FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN ERITROSIN DAN RHODAMIN B PADA PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH YANG DIJUAL OLEH PEDAGANG DI SDN SEKELURAHAN PONDOK BENDA TAHUN 2015
SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Anantika Anissa 1111101000068
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/ 1437 H
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Desember 2015 ANANTIKA ANISSA, NIM: 1111101000068 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN ERITROSIN DAN RHODAMIN B PADA PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH YANG DIJUAL OLEH PEDAGANG DI SDN SEKELURAHAN PONDOK BENDA TAHUN 2015 (xvii + 133 halaman, 27 tabel, 3 bagan, 5 lampiran) ABSTRAK Pangan jajanan dapat menjadi sumber asupan gizi dan energi bagi siswa saat berada di sekolah oleh karena itu keamanan pangan jajanan sangat penting namun masih ditemukan pangan jajanan yang tidak aman karena mengandung bahan berbahaya, dalam hal ini pedagang pangan jajanan memiliki peranan yang penting. Uji pendahuluan di 3 sekolah yaitu SDN Pondok Benda II, SDN Pondok Benda III dan SDN Pondok Benda VI pada 3 pedagang PJAS, terdapat satu pedagang dengan sampel pangan jajanan es merah yang mengandung Rhodamin B. Kemudian pada pedagang lainnya ditemukan Eritrosin pada sampel minuman merah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh pedagang pangan jajanan anak sekolah SDN di Sekelurahan Pondok Benda yang berjumlah 34 orang dan sampel dipilih dengan metode sampel jenuh dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Analisis data dilakukan dengan dua cara yaitu univariat dan bivariat. Univariat dilakukan dengan menampilkan tabel distribusi dan persentase dari setiap variabel dan bivariat dilakukan dengan penguji Chi Square dengan nilai . Hasil penelitian menunjukan 13,3% pangan jajanan anak sekolah mengandung Eritrosin dan 13,3% lainya mengandung Rhodamin B serta tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap, keterampilan, aksesibilitas, peraturan sekolah, pengaruh sesama pedagang, pembinaan pengawasan petugas kesehatan dan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Tangerang Selatan untuk meningkatkan pengawasan dan pembinaan pada pedagang pangan jajanan anak sekolah dan kepada pihak sekolah untuk menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai keamanan pangan jajanan anak sekolah. Kata Kunci: Eritrosin, Rhodamin B, Pangan Jajanan Anak Sekolah, Perilaku Daftar Bacaan: 92 (1990-2015)
iii
ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH DEPARTMENT OF ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduate Thesis, December 2015 ANANTIKA ANISSA, NIM: 1111101000068 FACTORS ASSOCIATED TO THE USE OF ERYTHROSINE AND RHODAMIN B ON STREET FOOD THAT SOLD BY VENDORS AT ELEMENTARY SCHOOLS IN PONDOK BENDA VILLAGE, 2015 (xvii + 133 pages, 27 tables, 3 charts, 5 attachments) ABSTARCT Street food can be a source of nutrition and energy for students while undergoing the learning activities in schools therefore street food safety is very important although there are within cases of unsafe street food because of hazardous materials, in this case vendors have an important role. Based on preliminary test results over 3 schools, which are SDN Pondok Benda II, SDN Pondok Benda III and SDN Pondok Benda VI to 3 vendors, there is a vendor with street food samples (red ice syrup) containing Rhodamine B. Later, on other vendor found Erythrosine on red beverage samples. The purpose of this study was to determine the factors that related to the use of Erythrosine and Rhodamine B on street food that sold by vendors at elementary schools in Pondok Benda village, 2015. This is a quantitative research with cross sectional study design. The population is all the street food vendors in elementary school of Pondok Benda which amounts to 34 people, and samples selected by total sampling method with the specific inclusion and exclusion criteria. Data analysis was done in two ways, univariate and bivariate. Univariate done by displaying the distribution table and the percentage of each variable and bivariate performed with Chi Square test with a value of α = 0.05. The results showed that 13.3% street food containing Erythrosine and the other 13.3% street food containing Rhodamine B. There are no significant correlation between knowledge of the vendor, attitude of the vendor, skills of the vendor, accessibility in obtaining dyes, school rules, influence of fellow vendor, guidance and supervision of health workers and school to the practice of using Erythrosine and Rhodamine B on street food. Thus it can be recommendation to Health Department of South Tangerang to improve guidance and supervision on street food and to the school principal to establish policies and regulations regarding the safety of street food. Keywords: Erythrosine, Rhodamine B, Street Food, Behavior References: 92 (1990-2015)
iv
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPS v
vi
Nama Lengkap
: Anantika Anissa
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 29 Juni 1993
Alamat
: Reni Jaya Jl. Maluku VIII Blok Q No.4, Pamulang
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Golongan Darah
:O
No. Handphone
: 0857 75305303
E-mail
:
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN 2011-Sekarang
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2008-2011
: SMAN 3 Kota Tangerang Selatan
2005-2008
: SMPN 4 Kota Tangerang Selatan
1999-2005
: SDN Pondok Benda II
1998
: TK Cahaya Agung
PENGALAMAN KERJA 2014
: Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Ciputat Timur
2014
: Orientasi Kerja di RS ANTAM
2015
: Praktek Kerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Soekarno Hatta
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini dengan baik. Penulisan laporan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Laporan ini ditulis untuk memberikan keterangan terkait seluruh proses pembuatan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah Yang Dijual Oleh Pedagang Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015”. Dalam proses penyelesaian laporan ini penulis mendapatkan bantuan serta dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Mamah Vonny, Kak Putra dan Kak Aria yang selalu mendoakan, memberikan dukungan moril maupun materil dan kasih sayang serta Alm. Papah Chandra yang pastinya juga selalu mendoakan; 2. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan; 3. Ibu Fajar Arianti, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat; 4. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing skripsi I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan, kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi; 5. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS selaku dosen pembimbing skripsi II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan, kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi; 6. Bapak Dr. M. Farid Hamzens, M.Si selaku dosen penguji skripsi I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi; 7. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku dosen penguji skripsi II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;
viii
8. Ibu Dra. Raiyan, MKM, Apt selaku dosen penguji skripsi III yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi; 9. Ibu Dr. Iting Shofwati, ST, M.KKK selaku dosen pembimbing akademik yang memantau perkembangan akademik penulis dan memberikan pengarahan selama masa kuliah; 10. Bapak Azib selaku staf program studi kesehatan masyarakat yang membantu persiapan sidang proposal dan sidang skripsi; 11. Teman-teman peminatan kesehatan lingkungan angkatan 2011 (Ila, Cepol, Inu, Rois, Shela, Betti, Niken, Onoy, Pewe, Hari, Chandra, Ayu, Awal, Sarjeng, Lifi, Almen, Eka, Ukhfi, Ika, Ikoh, Mbak Feela, Epri dan Rahmatika) yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan; 12. Adik-adik peminatan kesehatan lingkungan angkatan 2012 dan 2013 yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan; 13. Teman-teman program studi kesehatan masyarakat angkatan 2011 yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan; 14. Kak Anis selaku laboran di laboratorium kesehatan lingkungan yang membantu dalam pengujian penelitian; 15. Ninoy dan Mbak Inten yang selalu mendoakan dan mendukung; 16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Pada penulisan laporan ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan demi penyempurnaan pembuatan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat. Aamiin.
Jakarta, Desember 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ................................... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK ............................................................................................................. iii ABSTARCT ........................................................................................................... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................ Error! Bookmark not defined. PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI .................................................................... v RIWAYAT HIDUP ................................................ Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR.......................................................................................... viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah ...................................................................................... 7
1.3
Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 8
1.4
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 10
1.4.1
Tujuan Umum ................................................................................. 10
1.4.2
Tujuan Khusus................................................................................. 10
1.5
Manfaat Penelitian .................................................................................... 12
1.6
Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 14 2.1
Pewarna Pangan ........................................................................................ 14
2.1.1
Pengertian Pewarna Pangan ............................................................ 14
2.1.2
Tujuan Penambahan Pewarna Pangan............................................. 14
2.1.3
Jenis Pewarna Pangan ..................................................................... 14
2.1.4
Pewarna Yang Dizinkan Pada Pangan ............................................ 22
2.1.5
Pewarna Yang Tidak Dizinkan Pada Pangan .................................. 23
2.2
Eritrosin .................................................................................................... 24
2.3
Rhodamin B .............................................................................................. 27
2.4
Dampak Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ..................................... 30
x
2.4.1
Hiperaktivitas .................................................................................. 30
2.4.2
Kanker ............................................................................................. 32
2.5
Pangan Jajanan Anak Sekolah .................................................................. 34
2.5.1
Pengertian Pangan Jajanan Anak Sekolah ...................................... 34
2.5.2
Jenis Pangan Jajanan Anak Sekolah ............................................... 34
2.6
Keamanan Pangan .................................................................................... 35
2.7
Kasus-Kasus Penggunaan Pewarna Sintetik............................................. 38
2.8
Perilaku ..................................................................................................... 50
2.8.1
Predisposisi (Predisposing) ............................................................. 51
2.8.2
Pemungkin (Enabling) .................................................................... 56
2.8.3
Penguat (Reinforcing) ..................................................................... 57
2.9
Kerangka Teori ......................................................................................... 61
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 62 3.1
Kerangka Konsep ..................................................................................... 62
3.2
Definisi Operasional ................................................................................. 65
3.3
Hipotesis ................................................................................................... 67
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 68 4.1
Desain Penelitian ...................................................................................... 68
4.2
Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 68
4.3
Populasi dan Sampel................................................................................. 68
4.3.1
Populasi ........................................................................................... 68
4.3.2
Sampel ............................................................................................. 69
4.4
Sumber Data Penelitian ............................................................................ 71
4.4.1
Data Primer ..................................................................................... 71
4.4.2
Data Sekunder ................................................................................. 72
4.5
Instrumen Penelitian ................................................................................. 72
4.6
Cara Pengumpulan Data ........................................................................... 74
4.6.1
Wawancara ...................................................................................... 74
4.6.2
Uji Laboratorium ............................................................................. 75
4.7
Pengolahan Data ....................................................................................... 78
4.8
Analisis Data ............................................................................................ 81 xi
4.8.1
Univariat .......................................................................................... 81
4.8.2
Bivariat ............................................................................................ 81
BAB V HASIL ...................................................................................................... 83 5.1
Analisis Univariat ..................................................................................... 83
5.2.1
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B .......................................... 83
5.2.2
Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Tentang Pewarna ............. 84
5.2.3
Sikap Pedagang Pangan Jajanan Terhadap Penggunaan Pewarna .. 84
5.2.4
Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan ......................................... 85
5.2.5
Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan .......................................... 85
5.2.6
Peraturan Sekolah Tentang Keamanan Pangan ............................... 86
5.2.7
Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan .................................. 86
5.2.8
Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan ............................ 87
5.2.9
Pembinaan dan Pengawasan Sekolah .............................................. 88
5.2
Analisis Bivariat ....................................................................................... 88
5.2.1 Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ................................................................................................... 88 5.2.2
Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B . 89
5.2.3 Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ................................................................................................... 90 5.2.4 Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ................................................................................................... 91 5.2.5 Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ................................................................................................... 91 5.2.6 Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ............................................................................. 92 5.2.7 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ......................................................... 93 5.2.8 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ......................................................... 94 BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 96 6.1
Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 96
6.2
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.................................................... 96
xii
6.2.1
Penggunaan Eritrosin ...................................................................... 96
6.2.2
Penggunaan Rhodamin B ................................................................ 98
6.3
Perilaku ................................................................................................... 102
6.3.1
Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan ........................................ 102
6.3.2
Sikap Pedagang Pangan Jajanan ................................................... 105
6.3.3
Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan ....................................... 108
6.3.4
Aksesibilitas Memperoleh Pewarna Pangan ................................. 110
6.3.5
Peraturan Sekolah .......................................................................... 113
6.3.6
Pengaruh Sesama Pedagang .......................................................... 115
6.3.7
Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan .......................... 117
6.3.8
Pembinaan dan Pengawasan Sekolah ............................................ 120
BAB VII SIMPULAN dan SARAN ................................................................... 122 7.1
Simpulan ................................................................................................. 122
7.2
Saran ....................................................................................................... 125
7.2.1
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan .................................... 125
7.2.2
Sekolah .......................................................................................... 126
7.2.3
Pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ......................... 126
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 127
xiii
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Kelas-Kelas Zat Warna Sintesis ...................................................................... 17 Tabel 2.2 Perbedaan Antara Lakes dan Dyes .................................................................. 20 Tabel 2.3 Batas Maksimum Penggunaan Eritrosin ......................................................... 25 Tabel 3.1 Definisi Operasional........................................................................................ 65 Tabel 4.1 Sampel Pengan Jajanan Anak sekolah ............................................................ 70 Tabel 4.2 Variabel Pertanyaan ........................................................................................ 72 Tabel 4.3 Hasil Uji Validitas Kuesioner ......................................................................... 73 Tabel 4.4 Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner...................................................................... 74 Tabel 4.5 Indikator Perubahan Warna Serat Wol ........................................................... 78 Tabel 5.1a Distribusi Frekuensi Penggunaan Eritrosin Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................................................. 83 Tabel 5.1b Distribusi Frekuensi Penggunaan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................................................. 83 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Tentang Pewarna Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015............................................ 84 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Sikap Pedagang Pangan Jajanan Terhadap Penggunaan Pewarna Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ....................... 84 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ........................................................................ 85 Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ........................................................................ 86
xiv
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Peraturan Sekolah Terhadap Usaha Pangan Jajanan Di Sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 .............................................. 86 Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................... 87 Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................... 87 Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ........................................................................ 88 Tabel 5.10 Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ....................................................... 88 Tabel 5.11 Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................... 89 Tabel 5.12 Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ....................................................... 90 Tabel 5.13 Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ....................................................... 91 Tabel 5.14 Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ..................................... 92 Tabel 5.15 Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 .............................. 93 Tabel 5.16 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ...................................................................................................................... 94 Tabel 5.17 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............... 95
xv
DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Tiga Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku ................................................... 60 Bagan 2.2 Kerangka Teori .............................................................................................. 61 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 64
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Kuesioner Lampiran 2 Hasil Laboratorium (Spektrofotometri UV-Visibel dan Serat Wol) Lampiran 3 Foto-Foto Kegiatan Lampiran 4 Output SPSS Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Lampiran 5 Output SPSS Crosstab, Chi Square Tests dan Odd Ratio Penelitian
xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia untuk dapat bertahan hidup. Pada pangan dapat terkandung berbagai jenis zat gizi yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia. Zat-zat gizi tersebut antara lain karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Meskipun begitu, pangan tidak hanya bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia saja namun pangan juga dapat menjadi media transmisi penyakit apabila pangan tersebut tercemar akibat faktor lingkungan maka mutu dan keamanan pangan perlu dijaga agar masyarakat dapat terlindungi dari hal merugikan dan membahayakan kesehatan tubuh oleh karena itu dibuatlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan (Kementerian Kesehatan, 2010). Menurut Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, benda-benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Namun sampai saat ini masih ditemukan pangan yang tidak memenuhi persyaratan (TMS) secara mutu, kebersihan maupun keamanan sehingga dapat menimbulkan dampak tidak baik bagi
1
2
kesehatan. Salah satu contoh pangan yang sering tidak memenuhi syarat adalah pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Badan Pengawasan Obat dan Makanan pada tahun 2011 menemukan sebesar 35,46% sampel pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, pada tahun 2012 sebesar 23,89% dan pada tahun 2013 sebesar 19,21%. Penyebab pangan jajanan anak sekolah tersebut tidak memenuhi persyaratan adalah penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang melebihi batas, mengandung cemaran logam berat yang melebihi batas, kualitas mikrobiologis yang tidak memenuhi syarat dan menggunakan bahan kimia berbahaya (BPOM, 2011; 2012; 2013). Balai POM Serang yang memiliki cakupan kerja seluruh wilayah administrasi Provinsi Banten dari tahun 2011-2013 termasuk dalam kelompok Balai Besar/Balai POM yang sering mengalami kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan. Salah satu asal penyebab kejadian luar biasa keracunan pangan tersebut adalah pangan jajanan (BPOM, 2011; 2012; 2013). Salah satu penyebab utama pangan jajanan anak sekolah tidak memenuhi persyaratan yang paling umum yaitu penggunaan bahan kimia berbahaya. Jenis pangan jajanan anak sekolah yang paling sering masuk dalam kategori tidak memenuhi persyaratan yaitu minuman es, minuman berwarna/sirup, bakso dan jelly/agar-agar. Agen yang paling sering menyebabkan tidak memenuhi persyaratan salah satunya yaitu AKK (angka kapang khamir: pewarna tekstil) (Info DATIN, 2015).
3
Di Indonesia ketentuan pewarna diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna serta Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 386 Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan dan kosmetika. Pada tahun 2011-2013, BPOM masih menemukan sampel pangan jajanan anak sekolah yang mengandung pewarna bukan untuk pangan seperti Rhodamin B, Methanil Yellow serta Auramin. Hasil tersebut menunjukan bahwa penggunaan pewarna sintetik berbahaya pada pangan jajanan anak sekolah masih kerap dilakukan oleh pedagang dimungkinkan karena anak sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya tarik warna (Kristianto dkk, 2009). Begitu pula dengan Pujiasuti (2002) yang menyatakan alasan pemilihan produk berwarna antara lain lebih menarik dan lebih murah. Menurut Nuraini (2007), warna mempunyai peran psikologis yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk pangan. Selain BPOM, Ardiarini dan Gunanti (2004) menemukan sampel minuman jajanan SDN Dukuh Mananggal yang mengandung Tartrazin, Rhodamin B dan Sunset Yellow. Nisma dan Setyawati (2014) menemukan sampel pangan jajanan SD di wilayah Kotamadya Jakarta Timur mengandung Rhodamin B, Karmoisin, Eritrosin dan Ponceau 4R.
4
Survei Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menyatakan bahwa sampai dengan tahun 2012 sebesar 32% PJAS positif menggunakan bahan kimia bukan untuk pangan terdiri dari 29% mengandung boraks, 16% mengandung formalin dan 38% mengandung Metanil Yellow dan Rhodamin B. Tahun 2013 sebesar 16% terdiri dari 3% mengandung boraks, 7% mengandung formalin dan 14% Metanil Yellow dan Rhodamin B serta tahun 2014 sebesar 13% terdiri dari 7% mengandung boraks, 11% mengandung formalin dan 2% Metanil Yellow dan Rhodamin B (Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2012; 2015). Data tersebut menunjukan bahwa penggunaan pewarna bukan untuk pangan memiliki persentase yang paling besar dalam pencemaran bahan kimia pada pangan jajanan dibandingkan dengan boraks dan formalin. Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 menyatakan bahwa Eritrosin dapat digunakan pada pangan dengan batas maksimum 20-300mg/kg. Karunia (2013) menyatakan Eritrosin tidak dapat dipakai dalam produk minuman karena mudah diendapkan oleh asam dan hal tersebut sejalan dengan peraturan BPOM yang tidak mencantumkan kategori minuman dalam penggunaan Eritrosin. Arisman (2008) berpendapat Eritrosin tidak dianjurkan untuk pangan. Meskipun diperbolehkan untuk digunakan pada pangan sebaiknya kita menghindari penggunaannya sebab pewarna sintetik tidak baik untuk kesehatan jika terus dikonsumsi, apalagi oleh anak-anak yang sedang
5
dalam masa pertumbuhan. Sedangkan Rhodamin B merupakan pewarna yang dilarang penggunaannya pada pangan (PP No. 28 Tahun 2004). Eritrosin dapat mengakibatkan reaksi alergi seperti nafas pendek, dada sesak, sakit kepala, dan iritasi kulit (Karunia, 2013). Kemudian pewarna sintetik juga dapat mengakibatkan hiperaktif pada anak (FDA, 2011). Sedangkan Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan, iritasi kulit dan iritasi mata serta kanker jika penggunaan jangka panjang (Praja, 2015). Oleh karena efek yang dapat ditimbulkan maka masyarakat perlu dilindungi dari pangan yang menggunakan bahan tambahan pangan yang belebihan dan bahan tambahan bukan untuk pangan. Pangan jajanan anak sekolah yang mengandung bahan tambahan berbahaya tidak lepas dari perilaku pedagang dalam mengolah atau menjual pangan jajanan. Pedagang pangan jajanan berperan penting dalam penyediaan pangan jajanan yang sehat dan bergizi serta terjamin keamanannya (Yasmin dkk, 2010). Menurut Green dkk (1991), terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku
seseorang
yaitu
faktor
predisposisi,
faktor
pemungkin dan faktor penguat. Faktor predisposisi termasuk diantaranya pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai. Faktor pemungkin termasuk diantaranya keterampilan, sumber daya. Faktor penguat termasuk diantaranya dukungan sosial dan pengaruh teman. Sugiyatmi (2006) menyatakan pedagang yang memiliki pengetahuan dan sikap dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek pembuatan pangan jajanan dengan kategori kurang baik. Selain itu sulitnya akses bahan
6
tambahan pangan dengan harga terjangkau juga berkontribusi dalam penyalahgunaan bahan kimia berbahaya (Rahayu dkk, 2012). Hal lain yang juga dapat mempengaruhi perilaku pedagang pangan jajanan adalah peraturan keamanan pangan jajanan (Wijaya, 2009) serta pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan dalam penjualan pangan jajanan (Sugiyatmin, 2006; Mujianto, 2005). Kota Tangerang Selatan meskipun tergolong daerah otonom baru namun memiliki kondisi pendidikan yang relatif maju karena di Kecamatan Pondok Aren, Ciputat dan Pamulang banyak tersebar sekolah dan perguruan tinggi. Kecamatan Pamulang merupakan kecamatan dengan jumlah SDN terbanyak kedua di Tangerang Selatan direncanakan menjadi pusat kegiatan pendidikan, salah satunya di Kelurahan Pondok Benda (Bappeda Tangerang Selatan, 2012; 2011). Sebagai kelurahan yang direncanakan menjadi pusat kegiatan pendidikan, Kelurahan Pondok Benda harus menyediakan fasilitas yang memadai agar siswa dapat belajar dengan baik. Salah satu fasilitas tersebut adalah kantin sekolah namun umumnya sekolah dasar negeri tidak memiliki kantin sehingga siswa jajanan pada pedagang PJAS di sekitar lingkungan sekolah. Pangan yang berasal dari pedagang di sekitar sekolah apabila tidak ditangani secara benar berpotensi menyebabkan penyakit (BPOM, 2012b). Oleh karena itu peneliti ingin meneliti perilaku pedagang pangan jajanan dengan keamanan pangan jajanan di SDN sekelurahan Pondok Benda terkait dengan penggunaan pewarna sintetik.
7
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Januari tahun 2015 di delapan SDN di Kelurahan Pondok Benda Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan, pangan jajanan yang dijajakan di sekitar sekolah antara lain sosis, saos, kue, jelly serta minuman berwarna maunpun es dimana beberapa pangan jajanan tersebut mungkin menggunakan pewarna sintetik berbahaya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan hasil uji pendahuluan yang dilakukan di 3 sekolah yaitu SDN Pondok Benda II, SDN Pondok Benda III dan SDN Pondok Benda VI pada 3 pedagang pangan jajanan anak sekolah ditemukan pedagang dengan sampel pangan jajanan es merah yang positif mengandung Rhodamin B kemudian pada pedagang lainnya ditemukan sampel minuman merah yang positif mengandung Eritrosin namun Eritrosin tidak dapat digunakan pada minuman, selain itu masih pada pedagang yang sama ditemukan sampel minuman yang mengandung Orange SS oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor perilaku yang mempengaruhi pedagang menggunakan pewarna sintetik seperti pengetahuan, sikap, keterampilan, aksesibilitas, peraturan, pengaruh sesama pedagang, pembinaan dan pengawasan serta hubungannya dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015.
8
1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana praktek pedagang pangan jajanan anak sekolah dalam penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan yang dijajakan di SDN Sekelurahan Pondok Benda? 2. Bagaimana pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna? 3. Bagaimana sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda terhadap penggunaan pewarna? 4. Bagaimana keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dalam mengolah pangan jajanan yang dijajakan? 5. Bagaimana aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dalam memperoleh pewarna? 6. Bagaimana peraturan yang diterapkan oleh sekolah terkait kebijakan berjualan pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda? 7. Bagaimana pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda terkait penggunaan bahan pangan jajanan anak sekolah? 8. Bagaimana pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan mengenai pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda? 9. Bagaimana pembinaan dan pengawasan oleh sekolah mengenai pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda?
