F. KOMPLIKASI EKSODONSIA DAN PERAWATAN
Eksodonsia dilakukan untuk menghilangkan gigi yang menimbulkan penyakit dan bila dan tindakan eksodonsia itu memmbulkan hal-hal yang merugikan baik selama eksodonsia itu berlangsung maupun setelah selesai dilakukan eksodonsia maka yang dihadapi adalah suatu komplikasi eksodonsia. Komplikasi eksodonsia meliputi beberapa hal, yaitu: 1) Fraktur akar gigi; 2) Alveolalgia; 3) Perdarahan; 4) Fistula Oro-Antral; 5) Sinkop dan Syok; 6) Dislokasi Mandibula; 7) Kasus Komplikasi Eksodonsia Lain adalah: 1. Malignansi Oral 2. Fraktur Rahang 3. Gigi terdorong ke dalani rongga Submandibular 4. Peradangan Akut (Flehmon) 1. Fraktur Akar Gigi Pada prakteknya eksodonsia dapat dilakukan dengan mudah tetapi ada yang menemui kesukaran karena hambatan dan keadaan gigi, akar gigi, atau jaringan pendukung gigi yang berkaitan. Eksodonsia yang dipaksakan dapat membawa akibat frakyut mahkota gigi atau bagian akar gigi yang meninggalkan sisa akar di dalam soket gigi. sisa akar yang tersisa itu akan menambah waktu eksodonsia. Pada prinsipnya, sisa akar yang tertinggal seluruhnya harus diambil segera terutama bila gigi yang bersangkutan berasal dari gigi yang telah terinfeksi. Ada beberapa keadaan ftaktur gigi yang telah terinfeksi: 1). Mahkota gigi diatas gans gusi; 2). Akar gigi setinggi garis gusi; 3). Akar gigi di bawah garis gusi, dalam hal ini ada yang setengah panjang akar gigi atau sepertiga panjang akar gigi. Untuk mengambil sisa akar yang tertinggal di dalam soket, harus dipilih teknik pengambilan yang paling tepat dengan tujuan mencapai hasil eksodonsia atromatika yang akan mendukung proses penyembuhan luka. Teknik pengambilan sisa akar gigi yang masih tersisa, kepadatan jaringan pendukung sekeliling akar gigi, posisi akar gigi terhadap sinus maksilans dan kanalis mandibularis. Rencana Pengambilan Sisa Akar Gigi Sebelum mulai mengambil sisa akar gigi yang tertinggal di dalam soket maka perlu dipikirkan apakah pengambilan sisa akarfgigi akan menggunakan teknik tertutup (closed method atau intra-alveolar operation) atau membutuhkan teknik terbuka (open method atau
Universitas Gadjah Mada
1
open flap operation) ada teknik khusus yang diperlukan untuk maksud itu? Perlukah dilakukan pengambilan akar gigi mellaui odontektomi? Sisa akar gigi yang tertinggal dalam alveolus dapat berasal dari: a). Sisa akar yang terjadi oleh karena perluasan proses karies. Dalam hal ini mungkin sisa akar gigi masih dalam keadaan panjang atau pendek dan dalam waktu yang lama berada dalam alveolus. Keadaan sisa akar gigi yang demikian ini bukan sebagai akibat aksodonsia secara langsung. Struktur akar gigi akan menjadi rapuh oleh proses karies dan mudah fraktur bila dipegang dengan forsep gigi. Kadang-kadang dijumpai sisa akar gigi yang tertinggal pada posisi terlentang di bagian permukaan soket gigi. Tubuh akan memandang akar gigi itu sebagai suatu benda asing dan berusaha untuk membuangnya keluar dan tubuh sedikit demi sedikit sampai pada suatu saat mencapai permukaan soket gigi. b). Sisa akar gigi yang telah lama tinggal di dalam alveolus dan berasal dari kegagalan ekstraksi gigi oleh operator terdahulu; c). Sisa akar gigi terjadi pada saat ekstraksi gigi.
Penyebab Fraktur GigilAkar Gigi 1). Kesalahan dalam menempatkan paruh forsep, paruh forsep memegang bagian gigi di luar daerah sementum atau poros panjang paruh forsep tidak sejajar dengan poros panjang gigi; 2). Pemilihan forsep yang salah atau tidak tepat. Ukuran forsep gigi dibuat berbeda untuk masing-masing gigi atau ukuran gigi. Pemilihan forsep gigi yang tidak tepat akan memberi tekanan tidak merata pada bagian gigi yang akan diekstraksi dan dapat berakibat fraktur gigi. 3). Karies gigi yang meluas bahkan kadang-kadang meliputi akar gigi; dalam keadaan demikian struktur gigi akan menjadi rapuh dan mudah fraktur. 4). Kerapuhan struktur gigi yang berhubungan dengan usia lanjut atau nekrosis jaringan pulpa gigi. Eksodonsi gigi penderita berusia lanjut sering dihadapkan pada hambatan yang berasal dan daerah akar gigi yang tulang sekelilingnya memadat karena klasifikasi, apikal hipersementosis, dan mungkin ankilosis pada akar gigi. Proses klasifikasi akar gigi dan jaringan pendukungnya juga dijumpai pada gigi yang telah dirawat melalui perawatan saluran akar, gigi yang mengalami peradangan apikal kronis. 5). Gigi yang mempunyai kelainan akar misalnya akar gigi membengkok atau menyudut pada ujungnya, akar gigi mengalami eksementosis (hipersementosis), berakar supernumeran yang berarti kelainan dalam jumlah akar gigi akar. Universitas Gadjah Mada
2
6). Kelainan tulang pendukung gigi yang akan diekstraksi. kelainan tulang sekitar gigi yang akan diekstraksi, mungkin disebabkan oleh beberapa faktor penyebab, yaitu: a). Radang tulang yang disebut Infective Osteitis b). Gigi yang akan diektraksi dalam keadaan terpisah jauh dari gigi tetangga karena gigi tetangga yang terdekat telah diekstraksi beberapa tahun sebelumnya. Beban kunyah harus dipikul gigi itu sendiri yang seharusnya dipikul bersama dengan gigi tetangganya dan akibatnya teijadi kepadatan tulang yang berlebth sekitar gigi yang akan diekstraksi. c). Gigi-gigi yang menjadi abutment atau pilar suatu jembatan gigi atau menjadi suatu pegangan removable prosthesis secara kronis akan menyebabkan tulang penyokong gigi tersebut memadat. d). Makanan sehari-hari yang keras secara kronis merangsang klasifikasi tulang pendukung gigi. e). Kebiasaan mengunyah tembakau atau kebiasaan mengunyah permen karet dpat pula menjadi sebab kalsifikasi tulang penyokong gigi. f). Gingivitis bonis yang nngan menimbulkan periostitis (peradangan periosteum) dan dapat berakibat terjadi eksostosis tulang korteks di sebelah gigi tersebut. 7). Gerakan ekstraksi gigi yang salah arah yaitu tanpa mengindahkan arah sumbu panjang gigi. 8). Menggerakkan gigi yang akan diekstraksi ke satu arah saja dengan kekuatan yang melebihi batas kekuatan struktur gigi tersebut. Prinsip bahwa sisa akar yang tertinggal harus diambil dengan segera terutama bila gigi itu dalam keadaan infeksi, tujuan utamanya ialah untuk menghilangkan fokus infeksi. Mungkin gigi yang akan diekstraksi itu berasal dan gigi yang tidak infeksi tetapi pada saat ekstraksi akar gigi itu akan terinfeksi yaitu yang berasal dan kuman-kuman mulut yang masuk kedalam saluran akar gigi atau oleh proses dekomposisi jaringan saluran akar. Sisa akar yang tertinggal clapat menjadi irirtan mekanis dan thpat menimbulkan reaksi peradangan pada jaringan sekitarnya yang dapat menimbulkan neralgia yang .ukar ditemukan sebab-sebabnya dalam diagnosis. Ada pendapat yang menyatakan bahwa sisa akar gigi sehat dapat ditinggalkan saja dengan harapan sisa akar tersebut akan terdorong ke permukaan soket karena dianggap sebagai benda asing oleh tubuh. Penulis memahami pendapat itu namun hanya pada keadaan tertentu misalnya bila berhadapan dengan sinus maksilaris, kanalis mandibulans. Bila keadaan memungkinkan untuk mengambil sisa akar itu penulis menyarankan untuk mengambil sisa akar gigi tersebut sampai bersih. Makin pendek sisa akar yang akan diambil makin sempit pandangan daerah operasi yang dihadapi makin sukar pengambilan sisa akar itu. Untuk menghindari hal tersebut maka penulis berprinsip pada: Universitas Gadjah Mada
3
a) Selama ekstraksi gigi sedapat mungkin hindari fraktur akar dengan perencanaan teknik ekstraksi gigi yang matang; b) Bila fraktur akar titik dapat dihindari, rencanakan agar bagian akar gigi yang tertinggal sepanjang mungkin dan berstruktur kuat sehingga mudah pengambilannya; c). Jangan tinggalkan sisa akar gigi sedikitpun dalam soket gigi;
Alat Pengambil Sisa Akar Menurut ukuran sisa akar maka dapat dipakai alat-alat seperti a) Root forceps khusus untuk pengambilan akar gigi; b) Root elevator; c) Apical Fragment Forceps; d) William „s Apical Pick; e) Apical Fragment Ejector. Bila dalam perencanaan ekstraksi gigi operator telah mengetahui kemungkinan terjadi fraktur akar maka operator akan mempersiapkan alat untuk maksud pengambilan akar tersebut, yaitu Tooth Forceps, Root elevator, macamnya adalah Straight elevator, Root elevator kin dan kanan dan kalau penlu disediakan pula Chisel & mallet, Bone-burs, Handpiece, Scalpel, Periosteal elevator, Curettes, Rongeur, Bone-file, Needle-holder. Ekstraksi gigi pada dasarnya banyak mempergunakan forsep gigi, disamping alat itu sering pula digunakan elevator sebagai alat yang „ampuh‟ untuk kasus ekstraksi gigi gigi dalam keadaan tertentu. Dalam ekstraksi gigi penulis selalu menyediakan elevator yang siap pakai. William „s Apical Pick adatah alat yang khusus dibuat untuk menggaet siasa akar yang amat kecil dan pendek. ApEcal Fragment Ejector dan Apical Fragment Forceps serta excavator adalah alat yang dapat juga dipergunakan untuk mengambil fragmen akar gigi yang kecil. Pemilihan alat yang tepat merupakan bagian yang sangat penting dalam pengambilan sisa akar gigi dan pada setiap kasus alat yang dipergunakan mungkin berbeda tergantung pada keperluannya.
