FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT NON PERFORMING FINANCING PADA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DI INDONESIA
DINIYAH GINUNG PRATINA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2015 Diniyah Ginung Pratina NIM H54110058
ABSTRAK DINIYAH GINUNG PRATINA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia. Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI dan ROMLI. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) merupakan lembaga perbankan yang memiliki peran penting dalam pengembangan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang merupakan skala usaha yang paling banyak dimiliki oleh Indonesia. Oleh karena itu, menjaga kondisi kesehatan BPRS merupakan hal yang penting. Salah satu indikator kesehatan lembaga perbankan adalah tingkat Non Performing Financing (NPF). Dalam tiga tahun terakhir, tingkat NPF BPRS mengalami peningkatan, padahal dalam kurun waktu tersebut, kondisi perekonomian yang ditunjukkan dengan pendapatan per kapita mengalami peningkatan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kinerja BPRS dan kondisi ekonomi provinsi serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF BPRS di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, berupa panel data yang terdiri dari data cross section BPRS di 19 provinsi dan data time series tahun 2010-2013. Metode analisis yang digunakan adalah regresi berganda data panel dengan pendekatan Fixed Effects Model (FEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja BPRS di sebagian besar provinsi kurang sehat jika ditinjau dari tingkat NPF dan FDR dan sebaliknya dari sisi nilai aset dengan kecenderungan perkembangan yang bervariasi. Tingkat NPF yang relatif besar terjadi di beberapa provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera yang merupakan sentra UMK. Perekonomian wilayah BPRS menunjukkan perkembangan yang baik dilihat dari nilai PDRB yang cenderung meningkat, sementara perkembangan tingkat inflasi dan UMK bervariasi. Hasil analisis regresi data panel memperlihatkan bahwa tingkat FDR, total aset, dan tingkat inflasi signifikan memengaruhi tingkat NPF dan berhubungan negatif, sedangkan jumlah UMK signifikan memengaruhi tingkat NPF dan berhubungan positif. Dengan demikian, upaya menurunkan tingkat NPF nasional adalah dengan mendorong penurunan tingkat NPF BPRS di masing-masing provinsi, khususnya beberapa provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera (sentra UMK) dengan tingkat NPF relatif tinggi melalui penyaluran pembiayaan kepada UMK yang lebih selektif dan disertai pembinaan serta mendorong peningkatan aset dan FDR selama tidak melebihi standar kesehatan bank. Kata kunci: data panel, keragaan BPRS, NPF, perbankan syariah
ABSTRACT DINIYAH GINUNG PRATINA. Determinant of Non Performing Financing Level in Bank Pembiayaan Rakyat Syariah in Indonesia. Supervised by YETI LIS PURNAMADEWI and ROMLI. Islamic rural bank is a banking institution that has an important role in the development of Micro and Small Enterprises (MSEs), which is the most widelyscale enterprises owned by Indonesia. Therefore, maintaining BPRS in a healthy condition is an important thing. One indicator of the banking institutions's health is the level of Non Performing Financing (NPF). In the last three years, the level of NPF BPRS has increased, whereas in this period, Indonesia has strong economic condition, shown by the increasing of per capita income. Therefore, this study aimed to assess the performance of BPRS and provincial economic conditions and to analyze the factors that affect the level of NPF BPRS in Indonesia. Data used in this study are secondary data, such as panel data consisting of cross section data BPRS in 19 provinces and time series data from 2010 to 2013. The analytical method used is multiple regression panel data with Fixed Effects Model (FEM) approach. The results show that the performance of BPRS in most provinces are less healthy when viewed from the level of NPF and FDR and on contrary when viewed from the value of assets with varying development trend. NPF levels were relatively high in some provinces in Java and Sumatra, which is the center of MSEs. BPRS region's economy showed good development seen from the value of GDP which is likely to increase, while the growth rate of inflation and the MSEs varies. Results of panel data regression analysis showed that the level of FDR, total assets, and the inflation rate have significant affect to the level of NPF negatively, while the number of MSEs significantly affect the level of NPF and positively related. Thus, efforts to reduce the level of national NPF is to encourage a decrease in the level of NPF BPRS in each province, particularly some provinces in Java and Sumatra (center MSEs) with relatively high levels of NPF by financing MSEs selectively and accompanied MSE's with coaching and increasing assets and FDR as long as it did not exceed bank's health standards. Keywords: panel data, performance of BPRS, NPF, sharia bank
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT NON PERFORMING FINANCING PADA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DI INDONESIA
DINIYAH GINUNG PRATINA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini adalah Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada: 1. Ibu Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, M Sc Agr dan Bapak Drs Romli, M Ag selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah membimbing dan memberikan kritik serta saran kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Dr Irfan Syauqi Beik, SP, M Sc Ec selaku dosen penguji utama dan Bapak Khalifah Muhamad Ali, M Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 3. Seluruh dosen, staf, dan civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan untuk penulis. 4. Orang tua penulis Bapak Mohammad Thoyib Maktub dan Ibu Sri Swasemi, serta kakak penulis Adhipradana Prabu Swasito dan Rizky Febriani Amelia atas doa, motivasi, dan kasih sayang yang telah diberikan. 5. Teman satu bimbingan Evillya Br Sembiring, Ginawati Dwitama, Gresi Sasprintia, Rr Nabila Fikriani Iffatunisa, Rika Arnita, Sami Lumekti, dan Vita Indah Praspaningtyas atas doa dan motivasi yang telah diberikan. 6. Sahabat-sahabat terbaik selama perkuliahan Dessy Nur Hasanah, Dhia Adiati, Ghina Khalida Zulhidia, Khalishah Livia, Murni Anggraeni, Sarah Nabilah, Salma Siti Salamah, Siti Karimah, Vita Nayunda, dan Zara Fathia, temanteman Ekonomi Syariah 48, dan kepada teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala saran, pelajaran, bantuan, doa, dan waktu yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015 Diniyah Ginung Pratina
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
7 7
Konsep Kredit Perbankan dan Non Performing Financing
11
Faktor-faktor Penyebab Tingkat Non Performing Financing
15
Kajian Penelitian Terdahulu
18
Kerangka Pemikiran
21
Hipotesis Penelitian
23
METODE
24
Lokasi dan Waktu Penelitian
24
Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data
24
Metode Pengolahan dan Analisis Data
25
Model Penelitian
28
Evaluasi Model
28
Variabel dan Definisi Operasional
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
32
Kinerja Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia dan Kondisi Perekonomian Indonesia
32
Hubungan antara Tingkat Non Performing Financing dengan Kondisi Perekonomian Regional
38
Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia 43
SIMPULAN DAN SARAN
47
Simpulan
47
Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
49
LAMPIRAN
52
RIWAYAT HIDUP
57
DAFTAR TABEL 1 2
Jumlah BPRS berdasarkan lokasi tahun 2009-2014 Pembiayaan BPRS berdasarkan kualitas pembiayaan tahun 20082014 (juta rupiah) 3 Perbandingan bank syariah dengan bank konvensional 4 Perbandingan bagi hasil dengan sistem bunga 5 Perkembangan jumlah bank dan kantor perbankan syariah tahun 2010-2014 6 Variabel-variabel penelitian 7 Jumlah BPRS menurut provinsi tahun 2010-2014 8 Kecenderungan hubungan tingkat NPF dengan kinerja BPRS dan kondisi perekonomian di wilayah BPRS 9 Hubungan tingkat NPF dengan tingkat FDR dan tingkat inflasi tahun 2013 10 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF BPRS di Indonesia
2 3 7 8 10 24 33 41 42 44
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Pembiayaan perbankan syariah berdasarkan golongan pembiayaan Perbandingan tingkat NPF BPRS dengan tingkat NPF BUS dan UUS di Indonesia tahun 2008-2014 Tingkat NPF BPRS di Indonesia tahun 2008-2014 Peningkatan tingkat NPF BPRS di Indonesia tahun 2010-2014 Tingkat pendapatan nasional per kapita Indonesia atas dasar harga konstan 2000 tahun 2008-2013 Tingkat NPF menurut provinsi di Indonesia tahun 2013-2014 Unsur-unsur kredit Kerangka pemikiran Tahapan pemilihan model Tingkat NPF BPRS menurut provinsi tahun 2010-2013 Tingkat FDR BPRS tahun 2010-2014 Tingkat FDR BPRS menurut provinsi tahun 2010-2013 Pertumbuhan total aset BPRS Indonesia tahun 2008-2014 Pertumbuhan total aset BPRS Indonesia menurut provinsi tahun 2010-2013 Pertumbuhan total PDB atas dasar harga konstan 2000 tahun 20102014 Pertumbuhan total PDRB atas dasar harga konstan 2000 tahun 20102013 Tingkat inflasi menurut provinsi tahun 2010-2013 Jumlah industri mikro dan kecil menurut provinsi tahun 2010-2013
1 2 3 4 5 5 12 23 27 34 34 35 35 36 36 37 38 38
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Hasil estimasi panel data dengan menggunakan Pooled Least Square (PLS) Hasil estimasi panel data dengan menggunakan Fixed Effects Model (FEM) Hasil estimasi panel data dengan menggunakan Random Effects Model (REM) Hasil pengujian Chow Test Hasil pengujian Hausman Test Hasil uji normalitas Hasil uji multikolinearitas
52 53 54 55 55 55 56
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam kelompok negara berkembang di dunia, khususnya dalam sektor perekonomian. Sektor perekonomian suatu negara sangat berkaitan erat dengan keberadaan, aktivitas, dan peran lembaga perbankan di negara tersebut. Salah satu peran lembaga perbankan yang utama adalah sebagai lembaga intermediasi atau penghubung antara pihak yang memiliki dana lebih (surplus) dengan pihak yang kekurangan dana (deficit) dengan cara memberikan kredit atau pembiayaan. Kredit yang diberikan bank kepada sektor riil, seperti industri, pertambangan, perumahan, pariwisata, dan perhubungan sangat berarti bagi perkembangan ekonomi nasional (Dendawijaya 2001). Peran seperti ini sangat diperlukan oleh negara berkembang seperti Indonesia agar sektor perekonomian negara tersebut dapat berkembang secara signifikan dan berkesinambungan. Di Indonesia, pengembangan ekonomi Islam telah diadopsi ke dalam kerangka besar kebijakan ekonomi. Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan di tanah air telah menetapkan perbankan syariah sebagai salah satu pilar penyangga dual banking system dan mendorong pangsa pasar bank-bank syariah yang lebih luas sesuai cetak biru perbankan syariah (Bank Indonesia 2002). Salah satu lembaga perbankan syariah yang ada di Indonesia yang membantu mendorong perkembangan ekonomi Islam adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Peran yang dimiliki BPRS cukup besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia, khususnya untuk perkembangan usaha dalam skala kecil dan menengah. Berdasarkan data statistik UMKM tahun 2012, pangsa pasar UMKM mencapai 99.99% dengan jumlah unit usaha sebanyak 56 534 592 unit usaha, sedangkan jumlah unit usaha dalam skala besar hanya mencapai 4 968 unit usaha. Pembiayaan-pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS lebih diutamakan untuk usaha-usaha kecil dan menengah yang menjadi penyokong pembangunan sektor riil bagi Indonesia. Berdasarkan data SPS BI 2014, jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS untuk usaha kecil dan menengah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah pembiayaan yang disalurkan untuk selain usaha kecil dan menengah (Gambar 1). Berbeda dengan lembaga keuangan syariah lainnya, yaitu Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang jumlah penyaluran pembiayaannya lebih besar untuk selain usaha kecil dan menengah.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 1 Pembiayaan perbankan syariah berdasarkan golongan pembiayaan
2 Jumlah BPRS di Indonesia berkembang cukup pesat. Berdasarkan data yang tersedia di SPS BI, jumlah BPRS yang terdaftar sampai dengan tahun 2014 mencapai 163 unit. Dari total 163 unit BPRS, penyebaran yang terjadi belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Lokasi keberadaan BPRS masih terpusat di Pulau Jawa (Tabel 1). Tabel 1 Jumlah BPRS berdasarkan lokasi tahun 2009-2014 No
Daerah
2009 34 90 2 7
1 2 3 4
2010 38 98 2 7
2011 42 99 2 7
Pulau Sumatera Pulau Jawa Pulau Kalimantan Pulau Sulawesi Pulau Bali dan Nusa 5 4 4 Tenggara Pulau Papua dan 6 1 1 Kepuluan Maluku Total 138 150 Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014.
Periode 2012 40 103 2 7
2013 41 105 3 8
2014 41 105 3 8
4
4
4
4
1
2
2
2
155
158
163
163
Perkembangan pesat Bank Pembiayaan Rakyat Syariah secara kuantitas ini belum diikuti oleh perkembangan secara kinerja keuangan lembaga perbankan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pembiayaan bermasalah (non performing financing) yang masih tinggi. Tingkat NPF BPRS lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat NPF yang dimiliki lembaga keuangan syariah lainnya, yaitu Bank Unit Syariah dan Unit Usaha Syariah (Gambar 2). 10
Persen (%)
8
6 4
2 0 2008
2009
2010 NPF BPRS
2011
2012
2013
2014
NPF BUS & UUS
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 2 Perbandingan tingkat NPF BPRS dengan tingkat NPF BUS dan UUS di Indonesia tahun 2008-2014 Pembiayaan bermasalah suatu lembaga perbankan merupakan jumlah total pembiayaan yang termasuk dalam kategori kurang lancar, diragukan, dan macet (Tabel 2). Tingkat non performing financing diperoleh dengan cara membandingkan antara jumlah total pembiayaan bermasalah yang disalurkan dengan total seluruh pembiayaan yang disalurkan.
3 Tabel 2 Pembiayaan BPRS berdasarkan kualitas pembiayaan tahun 2008-2014 (juta rupiah) Kolektibilitas Pembiayaan Lancar (%)
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
1 151 287 (91.62)
1 475 306 (92.97)
1 926 565 (93.51)
2 512 328 (93.89)
3 334 885 (93.85)
4 145 119 (93.50)
4 610 238 (91.07)
163 602 (6.11) 49 319
218.635 (6.15) 72 806
288 373 (6.50) 90 581
394.671 (7.89) 136 251
44 663
51 649
65 847
81 069
69 620
94 180
131 945
177 351
2 675 930
3 553 520
Non 105 322 111 612 133 872 lancar (8.38) (7.03) (6.49) (%) 35 322 31 049 39 185 -Kurang lancar 21 307 30 687 29 919 - Diragukan 48 693 49 877 64 767 - Macet Total 1 256 610 1 586 919 2 060 437 Pembiayaan Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014.
4 433 492 5 004 909
Tingkat non performing financing BPRS cukup tinggi. Hal ini dapat berdampak buruk pada tingkat kesehatan bank. Dalam pembahasan rekapitalisasi perbankan, kredit yang diberikan (khususnya kredit bermasalah) menjadi peran utama selain faktor modal (Dendawijaya 2001). Tingkat NPF BPRS berada di atas standar kesehatan bank yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral Negara Indonesia, yaitu 5%. Tingkat NPF BPRS cenderung meningkat di beberapa tahun terakhir (Gambar 3). Pada tahun 2008 sampai tahun 2011, tingkat NPF BPRS sempat mengalami penurunan, sedangkan mulai tahun 2012 sampai tahun 2014 tingkat NPF mengalami peningkatan.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 3 Tingkat NPF BPRS di Indonesia tahun 2008-2014 Tingkat NPF BPRS yang meningkat ini perlu dikendalikan karena tingkat NPF merupakan salah satu indikasi dalam melihat tingkat kesehatan lembaga perbankan. Selain itu, tingkat NPF juga memengaruhi tingkat profitabilitas yang akan diterima oleh lembaga perbankan tersebut. Semakin tinggi tingkat NPF suatu lembaga perbankan, dapat menyebabkan penurunan keuntungan yang akan diterima lembaga perbankan sehingga dapat memengaruhi tingkat kesehatan lembaga perbankan tersebut. Mengingat pentingnya peran lembaga perbankan untuk menyokong perkembangan perekonomian Indonesia, tingkat kesehatan
4 lembaga perbankan sangat perlu diperhatikan karena dapat memengaruhi sektorsektor perekonomian yang berada pada suatu negara. Sektor-sektor perekonomian suatu negara akan sangat bergantung pada keberadaan lembaga perbankan, seperti untuk keperluan penyediaan modal usaha. Menurut Windriya (2014), tingkat NPF signifikan memiliki hubungan negatif dengan tingkat profitabilitas lembaga perbankan. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Poetry dan Sanrego (2011) juga menyatakan bahwa tingkat NPL pada perbankan konvensional lebih dipengaruhi oleh variabel makro seperti inflasi dan SBI, sedangkan tingkat NPF pada perbankan syariah lebih dipengaruhi oleh variabel internal perbankan seperti tingkat FDR. Salah satu hal yang perlu dilakukan untuk dapat mengetahui cara mengendalikan tingkat NPF agar kesehatan lembaga perbankan dapat stabil adalah dengan mengetahui faktor apa saja yang memengaruhi tingkat NPF. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat NPF BPRS.