9
10. Bagaimana hubungan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B? 11. Bagaimana hubungan antara sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B? 12. Bagaimana hubungan antara keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B? 13. Bagaimana hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B? 14. Bagaimana hubungan antara peraturan sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B? 15. Bagaimana hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B? 16. Bagaimana hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah? 17. Bagaimana hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah?
10
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Mengetahui
faktor-faktor
yang
berhubungan
dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui praktek pedagang pangan jajanan anak sekolah dalam penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan yang dijajakan di SDN Sekelurahan Pondok Benda. 2. Mengetahui pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna. 3. Mengetahui sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda terhadap penggunaan pewarna. 4. Mengetahui keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dalam mengolah pangan jajanan yang dijajakan. 5. Mengetahui aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dalam memperoleh pewarna. 6. Mengetahui peraturan yang diterapkan oleh sekolah terkait kebijakan berjualan pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda.
11
7. Mengetahui pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda terkait penggunaan bahan pangan jajanan anak sekolah. 8. Mengetahui pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan mengenai pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda. 9. Mengetahui pembinaan dan pengawasan oleh sekolah mengenai pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda. 10. Mengetahui hubungan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. 11. Mengetahui hubungan antara sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. 12. Mengetahui hubungan antara keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. 13. Mengetahui hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. 14. Mengetahui
hubungan
antara
peraturan
sekolah
di
SDN
Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
12
15. Mengetahui hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. 16. Mengetahui hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah. 17. Mengetahui hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perkembangan usaha pangan jajanan di lingkungan sekolah. Informasi ini penting dalam rangka penentuan sikap dan kebijakan dalam pembinaan dan pengawasan keamanan pangan jajanan. 2. Sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan terhadap pangan jajanan yang dijual di lingkungan sekolah. 3. Pedagang pangan jajanan anak sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk mempraktekkan pengolahan pangan yang baik dengan hanya menggunakan BTP yang diijinkan.
13
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Pangan jajanan dapat menjadi salah satu sumber asupan gizi dan energi bagi siswa saat menjalani kegiatan pembelajaran di sekolah oleh karena itu keamanan pangan jajanan sangat penting. Penelitian ini mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda. Penelitian ini dilakukan pada Bulan AgustusSeptember Tahun 2015. Faktor independen adalah pengetahuan, sikap, keterampilan, aksessibilitas, peraturan, pengaruh sesama pedagang serta pembinaan dan pengawasan. Faktor dependen adalah penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh pedagang pangan jajanan anak sekolah SDN di Sekelurahan Pondok Benda yang berjumlah 34 orang. Sampel responden dipilih melalui metode sampel jenuh dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu sedangkan sampel pangan jajanan anak sekolah dipilih melalui metode sampel aksidental. Analisis data dilakukan cara univariat dan bivariat. Univariat dilakukan dengan distribusi dan persentase serta bivariat dilakukan dengan penguji Chi Square dan nilai .
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pewarna Pangan 2.1.1 Pengertian Pewarna Pangan Menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, pewarna (colour) adalah bahan tambahan pangan berupa pewarna alami dan pewarna sintetik, yang ketika ditambahkan atau diaplikasikan pada pangan mampu memberi atau memperbaiki warna. 2.1.2 Tujuan Penambahan Pewarna Pangan Penambahan bahan pewarna pangan mempunyai beberapa tujuan, diantaranya (Cahanar dan Suhanda, 2006): 1. Memberi kesan menarik bagi konsumen; 2. Menyeragamkan dan menstabilkan warna; 3. Menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan. 2.1.3 Jenis Pewarna Pangan Terdapat banyak jenis bahan pewarna, tetapi tidak semua pewarna itu dapat digunakan pada pangan. Ada dua jenis pewarna pangan, yaitu pewarna alami dan pewarna buatan atau sintetik (Suryatin, 2008).
14
15
2.1.3.1 Pewarna Alami Pewarna alami adalah pewarna yang dibuat melalui proses ekstraksi, isolasi atau derivatisasi (sintesis parsial) dari tumbuhan, hewan, mineral atau sumber alami lain, termasuk pewarna identik alami (Pasal 4 Permenkes RI Nomor 33 Tahun 2012).
Pewarna alam juga dapat disebut dengan
pigmen alami yaitu segolongan senyawa yang terdapat dalam produk yang berasal dari hewan atau tumbuhan (deMan, 1997). Food and Drug Administration (FDA) menggolongkan pewarna alami ke dalam golongan zat warna yang tidak perlu mendapat sertifikat atau uncertified color (Winarno, 1992). Pigmen alam mencakup pigmen yang sudah terdapat dalam pangan dan pigmen yang terbentuk pada pemanasan, penyimpanan atau pemrosesan. Dengan beberapa kekecualian, pigmen alam dapat dipilah ke dalam empat golongan yaitu senyawa tetrapirol (klrofil, hem dan bilin), turunan isoprenoid (karetenoid), turunan benzopiran (antosianin dan flavonoid) dan senyawa jadian (melanoidin dan karamel) (deMan, 1997). Penelitian toksikologi pewarna alami masih agak sulit karena zat warna ini umumnya terdiri dari campuran dengan senyawa-senyawa alami lainnya. Misalnya, untuk zat warna alami asal tumbuhan, bentuk dan kadarnya berbeda-beda,
16
dipengaruhi faktor jenis tumbuhan, iklim, tanah, umur dan faktor-faktor lainnya (Sutrisno, 2006). Kemudian terdapat pula zat warna yang identik dengan zat warna alami. Zat warna ini masih satu golongan dengan kelompok zat warna alami, hanya zat warna ini dihasilkan dengan cara sintesis kimia, bukan dengan cara ekstraksi atau isolasi. Jadi pewarna identik alami adalah pigmen-pigmen yang dibuat secara sintetik yang struktur kimianya identik dengan pewarna-pewarna alami. Yang termasuk golongan ini adalah karotenoid murni antara lain canthaxanthin (merah), apo-karoten (merah-oranye), beta-karoten (oranye-kuning). Semua pewarna-pewarna ini memiliki batas-batas konsentrasi maksimum penggunaan, terkecuali beta-karoten yang boleh digunakan dalam jumlah tidak terbatas (Sutrisno, 2006). 2.1.3.2 Pewarna Sintetik Menurut Suryatin (2008), pewarna buatan atau sintetik adalah bahan yang dibuat secara kimia oleh pabrik industri kimia. Pewarna ini biasanya dijual di pasaran dengan tanda khusus pada label atau kemasannya. Food and Drug Administration menggolongkan pewarna sintetik ke dalam golongan zat warna yang perlu mendapat sertifikat atau certified color (Winarno, 1992).
17
Food and Drug Administration dalam Nuraini (2007), kemudian mengelompokkan bahan pewarna sintetik menjadi 3 kategori, yaitu FD&C color atau bahan pewarna untuk pangan, obat-obatan dan kosmetika; D&C color atau bahan pewarna untuk obat-obatan dan kosmetika dan Ext D&C color atau bahan pewarna untuk obat-obatan dan kosmetika dalam jumlah yang dibatasi. Berdasarkan rumus kimianya zat warna sintetik dalam pangan dapat digolongkan dalam beberapa kelas yaitu azo, triarilmetana, quinolin, xanten dan indigoid (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives dalam Sutrisno, 2006). Tabel 2.1 Kelas-kelas zat warna sintesis No. Nama Azo 1. Tartrazin 2. Sunset Yellow FCF 3. Allura Red AC 4. Ponceau 4R 5. Red 2G 6. Azorubine 7. Fast Red E 8. Amaranth 9. Brilliant Black BN 10. Brown FK 11. Brown HT Triarylmethane 1. Brilliant Blue FCF 2. Patent Blue V 3. Green S 4. Fast Green FCF Quinoline 1. Quinoline Yellow Xantene 1. Erythrosine
Warna Kuning Oranye Merah (Kekuningan) Merah Merah Merah Merah Merah (Kebiruan) Ungu Kuning coklat Coklat Biru Biru Biru kehijauan Hijau Kuning kehijauan Merah
18
No. Nama Indigotine 1. Indigotine
Warna Biru kemerahan
Sumber: Sutrisno (2006)
Berdasarkan sifat kelarutannya, pewarna pangan dapat dikelompokkan menjadi dyes dan lakes (Sartono, 2014). 1. Dyes Dyes adalah zat warna yang umumnya larut air dan larutannya dapat mewarnai. Dyes dapat diperjual belikan dalam bentuk serbuk, granula, cairan, campuran warna, pasta dan dispersi. Dyes tidak dapat larut hampir dalam semua jenis pelarut-pelarut organik. Jika akan dipakai dalam pangan yang tidak mengandung air atau dalam bentuk kering, zat warna ini dapat dilarutkan dulu dalam air, propilenglikol, gliserin atau alkohol (Sutrisno, 2006). Terdapat empat kelompok dalam dyes yaitu Azo dyes (yaitu Amaranth, Tartrazine, Sunset Yellow dan Panceau SX), Triphenylmethane dyes (yaitu Fast Green, Benzylviolet 4B dan Briliant Blue), Fluorescein (yaitu Erythrosine), dan Sulfonated Indigo (yaitu Indigotin atau Indigo Carmine) (Sutrisno, 2006). Zat warna ini stabil untuk berbagai macam penggunaan dalam pangan bahkan dalam bentuk kering tidak terlihat adanya kerusakan akan tetapi ketidakstabilan zat warna ini terjadi jika dalam pangan tersebut terkandung
19
bahan-bahan pereduksi atau pangan tersebut berprotein dan diproses dalam retort pada suhu tinggi serta jika zat warna tersebut kontak dengan metal (seng, timah, alumunium, tembaga). Zat warna azo dan triarilmetana akan berubah warnanya menjadi pucat. Dalam minuman yang mengandung asam askorbat (bahan pereduksi) dalam batas tertentu dapat dicegah perubahan warnanya dengan menambahkan EDTA (Sutrisno, 2006). Dyes pada umumnya dapat digunakan untuk mewarnai minuman berkarbonat, minuman ringan, roti dan kue-kue, dry mixes, confectionery, produk-produk susu, kulit
sosis,
dan
lain-lain.
Tiap
jenis
penggunaan
memerlukan dyes dalam bentuk tertentu, misalnya bentuk serbuk atau granula untuk mewarnai minuman ringan, pasta atau dispersi untuk roti, kue dan confectionery dan cairan untuk dairy products (Sutrisno, 2006). 2. Lakes Lakes adalah pewarna yang dibuat dari gabungan dyes dengan radikal basa (Al atau Ca) yang dilapisi dengan hidrat alumina. Lapisan alumina atau Al(OH)3 tidak larut dalam air sehingga lakes tidak larut dalam air, alkohol dan minyak. Kandungan dyes pada lakes disebut Pure Dyes Content (PDC). Untuk dyes pewarna primer, kandungan
20
dyes tidak boleh kurang dari 85%, umumnya 90-93% dyes murni. Tidak ditentukan kandungan dyes minimum tetapi umumnya sekitar 10-40% dyes murni, semakin tinggi kadar dyes maka akan dihasilkan warna yang lebih tua. (Sutrisno, 2006). Lakes mempunyai stabilitas yang lebih baik daripada dyes. Lakes stabil terhadap pengaruh cahaya, kimia, panas serta pH 3,5-9,5 dan diluar pH tersebut maka lapisan alumina pecah dan dyes yang dikandungnya lepas. Akan tetapi harga lakes lebih mahal daripada dyes (Sutrisno, 2006). Umumnya lakes digunakan dalam produk-produk pangan yang mengandung minyak dan dalam produk yang kadar
airnya
rendah
sehingga tidak
cukup untuk
melarutkan dyes misalnya tablet, tablet yang diberi pelapisan,
icing,
pelapis
fondant,
pelapis-pelapis
berminyak, campuran adonan kue dan donut, permen, permen karet. Dyes mewarnai lakes adalah dengan membentuk dispersi yang menyebar pada bahan yang diwarnai (Sutrisno, 2006). Tabel 2.2 Perbedaan antara lakes dan dyes Sifat-Sifat Kelarutan
Lakes Dyes Tidak larut dalam Larut dalam air, kebanyakan propyleneglycol, pelarut gliserin
21
Sifat-Sifat
Lakes
Dyes
Metoda pewarnaan Kandungan dyes
Dengan disperse
Dengan pelarutan
10 – 40%
Pemakaian Ukuran partikel
0.1 – 0.3% Rata-rata 5 mikron Lebih baik Baik
Warna primer (90 – 93%) 0.01 – 0.03% 12 – 200 mesh
Stabilitas: Cahaya Panas Kekuatan pewarnaan
Warna
Tidak proporsional dengan kadar dyes Bervariasi dengan kadar dyes
Lebih baik Baik Proporsional dengan kadar dyes
Konstan
Sumber: Sutrisno (2006)
Pewarna sintetik mempunyai berbagai kelebihan antara lain harga jauh lebih murah dibandingkan pewarna alami, stabilitas dari pewarna sintetik lebih baik sehingga warnanya tetap cerah walaupun telah melalui proses pengolahan dan pemanasan dan kekuatan warna lebih tinggi serta memberikan efek warna lebih seragam sehingga penggunaannya lebih luas (Nuraini, 2007). Pewarna sintetik lebih beragam dan banyak jumlahnya bila dibandingkan dengan pewarna alami namun sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh bahkan bisa menjadi pemicu tumbuhnya sel kanker atau karsinogenik. Pewarna sintetik tidak memiliki nilai gizi sehingga pengunaanya dapat menimbulkan gangguan kesehatan (Fibrianto, 2008). Selain
22
itu, pewarna sintetik dapat menimbulkan alergi (Khoiri, 2007). Oleh karena itu penggunaan pewarna sintetik untuk pangan harus
dibatasi
jumlahnya
karena
pada
saat
proses
pembuatannya menggunakan bahan kimia asam sulfat atau asam nitrat yang sering terkontaminasi arsen atau logam berat lainnya (Nuraini, 2007). Selain itu, pewarna sintetik juga telah menjadi kontroversi di Amerika Serikat sejak 1970-an ketika dr. Benjamin Feingold menyatakan hubungan antara perilaku dan konsumsi pewarna sintetik pada anak-anak. Untuk anak-anak yang rentan dengan Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) atau masalah perilaku lainnya menunjukkan bahwa kondisi mereka mungkin diperburuk oleh paparan sejumlah zat dalam pangan namun tidak terbatas pada pewarna sintetik saja. Temuan dari uji klinis yang terkait menunjukkan bahwa efek dari perilaku mereka muncul karena intoleransi pewarna sintetik dan tidak untuk setiap sifat neurotoksik yang melekat (Food and Drug Administration, 2011). 2.1.4 Pewarna Yang Dizinkan Pada Pangan Menurut Pasal 3 ayat (2 dan 3) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna, pewarna yang dizinkan di Indonesia adalah sebagai berikut:
23
1. Pewarna Alami Kurkumin, Riboflavin, Karmin dan ekstrak cochineal, Klorofil, Klorofil dan klorofilin tembaga kompleks, Karamel I, Karamel III amonia proses, Karamel IV amonia sulfit proses, Karbon tanaman, Beta-karoten (sayuran), Ekstrak anato (berbasis biksin), Karotenoid, Merah bit, Antosianin dan Titanium dioksida. 2. Pewarna Sintetik Tartrazin, Kuning Kuinolin, Kuning FCF, Karmoisin, Ponceau 4R, Eritrosin, Merah Allura, Indigotin, Biru Berlian FCF, Hijau FCF dan Coklat HT. 2.1.5 Pewarna Yang Tidak Dizinkan Pada Pangan Berdasarkan Lampiran I dan II Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan Nomor 386 Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan dan kosmetika, pewarna yang dilarang adalah Auramine, Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Unber, Chrysoidine, Chrysoine S, Citrus Red No.2, Chocolate Brown FB, Fast Red E, Fast Yellow, Guinea Green, Indanthrene Blue RS, Magenta, Methanil Yellow, Oil Orange SS, Oil Orange XO, Oil Orange AB, Oil Yellow AB, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orchid and Orcein, Ponceau 3R, Ponceau SX, Ponceau 6R, Rhodamine B, Sudan I, Scarlet GN dan Violet 6 B, Jingga K1 (C.I. Pigment Orange 5, D&C Orange No. 17), Merah K3 (C. I Pigment Red 53, D&C Red No. 8), Merah K4
24
(C. I. Pigment Red 53:1, D&C Red No. 9), Merah K10 (D&C Red No. 9, C.I. Food Red 15) dan Merah K11. 2.2 Eritrosin Eritrosin pada dasarnya terdiri dari garam disodium dari 9-(ocarboxyphenyl)-6-hidroksi-2,4,5,7-tetraiodo-3-isoxanthone monohydrate dan digabung bersama dengan air, natrium klorida dan/atau natrium sulfat sebagai pokok komponen tidak berwarna. Nama lain Eritrosin adalah CI Food Red 14, FD&C Red No. 3, CI (1975) No. 45430 INS No. 127 (FAO, 1993). Sebagai tambahan pangan, Eritrosin memiliki nomor E E127 (Praja, 2015). Eritrosin merupakan pewarna sintetik yang termasuk dalam golongan xanten (Sutomo, 2008). Serapan maksimum Eritrosin adalah pada 530nm dalam larutan air dan tunduk pada fotodegredasi (Praja, 2015). Menurut Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna, Eritrosin memiliki Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 0-0,1mg/kg berat badan sedangkan batas penggunaan pada pangan adalah 20-300mg/kg namun Arisman (2008) berpendapat bahwa Eritrosin sebaiknya tidak digunakan untuk pangan. Berikut adalah batas maksimum penggunaan Eritrosin berdasarkan kategori pangan tertetntu:
25
Tabel 2.3 Batas Maksimum Penggunaan Eritrosin Kategori Pangan
Buah bergula Produk buah untuk isi pastri Kembang gula keras / permen keras Kembang gula / permen lunak Kembang gula karet / permen karet Dekorasi (bakery), topping (non-buah) dan saus manis Premiks untuk roti tawar dan produk bakeri tawar Keik, kukis dan pai (isi buah atau custard,vla) Premiks untuk produk bakeri istimewa (keik, panekuk) Produk olahan daging (ungags dan hewan buruan) yang utuh / potongan Produk olahan daging (unggas dan hewan buruan) yang dihaluskan
Batas Maksimum (mg/kg) 100 100 25 25 25 100 20 300 20 30 30
Sumber: Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013
Eritrosin merupakan pewarna sintetik berupa tepung coklat, larutannya dalam alkohol 95% menghasilkan warna merah sedangkan larutannya dalam air berwarna cherry-pink jika ditambahkan pada pangan namun Eritrosin tidak dapat dipakai dalam produk minuman karena Eritrosin mudah diendapkan oleh asam (Karunia, 2013). Eritrosin umumnya digunakan dalam pengolahan beberapa permen, es loli dan bahkan lebih banyak digunakan dalam menghias kue gel. Pewarna ini juga digunakan untuk mewarnai kacang pistachio (Praja, 2015). Eritrosin yang digunakan sebagai pewarna permen anak-anak berpengaruh kuat sebagai neurocompetitive dopamine inhibitor ketika dipajakan pada otak tikus percobaan, pengurangan laju dopamine turnover inilah yang menyebabkan utama hipersensitivitas anak. Peneliti lain menemukan keterkaitan Eritrosin dengan reduksi noradrenalin, selain
26
berkemungkinan bersifat karsinogenik (Arisman, 2008). Begitu pula menurut Karunia (2013) jika mengonsumsi Eritrosin dalam dosis tinggi dapat bersifat kasinogen. Selain itu juga dapat mengakibatkan reaksi alergi seperti nafas pendek, dada sesak, sakit kepala, dan iritasi kulit. Kemudian studi lebih lanjut melaporkan penurunan aktivitas motorik dan serotonergik akibat Eritrosin dimulai dari tingkat dosis oral tunggal 10 mg/kg. Selain itu, Eritrosin juga dapat membuat anak menjadi hiperaktif dan menimbulkan efek kurang baik pada otak dan perilaku (Nasir, 2010). Karunia (2013) juga mengatakan efek samping lain Eritrosin yaitu meningkatnya hiperaktivitas. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat The Hyperactive Childrens Support Group yang menyatakan bahwa ada hubungan antara Eritrosin dan gangguan perilaku hiperaktif pada anak-anak (United Kingdom Food Guide, 2013). Pendapat-pendapat tersebut mungkin didasarkan pada penelitian yang baru-baru ini dilakukan pada Eritrosin bersama dengan beberapa pewarna lainnya telah dibahas karena keterkaitannya dengan hiperaktivitas pada anakanak misalnya oleh McCann pada tahun 2007. Tanpa memberikan rincian atau referensi untuk penyelidikan tertentu, Tema Nord pada tahun 2002 menyatakan bahwa “Eritrosin telah dilaporkan dalam menginduksi hiperaktif pada anak-anak, tetapi hal ini belum sepenuhnya didemonstrasikan” (European Commission, 2010). Sebagaimana adanya efek hiperaktif, Tanaka pada tahun 2001 melaporkan efek samping pada parameter neurobehavioural
27
dengan NOAEL 0,0015% dalam pangan (22,35 mg/kg bb/hari untuk laki-laki dan 27,86 mg/kg bb/hari untuk wanita) (European Commission, 2010). Eritrosin selain sebagai pewarna pangan juga dapat digunakan dalam pencetakan tinta atau sebagai noda biologis, agen pengungkap plak gigi serta sebagai sensitizer untuk film orthochromatic dalam dunia fotografi (Praja, 2015). 2.3 Rhodamin B Rhodamin B memiliki nomor indeks 45170 (C.I.Food Red 15) berwarna merah dan sangat beracun dan berfluorensi bila terkena cahaya matahari. Pewarna ini terbuat dari dietillaminophenol dan phatalic anchidria dimana kedua bahan baku ini sangat toksik bagi manusia (Djarismawati dkk, 2004). Rhodamin B juga memiliki banyak nama sinonim antara lain D dan C Red No. 19, ADC Rhodamin B, Aizen Rhodamin dan Brilliant Pink B (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005). Rhodamin B berbentuk kristal hijau atau serbuk ungu kemerahmerahan, sangat mudah larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan berfluorensi kuat. Selain mudah larut dalam air juga larut dalam alkohol, HCl dan NaOH. Kelarutan Rhodamin B pada air adalah 50g/L namun kelarutan dalam asam asetat larutan (30%) adalah 400g/L. Air keran yang diklorinasi terurai dengan Rhodamin B. Rhodamin B cenderung menyerap plastik dan harus disimpan dalam wadah gelas (Praja, 2015).
28
Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umumnya digunakan sebagai pewarna tekstil. Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004, Rhodamin B merupakan zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya
dalam
produk-produk
pangan.
Rhodamin
B
dapat
menyebabkan iritasi saluran pernapasan, iritasi kulit, iritasi mata, iritasi saluran pencernaan, keracunan, gangguan hati dan dapat menyebabkan kanker (Praja, 2015). Rhodamin B bersifat karsinogenik sehingga dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kanker. Uji toksisitas Rhodamin B telah dilakukan terhadap mencit dan tikus dengan injeksi subkutan dan secara oral. Rhodamin B dapat menyebabkan karsinogenik pada tikus ketika diinjeksi subkutan, yaitu timbul sarcoma lokal. Sedangkan didapatkan LD50 pada 89,5 mg/kg yang ditandai dengan gejala adanya pembesaran hati, ginjal dan limfa diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran organnya (Merck Index dalam Utami dkk, 2009). Toksisitas Rhodamin B adalah ORL-RAT LDLO 500mg.kg-1 (Praja, 2015). Rhodamin B tergolong dalam pewarna sintetik yang diperbolehkan untuk pewarna barang hasil industri seperti plastik, tekstil, kertas, keramik, ubin dan sebagainya (Wasis dan Irianto, 2008). Selain itu Rhodamin B juga biasanya dipakai dalam laboratorium sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co, Au, Mg dan Th (Praja, 2015). Rhodamin B merupakan senyawa kimia dan juga pewarna sehingga sering digunakan sebagai pewarna, pelacak dalam air untuk menentukan laju
29
dan arah aliran serta transportasi. Pewarna Rhodamin berpedar sehingga dapat dideteksi dengan mudah dan murah dengan instrumen yang disebut fluorometers. Pewarna Rhodamin digunakan secara ekstensif dalam aplikasi bioteknologi
seperti
mikroskop
fluoresensi,
sitometri,
fluoresensi,
spektroskopi korelasi dan ELISA (Praja, 2015). Rhodamin B digunakan dalam biologi sebagai pewarnaan zat warna neon, kadang-kadang dikombinasikan dengan Auramine O, sebagai Auramine-Rhodamin noda untuk menunjukan asam cepat organisme terutama Mycobacterium (Praja, 2015). Rhodamin B bersifat racun jika digunakan dalam pewarna pangan dan dapat memicu pertumbuhan zat karsinogenik yang menyebabkan munculnya penyakit kanker (Wasis dan Irianto, 2008). Penggunaan zat pewarna ini dilarang di Eropa mulai tahun 1984 karena Rhodamin B termasuk karsinogen yang kuat. Dampak negatif lainnya yaitu dapat menyebabkan ganguan fungsi hati. Efeknya tidak akan dirasakan saat ini tetapi akan terasa setelah sepuluh atau dua puluh tahun kemudian (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005). . Meskipun telah dilarang penggunaannya ternyata masih ada produsen yang sengaja menambahkan Rhodamin B untuk produknya (Praja, 2015). Rhodamin B terkadang digunakan sebagai bahan tambahan pewarna pangan hasil olahan industri kecil atau industri rumah tangga. Sebagai gambaran zat pewarna ini sering digunakan pada produk seperti sirup, limun, es mambo, bakpao, es cendol, es kelapa, kue basah dan pangan kipang.
