EVALUASI POTENSI PRODUKSI SUSU PADA KAMBING SAANEN DI PT TAURUS DAIRY FARM
SKRIPSI RISSA FAYUMA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
i
RINGKASAN RISSA FAYUMA. 2008. Evaluasi Potensi Produksi Susu Pada Kambing Saanen di PT Taurus Dairy Farm. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Ir. Afton Atabany, M.Si. Evaluasi potensi produksi susu dapat dilakukan melalui perhitungan parameter genetik dari masing-masing individu. Parameter genetik ini kemudian digunakan untuk menghitung indikator potensi produksi, yaitu Predicted Breeding Value (PBV) dan Most Probable Producing Ability (MPPA). Untuk menghitung PBV, diperlukan nilai heritabilitas, sementara untuk menghitung MPPA diperlukan ripitabilitas. Dengan mengetahui indikator-indikator ini, maka dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan program pemuliaan. Penelitian dilakukan pada populasi kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm, Cicurug-Sukabumi. Penelitian dilakukan selama dua bulan, dari AgustusSeptember 2007, dengan menggunakan data sekunder dari 118 ekor kambing mulai tahun 1996 sampai 2007. Sebelum menghitung nilai parameter genetik, produksi susu yang dihasilkan distandarisasi untuk menghindari bias dalam perhitungan. Kambing dikelompokkan berdasarkan tahun dan musim kelahiran. Hal ini dilakukan karena musim dan tahun kelahiran berpengaruh sangat nyata terhadap produksi susu (P<0.01). Selanjutnya dilakukan koreksi terhadap produksi susu dengan membuat titik standarisasi. Produksi susu distandarisasi ke 240 hari dan periode laktasi keempat. Rata-rata produksi susu kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm adalah 322,03 liter. Produksi tertinggi terjadi pada laktasi keempat, yaitu sebesar 338,8 liter. Nilai heritabilitas dihitung dengan metode saudara tiri sebapak (Paternal Half Sib Correlation) dengan anak per pejantan tidak sama. Nilai ripitabilitas dihitung dengan melakukan analisa ragam antar dan dalam individu. Diperoleh nilai heritabilitas dan ripitabilitas berturut-turut adalah 0,2 dan 0,21. Selanjutnya, dilakukan perhitungan PBV dan MPPA. Nilai pemuliaan terduga (PBV) yang paling tinggi dicapai oleh kambing TDF 82 yaitu sebesar 493,011 liter dengan daya produksi susu tertaksir (MPPA) sebesar 484,682 liter. Peringkat PBV dan MPPA dari masing-masing individu ini kemudian dijadikan sebagai dasar seleksi untuk bibit dan penentuan replacment stock. Jumlah betina yang dijadikan sebagai bibit ditentukan berdasarkan kebijakan perusahaan. Tetapi umumnya 40-50% betina terbaik dijadikan induk untuk menghasilkan replacment stock. Hasil korelasi Pearson menunjukkan bahwa korelasi antara peringkat MPPA dan peringkat PBV pada populasi kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm sangat tinggi, yaitu 1,00. Artinya, individu yang memiliki peringkat tinggi pada perhitungan MPPA juga memiliki peringkat yang tinggi pada perhitungan PBV. Kata-kata kunci : Produksi susu, MPPA, PBV, heritabilitas, ripitabilitas.
ii
ABSTRACT Evaluation of Milk Yield Potency of Saanen Goats at PT. Taurus Dairy Farm Fayuma, R., C. Sumantri, and A. Atabany. The evaluation of milk yield potency can be done by calculating the genetic parameters of the individu. This parameter will be used to predict the MPPA (Most Probable Producing Ability) and PBV (Predicted Breeding Value). Heritability was the parameters to predict MPPA, while ripitability was used to predict PBV. MPPA, PBV, heritability, and ripitability were calculated by the total of milk production. To minimalize the environtment effect and bias in calculating, a correction factor for total milk production should be made. The correction factor that have significant effect in milk production are, length of lactation, lactation periode, season, and year of birth. Milk production was standarized in to 240 days, and the fourth lactation periode. The value of heritability and ripitability are 0.2 and 0.21 respectively. A correlation coeficient between MPPA and PBV is so significant (1.00). This study used the secondary data from 118 Saanen goat at PT. Taurus Dairy Farm. The data were collected from 1996 until 2007. Goat with identification number TDF 82 has the highest rank in PBV and MPPA. The value of its MPPA and PBV are 493.011 litre and 484.682 litre. Keywords : Milk production, MPPA, PBV, heritability, ripitability.
iii
EVALUASI POTENSI PRODUKSI SUSU PADA KAMBING SAANEN DI PT TAURUS DAIRY FARM
RISSA FAYUMA D14104039
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
iv
EVALUASI POTENSI PRODUKSI SUSU PADA KAMBING SAANEN DI PT TAURUS DAIRY FARM
Oleh RISSA FAYUMA D14104039
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 25 Maret 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc NIP. 131 624 187
Ir. Afton Atabany, M.Si. NIP. 132 133 961
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Agr.Sc NIP.131 955 531
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Agustus 1986 di Bukittinggi Sumatera Barat. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Fauzil Kamil dan Ibu Dra. Yumnafiati. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SDN 67 Banda Aceh. Pendikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 2 Bukittinggi. Pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMAN 1 Bukittinggi. Tahun 2004, penulis masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi, penulis juga aktif dalam berbagai
organisasi,
antara
lain:
HIMAPROTER,
BEM-D,
IPMM
dan
KEMAWITA.
vi
KATA PENGANTAR Assalamualikum Wr.Wb. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Evaluasi Potensi Produksi Susu Pada Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm. Shalawat beriring salam semoga tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Indikator yang dapat digunakan dalam evaluasi potensi produksi susu antara lain adalah MPPA dan PBV. Untuk memperoleh kedua indikator ini, diperlukan perhitungan parameter-parameter genetik yaitu heritabilitas dan ripitabilitas. Produksi susu perlu dikoreksi untuk menghindari bias dalam perhitungan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, dan dapat digunakan dalam pengembangan program pemuliaan. Bogor, Februari 2008 Penulis
vii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN…………………………………………………………………
i
ABSTRACTS…………………………………………………………………
ii
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………..
iii
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………..
iv
RIWAYAT HIDUP…………………………………………………………..
v
KATA PENGANTAR………………………………………………………...
vi
DAFTAR ISI......................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL..............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….
x
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………......
xi
PENDAHULUAN.............................................................................................
1
Latar Belakang....................................................................................... Tujuan.................................................................................................... TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………...... Karakteristik Kambing Saanen.............................................................. Produksi Susu ……………………………………………………….. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu............................... Faktor Koreksi Produksi Susu.............................................................. Heritabilitas.......................................................................................... Ripitabilitas………………………………………………………….. MPPA dan PBV……………………………………………………… METODE........................................................................................................ Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................. Materi................................................................................................... Rancangan............................................................................................. Analisa Data………………………………………………........... Prosedur………………………………………………………………. Pengambilan Data………………………………………………. Peubah yang Diamati……………………………………………. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………. Keadaan Umum PT. Taurus Dairy Farm……………………………... Sistem Pemberian Pakan……………………………………………... Perkandangan…………………………………………………………
1 2 3 3 3 4 5 7 11 12 14 14 14 14 14 17 17 17 18 18 20 23
viii
Produksi Susu………………………………………………………… Faktor Koreksi………………………………………………………... Heritabilitas dan Ripitabilitas………………………………………… MPPA dan PBV…………………………………………………....... Korelasi MPPA dan PBV……………………………………………. KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................
24 27 34 35 39 41
Kesimpulan…………………………………………………………… Saran………………………………………………………………….
41 41
UCAPAN TERIMAKASIH..............................................................................
42
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
43
LAMPIRAN…………………………………………………………………..
45
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Keadaan Lokasi Peternakan PT. Taurus Dairy Farm........................
18
2. Pengklasifikasian Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm........
19
3. Strukur Populasi Kambing Saanen di PT.Taurus Dairy Farm Pada Bulan September 2007.....................................................................
20
4. Formulasi Konsentrat........................................................................
22
5. Klasifikasi Kandang Kambing Saanen pada PT. Taurus Dairy Farm..................................................................................................
23
6. Rataan produksi susu per laktasi (240 hari) pada kambing Saanen di PT.Taurus Dairy Farm..................................................................
26
7. Sebaran Produksi Susu pada Masing-masing Laktasi Berjalan (Lama Laktasi)..................................................................................
30
8. Faktor Koreksi 240 Hari untuk Masing-masing Periode Laktasi.....
31
9. Faktor Koreksi Periode Laktasi.........................................................
33
10. Nilai Heritabilitas dan Ripitabilitas.................................................
34
11. Nilai MPPA dan PBV dari 10% Betina Terbaik Pada Populasi Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm.................................... 12. Data Induk dari 10% Betina Terbaik Pada Populasi Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm................................................... 13. Data 50 % Betina Terbaik Sebagai Pengganti ..............................
37 38 39
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm………………………
19
2. Kebun Hijauan PT. Taurus Dairy Farm...........................................
21
3. Kandang Kambing Saanen pada PT. Taurus Dairy Farm................
24
4. Rata-rata produksi susu pada Masing-masing Laktasi...................
26
5. Sebaran Produksi Susu pada Masing-masing Lama Laktasi...........
30
6. Tren Faktor Koreksi Lama Laktasi untuk Menstandarisasi Produksi Susu Kepada Produksi 240 hari untuk Masing-masing Periode Laktasi.................................................................................
31
7. Rataan Produksi Susu Terkoreksi Periode Laktasi..........................
33
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. Data Curah Hujan Daerah Cicurug, Sukabumi dari Tahun 1996 sampai September 2007…………………………………………… 2. Analisa Ragam Antar dan Dalam Pejantan untuk Pendugaan Nilai Heritabilitas..................................................................................... 3.Analisa Ragam Antar dan Dalam Individu untuk Pendugaan Nilai Ripitabilitas..................................................................................... 4. Peringkat MPPA dan PBV pada Populasi Kambing Saanen Betina di PT.TaurusDairy Farm.................................................................. 5. Data Kambing Saanen Betina Sebagai Ternak Pengganti di PT. Taurus Dairy Farm..........................................................................
Halaman
45 46 46 47 50
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan akan protein hewani terus meningkat. Hal ini berkaitan dengan banyaknya fungsi penting yang dimiliki oleh protein, antara lain: sebagai zat pembangun, membantu kecerdasan, dan banyak fungsi-fungsi penting lainnya. Sumber protein hewani sangat beragam, antara lain ialah susu. Untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri, Indonesia masih sangat bergantung pada produk impor terutama dari Australia dan Selandia Baru. Nilai Impor susu dan produk susu terus meningkat dari tahun ke tahun. Masyarakat Indonesia umumnya lebih memilih mengkonsumsi susu yang dihasilkan oleh sapi perah, dibandingkan dengan ternak-ternak penghasil susu yang lain. Konsumsi susu dari non sapi perah belum populer. Walaupun potensi dari sektor ini cukup besar. Ternak non sapi perah sebagai penghasil susu yang saat ini di kembangkan di Indonesia adalah kambing perah. Bangsa kambing perah yang dapat di kembangkan antara lain adalah Saanen. Kambing Saanen berasal dari Swiss dan memiliki rataan produksi susu tertinggi dibandingkan dengan bangsa kambing perah lain, sehingga kambing Saanen berpotensi untuk dibudidayakan sebagai ternak penghasil susu yang potensial. Kambing mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropik yang ekstrim, fertilitas tinggi, interval generasi yang pendek, serta kemampuan memanfaatkan berbagai macam hijauan dengan efisiensi biologis yang lebih tinggi dibandingkan sapi. Kualitas susu kambing tidak kalah dari susu sapi. Susu kambing memiliki butiran lemak yang berdiameter kecil lebih banyak dibandingkan susu sapi sehingga mudah dicerna dan sangat baik diberikan kepada orang yang mengalami gengguan pencernaan ataupun intoleran terhadap susu sapi (Devendra dan Mc. Leroy, 1982). Usaha peternakan kambing perah perlu dikembangkan, agar dapat menjadi salah satu usaha yang dapat menunjuang perekonomian para peternak, menyerap tenaga kerja dan dapat menciptakan diversifikasi dalam pengadaan susu di Indonesia. Untuk mencapai hal ini, maka dilakukan suatu upaya untuk memperoleh bibit-bibit kambing perah yang memiliki mutu genetik yang tinggi, sehingga diharapkan mampu 1
menghasilkan susu dengan kualitas dan kuantitas yang optimum. Peningkatan mutu genetik untuk produksi susu dilakukan dengan melakukan seleksi kambing-kambing perah yang akan dijadikan induk dan pejantan. Seleksi ini akan lebih tepat dilakukan jika peternakan tersebut memiliki catatan yang lengkap mengenai produktifitas dari masingmasing individu ternak, yang akan digunakan sebagai pendugaan parameter genetik. Untuk memperoleh ternak yang berproduksi tinggi, maka perlu dilakukan perbaikan dalam hal manajemen, pakan, dan penerapan program pemuliaan. Kebijakan pemuliaan mencakup dua hal, yaitu seleksi dan persilangan. Metode seleksi dilakukan dengan memilih kambing yang mempunyai kapasitas produksi tinggi (diatas rata-rata populasi). Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi mengenai potensi produksi susu. Prinsip evaluasi yaitu dengan mengetahui paratemer-parameter genetik, yang kemudian digunakan untuk mengetahui produktifitas ternak tersebut. Indikator yang dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi produksi susu adalah MPPA (Most Probable Producing Ability) dan PBV (Predicted Breeding Value). Kedua indikator ini dihitung berdasarkan produksi susu yang dihasilkan. Untuk menghindari bias dalam perhitungan, maka produksi susu dari masing-masing individu perlu dikoreksi. Dengan mengetahui kedua Indikator ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan program seleksi dan persilangan. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi potensi produksi susu pada populasi kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm berdasarkan perhitungan MPPA dan PBV, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam melakukan program pemuliaan di PT. Taurus Dairy Farm.
