PROFIL CURAH HUJAN DAN DAMPAKNYA PADA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI PERTAMA DI PT TAURUS DAIRY FARM TAHUN 1995-2000
SKRIPSI DODI JARWOKO
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN DODI JARWOKO. D14102051. 2008. Profil Curah Hujan dan Dampaknya pada Produksi Susu Sapi Perah Laktasi Pertama di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1995-2000. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. Pembimbing Anggota : Ir. Catur Nugroho Wicaksono, M. Si. Volume produksi susu dapi perah di PT Taurus Dairy Farm selama ini senantiasa mengalami fluktuasi. Biasanya, fluktuasi ini terjadi seiring dengan perubahan musim sepanjang tahun. Berdasarkan pengamatan perusahaan, produksi susu yang diperoleh pada musim kering (periode sedikit hujan) lebih tinggi dibandingkan dengan musim penghujan (periode banyak hujan/periode basah). Fluktuasi produksi tersebut diduga disebabkan oleh perubahan kualitas pakan hijauan yang dipengaruhi oleh curah hujan. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakteristik curah hujan di TDF dan mengetahui dampaknya pada produksi susu sapi perah laktasi pertama pada tahun 1995-2000. Materi yang digunakan adalah catatan curah hujan harian tahun 1990-2005 dan catatan produksi susu harian sapi perah laktasi pertama di PT Taurus Dairy Farm tahun 1995-2000. Jumlah catatan produksi susu yang dipilih dan dianalisa sebanyak 120 catatan. Peubah yang diamati terdiri atas curah hujan bulanan, curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi, dan produksi susu pada fase awal, tengah, dan akhir laktasi. Data curah hujan dianalisis secara deskriptif, yakni meliputi 1) rataan curah hujan bulanan, dan 2) jenis pola curah hujan. Uji hipotesis beda rataan dua sampel yang berbeda dan saling independen (Uji t-Student) sampel kecil (n<30) digunakan untuk mengetahui pengaruh perbedaan curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi terhadap prioduksi susu sapi perah laktasi pertama pada fase awal, tengah, dan akhir laktasi. Uji ini dilakukan dengan cara membandingkan produksi susu kelompok sapi yang rataan curah hujannya kering (CH-Kering PL, yakni CH<100 mm/bln) dengan kelompok sapi yang rataan curah hujannya lembab (CH-Lembab PL, yakni CH 100-200 mm/bln) dan basah (CH-Basah PL, yakni CH>200 mm/bln) pada setiap fase laktasi. Lingkungan peternakan sapi perah Taurus Dairy Farm memiliki pola curah hujan jenis monsun dengan rataan curah hujan bulanan mencapai 273 ± 121 mm dan jarang mengalami musim kering. Curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi memiliki pengaruh yang nyata hanya pada produksi susu fase tengah laktasi. Pada fase ini produksi susu kelompok sapi CH-Kering PL (11,19 ± 3,6 l/e/hr) lebih tinggi dari kelompok CH-Lembab PL (9,15 ± 2,7 l/e/hr) (P<0,05) dan CH-Basah PL (9,19 ± 2,3 l/e/hr) (P<0,01). Berdasarkan kondisi iklim lokalnya, khususnya yang menyangkut pola penyebaran curah hujannya sepanjang tahun, dapat disimpulkan bahwa secara alami, produksi susu sapi perah laktasi pertama di PT. Taurus Dairy Farm antara tahun 1995-2000 cenderung lebih tinggi pada kelompok sapi yang curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasinya relatif lebih rendah. Kata Kunci: curah hujan, produksi susu
ABSTRACT Rainfall Profile and Its Effect on Milk Yield of First Lactating Cows in PT Taurus Dairy Farm during 1995-2000 Jarwoko, D., B.P. Purwanto, and C.N. Wicaksono Taurus Dairy Farms (TDF) has been recognised as one of commercial dairy industries in Indonesia among limited numbers of relatively large-scale dairy farms. Currently, the farm continuously produce approximately 3000 liter of fresh milk/day. However, the production was varied. Field observation and farm milk records showed that milk production was higher during dry season than wet season. It is suggested the presence of effect of meteorological factors such as rainfall, air temperature and humidity on the milk yield. The current study described rainfall profile and examined the effect of rainfall amount during 50 days prior to lactation days (RPL) on the milk yields of first lactating cows in TDF during their early, mid, and late of lactation. Taurus Dairy Farm located in high rainfall area with rainfall’s mean up to 273 ± 121 mm/month. There was no long dry season in this region. Rainfall pattern in TDF classified as monsoon type. The result showed that rainfall number during 50 days prior to lactation days has significant effect on milk yield during mid of lactation where CH-Kering PL cows produced more milk than CHLembab PL and CH-Basah PL (11,19 ± 3,6 Vs. 9,15 ± 2,7 (P<0,05) and 9,19 ± 2,3 l/head/day (P<0,01)). Based on its local microclimate condition, it was concluded that milk yield of first lactating cows in TDF during 1995-2000 was higher in cows those had less rainfall number during 50 days prior to lactation days. Key Words: ranfall, milk production, Taurus Dairy Farm
PROFIL CURAH HUJAN DAN DAMPAKNYA PADA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI PERTAMA DI PT TAURUS DAIRY FARM TAHUN 1995-2000
DODI JARWOKO D14102051
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PROFIL CURAH HUJAN DAN DAMPAKNYA PADA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI PERTAMA DI PT TAURUS DAIRY FARM TAHUN 1995-2000
Oleh DODI JARWOKO D14102051
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 4 Juli 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. NIP. 131 471 379
Ir. Catur Nugroho W., M.Si.
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MScAgr. NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lampung Tengah, tanggal 12 Juni 1985 M atau bertepatan dengan tanggal 23 Ramadhan 1405 H. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Muhkopah dan Ibu Rusmiarti. Pendidikan tingkat taman kanak-kanak, dasar dan menengah pertama selesai ditempuh oleh penulis di TK, MI, dan MTs Ma’arif 5 Sekampung, Lampung Tengah pada tahun 1990, 1996 dan 1999. Pada pertengahan tahun 2002, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMU Takhassus Al-Quran Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis pernah aktif di organisasi mahasiswa Animal Breeding Club Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi Ternak (HIMAPROTER) tahun 2003-2004. Beasiswa yang pernah diterima oleh penulis selama kuliah yaitu Beasiswa Yayasan Supersemar (tahun 2004-2005) dan Bank Indonesia (tahun 2006).
KATA PENGANTAR Penulis bersyukur ke hadirat Allah SWT, Yang Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Atas segala kemurahan, petunjuk, dan izin-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam skripsi yang berjudul ”Profil Curah Hujan dan Dampaknya pada Produksi Susu Sapi Perah Laktasi Pertama di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1995-2000" ini, penulis dengan dibimbing oleh Bapak Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr. dan Bapak Ir. Catur Nugroho Wicaksono, M.Si. berusaha membahas sebuah kajian mengenai pengaruh curah hujan terhadap produksi susu sapi perah. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak sekali kekurangannya, baik dalam pemahaman maupun penafsiran data yang ada sehingga belum dapat sepenuhnya menjelaskan tentang keterkaitan antara hujan dengan produksi susu sapi perah yang pada kenyataannya memang jauh lebih kompleks. Meskipun demikian, besar harapan penulis agar segala kekurangan yang ada di tulisan ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut agar nantinya dapat diperoleh hasil yang lebih baik. Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah terlibat dan membantu penulis dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. Semoga amal kebaikan kita diterima di sisi-Nya dan semoga semua ilmu yang telah kita peroleh dapat manjadi pengantar untuk lebih mengenal dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Akhir kata, penulis berharap tulisan ini bermanfaat adanya, khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi yang menggunakannya. Bogor, Juli 2008
Penulis
DARTAR ISI Halaman RINGKASAN ..................................................................................................
i
ABSTRAK .......................................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................
iii
DAFTAR ISI....................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
vii
PENDAHULUAN............................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
2
Hujan sebagai Salah Satu Bentuk Presipitasi ............................................. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah ................... Masa dan Fase Laktasi Sapi Perah ............................................................. Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah .................................... Pengaruh Curah Hujan terhadap Hijauan Pakan Sapi Perah .......................
2 5 5 7 8
METODE.........................................................................................................
10
Lokasi dan Waktu ..................................................................................... Materi ...................................................................................................... Rancangan ............................................................................................... Peubah ............................................................................................ Analisis Data .................................................................................... Prosedur ......................................................................................................
10 10 10 10 10 10
HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................................
13
Kondisi Umum ......................................................................................... Letak Geografis ....................................................................................... Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah ...................................................... Perkandangan ................................................................................. Pakan Sapi Laktasi ........................................................................ Reproduksi ..................................................................................... Pemerahan dan Pencatatan Produksi Susu ..................................... Profil Curah Hujan, Suhu, dan Kelembaban Udara .................................... Curah Hujan Bulanan ...................................................................... Pola Curah Hujan ............................................................................ Suhu Udara .................................................................................... Kelembaban Udara.......................................................................... Indeks Kenyamanan Lingkungan Termal ....................................... Pengaruh Curah Hujan Selama 50 Hari sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu Sapi Perah Laktasi Pertama ............................................... Fase Awal Laktasi ..........................................................................
13 13 13 14 14 15 15 17 17 17 19 19 20 22 22
Fase Tengah Laktasi ....................................................................... Fase Akhir Laktasi ......................................................................... Pembahasan Umum................................................................................... Pengaruh Fase Laktasi terhadap Respon Produksi Susu ............................ Pengaruh Faktor Lain ...............................................................................
24 26 27 28 30
KESIMPULAN ................................................................................................
33
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
35
LAMPIRAN.....................................................................................................
37
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) pada Berbagai Umur Potong di Musim Basah .............................................................................
9
2. Curah Hujan Minimum, Maksimum, dan Rata-Rata Bulanan di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1990-2005 ...............................................
17
3. Hasil Analisis Pengaruh Curah Hujan selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu pada Fase Awal Laktasi ........................................
22
4. Hasil Analisis Pengaruh Curah Hujan selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu pada Fase Tengah Laktasi .....................................
24
5. Hasil Analisis Pengaruh Curah Hujan selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu pada Fase Akhir Laktasi .......................................
26
6. Variasi Nilai THI antar Bulan di Lingkungan TDF ....................................
28
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Hujan Frontal ............................................................................................
2
2. Hujan Zenithal atau Hujan Tropis ..............................................................
3
3. Hujan Orografis .........................................................................................
3
4. Target Pemeliharaan Sapi Perah Betina di TDF ..........................................
14
5. Curah Hujan Minimum, Maksimum, dan Rata-Rata Bulanan di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1990-2005 ................................................
18
6. Pola Fluktuasi Suhu Udara Bulanan di Lingkungan TDF .......................................................................................
19
7. Pola Fluktuasi Kelembaban Udara (RH) Bulanan
8
di Lingkungan TDF.........................................................................................
20
Pola Fluktuasi Nilai THI Bulanan di Lingkungan TDF.................................
21
9. Kurva Laktasi Kelompok Sapi berdasarkan Curah Hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi ke 1-100 ................................................................ 22 10. Kurva Laktasi Kelompok Sapi berdasarkan Curah Hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi ke 101-200 ............................................................ 24 11. Kurva Laktasi Kelompok Sapi berdasarkan Curah Hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi ke 201-305............................................................. 26
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Curah Hujan Bulanan di PT. Taurus Dairy Farm ........................................