30
Bahkan kerupuk ditambahkan Rhodamin B agar warna kerupuk lebih cerah dan menarik. Produk pangan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian yakni saus dan sambal kemasan (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005). 2.4 Dampak Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B 2.4.1 Hiperaktivitas Hiperaktivitas dikenal juga sebagai Attention Deficit Disorder (ADD) atau Attention Deficit Hyperactivitity Disorder (ADHD) (Thompson, 2002). Kondisi ini disebut sebagai gangguan hiperkinetik. Dahulu kondisi ini sering disebut Minimal Brain Dysfunction Syndrome (Fadhli, 2010). Tingkah laku individu-individu yang mengalami gangguan hiperaktivitas tidak dapat dikontrol (Semiun, 2006). Istilah hiperaktif atau ADD biasanya digunakan untuk menggambarkan anak yang masih muda, yang dianggap sangat aktif, terlalu menuruti kata hati, kurang dapat berkonsentrasi atau anak yang sulit diatur. Namun sebagian besar anak kecil umumnya mempunyai tingkat aktivitas tinggi dan sulit diatur, tanpa harus menjadi hiperaktif. Hal itu seringkali menyulitkan orang tua bahkan tenaga kesehatan dalam mengidentifikasi. Derajat hiperaktif pada anak berbeda-beda. Beberapa anak mungkin menderita hiperaktif sedang sementara anak lain menderita hiperaktif tingkat tinggi (Thompson, 2002).
31
Seorang anak untuk dapat disebut memiliki gangguan hiperaktif harus ada tiga gejala utama yang nampak dalan perilakunya yaitu inatensi, hiperaktif dan impulsif. Inatensi adalah pemusatan perhatian yang kurang baik atau kegagalan seorang anak dalam memberikan perhatian secara utuh (Fadhli, 2010). Impulsif adalah kecenderungan
bertindak
tiba-tiba
tanpa
berpikir
disebabkan
ketidakmampuannya mengendalikan dorongan (Gichara, 2008). Berbagai tipe hiperkinetik atau ADHD adalah tipe sulit berkonsentrasi, tipe hiperaktif-impulsif dan tipe kombinasi. Anak-anak dengan
ADHD
biasanya
menampakkan
perilaku
yang
dapat
dikelompokkan dalam 2 kategori utama yaitu kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas (Fadhli, 2010). Ada beberapa teori tentang penyebab seorang anak menjadi hiperaktif akan tetapi belum ditemukan satupun penyebab pastinya. Salah satunya adalah pangan, zat penambah pangan seperti pewarna (Thompson, 2002). Semiun (2006) juga menegaskan bahan-bahan tambahan pangan seperti pewarna dapat menjadi penyebab hiperaktif pada anak. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Feingold pada 1975 dan 1976, sekitar 50% dari anak-anak yang hiperaktif dapat berfungsi lagi secara normal ketika diberikan pangan yang tidak mengandung bahan tambahan. Tetapi dalam penelitian-penelitian yang telah dikontrol, anak-anak yang hiperaktif diberikan pangan yang mengandung bahan-bahan tambahan atau placebo ditemukan bahwa
32
kasus-kasus
hiperaktivitas
yang
disebabkan
oleh
bahan-bahan
tambahan itu hanya sekitar 5%. Dari penelitian itu jelas bahwa akibat dari bahan-bahan tambahan pangan tidak begitu kuat seperti yang dipikirkan (walaupun begitu tidak bisa diabaikan pengaruhnya dalam menimbulkan gangguan hiperaktivitas). Pangan tertentu belum terbukti bisa
menyebabkan
hiperaktif
namun
sebaiknya
menghentikan
pemberian pangan dan minuman olahan yang mengandung pewarna atau pengawet (Thompson, 2002). 2.4.2 Kanker Kanker merupakan penyakit yang berawal dari kerusakan gen, materi genetika atau DNA sel. Satu sel saja mengalami kerusakan genetika sudah cukup untuk menghasilkan sel kanker atau neoplasma. Sel yang gennya rusak itu dapat menjadi liar dan berkembang biak atau tumbuh terus tanpa henti dari satu sel menjadi beribu-ribu bahkan jutaan sel sehingga membentuk jaringan baru. Akhirnya terbentuklah jaringan tumor atau kanker (Mardiah dkk, 2006). Gen dalam sel ada yang disebut gen kanker (oncogen) dan gen penekan tumor (tumor suppressor gen). Bila salah satu atau kedua gen ini mengalami perubahan atau kerusakan maka kedua gen ini dapat menjadi salah kaprah lalu menjadi sal kanker atau tumor dan mulai melakukan pertumbuhan sel dengan tidak terkendali. Sebenarnya, dalam sel ada juga gen yang bertugas memperbaiki gen yang rusak, gen ini disebut gen pembentul (repair gen) namun bila gen ini juga
33
rusak maka tidak ada lagi yang dapat memperbaiki (Mardiah dkk, 2006). Penyakit kanker ada yang jinak dan ganas, kanker jinak disebut dengan tumor. Sebenarnya tidak semua gen sel yang rusak langsung menjadi kanker karena mungkin saja menjadi tumor namun kapan dan mengapa sel yang rusak itu memilih menjadi tumor saja atau langsung menjadi kanker atau menjadi tumor dulu lalu berubah menjadi kanker belum diketahui secara pasti. Dari banyak laporan hasil penelitian ilmiah diketahui bahwa semakin parah kerusakan gen dalam sel maka semakin besar pula kemunginan menjadi kanker (Mardiah dkk, 2006). Pemicu kanker dapat beragam, salah satunya dari pangan yang kita konsumsi. Senyawa pemicu kanker yang terdapat dalam bahan pangan dapat berupa bahan tambahan pangan yang sering digunakan dalam proses olahan industri pangan. Apabila senyawa pemicu kanker yang
terdapat
dalam
bahan
pangan
dikonsumsi
sehari-hari,
dikhawatirkan sedikit demi sedikit terakumulasi dalam tubuh sehingga dosis sekecil apapun dalam waktu cukup lama akan berbahaya bagi kesehatan (Mardiah dkk, 2006). Hasil penelitian Zakaria dkk pada tahun 1996 terhadap pangan jajanan tercemar food additives atau bahan tambahan pangan (seperti salah satunya pewarna) yang dikonsumsi remaja menunjukan bahwa pangan jajanan tersebut merupakan penyebab terbentuknya radikal bebas dalam tubuh. Bahan pewarna amaranth yang memberikan warna
34
merah dan tartrazin yang memeberikan warna kuning pada produk pangan juga mengindikasikan karsinogenik (Mardiah dkk, 2006). 2.5 Pangan Jajanan Anak Sekolah 2.5.1 Pengertian Pangan Jajanan Anak Sekolah Menurut Pasal 1 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 942 Tahun 2003 tentang pedoman persyaratan higiene sanitasi makanan jajanan, makanan jajanan atau pangan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin pangan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai pangan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran dan hotel. 2.5.2 Jenis Pangan Jajanan Anak Sekolah Berikut adalah jenis-jenis pangan jajanan anak sekolah menurut Kementerian Kesehatan RI (2011): 1. Pangan Sepinggan Pangan sepinggan merupakan kelompok pangan utama, yang dapat disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di tempat penjualan. Contoh pangan sepinggan seperti gado-gado, nasi uduk, siomay, bakso, mi ayam, lontong sayur dan lain-lain. 2. Pangan camilan Pangan camilan adalah pangan yang dikonsumsi diantara dua waktu makan. Pangan camilan terdiri dari:
35
a. Pangan camilan basah, seperti pisang goreng, lemper, lumpia, risoles, dan lain-lain. Pangan camilan ini dapat disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di tempat penjualan. b. Pangan camilan kering, seperti produk ekstrusi (brondong), keripik, biskuit, kue kering, dan lain-lain. Pangan camilan ini umumnya diproduksi oleh industri pangan baik industri besar, industri kecil dan industri rumah tangga. 3. Minuman Kelompok minuman yang biasanya dijual meliputi: a. Air minum, baik dalam kemasan maupun yang disiapkan sendiri b. Minuman ringan, dalam kemasan misalnya teh, minuman sari buah, minuman berkarbonasi dan lain-lain; disiapkan sendiri oleh kantin, misalnya es sirup dan teh; serta minuman campur seperti es buah, es cendol, es doger dan lain-lain. 2.6 Keamanan Pangan Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi (Pasal 1 UU No. 18 Tahun 2012). Keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama,
36
keyakinan, dan budaya masyarakat. Salah satu kegiatan penyelengaraan keamanan pangan dilakukan melalui pengaturan terhadap bahan tambahan pangan. Setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan dan/atau bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan (Pasal 67, 69, 75 UU No. 18 Tahun 2012). Pencemaran pangan dapat terjadi apabila higiene dan sanitasi pengolahan pangan tidak cermat. Namun pencemaran bisa juga terjadi akibat vektor, mikroorganisme dan berbagi jenis bahan kimia. Keracunan pangan oleh bahan kimia erat kaitannya dengan proses produksi dan distribusinya. Dalam proses produksi sering terjadi kelalaian bahkan kesengajaan menggunakan bahan kimia sebagai zat tambahan dalam pangan seperti zat pewarna, zat pengawet dan sebagainya (Nurmaini, 2001). Macam kontaminan yang sering terdapat dalam pangan dapat dibedakan menjadi 3 yaitu kontaminan biologis, kimiawi dan fisik (Purnawijayanti, 2001). 1. Kontaminan biologis adalah organisme hidup yang menimbulkan kontaminasi dalam pangan. Organisme hidup yang sering menjadi kontaminan atau pencemaran bervariasi mulai dari yang berukuran cukup besar seperti serangga sampai yang amat kecil seperti mikroorganisme. Jenis mikroorganisme yang sering menjadi pencemar bagi pangan adalah bakteri, fungi, parasite dan virus.
37
2. Kontaminan kimia adalah berbagai macam bahan atau unsur kimia yang menimbulkan pencemaran atau kontaminasi pada bahan pangan. Berbagai jenis bahan dan unsur kimia berbahaya dapat berada dalam pangan melalui beberapa cara antara lain terlarutnya lapisan alat pengolahan, logam yang terakumulasi pada produk perairan, sisa antibiotik / pupuk / insektisida / pestisida / herbisida pada tanaman atau hewan dan bahan pembersih atau sanitaiser kimia pada peralatan pengolahan pangan yang tidak bersih pembilasannya. 3. Kontaminan fisik adalah benda-benda asing yang terdapat dalam pangan padahal benda-benda tersebut bukan menjadi bagian dari bahan pangan tersebut. Contohnya terdapatnya paku, pecahan kaca, serpihan logam, isi stapler, lidi, kerikil, rambut dan benda-benda lainnya. Benda-benda ini merupakan kontaminan fisik yang selain menurunkan nilai estetis pangan juga dapat menimbulkan luka serius bila tertelan. Menurut Anwar dalam Nurlaela (2011), terjadinya kontaminasi dapat dibagi dalam tiga cara, yaitu: 1. Kontaminasi langsung (direct contamination) yaitu adanya bahan pencemar yang masuk ke dalam pangan secara langsung karena ketidaktahuan atau kelalaian baik disengaja maupun tidak disengaja. Contohnya, potongan rambut masuk ke dalam nasi, penggunaan pewarna kain dan sebagainya. 2. Kontaminasi silang (cross contamination) yaitu kontaminasi yang terjadi secara tidak langsung sebagai akibat ketidaktahuan dalam pengolahan
38
pangan. Contohnya, pangan mentah bersentuhan dengan pangan masak, pangan bersentuhan dengan pakaian atau peralatan kotor, misalnya piring, mangkok, pisau atau talenan. 3. Kontaminasi ulang (recontamination) yaitu kontaminasi yang terjadi terhadap pangan yang telah dimasak sempurna. Contohnya, nasi yang tercemar dengan debu atau lalat karena tidak ditutup. 2.7 Kasus-Kasus Penggunaan Pewarna Sintetik Penelitian Pujiasuti (2002) menyatakan 54,5% responden memiliki praktek kategori kurang dalam pemakaian bahan tambahan pangan. Kristianto dkk (2009) menyatakan bahwa 18,5% pangan jajanan anak sekolah di Kota Batu tidak memenuhi syarat keamanan karena penggunaan Rhodamin B. Ardiarini dan Gunanti (2004) menemukan Rhodamin B pada es potong merah dan es sari buah rasa kopi krim. Meskipun begitu Damayanthi dkk (2013) menyatakan terdapat 77,8% penjaja PJAS yang melakukan praktek keamanan pangan dalam kategori sedang. Umumnya penyebab utama pangan jajanan anak sekolah tidak memenuhi persyaratan yaitu bahan tambahan pangan berlebihan dan penggunaan bahan berbahaya. Jenis pangan jajanan anak sekolah yang paling sering masuk dalam kategori tidak memenuhi persyaratan yaitu minuman es, minuman berwarna/sirup, bakso dan jelly/agar-agar. Kemudian salah satu agen yang paling sering menyebabkan tidak memenuhi persyaratan yaitu AKK (angka kapang khamir: pewarna tekstil) (Info DATIN, 2015).
39
Di Indonesia ketentuan pewarna diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna serta Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 386 Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya. Meskipun pemerintah telah mengatur penggunaan pewarna untuk pangan masih banyak produsen pangan terutama pengusaha kecil yang menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang, misalnya pewarna untuk tekstil atau cat karena mempunyai warna lebih cerah, lebih stabil selama penyimpanan serta harganya lebih murah (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005). Rahayu dkk (2012) mengatakan masih ditemukan penyalahgunaan bahan kimia berbahaya seperti pewarna
tekstil
mengindikasikan
adanya
ketidakpedulian
maupun
ketidaktahuan produsen akan bahaya bahan tersebut. Menurut Tamaroh dalam Nurlaela (2011), faktor yang terpenting pada keamanan pangan adalah pedagang pangan. Pedagang pangan yang berpendidikan rendah akan melaksanakan tugasnya hanya mengandalkan kebiasaan yang dimilikinya tanpa mengetahui alasan yang benar yang melatarbelakangi tindakannya. Perilaku pedagang yang tidak mendukung tentunya akan menimbulkan masalah terhadap keamanan pangan. Padahal
40
pedagang pangan jajanan berperan penting dalam penyediaan pangan jajanan yang sehat dan bergizi serta terjamin keamanannya (Yasmin dkk, 2010). Penelitian Ardiarini dan Gunanti (2004) menyatakan 75% penjual minuman jajanan menggunakan pewarna sintetik karena harga pewama sintetik tidak mahal, praktis dan mudah diperoleh di toko kecil. Penggunaan pewarna sintetik dapat menghemat waktu dan biaya. Menurut Sari (2008) karena pewarna sintetik dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami maka menjadi perhatian produsen, mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah. Sulitnya akses bahan tambahan pangan dengan harga terjangkau oleh industri rumah tangga juga berkontribusi pada penyalahgunaan bahan kimia berbahaya. Bahan kimia yang tidak diizinkan untuk pangan dengan mudah dan murah diperoleh dari pengecer yang tidak bertanggung jawab (Rahayu dkk. 2012). Begitu pula menurut Pujiasuti (2002) bahwa faktor ketersediaan bahan
tambahan
tanpa
ada
label
“BTP”
memiliki
kemungkinan
mempengaruhi pembelian bahan tambahan tersebut di toko-toko setempat. Hal tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi dan akses memiliki peran dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan pengolahan pangan. Aminah dan Hidayah (2012) menyatakan penggunaan bahan pewarna alami memang tidak ada resiko kesehatan namun untuk mendapatkannya tidak mudah serta tidak praktis dan pewama alami kurang stabil.
41
Penambahan pewarna sintetik dalam minuman jajanan diakui seluruh penjual dapat memberikan kesan menarik pada produk akhir sehingga minuman jajanan yang dijual dapat laku > 90% per hari (Ardiarini dan Gunanti, 2004). Kemudian Aminah dan Hidayah (2012) menyatakan 76% responden menggunakan bahan pewarna sembarang dalam produk pangan asal produk menarik sehingga konsumen tertarik. Hal tersebut menunjukan bahwa penggunaan pewarna sintetik oleh pedagang mungkin dikarenakan anak sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya tarik warna (Kristianto dkk, 2009), begitu pula dengan Pujiasuti (2002) yang menyatakan alasan pemilihan produk berwarna antara lain lebih menarik dan lebih murah. Diperkuat dengan Nuraini (2007) bahwa warna mempunyai peran psikologis yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk pangan. Selain itu, menurut Pujiasuti (2002) 86% produsen menyatakan penggunaan pewarna karena permintaan konsumen. Pewama pangan yang dijual di pasaran baik yang berbentuk liquid dan bubuk pada umumnya tidak ada petunjuk ukuran penggunaannya, hal ini membuat para produsen pangan jajanan hanya mengira-ngira pemakaianya sehingga produknya menarik. Oleh karena itu meskipun menggunakan pewarna yang diijinkan tetapi kadarnya harus dibatasi sebab bila tidak terkontrol penggunaannya maka akan berefek tidak baik terhadap kesehatan (Aminah dan Hidayah, 2012). Menurut Rahayu dkk (2012), indsutri kecil perlu memiliki pengetahuan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu agar
42
tidak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan orang lain. Handayani dan Kurniawati dalam Wariyah dan Dewi (2013), faktor yang menyebabkan pedagang pangan jajanan memakai bahan tambahan antara lain adalah pengetahuan mereka yang rendah terhadap bahan tambahan pangan dan bahan berbahaya walaupun faktor ketidakpedulian juga mungkin terjadi. Begitu pula dengan BPOM (2012a) yang menyatakan bahwa pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan dapat mengindikasikan kurangnya pengetahuan tentang keamanan pangan. Selain itu, faktor kepedulian atau kesadaran para pembuat, penjual dan pembeli pangan jajanan anak sekolah juga dapat mempengaruhi adanya pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan. Menurut Rahayu dkk (2012), ketidakpedulian dan ketidaktahuan produsen bisa disebabkan karena masih ada industri rumah tangga yang tidak pernah dibina yaitu sebesar 34,2%. Penelitian Sugiyatmi (2006) menyatakan 64,6% dari pembuat pangan jajanan tradisional yang dijual di pasar-pasar Kota Semarang memiliki pengetahuan dalam kategori kurang tentang bahaya pewarna terlarang. Begitu pula dengan Ardiarini dan Gunanti (2004) yang mengatakan 75% penjual memiliki pengetahuan yang tergolong rendah terhadap pewarna sintetik. Utami dkk (2009) menyatakan bahwa 36,80% pedagang dapat membedakan pewarna alami atau sintetik; 5,30% pedagang mengetahui pewarna sintetik yang diijinkan; 10,50% pedagang mengetahui pewarna sintetik yang tidak diijinkan penggunaannya dalam pangan dan kesadaran pedagang akan bahaya
43
dari pewarna sintetik cukup rendah yaitu 43%. Namun Damayanthi dkk (2013) menyatakan 77,8% pengetahuan penjaja PJAS di SDN D tentang keamanan pangan dalam kategori sedang dan hal tersebut sejalan dengan Pujiasuti (2002) yang juga menyatakan 40,9% responden memiliki pengetahuan dalam kategori sedang tentang pemakaian bahan tambahan pangan. Sugiyatmi (2006) menyatakan pembuat pangan jajanan yang memiliki pengetahuan dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek pembuatan pangan dengan kategori tidak baik. Hal tersebut terbukti dengan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan praktek pembuatan pangan jajanan. Namun Pujiasuti (2002) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan produsen dengan pemakaian bahan tambahan pangan dan Damayanthi dkk (2013) juga menyatakan terdapat hubungan negatif antara pengetahuan tentang gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan. Utami dkk (2009) menyatakan rendahnya pengetahuan pedagang tentang pewarna alami dan sintetik serta pewarna yang tidak diijinkan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah pendidikan. Hasil survei menunjukkan 47,37% pedagang tidak berpendidikan. Ardiarini dan Gunanti (2004), 75% penjual memiliki tingkat pendidikan setingkat Sekolah Dasar dan 25% penjual tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Menurut Utomo dalam Ardiarini dan Gunanti (2004), pendidikan berpengaruh pada
44
faktor sosial ekonomi seperti pendapatan, pekerjaan, lifestyle, perumahan dan tempat tinggal serta pangan yang dikonsumsi dan disajikan. Seiring perkembangan teknologi informasi, pengetahuan tentang bahaya pewarna pangan terlarang atau yang berlebihan tidak harus didapatkan melalui pendidikan formal. Para pedagang bisa mendapatkan informasi tentang bahaya pewarna pangan melalui media elekktronik sehingga mereka memahami resiko yang mereka dapatkan dan berikan ketika menggunakan pewarna pangan yang dilarang. Hal ini membuktikan bahwa walaupun tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi tetapi mereka bisa memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai pewarna pangan (Pertiwi dkk, 2014). Meskipun begitu, menurut Pujiasuti (2002) masih terdapat lebih dari 50% responden yang belum pernah mendapatkan informasi mengenai bahan tambahan pangan secara khusus. Hanya 16% yang pernah mendapatkan informasi dari kebupaten, kelurahan, sekolah dan perindustrian serta 5% lainnya mendapat informasi dari teman dan keluarga. Rahayu dkk (2012) pun menyatakan bahwa informasi mengenai keberadaan bahan tambahan pangan di pasaran belum diketahui oleh sebagian besar industri rumah tangga. Sedangkan bahan kimia berbahaya masih beredar dan hal ini berkontribusi terhadap penyalahgunaan bahan kimia berbahaya. Pengetahuan keamanan pangan yang diketahui oleh para pedagang umumnya diperoleh dari informasi lisan dari mulut ke mulut, penyuluhan di PKK (bagi yang perempuan). Namun untuk mengaplikasikan pengetahuan
45
yang telah diperoleh secara lisan tersebut sulit, mengingat produsen ingin menampilkan dagangannya lebih menarik dengan cita rasa yang tinggi dengan biaya produksi yang rendah. Dalam penggunaan bahan tambahan pangan masih perlu mendapatkan perhatian baik jenisnya maupun ukurannya. Bahan tambahan yang digunakan harus bahan tambahan khusus pangan dan ukurannya sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Aminah dan Hidayah, 2012). Sugiyatmi (2006) menyatakan 68,8% dari pembuat pangan jajanan memiliki sikap terhadap penggunaan pewarna terlarang dalam kategori kurang. Namun Pertiwi dkk (2014) menyatakan bahwa 100% penjual pangan jajanan memiliki sikap yang positif terhadap penggunaan pewarna pada pangan, Pujiasuti (2002) yang menyatakan 50% responden memiliki sikap dalam kategori baik tentang pemakaian bahan tambahan pangan serta Damayanthi dkk (2013) yang mengatakan 77,8% penjaja PJAS di SDN D memiliki sikap dalam kategori sedang terhadap keamanan pangan. Sugiyatmi (2006) menyatakan pembuat pangan jajanan yang memiliki sikap dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek pembuatan pangan dengan kategori tidak baik. Hal tersebut terbukti dengan adanya hubungan yang signifikan antara sikap dengan praktek pembuatan pangan jajanan. Namun Damayanthi dkk (2013) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara sikap terhadap gizi dan keamanan pangan dengan praktek
46
keamanan pangan dan Pujiasuti (2002) juga mengatakan tidak ada hubungan antara sikap produsen dengan pemakaian bahan tambahan pangan. Selain pengetahuan dan sikap pedagang pangan jajanan, pengaruh orang lain juga dapat memberikan masukan terhadap bahan tambahan yang akan digunakan dalam pangan. Menurut Pujiasuti (2002) sebesar 38,6% produsen mendapatkan informasi mengenai bahan tambahan pangan untuk produk jualannya dari penjual bahan tambahan dan 27,3% lainnya dari teman serta sisanya dari orang tua dan saudara. Keterampilan atau kemampuan seseorang dalam mempersiapkan pangan dan memasak memiliki potensi untuk mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan (EUFIC, 2005). Oleh karena itu peningkatan keterampilan pedagang pangan jajanan perlu dilakukan. Menurut Rahayu dkk (2012), indsutri kecil perlu memiliki keterampilan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu, yang diimbangi dengan akhlak dan budi pekerti untuk
tidak
mendapatkan
keuntungan
sebesar-besarnya
dengan
mengorbankan orang lain. Serta terdapat pula produsen yang mempunyai kemauan untuk tidak menggunakan bahan tambahan yang dilarang untuk pangan namun tidak punya kemampuan yang ditunjukan dengan tingkat pengetahuan (Pujiasuti, 2002). Mujianto dkk (2005) menyatakan 64% pedagang pangan jajanan di Kecamatan Pondok Gede tidak pernah mendapatkan pembinaan dan hampir dari seluruh penjaja PJAS yang diteliti tidak pernah mengikuti pelatihan atau training terkait gizi maupun keamanan pangan (Damayanthi dkk. 2013).
