i
ANALISIS KELAYAKAN MUTU PRODUK RECOVERY SELAMA PENYIMPANAN UNTUK PRODUKSI SUSU UHT DI PT DAIRY INDONESIA
MUHAMMAD WIDYAN
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kelayakan Mutu Produk Recovery selama Penyimpanan untuk Produksi Susu UHT di PT Dairy Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016
Muhammad Widyan NIM F24120038
ABSTRAK MUHAMMAD WIDYAN. Analisis Kelayakan Mutu Produk Recovery selama Penyimpanan untuk Produksi Susu UHT di PT Dairy Indonesia. Dibimbing oleh SRI LAKSMI SURYAATMADJA. Mutu bahan baku sangat mempengaruhi kualitas produk akhir. Dengan keterbatasan sumber daya, perusahaan harus mengoptimalkan penggunaannya tanpa mengurangi mutu produk. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan mutu produk recovery sebagai bahan yang akan dimanfaatkan dalam proses produksi susu UHT selanjutnya. Produk recovery merupakan campuran susu UHT dengan air steril yang digunakan untuk memindahkan produk saat proses sterilisasi. Sampel produk recovery yang dianalisis diambil pada katup sampel tangki per 4 jam berturut-turut selama 60 jam penyimpanan dengan suhu rata-rata 6.3 °C, meliputi analisis fisik, kimia, dan mikrobiologi. Analisis data dilakukan menggunakan bagan kendali X-MR (moving range) untuk memantau penyebaran data. Hasil analisis fisik (didih, bau dan warna) dan kimia (pH, TS, alkohol) menunjukkan mutu produk recovery masih dalam kendali sebagai bahan baku. Hasil analisis mikrobiologi menunjukkan bahwa sampel tidak mengandung bakteri patogen Salmonella, Escherichia coli, dan Listeria monocytogenes, namun sampel mengandung Bacillus cereus. Reproses menggunakan produk recovery dengan lama penyimpanan 30 jam tidak memengaruhi mutu produk akhir. Secara umum, produk recovery masih layak digunakan sebagai bahan baku selama penyimpanan 60 jam untuk produksi susu UHT. Kata kunci: Analisis kelayakan, penyimpanan, produk recovery, reproses, susu UHT
iii
ABSTRACT MUHAMMAD WIDYAN. Feasibility Analysis of Recovery Product Quality during the Storage Periode for UHT Milk Production at PT Dairy Indonesia. Supervised by SRI LAKSMI SURYAATMADJA. Quality of raw materials greatly affect the quality of the final product. With limited resources, companies must optimize their use without reducing the quality. The purpose of the research was to determine the effect of storage time on the quality of recovery product as a material to be used in the next production of UHT milk. Recovery product was derived from the pull of the beginning and end of the boost UHT milk products are mixed with water during the sterilization process. In determining the quality parameters used methods for sampling valves tank sample per 4 consecutive hours during 60 hours of storage with an average temperature of 6.3 °C. The analysis includes physical, chemical, and microbiological. Data analyzed using X-MR (moving range) control chart to monitor the spread of the data. The results of the physical analysis (boiling, smell and color) and chemical (pH, TS, alcohol) indicated that the quality of recovery product was still suitable as a raw material. The results of microbiological analysis showed that the sample did not contain pathogenic bacteria such as Salmonella, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, but they contained Bacillus cereus. Reprocess using recovery product with storage time of 30 hours did not affect the quality of the finished good product. In general, recovery product was still feasible to be used as a raw material until 60 hours in the storage tank at 6.3 °C for the production of UHT milk. Keywords: feasibility analysis, UHT milk, reprocess, recovery product, storage.
v
ANALISIS KELAYAKAN MUTU PRODUK RECOVERY SELAMA PENYIMPANAN UNTUK PRODUKSI SUSU UHT DI PT DAIRY INDONESIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
i
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 dengan judul Analisis Kelayakan Mutu Produk Recovery selama Penyimpanan untuk Produksi Susu UHT di PT Dairy Indonesia. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Laksmi Suryaatmadja, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan nasehat kepada penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir. 2. Bapak Asep Noor, S.TP, MP selaku Factory Manager dan pembimbing lapang yang telah memberikan dukungan, nasehat, serta bimbingan selama penulis melaksanakan kegiatan magang dan menyusun tugas akhir. 3. Ibu Dr. Elvira Syamsir, S.TP, M. Si dan Bapak Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M. Sc selaku dosen penguji ujian akhir yang telah memberi saran dan nasehat. 4. Bapak Luri Suanto selaku Quality Assurance Manager yang telah memberi dukungan dan bimbingan selama kegiatan magang. 5. Bapak Anas Fahrudin selaku Quality Assurance Supervisor sekaligus pembimbing lapang kedua yang telah memberikan semangat, nasehat dan ide selama kegiatan magang berlangsung. 6. Keluarga besar bapak Nofembli Rauf yang telah memberi kesempatan penulis untuk menyelesaikan sekolah di perantauan 7. Gemala Pradipta yang selalu setia menemani penulis selama kuliah Semoga skripsi tugas akhir ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan terutama untuk perkembangan teknologi pangan. Terima kasih.
Bogor, September 2016
Muhammad Widyan
ii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Susu UHT
3
Parameter Mikrobiologi
3
Reproses
5
Analisis Pengendalian secara Statistik
6
METODE
7
Waktu dan Tempat
7
Bahan dan Alat
7
Metodologi Penelitian
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
11
Proses Produksi Susu UHT
11
Produk Recovery
12
Hasil Analisis Produk Recovery
13
Sanitasi Peralatan
20
Analisis Biaya Penghematan Pemakaian Produk Recovery
21
SIMPULAN DAN SARAN
23
Simpulan
23
Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
24
LAMPIRAN
27
RIWAYAT HIDUP
34
iii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Standar cemaran bakteri susu sapi Hasil uji lanjut mikrobiologi selama penyimpanan Karakteristik produk recovery selama penyimpanan 60 jam Perbandingan analisis biaya selama produksi 60 jam
4 19 20 22
DAFTAR GAMBAR 1 Ilustrasi sumber produk recovery 2 Grafik X-MR control chart pH produk recovery selama penyimpanan 3 Grafik X-MR control chart nilai total padatan produk recovery selama penyimpanan 4 Grafik X-MR control chart TPC produk recovery selama penyimpanan 5 Grafik X-MR control chart suhu tangki reproses
12 14 15 17 20
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Standar susu UHT Diagram alir produksi susu UHT Hasil analisis produk recovery Hasil uji laboratorium produk recovery
27 28 30 33
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Susu disukai oleh makhluk hidup, termasuk bakteri karena selain komposisi gizinya yang lengkap, juga karena pH susu mendekati normal, yaitu 6.6–6.8 dan kadar air yang tinggi sekitar 87-88% (Murti 2010). Oleh karena itu susu mudah mengalami kerusakan, sehingga dilakukan berbagai upaya pengawetan antara lain dengan proses sterilisasi, pasteurisasi, fermentasi dan lain-lain (Zubaidah 2000). Sebagai contoh, susu sterilisasi merupakan produk olahan susu yang tahan lama, bergizi, dan praktis dalam penyimpanan. Di Indonesia, terdapat beberapa industri pengolahan susu yang terus berkembang dengan persaingan antar perusahaan yang semakin ketat. Salah satu industri pangan yang bergerak di bidang pengolahan susu adalah PT. Dairy Indonesia. Beberapa produk yang diproduksi PT. Dairy Indonesia antara lain krimer kental manis, susu sterilisasi UHT, dan susu cair steril. Berdasarkan data Kemenperin 2013, konsumsi susu masyarakat Indonesia tergolong rendah (11.09 liter/kapita/tahun) dibanding negara ASEAN lain yang dapat mencapai 20 liter/kapita/tahun. Kebutuhan bahan baku susu segar untuk produksi susu olahan sekitar 3.3 juta ton/tahun. Pasokan susu segar dalam negeri hanya 690 ribu ton/tahun (21%) dan sisanya sebesar 2.61 juta ton/tahun (79%) masih diimpor dalam bentuk tepung susu skim, lemak susu bubuk, dan lemak susu. Dengan kondisi ini, pertumbuhan industri pengolahan susu harus disertai dengan penguasaan teknologi, kemampuan inovasi, pengendalian dan penguasaan mutu yang dikehendaki. Disamping misi perusahaan dalam melayani konsumen dengan menyediakan produk unggul yang aman, bermutu, dan mudah diperoleh, perusahaan juga harus mengoptimalkan penggunaan bahan baku, peralatan, dan sumber daya yang ada. Pada praktek di industri, selama produksi akan selalu menghasilkan limbah yang disebut susut. Ada susut yang masih dapat diolah dan ada yang tidak dapat diolah terkait mutu dan penanganannya. Contoh produk susut di industri susu UHT yang masih dapat diolah sebagai bahan reproses dinamakan produk cut open (produk dengan kemasan yang tidak sesuai dengan kemasan standar) dan produk recovery. Produk recovery adalah campuran air dengan produk susu ketika proses pemindahan awal dari tangki penyimpanan ke pipa sterilisasi dan dorongan akhir produk oleh air untuk membersihkan sisa produk yang masih tertinggal di dalam jalur sterilisasi. Produk recovery ini akan selalu dihasilkan ketika proses sterilisasi yang jumlahnya sekitar 5.3% dari total produksi, namu pemanfaatannya belum optimal. Disamping mengurangi susut, optimasi penggunaan bahan baku juga perlu dilakukan dengan pertimbangan terjadi peningkatan beban limbah pada Waste Water Treatmant Plant (WWTP) di PT Dairy Indonesia. Rata-rata limbah yang dihasilkan 1,000-1,200 m3/hari. Apabila jumlah limbah melebihi kapasitas WWTP, maka akan mengganggu proses produksi. Oleh karena itu, pembuangan limbah dapat dikurangi salah satunya melalui reproses. Teknik formulasi untuk pemanfaatan bahan baku reproses telah dilakukan, yaitu maksimal 5% dari total produksi. Jumlah produk recovery yang dihasilkan dalam 1 hari mencapai 14,400 liter dan prouk cut open sekitar 5,000 liter. Akan
2
tetapi pemakaian dan penanganannya belum optimal, terkait belum ada analisis data yang jelas mengenai mutu produk tersebut selama penyimpanan sebelum dilakukan reproses. Kondisi ini yang harus dapat dioptimalkan agar memiliki nilai tambah. Menurut Juran (1989), mutu terdiri atas kebebasan terhadap kekurangan, dengan syarat proses penanganan dan pengolahannya dapat memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk. Oleh karena itu diperlukan penelitian kelayakan mutu bahan baku reproses selama disimpan di tangki reproses. Bahan reproses yang akan dianalisis dalam penelitian ini hanya fokus pada produk recovery. Analisis yang diperoleh diharapkan menghasilkan data kimia, fisik, dan mikrobiologi sebagai parameter yang akan menentukan mutu produk recovery. Penelitian ini dapat menjadi landasan standar mutu produk recovery selama penyimpanan sebagai bahan baku untuk dioptimalkan tanpa menurunkan kualitas dan merugikan perusahaan.
