FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENANAMAN MODAL ASING LANGSUNG DI SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR NON MIGAS DI INDONESIA
MOHAMMAD AMIN
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa tesis “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing Langsung di Sektor Industri Manufaktur Non Migas di Indonesia” merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011
Mohammad Amin NRP. H151064224
ABSTRACT
MOHAMMAD AMIN. The Determinants of Foreign Direct Investment Inflows in Non Oil Manufacturing Sector in Indonesia. (R.NUNUNG NURYARTONO as Chairman and DEDI BUDIMAN HAKIM as member of the advisory comittee) The phenomena of de-industrialization as shown by the decrease of the contribution of the manufacturing sector to national GDP, could be one of the factors which is caused by the decrease of the proportion of FDI in the manufacturing industry to the overall foreign direct investment in non-oil manufacturing sector in Indonesia. This study analise the factors that influence FDI in non-oil manufacturing sector in Indonesia by using panel data from the period 1993 to 2008 with a unit cross section includes 26 main provinces (provinces that formed prior to the implementation of regional autonomy) in Indonesia .In addition to knowing the factors that affect of FDI in the manufacturing industry, this research is also expected to know the effect of decentralization on FDI in the manufacturing sector in Indonesia. Regression results using panel data indicate that the pull factors of FDI in non-oil manufacturing sector is the market size and infrastructure. While main push factor influencing FDI in non-oil manufacturing sector is wages and inflation. Fixed Effect Model output results show that decentralization (regional autonomy) significantly negative impact on FDI. Key Words : FDI in manufacturing industry, panel data, regional autonomy
RINGKASAN
MOHAMMAD AMIN. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing Di Sektor Industri Manufaktur Non Migas di Indonesia (R.NUNUNG NURYARTONO sebagai Ketua dan DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai anggota Komisi Pembimbing) Gejala de-industrialisasi yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB nasional salah satunya dapat disebabkan oleh semakin menurunnya proporsi PMA di sektor industri manufaktur terhadap keseluruhan PMA di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian RI, pertumbuhan industri manufaktur selama 2004-2008 lebih rendah daripada pertumbuhan PDB. Dimana industri manufaktur tumbuh 5,6 persen, sedangkan PDB Nasional tumbuh 5,7 persen. Di sisi lain, persentase PMA di sektor industri manufaktur terhadap total PMA semakin menurun, dari 60,4 persen pada tahun 2006 menjadi hanya 30,4 persen pada tahun 2008. Penelitian ini melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi PMA di sektor industri manufaktur di Indonesia dengan menggunakan data panel dari periode tahun 1993 sampai dengan 2008 dengan unit cross section meliputi 26 propinsi induk (propinsi yang terbentuk sebelum pelaksanaan otonomi daerah) di Indonesia. Selain untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi PMA di sektor industri manufaktur, penelitian ini juga diharapkan dapat mengetahui pengaruh otonomi daerah terhadap PMA di sektor industri manufaktur di Indonesia. Hasil regresi menggunakan data panel menunjukkan bahwa faktor penarik yang mempengaruhi PMA di sektor industri manufaktur non migas adalah market size dan infrastruktur. Sedangkan faktor pendorong yang mempengaruhi PMA di sektor industri manufaktur non migas adalah upah dan inflasi. Hasil output Model Fixed Effect menunjukkan bahwa otonomi daerah signifikan berpengaruh negatif terhadap PMA. Hasil ini bertolak belakang dari tujuan kebijakan otonomi daerah, yang diharapkan dapat memacu pembangunan ekonomi di daerah luar Jawa. Otonomi daerah berpengaruh negatif terhadap PMA karena implementasi otonomi daerah mempunyai berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum penguasa lokal daerah. Locus praktek korupsi menyebar hampir merata di seluruh daerah propinsi dan kabupaten se-Indonesia dengan berbagai modus operandi. Permasalahan lain dalam implementasi kebijakan otonomi daerah adalah maraknya perda pungutan dan retribusi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Hal ini mendorong terciptanya high cost economy, sehingga pelaku usaha harus membayar biaya tambahan yang membuat ongkos melakukan usaha menjadi lebih mahal. Selain itu, permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah menyangkut kapasitas aparatur daerah sehingga pekerjaan yang didesentralisasikan kewenangannya kepada daerah, tidak terselesaikan secara optimal. Kata Kunci : PMA di sektor industri manufaktur, data panel, Otonomi Daerah
@ Hak Cipta milik IPB tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENANAMAN MODAL ASING LANGSUNG DI SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR NON MIGAS DI INDONESIA
MOHAMMAD AMIN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain Pada Program Studi Ilmu EKonomi
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
Nama NIM Program Studi
: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing Langsung di Sektor Industri Manufaktur Non Migas di Indonesia : Mohammad Amin : H151064224 : Ilmu Ekonomi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Ketua
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim,M.Ec Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan SPs IPB
Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si NIP. 196909091994031001
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc,Agr NIP. 1965081441990021001
Tanggal Ujian : 12 Agustus 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan karena berkat pertolongan, hidayah dan rahmat Allah SWT penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Semoga selanjutnya Allah senantiasa berkenan memberikan pertolongan, hidayah, rahmat dan ridlo dalam setiap proses hidup yang kita jalani. Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing langsung di sektor industri manufaktur di Indonesia dalam kurun tahun 1993-2008. Topik penelitian ini relevan sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan untuk membenahi sektor industri dari sisi penanaman modal asingnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah studi penanaman modal asing di Indonesia. Tulisan ini merupakan hasil dari proses yang cukup panjang, dengan berbagai kesulitan karena awamnya pengetahuan penulis. Hal ini dapat diatasi dengan bantuan dari banyak pihak, terutama komisi pembimbing melalui saran, masukan dan pemikiran untuk memperkaya tesis ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Bapak Dr. R. Nunung Nuryartono sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Dedi Budiman Hakim sebagai anggota komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Sri Hartoyo sebagai dosen penguji luar komisi. Ucapan terimakasih khususnya penulis sampaikan kepada : 1. Rektor, Dekan dan seluruh keluarga besar Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Pasca Sarjana di IPB. 2. Pengelola program beserta seluruh staf pengajar Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor atas bimbingan selama masa perkuliahan serta staf sekretariat Pasca Sarjana Program Ilmu Ekonomi atas dukungan dan bantuan selama perkuliahan. 3. Teman-teman di Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana IPB. 4. Teman-teman di BKPM, BPS, Kementerian Perindustrian, PLN dan pihak-pihak lain yang telah membantu data.
5. Sahabat Ir.Sutarmin, Ir. Syarif Syahrial, Nur Kholis, SE dan Ir. Indra, teman diskusi informal yang telah membantu penulis memahami matematika dan ekonometrika, walaupun masih jauh dari sempurna. 6. Sahabat Nusron Wahid yang telah membantu biaya kuliah. 7. Ibu, Bapak, Ibu Mertua, saudara dan semua insan yang telah memberikan budi baik kepada penulis. Semoga Tuhan yang Maha Kuasa memberi balasan dengan berlipat ganda. 8. Terakhir tetapi teramat penting, terimakasih saya sampaikan ke pada istri saya Yustiti Mufidah atas dukungan yang telah diberikan untuk menyelesaikan studi. Juga untuk amanah Tuhan yang mewujud dalam diri anak-anak kami, Mohammad Rajendra Jati dan Indira Shofia Wardani. Semoga kelak engkau berdua lebih baik daripada Ibu Bapakmu. Tulisan ini saya yakini sangat banyak kekurangan dan keterbatasan, namun demikian penulis berharap walaupun kecil ada manfaat yang dapat diambil dari tulisan ini. Semoga kelak penulis dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Amin
Bogor, Juli 2011
Mohammad Amin
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Desember 1980 di Demak, Jawa Tengah, sebagai anak kelima dari enam bersaudara keluarga Bapak Mat Hasyim dan Ibu Siti Muslichah. Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 2 Merak, Dempet Demak. Pada tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1 Godong, Grobogan, dan Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Negeri 1 Demak, Jawa Tengah. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan tinggi di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Diponegoro Semarang, dan lulus sebagai Sarjana Sosial pada tahun 2004. Penulis mulai bekerja pada tahun 2004 sebagai Asisten Anggota DPRRI, dan mulai tahun 2005 bekerja sebagai staf Yayasan MataAir Jakarta sampai sekarang. Penulis menikah dengan Yustiti Mufidah pada tahun 2005, dan dikaruniai dua orang anak, Mohammad Rajendra Jati dan Indira Shofia Wardani.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................................ DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...................................................................................................
1
1.2 Permasalahan Penelitian .....................................................................................
3
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................................
5
1.4 Manfaat Penelitian..............................................................................................
5
1.5 Keterbatasan Penelitian ......................................................................................
6
BAB. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritik ...............................................................................................
7
2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................................
26
2.3. Kerangka Penelitian .........................................................................................
30
BAB.III METODE PENELITIAN 3.1. Data...................................................................................................................
32
3.2 Metode Analisis Data ........................................................................................
33
3.3 Model Penelitian ...............................................................................................
35
BAB.IV GAMBARAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR DAN PMA 4.1.Industri Manufaktur dan Perekonomian Nasional.............................................
37
4.2 Gambaran Penanaman Modal di Indonesia........................................................
44
BAB.V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.Pemilihan Model Terbaik...................................................................................
56
5.2 Estimasi dan Interpretasi....................................................................................
56
BAB VI. OTONOMI DAERAH DAN PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA 6.1.Desentralisasi sebagai Substansi Otonomi Daerah............................................
64
6.2 Definisi dan Tujuan Desentralisasi....................................................................
65
6.3 Permasalahan Otonomi Daerah..........................................................................
67
BAB.VII.KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1.Kesimpulan......................................................................................................... 72 7.2 Implikasi Kebijakan...........................................................................................
73
7.3 Saran untuk Penelitian Lebih Lanjut..................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................
74
LAMPIRAN .......................................................................................................................
76
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Perkembangan 12 Besar Hasil Industri............................................
39
2. Kontribusi Industri Manufaktur terhadap PDB................................
42
3. Realisasi PMA Langsung di Sektor Industri Manufaktur ...............
48
4. Realisasi PMA berdasarkan Negara Asal ........................................
49
5. Distribusi PMA Langsung...............................................................
54
6. Hasil Regresi Data Panel ................................................................
57
7. Produktivitas Tenaga Kerja Negara ASEAN ..................................
61
8. Contoh Kasus Korupsi Setelah Otonomi Daerah ............................
68
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Keterkaitan Industri dengan Penanaman Modal................................
1
2. Persebaran PMA berdasarkan Lokasi ...............................................
4
3. Marginal Efficiency of Investment ....................................................
8
4. Visious circle of cumulative development ........................................
18
5. Kerangka Pemikiran Penelitian ........................................................
30
6. Pengujian Penentuan Model .............................................................
33
7. Kontribusi Industri Manufaktur terhadap Ekspor .............................
39
8. Kontribusi Industri Manufaktur terhadap PDB .................................
41
9. Realisasi PMDN dan PMA ...............................................................
45
10. Prosentase realisasi PMA berdasarkan Sektor...................................
47
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1. Hasil Output Eviews 2. Index Persepsi Korupsi Tahun Tahun 2004-2008 3. Data Perda yang Dikaji Pemerintah Pusat 4. Data Perda yang Dibatalkan Pemerintah Pusat
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penanaman modal sangat penting untuk membiayai pembangunan dan untuk membiayai industri, karena dana yang dimiliki negara terbatas sehingga tidak cukup untuk membiayai keseluruhan sektor belanja pembangunan, membayar pinjaman luar negeri dan membiayai subsidi. Jika tidak didukung dengan penanaman modal dari swasta, program-progam pembangunan nasional akan berjalan lambat. Untuk menutup kekurangan dana pembangunan tersebut, pemerintah dapat mengandalkan dari sektor swasta domestik, yakni bank, non bank dan pasar modal maupun dari swasta asing, baik berupa pinjaman ataupun investasi langsung. Terkait
dengan
sumber
pembiayaan
pembangunan,
Lutfi
(2006)
mengklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, sumber internal dalam negeri, dari tabungan domestik. Kedua, sumber eksternal (luar negeri), dari pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing. Ketiga, dari hasil ekspor. Hubungan antara industri dengan penanaman modal ditunjukkan pada Gambar 1.1
Gambar 1.1 : Keterkaitan Industri dengan Penanaman Modal Sumber : Lutfi (2006) dengan modifikasi.
2
Penanaman modal asing langsung (PMAL) merupakan sumber pembiayaan yang
paling
berkualitas.
PMAL
lebih
mampu
menjamin
kelangsungan
pembangunan daripada bantuan atau modal portofolio, karena PMAL akan diikuti dengan pengembangan SDM negara tujuan PMAL melalui transfer teknologi, pengetahuan dan kemampuan manajerial dari perusahaan yang melakukan PMAL (Panayotou, 1998). Biasanya negara-negara yang akumulasi modal (kapital) dan pengembangan teknologinya lemah, akan tumbuh lebih lambat daripada negaranegara yang mempunyai tingkat investasi tinggi dan belanja untuk penelitian dan pengembangannya tinggi (Udo & Obiora, 2006). Indonesia memiliki modal dasar yang cukup kuat untuk menarik minat swasta agar menanamkan modal di sektor riil yang meliputi potensi pasar yang sangat besar, tenaga kerja yang murah dan sumber daya alam yang melimpah. Dalam konteks potensi pasar, Indonesia memiliki jumlah penduduk mencapai 230 juta jiwa, akibat langsung dari jumlah penduduk ini adalah jumlah permintaan terhadap berbagai produk barang dan jasa juga sangat besar. Dengan jumlah permintaan yang sangat besar, produksi barang dan jasa yang harus dihasilkan juga sangat besar. Biasanya, ongkos produksi dalam jumlah besar jauh lebih murah jika dibandingkan dengan ongkos produksi barang dan jasa dalam jumlah lebih sedikit. Dalam konteks tenaga kerja, selain melimpah jumlah tenaga kerja Indonesia juga murah. Hal ini sangat cocok bagi perusahaan untuk menekan biaya produksi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja Indonesia pada bulan Februari 2009 ini mencapai 113.744.408 jiwa. Sedangkan dalam konteks sumber daya alam, ketersediaan potensi alam Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku industri manufaktur, baik dari hasil hutan, pertanian, perikanan dan kelautan, tambang dan perkebunan. Modal dasar tersebut merupakan daya tarik bagi pelaku usaha untuk menanamkan modal usahanya, tetapi ada faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha. Prinsip pokok yang menjadi pertimbangan dalam melakukan kegiatan penanaman modal adalah ekspektasi terhadap keuntungan yang mungkin diperoleh. Jika lebih menguntungkan untuk melakukan kegiatan penanaman modal di luar negeri dari pada di dalam negeri, maka investor akan melakukan kegiatan
3
penanaman modal di luar negeri, yang lazim disebut dengan penanaman modal asing. 1.2 Permasalahan Isu yang paling krusial dalam strategi pembangunan pada era orde baru adalah terjadinya sentralisasi pembangunan di Jawa. Akibatnya, terjadi ketimpangan sosial ekonomi antara daerah di Jawa dan di luar Jawa. Tidak hanya dalam hal infrastruktur ekonomi, tetapi juga meluas dalam sektor lain, termasuk dalam hal jumlah penduduk dan sarana pendidikan. Permasalahan sentralisasi di Jawa ini yang diperbaiki melalui kebijakan otonomi daerah pada era reformasi. Praktek sentralisasi pada era orde baru juga terjadi pada sektor penanaman modal asing. Penanaman modal asing di Indonesia tidak tersebar secara seimbang di setiap propinsi. Terjadi kesenjangan yang sangat mencolok antara satu propinsi dengan propinsi lainnya, terutama kalau dikelompokkan menjadi Jawa dan Luar Jawa. Secara rata-rata pada periode 1993-2008, prosentase distribusi penanaman modal asing di Jawa mencapai 81 persen sedangkan di luar Jawa hanya 19 persen. Fakta ini menjadi jawaban terhadap lambatnya pembangunan dan kemajuan di daerah luar Jawa. Gambaran tentang kondisi penanaman modal asing di atas memperlihatkan bahwa permasalahan pokok dalam PMAL di Indonesia adalah tidak terjadinya unsur pemerataan dalam konteks persebaran geografis dari realisasi PMAL di propinsi-propinsi di Indonesia. Dengan mempertimbangkan manfaat PMAL langsung bagi pembangunan, khususnya dalam hal pengembangan industri, tidak terjadinya pemerataan realiasi PMAL dapat menjadi penyebab terjadinya kesenjangan ekonomi yang cukup tajam di antara kawasan di Indonesia. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang terkonsentrasinya realisasi PMAL di propinsi tertentu saja, dapat dilihat pada Gambar 1.2 tentang persebaran realisasi PMA berdasarkan lokasi.
4
Persen
Gambar 1.2 : Konsentrasi PMAL di Lima Propinsi Sumber : BKPM (diolah)
Gambar di atas memperlihatkan secara jelas bahwa persebaran tidak terjadi secara merata di semua propinsi. Bahkan terlihat ketimpangan yang sangat tajam. Realisasi PMAL berdasarkan lokasi di lima besar propinsi, selama sepuluh tahun terakhir rata-rata mencapai 84,9 persen dari keseluruhan realisasi PMAL di Indonesia. Itu artinya, selama sepuluh tahun terakhir ini hanya rata-rata sebesar 15,1 persen dari keseluruhan realisasi PMAL yang terdistribusi ke 28 propinsi lainnya di Indonesia. Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi, dari peringkat besar 5 propinsi dengan realisasi PMAL terbesar tersebut, daerah yang menjadi langganan 5 besar tidak banyak mengalami perubahan. Hanya Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten yang selalu masuk peringkat 5 besar. Catatan cukup baik diraih oleh Riau, Jatim dan Kaltim yang masing masing masuk 7 kali (Riau), 6 kali (Jatim) dan 3 kali (Kaltim) ke jajaran peringkat 5 besar. Sedangkan Sumut, Sulteng, Jateng, Papua, Sumsel dan Sulsel masing-masing hanya sekali masuk 5 besar. Bahkan, jika dilihat dari prosentase setiap provinsi dari 5 besar tersebut, DKI Jakarta mendominasi realisasi PMA dengan rata-rata mencapai 33,47 persen, disusul Jawa Barat (24,8 persen), Jawa Timur (10,7 persen), Banten (9,6 persen), dan Riau (7,1 persen).
5
Berdasarkan gambaran tersebut, permasalahan yang secara khusus dikaji lebih jauh adalah : 1. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya PMAL di sektor industri manufaktur non migas ke propinsi di Indonesia? 2. Apakah kebijakan otonomi daerah berpengaruh terhadap perubahan distribusi realisasi PMAL di sektor industri manufaktur non migas di propinsi-propinsi di Indonesia? 3. Kebijakan apa yang seharusnya diterapkan untuk meningkatkan PMAL di sektor industri manufaktur non migas di Indonesia? Dugaan awal terkait dengan permasalahan tersebut adalah bahwa terjadinya perbedaan mencolok jumlah realisasi PMAL di daerah-daerah di Indonesia karena adanya perbedaan kondisi variabel-variabel yang berpengaruh. perbedaan yang paling mencolok terdapat pada aspek infrastruktur dalam hal ini adalah listrik dan jalan. Sebagai contoh akumulasi jumlah listrik yang terjual di Pulau Jawa, lebih tinggi daripada jumlah listrik terjual di seluruh Indonesia selain Jawa. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel infrastruktur mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap PMAL di Indonesia. Selain itu, dalam aspek upah, besar UMP di Jawa lebih murah daripada wilayah lain di Indonesia selain Bali dan Nusa Tenggara. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat upah mempunyai pengaruh negatif terhadap PMAL. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA langsung di sektor industri manufaktur non migas di propinsi-propinsi di Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap perubahan distribusi realisasi PMA langsung di Indonesia. 3. Merekomendasikan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan PMA langsung di sektor industri manufaktur non migas di propinsi-propinsi di Indonesia.
6
1.4 Manfaat Penelitian Secara garis besar manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dalam konteks akademik, penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan
teori
tentang
penanaman
modal,
dan
sekaligus
diharapkan akan dapat menjadi referensi akademik bagi mahasiswa dan pengajar yang menggeluti bidang ekonomi. 2. Dalam konteks praksis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan referensi bagi pemerintah dalam menyusun kebijakankebijakan ekonomi, khususnya yang terkait dengan penanaman modal dan pengembangan industri nasional. 1.5 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan pembatasan sebagai berikut : 1. Jumlah propinsi yang dipilih untuk penelitian ini hanya 26 Propinsi, yaitu propinsi-propinsi yang sudah terbentuk sebelum tahun 2000. Jadi propinsi baru hasil pemekaran, tidak diikutsertakan dalam analisis penelitian ini. 2. Periode waktu penelitian ini hanya pada rentang waktu tahun 1993 sampai dengan 2008, dengan menggunakan data tahunan (annual). Secara khusus untuk mengkaji realisasi PMAL di sektor industri manufaktur non migas sebelum kebijakan otonomi daerah diberlakukan (1993-2000) dan setelah kebijakan otonomi daerah diberlakukan (20012008).
