ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENANAMAN MODAL ASING (PMA) DI BATAM
OLEEI MULAELATUL I(HASANAH HI4104066
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAICULTAS EICONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
MULAELATUL KHASANAH. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing (PMA) di Batam (dibimbing oleh RINA OK'FAVIANI). Indonesia sebagai negara berkembang, modal merupakan kendala utama dalam mewujudkan program-program pembangunan, ha1 ini disebabkan terbatasnya modal untuk membiayai pembangunan tersebut. Program pembangunan ini penting untuk pengadaan sarana prasarana ekonomi seperti infrastruktur, jaringan telekomunikasi, transportasi dan lain sebagainya. Dengan tersedianya sarana prasarana ekonomi diharapkan bisa membantu kelancaran kegiatan ekonomi. Ada 4 ha1 yang bisa dilakukan pemerintah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah belanja pemerintah (G), konsumsi (C), investasi (I) dan ekspor bersih (NX). Pemerintah tidak bisa mengandalkan belanja pemerintah sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi karena dianggap akan menanitah beban hutang pemerintah, dan juga pemerintah tidak bisa tnengandalkan konsumsi secara terus menerus karena dikhawatirkan akan membuat masyarakat menjadi konsumtif. Pemerintah bisa mengotimalkar. pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan investasi dan perdagaqgan. Investasi merupakan salah satu komponen dari pembentukan pendapatan nasional, sehingga pertumbuhan investasi akan berdampak pada pertumbuhan pendapatan nasional. Salah satu cara untuk menciptakan suatu lingkuilgin yang kondusif bagi aktivitas perdagangan dan ekspor yang ditujuknn untuk rnempercepat pertumbuhan ekonomi adalah dengan menciptakan suatu Kawasan Ekonomi Khusus (Special Econon2ic Zone). KEK ini adalah suatu zona yang dipilih untuk merevitalisasi aktivitas usaha dengan merangsang pertumbuhar, investasi dan sektor swasta (private sector). Konsep ini berawal dari asumsi dimana jika pemerintah mengurangi pengenaan pajak dan beban-beban atas regulasi (regzdatory burdens), dunia usaha akan berkembang dengan lebih cepat dan pada giliranya akan memperkuat kondisi perekonomian. Batam yang mempunyai letak sangat strategis yaitu berbatasan langsung dengari negara Singapura dan Malaysia sekaligus sudah menjadi KEK membuat daerah ini berpotensi untuk dijadikan tempat berinvestasi yang menguntungkan. Tetapi kondisi KEK yang sudah dibentuk masih jauh dari harapan sehingga kurang mendukung adanya kegiatan investasi di Batam. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang menpengaruhi PMA di Batam, membahas karakteristik KEK yang berhasil dan membahas kendala pemerintah Batam dalam mengembangkan KEK. Data yang digunakan adalah data sekunder yang merupakan data triumlanan yang bersumber dari BPS, BKPM, BI, Depnakertrans, Badan Otorita Bztanl dan buku terbitan lain yang menunjang penelitian ini. Variabel endogen
dalam penelitian ini adalah PMA sedangkan variabel eksogen yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Nilai Tukar (RER), Tingkat Inflasi (INF), Upah Minimum (UPAH), Pajak (Tax) dan Dummy Kawasan Ekonomi Khusus (KEKD) dari periode 1996:1 hingga 2007:4. Penelitian ini menggunakan estimasi OLS (Ordinary Least Square). Berdasarkan hasil penelitian, bahwa faktor yang mempengaruhi investasi asing (PMA) di Batam yaitu PDRB dengan nilai koefisien sebesar 0.417723 Nilai Tukar (-0.072206), Upah Minimum (0.545404) dan Pajak ( 0.118723) yang secara signifikan pada taraf nyata 5 persen, sedangkan Tingkat Inflasi (-0.0001 10) dan dummy Kawasan Ekonomi Khusus (-0.024575) tidak signifikan berpengamh terhadap PMA di Batam. Selanjutnya hasil penelitian juga melihat bahwa KEK yang telah dibentuk di Batam temyata belum memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan investasi di Batam ha1 ini, karena KEK yang sudah dibentuk ternyata masih mengalami banyak kendala baik dari segi teknis maupun implementasinya. Disamping itu, dari penelitian ini dapat pula diketahui bahwa karakteristik KEK yang berhasil adalah terciptanya keseimbangan ekonomi makro, lokasi geografis yang strategis, insentif yang di tawarkan, manajemen kawasan yang efektif dan efisien, jaringan infrastmktur yang memadai, keterkaitan dengan ekonomi domestik dan penguasaan teknologi. Sedangkan kendala-kendala Pemerintah Batam dalam mengembangkan KEK terkendala pada aspek legal dan aspek ekonomi, aspek kapasitas Pemerintah Daerah, aspek infrastmktur fisik dan aspek keterkaitan kegiatan investasi kawasan inctustri dengan perekonomian Batam.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENANAMAN MODAL ASING (PMA) DI BATAM
Oleh MULAELATUL KHASANAH HI4104066
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
DEPARTEMEN ILMU EIWNOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, : Mulaelatul Khasanah
Nama Mahasiswa
Nomor Registrasi Pokok : HI4104066 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Penanaman Modal Asing (PMA) di Batam
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Illnu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Rina 0kt;viZii. Ph.D. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
29
2009
JAM
PERNYATAAN
DENGAN IN1 SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI IN1 ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2009
tvlulaelatul Khasanah HI4104066
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banjamegara, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Juni 1986. Penulis merupakan anak kedelapan dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan H. Mahpudin dan Hj. Khotamah. Fada tahun 1990 penulis memulai jenjang pendidikannya di TK Badamita
1, Rakit Banjamegara. Dua tahun setelah itu, tepatnya tahun 1992, penulis melanjutkan
ke
SD
Badamita
1,
Banjamegara.
Selanjutnya,
penulis
menyelesaikan pendidikan dasar di SD tersebut pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Wanadadi 1, Banjamegara dan lulus pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMU 1 Bawang, Banjarnegara. Penulis menamatkan pendidikan di SMU tersebut pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk EPB (USMI) pada Program Studi EImu Ekcnomi Depvtemen Ilmu Ekcnomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis terlihal dalam kepengurusan FORMASI dan Ikatan Mahasiswa Banjamegara.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah ... ... ... ... Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayahnya, sehingga proses penyusunan skripsi yang bejudul "Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing (PMA) di Batam" ini dapat diselesaikan dengan baik, walaupun masih banyak kekurangannya. Salawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai rahmat lil al-'alanzi (rahmat bagi seluruh alam) yang telah mernbawa umat manusia dari kesesatan kepada kehidupan yang selalu mendapat sinar Ilahi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dalam proses penyusunan skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Secara khusus, penulis hendak menyampaikan terima kasih kepada: 1. Rina Oktaviani, Ph. D., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu untuk mernberikan saran dan bimbingan kepada penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
2. M. Findi, h4. Si., selaku dosen pembimbing akademik yang telah rnemberikan bimbingan dan arahan selama penulis duduk di bangku perkuliahan. 3. Dr.Wiwiek Rindayati dan Tony Irawan M.App.Ec selaku dosen penguji utama dan dosen penguji komisi pendidikan.
4. Bapak dan lbuku tecinta, H.Mahpudin dan Hj.Khotamah, yang dengan kasih selalu mendoakanku dan dengan sabar memberi dorongan serta semangat setiap waktu. 5. Semua kakaku, If&\, Amirkhan, Sujai, Dyah, Umi, Ma1 dan Khol yang
selalu memberikan doa dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini. 6. Kakak iparku Daryanto, Mba Sri Sunarsih dan M.Basor yang dengan setia mendoakanku dan selalu memberikan nasehat serta. dukungan.
7. Semua keponakanku yang lucu-lucu Akmal, Nurul, Royhan, Maya, Aji, Umar, Akbar, Ulwan dan Osa...celoteh kalian beri semangatku setiap hari. 8. Andin, Salin, Mela, Mr. Novi, E. Sujono, H. Uding d m semua keluarga besar pondok penyoe, dukungan kalian sungguh berarti. 9. Mas Hady, A'Adri terima kasih doa dan motivasinya kehadiran kalian memberiku semangat lagi.
10. Nety, Ratih, Erlan, Ayah Ao, Dewi K, Anang, Endang S. dan Dono terima kasih atas doanya, tanpa kalian hidupku tidak lengkap. 11. Selumh dosen, staf penunjang dan civitas Departemen Ilmu Ekonomi atas ilmu dan bantuan yang diberikan. 12. Teman-teman IE 41, khususnya Mega, Neny, Sondang, Itut, Hurum, Merlyn, Laswati, Boim, Eko, Deni, Bagus, Laura, Roni, Adit, Islam. Terima kasih untuk kebersamaan kita. 13. Wina(lE 39), Rizka (FKH 39), Nora (Manajemen 40) dan Fajar (Statistik. Terima kasih untuk ilmu, bantuan, bahkan dukungan yang telah diberikan. 14. Seiuruh pihak Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, LIP1 Jakarta khususnya Bapak Tedy Lesmana, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bank Indonesia dan BKPM. Terima kasih untuk data d m infomasi yang diberikm. Penillis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pclda skripsi ini. Namun penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2009
Mulaelatul Khasanah. NIM: HI41 04066
DAFTAR IS1
Halaman KATA PENGANTAR ..............................................................................
i
DAFTAR IS1....................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
v
I. PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................
5
.. 1.3. Tujuan Penehtlan ................................................................................ 9 .. 1.4. Manfaat Penelltian .............................................................................. 9 .. 1.5. Ruang Lingkup Penelltian................................................................... I1. TINJAUAN PUSTAK.4 DAN KERANGKA PEMIKIRAN................. 2.1. Titljauan Teoritis ................................................................................. 2.1.1. Teori Investasi Asing Langsung ............................................. 2.1.2. Dampak Investasi Asing Langsung ......................................... 2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PMA ......................................... 2.2.1. Hubungan Produk Domestik Regional Bruto dengan PMA ...
................................. Hubungan Nilai Tukar dengan PMA .......................................
2.2.2. Hubungan Tingkat Inflasi dengan PMA 2.2.3.
2.2.4. Hubungan Upah dengan PMA ................................................ 2.2.5. Hubungan Pajak decgan PMA ................................................ 2.2.5.1. Pajak dan Otcnomi Daerah........................................ 2.2.5.2. Pajak Daerah Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 1997 ................................................................ 2.2.5.3. Pajak Daerah Berdasarkan Undang-Undang No.34 Tahun 2000 ................................................................ 2.2.6. Kawasan Ekonomi Khusus ......................................................
..
2.3. Penel~t~an Terdahulu ...........................................................................
2.3.1. Model Fung, Izaka dan Parker .................................................
..
2.4. Kerangka Pemiklran ............................................................................
40 43
..
2.4.1. Hipotesis Penehtlan ................................................................. 47
1II.METODE PENELITIAN .........................................................................
50
3.1. Jenis dan Sumber Data ......................................................................
50
3.2. Metode Analisis Data ......................................................................
51
3.2.1. Metode Regresi Linier Berganda .............................................
51
3.2.2. Model Umum Analisis Regresi Linier Berganda .....................
52
3.2.3. Model Analisis Penelitian ........................................................
53
3.3. Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik...........................................
55
3.3.1. Uji Kriteria Statistik .....................................................
55
3.3.1.1. Uji t (Uji Parsial) .............................................
55
3.3.1.2. UJI Serempak ..................................................
56
..
2
3.3.1.3. Uji Koefisien Determinasi (R ).......................
58
3.3.2. Uji Kriteria Ekonometrika ........................................... 59 3.3.2.1. Uji Heteroskedastisitas.................................
59
3.3.2.2. Uji Auiokorelasi ...........................................
60
3.3.2.3. Uji Multikolinieritas.....................................
61
3.4. Beberapa Kelemahan Metode Ordinary Least Square........................
63
IV . G A M B A W UMUM ..............................................................................
65
4.1. Perkembangan Penanaman Modal Asing di Batam ...........................
65
4.2. Perkembangan PDRB Batam ..............................................................
66
4.3. Perkembangan Nilai Tukar di Batam .................................................
67
4.4. Perkembangan Tingkat Inflasi Batam .................................................
68
4.5. Perkembangan Upah Minimum Batam .............................................
70
4.6. Perkembangan Penerimaan Pajak Batam ...........................................
71
4.7. Kawasan Ekonomi Khusus Batam ......................................................
73
4.7.1. Karakteristik KEK ysng Berhasil ............................................
73
4.7.2. Kendala dan Kelemahan yang Dihadapi Batam dalam Mengembangkan KEK .............................................................
77
4.7.2.1. Aspek Legal dan Aspek Ekonomi...............................
77
4.7.2.2. Aspek Kapasitas Pemerintah ......................................79 4.7.2.3. Aspek Infrastruktur Fisik ............................................
80
4.7.2.4. Aspek Keterkaitan Kegiatan Investasi Kawasan Industri dengan Perekonomian Daerah Batam ........... 82
V.FAKTOR-FAKTOR Y m T GMEhlPENGARUHI PMA D l BATAM .. 84 5.1. Estimai Parameter Model ..................................................................
84
5.2. Uji Kriteria Statistik............................................................................
85
. . . .
. .
5.2.1. Uji F .........................................................................................
85
5.2.2. Uji Koefisien Determinasi (R2) ........................................
85
5.3. Uji Kriteria Ekonometrika .................................................................. 5.3.1. 5.3.2.
.. Uji Autokorelasi....................................................................... .. Uji Heteroskedastisitas .......................................................... ..
. . . .
85 85 86
5.3.3. Uji Mult~koh~~~eritas ................................................................
87
5.4. Estimasi Model ...................................................................................
88
5.4.1. PDRB .....................................................................................
88
5.4.2. Nilai Tukar .............................................................................
89
5.4.3. Tingkat Inflasi ..........................................................................
90
5.4.4. Upah .........................................................................................
90
5.4.5. Pajak .......................................................................................
91
5.4.6. Dummy Kawasan Ekonomi Khusus ........................................ 92
. .
..
5.5. Implikasi Kebijakan ............................................................................
VI.PENUTUP ................................................................................................. 6.1. Kesimpulan .........................................................................................
93
95 95
6.2. Saran .................................................................................................. 96
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 98 LAMPIRAN .................................................................................................. 100
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
Ekspor Batam Menurut Negara Tujuan Utama ..............................
2.
Nilai dan Pertumbuhan PDRB Kota Batam Tahun 2000-2005 ...... 4
3.
Perkembaqgan Rencana Investasi Asing (PMA) Batam ................ 6
4.
Hasil Estimasi FDI dari Jepang ................................................
41
5.
Hasil Estimasi FDI dari United States ............................................
42
6.
Variabel-Variabel yang Digunakan dalam Penelitian .................... 50 Kawasan Ekonomi Khusus di Batam .............................................
3
73
Hasil Estimasi Analisis Regresi PMA di Batam............................. 84 Hasil Estimasi Uji Autokorelasi .....................................................
86
Hasil Estimasi Uji I-Ieteroskedastisitas ...........................................
87
Hasi! Estimasi Uji Multikolinieritas ...............................................
87
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.
Halaman Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Batarn Tahun 2001-2005 dan Prediksi Tahun 2006-201 1 ..............................................................
5
Masalah-Masalah Utama dalam Melakukan Bisnis di Indonesia Versi WEF 2007 .............................................................................
7
Investasi Otonom dan Investasi Terpengaruh.................................
21
Ekspor Bersih dan Kurs Riil ...........................................................
27
Kurva Kenaikan AD yang Tidak Diantisipasi oleh Pasar............... 28 Kurva Kenaikan AD yang Diantisipasi oleh Pasar .........................
29
Peningkatan Pajak dalam Perpotongan Keynesian .........................
33
Kerangka Pemikiran Konseptual ....................................................
46
Perkernbangan Realisasi PMA di Batam ........................................
66
Perkembangan PDRB Batam Tahun 1996-2007 ............................
67
Perkembangan Nilai Tukar Batam Tahun 1996-2007 .................... 68 Perkembangan l'ingkat Inflasi Batam Tahun 1996-2007 ...............
69
Perkembangan Upah Minimum BatamTahun 2000-2007 .............. 70 Perkembangan Penenmaan Pajak Batam Tahun 1999-2007.......... 72
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Data yang Digunakan dalam Penelitian ..........................................
102
2.
Hasil Estimasi Model ......................................................................
103
3.
Hasil Estimasi Uji Autokoielasi......................................................
104
4.
Hasil Estimasi Uji Heteroskedastisitas ...........................................
106
5.
Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas ...............................................
106
6.
Hasil Estimasi Uji Kenonnalan Data ..............................................
107
1.1.
Latar belakang Indonesia sebagai negara berkembang, modal merupakan kendala utama
dalam mewujudkan program-program pembangunan, ha1 ini disebabkan terbatasnya modal untuk membiayai program pembangunan tersebut. Program pembangunan ini penting untuk pengadaan sarana prasarana ekonomi seperti infrastruktur, jaringan telekomunikasi, transportasi dan lain sebagainya. Dengan tersedianya sarana prasarana ekonomi diharapkan bisa membantu kelancaran kegiatan ekonomi. Menurut N.Gregory Mankiw (2000), ada 4 faktor sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi yaitu belanja pemerintah (C), konsumsi (C), investasi (I)
dan ekspor bersih (NX). Pemerintah tidak bisa mengandalkan
pembelanjaan
pemerintzh sebagai penggerak peitumh~han ekonomi karena dianggap akan menambah beban hutang pemerintah, dan juga pemerintah tidak bisa mengandalkan konsumsi secara terus menerus karena dikhawatirkan akan membuat masyarakat menjadi konsumtif. Pemerintah bisa mengotimalkan pertumbuhan ekonomi n~elalui kegiatan investasi dan perdagangan. Investasi merupakan salah satu komponen dari pembentukan pendapatan nasional, sehingga pertumbuhan investasi akan berdampak pada pertumbuhan pendapatan nasional ( B U M , 2004). Salah satu cara untuk menciptakan suatu lingkungan yang kondusif bagi aktivitas perdagangan dan ekspor yang
ditujukan untuk
mempercepat
pertumbuhan ekonomi adalah dengan menciptakan suatu Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic Zone). Pada awal tahun 1950-an pasca perang dunia ke dua Eropa mampu meningkatkan perekonomiannya melalui rangsangan investasi dari Kawasan Ekonomi Khusus (Rondinelli, 1987). Selanjutnya, (O'Hara, 1981) menyatakan bahwa Enterprise Zones (EZs) adalah suatu zona yang dipilih untuk merevitalisasi aktivitas usaha dengan merangsang pertumbuhan investasi dan sektor swasta (private sector). Konsep ini berawal dari asumsi dimana jika pemerintah mengurangi pengenaan pajak dan beban-beban atas regulasi (regulatoly burdens), dunia usaha akan berkembang dengan lebih cepat dan pada giliranya akan memperkuat kondisi perekonomian setempat melalui aktivitas ekspansi usaha yang terjadi. Melalui kesepakatan pada tanggal 25 Juni 2006 antara pemerintah Indonesia dan Singapura, Batam, Bintan dan Karimun (BBK) ditetapkan sebagai Kawasan Ekononxi Khusus. Pertumbuhan ekonomi Batam mengalami kernajuar. yang signifikan ketika kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang investasi dalam bentuk PMA d m PMDN, setelah pemerintah menerbitkan peraturan yang membebaskan pajak perseroan untuk masa dua tahun (Undangundang No 11 Tahun 1970). Begitu pula sejak lahimya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2005 tentang Penanam Modal, aliran modal asing di Batam setiap tahun menunjnkkan perkembangan dan peningkatan baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif. Batam sebagai daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat ditujukan untuk menjadi tempat penanaman investasi baik PMA maupun PMDN. Letak wilayahnya yang strategis karena berada di jalur pelayaran niaga intemasional
Selat Malaka dan berbatasan dengan Malaysia dan Singapura membuat Batam menjadi tempat yang efisien untuk berinvestasi. Disamping itu, Batam relatif memiliki infrastruktur penunjang industri seperti tenaga listrik, air, jalan, pelabuhan, bandara dan infrastruktur penunjang lainnya yang memadai. Dengan adanya Kawasan Ekonomi Khusus kegiatan perdagangan antara Batam dan Singapura menjadi semakin baik. Ini terlihat dari besarnya ekspor ke Singapura yang mencapai 802.263.717 kg dengan nilai FOB 3.483.985.651 US$. Pada Tabei 1 menunjukkan bahwa Batam mengekspor paling besar ke regara Singapura dibandingkan dengan negara lain.
