EVALUASI PROGRAM KESETARAAN PAKET C PADA PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT (PKBM) NEGERI 17 PENJARINGAN, JAKARTA UTARA
DINA RETTHA I34051602
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
EVALUASI PAKET C PADA PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT (PKBM) NEGERI 17 PENJARINGAN, JAKARTA UTARA
Oleh : DINA RETTHA I34051602
SKRIPSI Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor 2011
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa
:
Dina Rettha
NRP
:
I34051602
Judul
:
Evaluasi Program Kesetaraan Paket C pada Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Negeri 17 Penjaringan, Jakarta Utara
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS NIP.19630904 199002 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus:________________
ii
ABSTRACT DINA RETTHA. Evaluation of “Paket C” in Community Learning Center 17 Penjaringan, North Jakarta. (Supervised by SARWITITI SARWOPRASODJO). The purpose of this research was to evaluate the program Paket C at PKBM Negeri 17. Based on the results of research to the 30 residents studied at third grade, obtained results that the quality of the teachers significantly affect the level of attendance. While the factors related with the activity are the level of motivation, level of family support, and quality of teachers. The results of this study also showed that the level of knowledge did not affect significantly to the level of attendance and level of activity, whereas attitudes towards sustainability education has significant effect with the level of activity which means that more active the citizens studying in the following learning activities will be the attitude toward the sustainability of the higher education.
Keywords: evaluation, Paket C, attitude
RINGKASAN
DINA RETTHA. Evaluasi Program Kesetaraan Paket C pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Negeri 17 Penjaringan, Jakarta Utara. (Dibawah bimbingan SARWITITI SARWOPRASODJO). Tugas pemerintah dalam bidang pendidikan adalah memberikan pelayanan pendidikan yang baik dan merata kepada masyarakat terutama pada masyarakat umur 16 tahun ke atas yang berdasarkan data BPS, angka persentase partisipasi sekolahnya berada di bawah 60 persen. Oleh karena itu, pemerintah mengadakan program Paket C yang diselenggarakan untuk memberikan jawaban atas terjadinya masalah dalam pendidikan tersebut. Pelayanan Paket C diprioritaskan kepada usia 16 sampai 44 tahun bagi masyarakat yang terkendala, baik itu secara ekonomi, geografi dan hukum. Kegiatan pendidikan yang diadakan pada Paket C adalah 80 persen pelajaran yang juga diajarkan di sekolah formal. Tujuan program Paket C setara SMA selain untuk meratakan pendidikan, juga untuk mendapatkan peluang melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi program Paket C berdasarkan input, proses dan outputnya. Input yang terdapat pada penelitian ini adalah faktor individu, faktor lingkungan, dan faktor sarana. Faktor individu adalah usia, jenis kelamin, sosial ekonomi, dan motivasi warga belajar. Faktor lingkungan adalah dukungan keluarga, lingkungan pergaulan, dan lokasi pembelajaran. Sedangkan faktor sarana adalah kualitas pengajar. Penentuan lokasi dilakukan dengan sengaja, yaitu di Paket C PKBM Negeri 17, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. Penelitian dilaksanakan bulan Juni hingga pertengahan Juli 2011. Populasi yang ada sebanyak 75 orang dan
sampel diambil secara accidental berdasarkan kemudahan mewawancarai sebanyak 30 orang.Uji analisis menggunakan analisis Pearson untuk melihat hubungan antara faktor-faktor input, proses, dan output. Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor input yang berhubungan secara nyata dengan kehadiran adalah kualitas pengajar dengan nilai signifikansi sebesar 0,065. Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan keaktifan adalah motivasi dengan nilai hasil uji sebesar 0,015, dukungan keluarga dengan nilai hasil uji sebesar 0,025, dan kualitas pengajar dengan nilai signifikansi sebesar 0,025. Penelitian ini juga menghasilkan bahwa tingkat pengetahuan tidak memiliki hubungan nyata dengan tingkat kehadiran maupun tingkat keaktifan. Sikap memiliki hubungan nyata dengan keaktifan namun tidak berhubungan terhadap kehadiran.
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “EVALUASI PROGRAM KESETARAAN PAKET C PADA PROGRAM PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT (PKBM) NEGERI 17 PENJARINGAN, JAKARTA UTARA” BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI
MANAPUN. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA
DAN
SAYA
BERSEDIA
MEMPERTANGGUNG
JAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor, Oktober 2011
Dina Rettha I34051602
iii
RIWAYAT HIDUP Dina Rettha atau biasa dipanggil Dina, lahir di Jakarta 25 Agustus 1987. Penulis merupakan anak satu-satunya dari pasangan Bapak Isidorus Binahar Panjaitan
dan
Ibu
Nurminah
Lusfianna
Simamora.
Penulis
memulai
pendidikannya di TK Ibunda Sayang Jakarta Timur, lalu melanjutkan pendidikan dasar ke SD St. Maria Immaculata Jakarta Timur, memperoleh pendidikan menengah di SMP Negeri 135 Jakarta Timur dan melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 53 di Jakarta Timur. Penulis memiliki hobi membaca dan menyanyi. Pada saat Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas, penulis aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler Paduan Suara dan mengikuti Organisasi Intra Sekolah (OSIS). Pada tahun 2005 setelah lulus dari SMA Negeri 53 Jakarta Timur, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Beberapa acara kepanitiaan yang pernah diikuti oleh penulis, yaitu Masa Perkenalan Departemen (MPD) tahun 2006, acara Genus (Gebyar Nusantara) tahun 2007 dan acara Communication Expo (Commnex) I pada tahun 2008. Penulis juga pernah ikut serta dalam kegiatan penulisan buku “Sumatera” yang dibuat oleh WWF (World Wild Foundation) sebagai bagian dari kegiatan KKP.
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama penulis ingin menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih setia, bimbingan serta rahmatNya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan cukup baik. Penulis telah memperoleh bantuan, dorongan, semangat dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Evaluasi Program Kesetaraan Paket C pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Negeri 17 Penjaringan, Jakarta Utara” dengan baik, karena tanpa bantuan dan dukungan dari dukungan mereka, mungkin penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan. Selanjutnya pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
DR. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS sebagai dosen pembimbing atas kesabarannya membimbing dan berdiskusi selama proses pengerjaan dan penyelesaian skripsi ini.
2.
Mama dan Papa. Terima kasih atas pengertian, motivasi, semangat, doa, materi yang tak henti-hentinya diberikan kepada anak satu-satunya ini. I really love you Mam, Pap. ‘gak akan ada yang bisa menggantikan kalian, Dina janji akan kasih yang terbaik setelah ini!
3.
Ir. Fredian Tonny, MS selaku dosen penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran sehingga penulis dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam skripsi ini.
v
4.
Ir. Yatri Indah Kusumastuti, MS selaku dosen penguji wakil departemen atas saran dan masukan yang diberikan agar penulisan skripsi ini sesuai dengan format dan ejaan yang baik.
5.
DR. Ir. Djuara P Lubis, MS atas segala doa, motivasi, saran serta peranannya sebagai teman berdiskusi yang mutakhir sehingga penulis dapat menggarap skripsi ini dengan baik. God Bless You, Sir.
6.
Martua Sihaloho SP, MSi atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis saat penulis menghadapi masalah-masalah birokrasi akademik.
7.
Keluarga besar Panjaitan dan Simamora. Opung, bapatua, inangtua, tulang, nantulang, tante, kakak, abang dan adek yang selalu memberikan semangat agar penulis segera menyelesaikan studinya.
8.
Ricky Alex. Terima kasih atas perhatian, dukungan, kasih sayang dan tenaga yang selalu diberikan kepada penulis selama beberapa tahun belakangan ini ☺. Maaf untuk semua waktu yang dipakai untuk menemani penulis menyelesaikan skripsi sehingga tidak bekerja. We make it, darl! yey!
9.
Lidya Elisabeth Alverin Marpaung dan keluarga. Terima kasih untuk motivasi dan perhatian yang diberikan kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.
10.
Seluruh pengelola, pengajar, dan warga belajar PKBM Negeri 17 Penjaringan, tempat penulis melakukan penelitian. Tanpa mereka skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan. Terima kasih untuk dukungan dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis.
vi
11.
Angga Tamimi, Dwito Indrawan, Fina Mariany, teman dekat yang selalu memberikan penulis semangat serta dukungan dan doa agar segera menyusul menjadi sarjana yang kompeten.
12.
Bagus Rudiono dan Issantia RS. Teman sebimbingan dan Junior KPM yang selalu memberikan semangat di kala penulis mulai mengalami kesulitan. Terima kasih untuk dukungan dan doanya. Semangat!
13.
Seluruh karyawan/karyawati KPM. Tanpa bantuan mereka, penulis tidak akan mampu menghadapi persoalan-persoalan birokrasi dan skripsi inipun tidak akan terselesaikan dengan baik. Terima kasih banyak.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat
dan tuntunanNya, sehingga skripsi dengan judul “Evaluasi Program Kesetaraan Paket C pada Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Negeri 17 Penjaringan, Jakarta Utara” ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran pada Paket C, menganalisis bagaimana ouput atau keluaran dari peserta Paket C serta untuk mengetahui keberhasilan yang telah diraih oleh Paket C terutama yang berada di PKBM Negeri 17 Penjaringan, Jakarta Utara. Semoga penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pembacanya.
Bogor, Oktober 2011
Dina Rettha
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................. DAFTAR TABEL ......................................................................................... DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................ 1.3 Tujuan dan Kegunaan ......................................................... 1.3.1 Tujuan Penulisan ....................................................... 1.3.2 Kegunaan Penulisan................................................. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) ..................... 2.1.1 Definisi dan jenis program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ................................................... 2.1.2 Tujuan dan Tugas-Tugas PKBM............................... 2.1.3 Fungsi PKBM ............................................................ 2.1.4 Prinsip Pengembangan Program PKBM .................. 2.2 Evaluasi Program ................................................................ 2.3 Komponen, dan Proses Program yang Dievaluasi dalam Pendidikan Luar Sekolah ..................................................... 2.4 Penelitian Terdahulu Tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Program Pendidikan ............. 2.5 Kerangka Pemikiran ............................................................ 2.6 Hipotesis Penelitian ............................................................. 2.7 Definisi Operasional ............................................................
ix
ix xiii xv
1 6 7 7 7
8 8 9 10 12 18 23 25 27 31 32
BAB III
BAB IV
BAB V
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ............................................................... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................. 3.3 Metode Penentuan Responden ............................................ 3.4 Instrumen Penelitian ........................................................... 3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ................................
36 37 38 38 39
GAMBARAN UMUM PKBM NEGERI 17 PENJARINGAN 4.1 Sejarah dan Organisasi PKBM Negeri 17 .......................... 4.1.1 Struktur Organisasi PKBM Negeri 17 ...................... 4.1.2 Visi dan Misi PKBM Negeri 17 ................................ 4.2. Profil Wilayah dan Komunitas Penjaringan ...................... 4.2.1 Kependudukan ........................................................... 4.2.1.1 Jumlah Penduduk ....................................... 4.2.1.2 Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan........................................................ 4.3 Paket C ................................................................................ 4.3.1 Proses Pembelajaran .................................................. 4.3.2 Kurikulum ................................................................ 4.3.3 Sarana dan Prasarana ................................................. 4.3.4 Tutor ..........................................................................
46 47 47 49 50 52
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PAKET C DI PKBM NEGERI 17 5.1 Faktor Individu ................................................................... 5.1.1 Jenis Kelamin ............................................................ 5.1.2 Usia............................................................................ 5.1.3 Sosial Ekonomi ......................................................... 5.1.4 Motivasi ..................................................................... 5.2 Faktor Lingkungan.............................................................. 5.2.1 Dukungan Keluarga................................................... 5.2.2 Dukungan lingkungan pergaulan .............................. 5.2.3 Lokasi pembelajaran ................................................. 5.3 Faktor Sarana ...................................................................... 5.3.1 Kualitas Pengajar....................................................... 5.4 Proses .................................................................................. 5.4.1 Kehadiran ..................................................................
54 54 54 56 57 58 58 59 60 61 61 63 63
x
40 42 43 44 45 45
5.5
BAB VI
5.4.2 Keaktifan ................................................................... Output ................................................................................. 5.5.1 Pengetahuan .............................................................. 5.5.2 Sikap ..........................................................................
ANALISIS PROSES PEMBELAJARAN DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHI 6.1 Kehadiran dan Faktor yang Mempengaruhinya ................. 6.1.1 Hubungan antara Usia dengan Kehadiran ................. 6.1.2 Hubungan Antara Jenis kelamin dengan Kehadiran 6.1.3 Hubungan Antara Sosial Ekonomi dengan Kehadiran 6.1.4 Hubungan Antara Motivasi dengan Kehadiran ......... 6.1.5 Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Kehadiran .................................................................. 6.1.6 Hubungan Antara Lingkungan Pergaulan dengan Kehadiran ................................................................. 6.1.7 Hubungan Antara Lokasi Pembelajaran dengan Kehadiran .................................................................. 6.1.8 Hubungan Antara Kualitas Pengajar dengan Kehadiran ................................................................. 6.2 Keaktifan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya....... 6.2.1 Hubungan antara Usia dengan Keaktifan .................. 6.2.2 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Keaktifan .. 6.2.3 Hubungan antara Sosial Ekonomi dengan Keaktifan 6.2.4 Hubungan antara Motivasi dengan Keaktifan ........... 6.2.5 Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Keaktifan ................................................................... 6.2.6 Hubungan antara Dukungan Lingkungan Pergaulan dengan Keaktifan ..................................... 6.2.7 Hubungan antara Lokasi Pembelajaran dengan Keaktifan ................................................................... 6.2.8 Hubungan antara Kualitas Pengajar dengan Keaktifan
64 65 65 65
67 67 69 70 72 74 75 76 78 79 79 80 82 83 85 86 88 89
BAB VII OUTPUT PEMBELAJARAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 7.1 Hubungan Antara Tingkat Kehadiran dengan Sikap ........... 91
xi
7.2 7.3 7.4
Hubungan Antara Tingkat Kehadiran dengan Pengetahuan Akademik Warga belajar ..................................................... Hubungan Antara Tingkat Keaktifan dengan Pengetahuan Akademik Warga belajar ..................................................... Hubungan Antara Tingkat Keaktifan Dengan Sikap ...........
BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan .......................................................................... 8.2 Saran .................................................................................... LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA
xii
93 94 95
97 98
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10.
Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17.
Persentase Angka Partisipasi Sekolah Formal Berdasarkan Umur Tahun 2008-2010 .............................................................. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kelurahan Penjaringan Jakarta Utara, 2011 ................................ Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kelurahan Penjaringan Jakarta, 2011 ....................... Jumlah dan Persentase Tutor Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 ....... Persentase Usia dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011............................................................... Persentase Jenis Kelamin dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 .................................................. Persentase Tingkat Sosial Ekonomi dengan Tingkat Kehadiran Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 .... Persentase Motivasi dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011............................................................... Persentase Tingkat Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kehadiran Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 .... Persentase Tingkat Dukungan Lingkungan Pergaulan dengan Tingkat Kehadiran pada PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 ................................................................................. Persentase Hubungan Lokasi Pembelajaran dengan Tingkat Kehadiran pada PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 ........................ Persentase Kualitas Pengajar dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 .................................................. Persentase Usia dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011............................................................... Persentase Jenis Kelamin dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 .............................................. Persentase Sosial Ekonomi dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 ...................... Persentase Motivasi dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011.................................. Persentase Dukungan Keluarga dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011..................................
xiii
1 45 46 52 68 69 71 72 74
75 77 78 80 81 82 84 85
Tabel 18. Persentase Tingkat Dukungan Lingkungan Pergaulan dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 ............................................................................... Tabel 19. Persentase Jarak Lokasi Pembelajaran dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 ..... Tabel 20. Persentase Kualitas Pengajar dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 ...................... Tabel 21. Persentase Tingkat Kehadiran dengan Sikap Terhadap Keberlanjutan Pendidikan di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 ... Tabel 22. Persentase Tingkat Kehadiran dengan Tingkat Pengetahuan Akademik di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 ............................ Tabel 23. Persentase Tingkat Keaktifan dengan Pengetahuan Akademik Warga Belajar pada PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 ................................................................................. Tabel 24. Persentase Tingkat Keaktifan dengan Sikap Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 ..............................................
xiv
87 88 89 92 93
94 95
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Pemikiran Evaluasi Pendidikan Program Kesetaraan Paket C................................................................... Gambar 2. Struktur Organisasi PKBM Negeri 17 ....................................... Gambar 3 Situasi kelas yang digunakan warga belajar Paket C .................
xv
30 42 51
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pada
dasarnya
pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Pendidikan sebagai sarana strategis pembangunan nasional memiliki peranan yang amat penting bagi pembangunan karena melalui pendidikanlah dapat dilakukan usaha dan proses peningkatan sumber daya manusia, agar diperoleh manusia yang berkualitas tinggi sehingga mampu berperan aktif sebagai subjek pembangunan terutama dalam menyambut era globalisasi yang akan datang. Dengan kata lain, pendidikan adalah suatu proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Namun berkaitan dengan hal tersebut, kondisi pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat memprihatinkan. Menurut data pada Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, Indonesia menunjukkan angka partisipasi pendidikan formal yang masih tergolong rendah, seperti yang dituang dalam Tabel 1 berikut: Tabel 1. Persentase Angka Partisipasi Sekolah Formal Berdasarkan Umur Tahun 2008-2010 Indikator Partisipasi Pendidikan Formal
2008
2009
Angka Partisipasi Sekolah (APS) 7-12 th
97,83
97,95
97,96
Angka Partisipasi Sekolah (APS) 13-15 th
84,41
85,43
86,11
Angka Partisipasi Sekolah (APS) 16-18 th
54,70
55,05
55,83
Angka Partisipasi Sekolah (APS) 19-24 th
12,43
12,66
13,67
Sumber: www.bps.go.id (2011)
2010
2
Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa persentase partisipasi anak usia 16-24 tahun jauh berbeda dengan persentase partisipasi sekolah pada usia 7-15 tahun. Hal ini kemungkinan dikarenakan program gratis sekolah dasar sembilan tahun hanya mencakup pendidikan dasar dan menengah pertama, sedangkan untuk sekolah menengah ke atas dikenakan biaya yang cukup mahal. Tabel 1 di atas, menunjukkan persentase untuk usia sekolah menengah ke atas belum menyentuh 60 persen dari keseluruhan rakyat Indonesia. Rendahnya persentase angka partisipasi sekolah formal, terutama bagi sekolah menengah ke atas, menunjukkan bahwa masih banyak warga negara yang belum dapat mengikuti pendidikan dengan baik. Haryati (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kondisi ekonomi, sosial dan geografis menyebabkan perubahan perilaku dan pola pikir masyarakat yang berdampak pada bertambahnya jumlah anak putus sekolah. Oleh karena itu, pemerintah menawarkan sebuah alternatif program untuk menangani masalah pendidikan tersebut. Program yang dimaksud adalah program Pendidikan Luar Sekolah atau Pendidikan Non-formal. Berdasarkan UndangUndang No. 20 Tahun 2003, Pendidikan Luar Sekolah (PLS) merupakan salah satu jalur penyelenggaraan pendidikan nasional di samping pendidikan sekolah. Pendidikan Luar Sekolah (PLS) merupakan program yang diadakan untuk membina kegiatan pendidikan masyarakat di luar pendidikan formal. pendidikan jenis ini merupakan pendidikan yang dirancang untuk membelajarkan masyarakat agar mempunyai jenis keterampilan dan pengetahuan yang dilaksanakan di luar jalur pendidikan formal. Beberapa jenis program pendidikan yang dilakukan oleh PLS saat ini adalah Pendidikan Kecakapan Hidup, Pendidikan Anak Usia Dini,
3
Kepemudaan,
Pemberdayaan
Perempuan,
Keaksaraan,
Keterampilan
dan
Pelatihan Kerja, Kesetaraan dan pendidikan sejenis lainnya yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (Tim FKIP, 2007). Salah satu upaya yang dilakukan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) dalam bentuk pendekatan terhadap masyarakat adalah dengan membentuk suatu wadah bernama Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). PKBM inilah yang menjadi salah satu institusi yang berperan sebagai wadah untuk berbagai kegiatan pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan budaya baik di pedesaan maupun di perkotaan yang dikelola oleh lembaga kemasyarakatan di daerah setempat. Sihombing (1999) menyatakan, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih dan dijadikan ajang pemberdayaan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa dengan membuat suatu wadah seperti PKBM, akan didapat potensi-potensi baru yang dapat ditumbuhkembangkan serta dimanfaatkan atau didayagunakan, melalui pendekatan-pendekatan kultural maupun persuasif. Depdiknas (2006) menuliskan sejumlah program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Program-program tersebut terdiri atas: (1) Keaksaraan Fungsional, (2) Program Paket A setara SD, (3) Program Paket B setara SMP, (4) Program Paket C setara SMA, (5) Kelompok Belajar Usaha, (6) Magang, (7) Pendidikan Kesetaraan Gender (8) Kursus dan Pelatihan Keterampilan, (9) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan program-program lain yang dibutuhkan oleh masyarakat.