38
2. Suhu dan Kelembaban Udara Bulanan di PT. Taurus Dairy Farm ..............
39
3. Indeks Suhu-Kelembaban Udara (THI) Bulanan di PT. Taurus Dairy Farm
40
3. Hasil Uji Beda Rataan Produksi Susu ........................................................
41
PENDAHULUAN Latar Belakang Taurus Dairy Farm (TDF) merupakan salah satu perusahaan peternakan sapi perah komersial di Indonesia. Dengan manajemen yang moderen, peternakan yang telah berdiri sejak tahun 1976 ini telah tercatat sebagai produsen susu dalam negeri yang terus maju. Hal ini tak lain berkat penerapan sistem breeding dan recording yang sangat baik serta didukung oleh industri pengolahan susu milik sendiri. Kemajuan TDF salah satunya dapat dilihat dari produktivitas sapi perahnya yang semakin meningkat. Tercatat sejak tahun 1995 rataan produksi susu per individu sapi cenderung terus mengalami peningkatan (Purwantara e.al., 2001). Hal ini sejalan dengan semakin baiknya tatalaksana pemeliharaan sapi terutama dalam hal pakan dan manajemen reproduksi, yakni dengan terus menggunakan semen pejantan unggul yang diimport dari negara-negara maju. Saat ini, Taurus Dairy Farm mengandalkan sapi perah bangsa Fries Holland untuk bisa memproduksi sekitar 3000 liter susu segar per hari. Pada prakteknya, volume produksi tersebut ternyata cukup berfluktuasi. Fluktuasi produksi susu per individu terjadi terutama seiring dengan perubahan musim sepanjang tahun. Berdasarkan pengamatan perusahaan, rataan produksi susu per ekor yang diperoleh pada musim kering (periode sedikit hujan) lebih tinggi dibandingkan dengan musim penghujan (periode banyak hujan/periode basah). Lebih tingginya produksi susu pada saat musim kering diduga disebabkan oleh lebih baiknya kualitas pakan terutama hijauan yang tumbuh di musim kering dibandingkan dengan musim basah. Selain itu, suhu yang lebih dingin serta kelembaban udara yang lebih rendah pada musim kering juga dapat menjadi penyebab lebih tingginya tingkat produksi susu di musim tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai pengaruh curah hujan yang berkaitan dengan musim kering dan musim basah terhadap tingkat produksi susu sapi perah di PT Taurus Dairy Farm. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengatahui profil curah hujan di PT Taurus Dairy Farm dan dampaknya pada produksi susu sapi perah laktasi pertama pada fase awal, tengah, dan akhir laktasi antara tahun 1995-2000.
TINJAUAN PUSTAKA Hujan sebagai Salah Satu Bentuk Presipitasi Presipitasi adalah air dalam bentuk cair atau padat yang jatuh dari atmosfer dan sampai ke permukaan bumi (Wisnubroto, 1986). Bentuk air ini terdiri atas hujan, gerimis, salju, dan batu es hujan (hail) sedangkan bentuk air yang berupa kabut, embun dan embun beku (frost) bukan bagian dari presipitasi meskipun keduanya berperan dalam alih kebasahan (moisture) (Tjasyono, 2004). Hujan didefinisikan sebagai peristiwa jatuhnya butiran air atau kristal es dari atmosfer ke permukaan bumi. Menurut Tjasyono (2004) dan Sarjani (2005), jenisjenis hujan dapat dibedakan berdasarkan ukuran butiran air dan proses terjadinya. a. Berdasarkan ukuran butirannya, hujan dibedakan menjadi: 1) hujan gerimis/drizzle, diameter butir-butirannya kurang dari 0,5 mm; 2) hujan salju/snow, terdiri dari kristal-kristal es yang temperatur udaranya berada di bawah titik beku; 3) hujan batu es, merupakan curahan batu es yang turun di dalam cuaca panas dari awan yang temperaturnya di bawah titik beku; dan 4) hujan deras/rain, yaitu curahan air yang turun dari awan yang temperaturnya di atas titik beku dan diameter butirannya kurang lebih 7 mm. b. Berdasarkan proses terjadinya, hujan dibedakan atas: 1) Hujan Frontal, yaitu hujan yang terjadi di daerah front, yang disebabkan oleh pertemuan dua massa udara yang berbeda temperaturnya. Massa udara panas/lembab
bertemu
dengan
massa
udara
dingin/padat
sehingga
berkondensasi dan terjadilah hujan. Lihat gambar 9.
Gambar 1. Hujan Frontal 2) Hujan Zenithal atau Ekuatorial atau Konveksi atau Hujan Naik Tropis Jenis hujan ini terjadi karena udara naik disebabkan adanya pemanasan tinggi.
Terdapat di daerah tropis antara 23,5o LU - 23,5o LS. Oleh karena itu disebut juga hujan naik tropis. Arus konveksi menyebabkan uap air di ekuator naik secara vertikal sebagai akibat pemanasan air laut terus menerus. Terjadilah kondensasi dan turun hujan. Itulah sebabnya jenis hujan ini dinamakan juga hujan ekuatorial atau hujan konveksi. Disebut juga hujan zenithal karena pada umumnya hujan terjadi pada waktu matahari melalui zenit daerah itu. Semua tempat di daerah tropis itu mendapat dua kali hujan zenithal dalam satu tahun. Lihat gambar 10.
Gambar 2. Hujan Zenithal atau Hujan Tropis 3) Hujan Orografis atau Hujan Naik Pegunungan, yaitu hujan yang terjadi karena udara yang mengandung uap air dipaksa oleh angin mendaki lereng pegunungan yang makin ke atas makin dingin sehingga terjadi kondensasi, terbentuklah awan dan jatuh sebagai hujan. Hujan yang jatuh pada lereng yang dilaluinya disebut hujan orografis, sedangkan di lereng sebelahnya bertiup angin jatuh yang kering dan disebut daerah bayangan hujan. Lihat gambar 11.
Gambar 3. Hujan Orografis, Jumlah air hujan yang turun di suatu daerah pada selang waktu tertentu disebut curah hujan. Curah hujan diukur dalam selang waktu harian, bulanan, atau tahunan dengan alat yang disebut Rain Gauge dan dicatat dalam satuan inci atau milimeter (1 inci = 25,4 mm). Jumlah curah hujan 1 mm menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan bumi 1 mm jika air tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer (Tjasyono, 2004). Tinggi rendahnya curah hujan
pada suatu wilayah secara umum dipengaruhi oleh; 1) bentuk medan/topografi, 2) arah lereng medan, 3) arah angin yang sejajar dengan garis pantai, dan 4) jarak perjalanan angin di atas medan datar. Tjasyono, (2004) membagi pola curah hujan di Indonesia secara klimatologis menjadi tiga pola yaitu pola monsun, pola ekuatorial dan pola lokal. 1. Pola curah hujan jenis monsun Ciri khas pola curah hujan monsun adalah distribusi curah hujan bulanan sepanjang tahun yang menyerupai bentuk huruf "V" dengan jumlah curah hujan minimum pada pertengahan tahun (bulan Juni, Juli, dan Agustus). Pola curah hujan ini sangat dipengaruhi oleh angin monsun barat dan angin monsun timur. Pada saat monsun barat, jumlah curah hujan melimpah namun sebaliknya saat monsun timur, jumlah curah hujan sangat sedikit. 2. Pola curah hujan jenis ekuator Pola curah hujan ini terdapat di daerah ekuator. Distribusi curah hujannya sepanjang tahun sangat dipengaruhi oleh insolasi pada saat ekinoks (kedudukan matahari tepat berada di atas ekuator, yakni tanggal 21 Maret dan 23 September). Karena ekinoks terjadi dua kali dalam satu tahun maka distribusi curah hujan bulanannya memiliki dua maksimum atau dua puncak curah hujan, masingmasing terjadi setelah ekinoks, yaitu sekitar bulan Maret dan Oktober. 3. Pola curah hujan jenis lokal Pola curah hujan jenis lokal lebih banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat lokal. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhia Produksi Susu Sapi Perah Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan komposisi susu sapi perah selama laktasi menurut Schmidt dan Vleck (1974) secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor fisiologi dan lingkup lingkungan. Faktor-faktor fisiologis sebagian dikendalikan oleh hereditas dan yang lainnya dikendalikan oleh faktor-faktor nonhereditas, misalnya umur sapi, kali laktasi, dan kebuntingan. Faktor genetik memiliki peran penting dalam menentukan tinggi rendahnya potensi atau kemampuan produksi susu setiap individu sapi (Sudono, 2003). Perbedaan potensi genetik dapat menyebabkan variasi produksi susu, baik antar individu yang sebangsa maupun berbeda bangsa (Schmidt dan Vleck, 1974, Ensminger, 1971). Umumnya, bangsa Holstein memilikki tingkat produksi susu yang paling tinggi kemudian berturut-turut disusul oleh bangsa Brown Swiss, Ayrshire, Guernsey, dan Jersey tetapi sebaliknya, rata-rata kadar lemak susu terrendah adalah pada sapi bangsa Holstein yang dapat berkisar antara 2.6 sampai 6.0 % dan tertinggi pada bangsa Jersey, yaitu sekitar 3.3 sampai 8.4 % (Ensminger, 1971). Smith (1969) membedakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi laktasi sapi perah menjadi tiga faktor utama yaitu faktor fisiologis, faktor lingkungan dan faktor pakan. Hal-hal yang berkaitan dengan atau dapat mempengaruhi kondisi fisiologis sapi perah dapat mempengaruhi jumlah produksi dan sekresi air susunya. Faktor fisiologis ini mencakup periode laktasi, persistensi, kebuntingan, umur sapi, ukuran tubuh atau bobot badan, estrus dan penyakit. Faktor lingkungan yang mempengaruhi laktasi terdiri atas masa kering, interval beranak, kondisi sapi saat beranak, dilakukannya pemerahan sebelum beranak, interval pemerahan, pemerahan yang tidak tuntas, temperatur lingkungan, musim, aktivitas gerak sapi, dan pengaruh obat-obatan. Masa dan Fase Laktasi Sapi Perah Masa laktasi pada sapi perah yaitu selang waktu antara dimulainya proses produksi dan sekresi air susu oleh induk sapi perah, yakni setelah beranak sampai proses produksi dan sekresi air susu tersebut berhenti yakni saat sapi memasuki masa kering atau dikeringkan (Sudono, 2003). Lamanya masa laktasi ini bervariasi antar sapi dan tergantung pada banyak faktor yang mempengaruhinya seperti umur sapi, kondisi tubuh saat beranak, lamanya masa kering sebelumnya, penyakit, pemberian
pakan serta manajemen (Moran, 2005). Menurut (Schmidt dan Vleck, 1974), lama laktasi yang disarankan yaitu selama sepuluh bulan (305 hari) dengan masa kosong dan masa kering masing-masing sekitar 60 hari sehingga sapi akan beranak setiap 365 hari (satu tahun) sekali. Lama laktasi yang lebih singkat atau lebih lama dari yang disarankan tersebut akan menimbulkan akibat yang kurang menguntungkan. Moran (2005) membagi satu masa laktasi sapi perah (305 hari) menjadi tiga fase yaitu fase awal, tengah, dan akhir laktasi. Sepanjang tiga fase tersebut, sapi perah mengalami perubahan dalam produksi serta komposisi susu, bobot badan, intake makanan, dan status kebuntingan. 1. Fase Awal Laktasi (100 hari pertama laktasi) Pada fase ini, produksi susu akan terus naik hingga mencapai puncaknya. Puncak produksi susu dapat dicapai pada waktu yang bervariasi antar sapi karena tergantung pada kondisi tubuh sapi saat beranak, potensi genetik/faktor keturunan, penyakit infeksi dan metabolis, cara pemberian makanan setelah sapi beranak (Schmidt dan Vleck, 1974), frekuensi pemerahan, perubahan musim, status nutrisi, kebuntingan dan manajemen (Smith, 1969). Meskipun pada kenyataannya sangat bervariasi, umumnya puncak produksi susu terjadi pada bulan ke dua dari masa laktasi. Menurut Smith, (1969), puncak produksi susu akan cenderung dicapai dalam waktu yang lebih lama pada sapi-sapi yang produksi susunya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang produksi susunya lebih rendah. Setelah mencapai tingkat produksi susu maksimum, produksi susu sapi secara bertahap/perlahan-lahan akan mengalami penurunan. Laju penurunan produksi susu setelah mengalami puncak produksi disebut persistensi. Laju penurunan produksi susu ini juga bervariasi antar sapi karena sangat tergantung pada puncak produksi susu (Schmidt dan Vleck, 1974, dan Moran, 2005), intake nutrien setelah mengalami puncak produksi, kondisi tubuh saat beranak, dan faktor-faktor lain seperti penyakit dan stress iklim (Moran, 2005). Nilai penurunannya menurut Moran (2005) dapat berkisar antara 3−4 % per bulan pada kondisi full fed, dan 12 % atau lebih pada kondisi pemberian pakan yang kurang baik (misalnya pada saat musim kemarau di daerah tropis). Pada sistem pemeliharaan berbasis pastura di daerah temperate, dengan
