KEPUTUSAN MENIKAH DI USIA MUDA (Studi Terhadap Tiga Perempuan Keturunan Arab Golongan Non-Sayid) DEWI PARASMITHA Departmen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini melihat makna perkawinan dan alasan yang melatarbelakangi perempuan keturunan Arab golongan Non-Sayid memutuskan untuk menikah di usia muda dalam perspektif interaksionisme simbolik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan melakukan pengumpulan data melalui wawancara mendalam pada tiga perempuan keturunan Arab golongan Non-Sayid yang menikah di usia muda beserta ibu dari ketiga perempuan tersebut. Temuan penelitian ini adalah perkawinan dimaknai sebagai tiga hal yang berbeda, yaitu saluran reproduksi, kontrol sosial dan saluran afeksi. Keputusan menikah di usia muda pada perempuan Arab golongan Non-Sayid sangat kuat didasari oleh dorongan eksternal informan sebagai Me. Hal ini tidak lepas kaitannya dengan nilai perkawinan yang disosialisasikan dalam keluarga. Kata Kunci: Makna perkawinan, Keturunan Arab, Nilai-nilai keluarga.
Marriage Decision in A Young Age Abstract This research see the marriage and the reason underlying the Arab non-Sayid girls decide to get married in a young age in a symbolic interactionism perspective. The method using in this research is qualitative approach through in-depth interview toward three non-sayid Arab girls that got married in a young age and their mother. This research find that marriage is understood as three different things reproduction, social control, and affection channels. The marriage decision in a young age for non-sayid Arab girls strongly influence by external factor as a ME. This is caused by family value that been socialized in the family. Key words : Meaning, Line of descent father, The socialization of value, The family.
Pendahuluan Pada masa lalu, perempuan keturunan Arab menikah pada usia kurang dari 17 tahun (Susetyo, Darmabrata, & Sidjabat, 1999: 25). Perkawinan tersebut tergolong perkawinan usia muda, karena dilakukan pada rentang usia remaja, yaitu 15-19 tahun (Hidayana, 2004). Terjadinya perkawinan usia muda pada perempuan, berkaitan dengan peran orangtua (Profil Anak, 2013: 29) dalam mensosialisasikan nilai-nilai perkawinan yang berlaku di dalam keluarga. Nilai yang disosialisasikan tentunya didasarkan pada nilai dan keyakinan yang dipegang oleh keluarga tersebut, misalnya seperti etnis, ras dan agama yang berimplikasi terhadap tipe dan pola relasi yang berlangsung dalam keluarga. Pada akhirnya, tiap-tiap
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
keluarga memiliki sosialisasi yang berbeda terhadap nilai-nilai perkawinan, sehingga menghasilkan implementasi usia perkawinan yang berbeda di masing-masing keluarga, seperti misalnya pada keluarga keturunan Arab. Alasan perempuan keturunan Arab menikah muda dapat dilihat dari nilai-nilai yang dianutnya. Orangtua dalam keluarga keturunan Arab mensosialisasikan anak perempuan mereka untuk menikah dengan laki-laki yang senasab (satu keturunan) dengannya. Tujuannya adalah untuk mempertahankan garis keturunan ayah secara turun-temurun. Pada masyarakat keturunan Arab, garis keturunan ayah mencerminkan identitas sebagai keturunan Arab. Di samping itu, juga memperlihatkan posisi sosial dalam stratifikasi sosial masyarakat keturunan Arab, sehingga penting bagi keluarga Arab untuk menjaga garis keturunan itu tetap ada. Pada keluarga keturunan Arab, anak laki-laki merupakan aktor utama pembawa garis keturunan ayah, sedangkan anak perempuan tidak. Ia hanya berperan untuk mempertahankan garis keturunan ayah yang melekat padanya. Oleh karena itu, jika perempuan melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang tidak satu keturunan (senasab), maka garis keturunan ayah yang melekat padanya akan hilang. Artinya, hubungan kekerabatan yang dimiliki perempuan tersebut akan terputus dan statusnya sebagai orang Arab akan hilang. Akibatnya, ia tidak akan lagi mendapatkan pengakuan dari lingkungan keluarga dan komunitasnya sebagai bagian dari keturunan Arab (Fuad, 2005:43), sedangkan pada anak laki-laki meskipun menikah dengan perempuan keturunan lain tetap akan mendapatkan pengakuan sebagai keturunan Arab. Hal inilah yang membuat aturan menikah pada perempuan keturunan Arab cenderung lebih ketat. Untuk mencegah terjadinya perkawinan tidak senasab, seorang ayah dalam keluarga keturunan Arab seringkali menjodohkan anak perempuannya dengan keluarga yang masih memiliki silsilah keturunan yang sama (senasab) dengannya. Tidak jarang perjodohan dilakukan saat anak masih kecil, dan menikahkannya saat mencapai masa pubertas (Al Faruqi, 1991; dalam Susetyo, Darmabrata, & Sidjabat, 1999: 12). Akibatnya, perempuan Arab harus mengalami perkawinan di usia muda. Ini memperlihatkan bahwasannya seorang ayah dalam keluarga keturunan Arab memiliki peran dominan, dibandingkan peran dari anak perempuan itu sendiri dalam hal menentukan pasangan hidup anak perempuannya. Rizkiati (2012: 26-27) mengungkapkan bahwa orangtua berperan penting dalam melakukan perjodohan anak yang bertujuan untuk mempertahankan identitas sebagai keturunan Arab. Dalam penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa praktek perkawinan senasab dalam keluarga keturunan Arab memiliki implikasi terhadap terjadinya perkawinan usia muda pada perempuan Arab. Salah satunya adalah dengan melalui perjodohan. Keluarga menjadi aktor
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
penting dalam terjadinya perkawinan tersebut. Sampai saat ini, perkawinan usia muda perempuan Arab masih tetap berlangsung, tetapi tidak semua keluarga keturunan Arab masih melangsungkan praktek perkawinan tersebut. Hal ini menjadi menarik bagi penulis, karena meskipun berada dalam nilai yang sama, yaitu perkawinan senasab, namun tidak semua mengimplementasikan nilai tersebut menjadi sebuah praktek perkawinan usia muda. Keluarga keturunan Arab di Indonesia terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Sayid dan golongan Non-Sayid
1
(Mansur, 2001: 74). Tridewiyanti (2009: 274-278)
mengemukakan bahwasannya terdapat beberapa perempuan keturunan Arab dari keluarga golongan Sayyid di Jakarta yang menikah dengan laki-laki diluar keturunan Sayid. Menurutnya, keluarga menjadi aktor penting dalam terjadinya perkawinan tersebut. Ini memperlihatkan bahwa sebagian kecil keluarga keturunan Arab golongan Sayid sudah tidak lagi mengimplementasikan perkawinan senasab. Artinya, perkawinan yang dilakukan juga bukan merupakan perkawinan usia muda. Pendapat Tridewiyanti (2009: 274-278) ini didukung oleh pernyataan Shahab yang mengatakan bahwa saat ini, keluarga keturunan Arab golongan Sayid tidak lagi melangsungkan praktek perkawinan usia muda, sedangkan golongan Non-Sayid masih melakukannya (Hasil wawancara dengan Prof. Yasmine Zacky Shahab pada Rabu, 5 Juni 2014). Hal ini menjadi menarik bagi penulis, untuk mengetahui alasan yang melatarbelakangi perempuan keturunan Arab Non-Sayid di Jakarta masih melaksanakan praktek perkawinan usia muda. Oleh karena itu, penelitian akan difokuskan pada sosialisasi nilai perkawinan yang dilakukan oleh keluarga keturunan Arab dari golongan Non-Sayyid, sebagai aktor yang masih memberlakukan perkawinan usia muda pada perempuan. Perkawinan senasab pada keluarga keturunan Arab golongan Non-Sayyid ini jelas berbeda dengan perkawinan-perkawinan yang berlangsung di luar masyarakat Arab, dimana perkawinan dilakukan sebagai suatu strategi bertahan hidup dengan harapan status ekonomi dapat berubah, seperti yang terjadi pada perkawinan usia muda di Desa Mandalagiri (Puspitasari, 2006 dalam Risya, 2011: 61-62). Orangtua beranggapan bahwa dengan menikahkan anak mereka, maka beban ekonomi keluarga akan berkurang dan diharapkan anak dapat membantu kehidupan orangtuanya setelah ia menikah. Ini memperlihatkan bahwa
1
Golongan Non-Sayid mencakup tiga sub golongan didalamnya, yaitu golongan suku-suku, menengah dan budak.