4
Dari sekian banyak program yang ada, program kesetaraan merupakan salah satu program unggulan Pendidikan Luar Sekolah yang dicanangkan pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan dasar secara merata. Program kesetaraan ini dibagi atas 3 jenjang yaitu Kejar paket A yang setara dengan SD, Kejar Paket B yang setara dengan SMP, dan Kejar Paket C yang setara SMA. Dengan adanya Kejar Paket ini diharapkan orangtua lebih termotivasi untuk menyekolahkan anaknya serta menumbuhkembangkan niat belajar masyarakat. Anak-anak dan masyarakat yang mengikuti program ini akan diberikan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang setara dengan kurikulum pendidikan formal dan dipadukan dengan mata pancaharian sehingga diharapkan dapat memberikan output yang memiliki kualitas kesadaran pendidikan yang lebih baik sehingga dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi atau masuk ke dalam masyarakat dengan kualitas yang lebih baik sehingga mampu bersaing. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai Pendidikan Luar Sekolah (PLS) dan kaitannya dengan PKBM telah dilakukan. Mardiana (2005) meneliti PKBM Adipura di Kecamatan Manggala, Makassar mengatakan bahwa tujuan penelitiannya adalah untuk melihat sejauh mana keefektifan proses pembelajaran pada PKBM tersebut. Hasil penelitian Mardiana (2005) menunjukkan bahwa keefektifan proses pembelajaran di PKBM tersebut berada pada kategori sedang. Hal ini berarti bahwa keefektifan proses pembelajaran pada PKBM Adipura ini masih belum optimal. Fatimah (2008) yang mengambil tempat penelitian di PKBM Santika Kelurahan Bambu Apus Cipayung, Jakarta Timur mengatakan bahwa tujuan
5
umum penelitiannya adalah untuk mengkaji peranan PKBM dalam rangka pengembangan masyarakat. Hasil penelitian Fatimah (2008) menemukan bahwa secara umum, PKBM telah dapat menjalankan peranannya sebagai salah satu lembaga pendidikan nonformal yang mendorong pengembangan masyarakat. Namun masih terdapat beberapa hambatan yang dihadapi, seperti keterbatasan waktu pembelajaran, dan minimnya atensi warga belajar terhadap proses pembelajaran. Agung (2007) yang meneliti tentang hambatan birokratis dalam penyelenggaraan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menemukan bahwa sejauh ini para penyelenggara PKBM masih memperlihatkan besarnya campur tangan unsur birokratis pemerintah yang bersifat top down dalam setiap penyelenggaraan PKBM. Hal tersebut bertolak belakang dengan konsep dasar PKBM. Selain itu, penelitian ini juga menemukan banyak penyalahgunaan program ini. Banyak PKBM-PKBM yang dibuat fiktif dan hanya bertujuan untuk mendapatkan block grant atau dana bantuan dari pemerintah. PKBM fiktif ini hanya yang memiliki ”nama” namun tidak terdapat kegiatan pembelajaran. Setiap lembaga pendidikan memiliki sebuah sistem pendidikan yang membentuknya. Tak terkecuali dengan PKBM sebagai salah satu lembaga pendidikan yang bertujuan memperluas kesempatan warga masyarakat khususnya yang tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan bekerja mencari nafkah. Sejalan dengan pemahaman tersebut, terkait dengan pentingnya peranan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai jawaban atas permasalahan pendidikan masyarakat dan kaitannya dengan peran PKBM dalam pengembangan
6
masyarakat khususnya di daerah yang angka partisipasi sekolahnya masih rendah maka peneliti terinspirasi untuk melakukan sebuah penelitian evaluasi terhadap sistem yang membentuk PKBM untuk mengkaji sejauh mana keberhasilan yang mampu dicapai Pusat Kegiatan Belajar Mayarakat terutama di wilayah yang sarat akan kemiskinan. Penelitian ini mengambil tempat di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara. Berdasarkan data yang dimiliki peneliti, daerah ini merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin dan putus sekolah terbanyak di daerah Ibukota Jakarta. Penelitian ini mencoba mengkaji apakah program kesetaraan Paket C, dalam hal ini PKBM Negeri 17, yang ada sudah berjalan sesuai dengan fungsinya untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan terutama di daerah Penjaringan dan sekitarnya.
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan pemaparan teori dan fakta mengenai PKBM yang terdapat
pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah faktor-faktor mempengaruhi proses pembelajaran pada paket C ini? 2. Bagaimana output dari proses pembelajaran Paket C ini? 3. Apakah Paket C pada PKBM ini sudah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik sebagai penyelenggara pendidikan kesetaraan?
7
1.3
Tujuan dan Kegunaan
1.3.1
Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan penelitian ini, terkait dengan perumusan masalah di
atas adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran pada Paket C. 2. Menganalisis output program berdasarkan proses pembelajaran. 3. Mengetahui
keberhasilan
Paket
C
berdasarkan
tugasnya
sebagai
penyelenggara pendidikan kesetaraan.
1.3.2 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah: 1. Bagi penyelenggara PKBM, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu masukan untuk memperbaiki kualitas pengajar, syarat dalam perekruitan pengajar, serta memperbaiki peraturan yang telah ada, agar dapat memperbaiki mutu dan kualitas Paket C. 2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber literatur dalam kajian evaluatif terhadap Paket C dan PKBM.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
2.1.1
Definisi dan Jenis Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Menurut Sihombing dan Gutama (2000) Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM) merupakan suatu wadah dimana seluruh kegiatan belajar masyarakat dalam rangka peningkatan pengetahuan, keterampilan/keahlian, hobi, atau bakatnya yang dikelola dan diselenggarakan sendiri oleh masyarakat. PKBM adalah sebagai wahana untuk mempersiapkan warga masyarakat agar bisa lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk dalam hal meningkakan pendapatannya. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta masalah-masalah pendidikan masyarakat serta kebutuhan akan pendidikan masyarakat, definisi PKBM terus disempurnakan terutama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan lembaga, sasaran, kondisi daerah serta model pengelolaan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa PKBM adalah sebuah lembaga pendidikan yang dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat serta diselenggarakan di luar sistem pendidikan formal baik di perkotaan maupun di pedesaan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan belajar kepada seluruh lapisan masyarakat agar mereka mampu membangun dirinya secara mandiri sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Untuk itulah PKBM berperan sebagai tempat pembelajaran masyarakat terhadap berbagai pengetahuan atau keterampilan dengan memanfaatkan sarana, prasarana dan potensi yang ada di
9
sekitar lingkungannya (desa, kota), agar masyarakat memiliki keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup. Dibentuknya PKBM adalah sebagai pemicu dan bersifat sementara, masyarakat
sendirilah
yang
selanjutnya
memiliki
wewenang
untuk
mengembangkannya, karena itulah pendekatan dalam program PKBM ini disebut pendidikan berbasis masyarakat atau community-based education dengan harapan dapat dijadikan pijakan dan titik permulaan bagi semua komponen pembangunan untuk memberdayakan potensi-potensi yang ada di dalam masyarakat.
2.1.2
Tujuan dan Tugas-Tugas PKBM Terdapat
tiga
tujuan
penting
dalam
pengembangan
PKBM:
a)
memberdayakan masyarakat agar mampu mandiri (berdaya), b) meningkatkan kualitas hidup masyarakat baik dari segi sosial maupun ekonomi, c) meningkatkan kepekaan terhadap masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya sehingga mampu memecahkan permasalahan tersebut. Sihombing (1999) menyebutkan bahwa tujuan pelembagaan PKBM adalah untuk menggali, menumbuhkan, mengembangkan, dan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di masyarakat itu sendiri. Dalam arti memberdayakan seluruh potensi dan fasilitas pendidikan yang ada di desa sebagai upaya membelajarkan masyarakat yang diarahkan untuk mendukung pengentasan kemiskinan, dengan prinsip pengembangan dalam rangka mewujudkan demokrasi bidang pendidikan. Pada sisi lain tujuan PKBM adalah untuk lebih mendekatkan proses pelayanan pendidikan terutama proses pelayanan pembelajaran yang dipadukan dengan berbagai tuntutan, masalahmasalah yang terjadi di sekitar lingkungan masyarakat itu sendiri.
10
2.1.3 Fungsi PKBM Peran serta masyarakat dalam pendidikan luar sekolah dapat dilakukan melalui Pusat Kegiatan Masyarakat (PKBM). Melalui pendidikan yang dilakukan di PKBM, masyarakat diharapkan dapat memberdayakan dirinya. Sihombing (1999) menyebutkan secara tegas fungsi PKBM adalah: a) tempat pusaran berbagai berbagai potensi yang ada dan berkembang di masyarakat, b) sebagai sumber informasi yang andal bagi masyarakat membutuhkan keterampilan fungsional, c) sebagai tempat tukar-menukar berbagai pengetahuan dan keterampilan fungsional di antara warga masyarakat. Berdasar pada peran ideal PKBM teridentifikasi beberapa fungsi-fungsi tersebut merupakan karakteristik dasar yang harus menjadi acuan pengembangan kelembagaan PKBM sebagai wadah learning society. Karakteristik tersebut masih menurut Sihombing (1999) adalah sebagai berikut: 1) Tempat masyarakat belajar (learning society), PKBM merupakan tempat masyarakat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan bermacam ragam keterampilan fungsional sesuai dengan kebutuhannya, sehingga masyarakat berdaya dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. 2) Tempat tukar belajar (learning exchange), PKBM memiliki fungsi sebagai tempat terjadi pertukaran berbagai informasi (pengalaman), ilmu pengetahuan dan keterampilan antar warga belajar, sehingga antara warga belajar yang satu dengan yang lainnya bisa saling mengisi. Sehingga setiap warga belajar sangat dimungkinkan dapat berperan sebagai sumber belajar bagi warga belajar lainnya (masyarakat lainnya). 3) Pusat pengetahuan dan informasi atau perpustakaan masyarakat, sebagai perpustakaan masyarakat PKBM harus mampu berfungsi sebagai bank
11
informasi, artinya PKBM dapat dijadikan tempat menyimpan berbagai informasi pengetahuan dan keterampilan secara aman dan kemudian disalurkan kepada seluruh masyarakat atau warga belajar yang membutuhkan. Disamping itu pula PKBM dapat berfungsi sebagai pengembang pengetahuan dan keterampilan secara inovatif, melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan model. 4) Sebagai sentra pertemuan berbagai lapisan masyarakat, fungsi PKBM dalam hal ini, tidak hanya berfungsi sebagai tempat pertemuan antara pengelola dengan sumber belajar dan warga belajar serta dengan tokoh masyarakat atau dengan berbagai lembaga (pemerintah dan swasta/LSM, ormas), akan tetapi PKBM
berfungsi
sebagai
tempat
berkumpulnya
seluruh
komponen
masyarakat dalam berbagai bidang sesuai dengan kepentingan, masalah dan kebutuhan masyarakat serta selaras dengan azas dan prinsip learning society atau pengembangan pendidikan dan pembelajaran (life long learning dan life long education). 5) Pusat penelitian masyarakat (community research centre) terutama dalam pengembangan pendidikan nonformal. Pada bagian ini PKBM berfungsi sebagai pusat pengkajian (studi, research) bagi pengembangan model-model pendidikan nonformal pada tingkat kecamatan dan kabupaten. Dalam hal ini PKBM dapat dijadikan tempat oleh masyarakat, kalangan akademisi, dll sebagai tempat menggali, mengkaji, menelaah (menganalisa) berbagai persoalan atau permasalahan dalam bidang pendidikan dan keterampilan masyarakat, terutama program yang berkaitan dengan program-program yang selaras dengan azas dan tujuan PKBM.
12
2.1.4
Prinsip Pengembangan Program PKBM Beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan
dan menyusun program PKBM
antara lain adalah: a) program yang
dikembangkan PKBM harus meluas sehingga warga belajar memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan pengalaman tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang berkaitan dengan etika, estetika, logika dan kinestetika pada saat pembelajaran, b) program harus memiliki prinsip keseimbangan (balanced) dimana setiap kompetensi yang dikembangkan dalam program PKBM harus dicapai melalui alokasi waktu yang cukup untuk sebuah proses pembelajaran yang efektif, c) program yang dikembangkan PKBM harus relevan karena setiap program terkait dengan penyiapan warga belajar untuk meningkatkan mutu kehidupan melalui kesempatan, pengalaman, dan latihan dalam berperan dan bersikap secara bertanggung jawab dalam mewujudkan kedewasaan berfikirnya, d) program yang dikembangkan PKBM harus mampu mengedepankan konsep perbedaan (differentiated), prinsip ini merupakan upaya pelayanan individual dimana warga belajar harus memahami: apa yang perlu dipelajari;
bagaimana
berpikir,
bagaimana
belajar,
dan
berbuat
untuk
mengembangkan potensi dan kebutuhan dirinya masing-masing secara optimal. Untuk mendukung terlaksananya prinsip-prinsip tersebut, maka ada beberapa hal yang perlu menjadi patokan pengembang PKBM meliputi: a) kualitas sumberdaya manusia yang mengusung program, b) kemampuan bekerja sama dengan pihak-pihak tertentu (masyarakat, pemerintah, dan sumber-sumber lainnya), c) kemampuan (kualitas, kompetensi) sumber belajar (tutor, fasilitator) terutama kesesuaian dengan program, d) warga belajar yang berminat dan butuh
13
dengan program yang dikembangkan, e) fasilitas pendukung program yang representatif sesuai dengan kebutuhan program, f) partisipasi masyarakat dalam pengembangan program, g) alat kontrol (supervisi monitoring, dan evaluasi) program, h) daya dukung lain seperti model yang akan dikembangkan, materi, modul, atau sumber lain yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran dan sasaran didik, i) anggaran untuk mendukung program, j) pemeliharaan program agar program tetap eksis, k) pengembangan program ke depan. Sedangkan Sihombing dan Gutama (2000), menjelaskan bahwa beberapa faktor penunjang keberhasilan pengembangan program PKBM meliputi: a) kemampuan mengidentifikasi dan mencatat kebutuhan masyarakat (warga belajar), b) melayani kebutuhan dan minat warga belajar dalam kegiatan yang bervariasi atau sesuai kebutuhan dan minatnya, c) memobilisasi sumberdaya yang ada di masyarakat, d) membangun kemitraan dan kerjasama secara terbuka secara terbuka dengan berbagai lembaga atau oranisasi, sehingga PKBM mampu mengembangkan berbagai aktivitas pembangunan masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan lokal, e) memonitor perkembangan kegiatan serta keberhasilan sehingga dijadikan dasar pengembangan program ke depan, f) mencatat berbagai kelebihan dan kekurangan dari kegiatan yang dikelembagaan PKBM. Langkah-langkah dalam penyusunan program PKBM dapat diikuti sebagai berikut: a) merencanakan program kegiatan, b) menentukan dan menetapkan berbagai sumber yang dibutuhkan baik sumber daya manusia, material maupun finansial, c) melakukan sosialisasi program ke masyarakat dan pemerintah daerah, d) menerima warga belajar, e) mencari kebutuhan warga belajar berkaitan dengan materi yang dikembangkan dalam program, f) menetapkan kebutuhan materi
14
pembelajaran (program), g) menetapkan target dan tujuan program, h) menyusun kurikulum dan materi pembelajaran, i) menjalankan program, j) melakukan monitoring dan evaluasi program, k) mengembangkan program berdasarkan pada hasil monitoring dan evaluasi. Bidang pendidikan merupakan program andalan PKBM saat ini. Beberapa program pendidikan yang dikembangkan di antaranya adalah: 1)
Program keaksaraan fungsional Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan keaksaraan dasar
warga masyarakat yang masih buta aksara. Saat ini di Indonesia terdapat 5,2 juta orang usia 10 sampai 44 tahun yang masih buta huruf, apabila ditambah dengan anak yang putus sekolah (drop out) maka jumlah tersebut akan mencapai 6 juta orang (Depdiknas, 2006). Olah karena itu sasaran dari kegiatan ini adalah melayani warga masyarakat yang menyandang buta aksara berusia di antara 10 sampai 44 tahun, dengan prioritas usia antara 17 sampai 30 tahun. Materi pembelajaran dan bahan atau sarana pembelajaran dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan mata pencaharian warga belajar. Perkembangan kemampuan dan keterampilan warga belajar dicatat oleh tutor sebagai hasil evaluasi pembelajaran, terutama berhubungan dengan mata pencahariannya, baik dalam bentuk tulisan maupun perubahan tingkah laku warga belajar selama mengikuti (proses) pembelajaran. Sangat dimungkinkan tidak ada tes khusus hasil belajar. 2)
Pengembangan anak dini usia (early childhood) Salah satu program yang dikembangkan di PKBM adalah program
pendidikan anak usia dini. Alasan dasar mengapa program ini dikembangkan karena sampai saat ini perhatian terhadap pendidikan anak usia dini masih sangat
15
rendah. Padahal, konsep pembangunan sumber daya manusia (SDM) justru dimulai sejak masa usia dini. Rendahnya kualitas hasil pendidikan di Indonesia selama ini cerminan rendahnya kualitas SDM Indonesia. Oleh sebab itu PKBM memiliki kewajiban untuk mengembangkan program tersebut sejalan dengan tujuan dan fungsi PKBM di tengah-tengah masyarakat. 3)
Program kesetaraan (equivalency education) Rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia salah satunya
diakibatkan oleh tingginya angka putus sekolah, pada level pendidikan dasar dan level pendidikan menengah. Pada tingkat Sekolah Dasar 25 persen dari jumlah lulusannya tidak melanjutkan ke jenjang (level) yang lebih tinggi atau jenjang SMP/Mts, begitu pula 50 persen lulusan SMP/Mts tidak melanjutkan ke jenjang SMA/Ma. (Depdiknas 2006). Oleh karena permasalahan-permasalahan tersebut, program kesetaraan merupakan program yang sangat vital dalam menjawab permasalahan kualitas (mutu) sumber daya manusia. Sesuai dengan fungsi dan peranannya PKBM sebagai pusat kegiatan pembelajaran masyarakat memiliki peran penting dalam mengembangkan program-program kesetaraan di tengahtengah masyarakatnya. Program kesetaraan melingkupi program Kelompok Belajar paket A setara SD/MI, Kelompok Belajar Paket B setara SMP/MTs dan Kelompok Belajar Paket C SMA/MA. 4)
Kelompok belajar usaha Program kelompok belajar usaha (KBU) diperuntukkan bagi masyarakat
(warga belajar) yang minimal telah bebas buta aksara dan atau selesai program kesetaraan. Juga masyarakat lainnya yang merasa perlu untuk meningkatkan dan memperoleh pengetahuan serta keterampilan baru. Warga belajar dikelompok
16
belajar usaha dapat memilih berbagai alternatif jenis keterampilan dan jenis usaha yang akan dikembangkan dalam kelompoknya sesuai dengan kebutuhan dan minatnya. 5)
Pengembangan program magang pada PKBM Salah satu program yang teridentifikasi dikembangkan PKBM adalah
program magang. Dalam PKBM magang dibagi dalam dua kegiatan ada magang individual dan ada magang kelompok. Magang individual adalah magang yang dilakukan oleh satu orang warga belajar pada kegiatan-kegiatan pelatihan atau keterampilan tertentu. Sedangkan magang kelompok adalah pemagangnya lebih dari 1 orang biasanya 2 sampai dengan 5 orang. Jenis keterampilan yang dimagangkan sangat bervariasi dan tergantung kebutuhan dan kesiapan warga belajar serta kesiapan PKBM dalam meyiapkan program-program yang sesuai dengan dunia industri. Sasaran magang adalah warga belajar yang minimal sudah terbebas dari buta huruf atau telah menyelesaikan pendidikan dasar (Paket A dan B, SD/MI, SMP/MTs) serta memiliki dasar keterampilan tertentu. Program magang merupakan program khusus yang dikembangkan PKBM, dan tidak semua PKBM menyelenggarakan program ini karena menuntut kesiapan dan kerjasama dengan mitra (industri) atau bengkel kerja tertentu. Kegiatan magang yang diselenggarakan PKBM umumnya disesuaikan dengan daerah tertentu, seperti Bali, banyak warga belajar yang magang di galeri (lukisan), perhotelan atau menjadi guide (pengantar), serta magang pada industri kerajinan khas Bali seperti souvenir. Begitu pula di daerah lainnya seperti di Jawa Barat di daerah Tasikmalaya dan Ciamis magang banyak dilakukan pada industri pakaian
17
khususnya border. Di Jawa Tengah magang keterampilan banyak dilakukan di industri batik baik yang berskala kecil maupun menengah. 6)
Kursus keterampilan Beberapa jenis keterampilan yang teridentifikasi dan dikembangkan dalam
PKBM adalah: keterampilan komputer (software dan hardware), kursus keterampilan bahasa (Inggris, tata busana, Mandarin, Arab dan lain-lainl). Kursus mekanik otomotif, elektronika, perhotelan, tata busana, tata boga, tata kecantikan, gunting rambut, akupuntur, memasak, pijat dan lain-lain. Program-program tersebut dikembangkan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mendukung profesi (profesional). Program-program PKBM dikembangkan secara bervariasi dan tergantung pada kebutuhan sasaran didik atau warga belajar. Jarang sekali ditemukan satu PKBM yang mengembangkan lebih dari 4 program kegiatan, paling dominan 2 sampai 3 program kegiatan dengan sasaran yang bervariasi, baik dari usia maupun latar belakang pendidikan dan ekonomi. Beberapa PKBM lebih banyak mengembangkan program yang sesuai dengan program pemerintah khususnya Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah atau program daerah seperti dari Dinas Pendidikan (Sub Dinas PLS). Beragam satuan pendidikan nonformal yang terdapat pada PKBM harus menghadapi berbagai hambatan terkait dengan kinerja program-program yang dijalankan di dalamnya. Berbagai hambatan pendidikan masyarakat, menurut Sihombing (1999) dapat digambarkan sebagai berikut: 1.
Perkembangan program belum diimbangi jumlah dan mutu yang memadai. Misalnya, penilik Dikmas masih ada beberapa yang menangani lebih dari
18
satu kecamatan. Begitu pula dengan kebutuhan akan tutor, sebagai contoh untuk paket B setara SLTP, seharusnya membutuhkan rata-rata delapan orang tutor, kenyataannya baru dapat dipenuhi lima orang tutor untuk setiap kelompok belajar. 2.
Rasio modul untuk warga belajar program kesetaraan yang masih jauh dari mencukupi. Rasio modul baru mencapai 1 : 3. Hal ini terjadi arena pengadaan modul murni dari pemerintah.
3.
Tidak ada tempat belajar yang pasti. Hal ini menyebabkan adanya kesukaran pemantauan kebenaran pelaksanaan program pembelajaran.
4.
Kualitas hasil belajar sulit dilihat kebenarannya dan sukar diukur tingkat keberhasilannya. Secara teoritis memang terdapat pembelajaran, tetapi dalam pelaksanaannya sulit dipertanggung jawabkan.
5.
Lemahnya akurasi data tentang sasaran program.kondisi ini disebabkan terbatasnya tenaga di lapangan baik secara kuantitas maupun kualitas serta sarana pendukung yang belum memadai.
6.
Jadwal pelaksanaan belajar mengajar yang tidak selalu dilaksanakan tepat waktu.