Prinsip dasar pengambilan sisa akar Pada umumnya ekstraksi sisa akar gigi berakar jamak (multirooted tooth) lebih sukar dibanding dengan yang berakar tunggal (single rooted tooth), sebab mungkin letak gigi berakar jamak; disamping itu tulang labial/bukal gigi berakar tunggal relatif lebih tipis dari ukuran soket giginya yang relatif lebih besar. Keadaan itu membuat ekstraksi gigi berakar tunggal lebih mudah dibanding gigi berakar jamak sebab gerakan ekstraksinya lebih leluasa. Sering dijumpai pada frakWr nahkota gigi berakar jamak akar-akar gigi masih dalam keadaan bersatu; untuk mempermudah pengambilan akar dipisahkan sehingga mendapat keadaan seperti pada gigi berakar tunggal. Pekerjaan memisahkan akar yang masih bersatu menjadi akar yang saling terpisahkan disebut Root Division atau Root Separation (Archer,
Universitas Gadjah Mada
4
1975). Pada pengambilan sisa akar gigi yang tertinggal di dalam soket gigi ada beberapa pedoman pokok yang perlu diperhatikan ialah: 1). Bila sisa akar tersebut dapat terambil dengan menggunakan forsep akar gigi, lakukan pengambilan sisa akar tersebut dengan alat itu; 2). Bila sisa akar-akar tersebut tidak dapat tercakup oleh paruh forsep maka langkah berikutnya adalah: 2.1) Pengambilan sisa akar gigi dilakukan dengan cara tertutup (Closed Method atau Intra Alveolar Operation) yaitu cara pengambilan sisa akar gigi dengan atau tanpa mengurangi
jaringan
tulang
sekitarnya
tanpa
membuka
lapisan
(flap)
jaringan
mukoperiostealnya; bila dengan cara ini operator menemui keadaan hambatan ekstraksi (eksementosis, ankilosis) maka tulang yang terdapat di sekitar akar gigi tersebut dikurangi dengan menggunakan bur tulang tipe fisura nomer 3-4. Ektraksi gigi dengan cara mengurangi atau mengambil bagian tulang disekitarnya disebut odontektomi. Bila odontektomi tak dilakukan ektraksi gigi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan elevator meskipun harus dihadapi banyak hambatan dan akhirnya akan membutuhkan waktu ekstraksi yang panjang; 2.2) Pengambilan sisa akar dengan cara terbuka (open method atau open flap operation) yaitu pengambilan gigi atau sisa akar gigi dengan membuka lapisan jaringan mukoperiosteal dan biasanya diikuti dengan odontektomi. 2. Alveolalgia Alveolalgia yang juga disebut dry socket yaitu keadaan soket gigi pascaekstraksi yang ditandai dengan keadaan soket gigi yang kosong tidak diisi jendalan darah, infeksi terbatas yang disertai jaringan nekrotis dan rasa sakit. Patogenesis Bourgoyne berpendapat bahwa sebab utama alveolalgia atau dry socket ini ialah ada gangguan nutrisi di daerah alveolus yang bersangkutan yang berasal dan kerusakan vasa darah pokok yang member makanan kepada soket gigi bersangkutan. Simtoma Novitsky melukiskan simtoma alveolalgia sebagai berikut ini. Beberapa hari setelah ekstraksi gigi, tepi gusi membulat kasar, membengkak, warna merah kebirubiruan, tulang alveolus tidak ditutupi jaringan baru, terdapat rasa sakit dan penyembuhan terhambat. Pandangan Ilmu Bedah Mulut adalah keadaan alveolus gigi sudah dapat dikatakan menderita dry socket bila pasca ekstraksi gigi alveolus gigi yang bersangkutan tidak terisi jendalan darah, atau jendalan darah yang sudah terjadi rusak atau lepas dari soket gigi. Etiologi Universitas Gadjah Mada
5
Banyak teori yang menyebutkan tentang penyebab alveolalgia. (1). Infeksi bakteri terutama tafilokokus dan streptokokus ke dalam soket gigi; (2). Sekuester dan benda asing masuk ke dalam soket gigi; (3). Troma; (4). Larutan anestetikum dimasukan ke dalam soket gigi terlalu kuat sehingga membrana periodontal mendenta luka. Umumnya alveolalgia lebih banyak terjadi pada anestesi lokal dibanding anestesi umum; (5). Ekstraksi gigi dilakukan pada saat keadaan tulang alveolus menderita penostitis akut atau semiakut (6). Komplikasi dan penyakit diabetes melitus atau sifihis; (7). Penggunaan obat kumur yang keras sehingga menisak jendalan darah yang telah terkadi; (8). Terlalu banyak meludah atau luka ekstraksi disedot-sedot sehingga melepas jendalan darah yang telah terjadi; (9). Melakukan kuretase jaringan dengan cara yang salah dan tidak tepat; (10). Alat eksodonsia yang dipakai tidak steril; (11). Pada pendenta “malignant blood disease” (misalnya leukimia) umumnya penyembuhan luka terhambat; (12). Sebelum ekstraksi gigi jaringan tulang di sekitarnya telah mengalami skierosis. Lehner mengamati 60 kasus alveolalgia melalui gambar Rontgen sebelum dan sesudah ekstraksi gigi, 20 diantaranya mengalami skierosis (pengerasan tulang). (13). Lehner mengatakan bahwa meskipun telah terbentuk jendalan darah dalam alveolus tetapi tak terdapat jaringan yang membawa pembuluh-pembuluh darah ke tempat itu maka organisasi darah selanjutnya tak akan terjadi karena elemen seluler dan hormonal tak ada. Jaringan granulasi yang tidak baik akan mempermudah terjadi infeksi.
Perawatan Alveolalgia Banyak cara untuk merawat alveolalgia, diantaranya adalah cara berikut ini: (1).
Cara
Bourgoyne.
Pertama-tama
soket
gigi
dibersihkan dengan larutan
antibaktensidal misalnya metaphen, merthiolet, iodine dll terutama pada bagian yang tennfeksi. Tulang alveolus yang runcing harus segera dihaluskan. Keringkan kemudian dengan kapas yang steril dan kering. Kain kasa yang telah diberi yodoform dicelupkan pada minyak cengkeh lalu dimasukkan dalam soket gigi tanpa tekanan dan jangan menutup soket terlalu kuat. Biarkan kain kasa tinggal dalam soket selama 24 jam sampai penderita kembali untuk mengganti kain kasa itu diberi obat methylen blue sulfa; dressing ini dibiarkan sampai 2 kali 24 jam dan kalau perlu diganti dengan kain kasa yang dibasahi dengan minyak cengkeh. Universitas Gadjah Mada
6
(2). Cara O‟Hearn. Tulang-tulang alveolus dihaluskandahulu dengan memotong dan kemudian menghaluskannya. Kain kasa yodoform dimasukan kedalam songket lalu diberi obat anti sakit misalnya anodyne. (3). Cara Shea. Soket gigi dibersihkan dulu dari jaringan yang nekrotik. Jaringan tulang yang kasar dihaluskan. Penderita diben suntikan 5000-50000 unit vitamin B intramuskuler. Shea mengatakan bahwa rasa sakit akan berkurang dalam waktu kurang dan satu jam.
3. Perdarahan Dalam hal ini yang dimaksud dengan perdarahan adalah perdarahan dari sudut ilmu bedah mulut. Perdarahan lain yang dikenal yaitu yang berasal dari penyakit kelainan darah (blood dyscrasia). Perdarahan yang berasal dan keadaan patologis perlu juga diketahui. Menurut Bourgoyne perdarahan adalah suatu keadaan, bukan suatu penyakit. Secara umum perdarahan adalah keadaan darah keluar dan pembuluh darah. Tindakan bedah termasuk eksodonsia selalu mengait pada perdarahan karena pembuluh darah terpotong dan lumen pembuluh darah terbuka dan darah keluar. Keadaan yang berbeda teijadi pada beberapa kasus perdarahan dan pendenta berpenyakit sistemik (misalnya kelainan elemen darah seperti hemofihi, lekemia), perdarahan terjadi elemen darah yang mendukung penjendalan darah tidak ada, atau karena pembulub darah sangat rapuh dan mudah pecah. Dalam keadaan normal keparahan perdarahan tergantung pada ukuran dan sifat lumen pembuluh darah. Perdarahan dapat berasal dan pembuluh darah vena, arteria, kapiler. Untuk membedakan asal ketiga perdarahan itu maka seorang operator secara ganis besar harus mengetahui sifat histologis pembuluh darah arteri, vena, dan kapiler yang sangat berguna untuk menentukan asal perdarahan itu terutama saat menggunakan hemostat agar tidak melukainya. Menunut Archer (1975) pada semua tindakan bedah bila ingin mencapai basil yang baik diperlukan usaha untuk menghentikan perdarahan yang terjadi (hemostatis). Pada daerah bedah tertentu usaha hemostatis menemui bambatan5 misalnya pada daerah yang terus-menerus secara tetap terkena troma selama berbicara dan penelanan shingga di daerah bedah tidak ada kesempatan untuk istirahat sebagai yang dipersyaratkan dalam ligasi suatu pembuluh darah. Luka ekstraksi tidak dapat ditutup sebagaimana seharusnya penutupan luka bedah. Soket gigi pasca ekstraksi gigi mengalami perdarahan rembesan (oozing) dan luka ekstraksi hanya dapat ditutup secara penutupan luka setengah terbuka (semi-open closure). Untung secara alami ada mekanisme menghentikan perdarahan dengan mekanisme untuk mengontrol perdarahan itu. Apabila mekanisme mi terganggu atau bekerja tidak baik karena suatu penyakit sitemik maka bukan hemostatis yang akan terjadi melainkan suatu perdarahan.