47
83% pedagang pangan tidak pernah mendapatkan pengawasan (Mujianto dkk, 2005). 80% pedagang PJAS belum pernah mengikuti penyuluhan tentang pengolahan pangan yang baik (Wariyah dan Dewi, 2013). Pujiasuti (2002) berpendapat bahwa belum adanya program khusus untuk pembinaan berkaitan dengan pemakaian bahan tambahan pangan. Menurut Sugiyatmi (2006), terjadinya pencemaran pewarna pada pangan jajanan tradisional karena ketidaktahuan pembuat pangan jajanan mengenai pewarna yang digunakan dalam pembuatan pangan. Oleh karena itu untuk mengatasi terjadinya pencemaran bahan toksik pewarna tidak cukup bila hanya diberi larangan, perlu dilakukan pembinaan secara teratur kepada pembuat pangan jajanan tradisional untuk meningkatkan kualitas pangan jajanan dan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan pewarna terlarang, termasuk pengawasan terhadap pewarna yang dijual di warung-warung atau toko-toko. Mujianto dkk (2005) menyatakan 90% pedagang yang tidak diberikan pembinaan mempunyai kecenderungan menggunakan bahan tambahan pangan terlarang 2 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pedagang yang telah menerima pembinaan, dengan demikian pedagang yang tidak mendapat pembinaan dapat menjadi faktor resiko untuk terjadinya perilaku penggunaan bahan tambahan pangan terlarang. 90% pedagang yang tidak diberikan pengawasan mempunyai kecenderungan menggunakan bahan tambahan pangan terlarang 1,58 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pedagang yang telah diberikan pengawasan.
48
Pemerintah adalah pihak yang secara resmi mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pangan. Kewenangan ini berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 942 Tahun 2003 tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Pangan Jajanan pada bab VII pasal 15 tertulis pembinaan dan pengawasan pangan jajanan dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Pasal 17 tertulis dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengikut sertakan instansi terkait, pihak pengusaha, organisasi, profesi, asosiasi, paguyuban dan atau lembaga swadaya masyarakat serta pasal 19 tertulis ketentuan pembinaan dan pengawasan pangan jajanan ditetapkan lebih lanjut oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Mujianto dkk, 2005). Kurang terkontrolnya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah mungkin terjadi karena terlalu banyak industri rumah tangga dan hampir setiap orang warga berhak membuat produk pangan atau berwirausaha dibidang pangan, maka hal ini juga akan menyebabkan kurang terjangkau oleh BPOM untuk melakukan pembinaan keseluruh industri rumah tangga. Untuk melakukan inspeksi mendadak dipasar-pasar khususnya pada pangan jajanan juga terlalu berat, menginggat berbagai macam jenis pangan yang dijajakan dari berbagai industri rumah tangga meskipun Direktorat Survailens Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) telah melakukan usaha membentuk jaringan di 400 kabupaten kota seluruh Indonesia dalam rangka pembinaan industri skala rumah tangga (Aminah dan Hidayah, 2012).
49
Peraturan tentang keamanan pangan di lingkungan sekolah juga penting untuk dilakukan. Wijaya (2009) menyatakan semua sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor mempunyai peraturan mengenai PJAS namun sebagian besar hanya secara lisan. Peraturan umumnya mengenai kebersihan pangan jajanan, kedisiplinan penjaja PJAS dan penggunaan BTP. Namun penelitian Damayanthi dkk (2013), hanya 1 dari 7 sekolah yang menetapkan peraturan bagi pedagang yang berjualan di kantin yaitu tidak mengizinkan untuk menggunakan BTP berupa pemanis, pewarna maupun penyedap rasa. Selain itu jenis pangan yang dijual selalu diperiksa setiap minggunya oleh pengurus yayasan. Menurut Wijaya (2009), peraturan masih belum diterapkan secara optimal karena sebagian besar praktek keamanan PJAS masih berkategori kurang dan responden masih menggunakan BTP. Sebagian besar penerapan peraturan mengenai PJAS berkategori sedang dan hanya satu sekolah yang terkategori baik karena memiliki komite sekolah yang diduga berpartisipasi dalam pembentukan peraturan mengenai PJAS. Berdasarkan hasil uji korelasi diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara penerapan peraturan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan serta tidak ada hubungan yang nyata antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan. Penerapan peraturan memiliki persepsi yang berbeda-beda sebesar 51,1% penjaja PJAS tidak mengetahui adanya peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah, hal ini diduga bahwa peraturan mengenai PJAS masih kurang disosialisasikan oleh pihak sekolah ke penjaja PJAS (Wijaya, 2009).
50
2.8 Perilaku Tiga faktor yang mempengaruhi perilaku individu atau kelompok, termasuk tindakan dalam kaitannya dengan lingkungan yaitu faktor predisposisi atau faktor yang memberikan alasan dan motivasi untuk perilaku, faktor
pemungkin
atau
faktor
yang
memfasilitasi
motivasi
untuk
direalisasikan, faktor penguat atau faktor yang memberikan imbalan atau insentif secara berlanjut bagi perilaku dan kontribusi untuk persistensi atau pengulangan (Green dkk, 1991). Perilaku tertentu dapat dijelaskan sebagai pengaruh dari ketiga jenis faktor tersebut. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perilaku tunggal atau tindakan yang disebabkan oleh hanya satu faktor. Tetapi bagi kebanyakan orang, tiga kondisi (predisposisi, pemungkin dan penguat) harus selaras untuk perilaku terjadi dan terus berlangsung. Terdapat beberapa hubungan antara ketiga jenis faktor ini yang dapat mempengaruhi perilaku melalui berbagai cara (Green dkk, 1991). Biasanya, urutan perilaku seperti berikut seseorang memiliki alasan awal, dorongan atau motivasi (faktor predisposisi) untuk melakukan tindakan. Ini merupakan faktor pertama dalam rantai kausal yang mungkin berguna untuk memulai perilaku tetapi tidak akan cukup untuk menyelesaikannya kecuali orang tersebut memiliki sumber daya dan keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan perilaku. Motivasi diikuti dengan pengerahan atau penggunaan sumber daya untuk mengaktifkan (faktor pemungkin) tindakan. Hal ini biasanya menghasilkan perilaku yang diikuti oleh reaksi
51
terhadap perilaku yang emosional, fisik atau sosial (faktor penguat). Dorongan memperkuat perilaku, sumber daya masa depan dan motivasi. Tersedianya faktor pemungkin memberikan isyarat serta mempertinggi kesadaran dan faktor-faktor predisposisi perilaku lainnya (Green dkk, 1991). 2.8.1 Predisposisi (Predisposing) Faktor predisposisi termasuk pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai dan persepsi seseorang atau kelompok yang berhubungan dengan motivasi untuk bertindak. Faktor predisposisi juga meliputi dimensi kognitif dan afektif dari mengetahui, merasa percaya, menghargai dan memiliki rasa percaya diri atau rasa keberhasilan. Keterampilan yang ada dapat muncul melalui faktor efikasi diri, mempengaruhi seseorang untuk mengambil tindakan. Sejauh mana orang, organisasi atau komunitas memiliki keterampilan dan kapasitas tertentu dapat mempengaruhi mereka untuk mengambil tindakan tertentu tetapi keterampilan sebagai faktor pemungkin. Umumnya, faktor predisposisi sebagai preferensi pribadi mengantarkan seorang individu atau kelompok pada pilihan perilaku atau lingkungan dan pengalaman
pendidikan
atau
organisasi.
Preferensi
ini
dapat
mendukung atau menghambat perilaku. Berbagai faktor demografi seperti status sosial ekonomi, usia, jenis kelamin dan ukuran keluarga dapat mempengaruhi perilaku (Green dkk, 1991).
52
1. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Sunaryo, 2004). Pengetahuan biasanya dibedakan menjadi tiga macam yaitu tahu bahwa, tahu bagaimana dan tahu tentang namun dapat ditambahkan satu jenis pengetahuan yang serumpun yaitu tahu mengapa (Keraf dan Dua, 2001). a. Tahu bahwa adalah pengetahuan tentang informasi tertentu, tahu bahwa sesuatu terjadi, tahu bahwa ini atau itu demikian adanya, bahwa apa yang dikatakan benar. Jenis pengetahuan ini disebut pengetahuan teoritis, pengetahuan ilmiah walaupun masih pada tingkat yang tidak begitu mendalam. Pengetahuan ini berkaitan dengan keberhasilan dalam mengumpulkan informasi atau data tertentu. b. Tahu bagaimana adalah jenis pengetahuan yang menyangkut bagaimana melakukan sesuatu. Pengetahuan ini berkaitan dengan keterampilan atau keahlian dan kemahiran dalam melakukan sesuatu. Pengetahuan jenis ini dapat disebut juga pengetahuan praktis. Pengetahuan ini punya landasan teoritis
53
namun konsep teoritis diaplikasikan menjadi pengetahuan praktis. c. Tahu tentang adalah sesuatu yang sangat spesifik menyangkut pengetahuan akan sesuatu atau seseorang melalui pengalaman atau pengenalan pribadi secara langsung terhadap objek. Pengetahuan ini dapat disebut juga pengetahuan berdasarkan pengenalan atau pengetahuan langsung yang bersifat personal. Ciri pengetahuan model ini adalah tingkat objektivitas cukup tinggi namun tidak bisa dipungkiri unsur subjektif tetap cukup kuat, mampu membuat penilaian tertentu atas objek dan bersifat singular atau hanya berkaitan dengan barang atau objek khusus. d. Tahu mengapa berkaitan dengan tahu bahwa namun lebih mendalam dan serius karena tahu mengapa berkaitan dengan penjelasan. Penjelasan ini tak hanya berhenti pada informasi yang ada sebagaimananya tahu bahwa melainkan masuk ke balik informasi atau data yang ada. Tahu mengapa lebih kritis bahkan sampai tingkat mengkaitkan dan menyusun hubunganhubungan yang tak kelihatan antara berbagai informasi yang ada. Tahu mengapa lebih jauh untuk mengetahui mengapa sesuatu terjadi. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan paling tinggi dan mendalam dan merupakan pengetahuan ilmiah.
54
2. Sikap Sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa seperti senang, tidak senang atau perasaaan biasa-biasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu. “Sesuatu” itu bisa benda, kejadian, situasi, orang-orang atau kelompok. Kalau yang timbul terhadap sesuatu itu adalah perasaan senang, maka disebut sikap positif, sedangkan kalau perasaan tak senang, sikap negatif. Kalau tidak timbul perasaan apa-apa, berarti sikapnya netral (Sarwono, 2009). Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif, pengetahuan tentang objek atau kognitif dan kecenderungan bertindak atau konatif (Maulana, 2007). a. Afektif menunjukan dimensi emosional subjektif individu terhadap objek, baik bersifat positif (rasa senang) maupun negatif (rasa tidak senang). Reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh apa yang kita percayai sebagai sesuatu yang benar terhadap objek tersebut (Maulana, 2007). b. Kognitif atau komponen perceptual berisi kepercayaan yang berhubungan dengan persepsi individu terhadap objek dengan apa yang dilihat dan diketahui, pandangan, keyakinan, pikiran, pengalaman pribadi, kebutuhan emosional dan informasi dari orang lain (Maulana, 2007). c. Konatif merupakan kecendurungan bertindak terhadap objek yang dihadapinya (Maulana, 2007).
55
Sikap tidak sama dengan perilaku dan perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang. Individu sering memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Akan tetapi sikap dapat
menimbulkan
pola-pola
cara
berpikir
yang
dapat
mempengaruhi tindakan. Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tertentu melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Maulana, 2007). 3. Keyakinan Keyakinan adalah mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Secara umum keyakinan spiritual merupakan upaya seseorang untuk memahami tempat seseorang dikehidupan, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya dalam hubungannya dengan lingkungan secara menyeluruh (Hamid, 2008). Keyakinan merupakan salah satu komponen pembentuk sikap (Jain, 2014). 4. Nilai Budaya, perspektif antar generasi mengenai konsekuensi mengenai permasalahan yang mencerminkan nilai-nilai yang dipegang. Nilai cenderung mengelompok pada etnis dan lintas generasi dari orang-orang yang berbagi sejarah umum dan geografi. Mereka memberikan „dasar‟ pada individu yang akhirnya digunakan untuk membenarkan tindakan mereka dalam istilah moral atau etika. Nilai mendasari benar dan salah, baik dan buruk
56
dari pandangan masyarakat pada perilaku tertentu. Nilai-nilai pribadi yang tak terpisahkan terkait dengan pilihan perilaku (Green dkk, 2005). Nilai yang dipegang individu mempengaruhi pembentukan sikap (Homer dan Kahle, 1988). 2.8.2 Pemungkin (Enabling) Faktor pemungkin adalah keterampilan, sumber daya atau hambatan yang dapat membantu atau menghalangi perubahan perilaku yang diinginkan serta perubahan lingkungan. Faktor pemungkin dapat dilihat sebagai pemicu atau hambatan yang utamanya diciptakan oleh kekuatan masyarakat atau sistem. Fasilitas dan sumber daya pribadi atau masyarakat mungkin cukup atau tidak memadai, seperti pendapatan atau asuransi kesehatan, serta hukum dan undang-undang dapat mendukung atau membatasi. Keterampilan yang dibutuhkan untuk perilaku yang diinginkan terjadi juga memenuhi syarat sebagai faktor pemungkin. Faktor pemungkin mencakup semua faktor yang memungkinkan perubahan yang diinginkan dalam perilaku atau lingkungan. Faktor pemungkin juga termasuk keterampilan baru bahwa seseorang, organisasi atau komunitas untuk melakukan perubahan perilaku atau lingkungan (Green dkk, 1991). 1. Ketersediaan sumber daya Fasilitas, sarana, prasarana yang mendukung atau yang menfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat (Notoatmodjo, 2010b).
57
2. Aksesibilitas Masyarakat mempunyai perilaku harus terakses atau terjangkau transportasi serta sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan kesehatan (Green dkk, 1991). 3. Peraturan Adanya kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan
yang mendukung atau
menguntungkan
kesehatan (Notoatmodjo, 2010b). 4. Keterampilan Keterampilan kesehatan pribadi seperti perawatan diri dan pendidikan di sekolah kesehatan serta keterampilan dalam mempengaruhi masyarakat seperti melalui aksi sosial dan perubahan organisasi (Green dkk, 1991). 2.8.3 Penguat (Reinforcing) Faktor penguat adalah konsekuensi dari tindakan yang menentukan apakah pelaku menerima umpan balik positif (atau negatif) dan didukung secara sosial setelah terjadi. Faktor penguat termasuk dukungan sosial, pengaruh teman, saran dan umpan balik dari penyedia layanan kesehatan. Faktor penguat juga mencakup konsekuensi fisik perilaku, yang mungkin terpisah dari konteks sosial (Green dkk, 1991). Manfaat sosial (seperti pengakuan), manfaat fisik (seperti kemudahan, kenyamanan, menghilangkan ketidaknyamanan atau
58
sakit), imbalan nyata (seperti manfaat ekonomi atau penghindaran biaya) dan membayangkan atau pengganti imbalan (seperti perbaikan penampilan, harga diri atau pergaulan dengan orang yang dikagumi yang menunjukkan perilaku) semua memperkuat perilaku. Faktor penguat juga mencakup konsekuensi yang merugikan dari perilaku atau "hukuman" yang dapat menyebabkan hilangnya perilaku positif. Perilaku negatif adalah balasan dari perilaku dengan menghilangkan sesuatu yang tidak menyenangkan (Green dkk, 1991). Mengantisipasi penguatan (atau hukuman) dapat terjadi sebelum perilaku. Seperti penguatan yang di antisipasi dapat mempengaruhi kinerja perilaku selanjutnya. Penerimaan sosial (atau penolakan) dapat menjadi faktor penguat (Green dkk, 1991). 1. Pengaruh petugas kesehatan Petugas kesehatan atau tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan
yang
untuk
jenis
tertentu
memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
59
penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat (Pasal 1 UU No. 36 Tahun 2014). 2. Pengaruh teman Pengaruh
teman
sekelompok
adalah
kemampuan
memengaruhi perilaku individu di antara anggota kelompok berdasarkan norma-norma kelompok, kesadaran kelompok atas apa yang merupakan hal atau cara benar untuk melakukan hal-hal serta kebutuhan untuk dinilai dan diterima oleh kelompok (Pearce dan Robinson, 2008). 3. Pengaruh orang tua Orang tua mempunyai kemampuan secara langsung dan tidak langsung untuk mempengaruhi semua aspek pada lingkungan anak mereka baik secara fisik, kognitif, sosial, budaya dan ekonomi serta utamanya perilaku aktifitas fisik. Pengaruh atau dukungan langsung
termasuk
memberikan
kendaraan
atau
dukungan
keuangan, berperan sebagai panutan atau menawarkan diri untuk terlibat dalam aktifitas fisik bersama. Dukungan tidak langsung termasuk dukungan emosional seperti semangat dan pujian (Wenthe, 2007).
60
Bagan 2.1 Tiga Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Faktor Predisposisi Pengetahuan Sikap Keyakinan Nilai dll
Faktor Pemungkin Ketersediaan Sumber Daya Aksesibilitas Peraturan Keterampilan dll
Faktor Penguat Petugas Kesehatan Teman Orang tua dll
Sumber: Green dkk (1991)
Perilaku (Tindakan)
61
2.9 Kerangka Teori Bagan 2.2 Kerangka Teori Predisposisi Pengetahuan
Sikap Keyakinan Nilai
Pemungkin
Penggunaan Eritrosin dan
Ketersediaan Sumber Daya
Rhodamin B Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah
Aksesibilitas Peraturan Keterampilan
Penguat Petugas Kesehatan Sesama Pedagang Orang Tua Institusi Pendidikan
Keterangan: Diteliti Tidak Diteliti
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda. Variabel independen terdiri dari pengetahuan, sikap, keterampilan, aksesibilitas, peraturan sekolah terkait usaha pangan jajanan, pengaruh sesama pedagang pangan jajanan serta pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan dan sekolah sedangkan variabel dependen dari penelitian ini adalah penggunaan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah. Adapun variabel lain yang tidak dilakukan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Keyakinan, dikarenakan menurut Jain (2014) keyakinan merupakan salah satu komponen pembentuk sikap oleh karena variabel sikap akan diteliti dalam penelitian ini maka variabel keyakinan tidak diteliti sebagaimana secara tidak langsung variabel sikap dapat menggambarkan keyakinan yang tertanam pada orang tersebut. 2. Nilai, dikarenakan menurut Homer dan Kahle (1988) nilai-nilai yang dipegang individu mempengaruhi pembentukan sikap sehingga peneliti menggabungkannya dalam variabel sikap sebab secara tidak langsung variabel sikap dapat menggambarkan nilai yang tertanam pada orang tersebut.
62
63
3. Ketersediaan sumber daya, dikarenakan peneliti menggabungkannya dalam variabel aksesibilitas sebab aksesibilitas dapat berarti teraksesnya atau terjangkaunya sumber daya (yaitu, pewarna sintetik). 4. Orang tua, dikarenakan pada umumnya para orang tua akan selalu mengajarkan hal-hal yang baik kepada anak-anaknya sehingga peneliti tidak meneliti variabel ini. Sedangkan dampak hanya akan dibahas berdasarkan literatur dikarenakan tujuan penggunaan pewarna sintetik pada pedagang umumnya sama yaitu untuk mengurangi biaya produksi sehingga pengeluaran lebih sedikit dan mendapat keuntungan lebih besar.
64
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Variabel Independen
Variabel Dependen
Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan
Sikap Pedagang Pangan Jajanan
Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan
Aksesibilitas Pewarna
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Pada Pangan
Peraturan Sekolah
Pengaruh Sesama Pedagang
Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan
Pembinaan dan Pengawasan Sekolah
Jajanan Anak Sekolah
3.2 Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No
1.
2.
3.
4.
5.
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Variabel Dependen Penggunaan Eritrosin Ada atau tidak adanya Eritrosin Uji dan Rhodamin B Pada dan Rhodamin B pada pangan Laboratorium Pangan Jajanan Anak jajanan anak sekolah. Sekolah Variabel Independen Pengetahuan Kemampuan pedagang pangan Wawancara jajanan dalam menjawab pertanyaan tentang pewarna sintetik beserta dampaknya. Sikap Pernyataan yang menunjukkan Wawancara kepedulian / ketidakpedulian pedagang terhadap risiko dan bahaya penggunaan pewarna sintetik pada pangan jajanan. Keterampilan Kemampuan pedagang dalam Wawancara mengolah sendiri bahan baku dan bahan tambahan pangan menjadi pangan jajanan. Aksesibilitas Pernyataan yang menunjukkan Wawancara mudah / sulitnya pedagang pangan jajanan dalam 65
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
Spektrofotometri 0. Ya UV-Visibel dan 1. Tidak serat wol
Nominal
Kuesioner
0. Kurang = 0-5 1. Sedang = 6-7 2. Baik = 8-10 (Sugiyatmi, 2006) 0. Kurang = 0-5 1. Sedang = 6-7 2. Baik = 8-10 (Sugiyatmi, 2006)
Ordinal
Kuesioner
0. Ya 1. Tidak
Nominal
Kuesioner
0. Mudah 1. Sulit
Nominal
Kuesioner
Ordinal
No
Variabel
6.
Peraturan
7.
Pengaruh Sesama Pedagang
8.
Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan
9.
Pembinaan dan Pengawasan Sekolah
Definisi Operasional
Cara Ukur
memperoleh pewarna (misalnya ketersediaan, akses dan harga). Pernyataan yang menunjukkan ada / tidak adanya peraturan / kebijakan sekolah terkait dengan persyaratan pangan jajanan. Pernyataan yang menunjukkan ada / tidak adanya pengaruh sesama pedagang dalam menjual pangan jajanan. Pernyataan yang menunjukkan pernah / tidak pernahnya petugas kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan pangan jajanan. Pernyataan yang menunjukkan pernah / tidak pernahnya sekolah melakukan pembinaan dan pengawasan penjualan pangan jajanan.
66
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
Wawancara
Kuesioner
0. Tidak Ada 1. Ada
Nominal
Wawancara
Kuesioner
0. Ada 1. Tidak Ada
Nominal
Wawancara
Kuesioner
0. Tidak Pernah 1. Pernah
Nominal
Wawancara
Kuesioner
0. Tidak Pernah 1. Pernah
Nominal
67
3.3 Hipotesis 1. Ada hubungan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. 2. Ada hubungan antara sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. 3. Ada hubungan antara keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. 4. Ada hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. 5. Ada hubungan antara peraturan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. 6. Ada hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. 7. Ada hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah. 8. Ada hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan Cross Sectional. Dalam penelitian ini akan dipelajari faktorfaktor yang berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di seluruh SDN Sekelurahan Pondok Benda Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan yaitu SDN Pondok Benda I, SDN Pondok Benda II, SDN Pondok Benda III, SDN Pondok Benda IV, SDN Pondok Benda V, SDN Pondok Benda VI, SDN Parakan I dan SDN Parakan II dengan waktu penelitian pada bulan Agustus-September Tahun 2015. 4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang pangan jajanan SDN di Sekelurahan Pondok Benda Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan yang berjumlah 34 orang.
