FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERLAMBATAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DIKELURAHAN TULADENGGI KECAMATAN DUNGINGI KOTA GORONTALO YUSDIN R. TAHIR JURUSAN ILMU HUKUM KEMASYARAKATAN PRODI : PKN INTISARI Kurangnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pembayaran pajak yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu terbatasnya pengetahuan dan pemahaman pajak, rendahnya tingkat pendidikan , belum ada sosialisasi tentang pajak dan peraturan perpajakan, sreta faktor latar belakang ekonomi. Selain itu, belum adanya upaya-upaya yang maksimal dari pemerintah kelurahan, terutama lurah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pajak serta partisipasi masyarakat dalam membayar pajak. Oleh karena itu, pemerintah kelurahan harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengatasi Faktor – faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan pembayaran pajak di Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Dungingi Kota Gorontalo. Kata kunci : Partisipasi Masyarakat, Pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan. PENDAHULUAN Pada dasarnya setiap Negara yang berkembang itu menitikberatkan pada yang namanya infrastruktur dan kesejahteraan masyarakatnya, hal ini dapat dibuktikan dengan gaya pertumbuhan ekonomi yang pesat pula. Maka semua itu akan terwujud dengan adanya dukungan dari masyarakat itu sendiri, terlepas dari permasalahan diatas, dimana pajak merupakan salah satu poin pendukung terselenggaranya pemerintahan yang baik (Good Governance). Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan pembangunan dan kelangsungan jalanya roda pemerintahan karena jumlahnya relative stabil. Dari sector pajak diharapkan partisipasi aktif masyarakat dalam membiayai rumah tangga Negara dan aktivitas pembangunan dapat diwujudkan secara nyata dengan melaksanakan sistem perpajakan. Melaksanakan sistem perpajakan di Indonesia tidaklah terlalu mudah, karena masyarakat Indonesia harus mengerti pajak dan cara-cara perhitunganya, agar tidak terjadi penyimpangan dan kesalahan dalam perhitungan maupun pembayaran pajak, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan peraturan berupa perundang-undangan perpajakan. Undang-undang tersebut mengatur mengenai halhal yang berhubungan dengan pajak, baik mengenai subjek dan objek pajak maupun tata cara penghitungan pajak. Pajak merupakan iuran kepada Negara yang dapat dipaksakan yang turutang oleh wajib pajak, menurut undang-undang yang berlaku dengan tidak mendapat prestasi kembali secara langsung atau dapat dinikmati secara langsung oleh wajib pajak yang ditujukan oleh pemerintah guna membiayai pengeluaran Negara, berkaitan dengan tugas negara untuk menyelengarakan pemerintahan. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia adalah “self assessment system”, dimana sistem ini memberikan kepercayaan dan tangggung jawab yang besar untu menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang teutang pada wajib pajak. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan berkewajiban melaksanakan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemenuhan kewajiban wajib pajak. Di Kota Gorontalo penerimaan PBB dari sektor perdesaan dan perkotaan merupakan penerimaan PBB yang cukup besar. Untuk tahun 2010, penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan sebesar Rp3.308.698.273 atau sekitar 30,66 persen dari total penerimaan daerah, (sumber data : DPPKAD). Pajak dipergunakan untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di Kota Gorontalo, yang semata-mata sebagai upaya untuk memaksimal terhadap penggalian sumber-sumber penerimaan dan pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh daerah.
Sehingga, ini menjadi tuntutan tersendiri terhadap masing-masing kelurahan yang ada di kota Gorontalo untuk dapat meningkatkan penerimaan daerah dari sector pajak, khususnya pajak bumi dan bangunan. Karena kita sadari ataupun tidak, pajak ini merupakan satu tonggak yang menentukan maju tidaknya pembangunan disuatu daerah, yang secara langsung ini dapat dinikmati oleh semua golongan masyarakat yang berada di kota gorontalo pada umumnya.
