Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
Faktor-Faktor Pendorong Keberadaan Permukiman Nelayan Di Dermaga Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu 1) Junaidi
2)
Ispurwono Soemarno 3) Sarjito 1)Jurusan Arsitektur FTSP ITS Surabaya Indonesia 60111, email:
[email protected] 2) Jurusan Arsitektur FTSP ITS Surabaya Indonesia 60111, 3) Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP ITS Surabaya Indonesia 60111. Abstrak Permukiman nelayan di sekitar kawasan pelabuhan telah ada sebelum pelabuhan diresmikan, kemudian di kawasan tersebut terjadi peningkatan jumlah permukiman nelayan. Keberadaan permukiman nelayan yang terdapat di kawasan dermaga Pulau Baai Bengkulu harus segera disikapi oleh instansi terkait. Keberadaannya merupakan suatu pelanggaran tata ruang dan akan menjadi potensi konflik antara pengelola pelabuhan dan warga masyarakat. Sehubungan hal tersebut maka perlu dikaji faktor-faktor penyebab yang menjadi pendorong keberadaan permukiman nelayan di kawasan dermaga pelabuhan dengan mengidentifikasi karakter masyarakat nelayan, sejarah kebijakan Pemerintah dan PT. Pelindo terkait hal tersebut. Dengan menggunakan metode analisa deskriptif dalam mengkaji faktor-faktor pendorong tersebut sehingga didapatkan sebuah kesimpulan dari penulisan jurnal ini yaitu bahwa dalam sejarahnya pelabuhan dibangun di daerah yang telah berpenghuni. Lengkapnya sarana serta prasarana, diakuinya legalitas warga dan penegakan hukum yang kurang tegas. Dari kesimpulan tersebut direkomendasikan kepada PT. Pelindo untuk meninjau ulang master plan pelabuhan, memberikan sosialisasi kepada masyarakat, meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dan melokalisir kawasan permukiman dengan akses jalan ke pelabuhan, dan perlu mengkaji ulang keberadaan pelabuhan perikanan agar perkembangan permukiman dapat dicegah. Kata kunci : Peraturan ISPS Code, pelabuhan, permukiman nelayan
Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
1
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
DRIVING FACTORS SETTLEMENT EXISTENCE FISHERMAN SEAPORT AT PIER PULAU BAAI BENGKULU ¹) Junaidi ²) Ispurwono Soemarno ³) Sarjito 1) Student of Post Graduated, FTSP 60,111
[email protected] 2) Department of Architecture ITS Surabaya Indonesia FTSP 60,111, 3) Departemen of Urban planning and Regional ITS Surabaya Indonesia FTSP 60,111 Abstract Fishing settlements around the port area had existed before the port was established, and then in this area ocours grow-up of fisherman quantity . Fishing settlements located in the region harbor Pulau Baai dermaga Bengkulu must be addressed by relevant agencies for their existence is a violation of spatial structure and will be a potential conflict between managers and community ports. Accordingly it is necessary to be examined the factors that cause that to motivate the existence of settlements fishermen at the harbor dock area with fishing communities to identify the character, the history of government policies and PT. Pelindo related to that, the next descriptive method. Conclusion of the writing of this journal is that its history was built in the port area has been inhabited and being influenced by factors such as the complete facilities and infrastructure, he admitted the legality of citizens and law enforcement are less strict. Of the conclusions recommended to Local Goverment to review the port master plan, provide socialization to the community, enhance coordination with relevant agencies and localize settlements with access roads to the port, and the need to review the presence of fishing ports to the development of settlements can be prevented. Keywords: Regulation ISPS Code, port, fishing settlements
Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
2
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
I. PENDAHULUAN Pelabuhan Pulau Baai adalah pelabuhan nasional yang terletak kurang lebih 20 km dari Kota Bengkulu tepatnya pada posisi ˚47’30”LS 03 dan 120˚15’40”BT. Pelabuhan ini mempunyai kolam pelabuhan yang luas dan hinterland baik serta akses yang cukup dekat dengan sentra produksi pertanian di bagian selatan Pulau Sumatera, sehingga mempunyai prospek yang baik sebagai pelabuhan samudera di kawasan barat Pulau Sumatera. Pelabuhan ini dibangun sejak tahun 1980 dan dioperasikan mulai bulan Juli tahun 1984 yang pengelolaannya diusahakan oleh PT. Pelindo, namun di kawasan pelabuhan ini terdapat permukiman nelayan yang menguasai lahan kurang lebih 45 hektar (master plan pelabuhan 2006). Kondisi Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu dan keberadaan kawasan permukiman nelayan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Pelabuhan Pulau Baai Sumber Master Plan Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu Tahun 2006 Keberadaan