FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI STRUCTURE-CONDUCT-PERFORMANCE (SCP) INDUSTRI MIGAS DI INDONESIA PERIODE 1998-2008
OLEH RENATALIA DESIANA PARHUSIP H14070021
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
RENATALIA DESIANA PARHUSIP. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Structure, Conduct, Performance (SCP) Industri Migas di Indonesia Periode 1998-2008 (dibimbing oleh M. FIRDAUS). Pembangunan Indonesia khususnya pada sektor industri mengalami perkembangan yang pesat. Industri migas merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Industri ini merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Tahun-tahun terakhir ini produksi minyak mentah Indonesia terus menurun, sedangkan kebutuhan meningkat terus. Iklim investasi yang kondusif untuk eksplorasi dan ekploitasi migas perlu didorong. Dicari suatu kebijakan agar pelaku ekonomi baik. Perusahaan-perusahaan asing saat ini telah menguasai sektor industri migas Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana dan faktor-faktor apa yang memengaruhi struktur, perilaku dan kinerja industri migas selama tahun 1998-2008. Kondisi ini dipengaruhi oleh peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam industri migas Indonesia. Melalui metode deskriptif, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana perilaku Industri migas Indonesia dan melalui metode kuantitatif, penelitian ini bertujuan menganalisis bagaimana struktur dan kinerja industri migas Indonesia. Selain itu, penelitian ini ingin menganalisis mengenai bagaimana variabelvariabel seperti produktivitas, CR4, pertumbuhan (GROWTH), XEFF, MES, bahan baku (RAWMATE), RENT (sewa), bahan bakar listrik dan gas (BBLG), harga impor, dan harga ekspor memengaruhi keuntungan (PCM) industri migas Indonesia. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah SCP dengan dan pendekatan panel data menggunakan fixed effect model. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktur, perilaku dan kinerja. Struktur terdiri dari pangsa pasar, konsentrasi pasar (CR4) dan hambatan masuk pasar (MES). Untuk menganalisis perilaku menggunakan strategi harga, produk dan promosi. Sementara untuk kinerja menggunakan tingkat keuntungan dengan PCM dan efisiensi dengan X-eff. Berdasarkan hasil analisis, struktur pasar industri migas Indonesia bersifat oligopoli ketat dengan rata-rata konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) sebesar 64,34 persen. Menurut Shepherd (1992), konsentrasi rasio empat perusahaan migas terbesar di Indonesia yang mencapai 60-100 persen ini tergolong oligopoli ketat. Nilai ratarata MES secara keseluruhan adalah 38,08 persen dan tergolong tinggi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan struktur industri migas di indonesia merupakan oligopoli ketat. Berdasarkan hasil estimasi model PCM menunjukkan bahwa variabel bebas GROWTH, XEFF, CR4 dan RAWMATE signifikan pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05). Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa variabel GROWTH dan CR4 berpengaruh negatif pada tingkat keuntungan (PCM). Variabel yang memiliki pengaruh terbesar dan positif terhadap PCM adalah raw material (bahan baku), dan XEFF. Sementara variabel PROD, MES, BBLG, RENT, P EKSPOR dan P IMPOR berpengaruh tidak signifikan terhadap PCM.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI STRUCTURE, CONDUCT, PERFORMANCE (SCP) INDUSTRI MIGAS DI INDONESIA PERIODE 1998-2008
OLEH RENATALIA DESIANA PARHUSIP H14070021
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Faktor-Faktor yang Memengaruhi Structure, Conduct, Performance (SCP) Industri Migas di Indonesia Periode 1998-2008
Nama
: Renatalia Desiana Parhusip
NIM
: H14070021
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus,_Ph. D NIP. 19730105 199702 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2011
Renatalia Desiana Parhusip H14070021
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Renatalia Desiana Parhusip lahir pada tanggal 24 Desember 1989 di Pematangsiantar. Penulis adalah anak pertama dari enam bersaudara, dari pasangan Manganar Parhusip dan Nurhati Sihotang. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD RK Budi Mulia 2 Pematangsiantar dan lulus pada tahun 2001, kemudian melanjutkan ke SLTPN 3 Pematangsiantar dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 3 Pematangsiantar dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir yang jauh lebih baik. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) khususnya Komisi Kesenian (Komkes) dan menjabat sebagai pengurus di bidang ekstern, COAST FEM IPB, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Bogor dan pernah menjabat sebagai pengurus sebagai Bendahara Cabang periode 2010-2011, IKANMASS (Ikatan Mahasiswa Siantar dan Sekitarnya) IPB. Selain itu penulis juga aktif dalam kepanitiaan seperti FEMILY DAY 2009, Retreat Komisi Kesenian PMK IPB 2009 sebagai Bendahara, Praise and Worship 2010, Workshop Komkes 2009, Natal GMKI 2009, Konferensi Cabang GMKI Bogor 2010.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Structure, Conduct, Performance (SCP) Industri Migas di Indonesia Periode 1998-2008”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain : 1.
Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2.
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc sebagai dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.
3.
Deniey Adi Purwanto MSE selaku komisi pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.
4.
Seluruh jajaran staf Departemen Ilmu Ekonomi atas segala bantuan dan kerjasamanya.
5.
Kepada kedua orangtua Manganar Parhusip dan Nurhati Sihotang serta adik-adik penulis buat dukungan, doa dan semangat yang diberikan kepada penulis baik secara materiil maupun moril selama hidup penulis.
6.
Teman-teman Bilo yang sudah dianngap sebagai saudara buat dukungan dan semangatnya serta tempat saling berbagi suka dan duka.
7.
Michelia Widya Agri, Adinda Kharisma R, dan Teguh Noby Wijaya sebagai teman bimbingan atas dukungan dan kerjasamanya selama ini.
8.
Kepada Vernando Siahaan selaku teman berbagi penulis khususnya selama penulisan skripsi ini buat semangat, dukungan dan motivasi yang diberikan.
9.
Keluarga besar Ilmu Ekonomi 44, khususnya Retni, Yesika, Dame, Solihin, dan teman-temannya lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu buat kebersamaannya selama ini.
10.
Teman-teman sekalian yang hadir dalam seminar skripsi, dan yang telah mendukung persiapan sidang penulis ucapkan terima kasih banyak.
11.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Juni 2011
Renatalia Desiana Parhusip H14070021
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………….………………………….........
i
DAFTAR TABEL …………………………….………………………….........
iii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….........
iv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………......
v
I. PENDAHULUAN ………………………………………………………....
1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………….......
1
1.2. Perumusan Masalah ……………………………………………….......
7
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………….......
11
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ……....…………………………………......
11
1.5. Kegunaan Penelitian ……………….......………………………….......
12
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN…………........
13
2.1. Definisi Ekonomi Industri......................................................................
13
2.2. Klasifikasi Industri......................……………………………………....
13
2.2.1. Industri Pengolahan Pengilangan Minyak dan Gas Cair…...........
14
2.3. Definisi Industrial Organization ………...............................................
15
2.4. Pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja........…………....……….....
16
2.4.1. Struktur..........................................................................................
16
2.4.2. Perilaku.........................................................................................
19
2.4.3. Kinerja...........................................................................................
20
2.5. Panel Data ………………………………………………………....….. 2.5.1. Model Efek Tetap (Fixed Effects Model)…............……....… 2.5.1.1. Pooled least Square (PLS)...............................................
23
2.5.1.2. Fixed Effects Model (FEM) atau Least Squre Dummy Variabel (LSDV)............................................................. 2.5.2. Random Effect Model (REM) ……………………..................
24 24
2.6. Penelitian Terdahulu ………………………………………………......
26 27 27
2.7. Kerangka Pemikiran …………………………………………....….......
30
2.8. Hipotesis Penelitian ……………………………………………....……
32
III. METODE PENELITIAN ………………………………………..........…....
34
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian…………...………………………....…...
34
3.2. Jenis dan Sumber Data............................................................................
34
3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data …………………....…………..
34
ii
3.3.1. Analisis Struktur Industri..............................................................
35
3.3.2. Analisis Perilaku Industri..............................................................
38
3.3.3. Analisis Kinerja Industri...............................................................
38
3.4. Perumusan Model ………………………………………………...…...
38
3.4.1. Pemilihan Model dalam Pengolahan Data....................................
40
3.5. Definisi Operasional ………………………………………………......
41
IV. GAMBARAN UMUM ……………………………………………….........
43
4.1. Sejarah Industri Migas di Indonesia........................................................
43
4.2. Perkembangan Industri Migasnya diIndonesia.......................................
45
4.2.1. Perkembangan Jumlah Perusahaan Migas...................................
47
4.2.2. Perkembangan Efisiensi ( Input per Output) Migas Indonesia.
48
4.3. Profil Perusahaan Migas yang Mendapatkan Izin Produksi...................
50
4.4. Pertumbuhan Tingkat Produksi Minyak.................................................
54
4.5. Konsumsi Minyak Bumi di Indonesia.................................................
55
4.6. Produksi dan Konsumsi Gas di Indonesia...............................................
56
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………….....
58
5.1. Analisis Struktur Pasar.......................................................................
68
5.1.1. Konsentrasi pasar..........................................................................
69
5.1.2. Hambatan Masuk pasar.................................................................
64
5.2. Analisis Perilaku Pasar.......................................................................
67
5.2.1. Strategi Harga................................................................................
67
5.2.2. Strategi Produk..............................................................................
68
5.2.3. Strategi Promosi............................................................................
70
5.3. Analisis Kinerja Pasar........................................................................
72
5.3.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Industri Migas............
73
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………......…………………...
82
6.1. Kesimpulan ………………………………………....…………………
82
6.2. Saran ………………………………………………....………………...
83
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………....………………..
84
LAMPIRAN .........................................................................................................
86
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
No.
1.1. Persentase Peran Sub-Sektor Industri Non Migas Terhadap PDB Nasional Tahun 2008..........………………………………………….... 1.2. GDP dan Indikator Energi di Indonesia .......................………………..
2 4
2.1. Karakteristik suatu pasar……….....................................................…....
17
4.1. Pendapatan Pemerintah dari Sektor Hulu Migas (US$)…………..........
46
4.2. Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Migas Tahun 1998-2008...
47
4.3. Rasio Input-Output Sektor Industri Migas Tahun 1998-2009................
49
4.4.
Produksi Minyak Bumi & Kondensat per Tahun (Barrel) .....................
54
Produksi dan Konsumsi Gas Bumi (MSCF) Tahun 1998-2010 ............
56
5.1. Hasil Estimasi dengan Model Efek Tetap (fixed effect model)............... 5.2. Jumlah Tenaga Kerja Industri Migas Tahun 1998-2008 .......................
74
4.5.
77
iv
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1.1.
Harga Gasoline Dunia Akhir Tahun 2010 .............................……….
6
1.2.
Sepuluh Besar Produsen Minyak Tertinggi di Indonesia........................
8
1.3.
Sepuluh Besar Produsen Gas Tertinggi di Indonesia.............................
9
2.1
Kondisi MR=MC untuk Memperoleh Laba Maksimum...................................
21
2.2.
Kerangka Pemikiran Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Migas................ 31
3.1.
Perkembangan Jumlah perusahaan Sektor Migas Tahun 1998-2008...... 48
4.1.
Produksi dan Konsumsi Gas di Indonesia Tahun 1998-2010 ...............
4.2.
CR4 Empat Industri Migas Indonesia Tahun 1998-2008 ....................... 61
5.1.
Perkembangan MES Industri Migas Tahun 1998-2008 .........................
57
65
v
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
CR4 Perusahaan Migas di Indonesia.....................................................
87
2.
Efisiensi-X Perusahaan Migas (persen) ................................................
88
3.
MES (Minimum Efficiency Scale) industri Migas Indonesia (persen).......
4.
Pertumbuhan Industri Migas Indonesia Tahun 1998-2008 (persen).....
5.
PCM (Price Cost Margin) Industri Migas Indonesia (persen)...................
6.
Output Pendugaan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Industri Migas Indonesia Periode 1998- 2008 (Fixed Effect- GLS)...................
89 90 91 92
1
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sektor
industri
merupakan
motor
penggerak
dalam
peningkatan
kemakmuran negara-negara di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Di Indonesia dan dunia, sektor ini merupakan leader-sector bagi sektor-sektor lain dalam kemajuan ekonomi. Produk-produk industri selalu menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk-produk sektor lain. Hal ini disebabkan karena sektor industri memiliki variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi kepada konsumennya. Berusaha dalam bidang industri dan hasil-hasil industri juga lebih disukai karena proses produksi serta penanganan produknya lebih bisa dikendalikan oleh manusia, tidak terlalu tergantung pada alam seperti musim atau keadaan cuaca (Dumairy, 1996). Pembangunan di Indonesia khususnya pada sektor industri telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan industri ini ternyata membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari kegiatan industri adalah dapat mengurangi tingkat pengangguran, menambah devisa negara melalui ekspor produk industri, serta dapat menarik para investor untuk menanamkan modal pada sektor ini. Selain dampak positif, kegiatan industri juga menimbulkan dampak negatif. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah pencemaran udara. Pencemaran udara dirasakan semakin meningkat terutama daerah yang kepadatan lalu lintasnya cukup tinggi serta di lokasi industri yang kurang memperhatikan dampak lingkungan.
2
Sub sektor Industri pengolahan terdiri dari industri migas dan non migas. Di tahun 2008 sektor industri memberikan kontribusi yang cukup besar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Peran dari sektor industri terhadap PDB nasional adalah sebesar 26,79 persen. Sedangkan peran dari sub sektor industri non migas di tahun 2008 mencapai 24,50 persen sementara sub sektor industri migas sebesar 2,29 persen dengan nilai 47,644 miliar rupiah. Industri pengolahan migas ini terdiri dari pengilangan minyak bumi dan gas alam cair yang masingmasing memberikan kontribusi sebesar 1,01 persen dan 1,28 persen. Data yang menjelaskan kontribusi ini dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Persentase Peran Sub-Sektor Industri Migas Terhadap PDB Nasional Tahun 2008 Peran terhadap Nilai No. Sub-Sektor Industri Pengolahan PDB Nasional (Miliar Rupiah) (%) A. Industri Migas 47,664 2,29 1. 2. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pengilangan Minyak Bumi Gas Alam Cair B. Industri Non Migas Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang Galian Bukan Logam
Logam Dasar, Besi dan Baja Alat Angkut, Mesin dan Peralatannya Barang Lainnya
20,973 26,691
1,01 1,28
510,102
24,50
139,992 50,994 20,336 25,477 68,390 15,991 8,045 177,178 3,770
6,72 2,45 0,98 1,22 3,28 0,77 0,39 8,51 0,18
Sumber : Kementrian Perindustrian, 2008
Negara Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Sektor-sektor perekonomian seperti migas dan non-migas merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian negara.
3
Pada penelitian kali ini yang akan dibahas khusus pada sektor migas (minyak bumi dan gas alam). Sektor migas merupakan komoditas yang dominan dalam sumber penerimaan devisa negara. Oleh karena itu sektor ini memiliki kontribusi yang penting dalam mendorong perekonomian bangsa. Migas merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Maksudnya, untuk memperoleh sumber daya ini memerlukan waktu yang sangat lama ribuan bahkan jutaan tahun. Jika terus-menerus digunakan maka lamakelamaan akan habis. Sebagai salah satu sektor unggulan yang tidak dapat diperbaharui dan bersifat global, maka sektor migas perlu dijaga kelestariannya. Sejak tahun 1998 eksplorasi dan investasi migas Indonesia menunjukkan penurunan kegiatan secara berlanjut hingga sekarang, meskipun harga minyak dunia meningkat secara tajam sejak kuartal terakhir tahun 2004. Namun, potensi cadangan minyak bumi Indonesia masih tinggi berdasarkan besarnya sedimentasi yang terdapat pada berbagai sedimentary basins. Kesinambungan ketersediaan migas bagi negara penghasil minyak seperti Indonesia diartikan sebagai upaya terus-menerus menemukan cadangan baru. Walaupun migas adalah non-renewable resources tapi jumlahnya cukup banyak yang dapat dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Tahun-tahun terakhir ini produksi minyak mentah Indonesia terus menurun, sedangkan kebutuhannya meningkat terus. Iklim investasi yang kondusif untuk eksplorasi dan ekploitasi migas perlu didorong. Diperlukan suatu kebijakan agar pelaku ekonomi baik yang berasal dari dalam ataupun luar negeri diberikan iklim yang baik agar mereka berkeinginan berinvestasi dalam bisnis migas, karena bisnis ini beresiko tinggi serta membutuhkan modal yang besar.
4
GDP Indonesia meningkat setiap tahun dari tahun 2002 sampai tahun 2008 (Tabel 1.2). Konsumsi energi juga mengalami peningkatan setiap tahunnya selain pada tahun 2006 mengalami penurunan dari 540.206 ribu BOE menjadi 538.892 ribu BOE. Akan tetapi, penurunan ini tidak terlalu besar dan meningkat kembali pada tahun berikutnya. Begitu juga dengan konsumsi energi per kapitanya menurun dari 2,5 BOE/kapita menjadi 2,4 BOE/kapita. Indikatorindikator energi seperti populasi, jumlah rumah tangga dan suplai energi primer mengalami fluktuasi yang pada umumnya meningkat. Tabel 1.2. GDP dan Indikator Energi di Indonesia GDP dan Indikator Energi GDP pada harga konstan (Triliun Rp) GDP Nominal (Triliun Rp) GDP Nominal/kapita (Ribu Rp) Populasi (Ribu) Jumlah Rumah tangga (Ribu) Suplai Energi Primer (Ribu BOE) Suplai Energi Primer/kapita (BOE/Kapita) Konsumsi Energi Final (Ribu BOE) Konsumsi Energi Final/kapita (BOE/Kapita)
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
1.506
1.577
1.667
1.751
1.847
1.963
2.082
1.863
2.014
2.014
2.296
3.339
3.957
4.778
8.789 212.276
9.354 215.276
9.354 215.276
10.538 217.854
15.030 222.192
17.538 222.642
20.909 228.523
55.041
58.253
56.623
58.253
55.119
55.942
57.131
799.806
859.063
872.677
896.445
897.152
955.713
1.014.382
3,9
4
4,1
4,0
4,2
4,5
519.456
541.121
540.206
538.892
2,4
2,5
2,5
2,4
3,7
481.185
2,3
576.827
2,6
643.931
2,8
Sumber: BPS; Statistic Indonesia; Bank Indonesia, 2010
Menurut Global Petroleum Survey (2010) yang diterbitkan Fraser Institute Canada, kondisi investasi migas di Indonesia menempati peringkat ke-111 dari 133 negara/wilayah di dunia. Investasi migas di Indonesia lebih buruk dari
5
Uganda, Namibia, Kamerun, Ghana, Gabon, Mesir, Mozambik, Madagaskar, Bulgaria, Hongaria, Romania, Denmark, Suriname, Kolombia, Trinidad, Brazil, Peru, Azerbaijan, India, China, Pakistan, Vietnam, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sedangkan untuk kawasan Oseania, posisi Indonesia paling buruk, lebih buruk dari Australia, Tasmania, New Zealand, Filipina, Brunei, Malaysia, dan sedikit lebih baik dari Timor Leste. Menurut Fraser Institute, hal itu disebabkan faktor korupsi, sulitnya akses data, kontrak yang tidak ditaati, sistem fiskal yang bertentangan dengan kontrak, keberadaan BP Migas yang memperpanjang proses investasi, dan sikap pemerintah (Presiden dan Menteri ESDM) yang melakukan pembiaran terhadap UU Migas. Jadi, meskipun secara geologis potensi sumber daya migas di perut bumi relatif sangat besar dan harga minyak dunia dalam sepuluh tahun terakhir terus naik, ternyata realisasi investasi pencarian cadangan sangat minim. Investor pun menjadi enggan untuk berinvestasi di Indonesia. Mereka lebih tertarik untuk melakukan eksplorasi di negara lain karena proses dan sistem yang lebih sederhana serta didukung adanya kepastian hukum. Akibatnya, dalam sepuluh tahun terakhir nyaris tidak ada ditemukan cadangan dan lapangan minyak baru. Produksi minyak hanya mengandalkan lapangan-lapangan yang sudah tua yang secara alamiah pasti mengalami penurunan. Pada saat harga minyak dunia kembali mencapai lebih dari US$ 100/ barel, saat ini produksi minyak sangat rendah hanya sekitar 900.000 barel/hari, jauh di bawah sasaran APBN 2011 sebesar 970.000 barel/ hari. Padahal sebelum UU Migas, pada tahun 1999 produksi minyak masih sekitar 1,5 juta barel/hari.