Di Kelurahan Tuladenggi Berdasarkan data awal yang diperoleh dari 920 (wajib pajak bumi dan bangunan) yang terbagi atas 2 lingkungan yakni : lingkungan 1: terdiri atas 315 (wajib pajak bumi dan bangunan) serta lingkungan 2: sejumlah 519 (wajib pajak bumi dan bangunan), yang kalau di hitung secara keseluruhan hanya 615 wajib pajak yang sudah membayar pajak atau sekitar 70%, dan masih tersisa 30% atau 305 yang belum membayar pajak, ( sumber data : Kasie Kesra Kelurahan Tuladenggi, Tahun 2012) . Ada beberapa faktor yang menyebabkan sehingga pajak ini tidak berjalan dengan lancar, antara lain yakni faktor ekonomi, kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak, sosialisasi akan perpajakan, peranan lurah terhadap peningkatan pajak, waktu pembayaran pajak. Pengertian pajak Berkaitan dengan definisi pajak, menurut Adriani (1948;22) belasting,de beffing, wear door de overheld zich door middle van juridische dwangmiddelen verchaft, om de publieke butgaven te bestriden, zulke zonder enige prestatie daartegenover te sellen (pajak ialah pungutan oleh pemerintah dengan paksaan yuridis, untuk mendapatkan alat-alat penutup bagi pengeluaran-pengeluaran umum (anggaran belanja) tanpa adanya jasa timbale khusus terhadapnya). Juga Anderson (1951;21) mengemukakan bahwa tax is a compulsory contribution, levied by the state (in the broad sense) upon persons property income and privileges for purposes of defraying the expences of government (pajak adalah pembayaran yang bersifat memaksa kepada Negara yang dibebankan pada pendapatan kekayaan seseorang yang diutamakan untuk mimbiayai pengeluaran pemerintah. Soemahamidjaja (1964;3) mengemukakan bahwa pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Demikian pula halnya oleh Soemitro (1977;22) yang menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbale (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membiayai penggunaan umum. Bohari (2004;25-26) menyatakan bahwa melihat definisi yang dikemukakan oleh para sarjana, maka “unsur-unsur” yang terdapat dalam definisi tersebut adalah sebagai berikut. 1. Pajak adalah suatu iuran atau kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan (pendapatan) kepada Negara. Dapat dikatakan bahwa pemerintah menarik sebagian daya beli rakyat untuk Negara; 2. Perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib, dalam arti bahwa bila kewajiban itu tidak dilaksanakan, maka dengan sendirinya dapat dipaksakan, artinya; utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti surat paksa dan sita; 3. Perpindahan itu berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum. Sekiranya pemungutan pajak tidak didasarkan pada undang-undang atau peraturan, ini tidak sah dan dianggap sebagai perampasan hak; 4. Tidak ada jasa timbale (tegen prestasi) yang dapat ditunjuk. Artinya bahwa antara pembayaran pajak dengan prestasi dari Negara tidak ada hubungan langsung. Prestasi dari Negara seperti, hak untuk mendapatkan perlindungan dari alat-alat Negara, hak penggunaan jalan umum, hak untuk mendapatkan pengajaran dan sebagainya. Prestasi tersebut tidak secara langsung kepada individu pembayar pajak, tetapi ditujukan secara kolektif atau kepada anggota masyarakat secara
keseluruhan. Bahkan orang miskin mungkin lebih banyak menggunakan prestasi dari Negara dibandingkan dengan orang kaya seperti dalam hal penggunaan sarana kesehatan; 5. Uang yang dikumpulkan tadi oleh Negara digunakan untuk membiayai pengeluaran umum, yang berguna untuk rakyat,seperti pembuatan jalan, jembatan, gedung, gaji untuk pegawai negeri termasuk ABRI, dan seterusnya. Kemudian, lima belas tahun setelah itu, Rochmat Soemitro (1992;12-13) memandang bahwa pajak dapat ditinjau dari aspek ekonomis dan aspek hukum. Pengertian pajak dari aspek ekonomis adalah peralihan kekayaan dari sector swasta ke sector public berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditujukkan, yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan Negara. Sementara itu, pengertian pajak dari aspek hukum adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (tatsbentand) untuk membayar sejumlah uang kepada (kas) Negara yang dapat dipaksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara (rutin dan pembangunan) dan yang digunakan sebagai alat (pendorong atau penghambat) untuk mencapai tujuan diluar bidang keuangan Negara. Pajak adalah perikatan oleh wajib pajak dengan Negara tanpa tegenprestasi secara langsung dan bersifat memaksa sehingga penagihannya dapat dipaksakan. Sebenarnya, pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang bernuansa public sehingga bersifat memaksa. Pajak berada dalam pengawasan pejabat pajak sebagai pihak yang mewakili Negara dan tidak ada tegenprestasi secara langsung kepada wajib pajak. Sifat yang dimiliki oleh pajak adalah bersifat memaksa dan terjelma dari aspek penagihan dengan ancaman hukum berupa sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Pajak yang juga disebut fiscal adalah keseluruhan dari peraturan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintahan untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum public, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara Negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak selanjutnya sering disebut wajib pajak. Tugasnya adalah menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat di hubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskan dalam peraturan-peraturan hukum dan menafiskan peraturan-peraturan hukum ini dalam pada itu adalah penting sekali bahwa tidak harus diabaikan begitu saja latar belakang ekonomis dari keadaankeadaan dalam