Universitas Gadjah Mada
7
Arteri berstruktur Iebih banyak mengandung muskulus dibanding struktur vena sehingga lebih kuat menahan tekanan. Arteri berdenyut ritmis dan bila terpotong darah yang keluar berwarna merah muda seakan-akan terpompa keluar seirama dengan denyut tadi. Pembuluh darah vena berdinding tipis dan licin, tak ada pulsasi, dan bila vena berukuran kecil sukar dibedakan dengan arteri, wama darah vena merah tua. Perdarahan yang berasal dari kapiler biasanya mudah duhentikan secara cepat.
Sebab Perdarahan Menurut Archer (1975) sebab perdarahan yang abnormal dapat mekanis atau biokimiawi. Perdarahan mekams yaitu perdarahan yang berasal dari berbagai ukuran pembuluh darah yang terluka yang tak dapat berhenti karena jendalan darah tidak dapat terbentuk atau karena jendalan darah yang sudah jadi pecah atau lepas dan ujung pembuluh darah yang terbuka. mi mungkin disebabkan, misalnya karena ukuran pembuluh darah dan kecepatan darah (vena dan arten), atau karena jumlah pembuluh darah kecil dan/atau troma pasca-operatif yang diterimanya (kapiler), dll. Sebagai contoh adalah perdarahan dan ekstraksi gigi, insisi jaringan lunak, laserasi jaringan lunak, troma tuiang rahang, hematoma karena alat suntik menusuk pembuluh darah arteri atau berasal dan troma pukulan, dll. Perdarahan biokimiawi adalah abnormaiitas eiemen darah atau sistem vaskular yang menghambat pembentukan jendalan darah dan organisasi darah normal. Perdarahan biokimiawi ditemui pada hemofihia, gangguan hepar, dan kelainan darah, hipertensi dan iiifeksi jaringan seperti padapyorrhoe alveolaris. Pada perawatan kasus perdarahan, operator dihadapkan dengan kedua masalah yaitu a) pre-operatif operator telah melihat ada kecenderungan perdarahan pada penderita. Semua penderita pre-operatif harus dievaluasi untuk kecenderungan perdarahan. Rowayat perdarahan berlebihan saat ekstraksi gigi sebeiumnya harus sudah diwaspadai operator namun belum periu mencatat penderita sebagai seorang bleeder. B) penderita yang dilihatnya untuk pertamakali ketika seseorang telah mengerjakan operasi dan sedang menghathpi bahaya akibat perdarahan itu. Berdasar masalah itu pendenta yang dicungai sebagai seorang bleeder harus menjalani uji darah. Penderita hemofili memberi nwayat yang khas yang menyangkut faktor keturunan keluarga dan nwayat kesehatan yang lampau. Juga terdapat riwayat gangguan waktu penjendalan darah (proglonged coagulation time). Penyandang perdarahan (bleeder) yang idiopatik tidak hanya mempunyai riwayat perdarahan dalam keluarga yang dihubungkan dengan hanya anggota keluarga laki-laki saja (misalnya dengan kematian diantara laki-laki dalam keluarga sehubungan dengan perdarahan yang berlebihan), juga tidak hanya ada gangguan waktu penjethian darah. Universitas Gadjah Mada
8
Seorang penderita dengan riwayat perdarahan harus mendapat uji laboratonum sebagai saran Archer (1961) berikut ini: a) Complete blood count (differential dan hemoglobine,); b) Lee-white coagulation time; c) Clot retraction; d) Platelet count; e) Plasma prothombine time; f) Plasma prothrombine concentration; g) tipe golongan darah; g) Cross matching; h) Capillary fragility; 1) Bleeding time. Dalam banyak kasus disfungi hati dikaitkan juga pada kecenderungan perdarahan maka. Uji laboratorium yang tepat untuk kasus ini adalah uji waktu protrombin plasma (Plasma Prothrombine Time) dan uji konsumsi protrombin. Menurut Archer perdarahan pasca-operasi akan terjadi bila konsentrasi protrombin kurang 20% dari normal. Bila dalam riwayat kesehatan penderita (past medical history) tercatat penyakit hati, maka supaya lebih cermat dianjurkan untuk melakukan uji laboratorium lain. Bila hasil pemeriksaan adalah penyakit hemofili atau penyakit hati maka sebelum melakukan perawatan bedah/eksodonsia penderita harus melalui saluran medis dahulu untuk mendapat perawatan pendahuluan. Kadang-kadang ditemui kasus yang memberi hasil pemeriksaan negatif meskipun kenyataannya saat operasi penderita adalah seorang yang termasuk bleeder. Penderita yang termasuk kasusini umumnya kelompok wanita. Di beberapa bagian tubuh terjadi daerah ecchimosis yang masif dan edema yang berhubungan dengan perdarahan oozing (daraha yang keluar sedikit dimi sedikit secara konstan). Bila luka tak segera dijahit erat darah akan keluar terus sedikit demi sedikit tetapi secaa tetap dalam rongga mulut sampai beberapa hari. Penyebab perdarahan ini belum diketahui tetapi diduga karena ada kerusakan kapiler. Tipe perdarahan mi sering pada wanita-wanita itu. Orang dapat berspekulasi bahwa ini pengaruh hormonal pada pembuluh kapiler tubuh seperti yang terjadi pada pengaruh hormon pada kapiler gingiva wanita sedang hamil, tetapi ini belum dibuktikan melalui penelitian. Secara klinis penderita ini dapat ditemukan karena mereka menceritakan riwayat perdarahan yang berlebihan hanya karena troma yang kecil. Evaluasi perdarahan. Penderita yang menderita perdarahan aktif bermasalah lain. Langkah pertama untuk dikerjakan adalah mengevaluasi apa yang terjadi pada sistem vaskularisasi. Sesudah aplikasi tekanan pack di atas daerah perdarahan untuk mengkontrol perdarahan melalui tekanan, evaluasi cepat tentang warna, kulit (kenng atau lembab), denyut dan tekanan darah, waktu atau durasi perdarahan akan membuka ancaman syok perdarahan. Dalam keadaan demikian penderita membutuhkan transfusi darah. Evaluasi berikutnya adalah inspeksi di daerah perdarahan. Pertamakali ditentukan asal perdarahan (dan tulang atau jaringan lunak). Perlu menggunakan penerangan lampu dan alat pènyedot darah (suction apparatus) yang baik. Tekanan jari sering membantu diagnostik perdarahan yang menguntungkan.
Universitas Gadjah Mada
9
Perdarahan jaringan lunak bila mungkin pembuluh darah diikat (ligasi) atau dijahit pada pembuluh darah yang pokok. Perdarahan tulang bila mungkin pembuluh darah harus digilas atau tekan dengan kain kasa, semen bedah (surgical cement). Untuk mengkontrol perdarahan digunakan gelfoam atau semacamnya. Bila
perdarahan
persisten
terutama
ada
oozing
kepiler
yang
deras
harus
dipertimbangkan bahwa perdarahan itu berasal dari sebab biokimiawi. Perawatan dan Kontrol Perdarahan Ekstraksi Gigi Bourgoyne (1949) menyatakan ada 2 masalah persoalan yang harus diatasi ialah perdarahan: (1) Jaringan lunak selama dan sesudah ekstraksi gigi; (2) Pasca ekstraksi gigi Perdarahan jaringan lunak Perdarahan jaringan lunak selama ekstraksi gigi atau operasi di rongga mulut dihentikan dengan melakukan ligatur (mengikat) pembulh darah arteri besar sebelum perdarahan itu menjadi parah. Sebelum ligatur arteri terlebih dahulu menghentikan perdarahan itu dengan hemostst (Archer, 1975) lalu dengan benang catgut ujung arten dibelakang hemostat diikat. Bila tipe perdarahan itu banya oozing kapiler maka hemostatis dapat dilakukan dengan menekan kain kasa yang telah dibasahi adrenalin dnegan perbandingan 1 : 1000. Sedang selama operasi hemostatis dilakukan dengan menekankan kain kasa kering/hangat pada pembuluh darah. Perdarahan jaringan lunak dan sebab-sebab kecelakaan atau prosedur operasi adalah lebih parah bila terjadi ekstra-oral dibanding intra-oral. Pertolongan pertama pada perdarahan di daerah muka ialah memberi tekanan dengan perban di atas daerah yang berdarah, yang biasanya dilakukan pada titik-titik tekanan dan pembuluh darah yang terkena. Titik-titik itu ialah: a).