68
69
4.3.2 Sampel 1. Sampel Responden Pedagang pangan jajanan anak sekolah yang akan dijadikan sebagai sampel responden dalam penelitian ini akan ditentukan dengan cara estimasi (Lemeshow dkk, 1997):
Keterangan:
Berdasarkan perhitungan rumus tersebut diperoleh besar sampel minimum adalah 14 pedagang namun karena jumlahnya yang relatif kecil maka sampel dipilih dengan metode sampel jenuh yaitu teknik penarikan sampel apabila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Lusiana dkk, 2015) dengan kriteria inklusi pedagang pangan jajanan bersedia menjadi responden dan kriteria eksklusi pedagang pangan jajanan yang berjualan tidak tetap di lokasi penelitian. Pada akhirnya besar sampel yang memenuhi kriteria dalam penelitian adalah 30 pedagang pangan jajanan.
70
2. Sampel Pangan Jajanan Anak Sekolah Sampel pangan jajanan anak sekolah dipilih dengan metode accidental sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan (Lusiana dkk, 2015). Pangan jajanan yang secara kebetulan ditemukan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila pangan jajanan tersebut pada waktu menentukan sampel cocok dengan yang diperlukan sebagai sumber data. Tabel 4.1 Sampel Pangan Jajanan Anak Sekolah Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
17
Pangan Jajanan Es Teh Es Campur Es Potong I Es Potong II Es Mambo I Bakso Saos Bakso Lenting Batagor I Saos Batagor Minuman Merah I Batagor II Saos Batagor Cilung Saos Cilung Telur Goreng I Saos Telur Goreng Selendang Mayang Sosis Es Mambo II Telur Goreng II Saos Telur Goreng Es Pipih I Es Pipih II Es Pipih III Batagor III
71
Responden 18 19 20 21 22 23 24
25 26 27 28 29 30
Pangan Jajanan Saos Batagor Es Doger I Kerupuk Gulali Gulali Telur Puyuh Goreng Saos Telur Puyuh Goreng Bakso, Mie Saos Bakso, Mie Ayam Tepung Saos Ayam Tepung Siomay I Saos Siomay Minuman Merah II Minuman Oranye Minuman Kuning Minuman Merah III Cilok Saos Cilok Minuman Merah IV Es Doger II Es Dawet Siomay II Saos Siomay
4.4 Sumber Data Penelitian 4.4.1 Data Primer Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari data hasil uji laboratorium dan data hasil kuesioner tentang pengetahuan pedagang pangan jajanan, sikap pedagang pangan jajanan, keterampilan pedagang pangan jajanan, akses pedagang pangan jajanan, peraturan sekolah terkait usaha pangan jajanan, pengaruh sesama pedagang dalam menjalankan usaha pangan jajanan serta pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan dan sekolah terhadap pangan jajanan.
72
4.4.2 Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini antara lain adalah data jejaring keamanan pangan jajanan anak sekolah dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, data daftar SD di Kecamatan Pamulang Sekelurahan Pondok Benda dari Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan. 4.5 Instrumen Penelitian Dalam pengumpulan data penelitian digunakan beberapa instrumen penelitian, yaitu: 1. Kuesioner. Kuesioner merupakan hasil modifikasi dari kuesioner Sugiyatmi (2006) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks dan Pewarna Pada Pangan Jajanan Tradisional Yang Dijual Di Pasar-Pasar Kota Semarang”. Tabel 4.2 Variabel Pertanyaan Variabel Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Pada PJAS Pengetahuan Sikap Keterampilan Aksesibilitas Peraturan Pengaruh Sesama Pedagang Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah
Pertanyaan I1 B1-B10 C1-C10 D1 E1-E3 F1 G1 H1 H2
a. Uji Validitas Uji validitas dilakukan dengan rumus korelasi bivariat pearson. Hasil pengujian validitas dapat dilihat pada kolom corrected item-total correlation dimana nilai r hitung yang terdapat pada kolom
73
tersebut dibandingkan dengan nilai R tabel. Item kuesioner dalam uji validitas dikatakan valid jika nilai R hitung > R tabel pada signifikasi 5%. Sebaliknya item dikatakan tidak valid jika nilai R tabel > R hitung pada signifikasi 5% (Hastono, 2006).
Adapun hasil uji
validitas sebagaimana data dalam tabel berikut: Tabel 4.3 Hasil Uji Validitas Kuesioner Nomor Item B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 B10 C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 D1 E1 F1 F2 G H1 H2
Rhitung 0,740 0,644 0,772 0,639 0,774 0,672 0,690 0,576 0,697 0,750 0,788 0,875 0,788 0,596 0,875 0,788 0,875 0,596 0,788 0,875 1 1 0,828 0,715 1 0,632 0,632
Rtabel 5% (N=15) 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514
Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Hasil perhitungan uji validitas sebagaimana tabel di atas menunjukan bahwa seluruh pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini
74
valid dan dapat digunakan sebagai instrument penelitian karena nilai Rhitung > Rtabel pada signifikasi 5%. b. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus alpha. Hasil pengujian reliabilitas dapat dapat dilihat pada kolom Cronbach’s alpha. Instrumen dapat dikatakan reliabel jika nilai apha lebih besar dari R tabel (Hastono, 2006). Adapun hasil uji reliabilitas sebagaimana data dalam tabel berikut: Tabel 4.4 Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner Rhitung 0,906
Rtabel 5% (N=15) 0,514
Keterangan Reliabel
Hasil uji reliabilitas diperoleh nilai koefisien reliabilitas kuesioner sebesar 0,906. Berdasarkan nilai koefisien reliabilitas tersebut dapat disimpulkan bahwa kuesioner dalam penelitian ini reliable atau konsisten sehingga dapat digunakan sebagai instrument penelitian. 2. Lembar hasil analisis kandungan pewarna sintetik pada pangan jajanan, 3. Seperangkat alat dan bahan analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan pewarna sintetik pada pangan jajanan. 4.6 Cara Pengumpulan Data 4.6.1 Wawancara Wawancara,
digunakan
untuk
menggali
data
tentang
pengetahuan pedagang pangan jajanan, sikap pedagang pangan
75
jajanan, akses pedagang pangan jajanan, keterampilan pedagang pangan jajanan, peraturan sekolah terkait usaha pangan jajanan, pengaruh sesama pedagang dalam menjalankan usaha pangan jajanan serta pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan dan sekolah terhadap pangan jajanan. 4.6.2 Uji Laboratorium Uji laboratorium pada penelitian ini digunakan untuk memperoleh data ada atau tidaknya pewarna sintetik serta kadar pewarna sintetik dalam pangan jajanan anak sekolah. Analisis kandungan pewarna sintetik ini dilakukan dengan Spektrofotometri UV-Visibel dan serat wol. 1. Spektrofotometri UV-Visibel Spektrofotometri UV-Visibel yang digunakan adalah merek Perkin Elmer Lambda 25 dengan jangkauan 190-1100 nm, bandwidth 1 nm dan metode operasional seperti pemindaian, pemrograman panjang gelombang, analisis kuantitatif, pemindaian analisis kuantitatif dan lain-lain. Fitur-fitur yang ada antara lain pengoperasian sinar ganda, throughput yang besar, penyimpangan lampu fiber optik rendah, memiliki beragam aksesoris dan peralatan serta berperangkat lunak WinLab UV. Keunggulannya yaitu dapat menganalisis semua jenis farmakope, cocok untuk semua jenis sampel cairan serta memiliki stabilitas, akurasi dan kemampuan memroduksi yang tinggi (PerkinElmer, 2015).
76
Pengukuran zat pewarna sintetik pada analisa kuantitatif menggunakan metode Spektrofotometri UV-Visibel (Depkes RI dalam Sumarlin, 2010). a. Preparasi Standar Standar Rhodamin B (0 ppm – 10 ppm) Memipet
masing-masing
1107,4µl
dan
2214,8
standar
tartrazine 451,5 ppm ke dalam labu takar 100 ml. Menambahkan aquades masing-masing menjadi 100 ml kemudian di kocok. Deret standar ini mengandung 0, 1, 2.5, 5, 7.5 dan 10 ppm Rhodamin B. b. Preparasi Sampel Metode preparasi sampel pada analisa kuantitatif dengan Spektrofotometri menggunakan metode preparasi analisa kualitatif (Kromatografi kertas), yaitu: 1) Memasukan ±10 ml sampel cair atau 10-25 gram sampel padatan ke dalam gelas piala 100 ml. 2) Diasamkan dengan menambahkan 5 ml asam asetat 10 %. 3) Masukan dan rendam benang wol ke dalam sampel tersebut. 4) Panaskan dan diamkan sampai mendidih (±10 menit). 5) Ambil benang wol, dicuci dengan air dan dibilas dengan aquades.
77
6) Tambahkan 25 ml amoniak 10 % ke dalam benang wol yang telah dibilas tersebut. 7) Panaskan benang wol sampai warna yang tertarik pada benang wool luntur kembali. 8) Warna yang telah ditarik dari benang wol dan masih larut dalam
amoniak
kemudian
di
analisa
dengan
spektrofotometer UV-Visibel. Perhitungan:
FP = Faktor Pengenceran 2. Serat Wol Prinsip kerja serat wol digunakan untuk analisis zat warna karena sifatnya yang dapat mengabsorpsi zat warna baik yang asam maupun yang basa. Serat wol dan sutera mengandung protein amfoter yang mempunyai afinitas terhadap asam maupun basa dengan bentuk garam. Dengan mengamati perubahan warna dari benang wol yang telah dicelup dalam berbagai pereaksi maka jenis zat warna dapat ditentukan (Hanafi dan Zulkarnain, 2009). Alat dan bahan yang digunakan adalah Piala gelas, Lempeng tetes, Pipet tetes, Hot Plate Stirer, Benang Wol, HCl 10%, NaOH 10%, HCl pekat, H2SO4 pekat, NH4OH 12% dan
78
contoh bahan pangan yang mengandung zat warna sintetik. Dan berikut adalah cara kerjanya, (Hanafi dan Zulkarnain, 2009): a. 30-50ml contoh berupa cairan (untuk padatan 25g contoh dihomogenkan
dengan
air kemudian diambil
30-50ml)
diasamkan dengan sedikit HCl 10%; b. Masukan benang wol (kurang lebih 20cm) ke dalam larutan, didihkan selama 30 menit; c. Benang wol diangkat, cuci dengan air dingin; d. Keringkan, potong menjadi 4 bagian; e. Tempatkan keempat potongan benang wol diatas lempengan tetes kemudian tiap potongan ditetesi dengan satu zat yang berbeda, yaitu NaOH 10%, HCl pekat, H2SO4 pekat dan NH4OH 12%; f. Amati perubahan warna, bandingkan dengan standar warna. Tabel 4.5 Indikator Perubahan Warna Serat Wol Bahan Pewarna Sintetik Eritrosin Rhodamin B
HCl Pekat
H2SO4 Jenuh
NaOH 10%
NH4OH
Jingga-kuning Jingga-kuning Jingga Kuning
Tidak berubah Biru
Tidak berubah Biru
Sumber: Hanafi dan Zulkarnain (2009)
4.7 Pengolahan Data Data yang telah dikumpulkan oleh peneliti kemudian akan diolah dengan menggunakan program komputer meliputi:
79
1. Editing Editing adalah kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian kuesioner. Apabila ada jawaban-jawaban yang belum lengkap, kalau memungkinkan melengkapi
perlu
dilakukan
jawaban-jawaban
pengambilan tersebut.
data
Tetapi
ulang
untuk
apabila
tidak
memungkinkan maka pertanyaan yang jawabnya tidak lengkap tidak diolah atau dimasukan dalam pengolahan “data missing”. 2. Coding Setelah semua kuesioner di edit atau di sunting, selanjutnya dilakukan pengkodean atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Koding atau pemberian kode ini sangat berguna dalam memasukan data (data entry). Berikut adalah pengkodean pada masing-masing variabel: a. Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan “Ya” = “[0]” dan “Tidak” = “[1]”. b. Pengetahuan pedagang pangan jajanan tentang pewarna sintetik, “Kurang” = “[0]” jika responden dapat menjawab pertanyaan dengan benar sebesar 0-5 item; “Sedang” = “[1]” jika responden dapat menjawab pertanyaan dengan benar sebesar 6-7 item dan “Baik” = “[2]” jika responden dapat menjawab pertanyaan dengan benar sebesar 8-10 item. c. Sikap pedagang pangan jajanan terhadap penggunaan pewarna sintetik, “Kurang” = “[0]” jika responden dapat menjawab pertanyaan
80
dengan benar sebesar 0-5 item; “Sedang” = “[1]” jika responden dapat menjawab pertanyaan dengan benar sebesar 6-7 item dan “Baik” = “[2]” jika responden dapat menjawab pertanyaan dengan benar sebesar 8-10 item. d. Keterampilan pedagang dalam mengolah sendiri pengan jajanannya, “Ya” = “[0]” = dan “Tidak” = “[1]”. e. Aksesibilitas pedagang dalam memperoleh pewarna, “Mudah” = “[0]” dan “Sulit” = “[1]”. f. Peraturan sekolah terkait persyaratan pangan jajanan, “Tidak Ada” = “[0]” dan “Ada” = “[1]”. g. Pengaruh sesama pedagang dalam menjual pangan jajanan, “Ada” = “[0]” dan “Tidak Ada” = “[1]”. h. Pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan terhadap pangan jajanan, “Tidak Pernah” = “[0]” dan “Pernah” = “[1]”. i. Pembinaan dan pengawasan oleh sekolah terhadap pangan jajanan, “Tidak Pernah” = “[0]” dan “Pernah” = “[1]”. 3. Entry Data yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau “software” komputer.
81
4. Cleaning Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukan
perlu
kemungkinan
dicek
kembali
untuk
melihat
kemungkinan-
kesalahan-kesalahan
kode,
ketidaklengkapan
dan
sebagainya kemudian dilakukan pembentulan atau koreksi. Proses ini disebut pembersihan data (data cleaning). 4.8 Analisis Data 4.8.1 Univariat Analisis
univariat
dilakukan
untuk
menjelaskan
atau
mendeskripsikan pengetahuan pedagang pangan jajanan, sikap pedagang pangan jajanan, keterampilan pedagang dalam mengolah pangan jajanan, aksesibilitas pedagang pangan jajanan, peraturan sekolah, pengaruh sesama pedagang, pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan dan sekolah serta penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel distribusi dan persentase. 4.8.2 Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan
antara
keterampilan,
variabel
aksessibilitas,
bebas
yaitu
peraturan,
pengetahuan,
pengaruh
teman
sikap, serta
pembinaan dan pengawasan dengan variabel terikat yaitu penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Analisis yang digunakan adalah uji Chi Square dengan nilai
. Interpretasi hasil analisis yaitu apabila
82
nilai P ≤
disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antar
variabel dan apabila P >
disimpulkan tidak terdapat hubungan yang
signifikan antar variabel (Hastono dan Sabri, 2010).
Rumus Chi Square:
∑
BAB V HASIL 5.1 Analisis Univariat 5.2.1 Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Distribusi penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan di SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.1 Tabel 5.1a Distribusi Frekuensi Penggunaan Eritrosin Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Kategori Ya Tidak Total
Frekuensi 4 26 30
Persentase (%) 13,3 86,7 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa dari 30 sampel pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda sebesar 13,3% sampel mengandung Eritrosin yaitu minuman berwarna merah. Tabel 5.1b Distribusi Frekuensi Penggunaan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Kategori Ya Tidak Total
Frekuensi 4 26 30
Persentase (%) 13,3 86,7 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa dari 30 sampel pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di sekitar SDN
83
84
Sekelurahan Pondok Benda sebesar 13,3% sampel mengandung Rhodamin B yaitu sosis, kerupuk gulali dan es mambo. 5.2.2 Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Tentang Pewarna Distribusi pengetahuan pedagang pangan jajanan di SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.2 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Kategori Baik Sedang Kurang Total
Frekuensi 9 14 7 30
Persentase (%) 30 46,7 23,3 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 46,7% pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda memiliki pengetahuan umum tentang pewarna dalam kategori sedang seperti tujuan penggunaan pewarna dan jenis pewarna. 5.2.3 Sikap Pedagang Pangan Jajanan Terhadap Penggunaan Pewarna Distribusi sikap pedagang pangan jajanan di SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.3 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Sikap Pedagang Pangan Jajanan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Kategori Baik Sedang Kurang Total
Frekuensi 17 11 2 30
Persentase (%) 56,7 36,7 6,6 100
85
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 56,7% pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda memiliki sikap tentang penggunaan pewarna dalam kategori baik seperti tidak boleh menggunakan pewarna sembarangan, pewarna kain berdampak buruk bagi kesehatan jika digunaka pada pangan dan pewarn alami lebih baik daripada pewarna buatan. 5.2.4 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan Distribusi keterampilan pedagang pangan jajanan di SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.4 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Kategori Ya Tidak Total
Frekuensi 7 23 30
Persentase (%) 23,3 76,7 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 76,7% pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda tidak memiliki keterampilan dalam membuat sendiri pangan jajanan yang dijualnya, umumnya mereka menjual pangan jajanan yang sudah jadi atau bisa disebut sebagai penjaja pangan jajanan. 5.2.5 Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan Distribusi aksesibilitas pedagang pangan jajanan di SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.5
86
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Kategori Mudah Sulit Total
Frekuensi 28 2 30
Persentase (%) 93,3 6,7 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 93,3% pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan mudah untuk mengakses pewarna baik dari ketersediaan yang selalu ada, harga yang terjangkau dan jarak yang dekat. 5.2.6 Peraturan Sekolah Tentang Keamanan Pangan Distribusi peraturan sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.6 Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Peraturan Sekolah Di Sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Kategori Ada Tidak Ada Total
Frekuensi 7 23 30
Persentase (%) 23,3 76,7 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 76,7% pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan tidak ada peraturan dari sekolah terkait keamanan pangan jajanan jika berjualan di sekitaran lingkungan sekolah. 5.2.7 Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan Distribusi pengaruh sesama pedagang pangan jajanan di SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.7
87
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Kategori Ya Tidak Total
Frekuensi 6 24 30
Persentase (%) 20 80 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 80% pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan tidak ada pengaruh dari sesama pedagang dalam penggunaan bahan pangan jajanan. 5.2.8 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Distribusi pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan di SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.8 Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Kategori Pernah Tidak Pernah Total
Frekuensi 16 14 30
Persentase (%) 53,3 46,7 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 53,3% pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan pernah ada pembinaan dan pengawasan dari petugas kesehatan seperti pengujian kandungan kimia pada sampel pangan jajanan.
88
5.2.9 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Distribusi pembinaan dan pengawasan sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.9 Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Kategori Pernah Tidak Pernah Total
Frekuensi 6 24 30
Persentase (%) 20 80 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 80% pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan tidak pernah ada pembinaan dan pengawasan dari pihak sekolah terhadap pangan jajanan yang dijual. 5.2 Analisis Bivariat 5.2.1 Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Hubungan pengetahuan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.10 Tabel 5.10a Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Pengetahuan
Kurang Baik Total
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Ya Tidak N % N % 5 23,8 16 76,2 3 33,3 6 66,7 8 26,7 26 73,3
Total
N 21 9 30
% 100 100 100
pValue
OR
0,666
0,625
89
*catatan: terdapat penggabungan pengetahuan kategori sedang menjadi kurang
Hasil pengujian hubungan pengetahuan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue = 0,666 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi pedagang pangan jajanan yang memiliki pengetahuan kategori baik maupun kategori kurang tidak banyak berbeda. 5.2.2 Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Hubungan sikap dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.11 Tabel 5.11 Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Sikap
Kurang Baik Total
Penggunaan Eritrosin Ya Tidak N % N % 4 30,8 9 69,2 4 23,5 13 76,5 8 26,7 22 73,3
Total N 13 17 30
% 100 100 100
pValue
OR
0,698
1,444
*catatan: terdapat penggabungan pengetahuan kategori sedang menjadi kurang
Hasil pengujian hubungan sikap dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue = 0,698 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan
90
Rhodamin B, artinya proporsi pedagang pangan jajanan yang memiliki sikap kategori baik maupun kategori kurang tidak banyak berbeda. 5.2.3 Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Hubungan antara keterampilan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.12 Tabel 5.12 Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Keterampilan
Ya Tidak Total
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Ya Tidak N % N % 1 14,3 6 85,7 7 30,4 16 69,6 8 26,7 22 73,3
Total
N 7 23 30
% 100 100 100
pValue
OR
0,638
0,381
Hasil pengujian hubungan keterampilan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue = 0,638 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi pedagang pangan jajanan yang memiliki keterampilan kategori membuat sendiri maupun tidak membuat sendiri banyak berbeda.
91
5.2.4 Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Hubungan antara aksesibilitas dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.13 Tabel 5.13 Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Aksesibilitas
Mudah Sulit Total
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Ya Tidak N % N % 8 28,6 20 71,4 0 0 2 100 4 26,7 26 73,3
Total
N 28 2 30
pValue
OR
1
0,714
% 100 100 100
Hasil pengujian hubungan aksesibilitas dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue = 1 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aksesibilitas dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi pedagang pangan jajanan yang memiliki aksesibilitas kategori mudah maupun kategori sulit tidak banyak berbeda. 5.2.5 Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Hubungan antara peraturan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.14
92
Tabel 5.14 Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Peraturan Sekolah
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Ya Tidak N % N % 5 21,7 18 78,3 3 42,9 4 57,1 8 26,7 22 73,3
Tidak Ada Ada Total
Hasil
pengujian
hubungan
Total
N 23 7 30 peraturan
% 100 100 100
pValue
OR
0,345
0,370
sekolah
dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue = 0,345 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang
signifikan
antara
peraturan
sekolah
dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi sekolah yang tidak memiliki peraturan keamanan pangan maupun memiliki peraturan keamanan pangan tidak banyak berbeda. 5.2.6 Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Hubungan
antara
pengaruh
sesama
pedagang
dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.15
93
Tabel 5.15 Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Pengaruh Penggunaan Total pValue OR Sesama Eritrosin dan Rhodamin B Pedagang Ya Tidak 0,287 0,185 N % N % N % 0 0 5 100 5 100 Ada 8 32 17 68 25 100 Tidak Ada 8 26,7 22 73,3 30 100 Total Hasil
pengujian
hubungan
peraturan
sekolah
dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue = 0,287 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengaruh sesama pedagang dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi ada pengaruh sesama pedagang maupun tidak ada pengaruh sesama pedagang tidak banyak berbeda. 5.2.7 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Hubungan
antara
pembinaan
dan
pengawasan
petugas
kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.16
94
Tabel 5.16 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Tidak Pernah Pernah Total
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Ya Tidak N % N % 4 28,6 10 71.4 4 25 12 75 8 26,7 22 73,3
Total
N 14 16 30
% 100 100 100
pValue
OR
1
1,2
Hasil pengujian hubungan pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan
dengan
penggunaan
Eritrosin
dan
Rhodamin
B
menggunakan Chi-square diperoleh pValue = 1 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi tidak pernah ada pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan maupun pernah ada pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan tidak banyak berbeda. 5.2.8 Hubungan
Pembinaan
dan
Pengawasan
Sekolah
Dengan
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Hubungan antara pembinaan dan pengawasan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.17
95
Tabel 5.17 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Tidak Pernah Pernah Total
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Ya Tidak N % N % 6 25 18 75 2 33,3 4 66,7 8 26,7 22 73,3
Total
N 24 6 30
% 100 100 100
pValue
OR
0,645
0,667
Hasil pengujian hubungan pembinaan dan pengawasan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chisquare diperoleh pValue = 0,645 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pembinaan dan pengawasan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi tidak pernah ada pembinaan dan pengawasan sekolah maupun pernah ada pembinaan dan pengawasan sekolah tidak banyak berbeda.