permukiman di Pelabuhan Pulau Baai merupakan masalah yang cukup penting untuk segera diselesaikan, sehingga akan menunjang optimalisasi dan meningkatkan kelancaran aktivitas pelabuhan dan mendukung penegakan The International Ship and Port Fasility Security Code (ISPS Code) atau peraturan internasional keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan, serta mengurangi pemicu konflik di kawasan pelabuhan, karena pada tanggal 15 Mei 2008 yang lalu telah ditandatangani perjanjian kerjasama untuk pengembangan dan optimalisasi fasilitas pelabuhan berikut pemanfaatan tanah hak pengelolaan lahan cabang Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu antara Pemerintah Provinsi Bengkulu dengan PT. Pathaway International. Nilai investasi pembangunan mencapai RP. 21 trilyun, terdiri dari Rp. 2,4 trilyun di sektor perlabuhan dan Rp. 18,6 trilyun pada sektor kereta api. Pekerjaan yang akan dilakukan adalah pengerukan alur pada kedalaman 10 mill, pematangan dan pemanfaatan lahan seluas 500 hektar, peningkatan troughput batubara sampai dengan 40 juta metrik ton/tahun dengan membangun rel kereta api dari pelabuhan ke daerah pertambangan PT. Bukit Asam. Keadaan ini akan menciptakan aktivitas pelabuhan yang begitu ramai nantinya, sehingga dikhawatirkan Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
3
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan kawasan permukiman liar juga bertambah luas sehingga penegakan hukum di pelabuhan jadi semakin sulit dan potensi kerawanan sosial menjadi bertambah. Keberadaan permukiman ini mempengaruhi tingkat keamanan pelabuhan, karena berada di sepanjang jalan akses pelabuhan dan juga dekat kawasan perairan pelabuhan, sehingga menghambat penegakkan peraturan ISPS Code dalam men-steril-kan pelabuhan dari orang-orang yang seharusnya tidak mempunyai akses masuk pelabuhan. Keberadaan permukiman ini menjadikan fisik lingkungan pelabuhan memburuk, karena membentuk perkampungan yang kurang tertata dan membentuk “squatter area” yaitu permukiman yang cenderung kumuh dan terletak di kawasan yang “ilegal” (Ahmad, 2002: 67-70), yaitu lokasi permukiman berada di tanah hak pengelolaan milik PT. Pelindo. Pertanyaan penelitian yang berhubungan masalah utama adalah faktor-faktor apa yang menyebabkan permukiman nelayan tetap ada di Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu?. Faktorfaktor tesebut perlu dikaji agar perkembangan permukiman nelayan dapat dihambat atau untuk bahan pertimbangan penanganan selanjutnya.
Gambar 2.Kondisi Permukiman Nelayan dan Kondisi Jalan Akses di Pelabuhan (Sumber : Survey lapangan, Oktober 2009) Tujuan penelitian ini adalah mengkaji faktor-faktor pendorong keberadaan permukiman nelayan di Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu. Tujuan dapat dicapai dengan sasaran sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi karakteristik, motivasi dan sejarah keberadaan permukiman nelayan di Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu; 2. Mengidentifikasi kebijakan Pemda Kota dan Pemda Provinsi Bengkulu dalam mensikapi keberadaan permukiman di pelabuhan; 3. Mengidentifikasi kebijakan pengelola pelabuhan (PT. Pelindo) dalam mensikapi keberadaan permukiman liar di pelabuhan; 4. Menganalisis faktor-faktor pendorong keberadaan permukiman nelayan di Pelabuhan Pulau Baai dikaitkan dengan kebijakan Pemda Kota dan Provinsi Bengkulu serta PT. Pelindo; 5. Merumuskan kesimpulan dan rekomendasi kepada PT. Pelindo sebagai pengelola Pelabuhan Pulau Baai.
Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
4
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
II. KAJIAN LITERATUR Istilah permukiman terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 04 Tahun 1992 tanggal 10 Maret 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, permukiman dimaksudkan sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehi-dupan dan penghidupan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, permukiman berasal dari kata mukim yang berarti tempat tinggal, kediaman, daerah kawasan dan permukiman diartikan suatu proses, cara, perbuatan memukimkan. Sedangkan liar adalah tidak ada yang memelihara, tidak jinak, tidak tenang, buas, ganas, tidak teratur tidak menurut aturan (hukum), tanpa ijin resmi dari yang berwenang, tidak memiliki izin usaha, mendirikan, atau membangun. Di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah Nomor: 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan, kata pelabuhan dimaksudkan sebagai tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi. The International Ships And Port Fascilities Security Code (ISPS Code) atau peraturan internasional untuk keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan menyatakan bahwa suatu fasilitas pelabuhan dipersyaratkan untuk bertindak pada tingkat keamanan yang ditentukan oleh negara anggota yang lokasi fasilitasnya berada dalam teritorialnya. Tindakan dan tata caranya harus ditetapkan pada fasilitas pelabuhan sedemikian rupa seperti mengurangi gangguan campur tangan, atau menunda para penumpang, awak kapal dan pengunjungnya, jasa barang-barang dan pelayanannya. Petunjuk tindakan pencegahan terhadap peristiwa ke-amanan berguna untuk: 1. Memastikan pelaksanaan tugas-tugas keamanan seluruh wilayah dermaga. 