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
perkawinan di tiap-tiap keluarga dimaknai berbeda-beda, tergantung pada konstruksi budaya yang berlangsung di dalamnya. Selama ini, sudah cukup banyak kajian yang membahas mengenai perkawinan Arab terkait dengan pelestarian nilai perkawinan senasab, tetapi belum terdapat kajian khusus yang menyoroti kacamata anak perempuan keturunan Arab dalam memutuskan perkawinan di usia muda. Oleh karena itu, studi ini berusaha untuk mengkaji keputusan perempuan Arab yang menikah di usia muda dengan mengetahui alasan dibalik keputusan menikah di usia muda perempuan Arab golongan menengah Non-Sayyid. Penulis memandang bahwa dasar alasan dari perempuan keturunan Arab memutuskan untuk menikah di usia muda tidak terlepas dari nilai perkawinan yang disosialisasikan oleh keluarga. Nilai perkawinan juga tidak sematamata didasarkan pada nilai perkawinan senasab. Mengingat nilai tersebut juga dimiliki oleh keluarga golongan Sayyid yang “sudah” tidak lagi melaksanakan perkawinan di usia muda. Oleh sebab itu, studi ini juga akan melihat sosialisasi nilai perkawinan yang didapatkan oleh perempuan keturunan Arab golongan Non-Sayyid dari keluarga mereka. Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam. Sebelum melakukan wawancara mendalam, peneliti memilih informan terlebih dulu berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, yaitu perempuan keturunan Arab golongan Non-Sayyid yang menikah di usia muda, yakni 16-19 tahun, menikah pada masa sekolah jenjang pendidikan menengah (SMA) - perguruan tinggi (PT), waktu menikah terjadi pada rentang tahun 2004-2014, serta orang tua kandung dari informan, baik ayah maupun ibu. Berdasarkan kriteria tersebut, maka didapatkan profil informan sebagai berikut: Tabel 1. Profil Informan dan Ibu Informan Penelitian Cakupan Informasi Tempat, Tanggal Lahir Informan Usia Menikah Informan Latar Belakang Pendidikan Informan Usia Menikah Ibu Informan Latar Belakang Pendidikan Ibu Informan
RH Jakarta, 12 Juni 1992
NL Jakarta, 4 November 1888 19 Tahun Tidak Tamat SMA
17 Tahun
SF Jakarta, 5 September 1992 19 Tahun Tidak Tamat Perguruan Tinggi 25 Tahun
Tidak Tamat SMA
Tamat SMA
Tidak Tamat SMP
19 Tahun Tidak Tamat SMA
14 Tahun
Sumber: Olahan Peneliti
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada awalnya peneliti menetapkan akan mewawancarai ayah dan ibu informan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
mendalam mengenai sosialisasi nilai perkawinan dalam keluarga. Namun, pada kenyataannya peneliti hanya dapat mewawancarai ibu saja. Hal ini disebabkan oleh adanya nilai-nilai Islam yang diyakini oleh keluarga informan, dimana ada batasan interaksi laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Oleh karena itu, informasi mengenai sosialisasi nilai keluarga dalam penelitian ini menjadi terbatas hanya pada kacamata ibu saja. Tinjauan Teoritis Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa studi yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai perkawinan di usia muda yang menjadi dasar pemikiran dari penelitian ini. Disamping itu, akan dijelaskan pula konsep Self dan Mind dari Mead yang menjadi pisau analisis dalam membahas keputusan menikah di usia muda pada perempuan keturunan Arab golongan Non-Sayid. Menikah di Usia Muda dalam Kacamata Kultural Penelitian mengenai perkawinan di usia muda banyak dilihat dari kacamata kultural. Perempuan menikah di usia 15-24 tahun, ketika sudah mengalami menstruasi2 (Poppel, Monden & Mandemakers, 2008 dan Nasrullah, Muazzam, Bhutta & Raj, 2013). Disini, menstruasi menjadi simbol kesiapan seorang perempuan untuk dinikahkan. Dalam penelitian tersebut juga disebutkan bahwa agama berpengaruh terhadap keputusan menikah dan memiliki anak, dimana perempuan Islam cenderung menikah lebih awal dibandingkan dengan perempuan Katolik dan Protestan (Poppel, Monden & Mandemakers, 2008 dan Nasrullah, Muazzam, Bhutta & Raj, 2013). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rizkiati (2012: 15-16) perkawinan endogami masih dapat ditemui pada masyarakat kampung Arab Al-Munawar, Kota Palembang. Tradisi tersebut masih dipertahankan, karena kuatnya keinginan mereka untuk mempertahankan identitasnya sebagai masyarakat keturunan Arab dengan membuat batasan-batasan dalam pemilihan pasangan perkawinan yang bertujuan untuk menjaga kemurnian keturunan darah, kepercayaan dan keamanan harta tetrap terjaga. Rizkiati (2012: 20-21) juga menyebutkan
2
Craven & Hirnle (2000, dalam Arfina, 2008: 11-12) mengemukakan bahwa menstruasi merupakan suatu siklus, pengeluaran darah secara periodik dari uterus melalui vagina selama usia reproduksi perempuan. Dalam hal ini, menstruasi dianggap sebagai tanda kesuburan reproduksi perempuan.
