FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENANAMAN MODAL ASING (PMA) PADA SEKTOR AGRIBISNIS DI INDONESIA
DWI RISA PUSTI
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
v
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing (PMA) pada Sektor Agribisnis di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2014
Dwi Risa Pusti H34124004
1
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait
vi
vii
ABSTRAK DWI RISA PUSTI. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing (PMA) pada Sektor Agribisnis di Indonesia. Dibimbing oleh AMZUL RIFIN. Pertumbuhan sektor agribisnis diharapkan mampu meningkatkan lapangan kerja dan mempercepat pertumubuhan ekonomi Indonesia. Penanaman Modal Asing (PMA) diharapkan mampu mempercepat pertumbuhan sektor agrbisnis. Indikator terbaik untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi yaitu dengan menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisisi faktor-faktor yang mempengaruhi PMA pada sektor agribisnis dengan menguji fakta-fakta pada data panel. Untuk menghindari ambiguitas dalam analisis maka perlu dilakukan analisis hubungan antara PMA dan PDB. Analisis Granger menunjukkan bahwa PMA dan PDB memiliki hubungan dua arah. Oleh sebab itu, PDB dapat digunakan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap PMA. Analisis model Random Effect Model (REM) menunjukkan bahwa PDB, nilai impor, dan nilai ekspor secara signifikan berpengaruh positif terhadap PMA, sedangkan kurs secara signifikan berpengaruh negatif terhadap PMA. Kata Kunci: Agribisnis, PMA, PDB, Analisis Granger, REM ABSTRACT DWI RISA PUSTI. Determinants of Foreign Direct Investment on Agribusiness Sectors In Indonesia. Supervised by AMZUL RIFIN. The growth of agribusiness sector is expected to increase employment and accelerate the economic growth of Indonesia. FDI is expected to expedite the growth of agribusiness sector. The best indicator to represent economic growth is use Gross Domestic Product (GDP). This study examines panel data evidence to study the determinants of Foreign Direct Investment (FDI) on agribusiness sector. Avoid the ambiguous predictions, this study analysed the relationship between FDI and GDP using Granger test. This study find that FDI and GDP have twoway relationships. Hence, GDP can be determinant of foreign direct investment. Random Effect Model (REM) shown that GDP, import values and export values have significantly positive influences on FDI. Whereas exchange rate has negative significantly influence on FDI. Keywords : Agribusiness, FDI, GDP, Granger Test, REM
viii
ix
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENANAMAN MODAL ASING (PMA) PADA SEKTOR AGRIBISNIS DI INDONESIA
DWI RISA PUSTI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
x
xi
xii
xiii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah penanaman modal asing pada sektor agribisnis, dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing pada Sektor Agribisnis di Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Amzul Rifin, SP, MA selaku pembimbing, Dr. Ir. Netti Tinaprilla sebagai dosen evaluator, Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MSa selaku dosen penguji utama dan Dra Yusalina MSi selaku dosen penguji akademik yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak, adik, dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih penulis ucapkan pula kepada seluruh sahabat, alumni Diploma Supervisor Jaminan Mutu Pangan IPB Angkatan 46 dan rekan-rekan Alih Jenis Agribisnis IPB Angkatan 3. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2014
Dwi Risa Pusti
xiv
xv
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xvi DAFTAR GAMBAR xvi DAFTAR LAMPIRAN xvii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 3 Tujuan 6 Manfaat Penelitian 6 Ruang Lingkup 6 TINJAUAN PUSTAKA 7 Hubungan antara Penanaman Modal Asing dengan Pertumbuhan Ekonomi 7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penanaman modal asing di Indonesia 8 Ekspor 8 Upah Tenaga Kerja 8 Kurs 8 Stabilitas Politik 9 Metode Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi PMA 9 KERANGKA PEMIKIRAN 10 Kerangka Pemikiran Teoritis 10 Investasi 10 PMA 11 Hubungan PMA dengan Pertumbuhan Ekonomi 13 Hubungan PDB, Ekspor, Impor dan Kurs dengan PMA 15 Kerangka Pemikiran Operasional 17 METODE PENELITIAN 19 Jenis dan Sumber Data 19 Metode Analisis dan Pengolahan Data 20 Uji Akar Unit (Unit Roots) 20 Uji Kausalitas Granger 20 Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square) 22 Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model) 22 Pendekatan Efek Acak (Random Effect Model) 23 Pemilihan Model Data Panel 23 Definisi Operasional 29 PEMBAHASAN 29 Kebijakan PMA Di Indonesia 29 PMA Sektor Agribisnis di Indonesia 31 Perkembangan PDB Sektor Agribisnis Indonesia 33 Perkembangan Ekspor Sektor Agribisnis Indonesia 34 Perkembangan Impor Sektor Agribisnis Indonesia 36 Perkembangan Kurs Rp/US$ 38 Pengujian Pengaruh PDB terhadap FDI Sektor Agribisnis di Indonesia 39 Uji Akar Unit 39 Uji Kausalitas Granger PDB dan PMA Sektor Agribisnis di Indonesia 40
xvi
Regresi Data Panel untuk Pengujian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PMA sektor Agribisnis di Indonesia Pemilihan Pendekatan Model Terbaik Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonometrika Uji Normalitas Uji Multikolinearitas Uji Heteroskedastisitas Uji Autokorelasi Hasil Analisis Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen Pengaruh PDB terhadap PMA Sektor Agribisnis di Indonesia Pengaruh Nilai Ekspor terhadap Realisasi PMA Sektor Agribisnis di Indonesia Pengaruh Nilai Impor terhadap Realisasi PMA Sektor Agribisnis di Indonesia Pengaruh Kurs Rp terhadap US$ terhadap Realisasi PMA Sektor Agribisnis di Indonesia Implikasi Kebijakan Peningkatan PMA SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
40 41 42 42 42 43 43 43 43 44 45 45 46 48 48 48 49 51 63
DAFTAR TABEL 1 PDB atas dasar harga berlaku menurut sektor, periode 2009-2013 2 Jenis dan sumber data yang digunakan 3 Uji d Durbin-Watson: Aturan Keputusan 4 Perkembangan kurs rupiah terhadap dollar Amerika 5 Uji akar unit metode ADF untuk data PMA dan PDB sektor agribisnis 6 Uji akar unit metode ADF untuk data PDB dan PMA sektor agribisnis diferensi pertama 7 Hasil uji kausalitas Granger (E-views 6) 8 Hasil analisis regresi panel model REM
2 19 27 38 39 40 40 43
DAFTAR GAMBAR 1 Penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan 1 2 Perkembangan realisasi investasi PMA dan PMDN sektor agribisnis (pendekatan lima subsektor) di Indonesia 3 3 Perkembangan realisasi investasi PMA dan PMDN sektor agribisnis pendekatan lima subsektor di Indonesia 5 18 4 Kerangka pemikiran operasional
xvii
5 Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel 6 Realisasi PMA sektor agribisnis (pendekatan lima subsektor) 7 Perkembangan Realisasi proyek PMA sektor agribisnis Indonesia (pendekatan lima subsektor) 8 Perkembangan PDB sektor agribisnis Indonesia (pendekatan lima subsektor) 9 Perkembangan nilai ekspor sektor agribisnis Indonesia (pendekatan lima subsektor) 10 Perkembangan nilai impor sektor agribisnis Indonesia (pendekatan lima subsektor)
23 32 33 34 36 37
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil uji akar unit PMA dan PDB sektor agribisnis (eviews 6.2) 2 Hasil uji akar unit PMA dan PDB sektor agribisnis diferensi pertama 3 Hasil analisis regresi panel pendekatan model pooled least square 4 Hasil analisis regresi panel pendekatan model fixed effect model (eviews 6.2) 5 Hasil analisis regresi panel pendekatan random effect model (eviews 6.2) 6 Hasil analisis likehood ratio-chow test (eviews 6.2) 7 Hasil analisis hausman test (eviews 6.2) 8 Hasil uji normalitas Jarque-Bera 9 Korelasi antar variabel pada model regresi data panel
53 55 57 58 59 60 61 62 62
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor yang sangat penting dan menjadi landasan perekonomian bagi suatu negara. Sistem agribisnis terdiri dari subsistem input, usahatani, pengolahan, dan pemasaran. Sektor agribisnis menjadi sumber sandang, pangan, dan papan yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat di suatu negara. Sektor agribisnis juga berperan sebagai penyedia lapangan usaha terluas di Indonesia. Sektor agribisnis mampu menampung tenaga kerja dalam jumlah besar. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan data BPS (2014) pada Gambar 1 bahwa pada periode semester I tahun 2013 sektor pertanian primer menyerap tenaga kerja terbesar dibanding sektor lain di Indonesia yaitu sebesar 35 persen. Jumlah tenaga kerja tersebut cenderung menurun dari jumlah tenaga kerja sektor pertanian pada semester I tahun 2012 yang dapat menyerap tenaga kerja hingga 36,5 persen. Selain dari sektor pertanian primer, lapangan usaha pada sistem agribisnis lainnya seperti industri pengolahan dan pemasaran juga dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Gambar 1 Penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama, semester 1 tahun 2013 Sumber : Badan Pusat Statistik 2014
Pembangunan agribisnis memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia mengingat Indonesia merupakan negara agraris. Indonesia memiliki potensi besar dalam pembangunan agribisnis. Hal tersebut dikarenakan Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah (endowment factor), memiliki pangsa pasar domestik yang besar mengingat populasi masyarakat Indonesia yang tinggi, serta banyak tenaga kerja yang bermatapencaharian pada sektor pertanian. Sektor agribisnis memiliki kontribusi yang signifikan terhadap PDB Indonesia. Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa sektor agribisnis dengan menggunakan pendekatan lima subsektor yaitu tanaman pangan dan perkebunan,
2
peternakan, perikanan, industri makanan dan industri kayu memiliki kontribusi PDB sebesar 24,04 persen terhadap PDB non migas dan 22,27 persen terhadap PDB nasional pada tahun 2013. PDB sektor agribisnis mencapai Rp 2022,96 triliun pada tahun 2013. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan PDB yang dihasilkan sektor agribisnis pada tahun-tahun sebelumnya. Pada periode 2009 hingga 2013 PDB sektor agribisnis terus mengalami pertumbuhan setiap tahunnya dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 11,43 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha pada sektor agribisnis di Indonesia terus berkembang dan semakin diminati. Tabel 1 PDB atas dasar harga berlaku menurut sektor, periode 2009-2013 Sektor Agribisnis (pendekatan lima subsektor) Non migas Nasional
2009 1312.64
PDB (triliun rupiah) 2010 2011 2012* 1483.09 1670.90 1847.24
2013** 2022.96
5141.41 5606.20
5941.95 6446.85
8416.04 9083.97
6795.89 7419.19
7588.32 8229.44
Sumber : Badan Pusat Statistik 2014 Keterangan : (*) adalah angka sementara (**) adalah angka sangat sementara
Sektor agribisnis dapat membangkitkan perekonomian daerah, memperkecil kesenjangan distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan. Hal tersebut menjadi alasan kuat untuk meningkatkan pengalokasian investasi yang diprioritaskan terhadap sektor agribisnis. Akan tetapi, investasi pada sektor tersebut dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan karena dianggap kurang memberikan keuntungan baik bagi target pendapatan pemerintah maupun swasta. Padahal pertumbuhan ekonomi sangat ditunjang oleh investasi. Pemerintahan orde baru mengawali penggairahan investasi di Indonesia dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 mengenai Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Dalam perkembangannya UU No 1 Tahun 1970 mengalami penambahan dan perubahan dalam UndangUndang No 11 Tahun 1970. UU No 6 Tahun 1967 juga mengalami penambahan dan perubahan menjadi UU No 12 Tahun 1970. Pada era reformasi, UU mengenai investasi tersebut disempurnakan ke dalam UU No 25 Tahun 2007. Pengaturan perundang-undangan tersebut diberlakukan untuk meningkatkan investasi di Indonesia. Pemberlakuan UU no 25 Tahun 2007 mengakibatkan penanaman modal asing yang masuk ke Indonesia lebih terbuka, subjek dan bidang usaha bagi investor asing lebih beragam, serta daerah turut berperan serta dalam mengundang investor asing secara langsung. Hal tersebut akan mempermudah investor asing untuk menanamkan modalnya sehingga Indonesia dapat menjadi negara tujuan investasi yang lebih menarik. Modal dalam sektor agribisnis dapat diperoleh dari penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Menurut Tambunan (2007), PMA khususnya dari negara-negara maju, tetap lebih penting daripada PMDN, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia karena tiga alasan utama.
3
Pertama, PMA membawa teknologi baru dan pengetahuan lainnya yang berguna bagi pembangunan di dalam negeri. Kedua, pada umumnya PMA mempunyai jaringan kuat dengan lembaga-lembaga keuangan global, sehingga tidak tergantung pada dana dari perbankan di Indonesia. Ketiga, bagi perusahaanperusahaan asing di Indonesia yang berorientasi ekspor, biasanya mereka sudah memiliki jaringan pasar global yang kuat, sehingga tidak ada kesulitan dalam ekspor. Selain itu, PMA juga mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Penyerapan tenaga kerja Indonesia secara langsung pada periode Triwulan IV 2013 berdasarkan BKPM (2014) sebanyak 430.107 orang. Penyerapan tertinggi oleh PMA, yaitu sebanyak 270.792 orang (62,9 persen dari total tenaga kerja). Keberadaan investasi PMDN dan PMA diperkirakan akan dapat mengakibatkan efek ganda terhadap penyerapan tenaga kerja secara tidak langsung yaitu sebesar 4 kali (Tambunan 2007).
Gambar 2 Perkembangan realisasi investasi PMA dan PMDN sektor agribisnis (pendekatan lima subsektor) di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2014
Realisasi investasi PMDN di Indonesia masih belum dapat memberikan kontribusi yang besar bagi pertumbuhan sektor agribisnis. Hal ini dapat diketahui dari jumlah realisasi investasi PMDN sektor agribisnis yang masih rendah. Pada Gambar 2 realisasi, PMA maupun PMDN dari tahun 2009 hingga 2013 mengalami fluktuasi. Realisasi PMA cenderung meningkat, akan tetapi realisasi PMDN cenderung menurun. Rumusan Masalah Potensi pembangunan lapangan usaha pada sektor agribisnis menghadapi hambatan permodalan. Hal tersebut dikarenakan bidang usaha agribisnis dianggap memiliki risiko yang tinggi diakibatkan kegiatan produksi dipengaruhi oleh kondisi alam yang tidak menentu dan mudah rusak. Pembangunan sektor agribisnis perlu didukung oleh modal guna meningkatkan jumlah produksi, memperluas lahan, pengadaan input, peralatan pendukung, dan pengembangan teknologi. Kekurangan modal pada negara-negara berkembang secara umum disebabkan oleh pendapatan masyarakat yang rendah. Pendapatan rendah
4
disebabkan oleh produktivitas penduduk yang juga rendah. Selain disebabkan oleh belum terolahnya sumberdaya alam, produktivitas yang rendah juga disebabkan oleh sumberdaya manusia yang masih terbelakang. Keterbelakangan tersebut dicirikan oleh kesehatan dan gizi yang kurang, rendahnya pendidikan dan keterampilan, serta investasi yang rendah. Tingkat investasi yang rendah disebabkan oleh tingkat tabungan yang kecil. Tingkat tabungan yang kecil disebabkan karena pendapatan yang kecil, demikian seterusnya hal tersebut akan berlanjut. Keadaan ini disebut sebagai sebuah lingkaran setan (vicious circle) (Utama 2013). Terbatasnya permodalan pada sektor agribisnis dapat diatasi melalui penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA). Pada sektor agribisnis dengan pendekatan lima subsektor diantaranya tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri makanan serta industri kayu pada Gambar 2, dapat diketahui bahwa realisasi PMA sektor agribisnis pada tahun 2012 hingga 2013 lebih tinggi dibandingkan nilai realisasi PMDN. Meskipun realisasi PMA lebih tinggi akan tetapi laju pertumbuhan ratarata PMA quarter on quarter lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan ratarata PMDN. Laju pertumbuhan rata-rata PMDN quarter on quarter sebsesar 46,01 persen sementara laju pertumbuhan rata-rata PMA sebesar 31,37 persen. Laju pertumbuhan PMA pada tahun 2013 lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2012, laju pertumbuhan PMA sektor agribisnis mencapai 32,75 persen sementara pada tahun 2012 laju pertumbuhannya menjadi 9,51 persen. Laju pertumbuhan PMA yang semakin melambat tersebut diakibatkan oleh kondisi perekonomian global yang belum stabil dan izin investasi di Indonesia yang rumit. Realisasi PMA dengan laju pertumbuhan yang lebih lambat digambarkan dengan laju pertumbuhan rata-rata subsektor tanaman pangan dan perkebunan, industri makanan, dan industri kayu yang memiliki laju pertumbuhan PMA lebih lambat dibanding Laju pertumbuhan PMDN (Gambar 3). Laju pertumbuhan ratarata PMA subsektor tanaman pangan dan perkebunan, industri makanan, dan industri kayu dari tahun 2009 hingga 2013 secara berturut-turut yaitu 16 persen, 28 persen, dan 1.372 persen. Laju pertumbuhan rata-rata PMDN pada ketiga subsektor tersebut secara berturut-turut mencapai 65 persen, 72 persen, dan 415.226 persen. Tingginya laju pertumbuhan PMDN pada ketiga subsektor tersebut menunjukkan bahwa subsektor tersebut telah mampu menarik investor domestik untuk menanamkan modalnya. Investor asing lebih memilih untuk berinvestasi pada subsektor peternakan dan subsektor perikanan. Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa laju ratarata pertumbuhan PMA subsektor peternakan dan perikanan lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan rata-rata PMDN. Laju pertumbuhan rata-rata PMA subsektor peternakan dan subsektor perikanan dari tahun 2009 hingga 2013 secara berturut-turut mencapai 342 persen dan 2844 persen. Hal tersebut, bertolak belakang dengan investor domestik yang digambarkan dengan laju pertumbuhan rata-rata PMDN yang lebih rendah yaitu sebesar 63 persen dan 43 persen. Besarnya realisasi PMA pada subsektor agribisnis diduga dipengaruhi oleh tujuan investor asing dalam dalam memasarkan produknya, yaitu untuk memenuhi pasar domestik atau memenuhi permintaan pasar luar negeri. Subsektor pada sektor agribisnis memiliki kekhasan masing-masing. Terdapat beberapa subsektor yang memiliki surplus produksi sehingga selain dapat memenuhi pasar domestik
5
juga dapat diekspor ke luar negeri. Subsektor agribisnis lainnya justru masih belum dapat memenuhi permintaan pasar domestik sehingga tingkat impor pada subsektor tersebut tinggi. Value added dan harga jual pada subsektor agribisnis juga beragam pada setiap subsektornya. Adanya perbedaan-perbedaan value added, ekspor, impor dan kurs diduga pada sektor agribisnis diduga akan mempengaruhi realisasi PMA.
