EXCUTIVE SUMMARY LAPORAN PENELITIAN PENYELENGGARAAN PEN DIDIKAN AGAMA DALAM KELUARAGA (PENDIDIKAN AGAMA PADA KELUARGA) A. Latar Belakang Masalah 1. Dari Abi Hurairah ra. mengkhabarkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda “Tidak ada seorang anak Bani Adam, kecuali dilahirkan di atas fithrahnya, (jika demikian) maka ke dua orang tuanya itulah yang mengyahudikan, atau mennasranikan atau memmajusikannya, . . . . (Muttafaqun ‘alaih). 2. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas , Pasal 1 ayat (13) Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan, dan pada Pasal 27 ayat (1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. 3. Ki Hadjar Dewantara, keluarga adalah tempat paling baik untuk melakukan pendidikan (individu dan sosial), sebab keluarga itulah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan ujudnya dari pusat pendidikan lainnya untuk melangsungkan pendidikan ke arah kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak-individual). 4.
Ary Gunawan, pendidikan informal pada keluarga banyak membantu untuk meletakkan dasar-dasar pembentukan keperibadian anak, misalnya; sikap religius, disiplin, hemat dan sebagainya dapat tumbuh, bersemi dan berkembang senada dan seirama dengan kebiasaannya di rumah.
5. Penelitian Fachrudin tentang “Peran Pendidikan Agama dalam Keluarga terhadap Pembentukan Kepribadian Anak”, dalam Jurnal UPI 2012, antara lain; menyimpulkan bahwa kebiasaan/perilaku anak dipengaruhi oleh kesibukan orang tua sehari-hari. Bagi kedua orang tua yang bekerja dari 100 responden diperoleh bahwa moral kepribadian anak cenderung “sedang” mendekati “buruk”. Sedangkan orang tua yang yang ibunya tidak bekerja cenderung memiliki moral kepribadian “baik” dan mendekati “sangat baik” B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana harapan orangtua dalam pendidikan agama pada keluarga ? 2. Bagaimana fasilitas/sarana pendidikan agama pada keluarga ? 3. Bagaimana peran orangtua dalam pendidikan agama pada keluarga ? 4. Bagaimana strategi orangtua dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama pada keluarga ? C. Tujuan dan Manfaat Untuk mengungkapkan secara empirik, sebagai berikut: 1. Harapan orangtua dalam pendidikan agama pada keluarga 2. Fasilitas/sarana pendidikan agama pada keluarga 3. Peran orangtua dalam pendidikan agama pada keluarga
4. Strategi orangtua dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama pada keluarga Dari hasil penelitian ini, secara praktis dapat memberikan data akurat dan aktual kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam menyusun dan menetapkan kebijakan pembinaan Pendidikan Agama Islam pada keluarga. Secara akademis, dapat memparkaya litaratur pemdidikan agama Islam pada keluarga. D. Metodologi Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif (analisis deskriptif kuantitatif) dengan teknik sampling Purposive Cluster Sampling. Penelitian ini dilaksanakan di 5 provinsi pada 16 kab/kota, yaitu: (1) Banten: Kota Serang, Kota Tangerang, Kota Tangsel, dan Kab. Tangerang, (2) Jawa Barat: Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kab. Bekasi, Kab. Bogor dan Kab. Depok. (3) Jawa Tengah: Kota Semarang dan Kota Surakarta, (4) D I Yogyakarta: Kota Yogyakarta, dan (5) Jawa Timur: Kota Surabaya dan Kota Malang. Masing-masing kab/kota ditetapkan sebanyak 60 responden, sehingga total responden 960 orang Responden penelitian adalah keluarga muslim yang memiliki anak maksimal berusia 16 tahun dan tinggal (mukim) di komplek perumahan dengan cluster: Kompleks perumahan “mewah” (tingkat atas) 20 responden. Kompleks perumahan tingkat “sedang” 20 responden dan Kompleks perumahan tingkat bawah” 20 responden. Sedangkan teknik pengumpulan data dilaksanakan melalui pengisian kuesioner. E. Temuan dan Pembahasan 1. Kepala keluarga (orang tua) sebagai responden penelitian ini, sebagian besar masih berusia produktif dengan jenjang pendidikan sebagian berpendidikan menengah dan tinggi. Namun, sebagian besar dari lembaga pendidikan umum (sekolah umum) dan berada pada kelas ekonomi menengah ke bawah. Selain itu, lebih sebagian keluarga memperoleh ilmu pengetahuan agama Islam melalui pengajian secara langsung di majelis ta’lim dan siaran televisi. 