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
bahwa orangtua berperan penting dalam proses pemilihan jodoh, yakni dengan melakukan sistem perjodohan. Sistem kekerabatan yang dimiliki masyarakat Arab sangat kuat hingga akhirnya dalam perkawinan perjodohan mereka mengutamakan kelompoknya sendiri. Sementara itu, Subchi, (1998: 122-123) menyebutkan bahwa stratifikasi yang terdapat dalam masyarakat Arab menimbulkan tingkatan berbeda dan merasa lebih tinggi. Sikap perempuan Arab yang menerima budaya perjodohan adalah bentuk pengakuan diri bahwa ia merupakan anggota dari kelompok etnisnya yang memiliki kedudukan terpandang (Sayid) dan perlakuan khusus (previlege) tertentu. Secara keseluruhan, studi-studi tersebut memberikan gambaran kepada peneliti bahwa terjadinya perkawinan usia muda tidak lepas dari nilai-nilai kultural yang melekat pada diri individu. Studi tersebut melihat orangtua sebagai pemegang keputusan penting dalam terjadinya perkawinan usia muda. Hal inilah yang menurut peneliti menjadi kekurangan dari studi-studi sebelumnya, yang tidak melihat keputusan menikah muda dalam kacamata anak. Oleh karena itu, dalam studi ini peneliti akan melihat keputusan menikah di usia muda pada anak perempuan keturunan Arab. Melalui perspektif interaksionisme simbolik, studi ini akan melihat makna perkawinan anak perempuan keturunan Arab yang menikah di usia muda serta menjelaskan alasan dibalik keputusan perempuan keturunan Arab menikah di usia muda. Menikah Muda Sebagai Strategi Mempertahankan Kekayaan Ekonomi Perkawinan di usia muda seringkali dilakukan karena adanya persoalan ekonomi yang mendasari. Persoalan tersebut menjadi akar penyebab terjadinya kemiskinan, pendidikan rendah dan lain sebagainya. Risya (2011: 110-111) menyatakan bahwa perkawinan usia dini yang terjadi di wilayah pedesaan Indonesia dilatarbelakangi oleh keluarga miskin, rendahnya tingkat pendidikan, dan tidak memiliki mata pencaharian. Karena miskin, orangtua tidak mampu memfasilitasi kebutuhan hidup anak, salah satunya pendidikan sehingga mereka akhirnya memutuskan untuk menikahkan anak mereka guna mengurangi beban ekonomi. Selain itu, anak dianggap memiliki nilai ekonomis, yaitu dapat membantu meningkatkan kesejahteraan hidup orangtua di masa depan, salah satunya dengan menikah. Sementara itu, di pedesaan Pakistan (Nasrullah, Muazzam, Bhutta & Raj, 2013) perkawinan usia muda yang dilakukan para orangtua terhadap anak mereka bertujuan untuk mendapatkan uang ataupun sebagai ganti membayar hutang dan menyelesaikan sengketa, sehingga tidak jarang orangtua menjual anak perempuan mereka kepada laki-laki yang
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
usianya lebih tua dari usia anak mereka guna mewujudkan tujuan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan di usia muda tak jarang dilakukan untuk mengatasi persoalan ekonomi yang dialami oleh keluarga. Hal ini berbeda dengan perkawinan muda yang dilakukan di kalangan masyarakat Arab. Menurut saya, perkawinan yang mereka lakukan bukanlah sebagai upaya untuk mengatasi persoalan ekonomi yang mereka hadapi, tetapi lebih kepada strategi untuk mempertahankan kekayaan ekonomi mereka. Hal ini dapat dilihat dari aturan yang diterapkan pada anak perempuan dimana mereka diharuskan menikah dengan laki-laki yang senasab dengannya. Fuad (2005: 28-33) mendefinisikan senasab sebagai satu keturunan dan sekaligus merupakan salah satu unsur penting yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Arab sebab berfungsi untuk mencerminkan kelas sosial seseorang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perempuan Arab diharuskan menikah dengan laki-laki yang memiliki keturunan yang sama dengannya agar status sosialnya dapat tetap terjaga. Perempuan dalam Keluarga Keturunan Arab Pada ranah perkawinan, perempuan keturunan Arab memiliki keterbatasan dalam menentukan pasangan hidupnya. Fuad (2005: 50) menyatakan bahwa seorang perempuan Arab tidak dapat memilih sendiri pasangan hidupnya. Hal ini terkait dengan pola patrilineal yang berlaku di keluarga Arab, sehingga laki-laki menempati peran sebagai pembawa garis keturunan, sedangkan perempuan hanya memegang peranan untuk mempertahankan garis keturunan ayah yang didapatkannya. Pola keturunan patrilineal ini, memiliki implikasi terhadap aturan pemilihan pasangan hidup anak perempuan dalam keluarga Arab. Pemilihan pasangan hidup bagi anak perempuan Arab bukan lagi atas dasar cinta romantis, tetapi ditetapkan melalui perjodohan. Dalam memilih pasangan, perempuan keturunan Arab diharuskan mengutamakan lakilaki yang senasab (satu keturunan) dengannya (Fuad, 2005: 45). Ini dimaksudkan untuk mempertahankan garis keturunan dari pihak ayahnya yang dilakukan secara turun-temurun. Oleh karena itu, perkawinan anak perempuan keluarga Arab merupakan bentuk perkawinan endogami dimana mencerminkan perkawinan antara etnis, klan, suku, atau kekerabatan dalam lingkungan yang sama. Bentuk perkawinan endogami dalam keluarga Arab tersebut berimplikasi pada keputusan menikah muda dan perjodohan pada anak perempuan Arab.
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
Perempuan Arab tidak dapat menentukan calon pasangan suaminya dimana keputusan menikah dan penentuan jodoh ditentukan oleh keluarga. Stratifikasi Sosial Masyarakat Keturunan Arab Stratifikasi sosial masyarakat keturunan Arab di Indonesia didasarkan pada stratifikasi sosial yang terdapat pada masyarakat keturunan Arab di Hadramaut3. Berg (1989: 23) mengemukakan empat golongan yang terdapat dalam masyarakat keturunan Arab Hadramaut, yaitu golongan Sayyid, suku-suku, golongan menengah dan golongan budak. Golongan Sayyid merupakan bangsawan dalam masyarakat keturunan Arab. Ini dikarenakan adanya anggapan bahwa golongan tersebut adalah keturunan terdekat dengan Nabi Muhammad S.A.W (Hasil wawancara dengan Prof.Yasmine Zacky Shahab pada Rabu, 5 Juni 2014). Terlihat bahwasanya “status” sebagai keturunan Nabi Muhammad S.A.W memiliki prestise dalam masyarakat keturunan Arab. Oleh karenanya, semakin dekat jarak keturunan sebuah golongan dengan Nabi Muhammad S.A.W, maka semakin tinggi posisi sosial yang ditempatinya. Pada umumnya, golongan Sayyid berperan dalam bidang agama dan pendidikan (Mansur, 2001: 72-77 & Hasil wawancara dengan Prof.Yasmine Zacky Shahab pada Rabu, 5 Juni 2014), seperti misalnya ulama, dan pengajar. Selanjutnya, golongan kedua adalah suku-suku (Qabail), yaitu himpunan beberapa keluarga yang membentuk suatu kelompok (suku). Pada umumnya, golongan ini merupakan tentara. Lebih lanjut Fuad (2005: 37) menjelaskan bahwasanya golongan Qabail adalah pemegang senjata yang melindungi suku-suku lain yang bermukim di wilayahnya. Golongan ketiga adalah golongan menengah yang terdiri atas pedagang, pengrajin, petani dan pembantu. Pedagang, pengrajin dan petani merupakan pekerjaan yang telah ada sejak zaman kerajaan Hadramaut4. Ketiga jenis pekerjaan tersebut terus-menerus diturunkan oleh ayah kepada anak laki-lakinya, sehingga masih tetap ada sampai saat ini. Berbeda dengan pekerjaan sebagai pembantu, yang sudah jarang ditemui. Hal ini dikarenakan dalam keluarga Arab, pekerjaan rumah tangga hanya dilakukan oleh istri dan anak perempuan, sekalipun diperlukan bantuan, maka yang akan dimintai ialah anggota keluarga, sahabat dan tetangga
3
Hadramaut adalah salah satu kota di Yaman, yang merupakan tempat leluhur masyarakat keturunan Arab di Indonesia berasal. 4 Hadramaut adalah nama salah satu kota di Yaman yang merupakan tempat asal nenek moyang masyarakat keturunan Arab di Indonesia (Mansur, 2001: 72-77).