Sumber : BPS, 2006
Bagi Batam pembentukan KEK memiliki arti yang sangat penting. Batam sebagai pulau kembar Singapura karena letaknya berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia serta memiliki karakteristik yang hampir sama dengan Singapura yaitu pertumbuhan ekonomi tinggi. Tetapi kondisi ini belum
dimanfaatkan sepenuhnya oleh Batam dan belum mampu mengambil manfat optimal dari kemajuan yang sangat pesat yang dialami oleh Singapura. Pendapatan Domestik Regional Bruto Per Kapita kota Batan tahun 2004 yaitu sebesar Rp 29.761.004,OO jauh tertinggal dari Singapura yang sebesar Rp 242.200.000,OO. Menurut teori pertumbuhan ekoncmi (Economic Growth Mode4 pertlwnbuhan ekonomi Batam yang terbilang cukup tinggi dan tingkat pendapatan perkapita yang mnsih berada jauh di bawah Singapura membuka kemungkinan bagi Batam untuk dapat mengejar ketertinggalan dari Singapura. Tabel 2. Nilai dan Pertumbuhan PDRB Kota Bntam T a l ~ u n2000-2005 PRDBJKaoita I Pcnumbuhan
I 1 PDRB(Atas - 1 Pertumbuhan I
I
Sumber : BPS, 2005 Tabel 2 memperlihatkan pertumbuhan ekonomi kota Batam selalu lebih tinggi (diatas 6%) dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, bahkan pada tahun 2005 mencapai 8%. Akselerasi pertumbuhan ekonomi kota Batam yang cenderung meningkat menandakan Batam mempunyai prospck baik. Dengan melihat angka pendapatan per kapita maka terlihat nilainya sangat fluktuatif dengan kecenderungan yang terus menurun. Begitu pula dengan pertumbuhan pendapatan perkapita pada tahun 2001 nilainya negatif (-1 1,3%) sedangkan pada tahun 2005 (-6,9%.). Perkembangan laju pertumbuhan ekonomi Kota Batam dari
tahun 2001-2005 dan prediksi 2006-2011 dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
-
Gambar 1. Laju Pel-tumbuhanEkonomi Kota Batam Tahun 2001-2005 dan Prediksi Tabun 2006-2011 Sumber : BPS. 2005 Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa prediksi pertumbuhan ekonomi Batam dari tahun 2006 sampai tahun 2011 selalu meningkat, ha1 ini merupakan sinyal positif bagi kondisi investai di Batam. Salah satu pertimbangan para
investor menanarnkan modalnya
disuatu negara
adalah prediksi
perekonomian dimasa yang akan datang, dimana jika perekonomian di Batam bergairah maka investor akan beralih ke Batam yang memiliki market menjanjikan.
1.2.
Perumusan Masalab Batam sebagai daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat ditujukan
untuk menjadi berinvestasi baik PMA maupun PMDN. Letak wilayahnya yang strategis karena berdekatan dengan negara tetangga khususnya Singapura membuat Batam menjadi tempat yang efisien untuk berinvestasi. Apalagi Batam sekarang sudah menjadi Kawasan Ekonomi Khusus tentunya tempat ini menjadi
daya tarik tersendiri bagi para investor asing. Perkembangan realisasi investasi PMA dari tahun ketahun berfluktuasi, ini berarti Batam belum sepenuhnya kondusif sebagai ladang untuk berinvestasi bagi para investor asing.
Sumber :Badan Koordinasi Penanam Modal, 2005 Pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa dari tahun ketahun j-mlah PMA dan nilai PMA bervariasi. Pada tahun 2006 jumlah perusahaan yang masuk ke Batam berjumlah 95 dzngan niiai 376,79 juta US$, peningkatan iili karena ada respon positif para investor asing terhadap pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus. Dilihat dari nilainya pada tahun 2006 investasi Batam mencapai 376,79 juta US$ lebih tinggi dibandingkan tahun 2005 yang hanya 242,39 juta US$. Namun pada tahun 2007 investasi mengalami penurunan menjadi 205,9 US$ akibat berbagai kebijakan dan peraturan yang kurang kondusif bagi investor asing. Berbagai kendala yang sering dikeluhkan investor adalah birokrasi, pelayanan pajak yang berbelit, infrastruktur yang buruk dan terbatasnya tenaga kerja yang memiliki keahlian dan ketrampilan. Pada Gambar 2 hasil survei yang dilakukan World Economic Forum (2007), menunjukan bahwa masalah-masalah yang dihadapi para investor asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia adalah pertatna 20,5% infrastruktur
buruk, kedua 16,1% birokrasi tidak efisien, 10,8% akses yang terbatas untuk pendanaan, 10,7% kebijakan pemerintah yang tidak stabil, 8,5% peratwan ketenagakerjaan yang restriktif dan selanjutnya bisa dilihat pada Gambar 2 dibawah ini.
Gambar 2. MasaIak-MasaIaE Utama dalam Melalukan Bisnis di Indonesia Versi WEF 2007 Surnber : JVorZd Economic Forunt. 2007 Kondisi yang te~jadidi Batam ditinjau dari aspek legal dan akses ekonomi yang mendorong berhasilnya KEK dibatasi pada sisi penanaman modal, pabean dan perpajakan, keimigrasian, ketenagakerjaan, serta keuangan dan perbankan. Dari sisi penanaman modal, saat ini pelayanan perijinan sudah dalam satu atap (one stop service), namun penanganan urusan ijin ini masih bersifat parsial dan belum dilakukan dalam suatu pengelolaan yang terpadu. Dari sisi praktek kepabeanan dan perpajakan pada saat ini dirasakan masih berbelit-belitnya prosedur keluar dan masuknya barang maupun banyaknya ijin-ijin dari pemerintah pusat terkait dengan kegiatan investasi asing. Selain itu
beban pungutan bea masuk, barang modal dan PPN masih dianggap kurang menarik bagi investor asing. Untuk mendukung suksesnya pelaksanaan KEK di Batam masih diperlukan banyak penyederhanaan, pengurangan ataupun penghapusan prosedur kepabeanan dan perpajakan. Dalam bidang peraturan ketenagakerjaan, ha1 yang masih menjadi keluhan dan kekhawatiran calon investor adalah peraturan tentang besarnya pesangon (severance paynte~zt)jika tejadi PHK dan kenaikan rutin UMR yang dinilai relatif tinggi dan tidak jelas terutama dalam ha1 penentuan kenaikan upah. Selain itu sering dan mudahnya kelompok pekeja melakukan demonstrasi dan mogok kerja juga merupakan suatu persoalan yang dianggap sanga.t merugikan investor. Dari berhagai ha1 yang telah diuraikan, maka dapat dirulnuskan beberapa pennasalahan
diantaranya adalah apa saja yang menjadi faktor-faktoi. yang
mcmpengaruhi Penanaman Modal Asing di Batam, kemudian apakah KEK yang telah dibentuk memberikan dampak positif terhadap peningkatan Penanaman Modal Asing di Batarn dan bagaimana KEK dikatakan berhasil, apa kendala pemerintah dalam mengembangkan KEK.
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada maka penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Penanam Modal Asing di Kota Batam.
2.
Mengidentifikasi dampak Kawasan Ekonomi Khusus terhadap Penanaman Modal Asing.
3.
Mengidentifikasi ciri-ciri Kawasan Ekonomi Khusus yang berhasil dan mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi pemerintah Batam dalam mengembangkan KEK.
1.4.
Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak diantaranya adalah: 1.
Bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkau dapat meinberikan informasi dan bahan pertimbangan dalam pengatnbilan keputusan khususnya yang berkaitan dengan investasi.
2.
Memberikan infonnasi bagi para mahasiswa lain sebagai bahan referensi untuk penelitian lebih jauh atau sebagai pelengkap penelitian lain yang masih relevan dengan permasalahan penelitian ini.
3.
Bagi penulis, penelitian ini sebagai sarana pembelajaran dalam memahami kondisi E3K secara mendalam. Selain itu juga penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sarana untuk menerapkan ilmu ekonomi yang
selama ini diperoleh dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departernen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas tentang faktor-faktor yang mempengamhi Penanam Modal Asing (PMA) di Batam, penelitian ini juga membahas Kawasan Ekonomi Khusus sebagai katalisator Penanam Modal Asing untuk menanamkan modalnya di Batam. Selanjutnya membahas ciri-ciri KEK yang berhasil dan kendala-kendala pemerintah
kota Batam dalam mengelola KEK. Data yang
digunakan adalah data sekunder berupa data triwulanan yang bersumber dari BPS, B U M , 131, Depnakertrans dan buku terbitan lain yang menunjang penelitian ini. Variabel endogen dalam penelitian ini adalah PMA sedangkan yang menjadi variabel eksogen adalah Produk Domeslik Regional Bmto, Nilai Tukar Riil, Tingkat Inflasi, Upah Minimum, Pajak clan dumtny Kawasan Ekonomi Khusus dari peiiode 1996:l hingga 2007:4. Penelitian ini menggunakan metode regresi linier berganda dengan estimasi Ordinary Least Square (OLS).
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Teoritis
2.1.1.
Teori Investasi Asing Langsung Menurut Krugman (1998), yang dimaksud dengan penanaman modal
asing langsung adalah arus modal internasional dimana perusahaan dari suatu negara memperluas atau mendirikan pemsahaan di perusahaan lain. Oleh karena itu tidak hanya terjadi pemindahan sumberdaya, tetapi juga pemberlakuan kontrol terhadap perusahaan di l u x negeri. Menurut Salvatore (1997); penanam moda! asing langsung meliputi investasi dalam aset-aset misalnya berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperhan produksi, pembelanjaan berbagai peralatan inventaris dan sebagainya. Pengadaan modal s i n g itu biasanya diikuti dengan penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen dan pihak investor sendiri tetap mempertahankan kontrol terhadap dana-dana yang telah ditanamkan. Investasi langsung berarti bahwa perusahaan dari negara penanam modal secara langsung melakukan pengawasan atas aset yang ditanam di negara pengimpor modal. Investasi langsung luar negeri dapat mengambil beberapa bentuk yaitu : pembentukan suatu perusahaan dimana pemsahaan dari negara penanam modal memililu mayoritas saham-saham pembentukan suatu pemsahaan di negara pengimpor modal-modal atau menaruh aset tetap di negara lain oleh perusahaan nasional dari negara pananam modal (Jhingan, 2003).
Faktor-faktor yang menentukan jumlah investasi (Deliamov, 1995) adalah:
1. Suku bunga Suku bunga berpengaruh negatif terhadap investasi, jika suku bunga turun maka investasi meningkat begitu pula sebaliknya. Suku bunga yang tinggi akan mempengaruhi inflasi, sehingga jika suku bunga naik akan diikuti oleh inflasi yang meningkat juga. 2. Inovasi dan teknologi
Temuan-temuan baru menyebabkan cara-cara berproduksi lama menjadi tidak efisien. Untuk itu perusahaan-perusahaan perlu menanamkan investasi untuk membeli mesin-mesin peralatan baru yang canggih. 3. Kondisi perekonomian
Makin banyak aktivitas perekonomian makin besar pendapaian nasional dan makin banyak bagian pendapatan yang ditabl~ngyang pada giliranya akan diinvestasikan pada usaha-usaha yang menguntungkan.
4. Ramalan orang tentang perekonomian dimasa datang Jika peramalan perekonomian dimasa yang akan datang cerah (inflasi terkendali) orang akan melakukan investasi sekarang. Sebaliknya jika Grang peramalan dimasa yang akan datang lesu karena diperkirakan inflasi tinggi, maka orang enggan menambah investasi.
5. Situasi politik
Jika situasi aman dan pemerintah banyak memberikan kemudahan-kemudahan bagi pengusaha, maka tingkat investasi akan tinggi. Tetapi jika situasi politik tidak aman dan pengusaha banyak mengalami birokrasi yang berbelit-belit maka tingkat investasi akan rendah. FDI sebagai salah satu aliran modal intemasional memiliki beberapa motif baik bagi negara asal investasi langsung tnaupun negara tujuan investasi. Motif negara asal investasi langsung diantaranya adalah: (1) mendapatkan return yang lebih tinggi melalui tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, perpajakan yang lebih menguntungkan, infrastruktur yang lebih baik; (2) untuk melakukan diversivikasi resiko (risk diverszfikation); (3) untuk tetap memiliki conzpetitive advantage melalui direct control dan (4) untuk menghindari tarij'ydan izon tar$/ barrrier yang dibebankan kepada impor dan sekaligus memanfaatkan berbagai insentif dalam bcntuk subsidi yang diberikan oleh pemerintah lokal untuk mendorong FDI (Hamdy Hady, 1998). Menurut Moosa (2004), beberapa teori yang menjelaskan Foreign Direct Invesinent adalah sebagai berikut: I.
The Differential Rate ofReturn tlypotesis Teori ini menyatakan bahwa aliran modal dari suatu negara dengan tingkat pengembalian yang rendah berpindah ke negara yang memiliki tingkat pengembalian yang tinggi dalam suatu proses yang cepat. Dalam ha1 ini FDI diputuskan dengan mempertimbangkan marginal return dan nzarginal costnya. Investor lebih tertarik negara yang upahnya rendah, memiliki
tenaga kerja berpendidikan dan produktifitasnya tinggi, pajak yang tidak membebankan investor, infrastruktur yang bagus, pelayanan administrasi mudah dan birokrasi yang efisien. 2.
The Diversivication Hypotesis Menurut teori ini bahwa keputusan dalam investasi terhadap suatu proyek tidak hanya ditentukan oleh tingkat pengembaliannya tetapi juga besarnya resiko yang dihadapi dimana berdasarkan sifatnya terhadap resiko, investor dapat dikelompokan menjadi tiga tingkatan, yaitu; pertama, Risk Averse, merupakan sifat menghindari resiko sehingga investor memilih resiko yang rendah walaupun terkandang konsekuensinya dengan return yang rendah; kedua, Risk Medium, merupakan sifat yang proporsional melihat resiko dengan berinvestasi pada resiko sedang pada return tertentu; ketiga, Risk Taker me~pEikaI1sifat yang berani mengambi! resiko dengan berinvestasi yang memberikan
tingkat keuntungan
yang
besar
dengan
tanpa
memperdulikan konsekuensi resiko yang lebih tinggi. 3.
The Output and Market Size Hypotesis Teori ini menyatakan bahwa besamya FDI yang mengalir ke suatu negara tergantung besarnya output dari perusahaan multinasioanal di negara tersebut atau besamya ukuran pasar dan negara tersebut yang diukur berdasarkan GDP atau PDRB.
4.
TJze Czrrrency Areas Hypotesis Menurut teori ini bahwa perusahaan suatu negara yang mempunyai nilai mata uang yang kuat dibandingkan dengan negara lain akan cenderung
melakukan investasi karena negara yang mata uangnya lemah cenderung tidak mampu untuk melakukan investasi sebab resiko yang akan di hadapi tinggi. Dengan kata lain negara yang mempunyai nilai mata uang yang kuat merupakan sumber dari FDI dan negara yang mata uangnya lemah adalah tujuan dari FDI.
5.
The Produk Life Cycle Hypotesis Hipotesa ini menjelaskan bahwa produk yang pertama kali muncul dianggap sebagai suatu inovasi di negara asalnya. Seiring dengan bergulimya waktu, produk tersebut akan menyebar ke negara-negara lain sehingga produk tersebut menjadi bisa terstandarisasi. FDI timbul dari reaksi-reaksi oleh perusahaan dengan ekspektasi ke luar negeri yang memiliki kemungkinan kehilangan pasar karena produknya berkembang.
2.1.2.
Dampak Investasi Asing Langsung
Dalaln model neoklasik oleh Solow menyebutkan bahwa FDI dinyatakan sebagai salah satu determinan tingkat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang karena adanya diminishing return dari modal fisik (Sarwedi, 2002). Keberadaan investasi asing langsung sebagai salah satu bentuk aliran modal dalam perekonomian selain memiliki marlfaat juga memiliki dampak yang ditimbulkan. Dampak tersebut dapat berupa dampak positif maupun dampak negatif bagi negara penerima. Dampak positif dari FDI adalah FDI merupakan salah satu saluran utama transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Negara berkembang
memiliki beberapa kelemahan dalam struktur perekonomiannya seperti tingkat pendidikan, penduduk, infrastruktur, liberalisasi perekonomian, kestabilan sosial politik dan sebagainya. Oleh karena itu kurang memiliki kemampuan dalam melakukar, inovasi dan menemukan teknologi baru yang dapat menjadi mesin mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya kelemahan ini membuat negara berkembang untuk melakukan adopsi teknologi asing melalui FDI. Transfer teknologi tinggi yang dibawa perusahaan multinasional dapat terjadi melalui peroses pembelajaran yang dilakukan oleh pemsahaan-pemsahaan dalam negeri. Keuntungan lain yang diperoleh negara penerima FDI adalah dalam peningkatan kualitas tenaga kerja dengan meningkatkan keahlian dan kemampuan manajerial perusahaan lokal. FDI menipakan aiiran modal yang tidak memiliki resiko tinggi bagi perekonomian negara berkembang. Apabila suatu proyek tidak berhasil, maka negara peneriina investasi tidak hams membayar ganti rugi atas modal yang telah diinvestasikan. Hal ini tentu berbeda dengan indikator utang, dimana bila terjadi kerugian perusahaan tetap hams membayar cicilan iltang dan bunganya (Rivayani, 2000j. Feldstein (20C)O), meyakini bahwa sebagai salah satu jenis aliran modal bebas, PMA memiliki beberapa keuntungan. Pertama, aliran modal tersebut mengurangi risiko dari kepemilikan modal dengan melakukan deversifikasi melalui investasi. Kedua, integrasi global pasar modal dapat memberikan spread terbaik dalarn pembentukan corporate governance, accounting rules, dan
legalitas. Ketiga, mobilitas modal secara global membatasi kemampuan pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang salah.
FDI sebagai aliran modal juga memiliki dampak negatif bagi negara penerima.
Masuknya perusahaan multinasional dapat mematikan
bisnis
perusahaan lokal yang tidak mampu bersaing dengan perusahaan multinasional dalam ha1 efisiensi produksi. Perusahaan multinasional mampu menekan biaya produksi dan menjual produk dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan perusahaan lokal. Perusahaan lokal akan kalah bersaing dari perusahaan multinasional, sehingga lnereka akan meminta proteksi. Tingginya permintaan proteksi akan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk membiayai proteksi tersebut. Perusahaan multinasional yang berbasis substitusi impor pada umumnya mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah seperti pelnotongan pajak dan hak memonopoli pasar. Hal ini teutu saja berdampak pada meningkatnya korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintah melalui berbagai pungutan liar dalam proses administrasi (Rivayani, 2000). Krugman (1998), dalam pandanganya menyebutkan bahwa FDI tidak hanya mencangkup transfer kepemilikan dari dalam negeri menjadi kepemilikan asing, melainkan juga mekanisme pang menungkinkan investor asing untuk mempelajari manajemen dan kontrol dari perusahaan dalam negeri khusuenya dalam corporate governance mechanism.
2.2.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asiug
2.2.1.
