FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN USIA MENIKAH MUDA PADA WANITA DEWASA MUDA DI KELURAHAN MEKARWANGI KOTA BANDUNG Nandang Mulyana dan Ijun Ridwan
ABSTRAK Menikah muda adalah suatu ikatan atau akad yang dilakukan seseorang yang masih dalam usia muda atau pubertas atau pernikahan yang dilaksanakan di usia remaja. Dikatakan menikah muda apabila menikah di bawah usia 21 tahun. Propinsi Jawa Barat menduduki peringkat teratas rata-rata pernikahan di usia muda secara nasional dengan rata-rata usia pernikahan 18,7 tahun jauh dibawah batasan usia menikah secara nasional 21 tahun. Dipengaruhi berbagai macam faktor, banyak remaja yang masih usia produktif memilih untuk menikah di usia muda. Seperti di Kelurahan Mekarwangi kota Bandung masih tinggi angka kejadian menikah muda dengan rata-rata usia pernikahan 17,9 tahun. Jenis penelitian pada penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan studi kasus kontrol, yang bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang hubungan faktor-faktor yang berhubungan dengan usia menikah muda yaitu : faktor orang tua (pendidikan orang tua dan usia orang tua pada saat menikah) dan faktor individu (pendidikan individu, pengetahuan individu dan sikap individu) pada wanita dewasa muda di Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung. Populasi dalam penelitian ini adalah semua wanita di Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung yang sudah menikah dan berusia dibawah 30 tahun, sebanyak 64 orang sampel yang terbagi dalam 32 orang kasus dan 32 orang kontrol. Teknik sampling yang digunakan yaitu purposive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa responden yang menikah muda sebagian besar memiliki orang tua dengan tingkat pendidikan dasar dan hampir sebagian yang memiliki orang tua dengan tingkat pendidikan lanjut, sebagian besar memiliki orang tua yang menikah berusia kurang dari 21 tahun dan hampir sebagian yang memiliki orang tua yang menikah pada usia lebih atau sama dengan 21 tahun, sebagian besar yang memiliki pendidikan dengan kategori dasar dan hampir sebagian yang memiliki pendidikan dengan kategori lanjut, hampir sebagian yang memiliki pengetahuan dengan kategori kurang baik dan sebagian besar yang memiliki pendidikan dengan kategori baik, hampir sebagian yang mempunyai sikap unfavorabel dan sebagian besar bersifat favorabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor yang melatarbelakangi terjadinya menikah muda di Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung yaitu rendahnya pendidikan orang tua, rendahnya usia orang tua pada saat menikah, pendidikan individu yang masih rendah, sedangkan sikap dan pengetahuan individu tidak memiliki hubungan dalam penelitian ini. Kata kunci : Menikah muda, Analisis faktor
A. PENDAHULUAN Dalam menjalani kehidupan, seorang manusia memiliki kodrat-kodrat yang harus dijalaninya. Kodrat tersebut antara lain lahir, menikah dan meninggal dunia. Dalam memenuhi kodratnya untu menikah, manusia dibekali dorongan untuk menarik perhatian lawan jenisnya guna mencari pasangan hidupnya. Manusia mulai mencari pasangannya diawali dari masa pubertas yaitu masa awal ketertarikan dengan lawan jenis yang berawal dari usia sekitar 12,5 – 14,5 tahun pada wanita dan 14 – 16,5 tahun pada laki-laki (Hurlock, 1980). Masa berikutnya adalah masa pacaran dan diakhiri dengan masa pernikahan. Menikah muda adalah suatu ikatan atau akad yang dilakukan seseorang
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
59