2.2
Evaluasi program Evaluasi oleh Gunardi (n.d) dalam modul mata kuliah Perencanaan
Evaluasi Partisipatif didefinisikan sebagai proses penaksiran nilai atau nilai potensial yang berkelanjutan dan sistematik. Menurut Gunardi, evaluasi program adalah suatu rangkaian yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat keberhasilan program. Ada beragam evaluasi. Ditinjau dari substansi evaluasi, evaluasi dapat
19
dilakukan terhadap proses pelaksanaan kegiatan dan dapat pula dilakukan hasil (tercapainya tujuan) pelaksanaan suatu kegiatan. Evaluasi proses berarti mempelajari apakah kegiatan-kegiatan yang dilaksanaan sesuai dengan rencana, apa kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakan kegiatan, adakah tindakan yang berbeda dari apa yang direncanakan, apakah tindakan yang berbeda ini berakibat baik atau buruk. Dalam mengevaluasi hasil, pengukuran dapat dilakukan pada aras: a. Output, yaitu mempelajari apakah hasilnya sesuai dengan yang direncanakan; misalnya berapa kali latihan dilakukan, berapa petani yang bisa dijangkau, dan lain-lain. b. Effect, yaitu melihat dampak pertama (atau kedua atau lebih) yang masih dekat dengan output; misalnya berapa banyak pertambahan pengetahuan, berapa tinggi perubahan keterampilan, berapa jauh perubahan sikap peserta pelatihan. c. Impact, yaitu mempelajari konsekuensi lebih lanjut dari effect, misalnya adakah peningkatan produksi padi, atau adakah pertambahan penyerapan tenaga kerja, atau adakah peningkatan pendapatan petani dan sebagainya.
Di bidang pendidikan, dikenal pula dua jenis lain dari evaluasi, yaitu: a. Evaluasi formatif ; yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui hasil yang berupa perubahan perilaku sesudah setiap bagian seluruh pelajaran dilakukan. b. Evaluasi sumatif ; yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui hasil berupa perubahan perilaku sesudah seluruh pelajaran diselesaikan. Menurut waktu pelaksanaannya, evaluasi suatu proyek dikategorikan sebagai:
20
a. Evaluasi ex-ante, yaitu evaluasi yang dilakukan sebelum suatu proyek dilaksanakan, dengan maksud mengetahui apakah proyek itu layak dilakukan. Evaluasi yang termasuk jenis ini antara lain adalah studi kelayakan, analisis dampak lingkungan, dan sejenisnya. b. Evaluasi ex-post, yaitu evaluasi yang dilakukan sesudah proyek dilaksanakan. Evaluasi jenis ini dilaksanakan untuk mengetahui pelaksanaan dan akibat dari pelaksanaan proyek tersebut. Dengan demikian evaluasi ex-post ini dapat dibagi lagi menjadi (a) evaluasi proyek sedang berjalan (on-going evaluation), (b) evaluasi akhir proyek (terminal evaluation), dan (c) evaluasi dampak. Evaluasi mempunyai beberapa tujuan. Dalam bidang pendidikan penyuluhan pertanian, Gunardi (n.d) menyatakan ada enam maksud evaluasi, yaitu: a. Menguji secara berkala pelaksanaan kegiatan, yang mengarahkan perbaikan yang berkelanjutan b. Memperjelas tujuan dan mengukur sampai seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu tercapai c. Menjadi pengukur keefektifan metode penyuluhan d. Menyediakan bukti tentang pentingnya program e. Menyediakan bukti tentang keberhasilan, untuk memberikan rasa puas dan kepercayaan kepada mereka yang terlibat dalam program f. Menyediakan data dan informasi untuk perencanaan. Gunardi (n.d) menyatakan bahwa untuk melakukan evaluasi yang ilmiah, langkahlangkahnya adalah: a. Merumuskan tujuan; dimaksud untuk memerinci secara spesifik apa yang akan dilihat dengan evaluasi yang bersangkutan
21
b. Merumuskan indikator dan data yang akan dikumpulkan. Indikator adalah penunjuk suatu kegiatan atau keadaan. Data yang dikumpulkan merupakan satuan yang dapat ditangkap pancaindra oleh pengamat yang melaksanakan pengumpulan data. c. Mengembangkan metode untuk mengumpulkan data. Mencakup penyiapan instrument pengumpulan data, seperti pedoman wawancara, kuesioner, dan sebagainya. Perlu pula ditentukan orang yang akan diwawancarai, peserta diskusi kelompok terarah, lokasi, dan sebagainya. d. Mengumpulkan data. Berkisar pada pengumpulan data dari berbagai pihak melalui wawancara, pengamatan, dan diskusi. e. Menganalisis data. Merupakan kegiatan memberi kode, skor dan nilai pada data yang telah terkumpul. Pada saat ini, dilakukan perhitungan secara sistematik, dan menafsirkan hasil perhitungan. f. Menarik kesimpulan. Pada tahap ini dirumuskan kesimpulan yang tegas setelah mempertimbangkan hubungan-hubungan dari berbagai hasil penafsiran olahan perhitugan dan pengujian. Tata urutan di atas dapat diterapkan pada evaluasi yang konvensional maupun evaluasi partisipatif. Pada evaluasi konvensional, semua langkah evaluasi di atas dilakukan oleh pihak luar dan biasanya dilakukan untuk kepentingan pihak luar, terutama pihak proyek. Sebaliknya pada evaluasi partisipatif seluruh tahapan di atas dilakukan oleh masyarakat, pihak luar hanya bertugas memfasilitasi proses tersebut. Sedangkan evaluasi program menurut Musa dalam Widiamega (2010) adalah suatu kegiatan untuk memperoleh gambaran tentang suatu keadaan objek
22
yang dilakukan secara terencana, sistematik, dengan arah dan tujuan yang jelas. Secara umum evaluasi dapat diartikan sebagai upaya seksama untuk mengumpulkan, menyusun, mengolah dan menganalisa fakta, data, dan informasi untuk menyimpulkan harga, nilai, kegunaan, kinerja, dan lain-lain mengenai sesuatu yang kemudian dibuat kesimpulan sebagai proses bagi pengambilan keputusan. Fungsi evaluasi program di antaranya adalah: 1)
Memberikan data dan informasi tentang pelaksanaan suatu program
2)
Menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan program
3)
Melakukan pengendalian pelaksanaan program
4)
Memberi umpan balik bagi perbaikan pelaksanaan program
Departemen Pertanian dikutip dalam Widiamega (2010) mengemukakan jenis evaluasi untuk mengevaluasi program, yaitu: 1. Evaluasi input Evaluasi input adalah penilaian terhadap kesesuaian antara input-input program dengan tujuan program. Input adalah semua jenis barang, jasa, dana, tenaga manusia, teknologi dan sumberdaya lainnya yang perlu tersedia untuk terlaksananya suatu kegiatan dalam rangka menghasilkan output dan tujuan suatu proyek atau program 2. Evaluasi output Evaluasi output adalah penilaian terhadap output-output yang dihasilkan oleh program. Output adalah produk atau jasa tetentu yang diharapkan dapat dihasilkan oleh suatu kegiatan dari input yang tersedia untuk mencapai proyek atau program. Contoh output adalah perubahan pengetahuan (aras kognitif),
23
perubahan sikap (aras afektif), kesediaan perilaku (aras konatif), dan perubahan perilaku (aras psikomotorik). Aras kognitif adalah tingkat pengetahuan seseorang. Aras afektif adalah kecenderungan sikap seseorang yang dipengaruhi oleh perasaannya terhadap suatu hal. Aras konatif adalah kesediaan seseorang berperilaku tertentu yang perilakunya dipengaruhi oleh sikapnya terhadap suatu hal. Aras tindakan adalah perilaku seseorang yang secara nyata diwujudkan dalam perbuatan sehari-hari sehingga membentuk suatu pola. 3. Evaluasi effect Evaluasi effect adalah penilaian terhadap hasil yang diperoleh dari penggunaan output-output program, sebagai contoh adalah efek yang dihasilkan dari perubahan perilaku peserta suatu penyuluhan. Efek biasanya sudah mulai muncul pada waktu pelaksanaan program namun efek penuh biasanya baru tampak setelah program berakhir. 4. Evaluasi impact (dampak) Evaluasi impact adalah penilaian yang diperoleh dari efek proyek yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya yang dihasilkan oleh proyek pada tingkat yang lebih luas dan menjadi tujuan jangka panjang. Evaluasi dampak dapat dipertimbangkan dengan penggunaan penilaian yang kualitatif.
2.3
Komponen, dan Proses Program yang Dievaluasi dalam Pendidikan Luar Sekolah
Evaluasi program adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data secara sistematis tentang program penidikan luar sekolah, sebagai
24
masukan bagi pengambilan alternative keputusan. Alternatif keputusan itu antara lain untuk perhentian, perbaikan, modifikasi, perluasan, peningkatan, atau tindak lanjut program pendidikan luar sekolah. Secara rinci komponen, proses dan tujuan program pendidikan luar sekolah yang sistemik menurut Sudjana (2006) adalah: 1. Masukan lingkungan (environmental input) meliputi lingkungan alam, sosial budaya, dan kelembagaan. Lingkungan alam terdiri atas lingkungan alam hayati dan lingkungan non hayati. Lingkungan sosial-budaya meliputi kondisi kependudukan dengan berbagai potensinya seperti kebiasaan, tradisi, lapangan pekerjaan, kebutuhan, ideologi dan aspirasi masyarakat. Lingkungan kelembagaan terdiri atas instansi-instansi pemerintah, perusahaan, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang terkait dengan program. 2. Masukan sarana (instrumental input) terdiri atas kurikulum atau program pembelajaran, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, serta biaya. 3. Masukan individu ialah peserta didik yang terdiri atas warga belajar, peserta pelatihan, peserta penyuluhan, pemagang, santri, dan sebagainya. Peserta didik ini mempunyai karakteristik internal, yaitu atribut fisik, atribut psikis dan fungsional. Atribut fisik berupa usia, jenis kelamin, kondisi panca indera, dan lain-lain. Atribut psikis mencakup kesiapan belajar, motivsi, kemampuan mental, dan struktur kognisi. Sedangkan atribut fungsional meliputi pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan status sosial ekonomi keluarga. 4. Proses pendidikan melalui pembelajaran (processes) adalah interaksi edukatif antara seluruh masukan. Proses ini menyangkut pembelajaran, bimbingan atau
25
latihan. Proses pembelajaran yang perlu dievaluasi adalah interaksi edukasi antara peserta didik dan pendidik. Oleh karena itu, perlu diketahui partisipasi dan teknik pembelajaran yang digunakan. 5. Keluaran (output) adalah lulusan program pendidikan luar sekolah. Keluaran yang dievaluasi adalah kuantitas dan kualitas lulusan program setelah mengalami proses pembelajaran. Kuantitas adalah jumlah lulusan yang berhasil menyelesaikan proses pembelajaran sedangkan kualitas adalah perubahan tingkah laku peserta didik atau lulusan meliputi ranah afeksi (sikap), ranah kognisi (pengetahuan), dan ranah psikomotor (keterampilan). 6. Masukan lain (other input) adalah sumber-sumber atau daya dukung yang memungkinkan lulusan dapat menerapkan hasil belajar (keluaran) dalam kehidupannya. Masukan lain ini dapat digolongkan ke dalam bidang bisnis, pekerjaan, dan aktivitas kemasyarakatan. 7. Pengaruh (outcome) adalah dampak yang dialami peserta didik atau lulusan setelah memperoleh dukungan dari masukan lain. Pengaruh ini dapat diukur dalam tiga aspek kehidupan, yaitu peningkatan taraf atau atau kesejahteraan hidup, upaya membelajarkan orang lain baik kepada perorangan, kelompok dan atau komunitas, dan keikutsertaan dalam kegiatan sosial atau pembangunan masyarakat.
2.4
Penelitian Terdahulu tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Program Pendidikan Sebelum ini telah dilakukan beberapa penelitian-penelitian yang
berhubungan dengan program-program pendidikan. Seperti yang telah dilakukan oleh Yuliantoro (2008) dalam tesisnya yang berjudul Pemberdayaan Masyarakat
26
Melalui Kelompok Belajar Usaha (KBU) di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat yang mengkaji permasalahan yang menyebabkan kurang berkembangnya program Kelompok Belajar Usaha (KBU) dalam penelitian ini kurang berkembang. Menurut Yuliantoro (2008) kurang berkembangnya KBU dalam penelitian ini adalah dikarenakan (1) kurangnya minat dan motivasi warga belajar dikarenakan jenis keterampilan yang diajarkan kurang variatif. (2) pemasaran yang tidak berkembang. (3) keterbatasan modal. (4) masih banyaknya warga miskin dan pengangguran yang belum mengetahui tentang KBU. Upaya pengembangan yang dilakukan KBU dalam penelitian Yuliantoro (2008) adalah dengan menampung aspirasi warga belajar, pengelola dan instruktur melalui
diskusi.
Selanjutnya,
hasil
diskusi
tersebut
disepakati
untuk
mengembangkan KBU yang lebih aspiratif dan partisipatif yang melibatkan seluruh stake holder dengan mengembangkan konsep good governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Berbeda dengan penelitian Bakhtiar (2003) yang menggunakan kelulusan, input dan peranan pihak sekolah sebagai indikator dan input dalam melakukan evaluasi program pendidikan mutu pendidikan di SLTP 3 Bengkalis. Bakhtiar (2003) dalam penelitiannya menemukan bahwa permasalahan yang terjadi pada SLTP 3 Bengkalis adalah dikarenakan kompetensi guru yang masih kurang, pengadaan buku dan alat pelajaran yang kurang memadai, kurang optimalnya peranan komite sekolah dan rendahnya peran serta masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan di SLTPN 3 Bengkalis. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Bakhtiar (2003) mengemukakan bahwa Focus Group Discusion (FGD) merupakan pemecahan masalah untuk menyelesaikan masalah yang terjadi.
27
Setelah menlakukan FGD, hasil FGD tersebut akan dijadikan pedoman dalam meningkatkan mutu pendidikan di SLTPN 3 Bengkalis. Adapun hasil FGD yang telah dilakukan adalah dengan melakukan program peningkatan mutu manajemen pendidikan yang akan dilaksanakan secara partisipatif oleh komite sekolah dan masyarakat naik secara langsung maupun tidak langsung. Haryati (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keefektifan Pembelajaran Kejar Paket B Setara SLTP menemukan bahwa terdapat beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran kejar Paket B. Faktor internal yang berhubungan dengan keefektifan adalah status sosial ekonomi warga belajar. Sedangkan faktor eksternal yang memiliki hubungan nyata degan keefektifan pembelajaran kejar Paket B adalah tersebut adalah materi, kualitas pengajar, intensitas pengajaran, dorongan orang tua, dan peluang kerja.
2.5
Kerangka Pemikiran Pendidikan Luar Sekolah (PLS) merupakan salah satu jalur pendidikan
nonformal disamping pendidikan formal di sekolah. Adanya istilah belajar sepanjang hayat yang pada intinya menekankan bahwa tidak pernah ada kata terlambat bagi seseorang untuk belajar serta didasari adanya permasalahan pendidikan, maka pemerintah merintis sebuah wadah untuk menampung kegiatan belajar masyarakat untuk jalur nonformal yang diberi nama Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Beragam program dikembangkan oleh PKBM, salah satunya adalah program kesetaraan (Paket A, B, dan C). Terkait dengan rendahnya angka partisipasi sekolah pada usia sekolah menengah maka penelitian ini akan
28
mengkaji lebih lanjut program kesetaraan Paket C. Secara umum, PKBM terbagi menjadi dua tipe, yaitu: PKBM negeri dan PKBM swasta. Sesuai dengan peranan PKBM sebagai jawaban pemerintah atas masalah pendidikan yang terjadi maka dalam penelitian ini tipe PKBM yang dikaji adalah PKBM negeri. Evaluasi program menurut Sudjana (2006) dapat didefinisikan sebagai kegiatan sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, menganalisis, dan menyajikan data sebagai masukan untuk pengambilan keputusan. Sudjana (2006) juga menyebutkan komponen yang merupakan unsur-unsur terpenting dalam mengevaluasi Pendidikan Luar Sekolah. Unsur-unsur tersebut adalah: (a) masukan individu, (b) masukan lingkungan, (c) masukan sarana, (d) keluaran (output), (e) masukan lain, dan (f) pengaruh (outcome). Namun dalam penelitian kali ini peneliti hanya akan mengevaluasi sampai keluaran (output) dikarenakan batasan waktu yang dimiliki peneliti tidak memungkinkan untuk meneliti lebih jauh. Peranan yang dikaji pada penelitian ini adalah keberhasilan PKBM Negeri 17 dalam mengembangkan karakteristik dasar bagi pengembangan PKBM sebagai wadah belajar masyarakat. Karakteristik yang dasar yang harus dikembangkan oleh PKBM sebagai wadah belajar masyarakat adalah PKBM sebagai tempat belajar, PKBM sebagai tempat tukar belajar bagi sesama warga belajar, PKBM sebagai sentra bertemunya segala lapisan masyarakat untuk saling bertukar ilmu, PKBM sebagai sumber pertukaran informasi bagi sesama warga belajar dan PKBM sebagai pusat penelitian masyarakat terkait dengan pendidikan nonformal. Selain itu, penelitian ini juga mengevaluasi keberhasilan program Paket Cpada PKBM Negeri 17 dengan menghubungkan antara masukan, proses dan keluaran yang dimiliki oleh PKBM ini. Unsur-unsur yang dimiliki oleh masukan dan proses akan dikaitkan dengan keluaran yang keberhasilannya ditandai oleh tingkat pengetahuan dan sikap terhadap keberlanjutan pendidikan.
29
Evaluasi akan dimulai dengan memasukkan faktor-faktor input yang dibagi kedalam tiga masukan yaitu masukan individu, masukan lingkungan dan masukan sarana. Masukan individu dibagi ke dalam empat sub variabel, yaitu usia, jenis kelamin, kondisi sosial-ekonomi, dan motivasi warga belajar. Masukan lingkungan adalah dukungan keluarga, dukungan lingkungan pergaulan serta lokasi pembelajaran. Sedangkan masukan sarana adalah kualitas pengajar yang disediakan oleh PKBM. Selanjutnya peneliti akan mengevaluasi proses pembelajaran yang akan diukur melalui interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Menurut Sudjana (2006) interaksi ini menyangkut kehadiran peserta didik, serta keaktifan peserta baik di dalam maupun di luar kelas. Setelah itu, peneliti akan mencoba mengkaji keluaran (output) yang diterima oleh peserta didik. Keluaran yang dapat dievaluasi menurut Sudjana (2006) ada dua, yaitu kuantitas dan kualitas lulusan. Namun dalam penelitian ini hanya membahas kualitas peserta didik dilihat dari pengetahuan, yang akan dilihat berdasarkan nilai ujian, dan sikap terhadap keberlanjutan pendidikan. Variabel-variabel yang dievaluasi pada penelitian ini merupakan variabelvariabel yang sebelumnya sudah pernah digunakan oleh peneliti lain. Digunakannya kembali variabel-variabel yang pernah digunakan oleh peneliti lain dalam penelitian ini adalah untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan yang terdapat pada PKBM Negeri 17 yang didominasi masyarakat putus sekolah dan nelayan urban dengan PKBM lain yang berbeda komunitas.
30
MASUKAN Faktor Individu -
Usia
-
Jenis kelamin
‐
Tingkat sosial ekonomi
‐
Motivasi
PROSES Faktor Lingkungan ‐
Tingkat dukungan keluarga
‐
Tingkat dukungan pergaulan
‐
PROSES
KELUARAN
OUTPUT
- Tingkat kehadiran
‐
Tinkat pengetahuan
- Tingkat keaktifan
‐
Sikap terhadap keberlanjutan pendidikan
Jarak lokasi pembelajaran
Faktor Sarana ‐
Kualitas pengajar
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Evaluasi Pendidikan Program Kesetaraan Paket C
30
31
2.6
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut: 1.
Diduga terdapat hubungan nyata antara usia dengan tingkat kehadiran
2.
Diduga terdapat hubungan nyata antara jenis kelamin
dengan tingkat
kehadiran 3.
Diduga terdapat hubungan nyata antara sosial ekonomi dengan tingkat kehadiran
4.
Diduga terdapat hubungan nyata antara motivasi dengan tingkat kehadiran
5.
Diduga terdapat hubungan nyata antara tingkat dukungan keluarga dengan tingkat kehadiran
6.
Diduga terdapat hubungan nyata antara tingkat dukungan lingkungan pergaulan dengan tingkat kehadiran
7.
Diduga terdapat hubungan nyata antara jarak lokasi pembelajaran dengan tingkat kehadiran
8.
Diduga terdapat hubungan nyata antara kualitas pengajar dengan tingkat kehadiran
9.
Diduga terdapat hubungan nyata antara usia dengan tingkat keaktifan
10. Diduga terdapat hubungan nyata antara jenis kelamin dengan tingkat keaktifan 11. Diduga terdapat hubungan nyata antara sosial ekonomi dengan tingkat keaktifan 12. Diduga terdapat hubungan nyata antara motivasi dengan tingkat keaktifan 13. Diduga terdapat hubungan nyata antara dukungan keluarga dengan tingkat keaktifan 14. Diduga terdapat hubungan nyata antara lingkungan pergaulan dengan tingkat keaktifan
32 15. Diduga terdapat hubungan nyata antara lokasi pembelajaran dengan tingkat keaktifan 16. Diduga terdapat hubungan nyata antara kualitas pengajar dengan tingkat keaktifan 17. Diduga terdapat hubungan nyata antara tingkat kehadiran dengan tingkat pengetahuan 18. Diduga terdapat hubungan nyata antara tingkat keaktifan dengan tingkat pengetahuan 19. Diduga terdapat hubungan nyata antara tingkat kehadiran dengan sikap terhadap keberlanjutan pendidikan 20. Diduga terdapat hubungan nyata antara tingkat keaktifan dengan sikap terhadap keberlanjutan pendidikan
2.7
Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan beberapa definisi operasional yang digunakan
untuk mencegah terjadinya kesalahan arah terhadap konsep yang ditetapkan dalam mengukur variabel, sehingga pengukuran tehadap variabel dapat dilakukan secara jelas dan terukur. Beberapa definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (I)
Masukan
1.
Faktor individu Faktor individu merupakan karakter internal peserta didik, karakter
internal tersebut meliputi usia, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi dan motivasi peserta. 1.
Usia merupakan lamanya tahun selama warga belajar hidup yang di hitung sejak lahir sampai menjadi responden dalam penelitian ini (tahun). Usia
33 warga belajar dikategorikan menjadi dua, yaitu: rendah < 20 tahun, dan tinggi ≥20 tahun. 2.
Jenis kelamin adalah jenis kelamin warga belajar yang dikategorikan 1= lakilaki dan 2= perempuan.
3.