Perumusan Masalah Selama produksi susu UHT, PT Dairy Indonesia menghadapi masalah susut yang cukup tinggi yaitu sekitar 5.3% dari total produksi. Susut yang masih dapat dimanfaatkan berupa produk recovery dan cut open. Jumlah produk recovery dalam 1 hari dapat mencapai 14,400 liter yang penggunaannya sampai saat ini masih rendah. Dibutuhkan solusi untuk mengoptimalkan pemakaian produk recovery melalui reproses pada produksi selanjutnya. Dalam hal ini perlu dilakukan analisis terkait mutu produk recovery sebagai bahan baku selama penyimpanan agar tidak menurunkan mutu dan keamanan produk akhir. Batasan masalah pada penelitian adalah kondisi sampel berupa produk recovery sesuai dengan keadaan produksi normal, yaitu terjadi perubahan seperti penambahan dan pengurangan produk recovery selama penyimpanan di tangki terkait untuk digunakan sebagai bahan baku produksi. Sampel cut open tidak dianalisis karena jalur penyimpanannya masih dalam proses instalasi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan (60 jam) terhadap perubahan mutu produk recovery. Analisis kelayakan mutu yang dilakukan meliputi sifat mikrobiologi, fisik, dan kimia pada kondisi aktual produksi.
Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat sebagai pedoman perusahaan dalam mengoptimalkan penggunaan bahan baku reproses berupa produk recovery untuk produksi susu UHT sehingga dapat menurunkan susut dan secara tidak langsung dapat mengurangi beban WWTP, biaya produksi, dan sumber daya.
3
TINJAUAN PUSTAKA Susu UHT Secara kimia, susu adalah emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam-garam mineral dan protein dalam bentuk suspensi koloidal. Komposisi utama susu adalah air, lemak, protein (kasein dan albumin), laktosa (gula susu), dan abu (Muharastri 2008). Susu UHT (Ultra High Temperature) adalah produk susu yang diperoleh dengan cara mensterilkan susu minimal pada suhu 135 °C selama 2 detik, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, serta dikemas secara aseptik dengan kandungan lemak minimal 2.0%, protein 2.4%, total padatan 12% (SNI 1998), kadar air 87.5%, mineral 0.8% (Bylund 1995). Nilai pH susu UHT berkisar 6.66.8 (Amalia 2012). Standar susu UHT secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 1. Susu cair segar UHT dibuat dari susu segar yang diolah menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat untuk membunuh seluruh mikroba (baik pembusuk maupun patogen) dan spora, sehingga memiliki mutu yang sangat baik. Waktu pemanasan yang singkat dimaksudkan untuk mencegah kerusakan nilai gizi susu serta untuk mendapatkan warna, aroma dan rasa yang relatif tidak berubah seperti susu segarnya (Roswitasari 2012). Kelebihan susu UHT adalah masa simpan yang panjang pada suhu kamar yaitu mencapai 6-10 bulan tanpa bahan pengawet dan tidak perlu dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Jangka waktu ini lebih lama dari umur simpan produk susu cair lainnya seperti susu pasteurisasi. Kelemahan susu UHT adalah harus menggunakan teknologi peralatan lengkap dan dalam kondisi steril, baik selama pemrosesan maupun pengemasan (Muharastri 2008).
Parameter Mikrobiologi Standar Nasional Indonesia (2009) mensyaratkan pemeriksaan TPC perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas susu. Jumlah TPC >106 (Colony Form Unit) CFU/ml pada susu segar akan menyebabkan mikroba cepat berkembang dan toksin sudah terbentuk. Bakteri pencemar dalam susu dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Bakteri pembusuk adalah bakteri yang menyebabkan kerusakan pada produk, contohnya Bacillus sp. Bakteri patogen adalah bakteri yang bersifat membahayakan kesehatan konsumen, contohnya Listeria sp, Salmonela, Escherichia coli (Suwito 2010). Standar cemaran bakteri untuk produk susu disajikan pada Tabel 1 (SNI 2009).
4
Tabel 1 Standar cemaran bakteri susu sapi dan produk olahannya Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) Jenis Cemaran Mikroba Susu Susu Susu Susu Segar Pasteurisasi Bubuk Steril/UHT TPC (koloni/ml) 1 x 106 5 x 104 5 x 104 <10/0,1 Koliform (koloni/ml) 2 x 101 <0,1 x 101 10 0 Escherichia coli (patogen) <3/ml <3/ml 0 0 Staphylococcus aureus 1 x 102 1 x 101 1 x 102 0 Salmonella sp (/25 g) negatif negatif negatif negatif Listeria sp (/25 g) negatif negatif negatif negatif (Sumber: SNI 2009) Bakteri yang mampu hidup pada suhu pendinginan (0-80C) adalah L. monocytogenes. Listeria merupakan bakteri gram positif, tidak memproduksi spora, tidak membentuk kapsul, bersifat motil karena mempunyai flagela peritrich (tersebar pada seluruh permukaan sel), dan kisaran pertumbuhannya pada suhu rendah tergantung pada pengolahan pangan tersebut karena sifat bakteri ini adalah psikrotropik (Lado 2003). Motilitas optimum bakteri ini pada suhu 20-25 °C dan dapat tumbuh pada suhu 1-45 °C dengan pH 4.5-9.2 serta pertumbuhan optimum pada pH 7 (Rocourt dan Buchrieser 2007). Listeria dapat memproduksi enzim listeriolisin O (LLO) yang menjadi faktor utama proses patogenesis. Pembentukan LLO paling baik pada suhu 37 °C dan akan berkurang pada suhu 26 °C, sangat dipengaruhi oleh pH, suhu, dan kandungan glukosa (Cary et al. 2000). Infeksi L. monocytogenes pada manusia terjadi secara akut. Pada wanita hamil, L. monocytogenes menyebabkan keguguran karena bakteri tersebut dapat menembus plasenta (Oliver et al. 2005). Berdasarkan SNI (2009) hasil uji L. monocytogenes pada produk susu harus negatif/25 ml. Kelompok Bacillus sp. yang sering menjadi penyebab keracunan setelah minum susu adalah B. cereus (CDC 2002). Kontaminasi B. cereus dengan jumlah 104 CFU/ml berpotensi menghasilkan toksin sehingga menimbulkan gejala seperti mual dan muntah. Bakteri ini menguraikan protein menjadi asam amino dan merombak lemak dengan enzim lipase sehingga susu menjadi asam dan berlendir. Beberapa Bacillus sp. yang mencemari susu antara lain adalah B. cereus, B. subtilis, dan B. licheniformis. Bakteri B. cereus mampu menghasilkan spora yang tahan pada suhu pasteurisasi dan juga menghasilkan dua toksin, yaitu emetik dan diare (Suwito 2010). Toksin emetik merupakan lipida dan bersifat hidrofobik sehingga tahan terhadap pengaruh enzim tripsin dan pepsin. Toksin tahan pada pH 2-11 dan suhu 121 °C selama 90 menit, dan terbentuk saat B. cereus mengalami germinasi (Agata et al. 1995). Toksin diare dapat menimbulkan diare pada manusia setelah 24 jam mengonsumsi makanan yang mengandung 104 organisme per gram makanan (CDC 2002). E. coli merupakan salah satu bakteri patogen yang sering mencemari susu (Suwito 2010). Pada manusia, E. coli yang menyebabkan diare dikelompokkan menjadi empat, yaitu enterotoksigenik E. coli (ETEC), enteroinvasif E. coli (EIEC), enteropatogenik E. coli (EPEC), dan enterohemoragik E. coli (EHEC) (Nataro dan Kaper 1998). Virulensi ETEC disebabkan adanya ekspresi antigen fimbria sehingga memungkinkan E. coli menempel pada sel usus mamalia dan memproduksi enterotoksin yang bersifat tahan panas dan tidak tahan panas.
5
Enterotoksin akan memengaruhi sekresi cairan saluran pencernaan melalui peningkatan konsentrasi cyclic AMP (cAMP) ataupun cGMP (Nataro dan Kaper 1998). Pada saluran pencernaan manusia, EPEC akan menyebabkan atrofi dan nekrosis usus. Pada anak-anak, EPEC menyebabkan diare, sedangkan EHEC akan membentuk koloni pada saluran pencernaan sehingga mengakibatkan terjadinya atrofi dari mikrofili sel-sel epitel usus. Infeksi E. coli O157:H7 pada manusia terjadi karena minum susu yang terkontaminasi feses sapi atau dari lingkungan (Vimont et al. 2006). Berdasarkan SNI 2009 hasil uji E. coli pada produk susu harus <3 koloni/ml. Salmonella sp. merupakan bakteri berbahaya yang dapat mencemari susu. Salmonella berbentuk batang, gram negatif, tidak berspora, dan mampu tumbuh cepat dalam media sederhana, serta tidak memfermentasi laktosa (Jawet 2005). Bakteri tersebut dikeluarkan dari saluran pencernaan hewan atau manusia bersama dengan feses. Oleh karena itu, produk yang berasal dari peternakan rentan terkontaminasi Salmonella sp. Strain S. enteritidis sering mengontaminasi susu, di samping S. typhimurium. Beberapa peneliti telah melaporkan kontaminasi Salmonella sp. pada susu (Sarati 1999). Patogenesis Salmonella sp. saat ini belum diketahui dengan pasti, namun dapat menimbulkan infeksi bersifat invasif dengan cara menembus sel-sel epitel usus dan merangsang terbentuknya sel-sel radang. Salmonella sp. juga berpotensi menghasilkan toksin yang bersifat tidak tahan panas (Suwito 2010). Berdasarkan SNI (2009), pemeriksaan Salmonella sp. dilakukan secara kualitatif yang hasilnya harus negatif/25 ml.