2
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Kambing Saanen Kambing Saanen berasal dari daerah Swiss Barat. Jenis kambing ini banyak dipelihara sebagai ternak penghasil susu. Produksi susu per ekor dapat mencapai 800 kg dengan kandungan lemak antara 3-4% per masa laktasi yang berlangsung selama 250 hari (Greenwood, 1997). Kambing ini sudah tersebar luas dan biasanya disilangkan dengan kambing lokal untuk memperbaiki mutu genetik kambing lokal (Sodiq dan Abidin, 2002). Menurut Devendra dan Burns (1994), kambing Saanen mempunyai ratarata produksi susu tertinggi dibandingkan dengan bangsa kambing perah manapun, dan karena alasan ini bangsa kambing ini telah dimasukkan ke banyak negara. Devendra (1993) mengatakan bahwa kambing Saanen adalah kambing perah yang baik dan dalam banyak hal memberikan penampilan yang baik serta dapat disesuaikan terhadap lingkungan sub-tropik, tetapi peka terhadap sinar matahari yang kuat. Kambing Saanen sangat sensitif terhadap cahaya, sehingga pemeliharaan kambing Saanen di daerah tropis harus menggunakan naungan. Kambing ini banyak tersebar di Australia, India, Malaysia, Cyprus, India bagian barat, Nigeria, venezuela, dan Afrika Selatan (Devendra dan McLeroy, 1982). Kambing Saanen mempunyai bobot dewasa kelamin sekitar 50-70 kg dan tinggi sekitar 81 cm untuk betina dan 94 cm untuk jantan. Bentuk kepala kecil lancip, dengan leher panjang dan halus, bulu pendek dan berwarna putih, krem pucat dengan bercakbercak hitam di hidung, telinga dan ambing. Betina Saanen seringkali tidak bertanduk (Greenwood, 1997). Kambing Saanen memiliki telinga tegak dan megarah ke dapan dengan muka lurus dan ramping serta tubuh mempunyai bentuk perah yang bagus dan ambing yang berkembang sangat baik (Devendra dan McLeroy, 1982). Produksi Susu Menurut Devendra dan Burns (1994), susu kambing memiliki butiran lemak yang halus dan menyebabkan proses pencernaan berlangsung mudah. Susu kambing juga tidak mengandung antigen penyebab alergi dalam proteinnya. Kualitas susu
3
kambing juga tidak kalah dari susu sapi dan sangat baik diberikan kepada orang yang mengalami gangguan pencernaan. Menurut Devendra dan Burns (1994), rata-rata produksi susu kambing Saanen di daerah tropis adalah 1-3 kg per ekor per hari, di daerah temperate produksi susunya dapat mencapai 5 kg per ekor per hari. Hasil penelitian Atabany (2001) menunjukkan bahwa rata-rata produksi susu kambing Saanen di PT Taurus Dairy Farm adalah 355,9 kg dengan lama laktasi 267,41 hari dan produksi per hari 1,29 kg. Menurut Devendra dan McLeroy (1982), kambing Saanen di daerah tropis dapat menghasilkan susu 1,0-3,0 liter/hari dengan periode laktasi sekitar 209 hari. Epun (2003) menunjukkan bahwa kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm memiliki panjang laktasi antara 6 sampai 8 bulan dengan rata-rata produksi 1,78 liter/ekor/hari. Produksi susu maksimum tercapai pada umur 4 - 5 tahun atau pada laktasi ketiga dan tidak menurun drastis selama tiga tahun berikutnya dimana dianggap hampir semua bangsa kambing berbiak sekali dalam setahun. Susu yang dihasilkan setiap hari akan meningkat sejak induk beranak kemudian produksi akan menurun secara berangsurangsur hingga berakhirnya masa laktasi. Puncak produksi susu akan dicapai pada hari 21-49 setelah beranak. Produksi susu kambing berkisar 1-3 kg per ekor per hari tergantung bangsa kambing, masa laktasi, suhu lingkungan, pakan, jumlah anak perkelahiran dan tatalaksana pemeliharaan (Atabany, 2002). Devendra dan Burns (1983) menyebutkan bahwa hasil susu maksimum tercapai pada umur 4 atau 5 tahun. Menurut Sodiq dan Abidin (2002), produksi susu kambing umumnya meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dan mencapai puncak saat mencapai umur 5-7 tahun, yakni pada masa laktasi ke 3 sampai 5. Produksi air susu seekor kambing akan naik sedikit demi sedikit sampai bulan kedua dan selanjutnya produktivitas air susu seekor kambing akan menjadi konstan mulai bulan ketiga. Kemudian berangsur-angsur menurun, sehingga produksi rendah terjadi pada awal dan akhir laktasi. Sekresi susu naik sesudah beranak dan akan lebih banyak pada kambing perah yang beranak lebih dari satu anak. Jumlah susu yang disekresi per hari akan naik untuk 2-4 minggu sesudah beranak dan banyak faktor yang mempengaruhi lama waktu yang diperlukan untuk memperoleh produksi maksimum (Atabany, 2002).
4
Fakor-faktor Yang Mempengaruhi Produksi Susu Kuantitas produksi susu dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya. Performans sifat ini tergantung pada gen-gen yang dimiliki, tetapi keadaan lingkungan yang menunjang diperlukan untuk memberikan kesempatan penampilan suatu sifat secara maksimal (Warwick et al., 1990). Schmidt et al. (1988) menjelaskan bahwa produksi susu dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan yang kompleks selain dipengaruhi oleh genetik sapi itu sendiri. Dinyatakan pula bahwa keragaman produksi susu 50% disebabkan oleh kondisi lingkungan dan 50% lagi disebakan oleh daya produksi susu rill (real producing ability). Musim, tahun dan peternakan merupakan faktor lingkungan yang diperhitungkan dalam pendugaan nilai pemuliaan, karena dianggap ketiga faktor tersebut menyebabkan keragaman produksi susu. Penelitian Anggraeni (1995) pada populasi sapi Fries Holland di PT. Taurus Dairy Farm menunjukkan bahwa tahun beranak merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap produksi susu (82,74%), diikuti oleh panjang laktasi (9,92%), umur beranak, bulan beranak dan periode laktasi. Besarnya pengaruh tahun beranak, kemungkinan terjadi karena adanya perbedaan tata laksana pemeliharaan, pemberian pakan, maupun perubahan mutu genetiknya. Sudono (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas, kuantitas, dan susunan susu adalah: bangsa/rumpun, lama bunting (gestation period), masa laktasi, besar, birahi (estrus), umur, selang beranak (calving interval), masa kering, frekuensi pemerahan, serta pemerahan, dan tata laksana. Besarnya produksi susu yang dihasilkan selama masa laktasi dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya pertumbuhan dan perkembangan sel-sel sekretoris kelenjar ambing selama kebuntingan, ketersediaan zat-zat makanan (substrat) sebagai bahan untuk sintesa susu dan laju penyusutan sel-sel sekretoris selama laktasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sintesa susu melalui dua jalur yaitu filtrasi dan sintesis. Kecepatan sintesis dan filtrasi susu tergantung dari konsentrasi precursor di dalam darah yang merupakan ekspresi dari kuantitas dan kualitas suplai pakan (Atabany, 2002).
