Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN INSIDEN PENYAKIT MALARIA DI KELURAHAN TELUK DALAM KECAMATAN TELUK DALAM KABUPATEN NIAS SELATAN TAHUN 2005 Oleh: Suhardiono, S.K.M., M.Kes. ABSTRAK Malaria adalah salah satu penyakit yang merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di Indonesia. Kelurahan Teluk Dalam merupakan daerah endemis penyakit Malaria dan jika dibandingkan dengan penderita malaria yang di Provinsi lebih tinggi di Kelurahan Teluk Dalam, yaitu pada tahun 2004 dengan IR sebesar 128 per 1.000 penduduk. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan insiden penyakit malaria tersebut dilakukan dengan jenis penelitian explanatory research yang bersifat deskriptif analitik dengan desain Cross-Sectional dengan tujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik individual, pengetahuan responden, upaya pengendalian vektor, dan faktor lingkungan dengan insiden penyakit malaria di Kelurahan Teluk Dalam, dangan besar sampel 100 Kepala Keluarga (KK). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil uji Chi-Square diketahui ada hubungan kebiasaan menggunakan kelambu dengan insiden penyakit malaria dengan nilai p=0,000 (p<0,05), ada hubungan kebiasaan menggunakan kelambu dengan insiden penyakit malaria dengan nilai p=0,004 (p<0,05), ada hubungan antara kebiasaan masyarakat menggantungkan pakaian dalam kamar dengan insiden penyakit malaria p=0,000 (p<0,05), ada hubungan antara kebiasaan tidur larut malam dengan insiden penyakit malaria dengan nilai p=0,000 (p=<0,05), ada hubungan antara kebiasaan bepergian ke daerah endemis dengan insiden penyakit malaria dengan nilai p=0,000 (p<0,05). Terjadinya peningkatan penyakit malaria disebabkan oleh masih kurangnya pengendalan vektor, kebiasaan tidak menggunakan kelambu, kebiasaan tidak menggunakan anti nyamuk, kebiasaan menggantungkan pakaian, kebiasaan tidur larut malam, kebiasaan bepergian kedaerah endemis, oleh sebab itu diharapkan kepada pihak Pemda dan petugas kesehatan agar meningkatkan penyeluhan kepada masyarakat secara rutin, dan kepada masyarakat diharapkan partisipasinya dalam mendukung program dalam upaya pemberantasan vektor penyakit malaria. Kata kunci: insiden penyakit malaria, faktor-faktor yang berhubungan 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Sasaran pembangunan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang semakin bermutu, merata, dan mampu mewujudkan manusia yang tangguh, sehat, cerdas, dan produktif. Juga dapat meningkatkan sumber daya manusia, kualitas kehidupan, peningkatan usia harapan hidup,
22
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Serta mempertinggi kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat. Perhatian khusus diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah, daerah umum perkotaan, daerah pedesaan, daerah terpencil, dan kelompok masyarakat pemukiman baru (GBHN 1999). Upaya-upaya pelayanan kesehatan diarahkan pada programprogram seperti ditegaskan dalam UU No. 23 tahun 1992, tentang kesehatan
Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia bab V pasal 10 bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (UU Kesehatan tahun 1992). Upaya perbaikan kesehatan masyarakat terus ditingkatkan, antara lain melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular yang dewasa ini masih merupakan masalah kesehatan di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat (dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, 1999). Salah satu program pemberantasan penyakit menular adalah pemberantasan penyakit malaria, di mana di Indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Angka kesakitan penyakit ini masih cukup tinggi, kadang-kadang di sertai dengan adanya kematian. WHO memperkirakan saat ini kira-kira 2,5 milyar manusia di dunia tinggal atau hidup di wilayah-wilayah endemis malaria, sampai saat ini malaria masih menjadi masalah kesehatan terbesar di dunia. Dapat di ketahui dengan masih tingginya kasus malaria di wilayah-wilayah Afrika sebelah utara gurun sahara, kira-kira 275 juta dari 500 juta penduduknya terinfeksi malaria, 100 juta di antaranya dengan gejala-gejala klinis. Dalam wilayah endemis yang luas itu setiap tahun sebanyak 1 juta orang meninggal karena penyakit malaria. Di luar benua
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005