Hubungan Produk Domestik Regional Bruto dengan PMA Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencerminkan pertumbuhan
ekonomi suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas ini sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, kelembagaan dan ideologis terhadap berbagai tuntutan yang ada (Todaro, 2000). Todaro juga mengartikan pembangunan sebagai suatu proses multidimensional yang menyangkut perubahan-pembahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, kelembagaan nasional maupun percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan dan penghapusan kemiskinan. Jadi, secara ringkas dapat dikatakan arti dari pembangunan klasik dan pembangunan moderen adalah sebagai berikut: *>
Pembangunan klasik
: pembangunan = pertumbuhan ekonomi
+:*
Pembangunan moderen
: pembangunan
=
pertumbuhan ekonomi
+ Iain-
lain seperti, menekan pengangguran, penyediaan prasarana pendidikan dan kesehatan yzng memadai. Menurut para ahli ekonomi proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor yaitu pertama, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh faktor ekonomi seperti sumber daya alam, akumulasi modal, kemajuan teknologi, pembagian kerja dan skala produksi. Kedua, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi
olah faktor non ekonomi seperti faktor sosial, faktor SDM, faktor politik dan birokrasi. PDRB dapat dihitung atau diukur dengan tiga macam pendekatan (Dumairy, 1996) yaitu:
1. Pendekatan produksi PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah atau daerah dalam jangka waktu setahun. Unit-unit produksi secara garis besar dibagi menjadi sebelas sektor atau lapangan usaha yaitu (1) pertanian, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan,
(4) listrik, gas dan air minum, (5) bangunan, (6) perdagangan, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) bank dan lembaga keuangan lainnya, (9) sewa rumah, (1 0) pemerintah dan (1 1) jasa-jasa. 2. Pendekatan pendapatan PDRB adalah julnlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang tumt serta dalam proses produksi di wilayah atau daerah dalam jangka waktu setahun. Balas jasa produksi yang dimaksud meliputi upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. 3. Pendekatm pengeluaan PDRB adalah jumlah selumh komponen perminlaan akhir, meliputi: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan, pembentukan modal dan perubahan stok pengeluaran konsumsi pemerintah dan ekspor netto (yaitu ekspor dikurangi impor) dalam jangka waktu setahun.
Para ekonom juga menggolongkan PDRB menjadi dua yaitu PDRB nominal dan PDRB nil. PDRB nominal adalah nilai barang dan jasa yang diukur dengan harga berlaku. Sedangkan PDRB nil adalah nilai barang dan jasa yang diukur dengan menggunakan harga konstan. Rasio antara PDRB nominal terhadap PDRB riil disebut deflator PDRB, yang mengukur harga output relatif terhadap harganya pada tahun dasar (Mankiw, 2000). Peranan pendapatan (PDRB) terhadap investasi sangat penting, karena pendapatan yang tinggi akan memperbesar pendapatan masyarakat dan selanjutnya pendapatan masyarakat yang tinggi akan memperbesar permintaan terhadap barang dan jasa. Keuntmgan perusahaan akan bertambah tinggi dan akan mendorong dilakukannya lebih banyak investasi. Dengan kata lain, apabila PDRB bertambah tinggi maka investasi akan bertambah tinggi pula. Dengan demikian investasi mendapat pengaruh dari pendapatan nasional (Sukimo, 2001). Selain itu, jika pendapatan masyarakat tinggi, maka bagian dari pendapatan masyarakat tersebut yang dapat diperynakan untuk investasi meningkat sehingga investasi dapat meningkat, investasi ini berhubungan positif dengan pendapatan. Berkaitan dengan pendapatan, menumt Deliamov (1995), membedakan investasi menjadi dua, yaitu : 1. Investasi otonom (autonomous invesment) yaitu investasi yang jumlahnya di tentukan dari dalarn perekonomian itu sendiri (seperti nilai tukar, inflasi, upah, pajak, inftastruktur, teknologi, tingkat bunga). 2. Investasi terpengamh
(induced invesment) investasi yang jumlahnya
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pendapatan nasional.
Jumtah investasi otonom biasanya konstan, artinya tidak tergantung pada besar kecilnya pendapatan nasional. Peningkatan dalam investasi otonom ini bukai disebabkan oleh admya peningkatan pendapatan melainkan karena adanya perubahan faktor lain seperti: nilai tukar, inflasi, upah, pajak, infiasiruktur dan teknologi. Sebaliknya investasi yang terpengaruh akan naik turun sesuai dengan pendapatan nasional
Investasi
YI
Y2
Gambsr 3.a. Investasi Otonom
Pandapatan
v, Y 2 Pendapatam Gambar 3.b. Invzstasi Terpengamh
Keterangan: I : Investasi Y : Pendapatan YI : Pendapatan awal y2 : Pendapatan akhir Gambar 3. Investasi Otonom dan Investasi Terpengaruh Sumber : Deliamov, 1995
Hubungan Tingkat Inflasi dengan PMA
2.2.2.
Inflasi adalah keadaan dimana terjadi peningkatan harga umum secara terus-menents. Sedangkan tingkat inflasi menggambarkan perubahan harga-harga dalam suatu tahun tertentu. Indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen. Perhitungan inflasi dapat dinyatakan sebagai berikut:
dimana:
IN&
: Tingkat inflasi pada periode t
IHK, : Indeks Harga Konsumen pada periode t IHK,_, : Indeks Harga Konsumen sebelum periode t Khalwaty (2000) mengelompokan macam-macam inflasi berdasarkan sudut pandang sebagai berikut:
1. Asal Innasi a. Domestic injlation adalah intlasi yang berasal dari dalam negeri. Kenaikan harga disebabkan karena adanya kejutan (shock) dari dalam negeri, baik knrena perilaku masyarakat maupun perilzku pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang secara psikologis berdampak inflasi. b. Imported inflation adalah inflasi yang terjadi di dalam negeri karena pengaruh kenaikan harga dari luar negeri. Kenaikan harga di dalam negeri di pengaruhi oleh kenaikan harga dari luar negeri tenttama barang-barang
impor atau kenaikan bahan baku industri yang masih belum dapat di produksi di dalam negeri.
2. Intensitas Inflasi a. Creeping inflation atau inflasi merayap adalah inflasi yang terjadi dengan laju pertumbuhan berlangsung lambat (merayap). Creeping inflation biasa juga disebut dengan inflasi sedang (midlle inflation) terjadi karena kenaikan harga berlangsung secara perlahan-lahan. b. Hyper inflation adalah inflasi yang sangat berat yang timbul akibat adanya kenaikan harga-harga secara umum dan berlangsung sangat cepat. 3. Bobot Inflasi a. Inflasi ringan disebut creeping infation. Inflasi ringan adalah inflasi dengan laju pertumbnhan yang berlangsung secara perlahan dan berada pada posisi satu digit atau dibawah 10% pertahun. b. Inflasi sedang adelah inflasi dengan tingkat laju pertumbuhan berada diantara 10-30% pertahun atau melebihi dua digit dan sangat mengancam struktur dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. c. Inflasi berat mempakan inflasi dengan laju pertumbuhan berada diantara 30-100% pertahun. Pada kondisi demikian sektor-sektor produksi hampir lumpuh total kecuali yang dikuasai oleh negara. d. Inflasi sangat berat (hyper ii?flation) adalah inflasi dengan laju pertumbuhan melampaui 100% pertahun. Inflasi merupakan gejala ekonomi yang sangat menarik untuk diperhatikan, karena setiap kali ada gejolak sosial politik dan ekonomi di dalam
maupun luar negeri, masyarakat selalu mengkaitkan dengan masalah inflasi. Inflasi bisa menunjukkan kerentanan perekonomian suatu negara sehingga ha1 ini sangat berpengaruh terhadap kepercayaan penanaman modal asing akan prospek pendapatan yang akan diperolehnya di negara tersebut. Hyper inflation dalam jangka panjang akan memperlambat pertumbuhan
ekonomi dan ha1 ini berakibat pada lesunya sektor investasi yang produktif. Inflasi yang tinggi membuat harga barang dan jasa menjadi mahal, biaya input produksi tentunya akan meningkat. Kondisi ini menyebabkan pelaku usaha mengharuskan meningkatkan harga outputnya sehingga daya saingnya rendah. Inflasi menyebabkan daya beli masayarakat menjadi rendah, akibatnya kegiatan perdagangan lesu dan investor sulit untuk mendapatken return dan keuntungan. Selain itu juga inflasi ini bisa menyebabka~l ekspor turun dan cenderung menaikkan impor karena masyarakat dan para pelaku usaha lebih memilih untuk membeli barang-barang luar negeri yang herganya lebih murah. Ketika terjadi inflasi, pihak otoritas moneter akan menaikkan tingkat bunga guna menghindari kemerosotan nilai modal yang dipinjamkan. Makin tinggi inflasi maka makin tinggi pula tingkat bunga. Tingkat bunga yang tinggi menyebabkan
kreditur
turun
dan
lnengembangkan sektor-sektor produktif.
mengurangi
minat
investor
untuk
2.2.3.
Hubungan Nilai Tultar dengan PMA
.
Nilai tukar merupakan suatu nilai yang menunjukkan jumlah mata uang dalam negeri yang diperlukan untuk mendapat satu unit mata uang asing (Sukimo, 1996). Biasanya suatu negara akan berusaha untuk mempertahankan nilai tukar yang ditetapkan dalam jangka waktu yang lama. Selama nilai tukar yang ditetapkan tersebut tidak menimbulkan akibat yang kurang menguntungkan, maka negara tersebut tidak akan melakukan sesuatu perubahan terhadap nilai tukar yang telah ditetapkan. Nilai tukar memegang peranan penting dalam menentukan aktivitas perekonomian. Secara umum nilai tukar dibedakan rnenjadi dua jenis yaitu: (1) nilai tukar nominal yang merupakan harga relatif dari mata uang dua negara (Ivlankiw, 2000). Menurut Miskkin (2001), nilai tuker nominal merupakan satuan mata uang asing baik yang berbentuk hard cash maupun dalam bentuk surat berharga, (2) nilai tukar liil yaitu nilai tllkar nominal dikalikar. dengan barga barang domestik dibagi harga barang luar negeri (Mankiw, 2000). Nilai tukar (exchange rate) diantara dua negara adalah harga dimana penduduk kedua negara saling melakukan perdagangan. Nilai tukar nil atau kurs nil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Kurs riil diantara kedua negara dihitung dari kurs nominal dan tingkat harga dikedua negara. Kurs nil ini kadang-kadang disebut term of trade. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan: E
: Kurs nil
e
: Kurs nominal
P
: Harga barang domestik
P*
: Harga barang luar negeri
Ketika kurs riil tinggi, maka barang-barang luar negeri relatif murah dan barang-barang domestik relatif mahal. Begitu pula sebaliknya jika kurs riil rendah, maka barang-barang luar negeri relatif mahal dan barang-barang domestik relatif murah. Kurs riil jika dikaitkan dengan ekspor bersih maka ketika terjadi kurs rendah, barang-barang domestik relatif murah dibandingkan harga luar negeri. Penduduk domestik lebih memilih untuk membeli barang produk dalam negeri dari pada barang impor, ha1 yang sama dilakukan orang luar negeli l2bih memilih niembeli barang produk domestik. Peningkatan pennintaan produk domestik ini mcnyebabkan ekspor bersih menin&at. Hubungan antara kurs riil
(E)
dan ekspor
bersih (NX) dapat ditulis sebagai berikut:
NX
=N X ( E )
Persarnaan tersebut menyatakan bahwa ekspor bersih adalah fungsi dari kurs nil. ~ a m b &4 menunjukkan hubungan negatif antara neraca perdagangan d m kurs nil.
Ekspor bersih
Gambar 4. Ekspor bersih dan Kurs Riil Sumber : Mankiw, 2000 Gambar tersebut menunjukkan hubungan antara kurs riil dan ekspor bersih, semakin rendah kurs semakin murah harga barang domestic relative terhadap barang-barang luar negeri dan semakin besar pula ekspor bersih. Jika dikaitkan dengan PhlA maka kurs yang rendah ini sangat menguntungkan oleh para investor karena akan mendorong permintaan barang dan ekspor. Permintam barang dan ekspor ini menentukan tingkat pengembalian (return) dan keuntungan.
2.2.4.
Hubungan Upah dengan PMA Menurut paham neo-klasik jangka panjang pertumbuhan ekonomi akan
tetap karena upah fleksibel. Jika Pemerintah meningkatkan agregate demand seperti yang terlihat pada Gambar 5 maka akan diikuti oleh kenaikan output dan kenaikan harga, yaitu output akan naik dari Y1 ke Y2, sedangkan harga akan naik dari PI ke P2. Harapan pemerintah dari kebijakan tersebut adalah tidak diantisipasi oleh pasar yaitu pasar tidak menyadari adanya kenaikan AD.
YI YZ
Pendapatan, Output, Y
Gambar 5. Kurva Kenaikan AD yang tidak Diantisipasi oleh Pasar Sumber : Mishkin, 2001 Ketika terjadi kenaikan upah maka biaya faktor produksi perusahaan semakin meningkat, jika tidak diimbaiigi oleh kenaikan produktifitas buruh kerja maka keuntungn investor berkurang dan investasi akan menururn. Beberapa kasus investor jusiru lebih berani membayar upah peke~jadefigan tiswnsi pekerja memiliki SDM yang baik, mempunyai spesifikasi keterampilan dan menguasai teknologi. Selama upah tersebut masih berada dititik keseimbaqgan produksi maka kenaikan upah tidak menjadi suatu masalah dan j u s t r ~bisa meningkatkan prduktifitas para pekerja karena kesejahteraan meningkat. Pada kasus lain ketika pasar menyadari akan kenaikan agregate demand, maka pasar &an rnengantisipasi kebijakan tersebut, yaitil jika tenaga kerja merespon kebijakan kenaikan AD, maka mereka akan meminta kenaikan upah (sebab harga naik dari P1 ke P2 sehingga dapat menaikkan upah riil). Akibatnya biaya produksi untuk meningkatkan upah menjadi besar, harga &an meningkat lebih tinggi, sedangkan outputnya (Y*) tetap. Hal ini terlihat dari (Gambar 6 ) .
Harga, P
I
I
I I
Y"
AD I
Y1
Pendapatan, Output, Y
Garnbar 6. Kurva Kenaikan AD yang Diantisipasi Pasar Sumber : Mishkin, 2001 Peningkatan biaya melakukan bisnis salah satunya adalah upah buruh yang semakin mahal. Penerapan kebijakm upah minimum mengakibztkan upah semakin meningkat. Undang-undang upah minimum menetapkan tingkat upah minimal yang harus dibayar p e ~ s d n a nkepada para karyawannya. Teori upah efisiensi menyatakan bahwa upah jrang tinggi membuat para pekerjz. lebih prcduktif. Para pekerja yang dibayar dengan upah yang memadai bila membeli lebih banyak nutrisi dan para pekerja yang sehat akan lebih produktif. Perusahaan akan lebih efisien jika membayar pekerja dengan upah yang tinggi karena dapat meningkatkan produktifitas para pekerja. Namun hasil dari upah yang tinggi dari titik keseimbangan menyebabkan pengangguran terbuka yang lebih besar.
2.2.5.
Hubungan Pajak dengan PMA
2.2.5.1. Pajak dan Otonomi Daerah
Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah dalam mengarahkan perekonomian, melalui instrumen pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Pajak merupakan instrumen penerimaan pemerintah yang berasal dari pungutan masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan UndangUndang yang bersifat dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan balas jasa secara tidak langsung. Hasil penerimaan pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan (Marihot Siahaan, 2005). Pada tahun 2001 pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu, Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang Iebih luas, nyata dan bertanggung jawab dalam mengelola administrasi pemerintahan dan keuangan termasuk dalam penanaman modal. Undarg-undang No.34 Tahun 2000 tentang pajak daerah, lahir sebagai penyempumaan terhadap Undang-Undang No.18 Tahun 1997 memberikan peluang kepada kabupaten dan kota dalam inenggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi daerah.
2.2.5.2. Pajak Daerah Berdasarkan Undang-Uadang No.18 Tahun 1997
Pajak daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 1997 terbagi menjadi dua, yaitu pajak Daerah Tingkat I (Provinsi) dan pajak Daerah Tingkat 11 (KabupatenKotamadya). Pembagian ini dilakukan sesuai dengan kewenangan pengenaan dan pernungutan masing-masing jenis pajak
daerah
pada
wilayah
administrasi
propinsi
kabupatenlkotamadya yang
bersangkutan. Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 1997, ditetapkan sembilan jenis pajak daerah, yaitu tiga jenis pajak Daerah Tingkat I, dan enam jenis pajak Daerah Tingkat 11. Pajak Daerah Tingkat I terdiri dari: a. Pajak Kendaraan Bermotor b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan c. Pajak Bahan Bakar Kendaran Bermotor Pajak Daerah Tingkat I1 terdiri dari: a. Pajak Hotel dan Restoran
b. Pajak Hiburan c. Pajak Reklame
d. FajakPenerangan Ja!an e. Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C, dan
f. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan 2.2.5.3. Pajalc Daerah Berdasarkan Undang-Undang No.34 Tahun 2000
Pajak daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.34 Tahun 2000 terbagi menjadi dua, yaitu pajak Daerah Tingkat I (Provinsi) dan pajak Daerah Tingkat I1 (KabupatenlKotamadya). Pembagian ini dilakukan sesuai dengan kewenangan pengenaan dan pemungutan masing-masing jenis pajak daerah
pada
bersangkutan.
wilayah
administrasi propinsi
kabupatenkotan~adya yang
Berdasarkan Undang-Undang No.34 Tahun 2000, ditetapkan sebelas jenis pajak daerah, yaitu empat jenis pajak Daerah Tingkat I, dan tujuh jenis pajak Daerah Tingkat 11. Pajak Provinsi terdiri dari : a. Pajak Kendaraan Bermotor b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air c. Pajak Bahan Bakar Kendaran Bermotor d. Pajak Penganlbilan dan Pemanafaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Pajak Daerah Tingkat I1 terdiri dari: a.
Pajak Hotel
b.
Restoran
c. Pajak Hiburan d. Pajak Reklame e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Pengambilan Galian Golongan C, d m g. Pajak Parkir Pemberian kelebihan yang di'oerikan kepada pemerintah daerah untuk mengoptimalkan PAD melalui pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan TJU No.34 Tahun 2000 sejumlah daerah berhasil meningkatkan PADnya. Namun berlakunya UU tersebut di sisi lain dapat menimbulkan pengamh yang sangat negatif yaitu melalui pajak dan retribusi daearah yang secara berlebihan dibedakan kepada sektor swasta pada akhimya akan merugikan bagi dunia usaha, karena menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
Pengeluaran, E
Pengeluaran Aktual Pengeluaran yang direncanakan MPC x AY
- - - -- - ---
t
y2
Pendapatan, Output, Y
YI
Gambar 7. Peningkatan Pajak dalam Perpotongari Keynesian Sumber : Mankiw, 2000 Peningkatan pajak
sebesar AY menurunkarl pengeluaran yang
direncanakan sebesar MPC x AY untuk tingkat pendapatan tertentu. Kcseimbangan akan tergerak bergerak dari A ke B, dan pendapatan akan turun dari Y1 ke Y2. Beban pajak yang terlalu besar akan sangat membebankan para investor karena biaya inputnya semakin besar. Akibatnya perusahaan hams meningkatkan harga output supaya tetap mendapatkan keuntungan. Tetapi dilain pihak kenaikan harga ini menyebabkan reaksi dari konsumen, misalnya konsurnen akan beralih ke produk lain yang lebih murah. Sehingga daya saing dan daya beli terhadap barang tersebut menurun. Kondisi inilah yang tidak disukai oleh para investor. Oleh karena itu keringanan tarif pajak perlu diupayakan guna meringankan beban para pengusaha.
2.2.6.
