EVALUASI PERATURAN DAERAH NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN WAJIB BELAJAR MADRASAH DINIYAH DI KOTA CILEGON SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh Herdandi NIM.6661110443
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG, JANUARI 2016
ABSTRAK
Herdandi . 6661110443. Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah Di Kota Cilegon. Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Dosen Pembimbing I: Titi Stiawati, S.Sos, M.Si. Dosen Pembimbing II: Listyaningsih, S.Sos., M.Si. Penyelenggaraan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon merupakan kebijakan inisiatif dari masyarakat, dalam pelaksanaanya kebijakan tersebut belum berjalan dengan optimal karena banyaknya hambatan yang terjadi dan terdapatnya dua acuan hukum yang berbeda. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah Di Kota Cilegon. Penelitian ini menggunakan teori Evaluasi Hanif Nurcholis (2007). Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah model Prasetya Irawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan penyelenggaran wajib belajar Madrasah Diniyah telah berjalan seiring dengan munculnya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 dan Peraturan Walikota Nomor 44 Tahun 2011, akan tetapi kebijakan tersebut baru hanya sebatas pada kewajiban belajar Madrasah Diniyah tetapi untuk kewajiban penggunaan Syahadah Diniyah sebagai salah satu persyaratan pendaftaran sekolah SMP dan MTs belum terlaksana dengan baik, yang hal ini disebabkan karena terdapatnya dua Peraturan Walikota yang berbeda, dan tidak setaranya jumlah Madrasah Diniyah dengan Sekolah Dasar serta tidak bertemunya satu pemahaman yang sama antara LPPTKA/BKPRMI dengan Kementrian Agama Kota Cilegon. Saran yang dapat diberikan yaitu melakukan revisi kedua peraturan walikota tersebut karena telah bertentangan dengan Perda Madrasah Diniyah, memperbanyak gedung Madrasah Diniyah dan membangun sinergitas antara Ormas LPPTKA/BKPRMI dengan Kementrian Agama Kota Cilegon Kata Kunci: Eavalusi Kebijakan, LPPTKA/BKPRMI, Madrasah Diniyah
ABSTRACT
Herdandi. 6661110443. Evaluation of Local Regulation Number. 1/ 2008 on the Implementation of Compulsory Madrasah Diniyah In Cilegon City. Departement of Public Administration. Faculty of Social and Political Science. The 1st advisor: Titi Stiawati,S.Sos.,M.Si. 2ndadvisor :Listyaningsih, S.Sos., M.Si. Implementation of compulsory Madrasah Diniyah in Cilegon City is an initiative of the community, in the implementation of the policy has not run optimally because of the many obstacles that occur and the presence of two different legal reference. The purpose of this research to know Evaluation of Local Regulation Number 1/2008 on the Implementation of Compulsory Madrasah Diniyah In Cilegon City. This research using the theory Hanif Nurcholis Evaluation (2007). The method used is a descriptive qualitative. Data collection techniques used is interview, observation and documentation. Analysis of the data used is the model Prasetya Irawan. The results show that the policy of organizing compulsory Madrasah Diniyah has gone along with the advent of Local Regulation 1/2008 and Mayor Regulation 44/2011, but the policy is only new in terms of the obligation to learn Madrasah Diniyah but to the obligation to use Syahadah Diniyah as one of the registration requirements Junior High School has not done well, that this was due to the presence of two distinct Mayor Regulation, and is not equivalent amount Diniyah Madrasah with primary school, and no meeting a common understanding between LPPTKA / BKPRMI with the Ministry of Religious Cilegon. Advice can be given that the revision of two perwal because contrary to Regulation Diniyah Madrasah, reproduce of building Madrasah Diniyah and build synergy between community organization LPPTKA / BKPRMI with the Ministry of Religious Cilegon Keywords: Policy Evalution, LPPTKA/BKPRMI, Madrasah Diniyah
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan berbangsa-bangsa,dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal."(Q.S Al Hujuraat: 13)
Bersabar, Berusaha, dan Bersyukur #Bersabar dalam berusaha #Berusaha dengan tekun dan pantang menyerah #dan Bersyukur atas apa yang telah diperoleh
ْ اَللّ ُه َّم ص ِغي َْرا َ ْار َّب َيا ِني َ اغ ِفرْ لِيْ َول َِوالِدَيَّ َوارْ َحمْ ُه َما َك َم Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terima kasih yang tiada terhingga kupersembahkan karya kecil ini kepada Emak dan Bapak yang telah memberikan kasih sayang. Segala dukungan, do’a, dan cinta kasih yang tiada terhingga serta kakak dan adikku dan tak lupa untuk semua yang saya sayangi Terima Kasih Emak..Terima Kasih Bapak...
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb Segala puji bagi Allah, Dzat Pemangaku langit dan bumi, Yang mengatur seluruh makhluk-Nya. Yang mengutus para rasul sebagai pembawa petunjuk dan menjelaskan syari’at agama dengan keterangan yang jelas dan bukti-bukti yang nyata. Peneliti memohon tambahan karunia dan kemudahan-Nya yang telah memberikan hidayah dan kelapangan ilmu ketika menempuh belajar di Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta. Sholawat beserta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri teladan yang baik (uswatun hasanah) bagi seluruh manusia dan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang mencari petujuk-Nya Skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat dalam melakukan penelitian tugas akhir Strata 1 Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan judul penelitian “Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaran Wajib Belajar Madrasah Diniyah Kota Cilegon”. Dalam penyusunan tugas ini tentunya tidak lepas dari bantuan banyak pihak yang selalu mendukung peneliti baik secara moril maupun materil. Untuk itu, peneliti sampaikan rasa terima kasih kepada :
i
1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtaysa; 2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa; 3. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S.Sos. M.Si., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, juga sebagai dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan bimbingan, arahan dan motivasi selama proses perkuliahan dan menganjurkan peneliti untuk lulus tahun ini 4. Ibu Mia Dwianna W, M.I.Kom., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa; 5. Bapak Gandung Ismanto, S.Sos, MM., Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa; 6. Ibu Rahmawati, S.Sos, M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa; 7. Ibu Ipah Ema Jumiati, S.IP, M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa; 8. Ibu Titi Stiawati, S.Sos, M.Si., Dosen pembimbing I Skripsi. Terima kasih atas bimbingan dan motivasi yang telah diberikan baik selama proses penyusunan skripsi maupun selama proses perkuliahan;
ii
9. Ibu Listyaningsih, M.Si., Dosen pembimbing II Skripsi. Terima kasih atas bimbingan dan motivasi yang telah diberikan baik selama proses penyusunan Skripsi maupun selama proses perkuliahan; 10. Semua dosen dan staf Program Studi ilmu Administrasi Negara Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, terima kasih atas bimbingan dan bantuanya selama proses perkuliahan; 11. Para narasumber penelitian ini, Bapak Drs. H. Muchtar Gozali Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon, Bapak Suhendi, MM. Kabid Dikmen Dinas Pendidikan Kota Cilegon, Bapak H. Ubik Baehaqi, M.Si Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon, Bapak H. Abu Nashor, M.Si Kepala Seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam Kementrian Agama Kota Cilegon, Ibu Hj. Titim Fatimah, M.Si Kepala Pendidikan Madrasah Kementrian Agama Kota Cilegon, Bapak H. Muhyi, terkhusus kepada Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, yang telah memberikan waktu luang dan diskusi yang hangat di Kantor Kesbanglingmas Kota Cilegon, Bapak Muizudin, M.Ag, guru peneliti ketika menempuh studi di MAN Pulomerak terimakasih atas masukan dan data-data yang peneliti perlukan, Bapak Mahruri, S.Pd.I, Ketua FKDT Kota Cilegon, pengurus FKDT Kota Cilegon, Bapak Supriyadi, S.Pd.I., Pengajar MDTA Daarul Muta’alimin, selain sebagai guru beliau juga sahabat dan teman diskusi peneliti tentang berbagai permasalahan baik masalah agama dan penelitian Madrasah Diniyah di Pondok Pesantren Daarul Muta’alimin, Cilegon; tak lupa pula kepada
iii
bapak Sabililah, Ibu Ruenah, Ibu Sukesih, Bapak Jahidi, dan Bapak Baehaqi yang telah bersedia menjadi narasumber; 12. Ustad Abah Ahmad Nasruddin, S.Ag., dan Umi Oom Romlah, S.Pd.,(semoga Allah meridhai keduanya), Pengasuh Pondok Pesantren Daarul Muta’alimin, salam takzim dan hormat peneliti bagi beliau, selain sebagai guru juga sebagai orang tua peneliti yang selalu memberikan wejangan-wejangan kebajikan, ilmu agama dan petuah-petuah yang mulia selama di Ponpes Daarul Muta’alimin. Terima kasih Abah dan Umi atas keikhlasan dan keridhoan ilmu yang murid dapat ketika nyantri, mohon maaf santrimu yang bodoh ini belum bisa berbakti dan mengabdi dengan tulus ikhlas. 13. Bapak Suhardi dan Ibu Hastuti (semoga Allah Merahmati keduanya), kedua orang tua peneliti, salam takzim dan hormat yang mendalam peneliti sampaikan, terima kasih emak bapak yang telah berjuang dengan tetesan air mata dan keringat demi tercapainya cita-cita putramu ini, terima kasih atas doa-doa yang engkau panjatkan setiap malam. Emak Bapak yakinlah semua itu tidak sia-sia ketika berusaha dan berserah diri kepada Allah SWT, maafkan putramu ini belum bisa membahagiakanmu, doakan kami agar menjadi anak-anak yang sholeh-sholehah, sukses, bahagia dunia akhirat dan dapat membahagikan emak dan bapak 14. Bapak Suparman, S.Pd.I., paman, dan teman diskusi yang menyenangkan, selalu memberikan motivasi, saran, masukan juga telah banyak
iv
memberikan bantuan moril maupun meteril kepada peneliti ketika sedang menempuh studi Ilmu Administrasi Negara FISIP UNTIRTA 15. Kakaku tercinta Susilawati, S.Pd.I., dan adiku Ahmad Rifadi yang sedang belajar di Pesantren, semoga Allah merahmati kita semua dan menjadikan kita sebagai anak yang sholeh dan sholehah, berbakti kepada orang tua, Nusa dan Bangsa. Amin 16. Teman-teman seperjuangan, para santriwan dan santriwati Ponpes Daarul Muta’alimin, yang telah memberikan warna dan mengisi hari-hari peneliti di Pesantren, teruslah kalian belajar dan bermimpi karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kalian, jangan patah semangat dan tetap tawakal kepada Allah karena itu akan menguatkan jiwa kalian 17. Teman-teman kelas ANE C Reguler, terima kasih telah menjadi teman belajar yang baik bagi peneliti, juga kepada Alek, Bang Adi, Budi, Bang Katno, Bang Hendrik, Bang Nayef, Raidhil, Andani, Ressa, Hendar, Cahyo, Mursi, Besar, Azil, Aida NP, Rohiyat, Fani, Sirojus, Ika H, Dewi Sulastri, Arditia Resna, Iman Haerudin, dan teman-teman yang lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu 18. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Persip, Forum Silaturahim Mahasiswa Islam (FosMaI) FISIP 2011, DPM FISIP 2013, UKM TRAS, PKMI GEMPITA, dan Geger Pemuda, dari sanalah peneliti belajar tentang organisasi, bergelut dengan berbagai pemikiran, tempat diskusi dan belajar menjadi peneliti.
v
19. Kawan kawan Pengmas ILP2MI (Ikatan Lembaga Penelitian dan Penalaran Mahasiswa Indonesia) di Pulau Panjang, Bang Apri UNP, bang Dika UNP, Mas Rizky UNJ, Mas Karis UM Puroworejo, Mba Mas UNDIP, mba Mekar UNS, Mas Hudi Unnes, Mas Raka UNEJ, Mas Aslam UGM, Mba Aya UNTAN, Mas Malik Unismuh Makasar dan semuanya peserta Pengmas Realita IV Pulau Panjang, Banten, terimakasih telah datang dan mengujungi Banten; 20. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dan terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam penyusunan skripsi perda Madrasah Diniyah Dalam penyusunan skripsi ini tentunya banyak kekurangan, baik dari segi penulisan maupun metodologinya, besar harapan peneliti kepada para pembaca yang budiman untuk memberikan saran,masukan dan kritik yang membangun bagi kesempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi perkembangan Ilmu Administrasi Negara. Amin. Hanya kepada Allah-lah peneliti menyandarkan diri, dan kepada-Nya pula peneliti berserah diri. Bagi-Nya segala puji dan hanya dengan kehendak-Nya kita mendapat petunjuk dan dan perlindungan Billahi Taufiq wal Hidayah Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb. Cilegon, Januari 2016
Peneliti vi
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ABSTRAK ABSTRACT LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PERSETUJUAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ..................................................................................... ........i DAFTAR ISI..........................................................................................................vii DAFTAR TABEL....................................................................................................x DAFTAR GRAFIK.................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xii DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xiii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................................1 1.2 Identifikasi Masalah..............................................................................19 1.3 Batasan Masalah....................................................................................19 1.4 Rumusan Masalah......................................................................... ........20 1.5 Tujuan Penelitian...................................................................................20 1.6 Manfaat Penelitian.................................................................................20 1.7 Sistematika Penelitian............................................................................22
vii
BAB II DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1 Deskrpisi Teori.......................................................................................24 2.1.1
Pengertian Kebijakan.................................................................24
2.1.2
Kebijakan Publik .......................................................................27
2.1.3
Implementasi Kebijakan Publik.................................................34
2.1.4
Evaluasi Kebijakan Publik.........................................................36
2.1.5
Metode Evaluasi Kebijakan.......................................................41
2.1.6
Fungsi Evaluasi..........................................................................49
2.1.7
Konsep Madrasah.....................................................................50
2.1.8
Madrasah Diniyah......................................................................51
2.1.9
Klasifikasi Madrasah Diniyah...................................................54
2.2 Deskripsi Kebijakan..............................................................................54 2.2.1 Deskripsi Kebijakan Pendidikan................................................54 2.2.2 Deskripsi Peraturan Daerah Kota Cilgon...................................58 2.3
Penelitian Terdahulu.............................................................................59
2.4 Kerangka Berpikir ................................................................................62 2.5 Asumsi Dasar.........................................................................................65 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian .......................................................66 3.2 Fokus Penelitian....................................................................................68 3.3
Lokasi Penelitian..................................................................................68
3.4 Variabel Penelitian................................................................................68
viii
3.4.1 Definisi Konseptual...................................................................68 3.4.2 Definisi Operasional..................................................................69 3.5 Instrumen Penelitian...................................................................................70 3.6 Penetuan Informan ....................................................................................74 3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data....................................................76 3.8 Pengujian Data dan Keabsahan Data........................................................82 3.9 Jadwal Penelitian .......................................................................................83 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Obyek Penelitian....................................................................84 4.1.1 Profil Kota Cilegon.......................................................................84 4.1.2 Profil Kementrian Agama Kota Cilegon .....................................88 4.1.3 Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon........................................................................................97 ........................................................................ 4.2 Deskripsi Data......................................................................................100 4.2.1 Daftar Informan Penelitian...........................................................100 4.2.2 Deskripsi Data Penelitian..............................................................102 4.3 Deskripsi Hasil Penelitian......................................................................102 4.3.1 Dimensi Input................................................................................102 4.3.2 Dimensi Proses...............................................................................118 4.3.3 Dimensi Outputs............................................................................140 4.3.4 Dimensi Outcomes.........................................................................144 4.3 Pembahasan Hasil Penelitian..................................................................154 BAB V PENUTUP
ix
5.1 Kesimpulan...........................................................................................179 5.2 Saran ....................................................................................................180 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................xiv LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
x
DAFTAR TABEL Halaman
1.1
Jumlah MTs, dan SMP serta Jumlah Murid dan Guru SMP dan MTs Menurut
Kecamatan
di
Kota
Cilegon
Tahun
Ajaran
2013/2014.............................................................................................. 13 1.2
Perbandingan Jumlah Madrasah Diniyah dan Sekolah Dasar Beserta Murid, dan Guru Menurut Kecamatan di Kota Cilegon, 2013/2014.............................................................................................. 14
2.1
Kriteria Evaluasi menurut Dunn...........................................................