Gambar 3 Perkembangan realisasi investasi PMA dan PMDN sektor agribisnis pendekatan lima subsektor di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2014
Kondisi ekonomi dan non-ekonomi home country dan host country memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap realisasi PMA. Perekonomian global terutama di negara-negara sumber PMA yang memburuk pada akhir tahun 2000 mengakibatkan realisasi PMA semakin rendah. Meskipun demikian, keuntungan yang dapat diperoleh dengan melakukan PMA di host country merupakan suatu alasan bagi investor asing untuk menanamkan modalnya. Menurut Ball (2004), apabila sebuah negara terus menerima jumlah PMA yang cukup besar, iklim investasinya pastilah menguntungkan. Ini berarti kekuatan-kekuatan politis
6
lingkungan luar negeri relatif menarik dan peluang untuk memperoleh laba disana daripada dimanapun. Tanpa alasan tersebut, investasi asing tidak akan terjadi. Investor akan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi host country melalui PDB dengan alasan keamanan berinvestasi. Sektor agribisnis memiliki kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sektor agribisnis dengan pendekatan lima subsektor menyumbangkan PDB sebesar 19,36 persen terhadap PDB nasional. Akan tetapi infrastruktur yang masih belum memadai terutama di luar Jawa yang menjadi tujuan utama investasi asing pada sektor agribisnis terutama subsektor perkebunan. Investor asing juga akan mempertimbangkan keamanan dan kepastian hukum yang kuat untuk menanamkan modal di Indonesia. Selain dengan menarik investor baru untuk menanamkan modal di Indonesia, keamanan dan kepastian hukum melalui sistem birokrasi yang baik dapat meyakinkan perusahaan-perusahaan yang telah berdiri untuk tetap membuka perusahaannya di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, maka masalah yang perlu untuk diteliti yaitu Faktor-faktor apa yang mempengaruhi PMA pada sektor agribisnis di Indonesia.
Tujuan Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan penerapan PMA dalam sektor agribisnis di Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh PDB terhadap PMA sektor agribisnis di Indonesia. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA pada sektor agribisnis di Indonesia. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan meningkatkan pengetahuan, serta menjadi masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu: 1. Pemerintah, sebagai masukan dalam peningkatan dan kebijakan investasi pada sektor agribisnis. 2. Akademisi dan peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah mendeskripsikan penerapan PMA pada sektor agribisnis di Indonesia yang dibatasi pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri makanan, dan industri kayu. Pengukuran pengaruh PDB terhadap realisasi PMA sektor agribisnis di Indonesia. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA pada sektor agribisnis menggunakan variabel-variabel penduga yaitu PDB sektor agribisnis, nilai impor sektor agribisnis, nilai ekspor sektor agribisnis, dan kurs rupiah terhadap dollar Amerika. Rentang waktu data-data yang digunakan pada penelitian ini dibatasi
7
dari tahun 2000 hingga tahun 2013. Pembatasan waktu penelitian dilakukan untuk menganalisis realisasi PMA setelah Indonesia mengalami krisis moneter.
TINJAUAN PUSTAKA Hubungan antara Penanaman Modal Asing dengan Pertumbuhan Ekonomi Masalah yang sering dihadapi negera berkembang dalam kegiatan pembangunan yaitu keterbatasan modal dan teknologi. Penanaman modal asing (PMA) merupakan salah satu sumber pembiayaan yang dibutuhkan oleh negara berkembang melalui transfer aset, manajemen, dan teknologi. PMA dapat dimanfaatkan oleh negara berkembang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari produk domestik bruto (PDB) ataupun produk domestik bruto regional. Investasi, baik investasi asing (penanaman modal asing/ PMA) maupun investasi dalam negeri (penanaman modal dalam negeri/ PMDN) memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan produk domestik bruto. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Agiomirgianakis et al (2003), Sibuea (2007), Mutia (2011), Muazi dan Arianti (2013), serta Momongan (2013). Menurut Agiomirgianakis investor asing akan melakukan investasi di negara yang memberikan keuntungan dan keamanan terhadap usaha mereka yang dapat dilihat melalui PDB negara tersebut. Momongan (2013) menambahkan bahwa investasi asing dan investasi dalam negeri tersebut juga berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan di Sulawesi Utara. Salah satu tujuan PMA yaitu mendapatkan sumber-sumber pasar yang baru (demand), artinya para investor akan memilih lokasi investasi asing langsung (Penanaman modal asing-PMA) di negara yang mempunyai daya beli yang cukup untuk produk yang akan dihasilkan oleh perusahaan investor tersebut. Sehingga investor asing akan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi negara tujuan demi kesuksesan investasinya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sarwedi (2002) Sibuea (2007), (Anastasia, 2010), Putri (2012) dan Marsela (2014). Hubungan positif ini disebabkan PDB merupakan gambaran pasar atau kapabilitas pasar suatu negara. Semakin tinggi PDB suatu negara akan menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki ukuran pasar lebih besar sehingga akan mendukung penjualan produk di negara tersebut sehingga potensi negara tersebut untuk memperoleh investasi akan semakin besar (Bevan and Estrin 2004). Hasil penelitian Bevan and Estrin juga menunjukkan bahwa PDB negara asal PMA maupun negara tujuan PMA berpengaruh positif terhadap realisasi PMA. Hasil penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan penelitian Rahayu (2010) yang menunjukkan bahwa PDB memiliki pengaruh negatif terhadap PMA pada jangka pendek dan tidak berpengaruh secara signifikan pada jangka panjang. PDB tidak memiliki pengaruh terhadap PMA pada jangka panjang karena masuknya dana dalam bentuk dollar, maka rupiah akan terdepresiasi dan kegiatan ekonomi menurun dan nilai produk domestik bruto juga akan menurun (Rahayu 2010).
8
Faktor-faktor yang Mempengaruhi PMA di Indonesia Realisasi PMA dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan non-ekonomi home country dan host country. Penelitian Bevan dan Estrin (2004) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi home country yang digambarkan melalui PDB memiliki pengaruh positif terhadap aliran keluar PMA, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi PMA terhadap host country yaitu PDB, biaya tenaga kerja, kondisi geografis, jarak antara host country dengan home country. Motivasi yang dimiliki pihak asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi PMA berupa faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi yang mempengaruhi PMA seperti PDB, upah tenaga kerja, ekspor. Faktor non ekonomi yang mempengaruhi PMA adalah stabilitas politik. Ekspor Ekspor akan memiliki pengaruh yang positif terhadap PMA. Ekspor atau perdagangan internasional digunakan sebagai parameter untuk melihat keterbukaan ekonomi negara tujuan PMA. Hasil penelitian Agiomirgianakis et al (2003) menunjukkan bahwa investor akan lebih memilih untuk berinvestasi di negara yang memiliki keterbukaan dalam hubungan internasional terutama dalam perdagangan internasional. Bevan and Estrin (2004) menunjukkan bahwa ekspor berpengaruh positif terhadap realisasi PMA. Menurut penelitian Sarwedi (2002), Dewata dan Swara (2013), ekspor dan Penanaman modal asing (PMA) di Indonesia memiliki hubungan positif dan signifikan pada jangka pendek. Sedangkan pada jangka panjang, ekspor berpengaruh negatif terhadap PMA di Indonesia. Upah Tenaga Kerja Upah tenaga kerja berpengaruh secara negatif terhadap PMA di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Bevan and Estrin (2004) yang menunjukkan bahwa realisasi PMA di negara-negara Eropa Barat yang memiliki upah tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan negara yang menjadi sumber utama PMA diantaranya Gabungan Belgia dan Luxemburg, Korea, Jepang, Swiss dan Amerika Serikat yang memiliki kontibusi sebesad 87 persen terhadap total PMA dunia. Menurut Sarwedi (2002) upah tenaga kerja akan berpengaruh positif pada jangka pendek dan negatif pada jangka panjang. Penelitian Rahayu (2010), Dewata dan Swara (2013) memberikan pernyataan yang berbeda, bahwa upah tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap PMA di Indonesia pada jangka pendek dan berpengaruh positif pada jangka panjang. Kurs Indikator yang mempengaruhi kestabilan ekonomi makro antara lain tingkat nilai tukar atau kurs yang stabil. Stabilitas kurs akan memacu peningkatan investasi. Investor asing tidak akan melakukan investasi di negara yang memiliki mata uang lemah, karena risiko yang dihadapi tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2010) dan Anastasia (2010) yang menunjukkan bahwa kurs berpengaruh negatif terhadap PMA.
9
Stabilitas Politik Stabilitas politik menggambarkan tingkat keamanan suatu negara untuk berbisnis. Stabilitasi politik digambarkan melalui krisis politik yang diukur dengan menggunakan indikator angka kerusuhan atau pemogokan yang terjadi di Indonesia. Krisis politik akan memiliki pengaruh negatif terhadap PMA. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Sarwedi (2002).
Metode Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi PMA Analisis pengaruh PDB terhadap PMA dapat dilakukan dengan menggunakan uji kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger dapat menggambarkan hubungan sebab-akibat antara variabel dependen dengan variabel independen. Variabel dependen PMA dapat dipengaruhi oleh variabel independen PDB. Akan tetapi PMA juga dapat menjadi variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen PDB. Uji kausalitas Granger dilakukan oleh Sarwedi (2002) dan Sibuea (2007). Sarwedi (2002) menggunakan uji kualitas Granger untuk menganilisis hubungan sebab-akibat antara PMA dan ekspor yang menunjukkan hubungan satu arah. Sibuea (2007) menggunakan uji kualitas Granger untuk menganalisis hubungan antara PDB dengan PMA. Meskipun hasil uji kausalitas Granger menunjukkan bahwa variabel independen berpengaruh positif terhadap variabel dependen, akan tetapi hal tersebut belum tentu berlaku sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sibuea (2007) yang menunjukan bahwa PDB berpengaruh positif terhadap PMA akan tetapi PMA tidak mempengaruhi PDB secara langsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi PMA di Indonesia dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi dianalisis dengan menggunakan alat-alat analisis seperti regresi linear berganda (Momongan (2013), Dewata dan Swara (2013), (Sarwedi 2002)), Error Correction Mechanism/ ECM (Sarwedi (2002), Rahayu (2010)), Muazi dan Arianti (2013) dan analisis regresi co-integration (Anastasia 2010). Metode analisis regresi linear berganda digunakan oleh Dewata dan Swara (2013) dan Momongan (2013). Pada penelitian Dewata dan Swara (2013) analisis regresi linear berganda dengan data time series digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel independen (faktor-faktor ekonomi dan non ekonomi) terhadap variabel dependen (tingkat PMA) pada taraf nyata sebesar lima persen. Momongan (2013) menggunakan regresi linear berganda dengan menggunakan data time series untuk mengukur besarnya variasi pengaruh perkembangan investasi PMA dan PMDN terhadap perkembangan PDRB. pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer dengan bantuan program pengolah data statistik secara profesional atau SPSS (Statistical Product and Service Solution) v.19. Metode regresi linear berganda yang digunakan oleh Sarwedi tidak memenuhi kriteria BLUE sehingga harus digunakan uji model dinamis yaitu ECM. Model ECM merupakan suatu model yang memasukkan penyesuaian untuk melakukan koreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. PMA di Indonesia berlangsung dalam jangka waktu yang lama/jangka panjang maka untuk melihat apakah ada hubungan yang saling mempengaruhi antara variable-variabel independen yang membuat variabel-
10
variabel tersebut selalu menyesuaikan dengan variabel dependen dan berada tidak jauh dari rata-ratanya (nilai mean) dengan menggunakan regresi co-integration seperti yang dilakukan oleh Anastasia (2010). Data time series yang digunakan pada analisis regresi linear berganda dapat menimbulkan bias yang mungkin terjadi bila diagregasi secara luas. Oleh sebab itu, penggunaan data time series perlu dikombinasikan dengan data cross section. Penggunaan data panel dapat memberikan gambaran model perilaku yang lebih kompleks dan memperbesar derajat kebebasan. Penggunaan data panel dalam metode analisis regresi linear berganda digunakan dalam penelitian de Mello (1999); Agiomirgianaki et al (2003) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi PMA dengan studi kasus negara-negar OECD; Bevan and Estrin (2004) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi PMA di Eropa; Marpaung (2013) mengenai analisis faktor-faktor yang memengaruhi penanaman modal asing di ASEAN; Zahro (2013) mengenai analisis daya saing dan faktor-faktor yang mempengaruhi aliran ekspor alas kaki Indonesia di Kawasan ASEAN dan China; dan Fahmi (2013) yang melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi investasi asing langsung (PMA) di pulau Jawa. Analisis regresi data panel dapat dilakukan denga tiga pendekatan analisis yaitu metode pooled least square (PLS) (Marpaung 2013), fixed effect model (FEM) (de Mello (1999), Zahro (2013) dan Fahmi (2013) ), dan random effect model (Agiomirgianaki et al 2003, Bevan and Estrin 2004).
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Investasi Penanaman modal dapat dilaksanakan secara langsung dan tidak langsung. Penanaman modal secara langsung dilakukan oleh investor lokal (penanaman modal dalam negeri) dan investor asing (penanaman modal asing). Penanaman modal secara tidak langsung yang dilakukan oleh investor asing dikenal dengan investasi portofolio melalui lembaga pasar modal (capital market). Lusiana (2012) mendefinisikan investasi sebagai kegiatan yang dilakukan orang pribadi (natural person) atau badan hukum (juridical person) dalam upaya meningkatkan atau mempertahankan nilai modalnya baik berbentuk uang tunai (cash money), peralatan (equipment), aset tak bergerak, hak kekayaan intelektual, maupun keahlian. Tujuan penyelenggaraan penanaman modal menurut UU No 25 pasal 3 ayat (2) tentang penanaman modal adalah : 1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. 2. Menciptakan lapangan kerja. 3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan. 4. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional. 5. Meningkatkan kapasitan dan kemampuan teknologi nasional. 6. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan.