Kawasan Ekonomi Khusus (Special Ecoiiotnic Zotze) Kawasan Ekonomi Khusus diartikan sebagai suatu kawasan yang secara
geografis dan jurisdiktif adalah kawasan yang merupakan perdagangan bebas, tennasuk kemudahan dan fasilitas duty free atas importasi barang-barang modal untuk bahan baku komoditas ekspor dibuka seluas-luasnya (Johansson dan Nilsson, 1997). Special Econoinic Zone adalah suatu zona yang dipilih untuk merevitalisasi usaha dengan merangsang pertumbuhan investasi dan investor usaha atau private sector (O'Hara, 1981). Special itu sendiri memiliki arti kekhususan dalaln sistem ekonomi dan kebijakan, sedangkan ekonomi tercermin dalam aktivitas ekonomi yang berorientasi ekspor dengan menciptakan daya tarik bagi penanaman modal. Oleh karena itu dunia usaha diundang dan mendapat special tax benejt dengan harapan dapat menyerap tenaga keja. Pemerintah berasumsi bahwa jika pemerictah mengurangi pengenaan pajak dac beban-bebar. atas regulasi (regulatoly burdent), dunia usaha akan berkembang dengan lebih cepat dan pada giliranya &en memperkuat kondisi perekonomian setempat melalui aktivitas ekspansi usaha yang tejadi. Tujuan utama
dari pembenkkan
KEK
adalah pengintegrasian
perusahaan-perusahaan yang beroperasi didalamnya dengan ekonomi globai dan melindungi mereka terhadap berbagai macam distorsi seperti tarif dan birokrasi yang berbelit-belit. Beberapa pertimbangan telah mendasari pembangunan KEK diantaranya seperti: Pertama adalah untuk membanpn good governance yang meliputi seluruh negeri &an memakan waktu yang lama, dalam jangka waktu
pendek lebih praktis untuk membangunnya di kawasan terbatas atau khusus yang memerlukan sumber daya yang lebih sedikit dibandingkan dengan membangun ha1 tersebut di seluruh wilayah negara. Dengan demikian, dalam tempo yang singkat pemerintah dapat menyediakan iklim usaha yang menarik melalui berbagai fasilitas seperti pembebasan bea masuk, bcbas pajak penjualan dan pajak penghasilan, prosedur birokrasi yang khusus, singkat, efektif dan efisien. Kedtla adalah ha1 yang berkaitan dengan skala ekonomi dari jaringan infrastruktur modem yang lebih ekonomis untuk dibangun dalam kawasan yang luasnya terbatas. lndustri modem memerlukan jaringan infrastruktur modem yang padat dan terintegrasi, seperti jalan, listrik, air, teknologi informasi dan komunikasi, pelabuhan dan lain-lain, sedemikian rupa sehingga proses lnereka dapat berlangsung dengan efektif dan efisien Ketiga adalah keterkaitan antar industri. Perkembangan investasi dan industri akhir-akhir ini cendening ke arah pembangunan jaringan antar perusahaan dan bukan lagi integrasi vertikal horizontal clan berbagai kegiatan ke dalam suatu perusahaan (konglomerasi). KEK merupakan sarana yang ideal bagi terbangunnya keterkaitan yang erat dan kompleks antar berbagai industri karena kawasan ini berpotensi untuk memberikan biaya bisnis yang murah dalam lokasi yang saling berdekatan antar berbagai per~sahaan.Dalam perkembzngan berikutnya, dimulai di Eropa berkembang pendekatan industrial cluster. Pendekatan cluster ini seringkali melibatkan kerjasarna yang erat antara pemerintah dan swasta dalam rangka membangun daya saing industri atau daerah. Di Asia Tenggara, pengalaman Malaysia dalam membangun industri elektronika di Penang
mempakan contoh nyata dari kejasama antara pemerintah dengan swasta dalam membangun KEK dengan wawasan yang jauh ke depan, perencanaan yang matang termasuk proses peningkatan kemampuan industrinya.
Keempat, yang berkaitan dengan efisiensi yang ditimbulkan oleh dampak aglomerasi industri seperti yang dikenalkan oleh Paul Krugman. Analisa ekonomi geografi yang berdekatan, misalnya pantai timur China, Hongkong, Singapura dan kawasan-kawasan yang berdekatan. Keberhasilan KEK sangat bergantung kepada proses aglomerasi ini dan bahkan pembentukan KEK dapat meningkatkan proses ini menjadi lebih cepat lagi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, bilamana kawasan khusus tersebut ditempatkan di daerah yang berada di luar atau berjauhan dengan proses aglomerasi ini, maka potensi keberhasilannya akan sangat kecil. Saat ini di Indonesia juga terdapat peraturan perundangan yang mengatur bcntuk-bentuk kawasan ekonomi yang memiliki fasilitaslintensif baik perpajakan maupun kepabean. Beberapa bentuk kawasan tersebut adalah :
Free Trade Zone (Kawasan Pelabuha'n dan Perdagangan Bebas). Dasar hukumnya adalah UU No. 3612000 tentang penetapan PERPU No. 112000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi UU. Suatu kawasan dapat ditetapkan sebagai Kawasasn Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan Undang-undang, contohnya adalah Sabang (UU No.3712000). Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah suatu kawasan yang berada di dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea tnasuk, pajak pertambahan
nilai, pajak penjualan atas barang mewah dan cukai. Dalam kawasan tersebut dilakukan kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi seperti sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata dan bidang-bidang lainnya. Bounded Zone (Kawasan Berikat). Dasar hukum Kawasan Berikat adalah Peraturan Pemerintah No. 3311996 terltang Tempat Penimbunan Berikat sebagaimana telah diubah dengan PP No. 4311997. Penetapan suatu kawasan atau tempat sebagai Kawasan Berikat serta pemberian izin penyelenggaran Kawasan Berikat dilakukan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Kawasan Berikat adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakl~kankegiatan usaha industri pengolahan barang, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir dan pengspakan barang impor dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. Sementara itu fasilitas berupa penangguhan bea masuk, tidak dipucgut PPN, PPnbM, PPH atas impor barang modal
atau peralatan
diberikan untuk
pembangunan/konstruksi/perluasan
Kawasan Berikat dan peralatan perkantoran yang semata-mata di pakai oleh Pengusaha Kena Pajak yang telah mendapat izin. Selain itu pengeluaran mesin dan peralatan pabrik ke Daerah Pabean Indonesia Iainnya di berikan penangguhan pembayaran bea masuk, PPN, PPnbM, dan PPH. Dalam konteks Indonesia KEK dapat terbentuk dengan tiga opsi (Noer, 2006). Pertama, KEK termasuk dari kumpulan kawasan berikat, dengan demikian KEK dapat diistilahkan juga sebagai Kawasan Berikat plus. Kedua, KEK merupakan Kawasan Industri yang diberikan perlakuan khusus sebagai Kawasan
Berikat. Kawasan ini dapat bempa Zona Perdagangan Bebas jika dekat dengan pelabuhan. Ketiga, KEK mempakan kumpulan Kawasan Berikat, Kawasan Industri dan Kawasan Perdagangan Bebas. Namun demikian, kawasan ini bukan dimaksudkan untuk menjadi bagian terpisah dari entitas kawasan-kawasan ekonomi nasional lainnya. Terbentuknya kawasan ini lebih kepada upaya untuk menciptakan suatu lingkungan yang kondusif bagi dunia usaha dan mempakan institutional frame work dalam rangka memacu kinerja perekonomian nasional.
2.3.
Penelitian Terdahulu Penanaman Modal Asing begitu diminati pemerintah negara-negara
berkembang yang masih sangat membutuhkan dana asing bagi proses pembangunan karena mereka percaya bahwa pengamh PMA melalui Special Economic Zone bisa berpengaruh positif terhadap ekonomi negara-negara tersebut. Perkembangan PMA khususnya di Batam belakangan ini cukup baik karena dengan adanya
kemudahan dari KEK para investor banyak yang
menanamkan tnodalnya di Batam. Kemudahan ini diantaranya adalah tax yang rendah bahkan diberikan tax holiday selama 5 tahun, kepabeanan yang efektif, tersedianya infrastmktur dan birokrasi yang efekLii:
-
Studi etnpiris yang dilakrtkan oleh beberapa ahli telah memperhat argumen bahwa peranan PMA relatif besar dalatn pembangunan suatu negara. Penelitian (Rana dan Dowling, 1998) mengenai pengaruh penanaman modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya di negara-negara berkembang menyimpulkan bahwa modzl asing memiliki pengamh positif terhadav pertumbuhan dan tabungan domestik di nagara-negara di ASIA.
(Kustituanto dan Istikomah, 1998), dalam studinya mengenai peranan penanam modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama tahun 1977-1996, mereka menyimpulkan bahwa dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, PMA tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh: (1) countv risk pasar dometik yang kecil sehingga menyebabkan rate of return dari modal rendah dan kurang tersedianya fasilitas dan infrastruktur yang mendukung (transportasi, slcilled labor dan teknologi); (2) pengembangan PMA masih terhambat oleh rumitnya proses administrasi, birokrasi dan kurangnya koordinasi antar departemen terkait; (3) masih minimnya informasi dana yang bisa digunakan untul: pelnbiayaan proyek; (4) rendahnya kualitas SDM, sehingga ha1 ini berpengamh dalam tujuan pelaksanaanya investasi asing di suatu negara (transfer of asset); dan (5) terjadinya persaingan yang semakin ketat antar negara dalam upaya menarik investasi asing baik oleh negara inaju m m p n negara berkembang. Hasi! kajian tersebut membuktikan bahwa Indonesia masih perlu melakukan iklim investasi yang relatif kondusif sebagaimane yang diharapkan oleh investor asing. Menurut
Sarwedi
(2002),
penawaran
ekspor dipengaruhi
oleh
penananan modal asing (PMA). Peningkatm PMA secara tidak langsung akan meningkatkan industrialisasi. Sebagai akibatnya, jumlah barang yang diproduksi akan meningkat. Hubungan yang positif ini memang masih lnenjadi perdebataii oleh sebagian pengamat. Hal ini disebabkan oleh peluang terjadinya penanaman modal asing sangat tergantung dan dipengaruhi oleh kebijakan negara penerima modal. Sarwedi (2002) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi PMA
dengan mengambil data 1978-2001 menggunakan model Error Correction Model (ECM) mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap PMA, yaitu Pendapatan Nasional Bruto (GDP), Tingkat Pertumbuhan (growth),Tingkat Upah
(wage), Stabilitas politik dan Ekspor. Hasil penelitian tersebut mangindikasikan bahwa makroekonomi (GDP, Growth, Ekspor, dan Upah Pekerja) memiliki hubungan positif terhadap PMA di Indonesia, sedangkan variabel stabilitas politik memiliki hubungan negatif.
2.3.1.
Model Fung, Iizaka dan Parker
Penelitian yang dilakukan oleh K.C.Fung, Hitomi Iizaka dan Stephen Parker tahun 2002 bertujuan untuk mengetahui determinan dalam pembentukan investasi (FDI) di Cina yang berasal dari investasi United States dan Jepang. Penelitian tersebut menggunakan data time series periode tahun 1994-1997. Bentuk persamaar, yang digunakan adalah fungsi logaritma dengan metode
Ordinary Least Square (OLS). Persamaan
yang
digunakan
untuk
mengetahui
faktor
yang
mempengaruhi FDI di Cina adalah sebagai berikut:
In(FLh,;,J
-
ai +
In(GDfi,J + /32 In(WAGEi,II.l,+ a 3 In(HE;,J + Dd(I1VFRAi.J
/li(SEZD,J
+ P 6 ln(ETDZD;,J
dimana:
InFDI
:Logaritma Foreign Direct Invesment
InGDP
:Logaritma Gross Domestic Product
In WAGE
:Logaritma Upah
+
InHE
:Logaritma Rasio jumlah orang y a ~ gberpendidikan tinggi (terdaftar di lembaga pendidikan)
InINFRA
:Logaritma Infrastmktur berupa panjang total jalan raya dan re1 kereta api dalam km (kilometer).
SEZD
:Variabel dummy dari Special Economic Zones
ETDZD
:Variabel dummy dari Economi dan Technological Eevelopment Zones, dimana nilai SEZ adalah 1 sedangkan untuk nilai ETDL
adalah 0. Hasil regresi dari persamaan diatas dengan wilayah penelitian di Cina periode tahun 1994-1997 dapa? dilihat dari Tabe! 4 dan (Tabel 5). Besarnya nominal GDP adalah faktor penting dalam determinan FDI di Cina. Koefisien ini bernilai positif dan signifkan secara statistik padz level 1%. Pada Tabel 4 dan Tabel 5 mengindikasikan bahwa kenaikan 1% GDP akan me~gakibatkankenaikan presentasi investasi asing 1angsw.g (FDT) dari Jepang sebesar 0,71 persen dan kenaikan presentasi FDI dari United States sebesar 0,76 persen.
Catatan: Variable dependen : Direcl Investnent dari Jepang
Tabel 5. Hasil Estimasi FDI dari United States
Catatan: Variable dependen :Direct Invesmen: dari United States Koefisien dari variabel WAGE di United States dan Jepang juga signifikan secara statistik mempengaruhi FDI pada level 1%. Dari hasil estimasi tersebut juga dapat diidentifikzsi bahwa variabel WAGE di United States lebih berpengaruh atau lebih besar signifikansinya terhadap FDI dari pada WAGE di Jepang. Tenaga kerja yang berpendidikan dinotasikan dengan HE juga mempengaruili secara signifikan terhadap FCI pada level 1%. Pada penelitian tersebut menunjukkan bahx.va kualitas tenaga kerja Jepang lebih baik 31% dari pada tenaga kerja United States. Hasil estimasi dari variabel INFRA Jepang yang diukur dengan total panjang jalan raya (Rod ways) dan re1 kereta api (Rail ways) dalam km tidak berpengaruh positif atau tidak signifikan terhadap FDI di Cina. Tetapi variabel INFRA United States berpengaruh positif terhadap FDI di Cina, meskipun koefisien ini hanya signifikan pada level 5%. Selain itu juga kebijakan pajak (tux) turut andil dalam menarik para investor menanamkan modalnya di Cina.
Sedangkan hasil estimasi variabel dtlmnzy yaitu SEZ baik dari Jepang dan United States ditemukan memiliki pengamh positif terhadap FDI pada level
1%. Tetapi variabel dummy ETDZ baik dari Jepang maupun United States tidak sifhifikan pada level 1%. Oleh karena itu implikasi dari hasil penelitian tersebut kebijakan SEZ di wilayah Cina lebih efektif dikembangkan dalam rangka ~nenarik investor asing dari pada kebijakan ETDZ (Economic and Technological Development Zones). Sementara
penelitian
ini
akan
membahas
determinan
yang
mempengamhi Penanam Modal Asing di Batam dintaranya adalah PDRB, Nilai Tukar Riil (RER), Tingkat Inflasi (INF), Upah Minimum (UPAH), Pajak (Tax) dan dummy Ka~vasanEkonomi Khusus.
2.4.
Kerangka Pemikiran
Indonesia sebagai negara berkembang, modal merupzkan kendala utalna untuk membiayai program-progran~ pembanguan. Program pembangunan ini penting untuk menopang sarana prasara ekonomi diantaranya adalah infrastruktur, jaringan telekomunikasi, transportasi dan lain sebagainya. Dengan adanya sarana prasarana ekonomi diharapk& akan mampu menggerakkan kegiatan ekonomi. Ada empat altematif sumber kegiatan ekonomi diantaranya adalah belanja pemerintah (G), Konsumsi (C), Investasi (I) d m Net Ekspor (NX) melalui aktivitas perdagangan. Indonesia tidak bisa mengandalkan dari aspek belanja pemerintah karena masih besamya beban utang yang hams dibayar. Begitu pula Pemerintah tidak bisa mengandalkan dari aspek konsumsi secara tems menems
karena berbagai macam resiko. Salah satu alternatif terbaik untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi adalah melalui kegiatan investasi. Tetapi nampaknya pemerintah kurang tanggap terhadap kondisi investasi di Indonesia. Ini dibuktikan masih berbelitnya pelayanan administrasi, buruknya birokrasi, KKN yang masih membudaya, buruknya infiastmktur Cjalan raya, pasokan listrik, pasokan air, jaringan informasi dan telekomunikasi) dan skema insentif yang kurang menarik bagi para investor asing seperti tingkat pajak, beban bea masuk dan lain sebagainya. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kondisi iklim di Indonesia, sehingga berakibat rendahnya investasi asing di Batam. Menurut Deliemov (1995), dan Rondinelli (1987) ada beberapa faktor determinan investasi asing, diantaranya adalah: Kondisi makroekonomi calon negara penerima PMA, seperti nilai tukar, tingkat inflasi dan PDRB. Letak geografis yang strategis.
*
Skema insentif yang ditawarkan oleh calon investor, seperti tax discotmt, tax
holiday, bebas bea masuk untuk barang modal, pelayanan dalam satu atap, portal single window, birokrasi yang efisien dan insentif lain yang menarik
-
bagi calon investor. Kondisi ineastruktur, teknologi, ketersediaan bahan baku dan manajemen yang mengelola kegiatan investasi. Jika dilihat dari kondisi iklim investasi di Batam relatif sudah kondusif,
hanya ada beberapa yang hams dibenahi misalnya dalam ha1 birokrasi, pelayanan
administrasi, infiastruktur (pasokan air, listrik, jalan, jaringan telekomunikasi) dan Badan Otorita yang bertugas menangani kawasan industri. Berdasarkan beberapa aspek penentu PMA menurut Deliarnov dan Rondinelli, maka dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap beberapa indikator yang mempengaruhi PMA di Batam, diantaranya menggunakan indikator PDRB, Nilai tukar, Tingkat Inflasi, Upah, Penerimaan pajak dan Kawasan Ekonomi Khusus sebagai cluminy variabel. Penelitian ini dilakukan untuk melihat kontribusi/pengaruh masing-masing indikator terhadap PMA di Batam. Beranjak dari ha1 inilah, maka diharapkan terbentuk suatu implikasi kebijakan yang mampu mendorong peningkatan kegiatan investasi sekaligus menjadikan iklim investasi di Bntam lebih kondusif. Kerangka
pemikiran
yang
mengambarkan
keterkaitan
pennasalahan dan tujuan penelitian dapat dilihat pada bagian a!ur
antara yang
merupakan kerangka pemikiran dalam penelitian, sebagaimana disajikan dalam Gambar 8 dihalaman 46.
bersumber dari: 1.Belanja Pemerintah(G) 2.Konsumsi (K) 3 .Investasi (I) 4.Net Ekspor melalui perdagangan.
altematif terbaik untuk menggerakkan kegiatan
Faktor determinan PMA: 1.Kondisi makroekonomi 2.Letak geografis 3.Skema insentif yang dilawarkan 4.Kondisi internal dan ekstemal calon negara penerima PMA
diteliti oleh penulis: PDKB,
: Implikasi Kebijakan
faktor deteminan terhadap PMA di Batarn
Ganlbar 8. Iceranglta Pemikiran Iconseptual
2.4.1. Hipotesis Penelitian Berdasarkan teori dan konsep yang relevan serta hasil penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor yang mempengamhi aliran PMA di Indonesia, maka dapat diberikzn jawaban sementara atas permasalahan yang ada. Hipotesis tersebut adalah 1. PDRB berpengaruh positif terhadap PMA, PDRB selain menunjukkan ukuran
pasar (market share) juga bisa menujukkan profit yang akan didapat dari PMA tersebut. PDRB berpengaruh positif terhadap PMA, dimana peningkatan PDRB akan meningkatkan PMA. Masuknya PMA akan meningkatkan jumlah dana yang &an digunakan untuk membiayai produksi, sehingga jumlah output yang diproduksi juga akan meningkat. Meningkatnya jumlah output akan meningkatkan PDRI3. 2.