5
Faktor Koreksi Produksi Susu Beberapa faktor lingkungan baik internal seperti masa laktasi, umur beranak, frekuensi pemerahan dan masa kosong, ataupun faktor eksternal seperti kondisi perusahaan tempat berproduksi, tahun beranak dan musim beranak dapat memberikan konstribusi terhadap variasi produksi susu dalam satu laktasi. Keadaan ini akan menutupi keragaman produksi susu yang disebabkan oleh keragaman genetik (Anggraeni, 1995). Schmidt dan Van Vleck (1974) menyatakan bahwa faktor lingkungan dapat dibagi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu: (1) lingkungan yang penyebabnya diketahui : umur, musim saat beranak, masa kering dan masa produksi, sehingga produksi perlu dikoreksi: (2) lingkungan yang tidak diketahui penyebabnya, namun berpengaruh terhadap produksi susu, hal ini sulit dibuat faktor koreksinya. Menurut Miller (1972) ada beberapa faktor yang menyebabkan bias pada uji zuriat, antara lain: umur saat beranak, perbedaan tingkat produksi diantara peternakan, waktu, fluktuasi musim, serta faktor lingkungan dan genetik lainnya. Peternakan merupakan faktor yang menghasilkan bias paling besar. Faktor-faktor yang perlu penyesuaian adalah jumlah pemerahan, intensitas pemerahan, dan periode laktasi (Warwick dan Legates, 1979). Lama hari berproduksi atau masa laktasi antara sapi-sapi betina memperlihatkan keragaman besar. Hasil-hasil yang telah diperoleh menunjukkan bahwa periode laktasi merupakan sumber keragaman yang perlu dipertimbangkan dalam mendapatkan faktor koreksi laktasi lengkap (Anggraeni, 1995). Menurut Devendra dan Burns (1994) tahun musim beranak, jumlah laktasi dan umur pertama kali beranak mempengaruhi produksi susu. Hewan yang beranak dari Januari sampai Juni menghasilkan susu lebih banyak dari yang beranak pada bulan-bulan lainnya. Bangsa dan jumlah laktasi berpengaruh terhadap produksi susu. Jumlah pemerahan setiap hari berpengaruh terhadap produksi susu. Pemerahan dua kali sehari menyebabkan produksi susu meningkat 40 % daripada pemerahan satu kali, pemerahan tiga kali lebih tinggi 5-20 % daripada dua kali dan pemerahan empat kali lebih tinggi 5-10% daripada pemerahan tiga kali. Dalam menduga nilai pemuliaan produksi susu perlu dilakukan penyesuaian produksi susu sapi betina yang dinilai terhadap produksi susu setara dewasa. Alasan
6
mendasar dilakukan pengoreksian dikarenakan perbedaan umur beranak dapat menimbulkan bias dalam evaluasi mutu genetik sapi betina ataupun sapi jantan. Kecuali apabila dilakukan pembakuan. Menurut Miller et.al. (1972) alasan pengoreksian produksi susu terhadap umur beranak berdasarkan sejarahnya di lakukan dengan tujuan (1) menghilangkan bias ketika membandingkan sapi-sapi betina (kelompok sapi betina) dengan umur yang berbeda, (2) menurunkan keragaman contoh karena umur yang tidak sama dan (3) guna mengestimasi produksi susu yang yang mungkin dapat dihasilkan seekor sapi betina dalam kondisi lingkungan lainnya sama kecuali berbeda umur berproduksi. Secara prinsipnya ada 3 metode yang dapat dipakai dalam mendapatakan faktor-faktor koreksi umur (1) metode perbandingan kasar (grosss comparison method, disingkat GC), (2) metode perbandingan berpasangan (Paired comparison method, disingkat PC) dan (3) metode model campuran (Mixed Model Method / Max likelikehood Method), yang menggunakan metode rataan bangsa-umur, menggunakan rataan produksi semua sapi betina dalam bangsa dan umur tertentu yang selanjutnya digunakan sebagai standar pembakuan. Kemudian catatan semua induk dinyatakan sebagai suatu presentase dari raataan bangsa-umur standar. Heritabilitas Dalton (1981) menyatakan bahwa heritabilitas merupakan ukuran kekuatan suatu sifat pewarisan yang diturunkan tetua kepada keturunannya. Heritabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bagian dari keragaman total suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik. Menurut Warwick et al., (1990) heritabilitas merupakan rasio yang menunjukkan persentase keunggulan tetua yang rata-rata diwariskan kepada keturunannya. Pengertian heritabilitas
ada dua macam, yaitu
heritabilitas dalam arti luas dan heritabilitas dalam arti sempit. Pengertian heritabilitas dalam arti luas adalah suatu nilai yang menggambarkan berapa bagian dari keragaman fenotipe yang disebabkan oleh pengaruh genetik secara keseluruhan . Hal ini meliputi nisbah antara ragam genetik yang merupakan gabungan dari ragam genetik aditif, dominan dan epistasis dengan ragam fenotipik yang biasa ditulis sebagai H. Secara statistik dapat dinyatakan sebagai berikut :
7
H=
σg + σ2d + σ2i σ2g+ σ2d + σ2i + σ2e
Keterangan : H 2
σg σ2d σ2i σ2e
: heritabilitas dalam arti luas : ragam genetik aditif : ragam genetik dominan : ragam genetik epistasis : ragam lingkungan
Sedangkan pengertian heritabilitas dalam sempit adalah nisbah antara ragam genetik aditif dengan ragam fenotipik . Secara statistik dapat dinyatakan sebagai berikut : h2 =
σ2g σ2g + σ2d + σ2i + σ2e
h2 = heritabilitas dalam arti sempit Dalton (1981) menyatakan bahwa pengaruh gen aditif adalah yang terpenting karena diwariskan kepada keturunan berikutnya. Makin besar pengaruh genetik terhadap suatu sifat makin tinggi nilai heritabilitas sifat tersebut. Genotip ditentukan pada saat pembuahan dan seumur hidup tidak berubah, tetapi ekspresinya dapat berubah karena pengaruh lingkungan dan interaksi antara genotip dan lingkungan. Umumnya hasil susu memang meningkat dengan meningkatnya proporsi gen kambing perah, sebagaimana yang diharapkan dalam pewarisan aditif (Devendra dan Burns, 1983). Dengan ditemukannya
nilai heritabilitas untuk sifat-sifat kuantitatif dapat
meramalkan atau menduga besarnya nilai pemuliaan atau nilai genetik individu ternak, sehingga dapat menyusun rancangan pemuliaan maupun menduga besar respon seleksi (Martojo, 1992). Heritabilitas memegang peranan penting dalam bidang pemulian ternak, karena nilai heritabilitas erat kaitannya dalam penerapan seleksi dan rencana perkawinan untuk memperbaiki mutu genetik ternak Pengetahuan ini memberikan dasar untuk menduga besarnya kemajuan program pemuliaan karena penaksiran heritabilitas 8
sangat erat kaitannya dalam rencana pemuliaan untuk menaksir nilai pemuliaan suatu individu (Warwick et al., 1990). Ternak yang secara genetik unggul tidak akan menampilkan keunggulan yang optimal jika tidak didukung oleh faktor lingkungan yang baik pula. Sebaliknya, ternak yang memiliki mutu genetik rendah meski didukung oleh lingkungan yang baik juga tidak akan menunjukkan produksi yang tinggi (Noor, 2000). Heritabilitas bukan suatu konstanta, karena nilainya dipengaruhi oleh besar komponen aditif dalam pembilang dan komponen ragam genetik dan lingkungan dalam penyebut. Oleh karena itu, nilainya dipengaruhi oleh setiap perbedaan besarnya ragam genetik aditif, yang biasanya timbul karena perbedaan antara gen-gen yang mempengaruhi setiap sifat kuantitatif. Warwick et al. (1990) menyatakan bahwa secara teoritis, heritabilitas dapat berkisar antara 0 sampai 1,0, tetapi angka ekstrim ini jarang diperoleh untuk sifat-sifat kuantitatif ternak. Menurut Noor (2000) nilai heritabilitas dikatakan rendah jika nilainya berada antara 0-0,2, sedang antara 0,2-0,4, dan tinggi untuk nilai lebih dari 0,4. Nilai heritabitas tinggi menunjukkan perbedaan fenotip hewan sebagian besar disebabkan oleh perbedaan nilai pemuliaan, bukan disebabkan oleh pengaruh kombinasi gen (dominan dan epistasis) maupun pengaruh lingkungan. Jika h2 suatu sifat rendah, maka perbedaan fenotip hanya sedikit dipengaruhi perbedaan nilai pemuliaan dan lebih banyak dipengaruhi faktor-faktor lainnya. Pendugaan nilai heritabilitas yang tinggi diharapkan dapat mewariskan sifat produksi susu pada keturunannya dengan kemajuan genetik yang dicapai tinggi, sehingga seleksi akan efektif. (Bourdon, 1997). Warwick et al. (1990) dan Martojo (1992) menyatakan bahwa rata-rata heritabilitas produksi susu per laktasi untuk kambing perah adalah 0,30-0,40 dan heritabilitas berbeda antar bangsa dalam lingkungan yang berbeda, atau antara galur dengan cara seleksi yang berbeda. Pallawaruka (1999) menyebutkan bahwa nilai heritabilitas untuk produksi susu adalah 0.25. Sementara, Johansson dan Rendel (1968) menemukan bahwa nilai heritabilitas produksi susu antara 0.2-0.3. Namun dalam kelompok ini, galat bakunya lebih tinggi daripada nilai heritabilitas. Secara umum, tingginya galat baku disebabkan karena jumlah cuplikan data yang sedikit. Lasley (1978) menyatakan bahwa pendugaan terhadap besarnya heritabilitas akan berbeda-beda hasilnya tergantung dari metode yang digunakan. Menurut Warwick 9
et al. (1990) cara yang paling teliti untuk menentukan h 2 suatu sifat dari satu spesies adalah melalui pencatatan selama beberapa generasi dan menentukan kemajuan yang diperolehnya, kemudian dibandingkan dengan sejumlan keunggulan dari tetua terpilih dalam semua generasi dalam percobaan itu. Menurut Pallawarukka (1999) Pendugaan heritabilitas dilakukan berdasarkan persamaan sifat antar individu ternak yang berkerabat, yaitu kemiripan dengan saudara kandung (full sib), saudara tiri (half sib), antara tetua-anak (parent-offspring), dan kembar identik (tetapi biasanya tidak dipakai). Demikian juga yang dinyatakan oleh Warwick et al (1990)
menjelaskan beberapa
metode yang telah dikembangkan untuk menduga nilai heritabilitas yaitu (1) kemajuan dari program seleksi (2) regresi anak-tetua (parent offspring regression) (3) korelasi saudara tiri sebapak (paternal half sib correlation), 4) analisa saudara kandung (full sib method of analysis), (5) perbandingan kembar identik dan paternal. Menurut Noor (2000) ada empat cara untuk mengestimasi nilai heritabilitas, yaitu dari data kelahiran kembar, heritabilitas nyata, metode regresi dan korelasi, serta ripitabilitas. Derajat kemiripan ternak-ternak di dalam kelompok saudara tiri sebapak (half-sib) yang lebih besar daripada kemiripan antara ternak di dalam kelompok acak di dalam suatu populasi karena merupakan metode penaksiran heritabilitas yang paling banyak digunakan. Metode ini paling murni menggambarkan ragam genetik aditif di bandingkan dengan metode-metode lain apabila digunakan dengan tepat (Johansson dan Rendel 1968). Heritabilitas tidak mungkin diduga dengan ketetapatan yang tinggi dan hampir semua pendugaan mempunyai galat yang besar. Nilai heritabilitas dapat beragam karena pengaruh jumlah dan jenis ternak, waktu, dan lingkungan, serta metode pendugaan yang digunakan. Nilai pendugaan heritabilitas untuk suatu sifat yang sama akan bervariasi kepada suatu populasi ternak tertentu, tergantung pada lingkungan ternak itu berada (Falconer, 1981). Dikatakan pula bahwa kadang-kadang analisis statistik menghasilkan taksiran heritabilitas negatif atau taksiran yang lebih dari satu, secara biologis hal ini tidak mungkin. Hal ini dapat disebabkan oleh keragaman yang disebabkan oleh lingkungan yang berbeda, metode statistik yang tidak tepat sehingga tidak dapat memisahkan ragam genetik dan ragam lingkungan secara efektif serta kesalahan pengambilan contoh terutama apabila populasi yang diteliti kecil Warwick et al. (1990). 10
Pallawaruka (1999) menyatakan bahwa heritabilitas mengukur tingkat kemiripan turunan-turunan (anak-anak) dengan tetuanya dari sebuah sifat, jika sebuah sifat mempunyai heritabilitas tinggi, maka ternak yang mempunyai performans tinggi cenderung akan menghasilkan anak-anak yang berpeformans tinggi, dan hewan yang berpeformans rendah cenderung menghasilkan turunan-turunan yang berpeformans rendah. Sebaliknya, jika sebuah sifat tidak begitu heritabel, produksi tetua hanya akan mengungkapkan sangat sedikit tentang performans turunan-turunanhya. Heritabilitas digunakan sebagai ukuran kuatnya hubungan antara performans (nilai fenotipik) dan nilai pemuliaan untuk suatu sifat dalam suatu populasi. Heritabilitas adalah suatu ukuran populasi, bukan suatu nilai yang dihubungkan dengan seekor hewan. Demikian pula, heritabilitas bukan suatu yang tetap akan tetapi beragam dari satu populasi ke populasi lain, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya.