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerangka Teoritik 2.1.1 Investasi atau penanaman modal Fisher (1930) dalam teori yang dikenal sebagai “second approximation to the theory of interest’ berpendapat bahwa pada dasarnya semua modal adalah modal yang berputar, atau dengan kata lain semua modal digunakan dalam proses produksi, jadi dalam istilah Fisher, tidak ada yang namanya stock of capital (K). Dalam pengertian ini, secara faktual semua modal merupakan investasi. Dalam pengertian yang lebih mudah, Fisher ingin menjelaskan bahwa investasi yang dilakukan dalam bentuk membeli saham di pasar modal (bursa efek) tidak dapat dikategorikan sebagai modal, karena investasi jenis ini dapat diambil sewaktuwaktu oleh pemegang saham sehingga tidak dapat digunakan untuk proses produksi. Keown et.al dalam Lutfi (2006) mendefinisikan penanaman modal sebagai tindakan mengorbankan dana yang dikeluarkan pada saat ini untuk mendapatkan imbalan dana di waktu yang akan datang. Hal ini berkaitan dengan nilai waktu dari uang, dimana uang yang kita terima saat ini akan jauh lebih berharga dibandingkan dengan uang akan kita terima tahun depan. Penanaman modal mempunyai karakter khusus sebagai instrumen perekonomian yang paling sering berubah, dan sekaligus sebagai penghubung antara komponen fiskal dengan moneter. Fungsi investasi Keyness menyebutkan bahwa investasi (I) merupakan fungsi dari suku bunga (r), dengan menotasikan: I = I (r)................................................. (2.1) Blanchard (2006) memberi ilustrasi bahwa dalam melakukan investasi, suatu perusahaan akan menggunakan pertimbangan yang sebenarnya sederhana. Tindakan yang pertama kali dilakukan perusahaan adalah menghitung nilai saat ini (present value) dari keuntungan yang diharapkan dari investasi tersebut, diperbandingkan dengan biaya melakukan investasi tersebut. Jika nilai saat ini dari keuntungan yang diharapkan dari investasi tersebut melebihi biaya investasi, maka perusahaan akan melakukan investasi. Sebaliknya, jika nilai saat ini lebih rendah
8
dari biaya dalam melakukan investasi, maka perusahaan tidak akan melakukan investasi. Lebih jauh, Blanchard menotasikan fungsi investasi sebagai: It=I(V(∏et) ........................................................................(2.2) Maksud dari fungsi tersebut adalah bahwa investasi tergantung pada nilai sekarang yang diharapkan dari keuntungan masa depan. Semakin tinggi nilai saat ini dan nilai yang diharapkan dari keuntungan, maka akan semakin tinggi tingkat investasi yang dilakukan. Dan semakin tinggi nilai suku bunga saat ini, berarti semakin rendah nilai saat ini yang diharapkan, oleh karenanya semakin rendah tingkat investasi yang dilakukan. Sedangkan dalam perspektif Fisher, fungsi maksimisasi keuntungan perusahaan dapat dituliskan dengan persamaan: Max ∏ = f (I1)- (1+r) I1 ........................................................(2.3) Fungsi tersebut menggambarkan keputusan optimal untuk melakukan investasi akan terjadi pada saat : f’ = (1+r). Lebih lanjut Fisher menjelaskan bahwa f’-1 sebagai marginal rate of return over cost, atau dalam istilah lain Keyness menyebutnya sebagai the “marginal efficiency of investment”. Jadi, kondisi optimum dari investasi suatu perusahaan akan terjadi pada saat MEI = r. Ini artinya bahwa investasi berkaitan dengan tingkat suku bunga. MEI ini merupakan indikator untuk melihat apakah nilai tambah yang diperoleh ketika melakukan investasi lebih besar daripada nilai tambah yang diperoleh ketika seseorang memilih menabung uangnya di bank. Secara grafis, MEI dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Marginal Efficiency of Investment (MEI)
9
Gambar 2.1 menjelaskan bahwa jika diperkirakan keuntungan yang diperoleh ketika melakukan investasi lebih besar daripada perolehan dari suku bunga bank (r) yang diperoleh seseorang ketika menyimpan uangnya di bank, dengan asumsi pelaku ekonomi bertindak rasional, maka seseorang akan terdorong untuk berinvestasi. Sebaliknya, jika keuntungan yang mungkin diterima ketika melakukan investasi lebih kecil daripada keuntungan ketika menyimpan uangnya di bank, maka pilihan yang rasional adalah menyimpan uang di bank. 2.1.2 Investasi Asing atau Penanaman Modal Asing Accoley (2005) mendefinisikan penanaman modal asing sebagai penanaman modal yang dilakukan di luar negeri baik dengan membangun fasilitas poduksi baru, ataupun dengan mengakuisisi saham perusahaan yang sudah mapan dalam jumlah minimum tertentu. Tidak jauh berbeda dengan Accoley, UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengartikan penanaman modal asing sebagai kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Lebih jauh, Asiedu (2002) berpendapat bahwa dalam menentukan faktorfaktor yang mempengaruhi penanaman modal asing, sangat penting untuk membedakan dua jenis PMAL, yaitu market seeking dan non market seeking. Tujuan utama dari jenis PMAL market seeking adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Barang-barang diproduksi di negara tujuan PMAL (host country) dan dijual di negara tersebut. Konsekwensinya, permintaan pasar domestik yang terlihat dari populasi yang besar dan pendapatan yang tinggi dari masyarakat host country sangat menentukan keberadaan PMAL. Oleh karena itu, di negara-negara miskin, jenis PMAL market seeking sangat kecil jika dibandingkan dengan jenis PMAL non market seeking. Di negara-negara miskin, barang-barang diproduksi di host country, tetapi di jual ke luar negeri. Sedangkan untuk jenis PMAL non market seeking, penanaman modal lebih dominan berbasis sumber daya alam dan berorientasi ekspor. Oleh sebab itu, faktor permintaan pasar domestik tidak berpengaruh terhadap PMAL jenis ini. Faktor yang lebih berpengaruh terhadap
10
PMAL jenis non market seeking adalah kemudahan bagi perusahaan untuk mengexport barang-barang yang diproduksinya ke luar negeri. Teori-teori tentang faktor yang mempengaruhi PMAL dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu, micro level theory yang fokus pada keadaan yang membuat perusahaan melakukan produksi di luar negeri, dan macro level theory yang mencoba mencari faktor-faktor apa yang menentukan tingkat PMAL yang terjadi pada suatu negara (Accoley, 2005). Teori-teori yang termasuk dalam kategori micro level theory adalah the internationalizaton models of the Uppsala School, Vernon’s product life cycle hypothesis, dan the industrial organization theories. Sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kategori macro level theory adalah Exchange Rate, Economic Growth, Market Size dan Faktor-faktor lainnya (tingkat keterbukaan ekonomi, tingkat upah, privatisasi, hambatan-hambatan perdagangan, stabilitas makro ekonomi dan kebijakan pemerintah tentang penanaman modal asing. The Internalization Models of the Uppsala School. Model ini dikembangkan oleh Johanson dan Widersheim-Paul (1975) dari Universitas Uppsala Swedia. Mereka menjelaskan bahwa perusahaan multi nasional biasanya tidak memulai aktivitas usahanya dengan melakukan PMAL ke negara lain. Melainkan melalui empat tahapan proses untuk masuk ke pasar internasional. Pada tahap pertama perusahaan beroperasi di pasar domestik dan secara perlahan memperluas aktivitas usahanya ke pasar luar negeri. Selama tahapan pertama ini, perusahaan multi nasional hanya akan memproduksi dan menjual produknya di dalam negeri. Pada tahapan kedua perusahaan mulai melibatkan diri dalam perdagangan internasional dengan melakukan ekspor produknya ke negara tetangga dan negara-negara yang dikenal dengan baik melalui kantor perwakilan atau agen di negara tersebut. Perbedaan antara negara asal dengan negara tujuan ekspor, baik dalam hal perbedaan bahasa, budaya, sistem politik, tingkat pendidikan dan tingkat industrialisasi mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap keputusan melakukan ekspor. Tahapan ketiga dari penanaman modal asing ditandai dengan pendirian perusahaan penjualan di luar negeri. Besar atau kecilnya potensi pasar akan menjadi faktor yang menentukan lokasi didirikannya perusahaan penjualan tersebut.
11
Sedangkan pada tahap keempat, perusahaan mulai mendirikan perusahaan atau melakukan akuisisi terhadap perusahaan industri di luar negeri. Keputusan untuk mendirikan atau melakukan akuisisi perusahaan manufaktur di luar negeri dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu jarak, hambatan tarif dan non tarif, biaya transportasi dan lain-lain. The Industrial Organization Theories Kerangka teori ini berangkat dari argumentasi bahwa penyebab perusahaan melakukan penanaman modal asing sama dengan penyebab perusahaan ini melakukan perluasan usaha di dalam negeri. (Penrose, 1956; Caves, 1971; Accoley, 2005). Caves meneliti karakteristik intrinsik dari industri yang mempunyai potensi menarik PMAL. Caves membagi PMAL menjadi dua, yaitu horizontal investment dan vertical investment. Untuk horizontal investment, PMAL terjadi pada industri yang mempunyai karakter oligopoli dengan diferensiasi produk, baik di host country maupun di home country. Sedangkan untuk vertical investment, PMAL akan lebih menyukai industri yang mempunyai karakter oligopoli, dengan tidak ada diferensiasi produk di home country. Menurut Hymer (1960), perusahaan melakukan horizontal investment karena mereka memiliki aset-aset khusus yang menghasilkan return tinggi di pasar luar negeri dengan hanya melalui produksi di luar negeri. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus ekspansi di pasar domestik, alasan dibalik terjadinya integrasi vertikal di antara perusahaan domestik adalah untuk menghindari ketidakpastian pasar oligopolistik dan untuk menghindari ketegangan dengan pesaing baru karena ada hambatan untuk masuk ke pasar. Product Life Cycle Theory Pada tahun 1960-an, Raymond Vernon mengembangkan teori yang populer dengan nama product life cycle theory. Teori ini menggabungkan antara kaidah inovasi, ekspansi pasar, keunggulan komparatif dan respon strategis terhadap persaingan global dalam hal keputusan industri, perdagangan dan investasi. Teori product life cycle ini menggambarkan bahwa pergeseran produksi, perdagangan dan investasi internasional terbentuk melalui tiga tahapan. Tahapan pertama, the new product stage. Dalam tahap ini, perusahaan mengembangkan dan
12
memperkenalkan produk baru untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Karena produk baru, belum dapat dipastikan penerimaan produk dan keuntungan perusahaan yang memproduksinya. Perusahaan harus memantau secara dekat dan langsung untuk mengetahui kepuasan konsumen terhadap produk tersebut. Umpan balik dari pasar yang cepat sangat penting. Awalnya produk baru diproduksi di negara yang tradisi penelitian dan pengembangannya sangat kuat. Seperti Jepang, Jerman dan USA. Kemudian, karena pasar juga tidak pasti, perusahaan biasanya akan meminimalisasi kapasitas investasi untuk produk baru tersebut. Sehingga sebagian besar produk awalnya dijual di pasar domestik, dan hanya sedikit yang dijual di pasar ekspor. Tahap kedua dari product life cycle theory adalah the maturing product stage. Permintaan pasar terhadap produk meningkat secara tajam setelah konsumen mengetahui nilai produk tersebut, sehingga perusahaan harus membangun pabrik baru untuk meningkatkan kapasitas produk dan memenuhi permintaan konsumen, baik permintaan domestik maupun permintaan luar negeri. Dalam tahap ini, pesaing bisnis mulai bermunculan, karena prospek bisnis yang menjanjikan keuntungan besar. Tahapan ketiga dari teori ini adalah the standardized product stage. Dalam tahap ini, produk menjadi lebih dari sekedar komoditas, dan perusahaan dipaksa untuk menurunkan biaya produksinya semurah mungkin, sehingga perusahaan harus memindahkan atau mengalihkan produksinya ke negara yang ongkos tenaga kerjanya murah. Konsekwensinya, negara asal (home country) tempat perusahaan induk harus mengimpor produk tersebut untuk memenuhi kebutuhan domestik. Ilustrasi dari tahap ini misalnya terjadi dalam kasus industri komputer, di mana perusahaan di Amerika Serikat harus meng-impor dari produsen baru seperti Hyundai dan Samsung (Korea Selatan) atau Lenovo dari China. Perusahaanperusahaan industri manufaktur Taiwan seperti MITAC International, Tatung dan TECO Information System secara rutin setiap tahun mengekspor jutaan komputer ke Amerika Serikat, beberapa diantara perusahaan manufaktur Taiwan melakukan kontrak produksi dengan distributor asing. Berdasarkan teori Product Life Cycle ini, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa produksi domestik mulai tumbuh pada tahap 1, mencapai puncaknya pada
13
tahap 2 dan merosot pada tahap 3. Ekspor oleh perusahaan inovatif (innovating firms) mulai pada tahap 1, mencapai puncak pada tahap 2, dan pada tahap 3, perusahaan inovatif itu menjadi net importir produk yang pertama kali diperkenalkannya. Kompetitor asing mulai tumbuh pesat pada akhir tahap 1, karena perusahaan di negara industri lain mulai mengetahui potensi pasar produk tersebut, pada tahap 2, kompetitor asing mulai memperluas kapasitas produksi untuk memenuhi peningkatan permintaan pasar domestik, dan mungkin juga menjadi net eksportir. Karena kompetisi yang sangat ketat pada tahap 2, the innovating firms dan pesaing-pesaingnya (baik lokal maupun asing) berupaya menurunkan biaya produksinya dengan mengalihkan produksinya di negara-negara berkembang yang masih murah upah tenaga kerjanya. Sehingga pada tahap ketiga, negara-negara berkembang dapat menjadi net eksportir produk tersebut. Teori Eklektik Dunning Dunning (1960) dengan teori eklektik untuk menjelaskan tentang kenapa dalam melakukan produksi suatu perusahaan memilih di luar negeri. Dalam teori ini, perusahaan akan melakukan proses produksi di luar negeri jika tiga hal berikut memuaskan: 1). Ownership advantage. Perusahaan harus memiliki keunggulan kompetitif yang unik daripada perusahaan di negara tujuan (host country). 2). Location advantage. Aktivitas usaha di luar negeri harus menguntungkan daripada aktivitas usaha di negara asal. Contohnya, PT. Caterpillar memproduksi Buldoser di Brazil karena upah tenaga kerja lebih murah dan untuk menghindari tarif ekspor yang tinggi di Amerika Serikat. 3). Internalization advantage. Aktivitas perusahaan mengelola atau mengawasi langsung usaha di luar negeri harus lebih menguntungkan daripada menyewa perusahaan lokal untuk menyediakan jasa tersebut. Ownership
Advantages
merupakan
kekayaan
yang dimiliki
oleh
perusahaan, baik yang tangible maupun yang intangible yang mempunyai keunggulan kompetitif yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Dengan asumsi bahwa perusahaan lokal di negara tujuan (host country) lebih memahami kondisi di dalam negerinya dari pada perusahaan asing, maka perusahaan asing yang ingin masuk ke pasar host country harus mempunyai ownership advantage agar dapat mengatasi hambatan-hambatan tentang kondisi pasar yang belum diketahuinya
14
dengan baik, baik menyangkut informasi tentang negara tujuan, kondisi politik maupun budaya-budaya negara tujuan. Location Advantages merupakan faktor-faktor yang membuat perusahaan lebih lebih menguntungkan melakukan produksi di negara tujuan (host country) dari pada di negara asal (home country). Dalam menentukan tempat melakukan produksi, perusahaan-perusahaan secara seksama membandingkan karakter ekonomi dan non ekonomi dari negara asal (home country) dengan karakter negara tujuan (host country). Jika melakukan produksi di negara asal lebih menguntungkan daripada melakukan produksi di negara tujuan, perusahaan akan lebih memilih masuk ke pasar negara tujuan melalui ekspor. Pilihan seperti ini dilakukan oleh Siam Cement-perusahaan semen Thailand- yang lebih mengandalkan ekspor untuk memasok semen ke Kamboja, Semen dan Laos. Namun jika melakukan produksi di negara tujuan lebih menguntungkan, maka perusahaan asing akan memilih melakukan penanaman modal di negara tujuan atau memberikan lisensi penggunaan teknologi dan merk kepada perusahaan lokal di negara tujuan. Banyak faktor yang digunakan sebagai pertimbangan untuk sampai kepada pilihan yang lebih menguntungkan tersebut. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah tingkat upah, harga sewa lahan, peluang pasar di negara tujuan, akses terhadap pengembangan SDM, dukungan logistik, biaya administrasi, resiko politik, keamanan, korupsi birokrasi, stabilitas pemerintahan dan kebijakan pemerintah. Internalization advantages merupakan faktor-faktor yang membuat perusahaan lebih menguntungkan untuk melakukan sendiri proses produksi barang dan jasa daripada menyerahkan proses produksi kepada perusahaan di negara tujuan. Besarnya biaya produksi, baik biaya negosiasi, biaya pengawasan dan biaya enforcing agreement menjadi faktor penentu untuk memilih model dalam melakukan penanaman modal. Jika biaya-biaya tersebut mahal, perusahaan asing akan lebih memilih penanaman modal asing secara penuh atau joint venture. Namun jika biaya-biaya tersebut murah, maka perusahaan asing akan lebih memilih model franchising, lisencing atau contract manufacturing. Griffin
& Pustay (2007)
membuat
klasifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi PMA langsung ke dalam tiga kategori, yaitu supply factors, demand factors dan political factors. Faktor yang termasuk ke dalam kategori supply factors
15
adalah biaya produksi, logistik, ketersediaan sumber daya alam dan akses terhadap teknologi. Sedangkan faktor yang termasuk ke dalam demand factors adalah akses kepada pelanggan, keunggulan pemasaran, exploitation of competitive advantages dan mobilitas pelanggan. Sedangkan faktor yang termasuk dalam political factors adalah penghilangan hambatan perdagangan dan insentif pengembangan ekonomi. Lebih jauh, Griffin & Pustay menjelaskan ada tiga metode dalam melakukan PMA langsung. Yaitu, greenfield strategy, Acquisition strategy dan joint venture. Pada prinsipnya, greenfield strategy ini adalah metode PMA langsung dengan cara membangun sarana & prasarana produksi baru. Perusahaan membeli atau menyewa lahan, membangun fasilitas baru menyewa atau menempatkan manajer dan pekerja di tempat baru ini, lalu melakukan operasi bisnis baru. Greenfield strategy mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, perusahaan dapat memilih tempat yang terbaik untuk bertemu langsung dengan pelanggan (pasar), dan membangun fasilitas produksi yang modern dan canggih. Kedua, biasanya pemerintahan di suatu negara menawarkan insentif bagi kegiatan pengembangan ekonomi, karena menciptakan lapangan kerja baru. Ketiga, perusahaan tidak memulai usaha dengan permasalahan warisan. Seperti peralatan yang usang, tanggung jawab terhadap utang ataupun permasalahan dengan karyawan. Keempat, perusahaan juga dapat menemukan atau menciptakan budaya bisnis yang baru. Faktor adanya perbedaan budaya yang sangat tajam antara home country dengan host country, biasanya membuat perusahaan multinasional memilih membangun perusahaan baru daripada memebli perusahaan yang sudah berjalan. Tetapi, green field strategy juga mempunyai kelemahan. Pertama, untuk meraih keberhasilan membutuhkan waktu dan kesabaran. Dalam hal ini, perusahaan baru harus memulai semua proses dari nol, sehingga tidak bisa langsung meraih keberhasilan. Kedua, lokasi yang diinginkan seringkali tidak tersedia (unavailable) atau sangat mahal. Ketiga, dalam membangun pabrik baru, perusahaan harus menyesuaikan dg berbagai macam peraturan lokal dan peraturan perundangundangan nasional, seperti AMDAL, ijin gangguan dan lain-lain. Keempat, perusahaan harus mengawasi proses pembangunan gedung dan sarana perusahaan, agar sesuai dengan kualifikasi dan standard yang ditetapkan. Kelima, perusahaan harus merekrut pekerja lokal dan melatihnya sesuai dengan standard perusahaan.