arteria karotis kommunis yang terletak pada margo anterior
muskulus
stemokleidomastoideus setinggi os hiodeus; b). arteria maksilaris eksterna (a.fasialis) yang terletak pada margo inferior korpus mandibula sedikit di anteriornya; c). arteria temporalis superfisialis yang terletak tepat di muka perlekatan ujung atas tragus telinga. Bourgoyne mengatakan bahwa perdarahan pasca-ekstraksi gigi banyak dan akibat kelalaian operator sendiri. Setelah ekstraksi gigi selesai operator tidak melakukan langkah Universitas Gadjah Mada
10
untuk menekan dinding soket gigi ke posisi semula. Soket gigi yang telah melebar akibat manipulasi gerak ekstraksi gigi akan mengakibatkan jaringan mukoperiostealnya tetap dalam keadaan menegang. Pada keadaan itu pembuluh darah akan membuka dan akan mengganggu proses penjethian darah. Bila pada tulang alveolar terdapat fraktur, mugkin substansia spongiosa tetap dalam keadaan terbuka yang dapat berakibat mudah terjadi perdarahan pasca-ekstraksi gigi. Untuk menghindani perdarahan seperti di atas maka perlu a) menekan dinding tulang alveolus soket gigi segera setelah ekstraksi gigi selesai; b) meraba tulang alveolar untuk mencari tempat yang runcing yang dapat mengakibatkan komplikasi dan kemudian diatas lobang alveolus diletakkan tampon untuk kemudian dianjurkan digigit selama 1 jam. Perawatan perdarahan pasca ekstraksi gigi dengan menggunakan asam tanik dan adrenalin khlorida. Bila terjadi komplikasi laserasi gingiva maka dilakukan jahitan dulu tetapi soket jangan sampai tertutup sama sekali. Jangan sekali-kali memasukkan pack kedalam soket gigi, karena bila pack telah penuh darah akan menyebabkan gingiva koyak kembali. Kain kasa dibasahi dengan 10% asam tanik (tannic acid). Mekanisme kerja sama dengan yang ada pada penggunaan adrenalina khlorida 1: 1000. Pengalaman Bourgoyne. Tepung asam tanik diletakkan di seutas benang kain kasa dan benang digulung sehingga tepung asam tamk akan melekat di dalamnya. Gulungan kain kasa menjadi 3 kali lubang alveolus. Dengan alat medicine dropper teteskan adrenalin khlorida di atas gulungan benang, segera gulungan tadi akan mengecil. Masukan gulungan benang secara pada ke dalam soket yang sebelumnya telah dibersihkan dan sisa-sisa makanan atau gumpalan darah. Kemudian di atas soket diletakkan tampon kain kasa beberapa menit digigit penderita. Lalu kain kasa diambil dan asam tanik adrenalin yang ada ditinggal dalam alveolus selama 24 jam. Sesudah 24 jam, kain kasa diambilkan lalu dengan minyak cengkeh ulas luka itu secara berhati-hati. Sesudah itu di dalam soket tak perlu dibenkan pack lagi. Asam tanik bekerja menghentikan perdarahan di dalam tulang sedang adrenalin di jaringan lunak. Ecchymosis Ekimosis adalah suatu keadaan diskolonsasi fasial yang bergerak dan warna merah muda sampai warna ungu kebiruan, dan umumnya terjadi pasca prosedur bedah. Perdarahan mi biasanya dalam bentuk oozing. Ekimosis dapat teijadi pula pada pasca ekstraksi gigi yang umumnya disebabkan oleh keadaan benikut:
Universitas Gadjah Mada
11
a). perdarahan di bawah mukosa karena troma: saat membuat lapisan mukopenosteal akstraksi gigi; tindakan bedah ini menyangkut daerah yang sangat luas, atau saat menghaluskan tulang alveolar dengan alat (trimming). b). ada tendensi perdarahan pada diri penderita juga sangat menentukan terjadi ekimosis. Misalnya pada penderita hemofihi, atau pada pendenita yang memang mudah mengalami perdarahan meskipun dan troma yang kecil. Diskolonisasi berasal dan pemecahan senyawa organik komipeks hemoglobin. Perawatan Ekimosis. Perawatan hangat thiam segala bentuk, atau pijat (massage), dapat dilakukan di daerah ekimosis setelah perdarahan oozing berhenti. Pada penderita yang bertndensi perdarahan maka setelah operasi selesai harus segera melakukan perawatan dingin agar perdarahan yang ada dapat segera berhenti. Pada penderita dengan kasus hemofihi, perawatan bethh harus dilakukan di rumah sakit karena membutubkan perawatan yang sangat khusus. Perawatan ditujukan pada stimulasi pembentukan pembuluh limfe baru untuk membangun drainage limfatik. Sebenarnya diskolonsasi ekimosis dapat menghilang sendiri dalam beberapa hari meskipun tanpa perawatan apapun. Biasanya penderita tidak memberikan keluhan apapun.
Perdarahan Troma Instrumentasi Perdarahan ini berasal dari kesalahan instrumentasi saat operasi termasuk eksodonsia gigi. di bawah ini merupakan contoh kasus perdarahan seperti yang dimaksud. (a)saat melakukan gerakan mampulasi ekstraksi gigi secara tidak sadar engsel forsep menjepit bibir. Umumnya penderita tidak merasa kesakitan saat bibimya terjepit karena anestesi lokal masih berpengaruh di daerah itu. Akibat dari jepitan forsep dapat berupa laserisasi (koyak) pada bibir atau perlekukan bibir yang tertutup dan membekas pada daerah troma itu. Laserasi jaringan bibir akan menyebabkan perdarahan yang segera harus dihentikan dan luka dijahit sebaik mungkin. (b)Saat ekstraksi gigi molar mandibula posterior kadang-kadang mulut forsep menjepit jaringan lunak disebelah lingual yang menjadi bagian dan jaringan dasar mulut. Laserasi jaringan lunak dasar mulut dapat menyebabkan perdarahan yang parah yang harus segera dihentikan dan luka harus segera dijahit. Umumnya pasca ekstraksi gigi ini pendenta mengeluhkan rasa sakit. (c)Separasi jaringan mukosa gingiva dan gigi yang akan diekstraksi kadangkadang dilakukan tidak sempurna. Ekstraksi gigi yang dilakukan akan berakibat lasersi janngan mukosa itu danterjadi perdarahan.
Universitas Gadjah Mada
12
(d)Elevator saat digunakan ekstraksi gigi dapat tergelincir dan melukai daerah jaringan lunak dan membentuk luka yang dalam dan perdarahan yang parah. Kecelakaan ini dapat berakibat kematian pendenta seperti yang pemah dijumpai Archer (1975). Hematoma. Hematoma adalah suatu masa darah yang menyerupai bentuk „tumor‟ (Archer, 1975). Hematoma ini terbentuk cepat dari suatu perdarahan dan darah berefusi ke dalam jaringan. Penyebab hematoma. Pembuluh darah tertusuk jarum suntik saat menjalankan anestesi lokal. Troma tusukan jarum dapat mengenai arten yang berada di bawah lapisan mukoperiosteal, atau di dalam processus alveolaris. Umumnya darah yang terkumpul di sela-sela jaringan akan diasorbsi secara lambat tetapi juga terdapat kemungkinan terinfeksi dan berubah menjadi keadaan supurasi. Di daerah ekstraksi gigi molar mandibula ketiga sering terjadi perdarahan yang masuk ke janingan sekitarnya tetapi tidak sampai teralokasikan; perdarahan ini menjadi suatu edema yang meluas dan darah akan tersedak semua jaringan di sisi yang bersangkutan. Darah yang terdesak itu akan berjalan memalui dan diantara rongga fasial. Hematoma sering terjadi saat penyuntikan anestesi blok tuberositas. Secara cepat akan terjadi pembengkakan masa darah yang diperkirakan pembuluh yang terkena troma adalah dan pleksus venosus Ptengoideus namun ada yang berpendapat bahwa yang terkena troma adalah arteri yang ada di daerah itu. Pendapat yang terakhir ini di dasari dan pembengkakan masa darah ini terjadi begitu cepatnya sebingga sering membawa penderita dalam ketakutan. Perawatan hematoma (a)ada yang menganjurkan aspirasi darah yang tergenang. Jalan ini banyak menemui kegagalan; (b)Archer (1975) menganjurkan perawatan sebagai berikut: (1) istirahatkan penderita, dalam waktu 24 jam berikan aplikasi kompres dingin pada daerah pembengkakan dengan maksud agar perdarahan berkurang atau berhenti; (2) bila perdarahan telah diyakini berhenti lalu berikan aplikasi hangat di daerah itu dengan maksud terjadi absorbsi darah yang terkumpul; (3) bila hematoma berasal dari perdarahan arterial sebagai akibat perdarahan lapisan mukoperiosteal, maka temukan dulu lokasi arteri yang mengalami perdarahan dan segera meligasi arteri itu untuk menghentikan perdarahan. (4) Bila perdarahan berasal dari processus alveolaris, usahakan untuk menghentikan perdarahan itu dengan jalan menekan pembuluh darah tulang sehingga lumen pernbuluh darah yang terbuka dengan lilin-tulang.
Universitas Gadjah Mada
13
4. Fistula Oro-Antral Arti harafiah suatu fistula adalah pipa atau saluran yang sempit). Fistula oroantral adalah saluran yang menghubungkan rongga mulut dan rongga sinus maksilaris. Fistula mi dapat dibentuk oleh penutupan lubang yang tidak sempurna dan suatu lesi (misalnya abses, luka, proses penyakit). Pada bagian ini yang akan dibicarakan adalah fistula oroantral yang berasal dari luka akibat ekstraksi gigi posterior maksila, dan perawatannya. Anatomi. Sinus maksilans pada orang dewasa terletak pada korpus maksila dan merupakan rongga paranasal yang terbesar. Pada awal pembentukan sinus maksilaris terlihat Pada saat bayi lahir sebagai suatu tonjolan kecil dan meatus nasalis medialis yang kemudian
berkembang
di
dalam
bagian “cancellous”
(spongeus)
tulang maksila.