Jika h2 tinggi, perbedaan
performans hewan disebabkan sebagian besar oleh besarnya perbedaan dalam breeding value (BV), bukan karena perbedaan pengaruh lingkungan. Sebaliknya, jika h2 rendah, perbedaan dalam performans kurang ditentukan oleh perbedaan dalam BV dan lebih banyak oleh perbedaaan dari faktor-faktor lainnya. a. jika h2 tinggi dipakai seleksi massal, b. jika h2 rendah, seleksi mempergunakan informasi hasil uji zuriat (progeny testing) dan silsilah (pedigree). (4) menentukan sitem perkawinan, misalnya jika h2 rendah dianjurkan melakukan silang luar (outbreeding). Ripitabilitas Falconer (1981) menyatakan bahwa ripitabilitas adalah kesamaan antara pengukuran yang berulang terhadap suatu sifat pada seekor ternak. Nilai ripitabilitas merupakan batas maksimal
dari nilai heritabilitas. Warwick dan Legates (1979)
menyatakan bahwa ripitabilitas merupakan pencerminan kesamaan dari sutu sifat yang diulang setiap kali dari individu yang sama setiap hidupnya. Menurut Pallawaruka (1999) ripitabilitas adalah ukuran kekuatan (konsistennya, reliabilitinya) hubungan antara ukuran yang berulang-ulang (nilai fenotipik yang berulang-ulang) suatu sifat dalam populasi. Dapat ditentukan pada sifat apa saja pada individu yang umumnya mempunyai catatan produksi lebih dari satu, misalnya produksi susu pada sapi perah, Selanjutnya pada publikasi-publikasi tentang sapi perah, ripitabilitas sering dipakai 11
untuk menggambarkan akurasi dari pendugaan. Ripitabilitas merupakan sebuah ukuran kekuatan konsistennya, (reliabilitinya) hubungan antara satu catatan performans dan kemapuan berproduksi untuk suatu sifat dalam sebuah populasi. Menurut Pallawaruka (1999) Nilai ripitabilitas digolongkan kedalam r < 0.2: rendah, r 0.2 – 0.4: sedang, r > 0.4: tinggi. Sedangkan nilai ripitabilitas untuk produksi susu adalah 0.5. Warwick et al.,(1995) dan
Martojo (1992) menyebutkan bahwa
ripitabilitas untuk produksi susu pada kambing perah adalah 40-70%. MPPA dan PBV Menurut Lasley (1978), Most Probable Producing Ability (MPPA) adalah regresi dari pencatatan masa yang akan datang terhadap pencatatan saat ini, atau derajat dimana suatu catatan berulang akan menghasilkan seleksi yang lebih efektif untuk laktasi yang berikutnya. MPPA digunakan untuk mengestimasi kemampuan produksi pada masa yang akan datang, serta untuk mengevaluasi superioritas seekor ternak dalam menghasilkan susu. Nilai pemuliaan atau breeding value (BV) merupakan faktor utama dalam mengevaluasi keungulan individu dalam populasi ternak. Seleksi ternak sebagai tetua tertuju pada ternak yang memiliki nilai pemuliaan yang lebih tinggi dari populasinya (Lasley, 1978). Schmidt et al., (1988) menyatakan bahwa nilai pemuliaan menunjukkan besarnya pengaruh gen yang ada pada induk yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Karena setiap individu menunjukkan hanya setengah dari gen yang dimiliki kepada keturunannya, maka kemampuan mewariskan (transmiting ability) individu hanya setengah dari nilai pemuliaannya. Nilai pemuliaan dugaan (Predicted Breeding Value = PBV) sering dinyatakan sebagai simpangan dari rata-rata populasi. Schmidt et al . (1988) menyatakan nilai pemuliaan menunjukkan besarnya pengaruh gen yang ada pada induk yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Setiap individu menurunkan hanya setengah dari nilai pemuliaannya. Nilai pemuliaan seekor ternak dapat dievaluasi berdasarkan kepada informasi : catatan performans individu itu sendiri, catatan performans tetua atau kerabat kolateral dari invididu atau catatan performans turunanya (Bourdon 1997 dan Pallawaruka 1999). Pendugaan nilai pemuliaan sangat bergantung kepada populasi dimana individu ternak 12
berada, karena nilai ini merupakan perbedaan rataan nilai individu dari populasinya. Falconer (1981) menyatakan bahwa suatu nilai tidak dapat dikatakan nilai pemuliaan tanpa menyebut populasi dimana individu ternak tersebut dikawinkan. Johansson dan Rendel (1968) menyatakan bahwa ada empat informasi dasar untuk menilai nilai pemuliaan, yaitu : ternak itu sendiri, tetua, kerabat, dan keturunan. Semua sumber ini menyediakan informasi mengenai mutu genetik ternak tersebut, karena semua individu tersebut memiliki beberapa gen yang sama dengan ternak itu. Pendugaan nilai pemuliaan sangat erat hubungannya dengan nilai heritabilitas karena nilai ini merupakan proporsi perbedaan performans
(fenotipe) suatu sifat yang disebabkan oleh perbedaan nilai
pemuliaan sifat tersebut dalam suatu populasi atau merupakan keragaman nilai pemuliaan terhadap keragaman nilai fenotipenya (Bourdon, 1997). Menurut Pallawaruka (1999) ada beberapa cara untuk meningkatkan nilai heritabilitas dan ripitabilitas, yaitu : 1) mengupayakan lingkungan seseragam mungkin, (2) pengukuran seakurat mungkin, 3) menstandarisasi pengaruh lingkungan, misalnya produksi susu distandarisasi kedalam: panjang laktasi, frekuensi pemerahan dan umur waktu beranak. 4) performans dinyatakan dalam beberapa deviasinya dari rata-rata kelompok kontemporarinya (contemporary groups). Sering ditemukan bahwa kita tidak dapat menanggani hewan-hewan dengan cara yang sama. Maka yang dapat dilakukan adalah
membandingkan
performans
hewan
dengan
performans
kelompok
kontemporarinya. Kelompok ini juga mengalami lingkungan yang sama dengan hewan yang dinilai. Biasanya kelompok itu dalam kandang/peternakan, tahun, musim dari tahun, jenis kelamin, dan pengaruh manajemen yang sama dengan hewan yang dinilai.
13
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di PT. Taurus Dairy Farm, kecamatan Cicurug-Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama dua bulan, dari Agustus sampai September 2007. Materi Penelitian menggunakan data sekunder yaitu data dari 118 ekor kambing Saanen pada PT. Taurus Dairy Farm, dengan rincian : 1) data produksi susu dari 18 ekor induk awal yang didatangkan dari Australia pada tanggal 4 April 1996, 2) data produksi susu dari 17 induk awal yang didatangkan dari Semarang pada bulan Februari 1999. 3) data produksi susu dari 45 ekor anak keturunan induk Australia. 4) data produksi susu dari 38 ekor anak keturunan induk Semarang. Data dikumpulkan mulai tahun 1996-September 2007. Rancangan Data produksi susu kambing Saanen dianalisa secara deskriptif dan statistik. Analisa data 1. Faktor koreksi produksi susu Faktor koreksi dibuat untuk lama laktasi dan periode laktasi. Analisa data dengan menggunakan analisa ragam dan deskriptif. Rataan kuadrat terkecil dari analisa Model Linear Umum diturunkan dengan menetapkan musim, tahun beranak, lama laktasi dan umur melahirkan sebagai model dalam analisa ragam. Kemudian didapatkan faktor koreksi yang digunakan untuk menstandarisasi produksi total, sehingga diperoleh produksi terkoreksi. Untuk mendapatkan titik standarisasi, dilihat sebaran data produksi susu. Berdasarkan sebaran data, produksi susu distandarisasi ke lama laktasi 240 hari dan periode laktasi keempat. 2. Heritabilitas Untuk menduga nilai heritabilitas produksi susu dipergunakan metode saudara tiri sebapak (Paternal Half Sib Correlation) dengan anak per pejantan tidak sama. Kemudian dilakukan analisa ragam antar dan dalam pejantan. Model statistiknya: 14
Yik = μ + αi + εik
(Becker, 1975)
Keterangan: Yik = μ = αi = εik =
Nilai produksi susu individu anak ke-k pejantan ke -i Rataan Populasi Pengaruh Pejantan ke-i Deviasi karena pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol individu anak ke-k pejantan ke-i
Estimasi Heritabilitas: h 2= 4σ2s (Becker, 1975) σ2s + σ2w Keterangan: σ2s = Pendugaan komponen ragam antar pejantan σ2w = Pendugaan komponen ragam anak dalam pejantan 3. Ripitabilitas Ripitabilitas diperoleh dengan melakukan analisa ragam antar dan dalam individu. Model Statistiknya: Ykm = u + αk+ ekm
(Becker, 1975)
Keterangan: Ykm u αk ekm
= = = =
Hasil pengamatan pada individu ke-k, pengukuran ke-m Rataan populasi Pengaruh induk ke-k Pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol
Estimasi Ripitabilitas r =
σ2 w σ w + σ2e
(Becker, 1975)
2
Keterangan: σ2w = Pendugaan komponen ragam antar individu σ2e = Pendugaan komponen ragam pengukuran dalam individu 4. MPPA Nilai MPPA diperoleh berdasarkan rumus:
15
MPPA=H+
(C-H) (Lasley,1978)
Keterangan: MPPA = H = n = r = C =
Most Probable Producing Ability Average production/rataan produksi di peternakan tersebut Jumlah laktasi Ripitabilitas Rataan induk yang ingin kita nilai produksi susunya
5. PBV Nilai PBV diperoleh berdasarkan rumus: PBV=H +
(C-H) ( Lasley,1978)
Keterangan: PBV H n r h2 C
= Predicted Breeding Value = Average production/rataan produksi di peternakan tersebut = Jumlah laktasi = Ripitabilitas = Heritabilitas = Rataan induk yang ingin dinilai produksi susunya
6. Korelasi MPPA dan PBV Peringkat MPPA dan PBV dari masing-masing individu dilihat korelasinya dengan menggunakan Pearson Correlation. Matjik (2000) menyatakan bahwa koefisien korelasi sering dinotasikan sebagai r dan nilainya berkisar antara -1 dan 1, nilai r yang mendekati 1 atau -1 menunjukkan semakin erat hubungan linier antara kedua peubah tersebut, sedangkan nilai r yang mendekati 0 menggambarkan hubungan kedua peubah tersebut tidak linier. Analisa statistik dan deskriptif dilakukan dengan menggunakan Minitab 14 Version for Window. Prosedur Pengambilan data Pengambilan data dilakukan di PT. Taurus Dairy Farm, Cicurug-Sukabumi. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data produksi susu per laktasi dalam beberapa
16
masa laktasi, data perkawinan ternak, nomor dan nama pejantan, nomor dan nama induk, nomor dan nama anak, tanggal lahir induk, tanggal beranak induk, tanggal pengeringan induk, data keadaan dan lokasi pemeliharaan, data cuaca serta data pendukung lainnya. Data curah hujan diperoleh dari Pos pengamatan Cicurug Sukabumi, dari tahun 1996 sampai bulan September 2007 yang diperlukan untuk menentukan musim pada waktu kambing beranak. Peubah yang diamati : 1. Faktor koreksi, yaitu nilai yang digunakan untuk melakukan standarisasi terhadap produksi susu kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm. 2. Heritabilitas, yaitu daya pewarisan suatu sifat, dari tetua kepada keturunannya. 3. Ripitabilitas, yaitu daya pengulanggan suatu sifat. 4. MPPA, menunjukkan daya kemampuan berulang oleh seekor ternak dalam berproduksi. 5. PBV, menunjukkan besarnya pengaruh gen yang ada pada induk yang dapat diwariskan kepada keturunannya. 6. Korelasi MPPA dan PBV, yaitu seberapa erat hubungan antara produksi dengan potensi genetik, dengan membandingkan peringkat suatu individu pada MPPA dan pada PBV.
17
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum PT. Taurus Dairy Farm Lokasi dan Letak Peternakan kambing Saanen terdapat di lingkungan PT. Taurus Dairy Farm di desa Tenjo Ayu, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Luas Areal untuk budidaya kambing Saanen sekitar 6200 m2, yang terdiri atas lapangan pengembalaan 4200 m2 dan 2000 m2 untuk peralatan dan gudang. Namun, saat ini lapangan pengembalaan tidak digunakan lagi, hal ini untuk mencegah induk terkena penyakit cacingan. Untuk memenuhi kebutuhan hijauan tersedia kebun rumput yang sama dengan kebun rumput untuk memenuhi kebutuhan hijauan sapi perah. Luas lahan yang digunkaan untuk menanam hijauan ± 32 ha. Rumput yang ditanam adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan rumput raja (Pennisetum thypoides) Keadaan Geografis PT. Taurus Dairy Farm adalah sebelah utara berbatasan dengan desa Manggis Hilir, sebelah selatan dengan desa Cilayur, sebelah timur berbatasan dengan desa Manggis I dan sebelah barat berbatasan dengan PT. Demina/LPTI. Tabel 1. Keadaan Lokasi Peternakan PT. Taurus Dairy Farm No 1
Keterangan Ketinggian
Keadaan 450-500 meter dpl
2
Curah Hujan
3500 mm per tahun
3
Kelembaban
70-90%
4
Suhu Lingkungan
22-28 0C
5
Topografi
Bergelombang
6
Sumber Air
Mata Air Artesis
Peternakan Kambing Saanen Kambing Saanen yang dipelihara berasal dari negara bagian Australia Barat (Perth) dan New South Wales, yang didatangkan pada tanggal 4 April 1996. Kambing Saanen yang didatangkan yaitu 20 ekor kambing betina berumur 8 bulan dan 4 ekor kambing jantan berumur 1 tahun. 18
Gambar 1. Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm Untuk memudahkan manajemen, baik manajemen pakan maupun reproduksi, maka kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin dan berat badan seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Pengklasifikasian Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm Klasifikasi Kambing masih susu (KMS)
Keterangan kambing berumur 0-4 bulan
Kambing lepas sapih (KLS)
kambing berumur 4-6 bulan
Dara pra kawin I (DPK I)
kambing betina dengan berat badan 25 kg
Dara pra kawin II (DPK II)
kambing betina dengan berat badan > 25-30 kg
Dara pra kawin III (DPK III)
kambing betina dengan berat badan >30-38 kg
Dara siap kawin (DSK)
kambing betina dengan berat badan 39-40 kg
Induk
kambing betina dengan berat badan ± 45 kg
Jantan muda
kambing jantan lepas sapih sampai BB > 70 kg
Pejantan (Buck)
kambing jantan dengan berat badan ± 70-90 kg
Kambing Saanen yang terdapat di PT Taurus Dairy Farm selain berasal dari Australia, juga berasal dari Semarang. Kambing Saanen yang berasal dari Semarang didatangkan pada bulan Februari 1999 sebanyak 30 ekor kambing betina. Induk kambing Saanen dari Semarang
merupakan kambing yang awalnya dipelihara di
19
TAPOS-Ciawi. Struktur populasi kambing Saanen pada bulan Sepetember 2007 dapat dilihat di Tabel 3. Tabel 3. Struktur Populasi Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm Pada Bulan September 2007: Klasifikasi
Kambing Saanen Australia (ekor)
Kambing Saanen Semarang (ekor)
Laktasi
29
42
Bunting kering
3
-
Kering Kandang
6
7
Dara Bunting
4
1
Dara Siap Kawin
18
13
Dara Pra Kawin I
3
1
Dara Pra Kawin II
1
1
Dara Pra Kawin III
2
4
Kambing lepas susu (jantan)
10
-
Kambing lepas susu (betina)
3
3
Kambing masih susu (jantan)
16
10
Kambing masih susu (betina)
10
12
Jantan muda
2
-
Pejantan (Buck)
3
1
Sistem Pemberian Pakan Pakan Hijauan Pemberian pakan kambing Saanen di PT.Taurus Dairy Farm dilakukan di kandang. Pakan yang diberikan terdiri atas rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan rumput raja (Pennisetum thypoides). Rumput yang diberikan berasal dari kebun rumput yang juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan hijauan sapi perah. Namun, untuk kambing, rumput gajah tersebut dipanen pada umur yang lebih muda, yaitu pada umur 40 hari. Jika rumput tersebut diberikan sebagai pakan sapi perah, maka akan dipanen pada umur 60 hari.
