EXECUTIVE SUMMARY PENGEMBANGAN TEKNOLOGI IRIGASI HEMAT AIR PADA BERBAGAI INOVASI BUDIDAYA PADI System of Rice Intensification (SRI) adalah metode budidaya padi hemat air yang
menitikberatkan pengelolaan pada air, tanah, tanaman dan unsur hara secara terpadu. Penelitian Irigasi Hemat Air pada budidaya padi SRI yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum mengarah kepada budidaya padi SRI yang berkembang secara spesifik lokasi. Penggunaan pupuk organik (kompos) mempunyai kolerasi positif terhadap penghematan air. Namun terkait dengan kendala ketersediaannya penggunaan pupuk organik di beberapa daerah dikombinasikan dengan pupuk anorganik. Selain SRI, teknologi budidaya padi dengan menggunakan irigasi hemat air pun terus berkembang dan menghasilkan inovasi-inovasi. Salah satu inovasi yang mulai berkembang saat ini adalah panen padi empat kali dalam setahun atau biasa disebut dengan Indeks Pertanaman (IP) 400. Inovasi tersebut tentu saja memiliki pola kebutuhan air irigasi yang berbeda sehingga dapat berhasil bila didukung dengan penerapan irigasi yang tepat. Selain IP 400, Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPATBO) memiliki pola irigasi yang berbeda yang hingga saat ini belum ada kajian teknis kebutuhan air maupun pola pengelolaan irigasinya. Tabel 1 Skenario pola tanam IP 400 selama satu tahun (Pedum IP 400, 2009) MH I
MH II (Tanam I)
MK I (Tanam II)
MK II (Tanam III)
Varietas umur genjah
Varietas umur genjah
Varietas umur sangat genjah
7
7
Varietas umur sangat genjah 7 75 HST
15
90 HST 15
75 HST
Sisa Waktu 7 Hari
15
MH I (Tanam IV) (MP 2009/2010) Varietas umur genjah 7
Total 365 hari
90 HST
15
= = Persemaian dilakukan 15 hari sebelum panen = Pengolahan tanah = Tanam sampai panen A. PENELITIAN IRIGASI HEMAT AIR PADA BUDIDAYA PADI METODE SRI Tahapan penelitian irigasi hemat air pada budidaya padi metode SRI yang dilakukan yaitu: a. Pengamatan Awal di Lahan Petani Manonjaya, Tasikmalaya (2006-2007) Pengamatan dilakukan di lahan petani Manonjaya untuk memperoleh gambaran awal mengenai penghematan air SRI dan pola pengelolaannya. Lokasi pengamatan adalah di lahan Kelompok Tani Jembar Karya I, Desa Margahayu, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pola pengelolaan air SRI dan konvesional yang dilakukan di daerah ini adalah seperti yang terdapat pada Tabel 2. Tabel 2 Pola pemberian air SRI dan konvensional Budidaya
Metode Pemberian Air Fase Vegetatif
Fase Reproduktif
Fase Pematangan
SRI Jabar
Intermittent, alternasi macak-macak sampai retak rambut
Intermittent, alternasi genangan dangkal (± 2 cm) sampai retak rambut
Pengeringan
Konvensional
Kontinyu, genangan
Kontinyu, genangan
Pengeringan
-
1-
5 – 10 cm
5 – 10 cm
Dari pengamatan yang dilakukan pada 2 MT tahun 2006-2007 (Musim Hujan dan Musim Kemarau), tercatat bahwa angka water productivity (WP)1 SRI Jabar 1,14 kali WP Konvensional dan di Musim Kemarau WP SRI Jabar 1,17 kali WP Konvensional.