11
7. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. 8. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan penanaman modal dikategorikan ke dalam dua kategori besar yaitu investasi langsung (direct investment) atau penanaman modal jangka panjang dan investasi tidak langsung (indirect investment). Investasi langsung dapat dilaksanakan melalui beberapa bentuk penanaman modal, seperti 1) modal sendiri (equity), 2) modal dari dana pinjaman (loan), 3) modal bersifat nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible), 4) modal dari keuntungan usaha (reinvestment), 5) modal langsung (straight investment), 5) modal patungan (joint venture, joint enterprise) dan 7) partisipasi modal melalui berbagai bentuk kerja sama dalam hubungan-hubungan kontraktual. Menurut Dhaniswara dalam Lusiana (2012), investasi langsung dapat dilakukan dengan mendirikan perusahaan patungan (joint venture company) dengan mitra lokal, melakukan kerja sama operasi (joint operation scheme) tanpa membentuk perusahaan baru, mengkonversikan pinjaman menjadi penyertaan mayoritas dalam perusahaan lokal, memberikan bantuan teknis dan manajerial maupun memberikan lisensi dan lain-lain. Investasi tak langsung (indirect investment) disebut juga penanaman modal jangka pendek. Kegiatan investasi tersebut dilakukan melalui transaksi di pasar modal dan pasar uang dalam jangka waktu yang relatif singkat, tergantung fluktuasi nilai saham atau nilai mata uang yang akan diperjualbelikan. Lusiana (2012) menjelaskan perbedaan antara indirect investment dan direct investment yaitu, 1) pada indirect investment, pemegang saham tidak memiliki kontrol pada pengelolaan perseroan sehari-hari. 2) Pada indirect investment, risiko ditanggung sendiri oleh pemegang saham sehingga pada dasarnya tidak dapat menggugat perusahaan yang menjalankan kegiatannya. 3) Kerugian pada indirect investment, pada umumnya tidak dilindungi oleh hukum kebiasaan internasional (international customary law). PMA Penanaman modal asing menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan penanam modal asing baikyang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan modal dalam negeri. Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di Indonesia; modal asing adalah modal yang dimiliki negara asing, perseorangan warga negara asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki pihak asing. Penanaman modal asing harus dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Bentuk investasi yang ditransferkan melalui PMA tidak hanya dalam aspek finansial saja. PMA meliputi investasi aset-aset nyata berupa pembangunan pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, pembelanjaan berbagai peralatan inventaris, dan lain-lain. Penanaman modal asing juga di barengi dengan penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen, dan pihak investor sendiri tetap mempertahankan kontrol terhadap
12
dana-dana yang telah ditanamkannya. Investasi asing langsung pada umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. PMA melalui multinational company (MNC) terjadi karena adanya ketidaksempurnaan pasar produk dan faktor produksi. MNC memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan perusahaan yang terdapat di host country. Keunggulan itu dapat berupa skala ekonomi, keunggulan teknologi atau pengetahuan pemasaran, manajemen atau keuangan yang superior. Keunggulan yang dimiliki MNC mengakibatkan MNC lebih memilih untuk beroperasi di pasar oligopoli dan enggan untuk beroperasi di pasar persaingan hampir sempurna. Keunggulan monopolistik yang dimiliki MNC memungkinkan MNC dapat memproduksi berbagai jenis produk yang lebih disukai konsumen daripada barang-barang yang sama yang dihasilkan oleh perusahaan lokal. Hal tersebut mengakibatkan MNC dapat memiliki kendali dalam menentukan harga jual. Keunggulan monopolistik yang dimiliki MNC harus didukung oleh penelitian yang kuat sehingga produk yang dihasilkan dapat diterima oleh pasar lokal. Keunggulan monopolistik yang dimiliki bukanlah satu-satunya alasan bagi MNC untuk beroperasi di luar negeri. PMA juga dapat dilakukan karena adanya pasar di luar negeri. Perusahaan-perusahaan yang sukses mengekspor produknya dan diterima di pasar internasional akan memilih untuk beroperasi secara langsung di pasar tersebut untuk mempertahankan pasar ekspornya. Hal tersebut mengikuti konsep international product life cycle (IPLC) atau daur hidup produk internasional (Ball 2004). Teori IPLC menjelaskan bahwa suatu perusahaan yang awalnya memproduksi produk ekspor akan diikuti oleh perusahaan-perusahaan lainnya. Banyaknya perusahaan yang memproduksi produk yang sama akan mengakibatkan kompetisi diantara perusahaan-perusahaan tersebut. PMA memiliki berbagai dampak bagi home country maupun host country. Negara maju yang padat modal akan menginvestasikan modalnya ke negara lain yang memiliki keterbatasan modal jika kedua negara tersebut menjalin hubungan ekonomi. Pada home country, akan terjadi peningkatan total pendapatan nasional dari faktor produksi modal. Sedangkan rata-rata dari faktor produksi tenaga kerja di home country mengalami penurunan. Sehingga banyak negara maju yang melakukan pembatasan penanaman modal ke luar negeri untuk melindungi tenaga kerja di negaranya. Transfer modal tersebut juga mengakibatkan redistribusi pendapatan domestik dari para pemilik faktor produksi tenaga kerja ke para pemilik faktor produksi modal di negara sumber investasi. Meskipun host country secara keseluruhan diuntungkan oleh adanya modal dari negara lain, namun ada pula sebagian warganya yang mengalami kerugian. PMA memberikan kerugian bagi para pemilik modal karena tingkat hasil modal domestik menjadi berkurang setelah masuknya modal asing (Salvatore 1997). PDB Produk domestik bruto (PDB) merupakan indikator dari kinerja perekonomian suatu negara. Tujuan dari perhitungan PDB adalah meringkas aktivitas ekonomi dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. PDB dihitung dengan dua cara yaitu dengan melihat PDB sebagai pendapatan total dari setiap orang di dalam perekonomian dan dengan melihat PDB sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa perekonomian. Dari kedua sudut pandang tersebut PDB digunakan sebagai cerminan kinerja ekonomi karena jumlah pendapatan harus sama dengan jumlah pengeluaran. PDB dapat diperoleh
13
dengan menjumlahkan konsumsi, investasi, pembelian pemerintah serta ekspor neto. Hal tersebut sesuai dengan persamaan identitas pendapatan nasional (Mankiw, 2006). Y = C + I + G + NX Dimana: Y = PDB C = konsumsi I = investasi G = pembelian pemerintah NX = ekspor neto Konsumsi terdiri dari barang dan jasa yang dibeli rumah tangga. Investasi terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan yang terdiri dari investasi tetap bisnis, investasi tetap residensial, dan investasi persediaan. Pembelian pemerintah adalah barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah pusat, negara bagian, dan daerah yang meliputi peralatan militer, jalan layang, dan jasa yang diberikan pegawai pemerintah. Pembelian pemerintah tidak termasuk pembayaran transfer kepada individu seperti jaminan sosial dan kesejahteraan. Ekspor neto menggambarkan aktivitas perdagangan dengan negara lain. Ekspor neto adalah nilai barang dan jasa yang diekspor dikurangi dengan nilai barang dan jasa yang diimpor. PDB dibedakan menjadi PDB nominal dan PDB riil. PDB nominal merupakan PDB yang dihitung berdasarkan harga berlaku sehingga ukuran ini tidak akurat untuk mencerminkan sejauh mana perekonomian bisa memuaskan permintaan rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah. Jika terjadi perubahan harga sementara jumlah output tetap maka PDB akan berubah. Akan tetapi, hal tersebut tidak menunjukkan kemampuan perekonomian untuk memuaskan permintaan telah berubah, karena jumlah setiap produk yang diproduksi tetap sama. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi yang lebih baik maka dibutuhkan perhitungan output barang dan jasa perekonomian yang tidak akan dipengaruhi oleh perubahan harga. Oleh sebab itu, para ekonom menggunakan PDB riil. PDB riil diukur dengan menggunakan harga konstan sehingga PDB riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika jumlah berubah tetapi harga tidak berubah. Harga dasar yang digunakan dalam perhitungan PDB riil diperbaharui secara periodik sehingga harga yang digunakan untuk perhitungan PDB riil tidak of date (Mankiw 2006). Hubungan PMA dengan Pertumbuhan Ekonomi PMA memiliki berbagai dampak terhadap home country maupun host country. Berbagai kalangan memberikan pendapat yang berbeda-beda terhadap PMA di host country. Beberapa kalangan memiliki pendapat yang pro terhadap PMA dikarenakan PMA membantu pertumbuhan ekonomi host country akibat adanya transfer modal dan teknologi yang lebih baik. Pendapat-pendapat yang kontra terhadap PMA juga sering terjadi. Berbagai pihak menentang adanya PMA dikarenakan adanya intervensi asing yang berlebihan dan mematikan pengusaha lokal.
14
Berbagai teori mengenai dampak PMA terhadap pertumbuhan ekonomi host country dipaparkan oleh berbagai kalangan. Todaro (2006) memaparkan pemikiran-pemikiran yang berkembang setelah Perang Dunia Kedua yaitu: 1) model pertumbuhan tahap linear (linear stages of growth models); 2) teori dan pola perubahan struktural (theories and pattern of structural change); 3) revolusi ketergantungan-internasional (the international-devendence revolution; serta 4) kontrarevolusi pasar bebas neoklasik (the neoclassical, free- market counterrevolution). Model pertumbuhan tahap linear didukung oleh beberapa ahli yaitu Walt W. Rostow dan Harrod-Domar. Rostow mencetuskan model pembangunan tahapan pertumbuhan (stages of growth model development). Menurut teori Rostow, perubahan dari keterbelakangan menuju kemajuan ekonomi dapat dijelaskan dalam suatu seri tahapan yang harus dilalui oleh semua negara. Negara-negara maju telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Berbeda dengan negara-negara maju, negara berkembang justru masih berada dalam tahapan masyarakat tradisional. Negara-negara berkembang masih menyusun berbagai aturan pembangunan sehingga dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berkesinambungan. Percepatan pembangunan perekonomian yang dilakukan negara berkembang membutuhkan investasi yang tinggi. Investasi yang dibutuhkan oleh negaranegara berkembang dapat diperoleh dari bagian PDB yang ditabung oleh negara tersebut. Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar menyatakan bahwa semakin banyak bagian PDB yang ditabung dan diinvestasikan, maka akan lebih besar lagi pertumbuhan PDB yang dihasilkan (Todaro 2006). Hambatan utama kemajuan pembangunan menurut teori pertumbuhan tahap linear adalah relatif terbatasnya pembentukan modal-modal baru, apalagi di negara miskin. Suatu negara yang tidak dapat menciptakan tabungan dan invstasi dari pendapatan nasional, maka negara tersebut masih dapat memperoleh investasi melalui bantuan/pinjaman luar negeri maupun PMA. Transfer modal, pengetahuan, dan teknologi melalui PMA mengakibatkan terjadinya industrialisasi pada host country. Host country pada awalnya memusatkan perekonomian di daerah dan kegiatan produksinya masih tradisional. Setelah adanya PMA, kegiatan produksi host country berubah dari pedesaan ke perkotaan. Hal tersebut dikarenaan PMA mendirikan perusahaan-perusahaan diperkotaan yang mendukung untuk kegiatan usahanya. Adanya perubahan struktur perekonomian dari pola perekonomian tradisional menjadi perekonomian yang modern dan berorientasi terhadap kegiatan manufaktur dan jasa dijelaskan berdasarkan teori perubahan struktural (structural-change theory). Aliran pendekatan perubahan struktural didukung oleh W. Arthur Lewis dan Hollis B. Chenery. Model dua sektor Lewis membahas proses pembangunan di negara berkembang yang terdiri dari dua sektor yaitu sektor tradisional dan sektor industri perkotaan modern. Pada sektor tradisional terjadi surplus tenaga kerja. Pada sektor industri perkotaan memiliki produktivitas yang tinggi sehingga menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor modern yang ditentukan oleh tingkat investasi (Todaro 2006). Bantuan dari negara-negara maju berupa penanaman modal baik melalui perusahaan-perusahaan multinasional, lembaga-lembaga bantuan bilateral, dan
15
penyedia bantuan multilateral seperti Bank Dunia dan IMF justru menghambat pertumbuhan ekonomi pada negara berkembang. Bahkan kebijakan-kebijakan pada negara berkembang dapat dipengaruhi oleh negara-negara maju yang menanamkan modalnya di negara tersebut. Hal tersebut mengakibatkan semakin besarnya kesenjangan ekonomi yang terjadi di negara berkembang karena ada kelompok-kelompok tertentu yang turut menikmati hasil, status sosial dan kekuatan politik istimewa yang didukung oleh negara-negara kaya. Todaro (2006) menjelaskan hal tersebut sebagai teori ketergantungan internasional yang menyatakan bahwa negara-negara berkembang tersebut dianggap telah terjebak kedalam perangkap ketergantungan dan dominasi negara-negara maju melalui berbagai faktor seperti faktor kelembagaan, politik, dan ekonomi baik yang berskala domestik maupun internasional. Dominasi home country mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi negara berkembang. Intervensi berlebihan dari home country terhadap host country perlu ditekan sehingga host country dapat berkembang. Pasar yang lebih bebas dan ditanggalkannya berbagai bentuk campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional, yang berupa kepemilikan perusahaan-perusahaan oleh pihak pemerintah, perencanaan statis atas perekonomian nasional, dan regulasi pemerintah terhadap berbagai kegiatan ekonomi perlu dikembangkan pada host country. Pengurangan intervensi pemerintah akibat pengaruh home country tersebut berkembang pada dekade 1980-an sebagai pengaruh politik dari pemerintah konservatif di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Jerman Barat dan dikenal sebagai teori kontrarevolusi neoklasik (Todaro 2006). Buruknya keseluruhan alokasi sumber daya yang selama ini bertumpu pada kebijakankebijakan pengaturan harga yang tidak tepat dan adanya campur tangan pemerintah yang berlebihan mengakibatkan keterbelakangan host country. Efisiensi serta pertumbuhan ekonomi akan terpacu secara lebih optimal melalui pasar bebas yang beroperasi secara penuh, melaksanakan swastanisasi perusahaan pemerintah, mempromosikan perdagangan bebas dan pengembangan ekspor, meningkatkan investasi asing dari negara-negara maju, serta menghapuskan regulasi pemerintah yang berlebihan dan distorasi harga pada pasar input, pasar output, maupun pasar keuangan. Hubungan PDB, Ekspor, Impor dan Kurs dengan PMA PDB PDB merupakan salah satu alat untuk mengukur tingkat pertumbuhan suatu negara. Menurut Mankiw (2006), PDB menyatakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa. Pendapatan total suatu negara akan mempengaruhi peningkatan pendapatan masyarakat yang kemudian akan mengakibatkan meningkatnya konsumsi masyarakat. Tingginya konsumsi masyarakat tersebut dilihat sebagai peluang oleh investor asing untuk menanamkan modalnya di negara tersebut. Investor tentu tidak akan menanamkan modalnya di negara yang daya beli masyarakatnya rendah, karena akan mengurangi keuntungan yang diperolehnya. Berdasarkan uraian tersebut maka tingginya PDB suatu negara akan meningkatkan motivasi investor asing untuk menanamkan modalnya di negara tersebut. Ekspor
16
Perdagangan internasional merupakan salah satu indikator bagi investor asing untuk menanamkan modalnya. Salah satu tujuan investor asing menanamkan investasi asing langsung/ PMA di negara lain adalah untuk menghindari pajak impor. Negara tujuan PMA merupakan negara eksportir yang mengekspor produk-produknya ke negara sumber PMA sehingga biaya yang dikeluarkan lebih kecil dan pelaksanaannya lebih mudah. "Pada umumnya investor akan menggunakan agen-agen domestik atau luar negeri untuk mengekspor. Investor atau perusahaan asing tersebut bahkan mungkin mendirikan perusahaan penjualannya sendiri untuk mengimpor atas namanya sendiri. Banyak negara berkembang yang memiliki suatu bentuk zona pemrosesan ekspor di mana perusahaan-perusahaan, sebagian besar pabrikpabrik luar negeri, menikmati pembebasan atas perpajakan dan peraturan mengenai bahan-bahan yang dibawa ke zona tersebut untuk pemrosesan dan selanjutnya diekspor kembali hampir secara penuh (Ball 2004)." Oleh sebab itu, negara sumber PMA akan mempertimbangkan nilai ekspor negara tujuan yang akan memperoleh PMA. Impor Sebagian besar negara berkembang secara sengaja memilih upaya untuk mengindutrialisasikan diri dengan memusatkan pengerahan segenap sumber dayanya pada produksi komoditi-komoditi manufaktur yang semula diimpornya. Industrialisasi yang dilakukan negara berkembang memiliki tujuan untuk memacu kemajuan teknologi, menciptakan lapangan pekerjaan, menciptakan efek pengganda yang lebih tinggi, mempernbaiki nilai tukar perdagangan, serta mengatasi berbagai kesulitan yang melilit neraca pembayaran akibat tingginya permintaan. Industrialisasi dapat dilakukan berdasarkan orientasi ekspor ataupun orientasi substitusi impor. Orientasi substitusi impor memiliki keunggulan yakni pasar untuk menampung produkproduk yang akan diproduksi telah tersedia di dalam negeri, karena produkproduk tersebut akan menggantikan produk-produk yang semula diimpor. Hal tersebut akan mendukung perusahaan-perusahaan asing untuk melakukan investasi langsung di negara tersebut. Selain itu, perusahaan-perusahaan asing juga terdorong untuk berinvestasi agar terhindar dari tarif yang sengaja akan dipasang oleh pemerintah negara berkembang demi mencegah masuknya produk impor sejenis dari negara lain (Salvatore 1997). Berdasarkan uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa hubungan antara impor dengan tingkat investasi adalah positif. Kurs Merupakan nilai tukar atau harga mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Mankiw (2006) menyatakan bahwa kurs riil tinggi atau melemahnya rupiah akan mengakibatkan tingkat harga meningkat (inflasi). Inflasi akan mengakibatkan daya beli masyarakat menurun sehingga risiko produk tidak laku dipasar domestik. Rendahnya permintaan terhadap barang di negara dengan tingkat kurs yang tinggi akan mengakibatkan menurunya motivasi investor untuk menanamkan modal di negara tersebut. Berdasarkan uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa, hubungan antara kurs dengan tingkat investasi adalah negatif.
17
Kerangka Pemikiran Operasional PMA berperan penting dalam penyediaan modal bagi negara berkembang seperti Indonesia. Tingginya populasi penduduk di Indonesia mengakibatkan dibutuhkannya lapangan pekerjaan yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar seperti sektor agribisnis. Akan tetapi, sektor agribisnis di Indonesia masih memiliki keterbatasan dalam modal. Sehingga penggunaan teknologinya masih rendah dan sistem manajemen tidak dilaksanakan dengan baik. Permodalan dapat diperoleh dari modal dalam negeri dan modal asing. Investasi sektor agribisnis melalui modal dalam negeri atau dalam negeri masih sangat terbatas, oleh sebab itu dibutuhkan sumber investasi yang lebih besar yaitu melalui penanaman modal asing. Modal asing dapat diperoleh melalui pinjaman luar negeri, investasi asing portofolio dan PMA. PMA dianggap lebih baik dibandingkan pinjaman luar negeri dan investasi portofolio dikarenakan PMA tidak hanya mentransfer modal dalam bentuk uang tetapi juga adanya transfer teknologi. Keputusan investasi yang akan dilakukan oleh investor dipengaruhi oleh sistem birokrasi yang melayani investor dengan baik, prosedur yang tidak berbelit-belit, pengurusan izin yang mudah dan kebijakan maupun insentif yang diperoleh investor. Oleh sebab itu pada penelitian ini akan dideskripsikan penerapan maupun kebijakan-kebijakan mengenai penanaman modal asing (PMA) pada sektor agribisnis. Realisasi investasi melalui PMA pada sektor agribisnis yang potensial dan menjadi tujuan investasi setiap tahunnya yaitu pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri makanan, dan industri kayu. Investasi dibutuhkan untuk pembangunan sektor agribisnis dan pertumbuhan ekonomi. PMA pada sektor agribisnis dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja sehingga tingkat pengangguran dapat berkurang. Selain itu, pada penelitian ini juga akan dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA pada sektor agribisnis. Faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh terhadap PMA pada sektor agribisnis di Indonesia adalah faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi yang diduga memiliki pengaruh terhadap penanaman modal asing / PMA pada sektor agribisnis di Indonesia yaitu PDB, nilai ekspor, nilai impor, dan nilai tukar rupiah terhadap US$ (kurs). PMA dapat mengurangi tingkat pengangguran karena tingginya penyerapan tenaga kerja. Selain itu, PMA juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan PDB. Tingginya PDB juga akan mempengaruhi investor untuk melakukan investasi di negara tujuan (host country). Untuk mengetahui arah hubungan antara PMA dan PMDN maka dilakukan analisis Granger terlebih dahulu. Berkurangnya tingkat pengangguran dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh PMA akan menentukan implikasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah.