Reproses Reproses adalah kegiatan proses yang dikerjakan lebih dari sekali, atau aktivitas yang menghilangkan pekerjaan yang telah dilakukan sebelumnya sebagai bagian dari proyek diluar sumber daya, dimana tidak ada perubahan fisik dan ruang lingkup yang diidentifikasi (Fayek et al. 2004). Bahan reproses yaitu produk yang dikategorikan tidak memenuhi standar kualitas produk akhir tetapi masih memenuhi standar keamanan pangan. Kebijakan PT Dairy Indonesia (2012) menetapkan bahan yang masih dapat dilakukan reproses adalah: a. Produk berupa campuran air akibat tarikan awal dan dorongan akhir pada proses sterilisasi dan produk akhir yang komposisinya tidak memenuhi spesifikasi produk akhir tetapi masih memenuhi persyaratan keamanan pangan (dinamakan produk recovery) b. Produk yang berasal dari berhentinya proses produksi yang disebabkan oleh mati listrik atau adanya breakdown yang cukup lama (maksimal 8 jam setelah pengemasan), (dinamakan produk cut open) c. Produk samping yang dihasilkan selama proses produksi dengan kemasan yang tidak dikemas sesuai standar (dinamakan produk cut open) d. Produk sisa pemeriksaan fisik, kimia, dan sensori di area produksi e. Bahan yang berasal dari trial produksi oleh departemen RnD (Research and Development Department). Sumber bahan yang tidak dapat dilakukan reproses adalah: a. Produk yang tidak memenuhi keamanan produk akhir
6
b. Produk tercecer di lantai, kotor, atau terkena bahan kimia berbahaya c. Produk yang terkontaminasi/mengandung bahaya (fisik, kimia, mikrobiologi) dimana tidak ada langkah untuk menghilangkannya d. Produk yang telah kadaluarsa dan tidak teridentifikasi e. Produk kembalian dari pasar (recall) yang kemasan primernya sudah terbuka atau tidak mendapat rekomendasi RnD & Quality Mangement (QM) Head dan Chief Technical Officer (CTO). Penanganan dan penyimpanan: a. Semua bahan reproses disimpan dan diberi identitas yang jelas. b. Umur bahan reproses mengacu instruksi kerja pengendalian bahan reproses yang sudah dibuka kemasan primernya c. Bahan reproses yang masih utuh kemasan primernya dapat disimpan maksimal 1 bulan pada suhu ruang. d. Peralatan yang digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu. e. Bahan reproses disiapkan pada saat akan digunakan dengan tangki tertutup. f. Harus ada penanggung jawab di masing-masing area proses. Pengelolaan bahan reproses di line proses: a. Penggunaan bahan reproses harus tercakup dalam HACCP plan. b. Penggunaannya tidak boleh menyebabkan penyimpangan terhadap konsistensi kualitas produk. c. Penambahan bahan reproses harus dilakukan sesuai dengan formula standar. Penggunaan bahan reproses: a. Bahan reproses sebelum digunakan harus mendapatkan persetujuan dari QA dan dilakukan pengawasan kualitas terhadap produk reproses yang akan digunakan setiap 2 jam.
Pengendalian Proses secara Statistik Menurut Gaspersz (1998), pengendalian proses secara statistik adalah suatu metode pengumpulan dan analisis data mutu serta penentuan interpretasi pengukuran yang menjelaskan proses dalam suatu industri. Tujuannya adalah untuk mengendalikan dan memantau terjadinya penyimpangan mutu produk. Salah satu alat pengendali proses statistik adalah bagan kendali (control chart). Menurut Muhandri dan Kadarisman (2005), bagan kendali merupakan garis yang mencatumkan batas maksimum dan batas minimum yang merupakan daerah batas pengendalian. Bagan kendali memiliki sumbu X yang melambangkan nomor contoh, sumbu Y melambangkan karakteristik output, garis tengah (CL), dan sepasang batas pengendali atas (UCL) dan bawah (LCL). Proses terkendali secara statistik dicirikan oleh bagan kendali yang semua titik contohnya berada dalam batas pengendalian. Dengan demikian, apabila nilai yang ditebarkan pada bagan kendali berada diluar batas pengendali, maka dapat dinyatakan bahwa proses berada dalam keadaan yang tidak terkendali secara
7
statistik (Gasperz 1998). Pembuatan bagan kendali individual X dan MR (moving range = rentang bergerak) hanya menggunakan satu sampel, yang diterapkan pada proses yang menghasilkan produk relatif homogen, misalnya dalam cairan kimia, kandungan mineral dalam air, °Brix, suhu, dan lain-lain (Gaspersz 2001).
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada tanggal 15 Februari-15 Juni 2016 di PT Dairy Indonesia, Jawa Timur. Kegiatan dilaksanakan di bawah pengawasan departemen Quality Assurance (QA). Waktu aktif kegiatan dilaksanakan pada jam kerja normal (Senin – Jumat, pukul 08.00 – 17.00 WIB).
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah produk recovery susu coklat (yaitu campuran air dengan produk susu ketika proses pemindahan awal dan dorongan akhir dari tangki penyimpanan ke jalur sterilisasi). Selama penyimpanan 60 jam, produk recovery mengalami perubahan berupa 10 kali penambahan dan pengurangan produk di dalam tangki karena digunakan untuk produksi susu UHT. Media untuk analisis mikrobiologi yang digunakan meliputi PCA (Plate Count Agar), LEB (Listeria Enrichment Broth), PALCAM agar, LB (Lactose Broth), XLDA (Xylose Lysine Deoxcholate Agar), Brilliant Selective E. coli, TTB (Tetrathionate Broth), MYPA (Mannitol Egg Yolk Polymixin), VRBA (Violet Red Bile Agar), dan BPW (Buffer Phosphate Water). Media untuk analisis fisik dan kimia adalah alkohol 75% dan akuades. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pH meter, refraktometer, oven, inkubator suhu 32 °C, 36 °C, autoklaf, botol gelas steril, cawan petri, jarum ose, bunsen, termometer,
Metodologi Penelitian Tahap 1 Pengenalan proses produksi susu UHT dilakukan diawal kegiatan magang untuk mengetahui bahan baku, formulasi, dan susut yang terjadi selama produksi melalui observasi lapangan dan wawancara dengan pihak terkait.
Tahap 2 Pada tahap ini dilakukan analisis mutu produk recovery yang digunakan sebagai sumber bahan reproses dengan parameter mikrobiologi (TPC dan CPC), fisik (uji didih, bau, dan warna), dan kimia (uji alkohol, pH dan total padatan).
8
Metode pengambilan sampel dalam kondisi aktual tangki (2-20 °C) setiap 4 jam selama 60 jam penyimpanan pada katup sampel tangki, dengan 2 ulangan secara duplo. Sampel untuk uji mikrobiologi diambil secara aseptik menggunakan botol steril, sedangkan untuk uji fisik dan kimia menggunakan botol gelas dengan jumlah masing-masing 200 ml. Variabel yang diamati adalah pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan mutu produk recovery. Pengambilan sampel produk recovery diambil dari katup sampel tangki reproses 121, dan pengujian dilakukan di laboratorium QA PT Dairy Indonesia. Tahap 3 Analisis penyimpanan
biaya
penghematan
pemakaian
produk
recovery
selama
Prosedur pengujian: a. Total padatan (AOAC 1995) Cawan dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 100 °C, kemudian dapat disimpan dalam desikator maksimal 7 hari sebelum pemakaian. Sampel susu disiapkan pada suhu 20 °C dan diaduk hingga homogen. Setelah itu susu ditimbang pada 38 °C dengan angka 4 desimal. Susu dipipet 3 g dan langsung diletakkan pada cawan kering. Untuk blangko, 2 cawan kosong kering ditimbang. Cawan disimpan pada steambath sekitar 25 menit sampai cairan mulai mengental. Selanjutnya, cawan dimasukkan ke dalam oven selama 3 jam dengan suhu 100 °C. Kemudian dilakukan pendinginan dalam desikator serta diikuti dengan penimbangan cawan yang telah kering. Total padatan % = Keterangan: W1 W2 B
(𝑊2−𝑊)−𝐵
𝑥 100 = berat cawan + susu = berat cawan + sampel kering = rerata blangko
𝑊1−𝑊
b. pH (AOAC 1995) Tahap pertama yaitu kalibrasi pH meter. Alat dinyalakan dan dibiarkan stabil selama 10 menit, kemudian larutan buffer pH 4.00 dan 7.00 disiapkan, elektroda dibersihkan dengan air destilata serta dikeringkan dengan tisu. Tombol mode ditekan hingga terbaca CALIBRATE 7-4, setelah itu elektroda dicelupkan pada buffer pH 7.00 lalu tunggu sampai muncul angka 7.00 dan tekan YES. Elektroda dibilas dengan air destilata dan dikeringkan dengan tisu, kemudian elektroda dicelupkan pada buffer pH 4, tunggu sampai muncul angka 4.00 dan tekan YES, lalu dibilas lagi dengan air destilata. Tahap kedua adalah pengukuran contoh, pertama bilas elektroda dengan air destilata dan keringkan dengan tisu. Elektroda dimasukkan ke dalam gelas piala berisi contoh. Lalu dibiarkan beberapa saat sampai pembacaan stabil kemudian catat pH yang terbaca. Terakhir, elektroda dibilas dengan air destilata dan dikeringkan dengan tisu.
c. Uji Alkohol (SNI 1998) Sampel diambil 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan alkohol 70% sebanyak 5 ml sehingga perbandingan sampel dengan alkohol 1:1 sambil diaduk hingga merata dan diamati apakah terjadi koagulasi
9
atau tidak. Jika koagulasi positif, maka sampel tidak baik, dan sebaliknya. Jika koagulasi negatif, maka sampel dinyatakan baik. d. Uji Didih (SNI 1992) Langkah pengerjaannya adalah sampel dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian tabung dijepit dan dipanaskan di atas bunsen selama 5 menit. Hasil dikatakan negatif apabila tidak terjadi koagulasi, dan hasil dikatakan positif apabila terjadi koagulasi, pengentalan, penggumpalan, serpihan, atau bintik-bintik yang artinya susu tidak tahan panas. e. Bau dan Warna (SNI 1998) Prinsipnya adalah menilai secara kualitatif sesuai varian produk yang diuji. Sampel yang baru diambil dari katup sampel diamati secara sensori (warna dan bau) apakah masih dalam keadaan normal. Sampel dikatakan tidak normal apabila terjadi perubahan warna, pembentukan lendir, dan bau yang tidak enak. f. Uji Total Plate Count (TPC) (SNI 2008) Uji TPC dilakukan berdasarkan metode tuang dan dihitung secara kuantitatif. Larutan pengencer dan cawan petri yang sudah diberi label disiapkan. Kemudian sampel diambil sebanyak 25 mL dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer 225 mL (10-1) dan dibuat sampai pengenceran 10-4, kemudian dibiakkan di cawan petri steril secara duplo dimulai dari pengenceran terendah dan masing-masing cawan dipipet sebanyak 1 mL sampel. Penghematan pipet dan larutan pengencer dapat dilakukan dengan cara mengambil sampel yang berasal dari 1 desimal sebelumnya kemudian diambil 0,1 mL. Setelah itu sebanyak 15 mL PCA dituang ke dalam tiap cawan dan digoyangkan untuk membuat produk homogen. Setelah agar membeku, inkubasikan dengan posisi terbalik pada suhu 32 °C selama 48 jam. g. Uji Coliform Plate Count (CPC) (ISO 2006) Sampel dipersiapkan dan dihomogenasi, dipipet 1 mL dari pengenceran 10-1 dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Media Violet Red Bile Agar (VRBA) dituang sebanyak 15 mL ke dalam cawan yang telah diisi sampel. Cawan digoyang agar media dan sampel tercampur merata dan diinkubasikan pada suhu 30 atau 37 °C selama 24 jam. Perhitungan koloni yang diduga koliform ditandai dengan warna merah violet dengan diameter 0,5 mm. Range pembacaan 10-150 koloni per cawan dan dilanjutkan dengan uji konfirmasi ke media BGLBB. Sebanyak 1 ose bakteri dari media VRBA dipindahkan ke dalam tabung berisi media BGLBB 10 mL dan tabung durham. Diinkubasi pada suhu 30 atau 37 °C selama 24 jam. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya gas pada tabung durham. Hasil dinyatakan sebagai jumlah bakteri koliform per gram/mL contoh. Dihitung dengan mengalikan jumlah koloni koliform dalam cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan.