6
Buruknya pengelolaan kekayaan migas nasional telah menggiring Indonesia menjadi negara nett-oil importer. Ketergantungan pada minyak impor akan semakin besar di tengah harga minyak dunia yang semakin tinggi. Tambahan penerimaan negara dari produksi minyak (karena harga minyak dunia yang naik) tidak akan cukup untuk menutupi tambahan subsidi BBM. Industri minyak bumi dunia dalam beberapa tahun terakhir berkembang terutama didorong oleh kenaikan harga minyak mentah yang naik dan bertahan tinggi hingga puncaknya mencapai US$130 per barrel.
Sumber: Pertamina, 2010
Gambar 1.1. Harga Gasoline Dunia Akhir Tahun 2010 Sektor minyak dan gas adalah salah satu sektor yang memiliki kontribusi besar dalam perekonomian dunia. Harga gas dunia tahun 2010 untuk beberapa negara-negara di dunia dapat dilihat pada Gambar 1.1. Harga tertinggi gas dunia secara berurutan ditempati oleh negara Belanda, Denmark dan Hongkong yang masing-masing sebesar US$ 2,2/L, US $2,00/L, US$ 1,9/L. Sedangkan untuk harga terendah masing-masing ditempati oleh negara Filipina, Indonesia, dan Malaysia berkisar sebesar US$ 0,9/L, US$ 0,75/L dan US$ 0,6/L.
7
Adanya permasalahan UU Migas saat ini menjadi pro-kontra dikalangan masyarakat. Ada anggapan UU ini dibuat memang liberalisasi dan pemerintah tidak bertanggung jawab atas migas nasional. Produksi minyak domestik saat ini juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan kurangnya eksplorasi terhadap lapangan-lapangan minyak tua. Pada tahun 1998 atau tahun 70–80an, rata-rata pertahun jumlah sumur eksplorasi antara 250 – 300 sumur. Namun, sejak 1999, menurun drastis hanya menjadi 90 sumur, tahun 2000 menurun menjadi 70 sumur, tahun 2001 menjadi 60 sumur, tahun 2003 menjadi sekitar 30 sumur. Dalam delapan tahun terakhir ini, hampir tidak ditemukan lapangan-lapangan baru. Berdasarkan penjelasan tersebut maka sektor industri migas merupakan sektor yang penting untuk diteliti, terutama untuk struktur, perilaku dan kinerjanya. Dengan melihat kondisi migas Indonesia saat ini, perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kebijakan yang seharusnya dapat diambil oleh pemerintah sebagai solusi atas kendala yang dialami industri migas Indonesia. 1.2.
Perumusan Masalah Sektor industri minyak dan gas bumi (migas) Indonesia untuk saat ini
dapat dikatakan dalam kondisi yang memprihatinkan. Kondisi memprihatinkan ini bukan hanya karena produksi minyak yang terus menurun tapi juga karena replacement ratio yang di bawah satu. Cadangan Replacement ratio minyak adalah jumlah cadangan dibagi dengan jumlah yang diekstraksikan. Jika rasionya sebesar 100 persen, maka sarana produksi saat ini berkelanjutan, sedangkan jika diatas seratus persen berarti dapat bertumbuh, dan jika dibawah seratus persen berarti kemungkinan menurun. Hal ini berarti, Indonesia mengeksploitasi cadangan-cadangan yang ditemukan pada tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan
8
cadangan baru yang ditemukan jauh lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena kebijakan-kebijakan yang diambil dalam sektor migas cenderung tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat pada umumnya. Selain itu, banyaknya tenaga kerja domestik yang kompeten dalam hal ini justru direkrut oleh perusahaan asing sehingga semakin sulit berkembang. Pada Gambar 1.2 menjelaskan sepuluh besar perusahaan-perusahaan yang memiliki produksi minyak tertinggi di Indonesia. Dari gambar tersebut diperoleh bahwa pada tahun 2005, produksi tertinggi minyak di Indonesia masih ditempati oleh Chevron, yaitu perusahaan asing dari Amerika yang dalam satu hari berhasil memproduksi minyak sebesar 476 MBPD (Million Barrel Per Day). Pada tahun sebelumnya, Chevron juga menempati urutan pertama dalam produksi minyak di Indonesia. Selanjutnya di posisi kedua dan ketiga ditempati oleh perusahaan Pertamina dengan produksi sebesar 135,6 MBPD dan Conoco Philip Ltd dengan produksi sebesar 70,9 MBPD. Terlihat ketimpangan produksi yang cukup jauh antara produksi Chevron dengan Pertamina sebagai perusahaan domestik sebesar 340,4 MBPD.
Sumber: The Indonesian Petroenergy, 2004
Gambar 1.2. Sepuluh Besar Produsen Minyak Tertinggi di Indonesia
9
Sedangkan untuk produksi gas di Indonesia, pada tahun 2005 produksi tertinggi ditempati oleh perusahaan Total yaitu perusahaan asing dari Perancis. Perusahaan Total dapat memproduksi 2.300 MMSCFD (Million Metric Standard Cubic Feet Per Day) gas per hari. Posisi kedua dan ketiga ditempati Pertamina dan Exxonmobil Indonesia dengan produksi gas masing-masing sebesar 1.107 MMSCFD dan 1.091 MMSCFD (Gambar 1.3).
Sumber: The Indonesian Petroenergy, 2004
Gambar 1.3. Sepuluh Besar Produsen Gas Tertinggi di Indonesia Dari fakta tersebut, terlihat bahwa produksi tertinggi untuk minyak dan gas alam di Indonesia ditempati oleh perusahaan asing. Selain itu, kemampuan produksi migas nasional berjumlah 1.031.000 barel/hari sedangkan kebutuhan migas dalam negeri sebesar 1.300.000 barel/hari. Untuk memenuhi kapasitas produksi yang lebih kecil dibandingkan kebutuhan domestik maka hal yang dilakukan adalah impor. Pada tahun 2006, perusahaan nasional BUMN Pertamina merupakan produsen kedua terbesar di Indonesia. Akan tetapi, mulai tahun 2007 hingga kuartal I 2009 Pertamina berada di urutan ke delapan dan sembilan produsen terbesar. Secara umum, perusahaan asing seperti Chevron Pacific Indonesia
10
(Chevron), ConocoPhillips (Conoco), China National Offshore Oil Company (CNOOC), dan Petrochina mendominasi sebagai produsen minyak mentah terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Satu-satunya perusahaan nasional yang tingkat produksinya cukup besar adalah Medco EP Indonesia (Medco) yang menempati urutan produsen terbesar keenam pada tahun 2006, dan urutan kelima pada tahun 2007 – kuartal I 2009. Pertamina sendiri tingkat produksinya terus menurun dari sekitar 42 juta barrel pada tahun 2006 menjadi masing-masing 9,05 juta barel dan 7,7 juta barel pada tahun 2007 dan 2008. Permasalahan lainnya adalah mengenai UU Migas No 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi yang menjadi perdebatan di kalangan pemerintah untuk segera direvisi. UU ini intinya telah membuat proses investasi migas di Indonesia menjadi berbeli-belit dan adanya keberadaan BP migas telah merugikan Pertamina sebagai perusahaan migas negara. Selain itu, UU ini juga menguntungkan perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia. Permasalahan lainnua telah terbukti UU Migas tidak mampu memenuhi kecukupan permintaan gas dalam negeri. Dengan UU Migas membuat posisi PT Pertamina menjadi lemah dan jauh berbeda dari Petronas, perusahaan Malaysia yang belajar dari Indonesia,
terjadi
biaya
(Recoverible
Cost)
yang
tidak
bisa
dipertanggungjawabkan yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp 38,1 miliar dan 4,2 miliar dolar Amerika atau setara Rp 37,6 triliun. Dengan adanya UU Migas rakyat tidak bisa mengetahui data produksi dan pengeluaran biaya karena tidak transaparan dan membuat tidak banyak kegiatan eksplorasi dan sangat minimnya jumlah investor baru yang mau menanamkan modal di bidang migas.
11
Berdasarkan
latar
belakang
dan
uraian
diatas,
maka
perincian
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur, perilaku, dan kinerja industri migas di Indonesia ? 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi struktur, perilaku dan kinerja sektor
industri migas di Indonesia ? 1.3.
Tujuan penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah: 1.
Mengidentifikasi struktur, perilaku, dan kinerja industri minyak dan gas di Indonesia.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi struktur, perilaku dan kinerja sektor industri migas di Indonesia.
1.4.
Ruang Lingkup Penelitian Periode tahun analisis yang digunakan selama sebelas tahun, yaitu dari
tahun 1998 sampai 2008 dikarenakan keterbatasan data pada tahun sebelum 1998 dan data pada tahun 2009 yang masih belum tersedia pada saat penelitian dilakukan. Secara spesifik, sektor yang dibahas dalam penelitian ini adalah seluruh industri migas yang ada di Indonesia kecuali sektor dengan kode KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) 23205. Penelitiannya dibatasi mengenai industri pengolahan migas dengan KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) 23201, 23202, 23203 dan 23204 dimana masing-masingnya terdiri atas industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi, industri pemurnian dan pengilangan gas, industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi,
12
industri pembuatan minyak pelumas. Untuk subsektor industri migas terdiri dari KBLI 23201, 23202, 23203, 23204, 23205. Namun, untuk KBLI 23205 (industri pengolahan kembali minyak pelumas bekas) tidak termasuk dalam penelitian karena keterbatasan data yang tersedia. Selain itu, setelah diuji dengan ada atau tidaknya sektor ini tidak terlalu berpengaruh terhadap sektor lainnya. Oleh karena itu, sektor ini tidak diteliti. Kode HS dari komoditas hasil olahan industri yang digunakan dalam perkembangan perdagangan dan analisis aliran ekspor dan impor adalah kode HS 2709001000 (sepuluh digit) selama tahun 2007 sampai 2008 dan kode HS 270900100 (sembilan digit) selama tahun 1998 sampai 2006 untuk crude oil to be refined dan HS 2711210000 (sepuluh digit) selama tahun 2007 sampai 2008 dan kode HS 271121000 (sembilan digit) selama tahun 1998 sampai 2006 untuk natural gas in gaseous state. 1.5.
Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
berbagai pihak, antara lain: 1. Bagi penulis, dalam penelitian ini dapat memberikan tambahan wawasan dan proses belajar dalam pengembangan intelektualitas mengenai sektor minyak bumi dan gas alam. 2. Bagi pemerintah dan lembaga atau instansi terkait, dapat menjadi masukan dan rujukan untuk pengembangan perekonomian melalui sektor-sektor unggulannya. 3. Bagi mahasiswa, dapat menjadi bahan rujukan dan literatur bagi penelitian selanjutnya.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1.
Definisi Ekonomi Industri Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi
dimana dapat menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku, dan kinerja pasar (Jaya, 2001). Menurut Hasibuan (1993), defenisi industri terbagi atas dua, yaitu secara mikro dan makro. Secara mikro, industri adalah kumpulan perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang homogen atau barang-barang yang mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat. Secara makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah terhadap produk olahannya. Konsep industri sangat penting untuk dipahami karena dapat mengurangi hubungan yang kompleks antara semua perusahaan yang terlibat dalam perekonomian
menjadi
suatu
dimensi
terkelola,
memungkinkan
untuk
menurunkan suatu himpunan yang bersifat umum dimana kita dapat meramalkan tingkah laku kelompok yang saling bersaing. 2.2. Klasifikasi Industri Industri memiliki cakupan yang luas maupun sempit. Menurut Djojodipuro (1994) dalam Sentosa (2005), cakupan industri yang luas tergolong dalam tiga bagian, yaitu: 1. Industri Ekstraktif (Industri primer) 2. Industri pengolahan atau manufaktur (industri sekunder) 3. Industri jasa (industri tersier)
14
Industri
ekstraktif
dibedakan
menjadi
industri
pertanian
dan
pertambangan. Industri pengolahan tergolong atas industri pengolahan non-migas, industri pengilangan minyak bumi dan gas cair. Sedangkan untuk industri jasa tergolong menjadi industri perbankan dan perdagangan. 2.2.1. Industri Pengolahan Pengilangan Minyak Bumi dan Gas Cair Pertambangan adalah suatu kegiatan pengambilan endapan bahan galian berharga dan bernilai ekonomis dari dalam kulit bumi, baik secara mekanis maupun manual, pada permukaan bumi, di bawah permukaan bumi dan di bawah permukaan air. Penggalian adalah suatu kegiatan yang meliputi pengambilan segala jenis barang galian. (Statistik Pertambangan, 2008). Tahapan kegiatan pertambangan meliputi prospeksi dan penelitian umum, eksplorasi,
persiapan
penambangan
dan
pembangunan,
eksploitasi
dan
penggalian/pengolahan/pemurnian. Prospeksi adalah suatu kegiatan penyelidikan dan pencarian untuk menemukan endapan bahan galian berharga. Eksplorasi adalah suatu kegiatan lanjutan dari prospeksi yang meliputi pekerjaan-pekerjaan untuk mengetahui ukuran, bentuk, posisi, kadar rata-rata dan besarnya cadangan serta “studi kelayakan” dari bahan galian yang telah ditemukan. Eksploitasi adalah
suatu
kegiatan
penambangan
yang
meliputi
pekerjaan-pekerjaan
pengambilan dan pengangkutan endapan bahan galian sampai ke tempat penimbunan dan pengolahan bahkan sampai ke pemasaran. Sedangkan pengolahan/pemurnian/pengilangan
adalah
suatu
pekerjaan
memurnikan/meninggikan kadar bahan galian dengan jalan memisahkan mineral berharga dan tidak berharga, kemudian membuang mineral yang tidak berharga tersebut (dapat dilakukan dengan proses kimia).
15
Produksi dari pengilangan migas secara umum terbagi dalam tiga jenis, yaitu produk kilang minyak, produk kilang gas dan produk petrokimia. Produk pengilangan minyak berupa bahan bakar minyak (BBM) antara lain avgas, avtur, bensin, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, minyak bakar dan sejenisnya. Sedangkan produk pengilangan gas antara lain Liquid Natural Gas (LNG), Liquid Petroleum Gas (LPG) dan sejenisnya. Pengolahan petrokimia merupakan proses lanjut dari hasil pengolahan minyak dan gas bumi untuk mendapatkan produk yang mempunyai nilai tambah lebih besar, seperti naphta, benzene, toluene, xylene, propylene, methanol, ammonia, paraxylene, Purified Terephthalic Acid (PTA), polytam dan sejenisnya (Statistik Pertambangan, 2008). 2.3.
Definisi Industrial Organization Para ahli organisasi industri senantiasa berutang budi pada Berle dan
Means yang telah lebih dahulu membahas konsentrasi industri di Amerika Serikat pada tahun 1930-an. Beberapa tahun sebelumnya struktur pasar industri telah diperdebatkan oleh Sraffa, Chamberlin, dan Joan Robinson. Jadi, secara teoritis telah dibicarakan, tetapi secara empiris kurang mendapat perhatian. Industri dapat dikaji menggunakan pendekatan organisasi industri yang mencakup struktur (structure), perilaku (conduct), kinerja (performance). Aspek yang ditekankan pada ekonomi industri cukup luas, namun pada organisasi industri ini lebih menekankan pada struktur pasar monopoli, persaingan, dan oligopoli dan kaitannya dengan perilaku dan kinerja perusahaan (Shepherd, 1992). Struktur pasar biasanya memengaruhi perilaku perusahaan untuk melihat seberapa kuat dapat bersaing atau berkolusi satu sama lain. Sebagai contoh, konsentrasi yang lebih tinggi mendorong tingkat kolusi yang lebih besar. Struktur dan
16
perilaku kemudian memengaruhi kinerja seperti yang ditunjukkan dalam harga pasar dan efisiensi dan tingkat inovasi. Menurut Shepherd (1992), penyebab berkebalikan juga dapat terjadi. Kinerjanya juga dapat memengaruhi struktur pasar. Sebagai contoh, sebuah perusahaan yang memiliki keuntungan tinggi secara umum akan meningkatkan pangsa pasarnya. Menurut Hasibuan (1993), kajian tentang Organisasi Industri dilakukan dengan pendekatan deduktif dan induktif. Secara deduktif memerlukan acuan teori. Teori ekonomi adalah konsep-konsep dan penjelasan tentang perilaku variabel ekonomi, prediksi tentang perilaku variabel dalam andaian-andaian tertentu. Teori sifatnya sangat sederhana, rasional, sistematis dan abstrak. Karena itu tidak semua kenyataan ekonomi dapat dituangkan ke dalam sebuah teori. 2.4.
Pendekatan Struktur, Perilaku, dan Kinerja Dalam teori organisasi industri, terdapat sebuah teori yang disebut SCP
(structure, conduct, performance) dimana teori ini menjelaskan bahwa kinerja suatu industri sangat dipengaruhi oleh struktur pasar. Struktur pasar akan mempengaruhi perilaku dan strategi perusahaan dalam suatu industri dan perilaku akan memengaruhi kinerja. 2.4.1. Struktur Struktur pasar merupakan kunci penting dari pola konsep konvensional dalam ekonomi industri. Menurut Shepherd (1992), struktur pasar terwujud dengan melihat ukuran distribusi perusahaan-perusahaan yang bersaing. Jika perusahaan semakin banyak jumlahnya maka dapat menurunkan pangsa pasarnya. Untuk memperluas pangsa pasar, suatu perusahaan menghadapi sejumlah rintangan. Setiap struktur pasar berada di antara pasar monopoli dan persaingan.