18
Sektor Agribisnis di Indonesia : - Kontribusi PDB 19,75 persen terhadap PDB nasional - Penyerapan tenaga kerja tinggi - Keterbatasan Modal
Permodalan Modal dalam negeri
Modal luar negeri
Pinjaman luar negeri PDB
Investasi asing portofolio
Impor
PMA
Ekspor Kurs
Tingkat pengangguran
Pertumbuhan Ekonomi
Implikasi kebijakan
Menyatakan hubungan yang melatarbelakangi Menyatakan hubungan yang menjadi bagian Menyatakan hubungan yang mempengaruhi Menyatakan hubungan saling mempengaruhi Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional
19
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA pada sektor agribisnis ini yaitu data sekunder. Data sekunder yaitu data yang pengumpulannya tidak didasarkan pada tujuan penelitian atau kebutuhan penelitian yang akan dilaksanakan. Data yang digunakan merupakan data panel sektor agribisnis dengan pendekatan lima subsektor yaitu subsektor tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri makanan, serta industri kayu periode 2000-2013. Subsektor yang digunakan sebagai objek penelitian dipilih dikarenakan kelima subsektor tersebut merupakan subsektor yang setiap tahun mendapatkan realisasi investasi. Periode waktu penelitian tahun 2000-2013 dipilih setelah Indonesia mengalami krisis. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis pengaruh PDB terhadap PMA dengan menggunakan data time series dari tahun 2000-2013. Jenis dan sumber data yang digunakan pada penelitian ini dapat diketahui pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan sumber data yang digunakan Jenis data Simbol Sumber data data PMA total sektor agribisnis (pendekatan lima PMA Badan Koordinasi subsektor) Penanaman Modal (BKPM) PDB total sektor agribisnis (pendekatan lima PDB Bank Indonesia subsektor) PMA subsektor tanaman pangan dan Y Badan Koordinasi perkebunan, peternakan, perikanan, industri Penanaman Modal makanan, industri kayu, serta industri kertas (BKPM) dan barang dari kertas PDB subsektor tanaman pangan dan X1 Bank Indonesia perkebunan, peternakan, perikanan, industri makanan, industri kayu, serta industri kertas dan barang dari kertas Impor subsektor tanaman pangan dan X2 Comtrade perkebunan, peternakan, perikanan, industri makanan, industri kayu, serta industri kertas dan barang dari kertas Ekspor subsektor tanaman pangan dan X3 Comtrade perkebunan, peternakan, perikanan, industri makanan, industri kayu, serta industri kertas dan barang dari kertas Kurs rupiah/ US $ X4 Bank Indonesia
20
Metode Analisis dan Pengolahan Data Uji Akar Unit (Unit Roots) Suatu proses stochastic dikatakan memiliki sifat stasioner apabila nilai ratarata dan variannya memiliki nilai konstan dan nilai kovarian antara dua periode hanya tergantung pada lag antara dua periode tersebut dan bukan pada kovarian yang dihitung pada periode tersebut (Gujarati 1996). Penelitian ini menggunakan model uji akar unit, dengan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Model uji ADF meninjau melalui proses autoregressive derajat satu (AR(1)). Yt = a + bYt-1 + et Dalam praktiknya, kita tidak dapat langsung mengetahui ordo proses keberapa yang paling cocok dalam memodelkan data time series yang ingin diuji. Oleh karena itu, pada uji ADF dapat digeneralisasikan menjadi proses ordo ke-r (AR(r)), yaitu. Yt = a + bYt-1 + bYt-2+ bYt-3 + .... + bYt-r + et a dan b merupakan parameter dan e merupakan kesalahan pengganggu yang diasumsikan white-noise. Y merupakan variabel yang stasioner apabila -1
Persamaan untuk menguji apakah X yang mempengaruhi Y Unrestricted :
21
Restricted
:
Persamaan untuk menguji apakah Y yang mempengaruhi X Unrestricted :
Restricted
:
Pengujian signifikansi koefisien secara bersama-sama dilakukan dengan menggunakan uji F. Nilai F hitung menggunakan rumus sebagai berikut.
Dimana: RSSR = residual sum of square persamaan restricted RSSUR = residual sum of square persamaan unrestricted n = jumlah observasi m = jumlah lag k = derajat bebas Kriteria pengujian jika nilai F hitung > F tabel(α) , maka tolak H0. Hal tersebut menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan secara statistik. Analisis Data Panel Penelitian sering kali memiliki masalah dalam ketersediaan data untuk mewakili variabel yang digunakan dalam penelitian. Apabila data time series yang tersedia sedikit maka proses pengolahan data time series tidak dapat dilakukan karena persyaratan jumlah data minimum. Penelitian dengan menggunakan data cross section juga memiliki keterbatasan dan akan mengakibatkan kesulitan dalam proses pengolahan data untuk mendapatkan informasi perilaku dari model yang akan diteliti. Dalam mengatasi kedua masalah tersebut, maka untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA sektor agribisnis di Indonesia digunakan data panel agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik. Penggunaan data panel dapat diketahui gambaran tentang perilaku beberapa objek penelitian selama beberapa periode waktu. Penggunaan data panel memberikan keuntungan-keuntungan dibandingkan dengan penggunaan data time series maupun cross section. Keuntungankeuntungan penggunaan data panel antara lain (Juanda dan Junaidi 2010): 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.
22
2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degrees of freedom, dan lebih efisien. 3. Dapat dipelajari suatu bentuk peubah yang dinamis. 4. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh daripada hanya menggunakan data time series saja ataupun cross section saja. 5. Dapat digunakan untuk mempelajari model perilaku (behavioral model) yang lebih kompleks. 6. Dapat mengurangi bias yang mungkin terjadi jika mengagregasi individuindividu, perusahaan-perusahaan, dan negara-negara ke dalam agregasi yang lebih luas. Banyaknya unit waktu yang digunakan pada setiap individu mencirikan apakah data panel tersebut seimbang atau tidak. Jika tiap-tiap unit individu diobservasi dalam waktu yang sama, data panel dikatakan seimbang (balanced panel data). Jika tidak semua individu diobservasi pada waktu yang sama atau bisa juga disebabkan adanya data yang hilang dalam suatu unit individu, data panel dikatakan tidak seimbang (unbalanced panel data) (Juanda dan Junaidi 2010). Dalam analisis model data panel terdapat tiga pendekatan, yaitu pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap (fixed effect), dan pendekatan efek acak (random effect). Pendekatan pooled least square (PLS) secara sederhana menggabungkan (pooled) seluruh data time series dan cross section. Pendekatan fixed effect model (FEM) mencerminkan perbedaan pada intersep untuk time series atau cross sectional. Sedangkan pendekatan random effect model (REM) memperbaiki efisiensi proses least square dengan memperhitungkan error dari time series atau cross section. Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square) Pooled least square (PLS) merupakan metode estimasi model regresi data panel yang paling sederhana dengan asumsi intercept dan koefisien slope yang konstan antar waktu dan cross section (common effect). Persamaan pada estimasi menggunakan PLS secara umum yaitu. Yit = α + ∑ βiXit + uit Dimana: ∑5i=1 = unit individu (cross section) ∑13t=1 = unit waktu (time series) Yit = peubah tak bebas untuk unit individu ke-i dan unit waktu ke-t. Xit = peubah bebas untuk unit individu ke-i dan unit waktu ke-t. β = koefisien slope dengan dimensi K X 1, dimana K adalah banyak peubah bebas. α = koefisien intersep yang merupakan skalar. uit = komponen sisaan satu arah untuk gangguan (disturbance) Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model) Analisis FEM digunakan untuk mengetahui perbedaan karakteristik antar objek observasi dengan membedakan intersep masing-masing objek observasi. Dalam membedakan intersep dapat digunakan peubah dummy. Pendekatan dengan
23
memasukkan variabel dummy dikenal dengan sebutan model efek tetap (fixed effect). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA sektor agribisnis di Indonesia menggunakan observasi cross section terhadap enam subsektor. Pendekatan tersebut dapat ditulis dalam persamaan sebagai berikut: Yit = α1+ α2D2i + α3D3i + α4D4i + α5D5i + β1X1it + β2X2it + β3X3it + β4X4it + uit Dimana D2i =1 jika subsektor tanaman pangan dan perkebunan, 0 untuk yang lainnya; D3i=1 Jika subsektor peternakan, dan 0 untuk yang lainnya; D4i =1 jika subsektor perikanan, 0 untuk yang lainnya; D5i =1 Jika subsektor industri makanan, dan 0 untuk yang lainnya;, dan 0 untuk yang lainnya. Dummy hanya ada 4 karena jumlah negara yang menjadi objek observasi ada 5. Hal ini ditujukan agar menghindari dummy-variable trap. Tidak ada dummy untuk subsektor tanaman pangan dan perkebunan, karena α1 merupakan intersep untuk subsektor tanaman pangan dan perkebunan. α2, α3, α4, α5 adalah differential intercept coefficients yang menyatakan perbedaan koefisien subsektor peternakan, perikanan, industri makanan, dan industri kayu terhadap subsektor tanaman pangan danperkebunan. Keputusan memasukkan variabel diatas harus didasarkan pada pertimbangan statistik. Tidak dapat dihindari dengan melakukan penambahan variabel dummy akan mengurangi degree of freedom yang pada akhirnya akan memengaruhi efesien dari parameter yang diestimasi. Pertimbangan pemilihan pendekatan yang digunakan ini menggunakan statistik F yang berusaha membandingkan antara nilai jumlah kuadrat dari error dari proses pendugaan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dan efek tetap yang telah memasukkan variabel (Marpaung, 2013). Pendekatan Efek Acak (Random Effect Model) Penambahan variabel Dummy seperti pada FEM akan mengurangi banyak derajat kebebasan (degree of freedom) yang akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Pada model data panel dengan pendekatan REM, parameter-parameter yang berbeda antar negara dan antar waktu dimasukkan ke dalam error. Koefisien intersep pada REM tidak dianggap konstan seperti pada metode FEM, namun dianggap sebagai peubah acak dengan suatu nilai rata-rata dari koefisien slope. Persamaan REM untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA subsektor agribisnis di Indonesia yaitu. Yit = β0i + β1X1it + β2X2it + β3X3it + β4X4it + ɛ ɛ it = ui + vt + wit
it
dimana : ui ~ (0, 2) u N δ = komponen cross section error vt ~ (0, 2) v N δ = komponen time series error wit ~ (0, 2) w N δ = komponen error kombinasi Pemilihan Model Data Panel Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan
24
yang efisien. Diagram pengujian statistik untuk memilih model yang digunakan dapat diperlihatkan pada Gambar 6. FEM Hausman
Chow Test
REM
Test LM Test
PLS
Gambar 5 Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel Chow test merupakan pengujian yang digunakan untuk memilih model yang lebih baik antara model PLS dan FEM. Pengujian tersebut dilakukan dengan melihat signifikansi model dengan menggunakan uji statistik F. Dalam pengujian digunakan hipotesis sebagai berikut. H0 = Pooled Least Square Model H1 = Fixed Effect Model Uji statistik F yang digunakan dalam chow test yaitu.
Dimana: RSS1 = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual PLS) RSS2 = Unrestricted Residual Sum Square ( Sum Square Residual Fixed) n = Jumlah data Cross Section T = Jumlah data Time Series K = Jumlah variabel independen Pengujian distribusi F yaitu Fα (n-1, nT-n-K). jika nilai Chow Statistic (FStatistic) hasil pengujian lebih besar dari F Tabel pada tingkat signifikansi tertentu, maka H0 akan ditolak. Hal tersebut menunjukkan asumsi koefisien intersep dan slope adalah sama tidak berlaku, sehingga model FEM lebih baik dari model regresi data panel dengan PLS, begitu sebaliknya. Hausman test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam memilih apakah menggunakan model FEM atau model REM. Seperti yang diketahui bahwa penggunaan model FEM mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya derajat kebebasan dengan memasukkan variabel dummy. Namun, penggunaan metode FEM pun harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Hausman Test dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H0: Random Effects Model H1: Fixed Effects Model Nilai statistik Hausman akan mengikuti distribusi chi-square dengan mengikuti kriteria wald. Persamaan Hausman tersebut sebagai berikut. W = χ2[K] = [β, βGLS] Σ– 1 [ β – βGLS ]
25
Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas (p). Hipotesis nol ditolak jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square. Hal ini berarti bahwa model yang tepat untuk regresi data panel adalah model FEM. Lagrange Multiplier Test (LM Test) digunakan untuk mengetahui apakah model REM lebih baik dibandingkan model PLS. Pengujian ini didasarkan pada nilai residual dari model PLS. Hipotesis yang digunakan pada LM test yaitu. H0: Pooled Least Square H1: Random Effects Model Nilai statistik LM dihitung berdasarkan persamaan berikut.
Dimana: n = jumlah data cross section T = jumlah data time series Eit = residual metode PLS Uji LM didasarkan pada distribusi chi-square dengan derajat bebas sebesar 1. Jika hasil statistik LM lebih besar dari nilai kritis statistik chi-square, maka H0 akan ditolak, yang berarti estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah metode REM. Evaluasi Model Model estimasi regresi linear yang ideal dan optimal harus menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria Best Linear Unbiased Estimator (BLUE), antara lain sebagai berikut: 1. Estimator linear artinya estimator merupakan sebuah fungsi linear atas sebuah variabel dependen yang stokastik. 2. Estimator tidak bias artinya nilai ekspektasi sesuai dengan nilai yang sebenarnya. 3. Estimator harus memiliki varians yang minimum. Estimator yang tidak bias dan memiliki varians yang minimum disebut dengan estimator yang efisien. Terdapat beberapa permasalahan yang dapat menyebabkan sebuah estimator dikatakan tidak memenuhi kriteria BLUE jika melanggar beberapa asumsi ada tidaknya normalitas, multikoliniearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Normalitas Uji asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term mengikuti distribusi normal atau tidak. Jika asumsi normalitas ini tidak dipenuhi maka prosedur pengujian dengan menggunakan uji t-statistic menjadi tidak sah. Pengujian asumsi normalitas dilakukan dengan Jarque Bera Test atau dengan melihat plot dari sisaan. Hipotesis dalam pengujian normalitas adalah: H0 : Residual berdistribusi normal
26
H1 : Residual tidak berdistribusi normal Dasar penolakan H0 dilakukan dengan membandingkan nilai Jarque Bera dengan taraf nyata α sebesar 0.05, dimana jika nilai Jarque Bera Test lebih besar dari taraf nyata α 0.05 menandakan H0 tidak ditolak dan residual berdistribusi normal. Multikoliniearitas Multikolinieritas yaitu adanya hubungan linier antara variabel independen dalam suatu regresi. Dalam pengujiannya sering dihadapkan dengan masalah peubah-peubah bebas yang tingkat multikoliniearitasnya tidak sempurna tetapi tinggi. Jika dihadapkan dengan adanya peubah-peubah bebas yang seperti ini, maka dugaan parameter koefisien regresi masih mungkin diperoleh, tetapi interpretasinya akan menjadi sulit. Gujarati (2003) menyatakan indikasi terjadinya multikoliniearitas dapat terlihat melalui: 1. Nilai R2 yang tinggi tetapi sedikit rasio yang signifikan. 2. Korelasi berpasangan yang tinggi antara variabel-variabel independennya. 3. Melakukan regresi tambahan dengan memberlakukan variabel independen sebagai salah satu variabel dependen dan variabel independen lainnya tetap diberlakukan sebagai variabel independen. Salah satu cara yang paling mudah untuk mengatasi masalah multikoliniearitas adalah dengan menghilangkan salah satu variabel yang tidak signifikan. Hal ini sering tidak dilakukan karena dapat menyebabkan bias parameter spesifikasi pada model. Kemudian cara lain adalah dengan mencari variabel instrumental yang berkorelasi dengan variabel terikat tetapi tidak berkorelasi dengan variabel bebas lainnya. Hal ini agak sulit dilakukan mengingat tidak adanya informasi tentang tipe variabel tersebut. Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikoliniearitas, salah satunya yaitu melalui correlation matric, dimana batas terjadinya korelasi antar sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari | 0.80 |. Selain correlation matric dapat juga dengan Uji Khen, apabila terdapat nilai korelasi yang lebih tinggi dari |0.80|, maka menurut Uji Khen multikoliniearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi Adjusted R-squared. Heteroskedastisitas Salah satu asumsi dasar dari metode regresi linier adalah varians tiap unsur error adalah suatu angka konstan yang sama dengan δ2. Heteroskedastisitas terjadi ketika varians tiap unsur error tidak konstan. Gujarati (2003) menyatakan heteroskedastisitas memiliki beberapa konsekuensi, diantaranya: 1. Dugaan parameter koefisien regresi tetap tidak bias dan masih konsisten, tetapi standar error nya dapat bias ke bawah. 2. Perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena varians tidak minimum sehingga dapat menghasilkan estimasi regresi yang tidak efisien. 3. Uji hipotesis yang didasarkan pada uji F-statistic dan t-statistic tidak dipercaya. Cara mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas dalam metode data panel dapat dilakukan dengan menggunakan grafik standardized residual, apabila secara grafis menunjukkan bahwa ragam sisaan menyebar normal maka dapat dinyatakan tidak terjadi pelanggaran asumsi heterokedastisitas. Sedangkan untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas ada
27
beberapa tehnik, diantaranya dengan metode Generalized Least Square (GLS) dan transformasi dengan logaritma. Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antar anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time series atau diurutkan menurut ruang seperti dalam data cross section. Suatu model dikatakan memiliki autokorelasi jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Masalah autokorelasi dapat menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Untuk mendeteksi masalah autokorelasi yang paling umum dapat dilakukan dengan melihat nilai Durbin-Watson statistic pada model dibandingkan dengan nilai DW-Tabel. Sebuah model dapat dikatakan terbebas dari autokorelasi jika nilai Durbin-Watson statistic terletak di area nonautokorelasi. Penentuan area tersebut dibantu dengan nilai tabel DL dan DU. Jumlah observasi (N) dan jumlah variabel independen (K). Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai berikut: Ho : Tidak terdapat autokorelasi H1 : Terdapat autokorelasi Tabel 3 Uji d Durbin-Watson: Aturan Keputusan Hipotesis nol Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada autokorelasi negatif
Keputusan Tolak H0 Tak ada keputusan Tolak H0 Tidak ada keputusan Tidak ada autokorelasi positif atau Terima H0 negatif
Jika 0 < d < dL 0 ≤ d ≤ dU 4- dL < d < 4 4- dU < d < 4- dL dU < d < 4- dU
Kriteria Statistik Evaluasi model berdasarkan kriteria statistik dilakukan dengan beberapa pengujian antara lain sebagai berikut: Koefisien determinan (R2) digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat variabel independen yang digunakan dalam penelitian dapat menjelaskan variabel dependen. Nilai R2 menunjukan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data sesungguhnya. Nilai R2 terletak antar nol hingga satu dimana semakin mendekati satu maka model akan semakin baik. Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian secara bersama-sama signifikan memengaruhi variabel dependen. Nilai F-statistic yang besar lebih baik dibandingkan dengan F-statistic yang rendah. Nilai Prob(F-statistic) merupakan tingkat signifikansi marginal dari F-statistic. Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai berikut: H0 : β1=β2=β3=0 H1 : Minimal ada salah satu β1 atau β2 atau β3 yang tidak sama dengan nol Keputusan penolakan H0 jika F-statistic > Fα (k-1,NT-N-K) atau Prob (Fstatistic) < α. Jika H0 ditolak, maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α dapat
28
disimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan di dalam model secara bersama-sama signifikan memengaruhi variabel dependen. Hipotesis Variabel Penjelas Analisis kausalitas Granger digunakan untuk mengetahui pengaruh PDB terhadap PMA sektor agribisnis di Indonesia dilakukan dengan hipotesis awal PDB sektor agribisnis berpengaruh positif terhadap PMA sektor agribisnis. Artinya semakin tinggi nilai PDB sektor agribisnis akan mengakibatkan nilai realisasi PMA sektor agribisnis semakin tinggi. Diduga terdapat hubungan timbal balik antara PDB dan PMA sehingga PMA juga akan mempengaruhi PDB secara positif. Artinya semakin tinggi nilai realisasi PMA sektor agribisnis maka PDB sektor agribisnis juga akan semakin tinggi. Analisis regresi panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi PMA pada sektor agribisnis yang dibatasi pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri makanan, industri kayu, serta industri kertas dan barang dari kertas. Variabel-variabel yang digunakan pada analisis ini berasal dari penelitian terdahulu dan teori-teori ekonomi pembangunan. Variabel tersebut adalah PDB, nilai ekspor, jumlah tenaga kerja, kurs Rp terhadap US$, dan upah tenaga kerja. Pada analisis tersebut juga digunakan variabel dummy yaitu penerapan kebijakan UU No 25 Tahun 2007. a) PDB PDB diduga berpengaruh positif terhadap realisasi PMA pada sektor agribisnis di Indonesia. Artinya, semakin tinggi nilai PDB sektor agribisnis maka nilai realisasi PMA akan semakin tinggi. Hal tersebut dikarenakan investor asing melihat pertumbuhan sektor agribisnis ataupun value added sektor agribisnis yang digambarkan melalui PDB. Semakin tinggi nilai PDB sektor agribisnis maka akan menunjukkan gambaran pasar yang semakin mendukung bagi PMA. b) Nilai Ekspor Nilai ekspor diduga berpengaruh positif terhadap realisasi PMA pada sektor agribisnis di Indonesia. Artinya, semakin tinggi nilai ekspor produk agribisnis maka nilai realisasi PMA akan semakin tinggi. Investor asing melihat tingginya nilai ekspor sektor agribisnis di Indonesia sebagai keterbukaan perdagangan Indonesia di pasar Internasional. Keterbukaan perdagangan internasional tersebut akan mempermudah investor asing untuk mengekspor produk sektor agribisnis yang diproduksi di Indonesia. Realisasi PMA sektor agribisnis yang berorientasi ekspor diakibatkan adanya permintaan produk sektor agribisnis di pasar Internasional. c) Nilai Impor Nilai impor diduga berpengaruh positif terhadap realisasi PMA pada sektor agribisnis di Indonesia. Artinya, semakin tinggi nilai impor produk agribisnis maka nilai realisasi PMA akan semakin tinggi. Hal tersebut dikarenakan investor asing melihat nilai impor sektor agribisnis di Indonesia sebagai peluang untuk melakukan substitusi impor. Orientasi substitusi impor tersebut dilakukan akibat tingginya permintaan pasar domestik. PMA pada sektor agribisnis di Indonesia dengan orientasi substitusi impor memiliki keuntungan terhindar dari pengenaan pajak impor bagi produk sejenis. d) Kurs Rp terhadap US $
29
Kurs Rp terhadap US $ diduga berpengaruh negatif terhadap realisasi PMA pada sektor agribisnis di Indonesia. Artinya, semakin tinggi nilai kurs Rp terhadap US$ maka nilai realisasi PMA akan semakin rendah. Tingkat kurs menunjukan keamanan untuk berinvestasi pada sektor agribisnis di Indonesia. Ketika rupiah terdepresiasi maka harga produk agribisnis domestik seolah-olah lebih murah dibanding harga di pasar internasional. Hal tersebut mengakibatkan PMA yang memiliki orientasi pasar domestik akan mengalami kerugian. Kerugian tersebut diakibatkan produk yang dihasilkan dijual dalam rupiah sehingga ketika dikonfersi kedalam US$ nilainya akan lebih rendah. Depresiasi rupiah juga akan mengakibatkan inflasi yang akan mengakibatkan turunnya permintaan terhadap produk agribisnis. Definisi Operasional Pada analisis pengaruh PDB terhadap PMA pada sektor agribisnis di Indonesia digunakan definisi operasional, diantaranya. 1. PMA merupakan investasi yang dilakukan oleh pihak asing ke suatu negara tertentu selain investasi melalui saham. PMA yang dimaksud dalam penelitian ini adalah PMA pada sektor agribisnis yang disetujui oleh pemerintah menurut subsektor pada KBLI empat digit yang jumlahya dalam US$. 2. Sektor agribisnis yang dimaksud dalam peelitian ini yaitu subsektor yang termasuk dalam sektor agribisnis yang memperoleh realisasi PMA setiap tahun yang disesuaikan dengan KBLI empat digit. Sektor agribisnis tersebut diantaranya subsektor tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri pengolahan makanan, industri kayu industri kertas dan barang dari kertas. 3. PDB yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai tambah semua barang dan jasa pada sektor agribisnis. Variabel PDB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB dalam satuan milyar rupiah. 4. Nilai ekspor yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai ekspor output yang dihasilkan darisektor agribisnis. Variabel nilai ekspor yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai ekspor dalam US$. 5. Nilai impor yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai ekspor output yang dihasilkan darisektor agribisnis. Variabel nilai ekspor yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai ekspor dalam US$. 6. Kurs yang dimaksud pada penelitian ini adalah nilai tukar rupiah terhadap satu dolar Amerika.