Genangan 2 cm
Macak-macak (Jenuh lapang)
Retak rambut (80% Jenuh lapang)
Gambar 1 Kondisi visual lahan saat genangan 2 cm, macak-macak dan retak rambut
b. Penelitian di Pot (Pot Trial) Penelitian selanjutnya dilakukan di rumah kasa Balai Irigasi di Bekasi ( Pot Trial) untuk merumuskan pola pemberian air yang optimal. Pada tahap ini rancangan percobaan yang akan digunakan yaitu Rancangan Acak Kelompok Lengkap 2 faktor dengan lima kali ulangan. Faktor pertama adalah cara budidaya sedangkan faktor kedua adalah cara pemberian air. Secara keseluruhan terdapat 75 pot/ember. Berdasarkan hasil pengamatan, pola pemberian air yang memberikan hasil optimal adalah pola pemberian air SRI Jabar (Tabel 1). Konsumsi air SRI Jabar (rata-rata 76,1 lt/pot) lebih hemat 22% dibandingkan dengan Konvensional (rata-rata 97,8 lt/pot), WP SRI Jabar yang didapatkan rata-rata adalah 0,9 kg/m3 dan konvensional 1,3 kg/m3. c. Penelitian di Petak Percobaan (Field Trial) Penelitian Field Trial dilakukan di petak sawah yang dikondisikan cukup ideal untuk dapat diamati dan diukur parameter air yang diberikan pada tanaman selama masa olah tanah, pertumbuhan sampai dengan panen. Percobaan ini dilakukan di Wilayah Pantura tepatnya di Desa Karang Sari, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi. Perlakuan main plot dalam percobaan ini adalah perlakuan budidaya dengan sub plot perlakuan air. Terdapat 12 petak pengamatan yang diulang sebanyak 3 kali (total 36 petak pengamatan dengan ukuran 9,6 m x 16,4 m). Berdasarkan hasil pengamatan pengaplikasian pola pemberian air, rata-rata pola SRI Jabar membutuhkan air sebanyak 413 mm/MT dengan penghematan sebesar 38% dari konsumsi air rata-rata pola konvensional sebesar 679 mm/MT. Tabel 2 Konsumsi air dan WP Field Trial Pengamatan MT II 2007 Juni-September
WP (kg/m3)
Konsumsi Air (mm) SRI
Konvensional
SRI
Konvensional
Penghematan SRI (%)
430
784
1,4
0,9
45
475
759
1,0
0,7
37
334
495
1,8
1,1
33
(Kemarau) MT I 2008 Desember 2007-April 2008 (Hujan) MT II 2008 Mei-Agustus (Kemarau) 1
Water Productivity (WP; dalam satuan kg/m3) angka yang menunjukkan gabah kering giling (kg) yang dihasilkan setiap 1 m3 air yang dikonsumsi -
2-
Rata-rata
413
679
1,4
0,9
38
d. Penelitian di Lahan Petani (On Farm) Penelitian On-Farm dilakukan untuk menguji dan mencari komponen spesifik lokal yang perlu dimodifikasi sehubungan dengan penerapan di lahan petani yang memiliki kondisi perkolasi, agroekologi dan sosial yang berbeda. Penelitian dilakukan di : (1) Kab. Padang Ganting, Sumbar (perkolasi rendah), (2) Kab. Tasikmalaya, Jabar (perkolasi sedang) dan (3) Kab. Bantul, Yogyakarta (perkolasi tinggi). Irigasi intermittent SRI dan teknik budidayanya memerlukan beberapa penyesuaian agar dapat optimal diterapkan di suatu lokasi tertentu sehingga SRI memiliki sifat spesifik lokasi. e. Pengamatan Emisi Gas Rumah Kaca Di lokasi penelitian Field Trial dan On Farm Tasikmalaya dilakukan pula pengamatan terhadap fluktuasi laju emisi gas metan (CH4) yang merupakan salah satu komponen gas rumah kaca di samping Karbondioksida (CO 2) dan Nitrous Oksida (NO2) yang mempunyai potensi penyebab pemanasan global (global warming). Kemampuan CH4 untuk meningkatkan suhu bumi sangat tinggi dengan potensi menyerap panas 30 kali lebih besar daripada gas CO2. Lahan sawah memberikan kontribusi ±10% terhadap gas metan ke atmosfir (Prather et al, 2001). Di Asia fluktuasi laju emisi gas metan untuk produksi padi berkisar antara 0-40 mg CH4-C m-2jam-2 (Shalini-Sing et al., 2007; Wasman et al., 2007; Corton et al., 2007). Sementara dari hasil penelitian di Field Trial untuk SRI berkisar antara 0,23-1,71 mg CH4-C m-2jam-2 dan Konvensional 0,05-5,65 mg CH4-C m-2jam-2. Untuk penelitian di Tasikmalaya, laju gas metan pada produksi padi dengan SRI 1,76-16,27 mg CH4-C m2 jam-2 dan Konvensional berkisar 4,64-23,10 mg CH4-C m-2jam-2. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan metode SRI yang memiliki pola irigasi intermitten, ternyata menghasilkan laju emisi gas metan yang masih di bawah rata-rata laju emisi gas metan dengan cara konvensional. Saat ini penelitian gas rumah kaca masih terus dilakukan. Khusus tahun 2009, akan dilakukan pengamatan pengaruh pemberian air di lahan terhadap emisi gas metan (CH4), gas karbon dioksida (CO2) dan gas Nitrous Oksida (NO2) sebagai gas-gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap pemasan global. Berdasarkan data perhitungan tersebut dapat diperkirakan dan disimulasikan emisi gas rumah kaca untuk tingkat DI di Mrican Kanan berdasarkan: 1. Luas Daerah irigasi mrican Kanan adalah 17.000 ha dengan luas lahan yang ditanami padi adalah 13.102 ha (asumsi bahwa luas lahan 13.102 ha tersebut menggunakan metode budidaya SRI). 2. Pemberian air pada lahan sawah di DI Mrican kanan sama, yaitu tiga hari mendapatkan air dan lima hari tidak mendapatkan air. 3. Rata-rata panen 6,5 t/ha (total panen untuk DI Mrican kanan Jombang adalah 85250,35 ton). 4. Rata-rata Indeks emisi GRK untuk cara tanam SRI 0,99 (dibulatkan menjadi 1). Maka emisi CO2 eq pada daerah irigasi Mrican Kanan di Jombang dapat diasumsikan 85250.35 ha x 1 t/ha adalah sebesar 85.250,35 ton. Apabila cara tanam yang digunakan adalah cara tanam konvensional maka dengan hasil panen yang diperoleh sebesar 5,6 ton/ha dan indeks emisi GRK konvensional adalah 1,47, sehingga dapat dihitung total emisi CO2 eq sebasar 107,855 ton. untuk itu, berdasarkan ilustrasi tersebut benar bahwa dengan caratanam SRI mampu menekan laju emisi CO 2eq gas rumah kaca sebesar 20,8 %. Sedangkan pada skala nasional, penerapan irigasi terputus dalam skala luas dapat menjadi tindakan mitigasi gas metan yang berarti, untuk memperkirakan jumlah emisi yang dikurangi, simulasi dilakukan dengan dengan asumsi-asumsi sebagai berikut:
-
3-
1. Luas daerah irigasi 7.469.796 Ha (Kepmen PU No.390/KPTS/M/2007) dengan IP ratarata 1,43 (disarikan dari Ditjen SDA, 2001) 2. Nilai koefisien dan skenario bersesuaian dengan simulasi yang dilakukan oleh Setyanto (2009) sebagai berikut:
Faktor emisi CH4 1,161 kg/Ha/hari dengan faktor koreksi untuk irigasi terputus 0,46 (Laporan Konsorsium Perubahan Iklim tahun 2008) Lama waktu budidaya (tanam hingga panen) adalah 88 hari bila menggunakan irigasi terputus dan 91 hari bila menggunakan irigasi tergenang. Nilai jual reduksi 1 ton CH4 dari lahan sawah = US$ 67,06 Penambahan luas lahan ideal agar ketahanan pangan terjaga: 50.000 Ha per tahun Proyeksi peningkatan luas lahan beririgasi terputus 2005-2009=3%, 20102015=5%, 2016-2020=10%, 2021-2025=20%, 2026-2035=30% (Laporan Konsorsium Perubahan Iklim tahun 2008)
1900 1850 1800 1750 1700 1650 1600 1550 1500 1450 1400
Baseline (Irigasi tergenang)
20 35
20 33
20 31
20 29
20 27
20 25
20 23
20 21
20 19
20 17
20 15
20 13
20 11
Mitigasi (Irigasi intermittent)
20 09
20 07
Emisi CH4 (Gg/tahun)
Hasil simulasi emisi gas metan dari seluruh daerah irigasi di Indonesia terdapat pada Gambar 2.