17
Setiap perusahaan memiliki struktur pada masing-masing keadaan tertentu. Menurut Jaya (2001), elemen utama struktur pasar dapat digabungkan dalam suatu kesamaan dan dicocokkan dengan data perusahaan aktual. Asumsinya adalah bahwa tingkat keuntungan perusahaan merupakan motivasi dasar perusahaan. Oleh karena itu, tingkat keuntungan merupakan suatu ukuran yang baik dalam menggambarkan kinerja suatu perusahaan. Tabel 2.1. Karakteristik suatu pasar No Tipe pasar Kondisi Utama 1. Natural Menguasai 100 persen Monopoli pangsa pasar 2. Oligopoli 4 perusahaan yang ketat tergabung dan memiliki pangsa pasar 60-100 persen sehingga mudah menentukan kesepakatan harga relatif. 3. Perusahaan Menguasai min 50-100% dominan pangsa pasar tanpa pesaing kuat 4. Oligopoli Gabungan 4 perusahaan longgar yang menguasai pangsa pasar 40 persen 5. Persaingan Banyak pesaing efektif monopolistik dan tidak satupun yang memiliki pangsa pasar lebih dari 10 persen 6. Persaingan Pesaing lebih dari 50 dan murni tidak ada satupun yang memiliki pangsa pasar yang berarti.
Hambatan Masuk Sangat tinggi Tinggi
Efisiensi Kurang baik Kurang baik
Tinggi
Kurang baik
Tinggi
Kurang baik
Rendah
Cukup baik
Sangat rendah
Baik
Sumber: Shepherd (1992)
Tabel 2.1 menjelaskan bagaimana karakteristik suatu pasar ditinjau dari tipe pasarnya, kondisi utama, hambatan masuk dan efisiensi pasar (Shepherd, 1992). Karakteristik ini yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini untuk menentukan struktur industri migas yang diketahui dari besarnya konsentrasi industri migas.
18
Struktur ini memengaruhi perilaku dari perusahaan. Struktur dan perilaku yang akan mempengaruhi kinerja pasar. Kinerja yang baik mencakup harga yang rendah, efisiensi, inovasi dan keadilan. Struktur pasar juga menggambarkan ukuran distribusi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi di suatu pasar yang terdiri dari pangsa pasar dan tingkat konsentrasi. Struktur pasar juga dapat dilihat dari jumlah penjual dan pembeli, diferensiasi produk, entry condition, integrasi vertikal dan elemen-elemen lainnya. Hal utama dari struktur, perilaku dan kinerja adalah determinan-determinan yang membentuk struktur itu sendiri. 1. Pangsa Pasar (market share) Pangsa pasar adalah pangsa dari pendapatan penjualan total yang dihitung dari persentase pendapatan perusahaan dari total pendapatan industri yang dapat diukur dari nol persen hingga 100 persen (Jaya, 2001). Semakin besar pangsa pasar, semakin besar pula kekuatan pasar yang dimiliki perusahaan tersebut. Jika pangsa pasar suatu perusahaan tinggi maka akan cenderung ke arah monopoli yang maximal profit-oriented. Sebaliknya jika pangsa pasarnya rendah akan cenderung ke arah pasar persaingan. Perusahaan dengan pangsa pasar yang lebih baik akan menikmati keuntungan dari penjualan produk dan kenaikan kepemilikannya. Secara umum, terdapat hubungan yang positif antara pangsa pasar dan keuntungan (Jaya, 2001). 2. Konsentrasi (concentration) Menurut Jaya (2001), konsentrasi adalah kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan. Kombinasi pangsa pasar membentuk suatu tingkat pemusatan dalam
pasar.
Untuk
menentukan
konsentrasi
suatu
perusahaan
dapat
19
menggunakan metode rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) dan Indeks Hirschmann-Herfindahl (HHI). CR4 memerlukan ukuran pasar secara keseluruhan dan ukuran perusahaan yang memimpin pasar, sedangkan HHI merupakan penjualan kuadrat pangsa pasar semua perusahaan dalam suatu industri. CR4 = Total jumlah penjualan 4 perusahaan terbesar ...................................(2.1) Total penjualan Nilai yang dihasilkan antara 0-1. Semakin besar nilai CR4 maka pasar cenderung ke arah monopoli dan semakin kecil nilainya pasar cenderung ke arah persaingan sempurna. 3.
Hambatan Masuk (Barriers to Entry)
Hambatan masuk adalah segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru seperti melalui hak paten dan franchise. Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam hambatan masuk ini adalah MES (Minimum Efficiency Scale). Dalam MES ini dimana perusahaan baru tidak akan masuk kecuali yakin akan memperoleh keuntungan setelah masuk ke dalam pasar. Jika perusahaan di bawah MES, maka tidak akan dapat bersaing dengan perusahaan yang telah ada di dalam pasar. Hambatan ini membuat suatu batasan antara pendatang baru dengan perusahaan yang sudah lama berdiri. 2.4.2. Perilaku Pasar Perilaku pasar menggambarkan tindakan-tindakan perusahaan sebagai akibat dari struktur pasar yang dihadapinya. Menurut teori ekonomi industri, perilaku industri menganalisis tingkah laku penerapan strategi yang digunakan oleh perusahaan dalam suatu industri untuk merebut pangsa pasar dan
20
mengalahkan pesaingnya. Perilaku industri mencakup perilaku dalam penentuan harga, perilaku dalam kebijaksanaan produk dan perilaku dalam strategi promosi. 2.4.3. Kinerja Pasar Menurut Hasibuan (1992), kinerja industri adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri yang terdiri dari kesempatan kerja, tingkat keuntungan, pertumbuhan, dan kemajuan teknologi. Pada tahapan kinerja terdapat dua unsur yang perlu diketahui, yaitu: laba yang diperoleh dan efisiensi. a.
Laba (Keuntungan) Secara akuntansi, laba adalah kelebihan penghasilan dari ongkos-
ongkosyang dikeluarkan perusahaan. Secara matematika, hal ini dirumuskan menjadi (R-C); dimana R adalah penghasilan, sedangkan C adalah komponen ongkos pada satuan waktu tertentu. Menurut konsep ekonomi, laba merupakan bagian nilai tambah atau pendapatan yang diciptakan oleh perusahaan. Pola keuntungan untuk kinerja digambarkan melalui PCM (Price Cost Margin). Teori yang digunakan dalam mengetahui kondisi keuntungan perusahaan adalah marginal cost pricing melalui maksimisasi biaya. Motivasi bagi produsen untuk melakukan kegiatan ekonomi adalah memperoleh keuntungan, yang merupakan kepentingan perusahaán individual/pribadi (self interest). Harga merupakan petunjuk yang sangat berguna dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang jumlahnya tertentu sehingga dapat di perkirakan apakah biaya produksi rata-rata masih memberikan keuntungan, baik keuntungan ekonomi (supernormal profit) atau keuntungan yang normal.
21
Perusahaan yang menginginkan laba maksimum akan mengambil keputusan secara marginal. Untuk memperoleh keuntungan yang maksimum perusahaan dalam kondisi dimana MR=MC (marginal revenue=marginal cost). MR = dR/dQ = dC/dQ = MC
C,R TC(Q)
TR(Q)
π
π(Q) = dR/dQ
π maks= MR= MC TR - TC MC
MR
D=AR= P
Sumber: Nicholson, 1994 Gambar 2.1. Kondisi MR=MC untuk Memperoleh Laba Maksimum
Bila perusahaan memutuskan untuk menghasilkan output pada saat MR>MC, maka laba yang diterima tidaklah maksimum, sebab dengan
22
menghasilkan 1 unit output tambahan akan menghasilkan MR yang lebih besar dari biaya yang harus dikeluarkan. Begitu juga jika MR<MC, biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi 1 unit barang terakhir lebih besar dari penerimaan yang akan diperoleh seandainya barang tersebut dijual. b.
Efisiensi Nilai output suatu industri pengolahan merupakan nilai keluaran yang
dihasilkan dari proses kegiatan industri yang berupa barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, jasa industri, keuntungan jual beli, pertambahan stok barang setengah jadi dan penerimaan lain (Statistik Indonesia, 2009). Sedangkan biaya input adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses industri yang berupa bahan baku, bahan bakar, barang lainnya diluar bahan baku/bahan penolong, jasa industri, sewa gedung, dan biaya jasa non industri (Statistik Indonesia, 2009). Efisiensi dapat dirumuskan: ................................................................................ (2.2) Menurut Badan Pusat Statistik (2000), efisiensi merupakan hasil dari biaya input yang dibagi dengan nilai output (Persamaan 2.1). Efisiensi ini digunakan untuk melihat perbandingan antara input yang dipakai dengan output yang dihasilkan. Efisiensi terdiri atas dua jenis, yaitu efisiensi internal dan efisensi alokatif. Efisiensi internal menunjukkan perusahaan dikelola dengan baik dan ada usaha maksimum dari para pekerja. Efisensi alokatif menggambarkan sumber daya ekonomi yang dialokasikan sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi perbaikan dalam berproduksi yang dapat menaikkan nilai dari output.
23
2.5.
Panel Data Panel data adalah bentuk data yang merupakan gabungan dari data time
series dan cross section. Dalam teori ekonometrika, bentuk panel data dapat mengatasi masalah pengestimasian yang kurang baik akibat sedikitnya jumlah observasi jika hanya dengan menggunakan data time series atau cross section saja. Terdapat dua keuntungan penggunaan model data panel dibandingkan data time series dan cross section saja. Pertama, dengan mengkombinasikan data time series dan cross section dalam data panel membuat jumlah observasi menjadi lebih besar. Dengan menggunakan model data panel marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) sehingga paramater yang diestimasi akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain. Secara teknis menurut Hsiao (2004), data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi. Kedua, keuntungan dari penggunaan data panel adalah mengurangi masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi pada cross section yang sama secara berulang, sehingga data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.
24
Dalam model panel data ada dua jenis metode yang digunakan yaitu, model efek tetap (fixed effects model) yang didalamnya mencakup pooled least square dan model efek acak (random effects model). Kedua metode ini dapat diterapkan dengan pembobotan (cross section weights) atau tanpa pembobotan (no weighting). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Misalkan: yit = αi + Xit β + εit .............................................................................................(2.3) Pada one way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: εit = λi + uit ........................................................................................................(2.4) Untuk two way, komponen error dispesifikasi dalam bentuk:
ε it = λi + .............................................................................................................(2.5) µt + uit Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu (λi). Pada two way telah memasukkan efek dari waktu (µt) ke dalam komponen error. uit diasumsikan tidak berkorelasi dangan Xit. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara λi dan µt dengan Xit. Untuk memperoleh keputusan penggunaan model efek tetap atau model efek acak ditentukan dengan menggunakan spesifikasi Uji Hausman. 2.5.1. Model efek tetap (fixed effects model) 2.5.1.1. Pooled Least Square (PLS) Dalam metode ini data panel yang mengkombinasikan semua data cross section dan time series akan digabungkan menjadi pooled data. Dengan menggunakan metode ini tentunya akan menghasilkan pendugaan regresi yang
25
lebih akurat jika dibandingkan dengan regresi biasa, karena dalam panel berarti menggabungkan data cross section dan time series bersama-sama sehingga memiliki jumlah observasi data yang lebih banyak. Metode ini diduga dengan menggunakan OLS, yaitu: Yit = α + Xit βj + uit ........................................................................................(2.6) dimana : Yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i α = intersep yang konstan antar individu cross section i Xit = variabel bebas di waktu t untuk unit cross section i βj = parameter untuk variabel bebas uit = komponen error gabungan di waktu t untuk unit cross section i karena αi bersifat konstan untuk semua observasi, atau αi = α, maka dirumuskan: .................................................................................................. (2.7)
.......................................................................................(2.8) Dimana: dan
..........................................(2.9)
Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias. Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda karena data yang digabungkan secara keseluruhan.
26
2.5.1.2. Fixed Effects Model (FEM) atau Least Squre Dummy Variabel (LSDV) Dalam model PLS, tidak dapat membedakan individu sehingga asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan. Untuk itulah, secara generalisasi dapat memasukkan variabel dummy untuk menunjukkan parameter yang berbeda-beda pada setiap unit cross-section. Metode dengan memasukkan variabel dummy ini disebut LSDV (Least Square Dummy Variable) atau model efek tetap (fixed effects). Metode ini berusaha merepresentasikan perbedaan intersep dengan menambah dummy variable. Metode fixed effect akan menghasilkan intersep yang berbeda-beda antar unit cross section. Kelebihan pendekatan ini (LSDV) adalah dapat menghasilkan dugaan parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah unit observasinya besar maka akan sulit menduga persamaan regresinya karena penggunaan peubah dummy yang terlalu banyak. Kelemahan lainnya pada metode ini adalah semakin berkurangnya degree of freedom akibat adanya penambahan variabel dummy pada persamaan, dan tentunya akan memengaruhi keefisienan parameter yang diduga. Adapun model persamaan dalam metode LSDV adalah: Yit = αi + βj xjit + uit ........................................................................................ (2.10) dimana : yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i αi = intersep yang akan berbeda antar individu cross section i xjit = variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i βj = parameter untuk variabel ke j uit = komponen error di waktu t untuk unit cross section i
27
2.5.2. Random Effect Model (REM) REM muncul ketika antara efek individu dan periode tidak berkorelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Pada model ini, karakteristik individu terlihat pada komponen error pada model. Hal ini tidak akan mengurangi derajat bebas (degree of freedom) akibat penambahan variabel, sehingga efisiensi dalam pendugaan parameter juga tidak berkurang. Persamaan untuk model REM sebagai berikut: Yit = α + βj xjit + uit ...................................................................................... (2.11) dimana : yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i α1i = α1 + µit , dengan nilai intersep yang akan berbeda antar individu cross section i akibat random error (µit) antar individu tersebut µ xjit = variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i βj = parameter untuk variabel ke j uit = uit + τi , yaitu uit : error dan τi : individual effect 2.6.
Penelitian Terdahulu Penelitian ekonomi dengan menggunakan metode SCP menentukan
perilaku perusahaan yang akan menentukan kinerja perusahaan. Indiani (2006) meneliti Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Susu di Indonesia. Data yang digunakan adalah sekunder time-series dari tahun 1983-2002 dengan analisis OLS (Ordinary Least Square). Dari penelitian tersebut diperoleh bahwa struktur pasar yang dimiliki oleh industri susu di Indonesia adalah oligopoli ketat dengan rasio konsentrasi sebesar 73,79 persen. Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa semua variabel (CR4, prod, growth, X-EFF) signifikan pada taraf nyata 10 persen. Penelitian yang dilakukan Darmayanti (2007) mengenai Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia.
28
Jenis data yang digunakan data sekunder time-series selama tahun 1995-2004 dengan metode OLS, analisis cluster dengan SIG (Sistem Informasi Geografis). Analisis kinerja dalam industri ini diamati dari kontribusi tenaga kerja, nilai tambah, dan jumlah unit usaha industri logam dasar besi dan baja Indonesia terhadap total industri manufaktur. Selain itu, kinerja industri ini juga dilihat dari sudut profit yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur industri logam dasar besi dan baja Indonesia adalah oligopoli ketat dengan rata-rata rasio konsentrasinya (CR4) sebesar 71,15 persen. Penelitian berikutnya oleh Lutfiah tahun 2008
mengenai Analisis
Dampak Implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) Arsitektur Perbankan Indonesia (API) Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Perbankan Indonesia. Penelitian ini menggunakan NIM sebagai indikator kinerja. Untuk pendekatan kinerja dilihat berdasarkan beberapa rasio diantaranya nilai Return of Assets (ROA), nilai Return of Revenue (ROE), nilai Net Profit Margin (NPM). Hasilnya, rasio konsentrasi rasio aset empat bank besar (Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BCA) dalam industri perbankan Indonesia sebesar 44,86 persen hingga tahun 2007. Berdasarkan rasio tersebut, struktur industri perbankan dikategorikan menjadi oligopoli longgar. Winsih (2007) melakukan penelitian mengenai Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Manufaktur Indonesia. Data yang digunakan merupakan data sekunder dalam bentuk data panel dalam kurun waktu tahun 2000-2005. Analisis struktur industri dilakukan melalui pangsa pasar, konsentrasi, dan hambatan masuk. Hal ini disebabkan karena struktur mempunyai pengaruh utama terhadap kinerja industri. Analisis perilaku dlilihat dari bagaimana strategi perusahaan
29
dalam menetapkan harga, produk, melakukan promosi untuk memasarkan produknya dan distribusi. Untuk analisis kinerja menggunakan panel analysis dilihat dari bagaimana perkembangan tingkat keuntungan melalui Price Cost Margin (PCM) dan nilai efisiensi. Sementara variabel struktur seperti CR4, efisiensi-X, produktivitas, pertumbuhan nilai produksi (GROWTH), nilai ekspor (EX), nilai impor (IM). Kesimpulannya analisis struktur rata-rata rasio konsentrasi sebesar 37,52 persen yang menunjukkan bahwa struktur pasar bersifat oligopoli sedang. Penelitian Sentosa (2008) mengenai Analisis struktur, perilaku, dan kinerja pada Industri Elektronik Indonesia Pasca Deregulasi Penanaman Modal Asing. dengan menggunakan data panel dari kurun waktu tahun 2000-2005. Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif mengggunakan pendugaan OLS dan metode kualitatif untuk menganalisis perilaku industri. Hasil pengamatan menunjukkan indsutri elektronik pra dan pasca deregulasi penanaman modal asing memiliki struktur pasar oligopoli. Adapun variabel yang digunakan adalah CR4, Xefisiensi, produktivitas, FDI, dan TEC. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa semua variabel signifikan terhadap PCM pada taraf nyata lima persen. Penelitian selanjutnya oleh Agustina (2009) mengenai Analisis StrukturPerilaku-Kinerja Industri pakan Ternak di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data time-series dengan metode OLS selama tahun1981-2005. Untuk pendekatan struktur, penelitian ini menggunakan analisis konsentrasi pasar (CR4), Indeks HHI. Dalam pendekatan perilaku industri menggunakan strategi produk, promosi, kemitraan,dan distribusi. Untuk kinerja industri, penelitian ini menggunakan indikator keuntungan dengan Price Cost Margin (PCM). Hasil penelitian ini
30
menunjukkan bahwa struktur pasar merupakan oligopoli longgar dengan pangsa pasar sebesar 41,33 persen dan nilai MES sebesar 16,61 persen yang berarti hambatan untuk masuk pasar termasuk tinggi. Tingkat keuntungan pada industri pakan ternak dikatakan masih kecil dengan rata-rata 19,56 persen. Hal ini disebabkan oleh biaya input yang terlampau besar terutama besarnya biaya untuk bahan baku. Dari hasil analisis regresi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi PCM industri pakan ternak adalah CR4, MES, GROWTH, dan Xeff. 2.7. Kerangka Pemikiran Industri migas merupakan industri strategis karena merupakan salah satu penggerak pembangunan ekonomi suatu negara. Kinerja industri ini harus mendapat perhatian agar pembangunan suatu negara dapat berjalan dengan baik. Pada model kerangka analisis Structure-Conduct-Performance (SCP) disebutkan bahwa struktur pasar mempengaruhi perilaku perusahaan yang ada didalamnya, kemudian perilaku tersebut akan mempengaruhi kinerja industri tersebut. Dalam penelitian ini, struktur diidentifikasi dari CR4 dan MES, perilaku dari strategi harga, produk, dan promosi. Sedangkan kinerja dari PCM dan XEFF. Ketiga jenis komponen ini akan membentuk hubungan S-C-P yang selanjutnya digunakan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang memengaruhi kinerja Industri migas Indonesia. Adapun analisis yang digunakan untuk perilaku industri migas menggunakan analaisis secara deskriptif sementara untuk struktur dan kinerja menggunakan analisis kuantitatif melalui analisis panel data. Itulah sebabnya, perlu untuk menganalisa struktur pasar dalam industri pengolahan migas di Indonesia yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja melalui perilaku perusahaan. Hal pertama yang akan dilakukan adalah
31
menganalisis struktur pasar dengan melihat konsentrasi rasio (CR4) dan MES (minimum efficiency scale) perusahaan. Kemudian menganalisis kinerja industri migas di Indonesia, yaitu pada tingkat keuntungan atau Price-Cost Margin (PCM) dan efficiency (XEFF). Langkah berikutnya adalah melihat hubungan antara struktur pasar (CR4 dan MES) dan faktor lain (XEFF, GROWTH, PROD, RAWMATE, RENT, BBLG, PIMPOR dan PEKSPOR) dengan kinerja pada industri tersebut. Selanjutnya akan dianalisis perilaku pasar yang terjadi antara struktur dan kinerjanya. Kerangka pemikiran diperlihatkan pada Gambar 2.1
Industri pengolahan migas di Indonesia
Struktur CR4 MES
Perilaku Strategi harga Strategi produk Strategi promosi
Kinerja Price-cost margin (PCM) Efficiency (XEFF)
Variabelvariabel lain: PROD CR4 MES GROWTH RAWMATE BBLG XEFF RENT PEKSPOR PIMPOR
Hubungan S-C-P
Analisis Deskriptif
Faktor-faktor yang memengaruhi kinerja Industri Migas di Indonesia
Analisis Panel Data dengan Fixed Effect Model
Gambar 2.2. Skema Kerangka Pemikiran Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Migas di Indonesia
32
2.8.