45
3.1
Daftar Informan Penelitian...................................................................
75
3.2
Pedoman Wawancara ..........................................................................
78
3.3
Rencana Penelitian..............................................................................
83
4.1
Perbandingan Jumlah Madrasah Diniyah dan Sekolah Dasar Beserta Murid,dan
4.2
Guru
Menurut
Kecamatan
di
Kota
Cilegon,
2013/2014.....................................................................................
126
Ilustarasi Jenjang Pendidikan..............................................................
130
x
DAFTAR GRAFIK Halaman 4. 1 Perkembangan Jumlah Madrasah Diniyah.......................................177
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Kerangka Berpikir...........................................................................................64 3.1 Proses Analisis Data.............................................................................................81 4.1 Peta Kota Cilegon................................................................................................88 4.2 Struktur Kementrian Agama Kota Cilegon...........................................................97 4.3 Bangunan Madrasah MDTA Daarul Muta’alimn.........................................113
4.4 Direktur LPPTKA/BKPRMI Bayu Pantagama sedang membuka dokumen dokumen-dokumen........................................................................................137
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah Kota Cilegon Peraturan Walikota Cilegon Nomor 44 tahun 2011 Tentang Pendidikan Diniyah di Kota Cilegon
Wajib Belajar
Peraturan Walikota Nomor 25 tahun 2014 Tentang Perubahan Peratuaran Walikota Nomor 44 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Pendidikan Diniyah di Kota Cilegon Surat ijin Penelitian Pedoman Wawancara Membercheck Transkip Data Koding data Kategorisasi Data Lembar Bimbingan Dokumentasi Lapangan Riwayat Hidup
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan mengenai pendidikan merupakan kebijakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan bangsa dibidang pendidikan, karena salah satu tujuan pembangunan bangsa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdasakan kehidupan bangsa tersebut hendaknya terus-menerus untuk dibangun sehingga akhirnya akan mencapai tujuan yang diharapkan yaitu kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Kesejahteraan ini dapat terwujud manakala manusia yang menjadi warga negara mempunyai tingkat kecerdasan yang memadai, untuk dapat menguasai dan mempraktekkan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki. Agar ilmu yang dimiliki dapat bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain. Dengan kemampuan keilmuan itulah diharapkan manusia mampu menghadapi, menyelesaikan persoalan kehidupan - yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, rasional dan bertanggungjawab. Hanya saja tingkat kecerdasan tersebut juga harus memperhatikan nilai-nilai moral, baik nilai moral keagamaan maupun nilai moral yang telah diyakini kebenarannya oleh masyarakat Usaha pemerintah dalam membangun pelayanan pendidikan memang terlihat melalui langkah-langkah penyiapan dan penyesuaian perangkat peraturan dan perundang-undangannya. Langkah-langkah ini seiring dengan perubahan
1
2
tatanan politik pemerintahan, hal ini ditandai dengan disyahkannya undangundang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam era otonomi, sebenarnya terbuka peluang besar untuk membangun dunia pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Hal ini terjadi karena Bupati/Walikota memiliki kewenangan yang penuh dalam menentukan kualitas pendidikan sesuai dengan konteks daerahnya. Jadi dalam era otonomi, kualitas pendidikan untuk masa yang akan datang lebih banyak tergantung pada komitmen daerah untuk merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing. Jika daerah cukup visioner, pengembangan sektor pendidikan akan memiliki peluang yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan para stakeholders. Manakala pemerintah daerah memiliki political will yang kuat dan kemudian
disertai
dengan
kebijakan
dan
sistem
perencanaan
yang
mengedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah, dapat dipastikan pendidikan di daerah itu akan memiliki praksis yang baik, dan kualitas pendidikan akan dapat ditegakkan. Namun sebaliknya, manakala pemerintah daerah memandang pendidikan tidak penting, sehingga visi dan misi pendidikan di daerah itu tidak dirumuskan secara jelas dalam sistem perencanaan yang baik, maka kemungkinan besar tidak dapat diderivasikan menjadi praksis pendidikan yang solid. Jika hal ini terjadi, praksis pendidikan akan berjalan secara tidak profesional. Akhirnya, setiap berbicara visi dan misi pada satuan pendidikan berubah menjadi sesuatu yang dipandang terlalu mewah.
3
Kondisi seperti ini akan mendorong para praktisi pendidikan di daerah kehilangan arah dalam menjalankan fungsinya secara profesional. Oleh karena itu, di era otonomi pendidikan dewasa ini merupakan saat yang menentukan membangun budaya tatakelola pendidikan di daerah melalui pengembangan sistem perencanaan pendidikan yang efektif. Pendidikan nasional diselenggarakan bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia peserta didik seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pada Pasal 31, ayat (3) bahwa:”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Untuk melaksanakan amanat itu, pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan nasional bidang pendidikan dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
4
Sebelumnya, Pemerintah Orde baru menetapkan kebijakan publik dibidang pendidikan berupa undang-undang nomor 2 tahun 1989 Tentang Sistem pendidikan Nasional. Kebijakan ini ditetapkan pada saat kebijakan publik tentang penyelenggaraan pembangunan menganut pola yang cenderung sentralistik, yaitu melalui Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU ini menyebutkan bahwa negara kesatuan RI dibagi kedalam daerahdaerah otonom diselenggarakan melalui tiga pelaksanaan asas yaitu, asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asa pembantuan. Pasal 2 UU tersebut menetapkan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat II yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Adapun tujuan daripada otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan bisa mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, menurut hemat penulis aturan ini cenderung bersifat sentralistik daripada desentralistik, kemudian muncul kebijakan baru yaitu Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU nomor 22 tahun 1999 mengubah pola pembangunan dari sentralistik menjadi desentralistik, dengan memberikan kekuasaan otonom secara luas kepada pemerintah Kabupaten dan Kota. Efek samping dari pada kekuasaan otonomi yang sangat luas kepada daerah,
pada
prakteknya
mengakibatkan
sedikit
terhambatnya
proses
5
desentralisasi pembangunan dan pelayanan publik, juga pemerintah daerah berpeluang untuk melakukan desentralisasi kekuasaan pada elit-elit politik daerah. Salah satu pesan UU nomor 22 tahun 1999 adalah bahwa daerah mempunyai kewajiban menangani pendidikan yang rambu-rambunya telah dijabarkan dalam Peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Persoalan mendasar dalam desentralisasi pengelolaan pendidikan adalah apa yang seharusnya dilakukan, oleh siapa hal itu dilakukan, dengan cara bagaimana dan mengapa demikian. Dengan semangat pemberian kesempatan otonomi kepada daerah khususnya Kabupaten dan Kota, dan tetap terjaminnya kepentingan nasional yang paling esensial. Disadari betul bahwa kewenangan dan kekuasaan saja belumlah cukup, dibutuhkan kemampuan daerah untuk mengimplementasikan otonomi daerah. Kemampuan ini bisa diuraikan menjadi sangat luas, mencakup keharusan memiliki wawasan yang mumpuni, kualitas sumber daya manusia, kapasitas kelembagaan serta kemampuan menggali dan mengelola pembiayaan. Dengan demikian melalui pengelolaan yang desentralistik, diharapkan pendidikan dapat dilaksanakan dengan lebih baik, bermanfaat bagi daerah dan juga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentunya dengan desentralisasi tersebut tidak dikehendaki terjadinya kemunduran dalam pendidikan dan tidak juga justru melemahkan semangat integrasi nasional Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal; 50, 51 dan 52 secara khusus mengatur tentang pengelolaan pendidikan
6
tingkat pusat dan daerah, yang menyatakan bahwa sifat desentralistik dari penyelenggaraan pembangunan pendidikan nasional. Di dalamnya memberikan panduan mengenai mekanisme desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu antara lain siapa yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem pendidikan nasional, bagaimana standar nasional pendidikan, siapa yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi dan sebagainya Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam di Indonesia, secara legalitas-normatif tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, pendidikan Diniyah dapat dikategorikan ke dalam pendidikan Diniyah formal dan pendidikan Diniyah nonformal. Pendidikan Diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan Islam yang bersifat nonformal dalam bentuk Madrasah Diniyah pada dasarnya merupakan lembaga pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Madrasah Diniyah telah beraktivitas sebelum masa penjajahan hingga bangsa ini merdeka sampai sekarang. Lembaga ini telah berjasa mencerdaskan anak-anak bangsa yang kurang mampu. Namun begitu, keberadaan pendidikan Madrasah Diniyah hingga saat ini belum dapat memenuhi harapan masyarakat, karena penyelenggaraannya belum kondusif.
7
Pencitraan terhadap lembaga pendidikan Islam yang kumuh, tenaga pendidiknya tidak berkualifikasi serta manajemennya semrawut masih belum sirna dalam pikiran masyarakat. Hal ini memberi kesan negatif sehingga lembaga ini tidak dilirik masyarakat sebagai tujuan utama pendidikan bagi anaknya. Pada masa otonomi daerah, peran Kementrian Agama, selanjutnya disebut Kemenag secara fungsional tetap mempunyai tanggung jawab yang penuh terhadap keberadaan, pembinaan dan pengembangan pendidikan Islam dari pusat sampai daerah. Namun demikian, Kemenag sebagai instansi vertikal akan mengalami hambatan struktural dalam memberikan bantuan dan pengawasan terhadap pendidikan agama terhadap lembaga pendidikan Madrasah Diniyah di daerah. Kemenag merupakan lembaga yang tidak diotonomikan oleh pemerintah, dan lembaga pendidikan yang berada di bawah Kemenag masih berisfat sentralistik dan terpusat tidak seperti pendidikan umum dibawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang sudah terdesentralisasi semenjak otonomi daerah digulirkan. Kendala ini yang mengakibatkan keberadaan pendidikan Diniyah di Kota Cilegon perlu mendapat perhatian yang sama dengan pendidikan formal. Pendidikan Islam yang dilaksanakan melalui pendidikan jalur nonformal seperti Madrasah Diniyah Takmiliyah ini banyak mengalami hambatan sehingga tidak dapat berkembang sesuai dengan harapan masyarakat. Demikian juga pihak pemerintah dan pemerintah daerah di masa otonomi daerah ini menunjukan kurang perhatian terhadap pendidikan Islam. Alasan inilah salah satunya yang
8
menjadi pemicu munculnya gerakan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon Alasan lain tentang adanya Peraturan Daerah Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon ialah terjadinya krisis nilai-nilai keagamaan khusunya agama Islam bagi peserta didik di Kota Cilegon. Budaya Cilegon yang semula santri mulai bergeser sedikit demi sedikit. Diantaranya terjadi pergeseran budaya masyarakat dari religius kepada kehidupan yang hanya berorientasi matrealistis, sehingga ada diantara masyarakat yang menganggap tidak penting terhadap pendidikan keagamaan di Madrasah dan Madrasah Diniyah pun banyak ditinggalkan oleh masyarakat. Melihat fenomena ini terjadi dimasyarakat, lalu munculah kekhawatiran dari para tokoh agama di Cilegon, hal ini jika dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan masyarakat Cilegon semakin jauh dari agama dan memiliki pemahaman yang dangkal terhadap agamanya karena tidak lagi menyekolahkan anaknya ke Madrasah Kebijakan tentang pendidikan Madrasah Diniyah di Kota Cilegon terwujud dengan
terbitnya
Peraturan
Daerah
Nomor
1
Tahun
2008
tentang
Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah (selanjutnya disebut Perda), dan Peraturan Walikota Nomor 44 Tahun 2011 tentang Penyelenggaran Wajib Belajar Madrasah di Kota Cilegon yang kemudian direvisi dengan diterbitkanya Peraturan Walikota
Nomor 25 Tahun 2014
(selanjutnya disebut Perwal).
Berdasarkan pemikiran itulah Perda Diniyah diberlakukan sebagai terobosan untuk menghadapi kendala dalam pengelolaan Madrasah Diniyah Takmiliyah.
9
Kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah ini diperuntukkan bagi setiap warga negara untuk menempuh jenjang pendidikan minimal atas tanggungjawab Pemerintah Daerah. Lembaga pendidikan Madrasah Diniyah adalah satuan pendidikan keagamaan pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan Agama Islam tingkat dasar. Madrasah Diniyah berfungsi untuk memenuhi masyarakat terhadap pendidikan Agama Islam bagi peserta didik yang beragama Islam di Sekolah Umum. Selain itu juga untuk memberi bekal kemampuan Agama Islam kepada peserta didik sebagai warga muslim supaya beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.
Wajib belajar Madrasah Diniyah diselenggarakan selama 4 (empat) tahun yang wajib diikuti oleh setiap warga belajar berusia 6-12 tahun. Wajib belajar Madrasah dijadikan sebagai persyaratan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yang dibuktikan dengan Surat Tanda Tamat Belajar selanjutnya disebut Syahadah Madrasah Diniyah. Kebijakan tersebut dipihak satu dapat memperkuat pendidikan Islam bagi masyarakat, namun dipihak lain pemerintah daerah wajib menyiapkan sarana, prasarana, sumber daya guru dan biaya pendidikan Diniyah.