16
Keenam, dengan membangun pabrik baru, anggapan masyarakat bahwa pabrik tersebut merupakan perusahaan asing akan sangat kuat. Strategi kedua dikenal dengan akuisi. Pada prinsipnya, srategi akusisi ini adalah dengan mengambil alih perusahaan yang sudah berjalan di host country. Proses akuisisi sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak, mulai dari bankir, pengacara, dan ahli-ahli merger & akuisisi perusahaan. Motivasi dasar dari akuisisi ini sederhana, melalui akuisisi perusahaan yang sudah berjalan, pembeli dapat langsung melakukan kontrol terhadap perusahaan, tenaga kerja, teknologi dan jaringan kerja perusahaan. Tidak seperti greenfield strategy, tidak ada penambahan kapasitas produksi baru dalam industri. Seringkali, perusahaan asing melakukan akuisisi sebagai cara untuk masuk ke pasar baru. Sebagai contohnya, Produsen semen asal Mexico, Cemex SA, pada tahun 1998 membeli 14 persen saham PT Semen Gresik, untuk mendapatkan keuntungan dari penguasaan pasar PT Semen Gresik di Indonesia. Atau juga, PT. Philip Morris yang mencoba masuk ke pasar rokok kretek Indonesia dengan membeli 40 persen saham PT. HM. Sampoerna pada tahun 2005. Dalam kepentingan yang lain, akuisisi dilakukan untuk melakukan perubahan strategis secara besar-besaran. Seperti yang dilakukan perusahaan minyak Arab Saudi, dengan membeli perusahaan pemurnian Korea Selatan, untuk mengurangi ketergantungan terhadap produksi minyak mentah. Strategi akuisisi mempunyai beberapa kelemahan. Dalam proses akuisisi, perusahaan yang mengakuisisi harus mengambil alih semua tanggung jawab perusahaan yang diakuisisi. Jika perusahaan yang diakuisisi mempunyai catatan yang buruk terkait dengan hubungan industrial (hubungannya dengan tenaga kerja) atau catatan buruk dalam pengelolaan lingkungan, maka perusahaan akan terbebani untuk mengambil alih tanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Strategi lain untuk melakukan penanaman modal adalah melalui joint venture. Joint venture terbentuk ketika dua atau lebih perusahaan menyetujui untuk bekerja bersama dan membuat perusahaan bersama yang terpisah dari perusahaan induknya untuk mempromosikan kepentingan bersama mereka. Beberapa pertimbangan yang digunakan dalam melakukan joint venture adalah perkembangan yang sangat cepat dalam hal teknologi, komunikasi dan kebijakan-kebijakan pemerintah
yang
melampaui
kemampuan
perusahaan
internasional
untuk
17
mendapatkan keuntungan atau peluang bisnis. Bentuk pengelolaan perusahaan joint venture ini ada tiga. Pertama, perusahaan pendiri bergabung bersama-sama dengan melakukan share manajemen, dengan masing-masing menempatkan key person yang mewakili perusahaan pendiri. Kedua, salah satu perusahaan pendiri diberi tanggung jawab untuk mengelola perusahaan secara lebih dominan. Atau ketiga, menyewa tim manajemen independen untuk mengelola perusahaan joint venture tersebut. Joint venture mempunyai beberapa keunggulan, yaitu, dapat menjadi pintu masuk untuk masuk ke pasar potensial, dan kemudahan berbagi pengetahuan dan pengalaman antar partner perusahaan, meningkatkan sinergi dan keunggulan kompetitive dari pasangan bisnis. 2.1.3 Aglomerasi Ekonomi Secara sederhana, aglomerasi didefinisikan sebagai berkumpulnya aktivitasaktivitas kegiatan ekonomi pada satu lokasi. Aktivitas tersebut dapat berupa kegiatan produksi yang menghasilkan barang, atau juga dapat berupa kegiatan penjualan barang yang berada pada satu lokasi. Agglomeration economies atau localized industries menurut Marshall muncul ketika sebuah industri memilih lokasi untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh keuntungan apabila mengikuti tindakan mendirikan usaha di sekitar lokasi tersebut. Sedangkan menurut Weber ( ), pemilihan lokasi industri didasarkan atas
prinsip minimisasi biaya. Terutama dalam hal total biaya transportasi dan tenaga kerja. Berdasarkan asumsi tersebut, faktor yang mempengaruhi lokasi industri ada tiga, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Biaya transportasi dan biaya upah tenaga kerja merupakan faktor umum yang secara fundamental menentukan lokasi. Sedangkan kekuatan aglomerasi dan deaglomerasi merupakan kekuatan lokal yang berpengaruh menciptakan konsentrasi atau pemencaran berbagai kegiatan dalam ruang. Myrdal ( ) dalam Capello (2007), membuat virtuous circle of cumulative development untuk menjelaskan proses terjadinya fenomena daerah kaya yang semakin kaya dan daerah yang miskin semakin miskin. Model ini sekaligus untuk membantah pandangan neoklasik yang meyakini bahwa adanya proses yang spontan dalam terjadinya kondisi re-equilibrium. Daerah-daerah kaya yang
18
mempunyai tingkat produksi tinggi menarik minat tenaga kerja untuk memenuhi permintaan pasar tenaga kerja di daerah kaya. Migrasi tenaga kerja ini akan memperluas local market di daerah kaya. Di satu sisi hal ini akan meningkatkan permintaan barang dan jasa, di sisi lain, hal ini akan mendorong masuknya investasi baru dan juga capital baru. Peningkatan kegiatan produksi di daerah kaya ini akan memicu timbulnya aglomerasi ekonomi yang akan meningkatkan produktivitas, kerjasama dan persaingan antar pelaku usaha sehingga akan memicu pertumbuhan ekonomi daerah kaya. Sebaliknya,di daerah miskin akan semakin tertinggal, karena mengalami emigrasi tenaga kerja dan capital loss, karenanya akan terjadi penurunan permintaan barang dan jasa di daerah miskin dan penurunan produktivitas. Peningkatan market size
Peningkatan labour supply
Peningkatan produksi
Peningkatan investasi
Peningkatan produktifitas
Peningkatan Capital
Peningkatan produksi
Gambar 2.2. Virtuous circle of cumulative development 2.1.4 Data Panel Ruang lingkup studi ekonometrika mengenal tiga macam jenis data, yaitu data time series, cross section dan data panel (pooled data).
Regresi yang
menggabungkan data time series dengan data cross section, dikenal sebagai regresi data panel. Seringkali, dalam penelitian terdapat permasalahan tentang ketersedian data yang dapat digunakan untuk mewakili variabel-variabel dalam penelitian. Baik dalam bentuk pendeknya data time series yang tersedia, sehingga proses analisis tidak dapat dilakukan karena terkait dengan persyaratan jumlah data minimum. Ataupun dalam bentuk jumlah unit cross section yang juga terbatas, sehingga
19
analisis yang bertujuan untuk mendapatkan informasi perilaku dari model yang hendak diteliti. Model ekonometrika yang dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah model data panel. Dengan menggunakan data panel, akan dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik, karena terjadi peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi pada peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom). Data panel melakukan observasi berulang pada setiap unit cross-section yang sama. Bila data yang diobservasi memiliki karakteristik dimana N (jumlah unit cross-section) hanya satu dan T (jumlah unit time series) besar (lebih dari satu), maka data tersebut dikenal sebagai data time series murni. Sebaliknya, bila T hanya satu dan N lebih besar dari satu, maka data tersebut dikenal sebagai data cross-section murni. Sedangkan data panel memiliki karakteristik N > 1 dan T > 1. Notasi yang biasanya digunakan dalam estimasi panel data adalah Y it = variabel dependen dan Xj it = variabel penjelas. Misalnya Y it merupakan nilai variabel dependen untuk unit cross-section ke-i pada waktu ke-t dengan i = 1, 2, ..., N dan t = 1, 2, ..., T. Dan terdapat K variabel penjelas yang masing-masing diberi indeks j = 1, 2, ..., K serta didenotasikan sebagai Xj it , yang menyatakan nilai variabel penjelas ke-j untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Cara yang sering digunakan untuk mengorganisir data panel adalah dengan menuliskannya ke dalam bentuk matriks sebagai berikut: yi1 y i2 yi = = ; Xi yiT
X i11 X i21 X iK1 1 2 K X i 2 X i 2 X= i2 ; εi X iT1 X iT2 X iTK
ε i1 ε i 2 .................................... (2.4) ε iT
dengan ε it menyatakan gangguan acak untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Selanjutnya data tersebut disederhanakan dalam bentuk stack sebagai berikut:
20
y1 y 2 y = = ;X yN
X1 X 2 = ;ε XN
ε1 ε 2 .......................................................... (2.5) ε N
dengan y adalah matriks berukuran NT × 1 , X adalah matriks berukuran NT × K , dan ε adalah matriks berukuran NT × 1 . Model standar data panel linier dapat diekspresikan sebagai = y X ' β + ε .......................................................................................... (2.6)
dengan β adalah matriks berukuran NT × 1 yang diekspresikan sebagai β1 β β = 2 .............................................................................................. (2.7) βN
Verbeek (2004) menyebutkan bahwa terdapat dua keuntungan menggunakan data panel. Pertama, data panel yang merupakan gabungan dari data time series dan cross section mampu menyediakan data yang lebih banyak dan variabel penjelas dapat diselang-seling antara dua dimensi (individual dan waktu). Oleh karenanya estimasi dengan menggunakan data panel seringkali lebih akurat jika dibandingkan dengan estimasi menggunakan jenis data lain. Kedua, data panel dapat mengurangi permasalahan identifikasi. Meliputi identifikasi terhadap adanya variabel endogen dalam model atau kesalahan dalam pengamatan (measurement error), ketahanan terhadap penghilangan variabel dan identifikasi pada dinamika individu. Sedangkan menurut Baltagi (2005), penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan baik secara statistik maupun secara teoritik. Manfaat penggunaan data panel menurut Baltagi adalah sebagai berikut : 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. 2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan derajat kebebasan dan lebih efisien.
21
3. Lebih baik untuk mempelajari studi yang bersifat dinamis. 4. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data murni cross section dan time series. 5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Namun, data panel juga mempunyai beberapa kelemahan dan keterbatasan. Kelemahan tersebut sebagai berikut: (1) Masalah dalam kesulitan desain survey panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi diantaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara. (2) Distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contohnya: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain). (3) Masalah selektifitas, yakni: self-selectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survey lanjutan). (4) Kemungkinan terjadinya cross-section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference). Oleh karena itu, orang-orang yang menggunakan data panel juga harus memahami bahwa tidak semua masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh metode time series dan cross section dapat diselesaikan dengan metode analisis data panel. Analisis model data panel menggunakan tiga pendekatan untuk melakukan estimasi model regresi. Yaitu, pendekatan Pooled Least Square, Fixed Effect dan Random Effect. Ketiga-tiganya mempunyai karakter yang berbeda. Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square) Pendekatan Pooled Least Square atau juga disebut sebagai pendekatan kuadrat terkecil merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel. Pendekatan ini tidak melihat adanya perbedaan antar waktu dan antar individu. Dalam pendekatan ini, diasumsikan bahwa perilaku data antar perusahaan sama antar waktu.
22
Model yang dibangun dengan dasar susunan data sebagaimana persamaan (2.6) adalah y X ' β + ε ...........................................................................................(2.8) =
Dimana sekarang diasumsikan εit ~ iid (0,σ2) untuk semua i dan t. Dalam hal ini untuk given individual, observasi tidak berkorelasi secara serial, dan untuk pengamatan lintas individu dan lintas waktu, terjadi homoscedastisity pada errornya. Pendekatan ini mempunyai kelemahan mendasar dalam melakukan asumsi. Dimana intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan. Implikasi penggunaan asumsi ini adalah tidak terlihatnya variasi atau perbedaan, baik antara individu maupun antar waktu. Ini berarti tidak sesuai dengan tujuan penggunaan data panel. Bahkan dalam beberapa kasus, penduga yang dihasilkan melalui metode Pooled Least Square ini akan bias sebagai akibat dari kesalahan spesifikasi data. Kelemahan yang terjadi pada metode pendekatan kuadrat terkecil, biasanya dapat diatasi dengan menggunakan metode fixed effect (fixed effect) dan metode efek random (random effect). Pendekatan Fixed Effect, menggunakan variabel dummy untuk menangkap adanya perbedaan intersep antara individu (propinsi), namun intersepnya sama antar waktu (time invariant). Di samping itu, model ini juga mengasumsikan bahwa koefisien regresi (slope) tetap antar individu dan antar waktu. Model estimasi ini juga sering disebut dengan teknik Least Squares Dummy Variables (LSDV). Namun, penggunaan variabel dummy di dalam model fixed effect dapat berimplikasi pada berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom), yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi parameter. Persamaan 2.9 menjelaskan tentang struktur model fixed effect. = yit X 'it β + ε it ..................................................................................... (2.9) dengan gangguan acak diasumsikan mengikuti one-way error component model sebagai berikut:
ε= α i + uit .......................................................................................... (2.10) it
23
dan diasumsikan bahwa uit merupakan gangguan acak yang tidak berkorelasi dengan X it . Sedangkan α i disebut sebagai efek individual (atau time-invariant person-specific effect). Beberapa aplikasi empiris data panel umumnya melibatkan satu diantara asumsi mengenai efek individual. Asumsi tersebut adalah: 1). Jika α i diperlakukan sebagai parameter tetap, namun bervariasi antar i = 1, 2, , N , maka model ini disebut sebagai fixed effects model (FEM).
Penduga dari model ini mampu menjelaskan perbedaan atau variasi antar individu (differences within individual), karena model ini memungkinkan adanya perbedaan intersep α pada setiap i.
Penduga dari model ini
ditentukan sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam bentuk deviasi rata-rata individual. Pada dasarnya, FEM lebih menekankan pada perbedaan di antara individu, yakni menjelaskan bagaimana yit berbeda dari yi , dan tidak menjelaskan kenapa yi berbeda dari y j (Verbeek, 2004). Di sisi lain, asumsi parametrik mengenai β , menekankan bahwa perubahan yang terjadi dalam X memiliki pengaruh yang sama, baik perubahan dari satu periode ke periode lainnya ataupun perubahan dari satu individu ke individu lainnya. 2). Jika α i diperlakukan sebagai parameter random, maka model disebut sebagai random effects model (REM). Dalam REM, perbedaan karakeristik individu diakomadasi oleh error dalam model. REM umumnya digunakan bila N relatif besar dan T relatif kecil. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai yit =α + X 'it β + uit + τ i ...................................................................... (2.15) dengan α = α + τ i dan memiliki rata-rata nol. Di sini, τ i merepresentasikan i gangguan individu (individual disturbance) yang tetap sepanjang waktu. Beberapa asumsi yang melekat dalam model efek andom antara lain:
E ( uit | τ i ) = 0 ....................................................................................... (2.16)
24
E ( uit2 | τ i ) = σ u2
..................................................................................... (2.17)
E (τ i | xit = ) 0 ; ∀i, t E (τ it2 | xit ) = σ τ2
.............................................................................. (2.18)
.................................................................................... (2.20)
E ( uitτ j = ) 0 ; ∀i, t , j
............................................................................. (2.21)
E ( uit u js ) = 0 ; i ≠ j atau t ≠ s
.............................................................. (2.22)
Pendugaan REM umumnya menggunakan metode generalized least square (GLS). Misalkan kombinasi error pada Persamaan (3.12) dituliskan menjadi w= uit + τ i , dengan it E ( wit ) = 0 .......................................................................................... (2.23) E ( wit2 ) =σ u2 + σ τ2 ; ∀i, t ........................................................................ (2.24)
E ( wit wis= ) σ τ2 ; ∀t ≠ s
........................................................................ (2.25)
E ( wit w js )= 0 ; untuk i ≠ j atau t ≠ s
.................................................. (2.26)
Apabila gangguan sejumlah T untuk individu i dikumpulkan dalam bentuk vektor
wi = ( wi1 , wi 2 , wiT ) ' maka dapat dituliskan bahwa E ( wi w 'i ) = Ω ...................................................................................... (2.27) dengan
σ u2 + σ τ2 σ τ2 σ τ2 σ τ2 2 σ u2 + σ τ2 σ τ2 σ τ2 στ Ω = σ τ2 σ τ2 σ u2 + σ τ2 σ τ2 .......................... (2.28) 2 2 2 2 σ2 σ u + στ στ στ τ
25
Untuk
keseluruhan
observasi
panel,
matriks
kovarian
error
w = ( w1 , w2 , , wN ) ' dapat diturunkan sebagai Ω 0 0 0 0 Ω 0 0 I N ⊗ Ω ............................................ (2.29) V= 0 0 Ω 0 = NT × NT 0 0 0 0 Ω dengan I N menyatakan matriks identitas berdimensi N dan ⊗ merepresentasikan Kronecker product. Misalkan Y pada Persamaan (3.12) direpresentasikan sebagai vektor stack dari yit yang dibentuk dengan pola yang sama dengan w (dengan struktur yang sama untuk X). Selanjutnya keseluruhan sistem yang dituliskan sebagai Y X β + w ......................................................................................... (2.30) =
dapat diestimasi dengan menggunaan metode GLS. Secara umum pendugaan GLS untuk persamaan regresi (3.26) memerlukan transformasi untuk menghilangkan struktur yang tidak baku dari matriks kovarian E ( ww ') = V . Kemudian dengan mendefinisikan matriks penimbang P = V −1/2 dan mengalikannya ke kedua ruas pada persamaan (3.26) akan diperoleh hasil transformasi sebagai berikut = PY PX β + Pw .................................................................................. (2.31)
atau = Y * X * β + w * .................................................................................. (2.32)
sekarang E ( w * w * ') = E ( Pww ' P ) = PE ( ww ') P = PVP = I NT
26
Sehingga, penduga GLS pada persamaan regresi (2.30) dapat dituliskan sebagai
βˆGLS = ( X 'V −1 X ) X 'V −1Y ............................................ (2.33) −1
Penggunaan model random effect dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlah unit datanya sehingga parameter hasil estimasi akan menjadi semakin efisien. 2.3. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu ini sangat penting untuk mengetahui bukti-bukti empirik dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, baik penelitian yang dilakukan dengan kasus Indonesia maupun penelitian yang dilakukan dengan kasus di luar negeri. Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing yang mengambil kasus Indonesia tergolong masih jarang. Untuk mendapatkan gambaran dan landasan empirik yang lebih kuat, penulis juga menggunakan hasil penelitian yang dilakukan di negara lain dengan metode penelitian dan periode waktu yang beragam. 2.3.1 Market Size Market size menunjukkan aktivitas perekonomian suatu wilayah, baik dalam lingkup negara maupun provinsi. Semakin tinggi aktivitas perekonomian suatu wilayah, berarti semakin besar market wilayah tersebut. Tingginya aktivitas perekonomian suatu wilayah akan menjadi daya tarik bagi penanaman modal karena memberikan peluang bagi industri dan usaha di wilayah tersebut mendapatkan keuntungan dari terjadinya economies of scale dan dampak lanjutannya (spillover effects) (Firdaus:2006) Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh positif dari market size terhadap arus masuknya PMA langsung. Dengan mengambil lokus penelitian yang berbeda, Aqeel & Nishat (2005) di Pakistan, Erdal & Tatoglu (2001) di Turki, Firdaus (2006) di Indonesia, Tsen (2006) di Malaysia dan Udo & Obiora (2006) di Kawasan Afrika Barat, menemukan bukti adanya pengaruh positif tersebut. Hanya saja, Erdal & Tatoglu (2001) dan Tsen (2006) memberikan catatan tambahan bahwa market size mempunyai pengaruh positif terhadap PMA namun secara statistik tidak signifikan.
27
Aqeel dan Nishat (2005) menggunakan PDB perkapita sebagai proxy untuk variabel market size di Pakistan, Erdal & Tatoglu (2001) menggunakan
laju
pertumbuhan PDB riil, Firdaus (2006) menggunakan PDB riil, Tsen (2006) menggunakan gross national index (GNI) dan Udo & Obiora menggunakan PDB perkapita. Sedangkan Sarwedi (2002), walaupun tidak menggunakan istilah market size, dalam penelitiannya juga menemukan bukti adanya pengaruh positif dari PDB dan pertumbuhan ekonomi dengan PMA langsung. Dalam penelitiannya ini, Sarwedi mengklasifikasikan faktor yang mempengaruhi PMA menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Variabel PDB dan pertumbuhan ekonomi ke dalam kategori faktor ekonomi. 2.3.2 Infrastruktur Iklim investasi yang baik perlu ditopang dengan tersedianya infrastruktur yang memadai. Kondisi infrastruktur yang buruk merupakan ekstra biaya yang ditanggung oleh pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karenanya, penyediaan infrastruktur yang ada saat ini harus segera ditingkatkan seperti membangun jalan baru dan memperbaiki jalan yang rusak, menyediakan alat transportasi massal yang murah, aman dan nyaman untuk mengurangi kemacetan jalan, mengembangkan pembangkit listrik denga energi alternatif, memperbaiki sistem irigasi dan pengairan dan lain-lain (Departemen Keuangan RI, 2007). Terjadinya perbedaan pembangunan di antara Asia dan Afrika selama beberapa dekade bisa ditelusuri sebagiannya akibat ketidaksamaan infrastruktur di kedua kawasan tersebut, dan perbedaan prioritas sektor yang memperoleh investasi di negara di dua kawasan tersebut. Infrastruktur yang baik menjadi esensi bagi pengurangan waktu transportasi dan komunikasi serta efisiensi distribusi pasokan energi, sedangkan infrastruktur yang lemah dipandang sebagai hambatan besar bagi pertumbuhan sektor swasta di sebagian besar negara di kawasan Amerika Latin. Hampir semua hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya hubungan positif antara infrastruktur dengan PMA. Tsen (2006) menggunakan proxy panjang jalan, Erdal & Tatoglu (2002) menggunakan share of transportation, energy and communication expenditures in GDP, dan Firdaus (2006) menggunakan
prosentase rumah tangga yang menggunakan listrik.
