 100,0 31 77,5 9 22,5 40 100,0 26 65,0 14 35,0 40 100,0
Total n 41 39 80 47 33 80 67 13 80 68 12 80 64 16 80
% 51,2 48,8 100,0 58,8 41,2 100,0 83,8 16,2 100,0 85,0 15,0 100,0 80,0 20,0 100,0
p value 0,045
0,498
0,007
0,062
0,001
Tabel 17 menunjukkan bahwa 60% anak obes suka ngemil makanan ringan, sedangkan anak berstatus gizi normal yang suka ngemil makanan ringan hanya 37%. Anak berstatus gizi normal dan obes cenderung tidak suka mengemil biskuit, es krim, coklat, dan gorengan, namun jika dibandingkan antara anak berstatus gizi normal dan obes yang suka mengemil es krim, coklat, dan gorengan, ternyata persentasenya lebih banyak terjadi pada anak obes dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Terdapat 27,5% anak obes yang suka ngemil es krim, sedangkan pada anak berstatus gizi normal hanya 5%. Terdapat 22,5% anak obes yang suka ngemil coklat, sedangkan pada kelompok anak normal hanya 7,5%, dan terdapat 35% anak obes yang suka ngemil gorengan sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal hanya 5% yang suka ngemil gorengan. Tetapi pada jenis camilan biskuit, anak berstatus gizi normal persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan anak obes. Terdapat 45% anak berstatus gizi normal yang suka ngemil biskuit dan 37,5% anak obes yang suka ngemil biskuit. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara konsumsi jenis camilan biskuit (p=0,498) dan coklat (p=0,062) dari anak berstatus gizi normal dan anak obes. Namun terdapat perbedaan yang signifikan
48
pada konsumsi jenis camilan makanan ringan (p=0,045), es krim (0,007), dan gorengan (0,001) dari kedua kelompok anak tersebut (anak berstatus gizi normal dan obes). Jenis camilan seperti es krim, coklat, dan gorengan memiliki kandungan lemak yang tinggi. Makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Menurut Popkin (2007), camilan sebenarnya penting bagi anak, sebab perutnya kecil dan ia perlu ngemil lebih sering. Namun apapun camilannya dalam sehari, seharusnya hanya memberikan 20 persen dari total energinya. Kebiasaan mengonsumsi camilan biasanya dilakukan saat anak menonton televisi, bermain game, dan saat belajar. Ketiga kegiatan tersebut merupakan aktivitas fisik yang sangat rendah, namun dalam waktu bersamaan anak mengonsumsi makanan yang mengandung cukup banyak energi. Tidak seimbangnya antara konsumsi energi dengan aktivitas fisik yang dilakukan merupakan salah satu penyebab obesitas pada anak. Frekuensi Konsumsi Sayur dan Buah Sayuran dan buah-buahan sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan vitamin, mineral, dan serat bagi tubuh. Selain itu, sayuran dan buah-buahan juga sangat penting sebagai sarana untuk pencegahan kegemukan. Oleh karena itu konsumsinya dianjurkan setiap hari. Tabel 18 menunjukkan sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi sayur dan buah.
49
Tabel 18 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi sayur dan buah Konsumsi Sayur dan Buah
Sayur
Buah
Setiap hari 4-6 kali/minggu 1-3 kali/minggu Tidak pernah Total Setiap hari 4-6 kali/minggu 1-3 kali/minggu Tidak pernah Total
Normal n % 9 22,5 15 37,5 14 35,0 2 5,0 40 100,0 8 20,0 8 20,0 23 57,5 1 2,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 16 40,0 6 15,0 18 45,0 0 0,0 40 100,0 9 22,5 6 15,0 22 55,0 3 7,5 40 100,0
Total n % 25 31,2 21 26,3 32 40,0 2 2,5 80 100,0 17 21,2 14 17,5 45 56,3 4 5,0 80 100,0
p value
0,468
0,736
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa pada kelompok anak obes sebagian besar mengonsumsi sayur 1-3 kali tiap minggu. Terdapat 45% anak obes yang mengonsumsi sayur 1-3 kali tiap minggu, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal sebagian besar mengonsumsi sayur 4-6 kali tiap minggu, yaitu 37% anak berstatus gizi normal yang mengonsumsi sayur 4-6 kali tiap minggu. Anak berstatus gizi normal cenderung lebih sering mengonsumsi sayur dibandingkan dengan anak obes. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,468) frekuensi konsumsi sayur antara anak berstatus gizi normal dan anak obes. Berdasarkan data pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak berstatus gizi normal dan obes cenderung mengonsumsi buah 1-3 kali tiap minggu. Terdapat 57,5% anak berstatus gizi normal yang mengonsumsi buah 1-3 kali tiap minggu dan 55% anak obes yang mengonsumsi buah 1-3 kali tiap minggu. Namun terdapat 7,5% anak obes yang tidak pernah mengonsumsi buah, nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anak normal yang tidak pernah mengonsumsi buah (2,5%). Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,736) frekuensi konsumsi buah antara anak berstatus gizi normal dan anak obes. Kecenderungan yang sama pada frekuensi konsumsi sayur dan buah ini diduga karena penelitian ini hanya memperhatikan frekuensi contoh dalam mengonsumsi sayur dan buah dalam seminggu tanpa melihat kuantitas dan kualitasnya. Walaupun contoh mengonsumsi buah setiap hari, tetapi dalam jumlah yang sedikit atau jenisnya yang tidak sesuai, maka belum tentu dapat memenuhi ketentuan untuk sampai kepada tindakan pencegahan kegemukan. Bahkan belum diketahui juga apakah konsumsi contoh sudah memenuhi kebutuhan yang dianjurkan.
50
Menurut RISKESDAS (2007), penduduk dikategorikan ’kurang’ konsumsi sayur dan buah apabila konsumsi sayur dan buah kurang dari 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Secara keseluruhan, penduduk umur 10-14 tahun yang kurang mengonsumsi buah dan sayur sebesar 93,6%. Berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita, dengan meningkatnya strata juga tampak pengurangan prevalensi kurang konsumsi buah dan sayur, dengan perkataan lain, semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita perbulan, semakin tinggi konsumsi buah dan sayur. Frekuensi Konsumsi Fast food dan Soft drink Konsumsi fast food dan soft drink yang berlebihan tidak baik untuk kesehatan, karena kedua jenis makanan tersebut mengandung kalori yang sangat tinggi. Tetapi usia anak sekolah merupakan usia yang menjadi sasaran konsumen bagi produsen fast food dan soft drink, hal ini dikarenakan mudah didapat di pusat perbelanjaan, praktis, dan memiliki rasa yang enak dan lezat. Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi fast food dan soft drink dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi soft drink dan fast food Konsumsi
Soft Drink
Fast Food
Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari Total Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari Total
Normal n % 14 35,0 23 57,5 3 7,5 40 100,0 3 7,5 33 82,5 3 7,5 1 2,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 9 22,5 17 42,5 14 35,0 40 100,0 2 5,0 17 42,5 18 45,0 3 7,5 40 100,0
Total n % 28,8 23 40 50,0 17 21,2 80 100,0 5 6,2 50 62,5 21 26,3 4 5,0 80 100,0
p value
0,014
0,000
Berdasarkan hasil yang terdapat pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa baik dari kelompok anak berstatus gizi normal dan obes ternyata terbiasa mengonsumsi soft drink 1-3 kali tiap minggunya. Namun persentase anak yang suka mengonsumsi soft drink 4-6 kali tiap minggu lebih banyak terjadi pada anak obes yaitu sebasar 35%, sedangkan hanya 7,5% anak berstatus gizi normal yang suka mengonsumsi soft drink 4-6 kali tiap minggu. Tidak ada anak berstatus gizi normal dan obes yang mengonsumsi soft drink setiap hari. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,014) frekuensi konsumsi soft drink antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
51
Sebagian besar anak yang suka mengonsumsi fast food 4-6 kali tiap minggu terjadi pada kelompok anak obes. Terdapat hampir separuh (45%) anak obes yang mengonsumsi fast food 4-6 kali tiap minggu, sedangkan anak berstatus gizi normal sebagian besar mengonsumsi fast food 1-3 kali tiap minggu (82,5%). Anak yang mengonsumsi fast food setiap hari lebih banyak terjadi pada kelompok anak obes, terdapat 7,5% anak obes yang mengonsumsi fast food setiap hari, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal hanya 2,5% yang mengonsumsi fast food setiap hari. Maka dapat dikatakan bahwa anak obes cenderung lebih sering mengonsumsi fast food dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,000) frekuensi konsumsi fast food antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Konsumsi soft drink dengan frekuensi yang sering juga tidak memberikan dampak yang baik, karena kandungan gula yang tinggi dalam soft drink. Namun anak usia sekolah sangat menyukai jenis minuman ini meskipun kandungan dalam minuman tersebut tidak baik untuk kesehatan. Menurut WHO (2000), perkembangan food industry yang salah satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko obesitas. Fast food atau ready-to-eat-food jadi pilihan utama orang tua yang sibuk atau konsumsi ketika menghabiskan waktu bersama keluarga pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan karena pengolahannya yang cenderung cepat karena menggunakan tenaga mesin, terlihat bersih karena penjamahnya adalah mesin, restoran yang mudah ditemukan, serta karena pelayanannya yang selalu sedia setiap saat bagaimanapun cara pemesanannya (Worthington & William 2000). Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak Makanan berlemak tidak dapat dipungkiri terasa lezat di mulut, tetapi membawa dampak yang buruk bagi kesehatan. Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak Konsumsi
Makanan Berlemak
Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari Total
Normal n % 1 2,5 32 80,0 7 17,5 0 0,0 40 100,0
Status Gizi Anak Obes Total n % n % 0 0,0 1 1,2 8 20,0 40 50,0 27 67,5 34 42,5 5 12,5 5 6,3 40 100,0 80 100,0
p value
0,000
52
Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak yang suka mengonsumsi makanan berlemak 4-6 kali tiap minggu terjadi pada kelompok anak obes. Terdapat lebih dari separuh (67,5%) anak obes yang mengonsumsi makanan berlemak 4-6 kali tiap minggu, sedangkan anak berstatus gizi normal sebagian besar mengonsumsi makanan berlemak 1-3 kali tiap minggu (80,0%). Terdapat 12,5% anak obes yang mengonsumsi makanan berlemak setiap hari, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal tidak ada anak yang mengonsumsi makanan berlemak tiap hari. Maka dapat dikatakan bahwa anak obes cenderung lebih sering mengonsumsi makanan berlemak dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Hal ini sesuai dengan persentase kontribusi lemak anak obes yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U Terdapat perbedaan yang sangat signifikan (p=0,000) frekuensi konsumsi lemak antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Lemak memiliki kandungan energi dua kali lebih banyak dibandingkan dengan protein. Makan makanan berlemak dengan jumlah yang sama dengan protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak terasa lezat dan memiliki “mouth-feel” yang enak. Makanan berlemak biasanya rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk dikunyah dan ditelah daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005). Menurut RISKESDAS (2007), pada kelompok umur 10-14, terdapat 13,5% anak yang sering mengonsumsi makanan berlemak dan 2,1% anak yang sering mengonsumsi jeroan. Penduduk yang “sering” makan makanan berlemak dan jeroan dianggap sebagai berperilaku konsumsi makanan berisiko. Perilaku konsumsi
makanan
berisiko
dikelompokkan
“sering”
apabila
penduduk
mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Menurut tingkat pendidikan, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung meningkat sesuai dengan meningkatnya pendidikan. Menurut tipe daerah, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak ditemukan lebih tinggi di perkotaan dibanding perdesaan. Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan kuintil ekonomi (RISKESDAS 2007).