Hipotesis Penelitian mengenai pengaruh struktur terhadap kinerja industri, telah
banyak dilakukan oleh peneliti ekonomi. Namun, hubungan antara berbagai variabel dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Berdasarkan teori-teori yang mendasari penelitian ini, maka hipotesisnya antara lain: 1. Struktur pasar yang ada menyebabkan adanya perilaku tertentu pada industri minyak dan gas dan memengaruhi kinerjanya. 2. Produktivitas memiliki hubungan yang positif terhadap PCM industri migas. Semakin produktif tenaga kerja, maka semakin besar keuntungan perusahaan migas. 3. Konsentrasi perusahaan terbesar (CR4) memiliki hubungan positif terhadap PCM. Semakin tinggi konsentrasi, maka semakin besar pula keuntungan yang diterima perusahaan. 4. MES memiliki hubungan positif dengan tingkat keuntungan. Semakin sulit pesaing baru masuk ke pasar maka akan semakin tinggi keuntungan yang diperoleh perusahaan. 5. Variabel lain yang memiliki hubungan positif dengan kinerja adalah GROWTH yang diduga menjadi indikator dalam memperluas profit industri migas. 6. Selain variabel CR4, MES dan GROWTH, efisiensi-X memiliki hubungan yang positif terhadap PCM. Semakin efisien perusahaan, maka memungkinkan suatu perusahaan untuk memproduksi produk dengan sumber daya yang lebih sedikit atau sama besarnya. Efisiensi menyebabkan pengurangan biaya sehingga biaya yang dikeluarkan oleh
33
perusahaan dalam jangka panjang akan lebih kecil sehingga keuntungan perusahaan akan meningkat. 7. Raw materials memiliki hubungan positif terhadap PCM karena semakin baik kualitas bahan baku suatu produk akan meningkatkan keuntungan perusahaan. 8. Variabel Bahan bakar listrik dan gas (BBLG) dan sewa (rent) memiliki hubungan negatif terhadap tingkat keuntungan. Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk BBLG dan rent, maka akan menurunkan tingkat keuntungan. 9. Ekspor juga akan memiliki hubungan yang positif terhadap PCM. Jika ekspor suatu perusahaan tinggi maka berpengaruh terhadap tingkat keuntungan perusahaan yang tinggi. 10. Variabel impor memiliki pengaruh yang negatif terhadap PCM. Hal itu disebabkan impor dapat mengurangi kekuatan pasar dalam negeri. Semakin besar intensitas impor, maka keuntungan perusahaan akan semakin kecil.
34
III. METODE PENELITIAN 3.1.
Lokasi dan Waktu penelitian Penelitian ini membahas struktur, perilaku, dan kinerja industri minyak
dan gas alam di Indonesia. Waktu penelitian ini dimulai dari bulan Februari 2011 sampai Maret 2011 melalui pengumpulan data untuk melengkapi penelitian ini. 3.2.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) Pusat, Kementrian Energi dan Sumber Daya mineral, Direktorat Jenderal MIGAS, Kementrian Perindustrian, studi kepustakaan, media elektronik dan publikasi yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian ini terdiri dari empat cross-section yaitu: industri pemurnian dan pengilangan minyak, industri pemurnian dan pengilangan gas, industri barangbarang dari hasil kilang minyak bumi dan industri pembuatan minyak pelumas dengan waktu penelitian selama tahun 1998 hingga 2008. 3.3.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode deskriptif dan kuantitatif. Penelitian ini menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri minyak dan gas alam dengan menggunakan alat analisis SCP (Structure-Conduct-Performance).
Metode
deskriptif
digunakan
untuk
menganalisis perilaku industri dengan memberikan gambaran dari hasil penelitian serta melalui gambaran umum kondisi industri migas di Indonesia. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur dan kinerja industri minyak dan gas alam. Data yang digunakan adalah data panel. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan E-Views 6.
35
Data panel merupakan gabungan antara data time series dan data cross section. Penggabungan data ini digunakan untuk mengatasi kelemahan dalam menjawab pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh model cross section dan time series murni. Secara teknis, data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi. Menurut Baltagi (1995) banyak keuntungan yang diperoleh dengan mengggunakan panel data, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu 2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of freedom dan lebih efisien. 3. Lebih baik untuk study of dynamic adjustments. 4. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section murni atau time series murni. 5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah panel data. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari PCM sebagai variabel dependennya serta produktivitas, GROWTH, X-efisiensi, CR4, MES (minimum efficiency scale), raw materials, sewa, bahan bakar listrik dan gas, harga impor dan harga ekspor sebagai variabel independennya. 3.3.1. Analisis Struktur Industri a.
Pangsa Pasar (MS) Pangsa pasar merupakan penjualan perusahaan dibandingkan pasar
secara keseluruhan. Perusahaan yang menghadapi persaingan sedikit dapat
36
menjual dalam jumlah besar pada harga tinggi sehingga menghasilkan tingkat penghasilan yang tinggi. Tingkat persaingan yang tinggi dapat menimbulkan hal yang sebaliknya. Pertama, dapat menurunkan pangsa pasar, dengan demikian menurunkan jumlah yang terjual oleh setiap perusahaan. Kedua, tingkat persaingan tinggi dapat memaksa setiap perusahaan dalam industri mengurangi harga untuk mencegah pesaing masuk. Setiap industri terdiri dari berbagai perusahaan yang bersaing satu sama lain untuk para konsumen yang menginginkan produknya. MSi = Si x 100% .............................................................................(3.1) Stot Dimana : MSi = pangsa pasar perusahaan i (persen)
b.
Si
= penjualan perusahaan i (rupiah)
Stot
= penjualan total seluruh perusahaan (rupiah)
Rasio Konsentrasi (Concentration Ratio) Metode yang umum yang dipakai untuk mengetahui struktur pasar adalah
rasio konsentrasi (CR4). CR4 digunakan untuk menunjukkan pangsa pasar empat perusahaan terbesar. Rasio konsentrasi yang standar memerlukan data mengenai ukuran pasar secara keseluruhan dan ukuran perusahaan-perusahaan yang memipin pasar terutama empat perusahaan terbesar yang menguasai pasar. Untuk mengetahui rasio konsentrasi terlebih dahulu menghitung pangsa pasar. Rasio konsentrasi merupakan persentase total output industri atau pasar pasar. CRm =
...................................................................................(3.2)
Dimana: CRm = rasio konsentrasi sebanyak m perusahaan i (persen) MSi = pangsa pasar perusahaan i (persen)
37
Nilai CR4 berkisar antara 0-100. Nilai konsentrasi perusahaan yang mendekati nol menunjukkan bahwa pangsa pasar perusahaan kecil (menuju persaingan sempurna). Sedangkan jika nilai rasio konsentrasi mendekati 100 mengindikasikan adanya monopoli dari perusahaan X terbesar. Penelitian ini menggunakan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar yang merupakan perbandingan penjualan industri minyak dan gas alam di Indonesia. Menurut Friedman dalam Jaya (2001), ada tiga sumber penyebab konsentrasi semakin tinggi, yaitu alasan yang bersifat teknis, bantuan langsung maupun tidak langsung dari pemerintah, dan perilaku kolusi pihak swasta. Alasan yang bersifat teknis adalah perusahaan industri bekerja semakin efisien jika cukup dilakukan oleh beberapa perusahaan saja. Bantuan pemerintah yang menimbulkan konsentrasi hanya diluar rencana seperti ketentuan tarif. Aspek adanya tarif yang awalnya bertujuan melindungi industri muda, lambat laun dapat merintangi industri yang mungkin dapat menjadi saingan secara potensial. Terjadinya penurunan konsentrasi rasio bisa disebabkan oleh masuknya beberapa perusahaan ke dalam industri masing-masing. Sedangkan terjadinya peningkatan konsentrasi disebabkan oleh perluasan pada beberapa establishment dan berkurangnya jumlah perusahaan. c.
Hambatan Masuk (Barriers to Entry) Faktor lainnya yang memengaruhi struktur suatu industri adalah kondisi
untuk masuk pasar. Hambatan untuk masuk pasar mencerminkan kekuatan pasar. Rintangan masuk pasar dapat berupa skala ekonomi, diferensiasi produk maupun peraturan pemerintah. Untuk mengukur hambatan masuk pasar dilakukan dengan menghitung MES (Minimum Efficiency Scale).
38
MES = output perusahaan terbesar x 100% ......................................(3.3) Output total 3.3.2. Analisis Perilaku Industri Analisis perilaku dalam perusahaan migas (minyak bumi dan gas alam) dapat dianalisis secara deskriptif berdasarkan informasi yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan informasi yang diperoleh dari literatur-literatur yang ada. Perilaku dalam hal ini adalah pola tanggapan dan penyesuaian suatu industri di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Analisis ini dilakukan terhadap strategi harga, strategi produk, strategi promosi. 3.3.3. Analisis Kinerja Industri Analisis kinerja industri (migas) di Indonesia bersifat kuantitatif. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan Price-Cost-Margin (PCM) dan efisiensi-X. PCM dinyatakan sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga diatas biaya produksi. PCM juga didefenisikan sebagai persentase keuntungan dari kelebihan penerimaan atas biaya langsung. PCM =
Nilai tambah-upah total
x 100% .............................(3.4)
Nilai input Barang yang dihasilkan Untuk pengukuran efisiensi dapat dilakukan dengan menghitung rasio nilai tambah dengan nilai input atapun dengan cara mengukur atau melihat tingkat utilisasi kapasitas produksi perusahaan-perusahaan. 3.4.
Perumusan Model Struktur pasar dapat menjelaskan kinerja pasar dimana setiap industri
memiliki struktur dan kinerja yang berbeda-beda. Rumus dasar model ekonometrikanya adalah: Yit = αi + βj xjit + uit
39
Adapun perumusan model ekonometrika untuk mengetahui PCM (Price Cost Margin) dalam industri migas di Indonesia adalah sebagai berikut: PCMit = α0 + β1 lnPRODit + β2 GROWTHit + β3 XEFFit + β4 CR4it + β5MESit + β6 lnRAWMATEit + β7 lnRENTit + β8 lnBBLGit + β9 lnEKSit + β10 lnIMPit + Uit ................................................................................................................................................................ (3.5) Dimana: PCMit Ln PRODit
= rasio keuntungan industri pada unit ke-i pada tahun ke-t (%) = produktivitas tenaga kerja industri pada unit ke-i pada tahun ke-t (output/tenaga kerja)
GROWTHit
= pertumbuhan nilai produksi pada unit industri ke-i pada tahun ke-t (%)
XEFFit
= efisiensi – X pada unit industri ke-i pada tahun ke-t (%)
CR4it
= konsentrasi industri dari empat perusahaan terbesar pada unit ke-i pada tahun ke-t (%)
MESit
= skala efisiensi minimum yang merupakan proksi hambatan masuk pasar pada unit ke-i pada tahun ke-t (%)
Ln RAWMATEit = bahan baku yang merupakan sumber input industri pada unit ke-i pada tahun ke-t (ribu rupiah) Ln RENTit
= besarnya sewa, sumber input industri pada unit ke-i pada tahun ke-t (ribu rupiah)
Ln BBLGit
= bahan bakar, listrik dan gas yang merupakan sumber input industri pada unit ke-i pada tahun ke-t (ribu rupiah)
LnPEKSit
= logaritma nilai komoditi migas yang diekspor pada unit ke-i pada tahun ke-t (US$/Kg)
40
Ln PIMPit
= logaritma nilai komoditi migas yang diimpor pada unit ke-i pada tahun ke-t (US$/Kg)
α0
= intersep
βn
= slope masing-masing peubah bebas (independen)
Uit
= error pada unit industri ke-i dan tahun ke-t Dalam penelitian ini, PCM menggunakan proksi nilai tambah yang
diperoleh. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi nilai tambah maka semakin efisien kinerja industri dalam meminimumkan biaya sehingga keuntungan semakin besar. 3.4.1.
Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu
dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Dalam penelitian ini, dilakukan pemilihan model hanya antara pendekatan PLS dan Fixed effects dan tidak menggunakan random effects. Hal ini disebabkan variabel yang digunakan dalam penelitian ini jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan cross-sectionnya yang berjumlah empat (industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi, industri pemurnian dan pengilangan gas, industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi, industri pembuatan minyak pelumas). Akibatnya dalam pengolahan data menggunakan software e-views versi 6.0 hasilnya tidak keluar. Chow Test (Uji Chow) Chow Test (uji F-statistik) adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:
41
H0 : Model Pooled Least Square H1 : Model Fixed Effect Dasar penolakan terhadap Hipotesa Nol (H0) adalah dengan menggunakan F-statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow: (ESS1 – ESS2) (N – 1) CHOW =
...................................................(3.6) (ESS2)
(NT – N – K)
Dimana: ESS1
= Residual Sum Square hasil pendugaan model pooled least square
ESS2
= Residual Sum Square hasil pendugaan model fixed effect
N
= Jumlah data cross section
T
= Jumlah data time series
K
= Jumlah variabel penjelas Statistik Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas
(N – 1, NT – N – K). Jika nilai CHOW statistics (F-stat) lebih besar dari F-Tabel, maka cukup bukti untuk menerima Hipotesa Nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu juga sebaliknya. 3.5.
Definisi Operasional 1. Rasio keuntungan industri yang mencerminkan kelebihan atas biaya langsung pada tahun ke –t (%), PCM =
Nilai tambah – upah
x 100% ; ......................(3.7)
Nilai barang barang yang dihasilkan 2. Rasio efisiensi yang dinyatakan sebagai perbandingan antara nilai tambah dan nilai input industri pada tahun ke – t untuk mengukur efisiensi internal industri (%),
42
X-eff = nilai tambah industri x 100% ;..........................................(3.8) nilai input industri 3. Produktivitas yang dinyatakan sebagai perbandingan nilai output dan nilai tenaga kerja pada tahun ke – t, Prod
=
nilai output
.............................................................(3.9)
jumlah tenaga kerja 4. Pertumbuhan (GROWTH) merupakan perbandingan antara selisih besarnya output tahun sekarang dan output tahun sebelumnya dengan output tahun sebelumnya (%), GROWTH = output pada tahun ke i – output tahunsebelumnya......... (3.10) output tahun sebelumnya 5.
MES merupakan proksi yang mengukur besarnya hambatan industri (%), MES = output terbesar pada tahun ke-t ............................................(3.11) output total
6. CR4 merupakan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar yang memimpin pasar. CR4 = jumlah empat output terbesar perusahaan ...............................(3.12) Total output 7. Ekspor adalah perbandingan nilai komoditi ekspor dengan volume ekspor. 8. Impor adalah perbandingan nilai komoditi impor dengan volume impor.