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
saja (Berg, 1989). Untuk itu, jenis pekerjaan ini nampaknya sudah tidak relevan dalam kondisi saat ini. Terakhir adalah golongan budak. Pada umumnya, budak dalam masyarakat keturunan Arab berasal dari Somalia dan Nubia. Hal ini yang menjadi pembeda antara budak dengan pembantu. Selain itu, budak juga tidak memiliki nama keluarga seperti pada pembantu dan golongan lain, melainkan hanya nama panggilan, seperti al-qasir, yang berarti si kecil, at-tawil yang berarti si panjang dan lain sebagainya. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa stratifikasi sosial dalam masyarakat keturunan Arab tidak didasarkan pada faktor ekonomi, melainkan dari faktor prestise jenis pekerjaan. Pekerjaan dibidang agama dan pengajaran, memiliki prestise yang lebih tinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat keturunan Arab. Lebih jauh lagi, Susetyo, Darmabrata, & Sidjabat (1999: 17-18) menyatakan bahwa stratifikasi sosial masyarakat keturunan Arab didasarkan pada genealogis keturunan nabi, dimana golongan Sayid mengidentifikasikan diri sebagai golongan murni keturunan nabi Muhammad S.A.W dan golongan selain Sayid, diidentifikasi sebagai bukan keturunan nabi. Hal ini memperlihatkan bahwasanya dasar stratifikasi sosial dalam masyarakat keturunan Arab cenderung kompleks. Pada konteks Indonesia, stratifikasi sosial lebih dikenal atas dua golongan besar saja, yaitu golongan Sayid dan golongan Non-Sayid (Mansur, 2001: 74). Golongan suku-suku, menengah dan budak, termasuk ke dalam golongan Non-Sayid.
Self dan Mind Klein & White (1996: 94-95) menyatakan bahwa self dan Mind adalah konsep pokok perspektif interaksionis simbolik. Self merupakan representasi tindakan seseorang dalam menjalani dua peran bersamaan, yaitu I dan Me. Mead (Henslin, 2006: 68-70) menjelaskan bahwa I menempatkan individu sebagai subyek, dimana individu bertindak dan berperan sesuai dengan keinginan dirinya. Misalnya, dalam penelitian ini individu sebagai I memiliki keinginan untuk menyelesaikan pendidikannya dan tidak berkeinginan untuk membangun perkawinan. Selain itu, dapat juga individu sebagai I berkeinginan untuk memiliki calon suami, karena ketertarikannya pada orang tersebut. Keinginan-keinginan seperti itu muncul secara alami dari dalam diri individu, tanpa adanya tekanan dari orang-orang disekelilingnya.
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
Sebaliknya, konsep Me menempatkan individu sebagai objek, dimana individu dalam bertindak dan berperan terbatas sesuai dengan keinginan dan harapan dari orang-orang yang berada disekelilingnya. Sebagai contoh misalnya, individu sebagai Me menginginkan membahagiakan kedua orangtuanya dengan cara menuruti keinginan orangtua untuk menikah. Hal ini dilatarbelakangi oleh keberadaan aktor-aktor disekeliling individu yang berharap agar individu menikah patuh kepada orangtua. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa konsep I menempatkan individu sebagai aktor yang bebas, sedangkan konsep Me menempatkan individu sebagai aktor yang pasif. Sementara itu, Mind didefinisikan sebagai suatu kemampuan individu dalam menggunakan simbol yang memiliki makna. Untuk itu, individu dalam menjalankan peran sebagai I dan Me didasarkan pada mind yang dimilikinya. Oleh karena itu, Mind harus terus dikembangkan melalui interaksi dengan orang lain. Dalam penelitian ini, konsep I dan Me digunakan untuk melihat keputusan menikah di usia muda pada perempuan keturunan Arab sebagai suatu tindakan yang dilakukan atas dasar keinginan yang dimiliki oleh dirinya sendiri, dan dari keinginan keluarganya, atau mungkin atas dasar keinginan yang muncul diantara keduanya, yaitu diri sendiri dan keluarga sebagai bagian yang saling berkaitan. Perkawinan Usia Muda Pada Perempuan Keturunan Arab Golongan Non-Sayid Penjelasan mengenai perkawinan usia muda pada perempuan keturunan Arab golongan Non-Sayid akan dibagi ke dalam tiga sub-bab, yaitu makna perkawinan usia muda bagi perempuan keturunan Arab golongan Non-Sayid, alasan yang mendasari perempuan keturunan Arab Golongan Non-Sayid memutuskan untuk menikah di usia muda dan Sosialisasi nilai perkawinan dalam keluarga keturunan Arab golongan Non-Sayid. Makna Perkawinan Usia Muda Studi ini akan menjelaskan makna perkawinan menurut pandangan istri dalam sebuah perkawinan usia muda di keluarga Arab. Menurut Blumer (Poloma, 2010: 258-262), makna adalah dasar dari individu untuk melakukan suatu tindakan. Pada informan RH, perkawinan dimaknai sebagai tempat untuk menghasilkan keturunan dalam keluarga. Perkawinan dalam hal ini memiliki makna sebagai saluran reproduksi. Hal ini terkait dengan peran anak di dalam keluarga Arab, dimana anak adalah penerus garis keturunan. Tujuannya adalah supaya garis keturunan ayah tetap dapat berlangsung dalam keluarga, maka dibutuhkan adanya anak.