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian ini tidak mengidentifikasi dampak kesehatan yang ditimbulkan akibat mengonsumsi pangan jajanan yang mengandung Eritrosin dan Rhodamin B karena untuk mengidentifikasi dampak kesehatan dari mengonsumsi pewarna sintetik ini membutuhkan jangka waktu yang panjang. 2. Penelitian ini hanya meneliti pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang saat itu dan tidak menggali lebih dalam dimana pangan jajanan itu diproduksi. 3. Hasil penelitian sangat dipengaruhi kejujuran responden dalam menjawab kuesioner dan jawaban juga responden tergantung pada pemahaman responden terhadap pertanyaan pada kuesioner. 6.2 Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B 6.2.1 Penggunaan Eritrosin Penggunaan Eritrosin di Indonesia sampai dengan saat ini masih diperbolehkan namun dengan syarat tidak melebihi batas maksimal yang telah ditentukan dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 pada Pasal 3 ayat (3). Eritrosin boleh digunakan untuk makanan dengan batas maksimal tertentu namun Eritrosin tidak digunakan pada minuman. Karunia (2013) menegaskan bahwa Eritrosin tidak dapat dipakai dalam produk 96
97
minuman karena mudah diendapkan oleh asam. Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.1a dari 30 responden diketahui bahwa 13,3% pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda dinyatakan menggunakan Eritrosin. Peneliti lainnya, Nisma dan Setyawati (2014) menemukan sampel pangan jajanan SD di wilayah Kotamadya Jakarta Timur mengandung Rhodamin B dan Eritrosin. Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2014 menyatakan penggunaan Eritrosin masih diperbolehkan dengan batas antara 20-300mg/kg tergantung pada kategori pangan tertentu. Berbeda dengan BPOM, Arisman (2008) berpendapat bahwa Eritrosin sebagai pewarna yang tidak dianjurkan untuk pangan. Meskipun diperbolehkan untuk pangan sebaiknya kita menghindari penggunaan pewarna sintetik apapun sebab pewarna sintetik tidak baik untuk kesehatan jika terus dikonsumsi, apalagi oleh anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Ditemukan keterkaitan Eritrosin dengan reduksi noradrenalin selain berkemungkinan bersifat karsinogenik (Arisman, 2008). Begitu pula menurut Karunia (2013) jika mengonsumsi Eritrosin dalam dosis tinggi dapat bersifat kasinogen dan juga dapat mengakibatkan reaksi alergi seperti nafas pendek, dada sesak, sakit kepala, serta iritasi kulit. Eritrosin juga berpengaruh kuat sebagai neurocompetitive dopamine
98
inhibitor ketika dipajankan pada otak tikus percobaan, pengurangan laju
dopamine
turnover
inilah
yang
menyebabkan
utama
hipersensitivitas anak. Selain itu Eritrosin dapat menyebabkan hiperaktif dan menimbulkan efek kurang baik pada otak dan perilaku (Nasir, 2010). Menurut Saputro dalam Novriana dkk (2013), prevalensi penderita hiperaktif di Indonesia pada anak usia sekolah (yaitu, 3-18 tahun) sebesar 15,8% dari 3006 anak. Kemudian prevalensi penderita hiperaktif pada anak laki-laki dan anak perempuan berbeda yaitu 35,2% untuk anak laki-laki dan 18,3% untuk anak perempuan. 6.2.2 Penggunaan Rhodamin B Penggunaan Rhodamin B pada pangan di Indonesia tidak diijinkan karena dapat berdampak buruk pada kesehatan. Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.1b dari 30 responden diketahui bahwa 13,3% pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda dinyatakan menggunakan Rhodamin B. Badan Pengawasan Obat dan Makanan menyatakan bahwa tahun 2011-2013 selalu ditemukan sampel pangan jajanan anak sekolah yang mengandung bahan kimia berbahaya untuk pangan berupa Rhodamin B, Methanil Yellow dan Auramin (BPOM, 2011; 2012; 2013). Peneliti lainnya, Ardiarini dan Gunanti (2004) menyatakan terdapat sampel minuman jajanan SDN Dukuh Mananggal yang mengandung Rhodamin B. Nisma dan Setyawati (2014) menemukan sampel pangan jajanan SD di wilayah Kotamadya Jakarta
99
Timur mengandung Rhodamin B dan Eritrosin. Kristianto dkk (2009) menyatakan 18,5% jajanan anak sekolah di Kota Batu tidak memenuhi syarat keamanan karena penggunaan bahan berbahaya Rhodamin B. Ardiarini dan Gunanti (2004) pun menemukan Rhodamin B pada es potong merah dan es sari buah rasa kopi krim. Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil. Rhodamin B bersifat karsinogenik sehingga dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kanker. Uji toksisitas Rhodamin B telah dilakukan terhadap mencit dan tikus dengan injeksi subkutan dan secara oral. Rhodamin B dapat menyebabkan karsinogenik pada tikus ketika diinjeksi subkutan, yaitu timbul sarcoma lokal. Sedangkan didapatkan LD50 89,5 mg/kg yang ditandai dengan gejala adanya pembesaran hati, ginjal, dan limfa diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran organnya (Merck Index dalam Utami dkk, 2009). Rhodamin B bersifat racun jika digunakan dalam pewarna pangan dan dapat memicu pertumbuhan zat karsinogenik yang menyebabkan munculnya penyakit kanker (Wasis dan Irianto, 2008). Penggunaan zat pewarna ini dilarang di Eropa mulai tahun 1984 karena Rhodamin B termasuk karsinogen yang kuat. Dampak lainnya yaitu dapat menyebabkan ganguan fungsi hati. Efeknya tidak akan dirasakan saat ini tetapi akan terasa setelah sepuluh atau dua puluh tahun kemudian (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut
100
Pertanian Bogor, 2005). Prevalensi kanker di Indonesia tahun 2013 sebesar 1,4‰ sedangkan prevalensi kanker di Provinsi Banten yaitu 1‰ atau 11.523 (Riskesdas, 2013). Penggunaan pewarna sintetik berbahaya pada pangan jajanan anak sekolah masih kerap dilakukan oleh pedagang dimungkinkan karena anak sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya tarik warna (Kristianto dkk, 2009). Menurut Nuraini (2007) warna mempunyai peran psikologis yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk pangan. Pujiasuti (2002) menyatakan alasan pemilihan produk berwarna antara lain lebih menarik dan lebih murah serta 86% produsen menyatakan penggunaan pewarna karena permintaan konsumen. Selain itu, penambahan pewarna sintetik dalam minuman jajanan diakui penjual dapat memberikan kesan menarik pada produk akhir sehingga minuman jajanan yang dijual dapat laku > 90% per hari (Ardiarini dan Gunanti, 2004). Menurut Rahayu dkk (2012), masih ditemukan penyalahgunaan bahan kimia berbahaya seperti pewarna tekstil pada pangan dan kadar yang berlebihan akibat pewama pangan yang dijual di pasaran baik yang berbentuk liquid dan bubuk pada umumnya tidak ada petunjuk ukuran penggunaannya, hal ini membuat para produsen pangan jajanan hanya mengira-ngira pemakaianya sehingga produknya menarik. Untuk mencegah meluasnya penggunaan bahan tambahan non pangan dan kadar yang berlebihan pada pangan maka diharapkan pemerintah untuk meningkatkan program keamanan pangan jajanan anak sekolah, menyediakan
101
Peralatan Uji Cepat (Rapid Test Kit) yang dapat digunakan semua pihak untuk mengetahui kandungan bahan kimia berbahaya pada pangan, tetap melaksanakan pengawasan keamanan pangan terhadap BTP dan bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP, meningkatkan edukasi tentang gizi dan keamanan pangan berupa Training of Trainer (TOT) kepada guru UKS agar dapat memberikan pembinaan mengenai keamanan pangan terhadap para siswa, orangtua dan penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS) serta melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) dan praktek penggunaan BTP secara baik dan benar (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009). Sekolah sebagai tempat pedagang pangan jajanan anak sekolah biasanya berada sebaiknya menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai keamanan PJAS serta menyediakan sarana dan prasarana pendukung keamanan pangan di sekolah yang memadai, melakukan pengawasan terhadap penyediaan PJAS baik di kantin sekolah maupun di luar sekolah dengan memperhatikan jenis pangan yang dijual serta kebersihan tempat penyedia PJAS dan penjajanya, memberikan edukasi bagi pengelola kantin dan penjaja PJAS mengenai keamanan pangan serta memberikan pengertian dan pengetahuan kepada siswa mengenai cara memilih pangan jajanan yang baik serta dampak negatif apabila jajan di sembarang tempat (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009).
102
6.3 Perilaku 6.3.1 Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu (Sunaryo, 2004). Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.2 dari 30 responden diketahui bahwa 46,7% dari pedagang pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda memiliki pengetahuan tentang pewarna dalam kategori sedang. Damayanthi dkk (2013) juga menyatakan 77,8%
pengetahuan penjaja PJAS di SDN D tentang
keamanan pangan dalam kategori sedang dan Pujiasuti (2002) menyatakan 40,9% responden memiliki pengetahuan dalam kategori sedang tentang pemakaian BTP. Namun Sugiyatmi (2006) menyatakan 64,6% pembuat pangan jajanan tradisional yang dijual di pasar-pasar Kota Semarang memiliki pengetahuan dalam kategori kurang tentang bahaya pewarna terlarang. Begitu pula dengan Ardiarini dan Gunanti (2004) yang mengatakan 75% penjual memiliki pengetahuan yang tergolong rendah terhadap pewarna sintetik. Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai hubungan pengetahuan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.10 diperoleh pValue = 0,666 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Begitu pula Pujiasuti (2002) yang menyatakan
103
bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan produsen dengan pemakaian bahan tambahan pangan dan Damayanthi dkk (2013) menyatakan hubungan negatif antara pengetahuan tentang gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan. Namun Sugiyatmi (2006) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang bahaya pewarna terlarang dengan praktek pembuatan pangan jajanan. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan penggunaan Eritrosin
maupun
Rhodamin
B
dalam
penelitian
ini
dapat
dimungkinkan karena pengetahuan yang dimiliki oleh pedagang pangan jajanan hanya pada tingkat tahu namun tidak memahaminya dengan baik. Menurut Keraf dan Dua (2001), pengetahuan tersebut termasuk dalam kategori tahu bahwa yaitu pengetahuan tentang informasi tertentu, tahu bahwa sesuatu terjadi, tahu bahwa ini atau itu demikian adanya, bahwa apa yang dikatakan benar. Jenis pengetahuan ini disebut pengetahuan teoritis atau pengetahuan ilmiah walaupun masih pada tingkat yang tidak begitu mendalam oleh karena itu bisa saja tidak disertai dengan perilaku yang baik pula. Menurut Utami dkk (2009) rendahnya pengetahuan pedagang tentang pewarna alami dan sintetik serta pewarna yang tidak diijinkan dipengaruhi salah satunya oleh pendidikan, survei menunjukan 47,37% pedagang tidak berpendidikan. Ardiarini dan Gunanti (2004) mengatakan tingkat pendidikan 75% penjual adalah setingkat Sekolah
104
Dasar dan 25% penjual tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Menurut Utomo dalam Ardiarini dan Gunanti (2004), pendidikan
berpengaruh
pada
faktor
sosial
ekonomi
seperti
pendapatan, pekerjaan, lifestyle, perumahan dan tempat tinggal serta pangan yang dikonsumsi dan disajikan. Handayani dan Kurniawati dalam Wariyah dan Dewi (2013), selain pengetahuan yang rendah terhadap bahan tambahan pangan dan bahan berbahaya, faktor ketidakpedulian juga mempengaruhi pedagang pangan jajanan dalam pemakaian bahan tambahan. Begitu pula dengan BPOM (2012a) yang menyatakan bahwa pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan dapat mengindikasikan kurangnya pengetahuan tentang keamanan pangan namun faktor kepedulian atau kesadaran para pembuat, penjual dan pembeli pangan jajanan anak sekolah juga dapat mempengaruhi. Menurut Rahayu dkk (2012), indsutri kecil perlu memiliki pengetahuan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu agar
tidak
mendapatkan
keuntungan
sebesar-besarnya
dengan
mengorbankan orang lain. Menurut Aminah dan Hidayah (2012), umumnya pengetahuan keamanan pangan yang diketahui oleh para pedagang diperoleh dari informasi lisan dari mulut ke mulut, penyuluhan
di
PKK
(bagi
yang
perempuan)
namun
untuk
mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh secara lisan tersebut sulit, mengingat produsen ingin menampilkan dagangannya
105
lebih menarik dengan cita rasa yang tinggi dengan biaya produksi yang rendah. Penggunaan bahan tambahan pangan masih perlu mendapatkan perhatian baik jenisnya maupun ukurannya, bahan tambahan yang digunakan harus khusus pangan dan ukurannya sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Rahayu dkk (2012) pun menyatakan informasi mengenai keberadaan bahan tambahan pangan di pasaran belum diketahui oleh sebagian besar industri rumah tangga. Sedangkan bahan kimia berbahaya masih beredar dan hal ini berkontribusi terhadap penyalahgunaan bahan kimia berbahaya. Tinggi rendahnya pengetahuan pedagang pangan jajanan tergantung pada informasi terkait keamanan pangan jajanan yang mereka dapatkan oleh karena itu pemerintah maupun pihak sekolah diharapkan dapat meningkatkan program keamanan pangan jajanan anak sekolah dengan melakukan Training of Trainer (TOT) kepada penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS) mengenai keamanan pangan, melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek penggunaan BTP (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009). 6.3.2 Sikap Pedagang Pangan Jajanan Sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa seperti senang, tidak senang atau biasa-biasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu (Sarwono, 2009). Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.3 dari 30 responden diketahui bahwa 56,7% dari pedagang
106
pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda memiliki sikap dalam kategori baik terhadap penggunaan pewarna. Hal yang sama ditunjukan Pertiwi dkk (2014) bahwa 100% penjual pangan jajanan memiliki sikap yang positif terhadap penggunaan pewarna pada pangan. Begitu pula Pujiasuti (2002) yang menyatakan 50% responden memiliki sikap dalam kategori baik tentang pemakaian bahan tambahan pangan. Berbeda dengan Sugiyatmi (2006) yang menyatakan 68,8% dari pembuat pangan jajanan memiliki sikap dalam kategori kurang terhadap penggunaan pewarna terlarang. Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai hubungan sikap pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.11 diperoleh pValue = 0,698 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap pedagang jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Damayanthi dkk (2013) juga berpendapat bahwa tidak terdapat hubungan antara sikap terhadap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan dan Pujiasuti (2002) mengatakan tidak ada hubungan antara sikap produsen dengan pemakaian bahan tambahan pangan. Namun Sugiyatmi (2006) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara sikap tentang penggunaan pewarna terlarang dengan praktek pembuatan pangan jajanan. Menurut Maulana (2007), sikap tidak sama dengan perilaku dan perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang. Individu
107
sering memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tertentu melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya. Oleh karena itu sikap yang baik belum tentu dapat diiringi dengan perilaku yang baik pula, terdapat hal-hal lain yang dapat memperngaruhi perilaku seseorang. Akan tetapi sikap dapat menimbulkan pola-pola cara berpikir yang dapat mempengaruhi tindakan. Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif, pengetahuan tentang objek atau kognitif dan kecenderungan bertindak atau konatif (Maulana, 2007). Dalam hal ini responden yang memiliki sikap yang baik dapat dikarenakan sisi afektifnya atau dimensi emosional responden terhadap pewarna pangan yang bersifat positif dan pewarna bukan untuk pangan yang bersifat negatif sehingga menghasilkan sikap yang baik namun tidak memiliki kecendurungan bertindak positif terhadap objek yang dihadapinya. Selain itu sebagian besar pedagang pangan menjual pangan jajanan atau menggunakan bahan pelengkap yang sudah jadi sehingga kurang dapat dilihat korelasi antara sikap dan perilakunya. Meskipun dalam penelitian ini 56,7% pedagang pangan jajanan memiliki sikap dalam kategori baik namun jika diteliti jawaban pedagang pangan jajanan satu per satu maka akan ditemukan adanya sikap kurang baik seperti penggunaan pewarna kain pada pangan
108
bukanlah masalah, penggunaan pewarna terlarang pada pangan tidak berbahaya pada kesehatan, penggunaan pewarna yang berlebihan boleh digunakan saat pembuatan pangan. Dalam variabel sikap ini dapat terlihat pula nilai yang dimiliki oleh pedagang seperti pedagang memilih bahwa dalam pembuatan pangan boleh menggunakan pewarna apa saja asalkan dapat membantu meningkatkan keuntungan penjualan. Beragamnya sikap pedagang pangan jajanan dalam menanggapi penggunaan pewarna sintetik dapat dikarena pengetahuan yang mereka miliki dan sikap yang mereka paksakan sebagai pembenaran meskipun mereka tahu hal tersebut salah oleh karena itu pemerintah maupun pihak sekolah diharapkan dapat meningkatkan program keamanan pangan jajanan anak sekolah dengan melakukan Training of Trainer (TOT) kepada penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS) mengenai keamanan pangan, melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek penggunaan BTP (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009). 6.3.3 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan Keterampilan pedagang pangan jajanan adalah kemampuan pedagang dalam mengolah atau membuat sendiri pangan jajanan yang dijualnya. Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.4 dari 30 responden diketahui bahwa 76,7% dari pedagang pangan jajanan di
109
sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda tidak membuat sendiri pangan jajanan yang dijualnya, umumnya mereka menjual pangan jajanan yang sudah siap santap atau bisa disebut sebagai penjaja. Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai hubungan keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.12 diperoleh pValue = 0,638 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Tidak berhubungan penelitian ini dapat dikarenakan umumnya pedagang hanya menjajakan pangan jajanan siap santap, tidak membuat sendiri pangan jajanan yang dijualnya. Keterampilan
atau
kemampuan
seseorang
dalam
mempersiapkan pangan dan memasak memiliki potensi untuk mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan (EUFIC, 2005). Oleh karena itu peningkatan keterampilan pedagang pangan jajanan perlu dilakukan. Menurut Rahayu dkk (2012), indsutri kecil perlu memiliki keterampilan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu, yang diimbangi dengan akhlak dan budi pekerti untuk tidak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan orang lain. Serta terdapat pula produsen yang mempunyai kemauan untuk tidak menggunakan bahan tambahan yang dilarang untuk pangan namun tidak punya kemampuan yang ditunjukan dengan tingkat
110
pengetahuan (Pujiasuti, 2002). Dengan demikian perlu dikembangkan pelatihan terstruktur bagi indsutri kecil. Umumnya pedagang yang mengolah sendiri pangan jajanannya mendapatkan keahliannya dengan belajar sendiri atau otodidak dan biasanya kurang memperhatikan keamanan dalam praktek pengolahan pangan oleh karena itu pemerintah maupun pihak sekolah diharapkan dapat meningkatkan program keamanan pangan jajanan anak sekolah dengan melakukan Training of Trainer (TOT) kepada penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS) mengenai keamanan pangan, melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek penggunaan BTP. Pedagang pangan jajanan anak sekolah hanya boleh menggunakan BTP yang berlabel “BTP” serta tidak menggunakan pewarna dan bahan berbahaya yang dilarang penggunaannya pada pangan seperti Rhodamin B dan Methanyl Yellow (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009). 6.3.4 Aksesibilitas Memperoleh Pewarna Pangan Aksesibilitas adalah kemampuan pedagang pangan jajanan dalam mengakses atau menjangkau pewarna pangan baik aspek jarak, daya beli dan ketersediaan. Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.5 dari 30 responden diketahui bahwa 93,3% pedagang pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan akses untuk memperoleh pewarna termasuk dalam kategori mudah baik dari
111
ketersediaan yang hampir selalu ada, harga yang terjangkau dan jarak tempuh yang dekat. Umumnya kemudahan pedagang pangan jajanan dalam mengakses pewarna karena di toko atau warung yang mereka datangi menyediakan pewarna yang mereka inginkan. Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai hubungan aksesibilitas pedagang dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.13 diperoleh pValue = 1 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aksesibilitas dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Meskipun pemerintah telah mengatur penggunaan pewarna untuk pangan masih banyak produsen terutama pengusaha kecil yang menggunakan pewarna yang dilarang dan berbahaya misalnya pewarna untuk tekstil atau cat karena mempunyai warna lebih cerah, lebih stabil selama penyimpanan serta harganya lebih murah (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Ardiarini dan Gunanti (2004) yang menyatakan sebesar 75% penjual minuman jajanan menyatakan penggunaan pewarna sintetik karena harga pewama sintetik tidak mahal dan tergolong praktis dan mudah diperoleh di toko kecil bila dibandingkan dengan pewarna alami. Sari (2008) mengatakan pewarna sintetik dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami maka menjadi perhatian oleh produsen, mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah.