Perkembangannya akan mencapai ukuran maksimal pada orang berumur 25 tahun, bertautan dengan perkembangan akhir dan lengkung gigi. Rongga udara yang berkedudukan pada tulang maksila tersebut terbentuk kira-kira sebagai suatu piramida; yang dapat diperikan sebagai suatu bangunan yang berlantai dan ada 3 dinding yang membatasi rongga itu. Dinding medial atau dinding dasar membentuk bagian lateral dinding rongga hidung. Puncaknya meluas ke dalam processus zigomatikus maksila, atau masuk ke dalam batas antara tulang maksila dan tulang zigomatikus. Dinding anterior sinus menjadi bagian dinding fasial maksila; dinding posterior sinus merupakan bagian permukaan orbital maksila; atap sinus menjadi bagian permukaan orbital maksila; sedang lantai atau dasar sinus menjadi bagian processus alveolaris maksila. Pada beberapa sinus, ruangannya terbagi oleh septa tulang atau septa membran dan ukuran ruang sinus bervariasi dengan ukuran rata-rata sebagai berikut: anteropostenor 34 mm; vertikal 38 mm; mediolateral 23 mm. Nervus alveolaris posterior, medius dan anterosupenor berjalan melalui permukaan antrum dan nervus nasopalatinus palatinus anterior berjalan ke bawah menuju ke palatum sepanjang dinding medial sinus maksilaris. Memberi anestesi blok syaraf itu, dan aplikasi anestesi topikal kepada meatus media dan inferior menghasilkan anstesi yang memadai. Arteri ke daerah tulang maksila besar dan sangat banyak sehingga pengiriman darah berlimpah. Arteri itu berasal dari arteninfraorbitalis, alveolanis, palatinus descenden, sphenopalatinus, ethmoidalis, frontalis, nasalis, dan maksilaris ektemus. Sinus maksilaris atau disebut juga “The antrum of Highmore” dilapisi oleh membrana mukosa tipis yang melanjut melalui apertura sinus dengan yang melapisi fossa nasalis dan sinus tambahan lainnya. Lokasi lubang yang sangat kecil dan rongga udara yang besar, merupakan tempat yang sangat merugikan sebagai suatu lubang drainage. Karena lubang itu terletak pada titik tertinggi pada dinding medial rongga sinus dan terbuka kedalam infundibulum ethmoidale yang sempit (pada pertemuan antara dinding superior dan lateral). Lebih dari sepertiga spesimen sinus maksilaris berisi suatu apertura tambahan, ostium Universitas Gadjah Mada
14
maxillare accesorium, yang terutama menghubungkan dengan meatus nasalis medialis dan merupakan tempat yang lebih menguntungkan bagi kepentingan drainage. Beberapa hal yang harus diketajui dilihat dan sudut Kedokteran Gigi bahwa sinus maksilans merupakan rongga udara yang ada pada daerah korpus maksila adalah: a) hampir 65% infeksi sinus berasal dan infeksi gigi b) letak sinus maksilans berdekatan dengan akar gigi maksila posterior memungkinkan penluasan infeksi dari gigi ke dalam sinus, juga mungkin terjadi suatu komplikasi ekstraksi gigi seperti akar gigiterdorong masuk ke clalam rongga sinus atau terjadi fistula oro antral. Posisi akar gigi terhadap sinus maksilaris menurut Bougoyne adalah pada umumnyajarak antara dinding dasar sinus maksilans dengan akar-akar gigi posterior maksila berkisar antara 10-20 mm. Menurut Kruger (1984) ketebalan dinding sinus maksilaris tidak selalu sama, terutama atau dan dasar sinus. Ketebalan dinding sinus bervanasi dan 2-5 mm Pada atap dan pada dasarnya antara 2-3 mm. Pada daerah tak bergigi ketebalan dinding sinus antara 5-10 mm. Selanjutnya Kruger mengatakan Pada keadaan dinding posterior sinus ditembus maka akan tejadi lubang sebagai jalan masuk ke dalam fosa infra-temporale, dan setiap prosedur bedah yang dilakukan di tempat itu harus seksama karena keberadaan pembuluh darah yang besar seperti arteria dan vena maksilaris. Di bawah dasar sinus maksilanis terdapat gigi-gigi posterior (desiduilpermanen atau keduanya). Sening akar gigi premolar atau molar maksila.permanen meluas ke dalam sinus. Pada anak dan bayi dasar sinus selalu lebih tinggi daripada dasar hidung sehingga drainage lebih baik dapat diperoleh segera dari operasi jendela (window operation). Sebaliknya Pada orang dewasa dasar sinus lebih rendah daripada dasar hisung. Kedudukan akar gigi maksila posterior terhadap sinus maksilaris menurut Archer (1961) ada dua keadaan, yaitu: (a) Sinus Approximity(SA) yang berarti terdapat pendekatan sinus, apeks akar gigi posterior maksila berjarak 2 mm atau kurang terhadap dinding dasar sinus; (b) No Sinus Approximity (NSA) yang berarti tidak terdapat pendekatan sinus, jarak apeks akar gigi posterior maksila lebih besar dari 2 mm terhadap sinus maksilaris. Dalam sinus terdapat sekresi mukus yang bersifat bakterisidal dan baktenstatik (penghambat) maka sinus maksflaris seperti sinus-sinus yang lain, tidak dimasuki mikroorgarnsme yang berasal dan udara. Sel-sel kuboid yang bersilia membantu dalam menggerakkan nanah atau skresi yang berlebthan menuju ostium maksilare ke hidung. Pada keadaan normal silia-silia tersebut bergerak seperti gelombang tetapi pada suatu ketika, gerakan itu dapat berhenti; akibatnya suatu keadaan patologis mudah terjadi misalnya sinusitis akuta, kronika atau kroms dengan eksaserbasi yang akut.
Penyebab Fistula Oro-Antral Fistula oro-antral dapat disebabkan oleh keadaan berikut ini: Universitas Gadjah Mada
15
1). Sebagai komplikasi eksodonsia gigi maksila posterior, misalnya: (a) penggunaan elevator yang salah dalam pengambilan akar gigi atau gigi dapat mendorong akar gigi/gigi ke atas masuk sinus; (b) elevator terpeleset dalam penggunaannya dan membuat lubang pada dinding dasar sinus; (C) rongga sinus sedemikian meluas sampai daerah akar gigi sehingga ekstraksi gigi yang berdekatan dengan sinus meninggalkan lubang besar; (d) Granulomata periapikalis meluas atau keadaan patologis (misalnya infeksi kronis) pada daerah periapikal menyebabkan tulang dinding dasar sinus menjadi tipis; (e) dinding sinus terbuka saat melakukan odontektomi gigi impaksi atau gigi kamnus maksila yang mengerupsi; (f) ekstraksi gigi yang berakibat fraktur processus alveolaris dengan melibatkan segmen yang besar yang bensi gigi-gigi dan dinding sinus; 2). Enukleasi kista maksila yang besar yang berbatasan dengan dinding antrum. Pemeriksaan fistula oro-antral. Untuk membuktikan terjadi suatu fistula oroantral clapat dilakukan melalui uji hidung dengan cara sebagai berikut: (1) Hidung penderita ditutup rapat dengan menekan kedua sisi daun hidung erat-erat; (2) Instruksikan penderita untuk menghembuskan udara keluar melalui hidung yang saat itu masih dalam keadaan tertutup; (3) letakkan kaca mulut menghadap lubang soket gigi yang dicungai ada fistula oro-antral; (4) Bila kaca mulut menjadi buram berarti ada pengembunan uap air. Dasar keija uji hidung mi adalah bahwa ada uclara rongga hidung tertekan di dalam rongga hidung mencari jalan keluar dan masuk ke dalam rongga sinus melalui ostium maksilare lalu keluar melalui fistula ke dalam rongga mulut, udara itu mengembun di atas kaca mulut. Gigi atau Akar Gigi Masuk ke dalam Sinus Maksilaris. Untuk menghindari akar gigi premolar dan molar maksila saat ekstraksi terdorong masuk ke dalam sinus maksilaris maka gigi itu sebelumnya harus dengan seksama diamati, terutama bila ekstraksi gigi itu tidak disertai dengan gambar Rontgen gigi yang bersangkutan (Archer, 1961). Perhatikan bahwa saat ekstraski: (1) jangan sekali-kali memberi tekanan pada ujung fragmen akar gigi dengan memakai elevator ke arah apikal; (2) medan operasi harus dapat dilihat dengan jelas; (3) jangan bekerja membuta dalam medan operasi yang penuh darah. Penggunaan gambar Rontgen sebelum ekstraksi gigi posterior maksila sangat berguna terutama dalam menentukan posisi akar gigi di dalam rongga sinus atau untuk mengetahui keadaan sinus approximizy suatu gigi. Archer (1961) menyebutkan bahwa akar gigi-gigi yang berhubungan erat dengan sinus maksilans dengan urutan yang paling dekat dengan dasar dinding sinus yaitu akar gigi molar maksila pertama, molar maksila kedua, premolar maksila kedua, dan molar maksila ketiga, premolar maksila pertama (jarang), kaninus (lebihjarang).