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
Sementara itu, menurut informan SF, perkawinan ditujukan untuk menghindari perbuatan zinah. Perkawinan dalam hal ini dimaknai sebagai alat kontrol sosial. Dalam keluargaketurunan Arab, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang “legal” dan diakui, hanya ada pada hubungan suami-istri dalam keluarga. Sehingga, apabila diluar ketentuan tersebut terjalin hubungan antara keduanya, maka hubungan tersebut dianggap sebagai suatu zinah. Salah satu contohnya adalah hubungan pacaran. Di samping itu, informan RH juga menambahkan bahwa dengan adanya seorang suami, ia merasa lebih terlindungi. Hal ini mengisyaratkan bahwa makna perkawinan sebagai alat kontrol sosial memiliki banyak peran dalam kehidupan perkawinan. Selanjutnya, menurut informan NL perkawinan adalah tempatnya dalam mendapatkan kasih sayang dari suami dan anak-anaknya serta sebaliknya, ia juga mencurahkan hal yang sama untuk suami dan anak mereka. Tidak hanya itu, perkawinan juga menjadi tempat informan NL bertukar pikiran dengan suaminya. Perkawinan dalam hal ini dimaknai sebagai saluran kasih sayang. Dari penjelasan keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa makna perkawinan informan meliputi tiga hal tiga, yakni sebagai saluran reproduksi, kontrol sosial dan saluran kasih sayang. Dibalik Keputusan Menikah di Usia Muda
Pada keluarga keturunan Arab, orangtua berperan penting dalam terjadinya perkawinan usia muda anak perempuan. Susetyo, Darmabrata, & Sidjabat (1999: 25) menyatakan bahwa seringkali orangtua melakukan perjodohan anak perempuannya yang masih kecil dan menikahkannya saat mencapai masa pubertas. Artinya, keputusan menikah muda dalam keluarga keturunan Arab tidak didasarkan pada keinginan pribadi aktor yang bersangkutan saja, tetapi juga terdapat keinginan dari orang-orang yang berada disekeliling aktor tersebut. Oleh karena itu, studi
ini akan menjelaskan alasan yang mendorong
perempuan keturunan Arab membuat keputusan untuk menikah di usia muda, yang terdiri atas dorongan internal (I) dan dorongan eksternal (Me). Berikut ilustrasi gambarnya: Gambar 1. Dorongan yang Melatarbelakangi Keputusan Informan Menikah di Usia Muda
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
Sumber: Olahan Peneliti
Dorongan internal atau I merupakan keinginan individu untuk melangsungkan perkawinan di usia muda. Keinginan informan RH dalam melakukan perkawinan usia muda adalah untuk mendapatkan kebebasan dari aturan keluarga yang ditetapkan oleh sang ayah. Informan RH tidak diizinkan menjalin hubungan pertemanan dengan lawan jenis dan bermain di luar rumah. Disamping itu, ia juga tidak diperbolehkan untuk menyelesaikan pendidikan SMA-nya, karena ayah RH tidak suka dengan lingkungan pergaulan sekolah RH. Atas pengalaman-pengalamannya itu, muncul keinginan pada diri RH untuk dapat segera menikah, seperti pernyataannya berikut: “pengen cepet-cepet di jodohin deh, pengen cepet-cepet di kawinin aje...” Berbeda dengan informan RH yang ingin segera menikah, informan SF dan NL justru tidak memiliki keinginan untuk menikah di usia muda. Hal ini dikarenakan kedua informan masih ingin menyelesaikan pendidikannya, SF ingin menyelesaikan kuliah dan NL ingin mengikuti ujian kelulusan SMA, seperti pernyataan yang dikemukakan oleh SF berikut ini: “satu doang alesannya pengen kuliah aja, gak mau... nikah dulu gitu kan”. Akan tetapi, pada informan SF, ia juga memiliki ketertarikan pada calon suami ketika awal bertemu. Informan SF mengatakan bahwa dirinya sudah merasa cocok dengan calon suami sejak awal mereka bertemu. Oleh karena itu, keinginan awal informan SF untuk tidak menikah di usia muda perlahan hilang, tergantikan dengan ketertarikannya pada calon suami. Kemudian, terdapat pula dorongan eksternal atau Me, yaitu keinginan informan menikah di usia muda didasarkan atas keinginan dan harapan dari orang-orang yang berada disekelilingnya. Pada ketiga informan penelitian, dorongan eksternal yang terdapat pada ketiganya cenderung sama, yaitu tuntutan orangtua, tuntutan anggota keluarga luas yang meliputi nenek, tante dan sepupu perempuan dari pihak ayah, menjalankan nilai Islam dan menjalankan nilai perkawinan senasab. Tuntutan dari orangtua menjadi hal utama yang melandasi keputusan menikah di usia muda pada ketiga informan. Informan NL melihat tuntutan orangtua sebagai suatu kewajiban yang tak terbantahkan. Hal ini terkait dengan pola patriarki yang berlangsung di dalam keluarganya, dimana ayah menjadi aktor utama dalam menentukan keputusan dalam keluarga. Oleh karena itu, ketika ayahnya menyuruh menikah, maka NL harus menurutinya. Berikut pernyataan NL: “yaudah jalan... jalanin lurus aje. mau nolak juga gak bisa”.
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
Sementara itu, Informan RH memaknai tuntutan orangtuanya sebagai suatu bentuk kepatuhan seorang anak kepada orangtua. Hal ini tercermin dari pernyataan RH berikut ini: “nikah tuh kite nurut ama orang tua, istilahnye kan kite gak bisa ngasih ape-ape. nurutin kemauan die aje die juge udah seneng yekan... apelagi die seneng karna kite nurutin pilihan die...”. Hal ini cenderung berbeda dengan informan SF. Tuntutan orangtua diartikannya sebagai saran dari kedua orangtuanya untuk mempertimbangkan dengan matang lamaran calon suaminya. Lebih jauh lagi, informan RH dan SF tidak hanya mendapatkan tuntutan dari kedua orangtuanya, melainkan juga dari anggota keluarga luasnya yang meliputi nenek, tante dan sepupu-sepupu perempuannya. Tuntutan tante dari informan SF cenderung sama dengan tuntutan sepupu-sepupu perempuan pada informan RH, yaitu menyuruh kedua informan untuk tidak menolak lamaran calon suaminya. Menurut informan SF, tantenya mengatakan bahwa perkawinan tidak akan menutup jalan SF untuk menyelesaikan pendidikannya. Kuliah SF masih dapat terus berjalan, walaupun ia telah menikah. Berikut kutipan pernyataan SF: “ila, gak boleh kaya gitu. kuliah lanjut bisa sambil nikah, emang kenapa?ya, pending dulu punya anaknya kaya gitu ngomongnya.”. Selanjutnya, dorongan eksternal kedua yang sama-sama dimiliki oleh ketiga informan adalah nilai Islam. Kentalnya nilai Islam di keluarga Arab memandang bahwa anak perempuan lebih baik segera dinikahkan apabila sudah menginjak masa aqil baliqh5. Pada masyarakat Arab, hal tersebut bertujuan untuk menghindari perbuatan zinah antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, informan RH, informan SF, dan informan NL menikah pada usia yang cukup muda. Dorongan eksternal ketiga adalah keinginan untuk menjalankan nilai perkawinan senasab, yaitu perkawinan satu keturunan. Dalam perkawinan ini, seorang anak perempuan keturunan Arab diharuskan menikah dengan laki-laki Arab yang memiliki keturunan yang sama dengannya. Tujuannya adalah untuk mempertahankan garis keturunan dari pihak ayah. Garis keturunan dalam keluarga Arab mencerminkan identitas sebagai keturunan Arab dan posisi sosial dalam stratifikasi sosial masyarakat keturunan Arab. Oleh karena itu, penting dalam keluarga Arab untuk mempertahankan keberlangsungan garis keturunan ayah. 5
Masa aqil baliqh pada seorang perempuan ditandai dengan menstruasi. Lumsden & Hickey (2000, dalam Arfina, 2008: 1) menyatakan bahwa menstruasi pertama pada remaja terjadi pada usia 10-16 tahun.