Tahun
Gambar 2 Hasil simulasi emisi gas metan Berdasarkan skenario tersebut, emisi gas metan di lahan padi sawah dapat ditekan hingga 2 - 17%. Dengan nilai jual reduksi 1 ton gas metan sebesar US$ 67,06 (Setyanto, 2009), nilai total reduksi gas metan tersebut setara US$ 2.344 atau rata-rata US$ 84 per tahun. f. Penerapan pola operasi irigasi SRI tingkat tersier Selama ini SRI masih diterapkan secara sporadis, belum ada SRI yang diterapkan dalam suatu sistem irigasi (minimal dalam satu tersier). Dengan demikian manfaat penghematan air tidak akan terasa. Pada suatu tersier bila hanya beberapa petani saja yang mengaplikasikan SRI, sisa air yang dihemat di lahan tidak dapat dimanfaatkan karena langsung dibuang ke saluran drainase. Lain halnya jika SRI diterapkan dalam suatu tersier, air yang diambil di pintu sadap lebih kecil sehingga air di saluran sekunder berlebih dan dapat digunakan untuk mengairi sawah di hilir saluran induk atau bila diperlukan dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Pengaplikasian SRI dalam suatu sistem irigasi memerlukan pola pengelolaan tertentu sehingga penghematan air, hasil produksi dan WP dapat optimal. Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan antara lain keserempakan jadwal tanam, penyediaan sarana dan prasarana pertanian dan operasi irigasi. -
4-
Balai Irigasi telah melakukan uji coba penerapan operasi irigasi SRI di tingkat Tersier. Penelitian di Petak Tersier CMA 5 ki, Daerah Irigasi Ciramajaya, Kabupaten Tasikmalaya. Sebagai konsep awal, pola operasional irigasi yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1)
Aplikasi irigasi di lahan secara intermittent Pemberian irigasi di lahan dilakukan mengacu pada metode pemberian air yang optimal berdasarkan hasil penelitian, yaitu pemberian air SRI Jabar seperti pada Tabel 1 (SRI Jabar).
2)
Pengambilan debit dari intake tersier secara kontinyu Pengambilan debit dilakukan secara kontinyu dengan jumlah lebih kecil dibandingkan dengan konvensional dan menyesuaikan dengan fase budidaya, yaitu fase pengolahan lahan 1,25 l/det, padi muda (vegetatif anakan) 0,43 l/det, padi dewasa (pembungaan dan pengisian bulir) 0,83 l/det dan padi tua (pematangan) 0,31 l/det.
3)
Rotasi dilakukan di boks tersier (rotasi petakan kuarter) bila diperlukan Rotasi dilakukan dengan membagi petak-petak kuarter berdasarkan kondisi eksisting jaringan irigasi dan pengambilan air tiap petak bila jumlah air terbatas. Interval waktu untuk pengolahan lahan adalah 10 harian. Untuk masa budidaya interval yang digunakan adalah 5 harian.
4)
Pemodelan operasi irigasi Selain dengan observasi di lapangan, disusun pula model matematis berdasarkan persamaan water balance menggunakan data debit, hujan serta kondisi kadar air tanah di beberapa petak kontrol. Dengan demikian dapat dievaluasi parameterparameter teknis yang mempengaruhi operasi irigasi seperti Kc (koefisien tanaman) untuk tanaman padi SRI dan besarnya kehilangan air di tingkat tersier yang dapat digunakan sebagai bahan penyempurnaan Kriteria Perencanaan (KP).