Kepala sub Pendidkan Menengah (Kasub Dikmen) Dinas Pendidikan Kota Cilegon, Suhendi, S.Pd, MM yang peneliti wawancarai pada tanggal 21 April 2015 Pukul 10.00, beliau mengatakan bahwa adanya perda Diniyah di bentuk ini bukan bertujuan hanya sebagai syarat untuk masuk SMP dan MTs sederajat tetapi untuk memberikan pemahaman kegamaan terhadap peserta didik pada tingkat
10
sekolah dasar seperti membaca Al-Qur’an, pelajaran fiqih, hadis, akhlak, tauhid dan ilmu keagamaan lainya, hal ini disebabkan karena siswa yang masuk SMP adalah kebanyakan siswa sekolah umum (SD), oleh karenanya perlu diberikan pelajaran agama mengingat Kota Cilegon adalah kota yang religius, yang kental akan nilai-nilai keIslaman, masih menurut beliau kewajiban wajib belajar Diniyah sudah berlaku sejak adanya perwal No. 44 Tahun 2011, akan tetapi pada pelaksanaan syarat untuk masuk SMP/Mts dengan menggunakan Syahadah Diniyah akan berlaku pada tahun ajaran baru 2015 Menurut Beliau, dalam masalah penerapan Diniyah yang belum terlaksana ini disebabkan karena perda ini perlu banyak tahapan yang harus dilalui, penyempurnaan perwal dan sebagainya seperti sosialisasi kemasyarakat dan sekolah-sekolah yang ada di Kota Cilegon, serta masukan-masukan dari Dinas Pendidikan, Kementrian Agama, Tokoh Masyarakat dan Lembaga Penelitian Pendidikan Taman Kanak Al-Qur’an/Badan Koordinasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (LPPTKA/BKPRMI) supaya nanti tidak ada yang di rugikan. Berdasarkan observasi awal dengan melakukan wawancara dengan bapak Muizuddin, M.Ag (pengurus Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah (FKDT) Kota Cilegon ), peneliti mengetahui bahwa
pelaksanaan atau
implementasi Peraturan Daerah tersebut, dari awal perda inisiatif ini diusulkan hingga diterbitkan, hambatan dan tantangan datang dari Lembaga Penelitian Pendidikan Taman Kanak Al-Qur’an/Badan Koordinasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia Kota Cilegon selanjutnya di sebut LPPTKA/BKPRMI, lembaga
11
tersebut bersikukuh, agar lembaga yang berada dibawah naungan yaitu Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) disamakan dengan Madrasah Diniyah atau MDTA Bayu Panatagama sebagai Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon seperti dilansir dalam Radar Banten (4 Juni 2007) menurutnya perda Diniyah tidak sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan. Antara lain bertolak belakang dengan perda-perda yang sudah berlaku di Kota Cilegon yang menguatkan tentang pendidikan, maupun Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 pasal 9 (1) tentang perlindungan anak dan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang berisikan, pendidikan usia dini dilaksanakan oleh siapapun baik secara formal dan non-formal. Bayu Panatagama mengatakan, perda tersebut secara jelas, sudah melanggar Undang-undang Sisdiknas Bab 3 pasal 4, tentang pendidikan yang harus diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur dan kemajemukan bangsa. Beliau juga menangkap pada bab 11 pasal 22 Perda tersebut seolah-olah menutup ruang gerak anak-anak yang masuk SMP. Sedangkan jumlah SD lebih banyak daripada jumlah Madrasah Diniyah, sehingga nantinya akan banyak anak-anak tidak bisa sekolah (Radar Banten edisi 4 Juni 2007) Selanjutnya berdasar pada hasil kajian evaluasi yang dilakukan oleh unsur Bappeda Kota Cilegon yamg disampaikan pada rapat di DPRD Kota Cilegon tanggal 7 Oktober 2015, ditemukan permasalahan yang dialami dalam impelementasi Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, dalam hasil
12
kajian Bappeda tersebut dapat diketahui dan disimpulkan bahwa implementasi Perda Wajib Belajar Madrasah Diniyah tersebut masih belum berjalan dengan baik hal ini dikarenakan banyaknya pasal dalam perda tersebut yang mempunyai makna yang bias sehingga sulit untuk dimengerti seperti masalah jenjang pendidikan, kaitan dengan TPA/TPQ, siswa asal daerah lain yang tidak mempunyai ijazah (syahadah) Madrasah Diniyah, kurikulum, dan terget capain implementasi yang banyak mengukur waktu. Sedangkan temuan lapangan yang dilakukan oleh peneliti pada saat observasi lapangan dengan melakukan wawancara dengan pihak para narasumber menuturkan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam implementasi perda tersebut : Pertama, Menurut Bapak Muizuddin, M.Ag (pengurus FKDT Kota Cilegon), Perda Diniyah dalam capaian implementasinya belum terlaksana dengan baik, dikarenakan pada saat proses pembentukanya hingga implementasinya masih terdapat hambatan dari LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon yang berusaha menjadikan lembaga yang berada dalam asuhanya disetarakan dengan Madrasah Diniyah. Selain itu pula, dalam implementasinya hanya sekolah yang berada dinaungan Kemenag yang melaksanakan kewajiban menyerahkan syahadah diniyah, sedangkan sekolah yang berada dinaungan Dinas Pendidikan yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai saat ini belum melaksanakan amanat perda tersebut, menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon Muchtar Gozali
13
seperti dilansir di Radar Banten edisi 10 Agustus 2015 menyampaikan bahwa apabila perda ini dilaksanakan maka khawatir masyarakat akan berbondongbondong ke Madrasah Diniyah dan TPA untuk meminta surat keterangan supaya bisa masuk SMP. Berikut ini data MTs dan SMP Sekota Cilegon Tabel 1.1 Jumlah MTs dan SMP serta Jumlah Murid, dan Guru SMP dan MTs Menurut Kecamatan di Kota Cilegon, 2013/2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kecamatan Ciwandan Citangkil Pulomerak Purwakarta Grogol Cilegon Jomblang Cibeber JUMLAH
MTs 11 8 2 4 5 2 1 6 39
Murid 1778 1700 146 1198 1482 625 106 1874 8.909
Guru 267 195 35 112 170 69 19 180 1047
SMP 4 6 5 4 2 3 9 7 40
Murid 1737 1066 1809 2.020 869 1600 2273 3263 14.637
Guru 111 78 119 100 59 115 173 198 953
(Sumber : Cilegon Dalam Angka, BPS, 2014)
Dari data diatas dapat diketahui bahwa jumlah Madrasah Tsanawiyah berjumlah 39 Madrasah dengan jumlah murid 8.909, sedangkan jumlah SMP sebanyak 40 sekolah dengan jumlah murid sebanyak 14.637, dengan demikian dapat diketahui siswa yang tidak menggunakan syahadah diniyah sebanyak jumlah siswa SMP yaitu 14.637 siswa. Kedua, terdapatnya acuan yang berbeda antara Kementrian Agama Kota Cilegon dan Dinas Pendidikan Kota Cilegon beserta LPPTKA/BKPRMI, dalam versi Kemenag melalui Surat Edaran No. Kd.28.06/5/PP.00.8/2328/2014 tentang wajib Pemberlakuan wajib belajar Madrasah Diniyah Awaliyah mengacu pada
14
perwal No. 44 tahun 2011 yang menyatakan bahwa siswa yang akan masuk ke jenjang SMP/MTs wajib menyerahkan syahadah Diniyah sedangkan dalam versi Dinas Pendidikan dan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon mengacu pada perwal No. 25 tahun 2014 yang merupakan revisi Perwal No. 44 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa untuk masuk ke SMP/MTs boleh menggunakan Syahadah Diniyah dan boleh juga dengan ijazah TPA Ketiga, Semenjak perda ini digulirkan jumlah Madrasah tidak setara dengan jumlah Sekolah Dasar (SD) sehingga ada banyak anak Sekolah Dasar (SD) yang tidak sekolah di Madrasah Diniyah karena tidak berimbangnya jumlah Madrasah Diniyah tersebut di Kota Cilegon tercatat saat ini seperti yang dilansir dari BPS Kota Cilegon (2014) jumlah SD baik swasta maupun negeri terdapat sekitar 175 sekolah sedangkan untuk MDTA hanya terdapat sekitar 144 Madrasah (BPS, 2014) Tabel 1.2 Perbandingan Jumlah Madrasah Diniyah dan Sekolah Dasar Beserta Murid, dan Guru Menurut Kecamatan di Kota Cilegon, 2013/2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kecamatan Ciwandan Citangkil Pulomerak Purwakarta Grogol Cilegon Jombang Cibeber JUMLAH
MDTA Madrasah Murid 29 3. 818 26 3.113 13 1.525 10 1.295 15 2.300 16 2.095 14 2. 016 21 2. 493 144 18.655
(Sumber : Cilegon Dalam Angka, BPS. 2014
Guru 368 333 125 119 172 178 147 295 1.737
Sekolah Dasar Sekolah Murid 20 5.217 25 7.159 23 5.119 22 5.526 15 3.467 15 3.787 32 8.371 23 6.797 175 45.433
Guru 312 438 294 317 203 234 492 399 2.689
15
Berdasarkan tabel 1.4 dapat diketahui bahwa jumlah Madrasah Diniyah atau Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA) sekota Cilegon berjumlah 144 Madrasah dengan jumlah murid 18.655 dan tenaga pengajar sebanyak 1.737 yang sangat jauh berbeda dengan jumlah Sekolah Dasar yang memiliki jumlah murid sekitar 38.556 dan jumlah sekolah 175 Sekolah, perbedaan tersebut akan menyebabkan ada banyak siswa Sekolah Dasar yang tidak terakomodir di Madrasah Diniyah seharusnya jumlah Madrasah Diniyah di Kota Cilegon sebanyak jumlah SD, dengan demikian siswa SD tersebut dapat terakomodir untuk belajar di madrasah dengan efektif. Keempat, dalam aturan kebijakan pemerintah, sebuah kebijakan publik yang telah di undang-undangakan baik berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peratuan Daerah harus sudah dilaksanakan maksimal empat tahun setelah kebijakan tersebut dikeluarkan, dan untuk kasus Perda No. 1 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon harusnya sudah dilaksanakan atau diimplementasikan maksimal pada tahun 2012, tetapi ternyata hal tersebut tidak terjadi, implementasi tersebut hanya baru pada kewajiban belajar Madrasah Diniyah tetapi untuk kewajiban menggunakan syahadah Diniyah hanya pada lembaga pendidikan di bawah naungan Kementrian Agama yaitu Madrasah Tsanawiyah sedangkan untuk lembaga pendidikan dibawah naungan Dinas Pendidikan yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) belum terlaksana sampai saat ini. Penyebab lamanya implementasi kebijakan tersebut dalam penerapan kewajiban menyerahkan syahadah Diniyah tersebut ialah pertama, belum
16
bertemunya kesapakatan antara Kementrian Agama dan LPPTKA/BKPRMI dalam implementasi kebijakan tersebut, pihak Kementrian Agama menyatakan bahwa siswa Sekolah Dasar yang hendak melanjutkan pendidikan ke SMP dan MTs
wajib
hanya
menyerahkan
Syahdah
Diniyah,
sementara
pihak
LPPTKA/BKPRMI menyatakan bahwa siswa yang hendak masuk SMP/MTs boleh menggunakan ijazah TPA dan juga boleh menggunakan Syahadah Diniyah. Kedua, kehkawatiran dari pihak Dinas Pendidikan, Dinas Pendidikan mengkhawatirkan
nanti
masyarakat
berbondong-bondong
meminta
surat
pernyataan dari Madrasah Diniyah dan TPA untuk masuk ke SMP, dan hal ini tidak diinginkan oleh Dinas Pendidikan (Radar Banten, 10 Agustus 2015) Selain itu pula dalam perda tersebut belum terdapat kejelasan sanksi bagi peserta didik apabila tidak mengikuti belajar Madrasah Diniyah, dalam pasal 19 Bab IX hanya berisikan kewajiban melampirkan syahadah Diniyah ketika hendak memasuki jenjang SMP/MTs dan bagi calon siswa/i SMP dan MTs yang belum memiliki Syahadah Diniyah dapat diterima dengan ketentutan yang bersangkutan wajib mengikuti belajar Madrasah Diniyah yang dilaksanakan secara khusus, akan tetapi ketentuan tersebut tidak diikuti dengan adanya sanksi yang harus diterima apabila tidak melampirkan Syahadah Diniyah atau siswa tersebut ketika sudah menjadi siswa SMP dan MTs tidak mengikuti Belajar Masdrasah Diniyah secara khsusus seperti yang dimaksud peralihan.
dalam Bab X
Pasal 20 tentang ketentuan
17
Sekilas memang penelitian ini terlihat seperti penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, tetapi sebenarnya terdapat perbedaan, yaitu pada fokusnya, fokus penelitian ini lebih kepada kajian kebijakan publik terhadap perda tersebut. Menurut hemat penulis, kajian dan paradigma Ilmu Administrasi Negara dewasa ini tidak hanya terbatas pada permasalahan birokrasi, organisasi pemerintahan dan pelayanan publik, tetapi sudah menyangkut seluruh aspek kegiatan penyelenggaraan dan urusan negara (Public affair) yang melahirkan sebuah kebijakan, baik kebijakan mengenai sosial-budaya, politik, ekonomi, kependudukan, kesehatan maupun pendidikan. Kebijakan tentang wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon yang tertuang dalam Peraturan Daerah No.1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrash Diniyah dalam hemat penulis merupakan bagian dari kajian disiplin Ilmu Administrasi Negara, karena merupakan bagian dari urusan publik (Public affair) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Disiplin Ilmu Adminitrasi Negara dalam hal ini hanya mengambil fokus pada ranah kebijakanya (Public Policy), melihat sejauh mana implementasinya, evaluasinya, dan kenapa kebijakan ini harus muncul, berbeda dengan FKIP yang hanya fokus pada metodologi pembelajaranya, usaha-usaha yang harus dilakukan untuk menghasilkan peserta didik yang berkualitas sesuai tujuan pendidikan nasional.
18
Selanjutnya, menurut peneliti terdapat perbedaan antara pendidikan dan kajian pendidikan yang dilakukan oleh lembaga FKIP, dalam FKIP seperti telah diterangkan di atas hanya fokus kepada metodologi pembelajaran, usaha-usaha untuk menghasilkan kualitas pendidikan dan hal-hal yang bersifat pembelajaran, sedangkan pendidikan merupakan ranah yang komplek yang dapat dikaji dari berbagi sudut pandang, baik dikaji dari segi kebijakan, sosial-budaya, politik maupun ekonomi, oleh karenanya kebijakan tentang wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon juga dapat dikaji dari segi disiplin Ilmu Administrasi Negara dengan fokus kepada kebijakanya Dengan berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas, peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian evaluasi terhadap perda Diniyah, terbitnya Perda Diniyah dan adanya dua Perwal yang masing-masing lembaga hanya mengakui satu Perwal sebagai acuan hukumnya, serta tentang awal pembentukan perda Diniyah dan hal yang menghambatnya merupakan fenomena yang sangat menarik untuk dilakukan kajian evaluasi dari segi kebijakan publik. Perda Diniyah di Kota Cilegon mempunyai nilai researchable yang sangat penting untuk dilakukan penelitian dari segi kebijakan publik dan evaluasinya dengan menggali berbagai informasi dan memaparkan dengan analisa sebagai upaya
untuk
mengevaluasi
dan
menjelaskan
sedetil
mungkin
tentang
permasalahan yang terdapat dalam perda tersebut sesuai dengan displin ilmu yang sedang ditempuh penulis, oleh karenanya penelitian ini berjudul “Evaluasi Perda No 1 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon”
19
1.2 Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah Setelah melakukan analisis terhadap berbagai permasalahan yeang terdapat dalam penelitian ini sebagaimana telah digambarkan oleh peneliti di bagian latar belakang masalah maka peneliti melakukan identifikasi masalah sebagai upaya untuk memudahkan penelitian, adapun identifikasi masalahnya sebagai berikut : 1. Bedanya
acuan
hukum
antara
Kementrian
Agama
dengan
LPPTKA/BKPRMI beserta Dinas Pendidikan Kota Cilegon dalam implementasi perda tersebut 2. Lambatnya
implementasi
Perda
No.