2. Pengawasan keluar masuk terhadap fasilitas pelabuhan. 3. Pemantauan fasilitas pelabuhan, termasuk wilayah berlabuh jangkar dan wilayah dermaga. 4. Memantau areal terbatas untuk memastikan bahwa hanya pihak berwenang yang memiliki akses. Berdasarkan kebijakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelabuhan tidak diperbolehkan untuk kawasan permukiman. Kondisi ini untuk menunjang keamanan terhadap kelancaran aktifitas di pelabuhan dan mengantisipasi konflik antara pengelola pelabuhan dengan penduduk, namun kenyataannya banyak kawasan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia masih terdapat kawasan yang dikuasai oleh masyarakat. A. Kebijakan Pemerintah Tentang Permukiman Didalam UU No. 04 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman dinyatakan bahwa setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan mempunyai kewajiban sebagai berikut: 1. Mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif. Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
5
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
2. Melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak. 3. Melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan. B. Faktor Pendukung Minat Bermukim Manusia selain memerlukan sandang dan pangan juga perumahan karena semua merupakan kebutuhan dasar (basic need) manusia. Oleh karena itu sebagai konsekuensinya perlu diciptakan permukiman untuk menampung kebutuhan dasar manusia (Karseno, 1994: 65 dan Moslow dalam Siagian, 1989: 146). Adapun hirarki kebutuhan manusia dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Kebutuhan fisiologis. 2. Kebutuhan akan keamanan. 3. Kebutuhan sosial. 4. Kebutuhan ”esteem” (harga diri). 5. Kebutuhan akan aktualisasi diri. Elemen yang mempengaruhi keputusan seseorang atau sebuah keluarga dalam menentukan pilihan lokasi tempat tinggal yaitu (Rees dalam Yeates dan Garner, 1980: 291 dan Auslan, 1986: 145): 1. Posisi keluarga dalam lingkup sosial, mencakup status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, penghasilan). 2. Lingkup perumahan, mencakup nilai kualitas dan tipe rumah. 3. Lingkup komunitas. 4. Lingkup fisik dan lokasi rumah. Menurut Koestoer (1997: 24) dan Drabkin (1980: 68), faktor sosial dan fisik sangat menentukan dalam pilihan terhadap pemilihan lokasi tempat tinggal, pengambilan keputusan keluarga terhadap pilihan daerah, ditemukan bahwa faktor aksesibilitas merupakan pengaruh utama dalam pemilihan lokasi tempat tinggal, yaitu kemudahan transportasi dan kedekatan jarak. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan lokasi perumahan secara individu berbeda satu dengan yang lain yaitu: 1. Aksessibilitas yang terdiri dari kemudahan transportasi dan jarak kepusat kota. 2. Lingkungan dalam hal ini terdiri dari lingkungan sosial dan fisik seperti kebisingan, polusi dan lingkungan yang nyaman. 3. Peluang kerja yang tersedia, yaitu kemudahan seseorang dalam mencari pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya. 4. Tingkat pelayanan lokasi yang dipilih merupakan lokasi yang memiliki pelayanan yang baik dalam hal sarana, prasarana dan lain-lain. Menurut Rencana Kawasan Perumahan Kota yang disusun oleh Departemen Pekerjaan Umum tahun 1997, kawasan perumahan selayaknya mempunyai persyaratan dasar untuk pengembangan kota yakni: a. Aksessibilitas, yakni kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan perumahan dalam bentuk jalan dan transportasi. b. Kompatibilitas, yakni keserasian dan keterpaduan antar kawasan yang menjadi lingkungannya. c. Fleksibilitas, yakni kemungkinan pertumbuhan fisik/pemekaran kawasan perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana. d. Ekologi, yakni keterpaduan antara tata kegiatan alam yang mewadahinya Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
6
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
III. METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filsafat rasionalistik yang bersumber pada teori, kebenaran empirik dan etik. Teori tentang permukiman dan permukiman nelayan dianalisa dengan pendekatan rasionalistik yaitu untuk memahami keberadaan permukiman nelayan serta permasalahan yang terdapat pada lokasi studi. Dari teori-teori kemudian dirumuskan konseptualisasi yang berkaitan dengan keberadaan permukiman nelayan dan indikator-indikatornya, serta pendekatan penanganan permukiman nelayan untuk menentukan faktor-faktor pendorong keberadaan permukiman nelayan di kawasan dermaga Pulau Baai Kota Bengkulu. Data diperoleh melalui kuisoner dan penjaringan opini dan peran serta masyarakat dalam menentukan kriteria lokasi permukiman mereka. Hasil dari penyebaran kuisoner dan rekapitulasi hasil penjaringan opini menjadi data yang bersifat kualitatif yang berdasar pada filsafat rasionalistik yang mengutamakan keinginan dan pendapat masyarakat sebagai responden. Sifat penelitiannya eksploratif, deskriptif, kausal dan prespektif. Penelitian eksploratif bertujuan untuk menemukan atau mendapatkan hal yang baru, guna menemukan sesuatu yang sebelumnya belum ada. Dalam penelitian ini digunakan untuk menemukan faktor-faktor yang menjadi pendorong masyarakat nelayan bermukim di kawasan dermaga Pulau Baai Kota Bengkulu. Kemudian berdasarkan faktor tersebut disusun desain kuisoner dan desain wawancara serta pelaksanaan survey lapangan (pengumpulan data). Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan populasi atau daerah tertentu. Analisa deskriptif dilakukan penyusunan hasil kuisoner. Hasilnya diharapkan dapat dijadikan dasar prespektif untuk dapat menemukan aspek-aspek yang mempengaruhi pemilihan lokasi permukiman oleh nelayan. Penelitian kausal bermaksud mencari kemungkinan sebab akibat, dengan cara memperhatikan akibat yang sekarang ada dan mencari kemungkinan penyebabnya berdasarkan data yang dikumpulkan. Hal ini diperlukan terkait dengan keberadaan permukiman nelayan di kawasan dermaga Pulau Baai Kota Bengkulu. Penelitian prespektif digunakan untuk merumuskan tindakan untuk memecahkan masalah. Dalam studi ini dilakukan suatu upaya untuk mengetahui alternatif lokasi baru yang sesuai dengan masyarakat nelayan yang sekarang bermukim di wilayah/kawasan dermaga Pulau Baai Kota Bengkulu. IV. KAJIAN TERHADAP PERMUKIMAN NELAYAN DI PELABUHAN PULAU BAAI BENGKULU A. Karakteristik Permukiman Nelayan di Dermaga Pelabuhan Pulau Baai Kota Bengkulu Pelabuhan Pulau Baai merupakan pelabuhan dengan kelas nasional, namun didalamnya terdapat permukiman liar. Pelabuhan ini secara administratif pemerintahan berada di wilayah Kecamatan Kampung Melayu yang terdiri dari 6 kelurahan yaitu Kelurahan Kandang, Padang Serai, Sumber Jaya, Muara Dua, Teluk Sepang dan Kandang Mas, dan pelabuhan masuk ke kawasan Kelurahan Sumber Jaya. Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
7
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
Gambar 3. Kondisi Sarana Prasarana di Kawasan Permukiman Pelabuhan Pulau Baai (Sumber survey lapangan Oktober 2009) Pada saat ini masyarakat yang menghuni permukiman liar berada di daerah seluas 45 Ha yang terletak di dalam kawasan Pelabuhan Pulau Baai berjumlah 670 kepala keluarga atau 2.481 jiwa, sehingga kepadatannya mencapai 181,38 jiwa/km2. Kondisi permukiman ini sudah dilengkapi dengan fasilitas prasarana perkotaan seperti jaringan air bersih (PDAM). Menurut Thunram (1995:26), air bersih merupakan kunci utama perkembangan suatu kegiatan, listrik oleh PLN dan jaringan telepon kabel oleh PT. Telkom serta persampahan. Prasarana tersebut seperti terlihat pada Gambar 3. B. Profil Penduduk di Kawasan Permukiman Pelabuhan Pulau Baai Peneliti dalam melakukan kajian terhadap keberadaan permukiman liar ini diawali dengan menyebarkan kuesioner secara acak kepada responden dan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan mengandung maksud-maksud tertentu antara lain untuk mengetahui profil responden. Hasil penelitian berdasarkan status kependudukan diketahui bahwa mayoritas responden tercatat sebagai warga Kelurahan Sumber Jaya berdasarkan Kartu Tanda Penduduk yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah melalui kecamatan telah mengetahui bahwa di kawasan pelabuhan terdapat warga yang seharusnya tidak bertempat tinggal di lokasi tersebut karena merupakan kawasan untuk melayani transportasi bukan untuk permukiman. Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk ini menunjukkan bahwa antara pihak PT. Pelindo dan pihak kelurahan/pemerintah kurang berkoordinasi sehingga warga di dalam kawasan pelabuhan tetap dilayani dalam pembuatan KTP padahal tinggal di kawasan ilegal. Berdasarkan pengelompokkan jenis pekerjaan responden terlihat bahwa mata pencaharian mayoritas responden adalah nelayan. Hal ini dimungkinkan karena letak permukiman yang berada di tepi laut (dekat dengan tempat kerja) sehingga merupakan lokasi tinggal yang sangat menguntungkan dari segi biaya transportasi untuk menuju ke lokasi pekerjaan bagi para nelayan. Responden dengan mata pencaharian sebagai pedagang/wiraswasta/pegawai swasta menempati urutan kedua. Menurut pengamatan di lapangan responden pedagang adalah para pedagang kelontong yang menggunakan rumahnya sebagai kios untuk berjualan ataupun berjualan di lokasi pasar yang terjadi secara alami di jalan masuk pelabuhan ikan dan ada responden yang berwiraswasta membuat ikan asin dengan cara Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