53
Aktivitas Fisik Menurut Almatsier (2003) ativitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh, di samping metabolisme basal. Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energi expenditure. Obesitas atau kegemukan yang parah terjadi karena tidak adanya keseimbangan energi, di mana asupan energi jauh lebih besar dibandingkan energi expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik (WHO 2000). Menurut WHO (2000), kehidupan modern telah memberikan pola hidup yang efisien. Ketika berada di tempat umum (publik area), tersedia eskalator atau lift untuk mempercepat proses menempuh jarak sekaligus menghemat waktu. Dengan sistem transportasi yang semakin canggih, seseorang dapat menempuh jarak jauh dengan lebih cepat dan mudah, tidak seperti berjalan kaki atau naik sepeda. Keterbatasan gerak manusia inilah yang pada akhirnya berujung pada kejadian obesitas. Terdapat tiga aktivitas kegiatan yang dilihat pada penelitian ini, yaitu alokasi waktu tidur, alokasi waktu menonton TV, bermain game, serta internet, dan alokasi waktu bermain di luar rumah. Waktu Tidur Alokasi waktu tidur adalah lamanya anak tidur dalam satu hari, baik tidur malam maupun tidur siang. Rata-rata waktu tidur anak obes adalah 9,0 ± 1,1 jam dengan kisaran 6,5-11,5 jam, sedangkan pada anak berstatus gizi normal ratarata waktu tidurnya adalah 9,1 ± 1,2 jam dengan kisaran 6,5-11,5 jam. Alokasi waktu tidur dikategorikan menjadi dua, yaitu kurang dari 8 jam dan lebih dari 8 jam. Tabel 21 merupakan sebaran anak berdasarkan alokasi kegiatan. Tabel 21 Sebaran anak berdasarkan alokasi kegiatan Alokasi Kegiatan Waktu Tidur
≤8 jam > 8 jam
Total Menonton TV, bermain game, dan internet Total
≤2 jam >2 jam
Bermain di Luar
≥2 jam <2 jam
Total
Normal n % 10 25,0 30 75,0 40 100,0 16 40,0 24 60,0 40 100,0 22 55,0 18 45,0 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 9 22,5 31 77,5 40 100,0 6 15,0 34 85,0 40 100,0 30,0 12 28 70,0 40 100,0
Total n % 19 23,8 61 76,2 80 100,0 22 27,5 58 72,5 80 100,0 34 42,5 46 57,5 80 100,0
p value 0,697
0,363
0,009
54
Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui sebagian besar anak berstatus gizi normal dan obes tidur lebih dari 8 jam per hari. Sebanyak 77,5% anak obes yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam untuk tidur dalam satu hari dan 75% anak berstatus gizi normal yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam untuk tidur tiap harinya. Nilai yang tidak berbeda jauh ini diduga bahwa waktu tidur yang dihitung hanya rata-rata dari 2 hari saja. Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,697) lamanya tidur antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Menurut Yayasan Tidur Nasional, usia 5-10 tahun seharusnya tidur selama 8,5-9,25 jam per malam. Beberapa penelitian telah menghubungkan tidur yang singkat dengan kelebihan berat badan pada anak dan remaja. Bell dan mitra peneliti Dr. Frederick Zimmerman dari Universitas California telah mencatat dalam laporan mereka. Tetapi, kebanyakan dari penelitian tersebut hanya melihat satu waktu saja, menyebabkan sulit untuk menentukan tidur yang cukup sehingga anak menjadi obesitas atau sebaliknya. Lebih lama tidak tidur berarti lebih banyak kesempatan untuk makan. Menurut Bell orang dewasa yang kurang tidur memiliki selera makan yang berbeda dan hormon yang berhubungan dengan rasa lapar, seperti leptin dan ghrelin, hal ini dapat terjadi pada anak juga (Priyambodo 2010). Menurut Boyles (2005), aktivitas tidur menjadi salah satu aktivitas yang harus disoroti. Terdapat hubungan yang erat antara jumlah waktu tidur anak dengan kejadian obesitas. Selain itu, pendapat yang sama pada penelitian yang dilakukan tahun 1960-2000 menyebutkan, kejadian kegemukan meningkat dua kali lipat terjadi pada mereka yang memiliki kelebihan tidur 1 hingga 2 jam. Waktu Menonton TV, Bermain Game, dan Internet Menonton televisi, bermain game, dan internet merupakan salah satu bentuk bermain pasif yang membuat anak merasa bahagia dan senang. Kesenangan ini tidak selamanya berdampak positif bila dilakukan secara berlebihan. Menonton televisi berisiko menyebabkan obesitas karena aktivitas fisik ini telah mengambil waktu anak yang seharusnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas fisik lainnya yang lebih banyak mengeluarkan energi. Berkurangnya aktivitas fisik pada akhirnya akan berakibat menurunkan energi yang digunakan (energy expenditure). Menonton televisi juga sangat berkaitan erat dengan kebiasaan makan makanan ringan (snacking) yang akan
55
memberikan asupan energi yang tinggi pada anak. Ketidakseimbangan neraca energi inilah yang menyebabkan obesitas (Reilly et al. 2005). Rata-rata lama menonton TV, bermain game, dan internet anak obes adalah 3,1 ± 1,2 jam dengan kisaran 0,5-6,5 jam, sedangkan pada anak berstatus gizi normal rata-rata lamanya menonton TV, bermain game, dan internet adalah 2,8 ± 1,4 jam dengan kisaran 0-6 jam. Berdasarkan hasil pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak obes menghabiskan waktu untuk menonton TV, bermain game, dan internet lebih dari 2 jam per hari (85%). Pada kelompok anak berstatus gizi normal terdapat 60% anak yang menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain game, dan internet dalam satu hari. Maka dapat dikatakan bahwa anak obes lebih banyak menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain game, dan internet dalam satu hari dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,363) lamanya menonton TV, bermain game, dan internet antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang menonton televisi 5 jam per hari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibandingkan mereka yang menonton televisi 2 jam setiap harinya. Waktu Bermain di Luar Waktu bermain di luar identik dengan permainan anak yang dilakukan secara aktif, seperti bermain bola, bermain sepeda, dan permainan lainnya yang melibatkan semua anggota tubuh untuk bergerak secara aktif. Selama beraktivitas, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung pada barapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2006). Rata-rata waktu bermain di luar anak obes adalah 1,6 ± 1,0 jam dengan kisaran 0-4 jam, sedangkan pada anak berstatus gizi normal rata-rata waktu bermain di luarnya adalah 2,1 ± 0,8 jam dengan kisaran 0,75-4,25 jam. Tabel 21 menggambarkan bahwa anak obes sebagian besar menghabiskan waktu bermain di luar rumah kurang dari 2 jam perhari (70%), sedangkan pada
56
kelompok anak berstatus gizi normal sebanyak 55% menghabiskan waktunya bermain di luar rumah lebih dari 2 jam per hari. Maka dapat dikatan bahwa anak obes cenderung lebih sedikit bermain di luar dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,009) lamanya bermain di luar antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Kurangnya aktivitas bermain di luar berarti sedikitnya energi yang dikeluarkan anak. Padahal beraktivitas di luar rumah dimaksudkan agar anak secara tidak langsung mengurangi waktunya menonton TV, bermain game, internet atau kegiatan lain yang sifatnya sedentary. Adanya aktivitas fisik yang cukup, maka energi expenditure dapat dipakai lebih banyak. Penelitian menunjukkan bahwa penurunan pengeluaran energi sehari-hari tanpa penurunan bersamaan dalam konsumsi energi total merupakan faktor yang mendasari dalam peningkatan obesitas. Pemeriksaan terakhir dari Department of Education’s Early Childhood Longitudinal Survey (ECLS-K) menemukan bahwa peningkatan satu jam dalam kegiatan aktivitas fisik per minggu menghasilkan penurunan 0,31 (sekitar 1,8%) dalam indeks massa tubuh pada anak perempuan overweight, sedangkan ada penurunan yang lebih kecil untuk anak laki-laki. Studi ini menyimpulkan bahwa memperbanyak kegiatan aktivitas fisik (olah raga) di sekolah sampai setidaknya lima jam per minggu dapat mengurangi 9,8-5,6% anak perempuan yang overweight. Saat ini, sekolah mengurangi jumlah bermain atau aktivitas fisik yang diterima anak selama jam sekolah. Hanya sekitar sepertiga anak-anak SD memiliki kegiatan aktivitas fisik (olah raga) harian, dan kurang dari seperlima memiliki program ekstrakurikuler olah raga di sekolah mereka (Health & Human Services 2011). Menurut RISKESDAS (2007), aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktifitas fisik dikategorikan ‘cukup’ apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Menurut kelompok umur 10-14 tahun yang kurang melakukan aktifitas sebanyak 66,9% (<150 menit/minggu). Berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi prevalensi kurang aktifitas fisik. Prevalensi kurang aktifitas fisik penduduk perkotaan (57,6%) lebih tinggi di banding perdesaan (42,4%), dan
57
semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktifitas fisik. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Obesitas Obesitas berhubungan dengan berbagai faktor baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor yang dianalisis hubungan kemaknaannya dalam penelitian ini adalah karakteristik anak (jenis kelamin, berat lahir anak), faktor keturunan (IMT orang tua), riwayat makan anak (pemberian ASI Eksklusif, pemberian susu formula, pemberian makanan padat), kebiasaan makan anak (TKE, TKP, konsumsi lemak, konsumsi sayur dan buah, konsumsi cemilan, frekuensi konsumsi fast food, frekuensi konsumsi soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak), dan aktivitas fisik anak (waktu tidur, lama menonton televisi, bermain game, internet, dan waktu bermain di luar rumah). Hasil uji korelasi antara variabel dependen dengan variabel independen dapat di lihat pada Lampiran 5. Hubungan Karakteristik Anak dengan Obesitas Hasil uji korelasi antara karakteristik anak (jenis kelamin dan berat badan lahir) dengan obesitas dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Hubungan antara karakteristik anak dengan obesitas Variabel Karakterisitk Anak Jenis Kelamin Berat Badan Lahir
Obesitas r
p
-0.081 0.253*
0.476 0.023
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman pada Tabel 22 dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin anak dengan obesitas pada anak (p=0,476; r=-0,081). Namun hasil uji korelasi Pearson terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara berat lahir anak dengan obesitas pada anak (p=0,023; r=0,253). Hal ini berarti jika berat lahir anak tidak normal (BBLR/Lebih) kecenderungan anak mengalami obesitas lebih besar daripada anak dengan berat lahirnya normal. Bayi yang lahir dengan berat badan lebih atau rendah berisiko menjadi obesitas di kemudian harinya. Bayi yang di dalam kandungan menderita kekurangan gizi akan membutuhkan asupan energi dan lemak yang tinggi setelah berada di luar kandungan. Bayi-bayi ini akan melalui proses pertumbuhan cepat, hingga mencapai ukuran tertentu. Setelah tumbuh lebih
58
besar, sistem tubuh mereka adalah sistem dengan “gaya hemat”. Istilah ini berarti janin yang kekurangan makanan pada saat berada dalam kandungan akan tumbuh sebagai individu yang mengatur tubuhnya untuk menyimpan lemak lebih banyak dan lebih efisien dalam penggunaannya (Parson et al. 2001). Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat lahir lebih dengan risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti menemukan bahwa berat lahir rendah (BBLR) memiliki risiko yang lebih rendah menjadi obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0,50; Cl 95%: 0,320,77) dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian obesitas pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan (OR: 1,76; Cl 95%: 1,12,-2,78) dan anak laki-laki (OR: 2,42; Cl 95%: 2,06-2,86) (Oldroyd et al. 2010). Hubungan Faktor Keturunan dengan Obesitas Hasil uji korelasi Pearson antara faktor keturunan (IMT ayah dan IMT ibu) dengan obesitas dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Hubungan antara faktor keturunan dengan obesitas Obesitas
Variabel Faktor Keturunan IMT ayah IMT ibu
r
p
0.408** 0.203
0.000 0.071
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara IMT ayah dengan obesitas (p=0,000; r=0,408). Namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT ibu dengan obesitas (p=0,071; r=0,203). Hal ini berarti semakin tinggi IMT ayah maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak. Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14%. Orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak yang gemuk pula. Faktor genetik turut menentukan jumlah sel lemak dalam lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada bayi
59
selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel yang relatif sama besar (Zainun 2002). Hubungan Riwayat Makan Anak dengan Obesitas Hasil uji korelasi Spearman antara riwayat makan anak (pemberian ASI Eksklusif, pemberian susu formula, pemberian makanan padat) dengan obesitas anak dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Hubungan antara riwayat makan anak dengan obesitas Obesitas
Variabel Riwayat Makan ASI Eksklusif Pemberian susu formula < 6 bulan Pemberian makanan padat <6 bulan
r
p
-0.130 -0.219 -0.142
0.250 0.051 0.208
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman yang terdapat pada Tabel 24 dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif (p=0,250; r=-0,130), pemberian susu formula sebelum usia 6 bulan dengan obesitas pada anak (p=0,051; r=-0,219), dan pemberian makanan padat dibawah usia 6 bulan (p=0,208; r=-0,142) dengan obesitas pada anak. Hubungan Kebiasaan Makan Anak dengan Obesitas Hasil uji korelasi antara kebiasaan makan anak (TKE, TKP, konsumsi lemak, sayur dan buah, cemilan, frekuensi konsumsi fast food, frekuensi konsumsi soft drink, dan frekuensi konsumsi makanan berlemak) dengan obesitas anak dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Hubungan antara kebiasaan makan anak dengan obesitas Obesitas
Variabel Konsumsi TKE TKP Lemak Cemilan Frekuensi Konsumsi Sayur dan Buah Soft Drink Fast Food Makanan Berlemak
r
p
0.557** 0.125 0.458** 0.076
0.000 0.267 0.000 0.502
-0.022 ** 0.314 ** 0.311 0.469**
0.849 0.005 0.005 0.000
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan Tabel 25, hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara TKP (p=0,267; r=0,125), frekuensi konsumsi sayur dan buah (p=0,849; r=-0,022), dan kebiasaan ngemil (p=0,502; r=0,076) dengan kejadian obesitas pada anak.
60
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat kecukupan energi (TKE) dengan obesitas (p=0,000; r=0,557). Semakin tinggi tingkat kecukupan energi (TKE) maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak. Menurut Hartoyo (2007), obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan sehingga terjadilah kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar obesitas terjadi akibat makan yang berlebihan. Pola makan tidak teratur, sering ngemil atau makan camilan, sementara aktivitas kurang berakibat obesitas. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara konsumsi lemak dengan status gizi obes anak (p=0,000; r=0,458). Hal ini berarti semakin tinggi konsumsi lemak maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak. Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan 12 kali, selain itu peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Dijelaskan lebih lanjut, makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan pada frekuensi konsumsi soft drink (p=0,005; r=0,314), fast food (p=0,005; r=0,311), dan makanan berlemak (p=0,000; r=0,469) dengan obesitas pada anak. Hal ini berarti semakin sering frekuensi konsumsi soft drink maka semakin tinggi kejadian obesitas. Semakin sering frekuensi konsumsi fast food maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak, dan semakin sering frekuensi konsumsi makanan berlemak maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak.
61
Konsumsi soft drink dengan frekuensi yang sering juga tidak memberikan dampak yang baik, karena kandungan gula yang tinggi dalam soft drink. Namun anak usia sekolah sangat menyukai jenis minuman ini. Penelitian yang dilakukan oleh Cornell University (2003) menyatakan bahwa anak-anak yang minum lebih dari 12 ons soft drink meningkat berat badannya secara signifikan dibandingkan dengan anak-anak dengan konsumsi kurang dari 6 ons per hari. Hal ini disebabkan karena anak-anak tidak mengurangi makanan utama yang dimakan dan ditambah dengan peningkatan kalori yang berasal dari minuman tersebut. Semakin banyak minuman yang dikonsumsi, maka semakin besar asupan kalori dan semakin tinggi pertambahan berat badannya. Menurut WHO (2000), perkembangan food industry yang salah satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko obesitas. Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko terjadinya obesitas (OR = 11,0). lni berarti mengonsumsi fast food akan berisiko 11 kali mengalami
obesitas
jika
dibandingkan
dengan
mereka
yang
tidak
mengonsumsinya. Penelitian lain mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity) hal ini terjadi pada subjek di mana asupan tertinggi dari energi berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan lebih banyak berisiko 1,26 kali (pria) dan 1,25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalamin kegemukan (Castillon et al. 2007). Hasil uji korelasi Pearson yang tidak signifikan antara frekuensi konsumsi sayur dan buah dengan obesitas diduga karena penelitian ini hanya memperhatikan frekuensi contoh dalam mengonsumsi sayur dan buah dalam seminggu
tanpa
dilihat
kuantitas
dan
kualitasnya.