manajemen pemeliharaan yang baik, penurunan produksi susunya tidak lebih dari 7−8% per bulan (Moran, 2005). Pada fase ini, sapi mengalami penurunan bobot badan karena mengalami keseimbangan energi yang negatif disebabkan oleh intake nutrient yang lebih sedikit dari pada kebutuhan untuk produksi susu yang tinggi. Setelah mencapai puncak produksi, keseimbangan energi menjadi nol dan sapi tidak mengalami kehilangan atau peningkatan bobot badan. Intake makanan paling rendah setelah sapi beranak namun kemudian berangsur-angsur naik dan mencapai puncaknya pada akhir fase ini atau pada awal fase tengah laktasi. 2. Fase Tengah Laktasi (hari ke 100 sampai hari ke 200) Pada fase ini, sapi telah mencapai puncak produksi (pada minggu 8 sampai 10 setelah beranak). Puncak intake bahan kering dicapai pada fase ini dengan tidak adanya kehilangan bobot badan lagi. Sebaiknya, sapi tidak mencapai puncak intake bahan kering lewat dari 10 minggu setelah beranak. Keseimbangan energi pada fase ini adalah positif dan sapi mengalami peningkatan bobot badan secara perlahan. 3. Fase Akhir Laktasi Fase ini merupakan fase terakhir dari suatu masa laktasi yaitu masa menjelang sapi memasuki masa kering. Pada fase ini, produksi susu terus menurun secara drastis karena nutrien dari pakan lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan fetus dan peningkatan kondisi badan. Intake pakan menurun secara perlahan hingga akhir fase ini lalu menurun secara lebih tajam setelah sapi dikeringkan. Penurunan intake pakan ini disebabkan oleh semakin menurunnya kapasitas perut/rumen sapi untuk menampung makanan. Perkembangan fetus pada fase ini sangat cepat terutama setelah bulan ke tujuh kebuntingan. Oleh sebab itu, bobot badan sapi akan terus naik sampai akhir kebuntingan. Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah Kondisi cuaca bersifat dinamis, selalu berubah-ubah, baik dalam kisaran yang pendek maupun panjang, dalam hitungan jam, hari, minggu, bulan maupun tahun mengakibatkan adanya variasi kondisi lingkungan, baik variasi harian maupun musiman. Perubahan kondisi cuaca ini membuat makhluk hidup harus senantiasa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya yang senantiasa
berubah untuk mempertahankan fungsi normal tubuhnya. Proses penyesuaiaan diri inilah yang sering menimbulkan banyak masalah yang merugikan bagi makhluk hidup itu sendiri maupun bagi manusia yang mengambil manfaat langsung darinya (Valtorta, 2006). Sebagai salah satu komponen lingkungan abiotik, cuaca/iklim memiliki pengaruh yang besar pada kehidupan seluruh makhluk hidup termasuk ternak yang dipelihara manusia. Dalam usaha produksi ternak, faktor meteorologis (radiasi matahari, photoperiod, temperatur, kelembaban, angin, dan curah hujan) menjadi faktor pembatas yang sulit untuk dikendalikan. Faktor-faktor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kesehatan dan daya tahan hidup (survive) (Silva, 2006) dan produktivitas sapi perah yang mencakup pertumbuhan, produksi dan kualitas susu serta reproduksinya (Johnson, 1987 dan Valtorta, 2006). Pengaruh iklim pada produksi ternak menurut Valtorta (2006) dapat dilihat pada empat hal, yaitu: a) pengaruh pada ketersediaan dan harga bijian pakan ternak, b) pengaruh pada produktivitas dan kualitas pastura dan hijauan pakan ternak, c) perubahan pada penyebaran hama dan penyakit ternak, dan d) pengaruh langsung dari cuaca dan kondisi yang ekstrim pada kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak. Menurut Johnson (1987), pengaruh iklim pada sapi perah secara langsung terjadi pada intake pakan harian, kemampuan sapi untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuhnya, mensintesis air susu dan reproduksi sedangkan menurut Williamson dan Payne (1993), pengaruh iklim pada produktivitas ternak di daerah-daerah beriklim tropis secara langsung terlihat pada perilaku merumput ternak-ternak yang digembalakan, intake dan penggunaan pakan, pertumbuhan, produksi susu dan reproduksi. Pengaruh tidak langsungnya terutama terlihat pada ketersediaan dan kualitas pakan, timbulnya berbagai penyakit dan parasit, juga pengaruh pada penyimpanan dan penanganan hasil ternak. Pengaruh Curah Hujan terhadap Hijauan Pakan Sapi Perah Jenis hijauan yang umumnya digunakan sebagai pakan sapi perah di daerah Asia Tenggara menurut Moran (2005) adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum). Pertumbuhan jenis rumput ini sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Pada saat musim basah, rumput ini mengalami laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan saat musim kering. Oleh karena itu, umur panen rumput gajah yang tumbuh di musim
penghujan harus diatur sebaik mungkin agar tidak cepat mengalami penurunan kualitas atau nilai nutrisi. Penurunan nilai nutrisi yang disebabkan oleh semakin bertambahnya persentase serat kasar dan kecernaannya yang semakin rendah ini dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat (Tabel 1). Tabel 1. Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) pada Berbagai Umur Potong di Musim Basah Umur ME potong Tinggi Protein TDN Serat Kasar (minggu) (cm) Kasar (%) (MJ/kg DM) (%) (%) 4 50 10.8 9.6 62 28.5 6 75 8.8 8.1 54 32.2 8 135 8.0 7.9 53 32.8 10 150 7.8 7.7 52 33.0 12 150 4.6 7.5 51 31.9 Sumber: Moran, 2005 Williamson dan Payne (1993) menuliskan bahwa hijauan yang tumbuh di daerah yang curah hujannya lebih tinggi umumnya akan mengandung kadar air yang lebih tinggi pula sehingga dapat menurunkan intake bahan kering oleh ternak. Menurut Weiss et.al. (2006), meskipun kondisi kekeringan atau keterbatasan air dapat menurunkan produksi hijauan tetapi umumnya justru dapat meningkatkan nilai nutrisinya. Kekeringan menghambat pertumbuhan tanaman sehingga membatasi produksi serat oleh tanaman. Oleh sebab itu, hijauan yang tumbuh pada kondisi kering umumnya memiliki kadar serat yang lebih rendah serta mengandung protein kasar dan energi yang lebih tinggi dibandingkan hijauan yang tumbuh pada kondisi normal atau berlebih air. Panjang hari dan temperatur juga memiliki pengaruh pada kualitas hijauan. Umumnya, hari yang panjang dan temperatur yang hangat akan memacu pertumbuhan tanaman dan meningkatkan laju pembentukan serat oleh tanaman sehingga nilai nutrisinya menjadi berkurang.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PT Taurus Dairy Farm pada bulan April tahun 2006. Komplek peternakan tersebut berada di desa Tenjo Ayu, kecamatan Cicurug, kabupaten Sukabumi, provinsi Jawa Barat. Materi Materi yang digunakan yaitu catatan curah hujan harian tahun 1990-2005 dan catatan produksi susu harian sapi perah laktasi pertama di PT Taurus Dairy Farm tahun 1995-2000. Jumlah catatan produksi susu yang dipilih dan dianalisa sebanyak 120 catatan. Rancangan Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Data yang dikumpulkan seluruhnya merupakan data sekunder. Peubah Peubah-peubah yang diamati yaitu: 1) curah hujan bulanan 2) curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi, dan 3) produksi susu pada fase awal, tengah, dan akhir laktasi. Analisis Data Data curah hujan dianalisis secara deskriptif. Deskripsi data curah hujan ini meliputi 1) rataan curah hujan bulanan, dan 2) jenis pola curah hujan Data produksi susu dianalisis untuk mengetahui pengaruh perbedaan curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi terhadap prioduksi susu sapi perah laktasi pertama pada fase awal, tengah, dan akhir laktasi. Uji statistik yang digunakan adalah uji hipotesis beda rataan dua sampel yang berbeda dan saling independen (Uji tStudent) sampel kecil (n<30). Prosedur 1. Mengambil data curah hujan 2. Menghitung rataan curah hujan bulanan 3. Menentukan bulan basah, lembab, dan kering 4. Membuat pembagian musim
5. Menentukan jenis pola curah hujan 6. Mengambil data produksi susu 7. Menghitung produksi susu per individu sapi Dari catatan produksi susu harian selama masa laktasi, dihitung produksi susu total per individu sapi pada fase awal, fase tengah, dan fase akhir laktasi. 8. Mengitung curah hujan per individu sapi Dengan mengacu pada tanggal melahirkan atau dimulainya laktasi dari setiap individu sapi, dihitung curah hujan per individu sapi. Curah hujan yang dihitung yaitu curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi. Jumlah 50 hari ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa rata-rata umur potong rumput gajah sepanjang tahun adalah sekitar 50 hari. Dengan demikian, rumput yang dimakan oleh sapi pada hari pertama laktasi adalah rumput yang ditanam atau terakhir dipotong pada 50 hari sebelumnya, dan demikian seterusnya sampai hari ke 305 laktasi, rumput yang dimakan adalah rumput yang mulai tumbuh pada hari ke 255 laktasi. 9. Mengurutkan (meranking) sapi berdasarkan curah hujannya Pada tahap ini, setiap sapi telah dihitung jumlah produksi susu dan jumlah curah hujannya. Selanjutnya, sapi-sapi diurutkan atau diranking berdasarkan jumlah curah hujannya mulai dari yang curah hujannya paling rendah sampai dengan yang curah hujannnya yang paling tinggi. 10. Mengelompokkan seluruh sapi berdasarkan jumlah curah hujannya Pada masing-masing fase laktasi, seluruh sapi dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) kelompok sapi bercurah hujan rata-rata bulanan yang kering (CHKering, yaitu sapi-sapi yang rataan curah hujan bulanannya <100 mm), 2) kelompok sapi bercurah hujan rata-rata bulanan yang lembab (CH-Lembab, yaitu sapi-sapi yang rataan curah hujan bulanannya antara 100 sampai 200 mm), dan 3) kelompok sapi bercurah hujan rata-rata bulanan yang basah (CH-Basah, yaitu sapi-sapi yang rataan curah hujan bulanannya >200 mm). 11. Menghitung rataan produksi susu masing-masing kelompok sapi Setelah sapi dibagi menjadi tiga kelompok, setiap kelompok dihitung rata-rata produksi susunya pada masing-masing fase laktasi. 12. Membandingkan nilai rataan curah hujan dan produksi susu antar kelompok sapi