masyarakat tersebut . Hukum pajak memuat pula unsur-unsur hukum tata Negara dan hukum pidana dengan cara pidananya . dalam lapangan lain dari hukum administratif, unsur-unsur tadi tidak begitu nampak seperti dalam hukum pajak ini juga peradilan administratifnya di atur dengan sangat rapinya. Justru inilah di tambah dengan luasnya lapangannya karena karena eratnya hubunganya dengan kehidupan ekonomi , maka dalam abad ini banyak sarjana hukum, sarjana ekonomi dan para cardik pandai lainnya yang men curahkan perhatiannya yang cukup terhadap hukum pajak ini yang kini makin dalam beberapa Negara telah merupakan ilmu yang berdiri tersendiri. Yang terutama menarik perhatian para cadikiawan adalah seringnya berubah yang terdapat pada kehidupan ekonomi dalam masyarakat dimana perubahan ini mengharuskan pengubahan peraturanperaturan pajaknya. Demikianah halnya dengan Negara-negara yang telah maju juga dalamnya caranya mengatur pajaknya yang telah dapat menyesuaikan segala perubahan terutama yang termasuk dalam lapangan perekonomian. Soemitro,SH, dalam bukunya dasar-dasar hukum pajak pendapatan adalah sebagai berikut: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat jasa-jasa timbale (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum”, dengan penjelasan sebagai berikut : “Dapat dipaksakan “ artinya: bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan; terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukan jasa timbal-balik tertentu, seperti hal dengan retribusi. Definisinya yang kemudian dipertahankan (sebagai koreksi dari bagian pertama dari definisinya semula) dapat disimpulkan dari uraian dalam bukunya yang berjudul Pajak Dan Pembangunan, Eresco, 1974, halaman 8. Definisinya tersebut kurang lebih dapat berbunyi sebagai berikut: “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan „surplus‟-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”. Perlu kiranya dicatat bahwa definisi-definisi tersebut umumnya kurang lengkap, bahkan seperti halnya pula dengan Adriani, ia baru kemudian didalam bukunya termasuk (seperti juga smeets) mengupas panjang-lebar tentang fungsi mengatur. Padahal, communis opinion doctorum menyatakan bahwa sebaik-baiknya suatu definisi adalah bila ia memuat semua ciri yang melekat pada pengertian yang akan dibuatkan pembatasanya setidak-tidaknya definisi tersebut karenanya sudah mendekati kesempurnaan. Dari beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa pajak ialah : iuran kepada Negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh wajib pajak, menurut undang-undang dan peraturan undang-undang yang berlaku dengan tidak mendapat prestasi kembali secara langsung atau dapat dinikmati secara langsung oleh wajib pajak yang ditujukan oleh pemerintah guna membiayai pengeluaran Negara, berkaitan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Sedangkan sitem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia adalah “self assessment system”, dimana sistem ini memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan berkewajiban melaksanakan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Pengertian Pajak Bumi Dan Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994 tanggal 9 November 1994. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu jenis pajak yang hasil penerimaannya disumbangkan kepada pemerintah daerah. PBB pengelolaannya diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak dengan unit operasionalnya adalah kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB). Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak langsung, sehingga pemungutannya langsung langsung kepada wajib pajak, dan saat terutangnya pada awal tahun berikutnya. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak objekif, sehingga obyek pajaknya berupa tanah dan atau bangunan menentukan terutang pajak atau tidak (Boediono,1997). Pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan saat ini berdasarkan dengan Undangundang Nomor 12 Tahun 1994, sebagai pengganti Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang tersebut, bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 tentang pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Hal yang mendasar dan yang sangat penting dalam penarikan Pajak Bumi dan Bangunan didasarkan pada fakta, bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya, pemerintah membutuhkan biaya yang sangat besar dalam rangka mensukseskan pembangunan yang berjalan. Untuk mendapatkan biaya tersebut dapat ditempuh dengan berbagai jalur, antara lain dengan penarikan pajak. Pajak ini merupakan potensi yang harus terus digali dalam menambah penerimaan daerah dikarenakan obyek pajak ini adalah bumi dan bangunan yang jelas sebagian besar masyarakat memilikinya. Hanya saja pemungutan PBB sering kali mendapatkan hambatan, baik mulai sosialisasi kepada masyarakat yang sempit mengenai pajak sampai metode pemungutannya yang kurang efektif dan efisien dan lain sebagainya. Kewenangan dalam penetapan Pajak Bumi dan Bangunan tetap merupakan tugas dan tanggung jawab Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang secara konsultatif fungsional melakukan kegiatan pembinaan dan mempuyai tanggung jawab dalam rangka meningkatkan sumbersumber Pendapatan Daerah termasuk Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam sistem self assessment, wajib pajak memiliki hak yang tidak boleh diintervensi oleh pejabat pajak, kecuali hanya memberikan pelayanan dengan cara bagaimana wajib pajak menggunakan hak tersebut. Sistem self assessment mengandung kosekuensi terhadap pejabat pajak dan wajib pajak dalam kaitan penerapannya. Pejabat