Sosial ekonomi adalah keadaan sosial ekonomi warga belajar yang terdiri atas gabungan beberapa jenis pertanyaan seputar kondisi ekonomi dan sosial. Gabungan pertanyaan ini akan menghasilkan jumlah skor paling tinggi 24 dan paling rendah 0. Kemudian berdasarkan jumlah skor gabungan tersebut maka data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu: rendah < 12 dan tinggi ≥ 12
4.
Motivasi adalah dorongan yang timbul dalam diri warga belajar yang disadari karena adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk mengukur motivasi, peneliti mengajukan pernyataan yang dipilih oleh warga belajar berdasarkan tingkat persetujuan masing-masing warga belajar. Setiap pernyataan memiliki lima skala dari yang Sangat Tidak Setuju, skor=1 hingga Sangat Setuju, skor=5. Motivasi warga belajar dikategorikan menjadi dua, yaitu; rendah< 55 dan tinggi ≥55
2.
Faktor Lingkungan Faktor lingkungan merupakan karakteristik eksternal peserta didik
berkaitan dengan lingkungan kehidupan peserta didik meliputi dukungan keluarga, lingkungan pergaulan, serta lokasi pembelajaran. 1.
Tingkat dukungan keluarga adalah dorongan yang diberikan anggota keluarga terhadap warga belajar untuk mengikuti paket C. Dorongan dapat berupa biaya, motivasi, semangat, dan perhatian. Pertanyaan ini menggunakan
34 pengukuran ordinal dengan memberikan pernyataan berskala, dengan nilai sangat tidak setuju skor=1 hingga sangat setuju skor=5. Tingkat dukungan keluarga dikategorikan menjadi dua, yaitu; rendah< 34 dan tinggi ≥ 34 2.
Tingkat dukungan lingkungan pergaulan adalah dukungan dan dorongan yang didapat oleh peserta didik dari lingkungan pergaulannya. Pertanyaan untuk mengukur variabel ini meliputi jumlah teman yang sebelumnya pernah mengikuti Paket C, tanggapan teman-teman dan tindakan apa yang dilakukan oleh teman warga belajar jika mereka mendukung. Tingkat dukungan lingkungan pergaulan dikategorikan menjadi dua, yaitu: rendah≤ 6 dan tinggi> 6
3.
Jarak lokasi pembelajaran adalah jarak antara tempat tinggal peserta didik dengan tempat dimana proses belajar mengajar berlangsung. Pertanyaan mengenai lokasi pembelajaran meliputi jarak antara rumah peserta didik dengan lokasi pembelajaran, alat transportasi yang digunakan peserta didik dan besarnya ongkos yang dikeluarkan oleh peserta didik. Skor tertinggi untuk variabel ini adalah 10. Jarak lokasi pembelajaran dibagi menjadi dua kategori, yaitu: dekat< 7 dan jauh≥ 7.
3.
Faktor Sarana Faktor sarana adalah sarana maupun prasarana yang tersedia di dalam
Kelompok Belajar Paket C. Dalam hal ini yang dinilai hanyalah kualitas pengajar karena minimnya sarana yang terdapat di PKBM ini. 1. Kualitas pengajar adalah kemampuan tutor untuk menjalankan tugas dan peranannya sebagai pengajar. Kualitas pengajar ini dinilai oleh responden berdasarkan kedisplinan tutor, penguasaan materi, cara mengajar, dan motivasi
35 terhadap siswa. Kualitas pengajar diukur kepada masing-masing tutor dengan menggunakan skala ordinal dengan skala sangat tidak setuju, skor=1 sampai sangat setuju, skor=5. Kualitas pengajar dikategorikan menjadi dua, yaitu; rendah< 86 dan tinggi ≥ 86
(II)
PROSES
1.
Tingkat kehadiran Kehadiran adalah jumlah total kehadiran peserta selama 6 bulan terakhir
selama proses pembelajaran berlangsung. Untukmendapatkan data yang lebih valid, selain menanyakan kepada responden, peneliti juga menggunakan absen dari sekretariat. Dari keseluruhan pertemuan dalam 6 bulan terdapat 90 kali pertemuan, namun pada prakteknya paling banyak peserta yang datang hanya 60 kali dalam 6 bulan. Berdasarkan itu maka peneliti merumuskan bahwa tingkat kehadiran dikategorikan rendah jika responden memiliki total kehadiran 30 kebawah dan dikategorikan tinggi jika responden memiliki kehadiran diatas 30 kali dalam 6 bulan terakhir 2.
Tingkat keaktifan Keaktifan adalah intensitas peserta didik dalam bertanya, berdiskusi,
mengerjakan tugas yang diberikan oleh tutor maupun sesama peserta didik yang dilakukan di dalam proses pembelajaran maupun di luar jam pembelajaran. Pertanyaan untuk mengukur variabel ini menggunakan jenis pertanyaan ordinal dengan skala nilai 1-5. Tidak pernah, skor=1 sampai Selalu, skor=5. Berdasarkan rata-rata total dari jawaban setiap responden, diperoleh hasil sebesar 43,5.
36 Berdasarkan hasil rata-rata tersebut, maka peneliti mengkategorikan tingkat keaktifan menjadi tinggi dan rendah. Rendah < 43 dan tinggi ≥ 43
(III)
OUTPUT
1.
Tingkat pengetahuan Pengetahuan adalah hasil evaluasi dari nilai hasil ujian sebagai bukti
adanya peningkatan pengetahuan. Indikator yang digunakan adalah nilai hasil ujian mereka yang meliputi dua mata pelajaran UAN (Matematika dan Bahasa Inggris) dan dua mata pelajaran UAS (Pkn dan Geografi). Tingkat pengetahuan dikategorikan menjadi dua, yaitu; rendah < 26 dan tinggi ≥ 26 2.
Sikap terhadap keberlanjutan pendidikan Sikap adalah perubahan pola pikir, perasaan, nilai, dan dorongan yang
terpancar dari perilaku terhadap keinginan melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Variabel ini diukur menggunakan skala ordinal dengan skala sangat tidak setuju, skor=1 sampai sangat setuju, skor=5. Berdasarkan nilai tersebut didapatkan hasil rata-rata total dari seluruh responden sebesar 46. Berdasarkan jumlah rata-rata tersebut, maka peneliti mengkategorikan sikap terhadap keberlanjutan menjadi tinggi dan rendah. Rendah <46 dan tinggi ≥ 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode survei. Dalam penelitian survei, informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner. Umumnya, penelitian survei dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi. Hal ini berbeda dari sensus yang informasinya dikumpulkan dari seluruh populasi (Singarimbun dan Effendi, 1989). Metode survei digunakan dalam evaluasi program dengan maksud menjajagi, mengumpulkan, menggambarkan, dan menerangkan aspek-aspek yang dievaluasi. Dalam kegiatan menjajagi, mengumpulkan dan menggambarkan data, metode ini berguna mengungkap situasi atau peristiwa dari akumulasi informasi yang deskriptif. Metode survei dapat menjadi bagian dari metode deskriptif, dan digunakan dalam evaluasi dengan mengumpulkan data dari sampel dengan menggunakan instrumen pengumpulan data, yaitu angket dan wawancara sehingga hasil pengolahan data dapat mewakili populasi yang relatif besar jumlahnya (Sudjana, 2006). Metode survei menurut Singarimbun (1989), adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Oleh karena itu, penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang berkaitan dengan identitas individu, penilaian tentang motivasi, kondisi sosial ekonomi, dukungan keluarga,
37 kualitas pengajar, partisipasi dalam proses pembelajaran, dan output berupa hasil ujian dan sikap yang terlihat setelah mengikuti proses pembelajaran dengan maksud untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kelompok belajar Paket C PKBM Negeri 17
Penjaringan, Jakarta Utara. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan beberapa pertimbangan bahwa: (1) Tingginya jumlah masyarakat miskin dan putus sekolah di sekitar wilayah Kelurahan Penjaringan, (2) Kemudahan dalam mengakses tempat penelitian. Kegiatan yang dilakukan selama rentang waktu penelitian ini berlangsung meliputi kegiatan pra-studi lapang, studi lapang dan pasca studi lapang.Kegiatan pra-studi lapang dengan melakukan survey atau penjajagan di PKBM tersebutuntuk
mengetahui
gambaran
kondisi
tempat
penelitian
sebelum
dilaksanakan penelitian.Penjajagan ini dilaksanakan pada bulan April 2011. Kegiatan ini juga berguna untuk penyusunan instrumen penelitian berupa kuesioner, sehingga didapatkan gambaran yang lebih nyata dan akurat mengenai variabel-variabel yang akan diukur. Selanjutnya, kegiatan studi lapang merupakan kegiatan inti penelitian dan pengambilan data di lapangan dengan menggunakan kuesioner, wawancara, dan observasi (pengamatan). Waktu pelaksanaan penelitian dan pengambilan data di lapangan dilakukan selama satu bulan yaitu Juni-Juli 2011. Setelah kegiatan penelitian dan pengambilan data, peneliti melakukan kegiatan pasca studi lapang berupa penulisan laporan penelitian (skripsi).
38
3.3
Metode Penentuan Responden Populasi ialah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan
diduga (Singarimbun, 1989). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga belajar Paket C yang duduk di kelas III. Unit analisis dari responden yang dipilih adalah individu. Penentuan Sampel dilakukan dengan pengambilan sampel non probabilitas. Teknik non probabilitas yang digunakan adalah sampel aksidental. Sampel aksidental didefinisikan sebagai pencarian sejumlah unsur dengan memilih unsur yang paling mudah diperoleh peneliti dan unsur tersebut tidak memiliki suatu karakteristik tertentu (Black, 1992). Masih menurut Black (1992), pengambilan sampel dengan menggunakan teknik ini benar-benar dipandu hanya berdasarkan kemudahan dan faktor biaya. Kerugian utama dengan menggunakan metode penarikan sampel ini adalah temuan yang didapat tidak dapat digenerilisasikan. Dari data yang tersedia, jumlah peserta yang terdaftar untuk mengikuti Paket C kelas III berjumlah 75 orang. Dari 75 orang tersebut dipilih 30 orang sebagai sampel. Responden dipilih secara accidental berdasarkan jumlah warga belajar yang hadir pada saat pembelajaran.
3.4
Teknik Pengumpulan Data Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner yang berisi daftar pertanyaan serta pedoman wawancara untuk kepentingan kelengkapan penjelasan (eksplanasi) data primer, termasuk untuk kepentingan pengamatan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi dalam 2 sumber, yaitu data primer dan data sekunder. Data-data tersebut adalah sebagai berikut:
39 1. Data primer, yaitu data mengenai variabel utama yang meliputi beberapa indikator variabel-variabel yang diteliti. Data atau informasi ini diperoleh melalui wawancara (panduan kuesioner) dengan responden. Selain itu data juga digali dari pengelola PKBM. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi, atau lembaga terkait, serta hasil penelitian yang telah dipublikasikan. Data ini meliputi: (1) absensi tutor dan responden (2) data mengenai daftar nama tutor PKBM Negeri 17 Penjaringan (3) hasil-hasil penelitian sebelumnya dan (4) hasil ujian UAS dan UAN responden
3.5
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Jawaban yang diperoleh dari kuesioner berupa raw data kemudian
dikelompokkan berdasarkan variabelnya dalam bentuk transfer sheet. Adapun variabel yang dikelompokkan yaitu: variabel input, proses, dan output. Selanjutnya data yang terkumpul diolah dengan menghitung jumlah dan persentase responden menurut kategori variabel-variabel tersebut. Pengolahan data kuantitatif dilakukan degan Uji Korelasi Chi-Square. Uji Korelasi Chi-Square digunakan untuk mengukur variabel pengaruh dengan terpengaruh. Dalam penelitian ini, yaitu antara masukan dengan proses dan proses dengan output. Hasil uji juga ditampilkan dalam bentuk tabel silang antara variabel pengaruh dengan terpengaruh. Pengujian ini menggunakan program komputer SPSS17.0 for window
40
BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1
Sejarah dan Organisasi PKBM Negeri 17 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Negeri 17 yang berada di
wilayah Penjaringan ini pada awalnya merupakan Lembaga Pendidikan dan Kursus (LPK) yang didirikan oleh pemerintah pada tahun 1992. Melalui LPK ini pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah LPK melalui proses pendidikan. Saat didirikan, LPK ini memiliki beberapa bidang pendidikan keterampilan, antara lain menjahit, perbaikan mesin, dan merias wajah. Pada saat didirikan, LPK ini merupakan salah satu LPK percontohan di Jakarta. Saat itu, lulusannya banyak diterima bekerja di perusahaan besar seperti P.T. Astra. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas LPK ini tergolong baik. Pada tahun 2000, pemerintah mengubah LPK ini menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai bagian dari pengembangan program Pendidikan Luar Sekolah (PLS) oleh pemerintah pusat. Program pendidikan luar sekolah ini pada dasarnya memiliki tujuan yang tidak jauh berbeda dengan LPK yang sebelumnya telah ada, hanya terdapat beberapa penambahan dan penyesuaian program yang lebih disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Lingkup pendidikan luar sekolah meliputi: a. Pendidikan anak usia dini yang dilakukan melalui kelompok bermain dan taman pendidikan anak, b. Pendidikan keaksaraan yang merupakan garapan utama program keaksaaraan fungsional,
41
c. Pendidikan kesetaraan yang dilakukam melalui program paket A setara SD, paket B setara SLTP, dan paket C setara SMU, d. Pendidikan kecakapan hidup yang menjadi bidang garapan program kelompok belajar usaha (KBU), kursus-kursus, pelatihan keterampilan, magang, sanggar, padepokan, dan sebagainya. Saat ini, PKBM Negeri 17 merupakan satu-satunya PKBM yang berstatus ‘negeri’ di wilayah Kecamatan Penjaringan. Untuk saat ini, PKBM Negeri 17 hanya memiliki program kesetaraan A, B dan C. Adapun program lain seperti kursus keterampilan, PAUD, dan KF tidak berada dalam asuhan PKBM melainkan Program Luar Sekolah yang memiliki manajemen yang berbeda dari PKBM. Program kesetaraan yang dimiliki oleh PKBM Negeri 17 ini berada di bawah pimpinan Bpk. Maringan Purba selaku penanggung jawab (Penjab) dan Kepala Seksi Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) Kecamatan Penjaringan, yaitu Ibu Fitri Suryawati. Program kesetaraan pada PKBM ini merupakan upaya pemerintah untuk pemerataan pendidikan bagi warga masyarakat, khususnya masyarakat putus sekolah dari kalangan ekonomi menengah ke bawah di dalam komunitas Penjaringan. Sasaran penyelenggaraan PKBM adalah agar seluruh masyarakat mendapatkan pendidikan yang layak dan memiliki skill (keterampilan) yang lebih baik sebagai bekal untuk melanjutkan hidupnya yang menghasilkan pendapatan yang layak di masa datang sesuai dengan kondisi warga belajar. Selain itu, PKBM ini juga ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa saat ini sekolah tidak mahal dan dapat diikuti oleh berbagai kalangan usia. Setelah berubah menjadi PKBM, lembaga ini sudah menghasilkan beberapa lulusan yang telah terjun ke masyarakat. Namun PKBM ini tidak memiliki arsip atau dokumentasi lengkap
42
yang
dapat
menunjukkan
bagaimana
perkembangan
lulusannya
setelah
menyelesaikan Paket C di tempat ini. Dari sisi pengorganisasian, PKBM ini juga telah beberapa kali berganti penanggung jawab, namun, sekali lagi disayangkan, tidak terdapat arsip yang dapat menggambarkan perkembangan keorganisasian lembaga ini setelah berdiri. Pemanfaatan program Paket C oleh masyarakat hanya dapat dibuktikan dengan bertambahnya jumlah peserta program kesetaraan setiap tahunnya.
4.1.1
Struktur Organisasi PKBM Negeri 17 PKBM Negeri 17 memiliki struktur personal yang tersusun dari beberapa
tingkat jabatan yang mencerminkan tugas masing-masing komponen di dalamnya. Struktur organisasi PKBM Negeri 17 secara lebih jelas dapat dilihat pada bagan berikut. Kasi dikmenti Fitri Suryawati
Penanggung Jawab Maringan Purba Bendahara
Sekertaris
Tata Usaha
Karep
Indra
M.Ridwan Tutor
Warga Belajar Gambar 2. Struktur Organisasi PKBM Negeri 17
43
Gambar 2 menunjukkan struktur organisasi PKBM Negeri 17 Penjaringan. Dari gambar tersebut diketahui bahwa susunan paling atas dikepalai oleh Penilik kasi dikmenti yang selain mengepalai PKBM juga mengepalai semua bidang pendidikan menengah dan tinggi baik secara formal maupun informal di daerah Penjaringan. Di bawah Kasi Dikmenti terdapat Penanggung Jawab yang mengepalai sekretaris, bendahara dan termasuk tutor dan warga belajar. Tugas penanggung jawab pada PKBM tidak ada ubahnya seperti kepala sekolah pada sekolah formal. Namun sangat disayangkan berdasarkan hasil pengamatan peneliti, penanggung jawab di PKBM ini tidak hadir dalam seluruh kegiatan pembelajaran. Beliau menyerahkan hampir seluruh kegiatan operasional PKBM kepada sekretarisnya, sehingga penanggung jawab hanya sesekali hadir mengontrol. Penanggung jawab pada PKBM Negeri 17 ini juga bukan berasal dari kalangan pengajar seperti layaknya kepala sekolah pada umumnya. Beliau adalah pegawai negeri sipil yang bekerja pada pemerintah daerah Jakarta Utara. Berdasarkan pengamatan penulis, yang lebih aktif mengatur dan menjalankan PKBM adalah Indra, Sekretaris Penjab. Sekretaris Penjab pada PKBM ini datang dari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore dan hadir lagi pada saat mulai pembelajaran dari pukul 7 hingga setengah 10 malam hari.
4.1.2
Visi dan Misi PKBM Negeri 17 Sejalan dengan visi dan misi PKBM secara umum, PKBM Negeri 17
memiliki visi prima dalam pelayanan, unggul dalam prestasi. Sedangkan misi yang dianut oleh PKBM Negeri 17 dalam upaya mewujudkan visinya adalah sebagai berikut:
44
1.
Peningkatan keimanan, ketaqwaan dan profesionalisme penyelenggara dan pengelola pendidikan
2.
Peningkatan akses dan pencapaian standar nasional layanan pendidikan
3.
Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing global
4.
Pemantapan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publikasi pendidikan
5.
Peningkatan peran serta masyarakat dalam masyarakat Visi dan misi ini adalah acuan bagi PKBM Negeri 17 dalam menjalankan
program-programnya sebagai upaya untuk meningkatkan serta menjalankan amanat yang dimiliki oleh PKBM secara umum.
4.2
Profil Wilayah dan Komunitas Penjaringan Secara geografis, Kelurahan Penjaringan memiliki dataran yang sangat
rendah yaitu sekitar 1 meter di bawah permukaan air laut, dan di lewati tiga sungai yang mengalir ke laut sehingga menyebabkan daerah ini rawan banjir. Sebagai salah satu kelurahan yang berada di bawah wilayah administratif Kecamatan Penjaringan, Kelurahan ini merupakan salah satu daerah kawasan industri, pergudangan dan pusat perdagangan di daerah Jakarta Utara. Peruntukan tanah di wilayah ini terdiri dari industri, perdagangan, pelabuhan, ruko, apartemen, mall, perhotelan, rumah susun, properti dan pemukiman penduduk. Sebagian besar mata pencahariaan penduduk di daerah ini menengah ke bawah, yang terdiri dari buruh, karyawan, dan pedagang. Lapangan pekerjaan yang sulit menyebabkan pengangguran dan kemiskinan meningkat.
45
4.2.1
Kependudukan
4.2.1.1 Jumlah Penduduk Jumlah penduduk di Kelurahan Penjaringan sampai dengan bulan Mei 2011 adalah 78.136 jiwa dengan luas pemukiman penduduk ± 168,43 ha dan jumlah kepadatan penduduk 20.067/km. Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kelurahan Penjaringan Jakarta Utara, 2011
No
Umur
WNI
WNA
Jumlah
Lk
Pr
Jumlah Lk
Pr
Jumlah
keseluruhan
1
0-4
3.617
3.564
7.181
-
-
-
7.181
2
5-9
2.926
2.845
5.771
-
-
-
5.771
3
10-14
2.735
2.622
5.357
-
-
-
5.357
4
15-19
3.750
2.961
6.711
-
-
-
6.711
5
20-24
4.586
3.470
8.056
1
1
2
8.058
6
25-29
4.209
2.720
6.929
1
1
2
6.931
7
30-34
3.930
2.136
6.066
1
1
2
6.068
8
35-39
3.708
2.380
6.088
1
1
2
6.090
9
40-44
3.470
2.367
5.837
-
-
-
5.837
10
45-49
3.385
1.950
5.335
-
-
-
5.335
11
50-54
2.948
1.627
4.575
-
-
-
4.575
12
55-59
2.753
1.185
3.938
1
1
2
3.940
13
60-64
2.003
1.042
3.045
-
-
-
3.405
14
65-69
926
582
1.508
-
-
-
1.508
15
70-74
785
395
1.182
-
-
-
1.182
16
75>
330
217
547
-
-
-
547
17
jumlah 46.061
5
5
10
78.136
32.065 78.126
Sumber: Laporan Bulanan Kantor Kelurahan Penjaringan Bulan Mei 2011
Data Tabel 2 di atas dapat diklasifikasikan ke dalam tiga golongan, yaitu: (1) usia belum produktif, yaitu antara 0 sampai 14 tahun sebanyak 18.309 orang;
46
(2) usia produktif, yaitu antara 15 sampai 59 tahun sebanyak 53.545; dan (3) usia tidak produktif, yaitu antara 60 tahun ke atas sebanyak 6.642
4.2.1.2 Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan pendudukan Kelurahan Penjaringan terdiri atas 13.559 orang tidak sekolah, 13.190 orang tidak tamat SD, 3.354 orang putus sekolah SMP, 3.057 orang putus sekolah SMA dan 2.471 putus akademi. Secara lengkapnya terdapat dalam Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kelurahan Penjaringan Jakarta, 2011 Pendidikan Jenis kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan Status Pendidikan Tidak sekolah 8.261 5.298 13.559 Tidak tamat SD 8.060 5.130 13.190 Tamat SD 8.413 5.530 13.943 Tamat SMP 8.880 7.280 16.160 Tamat SMA 9.090 7.737 16.827 Tamat akademi 3.370 2.098 5.468 Putus sekolah Tidak sekolah 2.060 2.016 4.076 SD 1.842 1.830 3.672 SMP 1.627 1.727 3.354 SMA 1.530 1.527 3.057 Akademi 1.268 1.203 2.471 Sumber: Laporan Bulanan Kantor Kelurahan Penjaringan Bulan Mei 2011
Angka di atas menunjukkan bahwa masalah pendidikan, terutama putus sekolah, di Kelurahan Penjaringan merupakan masalah yang cukup serius bagi komunitas daerah ini. Faktor utama penyebab rendahnya tingkat pendidikan di wilayah ini adalah rendahnya kondisi ekonomi masyarakat yang didominasi oleh
47
warga yang kebanyakan adalah nelayan urban dan orang perantauan dari daerah yang belum memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan. Oleh karena itu, keberadaan wadah pendidikan nonformal di daerah ini sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar agar dapat memperbaiki kualitas hidup. Keberadaan PKBM Negeri 17 ini sebenarnya merupakan jawaban atas permasalahan pendidikan dalam rangka memberdayakan masyarakat Penjaringan. PKBM sebagai sumber informasi, diharapkan mampu memperbaiki kualitas pendidikan dan kemampuan dalam bidang keterampilan fungsional yang berorientasi pada pemberdayaan potensi masyarakat setempat melalui pendekatan pendidikan berbasis masyarakat sehingga dapat menaikkan taraf hidup masyarakat daerah ini.