43
IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Sejarah Industri Migas di Indonesia Sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, Indonesia telah melakukan eksplorasi dan produksi minyak. Pengusahaan minyak bumi di Indonesia tergolong yang tertua di dunia. Pengeboran minyak pertama di Indonesia, yang dilakukan oleh J. Reerink tahun 1871. Berbeda halnya dengan sektor perkebunan dan pertanian yang sudah sangat lama dikembangkan di Indonesia pada awal abad ke 19. Setelah VOC didirikan, sektor pertambangan belum menjadi sektor unggulan saat itu. Pada pertengahan abad ke-19, Corps of the Mining Engineers, suatu institusi Belanda, melaporkan penemuan minyak pada dekade 1850-an, antara lain di Karawang (1850), Semarang (1853), Kalimantan Barat (1957), Palembang (1858), Rembang dan Bojonegoro (1858), Surabaya dan Lamongan (1858). Pada dekade selanjutnya, temuan minyak tersebut tetap berlanjut antara lain di daerah Demak (1862), Muara Enim (1864), Purbalingga (1864) dan Madura (1866). Head of the Department of Mines yang dijabat oleh Cornelis de Groot, pada tahun 1864 melakukan tinjauan hasil eksplorasi dan melaporkan adanya area yang memiliki prospek. Laporannya itulah yang dianggap sebagai tonggak sejarah perminyakan Indonesia. Namun, yang menjadi era yang memelopori pengelolaan minyak bumi adalah pada periode 1882 – 1898. Pengeboran ini dilakukan di daerah-daerah seperti di Langkat (Sumatra Utara), Surabaya (Jatim), Kutai (Kaltim) dan Palembang (Sumsel). Pada tahun 1890, Belanda secara resmi mendirikan perusahaan minyak di Indonesia yang diberi nama NV Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij, atau Royal Dutch Petroleum
44
Company. Di daerah Kalimantan, pengelolaan minyak bumi dimulai ketika Sultan Kutai memberikan konsesi kepada Jacobus Hubertus Menten, pada tahun 1888. Pada tahun 1893, Lapangan Sanga-Sanga mulai berproduksi. Selanjutnya dibangunlah kilang Balikpapan pada tahun 1894. Produksi komersialnya dicapai pada tahun 1897. Di Sumatra Selatan, eksplorasi produksi dimotori oleh Dominicus Antonius Josephin Kessler dan Jan Willem Ijzerman. Mereka mendirikan Nederlandsche Indische Exploratie Maatschappij pada tahun 1895, untuk mengelola konsesi yang ada di daerah Banyuasin dan Jambi. Saat itu, terdapat dua perusahaan besar yang berperan sebagai leader, yakni Royal Dutch dan Shell. Royal Dutch bergerak di bidang eksplorasi, produksi dan pengilangan. Sedangkan Shell, perusahaan raksasa Belanda lainnya, bergerak di bidang usaha transportasi dan pemasaran. Kedua perusahaan ini merger pada tahun 1907 menjadi Royal Dutch–Shell Group, yang kemudian dikenal dengan Shell. Di bawah group ini dibentuklah De Bataafsche Petroleum Mij (BPM) untuk produksi dan pengilangan Anglo Saxon Petroleum Coy untuk transportasi dan pemasaran. Berdirinya Royal Dutch Company pada tahun 1890, tidak terlepas dari upaya Zeilker yang berhasil menemukan minyak secara komersial di Telaga Said, Sumatra Utara. Atas temuan komersialnya itu, Zeilker lalu berangkat ke Belanda untuk menandatangani proposal pendirian perusahaan minyak terbesar di Hindia Belanda yang berpusat di Pangkalan Brandan. Selanjutnya beliau ditunjuk untuk memimpin perusahaan itu. Sementara itu, Shell, perusahaan yang didirikan oleh Marcus Samuel pada tahun 1897, awalnya hanya merupakan perusahaan yang menjual kulit kerang di kota London. Komoditas pertamanya inilah yang dijadikan logo perusahaan hingga kini.
45
Masuknya kartel-kartel raksasa minyak dunia dalam industri migas di Hindia Belanda diawali dengan terbitnya undang-undang pertambangan (Indische Mijnwet) pada tahun 1899. Undang-undang ini memperbolehkan pihak swasta untuk terlibat di dalam pengusahaan minyak bumi, setelah sebelumnya pemerintah kolonial melarang keterlibatan pihak swasta. Standard Oil of New Jersey (SONJ), yang merupakan perusahaan swasta pertama, datang ke Hindia Belanda pada tahun 1912 dan berselang sepuluh tahun, perusahaan itu mampu berproduksi hingga 10 – 20 ribu barel per hari dari sumur Talang Akar. Pada tahun 1924, Standard Oil of California (Socal), datang ke Hindia Belanda Socal kemudian bergabung dengan Texaco dan mendirikan perusahaan joint venture bernama NPPM (Nederlandsche Pasific Petroleum Maatschappij). Pengeboran pertama mereka lakukan pada tahun 1935 di Blok Sebangga, sekitar 65 km utara Pekanbaru, dan menghasilkan minyak meskipun tidak terlalu besar. Penemuan besar mereka terjadi pada tahun 1944, pada saat ahli geologi NPPM melakukan pengeboran di Sumur Minas-1. Penemuan inilah yang merupakan cikal bakal penguasaan Chevron terhadap cadangan minyak terbesar di Indonesia saat ini. 4.2.
Perkembangan Industri Minyak dan Gas Alam di Indonesia Industri ekstraktif yang salah satunya terdiri dari industri pengolahan
migas merupakan salah satu sektor yang memberikan sumber pemasukan bagi negara. Untuk sektor migas, sumber pemasukan tersebut didapat dari bagian migas pemerintah, pajak dan pembayaran-pembayaran lainnya. Golongan ini (migas) mencakup usaha pemurnian dan pengilangan minyak bumi yang menghasilkan gas atau LPG, naphtha, avigas, avtur, gasoline, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, minyak bakar, residu, solvent/pelarut, wax,
46
lubrican/pelumas, dan aspal. Usaha pemurnian dan pengolahan gas bumi menjadi Liquified Natural Gas (LNG) dan Liquified Petroleum Gas (LPG). Termasuk
pengolahan aspal/ter, bitumen dan lilin serta petroleum coke. Pembuatan minyak pelumas yang menghasilkan lubrican/pelumas, dan usaha pengolahan kembali
minyak pelumas bekas. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam merupakan salah satu penghasil migas dunia. Untuk itu perlu adanya kegiatan peningkatan eksploitasi dan eksplorasi migas. Penerapan teknologi pada industri minyak dan gas (migas) kini menghadapi tantangan berat dari masalah peningkatan produksi, inefisiensi biaya, meningkatnya harga minyak dunia hingga tuntutan dampak pencemaran lingkungan. Tabel 4.1. Pendapatan Pemerintah dari Sektor Hulu Migas (US$) Tahun Pendapatan yang direncanakan Pendapatan Aktual 2005 7797,41 19796,82 2006 19733,79 22637,98 2007 22203,47 23792,97 2008 30658,76 35301,50 Sumber: Pertamina, 2010
Dari Tabel 4.1 dijelaskan bahwa pendapatan aktual sektor migas untuk sektor hulu dari tahun 2005 sampai tahun 2008 mengalami peningkatan. Jika dibandingkan dengan pendapatan yang direncanakan pada tahun yang sama maka pendapatan aktual dari sektor hulu migas lebih besar dibandingkan pendapatan yang direncanakan. Pada pertengahan tahun 2008, harga minyak dunia US$ 147 per barel. Permintaan minyak dunia pun semakin meningkat akibat ekonomi yang sudah mulai pulih. Akan tetapi, akibat lesunya investasi di sektor migas pasca krisis 2008, peningkatan kembali permintaan terhadap minyak tidak mampu segera diimbangi oleh peningkatan pasokan migas Indonesia.
47
4.2.1. Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Migas Indonesia Tabel 4.2. Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Migas Tahun 19982008 Tahun KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) 23201 23202 23203 23204 1998 12 4 28 6 1999 9 6 37 8 2000 6 7 31 7 2001 8 5 20 6 2002 6 6 14 7 2003 6 6 28 7 2004 5 5 20 7 2005 8 5 23 7 2006 18 8 25 10 2007 30 3 39 10 2008 16 6 18 7 2009 6 5 19 7 Sumber: BPS,2011
Keterangan: 23201: industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi 23202: industri pemurnian dan pengilangan gas 23203: industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi 23204: industri pembuatan minyak pelumas
Tabel 4.2 menjelaskan kondisi perkembangan jumlah perusahaan yang bergerak di sektor migas untuk setiap jenis industri pada tahun 1998 sampai tahun 2009. Untuk setiap jenis industri migas yang tergolong dalam empat golongan industri, dapat diketahui bahwa industri dengan KBLI 23203 (industri barangbarang dari hasil kilang minyak bumi) menempati urutan pertama industri yang paling besar jumlah perusahaannya. Selanjutnya diikuti industri dengan KBLI 23201 (industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi), 23204 (industri pembuatan minyak pelumas) dan 23202 (industri pemurnian dan pengilangan gas). Pada Gambar 4.1 juga menjelaskan perkembangan jumlah perusahaan Industri migas selama tahun 1998 sampai 2008 pada tiap sektor industri migas. Dari keterangan yang ada, diketahui bahwa jumlah perusahaan tertinggi untuk
48
masing-masing sektor berada pada tahun 2007 sebesar 82 perusahaan dan jumlah terendah pada tahun 2002 sebesar 32 perusahaan.
Sumber: BPS, 2011
Gambar 4.1. Perkembangan Jumlah perusahaan di Sektor Migas Tahun 1998-2008 Keterangan: 23201: industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi 23202: industri pemurnian dan pengilangan gas 23203: industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi 23204: industri pembuatan minyak pelumas
4.2.2. Perkembangan efisiensi (Input per Output) Industri Migas Efisiensi merupakan adanya perbandingan antara biaya input dan nilai output yang dihasilkan. Efisiensi dikatakan baik apabila nilainya semakin kecil karena input yang digunakan untuk menghasilkan output semakin kecil atau untuk menghasilkan output yang semakin besar menggunakan input yang tetap. Dengan demikian, efisiensi yang dihasilkan akan semakin kecil. Rasio input terhadap output perusahaan migas di Indonesia dari tahun 1998 dengan KBLI (23201, 23202, 23203, 23204, dan 23205) dapat dilihat pada Tabel 4.3.
49
Tabel 4.3. Rasio Input dengan Output Sektor Industri Migas dari tahun 1998-2009 (persen) KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) Tahun 23201 23202 23203 23204 1998 57,25 48,73 40,41 74,81 1999 52,44 4,40 66,07 36,85 2000 76,30 63,65 69,29 53,25 2001 58,26 98,41 58,86 62,27 2002 75,18 37,51 53,64 53,87 2003 64,49 39,33 66,98 63,17 2004 91,62 97,34 97,31 99,20 2005 90,94 95,95 89,77 99,99 2006 99,02 95,84 97,58 96,60 2007 97,86 10,17 77,14 96,54 2008 99,35 38,86 94,50 96,62 2009 99,31 98,76 94,46 96,58 Sumber: BPS, 2011
Keterangan: 23201: industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi 23202: industri pemurnian dan pengilangan gas 23203: industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi 23204: industri pembuatan minyak pelumas
Berdasarkan Tabel 4.3 dijelaskan bahwa untuk sektor 23201 (industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi) kondisi paling efisien terjadi pada tahun 1999, untuk sektor 23202 (industri pemurnian dan pengilangan gas) kondisi paling efisien pada tahun 1999, sektor 23203 (industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi) kondisi paling efisien tahun 1998, sektor 23204 (industri pembuatan minyak pelumas) kondisi paling efisien tahun 1999. Dari hasil tersebut, terlihat jelas bahwa pada tahun 1999 adalah kondisi dimana perusahaan migas Indonesia menempati kondisi paling efisien. Hal ini disebabkan bahwa pada tahun 1999 industri migas Indonesia memiliki produksi yang tinggi sehingga dapat menggunakan input yang dapat diminimalisasikan.
50
4.3.
Profil Perusahaan yang mendapatkan izin produksi minyak dan Gas Berikut adalah beberapa profil perusahaan migas di Indonesia yang
memiliki produksi terbesar dan memiliki kontribusi tinggi dalam perekonomian negara. Perusahaan-perusahaan yang akan dibahas antara lain Chevron Pacific Indonesia, Pertamina, Medco Energi Internasional Tbk dan Petrochina. Pertamina merupakan satu-satunya perusahaan milik Indonesia dan merupakan perusahaan BUMN di Indonesia yang bergerak di bidang migas. Sementara perusahaan Chevron, Medco dan petrochina merupakan perusahaan pemegang productionsharing. 1. Chevron Pacific Indonesia Chevron masih menjadi produsen minyak mentah terbesar di Indonesia meskipun dalam beberapa tahun terakhir volume produksinya turun. Pada tahun 2006, produksi Chevron mencapai 176 juta barrel. Tingkat produksi ini menurun 4,5 persen menjadi 168 juta barrel pada tahun 2007 atau 461,7 ribu barrel per hari dan kembali turun tahun 2008 sebesar 4,2 persen menjadi 161 juta barrel atau 441 ribu barrel per hari. Pada tahun 2009 hingga kuartal I produksi CPI pada 2009 mencapai 38,4 juta barrel. Penurunan tingkat produksi ini terjadi karena produktivitas sumur-sumur yang dimiliki oleh Chevron juga menurun. Chevron memproduksi minyak mentah dari sumur-sumur di Sumatera Tengah. 2. PT. Pertamina Pertamina adalah perusahaan minyak dan gas bumi yang dimiliki Pemerintah Indonesia (National Oil Company), yang berdiri sejak tanggal 10 Desember 1957 dengan nama PT. PERMINA. Pada tahun 1961 perusahaan ini berganti nama menjadi PN. PERMINA dan setelah merger dengan PN.
51
PERTAMIN di tahun 1968 namanya berubah menjadi PN. PERTAMINA. Dengan bergulirnya Undang Undang No. 8 Tahun 1971 sebutan perusahaan menjadi PERTAMINA. Sebutan ini tetap dipakai setelah PERTAMINA berubah status hukumnya menjadi PT PERTAMINA (PERSERO) pada tanggal 17 September 2003 berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2001 pada tanggal 23 November 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pertamina memiliki status yang sama seperti NOCs (National Oil Companies) seperti Petronas, ADNOC, dan Petrobras sebagai produsen dan regulator. Indonesia merupakan salah satu produsen minyak tertua di dunia. Sesuai akta pendiriannya, maksud dari Perusahaan Perseroan adalah untuk menyelenggarakan usaha di bidang minyak dan gas bumi, baik di dalam maupun di luar negeri serta kegiatan usaha lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang minyak dan gas bumi tersebut. Adapun kegiatan usaha perseroan adalah sebagai berikut: 1.
Menyelenggarakan usaha di bidang minyak dan gas bumi beserta hasil olahan dan turunannya.
2.
Menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang panas bumi yang ada pada saat pendiriannya, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang telah mencapai tahap akhir negosiasi dan berhasil menjadi milik Perseroan.
3.
Melaksanakan pengusahaan dan pemasaran Liquified Natural Gas (LNG) dan produk lain yang dihasilkan dari kilang LNG.
4.
Menyelenggarakan kegiatan usaha lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam nomor 1, 2, dan 3.
52
3. PT Medco Energi Internasional Tbk (Medco) Medco memulai bisnisnya sebagai perusahaan penyedia jasa anjungan pemboran dan merupakan kontraktor pemboran dengan nama PT. Meta Epsi. Kegiatan bisnis hulu migas MedcoEnergi dimulai dengan pengambilalihan kontrak E&P Migas milik Tesoro di Kalimantan Timur (Blok SangaSanga/Samboja/Tarakan TAC dan Blok Tarakan PSC) pada tahun 1992. Medco melakukan Initial Public Offering (IPO) pada tahun 1994. Pada akhir tahun 1995 Medco mengakuisisi PT. Stanvac Indonesia yang memiliki kontrak E&P Migas (PSC) di Sumatra Selatan, dari Exxon dan Mobil Oil . Medco Energi memasuki industri hilir dengan memasuki Perjanjian Kerjasama Operasi dengan PT Pertamina (Persero) selama 20 tahun untuk mengoperasikan kilang metanol milik Pertamina di Pulau Bunyu, Kalimantan Timur pada tahun 1997. Kilang tersebut menggunakan pasokan gas dari Blok Tarakan berdasarkan Perjanjian Jual Beli Gas dengan Pertamina selama 10 tahun mulai tahun 1997. Ekspansi yang dilakukan antara lain adalah mengakuisisi 25 persen wilayah kerja yang telah berproduksi di blok Tuban 2002. Medco mulai membangun sebuah Kilang Liquefied Petroleum Gas (LPG) pada pertengahan tahun 2003 dan memulai operasinya pada tahun 2004. Bisnis Medco saat ini meliputi bidang usaha utama, E&P Migas (di Indonesia dan
Internasional),
ketenagalistrikan
dan industri
hilir
yang
menggunakan bahan bakar migas serta energi yang diperbarui. Cadangan Minyak Terbukti Medco pada tahun 2008 mencapai 74,9 MMBO lebih sedikit dari tahun 2007 yang mencapai 99,1. Cadangan tertinggi dimiliki tahun 2005 yakni 117 juta barrel. Di Indonesia Medco memiliki enam blok eksplorasi, satu blok
53
pengembangan, sembilan blok produksi, selain fasilitas produksi energi non minyak bumi lainnya yakni; satu buah kilang LPG, satu fasilitas penyimpanan dan distribusi BBM, satu kilang methanol, satu kilang etanol, satu pembangkit listrik tenaga gas, satu pembangkit cadangan, dan satu pembangkit tenaga uap. Belanja modal Medco untuk eksplorasi dan produksi pada tahun 2008 mencapai US$284,3 juta, industri hilir sebesar US$4,1 juta, ketenagalistrikan US$2,1 juta, lainnya US$4.9 juta dengan total US$295,4 juta. Realisasi belanja modal ini lebih kecil dari anggarannya yang mencapai US$532,1 juta. Pada Desember 2008, saham Medco dimiliki sebagian besar oleh Encore Energy Pte.Ltd mencapai 50,70 persen. PT Medco Energi Internasional Tbk memiliki 11,72 persen saham. Masyarakat memiliki saham sebesar 32,62 persen. 4. Petrochina Petrochina didirikan pada tahun 1999 sebagai bagian dari program restrukturisasi China National Petroleum Corporation. Bisnis Petrochina terbagi menjadi empat yakni eksplorasi, pengilangan-transportasi-penyimpanan dan pemasaran minyak mentah, produksi dan penjualan produk dasar petrokimia, serta transmisi gas alam dan minyak mentah. Masuknya Petrochina ke Indonesia diawali oleh perusahaan Amerika yakni Trend International Limited (kemudian menjadi Santa Fe Energy Resources) melakukan joint venture dengan beberapa perusahaan multinasional dan mendapat production-sharing contract yang pertama dengan Pertamina. Pada tahun 2000, Santa Fe Energy Resources diakuisisi oleh Devon Energy dan pada Juni 2002, Petrochina mengakuisisi Devon Energy. Eksplorasi Petrochina yang pertama adalah lapangan minyak di Jabung, Provinsi Jambi, Irian
54
Jaya, dan Jawa Timur. Ketiga sumur minyak tersebut menghasilkan 63.000 barrel per hari. Petrochina mendapat kontrak selama 20 tahun untuk menyuplai gas dari Indonesia ke Singapura pada tahun 2001. 4.4.