Kendala penerapan konsep awal pola irigasi pada MT II 2008 (Juli-November) adalah tidak tercapainya luasan lahan yang dapat digunakan sebagai objek penelitian sekalipun dalam kegiatan sosialisasi SRI dan penyiapan lahan sudah disepakati bersama jumlah luasan yang akan dijadikan objek penelitian. Oleh sebab itu, analisis dilakukan juga menggunakan pemodelan neraca air. Model neraca air menggambarkan interaksi inflowoutflow irigasi intermittent SRI. Berdasarkan hasil penelitian pada MT I 2009 (Desember 2008-April 2009), kejadian hujan berturut-turut dapat menyebabkan tanah tidak cukup lama berada dalam keadaan kering. Hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman yang kurang baik karena pada kondisi basah (anaerob) akar tidak dapat tumbuh optimal dan mikroorganisme di dalam tanah tidak dapat berkembang. Oleh karena itu, agar tanah berada dalam kondisi kering cukup lama pada musim hujan sebaiknya outlet drainase dipasang serendah mungkin dan interval irigasi di lokasi penelitian diperpanjang hingga 10 hari pada masa vegetatif dan 16 hari pada masa generatif. g. Pola operasi irigasi SRI pada skala daerah irigasi terkait alokasi air Pengaplikasian irigasi hemat air pada skala tersier dapat meningkatkan indeks pertanaman (IP) dan produktifitas air (Water Productivity), bila SRI diterapkan dalam skala yang lebih luas pada daerah irigasi akan terjadi akumulasi penghematan dan dapat berpengaruh positif terhadap pola operasi pada bangunan induk terkait dengan manajemen pengelolaan air. DI. Mrican Kanan dalam satu tahun rata-rata debit maksimum yang dialokasikan adalah 17.47 m3/dtk sedangkan debit minimum yang dialokasikan adalah 7.11 m 3/dtk. Alokasi debit maksimum terjadi pada bulan Januari dan terendah terjadi pada bulan Oktober.
-
5-
Gambar 3 Alokasi air di Bendung Mrican Kanan per sepuluh harian rata-rata series tahun 1999 s.d. 2009 untuk simulasi Berdasarkan hasil pengamatan pada MK I 2010 di Jombang didapatkan satuan kebutuhan air pada empat fase. Nilai tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan satuan kebutuhan air yang selama ini digunakan untuk perencanaan kebutuhan air irigasi dan alokasi air di DI. Mrican Kanan. Tabel 3 Satuan kebutuhan air irigasi MK I di Jombang
Dari simulasi didapatkan perbandingan antara kebutuhan air irigasi untuk seluruh areal 12.034 ha jika diterapkan SRI terhadap ketersediaan air Bendung Mrican Kanan. Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa hanya pada saat olah tanah yang tidak dapat dipenuhi, sedangkan pada fase awal tanaman cenderung berlebih. Demikian pula pada fase pemasakan juga cenderung berlebih. Pada fase pembungaan dan pengisian bulir masih dapat tercukupi kebutuhan airnya dan jika dibandingkan dengan kebutuhan air pada padi konvensional, maka dengan simulasi ini penghematan mencapai 46.29%.
Gambar 4 Simulasi kebutuhan air pada DI. Mrican Kanan dengan menerapkan SRI MK I
April-Agustus untuk areal 12.034 ha (Satuan kebutuhan air SRI Mrican) Berdasarkan hasil simulasi tersebut diperoleh hasil seperti pada Tabel 4. Alokasi air untuk sepuluh harian dengan menggunakan satuan kebutuhan air SRI lebih rendah jika dibandingkan dengan metode perhitungan kebutuhan eksisting di Mrican Kanan. Total -
6-