pajak yang bertugas mengelola pajak pusat atau pajak daerah yang bersifat pasif dan wajib pajak bersifat aktif. Keaktifan wajib pajak adalah untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan menyetor jumlah pajak yang terutang. Keaktifan wajib pajak sangat dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban berupa mengisi secara benar, jelas, lengkap dan menandatangani surat pemberitahuan, baik surat pemberitahuan masa maupun surat pemberitahuan tahunan sebagai sarana hukum untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan menyetor pajak yang terutang sebaliknya, pejabat pajak yang berugas mengelola pajak pusat atau pajak daerah hanya sekedar memberikan bimbingan agar wajib pajak memenuhi kewajiban dan menjalankan hak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sekalipun pejabat pajak yang bertugas mengelola pajak pusat atau pajak daerah hanya memberi bimbingan kepada wajib pajak untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya, kalau terjadi pelanggaran dalam pemenuhan kewajiban dan menjalankan hak, pejabat pajak yang bertugas mengelola pajak pusat atau pajak daerah berwenang mengenakan saksi hukum berdasarkan tingkat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh wajib pajak. Pejabat pajak yang bertugas mengelola pajak pusat atau pajak daerah tidak terlibat dalam penentuan jumlah pajak yang terhutang sebagai beban yang dipukul oleh wajib pajak, melainkan hanya mengarahkan cara bagaimana wajib pajak, melainkan hanya mengarahkan cara bagaimana wajib pajak memenuhi kewajiban dan menjalankan hak agar tidak terjadi pelanggaran hukum. Penerapan sistem self assessment dapat ditemukan dalam pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Kesadaran Masyarakat Dalam Membayar Pajak Kesadaran masyarakat dalam membayar pajak merupakan sikap dan perilaku yang ditunjukkan secara wajar oleh seseorang (manusia) secara umum, sebagai bentuk kesadaran pada adanya pemahaman terhadap pajak, yang didasarkan karena adanya hak dan kepentingan manusia tentang apa arti dan seharusnya pajak itu, dan bagaimana mematuhi maupun mentaati hukum tanpa harus ada unsur paksaan. Dan dalam hal ini Soekanto, (1982 : 125-256, 1983 : 96) mengemukakan empat indikator tentang kesadaran membayar pajak yaitu :
1. 2. 3. 4.
Pengetahuan tentang pajak, Pemahaman tentang pajak, Sikap terhadap pajak, dan Perilaku pajak.
Dalam membahas tentang kesadaran hukum masayarakat, terdapat hubungan yang sangat erat antara penegak hukum, masyarakat, sarana pendukung, budaya dan undang-undang. Sebagaimana pendapat Soekanto tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, ( Soekanto,2004:8), yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undang-undang. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Faktor sarana atau fasilitas, yang mendukung penegakan hukum. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Sehingga untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam rangka penegakan hukum saja sepertinya mengalami kesulitan untuk mencari solusinya, dan tidak dapat memilih atau menentukan faktor mana yang akan didahulukan agar tujuan hukum dapat tercapai yaitu untuk mendapatkan atau menciptakan “ketertiban dan keadilan”. Aspek ketertiban masyarakat mungkin dapat tercapai sejauh para penegak hukumnya dapat bertindak dengan tegas dan cepat dalam menyelesaikan tugasnya melakukan penegakan hukum, namun bicara soal keadilan maka jawabannya adalah “relatif” karena keadilan belum tentu dapat memuaskan semua pihak, bagi yang merasa diuntungkan, tidak dirugikan, dilayani dengan baik pasti akan mengatakan bahwa petugas penegak hukum telah bertindak proporsional, professional, adil dan bertanggung jawab dan sejumlah pujian lainnya yang dialamatkan ke institusi penegak hukum, tetapi bagaimana dengan mereka yang kalah, para pelanggar hukum, yang merasa dirugikan, dan mungkin tidak dilayani dengan baik sebagaimana mestinya dll, maka mereka spontan mengatakan bahwa para penegak hukum bertindak tidak adil, kena suap, KKN, dan mengeluarkan kata-kata atau perasaan tidak puas. kesadaran hukum adalah kesadaran bahwa hukum itu melindungi kepentingan manusia dan oleh karena itu harus dilaksanakan serta pelanggarnya akan terkena sanksi. Pada hakekatnya kesadaran hukum adalah kesadaran akan adanya atau terjadinya “kebatilan” atau “onrecht”, tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu. Hukum memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakatnya, karena hukum itu sendiri merupakan sarana pengatur masyarakat dan bekerjanya di dalam masyarakat, sama halnya dengan pajak, pajak juga memiliki keterkaitan yang sama, sebab pajak juga tumbuh dan berkembang di masyarakat. Itulah sebabnya, hukum itu tidak telepas dari gagasan maupun pendapat-pendapat yang hidup dikalangan masyarakat. Struktur masyarakat dapat menjadi penghambat sekaligus dapat memberikan sarana- sarana social, sehingga memungkinkan hukum dapat diterapkan dengan sebaikbaikanya. Hubungan fungsional antara sistem hukum dan masyarakatnya diuraikan oleh Emile Durkheim yang membedakan antara masyarakat dengan “solidaritas mekanik” dengan masyarakat “solidaritas organic”. Masyarakat dengan solidaritas mekanik mendasarkan diri pada sifat kebersamaan antara anggota-anggotanya. Di sini tipe hukumnya bersifat “represif” karena hukum yang demikian itu mampu mempertahankan kebersamaan tersebut. Sebaliknya, masyarakat dengan solidaritas organic, lebih mendasarkan diri pada individualisme dan kebebasan para angota-anggotanya. Sistem hukum “restitutif” merupakan hukum yang sesuai untuk menjaga kelangsungan masyarakat dengan solidarotas organic.