Pertumbuhan Tingkat Produksi Minyak
Tabel 4.4. Produksi Minyak Bumi & Kondensat per Tahun (Barrel) Tahun Minyak Bumi Kondensat Total 1998 480.109.700,00 54.782.268,00 534.891.968,00 2000 465.354.004,00 52.061.690,00 517.415.694,00 2001 441.799.282,00 48.050.018,00 489.849.300,00 2002 407.770.073,00 47.968.842,00 455.738.915,00 2003 367.025.638,00 48.788.519,00 415.814.157,00 2004 353.945.229,00 46.541.005,00 400.486.234,00 2005 339.253.904,00 46.454.875,00 385.708.779,00 2006 315.919.775,00 43.369.562,00 359.289.337,00 2007 304.897.012,00 43.417.933,00 348.314.945,00 2008 311.103.057,00 45.333.729,00 356.436.786,00 2009 300.966.666,00 43.952.002,00 344.918.668,00 2010 286.779.695,00 43.003.380,00 329.783.075,00 Total 4.374.924.035,00 563.723.823,00 4.938.647.858,00 Sumber: Ditjend Migas, 2011
Sub sektor minyak dan gas bumi (migas) masih memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional, baik sebagai andalan penerimaan negara dalam APBN maupun menggerakan roda ekonomi berupa penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Sepanjang tahun 2010, kedua peran ini dilaksanakan dengan baik Produksi minyak mentah Indonesia menunjukkan trend menurun (setelah mencapai puncaknya pada tahun 1977), karena kegiatan ini masih mengandalkan sumur-sumur tua yang telah merosot produktivitasnya tanpa tambahan lapangan baru maupun kegiatan EOR (enhanced oil recovery) yang berarti. Sekitar separuh dari produksi tersebut diekspor, namun angka ekspor sekarang sudah jauh menurun; selain karena kemampuan produksi yang merosot, juga karena
55
meningkatnya kebutuhan minyak mentah untuk diolah di dalam negeri. Produksi minyak bumi dan kondensat di Indonesia dari tahun 1998 sampai 2010 selalu menurun tiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena ketersediaan minyak bumi dan kondensat di Indonesia selalu berkurang. Kondisi di Indonesia masih mengandalkan sumber daya yang ada dan tidak mengeksploitasi dan eksplorasi terhadap sumber daya yang baru. Hal itu disebabkan kurangnya teknologi dan adanya biaya yang sangat besar untuk hal tersebut. 4.5.
Perkembangan konsumsi Minyak Bumi di Indonesia Indonesia dahulu merupakan bagian dari negara OPEC (gabungan negara
penghasil minyak bumi di dunia) dimana Indonesia berperan sebagai pengekspor minyak bumi ke negara-negara lain. Produksi minyak bumi di Indonesia sempat mencapai 1.5 juta barel pada pertengahan tahun 90an. Pada saat itu konsumsi minyak bumi di Indonesia hanyalah 800 ribu barel per hari. Terlihat bahwa Indonesia masih menyimpan banyak sisa minyak bumi, sehingga masih terdapat ekspor minyak bumi Indonesia yang sangat menguntungkan. Namun yang terjadi sekarang, tingkat konsumsi minyak bumi negara Indonesia semakin tinggi dan tidak diikuti oleh produksi yang semakin tinggi juga. Kondisi masyarakat yang konsumtif ini disebabkan minyak merupakan komoditi yang memiliki kontribusi utama baik bagi sektor rumah tangga, perusahaan maupun kebutuhan yang berkaitan dengan pemerintahan. Kebutuhan minyak yang tinggi di masyarakat dan terbatasnya produksi menyebabkan semakin tingginya tingkat impor minyak Indonesia.
56
4.6.
Produksi dan Konsumsi Gas di Indonesia Konsumsi gas dalam negeri terus naik sedangkan Indonesia juga
tetap mengekspor gas. Hal itu menyebabkan jumlah produksi gas tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Padahal, untuk produksi minyak di Indonesia akan terus menurun karena tidak adanya sumber alternatif dan proyek-proyek baru. Adapun yang termasuk produk pemurnian gas bumi adalah Liquified Natural Gas (LNG) dan Liquified Petroleum Gas (LPG). Tabel 4.6. Produksi dan Konsumsi Gas Bumi Per Tahun (MSCF) Tahun 1998-2010 Tahun Produksi Konsumsi 1999 2.978.851.873,00 2.803.703.135,00 2000 2.895.578.543,00 2.722.779.865,00 2001 2.803.231.545,00 2.636.278.069,00 2002 2.993.121.530,00 2.823.492.031,00 2003 3.136.000.115,00 2.973.792.996,00 2004 3.029.904.958,00 2.888.863.199,00 2005 2.984.150.215,00 2.766.062.673,00 2006 2.947.048.632,00 2.825.760.987,00 2007 2.805.999.464,00 2.708.982.556,00 2008 2.891.929.375,00 2.790.988.091,24 2009 3.024.841.099,00 2.832.448.955,00 2010 3.278.063.905,00 3.096.632.934,21 Total 35.768.721.254,00 33.869.785.491,45 Sumber: Ditjend Migas, 2011
Konsumsi dan produksi gas bumi di Indonesia menunjukkan kondisi yang berfluktuasi. Untuk tingkat produksi, kondisi terendah pada tahun 2001 sebesar 2.803.231.545 MSCF dan tertinggi pada tahun 2010 sebesar 3.278.063.905 MSCF. Sedangkan untuk tingkat konsumsi gas bumi di Indonesia, kondisi tertinggi terjadi pada tahun 2010 dengan tingkat
57
konsumsi sebesar 3.096.632.934,21 MSCF sementara kondisi terendah terjadi pada tahun 2001 dengan tingkat konsumsi sebesar 2.636.278.069,00 MSCF. Keterangan diatas juga dapat dijabarkan pada Gambar 4.3. Dari gambar tersebut dijelaskan bagaimana kondisi produksi dan konsumsi gas Indonesia yang mengalami fluktuatif namun tidak terlalu signifikan.
Sumber: Ditjend Migas, 2011
Gambar 4.2. Produksi dan Konsumsi Gas Bumi di Indonesia Selama Tahun 1998-2010
58
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan membahas hasil dari faktor-faktor yang memengaruhi struktur, perilaku, dan kinerja Industri Migas di Indonesia. Komoditas yang diteliti dalam penelitian ini terbagi dalam empat sektor, yaitu industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi, industri pemurnian dan pengilangan gas, industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi, industri pembuatan minyak pelumas. 5.1.
Analisis Struktur Pasar Industri pengolahan migas ini merupakan industri yang selalu
mendapat perhatian khusus dari pemerintah dikarenakan industri ini berdampak besar terhadap kebutuhan hidup masyarakat luas. PT. Pertamina dan PGN (Perusahaan Gas Negara) merupakan perusahaan migas yang dikelola oleh pemerintah Indonesia dan merupakan salah satu perusahaan BUMN. Sebagai perusahaan migas milik negara, PT. Pertamina dan PGN memiliki andil yang besar dalam memenuhi pasokan migas domestik. Namun kenyataannya hal tersebut lebih banyak dilakukan oleh perusahaan pemegang kontrak production sharing. Untuk mengetahui konsentrasi pasar migas, dapat dilihat dari berbagai hal antara lain, dari data penjualan migas atau data output setiap perusahaan per tahunnya. Namun, karena adanya keterbatasan data dalam penyediaan data penjualan maka tidak disajikan. Oleh karena itu, dalam perhitungan konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) digunakan dengan mengolah data output yang ada. Hal ini dapat dilakukan apabila data penjualan
59
perusahaan tidak ada. Output empat perusahaan terbesar setiap sektornya dijumlahkan, selanjutnya dibagikan dengan total keseluruhan. Data CR4 dapat dilihat di lampiran 1. Namun yang menjadi kendala, data yang diperoleh merupakan data mentah (raw data) dan tidak dicantumkan nama-nama perusahaannya karena data tersebut merupakan data rahasia dan tidak dipublikasikan. 5.1.1. Konsentrasi Pasar Konsentrasi pasar merupakan salah satu variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk mengetahui konsentrasi pasar dilakukan melalui perhitungan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4). Secara teori, indeks rasio konsentrasi berkisar antara 0-100 persen. Angka konsentrasi yang tinggi (mencapai 100 persen) mengindikasikan struktur pasar monopoli. Sebaliknya, jika konsentrasinya rendah (mendekati 0 persen) mengindikasikan pasar memiliki struktur persaingan murni. Dari data konsentrasi pada Lampiran 1 sejak tahun 1998 sampai 2008 maka dapat diperoleh rata-rata rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar industri pengolahan migas. Untuk industri pemurnian dan pengilangan minyak sebesar 73,14 persen. Adapun rata-rata konsentrasi empat perusahaan terbesar selama tahun 1998 hingga 2008 (90,83 persen, 72,58 persen, 69,95 persen dan 47,71 persen). Industri pemurnian dan pengilangan gas memiliki rata-rata konsentrasi secara keseluruhan 78,44 persen. Rata-rata konsentrasi masingmasing perusahaan sejak tahun 1998 hingga 2008 (92,27 persen, 76,84 persen, 73,92 persen dan 62,83 persen. Sementara industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi memiliki rata-rata CR4 keseluruhan sebesar 51,09 persen.
60
Industri ini tergolong perusahaan dominan karena menguasai 50-100 persen pangsa pasar tanpa pesaing kuat. Adapun rata-rata masing-masing konsentrasi empat perusahaan terbesarnya (67,84 persen, 54,98 persen, 36,74 persen dan 35,91 persen. Untuk industri pembuatan minyak pelumas rata-rata CR4 secara keseluruhan sebesar 58,12 persen. Adapun rata-rata pangsa pasar empat perusahaan terbesarnya 69,89 persen, 59,52 persen, 53,87 persen, 49,41 persen. Dari keterangan tersebut dapat dijelaskan bahwa seluruh sektor industri tidak merupakan satu perusahaan. Namun, rata-rata konsentrasi dihitung dari rata-rata pangsa pasar terbesar perusahaan migas selama tahun 1998 hingga 2008. Berikut adalah penelitian lainnya yang tergolong industri pengolahan non-migas dan menggunakan analisis SCP. Jika dilihat dari konsentrasi industrinya seperti, industri susu di Indonesia adalah memiliki rasio konsentrasi sebesar 73,79 persen dan tergolong oligopoli ketat (Indiani, 2006). Hasil estimasi menunjukkan bahwa CR4 berhubungan positif terhadap PCM. Struktur industri logam dasar besi dan baja Indonesia adalah oligopoli ketat dengan rata-rata rasio konsentrasinya (CR4) sebesar 71,15 persen (Darmayanti, 2007). Penelitian ini menunjukkan bahwa CR4 berhubungan negatif dengan PCMnya. Hal itu disebabkan karena industri baja mengalamai serangan dari produk-produk impor pada tahun 2002 sehingga banyak perusahaan tutup dan menurunkan output industri besi baja. Rasio konsentrasi rasio aset empat bank besar (Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BCA) dalam industri perbankan Indonesia sebesar 44,86 persen hingga tahun 2007. Berdasarkan rasio tersebut, struktur industri perbankan dikategorikan menjadi oligopoli longgar dan
61
memiliki hubungan positif terhadap PCM (Lutfiah, 2008). Analisis struktur rata-rata rasio konsentrasi industri manufaktur sebesar 37,52 persen yang menunjukkan bahwa struktur pasar bersifat oligopoli sedang. Dalam hasil estimasi penelitian ini diperoleh bahwa CR4 tidak berpengaruh terhadap PCM (Winsih,2007). Sedangkan untuk industri pakan ternak indonesia, struktur pasar merupakan oligopoli longgar dengan pangsa pasar sebesar 41,33 persen Variabel CR4 yang digunakan dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang positif terhadap peningkatan PCM (Agustina, 2009). Berdasarkan hasil analisis, struktur pasar industri migas Indonesia memiliki rata-rata konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) sebesar 64,34 persen. Menurut Shepherd (1992), konsentrasi rasio empat perusahaan migas terbesar yang mencapai 60-100 persen tergolong oligopoli ketat. Dapat disimpulkan struktur industri migas di indonesia merupakan oligopoli ketat dengan rata-rata CR4 sebesar 64,34 persen (Lampiran 1).
Sumber: BPS, 2011
Gambar 5.1. CR4 Empat Industri Migas Indonesia Tahun 1998-2008
62
Untuk industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi, konsentrasi pasarnya cenderung berubah. Pada tahun 2004 adalah kondisi dimana konsentrasi empat perusahaan terbesar paling rendah sementara pada tahun 2003 konsentrasinya tertinggi masing-masing sebesar 30,52 persen dan 99,56 persen (Gambar 5.2). Hal ini disebabkan karena adanya Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Sejalan dengan perkembangan kondisi minyak dan gas bumi dunia dimana harga minyak bumi yang semakin tinggi dan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dalam negeri sendiri mengalami penurunan produksi yang cukup signifikan, diperlukan upaya pemerintah untuk mempercepat peningkatan produksi minyak dan gas bumi untuk meningkatkan kemampuan keuangan negara.
Hal itu menyebabkan penguasaan pasar industri pemurnian dan
pengilangan minyak bumi lebih menyebar dan tidak dikuasai oleh perusahaan tertentu. Namun, terjadi perubahan secara drastis pada tahun 2005 dimana konsentrasi rasio empat perusahaan migas Indonesia meningkat secara tajam menjadi 90,36 persen. Hal ini disebabkan walaupun jumlah perusahaan bertambah pada tahun 2005 menjadi delapan perusahaan belum tentu menurunkan CR4 karena produk yang dihasilkan oleh perusahaan baru masih lebih rendah dibanding empat perusahaan terbesar. Untuk industri pemurnian dan pengilangan gas, konsentrasi empat perusahaan yang tertinggi terjadi pada tahun 2001 sebesar 98,99 persen dan terendah tahun 2002 sebesar 64,75 persen. Hal ini disebabkan pada tahun 2001, perusahaan-perusahaan gas Indonesia memiliki pangsa pasar yang tinggi sehingga terjadi kombinasi pangsa pasar antar perusahaan-perusahaan gas
63
Indonesia. Namun, kondisi ini hanya berlangsung sementara karena pada tahun 2002, konsentrasi industri pemurnian dan pengilangan gas Indonesia menurun mencapai 64,75 persen. Hal ini disebabkan bertambahnya perusahaanperusahaan gas baru ke Indonesia tahun 2002 sehingga perusahaan-perusahaan besar memiliki pangsa pasar yang berkurang. Namun, perubahan ini tidak terlalu besar. Keadaan ini diduga disebabkan oleh adanya kesadaran bahwa gas
Indonesia masih lebih perlu dieksplorasi lebih baik lagi. Industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi merupakan barang yang diolah setelah melalui proses pemurnian dan pengilangan minyak bumi. Konsentrasi tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 74,22 persen dan konsentrasi terendah tahun 2002 sebessar 26,12 persen. Konsentrasi yang begitu rendah ini diduga terjadi karena banyaknya perusahaan yang memiliki pangsa pasar menurun. Hal ini diduga disebabkan karena penurunan pendapatan industri yang ditunjukkan oleh menurunnya jumlah perusahaan industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi. Untuk industri barangbarang dari hasil kilang minyak bumi memiliki jumlah perusahaan yang lebih besar dibandingkan industri migas lainnya. Industri pembuatan minyak pelumas memiliki konsentrasi tertinggi pada tahun 2001 sebesar 83,03 persen dan terendah pada tahun 2002 sebesar 25,03 persen. Hal ini diduga disebabkan karena pada tahun 2001 jumlah perusahaan industri pembuatan minyak pelumas lebih sedikit dibandingkan tahun 2002. Sejak tahun 1998 hingga tahun 2009, jumlah perusahaan industri pembuatan minyak pelumas paling rendah terjadi pada tahun 2001. Hal ini menunjukkan bahwa CR4 industri pembuatan minyak pelumas tertinggi terjadi
64
saat jumlah perusahaan industri terendah. Semakin sedikit jumlah perusahaan, maka semakin terkonsentrasi dan semakin kuat hubungan antar empat perusahaan industri. 5.1.2. Hambatan Masuk Pasar (Barriers to Entry) Suatu industri yang mulai berkembang pada umumnya akan menghadapi ancaman terutama dari pesaing baru yang masuk ke industri tersebut. Hal ini memiliki dampak terhadap perusahaan awal untuk tetap konsisten pada komoditinya dan bahkan untuk meningkatkan kualitas maupun kapasitas komoditi yang dipasarkan di masyarakat. Implikasinya, terjadinya perebutan pangsa pasar (market share) serta perebutan sumberdaya produksi yang terbatas. Menurut Puspasari (2006), ada dua jenis hambatan masuk pasar, yaitu hambatan masuk pasar privat akibat dominasi pelaku usaha yang bergerak pada pasar yang bersangkutan dan hambatan masuk pasar karena kebijakankebijakan negara (pemerintah). Hambatan masuk privat disebabkan akibat dikuasainya produk suatu barang, baik dalam proses produksi dari hulu ke hilir maupun pendistribusiannya. Pelaku usaha tertentu yang kuat menyebabkan pesaing potensial tidak mampu masuk pasar. Walaupun kondisi pasar terbuka, tetap saja pesaing potensial sulit masuk karena faktanya pasar sudah dikuasai secara keseluruhan. Pengaruh ke laba yang akan diterima adalah dalam waktu dekat tidak akan menguntungkan atau jika tidak diikuti usaha yang keras maka margin laba yang diperoleh tidak ada.
65
Sumber: BPS, 2011
Gambar 5.2. Perkembangan MES (Minimum Efficiency Scale) Tahun 1998-2008 Keterangan: 23201: industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi
Migas
23202: industri pemurnian dan pengilangan gas 23203: industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi 23204: industri pembuatan minyak pelumas
Dalam penelitian ini, hambatan pasar dihitung dengan menggunakan MES (minimum efficiency scale). Nilai MES diperoleh dari perbandingan antara nilai output perusahaan terbesar dengan nilai output totalnya. Besarnya MES dapat dilihat dalam lampiran 2 selama tahun 1998 sampai 2008 dengan empat sektor yang diteliti. Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai rata-rata MES secara keseluruhan adalah 38,08 persen. Setiap sektor masing-masing memiliki rata-rata sebesar 23201 (52,58 persen), 23202 (48,88 persen), 23203 (25,21 persen), 23204 (25,64 persen). Menurut Hasibuan (1993), nilai MES yang mencapai 10 persen mendeskripsikan bahwa hambatan masuk pasar dalam industri tersebut tinggi. MES industri migas Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun 1998-2008. Pada industri migas Indonesia, dapat dikatakan industri ini memiliki hambatan masuk yang tinggi sehingga perusahaan baru
66
akan sulit untuk masuk ke dalam industri migas Indonesia. Industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi menduduki posisi tertinggi sebagai industri yang memiliki hambatan tertinggi dan industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi merupakan industri yang hambatannya terendah. Hal ini disebabkan untuk masuk dalam industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi lebih memerlukan biaya yang tinggi dibandingkan industri barangbarang dari hasil kilang minyak bumi. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam industri ini telah memiliki kekuatan pasar yang tinggi sehingga apabila ada perusahaan lain yang masuk akan sulit. Persentase MES tertinggi tercapai tahun 2006 sebesar 95,73 persen dan terendah pada tahun 1999 sebesar 10,95 persen. Walaupun besarnya MES 10,95 persen, kondisi ini menunjukkan hambatan perusahaan migas Indonesia tinggi. Hambatan yang cukup tinggi ini disebabkan, produksi Indonesia tidak mampu memenuhi konsumsi. Hal ini menyebabkan adanya instruksi dari pemerintah untuk melakukan konversi minyak ke gas bumi. Hal ini dilakukan karena ketersediaan minyak bumi di Indonesia masih mencukupi dan harganya lebih rendah. Selain itu, menurut pemerintah hal ini juga merupakan salah satu solusi untuk mengurangi subsidi BBM. Adapun hambatan yang dihadapi industri migas Indonesia,yaitu biaya investasi tinggi, penerimaan pasar terhadap energi terbarukan masih terbatas, budaya hemat BBM masih sulit diterapkan, kemampuan SDM masih rendah sehingga kemampuan manusia dalam menyerap teknologi juga masih lemah, infrastruktur kurang mendukung, ketersediaan bahan baku masih kurang dan koordinasi antar instansi masih kurang.