Nilai tukar berpengaruh negatif terhadap PMA. Ketika texjadi depresiasi nilai tukar, barang-barang luar negeri relatif rnahal sedangkan barang-barang domestik relatif murah. Hal ini berarti produk domestik merniliki daya saing yang tinggi dibandingkan dengan produk luar negeri. Penduduk domestik akan membeli sedikit barang impor begitu pula orang-orang asing lebih memilih membeli produk dalam negeri. Kondisi ini akan mendorong meningkatnyz jumlah ekspor yang pada akhimya PMA akan meningkat. Begitu pula sebaliknya, ketika terjadi apresiasi nilai tukar harang-barang domestik relatif lebih tinggi sedangkan barang luar negeri relatif lebih murah. Penduduk domestik lebih memilih membeli barang impor dan orang-orang asing akan
sedikit membeli barang-barang domestik. Hal ini mengakibatkan jumlab ekspor akan turun dan berimbas pada penurunan PMA. 3. Inflasi mempunyai pengaruh negatif terhadap PMA, tingkat inflasi yang tinggi akan meningkatkan harga faktor produksi sehingga biaya produksi pun ikut meningkat. Selain itu juga dengan tingkat inflasi yang tinggi dapat menurunkan daya beli masyarakat, sehingga semakin tinggi tingkat inflasi akan menurunkan minat dan harapan investor untuk berinvestasi. Berdasarkan teori rettirn ratio, jika tingkat inflasi naik maka pengembalian atas investasinya akan turun, sehingga PMA juga akan turun. Hal ini dapat dikatakan inflasi berpengaruh negatif terhadap PMA. Peningkatan dala~nPMA akan meningkatkan jumlah dana untuk berproduksi, sehingga jumlah outpat yang ditawarkan juga akan meningkat. Bila terjadi kelebihan penawaran output maka tingkat harga &an turun yang berarti inflasi juga turun. 4. Upah berpengaruh negatif terhadap PMA, upah yang tinggi menyebabkan
biaya produksi tinggi, akibatnya harga outputnya tinggi dan daya saingnya rendah. Hal inilah yang kurang disukai para investor asing. Sebaliknya apabila upah rendah tetapi masin berada pada konsdisi standar hidup yang layak, maka biaya produksinyapun bisa ditekan. Akibatnya harga outputnya memiliki daya saing yang tinggi dan diminati oleh konsumen dalam negeri maupun di luar negeri. Di beberapa daerah sudah ditetapkan upah minimum masing-masing, ha1 ini untuk memudahkarl para investor untuk dapat memilih daerah mana yang akan dijadikan tempat untuk berinvestasi. Jadi upah berpengaruh negatif terhadap PMA.
5. Pajak (Tax) berhubungan negatif terhadap PMA, pengenaan tarif yang terlalu
tinggi akan mengurangi minat para investor untuk menanamkan modalnya, karena akan menyebabkan biaya operasional meningkat. Investor asing lebih tertarik pada negara-negara yang memiliki intensif pajak khusus untuk investor dan pajak yang rendah dengan pelayan satu atap (one stop service). 6. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) berpengaruh positif terhadap PMA, KEK memang sudah dipersiapkan oleh pemerintah dalam rangka menarik investor asing. KEK memiliki berbagai fasilitas diantaranya pembebasan tax holiday dan tax discount, pengurusan administrasi dalam satu atap (one stop service) dan fasilitas portal single window. Sehingga dengan adanya KEK mempermudah adanya pengumsan administrasi. Hal ini merupakan ha1 yang menarik bagi para investor asing. Selain itu juga suatu KEK biasanya dilengkapi oleh infrastruktur yang memadai dan birokrasi (badan otorita) yang diberi mandat khusus untuk melaksanakan tugas birokrasi agar lebih efisien. Dengan adanya KEK biaya ekonomi dan biaya transaksi bisa ditekan. Sehingga implikasinya KEK berpengaruh positif terhadap PMA.
111. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder (time series) yang diperoleh dari berbagai lembaga dan instansi, antara lain berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Otorita Batam, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) serta beberapa penerbitan yang mendukung dan berhubungan dengan penelitian ini. Data-data yang digunakan adalah data Penanaman Modal Asing (PMA) Batam, PDRB, Nilai tukar rupiah nil (RER), Tingkat Inflasi (INF), Upah Minimum Batam (UPAH) dan Pajak Total (Tax). Data merupakan data triwulan periode 1990:l sampai periode 2007:4. Berikut Tabel 6 yang menjelaskan tentang irariabel-variabel yang digunakan dalan penelitian ini beserta satuan, sumber dan simbolnya: Tabel 6. Variabel-Variabel yang Digunakan dalam Penelitian Variabel Satuan Sumber Penanaman Modal 1 Miliar rupiah 1 Badan Koordinasi Asing Penanam Modzl (BKPM) Pendapatan Domestik Miliar rupiah Badan Pusat Statistik Regional Bruto (Bps) Persen Tingkat Inflasi Badan Otorita Batam Nilai Tukar Riiil Rupiahldolar Bank Indonesia Upah Minimum Rupiah Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pajak Total Miliar rupiah Badan Otorita Batam Dummy Kawasan Ekonomi Khusus
I I
Simbol PMA
PDRB INF RER UPAH TAX KEKD
-
3.2.
Metode Analisis Data Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi fakfor-faktor yang
mempengaruhi Penanaman Modal Asing (PMA) studi kasus Batam. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode Regresi Linear Berganda. Metode analisis data yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Untuk memudahkan dalam pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka data tersebut dimasukkan ke dalam Microsoft Exel dan diolah dengan menggunakan E-views 4.1.
3.2.1.
Metode Regresi Linear Berganda Ordinary Least Square (OLS) merupakan salah satu metode yang sering
digunakan karena kemudahanya dalain mengolah data. Menurut Gujarati (1993), ada beberapa asumsi yang hams dipenuhi dalam model ini dintaranya adalah:
1.
Semua penaksir tak bias linier atau penaksir OLS mempunyai varians minimum.
2.
Varians tiap unsur disturbaxice ei tergantung (conditional) pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan adalah suatu angka konstan yang sama dengan a2yang merupakan asumsi homoskedastisitas yaitu varians yang sama.
3.
Tidak ada autokorelasi artinya tidak ada korelasi antara anggota serangkaian obsevasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deret waktu) atau seperti dalam data cross sectional.
4.
Variabel yang menjelaskan adalah non stokastik yaitu terdiri dari angkaangka yang tetap @xed) dan ei didistribusikan secara normal.
5.
Tidak ada multikolinearitas antara variabel yang menjelaskan X. Jika semua asumsi ini terpenuhi maka penaksiran OLS koefisien regresi
menjadi BLUE (Best Linear Unbiassed Estimator). Salah satu regresi dalam OLS adalah regresi berganda. Analisis Regresi Linear Berganda inenunjukkan hubungan sebab akibat antara variable X (variable eksogen) yang merupakan penyebab dari variabel Y (variable endogen) yang mempakan akibat. Analisis Regresi Linear Berganda digunakan untuk inenguraikan pengaruh variabelvariabel yang menjelaskan (eksogen) yang mempengaruhi variabel bebasnya
(endogen). Regresi Linear Berganda tidak hanya melihat keterkaitan antar variabel-variabel namun juga mengukur besamya hubungan kausalitasnya.
Model Umum Analisis Regresi Linear Berganda
3.2.2.
Menurut Gujarati (1993). Model uinum analisis Regresi Linear Berganda dapat digombarkan seperti berikut ini:
Y I=
Po + P I X l i+ P I X 2 ,+... + PnXni+ ei
Dimana:
Y
: Variabel endogen atau variabel tak bebas
1
: Periode
Po
: Intersep atau nilai Y saat X = 0
X,;,X2,,X,,
: Variabel eksogen atau variabel bebas
PI,D2,P,,
: Parameter dari X I , X , , X,
: Error term atau derajat kesalahan
e;
3.2.3.
Model Analisis Penelitian Dalam penelitian ini variabel yang digunakan dalam menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi PMA di Batam adalah PDRB, nilai tukar nil, tingkat inflasi, upah, pajak total dan dtrm~nyKawasan Ekonomi Khusus. Penulis menggunakan variabel PDRB karena PDRB diduga menentukan besamya market, nilai tukar dan inflasi menggambarkan kestabilan moneter suatu negaralwilayah, tingkat upah menggambarkan kualitas SDM, pajak menentukan efisiensi biaya produksi dan dunzmy KEK menetukan iklim investasi suatu wilayah. Sehingga model analisis Regresi Linier Berganda dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: PMA,
=
a, + a,PDRB, + a,RER, + P,INF, + @,UPAH, + a,TAX, + KEKD
+e,
(3.2)
Dimana: PMA
: Penanam Modal Asing Batam (milyar rupiah)
PDRB
: Product Domestic Regional Bruto (milyar rupiah)
RER
: Kurs Riil (rupiaWdolar)
INF
: Tingkat Inflasi (persen)
UPAH
: Upah Minimum Regional Batam (rupiah)
TAX
: Penerimaan Pajak Batam (milyar rupiah)
KEKD
: Dummy Kawasan Ekonomi Khusus atau Special Econonzic Zones
Nilai variabel dari KEKD adalah 0 dari periode 1996:l sampai periode 2006:1, sedangkan nilai 1 dari periode 2006:2 sampai periode 2007:4 : Error term atau derajat kesalahan
%
Langkah selanjutnya data PMA, PDRB, Nilai Tukar, Upah dan Pajak dijadikan dalam bentuk logaritma yang sebelumnya diriilkan terlebih dahulu yaitu dibagi dengan IHK Batam. Tujuan mengubah data dalam bentuk logaritma adalah untuk memperhalus data dan untuk mempemudah dalam melihat respon dari setiap variabel bebas yang digunakan terhadap variabel tak bebasnya. Data perlu diperhalus agar dapat dibandingkan dan konsisten sepanjang waktu. Setelah dilakukan beberapa uji model, persamaan yang digunakan untuk menganalisis determinan yang mempengan~hiPMA di Batam adalah sebagai berikut:
Ln-PMA,
=
a, + a,Ln-PDRB, + a,Ln-RER, a,Ln
- UPAH,
+ P,INF, +
+ a,Ln - T4X, + KEKD + e ,
Dimana:
Ln- PMA : Logaritma Penanam Modaj Asing (milyar rupiah) Ln-PDRB : Logaritma Product Domestic Regional Bmto (milyar rupiah) Ln-h-R
: Logaritma Kurs Riil (mpiah/dolar)
LVF
: Tingkat Inflasi (persen)
Ln-UPAH : Logaritma Upah Minimum Regional Batam (rupiah) Ln-TAX
: Logaritma Penerimaan Pajak Batam (rnilyar rupiah)
KEKD
: Dummy Kawasan Ekonomi Khusus
(3.3)
Nilai variabel dari KEKD adalah 0 dari periode 1996:l sampai periode 2006:1, sedangkan nilai 1 dari periode 2006:2 sampai periode 2007:4 %
3.3.
: Error term atau derajat kesalahan
Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik Pengujian dapat dilakukan dengan kriteria ekonomi dan statistik.
Pengujian knteria ekonomi dilakukan untuk melihat besaran dan tanda parameter yang akan diestimasi, apakah sesuai dengan teori atau tidak. Sedangkan uji kriteria statistik dilakukan dengan uji koefisien Determinasi (R'), uji t (uji parsial) dan uji F (uji serempak).
3.3.1.
Uji Kriteria Statistik
3.3.1.1. Uji t (Uji Parsial)
Vji t (uji parsial) dilakukan untuk melihat apakah masing-masing variabel bebas (independent variable) secara parsial berpengamh pada variabel
- terikatnya (dependent variable). Selain itu, uji ini untuk melihat keabsahan dari hipotesis dan membuktikan bah~vakoefisien regresi dalam model setma statistik signifikan atau tidak. Hipotesis : H, : pi
=0
H I : p i # O , i = 1 , 2 , 3 ,..., n. Statistik uji yang dilakukan dalam uji t adalah sebagai berikut: b-B t-hitung = -
s*
hasil t-hitung dibandingkan dengan t-tabel (t-table = t,,,(,,_,,). Dimana: b
: koefisien regresi parsial sampel
B
: koefisien regresi parsial populasi
sb
: simpangan baku koefisien dugaan.
Kriteria uji yang digunakan dalam melakukan uji-t adalah sebagai berikut:
1. Apabila nilai t-hitung lebih besar dari nilai t
,,,(,_,,, maka tolak H,.
Hal ini
berarti variabel yang digunakan berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya. 2. Apabila nilai t-hitung lebih kecil dari t
maka terima H,. Hal ini bebarti
variabel yang digunakan tidak berpenaruh nyata terhadap variabel tak bebas.
3.3.1.2
Uji F (Uji Serempalc)
Uji F ini dilakukar, untuk lnelihat apakah variabel-vmiabel bebas (independent variable) secara serempak berpengaruh nyata pada variabel terikatnya (dependent vnrinble). Apabila uji F diterima (lebih kecil dari taraf nyata
a) ha1 ini menandakan bahwa ada minimal satu variabel yang berpengaruh secara signifi~anatau berpengaruh nyata pada keragaman variabel terikatnya pada taraf nyata a. Mekanisme untuk menguji hipotesis dari parameter dugaan secara serentak (uji F-Statistik) adalah sebagai berikut: Hipotesis : Ho : P, = P,
=
P, = P, = P, = P, = 0
H1 : minimal ada satu
pif 0
Untuk
i = 1 , 2 , 3 ,..., k
p
= dugaan parameter
Statistik uji yang dilakukan dalam uji-F adalah sebagai berikut:
Keterangan: Hasil dari F-hitung dibandingkan dengan F-tabel (F-tabel = F .(,_,,,,_,,, dimana:
R
= koefisien determinasi
n
= banyaknya data
K
= jumlah
koefisien regresi dugaan
Kriteria uji yang diynakan dalam pengujian model penduga adalah sebagai berikut: 1. Apabila nilai F-hitung lebih besar dari F,( ,_,,,,_,, , maka tolak H,. Maksudnya
adalah terdapat minimal parameter dugaan yang tidak no1 dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel tak bebas.
2. Apabila nilai F-hitung lebih kecil dari F,(
,_,,"_, ,,, maka terima H,.
Hal ini
herarti secara bersamaan variabel yang digunakan tidak bisa menjelaskan secara nyata keragaman dari variabel tak bebas.
3.3.1.3. Uji Koefisien Determinasi (R')
Uji koefesien determinasi digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel terikatnya. Nilai R2 mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai variabel terikatnya. Menurut Gujarati (1993) terdapat dua sifat R2yaitu: 1. Merupakan besaran non negatif 2. Batasnya adalah antara 0 dan 1. Jika R~ bemilai 1 berarti suatu kecocokan
sempurna, sedangkan jika R2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebasnya. ~2
=
ESS TSS
=
I-- RSS TSS
dimana: ESS = jumlah kuadrat yang dijelaskan (explained szrm sqzlare)
TSS = jumlah kuadrat total (total szrm square) m2
= varians
residual
SY2= varians sampel dari Y
Salah satu masalah jika menggunakan ukuran R-squared untuk menilai baik bumknya suatu model adalah mendapatkan nilai yang terus naik seiring
dengan pertambahan variabel bebas ke dalam model sehingga Adjristed R-squared secara umum memberikan pinalty atau hukuman terhadap penarnbahan variabel bebas yang tidak mampu menarnbah daya prediksi suatu model. Nilai Adjusted Rsqtlared tidak akan pemah melebihi nilai R-squared bahkan bisa turun jika ditambahkan variabel bebas yang tidak perlu. Bahkan model yang memiliki kecocokan rendah (goodness of fit), Ajdzlsted R-squared dapat memiliki nilai negatif. Nilai Adjusted R-sqtlared dapat dihitung sebagai berikut:
k adalah banyaknya parameter dalam model termasuk faktor intersep,
3.3.2.
Uji IG-iteria Ekonometrilta
3.3.2.1
Uji Heteroslcedastisitas Heteroskedastisitas terjadi bila ada pelanggaran pada asumsi regresi. Hal
tersebut ditandai dengan varians tidak tetap. Heteroskedastisitas tid& memsak sifat ketidakitabilan dan konsistensi dari penaksir OLS tetapi penaksir dihasilkan tidak lagi mempunyai varians minimum (efisien). Menutut Gujarati (1993), jika terjadi heteroskedastisitas maka akan berakibat sebagai berikut:
1. Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator tidak efisien.
2. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi tid& efisien.
3. Tidak akan ditetapkanya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan varians. Menurut Arsana (2005), secara umum ada beberapa cara atau teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas yaitu: I. Uji Park 2. Uji Breusch-Pagan-Godfrey
3. Uji White (White General Heteroskedastisity Test) Dalam penelitian ini untuk menguji ada tidaknya heteroskedastisitas dengan menggunakan White General Heteroskedastisity Test. Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heteroskedastisitas adalah jika nilai probability obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka model persamaan yang digunakan tidak mengalami masalah heteroskedastisitas. Sebaliknya jika nilai p;-obability obs*R-squared-nya lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan maka persamaan tersebut mengalami masalah heteroskedatisitas. Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas menurut Arsana (2005) ada beberapa teknik, diantaranya: a) Metode Generalized Least Square (GLS) b) Transformasi dengan Logaritma
3.3.2.2
Autokorelasi Menurut Gujarati (1997), dalam model regresi akan terjadi outokorelasi
apabila terjadi bentuk fungsi yang tidak tepat, peubah penting dihilangkan dari model, terjadi interpolasi data. Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasijrst degree dapat digunakan nilai Durhin- Watson (DW) dari hasil regresi namun untuk melihat autokorelasi pada tingkat yang lebih tinggi digunakan Uji Bretlch Godfrey Serrial Correlation Lagrange Multiplier Test (LM). Autokorelasi akan menyebabkan diantaranya sebagai berikut: a. Dugaan parameter tidak bias b.
Wilai galat baku mengalami autokorelasi, sehingga ranalan tidak efisien
c. Ragam galat tidak bias d. Terjadi pendugaan kurang tepst pada ragarn galat (standar
error
z~nderestimated),sehingga Sb underestimated. Oleh karena itu, t overestimate cenderung lebih besar dari yang sebenarnya.
,L?
=0
(tidak terdapat serial korelasi)
HI = ,L?
;t 0
(terdapat serial korelasi)
H,
=
Kiiteria uji yang digunakan untuk melihat adanya autokorelasi adalah sebagai berikut: 1. Apabila nilai ohs*Rsquared-nya lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
maka model persamaan yang digunakan tidak mengalami masalah autokorelasi.
2. Apabila nilai ohs*Rsquared-nya lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan maka model persamaan yang digunakan mengalami masalah autokorelasi.
2. Apabila nilai obs*Rsqzrared-nya lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan maka model persamaan yang digunakan mengalami masalah autokorelasi. Solusi dari masalah autokorelasi yaitu dengan menghilangkan variabel yang sebenamya tidak berpengaruh terhadap variabel bebas. Jika terjadi kesalahan dalam spesifikasi model, ha1 ini dapat diatasi dengan mentransformasi model, misalnya dari model linier menjadi non linier atau sebaliknya.
3.3.2.3 Multilcolinieritas Midtikolinieritas terjadi apabila pada regresi berganda terjadi hubungan antar variabe! bebas atau terjadi karena adanya korelasi yang nyata antar p e ~ ~ b a h bebas. Pelanggaran asumsi ini akan menyebabkan kesu!itan untuk menduga yang diinginkan. Menurut Gujarati (1993), untuk mendeteksi ada tidakilya multikclinieritas adalah dengan memperlihatkan hasil probabilitas t statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter yang diduga menunjukkan hasil yang tidak signifikan maka ha1 ini mengindikasikan adanya multikolinieritas. Salah satu cara yang paling mudah untuk mengatasi pelanggaran ini adalah dengan menghilangkan salah saiu variabel yang tidak signifikan tersebut. Hal ini sering tidak dilakukan karena dapat menyebabkan bias parameter spesifikasi pada model. Xemudian cara lain adalah dengan mencari variabel instrumental yang berkorelasi dengan variabel terikat namun tidak berkorelasi dengan variabel bebas Iaimya. Namun ha1 ini agak sulit dilakulcan mengingat tidak adanya infomasi tentang tipe variabel tersebut.
Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas. Salah satunya menurut Gujarati (1993) yaitu Melalui correlation matric, dimana batas tejadinya korelasi antar sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari 1 0,80
1.
Cara yang lainnya yaitu melalui correlation matric dapat pula menggunakan Uji
KIien dalam mendeteksi multikolinieritas. Apabial terdapat nilai korelasi yang lebih tinggi dari 1 0,80
1,
maka menurut Uji Klien multikolinieritas dapat diabaikan
selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi Adjusted R-squared-nya.
3.4.