yang masih dalam usia muda atau pubertas (Sarwono, 2007). Pernikahan yang dilaksanakan di usia remaja (Al-Ghifari, 2008). Menikah muda menjadi titik awal permasalahan bagi Indonesia, selain menambah cepat laju pertumbuhan penduduk juga terlihat terus meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) seiring bertambahnya tahun. Selain menambah AKI disinyalir menikah di usia muda juga dapat meningkatkan resiko pada wanita untuk terserang kanker rahim, hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Yayasan Kanker Payudara Jakarta, di Indonesia 10 dari 10.000 penduduk terkena kanker jenis ini dan 70 % penderita kanker rahim selalu datang ke rumah sakit pada stadium lanjut (data YKPJ, 2006). Di Indonesia, pasal 7 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan menetapkan bahwa : Pernikahan diizinkan bila pria berusia 19 tahun dan wanita berusia 16 tahun. Tapi pasal ini direvisi dengan landasan batasan dewasa adalah usia 21 tahun sesuai dengan Undang-undang Pasal 1 Nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan adanya undang-undang pernikahan akan ada batasan usia, pernikahan di usia muda baru dapat dilakukan bila usia seorang remaja sudah sesuai undang-undang pernikahan yang berlaku di Indonesia (Sarwono, 2007). Hal diatas dipertegas lagi oleh Swasono (dalam Washil, 2003) yang mengatakan, selayaknya wanita menikah pada usia di atas 18 tahun. Ini merujuk pada Undang-undang Perlindungan Anak. Menurutnya, Undang-undang Perkawinan memang mengatur usia menikah untuk wanita minimal 16 tahun. Tetapi saat ini Indonesia sudah memiliki UU Perlindungan Anak, yang mana dalam UU tersebut yang dimaksud dengan “anak” adalah mereka yang berusia 10-18 tahun. Terjadinya pernikahan di usia muda sedikit banyak pasti terkait dengan orang tua dan individu yang menjalaninya. Al-Gifari (2002) menyebutkan bahwa peran orang tua sangat menentukan remaja untuk menjalani pernikahan di usia muda. Orang tua selalu menganggap dirinya sebagai contoh sehingga aman bagi dia pasti aman buat anaknya, sebagai contoh apabila orang tua menikah diusia muda dan tidak terjadi hal yang merugikan maka dia sangat mendukung apabila dikemudian hari anaknya untuk menikah muda. Masih menurut Al-Gifari (2001) pendidikan orang tua juga memiliki peran dalam penentuan keputusan buat anaknya, karena di keluargalah pendidikan anak yang pertama dan utama. Salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan pihak orang tua terhadap anaknya salah satunya yang sangat menonjol adalah faktor pendidikan keluarga (Washil, 2003). Dalam bukunya, Agustiani (2006) menyebutkan sesuai dengan perkembangannya usia remaja cenderung berusaha mengikuti atau menysesuaikan dengan perkembangan budaya disekitarnya dalam hal mengambil atau memutuskan sesuatu, hal teresebut sejalan dengan apa yang dituliskan Sarwono (2007) dalam bukunya yang berjudul Psikologi Remaja mengutip teori Socialized Anxiety (Kecemasan yang diasosiasikan) oleh Alison Davis di tahun 1949, bahwa setiap remaja akan selalu
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
60
merasa cemas tidak dapat diterima oleh lingkungan apabila dia tidak bisa menyesuaikan atau mengikuti budaya lingkungan disekitarnya. Remaja sebelum menyesuaikan diri dengan lingkungannya, pertama-tama akan berusaha dapat diterima oleh kelompok bermainnya (Yusuf, 2004). Dalam penelitian ini peneliti hanya berfokus pada faktor orang tua dan individunya sendiri, karena faktor orang tua adalah faktor pendorong yang bersifat eksternal dari faktor individu yang bersifat internal dan lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan untuk menikah diusia muda, disamping hal itu peneliti juga mempertimbangkan bahwa faktor orang tua dan individu lebih mudah dimodifikasi dari pada faktor lingkungan yang akan memerlukan waktu lebih lama. Pengambilan keputusan oleh seseorang untuk menikah di usia muda dapat dilihat sebagai perilaku manusia, menurut Benyamin Bloom yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku manusia itu dibagi kedalam 3 domain, yaitu kognitif (Cognitive), afektif (Afective) dan Psikomotor (Phychomotor). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus atau objek (dalam hal ini adalah masalah kesehatan, termasuk penyakit). Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek kesehatan tersebut. Sikap seseorang dapat berupa sikap yang positif yaitu perasaan yang mendukung (favorabel) maupun sikap yang negatif yang merupakan sikap yang tidak mendukung (unfavorabel) pada objek (Azwar, 2000). Menurut Sanderowitz dan Paxman (dalam Sarwono, 2007) menyatakan bahwa pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja berfikir pendek untuk mengambil keputusan melakukan pernikahan. Selain itu faktor penyebab terjadinya pernikahan muda adalah perjodohan orang tua, perjodohan ini sering terjadi akibat putus sekolah. Pendidikan seseorang sangat menentukan dalam kehidupannya, baik dalam mengambil keputusan, penyikapan masalah, termasuk didalamnya kematangan psikologis maupun dalam hal lain yang lebih kompleks (Sarwono, 2007). Propinsi Jawa Barat menduduki peringkat teratas rata-rata pernikahan di usia muda secara nasional. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Propinsi Jawa Barat tentang remaja, rata-rata usia menikah di Jawa Barat adalah 18,7 tahun, sedangkan batasan usia menikah secara nasional adalah 21 tahun. Dari keseluruhan pernikahan di Jawa Barat, 64% di antaranya dibawah usia 18 tahun (BKKBN, 2007). Rendahnya usia menikah juga terjadi di ibu kota Jawa Barat, Bandung. Dari 158 Kelurahan, ada beberapa Kelurahan yang menyumbang angka usia menikah dibawah batasan usia menikah nasional, salah satunya adalah Kelurahan Mekarwangi yang menduduki posisi teratas dari 158
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
61
Kelurahan yang ada di kota Bandung untuk batasan usia dalam menikah, yaitu 17,9 tahun (data KUA, 2007). Hal ini lebih rendah dari rata-rata batasan usia menikah untuk Jawa Barat yang mencapai 18,7 tahun. Kelurahan Mekarwangi memiliki 6 buah RW dan 20 RT adalah sebuah pemukiman yang padat penduduk, dengan jumlah 895 kepala keluarga, dengan jumlah penduduk 3684 jiwa dan 324 jiwa diantaranya adalah remaja (data Kelurahan Mekarwangi, 2007). B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Deskriptif korelasional dengan pendekatan studi kontrol kasus (Case kontrol study) yaitu suatu penelititan yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan retrospective. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan usia menikah muda yang terdiri dari (1) pendidikan orang tua, (2) usia orang tua pada saat menikah, (3) pendidikan individu, (4) pengetahuan individu, serta (5) sikap individu. Dan variabel dependen yaitu usia menikah muda. Populasi dalam penelitian ini adalah semua wanita di Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung yang sudah menikah dan berusia dibawah 30 tahun. Sampel dalam penelitian ini 64 orang responden yang terbagi dalam 32 orang untuk kasus dan 32 orang untuk kontrol. Dalam penelitian ini teknik unrandom sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling, yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu yang dikehendaki peneliti. Sampel kasus wanita yang menikah pada usia muda (< 21 tahun), berusia dibawah 30 tahun, sehat akal pikiran, memiliki ibu yang masih hidup, berdomisili di wilayah Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung dan bersedia untuk dijadikan responden dengan menandatangani surat persetujuan menjadi responden. Sampel kontrol
wanita yang menikah tidak pada usia muda (≥ 21 tahun), berusia
dibawah 30 tahun, sehat akal pikiran, memiliki ibu yang masih hidup, berdomisili di wilayah Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung dan bersedia untuk dijadikan responden dengan menandatangani surat persetujuan menjadi responden. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup (kuesioner). Dalam melakukan pengumpulan data, selain mengunjungi rumah responden secara langsung oleh peneliti sendiri, Setelah menandatangani surat persetujuan, responden diberi kuesioner untuk diisi secara langsung dan setelah selesai mengisinya diambil kembali oleh peneliti ataupun pihak yang membantu peneliti.Uji validitas dan reliabilitas instrument dilakukan di Kelurahan Kebon Lega Kecamatan Bojongloa Kidul. Tahap pengolahan untuk variabel ini dimulai dengan melakukan tabulasi, untuk mengetahui umur orang tua responden saat menikah, terlebih dahulu peneliti membuat 2 kategori hasil, yaitu lebih atau sama dengan 21 tahun dan kurang dari 21 tahun. Jawaban yang ada dihitung frekuensinya Uji