67
5.2.
Analisis Perilaku Pasar
5.2.1. Strategi harga Harga adalah sejumlah nilai yang ditukarkan konsumen dengan manfaat yang didapat dari memiliki atau menggunakan produk atau jasa yang nilainya ditetapkan oleh pembeli dan penjual melalui tawar-menawar atau ditetapkan oleh penjual untuk satu harga yang sama terhadap semua pembeli. Penetapan kebijakan harga migas di Indonesia ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah. Pertamina merupakan perusahaan migas satu-satunya yang berada dibawah naungan pemerintah. Strategi penentuan harga minyak di Indonesia dipengaruhi harga minyak internasional. Namun di Indonesia, harga minyak domestik masih disubsidi oleh pemerintah. Subsidi ini bertujuan agar rumah tangga golongan menengah ke bawah dapat menjangkau keberadaan minyak tersebut. Sementara saat ini untuk gas yang diatur dan ditentukan pemerintah harganya sedikit lebih tinggi dari harga ekonominya. Namun, untuk migas yang digunakan bagi tranportasi dan rumah tangga diupayakan rendah. Untuk transportasi harga gas ditentukan oleh pemerintah, jadi cukup rendah. Begitu juga untuk listrik dan industri pupuk harganya ditentukan pemerintah. Selama ini terjadi disparitas harga gas untuk ekspor dan dalam negeri. Dengan kondisi harga gas seperti saat ini sulit diharapkan investor mau menanamkan investasinya. Oleh sebab itu, harga gas domestik harus diperbaiki dalam tahap yang wajar, sehingga dapat menarik investor lebih banyak lagi. Dengan menariknya harga gas yang diekspor membuat banyak investor lebih memilih mengekspor gas yang dihasilkannya.
68
5.2.2. Strategi Produk Produk yang ditawarkan oleh industri minyak bumi dan gas alam berupa barang atau komoditas baik yang merupakan produk primer (hulu) maupun produk akhir (hilir). Kegiatan hulu meliputi eksplorasi dan produksi minyak dan gas. Pasar produk migas digunakan untuk memenuhi permintaan industri rumah tangga, angkutan darat-laut-udara, dan konsumsi domestik. Kegiatan hilir meliputi proses pengolahan minyak dan gas bumi, serta distribusi dan pemasaran dari produk-produknya. Tujuan utama kegiatan ini adalah memenuhi kebutuhan produk dalam negeri serta produk non-BBM dan petrokimia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Produk pengilangan minyak berupa bahan bakar minyak (BBM) antara lain avgas, avtur, bensin, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, minyak bakar dan sejenisnya. Sedangkan produk pengilangan gas antara lain Liquid Natural Gas (LNG), Liquid Petroleum Gas (LPG) dan sejenisnya. Golongan ini mencakup usaha pemurnian dan pengilangan minyak bumi yang menghasilkan gas atau LPG, naphtha, avigas, avtur, gasoline, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, minyak bakar, residu, solvent/pelarut, wax, lubrican/pelumas, dan aspal. Usaha pemurnian dan pengolahan gas bumi menjadi Liquified Natural Gas (LNG) dan liquified Petroleum Gas (LPG). Termasuk pengolahan aspal/ter, bitumen dan lilin serta petroleum
coke.
Pembuatan
minyak
pelumas
yang
menghasilkan
lubrican/pelumas, usaha pengolahan kembali minyak pelumas bekas. Secara umum, produk migas yang disediakan oleh Pertamina terdiri dari bahan bakar, bahan bakar khusus, non-BBM dan petrokimia, gas, dan produk lainnya.
69
a.
Produk Bahan Bakar, terdiri dari Premium, Minyak Tanah, Autogas,
Automotive Diesel Oil (ADO), dan Industry Fuel Oil (IFO), Motor Gasoline, Kerosene, HSD (High Speed Diesel), MDF (Marine Diesel Fuel), MFO (Marine Fuel Oil). b. Produk Bahan Bakar Khusus, terdiri dari Aviation Gasoline (Avigas), Aviation Turbin Fuel (Avtur), biosolar, Pertamax, dan Pertamax Plus, Pertamax Dex, Bio pertamax. Jenis-jenis produk BBM terdiri atas: premium, kerosine, autogas (solar), minyak diesel, dan minyak bakar. Sedangkan yang dimaksud BBK adalah bahan bakar untuk penerbangan (aviasi), yaitu avtur dan avigas, serta gasoline dengan nilai oktan tinggi, yaitu Pertamax dan Pertamax Plus. Suplai avtur dan avigas terus meningkat sejalan dengan permintaan yang juga meningkat akibat peningkatan lalu-lintas penerbangan dalam negeri. Produk avtur dan avigas harganya diserahkan kepada mekanisme pasar. c. Non-Fuel dan produk Petrokimia, Asphalt, Pelumas (Lube Base Oil), Pelarut (Solvent), Green Coke, Calcined Coke, Paraffin Wax, Slack Wax, Heavy Aromate. d. Produk Gas, terdiri dari Liquid Petroleum Gas (LPG), Liquid Natural Gas (LNG), Musicool (Pengganti CFC refrigeran untuk, dengan polusi rendah dan ramah lingkungan). LNG dan LPG merupakan istilah umum untuk gas yang dicairkan baik oleh manusia maupun karena keadaan alam. Perbedaannya terletak pada komponen utama zat penyusunnya. LNG komponen utamanya adalah metana sedangkan LPG komponen utamanya adalah propana.
70
e. Produk lainnya, terdiri dari Low Oil Mogas Component (LOMC), Naphta, Residue, LSWR, HVGO, Tuang Oil, Sulfur, dan Gas Lean. Saat ini yang menjadi permasalahan adalah sulitnya pengusaha lokal untuk mengembangkan produknya di dalam negeri diakibatkan masuknya berbagai produk luar negeri dalam bentuk finish-product (produk akhir). Pada umumnya Indonesia hanya menjual bahan baku mentah ke luar negeri tanpa diolah terlebih dahulu. Namun, setelah bahan mentah tersebut diolah di luar negeri, Indonesia akan membelinya kembali dengan harga yang jauh lebih tinggi dibanding saat diekspor. Saat ini kandungan lokal untuk produk migas domestik masih mencapai 25 persen (ESDM, 2008). Hal ini mengindikasikan
bahwa
sektor
migas
domestik
masih
mengimpor
kandungan lokal dari luar negeri. Selain itu didalam negeri perlu ditingkatkan pembangunan infrastruktur untuk pengembangan migas termasuk LNG (Liquefied Natural Gas) receiving terminal, pipa transportasi, SPBG (Stasiun Pengisi Bahan Bakar Gas), SPBU dan infrastruktur kota 5.2.3. Strategi Promosi Strategi promosi dalam industri migas dapat berupa perilaku advertensi terhadap produk-produk migas. Target utama dalam promosi ini adalah para investor baik asing maupun domestik sehingga mau menginvestasikan modalnya dalam industri migas. Investasi baru maupun tambahan investasi yang sudah ada diperlukan untuk eksplorasi industri migas terutama hulu di Indonesia. Untuk mengembangkan bisnis eksplorasi dan hulu, Pertamina Indonesia telah membuat aliansi strategis dengan mitra domestik dan asing. Pertamina hulu memiliki usaha yang prospektif dalam di bidang jasa
71
pengeboran minyak dan gas. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah guna menarik investor di sektor migas, seperti rendahnya margin penjualan produk minyak di Indonesia dan rendahnya nilai Return of Investment (ROI) bagi investor. Pemerintah harus memberikan insentif untuk menarik investor asing. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam peraturanperaturan
yang
ditetapkan
juga
memiliki
kontribusi
sebagai
bahan
pertimbangan investor untuk berinvestasi. Untuk itu, perlu ada solusi teknologi terhadap permasalahan tersebut, seperti solusi teknologi untuk tanah yang tercemar hidrokarbon dan penanganan air asam tambang. Selain
produk tersebut, strategi produk
lainnya mengenai SMS online monitoring system yang merupakan instrumen pemantauan kualitas air di lingkungan pertambangan jarak jauh. Teknologi ini merupakan hasil pengembangan yang dilakukan oleh bangsa kita sendiri karena 100 persen bahan bakunya berasal dari dalam negeri. Keuntungannya adalah selain harga yang lebih murah, perawatannya pun akan lebih mudah. SMS online monitoring ini telah diterapkan di beberapa wilayah seperti di areal pertambangan batu bara dan Danau Maninjau untuk mengetahui kualitas airnya. Pertamina memiliki jaringan distribusi BBM dan non-BBM yang kuat, tersebar di seluruh sudut negeri. Untuk menunjang penyaluran BBM dan Bahan Bakar Khusus (BBK) di seluruh Indonesia dilakukan melalui jalur distribusi yang meliputi: Transit Terminal, Depot, Instalasi dan DPPU.
72
5.3.
Analisis Kinerja Pasar Kinerja suatu industri menunjukkan bagaimana pengaruh kekuatan
pasar terhadap keuntungan dan efisiensi. Tingkat keuntungan suatu perusahaan dapat dilihat melalui kinerjanya. Dalam penelitian ini, tingkat keuntungan diketahui melalui PCM (Price Cost Margin) tingkat efisiensinya dapat diukur melalui X-EFF. PCM dihitung melalui perbandingan antara nilai tambah dan upah dan nilai output total dalam industri migas. Selama periode tahun 1998 sampai dengan 2008, rata-rata tingkat keuntungan yang diperoleh industri migas sebesar 33 persen yang masing-masing sektornya sebesar industri pemurnian dan pengilangan minyak 44,75 persen, industri pemurnian dan pengilangan gas 36,99 persen, industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi 24,76 persen, dan industri pembuatan minyak pelumas 25,51 persen (Lampiran 5). Dari hasil ini terlihat bahwa industri barang-barang dari hasil kilang minyak memiliki PCM terendah, artinya margin keuntungan yang diperoleh dengan berinvestasi di sektor industri ini lebih kecil. Sedangkan untuk industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi memiliki margin keuntungan yang tinggi. Hal ini berarti untuk berinvestasi di sektor industri ini paling menguntungkan dibandingkan ketiga sektor industri lainnya. Namun, setiap industri yang memiliki return yang tinggi pasti akan high-risk (risiko tinggi). Hal ini disebabkan modal yang dibutuhkan lebih besar, teknologi yang digunakan lebih baik dan perlunya tenaga-tenaga ahli yang lebih berkompeten untuk meningkatkan keuntungan industri. Itulah sebabnya untuk masuk ke industri ini memiliki barrier to entry yang tinggi. Hal ini lah yang membedakan dengan industri barang-
73
barang dari hasil kilang minyak bumi dimana barrier to entrynya rendah dan risikonya lebih kecil sehingga margin keuntungannya lebih kecil. 5.3.1.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Industri Migas Indonesia Untuk mengetahui kinerja industri migas Indonesia digunakan model
panel data. Dalam menentukan model data panel yang digunakan, maka dilakukan uji terlebih dahulu untuk menentukan pendekatan apa yang akan digunakan. Untuk penelitian ini, model yang digunakan adalah fixed-effect. Dasar statistik pemilihan model efek tetap yang digunakan untuk mengestimasi PCM adalah Uji Chow dimana uji ini digunakan untuk menentukan model terbaik antara PLS dan fixed effect. Berdasarkan Uji Chow, maka didapatkan nilai statistik Chow sebesar 1,776836 dengan nilai probabilitasnya (P-value) sebesar 0,1728. Karena nilai –p (0,1728) > α sepuluh persen maka terima hipotesis nol (H0), artinya model adalah PLS. Namun, jika ditinjau dari banyaknya variabel yang signifikan, nilai Rsquared dan uji ekonometrikanya maka yang lebih sesuai digunakan adalah model efek tetap (fixed-effect). Penelitian ini tidak melakukan pengujian lainnya seperti Uji Hausman dan Uji LM karena dalam kedua uji ini digunakan untuk mengetahui model terbaik antara fixed effect dengan random effect dan PLS dengan random effect. Hal itu tidak dapat dilakukan karena model random effect tidak berlaku dalam penelitian ini. Hal itu disebabkan variabel yang digunakan besar jika dibandingkan dengan crosssectionnya. Hasil estimasi dengan menggunakan efek tetap dapat dijelaskan dalam Tabel 5.1.
74
Tabel 5.1. Hasil Estimasi dengan Model Efek Tetap (fixed effect model) Std. Variabel Koefisien t-Statistik Prob. Error LNPROD 3,9694 5,691 0,697 0,4909 GROWTH -0,0078 0,002 -2,986 0,0056* XEF 0,1128 0,052 2,149 0,0398* CR4 -0,4457 0,200 -2,223 0,0338* MES -0,1148 0,262 -0,436 0,6656 LNRAWMATE 5,9022 2,189 2,695 0,0114* LNRENT -0,9685 2,955 -0,327 0,7454 LNBBLG 0,3544 1,696 0,208 0,8359 LNPIMP -6,5416 5,859 -1,116 0,2731 LNPEKS 8,3523 4,473 1,867 0,0717 C -92,324 3,.920 -2,985 0,0056 Fixed Effect (Cross) Pemurnian dan pengilangan minyak Pemurnian dan pengilangan gas Barang dari hasil kilang minyak bumi Pembuatan minyak pelumas
18,15 10,24 -14,03 -14,36 Weighted Statistics
R-squared
0,45147
Keterangan: * (signifikan pada taraf nyata 5 persen)
Nilai R-square sebesar 0,45 menunjukkan bahwa sebesar 45 persen keragaman PCM pada industri migas dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya (produktivitas, pertumbuhan, efisiensi-X, CR4, minimum efficiency scale (MES), raw material, sewa, bahan bakar listrik dan gas, harga impor dan harga ekspor), sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Untuk uji asumsi klasik, tidak dilakukan pengujian karena model telah menggunakan metode GLS (Generalized Least Square). GLS dapat digunakan untuk mengatasi gejala autokorelasi dan heteroskedastisitas. Dalam Gujarati (2003) dijelaskan bahwa salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memberi perlakuan cross section weight dan white-heteroskedastisityconsistent covariance untuk mengantisipasi data yang tidak homoskedastisitas
75
dan mengandung autokorelasi. Hal ini disebabkan dalam mengestimasi model telah menggunakan metode GLS (generalized least square) dengan white heteroscedastisity sebagai pembobot maka masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi sudah dapat teratasi. Penggunaan panel data dapat mengabaikan pelanggaran asumsi multikolinieritas, karena adanya penggabungan data time series dan cross section, sehingga akan lebih banyak variasi data dan lebih sedikitnya korelasi antar variabel. Indikasi adanya multikolinieritas dapat dilihat jika dalam model yang dihasilkan terbukti signifikan secara keseluruhan (uji-F) dan memiliki nilai R-squared yang tinggi namun banyak variabel yang tidak signifikan (ujit). Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah dengan menggabungkan data cross section dengan data time series (Juanda, 2009). Berdasarkan hasil estimasi model PCM yang diperoleh dari Tabel 5.1 menunjukkan bahwa variabel bebas GROWTH, XEFF, CR4 dan RAWMATE signifikan pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05). Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa variabel GROWTH dan CR4 berpengaruh negatif pada tingkat keuntungan (PCM). Nilai koefisien dapat dilihat pada Tabel 5.1. Variabel yang memiliki pengaruh terbesar dan positif terhadap PCM adalah raw material (bahan baku), dan XEFF. Sementara variabel PROD, MES, BBLG, RENT, P EKSPOR dan P IMPOR berpengaruh tidak signifikan terhadap PCM. Untuk itu, diperoleh model PCM yang dirumuskan sebagai berikut: PCM = Crossi - 92,324 + 3,969 lnPROD – 0,007 GROWTH + 0,112 XEF – 0,445 CR4 – 0,114 MES + 5,902 lnRAWMATE – 0,968 lnRENT + 0,354 lnBBLG – 6,54 lnIMP + 8,352 ln EKS + uit. ...............(5.1)
76
Keunggulan pendekatan fixed-effect adalah dapat menerangkan heterogenitas masing-masing individunya, artinya setiap observasi dapat diterangkan melalui perbedaan cross-sectionnya. Pada tabel 5.1 terdapat hasil estimasi Fixed Effect (cross) yang memperlihatkan pembeda dari setiap cross section (sektor industri migas). Untuk industri pemurnian dan pengilangan minyak memiliki nilai pembeda sebesar 18,15, industri pemurnian dan pengilangan gas sebesar 10,24, industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi sebesar -14,03 dan industri pembuatan minyak pelumas sebesar -14,36. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa industri pemurnian dan pengilangan memiliki rata-rata PCM yang paling tinggi, yaitu sebesar 18,15 sedangkan industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi memiliki efek yang paling kecil dengan nilai sebesar -14,36. Hal ini memperlihatkan bahwa untuk kinerja (PCM) industri pemurnian dan pengilangan minyak merupakan memiliki tujuan yang lebih potensial terhadap keuntungan industri migas Indonesia sedangkan industri barangbarang dari hasil kilang minyak bumi tidak potensial. Namun, setiap perubahan pembeda tidak memiliki pengaruh terhadap perubahan PCM. Variabel PROD (produktivitas) tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen (0,05) terhadap peningkatan keuntungan perusahaan (PCM). Hal ini berarti dengan adanya perubahan (peningkatan maupun penurunan) kinerja tidak memengaruhi keuntungan perusahaan itu sendiri. Kondisi ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa produktivitas berhubungan positif dengan PCM (keuntungan). Hal ini disebabkan karena jumlah tenaga kerja secara umum semakin berkurang setiap tahunnya sehingga semakin sedikit
77
tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan output sebesar-besarnya (Tabel 5.2). Jumlah tenaga kerja hanya meningkat pada tahun 2003, 2006, dan 2007 kemudian menurun kembali pada tahun 2008. Oleh karena itu, variabel produktivitas tidak signifikan terhadap PCM. Tabel 5.2. Jumlah Tenaga Kerja Industri Migas Tahun 1998-2008 KBLI (Kode Baku Lapangan Usaha) Tahun 23201 23202 23203 23204 1998 644 535 3544 291 1999 848 359 3181 566 2000 477 509 1880 1055 2001 330 309 1543 326 2002 274 424 889 570 2003 415 588 2500 748 2004 240 518 1805 485 2005 441 319 1893 495 2006 1274 946 1947 680 2007 2800 97 3911 811 2008 754 1278 1118 829
Total 5014 4954 3921 2508 2157 4251 3048 3148 4847 7619 3979
Sumber: BPS,2011