h. Uji Escherichia coli (Manual Books Oxoid) Prinsip uji ini untuk mendeteksi E. coli berdasarkan aktivitas βglucuronidase dan mendeteksi koliform dengan menggunakan aktivitas βgalaktosidase, serta sodium lauryl sulfat untuk menghambat pertumbuhan bakteri
10
gram positif. Selama inkubasi 24 jam pada suhu 37 °C. Langkah kerjanya adalah sampel dipipet 1 ml tanpa pengenceran ke dalam cawan petri steril, kemudian media Brilliance E. coli selective agar dituang dalam keadaan suhu sekitar 45 °C sebanyak 10-15 ml. Dilakukan proses homogenisasi dengan mengaduk cawan membentuk angka delapan. Setelah media membentuk agar, dimasukkan ke dalam inkubator suhu 37 °C selama 24 jam. Hasil positif sampel mengandung E. coli ditunjukkan dengan koloni berwarna ungu, sedangkan hasil negatif ditunjukkan dengan koloni berwarna merah muda, atau dengan kata lain sampel mengandung koliform tetapi bukan E. coli. i. Uji Listeria monocytogenes (SNI 2008) Metode pengujian ini secara kualitatif dengan didasarkan pada isolasi dan identifikasi bakteri Listeria monocytogenes dengan cara pembiakan dalam media selektif. Langkah kerjanya adalah sampel susu dipipet 25 ml secara aseptik ke dalam wadah steril yang telah berisi 225 ml Buffered Listeria Enrichment Broth, kemudian dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 30 °C selama 48 jam. Untuk tahap isolasi, terlebih dahulu dibuat media PALCAM agar 500 ml, kemudian setelah dilakukan proses sterilisasi, media ditambahkan 0.5 ml vial secara aseptik. Sampel diambil dengan sebanyak 1 ose dan digores pada PALCAM agar, lalu diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24-48 jam. Hasil positif ditunjukkan dengan koloni berwarna hitam dan dikelilingi zona hitam. Untuk tahap identifikasi, koloni Listeria ditumbuhkan pada media TSA, kemudian diinkubasi pada suhu 30 °C selama 24-48 jam. Selanjutnya dilakukan pewarnaan gram, bakteri Listeria merupakan gram postif dan berbentuk batang. Hasil uji dilaporkan positif/25 ml atau negatif/25 ml. j. Uji Bacillus cereus (AOAC 17.8.01-2005) Metode untuk pertumbuhan bakteri Bacillus cereus dalam media yang cocok dengan media MYPA. Langkah kerjanya adalah sampel disiapkan dengan membuat pengenceran yang diinginkan. Kemudian dipipet 1 ml ke dalam cawan petri yang telah berisi media MYPA padat. Selanjutnya suspensi diratakan dengan menggunakan gelas pengaduk dan diinkubasi pada suhu 30 °C selama 24 jam. Hasil positif ditandai dengan koloni yang berwarna putih-krem hingga merah muda. Jumlah koloni yang dihitung dalam kisaran 15-150 koloni per cawan, kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran. k. Uji Total Spora (Tetra pak QAM 5880160101) Langkah kerjanya adalah sampel yang akan dianalisis dipanaskan terlebih dahulu menggunakan penangas air pada suhu 80 °C selama 10 menit. Lalu dipipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Setelah itu dimasukkan media PCA sebanyak 15 ml sambil diaduk hingga rata. Kemudian diinkubasi dalam incubator suhu 36 °C selama 48 jam. Jumlah koloni yang tumbuh dilaporkan dalam jumlah koloni/ml. l. Uji Salmonella (SNI 2008) Pertumbuhan Salmonella pada media selektif dengan cara pra pengkayaan, pengkayaan, isolasi koloni yang dilanjutkan dengan uji biokimia. Langkah kerjanya adalah sampel dipipet sebanyak 25 ml dan dimasukkan ke dalam 225 ml
11
larutan LB, diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam. Kemudian pindahkan 1 ml ke dalam media 10 ml TTB lalu diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam. Setelah inkubasi, ambil 1 ose biakan dan digores pada media XLDA yang telah padat diikuti dengan imkubasi suhu 35 °C selama 24 jam. Hasil positif ditunjukkan koloni berwarna merah muda dengan atau tanpa titik mengkilat atau terlihat hamper seluruh koloni hitam. Tahap identifikasi dilakukan dengan cara mengambil koloni yang diduga dari media XLDA kemudian diinokulasi ke media TSIA dengan cara menusuk ke dasar media, dan selanjutnya digoreskan pada agar miring, diinkubasi pada 35 °C selama 24 jam. Analisis data Analisis data yang digunakan menggunakan aplikasi Microsoft Excel dan control chart XMR. Analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif, yaitu dengan menyajikan dalam bentuk tabel dan grafik dengan metode mengumpulkan, menyederhanakan, dan menyajikan data sehingga bisa memberikan informasi (Mattik dan Sumertajaya 2002). Bagan kendali (control chart) XMR terdiri dari 2 diagram kontrol, yaitu Individual chart yang merupakan diagram kontrol rata-individual, dan Moving range chart yang merupakan diagram kontrol rata-rata subgroup.
HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Produksi Susu UHT Bahan baku merupakan bahan mentah yang menjadi dasar pembuatan suatu produk yang dapat diolah melalui proses tertentu untuk dijadikan wujud yang lain. Bahan baku yang digunakan dalam produksi susu UHT menurut jumlah penggunaanya dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu bahan baku utama dan bahan baku pendukung. Bahan baku utama adalah bahan baku yang jumlah penggunaannya paling banyak, yang terdiri dari susu segar, susu skim bubuk, air, gula, bubur coklat, lemak susu bubuk. Bahan baku pendukung adalah bahan baku tambahan yang jumlah penggunaannya lebih sedikit dibanding bahan baku utama (persentasenya kurang dari 5%), terdiri dari stabiliser-emulsifier, serat, vitamin, garam, perisa, dan pewarna (coklat, vanilla, dan strawberry), serta bahan reproses berupa produk recovery dan cut open. Bahan penunjang yang digunakan dalam proses produksi susu UHT meliputi bahan pengemas, sedotan, lem untuk melekatkan sedotan ke kemasan dan membentuk kemasan menjadi kotak. Bahan pengemas yang digunakan terdiri dari kemasan primer berupa kertas tetra dan kemasan sekunder berupa kotak karton. Kertas tetra tersusun atas tujuh lapisan dari luar ke dalam meliputi 1) LDPE yang melindungi dari kelembapan udara luar, 2) Kertas cetak sebagai tempat mencetak desain, merk, dan berbagai informasi produk, 3) Kertas karton untuk memberikan stabilitas dan kekuatan kemasan, 4) Lapisan laminasi untuk untuk melekatkan kertas karton dengan aluminum foil, 5) Lapisan aluminum foil untuk melindungi dari oksigen dan cahaya, 6) Polietilen sebagai lapisan yang
12
merekatkan dengan aluminium foil dan melindungi dari kerusakan perisa, 7) Lapisan dalam berfungsi untuk memperkuat ketahanan produk dengan kemasan. Proses produksi susu UHT terdiri atas beberapa tahap. Dimulai dari penerimaan susu segar KUD, penuangan bahan baku utama, persiapan lemak susu bubuk (melelehkan lemak agar menjadi cairan), pembuatan bubur coklat (untuk mempermudah kelarutan). Lalu persiapan bahan pendukung, pencampuran (suhu 50 °C selama 50 menit), termisasi (70 °C), penyimpanan (1-12 °C selama ≤24 jam), homogenisasi (tekanan 120/30 bar), sterilisasi (140 °C selama 4 detik), pengisian dan pengemasan aseptik (suhu 25 °C, dalam kemasan kertas tetra ukuran 115 ml, 190, ml, dan 1000 ml steril), serta penyimpanan dalam karton. Diagram alir proses produksi yang lebih rinci terdapat pada Lampiran 2. Produk Recovery Bahan baku reproses yang dianalisis pada penelitian ini berasal dari produk recovery, yaitu campuran produk dengan air steril yang digunakan untuk memindahkan produk saat proses sterilisasi susu UHT. Proses sterilisasi terdiri dari 3 tahap, pertama adalah tarikan awal saat produk susu di tangki holding (penyimpanan) ditarik oleh air yang berada dalam jalur sterilizer. Kedua adalah produk susu UHT murni yang langsung masuk ke tangki aseptik setelah melewati jalur sterilisasi, dan terakhir adalah dorongan akhir sterilisasi saat produk susu UHT didorong oleh air agar tidak ada produk yang tertinggal dalam jalur pipa sterilisasi. Semua tahapan ini akan melalui proses sterilisasi suhu 140 °C. Kondisi ini terjadi karena di dalam pipa sterilisasi tidak boleh dalam keadaan kosong, sehingga ketika tidak dilalui oleh produk susu, pipa digantikan oleh air. Mutu air yang digunakan dalam proses ini adalah mutu air minum. Untuk mengefisienkan bahan baku, produk steril berupa campuran air dan susu pada tahap 1 dan 3 disalurkan ke tangki reproses dan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi selanjutnya. Ilustrasi sumber produk recovery disajikan pada Gambar 1. 3
2
Air 1
Tangki Holding
Sterilisasi
Tangki Aseptik
Keterangan: 1: susu UHT mendorong air yang berada di jalur sterilisasi, lalu masuk ke tangki reproses 2: susu UHT murni masuk ke tangki aspetik setelah melewati proses sterilisasi, dan siap untuk dilakukan proses pengisisan ke dalam kemasan 3: air mendorong susu UHT agar tidak ada produk yang masih berada di dalam tangki dan pipa sterilisasi, lalu produk campuran ini masuk ke tangki reproses
Gambar 1 Ilustrasi sumber produk recovery
Tangki Reproses
13
Perusahaan menetapkan batas maksimal penggunaan bahan reproses adalah 5% dari jumlah produksi. Reproses yang hanya berasal dari produk recovery ini dianggap sebagai bahan pensubstitusi air karena komposisinya hampir mendekati komposisi air, sehingga dapat mengoptimalkan penggunaan bahan baku yang ada. Produk recovery yang dihasilkan dipisah berdasarkan varian produk, bukan berdasarkan ukuran kemasan. Masing-masing varian dialirkan ke tangki penyimpanan khusus agar tidak menurunkan mutu. PT Dairy Indonesia memiliki 2 tangki reproses (T 121 dan T 122) dengan kapasitas masing-masing 5,000 liter untuk produksi UHT yang dilengkapi pengaduk dan steam jacket untuk pendinginan tangki. Jika tangki penyimpanan reproses penuh atau masih terdapat sisa reproses dalam tangki penyimpanan, sementara produksi produk dengan varian berbeda, maka hasil produk recovery akan langsung dibuang ke WWTP. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, jumlah produk recovery yang dihasilkan tiap shift berbeda. Hal ini tergantung jumlah proses sterilisasi yang dilakukan. Dalam keadaan produksi normal, 1 kali sterilisasi berasal dari 1.5 tangki hidrasi (45.000 L produk), dalam 1 hari dapat melakukan sterilisasi sebanyak 3 kali per lini produksi. Maka jumlah rata-rata produk recovery untuk tarikan awal sebanyak ±1200 liter dan dorongan akhir ±1200 liter produk yang telah bercampur dengan air, artinya total keseluruhan reproses sebanyak 7200 liter/hari/lini produksi dengan perbandingan komposisi antara air dan produk adalah 1:1. Jalur produksi UHT mempunyai 2 lini sehingga dalam 1 hari total reproses dapat mencapai 14,400 L. Apabila diasumsikan harga produk recovery Rp 5,500/liter, maka dalam 1 hari produk tersebut akan bernilai Rp 79,200,000. Namun, pemakaian reproses tidak konsisten selama produksi berlangsung. Ratarata pemakaian reproses adalah sampai lama penyimpanan 30 jam. Apabila WWTP dalam keadaan normal, maka tangki akan dikosongkan dan dilakukan CIP dengan larutan basa per hari dan diikuti CIP dengan larutan asam per minggunya, namun jika terdapat masalah di WWTP maka tangki akan tetap menampung produk recovery yang nantinya tidak akan digunakan sebagai bahan baku produksi, padahal mutu produk tersebut belum diketahui. Data pemakaian dan penambahan produk recovery pada tangki reproses dapat dilihat pada Lampiran 2, dalam tabel in dan out yang menunjukkan sirkulasi produk pada tangki tersebut. Apabila dilihat dari sisi kesalahan manusia, efek kontaminasi silangnya sangat kecil. Hal ini disebabkan karena semua sistem berada di dalam jalur pipa tertutup yang diatur secara otomatis. Reproses menggunakan produk recovery dengan lama penyimpanan 30 jam sebanyak 5% dari total produksi, tidak menurunkan mutu produk akhir susu UHT yang diproduksi. Hal itu terbukti dengan komposisi mutu yang dihasilkan masih dalam rentang standar yang telah ditetapkan. Pemeriksaan khusus dilakukan sebelum penggunaan produk recovery oleh departemen Quality Assurance berupa pengukuran pH dan uji didih.