1
tahun
2008
Tentang
Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon 3. Tidak meratanya penerapan kewajiban menyerahkan Syahadah Diniyah ke SMP dan MTs 4. Tidak setaranya jumlah Madrasah dengan jumlah Sekolah Dasar (SD) dengan Jumlah MDTA yang ada di Cilegon
1.3 Batasan Masalah Dalam penelitian ini peneliti membatasi masalah supaya tidak bias dengan batasan sebagai berikut : a. Fokus pada evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar Diniyah di Kota Cilegon b. Faktor yang menghambat dan mendukung dalam implementasi Perda tersebut.
20
1.4 Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimana Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar Diniyah di Kota Cilegon?”
1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dari Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2008 tentang wajib belajar Diniyah di Kota Cilegon.
1.6 Manfaat Penelitian Manfaat secara teoritis 1. Menambah ilmu pengetahuan melalui penelitian yang dilaksanakan sehingga memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan teori ilmu administarsi negara 2. Sebagai bahan pemahaman dan pembelajaran bagi peneliti maupun mahasiswa lain untuk melakukan penelitian-penelitain yang lebih mendalam mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah
21
Manfaat secara praktis 1. Bagi Peneliti Melalui penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan tentang kebijakan publik khususnya tentang Peraturan Daerah, dan juga menambah pengetahuan tentang Madrasah Diniyah, selain itu pula untuk mengetahui sejauh mana penulis telah menguasai ilmu-ilmu yang diperoleh selama mengikuti program pendidikan dan sejauh mana penulis dalam menganilisis dan memecahkan masalah yang di teliti 2. Bagi Instansi Dengan penelitian ini, diharapkan mampu memberikan masukan terhadap instansi dan lembaga terkait terutama Kementrian Agama Kota Cilegon, Dinas Pendidikan Kota Cilegon
dan pengurus
Forum
Komunikasai Madrasah Diniyah (FOKMADA) Kota Cilegon sebagai referensi dan acuan dalam evaluasi kebijakan dari Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar Diniyah di Kota Cilegon 3. Bagi Peneliti Lain Penelitian ini bisa dijadikan sebagai referensi sekaligus bahan pembelajaran untuk penelitian selanjutnya
22
1.7 Sistematika Penulisan Dalan penelitian menggunakan sistematika sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan ini berisikan mengenai latar belakang masalah yang menjaadi dasar penelitian, dinetifikasi masalah, batasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian baik secara praktis maupun teoritis, serta sistematika penulisan. BAB II DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN Bab ini terdiri dari tiga point, yaitu deskripsi teori, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian. Dalam deskripsi teori akan dijelaskan tentang pendapat ahli mengenai teori-teori yang relevan terhadap masalah dan variable penelitian. Setelah memaprkan teori lalu peneliti membuat kerangka berpikir yang menggambarkan alur pemikiran peneliti sebagai kelanjutan dari deskripsi teori. Kemudian dibuatlah asumsi dasar penelitian yang metupakan rumusan dari kajian teori serta kerangka berpikir. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menguraikan metode yang digunakan dalam penelitian, isntrumen penelitian, informan, teknik pengelolaan data, teknik lokasi jadwal penelitians
analisis data dan
23
BAB IV HASIL PENELITIAN Pada bab ini berisi mengenai data yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik hasil wawancara maupun observasi lengkap dengan analisisnya BAB V PENUTUP Berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan pembahasan atas Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar Diniyah di Kota Cilegon beserta paparan saran yang bisa disampaikan DAFTAR PUSTAKA Bagian ini berisi daftar referensi yang digunakan dalam penelitian skripsi LAMPIRAN-LAMPIRAN Bagian ini berisi lampiran hasil dokumentasi lapangan, matriks, wawancara, surat ijin penelitian, dan data-data penunjang lainya yang berkaitan dengan penelitian skripsi
24
BAB II DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori Deskripsi teori merupakan kajian berbagai teori dan konsep-konsep yang relevan dengan permasalahan penelitian yang disusun secara sistematis. Dengan mengkaji berbagai teori dan konsep-konsep maka peneliti akan memilih konsep penelitian yang jelas. Penggunaan teori dalam penelitian akan memberikan acuan bagi peneliti dalam melakukan analisis terhadap masalah sehingga dapat menyusun pertanyaan dengan rinci untuk penyelidikan sehingga memperoleh temuan lapangan yang menjadi jawaban atas masalah yang telah dirmuskan. Oleh karena itu, pada bab ini peneliti akan menjelaskan beberapa teori yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, antara lain. 2.1.1 Pengertian Kebijakan Kebijakan adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government, (hanya menyangkut aparatur negara), melainkan pula governance yang menyentuh berbagai kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, maupun masyarakat madani (civil society). Kebijakan pada intinya merupkan keputusan
24
25
atau pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, atau warga negara. Kebijakan dalam bahasa inggris modren adalah “ A courseof action or plan, a set of political purposes as apposed to administration “ (seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik yang berbeda dengan makna administrasi) (Wicaksono : 2006 : 53) Berbeda dengan Dunn dalam bukunya Pengantar Analisis Kebijakan Publik, beliau mendefinisikan kata kebijakan dari kata asalnya. Secara etimologis, istilah policy (kebijakan) berasal dari bahasa yunani, Sansekerta dan latin, akar kata dalam bahasa Yunani dan Sansekerta yaitu polis (Negara-kota) dan Pur (kota) (Dunn:2003:53) Dalam buku Policy Analisys for The Real Word yang diterbitkan tahun1984 dan telah direvisi pada tahun 1990. Howgood dan Gunn menyebutkan 10 (sepuluh) penggunaan istilah kebijakan dalam pengertian modern (Wicaksono : 2006:53) diantarnya : a. Sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas (as label for a field af actvity) contohnya : statment umum pemerintah tentang kebijakan ekonomi, kebijakan industri, kebijakan industri, atau kebijakan hukum dan ketertiban. b. Sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan (as expression of general purpose or desired state of affairs)
26
Contohnya : untuk menciptakan lapangan kerja seluas mungkin atau pengembangan demokrasi melalui desentralisasi c. Sebagai proposal spesifik (as specific proposal) Contohnya : membatasi pemegang lahan pertanian hingga 10 hektar atau menggratiskan pendidikan dasar d. Sebagai keputusan pemerintah (as decesions of government) Contohnya : keputusan kebijakan sebagaimana yang di umumkan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden e. Sebagai otorisasi formal (as formal authorization) Contohnya : tindakan-tindakan yang diambil oleh parlemen atau lembagalembaga pembuat kebijakan lainya f. Sebagai sebuah program (as a programe) Contohnya : sebagai ruang aktivitas pemerintah yang sudah didefinisikan, seperti program reformasi agrarian atau program peningkatan kesehatan perempuan g. Sebagai output( as output) Contohnya : apa yang secara aktual telah disediakan, seperti sejumlah lahan yang diredistribusukan dalam program reformasi agraria dan jumlah penyewa yang terkena dampaknya. h. Sebagai hasil ( as outcome) Contohnya : apa yang secara aktual tercapai, seperti dampak terhadap pendapatan petani dan standar hidup dan output agriculutural dari program reformasi agraria.
27
i. Sebagai teori atau model (as theory or model) Contohnya apabila kamu melakukan X maka akan terjadi Y, misalnya apabila kita meningkatkan insentif kepada industri manufaktur, maka ouput industri akan berkembang. j. Sebagai sebuah proses (as a process) Sebagai sebuah proses yang panjang yang di mulai dengan issues lalu bergerak melalui tujuan yang sudah di setting, pengambilan keputusan untuk diimplemetasikan.
2.1.2 Kebijakan Publik Studi mengenai pembuatan kebijakan publik merupkan studi yang penting dalam administrasi negara. Beragam pengertian mengenai kebijakan publik ini tidak bisa di hindarkan, karena kata “kebijakan” merupakan penjelasan ringkas yang berupaya untuk menerangkan berbagai kegiatan mulai dari pembuatan keputusan-keputusan, penerapan dan evaluasinya. Dalam konsep pemerintahan kita sering mendengar kebijakan dan kebijaksanaan yang terlihat seperti sama, pada dasarnya ada perbedaan antara konsep “kebijakan” dan “kebijaksanaan”. Kebijaksanaan merupakan suatu rangkaian alternatif yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Sedangkan
kebijaksanaan
berkenaan
dengan
suatu
keputusan
yang
memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan gawat dan lain-lain
28
Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam terhadap berbagai alternatif yang bermuara kepada keputusan tentang alternatif terbaik. Sedangkan kebijaksanaan selalu mengandung makna melanggar sesuatu yang telah ditetapkan karena alasan tertentu. Kebijakan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan kondisi setempat oleh person pejabat yang berwenang. Dengan perbedaan kondisi tersebut diatas, maka seharusnya dalam implementasinya juga harus berbeda Dalam berbagai referensi ilmiah, kaitannya dengan studi kebijakan, penggabungan antara kata “kebijakan” dan “publik” menjadi kebijakan publik (public policy) merupakan salah satu topik pokok yang sering dikaji. Menurut Thoha (2002:56), orang pertama yang menggambarkan ide tentang kebijakan yang publik dapat dipelajari secara sistematis adalah Dewey. Di dalam bukunya Logic: The Theory of Inquiry, Dewey memberikan perhatian terhadap sifat eksperimen dari cara mengukur kebijakan. Ilmuwan ini berhasil menggambarkan bagaimana rencana-rencana tindakan harus dipilih dari berbagai alternatif dan bagaimana mengamati berbagai akibat yang dapat dipergunakan sebagai uji coba yang tepat (Thoha, 2002:56) Hasil buah pemikiran Dewey (Thoha, 2002:57) tersebut kemudian digunakan oleh Harold Lasswell seorang eksperimentalis ilmu politik yang pertama kali mempertajam ide ilmu kebijakan sebagai disiplin yang tidak terpisahkan
dari
disiplin
ilmu-ilmu
lain.
Lasswell
(Nugroho,
2003:3)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan proyek-proyek tertentu.
29
Menurut pandangannya, kebijakan merupakan studi tentang proses pembuatan keputusan atau proses memilih dan mengevaluasi informasi yang tersedia, kemudian memecahkan masalah-masalah tertentu. Adapun kebijakan publik sebagaimana yang dirumuskan oleh Easton (Thoha, 2002:62-63) merupakan alokasi nilai yang otoritatif oleh seluruh masyarakat. Akan tetapi, hanya pemerintah sajalah yang berbuat secara otoritatif untuk seluruh masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan adalah hasil-hasil dari nilai-nilai tersebut. Secara konseptual kebijakan publik dapat dilihat dari kamus administrasi Publik Chandler dan Plano dalam Pasolong, mengatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatn yang strategi terhadap sumber-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah kebijakan publik atau pemerintah (Pasalong, 2010:38). Dunn dalam Pasalong (2010) mengartikan kebijakan publik sebagai berikut : “Kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga-lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan, kemananan, energy, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain”
Menurut Dye dalam Subarsono ( 2006:2) menyatakan bahwa kebijakan publik meliputi apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (public policy is whatever governments choose to do or not to do ). Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa kebijakan publik merupakan keputusan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal. Sedangkan
30
menurut Helco dalam Tankilisan, & Nogi ( 2003:3) menyatakan bahwa kebijakan adalah cara bertindak yang sengaja untuk menyelasikan beberapa permasalahan. Kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit tetapi luas dan berada pada strata strategis. Oleh sebab itu, kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputsan-keputusan khusus dibawahnya Eyestone dalam bukunya The Threads of Public Policy mendefinisikan kebijakan publik sebagai “hubungan antara unit pemerintahan dengan lingkunganya”. Namun sayangnya definisi tersebut masih terlalu luas untuk dipahami sehingga artinya menjadi tidak menentu bagi sebagian besar scholar yang mempelajarinya. “hubungan antara unit pemerintah dengan lingkunganya” dapat meliputi hampir semua elemen dalam konteks negara. Padahal dalam lingkup real kebijakan publik tidak selalu menggambarkan keluasan definisi Eyestone (Agustino, 2008:7) Eulau dan Prewitt mendefinisikan kebijakan publik sebagai “ keputusan tetap yang dicirikan dengan konsistensi dan pengulangan (repitisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi ( Agustino: 2008:7) Young dan Quinn dalam Suharto (2007) memberikan beberapa konsep kunci yang termuat dalam kebijakan publik yaitu : a. Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang di buat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis dan finansial untuk melakukanya.
31
b. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di masyarakat. c. Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang di buat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak. d. Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial. Namun, kebijakan publik bisa juga di rumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dan karenanya tidak memerlukan tertentu. e. Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seseorang atau beberapa orang aktor. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan yang telah dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh badan pemerintah, maupun oleh beebrapa perwakilan lembaga pemerintah. Nugroho dalam bukunya Public Policy memahami kebijakan publik sebagai berikut : “ Suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus di taati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi dengan bobot pelanggarnya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan
32
masyarakat oleh lembaga yang mepunyai tugas menjatuhkan saknsi” (Nugroho: 2004:3) Kebijakan publik ialah kebijakan pemerintah, implikasi dari kebijakan pemerintah merupakan kebijakan publik dapat disebutkan sebagai berikut : a. Bahwa apa yang dimaksudkan dengan kebijakan pemerintah atau publik adalah setiap tindakan yang berorientasi pada tujuan yang dikehendaki pada situasi yang memungkinkan berubah secara terus-menerus. b. Kebijakan pemerintah atau kebijakan publik mengandung pola atau bentuk tindkan yang dilakukan oleh aparat pemerintah c. Kebijakan pemerintah atau kebijakan publik timbul karena respon terhadap tuntuan, atau penyelesaian atas isu publik. d. Kebijakan pemerintah atau kebijakan publik memuat apa yang pemerintah selalu lakukan, bukan apa yang pemerintah hendak lakukan atau apa yang pemerintah rencanakan akan dilakukan. e. Kebijakan pemerintah atau kebijakan publik bisa mungkin berdampak positif selain dampak negataif. Ia memuat beberapa bentuk tindakan pemerintah sekaligus dengan sejumlah masalah dimana tindakan diinginkan (positif), atau bisa mungkin memuat beberapa hal yang sedang di cari pemecahanya (negatif) Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian keputusan atau tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berorientasi pada kepentingan publik yang ditandai dengan adanya pemilihan alternatif kebijakan. Jadi, kebijakan publik memiliki tiga unsur pokok, yaitu : (1)
33
kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah, (2) kebijakan publik harus berorientasi pada kepentingan publik, dan (3) kebijakan publik adalah tindakan pemilihan alternatif untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah demi kepentingan publik. Kebijakan publik sebagai suatu proses yang sangat komplek dan dinamis, memiliki komponen-komponen beragam, yang masing-masing memberikan kontribusi berbeda bagi proses tersebut. Proses tersebut memutuskan pedoman umum untuk tindakan yang diarahkan pada masa depan, terutama yang dilakukan oleh lembaga pemerintah. Pedoman tersebut secara formal dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang tercermin dalam kepentingan umum yang dilakukan dengan cara sebaik mungkin (LAN. 2004:115) Sedangkan menurut peneliti kebijakan publik adalah usaha-usaha yang ditempuh oleh pemerintah dalam menampung aspirasi rakyat dan demi berlangsungnya
sebuah
pemerintahan dalam
dekade
tertentu,
kebijakan
merupakan hasil dari adanya sebuah pemerintahan dan negara, dengan demikian kebijakan publik merupakan sebuah konsekwensi logis yang harus diterima oleh masyarakat ketika berdirinya sebuah negara dengan tujuan kepntingan publik dan untuk menopang lajunya roda pemerintahan. Jadi idealnya suatu kebijakan publik adalah (1) kebijakan publik untuk dilaksanakan dalam bentuk rill, bukan untuk sekedar dinyatakan, (2) kebijakan untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan karena didasarkan pada kepentingan publik itu sendiri.