PEMBAHASAN Kebijakan PMA Di Indonesia Undang-undang no 25 tahun 2007 berlaku untuk perusahaan PMA maupun PMDN. Berdasarkan undang-undang tersebut, perusahaan PMA harus lebih memprioritaskan tenaga kerja Indonesia dibanding tenaga kerja asing. Perusahaan PMA dapat mempekerjakan staff ahli berkewarganegaraan asing untuk posisi dan area tertentu sesuai dengan aturan yang tercantum dalam undang-undang. Tenaga
30
kerja asing yang bekerja di Indonesia wajib memberikan pelatihan terhadap tenaga kerja Indonesia yang bekerja di perusahaan PMA serta mentransfer teknologi yang lebih modern2. Perusahaan PMA yang mememenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam undang-undang no 25 tahun 2007 pasal 18 (3) memiliki hak untuk memperoleh insentif. Insentif yang diberikan terhadap perusahaan PMA tersebut yaitu.3 a. pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu; b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu; d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. Pemerintah Indonesia memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan keimigrasian terhadap penanam modal asing. Penanam modal asing akan diberikan fasilitas yaitu.4 a. pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun; b. pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2 (dua) tahun berturut-turut; c. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; d. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; dan e. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan. Usaha yang dilakukan pemerintah untuk menarik investor asing di Indonesia dilakukan juga dengan perubahan daftar usaha yang tertutup dan daftar usaha 2
UU no 25 tahun 2007 Pasal 10
3
UU no 25 tahun 2007 pasal 18 (4)
4
UU no 25 tahun 2007 pasal 23 (3)
31
yang terbuka bagi investasi melalui peraturan pemerintah no 36/2010. Usaha pada sektor agribisnis yang tertutup bagi PMA maupun PMDN yaitu budidaya ganja, penangkapan species ikan yang tercantum dalam Appendix/ convention on international endangered species of wild fauna and flora (CITES). Pemerintah juga menetapkan bidang usaha yang terbuka untuk PMA dan PMDN dengan persyaratan tertentu. Usaha perbenihan/pembibitan tanaman pangan dan perkebunan yang memiliki luas lahan kurang dari 25 Ha dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi berdasarkan rekomendasi pemerintah. Sementara subsektor tanaman pangan dan perkebunan yang memiliki luas lahan lebih dari 25 Ha dapat menerima PMA dengan syarat maksimal penyertaan modal asing sebesar 49%. Industri kayu terbuka untuk PMA dengan persyaratan adanya rekomendasi dari menteri Kehutanan dan kebijakan yang mengacu pada PP no 6/2007 dan atau amandemennya mengenai ketersediaan supply bahan baku kayu. Subsektor perikanan terbuka untuk PMA dengan syarat usaha yang dilakukan bersifat kemitraan dan mengacu pada kebijakan menteri kelautan dan perikanan. Industri makanan terbuka untuk PMA dengan persyaratan kegiata usaha dilakukan secara kemitraan. PMA Sektor Agribisnis di Indonesia Perkembangan realisasi PMA sektor agribisnis dengan menggunakan lima pendekatan subsektor dengan menggunakan data tahun 2000 hingga 2013 dapat dilihat pada Gambar 6. Subsektor industri makanan mendominasi realisasi PMA sektor agribisnis setiap tahunnya. Realisasi PMA industri makanan tahun 2000 hingga 2013 mengalami fluktuasi dan memiliki kecenderungan naik. Perkembangan realisasi PMA subsektor tanaman pangan berbanding lurus dengan perkembangan realisasi jumlah proyek PMA pada subsektor industri makanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan realisasi PMA yang terjadi pada subsektor industri makanan terjadi dikarenakan adanya pembukaan proyek-proyek PMA baru di Indonesia. Negara sumber PMA tertinggi pada subsektor industri makanan di Indonesia tahun 2013 adalah Gabungan Negara dengan nilai realisasi investasi sebesar US$ 951,03 juta. Realisasi proyek PMA subsektor industri makanan Gabungan Negara di Indonesia adalah sebanyak 221 proyek dari jumlah total 612 proyek yang terealisasi. Subsektor tanaman pangan dan perkebunan memperoleh realisasi PMA ratarata terbesar nomor dua pada sektor agribisnis setelah subsektor industri makanan. Perkembangan realisasi PMA subsektor tanaman pangan dan perkebunan tahun 2000 hingga 2013 mengalami fluktuasi dan cenderung naik. Menurut Litbang Departemen Pertanian (2009), investasi pada subsektor tanaman perkebunan didominasi oleh perkebunan tanaman buah-buahan penghasil minyak (Oleaginous), yaitu pembuakaan perkebunan kelapa sawit. Negara sumber PMA terbesar pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan adalah Singapura dengan nilai investasi US$ 659 juta pada tahun 2013. Realisasi proyek PMA subsektor tanaman pangan dan perkebunan Singapura di Indonesia adalah sebanyak 110 proyek dari jumlah total 356 proyek yang terealisasi. Realisasi PMA tanaman pangan dan perkebunan tahun 2000 hingga 2004 mengalami fluktuasi dengan tingkat pertumbuhan . Pada tahun 2000 hingga 2004
32
terjadi perselihsihan antar elit politik yang mengakibatkan ketidakpercayaan investor asing atas keamanan berinvestasi di Indonesia hingga dilaksanakannya. Krisis politik Indonesia mulai stabil setelah dilaksanakannya pemilihan umum 2004. Akan tetapi realisasi PMA masih terus turun hingga tahun 2005. Hal tersebut dikarenakan investor asing masih menunggu kemanan politik di Indonesia. Pada tahun 2006, realisasi PMA meningkat. Akan tetapi, peningkatan PMA tersebut tidak berlangsung lama. Penurunan PMA terjadi kembali pada tahun 2007 sebagai dampak adanya krisis ekonomi di negara-negara maju sebagai negara sumber investasi. Pada tahun 2013, realisasi PMA subsektor agribisnis mengalami penurunan sebagai akibat dari peralihan tren investasi ke industri manufaktur dan adanya moratorium lahan pada tahun 2011. Perkembangan realisasi PMA subsektor peternakan mengalamai fluktuasi dari tahun 2000 hingga 2013. Pada tahun 2010, realisasi PMA subsektor peternakan mengalami pertumbuhan positif hingga 887 persen dari tahun 2009. Akan tetapi, tahun 2011 hingga 2013 realisasi investasi PMA terus menurun hingga rata-rata pertumbuhan -21,58 persen. Hal tersebut diakibatkan oleh terjadinya pergeseran investasi ke industri manufaktur yang dianggap lebih stabil. Negara sumber PMA tertinggi pada subsektor peternakan di Indonesia tahun 2013 adalah negara Mauritius dengan nilai realisasi investasi sebesar US$ 7 juta. Realisasi proyek PMA subsektor peternakan Mauritius di Indonesia adalah sebanyak 4 proyek dari total 16 proyek yang terealisasi.
Gambar 6 Realisasi PMA sektor agribisnis (pendekatan lima subsektor) Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2014
Perkembangan realisasi PMA subsektor perikanan dari tahun 2000 hingga 2013 mengalami fluktuasi dengan pertumbuhan rata-rata 88 persen. Tingkat pertumbuhan yan tinggi tersebut dikarenakan adanya peningkatan ataupun penurunan realisasi PMA yang tinggi dari tahun sebelumnya. Penurunan realisasi investasi hingga 90 persen terjadi pada tahun 2002 dan 2008 dari tahun sebelumnya. Dikarenakan pada tahun 2002 terjadi penyebaran penyakit ikan yang mengakibatkan kerugian besar bagi subsektor perikanan di Indonesia. Penurunan investasi tersebut tidak hanya dalam jumlah investasinya saja melainkan juga jumlah realisasi proyek yang dijalankan. Pada tahun 2001, realisasi proyek PMA subsektor perikanan sebanyak tujuh proyek dan menurun menjadi satu proyek pada 2002 (Gambar 8). Sedangkan pada tahun 2008, penurunan PMA subsektor perikanan sebagai dampak dari krisis
33
ekonomi di AS. Pertumbuhan realisasi PMA subsektor perikanan pada tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 65,49 persen dari tahun 2012 dikarenakan adanya pergeseran tren investasi ke sektor manufaktur. Negara sumber PMA tertinggi pada subsektor perikanan di Indonesia tahun 2013 adalah negara Thailand dengan nilai realisasi investasi sebesar US$ 4,24 juta. Realisasi proyek PMA subsektor perikanan Thailand di Indonesia adalah sebanyak 2 proyek dari jumlah total 53 proyek yang terealisasi. Perkembangan realisasi PMA subsektor industri kayu tahun 2000 hingga 2013 mengalami fluktuasi dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 174,47 persen. Negara sumber PMA tertinggi pada subsektor peternakan di Indonesia tahun 2013 adalah Gabungan Negara dengan nilai realisasi investasi sebesar US$ 18,09 milyar. Realisasi proyek PMA subsektor industri makanan Gabungan Negara di Indonesia adalah sebanyak 14 proyek dari total 53 proyek yang terealisasi.
Gambar 7
Perkembangan Realisasi proyek PMA sektor agribisnis Indonesia (pendekatan lima subsektor) Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2014
Perkembangan PDB Sektor Agribisnis Indonesia Perkembangan PDB sektor agribisnis berdasarkan pendekatan lima subsektor diantaranya tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri makanan, dan industri kayu dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan grafik perkembangan PDB sektor agribisnis tersebut dapat diketahui bahwa subsektor tanaman pangan dan perkebunan menghasilkan PDB tertinggi setiap tahunnya diikuti oleh subsektor industri makanan , perikanan, peternakan kemudian industri kayu. Perkembangan PDB subsektor tanaman pangan dan perkebunan tahun 2000 hingga 2013 menunjukkan tren positif dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 3,16 persen. Pada tahun 2013, kontribusi subsektor tanaman pangan dan perkebunan terhadap PDB nasional yaitu sebesar 7,82 persen. Laju pertumbuhan PDB subsektor tanaman pangan dan perkebunan disebabkan oleh program-program pembangunan pertanian oleh pemerintah yang semakin terfokus kepada subsektor tanaman pangan terutama beras. Hal tersebut bertujuan untuk mencapai
34
swasembada dalam rangka penguatan ketahanan pangan nasional. Selain itu, subsektor perkebunan juga memberikan kontribusi terhadap PDB yang tinggi. Tingginya kontribusi PDB tersebut sebagai akibat dari perluasan areal dan produksi komoditas perkebunan sejalan dengan meningkatnya harga dan permintaan komoditas perkebunan dunia. Perkembangan PDB subsektor peternakan tahun 2000 hingga 2013 menunjukkan tren positif dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 4,37 persen. Meskipun demikian kontribusi PDB subsektor peternakan terhadap PDB nasional maupun PDB sektor agribisnis masih sangat rendah. Kontribusi subsektor peternakan terhadap PDB nasional tahun 2013 sebesar 1,59 persen. Rendahnya kontribusi PDB tersebut dikarenakan harga input dan output peternakan yang tidak stabil sehingga peternak tidak terpacu untuk meningkatkan usahanya. Tingginya nilai impor peternakan dibandingkan nilai ekspor peternakan juga mengakibatkan nilai net impor yang tinggi sehingga mengurangi nilai PDB. Perkembangan PDB subsektor perikanan tahun 2000 hingga 2013 menunjukkan tren positif dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 5,59 persen. Pada tahun 2013, kontribusi subsektor perikanan terhadap PDB nasional yaitu sebesar 2,23 persen. Nilai kontribusi PDB subsektor perikanan tersebut meningkat 0,03 persen dari tahun 2012. Rendahnya kontribusi subsektor perikanan Indonesia terhadap perekonomian nasional dikarenakan masih kurangnya kebijakan pemerintah yang mendukung usaha perikanan. Perkembangan PDB subsektor industri makanan tahun 2000 hingga 2013 menunjukkan tren positif dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 4,36 persen. Pada, kontribusi subsektor industri makanan terhadap PDB nasional yaitu sebesar 7,00 persen. Perkembangan PDB subsektor industri kayu tahun 2000 hingga 2013 menunjukkan fluktuasi dan cenderung menurun dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar -0,08 persen. Pada tahun 2013, kontribusi subsektor industri kayu terhadap PDB nasional yaitu sebesar 0,72 persen.