2. Umumnya sarana dan fasilitas untuk menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam pada keluarga belum terpenuhi secara memadai. Hal ini, langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kepala keluarga dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam pada keluarga. 3. Gambaran responden dan sarana/fasilitas tersebut, sedikit-banyaknya cenderung berpengaruh secara negatif terhadap tingkat efektifitas dalam memainkan peran dan strategis untuk menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam pada keluarga. 4. Umumnya kepala keluarga (orang tua), baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berperan dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam pada keluarga. Namun demikian, peran kepala keluarga
tersebut tingkat efektifitasnya masih sangat bervariasi, di antaranya hanya sebagian kecil dapat berperan “sangat efektif” dan sebagian besar hanya berperan “efektif” dan bahkan hampir sebagian berperan “tidak efektif”. Terutama dalam hal “ibadah shalat dan keimanan” kepala keluarga sebagian besar berperan “kurang efektif”. Tapi, dalam hal “muamalah” hampir sebagian dapat berperan “ sangat efektif”. Kondisi demikain ini, diduga disebabkan oleh adanya sebagian besar kepala keluarga berasal dari lembaga pendidikan umum (sekolah umum), sehingga kurang mengetahui, memahami dan menguasai secara mendalam bagaimana mendidik, membimbing dan membina anak melalui internalisasi nilai-nilai pendidikan agama Islam. 5. Begitupun, sebagian besar kepala keluarga (orang tua) kurang mengetahui, memahami dan menguasai secara mendalam bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama I slam melalui strategi pembiasaan dan peneladanan (mencontohkan) kepada anak-anaknya. Karena itu, juga hanya sebagian kecil kepala keluarga yang mencapai katogori “sangat efektif” dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam melalui strategi pembiasaan dan peneladanan. Juga, terutama dalam hal yang berkaitan dengan masalah “ibadah shalat dan keimanan”. Tapi, dalam hal yang berkaitan dengan “muamalah” ternayata hampir sebagian kepala keluarga “sangat efektif” menginternalisiasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam melalui strategi pembiasaan dan peneladanan. 6. Pemikiran yang berkembang dalam seminar hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut: a. Hambatan paling mendasar yang selama ini dihadapi kepala keluarga (orang tua) dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam pada keluarga, antara lain, adalah pendidikan pada keluarga, masyarakat dan sekolah belum senada dan seirama dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama, khususnya pendidikan agama Islam. Misalnya, orang tua (ibu) mengantar anaknya ke TPA/TPQ, anaknya berjilbab, tapi ibunya tidak berjilbab, bahkan memakai celana ketat yang menyebabkan “penampakan”. Selain itu, gencarnya siaran televisi yang cenderung “tidak mendidik”. Siaran televisi lebih mengutamakan “tontonan komersial”, jika dibanding menyuguhkan “tuntunan” yang mendidik, antara lain: anak sering melihat orang dewasa di televisi makan dan/atau minum dengan “tangan kiri”, perempuan beragama Islam, tapi berpakaian tidak islami, misalnya, pakaiannya transparan, tidak menutup aurat dan sebagainya. b. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas: Pasal 26 ayat (4) menyebutkan, bahwa Majelis Ta’lim sebagai satuan pendidikan nonformal. Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (5) tentang pendidikan keluarga. Hal ini menunjukkan, bahwa sebenarnya “Majelis Ta’lim” dan “Pendidikan Keluarga” berada di bawah Ditjen Pendidikan Islam yang tugas dan fungsinya “menangani pendidikan Islam”, bukan di Ditjen Bimas Islam. Mengingat, kehadiran majelis