Perumusan Masalah Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tingkat NPF BPRS mengalami peningkatan. Selain itu, tingkat NPF BPRS juga berada di atas standar kesehatan bank yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, yaitu 5% (Gambar 4). Hal ini merupakan permasalahan yang dialami oleh BPRS sebagai lembaga keuangan, karena buruknya tingkat NPF akan memberikan dampak negatif terhadap tingkat profitabilitas yang akan didapatkan oleh lembaga keuangan tersebut. Selain itu, tingginya tingkat NPF juga dapat menghambat tugas utama lembaga perbankan sebagai lembaga intermediasi. Ketika tingkat pembiayaan bermasalah tinggi, maka cadangan kas lembaga keuangan akan berkurang sehingga lembaga keuangan tidak dapat menyalurkan pembiayaan kepada nasabah secara optimal.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 4 Peningkatan tingkat NPF BPRS di Indonesia tahun 2010-2014 Salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tingkat NPF adalah rendahnya atau menurunnya pendapatan penduduk Indonesia sebagai nasabah penerima pembiayaan yang diberikan oleh BPRS. Jika pendapatan yang diterima nasabah tinggi, kemampuan nasabah dalam membayar kembali pinjaman yang diperoleh dari pembiayaan BPRS akan tinggi pula. Sebaliknya, jika pendapatan yang diterima nasabah rendah, kemampuan nasabah dalam membayar kembali pinjaman yang diperoleh dari pembiayaan BPRS akan menurun.
5 Badan Pusat Statistik (2013) menyatakan bahwa pendapatan nasional per kapita Indonesia dalam keadaan yang baik dan meningkat (Gambar 5). Namun, kemampuan nasabah dalam mengembalikan pembiayaan masih rendah. Hal ini dapat terlihat dari tingkat NPF yang dimiliki BPRS yang tetap tinggi. Kondisi ini dapat menunjukkan bahwa meningkatnya tingkat pendapatan nasional per kapita belum tentu diikuti dengan peningkatan kemampuan nasabah dalam mengembalikan pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS.
Sumber: Badan Pusat Statistik 2013
Gambar 5 Tingkat pendapatan nasional per kapita Indonesia atas dasar harga konstan 2000 tahun 2008-2013
Persen (%)
Selain itu, tingkat NPF BPRS di Indonesia berbeda-beda di setiap daerahnya. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagai lembaga keuangan belum merata. Terdapat beberapa provinsi yang memliki tingkat NPF sangat tinggi, seperti Provinsi Bali yang pada tahun 2013 mencapai angka 70% (Gambar 6). 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Provinsi
2013
2014
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 6 Tingkat NPF menurut provinsi di Indonesia tahun 2013-2014 Oleh karena itu, tentunya terdapat faktor-faktor selain pendapatan per kapita yang memengaruhi tingginya tingkat NPF BPRS di Indonesia. Faktor-faktor ini dapat berupa faktor internal yang dimiliki oleh BPRS maupun faktor eksternal yang berasal dari luar lembaga keuangan tersebut berupa kondisi perekonomian nasional. Faktor internal BPRS yang digunakan dalam penelitian ini adalah total aset yang disalurkan oleh BPRS dan tingkat Financing to Deposit Ratio (FDR),
6 sedangkan faktor eksternal yang digunakan dalam penelitian ini adalah total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tingkat inflasi pada setiap provinsi, dan jumlah usaha dalam skala mikro dan kecil pada setiap provinsi. Berdasarkan penjelasan pada latar belakang dan perumusan masalah, pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan kinerja BPRS di Indonesia secara regional? 2. Bagaimana kondisi perekonomian pada wilayah BPRS di Indonesia? 3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat NPF BPRS di Indonesia? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah 1. Mengkaji perkembangan kinerja BPRS di Indonesia secara regional. 2. Mengkaji kondisi perekonomian wilayah BPRS di Indonesia. 3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF BPRS di Indonesia. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi lembaga keuangan syariah Memberikan informasi bagi lembaga keuangan syariah, khususnya Bank Pembiayaan Rakyat Syariah mengenai variabel-variabel yang harus dipertimbangkan dan berdampak pada tingkat NPF yang dapat memengaruhi kondisi profitabilitas lembaga perbankan. 2. Bagi akademisi dan masyarakat Memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan mengenai lembaga keuangan syariah dan sebagai perbandingan bagi peneliti-peneliti selanjutnya. 3. Bagi penulis Sebagai sarana untuk menuangkan pemikiran dan menghubungkan teori-teori yang ada dengan keadaan sebenarnya.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF pada BPRS di Indonesia. Variabel independen yang digunakan adalah total aset, tingkat FDR, total PDRB, tingkat inflasi, jumlah UMK, dan dummy regional Jawa dan luar Jawa yang diinteraksikan dengan variabel PDRB. Analisis yang dilakukan terbatas pada 19 provinsi di Indonesia. Provinsi-provinsi yang dipilih menjadi objek penelitian merupakan provinsi yang telah memiliki BPRS selama periode waktu penelitian yang digunakan. Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 2010 sampai 2013. Penelitian ini lebih memperhatikan kinerja BPRS dan kondisi perekonomian pada setiap provinsi yang menjadi objek penelitian.
7
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Perbankan Syariah Lembaga keuangan bank merupakan lembaga yang memberikan jasa keuangan yang paling lengkap. Salah satu aktivitas yang dilakukan lembaga perbankan adalah menyalurkan dana atau memberikan pembiayaan/kredit dan melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan. Definisi bank berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Terdapat dua sistem perbankan di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah (Tabel 3). Perbankan syariah sebagai suatu financial intermediary mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan perbankan konvensional. Sebagai financial intermediary, bank syariah tidak hanya berusaha memaksimisasi expected utility pemegang sahamnya, tetapi juga memperhatikan expected utility nasabah dan deposannya. Tabel 3 Perbandingan bank syariah dengan bank konvensional Aspek Legalitas Struktur Organisasi Bisnis dan Usaha yang Dibiayai
Bank Syariah Akad syariah Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah Melakukan investasi-investasi yang halal saja; hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan; berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa; berorientasi pada keuntungan dan kemakmuran dan kebahagiaan dunia akhirat. Islami
Lingkungan Kerja Sumber: Machmud dan Rukmana (2009).
Bank Konvensional Akad konvensional Tidak terdapat dewan sejenis
Investasi yang halal dan haram profit oriented; hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur; memakai perangkat bunga.
Non Islami
Selain perbedaan-perbedaan tersebut, hal mendasar yang menjadi perbedaan dalam perbankan syariah dan perbankan konvensional adalah penggunaan sistem bagi hasil oleh perbankan syariah dan penggunaan sistem bunga pada perbankan konvensional (Tabel 4). Perbankan syariah tidak menggunakan sistem bunga karena sistem bunga merupakan larangan Allah yang terdapat pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 278-279. “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertaubat dari pengambilan riba maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
8 Tabel 4 Perbandingan bagi hasil dengan sistem bunga Bagi Hasil Penentuan bagi hasil dibuat sewaktu perjanjian dengan berdasarkan kepada untung atau rugi. Jumlah nisbah bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang telah dicapai. Bagi hasil tergantung pada hasil proyek. Jika proyek tidak mendapat keuntungan atau mengalami kerugian, risikonya ditanggung kedua belah pihak. Jumlah pemberian hasil keuntungan meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan yang didapat. Penerimaan atau pembagian keuntungan adalah halal. Sumber: Machmud dan Rukmana (2009).
Sistem Bunga Penentuan bunga dibuat sewaktu perjanjian tanpa berdasarkan kepada untung atau rugi. Jumlah persen bunga berdasarkan jumlah uang (modal) yang ada. Pembayaran bunga tetap seperti perjanjian tanpa diambil pertimbangan apakah proyek yang dilaksanakan pihak kedua untung atau rugi. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat walaupun jumlah keuntungan berlipat ganda. Pengambilan atau pembayaran bunga adalah haram.
Menurut Antonio (2001), dalam memberikan pembiayaan kepada nasabah, perbankan syariah menggunakan akad-akad yang sesuai dengan syariah Islam. Pembiayaan syariah merupakan kegiatan penyaluran dana yang dilakukan oleh bank syariah yang berprinsip pada konsep perbankan syariah atau perbankan Islam yang didasari oleh larangan agama Islam untuk meminjamkan dana dengan mengharapkan keuntungan yang berupa bunga. Akad-akad yang sesuai dengan ketentuan syariah, yaitu: 1. Jual Beli Murabahah Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli yang mengharuskan penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas (harga pokok pembelian) dan tambahan profit yang diinginkan yang tercermin dalam harga jual (Nawawi 2012). 2. Sistem Inden (Bai’ Salam) Pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka (Antonio 2001). Komoditas yang diperdagangkan memiliki spesifikasi yang dijelaskan di awal akad. 3. Bai’ Istishna’ Bai’ Istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ salam. Akad ini biasa digunakan dalam bidang manufaktur (Nawawi 2012) 4. Mudharabah Akad kerja sama usaha antara dua pihak dengan pihak pertama sebagai pemberi dana dan pihak lain sebagai pengelola dana (Antonio 2001). 5. Musyarakah Akad yang melibatkan keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang ditetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan atau kerugian dalam bagian yang ditentukan (Nawawi 2012). 6. Muzara’ah Kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dengan pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami
9 dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen (Antonio 2001). 7. Musaqah Bentuk akad yang lebih sederhana dari muzara’ah dengan pihak penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan (Antonio 2001). 8. Sewa (Ijarah) Transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang (Nawawi 2012). Malikiyah mengatakan, sewa (ijarah) adalah pemindahan pemilikan manfaat tertentu yang diperbolehkan dalam waktu tertentu dengan kompensasi tertentu. 9. Jaminan (Kafalah) Ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa jaminan adalah membebankan diri dengan menanggung utang orang lain (Nawawi 2012). 10. Gadai (Rahn) Rahn adalah menjadikan barang (materi) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang memiliki utang tidak bisa mengembalikan utangnya (Nawawi 2012). 11. Titipan (Wadi’ah) Akad ini dapat diartikan sebagai titipan murni dari suatu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja pihak penitip menghendaki (Antonio 2001).
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Menurut Soemitra (2009), Islamic Development Bank (IDB) yang merupakan tindak lanjut rekomendasi Konferensi Ekonomi Islam pertama yang diadakan di Mekah pada tahun 1975 didirikan pada tahun 1977. Pendirian Islamic Development Bank ini diikuti dengan pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam di berbagai negara yang secara umum berbentuk bank Islam komersial dan lembaga investasi, termasuk Indonesia. Di Indonesia, ide dan gagasan konsep lembaga keuangan syariah pertama kali dilakukan pada uji coba di BMT Salman Bandung dan Koperasi Ridho Gusti pada tahun 1980. Ide dan gagasan tersebut akhirnya ditanggapi oleh para peserta lokakarya MUI yang diadakan pada tahun 1990. Para peserta lokakarya tersebut sepakat untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Bank syariah pertama di Indonesia bernama Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992. Berdirinya Bank Muamalat Indonesia diikuti dengan dibentuknya Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang melakukan akomodasi perbankan dengan prinsip bagi hasil baik untuk bank umum maupun BPRS. Pada tahun 1998, dikeluarkan Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No. 7 tahun 1992 yang mengakui keberadaan bank syariah dan bank konvensional serta memperkenankan bank konvensional membuka kantor cabang syariah. Setelah itu, perkembangan lembaga perbankan syariah di Indonesia jauh lebih pesat jika dibandingkan dengan sebelum dikeluarkan UU No. 10 tahun 1998 tersebut. Hal ini salah satunya ditandai dengan berdirinya Bank Mandiri Syariah. Namun, perkembangan jumlah BUS masih terbilang cukup lambat jika
10 dibandingkan dengan perkembangan jumlah UUS atau BPRS. Perkembangan jumlah yang paling cepat terjadi adalah pada BPRS. Sejak lahirnya sistem perbankan syariah di Indonesia, BPRS memiliki jumlah bank dan jumlah kantor lebih banyak jika dibandingkan dengan UUS. Akan tetapi, jumlah kantor yang dimiliki BPRS tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah kantor yang dimiliki BUS. Perkembangan jumlah bank dan jumlah kantor lembaga perbankan syariah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa total jumlah kantor perbankan syariah selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa industri perbankan syariah di Indonesia memiliki prospek yang baik. Tabel 5 Perkembangan jumlah bank dan kantor perbankan syariah tahun 20102014 Jenis Bank 2010 Bank Umum Syariah Jumlah Bank 11 Jumlah Kantor 1 215 Unit Usaha Syariah Jumlah Bank 23 Jumlah Kantor 262 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Jumlah Bank 150 Jumlah Kantor 286 Total Kantor 1 763 Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014.
2011
2012
2013
2014
11 1 401
11 1 745
11 1 998
12 2 151
24 336
24 517
23 590
22 320
155 364 2 101
158 401 2 663
163 402 2 990
163 439 2 910
Di Indonesia, regulasi mengenai bank syariah tertuang dalam UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Berdasarkan jenisnya, bank syariah terdiri dari Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menurut pasal 1 ayat 3 UU Perbankan No. 7 tahun 1992 adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan uang hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dalam bentuk itu dan menyalurkan dana sebagai usaha bank perkreditan rakyat. Pelaksanaan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), atau yang sekarang disebut dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, diatur menurut surat keputusan Direktur Bank Indonesia No.32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Secara teknis, BPRS dapat diartikan seperti BPR konvensional yang operasionalnya berdasarkan prinsip syariah. Tujuan didirikannya Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama kelompok masyarakat lemah yang pada umumnya berada di pedesaan. 2. Menambah lapangan pekerjaan terutama di tingkat kecamatan sehingga dapat mengurangi tingkat urbanisasi. 3. Membina semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.
11 Kegiatan usaha yang dapat dilakukan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sesuai UU Perbankan No. 10 tahun 1998 adalah sebagai berikut: 1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan. 2. Memberikan kredit. 3. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. 4. Menempatkan dananya dalam bentuk Surat Berharga Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan pada bank lainnya. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah merupakan bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah perseroan terbatas. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dan atau badan hukum Indonesia, pemerintahan daerah, atau kemitraan antara WNI atau badan hukum Indonesia dengan pemerintah daerah (Soemitra 2009). Bank Pembiayaan Rakyat Syariah berfungsi sebagai pelaksana sebagian fungsi bank umum di tingkat regional. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah merupakan bank yang khusus melayani masyarakat kecil di pedesaan. Jenis produk yang ditawarkan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah relatif sempit jika dibandingkan dengan bank umum, bahkan ada beberapa jenis jasa bank yang tidak dapat boleh diselenggarakan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, seperti pembukaan rekening giro dan kliring.
Konsep Kredit Perbankan dan Non Performing Financing Kredit Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1992 pasal 1 ayat 12, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Pemberian kredit atau pinjaman dana merupakan salah satu fungsi lembaga perbankan sebagai lembaga intermediasi penyaluran dana. Namun, dalam pemberian kredit tersebut pihak perbankan harus memperhatikan aspek-aspek penting seperti yang tertera pada pasal 8 UU No. 7 tahun 1992, yaitu dalam memberikan kredit bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Menurut Untung (2000) sedikitnya ada empat unsur kredit, yaitu kepercayaan, waktu, risiko, dan prestasi. - Kepercayaan berarti pemberi kredit yakin bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. - Tenggang waktu berarti waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima di masa yang akan datang. Dalam
12
-
-
unsur waktu, terkandung pengertian agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang. Degree of risk adalah risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diberikan di kemudian hari. Semakin panjang jangka waktu yang diberikan, semakin tinggi pula tingkat risikonya sehingga terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko ini, dibutuhkan jaminan dalam pemberian kredit. Prestasi atau objek kredit tidak hanya diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan pada uang, maka transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktik perkreditan.