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
Untuk itu, dalam urusan pemilihan pasangan bagi anak perempuan Arab, keluarga akan memprioritaskan calon pasangannya yang berasal dari anak laki-laki saudara pihak ayah6. Anak perempuan Arab menikah dengan anak laki-laki dari saudara pihak ayah terjadi di dalam keluarga informan RH dan NL. Kedua informan tidak diperkenankan untuk menolak lamaran laki-laki yang dipilihkan oleh keluarganya. Bahkan, penentuan jodoh pada informan NL diatur dan ditetapkan secara perhitungan garis keturunan keluarga. Artinya, anak perempuan Arab tidak diperbolehkan menikah dengan sembarangan anak laki-laki dari saudara ayah. Hal ini memperlihatkan betapa kakunya penentuan jodoh dalam keluarga NL. Terdapat temuan yang berbeda dari informan SF, walaupun berasal dari keluarga Arab. Praktek perkawinan endogami di keluarga SF hanya menekankan pada suku atau etnis yang sama saja. Ada kebebasan bagi informan SF untuk menikah dengan laki-laki yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan maupun satu keturunan dengannya. Walaupun sejak kecil, informan disosialisasi nilai untuk menjaga garis keturunan ayah. Secara keseluruhan, dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan usia muda pada perempuan keturunan Arab golongan Non-Sayid didasari oleh dorongan internal (I) dan dorongan eksternal (Me). Adapun hal tersebut dijelaskan pada tabel dibawah ini: Tabel 2. Keputusan Menikah Muda Pada Perempuan Keturunan Arab Golongan Non-Sayid Dorongan Internal (I) Eksternal (Me) -
Informan RH Nilai kebebasan : ingin terbebas dari ketatnya aturan ayah. Tuntutan orangtua (ayah dan ibu) Tuntutan anggota keluarga luas (nenek dan sepupu perempuan dari pihak ayah) Menjalankan nilai perkawinan senasab Menjalankan nilai Islam
Informan SF - Tertarik dengan calon suami.
- Tuntutan orangtua (ayah dan ibu) - Tuntutan anggota keluarga luas (tante) - Menjalankan Nilai Islam.
-
-
Informan NL Tidak ingin menikah muda
Menuruti keinginan orangtua Menjalankan nilai perkawinan senasab Menjalankan nilai Islam
Sumber: Olahan Peneliti
Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwasannnya keputusan menikah di usia muda pada perempuan Arab sangat kuat didasari oleh dorongan eksternal informan sebagai 6
Dalam penelitian ini, anak laki-laki dari saudara pihak ayah adalah sepupu laki-laki dari keluarga luas yang masih lajang.
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
Me. Keputusan menikah anak perempuan Arab lebih didominasi pada keputusan keluarga luas (orangtua, sepupu perempuan, tante, nenek-kakek, dll). Hal tersebut tercermin pada proses perkawinan dalam keluarga informan RH, informan SF, dan informan NL. Pada keluarga informan RH dan NL, penentuan pasangan ditetapkan oleh ayah dimana keputusan perkawinan tersebut adalah suatu kewajiban yang harus dipatuhi oleh anggota keluarganya. Hal ini dicerminkan dari pernyataan ibu informan RH yang mengatakan bahwa hal apapun yang menjadi ketentuan suami, harus dilakukan tanpa adanya penolakan. Aturan ini berlaku juga dalam ranah perkawinan informan RH dan NL. Kedua informan tidak diperkenankan untuk menolak lamaran laki-laki yang dipilihkan oleh keluarganya. Tidak ada kompromi atau negosiasi antara anak perempuan dengan keluarga dalam menentukan pasangan hidup mereka. Ini menandakan bahwa keputusan menikah pada informan RH dan informan NL merupakan keputusan keluarga semata. Berbeda halnya dengan informan SF yang mana dorongan eksternal (Me) dari keluarga tidak begitu mendominasi dalam hal membuat keputusan dalam perkawinan anak perempuannya. Ini mengartikan bahwasannya keputusan perkawinan pada informan SF tidak semata-mata hanya ditentukan oleh keluarga, tetapi juga ditentukan oleh keputusan internalnya (I). Dalam mengambil keputusan perkawinan pada keluarga SF didasari dengan kompromi dan kesepakatan diantara anggota keluarga luas. Ada kesempatan bagi informan SF untuk mengeluarkan pendapat dalam menilai baik-buruknya lamaran dari calon suaminnya. Apabila informan SF menolak lamaran tersebut, maka pihak ayah perempuan juga menolak lamaran dari calon suami dan tidak akan memaksa SF untuk tetap menerima lamaran itu. Di samping itu, terlihat pula adanya posisi tawar bagi informan SF untuk menolak lakilaki pilihan keluarganya. Nilai Perkawinan Muda dalam Keluarga Keturunan Arab Golongan Non-Sayid Henslin (2007: 116) mengemukakan bahwa tugas utama dari keluarga adalah mengatur reproduksi, mensosialisasi dan melindungi anak. Pada sub-bab ini, pokok pembahasan akan difokuskan pada tugas utama keluarga sebagai pelaksana sosialisasi. Hal ini ditujukan guna memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai perkawinan yang disosialisasikan oleh keluarga kepada informan. Penulis melihat bahwasanya sosialiasi perkawinan senasab ini tidak terlepas dari latar belakang golongan yang dimiliki oleh keluarga. Dalam keluarga keturunan Arab, latar belakang golongan mencerminkan posisi sosial keluarga. Merujuk pada klasifikasi Berg
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
(1989: 23-32) dalam bab 2, ketiga informan penelitian termasuk dalam golongan menengah. Hal ini dilihat dari jenis pekerjaan yang dimiliki oleh ayah ketiga informan, yaitu pedagang bahan-bahan bangunan (matrial), dan pedagang rumah. Berikut tabel pekerjaan ketiga ayah informan: Tabel 3. Pekerjaan Ayah Informan Cakupan Data Pekerjaan Orangtua
Informan RH Pedagang Rumah
Informan SF Pedagang Bahan Bangunan (Matrial)
Informan NL Pedagang Rumah Sumber: Olahan Peneliti
Menempati golongan menengah dalam masyarakat keturunan Arab, ketiga informan disosialisasikan untuk menikah dengan laki-laki yang juga berasal dari golongan yang sama. Artinya, tidak ada perkawinan ketiganya dengan laki-laki dari golongan lainnya, termasuk pada golongan Sayid. Hal ini diperlihatkan dari pernyataan ibu informan NL yang mengatakan bahwa orang golongan tersebut memiliki prinsip untuk tidak menikahi perempuan dari golongannya (menengah). Alasannya adalah karena antara keduanya memiliki implementasi ajaran agama Islam yang berbeda, dimana orang golongan Sayid menganggap bahwa ajaran agama Islam yang benar hanya diimplementasikan oleh golongannya. Berikut kutipan pernyataan ibu NL: “soalnya kan prinsipnya ba’alawy gak mau kawin sama orang Arab kite... pokoknya beda aliran deh, di anggepnya kite yang salah die yang bener.” Fuad (2005: 44) menyatakan bahwa perkawinan antar dua golongan berbeda dapat menyebabkan hilangnya garis keturunan ayah yang melekat pada anak perempuan keturunan Arab. Akibatnya, identitas anak perempuan sebagai keturunan Arab akan hilang dan tidak akan lagi mendapatkan pengakuan dari keluarga dan komunitasnya. Sementara itu, secara sosial larangan perkawinan antara golongan informan dengan golongan Sayyid adalah dikarenakan diantara keduanya menempati kelas yang berbeda dalam masyarakat keturunan Arab. Secara sosiologis, kelas atas akan menutup rapat celah kelas menengah untuk melakukan mobilitas ke atas dengan tidak menikahi perempuan dari golongan informan. Selanjutnya, nilai kedua yang ditanamkan oleh keluarga ketiga informan adalah nilai Islam mengenai pandangan perkawinan. Pada nilai ini, keluarga mensosialisasikan bahwasannya perkawinan di usia muda dilakukan berdasarkan ketentuan Al-Qur’an dan Hadist. Ketentuan Al-Qur’an yang dirujuk oleh ketiga informan adalah surat An-nur, yaitu:
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang diantara kamu, dan juga orangorang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) dan Maha Mengetahui.” (Surat An-Nur, ayat 32.) “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk perempuanperempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga). (Surat An-Nur, ayat 26.)