Afrika, kira-kira 100.000 orang meninggal setiap tahun karena malaria (dalam Malaria Secara Ringkas, 2004). Di Indonesa malaria pertama kali dilaporkan oleh dokter-dokter militer pada permulaan abad ke-19, kemudian dilaporkan bahwa adanya wabah malaria seperti di Cirebon pada tahun 1852-1854 sebelum tahun 1925, Jakarta dan sekitarnya, kota-kota di pantai utara jawa serta beberapa daerah perkebunan serta persawahan di Jawa Barat merupakan daerah endemik malaria (dalam Malaria, 2000). Dari profil kesehatan Indonesia tahun 2000, angka kesakitan malaria cenderung naik, di pulau Jawa dari 12 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 1997, meningkat menjadi 81 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2000 dan di luar pulau Jawa, angka kesakitan malaria dari 1600 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 1997, meningkat menjadi 3100 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2000. Di perkirakan bahwa sekitar 46% penduduk Indonesia atau lebih dari 90 juta orang hidup didaerah endemik (dalam Pembangunan Kesehatan Indonesia, 2004) Dari hasil rekapitulasi data indikator PPM dan PL tahun 2003, angka kesakitan malaria di Sumatera Utara cenderung naik, yaitu pada tahun 2002 terdapat 46,758 kasus per 1000 penduduk meningkat menjadi 60,268 kasus per 1000 pada tahun2003 dan menurun menjadi 13,102 kasus per 1000 penduduk pada tahun 2004. (Depkes 2004). Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan merupakan daerah pantai yang memanjang dari Utara ke Selatan yang mana permukaan laut lebih tinggi 1,5 m dari daratan. Kelurahan Teluk Dalam merupakan daerah endemis malaria, diketahui dari Data tiga tahun terakhir cenderung naik dan berfluktualisasi, yang pada tahun 2002 terdapat 200 kasus per 1000 penduduk, menurun menjadi 72 kasus per 1000 penduduk
23
Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia pada tahun 2003, dan pada tahun 2004 naik menjadi 128 kasus per 1000 penduduk. Kasus malaria di Kelurahan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kasus Malaria di Provinsi Sumatera Utara. Beberapa faktor dapat diduga sebagai penyebab terjadinya peningkatan kasus malaria tersebut di Kelurahan Teluk Dalam. Oleh karena Kelurahan Teluk Dalam ini merupakan daerah yang berada di pinggir pantai yang dialiri beberapa sungai, di mana di waktu pasang naik sungai tersebut penuh diisi oleh air laut yang berasal dari muara sungai dan bahkan menggenangi daratan-daratan yang berada di pinggiran di sekitar rumah penduduk, serta terdapatnya selokanselokan pembuangan limbah, pembuangan air limbah rumah tangga yang kurang memenuhi syarat, dan juga terdapat suatu daerah rawa-rawa yang cukup besar yang ditumbuhi oleh tumbuhan rumbia, airnya tergenang setelah pasang surut, di tempat-tempat ini dicurigai sebagai tempat perindukan nyamuk Anopheles sebagai vektor malaria di samping faktor-faktor lain yang belum diketahui secara pasti. Berdasarkan data dan kenyataan tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan atau sebagai penyebab insiden penyakit malaria maka perlu dilakukan penelitian untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan insiden penyakit malaria di Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan. 1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka sebagai rumusan masalah adalah belum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan insiden penyakit malaria di Kelurahan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan.
24
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan insiden penyakit malaria di Kelurahan teluk Dalam Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Sealatan Tahun 2005. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui hubungan karakteristik individual (umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan) dengan insiden penyakit malaria di Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Teluk Dalam Kebupaten Nias selatan. 2. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan responden dengan insiden penyakit malaria di Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Teluk Dalam Kebupaten Nias selatan. 3. Untuk mengetahui pengendalian vektor dengan insiden penyakit malaria di Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Teluk Dalam Kebupaten Nias selatan. 4. Untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan dengan insiden penyakit malaria di Kelurahan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi Seksi P2M terutama penyakit malaria baik di puskesmas maupun di Dinas Kesehatan Kelurahan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan. 2. Menambah pengetahuan penulis tentang penyakit malaria. 3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang penyakit malaria. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Malaria 2.1.1. Pengertian, Gejala, dan Penularan Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler dari genus plasmodium.
Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia Malaria pada Manusia disebabkan Plasmadium Malariae (Lavaren, 1888), Plasmodium Vivax (Grosi dan Felati, 1890), Plasmodium Falciparum (Welch 1897), dan Plasmodium ovale (Stephens 1992). Penularan malaria dilakukan oleh nyamuk betina dari tribus Anopheles (Ross 1897). Dari sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles telah ditemukan 60 spesies yang dapat menularkan malaria. Di Indonesia ditemukan 80 spesies nyamuk Anopheles, tetapi hanya 16 spesies yang berperan sebagai vektor malaria. Penyakit malaria yang dikenal secara umum adalah adalah malaria klinis, yaitu penyakit malaria yang ditemukan berdasarkan gejala-gejala klinis dengan gejala demam, menggigil, secara berkala dan sakit kepala. Kadangn-kadang disertai dengan gejala klinis, badan terasa lemas dan pucat, mual, kadang-kadang diikuti muntah, sakit kepala berat terus-menerus, khususnya pada infeksi dengan falciparum. Keadaan menahun (kronis) gejala di atas disertai pembesaran limpha. Pada malaria berat, gejala di atas disertai kejang-kejang dan penurunan kesadaran hingga koma. Gejala-gejala klasik (umum) malaria biasanya terdiri atas 3 (tiga) stadium berurutan, yaitu: a. Stadium dingin (cold stage) Mulai menggigil, kulit dingin, kering, dan pucat. Stadium ini berlangsung selama 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur. b. Stadium panas (hot stage) Muka penderita merah, kulit panas dan kering, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi dapat sampai 40 ˚C atau lebih, terjadinya peningkatan respirasi. Nyeri kepala, muntah-muntah dapat juga terjadi syok (tekanan darah turun). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih diikuti dengan keadaan berkeringat.
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005
c. Stadium berkeringat (sweting stage) Penderita berkeringat mulai dari temporal diikuti seluruh tubuh sampai basah, temperatur turun, penderita merasa capek dan sering tidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa. Penularan penyakit malaria dapat terjadi sebagai berikut. a) Penularan secara Alamiah (Natural Infection) Yaitu penularan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. b) Penularan secara Tidak Alamiah 1. Malaria bawaan (congenital), yaitu penularan pada bayi, yang terjadi karena terpindahnya malaria dari ibu ke bayinya melalui peredaran darah plasenta waktu bayi masih dalam kandungan. 2. Penularan secara mekanik, yaitu penularan melalui transfusi darah atau melalui jarum suntik yang tidak steril. 2.1.2. Epidemiologi Secara epidemiologi, distribusi penyakit malaria: a. Distribusi Penyakit Malaria Menurut Orang Secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Perbedaan prevalens menurut umur dan jenis kelamin sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respons imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan menambah risiko. b. Distribusi Penyakit Malaria Menurut Tempat Penyakit malaria dapat pada wilayah-wilayah yang terbentang luas.
25
Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia Secara umum malaria berkurang pada ketinggian di atas 2000-2500 m, di atas permukaan laut jarang ada transisi Malaria. c. Distribusi Penyakit Malaria Menurut Waktu Penyakit malaria pada musim hujan, umumnya akan memudahkan nyamuk dan terjadinya epidemiologi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan derasnya curah hujan, jenis vektor, dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles. 2.1.3. Vektor 2.1.3.1 Jenis Vektor Vektor penular penyakit malaria adalah nyamuk Anopheles, di bumi ini terdapat sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles, tetapi hanya 60 spesies berperan sebagai vektor malaria. Semua vektor hidup sesuai kondisi ekologi setempat, antara lain ada yang hidup di air payau pada tingkat sanitasi tertentu (Anopheles sundalio cus, Anopheles supbicus), ada yang hidup di sawah, yaitu (Anopheles aconitus), air bersih di pegunungan (Anopheles mculatus), genangan air yang dapat sinar matahari (Anopheles punclolatus, Anopheles parauti). 2.1.3.2. Morfologi Penyakit Malaria Sesuai klasifikasinya sebagai protozoa, parasit malaria adalah sejenis binatang yang terdiri dari hanya satu sel. Bagian-bagian utama dari organisme yang berukuran sangat kecil ini terdiri dari sitoplasma , inti, dan bagian-bagian yang ada pada keduanya. Walaupun susunan jasadnya sangat sederhana, bentuk, atau morfologi parasit malaria sangat beragam, bukan saja disebabkan oleh perbedaan spesies, melainkan juga oleh berbagai perubahan bentuk dan komposisi yang terdiri dalam berbagai fase perkembangannya dalam hospes vertebrata (manusia) dan hospes nyamuk. Keanekaragaman ini ditambah