Beberapa Kelemamahan Metode Ordinary Least Square (OLS) Ketika menggunakan data runtut waktu (time series), seringkali muncul
kesulitas-kesulitan yang sama sekali tidak dijumpai pada saat menggunakan data seksi silang (cross section). Sebagian besar kesulitan tersebut berkaian dengan urutan pengamatan. Ada ha1 yang menjadi kelemahan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan data time series (Gujarati, 1993) antara lain :
1. Suatu kondisi dimana satu variabel tinze series berubah secara konsisten dan terprediksi sebelum variabel lain ditentukan demikian. Jika suatu variabel mendahului variabel yang lain, :id& dapat dipastikan bahwa variabel pertama tesebut menyebabkan variabel lain berubah.
2. Variabel-variabel indipenden nampak lebih signifikan dari sebenamya, yaitu apabila variabel-variabel itu memiliki trend menarik yang sama dengan variabel dependeiznya dalatn kurun waktu periode sampel. 3. Terkadang variabel time series tidak stasioner. Maksudnya rata-rata dan variannya tidak konstan sepanjang waktu dan nilai kovarian antara dua
periode waktu tergantung dari jarak atau lag antara kedua periode dari waktu sesungguhnya dimana kovarian itu dihitung dan bukan dari periode pada waktu.
4. Terkadang variabel time series tidak mempunyai kointegrasi yaitu dalam jangka waktu tertentu tidak terdapat keseimbangan.
5. Sulit untuk menentukan kapan sebuah variabel tersebut penting sebagaimana dijelaskan dalam teori atau sehaliknya teorinya kurang jelas, inaka akan muncul dilema. 6. Sulit untuk menentukan model persamaan mana yang lebih baik.
7. Perlakuan terhadap error semua model persamaan adalah sama.
IV. GAMBARAN UMUM
4.1.
Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) di Batam Dan data Badan Otorita Batam menunjukan nilai persetujuan investasi
Penanaman Modal Asing ( PMA ) dari tahun ketahun selalu meningkat. Berdasarkan Gambar 9 nilai persetujuan investasi PMA pada tahun 2000 sebesar 2.82 milyar US$ dengan 64 proyek, begitu pula pada tahun 2001 persetujuan investasi PMA naik menjadi 3.40 milyar US$ dengan 64 proyek. Pada tahun 2002 persetujuan investasi sebesar 3.62 milyar US$ dengan 80 proyek sedangkan pada tahun 2003 juga mengalami peningkatan menjadi 3.63 milyar US$ dengan 79 proyek. Pada perkembangan berikutnya persetujuan investasi meningkat lagi yaitu menjadi 3.8 milyar US$ dengan 81 proyek, tetapi pada tahun 2005 teijadi penurunan proyek investasi menjadi 59 proyek &an tetapi nilai persetujuan investasi meningkat menjedi 4.08 milyar US$. Sedangkan pada periode 2006 terjadi menjadi 95 proyek dengan nilai sebesar 4.47 milyar US$ sampai pada tahun 20C7 nilai investasi PMA mencapai 4.76 milyar US$ dengan 102 proyek. Berilasarkan prediksi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Batam pertumbuhan ekonomi Batam 'dari tahun 2007 sampai tahun 201 1 akan terus mangalami peningkatan, sehingga investasi PMA di Batam diprediksikan &an terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi yang selalu positif &an memberikan sinyal positifjuga terhadap kegiatan investasi di Batam .
Milyar USS
5 4 3
Persetujuan PMA Batam
2 1 0
Tahun
I
Gambar 9. Perkembangan Kealisasi Penanam Modal Asing- di Batam Tahun 1996- 2007 Sumber : Badan Koordinasi Penanam Modal Batam, 2006 4.2.
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Batam Perkembangan PRDB Batam dari tahun ke tahun terus meningkat ha1 ini
mengindikasikan pertumbuhan ekonomi Batam yang positif. Berdasarkan Gambar 10 pada tahun 2000 PDRB Batam mencapai 16.2 triliun rupiah, sedangkan ditahun 2001 mengalami peningkatan menjadi 17.2 triliun rupiah dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6.5 persen. Selanjutnya pada tahun 2002 PDRB Batam meningkat lagi menjadi 19.2 triliun rupiah dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7.2 persen, sedangkan di periode 2003 PDRB mencapai 19.9 triliun rupiah dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7.3 persen. Pada tahun 2007 PDRB Batam mencapai 34.7 triliun rupiah, pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik ini akan membuka kemungkinan bagi Batam menjadi tempat yang paling diminati untuk melakukan kegiatan investasi bagi para investor asing.
m
m
0 N
0 N
0 N
Tahun
Gambar 10. Perkembangan PDRB Batam dari Tahun 1996 -2007 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2006 4.3.
Perkembangan Nilai Tukar di Batam Dalam triwulan kedua bulan April tahun 1998, nilai kurs riil mengalami
p e n m a n tajam hingga sempat mencapai 18.095 rupiah perdolar AS. Dalam perkembangan selanjutnya tahun 1999 kurs mengalami peningkatan menjadi 8.665 rupiah perdolar AS. Selanjutnya pada tahun 2001 kurs mengalami p e n m a n kembali hingga mencapai 10.650 rupiah perdolar AS. Gambar 11 menunjukan dari tahun 2002 sampai tahun 2007 kurs terapresiasi, ha1 ini menunjukan bahwa kondisi saat ini terutama Batam sebagai salah satu altematif terbaik sebagai tempat investasi dan ha1 ini sangat menarik bagi para investor asing.
m m
m m m o o o o o o m m ~ 0 0 0 0 0
o 0
. - . - - ? . - N N N N N N N N
o 4
0
Tahun
Gambar 11. Perkembangan Kurs Riil di Batam Tahun 1996-2007 Surnber : Bank Indonesia, 2007 4.4.
Perkembangan Tingkat Inflasi di Batam Inflasi mencerminkan kenaikan harga yang terjadi secara terus menerus
dan berhubungan secara tidak langsung terhadap investasi. Ketika terjadi inflasi harga-harga barang akan naik termasuk faktor-faktor produksi sehingga perusahaan cenderung mengurangi investasinya, karena return yang didapat lebih rendah dibandingkan tidak terjadi inflasi, karena nilai jual output masyarakat rendah. Tingkat inflasi di Batam bervariasi tiap tahunnya, berdasarkan Gambar 12 pada tahun 1996 inflasi Batam hanya mencapai 6.34 persen pertahun setelah itu tahun 1997 inflasi Batam meningkat menjadi 17.13 persen pertahun. Peningkatan yang tajam ini di pengaruhi oleh ketidakpastian politik di Indonesia pada masa itu. Pada tahun 1998 inflasi Batam mencapai titik tertinggi hingga 52.89 persen pertahun, krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada masa itu menyebabkan inflasi Batam meningkat tajam. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kondisi ekonomi makro di Batam. Setelah itu pada tahun 1999 inflasi sebesar 2.01 persen pertahun ,ini menunjukan kondisi politik dan ekonomi Batam mulai membaik.
Tahun
I
Gambar 12. Perkembangan Tingkat Inflasi Batam Tahun 1996-2007 Sumber : Badan Otorita Batam, 2006 Inflasi Batam mulai tahun 2000 sampai tahun 2007 secara umum terkendali, hanya di tahun 2001 dan tahun 2005 inflasi diatas 10 persen pertahun sedangkan pada tahun selain itu dibawah 10 persen. Hal ini menunjukan secara m u m Batam sangat kondusif untuk dijadikan tempat kegiatan investasi yang produktif.
4.5.
Perkembangan Upah Minimum Batam Tingkat upah merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
investor asing dalam mempertimbangkan investasinya. Dari tahun ketahun upah minimum batam menunjukan trend yang meningkat. Upah biasanya di pengaruhi oleh tingkat inflasi di daerah setempat dan dipengaruhi oleh kondisi permintaan dan penawaran pasar tenaga kerja. Upah di Batam tergolong tinggi di bandingkan dengan daerah-daerah lain di Riau, kondisi ini terjadi karena Batam sebagai tempat yang potensial untuk berinvestasi mempunyai tenaga kerja yang berpendidikan, mempunyai keterampilan dan mempunyai produktifitas yang tinggi sehingga tenaga kerja di Batam memiliki daya jual yang tinggi.
minimum BatlmTahuu 20052007 t%l
Perkembangan Upsh Minimum di Luar Batam
Gambar 13. Perkembangan U ~ a b Minimum Batam Tahun 2000-2007 Sumber: ~ e ~ a r t e m ~e ne n a Ke ~ rja a dan Transmigrasi, 2007 Berdasarkan Gambar 13 bahwa pada tahun 2000 upah minimum Batam Rp 350.000,OO sedangkan untuk diluar Batam hanya mencapai Rp 329.000,OO. Selanjutnya di tahun berikutnya upah di Batam meningkat menjadi Rp 421.000,OO sedangkan upah di luar Batam tetap sebesar Rp 329.000,OO. Tahun 2002 juga mengalami peningkatan upah menjadi Rp 461.000,OO sedangkan daerah lain diluar Batam menjadi Rp 394.000,OO. Pada tahun 2006 upah minimum Batam mengalami peningkatan yang cukup tajam dari Rp 557.000,OO menjadi Rp 760.000,OO kondisi ini dipicu oleh inflasi di Batam yang mencapai 14.79 persen pertahun selain itu juga karena orientasi pemerintahan daerah Batam untuk menjadikan Batam seabagai The Best Area
untuk berinvestasi, sehingga
karyawan dan calon tenaga kerja baru terns meningkatkan mutu SDM dan produktifitasnya. Sampai tahun 2007 upah minimum Batam mencapai Rp 805.000,OO dan untuk di daerah diluar Batam Rp 710.000,OO.
4.6.
Perkembangan Penerimaan Pajak (Tax ) di Batam Secara umum realisasi penenmaan pajak Batam selalu mengalami tren
yang meningkat kecuali di tahun 2000 dan tahun 2002 yang mengalami penurunan. Penerimaan pajak tertinggi di Kota Batarn terjadi di tahun 2007. Sejak Otonomi Daerah diberlakukan di Indonesia, setiap daerah propinsi atau kabupatenkota mengatur daerahnya sendiri termasuk bidang pajak. Berlakunya
LJIJ No.34 Tahun 2000 atas penyempurnaan UU No.18 Tahun 1997 menetapkan pajak daerah menjadi sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah dan dapat dikembangkan serta digunakan sesuai kebutuhan dan kondisi masingmasing daeral~.Pendapatan pajak Batam merupakan komponen penting dalam pembentukan PDRB Batam, sehingga dcngan perkembangan yang positif dari penerimaan pajak akan memberikan dampak yang positif juga pada PDRB. Pajak secara tidak lal~gsungmempengaruhi investasi, ada hubungan yang positif antara pajak dan PDRB. Suatu daerah yang memiliki peiiumbuhan ekonomi yang tinggi dan pendapatan yang besar akan dijadikan sebagai pertimbangan investor untuk ~nelakukankegiatan investasi di daerah tersebut. Penenmaan dari pajak bisa dimanfaatkan diantaranya untuk pengadaan dan perbaikan infrastruktur seperti jalan, telepon, air dan sebagainya. Infrastruktur ini penting untuk membantu kelancaran kegiatan investasi. Masyarakat dan investor akan menerima kembali balas jasa secara tidak langsung dari pajak yang mereka bayarkan. Berdasarkan Gambar 14 Pada tahun 1999 pendapatan pajak Batam 877 miliar rupiah setelah itu tahun 2000 turun menjadi 663.29 miliar rupiah setelah itu tahun berikutnya naik menjadi 955.53 miliar rupiah sedangkan tahun 2002
mengalami penurunan menjadi 873.20 miliar rupiah. Perkembangan selanjutnya di tahun 2003 sampai tahun 2007 penerimaan pajak Batam terus meningkat, ha1 ini menyebabkan PDRB Batam terus meningkat dan tentunya kondisi ini menguntungkan pihak Batam yang sedang mengembangkan daerah Kawasan Ekonomi Khusus.
@Perkernbangan Peaerirnaan Pajak Batam Tahun 1999-
Gambar 14. Perkembangan Penerimaan Pajak Batam Tahun 1999-2007 Sumber : Badan Otorita Batam, 2006 Penerimaan pajak bisa dimanfaatkan diantaranya untuk perbaikan dan pengadaan infrastddur seperti jalan raya, listrik, telepon, air, transportasi dan pembangunan berbagai macarn sarana ekonomi. Infrastruktur ini penting untuk membantu kelancaran kegiatan investasi baik investasi luar negeri maupun dalam negeri. Masyarakat dan investor menerima kembali baIas jasa berupa sarana yang bersifat fisik dari beban pajak yang mereka bayarkan.
4.7.
Kawasan Ekonomi Khusus Batam Pada kuartal 2 tahun 2006 tepatnya bulan Juni, pemerintah Batam
memutuskan untuk melakukan kerja sama dengan Singapura untuk membentuk Kawasan Ekonomi Khusus atau yang umum disebut Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade ZonelFTZ) yang meiiputi pulau Batam, Bintan dan Karimun. KEK secara menyeluruh berada di delapan pulau wilayah Batam, sedangkan KEK terbatas berada di tiga belas pulau di Bintan dan Karimun. Keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nc 112007 tzntang Kawasm Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2007 tentang Kawasan lerdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang mengatur KEK di Batam menjadi langicah positif Batam sebagai tempat yang menarik untuk berinvestasi. Perpu dan PF' ini membua? kepastian hukum untuk berinvestasi menjadi semakin jelas. Tabel 7. Kawasan Ekonoini =usus di Batam Kawasan a) Pulau Bintan Kawasan Lagoi, kawasan pusat bisnis Bintan, kawasan pengembangan pariwisata terpadu, kawasan industri logam, kawasan industri Galang Batang, kawasan industri maritime, kawasan Dompak (kota Tanjung Pinang, pulau Bintan), kawasan Senggarang (kota Tanjung Pinang, pulau Bintan) b) Pulau Karimun Besar I Kawasan Pelambung, Teluk Mesodo, Teluk Senang, Bukit Peninjau, kawasan Sembawang Pulau Batam, pulau Rempang, pulau Galang Baru, pulau Menyeluruh I Tonton, pulau Nipah, pulau Setoko, --- pulau Karirnun kecil Sumber:Tanibunan.Tulus.Km~~asanEkorzot~li Khzisus dan Dattzoaknva l'erl~adau
1
A
I~zdustrialisasidi Batam. Universitas Trisakti, Jakarta
,
4.7.1.
Karakteristik Kawasan Ekonomi I(husus yang Berhasil Tidak semua skema KEK berhasil, banyak yang kinerjanya tidak
maksimal baik dari sudut pengembangan ekspor , keterkaitan antar perusahaan atau peningkatan teknologi. Ada beberapa faktor berikut ini turut berpengaruh dalam keberhasilan KEK yaitu: 1. Keseimbangan ekonomi makro, khususnya nilai tukar yang mencerminkan
keseimbangan pasar. Meskipun perusahaan dalam mendapatkan berbagai insentif, bila nilai tukar mata uang domestik terlalu h a t (overvalued) maka ekspor tidak akan berkembaug. 2. Lokasi geografis memiliki arti penting dalam ha1 akses ke pasar ekspor dan
kaitan dengan ekonomi domestik. Kenyatann aglomerasi kegiatan ekonomi di beberapa pusat pertumbuhan di Eropa dan Asia Timur memperlihatkan pentingnya faktor lokasi bagi keberhasilan skema KEK dan keterkaitan ekonomi secara historis. Daerah-daerah ini telah membangun keterkaitan ekonomi selama beratus-ratus tahun sehingga terbangun sebuah jaringan perdagangan, keuangan dan kelembagaan. Nega-a-negara di kepulauan Karibia lebih mudah mengekspor ke AS, begitu pula Tunisia ke Eropa, negara-negara Asia Tenggara, Cina dan Jepang. Banyak skema KEK y ~ g dibangun sebagai Counter Growtlz Pole, ditempatkan di daerah terpencil dan tidak berkembang dengan biaya yang tinggi sehingga tidak memperlihatkan keberhasilan. Misalnya skema KEK di Rwanda dan Mongolia begitu pula halnya dengan skema KAPET (Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu) di Indonesia.
3. Skema insentif yang di tawarkan, banyak skema KEK yang berhasil, pada umumnya menawarkan beragam skema insentif seperti pajak, bea masuk, kebebasan dalarn transfer mata uang, kemudahan dalam tenaga kerja (aturan yang lebih longgar dalam hiring dan firing dibandingkan dengan peraturan yang berlaku), keamanan, kesehatan dan lain-lain.
4. Manajemen kawasan yang efektif dan efisien, keberhasilan KEK sangat tergantung pada kualitas manajemen. Kawasan baik lembaga birokrasi atau badan otorita yang di beri mandat untuk melaksanakan beberapa tugas birokrasi. Kualitas manajemen ini dapat langsung terlihat dari besamya biaya birokrasi dan administrasi (langsung dan tidak langsung), termasuk
opportunity cost bagi perusabaan. Dalam banyak kasus dimana terlalu banyak lembaga pernerintah yang terlibat dalam manajemen KEK lnaka biaya transaksi ekonomi dan bisnis akan cenderung sangat tinggi. Dalam kondisi demikian, tidak jarang perusahaan hams me~npekerjakanstaf atau bahkan membentuk biro khusus untuk menangani hal-ha1 yang berkaitan dengan pemerintah. Keada-an ini tentun~amenambah biaya produksi secara tidak perlu.
5. Jaringan infrastruktur dan fasilitas publik yang berkualitas dan memadai. KEK dibangun untuk mengatasi masalah ini dalam ruang lingkup geografik yang terbatas. Meskipun demikian, masih banyak skema KEK dengan penyediaan infrastruktur dan fasilitas publik yang tidak memadai. Di Kenya, misalnya, keluban terbesar bagi para pengusaha adalah penyediaan tenaga listrik yang tidak dapat diandalkan, kualitas yang rendah dan terlalu sering black our
(Radelet, 1999). Keadaan ini memaksa banyak pengusaha menyediakan pembangkit listrik sendiri, sehingga menambah biaya produksi. 6. Keterkaitan dengan ekonomi domestik. Dalam banyak kasus skema KEK tidak berhasil dalam membangun keterkaitan dengan ekonomi domestik. Karakteristiknya sebagai enclave tidak berubah. Banyak faktor yang menyebabkan ha1 ini seperti integrasi vertikal dari pentsahaan, aturan tentang pembelian barang dan jasa, dan perusahaan di luar KEK yang tidak efisien.
7. Peningkatan teknologi merupakan salah satu tujuan dari pembangunan KEK. Beberapa skema KEK telah berhasil meningkatkan kandungan teknologi dari produk yang diekspor. Kasus di Fi!ipina, Malaysia dan Cina memberikan contoh yang berhasil dalam peningkatan kandungan teknologi. Dalam kurun waktu yang relatif singkai, kandungan teknologi ekspor dari Filipina dan Malaysia telah meningkat dengan pesat rata-rata sekitar 20 persen pada akhir 1980an menjadi sekitar 75 persen pada awal abad ke 21. Demikian pula halnya dengan Cina, dimana kandungan teknologi dari KEK Shenzen telah meningkat dengan pesat dari sekitar 8 persen pada tahun 1991 menjadi 40 persen pada tahun 1998 (Xie Wei, 2000). Peran pemerintah sangat strategis dalam ha1 peningkatan teknologi. Investasi pemerintah dalam pendidikan, pelatihan, birokrasi yang sederhana dan perkembangan sektor keuangan merupakan hal-ha1 yang sangat penting. Keberhasilan dalam peningkatan upah nil karma produktivitas tenaga kerja yang meningkat. Dengan demikian, mereka berhasil menghindarkan diri dari jebakan
upah riil yang rendah, konstan atau bahkan menurun yang banyak terjadi di berbagai skema KEK.
4.7.2.