Universitas Gadjah Mada
16
Bila saat pengambilan akar gigi terdorong masuk ke dalam sinus maksilans maka akar gigi itu harus segera diambil untuk menghindari infeksi sinus maksilans yang tidak diharapkan. Tehnik Pengambilan Akar Gigi Gigi atau akar gigi yang mask ke dalam rongga sinus maksilaris selalu akan berada di dinding dasar sinus sesuai dengan hukum gravitasi. lJsaha untuk mengambil gigi atau akar gigi dan dalam sinus selalu harus didasan pemikiran bahwa (a) lokasi gigi atau akar gigi tersebut selalu ada di dasar sinus; (b) pendekatan rongga sinus melalui lubang fistula menghadapi beberapa kendala yaitu:
pengambilan gigi atau akar gigi sukar dikerjakan karena melalui jalan sempit sehingga tidak mudah dicapai alat-alat,
penerangan ke dalam rongga sinus tak akan mampu mencapai dasar sinus
mukosa lantai dasar sinus tidak rata melainkan bergelombang
operasi dengan pendekatan melalui fistula yang terjadi, yang akan memperbesar lubang fistula semula. Dengan dasar di atas maka pengambilan gigi atau akar di dalam sinus maksilans Iebih
mudah bila dilakukan melalui pendekatan dan dinding lateral, Untuk maksud ini harus dipahami dahulu operasi Caldwell-Luc. Prosedur pengambilan gigi/akar gigi/benda asing dan dalam sinus maksilaris dilalui dnegan 2 tahapan, yaitu (1) Membuat jendela pembukaan pada dinding sinus, yang dianjurkan menggunakan operasi Caldwell-Luc dan (2) mengambil gigi/akar gigi, benda asing dan dalam sinus. (1) Operasi CaldwelI-Luc Menurut Kruger (1974) operasi Caidwell-Luc mempunyai beberapa indikasi, yaitu: (1) pengambilan fragmen gigi atau akar gigi dalam sinus. Operasi Caldwell-Luc ini akan menghilangkan prosedur operasi buta dan memberi kemudahan pengambilan benda asing. (2) Troma maksila bila dinding sinus maksilaris remuk kepencet atau bila dinding dasar orbita remuk dan jatuh ke arah sinus. Tipe luka troma ini sangat baik dikoreksi melalui operasi CaIdwell-Luc. (3) Manajemen hematoma antrum dengan perdarahan aktif melalui hidung. Darah dapat dievakuasi dan lokasi perdarahan lebih mudah ditemukan. perdarahan dihentikan dengan jalan pack epinefrin atau hemostatik. (4) Pada kasus sinusitis maksilaris kromka yang disertai dnegan degenerasi polipoid mukosanya. Universitas Gadjah Mada
17
(5) Kista di dalam sinus maksilans. (6) Neoplasma sinus maksilaris yang paling baik diambil melalui teknik operasi Caldwell-Luc. Prosedur Operasi Caldwell-Luc (1) pilih anestesi yang cocok untuk penderita (lokal atau unium), persiapkan daerah operasi yaitu daerah muka dan rongga mulut seperti seharusnya; (2) operasi dibawah anestesi lokal, dipersiapkan alat-alat yang dibutuhkan seperti scalpel, periosteal elevator, bur tulang, chisel-mallet, bone-forceps, aoical fragment forceps, needle-holder, scissors, retractors, lampu penerangan. (3) Selanjutnya bibir atas diangkat dengan retractor. Insisi mukoperiosteum berbentukU dibuat pada tulang alveolar maksila. Insisi vertikal dibuat pada daerah kamnus dan molar kedua dan suatu titik tepat di atas kaninus dan molar kedua dan suatu titik tepat di atas perlekatan gingiva ke atas menuju dan di atas lipatan mukobukal. Insisi mukosa di atas tulang alveolar yang horisontal menghubungkan kedua insisi vertikal beberapa milimeter di atas perlekatan gingiva gigi-gigi. Jaringan diangkat dan tulang dengan elevator periosteal, jauh ke atas sampai mencapai kanalis infraorbitalis. Hati-hati di daerah mi ada syaraf-syaraf cabang nervs infraorbitalis. (4) dibuat lubang ke dalam dinding fasial sinus maksilaris di atas akar gigi premolar dengan mengginakan chisel, gouges, atau bur tulang. (5) Lubang pembukaan diperlebar dengan alat bone cutting forceps sehingga rongga sinus mudah diinspeksi secara Jelas. Ukuran pembukaan paling besar jangan melebihi ukuran ujung jari telunjuk rata-rata. Lubang pembukaan ini harus dibuat cukup tinggi untuk melindungi akar-akar gigi di daerah itu. (6) Bila pembukakan tulang telah maka selanjutnya menyelesaikan operasi berikutnya sesuai dengan tujuannya misalnya pengambilan gigi atau ujung akar gigi atau lain benda asing. (7) Tulang yang runcing dihaluskan dengan bonefile rongga sinus dibersihkan dari sisa fragmen tulang dan sisa operasi lain. (8) Kembalikan lapisan mukoperiosteum pada posisi semula dan dijahit dengan jahitan benang sutra hitam secara muluple, interupted. Letak jahitan hams di atas tulang yang kokoh. Sesudah 5-7 hari jahitan dibuka.
Catatan
Universitas Gadjah Mada
18
(a) menurut Kruger (1974) jarang diperlukan pengambilan seluruh mukosa sinus maksilans secara radikal, tetapi bila memang diperlukan dapat dilakukan dengan menggunakan alat penosteal elevator dan kuret. (b) Anestesi pipi dan gigi-gigi dapat diikuti komplikasi perlukaan pada nerbus infraorbitalis atau syarafgigi-gigi saat menatah tulang maksila. (C) Pembengkakan pipi pasca operasi biasa terjadi namun dalam beberapa hari akan menghilang. (2) Pengambilan Gigi/Akar Gigi/Benda Asing Menentukan lokasi akar gigi di dalam sinus maksilaris dengan menggunakan gambar Rontgen. Jangan mengambil akar gigi tersebut tanpa menggunakan bantuan gambar Rontgen kecuali bila akar gigi tersebut dapat terlihat dnegan jelas. Untuk mendapat kepastian letak akar gigi dalam sinus maka sering dibutuhkan beberapa gambar Rontgen. Juga hams diingat, bahwa kadang-kadang meskipun akar gigi telah tidak nampak di dalam soket gigi mungkin belum menembus membran sinus tetapi masih terletak dibawah membran dan tidak di dalam rongga sinus. Sepertiga ujung akar mesio-bukal maksila pertama fraktur saat ektraksi gigi dan pada saat usaha untuk mengambilnya, akar tersebut terdorong masuk ke dalam rongga sinus maksilaris. Melalui gambar Rontgen dapat dilihat akar gigi masih berada di dekat ujung soket gigi. Insisi untuk membuat lapisan mukoperiosteal bukal yang berbentuk trapezium yang lebar agar medan operasi nampak jelas. Tulang processus alveolaris yang menutup soket sebelah bukal dibuka dengan bur tulang/chisel, dan juga tulang intra-radikular agar operator melihat jelas daerah operasi yang akan memudahkan pengambilan akar gigi dan untuk memudahkan penutupan fistula oroantral. Pengambilan tulang dilakukan dengan menggunakan ujung pemotong tulang (Rongeur). Lubang kedalam sinus maksilaris diperlebar sampai melalui mukosa sinus dengan menggunakan currete yang kecil dan lurus. Pada umumnya akar dapat tertangkap „dalam sendok currete dan dapat ditank ke luar sinus atau paling tidak dapat posisi akar itu dibetulkan kembali dl dalam soket gigi lagi sehingga dapat terambil dengan apicalfragment forceps. Cara pengambilan akar gigi yang berada didalam sinus dengan keadaan posisi di dekat ujung soket gigi dapat dikerjakan dnegan membentuk suatu jerat (sloop) kawat yang kecil tetapi kuat. Tindakan itu dilakukan setelah akar gii yang akan diambil tersebut tidak berhasil terambil dengan currete.
Universitas Gadjah Mada
19
Perawatan Fistula Oro-Antral Bila suatu fistula oro-antral terjadi saat ekstraksi gigi maka harus segera ditutup. Penutupan fistula yang masih baru ini perawatannya akan memberi hasil yang lebih memuaskan daripada penutupan fistula yang telah terjadi sama sebelumnya. Pada fistula oro-antral lama, telah terjadi keadaan epitelisasi saluran yang akan menghambat proses perlekatan jaringan. Perawatan penutupan fistula oro-antral ini dapat dibagi menjadi: (1) perawatan yang segera (immediate) dikerjakan pada saat fitula terjadi, dan (2) perawatan dikerjakan pada fistula yang telah lama terjadi (long standing fist ula).
Perawatan pada saat terjadi fistula (immediate) Bila dasar sinus maksilaris terkoyak saat ektraksi gigi maksila posterior terjadi fistula oro-antral. Bila keadaan sinus tidak infeksi, segera melakukan insisi bukal, insisi dilakukan pula pada jaringan mukoperiosteal palatum. Jaringan mukoperiosteal bukal dan palatal dilepas perlekatannya dan tulang sehingga mudah di tank ke medial. Processus alveolanis di atas fistula dikurangi trimming) ketinggiannya agar saat lapisan mukoperiosteum bukal dan palatal saling dipertemukan dan dijahit titik dalam keadaan yang menegang dan akan mendukung proses penyembuhan. Sepon cliletakkan diatas luka dan penderita diinstruksikan untuk menggigitnya agan tidak terlepas. Selanjutnya penderita diberi beberapa sepon agar dapat mengganti sendiri di rumah bila sepon yang lama basah oleh darah. Selama tidur sepon tetap digigit untuk melindungi daerah operasi dan gerakan Iidah. Antibiotika diberikan kepada penderita untuk beberapa han. Obat tetes hidung diberikan agar mukosa hidung mengerut; apabila mukosa hidung mengkerut maka ostium antral tetap terbuka shingga memudahkan drainage dari rongga sinus maksilaris. Semua keadaan komplikasi yang terjadi ini sebaiknya penderita diberi tahu agar penderita kooperatif. Penderita dilarang membuang ingus. Lebih menguntungkan membuang dahak melalui mulut thripada melalui hidung. Minum melalui pipa juga tidak dilarang. Bagi penderita yang sedang merokok dilarang menghisap terlalu dalam. Kontrol penderita dilakukan stelah 48 jam, bila dalam pemeriksaan tidak menunjukkan gejala infeksi sinus maksilaris akut, instruksikan pendenta untuk datang kontrol dalam waktu 96 jam. Bila dalam pemeriksaan kontrol tersebut ternyata terdapat tanda-tanda sinusitis maksilaris akut maka drainage hams dilakukan oleh dokter ahli Hidung Telinga dan Tenggorokan melalui pungsi (inferior turbinate puncture). Maksud memberikan pungsi adalah agar penyembuhan jahitan pada fistula mendapat hasil yang baik karena tidak terganggu oleh adanya infeksi atau pus yang terjadi. Mungkin terjadi keadaan dimana tulang diantara sinus maksilaris dan apeks akar gigi telah dirusak oleh proses infeksi yang berasal dan gigi itu sendiri; bila demikian semua Universitas Gadjah Mada
20
jaringan patogen atau polip yang ada di daerah tersebut dibuang dengan menggunakan currete. Tulang korteks sebelah bukal dan lingual dikurangi dnegan memakai Rongeur tulang kemdian janngan lunak dijahit kembali pada posisi semula. Sepon diletakkan di atas luka dan penderita diinstruksikan untuk menggigitnya. Penderita diinstruksikan segera dikinm ke ahli Telinga Hidung dan Tenggorokan untuk mendapatkan drainage dengan membuat jendela di bawah inferior turbinate ke sinus maksilaris. Pada kasus-kasus umumnya fistula sinus maksilaris akan tetap tertutup dan dengan demikian operasi radikal sinus maksilans dapat terhindarkan. Tetapi, pada beberapa kasus radikal operasi sinus maksilaris harus dilakukan meskipun telah dibuat drainage melalui hidung (nasal window) dan fistula oral kedalam sinus maksilans menutup. Pada kasus itu dimana penutupan asalnya terbuka, pelaksanaan operasi radikal dilakukan oleh ahli H.T.T sedang ahli bedah mulut mengerjakan penutupan fistulanya yaitu dengan menghilangi epithel daerah fistula merefleksikan flap buccal sehingga bebas bergerak, mengendorkan flap palatal dan mengurang ketinggian. Kain kasa atau lempengan Tantalum diletakkan diatas lubang fistula dengan maksud memberi kekuatan bagi lapisanjanngan lunak itu. Perawatan Fistula Lama (Long-standing Fistula) Apabila fistula yang dihadapi adalah dan tipe “long-standing fistula”, berarti fistula tersebut telah dilapisi oleh suatu epitel dimana epitel tersebut akan menghambat perlekatanjanngan pada perawatan penutupan fistula oro-antral. Epitel itu keluar dan antrum sepanjang fistula dan masuk ke dalam janingan epitel rongga mulut. Agar didapat penlekatan janngan yang sempurna maka epitel hams dibuang (eksisi). Cara: 1. Eksisi semua epitel yang telah terjadi di sepanjang fistula dan di atas lubang fistula yang ada di dalam rongga mulut. 2. Lubang fistula harus ditutup dengan lapisan mukoperiosteal yang dijahit dengan mukosa di atas tulang yang sehat, jadi bukan diatas lubang fistula seperti biasanya. Lapisan yang dipergunakan untuk menutup lubang fistula hams mempunyai banyak pembuluh darah. 3. Sekresi antral harus dikeluarkan melalui lubang hidung yaitu dengan membuat jendela dibawah permukaan dan ostium antral. Bila belum cukup baik, lakuan membuat jendela di bawah inferior turbinate. 4. Pergunakan pengobatan antibiotika dan pasca operatif.