kebutuhan air yang harus dialokasikan selama satu musim tanam dengan metode SRI Jabar, SRI Jombang dan eksisting Mrican Kanan berturut-turut adalah 112.92, 133.68, dan 210.26 m3/det. Dengan menggunakan satuan kebutuhan air SRI Jabar dapat menghemat air sebesar 46.29%, sedangkan dengan SRI Jombang 36.42% jika dibandingkan dengan eksisting Mrican Kanan. Tabel 4 Alokasi air DI Mrican Kanan, total kebutuhan air serta efisiensi penghematan air Metode Perhitungan
Alokasi air rata-rata per 10 harian (m3/det)
Total kebutuhan air per MT (m3/det)
Efisiensi penghematan (%)
SRI Jawa Barat
9.40
112.92
46.29
SRI Jombang
11.14
133.68
36.42
Eksisting Mrican Kanan
17.52
210.26
B. PENELITIAN IRIGASI HEMAT AIR PADA TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI MENDUKUNG IP PADI 400 a. Pola pemberian air Pola pemberian air pada IP 400 ini secara konsep juga menerapkan irigasi intermitten. Namun penerapannya juga berkembang secara spesifik menyesuaikan dengan kondisi sawah terutama terkait dengan ketersediaan air irigasi. Operasi pemberian air pada waktu tanam di lahan bervariasi yaitu 2 – 25 harian. Hal ini disebabkan pengaruh kondisi topografi lahan yang terasering. Pengeringan dilakukan 3 – 10 harian tergantung dari kondisi cuaca. 3
0
2,5
2 4
1,5
6 1
8 0,5
10
0 -0,5
1
4
7
10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73
Hujan (mm)
Ketinggian air (cm)
2
12 14
-1
16
-1,5 Hari Irigasi
Hujan
Gambar 5 Pola irigasi dan besar hujan yang terjadi pada lahan IP Padi 400 IP Padi 400 membutuhkan pengairan yang tidak selamanya digenang. Genangan paling tinggi yaitu sekitar 6 cm pada fase awal. Pada saat anakan aktif hingga primorda, air diberikan secara terputus antara 30 – 50 HST. Pada 51 – 75 HST lahan dibiarkan macakmacak. Bila terdapat irigasi dan hujan, petani mengatur air dengan membuat saluran cacing pada lahannya agar air tidak tergenang pada lahan sawahnya. Ketinggian air sampai dengan 65 cm dibawah permukaan tanah. Petani di Sumedang selalu memberi air pada lahan sawahnya secara terputus dan untuk menanggulangi hama, sawah selalu -
7-
dibiarkan macak-macak. Pada fase pematangan, sawah dikeringkan. Pemberian air irigasi ke lahan dan hujan dapat dilihat pada Gambar 5. b. Analisis neraca air Berdasarkan analisis neraca air total, selisih antara inflow dan outflow mencapai 488 mm atau sebesar 23% dari total inflow. Hal ini disebabkan karena tidak ada pengukuran drainase dimalam hari atau setelah hujan dan kondisi lahan yang terasering. Tabel 5 Hasil analisis neraca air
Komponen
Besaran (mm) 549 818 495 548 173 2157 1669 488
Hujan Irigasi Drainase ETc Perkolasi Inflow Outflow Selisih
Hujan pada musim tanam pertama cukup besar, yang seharusnya pada musim ini adalah musim kemarau, tetapi jumlah hujan selama musim ini mencapai 549 mm. Selisih yang didapat merupakan drainase atau kehilangan air yang tidak terukur. Kondisi lahan di lokasi penelitian adalah lahan terasering, dengan topografi yang curam, sehingga air langsung mengalir ke petak yang berada disebelah hilir dan terbuang bila terjadi hujan besar. c. Penghematan air dan Water Productivity (WP) Irigasi yang masuk ke lahan adalah sebesar 720 mm per 1 Musim tanam. Bila dibandingkan dengan konsumsi air metode budidaya padi secara konvensional (hasil penelitian di Ciramajaya pada musim tanam ke 2 tahun 2008) dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Konsumsi air dan produktivitas budidaya padi selama 1 musim tanam Metode Budidaya IP Padi 400 Konvensional
Konsumsi air
Produktivitas
(mm)
(Ton/Ha GKP)
720 853
7,55 5
Pemberian air dengan menggunakan metode IP Padi 400 mempunyai penghematan sebesar 15,59% dibandingkan dengan konvensional.