Waktu
Kepercayaan
Unsur Risiko
Kredit
Prestasi
Gambar 7 Unsur-unsur kredit Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing) Salah satu risiko yang dihadapi lembaga keuangan syariah adalah risiko pembiayaan. Risiko pembiayaan adalah risiko kegagalan nasabah untuk memenuhi kewajibannya secara penuh dan tepat waktu sesuai dengan kesepakatan. Risiko tersebut dapat muncul dalam banking book dan trading book bank. Dalam banking book, risiko muncul pada nasabah gagal memenuhi kewajiban untuk membayar utangnya secara penuh pada waktu yang telah disepakati. Risiko pembiayaan berhubungan dengan kualitas aset dan kemungkinan gagal bayar. Akibat dari risiko pembiayaan ini, terdapat ketidakpastian pada laba bersih dan nilai pasar dari ekuitas yang muncul dari keterlambatan atau tidak terbayarnya pokok pinjaman serta bunganya. Risiko pada trading book muncul akibat ketidakmampuan atau ketidakmauan nasabah untuk memenuhi kewajiban yang tertuang dalam kontrak. Hal ini bisa memicu risiko pembayaran, yaitu ketika satu pihak bersepakat untuk membayar atau mengirimkan aset sebelum aset atau dana cash tersebut ia terima sehingga mengakibatkan potensi kerugian (Khan dan Habib 2008). Tingkat Non Performing Financing (NPF) termasuk dalam risiko dari pembiayaan yang diberikan oleh pihak perbankan. Non performing financing adalah istilah untuk pembiayaan bermasalah yang digunakan oleh lembaga keuangan syariah, sedangkan pada lembaga keuangan konvensional digunakan istilah Non Performing Loan (NPL). Non performing financing merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan suatu lembaga perbankan selain rasio solvabilitas, rentabilitas, dan likuiditas. Buruknya tingkat non performing financing suatu lembaga perbankan akan memengaruhi tingkat
13 profitabilitas atau laba yang didapatkan oleh lembaga perbankan tersebut. Tingkat non performing financing dapat diperoleh dengan cara membandingkan total pembiayaan bermasalah dengan total pembiayaan atau secara matematis dapat ditulis dengan rumus NPF = Berdasarkan surat edaran Bank Indonesia No. 23/12/BPPP tanggal 28 Februari 1991, kredit berdasarkan kolektibilitasnya dibedakan menjadi kredit lancar, kredit kurang lancar, kredit yang diragukan, dan kredit macet, sedangkan jenis kredit yang termasuk kriteria non lancar menurut data Statistik Perbankan Syariah adalah jenis kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet. 1. Kredit kurang lancar, yaitu kredit yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Kredit di luar KPR harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: - Terdapat tunggakan angsuran pokok yang melampaui 1 bulan (tetapi belum melampaui 2 bulan) bagi kredit yang masa angsurannya 1 bulan, atau melampaui 3 bulan (tetapi belum melampaui 6 bulan) bagi kredit yang masa angsurannya ditetapkan bulanan, 2 bulanan, atau 3 bulanan; atau melampaui 6 bulan dan belum melampaui 12 bulan bagi kredit yang masa angsurannya ditetapkan 6 bulan atau lebih. - Terdapat cerukan karena penarikan yang jangka waktunya telah melampaui 15 hari kerja, tetapi belum melampaui 30 hari kerja. - Terdapat tunggakan bunga yang melampaui 1 bulan, tetapi belum melampaui 3 bulan bagi yang angsuran kreditnya 1 bulan. - Atau melampaui 3 bulan tetapi belum melampaui 6 bulan bagi angsurannya yang melebihi 1 bulan. b. Bagi kredit KPR, terdapat tunggakan angsuran pokok yang telah melampaui 6 bulan, tetapi belum melampaui 9 bulan. c. Kredit tanpa angsuran: - Kredit belum jatuh tempo dan terdapat tunggakan bunga melampaui 6 bulan atau terdapat penambahan plafon atau kredit baru yang dimaksudkan untuk melunasi tunggakan bunga. - Kredit telah jatuh tempo dan belum dibayar, tetapi belum melampaui 3 bulan. - Terdapat cerukan karena penarikan, tetapi jangka waktunya telah melampaui 15 hari kerja dan belum melampaui 30 hari kerja. d. Kredit yang diselamatkan: - Kredit yang mempunyai cerukan karena penarikan, tetapi jangka waktunya telah melampaui 15 hari kerja dan belum melampaui 30 hari kerja. 2. Kredit yang diragukan, yaitu kredit yang tidak memenuhi kriteria lancar atau kurang lancar, tetapi kredit tersebut akan dapat diselamatkan dan agunannya bernilai sekurang-kurangnya 75% dari utang debitur, atau kredit tidak dapat diselamatkan, tetapi agunannya masih bernilai sekurang-kurangnya 100% dari utang debitur. 3. Kredit macet, yaitu: a. Kredit yang tidak memenuhi kriteria lancar, kurang lancar, dan diragukan.
14 b. Memenuhi kriteria diragukan tetapi dalam jangka waktu 21 bulan sejak digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau belum ada usaha penyelamatan kredit. c. Kredit tersebut penyelesaiannya telah diserahkan kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) atau telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit.
Tingkat Kesehatan Lembaga Perbankan Berdasarkan Undang-undang RI No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan pasal 29, Bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang tentang perbankan tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran No. 26/5/BPPP tanggal 29 Mei 1993 yang mengatur tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Metode atau cara penilaian tingkat kesehatan bank tersebut kemudian dikenal sebagai metode CAMEL. Metode CAMEL berisikan langkah-langkah yang dimulai dengan menghitung besarnya masing-masing rasio pada komponenkomponen berikut: (untuk rasio kecukupan modal bank) 1. C : Capital 2. A : Assets (untuk rasio-rasio kualitas aktiva) 3. M : Management (untuk menilai kualitas manajemen) (untuk rasio-rasio rentabilitas bank) 4. E : Earnings 5. L : Liquidity (untuk rasio-rasio likuiditas bank) Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengukur tingkat kesehatan suatu bank umum dengan metode CAMEL adalah sebagi berikut: Langkah I : Menghitung rasio berdasarkan rumus yang ditetapkan. Langkah II : Menghitung besarnya nilai kredit (credit point) untuk masingmasing komponen CAMEL. Langkah III : Mengalikan nilai kredit (credit point) tersebut dengan bobot masing-masing komponen CAMEL. Langkah IV : Menjumlahkan seluruh nilai komponen CAMEL. Langkah V : Memperhitungkan nilai kepatuhan berkaitan dengan: - Pemberian Kredit Usaha Kecil (KUK) - Pemberian kredit ekspor - Pelanggaran batas maksimum pemberian kredit - Ketentuan tentang posisi devisa neto Langkah VI : Menetapkan kategori kesehatan bank yang bersangkutan. Berdasarkan metode CAMEL, komponen capital dapat diukur melalui tingkat Capital Adequacy Ratio (CAR); komponen assets dapat diukur melalui tingkat Bad Debt Ratio (BDR) dan cadangan aktiva yang diklasifikasikan; komponen management dapat diukur melalui kualitas manajemen modal, manajemen aktiva, manajemen umum, manajemen rentabilitas, dan manajemen likuiditas; komponen earnings dapat diukur melalui tingkat Return on Assest (ROA) dan rasio antara beban operasional dengan pendapatan opersional (BOPO);
15 sedangkan komponen liquidity dapat diukur melalui tingkat Loan to Debt Ratio (LDR) dan Net Call Money to Current Assets (NCM to CA).
Faktor-faktor Penyebab Tingkat Non Performing Financing Faktor-faktor Penyebab Kredit Bermasalah Siamat (2005) menyatakan penyebab kredit bermasalah terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal erat kaitannya dengan kebijakan dan proses manajemen yang dilakukan oleh pihak bank. Faktor internal tersebut meliputi: a. Kebijakan perkreditan yang ekspansif Bank yang memiliki kelebihan dana (excess liquidity) sering menetapkan kebijakan perkreditan yang terlalu ekspansif yang melebihi pertumbuhan kredit secara wajar, yaitu dengan menciptakan sejumlah target kredit yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. Keharusan tersebut membuat pihak pemberi kredit untuk melakukan langkah yang lebih agresif dalam menyalurkan kredit sehingga kurang selektif dalam memilih calon debitur. b. Penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan Pejabat bank sering tidak mengikuti dan kurang disiplin terhadap pedoman dan tata cara pemberian kredit. Hal yang sering terjadi adalah bank tidak mewajibkan calon debitur untuk membuat studi kelayakan dan menyampaikan data secara lengkap. Penyimpangan sistem dan prosedur tersebut dapat terjadi karena jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki pihak bank kurang memadai. c. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit Untuk mengukur kelemahan sistem administrasi dan pengawasan kredit bank, dapat dilihat dari cara pihak bank dalam mengelola administrasi dan melakukan pengawasan kredit. Pihak bank sering melakukan kelalaian dalam meminta dokumen kredit, berkas perkreditan yang tidak lengkap dan tidak teratur, pemantauan usaha debitur tidak dilakuakan secara rutin, dan peninjauan langsung pada lokasi usaha debitur secara periodik. Hal ini dapat menyebabkan potensi kredit bermasalah tidak dapat dideteksi sejak dini. d. Lemahnya sistem informasi kredit Sistem informasi kredit yang tidak berjalan baik akan menyulitkan pendeteksian dini mengenai kredit bermasalah. Hal ini akan berdampak pada keterlambatan upaya pencegahan terjadinya kredit bermasalah. e. Itikad kurang baik dari pihak bank Pemilik dan pengurus bank sering melanggar ketentuan kehati-hatian perbankan, terutama ketentuan legal lending limit yang dilakukan dengan sengaja untuk mengambil keuntungan. Cara lain yang dilakukan adalah mengadakan kredit fiktif untuk kepentingan pemilik dan pengurus bank. Faktor eksternal yang menjadi penyebab kredit bermasalah lebih berkaitan dengan kondisi ekonomi global suatu daerah. Faktor eksternal kredit bermasalah dapat meliputi: a. Penurunan kegiatan ekonomi dan tingginya bunga kredit Kegiatan usaha debitur rentan terhadap terjadinya penurunan kegiatan ekonomi dan kenaikan suku bunga yang tinggi. Pada kondisi menurunnya
16 kegiatan ekonomi dan tingkat suku bunga yang tinggi, debitur tidak lagi mampu membayar cicilan kredit. b. Pemanfaatan iklan persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur Persaingan bank yang sangat ketat dalam penyaluran kredit dapat dimanfaatkan debitur yang memiliki itikad kurang baik untuk memperoleh kredit melebihi jumlah yang diperlukan untuk kegiatan usaha yang tidak jelas. c. Kegagalan usaha debitur Kegagalan usaha debitur dapat terjadi karena sifat usaha debitur yang sensitif terhadap pengaruh eksternal. Faktor eksternal yang dapat terjadi seperti kegagalan dalam pemasaran produk, perubahan harga pasar, adanya perubahan pola konsumen, dan pengaruh perekonomian nasional.
Hubungan Tingkat NPF dengan Variabel yang Diduga Berpengaruh a. Hubungan antara Tingkat NPF dengan Total Aset Salah satu faktor yang diduga dapat memengaruhi tingkat NPF BPRS adalah total aset yang dimiliki BPRS. Secara nasional, total aset BPRS mengalami peningkatan setiap tahunnya. Total aset yang dimiliki suatu lembaga perbankan dapat dijadikan indikator untuk ukuran bank. Bank dengan ukuran yang lebih besar atau total aset yang lebih banyak memiliki kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar apabila diikuti dengan hasil dari aktivitas bank tersebut (Firmansyah 2014). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Windriya (2014), tingkat NPF memiliki hubungan yang negatif dengan profitabilitas bank. Artinya, keuntungan yang lebih besar mengindikasikan rendahnya tingkat NPF yang dimiliki lembaga perbankan. Oleh karena itu, diharapkan semakin besar total aset yang dimiliki, akan semakin rendah tingkat NPF yang dimiliki suatu bank. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ranjan dan Dhal (2003) yang juga menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara ukuran bank dengan tingkat NPF. b. Hubungan antara Tingkat NPF dengan Tingkat FDR Tingkat FDR merupakan suatu indikator yang dapat digunakan untuk melihat kondisi likuiditas lembaga perbankan. Tingkat FDR merupakan perbandingan antara total pembiayaan yang disalurkan dengan total dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh pihak bank. Pihak bank harus mengontrol total pembiayaan yang disalurkan dan total dana pihak ketiga agar tingkat FDR tetap stabil. Jika pembiayaan yang disalurkan meningkat tanpa diikuti dengan perkembangan total DPK, akan menyebabkan tingkat FDR yang terlalu tinggi atau dapat dikatakan kondisi likuiditas yang tidak sehat. Kondisi likuiditas yang tidak sehat dapat memengaruhi profitabilitas yang akan diterima pihak bank. Poetry dan Sanrego (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Variabel Makro dan Mikro terhadap NPL Perbankan Konvensional dan NPF Perbankan Syariah menyatakan bahwa tingkat FDR pada bank syariah maupun bank konvensional memberikan dampak yang positif bagi tingkat NPF. Hal ini mengindikasikan pembiayaan yang disalurkan pihak bank tidak bermasalah. Penelitian tersebut juga mendapatkan hasil bahwa variabel yang
17 memiliki kontribusi terbesar terhadap NPF perbankan syariah adalah kondisi internal perbankan, yaitu tingkat FDR. c. Hubungan antara Tingkat NPF dengan PDRB PDRB merupakan total pendapatan masyarakat suatu wilayah pada suatu waktu tertentu. Angka pendapatan regional dalam beberapa tahun menggambarkan kenaikan dan penurunan tingkat pendapatan masyarakat pada wilayah tersebut. Pendapatan regional yang mengandung unsur inflasi disebut pendapatan regional atas dasar harga berlaku, sedangkan pendapatan regional yang sudah tidak mengandung unsur inflasi disebut pendapatan regional atas dasar harga konstan. Perhitungan PDRB secara konseptual menggunakan tiga pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan Produksi PDRB adalah jumlah nilai tambah barang atau jasa yang dihasilkan oleh beberapa unit produksi di wilayah suatu daerah dalam 9 lapangan usaha. 2. Pendekatan Pengeluaran PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan inventori, dan ekspor neto. 3. Pendekatan Pendapatan PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. PDRB merupakan suatu indikator yang dapat digunakan dalam melihat pertumbuhan perekonomian suatu provinsi. Jika total PDRB tinggi, dapat diindikasikan bahwa provinsi tersebut memiliki kondisi perekonomian yang baik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah (2014) menyatakan bahwa dengan meningkatnya GDP akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk melakukan kewajibannya dalam mengembalikan pembiayaan yang telah disalurkan oleh pihak bank. Provinsi-provinsi di Pulau Jawa cenderung memiliki total PDRB yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. Oleh karena itu, diharapkan kemampuan masyarakat di Pulau Jawa cenderung memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengembalikan pembiayaan yang telah disalurkan BPRS sehingga tingkat NPF BPRS akan lebih rendah. d. Hubungan antara Tingkat NPF dengan Tingkat Inflasi Inflasi merupakan peningkatan dalam keseluruhan tingkat harga (Mankiw 2006). Definisi inflasi menurut Bank Indonesia adalah suatu kondisi saat terjadi peningkatan harga-harga secara umum dan terus-menerus. Kenaikan harga barang dapat dikatakan inflasi jika kenaikan harga tersebut dapat mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya. Dengan meningkatnya harga barang, pengeluaran masyarakat juga akan meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan masyarakat dalam mengembalikan pembiayaan yang telah disalurkan oleh pihak bank. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Poetry dan Sanrego (2011) bahwa inflasi akan memberi dampak negatif terhadap tingkat NPL bank konvensional. e. Hubungan Tingkat NPF dengan Jumlah UMK Menurut Siamat (2005), kegiatan usaha debitur sangat erat kaitannya dengan penurunan kegiatan ekonomi dan peningkatan suku bunga yang tinggi.