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
62
hubungan dilakukan dengan menguji signifikansi Khi-Kuadrat hasil perhitungan dengan hipotesis statistik. Penggunaan Koefisien Kontingensi dalam menentukan derajat hubungan antara kedua variabel. Selain untuk mengetahui hubungan faktor-faktor yang berhubungan dengan usia menikah muda juga untuk mengetahui nilai dari odds rasionya, yaitu berapa seringnya terdapat pernikahan muda pada kasus dibandingkan pada kontrol
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik orang tua pada kejadian menikah muda pada wanita dewasa muda Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Orang Tua, Umur Menikah Muda Pada Wanita Dewasa Muda
Pada Kejadian
Responden Variabel Kasus Kontrol Pendidikan Orang Tua Dasar 23 (71.9 %) 8 (48.4 %) Lanjut 9 (28.1 %) 24 (51.6%) Jumlah 32 (100 %) 32 (100 %) Umur Orang Tua < 21 Tahun 18 (56,3 %) 9 (28,1 %) > 21 tahun 14 (43,8 %) 23 (71,9%) Jumlah 32 (100 %) 32 (100 %) Dari tabel 1 diatas dapat dijelaskan bahwa orang tua dengan pendidikan dasar yang anak wanitanya menikah muda sebanyak 23 responden (71.9%), sedangkan orang tua dengan pendidikan dasar yang anak wanitanya tidak menikah muda sebanyak 8 responden (48.4%). Pada umur orang tua pada saat menikah < 21 tahun dengan anak wanitanya menikah muda sebanyak 18 responden (56.3%), sedangkan umur orang tua pada saat menikah < 21 tahun dengan anak wanitanya tidak menikah muda sebanyak 9 responden (28.1%). 2. Distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik individu pada kejadian menikah muda pada wanita dewasa muda Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pendidikan, Pengetahuan dan Sikap Individu Pada Kejadian Menikah Muda Pada Wanita Dewasa Muda Responden Variabel Pendidikan Dasar Lanjut Jumlah
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
Kasus
Kontrol
23 (71.9 %) 9 (28.1 %) 32 (100 %)
12 (37,5 %) 20 (62,5%) 32 (100 %)
63
Responden Variabel Pengetahuan Kurang Baik Baik Jumlah Sikap Unfavorabel Favorabel Jumlah
Kasus
Kontrol
13 (40,6 %) 19 (59,4 %) 32 (100 %)
5 (15,6 %) 27 (84,4%) 32 (100 %)
13 (40,6 %) 19 (59,4 %) 32 (100 %)
9 (28,1 %) 23 (71,9%) 32 (100 %)
Dari tabel 2 diatas dapat dijelaskan bahwa individu dengan pendidikan dasar yang menikah muda sebanyak 23 responden (71.9%), sedangkan individu dengan pendidikan dasar yang tidak menikah muda sebanyak 12 responden (37.5%), dan dari table diatas, diketahui
pula bahwa pada pengetahuan individu yang kurang baik dengan menikah muda sebanyak 13 responden (40.6%), sedangkan individu dengan pengetahuan kurang baik dengan tidak menikah muda sebanyak 5 responden (15.6%). Sikap Individu unfavorabel dengan menikah muda sebanyak 13 responden (40.6%), sedangkan
unfavorabel
dengan tidak menikah muda sebanyak 9 responden (28.1%). 3. Hubungan pendidikan orang tua dengan kejadian menikah muda pada wanita dewasa muda Di Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung. Tabel 3. Hubungan Pendidikan Orang tua Dengan Kejadian Menikah Muda Pada Wanita Dewasa Muda di Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung Responden Pendidikan
Kasus
Kontrol
Dasar
23 (71.9 %)
8 (48.4 %)
Lanjut
9 (28.1 %)
24 (51.6%)
Jumlah
32 (100 %)
32 (100 %)
P-Value
CC
OR (CI 95%)
0.000
0.425
7.667 (2.524 - 23.284)
Hasil analisis hubungan pendidikan orang tua dengan kejadian menikah muda didapatkan nilai p-value (0.000) < dari nilai α (0.05) hal ini berati menunjukan adanya hubungan dengan nilai koeficien kontingensi sebesar 0.425 yang berarti derajat hubungan sedang. Nilai OR (Ods Rasio) sebesar 7.667 yang berarti orang tua pendidikannya rendah mempunyai resiko 7.667 kali lipat
anaknya menikah di usia muda dibandingkan dengan
orang tua yang
pendidikannya tinggi.