28
Berbeda dengan mereka, Asiedu (2002) dengan menggunakan jumlah sambungan telepon sebagai proxy infrastruktur, menemukan bukti bahwa infrastruktur tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PMA langsung di negara kawasan Sub Sahara Afrika. Dalam analisisnya, Asiedu menjelaskan bahwa infrastruktur tidak berpengaruh signifikan di negara kawasan Sub Sahara karena PMA langsung di kawasan ini berbasiskan pada exploitasi sumber daya alam, selain itu juga karena proxy yang digunakan tidak relevan dengan penanaman modal yang berbasiskan sumber saya alam. 2.3.3 Tingkat Pendidikan Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu negara adalah tersedianya SDM berkualitas dalam jumlah yang cukup memadai. Kualitas SDM ini akan dapat diraih melalui jalur pendidikan, baik formal maupun nonformal. Merujuk pada jenjang pendidikan formal, penduduk usia sekolah biasanya diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok umur, yaitu 7-12 tahun untuk jenjang sekolah dasar), 13-15 tahun untuk jenjang sekolah menengah pertama, 16-18 tahun untuk jenjang sekolah menengah atas dan 19-24 tahun untuk jenjang pendidikan perguruan tinggi (Badan Pusat Statistik, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tsen (2006) di Malaysia dan Firdaus (2006) di Indonesia, menunjukkan bahwa variabel pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap PMA. 2.3.4 Tingkat Upah Penanaman modal asing yang jenis non market seeking akan mencari daerah tempat melakukan usaha yang dapat meminimumkan biaya usaha. Tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi mempunyai peran penting dalam struktur biaya usaha, karena perusahaan harus membayarkan upah sebagai kompensasi terhadap kontribusi tenaga kerja sehingga upah menjadi salah satu faktor yang sangat sensitif. Besaran atau tingkat upah dapat ditentukan melalui berbagai cara. Seringkali upah ditentukan melalui collective bargaining, di mana upah pekerja tidak ditentukan oleh kondisi kesetimbangan penawaran dan permintaan, tetapi ditentukan oleh posisi tawar menawar kolektif antara pimpinan serikat pekerja dan manajemen perusahaan (Mankiw, 2006). Model ini populer di Jepang dan negaranegara Eropa (Blanchard, 2006).
29
Upah yang rendah akan secara langsung berpengaruh terhadap biaya usaha yang rendah. Namun diskursus tentang upah tidak cukup sekedar dikaitkan dengan biaya usaha. Upah juga harus dilihat keterkaitannya dengan produktivitas tenaga kerja. Teori efisiensi upah menekankan bahwa upah yang tinggi akan membuat pekerja lebih produktif, karena dengan upah yang tinggi pekerja akan mempunyai kesempatan untuk membeli nutrisi yang lebih baik. Dengan nutrisi yang lebih baik, maka hasil kerja pekerja akan meningkat. Studi yang dilakukan oleh Aqeel & Nishat (2005) menunjukkan bahwa upah mempunyai pengaruh positif terhadap PMA langsung, itu artinya bahwa semakin tinggi tingkat upah, maka PMA langsung juga akan semakin tinggi. Lebih jauh, Aqeel & Nishat (2005) menjelaskan bahwa PMA langsung lebih menyukai tenaga kerja yang mempunyai keterampilan tinggi, walaupun tingkat upahnya lebih tinggi daripada tenaga kerja yang keterampilannya rendah. Berbeda dengan temuan Aqeel & Nishat (2005), Tsen (2006) dalam penelitiannya di Malaysia justru menemukan hubungan negatif antara tingkat upah dengan PMA langsung. Sedangkan Sarwedi (2002) menemukan bukti bahwa tingkat upah mempunyai hubungan positif dengan PMA langsung dalam hubungan jangka pendek, namun dalam jangka panjang hubungan tingkat upah dengan PMA langsung mempunyai hubungan negatif. Sarwedi menjelaskan bahwa perbedaan pengaruh tersebut terjadi karena terjadinya fluktuasi nilai variabel yang mendorong terjadinya perubahan dalam keseimbangan jangka panjang. 2.3.6 Stabilitas Sosial Politik Pengusaha dalam melakukan penanaman modal berharap return di waktu yang akan datang. Oleh karenanya, penanam modal lebih menyukai kondisi stabil. Studi yang dilakukan Sarwedi (2002) menunjukkan bahwa jumlah kerusuhan yang digunakan sebagai proxy stabilitas politik mempunyai hubungan negatif dengan PMA langsung baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Senada dengan itu, Vittorio & Ugo (2008) juga menemukan bukti adanya hubungan negatif antara arus masuk PMA langsung dengan tingkat kriminalitas di Italia. Berbeda dengan kedua penelitian tersebut, hasil studi Asiedu (2002) di negara kawasan Sub Sahara Afrika menunjukkan bahwa stabilitas politik yang dilihat dari jumlah
30
pembunuhan dan revolusi pemerintahan tidak berpengaruh signifikan terhadap masuknya PMA langsung ke negara di kawasan Sub Sahara Afrika. Terkait dengan iklim investasi di daerah, KPPOD melakukan kajian secara rutin setiap tahun mulai 2001. Berdasarkan kajian KPPOD, terdapat 5 (lima) faktor yang dianggap mempengaruhi daya tarik investasi di daerah. Pertama, faktor kelembagaan. Faktor ini mencakup aspek kepastian hukum, aparatur dan pelayanan, kebijakan daerah dan kepemimpinan lokal. Kedua, faktor keamanan, politik dan sosial budaya. Faktor ini mencakup aspek keamanan, politik dan budaya. Ketiga, faktor ekonomi daerah. Faktor ini mencakup aspek potensi ekonomi dan struktur ekonomi. Keempat, faktor tenaga kerja. Faktor ini meliputi aspek ketersediaan tenaga kerja, kualitas dan biaya tenaga kerja. Kelima, faktor infrastruktur fisik. Faktor ini meliputi aspek ketersediaan infrastruktur fisik dan kualitas infrastruktur fisik. 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian Kebijakan Otonomi Daerah
Pull Factors Market Size Tingkat Pendidikan Infrastruktur
Push Factors Lokasi PMA
Upah Inflasi Stabilitas sosial politik
Jumlah & Persebaran PMA di daerah
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian Berdasarkan studi pustaka dan penelitian terdahulu, untuk mempermudah dalam melakukan analisis, penulis membuat klasifikasi faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi menjadi dua sektor, yaitu pull factors dan push factors. Dalam penelitian ini, pull factors merupakan faktor-faktor yang terkait dengan tingkat
31
output dari aktivitas penanaman modal di suatu daerah, baik output dalam bentuk tingkat penjualan maupun output dalam bentuk tingkat produksi. Sedangkan push factor merupakan faktor-faktor yang terkait dengan biaya yang mungkin dikeluarkan oleh penanam modal dalam menjalankan usahanya di suatu daerah, baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung. Variabel yang termasuk dalam kategori pull factor adalah market size, tingkat pendidikan dan infrastruktur. Sedangkan variabel yang termasuk dalam kategori push factor adalah upah, inflasi dan jumlah kriminalitas. Kedua faktor tersebut, secara bersama-sama akan menentukan minat investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah. Kebijakan otonomi daerah yang efektif mulai berjalan pada tahun 2001 salah satunya diharapkan untuk meningkatkan jumlah penanaman modal di daerahdaerah di luar Jawa. Melihat potret pelaksanaan kebijakan otonomi daerah selama 2001-2009, kebijakan otonomi daerah mengandung dua dimensi sekaligus, baik sebagai pull factor dan sebagai push factor. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap jumlah dan persebaran realisasi PMA langsung di propinsi-propinsi di Indonesia, penelitian ini akan menggunakan variabel dummy kebijakan otonomi daerah.
32
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Data Analisis penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan dari data sekunder 26 propinsi di Indonesia dalam bentuk data panel, yaitu gabungan time series dan cross section tahunan periode tahun 1993 sampai tahun 2008 untuk mendapatkan tujuan penelitian. Propinsi-propinsi yang baru terbentuk pada tahun 2000 dan setelahnya, tidak diikutkan dalam penelitian ini. Periode ini dipilih untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing langsung di sektor manufaktur pada periode setelah krisis ekonomi. Berbagai data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber yang credible dan terpercaya, diantaranya Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Departemen Perindustrian. Selain melakukan analisis dengan menggunakan data statistik yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut, penulis juga melakukan studi pustaka, baik yang bersumber dari buku, jurnal ilmiah, artikel internet, dan bahan bacaan lain yang relevan dengan permasalahan penelitian ini. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Market Size b. Upah c. Tingkat Pendidikan d. Inflasi e. Infrastruktur f. Stabilitas Sosial Penelitian ini akan dikhususkan untuk mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penanaman modal asing langsung di sektor industri manufaktur non migas. Maksud dari penekanan pada sektor industri manufaktur non migas adalah untuk benar-benar melihat sektor industri kreatif yang prospektif dan layak dikembangkan sebagai basis industri nasional. Sebagian data dalam penelitian ini dirubah ke dalam bentuk logaritma natural (ln). Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan adanya permasalahan heteroscedasticity. Dengan melakukan transformasi data ke dalam
33
bentuk logaritma natural, akan menekan skala yang akan membuat variabelvariabel itu menjadi measured. 3.2 Metode Analisis Data Faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing langsung di sektor industri manufaktur non migas akan diuji dengan melakukan analisis data panel. 3.2.1 Penentuan Metode Estimasi Prosedur dalam penelitian ini akan diawali dengan terlebih dulu melakukan penentuan metode estimasi data panel yang paling tepat untuk mendapatkan hasil yang paling baik. Penentuan dilakukan melalui pengujian statistik. Secara grafis pengujian dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
Pooled Least Square Chow Test
LM Test
Fixed Effect
Hausman Test Random Effect
Gambar. 3.1 Pengujian penentuan model dalam pengolahan data panel Keterangan Gambar : 1. Untuk menentukan pilihan antara model PLS atau fixed effect, dilakukan dengan Chow Test. Hipotesis yang dibangun dalam uji ini sebagai berikut :
34
H0 = Model PLS (restricted) H1 = Model fixed effect (Unrestricted). Sebagai dasar untuk menolak H0 adalah dengan melihat nilai Chow Statistik dengan nilai F tabel. Jika Chow Statistik (F Statistik) lebih besar dari F tabel, maka H0 ditolak, sehingga yang dipilih model fixed effect, dan sebaliknya. Penentuan model terbaik juga dapat menggunakan nilai probabilitas F hitung, jika nilainya lebih kecil dari alpha 0,05 maka tolak H0,artinya model fixed effect lebih baik daripada PLS. 2. Untuk menentukan pilihan antara fixed effect atau random effect, dilakukan dengan menggunakan Uji Hausmann. Uji Hausman dilakukan dengan terlebih dahulu membangun hipotesis sebagai berikut: H0 : Model Random effect H1 : Model Fixed effect. Sebagai dasar untuk menolak hipotesa nol, statistik Hausman akan diperbandingkan dengan nilai Chi Square. Jika statistik Hausman˃
Chi Square
Table maka hipotesis nol ditolak, berarti lebih baik menggunakan model fixed effect. Selain dengan membandingkan Statistik Hausman, dasar menolak hipotesis nol juga dapat menggunakan nilai probabilitas (p-value). Jika (p-value) ˂ tingkat kritis α, maka hipotesis nol ditolak. 3. Untuk menentukan pilihan antara PLS dengan random effect dilakukan dengan lagrange multiplier test (LM Test). Hipotesis yang dibangun dalam uji ini sebagai berikut : H0 : Model PLS H1 : Model random effect Sebagai dasar untuk menolak H0, nilai statistik LM diperbandingkan dengan nilai kritis statistik chi square. Jika nilai LM statistik lebih besar dari nilai kritis statistik chi square, maka H0 ditolak, sehingga model yang digunakan adalah random effect. Walaupun
demikian,
dasar
untuk
menentukan
pemilihan
model
sebenarnya tidak hanya dengan uji statistik saja. Tetapi juga dapat diidentifikasi dengan beberapa guidance berikut (Judge, 1985) :
35
1. Jika T (banyaknya unit time series) besar, sedangkan N (jumlah unit cross section) kecil, maka hasil fixed effect dengan random effect tidak akan jauh berbeda, sehingga dapat dipilih pendekatan yang lebih mudah, yaitu fixed effect. 2. Jika N besar dan T kecil, hasil estimasi pendekatan fixed effect dengan random effect akan berbeda jauh. Jadi apabila diyakini bahwa unit cross section yang kita pilih dalam penelitian diambil secara acak, maka random effect yang lebih baik digunakan. Sebaliknya, jika diyakini bahwa unit cross section yang dipilih dalam penelitian tidak diambil secara acak, maka model fixed effect yang lebih baik digunakan. 3. Jika komponen error individual (εi) berkorelasi dengan variabel bebas X, parameter yang diperoleh dengan model fixed effect akan bias, sementara parameter yang diperoleh dengan model fixed effect tidak bias. Oleh karena itu model fixed effect lebih tepat untuk digunakan. Sebaliknya, jika εi dan variabel bebas X tidak berkorelasi maka model random effect yang lebih tepat untuk dipilih. 4. Jika N besar dan T kecil, dan jika asumsi yang mendasari model random effect dapat terpenuhi, maka model random effect lebih efisien untuk digunakan jika dibandingkan dengan model fixed effect. 3.3 Model Penelitian Salah satu tahapan paling penting dalam penelitian ini adalah menentukan model umum yang akan digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel dependent terpilih, akan dimasukkan ke dalam model umum ini. Untuk mendapatkan tujuan penelitian ini digunakan metode ekonometrika yaitu regresi linier berganda. Data yang digunakan untuk regresi adalah data panel, yang merupakan kombinasi antara data time series periode 1993-2008 dan data cross section 26 provinsi di Indonesia, dengan memasukkan kebijakan otonomi daerah sebagai variabel dummy. Model yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari model yang dikembangkan dalam penelitian empiris sebelumnya oleh Sarwedi (2002), Asiedu (2002), Aqeel & Nishat (2005), Firdaus (2006), Tsen
36
(2006), Udo & Obiora (2006) dan Vittorio & Ugo (2008). Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut : LOGPMALit = α 0 + α 1 LOGPDRBRK it + α 2 LOGIHK it + α 3 LOGUPAH it + α 4 PENDIK it + α 5 JALAN it + α 6 LogLISTR it + α 7 Dpelab + α 8 Dkrim + Dotda + ε it Dimana: PMALit
= Jumlah PMA langsung di sektor manufaktur di provinsi i pada periode t (dalam ribu US $).
PDRBRK it
= Produk domestik regional bruto perkapita di provinsi i pada periode t (dalam ribu rupiah)
IHK it
= Index harga konsumen di provinsi i pada periode t.
UPAH it
= Upah minimum di provinsi i pada periode t (dalam Rp/bulan).
PENDIK it
= Prosentase penduduk yang lulus sekolah paling rendah setingkat SLTA Terhadap total jumlah penduduk di provinsi i pada periode t (dalam persen).
JALAN it
= Prosentase panjang jalan dalam kondisi baik terhadap total panjang jalan di provinsi i pada periode t (dalam persen).
LISTR it
= Jumlah kapasitas listrik tersambung di provinsi i pada periode t (dalam KVA).
Dpelab
= Dummy Pelabuhan 1 untuk Propinsi yang mempunyai pelabuhan kelas 1 atau yang lebih baik. 0 untuk Propinsi yang mempunyai pelabuhan di bawah kelas 1
Dkrim
= Index Kerawanan daerah 1 untuk Propinsi yang rawan 0 untuk Propinsi yang tidak rawan
Dotda
= Variabel dummy, kebijakan otonomi daerah 1 untuk periode 2001-2008 0 untuk periode 1993-2000
α
= Koefisien Regresi
ε it
= Error term
37
BAB IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR DAN PENANAMAN MODAL ASING DI SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR
4.1. Industri Manufaktur dan Perekonomian Nasional Badan Pusat Statistik (2009) mendefinisikan industri manufaktur atau industri pengolahan sebagai suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir, termasuk dalam kegiatan ini adalah jasa industri dan pekerjaan perakitan (assembling). Eksistensi industri manufaktur di Indonesia sudah mapan jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun sejak merdeka sampai dengan berakhirnya rezim orde lama, industri manufaktur di Indonesia tidak mengalami perkembangan berarti. Pada masa ini, sumbangan industri manufaktur terhadap PDB nasional kurang dari 10 persen. Wee (1994) berpendapat bahwa hal itu terjadi karena rezim orde lama lebih menekankan pada aspek politik daripada aspek ekonomi, dan karena kebijakan pemerintah yang mengarah kepada intervensi dalam segala aspek ekonomi, inward oriented dan penguasaan kepemilikan oleh pemerintah. Prawiro (2004) menyatakan bahwa evaluasi pembangunan ekonomi seringkali dilakukan dengan melihat seberapa jauh sebuah negara berorientasi ke dalam (inward looking) atau berorientasi ke luar (outward looking). Biasanya negara yang berorientasi ke dalam adalah negara yang mencoba untuk mempromosikan industrialisasi melalui substitusi impor. Dalam prakteknya seringkali berpedoman pada perencanaan ekonomi dan industri milik negara. Perekonomian yang berorientasi ke dalam biasanya tidak ramah terhadap investasi asing dan cenderung mempertahankan rezim perdagangan yang restriktif. Sebaliknya negara yang berpola dasar dan berorientasi ke luar berusaha untuk memperluas perdagangan luar negeri dengan tetap membuka ekspor dan penanaman modal asing. Industrialisasi di Indonesia baru berkembang pesat setelah rezim orde baru mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Pada periode awal kekuasaan orde baru (1966-1969), pemerintah berusaha memulihkan stabilitas makro ekonomi dengan melakukan deregulasi di bidang intervensi perdagangan internasional dan sistem
38
devisa, serta dengan memberikan insentif terhadap penanaman modal, baik PMA maupun PMDN. Kontribusi industri manufaktur terhadap total ekspor nasional sangat kecil pada periode awal pemerintahan orde baru sampai dengan awal tahun 1980an terjadi karena strategi pengembangan industri yang dilakukan, pada masa itu melalui program pembangunan Repelita I sampai dengan Repelita III lebih menitik beratkan pada pembangunan industri substitusi impor dan berorientasi inward looking sehingga output industrialisasi lebih banyak dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Industri nasional baru melakukan penguatan struktur industri dan pengembangan industri berbasis teknologi tinggi mulai tahun 1982, dan sekaligus merubah orientasi menjadi outward looking (berorientasi ekspor) pada tahun 1986. Implikasi positifnya, tahun 1987 menjadi titik balik kontribusi sektor non migas terhadap total ekspor. Dari total ekspor senilai US $ 17.135,6 Juta, jumlah ekspor non migas mencapai 50,1 persen dari total ekspor, dengan nilai US $ 8.579,6 Juta. Dari total ekspor non migas tersebut, industri manufaktur menyumbang 77,90 persen, dengan nilai mencapai US $ 6.683,7 Juta. 4.1.1 Kontribusi Industri Manufaktur terhadap Ekspor Industri manufaktur terbukti mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi. Setidaknya, hal itu terlihat dari catatan kontribusi industri manufaktur terhadap ekspor nasional. Dimana, pada periode puncak krisis tahun 1997-1999 nilai ekspor industri manufaktur stabil pada kisaran 33.330 US $ sampai dengan 34.840 US $. Prosentase kontribusi ekspor industri manufaktur bahkan membukukan catatan paling tinggi pada tahun 1998 dengan kontribusi sebesar 70,8 persen. Justru setelah periode krisis, trend kontribusi manufaktur terhadap ekspor semakin menurun, walaupun secara nominal jumlah ekspor industri manufaktur mengalami peningkatan. Untuk gambaran lebih lengkap, berikut Gambar 4.1 menunjukkan kontribusi industri manufaktur non migas terhadap ekspor nasional tahun 1993-2008 (dalam persen).
39
72
persen
70 68 66 64 62 60 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
58
Gambar 4.1 : Kontribusi Sektor Industri Manufaktur Non Migas Terhadap Ekspor
Sumber : BPS (diolah)
Selama lima tahun terakhir, ekspor industri manufaktur didominasi oleh 12 sektor saja dengan proporsi ekspor mencapai 89,5 persen dari ekspor total industri manufaktur. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak sektor industri manufaktur yang perlu dikembangkan agar dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan bagi perekonomian nasional. Seperti misalnya sektor pengolahan rotan olahan, rokok dan pupuk. Tabel 4.1 menunjukkan data perkembangan 12 besar ekspor hasil industri tahun 2004-2008. Angka rata-rata selama lima tahun (2004-2008) menunjukkan bahwa sektor industri tekstil menunjukkan kontribusi yang paling besar, di susul sektor pengolahan kelapa/sawit, sektor industri besi baja, mesin dan otomotif, sektor elektronika, sektor industri pengolahan kayu, sektor pengolahan tembaga dan timah, sektor industri pulp dan kertas, sektor industri kimia dasar, sektor industri makanan dan minuman, disusul industri kulit dan barang kulit dan sektor yang paling kecil dari dua belas sektor tersebut adalah industri alat-alat listrik.