4.3
Paket C
4.3.1
Proses Pembelajaran Warga belajar yang mengikuti proses pembelajaran di Paket C PKBM
Negeri 17 ini adalah warga masyarakat yang memiliki karakteristik sebagai berikut; (1) berusia antara 15-44 tahun yang belum mengikuti pendidikan SMA/MA, (2) sudah lulus SMP/ Paket B/ sederajat, (3) anak putus sekolah SMA/ dropped out, (4) diutamakan masyarakat yang berasal dari wilayah sekitar tetapi tidak menutup kemungkinan masyarakat dari luar lingkungan. Pada umumnya, Paket C memiliki jam pertemuan pagi dan sore hari tergantung dari ketersediaan waktu yang dimiliki warga belajar. Namun pada Paket C di PKBM ini mayoritas warga belajar telah memiliki pekerjaan, sehingga waktu belajar disesuaikan dengan warga belajar yang telah bekerja yaitu hanya pada sore hingga malam hari. Ketika hal ini ditanyakan kepada pihak pengelola
48
PKBM, mereka menjawab bahwa hanya terdapat pertemuan pada sore hari dikarenakan hanya beberapa orang yang dapat mengikuti Paket C pada siang hari, sehingga demi keefisienan waktu maka hanya diadakan pertemuan pada sore hari, mengikuti mayoritas warga belajar. Peserta paket C ini pada umumnya adalah warga belajar yang telah memiliki pekerjaan walaupun ada juga sebagian warga belajar yang belum memiliki pekerjaan atau tidak bekerja seperti, ibu rumah tangga. Proses pembelajaran Paket C ini berlangsung yaitu pada sore hingga malam hari, terjadwal dari hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Pada pukul 19.00 hingga 21.00 WIB. Tetapi jadwal tersebut dibagi lagi untuk Paket A kelas I, II, dan III. Untuk Paket C kelas I dan II, kegiatan pembelajaran terjadwal dari hari Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis. Sedangkan untuk kelas III pembelajaran dimulai dari hari Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Berdasarkan program pembelajaran di Paket C terdapat kelompok mata pelajaran dan kelompok kecakapan hidup berupa kursus-kursus. Namun kelompok kecakapan hidup saat ini bukan merupakan program yang wajib diikuti oleh warga belajar sehingga untuk sementara program ini ditiadakan dikarenakan kurangnya minat dari peserta. Adapun kursus yang tersedia pada PKBM ini, berada diluar pengelolaan Paket Kesetaraan. Sedangkan untuk kelompok mata pelajaran, saat ini hanya tersedia kelas IPS untuk Paket C sehingga mata pelajaran yang dipelajari hanya meliputi mata pelajaran yang diujiankan pada saat ujian nasional, yaitu: PKN, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Ekonomi, Sosiologi dan Geografi.
49
Pada program pembelajaran Paket C pada PKBM ini, setiap warga belajar diwajibkan membayar iuran sebesar Rp. 25.000 per bulan dan uang ujian sebesar Rp. 600.000 yang dibayarkan secara dicicil tanpa tenggang waktu. Menurut informan, adanya iuran tersebut dikarenakan saat ini pemerintah sudah tidak lagi mensubsidi anggaran untuk dana bantuan Paket C. Pemerintah hanya mensubsidi anggaran untuk program kesetaraan PKBM lainnya seperti Paket A dan B. Namun ketika ditanyakan apakah para warga belajar di ikutsertakan dalam membuat keputusan tentang biaya yang harus dibayarkan tersebut, tidak ada satu warga belajar pun yang merasa pernah dimintai pendapat tentang kebijakan apapun baik soal biaya yang harus dibayarkan per bulan maupun soal ketentuan jam belajar. Berdasarkan fungsinya sebagai learning society, PKBM Negeri 17 belum menjalankan kelima fungsi yang ada. PKBM, Paket C pada khususnya, hanya menjalankan salah satu fungsi dari lima fungsi yang ada. PKBM ini hanya menjalankan fungsinya sebagai tempat masyarakat belajar untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Namun PKBM Negeri 17 ini belum dapat menjalankan fungsifungsi lainya seperti, tempat tukar belajar, pusat pengetahuan dan informasi atau perpustakaan masyarakat, sebagai sentra pertemuan berbagai lapisan masyarakat, ataupun pusat penelitian masyarakat karena penulis merupakan peneliti pertama yang mengkaji tentang evaluasi program Paket C pada PKBM Negeri 17 ini.
4.3.2 Kurikulum Berdasarkan
buku
Acuan
Proses
Pelaksanaan
dan
Pembelajaran
Pendidikan Kesetaraan kurikulum tingkat satuan Pendidikan Kesetaraan, program Paket A, Paket B, dan Paket C dikembangkan berdasarkan pada prinsip-prinsip
50
berikut; berpusat pada kehidupan, beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, menyeluruh dan berkesinambungan, dan prinsip belajar sepanjang hayat. Namun, pada penerapannya hal tersebut diserahkan kepada masing-masing dinas yang bertanggung jawab di bidang pendidikan sesuai dengan kewenangannya. Paket C pada PKBM Negeri 17 sendiri menerapkan jenis kurikulum yang umum digunakan oleh sekolah negeri ataupun program kesetaraan di tempat lain. Tidak terdapat kekhususan dalam metode mengajar yang digunakan pada PKBM ini. Seluruh tutor menggunakan metode mengajar dengan cara ceramah di depan kelas. Metode tanya jawab maupun diskusi jarang dilakukan oleh tutor.
4.3.3
Sarana dan Prasarana Jenis dan jumlah sarana dan prasarana yang dimiliki PKBM ini dapat
dilihat berdasarkan daftar berikut: Daftar 1. Jenis dan Jumlah Sarana Prasarana PKBM Negeri 17 Penjaringan, 2011 Jenis Gedung ruang PKBM Ruang kantor Ruang kelas Ruang guru Kamar kecil/WC Ruang computer Komputer Meja kantor Kursi kantor Meja belajar Kursi belajar Papan tulis Lemari Rak buku Modul Paket C Sumber: Arsip PKBM Negeri 17 Penjaringan
Jumlah 1 lantai 1 ruang 3 ruang 1 ruang 1 ruang 1 ruang 10 buah 4 buah 4 buah 48 buah 80 buah 4 buah 2 buah 2 buah 78 buah
51
Dari daftar yang terdapat di atas dapat dilihat bahwa PKBM Negeri 17 ini masih memiliki sarana dan prasarana yang seadanya. Kelas yang ditunjukkan oleh Gambar 3 adalah kelas yang biasa digunakan oleh warga belajar Paket C kelas 3 untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Kelas ini juga merupakan kelas utama yang terdapat di PKBM ini. Ruang kelas lain yang tersedia lebih sempit dan pengap bila dibandingkan kelas yang terdapat di gambar.
Gambar 3. Situasi kelas yang digunakan warga belajar Paket C
Dari gambar di atas jelas terlihat bahwa sarana dan prasarana yang tersedia di PKBM Negeri 17 ini tergolong dalam kondisi yang cukup baik walupun tata letaknya kurang rapi dan banyak coretan namun, secara umum kondisinya masih sangat layak pakai. Permasalahan yang dihadapi adalah seiring dengan meningkatnya jumlah peserta program kesetaraan setiap tahunnya, kursi dan meja yang sekarang tersedia menjadi kurang memadai untuk mencukupi kebutuhan warga belajar. Pemerintah sebenarnya sudah menawarkan untuk menambah sarana seperti kursi dan meja namun karena keterbatasan ruang maka hal tersebut urung dilakukan.
52
4.3.4
Tutor Terdapat beberapa tutor yag mengajar secara tetap di PKBM Negeri 17 ini.
Berdasarkan peraturan pemerintah yang tertuang pada buku acuan program kesetaraan, syarat minimal untuk menjadi tutor program kesetaraan di wilayah perkotaan adalah lulusan S-1. Persyaratan tersebut berusaha untuk diikuti oleh seluruh PKBM yang terdapat di seluruh ibukota Jakarta termasuk di PKBM Negeri 17 ini. Namun karena terbatasnya sumber daya manusia yang ada, maka tidak seluruh tutor di PKBM ini merupakan lulusan S-1. Tabel 2 menyajikan jumlah dan persentase tutor yang mengajar pada PKBM ini. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Tutor Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Jenis Pendidikan Jumlah Persentase Kelamin
S-1
D-3
Laki-Laki
8
2
10
76,9
Perempuan
1
2
3
23,1
Total
9
4
13
100,0
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar tutor yang ada di PKBM ini merupakan lulusan S-1. Menurut informasi yang didapat peneliti, sebagian besar tutor tersebut adalah guru di sekolah formal. Tutor-tutor tersebut juga tidak hanya mengajar di sekolah formal dan di PKBM ini saja, namun mereka mengajar di tiga sekolah di daerah berbeda. Ketika hal ini dikonfirmasi langsung ke salah tutor, tutor tersebut menjawab hal itu dilakukan untuk menambah penghasilan karena sebagian besar tutor yang mengajar di PKBM ini belum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
53
Kondisi ini sebenarnya sangat tidak menguntungkan bagi warga belajar karena padatnya jadwal yang dimiliki oleh para tutor
akan mempengaruhi
kualitas pengajaran yang diberikan oleh tutor kepada warga belajar. Hal tersebut dapat dimaklumi karena kondisi fisik para tutor pasti telah mengalami keletihan setelah mengajar dari tempat ke tempat lain. Hal ini secara tidak langsung akan membuat para tutor tidak lagi merasa cukup punya tenaga untuk mengajar sehingga para tutor akan mengajar dengan ‘seadanya’. Namun begitu, penulis bisa mengerti kondisi yang harus dihadapi para tutor. Mereka terpaksa melakukan pengajaran
di
berbagai
tempat
karena
gaji
yang
kurang
memadai.
54
BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PAKET C DI PKBM NEGERI 17
5.1
Faktor Individu Sesuai dengan pemaparan pada metodologi, yang menjadi responden pada
penelitian ini adalah warga belajar pada PKBM Negeri 17 Penjaringan yang sedang mengikuti Program Kesetaraan Paket C di kelas III. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam dengan beberapa warga belajar, adapun warga belajar di PKBM ini memiliki beberapa karakteristik yang akan diurai dalam sub-sub bab berikutnya.
5.1.1
Jenis Kelamin Mayoritas warga belajar, yaitu sebanyak 59 persen adalah laki-laki dan
sisanya sebanyak 41 persen adalah perempuan. Hal ini sesuai dengan aturan yang dibuat oleh pemerintah bahwa Paket C diperuntukkan bagi masyarakat dengan golongan dan jenis kelamin apapun.
5.1.2
Usia Usia adalah lamanya tahun selama warga belajar hidup yang dihitung
sejak lahir sampai menjadi warga belajar dalam penelitian ini. Rata-rata warga belajar pada PKBM ini memiliki usia di atas standar usia anak sekolah pada tingkat SMA pada umumnya. Pada penelitian ini, usia warga belajar dibagi ke dalam 2 kategori yaitu rendah dan tinggi. Dikategorikan tinggi bila umur warga
55
belajar 21 tahun ke atas dan dikategorikan rendah bila umur warga belajar 20 tahun ke bawah. Mayoritas usia warga belajar adalah kelompok usia kategori rendah sebanyak 59 persen. Sementara yang berusia 21 tahun ke atas adalah 41 persen. Usia adalah faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses belajar. Pengaruh usia dapat langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung dapat dilihat dari perkembangan kemampuan belajar. Biasanya pada umur di atas 40 tahun, kemampuan belajar mulai menurun dan akan menurun drastis pada umur 60 tahun. Oleh karena itu biasanya usia dijadikan salah satu syarat untuk mengikuti pendidikan dalam pendidikan formal. Sedangkan pengaruh tidak langsung dapat melalui sikap, kesehatan, kematangan fisik dan kematangan mental. Hasil pengamatan dan wawancara dengan warga belajar di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar warga belajar berasal dari lulusan sekolah formal (SMP) yang memutuskan untuk bekerja dahulu, ada juga beberapa yang lulusan Paket B dari tempat yang sama, pindahan dari SMA karena disebabkan faktor ekonomi, maupun kenakalan di sekolahnya terdahulu, ada yang mengikuti paket C sebagai syarat untuk dapat mendaftar sebagai ketua Rukun Tetangga, serta ada beberapa warga belajar yang hanya mengikuti ujian kesetaraan saja dikarenakan tidak lulus pada ujian nasional disekolah formal maupun dikarenakan bersekolah di sekolah Internasional sehingga tidak mendapatkan ijasah SMA Nasional. Keragaman latar belakang warga belajar sebelum masuk Paket B ini mengakibatkan keragaman usia warga belajar. Beragamnya usia warga belajar membuktikan bahwa usia tidak menjadi penghalang bagi masyarakat untuk
56
mengejar cita-cita dan keinginan mereka untuk belajar. Hal tersebut sesuai dengan maksud pemerintah untuk menjadikan PKBM, khususnya Pendidikan Kesetaraan ini sebagai sarana belajar sepanjang hayat.
5.1.3
Sosial Ekonomi Sosial ekonomi keluarga warga belajar didasarkan atas pekerjaan orang
tua, pendidikan formal terakhir orang tua warga belajar pendidikan formal terakhir warga belajar, pekerjaan warga belajar, serta pendapatan warga belajar (jika bekerja). Berdasarkan peubah-peubah di atas selanjutnya sosial ekonomi keluarga dikategorikan menjadi dua yaitu rendah dan tinggi. Perbedaan antara warga belajar yang memiliki status sosial ekonomi tinggi dengan yang rendah tidak terlalu jauh berbeda. Hal ini terjadi karena kategori tinggi dalam penelitian ini adalah karena sebagian besar warga belajar sudah memiliki penghasilan sendiri atau sudah bekerja. Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar dari warga belajar berasal dari keluarga yang tidak cukup mampu untuk menyekolahkan warga belajar ke tingkat yang lebih tinggi sehingga mengharuskan warga belajar bekerja untuk membiayai pendidikan mereka. Tetapi ada beberapa warga belajar yang memiliki alasan lain untuk mengikuti Program Paket C ini. Alasan tersebut di antaranya adalah dikarenakan sekolah di sekolah Internasional dan mereka tidak mendapatkan ijasah nasional sehingga mengharuskan mereka untuk mengikuti ujian kesetaraan agar bisa mendapatkan ijasah setara SMA agar bisa mendaftar di perguruan tinggi nasional. Pernyataan tersebut diperkuat oleh sekertaris PKBM yang menyatakan bahwa warga belajar pada PKBM ini tidak terbatas pada warga belajar dari
57
kalangan yang tingkat ekonominya rendah saja, namun ada beberapa warga belajar yang berasal dari tingkat sosial ekonomi yang cukup baik. ‘Disini mbak, walaupun memang lebih banyak yang tingkat ekonomi keluarganya kurang, tetapi ada beberapa anak yang berasal dari keluarga mampu bahkan sekolah di sekolah internasional tetapi karena sekolah internasional tidak mendapat ijasah nasional, mereka jadi susah buat lanjut kuliah di sini jadi mereka pada ngambil ijasah di Paket C ini (Indra, 21thn)’
Hal ini sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Dinas Pendidikan bahwa Paket C diperuntukkan bagi seluruh kalangan masyarakat.
5.1.4 Motivasi Motivasi yang bersumber dari dalam diri warga belajar adalah keinginan atau dorongan yang terdapat dalam diri warga belajar untuk mengikuti kegiatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan diri untuk meraih peluang hidup yang lebih baik. Mayoritas warga belajar atau sekitar 60 persen memiliki motivasi yang tinggi, dan sisanya 40 persen memiliki motivasi yang rendah. Motivasi untuk mengikuti Kejar Paket C bersumber dari dalam diri warga belajar. Terdapat beberapa motif yang mendorong orang untuk belajar, diantaranya adalah: sifat ingin tahu, kreatif, keinginan untuk mendapatkan simpati, memperbaiki kegagalan, mendapatkan rasa aman dan ganjaran. Kebanyakan warga belajar sebelum masuk Kejar Paket C ini, adalah warga belajar yang telah lulus Paket B atau lulus SMP, namun ada beberapa pula yang putus sekolah dari sekolah formal karena kurangnya biaya ataupun karena kenakalan. Motivasi warga belajar dalam mengikuti kegiatan Paket C ini dapat dikatakan tinggi karena sebagian besar warga belajar yang mengikuti kegiatan ini
58
memiliki keinginan untuk mendaftar sendiri dan tidak merasa malu untuk mengakui ke teman-teman sepergaulannya bahwa mereka sedang belajar di Paket C. walaupun demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan informan peneliti juga menemukan beberapa warga belajar di Paket C ini yang motivasinya sangat kurang sehingga orang tua pesertalah yang mendaftarkan dan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan Paket C.
5.2
Faktor Lingkungan
5.2.1
Dukungan Keluarga Dukungan keluarga adalah perilaku yang dilakukan oleh anggota keluarga
warga belajar dalam rangka mendukung warga belajar dalam mengikuti kegiatan Paket C. Berdasarkan hasil wawancara, dukungan keluarga yang utama dilakukan oleh anggota keluarga adalah dengan menanyakan perkembangan warga belajar setiap kali warga belajar pulang dari pembelajaran. Menurut beberapa warga belajar, keluarga mendukung mereka untuk mengikuti Paket C di PKBM ini adalah karena biaya yang murah dan waktu yang sangat fleksibel sehingga mereka bisa bekerja tanpa mengesampingkan pendidikan. Namun begitu, tidak seluruh warga belajar didukung penuh oleh keluarga untuk mengikuti Paket C ini, seperti yang dialami Indra, 18 tahun salah satu warga belajar di PKBM 17 ini. ‘Kalau saya sih justru orang tua gak dukung saya ikut Paket C mbak, soalnya mereka takut jadi omongan keluarga kalo anaknya gak sepinter anak keluarga yang lain, soalnya dikeluarga saya Paket C masih dianggap gak sebagus sekolah formal. Saya ikut Paket C justru karena saya pengen kerja biar bisa mandiri. (Indra, 18 tahun)’
Berdasarkan hasil penelitian, warga belajar yang menyatakan bahwa mereka menerima dukungan keluarga yang tinggi memiliki jumlah persentase yang sama dengan warga belajar yang dukungan keluarganya rendah. Jika dilihat
59
dari persentase dukungan keluarga yang sama besar, hal ini menggambarkan ada keluarga yang kurang mendukung anggota keluarganya untuk melanjutkan pendidikannya di Paket C, hal tersebut mungkin dikarenakan pandangan sebagian orang yang beranggapan bahwa pendidikan pada Paket C tidak sebaik di sekolah formal. Sehingga mereka malu jika ada anggota keluarganya yang mengikuti pendidikan di Paket C. Peneliti juga menemukan bahwa sebagian warga belajar yang merasa tidak mendapat dukungan dari keluarganya adalah karena masih adanya anggapan terutama dari warga belajar yang berasal dari keluarga nelayan urban bahwa pendidikan tidak terlalu penting dibandingkan dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan.
5.2.2 Dukungan lingkungan pergaulan Dukungan lingkungan pergaulan adalah dukungan yang didapat warga belajar dari lingkungan sepergaulannya dalam mengikuti kegiatan paket C. lingkungan sepergaulan disini adalah teman-teman warga belajar selain yang mengikuti Paket C di tempat yang sama. Menurut Sudjana (2006) karakteristik eksternal warga belajar berkaitan dengan lingkungan kehidupan warga belajar. Hal tersebut meliputi lingkungan keluarga, teman bergaul, pekerjaan, dan kebiasaan yang terdapat di masyarakat dan daerah warga belajar. Variabel ini dimasukkan untuk mengetahui karakteristik mana yang paling mendorong atau menghambat warga belajar untuk belajar dan bagaimana pengaruhnya terhadap proses. Berdasarkan jawaban para warga belajar ketika peneliti menanyakan apakah mereka memberitahu teman sepergaulan mereka bahwa mereka mengikuti
60
Paket C sebagian besar warga belajar manjawab bahwa mereka memberi tahu. Dan ketika ditanyakan tentang tanggapan lingkungan pergaulan mereka, sebagian besar menjawab bahwa teman-teman mereka menganggap “biasa saja” saat tahu bahwa warga belajar sedang mengikuti pembelajaran di Paket C. Namun begitu, ada pula warga belajar yang menjawab bahwa teman sepergaulannya meremehkan keberadaan Paket C. Paket C dianggap sebagai tempat bagi orang-orang yang “bodoh” dan tidak setara dengan para lulusan sekolah formal di SMA. Persentase yang menunjukkan jumlah yang sama besar antara persentase dukungan pergaulan yang tinggi dengan persentase dukungan pergaulan yang rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian orang masih menganggap bahwa Paket C tidak setara dengan pendidikan formal. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, keberadaan Paket C telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat terutama masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang putus atau belum mengenyam pendidikan SMA/setara. Namun, walaupun manfaatnya telah diakui oleh sebagian besar masyarakat, tetap saja ada anggapan bahwa program kesetaraan tidak bisa disamakan terutama dari segi kualitas dengan sekolah/pendidikan formal lainnya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas dan pembuktian terhadap masyarakat luas akan sangat berguna untuk menaikkan citra program kesetaraan ini.