34
2.1.3 Implementasi Kebijakan Publik Studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagi kepentingan. Untuk melukiskan kerumitan dalam proses implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan yang dikemukan oleh seorang ahli studi kebijakan Bardach dalam Agustino (2008:138) : “Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang `kelihatanya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengaranya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkanya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksankanya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien”
Masih dalam Agustino (2008:139) Mazmanian dan Sabiter dalam bukunya Implementation and Public Policy mendefinisikan Implementasi Kebijakan Sebagai : “Pelaksanaan Keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undangundang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusankeputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau saasaran yang ingin dicapai, dan berbagi cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya” Sedangkan, Meter dan Horn (Agustino, 2008:139) mendefiniskan Implementasi kebijakan, sebagai :
35
“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan”
Dari tiga definisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu : (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapain tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan yang dilakukan Implementasi kebijakan seringkali dipandang sebagai tahap kedua setelah penetapan suatu kebijakan yang mengarah pada pelaksanaan kebijakan. Implementasi juga dipandang sebagai suatu proses, output maupun sebagai suatu outcome. Menurut Winarno (2007:144), implementasi di konseptualisasikan sebagai suatu proses, atau serangkain keputusan dan tindakan yang di tujukan agar keputusan-keputusan yang diterima oleh lembaga legislatif bisa dijalankan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuanya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2003:158) Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan terdapat dua pendekatan, yakin pendekatan top down dan bootom up. Pendekatan top down, merupakan pendekatan yang mendominasi awal perkembangan studi implemtassi
36
kebijakan, kemudian diantara pengikut pendekatan ini terdapat perbedaanperbedaan sehingga melahirkan pendekatan bottom up. Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan mulai dar aktor tingkat pusat, dan keputusanya pun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik dari perspektif bahwa keputusankeputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administrator-administrator atau birokrat-birokrat pada level bawahnya. Jadi inti pendekatan top down adalah sejauh mana tindak para pelaksana sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat (Agustino, 2008:140)
2.1.4 Evaluasi Kebijakan Publik Setelah kebijakan ditetapkan
dan
diimplementasikan, maka
tahap
selanjutnya adalah mengevaluasinya. Evaluasi kebijakan publik dimaksudkan untuk melihat atau mengukur tingkat kinerja pelaksanaan sesuatu kebijakan publik yang latar belakang dan alasan-alasanya diambil sesuatu atau kebijakan, tujuan dan kinerja kebijakan, berbagai instrumen kebijakan yang di kembangkan dan dilaksanakan, respon kelompok sasaran dan stakeholder lainya serta konsistensi aparat, dampak yang timbul dan perubahan yang ditimbulkan, perkiraan perkembangan tanpa kehadirannya dan kemajuan yang di capai apabila kebijakan dilanjutkan atau diperluas.
37
Evaluasi kebijakan publik acapkali hanya dipahami sebagai evaluasi atas implementasi kebijakan saja, sesungguhnya evaluasi kebijakan publik mempunyai tiga lingkup makna, yaitu evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, dan evaluasi lingkungan kebijakan. Oleh karena ketiga komponen tersebutlah yang menentukan apakah kebijakan akan berhasil guna atau tidak (Nugroho, 2003:184). Namun demikian, konsep didalam konsep “evaluasi” sendiri selalu terikut konsep “kinerja”, sehingga evaluasi kebijakan publik pada ketiga wilayah bermakna “kegiatan pasca”. Oleh karena itu, evaluasi kebijakan publik berkenaan tidak hanya dengan implementasinya, melainkan berkenaan dengan perumusan, implementasi, dan lingkungan kebijakan. Suatu evaluasi mempunyai karakteristik tertentu yang membedakan dari analisis, yaitu: fokus nilai, interdependensi fakta nilai, orientasi masa kini dan masa lampau, dualitas nilai. 1. Fokus Nilai. Evaluasi ditujukan kepada pemberian nilai dari sesuatu kebijakan, program maupun kegiatan. Evaluasi terutama ditujukan untuk menentukan manfaat atau kegunaan dari suatu kebijakan, program maupun kegiatan, bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai sesuatu hal. Ketepatan suatu tujuan maupun sasaran pada umumnya merupakan hal yang perlu dijawab. Oleh karena itu suatu evaluasi mencakup pula prosedur untuk mengevaluasi tujuan dan sasaran itu sendiri.
38
2.
Interdepedensi Fakta – Nilai. Suatu hasil evaluasi tidak hanya tergantung kepada “fakta” semata namun juga terhadap “nilai”. Untuk memberi pernyataan bahwa suatu kebijakan, program atau kegiatan telah mencapai hasil yang maksimal atau minimal bagi seseorang, kelompok orang atau masyarakat; haruslah didukung dengan bukti-bukti (fakta) bahwa hasil kebijakan, program dan kegiatan merupakan konsekuensi dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan dalam mengatasi/memecahkan suatu masalah tertentu. Dalam hal ini kegiatan monitoring merupakan suatu persyaratan yang penting bagi evaluasi.
3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Evaluasi diarahkan pada hasil yang sekarang ada dan hasil yang diperoleh masa lalu. Evaluasi tidaklah berkaitan dengan hasil yang diperoleh di masa yang akan dating. Evaluasi bersifat retrospektif, dan berkaitan dengan tindakantindakan yang telah dilakukan (ex-post). Rekomendasi yang dihasilkan dari suatu evaluasi bersifat prospektif dan dibuat sebelum tindakan dilakukan (ex-ante). 4. Dualitas Nilai. Nilai yang ada dari suatu evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena evaluasi dipandang sebagai tujuan sekaligus cara (Dunn, .2003:608) Evaluasi ditujukan untuk menilai sejauhmana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituenya. Sejauhmana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antar harapan dan kenyataan (Agustino, 2006:140-141).
39
Agustino dalam bukunya yang berjudul Politik dan Kebijakan Publik (2006:55) menyatakan bahwa : “Evaluasi kebijakan adalah rangkaian aktivitas fungsional yang berusaha untuk membuat penilaian melalui pendapat mengenai manfaat atau pengaruh dari kebijakan, program, dan proyek yang tengah dan atau telah dilaksanakan” Kebijakan publik adalah suatu proses untuk melihat seberapa jauh kebijakan publik dapat membuahkan hasil yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan target kebijakan publik yang di tentukan. Menurut Weiss dalam Parson (2006:547) mengatakan bahwa evaluasi dapat dibedakan dari bentuk-bentuk analisis lainya dari enam hal: 1) Evaluasi dimaksudkan untuk pembuatan keputusan, dan untuk menganalisis problem seperti yang didefinisikan oleh pembuat keputusan, bukan oleh pejabat 2) Evaluasi adalah penilaian karakter 3) Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam setting akademik 4) Evaluasi seringkali melibatkan konflik antar periset dan praktisi 5) Evaluasi biayanya tidak di publikasikan Menurut Sondang Siagian istilah evaluasi diartikan sebagai penilaian, yaitu: “Proses pengukuran dan pembandingan dari pada hasil -hasil pekerjaan yang nyatanya dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai”. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa hakikat dari penilaian itu adalah: 1. Penilaian ditujukan kepada satu fase tertentu dalam satu proses setelah fase itu seluruhnya selesai dikerjakan. Berbeda dengan pengawasan yang ditujukan kepada fase yang masih dalam proses pelaksanaan. Secara sederhana dapat dikatakan dengan selesainya pekerjaan tidak dapat
40
diawasi lagi karena pengawasan hanya berlaku bagi tugas yang sedang dilaksanakan. 2. Penilaian bersifat korektif terhadap fase yang telah selesai dikerjakan. Mungkin akan timbul pertanyaan: Jika sesuatu telah selesai dikerjakan, nilai korektif yang diperoleh untuk apa? “Korektifitas” yang menjadi sifat dari penilaian sangat berguna, bukan untuk fase yang telah selesai, tetapi untuk fase berikutnya. Artinya, melalui penilaian harus dikemukakan kelemahan-kelemahan sistem yang dipergunakan dalam fase yang baru saja selesai itu. Juga harus dikemukakan penyimpangan-penyimpangan dan/atau penyelewengan-penyelewengan itu terjadi Jika ini telah dilakukan, maka akan diperoleh bahan yang sangat berguna untuk dipergunakan pada fase yang berikutnya sehingga kesalahan-kesalahan yang dibuat pada fase yang baru diselesaikan tidak terulang, sehingga dengan demikian organisasi tumbuh dan berkembang dalam bentuk tingkat “performance” yang lebih tinggi dan efisien yang semakin besar, atau peling sedikit, inefisiensi yang semakin berkurang. 3. Penilaian bersifat “prescriptive”. Sesuatu yang bersifat “prescriptive” adalah yang bersifat
“mengobati”. Setelah melalui
diketemukan
kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem pelaksanaan dalam fase yang lalu, setelah sumber-sumber yang menyebabkan mungkinnya penyimpangan dan/atau penyelewengan terjadi, melalui penilaian harus pula dapat diberikan “resep” untuk mengobati penyakit-penyakit proses itu
41
penyakit yang sama tidak timbul kembali, dan sekaligus jika mungkin, dicegah pula timbulnya “penyakit” yang baru. 4. Penilaian ditujukan kepada fungsi-fungsi organik lainnya. Fungsifungsi administrasi dan manajemen itu tidak merupakan fungsi-fungsi, yang “berdiri sendiri” dalam arti lepas dari fungsi-fungsi lainnya. Malahan sesungguhnya kelima fungsi organic administrasi dan manajemen itu merupakan satu rantai kegiatan dan masing-masing fungsi itu merupakan mata rantai yang terikat kepada semua mata rantai yang lain. (Siagian, 1970:143-144) Dalam pada ini peneliti lebih menekankan bahwa evaluasi kebijakan merupakan sebuh anlisis hasil dari sebuah kebijakan yang bertujuan untuk melihat sejauh mana keberhasilan kebijakan tersebut dalam memenuhi aspek publik, evaluasi di pandang perlu dalam sebuah pemerintahan atau kebijakan karena akan menyangkut kepentingan publik atau masyarakat, dengan evaluasi ini maka akan menjadi sebuah rekomendasi bagi pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang baru.
2.1.5 Metode Evaluasi Kebijakan Dalam rangka mengevaluasi kebijakan, secara rinci Casley dan Kumar dalam Wibawa (1994:16-17) menunjukkan sebuah metode dengan enam langkah sebagai berikut :
42
1. Identifikasi masalah. Yaitu membatasi masalah yang akan dipecahkan atau dikelola dan memisahkan dari gejala yang mendukungnya, yaitu dengan merumuskan sebuah hipotesis. 2. Menentukan faktor-faktor yang menjadikan adanya masalah, dengan mengumpulkan data kuantitatif maupun kualitatif yang memperkuat hipotesis. 3. Mengkaji hambatan dalam pembuatan keputusan dengan menganalisis situasi politik dan organisasi yang mempengaruhi pembuatan kebijakan. Berbagai variabel seperti komposisi staf, moral dan kemampuan staf, tekanan politik, kepekaan budaya, kemauan penduduk dan efektivitas manajemen. 4. Mengembangkan solusi-solusi alternatif. 5. Memperkirakan/mempertimbangkan solusi yang paling layak, dengan menentukan kriteria yang jelas dan aplikatif untuk menguji kelebihan dan kekurangan setiap solusi alternatif. 6. Memantau secara terus-menerus umpan balik dari tindakan yang telah dilakukan guna menentukan tindakan selanjutnya. Menurut Dunn (2000:601) menyatakan bahwa evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Pada dasarnya nilai juga dapat dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Evaluasi kebijakan adalah proses untuk menilai seberapa jauh suatu
43
kebijakan membuahkan hasil, yaitu membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan yang ditentukan Selanjutnya Ripley (Wibawa,1994:8-9) mengatakan bahwa kegiatan evaluasi kebijakan merupakan langkah awal untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan berikut hasilnya. Beberapa persoalan yang harus dijawab oleh suatu kegiatan evaluasi adalah : 1. Kelompok dan kepentingan mana yang memiliki akses di dalam pembuatan kebijakan. 2. Apakah proses pembuatannya cukup rinci, terbuka dan memenuhi prosedur. 3. Apakah program didesain secara logis. 4. Apakah sumber daya yang menjadi input program telah cukup memadai untuk mencapai tujuan. 5. Apakah standar implementasi yang baik menurut kebijakan tersebut. 6. Apakah program dilaksanakan sesuai standar efisien dan ekonomi 7. Apakah uang digunakan dengan jujur dan tepat. 8. Apakah kelompok sasaran memperoleh pelayanan dan barang seperti yang didesain dalam program. 9. Apakah program memberikan dampak kepada kelompok nonsasaran. 10. Apa dampaknya, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan, terhadap masyarakat. 11. Kapan tindakan program dilakukan dan dampaknya diterima oleh masyarakat.