Gambar 8
Perkembangan PDB sektor agribisnis Indonesia (pendekatan lima subsektor) Sumber : Bank Indonesia 2014 Perkembangan Ekspor Sektor Agribisnis Indonesia
35
Perkembangan ekspor sektor agribisnis tahun 2000 hingga 2013 dengan pendekatan lima subsektor diantaranya tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri makanan, serta industri kayu dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui bahwa sejak tahun 2008 hingga 2013 nilai ekspor tertinggi pada sektor agribisnis adalah nilai ekspor subsektor industri makanan. Perkembangan ekspor subsektor industri makanan tahun 2000 hingga 2013 memiliki kecenderungan naik dengan rata-rata pertumbuhan 15 persen. Pada tahun 2013 nilai ekspor industri makanan mencapai 4,77 milyar US$. Subsektor tanaman pangan dan perkebunan memiliki nilai ekspor yang cenderung naik dari tahun 2000 hingga 2013 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 10 persen. Nilai ekspor subsektor tanaman pangan dan perkebunan pada tahun 2013 mencapai 2,05 milyar US$. Pada tahun 2001, 2009, dan 2013 nilai ekspor subsektor tanaman pangan mengalami penurunan dengan tingkat pertumbuhan sebesar -36 persen, -16 persen, dan -6 persen. Penurunan nilai ekspor subsektor tanaman pangan dan perkebunan tersebut diakibatkan hasil produksi subsektor tanaman pangan dan perkebunan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan domestik akibat adanya penurunan nilai impor subsektor tanaman pangan dan perkebunan. Subsektor peternakan memiliki rata-rata ekspor terkecil dibandingkan subsektor agribisnis lainnya. Tingkat pertumbuhan rata-rata nilai ekspor subsektor peternakan adalah sebesar 3 persen. Nilai ekspor peternakan pada tahun 2002, 2006, 2009, dan 2012 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya dengan tingkat pertumbuhan masing-masing sebesar -28 persen, -6 persen, -24 persen dan -10 persen. Penurunan nilai ekspor peternakan tersebut diakibatkan hasil produksi subsektor peternakan masih ditujukan untuk pasar domestik yang tidak terpenuhi akibat penurunan nilai impor. Produksi hasil peternakan saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik. Untuk memenuhi permintaan pasar domestik, pemerintah masih melakukan impor sehingga nilai impor subsektor peternakan jauh lebih tinggi dibandingkan nilai ekspornya. Nilai ekspor subsektor perikanan tahun 2000 hingga 2013 cenderung meningkat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 6 persen. Tahun 2013, nilai ekspor perikanan Indonesia mencapai 2,86 milyar US$. Ekspor perikanan tersebut berasal baik dari perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, yang meliputi udang, kepiting, teri, rumput laut, ubur-ubur, kerupuk udang, tuna, kodok, koral dan kulit kerang, ikan hias, lemak minyak ikan, mutiara, siput, dan lain-lain. Pada tahun 2001 dan 2002, dan 2009 ekspor subsektor perikanan terus mengalami penurunan sebesar -3 persen, -3 persen dan -13 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan terjadi penyebaran penyakit ikan yang terbawa masuk ke Indonesia. Beberapa jenis penyakit berbahaya terbawa masuk ke Indonesia seperti Ichthyophtirius multifiliis, Lernaea cyprinacea, White Spot Syndrome Virus (WSSV), Viral Nervous Necrosis Virus (VNNV), Koi Herpes Virus (KHV), dan Taura Syndrome Virus (TSV), yang biasa disebut sebagai penyakit ikan eksotik. Virus ikan Koi yang lebih dikenal dengan Koi Herpes Virus berdampak besar bagi usaha budidaya ikan mas dan koi di beberapa wilayah Indonesia. KHV menimbulkan kematian massal sampai 95% populasi dan kerugian ekonomi yang cukup besar. Di Jawa Barat penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi sekitar
36
Rp. 100 milyar. Diperkirakan sampai dengan tahun 2006 kerugian total berdasarkan kasus yang diketahui, mencapai Rp 250 milyar. Penyakit KHV ini diketahui juga telah menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan di Israel pada tahun 2002 – 2003 yang mencapai US$ 4 juta per tahun. (Kementrian Kelautan dan Perikanan 2013) Nilai ekspor industri kayu mengalami fluktuasi dari tahun 2000 hingga 2013 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 1 persen. Nilai ekspor industri kayu mencapai 3,64 milyar US$ pada tahun 2013. Nilai ekspor industri kayu Indonesia pada tahum 2007 hingga 2009 terus mengalami penurunan dengan tingkat pertumbuhaan rata-rata sebesar -11 persen. Hal tersebut dikarenakan terjadinya krisis di Amerika sebagai salah satu negara importir terbesar industri kayu Indonesia. Krisis di Amerika tersebut terjadi akibat kredit macet untuk kredit perumahan. Adanya masalah pada bisnis properti yang membutuhkan input kayu untuk kegiatan konstruksi maupun furnitur.
Gambar 9 Perkembangan nilai ekspor sektor agribisnis Indonesia (pendekatan lima subsektor) Sumber : Comtrade 2014
Perkembangan Impor Sektor Agribisnis Indonesia Perkembangan impor sektor agribisnis tahun 2000 hingga 2013 dengan pendekatan lima subsektor diantaranya tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri makanan, serta industri kayu dapat dilihat pada Gambar 10. Nilai impor subsektor industri makanan cenderung naik dari tahun 2000 hingga 2013 dan memiliki nilai impor tertinggi hampir setiap tahun dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 17 persen. Total nilai impor subsektor tanaman pangan sejak 2000 hingga 2013 jauh lebih tinggi dibandingkan nilai ekspornya. Net ekspor subsektor industri makanan dari tahun 2000 hingga 2013 yaitu sebesar -5,50 milyar US$. Impor tertinggi pada subsektor industri makanan
37
yaitu untuk produk sereal. Pada tahun 2013, nilai impor sereal mencapai 55 persen dari nilai impor pada industri makanan. Nilai impor subsektor tanaman pangan dan perkebunan dari tahun 2000 hingga 2013 mengalami fluktuasi dan cenderuung naik dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 16 persen. Nilai impor subsektor tanaman pangan dan perkebunan mengalami penurunan pada tahun 2012 dan 2013. Penurunan nilai impor tersebut diakibatkan nilai tukar rupiah terhadap US$ yang mengalami depresiasi akibat ketidakpastian penyelesaian masalah krisis di Eropa. Depresiasi kurs mengakibatkan harga di luar negeri lebih tinggi dibanding harga dalam negeri sehingga pembelian barang dari luar negeri (impor) akan berkurang dan masyarakat lebih suka membeli barang domestik. Nilai impor subsektor tanaman pangan dan perkebunan mencapai 4,04 milyarUS$. Nilai impor subsektor tanaman pangan dan perkebunan jauh lebih tinggi dibanding nilai ekspornya. Net ekspor subsektor tanaman pangan dan perkebunan dari tahun 2000 hingga 2013 yaitu sebesar -16,21 milyar US$. Nilai impor subsektor peternakan berfluktuasi dan cenderung naik dari tahun 2000 hingga 2013 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 14 persen. Nilai impor subsektor peternakan mencapai 2,02 milyar US$. Nilai impor subsektor peternakan jauh lebih tinggi dibanding nilai ekspornya. Net ekspor subsektor peternakan dari tahun 2000 hingga 2013 yaitu sebesar -11,84 milyar US$. Nilai impor subsektor peternakan mengalami penurunan sebagai dampak dari rupiah yang mengalami depresiasi tinggi seperti pada tahun 2001, 2005 dan 2012.
Gambar 10
Perkembangan nilai impor sektor agribisnis Indonesia (pendekatan lima subsektor) Sumber: Comtrade 2014
Nilai impor subsektor perikanan dari tahun 2000 hingga tahun 2013 mengalami fluktuasi dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 29 persen. Nilai impor subsektor perikanan lebih rendah dibanding nilai ekspornya. Net ekspor subsektor perikanan tahun 2000 hingga 2013 mencapai 24,37 milyar US$. Tahun 2013, nilai impor subsektor perikanan mencapai 0,22 milyar US$. Nilai impor subsektor perikanan mengalami penurunan pada tahun 2001, 2002, dan 2005 dengan tingkat pertumbuhan sebesar -15 persen, -8 persen, dan -65 persen.
38
Penurunan impor subsektor perikanan tersebut sebagai akibat dari pembatasan impor subsektor perikanan dengan tujuan untuk pencegahan penyebaran virus ataupun penyakit pada subsektor perikanan perikanan dari luar negeri. Nilai impor industri kayu dari tahun 2000 hingga 2013 mengalami fluktuasi dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 11 persen. Nilai impor industri kayu jauh lebih rendah dibanding nilai ekspornya. Net ekspor subsektor industri kayu dari tahun 2000 hingga 2013 mencapai 41,5 milyar US$. Nilai impor industri kayu pada tahun 2013 mencapai 0,39 milyar US$. Nilai impor subsektor industri kayu mengalami penurunan akibat rupiah yang terdepresiasi cukup tinggi yaitu pada tahun 2001, 2009, 2012, dan 2013 dengan tingkat pertumbuhan sebesar -16 persen, -31 persen, -2 persen, dan -1 persen.
Perkembangan Kurs Rp/US$ Mata uang yang dimiliki oleh berbagai negara digunakan dengan tujuan untuk mempermudah transaksi berbagai macam kebutuhan barang dan jasa. Dalam hubungan perdagangan internasional dibutuhkan adanya suatu angka perbandingan nilai antara mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain yang disebut dengan kurs. Nilai mata uang yang lazim digunakan untuk membandingkan nilai mata uang antar negara yaitu dollar Amerika (US$) dikarenakan nilainya yang lebih stabil dibanding mata uang negara lain. Tabel 4 Perkembangan kurs rupiah terhadap dollar Amerika Tahun
Kurs rata-rata/tahun (rupiah)
Pertumbuhan % Poin
2000 853400 2001 10266,00 20,29 1732 2002 9261,00 -9,79 -1005 2003 8571,00 -7,45 -690 2004 8985,00 4,83 414 2005 9751,00 8,52 766 2006 9141,00 -6,26 -610 2007 9164,00 0,25 23 2008 9757,00 6,47 593 2009 10356,00 6,14 599 2010 9078,00 -12,34 -1278 2011 8773,00 -3,36 -305 2012 9419,00 7,36 646 2013 10563,00 12,14 1144 Sumber: Bank Indonesia 2014
Perkembangan nilai kurs RP/US$ dari tahun 2000 hingga 2013 mengalami fluktuasi yang dapat dilihat pada Tabel 4. Pada tahun 2001 rupiah mengalami depresiasi dengan kenaikan nilai kurs sebesar 1732 poin atau 20,29 persen dari tahun 2000. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari perkembangan politik dan keamanan menjelang sidang tahunan MPR pada Agustus 2000 yang berlanjut hingga terjadinya pengalihan kepemimpinan negara dari Abdurahman Wahid ke
39
Megawati pada Juli 2001. Terjadinya peralihan kepemimpinan ini mengakibatkan kepercayaan pasar Internasional maupun domestik membaik dengan harapan berakhirnya krisis politik dapat memperbaiki perekonomian Indonesia. Hal tersebut berdampak terhadap rupiah yang mengalami apresiasi sebesar 1005 poin pada 2002 dan kembali mengalami apresiasi sebesar 690 poin pada 2003. Tahun 2004 hingga 2005, rupiah mengalami depresiasi sebagai akibat adanya perselisihan antar elit politik menjelang pemilihan umum 2004. Pada tahun 2007 hingga 2009 rupiah terus mengalami depresiasi sebagai dampak dari terjadinya krisis ekonomi di AS yang berlanjut terhadap krisis kredit perumahan AS. Selain depresiasi yang terjadi terhadap rupiah juga dikarenakan harga minyak dunia mengalami kenaikan. Pada tahun 2012 dan 2013, rupiah mengalami depresiasi sebagai dampak ketidakpastian penyelesaian krisis utang di Eropa. Pengujian Pengaruh PDB terhadap FDI Sektor Agribisnis di Indonesia Uji Akar Unit Uji akar unit digunakan untuk mengetahui stasioneritas data yang akan digunakan untuk uji kausalitas Granger. Uji stasioneritas data merupakan tahapan yang penting dalam melakukan analisis data. Tujuan uji stasioneritas yaitu untuk memastikan bahwa data yang digunakan tidak mengandung akar unit di antara variabel data, sehingga hubungan di antara variabel menjadi valid. Berdasarkan uji akar unit dengan menggunakan software e-views 6 pada Tabel 5, data PMA sektor agribisnis dan PDB sektor agribisnis yang digunakan untuk uji kausalitas Granger mengandung akar unit atau data belum stasioner. Hipotesis nol pada uji Augmented Dickey Fuller (ADF) yaitu data tidak stasioner. JIka │nilai Augmented Dickey Fuller (ADF)│ < │nilai titik kritis pada α = lima persen│, maka hipotesis nol diterima dan menunjukkan data tidak stasioner. Nilai ADF untuk variabel PMA sektor agribisnis yaitu │-1,129662│ < │ -3,495295│, maka hipotesis nol diterima dan menunjukkan data PMA sektor agribisnis tidak stasioner. Nilai ADF untuk variabel PDB sektor agribisnis yaitu │-1, 142487│ < │-3,498692│, maka hipotesis nol diterima dan menunjukkan data PDB sektor agribisnis tidak stasioner. Hasil uji akar unit PMA dan PDB dengan menggunakan bantuan software e-views 6 dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 5 Uji akar unit metode ADF untuk data PMA dan PDB sektor agribisnis Variable PMA PDB
MacKinnon t- statistic (titik kritis) α = 1% α = 5% α = 10% -4.137279 -3.495295 -3.176618 -4.144584 -3.498692 -3.178578
ADF tstatistic -1.129662 -1.142487
P-value 0.9142 0.9115
Kesimpulan (α = 5%) Tidak stasioner Tidak stasioner
Data awal (level) yang belum stasioner dapat didiferensi untuk memperoleh data yang stasioner. Tabel 6 menunjukkan ringkasan hasil uji akar unit diferensi pertama data PMA sektor agribisnis dan PDB sektor agribisnis. Hasil pengujian tersebut menunjukkan nilai ADF variabel PMA sektor agribisnis │-7,815618│ > nilai α = 5% yaitu │-3,496960│, maka hipotesis nol ditolak sehingga PMA sektor agribisnis sudah stasioner. Nilai ADF variabel PDB sektor agribisnis │5,018033│ > nilai α = 5% yaitu │-3,500495│, maka hipotesis nol ditolak sehingga PDB sektor agribisnis sudah stasioner. Data PMA dan PDB sektor
40
agribisnis yang telah didiferensi satu kali tersebut sudah stasioner sehingga dapat digunakan untuk pengujian selanjutnya. Hasil uji akar unit diferensi pertama dengan menggunakan software e-views 6 dapat dilihat pada Lampiran 2 . Tabel 6 Uji akar unit metode ADF untuk data PDB dan PMA sektor agribisnis diferensi pertama Variable PMA PDB
MacKinnon t- statistic (titik kritis) α = 1% α = 5% α = 10% -4.140858 -3.496960 -3.177579 -4.148465 -3.500495 -3.179617
ADF tstatistic -7.815618 -5.018033
P-value 0.0000 0.0008
Kesimpulan (α = 5%) Stasioner Stasioner
Uji Kausalitas Granger PDB dan PMA Sektor Agribisnis di Indonesia Uji kausalitas Granger digunakan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara PDB dan PMA. Data PDB maupun PMA yang digunanakan dalam uji kausalitas Granger ini merupakan jumlah PDB maupun PMA pada sektor agribisnis yang dibatasi pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri pangan, serta industri kayu. Uji kausalitas Granger yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan data PDB dan PMA yang telah mengalami differensing satu kali sesuai dengan hasil uji akar unit. Tabel 7 Hasil uji kausalitas Granger (E-views 6) Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/02/14 Time: 05:38 Sample: 2000Q1 2013Q4 Lags: 1 Null Hypothesis: PDB does not Granger Cause PMA PMA does not Granger Cause PDB
Obs F-Statistic 55
14.3511 10.0827
Prob. 0.0004 0.0025
Hipotesis nol dalam uji kausalitas Granger yaitu PDB tidak mempengaruhi PMA dan PMA tidak mempengaruhi PDB. Berdasarkan hasil uji kausalitas Granger pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa nilai probabilitasnya lebih kecil dari α = lima persen sehingga hipotesis nol ditolak. Nilai probabilitas hipotesis PDB tidak berpengaruh terhadap PMA yaitu 0,0004 < α = 0,05 menunjukkan hipotesis tersebut ditolak, maka PDB berpengaruh terhadap PMA. Nilai probabilitas hipotesis PMA tidak berpengaruh terhadap PDB yaitu 0,0025 < α = 0,05 menunjukkan hipotesis tersebut ditolak, maka PMA berpengaruh terhadap PDB. Hail uji kausalitas Granger tersebut menunjukan bahwa PDB pada sektor agribisnis berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMA sektor agribisnis, demikian juga PMA sektor agribisnis juga berpengaruh signifikan terhadap PDB sektor agribisnis. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan kausalitas dua arah antara PDB dan PMA.