8
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
menjemur di halaman rumah sedangkan tani dan buruh menempati urutan ketiga, para petani merupakan petani penggarap di lahan PT. Pelindo yang belum dibangun bahkan hal ini jelasjelas diketahui oleh pihak PT. Pelindo, tanaman yang ditanam adalah tanaman sementara seperti jagung, ketela pohon dan sayur-sayuran namun ada juga tanaman kelapa sawit di areal pelabuhan ini. Berdasarkan tingkat pendidikan responden tingkat SD paling mendominasi, hal ini karena yang tinggal di permukiman ini adalah mayoritas bekerja sebagai nelayan tradisional sehingga tidak membutuhkan latar belakang pendidikan yang tinggi sedangkan responden yang pendidikannya SMP menempati urutan kedua dan SMA menempati nomor selanjudnyan namun berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat ada yang berpendidikan sarjana. Dari data di atas dapat digunakan sebagai dasar PT. Pelindo untuk memberikan materi sosialisasi yang sesuai dengan latar belakang pendidikan mayoritas warga permukiman liar yang hanya sekolah dasar, sehingga perlu materi yang ringan namun mudah dimengerti dan perlu materi tanya jawab untuk menggali keluhan mayoritas warga hendaknya bersifat wawancara ringan dan bukan dalam bentuk kuesioner karena warga akan susah mengerti materi yang bersifat tertulis. Responden berpendapatan paling banyak adalah antara Rp. 500.001,- sampai dengan Rp.1000.000,- hal ini dikarenakan rata-rata responden adalah mayoritas berpendidikan SD dan bermata pencaharian nelayan. Kondisi ini dapat menjadi bahan pertimbangan PT. Pelindo dalam memperlakukan masyarakat permukiman dalam penentuan jenis penanganan nantinya, misalnya apabila dilakukan relokasi berapa angsuran rumah di lokasi baru harus diangsur, karena data di atas menunjukkan tingkat kemampuan membayar. C. Sejarah Keberadaan Permukiman di Pelabuhan Pulau Baai Berdasarkan pertanyaan kuesioner tentang lama bermukim maka mayoritas responden tinggal di kawasan tersebut antara 16 tahun sampai dengan 20 tahun, ini menunjukkan bahwa mereka datang setelah diresmikannya pelabuhan yaitu pada tahun 1984 dan ada yang telah tinggal di atas 20 menempati urutan kedua. Responden kelompok inilah yang menghuni daerah pelabuhan sebelum kawasan ini dulu dibangun sehingga diketahui bahwa pembangunan pelabuhan dilaksanakan di kawasan yang telah ditempati oleh penduduk. Berdasarkan asal usul warga penghuni permukiman di kawasan pelabuhan didominasi oleh suku Bugis, kemudian berasal dari Bengkulu, adapun suku yang termasuk kategori lainnya antara lain adalah suku Padang, Palembang, Lahat dan Medan kelompok ini menempati urutan selanjutnya dan disusul suku Jawa dan suku Sunda. Dari data tersebut dapat diperkirakan akan sulit dalam mengosongkan lahan yang telah dikuasai warga karena mayoritas adalah warga pendatang sehingga tidak mempunyai lokasi alternatif lain untuk tempat tinggal kecuali kawasan yang dihuni saat ini, namun lain halnya untuk warga yang berasal dari sekitar Kota Bengkulu karena dapat ke tempat asalnya atau bergabung dengan saudaranya yang tidak tinggal di kawasan pelabuhan. Berdasarkan tanah yang dihuni oleh responden penulis ingin mengetahui proses bagaimana responden mendapatkan tanah tersebut, mayoritas responden telah bertempat tinggal di kawasan pelabuhan pada mulanya karena tanah di kawasan pelabuhan seakan-akan tidak terurus dan didukung dengan pengawasan dari pihak PT. Pelindo yang kurang ketat maka responden mendirikan bangunan untuk ditinggali. Kondisi responden yang mendapatkan tanah warisan dari orang tuanya (tanah ilegal) menempati urutan kedua, kondisi ini terjadi karena orang tua responden menguasai cukup luas tanah pelabuhan sehingga diwariskan kepada Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
9
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