5.2.3 Lokasi pembelajaran Lokasi pembelajaran adalah jarak lokasi tempat pembelajaran dari tempat tinggal warga belajar hingga sampai ke tempat pembelajaran. Berdasarkan hasil
61
penelitian, mayoritas warga belajar yaitu sebanyak 56,67 persen menyatakan bahwa lokasi pembelajaran tergolong dekat dan mudah dicapai. Lokasi pembelajaran ini diukur berdasarkan indikator berupa pertanyaanpertanyaan tentang lama waktu yang ditempuh warga belajar untuk sampai ke lokasi pembelajaran (menit), jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke lokasi pembelajaran (meter), alat transportasi yang digunakan, uang atau ongkos yang dikeluarkan (rupiah), dan pendapat warga belajar mengenai jarak yang mereka tempuh. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar warga belajar menganggap bahwa lokasi pembelajaran Paket C ini berjarak yang cukup dekat dan mudah dijangkau. Hal itu menunjukkan bahwa PKBM Negeri 17 sudah cukup baik dalam menjalankan tugasnya untuk mendahulukan warga di sekitar lingkungan berdirinya PKBM dan tidak menutup masuknya warga lain yang ingin menuntut ilmu di PKBM ini.
5.3
Faktor Sarana
5.3.1
Kualitas Pengajar Kualitas pengajar adalah kemampuan tutor untuk menjalankan tugas dan
peranannya sebagai pengajar. Kualitas pengajar dalam penelitian ini dilihat dari beberapa aspek yang meliputi kemampuan memotivasi, penguasaan terhadap materi pelajaran, penggunaan media atau fasilitas yang terdapat dalam kelas, bahasa yang digunakan, dan cara mengajar yang menarik sehingga tidak membuat warga belajar merasa bosan. Secara keseluruhan persentase warga belajar yang menjawab kualitas pengajar tinggi dengan yang menjawab kualitas pengajar rendah adalah sama tinggi, yaitu 50 persen. Hal ini bisa mungkin disebabkan
62
karena dalam penelitian ini terdapat empat tutor yang dievaluasi berdasarkan indikator-indikator yang telah disebutkan sebelumnya. Keempat tutor tesebut adalah tutor untuk mata pelajaran yang mewakili mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Yaitu mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, Ekonomi dan Geografi. Staf pengajar atau tutor dalam Paket C di PKBM Negeri 17 ini diharapkan memiliki kompetensi profesional, personal dan sosial. Berdasarkan buku acuan proses pelaksanaan dan pembelajaran pendidikan kesetaraan (Direktorat Pendidikan, 2006) pendidik dan tenaga kependidikan pada pendidikan kesetaraan harus memiliki kualifikasi akademik minimal D-IV atau S-1, guru SD untuk Paket A, guru SMP untuk Paket B, dan guru SMA untuk Paket C, kyai/ustadz di pondok pesantren dan tokoh masyarakat dengan kompetensi yang sesuai serta narasumber teknis dengan kompetensi/ kualifikasi sesuai dengan mata pelajaran keterampilan yang diajarkan.Sebagian besar tutor yang terdapat pada PKBM Negeri 17 ini telah memenuhi kualifikasi yang ditetapkan pemerintah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa PKBM Negeri 17 sudah cukup baik dalam merekruit pengajar. Namun hal lain yang perlu diperhatikan adalah teknik pengajaran yang digunakan oleh para tutor. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, tutor di PKBM Negeri 17 ini hanya memaparkan materi dengan menggunakan teknik klasik dan konvensional dengan memusatkan proses pembelajaran hanya kepada tutor. Padahal, untuk dapat mencapai hasil yang maksimal, seharusnya tutor memberikan kesempatan kepada warga belajar untuk menambahkan hal-hal yag mungkin tidak terdapat dalam buku panduan sehingga peran PKBM sebagai tempat bertukar informasi dan pengetahuan dapat tercapai.
63
5.4
Proses
5.4.1
Kehadiran Kehadiran adalah jumlah hadir/kedatangan warga belajar di setiap kali
pertemuan pembelajaran. Jumlah kehadiran ini dilihat berdasarkan absen yang dimiliki oleh PKBM Negeri 17. Berdasarkan absen yang terdapat pada PKBM Negeri 17, jumlah kedatangan para peserta bisa dibilang sangat jarang terutama dibulan-bulan awal pembelajaran. Tingkat kehadiran dibagi menjadi rendah dan tinggi. Pengkategorian ini didasarkan pada jumlah rata-rata seluruh kehadiran warga belajar selama 6 bulan terhitung bulan Januari sampai Juni. Yang berada di atas rata-rata maka akan dikategorikan tinggi dan yang berada di bawah rata-rata akan di kategori rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 53 persen warga belajar memiliki tingkat kehadiran yang tinggi dan 47 persen sisanya adalah rendah. seperti yang telah peneliti sampaikan sebelumnya, bahwa berdasarkan hasil penelitian dengan melihat absensi warga belajar, peneliti menemukan bahwa tingkat kehadiran warga belajar pada PKBM ini terbilang jarang. Hal tersebut dikuatkan oleh pernyataan Sekertaris sekaligus pengelola PKBM, Mas Indra (21 tahun) ‘Kalo yang dateng mah sedikit mbak, alasannya banyak. Ada yang kerja lembur, tugas diluar kota atau sakit, atau capek, macem-macemlah. Yang terdaftar ada 70an orang, tapi yang datang tiap pembelajaran paling cuma 15 orang itu juga orangnya ganti-ganti’.
Hasil rata-rata yang didapat dari jumlah kehadiran seluruh warga belajar adalah 40 kali datang, padahal selama enam bulan proses pembelajaran terdapat sedikitnya 90 kali pertemuan. Menurut mas Indra, Sekertaris PKBM Negeri 17, untuk menyiasati sedikitnya kedatangan para peserta, PKBM telah membuat sanksi bagi peserta yang tidak datang selama empat kali berturut-turut tanpa
64
keterangan, yaitu sanksi berupa pembayaran ulang sebesar Rp. 25.000. Namun ternyata hal ini tidak berhasil membuat warga belajar untuk rajin datang karena masih banyak peserta yang tetap tidak masuk dengan menggunakan berbagai alasan dan menerima untuk membayar Rp. 25.000. Menurut salah satu warga belajar, hal tersebut dikarenakan sebagian besar mereka yang tidak masuk dikarenakan memiliki urusan pekerjaan yang penting sehingga tidak dapat ditinggalkan dan untuk itu, mereka lebih memilih untuk membayar sanksi dibandingkan untuk mengorbankan pekerjaan mereka.
5.4.2
Keaktifan Keaktifan adalah intensitas warga belajar dalam bertanya, berdiskusi,
mengerjakan tugas yang diberikan oleh tutor maupun sesama warga belajar yang dilakukan didalam proses pembelajaran maupun diluar jam pembelajaran. Tingkat keaktifan pada penelitian ini dibagi menjadi kategori rendah dan tinggi. Untuk kategori rendah didasarkan jika hasil nilai warga belajar berada di bawah rata-rata nilai tingkat keaktifan secara keseluruhan sedangkan untuk kategori tinggi, jika hasil nilai warga belajar berada di atas rata-rata nilai tingkat keaktifan secara keseluruhan. Penelitian menunjukkan bahwa 60 persen warga belajar memiliki tingkat keaktifan yang tinggi. Hal ini mengindikasi bahwa sebagian besar warga belajar memiliki keingintahuan untuk mempelajari pelajaran lebih dalam sehingga warga belajar berusaha untuk mencari tahu dengan cara bertanya kepada tutor maupun berdiskusi dengan teman bagian yang mereka kurang pahami.
65
5.5
Output
5.5.1 Pengetahuan Pengetahuan adalah jumlah hasil evaluasi dari nilai hasil ujian sebagai bukti adanya peningkatan pengetahuan. Indikator yang digunakan adalah nilai hasil ujian mereka yang meliputi dua mata pelajaran UAN dan dua mata pelajaran UAS. Tingkat pengetahuan ini dibagi atas rendah dan tinggi. Penentuan rendah dan tinggi ini didasarkan pada jumlah nilai rata-rata. Jika nilai warga belajar berada di bawah rata-rata, maka akan dimasukkan ke dalam kategori rendah dan jika nilai warga belajar berada di atas rata-rata maka akan masuk ke dalam kategori tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70 persen warga belajar memiliki tingkat pengetahun yang masuk dalam kategori rendah. Hal ini sebenarnya sangat ironis karena dengan hasil seperti ini menguatkan anggapan bahwa Paket C tidak dapat disetarakan dengan pendidikan formal karena kualitas yang dimiliki pesertanya sangat minim. Tetapi walaupun begitu, rendahnya tingkat pengetahuan warga belajar dapat juga disebabkan karena kurang kompetennya pengajar dan kurangnya kehadiran peserta dalam setiap kegiatan pembelajaran dikarenakan bekerja.
5.5.2
Sikap Sikap adalah pendapat serta pandangan warga belajar tentang kemanfaatan
pendidikan sehingga warga belajar menganggap pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan pada akhirnya memiliki kemauan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Dalam hal ini sikap juga dibagi ke dalam dua
66
tingkatan, yaitu tinggi dan rendah. Kategori ini didapat berdasarkan jumah ratarata dari seluruh warga belajar. Warga belajar yang memiliki nilai di bawah nilai rata-rata akan masuk dalam kategori rendah dan yang memiliki nilai di atas ratarata akan masuk ke dalam kategori tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 90 persen warga belajar memiliki kecenderungan sikap terhadap keberlanjutan pendidikan yang tinggi. Hal ini menunjukkan salah satu keberhasilan Paket C dalam memotivasi pesertanya untuk melanjutkan pendidikan, selain itu warga belajar juga menyatakan bahwa keinginan mereka untuk melanjutkan pendidikan mereka tidak terkait sama sekali dengan nilai-nilai mereka yang rendah. Hal ini dikarenakan warga belajar ingin merubah kondisi kehidupan mereka yang menurut mereka kurang baik, penanaman kesadaran akan pentingnya pendidikan untuk merubah kondisi kehidupan warga belajar merupakan salah satu keberhasilan yang diraih oleh PKBM Negeri 17.
67
BAB VI ANALISIS PROSES PEMBELAJARAN DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Proses pendidikan melalui pembelajaran menurut Sudjana (2006) adalah interaksi edukatif antara masukan (input) sarana dengan masukan (input) individu melalui kegiatan pembelajaran. Analisis hubungan dilakukan dengan melakukan uji analisis hubungan silang antara proses pembelajaran dengan masukan (input). Dalam penelitian proses pembelajaran akan dikaji dengan menggunakan peubah kehadiran dan keaktifan. Dari uji hubungan ini terlihat hubungan yang nyata antar satu peubah dengan peubah lainnya.
6.1
Kehadiran dan Faktor yang Mempengaruhinya
6.1.1
Hubungan antara Usia dengan Kehadiran Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara
usia dengan kehadiran. Untuk melihat hubungan keduanya, maka dilakukan uji hubungan dengan menggunakan tabulasi silang dan uji statistik CrosstabsCorrelations dengan menggunakan analisis Pearson, antara data ordinal dengan data rasio. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara usia dengan kehadiran. Pengambilan keputusan berdasarkan nilai signifikansi (Asymp. Sig.). Jika Asymp. Sig. lebih besar dari α (0,1) maka H0 diterima, artinya tidak terdapat hubungan antar variabel-variabel yang diuji. Untuk lebih jelasnya, hubungan antara usia dengan kehadiran dapat dilihat pada Tabel 3.
68
Tabel 5. Persentase Usia dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Usia Tingkat Kehadiran
Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
39,0
50,0
Tinggi
61,0
50,0
Total
100,0 (18)
100,0 (12)
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebesar 39 persenwarga belajar usia rendah, dalam penelitian ini berumur 20 tahun tahun ke bawah, memiliki tingkat kehadiran yang rendah dan sebesar 61 persen memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Untuk usia dengan kategori tinggi, yaitu berumur 21 tahun ke atas, terdapat 50 persen warga belajar dengan kehadiran rendah dan 50 persen dengan kehadiran tinggi. Angka tersebut menunjukkan kecenderungan yang tidak terlalu berbeda antara usia rendah yang tingkat kehadirannya tinggi dengan usia tinggi dengan tingkat kehadiran yang rendah. Warga belajar yang memiliki usia tinggi yang tingkat kehadirannya tinggi dengan usia tinggi yang memiliki tingkat kehadirannya rendah memiliki jumlah persentasi yang sama yaitu sebesar 50 persen untuk masing-masing kategori. Hal ini disebabkan karena warga belajar dengan usia tinggi sebagian besar sudah memiliki pekerjaan sehingga untuk datang setiap kali ada jadwal pembelajaran di PKBM mereka sudah merasa capek. Oleh karena itu, frekuensi kedatangan warga belajar ini biasanya hanya dua kali dari 4 kali pertemuan setiap minggunya. Hasil uji menunjukkan nilai signifikansi (Asymp. Sig.) untuk hubungan antara usia dengan kehadiran sebesar 0,547. Nilai signifikansi 0,547 menunjukkan nilai yang sangat besar, nilai tersebut lebih besar dari α (0,1) maka H0 tidak dapat
69
ditolak sehingga berarti tidak terdapat hubungan antara usia dengan kehadiran. Tidak terdapatnya hubungan nyata antara usia dengan kehadiran dapat disebabkan karena Program Paket C didesain untuk kelompok usia yang beragam mulai dari usia 15-44 tahun dengan karakteristik yang yang sangat beragam. Sasaran Paket C sendiri dari mulai mereka yang lulus Paket B/SMP/MA, belum menempuh pendidikan SMA/setara, putus SMA/setara, tidak menempuh sekolah formal karena pilihan sendiri, tidak dapat bersekolah karena berbagai faktor (potensi, waktu, kondisi geografis, ekonomi, sosial dan hukum, dan keyakinan). Berbagai faktor yang telah disebutkan sebelumnya tersebut menyebabkan aktifitas yang berbeda pula bagi setiap peserta sehingga uji hubungan yang menyatakan faktor umur tidak berhubungan secara nyata dengan kehadiran dapat dipahami.
6.1.2
Hubungan Antara Jenis kelamin dengan Tingkat Kehadiran Hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kehadiran dilakukan
dengan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kehadiran. Hubungan antara jenis kelamin dengan kehadiran diperlihatkan dalam Tabel 6. Tabel 6. Persentase Jenis Kelamin dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Jenis Kelamin Tingkat Kehadiran
Laki-laki (%)
Perempuan (%)
Rendah
50,0
33,0
Tinggi
50,0
67,0
Total
100,0 (18)
100,0 (12)
70
Tabel 6 menunjukkan bahwa laki-laki dengan persentase kehadiran rendah sama dengan yang tingkat kehadirannya tinggi. Sedangkan untuk perempuan, hasil persentase antara yang tingkat kehadirannya tinggi lebih besar daripada yang persentase kehadirannya rendah. Berdasarkan hasil uji Pearson, jenis kelamin tidak berhubungan secara nyata dengan tingkat kehadiran. Hal ini kemungkinan disebabkan karena program Paket C tidak mengklasifikasikan jenis kelamin dalam proses pembelajaran. Tidak ada hari-hari tertentu dalam proses pembelajaran yang mengkhususkan jenis kelamin tertentu untuk hadir pada hari itu sehingga tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kehadiran dapat dipahami. Namun bila dikaji lebih lanjut, dalam hasil tabulasi silang terlihat bahwa persentase warga belajar yang berjenis kelamin perempuan memiliki tingkat kehadiran yang lebih tinggi bila dibadingkan dengan warga belajar berjenis kelamin laki-laki. Hal tersebut terjadi karena kemungkinan adanya kecenderungan untuk warga belajar berjenis kelamin perempuan untuk lebih rajin karena faktorfaktor biologis tetapi hal tersebut tidak berengaruh bila berdasarkan uji analisis statistik.
6.1.3
Hubungan Antara Sosial Ekonomi dengan Tingkat Kehadiran Hubungan antara keadaan sosial ekonomi dengan tingkat kehadiran
dilakukan dengan melakukan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang nyata antara keadaan sosial ekonomi dengan tingkat kehadiran. Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sosial ekonomi warga belajar dengan tingkat kehadiran. Diduga bahwa semakin tinggi
71
keadaan sosial ekonomi warga belajar maka akan semakin tinggi pula tingkat kehadiran warga belajar dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Hasil tabulasi silang antara keadaan sosial ekonomi dengan tingkat kehadiran disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Persentase Tingkat Sosial Ekonomi dengan Tingkat Kehadiran Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Tingkat Sosial Ekonomi Tingkat Kehadiran
Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
43,0
44,0
Tinggi
57,0
56,0
Total
100,0
100,0
(14)
(16)
Tabel 7 menunjukkan bahwa sebesar untuk warga belajar dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah, 43 persen warga belajar memiliki tingkat kehadiran yang rendah dan 57 persen memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Sedangkan untuk warga belajar dengan keadaan sosial ekonomi tinggi, terdapat 44 persen tingkat kehadiran warga belajar yang rendah dan 56 persen tingkat kehadiran tinggi. Angka persentase di atas menunjukkan bahwa keadaan sosial ekonomi tidak ada hubungannya dengan tingkat kehadiran warga belajar dalam proses pembelajaran. Hal ini diperkuat dengan hasil uji Pearson yang menunjukkan Asymp. Sig. yang sangat tinggi yaitu sebesar 0,961. Angka Asymp. Sig. tersebut sangat jauh berbeda dengan α yang nilainya 0,1. Nilai tersebut menguatkan H0 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara keadaan sosial ekonomi dengan tingkat kehadiran warga belajar dalam proses pembelajaran.
72
Hal ini menunjukkan bahwa PKBM Negeri 17 telah menjalankan tugasnya dengan baik, karena tidak membedakan antara keadaan sosial ekonomi rendah maupun keadaan sosial ekonomi tinggi. Seluruh lapisan masyarakat diterima dan diberikan pengajaran yang sama yang dalam prakteknya diserahkan kembali kepada warga belajar untuk rajin dalam setiap pertemuan pembelajaran atau tidak.
6.1.4
Hubungan Antara Motivasi dengan Tingkat Kehadiran Motivasi berasal dari dua kata “motif” dan “asi” (actio). Motif berarti
dorongan dan asi berarti usaha sehingga motivasi bermakna usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan melakukan tindakan (Soedijanto, 1994). Menurut Arden N Frendsen, terdapat beberapa motif yang mendorong orang untuk belajar, diantaranya adalah: sifat ingin tahu, kreatif, keinginan untuk mendapatkan simpati, memperbaiki kegagalan, mendapatkan rasa aman dan ganjaran. Berdasarkan pada beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu penggerak atau dorongan-dorongan yang timbul dalam diri manusia yang dapat menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasi tingkah lakunya. Hal ini terkait dengan upaya untuk pemenuhan kebutuhan baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan rohani. Tabel 8 menunjukkan persentase warga belajar berdasarkan tingkat motivasi dan tingkat kehadirannya. Tabel 8. Persentase Motivasi dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Tingkat Kehadiran
Motivasi Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
41,7
44,4
Tinggi
58,3
55,6
Total
100,0 (12)
100,0 (18)
73
Tabel 8 menunjukkan bahwa sebesar 41,7 persen warga belajar yang memiliki motivasi rendah memiliki tingkat kehadiran yang rendah pula. Sedangkan untuk 58,3 persen warga belajar yang memiliki motivasi rendah memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Untuk warga belajar yang memiliki motivasi tinggi terdapat 44,4 warga belajar yang memiliki tingkat kehadiran yang rendah pula. Sebesar 55,6 persen warga belajar yang memiliki motivasi tinggi memiliki yang memiliki tingkat kehadiran yang tinggi pula. Hal ini terlihat agak ganjil karena orang dengan motivasi yang rendah justru memiliki tingkat kehadiran yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan warga belajar yang
memiliki motivasi tinggi. Hal itu bisa saja terjadi karena adanya peraturan pada PKBM Negeri 17 ini yang menyebutkan bahwa jika warga belajar tidak hadir tanpa keterangan selama 4 kali berturut-turut maka warga belajar tersebut akan dikenakan sanksi berupa daftar ulang dengan biaya sebesar 25 ribu Rupiah. Hasil uji Pearson menunjukkan bahwa nilai signifikansi (Asymp. Sig.) untuk hubungan antara motivasi dengan tingkat kehadiran adalah sebesar 0,880. Nilai tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan α (0,1) maka H0 tidak dapat ditolak. Nilai signifikansi tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara motivasi dengan tingkat kehadiran. walaupun secara teoritis seharusnya terdapat hubungan antara motivasi dengan kehadiran. Secara teoritis, semakin tinggi motivasi yang dimiliki oleh warga belajar maka akan semakin sering warga belajar hadir dalam setiap pertemuan pembelajaran. Namun dalam penelitian ini hal tersebut dibantah dan hasil uji menunjukkan sebaliknya. Penulis memperkirakan bahwa tingginya motivasi warga belajar untuk belajar dan mengikuti pertemuan pembelajaran harus dikesampingkan oleh warga
74
belajar karena sebagian besar warga belajar telah bekerja sehingga warga belajar terikat dengan kewajiban untuk lebih dulu menyelesaikan tugas mereka sebagai pekerja. Sehingga, dorongan besar yang dirasakan oleh warga belajar untuk mengikuti pertemuan pembelajaran harus kalah karena adanya kewajiban mereka untuk bekerja.
6.1.5
Hubungan Antara Tingkat Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kehadiran Hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kehadiran dilakukan
dengan tabulasi silang dan uji statistik Pearson. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kehadiran. Hasil persentase tabulasi silang digambarkan dalam Tabel 9. Tabel 9. Persentase Tingkat Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kehadiran Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Tingkat Dukungan Keluarga Tingkat Kehadiran
Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
47,0
40,0
Tinggi
53,0
60,0
Total
100,0 (15)
100,0 (15)
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebesar 47 persen warga belajar dengan tingkat dukungan keluarga rendah memiliki tingkat kehadiran yang tinggi dan 53 persen warga belajar dukungan keluarga rendah memiliki tingkat kehadiran tinggi. Sedangkan untuk 60 persen warga belajar dengan dukungan keluarga yang tinggi memiliki tingkat kehadiran yang tinggi pula. Hal tersebut membuktikan bahwa dukungan
keluarga
merupakan
salah
satu
faktor
penting
yang
dapat
mempengaruhi tingkat kerajinan warga belajar dalam menghadiri kegiatan
75
pembelajaran. Hal tersebut sangat masuk akal terutama mengingat bahwa sebagian besar warga belajar belum menikah sehingga masih di bawah pengawasan orang tua. Walaupun begitu, bagi warga belajar yang telah berkeluarga dukungan keluarga seperti suami dan anak juga merupakan faktor yang dapat menambah semangat mereka untuk menghadiri proses pembelajaran. Walaupun begitu, hasil uji Pearson menunjukkan nilai signifikansi (Asymp. Sig.) sebesar 0,713. Nilai signifikansi tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kehadiran.