Regresi Data Panel untuk Pengujian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PMA sektor Agribisnis di Indonesia
41
Pemilihan Pendekatan Model Terbaik Model yang digunakan dalam regresi data panel dipilih sesuai dengan hasil terbaik dari tiga pendekatan yaitu pooled least square (PLS), fixed effect model (FEM), dan random effect model (REM). Analisis regresi data panel dengan menggunakan estimasi model PLS, FEM dan REM dilakukan terlebih dahulu sebelum menentukan estimasi model terbaik. Berdasarkan analisis regresi panel dengan pendekatan PLS dengan metode GLS Weights Cross-section SUR pada Lampiran 3 diperoleh nilai R2 analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA sektor agribisnis di Indonesia adalah 0,878334 yang berarti 87,83 persen variabel dependen dapat dijelaskan oleh model (variabel independen) dan 12,17 persen dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Hasil estimasi dengan menggunakan model PLS tersebut juga menunjukkan p-value sebesar 0,000000 sehingga lebih kecil dari nilai α yang digunakan yaitu lima persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa minimal terdapat satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen. Analisis regresi data panel dengan menggunakan estimasi model FEM GLS Weights Cross-section SUR pada Lampiran 4 menunjukkan nilai R2 sebesar 0,889136 yang berarti 88,91 persen variabel dependen dapat dijelaskan oleh model (variabel independen) dan 11,09 persen sisanya dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Hasil estimasi dengan menggunakan model FEM tersebut menunjukkan p-value sebesar 0,000000 sehingga lebih kecil dari nilai α yang digunakan yaitu lima persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa minimal terdapat satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen. Analisis regresi data panel dengan menggunakan estimasi model REM pada Lampiran 5 menunjukkan nilai R2 sebesar 0,736496 yang berarti 73,65 persen variabel dependen dapat dijelaskan oleh model (variabel independen) dan 26,35 persen sisanya dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Hasil estimasi dengan menggunakan model REM tersebut menunjukkan p-value sebesar 0,000000 sehingga lebih kecil dari nilai α yang digunakan yaitu lima persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa minimal terdapat satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen. Hasil pengujian dengan menggunakan pendekatan model PLS, FEM dan REM belum cukup untuk menunjukkan model yang terbaik. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan menggunakan chow-test/likelihood ratio test dan hausmant test. Chow-test/likelihood ratio test digunakan untuk menentukan model terbaik diantara PLS dan FEM. Hipotesis yang digunakan untuk analsis chow-test/likelihood ratio test yaitu. H0 : model mengikuti pool H1 : model mengikuti fixed Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan chow-test/likelihood test pada Lampiran 6 dapat diketahui bahwa nilai p-value (F-statistic) sebesar 0,0046 dan p-value (chi-square) sebesar 0,0019. Nilai p-value F-statistic maupun p-value chi-square tersebut lebih kecil dibandingkan nilai α yang digunakan yaitu lima persen maka tolak H0. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model FEM lebih baik digunakan dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA sektor agribisnis di Indonesia dibandingkan model PLS. Akan tetapi hal tersebut belum menunjukkan bahwa model FEM merupakan model terbaik yang dapat digunakan pada analisis tersebut. Untuk mengetahui model terbaik yang dapat digunakan
42
maka harus dilakukan pengujian antara model FEM dan REM dengan menggunakan hausman test. Hipotesis yang digunakan pada hausman test yaitu. H0 : model mengikuti random effect H1 : model mengikuti fixed effect Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan chow-test/likelihood test pada Lampiran 7 dapat diketahui p-value sebesar 1,00. Nilai p-value tersebut lebih besar dibandingkan nilai α yang digunakan yaitu lima persen maka terima H0. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model REM lebih baik dibandingkan model FEM. Jadi, model terbaik yang digunakan pada analisis faktor-faktor yang memperngaruhi PMA sektor agribisnis di Indonesia yaitu pendekatan REM dengan persamaan model. log(Y) = 10,64 + 0,44 log(X1) + 0,82 log(X2) + 0,95 log(X3) + 3,62 log(X4) + e Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonometrika Tahapan pemilihan pendekatan model terbaik berdasarkan Chow Test menunjukkan bahwa regresi panel dengan menggunakan model FEM merupakan pendekatan terbaik untuk mengestimasi model penelitian. Langkah selanjutnya yaitu pengujian asumsi klasik terhadap model estimasi data panel FEM. Pengujian asumsi klasik dilakukan agar model dapat menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria best linea unbiased estimator (BLUE). Pengujian asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji multikolonearitas, uji heteroksedastisitas dan uji autokorelasi. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan Jarque Bera Test dengan bantuan software Eviews 6.2. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan hasil uji tersebut, diperoleh p-value Jarque-Bera sebesar 0,156920 lebih besar dari nilai α sebesar lima persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis nol tidak ditolak. Artinya, residual pada model tersebut sudah terdistribusi secara normal sehingga dapat disimpulkan bahwa kriteria normalitas model estimasi telah terpenuhi. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas yang terdapat dalam suatu estimasi model analisis menandakan adanya hubungan linear antar variabel independen pada model. Uji Multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai perhitungan koefisien korelasi sederhana (pearson correlation coefficient) antar variabel independen. Persyaratan cukup (sufficient condition) untuk terbebas dari pelanggaran asumsi multikolinearitas adalah nilai koefisien korelasi antar variabel independen pada model tidak boleh melebihi │0,8│. Perhitungan nilai koefisien korelasi dengan menggunakan software eviews 6.2 menghasilkan output pada Lampiran 9. Berdasarkan hasil pengujian tersebut nilai koefisien korelasi antar variabel independen pada model tidak ada yang melebihi │0,8│. Hal tersebut menunjukkan model regresi panel dengan pendekatan REM untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA sektor agribisnis di Indonesia tidak terdapat multikolinearitas. Sehingga, syarat cukup untuk terbebas dari pelanggaran asumsi multikolinearitas sudah terpenuhi.
43
Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan membandingkan nilai Residual Sum Square pada Weight Statistic (RSSW) dengan Residual Sum Square pada Unweight Statistic (RSSU) pada hasil analisis REM dengan bantuan software eviews 6.2. Berdasarkan hasil analisis REM pada Lampiran 4, nilai RSSW sama dengan RSUU, yaitu sebesar 71,48137. Analisis REM yang digunakan pada penelitian ini telah menggunakan model panel EGLS, cross section SUR sehingga masalah heteroskedastisitas model yang digunakan sudah terhindar dari masalah heteroskedastisitas. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA sektor agribisnis dengan metode regresi panel model REM menggunakan cross section sebanyak lima, jumlah time series sebanyak 14, jumlah observasi sebanyak 70, jumlah variabel independen sebanyak lima, serta α sebesar lima persen. Berdasarkan informasi tersebut, diperoleh nilai DurbinWatson tabel dengan DL sebesar 1,46 dan Du sebesar 1,77. Nilai DW untuk hasil analisis REM yaitu sebesar 1,61 berada dalam selang Du < DW < 4- Du, sehingga hipotesis nol diterima atau dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi pada model REM yang digunakan.
Hasil Analisis Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen Hasil analisis Granger yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara PDB dan PMA menunjukkan bahwa PDB secara signifikan mempengaruhi PMA dan PMA secara signifikan mempengaruhi PDB. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi PMA sektor agribisnis Indonesia dengan menggunakan regresi data panel dengan model REM (Tabel 8). Berdasarkan analisis tersebut faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh positif terhadap PMA pada taraf nyata lima persen yaitu PDB, nilai ekspor, serta nilai impor. Sedangkan kurs berpengaruh negatif terhadap PMA sektor agribisnis di Indonesia secara signifikan. Tabel 8 Hasil analisis regresi panel model REM Variabel PDB Nilai impor Nilai ekspor Kurs R2 Durbin-Watson stat
Koefisien 0.436419 0.821416 0.950145 -3.625944 0.736496 1.610752
P-Value 0.0277 0.0000 0.0000 0.0430
Keputusan (α=5 %) Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan
Pengaruh PDB terhadap PMA Sektor Agribisnis di Indonesia PDB merupakan indikator yang digunakan untuk menggambarkan perekonomian suatu negara. Nilai PDB menggambarkan nilai tambah pada produk-produk yang diproduksi. Investor asing akan memperhatikan pertumbahan ekonomi negara tujuan investasi untuk menggambarkan potensi pasar di negara
44
tujuan investasi. Penanaman modal asing (PMA) merupakan investasi yang dilakukan oleh pihak asing dengan menanamkan modal, membuka perusahaan, mentransfer teknologi dan sistem manajemen dari negara asal ke negara tujuan investasi. Berdasarkan analisis kausalitas Granger dan regresi panel dengan model REM dapat diketahui bahwa PDB berpengaruh secara signifikan terhadap PMA. Hasil analisis regresi panel menunjukkan nilai koefisien PDB sebesar 0,44 pada taraf nyata lima persen. Artinya, setiap peningkatan satu persen PDB akan meningkatkan PMA sebesar 0,44 persen. Hasil pengujian tersebut juga sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sarwedi (2002) Sibuea (2007), (Anastasia, 2010), Putri (2012) dan Marsela (2014). Pengaruh positif PDB sektor agribisnis terhadap PMA tersebut diakibatkan investor melihat peluang yang ada pada sektor agribisnis. Tingginya PDB pada sektor agribisnis diakibatkan dukungan-dukungan kebijakan pemerintah yang difokuskan terhadap swasembada pangan yang akan meningkatkan output produk agribisnis di Indonesia. Adanya program swasembada pangan memberikan peluang bagi investor untuk melakukan investasi dan memperluas usaha di Indonesia. Selain itu, sektor agribisnis memiliki value added tinggi yang digambarkan dengan PDB. Harga komoditas agribisnis dari petani jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga produk agribisnis pada tingkat konsumen terutama setelah dilakukan pengolahan. Investor mempertimbangkan value added tersebut sebagai peluang untuk memperoleh keuntungan yang besar meskipun pay back periode pada sektor agribisnis cukup lama. Hasil uji kausalitas Granger juga menunjukkan bahwa PMA akan mempengaruhi PDB. PMA pada sektor agribisnis di Indonesia akan meningkatkan PDB sektor agribisnis dan mempercepat pertumbuhan sektor agribisnis. Hal tersebut dikarenakan PMA membawa modal masuk serta membawa teknologi baru yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan produksi di Indonesia. Sektor agribisnis di Indonesia sendiri menghadapi banyak masalah terutama masalah teknologi yang masih tradisional dan belum menerapkan sistem manajemen yang baik. yang belum Dengan adanya transfer teknologi dan manajemen yang diakibatkan oleh PMA akan mengakibatkan peningkatan pembangunan sektor agribisnis. Pengaruh PMA terhadap PDB juga dijelaskan dalam teori model pertumbuhan tahap linear yang dikemukakan oleh HarrodDomar. Harrod-Domar menyatakan bahwa percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (PDB) negara berkembang yang kekurangan modal dapat dilakukan salah satunya dengan PMA. Pengaruh Nilai Ekspor terhadap Realisasi PMA Sektor Agribisnis di Indonesia Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA sektor agribisnis di Indonesia dengan regresi panel menunjukkan bahwa nilai ekspor pada sektor agribisnis berpengaruh positif secara signifikan pada taraf nyata lima persen terhadap PMA dengan nilai koefisien 0,95. Artinya, setiap kenaikan nilai ekspor sebesar satu persen akan meningkatkan nilai PMA sebesar 0,95 persen. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Ball bahwa semakin tinggi nilai ekspor suatu negara akan semakin tinggi memperoleh realisasi PMA. Hasil analisis regresi panel untuk variabel independen ekspor dan variabel dependen PMA tersebut juga sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
45
Sarwedi (2002) serta Dewata dan Swara (2013) yang menunjukkan bahwa ekspor berpengaruh positif terhadap PMA. PMA di Indonesia biasanya memiliki jaringan ekspor di luar negeri sehingga output dari usaha agribisnis yang dijalankannya dapat diekspor ke jaringan perusaahan mereka di luar negeri (Ball 2004). Akan tetapi, permasalahan yang dihadapi Indonesia yaitu permintaan domestik terhadap komoditas agribisnis yang tinggi belum dapat dipenuhi oleh supply komoditas agribisnis domestik. Hal tersebut mengakibatkan impor komoditas agribisnis lebih tinggi dibanding ekspor komoditas agribisnis. Untuk memenuhi permintaan pasar domestik, pemerintah akan menerapkan hambatan ekspor baik berupa penerapan pajak ekspor ataupun pembatasan kuota ekspor. Hal tersebut akan mengakibatkan ekspor komoditas agribisnis menurun sehingga PMA bagi perusahaan yang berorientasi ekspor akan menurun. Pengaruh Nilai Impor terhadap Realisasi PMA Sektor Agribisnis di Indonesia Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA sektor agribisnis di Indonesia dengan regresi panel menunjukkan bahwa nilai impor berpengaruh positif terhadap realisasi PMA secara signifikan pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien 0,82. Artinya, setiap peningkatan nilai impor sebesar satu persen akan meningkatkan nilai realisasi PMA sebesar 0,82 persen. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dijelaskan Salvatore (1997) bahwa perusahaan asing akan terdorong untuk melakukan PMA di negara dengan nilai impor yang tinggi dikarenakan pasar untuk menampung produk yang dihasilkan sudah tersedia untuk menggantikan produk impor serta terhindar dari tarif yang dipasang untuk produk sejenis demi mencegah masuknya produk impor dari negara lain. Permintaan komoditas agribisnis Indonesia yang belum dapat dipenuhi oleh supply nasional mengakibatkan tingginya impor komoditas tersebut. Subsektor agribisnis yang memiliki nilai impor lebih tinggi dibanding nilai ekspornya yaitu subsektor tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, serta industri pangan. Pemerintah Indonesia berusaha untuk menurunkan impor komoditas agribisnis dengan adanya program swasembada pangan. Hal tersebut mengakibatkan adanya substitusi impor yang dapat dimanfaatkan oleh investor asing untuk melakukan kegiatan usaha sektor agribisnis di Indonesia. Sehingga, nilai impor yang tinggi akan mempengaruhi peningkatan PMA. Pengaruh Kurs Rp terhadap US$ terhadap Realisasi PMA Sektor Agribisnis di Indonesia Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA sektor agribisnis di Indonesia dengan regresi panel menunjukkan bahwa nilai kurs Rp terhadap US$ pada sektor agribisnis berpengaruh negatif secara signifikan pada taraf nyata lima persen terhadap PMA dengan nilai koefisien -3,62. Artinya, setiap kurs melemah sebesar satu persen akan menurunkan nilai realisasi PMA sebesar 3,62 persen. Negara yang memiliki nilai kurs lemah (depresiasi) maka akan tingkat harga di negara tersebut akan meningkat atau terjadi inflasi (Mankiw 2006). Adanya inflasi di suatu negara mengakibatkan daya beli masyarakat di negara tersebut menurun. Daya beli masyarakat yang menurun akan mengakibatkan permintaan terhadap komoditas agribisnis menurun.
46
Risiko yang dihadapi oleh PMA yang memiliki fokus pasar domestik dengan adanya depresiasi kurs yaitu harga yang seolah-olah lebih murah dibandingkan di luar negeri. Konsumen domestik akan membeli produk yang dihasilkan PMA dengan menggunakan rupiah. PMA yang berinvestasi dengan menggunakan US$ akan mengkonversi kembali rupiah yang diperolehnya ke dalam US$. Berdasarkan uraian tersebut maka ketika rupiah terdepresiasi maka nilai konversinya akan rendah sehingga MNC akan rugi. Hal tersebut berisiko tinggi bagi perusahaan yang melakukan usaha di negara tersebut. Sifat risk averse yang umumnya dimiliki manusia akan mengakibatkan investor menghindari untuk melakukan investasi di negara yang memiliki risiko tinggi.
Implikasi Kebijakan Peningkatan PMA PMA memiliki peran penting bagi percepatan pembangunan sektor agribisnis. PMA pada sektor agribisnis dapat meningkatkan aktivitas perekonomian pada sektor agribisnis dan meningkatkan PDB sektor agribisnis. Sektor agribisnis membutuhkan modal yang tinggi untuk mempercepat pembangunannya dan mengejar ketinggalan dari sektor lainnya. PDB sektor agribisnis berpengaruh positif dan signifikan terhadap PMA sektor agribisnis di Indonesia. Peningkatan PDB pada sektor agribisnis di Indonesia dipandang sebagai potensi pasar domestik yang menguntungkan bagi PMA. Perluasan pasar tersebut akan mengakibatkan permintaan terhadap produk PMA sektor agribisnis meningkat. Investor asing tidak akan menanamkan modalnya di negara dengan daya beli rendah. Hal tersebut dikarenakan, risiko yang dihadapi oleh PMA lebih tinggi. Usaha untuk meningkatkan PMA harus dilakukan oleh pemerintah dengan menjaga kestabilan harga sektor agribisnis. Selain itu, pemerintah juga harus mendorong usaha-usaha dalam penanganan pengolahan terhadap komoditas agribisnis prapanen maupun pascapanen. Penangan pascapanen akan meningkatkan value added produk agribisnsis. Peningkatan value added tersebut akan memberikan keuntungan yang lebih besar bagi petani maupun pelaku usaha agribisnis. Pengolahan pascapanen yang baik dan benar akan memberikan nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk sektor agribisnis yang tidak menerapkannya. Hal tersebut dikarenakan sifat produk sektor agribisnis yang mudah rusak. Kebijakan dalam mendorong usaha pengolahan pascapanen dapat dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pelaku usaha agribisnis terutama pada subsektor pengolahan (on farm). Impor sektor agribisnis berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan PMA sektor agribisnis di Indonesia. Investor asing mempertimbangkan nilai impor sektor agribisnis sebagai indikator untuk melakukan investasi di Indonesia. Tingginya impor sektor agribisnis di suatu negara menjadi peluang pasar bagi PMA untuk memasarkan produknya di Indonesia. Peluang tersebut dapat memberikan keuntungan besar bagi PMA dikarenakan tingginya permintaan di pasar domestik terhadap sektor agribisnis. Pada sektor agribisnis, tidak semua subsektor memiliki permintaan pasar yang sama. Subsektor industri makanan, subsektor tanaman pangan dan
47
perkebunan, serta subsektor peternakan memiliki nilai impor yang lebih tinggi dibandingkan pada subsektor lainnya. Hal tersebut menunjukkan permintaan pasar domestik yang tinggi dan belum dapat dipenuhi oleh produksi sektor agribisnis domestik. Pemerintah perlu memberikan kemudahan dalam perizinan bagi produk-produk subsektor agribisnis yang ingin melakukan substitusi impor. Program swasembada produk agribisnis harus terus dijalankan secara lebih fokus. Pemerintah juga harus menerapkan pembatasan produk impor sejenis. Pembatasas tersebut dapat dilakukan melalui pembatasan quota maupun penetapan pajak impor bagi produk sejenis. Meningkatnya substitusi impor produk agribisnis menunjukkan program swasembada produk agribisnis semakin meningkat dan aktivitas perekonomian pada sektor agribisnis semakin meningkat. Ekspor berpengaruh positif dan signifikan terhadap PMA. Peningkatan ekspor dipandang sebagai keterbukaan perdagangan internasional Indonesia pada sektor agribisnis. Orientasi investor asing terhadap ekspor dipengaruhi oleh adanya permintaan pada pasar internasional terhadap sektor agribisnis. Subsektor agribisnis Indonesia yang memiliki nilai ekspor tinggi yaitu subsektor perikanan dan industri kayu. Permintaan pasar internasional tersebut menjadi peluang bagi PMA untuk melakukan kegiatan produksi di Indonesia dan kemudian di ekspor kembali ke luar negeri. Pertumbuhan ekspor sektor agribisnis yang semakin meningkat akan meningkatkan PDB sektor agribisnis dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekspor sektor agribisnis perlu didukung oleh kebijakan pemerintah mengenai ekspor. Pengurusan perizinan harus dipermudah, pemberian insentif terhadap eksportir, serta perbaikan-perbaikan infrastruktur. Perbaikan infrastruktur seperti jalan yang dilalui sebagai jalur distribusi dari tempat produksi ke pelabuhan perlu diperbaiki. Infrastruktur yang baik akan mendukung distribusi produk. Sifat produk agribisnis yang mudah rusak akan menjadi hambatan bagi eksportir dalam proses distribusi. Infrastruktur yang buruk akan memperlambat proses distribusi sehingga risiko produk rusak akan semakin tinggi. Kurs Rp/US$ berpengaruh negatif dan signifikan terhadap PMA sektor agribisnis. Investor asing memandang nilai kurs Rp/US$ sebagai tingkat kestabilan perekonomian Indonesia. Depresiasi kurs akan diikuti oleh inflasi pada sektor agribisnis. Indeks harga akan meningkat sehingga permintaan terhadap produk tersebut menurun. Depresiasi kurs juga akan menurunkan nilai mata uang yang diperoleh PMA yang berorientasi pasar domestik. Rupiah yang diperoleh PMA sebagai hasil penjualan produknya akan memiliki nilai yang lebih rendah ketika dikonfersi kedalam US$. Hal tersebut akan menimbulkan kerugian bagi PMA. Kestabilan kurs harus dijaga oleh pemerintah. Perekonomian yang kondusif harus terus dijaga. Aktivitas politik juga harus dijaga karena ketidakstabilan politik akan mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian dan kurs.