Walaupun
contoh
mengonsumsi sayuran setiap hari, tetapi dalam jumlah yang sedikit atau jenisnya yang tidak sesuai, maka belum tentu dapat memenuhi ketentuan untuk sampai kepada tindakan pencegahan kegemukan. Bahkan belum diketahui juga apakah konsumsi contoh sudah memenuhi kebutuhan yang dianjurkan. Hubungan Aktivitas Fisik Anak dengan Obesitas Hasil uji korelasi Pearson antara aktivitas fisik anak (waktu tidur; lama menonton televisi, bermain game, internet; dan waktu bermain di luar rumah ) dengan obesitas anak dapat dilihat pada Tabel 26.
62
Tabel 26 Hubungan antara aktivitas fisik anak dengan obesitas Obesitas
Variabel Tidur Nonton TV, bermain game, internet Bermain di luar
r 0.005 0.151 -0.271*
p 0.967 0.180 0.015
Berdasarkan Tabel 26 hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lamanya waktu yang dihabiskan untuk tidur dalam satu hari (p=0,967; r=0,005) dan lamanya waktu yang dihabiskan untuk menonton TV, bermain game, dan internet (p=0,180; r=0,151) dengan obesitas pada anak. Namun hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara lamanya bermain di luar dengan obesitas pada anak (p=0,015; r=-0,271). Hal ini berarti semakin sedikitnya waktu yang dihabiskan untuk bermain di luar maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktivitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian di Jepang menunjukkan pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga berisiko 0,48 kali mengalami obesitas (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Penelitian menunjukkan ada hubungan yang bertolak belakang antara IMT dan aktivitas fisik. Menurun dan rendahnya tingkat aktivitas fisik dipercaya sebagai salah satu hal yang menyebabkan obesitas. Tren kesehatan terkini juga menunjukkan prevalensi obesitas meningkat bersamaan dengan meningkatnya perilaku sedentary dan berkurangnya aktivitas fisik (WHO 2000). Faktor Risiko Obesitas Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu penyakit multifaktoral yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi, dan gizi yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Analisis multivariat menggunakan regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan kejadian obesitas pada anak.
Analisis
dilakukan
terhadap
seluruh
variabel
independen
yang
berhubungan nyata dengan variabel dependen berdasarkan analisis bivariat dan
63
beberapa variabel independen yang memiliki kemungkinan memiliki faktor risiko obesitas pada anak. Analisis regresi logistik dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar interaksi variabel yang diduga menjadi faktor risiko terhadap kejadian obesitas pada anak. Terdapat sebelas variabel independen yang diduga menjadi faktor risiko kejadian obesitas pada anak, diantaranya ialah: BBLR/Lebih, IMT ayah, IMT ibu, pengetahuan gizi ibu, pemberian susu formula sebelum usia 6 bulan, TKE, frekuensi konsumsi soft drink, frekuensi konsumsi fast food, frekuensi konsumsi makanan berlemak, frekuensi konsumsi sayur dan buah, dan lamanya bermain di luar. Hasil uji regresi logistik disajikan pada Lampiran 6. Hasil uji lanjut dengan menggunakan analisis regresi logistik dengan metode Enter mendapatkan 5 faktor risiko obesitas pada anak yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak, diantaranya IMT ayah, IMT ibu, TKE, frekuensi konsumsi fast food, dan frekuensi konsumsi makanan berlemak. Hasil uji regresi logisitk mengenai faktor risiko obesitas pada anak dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Faktor risiko obesitas pada anak Faktor Risiko
B
IMT ayah 0,402 IMT ibu 0,369 TKE 0,070 Frekuensi Konsumsi Fast Food 1,393 Frekuensi Konsumsi Makanan 2,205 Berlemak Konstanta -30,931 *signifikansi atau p-value bermakna (p<0,10)
Sig
OR
0,018 0,019 0,005 0,078
1,494 1,446 1,073 4,028
0,008
9,071
0,006
0,000
90,0% C.I. for OR Lower Lower 1,129 1,977 1,117 1,872 1,030 1,117 1,097 14,793 2,300
35,783
Berdasarkan hasil yang terdapat pada Tabel 27 dapat diketahui bahwa faktor risiko yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak adalah IMT ayah (OR: 1,494; Cl 90%: 1,129-1,977), IMT ibu (OR: 1,446; Cl 90%: 1,117-1,872), TKE (OR: 1,073; Cl 90%: 1,030-1,117), frekuensi konsumsi fast food (OR: 4,028; Cl 90%: 1,097-14,793), dan frekuensi konsumsi makanan berlemak (OR: 9,071; Cl 90%: 2,300-35,783). Anak dari ayah yang status gizi obes akan berisiko 1,494 kali menjadi obes dibandingkan anak dari ayah yang memilki status gizi tidak obes, sehingga anak yang memilki ayah obes memiliki risiko yang lebih tinggi untuk obes. Anak dari ibu yang status gizi obes akan berisiko 1,446 kali menjadi obes dibandingkan anak dari ibu yang memilki status
64
gizi tidak obes, sehingga anak yang memilki ibu obes memiliki risiko yang lebih tinggi untuk obes. Menurut Zainun (2002), orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak yang gemuk pula. Faktor genetik turut menentukan jumlah sel lemak dalam lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada bayi selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel yang relatif sama besar. Anak yang mengonsumsi fast food setiap hari akan berisiko 4,028 kali menjadi obes dibandingkan anak yang mengonsumsi fast food tidak setiap hari. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perkembangan food industry yang salah satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko obesitas. Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko terjadinya obesitas (OR: 4,028; Cl 90%: 1,097-14,793). lni berarti mengonsumsi fast food akan berisiko 11 kali mengalami obesitas jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mengonsumsinya (WHO 2000). Menurut hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001), menunjukkan bahwa prevalensi obesitas di SD cukup tinggi (13,6 %). Prevalensi ini lebih tinggi pada sekolah swasta (18,2 %) dibandingkan anak sekolah negeri (12,4%). Banyaknya macam makanan cepat saji (fast food) yang dimakan berhubungan dengan naiknya risiko obesitas (OR: 6,5; Cl 95%: 1,4-30,7). Jadi, dapat disimpulkan bahwa makanan cepat saji berhubungan erat dengan obesitas pada anak Sekolah Dasar. Anak yang mengonsumsi makanan berlemak setiap hari akan berisiko 9,071 kali menjadi obes dibandingkan anak yang mengonsumsi makanan berlemak tidak setiap hari (OR: 9,071; Cl 90%: 2,300-35,783). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan 12 kali, selain itu peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya makanan berlemak seperti makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity) hal ini terjadi pada subjek di mana asupan
65
tertinggi dari energi berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan lebih banyak berisiko 1,26 kali (pria) dan 1,25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalamin kegemukan (Castillon et al. 2007). Anak yang konsumsi energinya lebih dari kecukupannya memiliki risiko 1,073 kali menjadi obes dibandingkan dengan anak yang konsumsi energinya cukup
(OR:
1,073;
Cl
90%:
1,030-1,117).
Obesitas
terjadi
karena
ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan sehingga terjadilah kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar obesitas terjadi akibat makan yang berlebihan (Hartoyo 2007). Obesitas atau kegemukan yang parah terjadi karena tidak adanya keseimbangan energi, di mana energi intake jauh lebih besar dibandingkan energi expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik. Energy intake ialah energi yang dikonsumsi sebagai makanan dan minuman yang dapat dimatabolisme dalam tubuh kita (WHO 2000).
66
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Murid dari penelitian ini adalah murid SD kelas 4 dan kelas 5 dengan kisaran umur 9-11 tahun. Rata-rata berat badan dari anak dengan status gizi obes adalah 53,7 ± 6,9 kilogram, dengan kisaran 40-66 kilogram. Rata-rata berat badan lahir dari anak dengan status gizi obes adalah 3343 ± 542 gram, dengan kisaran 1600-4200 gram. Sebagian besar anak obes adalah anak laki-laki (70%). Berdasarkan karakterisitik keluarga anak obes sebagian besar berasal dari ayah yang status gizinya overweight (45%). Sebesar 45% anak obes dari ibu yang overweight dan 5% dari ibu yang obes. Sebagian besar orang tua dari anak obes penempuh pendidikan sampai perguruan tinggi (PT). Sebagian besar anak obes memiliki orang tua dengan pendapatan di atas 5 juta rupiah per bulan (67,5%). Sebagian besar anak obes memiliki ibu dengan pengetahuan tentang gizi yang baik (72,5%). Berdasarkan
riwayat
makan,
anak
obes
sebagain
besar
tidak
mendapatkan ASI eksklusif waktu bayi (80%). Sebagian besar anak obes tidak mendapatkan susu formula lebih awal atau sebelum usia 6 bulan (57,5%). Separuh anak obes diberikan makanan pada sebelum
usia 6 bulan (50%).
Berdasarkan asupan zat gizinya, rata-rata asupan energi anak obes 2406 ± 388 kkal/kap/hari dengan kisaran 1691-3318 kkal/kap/hari. Rata-rata asupan protein anak obes 67,4 ± 20,1 g/kap/hari dan rata-rata asupan lemak anak obes 89,2 ± 19,9 g/kap/hari. Pola konsumsi anak obes sebagian besar suka ngemil (87,5%), frekuensi konsumsi sayur sebagian besar 1-3 kali per minggu (45%), frekuensi konsumsi buah sebagian besar 1-3 kali per minggu (55%), frekuensi konsumsi soft drink 13 kali per minggu (42,5%), frekuensi konsumsi fast food 4-6 kali per minggu (45%), dan frekuensi mengonsumsi makanan berlemak 4-6 kali per minggu (67,5%). Berdasarkan aktivitas fisiknya, anak obes sebagian besar tidur lebih dari 8 jam per hari (77,5%). Sebagian besar anak obes menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain game, dan internet dalam satu hari (85%). Sebagian besar anak obes sedikit meluangakan waktunya untuk bermain di luar, sebanyak 70% anak obes yang menghabiskan waktu bermain di luar rumah kurang dari 2 jam per hari.