Nilai rataan produksi susu dari masing-masing kelompok sapi selanjutnya dibandingkan antar kelompok untuk diuji perbadaannya dengan uji beda rataan dua populasi yang berbeda (sampel dsling bebas/independen) (Uji t-Student) menggunakan software statistik MINITAB 14.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Letak Geografis Peternakan sapi perah P.T. Taurus Dairy Farm terletak di desa Tenjo Ayu, kecamatan Cicurug, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lokasi peternakan ini berada pada ketinggian antara 450 sampai 550 meter di atas permukaan laut dengan luas lahan sekitar 37 ha dan kondisi topografi yang agak bergelombang. Daerah sebelah utara, timur, selatan dan barat peternakan berturut-turut berbatasan dengan Kampung Manggis Hilir, Kampung Manggis I, Kampung Cilayur, dan Perusahaan Peternakan Ayam Manggis II. Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah Bangsa sapi perah yang dipelihara di TDF sebagian besar adalah Fries Holland atau peranakannya dan sebagian kecil hasil persilangan antara sapi FH dengan sapi bangsa lain (Sahiwal Cross atau Taurindicus)). Sapi-sapi tersebut umumnya merupakan sapi keturunan induk-induk sapi perah yang dipelihara di TDF sebelumnya sehingga telah beradaptasi dengan baik di lingkungan TDF. Peternakan sapi perah P.T. Taurus Dairy Farm mengelompokkan sapi perahnya menjadi beberapa kelompok fase/periode pemeliharaan seperti berikut ini. 1. Pedet, terdiri atas: 1) pedet yang masih menyusu / PMS (umur 0-3 bulan) 2) pedet lepas susu / PLS (umur 3-6 bulan) 2. Dara, dibagi menjadi: 1) dara pra kawin I / DPK I (BB 81-150 kg) 2) dara pra kawin II / DPK II (BB 151-200 kg) 3) dara pra kawin III / DPK III (BB 201-300 kg) 4) dara siap kawin / DSK (BB ≥ 300 kg) 5) dara bunting / DB 3. Induk, dibedakan berdasarkan produksi susunya menjadi: 1) induk laktasi berproduksi susu > 10 liter/hari/ekor 2) induk laktasi berproduksi susu < 10 liter/hari/ekor 3) induk bunting kering / BK 4. Sapi Pejantan
Pengelompokan tersebut didasarkan pada umur, bobot badan, dan kondisi/status fisiologis sapi dengan tujuan utama untuk mempermudah proses pemeliharaan. Selain itu, pengelompokan disesuaikan dengan target pemeliharaan terutama untuk sapi betina yang telah ditetapkan oleh TDF seperti dapat dilihat pada Gambar 1. PMS ± 30-60 kg
PLS
DPK II 151-200 kg
DPK III 201-300 kg
DSK
DB
60-80 kg
DPK I 81-150 kg
300 kg
400 kg
0-3
3-6
6-9
9-12
12-15
15-18
18-27
LAK I
KK I
LAK II
KK II
LAK III
KK III
Dan seterusnya
≥ 27
≥ 37 ≥ 39 ≥ 49 ≥ 51 ≥ 61 Gambar 4. Target Pemeliharaan Sapi Perah Betina di TDF
(Bulan)
(Bulan)
Keterangan: LAK : Laktasi, KK : Kering Kandang Perkandangan Kelompok Pedet yang Masih Menyusu (PMS) dan Sapi Pejantan dikandangkang secara individu sedangkan kelompok Pedet Lepas Sapih (PLS), sapi dara, dara siap kawin, dara bunting, induk laktasi dan sapi bunting kering dikandangkan secara berkelompok. Kandang kelompok sapi laktasi terdiri atas dua tipe, yaitu tipe loose housing dan tipe tie stall. Kandang tipe tie stall digunakan untuk induk sapi yang berproduksi tinggi (rata-rata >10 liter/hari) sedangkan kandang tipe loose housing digunakan untuk kelompok sapi yang produksi susunya rendah (rata-rata <10 liter/hari). Sistem perkandangan di TDF didukung oleh sistem sanitasi yang cukup baik. Kandang maupun tempat pakan dibersihkan secara rutin sebanyak tiga kali sehari yaitu pukul mulai 07.00, 14.00, dan 19.00 WIB. Pakan Sapi Laktasi Pakan utama sapi laktasi di TDF terdiri atas hijauan berupa rumput gajah dan konsentrat berupa ampas rahu dan konsentrat TDF. Rumput gajah diberikan dalam keadaan segar dan dalam bentuk utuh atau dicacah. Ampas tahu juga diberikan dalam keadaan segar, tanpa dicampur dengan bahan lain. Seluruh bahan penyusun
konsentrat TDF diberikan pada sapi dengan jumlah dan komposisi yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Reproduksi Untuk memenuhi kebutuhan replacement stock-nya, TDF melakukan pemeliharaan sapi dara yang dihasilkan oleh induk dari peternakan sendiri. Seleksi sapi dara pengganti induk afkir terutama didasarkan atas prestasi induk dan bobot lahir pedet. Sapi dara yang dipilih sebagai replacement stock adalah yang berasal dari induk yang memiliki tingkat produksi susu yang tinggi dengan bobot lahir yang berat atau standar. Sapi dara di TDF mulai dikawinkan ketika telah mencapai bobot badan 300 kg (bobot badan Dara Siap Kawin/DSK). Dengan pertumbuhan yang baik, bobot badan tersebut dapat dicapai pada umur sekitar 15 sampai 18 bulan. Cara perkawinan sapi perah yang utama di TDF adalah dengan menerapkan teknologi inseminasi buatan atau kawin suntik. Sapi dara atau induk sapi dikawinkan secara alami apabila gagal di-IB sapai tiga kali. Biasanya, sapi induk di TDF dapat dikawinkan kembali setelah 60-90 hari post partum. Profil reproduksi rata-rata sapi perah di TDF menurut penelitian Khoiriyyah (2006) antara lain: interval kawin pertama setelah beranak 117 hari, nilai S/C 1.86, masa kosong 174 hari, selang beranak 453 hari (15 bulan), dan angka kebuntingan 53 persen. Khoiryyyah (2006) juga menyimpulkan bahwa manajemen pemeliharaan sapi perah di TDF dari tahun ke tahun semakin baik dan memiliki pengaruh yang nyata terhadap profil reproduksinya. Pemerahan dan Pencatatan Produksi Susu Pemerahan sapi laktasi di TDF dilakukan secara rutin sebanyak dua kali sahari yaitu pada pagi dan sore hari dengan interval antara pemerahan pertama (pagi) dan pemerahan ke dua (sore) sekitar 12 jam. Pemerahan pertama (pagi) dimulai pada pukul 01.00 WIB dan berakhir sekitar pukul 05.00 WIB (lamanya proses pemerahan tergantung pada jumlah sapi yang diperah dan produksi susu per individu sapi). Pemerahan kedua dimualai pada pukul 13.00 sampai 17.00 WIB. Pencatatan produksi susu per individu sapi di TDF sangat mungkin dilakukan karena TDF menggunakan mesin perah yang dilengkapi dengan tabung penampung air susu yang memiliki skala antara 0-20 liter sehingga produksi susu per individu
sapi per sekali pemerahan atau per hari dapat dicatat langsung setelah sapi selesai diperah. Pencatatan produksi susu sapi laktasi di TDF meliputi produksi susu pemerahan pagi dan pemerahan sore dan dilakukan secara kontinyu selama masa laktasi sapi.
Profil Curah Hujan, Suhu, dan Kelembaban Udara Curah Hujan Bulanan Rataan curah hujan bulanan serta curah hujan terrendah dan tertinggi yang tercatat pada masing-masing bulan antara tahun 1990 sampai tahun 2005 di lingkungan TDF disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Curah Hujan Minimum, Maksimum, dan Ratarata Bulanan di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1990-2005 Minimum Maksimum Rata-Rata Bulan (mm) (mm) (mm) Januari 169 575 347 Februari 173 397 281 Maret 146 457 319 April 63 498 307 Mei 41 495 271 Juni 9 341 169 Juli 0 373 107 Agustus 0 370 129 September 32 415 173 Oktober 42 710 301 November 84 691 429 Desember 216 886 443 Secara keseluruhan rataan curah hujan di TDF cukup tinggi, yakni mencapai 273 ± 121 mm per bulan namun jika diperhatikan nilai mínimum-maksimumnya, dapat diketahui bahwa perbedaan curah hujan antar tahun di TDF cukup besar. Curah hujan selalu tinggi pada bulan Januari-April dan bulan November-Desember sedangkan antara bulan Mei-Oktober, curah hujan terkadang cukup tinggi dan terkadang sangat rendah bahkan kering. Pola Curah Hujan `Pola distribusi curah hujan sepanjang tahun di lingkungan TDF ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar distribusi curah hujan tersebut menunjukkan bahwa lingkungan TDF memiliki pola penyebaran curah hujan jenis monsun, yakni memiliki dua musim hujan (pada awal dan akhir tahun) dan satu musim kemarau di pertengahan tahun. Menurut Tjasyono (2004), umumnya daerah-daerah di Indonesia, kecuali daerah katulistiwa memiliki pola curah hujan jenis monsun.
900
curah hujan (mm)
800 700 600 500 400 300 200 100 0 i i ar ar ru nu b a J Fe
et ar M
ril Ap
C H maks imum
ei M
ni Ju
li Ju
r r r er us be be be st ob m t m u e k em v te s O o Ag p N De Se
C H minimum
C H rata-rata
Gambar 5. Curah Hujan Minimum, Maksimum, dan Rata-rata Bulanan di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1990-2005 Pola penyebaran dan tingginya curah hujan di TDF ini secara agronomis sangat menguntungkan bagi tanaman makanan ternak yang membutuhkan banyak air. Menurut Mannetje dan Jones (2000), di Asia Tenggara, jenis rumput gajah tumbuh secara alami di daerah-daerah yang memiliki curah hujan yang tidak kurang dari 1000 mm per tahun atau sekitar 83 mm per bulan dan tidak ada musim panas yang panjang. Lingkungan TDF memiliki rata-rata curah hujan per bulan yang mencapai 273 ± 121 mm dan jarang mengalami musim kering. Oleh karena itu, ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan rumput gajah dapat tercukupi sepanjang tahun. Apabila terjadi perurunan atau kekurangan produksi rumput di TDF maka dapat diduga bahwa penyebabnya bukanlah karena faktor kekurangan air melainkan karena faktor lain seperti pemupukan, pengolahan tanah, peremajaan tanaman dan lain-lain (manajemen pengelolaan). Meskipun dari sisi ketersediaan air menguntungkan, tingginya curah hujan di TDF juga dapat menimbulkan beberapa hal yang merugikan, seperti laju penuaan tanaman hijauan yang cepat sehingga penurunan kualitas hijauan akan lebih mudah terjadi dan terjadinya pencucian lahan (run off) secara terus-menerus yang dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan tanah. Selain itu, curah hujan yang tinggi juga berhubungan erat dengan udara yang lembab. Kelembaban udara yang tinggi akan menimbulkan peningkatan nilai THI yang membuat lingkungan TDF semakin tidak nyaman terutama bagi sapi perah.
Suhu Udara Variasi suhu udara minimum di TDF berkisar antara 19-26º C sedangkan suhu udara maksimumnya antara 23-28º C dan suhu rata-ratanya antara 21,5-26,5º C. Fluktuasi suhu udara diurnalnya berkisar antara 1-8º C dengan variasi antar musim tidak lebih dari 2º C. Secara rata-rata, bulan terdingin di TDF yaitu bulan Juli dengan rataan suhu minimum 20,4 ± 0,7º C, maksimum 24,8 ± 0,5º C, dan rata-rata 22.6º C. Bulan terhangat di TDF yaitu bulan November dengan rataan suhu minimum, maksimum, dan rata-ratanya masing-masing mencapai 22,7 ± 1,0; 26,5 ± 07 dan 24,6º C. Pola fluktuasi suhu udara di TDF sepanjang tahun ditunjukkan pada Gambar 6,
sedangkan data suhu udara di TDF secara lebih lengkap dapat dilihat pada
lampiran.