20
Pemberian rumput yang berumur 40 hari ditujukan agar palatabilitasnya lebih tinggi, sehingga ketika dimakan oleh kambing, bagian yang tidak dimakan dapat diminimalisir. Rumput yang diberikan, dicacah terlebih dahulu menjadi tiga atau empat bagian secara manual dengan menggunakan sabit. Pemotongan rumput untuk kambing tidak menggunakan alat chopper karena rumput hasil pemotongan dengan chopper berbau solar dan kambing tidak menyukainya.
Gambar 2. Kebun
Hijauan PT. Taurus
Dairy Farm Pemberian hijauan dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 9.00 WIB, dan pada pukul 14.00 WIB. Selain diberikan pakan hijauan, kambing Saanen di PT.Taurus Dairy Farm juga diberikan konsentrat. Air minum diberikan secara ad libitum. Pemberian pakan hijauan dilakukan secara bertahap tergantung dari umur kambing, agar rumen dapat terbentuk dengan baik. Pemberian rumput untuk anak kambing yang berumur tiga minggu adalah 2 kg per ekor per hari, karena kambing umur tiga minggu masih dalam tahap pengenalan dan belajar memakan rumput. Anak kambing yang berumur satu bulan pemberian rumput sebanyak 4 kg per ekor per hari, untuk anak yang berumur tiga bulan pemberian rumput sebanyak 5 kg per ekor per hari dan kambing yang berumur lima bulan pemberian sebanyak 6 kg per ekor per hari. Pemberian rumput untuk kambing dara sebanyak 12-14 kg per ekor per hari, sedangkan untuk kambing laktasi pemberian rumput minimal 16 kg per ekor per hari dengan kapasitas pemberian pada pagi dan siang hari dibedakan. Pemberian rumput pada sore hari lebih banyak daripada siang hari, karena rumput yang diberikan pada sore
21
hari digunakan sebagai persediaan untuk malam hari. Pemberian rumput untuk induk kering sama dengan kambing laktasi, yaitu 16 kg per ekor per hari, sedangkan pemberian rumput pada pejantan sebanyak 18 kg per ekor per hari, lebih banyak dari kambing lain. Tingginya jumlah pemberian rumput pada pejantan, karena ukuran tubuh pejantan lebih besar, dan bertujuan untuk meningkatkan fertilitas pada saat mengawini betina. Selain rumput, diberi hijauan lain yaitu leguminosa. Pemberian leguminosa dan daun-daunan hanya untuk kambing yang sedang laktasi, dengan pemberian satu kali seminggu. Jenis legum yang diberikan berupa daun lamtoro (Leucaena leucocepala). Jenis daunnya berupa gamal (Glirisidia sepium). Penambahan leguminosa pada kambing bertujuan untuk meningkatkan produksi susu. Pakan Konsentrat Pemberian konsentrat pada kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm didasarkan pada umur dan performa produksi susu individu. Kambing dengan produksi susu per hari lebih dari 2 liter diberi 1 kg konsentrat, untuk 4 kali pemberian. Konsentrat untuk kambing yang berumur 5-10 bulan sebanyak 0,5 kg per ekor per hari. Kambing kering kandang, pejantan, dan induk laktasi yang berproduksi kurang dari 2 liter per hari diberikan konsentrat sebanyak 0,5 kg konsentrat. Konsentrat yang diberikan berupa campuran (mix) dari berbagai bahan. Formulasi dan persentase bahan yang digunakan terdapat pada Tabel 4. Tabel 4. Formulasi Konsentrat No
Bahan
Persentase
1
Wheat Pollard
64.7
2
Jagung giling
17.2
3
Bungkil kelapa sawit
9.5
4
Bungkil kedelai
5.4
5
Mineral
0.5
6
Premiks
0.2
7
Garam
1.3
22
8
Bospro
0.6
Sumber : Laboratorium dan gudang pakan PT.Taurus Dairy Farm Pemberian konsentrat pada induk kambing Saanen laktasi dilakukan 4 kali sehari, yaitu pada pukul 4.00 WIB (sebelum pemerahan), 11.00 WIB, 13.00 WIB (dengan ditambah singkong), dan pukul 16.00 WIB (sebelum pemerahan). Sementara, pemberian konsentrat untuk kambing yang tidak laktasi, dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 8.00 WIB, dan 13.00 WIB. Saat ini mulai diberikan pakan tambahan lain, yaitu singkong. Singkong hanya diberikan untuk kambing yang sedang laktasi dengan waktu pemberian dua kali sehari yaitu pagi pukul 11.00 WIB dan siang pukul 13.00 WIB. Perkandangan Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, kandang kambing di PT. Taurus Dairy Farm sudah memenuhi persyaratan perkandangan yang baik, sebagaimana yang dinyatakan oleh Devendra dan Burns (1994) bahwa kandang yang baik dan paling praktis untuk daerah tropis adalah kandang kambing yang berbentuk panggung. Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm dipelihara dan diberi pakan di dalam kandang, kecuali anak kambing selain diberi pakan di dalam kandang juga dilepas disekitar kandang untuk makan dan bermain. Sistem pemeliharaan kambing Saanen di PT.Taurus Dairy Farm tergolong peternakan dengan sistem semi intensif, karena ternak dikandangan, dan juga memiliki tempat untuk exercise dan merumput (grassing). Menurut Devendra (1993), sistem pemeliharaan kambing di daerah tropis terdiri atas sistem produksi subsistem, intensif, dan semi intensif. PT. Taurus Dairy Farm memiliki 10 kandang. Pembagian kandang dilakukan berdasarkan performa produksi susu dari masing-masing individu. Tabel 5. Klasifikasi Kandang Kambing Saanen pada PT. Taurus Dairy Farm Klasifikasi Kandang
Keterangan
Kandang A
kandang untuk anak kambing (cempe)
Kandang B
kandang untuk kambing laktasi, dengan produksi susu > 1,5 liter/hari
23
Kandang C
kandang untuk kambing laktasi, dengan produksi susu < 1,5 liter/hari
Kandang D
kandang untuk kambing laktasi, dengan produksi susu > 2 liter/hari
Kandang E
kandang untuk DSK (Dara Siap Kawin)
Kandang F
kandang untuk kambing laktasi, dengan produksi susu < 1 liter/hari
Kandang G
kandang untuk induk bunting kering dan kering kandang
Kandang H
kandang untuk betina lepas sapih – DPK (Dara Pra Kawin) III
Kandang I
kandang untuk jantan lepas susu – jantan muda
Kandang J
kandang untuk pejantan
Gambar 3. Kandang Kambing Saanen pada PT. Taurus Dairy Farm Kandang kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm berbentuk panggung dan telah memenuhi persyaratan yang baik. Lantai kandang terbuat dari kayu dengan jarak antar celah 2 cm, sehingga kotoran akan mudah jatuh. Dibawah lantai kandang terdapat lantai yang terbuat dari semen yang dibuat agak miring, sehingga urine dan kotoran dapat mengalir ke selokan dan untuk sanitasi agar lantai mudah dibersihkan, selalu kering, sehingga kambing tidak mudah terkena penyakit. Dinding dan pintu kandang terbuat dari papan yang dibuat celah-celah untuk ventilasi dan pertukaran udara. Atap kandang tebuat dari genting supaya tidak terlalu panas. Penyediaan naungan merupakan prasyarat yang mutlak bagi kambing yang berproduksi tinggi yang diimpor dari darah
24
sejuk yang sangat peka terhadap sinar matahari dan temperatur tinggi (Devendra dan Burns, 1994). Kandang dilengkapi tempat pakan berupa palungan panjang terbuat dari papan dengan lebar atas 40 cm, bawah 30 cm, tinggi 40 cm dan tinggi dari lantai kandang 50 cm. Tinggi bak pakan berguna untuk mengguranggi terjadinya kontaminasi feses dan urine. Celah untuk mengeluarkan kepala kambing saat makan berukuran 25 x 25 cm dan terbuat dari besi. Tempat minum berupa drum plastik, yang dibuat terpisah dan diletakkan di tempat pakan. Produksi Susu PT. Taurus Dairy Farm merupakan salah satu perusahaan peternakan yang memelihara kambing Saanen dengan tujuan utama untuk produksi susu. Pemerahan dilakukan dua kali sehari secara manual, yaitu pagi hari pada pukul 04.00 WIB dan sore hari pada pukul 16.00 WIB. Susu yang diproduksi dikirimkan ke PT.Yummi Food di Jakarta dalam bentuk beku, untuk diolah menjadi berbagai produk. Kambing tersebut dipelihara dalam kandang individu berdasarkan performa produksi susu, untuk mempermudah pemerahan dan manajemen pakan. Rataan produksi susu kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm adalah 322,03 liter/ekor/laktasi dengan lama laktasi 240 hari, atau sekitar 1,34 liter/ekor/hari. Menurut Devendra dan Burns (1994) bahwa produksi susu harian kambing di daerah tropis1-3 kg/Hari. Penelitian Herlina (2006) di tempat yang sama menunjukkan bahwa rata-rata produksi susu kambing Saanen selama satu hari adalah 1,44 liter, lebih tinggi dari pada hasil yang diperoleh dalam penelitian. Hasil penelitian Atabany (2002) pada PT. Taurus Dairy Farm menunjukkan bahwa rataan produksi susu 355.9 kg dengan lama laktasi 267,41 hari dan produksi per hari 1,29 kg. Sementara Epun (2003) mendapatkan bahwa kambing Saanen di PT Fajar Taurus Dairy Farm memiliki panjang laktasi antara 6 sampai 8 bulan dengan rata-rata produksi 1,78 liter/ekor/hari. Puncak produksi susu terjadi pada laktasi keempat yaitu sebesar 338,8 liter/ekor/laktasi. Hasil yang diperoleh sesuai dengan pernyataan Sodiq dan Abidin (2002) yang menyatakan bahwa produksi susu kambing akan mencapai puncak produksi pada laktasi ketiga hingga lima, atau pada umur 5 sampai 7 tahun. Produksi susu 25
maksimum tercapai pada umur 4 - 5 tahun atau pada laktasi ketiga dan tidak menurun drastis selama tiga tahun berikutnya. Menurut Devendra dan McLeroy (1982), rata-rata produksi susu kambing Saanen di daerah tropis adalah 1-3 kg per ekor per hari, di daerah temperate produksi susunya dapat mencapai 5 kg per ekor per hari. Perbedaan rataan produksi susu antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: lingkungan yang kurang mendukung, seperti : iklim, musim, penyakit, penyediaan pakan, pengelolaan usaha, serta perbedaan waktu ketika diadakannya penelitian. Faktor lingkungan tempat pemeliharaan sangat berpengaruh terhadap produktifitas kambing. Kambing Saanen merupakan kambing yang berasal dari daerah temperate (daerah berikilm sedang), sehingga akan menghasilkan performa yang berbeda ketika dipelihara di daerah tropis. Menurut (Warwick et al,. 1990) bahwa kuantitas produksi susu dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya. Performans sifat ini tergantung pada gen-gen yang dimiliki, tetapi keadaan lingkungan yang menunjang
Rataan produksi susu (liter)
diperlukan untuk memberikan kesempatan penampilan suatu sifat secara maksimal.