6.1.6
Hubungan antara Tingkat Dukungan Lingkungan Pergaulan dengan Tingkat Kehadiran Uji hubungan antara kehadiran dengan lingkungan pergaulan dilakukan
dengan tabulasi silang dan uji statistik Pearson. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kehadiran dengan lingkungan pergaulan. Hubungan antara kehadiran dan lingkungan pergaulan tersebut dinyatakan dalam Tabel 10. Tabel 10. Persentase Tingkat Dukungan Lingkungan Pergaulan dengan Tingkat Kehadiran pada PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Dukungan Lingkungan Pergaulan Tingkat Kehadiran
Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
40,0
47,0
Tinggi
60,0
53,0
Total
100,0 (15)
100,0 (15)
Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa sebesar 40 persen warga belajar dengan tingkat dukungan lingkungan pergaulan yang rendah memiliki tingkat kehadiran rendah dan 60 persen warga belajar dengan dukungan pergaulan yang
76
rendah memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Untuk warga belajar dengan dukungan pergaulan yang tinggi sebesar 47 persen memiliki tingkat kehadiran yang rendah dan 53 persen memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Angka tersebut menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, khususnya warga belajar di PKBM Negeri 17 Penjaringan, Jakarta ini dukungan pergaulan tidak terlalu berpengaruh terhadap kehadiran warga belajar. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa para warga belajar tidak malu untuk mengakui kepada teman-teman sepergaulannya bahwa mereka sedang belajar di Paket C. Hasil uji dengan menggunakan korelasi Pearson menunjukkan bahwa nilai signifikansi (Asymp. Sig.) untuk hubungan antara dukungan pergaulan dengan tingkat kehadiran adalah sebesar 0,713. Nilai signifikansi 0,713 menunjukkan tidak adanya hubungan antara dukungan pergaulan dengan tingkat kehadiran secara statistik.
6.1.7
Hubungan antara Jarak Lokasi Pembelajaran dengan Tingkat Kehadiran Uji hubungan antara lokasi pembelajaran dengan tingkat kehadiran
dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi statistik Pearson. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara lokasi pembelajaran dengan tingkat kehadiran. Hasil tabulasi silang antara loasi pembelajaran dengan tingkat kehadiran disajikan pada Tabel 11.
77
Tabel 11. Persentase Hubungan Lokasi Pembelajaran dengan Tingkat Kehadiran pada PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Lokasi Pembelajaran
Tingkat kehadiran
Dekat (%)
Jauh (%)
Rendah
38,0
47,0
Tinggi
62,0
53,0
Total
100,0 (13)
100,0 (17)
Tabel 11 menunjukkan bahwa sebesar 38 persen warga belajar dengan anggapan lokasi pembelajaran dekat memiliki tingkat kehadiran yang rendah dan 62 persen warga belajar dengan anggapan lokasi pembelajaran dekat memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Untuk 47 persen warga belajar dengan anggapan lokasi pembelajaran yang ditempuh adalah jauh memiliki tingkat kehadiran yang rendah dan terdapat 53 persen warga belajar yang beranggapan bahwa lokasi pembelajaran jauh memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Angka tersebut memiliki kecenderungan bahwa semakin dekat jarak antara tempat tinggal warga belajar dengan lokasi pembelajaran maka tingkat kehadiran yang dimiliki oleh warga belajar pun akan semakin tinggi. Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar warga belajar sudah bekerja sehingga jika lokasi pembelajaran jauh dari tempat tinggal mereka, warga belajar akan semakin malas untuk menghadiri proses pembelajaran karena sudah merasa lelah akibat seharian bekerja. Akan tetapi, berdasarkan hasil uji statistik Pearson lokasi pembelajaran dengan tingkat kehadiran tidak memiliki hubungan secara statistik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi (Asymp. Sig.) yang cukup besar yaitu 0,638.
78
6.1.8
Hubungan antara Kualitas Pengajar dengan Tingkat Kehadiran Uji hubungan antara kualitas pengajar dengan tingkat kehadiran akan diuji
menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi statistik Pearson. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan nyata antara kualitas pengajar dengan tingkat kehadiran. Hasil tabulasi silang antara tingkat kualitas pengajar dengan tingkat kehadiran akan disajikan pada Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12. Persentase Kualitas Pengajar dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Kualitas Pengajar Kehadiran
Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
26,7
60,0
Tinggi
73,3
40,0
Total
100,0 (15)
100,0 (15)
Tabel 12 menunjukkan bahwa sebesar 73,3 persen warga belajar yang beranggapan kualitas pengajar rendah memiliki tingkat kehadiran yang tinggi sedangkan 60 persen yang menganggap kualitas pengajar tinggi memiliki tingkat kehadiran yang rendah. Angka tersebut menunjukkan kecenderungan bahwa semakin rendah anggapan tentang kualitas pengajar maka akan semakin tinggi tingkat kehadiran warga belajar dalam proses pembelajaran. Hal ini memang cenderung tidak wajar, dimana yang terjadi pada umumnya adalah semakin tinggi kualitas pengajar maka akan semakin tinggi pula tingkat kehadiran mereka. Kondisi yang tidak biasa ini, bila ditelaah lebih lanjut dapat disebabkan karena anggapan tentang kualitas pengajar yang baik adalah pengajar yang memiliki disiplin tinggi, penguasaan materi yang baik, penampilan yang baik, serta pembawaan mengajar yang baik pula. Anggapan warga belajar tentang pengajar yang baik ini, membuat mereka untuk segan bila tidak dapat hadir secara
79
rutin dalam setiap kegiatan pembelajaran karena bertolak belakang dengan kemampuan mereka untuk dapat hadir secara rutin karena tuntutan pekerjaan. oleh karena itu semakin rendah anggapan warga belajar tentang kualitas pengajar maka akan semakin tinggi kehadiran mereka. Hasil uji korelasi statistik Pearson menunjukkan angka signifikansi sebesar 0,065. Angka tersebut menunjukkan angka yang lebih besar daripada α (0,1) sehingga H0 dapat ditolak dan itu berarti terdapat hubungan nyata antara Kualitas Pengajar dengan Tingkat kehadiran warga belajar. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas pengajar maka tingkat kehadiran warga belajar dalam proses pembelajaran pun akan semakin tinggi. 6.2
Keaktifan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
6.2.1
Hubungan antara Usia dengan Keaktifan Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara
usia dengan tingkat keaktifan. Untuk itu, agar dapat melihat hubungan antar keduanya maka dilakukan uji hubungan dengan menggunakan tabulasi silang dan analisis Pearson. Paket C adalah salah satu program pemerintah yang tidak menggunakan batasan usia kepada siapapun yang ingin mengikutinya. Oleh karena itu, penulis ingin melihat apakah terdapat hubungan yang nyata antara usia dengan tingkat keaktifan yang dimiliki warga belajar. Pengambilan keputusan berdasarkan nilai signifikansi (Asymp. Sig.), jika Asymp. Sig. lebih besar dari α (0,1) maka H0 diterima, yang artinya tidak terdapat hubungan antara variabelvariabel yang diuji.
80
Tabel 13. Persentase Usia dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Keaktifan
Usia Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
38,9
41,7
Tinggi Total
61,1
58,3
100,0 (18)
100,0 (12)
Tabel 13 menunjukkan sebesar 61,1 persen warga belajar yang memiliki usia yang tinggi memiliki tingkat keaktifan yang rendah. Sebesar 38,9 persen warga belajar dengan usia rendah memiliki keaktifan yang rendah pula. Untuk warga belajar dengan usia tinggi dan tingkat keaktifan yang tingkat keaktifannya tinggi terdapat sebanyak 58,3 persen. Dan terdapat sebanyak 41,7 persen warga belajar dengan usia tinggi yang memiliki tingkat keaktifan yang rendah. Persentase tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara warga belajar dengan usia tinggi yang memiliki tingkat keaktifan tinggi dengan warga belajar usia rendah yang memiliki tingkat keaktifan yang tinggi ataupun sebaliknya. Hasil uji menunjukkan, nilai signifikansi untuk hubungan antara usia dengan tingkat keaktifan adalah 0,879. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan tingkat keaktifan warga belajar. Nilai signifikansi yang lebih besar daripada α (0,1) menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan tingkat keaktifan ditolak.
6.2.2
Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Tingkat Keaktifan Hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat keaktifan akan diuji
menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Uji ini dilakukan untuk
81
mengetahui ada tidaknya hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat keaktifan warga belajar. Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara jenis kelamin dengan tingkat keaktifan. Yaitu, bahwa kemungkinan adanya kecenderungan jenis kelamin tertentu untuk lebih aktif. Hasil tabulasi silang akan disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Persentase Jenis Kelamin dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Keaktifan Rendah Tinggi Total
Jenis Kelamin Laki-laki (%) 38,9 61,1 100,0 (18)
Perempuan (%) 41,7 58,3 100,0 (12)
Tabel 14 menunjukkan bahwa sebesar 38,9 persen warga belajar laki-laki memiliki keaktifan yang rendah dan sebesar 41,7 persen warga belajar perempuan memiliki keaktifan yang rendah pula. Pada tingkat keaktifan tinggi, terdapat sebanyak 61,1 persen warga belajar laki-laki dan 58,3 persen warga belajar perempuan. Angka tersebut menunjukkan bahwa untuk variabel jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan memiliki keaktifan yang sama-sama tinggi. Dari tabel silang tersebut terlihat bahwa jenis kelamin tidak ada pengaruhnya terhadap keaktifan warga belajar dalam bertanya atau proaktif untuk setiap kegiatan yang ada hubungannya dengan peningkatan kualitas pengetahuan akademis mereka. Hal tersebut diperkuat oleh hasil uji korelasi Pearson yang menunjukkan angka Asymp. Sig. sebesar 0,879 yang berarti bahwa secara statistik tidak terhadap hubungan antara jenis kelamin dengan usia karena nilainya yang jauh di atas α (0,1). Hasil uji menunjukkan bahwa kondisi pada Paket C di PKBM Negeri 17 Penjaringan, Jakarta dapat dikatakan telah cukup memiliki kesadaran akan
82
pendidikan sehingga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang jika terjadi mungkin saja akan menyebabkan adanya isu gender.
6.2.3
Hubungan antara Sosial Ekonomi dengan Tingkat Keaktifan Hipotesis awal untuk variabel ini menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara keadaan sosial ekonomi dengan keaktifan warga belajar. Untuk menguji hipotesis ini akan dilakukan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Tabel 15 akan memuat hasil tabulasi silang. Tabel 15. Persentase Sosial Ekonomi dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Keaktifan
Sosial Ekonomi Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
42,9
37,5
Tinggi Total
57,1
62,5
100,0 (14)
100,0 (16)
Berdasarkan hasil penelitian ini, umumnya kategori sosial ekonomi warga belajar adalah dari keluarga menengah ke bawah dan keluarga kurang mampu yang telah bekerja atau memiliki penghasilan sendiri sehingga kategori tinggi didominasi oleh warga belajar yang telah bekerja, sedangkan kategori rendah adalah warga belajar yang belum bekerja. Pengkategorian ini didapatkan dari hasil jumlah rata-rata pendapatan mereka sebulan. Warga belajar yang pendapatannya berada di bawah rata-rata akan masuk ke dalam kategori rendah dan warga belajar yang memiliki pendapatan di atas rata-rata akan masuk ke dalam kategori tinggi. Pada Tabel 15 di atas, terdapat sebanyak 42,9 persen warga belajar dengan sosial ekonomi rendah memiliki keaktifan yang juga rendah dan sebesar 37,5 persen warga belajar dengan keaktifan rendah yang memiliki keadaan sosial
83
ekonomi tinggi. Terdapat 57,1 persen warga belajar dengan keadaan sosial ekonomi rendah namun memiliki keaktifan yang tinggi dan sebesar 62,5 persen warga belajar dengan keadaan sosial ekonomi tinggi yang memiliki keaktifan yang tinggi pula. Hasil uji menunjukkan, nilai signifikansi untuk hubungan antara sosial ekonomi dengan keaktifan adalah 0,765. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan antara sosial ekonomi dengan keaktifan warga belajar. Nilai signifikansi yang menunjuk pada angka 0,765 menunjukkan angka yang lebih besar daripada α (0,1) sehingga hal ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara dua variabel yang diuji. Haryati (2007) menyatakan bahwa variabel sosial ekonomi memiliki hubungan sangat nyata dan negatif terhadap keefektifan total. Keefektifan total dalam penelitian Haryati (2007) tersebut adalah gabungan skor dari variabel pengetahuan, sikap dan keterampilan. Pada penelitian tersebut, faktor sosial ekonomi sangat berhubungan nyata dengan keterampilan. Jadi dikatakan bahwa dengan semakin tingginya status sosial, keefektifannya justru semakin rendah. dengan kata lain, responden yang berlatar belakang status sosial tinggi tidak cocok sebagai peserta Paket B. Penelitian Haryati (2007) tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara keadaan sosial ekonomi dengan tingkat keaktifan.
6.2.4
Hubungan antara Motivasi dengan Tingkat Keaktifan Hubungan
antara
Motivasi
dan
Keaktifan
akan
diukur
dengan
menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Uji ini dilakukan untuk
84
melihat apakah terdapat hubungan yang nyata antara motivasi dengan keaktifan warga belajar. Hasil tabulasi silang untuk variabel motivasi dengan keaktifan akan disajikan pada Tabel 16 di bawah ini. Tabel 16. Persentase Motivasi dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Keaktifan Rendah Tinggi Total
Motivasi Rendah (%)
Tinggi (%) 66,7 33,3 100,0 (12)
22,2 77,8 100,0 (18)
Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa 66,7 persen warga belajar dengan motivasi rendah memiliki keaktifan yang rendah pula sedangkan sebanyak 77,8 persen warga belajar dengan motivasi tinggi memiliki keaktifan yang tinggi pula. Persentase tersebut menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin tinggi motivasi yang dimiliki oleh warga belajar maka akan semakin tinggi pula keaktifannya. Motivasi tinggi yang dimiliki oleh warga belajar akan membuat warga belajar akan semakin bersemangat untuk mengikuti pembelajaran, sehingga dengan sendirinya warga belajar akan semakin proaktif untuk bertanya, dan berusaha untuk mencari tahu tentang hal-hal yang mendukung kemajuan akademis mereka. Hasil uji menunjukkan nilai signifikansi (Asymp. Sig) untuk hubungan antara motivasi dengan keaktifan adalah sebesar 0,015. Hal ini berarti terdapat hubungan yang nyata antara motivasi dengan keaktifan. Nilai signifikansi sebesar 0,015 merupakan nilai yang signifikan, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi motivasi yang dimiliki oleh warga belajar maka akan semakin tinggi pula kekatifan warga belajar dalam mengerjakan tugas dan bertanya pada guru.
85
Terdapatnya hubungan yang nyata antara motivasi dengan keaktifan berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryati (2007) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran Paket B setara SLTP. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pada kasus pada Paket B di PKBM Citra Pakuan Bogor, motivasi tidak memiliki hubungan nyata dengan keefektifan pembelajaran. Haryati (2007) mengatakan bahwa tidak terdapatnya hubungan antara motivasi dengan keefektifan disebabkan karena program Paket B adalah satu-satunya alternatif pendidikan di jalur pendidikan nonformal yang diselenggarakan setara SLTP, sehingga warga belajar yang tidak dapat masuk pada jalur pendidikan formal mendapatkan peluang untuk terus melanjutkan sekolah dan mendapat peluang untuk mendapatkan ijasah untuk bekal mencari kerja.
6.2.5
Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Keaktifan Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara
dukungan keluarga dengan keaktifan warga belajar. Untuk mengukur hubungan tersebut maka penulis menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah memang terdapat hubungan antara dukungan keluarga terhadap keaktifan warga belajar. Hasil tabulasi silang akan ditunjukkan pada Tabel 17 di bawah ini. Tabel 17. Persentase Dukungan Keluarga dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Keaktifan
Dukungan Keluarga Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
60,0
20,0
Tinggi Total
40,0
80,0
100,0 (15)
100,0 (15)
86
Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa sebesar 60 persen warga belajar dengan dukungan keluarga yang rendah cenderung memiliki keaktifan yang rendah pula, dan sebanyak 80 persen warga belajar yang memiliki dukungan keluarga yang tinggi memiliki keaktifan yang tinggi pula. Dukungan keluarga yang tinggi menambah semangat warga belajar untuk belajar lebih baik sehingga mempengaruhi peningkatan keaktifan warga belajar dalam pembelajaran. Hasil uji menunjukkan nilai signifikansi (Asymp. Sig.) untuk hubungan antara dukungan keluarga dengan keaktifan warga belajar adalah 0,025. Hal ini berarti terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan keaktifan warga belajar. Nilai signifikansi sebesar 0,025 merupakan nilai yang signifikan karena berada di bawah α (0,1) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan yang diberikan keluarga terhadap warga belajar maka akan semakin tinggi pula keaktifan warga belajar dalam mengikuti pembelajaran. Hubungan yang signifikan ini menguatkan hipotesis awal yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara dukungan keluarga dengan keaktifan. Dukungan keluarga merupakan faktor pendukung yang sangat dibutuhkan oleh warga belajar yang sedang mengikuti pendidikan baik di pendidikan maupun nonformal. Oleh karena itu, dorongan keluarga akan menambah semangat belajar yang baik pada warga belajar.
6.2.6
Hubungan Keaktifan
antara
Dukungan
Lingkungan
Pergaulan
dengan
Hubungan antara lingkungan pergaulan dengan keaktifan akan diuji dengan menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi statistik Pearson. Uji hubungan ini dilakukan untuk menguji hipotesis awal yang menyatakan bahwa
87
terdapat hubungan yang nyata antara lingkungan pergaulan dengan keaktifan. Tabulasi silang akan disajikan pada Tabel 18 di bawah ini. Tabel 18. Persentase Tingkat Dukungan Lingkungan Pergaulan dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Keaktifan
Dukungan Lingkungan Pergaulan Rendah (%)
Rendah
46,7
Tinggi (%) 33,3
Tinggi Total
53,3
66,7
100,0 (15)
100,0 (15)
Berdasarkan hasil pada Tabel 18 di atas, dapat dilihat bahwa sebesar 46,7 persen warga belajar yang memiliki dukungan dari lingkungan pergaulannya rendah memiliki keaktifan yang rendah pula dan sebesar 66,7 persen warga belajar dengan dukungan lingkungan pergaulan tinggi memiliki keaktifan yang tinggi pula. Hasil uji menunjukkan nilai signifkansi untuk hubungan antara dukungan pergaulan lingkungan dengan keaktifan adalah 0,456. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara dukungan lingkungan pergaulan dengan keaktifan. Nilai signifikansi sebesar 0,456 merupakan nilai yang lebih besar dari α (0,1) sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak terdapat hubungan yang nyata antara dukungan lingkungan pergaulan dengan keaktifan. Dukungan
dari
lingkungan
pergaulan
yang
diidentifikasi
adalah
bagaimana tanggapan teman-teman warga belajar tentang keikutsertaan para warga belajar dalam Paket C, dan apakah yang diperbuat oleh para teman dan lingkungan tempat warga belajar bergaul ketika mereka mengetahui keikutsertaan para warga belajar di Paket C. Jawaban yang beragam membuat kesimpulan akhir
88
bahwa sebanyak 50 persen lingkungan para warga belajar kurang mendukung keikutsertaan warga belajar pada Paket C.
6.2.7
Hubungan antara Lokasi Pembelajaran dengan Keaktifan Hipotesis awal yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata
antara lokasi pembelajaran dengan keaktifan akan diuji menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Hasil tabulasi silang untuk menguji dua variabel di atas akan disajikan pada Tabel 19 di bawah ini. Tabel 19. Persentase Jarak Lokasi Pembelajaran dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Keaktifan Rendah Tinggi Total
Lokasi Pembelajaran Dekat (%) Jauh (%) 30,8 47,0 69,2 53,0 100,0 100,0 (13) (17)
Berdasarkan hasil pada Tabel 19 di atas, terdapat sebanyak 69,2 persen warga belajar dengan lokasi belajar dekat memiliki keaktifan yang tinggi dan sebanyak 47 persen warga belajar dengan lokasi pembelajaran jauh memiliki keaktifan yang tinggi. lokasi pembelajaran adalah jarak yang harus ditempuh oleh warga belajar untuk dapat sampai ke lokasi pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar warga belajar bertempat tinggal di daerah sekitar Paket C didirikan, namun para warga belajar datang ke tempat pembelajaran Paket C bukan dari rumah melainkan dari tempat mereka bekerja sehingga jarak yang mereka tempuh berbeda jika mereka berangkat dari rumah ke tempat pembelajaran Paket C.
89
Hasil uji korelasi menunjukkan angka signifikansi 0,367. Nilai signifikansi sebesar 0,367 tersebut menunjukkan nilai yang lebih besar daripada α (0,1). Hal itu berarti tidak terdapat hubungan yang nyata secara statistik antara lokasi pembelajaran dengan keaktifan. Pengelola Paket C memang memprioritaskan warga belajar tidak mampu yang bertempat tinggal disekitar lokasi pembelajaran, walaupun tidak menutup kesempatan bagi yang bertempat tinggal jauh dari lokasi, agar tidak terlalu memberatkan warga belajar kurang mampu dalam hal biaya transport yang harus dikeluarkan. Lokasi pembelajaran bukan merupakan hal yang berhubungan dengan keaktifan warga belajar. Baik bagi mereka yang menganggap lokasi pembelajaran Paket C jauh atau dekat sama-sama memiliki keaktifan yang cukup tinggi.