Hubungan antara perkembangan hukum dengan perkembangan masyarakat ini juga diuraiakan oleh H.L.A. Hart. Hart bahkan memperkenalkan adanya dua tipe masyarakat, yaitu tipe masyarakat yang didasarkan atas primary rules of obligation dan secondary rules obligation. Di dalam masyarakat tipe yang pertama, kita tidak menemukan peraturan yang terperinci dan resmi. Disini dijumpai adanya diferensiasi dan spesialisasi badan-badan penegak hukum. Hal ini disebabkan masyarakatnya masih merupakan komunitas kecil yang didasrkan atas kekerabatan, Mekanisme kontrol social yang demikian, bagi kelompok masyarakat ini, dianggap sudah dapat berfungsi efektif. Sedangkan di dalam tipe masyarakat yang kedua sudah ditemui adanya diferensiasi dan institusional dibidang hukum, seperti rules of recognition yang yang menentukan apa yang merupakan hukum, dan rules of adjudication yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa.
Kesadaran hukum adalah sumber segala hukum yang dipahami dan siap dijalankan. Dengan perkataan lain kesadaran hukum itu ada pada setiap manusia, karena setiap manusia berkepentingan kalau hukum itu dilaksanakan, dihayati karena dengan demikian kepentingannya akan terlindungi. Kalau hukum itu dilaksanakan atau dihayati, tidak dilanggar, maka kepentingan saya, kepentingan orang lain, kepentingan masyarakat terlindungi. Dengan demikian kesadaran hukum bukan monopoli dari sarjana hukum saja, bukan hanya harus dimiliki oleh hakim, jaksa dan polisi saja, tetapi pada dasarnya ada pada diri setiap manusia baik ia terpelajar maupun tidak. Robert B. Seidman menyatakan bahwa tindakan apapun yang akan diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun pembuat undang-undang selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan social, budaya ekonomi dan politik, dan lain sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan social itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturanperaturan yang berlaku, menerapakan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh aktivitas lembaga-lembaga pelaksanaannya. Dengan demikian, peranan yang pada akhirnya dijalankan oleh lembaga dan pranata hukum itu merupakan hasil dari bekerjanya berbagai macam faktor. Dengan mengajuakan beberapa model tersebut dapatlah dikatakan bahwa, perkembangan masyarakat ikut menentukan tipe hukum mana yang berlaku. Hubungan fungsional antara keduanay merupakan dasar bagi penegakan hukum. Itu berarti, apabila masyarakatnya sudah tergolong modern, makapola penegakan hukumnya pun ditandai adanya unsur birokrasi yang merupakan salah satu ciri dari masyarakat tersebut. Sifat birokratik merupakan salah satu ciri yang sanagt menonjol dari masyarakat modern. Oleh karena itu penegakan hukum yang bersifat birokratis merupakan jawaban bagi masyarakat modern dalam membuat keputusan-keputusan yan memiliki tingkat rasionalitas tinggi. Hukum modern yang memiliki ciri formal dan rasional hanya dapat terlaksana, apabila ada dukungan administrasi yang juga semakin rasional. Demikian pula, penegakan hukum yang demikan itu menjadi efektif apabila masyarakat yang menjadi basis social bekerjanya hukum itu pun merupakan masyarakat yang tidak lagi bersifat tradisional atau kharismatis. Perkembangan hukum yang diikuti dengan perkembangan masyarakat, tampaknya tidak terjadi dalam masyarakat Indonesia. Semenjak bangsa Indonesia memploklamirkan kemerdekaanya pada tanggal 17 agustus 1945, maka tahap perkembangan masyarakat yang semula adalah feodalisme. Menuju masyarakat yang berdasarkan konstitusi. Mulai saat itu hukum memiliki cirri-ciri modern, antara lain bersifat tertulis, universal, dan bersifat territorial. Perkembangan hukum yan demikian itu tidak diiringi dengan perkembangan masyarakatnya. Akibatnya, nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tetap dan tidak berubah. Keadaan yang demikian itu tampak berpengaruh dalam proses penegakan hukum hingga saat ini. Semestinya hukum dianut di Indonesia harus sarat dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kalau demikian halnya, maka hukum bolehlah disebut sebagai sitem nilai. Kegagalan untuk
mewujudkan salah satu nilai tersebut bukan hanya berdampak pada timbulnya sistem hukum yang tidak baik, melainkan hukum yang dibuat dan diterapkan itu pun tidak bermakna dimasyarakat.