67
Faktor-faktor yang berhubungan dengan obesitas pada anak di antaranya adalah berat lahir anak (p=0,023; r=0,253), IMT ayah (p=0,000; r=0,408), tingkat kecukupan energi (p=0,000; r=0,557), konsumsi lemak (p=0,000; r=0,458), frekuensi konsumsi soft drink (p=0,005; r=0,314), fast food (p=0,005; r=0,311), dan makanan berlemak (p=0,000; r=0,469), dan lamanya waktu bermain di luar rumah (p=0,015; r=-0,271) dengan kejadian obesitas pada anak. Faktor risiko yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak adalah IMT ayah (OR: 1,494), IMT ibu (OR: 1,446), TKE (OR: 1,073), frekuensi konsumsi fast food (OR: 4,028), dan frekuensi konsumsi makanan berlemak (OR: 9,071). Saran Faktor risiko yang menjadi penyebab obesitas anak pada penelitian ini hendaknya
menjadi
perhatian
bagi
pengambil
kebijakan
untuk
lebih
memperhatikan kebiasaan makan anak. Pihak sekolah sebaiknya memberikan porsi gerakan yang lebih dalam kegiatan olah raga pada anak obes. Bagi sekolah yang memiliki kantin agar mengurangi jumlah dan jenis jajanan yang berlemak tinggi. Pihak orang tua yang memiliki anak obes sebaiknya lebih mengurangi pemberian konsumsi makanan camilan dan makanan yang berlemak tinggi kepada anaknya, dan menggiatkan anak berolah raga. Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini sebaiknya diadakan pendidikan gizi untuk orang tua dan murid yang lebih mengarah kepada tingkat penghayatan dan penerapannya sehari-hari.
68
DAFTAR PUSTAKA [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Aini
N. 2008. Pengendalian pola makan untuk mencegah http://kulinologi.biz/preview.php?view&id=169 [20 April 2011]
obesitas.
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. . 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Atkinson RL. 2005. Etiologies of Obesity. Di dalam: The Management of Eating Disorders and Obestiy,2nd Ed. D.J Goldstein, editor. Totowa: Humana Press, Inc. Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Di dalam: Widya Karya Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Penelitian Indonesia. Bogen DL, Hanusa BH, Whitaker RC. 2004. The effect of breastfeeding with and without concurrent formula feeding on risk of obesity at 4 years of age. Obesity Research (2004) 12: 1527–1535. Boyles
S. 2005. Less sleep could mean more weight. http://www.webmd.com/diet/news/20050110/less-sleep-could-mean-more -weight [2 April 2011]
Castillon et al. 2007. Intake of fried foods is associated with obesity in the cohort of Spanish adults from the European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition. Am J Clin Nutr (86):198 –205. Cornell University. 2003. Too many Sweetened Drinks, from Soda to Lemonade, Put Children at Risk of Obesity, Poor Nutrition, Study at Cornell Finds. http://www.sciencedaily.com [10 Oktober 2011] Darmono. 2006. Obesitas pada anak bisa turunkan tingkat kecerdasan. www.litbang.depkes.co.id [2 April 2011] Effendi YH. 2003. Pengelolaan Obesitas. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertania, IPB. Hardinsyah & Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian IPB. & Martianto D. 1988. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein Serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Jakarta: Wirasari. Hartoyo E. 2007. Gemuk belum tentu sehat. www.indomedia.co.id [2 April 2011] Heird WC. 2002. Parental Feeding Behavior and Children’s Fat Mass. Am J Clin Nutr (75): 451 – 452. Health & Human Services. 2001. Childhood obesity. http://aspe.hhs.gov/health/ reports/child_obesity/ [16 Oktober 2011] Hidayati SN, Irawan R, Hidayat B. 2009. Obesitas Pada Anak. Surabaya: Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Unair.
69
IOTF.
2004. IOTF demands action on chilhood obesity crisis. www.chw.edu.au/prof/services/chism/iotf_press_release.pdf [1 April 2011]
Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Khumaidi M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi, IPB. Kries V, Rudiger. 1999. Breast Feeding and Obesity: Cross Sectional Study. BMJ. Volume 319; 17 Juli 1999. Nasoetion A, Riyadi H. 1994. Gizi Terapan. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nishida C, Mucavele P. 2005. Monitoring The Rapidly Emerging Public Health Problem of Overweight and Obesity. The WHO Global Database On Body Mass Index. SCN News (29):5-11. Oldroyd J, Renzaho A, Skouteris H. 2010. Low and high birth weight as risk factors for obesity among 4 to 5-year-old Australian children: does gender matter? Eur J Pediatr 170 (7): 899-906. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/21174121 [4 November 2011] Padmiari IAE & Hadi H. 2001. Konsumsi fast food sebagai faktor risiko obesitas pada anak SD. www.tempo.co.id [2 April 2011] Parson, Tessa J, Power C, Manor O. 2001. Fetal and Early Life Growht and Body Mass Index From Birth To Early Adulthood In 1958 British Cohort: Longitudinal Study. BMJ (323):1331-1335. Popkin
B. 2007. Ubah kebiasaan ngemil www.parenting.co.id [26 September 2011]
anak
sekarang
juga.
Priyambodo. 2010. Sedikit tidur berisiko obesitas pada anak. http://www.antaranews.com/berita/1284156755/sedikit-tidur-berisikoobesitas-pada-anak [2 April 2011] Proper KI, Cerin E, Brown WJ, Owen N. 2006. Sitting Time and Sosio-economic Differences in Overweight and Obesity dalam International Journal of Obesity 2007 (31): 169-176. www.npg.org [2 April 2011] Reilly et al. 2005. The Avon Longitudinal Study of Parents and Children Study Team. 2005. Early life risk factor for obesity in childhood: cohort study. British Medical Journal (330):1357. Rimbawan & Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penebar Swadaya. Riyadi H. 2003. Metode Penelitian Status Gizi secara Antropometri. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Siagian A. 2004. Hubungan sarapan dan obesitas. http://kesehatan.myhendra.web.id/2010/06/hubungan-sarapan-danobesitas.html [1 April 2011] Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya: untuk Keluarga dan Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Suhardjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
70
WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epedemic. Geneva: WHO Technical Report Series. WHO. World Health Organization. 2005. Body Mass Indeks (BMI) = Indeks Massa Tubuh. http://apps.who.int/bmi/index.jsp?introPage=intro_3.html 3 [2 April 2011] WHO. 2007. Growth reference 5-19 years. www.who.int [2 April 2011] Wirakusumah ES. 1994. Cara Aman dan Efektif Menurunkan Berat Badan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Worthington B, Williams RSR. 2000. Nutrition Trought out the life Cycle, Fourth Edition. Boston: Mc Graw Hill Companies. Yueniwati T, Rahmawati A. 2001. Hubungan karakteristik sosial ibu dengan pengetahuan tentang obesitas pada anak. www.tempointeraktif.com [2 April 2011] Yussac MAA et al. 2007. Prevalensi obesitas pada anak usia 4-6 tahun dan hubungannya dengan asupan serta pola makan. www.mki.idionline.org/index [2 April 2011] Zainun M. 2002. Obesitas dan faktor penyebabnya. www.e-psikologi.com [2 April 2011]
71
LAMPIRAN
72
Lampiran 1 Kuesioner
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Ibu/Bapak orang tua murid, perkenalkan saya Riksa Aditya Pramudita. Saya alumni SD, SMP, dan SMA Insan Kamil Bogor dan sekarang sedang kuliah di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Dalam rangka penelitian skripsi, saya mohon kesediaan Ibu/Bapak untuk mengisi kuesioner sebagai data penelitian saya dengan lengkap dan benar. Segala identitas Ibu/Bapak serta putra putri Ibu akan dijaga kerahasiaanya. Bantuan Ibu/bapak untuk pengisian kuesioner ini sangat berharga dalam mencapai tujuan penelitian ini yaitu untuk 1) mencegah kejadian obesitas pada anak; 2) bagi pihak sekolah dapat dijadikan masukan untuk memberikan materi dan praktek gizi seimbang dalam pengajaran sehingga dapat membina perilaku gizi anak menjadi lebih baik. Pengisian kuesioner dengan baik dan teliti sangat membantu untuk memperoleh data yang valid dan baik. Atas kerjasama Ibu/Bapak saya sampaikan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
KUESIONER FAKTOR RISIKO OBESITAS PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA BOGOR Nama Orang Tua
: __________________________________
Nama Anak
: __________________________________
Tanggal Lahir
: __________________________________
Jenis Kelamin
:L/P
Alamat Rumah
: __________________________________
No. Telp/ Hp
: __________________________________
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
73
KUESIONER ORANG TUA a. Identitas Ibu dan Keluarga Pengisian nama lengkap, umur, berat badan dan tinggi badan semua anggota keluarga. Hubungan dengan kepala keluarga dan pendidikan diisi sesuai kategori yang ada di bawah tabel. Pengisian berat badan dan tinggi badan anggota keluarga wajib diisi dengan benar. No
Nama Anggota Keluarga
Hub dg KK1)
JK
1
L/P
2
L/P
3
L/P
4
L/P
5
L/P
6
L/P
7
L/P
8
L/P
Umur (thn/bln)
Pendidikan3)
BB4)
TB5)
Keterangan : 1) Hubungan dengan kepala keluarga: 1. Kepala keluarga; 2. Istri; 3. Anak; 4. Orang tua; 5. Saudara; 6. Lainnya 2) Tingkat pendidikan terakhir: 1. SD/sederajat 2. SMP/sederajat 3. SMA/sederajat 4. Perguruan tinggi/sederajat 3) Berat badan (BB) dalam kg 4) Tinggi badan (TB) dalam cm b. Pendapatan Keluarga dan Pengeluaran Pangan Anggota Keluarga
Suami
Istri
Status Pekerjaan
Total Pendapatan/bulan (Rp)
Utama: Tambahan: 1. 2. Utama: Tambahan: 1. 2.