40
Tabel.4.1 Perkembangan 12 Besar Ekspor Hasil Industri Tahun 2004-2008 Dalam US$ Juta Tahun No
Sektor
2004
2005
2006
2007
2008
rata-rata
1
Pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit
4840,3
5419,2
6407,3 10476,8
16168,1
8662,34
2
Besi Baja, Mesin-Mesin dan Otomotif
4581,8
5949,7
7712,7
9606,9
11814,9
7933,21
3
Tekstil
7626,2
8584,9
9422,8
9790,1
10116,4
9108,08
4
Pengolahan Karet
2954,1
3545,8
5465,2
6179,9
7579,7
5144,94
5
Elektronika
7142,5
7853,0
7200,2
6359,7
6806,7
7072,42
6
pengolahan Tembaga,Timah dll
2165,1
3133,5
4133,9
6156,0
5660,7
4249,84
7
Pulp dan Kertas
2817,6
3257,5
3983,3
4440,5
5219,6
3943,71
8
Pengolahan Kayu
4461,6
4476,3
4757,6
4485,1
4206,1
4477,34
9
Kimia Dasar
2640,1
2750,2
3521,4
4492,5
3738,4
3428,52
10
Makanan dan Minuman
1440,1
1647,9
1866,0
2374,8
3104,9
2086,74
11
Alat-alat listrik
1232,7
1456,0
1770,9
2148,9
2390,2
1799,74
12
Kulit,Barang Kulit dan Sepatu/Alas Kaki
1553.0
1683,7
1913,2
2006,6
2260,5
1883,41
12 Besar Industri
43455,2
49757,7 58154,4 68517,9
79066,1
59790,26
Total Industri
48660,1
55566,9 64990,3 76429,6
88351,7
66799,72
Peran 12 besar thd total industri (persen) Peran industri terhadap ekspor non migas (persen)
89,3
89,6
89,5
89,7
89,5
89,52
86,99
83,7
81,7
83,1
81,9
83,48
Peran industri terhadap total ekspor (persen)
67,98
64,9
64,5
66,9
64,5
65,76
Sumber : BPS diolah Pusdatin Depperin (2009) Selama periode 2004-2008, sektor yang meningkat paling tajam dari 12 sektor industri itu adalah pengolahan kelapa/kelapa sawit dengan prosentase peningkatan mencapai 234 persen, atau nilai ekspor pengolahan kelapa/kelapa sawit pada tahun 2008 meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun 2004. Di bawah pengolahan kelapa/kelapa sawit berturut-turut adalah sektor pengolahan tembaga, timah dan lain lain (161 persen), besi baja, mesin-mesin dan otomotif (157 persen), pengolahan karet (156 persen), alatalat listrik (93 persen), pulp dan kertas (85 persen), kulit, barang kulit dan sepatu (45 persen), kimia dasar (41 persen) dan tekstil (32 persen). Sedangkan sektor yang mengalami penurunan dari 12 sektor tersebut adalah elektronika (4 persen) dan pengolahan kayu (5 persen).
41
4.1.2 Kontribusi Industri Manufaktur Terhadap PDB Sedangkan dari aspek kontribusi terhadap PDB Nasional, pada periode tahun 1993 sampai dengan 2008, kontribusi industri manufaktur non migas rata-rata mencapai 23,32 persen. Sampai tahun 2004, kontribusi industri manufaktur menunjukkan trend meningkat. Namun, memasuki tahun 2005 sampai 2008, terjadi perubahan yang cukup mengkhawatirkan. Trend kontribusi industri manufaktur terhadap PDB Nasional mulai menurun. Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat selama tahun-tahun krisis ekonomi tahun 1997-1999, kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian selalu menunjukkan trend positif. Jika tidak disikapi dengan tepat, permasalahan ini dapat menjadi penyebab tidak optimalnya pencapaian target-target pertumbuhan ekonomi Pemerintah. Gambar 4.2 menunjukkan kontribusi industri manufaktur non migas terhadap PDB Tahun 1993-2008 (dalam persen). 28 26
persen
24 22 20 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
18
Gambar 4.2 : Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB Sumber : Departemen Perindustrian RI (diolah)
Fenomena menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB nasional selama empat tahun terakhir ini diidentifikasi sebagai gejala deindustrialisasi (Kompas, 26 Oktober 2009). Gejala deindustrialisasi ini ditunjukkan dengan pertumbuhan industri manufaktur yang menurun drastis sejak krisis moneter 1997/1998. Sepuluh tahun menjelang krisis (1987-1996), industri manufaktur nonmigas tumbuh rata-rata 12 persen per tahun, lebih tinggi 5,1 persen daripada PDB nasional saat itu yang tumbuh rata-rata sebesar 6,9 persen. Sedangkan setelah krisis (2000-2008), industri manufaktur nonmigas rata-rata hanya tumbuh 5,7 persen per tahun, hanya sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDB 5,2 persen. Bahkan kini pertumbuhan industri manufaktur cenderung lebih rendah daripada PDB. Selama lima tahun terakhir (2004-2008), industri
42
manufaktur nonmigas tumbuh rata-rata 5,6 persen per tahun, lebih rendah daripada ratarata pertumbuhan PDB 5,7 persen. Lebih jauh, Basri menjelaskan bahwa gejala deindustrialisasi ini disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari struktur industri yang rapuh, infrastruktur yang buruk, lemahnya dukungan perbankan, krisis energi, masalah ketenagakerjaan hingga ketergantungan pada produk impor, terutama pada produk pangan. Sektor industri yang paling dominan kontribusinya terhadap PDB adalah industri makanan, minuman dan tembakau. Walaupun demikian, kontribusinya menunjukkan trend yang semakin menurun dalam rentang waktu 2004-2008, dengan besaran penurunan mencapai 3,74 persen. Sektor lain yang kontribusinya terhadap PDB menurun dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2004-2008) adalah industri pupuk, kimia dan barang dari karet dengan penurunan mencapai 0,12 persen, dan industri logam dasar besi dan baja dengan penurunan sebesar 0,33 persen. Sedangkan sektor yang mengalami peningkatan kontribusinya terhadap PDB adalah industri alat angkut, mesin dan peralatannya dengan peningkatan sebesar 5,41 persen, industri barang kayu dan hasil hutan lainnya dengan peningkatan sebesar 0,82 persen, industri kertas dan barang cetakan dengan peningkatan sebesar 0,6 persen, industri tekstil, bahan kulit dan alas kaki dengan peningkatan sebesar 0,58 persen, industri semen dan barang galian bukan logam dengan peningkatan sebesar 0,06 persen. Berikut tabel kontribusi industri manufaktur terhadap PDB berdasarkan sektor. Sedangkan jika dilihat dari rata-rata kontribusi ekspor sektor industri manufaktur, sektor yang paling tinggi kontribusinya adalah sektor industri makanan dan minuman (8,25 persen), alat angkut, mesin dan peralatannya (6,16 persen), pupuk, kimia dan barang dari karet (3,29 persen),tekstil, barang kulit dan alas kaki (2,59 persen), barang kayu dan hasil hutan lainnya (1,39 persen), kertas dan barang cetakan (1,15 persen), semen dan barang galian bukan logam (0,93 persen), logam dasar besi dan baja (0,75 persen), dan jenis barang industri manufaktur lainnya (0,10 persen).
43
Tabel 4.2 Kontribusi Industri Manufaktur terhadap PDB Berdasarkan Sektor (dalam persen) Tahun
2004 2005 2006 2007 2008
RataRata
Makanan, Minuman dan Tembakau
11,56 7,23
7,17
7,48
7,82
8,25
Tekstil, Brg. kulit & Alas kaki
1,79
3,14
3,04
2,65
2,37
2,59
Brg. kayu & Hasil hutan lainnya.
0,83
1,43
1,50
1,55
1,65
1,39
Kertas dan Barang cetakan
0,57
1,38
1,34
1,29
1,17
1,15
Pupuk, Kimia & Barang dari karet
3,60
3,10
3,17
3,14
3,48
3,29
Semen & Brg. Galian bukan logam
0,85
1,00
0,98
0,93
0,91
0,93
Logam Dasar Besi & Baja
0,99
0,75
0,70
0,65
0,66
0,75
Alat Angkut, Mesin & Peralatannya
2,04
7,04
7,06
7,20
7,45
6,16
Barang lainnya
0,06
0,24
0,24
0,21
0,21
0,19
No
Sektor Industri
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sumber : BPS (diolah) 4.1.3 Kebijakan Pengembangan Industri Manufaktur Peran penting dan strategis industri manufaktur bagi perekonomian nasional dan tantangan terjadinya deindustrialisasi dini membuat Departemen Perindustrian RI berupaya memperkuat lagi sektor industri manufaktur sehingga dapat kembali menjadi andalan industri nasional. Dalam rangka meraih semua capaian itu, pembangunan industri manufaktur di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan pemikiranpemikiran terbaru yang berkembang, mengutamakan daya kreasi dan ketrampilan serta profesionalisme sumber daya manusia. Format yang digunakan dalam pembangunan industri manufaktur adalah konsep clustering
industry,
dengan
membangun
kluster-kluster
industri
berdasarkan
karakteristik teknis industri, kondisi ekonomi serta perkembangan industri yang telah dicapai, dengan esensi pembangunan jejaring untuk memaksimalkan daya saing secara kolektif. Klaster-klaster inti industri manufaktur tersebut adalah: 1. industri makanan dan minuman. 2. indusri pengolahan hasil laut.
44
3. industri tekstil dan produk tekstil. 4. industri alas kaki. 5. industri kelapa sawit. 6. industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu) 7. industri karet dan barang karet. 8. industri pulp dan kertas. 9. industri mesin listrik dan peralatan listrik. 10. industri petrokimia. Tujuan dari diterapkannya model clustering industry ini adalah untuk meningkatkan daya saing industri nasional, sebagai hasil dari efisiensi biaya produksi seluruh industri dalam satu cluster, dan untuk meningkatkan nilai tambah serta produktivitas seluruh industri dalam satu cluster baik industri inti maupun industri penunjang. Hal itu secara tegas dituangkan dalam rancang bangun kebijakan industri nasional tahun 2005-2009. Di mana sasaran pembangunan sektor industri yang menjadi titik berat adalah : 1. Kuatnya industri yang mempunyai daya saing berkelanjutan sehingga menjadi industri kelas dunia dengan didukung basis ilmu pengetahuan yang kuat. 2. Kuatnya struktur industri manufaktur, termasuk kuatnya jaringan kerjasama antara industri kecil & menengah (IKM) dengan industri besar. 3. Seimbangnya sumbangan IKM terhadap PDB dibandingkan dengan sumbangan industri besar. 4. Terdistribusinya industri ke seluruh wilayah tanah air, sesuai dengan daya dukung dan potensi setiap wilayah. Pada tahun 2025, secara internal, industri manufaktur diharapkan sudah mampu berperan sebagai mesin penggerak utama (prime mover) perekonomian nasional, sehingga dapat menjadi tumpuan dalam penciptaan lapangan kerja, penciptaan nilai tambah (added value), penguasaan pasar domestik dan penghasil utama devisa. Sedangkan secara eksternal, pada tahun 2025, industri manufaktur diharapkan mampu menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia dan mampu memenangkan persaingan di pasar internasional. Faktor input mempunyai peran penting dan signifikan dalam menentukan output dari sistem industri yang berjalan. Jika faktor input baik, dan
45
proses yang terjadi juga baik, dapat dipastikan output yang dihasilkan juga baik. Sebaliknya, jika input buruk dan proses yang berlangsung juga buruk, dapat dipastikan output yang dihasilkan juga buruk. Faktor penting yang akan menentukan terwujud atau tidaknya visi 2025 di bidang industri manufaktur itu adalah kecukupan dana untuk menjalankan usaha/industri tersebut. Tanpa adanya dukungan modal yang cukup, niscaya industri manufaktur akan berjalan lambat. 4.2. Gambaran Penanaman Modal di Indonesia (PMDN & PMA) Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi PMDN mengalami fluktuasi yang cukup variatif, sayangnya realisasi PMDN tahun 2008 mengalami penurunan yang cukup signifikan, mencapai 41,62 persen daripada realisasi PMDN tahun 2007. Sedangkan realisasi jumlah penanaman modal asing dalam kurun waktu tahun 1990 sampai dengan 2008 mengalami fluktuasi dengan trend pertumbuhan yang menunjukkan arah yang positif. Hal itu diperkuat dengan kenaikan realisasi PMA selama dua tahun terakhir (2007-2008) dari US $ 5.991,7 pada tahun 2006 menjadi US $ 10.341,4 pada tahun 2007 dan US $ 14.871,4 pada tahun 2008. Gambar 4.3 menunjukkan jumlah realisasi PMDN & PMA periode tahun 1990-2008 40.000,0 35.000,0 30.000,0 25.000,0 20.000,0 15.000,0 10.000,0 5.000,0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
-
PMDN (Rp. Milyar)
PMA (US $ Juta)
Gambar 4.3 : Realisasi PMDN & PMA Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (diolah) Penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing yang dimaksud menggunakan asumsi sebagai berikut :
46
1. Diluar Investasi Sektor Minyak & Gas Bumi, Perbankan, Lembaga Keuangan Non Bank, Asuransi, Sewa Guna Usaha, Pertambangan dalam rangka Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, investasi yang perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor,Investasi Porto Folio (Pasar Modal) dan Investasi Rumah Tangga. 2. Sejak September 1999 tidak termasuk Timor Timur. 3. Proyek : Jumlah Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan.
4. Data BKPM sampai dengan 31 Desember 2008. Data tersebut memperlihatkan bahwa arus penanaman modal di Indonesia, baik PMDN maupun PMA sangat dinamis. Walaupun secara umum mempunyai trend meningkat, namun jika dilihat setiap tahun, laju penanaman modal dalam negeri terlihat lebih fluktuatif daripada laju penanaman modal asing. Fenomena yang menarik, pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 sampai dengan 1999, laju penanaman modal terlihat tidak terpengaruh efek krisis. Dari data statistik, bahkan PMA meningkat pada periode krisis ini. Tidak adanya efek krisis juga dapat diidentifikasi dari relatif stabilnya jumlah realisasi PMDN. PMDN pada tahun 1997 hanya turun sebesar 11,53 persen dibandingkan realisasi PMDN tahun 1996. Justru penurunan tajam terjadi pada tahun 2001 yang turun mencapai 55,12 persen dari realisasi tahun 2000. Begitu juga dengan PMA yang pada tahun 2001 turun mencapai 64,47 persen dari realisasi tahun 2000. 4.2.1 Dinamika PMA di Sektor Industri Manufaktur Realisasi PMA langsung di sektor industri manufaktur menunjukkan trend yang menurun, berbeda dengan realisasi di sektor tersier yang menunjukkan trend yang meningkat. Bahkan sejak tahun 2006, prosentase PMA di sektor manufaktur terus mengalami penurunan, sedangkan sektor tersier terus meningkat 1.
1
BKPM mengklasifikasikan penanaman modal menjadi tiga sektor. Pertama, sektor primer yang terdiri dari tanaman pangan & perkebunan, peternakan, perikanan dan pertambangan. Kedua, sektor sekunder yang terdiri dari industri makanan, industri tekstil, industri kulit & barang dari kulit & sepatu, industri kayu, industri kertas, barang dari kertas dan percetakan, industri kimia dasar, barang kimia & farmasi, industri barang karet & barang plastik, industri mineral non logam, industri logam dasar, barang logam, mesin & elektronika,industri alat kedokteran, optik, alat ukur & jam, industri alat angkutan & transport lainnya. Ketiga, sektor tersier yang terdiri dari elektrik, gas & air, konstruksi, perdagangan & reparasi, hotel & restoran, pengangkutan, gudang & komunikasi, real estate, kawasan industri & perkantoran dan jasa lainnya.
47
Selama dua tahun terakhir, prosentase PMA di sektor industri manufaktur terhadap total realisasi PMA menunjukkan penurunan yang cukup tajam, dari angka 60,4 persen pada tahun 2006 menjadi 45,4 persen pada tahun 2007 dan menurun lagi menjadi hanya 30,4 persen pada tahun 2008. Sebaliknya, sektor tersier mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Prosentase sektor tersier terhadap total realisasi PMA mengalami kenaikan dari hanya 30,7 persen pada tahun 2006 menjadi 48,8 persen pada tahun 2007 dan melesat lagi mencapai 67,3 persen pada tahun 2008. Walaupun demikian, kondisi ini belum terlalu mengkhawatirkan, karena secara nominal, realisasi PMA di sektor industri manufaktur mengalami peningkatan sebesar 23 persen pada tahun 2007, dari US $ 3.619,7 juta pada tahun 2006 menjadi US$ 4.697,0 juta, walaupun turun lagi sebesar 3,6 persen pada tahun 2008, hingga menjadi US$ 4.527,2 juta. Sektor industri manufaktur yang memberikan kontribusi paling besar terhadap total realisasi industri manufaktur non migas dalam 5 (lima) tahun terakhir ini adalah sektor industri kimia dasar, barang kimia & farmasi, dengan rata-rata kntribusi mencapai 21,8 persen, disusul sektor industri industri logam dasar, barang logam, mesin dan elektronika dengan rata-rata kontribusi 19,3 persen dan industri makanan dengan ratarata kontribusi 14,9 persen. Gambar berikut menunjukkan dinamika realisasi PMA langsung berdasarkan sektor. 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
-
Sektor sekunder
Sektor Primer
Sektor Tersier
Gambar 4.4: Prosentase realisasi PMA berdasarkan sektor terhadap realisasi total PMA (dalam persen). Sumber : BKPM (diolah)
Sektor industri manufaktur yang memberikan kontribusi paling besar terhadap total realisasi industri manufaktur non migas dalam 5 (lima) tahun terakhir ini adalah
48
sektor industri kimia dasar, barang kimia & farmasi, dengan rata-rata kontribusi mencapai 21,8 persen, disusul sektor industri industri logam dasar, barang logam, mesin dan elektronika dengan rata-rata kontribusi 19,3 persen dan industri makanan dengan rata-rata kontribusi 14,9 persen. Tabel 4.3 Realisasi PMA Langsung di Sektor Industri Manufaktur Tahun 2004-2008 (US $ Juta) No
2004
2005
2006
2007
2008
1 Ind. Makanan
604.733
603.202
354.431
704.121
491.376
2 Ind. Tekstil
165.542
71.166
423.953
131.744
210.186
13.155
47.760
51.800
95.935
145.850
4.114
75.498
58.898
127.853
119.470
414.510
9.957
747.000
672.486
294.716
583.439
1.152.863
264.610
1.611.740
627.769
79.590
392.609
112.744
157.868
271.570
108.117
66.176
94.768
27.783
266.404
314.676
521.768
955.732
714.115
1.293.372
12.991
3.121
191
10.850
15.631
402.720
360.561
438.476
412.300
756.238
101.207
195.945
117.081
30.188
34.652
2.804.795
3.500.625
3.619.683
4.696.984
4.527.233
3
Sektor sekunder
Ind. Kulit & barang dari kulit & sepatu
4 Ind. Kayu 5
6
7
Ind. Kertas, barang dari kertas & percetakan Ind. Kimia dasar, barang kimia & farmasi Ind. Barang karet & barang plastik
8 Ind.min.non logam Ind. Logam dasar, brg 9 logam, mesin & elektronika 10
11
Ind. Alat kedokteran, optik, alat ukur & jam Ind. Alat angkutan & transport lainnya
12 Ind. Lainnya Jumlah
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
49
4.2.2 Negara Asal PMA yang Dominan pada periode 2005-2008 Selain terlihat dari kontribusi terhadap perekonomian, jumlah realisasi dan sektor yang dominan, fluktuasi PMA juga terlihat dari negara asal penanaman modal. Secara jelas, dapat dilihat dari tabel berikut ini. Tabel 4.4 Realisasi PMA berdasarkan negara asal tahun 2005-2008 (US$ Juta) No
Tahun 2005 Negara Jumlah
Tahun 2006 Negara Jumlah
Tahun 2007 Negara Jumlah
Tahun 2008 Negara Jumlah
1 Singapura
2.163,4
Jepang
902,8
Singapura 3.748,0 Mauritius
2 Inggris
1.274,2
Inggris
660,5
Inggris
1.685,8 Singapura 1.487,3
3 Jepang
1.144,0
Singapura
508,3
Korsel
627,7
Jepang
1.365,4
4 Mauritius
943,8
Korsel
475,7
Jepang
618,2
Inggris
513,4
5 Belanda
920,7
Malaysia
407,6
Taiwan
469,7
Malaysia
363,3
6 Korsel
429,5
Mauritius
385,6
Seychel
281,0
Korsel
301,1
7 Hongkong 396,0
Seychel
306,9
Mauritius
223,9
Jerman
198,3
8 Swiss
94,7
Hongkong 187,8
Malaysia
217,3
Perancis
164,0
9 Malaysia
92,6
Perancis
104,9
Australia
195,3
USA
151,3
88,6
India
88,4
Brazil
165,1
RRC
139,6
10 USA
6.477,9
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (diolah)
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa jika dilihat dari rangking realisasi PMA berdasarkan negara asal investasi, tercatat hanya 6 (enam) negara saja yang selalu masuk dalam peringkat sepuluh besar negara dengan jumlah realisasi penanaman modal asing paling besar. Keenam negara itu adalah Singapura, Inggris, Jepang, Mauritius, Korea Selatan dan Malaysia. Data yang cukup mengejutkan adalah kontribusi yang cukup besar dan relatif stabil dari negar kecil seperti Mauritius dan Seychel. 4.2.3 Kebijakan menarik PMA Negara sedang berkembang senantiasa mengalami kekurangan modal, sehingga investasi asing menjadi bagian penting untuk memajukan pembangunan ekonomi.