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
64
Dalam hasil penelitian diatas dapat kita lihat bahwa pendidikan orang tua sangat berperan penting dalam kasus terjadinya menikah muda. Dalam hal inipun dapat kita lihat bahwa sangatlah rentan apabila ada orang tua dengan pendidikan rendah dihadapkan dengan kemauan anaknya untuk menikah muda, karena tidak menutup kemungkinan orang tua dengan kategori ini bukannya memberi masukan ataupun larangan malah dengan pendidikan yang rendah kemungkinan besar orang tua tersebut akan menganjurkannya. Dapat kita sebutkan bahwa pendidikan orang tua memiliki peran dalam penentuan keputusan buat anaknya, karena di keluargalah pendidikan anak yang pertama dan utama (Al-Gifari, 2001). 4. Hubungan Umur Orang Tua Saat Menikah Dengan Kejadian Menikah Muda Pada Wanita Dewasa Muda Di kelurahan Mekarwangi Kota Bandung. Tabel 4. Hubungan Umur Orang Tua Saat Menikah Dengan Kejadian Menikah Muda Pada Wanita Dewasa Muda Di Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung. Responden Umur
< 21 Tahun ≥ 21 Tahun Jumlah
Kasus
Kontrol
P-Value
18 (56.3%)
9 (28.1%)
0.043
14 (43.8%)
23 (71.9%)
32 (100 %)
32 (100 %)
CC
OR (CI 95%)
0.274
3.286 (1.161 - 9.296)
Hasil analisis hubungan umur orang tua pada saat menikah dengan kejadian menikah muda didapatkan nilai p-value (0.043) < dari nilai α (0.05) hal ini berati terdapat hubungan dengan nilai koeficien kontingensi sebesar 0.274 yang berarti derajat hubungan rendah. Nilai OR ( Ods Rasio ) sebesar 3.286 yang berarti orang tua yang menikah dibawah usia < 21 tahun mempunyai resiko 3.286 kali lipat anaknya kawin muda dibandingkan dengan orang tua yang menikahnya di usia ≥ 21 tahun. Dari hasil penelitian diatas pada kelompok kasus sebagian besar orang tuanya yang menikah dibawah 21 tahun atau boleh dikatakan sama sepertu yang mereka lakukan sekarang yaitu menikah muda. Hal ini membuktikan bahwa orang tua dalam memutuskan (anaknya untuk menikah muda) selain dipengaruhi latar belakang pendidikan seperti yang dikataka diatas, ternyata juga di pengaruhi oleh pengalamannya. Hasil penelitian diatas sejalan dengan teori yang mengatakan dalam memberikan pengarahan untuk anaknya, orang tua selalu berdasarkan dengan pengalaman yang dimilikinya atau dengan kata lain orang tua selalu menganggap dirinya sebagai tester sehingga aman bagi dia pasti aman buat anaknya (Al-Gifari, 2002).