Hasil Analisis Produk Recovery Mutu Kimia 1. pH Hasil analisis produk recovery menunjukkan bahwa pH mengalami kenaikan setelah jam ke-0 penyimpanan dan cenderung stabil yang berada dalam
14
rentangan nilai rata-rata hingga jam ke-60 (Gambar 2) dengan suhu penyimpanan rata-rata 6.3 °C. Saat jam ke-0 pH produk bernilai 6.60, kemudian mengalami kenaikan saat pengukuran jam ke-4 menjadi 6.96. Nilai rata-rata pH total adalah 7.04 dengan nilai pH tertinggi saat lama penyimpanan 16 jam, yaitu 7.23, sedangkan nilai pH terendah saat lama penyimpanan 0 jam, yaitu 6.60. Nilai pH rendah saat jam ke-0 dikarenkan produk recovery yang baru masuk pertama kali ke dalam tangki reproses belum homogen dengan air sehingga yang terhitung adalah produk susu UHT murni. Nilai pH tinggi artinya bahan telah banyak tercampur dengan air proses yang memiliki pH 7-8.
Keterangan:
produk recovery masuk ke dalam tangki reproses
Gambar 2 Grafik XMR control chart pH produk recovery selama penyimpanan Tren perubahan pH ini menunjukkan terdapat satu titik nilai pH yang berada diluar grafik batas kendali XMR. Artinya pada jam ke-0 nilai pH berbeda dibandingkan rata-rata keseluruhan, karena produk recovery yang terhitung adalah produk susu UHT yang belum homogen dengan air. Pada jam ke-4 terjadi penambahan produk recovery yang menunjukkan nilai pH bergerak naik karena produk di dalam tangki sudah homogen dengan air. Nilai kemiringan (slope) merupakan suatu nilai yang menunjukkan seberapa besar kontribusi variabel X terhadap variabel Y. Nilai pH menunjukkan tren naik dengan kemiringan (0.0024) dengan batas kendali atas 7.3 dan batas kendali bawah 6.8. Setiap kelompok mikroba memiliki pH karakteristik yang berbeda, umumnya bakteri bekerja optimum pada rentang pH 6-8. Namun sering mikroorganisme tumbuh pada kisaran pH yang luas dan jauh dari optimum, dengan batas toleransi pertumbuhannya (Prescott et al. 2008). Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum, yaitu pH dimana pertumbuhannya maksimum sekitar 58.5. Pada pH dibawah 5.0 dan diatas 8.5 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik. Sebaliknya, khamir menyukai pH 4-5 dan dapat tumbuh pada kisaran pH 2.5 – 8.5. Kapang mempunyai pH optimum 5-7, tetapi seperti halnya khamir, kapang masih dapat hidup pada pH 3-8.5 (Fardiaz 1992). Menurut Manik (2006), kenaikan dan penurunan pH ditimbulkan dari hasil konversi laktosa menjadi asam laktat oleh mikroorganisme akibat aktivitas enzimatik. Produk recovery termasuk dalam rentang pH optimum pertumbuhan mikroba sehingga rentan terhadap kerusakan.
15
2. Total padatan Uji total padatan (TS) dapat dilakukan menggunakan oven (konvensional) dan refraktometer (metode cepat). Uji TS menggunakan refraktometer menunjukkan konsentrasi sukrosa dalam produk sebagai %sukrosa. Oleh karena itu, uji TS dengan menggunakan refraktometer lebih ditujukan untuk mengukur derajat kemanisan produk akibat terdapatnya sukrosa. Sedangkan uji TS dengan oven dilakukan untuk mendapatkan nilai total padatan pada produk secara keseluruhan dan dinyatakan dalam satuan berat (g). Uji TS oven dilakukan untuk mendukung analisis lainnya yang memerlukan data TS dalam satuan berat. Namun, nilai TS yang diperoleh dari kedua jenis pengukuran tersebut tidak jauh berbeda. Berdasarkan faktor koreksi laboratorium perusahaan, selisih nilai TS oven lebih tinggi berkisar 2% dibanding TS refraktometer. Tren nilai TS produk recovery selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 3.
Keterangan:
produk recovery masuk ke dalam tangki reproses
Gambar 3 Grafik XMR control chart total padatan produk recovery selama penyimpanan Dalam penelitian ini hanya menggunakan refraktometer karena faktor waktu analisis yang padat dan keterbatasan sumber daya. Dari hasil analisis sampel, dapat dilihat bahwa tren TS mengalami penurunan dari jam ke-0 hingga jam ke-60 penyimpanan. Rata-rata nilai TS selama penyimpanan 60 jam adalah 6.68%. Nilai tertinggi yaitu 8.2% ketika usia produk 0 jam, artinya produk pertama yang masuk ke dalam tangki dan memiliki komposisi perbandingan 1:1 dengan air. Hasil ini akan terus berbeda dan mengalami penurunan terkait adanya penambahan dan pengurangan produk di dalam tangki penyimpanan saat produksi berlangsung tanpa melalui proses homogenisasi. Nilai TS terendah yaitu 4.5% saat jam ke-36, pada jam tersebut terjadi sirkulasi berupa penambahan dan pengurangan produk sehingga kemungkinan antara air dan produk recovery belum tercampur secara merata. Nilai kemiringan grafik (-0.0132) menunjukkan angka negatif yang artinya memiliki tren turun selama penyimpanan. Namun, tren perubahan nilai TS ini dapat dilihat pada Gambar 3 yang menunjukkan bahwa semua nilai TS berada dalam grafik batas kendali XMR, sehingga semua nilai TS selama penyimpanan terkendali secara statistik.
16
3. Uji Alkohol Prinsip uji alkohol adalah ketika susu dengan derajat asam tinggi dicampur alkohol yang bersifat dehidrasi maka protein tersebut akan terkoagulasi sehingga susu akan pecah (SNI 1998). Metode ini berguna untuk mengetahui derajat asam dengan cepat. Hasil uji alkohol pada sampel selama 60 jam adalah negatif, dapat dilihat pada Lampiran 3. Sampel yang dicampur dengan alkohol 70% dengan perbandingan 1:1 tidak menyebabkan perubahan berupa pengendapan. Sampel yang diuji relatif berada pada pH netral dengan nilai rata-rata 7.04. Hal ini sesuai dengan teori Buckle et al. (1985) yang menyatakan bahwa pengasaman susu oleh bakteri menyebabkan pengendapan kasein. Kondisi pH susu sekitar 5.2-5.3 akan melarutkan garam-garam kalsium dan fosfor yang semula terikat pada protein secara perlahan. Jika partikel kasein berada pada titik isoelektris pH 4.6, maka afinitas partikel terhadap air akan menurun sehingga terjadi pengendapan. Mutu Fisik 1. Uji didih Uji didih rata-rata dari 15 sampel produk recovery selama 60 jam penyimpanan menunjukkan hasil negatif (Lampiran 3), yang ditandai tidak terjadi pengendapan berupa partikel-partikel kasar yang melekat pada dinding tabung reaksi (Suardana dan Swacita 2009). Susu dengan hasil uji didih negatif, dikarenakan derajat asamnya masih dalam rentang normal (6-8) dan kontaminasi silang selama penyimpanan sangat kecil (Dwitania dan Swacita 2013). Apabila hasil uji positif, menunjukkan bahwa kestabilan kaseinnya berkurang, sehingga terjadi koagulasi kasein dan akan mengakibatkan penggumpalan susu. Pecahnya susu menyebabkan kualitas susu rendah sehingga tidak layak sebagai bahan baku untuk diproses langsung dan dikonsumsi karena kemungkinan kadar asam yang sangat tinggi (pH<4.5) (Sutrisna et al. 2014). Susu yang mengalami kerusakan disebabkan oleh beberapa faktor seperti lama waktu pemanasan, jumlah susu, dan tidak dihomogenkan terlebih dahulu (Hakim et al. 2013). Dengan demikian, kondisi bahan reproses berupa produk recovery berdasarkan uji didih masih dalam keadaan baik selama penyimpanan 60 jam. 2. Bau dan Warna Hasil analisis uji sensori berupa bau dan warna dilakukan secara kualitatif menggunakan indera penglihatan dan penciuman. Secara umum, produk recovery tidak mengalami perubahan warna dan bau yang signifikan selama penyimpanan 60 jam. Beberapa sampel hasil uji warna dapat dilihat pada Lampiran 3. Produk recovery yang dianalisis merupakan varian coklat berupa campuran antara susu dan air dengan perbandingan 1:1, sehingga warna yang terbentuk adalah coklat keputihan dan bau coklat yang tidak terlalu kuat. Menurut SNI (1998), bau dan warna susu UHT adalah khas dan normal sesuai dengan label. Mutu Mikrobiologi Mutu mikrobiologi merupakan salah satu mutu yang dapat memengaruhi produk pangan asal hewani selain mutu fisik dan kimia. Salah satu indikator mikrobiologi adalah bakteri. Jumlah bakteri pada bahan baku sangat menentukan mutu produk yang dihasilkan.