Suhu udara
28,0 27,0 26,0 25,0 24,0 23,0 22,0 21,0 20,0 i ri ar ua nu br e Ja F
et ar M
ril Ap
Minimum
ei M
ni Ju
li Ju
r r s r er tu be be be ob us m m kt em g e e t O A p ov es N D Se
Maksimum
Rata-Rata
Gambar 6. Pola Fluktuasi Suhu Udara Bulanan di Lingkungan TDF Kelembaban Udara Kelembaban udara rata-rata yang dinyatakan dengan kelembaban relatif (RH) di TDF termasuk tinggi. Kisaran RH di TDF yaitu antara 83-92 % pada pagi hari dan 60 sampai 89 % pada siang hari atau rata-rata antara 76-90 %. Bulan terlembab yaitu pada awal musim hujan di bulan November dengan RH pada pagi dan siang hari mencapai 90,5 ± 2,1% dan 82,3 ± 5,7% atau rata-rata 86.4 %. Bulan terkering dengan rataan RH terrendah terjadi pada bulan Agustus atau pada akhir musim kemarau dengan kisaran kelembaban udaranya sebesar 91,0 ± 0,0 % pada pagi hari dan 64,1 ± 5,5 % pada siang hari atau rata-rata sebesar 77.5 %.
95,0 90,0 85,0 RH (%)
80,0 75,0 70,0 65,0 60,0 55,0
Pagi
Ju Ag li us tu S s ep te m be r O kt ob er No ve m De be r se m be r
Ju ni
ei M
Ap ril
Ja nu ar i Fe br ua ri M ar et
50,0
Siang
Rata-Rata
Gambar 7. Pola Fluktuasi Kelembababan Udara (RH) Bulanan di Lingkungan TDF Seperti ditunjukkan pada Gambar 7 di atas, kelembaban udara rata-rata di TDF pada pagi hari relatif tetap atau tidak banyak berbeda antar musim sepanjang tahun namun kelembaban udara pada siang harinya secara nyata dipengaruhi oleh perbedaan musim. Kelembaban udara pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan dengan pada musim kemarau. Indeks Kenyamanan Lingkungan Termal Perkiraan nilai indeks kenyamanan lingkungan yang dinyatakan dalam THI (Temperature Humidity Index) atau Indeks Kelembaban-Suhu Udara di lingkungan TDF berfluktuasi mengikuti fluktuasi suhu dan kelembaban udaranya sepanjang tahun. Pada pagi hari, nilai THI di TDF berkisar antara 66-78. Pada siang harinya, nilai THI-nya mencapai 71-81. Fluktuasi nilai THI sepanjang hari tidak lebih dari 10 poin dengan rata-rata 6 poin. Variasi diurnal atau kisaran nilai THI harian ini lebih tinggi pada saat musim hujan. Pola fluktuasi nilai THI di TDF ditunjukkan pada gambar 8.
79,0 77,0
THI
75,0 73,0 71,0 69,0 67,0 65,0 i i ar ar ru nu b a J Fe
M
et ar
Pagi
ril Ap
M
ei
ni Ju
Siang
li Ju
r r r r us be be be be st m m m to u e e e k g v s O pt A No De Se Rata-Rata
Gambar 8. Pola Fluktuasi Nilai THI Bulanan di Lingkungan TDF Berdasarkan nilai THI-nya, bulan ternyaman di TDF yaitu bulan Juli dengan nilai THI minimum, maksimum, dan rata-ratanya sebesar 68,1 ± 1,2; 74 ± 1,1;, dan 71,1. Bulan November menjadi bulan yang paling tidak nyaman karena mamiliki nilai THI minimum, maksimum dan rata-rata tertinggi yaitu 72 ± 1,7; 77,6 ± 1,4; dan 74,8. Penentuan batas tingkat kenyamanan ini didasarkan pada hasil penelitian yang menyatakan bahwa nilai THI yang optimum bagi sapi perah laktasi adalah antara 3572 (Johnson, 1987). Di luar kisaran nilai ini, sapi perah akan mengalami cekaman stress dingin atau stress panas.
Pengaruh Curah Hujan Selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu Sapi Perah Laktasi Pertama Fase Awal Laktasi (Hari ke 1-100) Rataan curah hujan dan produksi susu total serta hasil uji beda rataan produksi susu antar kelompok sapi pada fase awal laktasi ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Pengaruh Curah Hujan selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu pada Fase Awal Laktasi CH sebelum laktasi (mm) CH/bln Produksi susu total (l/e) Kelompok Sapi N Rataan StDev SE (mm) Rataan StDev SE CH-Kering PL CH-Lembab PL CH-Basah PL
23 29 68
117
50
264
45
488
103
10 8 13
70 158 292
1172 1148 1097
a a a
258
54
346
64
306
37
Keterangan: PL = Prior to Lactation Supersrip huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0.05)
Dari data pada Tabel 3 di atas diketahui bahwa rataan produksi susu kelompok sapi CH-Kering PL (11,72 ± 2,6 l/e/hr) pada fase awal laktasi ini tidak berbeda dengan rataan produksi susu kelompok sapi CH-Lembab PL (11,48 ± 3,5 l/e/hr), dan CHBasah PL (10,97 ± 3,0 l/e/hr). Artinya, baik curah hujan bulanan dengan kategori kering, lembab, maupun basah selama 50 hari sebelum hari laktasi tidak menimbulkan perbedaan yang nyata pada tingkat produksi susu sapi perah di awal masa laktasinya. Gambaran tingkat produksi susu harian kelompok sapi CH-Kering PL, CHLembab PL, dan CH-Basah PL pada fase awal laktasi khususnya dan pada dua fase laktasi berikutnya dapat dilihat pada Gambar 9. 15.0 14.0 13.0 12.0 11.0 10.0 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 1 10
1
P S C H-K ering B L
1 20
P S C H -L embab B L
1 30
P S C H-B as ah B L
Gambar 9. Kurva Laktasi Kelompok Sapi Berdasarkan Curah Hujan Selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi ke-1-100
Dari Gambar 9 di atas terlihat bahwa meskipun tidak ditemukan perbedaan produksi susu yang nyata pada fase awal laktasi namun pada fase laktasi berikutnya, yakni fase tengah laktasi, produksi susu CH-Kering PL (10,77 ± 2,4 l/e/hr) sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi dari CH-Basah PL (8,93 ± 2,6 l/e/hr). Adapun pada akhir laktasi, perbedaan produksi susu antar kelompok sapi tidak nyata namun kelompok sapi CH-Kering PL produksi susunya cenderung lebih tinggi (CH-Kering PL 9,72 ± 2,6 l/e/hr dibanding CH-Lembab PL 9,57 ± 3,2 l/e/hr dan CH-Basah PL 8,91 ± 2,6 l/e/hr untuk). Adanya pengaruh yang bersifat jangka panjang ini juga diperkuat oleh adanya korelasi negatif yang nyata antara curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi ke-1 sampai hari laktasi ke 100 dengan produksi susu total fase tengah laktasi. Nilai koefisien korelasinya adalah r = -0,26 (P<0.01).
Fase Tengah Laktasi (Hari ke 101-200) Produksi susu kelompok sapi CH-Kering PL pada fase tengah laktasi (11,19 ± 3,65 l/e/hr) nyata lebih tinggi (P<0.05) dari CH-Lembab PL (9,32 ± 3,34 l/e/hr) dan CH-Basah PL (9,19 ± 2,32 l/e/hr) (P<0.01). Selisih produksi susu antara kelompok sapi CH-Kering PL dengan kelompok sapi CH-Lembab PL dan CH-Basah PL ini mencapai 21 % atau kurang-lebih 2 liter/ekor/hari. Data produksi susu dan curah hujan pada fase ini selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Analisis Pengaruh Curah Hujan selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu pada Fase Tengah Laktasi Kelompok CH sebelum laktasi (mm) CH/bln Produksi susu total (l/e) sapi N Rataan StDev SE (mm) Rataan StDev SE A 1119 CH-Kering PL 22 76 56 12 46 356 76 B 915 CH-Lembab PL 25 250 50 10 149 265 53 b 919 CH-Basah PL 73 515 107 13 308 232 27 Keterangan: PL = Prior to Lactation Supersrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) Supersrip huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0.05)
Selain mempengaruhi produksi susu pada fase tengah laktasi, perbedaan tingkat curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi ke-101 sampai hari laktasi ke-200 tampaknya juga cenderung mempengaruhi tingkat produksi susu sapi pada fase akhir laktasinya. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kurva laktasi kelompok sapi CH-Kering PL, CH-Lembab PL, dan CH-Basah PL di bawah ini. 15.0
Produksi S usu (liter)
14.0 13.0 12.0 11.0 10.0 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 1
10
P S C H-K ering B L
1
20
P S C H_L embab B L
1
30
1
P S C H-B as ah P L
Gambar 10. Kurva Laktasi Kelompok Sapi Berdasarkan Curah Hujan Selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi ke-101-200 Pada bentuk kurva laktasi di atas terlihat bahwa di fase awal laktasi, produksi CHKering PL relatif sama dengan CH-Lembab PL dan CH-Basah PL namun pada fase
tengah laktasi, CH-Kering PL produksi susunya secara nyata lebih tinggi. Superioritas produksi susu kelompok sapi CH-Kering PL atas kelompok sapi CHLembab PL dan CH-Basah PL ini terus berlanjut hingga akhir masa laktasi. Hal ini menandakan adanya pengaruh jangka panjang dari curah hujan terhadap produksi susu sapi perah pada fase tengah hingga akhir laktasi. Seperti halnya pada fase awal laktasi, adanya kecenderungan pengaruh jangka panjang ini juga diperkuat oleh nilai korelasi negatif yang nyata antara curah hujan dengan produksi susu sapi pada fase tengah dan akhir laktasi dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar -0,21 (P<0.05).
Fase Akhir Laktasi (Hari ke 201-305) Tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) antara rataan produksi susu fase akhir laktasi kelompok sapi CH-Kering PL dengan kelompok sapi CH-Lembab PL, dan sapi CH-Basah PL (Tabel 5). Secara statistik, ketiganya memproduksi susu dalam taraf yang sama meskipun secara deskripsi jumlah rataan produksi susunya berbeda (9,55 ± 3; 8,82 ± 2,8; dan 9,4 ± 2,8 liter/ekor/hari, berturut-turut untuk sapi CH-Kering PL, CH-Lembab PL dan CH-Basah PL). Tabel 5. Hasil Analisis Pengaruh Curah Hujan selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu pada Fase Akhir Laktasi CH sebelum laktasi Kelompok CH/bln Produksi susu total (l/e) (mm) N sapi Rataan StDev SE (mm) Rataan StDev SE CH-Kering PL 10 93 45 14 56 955 d 300 95 CH-Lembab PL 39 252 50 6 151 882 d 283 45 d CH-Basah PL 71 515 125 15 308 941 281 33 Keterangan: PL = Prior to Lactation Supersrip huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0.05)
Sama halnya dengan fase awal laktasi, baik curah hujan bulanan dengan kategori kering, lembab, maupun basah selama 50 hari sebelum hari laktasi tidak menimbulkan pengaruh yang nyata pada tingkat produksi susu sapi perah di akhir
Produksi S usu (liter)
masa laktasinya 15.0 14.0 13.0 12.0 11.0 10.0 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 1
10
P S C H-K ering P L
1
20
P S C H-L embab P L
1
30
1
P S C H-B as ah P L
Gambar 11. Kurva Laktasi Kelompok Sapi Berdasarkan Curah Hujan Selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi ke 201-305 Kecenderungan produksi susu kelompok sapi CH Basah PL yang lebih tinggi pada pertengahan laktasi seperti terlihat pada Gambar 11 di atas kemungkinan disebabkan oleh pengaruh faktor lain karena tidak terdapat korelasi yang nyata antara CH Praakhir laktasi dengan produksi susu di semua fase laktasi.