anaknya yang sudah menikah untuk didirikan tempat tinggal. Selain dua kondisi tersebut ada kondisi lain yaitu dengan mengganti rugi atau bahkan membeli dari pihak yang menguasai tanah sebelumnya, namun ada juga beberapa responden memang secara resmi menyewa dari pihak PT. Pelindo, responden ini adalah yang mempunyai usaha di pelabuhan seperti tempat untuk mengeringkan ikan atau tanah yang digunakan untuk bangunan gudang. Pada tahun 1981 diadakan pendataan di kawasan lahan pelabuhan dan diperoleh data bahwa masih terdapat 15 orang yang bermukim di kawasan yang sudah dibebaskan tersebut namun pada tahun 2002 dilakukan pendataan kembali dan terdata sebanyak 492 kepala keluarga, kemudian pada bulan April tahun 2008 telah bertambah menjadi 670 kepala keluarga, berarti prosentase pertambahan penduduk dalam kurun waktu 6 tahun mencapai 36,18% dan pada saat ini lahan yang telah berubah fungsi menjadi permukiman penduduk adalah seluas 45 hektar atau 3,75% dari total keseluruhan lahan yang dikelola oleh PT. Pelindo cabang Bengkulu. Kondisi ini akan sangat sulit atau membutuhkan dana yang besar apabila akan dilakukan relokasi karena warga yang tinggal telah mencapai 2.481 jiwa sehingga dan tidak mungkin warga mau untuk dipindahkan begitu saja tanpa ganti rugi. D. Kebijakan PT. Pelindo II Cabang Pulau Baai Bengkulu Tentang Permukiman di Pelabuhan Pemanfaatan ruang di kawasan pelabuhan telah direncanakan di dalam Master Plan Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu dengan dibagi menjadi beberapa zona atau kawasan sebagai berikut: a. Zonasi atau kawasan batubara b. Zonasi atau kawasan batubara khusus dari Muara Enim c. Zonasi atau kawasan CPO d. Zonasi atau kawasan kargo e. Zonasi atau kawasan kontainer f. Zonasi atau kawasan perkantoran g. Zonasi atau kawasan fasilitas pelabuhan yang lain Dalam Master Plan Pelabuhan Pulau Baai tidak teralokasi sedikitpun kawasan permukiman karena memang bukan peruntukkannya dan permasalahan penduduk adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota Bengkulu sedangkan PT. Pelindo hanya mengoperasionalkan dan menata kawasan pelabuhan sesuai dengan fungsinya sebagai prasarana transportasi. Penggunaan lahan pelabuhan oleh masyarakat atau badan usaha diperbolehkan sepanjang mengikuti peraturan, penggunaan lahan tersebut dengan sistem sewa dengan PT. Pelindo untuk digunakan sebagai penunjang aktivitas pelabuhan, seperti gudang, lapangan penumpukan dan perkantoran, namun kondisi lahan yang sangat luas menyebabkan pengelolaan lahan pelabuhan tidak dapat dilakukan secara maksimal dan menyebabkan terjadinya lahan kosong yang tidak terurus sebagaimana mestinya. Kondisi ini memotifasi penduduk untuk datang dan bermukim di kawasan pelabuhan apalagi ditambah dengan kelonggaran PT. Pelindo dalam menegakkan hukum di wilayah pelabuhan. Dalam kebijakan yang lain PT. Pelindo mensyaratkan bangunan yang didirikan adalah bangunan darurat atau semi permanen, namun pada kenyataannya hanya sebagian kecil responden yang rumahnya masih darurat dan yang paling banyak adalah semi permanen dan responden yang sudah membangun rumahnya secara permanen menempati urutan kedua. Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
10
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
Kondisi ini akan mempersulit relokasi kawasan permukiman karena sebagian warga telah mengeluarkan dana besar untuk membangun rumahnya, sehingga kondisi rumah menjadi nyaman untuk ditinggali dan secara psikologis masyarakat juga akan keberatan meninggalkannya atau akan meminta ganti rugi yang besar atau bahkan mempertahankan kawasan tersebut untuk tetap bertahan menguasai kawasan tersebut sebagai kawasan hunian. E. Kebijakan dari Pemerintah terhadap Keberadaan Permukiman di Kawasan Pelabuhan Dalam rangka mengoptimalisasikan Pelabuhan Pulau Baai Pemerintah Provinsi Bengkulu melalui mengharapkan kondisi pelabuhan yang steril dari pihak-pihak yang tidak berkepentingan dengan aktivitas pelabuhan, penanganan kondisi permukiman dapat dilakukan apabila PT. Pelindo dapat berkomitmen untuk menyelenggarakan pelabuhan dengan aturan hukum yang berlaku. Pemerintah juga telah bekerjasama dengan investor untuk pengembangan pelabuhan sehingga dalam perkembangannya aktivitas pelabuhan akan meningkat baik lalulintas transportasi darat, laut maupun kereta api nantinya, sehingga kemungkinan terjadinya konflik dengan masyarakat akan besar, untuk mengantisipasi hal tersebut semua pihak seharusnya berkoordinasi dan menggunakan kewenangan-nya masing-masing dalam penyelesaiannya. Kewenangan dalam bidang perumahan dan permukiman adalah menjadi kewenangan Dinas Pekerjaan Umum Kota Bengkulu, dalam mensikapi kondisi permukiman di pelabuhan dari tinjauan kecipta-karyaan adalah relokasi kawasan sehingga fungsi lahan pelabuhan kembali pada fungsi pelayanan transportasi, namun dalam pelak-sanaannya sulit karena dalam kasus ini terdapat beberapa instansi yang terkait dan terkesan kurang dalam koordinasinya, disatu pihak pemerintah menginginkan pelabuhan yang steril namun dipihak lain PT. Pelindo kurang tegas dalam menjaga lahan yang dikelolanya. F. Faktor-faktor Pendorong Keberadaan Permukiman Nelayan di Kawasan Pelabuhan Bengkulu Permukiman di kawasan Pelabuhan Pulau Baai memanfaatkan jaringan sarana dan prasarana yang disediakan untuk melayani PT. Pelindo hal ini yang menyebabkan mereka betah dan tetap tinggal di kawasan tersebut. Menurut Auslan (1986: 145) yang termasuk kebutuhan dasar manusia adalah: 1). Kebutuhan minimal tertentu