26
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005
oleh adanya perubahan-perubahan yang khas pada sel darah merah yang di infeksi parasit malaria. Morfologi empat spesies Plasmodium manusia diuraikan berdasarkan pada bentuknya yang terlihat dalam sediaan darah tipis, sel darah merah masih utuh, dengan parasit malaria berada didalamnya. Atas dasar morfologi dalam sediaan darah tipis, morfologinya dalam sediaan darah tebal bisa dikenali, walaupun lebih sulit karena parasitnya sedikit mengalami perubahan bentuk, dan sel-sel darah merah tidak ada lagi karena telah hancur. Sifat-sifat morfologi dari 4 (empat) spesies Plasmodium pada manusia adalah seperti di bawah ini: 1. Plasmodium Vivax Trofozoit muda tampak seperti cincin stempel, dengan titik kromatin pada satu sisi. Pada stadium yang lebih tua dari stadium cincin, eritrosit yang diinfeksi membesar dan menjadi pucat, karena kekurangan hemoglobin p. vivax mempunyai kecenderungan menginfeksi sel darah muda atau retikulosit (yang secara alami mempunyai ukuran yang lebih besar dari pada eritrosit yang dewasa), sehingga sel darah merah yang diinfeksi p. vivax memberi kesan adanya pembesaran yang lebih nyata dari yang sebenarnya. Troposit yang tumbuh bentuknya bertambah besar tidak beraturan, mempunyai pigmen yang halus dan menunjukan gerakan amoeboid yang jelas. Setelah 36 jam, tropozoit itu memenuhi lebih dari separuh eritrosit yang membesar, intinya mulai membelah menjadi sizon. Sekarang geraknya menjadi minimal, parasit memenuhi eritrosit yang besar, pigmen banyak berkumpul dalam sitoplasma. Setelah 48 jam sizon, mencapai ukurannya yang maksimal pula. Pigmen berkumpul di pinggir, dan terdapat 16-18 sel merozoit yang berbentuk bulat atau lonjong, berdiameter 1,5-2 mikron.
Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia
2. Plasmodium Falciparum Berbeda dengan spesies lain, pada infeksi P. falciparum bentuk atau fase yang di temukan di dalam darah tepi hanyalah bentuk cincin atau gametosit. Namun dalam infeksi yang besar, fase lain seperti tropozoit dewasa dan sizon mungkin ditemukan dalam darah tepi, di samping bentuk cincin atau gametosit. Sizogoni terjadi di dalam kapiler organ-organ dalam, juga di dalam jantung. Eritrosit yang sudah diinfeksi tidak bertambah besar. Sering di temukan lebih dari satu bentuk cincin dalam satu eritrosit (multiple infektion). Bentuk cincin yang menempel pada pinggir membran eritrosit (occole) merupakan tanda yang khas pada spesies ini. Adanya bentuk cincin yang halus dan seragam dalam jumlah banyak, sering dengan titik kromatin rangkap (doble dot), walaupun tidak ditemukan gametosit yang berbentuk khas, ini merupakan tanda-tanda yang mencukupi untuk menetapkan diagnosis spesies ini. Dua titik kromotin (doble dot) didalam satu bentuk cincin sering ditemukan pada infeksi dengan p. falciparum, sedangkan infeksi dengan p. Vivax atau p. Malariae hanya kadangkadang di temukan. 3. Plamodium Malariae Di bandingkan p. vivax, spesies ini mempunyai ukuran lebih kecil, kurang aktif, jumlahnya sedikit, dan memerlukan sedikit hemoglobin. Bentuk cincin mirip dengan p. vivax, hanya warna sitoplasmanya lebih biru, dan parasitnya lebih kecil, lebih padat, lebih seragam. Tropozoit yang tumbuh mempunyai butir-butir pigmen yang kasar, berwarna tengguli tua yang hitam. Dalam stadium ini bisa (tetapi tidak selalu) mengambil bentuk seperti pita yang melintang dalam eritrosit, bentuk kromotin seperti benang, kadang-kadang ada fakuola (band
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005