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
65
Dalam hal pengambilan keputusan oleh orang tua lebih condong dilihat sebagai perilaku, yang dapat mempengaruhi perilaku salah satunya menurut Azwar (2003) adalah pengalaman pribadi, jadi orang tua dengan pengalaman atau pernah menikah muda, sangatlah rentan anaknya pun akan mengalami hal yang sama. Hal ini dikarenakan orang tua akan membolehkan atau malah akan menganjurkan anak wanitanya untuk menikah muda karena berdasarkan pengalaman yang telah atau pernah dialami orang tua tersebut. Disamping hal itu orang tua juga sebagai role model seringkali menjadi tauladan bagi anaknya khususnya anak wanita kepada ibunya (Washil, 2003). 5. Hubungan Pendidikan Individu Dengan Kejadian Menikah Muda Pada Wanita Dewasa Muda Di Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung Tabel 5. Hubungan Pendidikan Individu Dengan Kejadian Menikah Muda Pada Wanita Dewasa Muda Di Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung Responden Pendidikan
Kasus
Kontrol
Dasar
23 (71.9%)
12 (37.5%)
Lanjut
9 (28.1%)
20 (62.5%)
Jumlah
32 (50 %)
32 (50 %)
P-Value
CC
OR (CI 95%)
0.012
0.326
4.259 (1.488 - 12.192)
Hasil analisis hubungan pengetahuan dengan kejadian menikah muda didapatkan nilai p-value (0.012) < dari nilai α (0.05) hal ini berati ada hubungan dengan nilai koeficien kontingensi sebesar 0.326 yang berarti derajat hubungan rendah. Nilai OR ( Ods Rasio ) sebesar 4.259 yang berarti wanita muda yang mempunyai pendidikan rendah mempunyai resiko 4.259 kali lipat untuk kawin muda dibandingkan dengan wanita yang mempunyai pendidikan tinggi. Dari hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa kategori pendidikan dasar pada kelompok kasus terjadi pada sebagian besar dan hanya hampir sebagian saja yang berpendidikan tinggi. Peran pendidikan dalam hal ini sangatlah penting, dalam mengambil keputusan oleh individu lebih condong dilihat sebagai perilaku. Terbentuknya suatu perilaku baru pada manusia dimulai dari domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek diluarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek terhadap objek yang diketahui tersebut (Notoatmodjo, 2003). Sedangkan dalam kelompok kontrol hasil penelitian berbanding terbalik dengan hasil penelitian pada kelompok kasus. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan seseorang sangat menentukan dalam kehidupannya, baik dalam mengambil
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
66
keputusan, penyikapan masalah, termasuk didalamnya kematangan psikologis maupun dalam hal lain yang lebih kompleks (Sarwono, 2007). Selain faktor-faktor instrinsik yang lain, pendidikan adalah salah satu yang paling besar pengaruhnya. Pendidikanlah akar dari semua masalah yang ada dalam diri individu, karena dari pendidikan individu akan mendapat pengetahuan yang nantinya akan membentuk sikapnya dalam hal pengambilan keputusan. 6. Hubungan Pengetahuan Individu Dengan Kejadian Menikah Muda Pada Wanita Dewasa Muda Di kelurahan Mekarwangi Kota Bandung. Tabel 6. Hubungan Pengetahuan Individu Dengan Kejadian Menikah Muda Pada Wanita Dewasa Muda Di Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung. Responden Pengetahuan
Kasus
Kontrol
Kurang Baik
13 (40.6%)
5 (15.6%)
Baik
19 (59.4%)
27 (84.4%)
Jumlah
32 (100 %)
32 (100 %)
P-Value
CC
OR (CI 95%)
0.052
0.268
0.271 (0.083 - 0.887)
Hasil analisis hubungan pengetahuan dengan kejadian menikah muda didapatkan nilai p-value (0.052) > dari nilai α (0.05) hal ini berati tidak terdapat hubungan. Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui kelima panca indera manusia yaitu: penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga dengan melalui suatu proses yaitu proses belajar dan membutuhkan suatu bantuan, misalnya bantuan seseorang yang lebih menguasai suatu hal, bantuan alat misalnya buku, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Untuk hasil penelitian mengenai pengetahuan, setelah melewati perhitungan hasilnya tidak terdapat hubungan antara pengetahuan individu dengan kejadian menikah muda. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan sebagai domain yang penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Notoatmodjo bahwa meningkatnya pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi kebiasaan dan membentuk kepercayaan. Selanjutnya menurut pengalaman dan hasil penelitian Rogers dalam Notoatmodjo (2003), bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bersifat langgeng (long lasting) dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