1. <3.000.000 2. 3.000.000-5.000.000 Total* 3. 5.000.000-10.000.000 4. >10.000.000 Rata-rata pengeluaran untuk pangan/bulan Rp. ………………….,*Lingkari menurut total pendapatan suami dan istri perbulan sebenarnya
74
c. Karakteristik Anak No
Pertanyaan
Jawaban
1
Umur anak
…...…...………Tahun…………...…Bulan
2
Usia kandungan saat anak dilahirkan
Bulan
3
Berat lahir anak
gram
d. Riwayat Makan Anak Lingkari dan isi menurut jawaban yang paling sesuai dengan kondisi saat anak ibu/bapak masih bayi. No 1
Pertanyaan
Jawaban
Apakah ibu memberikan ASI
a. Tidak diberikan
kepada anak ibu?
b. Diberikan mulai usia……….............. bln sampai……………………... ............. bln
2
Apakah anak ibu diberi susu
a. Tidak diberikan
formula?
b. Diberikan mulai usia……….............. bln sampai……………………….......(thn/bln)
3
Makanan selain ASI yang pernah
a. Sari buah, sejak usia ...................... bln
diberikan sebelum usia 6 bulan
b. Teh/kopi, sejak usia........................ bln
pada anak?
c.
Madu, sejak usia ............................ bln
d. Bubur tim, sejak usia ...................... bln e. Biskuit/roti, sejak usia ..................... bln f.
Pisang, sejak usia .......................... bln
g. ……………….,sejak usia ................ bln h. Hanya dibeikan ASI saja selama 6 bulan
75
e. Pengetahuan Gizi Ibu (Diisi oleh Ibu) Jawaban diisi oleh Ibu dan silanglah jawaban yang menurut ibu paling tepat! 1. Makanan yang berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh adalah zat gizi…. a. Lemak b. Protein c. Karbohidrat d. Tidak tahu 2. Pangan yang termasuk sumber protein adalah…. a. Jagung b. Bayam c. Telur
d. Tidak tahu
3. Anemia disebabkan karena kekurangan…. a. Lemak b. Zat besi c.
Protein
d. Tidak tahu
4. Zat besi banyak terdapat dalam…. a. Wortel b. Sawi putih
Bayam
d. Tidak tahu
c.
5. Jenis vitamin yang larut dalam lemak adalah…. a. A, C, K b. A, D, E, K c. D, C
d. Tidak tahu
6. Sinar matahari pada pagi hari bermanfaat untuk menghasilkan vitamin…. a. E b. K c. D d. Tidak tahu 7. Buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C adalah…. a. Jambu biji b. Apel c. Pepaya
d. Tidak tahu
8. Berapa minimal berat lahir bayi yang dikatakan sehat…. a. 3,5 kg b. 2,5 kg c. 3 kg
d. Tidak tahu
9. Untuk mendukung pertumbuhan anak sebaiknya makanan tambahan selain ASI diberikan setelah usia…. a. 3 bulan b. 6 bulan c. 1 tahun d. Tidak tahu 10. Mengonsumsi makanan berlemak tinggi dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan…. a. Anemia b. Kekurangan c. Obesitas d. Tidak tahu protein 11. Obesitas adalah….. a. Kelebihan berat badan karena massa otot
b. Kelebihan berat badan akibat tertimbunnya lemak
c. Gizi buruk
d. Tidak tahu
12. Sebagian besar obesitas (kegemukan) disebabkan timbul karena faktor…. a. Usia semakin b. Jenis kelamin c. Pola konsumsi d. Tidak tahu bertambah 13. Obesitas dikarenakan pola makan sehari-hari yang…. a. Rendah lemak b. Tinggi vitamin c. Tinggi dan tinggi dan tinggi karbohidrat dan protein protein tinggi lemak 14. Gangguan obesitas dapat terjadi pada…. a. Balita, remaja b. Remaja, dewasa
c. Balita, remaja, dewasa
d. Tidak tahu
d. Tidak tahu
76
15. Obesitas menjadi berbahaya karena…. a. Bebas bergerak b. Tubuh mudah terinfeksi
c. Mendorong timbulnya penyakit degeneratif
16. Contoh dari penyakit degeneratif akibat obesitas adalah…. a. Diabetes b. Marasmus c. Kwasiorkor 17. Cara mengatasi obesitas yang baik adalah dengan cara…. a. Mengatur pola b. Mengatur c. Minum jamu makan dan jadwal istirahat olah raga 18. Anak yang gemuk (obesitas) sebaiknya…. a. Banyak b. Makan sehari melakukan satu kali aktivitas fisik
c. Banyak minum susu
d. Tidak tahu
d. Tidak tahu
d. Tidak tahu
d. Tidak tahu
19. Orang yang gemuk (obesitas) sebaiknya banyak mengonsumsi…. a. Susu b. Daging dan c. Buah dan sayur d. Tidak tahu telur 20. Penderita obesitas sebaiknya mengurangi konsumsi…. a. Buah b. Ikan c. Makanan d. Tidak tahu berlemak
77
KUESIONER ANAK a. Pola Makan Anak No 1 2 3 4 5
Pertanyaan Berapa kali kamu makan utama dalam sehari? Apa kamu selalu sarapan setiap hari? Apa kamu suka minum susu? Berapa kali kamu minum susu dalam sehari? Jenis susu apa yang biasa kamu minum?
6
Apa kamu suka ngemil?
7
Biasanya berapa kali kamu jajan dalam sehari?
8
Berapa uang saku kamu dalam sehari ke sekolah?
9
Apa kamu suka minum soft drink? Soft drink (minuman bersoda) seperti coca cola, fanta, pepsi, sprite, dll Apa kamu suka makan fast food? Contoh Fast food : fried chicken, pizza, burger, mie instan, kebab, kentang goreng. Apa kamu suka makan makanan seperti ice cream, gorengan, bakso,martabak, roti goreng, Donat, mie goreng, nasi goreng, kue Tart, kue black forest? Berapa kali kamu makan sayur dalam seminggu?
10
11
12
Jawaban ..................................................... kali a. Ya
b. tidak
a. Ya b. tidak ..................................................... kali a. Susu bubuk, Merk: ..................................... b. Susu segar/cair Merk: ..................................... c. Susu kental manis Merk: ..................................... a. Ya b. tidak Kalo ya, merk makanan atau minuman apa yang biasa kamu makan saat nonton TV/main game/internet/main di rumah? 1. ............................................. 2. ............................................. 3. ............................................. 4. ............................................. ..................................................... Kali/hari Jajanan kesukaan kamu apa saja? 1. ............................................. 2. ............................................. 3. ............................................. 4. ............................................. Rp ................................................ ,Rata-rata uang yang dipakai untuk jajan di sekolah? Rp ................................................ ,a. Tidak pernah b. 1-3 kali/minggu c. 4-6 kali/minggu d. Setiap hari a. b. c. d.
Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari
a. b. c. d.
Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari
a. b. c. d.
Setiap hari 4-6 kali/minggu 1-3 kali/minggu Tidak pernah
78
13
Berapa kali kamu makan buah dalam seminggu?
14
Berapa kali kamu makan daging ayam? Seperti ayam goreng, sate ayam, nuget ayam, opor ayam, dll. Berapa kali kamu makan daging sapi? Seperti bakso sapi, rendang, dendeng, dll. Berapa kali kamu makan daging kambing? Seperti daging kambing, sate kambing, sop kambing, dll. Berapa kali kamu makan ikan? Seperti ikan mas, ikan patin, ikan gurame, ikan tuna, ikan mujair, ikan lele, sarden, dll.
15
16
17
a. b. c. d. a. b. c. d.
Setiap hari 4-6 kali/minggu 1-3 kali/minggu Tidak pernah Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari
a. b. c. d.
Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari
a. b. c. d.
Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari
a. b. c. d.
Setiap hari 4-6 kali/minggu 1-3 kali/minggu Tidak pernah
79
Food Record (2 x 24 jam) Petunjuk pengisian Record konsumsi dilakukan selama dua hari, yaitu hari sekolah dan hari libur. Kolom yang diisi hanya nama makanan, URT (Ukuran Rumah Tangga), dan kolom asal. Kolom jumlah dimakan dalam gram tidak perlu diisi. Pengisian data konsumsi makanan dapat berupa makan utama seperti nasi, lauk, sayur, buah, dan yang lainnya, serta makan selingan seperti kue, biskuit, es campur, es kelapa, es krim, dll. Nama makanan dalam bentuk kemasan jika terdapat nama merek dituliskan. Jenis makanan apapun yang dikonsumsi pada hari tersebut dicatat selengkap-lengkapnya. Contoh: Waktu
Pagi Selingan pagi
Siang
Selingan sore Malam
Keterangan: Bh = buah Bj = biji Btg = batang Btr = butir Bsr = besar Gls = gelas
Nama Makanan Nasi Telor ceplok Tahu goreng Biskuit oreo Es teh manis Nasi Ayam goreng cripsy Kentang goreng Donat coklat Es krim Nasi Sate ayam Pisang
Jumlah dimakan URT gram 1 prg 1 btr 1 ptg 3 keping 1 gls 1 prg
Asal Masak Masak Masak Beli Beli Masak
1 ptg
Beli
1 bks 1 bh 10 sdm 1 prg 10 tsk 1 bh
Beli Beli Beli Masak Beli Beli
kcl ptg sdg sdm sdt tsk
= kecil = potong = sedang = sendok makan = sendok teh = tusuk
80
Food record Hari sekolah (hari/tanggal: Waktu
Pagi
Selingan pagi
Siang
Selingan sore
Malam
Nama Makanan
) Jumlah dimakan URT
Gram
Asal
81
)
Hari libur (hari/tanggal: Waktu
Pagi
Selingan pagi
Siang
Selingan sore
Malam
Nama Makanan
Jumlah dimakan URT
Gram
Asal
82
Aktivitas Fisik Anak Aktivitas fisik anak adalah semua kegiatan yang dilakukan dari mulai bangun pagi sampai tidur di malam hari (24 jam). Aktivitas anak terdiri atas jenis aktivitas yang dilakukan (tidur malam dan siang, sekolah, belajar, bermain di rumah, bermain di luar rumah, menonton televisi, bermain game, internet, dan kegiatan lainnya yang dilakukan anak bisa berupa olah raga disertai dengan keterangan jenis olah raga dan lamanya aktivitas yang dilakukan.