Variabel GROWTH (pertumbuhan) berpengaruh nyata (signifikan) terhadap tingkat keuntungan (PCM) industri migas pada taraf nyata 5 persen (0,05). Namun, hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana peningkatan pertumbuhan akan meningkatkatkan keuntungan industri migas. Besarnya koefisien GROWTH adalah -0,007, artinya setiap peningkatan pertumbuhan industri migas sebesar 1 persen akan menurunkan keuntungan sebesar 0,007 persen. Kondisi ini diduga disebabkan karena pada umumnya rata-rata pertumbuhan tiap sektor industri migas Indonesia negatif (Lampiran 4). Kondisi ini juga diduga terjadi karena pertumbuhan nilai input lebih besar daripada pertumbuhan outputnya. Selain itu, dalam industri migas ini karena harga ditentukan oleh produsen yang tergabung dalam OPEC maka tidak
78
mungkin bagi perusahaan-perusahaan migas Indonesia untuk menetapkan harga domestik. Itulah sebabnya walaupun produksi dunia tinggi, harga malah turun ataupun sebaliknya. Kondisi lainnya adalah bahwa kapasitas atau pasokan migas terbatas. Migas merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui sehingga ketersediaannya tergantung pada alam. Sementara migas merupakan komoditi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan tidak memiliki barang substitusi yang dapat diperbaharui. Hal inilah yang membedakan migas dengan industri lainnya. Nilai koefisien efisiensi-X (XEFF) signifikan pada taraf nyata 5 (0,05) persen. Nilai koefisiennya sebesar 0,1128. Hal ini berarti bahwa setiap ada peningkatan efisiensi-X sebesar satu persen, maka tingkat keuntungan yang dihasilkan akan meningkat sebesar 0,1128 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa semakin efisien suatu perusahaan maka memungkinkan perusahaan tersebut untuk memproduksi produk dengan sumber daya yang lebih sedikit atau sama. Hal ini disebabkan efisensi merupakan pengurangan biaya sehingga biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam jangka panjang akan lebih murah. Dengan adanya efisiensi maka keuntungan perusahaan akan semakin meningkat. Variabel CR4 signifikan terhadap peningkatan PCM pada taraf nyata 5 persen (0,05). Namun koefiien CR4 nya bernilai negatif sebesar -0,4457 dimana hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa CR4 berhubungan positif dengan PCM. Hal ini diduga disebabkan perusahaan yang masuk ke dalam industri mengalami fluktuasi. Secara teori, ketika jumlah perusahaan yang masuk semakin besar akan mengurangi konsentrasi industri
79
dan ketika jumlah perusahaan berkurang akan meningkatkan konsentrasi. Namun, dapat diketahui bahwa walaupun jumlah perusahaan bertambah, belum tentu akan menurunkan CR4 karena produk yang dihasikan oleh perusahaan baru masih lebih rendah dibanding empat perusahaan terbesar. Hal ini berdampak pada keuntungan perusahaan yang semakin berkurang sehingga keuntungan yang diperoleh akan semakin berkurang dan CR4 berdampak negatif pada keuntungan dan peningkatan kinerja industri migas. Selain itu, industri migas berbeda dari industri lainnya dimana pengelolaannya sulit dan lebih berisiko. Untuk masuk ke industri ini pun tidak mudah karena membutuhkan infrastruktur yang baik, tenaga ahli, modal yang besar, teknologi yang tinggi dan high-risk. Dalam pengelolaan migas berbeda seperti SDA lainnya seperti mineral dan batubara ataupun usaha properti. Untuk memastikan bahwa di perut bumi ada minyak atau tidak diperlukan seperangkat aktivitas seperti survei geologi sampai eksplorasi dan eksploitasi. Setelah diyakini ada kemudian dilakukan pengeboran dan diangkat ke atas dan itu juga tidak akan sepenuhnya terangkat. Permasalahan inilah yang diduga menyebabkan penurunan keuntungan industri migas walaupun harga migas terus meningkat. Minimum Efficiency Scale (MES) tidak signifikan terhadap PCM industri migas. Artinya, MES tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen. Hal ini disebabkan industri migas sedikit berbeda dengan industri lainnya dalam hal hambatan masuk pasar. Selain karena sulit untuk masuk ke dalam industri, risiko yang tinggi, modal yang dikeluarkan juga harus sangat besar. Untuk membatasi masuknya perusahaan baru dalam suatu industri dapat
80
dilakukan dengan menambah kapasitas total produksi dan melalui diferensisasi produk. Semakin besar hambatan masuk, maka semakin besar keuntungan yang diperoleh perusahaan. Hal ini disebabkan konsentrasi pasar yang semakin tinggi menyebabkan perusahaan lain sulit masuk dalam industri tersebut. Variabel raw material (bahan baku) signifikan terhadap tingkat keuntungan (PCM). Hal ini karena nilai probabilitas dari t-statistik tersebut yaitu 0,0114 yang lebih kecil dari 0,05 (taraf nyata 5 persen). Koefisien dari variabel raw materials bertanda positif dan sesuai dengan hipotesis, yaitu sebesar 5,90. Nilai tersebut memberikan arti bahwa jika bahan baku (raw material) meningkat sebesar 1 persen maka keuntungan meningkat sebesar 5,90 persen (cateris paribus). Hal ini sesuai dengan hipotesis karena semakin baik kualitas bahan baku suatu produk akan meningkatkan keuntungan perusahaan. Bahan baku dalam hal ini tidak dilihat dari jumlahnya, namun kualitas bahan bakunya. Karena semakin baik kualitas bahan baku yang digunakan maka dapat dilakukan spesialisasi bahan baku untuk memperoleh output yang lebih berkualitas sehingga meningkatkan keuntungan. Variabel sewa (rent) yang merupakan salah satu sumber input dalam industri migas tidak signifikan terhadap tingkat keuntungan (PCM). Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana sewa memiliki hubungan negatif terhadap PCM. Hal ini disebabkan semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk sewa (rent), maka jumlah input semakin besar dan seharusnya hal itu akan menurunkan tingkat keuntungan. Namun yang terjadi bahwa variabel sewa tidak berpengaruh terhadap keuntungan (PCM) industri migas dimana nilai probabilitasnya (0,7454) lebih besar dari alpha 5 persen.
81
Koefisien Bahan bakar, listrik dan gas (BBLG) tidak signifikan terhadap tingkat keuntungan (PCM) industri migas pada taraf nyata 5 persen (0,05) karena nilai probabilitasnya (0,8359) lebih besar dari alpha 5 persen. Penyebabnya hampir sama dengan variabel sewa dimana semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk membayar BBLG yang merupakan salah satu sumber input, sehingga walaupun keuntungan meningkat tidak akan memengaruhi keuntungan perusahaan karena jumlah input semakin besar. Koefisien variabel harga impor tidak signifikan terhadap PCM pada taraf nyata 5 persen. Kondisi ini tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana dijelaskan bahwa impor memiliki hubungan negatif terhadap tingkat keuntungan. Hal ini diakibatkan adanya peningkatan biaya produksi akan berdampak terhadap kenaikan harga jual produk sehingga menyebabkan terbukanya peluang impor bagi industri. Dengan adanya peningkatan jumlah impor yang beredar di pasar dalam negeri akan meningkatkan persaingan bagi industri yang beredar di pasar dalam negeri akan meningkatkan persaingan bagi industri lokal dan keuntungannya akan berkurang. Variabel ekspor tidak signifikan terhadap peningkatan keuntungan perusahaan pada taraf nyata 5 persen (alpha 0,05). Hal ini berarti bahwa dengan adanya perubahan ekspor tidak akan memengaruhi kinerja industri migas. Ekspor merupakan penjualan total yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain dengan tujuan untuk meningkatkan devisa di negara tujuan.
82
VI. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijabarkan, maka diperoleh kesimpulan dan saran. Adapun kesimpulan dan saran tersebut adalah sebagai berikut. 6.1. Kesimpulan 1. Struktur pasar industri migas adalah oligopoli ketat dengan rata-rata CR4 sebesar 64,34 persen dan rata-rata MES sebesar 38,08 persen. Perilaku industri migas dapat dilihat dari strategi harga, produk dan promosi. 2. Rata-rata margin keuntungan (PCM) industri migas Indonesia selama tahun 1998 hingga 2008 sebesar 33,08 persen. 3. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan efek tetap (fixed-effect) untuk mengestimasi PCM.
Dari hasil
estimasi, diperoleh bahwa variabel yang memengaruhi PCM adalah GROWTH, XEFF, CR4, dan RAWMATE. Sedangkan variabel seperti PROD, MES, RENT (sewa), P IMPOR, BBLG (bahan bakar, listrik, dan gas) dan P EKSPOR tidak signifikan terhadap peningkatan keuntungan. 4. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat keuntungan industri migas (PCM) adalah raw materials (bahan baku), XEFF (efisiensi-X), CR4 dan GROWTH. Variabel CR4 dan Growth berpengaruh negatif terhadap tingkat keuntungan.
83
6.2. Saran 1. Produsen migas di Indonesia harus dapat meningkatkan kualitas bahan baku industri migas Indonesia. untuk meningkatkan keuntungan industri, karena berdasarkan penelitian variabel ini memiliki pengaruh paling besar terhadap peningkatan keuntungan (PCM). 2. Perlunya peran pemerintah dalam merekrut tenaga kerja domestik yang berkualitas dan memiliki daya saing sehingga perusahaan-perusahaan migas Indonesia dapat dipandang di pasar Internasional. 3. Perlunya upaya pemerintah dalam peningkatan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber-sumber lapangan migas baru, melalui peningkatan teknologi, penggunaan bahan baku yang lebih efisien dan efektif mengingat sektor ini merupakan sektor yang sulit dan membutuhkan modal besar. 4. Untuk penelitian selanjutnya, dapat dilakukan analisis terhadap daya saing industri migas Indonesia di pasar internasional. Hal ini karena industri migas merupakan salah satu sumber penerimaan negara. Selain itu, untuk sektor migas dengan KBLI 23205 dapat disertakan dalam penelitian
untuk
memperoleh
hasil
dari
memengaruhi industri migas secara lebih baik.
faktor-faktor
yang
84
DAFTAR PUSTAKA Agustina. 2009. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Pakan Ternak di Indonesia. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Anonim. 5 Oktober 2007. Belajar Ekonometrika- Model Regresi Panel Data. Majalah Studi Ekonometrika dan Statistika Ekonomi. Jakarta Badan Pusat Statistik.2011. Statistika Industri Besar dan Sedang Volume I. Edisi Tahun 1998-2008. Jakarta . 2011. Statistika Pertambangan Tahun 2008. Jakarta. Baltagi, B. H. 2008. Econometric Analysis of Panel Data. Fourth Edition. New York : McGraw Hill Companies Inc. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta. Erlangga. ESDM. 8 September 2010. Perkembangan Teknologi Eksplorasi dan Eksploitasi Migas. http:// perkembangan-teknologi-eksplorasi-daneksploitasi-migas.html . 2010. Perkembangan http://www.bpmigas.go.id/
Industri
Migas
di
Indonesia.
Darmayanti. 2007. Analisis Struktur , Kinerja dan Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Direktorat Jenderal Migas. 2010. Produksi dan Konsumsi Migas Indonesia 1998-2008. Dirjend Migas. Jakarta Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Zain dan Zumarno [penerjemah]. Penerbit Erlangga. Jakarta Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan regulasi. LP3ES. Jakarta Indiani, I. 2006. Analisis Struktur-perilaku-kinerja industri susu di Indonesia. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Irwani, S dan Armi Susandi. Perkembangan Energi di Indonesia sebagai Dampak Kebijakan Iklim Global. Program Studi Meteorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi ITB. Bandung Jaya,W.K. 2001. Ekonomi Industri. Edisi Kedua. BPFE. Yogyakarta
85
Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor : IPB Press Kementrian Perindustrian. 2011. Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Migas di Indonesia. Kementrian Perindustrian. Jakarta Lutfiah. 2008. Analisis Dampak Implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Perbankan Indonesia. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Puspitasari E. 2006. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri nMinuman Ringan di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sagir, S. 1983. Minyak, resesi Dunia dan Prospek Ekonomi Indonesia. Penerbit Alumni. Bandung Sentosa R.N. 2005. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pada Industri Elektronik Indonesia pasca Deregulasi Penanaman Modal Asing. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Shepherd, W.G. 1992. The Economics of Industrial Organization. Third Edition. Prentice Hall International. New jersey Solehah. 2008. Analisis Struktur, perilaku dan kinerja Industri Seluler di Indonesia. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Widyastuti, 2006. Analisis Structure-Conduct-Performance Industri komponen sepeda motor di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winsih. 2007. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Manufaktur Indonesia. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor
86
LAMPIRAN
87
LAMPIRAN 1 CR4 Perusahaan Migas di Indonesia (persen) KBLI 23201
23202
23203
23204
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Output 4 perusahaan terbesar 1989081 151559173 113525773 18040011 10239125 400029477 21587268 468100186 5179824950 4047202636 7098651093 48215096 56930022 255833477 98691795 237123046 450176810 390123074 472994331 1315901338 10081388 321249613 240179412 291450447 285302684 69748399 20915251 90238340 91948913 112412222 138966304 1182601553 112656380 9820136 29259215 61109578 42829740 43497350 94064838 339972839 258169539 412261031 206690677 417409984
total output 28282427 212477249 363511038 22947770 19797378 401784495 70711422 518024978 5253842503 4619414391 7494095671 78042714 87795320 354035042 99697795 366176246 688246319 563791085 478057302 1356306979 13081388 346903922 323678975 430749020 604184989 126060906 80069278 231302954 222636119 248411677 275960092 1974932705 202075441 21491504 55816192 162706795 51581002 173740857 317034297 477437410 301453912 517452241 396819558 539908641
CR4 70,33 71,33 31,23 78,61 51,72 99,56 30,53 90,36 98,59 87,61 94,72 61,78 64,84 72,26 98,99 64,76 65,41 69,20 98,94 97,02 77,07 92,60 74,20 67,66 47,22 55,33 26,12 39,01 41,30 43,25 50,36 59,88 55,75 45,69 52,42 37,56 83,03 25,04 29,67 71,21 85,64 79,67 52,09 77,31
88
LAMPIRAN 2 Efisiensi-X Perusahaan Migas (persen) Tahun 23201 23202 23203 23204 1998 57,25 48,73 40,41 74,81 1999 52,44 4,40 66,07 36,85 2000 76,31 63,65 69,29 53,25 2001 58,26 98,41 58,86 62,27 2002 75,18 37,51 53,64 53,87 2003 64,50 39,33 66,98 63,17 2004 91,63 97,34 97,31 99,20 2005 90,94 95,95 89,77 99,95 2006 99,02 95,84 97,58 96,60 2007 97,86 10,17 77,14 96,54 2008 99,35 38,86 94,50 96,62 2009 99,31 98,76 94,46 96,58 Keterangan: 23201= industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi 23202= industri pemurnian dan pengilangan gas 23203= industri barang-barang dari hasil kilang minyak bumi 23204= industri pembuatan minyak pelumas
89
LAMPIRAN 3 MES (Minimum Efficiency Scale) industri Migas di Indonesia (persen) KBLI 23201
23202
23203
23204
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
MES 39,50 10,95 43,94 40,79 33,60 94,14 13,60 26,89 95,73 87,61 91,66 41,94 42,28 32,34 87,29 50,29 40,72 42,19 94,13 45,13 10,17 51,24 67,30 50,61 34,46 18,08 10,30 10,60 13,63 15,08 15,66 0,16 41,46 25,56 26,67 18,94 39,61 16,17 13,96 24,58 48,53 27,91 17,07 23,12
90
LAMPIRAN 4 Pertumbuhan (Growth) Industri Migas di Indonesia Tahun 1998-2008 (persen) KBLI Tahun Pertumbuhan 23201 1998 1,78 1999 6,51 2000 0,71 2001 -0,94 2002 -0,14 2003 19,29 2004 -0,82 2005 6,33 2006 9,14 2007 -0,12 2008 0,62 23202 1998 -0,52 1999 0,12 2000 3,03 2001 -0,72 2002 2,67 2003 0,88 2004 -0,18 2005 -0,15 2006 1,84 2007 -0,99 2008 33,41 23203 1998 3,68 1999 0,33 2000 0,40 2001 -0,79 2002 -0,36 2003 1,89 2004 -0,04 2005 0,12 2006 0,11 2007 6,16 2008 -0,90 23204 1998 0,03 1999 1,60 2000 1,92 2001 -0,68 2002 -0,68 2003 0,82 2004 0,51 2005 -0,37 2006 0,72 2007 -0,23 2008 0,11
91
LAMPIRAN 5 PCM (Price Cost Margin) Industri Migas Indonesia Tahun 1998-2008 (persen) KBLI Tahun PCM (%) 23201 1998 36,39 1999 39,81 2000 22,39 2001 37,27 2002 16,06 2003 34,75 2004 57,61 2005 20,11 2006 86,52 2007 99,02 2008 42,35 23202 1998 48,45 1999 21,91 2000 28,66 2001 0,5 2002 56,42 2003 46,08 2004 19,1 2005 69,1 2006 32,48 2007 29,6 2008 54,62 23203 1998 0,56 1999 0,31 2000 29,28 2001 33,33 2002 37,06 2003 23,54 2004 35,68 2005 27,63 2006 36,25 2007 31,26 2008 17,41 23204 1998 0,21 1999 0,42 2000 74,85 2001 23,42 2002 44,1 2003 43,22 2004 15,11 2005 27,37 2006 0,17 2007 36,75 2008 15,04
92
LAMPIRAN 6 Hasil Output Pendugaan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Industri Migas Indonesia Periode 1998- 2008 (Fixed Effect- GLS) Dependent Variable: PCM Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/03/11 Time: 19:37 Sample: 1998 2008 Periods included: 11 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 44 Linear estimation after one-step weighting matrix White period standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPROD GROWTH XEF CR4 MES LNRAWMATE LNRENT LNBBLG LNPIMP LNPEKS C
3.969447 -0.007860 0.112867 -0.445759 -0.114800 5.902274 -0.968533 0.354447 -6.541680 8.352312 -92.32425
5.691325 0.002632 0.052514 0.200444 0.262997 2.189581 2.955973 1.696004 5.859423 4.473465 30.92037
0.697456 -2.986344 2.149282 -2.223853 -0.436506 2.695617 -0.327653 0.208989 -1.116438 1.867079 -2.985871
0.4909 0.0056 0.0398 0.0338 0.6656 0.0114 0.7454 0.8359 0.2731 0.0717 0.0056
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.451469 0.213773 19.57957 1.899351 0.072210
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
34.14166 21.59659 11500.78 2.097790
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.426620 12155.33
Mean dependent var Durbin-Watson stat
33.00541 2.159925