50
Walaupun demikian, kebijakan investasi Indonesia sebelum pemberlakuan UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal tergolong restriktif, karena ditujukan untuk melindungi infant industries. Baru pada tahun 1985, pemerintah mulai berusaha secara intensif untuk mengadakan reformasi dalam iklim investasi negara. Salah satu terobosan yang dilakukan adalah dengan mengurangi jumlah surat izin yang diperlukan dari 26 menjadi 13 buah. Langkah ini merupakan respon terhadap keinginan investor agar proses investasi disederhanakan. Tetapi sebenarnya, langkah ini masih belum menyentuh inti permasalahan, seperti peraturan tentang investasi kepemilikan saham serta divestasinya. Baru pada tahun 1986 Pemerintah meluncurkan kebijakan Paket 6 Mei yang mulai mengarah pada inti permasalahan penanaman modal di Indonesia. Substansi pokok dari Paket 6 Mei adalah sebagai berikut ; 1. Peningkatan kepemilikan untuk investor asing, paket ini mengizinkan investor asing memiliki saham sampai 95 persen dari perusahaan yang berorientasi ekspor, yaitu perusahaan yang mengekspor paling sedikit 85 persen dari produknya. Untuk perusahaan yang bernilai US$ 10 juta atau lebih, atau yang berlokasi di provinsi tertentu, biasanya di Indonesia Timur, investor asing juga boleh memiliki saham sampai dengan 95 persen. Namun dalam lima tahun, bagian dari kepemilikan domestik harus bertambah sampai sekurangnya 20 persen. Untuk investasi lainnya minimum 20 persen dari modal harus dari pihak Indonesia dan setelah 10 tahun meningkat sampai 51 persen. 2. Akses di bidang keuangan untuk perusahaan patungan asing. Perusahaan patungan harus diperlakukan sama seperti perusahaan domestik dan diizinkan untuk meminjam dari bank negara dan berpartisipasi dalam rencana kredit pemerintah (government credit schemes). Syaratnya mitra asing paling sedikit mendivestasi 75 persen dari perusahaan atau mendaftarkan paling sedikit 51 persen dari sahamnya untuk dijual di bursa saham. 3. Masa berlakunya izin. Izin investasi diberikan untuk jangka waktu 30 tahun sejak berdirinya perusahaan atau sejak diperluas. 4. Pembebasan dari pajak pertambahan nilai (PPN). Semua investasi asing langsung dibebaskan dari pembayaran PPN untuk barang modal yang diimpor.
51
Satu hal lain di luar substansi kebijakan yang cukup fundamental adalah dilakukannya perubahan paradigma dalam hal penentuan sektor yang tertutup bagi PMA. Jika sebelumnya BKPM mengeluarkan daftar skala prioritas untuk merinci sektor apa saja yang boleh dimasuki oleh perusahaan asing, dilakukan perubahan dengan mengeluarkan daftar negatif investasi. Dalam perspektif hukum, pergeseran ini dari sebelumnya “investasi yang diusulkan bersalah, kecuali dibuktikan tidak bersalah (guilty until proven innocent), menjadi investasi boleh dilakukan disektor manapun, kecuali yang disebutkan tidak boleh dimasuki. Perubahan kebijakan penanaman modal yang paling fundamental terjadi pada tahun 2007 dengan pemberlakuan Undang-Undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-undang ini merupakan landasan hukum yang baru bagi segala jenis kegiatan penanaman modal di Indonesia menggantikan Undang Undang No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Beberapa perubahan penting dalam UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah : 1.
Pemberian fasilitas kepada penanam modal, terutama fasilitas pajak, amortisasi dan bea masuk.
2.
Perpanjangan waktu hak atas tanah, baik Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Aturan yang tertuang dalam UU no 25 tahun 2007 ini sebenarnya tergolong sangat progresif dan sangat menarik bagi penanam modal. Di mana penanam modal asing diberikan kesempatan untuk mendapatkan hak guna usaha selama 95 (sembilan puluh lima) tahun sekaligus, hak guna bangunan selama 80 (delapan puluh) tahun sekaligus dan hak pakai selama 70 (tujuh puluh) tahun sekaligus. Namun hal ini dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 21-22/PUU-V 2007 pada tanggal 25 Maret 2008, karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960.
3.
Prosedur perizinan dengan menggunakan konsep pelayanan satu atap,
4.
Kemudahan pelayanan keimigrasian dan perizinan impor.
52
Berbagai macam fasilitas atau insentif yang diberikan kepada penanam modal tertuang dalam Pasal 18 ayat 4. Secara rinci, fasilitas yang diberikan adalah sebagai berikut: a. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu. Ada tiga bentuk fasilitas perpajakan yang diberikan kepada investor. Pertama, pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30 persen dari jumlah penanaman yang dilakukan. Kedua, kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari sepuluh tahun. Ketiga, pengenaan pajak penghasilan atas dividen sebesar 10 persen, kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang ebrlaku menetapkan lebih rendah. b. Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri. Fasilitas ini berupa pelepasan kewajiban atau pengurangan beban dari penanam modal untuk membayar bea masuk atas barang modal yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Jenis-jenis barang yang dibebaskan dari pembebasan atau keringanan bea impor ini adalah barang modal, mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Hanya saja pembebasan ini hanya berlaku untuk dua tahun, terhitung sejak tanggal keputusan pembebasan bea masuk. c. Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu. Fasilitas ini berupa pelepasan kewajiban atau pengurangan beban dari penanam modal untuk membayar pungutan kepada negara terhadap bahan baku atau bahan penolong yang diimpor oleh investor untuk keperluan produksi. Jenis barang yang termasuk kategori ini misalnya bahan baku untuk pembuatan komponen kendaraan bermotor, bahan baku untuk pembuatan komponen elektronika, dan bahan baku untuk pembuatan alat-alat besar. d. Pembebasan atau penangguhan pajak pertambahan nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu. Barang dan jasa yang dapat diberikan fasilitas ini dibedakan menjadi tiga. Pertama, barang
53
kena pajak tertentu yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Misalnya senjata, amunisi, alat angkutan di air dan di bawah air yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI, POLRI dan PT Pindad atau oleh pihak lain yang ditunjuk. Kedua, barang kena pajak tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Misalnya, rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Perumahan Rakyat. Ketiga, Jasa kena pajak tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Misalnya, jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT. Kereta Api Indonesia. e. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat. Fasilitas penyusutan atau amortisasi merupakan kemudahan yang diberikan kepada penanam modal berupa pengurangan atau penghapusan terhadap harta kekayaan yang dimiliki penanam modal yang digunakan dalam pelaksanaan penanaman modal. Pengurangan ini dilakukan terhadap nilai aktiva tidak berwujud seperti merek dagang, hak cipta dan lain-lain. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu tertentu pada setiap periode akuntansi. Pengurangan ini dilakukan dengan mendebit akun beban amortisasi terhadap akun aktiva. f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah tertentu atau kawasan tertentu. Fasilitas ini diberikan kepada penanam modal dalam penggunaan hak atas tanah. Keringanan diberikan dalam bentuk pengurangan sebesar 50 persen atas pajak bumi dan bangunan selama 8 (delapan) tahun, dihitung sejak diperoleh izin peruntukan atas tanah. Fasilitas-fasilitas tersebut diberikan kepada penanam modal yang memenuhi salah satu dari sepuluh kriteria sebagai berikut : a. menyerap banyak tenaga kerja; b. termasuk skala prioritas tinggi; c. termasuk pembangunan infrastruktur; d. melakukan alih teknologi;
54
e. merupakan industri pionir; f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan; g. menjaga kelestarian lingkungan hidup; h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan inovasi; i. bermitra dengan UKM atau koperasi; j. industri yang menggunakan barang modal atau peralatan yang diproduksi dalam negeri. Pemerintah dapat memberikan fasilitas atau kemudahan kepada penanam modal apabila salah satu dari sepuluh kriteria tersebut dipenuhi. 4.2.4 Kebijakan yang menghambat masuknya PMA langsung Berbagai fasilitas dan insentif yang diberikan kepada penanam modal secara efektif baru berlaku pada tahun 2008 sehingga dampak dari UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal baru dapat dirasakan paling awal pada tahun 2008. Di sisi lain, sejak pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 2001, sudah banyak bermunculan kebijakan-kebijakan dalam bentuk peraturan daerah tentang pajak, retribusi dan berbagai pungutan lain yang justru menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Berdasarkan kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, sejak tahun 2001 sampai dengan 2010 terdapat 13.622 perda pajak atau retribusi. Dari jumlah itu sudah 13.252 perda yang dievaluasi oleh Departemen Keuangan dengan hasil 4.855 perda direkomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri agar dibatalkan. Namun sampai saat ini, baru 1.843 perda yang dibatalkan, sedangkan yang 3.042 tidak jelas statusnya. Kondisi semakin sulit karena berdasarkan UU no 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah, sejak 1 Januari 2010 pembatalan perda menjadi kewenangan Presiden, tidak lagi menjadi kewenangan Mendagri. Secara teknis hal ini akan membuat proses pembatalan perda bermasalah menjadi semakin lama. Barangkali munculnya ribuan perda pajak daerah dan retribusi daerah ini yang menyebabkan terjadinya penurunan porsi PMA langsung di luar Jawa pada era otonomi daerah dibandingkan dengan periode sebelum otonomi daerah. Data BKPM menunjukkan prosentase realisasi PMA langsung yang terjadi di luar Jawa pada era otonomi daerah justru lebih rendah daripada prosentase realisasi PMA langsung yang terjadi di luar Jawa pada era sebelum otonomi daerah. Tabel 4.5 menunjukkan distribusi PMA langsung sebelum dan sesudah otonomi daerah.
55
Tabel 4.5 Distribusi PMA Langsung Tahun 1993-2008 Daerah Jawa Luar Jawa
Tahun (persen) 1993-2000 2001-2008 78 84 22 16
Sumber : BKPM (diolah) Tabel 4.5 menjadi bukti bahwa otonomi daerah belum mampu memberikan kontribusi positif bagi peningkatan PMA langsung di luar Jawa. Padahal ide dasar dari pelaksanaan otonomi daerah adalah agar terjadi pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di luar Jawa yang selama rezim pemerintahan orde baru kurang terurus. PMA langsung sebagai salah satu komponen pembiayaan pembangunan merupakan salah satu aspek yang penting dan strategis sebagai indikator perekonomian di daerah. Penurunan realiasi PMA langsung di luar Jawa pada era otonomi daerah ini tentu berpengaruh pada akselerasi pembangunan di daerah.
64
BAB VI. OTONOMI DAERAH DAN PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA
6.1 Desentralisasi sebagai Substansi Otonomi Daerah Otonomi daerah merupakan salah satu buah paling penting dari gerakan reformasi 1998. Otonomi daerah dianggap sebagai jawaban paling tepat dari tidak terjadinya pemerataan pembangunan nasional dan pemerataan kesejahteraan masyarakat selama rezim pemerintahan orde baru. Walaupun pedoman pembangunan nasional pada masa orde baru menggunakan trilogi pembangunan. Ringkasnya trilogi pembangunan ini berisi tentang pemeraataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Kebijakan otonomi daerah ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa pemerintahan yang lebih dekat dengan rakyat akan lebih mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat karena pemerintah dapat membuat dan melaksanakan rancangan program yang sesuai dengan kebutuhan rakyat. Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerahnya berdasarkan kebijaksanaannya sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. Dalam konteks hubungan struktural, konsekwensi dari otonomi daerah adalah pemerintah kabupaten/kota tidak lagi sekedar menjadi wakil atau perpanjangan tangan pemerintah pusat. Lebih dari itu, pemerintah daerah memiliki kewenangan otonom untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di daerahnya masing-masing. Melalui
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999
tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, kebijakan otonomi daerah secara resmi diberlakukan di Indonesia. Pada dasarnya semua wewenang didesentralisasikan kewenangannya kepada pemerintah kabupaten/kota, dan hanya lima bidang strategis yang kewenangannya dipertahankan sebagai kewenangan pemerintah pusat, yaitu politik/hubungan luar negeri, agama, keuangan, pertahanan dan keamanan, dan hukum/peradilan. Basri (2009) membagi pelaksanaan otonomi daerah menjadi dua periode, yaitu otonomi daerah gelombang pertama (2001-2004) dan gelombang kedua (2005 sampai sekarang). Pada gelombang pertama otonomi daerah semangat dan harapan perubahan bercampur dengan perasaan khawatir dan perasaan skeptis atas keberhasilan otonomi daerah ini. Hal ini terjadi karena masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa masalah yang harus
65
dihadapi dan aneka pekerjaan yang harus dilaksanakan sangat banyak dan simultan. Padahal pemerintah daerah perlu waktu untuk belajar memikul tanggung jawab yang lebih besar dan berkreasi secara mandiri dalam mengelola pembangunan di daerahnya masing-masing. Kesan yang dominan dari pelaksanaan otonomi daerah pada gelombang pertama ini adalah ketidaksiapan aparat pemerintah daerah termasuk pimpinan-pimpinan politik dan pemerintahan lokal dalam menyambut otonomi daerah. Akibatnya otonomi daerah diterjemahkan dengan perilaku yang tidak sesuai dengan prinsip good governance. Penguasa lokal cenderung menganggap dirinya sebagai penguasa baru. Gelombang kedua pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan revisi paket undangundang otonomi daerah dari UU nomor 22/1999 dan UU nomor 25/1999 menjadi UU nomor 32/2004 dan UU nomor 33/2004. Perubahan paling fundamental dari revisi UU otonomi daerah itu adalah diberlakukannya mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Hal ini semakin menegaskan bahwa keberadaan kepala daerah merupakan representasi dari kehendak rakyat di daerah tersebut, bukan representasi dari pemerintah pusat. Namun, terdapat kontradiksi dalam hal kewenangan pengangkatan sekretaris daerah, dimana pengangkatan sekretaris kabupaten/kota menjadi kewenangan gubernur, dan pengangkatan sekretaris provinsi menjadi kewenangan Presiden RI. Pengangkatan Sekda oleh Pejabat pemerintahan satu tingkat di atas ini menunjukkan bahwa Pemerintah masih tidak rela terhadap desentralisasi secara penuh. Otonomi daerah di Indonesia diwujudkan dengan melakukan desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kewenangan yang didesentralisasikan
meliputi
desentralisasi
administrasi,
desentralisasi
fiskal
dan
desentralisasi politik. Dengan adanya desentralisasi tersebut yang sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah pusat bergeser menjadi kewenangan daerah. Sebagai konsekwensi dari penyerahan kewenangan tersebut, pemerintah pusat memberikan dana yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah untuk pelaksanaan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah. 6.2 Definisi dan Tujuan Desentralisasi 6.2.1 Definisi Desentralisasi Desentralisasi sebagai substansi otonomi daerah sudah dikenal sejak lama dalam khazanah ilmu sosial. Pakar-pakar ilmu sosial juga sudah memberikan definisi yang beragam. Parsons mendefinisikan sebagai pembagian kekuasaaan pemerintahan oleh sekelompok penguasa pusat dengan kelompok lainnya, masing-masing memiliki otoritas dalam wilayah tertentu dari suatu negara. Sedangkan Mawhood (1987) memberikan definisi yang agak
66
berbeda dan membedakannya dengan dekonsentrasi. Menurut Mawhood desentralisasi adalah pendelegasian kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal. Sedangkan dekonsentrasi menurut Mawhood merupakan desentralisasi administratif. Dalam istilah Mawhood dekonsentrasi didefinisikan sebagai pengalihan tanggung jawab administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal. 6.2.2 Tujuan Desentralisasi Brian C Smith dalam Hidayat (2010) membedakan tujuan desentralisasi menjadi dua kategori. Yaitu tujuan dari sisi kepentingan pemerintah pusat dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah. Dari perspektif kepentingan pusat, terdapat tiga tujuan utama dari desentralisasi. Pertama, pendidikan politik. Pendapat Brian C Smith ini diperkuat oleh Maddick (1963). Menurut Maddick (1963) tujuan hakiki dari desentralisasi adalah untuk menciptakan pemahaman politik yang sehat bagi masyarakat, khususnya terkait dengan mekanisme penyelenggaraan negara. Kedua, sebagai media pelatihan kepemimpinan politik. Asumsi yang digunakan sebagai pijakan adalah bahwa pemerintah daerah merupakan media yang tepat bagi politisi dan birokrat sebelum terjun ke level nasional. Dalam konteks ini desentralisasi diharapkan dapat memotivasi dan melahirkan calon-calon pemimpin nasional di berbagai sektor. Ketiga, untuk menciptakan stabilitas politik. Kebijakan desentralisasi akan mampu mewujudkan kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil. Partisipasi masyarakat
lokal
yang diimbangi dengan kepekaan
dan kemampuan
penyelenggara pemerintahan di daerah akan menghasilkan rasa aman, nyaman dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Hal ini merupakan prasyarat dari terciptanya stabilitas politik. Tujuan desentralisasi jika dilihat dari perspektif kepentingan daerah, terdapat tiga tujuan penting. Pertama, untuk mewujudkan kesetaraan politik. Dalam hal ini, desentralisasi diharapkan mampu membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal dan membuka ruang kebebasan bagi masyarakat
dalam
mengekspresikan
kepentingannya.
Kedua,
untuk
menciptakan
akuntabilitas lokal. Desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah berpotensi untuk disalahgunakan oleh aparatur daerah. Namun karena desentralisasi ini berjalan seiring dengan demokratisasi di tingkat lokal, peran serta masyarakat untuk melakukan pengawasan kepada penyelenggara pemerintahan di daerah, diharapkan mampu mewujudkan
keterbukaan
dalam
pelaksanaan
desentralisasi
kewenangan
dan
pertanggungjawabannya. Ketiga, Untuk meningkatkan local responsiveness. Pemerintah daerah dianggap lebih tahu dan mengetahui lebih banyak masalah yang dihadapi masyarakat
67
di daerah. Dengan desentralisasi, pemerintah daerah dapat merancang program-program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerahnya, sehingga permasalahan-permasalahan masyarakat dapat lebih mudah diselesaikan. 6.3 Permasalahan Otonomi Daerah 6.3.1. Korupsi Dugaan korupsi yang terjadi tidak lama setelah pelaksanaan otonomi daerah memperlihatkan terjadinya locus dan modus baru kasus korupsi di Indonesia. Setelah otonomi daerah, korupsi di tingkat lokal terjadi dalam jumlah dan cakupan yang sangat luas. Jika pada era orde baru korupsi terjadi terpusat di pemerintah pusat, pada era otonomi daerah, korupsi menyebar di daerah, baik yang dilakukan oleh lembaga eksekutif daerah (pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau pemerintah kota), maupun yang dilakukan oleh lembaga legislatif daerah (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dengan modus operandi yang beragam. Berdasarkan hasil pengamatan Indonesian Corruption Watch dan Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah salah satu simpul utama korupsi di era otonomi daerah ini adalah otoritas daerah (Pemda dan DPRD). Implementasi otonomi daerah yang diiringi dengan peningkatan dana yang dikelola daerah berimplikasi pada terbukanya peluang oleh pemegang otoritas daerah untuk melakukan korupsi. Pergeseran penting dalam penyelenggaraan kekuasaan daerah adalah diberikannya kewenangan kepada DPRD untuk memilih dan memberhentikan Kepala Daerah. Hal ini membuat DPRD mempunyai kedudukan politik yang sangat kuat. Kewenangan DPRD memilih kepala daerah ini dicabut sejak tahun 2005, namun posisi politik DPRD masih tetap kuat, karena DPRD masih mempunyai kewenangan untuk menyusun dan mengesahkan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah dan kewajiban kepala daerah untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD. Posisi politik yang kuat ini mendorong anggota DPRD melakukan abuse of power, sehingga marak dugaan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD. Padahal seharusnya DPRD bertindak sebagai pengawas penyelenggaraan kekuasaan oleh pemerintah daerah.