Hari sekolah: (hari/tanggal: No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Lama (jam)
Tidur malam Tidur siang Menonton TV, bermain game, internet Belajar di rumah Belajar di luar rumah (les) Bermain di rumah Bermain di luar rumah (aktif) Sekolah Perjalanan ke sekolah, ke suatu tempat (naik kendaraan) Makan Sholat, mengaji, dan beribadah Mandi, berpakaian, berdandan Lain-lain a. b. c. d. Total alokasi waktu
24 jam
Hari libur: (hari/tanggal: No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 10. 11. 12. 13.
)
Jenis aktivitas fisik
Jenis aktivitas fisik Tidur malam Tidur siang Menonton TV, bermain game, internet Belajar di rumah Belajar di luar rumah (les) Bermain di rumah Bermain di luar rumah (aktif) Perjalanan ke suatu tempat (naik kendaraan) Makan Sholat, mengaji, dan beribadah Mandi, berpakaian, berdandan Lain-lain a. b. c. d. Total alokasi waktu
Keterangan
) Lama (jam)
24 jam
Keterangan
83
Lampiran 2 Jumlah kelas dan murid di SD Insan Kamil Bogor Jumlah Kelas dan Murid di SD Insan Kamil Bogor Nomor 1 2 3 4 5 6 7
Kelas 1a 1b 1c 1d 1e 1f 1g Sub Total
8 9 10 11 12 13 14
2a 2b 2c 2d 2e 2f 2g Sub Total
15 16 17 18 19 20 21
3a 3b 3c 3d 3e 3f 3g Sub Total
22 23 24 25 26 27 28
4a 4b 4c 4d 4e 4f 4g Sub Total
29 30 31 32 33 34 35
5a 5b 5c 5d 5e 5f 5g Sub Total
36 37 38 39 40 41 42 43
6a 6b 6c 6d 6e 6f 6g 6h Sub Total Jumlah Total
Laki-laki 14 16 15 16 16 15 17 109 12 13 13 14 15 12 17 96 14 13 13 13 14 14 14 95 11 19 13 18 17 16 19 113 12 17 18 18 16 15 19 115 19 14 18 16 11 21 18 17 134 662
Perempuan 12 10 11 10 10 12 10 75 17 13 15 13 11 14 10 93 13 11 13 14 12 11 12 86 13 11 17 11 13 14 11 90 12 12 12 9 13 13 9 80 10 14 8 12 17 8 13 13 95 519
Jumlah 26 26 26 26 26 27 27 184 29 26 28 27 26 26 27 189 27 24 26 27 26 25 26 181 24 30 30 29 30 30 30 203 24 29 30 27 29 28 28 195 29 28 26 28 28 29 31 30 229 1181
84
Lampiran 3 Data jenis kelamin, umur, BB, TB, Z-score IMT/U Data Jenis Kelamin, Umur, BB, TB, Z-score IMT/U Anak Normal Kode 4112 4113 4114 4116 4117 4118 4120 4121 4122 4123 4124 4125 4126 4127 4128 4311 4312 4313 4411 4412 4611 4711 4712 4713 4714 4717 5211 5212 5213 5214 5215 5311 5312 5313 5314 5315 5316 5317 5611 5612
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki
Umur 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 11 10 9 10 10 10 10 10 10 10 11 11 10 11 11 11 11 11 11 10 11 11 11 11 Rata-rata SD Nilai tertinggi Nilai terrendah
BB
TB 29 32 24 27 30 27 32 30 31 35 32 27 30 36 30 30 29 31 23 35 30 25 26 24 25 38 28 30 26 26 30 27 29 29 30 23 32 25 35 30 29.2 3.6 38 23
140 145 130 139 142 138 143 137 146 139 138 137 140 142 135 144 133 139 124 145 140 131 131 128 131 148 132 143 127 133 137 133 134 138 136 127 138 130 141 139 136.8 5.8 148 124
Z-score BB/TB -1.09 -0.79 -1.5 -1.9 -0.95 -1.6 -0.4 -0.26 -1.08 0.66 0.13 -1.43 -0.78 0.75 -0.02 -1.34 -0.18 -0.21 -0.79 0.18 -0.64 -1.23 -0.8 -0.99 -1.19 0.38 -0.47 -1.35 -0.37 -1.53 -0.63 -1 -0.35 -1.15 -0.54 -1.65 -0.18 -1.24 0.35 -0.95 -0.70 0.66 0.75 -1.9
85
Data Jenis Kelamin, Umur, BB, TB, Z-score BB/TB Anak Obes Kode 4101 4103 4301 4302 4401 4402 4403 4404 4405 4501 4502 4503 4504 4601 4602 4603 4604 4701 4703 5101 5201 5202 5203 5204 5301 5302 5303 5401 5403 5404 5405 5503 5601 5604 5701 5704 5801 5802 5803 5804
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
Umur 10 10 10 9 10 11 9 10 10 10 11 10 10 10 10 10 11 10 10 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 10 11 11 11 11 11 11 11 11 11 Rata-rata SD Nilai tertinggi Nilai terrendah
BB
TB 59 45 56 45 40 50 44 45 54 60 50 64 49 65 56 51 42 48 53 51 65 65 56 55 52 55 54 55 58 59 61 66 52 63 57 55 55 45 47 46 53.7 6.9 66 40
146 140 153 142 132 137 131 142 148 143 138 145 135 144 146 147 134 137 144 149 151 144 150 147 140 143 151 146 144 159 143 149 140 154 148 143 141 136 142 134 143.4 6.2 159 131
Z-score BB/TB 3.24 2.09 2.21 2.25 2.05 2.83 3.18 2.35 2.44 3.07 2.57 3.95 3.39 3.93 3.19 2.44 2.31 2.62 2.78 2.17 2.75 3.2 2.48 2.64 2.68 2.9 2.2 2.57 2.94 2.22 3.57 3.04 2.82 2.43 2.62 2.9 2.88 2.39 2.27 2.69 2.73 0.47 3.95 2.05
86
Lampiran 4 Data rata-rata asupan energi, protein, dan lemak Data Rata-rata Asupan Energi, Protein, dan Lemak Anak Normal Kode
Jenis Kelamin
4112 4113 4114 4116 4117 4118 4120 4121 4122 4123 4124 4125 4126 4127 4128 4311 4312 4313 4411 4412 4611 4711 4712 4713 4714 4717 5211 5212 5213 5214 5215 5311 5312 5313 5314 5315 5316 5317 5611 5612
Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Rata-rata SD Nilai tertinggi Nilai terrendah
Energi (kkal) 2179 1852 1673 2014 1979 2064 1588 2075 2309 1959 1745 2730 2075 2335 1960 1777 2116 2304 2227 2508 2260 2132 2854 2429 1344 2321 1782 1169 1221 2037 2733 1419 2165 2260 2324 1492 1798 1477 2050 1561 2007 403 2854 1169
Protein (gram) 75.84 54.82 66.34 77.53 106.17 47.02 48.41 67.54 64.98 71.44 65.03 121.71 71.48 107.04 51.27 51.18 80.17 101.24 55.10 95.51 85.56 59.08 98.71 89.74 49.08 67.20 105.65 51.38 35.19 54.23 104.41 48.86 54.28 106.60 64.79 47.73 46.95 38.51 78.76 49.76 70.4 22.8 121.7 35.2
Lemak (gram) 84.88 73.64 59.33 57.71 60.83 62.60 27.34 72.40 85.69 73.33 64.57 92.84 82.32 95.73 64.78 88.59 64.36 92.23 80.34 93.57 78.93 60.56 130.39 87.64 26.52 93.08 28.43 40.42 36.79 72.73 86.30 46.00 73.36 68.07 93.25 47.57 49.59 34.82 53.67 68.23 68.8 22.5 130.4 26.5
TKE (%)
TKP (%)
102.77 82.60 65.30 88.40 82.75 90.60 82.63 101.24 99.76 95.58 77.85 119.87 86.77 136.66 81.96 74.28 99.77 116.15 118.57 142.75 110.27 86.66 120.66 81.25 54.63 143.38 81.12 48.90 44.23 86.12 114.27 62.29 102.08 106.55 113.38 55.80 80.18 51.47 116.67 76.15 92.06 24.98 143.38 44.23
146.62 100.23 106.14 139.55 182.00 84.64 103.27 135.07 115.10 142.88 118.91 219.07 122.54 256.89 87.88 87.74 155.00 209.23 117.33 222.86 171.13 98.46 171.10 123.08 81.80 170.24 197.21 88.07 52.28 94.00 178.99 87.94 104.94 206.10 129.58 73.19 85.86 55.01 183.78 99.53 132.63 50.15 256.89 52.28
Kontribusi Lemak (%) 35.05 35.78 31.91 25.79 27.66 27.30 15.49 31.40 33.40 33.68 33.29 30.60 35.70 36.90 29.74 44.88 27.38 36.03 32.47 33.57 31.43 25.57 41.12 32.47 17.76 36.10 14.36 31.12 27.13 32.13 28.42 29.18 30.50 27.11 36.11 28.69 24.83 21.21 23.56 39.33 30.40 6.36 44.88 14.36
87
Data Rata-rata Asupan Energi, Protein, dan Lemak Anak Obes Kode
Jenis Kelamin