Sementara itu, hadist yang dirujuk adalah sebagai berikut: Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar. (Ibu informan RH, 3 April 2014)
Secara singkat, ketentuan Al-Qur’an dalam surat An-Nur menjelaskan bahwasannya orangtua memiliki kewajiban untuk menikahkan anak perempuan dan laki-lakinya yang belum menikah. Kemudian, dijelaskan juga bahwa Allah telah menetapkan pasangan yang sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh hambanya, dimana jika perempuan itu baik, maka ia akan mendapatkan laki-laki yang baik pula sebagai pasangan hidupnya. Hal inilah yang dipegang kuat oleh ketiga informan dalam mempertimbangkan lamaran suami mereka. Selain itu, hadits yang dijadikan rujukan menjelaskan bahwasannya apabila terdapat seorang laki-laki yang berakhlak dan beragama baik datang melamar anak perempuan, maka orangtua tidak diperkenankan untuk menolak. Ibu informan RH mengatakan bahwa jika melakukan sebuah penolakan berarti bertindak menyakiti hati laki-laki berakhlak dan beragama baik. Perbuatan tersebut dianggap tidak disukai oleh Allah, sehingga akan menimbulkan konsekuensi, misalnya seperti anak perempuan mendapatkan laki-laki yang tidak baik akhlak dan agamanya sebagai suami, ataupun anak perempuan dihamili orang. Inilah yang dimaksud sebagai fitnah dan bencana dari tindakan menolak lamaran laki-laki baik. Dari penjelasan diatas, terlihat bahwa nilai Islam yang didasarkan pada ketentuan AlQur’an dan Hadits menjadi pedoman ketiga informan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Untuk itu, dapat dikatakan bahwasannya perkawinan usia muda yang dilakukan ketiganya, merupakan salah satu bentuk implementasi dalam menjalankan perintah agama Islam.
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
Secara keseluruhan, dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sosialisasi nilai perkawinan dalam keluarga Arab golongan menengah mencakup nilai perkawinan endogami dan nilai Islam. Kedua nilai tersebut terinternalisasi ke dalam diri ketiga informan penelitian sehingga mendorong ketiganya untuk menikah di usia muda. Nilai perkawinan ini, berlangsung dari generasi ke generasi. Mengingat, pada generasi ibu informan juga mengalami perkawinan di usia muda. Tetapi, yang perlu menjadi catatan disini adalah cara mensosialisasikan nilai tersebut cenderung berbeda. Penutup Fenomena perkawinan usia muda pada perempuan keturunan Arab masih kental dilakukan dalam keluarga golongan Non-Sayid. Perkawinan senasab menjadi dasar atas terjadinya perkawinan muda dalam keluarga ini. Hal ini dikarenakan adanya keinginan keluarga untuk mempertahankan garis keturunan ayah agar tetap langgeng dan jelas. Dalam keluarga keturunan Arab, garis keturunan ayah mencerminkan posisi sosial golongan dalam stratifikasi sosial masyarakat keturunan Arab. Lebih jauh
lagi, garis keturunan ayah
merupakan identitas diri sebagai bagian dari keturunan Arab. Oleh karena itu, sangat penting bagi keluarga keturunan Arab untuk menjaga dan mempertahankan garis keturunan tersebut. Keputusan menikah di usia muda pada perempuan keturunan Arab golongan NonSayid didasarkan atas dua dorongan, yaitu dorongan internal dan dorongan internal. Dorongan internal merupakan keinginan personal dari perempuan keturunan Arab golongan Non-Sayid untuk menikah di usia muda, tanpa adanya pengaruh dari keluarga ataupun lingkungan sekelilingnya, sedangkan dorongan eksternal adalah keinginan perempuan keturunan Arab golongan Non-Sayid untuk menikah di usia muda yang didasarkan untuk memenuhi keinginan dan harapan dari keluarga dan lingkungan sekitarnya. Hasil dari penelitian memperlihatkan bahwasanya keputusan menikah di usia muda pada perempuan keturunan Arab golongan NonSayid sangat kuat dipengaruhi oleh dorongan eksternal. Kemudian, dalam hal sosialisasi nilai-nilai perkawinan dalam keluarga, peneliti mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat dua nilai yang disosialisasikan secara khusus kepada perempuan keturunan Arab. Nilai pertama merupakan nilai senasab. Dalam keluarga Arab, perempuan tidak berperan dalam membawa garis keturunan ayah. Mereka hanya mendapatkan garis keturunan ayah dan hanya berlaku selama belum menikah. Ini disebabkan karena setelah menikah, perempuan Arab akan masuk ke dalam garis keturunan suami dan garis keturunan ayah yang dimilikinya akan hilang. Oleh karena itu, untuk mencegah
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
hilangnya garis keturunan ayah setelah perempuan Arab menikah, maka orangtua melakukan perjodohan dengan anak laki-laki dari saudaranya. Agar perputaran roda keturunan dan kekayaan yang dimiliki keluarga tetap berlangsung dalam lingkaran keluarga luas saja. Selanjutnya, nilai sosialisasi perkawinan yang kedua adalah nilai agama dalam memandang perkawinan. Pedoman keluarga dalam mensosialisasikan perkawinan di usia muda pada anak perempuan mereka disandarkan atas ketentuan Al-Quran. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa setelah mengalami masa aqil baliqh sebaiknya anak perempuan dan laki-laki segera dinikahkan. Hal ini dikarenakan dalam masa itu perempuan dan laki-laki mulai mengalami rasa ketertarikan dengan lawan jenis, sehingga ditakutkan akan terjadi halhal yang tidak diinginkan diantara keduanya. Dalam pandangan keluarga Arab, hubungan yang “legal” antara perempuan dan laki-laki hanya ada pada hubungan suami-istri di dalam sebuah keluarga.