44
12. Apakah tindakan dan dampak tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Evaluasi kebijakan publik tidak hanya untuk melihat hasil (outcomes) atau dampak (impacts), akan tetapi dapat pula untuk melihat bagaimana proses pelaksanaan suatu kebijakan dilaksanakan. Ada dua macam tipe dalam evaluasi kebijakan, yaitu sebagai berikut : 1. Tipe evaluasi semu (outcomes of public policy implementation) merupakan riset yang mendasarkan diri pada tujuan kebijakan. Ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan adalah sejauh mana apa yang menjadi tujuan program dapat dicapai. 2. Tipe evaluasi yang mendasarkan proses (Process of public policy implementation), yaitu riset evaluasi yang mendasarkan diri pada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk jenis (juknis). Ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan dengan garis petunjuk (guide lines) yang ditetapkan Dalam melakukan riset evaluasi mempunyai tujuan yang dimana riset evaluasi untuk mengukur dampak dari suatu program yang mengarah pada pencapaian dari serangkaian tujuan yang ditetapkan dan sebagai sarana untuk memberikan kontribusi (rekomendasi) dalam membuat keputusan dan perbaikan program pada masa mendatang. Dari tujuan riset evalusi terdapat unsur-unsur penting dalam evaluasi, yakni : 1. Untuk mengukur dampak (to measure the effects) dengan bertumpu pada metodologi riset yang di gunakan
45
2. Dampak (effects) tadi menekankan pada suatu hasil (outcomes) dari efesiensi, kejujuran, moral yang melekat pada aturan-aturan atau standar 3. Perbandingan antara dampak (effects) dengan tujuan (goal) menekankan pada penggunaan kriteria (criteria) yang jelas dalam menilai bagaimana seutu kebijakan telah dilaksanakan dengan baik. 4. Memberikan kontribusi pada perbuatan keputusan selanjutnya dan perbaikan kebijakan pada masa yang mendatang sebagai tujuan sosial (the social purpose) dari evaluasi Kriteria evaluasi atau indikator evaluasi menurit Dunn seperti dibawah ini :
Tabel. 2.1 Kriteria Evaluasi menurut Dunn Efektivitas
Apakah hasil yang diinginkan telah tercapai
Efesiensi
Seberapa banyak usaha yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan
Kecukupan
Seberapa jauh hasil yang tercapai dapat memcahkan masalah
Pemerataan
Adakah biaya dan manfaat didistribusikan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda
Responsivitas
Apakah hasil kebijakan memuat preferensi atau nilai kelompok dan dapat memuaskan mereka
Ketepatan
Adakah hasil yang dicapai benar-benar berguna atau bernilai
Sumber : Dunn (2006 : 610)
46
Dari tabel diatas 2.1 mengenai kriteria evaluasi, dapat dijabarkan lebih jauh, yaitu : Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diaadakanya tindakan. Efesiensi, berkenaan dengan julah usaha yang dihasilkan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya yang terkecil disebut efisien. Kecukupan,
berkenaan
dengan
seberapa
jauh
tingkat
efektivitas
memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menimbulkan adanya masalah. Kriteria kecukupan ini berkenaan dengan 4(empat) tipe masalah, yaitu : (1) masalah tipe I, meliputi ongkos tetap dan efektivitas yang berubah. Kebijakan yang paling memadai adalah yang dapat memaksimalkan pencapaian tujuan dengan biaya yang tetap sama, (2) Masalah Tipe II, menyangkut efektivitas yang sama dan biaya yang berubah. Kebijakan yang paling memadai adalah yang dapat meminimalkan biaya dalam mencapai tingkat efektivitas yang tetap. (3) Masalah Tipe III, menyangkut biaya yang berubah dan efektivitas yang berubuah. Kebijakan yang paling memadai adalah yang dapat memaksimalkan rasio efektivitas tetap. Alternatif yang dapat dilakukan ialah dengan tidak melakukan tindakan apapun. Perataan atau kesamaan, maksudnya adalah sejauhmana suatu kebijakan dapat didistribusikan secara adil baik, akibatnya maupun usaha dari kebijakan
47
tersebut. Seperti misalanya pelayanan publik biasanya dirancang dengan kriteria kesamaan. Responsivitas, berkenaan denagn seberapa jauh suatu kebijakan dapat memenuhi kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Dan yang terahir adalah Ketepatan, merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Nugroho (2009) memberikan definisi evaluasi kebijakan ialah di tujukan untuk
menilai
sejauh
mana
keefektifan
kebijakn
publik
guna
dipertanggungjawabkan kepada konstiteunya. Sejauh mana tujuan di capai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dan “kenyataan”. (Nugroho, 2009:669) House membuat taksonomi evaluasi yang cukup berbeda, yang membagi model evaluasi menjadi : 1. Model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi. 2. Model perilaku, dengan indikator untama adalah produktivitas dan akuntabilitas 3. Model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah keefektifan dan keterjagaaan kualitas. 4. Model tujuan bebas (goal free), dengan inidkator utama adalah pilihan pengguna dan manfaat sosial. 5. Model kekrtisan seni (art criticism), dengan indikator utama adalah standar yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat. 6. Model review profesional, dengan indikator utama adalah penerimaan profesional. 7. Model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah resolusi. 8. Model studi kasus, dengan indikator utama dalah pemahaman atas diverisitas (Nugroho, 2009:674)
48
Subarsono memberikan sebuah alasan mengapa evaluasi dalam sebuah kebijakan perlu dilakukan. 1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas suatu kebijakan, yakni seberapa jauh suatu kebijakan mencapai tujuanya. 2. Mengetahui apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal. Dengan melihat tingkat efektivitasnya, maka dapat disimpulkan apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal. 3. Memenuhi aspek akuntabilitas publik. Dengan melakukan penilaian kerja suatu kebijakan, maka dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada publik sebagai pemilik dana dan mengambil manfaat dari kebijakan dan program pemerintah. 4. Menunjukan pada Stakeholder manfaat suatu kebijakan. Apabila tidak dilakukan evaluasi terhadap sebuah kebijakan, para stakeholders, terutama kelompok sasaran tidaak mengetahui secara pasti manfaat dari sebuah kebijakan atau program pemerintah. 5. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pada akhirnya, evaluasi kebijakan bermanfaat memberikan masukan bagi proses pengambilan kebijakan yang akan datang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sebaliknya, dari hasil evaluasi diharapkan dapat ditetapkan kebijakan yang lebih baik (Subarsono, 2012). Secara terpisah Nurcholis mengatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah penilaian secara menyeluruh yang menyangkut Input, Proses, outputs, dan outcames dari kebijakan Pemerintah daerah (Nurcholis, 2007 :274). Evaluasi adalah proses yang mendasarkan diri pada disiplin yang ketat dan tahapan waktu. Menurutnya evaluasi membutuhkan sebuah skema umum penilaian, yaitu : 1) Input, yaitu masukan yang diperlukan untuk pelaksanaan kebijakan 2) Proses, yaitu bagaiman sebuah kebijakan diwujudkan dalam bentuk pelayanan langsung kepada masyarakat, bagiamana hambatan dan tantangannya 3) Outputs, yaitu hasil dari pelaksanaan kebijakan. Apakah suatu pelaksanaan kebijakan menghasilkan produk sesuai dengan tujuan yang ditetapkan? 4) Outcomes, yaitu apakah suatu pelaksanaan kebijakan berdampak nyata terhadap kelompok sasaran sesuai dengan tujuan kebijakan?
49
Skema umum penilaian menurut Nurcholis ini merupakan penilaian secara menyeluruh terhadap suatu kebijakan . penilaian tersebut meliputi masukan awal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan, proses pelaksanaan kebijakan, hasil kebijakan hingga kesesusaian antara tujuan kebijakan dengan dampaka yang dtimbulkan. Dengan menggunakan teori evaluasi kebijakan ini dapat dibuat penilaian secara menyeluruh terhadapa kebijakan yang akan dievalusi 2.1.6. Fungsi Evaluasi Menurut Dunn (2003) terdapat tiga fungsi utama evaluasi dalam analisis kebijakan, yaitu : Pertama, evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hali ini evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan dan target yang telah ditetapkan telah tercapa. Kedua, evaluasi memberikan sumbangan pada kalrifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan dan target. Nilai tersebut dikrtik mengenai kepantasan tujuan dari target yang telah ditetapkan dan keterkaitan dan kesesuian dengan permasalahan yang dituju. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi yang dihasilkan dari proses evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk
50
merumuskan ulang masalah dan memberikan alternatif kebijakan baru maupun revisi kebijakan sebelumnya Terdapat enam hal tujuan evaluasi yang disampaikan Sudjana (2006:48), yaitu untuk : 1. Memberikan masukan bagi perencanaan program; 2. Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang berkaitan dengan tindak lanjut, perluasan atau penghentian program; 3. Memberikan masukan bagi pengambil keputusan tentang modifikasi atau perbaikan program; 4. Memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan penghambat program; 5. Memberikan masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan (pengawasan, supervisi, dan monitoring) bagi penyelenggara,pengelola dan pelaksana program. Dari definisi diatas disimpulkan yaitu terdapat dua macam tujuan evaluasi yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum diarahkan pada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-masing komponen. Dalam hak tersebut keduanya menyarankan agar dapat melakukan tugasnya, maka seorang evaluator program dituntut untuk mampu mengenali komponenkomponen program
2.1.7 Konsep Madrasah Kata “madrasah” dalam bahasa Arab adalah benuk kata keterangan tempat (zharaf makan) dari akar kata “darasa”. Secara harfiah “madrasah” diartikan sebagai temapt belajar para pelajar, atau tempat untuk memberikan pelajaran” (Jahari, 2013:3).
51
Kata “madrasah‟ juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu “darasa”, yang berarti “membaca dan belajar‟ atau “ tempat duduk untuk belajar” dari kedua bahasa tersebut, kata “madrasah” mempunyai arti yang sama “tempat belajar”. Jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia, kata “madrasah” memiliki arti “sekolah” kendati pada mulanya kata “sekolah” itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.(Jahari, 2013:4) 2.1.8 Madrasah Diniyah Madrasah Diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan melalui sistem klasikal serta menerapkan jenjang pendidikan yaitu: Madrasah Diniyah Awaliyah, dalam menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat dasar selama selama 4 (empat) tahun dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu, Madrasah Diniyah Wustho, dalam menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah pertama sebagai pengembangan pengetahuan yang diperoleh pada Madrasah Diniyah Awaliyah, masa belajar selama selama 2 (dua) tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu dan Madrasah Diniyah Ulya, dalam menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah atas dengan melanjutkan dan mengembangkan pendidikan Madrasah Diniyah Wustho, masa belajar 2 (dua) tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam per minggu (Depag RI.1998:30)
52
Kesadaran Masyarakat Islam akan pentingnya Pendidikan Agama telah membawa kepada arah pembaharuan dalam Pendidikan. Salah satu Pembaharuan Pendidikan Islam di indonesia di tandai dengan lahirnya beberapa Madrasah Diniyah, seperti Madrasah Diniyah (Diniyah School) yang didirikan oleh Zainuddin Labai al Yunusi tahun 1915 dan Madrasah diniyah Putri yang didirikan oleh Rangkayo Rahmah El Yunusiah tahun 1923 (Jahari, 2013:15). Dalam sejarah, Keberadaaan Madrasah diniyah di awali lahirnya Madrasah Awaliyah telah hadir pada masa Penjajahan Jepang dengan pengembangan secara luas. Majelis tinggi Islam menjadi penggagas sekaligus penggerak utama berdirinya Madrasah-Madrasah Awaliyah yang diperuntukkan bagi anak-anak berusia minimal 7 tahun. Program Madrasah Awaliyah ini lebih ditekankan pada pembinaan keagamaan yang diselenggarakan sore hari (El Widdah, 2012 :17) Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah, Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi Permintaan masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari
53
keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di Indonesia. Keberadaan peraturan perundangan tersebut telah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya. Sebagian Madrasah Diniyah khususnya yang didirikan oleh organisasiorganisasi Islam, memakai nama Sekolah Islam, Islamic School, Norma Islam dan sebagainya. Setelah Indonesia merdeka dan berdiri Departemen Agama yang tugas utamanya mengurusi pelayanan keagamaan termasuk pembinaan lembagalembaga pendidikan agama, maka penyelenggaraan Madrasah Diniyah mendapat bimbingan dan bantuan Departemen Agama (El Widdah, 2012: 21) Dalam perkembangannya, Madrasah Diniyah yang didalamnya terdapat sejumlah mata pelajaran umum disebut Madrasah lbtidaiyah. sedangkan Madrasah Diniyah khusus untuk pelajaran agama. Seiring dengan munculnya ide-ide pembaruan pendidikan agama, Madrasah Diniyah pun ikut serta melakukan pembaharuan dari dalam. Beberapa organisasi penyelenggaraan Madrasah Diniyah melakukan modifikasi kurikulum yang dikeluarkan Departemen Agama, namun disesuaikan dengan kondisi lingkungannya, sedangkan sebagian Madrasah Diniyah menggunakan kurikulum sendiri menurut kemampuan dan persepsinya masing-masing.
54
2.1.9 Klasifikasi Madrasah Diniyah dan Syarat Penerimaan 1. Pendidikan Diniyah Formal Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan pada pasal 15 mengenai Pendidikan Diniyah Formal yang berbunyi “Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Hal ini diatur dalam pasal. Tindak lanjut dari penjelasan di atas terdapat pada pasal 16 ayat 123 dan 17 ayat 1234. 2. Pendidikan Diniyah Nonformal Pendidikan Nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan diniyah nonformal, dijelaskan secara detail pada pasal 21, 22, 23, 24 dan 25 dalam Undang-Undang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan Nomor 55 Tahun 2007.
2.2
Deskripsi Kebijakan
2.2.1
Deskripsi Kebijakan Pendidikan Berbicara pendidikan adalah juga berbicara tentang kebijakan, karena
pendidikan merupakan kebijakan yang dibuat pemerintah untuk dilaksanakan. Karena pendidikan merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, maka
55
kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan publik dalam bidang pendidikan. Berbagai aturan dan perundang-undangan yang ada misalnya, undangundang nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Menurut hemat penulis aturan ini cenderung bersifat sentralistik daripada desentralistik. Kemudian muncul kebijakan baru yaitu Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU nomor 22 tahun 1999 mengubah pola pembangunan dari sentralistik menjadi desentralistik, dengan memberikan kekuasaan otonom secara luas kepada pemerintah Kabupaten dan Kota. Efek samping dari pada kekuasaan otonomi yang sangat luas kepada daerah,
pada
prakteknya
mengakibatkan
sedikit
terhambatnya
proses
desentralisasi pembangunan dan pelayanan publik, juga pemerintah daerah berpeluang untuk melakukan desentralisasi kekuasaan pada elit-elit politik daerah. Salah satu pesan UU nomor 22 tahun 1999 adalah bahwa daerah mempunyai kewajiban menangani pendidikan yang rambu-rambunya telah dijabarkan dalam Peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Bahwa persoalan mendasar dalam desentralisasi pengelolaan pendidikan adalah apa yang seharusnya dilakukan, oleh siapa hal itu dilakukan, dengan cara bagaimana dan mengapa demikian. Dengan semangat pemberian kesempatan otonomi kepada daerah khususnya Kabupaten dan Kota, dan tetap terjaminnya kepentingan nasional yang paling esensial.
56
Disadari betul bahwa kewenangan dan kekuasaan saja belumlah cukup, dibutuhkan kemampuan daerah untuk mengimplementasikan otonomi daerah. Kemampuan ini bisa diuraikan menjadi sangat luas, mencakup keharusan memiliki wawasan yang mumpuni, kualitas sumber daya manusia, kapasitas kelembagaan serta kemampuan menggali dan mengelola pembiayaan. Dengan demikian melalui pengelolaan yang desentralistik, diharapkan pendidikan dapat dilaksanakan dengan lebih baik, bermanfaat bagi daerah dan juga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentunya dengan desentralisasi tersebut tidak dikehendaki terjadinya kemunduran dalam pendidikan dan tidak juga justru melemahkan semangat integrasi nasional. Kebijakan publik penyelenggaraan pembangunan Indonesia Pasca reformasi ditata dengan pola desentralistik, yaitu dengan lahirnya undang-undang nomor 22 Thun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang dilengkapi dengan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hanya saja kebijakan publik ini menurut hemat penulis terdapat kelemahan, diantaranya adalah adanya kesenjangan kesejahteraan antara pusat dengan daerah. Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Pemerintah Daerah diperbaharui lagi dengan lahirnya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Munculnya berbagai peraturan dan perundang-undangan ini adalah dalam rangka perbaikan sistem yang selama ini berlaku, sehingga kedepan akan lebih baik lagi.
57
Pemerintah Orde baru menetapkan kebijakan publik dibidang pendidikan berupa undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional. Kebijakan ini ditetapkan pada saat kebijakan publik tentang penyelenggaraan pembangunan menganut pola yang cenderung sentralistik, yaitu melalui Undangundang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU ini menyebutkan bahwa negara kesatuan RI dibagi kedalam daerahdaerah otonom diselenggarakan melalui tiga pelaksanaan asas yaitu, asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asa pembantuan. Pasal 2 UU tersebut menetapkan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat II yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Adapun tujuan daripada otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan bisa mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal; 50, 51 dan 52 secara khusus mengatur tentang pengelolaan pendidikan tingkat pusat dan daerah, yang menyatakan bahwa sifat desentralistik dari penyelenggaraan
pembangunan
pendidikan
nasional.