Faktor faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum masyarakat
Jika pembicaraan kita tentang warga Negara sebagai anggota masyarakat dan kita pun ingin menjawab secara lengkap mengenai pertanyaan bagaimana kesadaran hukum mereka. Sudah tentu, ketika akan berhadapan dengan faktor-faktor yang cukup kompleks sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya. Jadi,sebenarnya masalah timbulnya kesadaran hukum masyarakat sangat dipengaruhi oleh bekerjanya berbagai faktor dan kekuatan. Dalam hal ini kita dapat mengatakan,bahwa tindakan yang akan dilakukan oleh warga negara sabagai responsnya terhadap peraturan hukum sangat tergantung pada isi norma hukum itu sendiri,sangsi-sangsinya aktifitas para pelaksana hukum searta semua faktor-faktor ekstra yuridis yang bekerja atas dirinya. Dengan demikian, harus dapat di pahami bahwa setiap undang-undang yang di keluarkan atau di buat akan mengalami perubahan baik melalui perubahan formal maupun melalui cara-cara yang di tempuh birokrasi ketika bertindak. Perubahan itu terjadi oleh adanya kekuatankekuatan sosial,ekonomi dan sebagainya yang bekerja memberikan inpaknya. Alur bekerjanya hukum dalam berbagai lingkup dan kekuatan itu dapat di cermati melalui bagan yang di buat oleh siedman.
bekerjanya kekuatankekuatan personal & sosial
Nm
Pembuat Undang-Undang
Penegak Bekerjanya kekuatanHukum
Penerapan sanksi
Kekutan personal & social
Ub
Pd
Ub
Pemegang Bekerjanya kekuatanPeran
kekuatan personal
& social
Keterangan: Ub = umpan balik, Nm = Norma, dan Pd = peran yang dimainkan Dari bagan tersebut kita dapat memahami bahwa bekerjanya hukum itu sangat di tentukan oleh beberapa faktor penting, yaitu: 1. Peraturan-peraturan hukumnya 2. Badan pembuat undang-undang 3. Badan pelaksana hukum (sanctioning agencies) 4. Masyarakat sebagai sasaran pengaturan (dalam diagram dikualifikasikan sebagai pemegang peran,yang berarti peranannya di masyarakat di tentukan oleh apa yang di rumuskan di dalam peraturan) 5. Proses penerapan hukum 6. Komunikasi hukumnya 7. Kompleks kekuatan social –politik dan lain-lain yang bekerja atas diri pembuat undangundang,birokrat (pelaksana hukum) maupun masyarakat sendiri sebagai pemegang peran 8. Proses umpan balik antara semua kompenen tersebut.
Salah satu sumber bagi tidak di taatinya suatu peraturan adalah pelaksana hukum di samping faktor kominikasi hukumnya juga. Dalam penginplementasian sanksi yang telah dirumuskan dalam suatu peraturan oleh faktor komunikasi yang baik untuk memperkenalkan produk hukum seluruh perangkat pelaksanaannya.
faktor inkonsistensi dalam konteks ini tampak bahwa hukum, sangat di tentukan itu kepada masyarakat dan
Selain faktor komunikasi pelaksanaan hukum yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dan konsekuen juga akan sangat menentukan proses bekerjanya hukum itu. Suatu hal yang tak bisa di pungkiri ialah bahwa masih saja kita jumpai adanya keengganan dalam menerapkan ketentuan atau sanksi yang sudah di tentukan,dan kebiasaan-kebiasaan lain yang kurang membantu sikap warga masyarakat dalam menaati hukum. Hukum memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakatnya karena hukum itu sendiri merupakan sarana pengatur masyarakat dan bekerja di dalam masyarakat. Itulah sebabnya, hukum tidak terlepas dari gagasan maupun pendapat-pendapat yang hidup dikalangan masyarakat. Struktur masyarakat dapat menjadi penghambat sekaligus dapat menberikan sarana-sarana social, sehingga memungkinkan hukum dapat di terapkan sebaik-baiknya. Menurut ilmu hukum, bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk menciptakan “ketertiban dan keadilan”. Atau dapat dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (van Apeldoorn), untuk itu harus ada keseimbangan dalam melindungi kepentingankepentingan yang ada dalam masyarakat, yang meliputi : kepentingan individu (pribadi), kepentingan publik, dan kepentingan sosial (Roscoe Pound). Sementara itu keadilan adalah berkaitan dengan hak seseorang, yang tentunya akan berbeda satu sama lain, akan berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya, akan berbeda antara kelompok atau golongan yang satu dengan golongan yang lain, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa ada pengaturan dan perlakuan yang berbeda bagi golongan yang berbeda, dan bila menyangkut hak seseorang maka tidak mungkin ada perlakuan yang sama, bahkan justru dianggap tidak adil bila diatur dan diperlakukan sama rata Kesadaran hukum merupakan sikap dan perilaku yang ditunjukkan secara wajar oleh seseorang (manusia) secara umum, sebagai bentuk kesadaran pada adanya pemahaman terhadap hukum, yang didasarkan karena adanya hak dan kepentingan manusia tentang apa arti dan seharusnya hukum itu, dan bagaimana mematuhi maupun mentaati hukum tanpa harus ada unsur paksaan. Dan dalam hal ini Prof. Dr. Soerjono Soekanto,SH,MH, (1982 : 125-256, 1983 : 96) mengemukakan empat indikator tentang kesadaran hukum, yaitu : 1. 2. 3. 4.