67
Selain teori diatas, tidak adanya hubungan ini juga membuktikan bahwa pengetahuan merupakan domain yang penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Notoatmodjo (2003), bahwa meningkatnya pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi kebiasaan dan membentuk kepercayaan. Tidak menutup kemungkinan responden yang sudah menikah muda bertambah pengetahuannya malah setelah dia menikah muda, sesuai dengan tingkatan pengetahuan oleh Notoatmodjo (2003) yang ke 6, yaitu evaluasi. 7. Hubungan Sikap Individu Dengan Kejadian Menikah Muda Pada Wanita Dewasa Muda Di kelurahan Mekarwangi Kota Bandung. Tabel 7. Hubungan Sikap Individu Dengan Kejadian Menikah Muda Pada Wanita Dewasa Muda Di Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung. Responden Sikap
Kasus
Kontrol
Unfavorabel
13 (40.6%)
9 (28.1%)
Favorabe
19 (59.4%)
23 (71.9%)
Jumlah
32 (100 %)
32 (100 %)
P-Value
CC
OR (CI 95%)
0.430
0.130
0.572 (0.201 - 1.626)
Hasil analisis hubungan sikap dengan kejadian menikah muda didapatkan nilai p-value (0.430) > dari nilai α (0.05) hal ini berati tidak ada hubungan. Sikap seseorang terhadap suatu
objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut (Berkowitz dalam Azwar, 2003). Sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap suatu objek (Purwanto, 1998). Sikap dapat diartikan sebagai kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu dan sikap dapat bersifat positif maupun negatif. Apabila bersifat positif maka cenderung akan melakukan trindakan mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu, sebaliknya apabila bersikap negatif maka cenderung akan melakukan tindakan menjauhi, menghinbdari, membenci, dan tidak menyukai obyek tertentu. Sikap dapat pula diartikan sebagai reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap adalah kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2003).
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
68
Jika individu mempunyai sikap yang baik terhadap menikah muda maka individu tersebut akan mempunyai prilaku yang baik terhadap menikah muda. Seperti yang dikatakan oleh Notoatmojo (2003) diatas bahwa sikap merupakan respon tertutup terhadap suatu stimulus. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek tersebut, apakah penghayatan tersebut kemudian akan membentuk sikap positif atau negatif, dan tergantung pada berbagai faktor lain. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi tersebut harus meninggalkan kesan kuat. Karena itu sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman lebih mendalam dan lebih lama berbekas. Dalam hal ini ada kemungkinan responden memiliki pengalaman pribadi yang kuat dan akhirnya mempengaruhi sikapnya.
D. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Dalam penelitian ini akan disimpulkan hasil penelitian yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan usia menikah muda pada wanita dewasa muda di Kelurahan Mekarwangi Kota Bandung. Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Didapatkan bahwa responden yang menikah muda sebagian besar memiliki orang tua dengan tingkat pendidikan dasar dan hampir sebagian yang memiliki orang tua dengan tingkat pendidikan lanjut, sebagian besar memiliki orang tua yang menikah berusia kurang dari 21 tahun dan hampir sebagian yang memiliki orang tua yang menikah pada usia lebih atau sama dengan 21 tahun, sebagian besar yang memiliki pendidikan dengan kategori dasar dan hampir sebagian yang memiliki pendidikan dengan kategori lanjut, hampir sebagian yang memiliki pengetahuan dengan kategori kurang baik dan sebagian besar yang memiliki pendidikan dengan kategori baik, hampir sebagian yang mempunyai sikap unfavorabel dan sebagian besar bersifat favorabel. b. Ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan kejadian menikah muda pada wanita dewasa muda di kelurahan Mekarwangi Kota Bandung dengan derajat hubungan sedang dan resiko sebesar 7.667 kali lipat. c. Ada hubungan antara umur orang tua saat menikah dengan kejadian menikah muda pada wanita dewasa muda di kelurahan Mekarwangi Kota Bandung dengan derajat hubungan rendah dan resiko sebesar 3.286 kali lipat.