Pembahasan Umum Hasil analisis data di atas menunjukkan adanya pengaruh curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi terhadap produksi susu sapi perah laktasi pertama di PT Taurus Dairy Farm antara tahun 1995-2000. Pengaruh ini terlihat pada perbedaan yang nyata antara produksi susu kelompok sapi CH-Kering, CH-Lembab, dan CHBasah, yakni pada fase tengah laktasi. Perbedaan tingkat produksi susu tersebut diduga disebabkan oleh konsumsi rumput gajah yang berbeda kualitasnya sehingga berakibat pada perbedaan intake nutrient oleh oleh masing-masing kelompok sapi saat sedang laktasi. Rumput gajah yang dikonsumsi oleh kelompok CH-Kering PL disirami hujan rata-rata di bawah 70 mm/bulan sedangkan kelompok CH-Lembab PL dan CHBasah PL mengkonsumsi rumput gajah yang tumbuh dengan tingkat curah hujan di atas 100 dan 200 mm/bulan. Perbedaan tingkat curah hujan ini diduga menyebabkan laju pertumbuhan rumput menjadi berbeda. Rumput yang mendapatkan curah hujan yang lebih tinggi akan tumbuh lebih cepat sehingga kualitasnya juga lebih cepat menurun (Moran, 2005). Selain itu, rumput tersebut biasanya juga mengandung kadar air yang lebih tinggi (Williamson dan Payne, 1993). Bila diasumsikan rumput gajah di TDF dipotong pada umur yang tidak jauh berbeda maka rumput kelompok sapi CH-Kering PL kemungkinan kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan rumput kelompok CH-Lembab PL dan CH-Basah PL. Lebih tingginya produksi susu kelompok sapi CH-Kering PL dibandingkan dengan produksi susu kelompok sapi CH-Lembab PL, dan CH-Basah PL kemungkinan juga disebabkan oleh kondisi lingkungan yang lebih nyaman. Kelompok sapi CH-Kering PL laktasi pada bulan-bulan yang relatif lebih kering atau lebih rendah curah hujannya dibandingkan dengan CH-Lembab PL atau CH-Basah PL sehingga Kelompok CH-Kering PL berada pada kondisi lingkungan termal yang lebih nyaman. Hal ini berdasarkan pada nilai THI (Temperature Humidity Index) di lingkungan TDF. Bulan-bulan yang curah hujannya lebih rendah ternyata memiliki tingkat kenyamanan lingkungan termal yang lebih baik dibandingkan dengan bulanbulan yang curah hujannya lebih tinggi (Tabel 6). Artinya, tingkat cekaman stress panas pada bulan-bulan kering akan relatif lebih rendah dibandingkan dengan pada
bulan-bulan basah sehingga lebih mendukung untuk tercapainya tingkat produksi susunya lebih tinggi. Tabel 6. Variasi Nilai THI antar Bulan di Lingkungan TDF Temperature Humidity Index (THI) Bulan Pagi Siang Min Maks Rata-Rata Min Maks Rata-Rata Januari 68.7 72.7 70,2 ± 1,0 70.9 78.7 74,9 ± 1,7 Februari 69.2 72.6 70,1 ± 1,0 72.4 77 75,1 ± 1,4 Maret 67.5 72.7 70,3 ± 1,2 71.7 78.7 75,8 ± 1,7 April 67.5 72.7 70,8 ± 1,3 74.6 78.6 76,2 ± 1,1 Mei 67.5 72.7 69,8 ± 1,6 73.2 78.7 75,4 ± 1,4 Juni 65.8 70.9 69,2 ± 1,6 73.2 77 75,1 ± 1,2 Juli 65.7 69.2 68,1 ± 1,2 71.9 76.1 74,0 ± 1,1 Agustus 65.7 74.3 69,8 ± 2,3 71.5 78.5 74,6 ± 1,6 September 67.5 74.3 70,4 ± 1,8 71.8 80.5 76,5 ± 2,0 Oktober 69.2 74.3 70,7 ± 1,3 74.8 78.7 76,5 ± 1,2 November 69.2 77.7 72,0 ± 1,7 74.8 80.5 77,6 ± 1,4 Desember 67.5 74.3 70,9 ± 1,7 73.7 78.8 76,7 ± 1,3 Rata-Rata 67.6 73.2 70.2 ± 1.5 72.9 78.5 75.7 ± 1.4
Rata-Rata Bulanan 72.6 72.6 73.1 73.5 72.6 72.2 71.1 72.2 73.5 73.6 74.8 73.8 72.9
Lingkungan termal yang lebih nyaman pada bulan-bulan kering disebabkan oleh lebih rendahnya temperatur terutama pada malam dan pagi hari serta kelembaban udara yang lebih rendah. Suhu yang lebih dingin akan mengurangi tingkat stress panas sapi laktasi sedangkan udara yang lebih kering mengakibatkan laju pembuangan beban panas sapi secara evaporasi menjadi lebih optimal. Pengaruh Fase Laktasi terhadap Respon Produksi Susu Berdasarkan hasil uji beda rataan produksi susu antar ketiga kelompok sapi di atas, perbedaan tingkat produksi susu antar kelompok sapi hanya terlihat nyata pada fase tengah laktasi. Hasil tersebut menunjukkan adanya pengaruh fase laktasi terhadap respon produksi susu kelompok sapi CH-Kering PL, CH-Lembab PL, dan CH-Basah PL pada setiap fase laktasi sebagai akibat dari pengaruh konsumsi hijauan rumput gajah yang berbeda kualitasnya karena pengaruh curah hujan yang tidak sama selama masa pertumbuhannya. Satu masa laktasi sapi perah dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu fase awal, fase tengah, dan fase akhir laktasi. Sepanjang tiga fase tersebut, kondisi sapi perah senantiasa mengalami perubahan. Perubahan kondisi tersebut meliputi perubahan: 1) kemampuan atau daya produksi susu (volume/kuantitas) serta komposisi susu yang dihasilkan (kualitas); 2) bobot badan dan body score; 3) kemampuan intake
makanan; dan 4) status kebuntingan (Moran, 2005). Karena keempat kondisi yang tidak tetap inilah kebutuhan nutrisi sapi perah di sepanjang masa laktasinya menjadi tidak tetap (tidak sama antar fase laktasi). Akibatnya, respon produksi susu sapi perah sebagai akibat dari pengaruh perbedaan kualitas pakan yang diberikan padanya di masing-masing fase akan berbeda. Sapi perah pada fase awal laktasi akan memproduksi susu sebanyak-banyaknya sesuai dengan potensi yang ia miliki. Produksi susunya akan terus meningkat hingga mencapai puncak produksi pada minggu ke enam sampai ke delapan setelah melahirkan. Produksi susu yang tinggi tersebut mengakibatkan kebutuhan nutrisinya menjadi tinggi. Sayangnya, kebutuhan nutrisi yang tinggi ini tidak bisa diimbangi dengan intake nutrien dari pakan yang cukup karena kemampuan sapi untuk mengkonsumsi pakan setelah melahirkan hanya sekitar 50 sampai 70 % dari kemampuan mengkonsumsi makan optimum (puncak intake) pada fase tengah laktasi (Moran, 2005). Oleh kerena itu, pada fase ini, sapi perah pada umumnya mengalami keseimbangan energi yang negatif karena energi yang ia keluarkan untuk produksi lebih besar dari yang ia dapat dari luar tubuhnya. Kekurangan asupan energi tersebut umumnya ditanggulangi oleh sapi perah dengan cara menguraikan cadangan lemak tubuh (body score). Dengan demikian, tingkat keoptimalan produksi susu sapi perah pada fase ini sangat ditentukan oleh banyaknya cadangan energi dalam tubuhnya atau nilai kondisi tubuhnya (body Score) saat melahirkan. Oleh sebab itu, perubahan sedikit kualitas hijauan yang dimakan oleh sapi perah pada fase ini tidak akan banyak memberikan pengaruh terhadap tingkat produksi susunya. Diasumsikan bahwa sapi-sapi di TDF pada akhir masa kering atau sebelum melahirkan memiliki kondisi tubuh yang relatif sama sehingga pada saat melahirkan atau di awal laktasi, sapi-sapi tersebut memiliki cadangan energi (body score) yang relatif sama juga. Cadangan energi ini akan diuraikan untuk mendukung produksi susu yang optimal sesuai dengan potensi produksi susu masing-masing individu sapi. Tingkat penguraian body score masing-masing sapi akan tergantung pada tingkat defisiensi atau kekurangan energi yang dialaminya. Tingkat defisiensi tersebut akan tergantung terutama pada kuantitas dan kualitas pakan yang mereka peroleh. Perbedaan kualitas rumput gajah yang diasumsikan sebagai akibat dari laju pertumbuhan yang berbeda pada bulan-bulan kering, lembab, dan basah
mengakibatkan sapi-sapi CH-Lembab PL dan CH-Basah PL mendapatkan pakan hijauan rumput gajah yang fase pertumbuhannya lebih dewasa/lebih tua dan kualitasnya lebih rendah. Hal ini menyebabkan intake nutrien dan energi kelompok sapi CH-Lembab PL dan CH-Basah PL menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kelompok sapi CH-Kering PL. Akibatnya, tingkat defisiensi energinya lebih tinggi sehingga cadangan energi/body score yang diuraikannya untuk menanggulangi defisiensi tersebut lebih banyak dibandingkan dengan yang diuraikan oleh sapi CHKering PL. Pada fase tengah laktasi, kondisi sapi-sapi CH-Lembab PL dan CHBasah PL menjadi lebih kurus. Oleh karena itu, pada fase awal laktasi, rataan produksi susu sapi CH-Kering, CH-Lembab, dan CH-Basah PL tidak berbeda tetapi pada fase tengah laktasinya, produksi susunya berbeda (produksi susu kelompok sapi CH-Kering PL > CH-Basah PL), bahkan selisihnya mencapai sekitar 1 sampai 2 liter per hari. Kebutuhan nutrisi sapi perah pada fase akhir laktasi tidak sebanyak seperti yang ia butuhkan pada fase awal atau tengah laktasi. Oleh karena itu, sedikit penurunan kualitas rumput gajah yang mengakibatkan penurunan intake nutrien dari pakan pada fase ini tidak menimbulkan dampak penurunan produksi susu yang banyak karena penurunan kualitas pakan hijauan tersebut seiring dengan berkurangnya kebutuhan nutrisinya untuk keperluan produksi susu. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan yang ditemukan oleh Jeffery, et.al (1971) yang telah meneliti pengaruh curah hujan pada produktivitas sapi perah yang digembala di padang rumput alami. Menurut hasil penelitiannya, curah hujan curah pada awal hingga tengah laktasi memiliki pengaruh yang nyata dan menyebabkan variasi produksi susu yang besar pada fase laktasi tersebut. Pengaruh Faktor Lain Selain karena pengaruh curah hujan dan fase laktasi, perbedaan waktu laktasi dan mutu genetik sapi yang bervariasi diduga juga berpengaruh pada hasil uji beda rataan produksi susu antar kelompok sapi. Perbedaan waktu laktasi antar sapi sampel penelitian yang laktasi antara tahun 1995─2000 sangat memungkinkan adanya perbedaan kondisi lingkungan maupun manajemen, terutama yang menyangkut faktor pakan. Seperti yang diterangkan dalam hasil penelitian Purwantara et.al. (2001), selama tahun 1997─2000, rataan produksi susu individu sapi perah per satu
masa laktasi di TDF mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan produksi susu tersebut merupakan hasil dari usaha peningkatan mutu genetik sapi perah di TDF melalui penggunaan semen pejantan unggul yang diimport dari negara maju serta akibat dari peningkatan menajemen pemeliharaan sapi yang semakin baik terutama dalam hal manajemen dan teknologi pakan. Perbedaan kondisi lingkungan maupun manajemen saat laktasi seperti dijelaskan di atas sangat memungkinkan terjadinya variasi produksi susu antar kelompok sapi maupun antar sapi dalam satu kelompok curah hujan karena pengelompokan sapi yang tidak memperhatikan tahun laktasinya (sapi-sapi yang laktasi antara tahun 1995 sampai tahun 2000 tersebar dalam satu kelompok yang sama maupun dalam kelompok yang berbeda). Akibatnya, ragam dan simpangan baku data produksi susu dalam satu kelompok sapi menjadi besar sehingga akhirnya mempengaruhi hasil analisis datanya. Faktor hereditas atau faktor genetik menentukan kemampuan sapi dalam merespon setiap kondisi lingkungan dan manajemen/tatalaksana yang diterapkan oleh peternak untuk menghasilkan performa hidup, pertumbuhan, reproduksi dan produksi. Dalam hal produksi susu, faktor genetik memiliki peran penting dalam menentukan tinggi rendahnya potensi atau kemampuan produksi susu setiap individu sapi. Adanya variasi genetik pada sifat produksi susu menyebabkan variasi kemempuan/potensi sapi dalam menghasilkan air susu selama laktasinya. Variasi ini dapat terjadi antar sapi yang berbeda bangsa maupun antar individu sapi dalam satu bangsa (Schmidt, 1974, Ensminger, 1971). Oleh sebab itu, meskipun dipelihara pada kondisi lingkungan yang sama, produksi susu sekelompok sapi FH di sebuah peternakan akan bervariasi. Variasi mutu genetik sapi perah di TDF sendiri terlihat masih cukup besar. Perbedaan kemampuan produksi susu antar individu ini juga membuat TDF menggolongkan sapi-sapinya menjadi beberapa kelompok berdasarkan produksi susu selama satu masa laktasinya, yaitu kelompok sapi excellent, very good, good, fair, bad, dan very bad.