form). Pigmen berkumpul di pinggir parasit. Dalam 72 jam, sizon menjadi matang, mengisi seluruh eritrosit yang ukurannya tidak berubah. Bentuk parasit menyerupai bunga seruni (daisy form), dengan pigmen yang kasar dan berwarna tengguli tua di tengah, dikelilingi oleh 6-8 merozoit yang lonjong, masing-masing dengan kromotin biru. Pada pewarnaan yang kuat, kadang-kadang terlihat tititk-titik kecil berwarna merah muda (titik ziemann/ziemann”s dots). Gametosit mirip bentuknya dengan p. vivax, tetapi jumlah pigmennya lebih sedikit. 4. Plasmodium Ovale Plasmodium yang jarang di temukan beberapa hal menyebabkan perubahan eritrosit seperti yang terjadi pada infeksi oleh p. vivax. Sel darah merah yang diinfeksi sedikit membesar, agak pucat, berbentuk lonjong, dan mempunyai titik schuffner yang kasar sejak stadium lebih dini (bentuk cincin yang tua). Eritrosit yang lonjong serta bergerigi (fibriae) pada satu ujungnya merupakan tanda yang sangat diagnostik untuk spesies ini. Bentuk parasitnya pada stadium tropozoit yang sedang tumbuh dan sizon muda mirip P.malariae, walaupun tidak membentuk pita. Pada sizon matang yang hampir mengisi seluruh eritrosit, pigmen yang berwarna tengguli terletak di tengah-tengah. Sizon yang matang mempunyai 8 buah merozoit yang letaknya tidak beraturan. Bentuk gametosit mirip dengan p.vivax. 2.1.4. Penyebaran Malaria Penyebaran malaria terjadi dalam willayah-wilayah yang terbentang luas meliputi belahan bumi utara dan selatan, antara 64˚ Lintang Utara (Kota Archangel di Rusia) dan 32˚ Lintang Selatan (Kota Cordoba, Argenthina). Penyebaran malaria dapat berlangsung
27
Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia pada ketinggian Wilayah yang sangat bervariasi, dari 400 meter di permukaan laut, misalnya di londiani, Kenya, atau 2.800 meter di atas permukaan laut, misalnya Cochabamba, Bolivia. P. Vivax mempunyai wilayah penyebaran paling luas, dari wilayah beriklim dingin, subtropics, sampai wilayah beriklim tropis. P. falciparum jarang ditemukan di wilayah beriklim dingin, tetapi paling sering ditemukan pada wilayah beriklim tropis. Wilayah penyebaran p. malariae mirip dengan penyebaran P. falciparum, tetapi p. malariae jauh lebih jarang ditemukan, dengan distribusi yang sporadis. Dari semua spesies plasmodium manusia, p. ovale paling jarang di temukan di wilayah-wilayah Afrika beriklim tropis, dan sekali-sekali ditemukan di kawasan Pasifik Barat. Di Indonesia, secara umum spesies yang paling sering ditemukan adalah P. falciparum dan P. vivax. P. ovale jarang ditemukan di Indonesia bagian timur, sedangkan P. ovale lebih jarang lagi. Penemuannya pernah di laporkan dari Flores, Timor, dan Irian Jaya. 2.1.5. Siklus Hidup Malaria Siklus hidup malaria dimulai bila seseorang digigit nyamuk Anopheles (betina) yang mengandung sporozoit. Sporozoitsporozoit yang masuk bersama ludah nyamuk masuk ke peredaran darah. Dalam waktu yang sangat singkat (30 menit) semua sporozoit menghilang di peredaran darah, masuk ke sel-sel hati (hepatosit) sporozoit membelah diri secara aseksual, dan berubah menjadi sizon hati (sizon kriptozoik). Seluruh proses tadi memerlukan fase ekso-eritrositik primer (fase pre-eritrositik). Siklus tadi memerlukan waktu antara 6-12 hari untuk menjadi lengkap, tergantung pada spesies parasit malaria yang menginfeksi. Sesudah sizon kriptozoik dalam sel hati menjadi matang, bentuk ini bersama sel hati yang diinfeksi pecah dan mengeluarkan 5.000-30.000
28
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005
merozoit, tergantung dari spesiesnya, yang segera masuk ke sel-sel darah merah. Dalam sel darah, merozoitmerozoit yang dilepas dari sel hati tadi berubah menjadi trofozoit muda (bentuk cincin). Trofozoit muda tumbuh menjadi trofozoit dewasa, dan selanjutnya membelah diri menjadi sizon. Sizon yang sudah matang, dengan merozoit-medrozoit didalamnya dalam jumlah maksimal tertentu tergantung dari spesiesnya, pecah bersama sel darah merah yang diinfeksi, dan merozoit-merozoit yang dilepas itu kembali menginfeksi sel-sel darah merah lain yang mengulang siklus tadi. Keselurahan siklus yang terjadi berulang dalam sel darah disebut siklus eritrositik aseksual atau sizogono darah. Peristiwa pecahnya sizon-sizon bersama sel-sel darah yang diinfeksinya disebut proses sporulasi, dan ini berkolerasi dengan munculnya gejalagejala malaria, yang ditandai dengan demam dan menggigil secara periodik. Satu siklus sizogoni darah berlangsung lengkap antara 44 sampai 49 jam untuk P. falciparum, P. Vivax, dan P. ovale, menyebabkan pola periodisitas tertian (tiap hari ketiga), dan 27 jam untuk P. malariae, menyebabkan pola kuartana (tiap hari keempat). Setelah siklus sizogoni darah berulang beberapa kali, beberapa merozoit tidak menjadi sizon, tetapi berubah menjadi gametosit dalam sel darah merah, yang terdiri dari gametosit jantan dan betina. Jika gametosit yang matang diisap oleh nyamuk Anopheles, di dalam lambung terjadi proses ekflagelasi pada gametosit jantan, yaitu dikeluarkannya 8 sel gamet betina. Selanjutnya pembuahan terjadi antara sel gamet jantan (mikrogamet) dan satu sel gamet betina (makrogamet), menghasilkan zigot dengan bentuk yang memanjang, lalu berubah menjadi ookinet yang bentuknya fermiformis dan bergerak aktif menembus mukosa lambung. Di dalam dinding lambung paling luar
Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia ookinet mengalami pembelahan inti menghasilkan sel-sel yang memenuhi kista yang membungkusnya, disebut ookista. Di dalam ookista menghasilkan puluhan ribu sporozoit, yang menyebabkan opokista pecah dan menyebarkan sporozoit- sporozoit yang berbentuk seperti rambut keseluruh bagian rongga badan nyamuk (hemosel), dan dalam beberapa jam saja menumpuk di dalam kelenjar ludah nyamuk. Sporozoit bersifat infektif bagi manusia jika masuk keperedaran darah. Seluruh fase perubahan yang dialami P. Falciparum dalam tubuh nyamuk Vektonya berlangsung antara 11-14,9-12 hari untuk P. vivax, 14-15 hari untuk P. malariae. 2.1.6. Pencegahan Malaria Pencegahan malaria secara garis besarnya mencakupi tiga aspek sebagai berikut: 1. Mengurangi pengandung gametosit yang merupakan sumber infeksi (reservoir). 2. Memberantas nyamuk sebagai vektor malaria. 3. Melindungi orang yang rentan dan beresiko terinfeksi malaria. 2.1.7. Pemberantasan Malaria Program pemberantasan malaria dapat didefinisikan sebagai usaha terorganisasi untuk melaksanakan berbagai upaya menurunkan penyakit dan kematian yang diakibatkan oleh malaria, sehingga tidak menjadi masalah kesehatan yang utama. Antara tahun 1959 dan 1968 di Indonesia, sesuai dengan kebijakan WHO yang diputuskan dalam Word Health Assembly (WHA) 1955, melaksanakan program pemberantasan malaria di Jawa-Bali. Program pemberantasan ini pada mulanya sangat berhasil, namun kemudian mengalami berbagai hambatan, baik yang bersifat administratif maupun teknis, sehingga pada tahun 1969 di tinjau kembali oleh WHA. Meskipun pemberantasan tetap menjadi tujuan akhir, cara-cara yang di
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005
tempuh disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan masing-masing negara dan wilayah. Pemberantasan malaria berlangsung dalam 4 fase, yaitu: 1. Fase persiapan: pengenalan wilayah, penyediaan tenaga, bahan, alat, dan kendaraan. 2. Fase penyerangan: penyemprotan rumah dengan insektisida yang mempunyai efekresidual disertai dengan PCD dan ACD. 3. Fase konsolidasi: fase ini dimulai bila API (Annual Parasite Incidence) kurang dari 1%. Kegiatan terpenting adalah PCD dan ACD. Fase ini berakhir bila selama tiga tahun berturut-turut ditemukan lagi kasus malaria ”indigenous”. 4. Fase pemeliharaan (maintenance): fase ini dapat berjalan beberapa tahun untuk mempertahankan hasil yang dicapai sampai dinyatakan bebas malaria oleh WHO setelah syarat dipenuhi, antara lain berfungsinya suatu jaringan pelayanan kesehatan primer. 2.2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Insiden Malaria 2.2.1. Kerentanan Penduduk Meningkatnya penduduk yang rentan sering disebabkan oleh masuknya penduduk yang tidak imun ke suatu daerah endemik. 2.2.2. Reservoir (Penderita Infeksi) Masuknya penduduk dengan spesies yang baru atau yang tidak ada di daerah tersebut, kelompok ini mungkin tanpa gejala klinik tapi dalam darahnya beredar gametosit yang siap ditularkan kepada penduduk setempat. Hal ini akan menjadi reservoir yang baru. 2.2.3. Vektor Penular Perubahan iklim atau menurunnya jumlah ternak sehingga nyamuk yang tadinya zoofilik berubah
29
Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia menjadi anthorofilik akan meningkatkan kepadatan vektor penular dalam rumah. 2.2.4. Efektifitas Vektor Meningkatnya efektifitas vektor setempat dalam menularkan malaria. 2.2.5. Faktor Lingkungan a. Lingkungan Fisik 1. Suhu Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk suhu yang optimal antara 20 - 300 C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) maka pendek masa inkubasi ekstrinsik. 2. Kelembaban Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria. 3. Ketinggian Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu ratarata. Pada ketinggian di atas 2000 meter jarang ada transmisi malaria. 4. Angin Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. 5. Sinar Matahari Pengaruh sinar matahari pada terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. A.Sundaicus lebih suka tempat yang teduh. An. Hyrconus dan An. Pinctualatus spp lebih menyukai tempat yang terbuka. An. Barbirostris dapathidup baik
30