112
Hal tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi juga memiliki peran dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan pengolahan pangan. Sulitnya akses bahan tambahan pangan dengan harga yang terjangkau oleh industri rumah tangga juga berkontribusi pada penyalahgunaan bahan kimia berbahaya. Sedangkan bahan kimia yang tidak diizinkan untuk pangan dengan mudah dan murah diperoleh dari pengecer yang tidak bertanggung jawab (Rahayu dkk. 2012). Begitu pula menurut Pujiasuti (2002) bahwa faktor ketersediaan bahan tambahan tanpa ada label “BTP” memiliki kemungkinan pengaruh pembelian bahan tambahan tersebut di toko-toko setempat. Hal tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi dan akses memiliki peran dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan pengolahan pangan. Aminah dan Hidayah (2012) menyatakan bahwa 76% responden menggunakan bahan pewarna sembarang dalam produk pangan asal produk menarik sehingga konsumen tertarik. Penggunaan bahan pewarna alami memang tidak ada resiko kesehatan, namun untuk mendapatkan bahan pewarna alami, khususnya didaerah perkotaan sekarang ini tidak mudah, disamping itu juga tidak praktis dan pewama alami kurang stabil. Mudahnya pedagang pangan jajanan dalam memperoleh pewarna sintetik membuat kejadian pangan jajanan yang tidak aman semakin marak oleh karena itu pemerintah harus meningkatkan
113
program keamanan pangan jajanan anak sekolah melalui kerjasama secara terpadu, melaksanakan pengawasan keamanan pangan terhadap BTP dan bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP. Pedagang PJAS harusnya hanya menggunakan BTP yang berlabel “BTP” serta tidak boleh menggunakan pewarna dan bahan berbahaya yang dilarang penggunaannya pada pangan seperti Rhodamin B dan Methanyl Yellow (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009). 6.3.5 Peraturan Sekolah Adanya kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pihak sekolah dapat membantu dalam menjaga keamanan pangan jajanan yang dijual di sekitar sekolah sehingga dapat melindungi siswa dari pangan yang tidak aman. Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.6 dari 30 responden diketahui bahwa 76,7% dari pedagang pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan pihak sekolah tidak menerapkan peraturan terkait keamanan pangan namun terdapat pedagang pangan jajanan yang menyatakan ada peraturan dari pihak sekolah terkait kebersihan lingkungan sekolah dari sampah-sampah bekas pangan jajanan bukan tentang keamanan pangan. Pedagang pangan jajanan yang menyatakan bahwa ada peraturan dari pihak sekolah untuk menjual pangan jajanan yang sehat namun pedagang pangan jajanan lainnya yang berjualan di lokasi yang sama menyatakan bahwa tidak ada peraturan dari sekolah terkait
114
keamanan pangan jajanan, hal tersebut mungkin dikarenakan sosialisasi yang kurang merata. Begitu pula Wijaya (2009) yang menyatakan penerapan peraturan ditanggapi oleh penjaja PJAS berbeda-beda bahkan 51.1% responden tidak mengetahui adanya peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah dan masih kurangnya disosialisasikan oleh pihak sekolah ke penjaja PJAS. Hasil penelitian Damayanthi dkk (2013), hanya terdapat 1 dari 7 sekolah yang menetapkan peraturan bagi pedagang yang berjualan di kantin yaitu tidak mengizinkan untuk menggunakan BTP (pemanis, pewarna maupun penyedap rasa) serta jenis pangan yang dijual selalu diperiksa setiap minggunya oleh pengurus yayasan. Wijaya (2009) menyatakan semua sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor mempunyai peraturan mengenai PJAS namun sebagian besar sekolah hanya memiliki peraturan secara lisan. Peraturan umumnya mengenai kebersihan pangan jajanan, kedisiplinan penjaja PJAS dan penggunaan BTP namun hanya satu sekolah yang terkategori baik dalam penerapan peraturan mengenai PJAS, sekolah tersebut memiliki komite sekolah yang diduga berpartisipasi dalam pembentukan peraturan mengenai PJAS. Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai hubungan peraturan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.14 diperoleh pValue = 0,345 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
115
peraturan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Wijaya (2009) pun menyatakan bahwa tidak adanya hubungan yang nyata antara penerapan peraturan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dan tidak adanya hubungan yang nyata antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan. Sekalipun ada peraturan namun masih belum diterapkan secara optimal karena sebagian besar praktek keamanan PJAS responden berkategori kurang dan responden masih menggunakan BTP oleh karena itu dibutuhkan pembinaan. Banyak produsen dan pengusaha kecil yang menggunakan bahan-bahan yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan dapat dikarenakan pengawasan terhadap pangan jajanan yang kurang atau tidak adanya peraturan yang ditetapkah oleh sekolah terkait keamanan pangan menyebabkan praktek penggunakan BTP yang berlebihan atau bahan berbahaya lainnya oleh karena itu kepala sekolah sebaiknya berperan dalam menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai keamanan PJAS di lingkungan sekolah serta menyediakan sarana dan prasarana pendukung keamanan pangan di sekolah yang memadai (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009). 6.3.6 Pengaruh Sesama Pedagang Pengaruh teman adalah kemampuan memengaruhi perilaku individu di antara anggota kelompok berdasarkan norma-norma kelompok, kesadaran kelompok atas apa yang merupakan hal atau cara
116
benar untuk melakukan hal-hal serta kebutuhan untuk dinilai dan diterima oleh kelompok (Pearce dan Robinson, 2008). Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.7 dari 30 responden diketahui bahwa 80% dari pedagang pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan tidak saling berdiskusi mengenai bahanbahan yang digunakan dalam membuat pangan jajanan. Umumnya pedagang pangan jajanan hanya berdiskusi mengenai hal sehari-hari namun tidak berdiskusi tentang bahan apa yang digunakan dalam pangan jajanan yang dijualnya. Pujiasuti (2002) menyatakan sebesar 38,6% produsen mendapatkan informasi mengenai bahan tambahan pangan untuk produk jualannya dari penjual bahan tambahan dan 27,3% lainnya dari teman serta sisanya dari orang tua dan saudara. Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai hubungan pengaruh sesama pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.15 diperoleh pValue = 0,287 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengaruh sesama pedagang dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Kurangnya pengetahuan pedagang pangan jajanan membuat mereka tidak bisa membuat keputusan baik oleh karena itu ada baiknya pemerintah meningkatkan edukasi tentang gizi dan keamanan pangan berupa Training of Trainer (TOT) kepada penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS), pembinaan Cara Produksi
117
Pangan yang Baik (CPPB) dan praktek penggunaan BTP (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009). 6.3.7 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Petugas kesehatan adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan untuk melakukan upaya kesehatan seperti kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan (Pasal 1 UU No. 36 Tahun 2014). Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.8 dari 30 responden diketahui bahwa 53,3% dari pedagang pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan pernah terdapat pembinaan dan pengawasan dari petugas kesehatan terkait keamanan pangan jajanan anak sekolah. Mujianto dkk (2005) menyatakan 64% pedagang pangan jajanan di Kecamatan Pondok Gede tidak pernah mendapatkan pembinaan dan 83% pedagang pangan tidak pernah mendapatkan pengawasan. Damayanthi dkk (2013) juga menyatakan hampir dari seluruh penjaja PJAS tidak pernah mengikuti pelatihan atau training terkait gizi maupun keamanan pangan. Kemudian Wariyah dan Dewi (2013), 80% pedagang PJAS belum pernah mengikuti penyuluhan tentang pengolahan pangan yang baik. Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai hubungan pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.16 diperoleh pValue = 1 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
118
signifikan antara pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Mujianto dkk (2005) menyatakan pedagang yang tidak diberikan pembinaan mempunyai kecenderungan menggunakan bahan tambahan terlarang 2 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pedagang yang telah menerima pembinaan dan pedagang yang tidak diberikan pengawasan mempunyai kecenderungan menggunakan bahan tambahan terlarang 1,58 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pedagang yang telah diberikan pengawasan. Hal tersebut menunjukan
pedagang
yang
tidak
mendapat
pembinaan
dan
pengawasan menjadi faktor resiko penggunaan bahan tambahan terlarang. Pemerintah adalah pihak yang secara resmi mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pangan. Kewenangan ini berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 942 Tahun 2003 tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Pangan Jajanan pada pasal 15 tertulis pembinaan dan pengawasan pangan jajanan dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pada pasal 17 tertulis dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengikut sertakan instansi terkait, pihak pengusaha, organisasi, profesi, asosiasi, paguyuban dan atau lembaga swadaya masyarakat (Mujianto dkk, 2005).
119
Kurang terkontrolnya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah mungkin terjadi karena terlalu banyak industri rumah tangga maka menyebabkan kurang terjangkau oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk melakukan pembinaan keseluruh industri rumah tangga. Untuk melakukan inspeksi mendadak dipasar-pasar khususnya pada pangan jajanan juga terlalu berat, menginggat berbagai macam jenis pangan yang dijajakan dari berbagai industri rumah tangga meskipun Direktorat Survailens Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) telah rnelakukan usaha membentuk jaringan di 400 kabupaten kota seluruh Indonesia dalam rangka pembinaan industri skala rumah tangga (Aminah dan Hidayah, 2012). Adapun dalam penelitian ini juga diketahui bahwa sebesar 79% pedagang pangan jajanan menyatakan bersedia ikut serta dalam acara penyuluhan dan kursus mengenai keamanan pangan jajanan apabila kelak diadakan oleh pemerintah dan LSM, dengan persyaratan tidak mengambil waktu berdagang mereka dan lokasi yang terjangkau. Pada dasarnya para pedagang pangan jajanan mempunyai keinginan untuk melakukan praktek pengolahan pangan yang baik hanya saja mereka tidak memiliki sumber daya yang sesuai untuk melaksanakan keinginannya. Pembinaan
dan
pengawasan
dapat
dilakukan
dengan
menyediakan Peralatan Uji Cepat (Rapid Test Kit) yang dapat digunakan semua pihak untuk mengetahui kandungan bahan kimia
120
berbahaya pada pangan, melaksanakan pengawasan BTP dan bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP, pembinaan penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek penggunaan BTP (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009). 6.3.8 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Pembinaan dan pengawasan pihak sekolah terhadap pangan jajanan yang dijual di sekitar dapat membantu menjaga siswa terhindar dari bahaya pangan yang tidak aman. Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.9 dari 30 responden diketahui bahwa 80% dari pedagang pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan tidak pernah ada pembinaan dan pengawasan dari pihak sekolah terhadap pangan jajanan yang dijual. Namun pada di antara mereka yang menyatakan pernah ada pengawasan dari sekolah sedangkan pedagang lainnya di lokasi yang sama menyatakan tidak pernah ada pengawasan dari pihak sekolah, perbedaan tersebut dapat dimungkin karena tidak meratanya pengawasan yang dilakukan oleh pihak sekolah. Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai hubungan pembinaan dan pengawasan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.17 diperoleh pValue = 0,645 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
121
pembinaan dan pengawasan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Selain itu 70% pedagang pangan jajanan juga menyatakan bahwa pihak sekolah tidak pernah melakukan pendataan terhadap meraka yang berjualan di lingkungan sekitar sekolah padahal jika pihak sekolah melakukan pendataan dapat lebih memudahkan dalam pengawasan dan pembinaan pedagang pangan jajanan sehingga pencegahan kejadian kesakitan akibat pangan jajanan yang tidak aman dapat terlaksana. Pembinaan dan pengawasan memiliki peranan yang cukup penting dalam mengendalikan peredaran pangan jajanan yang tidak aman sehingga diharapkan pihak sekolah dapat menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai keamanan PJAS di lingkungan sekolah, menyediakan sarana dan prasarana pendukung keamanan pangan di sekolah yang memadai, melakukan pengawasan terhadap penyediaan PJAS baik di kantin sekolah maupun di luar sekolah dengan memperhatikan jenis pangan yang dijual serta kebersihan tempat penyedia PJAS dan penjaja PJAS serta menyediakan alat Uji Cepat (Rapid Test Kit) untuk pengujian sederhana (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009).
BAB VII SIMPULAN dan SARAN 7.1 Simpulan 1. Pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda yang menggunakan Eritrosin sebesar 13,3% (Minuman berwarna merah) dan yang menggunakan Rhodamin B sebesar 13,3% (Sosis, Kerupuk Gulali dan Es Mambo). 2. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda memiliki pengetahuan umum tentang pewarna dalam kategori sedang sebesar 46,7% mungkin dikarenakan pedagang sebelumnya pernah mendapatkan informasi pewarna pangan. 3. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda memiliki sikap dalam kategori baik terhadap penggunaan pewarna sebesar 56,7% mungkin dikarenakan pengetahuan umum pedagang tentang pewarna sudah dalam kategori sedang sehingga menghasilkan sikap yang positif. 4. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda yang tidak memiliki keterampilan membuat sendiri pangan jajanan yang dijualnya sebesar 76,7% mungkin dikarenakan banyak yang menjual pangan jajanan yang siap santap atau penjaja pangan jajanan. 5. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda yang menyatakan mudah untuk mengakses pewarna sintetik sebesar 93,3% mungkin dikarenakan ketersediaannya yang selalu
122
123
konsisten, harganya yang terjangkau dan lokasi pembelian yang berjarak dekat. 6. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda yang menyatakan pihak sekolah tidak menerapkan peraturan
mengenai
keamanan
pangan
sebesar
76,7%
mungkin
dikarenakan pedagang pangan jajanan tidak masuk dalam wilayah sekolah. 7. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda yang menyatakan tidak ada pengaruh dari pedagang lain mengenai penggunaan bahan-bahan dalam membuat pangan jajanan sebesar 80% mungkin dikarenakan pengaruh lebih besar umumnya berasal dari pedagang yang menjual pewarna. 8. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda yang menyatakan pernah ada pembinaan dan pengawasan dari petugas kesehatan sebesar 53,3% dikarenakan kegiatan tersebut merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi masyarakat. 9. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda yang menyatakan tidak pernah ada pembinaan dan pengawasan dari pihak sekolah sebesar 80% mungkin dikarenakan kegiatan tersebut merupakan kewajiban sehingga pihak sekolah tidak perlu melakukannya. 10. Tidak ada hubungan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin
124
dikarenakan pengetahuan yang dimiliki pedagang hanya pada tingkatan “Tahu” namun tidak memahaminya sehingga prakteknya berlawanan dengan pengetahuannya. 11. Tidak ada hubungan antara sikap pedagang jajanan anak sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan sikap yang dimiliki pedagang hanya pada “Afektif” yaitu secara emosional mengetahui pewarna bukan untuk pangan tidak baik namun tidak diikuti dengan “Konatif” yaitu kecenderungan bertindak sehingga prakteknya berlawanan dengan sikapnya. 12. Tidak ada hubungan antara keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan banyak pedagang yang menjual pangan jajanan siap santap. 13. Tidak ada hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan hampir semua pedagang menyatakan mudah dalam mengakses pewarna sehingga data menjadi homogen dan tidak dapat dilihat perbedaan yang signifikan. 14. Tidak ada hubungan antara peraturan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan tidak adanya atau tidak meratanya penyebaran informasi mengenai peraturan keamanan PJAS. 15. Tidak ada hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan pengaruh terbesar ada pada pedagang yang menjual pewarna.
125
16. Tidak ada hubungan antara pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan tidak meratanya pelaksanaan kegiatan tersebut. 17. Tidak ada hubungan antara pembinaan dan pengawasan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan umumnya tidak ada sekolah yang melaksanaan kegiatan tersebut. 7.2 Saran 7.2.1 Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan 1. Meningkatkan program keamanan PJAS melalui kerjasama secara terpadu dan melibatkan lintas sektor (Kemenkes, BPOM). 2. Menyediakan Peralatan Uji Cepat (Rapid Test Kit) yang dapat digunakan semua pihak untuk mengetahui kandungan bahan kimia berbahaya pada pangan sehingga pengujian dapat dilakukan dengan efisien dan efektif karena dilaksanaan langsung di lokasi. 3. Tetap melaksanakan pengawasan keamanan pangan terhadap BTP dan bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP karena mudah didapat terutama di pasar dan warung kelontong. 4. Meningkatkan edukasi tentang gizi dan keamanan pangan dengan Training of Trainer (TOT) kepada guru UKS agar dapat memberikan pembinaan mengenai keamanan pangan terhadap para siswa, orangtua dan penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS) di lingkungan sekolah.
126
5. Melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek penggunaan BTP secara baik dan benar. 7.2.2 Sekolah 1. Menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai keamanan PJAS di lingkungan sekolah serta menyediakan sarana dan prasarana pendukung keamanan pangan di sekolah yang memadai. 2. Melakukan pengawasan PJAS di kantin sekolah maupun di luar sekolah terhadap jenis PJAS yang dijual, kebersihan tempat penyedia PJAS serta penjajanya. 3. Memberikan edukasi bagi pengelola kantin dan penjaja PJAS mengenai keamanan pangan. 4. Memberikan pengertian dan pengetahuan kepada siswa mengenai cara memilih pangan jajanan yang baik serta dampak negatif apabila jajan di sembarang tempat. 7.2.3
Pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Pedagang PJAS hanya menggunakan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang mengandung label “BTP” serta tidak boleh menggunakan bahan kimia berbahaya yang dilarang penggunaannya pada pangan seperti Rhodamin B, Methanyl Yellow, Formalin dan Boraks.
DAFTAR PUSTAKA Aminah dan Hidayah. 2012. Pengetahuan Keamanan Pangan Penjual Pangan Jajanan Di Lingkungan Sekolah Sekelurahan Wonodri Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang. Jurnal Litbang Universitas Muhammadiyah Semarang. Hal 18-25. Ardiarini dan Gunanti. 2004. Kajian Keamanan Pangan Ditinjau Dari Kandungan Pewarna Sintetik Dan Pemanis Buatan Dalam Minuman Jajanan (Studi pada SDN Dukuh Menanggal 111425 Gayungan Surabaya). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan (Vol.7 No.1, Juni), hal 65-75. Arisman. 2008. Buku Ajar Ilmu Gizi: Keracunan Pangan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 66-67. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia & 30 Balai Besar / Balai POM. 2009. Food Watch: Sistem Keamanan Pangan Terpadu Pangan Jajanan Anak Sekolah (Vol.1). Direktorat Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2009. Prosiding Lokakarya jejaring Intelijen Pangan (JIP) – Program Nasional Peningkatan Keamanan Pangan jajanan. Direktorat Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya. Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2012a. Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah Yang Aman, Bermutu dan Bergizi: Laporan Kemajuan Semester I Tahun 2012. Direktorat Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2012b. Peran Komunitas Sekolah Untuk Penjaminan Keamanan Pangan. Direktorat Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2011. Laporan Tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2012. Laporan Tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2013. Laporan Tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
127
128
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan. 2012. Rencana Kerja Pambangunan Daerah Tahun 2013. Diakses Melalui http://www.tangerangselatankota.go.id/ Pada 6 Januari 2015 Pukul 20.00 WIB Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan. 2011. Rencana Strategis Tangerang Selatan Tahun 2011-2016. Diakses Melalui http://www.tangerangselatankota.go.id/ Pada 6 Januari 2015 Pukul 20.00 WIB Cahanar dan Suhanda. 2006. Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta: Penerbit Buku Gramedia. Hal 185. Damayanthi dkk. 2013. Pendidikan Gizi Informal Kepada Penjaja Pangan Untuk Peningkatan Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Dasar. Penelitian Gizi dan Pangan (Vo. 36, No. 1, Juni), hal 20-30. deMan, John M. 1997. Kimia Pangan. Bandung: Penerbit ITB. Hal 253. Djarismawati dkk. 2004. Pengetahuan dan Perilaku Pedagang Cabe Merah Giling Dalam Penggunaan Rhodamin B Di Pasar Tradisional Di DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan (Vol. 3, No. 1, April), hal 7-12. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2012. Cerdas Dalam Memilih Pangan Jajanan. Diakses Melalui http://dinkes.tangerangselatankota.go.id/ Pada 23 Desember 2014 Pukul 19.07 WIB Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2015. Data Pangan Jajanan Tahun 2011-2014. Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan. 2013. SD Negeri dan Swasta. Diakses melalui http://dindik.tangerangselatankota.go.id/ Pada 20 Desember 2014 Pukul 10.54 WIB European Commission. 2010. Opinion On CI 45430 (Erythrosine). Health & Consumers. Directorate C: Public Health and Risk Assessment. Unit C7 Risk Assessment. Scientific Committee on Consumer Safety (SCCS) mengadopsi dari pertemuan pleno ke-7 pada 22 Juni 2010. European Food International Council (EUFIC). 2005. The Determinants of Food Choice. Diakses melalui http://www.eufic.org/article/en/expid/reviewfood-choice/ Pada 11 Oktober 2015 Pukul 11.15 WIB Fadhli, Aulia. 2010. Buku Pintar Kesehatan Anak. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Anggrek. Hal 39-40. Fibrianto, Dian Nur. 2008. Panduan Kimia Praktis SMP. Jogyakarta: Pustaka Widyatama. Hal 47.
129
Food and Agriculture Organization (FAO). 1993. Eritrosin. Dipersiapkan pada Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) Ke-41. Diterbitkan dalam Family Nurse Practitioner (FNP). Food and Drug Administration (FDA). 2011. Certified Color Additives in Food and Possible Association with Attention Deficit Hyperactivity Disorder in Children. Dipersiapkan untuk pertemuan FDA/CFSAN Food Advisory Committee pada 30-31 Maret 2011. Gichara, Jenny. 2008. Mengatasi Perilaku Buruk Anak. Malang: Kawan Pustaka. Hal 28. Green, Lawrence dkk. 1991. Health Promotion Planning: An Educational and Environment Approach. America: Mayfield Publishing Company. Hal 2830. Green, Lawrence dkk. 2005. Health Program Planning: An Educational and Ecological Approach. America: McGraw-Hill. Hal 158-159. Hamid, Achir Yani. 2008. Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC. Hal 3. Hanafi dan Zulkarnain. 2009. Penuntun Praktikum Kimia Pangan. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri. Bogor: Akademi Kimia Analisis. Hal 26-27 dan 50-51. Hastono, Sutanto Priyo. 2006. Analisis Data. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal 60 dan 62. Hastono dan Sabri. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta Utara: Rajagrafindo Persada. Hal 147. ________. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. 2005. Manfaat Dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor. Hal 5-6, 32, 40, 42-44. Homer dan Kahle. 1988. A Structural Equation Test of the Value-AttitudeBehavior Hierarchy. Journal of Personality and Social Psychology (Vol. 54, No. 4), Hal 638-646. Info DATIN. 2015. Situasi Pangan Jajanan Anak Sekolah. Pusat Data dan Informasi. Kementerian Kesehatan RI. ISSN 2442-7659 Jain, Vishal. 2014. 3D Model of Attitude. International Journal of Advanced Research in Management and Social Sciences (Vol. 3, No. 3, Maret), Hal 1-12. Karimah, Fitrah dkk. 2014. Analisis Zat Pewarna Sintetik Pada Pangan Jajanan Di SD Kompleks Lariangbangi Makassar. Repository Universitas Hasanuddin.
130
Karunia, Fanisa Bustani. 2013. Kajian Penggunaan Zat Adiktif Pangan (Pemanis dan Pewarna) Pada Kudapan Bahan Pangan Lokal Di Pasar Kota Semarang. Food Science and Culinary Education Journal (Vol. 2, No. 2, November), Hal 72-78. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Modul Pelatihan Fasilitator Peningkatan Higiene Sanitasi Pangan Di Sekolah. Direktorat Bina Gizi. Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu Dan Anak. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Keamanan Pangan Di Sekolah Dasar. Direktorat Bina Gizi. Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu Dan Anak. Keraf dan Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Kanisuis. Hal 3336. Khalfani. 2014. Mega Bank Soal SMP Kelas 1, 2 dan 3. Jakarta Selatan: Kawah Media. Hal 454. Khoiri, Imam. 2007. Intisari IPA Kimia SMP. Jakarta: Kawan Pustaka. Hal 64. Kristianto dkk. 2009. Faktor Determinan Pemilihan Pangan Jajanan pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (Vol. 7, No. 11, Juni), hal 489-494. Lemeshow dkk. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan (Edisi Bahasa Indonesia). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 54. Lusiana, Novita; Rika Andriyani & Miratu Megasari. 2015. Buku Ajar Metodologi Penelitian Kebidanan. Yogyakarta: Deepublish. Hal 42. Mardiah dkk. 2006. Pangan Antikanker. Tangerang: PT. Kawan Pustaka. Hal 4, 810, 18, 21-22. Maulana, Heri. 2007. Promosi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 196-199. Mujianto dkk. 2005. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Boraks Pada Bakso Di Kecamatan Pondok Gede-Bekasi. Buletin Penelitian Kesehatan (Vol. 33, No. 4), Hal 152-161. Nasir,
Muhammad. 2010. Rahasia Kecerdasan Anak: Memaksimalkan Perkembangan Otak. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal 172.
Nisma dan Setyawati. 2014. Analisis Zat Pewarna Merah Pada Pangan Jajanan Anak-Anak Yang Dijual Di Sekolah Dasar Di Wilayah Kotamadya Jakarta Timur. Farmasains (Vol. 2, No. 3, April), hal 143-149. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010a. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal 37-38.
131
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010b. Promosi Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal 27-29 dan 35. Novriana dkk. 2013. Prevalensi Gangguan Pemusatan perhatian dan Hiperaktifvitas Pada Siswa dan Siswi Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Padang Timur. Jurnal Kesehatan Andalas (Vol. 3, No.2), hal 141-146. Nuraini, Henny. 2007. Memilih & Membuat Jajanan Anak Yang Sehat & Halal. Jakarta: Qultum Media. Hal 42-43 dan 45. Nurlaela, Euis. 2011. Keamanan Pangan dan Perilaku pedagang Pangan Di Instalasi Gizi Rumah Sakit. Media Gizi Masyarakat Indonesia (Vol.1, No.1, Agustus), hal 1-7. Nurmaini. 2001. Pencemaran Pangan Secara Kimia dan Biologi. Program Studi Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. USU Digital Library. Pearce dan Robinson. 2008. Edisi Bahasa Indonesia dari Strategic Management: Formulation, Implementation and Control 10th Edition. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Hal 482. PerkinElmer Inc. 2015. Lambda 25 UV/Vis Systems. Diakses Melalui http://www.perkinelmer.com/catalog/family/id/LAMBDA+25+UV+Vis+S ystems Pada 13 Oktober 2015 Pukul 10.10 WIB Pertiwi, dkk. 2014. Analisis Kandungan Zat Pewarna Sintetik Rhodamin B Dan Methanyl Yellow Pada Jajanan Anak Di Sdn Kompleks Mangkura Kota Makassar. Junal Universitas Hasanuddin Makassar. Praja, Deny Indra. 2015. Zat Aditif Pangan: Manfaat dan Bahayanya. Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca. Hal 35-38 dan 46-47. Pujiasuti, Zeta Rina. 2002. Tesis: Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemakaian Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pada Produk Kerupuk Di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponogoro Semarang. Purnawijayanti, Hiasinta. 2001. Sanitasi Higiene Dan Keselamatan Kerja Dalam Pengolahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Hal 51-51, 58-59. Rahayu dkk. 2012. Makalah: Keamanan Pangan Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Untuk Penguatan Ekonomi Nasional. Disampaikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 20-21 November. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 227. Sekretariat Negara. Jakarta.
132
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 227. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan. Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 107. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan. Berita Negara RI Tahun 2012, No. 157. Jakarta. Republik Indonesia. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pewarna. Berita Negara RI Tahun 2013, No. 801. Jakarta. Republik Indonesia. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan Nomor 386 Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan dan kosmetika. Berita Negara RI. Jakarta. Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 942 Tahun 2003 Tentang Pedoman Persyaratan Higiene Sanitasi Pangan Jajanan. Jakarta. Republik Indonesia. Riset Dasar Kesehatan 2013. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. Sari, Reni Wulan. 2008. Dangerous Junk Food. Yogyakarta: O2. Hal 64. Sartono. 2014. Rangkuman Ilmu Alam Superlengkap. Jakarta Selatan: Panda Media. Hal 218. Sarwono, Sarlito. 2009. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Hal 86 dan 201. Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal 157. Sugiyatmi, Sri. 2006. Analisis Faktor-Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks dan Pewarna Pada Pangan Jajanan Tradisional Yang Dijual Di Pasar-Pasar Kota Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana, Magister Kesehatan Lingkungan, Universitas Diponogoro. Sumarlin, La Ode. 2010. Identifikasi Pewarna Sintetik Pada Produk Pangan Yang Beredar di Jakarta dan Ciputat. Jurnal Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal 274-283.