18 Hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan pada usaha yang dilakukan oleh debitur. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kemampuan debitur dalam mengembalikan pembiayaan yang telah didapatkan sehingga dapat memicu terjadinya pembiayaan bermasalah. Selain itu, BPRS memiliki fokus dalam penyaluran pembiayaan untuk usaha dalam skala mikro, kecil, dan menengah. Oleh karena itu, jumlah pembiayaan bermasalah atau tingkat NPF BPRS sangat bergantung pada keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat non performing financing Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia. Salah satu penelitian yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Popita (2013). Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tingkat non performing financing Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia. Penelitian tersebut menggunakan variabel internal berupa Financing to Deposit Ratio (FDR), rasio return pembiayaan loss sharing dibagi dengan return total pembiayaan (RR), dan total aset, sedangkan variabel eksternal yang digunakan adalah Gross Domestic Product (GDP), inflasi, dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda. Hasil dari penelitian ini adalah pertumbuhan GDP riil dan FDR berpengaruh tidak signifikan positif terhadap NPF. Tingkat inflasi, SWBI, dan RR berpengaruh tidak signifikan negatif terhadap NPF, sedangkan total aset mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap NPF. Penelitian yang berjudul Analisis Kinerja NPL Perbankan di Indonesia serta Faktor-faktor yang Memengaruhinya mendapatkan hasil penelitian bahwa kinerja NPL perbankan di Indonesia tahun 2003 sampai tahun 2007 masih dalam keadaan yang cukup baik dan mengalami penurunan nilai NPL. Hasil uji klasik dari penelitian ini menyebutkan bahwa kelima variabel bebas yang digunakan (LDR, LAR, inflasi, BI rate, dan kredit yang diberikan) tidak ada yang memiliki perbedaan yang signifikan terhadap variabel terikat (NPL). Hasil uji klasik juga menyimpulkan bahwa hubungan NPL dengan LDR, LAR, inflasi, BI rate, dan kredit yang diberikan kurang kuat dan searah atau positif yang berarti bila NPL naik, maka LDR, LAR, inflasi, BI rate, dan kredit yang diberikan juga akan meningkat. Penelitian berjudul Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Profitabilitas Bank Umum Syariah di Indonesia yang dilakukan oleh Afifah (2014) juga menjadi acuan dalam menulis penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi data panel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembiayaan, CAR, FDR, dan NOM berhubungan positif dengan ROA BUS, sedangkan market share dan inflasi berpengaruh negatif dengan ROA BUS. Penelitian lain yang terkait adalah penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan (2009) dengan judul penelitian Analisis Pengaruh LDR, NIM, dan BOPO terhadap ROA Bank Umum Indonesia. Metode yang digunakan dalam
19 analisis ini adalah Ordinary Least Square (OLS). Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat kesehatan bank umum. Variabel bebas yang menjadi indikator adalah LDR, NIM, dan BOPO yang akan menjelaskan pengaruhnya terhadap ROA sebagai variabel terikat dalam mencapai kinerja yang maksimal untuk memperoleh profit bagi bank. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa baik secara bersama-sama atau parsial LDR, NIM, dan BOPO mempunyai pengaruh yang signifikan pada kepercayaan 99% terhadap ROA bank umum di Indonesia. Variabel bebas mampu menjelaskan 71% terhadap variabel terikat dan sisanya 29% merupakan variabel-variabel yang tidak termasuk dalam model estimasi. Penelitian berjudul Determinant of Non Performing Loan: The Case of Islamic Bank in Indonesia bertujuan untuk menganalisis tingkat kredit tidak lancar perbankan syariah dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Penelitian ini dilakukan oleh Firmansyah (2014). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran bank dan efisiensi bank tidak memengaruhi tingkat non performing financing, tingkat GDP dan inflasi memliki hubungan negatif pada tingkat non performing financing, dan tingkat likuiditas bank tidak menjadi penghubung antara ukuran bank, tingkat efisiensi bank, dan tingkat inflasi dengan tingkat non performing financing. Penelitian lainnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (2011) dengan judul Analisis Besarnya Pengaruh Pembiayaan, Financing to Deposit Ratio (FDR), dan Rasio Non Performing Financing (NPF) Terhadap Laba Bank Syariah (Studi Kasus PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk). Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh total dana pihak ketiga, pembiayaan, FDR, dan NPF terhadap laba bank syariah dan menganalisis pengaruh pembiayaan terhadap non performing financing. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier. Model yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua model regresi linier berganda, yaitu pengaruh dana pihak ketiga, pembiayaan, FDR, dan NPF terhadap laba, dan pengaruh pembiayaan terhadap non performing financing. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dana pihak ketiga berpengaruh positif terhadap laba. Selain itu, secara simultan variabel pembiayaan, FDR, dan NPF memiliki pengaruh nyata. Namun, secara parsial hanya pembiayaan dan NPF yang berpengaruh nyata terhadap laba. Pembiayaan berpengaruh positif terhadap laba, sedangkan NPF berpengaruh negatif terhadap laba. Model lain menunjukkan bahwa pembiayaan berpengaruh negatif terhadap non performing financing. Penelitian berjudul Kinerja Keuangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Pembiayaan BPR Syariah (Kasus pembiayaan usaha produktif pada PT BPRS Al-Salaam Amal Salman, Kel. Cinere, Depok) oleh Suhardiman (2009) juga terkait dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan menganalisis kinerja keuangan BPRS Al-Salaam Amal Salman serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kelancaran pengembalian pembiayaan. Analisis dilakukan dengan metode regresi logistik biner untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pengembalian pembiayaan. Hasil dari penelitian ini membuktikan BPRS Al-Salaam Amal Salman memiliki kinerja yang baik jika dilihat dari rasio non performing financing, likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas. Karakteristik individu yang signifikan memengaruhi tingkat pengembalian pembayaan di BPRS Al-Salaam Amal Salman adalah jangka waktu pengembalian pembiayaan, sedangkan
20 karakteristik usaha yang signifikan memengaruhi tingkat pengembalian pembiayaan adalah plafon pembiayaan. Penelitian lain adalah penelitian Krisnasari (2011) dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Non Performing Financing di BPR Syariah Berkah Amal Salman Bandung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tingkat non performing financing pada pembiayaan sepeda motor dan modal usaha di BPR Syariah Berkah Amal Salman. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang diperoleh dari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembiayaan bermasalah pada BPR Syariah Berkah Amal Salman adalah faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal berupa masih kurangnya pengetahuan nasabah tentang pembiayaan. Hal ini mencakup anggaran pendapatan dan informasi tentang anggaran, sedangkan faktor internal berupa manajemen pengelolaan keuangan yang belum optimal dan kinerja tim survei pihak bank yang kurang baik. Penelitian berjudul Pengaruh Variabel Makro dan Mikro terhadap NPL Perbankan Konvensional dan Perbankan Syariah dilakukan oleh Poetry dan Sanrego (2011). Penelitian ini menyatakan bahwa dalam jangka pendek tidak ada variabel yang memengaruhi NPL atau NPF secara signifikan. Dalam jangka panajng, variabel yang memengaruhi tingkat NPL adalah exchange rate, IPI, inflasi, SBI, LDR, dan CAR. Variabel yang memengaruhi tingkat NPF adalah equivalent rate, IPI, inflasi, SBIS, FDR, dan CAR. Tingkat NPF pada bank syariah lebih stabil dalam menghadapi guncangan variabel makro maupun mikro. Penelitian yang dilakukan oleh Wardoyo dan Rusdiyanti (2009) berjudul Faktor-faktor yang Memengaruhi Non Performing Loan Bank Perkreditan Rakyat di Eks Karesidenan Semarang menyatakan bahwa variabel CAR dan BOPO signifikan memengaruhi tingkat NPL dengan hubungan yang positif, sedangkan variabel ROA signifikan memengaruhi tingkat NPL dengan hubungan yang negatif. Artinya, semakin tinggi tingkat NPL akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan bunga kredit, sedangkan biaya operasional tetap harus dibayarkan sehingga akan memengaruhi laba operasional BPR. Penelitian dengan judul Perbandingan Faktor Penyebab Timbulnya NPL dan NPF pada Perbankan Konvensional dan Syariah di Indonesia yang dilakukan oleh Rahmawulan (2008) menggunakan analisis Impulse Responsive Function dan analisis regresi majemuk dengan mempertimbangkan faktor lag. Hasil penelitian menunjukkan bahwa NPL lebih cepat memberikan respon terhadap guncangan pertumbuhan GDP dibandingkan NPF, serta faktor-faktor yang memengaruhi NPL adalah pertumbuhan GDP pada 4 quarter sebelumnya, inflasi, LDR, dan perubahan SBI. Faktor-faktor yang memengaruhi NPF pada bank sayriah adalah pertumbuhan GDP pada 4 quarter sebelumnya dan inflasi pada 3 quarter sebelumnya. Penelitian berjudul Credit Risk of Islamic Banks in GCC Countries dilakukan oleh Al-Wesabi dan Ahmad (2013). Penelitian ini menggunakan data 25 bank syariah pada tahun 2006 sampai 2010. Penelitian ini menemukan bahwa pendapatan memiliki hubungan yang signifikan dan negatif terhadap risiko kredit. Variabel internal perbankan seperti likuiditas juga memiliki hubungan yang relevan dengan risiko kredit, sedangkan variabel makro seperti inflasi dan tingkat bunga tidak memiliki hubungan yang relevan dengan risiko kredit. Selain itu,
21 penelitian ini juga menyatakan bahwa risiko kredit yang dinilai dengan tingkat NPF dipengaruhi oleh kualitas manajemen, aset yang berisiko, dan GDP. Penelitian yang dilakukan oleh Abusharbeh (2014) dengan judul Credit Risks and Profitability of Islamic Banks: Evidence from Indonesia menyatakan bahwa pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah memiliki hubungan yang positif dengan tingkat NPF. Artinya, pembiayaan yang disalurkan memiliki kualitas yang buruk. Oleh karena itu, lembaga perbankan harus lebih selektif lagi dalam menyalurkan pembiayaan untuk mengurangi risiko dari pembiayaan yang disalurkan dan dapat meningkatkan kondisi likuiditas bank syariah. Selain itu, pembiayaan yang bersifat murabahah juga memiliki hubungan yang positif dengan NPF. Penelitian yang dilakukan oleh Setiwan dan Putri (2013) dengan judul NonPerforming Financing and Bank Efficiency of Islamic Banks in Indonesia menyatakan bahwa penyebab utama peningkatan NPF bank syariah di Indonesia periode tahun 2007 sampai 2012 adalah kelemahan dalam manajemen yang dimiliki oleh perbankan. Variabel lain yang memengaruhi tingkat NPF perbankan syariah dengan nilai koefisien tertinggi adalah tingkat ROA. Tingkat ROA, inflasi, dan GDP memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat NPF, sedangkan FDR dan tingkat bunga memiliki hubungan postitif dengan tingkat NPF. Penelitian berjudul Credit Risk, Macroeconomic and Bank Specific Factors in Jordania Bank yang dilakukan oleh Al-Smadi (2010) menyatakan bahwa variabel makroekonomi secara keseluruhan menjelaskan keragaman tingkat NPF sebesar 51.9%. Variabel makroekonomi yang signifikan memengaruhi tingkat NPF adalah GDP, inflasi, dan tingkat suku bunga pasar. Variabel internal perbankan lebih memengaruhi tingkat NPF jika dibandingkan dengan variabel makrokonomi. Variabel internal perbankan secara keseluruhan menjelaskan keragaman tingkat NPF sebesar 72%. Penelitian berjudul Islamic Rural Bank Profitability: Evidence from Indonesia yang dilakukan oleh Warninda (2014) menyatakan bahwa deposito mudharabah berjangka signifikan memengaruhi profitabilitas bank syariah dalam jangka pendek dan memiliki hubungan yang negatif. Tingkat NPF dalam jangka panjang akan menjadi variabel yang paling dominan dalam memengaruhi profitabilitas bank syariah dan memiliki hubungan negatif. Jadi, dalam jangka panjang tingkat NPF akan memberikan dampak buruk terhadap kondisi profitabilitas lembaga perbankan syariah.
Kerangka Pemikiran Dalam hal perbankan, Indonesia menganut dual system. Artinya, terdapat dua sistem perbankan di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Sistem perbankan syariah di Indonesia dijalankan oleh tiga jenis lembaga perbankan syariah, yaitu Bank Unit Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Penelitian ini difokuskan pada salah satu lembaga perbankan syariah, yaitu Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
22 Kinerja lembaga perbankan sangat perlu untuk diperhatikan karena akan memengaruhi keberlanjutan lembaga perbankan tersebut. Kinerja lembaga perbankan dapat memengaruhi tingkat profitabilitas yang akan didapatkan oleh pihak perbankan. Selain itu, keberlanjutan lembaga perbankan perlu diperhatikan karena lembaga perbankan memiliki peran yang sangat penting terhadap perkembangan perekonomian negara. Lembaga perbankan merupakan lembaga intermediasi bagi pihak-pihak yang ingin melakukan aktivitas kredit dan investasi. Selain itu, lembaga perbankan juga memiliki peran dalam menghimpun dan menyimpan dana masyarakat. Jika kinerja lembaga perbankan buruk, akan menyebabkan gangguan terhadap keberlanjutan lembaga perbankan tersebut. Jika hal ini terjadi, akan berdampak buruk bagi perkembangan perekonomian negara dan dapat mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. Salah satu indikator kinerja lembaga perbankan dapat dilihat dari tingkat NPF. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi tingkat NPF dapat berasal dari kondisi internal BPRS dan kondisi eksternal BPRS berupa kondisi perekonomian Indonesia. Faktor internal BPRS yang digunakan dalam penelitian ini adalah total aset dan tingkat Finance to Deposit Ratio (FDR). Total aset yang dimiliki BPRS diduga dapat memengaruhi tingkat profitabilitas BPRS yang dapat menggambarkan pembiayaan bermasalah yang terjadi pada BPRS tersebut. Tingkat FDR BPRS juga diduga dapat memengaruhi tingkat NPF karena tingkat FDR menggambarkan kondisi likuiditas BPRS yang mengandung unsur pembiayaan yang disalurkan untuk nasabah. Faktor eksternal yang digunakan dalam penelitian ini adalah total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tingkat inflasi di setiap, dan jumlah UMK di setiap provinsi. Total PDRB diduga dapat memengaruhi tingkat NPF BPRS karena PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan dalam mengukur pendapatan masyarakat. Pendapatan masyarakat dapat menggambarkan kemampuan masyarakat dalam mengembalikan pembiayaan yang telah disalurkan oleh BPRS. Selain itu, tingkat inflasi dan total UMK juga dapat memengaruhi tingkat NPF karena kedua indikator tersebut berkaitan dengan aktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi sekaligus sebagai nasabah yang mendapatkan pembiayaan dari BPRS. Tingkat inflasi yang terjadi akan menyebabkan peningkatan harga yang ada di masyarakat. Dengan adanya peningkatan harga, diduga masyarakat akan mengeluarkan lebih banyak biaya untuk melakukan konsumsi sehingga kemampuan masyarakat untuk mengembalikan pembiayaan yang disalurkan BPRS akan menurun. Total UMK juga diduga dapat memengaruhi tingkat NPF karena pihak BPRS memiliki fokus dalam memberikan pembiayaan untuk UMK sehingga pembiayaan bermasalah yang terjadi di BPRS dapat dipengaruhi oleh keberlangsungan usaha yang dijalankan oleh pelaku UMK. Metode analisis yang digunakan untuk menganlisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF tersebut adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan analisis panel data dengan pendekatan Fixed Effects Model (FEM). Dengan mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF, diharapkan dapat membantu berbagai pihak untuk menurunkan tingkat NPF BPRS, khususnya pada provinsi-provinsi yang memiliki tingkat NPF BPRS di atas tingkat NPF BPRS nasional.
23
BPRS
Kinerja BPRS
Total aset Tingkat FDR
Tingkat NPF
PDRB Inflasi Jumlah UMK Dummy regional interaksi dengan PDRB
Analisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF BPRS di Indonesia dengan pendekatan Fixed Effects Model (FEM)
Implikasi Kebijakan Gambar 8 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu, hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Tingkat inflasi dan jumlah UMK memiliki hubungan yang positif terhadap tingkat non performing financing Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia. 2. Total aset, tingkat FDR, dan PDRB memiliki hubungan yang negatif terhadap tingkat non performing financing Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia.
24
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Indonesia. Artinya, objek yang diteliti adalah BPRS yang terdapat di Indonesia. Sebagian besar dari provinsi-provinsi yang ada di Indonesia memiliki BPRS, namun hanya terdapat 19 provinsi yang memiliki kelengkapan data BPRS sejak tahun 2010 sampai tahun 2013, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Riau, Kepulauan Riau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Oleh karena itu, hanya 19 provinsi tersebut yang dapat dijadikan objek dalam penelitian ini. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Juli tahun 2015.
Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data dalam bentuk data panel, yaitu gabungan data cross section berupa data internal BPRS dan kondisi perekonomian pada 19 provinsi dan data time series tahunan mulai tahun 2010 sampai 2013. Data internal perbankan yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data Statistik Perbankan Syariah (SPS) yang dipublikasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Data internal perbankan yang digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini adalah data Non Performing Financing, Financing to Deposit Ratio, dan total aset. Selain data internal perbankan, penelitian ini juga menggunakan variabel makroekonomi berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), data inflasi provinsi, dan data jumlah UMK berdasarkan provinsi yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka, yaitu dengan melakukan studi telaah terhadap buku, jurnal, literatur, dan laporan yang terkait dengan permasalahan peneitian. Sumber data yang digunakan dapat berasal dari media cetak maupun internet. Tabel 6 Variabel-variabel penelitian No 1 2 3 4 5 6
Variabel Tingkat Non Performing Financing Tingkat Financing to Deposit Ratio Total aset Jumlah UMK berdasarkan provinsi Tingkat inflasi Produk Domestik Regional Bruto
Simbol
Satuan
Sumber Data
NPF
Persen
SPS
FDR
Persen
SPS
Ln_aset
Juta rupiah
SPS
Ln_UMK
Unit usaha
BPS
INF
Persen
BPS
Ln_PDRB
Juta rupiah
BPS
25 Metode Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan metode analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum mengenai perkembangan kinerja BPRS dan kondisi perekonomian di Indonesia dengan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian. Metode analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF pada BPRS di Indonesia Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan metode analisis yang digunakan untuk menggambarkan keadaan data secara umum. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan gambaran secara sistematis mengenai perkembangan kinerja BPRS di Indonesia dan kondisi perekonomian di Indonesia. Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini menggunakan bantuan grafis untuk menggambarkan perkembangan variabel-variabel terkait dalam periode waktu tertentu. Analisis Ekonometrika Data Panel Analisis kuantitaif dilakukan dengan menggunakan analisis panel data. Data panel merupakan gabungan dari data cross section dengan data time series. Penelitian ini menggunakan data cross section berupa data statistik perbankan syariah BPRS, data inflasi, data total PDRB, dan data jumlah UMK dalam skala tahunan mulai dari tahun 2010 sampai tahun 2013 (time series). Dengan menggunakan data panel, akan diperoleh gambaran tentang perilaku beberapa objek selama beberapa periode waktu (Juanda 2011). Menurut Firdaus (2011), keuntungan dari penggunaan data panel adalah mengurangi masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Proses analisis data yang dilakukan bertujuan untuk menganalisis hubungan variabel total aset, tingkat FDR, tingkat inflasi, total PDRB, dan jumlah UMK terhadap variabel tingkat Non Performing Financing (NPF) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia. Pada analisis regresi data panel terdapat 3 jenis pendekatan, yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effects Model (FEM), dan Random Effects Model (REM). Pendekatan PLS merupakan metode yang paling sederhana dalam estimasi regresi data panel, sedangkan pendekatan FEM dan REM dibedakan berdasarkan pada asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas atau regresor (Firdaus 2011). Untuk menentukan pendekatan regresi data panel yang tepat perlu dilakukan Chow Test untuk memilih antara PLS dengan FEM dan Hausman Test untuk memilih antara FEM dan REM. Pooled Least Square (PLS) Pendekatan Pooled Least Square merupakan gabungan dari seluruh data (pooled) sehingga terdapat N × T observasi, dengan N menunjukkan jumlah unit cross section dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan. Model yang umumnya digunakan dalam pendekatan Pooled Least Square adalah
26 Yit = α +
+ εit
dengan: Yit = nilai variabel dependen untuk setiap unit cross section α = intercept yang konstan antar waktu dan cross section = slope untuk variabel ke-j yang konstan antar waktu dan cross section = nilai variabel independen ke-j untuk setiap cross section εit = komponen error untuk setiap unit cross section ke-i pada periode waktu ke-t Pendekatan ini memiliki kelemahan, yaitu dugaan parameter β akan bias. Parameter yang bias ini sebagai akibat karena Pooled Least Square tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda. Fixed Effects Model (FEM) Pendekatan Fixed Effects Model adalah model yang dapat digunakan dengan mempertimbangkan bahwa peubah-peubah yang dihilangkan dapat mengakibatkan perubahan dalam intersep-intersep cross section dan time series. Selain itu, pendekatan ini juga dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang biasa dialami dalam pendekatan OLS yaitu asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu yang kurang sesuai dengan tujuan penggunaan data panel. Variabel dummy atau peubah boneka dapat ditambahkan ke dalam model untuk memungkinkan perubahan-perubahan intersep dan diduga dengan OLS sehingga persamaan dalam pendekatan FEM dapat ditulis sebagai berikut Yit = Σ αi Di + β Xit + εit dengan: Yit = variabel terikat Xit = variabel bebas α = intersep model yang berubah-ubah antar unit cross section β = slope Di = variabel dummy i = individu ke-i t = periode waktu ke-t ε = error Random Effects Models (REM) Pendekatan Random Effects Model (REM) sering juga disebut dengan error component model karena parameter yang berbeda antar individu maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error. Bentuk umum model pendekatan REM dapat ditulis dalam persamaan Yit = α0 + βXit +εit εit = uit + vit + wit dengan: uit ~ N (0, δU)2 = error component cross section vit ~ N (0, δV)2 = error component time series 2 wit ~ N (0, δW) = error component combinations Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah error secara individual tidak saling berkorelasi, begitu pula dengan error component combinations.
27 Penggunaan REM dapat menghemat derajat bebas tanpa mengurangi jumlah derajat bebas seperti pada pendekatan FEM. Hal ini akan menyebabkan parameter hasil estimasi dari pendekatan REM akan menjadi efisien dan model akan semakin baik. Tahap Pemilihan Model Data Panel Proses pengujian model perlu dilakukan untuk menentukan model yang tepat untuk diestimasi. Pengujian model digunakan untuk memilih antara Pooled Least Square, Fixed Effects Model, atau Random Effects Model yang merupakan model dugaan yang lebih efisien. Untuk memilih model yang sebaiknya digunakan, perlu dilakukan uji spesifikasi yaitu Chow Test dan Hausman Test.
Gambar 9 Tahapan pemilihan model Chow Test Chow Test dilakukan untuk memilih model yang terbaik antara Pooled Least Square dengan Fixed Effects Model untuk melakukan pendugaan model regresi data panel. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah H0 : Pooled Least Square H1 : Fixed Effects Model Dasar penolakan H0 adalah dengan menggunakan F-statistik dengan rumus: Chow = dengan: RSS1 = Residual Sum Square hasil pendekatan PLS RSS2 = Residual Sum Square hasil pendekatan FEM N = jumlah data cross section T = jumlah data time series K = jumlah variabel independen Jika Chow Statistic (F statistic) lebih dari taraf nyata (Fhit>Fα), cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 bahwa asumsi semua intersep konstan tidak benar dan model yang sebaiknya digunakan yaitu Fixed Effects Model. Hasil Chow Test pada model yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan nilai probabilitas 0.0000 < α 5% sehingga cukup bukti untuk tolak H0. Hasil ini menunjukkan bahwa pendekatan FEM lebih baik digunakan pada model penelitian dibandingkan dengan pendekatan PLS (Lampiran 4). Uji Hausman Uji Hausman dilakukan untuk memilih model yang terbaik antara Fixed Effects Model dengan Random Effects Model untuk melakukan pendugaan model regresi data panel. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah H0 : Random Least Square
28 H1 : Fixed Effects Model Dasar penolakan H0 adalah dengan menggunakan Hausman Statistic dan membandingkannya dengan chi square (Firdaus 2011). Hausman Statistic dirumuskan dengan: H = (βREM – βFEM)’(MFEM – MREM)-1(βREM – βFEM) ~ X2(k) dengan: M = matriks kovarians untuk parameter β k = degrees of freedom Jika nilai H hasil Hausman Test lebih besar dari X2 tabel, cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah Fixed Effects Model. Hasil Hausman Test pada model yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan nilai probabilitas 0.0001 < α 5% sehingga cukup bukti untuk tolak H0. Hasil ini menunjukkan bahwa pendekatan FEM lebih baik digunakan pada model yang digunakan dibandingkan dengan pendekatan REM (Lampiran 5).
Model Penelitian Model dalam penelitian ini mengacu kepada model penelitian yang dilakukan oleh Poetry dan Sanrego (2011). Penelitian berjudul Pengaruh Variabel Makro dan Mikro terhadap NPL Perbankan Konvensional dan NPF Perbankan Syariah tersebut menggunakan variabel independen berupa IPI, inflasi, nilai tukar, SBIS, SBI, LDR, FDR, dan CAR. Model yang digunakan dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan software Microsoft Excel 2013 dan Eviews 6. Persamaan estimasi model yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah NPF = a + b1 Ln_Aset it + b2 FDR + b3 INF it + b4 Ln_PDRB it + b5 Ln_UMK it + b6 DJawa*PDRB + eit dengan: NPF : Tingkat non performing financing BPRS (%) Ln_Aset : Total aset yang dimiliki BPRS di setiap provinsi (%) FDR : Financing to Deposit Ratio (%) INF : Tingkat inflasi (%) Ln_PDRB : Produk Domestik Regional Bruto (%) Ln_UMK : Jumlah usaha mikro dan kecil (%) DJawa*PDRB : Variabel dummy slope a : Konstanta b1it,-b6it : Koefisisen regresi eit : Residual
Evaluasi Model Setelah selesai melakukan pengolahan data dengan metode analisis regresi data panel, perlu dilakukan evaluasi terhadap model estimasi yang dihasilkan. Model estimasi yang telah dihasilkan harus dievaluasi berdasarkan dua kriteria, yaitu kriteria ekonometrika dan kriteria statistika. Pengujian model yang perlu
29 dilakukan untuk memenuhi kriteria ekonometrika adalah pengujian terhadap pelanggaran uji asumsi klasik. Dalam hal ini, terdapat empat jenis uji asumsi klasik yang harus dipenuhi, yaitu: a. Normalitas Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah residual dari data yang digunakan dalam penelitian telah terdistribusi secara normal atau tidak. Uji asumsi normalitas dalam data panel dapat dilakukan dengan Jarque-Bera Test atau dengan melihat plot dari residual. Hipotesis yang digunakan dalam uji normalitas adalah: H0 : Residual terdistribusi normal H1 : Residual tidak terdistribusi normal Dasar penolakan H0 adalah dengan membandingkan nilai probabilitas Jarque-Bera dengan nilai taraf nyata 0.05. Jika nilai probabilitas Jarque Bera lebih besar dari nilai taraf nyata, tidak cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga residual terdistribusi normal. b. Multikolinearitas Uji multikolinearitas digunakan untuk mendeteksi apakah terjadi hubungan linear antar variabel-variabel independen. Gejala multikolinearitas dapat dideteksi melalui nilai korelasi antar variabel independen yang melebihi angka 0.8. Selain itu, dapat dilihat juga dengan tingginya nilai R2, tetapi hanya sedikit variabel independen yang signifikan. c. Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas merupakan pelanggaran asumsi dari model regresi ketika ragam sisaan (εt) tidak sama atau tidak homogen. Pelanggaran asumsi ini lebih banyak ditemukan dalam data jenis cross section. Jika pada model ditemui heteroskedastisitas, model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Untuk jenis data panel, pelanggaran asumsi heteroskedastisitas dapat dilihat dari grafik standardized residual, apabila pada grafik terlihat ragam sisaan menyebar normal dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas dapat diatasi dengan menggunakan Generalized Least Square (GLS). d. Autokorelasi Menurut Juanda (2009), salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa tidak ada korelasi serial antara sisaan (ε t). Dengan pengertian lain, sisaan menyebar bebas atau Cov(εi, εj)=E(εi, εj)=0 untuk semua i≠j. Jika antar sisaan terdapat korelasi, terdapat masalah autokorelasi. Autokorelasi dapat dideteksi dengan menggunakan metode grafik atau dengan menggunakan Uji Durbin-Watson untuk data time series. Suatu model dapat dikatakan bebas dari masalah autokorelasi jika nilai Durbin-Watson terletak di daerah bebas autokorelasi. Penentuan daerah tersebut dibantu dengan melihat tabel nilai DL dan DU. Selang nilai statistic Durbin-Watson dan keputusannya adalah sebagai berikut: : tolak H0, ada autokorelasi negatif 4-DL < DW < 4 4-DU < DW < 4- DL : tidak tentu, coba uji yang lain DU < DW < 4- DU : terima H0 DL < DW < DU : tidak tentu, coba uji yang lain 0 < DW < DL : tolak H0, ada autokorelasi positif
30 Uji kriteria statistika digunakan untuk melihat apakah model yang digunakan adalah model yang tepat untuk menggambarkan hubungan antar variabel. Selain itu, uji kriteria statistik juga dilakukan untuk melihat signifikansi hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji kriteria statistika yang digunakan meliputi: a. Koefisien Determinasi (R2) Nilai koefisien determinasi (R2) dapat digunakan untuk mengukur proporsi keragaman variabel dependen yang dijelaskan oleh model regresi berganda. Nilai koefisien determinasi sering secara informal digunakan sebagai statistik untuk kebaikan dari kesesuaian model (goodness of fit) dan untuk membandingkan validitas hasil analisis model regresi. Koefisien determinasi memiliki sifat selalu bernilai positif dan berada pada selang 0 ≤ R 2 ≤ 1. Jika R2 bernilai 1, garis regresi dapat menggambarkan keragaman variabel dependen. Jika R 2 bernilai 0, tidak ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. b. Uji F Statistik Uji F statistik digunakan untuk melihat signifikansi secara bersama-sama variabel independen yang digunakan pada model dalam memengaruhi variabel dependen. Hipotesis yang digunakan dalam uji F adalah H0 : β0 = β1 = β2 = … = βk = 0 H1 : Minimal ada salah satu β ≠ 0 Kriteria tolak H0 jika F-hitung lebih dari Fα(k-1,n-k) atau probabilitas Fhitung lebih kecil dari nilai taraf nyata (α). Dengan tolak H0, dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan dalam model signifikan memengaruhi variabel dependen secara bersama-sama. c. Uji t Statistik Uji t statistik digunakan untuk melihat signifikansi masing-masing variabel independen yang digunakan pada model dalam memengaruhi variabel dependen. Hipotesis yang digunakan dalam uji t adalah: H0 : βi = 0 (variabel independen tidak memengaruhi variabel dependen) H1 : βi ≠ 0 = 1,2,3,…,n (variabel independen memengaruhi variabel dependen) Kriteria tolak H0 jika t-hitung lebih dari tα/2(n-k). Dengan tolak H0, dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan dalam model signifikan memengaruhi variabel dependen.
Variabel dan Definisi Operasional Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dan definisi operasionalnya adalah sebagai berikut: 1. Non Performing Financing (NPF) atau pembiayaan bermasalah merupakan perbandingan antara total pembiayaan bermasalah dengan total seluruh pembiayaan yang disalurkan oleh pihak bank. 2. Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan rasio antara total pembiayaan yang disalurkan dengan total dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh pihak bank. 3. Total aset adalah total kekayaan yang dimiliki oleh suatu pihak yang bisa diukur menggunakan satuan uang. Total aset BPRS meliputi kas, penempatan pada bank lain, pembiayaan, tagihan lainnya, aktiva istishna dalam
31
4.
5.
6. 7.
penyelesaian, penyisihan penyusutan, aset tetap dan inventaris, dan rupa-rupa aset. Dalam penelitian ini, data yang digunakan merupakan data total aset BPRS yang dimiliki masing-masing provinsi. Inflasi merupakan peningkatan dalam keseluruhan tingkat harga. Data inflasi provinsi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan rata-rata tingkat inflasi 82 kota di Indonesia yang mewakili masing-masing provinsi yang menjadi objek penelitian. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah total pendapatan masyarakat suatu wilayah pada suatu waktu tertentu. Dalam penelitian ini, data PDRB yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data PDRB atas dasar harga konstan 2000. Jumlah usaha mikro dan kecil yang digunakan merupakan jumlah UMK berdasarkan provinsi di Indonesia. Variabel dummy yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel dummy slope. Nilai dummy 1 untuk provinsi-provinsi yang berada di Pulau Jawa, sedangkan nilai dummy 0 untuk provinsi-provinsi yang berada di luar Pulau Jawa. Nilai-nilai dummy tersebut diinteraksikan dengan variabel PDRB.