Kendala
dan
Kelemahan
yang
Dihadapi
Batam
dalam
Mengembangltan Kawasan Ekonomi Jihusus 4.7.2.1. Aspek Legal dan Akses Ekonomi Tinjauan aspek legal dan akses ekonomi Batam dalam mengembangkan
KEK dibatasi pada sisi penanalnan modal, pabean dan perpajakan, keimigrasian, kete~agakerjaan,serta keuangan dan perbankan. Secara umum semua bagian aspek ini sudah memadai, hanya masih perlu sedikit pembenahan supaya Batam masuk pada kategori tempat yang inenarik bagi investor asing dan bisa bersaing dengan daya tarik KEK di negara-negara lain. Dari sisi penanam modal, saat ini pelayanan perijinan sudah dalam satu atap (one stop sewice), namun penanganan urusan ijin ini masih bersifat parsial dan belum dilakukan dalam suatu pengelolaan yang terpadu. Bagi investor keadaan ini tidak terlalu berbeda dengan cara yang lalu, bedanya sekarang disatu tempat tetapi urusanya tetap melalui banyak pihak. Dalam ha1 ini yang dikehendaki investor adalah pengurusan ijin dari satu tempat dan satu pihak dengan kejelasan persyaratan, tarif dan waktu penyelesaian. Sementara itu, insentif fiskal yang berlaku selaina ini untuk kawasan berikat plus Batam secara yuridis sudah cukup memadai dimana impor baban baku untuk ekspor bebas bea inasuk dan PPN, pengeluaran mesin atau perabotan pabrik ke DPIL diberikan penangguhan pembayaran bea masuk, PPN, PPn BM, dan PPH22 dan tidak ada syarat minimum ekspor. Sedangkan insentif non-fiskal
sesuai dengan fasilitas kawasan berikat (fasilitas infrastmktur modem) ditambah dengan prosedur yang lebih sederhana. Insentif fiskal untuk KEK hanya tinggal menambah daya tank investor seperti penumnan tarif pajak dan lebih menyederhanakan berbagai prosedur perijinan, serta adanya tax holiday selama 5 tahun dan tax discount. Selanjutnya menumt Teddy Lesmana (2007), dari sisi kualitas pelayanan, komplain, dan akses informasi sekitar investasi di Batam masih jauh dari harapan. Pelayanan masih parsial dan berbelit dengan keramahtainahan yang perlu ditingkatkan. Tidak jelas jaminan terhadap penyelesaian komplain investor. Selain itu akses informasi bagi investor belum terlembaga dengan baik. Jika seorang calon investor di luar negeri bisa mengakses berbagai informasi awal untuk kalkulasi lcasar investasi dan bisnis yang akan dila'mkan sebelum datang ke Batam, maka akan besar peluang masuknya investor asing. Dengan banyaknya calon investor maka posisi tawar tuan mmah tentu a k a nmenguat. Untuk menunjang KEK diperlukan sejenis klinik investasi yang bisa menangani berbagai komplain, menyiapkan infonnasi melalui website di internet, dan menjadi konsultan calon investor. Dan sisi praktek kepabeanan dan perpajakan pada saat ini dirasakan masih berbelit-belitnya prosedur keluar dan masuknya barang seperti LDP, TPB, dan DPIL maupun banyaknya ijin-ijin dari pemerintah pusat terkait dengan kegiatan investasi asing. Selain itu beban pungutan bea masuk barang modal dan PPN masih kurang menarik bagi investor asing. Untuk mendukung suksesnya pelaksanaan KEK di Batam masih diperlukan banyak penyederhanaan,
pengurangan ataupun penghapusan prosedur kepabeanan dan perpajakan. Pemerintah pusat sebagai pemegang kewenangan dalam ha1 kepabeanan dan perpajakan,
langkah-langkah
penyederhanaan
prosedur
kepabeanan
dan
pengurangan tarif pajak perlu diupayakan dan kualitas pelayanan aparat perlu lebih diarahkan dalam ha1 me!ayani/membantu sesuai dengan ketentuan yang berlakc. 4.7.2.2. Aspek Icapasitas Pemerintah Daerah Dukungan pemerintah kota Batam dari sisi ketersediaan kuantitas aparat masih sangat kurang meski sudah banyak tenaga honorer, kaalitas SDM yang memadai namun dari kemampuan profesional belum memadai, dan tingkat pelayanan belum begitu baik dan kurang tcrkoordinasi diantara berbagai institusi didalamnya. Sudah menjadi ha1 yang biasa tentang le~nabnyakualitas pelayanan birokrat diberbagai negara berkembang khususnya diberbagai daerah di Indonesia. IUlusus untuk daerah Batam yang sedang mengembangkan KEK tentn perlu berbagai upaya memperbaiki kinerja pelayanan aparat. Lemahnya kualitas pelayanan birokrat di Indonesia sangat terkait dengall rendahnya tingkat kesejahteraan aparat dan kurangnya penegakan disiplidperaturan yang berlaku. Berbagai upaya penegakan disiplidperaturan yang berlaku terhadap peningkatan kualitaslkinerja aparat birokrasi selalu tidak berhasil sepenuhnya karena terbentur pada lemabnya pengawasan dan sulitnya mengharapkan adanya kesadaran untuk bekerja keras mencapai kinerja yang baik dalam keadaan lemahnya motivasi. Di sarnping itu kesiapan Otorita Batam sebagai institusi yang selama ini bertugas menangani kawasan industri sebagai kawasan berikat plus di Batam,
seberulnya sudah membrikan basic lmowledge untuk mendukung diberlakukannya
KEK. Dari sisi kuantitas dan kualitas aparat serta kualitas pelayanannya, Otorita Batam sudah dianggap lebih profesional dan marnpu melaksanakan tugas dan pelayanannya dengan relatif baik. Yang masih menjadi persoalan adalah adanya dualisme atau ketidak jelasan kewenangan dalam berbagai umsan investor terhadap pemerintahan. Selain itu koordinasi dan kemitraan yang kurang baik diantara pemerintah daerah dan Otorita Batam hingga sekarang masih terjadi. Kedua pihak ini seyogyanya lebih menonjolkan kepentingan bersarna untuk bahu membahu mensukseskan KEK serta menciptakan pembanylnan yang sebesar-besarnya dalam implementasi KEK, kemudian secara gradual bisa menyelesaikadmenegosiasikan berbagai masalah diantara mereka. Dengan belajar
dari pengalaman berbagai negara dalam pelaksanaan ICEK, maka sehamsnya fakta-fakta kerugian dalam pelaksanaan KEK di beberapa negara Asia seperti yang dikemukakan Rondinelli dapat dicegah agar tidak terjadi pula di Batam nantinya. 4.7.2.3. Aspek Infrastruktur Fisik
.
Salah satu kriteria KEIC di Indonesia (Timnas Pengembangan KEKI,
2006) adalah tersedianya kapasitas dan aksesibilitas terhadap infrastmktur pendukung, seperti (a). Jaringan jalan, Jalan KA, Telekomunikasi, Pelabuhan, Bandara, dan sebagainya untuk menunjang operasionalisasi kawasan; (b) Tersedia sumber air mineral sebesar 1 litertdet untuk setiap hektar daerah yang dikembangkan; dan (c) Tersedia sumber tenaga listrik serta sistem jaringan yang diperlukan. Dalaln ha1 infrastruktur pendukung ini kecuali jalan KA nampaknya
kotamadya Batam relatif lebih siap daripada Bintan dan Karimun yang juga menjadi lokasi KEK, bahkan kapasitas penyediaan listrik melebihi kebutuhan pasokan saat ini. Kondisi prasarana perhubungan darat dan laut dilihat dari sisi 'kuantitas masih hurang, kualitas relatif kurang baik karena banyak fasilitas tersebut yang sudah tertinggal dan kurang pemeliharaan, dan tingkat pelayanannya juga dikeluhkan belum memnaskan. Sedangkan prasarana perhubungan udara dalam kuantitas, kualitas fasilitas dan tingkat pelayanannya relatif cukup memadai. Sementara itu, sarana perhubungan darat dan laut kuanttitasnya sudah memadai, kualitasnya belutn memadai dan pelayanannya juga relatif kurang baik. Sarana perhubungan udara kuantitas penerbangan domestik tnetnadai dan penerbangan intemasional rnasih kurmg, kualitas sarana penerbangan kurang baik karena kebanyakan sudah terlalu tua, dan pelayanan relatif sudah baik. Untuk meningkatkan pzran atau dukungan prasarana dan sarana perhubungan diperlukan langkah-langkah perbaikan terutama pada prasarana dan sarana perhubungan darat dan laut. Selanjutnya kondisi fasilitas sosial (Fasos) dan fasilitas utnutn (Fasum) di Kodya Batam dari sisi kuantitas sudah memadai, namun dari sisi kualitas masih dibawah standar yang memuaskan. Untuk itu perlu peningkatan pemeliharaan dan perbaikan kualitas Fasos dan Fasum yang pada gilirannya ikut berperan dalam mensukseskan pelaksanaan KEK.
4.7.2.4.
Aspek Keterkaitan Kegiatan Investasi Kawasan Industri dengan Perekonomian Daerah Batam Mengingat Batam baru akan menjadi KEK, tentu berbagai pengalaman
yang baik dan buruk dari KEK diberbagai negara selama ini seharusnya bisa menjadi pelajaran dan dijadikan pedoman baik dalam mempersiapkan berbagai aspek pendukung (peraturzn, kapasitas daerah, infrastruktur, dan keterkaitan dengan ekonomi lokal) maupun dalam implementasi KEK. Dalam konieks ini tentu persiapan untuk menciptakan kcndisi yang kondusif bagi optimalnya manfaat keberadaan KEK bagi ekonolni lokal dan nasional lnenjadi aspek penting yang terutalna menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan pusat untuk melaksanakannya. Dalam banyak kasus pelajaran dari negara lain, aspek lernahnya keterkaitan (baclouard darz forward linkages) dengan ekonomi lokal merupakan salah satu sumber kerugian daerah tempat beroperasinya ICEK tersebut. Kenyataan saat ini tingkat keterkaitan investasi asing di kawasan industri Batam dengan ekonomi lokal yang dicerminkan oleh perusabaan besar domestik dan UMKM masih relatif sangat rendah. Hal ini tercermin mulai dari pernbangunan pabrik-pabrik dikawasan industri Batam yang tidak sepenuhnya dilakukan dan dipasok oleh perusahaan-perusahaan domestik baik skala besar lnaupun UMKM sarnpai pada relatif rendahnya keterkaitan perusahaan besar domestik dan UMKM dalam mendukung/mernasok faktor input industri-industri besar asing dikawasan industri Batam.
Selama ini belum adanya perencanaan sistimatis yang menciptakan atau mendorong terjadinya keterkaitan antara industri besar dikawasan industri yang didominasi oleh investor asing telah menyebabkan minimalnya benefit dari aktivitas ekonomi dikawasan industri terhadap ekonomi lokal, kecuali dari upah yang diperoleh pekerja lokal yang mayoritas golongan bumh.
V. PAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENANAMAN MODAL ASING DI BATAM
5.1.
Estimasi Parameter Model Model persamaan yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor
yang menlpengaruhi Penanaman Modal Asing di Batam adzlah model terbaik. Dimana model terbaik adalah model yang nlemenuhi seluruh kriteria baik itu kriteria secara statistik maupun ekonometrika. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah PMA sebagai variable dependent sedangkan variabel PDRB, nilai tukar, tingkat inflasi, upah, pajak dan dummy KEK adalah variable
indipendent. Hasil Estimasi model persamaan regresi Penanaman Modal Asing di Batam adalah sebagai berikut: Tabel 8. Hasil Analisis Regresi PMA di Batam Koefisien Standar Error Variabel t-Statistik 0.417723 0.164623 LNPDRB 2.537460 -0.018513 -0.0001 10 0.005931 INF -2.035987 -0.072206 0.035465 LNRER 6.249684 0.545404 0.087269 LNUPAH 2.459024 0.1 18723 0.048281 LNTAX -0.533680 -0.024575 0.046048 KEKD
Adjusted R-squared Durbin-Watson stat
0.970380 Prob(F-statistic) 0.682773
Probabilitas 0.0151 0.9853 0.0482 0.0000 0.0182 0.5964
0.000000
Sumber: Lampiran 2
Langkah selanjutnya adalah melakukan berbagai pengujian terhadap parameter estimasi tersebut melalui uji statistik dan uji ekonometrika. Pengujian statistik meliputi goodness of fit, uji t dan uji F sedangkan pengujian
ekonometrika meliputi
uji
autokorelasi, uji
heteroskedastisitas dan uji
multikolinearitas.
5.2.
Uji Kriteria Statistik
5.2.1.
Uji F Pada persamaan Penanam Modal Asing memiliki nilai probabilitas
sebesar 0.000000 yang nyata pada taraf 5 persen yang bisa dilihat pada (Lampiran
2). Hal ini menunjukkan bahwa variabel bebas dalam model secara bersama-sama memiliki pengamh yang nyata terhaaap variabel tak bebas. 5.2.2.
Uji Koefisien Determinasi ( R )~
Goodness offit dituiijukkan oleh nilai R-squarednya dimana pada hasii analisis regresi d a l m persamaan Penanam Modal Asing memiliki nilai koefsien detenninasi sebesar 0.974161 yang bisa dilihat pada (Lampiran 2). Artinya persalnaan model PMA dapat dijelaskan oleh vanabel-variabel yang terdapat di dalam model tersebut sebesar 97.4161 persen, sisanya sebesar 1.9674 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model PMA.
5.3.
Uji Kriteria Ekonometrika
5.3.1.
Uji Autokoreiasi Penpjian ekonometrika diinaksudkan untuk lnendeteksi ada tidaknya
pelanggaran asumsi. Jika terjadi pelanggaran asumsi maka akan menghasilkan dugaan yang tidak valid. Uji ekonometrika terdiri dari uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas dan uji multokolinieritas.
Pengujian autokorelasi dideteksi dengan menggunakan pengujian Breusch-God3ey Serial Correlaton Lagrange Multiplier Test. Kriteria ujinya adalah jikaprobabili:~obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata a = 0,05 maka tolak H, artinya bahwa model persamaan pada penelitian yang digunakan tidak mengalami masalah autokorelasi, d m sebaliknya jika probability obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata a = 0,05 maka model persamaan yang digur~akan terima H, artinya mengalami masalah autokorelasi. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini nemiliki nilai probability obs*ii'-squared sebesar 0.058240 peda lag 34. Nilai ini lebih besar dari taraf nyata 5 persen, artinya model persamaan yang dig?m&an dalam pexlitian ini tidak memiliki maselah autokorelasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada (Tabel 9). Tabel 9. Hasil Estimasi Uji Autolcorelasi pada Persamaan PMA Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 50.89234 Prob. F(34,7) 0.000007 Prob. Obs*R-squared 47.80660 ChiSquare(34) 0.05841 1 , Surnber : Larnpiran 3
5.3.2.
Uji Heteroskedastisitas Uji Heteroskedastisitas dilakukan melalui uji White (White's General
Heteroskedasticity Test). Kriteria ujinya adalah jika probability obs*R-squared lebih besar dari a = 0,05 maka model persamaan yang digunakan tidak mengalami mssalah heteroskedastisitas, dan sebaliknya jika probability obs*Rsquared lebih kecil dari a =0,05 maka model persamaan yang digunakan mengalami masalah heteroskedastisitas. Hasil uji dari model dalam penelitian ini diketahui bahwaprobability obs*R-squared adalah sebesar 0.0725 13 dimana nilai
tersebut lebih besar dari taraf nyata 5 persen, maka model persamaan pada penelitian ini tidak mengalami masalah heteroskedastisitas. Hal tersebut dapat diliahat pada (Tabel 10). Tabel 10. Hasil Estimasi Uji Heteroskedastisitas Model PMA White Heteroskedasticity Test: F-statistic 2.036435 Prob. F(11,36) Obs*R-squared 18.41136 Prob. Chi Square(l1) Sumber : Lampiran 4
5.3.3.
0.053505 0.072513
Uji Multikolinieritas Uji Multikolinieritas dilakukan dengan melihat koefisien korelasi antar
variabel behas pada correlation matrix. Pada model persamaan PMA terdapat variabel yang mempunyai nilai koefisien korelasi relatif tinggi yaitu lebih dari 10.8
1 , yaitu PDRB dan Tzx ymg besarnya -0.93418, PDRB daq Upah nilainya
mencapai 0.973899, selanjutnya Upah dan Tax sebesar -0.87392. Akan tetapi Uji Klien menyatakan bahwa apzbila nilai koefisien korelasi tersebut tidak lebih dari R 2 , maka multikolinieritas dapat diabaikan. Model persamaan ini memiliki R 2sebesar 0.974161. Hal tersebut dapat dilihat pada (Tabel 11).
Sumber : Lampiran 5
5.4.
Estimasi Model Pada persamaan PMA di Batarn tidak semua variabel penjelas
memberikan pengamh nyata pada taraf nyata 5 persen ( a = 5%). PDRB, nilai tukar, upah, dan pajak secara statistik berpengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen, sedangkan tingkat inflasi dummy Kawasan Ekonomi Khusus tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen.
5.4.1. Produk Regional Domestik Bruto Berdasarkan hasil pendugaan parameter menunjukkan bahwa PDRB signifikan berpengaruh positif terhadap PMA di Batam pada taraf ilyata 5 persen. Koefisien variabel PDRB sebesar 0.417723, artinya peningkatan PDRB sebesar satu persen inaka akan meningkatkan investasi PMA sebesar 0.417723 persen,
cateris paribus. PDRB merupakan indikator perekonomian suatu wilayah. Jumlah PDRB yang tinggi menggambarkan perekonolnian suatu wiiayah yang tinggi pula. Hal tersebut mendorong kepercayaan pihak asing untuk menanamkan modalnya di Batam. Sesuai dengan teori PMA, bahwa salah satu tujuan PMA yaitu untuk mendapatkan sumber-sumber pasar bar-, artinya para investor akan inemilih lokasi PMA di negara yang mempunyai daya beli yang cukup untuk produk yang akan dihasilkan oleh perusahaan investor tersebut. Bagaiinana mungkin suatu negara yang meinpunyai pertumbuhan ekonomi lambat atau tertinggal meinpunyai daya beli yang cukup dan mempunyai market yang menjanjikan. Maka secara umum para investor asing selalu menghubungkan pemilihan lokasi PMA dengan
pertumbuhan ekonomi negara tujuan. Oleh karena itu, jika pertumbuhan ekonomi suatu negara khususnya di Kota Batam menunjukkan ke arah positif maka akan meningkatkan kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya di Batam yang pada akhimya PMA di Batam juga akan meningkat.
5.4.2.
Nilai Tultar Variabel nilai tukar berpengaruh negatif yang signifikan terhadap PMA
di Batam pada taraf cyata 5 persen. Koefisien variabel nilai tukar adalah sebesar -0.072206, artinya peningkatan nilai tukar sebesar satu persell akan menurunkan tingkat investasi asing di Batam sebesar 0.072206 persen, caretis paribus. Hal ini disebabkan karena ketika terjadi depresiasi nilai tukar riil keuntungan yang akan diperoleh akan berkurang sehingga dapat menumnkan tingkat investasi. Para pelaku ekonomi seperti investor akan selalu menjadikan nilai tukar mata uang sebagai bahan pertiinbangan sebelum mereka melakukan investasi. Investor tidak akan tertarik pada suatu negara yang ineinpunyai nilai tukar mata uang tidak stabil. Nilai tukar mata uang akan mempengaruhi PMA dari beberapa sisi. Nilai tukar mata uang yang dapat mempengaruhi tingkat upah secara langsung. Nilai tukar mata uang tinggi akan ineinbuat upah menjadi ~nahaldan sebaliknya nilai tukar inata uang yailg rendah akan inenjadikail upah sangat muarah. Selain itu perubahan nilai tukar mata uang yang tidak lneneiltu akan metnbuat para investor sulit dalam meinprediksi dari suatu proyek dan tidak akan membantu dalam analisis rencana penanaman investasi. Ketidakstabilan makroekonomi merupakan satu kesukaran atau rintangan besar untuk berinvestasi pada banyak negara.