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
69
d. Ada hubungan antara pendidikan individu dengan kejadian menikah muda pada wanita dewasa muda di kelurahan Mekarwangi Kota Bandung dengan derajat hubungan rendah dan resiko sebesar 4.259 kali lipat. e. Tidak ada hubungan antara pengetahuan individu dengan kejadian menikah muda pada wanita dewasa muda di kelurahan Mekarwangi Kota Bandung. f. Tidak ada hubungan antara sikap individu dengan kejadian menikah muda pada wanita dewasa muda di kelurahan Mekarwangi Kota Bandung.
2. Saran Sebagai tindak lanjut hasil penelitian, penulis menganjurkan saran sebagai berikut : a. Bagi BKKBN Kota Bandung, agar senantiasa dapat meningkatkan program-program yang berkelanjutan mengenai angka kejadian menikah muda. b. Bagi Kantor Urusan Agama setempat, hendaknya memberikan sosialisasi mengenai batasan usia pernikahan yang sesuai dengan batasan usia menikah secara nasional yaitu 21 tahun. c. Bagi masyarakat setempat, hendaknya tidak menikahkan anaknya yang masih berusia dibawah batasan untuk menikah, yaitu 21 tahun. Apabila sudah terlajur menikah muda, hendaknya menunda kehamilan sampai usia 21 tahun atau lebih, atau dengan menjarangkan kehamilan minimal 4 – 5 tahun antara anak pertama dengan anak yang kedua, dan seterusnya. d. Mengingat bahwa penelitian ini hanya memberikan gambaran tentang faktor orang tua dan faktor individu saja, maka penelitian ini hendaknya dapat ditindaklanjuti dengan meneliti tentang faktor lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Agustiani, H. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Refika Aditama Al-Gifari, A. 2002. Pernikahan Dini dilema generasi ekstravaganza. Bandung : Mujahid Press . 2001. Hamil Diluar Nikah : Trend atau Aib?. Bandung : Mujahid Press . 2004. Bengkel Cinta 1. Bandung : Mujahid Press . 2005. Bengkel Cinta 2 : Problematika Remaja. Bandung : Mujahid Press Arikunto, S. 2002. Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bina Aksara Azwar, S. 2003. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
70
Aziz Alimul H, 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika BKKBN. 2008. Jabar Tertinggi Menikah Muda. http: //id.google.co.id/BKKBN /Pernikaha n Bapeda Jabar. 2008. 59,37% Perempuan Nikah Dini. http: //id.google.co.id/nikah dini/Bapeda Jabar /dokumen dan informasi Jawa Barat Duvall, E.M., & Miller, B.C. 1985. Merriage and Family Development, (9th Ed) New York. Harper & Row Publishers. Guyton, A.C & Hall, J.E. Teksbook of Medical Physiolog, (9th Ed). Jakarta : EGC. Hurlock, E.B 1980. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga Kantor Urusan Agama. 2008. Rekapitulasi Data Pernikahan. Bandung : Kantor Urusan Agama Kecamatan Bojongloa Kidul Kelurahan Mekarwangi. 2008. Data Statistik Daerah Kelurahan Mekarwangi. Bandung : Kelurahan Mekarwangi Kurniadi, M.R. 2005. Peran Pendidikan Dalam Kehidupan Keluarga Dan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Machfoedz Ircham. 2007. Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Fitramaya . 2007. Statistika Deskriptif (Bio Statistik). Yogyakarta : Fitramaya Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta . 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Penida, N. 2002. PPh Atas Impor Tidak Sesuai Dengan Definisi Penghasilan. http: //groups.yahoo.com/group/forum pajak pos Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman R.D. 1998. Human development (7th Ed). USA. Mc.Graw Hill Companies. Purwanto, H. 1998. Pengantar Perilaku untuk Keperawatan. Jakarta: EGC Sarwono, S.W. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto Walgito, B. 2000. Psikologi sosial suatu pengantar. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM Wikipedia. 2008. Pengertian Pernikahan. http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan Zaenuddin Yusuf, S. 2004. Generasi Bermasalah : Mengenal Jati Diri Remaja. Bandung : Mujahid Press Zahrah Abu. 2004. Pernikahan Dalam Bingkai Kacamata Agama Dan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia. Bandung : Mujahid Press
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
71