32
HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dan Kondisi Perekonomian Indonesia Kinerja Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia Berdasarkan Regional Sebaran BPRS di Indonesia Secara Regional Jumlah BPRS di Indonesia sampai tahun 2014 mecapai 163 bank. BPRS memiliki jumlah bank paling banyak jika dibandingkan dengan lembaga perbankan syariah lainnya, yaitu BUS dan UUS yang memiliki jumlah bank sebanyak 12 dan 22 bank. Keberadaan 163 bank ini belum terdistribusi secara merata pada provinsi-provinsi di Indonesia (Tabel 7). Penyebaran jumlah BPRS di Indonesia masih terkonsentrasi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Dari total 163 BPRS, 105 BPRS terdapat di Pulau Jawa, 41 BPRS terdapat di Pulau Sumatera, 8 BPRS terdapat di Pulau Sulawesi, 4 BPRS terdapat di Pulau Bali dan Nusa Tenggara, 3 BPRS terdapat di Pulau Kalimantan, dan 2 BPRS terdapat di Pulau Papua dan Kepulauan Maluku. Sejak tahun 2010 sampai 2013, total BPRS secara nasional mengalami peningkatan dan stabil pada tahun 2014. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah BPRS di beberapa provinsi dan ada pula beberapa provinsi yang baru mendirikan BPRS, seperti Irian Jaya Barat yang mendirikan BPRS pada tahun 2012, Kalimantan Tengah yang mendirikan BPRS pada tahun 2013, dan Maluku yang mendirikan BPRS pada tahun 2014. Dari total 33 provinsi di Indonesia, terdapat 9 provinsi yang belum memiliki BPRS sampai tahun 2014, yaitu Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, NTT, dan Maluku. Beberapa provinsi sempat mengalami penurunan jumlah BPRS yang dimiliki, yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Kepulauan Riau. Pada tahun 2011, Jawa Barat mengalami penurunan jumlah BPRS yang dimiliki, yaitu dari 28 BPRS pada tahun 2010 menjadi 27 BPRS pada tahun 2011, namun pada tahun 2013 jumlah BPRS di Jawa Barat meningkat kembali menjadi 28 BPRS. Hal ini juga terjadi pada Provinsi Riau. Provinsi Riau sempat mengalami penurunan jumlah BPRS pada tahun 2012 sebanyak 2 BPRS, namun terjadi peningkatan sebanyak 1 BPRS pada tahun 2014. Provinsi Sumatera Utara memiliki 10 BPRS pada tahun 2011, namun setelah tahun 2011 terjadi penurunan jumlah BPRS menjadi 8 BPRS dan tidak terjadi peningkatan sampai tahun 2014. Provinsi Kepulauan Riau juga mengalami penurunan jumlah BPRS, yaitu sebanyak 1 BPRS pada tahun 2014. Provinsi-provinsi yang cenderung mengalami peningkatan jumlah BPRS dalam 5 tahun terakhir adalah DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Provinsi yang mengalami peningkatan jumlah BPRS paling banyak dalam 5 tahun terakhir adalah Jawa Tengah, yaitu sebanyak 4 BPRS. Provinsi Lampung mengalami peningkatan sebanyak 3 BPRS, Jawa Timur mengalami peningkatan sebanyak 2 BPRS,
33 sedangkan DI Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing mengalami peningkatan sebanyak 1 BPRS. Tabel 7 Jumlah BPRS menurut provinsi tahun 2010-2014 No
Provinsi
2010 1 Jawa Barat 28 2 Banten 8 3 DKI Jakarta 2 4 DI Yogyakarta 10 5 Jawa Tengah 21 6 Jawa Timur 29 7 Bengkulu 2 8 Jambi 9 Aceh 10 10 Sumatera Utara 8 11 Sumatera Barat 6 12 Riau 4 13 Sumatera Selatan 1 14 Bangka Belitung 1 15 Kepulauan Riau 1 16 Lampung 5 17 Kalimantan Selatan 1 18 Kalimantan Barat 19 Kalimantan Timur 1 20 Kalimantan Tengah 21 Sulawesi Tengah 22 Sulawesi Selatan 7 23 Sulawesi Utara 24 Gorontalo 25 Sulawesi Barat 26 Sulawesi Tenggara 27 NTB 3 28 Bali 1 29 NTT 30 Maluku 31 Papua 1 32 Irian Jaya Barat 33 Maluku Utara Total 150 Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014.
2011 27 8 2 11 21 30 2 10 10 7 4 1 1 1 6 1 1 7 3 1 1 155
Tahun 2012 2013 27 28 8 8 2 2 11 11 24 25 31 31 2 2 10 10 8 8 7 7 2 2 1 1 1 1 2 2 7 8 1 1 1 1 1 7 8 3 3 1 1 1 1 1 1 158 163
2014 28 8 2 11 25 31 2 10 8 7 3 1 1 1 8 1 1 1 8 3 1 1 1 163
Tingkat Non Performing Financing (NPF) Tingkat NPF BPRS mulai mengalami penurunan yang menurun pada tahun 2010. Setelah tahun 2010, tingkat NPF BPRS mengalami peningkatan sampai tahun 2014. Peningkatan NPF tertinggi terjadi pada tahun 2014. Pada tahun 2014, tingkat NPF BPRS meningkat sebesar 1.39% dari tahun 2013 sehingga mencapai angka 7.89%. Angka tersebut melebihi standar tingkat NPF yang telah ditetapkan BI, yaitu sebesar 5%. Tingkat NPF BPRS pada provinsi-provinsi di Indonesia cenderung tidak stabil dan tidak tersebar secara merata (Gambar 10). Pada tahun 2013, terdapat
34 beberapa provinsi yang memiliki tingkat NPF di atas tingkat NPF nasional sebesar 6.5%. Terdapat 9 provinsi yang memiliki tingkat NPF di atas tingkat NPF nasional, yaitu Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Provinsi yang memiliki tingkat NPF di bawah tingkat NPF nasional ada 10 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Banten, dan NTB.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2013
Gambar 10 Tingkat NPF BPRS menurut provinsi tahun 2010-2013 Tingkat Financing to Deposit Ratio (FDR) Tingkat FDR merupakan perbandingan antara total pembiayaan yang disalurkan dengan total dana pihak ketiga yang dihimpun pihak BPRS. Tingkat FDR yang dimiliki BPRS beberapa tahun terakhir cenderung mengalami fluktuasi. Tingkat FDR dapat menggambarkan kondisi likuiditas lembaga perbankan. Bank Indonesia menetapkan ketentuan untuk rasio FDR sebesar 110% atau lebih diberikan nilai kredit 0 atau likuiditas bank tersebut dinilai tidak sehat, sedangkan untuk rasio FDR di bawah 110% diberikan nilai kredit 100 atau likuiditas bank tersebut dinilai sehat. Tingkat FDR BPRS secara nasional berada di atas angka 110% (Gambar 11). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat likuiditas BPRS tidak sehat karena banyaknya pembiayaan yang disalurkan belum diikuti dengan banyaknya jumlah DPK yang dihimpun.
Persen (%)
140 130
128.47
127.71
120.96
120.93
2012
2013
124.24
120 110 100 2010
2011
Tahun
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 11 Tingkat FDR BPRS tahun 2010-2014
2014
35 Tingkat FDR BPRS pada provinsi-provinsi cenderung berfluktuasi (Gambar 12). Pada tahun 2013, hampir seluruh provinsi yang dijadikan objek penelitian mengalami penurunan tingkat FDR yang cukup signifikan, kecuali Provinsi Bali. Pada tahun 2013, hanya Provinsi Riau dan Bali yang memiliki tingkat FDR di atas tingkat FDR BPRS secara nasional sebesar 120.93%.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2013
Gambar 12 Tingkat FDR BPRS menurut provinsi tahun 2010-2013 Total Aset Perkembangan kinerja BPRS di Indonesia berkembang sangat pesat jika dilihat dari kepemilikan aset (Gambar 13). Total aset yang dimiliki BPRS mencakup kepemilikan kas, penempatan pada bank lain, pembiayaan, tagihan lainnya, aktiva istishna dalam penyelesaian, penyisihan penyusutan, aset tetap dan inventaris, dan rupa-rupa aset. Sampai triwulan kedua tahun 2014, nilai aset industri perbankan syariah telah mencapai Rp250.55 triliun. Rata-rata pertumbuhan industri perbankan syariah pada tiga tahun terakhir mencapai 36%. Rata-rata pertumbuhan ini melebihi rata-rata pertumbuhan industri perbankan konvensional. Tingginya rata-rata pertumbuhan industri perbankan syariah tersebut membuat market share industri perbankan syariah hampir mencapai 5%.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 13 Pertumbuhan total aset BPRS Indonesia tahun 2008-2014
36 Aset yang dimiliki BPRS mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan yang terjadi pada tahun 2014 sebesar 12.7%. Walaupun mengalami peningkatan setiap tahunnya, persentase peningkatan total aset pada tahun 2014 mengalami penurunan dari peningkatan total aset pada tahun sebelumnya, yaitu sebesar 24.1%. Peningkatan aset BPRS secara nasional ini belum terdistribusi secara merata di setiap provinsi yang ada di Indonesia (Gambar 14).
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2013
Gambar 14 Pertumbuhan total aset BPRS Indonesia menurut provinsi tahun 20102013
Miliar rupiah
Kondisi Perekonomian Indonesia di Provinsi Lokasi BPRS Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indikasi yang dapat digunakan dalam melihat kondisi perekonomian suatu negara. Dalam lima tahun terakhir, PDB Indonesia mengalami peningkatan (Gambar 15). Akan tetapi, laju pertumbuhan PDB mengalami penurunan sejak tahun 2011 sampai tahun 2014. Laju pertumbuhan PDB pada tahun 2011 mencapai angka 6.49%, namun pada tahun 2014 laju pertumbuhan PDB hanya mencapai angka 5.06%. 3000000 2800000 2600000 2400000 2200000 2000000
2010
2011
2012 Total GDP
2013
2014
Sumber: Badan Pusat Statistik 2014
Gambar 15 Pertumbuhan total PDB atas dasar harga konstan 2000 tahun 20102014
37 Peningkatan PDB secara nasional diikuti dengan peningkatan PDRB di setiap provinsi yang dijadikan objek penelitian. Namun, pendistribusian total PDB belum terjadi secara merata pada seluruh provinsi di Indonesia. Dari 19 provinsi yang dijadikan objek penelitian, terdapat beberapa provinsi yang memiliki total PDRB jauh di atas rata-rata, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah (Gambar 16). Provinsi-provinsi yang memiliki total PDRB di atas rata-rata terpusat di Pulau Jawa yang merupakan pusat aktivitas perekonomian negara Indonesia. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa perkembangan ekonomi di Indonesia belum terjadi secara merata.
Sumber: Badan Pusat Statistik 2014
Gambar 16 Pertumbuhan total PDRB atas dasar harga konstan 2000 tahun 20102013 Selain PDB dan PDRB, salah satu indikator perekonomian suatu wilayah adalah tingkat inflasi. Inflasi merupakan keadaan harga barang atau jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat mengalami peningkatan atau dapat diartikan dengan turunnya daya jual mata uang suatu negara. Adanya tingkat inflasi yang meningkat dapat mengakibatkan perubahan terhadap perilaku masyarakat sebagai pelaku aktivitas ekonomi. Berdasarkan data yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi Indonesia pada tahun 2011 mengalami penurunan menjadi 3.79% dari sebelumnya pada tahun 2010 mencapai angka 6.96%. Setelah tahun 2011, inflasi mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga pada tahun 2014 tingkat inflasi mencapai angka 8.36%. Peningkatan tersebut juga terjadi secara merata hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Tingkat inflasi pada 19 provinsi di Indonesia yang dijadikan objek penelitian mengalami penurunan pada tahun 2011, kemudian setelah tahun 2011 tingkat inflasi selalu mengalami peningkatan (Gambar 17). Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat inflasi yang terjadi hampir merata di 19 provinsi yang dijadikan sebagai objek penelitian. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2013. Salah satu alasan dari terjadinya peningkatan inflasi yang tinggi pada tahun 2013 adalah meningkatnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Peningkatan harga BBM akan berpengaruh pada harga produk lain sehingga hal ini dapat menyebabkan kenaikan tingkat inflasi.
Persen (%)
38 20 15 10 5 0
2010
2011
2012
2013
Sumber: Badan Pusat Statistik 2013
Gambar 17 Tingkat inflasi menurut provinsi tahun 2010-2013
Unit UMK
Salah satu penyokong perkembangan ekonomi suatu wilayah adalah keberadaan usaha skala mikro, kecil, dan menengah. Berdasarkan data pada Narasi Statistik UMKM, usaha dalam skala mikro, kecil, dan menengah memiliki proporsi kontribusi yang lebih besar dalam PDB jika dibandingkan dengan usaha dalam sakla besar. Pada tahun 2011, UMKM memiliki kontribusi sebesar 57.60% dari total PDB nasional atau sebesar 1 369.3 triliun rupiah, sedangkan pada tahun 2012 mengalami peningkatan kontribusi mencapai 1 504.9 triliun rupiah. Selain itu, UMKM juga mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Pada tahun 2011, UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 101 722 458 jiwa atau sebesar 97.24% dari total penyerapan tenaga kerja yang ada. 900000 800000 700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0
2010
2011
2012
2013
Sumber: Badan Pusat Statistik 2013
Gambar 18 Jumlah industri mikro dan kecil menurut provinsi tahun 2010-2013
Hubungan antara Tingkat Non Performing Financing dengan Kondisi Perekonomian Regional Tingkat Non Performing Financing (NPF) merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan dalam mengukur kinerja suatu lembaga perbankan. Tingkat NPF dapat dipengaruhi oleh variabel-variabel internal lembaga perbankan dan
39 variabel-variabel eksternal lembaga perbankan berupa kondisi perekonomian. Penelitian ini menggunakan variabel internal BPRS berupa total aset yang dimiliki BPRS pada suatu provinsi dan tingkat FDR. Kondisi internal BPRS di masingmasing provinsi sangat beragam. Jika dilihat dari total aset, terdapat beberapa provinsi yang memiliki total aset BPRS jauh lebih besar jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Variabel eksternal BPRS yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat inflasi, total PDRB, dan jumlah UMK. Tabel 8 menjelaskan hubungan antara tingkat NPF pada tahun 2013 dengan kecenderungan perkembangan variabel-variabel independen. Sembilan belas provinsi yang dijadikan objek penelitian dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu provinsi yang memiliki tingkat NPF di atas tingkat NPF nasional pada tahun 2013 dan provinsi yang memiliki tingkat NPF di bawah tingkat NPF nasional pada tahun 2013, sedangkan kecenderungan perkembangan variabel independen menggunakan periode tahun 2010 sampai tahun 2013. Pada tahun 2013, tingkat NPF BPRS secara nasional mencapai angka 6.5%. Pada tahun tersebut, terdapat 9 provinsi yang memiliki tingkat NPF di atas tingkat NPF nasional, yaitu Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Provinsi yang memiliki tingkat NPF di bawah tingkat NPF nasional berjumlah 10, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan NTB. Hal ini mengindikasikan bahwa hampir dari sebagian jumlah provinsi yang memiliki BPRS memiliki tingkat NPF yang sangat tinggi. Sembilan provinsi yang memiliki tingkat NPF di atas tingkat NPF nasional memiliki kecenderungan tingkat FDR BPRS yang menurun. Penurunan tingkat FDR ini cukup baik mengingat tingkat FDR BPRS secara nasional berada di atas standar kesehatan likuiditas yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, namun tingkat FDR tetap perlu dijaga kestabilannya agar tidak jatuh ke nilai yang terlalu rendah sehingga peran BPRS sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Untuk total aset, 8 provinsi memiliki kecenderungan meningkat dan 1 provinsi cenderung mengalami penurunan. Provinsi yang mengalami penurunan dalam total aset BPRS adalah Kalimantan Timur. Sembilan provinsi dengan tingkat NPF di atas tingkat NPF nasional memiliki total PDRB yang cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang cukup baik di provinsi-provinsi tersebut. Untuk tingkat inflasi, sembilan provinsi tersebut memiliki kecenderungan yang lebih beragam. Provinsi yang memiliki kecenderungan berfluktuasi adalah Provinsi Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, Riau, DKI Jakarta, dan Bali; provinsi yang memiliki kecenderungan meningkat adalah Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan; provinsi yang memiliki kecenderungan menurun adalah Kalimantan Timur. Untuk jumlah UMK, provinsi yang memiliki kecenderungan berfluktuasi adalah Aceh, Bangka Belitung, Riau, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur; provinsi yang memiliki kecenderungan meningkat adalah Bengkulu, DKI Jakarta, Bali, dan Sulawesi Selatan. Sepuluh provinsi yang memiliki tingkat NPF di bawah tingkat NPF nasional memiliki kecenderungan total aset yang meningkat dan total PDRB yang meningkat. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa sepuluh provinsi yang memiliki
40 tingkat NPF di bawah tingkat NPF nasional memiliki BPRS dengan kinerja yang baik karena dapat meningkatkan total aset yang dimiliki dan dapat menjaga tingkat NPF tetap berada di bawah tingkat NPF nasional. Selain itu, kondisi perekonomian pada sepuluh provinsi tersebut berkembang dengan cukup baik. Untuk tingkat FDR, provinsi yang memiliki kecenderungan berfluktuasi adalah Sumatera Utara dan Lampung; provinsi yang memiliki kecenderungan meningkat adalah Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Banten; provinsi yang memiliki kecenderungan menurun adalah Kepulauan Riau, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan NTB. Untuk tingkat inflasi, provinsi yang memiliki kecenderungan berfluktuasi adalah Kepulauan Riau; provinsi yang memiliki kecenderungan menurun adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan NTB; provinsi yang memiliki kecenderungan meningkat adalah Lampung, Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Untuk jumlah UMK, provinsi yang memiliki kecenderungan berfluktuasi adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Lampung, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan NTB; provinsi yang memiliki kecenderungan meningkat adalah Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Banten. Tabel 9 menjelaskan hubungan tingkat NPF pada tahun 2013 dengan variabel internal berupa FDR BPRS pada tahun 2013 dan variabel eksternal BPRS berupa tingkat inflasi pada tahun 2013. Tingkat FDR BPRS nasional pada tahun 2013 mencapai angka 120.93%. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi likuiditas BPRS dalam keadaan yang tidak baik. Dari 9 provinsi yang memiliki tingkat NPF BPRS di atas tingkat NPF nasional, terdapat 2 provinsi yang memiliki tingkat FDR di atas tingkat FDR nasional, yaitu Provinsi Bengkulu dan Riau serta terdapat 7 provinsi yang memiliki tingkat FDR di bawah tingkat FDR nasional, yaitu Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Dari 10 provinsi yang memiliki tingkat NPF BPRS di bawah tingkat NPF nasional, kesepuluh provinsi tersebut memiliki tingkat FDR di bawah tingkat FDR nasional. Hal ini menjelaskan bahwa provinsi-provinsi yang memiliki tingkat FDR di atas tingkat FDR nasional berada pada klasifikasi tingkat provinsi yang memiliki tingkat NPF di atas tingkat NPF nasional. Artinya, tingginya tingkat FDR yang dimiliki BPRS yang menggambarkan buruknya kondisi likuiditas juga dapat menggambarkan tingginya tingkat NPF BPRS. Pada tahun 2013, dari 9 provinsi yang memiliki tingkat NPF di atas tingkat NPF nasional terdapat 4 provinsi yang memiliki tingkat inflasi di atas inflasi nasional, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, dan Jawa Timur. Terdapat 5 provinsi yang memiliki tingkat inflasi di bawah tingkat inflasi nasional, yaitu Aceh, Lampung, Jawa Barat, Banten, dan NTB. Artinya, provinsi-provinsi yang memiliki tingkat NPF di atas tingkat NPF nasional cenderung memiliki tingkat inflasi provinsi di bawah tingkat inflasi nasional. Dari 10 provinsi yang memiliki tingkat NPF BPRS di bawah tingkat NPF nasional, terdapat 7 provinsi yang memiliki tingkat inflasi di atas tingkat inflasi nasional, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Banten, dan NTB. Terdapat 3 provinsi yang memiliki tingkat inflasi di bawah tingkat inflasi nasional, yaitu Lampung, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa provinsi-provinsi yang memiliki tingkat NPF di bawah tingkat NPF nasional cenderung memiliki tingkat inflasi di atas tingkat inflasi nasional.