Daftar Referensi Buku Anshen, Ruth Nanda. (1949). The Family: Its Function and Destiny. United States of America: Harper & Brothers. Bowman, Henry A. (1954). Marriage For Moderns. United States of America: McGraw-Hill Book Company, Inc. Goffman, Erving. (1968). STIGMA: Notes On The Management of Spoiled Identity. United States of America: Prentice-Hall, Inc. Goode, William J. (1991). Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara. Hawari. (2004). Love Affair (Perselingkuhan): Prevensi dan Solusi. 2004. Jakarta: Gaya Baru. Henslin, J. (2006). Sosiologi:Dengan Pendekatan Membumi. 2th ed. (Prof. Kamanto Sunarto, S.H., Ph.D, Penerjemah). Jakarta: Penerbit Erlangga. Henslin, J. (2006). Sosiologi:Dengan Pendekatan Membumi. 6th ed. (Prof. Kamanto Sunarto, S.H., Ph.D, Penerjemah). Jakarta: Penerbit Erlangga. Hidayana, I.M. Seksualitas: Teori dan Realita. 2004. Jakarta: Program Gender dan Seksualitas FISIP UI. Ihromi, T.O. (1999). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. 1999. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Klein, David .M & White, James.M. (1943). Family Theories: An Introduction. United States of America: Sage Publications, Inc.1st ed. Belmont, CA: Wadsworth, Cengage Learning. Lamanna, M., Riedmann, A., Strahm, A. and Lamanna, M. (2012). Marriages, Families, and Relationship. Persiapan Menuju Perkawinan yang Lestari. 1996. Jakarta: Pustaka Antara PT L.w.C. van den Berg. (1989). Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (Rahayu Hidayat, Penerjemah). Jakarta: INIS. Mansyur, M. Yahya dkk. (1988). Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta: Pustaka Grafika Kita. Mansur, Zainuddin. (2001). Etnik Keturunan Arab dan Integrasi Nasional di Indonesia. Depok: Ulinnuha Press. Moleong, Lexy J. (1991). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya Neuman, W. Lawrence. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. Ed-5. Boston: Pearson Education Inc. Poloma, Margaret M. (2010). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press Scott, John. (2011). Sosiologi: The Key Concept. (Labsos FISIP UNSOED, Penerjemah). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014
Ritzer, G and Goodman, D.2008. Teori Sosiologi Modern. 6th ed. (Nurhadi, Penerjemah). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, pp 374-414. Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. (2012). Bandung: Citra Umbara. Zeitlin, Irving M. (1995). Memahami Kembali Sosiologi: Kritik Terhadap Teori. (Drs. Anshori & Drs. Juhanda, Penerjemah). Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS Artikel Jurnal Nasrullah, Muazzam dkk. (2013). Girl Child Marriage and its Effect on Fertility in Pakistan: Findings from Pakistan Demographic and Health Survey, 2006-2007. Springer Science+Business Media New York 2013. Poppel, van Frans & Christiaan, Monden & Mandemakers, Kees. (2008). Marriage Timing over the Generations. Springer Science + Business Media, LLC 2008. Jayaraman, Amuja dkk. (2008). Effect of Conflict on Age at Marriage and Age at First Birth in Rwanda. Springer Science+Business Media B.V. 2008. Widyantoro. (2012). Interaksi Simbolik dan Realitas Media: Sebuah Kilasan Wacana Konseptual. Jurnal Komunikasi Massa Vol.5 No.1 Januari 2012. Roberts, Tracy and Martin, Steven P. (201). Welfare Exit, Marriage, and Welfare Recidivism: A Reevaluation of Patterrns of the 1980s and 1990s). Karya Tulis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pernikahan Dini Pada Remaja di Indonesia (Analisis Data Sekunder RISKESDAS 2010) (Augustina Friska Zai, 2012) Impression Management Eksekutif Muda dalam Upaya Mengkonstruksi Budaya Metroseksual (Studi Interaksionisme Simbolik Eksekutif Muda Jakarta) (Mila Ratnasari, 2009) Laporan Penelitian: Kebebasan Untuk Menikah dan Memilih Jodoh dalam Perkawinan Masyarakat Keturunan Arab di Jakarta (Heru Susetyo, Darmabrata, Poerbatin .F, Sidjabat, & Minar, 1999) Masyarakat Arab di Kota Gresik: Studi Tentang Perubahan dan Pelestarian Kebudayaan (Imam Subchi, 1998) Pengaruh Kematangan Emosi dan Usia Saat Menikah Terhadap Kepuasan Pernikahan Pada Dewasa Awal (Aulia Nurpratiwi, 2010) Posisi Perempuan Keturunan Arab dalam Budaya Perjodohan (Kiki Sakinatul Fuad, 2005). Sosialisasi Anak dan Media (Thomas Aquino K, 2002) Sosialisasi Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan Formal Anak (Studi Kasus Pada Keluarga-keluarga Betawi di Kelurahan Balekambang Jakarta Timur) (Ary Yudhantoro, 1989). Usia Perkawinan Pertama Wanita Berdasarkan Struktur Wilayah Kabupeten Bogor (Dini P Risya, 2011) Publikasi Elektronik Badan Pusat Statistik dan Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 (2012, Desember). 24 Februari 2014 Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional. Policy Brief: Remaja Genre dan Perkawinan Dini. 27 Januari 2014. http://www.bkkbn.go.id/publikasi/default.aspx. Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional. Policy Brief: Perkawinan Muda di Kalangan Perempuan: Mengapa?. (2011, Desember). http://www.bkkbn.go.id/publikasi/default.aspx. (Diakses pada 6 Agustus 2013). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP & PA). Profil Anak Indonesia 2012. 2012. CV. Miftahur Rizky di akses melalui menegpp.go.id/V2/index.php/daftar-buku/profilanak?download. (Diakses pada 5 Agustus 2013) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP & PA). Profil Anak Indonesia 2013. 2013. CV. Miftahur Rizky di akses melalui menegpp.go.id/V2/index.php/daftar-buku/profilanak?download. (Diakses pada27 Januari 2014) Pernikahan Dini Terus Meningkat. (2013). http://www.indonesia.go.id/ind/pemerintah-daerah/provinsijawatimur/1233-kependudukan/12651-pernikahan-dini-terus-meningkat. (diakses pada hari 5Agustus 2013) Kawin Muda Tunda Dulu. 2013. http://edukasi.kompasiana.com/2013/12/05/kawin-muda-tunda-dulu531043.html (Diakses pada 6 Agustus 2013).
Keputusan menikah..., Dewi Parasmitha, FISP UI, 2014