48
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemerintah Indonesia melakukan usaha untuk meningkatkan PMA melalui kemudahan dalam pengurusan izin investasi asing dan pemberian insentif terhadap investor asing yang diatur dalam UU no 25 tahun 2007. Untuk mengetahui hubungan antara PMA dengan pertumbuhan ekonomi maka dilakukan analisis Granger. Hasil analisis Granger menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) dan penanaman modal asing (PMA) memiliki hubungan dua arah atau saling mempengaruhi. Analisis regresi data panel model REM untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA sektor agribisnis dengan menggunakan pendekatan subsektor tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri pangan, dan industri kayu menunjukkan bahwa PDB, nilai ekspor, dan nilai impor secara signifikan berpengaruh positif terhadap PMA sedangkan kurs secara signifikan berpengaruh negatif terhadap PMA. Saran Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing ini menunjukkan bahwa realisasi penanaman modal asing akan mempercepat pembangunan negara dengan peningkatan produk domestik bruto, sehingga rekomendasi berupa saran yang dapat diberikan kepada pemerintah yaitu mendukung program swasembada melalui substitusi impor sektor agribisnis dan penerapan pajak impor produk sejenis. Pemerintah juga harus lebih memberikan kemudahan-kemudahan perizinan PMA dan perizinan ekspor. Infrastruktur yang akan memperngaruhi distribusi sektor agribisnis perlu diperbaiki guna menghindari kerusakan produk agribisnis akibat lamanya proses distribusi. Kestabilan perekonomian dan politik harus dijaga agar investor lebih memiliki keamanan dalam melakukan investasi di Indonesia. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah membahas PMA dengan pendekatan lima subsektor agribisnis saja. Subsektor yang digunakan hanya mewakili sektor agribisnis pada kegiatan onfarm (primer) dan pengolahan (sekunder) maka diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat memperluas penelitian pada sektor agribisnis jasa. Variabel-variabel lain yang dapat menjadi faktor yang mempengaruhi PMA sektor agribisnis di Indonesia uga perlu dikaji lebih luas. .
49
DAFTAR PUSTAKA Agiomirgianakis GM, Asteriou D, and Papathorma K. 2003. The determinants of foreign direct investment: a panel data study for the OECD countries (Report No. 03/06). London, UK: Department of Economics, City University London. http://openaccess.city.ac.uk/1420/ (30 September 2014) Anastasia HM. 2010. Faktor-faktor Ekonomi Makro yang Mempengaruhi Investasi Asing Langsung (PMA) pada sektor Perkebunan di Indonesia Periode 1980-2007 [Tesis]. Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Badan Pusat Statistik. Berbagai Terbitan. www.bps.go.id (20 Maret 2014) Badan Koordinasi Penanaman Modal. Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM), Berbagai Terbitan. www.bkpm.go.id (Maret 2014) Ball D, et al. 2004. Bisnis Internasional: Tantangan Persaingan Global, Edisi ke-9. Noor S, Penerjemah. Krista, Editor. Terjemahan dari: International Business: The Challenge of Global Competition, 9th edition. Jakarta: Penerbit Salemba. Bank Indonesia. Berbagai Terbitan. www.bi.go.id (20 Maret 2014) Bevan AA and Estrin S. 2004. The Determinants of Foreign Direct Investment into European Transition Economies. Journal of Comparative Economics 32 (2004) : 775-778. www.elsevier.com/locate/jce (30 September 2014) Comtrade. 2014. www.comtrade.un (10 September 2014) De Mello LR Jr. 1999. Foreign Direct Investemnt-Led Growth: Evidence from Time Series and Panel Data. Oxford Economic Journal 51(1999): 133-151. Dewata BK dan Swara IWY. 2013. Pengaruh Total Ekspor, Libor, dan Upah Tenaga Kerja terhadap Investasi Asing Langsung di Indonesia. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana 2(8). Fahmi FM. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Asing Langsung (PMA) di Pulau Jawa. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Gujarati DN. 2006. Dasar-Dasar Ekonometri. Edisi 3, Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Hadi P, et al. 2011. Outlook Pertanian 2010-2015. Jakarta: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian. Juanda dan Junaidi. 2010. Ekonomi Deret Waktu. Bogor: IPB Press Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2013 KKP Waspadai Ancaman Penyakit Ikan. Siaran Pers No. 159/PDSI/HM.310/XI/2013. Jakarta : Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementrian Kelautan dan Perikanan. www.kkp.go.id. (30 Agustus 2014) Lusiana. 2012. Usaha Penanaman Modal di Indonesia. Setiawan Y, Editor. Jakarta: Rajawali Pers. Mankiw NG. 2006. Makroekonomi, Edisi Ke-6. Liza F, Nurmawan I, Penerjemah. Hardani W, Barnadi D, Saat S, Editor. Terjemahan dari : Macroeconomics 6th edition. Jakarta: Erlangga. Marsela NMK. 2014. Pengaruh Tingkat Inflasi, PDRB, Suku Bunga Kredit, serta Kurs Dollar terhadap Investasi. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana 3(3).
50
Marpaung B. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman modal asing di ASEAN. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Momongan JE. 2013.Investasi PMA dan PMDN Pengaruhnya terhadap Perkembangan PDRB dan Penyerapan Tenaga Kerja Serta Penanggulangan Kemiskinan di Sulawesi Utara. Jurnal EMBA 1(3): 530-539. Muazi NM dan Arianti F. 2013. Analisis Pengaruh Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal dalam Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi : di Jawa Tengah 1990-2010. Diponegoro Journal of Economics 2(1) : 1-9. Mutia, EA. 2011. Pengaruh PMA, PMDN dan Tenaga Kerja pada Sektor Pertanian terhadap PDB Sektor Pertanian di Indonesia Tahun 1985-2009. [Skripsi]. Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islan Negeri Syarif Hidayatullah. Putri YE. 2012. Pengaruh PDB Riil dan Variabel Fiskal terhadap Penanaman Modal Asing di Indonesia. Economica, Jurnal Program Studi Pendidikan Ekonomi STKIP PGRI Sumatera Barat 1(1). Rahayu T. 2010. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing di Indonesia (Tahun 1994:1 – 2008:4). [Skripsi]. Surakarta : Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima Jilid 1.Munandar H, Penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari : International Economic, Fifth Edition. Sarwedi. 2002. Investasi Asing Langsung di Indonesia dan Faktor yang Mempengaruhinya. Jurnal Akuntansi & Keuangan 4(1):17-35. Sibuea M. 2007. Pengaruh Penanaman Modal Asing (PMA) Jepang pada sektor industri makanan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Syam dan Noekman. 2003. Kontribusi Sektor Pertanian dalam Penyediaan Lapangan Kerja dan Perbandingannya dengan Sektor-Sektor Lain. Jurnal SOCA 3(1) : 74-82. Tambunan T. 2007. Daya Saing Indonesia dalam Menarik Investasi Asing. Seminar Bank Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Industri dan UKM Universitas Trisakti, dan Kadin Indonesia. Todaro MP dan Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi/ Edisi Kesembilan, Jilid 1. Munandar H, Penerjemah. Barnadi D, Saat S, Hardani W, Editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari : Economic Development/ Ninth Edition. Utama MS. 2013. Potensi Dan Peningkatan Investasi Di Sektor Pertanian dalam Rangka Peningkatan Kontribusi Terhadap Perekonomian di Provinsi Bali. Buletin Ekonomi 18 (1). Bali: Jurusan Ekonomi Pembangunan, Universitas Udayana. Zahro BA. 2013. Analisis Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Ekspor Alas Kaki Indonesia di Kawasan ASEAN dan China. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
51
LAMPIRAN
52
53
Lampiran 1 Hasil uji akar unit PMA dan PDB sektor agribisnis (eviews 6.2) Null Hypothesis: PMA has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=3) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Prob.*
-1.129662 0.9142 -4.137279 -3.495295 -3.176618
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PMA) Method: Least Squares Date: 07/10/14 Time: 14:57 Sample (adjusted): 2000Q3 2013Q4 Included observations: 54 after adjustments Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
-1.129662 -3.194101 -0.825192 1.806524
0.2640 0.0024 0.4132 0.0769
PMA(-1) -0.184767 D(PMA(-1)) -0.495382 C -404743.8 @TREND(2000Q1) 45293.29
0.163560 0.155093 490484.2 25072.07
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.316374 0.275357 1689755. 1.43E+14 -848.9098 7.713149 0.000249
268967.8 1985005. 31.58925 31.73658 31.64607 1.966073
54
Null Hypothesis: PDB has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=3) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Prob.*
-1.142487 0.9115 -4.144584 -3.498692 -3.178578
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PDB) Method: Least Squares Date: 07/10/14 Time: 15:09 Sample (adjusted): 2001Q1 2013Q4 Included observations: 52 after adjustments Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
-1.142487 -11.53711 -15.61776 -25.67411 1.330229 2.029871
0.2592 0.0000 0.0000 0.0000 0.1900 0.0482
PDB(-1) -0.108072 D(PDB(-1)) -0.890124 D(PDB(-2)) -0.927698 D(PDB(-3)) -0.978347 C 9359453. @TREND(2000Q1) 192200.5
0.094594 0.077153 0.059400 0.038106 7035973. 94686.07
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.974841 0.972107 1760834. 1.43E+14 -818.4246 356.4795 0.000000
950384.6 10543106 31.70864 31.93378 31.79495 1.370896
55
Lampiran 2 Hasil uji akar unit PMA dan PDB sektor agribisnis diferensi pertama (e-views 6.2) Null Hypothesis: D(PMA) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=3) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Prob.*
-7.815618 0.0000 -4.140858 -3.496960 -3.177579
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PMA,2) Method: Least Squares Date: 07/10/14 Time: 14:58 Sample (adjusted): 2000Q4 2013Q4 Included observations: 53 after adjustments Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
-7.815618 2.115946 -0.941617 2.007811
0.0000 0.0395 0.3510 0.0502
D(PMA(-1)) -2.082614 D(PMA(-1),2) 0.321764 C -454647.0 @TREND(2000Q1) 29820.54
0.266468 0.152066 482836.6 14852.26
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.767629 0.753402 1638925. 1.32E+14 -831.5304 53.95653 0.000000
97639.96 3300383. 31.52945 31.67815 31.58663 1.923511
56
Null Hypothesis: D(PDB) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=3) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Prob.*
-5.018033 0.0008 -4.148465 -3.500495 -3.179617
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PDB,2) Method: Least Squares Date: 07/10/14 Time: 15:09 Sample (adjusted): 2001Q2 2013Q4 Included observations: 51 after adjustments Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
-5.018033 2.628206 1.420205 -2.188304 2.169280 2.664482
0.0000 0.0117 0.1624 0.0339 0.0354 0.0107
D(PDB(-1)) -2.775105 D(PDB(-1),2) 1.093158 D(PDB(-2),2) 0.398333 D(PDB(-3),2) -0.310712 C 1210929. @TREND(2000Q1) 53630.33
0.553027 0.415933 0.280476 0.141988 558217.1 20127.87
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.992392 0.991547 1674353. 1.26E+14 -800.0520 1173.995 0.000000
-588254.9 18211192 31.60988 31.83716 31.69673 1.770770
57
Lampiran 3 Hasil analisis regresi panel pendekatan model pooled least square (eviews 6.2) Dependent Variable: LOG(Y) Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 09/19/14 Time: 11:08 Sample: 2000 2013 Periods included: 14 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 70 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
C LOG(X1) LOG(X2) LOG(X3) LOG(X4)
9.315815 0.456434 0.853898 0.881446 -3.433333
Std. Error
t-Statistic
16.21103 0.574659 0.151773 3.007342 0.101474 8.414967 0.117109 7.526724 1.775710 -1.933499
Prob. 0.5675 0.0037 0.0000 0.0000 0.0575
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.878334 0.870847 1.013342 117.3125 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
21.23545 13.72196 66.74597 1.776122
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.727976 73.79263
Mean dependent var Durbin-Watson stat
24.77077 1.552496
58
Lampiran 4 Hasil analisis regresi panel pendekatan model fixed effect model (eviews 6.2) Dependent Variable: LOG(Y) Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 09/19/14 Time: 11:09 Sample: 2000 2013 Periods included: 14 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 70 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
C LOG(X1) LOG(X2) LOG(X3) LOG(X4)
-4.203912 1.382210 0.544252 0.157985 -2.142195
Std. Error
t-Statistic
20.35079 -0.206572 0.970834 1.423734 0.283238 1.921533 0.361397 0.437151 1.245948 -1.719330
Prob. 0.8370 0.1596 0.0593 0.6635 0.0906
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.889136 0.874597 1.046570 61.15323 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
32.15651 23.30228 66.81388 1.958574
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.788067 57.49141
Mean dependent var Durbin-Watson stat
24.77077 1.836395
59
Lampiran 5 Hasil analisis regresi panel pendekatan random effect model (eviews 6.2) Dependent Variable: LOG(Y) Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 09/22/14 Time: 12:00 Sample: 2000 2013 Periods included: 14 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 70 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
C LOG(X1) LOG(X2) LOG(X3) LOG(X4)
10.63620 0.436419 0.821416 0.950145 -3.625944
Std. Error
t-Statistic
16.25610 0.654290 0.193736 2.252646 0.112473 7.303202 0.120826 7.863777 1.756567 -2.064222
Prob. 0.5152 0.0277 0.0000 0.0000 0.0430
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.000000 0.958719
Rho 0.0000 1.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.736496 0.720280 1.048672 45.41883 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
24.77077 1.982796 71.48137 1.610752
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.736496 71.48137
Mean dependent var Durbin-Watson stat
24.77077 1.610752
60
Lampiran 6 Hasil analisis likehood ratio-chow test (eviews 6.2) Redundant Fixed Effects Tests Equation: EQ01 Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic
d.f.
Prob.
4.192430 17.001478
(4,61) 4
0.0046 0.0019
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: LOG(Y) Method: Panel Least Squares Date: 09/19/14 Time: 11:15 Sample: 2000 2013 Periods included: 14 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 70 Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
C LOG(X1) LOG(X2) LOG(X3) LOG(X4)
10.63620 0.436419 0.821416 0.950145 -3.625944
R-squared 0.736496 Adjusted R-squared 0.720280 S.E. of regression 1.048672 Sum squared resid 71.48137 Log likelihood -100.0587 F-statistic 45.41883 Prob(F-statistic) 0.000000
Std. Error
t-Statistic
22.05100 0.482346 0.174055 2.507365 0.124958 6.573563 0.148740 6.387952 2.413302 -1.502482 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.6312 0.0147 0.0000 0.0000 0.1378 24.77077 1.982796 3.001676 3.162283 3.065471 1.610752
61
Lampiran 7 Hasil analisis hausman test (eviews 6.2) Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Faktor-faktor Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f.
Test Summary Cross-section random
0.000000
4
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero. ** WARNING: estimated cross-section random effects variance is zero. Cross-section random effects test comparisons: Variable LOG(X1) LOG(X2) LOG(X3) LOG(X4)
Fixed
Random Var(Diff.)
1.180208 0.436419 0.234855 0.821416 0.714706 0.950145 -2.532587 -3.625944
Prob.
2.430485 0.101649 0.288737 0.218384
0.6333 0.0658 0.6613 0.0193
t-Statistic
Prob.
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LOG(Y) Method: Panel Least Squares Date: 09/22/14 Time: 12:11 Sample: 2000 2013 Periods included: 14 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 70 Variable
Coefficient
C LOG(X1) LOG(X2) LOG(X3) LOG(X4)
-1.038940 1.180208 0.234855 0.714706 -2.532587
Std. Error
31.24963 -0.033246 1.570993 0.751250 0.338082 0.694668 0.550759 1.297675 1.817666 -1.393318
0.9736 0.4554 0.4899 0.1993 0.1686
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared
0.793316 0.766210
Mean dependent var S.D. dependent var
24.77077 1.982796
62
S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.958719 56.06762 -91.55791 29.26706 0.000000
Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
2.873083 3.162175 2.987914 1.915241
Lampiran 8 Hasil uji normalitas Jarque-Bera 12
Series: Standardized Residuals Sample 2000 2013 Observations 70
10
8
6
4
2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
6.55e-16 0.163999 1.952907 -2.148114 1.017822 -0.476048 2.397116
Jarque-Bera Probability
3.704041 0.156920
0 -2
-1
0
1
2
Lampiran 9 Korelasi antar variabel pada model regresi data panel
LOG(Y) LOG(X1) LOG(X2) LOG(X3) LOG(X4)
LOG(Y) 1.000000 0.650898 0.680413 0.401491 -0.006582
LOG(X1) 0.650898 1.000000 0.701500 0.071535 0.054165
LOG(X2) 0.680413 0.701500 1.000000 -0.124892 0.097501
LOG(X3) 0.401491 0.071535 -0.124892 1.000000 0.093065
LOG(X4) -0.006582 0.054165 0.097501 0.093065 1.000000
63
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 30 September 1990. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Guntoro, SP dan Ibu Sari Hayati. Tahun 1997, penulis lulus dari TK Pertiwi Salem, Brebes dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri 02 Salem, Brebes dan lulus pada tahun 2003. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 01 Salem, Brebes hingga tahun 2006. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Bumiayu , Brebes dan lulus pada tahun 2009. Tahun 2009, penulis diterima di Program Diploma IPB melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2012. Tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan strata satu pada Program Alih Jenis Agribisnis IPB, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan pada program ALih Jenis Agribisnis, penulis aktif pada organisasi Forum of Agribussiness Transfer Program Student (FASTER) IPB periode 2012/2013 sebagai anggota divisi Sosial Lingkungan FASTER. Penulis juga aktif menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Gizi dan mata kuliah Teknologi Pengolahan Pangan Nabati pada Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan Program Diploma IPB pada tahun 2013.