dari suatu keluarga untuk konsumsi, bahan makanan yang cukup, perumahan dan pakaian, peralatan dan perlengkapan rumah tangga tertentu, 2). Sarana pelayanan pokok dan yang perlu disediakan oleh dan untuk masyarakat luas, seperti air minum yang baik, saluran-saluran kebersihan, trans-portasi umum, serta fasilitas kesehatan dan pendidikan, 3). Lapangan pekerjaan temasuk dalam strategi pemenuhan kebutuhan dasar. Dari hasil penelitian ditemukan fakta bahwa hampir semua responden menggunakan layanan listrik yang disediakan PLN dan juga memanfaatkan fasilitas persampahan serta memasang jaringan PDAM bahkan jaringan telepon kabel. Pemasangan jaringan telepon kurang diminati masyarakat karena ada alternatif alat komunikasi lain yaitu telepon genggam yang dianggap lebih praktis, sedangkan persampahan tidak semua memanfaatkan karena masih luasnya lahan sehingga ada tempat untuk mengubur sampah tersebut. Dari hasil penelitian diketahui bahwa dalam menentukan dimana penduduk bermukim dipengaruhi beberapa hal dan dapat diurutkan secara prioritas antara lain adalah: Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
11
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
1. Kelengkapan sarana dan prasarana permukiman seperti air bersih, listrik, telepon, drainase, jalan dan pasar. Ketersediaan prasarana untuk perumahan seperti jaringan air minum, pembuangan air limbah, pembuangan sampah dan transportasi yang merupakan persyaratan penting bagi pembangunan perumahan. Kondisi permukiman di pelabuhan dilengkapi dengan sarana dan prasarana tersebut sehingga kebutuhan dasar sebuah kawasan permukiman sudah terpenuhi. Hal ini juga disebabkan karena tidak adanya saling koordinasi antar instansi terkait di pelabuhan, sehingga pemasangan jaringan fasilitas tersebut tetap dilayani walaupun di daerah yang perun-tukkannya bukan daerah permukiman. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi suatu kawasan kurang/tidak diperhatikan oleh PLN, PDAM, PT.Telkom. 2. Biaya yang murah baik harga tanah maupun sewa rumah. Kronologis penguasaan lahan di kawasan pelabuhan adalah karena kondisi lahan yang seakan tidak terurus atau lahan tidur hak pengelolaan PT. Pelindo cabang Bengkulu sehingga penduduk mendirikan bangunan di tanah tersebut, karena pihak pengelola pelabuhan tidak ketat dalam pengawasan dan tidak tegas dalam penegakan aturan maka kondisi penguasaan lahan akan terus berlangsung, hal tersebut terjadi karena masyarakat dengan cara yang pintas untuk mendapatkan harga tanah yang murah/terjangkau dengan penghasilan mereka. 3. Aksesibilitas berupa jarak ke tempat kerja, jarak ke sekolah anak, jarak ke Rumah Sakit/Puskesmas dan jarak ke angkutan umum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan sehingga posisi kawasan permukiman yang dekat dengan pantai dan pelabuhan ikan serta tempat pelelangan ikan menjadi daya tarik bagi warga untuk menghuni kawasan liar ini apalagi ditunjang dengan sarana transportasi yang merupakan hal yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat. 4. Kenyamanan lingkungan juga dipertimbangan pada saat memilih lokasi tempat bermukim namun hal tersebut merupakan urutan selanjutnya akan tetapi pada dasarnya adalah terpenuhinya unsur-unsur pada nomor satu sampai dengan tiga di atas. V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Faktor utama yang menyebabkan permukiman nelayan tetap ada di Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu adalah karena adanya pelayanan jaringan listrik PLN, jaringan air bersih oleh PDAM, jaringan telepon kabel oleh PT. Telkom dan pelayanan persampahan oleh Dinas Pertamanan dan Kebersihan Pemerintah Kota Bengkulu kepada warga permukiman, padahal fasilitas tersebut sebetulnya adalah fasilitas yang diperuntukkan sebagai pelayanan kepada PT. Pelindo. Keberadaan permukiman juga dipengaruhi faktor sejarah pembangunan Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu yang dibangun pada tahun 1980 ternyata terletak di lokasi yang dahulu telah dihuni oleh penduduk. Permukiman nelayan ini berawal ketika warga yang telah menerima pemberian ganti rugi dari pemerintah pada tahun 1979 kembali lagi ke lokasi yang sudah dibebaskan untuk beraktivitas sebagai penggarap lahan maupun nelayan. Hal ini terjadi karena mayoritas warga berasal dari luar wilayah Kota Bengkulu sehingga tidak mempunyai alternatif lain untuk bertempat tinggal kecuali kembali lagi ke lokasi semula. Sikap dari pihak PT. Pelindo yang seakan-akan membiarkan keberadaan kawasan permukiman liar telah menyebabkan permukiman tumbuh dengan pesat, walaupun seharusnya PT. Pelindo sejak tahun 2004 telah memberlakukan peraturan international mengenai pengamanan kawasan pelabuhan di seluruh dunia yaitu ISPS Code atau (The International Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