Namun
didalamnya
memberikan panduan mengenai mekanisme desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu antara lain siapa yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem pendidikan nasional, bagaimana standar nasional pendidikan, siapa yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi dan sebagainya
58
2.2.2
Deskripsi Peraturan Daerah Kota Cilgon Nomor 1 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah Dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
wajib belajar Madrasah Diniyah di kota Cilegon terdapat 11 Bab dan 22 Pasal. Pada bagian pertama perda ini berisikan tentang ketentuan umum kemudian dilanjut dengan dasar, fungsi dan tujuan diterbitkanya perda tersebut pada Bab II. Dalam Bab 3 dan Bab 4, dijelaskan tentang lamanya pendidikan wajib belajar Madrasah Diniyah dan ketentuan-ketentuan mengenai peserta didik. Dalam pengelolaan, pembinaan dan pengawasan wajib belajar madrasah diniyah ini diatur dalam Bab VII Pasal 14 yang menyebutkan bahwa pengelolaan, pembinaan dan pengawasan dilakukan Kementrian Agama Kota Cilegon dalam bidang kurikulum dan Dinas pendidikan Kota Cilegon dalam bidang sarana dan prasarana (pasal 14 ayat 2 dan 4). Selanjutnya pada Bab VIII berisikan kewajiban Kementrian Agama dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon dan juga tentang mekanisme pendirian Madrasah Diniyah yang harus memperoleh ijin operasional dari Kementrian Agama. Kemudian pada Bab IX mengenai evaluasi dan syahadah yang berisikan tentang ketentuan bagaiamana sebuah evaluasi dilakukan dengan melihat pada kemajuan dan keberhasilan belajar pada peserta didik. Pada pasal 18 dijelaskan tentang kewenangan Kementrian Agama dalam mengeluarkan Sertifikat syahadah (Ijazah Diniyah dan pada pasal 19 dijelaskan tentang kewajiban melampirkan
59
syahadah diniyah atau sederajat ketika peserta didik yang beragama Islam memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (Mts)
2.3 Penelitian Terdahulu Dalam melakukan penelitian . Peneliti melakukan peninjauan terhadap penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, baik berupa skripsi maupun tesis, yang terkait dengan tema yang diambil dalam penelitian ini. Peneliti mengambil dua penelitian terdahulu sebagai pembanding dengan penelitian yang dilakukan. Penelitian pertama yaitu diambil dari skripsi yang berjudul “Implementasi Amaliyah Diniyah Dalam Mewujudkan Budaya Sekolah Islami Di SD Islam Sultan Agung 4 Semarang”, yang dilakukan oleh Saikhul Aris pada Tahun 2014, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analisis melalui rancangan studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan: (1) wawancara (2) observasi dan (3) dokumentasi. Teknik analisis datanya dilakukan dengan cara: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Sedangkan pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan perpanjangan waktu dan ketekunan observasi, tekknik triangulasi dan diskusi rekan sejawat, serta menggunakan referensi. Adapun hasil penelitian dari skripsi ini, antara lain: 1) Implementasi amaliyah diniyah dalam rangka mewujudkan budaya sekolah Islami (BUSI) di SD Islam Sultan Agung 4 Semarang dilakukan dengan cara menerapkan secara
60
langsung standar operasional BUSI yang telah dibuat oleh tim motivator BUSI dan disepakati oleh ketua II Bidang Dikdasmen YBWSA (Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung). Adapun persiapan-persiapan yang dilakukan oleh yayasan bersama sekolah sebelum diterapkannya BUSI ini, antara lain: Pertama, Merumuskan standar oiperasional prosedur BUSI, Kedua, Membentuk tim motivator BUSI, Ketiga, Membentuk tim penegak disiplin sekolah (petugas piket BUSI), Keempat, Mensosialisasikan standar operasional prosedur BUSI. 2) Bentuk-bentuk amaliyah diniyah yang dibiasakan dan diterapkan di SD Islam Sultan Agung 4 Semarang dalam rangka mewujudkan budaya sekolah Islami (BUSI) antara lain yaitu: a) Pembiasaan hidup bersih (Thoharoh), b) Berbusana Islami, c) Pembiasaan Akhlak yang baik, d) Pembiasaan Shalat berjama‟ah, dan e) Pembinaan Baca Tulis al-Qur‟an (BTQ). Persamaan penelitian ini dengan penulis teliti yaitu peneliti melakukan penelitian dengan objek utama yang sama yaitu tentang Madrasah Diniyah. Dengan melihat objek yang sama maka peneliti menjadi dapat lebih memahami tentang Madrasah Diniyah. Perbedaan penelitian ini dengan penulis yaitu fokus yang dipilih penelitian terdahulu yaitu lebih kepada implementasi amaliyah Madrasah Diniyah di sebuah sekolah SD Islam Sultan Agung 4 Semarang, dan kajian dalam penelitian ini lebih spesifik yang ditekankan pada mewujudkan budaya sekolah islami pada sekolah tertentu tetapi penelitian yang penulis ambil saat ini berfokus pada evaluasi Peraturan Daerah tentang wajib belajar Madrasah Diniyah yang cakupanya lebih luas dan kompleks, karena lokusnya di Kota Cilegon.
61
Selanjutnya pada penelitian skripsi yang berjudul “Peran Madrasah Diniyah Nurul Anam dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Desa Kranji Kecamatan Kedungwuni Pekalongan” yang dilakukan oleh Ciyarti 2009, IAIN Walisongo, Semarang Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif lapangan (field research) dengan teknis analisis deskriptif kualitatif. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan tujuan tertentu pertimbangan bahwa informan dipandang mengetahui tentang situasi sosial Madrasah Diniyah Nurul Anam. Adapun jumlah informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 57 informan. Diambil dari 3 orang tokoh agama, 3 orang tokoh masyarakat, 3 orang pengurus Yayasan Madrasah Diniyah, 1 orang pengurus Madrasah Diniyah, 25 orang pengajar madrasah Diniyah baik Awaliyah, Wustha maupun „Ulya, dan 22 masyarakat Kranji yang sekaligus merupakan orang tua santri. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dokumentasi dan triangulasi. Data penelitian yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan deduktif dan induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Pengembangan pendidikan Islam di Kranji ditempuh melalui beberapa cara, meliputi: pengajian, majelis ta‟lim, pesantren, Madrasah Diniyah dan organisasi masyarakat/organisasi pemuda. 2) Madrasah Diniyah Nurul Anam merupakan media yang paling mengena dan berpengaruh di masyarakat desa Kranji dalam proses pengembangan pendidikan Islam melalui anak-anak mereka. Peran Madrasah Diniyah tersebut yaitu: a)
62
Sebagai lembaga pentransfer pengetahuan agama, b) Sebagai media pelestarian ajaran Islam, c) Media pembentukan dan pembinaan akhlaqul kharimah, d) Sebagai media pengenalan dan penanaman ajaran Islam secara dini, e) sebagai salah satu pilar pendidikan Islam, f) Untuk melengkapi pendidikan agama Islam di sekolah umum Persamaan penelitian ini dengan penulis yaitu obyek yang diteliti sama yaitu tentang Madrasah Diniyah sehingga memberikan tambahan referensi bagi peneliti. Perbedaannya yaitu pada fokus yang diteliti yaitu penulis meneliti pada evaluasi Perda Madarsah Diniyah sedangkan dalam penelitian tersebut lebih kepada Peran Madrasah Diniyah Nurul Anam di Desa Kranji Kecamatan Kedungwuni Pekalongan.
2.4 Kerangka Bepikir Penelitian ini akan meneliti tentang Evaluasi Peraturan Darah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah. Dalam penyusunan kerangka berpikir, peneliti menggunakan teori evaluai kebijakan yang dikemukakan oleh Nurcholis (2007 :274). Menurutnya evaluasi membutuhkan sebuah skema umum penilaian, yaitu : 1. Input, yaitu masukan yang diperlukan untuk pelaksanaan kebijakan 2. Proses, yaitu bagaimana sebuah kebijakan diwujudkan dalam bentuk pelayanan langsung kepada masyarakat 3. Outputs, yaitu hasil dari pelaksanaan kebijakan. Apakah suatu pelaksanaan kebijakan menghasilkan produk sesuai dengan tujuan yang ditetapkan?
63
4. Outcomes, yaitu apakah suatu pelaksanaan kebijakan berdampak nyata terhdapa kelompok sasaran sesuai dengan tujuan kebijakan? Dengan mengacu kepada keempat skema umum penilitian tersebut, peneliti diharapkan mampu melakukan analisis dilapangan secara lebih mendalam dan mampu menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian ini, hasil evaluasi yang dilakukan diharapkan dapat memberikan umpan balik (feed back) untuk
rekomendasi
dalam
pelaksanaan
kebijakan
berikutnya.
Untuk
menggambarkan alur pemikiran peneliti dapat terlihat dalam kerangka berpikir sebagai berikut :
64
Gambar. 2.1 Kerangka Berpikir
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon
Dinas Pendidikan Kota Cilegon
Kementrian Agama Kota Cilegon
Permasalahan : 1. Bedanya acuan hukum antara Kementrian Agama dengan LPPTKA/BKPRMI beserta Dinas Pendidikan Kota Cilegon dalam implementasi perda tersebut 2. Lambatnya implementasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon 3. Tidak meratanya penerapan kewajiban menyerahkan Syahadah Diniyah ke SMP dan MTs 4. Tidak setaranya jumlah Madrasah Diniyah dengan jumlah Sekolah Dasar (SD) dengan Jumlah MDTA yang ada di Cilegon
Kriteria evaluasi kebijakan menurut Nurcholis (2007 :274) 1. 2. 3. 4.
Input Proses Outputs Outcomes.
Menilai dan memberikan gambaran atas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon dan sebagai rekomendasi untuk kebijakan selanjutnya
65
2.4 Asumsi Dasar Berdasarkan hasil observasi awal dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan terhadap fokus penelitian, maka peneliti berasumsi bahwa pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon belum berjalan optimal.
66
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Pendekatan dan Metode Penelitian Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan diskriptif-
analitis. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, ‘analitis’ (analistis) artinya adalah bersifat analisis, yang artinya proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya (Yashin,1997:34). Sedangkan analisa diskriptif dilakukan terutama ditujukan untuk pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang, terutama masalah-masalah Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Diniyah. Dimana pendekatan kualitatif ini melihat proses dari peristiwa yang satu ke peristiwa yang lain secara komprehensif. Dalam prakteknya tidak terbatas pada pengumpulan dan penyusunan klasifikasi data saja tetapi juga menganalisis dan menginterprestasikan tentang arti data tersebut, itulah alasan mengapa peneliti mengambil penelitian deskriptif kualitatif. Pada prinsipnya perspektif pendekatan penelitian merupakan rencana menyeluruh tentang tahapan kerja yang dilakukan dalam mencapai tujuan penelitian. Dalam penelitian ini penulis ingin mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang fokus penelitian yaitu evaluasi kebijakan Peraturan Daerah
66
67
Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Diniyah. Metode penelitian digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian dan metode yang digunakan harus dapat sesuai dengan masalah penelitian, namun demikian setiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan, maka untuk menjawab permasalahan penelitian menggunakan metode yang dapat saling mengisi dan melengkapi. Dalam suatu penelitian ilmiah, metode penelitian diperlukan sebagai frame dalam suatu garis pemikiran yang tidak bias. Ada beberapa jenis penelitian antara lain, penelitian survey, eksperimen, grounded, kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif dan analisa data sekunder. Untuk menggali informasi yang dibutuhkan dalam menjawab pertanyaanpertanyaan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, analisis serta wawancara mendalam secara langsung. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong,2001:3) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Hasil penelitian akan dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan nyata dengan memberikan gambaran atau deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat terhadap objek yang akan diteliti. Penelitian deskripitif dimaksud untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu, dimana peneliti mengembangkan konsep dan
68
menghimpun konsep serta menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan hipotesa. Dengan menggunakan metode penelitian ini, peneliti akan menggambarkan dan menterjemahkan fakta aktual yang ada di lapangan. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, maka penelitian ini berupaya melakukan kajian dan evaluasi pada pelaksanan Perda No. 1 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan wajib Belajar Diniyah dan fenomena-feomena yang terkait dengan pelaksanaan perda tersebut
3.2 Fokus Penelitian Dalam penelitian ini fokus pada evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, menganalisis permasalahan-permasalahan dan hambatan dalam pelaksanaan Perda tersebut
3.3 Lokasi Penelitian Locus penelitian ini di Kota Cilegon, Provinsi Banten, peneliti tertarik mengambil tempat ini karena Perda Diniyah di kota Cilegon telah ada sejak lama tapi dalam implementasinya belum berjalan dengan sempurna.
3.4 Variabel Penelitian 3.4.1
Definisi Konseptual Definisi konseptual digunakan untuk menegaskan konsep-konsep
yang jelas, yang digunakan supaya tidak menjadi perbedaan penafsiran
69
antara penulis dan pembaca. Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan merupakan sebuah analisis baik terhadap perumusan, proses maupun hasil dari sebuah kebijakan yang bertujuan untuk melihat sejauh mana keberhasilan kebijakan tersebut dalam memenuhi aspek publik. 2) Wajib Belajar Madrasah Diniyah Merupakan sebuah kebijakan tentang wajib belajar Madrasah Diniyah yang dkeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Cilegon dan wajib diikuti oleh setiap warga belajar berusia 7-12 tahun dengan lamanya pendidkan selama 4 (empat) tahun sebagai persyaratan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yang dibuktikan dengan Surat Tanda Tamat Belajar Madrasah Diniyah
3.4.2
Definisi Operasional Definisi operasional dalam penelitian ini adalah evaluasi Peraturan
Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon. Karena penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitiatif, maka dalam penjelasan definisi operasional ini akan dikemukakan fenomena-fenomena penelitian yang dikaitkan dengan konsep yang digunakan yaitu empat kriteria evaluasi kebijakan yang dikemukan oleh Nurcholis, yaitu: 1) Input, yakni mengamati sumber daya pendukung, bahan-bahan dasar yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan wajib belajar
70
Madrasah Diniyah, melihat seberapa Sumber Daya Manusia (SDM), dana dan Infrastruktur pendukung yang diperlukan, dan masukan dalam implementasi kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah, serta sosialisasi kebijakan tersebut 2) Proses, yaitu melihat pada transformasi kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah, termasuk didalamnya tentang hambatan dan permasalahan dalam Implementasi kebijakan tersebut 3) Outputs, yaitu melihat pada ketepatan, dan sasaran Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah kepada Masyarakat Kota Cilegon terutama peserta didik usia7-12 tahun 4) Outcomes, yaitu melihat pada dampak yang diterima oleh masyarakat Kota Cilegon dengan adanya Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 1 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah baik berupa dampak positif maupun negatif
3.5 Instrumen penelitian Instrumen adalah alat untuk mengumpulkan data. Instrumen yang baik harus absah (valid) dan dapat dipercaya (reliabel). Instrumen yang valid adalah instrumen yang dengan tepat mengukur apa yang harus diukur. Instrumen reliabel bila hasil penguuran itu bersifat ajek. Dalam penelitian kualitatif instrumenya adalah peneliti sendiri. oleh karena itu peneliti dalam penelitian kualitatif harus divalidasi terlebih dahulu, hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh peneliti siap melakukan
71
penelitian di lapangan. Untuk itu peneliti di tuntut memiliki wawasan mengenai bidang yang akan diteliti, karena ini dapat membantu peneliti dalam memasuki objek penelitian. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi , melainkan situasi sosial, yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku( actor), dan aktivitas (activity), yang berinteraksi secara sinergis. Sampel dalam penelitian kualitatif
bukan dinamakan dengan responden,
tetapi sebagai narasumber, atau partisipan , informan, (sugiyono, 2008:49-50) Menurut Nasution dalam Sugiyono, peneliti sebagai instrumen penelitian serassi unuk penelitian karean memiliki ciri sebagai berikut : 1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap stimulus dari lingkungan yang diperkirakanya bermakna atau tidak bagi penelitian 2. Sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek sehingga dapat mendapatkan ragam data sekaligus 3. Tiap situsi merupakan keseluruhan. Tidak ada lagi suatu instrumen berupa test atau angket yyang dapat mengungkap keseluruhan situasi, kecuali manusia 4. Situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan penegtahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering merasakanya, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita.