4101 4103 4301 4302 4401 4402 4403 4404 4405 4501 4502 4503 4504 4601 4602 4603 4604 4701 4703 5101 5201 5202 5203 5204 5301 5302 5303 5401 5403 5404 5405 5503 5601 5604 5701 5704 5801 5802 5803 5804
Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Rata-rata SD Nilai tertinggi Nilai terrendah
Energi (kkal) 3041 2607 2863 2165 2203 2510 2687 2229 2717 2924 2236 2006 2588 1814 2794 2437 2540 2502 1797 2528 2438 2116 2436 2871 2165 2465 3318 2165 2107 2043 2212 2070 2519 1822 2546 3203 1826 2467 1691 2560 2406 388 3318 1691
Protein (gram) 97.19 61.22 83.37 41.15 44.12 50.60 135.51 51.16 48.64 58.23 42.98 57.00 69.25 56.87 61.46 55.41 63.90 92.45 39.42 58.94 74.29 61.67 57.58 90.51 69.52 80.33 107.13 94.65 60.98 77.05 59.22 59.29 92.16 57.82 64.40 77.70 60.14 62.39 40.61 80.36 67.4 20.1 135.5 39.4
Lemak (gram) 142.29 99.98 99.20 68.68 103.44 108.71 98.91 67.67 74.57 113.80 91.15 90.05 86.00 79.53 80.56 82.00 107.51 94.35 60.53 83.34 86.10 68.79 109.02 95.96 65.84 92.06 117.33 60.54 71.39 48.95 88.36 93.47 99.06 75.64 106.52 118.04 88.39 75.49 55.47 118.89 89.2 19.9 142.3 48.9
TKE (%)
TKP (%)
148.33 127.18 139.66 120.30 107.47 122.43 149.26 108.73 132.53 142.62 109.08 97.87 126.22 88.50 136.32 118.88 123.92 122.03 87.67 123.33 118.92 103.24 118.84 140.03 105.60 120.26 161.85 105.63 102.76 99.68 107.91 100.99 122.88 88.90 124.20 156.26 89.10 120.34 82.48 124.88 118.18 19.39 161.85 82.48
194.37 122.44 166.74 91.45 88.23 101.20 301.14 102.32 97.27 116.45 85.95 114.00 138.49 113.74 122.92 110.82 127.80 184.90 78.84 117.88 148.57 123.34 115.16 181.01 139.05 160.65 214.27 189.31 121.95 154.11 118.44 118.59 184.31 115.64 128.80 155.41 120.29 124.78 81.21 160.73 135.81 42.76 301.14 78.84
Kontribusi Lemak (%) 42.11 34.51 31.18 28.55 42.26 38.98 33.13 27.32 24.70 35.03 36.69 40.40 29.91 39.45 25.94 30.28 38.09 33.94 30.31 29.67 31.79 29.25 40.27 30.09 27.37 33.61 31.83 25.16 30.50 21.56 35.95 40.63 35.39 37.35 37.65 33.16 43.56 27.54 29.53 41.80 33.41 5.55 43.56 21.56
88
Lampiran 5 Hasil uji beda t-test dan Mann-Whitney U Hasil Uji Beda t-test
Sig. (2-tailed) Berat Badan Lahir
.045
IMT ayah
.001
IMT ibu
.143
Pengetahuan gizi ibu
.626
Konsumsi Energi
.000
Konsumsi Protein
.536
Waktu Tidur
.697
Waktu menontonTV, bermain game, dan internet
.363
Lama bermain di luar
.009
Konsumsi lemak
.000
% Kontribusi lemak
.027
TKE
.000
TKP
.761
Hasil Uji Beda Mann-Whitney U Mknan kebiasaan Cmknan CEsKrim CCoklat CGorengan CBiskuit Sayur Berlemak ngemil Ringan Mann-Whitney U
278.500
Wilcoxon W
Buah
720.000 620.000 620.000 680.000
560.000 740.000 729.000 768.500
1098.500 1540.000 1440.000 1.440E3 1.500E3
1380.000 1.560E3 1.549E3 1.588E3
Z Asymp. Sig. (2tailed)
-5.617
-1.170
-2.000
-2.710
-1.867
-3.333
-.677
-.725
-.337
.000
.242
.045
.007
.062
.001
.498
.468
.736
Keterangan: Mknan Berlemak=frekuensi konsumsi makanan berlemak, Cmknan Ringan= kemiasaan ngemil makanan ringan, CesKrim= kebiasaan ngemil es krim, Ccoklat= kebiasaan ngemil coklat, Cgorengan= kebiasaan ngemil gorengan, Cbiskuit= kebiasaan ngemil biskuit, Sayur= frekuensi konsumsi sayur, Buah= frekuensi konsumsi buah JK MannWhitney U
760.000
Wilcoxon W 1.580E3 Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Pend_ayah Pend_ibu Pendapatan ASI_Eks Susu_For Biskuit_bayi SoftDrink FastFood 785.000
713.500
1605.000 1533.500
699.000 720.000
620.000
1519.000 1.540E3 1440.000
700.000 564.500
472.000
1520.000 1.384E3 1292.000
-.474
-.203
-.968
-1.023
-1.026
-2.005
-1.120
-2.470
-3.675
.635
.839
.333
.306
.305
.045
.263
.014
.000
Keterangan: JK= jenis kelamian, Pend_ayah= pendidikan ayah, Pend_ibu= pendidikan ibu, ASI_Eks= pemberian asi eksklusif, Susu_for= pemberian susu formula < 6 bulan, Biskuit_bayi= pemberian makanan padat < 6 bulan, SoftDrink= frekuensi konsumsi soft drink, FastFood= frekunsi konsumsi fast food
89
Lampiran 6 Hasil uji korelasi pearson dan spearman antara Variabel Dependen (Status Gizi Anak) dengan Variabel Independen
Pearson Berat lahir IMT Ayah IMT Ibu Pengetahuan Gizi Ibu TKE TKP Lemak Waktu Tidur Waktu Nonton TV, Internet, Game Waktu Bermaian di Luar
r p r p r p r p r p r p r p r p r p r p
Status Gizi Anak .253* .023 ** .408 .000 .203 .071 -.102 .367 ** .557 .000 .125 .267 ** .458 .000 .005 .967 .151 .180 -.271* .015
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Spearman Jenis Kelamin Kebiasaan Ngemil Frek. Kons. Sayur dan Buah Frek. Kons. Soft Drink Frek. Kons. Fast Food Frek. Kons. Makanan Berlemak Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu Pendapatan Keluarga Pemberian ASI Eksklusif Pemberian Susu Formula Pemberian Makanan Padat
r p r p r p r p r p r p r p r p r p r p r p r p
Status Gizi Anak -.081 .476 .076 .502 .022 .849 .314** .005 ** .311 .005 .469** .000 .020 .860 .050 .662 .129 .254 -.130 .250 -.219 .051 -.142 .208
90
Lampiran 7 Hasil Uji Regresi Logistik Hasil Binary Regresi Logistik (Enter Method) Model Summary Step
-2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
a
1 46.165 .555 .740 a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than .001.
Case Processing Summary a
Unweighted Cases
N
Selected Cases Included in Analysis Missing Cases Total Unselected Cases Total
Percent 80
100.0
0
.0
80 0 80
100.0 .0 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Variables in the Equation B a
Step 1
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
90.0% C.I.for EXP(B) Lower
Upper
BBL
.000
.001
.196
1
.658
1.000
.999
1.002
IMT_ayah
.402
.170 5.559
1
.018
1.494
1.129
1.977
IMT_ibu
.369
.157 5.515
1
.019
1.446
1.117
1.872
Penget_ibu
-.069
.060 1.320
1
.251
.933
.845
1.030
Susu_For
1.004
.936 1.152
1
.283
2.730
.586
12.726
SoftDrink
-.666
.773
.743
1
.389
.514
.144
1.832
FastFood
1.393
.791 3.105
1
.078
4.028
1.097
14.793
MknanBerlemak
2.205
.834 6.985
1
.008
9.071
2.300
35.783
.344
.301 1.304
1
.254
1.410
.860
2.313
-.619
.439 1.989
1
.158
.538
.262
1.108
.070
.025 7.915
1
.005
1.073
1.030
1.117
-30.931 11.261 7.545
1
.006
.000
SayurdanBuah Aktv TKE Constant
a. Variable(s) entered on step 1: BBL= berat badan lahir, IMT_ayah, IMT_ibu, Penget_ibu= pengetahuan gizi ibu, Susu_For= pemberian susu formula<6 bulan, SoftDrink= frekuensi konsumsi soft drink, FastFood= frekuensi konsumsi fast food, MknanBerlemak= frekuensi konsumsi makanan berlemak, SayurdanBuah= frekunsi konsumsi sayur dan buah, Aktv= lama waktu bermain di luar, TKE.