12
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
Ships and Port Fasility Security Code) sehingga keberadaan permukiman di pelabuhan harus segera di-steril-kan, karena keberadaannya akan berpotensi memberi akses kepada pihak-pihak yang seharusnya tidak mempunyai akses masuk ke kawasan pelabuhan, namun sampai dengan saat ini permasalahan tersebut belum dapat terselesaikan. Keberadaan warga di kawasan pelabuhan juga telah dilegalisasi oleh kebijakan Pemerintah Kota Bengkulu dengan melayani warga untuk pembuatan Kartu Tanda Penduduk, hal ini mengesankan bahwa pemerintah mendukung atau ”tidak mau tahu” lokasi pelabuhan untuk lokasi bertempat tinggal. Perkembangan permukiman dipengaruhi juga oleh kebijakan PT. Pelindo memberikan rekomendasi pembangunan pelabuhan ikan dan tempat pelelangan ikan di kawasan Pelabuhan Pulau Baai. Dengan adanya fasilitas tersebut maka daya tarik untuk bertempat tinggal di kawasan pelabuhan tersebut meningkat karena kawasan ini menjadi dekat dengan tempat mereka beraktivitas. Dari hasil temuan di lapangan dan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, penulis merekomendasikan kepada pihak pengelola pelabuhan dalam hal ini PT. Pelindo hal-hal sebagai berikut: 1. Sehubungan dengan kerjasama yang telah dilakukan antara PT. Pelindo dengan Pihak Pemerintah Provinsi Bengkulu yang telah menunjuk Investor PT. Pathaway International maka perlu ditinjau ulang Master Plan Pelabuhan Pulau Baai dengan mengakomodir rencana penggunaan lahan oleh investor tersebut sehingga dengan perencanaan penggunaan kawasan yang jelas akan dapat digunakan sebagai alasan untuk memindahkan kawasan permukiman nelayan di dalam pelabuhan ke luar kawasan Pelabuhan Pulau Baai dan dalam penentuan lokasi relokasi kawasan perlu dilakukan koordinasi dengan dinas terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum Kota Bengkulu serta mengakomodir motivasi masyarakat tentang lokasi permukiman baru yang mereka inginkan. 3. Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait terutama PDAM Kota Bengkulu, PLN dan PT. Telkom Cabang Bengkulu serta Dinas Pekerjaan Umum Kota Bengkulu agar tidak menambah sambungan baru atau melayani kebutuhan sambungan bagi warga yang tinggal di kawasan permukiman liar Pelabuhan Pulau Baai. 4. Apabila proses relokasi tidak dapat segera dilakukan maka PT. Pelindo perlu melokalisir kawasan tersebut dan dipisahkan dengan akses masuk ke pelabuhan dengan membuat pagar pembatas sehingga tidak ada aktifitas warga lalu lalang di jalan raya yang merupakan satusatunya akses masuk ke pelabuhan karena akan mengakibatkan potensi konflik antara warga dan pihak pelabuhan waupun pengguna jasa kepelabuhanan. 5. PT. Pelindo perlu mengkaji ulang kontrak penggunaan lahan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu yang memanfaatkan sebagian kawasan pelabuhan sebagai Balai Pelabuhan Khusus Perikanan. Hal tersebut perlu dilakukan karena pertumbuhan kawasan permukiman nelayan salah satunya didukung oleh keberadaan tempat pelelangan ikan dan pelabuhan perikanan tersebut.
Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
13
Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
VI. DAFTAR PUSTAKA Auslan, 1986. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata, Jakarta: Penerbit Gramedia. Ahmad, 2002. Re-Desain Jakarta: Tata Kota Kita, Jakarta: Kota Kita Press. Daryanto, 1999. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Surabaya. Drapkin, Haim Darin, 1980. Land Policy and Urban Growth, Great Britain Pergamen Press. International Ship and Port Security Code (SPS Code), 2002. Koestoer, 2001. Dimensi Keruangan Kota, Jakarta: Universitas Indonesia. Kota Bengkulu dalam Angka, 2005. Biro Pusat Statistik Kota Bengkulu, Percetakan Daerah Master Plan Pelabuhan Bengkulu, 2006. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Benkulu, Percetakan Daerah Panudju, 1999. Pengadaan Perumahan Kota dan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah, Bandung: Alumni Pujihastuti, 2003. Faktor-faktor Penyebab Pelanggaran Aturan Pembangunan Permukiman, Thesis, Fakultas Teknik Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro Semarang. Peraturan Pemerintah Nomor: 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bengkulu, 2005. Thuram, Gunter. 1995. Experience in Development of Small-Inter Scale Water Resources in Rural Resources in Rural Area, Proceeding of The Internasional Symposium on Development of Small Scale Water Resources in Rural Area, Bangkok. Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 04 Tahun 1992 tentang Peumahan dan Permukiman. Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Yeates, Meurice dan Barry Garner, 1980. The North American City, Harper & Row Publisher, New York
Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010
14