Pengetahuan tentang hukum, Pemahaman tentang hukum, Sikap terhadap hukum, dan Perilaku hukum.
Dalam membahas tentang kesadaran hukum masayarakat, terdapat hubungan yang sangat erat antara penegak hukum, masyarakat, sarana pendukung, budaya dan undang-undang. Sebagaimana pendapat Soerjono Soekanto tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, (Soerjono Soekanto,2004:8), yaitu : 1. 2. 3. 4.
Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undang-undang. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Faktor sarana atau fasilitas, yang mendukung penegakan hukum. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Sehingga untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam rangka penegakan hukum saja sepertinya mengalami kesulitan untuk mencari solusinya, dan tidak dapat memilih atau menentukan faktor mana yang akan didahulukan agar tujuan hukum dapat tercapai yaitu untuk mendapatkan atau menciptakan “ketertiban dan keadilan”. Aspek ketertiban masyarakat mungkin dapat tercapai sejauh para penegak hukumnya dapat bertindak dengan tegas dan cepat dalam menyelesaikan tugasnya melakukan penegakan hukum, namun bicara soal keadilan maka jawabannya adalah “relatif” karena keadilan belum tentu dapat memuaskan semua pihak, bagi yang merasa diuntungkan, tidak dirugikan, dilayani dengan baik pasti akan mengatakan bahwa petugas penegak hukum telah bertindak proporsional, professional, adil dan bertanggung jawab dan sejumlah pujian lainnya yang dialamatkan ke institusi penegak hukum, tetapi bagaimana dengan mereka yang kalah, para pelanggar hukum, yang merasa dirugikan, dan mungkin tidak dilayani dengan baik sebagaimana mestinya dll, maka mereka spontan mengatakan bahwa para penegak hukum bertindak tidak adil, kena suap, KKN, dan mengeluarkan katakata atau perasaan tidak puas. Sebenarnya apa maksud dan tujuan daripada penegakan hukum ?, jawabannya adalah jelas agar : pelanggar hukum jera, takut, tidak melakukan pelanggaran hukum lagi, dan pada akhirnya akan patuh dan taat kepada hukum. Apakah hal ini bisa dijamin ?, tentu banyak yang sependapat bahwa jawabannya “tidak !”, buktinya banyak orang yang keluar masuk penjara (residivis), melanggar hukum berkali-kali tidak jera-jera. Memang benar bahwa masalah penegakan hukum itu sangat kompleks, harus dilihat dari berbagai aspek, harus ada keterlibatan semua pihak, antar penegak hukum, antar instansi Pemerintah, perlu kerjasama antara Pemerintah, penegak hukum dengan masyarakat, istilahnya bahwa penanggulangan kejahatan adalah tanggung jawab bersama bukan hanya tanggung jawab penegak hukum semata-mata. Dan kalau kita telusuri, maka yang namanya taat hukum, patuh hukum, sadar hukum adalah kembali pada perilaku “manusianya”, tidak hanya masyarakat pada umumnya tetapi semua warga masyarakat, semua lapisan masyarakat, dengan kata lain bahwa tidak ada yang kebal hukum, siapapun (rakyat jelata ataupun pejabat, yang miskin ataupun yang kaya) yang melakukan pelanggaran hukum akan diadili atau ditindak sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku, karena “semua orang sama kedudukannya dimuka hukum”. Dan untuk membangun kesadaran hukum masyarakat harus kembali pada “masyarakat“ itu sendiri, menyangkut pribadi seseorang, pribadi manusia, harus mulai dari dasar, mulai dari awal, anggap saja semuanya tidak mengerti hukum, masih belum memahami hukum, kemudian buatlah program pembinaan hukum yang jelas, mudah dimengerti, secara berjenjang dan bertahap, mulai tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi (pendidikan formal) dengan materi sesuai dengan tingkat kemampuannya atau perkembangan jiwanya, buatlah model pendidikan dan pelatihan hukum yang sederhana, mudah dicerna, mudah diterima oleh setiap orang, diberikan secara gratis. Untuk informal bisa melalui penyuluhan, penataran, seminar, diskusi, selebaran, spanduk, melalui mass-media. Dilaksanakan secara berkesinambungan atau terus menerus dan kita tidak perlu merasa ketinggalan atau tidak ada kata terlambat. Untuk meningkatkan kesadaran hukum diperlukan adanya pembinaan maupun penyuluhanpenyuluhan agar warga masyarakat benar-benar mengetahui atau mengerti kegunaan atau manfaat dari peraturan hukum itu sehingga warga masyarakat dengan suka rela mentaati dan mematuhi peraturan hukum tersebut. Menurut Soerjono Soekanto, indikator-indikator dari kesadaran hukum sebenarnya merupakan petunjuk yang relatif kongkrit tentang taraf kesadaran hukum. Dijelaskan lagi secara singkat bahwa : a. Indikator pertama adalah pengetahuan hukum Seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu itu telah diatur oleh hukum. Peraturan hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Perilaku
tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. b. Indikator kedua adalah pemahaman hukum Seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, misalnya adanya pengetahuan dan pemahaman yang benar dari masyarakat tentang hakika dan arti pentingnya UU No. 16 Tahun 2000 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. c. Indikator yang ketiga adalah sikap hukum Seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum. d. Indikator yang keempat adalah perilaku hukum, yaitu dimana seseorang atau dalam suatu masyarakat warganya mematuhi peraturan yang berlaku. Keempat indikator tadi sekaligus menunjukkan tingkatan-tingkatan pada kesadaran hukum tertentu di dalam perwujudan nya. Apabila seseorang mengetahui hukum. maka bisa dikatakan bahwa tingkat kesadarahn hukum nya masih rendah. Tetapi jikalau seseorang atau suatu masyarakat telah berperilaku sesuai hukum, maka tingkat kesadaran hukum nya telah tinggi. KESIMPULAN 1) Keberhasilan pemungutan dan penagihan pajak sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam membayar pajak. Namun tingkat partisipasi masyarakat selama ini masih sangat minim. Kurangnya tingkat partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor terbatasnya pengetahuan dan pemahaman tentang pajak, rendahnya kesadaran tentang kegunaan pajak, rendahnya tingkat pendidikan, belum ada sosialisasi tentang pajak dan peraturan perpajakan, serta latar belakang ekonomi. 2) Belum adanya upaya upaya yang maksimal dari pemerintah kelurahan untuk meningkatkan kesadaran tentang pajak serta partisipasi masyarakat dalam pembayaran pajak.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Asri Harahap, 2004, Paradigma Baru Perpajakan Indonesia Prespektif Ekonomi-Politik, Jakarta : Integritas Dinamika Prees. Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law, Hukum Islam, Jakarta : PT Raja Garafindo Persada. Anderson,1951. Taxation of Inbound Investment in Indonesia, Asian Pasific Tax and Investment Research Center. Andriani, 1948,( Dalam Bukunya), Brotodiharjo. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT. Refika Aditma. Arikunto. S. (2002). Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta. Brotodiharjo Santoso, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT. Refika Aditma. Bohari, 2004, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat. Erly suandy, 2000, Hukum Pajak, Jakarta : Salemba Empat. Gaji Inayah, 2003, Teori Komprehensi Tentang Zakat dan Pajak, Yokyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Margono, (2004), Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
M. Cholil Mansyur, SH (1997). Sosiologi Masyarakat Desa Dan Kota. Bandung: Alfabeta. Nupitapulu, Paimin, 2007, Pelayanan Public dan Costomer Stafication, Bandung: PT Alumni. Pasolong, Harbani, 2008, Kepemimpinan Birokrasi, Bandung: ALFA BETA, Bandung. Pudyamatmoko, Y. Sri 2009. Pengantar Hukum Perpajakan. Ratminto, dan Winarsi, Atik Septi. 2010, Manajemen Pelayanan Pajak. Yokyakarta : Pustaka Pelajar. Sinambela, Dkk. 2008. Revormasi Pelayanan Publik, Jakarta : PT. Bumi Aksara. Soemahamidjaja Soeparman,(1964), Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong,Universitas Padjadjaran, Bandung. Soemitro Rochmat, 1992, Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia, Bandung : PT Eresco. Soemitro Rochmat, 1977, Dasar Dasar Hukum Pajak Pendapatan, Bandung : PT Eresco Sugiyono, (2001). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Wirawan B. Ilyas, Dkk, 2007, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat.
UNDANG-UNDANG Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.