Water Productivity atau Produktifitas air merupakan berat gabah kering giling (ton GKG)
yang dihasilkan dari 1 m3 air. Berat gabah kering giling yang dihasilkan adalah 6,54 T/ha. Konsumsi air dihitung berdasarkan hasil pengamatan Irigasi, hujan dan drainase, serta kehilangan air yang terjadi hasil perhitungan dari neraca keseimbangan air (720 mm). Nilai WP yang didapat adalah 0.91 kg/m 3 air dan nilai WP untuk konvensional adalah sebesar 0.59 kg/m3 air. C. Pengembangan Irigasi Hemat Air pada Budidaya Padi IPAT-BO Pada IPAT-BO, pengaturan air dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan tanaman, untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan perakaran padi serta meningkatkan populasi dan keanekaragaman hayati (kekuatan biologis tanah). Berdasarkan hasil pengamatan budidaya IPAT-BO yang dilakukan oleh Universitas Pajajaran di Ciparay Jawa Barat pola pemberian airnya adalah sebagai berikut: -
8-
Pada fase vegetatif awal mempertahankan tanah agar tetap lembab. Pada umur 1-8 HST, keadaan tanah lembab supaya tata udara tanah baik, kemudian menjelang penyiangan pertama (9-10 HST) digenang 2-3 cm untuk memudahkan penyiangan. Pemberian air dilakukan setelah tanah retak-retak sekitar 1-2 cm dan dilakukan penggenangan sekitar 1-2 jam. Pada umur 19-20 HST lahan digenangi, ini untuk memudahkan penyiangan II. Pengaturan pemberian dilakukan untuk mempertahankan tanah tetap lembab. hal tersebut untuk merangsang pertumbuhan akar, kemudian tanah dibiarkan sampai retak, akan tetapi tanaman tetap segar. Selanjutnya kondisi aerob dipertahankan hingga padi masak susu dengan mengatur atau mengendalikan sistem pemberian air (sekitar 25 hari menjelang panen). Dari fase pemasakan hingga panen pemberian air dihentikan dan dibiarkan sampai panen. Sedangkan di lokasi demplot IPAT-BO berada di Desa Kuta Makmur, Kecamatan Tirtajaya, Kabupaten Karawang. Luas total demplot IPAT-BO adalah 4 ha yang terpisah menjadi 2 hamparan masing-masing 2 ha. Metode IPAT-BO yang digunakan adalah IPATBO organik murni yaitu dengan menggunakan kompos 4 ton/ha, pupuk kandang 1,2 ton/ha dan untuk pengendalian hama menggunakan pestisida nabati. Varietas padi yang ditanam adalah ciherang. Umur bibit yang dipakai yakni 1 minggu, tanam tunggal dengan jarak tanam 30 cm x 35 cm. Pola pemberian air pada budidaya padi dengan Metode IPAT-BO menggunakan pola intermittent seperti yang diterapkan pada metode budidaya SRI. Interval waktu pemberian air dijadwalkan tiap 10 hari. Lokasi demplot termasuk ke dalam daerah irigasi Waduk Jatiluhur yang mendapatkan suplai air melalui saluran induk Walahar.
-
9-
EXECUTIVE SUMMARY PENGEMBANGAN TEKNOLOGI IRIGASI HEMAT AIR PADA BERBAGAI INOVASI BUDIDAYA PADI
Disusun oleh: Tim Balai Irigasi
Desember 2010
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR
BALAI IRIGASI
Jl. Cut Meutia 147 Bekasi 17113 telp. 021-880.1365; Fax.021-880.1345 -
10 -
KATA PENGANTAR Executive Summary ini merupakan rangkuman dari kegiatan Pengembangan Teknologi Irigasi Hemat Air dengan Berbagai Inovasi Teknologi Budidaya Padi yang dilaksanakan oleh Balai Irigasi Pusat Litbang Sumber Daya Air, Badan Litbang Departemen Pekerjaan Umum yang dibiayai oleh APBN tahun 2010. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memvalidasi pemodelan neraca air (Water Balance) pola operasi irigasi pada budidaya padi metode SRI tingkat tersier yang sudah teruji pada skala DI, mengetahui nilai efisiensi penghematan irigasi pada budidaya padi metode SRI pada skala luas, serta mengembangkan teknologi irigasi hemat air yang ramah lingkungan dengan berbagai inovasi teknologi budidaya padi (IP 400). Sasaran output dari kegiatan tahun 2010 ini adalah rekomendasi teknis pola pengelolaan irigasi hemat air pada budidaya padi dengan metode SRI di tingkat tersier, rekomendasi (draft pedoman teknis) pemodelan pola operasi irigasi SRI di tingkat DI, serta rekomendasi teknis pola operasi irigasi hemat air pada berbagai inovasi budidaya padi. Masukan, saran dan kritik sangat kami harapkan untuk menyempurnakan pelaksanaan kegiatan ini.
Bandung, Desember 2010 Kepala Pusat Litbang SDA
Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto, M.Sc NIP. : 19580125.198603.1.001
-
11 -