68
Tabel 6.1 Contoh Kasus Korupsi Setelah Pelaksanaan otonomi daerah Daerah
Jenis Kasus dan Tahun Peristiwa Diungkap ke Publik
Nilai Kerugian Negara (Rp. Miliar)
Aceh
Korupsi Pembelian Helikopter M2, tahun 2004
12,5
Sumatera Barat
Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2001
2,78
Cirebon
Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2001
0,99
DI Yogyakarta
Korupsi Dana asuransi sebagai APBD oleh DPRD,
4
tahun 2001 Padang
Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2002
4,67
Kalimantan
Korupsi penyalahgunaan anggaran belanja rutin pos
5,47
Selatan
kepala daerah, tahun 2001-2004
Toli-Toli
Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2002
4,5
Mentawai
Manipulasi Keuangan oleh Sekda,tahun 2002
7,9
Sumatera Barat
Perjalanan dinas fiktif DPRD, tahun 2003
5,93
Donggala
Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2003
5,2
NTB
Korupsi APBD oleh DPRD,tahun 2004
23
Sumbawa
Manipulasi APBD oleh DPRD,tahun 2004
6,4
Madiun
Markup proyek APBD oleh DPRD, tahun 2004
8,8
Blitar
Manipulasi APBD oleh Bupati, tahun 2004
73
Kapuas Hulu
Korupsi dana sumber daya hutan oleh Bupati, Tahun
150
2005 Sukabumi
Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2007
3,6
Situbondo
Korupsi APBD, tahun 2005-2007
45,75
Makassar
Pengadaan mobil pemadam kebakaran, tahun 2003
4,31
Kendal
Korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
52,9
Daerah (APBD), Dana Tak Tersangka (DTT) dan Dana Alokasi Umum (DAU) dalam APBD Kabupaten Kendal, 2003-2005 Boven Papua
Digul penunjukan langsung pengadaan kapal tanker LCT 180 dan penggelapan dana kas daerah, 2006-2007
Sumber : dari berbagai sumber (diolah)
Tidak ada data
69
Namun tidak tepat jika dikatakan bahwa korupsi di daerah baru saja terjadi setelah ditetapkannya kebijakan desentralisasi. Tidak adanya pengungkapan kasuskasus korupsi di daerah pada era orde baru, bukan karena benar-benar tidak terjadi korupsi, melainkan karena faktor dominasi birokrasi yang sangat kuat dan sekaligus penegakan hukum yang lemah. Akibatnya, kasus-kasus korupsi pada era orde baru tidak tersentuh dan tidak ter-ekspose media massa. Dalam konteks ini, desentralisasi hanya memberikan panggung baru bagi pentas korupsi di tingkat lokal. Hasil Survey rutin dua tahunan yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia memperlihatkan bahwa kondisi daerah terkait dengan korupsi masih memprihatinkan. Dengan range skor 0 sampai dengan 10, dimana 0 menyatakan kondisi paling korup dan 10 menyatakan kondisi paling bersih, selama survey tahun 2002, 2004, 2006 dan 2008, skor paling tinggi yang berhasil dicapai oleh suatu daerah adalah 6,61.Skor ini diraih oleh Kota Palangkaraya pada tahun 2006. Sedangkan skor paling rendah dibukukan oleh Kabupaten Maumere Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan nilai 3,22 pada tahun survey 2006. Data lengkap pada lampiran 3 dan 4. 6.3.2. Perda Pungutan dan Retribusi Hasil survei Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada tahun 2007 menunjukkan berbagai pungutan dan proses perizinan di daerah masih menjadi penghambat investasi. Survei ini mencakup 243 kabupaten/kota di Indonesia dengan melibatkan 12.187 pelaku usaha bidang manufaktur, perdagangan, dan jasa. Sejalan dengan temuan tersebut, Departemen Keuangan tak segan-segan menolak peraturan daerah yang kurang mendukung iklim investasi. Peraturan ini umumnya terkait biaya seperti penambahan biaya administrasi dan retribusi yang ditarik di awal ketika pengusaha baru mau melakukan investasi. Hasil dari kajian terhadap peraturan daerah tersebut adalah rekomendasi terhadap keberadaan peraturan daerah tersebut. Apakah perda tersebut harus direvisi, dibatalkan atau dapat diimplementasikan. Kewenangan ini mengalami perubahan dari awalnya menjadi domain Menteri Keuangan menjadi domain Presiden sesuai dengan Pasal 158 Undang-Undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal ini akan membuat proses kajian terhadap Perda ini akan menjadi lebih lambat. Perda itu dinilai menghambat penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerah dan membebani pelaku usaha maupun masyarakat. Rancangan peraturan
70
daerah yang ditolak itu berasal dari sektor perhubungan, pertanian, pekerjaan umum, perindustrian, perdagangan, dan kehutanan. Sementara itu, rancangan perda yang paling banyak ditolak berasal dari Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Survei KPPOD ini juga menyimpulkan banyak daerah yang menetapkan biaya perizinan usaha lebih tinggi dibandingkan dengan keputusan pemerintah. Misalnya, biaya pengurusan tanda daftar perusahaan (TDP) mencapai Rp 500 ribu, lebih tinggi dibandingkan Permendag nomor 37/2007 tentang Biaya Pengurusan Izin TDP untuk jenis perusahaan perseroan sebesar Rp. 100.000,-. Namun, KPPOD juga mencatat ada juga perda yang mendukung investasi, seperti Perda Kota Balikpapan Nomor 9 Tahun 2004 tentang Insentif bagi Investor. Fakta yang mengkhawatirkan, jumlah Perda bermasalah dari tahun ke tahun tidak menunjukan tren penurunan. Pada tahun 2002, jumlah Perda yang dibatalkan oleh pemerintah pusat tercatat sebanyak 19 buah. Pada 2003 jumlahnya melonjak drastis menjadi 105 perda. Sedangkan pada 2004 tak kurang dari 236 Perda, dan menjadi 136 Perda pada 2005. Pada 2005 dan 2006 masing-masing sebanyak 114 dan 151 Perda yang dibatalkan. Realitas yang lebih memprihatinkan lagi, Perda-Perda yang dibatalkan itu tampaknya masih banyak yang diterapkan di berbagai daerah. Pungutan resmi yang dituangkan dalam Perda ini di lapangan masih ditambah lagi dengan masih adanya biaya tak resmi atas pelayanan birokrasi. Dalam hitungan KPPOD, biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan birokrasi itu bahkan bisa mencapai 2 sampai 3 persen dari total biaya produksi. Menurut Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMI) jumlah pungutan tak resmi untuk biaya distribusi makanan dan minuman mencapai 30 persen dari total biaya distribusi. 6.3.3. Rendahnya Kapasitas Pemerintah Daerah. Kapasitas pemerintah daerah pada umumnya masih rendah yang ditandai oleh (1) masih terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia aparatur baik jumlah maupun yang profesional, (2) masih terbatasnya ketersediaan sumber-sumber pembiayaan yang memadai, baik yang berasal dari kemampuan daerah itu sendiri (internal) maupun sumber dana dari luar daerah (eksternal) dan terbatasnya kemampuan pengelolaannya; (3) belum tersusunnya kelembagaan yang efektif; (4) belum terbangunnya sistem dan regulasi tentang aparatur pemerintah daerah yang jelas dan tegas; (5) kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat (termasuk
71
anggota dewan perwakilan rakyat daerah) dalam pelaksanaan pembangunan secara lebih kritis dan rasional. Banyaknya peraturan daerah yang direkomendasikan untuk direvisi atau bahkan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat menunjukkan bahwa pemerintah daerah kurang memahami substansi peraturan daerah dan sekaligus menunjukkan bahwa aparatur daerah tidak kreatif dalam mengoptimalkan peluang dan manfaat otonomi daerah. Akibatnya, pilihan yang diambil untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) adalah pilihan instant dan mudah.
56
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pemilihan Model Terbaik Tahapan penting dari penelitian kuantitatif dengan menggunakan ekonometri adalah analisis hasil output ekonometri. Hasil Chow Test yang dilakukan memperlihatkan nilai probability F hitung (0,000) lebih kecil dari α 0,05. Hasil Chow Test tersebut menjadi dasar untuk menolak H0. Berdasarkan hasil tersebut, keputusan yang diambil adalah fixed effect model lebih baik dari pada common effect model. Selanjutnya untuk menentukan model yang lebih baik antara FEM dengan REM, dilakukan uji Hausman. Hasil Uji Hausman yang dilakukan menghasilkan nilai chi square (statistik hausman) sebesar 20,24 lebih besar dari nilai distribusi chi square sebesar 16,92 dan p-value sebesar 0,016 lebih kecil daripada α 0,05. Hasil Uji Hausman tersebut menjadi dasar untuk menolak H0, yang berarti FEM lebih baik daripada REM. 5.2 Estimasi & Interpretasi Setelah mendapatkan FEM sebagai model yang paling baik, tahapan selanjutnya adalah melakukan estimasi dan interpretasi model. Tahapan estimasi dan interpretasi ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Output Eviews harus dilihat terlebih dahulu apakah sudah sesuai dengan kriteria yang lazim digunakan dalam studi statistika dan ekonometrika, jika tidak memenuhi kriteria statistika dan kriteria ekonometrika, maka hasil tersebut tidak layak digunakan untuk menganalisis adanya hubungan antar variabel. Setelah memenuhi kriteria tersebut, baru dapat dilakukan interpretasi terhadap hasil output Eviews. Hasil regresi dengan menggunakan Eviews tertuang dalam tabel 5.1.
57
Tabel 5.1 Hasil Regresi Data Panel dengan Fixed Effect Model Variable PDRBRK UPAH IHK JALAN LISTRIK PELABUHAN PENDIDIKAN KRIMINALITAS OTDA R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
Coefficient
Std. tError Statistic 1,059242 0,632534 1,6746 -0,005649 0,001013 -5,5787 -0,732373 0,136614 -5,3609 3,393428 0,771123 4,40063 0,811087 0,323359 2,50832 3,65E-06 1,80E-06 2,0239 0,001609 0,00545 0,2952 -0,295273 0,592413 -0,4984 -0,017696 0,003231 -5,4774 Weighted Statistics 0,978661 Mean dependent var 0,976705 1,596555 2063,839
S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
Prob. 0,0949 0 0 0 0,0126 0,0437 0,768 0,6185 0 14,2131 10,4605 917,636 1,9339
0 Unweighted Statistics
R-squared
0,620974
Mean dependent var
10,6436
Adjusted R-squared S.E. of regression
0,58623 1,603721
S.D. dependent var Sum squared resid
2,49315 925.892
Durbin-Watson stat
1,923474
Menurut Gujarati (1995), model ekonometri yang baik harus memenuhi kriteria statistik dan kriteria ekonometrik. Kriteria Statistik terkait dengan probabilitas F statistik dan koefisien determinasi (nilai R2). Sedangkan kriteria ekonometrik menyangkut uji asumsi klasik yang menyangkut tiga hal, yaitu autokorelasi, multikolinieritas dan heteroskedasticitas. Kriteria statistik dalam model ini dilihat dari probabilitas F statistik dan koefisien determinasi (nilai adjusted R2). Nilai Probabilitas F Statistik model ini sebesar 0,000 sedangkan nilai adjusted R2 model ini sebesar 0,976. Hal ini menunjukkan bahwa model tersebut sudah memenuhi kriteria statistik untuk menjadi model yang layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Interpretasi dari nilai probabilitas F statisitik dan nilai adjusted R2 tersebut adalah bahwa pada tingkat kepercayaan 97 persen, variabel-variabel bebas dalam model tersebut secara bersama-sama signifikan mempengaruhi realisasi PMAL di sektor
58
industri manufaktur non migas di Indonesia. Sedangkan nilai adjusted R2 sebesar 0,976 menunjukkan bahwa 97,6 persen keragaman nilai realisasi PMAL di sektor industri manufaktur non migas di Indonesia dapat dijelaskan oleh keragaman nilai variabel bebasnya. Sedangkan sisanya (2,4 persen) dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
Sedangkan kriteria ekonometrik dalam model ini dilihat dengan melihat ada atau tidaknya autokorelasi, multikolinieritas dan heteroskedasticitas. Sudah menjadi kesepakatan
umum
bahwa
dalam
model
regresi
data
panel
permasalahan
multikolinieritas dapat diabaikan, karena sangat kecil sekali kemungkinan terjadinya multikolinieritas, walaupun masing-masing individu mengandung multikolinieritas (Sanjoyo, 2009). Ini merupakan salah satu keunikan dari regresi data panel. Permasalahan autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin Watson (DW). Nilai DW pada hasil output eviews sebesar 1,93 mengandung pengertian bahwa tidak terjadi autokorelasi. Permasalahan heteroskedasticitas dalam penelitian ini dapat diabaikan karena data dirubah ke dalam bentuk logaritma natural dan model diperlakukan dengan cross section weight dan white heteroscedasticity. Dengan demikian, model penelitian ini sudah memenuhi kriteria ekonometrik. Berdasarkan informasi dari Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa variabel-variabel yang secara nyata mempengaruhi penanaman modal asing di propinsi-propinsi di Indonesia adalah variabel market size (dengan proxy PDRB riil perkapita), inflasi (dengan proxy IHK), infrastruktur (dengan proxy prosentase jalan dalam kondisi baik terhadap total panjang jalan, daya tersambung listrik untuk sektor industri dan dummy pelabuhan), upah dan otonomi daerah. Sedangkan variabel dalam model yang tidak berpengaruh terhadap penanaman modal asing adalah tingkat pendidikan (dengan proxy prosentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan minimal SLTA/sederajat) dan stabilitas sosial politik (dengan menggunakan index kerawanan daerah). Variabel yang mempunyai pengaruh paling besar adalah panjang jalan dalam kondisi baik. Hal itu terlihat dari koefisien yang paling besar diantara semua variabel penjelas, yaitu sebesar 3,3934. Sedangkan variabel yang mempunyai pengaruh paling kecil adalah variabel pelabuhan, yaitu sebesar 3,65E-06. Market size mempunyai pengaruh positif terhadap penanaman modal asing di Indonesia pada taraf nyata 10 persen dengan koefisien sebesar 1,059. Hal ini mengandung pengertian bahwa apabila terjadi peningkatan PDRB riil perkapita sebesar
59
1 persen, maka penanaman modal asing akan naik sebesar 1,06 persen (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan Sarwedi (2002), Firdaus (2006), Aqeel & Nishat (2005) dan Udo & Obiora (2006). Hal ini mengindikasikan bahwa output berupa produk barang yang dihasilkan PMAL di sektor industri manufaktur diorientasikan untuk memenuhi permintaan di pasar domestik. Market seeking merupakan jenis PMAL yang lazim terjadi dalam kondisi seperti ini. Oleh karena itu, penanam modal akan lebih memilih melakukan kegiatan penanaman modal di daerah yang pendapatan perkapita masyarakatnya tinggi agar barang yang dihasilkan dapat terserap oleh pasar domestik. Hal ini sesuai dengan Teori Eklektik Dunning yang menyatakan bahwa PMAL akan dilakukan jika terdapat faktor-faktor yang membuat perusahaan lebih menguntungkan untuk melakukan produksi di negara tujuan (host country) daripada di negara asal (home country). Variabel inflasi mempunyai pengaruh negatif terhadap PMAL di Indonesia dengan koefisien sebesar 0,7323. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa inflasi mempunyai hubungan yang berlawanan dengan PMAL. ini artinya bahwa, apabila terjadi inflasi sebesar 1 persen, maka PMAL akan turun sebesar 0,73 persen (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan penelitian Tsen (2006) dan Udo & Obiora (2006). Hasil ini menegaskan bahwa pelaku usaha bertindak rasional, dengan mempertimbangkan keuntungan sebagai dasar untuk mengambil keputusan berinvestasi. Inflasi mencerminkan kekuatan daya beli masyarakat, dimana semakin tinggi tingkat inflasi maka daya beli masyarakat semakin rendah. Dalam kondisi daya beli masyarakat yang rendah, maka pilihan yang lebih menguntungkan adalah tidak melakukan investasi. Kalau dilacak lebih jauh, inflasi lebih disebabkan oleh adanya hambatan di sisi pasokan (supply side) dan persoalan struktural pada jalur distribusi, bukan disebabkan oleh permintaan (Basri, 2002). Permasalahan pada sisi penawaran tidak terlepas dari tidak terjadinya pasar persaingan sempurna. Dalam kasus beberapa komoditi penting seperti minyak goreng, terigu, mie instan, telur, ayam ras dan gula pasir, struktur pasar yang terjadi adalah oligopolistik. Hanya beberapa perusahaan saja yang mendominasi pasar, sehingga mereka dapat leluasa menentukan harga komoditi di pasar dengan mengatur pasokan. Bahkan, yang terjadi adalah kartel, dimana perusahaan-perusahaan yang terlibat bekerja sama dalam menjual produk yang sama, sehingga harga yang ditetapkan di pasar bukan harga yang paling efisien.
60
Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) jenis infrastruktur sekaligus sebagai variabel bebas. Proxy prosentase panjang jalan dalam kondisi baik terhadap total panjang jalan terbukti signifikan berpengaruh positif terhadap PMAL dengan koefisien sebesar 3,3934. Ini artinya, dengan kenaikan proporsi panjang jalan dalam kondisi baik terhadap total panjang jalan sebesar 1 persen, maka PMAL akan meningkat sebesar 3,39 persen. Energi listrik sebagai salah satu bagian penting dari infrastruktur mempunyai hubungan positif dengan PMAL dengan koefisien sebesar 0,8111. Ini berarti jika terjadi peningkatan jumlah daya tersambung ke sektor industri sebesar 1 persen, maka PMAL akan naik sebesar 0,8 persen (ceteris paribus). Sedangkan dummy pelabuhan mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap PMAL dengan koefisien 0,00000365. Ini menunjukkan bahwa antara daerah yang mempunyai pelabuhan kelas 1 dan kelas utama signifikan berbeda lebih besar daripada propinsi yang tidak mempunyai pelabuhan kelas 1 dan utama. Walaupun perbedaannya relatif kecil, hanya sebesar 0,00000365 persen. Pengaruh positif dan signifikan dari variabel infrastruktur terhadap PMAL ini sesuai dengan hasil penelitian Erdal & Tatoglu (2001), Tsen (2006) dan Firdaus (2006). Hasil ini sekaligus menegaskan peran vital dari infrastruktur terhadap perputaran roda perekonomian dan akselerasi pembangunan. Infrastruktur sangat penting untuk mempermudah mobilitas faktor produksi dan sekaligus mobilitas barang dan jasa, sehingga mudah difahami jika semakin bagus kondisi infrastruktur di daerah, maka minat penanam modal untuk melakukan aktivitas usaha di daerah tersebut juga akan semakin tinggi. Apalagi infrastruktur mempunyai keunikan dalam hal eksternalitas positif yang tinggi, yaitu dapat mendorong pertumbuhan sektor lain. Variabel upah berpengaruh negatif terhadap PMAL dengan koefisien sebesar 0,0056, ini artinya jika upah naik sebesar 1 persen, maka PMAL akan turun sebesar 0,0056 persen. Hal ini sesuai dengan pendapat Vernon dan Weber bahwa PMAL akan mencari daerah-daerah yang ongkos tenaga kerjanya murah agar nilai jual produknya di pasar dapat kompetitif. Hal ini terutama untuk tenaga kerja dengan skill rendah, berbeda dengan tenaga dengan skill tinggi. Kecilnya koefisien upah, disebabkan oleh semakin meningkatnya tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia. Di mana produktivitas mampu mengkompensasi kenaikan upah, sehingga elastisitas pengaruh upah terhadap PMAL dapat ditekan pada tingkat yang lebih rendah.
61
Tabel 5.2 Produktivitas Tenaga Kerja Beberapa Negara Asia (dalam US $) Negara Hong Kong Singapura Brunei Taipei Korea Selatan Malaysia Thailand China Indonesia Mongolia Philippines Cambodia Viet Nam
2003 47650 43712 42906 32433 25119 10649 2471 2093 1981 2205 653 638 535
2007 57663 56918 45142 38776 36648 13940 3327 1921 2201 2766 824 824 645
Perubahan (persen) 21,01 30,21 5,21 19,56 45,90 30,90 34,64 -8,22 11,11 25,44 26,19 29,15 20,56
Sumber : Asian Development Bank Data produktivitas tenaga kerja pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia pada periode 2003-2007 mengalami peningkatan sebesar 11,11 persen. Namun, prosentase peningkatan produktivitas tenaga kerja Indonesia masih jauh di bawah peningkatan produktivitas tenaga kerja Korea Selatan, Thailand dan Malaysia. Jika ingin menikmati tingkat upah yang tinggi, mau tidak mau tenaga kerja Indonesia harus terlebih dahulu meningkatkan produktivitasnya. Kecenderungan bahwa PMAL di Indonesia masih berorientasi pada low skilled labour dapat dilihat dari tidak signifikannya variabel tingkat pendidikan yang didekati dengan prosentase jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan minimal SMA/sederajat terhadap keseluruhan jumlah penduduk. Selain itu juga tidak signifikannya variabel tingkat pendidikan dapat terjadi karena penanam modal membawa serta tenaga kerja asing terampil yang dibutuhkannya dari negara asal penanam modal. Hal ini patut dikhawatirkan karena salah satu dampak positif PMAL dalam hal transfer of technology kepada tenaga kerja Indonesia akan terhambat. Variabel dummy status kerawanan daerah terbukti berpengaruh tidak signifikan berbeda antara daerah yang rawan dengan yang tidak rawan. Ini menunjukkan bahwa antara daerah yang termasuk kategori rawan tidak signifikan berbeda dengan propinsi yang tidak termasuk kategori tidak rawan. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Vittorio & Ugo (2008) di Italia.
62
Perbedaan ini barangkali disebabkan karena data kriminalitas yang digunakan dalam penelitian ini masih bersifat umum, menyangkut berbagai macam jenis kriminalitas yang tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha, misalnya tindak pidana permainan judi, perkosaan dan penghinaan. Hal ini bukan karena faktor kesengajaan penulis, melainkan karena kesulitan dalam memperoleh data kriminalitas yang secara khusus dan terinci terkait dengan kegiatan usaha. Variabel dummy otonomi daerah memiliki probabilitas sebesar 0,00. Ini menunjukkan bahwa secara signifikan terdapat perbedaan antara periode waktu sebelum otonomi daerah (1993-2000) dengan periode setelah otonomi daerah (2001-2008). Nilai koefisien sebesar -0,0176 memperlihatkan bahwa otonomi daerah membuat elastisitas variabel-variabel independen lebih rendah jika dibandingkan dengan elastisitas sebelum otonomi daerah. Hasil itu sejalan dengan hasil kajian Basri (2002). Kajiannya tentang desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat propinsi di Indonesia menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, yang mana efek negatif tersebut terjadi karena penggunaan dana APBD yang tidak bertanggung jawab, rendahnya skill aparat pemerintahan daerah dan akuntabilitas politik yang labil. Pengaruh negatif otonomi daerah ini kemungkinan terjadi karena otonomi daerah diterjemahkan oleh pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota dengan menerbitkan kebijakan pungutan baik dalam bentuk pajak ataupun retribusi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Berdasarkan hasil kajian KPPOD (2011) selama tahun 2001 sampai dengan 2010 terdapat 13.622 perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Pungutan-pungutan baru tersebut, memaksa pelaku usaha untuk mengeluarkan biaya tambahan yang tidak pernah dikeluarkan sebelum otonomi daerah diberlakukan. Sedangkan di sisi lain, pembenahan-pembenahan terhadap kebijakan PMAL di tingkat nasional baru dilakukan pada pertengahan tahun 2007 melalui pemberlakuan UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Akibatnya, dalam kurun waktu 2001 sampai dengan 2008, yang lebih dominan dirasakan oleh investor adalah adanya beban tambahan berusaha di daerah. Perbedaan pengaruh setiap provinsi dapat dilihat dari koefisien setiap propinsi. Tetapi, nilai koefisien tersebut adalah nilai relatif. Maksudnya adalah, koefisien tersebut tidak menggambarkan seberapa besar pengaruh yang diterima setiap propinsi, tetapi hanya menggambarkan perbedaan pengaruh yang diterima oleh setiap propinsi. Dalam
63
penelitian ini, Provinsi DKI akan digunakan sebagai basis pengukuran dengan menjadikan nilainya sama dengan 0, dan koefisien provinsi lain mengikuti nilainya. Nilai paling tinggi berdasarkan penyesuaian dari koefisien masing-masing provinsi adalah Provinsi Maluku dengan nilai 6,53. Interpretasinya apabila ada perubahan independen variabel secara bersama-sama, maka dampak individu Maluku akan lebih besar 6,5 kali dibandingkan dengan dampak individu DKI Jakarta. Provinsi Maluku merupakan daerah yang paling besar nilai dampak individunya, sedangkan DKI Jakarta merupakan daerah yang paling kecil dampak individunya. Sedangkan daerah-daerah lain besar pengaruhnya bervariasi, tetapi tidak lebih besar dari Maluku dan tidak lebih kecil dari DKI Jakarta.