6.2.8
Hubungan antara Kualitas Pengajar dengan Keaktifan Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan secara nyata antara
kualitas pengajar dengan keaktifan. Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Hasil tabulasi silang akan disajikan pada Tabel 20 di bawah ini. Tabel 20. Persentase Kualitas Pengajar dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Kualitas Pengajar Keaktifan
Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
60,0
20,0
Tinggi
40,0
80,0
Total
100,0 (15)
100,0 (15)
90
Berdasarkan pada Tabel 20 di atas, terdapat sebanyak 60 persen warga belajar yang menganggap kualitas pengajar rendah memiliki keaktifan yang rendah pula, dan sebanyak 80 persen warga belajar yang memiliki anggapan kualitas pengajar tinggi memiliki keaktifan yang tinggi pula. Uji korelasi Pearson juga menunjukkan angka signifikansi (Asymp. Sig. ) sebesar 0,025. Angka signifikansi sebesar 0,025 tersebut merupakan angka yang signifikan sehingga diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara kualitas pengajar dengan keaktifan warga belajar. Terdapatnya hubungan antara dua variabel tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi anggapan warga belajar terhadap kualitas tutor atau pengajarnya, maka akan semakin tinggi pula keaktifan mereka dalam mengerjakan tugas, bertanya, dan menjawab pertanyaan yang diberikan. Pendidik dalam Paket C memang diharapkan memiliki kompetensi profesional yang baik agar dapat mengarahkan warga belajar untuk selalu
bersemangat
dalam
mengikuti
setiap
kegiatan
pembelajaran.
91
BAB VII OUTPUT PEMBELAJARAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 7.1
Hubungan Antara Tingkat Kehadiran dengan Sikap Terhadap Keberlanjutan Pendidikan Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara
tingkat kehadiran dengan sikap. Hipotesis awal ini menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kehadiran warga belajar dalam proses pembelajaran maka akan semakin tinggi pula sikap warga belajar terhadap pendidikan, terutama untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih baik. Tingkat kehadiran menunjukkan intensitas warga belajar untuk hadir mengikuti proses pembelajaran di PKBM Negeri 17. Sedangkan sikap adalah perilaku warga belajar dalam menghayati kegiatan-kegiatan pendidikan terutama dalam rangka untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara tingkat kehadiran dengan sikap warga belajar terhadap pendidikan. Agar dapat melihat hubungan antar keduanya, maka dilakukan uji hubungan dengan menggunakan tabulasi silang dan uji statistik Pearson. Pengambilan keputusan dalam uji statistik Pearson adalah berdasarkan nilai signifikansi (Asymp. Sig.). Jika nilai signifikansi lebih besar dari α (0,1) maka H0 diterima, artinya tidak terdapat hubungan antara variabel-variabel yang diuji. Untuk lebih jelasnya, hubungan antara tingkat kehadiran dengan sikap dapat dilihat pada Tabel 21.
92
Tabel 21. Persentase Tingkat Kehadiran dengan Sikap Terhadap Keberlanjutan Pendidikan di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Sikap Terhadap Keberlanjutan Pendidikan Tingkat Kehadiran Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
33,0
44,0
Tinggi
67,0
66,0
Total
100,0 (3)
100,0 (27)
Tabel 21 di atas menunjukkan bahwa sebesar 33 persen warga belajar dengan sikap terhadap pendidikan yang rendah memiliki tingkat kehadiran yang rendah pula dan 67 persen warga belajar dengan sikap terhadap pendidikan yang rendah memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Sedangkan untuk 44 persen warga belajar dengan sikap terhadap pendidikan yang tinggi memiliki tingkat kehadiran yang rendah dan 66 persen warga belajar dengan sikap terhadap pendidikan yang tinggi memiliki tingkat kehadiran yang tinggi pula. Angka tersebut menunjukkan kecenderungan bahwa sebagian besar warga belajar memiliki sikap yang tinggi, namun faktor-faktor seperti pekerjaan dan kegiatan sehari-hari mereka terkadang menghambat mereka untuk hadir mengikuti proses pembelajaran secara rutin. Hasil uji menggunakan korelasi Pearson menunjukkan angka signifikansi sebesar 0,713. Angka ini menunjukkan bahwa H0 dapat diterima dan menunjukkan bahwa secara statistik, tidak terdapat hubungan antara tingkat kehadiran dengan sikap terhadap pendidikan.
93
7.2
Hubungan Antara Tingkat Kehadiran dengan Tingkat Pengetahuan Akademik Warga belajar Hubungan antara tingkat kehadiran dengan pengetahuan akademik warga
belajar akan diuji menggunakan tabulasi silang dan uji statistik Pearson. Hasil tabulasi silang disajikan dalam Tabel 22. Tabel 22. Persentase Tingkat Kehadiran dengan Tingkat Pengetahuan Akademik di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Tingkat Pengetahuan Akademik Tingkat Kehadiran Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
43,0
44,0
Tinggi
57,0
56,0
Total
100,0 (21)
100,0 (9)
Tabel 22 menunjukkan bahwa sebesar 43 persen warga belajar dengan pengetahuan akademik rendah memiliki tingkat kehadiran yang rendah dan sebesar 57 persen warga belajar dengan pengetahuan akademik yang rendah memiliki tingkat kehadiran yang tinggi dalam setiap pemelajaran. Sedangkan untuk warga belajar dengan pengetahuan akademik tinggi dan tingkat kehadiran rendah adalah sebesar 44 persen dan sebesar 56 persen dari 9 orang warga belajar memiliki pengetahuan akademik yang tinggi dan tingkat kehadiran yang tinggi pula. Berdasarkan hasil tabulasi silang di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian warga belajar memiliki pengetahuan akademik yang cukup rendah. Berdasarkan hasil uji statistik Pearson, nilai signifikansi hubungan antara tingkat kehadiran dengan pengetahuan akademik menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu sebesar 0,936. Nilai signifikansi tersebut lebih besar dari α (0,1) hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pengetahuan akademik dengan tingkat kehadiran jika dihitung secara statistik. Bila ditelusuri
94
lebih lanjut secara teoritis, seharusnya terdapat hubungan antara tingkat kehadiran dengan pengetahuan akademik. Karena warga belajar tidak memiliki buku pegangan yang dapat dipelajari sendiri di rumah sehingga warga belajar hanya mendapatkan pengajaran akademik jika warga belajar menghadiri proses belajar didalam kelas.
7.3
Hubungan Antara Tingkat Keaktifan dengan Pengetahuan Akademik Warga belajar Hubungan antara tingkat keefektifan dengan pengetahuan akademik warga
belajar diukur menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi statistik Pearson. Hasil tabulasi silang antara tingkat keaktifan dengan pengetahuan akademik warga belajar akan disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Persentase Tingkat Keaktifan dengan Pengetahuan Akademik Warga Belajar pada PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Keaktifan
Pengetahuan Rendah (%)
Tinggi (%)
Rendah
43,0
33,0
Tinggi
57,0
67,0
Total
100,0 (21)
100,0 (9)
Tabel 23 menunjukkan bahwa sebesar 43 persen warga belajar dengan tingkat pengetahuan yang rendah memiliki keaktifan yang rendah dan sebesar 57 persen memiliki keaktifan yang tinggi. Untuk warga belajar yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi, terdapat 33 persen yang memiliki tingkat keaktifan rendah dan 67 persen dengan keaktifan tinggi. Hal tersebut menunjukkan adanya kecenderungan semakin tinggi pengetahuan maka warga belajar juga akan semakin aktif. Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner, warga belajar merasa bahwa dengan diskusi dan berinteraksi dengan tutor, warga belajar merasa
95
mendapat motivasi lebih sehingga lebih mudah untuk menerima pelajaran yang diajarkan oleh tutor tersebut.
Hal tersebut diperkuat oleh informasi yang
diberikan oleh tutor, tutor mengatakan bahwa warga belajar yang sering berdiskusi dengan mereka, baik tentang pelajaran maupun tentang hal-hal lain biasanya memiliki nilai yang lebih baik daripada warga belajar yang jarang berinteraksi dengan mereka. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai signifikansi (Asymp. Sig.) untuk hubungan antara tingkat keaktifan dengan pengetahuan akademik adalah 0,626. Nilai tersebut menunjukkan nilai yang lebih besar dari α (0,1). Maka H0 terbukti bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan pengetahuan akademik. Maka walaupun terdapat kecenderungan bahwa keaktifan dan pengetahuan akademik berhubungan tetapi hal tersebut tidak terbukti secara statistik.
7.4
Hubungan Antara Tingkat Keaktifan Dengan Sikap Hubungan antara tingkat keaktifan dengan sikap akan diuji menggunakan
tabulasi silang dan uji statistik Pearson. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah keaktifan yang berbeda akan diikuti dengan sikap terhadap pendidikan yang berbeda pula. Hubungan antara tingkat keaktifan dengan sikap akan ditunjukkan pada Tabel 24. Tabel 24. Persentase Tingkat Keaktifan dengan Sikap Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011 Sikap
Keaktifan Rendah (%) Rendah Tinggi Total
Tinggi (%) 100,0 0,0 100,0 (3)
33,0 67,0 100,0 (27)
96
Tabel 24 secara jelas menunjukkan bahwa 100 persen warga belajar dengan sikap terhadap pendidikan yang rendah memiliki keaktifan yang rendah pula. Untuk warga belajar dengan sikap yang tinggi terhadap pendidikan, sebesar 33 persen memiliki keaktifan yang rendah dan 67 persen memiliki keaktifan yang tinggi. Angka tersebut menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi sikap terhadap pendidikan yang dimiliki oleh warga belajar maka akan semakin aktif warga belajar tersebut dalam proses pembelajaran. Sikap warga belajar terhadap pendidikan dilihat dari keingian, keyakinan, dan semangat warga belajar untuk melanjutkan sekolah maupun kesadaran terhadap pentingnya pendidikan. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai signifikansi (Asymp, Sig.) untuk hubungan antara tingkat keaktifan dengan sikap adalah sebesar 0,025. Nilai signifikansi 0,025 tersebut menunjukkan terdapat hubungan yang nyata antara tingkat keaktifan dengan sikap terhadap pendidikan. Nilai tersebut lebih kecil dari α (0,1) maka H0 ditolak dan berarti terdapat hubungan antara tingkat keefektifan dengan sikap terhadap pendidikan. Nilai ini menunjukkan bahwa semakin tinggi sikap yang dimiliki oleh warga belajar maka akan semakin tinggi pula keaktifannya dalam kegiatan pembelajaran. Di antara faktor-faktor dari proses yang diduga mempengaruhi output ternyata hanya keaktifan yang memiliki hubungan yang nyata dengan sikap warga belajar terhadap pendidikan. Kehadiran tidak berpengaruh sama sekali baik terhadap pengetahuan maupun sikap terhadap keberlanjutan pendidikan.
97
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 1.
Kesimpulan Kehadiran peserta PKBM Negeri 17 Jakarta mencapai 53 persen berkategori tinggi dan sisanya sebanyak 46 persen masuk dalam kategori rendah. Faktor yang mempengaruhi kehadiran ini adalah kualitas pengajar. Berdasarkan hasil penelitian, semakin rendah kualitas pengajar justru akan menaikkan tingkat kehadiran warga belajar pada PKBM Negeri 17 Jakarta. Hal ini diperkuat dengan hasil uji korelasi yang menunjukkan angka sebesar 0,065 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata secara statistik antara kehadiran dengan kualitas pengajar.
2.
Keaktifan peserta PKBM Negeri 17 Jakarta menunjukkan angka sebesar 60 persen berkategori tinggi dan sebesar 40 persen sisanya berkategori rendah. Berdasarkan hasil penelitian ini, faktor yang mempengaruhi tingkat keaktifan adalah motivasi, tingkat dukungan keluarga dan kualitas pengajar. Ketiga hal tersebut terbukti secara statistik memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat keaktifan warga belajar ketika mengikuti kegiatan pembelajaran dengan nilai signifikansi untuk masing-masing sebesar 0,015 untuk motivasi, 0,025 untuk tingkat dukungan keluarga dan sebesar 0,025 untuk kualitas pengajar.
3.
Berdasarkan hasil proses belajar, hanya 30 persen warga belajar yang memiliki tingkat pengetahuan berkategori tinggi, sedangkan sebanyak 70 persen sisanya berkategori rendah. Tetapi berdasarkan variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini, tingkat pengetahuan tidak memiliki hubungan
98
nyata secara statistik baik terhadap tingkat kehadiran maupun tingkat keaktifan. 4.
Berdasarkan hasil proses belajar, 90 persen dari warga belajar memiliki sikap yang tinggi terhadap keberlanjutan pendidikan. Faktor yang mempengaruhi sikap terhadap keberlanjutan pendidikan ini adalah keaktifan. Hal ini dibuktikan dengan nilai hasil uji signifikansi yang menunjukkan angka sebesar 0,025 yang berarti bahwa terdapat hubungan nyata secara statistik antara sikap terhadap keberlanjutan pendidikan dengan tingkat keaktifan warga belajar. Hubungan ini memiliki hubungan yang positif, artinya bahwa semakin tinggi keaktifan yang dimiliki oleh warga belajar, maka akan semakin tinggi pula sikap warga belajar terhadap keberlanjutan pendidikan mereka.
5.
Berdasarkan hasil penelitian, PKBM Negeri 17 Jakarta ini belum sepenuhnya menjalankan tugas dan kaidah-kaidah yang seharusnya dilaksanakan oleh PKBM dalam memberdayakan masyarakat yang berada disekitar berdirinya PKBM tersebut.
8.2 1.
Saran Penyelenggara sebaiknya lebih meningkatkan dan memperhatikan faktorfaktor seperti kualitas pengajar, terutama dalam hal penguasaan materi, cara penyampaian materi serta
motivasi yang diberikan kepada peserta didik
untuk belajar. Kedisplinan dalam kehadiran, materi pelajaran serta pemantauan dan pengelolaan arsip dan dokumentasi juga diperlukan untuk membangun kualitas PKBM yang lebih baik. Kualitas pengajar memiliki
99
peran yang sangat penting dalam perbaikan kualitas, oleh karena itu penyelenggara
PKBM
sebaiknya
semakin
memperhatikan
kualitas
pengajarnya. 2.
penyelenggara PKBM seharusnya lebih terbuka terhadap masyarakat. pengelola PKBM seharusnya lebih mengikutsertakan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan yang akan dilaksanakan oleh PKBM. PKBM juga seharusnya menggali lebih dalam kebutuhan masyarakat yang ikut serta dalam pembelajaran sehingga PKBM mampu benar-benar menjadi sarana pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3.
Penelitian
ini
membutuhkan
penelitian
lebih
lanjut
yang
dapat
menyempurnakan kajian dengan melakukan penelitian yang menggunakan kelompok kontrol untuk mengetahui sejauh mana perubahan yang telah dilakukan oleh PKBM. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih aktual. dalam kehadiran, materi pelajaran serta pemantauan dan pengelolaan arsip dan dokumentasi yang lebih baik. 4.
Penelitian
ini
membutuhkan
penelitian
lebih
lanjut
yang
dapat
menyempurnakan kajian dengan melakukan penelitian menggunakan kelompok kontrol untuk mengetahui sejauh mana perubahan yang terjadi setelah warga belajar mengikuti PKBM. Dengan menggunakan kontrol tersebut, diharapkan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih akurat dan aktual tentang evaluasi PKBM terutama Paket C.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Iskandar 2007. Hambatan Birokratis dalam Penyelenggaraan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No.068 Tahun ke-13 September 2007. h.909-922. Badan
Pusat Statistik 2011. ’Statistik Pendidikan Indonesia’. www.bps.go.id/angkapartisipasisekolahformal/index.html. diakses pada Maret 2011.
Bakthiar 2003. Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Program Pendidikan Berbasis Masyarakat (Kasus di SLTP N 3 Bengkalis). Tesis. Pascasarjana IPB. Bogor Black, James A 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: PT Eresco Budiono, Slamet Sudarto 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Keefektivan Magang di PKBM. (kasus: PKBM ALPA di kelurahan Cirangrang, kecamatan Babakan Ciparay, kota Bandung). Tesis. Pascasarjana IPB. Bogor. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 2006, Modul Petunjuk Teknis Pelaksanaan Program Kesetaraan, Proyek Pembinaan Tenaga Pendidikan, Jakarta. Fatimah, Andhini Nurul 2008. Peranan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dalam rangka pengembangan masyarakat (kasus: program paket c pada PKBM Santika, kelurahan Bambu Apus, Kecamatan Cipayung Kotamdya Jakarta Timur Provinsi DKI Jakarta). Skripsi. IPB. Bogor. Gunardi, n.d. Bahan Kuliah Penyuluhan Pertanian. Tidak dipublikasikan. Haryati, Teti 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keefektivan Pembelajaran Kejar Paket B Setara SLTP (Studi Kasus Kejar Paket B di PKBM Citra Pakuan Kota Bogor). Tesis. Pascasarjana IPB. Bogor. Mardiana 2005. Keefektivan Proses Pembelajaran Pada PKBM Adipura Kecamatan Manggala Kota Makassar. Tesis. Pascasarjana Universitas Negeri Makassar. Makassar. Maulidiansyah, Muhammad 2002. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat Desa (studi kasus: Program PKBM At-Taqwa Desa Dewasari dan PKBM-17 Agustus Desa Pamalayan Kecamatan Cijeungjing. Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat). Tesis. Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta. Sihombing, Umberto 1999. Pendidikan Luar Sekolah: Kini dan Masa Depan. Jakarta: PD. Mahkota.
32
Sihombing, Umberto & Gutama (Editor) 2000. Profil Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Indonesia pada Masa Perintisan. Jakarta: PD. Mahkota. Singarimbun, M.& Effendi, S. (Editor) 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Soedijanto 1994. Keefektifan Kelompok Tani dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian. Disertasi Doktor. Jurusan Ilmu Penyuluhan Pembangunan. IPB. Sudjana, Djuju 2006. Evaluasi Program Pendidikan luar Sekolah: Untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber daya Manusia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Tim Penulis FKIP UT 2007. Pendidikan Masyarakat. Jakarta: Universitas Terbuka. Widiamega, Arlita Puji 2010. Evaluasi Program Pembinaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai Implementasi Corporate Social Responsibility. Skripsi. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yuliantoro, Gito 2008. Pemberdayaan Mayarakat Melalui Kelompok Belajar Usaha (KBU) di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) (Studi kasus si PKBM “Mitra Mandiri” Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
LAMPIRAN Foto-Foto Kondisi Kelas dan Pemukiman Warga Penjaringan, Jakarta Utara
LAMPIRAN 2.
Hasil uji Pearson keaktifan * usia Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.023a
1
.879
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.023
1
.879
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
.022
1.000
.588
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
1
.881
Association N of Valid Cases
30
keaktifan * Jenis Kelamin Chi-Square Tests
Value
df
.023a
1
.879
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.023
1
.879
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1.000 .022 30
1
.881
.588
keaktifan * sosial ekonomi Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
.089a
1
.765
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.089
1
.765
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear
.086
1
.529
.769
Association N of Valid Cases
30
keaktifan * motivasi Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
5.926a
1
.015
Continuity Correctionb
4.219
1
.040
Likelihood Ratio
6.035
1
.014
Fisher's Exact Test
.024
Linear-by-Linear
5.728
1
.020
.017
Association N of Valid Cases
30
keaktifan * dukungan keluarga Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
5.000a
1
.025
Continuity Correctionb
3.472
1
.062
Likelihood Ratio
5.178
1
.023
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
.060 4.833
Association N of Valid Cases
30
1
.028
.030
keaktifan * lingkungan pergaulan Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
.556a
1
.456
Continuity Correctionb
.139
1
.709
Likelihood Ratio
.558
1
.455
Fisher's Exact Test
.710
Linear-by-Linear
.537
1
.355
.464
Association N of Valid Cases
30
keaktifan * lokasi pembelajaran Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.814a
1
.367
.277
1
.599
.824
1
.364
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
.465 .787
1
.301
.375
Association N of Valid Cases
30
keaktifan * kualitas pengajar Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
5.000a
1
.025
Continuity Correctionb
3.472
1
.062
Likelihood Ratio
5.178
1
.023
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
.060 4.833
Association N of Valid Cases
30
1
.028
.030
keaktifan * sikap Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
5.000a
1
.025
Continuity Correctionb
2.608
1
.106
Likelihood Ratio
6.009
1
.014
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
.054
Linear-by-Linear
4.833
1
.054
.028
Association N of Valid Cases
30
keaktifan * pengetahuan Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.238a
1
.626
.007
1
.935
.241
1
.623
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
.230
.704
.472
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
1
.631
Association N of Valid Cases
30
kehadiran * kode usia Chi-Square Tests
Value
df
.362a
1
.547
Continuity Correctionb
.051
1
.821
Likelihood Ratio
.361
1
.548
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
.711 .350
Association N of Valid Cases
30
1
.554
.410
kehadiran * Jenis Kelamin Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
.814a
1
.367
Continuity Correctionb
.277
1
.599
Likelihood Ratio
.824
1
.364
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
.465 .787
1
.301
.375
Association N of Valid Cases
30
kehadiran *sosial ekonomi Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
Pearson Chi-Square
.002a
1
.961
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.002
1
.961
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
1.000 .002
1
.626
.961
Association N of Valid Cases
30
kehadiran * motivasi Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
.023a
1
.880
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.023
1
.880
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
1.000 .022
Association N of Valid Cases
30
1
.882
.590
kehadiran * dukungan keluarga Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.136a
1
.713
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.136
1
.712
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
.131
1.000
.500
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
1
.717
Association N of Valid Cases
30
kehadiran * lingkungan pergaulan Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
df
.136a
1
.713
.000
1
1.000
.136
1
.712
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear
.131
1
.500
.717
Association N of Valid Cases
30
kehadiran * lokasi pembelajaran Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.222a
1
.638
Continuity Correctionb
.010
1
.921
Likelihood Ratio
.223
1
.637
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
.721 .214
Association N of Valid Cases
30
1
.643
.462
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.222a
1
.638
Continuity Correctionb
.010
1
.921
Likelihood Ratio
.223
1
.637
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
.721 .214
1
.462
.643
Association N of Valid Cases
30
kehadiran * kualitas pengajar Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
3.394a
1
.065
Continuity Correctionb
2.172
1
.141
Likelihood Ratio
3.466
1
.063
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
.139 3.281
Association N of Valid Cases
30
1
.070
.070
kehadiran * sikap Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
.136a
1
.713
.000
1
1.000
.139
1
.709
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
1.000 .131
1
.603
.717
Association N of Valid Cases
30
kehadiran * pengetahuan Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
.006a
1
.936
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.006
1
.936
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
1.000 .006
Association N of Valid Cases
30
1
.937
.623