Di bawah ini akan dibicarakan kasus sederhana yang penulis jumpai dalam perawatanlubang kecil fistula oro-antral tetapi telah lama terjadi. Universitas Gadjah Mada
21
Sinkop dan Syok Sinkop Sinkop disebut pula fainting atau anemia serebral akut (Archer, 1975) merupakan bentuk syok neurogenetik dan disebabkan oleh iskhemia serebral yang timbul sekunder setelah terdapat vasodilatasi atau suatu kenaikan volume darah pada vascular periferal disertai suatu penurunan dalam tekanan darah. Sinkop terjadi hanya untuk waktu yang pendek dan banyak dijumpai pada praktek kedokteran gigi sebagai komplikasi setelah anestesi lokal (Archer, 1975). Penderita yang sedang menerima perawatan gigi bila sedang duduk di atas kursi gigi, otaknya berada pada posisi superior sehingga sangat mudah terkena penurunan aliran volume darah. Sinkop tidak selalu diikuti dengan hilangnya kesadaran karena seseorang dapat merasakan akan pingsan dan merasakan akan muntah meskipun dia sadar akan sekelilingnya. Hilangnya kesadaran seseorang adalah manifestasi yang ekstrim dan iskhemia serebral yang cukup untuk mengganggu fungsi dan korteks. Tanda-tanda sinkop adalah kulit berubah warna menjadi pucat, berkeringat dingin, tekanan pulsus kecil, dan rasa pening pada kepala, kelapa merasa ringan atau rasa ingin muntah. Operator sering tidak melihat tanda-tanda obyektif yang lanjut itu dan tiba-tiba sadar bahwa penderita telah tak sadarkan diri, pupil mata dilatasi lebar, dan kaki penderita menunjukkan kejang-kejang sebagai akibat dan keadaaan anoksia serebral. Perawatan sinkop yang paling baik adalah mencegah penderita menjadi tak sadarkan diri. Bila seorang penderita menunjukkan tanda-tanda sinkop, sandaran kursi gigi segera dirabalikan sehingga kepala penderita lebih rendah daripada kakinya; pakaian yang terlalu ketat chlonggarkan; stimulasi efek dikerjakan dengan membenikan aplikasi air dingin pada muka penderita dan dengan hati-hati memben inhalasi amomak (kalau tidak ada dapat dilakukan dengan alcohol 70% yang diteteskan denga tiba-tiba pada lubang hidung atau secara inhalasi, minyak wangi). Sandaran kepala diputar ke belakang dan sandaran punggung kursi gigi direbahkan ke belakang agar lepala penderita berposisi lebih rendah daripada kakinya. Bila posisi yang demikian belum memberikan basil yang memuaskan, maka kaki penderita perlu dianggakat sedikit ke atas saat penderita masih dalam keadaan terbaring. Dengan posisi demikian maka darah yang ada pada bagian kaki akan membantu menambah sirkulasi darah di atas pinggang kira-kira dengan 1000cc dan secara cepat akan mengembalikan keadaan anoksia serebralis kembali menjadi normal. Tetapi apabila sinkop melanjut dan penderita telah pingsan, maka dala keadaan itu perlu memberi oksigen 100% melalui jalan hidung dan obat vasopresor misalnya neosinefrin atau epinefrin, obat stimulan seperti kafein sodium berizoat atau metrazol (Archer, 1975). Universitas Gadjah Mada
22
Pada keadaan mendesak apabila pendenta masih dapat diberikan minum, melalui mulut dapat disuapkarm sendok demi sendok kopi panas sebagai pengganti obat stimulan karena kopi juga mengandung kafein. Pertahankan kedudukan penderita dengan posisi terbaring sampai penderita benarbenar siuman. Perhatikan terus pulsus penderita, pernafasannya, dan tekanan darah diukur secara periodik. Apabila dalam anamnesis operator telah mengetahui penderita mempunyai riwayat pernah mengalami sinkop setelah menerima suntikan anestesi atau thiam pemenksaan fisik operator mengetahui (obyektif) ada gejala predisposisi penderita mudah mengalami sinkop maka dianjurkan agar penderita sebelum menerima suntikan anestesi posisi duduknya diatur pada posisi setengah terbaring (semireclimng position) atau posisi terbang (recumbent shock position). Seldin menganjurkan agar penderita yang sedang mengalami sinkop, dirawat seerti berikut: (1) Saat masih dalam posisi duduk kepala penderita didorong ke muka sehingga badan terbungkuk sampai posisi kepala penderita berada di antara kedua kakinya yang terbuka lebar. Badan penderita dipertahankan pada posisi tersebut untuk beberapa saat dengan bantuan tekanan tangan operator. Dengan demikian darah yang berada pada sistem venosa visera (splanchnic) tertekan sehingga akan mengalir ke kepala. (2) Selain dengan cara tersebut, penulis juga menggunakan bantuan aromatik alcohol 70% sebagai pengganti amomak, yaitu dengan meneteskan 1 atau 2 tetes alcohol 70% di atas lubang hidung. Oleh athnya rangsangan alcohol yang sangat menyengat, pada umumnya panderita akan sangat bereaksi dan pada saat itu yang paling baik untuk menjaga penderita tetap siuman sampai penyembuhan yang sempurna. Syok Syok dapat didefimsikan sebagai suatu keadaan klinis yang menunjukkan ada reduksi pada sirkulasi darah perifer atau rerata aliran thrah perifer yang bermakna. Menurut Kruger (1984) ada tiga tipe syok: 1. Primer atau nerogenik. Sinkop termasuk pada tipe ini. 2. Jantung dan sistem sarafpusat (Cardiac and central nervous system). 3. Hipovolemik. Syok yang termasuk dalam tipe ini adalah syok yang disebabkab oleh trauma, pendarahan, tindakan bedah atau luka terbakar. Pada syok tipe ini darah berkurang akibat terjadi suatu perdaraban, plasma hilang plasma oleh proses ekstravasasi ke dalam jaringan yang terluka atau dehidrasi. Tipe hipovolemik ini bersifat “ reversible” artinya
apabila
terapi
segera
dilakukan
untuk
mengembalikan
volume
Universitas Gadjah Mada
darah 23
intravaskuler. Bila tidak dilakukan, maka tejadi rantaian reaksi dan jantung, pembuluh darah, dan gangguan fisiologis lainnya, dan syok menjadi “irreversible” dan berakibat kematian penderita. Gejala-gejala syok adalah kulit pucat, dingan lembab oleh keringat, membrana mukosa bibir, kuku, ujung jan tangan dan kaki dan telingan kebirubiruan, muka tak berekspresi, mata menunjukan pandangan yang sayutanpa tujuan dan pupil dilatasi lebar dan bereaksi sangat lemah; pulsus sangat lemah tetapi cepat, dan kadang-kadang intermittent; respirasi dangkal dan cepat tetapi tidak teratur dan kadang-kadang diselingi dengan suara keluhan, temperatur badan dibawah normal; kesadaran mungkin masih ada meskipun menunjukkan apatis. Perawatan pada syok hipovolemik menyangkut beberapa hal yang penting: 1. Restorasi darah!cairan darah yang hilang. 2. Kontrol pendarahan. 3. Membenkan oksigen 100% 4. Menghilangkan rasa sakit. Syok lebih mudah untuk dicegah daripada merawatnya. Bila dijumpai rasa sakit yang hebat, secara intravenosa diberikan suntikan narkotika (biasanya morfin) tetapi jangan diberikan secara intramuskular atau subkutan. Pertahankan panas tubuh dengan temperatur kamar yang normal. Perhatikan : Jangan membungkus penderita dengan selimut, air hangat atau semacamnya. Penderita diletakkan pada keadaan syok agar sirkulasi darah pada organ penting dapat dipertahankan. Kembalikan cairan tubuh yang hilang. Pada semua kasus syok pulsus dan tekanan thrah selalu diukur karena penting untuk menjadi pegangan yang terpercaya untuk mengetahui keadaan syok (berat/ringan) tersebut. Archer (1975) menambahkan “human albumin” dalam penyembuhan syok. Pada hakekatnya darah atau cairan tubuh yang Kilang paling baik duganti dengandarah pula tetapi kalau tidak mkencukupi dapat ditambahkan dekstrose 5% dalam larutan salin, diberikan secara intravenosa. Segera setelah penderita menunjukkan penyembuhan maka pemberian dekstrose dihentikan, karena dengan pemberiandekstrose terlalu banyak atau terlalu cepat akan mengakibatkan gangguan jantung yang serius. Hipoksemia ditanggukangi denga jalan pembenan oksigan 100% sehingga meskipun volume darah and cardiac output rendah, darah yang mengalir masih membawa oksigen banyak yang penting untuk vitalitas sel-sel jaringan terutama pada organ penting. Anestesi lokal thpat merangsang dan kadang-kadang menekan sisten saraf pusat atau tempat lain dan sistem tersebut. Bila penekana tersebut pada pusatnya maka dapat Universitas Gadjah Mada
24
mengakibatkan fainting, koma, dan hilang kesadaran; sedangkan bila pusat pernafasan dan jantung yang ditekan, maka syok dan hambatan pernafasan aka terjadi (Seldin, 1947). Gangguan toksik oleh penyuntukan prokain adrenalin mengakibatkan penderita kejang-kejang, yang harus ditanggulangi dengan menyuntikkan sodium pentotal 5% sebanyak 2-4 cc secara intravenosa. Hilangnya kesadaran dapat disebabkan oleh keadaan toksisitas obat anestesi yaitu bila menekan pada korteks serebri. Untuk menanggulangi hal ini maka dapat dikerjakan tahap-tahap perawatan sinkop atau syok dengan memberikan pula suntikan Sodium Pentobarbital intravenosa atau intramuskular paling banyak antara 50 - 100mg. Alergi terhadap suatu obat anestesi dapat dirawat dengan pemberian Benadryl secara intravenosa dengan dosis antara 20 - 50mg, atau disuntik dengan epinefrin (adrenalin) denga dosis antara 0,3 - 0,5mg secara intramuskular. Bila korteks serebri terkena stimulasi karena terjadi kelebihan dosis pemakaian suatu obat anestesi maka penderita senng mengalami konvulsi; keadaan kejangkejangtersebut dapat dirawat dengan suntikan succinycholin chloride dengan dosis antara 20 - 50mg secara intravenosa.