72
VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN & SARAN
7.1 Kesimpulan 1. a. Faktor-faktor yang secara statistik signifikan mempengaruhi penanaman modal asing langsung di sektor industri manufaktur non migas Indonesia adalah market size, upah, inflasi, infrastruktur dan otonomi daerah. Faktor yang berpengaruh negatif terhadap PMA langsung adalah inflasi, upah dan otonomi daerah. b. Variabel dalam model yang tidak signifikan berpengaruh terhadap PMA langsung adalah pendidikan dan kriminalitas. c. Faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap PMA langsung di sektor industri manufaktur adalah panjang jalan dalam kondisi baik. Sedangkan faktor yang pengaruhnya paling kecil adalah variabel dummy pelabuhan. 2. Otonomi daerah berpengaruh negatif bagi PMA di Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya permasalahan dalam implementasi otonomi daerah. Belum adanya perubahan undang-undang yang mengatur tentang penanaman modal sampai dengan tahun 2007 menjadi penyebab belum adanya manfaat positif dari otonomi daerah sampai dengan tahun 2008. Kondisi diperparah lagi dengan adanya permasalahan dalam implementasi otonomi daerah, yaitu dengan maraknya kasus korupsi di daerah, pajak, retribusi dan pungutan digunakan sebagai andalan untuk meningkatkan PAD dan ketidaksiapan aparatur daerah. 3. Hal mendesak yang harus dibenahi untuk meningkatkan realisasi PMA di sektor industri manufaktur non migas di Indonesia dan sekaligus untuk meningkatkan pemerataan realisasi PMA di sektor industri manufaktur di Indonesia adalah dengan mengupayakan peningkatan government spending untuk kegiatan pembangunan infrastruktur di daerah. Seperti program stimulus fiskal yang pernah dilaksanakan pada saat terjadi krisis finansial global pada tahun 2008. Alternatif kebijakan yang dapat diberlakukan untuk mendorong pertumbuhan realisasi investasi di luar Jawa adalah dengan memberikan kemudahan dan insentif khusus, bagi penanam modal di luar Jawa yang melakukan pembangunan infrastruktur dengan nilai tertentu.
73
7.2 Implikasi Kebijakan 1. Otonomi daerah seharusnya mendorong terjadinya peningkatan pembangunan di daerah-daerah di luar Jawa. Semakin menurunnya porsi realisasi PMA langsung di luar Jawa pada masa otonomi daerah harus segera dijawab dengan mengedepankan pemberian berbagai insentif bagi kegiatan PMA langsung di luar Jawa sebagaimana tertuang dalam UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Di sisi lain, pemerintah pusat harus lebih tegas dan lebih menyederhanakan prosedur pembatalan peraturan daerah yang menghambat investasi. 2. Kegiatan pembangunan infrastruktur, terutama jalan dan listrik harus lebih dititikberatkan di luar Jawa. 3. Perlu insentif khusus bagi penanam modal yang membangun infrastruktur dalam nilai tertentu agar penanam modal termotivasi dalam mengeluarkan modal tambahan untuk membangun infrastruktur sebagai pendukung kegiatan usahanya. 7.3 Saran Untuk Penelitian Lebih Lanjut 1. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan rentang waktu yang lebih panjang yaitu dengan memasukkan periode waktu setelah pelaksanaan Undang-Undang No. 25 tahun 1997 Tentang penanaman modal. Hal ini penting untuk mengetahui pengaruh otonomi daerah setelah UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal efektif diberlakukan terhadap PMA dan sekaligus pengaruh UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal itu sendiri terhadap PMA. 2. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan data kriminalitas yang secara spesifik terkait dengan aktivitas usaha untuk mendapatkan hasil yang lebih tepat dalam melihat pengaruh stabilitas sosial politik terhadap PMA. 3. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan variabel-variabel yang belum tercakup dalam penelitian ini.
74
DAFTAR PUSTAKA : Accoley, D (2005), “The Determinants and Impacts of Foreign Direct Investment”, Thesis of London Metropolitan University. Aqeel, A & M. Nishat (2005), “The Determinants of FDI in Pakistan”, 20thAnnual PSDE Conference. Asiedu, E (2002), “ ’On The Determinants of FDI to Developing Countries: is Africa Different?’’, World Development, Vol 30 No 1, pp.107-19 Baltagi, BH (2005), “Econometric Analysis of Panel Data”, John Willey & Sons Ltd, Chicester, 3rd Edition. Basri, F (2002),”Perekonomian Indonesia;Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia”, Penerbit Erlangga, Jakarta BKPM (2006), “Studi Tentang Perbaikan Kebijakan Investasi di Republik Indonesia’, Jakarta _______(2008), “Data Perkembangan Penanaman Modal”, Jakarta BPS (1996),”Indikator Ekonomi”, Buletin statistik Bulanan Badan Pusat Statistik. ____(2007), ”Indikator Ekonomi”, Buletin statistik Bulanan Badan Pusat Statistik. ____(2009), ”Indikator Ekonomi”, Buletin statistik Bulanan Badan Pusat Statistik. Blanchard, O (2006), “Macroeconomics”, Pearson International Edition, 4th edition. Capello, R (2007), “Regional Economics”, Routledge, 1st edition. Departemen Keuangan (2007), “Pokok Kebijakan Ekonomi Makro”, Jakarta Erdal, F & E.Tatoglu (2001), “Locational Determinants of Foreign Direct Investment in an Emerging Market Economy: Evidence from Turkey”, Multinational Business Review, Vol.10, No.1. Firdaus, M (2006), “Impact of Investment Inflows on Regional Disparity in Indonesia”, Thesis of Universiti Putra Malaysia. Green,WH (2003), “Econometric Analysis”, Pearson Education International, New Jersey, 5thedition. Griffin, RW & MW.Pustay (2007),“International Business”, Pearson Education International, 5th edition. Gujarati, DN (1995), “Econometrics”, Prentice Hall, Singapore. 3rd edition Hidayat, S (ed) (2004), “Kegamangan Otonomi Daerah”, Pustaka Quantum, Jakarta.
75
_________(2010), “Mengurai Peristiwa-Meretas Karsa; Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, Jurnal Prisma, Vol.29 No. 3. KPPOD (2002), ‘Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota; Studi Kasus di 90 Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2001’, Publikasi Penelitian, Jakarta ------------(2003), “Daya Tarik Investasi 134 Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2002; Persepsi Dunia Usaha’, Publikasi Penelitian, Jakarta ________(2004), “Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2002 Persepsi Dunia Usaha; Peringkat 200 Kabupaten/Kota di Indonesia’, Publikasi Penelitian, Jakarta. ________(2005), “Daya Tarik Investasi 214 Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2004 Persepsi Dunia Usaha; ’, Publikasi Penelitian, Jakarta ________(2006), “Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2005 Persepsi Dunia Usaha; Peringkat 169 Kabupaten dan 59 Kota di Indonesia’, Publikasi Penelitian, Jakarta. Hidayat, S (2010), “Mengurai Peristiwa-Meretas Karsa; Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, Jurnal Prisma, Vol.29 No. 3. Lutfi (2006), “Analisa Pengaruh Foreign Direct Investment (FDI) dan Ekspor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi’’, Paper CIDES. Maddick, H (1963), “Democracy, Decentralization and Development’’, Asia Publishing House, Bombay, India. Mankiw, R (2006), “Makroekonomi (terj)”, Penerbit Erlangga, Jakarta, edisi kelima. McCann, P (2001),” Urban and Regional Economics”, Oxford University Press, 1st Edition. Panayotou, T (1998), “The Role of The Private Sector in Sustainable Infrastructure Development”, Yale F & S Bulletin, Number 101. Prawiro, R (2004 ),” Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi; Pragmatisme dalam Aksi”, PT. Primamedia Pustaka, Jakarta. Sarwedi (2002), “Investasi Asing Langsung di Indonesia dan Faktor yang Mempengaruhinya”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 4 No. 1 hal.17-35 Tsen, WH (2006), ‘FDI in Manufacturing Industry of Malaysia:an Empirical Study ”, UNITAR E-Journal, Vol.2 No. 2
76
Udo, EA & Obiora (2006), “ Determinants of FDI and Economic Growth in The West African Monetary Zone: A System Equation Approach’’ University of Ibadan. (available at http://www.gtap.agecon.purdue.edu/resources/download/2547.pdf/) Vittorio, D & Ugo, M (2008), “Organized Crime and Foreign Direct Investment: the Italian Case”, MPRA Paper, No.7217 Waluyo, J (2007), “Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Indonesia”, Makalah Diskusi di Wisma Makara Kampus UI Depok. Wee, TK (1993), ‘Industrialisasi di Indonesia; Beberapa Kajian’, LP3ES, Jakarta Wooldridge, JM (2002), “Econometric Analysis of Cros Section and Panel Data’’, The MIT Press, Cambridge, USA http://www.kppod.org/index.php?option=com_content&view=article&id=5&Itemid=9 http://www.ipkindonesia.org/report/2005/02/19/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2004 http://www.ipkindonesia.org/report/2007/01/21/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2006 http://www.ipkindonesia.org/report/2009/01/21/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2008 http://sanjoyo55.wordpress.com/2009/03/04/model-panel-data/
77
Daftar Pustaka : International Business (Griffin) Investment Mankiw Blanchard Donbursch Indikator Ekonomi, Buletin statistik Bulanan Badan Pusat Statistik, Juni 2009, Agustus 2007 & januari 1996. Gujarati Depkeu, pokok kebijakan ekonomi makro 2007.
LANJUTAN LAMPIRAN 1
•
FIXED EFFECT MODEL Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG(PDRBRK?) LOG(WAGE?) LOG(INFLASI?) PGROAD? LOG(LISTR?) PELAB? EDUC? CRIME? OTDA? Fixed Effects _NAD—C _SUMUT—C _SUMBAR—C _RIAU—C _JAMBI—C _SUMSEL—C _BENGKULU—C _LAMPUNG—C _DKI—C _JABAR—C _JATENG—C _DIY—C _JATIM—C _BALI—C _NTB—C _NTT—C _KALBAR—C _KALTENG—C _KALSEL—C _KALTIM—C _SULUT—C _SULTENG—C _SULSEL—C _SULTRA—C _MALUKU—C _PAPUA—C
1.059242 -0.005649 -0.732373 3.393428 0.811087 3.65E-06 0.001609 -0.295273 -0.017696
0.632534 0.001013 0.136614 0.771123 0.323359 1.80E-06 0.005450 0.592413 0.003231
1.674602 -5.578706 -5.360912 4.400631 2.508321 2.023903 0.295199 -0.498425 -5.477407
0.0949 0.0000 0.0000 0.0000 0.0126 0.0437 0.7680 0.6185 0.0000
-51.13495 -51.70433 -51.78623 -50.78557 -50.57611 -50.82302 -49.65523 -49.88969 -55.65711 -50.02178 -49.85140 -55.21276 -51.58537 -50.33414 -49.46572 -50.23332 -52.01931 -52.69620 -52.31776 -54.09574 -50.15457 -52.87533 -51.47717 -50.81693 -49.13260 -52.95313
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.978661 0.976705 1.596555 2063.839 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
14.21314 10.46054 917.6357 1.933897
0.620974 0.586230 1.603721 1.923474
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
10.64361 2.493154 925.8919
Unweighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
LAMPIRAN 1 ; HASIL OUTPUT EVIEWS •
Pooled Least Square
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PDRBRK?) LOG(WAGE?) LOG(INFLASI?) PGROAD? LOG(LISTR?) PELAB? EDUC? CRIME? OTDA?
-14.46454 1.243446 -0.006940 -0.329709 0.538491 0.419398 8.34E-06 0.018882 -0.307250 -0.006320
3.972576 0.111869 0.001679 0.270348 0.274032 0.446261 4.04E-06 0.019846 0.205910 0.008118
-3.641097 11.11518 -4.134547 -1.219575 1.965067 0.939805 2.066772 0.951451 -1.492157 -0.778471
0.0003 0.0000 0.0000 0.2234 0.0501 0.3479 0.0394 0.3420 0.1365 0.4368
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.510463 0.498990 1.764707 44.49054 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
10.64361 2.493154 1195.849 1.501764
LANJUTAN LAMPIRAN 1 •
RANDOM EFFECT Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PDRBRK?) LOG(WAGE?) LOG(INFLASI?) PGROAD? LOG(LISTR?) PELAB? EDUC? CRIME? OTDA? Random Effects _NAD--C _SUMUT--C _SUMBAR--C _RIAU--C _JAMBI--C _SUMSEL--C _BENGKULU--C _LAMPUNG--C _DKI--C _JABAR--C _JATENG--C _DIY—C _BALI--C _NTB--C _NTT--C _KALBAR--C _KALTENG--C _KALSEL--C _KALTIM--C _SULUT--C _SULTENG--C _SULSEL--C _SULTRA--C _MALUKU--C _PAPUA--C
-20.30539 1.293599 -0.005658 -0.509178 0.958199 0.754312 3.49E-06 0.006595 -0.369764 -0.015252
6.245290 0.208313 0.001726 0.259479 0.464061 0.398034 4.59E-06 0.026271 0.399846 0.007767
-3.251312 6.209871 -3.277820 -1.962312 2.064813 1.895095 0.760232 0.251035 -0.924767 -1.963873
0.0013 0.0000 0.0011 0.0504 0.0396 0.0588 0.4476 0.8019 0.3557 0.0503
0.070124 -0.231949 -0.276296 1.710772 0.074377 0.349534 0.777510 0.425458 -0.749946 0.727737 0.227734 -0.905078 0.886746 0.425656 -0.711774 -0.466659 -0.678082 -0.544097 -0.522166 0.557242 -1.401646 -0.563862 -0.141691 0.817036 -0.306789
GLS Transformed Regression R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
0.594848 0.585353 1.605420 1.801114
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
10.64361 2.493154 989.7111
0.613315 0.604252 1.568406 1.887127
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
10.64361 2.493154 944.6011
Unweighted Statistics including Random Effects R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
LAMPIRAN 2 : INDEX PERSEPSI KORUPSI TAHUN 2004-2008
No
Kota
Propinsi
2004
2006
2008
DKI Jakarta
3,87
4
4,06
2 Surabaya
Jatim
3,93
4,4
4,26
3 Medan
Sumut
4,09
4,67
3,84
4 Semarang
Jateng
4,17
5,28
4,58
5 Batam
Kepri
4,32
4,51
4,44
6 Pekanbaru
Riau
4,37
4,43
3,55
7 Denpasar
Bali
4,44
3,67
4,25
8 Yogyakarta
DIY
4,51
5,59
6,43
9 Tangerang
Banten
4,54
4,51
10 Balikpapan
Kaltim
4,59
5,1
4,86
Jabar
4,61
4,27
3,87
12 Palembang
Sumsel
4,67
4,6
3,87
13 Solok
Sumbar
4,7
5,51
14 Padang
Sumbar
4,83
5,39
15 Tanah Datar
Sumbar
4,87
5,66
16 Manado
Sulut
5,12
4,87
17 Kota Baru
Kalsel
5,23
4,94
18 Cilegon
Banten
5,28
3,85
4,57
19 Makassar
Sulsel
5,31
5,25
4,7
20 Banjarmasin
Kalsel
5,39
4,93
5,11
21 Wonosobo
Jateng
5,63
5,66
1 Jakarta
11 Bekasi
22 Palangkaraya
4,64
3,98
Kalteng
6,61
23 Pare-pare
Sulsel
5,66
24 Kupang
NTT
5,51
2,97
25 Ambon
Maluku
5,28
4,32
NAD
4,69
5,87
NTT
4,21
Maluku Utara
4,02
26 Banda Aceh 27 Larantuka 28 Tual
6,1
29 Pontianak
Kalbar
3,95
3,81
30 Gorontalo
Gorontalo
3,44
4,83
31 Mataram
NTB
3,42
5,41
32 Maumere
NTT
3,22
33 bandar lampung
Lampung
4,58
34 Palu
Sulteng
4,5
35 Bengkulu
Bengkulu
4,46
36 Bandung
Jabar
3,67
37 Mamuju
Sulbar
4,08
38 Jambi
Jambi
5,57
39 Samarinda
Kaltim
5,03
40 Jayapura
Papua
5,01
41 Pangkal Pinang
Babel
5,03
Maluku Utara
5,01
43 Surakarta
Jateng
5,35
44 Tasikmalaya
Jabar
5,12
45 Malang
Jatim
5
46 Jember
Jatim
4,96
47 Kediri
Jatim
4,9
48 Sampit
Kalbar
4,6
49 Sorong
Papua
4,39
50 Tenggarong
Kaltim
4,38
51 Tanjung Pinang
Kepulauan Riau
4,35
52 Sibolga
Sumatera Utara
4,25
NAD
4,14
Sumatera Utara
3.,96
55 Kendari
Sultra
3,43
56 Manokwari
Papua
3,39
57 Tegal
Jateng
3,32
58 Purwokerto
Jateng
3,54
Sumatera Utara
3,66
Jawa Barat
3,82
42 Ternate
53 Lokseumawe 54 Pematang Siantar
59 Padang Sidempuan 60 Cirebon
Sumber : Transparancy International Indonesia
LAMPIRAN 3 :DATA PERDA YANG DIKAJI PEMERINTAH PUSAT
No
Wilayah
2001-2006
2007
2008
Jumlah
1
NAD
10
22
1
33
2
Sumatera Utara
99
70
37
206
3
Sumatera Barat
48
32
11
91
4
Riau
41
23
0
64
5
Kepulauan Riau
6
4
3
13
6
Jambi
37
15
2
54
7
Sumatera Selatan
21
19
0
40
8
Bangka Belitung
11
28
0
39
9
Bengkulu
21
4
2
27
10
Lampung
26
0
0
26
11
DKI Jakarta
1
0
0
1
12
Jawa Barat
65
62
20
147
13
Banten
20
17
6
43
14
Jawa Tengah
70
46
6
122
15
DI Yogyakarta
30
6
6
42
16
Jawa Timur
68
82
49
199
17
Kalimantan Barat
31
19
8
58
18
Kalimantan Tengah
48
49
5
102
19
Kalimantan Selatan
41
19
3
63
20
Kalimantan Timur
39
24
1
64
21
Sulawesi Utara
24
10
0
34
22
Gorontalo
21
12
2
35
23
Sulawesi Tengah
31
1
17
49
24
Sulawesi Selatan
80
30
0
110
25
Sulawesi Barat
7
10
0
17
26
Sulawesi Tenggara
15
15
0
30
27
Bali
27
14
7
48
28
Nusa Tenggara Barat
41
35
2
78
29
Nusa
Tenggara
27
19
0
46
Timur 30
Maluku
16
12
0
28
31
Maluku Utara
5
5
0
10
32
Papua
11
44
3
58
33
Irian Jaya Barat
5
25
10
40
1043
773
201
2017
TOTAL
Sumber : Departemen Dalam Negeri
LAMPIRAN 4 : DATA PERDA YANG DIBATALKAN PEMERINTAH PUSAT
No
Wilayah
2002-2007
2008
Jumlah
1
NAD
14
0
14
2
Sumatera Utara
74
29
103
3
Sumatera Barat
27
8
35
4
Riau
36
5
41
5
Kepulauan Riau
4
0
4
6
Jambi
35
2
37
7
Sumatera Selatan
25
1
26
8
Bangka Belitung
9
6
15
9
Bengkulu
18
1
19
10
Lampung
33
2
35
11
DKI Jakarta
1
0
1
12
Jawa Barat
47
5
52
13
Banten
18
0
18
14
Jawa Tengah
37
3
40
15
DI Yogyakarta
9
3
12
16
Jawa Timur
50
38
88
17
Kalimantan Barat
26
2
28
18
Kalimantan Tengah
36
6
42
19
Kalimantan Selatan
22
7
29
20
Kalimantan Timur
27
4
31
21
Sulawesi Utara
23
2
25
22
Gorontalo
10
7
17
23
Sulawesi Tengah
28
1
29
24
Sulawesi Selatan
57
7
64
25
Sulawesi Barat
1
1
2
26
Sulawesi Tenggara
8
3
11
27
Bali
15
4
19
28
Nusa Tenggara Barat
32
11
43
29
Nusa
Tenggara
21
6
27
Timur 30
Maluku
11
1
12
31
Maluku Utara
7
0
7
32
Papua
6
13
19
33
Irian Jaya Barat
7
16
23
774
194
968
TOTAL
Sumber : Departemen Dalam Negeri