17
1. Uji TPC (Total Plate Count) Prinsip uji TPC adalah menumbuhkan semua mikroba untuk melihat jumlah cemaran yang terkandung di dalam suatu produk. TPC adalah pemeriksaan mutu susu dengan cara menghitung jumlah koloni pada beberapa pengenceran, kemudian ditumbuhkan pada media Plate Count Agar (PCA) dan diinkubasi suhu 32 °C selama 2x24 jam sehingga diketahui jumlah koloni per ml sampel. Standar mutu bahan baku susu berdasarkan TPC dijadikan sebagai landasan keamanan pangan, bukan hanya semata untuk mengutamakan kepentingan produsen susu dalam memperpanjang daya simpannya (Bray 2008). Nilai TPC produk recovery selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.
y = 0.007x + 4.7549
Keterangan:
produk recovery masuk ke dalam tangki reproses
Gambar 4 Grafik XMR control chart analisis TPC produk recovery selama penyimpanan dengan suhu rata-rata 6.3 °C Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata TPC selama penyimpanan 60 jam adalah 1.1x105 CFU/ml atau 5.05 log CFU/ml. Semua nilai TPC produk recovery berada dibawah standar yang telah ditetapkan mengacu pada SNI (2000), yaitu jumlah cemaran maksimum susu segar sebanyak 6 log CFU/ml. Nilai kemiringan grafik (0.007) menunjukkan angka positif yang artinya jumlah TPC menunujkkan tren naik selama penyimpanan. Jumlah total bakteri tertinggi terdapat pada lama penyimpanan 44 jam dan terendah pada lama penyimpanan 60 jam. Berdasarkan analisis menggunakan bagan kendali XMR, hanya nilai TPC pada lama penyimpanan 44 jam dengan nilai 2.8x105 CFU/ml atau 5.45 log CFU/ml yang berada diluar batas kendali grafik sehingga jumlahnya tidak terkendali secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa pada jam ke-44 dengan suhu 3 °C bakteri berada dalam pertumbuhan maksimum dengan media pertumbuhannya, sedangkan setelah jam ke-44 bakteri mengalami fase menuju kematian sehingga jumlahnya menurun. Uji lanjut dilakukan untuk membuktikan mikroba spesifik yang terkandung di dalam sampel tersebut. Menurut SNI (2000) L. monocytogenes tidak boleh ada dan B. cereus merupakan patogen yang paling sering mencemari susu, sehingga dilakukan pengambilan sampel secara acak pada jam dan beberapa varian produk. Uji L. monocytogenes menggunakan media selektif menghasilkan koloni negatif/25 ml pada sampel strawberry dengan lama penyimpanan 24 jam. Hasil negatif/25 ml juga terbukti pada sampel vanilla dengan lama penyimpanan 36 jam. Hasil ini didukung oleh pendapat Rocourt dan Buchriesser (2007) yang menyatakan bahwa motilitas optimum bakteri ini pada suhu 20-25 °C dan dapat
18
tumbuh pada suhu 1-45 °C dengan pH 4.5-9.2 serta pertumbuhan optimum pada pH 7. Pembentukan enzim listeriolisin O (LLO) yang menjadi faktor utama proses patogenesis paling baik pada suhu 37 °C dan akan berkurang pada suhu 26 °C, sangat dipengaruhi oleh pH, suhu, dan kandungan glukosa (Cary et al. 2000). Sedangkan rata-rata suhu penyimpanan dalam tangki selama 60 jam adalah 6.3 °C. Menurut Juff dan Deeth (2007), Listeria tidak tahan terhadap suhu pasteurisasi 63 °C selama 15 menit. Uji B. cereus positif ditumbuhi koloni dengan jumlah 81 CFU/ml pada sampel strawberry usia penyimpanan 0 jam dan sampel vanila dengan jumlah TBUD (>250 CFU/ml) pada usia penyimpanan 4 jam. Hasil TBUD ini dipastikan dibawah 9,2 x 104 CFU/ml karena disaat bersamaan sampel juga ditumbuhkan pada media PCA untuk menguji jumlah TPC. Kontaminasi B. cereus dengan jumlah 104 CFU/ml berpotensi menghasilkan toksin sehingga menimbulkan gejala seperti mual dan muntah. Bakteri ini menguraikan protein menjadi asam amino dan merombak lemak dengan enzim lipase sehingga susu menjadi asam dan berlendir (Suwito 2010). B. cereus merupakan bakteri pembentuk spora yang mampu bertahan pada suhu pendinginan (0-8 °C), tetapi tidak bertahan pada suhu pasteurisasi, dan penghasil enterotoksin yang menjadi penyebab keracunan pangan (Valik et al. 2003). Hasil positif ini kemudian dilakukan uji lanjut untuk membuktikan apakah terdapat spora B. cereus. Menurut Jensen dan Moir (2003), spora dapat melekat pada permukaan peralatan proses setelah tahapan pasteurisasi terutama permukaan yang lebih hidrofobik (tidak larut air) seperti pada gasket dan seal. Spora yang menempel pada permukaan stainless lebih tahan panas dari pada dalam bentuk planktonik (Simmonds et al. 2003). Sampel yang digunakan dalam uji spora adalah varian coklat 30 jam dan hasilnya 0 CFU/ml dengan 2 kali ulangan. Hasil ini menunjukkan bahwa B. cereus yang terkandung di dalam produk recovery tidak berbentuk spora. Menurut Juff dan Deeth (2007), spora B. cereus masih tahan terhadap suhu HTST 72 °C selama 15 menit, bahkan masih bertahan pada suhu 100 °C (Suwito 2010) sehingga cukup berbahaya apabila digunakan sebagai bahan baku. Hasil penelitian Valik et al. (2003), menyimpulkan bahwa susu pasteurisasi yang disimpan pada suhu diatas 9 °C hanya memiliki daya simpan selama 5 hari. Menurut tabel ICMSF (2002), tingkat keparahan bahaya B. cereus adalah sedang, dibandingkan tingkat keparahan bahaya Salmonella, L. monocytogenes, dan E. coli yang serius (tinggi). 2. Uji CPC (Coliform Plate Count) Koliform adalah mikroorganisme yang berbentuk batang, gram negatif, bersifat fakultatif anaerob, dan aktif tumbuh pada suhu 37 °C. Organisme dapat menyebabkan pembusukan yang cepat pada susu karena mampu memfermentasi laktosa pada suhu 35 °C. Koliform merupakan bakteri indikator sanitasi dan tidak semuanya bersifat patogen. Koliform dibedakan atas 2 kelompok, yaitu koliform fekal (misalnya E. coli) dan koliform non fekal (misalnya Enterobacter aerogenes) (Suwito 2010). Hasil uji koliform sampel bahan reproses menunjukkan hasil TSUD (<100 CFU/ml) setiap 4 jam pengamatan selama 60 jam pada tangki yang sama dengan kondisi hampir sama seperti produksi normal. Standar yang ditetapkan berdasarkan standar susu segar adalah 20 CFU/ml (SNI 2009). Akan tetapi, untuk mendukung analisis dilakukan pengambilan sampel ulang dan dibiakkan tanpa
19
melakukan pengenceran (100). Hasil yang diperoleh yaitu 0 CFU/ml pada sampel vanilla 4 jam, 100 CFU/ml dan 20 CFU/ml pada sampel strawberry 0 jam dan 24 jam, kemudian 33 CFU/ml pada sampel coklat 30 jam. Hasil yang beragam ini dapat disebabkan beberapa faktor, yaitu kontaminasi silang sampel, kondisi katup sampel yang tidak terkena jalur CIP, dan proses CIP yang hanya menggunakan perlakuan kimia sehingga tidak menjamin bahwa semua mikroorganisme dapat dihilangkan. Katup sampel adalah kran tempat pengambilan sampel yang terletak pada sisi samping bawah tangki. Untuk memastikan jenis bakteri koliform yang tumbuh. Dilakukan verifikasi melalui uji lanjut koliform yang bersifat patogen, yaitu Salmonella dan E. coli menggunakan media selektif berdasarkan lingkungan pertumbuhannya. Uji Salmonella dilakukan pada 2 sampel, yaitu strawberry 24 jam dan coklat 32 jam penyimpanan. Hasil uji adalah negatif karena tidak terbentuk koloni berwarna hitam. Apabila terdapat Salmonella, bakteri tersebut akan mati pada suhu pasteurisasi 63 °C selama 30 menit (Juff dan Deeth 2007). Uji E. coli dilakukan pada sampel susu strawberry usia 0 jam dan 24 jam, serta sampel susu coklat usia 30 jam. Media yang digunakan adalah media selektif E. coli. Koloni yang positif tumbuh ditandai dengan warna ungu, sedangkan bakteri koliform selain E. coli ditandai dengan warna merah muda. Hasil uji adalah 0 CFU/ml untuk semua sampel. Hasil ini menunjukkan bahwa sampel produk recovery negatif mengandung bakteri E. coli. Hasil ini sesuai dengan pendapat Manik (2006) yang menyatakan salah satu sifat E. coli yaitu memfermentasi laktosa sehingga memproduksi asam dan gas. Sedangkan pH selama penyimpanan tidak mengalami penurunan. Vimont et al. (2006) menyatakan infeksi E. coli O157:H7 pada manusia terjadi karena minum susu segar tanpa pasteurisasi yang terkontaminasi feses sapi atau dari lingkungan. Produk recovery yang digunakan dan penelitian ini sudah mendapat beberapa penanganan berupa sterilisasi sehingga terbebas dari kontaminan tersebut. Bakteri ini berpotensi patogen karena pada keadaan tertentu menyebabkan diare. Menurut Sanjaya et al. (2009), sebaiknya penyimpanan susu di dalam refrigerator tidak lebih dari 7 hari. Selain lama penyimpanan, kontaminasi silang dapat memengaruhi tingkat kontaminasi mikroba. Bakteri E. coli tidak tahan pada suhu pasteurisasi 63 °C selama 30 menit (Juff dan Deeth 2007). Berikut hasil uji lanjut mikrobiologi yang disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji lanjut mikrobiologi produk recovery selama penyimpanan Sampel S. 24 jam C. 32 jam S. 0 jam S. 24 jam C. 30 jam S. 24 jam V. 36 jam S. 0 jam V. 4 jam Keterangan:
Suhu
Salmonella negatif negatif
Uji kualitatif mikroba E. coli L. monocytogenes
B. cereus
negatif negatif negatif negatif negatif 81 CFU/ml <9.2x104 CFU/ml S: produk recovery susu strawberry C: produk recovery susu coklat V: produk recovery susu vanila
20
Selama penyimpanan, suhu produk recovery mengalami perubahan antara 220 C. Suhu tertinggi terjadi pada 0 jam penyimpanan, karena produk pertama saat keluar proses sterilisasi bersuhu 25 °C dan ketika masuk dalam tangki penyimpanan recovery terukur pada suhu 20 °C. Kemudian suhu mengalami penurunan dan relatif stabil saat jam ke-4 sampai jam ke-60 penyimpanan dengan nilai rata-rata 6.3 °C. Rentangan suhu pendinginan (1-8 °C) menunjukkan mikroba yang dapat tumbuh sangat spesifik yaitu bakter psikrotropik dan psikrofilik. Perubahan suhu merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba (Suwito 2010). Bagan kendali XMR suhu pada Gambar 5. menunjukkan bahwa suhu jam ke-0 dan jam ke-4 penyimpanan berada di luar batas kendali UCL. Pada jam ke-32 terjadi kenaikan suhu dari 3 °C menjadi 9 °C dikarenakan ada produk recovery yang masuk ke dalam tangki reproses. °