Periode laktasi (bulan)
Gambar 4. Rataan Produksi Susu Pada Masing-masing Laktasi
Tabel 6. Rataan Produksi Susu Per laktasi (240 hari) Pada Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm.
26
Periode Laktasi
Produksi susu Rataan produksi total (liter)
Rataan (liter/hari)
Simpangan Baku (liter)
Koefisien Keragaman(%)
1
288,6
1,20
124,8
43,24
2
318,7
1,32
114,8
36,02
3
334,5
1,39
118,2
35,33
4
338,8
1,41
109,6
32,34
5
334,8
1,39
123,4
36,85
6
331,3
1,38
135,1
40,70
7
332,7
1,38
159,1
47,82
8
314,5
1,31
84
26,71
9
304,4
1,26
77,6
25,49
Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 4, terlihat bahwa produksi susu kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm akan meningkat seiring dengan meningkatnya periode laktasi, kemudian setelah mencapai puncak maka produksi akan menurun. Produksi susu tertinggi terjadi pada laktasi keempat (338,8 liter), kemudian menurun dan meningkat kembali pada laktasi ketujuh. Produksi susu yang paling rendah terjadi pada laktasi pertama dan terakhir. Menurut Sodiq dan Abidin (2002), produksi susu kambing umumnya meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan mempunyai puncak pada saat berumur 5-7 tahun, yakni pada masa laktasi ke-3 sampai ke-5, produksi rendah akan terjadi pada awal dan akhir masa laktasi. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa produksi susu mencapai maksimum pada laktasi keempat, setelah itu turun dengan cepat. Selanjutnya diperoleh bahwa koefisien keragaman pada produksi susu kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm cukup tinggi. Ini menggambarkan bahwa variasi produksi susu antar masing-masing individu tinggi. Produksi susu menjadi konstan mulai laktasi ketiga. Menurut pernyataan Sodiq dan Abidin (2002), bahwa produksi air susu seekor kambing akan naik sedikit demi sedikit sampai bulan kedua dan selanjutnya produktivitas air susu seekor kambing akan menjadi konstan mulai bulan ketiga, kemudian berangsur-angsur menurun, sehingga
27
produksi rendah terjadi pada awal dan akhir laktasi. Produksi susu maksimum tercapai pada umur 4 - 5 tahun atau pada laktasi ketiga dan tidak menurun drastis selama tiga tahun berikutnya dimana dianggap hampir semua bangsa kambing berbiak sekali dalam setahun. Susu yang dihasilkan setiap hari akan meningkat sejak induk beranak kemudian produksi akan menurun secara berangsur angsur hingga berakhirnya masa laktasi. Produksi susu kambing berkisar 1-3 kg per ekor per hari tergantung bangsa kambing, masa laktasi, suhu lingkungan, pakan, jumlah anak perkelahiran dan tatalaksana pemeliharaan (Atabany, 2002). Faktor Koreksi Faktor koreksi perlu dibuat untuk menghindari bias dalam perhitungan, sehingga produksi susu yang diperoleh seluruhnya mencerminkan kemampuan gentik dari ternak tersebut, bukan karena pengaruh lingkungan. Dengan faktor koreksi, maka dilakukan standarisasi terhadap produksi susu. Produksi susu merupakan suatu sifat fenotip, yang ekspresinya ditentukan oleh genetik dan lingkungan dimana sifat tersebut berada. Schmidt dan Van Vleck (1974) menyatakan bahwa faktor lingkungan dapat dibagi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu: (1) lingkungan yang penyebabnya diketahui : umur, musim saat beranak, masa kering dan masa produksi, sehingga produksi perlu dikoreksi: (2) lingkungan yang tidak diketahui penyebabnya, namun berpengaruh terhadap produksi susu, hal ini sulit dibuat faktor koreksinya. Dalam menduga nilai pemuliaan produksi susu perlu dilakukan penyesuaian produksi susu sapi betina yang dinilai terhadap produksi susu setara dewasa. Faktor-faktor yang perlu penyesuaian adalah jumlah pemerahan, intensitas pemerahan, dan periode laktasi (Warwick, 1979). Ternak yang secara genetik unggul tidak akan menampilkan keunggulan yang optimal jika tidak didukung oleh faktor lingkungan yang baik pula. Sebaliknya, ternak yang memiliki mutu genetik rendah meski didukung oleh lingkungan yang baik juga tidak akan menunjukkan produksi yang tinggi (Noor, 2000). Pengaruh Tahun dan Musim Kelahiran
28
Standarisasi produksi susu kambing secara internasional belum ada seperti halnya pada sapi perah. Oleh karena itu, perlu dibuat faktor koreksi berdasarkan kondisi peternakan yang diamati. Pada penelitian ini, dibuat faktor koreksi untuk laktasi berjalan (lama laktasi) dan periode laktasi. Sebelumnya, ternak dikelompokkan menurut musim dan tahun kelahiran, karena
musim dan tahun kelahiran berpengaruh sangat nyata
terhadap produksi susu (P<0.01). Dengan dilakukan pengelompokkan terhadap musim dan tahun kelahiran, maka pengaruh kedua variabel ini dapat dihilangkan. Perbedaan produksi susu antar tahun dan musim kelahiran ini disebabkan karena perbedaan manajemen yang diterapkan, seperti perbedaan manajemen pakan, pemeliharaan ternak, kesehatan, dan reproduksi. Musim pada waktu kambing beranak berhubungan dengan suhu lingkungan peternakan dan ketersediaan pakan, terutama hijauan pakan ternak. Adanya perbedaan curah hujan di musim hujan dan kemarau dapat mempengaruhi perumbuhan rumput yang dapat mempengaruhi ketersediaan pakan untuk ternak dan akan berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan. Atabany (2002) menyatakan bahwa besarnya produksi susu yang dihasilkan selama masa
laktasi
dipenggaruhi
oleh
banyak
hal,
diantaranya
pertumbuhan
dan
perkembangan sel-sel sekretoris kelenjar ambing selama kebuntingan, ketersediaan zatzat makanan (substrat) sebagai bahan untuk sintesa susu dan laju penyusutan sel-sel sekretoris selama laktasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sintesa susu melalui dua jalur yaitu filtrasi dan sintesis. Kecepatan sintesis dan filtrasi susu tergantung dari konsentrasi precursor di dalam darah yang merupakan ekspresi dari kuantitas dan kualitas suplai pakan. Pengaruh musim terhadap produksi susu diteliti oleh Nugroho (2004), yang menyebutkan bahwa musim, tahun dan peternakan merupakan faktor lingkungan yang diperhitungkan dalam pendugaan nilai pemuliaan, karena dianggap ketiga faktor tersebut menyebabkan keragaman produksi susu. Pada populasi sapi perah di PT. Fajar Taurus menunjukkan bahwa produksi susu berbeda sangat nyata antar musim hujan dan musim kemarau, dan lebih lebih tinggi pada musim kemarau. Devendra dan Burns (1994) bahwa hewan yang beranak dari Januari sampai Juni menghasilkan susu lebih banyak
29
daripada yang beranak pada bulan-bulan lainnya, dengan produksi susu terendah pada musim hujan (Agustus dan September). Musim dibagi menjadi 4 (awal hujan, akhir hujan, awal kemarau, ahir kemarau). Pembagian musim ini diperoleh dengan membuat rata-rata curah hujan untuk setiap bulan dari tahun 1996-2007. Bulan November, Desember, dan Januari termasuk awal hujan, bulan Februari, Maret, April, termasuk akhir hujan. Sedangkan bulan Mei, Juni, dan Juli termasuk awal kemarau dan bulan Agustus, September serta Oktober termasuk akhir kemarau. Faktor Koreksi Lama Laktasi Dari sebaran data, didapatkan lebih dari 50% populasi kambing Saanen di PT. FajarTaurus Dairy Farm menghasilkan susu hingga lebih dari 240 hari, sehingga lama laktasi 240 hari dijadikan sebagai titik optimum dan titik standarisasi. Jika laktasi kurang dari 240 hari, maka laktasi terlalu pendek, sedangkan laktasi lebih dari 240 hari, maka laktasi terlalu panjang. Penelitian Epun (2003) pada tempat yang sama mendapatkan bahwa kambing Saanen di PT. Fajar Taurus Dairy Farm memiliki panjang laktasi antara 6 sampai 8 bulan. (Greenwood, 1997) juga menyatakan bahwa produksi susu per ekor bisa mencapai 800 kg dengan kandungan lemak antara 3-4% per masa laktasi yang berlangsung selama 250 hari. Koreksi ke 240 hari dibuat untuk masing-masing laktasi, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa persistensi produksi susu antar masing-masing laktasi berbeda. Laktasi pertama memiki persistensi paling tinggi. Dengan dilakukan standarisasi ke 240 hari, maka produksi susu yang dihasilkan seekor individu seluruhnya mencerminkan performa individu tersebut, bukan disebabkan karena kondisi fisiologis yang berbeda. Tabel 7. Sebaran Produksi Susu pada Masing-masing Laktasi Berjalan (Lama Laktasi) Lama laktasi (bulan)
Jumlah Catatan laktasi (ekor)
Persentase
1
360
100%
2
350
97%
3
341
95%
4
323
90% 30
5
303
84%
6
267
74%
7
238
66%
8
199
55%
9
162
45%
10
118
33%
11
79
22%
12
64
18%
Berdasarkan Tabel 7, diperoleh grafik sebaran produksi susu pada masingmasing lama laktasi. Jumlah catatan laktasi
lama laktasi (bulan)
Gambar 5. Sebaran Produksi Susu pada Masing-masing Lama Laktasi Setelah didapatkan titik 240 hari sebagai titik standarisasi, kemudian dilakukan koreksi terhadap produksi susu pada masing-masing periode laktasi. Faktor koreksi yang didapat adalah sebagai berikut:
Tabel 8. Faktor Koreksi 240 Hari untuk Masing-masing Periode Laktasi Lama laktasi (bulan)
FK 240, Laktasi 1
FK 240, Laktasi 2
FK 240, Laktasi >3
1
9,35
8,49
7,16
2
4,04
3,66
3,60 31
3
2,62
2,47
2,43
4
1,96
1,85
1,83
5
1,58
1,51
1,52
6
1,30
1,28
1,27
7
1,11
1,14
1,13
8
1,00
1,00
1,00
9
0,93
0,90
0,94
10
0,88
0,86
0,85
11 12
0,79 0,79
0,86 0,84
0,81 0,81
Berdasarkan Tabel 9, diperoleh grafik tren untuk faktor koreksi lama laktasi pada masing-masing periode laktasi. Faktor koreksi lama laktasi
Lama laktasi (bulan)
Gambar 6.Tren Faktor Koreksi Lama Laktasi untuk Menstandarisasi Produksi Susu Kepada Produksi 240 Hari untuk Masing-masing Periode Laktasi.