Ringkasan/ Kesimpulan Sinkop dan syok sangat penting untuk diketahui dokter gigi praktek. Sinkop masih berhubungan erat dengan syok sehingga pertolongan harus segera diberikan sedini mungkin pada keadaan sinkop. Kasus-kasus sinkop lebih banyak ditemui dalam praktek daripada kasus-kasus syok. Meskipun demikian para dokter gigi harus bersiaga menghadapi suatu kasus darurat (emergency dentistry cases) dengan menyediakan obat-obat sebagai berikut: 1.
Oksigen 100% siap dalam tabung oksigen untuk ganguan pemafasan dan jantung.
2.
Pentobartibal sodium (Nembutal) atau Secobarbital sodium untuk kelebihan dosis toksis (toxic overdose) atau idiosinkrasi.
3.
Benadryl atau Epinefrmn untuk kasus reaksi alergi.
4.
Succinycholin chloride untuk kasus konvulsi. 6. Dislokasi Mandibula
Dislokasi mandibula adalah setiap variasi dari posisi normal facies articularis suatu persendian Kruger (1984) menggambarkan dislokasi mandibula sebagai berikut. Selama gerak membuka mulut dapat teijadi keadaan dislokasi atau luksasi sendi temporo mandibulare karena kapsula dan ligamentum temporo mandibulare dalam keadaan cukup kendoruntuk Universitas Gadjah Mada
25
menggerakkan kondilus ke suatu titik di sebelah anterior eminentia articularis. Lalu otot-otot berkontraksi, mengejang dan mengunci kondilus pada posisi ini. Akibat keadaan ini penderita tidak dapat menutup rahang ke posisi oklusi normal. Dislokasi mandibula dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral; dapat pula terjadi secara spontan saat penderita membuka mulut terlalu lebar, misalnya pada saat seseorang menguap, selama dilakukan ekstrasi gigi, atau saat penderita menerima suntikan anestesi lokal. Bourgoyne membagi dislokasi mandibula menjadi 6 tipe, yaitu: 1. Mandibula superior. 2. Mandibula posterior. 3. Mandibula medial. 4. Mandibula lateral. 5. Mandibula inferior. 6. Mandibula anterior. Dan keenam tipe diatas, yang paling banyak dijumpai adalah dislokasi mandibula anterior. Pada umumnya dislokasi superior, posterior dan medial disertai dengan fraktur tulang. Tidak demikian pada dislokasi lateral, inferior dan arterior. Dislokasi mandibula yang terjadi sebagai akibat ekstraksi gigi yang paling sering adalah dan tipe anterior oleh sebab itu akan diuraikan di bawah ini. Dislokasi Mandibula anterior Penyebab: 1. Tindakan ekstrasi gigi sethng dilakukan. 2. Penderita menguap. 3. Membuka mulut terlalu lebar pada pemasangan alat anestesi umum. 4. Tertawa. Dislokasi anterior tersebut dapat pula disertai suatu fraktur tulang, tetapi keadaan itu jarang dijumpai. Ketika mulut dibuka, fasies anterior superior kaput kondilus terdesak ke muka berkontak dengan fasies inferior-distal eminensia artikularis. Apabila pada saat itu datang suatu tekanan, misalnya pada saat mulut dibuka terlalu lebar, kondilus terdesak ke muka lereng eminensia. Pada waktu itu terjadi kontraksi otot-otot penutup rahangsehingga kondilus terkunci di situ dan processus coronoideus terkunci di bawah processus zygomaticus. Rasa sakit yang timbul menyebabkan otot yang telah berkontraksi akan bertambah kuat kontraksinya. Oleh sebab itu usaha perawatan dislokasi ini sering mengalami kesukaran. Usaha ini disebut reduksi. Pada umumnya rasa sakit yang timbul itu berasal dari ligamentum yang tertarik dengan paksa. Diagnosis. Universitas Gadjah Mada
26
Dua tanda yang penting dalam mendiagnosa dislokasi anterior adalah: 1. Mulut tidak dapat ditutup. 2. Gerakan mandibula sangat terbatas, dan pada kasus dislokasi bilateral, mulut ditahan terbuka lebar. Pada kasus unilateral akan memberi gambaran asimetri dan mulut tidak terbuka selebar dislokasi bilateral. 3. Penderita merasa sangat kesakitan. Dengan palpasi di daerah sendi rahang, terasa lekukan yang dalam karena kondilus tidak berada di tempatnya.
Perawatan. Reduksi dislokasi mandibula anterior adalah sebagai berikut. 1. Penderita didudukkan pada kursi gigi lalu kursi gigi diatur sampai pada kedudukan kursi gigi yang paling rendah. 2. Kedua ibu jari tangan operator dibalut dengan handuk/kainkasa yang dimaksudkan sebagai pelindung terhadap gigitan yang terjadi tiba-tiba saat mandibula mengatup kembali pada posisi semula. 3. Kedua ibu jari tangan dimasukkan ke dalam rongga mulut penderita untuk memegang gigi-gigi mandibula posterior di kedua sisi, dan keempatjan operator lainnya memegang dagu penderita (lihat gambar dibawah). 4. Mandibula ditekan ke bawah pada gigi-gigi posterior dan tekan keatas pada dagu disertai tekkanan dorongan keseluruhan bagian mandibula ke belakang. 5. Posisi operator, adalah berdiri di muka menghadap penderita. Pada umumnya prosedur ini mudah dijalankan tetapi kadang-kadang dijumpai keadaan yang sukar yaitu apabila terdapat hambatan dan kekejangan otot-otot penutup mulut. Pada kasus terakhir tersebut, maka diperlukan tindakan mengendorkan otot
penutup mulut
untuk
memudahkan reduksi kondilus mandibula. Untuk mengendorkan otot-otot tersebut digunakan cara dengan suntikan anestesi umum dan bila perlu dibenkan obat relaksan otot (muscle relaxing drug). Johnson telah melaporkan bahwa beliau berhasil secara spontan mereduksi dislokasi persendian rahang (temporo mandibular joint) dengan memberikan suntukan anestesi infiltrasi lokal ke dalam otot yang berada di sekeliling kondilus. Cara yang dipakai Johnson tersebut tidak memerlukan manipulasi gerakan karena otot menjadi “lemah” untuk kemudian memudahkan kondilus dimasukkan kembali ke posisi normal dalam fosa glenoidea. Sebagai catatan bahwa kasus yang dikerjakan Johnson tersebut, bila dari tipe dislokasi mandibula yang bilateral maka penyuntikan anestesi dapat diberikan hanya pada satu sisi kondilus saja untuk mendapatkan reduksi yang bilateral.
Universitas Gadjah Mada
27
Archer (1975) mengerjakan perawatan dislokasi mandibula bilateral. dengan penyuntikan anestesi lokal pada satu sisi atau kedua rongga persendian rahang. Penulis sendin mengerjakan perawatan dislokasi mandibula anterior denganjalan reduksi biasa. Hanya ada 2 kasus yang memerlukan penyuntikan pati rasa lokal.
Universitas Gadjah Mada
28
DAFTAR PUSTAKA
Archer, H.W., 1975, Oral and Maxillofacial Surgery, 5th ed., W.B. Saunders, University Book Publishing Co. Taipei Taiwan, The Republic of China. Kruger, G.O., 1989, Oral and Maxillofacial Surgery., 6th ed., The CV. Mosby Co., Saint Louis Toronto Peterson, L.J., 1998, Oral and Maxillofacial Surgery., 3rd ed., Mosby-Year Book Inc., Saint Louis. Thoma, K.H., 1969, Oral Surgery, 5th ed., The CV. Mosby Co. Saint Louis Thoma, K.H., and Gold man,H.M., 1960, Oral Pathology, 5th ed., The CV. Mosby Co., Saint Louis.
Universitas Gadjah Mada
29