Keterangan:
produk recovery masuk ke dalam tangki reproses
Gambar 5 Grafik XMR control chart suhu tangki reproses Karakteristik produk recovery Berikut perbedaan karakteristik produk recovery selama penyimpanan 0, 32, dan 60 jam penyimpanan dalam Tabel 3. Tabel 3 Karakteristik produk recovery selama penyimpanan 60 jam Lama penyimpanan Parameter 0 jam 32 jam TPC (log CFU/ml) 4.64 4.85 pH 6.72 7.04 TS (%) 8.00 6.44
60 jam 4.49 7.11 7.09
Berdasarkan tabel ini terlihat perbedaan nilai TPC, pH, dan TS produk recovery. Selama ini perusahaan menetapkan standar pemakaian produk recovery hingga 32 jam penyimpanan, sedangkan masih berada dalam kendali setelah 60 jam penyimpanan. Sanitasi Peralatan Proses sanitasi alat produksi dilakukan secara Cleaning in Place (CIP) pada setiap jalur produksi UHT. Proses CIP menggunakan larutan asam dan basa sebagai agen pembersih. Larutan asam yang digunakan adalah HNO3 dan larutan basa yang digunakan adalah NaOH. Fungsi larutan basa adalah untuk
21
menghilangkan lemak dan kotoran, sementara larutan asam berfungsi untuk menghilangkan kerak. CIP dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu: 1. Pembilasan awal: menggunakan air (25 °C, selama 5 menit) 2. Pencucian dengan larutan basa: dengan larutan basa (NaOH [1.5-2%] dengan suhu 75-85 °C, selama 10 menit) 3. Pembilasan: pembilasan larutan basa dengan air (25 °C, 5 menit). 4. Pencucian dengan larutan asam: dengan larutan asam (HNO3 [0.5-1.0%] dengan suhu 65-75 °C selama 5-10 menit) 5. Pembilasan akhir: pembilasan akhir dengan air (25 °C, 5 menit). Pada proses CIP jalur tangki reproses (penyimpanan produk recovery) hanya menggunakan proses kimia yaitu air, basa, dan asam, sehingga tidak akan menjamin bahwa tangki tersebut steril atau bebas dari mikroorganisme. Penggunaan larutan basa dilakukan saat CIP harian, sedangkan larutan basa dan asam dilakukan saat CIP mingguan. Kondisi ini kurang efektif terhadap Bacillus cereus, karena bakteri tersebut masih ditemukan pada jalur tangki reproses dalam sampel produk recovery susu strawberry 0 jam dan susu vanilla 4 jam penyimpanan Upaya sanitasi dapat dilakukan secara kimia dengan menggunakan bahan sanitiser dan secara fisik dengan pemanasan, iradiasi. Namun perlu dicermati bahwa tidak ada satu pun zat kimia terbaik untuk semua tujuan karena beberapa pertimbangan, antara lain karena banyaknya jenis mikroba, kondisi beragam yang diperlukan untuk memanfaatkan bahan kimia, perbedaan cara kerja bahan kimia, dan perbedaan mekanisme inaktivasi mikroba tersebut (Rahayu dan Nurwitri 2012). Terdapat empat faktor penting pada program CIP untuk mencapai hasil optimal, yaitu waktu, suhu, konsentrasi kimia, dan aksi mekanik. (Budiman dan Atmaja 2009). Menurut Rahayu dan Nurwitri (2012), perlakuan yang paling efektif untuk menghilangkan mikroba adalah dengan diikuti perlakuan fisik yaitu pemanasan dan iradiasi. Bylund (1995) juga menyatakan bahwa, untuk mencapai peralatan yang steril tidak cukup hanya menggunakan perlakuan asam dan basa saat proses CIP, tetapi harus diikuti dengan perlakuan disinfeksi berupa disinfeksi fisik (air mendidih, air panas 60-80 °C, dan uap) dan disinfeksi kimia (klorin, hidrogen peroksida, dan iodofor). PT Dairy Indonesia menetapkan bahwa yang mendapat perlakuan fisik dan kimia saat CIP adalah jalur sterilisasi hingga pengisian dan pengemasan dengan pertimbangan efisiensi sumber daya. Dengan demikian, produk recovery yang melewati proses sterilisasi akan terkontaminasi kembali dengan alat pada jalur reproses. Analisis Biaya Penghematan Pemakaian Produk Recovery Analisis biaya produk recovery dilakukan berdasarkan asumsi sebagai berikut: 1. WWTP tidak dapat menerima tambahan limbah selama 60 jam 2. Sistem lama: pemakaian maksimal jika produk recovery berumur 30 jam penyimpanan. Apabila umur diatas 30 jam, maka tangki akan tetap menampung produk recovery sampai jam ke-60, namun nantinya akan dibuang ke WWTP 3. Sistem baru: pemakaian maksimal masih layak sampai produk berumur 60 jam sehingga tidak ada produk recovery yang terbuang ke WWTP
22
4. Harga 1 ton produk recovery : Rp. 5,500,000 5. Biaya CIP 1 objek/CIP : Rp. 300,000 6. Biaya pengolahan limbah/ton : Rp. 125,000 7. Biaya energi ice water : diabaikan Dilihat dari data analisis, maka produk recovery masih layak disimpan selama 60 jam untuk digunakan sebagai bahan baku proses produksi UHT berikutnya, sehingga dapat memberi keuntungan bagi perusahaan. Berikut data analisis biaya yang disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Perbandingan analisis biaya selama 60 jam produksi Faktor CIP jumlah produk recovery tidak terpakai (ton) pengolaha n limbah (ton)
Asumsi harga (Rp) 300,000/CIP
Sistem lama (30 jam) Satua Biaya n (Rp)
Sistem baru (60 jam) Satua Biaya n (Rp)
1 bulan (720 jam) (Rp) Sistem Sistem Lama baru
1x
300,000
1x
300,000
3,600,000
3,600,000
5,500,000/ton
9 ton
49,500,000
-
-
594,000,000
-
125,000/ton
9 ton
1,125,000
-
-
13,500,000
-
Total (Rp)
611,100,000
3,600,000
Selisih antara sistem lama dengan sistem baru yang disarankan adalah Rp. 607,500,000/lini/bulan dengan beberapa asumsi diatas. Dengan kapasitas UHT yang memiliki 2 lini produksi, maka penghematan perusahaan dapat mencapai Rp. 1,215,000,000/bulan. Dalam produksi normal 1 lini/hari dapat dilakukan 8 kali pencampuran. Apabila menggunakan produk recovery, maka akan menghemat penggunaan bahan baku total sebanyak 108 ton/bulan, sehingga juga berdampak terhadap penurunan biaya pemesanan dan penyimpanan bahan baku. Hal ini akan berdampak cukup besar bagi perusahaan apabila diterapkan seperti sistem baru.
23
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Mutu kimia, fisik, dan mikrobiologi produk recovery masih dalam kendali sehingga layak disimpan selama 60 jam di dalam tangki pada suhu rata-rata 6.3 °C dengan varian produk yang sama. Reproses menggunakan produk recovery selama 30 jam tidak memengaruhi mutu produk akhir yang dihasilkan. Bakteri yang terdapat pada produk recovery adalah Bacillus cereus, sedangkan Listeria monocytogenes, Salmonella sp, dan Escherichia coli tidak ditemukan. Penghematan perusahaan dapat mencapai Rp. 1,215,000,000/bulan apabila menerapkan sistem ini, sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi susu UHT.
Saran Saran untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan analisis bahan reproses yang berasal dari campuran produk recovery dan cut open, karena tangki reproses saat ini hanya berasal dari produk recovery. Perbaikan sensor suhu dan volume pada seluruh jalur produksi untuk memudahkan proses pemantauan secara tepat dan akurat. Menetapkan standar formulasi penggunaan produk recovery sebagai bahan baku produksi. Memverifikasi penggunaan produk recovery hingga penyimpanan 60 jam sebagai bahan baku produksi susu UHT.
24
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist.1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemistry. Washington DC (US): AOAC. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara Uji Bahan Pengawet. SNI 012894-1992. Jakarta (ID): Badan Standar Nasional. ________. 1998. Syarat Mutu Susu Cair UHT. SNI 01-3950-1998. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional. ________. 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur, Susu, dan Hasil Olahannya. SNI 2897-2008. Jakarta (ID): Badan Standar Nasional. ________. 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum dalam Pangan. SNI 7388-2009. Jakarta (ID): Badan Standar Nasional. ________. 2011. Susu Segar. SNI 3141-2011. Jakarta (ID): Badan Standar Nasional. [ISO] International Standard Organization. 2006. Microbiology of Food and Animal Feeding Stuffs-Horizontal Method for The Enumeration of coliform sColony Count Technique. Agata N, Ohta M, Mori M, Isobe M. 1995. A novel dodecadepsipeptide, cereleude, is an emetic toxin of Bacillus cereus. FEMS Microbial. Lett. (129): 17-19. Amalia G. 2012. Penetapan Kadar Lemak Pada Susu Kental Manis Metode Sokletasi. [skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Medan Bray DR. 2008. Milk Quality is More than Somatic Cell Count and Standard Plate Count, it’s Now Shelf-life. Department of Animal Sciences-University of Florida, USA. Buckle et al. 1985. Ilmu Pangan. Jakarta (ID): UI Press. Budiman DA, Atmaja AS. 2009. Detergen tepat untuk CIP. Food Review Indonesia.Vol 4(2): 43 Bylund G. 1995. Dairy Processing Handbook, Tetra Pak Processing System. Swedia. CDC (Center for Disease Control). 2002. Foodborne illness. Outbreaks Bacillus cereus. Milk Safety Notes. Revised June (28). Cary JW, Linz JE, Bhatnagar D. 2000. Microbial foodborne disease: Mechanisms of pathogenesis and toxin synthesis. First Edition. Technomic Publishing Company Inc. New Holland Avenue, Lancester, Pennsylvania, USA. Pp. 295316. Dwitania DC, Swacita IBN. 2013. Uji Didih, Alkohol, dan Derajat Asam Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar. J. Veteriner 2(4): 437-444. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fayek et al. 2004. Developing a Standard Methodology for Measuring and Classifying Construction Field Reproses. Canadian Journal of Civil Engineering, Proquest Science Journal pg 1077.