Faktor koreksi ini dibatasi penggunaannya mulai laktasi ketiga, karena untuk laktasi kurang dari tiga diperoleh nilai faktor koreksi yang terlalu besar, yang mengakibatkan over estimate ketika menstandarisasi produksi susu. Ternak dengan lama laktasi kurang
32
dari 240 hari akan memiliki faktor koreksi yang lebih tinggi dari pada ternak yang memilki lama laktasi lebih dari 240 hari. Produksi susu pada ternak dengan laktasi yang terlalu panjang bukan lagi mencerminkan kemampuan genetiknya, tetapi karena adanya perbedaan manajemen, Misalnya, pemerahan yang terlalu lama, atau ternak tidak dikawinkan. Di PT. Taurus Dairy Farm apabila seekor kambing memiliki produksi tinggi, maka kambing tersebut tidak dikawinkan, tetapi akan terus diperah. Hal ini akan mempengaruhi total produksi susu yang dihasilkan. Faktor Koreksi Periode Laktasi Faktor koreksi periode laktasi dibuat untuk menghindari pengaruh umur terhadap produksi susu. Produksi susu yang dihasilkan oleh kambing dewasa akan berbeda dengan kambing yang baru mengalami laktasi. Koreksi terhadap periode laktasi setara dengan koreksi terhadap umur. Karena produksi susu yang optimum akan dihasilkan pada umur dewasa (Mature equivalent), yang akan terjadi pada periode laktasi tertentu. Diperoleh bahwa produksi susu paling tinggi pada laktasi keempat, sehingga laktasi keempat ini dijadikan sebagai titik standarisasi untuk mengoreksi produksi susu pada periode laktasi yang lain. Periode laktasi keempat dianggap sebagai umur setara deawasa (Mature equivalent). Produksi susu tertinggi yang dihasilkan oleh seekor ternak akan terjadi pada saat dewasa. Produksi susu paling tinggi pada laktasi keempat. Menurut Devendra dan Burns (1994) bahwa produksi susu mencapai maksimum pada laktasi keempat, setelah itu turun dengan cepat. Sodiq dan Abidin (2002) menambahkan bahwa produksi susu kambing umumnya meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan mempunyai puncak pada saat berumur 5-7 tahun, yakni pada masa laktasi ke-3 sampai ke-5. Devendra dan Burns (1983) menyimpulkan bahwa hasil susu maksimum tercapai pada umur 4 atau 5. Faktor koreksi periode laktasi diperoleh dengan melakukan transformasi produksi susu yang dihasilkan ke persamaan regresi kuadratik. Transformasi ini dilakukan agar diperoleh kurva laktasi yang mulus (smooth), sehingga produksi susu sepenuhnya dipengaruhi oleh genetik ternak tersebut, bukan karena perbedaan
33
manajemen maupun pengaruh dari faktor lainnya.. Persamaan regresi yang diperoleh adalah : Y=256,6 + 38,50 lak – 4,14 lak2 Ket :Y=Produksi susu
(R-Sq = 97,7% R-Sq(adj) = 96,2%)
Sehingga diperoleh faktor koreksi periode laktasi seperti pada Tabel 9. Tabel 9. Faktor Koreksi Periode Laktasi Periode laktasi
Rataan produksi susu (liter)
FK laktasi
1
290,746
1,17
2
316,064
1,08
3
332,554
1,02
4
340,216
1,00
5
339,05
1,00
6
329,056
1,03
7
310,234
1,10
8
282,584
1,20
9
246,106
1,38
Setelah dilakukan koreksi terhadap periode laktasi, maka diperoleh rata-rata produksi susu yang dihasilkan oleh kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm per laktasi (240 hari) seperti ditampilkan pada Gambar 7. Rataan produksi susu (liter)
Periode laktasi (bulan)
Gambar 7. Rataan Produksi Susu Terkoreksi Periode Laktasi
34
Produksi susu yang telah dikoreksi terhadap laktasi 240 hari, kemudian dilakukan koreksi lagi terhadap periode laktasi, sehingga diperoleh produksi susu terkoreksi. Nilai produksi susu ini yang kemudian digunakan untuk menghitung parameter-parameter genetik. Heritabilitas dan Ripitabilitas Tabel 10. Nilai Heritabilitas dan Ripitabilitas Parameter genetik
Nilai
Heritabilitas
0,2±0,3
Ripitabilitas
0,21
Banyak ragam fenotip yang disebabkan oleh ragam genetik adalah heritabilitas. Ini sangat penting dipertimbangkan dalam memperhitungkan sifat kuantitatif (Lasley, 1978, dan Benerjee, 1982). Nilai heritabilitas bukan merupakan nilai mutlak dan mempunyai kisaran antara 0 – 1,0. Seperti misalnya untuk produksi susu nilai heritabilitas produksi susu berikisar 0,2-0,3 (Warwick et al., 1990). Dari penelitian ini diperoleh bahwa nilai heritabilitas produksi susu adalah 0.2, dan termasuk kategori sedang, seperti yang dinyatakan oleh Dalton (1981), nilai heritabilitas sebesar 0,00-0,10 termasuk kategori rendah, 0,10 – 0,30 termasuk sedang, dan diatas 0,30 termasuk tinggi. Menurut Noor (2000) nilai heritabilitas dikatakan rendah jika nilainya berada antara 0-0,2, sedang antara 0,2-0,4, dan tinggi untuk nilai lebih dari 0,4. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan pernyataan Johansson dan Rendel (1968) bahwa nilai heritabilitas produksi susu antara 0,2 sampai 0,3. Namun, nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil dari Warwick et al.,(1990) dan Martojo (1992), yang menyebutkan bahwa nilai heritabilitas produksi susu per laktasi pada kambing perah berkisar 0,30 – 0,40. Hal Ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: perbedaan cara pengambilan sampel, sampel yang ada sangat terbatas, perbedaan metode yang digunakan, perbedaan lokasi perhitungan dan manajemen. Penelitian ini menggunakan metode saudara tiri sebapak (Paternal Half Sib Correlation). Johansson dan Rendel (1968)
menyatakan bahwa derajat kemiripan ternak-ternak di dalam
kelompok saudara tiri sebapak (half-sib) yang lebih besar daripada kemiripan antara
35
ternak di dalam kelompok acak di dalam sautu populasi karena merupakan metode penaksiran heritabilitas yang paling banyak digunakan. Metode ini paling murni menggambarkan ragam genetik aditif. Dalam penelitian ini sampel yang ada sangat terbatas, Dalton (1981) menyatakan bahwa paling sedikit diperlukan 5 ekor pejantan dengan jumlah anak 10 ekor per pejantan untuk memperoleh dugaan h2 yang baik. Sementara dalam penelitian ini, hanya 3 ekor pejantan yang memenuhi kriteria tersebut. Lasley (1978) menyatakan bahwa pendugaan besarnya heritabilitas akan berbeda-beda tergantung dari metode yang digunakan. Besar kecilnya nilai heritabilitas dalam suatu populasi yang dianalisis akan bergantung pada jumlah populasi yang diambil, jumlah pejantan yang diamati, cara perhitungan sampel, dan metode yang digunakan. Nilai ripitabilitas produksi susu pada kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm adalah 0,21 atau 21 %. Warwick dan Legates (1979) menyatakan bahwa ripitabilitas merupakan pencerminan kesamaan dari sutu sifat yang diulang setiap kali dari individu yang sama setiap hidupnya. Warwick et al.,(1990) dan Martojo (1992) menyebutkan bahwa ripitabilitas untuk produksi susu pada kambing perah adalah 40-70%, nilai ripitabilitas yang diperoleh lebih rendah. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh perbedaan cara pengambilan sampel, perbedaan jumlah sampel, perbedaan metode yang digunakan, perbedaan lokasi perhitungan dan manajemen. Nilai ripitabilitas yang diperoleh lebih tinggi dari nilai hertitabilitas, tetapi perbedaannya tidak signifikan. Ini mencerminkan bahwa pengaruh lingkungan tetap pada produksi susu pada populasi tersebut sangat rendah. MPPA dan PBV PBV (Nilai pemuliaan dugaan) merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengevaluasi mutu genetik ternak dalam menghasilkan susu. Selanjutnya, ternak diperingkat berdasarkan nilai pemuliaannya, sehingga akan diperoleh gambaran mengenai bagaimana produktifitas ternak tersebut jika dibandingkan dengan rata-rata populasi. Menurut Bourdon (1997)
dalam seleksi pada beberapa sifat, pembibit
mencoba memilih tetua dengan nilai pemuliaan yang paling tinggi, nilai pemuliaan ini
36
didefinisikan sebagai nilai pemuliaan tetua yang akan mewariskan gen terhadap generasi yang akan datang. Hal yang sama dikemukakan oleh Schmidt et al. (1988), bahwa para peternak pada umumnya melakukan seleksi terhadap sapi perah betina lebih didasarkan atas dasar nilai pemuliaan dari pada atas produksinya. Hal ini disebabkan karena nilai pemuliaan lebih menggambarkan kemampuan genetik ternak untuk berproduksi susu dan selanjutnya setengah bagian akan diwariskan kepada keturunannya. Apabila tujuan seleksi dilakukan untuk mempertahankan sapi-sapi dengan kemampuan produksi susu tinggi dipeternakan, maka diperlukan perhitungan daya kemampuan produksi susu individu sapi. Daya produksi dapat diketahui dengan metode Most Probable Producing Ability (MPPA). MPPA mencerminkan kemampuan berulang suatu ternak dalam menghasilkan susu. Parameter genetik yang digunakan untuk menghitung MPPA adalah ripitabilitas. Sementara itu, PBV mencerminkan potensi genetik yang dimiliki oleh suatu individu dalam
mewariskan
suatu
sifat
dan
parameter
yang
digunakan
adalah
heritabilitas .Schmidt et al (1988) menyatakan nilai pemuliaan menunjukkan besarnya pengaruh gen yang ada pada induk yang dapat diwariskan kepada keturunannya. dan parameter yang digunakan adalah heritabilitas. Ternak yang unggul akan mempunyai peringkat MPPA dan PBV yang tinggi dibandingkan dengan rataan populasi. Dengan mengadakan perhitungan kedua indikator ini, maka akan diperoleh evaluasi tentang ternak yang memiliki produksi tinggi dan kemampuan untuk mewariskan sifat tersebut juga tinggi. Nilai MPPA dan PBV dari 10% betina terbaik pada populasi kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm terdapat pada Tabel 11. Pada pendugaan nilai pemuliaan (PBV) dan daya produksi susu tertaksir (MPPA) didapatkan bahwa nilai
tertinggi diperoleh oleh kambing dengan nomor TDF 82.
Dengan nilai MPPA 493,011 dan nilai PBV 484,682. Hal ini dapat diartikan bahwa kambing ini akan menghasilkan susu 493,011 liter lebih tinggi pada laktasi-laktasi berikutnya dibandingkan dengan rataan produksi susu populasi dari kambing-kambing yang digunakan sebagai materi penelitian di Taurus Dairy Farm. Kambing ini memiliki keunggulan genetik produksi susu sebesar 484,682 liter lebih tinggi dibandingkan
37
dengan rataan produksi susu populasi dari kambing-kambing yang digunakan sebagai materi penelitian di Taurus Dairy Farm. Tabel 11. Nilai MPPA dan PBV dari 10% Betina Terbaik Pada Populasi Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm. Peringkat
No.Kambing
MPPA
PBV
1
TDF 82
493,011
484,682
2
9007
452,295
445,905
3
9013
435,489
429,898
4
8021
423,918
418,876
5
9018
422,071
417,120
6
TDF 46
407,056
402,820
7
TDF 76
403,421
399,359
8
9003
394,736
391,087
9
TDF 111
389,809
386,395
10
TDF 127
389,507
386,107
11 12
8079 8031
381,522 380,766
378,503 377,782
Peringkat MPPA dan PBV dari masing-masing individu ternak digunakan sebagai salah satu kriteria dalam menetapkan program pemuliaan yang akan dijalankan. Peringkat MPPA digunakan untuk seleksi terhadap induk yang akan di pertahankan di peternakan, sementara peringkat PBV digunakan untuk melakukan seleksi terhadap induk yang akan menghasilkan bibit untuk replacement stock. Peringkat nilai pemuliaan dan nilai produksi susu tertaksir dari 10 % betinabetina terbaik di peternakan Taurus Dairy Farm tercantum dalam Tabel 11. Peringkat ini dapat dijadikan sebagai salah satu kriteria seleksi. Jumlah betina yang akan diseleksi untuk dijadikan sebagai bibit tergantung pada kebijakan perusahaan. Lasley (1978) menyatakan bahwa pemilihan betina yang dapat dijadikan sebagai replacment stock dalam suatu populasi berkisar antara 40-50%.
38
Data induk dari 10% betina terbaik pada populasi kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Data Induk dari 10% Betina Terbaik Pada Populasi Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm. No
No.Kambing
Induk
1
TDF 82
9018
2
9007
Pamona Maglyn
3
9013
Komuta Rue
4
8021
9043
5
9018
Komuta Rosanna
6
TDF 46
TDF 7
7
TDF 76
TDF 22
8
9003
Marlinda Pearl 3
9
TDF 111
TDF 71
10
TDF 127
TDF 22
11
8079
8021
12
8031
9034
Berdasarkan Tabel 12 diperoleh bahwa 33,3 % dari 12 ekor betina terbaik (10% betina terbaik) merupakan induk awal yang pertama kali didatangkan dari Australia. Induk awal ini yaitu kambing Saanen dengan nomor 9007, 9013, 9018, dan 9003. Induk kambing dari Australia memiliki potensi produksi susu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan induk kambing Saanen yang didatangkan dari Semarang. Induk kambing Australia juga menghasilkan anak yang memiliki potensi produksi susu tinggi , yaitu TDF 82, TDF 46, TDF 76, TDF 111, dan TDF 127 atau 42,2 % dari 12 ekor betina terbaik. Sementara kambing dengan nomor 8021, 8079, dan 8031 merupakan keturunan dari induk kambing Saanen yang didatangkan dari Semarang atau 25 % dari 12 ekor betina terbaik. Berdasarkan Tabel 12 juga diperoleh bahwa ternak yang memiliki potensi produksi susu tinggi akan menghasilkan keturunan dengan potensi produksi susu tinggi.