41
Tabel 8 Kecenderungan hubungan tingkat NPF dengan kinerja BPRS dan kondisi perekonomian di wilayah BPRS Klasifikasi provinsi Provinsi dengan tingkat NPF di atas NPF nasional (9 provinsi)
Provinsi dengan tingkat NPF di bawah NPF nasional (10 provinsi)
FDR Dari 9 provinsi yang memiliki tingkat NPF di atas NPF nasional, 9 provinsi tersebut memiliki tingkat FDR yang cenderung menurun.
Dari 10 provinsi yang memiliki tingkat NPF di bawah NPF nasional, 2 provinsi memiliki tingkat FDR yang cenderung fluktuatif, 3 provinsi cenderung meningkat, dan 5 provinsi cenderung menurun.
Kinerja BPRS dan kondisi perekonomian Aset Inflasi PDRB Dari 9 provinsi yang Dari 9 provinsi yang Dari 9 provinsi memiliki tingkat memiliki tingkat yang memiliki NPF di atas NPF NPF di atas NPF tingkat NPF di nasional, 8 provinsi nasional, 6 provinsi atas NPF memiliki total aset memiliki tingkat nasional, 9 yang cenderung inflasi yang provinsi tersebut meningkat dan 1 cenderung fluktuatif, memiliki total provinsi cenderung 2 provinsi PDRB yang menurun. cenderung cenderung meningkat, dan 1 meningkat. provinsi cenderung menurun. Dari 10 provinsi yang Dari 10 provinsi Dari 10 provinsi memiliki tingkat NPF yang memiliki yang memiliki di bawah NPF tingkat NPF di tingkat NPF di nasional, 10 provinsi bawah NPF bawah NPF tersebut memiliki total nasional, 1 provinsi nasional, 10 aset yang cenderung memiliki tingkat provinsi tersebut meningkat. inflasi yang memiliki total cenderung fluktuatif, PDRB yang 4 provinsi cenderung cenderung menurun, meningkat. dan 5 provinsi cenderung meningkat.
UMK Dari 9 provinsi yang memiliki tingkat NPF di atas NPF nasional, 5 provinsi memiliki total UMK yang cenderung fluktuatif dan 4 provinsi yang cenderung meningkat.
Dari 10 provinsi yang memiliki tingkat NPF di bawah NPF nasional, 7 provinsi memiliki total UMK yang cenderung fluktuatif dan 3 provinsi cenderung meningkat.
41
42
Tabel 9 Hubungan tingkat NPF dengan tingkat FDR dan tingkat inflasi tahun 2013 FDR Inflasi Klasifikasi provinsi Di bawah FDR Di bawah inflasi Di atas FDR nasional Di atas inflasi nasional nasional nasional Provinsi dengan tingkat Dari 9 provinsi yang Dari 9 provinsi yang Dari 9 provinsi yang Dari 9 provinsi yang NPF di atas NPF nasional memiliki tingkat NPF memiliki tingkat memiliki tingkat NPF memiliki tingkat (9 provinsi) di atas NPF nasional, NPF di atas NPF di atas NPF nasional, NPF di atas NPF terdapat 2 provinsi nasional, terdapat 7 terdapat 4 provinsi yang nasional, 5 provinsi yang memiliki tingkat provinsi yang memiliki tingkat inflasi memiliki tingkat FDR di atas tingkat memiliki tingkat di atas tingkat inflasi inflasi di bawah FDR nasional. FDR di bawah nasional. tingkat inflasi tingkat FDR nasional. nasional. Provinsi dengan tingkat Dari 10 provinsi yang Dari 10 provinsi yang Dari 10 provinsi yang Dari 10 provinsi yang NPF di bawah NPF memiliki tingkat NPF memiliki tingkat NPF memiliki tingkat NPF di memiliki tingkat NPF nasional (10 provinsi) di bawah NPF di bawah NPF bawah NPF nasional, di bawah NPF nasional, tidak terdapat nasional, 10 provinsi terdapat 7 provinsi yang nasional, terdapat 3 provinsi yang memiliki tersebut memiliki memiliki tingkat inflasi provinsi yang tingkat FDR di atas tingkat FDR di bawah di atas tingkat inflasi memiliki tingkat tingkat FDR nasional. tingkat FDR nasional. nasional. inflasi di bawah inflasi nasional.
43
43 Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia Hasil Uji Model Model yang digunakan dalam penelitian harus memenuhi kriteria statistika dan kriteria ekonometrika. Penilaian berdasarkan kriteria statistika perlu dilakukan untuk mengetahui kebaiksuaian model yang diestimasi. Setelah dilakukan tahapan-tahapan dalam menentukan pendekatan model terbaik, pendekatan model terbaik yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Fixed Effects Model dengan pembobotan GLS Cross-section Weights. Hasil estimasi menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.936718. Nilai koefisien determinasi tersebut menunjukkan bahwa sebesar 93.67% keragaman dari variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen, sedangkan sisanya sebesar 6.33% dapat dijelaskan variabel-variabel lain di luar model. Nilai Prob (F-statistic) yang dihasilkan dari estimasi model menunjukkan nilai sebesr 0.000000. Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai taraf nyata (α) sebesar 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada satu variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen berupa tingkat non performing financing BPRS pada selang kepercayaan 95%. Uji-t dilakukakan untuk melihat signifikansi masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Uji tersebut dapat dilakukan dengan cara melihat nilai t-statistic pada masing-masing variabel independen. Suatu variabel independen dikatakan signifikan memengaruhi variabel dependen jika nilai tstatistic lebih kecil dari nilai α sebesar 5%. Variabel independen tingkat FDR, total aset, tingkat inflasi, total PDRB, dan jumlah UMK memiliki nilai t-statistic lebih kecil dari nilai α 5% sehingga dapat dikatakan variabel-variabel tersebut secara parsial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat non performing financing BPRS. Selain memenuhi kriteria statistika, kriteria ekonometrika juga harus dipenuhi. Kriteria ekonometrika suatu estimasi model dapat dipenuhi melalui uji asumsi klasik. Uji asumsi klasik yang dilakukan adalah uji normalitas, multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi. 1. Uji Normalitas Uji normalitas pada software E-views 6 dilakukan dengan menggunakan Jarque-Bera Test. Hasil perhitungan uji normalitas menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.058221. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan nilai α sebesar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak cukup bukti untuk tidak menerima H0 sehingga residual terdistribusi normal. Dapat disimpulkan bahwa kriteria normalitas model telah terpenuhi. 2. Uji Multikolinearitas Persyaratan kecukupan untuk terbebas dari pelanggaran uji asumsi multikolinearitas adalah nilai korelasi antar variabel independen tidak melebihi nilai R2. Hasil perhitungan nilai korelasi antar variabel dapat dilihat dengan menggunakan software Eviews 6 yang dilampirkan pada Lampiran 7. Dengan melihat hasil tersebut, tidak ada nilai korelasi antar variabel yang melebihi nilai R2 sebesar 0.936718. Dapat disimpulakn bahwa model yang digunakan bebas dari pelanggaran multikolinearitas.
44 3. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisistas pada analisis data panel dapat dilakukan dengan membandingkan nilai Sum Square Resid Weighted Statistic dengan nilai Sum Square Resid Unweighted Statistic. Pada penelitian ini, nilai Sum Square Resid Weighted Statistic (2136.696) < nilai Sum Square Resid Unweighted Statistic (3156.783). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini terjadi heteroskedastisitas. Pelanggaran asumsi heteroskedastisitas ini telah diatasi dengan menggunakan Generalized Least Square (GLS). 4. Uji Autokorelasi Pengujian untuk mendeteksi pelanggaran asumsi autokorelasi dapat dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson Statistic pada model dan membandingkannya dengan nilai DW-tabel. Nilai Durbin Watson Statistic berada pada daerah bebas autokorelasi sehingga model yang digunakan dalam penelitian tidak mengalami pelanggaran autokorelasi.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia Hasil estimasi dari model yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan terdapat empat dari enam variabel independen yang signifikan memengaruhi tingkat Non Performing Financing (NPF) BPRS di Indonesia (Tabel 10). Variabel-varibel yang signifikan meliputi tingkat FDR, total aset, tingkat inflasi, dan jumlah UMK. Dari empat variabel yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat NPF BPRS, terdapat satu variabel yang tidak sesuai dengan hipotesis awal, yaitu tingkat inflasi. Nilai koefisien determinasi dari model estimasi menunjukkan angka yang cukup tinggi, yaitu 0.936718. Artinya, sebesar 93.67% keragaman variabel dependen yang digunakan dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen di dalam model. Tabel 10 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF BPRS di Indonesia Variable Coefficient Std. Error C 9.793674 105.6035 FDR -0.044170 0.004321 INF -0.297526 0.076180 Ln_Aset -6.250914 1.352518 Ln_UMK 6.497355 0.628340 Ln_PDRB 1.707630 3.355571 DJawa*PDRB 3.816299 6.810101 R-squared Adjusted R-squared Prob (F-statistic) Keterangan: * signifikan pada taraf nyata 1%
t-Statistic 0.092740 -10.22220 -3.905536 -4.621685 10.34051 0.508894 0.560388
Prob. 0.9265 0.0000* 0.0003* 0.0000* 0.0000* 0.6130 0.5777 0.936718 0.906939 0.000000
Variabel Financing to Deposit Ratio (FDR) signifikan memengaruhi tingkat NPF pada probabilitas sebesar 0.0000 sehingga variabel FDR signifikan pada taraf nyata α 1%. Tingkat FDR memiliki hubungan negatif dengan tingkat NPF BPRS dengan nilai koefisien sebesar 0.04. Hubungan negatif ini akan
45 berdampak baik pada tingkat NPF. Artinya, jika tingkat FDR naik sebesar 1%, tingkat NPF BPRS akan menurun sebanyak 0.04% saat variabel independen lain dianggap konstan. Hasil estimasi ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Poetry dan Sanrego (2011) yang menyebutkan bahwa NPF bank syariah merespon negatif terhadap guncangan variabel FDR. Hal ini mengindikasikan bahwa ekspansi pembiayaan yang dilakukan oleh pihak BPRS memiliki kualitas yang baik. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa variabel yang memiliki kontribusi besar terhadap tingkat NPF bank syariah adalah kondisi internal perbankan syariah, yaitu tingkat FDR. Variabel aset yang disalurkan signifikan memengaruhi tingkat NPF pada probabilitas sebesar 0.0000 sehingga dapat dinyatakan bahwa variabel total aset yang dimiliki signifikan pada taraf nyata 1%. Total aset yang dimiliki memiliki hubungan negatif dengan tingkat NPF BPRS dengan nilai koefisien sebesar 6.25. Hubungan negatif ini akan memberikan dampak positif pada tingkat NPF. Artinya, jika aset yang dimiliki meningkat sebesar 1%, tingkat NPF BPRS akan menurun sebanyak 6.25% saat variabel independen lain dianggap konstan. Hasil estimasi ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Ranjan dan Dhal (2003). Menurut Firmansyah (2014), bank yang memiliki ukuran yang besar atau aset yang lebih banyak memiliki kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Keuntungan yang lebih besar dapat mengindikasikan tingkat NPF yang rendah. Variabel tingkat inflasi memengaruhi tingkat NPF pada probabilitas sebesar 0.0003 sehingga dapat dinyatakan bahwa variabel tingkat inflasi signifikan pada taraf nyata 5%. Tingkat inflasi memiliki hubungan negatif dengan tingkat non performing financing dengan nilai koefisien sebesar 0.30. Hubungan negatif ini akan memberikan dampak positif pada tingkat non performing financing. Artinya, jika tingkat inflasi meningkat sebesar 1%, tingkat NPF akan menurun sebesar 0.3% saat variabel independen lain dianggap konstan. Hasil estimasi penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Poetry dan Sanrego (2011). Pada kesimpulan penelitian tersebut dinyatakan bahwa tingkat NPF bank syariah merespon negatif terhadap guncangan variabel inflasi. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa secara umum tingkat NPF pada bank syariah lebih cepat stabil terhadap guncangan makroekonomi dan mikroekonomi jika dibandingkan dengan tingkat NPL pada bank konvensional. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis awal. Hipotesis awal menggunakan teori jika tingkat inflasi naik, akan memberi dampak buruk terhadap kemampuan nasabah dalam mengembalikan pembiayaan yang disalurkan oleh pihak BPRS. Akan tetapi, hasil penelitian ini dapat didukung oleh teori bahwa kenaikan tingkat inflasi akan menaikan harga barang-barang yang ada di masyarakat. Fenomena ini dapat memberikan dampak positif bagi pihak penjual karena dapat meningkatkan hasil pendapatan yang akan diperoleh dengan asumsi total biaya yang dikeluarkan lebih rendah dari total penerimaan. Oleh karena itu, kemampuan pihak penjual sebagai nasabah BPRS dalam mengembalikan pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS akan meningkat sehingga dapat menurunkan tingkat NPF BPRS. Variabel jumlah UMK memengaruhi tingkat NPF pada probabilitas sebesar 0.0000 sehingga dapat dinyatakan bahwa variabel jumlah UMK signifikan pada taraf nyata 1%. Jumlah UMK memiliki hubungan positif dengan tingkat non
46 performing financing dengan nilai koefisien sebesar 6.50. Hubungan positif ini akan memberikan dampak buruk pada tingkat non performing financing. Artinya, jika jumlah UMK meningkat sebesar 1%, tingkat NPF akan meningkat sebesar 6.5% saat variabel independen lain dianggap konstan. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS untuk usaha mikro dan kecil belum dapat dikembalikan oleh pengusaha dengan baik. Artinya, pengusaha dengan skala kecil belum mampu mengelola usaha dan aset yang mereka miliki secara efektif. Dapat dilihat pada data NPF BPRS berdasarkan golongan pembiayaan, usaha kecil dan menengah memiliki tingkat NPF yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat NPF selain usaha kecil dan menengah. Variabel independen PDRB dan dummy regional yang diinteraksikan dengan PDRB tidak signifikan memengaruhi tingkat NPF BPRS. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Popita (2013). Hal ini disebabkan oleh tingkat NPF bank syariah memiliki respon yang lebih lembat terhadap guncangan variabel makroekonomi. Berbeda dengan tingkat NPL perbankan konvensional yang lebih cepat mengalami respon terhadap guncangan variabel makroekonomi.