25
Hakim NS, Suada IK, Sampurna IP. 2013. Ketahanan Susu Kuda Sumbawa pada Penyimpanan Suhu Ruang Ditinjau dari Total Asam, dan Warna. J. Veteriner 2(4): 369-374. ICMSF. 2002. Microorganism in Foods: Microbiological testing in food safety management. Kluwer Academic: New York. Jawet M, Adelbergs. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. Alih Bahasa: Huriwati Hartanto dkk. Jakarta (ID): Buku Kedokteran ECG. Juff H, Deeth H. 2007. Scientific Evaluation of Pasteurisation for Pathogen Reduction in Milk and Milk Production. Food Standards Australia New Zealand. pp. 84-85. Juran JM. 1989. Juran n Quality by Design. The Free Press. Division of Mac Miller Company, Inc, US. Lado BH. 2003. Characteristics of Listeria monocytogenes important for pulsed electric field process optimization [disertasi]. Graduate School, Ohio State University. Jensen I, Mor CJ. 2003. Bacillus cereus and other Bacillus species. In: Food borne Microorganisms of Public Health Significance. 6th Ed. A.D Hocking(Eds) Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated, NSW Branch, Food Microbiology Group, Waterloo, NSW. Chapter 14.pp. 445-478. Manik E. 2006. Olahan Susu. Jakarta: Pusat Unit Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Mattik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Percetakan Jurusan Statistik F Mipa IPB. IPB Press. Bogor. Muharastri Y. 2008. Analisis Kepuasan Konsumen Susu UHT Merek Real Good di Kota Bogor [skripsi]. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 12. Murti B. 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: UGM Press. Nataro JP, Kaper JB. 1998. Diarheagenic Escherichia coli. Clinical Microbial Rev 11(1): 142-201. Oliver SP, Jayaro BM, Almeira RA. 2005. Review: Foodborne pathogens in milk and dairy farm environment: food safety and public health implications. Foodborne Path. Dis. (2): 115-129. Prescott et al. 2008. Microbiology 7th edtion. USA: McGraw-Hill Book Company. Rahayu WP, Nurwitri CC. 2012. Mikrobiologi Pangan. Bogor (ID): IPB Press. Rocourt J, Buchrieser C. 2007. The Genus Listeria and Listeria monocytogenes: phylogenetic position, taxanomy, and identification. Di dalam: Ryser ET, Marth EH, editor. Listeria, Listeriosis, and Food Safety. Ed ke-3. Boca Raton: CRC Pr.hlm 1-20. Suwito W. 2010. Bakteri yang Sering Mencemari Susu: Deteksi, Patogenesis, Epidomologi, dan Cara Pengendaliannya. J Litbang Pertanian, 29(3). Sanjaya A, Sudarwanto WM, Robert K. 2009. Detection of Listeria monocytogenes in Pasteurized Mil Sold in Bogor and Relationship with Human Health. Faculty of Veterinary Medicine; Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suardana IW, Swacita IBN. 2009. Higiene Makanan. Kajian Teori dan Prinsip Dasar. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Denpasar. Sutrisna DY, Suada IK, Sampurna IP. 2014. Kualitas Susu Kambing Selama Penyimpanan pada Suhu Ruang Berdasarkan Berat Jenis, Uji Didih, dan Kekentalan. J. Veteriner 3(1): 60-67.
26
Simmonds P, Mossel BL, Intaraphan T, Deeth HC. 2003. The Heat Resistance of Bacillus Spores when Adhered to Stainless Steel and Its Relationship to Spore Hydrophobhicity. J. Food Prot. 66. 2070-2975. Valik L, Gorner F, Laukova D. 2003. Growth dynamics of Bacillus cereus and shelf-life of pasteurized milk. Czech J. Food SCI. (21): 195-202. Department of Nutrition and Food Hygiene, Faculty of Chemical and Food Technology, Slovak University of Technology in Bratislava, Bratislava, Slovak Republic. Vimont A, Rozand CV, Muller MLD. 2006. Isolation of E. coli O157:H7 and non-O157 STEC in different matrices: Review of the most commonly used enrichment protocols. Lett. Appl. Microbial. (42):102-108. Zubaidah E. 2000. Studi keamanan susu pasteurisasi yang beredar di Kotamadya Malang (kajian dari mutu mikrobologi dan nilai gizi). J. Teknologi Pertanian Vol 3. No 1: 29-34.
27
Lampiran 1 Standar susu UHT No 1
Persyaratan
Jenis Uji
Jenis A *
Jenis B *
Khas, normal
Khas, normal
sesuai label
sesuai label
Khas, normal
Khas, normal
sesuai label
sesuai label
Khas, normal
Khas, normal
sesuai label
sesuai label
Keadaan
1.1
Warna
1.2
Bau
1.3
Rasa
2
Protein (% b/b)
Min 2,7
Min 2,4
3
Lemak (% b/b)
Min 3,0
Min 2,0
4
Bahan kering tanpa lemak (% b/b)
Min 8,0 Tidak
5
Total Padatan
6
Pewarna tambahan
7
Cemaran logam
dipersyaratkan Tidak dipersyaratkan
Tidak dipersyaratkan Min 12
Sesuai label
7.1
Timbal (Pb) (mg/kg)
Maks 0,30
Maks 3,0
7.2
Tembaga (Cu) (mg/kg)
Maks 20,0
Maks 20,0
7.3
Seng (Zn) (mg/kg)
Maks 40,0
Maks 40,0
7.4
Timah (Sn) (mg/kg)
Maks 40,0
Maks 40,0
7.5
Raksa (Hg) (mg/kg)
Maks 0,03
Maks 0,03
8
Cemaran arsen (mg/kg)
Maks 0,10
Maks 0,10
9
Cemaran mikroba 0
0
9.1
Angka Lempeng Total (Koloni/g)
Keterangan
: *) A: susu UHT tawar B: susu UHT diberi zat penyedap rasa
(SNI 1998)
28
Lampiran 2 Diagram alir produksi susu UHT
29
Lampiran 2 Diagram alir produksi susu UHT (lanjutan)
20-4-16
19-4-16
19-4-16
19-4-16
19-4-16
19-4-16
19-4-16
18-4-16
3:36*
23:00
15:39 17:00 17:45
18-4-16 18:30
18-4-16 14:44
Tanggal IN
Waktu Lama Hasil analisis OUT pengambilan penyimpanan Suhu (C) Ulangan sampel (jam) TPC (log cfu/ml) CPC (cfu/ml) pH Uji Didih TS (%) Warna Bau 1 4.51 6.60 8.20 15.00 0 20 <100 negatif ok ok 2 4.78 6.83 7.80 1 6.95 7.31 19.00 4 15 5.00 <100 negatif ok ok 2 6.96 7.44 1 4.65 6.99 6.76 23.00 8 9 <100 negatif ok ok 2 4.48 6.60 7.00 1 7.16 7.51 3.00 12 6 4.65 <100 negatif ok ok 2 7.09 7.56 8:26 1 4.83 7.23 7.51 7.00 16 5 <100 negatif ok ok 9:13 2 4.90 7.01 7.10 9:20 1 x x x x x x x 11.00 20 5 10:43 2 x x x x x x x 16:36 1 5.15 7.15 5.08 15.00 24 4 <100 negatif ok ok 17:14 2 5.00 6.99 6.25 17:25 1 7.08 6.73 19.00 28 3 4.86 <100 negatif ok ok 2 7.08 6.45 23:58 1 4.93 6.97 6.68 23.00 32 9 <100 negatif ok ok 0:41 2 4.78 7.10 6.20 1:25* 1 7.13 4.58 3.00 36 6 5.15 <100 negatif ok ok 2 7.11 4.55
Lampiran 3 Hasil analisis produk recovery selama penyimpanan 60 jam 30
*: produk recovery sudah tidak digunakan sebagai bahan baku produksi
Ket: x: tangki kosong
Waktu Lama Hasil analisis Tanggal IN OUT pengambilan penyimpanan Suhu (C) Ulangan sampel (jam) TPC (log cfu/ml) CPC (cfu/ml) pH Uji Didih TS (%) Warna Bau 7:36* 1 7.17 4.82 20-4-16 7.00 40 4 5.18 <100 negatif ok ok 2 7.15 5.02 1 7.05 6.10 20-4-16 11.00 44 3 5.45 <100 negatif ok ok 14:12* 2 7.03 5.48 15:30* 1 6.96 7.51 20-4-16 15.00 48 4 5.23 <100 negatif ok ok 2 6.96 7.43 19:30* 1 6.94 7.30 20-4-16 19.00 52 3 5.23 <100 negatif ok ok 2 6.96 7.44 1 7.06 7.21 20-4-16 23.00 56 3 5.28 <100 negatif ok ok 2 7.08 7.15 1 7.10 7.17 21-4-16 3.00 60 2 4.49 <100 negatif ok ok 2 7.13 7.02 Rata-rata 6.31 5.05 <100 7.04 negatif 6.68 ok ok
Lampiran 3 Hasil analisis produk recovery selama penyimpanan 60 jam (lanjutan)
31
32 Lampiran 4 Hasil uji laboratorium produk recovery
a) Sampel 3 varian
b) Uji alkohol dan uji didih (negatif)
c) Uji Total Plate Count (TPC) (positif)
d) Uji Salmonella (negatif)
e) Uji Listeria monocytogenes (negatif)
f) Uji Bacillus cereus (positif)
Lampran 4 Hasil uji laboratorium produk recovery (lanjutan)
g) Uji Coliform Plate Count (negatif)
h) Uji Coliform Plate Count (positif)
i) Uji total spora (negatif)
j) Uji warna dan bau (penyimpanan 4 jam)
k) Uji warna dan bau (penyimpanan 24 l) Uji warna dan bau (penyimpanan60 jam) jam)
34
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 23 Juli 1994 dari Bapak Nofembli Rauf dan Ibu Desmiati Masri. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara (Muhammad Luthfi, Fildza Amalia Novira, dan M. Gifari Aulia Furqon). Penulis menyelesaikan pendidikan akademik di SDN 23 Padang, SMPN 13 Padang, SMAN 2 Padang, dan diterima di IPB pada tahun 2012 melalui jalur SNMPTN Undangan di Fakultas Teknologi Pertanian, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Selama masa perkuliahan, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan dan kepanitiaan. Kegiatan tersebut diantaranya organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) sebagai staf departemen profesi periode 2013/2014. Penulis berpartisipasi pada kepanitiaan olimpiade mahasiswa IPB 2015 dan berbagai kegiatan yang diselenggarakan Himitepa diantaranya adalah BAUR-ACCESS, Food Processing Club (FPC), Orde-Malam Keramat. Penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa sepakbola dan futsal IPB. Penulis berpartisipasi pada turnamen olahraga di dalam kampus maupun antar kampus. Penulis juga aktif di organisasi mahasiswa daerah (OMDA) IPMM sebagai ketua departemen Olahraga dan Pengembangan Bakat periode 2014/2016. Penulis melaksanakan kegiatan magang di PT Dairy Indonesia Jawa Timur, selama empat bulan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian. Judul penelitian adalah “Analisis Kelayakan Mutu Produk Recovery selama Penyimpanan untuk Produksi Susu UHT di PT Dairy Indonesia” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Sri Laksmi Suryaatmadja, MS dan Asep Noor, S.TP, MP.