Tabel 6 menunjukkan persentase jumlah sapi masing-masing kelompok sapi tersebut dari keseluruhan sapi yang dijadikam sampel dalam penelitian ini. Tabel 6. Persentase jumlah sapi sampel penelitian berdasarkan kriteria produksi susunya Persentase jumlah Kategori Produksi susu 305 hari sapi Excellent >4500 liter 5% Very good >4000─4500 liter 8,3% Good >3000─4000 liter 31,7% Fair >2400─3000 liter 31,7% Bad >1800─2400 liter 21,7% Very bad <1800 liter 1,7% Dalam proses analisis data yakni saat seluruh sapi dikelompokkan berdasarkan jumlah curah hujannya, keenam kelompok sapi tersebut tersebar dalam kelompok curah hujan yang berbeda maupun dalam kelompok curah hujan yang sama sehingga variasi/ragam atau standar deviasi data produksi susu antar kelompok sapi maupun dalam satu kelompok menjadi besar. Standar deviasi atau simpangan baku yang besar ini sangat mampengaruhi hasil uji beda rataan produksi susu antar kelompok curah hujan yang ada.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Lingkungan peternakan sapi perah Taurus Dairy Farm memiliki pola curah hujan jenis monsun dengan rataan curah hujan bulanan mencapai 273 ± 121 mm dan jarang mengalami musim kering. Curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi memiliki pengaruh yang nyata pada produksi susu sapi perah terutama di pertengahan masa laktasinya. Berdasarkan kondisi iklim lokalnya, khususnya yang menyangkut pola penyebaran curah hujannya sepanjang tahun, dapat disimpulkan bahwa secara alami, produksi susu sapi perah laktasi pertama di PT. Taurus Dairy Farm antara tahun 1995-2000 cenderung lebih tinggi pada kelompok sapi yang curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasinya relatif lebih rendah. Saran Perlu diadakan penelitian untuk mengetahui kualitas hijauan pada musim kering, lembab, dan basah, terutama pada tingkat umur yang sama.
UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillah, puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan semesta alam yang senantiasa mengajarkan ilmu -Nya kepada kita semua agar kita bisa menjadi hamba-Nya yang berilmu, beriman, dan bertaqwa. Shalawat serta salam-Nya semoga senantiasa dilimpahkan ke hadirat nabi kita, Muhammad SAW serta kepada seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada “Institut Pertanian Bogor” yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk belajar, menimba ilmu pengetahuan di Fakultas Peternakannya sehingga saat ini penulis memperoleh ilmu dan pengalaman yang sangat bermanfaat. Selanjutnya, sehubungan dengan telah selesainya skripsi ini, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah berjasa dalam penelitian ini. Di sini, penulis tidak bisa menyebutkan mereka satu per satu namun ucapan terimakasih secara khusus ingin penulis sampaikan kepada PT. Taurus Dairy Farm yang telah memberi izin bagi penulis untuk melakukan penelitian. Penghormatan dan rasa terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ibunda tercinta (Rusmiarti binti Muhammadini) dan Ayahanda tersayang (Muhkopah bin Ihsan) serta seluruh keluarga dan kerabat penulis yang selalu mendukung dan mendao’akan penulis dalam kebaikan. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis haturkan kepada seluruh guru dan dosen penulis, khususnya Dr. Siti Sundari, M.M., Ir. Niken Ulupi M.S., Dr. Ir. Dwierra Evvyernie M.S., M.Sc. Dr. Bagus Priyo Purwanto, Ir. Andi Murfi, M.Si., Ir. Afton Atabani dan Ir. Catur Nugroho Wicaksono, M.Si., yang telah mendidik dan membimbing penulis dalam studi ini, semoga Allah membalas segala kebaikan dan jasa Bapak/Ibu semua dengan sebaik-baik balasan di dunia dan akhirat. Kepada teman-teman penulis, TPT 39 penulis mengucapkan terimakasih atas kebersamaan kita, semoga kita semua menjadi orang yang “sukses” di kehidupan ini. Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat adanya. Bogor, Juli 2008
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Ensminger. 1971. Dairy Cattle Science. Interstate Publisher Inc, Illionis. Hasan, M.I. 2003. Pokok-Pokok Materi Statistik 1. Edisi ke Dua. PT. Bumi Aksara, Jakarta. 2003. Pokok-Pokok Materi Statistik 2. Edisi ke Dua. PT. Bumi Aksara, Jakarta. Jeffery, H., R.L. Colman, dan F.G. Swain.1971. Milk Production from a naturalized pasture at Wallongbar and its relation to rainfall. Australian Journal of Experimental Agriculture and Animal Husbandry.11 (53): 604–606. Johnson, H.D. 1987. Bioclimatology and The Adaptation of Livestock. Elsevier Science Publisher, Amstrerdam. Khoiryyyah, L. 2006. Profil Reproduksi Sapi Fries Holland di PT taurus Dairy Farm. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Mannetje dan R.M. Jones. 2000. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara, No 4 Pakan. P.T. Balai Pustaka, Jakarta. Moran, J. 2005. Tropical Dairy Farming.Feeding Management for Small Holder Dairy Fafming in the Humid Tropics. Landlink Press. Purwantara, B., R.K. Achjadi, S.N. Tambing, C.N. Wicaksono. 2001. The effect of season and milk production on reproductive performance in dairy cows. Livestock Community and Environment. Proceedings of the 10th Conference of the Association of Institutions for Tropical Veterinary Medicine, Copenhagen, Denmark. Sarjani. 2005. Cuaca dan Iklim. Modul Online Geografi X. http://www.e-dukasi.net. [2 April 2008]. Schmidt, G.H. dan L.D. Van Vleck.1974. Principles of Dairy Science. W.H. Freeman, San Francisco. Silva, R. G. 2006. Weather and Climat and Animal Produstion, in http://www. Wmo.ch/web/wcp/agus/RevGAMP/Chap11-draft.pdf. [2 April 2006]. Smith, V.R. 1969. Physiology of Lactation. 5th edition. Iowa State University Press, Ames, Iowa. Sudono, A, R. Fina Rosdiana, dan Budi S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah secara Intensif. Agromedia, Jakarta. Tjasyono, B. 2004. Klimatologi. Penerbit ITB: Bandung.
Valtorta, S.E. 2006. Animal Production in changing climat. http://www.asrc.agri.missouri.edu. [2 April 2006]. Weiss, M.P., M.L. Eastridge, and J.F. Underwood. Forages for dairy cattle. AS-00299. Ohio State University Exstention. Wicaksono, C.N. 2004. Pendugaan nilai pemuliaan dan genetic trends produksi susu di peternakan sapi perah Taurus Dairy Farm, Cicurug, Sukabumi.Thesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Wisnubroto, S. S.L. Aminah, dan M. Nitisapto.1986. Asas-asas Meteorologi Pertanian. Ghalia Indonesian: Jakarta Timur.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Curah Hujan Bulanan di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rataan
Jan 401 437 427 298 404 207 304 361 282 362 575 278 394 169 397 261 347
Feb 320 370 295 334 397 254 193 368 225 344 173 227 212 342 261 188 281
Mar 314 330 394 457 295 426 285 439 199 304 206 380 146 349 333 255 319
Apr 418 420 485 472 174 365 202 151 114 332 63 380 279 301 498 252 307
Mei 443 60 454 380 166 276 224 242 168 243 41 380 326 176 495 266 271
Bulan Jun Jul 325 125 70 81 339 373 213 109 54 2 320 213 172 128 9 7 73 103 213 29 93 47 203 119 109 176 25 0 141 112 341 98 169 107
Agt 200 20 370 197 3 47 327 2 170 195 28 189 154 79 0 90 129
Sep 210 85 415 298 34 149 224 32 197 51 264 202 57 148 122 291 173
Okt 227 143 710 219 183 261 520 42 472 414 406 464 99 313 156 195 301
Nov 226 634 532 691 327 458 607 314 269 297 306 636 506 84 524 447 429
Des 442 585 335 866 332 216 404 225 241 523 273 553 636 542 453 459 443
Jumlah 3651 3235 5129 4535 2369 3190 3587 2189 2511 3304 2472 4010 3094 2528 3492 3144 3277
Lampiran 2. Suhu dan Kelembaban Udara Bulanan di PT Taurus Dairy Farm Tabel 2. Rataan Suhu Udara (°C), RH (%) Bulanan di PT. Taurus Dairy Farm Suhu Udara RH Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-Rata
Minimum 21,5 ± 0,6 21,5 ± 0,6 21,6 ± 0,7 21,9 ± 0,7 21,3 ± 0,9 21,0 ± 0,9 20,4 ± 0,7 21,4 ± 1,3 21,7 ± 1,0 21,8 ± 0,7 22,7 ± 1,0 22,0 ± 1,0 21.6 ± 0.9
Maksimum 25,0 ± 1,1 25,3 ± 0,8 25,6 ± 0,9 26,2 ± 0,5 25,8 ± 0,5 25,4 ± 0,6 24,8 ± 0,5 25,9 ± 0,9 26,2 ± 1,0 26,5 ± 0,6 26,5 ± 0,7 26,2 ± 0,6 25.8 ± 0.7
Rata-Rata 23 23 24 24 24 23 23 24 24 24 25 24 24
Pagi 91,1 ± 1,4 91,3 ± 0,4 91,4 ± 0,5 91,4 ± 0,5 91,1 ± 0,3 91,1 ± 0,3 91,0 ± 0,2 91,0 ± 0,0 91,0 ± 0,0 91,0 ± 0,0 90,5 ± 2,1 91,0 ± 0,2 91.1 ± 0.5
Siang 80,3 ± 5,9 78,3 ± 7,7 78,3 ± 7,8 73,5 ± 8,0 727 ± 8,2 76,8 ± 8,5 74,5 ± 7,7 64,1 ± 5,5 76,3 ± 9,7 72,6 ± 7,6 82,3 ± 5,7 79,1 ± 6,1 75.4 ± 7.4
Rata-Rata 86 85 85 82 82 84 83 78 84 82 86 85 83
Lampiran 3. Indeks Kelembaban-Suhu Udara (THI) Bulanan di PT Taurus Dairy Farm Temperature Humidity Index (THI) Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-Rata
Pagi Min 68,7 69,2 67,5 67,5 67,5 65,8 65,7 65,7 67,5 69,2 69,2 67,5 67,6
Maks 72,7 72,6 72,7 72,7 72,7 70,9 69,2 74,3 74,3 74,3 77,7 74,3 73,2
Siang Rataan 70,2 ± 1,0 70,1 ± 1,0 70,3 ± 1,2 70,8 ± 1,3 69,8 ± 1,6 69,2 ± 1,6 68,1 ± 1,2 69,8 ± 2,3 70,4 ± 1,8 70,7 ± 1,3 72,0 ± 1,7 70,9 ± 1,7 70.2 ± 1.5
Min 70,9 72,4 71,7 74,6 73,2 73,2 71,9 71,5 71,8 74,8 74,8 73,7 72,9
Maks 78,7 77,0 78,7 78,6 78,7 77,0 76,1 78,5 80,5 78,7 80,5 78,8 78,5
Rataan 74,9 ± 1,7 75,1 ± 1,4 75,8 ± 1,7 76,2 ± 1,1 75,4 ± 1,4 75,1 ± 1,2 74,0 ± 1,1 74,6 ± 1,6 76,5 ± 2,0 76,5 ± 1,2 77,6 ± 1,4 76,7 ± 1,3 75.7 ± 1.4
Lampiran 4. Hasil Uji Beda Rataan Produksi Susu FASE AWAL LAKTASI —————
7/10/2008 2:20:36 PM
————————————————————
Welcome to Minitab, press F1 for help.