47 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan dari penelitian ini, maka hasil penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat non performing financing pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Secara spasial, BPRS di Indonesia tersebar di sebagian besar provinsi (24 provinsi atau 73% dari total provinsi), namun masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. 2. Kinerja BPRS di 19 provinsi studi yang ditinjau dari variabel NPF, total aset, dan tingkat FDR secara umum bervariasi antar wilayah provinsi tersebut. Untuk tingkat NPF, BPRS di sebagian besar provinsi dalam kurun waktu 2010 sampai 2013 memiliki tingkat NPF yang tidak sehat, yakni lebih besar dari 5%. Hanya BPRS di Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, dan NTB yang dalam kurun waktu tersebut memiliki tingkat NPF kurang dari 5%. Sementara itu, BPRS di Provinsi Bali, Kalimantan Timur, Riau, Sulawesi Selatan, Aceh, dan DKI Jakarta memiliki tingkat NPF yang sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat NPF nasional. Dalam kurun waktu 2010-2013, tingkat NPF di sebagian besar provinsi (50%) berfluktuasi, sedangkan sebagian lainnya menurun (25%) dan meningkat (25%). Dalam hal tingkat FDR, meskipun BPRS di sebagian besar provinsi memiliki tingkat FDR yang cenderung menurun, tingkat FDR provinsi tersebut menunjukkan bahwa kondisi likuiditas bank tersebut tidak sehat. Provinsi Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan tingkat FDR relatif besar. Hampir di seluruh provinsi objek penelitian memiliki total aset yang cenderung meningkat. 3. Secara umum, kondisi ekonomi di wilayah provinsi BPRS berada yang ditunjukkan dengan nilai PDRB, inflasi, dan perkembangan UMK bervariasi, kecuali untuk nilai PDRB. Dalam kurun waktu 2010-2013, di hampir semua wilayah studi, nilai PDRB cenderung meningkat. Sementara untuk tingkat inflasi, 58% provinsi memiliki tingkat inflasi di atas inflasi nasional dan sebaliknya dengan sekitar 42% provinsi lainnya. Kecenderungan inflasi dalam kurun waktu tersebut bervariasi. Tingkat inflasi di sebagian provinsi cenderung berfluktuasi, di sebagian lainnya cenderung menurun, dan di sebagian lainnya lagi cenderung meningkat. Untuk perkembangan UMK, sebagian besar provinsi (63%) memiliki jumlah UMK yang cenderung berfluktuasi dan sebagian kecil lainnya (37%) memiliki jumlah UMK yang cenderung meningkat. Jumlah UMK di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat jauh lebih besar dibandingkan dengan di provinsi lainnya. 4. Hasil estimasi dengan pendekatan FEM menunjukkan bahwa variabel independen tingkat FDR, total aset, tingkat inflasi, dan jumlah UMK signifikan memengaruhi tingkat NPF BPRS. Variabel total aset, tingkat FDR, dan tingkat inflasi memiliki hubungan negatif terhadap tingkat NPF,
48 sedangkan jumlah UMK memiliki hubungan positif dengan tingkat non performing financing BPRS.
Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat non performing financing pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Mengingat BPRS di sebagian besar provinsi memiliki tingkat NPF yang tergolong tidak sehat, maka untuk memperkecil tingkat NPF nasional, BPRS di masing-masing wilayah provinsi studi harus didorong untuk dapat menurunkan tingkat NPF. BPRS di Provinsi Bali, Kalimantan Timur, Riau, Sulawesi Selatan, Aceh, DKI Jakarta, dan Bengkulu harus mendapat perhatian khusus dalam upaya menurunkan tingkat NPF karena provinsi tersebut memiliki tingkat NPF yang sangat tinggi. Pembinaan terhadap UMK diperlukan terutama di provinsi sentra UMK dengan tingkat NPF BPRS yang relatif tinggi. 2. Hasil studi menunjukkan bahwa NPF dipengaruhi oleh tingkat FDR, aset, inflasi, dan jumlah UMK secara signifikan dan negatif, kecuali untuk variabel jumlah UMK yang memiliki hubungan positif. Oleh karena itu, upaya penurunan tingkat NPF dapat dilakukan dengan (1) penyaluran pembiayaan yang lebih selektif kepada UMK dan diikuti dengan pembinaan; (2) mendorong peningkatan FDR selama FDR masih belum mencapai batas nilai FDR tidak sehat; (3) meningkatkan pembiayaan kepada UMK selama peningkatan inflasi masih dapat menjadi insentif bagi pengusaha untuk mengembangkan usahanya. 3. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan lebih mendalam pada provinsi-provinsi yang memiliki tingkat NPF yang realtif tinggi atau relatif rendah. Selain itu, penelitian juga dapat dilanjutkan dengan menambahkan variabel lain yang belum digunakan pada penelitian ini.
49 DAFTAR PUSTAKA
Abusharbeh MT. 2014. Credit Risk and Profitability of Islamic Banks: Evidence from Indonesia. World Review of Business Research. Vol. 4 No. 3: 136147. Afifah GZ. 2014. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Profitabilitas Bank Umum Syariah di Indonesia. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Al-Smadi, Mohammed OM. 2010. Crdit Risk, Macroeconomic and Bank Spesific Factors in Jordanian Banks [disertasi]. Malaysia (MY): Universitas Utara Malaysia. Al-Wesabi, Hamid AH, Ahmad NH. 2013. Credit Risks of Islamic Banks in GCC Countries. International Journal of Banking and Finance. Vol. 10 Iss. 2 Art. 8: 120-136.Antonio MS. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta (ID): Gema Insani. [BI] Bank Indonesia. 2002. Cetak Biru Pengembangan Perbankan yariah Indonesia. [internet]. [diunduh: 2015 Februari 5]. Tersedia pada: http://www.bi.go.id [BI] Bank Indonesia. 2010. Statistik Perbankan Syariah Desember 2010. [internet]. [diunduh: 2015 Maret 3]. Tersedia pada: http://www.bi.go.id [BI] Bank Indonesia. 2011. Statistik Perbankan Syariah Desember 2011. [internet]. [diunduh: 2015 Maret 3]. Tersedia pada: http://www.bi.go.id [BI] Bank Indonesia. 2012. Statistik Perbankan Syariah Desember 2012. [internet]. [diunduh: 2015 Maret 3]. Tersedia pada: http://www.bi.go.id [BI] Bank Indonesia. 2013. Statistik Perbankan Syariah Desember 2013. [internet]. [diunduh: 2014 Maret 3]. Tersedia pada: http://www.bi.go.id [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Inflasi Gabungan 82 Kota di Indonesia. [internet]. [diunduh: 2015 Maret 3]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi. [internet]. [diunduh: 2014 Desember 14]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id. Jakarta: BPS. Dendawijaya L. 2001. Manajemen Perbankan. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Dwihandayani D. 2013. Analisis Kinerja NPL Perbankan di Indonesia serta Faktor-faktor yang Memengaruhinya [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Gunadarma. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB Press. Firmansyah I. 2014. Determinant of Non Performing Loan: The Case of Islamic Bank in Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Volume 17 Nomer 2: 241-258. Gujarati DN, Porter DC. 2013. Dasar-dasar Ekonometrika Edisi 5 Buku 1. Jakarta (ID): Salemba Empat. Juanda B, Junaidi. 2011. Ekonometrika Deret Waktu Teori dan Aplikasi. Bogor (ID): IPB Press. Khan T, Habib A. 2008. Manajemen Risiko: Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
50 Krisnasari AR. 2011. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Non Performing Financing di BPR Berkah Amal Salman Bandung [skripsi]. Bandung (ID): Universitas Islam Bandung. Machmud A, Rukmana. 2009. Bank Syariah: Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia. Bandung (ID): Erlangga. Mankiw G. 2006. Makroekonomi Edisi Keenam. Imam Nurmawan [penerjemah]. Jakarta: Erlangga. Nainggolan, Marnov PP. 2009. Analisis Pengaruh LDR, NIM, dan BOPO Terhadap ROA Bank Umum Indonesia [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Nawawi I. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor (ID): Ghalia Indonesia. Poetry ZD, Sanrego YD. 2011. Pengaruh Variabel Makro dan Mikro Terhadap NPL Perbankan Konvensional dan Perbankan Syariah. Islamic Finance and Business Review. Vol. 6 No. 2: 79-104. Popita, Mares SA. 2013. Analisis Penyebab Terjadinya Non Performing Financing Bank Usaha Syariah di Indonesia. Accounting Analysis Journal. 2 (4): 404-412. Purwanto TJ. 2011. Analisis Besarnya Pengaruh Pembiayaan, Financing to Deposit Ratio (FDR), dan Rasio Non Performing Financing Terhadap Laba Bank Syariah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahmawulan Y. 2008. Perbandingan Faktor Penyebab Timbulnya NPL dan NPF pada Perbankan Konvensional dan Syariah di Indonesia [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Ranjan R, Dhal SC. 2003. Non-Performing Loans and Terms of Credit of Public Sector Banks in India: An Empirical Assessment. Reserve Bank of India Occasional Papers. Volume 24 No 3: 81-121. Setiawan C, Putri ME. 2013. Non-Performing Financing and Bank Efficiency of Islamic Banks in Indonesia. Jounal of Islamic Finance and Business Research. Vol. 2 No. 1: 58-76. Siamat D. 2005. Manajemen dan Lembaga Keuangan: Kebijakan Moneter dan perbankan. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Soemitra A. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta (ID): Kencana. Suhardiman H. 2009. Kinerja Keuangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Pembiayaan BPR Syariah (Kasus pembiayaan usaha produktif pada PT. BPRS Al-Salaam Amal Salman, Kel. Cinere, Depok) [skripsi]. Bogor (ID): Institur pertanian Bogor. Tariga R. 2012. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi Edisi Revisi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Tarsidin. 2010. Bagi Hasil: Konsep dan Analisis. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Untung B. 2000. Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta (ID): Andi. Wardoyo P, Rusdiyanti E. 2009. Faktor-faktor yang Memengaruhi Non Performing Loan Bank Perkreditan Rakyat di Eks Semarang. J. Dinamika Sosbud. Volume 11 Nomor 2: 127-139. Warninda, TD. 2014. Islamic Rural Bank Profitability: Evidence from Indonesia. Journal of Islamic Economics, Banking and Finance. Vol. 10 No. 3: 109122.
51 Windriya A. 2014. Analisis Pengaruh Faktor Eksternal dan faktor Internal Bank terhadap Profitabilitas Bank Umum Syariah Indonesia (Periode 2008-2013) [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
52 LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil estimasi panel data dengan menggunakan Pooled Least Square (PLS) Dependent Variable: NPF Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 07/21/15 Time: 01:09 Sample: 2010 2013 Periods included: 4 Cross-sections included: 19 Total panel (balanced) observations: 76 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
FDR INF LN_ASET LN_PDRB LN_UMKM DUMMYJAPD C
-0.031308 -0.236240 -2.833460 2.594965 -2.168815 0.091887 26.24243
0.009246 0.116140 0.602269 0.680232 0.415493 0.031476 16.03999
-3.386214 -2.034106 -4.704644 3.814823 -5.219864 2.919321 1.636063
0.0012 0.0458 0.0000 0.0003 0.0000 0.0047 0.1064
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.366363 0.311265 8.204771 6.649206 0.000014
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
16.61764 12.08497 4644.960 0.932509
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.249893 6709.977
Mean dependent var Durbin-Watson stat
9.975658 0.842702
53
Lampiran 2 Hasil estimasi panel data dengan menggunakan Fixed Effects Model (FEM) Dependent Variable: NPF Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 07/21/15 Time: 01:10 Sample: 2010 2013 Periods included: 4 Cross-sections included: 19 Total panel (balanced) observations: 76 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
FDR INF LN_ASET LN_PDRB LN_UMKM DUMMYJAPD C
-0.044170 -0.297526 -6.250914 1.707630 6.497355 3.816299 9.793674
0.004321 0.076180 1.352518 3.355571 0.628340 6.810101 105.6035
-10.22220 -3.905536 -4.621685 0.508894 10.34051 0.560388 0.092740
0.0000 0.0003 0.0000 0.6130 0.0000 0.5777 0.9265
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.936718 0.906939 6.472712 31.45511 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
26.21232 23.56536 2136.696 2.173816
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.647104 3156.783
Mean dependent var Durbin-Watson stat
9.975658 1.613280
54 Lampiran 3 Hasil estimasi panel data dengan menggunakan Random Effects Model (REM) Dependent Variable: NPF Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 07/21/15 Time: 01:12 Sample: 2010 2013 Periods included: 4 Cross-sections included: 19 Total panel (balanced) observations: 76 Swamy and Arora estimator of component variances Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
FDR INF LN_ASET LN_PDRB LN_UMKM DUMMYJAPD C
-0.033212 0.189711 -4.993582 2.203678 -0.241528 0.078980 70.88866
0.016724 0.331435 2.610908 1.944036 2.219549 0.093906 94.55488
-1.985853 0.572394 -1.912584 1.133558 -0.108819 0.841053 0.749709
0.0510 0.5689 0.0600 0.2609 0.9137 0.4032 0.4560
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
6.557933 7.551130
Rho 0.4300 0.5700
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.191977 0.121714 7.687161 2.732273 0.019320
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
4.977286 8.202535 4077.379 1.216058
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.289430 6356.301
Mean dependent var Durbin-Watson stat
9.975658 0.780065
55 Lampiran 4 Hasil pengujian Chow Test Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F
22.480531
d.f.
Prob.
(18,51)
0.0000
Lampiran 5 Hasil pengujian Hausman Test Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f.
Test Summary Cross-section random
27.424169
6
Prob. 0.0001
Lampiran 6 Hasil uji normalitas 12
Series: Standardized Residuals Sample 2010 2013 Observations 76
10
8
6
4
2
0 -10
-5
0
5
10
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-3.91e-15 -1.493366 13.38884 -10.01073 5.337535 0.650571 2.679183
Jarque-Bera Probability
5.687003 0.058221
56 Lampiran 7 Hasil uji multikolinearitas NPF NPF FDR LN_ASET INF LN_PDRB
FDR
LN_ASET
1.000000 -0.001751 -0.484155 -0.001751
LN_PDRB LN_UMK DJawa*PDRB
0.097218 0.030756 -0.210002
-0.154799
1.000000 -0.236029 -0.292202 0.257821 -0.079757
0.149366
-0.484155 -0.236029
1.000000 -0.046665 0.199643
0.097218 -0.292202 -0.046665
0.475987
0.537265
1.000000 -0.175352 -0.095012
-0.166995
0.257821
0.199643 -0.175352 1.000000
0.590356
0.626351
-0.210002 -0.079757
0.475987 -0.095012 0.590356
1.000000
0.622195
DJawa*PDRB -0.154799 0.149366
0.537265 -0.166995 0.626351
0.622195
1.000000
LN_UMK
0.030756
INF
57
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 02 Oktober 1993 dari pasangan Bapak Mohammad Thoyib Maktub dan Ibu Sri Swasemi. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara. Latar pendidikan penulis dimulai pada tahun 1999 di SD Negeri IPPOR Cilangkap II dan pada tahun 2004 dilanjutkan di SDN Pekayon 05 Pagi. Tahun 2005 penulis melanjutkan studi di SMP Negeri 91 Jakarta. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 99 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM) dan diterima di Program Studi Ekonomi Syariah, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Saat ini, penulis sedang mengikuti program Fast Track S2 di Deparetemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. Selama perkuliahan penulis aktif sebagai anggota UKM Gentra Kaheman pada tingkat TPB, bendahara 2 Divisi PAS SESC periode tahun 2012-2013, dan sebagai sekretaris Divisi PAS SESC periode kepengurusan 2013-2014. Penulis juga aktif mengikuti kepanitian yang diselenggarakan oleh BEM FEM.