Dari sisi ekspor jika kurs nil rendah maka akan mendorong untuk ekspor lebih besar karena ketika kurs nil rendah harga barang dalam negeri relatif murah sedangkan harga barang di luar negeri relatif mahal. Kondisi ini memungkinkan penduduk dalarn negeri dan penduduk luar negeri lebih memilin untuk membeli barang-barang dalam negeri. Akibatnya permintaan dan output terhadap barang-barang produksi dalam negeri meningkat, ha1 ini akan mendorong ekspor meningkat.
5.4.3.
Tingkat Inflasi
Valiabel tingkat inflasi tidak signifikan terhadap PMA di Batam pada taraf nyata 5 persen. Koefisien variabel tingkat inflasi sebesar -0.000! 10, artinya bahwa peningkatan satu persen inflasi maka akan menyebabkan penurunan PMA sebesar 0.0001 10 persen.
5.4.4.
Upah
Variabel upah juga berpengaruh positif terhadap PMA dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Koefisien variabel upah sebesar 0.545405 artinya jika terjadi peningkatan satu persen variabel upah maka akan meningkatkan PMA sebesar 0.545405 persen. Industri yang ada di Batam sebagian besar adalah industri padat modal yang mempekerjakan tenaga terdidik dan menggunakan teknologi modem, sehingga ketika terjadi kenaikan UMR tidak menyebabkan penurunan PMA. Investor yang memiliki kekuatan modal akan rnembayar upah
pada tingkat yang masih menguntungkan kedua belah pihak yaitu investor sendiri dan para buruh. Alasan lain para investor asing cenderung lebih tertarik memilih tempat untuk berinvestasi yang memiliki tenaga kerja terampil, berpendidikan dan produktifitas tinggi. Tingkat upah Batam lebih besar dibandingkan dengan tingkat upah daerah lain di Riau, ha1 ini diduga tingkat upah yang tinggi mencenninkan daerah tersebut memiliki tenaga kerja terampil, berpendidikan dan memiliki produktifitas yang tinggi, sehingga tenaga kerja di Batarn memiliki nilai jual yang tingi pula. Hal tersebut merupakan daya tank tersendiri bagi para investor yang akan menanarnkan ~nodalnyadi Batanl, dima:la kualitas tenaga kerja yang baik akan diikuti oleh upah yang layak pula. Upah yang layak dan bisa memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan kesehatan akan meningkatkan kexjahteraan tenaga kerja, kemudian akan meningkatkan produktifitas para karya~vandan pada akhirnya akan memberikan tingkat output yang maksimal.
5.4.5.
Pajak (Tax) Variabel pajak (Tax) berpengaruh positif terhadap PMA dan signifikan
pada taraf nyata 5 persen. Koefisien variabel pajak adalah sebesar 0.118723 artinya peningkatan pajak sebesar satu persen akan meningkatkan PMA sebesar 0.118723 persen. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis. Pajak secara tidak langsung mempengaruhi PMA, karena pajak merupakan bagian dari PDRB yang dihitung dari pajak pertambahan nilai (PPn), pajak pengahasilan (PPN) dan pajak lainnya. Sehingga ketika pajak meningkat maka PDRB aka11 meningkat pula.
Peningkatan PDRB ini mencerminkan kondisi perekonomian di Batam baik dan kondisi ini juga menyebabkan PMA meningkat. Alasan lain variabel pzjak berhubungan positif terhadap PMA adalah bahwa penerimaan pajak Batam yang besar itu Pemerintah Kota Batam bisa mengelola dana tersebut dengan baik, misalnya pengadaan dan perbaikan infrastruktur, penarnbahan sarana dan prasarana ekonomi, pengadaan teknologi dan lain sebagianya. Sehingga ha1 tersebut smgat membawa dampak positif bagi peningkatan PMA.
5.4.6.
Dummy Icawasan Ekonomi Khusus
Variabel dunlmy ICEK tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen. Artinya pembentukan KEK di Batam tidak mempengaruhi PMA di Batam. Hal ini diduga KEK di Batam baru dibentuk bulan Juni 2006, sehingga manfaatnya belum dapat dirasakan manfaatnya sebagai katalisator PMA di Batam. Cina sudah mengembangkan KEK sejak tahun 1990an untuk mengembangkan industri yang berbasis teknologi tinggi seperti di Shenzen da Pudong, sehingga wajar saja Cina sekarang menjadi Negara yang besar dengan pendapatan nasional yang tinggi. Dengan adanya pembentukan KEK di Batam diharapkan di tahun yang akan datang Batam menjadi daerah seperti di Sbenzen.
5.5.
lmplikasi Kebijakan Pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan hendaknya membuat
kebijakan yang mendukung kegiatan investasi di Batam sehingga kondisi investasi bisa kondusif dan banyak diminati oleh para investor asing. Investasi ini sangat penting ssbagai motor penggerak ekonomi karena dapat menciptakan lapangan kerja baru, penambahan pendapatan daerah melalui pajak, peningkatan penggunaan teknologi, peningkatan output dan lain sebagainya. Iklim investasi merupakan salah satu penentu keberhasilan Kawasan Ekonomi Khusus di Batam yang pada akhimya berpengaruh positif terhadap investor asing. Salah satu untuk menciptakan iklim investasi yang baik adalah misalnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah hams benar-benar konsisten menjalankan Undang-Undang No.25 Tahun 2007, karena UU Penanam Modal tersebut sudah mencangkup semua aspek penting termasuk pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor dan
ketenagakerjaan. Sehingga dapat
dipastikan apabila ketentuan ini benar-benar dilakukan, dengan asumsi faktorfaktor lain (seperti kepastian hukum, stabilitas, pasar buruh yang fleksibel, kebijakan ekonomi makro, rejim perdagangan yang kondusif dan ketersediaan infrastruktur) mendukung, pertumbuhan investasi asing Batan1 akan mengalami akselerasi. Pemerintah Kota Batam juga hams memaksimalkan PDRB dengan berbagai macam altematif seperti meningkatkan ekspor, meningkatkan promosi wisata dan pemanfaatan SDA berbasis teknologi. Karena pertuinbuhan ekonoini yang terus meningkat ternyata lneluberi dainpak positif terhadap investasi di
Batam. Otoritas moneter baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah juga hams menjaga stabililitas nilai tukar dan inflasi sehingga iklim investasi kondusif. Selain itu dalam hal upah hams dioptimalkan lagi dalam pengelolaanya, misalnya dari segi tingkat upah, kesejakteraan para bumh, jaminan keselamatan dan insentif lainnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan para bumh. Selain itu juga pemerintah disarankan memberikan payung hukum yang jelas untuk melindungi tenaga kerja di Batam sehingga kondisi perbumhanltenaga kerja semakin kondusif. Pemerintah hendaknya memanfaatkan dan memanajemen pendapatan pajak sebaik muilgkin seperti untuk pengadaan dan perbaikan infrastruktur, pengadaan saiana dan prasarana perekonomian. Ha! ini perlu dilakukan untuk mendukung kegiatan investasi di Batam.
VI. PENUTUP
6.1.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan yang
dapat diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi investasi asing (PMA) di Batam yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), nilai tukar nil (RER), upah minimum (UPAH) dan pajak (TAX) yang secara signifikan berpengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen, sedangkan tingkat inflasi (INF) dan dctnmy ICEK tidak berpengaruh nyata terhadap PMA di Batam.
2. Berdasarkan hasil pengujian statistik terhadap model persamaan PhlA di Batam, ;id& semua variabel eksogenr.ya mempunyai tanda yang sesuai dengan teori seperti upah dan penerimaan pajak berhubungan positif terhadap PMA,
sedangkan berdasarkan penelitian terdahulu
variabel tersebut
berhubungan negatif terhadap PMA. Pada variabel PDRB, nilai tukar dan inflasi mempunyai tanda yang sudah sesuai dengan teori. 3. Berdasarkan hasil penelitian bahwa KEK yang telah dibentuk di Batam ternyata belum memberikan dampak yang signifikan terhadap jumlah investasi di Batam ha1 ini karena KEK yang sudah dibentuk ternyata masih mengalami banyak kendala baik dari segi teknis maupun implementasinya. 4. Selanjutnya dari hasil penelitian juga diketahui bahwa karakteristik KEK yang
berhasil adalah keseimbangan ekonolni makro, lokasi geografis yang strategis, insentif yang di tawarkan, manajelnen kawasan yang efektif dan efisien,
jaringan infrastmktur yang memadai, keterkaitan dengan ekonomi domestik dan penguasaan teknologi. Sedangkan kendala-kendala Pemerintah Batam dalam mengembangkan KEK terkendala pada aspek legal dan aspek ekonomi, aspek kapasitas Pemerintah Daerah,
aspek infrastruktur fisik dan aspek
keterkaitan kegiatan investasi kawasan industri dengan perekonomian Batam.
6.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah diperoleh maka
saran yang didapat dikemukaan adalah sebagai berikut: 1. PDRB tnemberikan pengarul~terbesar kedua setelah Upah, oleh karena itu
disarankan Petnerintah Daerah Batam meningkatkm PDRB melalui kegiatan ekcnomi dan promosi investasi daerah Batam. 2. Dari hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nilai tukar mempengamhi
PMA di Batatn, oleh karena itu disarankan kepada otoritas moneter untuk menjaga stabilitas moneter misalnya menjaga stabilitas laju nilai tukar agar tetap terkendali. 3. Pemerintah hams memperhatikan besarnya UMR tiap daerah, agar UMR tersebut tidak memberatkan investor dan juga tidak merugikan para buruh.Selain itu juga pemerintah disarankan memberikan payung hukum yang jelas untuk melindungi tenaga kerja di Batam sehingga kondisi perburuhanltenaga kerja semakin kondusif.
4. Peneritnaan pajak yang berpengaruh positif terhadap PMA disarankan untuk lebih meningkatkan dalatn ha1 pelayanan administrasi, sehingga masyarakat
dan investor mempunyai jiwa kesadaran yang tinggi untuk membayar pajak. Pajak ini penting untuk membantu pengadaan d m perbaikan sarana prasarana infrastmktur yang semuanya itu sangat menunjang bagi kelancaran kegiatan ekonomi dan investasi.
5. Kawasan Ekonomi Khusus sebagai katalisator investasi asing perlu di kelola dengan strategi
yang matang sehngga manfaat dan dampak positif bisa
dirasakan bagi perekonomian Batam. Pemerintah harus mampu menempatkan semua elemen baik pemerintah pusat, pemerintah daerah sendiri dan swasta sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Badan Otorita yang telah di bentuk untuk ~nengelolaKEK harus bersinergi dengan pemerintah daerah Batam agar diperoleh visi dan pandangan yang sama dalam pengelolaan KEK. Proses kepabean dan parpajakan, baik dari pelayanan, komplain, dan akses informasi sekitar investasi sebaiknya dipennudah supaya tidak terkesan berbelit-belit.
6. Pemerintah daerah Batam sebagai pemegang kekuasaan hams lnampu menciptakan birokrasi yang efisien, karena sebagian besar yang dikeluhkan para investor saat ini adalah birokrasi, selain itu juga kualitas pelayanan aparat pemerintahan perlu diarahkan dalam ha1 melayani atau membantu sesuai dengan wewenang dan ketentuan yang berlaku.
7. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan menggunakan data pajak yang khusus dikenakan dalam kegiatan investasi, seperti pajak bea masuk, pajak untuk harang modal dan lain sebagainya. Hal ini perlu dilakukan guna melihat lebih jauh pengaruh pajak terhadap PMA.
DAFTAR PUSTAKA
Anugerah, H. 2005. Analisis Hubungan antara Penanarn Modal Asing dun Ehpor di Indonesia (Pendekatan Vektor Autoregression) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arsana, I. 2005. Basic Econometrics. Laboratorium Komputasi Ilmu Ekonomi FEUI, Universitas Indonesia, Depok. Blomstrom, M. dan Sj~holm,F. 1999 "Tech?ology Transfer and Spillover: Goes Local Partipation With Multinational Matter". European Economic Review, 43:915-923. Badan Koordinasi Penanam Modal. 2004. Penelitian Penyebab Rendahnya Realisasi Investasi di Bebagai Daerah. BKPM, Jakarta. Badan Pusat Statistik. Batam Dalam Angka. Berbagai Edisi. BPS, Jakarta. Deliarnov. 1995. Pengantar Ekonomi Makro.Universitas Indonesia Press, Jakarta. Dumairy. 1996. Perekonornian Indonesia. Erlangga, Jakarta Fledstein. 2000. Aspect of Global Integration : Outlook of The Future. NBER Working paper. [12 April 20003. Cambridge. Fung, K.C., I. Hitomi dan P.Stephen. 2002. "Deterrninan of U.S. and Japanene Direct Invesment in China". Journal of Comparative Economics, 30:567578. Gujarati, D.1993. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zain [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Hamdy, H. 1998.Ekonomi Internasional. Cetakan Pertama. Ghalia Indonesia, Jakarta. Jhingan. 2003. Ekonomi Pembangunan dun Perencanaan. Guritno [penerjemah]. PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta. Johansson, H. dan Nilsson.1997. "Export Processing Zones as Catalyst". World Development, 25: 21 15-2128. Khalwaty. 2000. Infasi dan Solusinya. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rondinelli, D.A. 1987. "Eksport Procesing Zones and Economic Devtel-nt in Asia:A Reiew and Reasement of a Means of Promoting Growth d Jobs". American Journal of Economics and Sociology, 4639-1 05. Salvatore. 1997. Ekonomi International. hlunandar dan Simiharti [pmerjanah]. Erlangga, Jakarta. Sarwedi. 2002. "Investasi Asing di Indonesia dan FagMempengaruhinya". Jurnal Akuntansi dun Keuangan, 4: 17-35.
yang
Siahaan, M.2005. Pajak Daerrrh dun Retribusi Daerah. Grafindo, Jakarita Siahaan, E. 2006. Peranan Kawasan Berikat dalam Pengembangan firiw.stasi di DKI Jakarta (tidak dipubiikasikan). PT Kawasan Berikat TIkaatara, Jakarta. Sukimo, S.1996. Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi. Waiversitas Indonesia. Bina Cipla, Jakarta. Tainbunan, T. 2007. Kawasan Ekonomi Khusus dun Da?npaknya Errhadap Industrialisasi di Batam. Kadin IndonesiaRusat Studi Industri d m UKM, Universitas Trisakti. Todaro, P.L. 2000. Pembangunan Ekononli di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakaxta. Trisambod, M.T., Lesmana, T., Hidayat, S., Syamsulbahri, D., Prabowo dan Juwono. 2007. "Analisis Rencana Pembentukan KEK: Studi Kasus Batam ". Jurnal Ekonomi Pembangunan, 15:213-246. Wei, X. 2000. " Unbalanced Development Special Economic Zone as Catalyst for Transition". Journal of Comparative Economics, 26:117-141. World Economic Forum, 2007. The Global Competitiveness Report 2007-2008. Genewa, Swiss.
Dependent Variable: LN-PMA Method: Least Squares Date: 08/01/07 Time: 00:ll Sample: 1996:l 2007:4 Included observations: 48 Vaiiable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN-PDRB INF LN-RER LN-UPAH LN-TAX SEZD
0.417723 -0.000110 -0.072206 0.545404 0.1 4 8723 -0.024575 -1.172825
0.164623 0.005931 0.035465 0.087269 0.048281 0.046048 4.906175
2.537460 -0.018513 -2.035987 8.249684 2.459024 -0.533680 -0.239051
0.0151 0.985: 0.048; 0.OOOC 0.018:: 0.596d 0.81 2:
C R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.974161 0.970380 0.049716 0.101339 79.74254 0.682773
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
20.48647 0.28887C -3.030935 -2.758056 257.6247 0.OOOOOC
L a m p i r a n 3. H a s i l Estimasi Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
i
F-statistic Obs'R-squared
50.89234 47.80660
Prob. F(34,7) Prob. Chi-Square(34)
0.000009 0.05841 1
Test Equation: Dependent Variable: RESlD Method: Least Squares Date: 08/01/07 Time: 00:16 Sample: 1996:l 2U07:4 ' Included obse~ations:48 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN-PGRB INF LN-RER LN-UPAH LN-TAX SEZD C RESID(-1) RESID(-2) RESID(-3) RESID(-4) RESID(B) RESID(-6) RESID(-7) RESID(-8) RESID(-9) RESID(-10) RESiD(-11) RESID(-12) RESID(-13) RESID(-14) RESID(-15) RESID(-16) RESID(-17) RESID(-18) RESID(-19) RESID(-20) RESID(-21) RESID(-22) RESID(-23)
-0.122473 -3.014084 0.12061 9 -0.520078 -0.345937 0.042427 18.1 1936 0.071926 -0.030036 -0.288464 -0.264803 -0.574295 -0.781867 -0.760962 -0.561868 -0.593069 -0.469954 -0.748084 -0.983812 -1.286349 -1.523736 -1.410474 -1.793223 -1.743752 -1.810978 -1.647369 -1.582039 -1.474201 -1.189820 -1.271439
0.103022 0.003428 0.019729 0.059373 0.060701 0.046716 4.185507 0.099858 0.080765 0.092668 0.101230 0.069945 0.098705 0.094507 0.100481 0.106294 0.126244 0.122978 0.162938 0.101805 0.205782 0.185720 0.192798 0.196009 0.165272 0.233849 0.165661 0.184409 0.159505 0.1 16778
-1.188802 -4,108667 6.1 13891 -8.759548 -5.699010 0.908192 4.329070 0.720279 -0.371889 -3.1 12890 -2.615858 -8.210652 -7.921236 -8.051881 -5.591784 -5.579525 -3.722572 -6.083071 -6.037938 -12.63547 -7.404598 -7.594628 -9.301024 -8.896277 -10.95756 -7.044583 -9.549887 -7.994201 -7.459473 -10.88766
0.2733 0.0045 0.0005 0.0001 0.0007 0.3040 0.0034 0.4947 0.7210 0.0170 0.0346 0.0001 0.0001 0,0001 0.0008 0.0008 0.0074 0.0005 0.0005 0.0000 0,0001 0.0001 0.0000 0,0000 0,0000 0.0002 0.0000 0,0001 0,0001 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.995971 0.972947 0.007637 0.000408 212.0833 2.128272
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-3.14E-15 0.046434 -7.128473 -5.530155 43.25849 0.000015
L a m p i r a n 4. H a s i l Estimasi Uji Heterosltedastisitas [white HeteroskedasticityTest: F-statistic Obs'R-squared
2.036435 18.41 136
1
Prob. F(11,36) Prob. Chi-Square(1I )
0.053505 0.07251 3
Test Equation: Dependent Variable: RESIDA2 Method: Least Squares Date: 08/01/07 Time: 00:16 Sample: 1996:l 2007:4 Included observations: 48 Collinear test regressors dropped from specification Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LN-PDPB LN-PDRBA2 INF INFA2 LN-RER LN-RERA2 LN-UPAH LN-UPAHA2 LNJAX LN-TAXA2 SEZD
-6.777285 0.573437 -0.0101 10 -0.000904 9.45E-05 0.010772 -0.000690 0.152301 -0.005639 -0.182712 0.003461 -0.007872
11.54166 0.921958 0.015723 0.000798 0.0001 10 0.071795 0.003941 0.171801 0.006676 0.195260 0.003817 0.003428
-0.587202 0.621977 -0.643050 -1 .I32532 0.860103 0.150038 -0.174971 0.886497 -0.844600 -0.935743 0.906822 -2.296298
0.5607 0.5379 0.5243 0.2649 0.3954 0.8816 0.8621 0.3812 0.4039 0.3556 0.3705 0.0276
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
LN TAX 10.212295 LN UPAH -0.32857
I
I
0.383570 0.195216 0.002250 0.000182 231.4351 1.678941
1
-0.93418 0.973899
I
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1 0.148808 1 -0.02414 I
1 -0.87392
I
1
0.0021 11 0.002508 -9.143130 -8.675330 2.036435 0.053505
-
-
-0.87392
1
Lampiran 6. Hasil E s h a s i Uji Kenormalan Data
' 6 Series: Residuals Sample 1996:l 2007:4 Obsemtions 48
Mean Median Mafimum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-3.14e-15 0.000375 0.089477 -0.110982 0.046434 -0.042906 2.382328
Jarque-Bera
0.777765