39
Seperti pada kambing dengan nomor TDF 82 yang memiliki peringkat tertinggi pada perhitungan PBV dan MPPA. Kambing ini merupakan keturunan dari induk dengan nomor 9018, yang juga termasuk dalam 10 % betina terbaik. Demikian pula dengan kambing dengan nomor TDF 127 dan kambing dengan nomor 8079 merupakan keturunan dari induk yang memiliki potensi produksi susu tinggi, yaitu TDF 22 dan 8021. Untuk ternak pengganti (replacment stock) dipilih kambing-kambing Saanen yang berumur muda, yaitu antara umur 1-2 tahun. Replacment stock ditujukan untuk menggantikan induk yang ada sebelumnya, sehingga produksi susu dapat terus berjalan. Kambing Saanen yang dapat digunakan sebagai ternak pengganti dapat dilihat dalam Tabel 13. Tabel 13. Data 50 % Betina Terbaik Sebagai Pengganti Nomor 1
Nomor Kambing TDF 82
Nilai MPPA 493,011
Nilai MPPA 484,682
2
TDF 127
389,507
386,107
3
TDF 137
379,809
376,871
4
8049
370,618
368,118
5
8072
370,539
368,042
6
TDF 103
363,147
361,002
7
TDF 99
357,463
355.558
8
8070
345,092
343.807
9
8081
342,679
341,509
10
8042
340,958
339,869
11
8058
338,781
337,796
12
8063
338,556
337,582
13
8088
333,485
337,752
Korelasi MPPA dan PBV Matjik (2000) menyatakan bahwa koefisien korelasi sering dinotasikan sebagai r dan nilainya berkisar antara -1 dan 1, nilai r yang mendekati 1 atau -1 menunjukkan semakin erat hubungan linier antara kedua peubah tersebut, sedangkan nilai r yang 40
mendekati 0 menggambarkan hubungan kedua peubah tersebut tidak llinier. Dari hasil korelasi Pearson diperoleh bahwa korelasi antara peringkat MPPA dan PBV pada populasi kambing Saanen di PT. Fajar Taurus Dairy Farm sangat tinggi, yaitu 1,00. Artinya individu yang memiliki peringkat tinggi pada perhitungan MPPA juga akan meiliki peringkat yang tinggi pada PBV. Ini menggambarkan bahwa metode evaluasi yang digunakan sudah tepat, karena dengan mengevaluasi ternak yang memiliki kemampuan produksi paling tinggi, maka sekaligus telah dilakukan selekesi terhadap kemampuan ternak tersebut dalam mewarisakan sifat produksi tinggi tersebut. Penellitian mengenai kemampuan produksi tertaksir dan nilai pemuliaan juga dilakukan oleh Nugroho (2004) pada peternakan sapi perah di PT. Taurus Dairy Farm, diperoleh bahwa ternak yang memilki peringkat tinggi pada perhitungan nilai pemuliaan juga akan memiliki peringkat yang tinggi pada perhitungan kemampuan produksi tertaksir.
41
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Nilai MPPA dan PBV dari masing-masing individu dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap potensi individu tersebut dalam menghasilkan susu. Berdasarkan nilai MPPA dan PBV dibuat peringkat yang dapat dijadikan sebagai salah satu kriteria seleksi dalam melakukan program pemuliaan pada populasi kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm. Peringkat MPPA dan PBV tertinggi diperoleh oleh kambing TDF 82. Ternak pengganti ditentukan berdasarkan nilai MPPA dan PBV untuk menggantikan induk-induk sebelumnya. Saran Perlu dilakukan perbaikan managemen reproduksi dan penerapan program pemuliaan, serta evaluasi terhadap efektifitas program yang telah dijalankan. Untuk meningkatkan mutu genetik, perlu dilakukan seleksi secara teratur berdasarkan peringkat MPPA dan PBV.
42
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Cece Sumantri. M.Agr.Sc dan Bapak Ir. Afton Atabany M.Si selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi. Kepada Ibu Ir. Anneke Anggraeni M.Si.,Ph.D yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian ini. Kepada Bapak Dr. Ir. Bagus Purwo Purwanto. M.Agr dan Bapak Prof. Dr. Toto Toharmat M.Sc sebagai dosen penguji sidang sarjana. Kepada Bapak Jakaria Spt.MSi selaku dosen penguji seminar. Kepada Bapak Ir. Catur Nugroho M.Si manajer Taurus Dairy Farm, dan Bapak Jumena beserta para karyawan kambing perah PT. Taurus Dairy Farm. Bapak Dr. Ir. Kartiarso, terima kasih atas segala perhatian dan motivasi. Kepada Ibu Zakiah Wulandari. STp.M.Si sebagai pembimbing akademik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai, papa Fauzil Kamil dan mama Yumnafiati, atas segala curahan cinta, kasih,dan pengorbanan. Selanjutnya kepada kedua adik tersayang, Fajar Hidayat dan Dinta Fayuma. Kepada Bayu Edo Pratama, terima kasih atas segala kebersamaan, semangat dan perhatian yang diberikan, serta seluruh keluarga yang sangat penulis sayangi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di TPT.’41. Garink’ers (Nagil, Dimin, Meri, Breho, Kincing, Dani) beserta seluruh keluarga besar Sivitas Akademika FAPET-IPB. Selanjutnya kepada seluruh staff pengajar yang yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman selama penulis menyelesaikan pendidikan. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh warga NN’ers, serta seluruh sahabat yang memberikan banyak dukungan kepada penulis.
Penulis
43
DAFTAR PUSTAKA Anggraeni. A. 1995. Faktor-faktor koreksi hari laktasi dan umur untuk produksi susu sapi FH (Fries Holland) di kabupaten dan kotamadya Malang. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Atabany, A. 2001. Studi kasus produksi kambing PE dan kambing Saanen pada peternakan kambing perah Barokah dan Taurus Dairy Farm. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Atabany, A. 2002. Strategi Pemberian Induk Kambing Perah Sedang Laktasi dari Sudut Neraca Energi. http://www. Tumoutou.net.html. [28 Agustus 2007] Becker, W. A. 1975. Manual of Quantitative Genetics, 4th ed.Published by academic Enterprises. Pullman, Washington. Benerjee, G. C. 1982. A Text Book of Animal Husbandry 5th ed. Oxford Publishing Co. New Delhi. Bourdon, R. M. 1997. Understanding Animal Breeding. Prentice Hall, Inc., Upper Suddle River, New Jersey. Dalton, D. C. 1981. An Introduction to Practical Animal Breeding. Granada Publishing Limited, Technical Books Division. Fregmore, St. Albans, Herts. Devendra, C. 1993. Kambing. Dalam: Williamson dan W. J. A. Payne. Pengantar Peternakan Daerah Tropis. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta. Devendra, C. and G.B. McLeroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. Intermediate Tropical Agriculture Series. London and New York Devendra, C. and M. Burns. 1983. Goat Production in the Tropics. Commonwealth, Agricultural Bureaux. Devendra, C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Penerbit ITB Bandung, Bandung. Epun, D. 2003. Penampilan Produksi dan Reproduksi Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Falconer, D.S. 1981. Introduction to Quantitative Genetics. 2nd edition. Longman Group United. London and New York. Greenwood, P. 1997. Goat Breed Saanen. Agfact A7. 3. 4. 2nd Edition Herlina, R. 2006. Tinjauan fisiologis ternak kambing perah Saanen sesudah pemerahan pagi dan sore di PT. Taurus Dairy Farm. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran. Johansson I. dan J. Rendel. 1968. Genetics and Animal Breeding. 1st ed. W. H. Freeman and Company. San Fransisco Lasley., J.E. 1978. Genetics of Livestock Improvement. 3rd edition. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey. 44
Martojo, H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen – Dikti. PAU. Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Matjik, A.A. dan Sumertajaya.I.M. 2006. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. Bogor. Miller, R.H., R.E. Pearson, M.H. Fohran and M.E. Creegan. 1972. Methods of Projecting Complete Lactation Production From Part Lactation Yield. J. Dairy Sci. 55: 1602 – 1606. Noor, R. M. 2000. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta. Nugroho, C. W. 2004. Pendugaan nilai pemuliaan dan genetic trends produksi susu di peternakan sapi perah Taurus Dairy Farm, Cicurug-Sukabumi. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pallawarukka, 1999. Ilmu Pemuliaan Tenak Perah. Diktat Kuliah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Schmidt, G.H., L.D. Van Vleck, and M.F. Hutjens. 1988. Principles of Dairy Science. 2nd edition. Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey. Schmidt, G.H., L.D. Van Vleck. 1974. Principles of Dairy Science. San Fransisco. W. H. Freeman and Co. Sodiq, A dan Z.Abidin. 2002. Kambing Peranakan Etawa Penghasil Susu Berkhasiat Obat. PT.Agro Media Pustaka, Depok. Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Diktat Kuliah. Jurusan ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutama, I.K. dan I.G.M. Budiarsana. 1997. Kambing Peranakan Etawah Penghasil Susu Sebagai Sumber Pertumbuhan Baru sub-sektor Peternakan di Indonesia. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Balitnak, Ciawi, Bogor, pp. 156-167. Warwick, E. J., J. M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Warwick, E.J and J.E. Legates. 1979. Breeding and Improvement of Farm Animals. 7th edition. McGraw-Hill Publishing Co. Ltd. New Delhi.
45
LAMPIRAN
46
Lampiran 1. Data Curah Hujan Daerah Cicurug, Sukabumi dari Tahun 1996 sampai September 2007 Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
1996
434
293
385
322
200
184
201
301
211
318
212
433
1997
261
302
252
253
162
89
60
-
-
-
307
446
1998
433
586
483
470
424
364
572
451
426
386
313
431
1999
481
151
452
421
478
529
62
350
458
471
340
390
2000
428
432
376
403
289
202
357
162
335
363
431
404
2001
320
321
302
266
326
-
-
-
-
-
-
137
2002
500
402
318
300
265
178
317
141
242
191
292
443
2003
252
202
338
248
268
92.5
5
33.5
119.5
104.5
219.5
314
2004
226.5
228.5
319.5
467.5
374.5
107
70.5
1.5
187.5
201
561.5
527
2005
173
351.5
249.5
148
226.5
231.5
131
92
153.5
278.5
412
400
2006
275.5
361.5
146.5
260
78.5
43
39.5
3.5
56
22.5
385
431.5
2007
64
328
297.5
303.5
206.5
268.5
114
60
14
٭
٭
٭
Sumber:Pos pengamatan Klimatologi, Cicurug-Sukabumi Belum ada data٭
47
Lampiran 2. Hasil Analisa Ragam Antar dan Dalam Pejantan untuk Pendugaan Nilai Heritabilitas Sumber ragam
db
JK
KT
Antar pejantan
15
492.508
32.834
Dalam pejantan
77
1.964.669
25.665
Total
92
2.457.177
Lampiran 3. Hasil Analisa Ragam Antar dan Dalam Individu untuk Pendugaan Nilai Ripitabilitas Sumber ragam
db
JK
KT
Antar individu
114
5077018
44535
Dalam individu
238
3097763
13016
Total
352
8174781
Lampiran 5. Data Kambing Saanen Betina Sebagai Ternak Pengganti di PT. Taurus Dairy Farm No 1.
Nomor Kambing TDF 82
Nilai MPPA 493,011
2.
TDF 127
389,507
Nilai PBV 484,682 386,107
3.
TDF 137
379,809
376,871
4.
8049
370,618
368,118
5.
8072
370,539
6.
TDF 103
363,147
368,042 361,002
7.
TDF 99
357,463
8.
8070
345,092
355,588 343,807
9.
8081
342,679
341,509
10.
8042 8058 8063 8088 TDF 113 TDF 98 TDF 135 TDF107
340,958 338,781 338,556 333,485 331,686 310,156 310,134 285,634
339,869 337,796 337,582 332,752 331,039 310,534 310,514 287,181
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
48
18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
8066 8062 TDF 140 8122 TDF 96 TDF 110 TDF 146 8062 8067 8077
282,653 275,602 270,906 268,294 267,612 265,037 261,923 261,317 260,541 260,314
284,341 277,626 273,153 270,666 270,017 267,564 264,598 264,021 263,282 263,066
49