Descriptive Statistics: CH pra-awal, CH pra-Aw K, CH pra-Aw L, CH pra-Aw B Variable CH pra-awal CH pra-Aw K CH pra-Aw L CH pra-Aw B
Total Count 120 23 29 68
Mean 362.9 116.8 264.03 488.3
SE Mean 15.8 10.3 8.44 12.5
StDev 173.1 49.5 45.45 102.7
Minimum 15.0 15.0 169.00 336.0
Maximum 758.0 167.0 324.00 758.0
Descriptive Statistics: CH bln Awal, CH bln Aw K, CH bln Aw L, CH bln Aw B Variable CH bln Awal CH bln Aw K CH bln Aw L CH bln Aw B
Total Count 120 23 29 68
Mean 217.28 69.83 158.14 292.38
SE Mean 9.46 6.15 5.05 7.46
StDev 103.64 29.51 27.20 61.48
Minimum 9.00 9.00 101.00 201.00
Maximum 454.00 100.00 194.00 454.00
Descriptive Statistics: PS awal, PS Aw CH K, PS Aw CH L, PS Aw CH B Variable PS awal PS Aw CH K PS Aw CH L PS Aw CH B
Total Count 120 23 29 68
Mean 1124.1 1172.7 1148.2 1097.4
SE Mean 28.0 53.9 64.2 37.1
StDev 306.8 258.3 345.8 305.7
Minimum 553.0 671.0 620.0 553.0
Maximum 1853.0 1826.0 1853.0 1789.0
Two-Sample T-Test and CI: PS Aw CH K, PS Aw CH L Two-sample T for PS Aw CH K vs PS Aw CH L
PS Aw CH K PS Aw CH L
N 23 29
Mean 1173 1148
StDev 258 346
SE Mean 54 64
Difference = mu (PS Aw CH K) - mu (PS Aw CH L) Estimate for difference: 24.5667 95% lower bound for difference: -120.6763 T-Test of difference = 0 (vs >): T-Value = 0.28 Both use Pooled StDev = 310.3896
P-Value = 0.389
Two-Sample T-Test and CI: PS Aw CH K, PS Aw CH B Two-sample T for PS Aw CH K vs PS Aw
PS Aw CH K
N 23
Mean 1173
StDev 258
SE Mean 54
CH B
DF = 50
PS Aw
CH B
68
1097
306
37
Difference = mu (PS Aw CH K) - mu (PS Aw CH B) Estimate for difference: 75.3421 95% lower bound for difference: -42.8258 T-Test of difference = 0 (vs >): T-Value = 1.06 Both use Pooled StDev = 294.7308
P-Value = 0.146
DF = 89
Two-Sample T-Test and CI: PS Aw CH L, PS Aw CH B Two-sample T for PS Aw CH L vs PS Aw
PS Aw CH L PS Aw CH B
N 29 68
Mean 1148 1097
StDev 346 306
CH B
SE Mean 64 37
Difference = mu (PS Aw CH L) - mu (PS Aw CH B) Estimate for difference: 50.7754 95% lower bound for difference: -66.4051 T-Test of difference = 0 (vs >): T-Value = 0.72 Both use Pooled StDev = 318.0825
P-Value = 0.237
DF = 95
Correlations: PS awal, CH pra-awal Pearson correlation of PS awal and CH pra-awal = -0.117 P-Value = 0.203
FASE TENGAH LAKTASI —————
7/10/2008 2:23:07 PM
————————————————————
Welcome to Minitab, press F1 for help.
Descriptive Statistics: CH pra-tengah, CH pra-Tg K, CH pra-Tg L, CH pra-Tg B Variable CH pra-tengah CH pra-Tg K CH pra-Tg L CH pra-Tg B
Total Count 120 22 25 73
Mean 379.0 76.0 249.60 514.7
SE Mean 18.2 11.9 9.98 12.6
StDev 199.5 56.0 49.88 107.2
Minimum 13.0 13.0 186.00 344.0
Maximum 790.0 168.0 332.00 790.0
Descriptive Statistics: CH bln Tengah, CH bln Tg K, CH bln Tg L, CH bln Tg B Variable CH bln Tengah CH bln Tg K CH bln Tg L CH bln Tg B
Total Count 120 22 25 73
Mean 227.0 45.50 149.44 308.18
SE Mean 10.9 7.12 5.99 7.53
StDev 119.5 33.42 29.94 64.30
Minimum 8.00 8.00 111.00 206.00
Maximum 473.0 100.00 199.00 473.00
Descriptive Statistics: PS tengah, PS Tg CH K, PS Tg CH L, PS Tg CH B Variable
Total Count
Mean
SE Mean
StDev
Minimum
Maximum
PS PS PS PS
tengah Tg CH K Tg CH L Tg CH B
120 22 25 73
955.0 1119.3 915.0 919.2
25.0 75.8 53.1 27.2
274.4 355.6 265.4 232.3
462.0 555.0 549.0 462.0
1945.0 1945.0 1812.0 1506.0
Two-Sample T-Test and CI: PS Tg CH K, PS Tg CH L Two-sample T for PS Tg CH K vs PS Tg CH L
PS Tg CH K PS Tg CH L
N 22 25
Mean 1119 915
StDev 356 265
SE Mean 76 53
Difference = mu (PS Tg CH K) - mu (PS Tg CH L) Estimate for difference: 204.358 95% lower bound for difference: 51.805 T-Test of difference = 0 (vs >): T-Value = 2.25 Both use Pooled StDev = 310.7365
P-Value = 0.015
DF = 45
Two-Sample T-Test and CI: PS Tg CH K, PS Tg CH B Two-sample T for PS Tg CH K vs PS Tg CH B
PS Tg CH K PS Tg CH B
N 22 73
Mean 1119 919
StDev 356 232
SE Mean 76 27
Difference = mu (PS Tg CH K) - mu (PS Tg CH B) Estimate for difference: 200.126 95% lower bound for difference: 92.959 T-Test of difference = 0 (vs >): T-Value = 3.10 Both use Pooled StDev = 265.2146
P-Value = 0.001
DF = 93
Two-Sample T-Test and CI: PS Tg CH L, PS Tg CH B Two-sample T for PS Tg CH L vs PS Tg CH B
PS Tg CH L PS Tg CH B
N 25 73
Mean 915 919
StDev 265 232
SE Mean 53 27
Difference = mu (PS Tg CH L) - mu (PS Tg CH B) Estimate for difference: -4.23178 95% lower bound for difference: -96.99318 T-Test of difference = 0 (vs >): T-Value = -0.08 Both use Pooled StDev = 241.0166
P-Value = 0.530
Correlations: PS tengah, CH pra-tengah Pearson correlation of PS tengah and CH pra-tengah = -0.211 P-Value = 0.020
DF = 96
FASE AKHIR LAKTASI —————
7/10/2008 2:24:20 PM
————————————————————
Welcome to Minitab, press F1 for help.
Descriptive Statistics: CH pra-akhir, CH pra-Ak K, CH pra-Ak L, CH pra-Ak B Variable CH pra-akhir CH pra-Ak K CH pra-Ak L CH pra-Ak B
Total Count 120 10 39 71
Mean 394.2 92.9 251.92 514.8
SE Mean 16.6 14.3 7.98 14.8
StDev 181.8 45.3 49.86 124.8
Minimum 20.0 20.0 171.00 339.0
Maximum 818.0 141.0 333.00 818.0
Descriptive Statistics: CH bln Akhir, CH bln Ak K, CH bln Ak L, CH bln Ak B Variable CH bln Akhir CH bln Ak K CH bln Ak L CH bln Ak B
Total Count 120 10 39 71
Mean 236.03 55.90 150.79 308.21
SE Mean 9.93 8.56 4.78 8.87
StDev 108.81 27.07 29.85 74.70
Minimum 12.00 12.00 102.00 203.00
Maximum 490.00 84.00 199.00 490.00
Descriptive Statistics: PS akhir, PS Ak CH K, PS Ak CH L, PS Ak CH B Variable PS akhir PS Ak CH K PS Ak CH L PS Ak CH B
Total Count 120 10 39 71
Mean 922.6 954.6 881.6 940.7
SE Mean 25.8 95.0 45.4 33.4
StDev 282.5 300.3 283.3 281.2
Minimum 493.0 602.0 499.0 493.0
Maximum 1803.0 1414.0 1566.0 1803.0
Two-Sample T-Test and CI: PS Ak CH K, PS Ak CH L Two-sample T for PS Ak CH K vs PS Ak CH L
PS Ak CH K PS Ak CH L
N 10 39
Mean 955 882
StDev 300 283
SE Mean 95 45
Difference = mu (PS Ak CH K) - mu (PS Ak CH L) Estimate for difference: 72.9590 95% lower bound for difference: -97.5216 T-Test of difference = 0 (vs >): T-Value = 0.72 Both use Pooled StDev = 286.6396
P-Value = 0.238
Two-Sample T-Test and CI: PS Ak CH K, PS Ak CH B Two-sample T for PS Ak CH K vs PS Ak CH B
PS Ak CH K PS Ak CH B
N 10 71
Mean 955 941
StDev 300 281
SE Mean 95 33
DF = 47
Difference = mu (PS Ak CH K) - mu (PS Ak CH B) Estimate for difference: 13.9380 95% lower bound for difference: -145.3962 T-Test of difference = 0 (vs >): T-Value = 0.15 Both use Pooled StDev = 283.4299
P-Value = 0.442
DF = 79
Two-Sample T-Test and CI: PS Ak CH L, PS Ak CH B Two-sample T for PS Ak CH L vs PS Ak CH B
PS Ak CH L PS Ak CH B
N 39 71
Mean 882 941
StDev 283 281
SE Mean 45 33
Difference = mu (PS Ak CH L) - mu (PS Ak CH B) Estimate for difference: -59.0209 95% lower bound for difference: -152.2481 T-Test of difference = 0 (vs >): T-Value = -1.05 Both use Pooled StDev = 281.9283
P-Value = 0.852
Correlations: PS akhir, CH pra-akhir Pearson correlation of PS akhir and CH pra-akhir = 0.034 P-Value = 0.709
DF = 108