ta’lim di tengah-tengah masyarakat dari perkotaan sampai ke pelosok pedesaan merupakan potensi yang “sangat besar” untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya umat Islam, yaitu merupakan pendidikan sepanjang hayat (life long education). Karena itu, untuk lebih mengefektifkan majelis ta’lim sebagai satuan pendidikan nonformal. Demikian pula, pendidikan keluarga, sebagai pendidik pertama dan utama sangat penting dan strategi untuk menginternalisasikan nilainilai pendidikan agama Islam sedini mungkin (golden age) dalam rangka memperkuat pondasi pembangunan watak (character building). F. Rekomendasi 1. Sebaiknya pemerintah, khususnya Kementerian Agama Ditjen Bimas Islam senantiasa menyediakan fasilitas dan sarana yang memadai serta motivasi yang kuat untuk mendukung pelaksanaan program Majelis Ta’lim pada berbagai lapisan masyarakat. 2. Diharapkan kepada Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama dalam melakukan pembinaan majelis ta’lim, agar mengacu kepada Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007, Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yang diperkuat dengan mengangkat “kearifan lokal” masing-masing daerah. 3. Diharapkan Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama untuk segera memprogramkan secara kongkrit “satu keluarga (rumah tangga) satu alQur’an”, terutama al-Qur’an dan Terjemahnya. 4. Untuk lebih meningkatkan “peran pendidikan agama Islam pada keluarga”, diharapkan kepada Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama memperkuat pertahanan keluarga dengan mendesain secara proporsional, profesional dan rasional “kursus pra nikah” yang terstruktur dan terprogram dengan baik, khususnya berkaitan dengan: materi, metodologi (pendekatan, teknik dan strategi) dan silabusnya. 5. Diharapkan kepada Ditjen Bimas Islam untuk lebih meningkatkan pembinaannya, baik secara kuantitas maupun kualitas kepada para ustadz/ah, mubaligh/ah dan para Penyuluh Agama Islam sebagai ujung tombak di lapangan. 6. Diharapkan kepada Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan dan Kementerian Agama serta pihak-pihak terkait untuk segera merumuskan model-model pendidikan agama yang senada dan seirama, sehingga saling mendukung dan saling menyempurnakan antara pendidikan pada keluarga, masyarakat dan pendidikan pada sekolah. Jika, tiga pusat pendidikan ini tidak saling mendukung dan menyempurnakan dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam, maka diyakini bahwa sikap dan perilaku akhlaqul karimah dalam berbagai aspek kehidupan sulit terwujud sebagaimana yang diharapkan. 7. Sebaiknya Ditjen Pendidikan Islam duduk bersama dengan Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam untuk membahas dan memetakan kembali “majelis ta’lim” dan “pendidikan keluarga”, sehingga satuan pendidikan nonformal dan jalur pendidikan informal ini dapat lebih efektif dan efisien
pembinaanya dan pada gilirannya dapat melahirkan insan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt. 8. Untuk lebih memberdayakan keluarga dalam pendidikan agama Islam, maka diharapkan Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam menyusun atau membuat “buku saku” yang isinya tentang pedoman praktis keluarga dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam melalui “pembiasaan dan peneladanan” kepada anak, baik berkaitan dengan ibadah, keimanan maupun muamalah. 9. Diharapkan kepada para ustadz/ah, mubaligh/ah dan para Penyuluh Agama Islam untuk lebih menekankan kepada setiap orang tua (rumah tangga/kepala keluarga), agar lebih meningkatkan: a.
Perannya dalam mendidik, membina dan membimbing anaknya dengan memperdalam pengetahuan, wawasan dan penguasaan terhadap masalah yang berkaitan dengan ibadah, keimanan, aqidah akhlaq dan muamalah.
b. Pengetahuan, pemahaman dan penguasaan metode, teknik dan strategi pembiasaan dan peneladanan (mencontohkan) kepada anak dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam pada keluarga.
Jakarta, 10 Desember 2015 Koordinator Penelitian,
Abd. Muin M