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005
di tempat yang teduh maupun yang terang. 6. Arus air An. Barbirostris menyukai perindukan yang artinya statis/mengalir lambat, sedangkan An. Minimus menyukai aliran air yang deras dan An. Letifer menyukai air tergenang. 7. Kadar Garam An. Sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12–18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% ke atas. Namun di Sumatera Utara ditemukan perindukan An. Sundaicus dalam air tawar. b. Lingkungan Biologik Tumbuhan bakau, lumut, ganggang, dan berbagai tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena dia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (panchax spp), gambusia, nila, mujair, dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Adanya ternak seperti sapi, kerbau, dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh dari rumah. c. Lingkungan sosial budaya Kebiasaan berada di luar rumah sampai larut malam, di mana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria antara lain dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan menggunakan anti nyamuk. Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan bendugan, pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan pemukiman baru/transmigrasi sering
Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan malaria. Oleh sebab itu, untuk mengetahui faktor-faktor yang
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005
berhubungan dengan insiden penyakit malaria, landasan teori yang digunakan dapat digambarkan sebagai berikut.
KARAKTERISTIK INDIVIDUAL PENGETAHUAN RESPONDEN
a. b.
Vektor Kepadatan Efektifitas
a. b. c.
Lingkungan Fisik Biologik Sosial
Karakteristik penduduk yang berhubungan dengan kerentanannya terhadap penyakit termasuk masuknya penduduk dengan spesies parasit yang baru atau yang tidak ada di suatu daerah, menurut Soemirat (1999), ada beberapa karakteristik individual yang perlu dikaji sehubungan kejadian suatu penyakit, yaitu: umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, status gizi, dan perilaku sehari-hari. Oleh sebab itu, karakteristik inilah yang hendak dikaji dalam penelitian ini kecuali status gizi karena memerlukan pengukuran tersendiri dan perilaku hanya dibatasi pada aspek pengetahuan karena sikap dan tindakan individu yang berhubungan dengan penyakit menular sangat dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat sehingga dapat dimasukkan ke dalam kelompok lingkungan sosial. Kepadatan dan efektivitas vektor hanya dapat diukur dengan metode
INSIDEN PENYAKIT MALARIA
khusus sehingga dalam penelitian ini dieliminasi. Selain itu kepadatan dan efektivitas vektor akan mempengaruhi kejadian penyakit secara keseluruhan (masyarakat dan bukan individu) sehingga dapat diperkirakan jawaban responden untuk setiap kelompok masyarakat akan sama. Walaupun demikian, penulis akan memasukan upaya pengendalian vektor sebagai salah satu variable bebas mengingat bahwa upaya ini berbanding terbalik dengan kepadatan dan efektivitas vektor dalam arti bahwa semakin baik upaya pengendalian vektor, maka semakin rendah pula kepadatan dan efektivitas vektor. Iklim Nias selalu berada pada kisaran suhu 20 – 300 C dengan kelembaban udara di atas 60% dengan ketinggian berada di bawah 2000 meter dari permukaan laut sehingga memang sangat kondusif untuk
31
Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia perkembangbiakan vektor malaria. Demikian juga daerah pemukiman di Nias yang banyak dialiri sungai semakin kondusif berkembangnya vektor malaria.
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005
2.3. Kerangka Konsep Berdasarkan uraian di atas, kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
KARAKTERISTIK INDIVIDUAL Umur Jenis Kelamin Jenis Pekerjaa Tingkat Pendidikan PENGETAHUAN RESPONDEN UPAYA PENGENDALIAN VEKTOR
INSIDEN PENYAKIT MALARIA
Lingkungan a. Fisik b. Biologik c. Sosial 2.4. Hipotesis 1. Ada hubungan karakteristik individual dengan insiden penyakit malaria di Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan. 2. Ada hubungan pengetahuan dengan insiden penyakit di Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Teluk Dalam Kabupeten Nias Selatan. 3. Ada hubungan upaya pengendalian vektor dengan insiden penyakit malaria di Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan. 4. Ada hubungan faktor lingkungan dengan insiden penyakit malaria di Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan.