133
Sunarya dan Setiabudi. 2007. Mudah dan Aktif Belajar Kimia. Bandung: PT. Setia Purna Inves. Hal 196. Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 25. Suryatin, Budi. 2008. Kimia VIII Untuk Sekolah Menengah Pertama dan MTs Kelas VIII. Jakarta: Grasindo (Gramedia Widiasarana Indonesia). Hal 5859 dan 61. Sutomo, Budi. Sukses Wirausaha Jajan Pasar Favorit. Jakarta: Karya Pustaka. Hal 12. Sutrisno. 2006. Pewarna Pangan. Program Studi Teknik Pangan, Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Semarang. Diakses melalui http://tekpan.unimus.ac.id/wpcontent/uploads/2013/07/PEWARNA-PANGAN.pdf Pada 15 Oktober 2015 Pukul 15.17 WIB
Thompson, June. 2002. Toddlercare. United Kingdom: HarperCollins Publisher. Hal 88-89. United
Kingdom Food Guide. 2013. Eritrosin. Diakses Melalui http://www.ukfoodguide.net/e127.htm Pada 4 Mei 2015 Pukul 20.13 WIB
Utami, Wahyu dkk. 2009. Analisis Rhodamin B Dalam Jajanan Pasar Dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi (Vol.10, No.2), hal 148-155. Yasmin, Ghaida dkk. 2010. Perilaku Penjaja Pangan jajanan Terkait Gizi Dan Keamanan Pangan Di Jakarta dan Sukabumi. Jurnal Gizi dan Pangan (Vol.5 No.3), hal 148-157. Wariyah dan Dewi. 2013. Penggunaan Pengawet dan Pemanis Buatan Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di Wilayah Kabupaten Kulon Progo-DIY. Agritech (Vol. 33, No. 2, Mei), Hal 146-153. Wasis dan Irianto. 2008. Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Sekawan Cipta Karya. Hal 117. Wenthe, Phyllis. 2007. The Predisposing, Reinforcing and Enabling Factors Associated With Physical Activity And Sedentary Behavior In Males And Females During Early Adolescence. United States: ProQuest LLC. Hal 50. Wijaya, Rika. 2009. Skripsi: Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institusi Pertanian Bogor. Winarno, F.D. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia. Hal 184 dan 187.
Lampiran 1
PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Saya, Anantika Anissa mahasiswi Peminatan Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta meminta kesediaan anda untuk menjadi responden dalam penelitian saya yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah Yang Dijual Oleh Pedagang Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015”. Informasi terkait data pribadi yang anda berikan dalam kuesioner ini akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti. Oleh karena itu agar responden yang terpilih dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner ini dengan jujur. Atas perhatian dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih.
Responden
Peneliti
Anantika Anissa
Identitas Responden A1 Nama Responden A2 Pendidikan Terakhir 1. Tidak tamat SD 2. Tamat SD 3. Tamat SMP 4. Tamat SMA A3 Lama Usaha Pengetahuan Mengenai Pewarna Sintetik B1 Apakah tujuan pemberian pewarna pada pembuatan pangan? 1. Agar pangan menjadi lebih sedap 2. Agar pangan menjadi lebih awet 3. Agar pangan menjadi lebih menarik B2 Dalam pembuatan pangan, bolehkah menggunakan sembarang pewarna? 1. Tidak boleh 2. Boleh asal sedikit 3. Boleh asal bukan yang dilarang B3 Manakah diantara pewarna-pewarna ini yang paling baik dalam pembuatan pangan? 1. Pewarna alam 2. Pewarna buatan 3. Pewarna kain B4 Adakah pewarna yang membahayakan kesehatan? 1. Tidak ada pewarna yang membahayakan kesehatan 2. Pewarna-pewarna tertentu membahayakan kesehatan 3. Semua pewarna membahayakan kesehatan B5 Pewarna dalam pembuatan pangan termasuk golongan bahan apa? 1. Bahan pokok 2. Bahan tambahan 3. Bahan yang dilarang B6 Bolehkah dalam pembuatan pangan ditambahkan pewarna? 1. Tidak boleh 2. Boleh asal sedikit 3. Boleh asal bukan yang dilarang dan tidak berlebihan B7 Apakah jenis pewarna pangan yang diperbolehkan digunakan di Indonesia? 1. Pewarna alami 2. Pewarna buatan 3. Pewarna buatan dan alami B8 Terbuat dari apakah pewarna buatan itu? 1. Tumbuhan 2. Bahan kimia 3. Campuran tumbuhan dan bahan kimia B9 Bolehkah pewarna buatan ditambahkan dalam pembuatan
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
pangan? 1. Tidak boleh [ ] 2. Boleh asal sedikit 3. Boleh asal bukan yang dilarang dan tidak berlebihan B10 Bagaimana pengaruh pewarna buatan bagi kesehatan? 1. Baik bagi kesehatan 2. Tidak ada pengaruhnya bagi kesehatan [ ] 3. Buruk bagi kesehatan dalam jumlah yang berlebih Sikap Terhadap Risiko Penggunaan Pewarna Sintetik Pada Pangan Jajanan Pilihlah salah satu jawaban dari pernyataan-pernyataan dibawah ini S = Setuju TS = Tidak Setuju No. Pertanyaan S TS C1 Penggunaan pewarna terlarang pada pangan [ ] berbahaya bagi kesehatan. C2 Penggunaan pewarna yang berlebihan boleh digunakan dalam pembuatan pangan [ ] meskipun berpengaruh buruk pada kesehatan pembeli. C3 Dalam pembuatan pangan boleh [ ] menggunakan sembarang pewarna. C4 Pewarna kain berpengaruh buruk pada [ ] kesehatan jika digunakan untuk pangan. C5 Dalam pembuatan pangan boleh menggunakan pewarna yang murah harganya [ ] karena dapat menghemat biaya belanja walaupun berbahaya bagi tubuh. C6 Dalam pembuatan pangan boleh menggunakan pewarna apa saja asalkan bisa [ ] membantu meningkatkan keuntungan berjualan. C7 Pewarna alami lebih baik digunakan pada [ ] pangan walaupun harga mahal. C8 Pewarna yang berlebihan sebaiknya dihindari [ ] dalam pembuatan pangan sebab dapat berdampak buruk bagi kesehatan. C9 Penggunaan pewarna pada pangan dilakukan supaya pembeli lebih tertarik untuk membeli [ ] jadi wajar kalo pakai pewarna berlebihan. C10 Dampak kesehatan akibat pewarna pada [ ] pangan yang telah dibeli menjadi urusan pembeli. Keterampilan D1 Apakah anda membuat sendiri pangan jajanan yang dijual? a. Ya [ ]
b. Tidak Aksesibilitas E1 Dimana anda memperoleh pewarna tersebut? E2 Untuk mendapatkan pewarna mudah atau sulit? E2 Harga pewarna yang gunakan harganya murah atau mahal? Peraturan F1 Apakah terdapat peraturan dari pihak sekolah terkait dengan keamanan pangan? a. Ada b. Tidak Ada Pengaruh Sesama Pedagang G1 Apakah ada sesama pedagang pangan jajanan pernah memberi saran atau masukan atau pengaruh tentang penggunaan bahan tertentu? a. Ada b. Tidak Ada Pembinaan dan Pengawasan H1 Apakah pangan jajanan yang dibuat pernah diperiksa oleh petugas Dinas Kesehatan? a. Pernah b. Tidak Pernah H2 Bagaimana dengan pihak sekolah, apakah mereka pernah memeriksa pangan jajanan yang dibuat? a. Pernah b. Tidak Pernah H3 1. Apakah pernah ada petugas (misalnya petugas kelurahan / puskesmas) yang mencatat usaha pangan jajanan yang dijual? 2. Bagaimana dengan pihak sekolah, apakah pernah ada yang mencatat usaha pangan jajanan yang dijual? 3. Apakah pernah mendapatkan kursus atau penyuluhan tentang pembuatan pangan jajanan? Kalau pernah berapa kali dan siapa yang mengadakan? 4. Apabila ada kursus atau penyuluhan tentang pembuatan pangan jajanan apakah mau mengikutinya? Praktek Penggunaan Pewarna I1 1. Dalam membuat pangan jajanan apakah menggunakan pewarna? Bila jawaban “ya”, lanjutkan ke pertanyaan nomor 2 s/d 3. Bila jawaban “tidak”, lanjutkan ke pertanyaan nomor 4. 2. Kenapa menggunakan pewarna dalam pangan jajanan? 3. Pewarna jenis apa yang gunakan dalam pangan jajanan? 4. Bagaimana jika pangan jajanan yang anda dijual mengandung bahan berbahaya atau kadarnya melebihi batas maksimal yang diperbolehkan meskipun bukan anda yang membuat sendiri pangan jajanan tersebut?
[ [ [
] ] ]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
Lampiran 2 Hasil Analisis Kandungan Pewarna Sintetik (Spektrofotometri UV-Visibel dan Serat Wol) Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Pangan Jajanan Es Teh Es Campur Es Potong I Es Potong II Es Mambo I Bakso Saos Bakso Lenting Batagor I Saos Batagor Minuman Merah I Batagor II Saos Batagor Cilung Saos Cilung Telur Goreng I Saos Telur Goreng Selendang Mayang Sosis Es Mambo II Telur Goreng II Saos Telur Goreng Es Pipih I Es Pipih II Es Pipih III Batagor III Saos Batagor Es Doger I Kerupuk Gulali Gulali Telur Puyuh Goreng Saos Telur Puyuh Goreng Bakso, Mie
Praktek Rhodamin B Eritrosin Rhodamin B Rhodamin B Rhodamin B -
Responden 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Pangan Jajanan Saos Bakso, Mie Ayam Tepung Saos Ayam Tepung Siomay I Saos Siomay Minuman Merah II Minuman Oranye Minuman Kuning Minuman Merah III Cilok Saos Cilok Minuman Merah IV Es Doger II Es Dawet Siomay II Saos Siomay
Praktek Eritrosin Eritrosin Eritrosin -
Lampiran 3
Suasana Penjualan PJAS
Suasana Penjualan PJAS
Suasana Penjualan PJAS
Suasana Penjualan PJAS
Cara Kerja Metode Kualitatif
Cara Kerja Metode Kualitatif
Cara Kerja Metode Kualitatif
Cara Kerja Metode Kualitatif
Contoh Perubahan Warna
Contoh Perubahan Warna
Contoh Perubahan Warna
Contoh Perubahan Warna
Spektrofotometri Lambda 25
Spectroscopy Cells
Lampiran 4
Correlations B1 B1
Pearson Correlation
B2 1
Sig. (2-tailed) N B2
Pearson Correlation
.221
Sig. (2-tailed)
.428
N B3
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.174
.276
.645**
.740**
.428
.041
.199
.000
.005
.078
.536
.320
.009
.002
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
1
**
*
.365
.033
.411
*
.405
.361
.644**
.005
.012
.181
.907
.128
.041
.134
.186
.010
15
15
15
15
15
15
15
15
15
1
**
*
.378
.211
*
.394
**
.772**
.000
.010
.165
.451
.041
.146
.010
.001
15
15
15
15
15
15
15
15
*
.639*
15
*
**
.533
.684
.629
.899
.638
B8
B9
.532
.533
Pearson Correlation
.352
**
Sig. (2-tailed)
.199
.012
.000
15
15
15
**
.365
*
.415
.000
.181
.010
.124
15
15
15
15
15
.687**
.033
.378
.185
.602*
.005
.907
.165
.510
.018
15
15
15
15
15
15
Pearson Correlation
.469
.411
.211
.198
.314
.449
Sig. (2-tailed)
.078
.128
.451
.480
.255
.093
15
15
15
15
15
15
15
Pearson Correlation
.174
.532*
.533*
.454
.341
.047
.331
Sig. (2-tailed)
.536
.041
.041
.089
.213
.868
.229
15
15
15
15
15
15
15
15
Pearson Correlation
.276
.405
.394
.294
.326
.597*
.586*
.356
Sig. (2-tailed)
.320
.134
.146
.287
.236
.019
.022
.192
Pearson Correlation
Pearson Correlation
N
N
N B10
.469
.684
B7
*
N
B9
.687**
15
Sig. (2-tailed)
B8
.823**
15
N
B7
.352
15
B4
.005
Sig. (2-tailed) B6
B6
.533*
15
N B5
B3
.041
N B4
15
B5
.221
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
TOTB Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
.823
.629
.899
.638
1 15
B10
.642
TOTB
.415
.185
.198
.454
.294
.124
.510
.480
.089
.287
.032
.010
15
15
15
15
15
15
15
1
*
.314
.341
.326
**
.774**
.018
.255
.213
.236
.000
.001
15
15
15
15
15
15
1
.449
.047
.597*
.534*
.672**
.093
.868
.019
.040
.006
15
15
15
15
15
1
.331
.586*
.285
.690**
.229
.022
.303
.004
15
15
15
15
1
.356
.310
.576*
.192
.260
.025
15
15
15
1
.332
.697**
.227
.004
.602
.555
.794
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
.645**
.361
.642**
.555*
.794**
.534*
.285
.310
.332
1
.750**
.009
.186
.010
.032
.000
.040
.303
.260
.227
.001
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
.740**
.644**
.772**
.639*
.774**
.672**
.690**
.576*
.697**
.750**
1
.002
.010
.001
.010
.001
.006
.004
.025
.004
.001
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
15
Correlations C1 C1
C2
Pearson Correlation
1
.472
Sig. (2-tailed)
.472
.788** .000
.000
.075
.500
.000
.075
15
15
15
15
15
15
Pearson Correlation
.472
1
.472
.464
1.000**
.472
1.000**
.464
.472
1.000**
.875**
Sig. (2-tailed)
.075
.000
.075
.081
.000
.075
.000
.081
.075
.000
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
1.000**
.472
1
.189
.472
1.000**
.472
.189
1.000**
.472
.788**
.000
.075
.500
.075
.000
.075
.500
.000
.075
.000
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
Pearson Correlation
.189
.464
.189
1
.464
.189
.464
1.000**
.189
.464
.596*
Sig. (2-tailed)
.500
.081
.500
.081
.500
.081
.000
.500
.081
.019
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
Pearson Correlation
.472
1.000**
.472
.464
1
.472
1.000**
.464
.472
1.000**
.875**
Sig. (2-tailed)
.075
.000
.075
.081
.075
.000
.081
.075
.000
.000
Pearson Correlation
Pearson Correlation
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
1.000**
.472
1.000**
.189
.472
1
.472
.189
1.000**
.472
.788**
.000
.075
.000
.500
.075
.075
.500
.000
.075
.000
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
Pearson Correlation
.472
1.000**
.472
.464
1.000**
.472
1
.464
.472
1.000**
.875**
Sig. (2-tailed)
.075
.000
.075
.081
.000
.075
.081
.075
.000
.000
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
Pearson Correlation
.189
.464
.189
1.000**
.464
.189
.464
1
.189
.464
.596*
Sig. (2-tailed)
.500
.081
.500
.000
.081
.500
.081
.500
.081
.019
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
**
.472
**
.189
.472
**
.472
.189
1
.472
.788**
.000
.075
.000
.500
.075
.000
.075
.500
.075
.000
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
Pearson Correlation
.472
**
.472
.464
**
.472
**
.464
.472
1
.875**
Sig. (2-tailed)
.075
.000
.075
.081
.000
.075
.000
.081
.075
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
**
**
**
*
**
**
**
*
**
**
1
N Pearson Correlation
1.000
Sig. (2-tailed) N
N TOT Pearson Correlation C Sig. (2-tailed)
.788
N
1.000
.875
1.000
.788
.875
.596
.788
.875
.019
.000
.000
.000
.019
.000
.000
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
TOTAL D1
D1 Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed)
N
.788
.000
.000
Correlations
TOTAL Pearson Correlation D1 Sig. (2-tailed)
.875
1.000
.000
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
N
.596
1.000
1.000
.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
D1
1.000
15
N
C10
.189
TOTC
.075
N
C9
.472
C10 **
15
Sig. (2-tailed)
C8
1.000
C9
.500
N
C7
.472
C8
15
N
C6
.189
C7 **
.000
N
C5
C6
15
Sig. (2-tailed) C4
1.000
C5
**
.075
N C3
C4
15
N C2
C3
1.000** .000
15
15
**
1
1.000
.000 15
15
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2tailed).
15
Correlations
Correlations
E1
H1
TOTAL E1
E1 Pearson Correlation
1
1.000
Sig. (2-tailed)
H1
TOTAL Pearson Correlation E1 Sig. (2-tailed)
Sig. (2-tailed)
15
15
1.000**
1
N H2
15
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.000
N
1
TOTALH
-.200
.632*
.475
.011
**
.000
N
Pearson Correlation
H2
15
15
15
-.200
1
.632*
.475
N
15
TOTA Pearson Correlation LH Sig. (2-tailed)
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2tailed).
.011
15
15
15
.632*
.632*
1
.011
.011
15
15
N
15
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations F1 F1
F2
.828**
.474
.000
15
15
15
Pearson Correlation
.200
1
.715**
Sig. (2-tailed)
.474
1
Sig. (2-tailed) N F2
N TOTAL Pearson Correlation F Sig. (2-tailed) N
.003
15
15
15
**
**
1
.828
.715
.000
.003
15
15
15
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations G1 G1
Pearson Correlation
TOTALG 1
1.000**
Sig. (2-tailed) N TOTALG
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Reliability Statistics
TOTALF
.200
Pearson Correlation
.000 15
15
1.000**
1
.000 15
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
15
Cronbach's Alpha .906
Cronbach's Alpha Based on Standardized Items .905
N of Items 27
Lampiran 5 Pengetahuan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Crosstab praktek Ya pengetahuan1
Kurang
Count % within pengetahuan1
Baik
5
16
21
76.2%
100.0%
3
6
9
33.3%
66.7%
100.0%
8
22
30
26.7%
73.3%
100.0%
Count % within pengetahuan1
Total
23.8%
Count % within pengetahuan1
Total
Tidak
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Pearson Chi-Square
.292a
1
.589
Continuity Correctionb
.008
1
.928
Likelihood Ratio
.285
1
.593
.282
1
.595
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
.666
N of Valid Casesb
30
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.40. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for pengetahuan1 (Kurang / Baik) For cohort praktek = Ya For cohort praktek = Tidak N of Valid Cases
Exact Sig. (2-sided)
Lower
Upper
.625
.113
3.461
.714
.215
2.371
1.143
.679
1.923
30
Exact Sig. (1-sided)
.453
Sikap * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Crosstab praktek Ya sikap1
Kurang
Count % within sikap1
Baik Total
13
30.8%
69.2%
100.0%
4
13
17
23.5%
76.5%
100.0%
8
22
30
26.7%
73.3%
100.0%
Count % within sikap1
Total 9
Count % within sikap1
Tidak 4
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
.197a
1
.657
.001
1
.978
.196
1
.658
.191
1
.662
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test
.698
Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
30
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.47. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for sikap1 (Kurang / Baik)
1.444
.284
7.341
For cohort praktek = Ya
1.308
.401
4.268
.905
.578
1.417
For cohort praktek = Tidak N of Valid Cases
30
Exact Sig. (1sided)
.485
Keterampilan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B keterampilan * praktek Crosstabulation praktek Ya keterampilan
Ya
Tidak
Count
6
7
1.9
5.1
7.0
% within keterampilan
14.3%
85.7%
100.0%
% within praktek
12.5%
27.3%
23.3%
3.3%
20.0%
23.3%
7
16
23
Expected Count
% of Total Tidak
Count Expected Count
Total
Total
1
6.1
16.9
23.0
% within keterampilan
30.4%
69.6%
100.0%
% within praktek
87.5%
72.7%
76.7%
% of Total
23.3%
53.3%
76.7%
Count
8
22
30
8.0
22.0
30.0
26.7%
73.3%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
26.7%
73.3%
100.0%
Expected Count % within keterampilan % within praktek % of Total
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Pearson Chi-Square
.716a
1
.398
Continuity Correctionb
.128
1
.720
Likelihood Ratio
.786
1
.375
.692
1
.406
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
.638
N of Valid Casesb
30
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.87. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for keterampilan (Ya / Tidak) For cohort praktek = Ya For cohort praktek = Tidak N of Valid Cases
Exact Sig. (2-sided)
Lower
Upper
.381
.038
3.784
.469
.069
3.192
1.232
.821
1.849
30
Exact Sig. (1-sided)
.377
Aksesibilitas * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Crosstab praktek Ya aksesibilitas
Mudah
% within aksesibilitas Sulit
20
28
28.6%
71.4%
100.0%
0
2
2
.0%
100.0%
100.0%
8
22
30
26.7%
73.3%
100.0%
Count % within aksesibilitas
Total
8
Count % within aksesibilitas
Total
Tidak
Count
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
.779a
1
.377
.003
1
.956
1.292
1
.256
.753
1
.385
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
30
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .53. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value For cohort praktek = Tidak N of Valid Cases
Lower
.714 30
Upper .565
.903
Exact Sig. (1sided)
.531
Peraturan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Crosstab praktek Ya peraturan
Tidak Ada
Count % within peraturan
Ada
Count % within peraturan
Total
Count % within peraturan
Tidak
Total
5
18
23
21.7%
78.3%
100.0%
3
4
7
42.9%
57.1%
100.0%
8
22
30
26.7%
73.3%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df a
1
.269
.382
1
.536
1.149
1
.284
1.183
1
.277
1.224
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
.345
N of Valid Casesb
30
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.87. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for peraturan (Tidak Ada / Ada) For cohort praktek = Ya For cohort praktek = Tidak N of Valid Cases
Exact Sig. (2-sided)
Lower
Upper
.370
.062
2.230
.507
.160
1.609
1.370
.696
2.695
30
Exact Sig. (1-sided)
.261
Teman * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Crosstab praktek Ya teman
Ya
% within teman Tidak
5
5
.0%
100.0%
100.0%
8
17
25
32.0%
68.0%
100.0%
8
22
30
26.7%
73.3%
100.0%
Count % within teman
Total
0
Count % within teman
Total
Tidak
Count
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df a
1
.140
.852
1
.356
3.451
1
.063
2.109
1
.146
2.182
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
.287
N of Valid Casesb
30
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.33. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value For cohort praktek = Tidak N of Valid Cases
Exact Sig. (2-sided)
Lower
1.471 30
1.124
Upper 1.924
Exact Sig. (1-sided)
.185
Petugas Kesehatan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Crosstab praktek Ya p.kesehatan
Tidak Pernah
Count % within p.kesehatan
Pernah
14
28.6%
71.4%
100.0%
4
12
16
25.0%
75.0%
100.0%
8
22
30
26.7%
73.3%
100.0%
Count % within p.kesehatan
Total 10
Count % within p.kesehatan
Total
Tidak 4
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Pearson Chi-Square
a
.049
1
.825
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.049
1
.825
.047
1
.828
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1.000
N of Valid Casesb
30
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.73. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for p.kesehatan (Tidak Pernah / Pernah)
1.200
.237
6.065
For cohort praktek = Ya
1.143
.349
3.741
.952
.616
1.472
For cohort praktek = Tidak N of Valid Cases
Exact Sig. (2-sided)
30
Exact Sig. (1-sided)
.574
Sekolah * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Crosstab praktek Ya sekolah
Tidak Pernah
Count % within sekolah
Pernah
Count % within sekolah
Total
Count % within sekolah
Tidak
Total
6
18
24
25.0%
75.0%
100.0%
2
4
6
33.3%
66.7%
100.0%
8
22
30
26.7%
73.3%
100.0%
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Pearson Chi-Square
a
.170
1
.680
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.165
1
.685
.165
1
.685
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
.645
N of Valid Casesb
30
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.60. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for sekolah (Tidak Pernah / Pernah) For cohort praktek = Ya For cohort praktek = Tidak N of Valid Cases
Exact Sig. (2-sided)
Lower
Upper
.667
.097
4.605
.750
.199
2.827
1.125
.611
2.073
30
Exact Sig. (1-sided)
.520