32
3. METODE PENELITIAN Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian adalah explanatory reseach yang bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan rancangan penelitian cross-sectional dengan tujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik individual, upaya pengendalian vektor dan faktor lingkungan sebagai variabel bebas dengan kejadian penyakit malaria sebagai variabel terikat di Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan selama 2 (dua) bulan atau sampai seluruh data yang dibutuhkan terkumpul yang dimulai dari bulan April 2005.
Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia Populasi dan Sampel Populasi Populasi penelitian ini adalah seluruh Kepala Keluarga (KK) di Kelurahan Teluk Dalam yang berdasarkan data yang ada berjumlah 1041 KK. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive random sampling dengan jumlah sampel diperoleh melalui rumus:
n=
N 1 = N (d 2 )
Keterangan: n = besar sampel dengan populasi <10.000 N = besar populasi d = persisi absolut yang diinginkan (0,1) Sehingga sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebanyak:
n=
1041 1 = 104(0,01)
n = 91,2 atau dibulatkan menjadi 100 KK Variabel Penelitian Variabel penelitian terdiri atas: 1. Variabel bebas, yaitu: a). Karakteristik individual b). Pengetahuan c). Upaya Pengendalaian Vektor d). Lingkungan 2. Variabel terikat, yaitu kejadian penyakit malaria. Definisi Operasional 1. Karakteristik individual adalah ciriciri individu yang berhubungan dengan kejadian penyakit, terdiri atas: a. Umur adalah lamanya hidup responden sewaktu menderita penyakit malaria yang dikelompokkan atas umur 1-4 tahun, 5-9 tahun, 10-14 tahun,
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005
15-19 tahun, 20-39 tahun, 40-49 tahun dan 60 tahun ke atas. b. Jenis kelamin adalah laki-laki dan perempuan. c. Jenis pekerjaan adalah mata pencaharian responden yang dikelompokkan menjadi petani, nelayan, rumah tangga, PNS/ ABRI, dan tidak bekerja. d. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah dilalui oleh responden, terdiri dari: tidak tamat SD, tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, dan perguruan tinggi. 2. Pengetahuan adalah segala yang diketahui oleh resopnden tentang malaria, yaitu penyebab, gejala, cara penularan, tempat perindukan vektor, dan pencegahan. Dalam hal ini pengetahuan terdiri dari 7 pertanyaan dan setiap pertanyaan terdiri dari beberapa option yang jawabannya benar. Jika responden memilih opsi maka skor 1, jika responden memilih 2 maka maka diberi skor 2, dan jika responden memilih sama dengan 3 atau lebih maka diberi skor 3. Yang dalam analisis pengetahuan dikategorikan menjadi 3 (Notoatmojo 1985), yaitu: 1. Baik, jika skor total nilai pertanyaan pengetahuan ≥ 75%. 2. Sedang, jika skor total nilai pertanyaan pengetahuan 40 – 75%. 3. Kurang, jika skor total nilai pertanyaan pengetahuan ≥ 40%. Dengan aspek pengetahuan: 1. Baik, jika nilai pertanyaan Responden tentang pengetahuan terhadap penyakit malaria > 16. 2. Sedang, jika nilai pertanyaan Responden tentang pengetahuan terhadap penyakit malaria 8 – 16. 3. Kurang, jika nilai pertanyaan Responden tentang pengetahuan terhadap penyakit malaria < 8.
33
Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia 3. Upaya pengendalian vektor adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengendalikan vektor penyakit malaria, yaitu: pemakaian kelambu, pemakaian obat anti nyamuk. 4. Keadaan lingkungan adalah kondisi lingkungan tempat tinggal responden, yang terdiri atas: a. Fisik, kepemilikan fentilasi, pemakaian fentilasi, dan kebiasaan meletakkan pakaian habis digunakan, dan penerangan sinar matahari di dalam rumah. b. Biologik, yaitu kepemilikan ternak dan kebersihan halaman. c. Sosial, yaitu kebiasaan responden menggantungkan pakaian dalam kamar, kebiasaan responden tidur larut malam, dan kebiasaan responden bepergian ke daerah endemis. 5. Insiden penyakit malaria adalah ada tidaknya rumah responden yang menderita penyakit malaria selama 1 (satu) tahun terakhir. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan metode wawancara dengan menggunakan kuesioner sedangkan data sekunder diperoleh dari puskesmas Teluk Dalam dan kantor Kelurahan Teluk Dalam. Data yang sudah dikumpul, selanjutnya diolah dan dikelompokan menurut variabel penelitian secara manualdan komputerisasi. Penyajian Data Data yang telah diolah kemudian disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan juga diuraikan dalam bentuk narasi. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dari hasil wawancara diolah secara statistik dengan menggunakan uji Chi-square.
34
Vol. 1, No. 2, Edisi Desember 2005