72
5. Peneliti sebagi instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh, ia dapat menafsirkanya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk menentukan arah pengamatan, untuk mentest hipotesis yang timbul seketika 6. Hanya manusia sebagi instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau pelakan. 7. Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang aneh, yang menyimpang justru di beti perhatian. Respon yang lain daripada yang lain, bahkan yang bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang diteliti (Sugiyono, 2008:224) Selain itu dalam melakukan penelitian ini peneliti memperoleh data dari beberapa sumber data, yaitu : 1. Data primer Data primer ada dua yang diambil langsung tanpa perantara dari sumbernya (Irawan, 2005:55). Sumber ini dapat berupa bendabedan, situs, atau manusia. Seorang peneliti kualitatif bisa mendapatkan data-data primer dengan cara melakukan wawancara atau melakukan pengamatan langsung terhadap suatu aktivitas masyarakat.
73
Dalam hal ini peneliti mendapatkan data primier dengan cara melakukan wawancara dari informan dan melakukan pengamatan langsung terhadap aktivitas informan 2. Data sekunder Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung dari sumbernya (Irawan, 2005:55). Data sekunder biasanya diambil daridokumen-dokumen (laporan, karya tulis orang lain,
koran,
majalah) atau seseorang memperoleh infomasi dari orang lain Dalam penelitian ini peneliti ini peneliti memperoleh data sekunder melalui studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dari informasi dengan cara mengkaji berbagi dokumen yang terkait dengan judul penelitian. 3. Alat bantu lainya Alat pengumpul data yang yang digunakan dalam penelitian ini, khususnya dalam melakukan wawancara adalah : 1) Alat tulis, yang digunakan untuk mencatat percakapan dengan informan, yang berupa buku catatan dan pulpen 2) Alat perekam, yang digunakan untuk merekam semua percakapan. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi apabila perkataan yang disampaikan informan terlalu cepat sehingga tidak sempat ditulis. 3) Camera/Handphone, untuk memotret kegiatan yang berkaitan dengan penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan keabsahan data
74
3.6 Penentuan Informan Dalam menentukan informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang dianggap memiliki informasi kunci (key informan) yang dibutuhkan di wilayah penelitian. Penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu dan pada situasi sosail tertentu sehingga hasil tujuanya tidak akan digeneralisasikan ke populasi, tetapi dapat diterapkan ketempat lain apabila situasi sosial tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan dengan situasi sosial yang diteliti Informan diperoleh dari observasi awal peneliti yang dilakukan di Kota Cilegon dipilih secara purposive yang merupakan metode penetapan informan dengan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu berdasarkan informasi yang dibutuhkan artinya pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu. Informan tersebut ditentukan dan ditetapkan tidak berdasarkan pada jumlah yang dibutuhkan, melainkan berdasarkan pertimbangan fungsi dan peran informan sesuai fokus masalah penelitian. Adapun yang menjadi key informan dalam penelitian ini adalah aktor-aktor yang berperan dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan Peraturan Daeerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah . Informan tersebut ialah : 1. Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon 2. FKDT Kota Cilegon 3. LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon 4. Dinas Pendidikan Kota Cilegon 5. Kepala Sekolah SMP/Mts
75
6. Wali Murid
Tabel 3.1 Daftar Informan Penelitian No.
Kategori Informan
I
Instansi : a. Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon b. Kepala Seksi Pendidikan Agama dan
Keagmaan Islam Kementrian Agama Kota Cilegon c. Kepala Seksi Pendidikan Madrasah
Kode Informan
Keterangan
I1-1
Key Informan
I1-2
Key Informan
I1-3 Key Informan
Kementrian Agama Kota Cilegon d. Kepala Sub Bagian TU Kementrian
I1-4 Secondary Informan
Agama II
Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah : a. Ketua Forum Komunikasi Madrasah
Diniyah Takmiliayh Kota Cilegon b. Pengurus Forum Kominkasi Madrasah Diniyah Takmiliyah Kota Cilegon III
Dinas Pendidikan : a. Kepala Dinas Pendidikan Kota
Cilegon b. Kepala Bidang Pendidikan
Menengah Dinas Pendidikan Kota Cilegon IV V
VI
LPPTKA/BKPRMI : a. Direktur LPPTKA/BKPRMI Kepala MTs/SMP : a. Kepala Madrasah MTSN Pulomerak
I2-1
Key Informan
I2-2
Key Informan
I3-1
Key Informan
I3-2
Key Informan
I4
Key Informan
I5-1
b. Kepala SMPN 3 Kota Cilegon
I5-2
a. Wali Murid Madrasah Dimiyah
I6-1 – I6-6
(Sumber : Peneliti, 2015)
Secondary Informan Secondary Informan Secondary Informan
76
3.7 Teknik pengumpulan dan analisis data Teknik pengumpulan data akan menjelaskan cara pengumpulan data serta jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Mengenai teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini memakai beberapa teknik, yaitu: 1. Observasi Observasi dalam penelitian kualitatif merupakan teknik pengumpulan data yang paling lazim dipakai, observasi dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perilaku manusia seperti terjadi dalam kenyataan. Dengan observasi dapat kita peroleh gambaran dan keterangan yang lebih jelas dan banyak tentang masalah obyek penelitian. Observasi sebagai alat pengumpul data harus sistematis, artinya observasi serta pencatatannya dilakukan menurut prosedur dan aturan-aturan tertentu sehingga dapat diulangi kembali oleh peneliti lain, selain itu hasil observasi harus memberi kemungkinan untuk menafsirkannya secara ilmiah. Data kualitatif diungkapkan dalam bentuk kalimat serta uraian, sebagai ciri khasnya adalah menjelaskan kasus-kasus tertentu serta tidak bertujuan untuk digeneralisasikan, data kualitatif disebut sebagai data primer karena data yang diambil dari sumber pertama subjek penelitian dilapangan (Bungin, 2001: 128). Observasi atau pengamatan langsung merupakan salah satu teknik pengumpulan data dimana peneliti terjun langsung ke lapangan
77
sebagai partisipan atau nonpartisipan. Dengan teknik observasi, peneliti dapat memperoleh gambaran langsung dan mengetahui keadaan yang sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian ini peneliti melakukan studi lapangan dengan terjun langsung kemasyarakat dengan melihat-melihat pelaksanan secara langsung program tersebut. 2. Wawancara Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal yang bertujuan memperoleh informasi. Wawancara merupakan bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.
Wawancara juga merupakan percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewancara dan terwawancara. Wawancara dalam penelitian kualitatif bersifat mendalam
(indepth
menggunakan
interview).
wawancara
Pada
penelitian
semiterstuktur,
dimana
ini,
peneliti
wawancara
dilakukan secara bebas untuk menggali informasi lebih dalam dan bersifat dinamis, namun tetap terkait dengan pokok-pokok wawancara yang telah peneliti buat terlebih dahulu dan tidak menyimpang dari konteks yang akan dibahas dalam fokus penelitian. Dalam sebuah wawancara tentu dibutuhkan suatu pedoman. Pedoman wawancara digunakan peneliti dalam mencari data dari para informan dan memudahkan peneliti dalam menggali sumber informan untuk
78
mendapatkan informasi. Adapun pedoman wawancara yang telah disusun yaitu sebagai berikut.
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara NO
DIMENSI KISI-KISI
1
Input
Meliputi : Struktur Kelembagaan, SDM, Sarana, Prasarana, dan Sosialisasi
INFORMAN -
-
2
Proses
Meliputi : transformasi kebijakan dalam bentuk pelayanan kepada masyarakat, Pemerataan kebijakan dan hambatan Peraturan Daerah tersebut
-
-
-
Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon Kasub Dikdasmen Dindik Kota Cilegon Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon, Kasi Pakis Kementrian Agama Kota Cilegon Pengurus Fokmada Kota Cilegon, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon Kepala Sekolah SMP/MTs Wali Murid Anggota DPRD Kota Cilegon Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon Kasub Dikdasmen Dindik Kota Cilegon Kasi Pakis Kementrian Agama Kota Cilegon Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon, Pengurus Fokmada Kota Cilegon, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon Kepala Sekolah SMP/MTs
79
3
Outputs
Meliputi : ketepatan, dan sasaran Peraturan Daerah tersebut
-
4
Outcomes
Meliputi : dampak yang diterima oleh masyarakat luas atau pihak yang terkena kebijakan, ada tidaknya dampak negatif dan positifnya
-
-
-
-
Anggota DPRD Kota Cilegon Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon, Pengurus Fokmada Kota Cilegon, Pengajar (ustad) Madrasah Kasub Dikdasmen Dindik Kota Cilegon Kasi Pakis Kementrian Agama Kota Cilegon Anggota DPRD Kota Cilegon Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon Kasub Dikdasmen Dindik Kota Cilegon Kasi Pakis Kementrian Agama Kota Cilegon Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon, Pengurus Fokmada Kota Cilegon, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon Kepala Sekolah SMP/MTs Wali Murid Anggota DPRD Kota Cilegon
(Sumber : Peneliti, 2015)
3. Studi Dokumentasi Disamping
melakukan
observasi
dan
wawancara
peneliti
menggunakan tekinik pengumpulan data berupa studi dokuemntasi. Dalam
80
hal ini dokumen yang dikumpulkan berupa gambar, misalnya foto, tabel, serta telaah peraturan per undang-undangan Alat pengumpul data yang yang digunakan dalam penelitian ini, khususnya dalam melakukan wawancara adalah : 4) Alat tulis, yang digunakan untuk mencatat percakapan dengan informan, yang berupa buku catatan dan pulpen 5) Alat perekam, yang digunakan untuk merekam semua percakapan. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi apabila perkataan yang disampaikan informan terlalu cepat sehingga tidak sempat ditulis. 6) Camera/Handphone, untuk memotret kegiatan yang berkaitan dengan penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan keabsahan data. Teknik analisis data kualitatif adalah analisis yang dilakukan terhadap data-data non angka. Seperti wawancara atau catatan laporan, buku-buku, artikel, juga termasuk non tulisan seperti foto, gambar atau film (Irawan, 2005:19) Proses analisis data dilakukan secara terus-menerus sejak data awal dikumpulkan ssampai dengan penelitian berakhir. Untuk memberikan makna terhadap data yang telah dikumpulkan, dianalisis dan diinterpretasi. Mengingat penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan kualitatif, maka analisis dilakukan sejak data pertama sampai penelitian terakhir. Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif mengikuti konsep yang diberikan oleh Prasetya Irawan, yakni sebagai berikut
81
Gambar 3.1 Proses Analisis Data
Pengumpulan data mentah
Triangulasi
Transkip data
Penyimpulan sementara
Pembuatan koding
Kategorisasi Data
. Penyimpulan akhir (Sumber : Prasetya Irawan, 2005)
1. Pengumpukan data mentah Tahap pertama yang dilakuakn oleh peneliti adalah mengumpulkan data mentah. Hal ini diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi ke lapangan, studi dokumentasi 2. Transkip Data Pada tahap ini peneliti mulai merubah data yang diperoleh (baik dari hassil rekaman saat wawancara, hasil observasi maupun catatan lapangan yang sebelumnya belum tersusun rapih) kedalam bentuk tertulis 3. Pembuatan koding Pada tahap ketiga, peneliti membaca secara teliti transkip data yang telah dibuat sebelumnya, kemudai memahami secara seksama sehingga menemukan kata kunci yang akan diberi kode. Hal ini
82
dilakuakn
untuk
mempermudah
peneliti
pada
saat
akan
mengkategorisasikan data 4. Kategorisasi data Pada tahap keempat peneliti mulai menyederhanakan data dengan membuat kategori-kategori tertentu 5. Penyimpulan sementara Pada tahap ini peneliti mengambil kesimpulan sementara data yang telah dikategorikan sebelumnya 6. Triangulasi Triangulasi adala proses check dan recheck antar satu sumber data dengan sumber data lainya. 7. Penyimpulan akhir Pada tahap terakhir, peneliti melakukan penyampain akhir atas hasil penelitian. Dimana pada tahap ini peneliti dapat mengembangkan teori baru, maupun mengembangkan teori yang sudah ada.
3.8 Teknik Pengujian Data dan Keabsahan Data Adapun untuk mengujia keabsahan datanya , peneliti pada penelitian ini menggunakan dua cara , antara lain: 1. Triangulasi Terdapat tiga jenis triangulasi yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik, triangulasi waktu. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh dari lapangan melalui beberapa
83
sumber. Sedangkan triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
Pengecekan
dilakukan
dengan
menggunakan
teknik
wawancara dan studi dokumentasi. Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber. 2. Membercheck Memberchek adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada informan. Tujuannya adalah untuk mengetahui kesesuaian data yang diberikan oleh pemberi data.
3.9 Jadwal Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan Desember 2014 dan direncanakan akan selesai sampai bulan Januari tahun 2016. Rencana kegiatan penelitian skripsi sebagaimana dimaksud yaitu sebagai berikut: Tabel 3.3 Rencana Penelitian Waktu No
Kegiatan
1.
Perijinan dan Observasi Awal Penyusunan Proposal Skripsi Seminar Proposal dan Revisi Proposal Skripsi Penelitian kelapangan
2. 3.
4. 5.
Pengolahan
Des 2014
Jan 2015
Feb 2015
Maret April 2015 2015
Mei 2015
Juni 2015
Juli 2015
Agust Sept 2015 2015
Okt 2015
Nov 2015
Des Jan 2015 2016
84
Data 6. 7.
Bimbingan BAB IV Bimbingan BAB V
8.
Sidang Skripsi
9.
Revisi Skripsi
(Sumber: Peneliti, 2015)
85
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian
4.1.1 Profil Kota Cilegon
Kota Cilegon merupakan wilayah bekas Kewadenaan (Wilayah kerja pembantu Bupati KDH Serang Wilayah Cilegon), yang meliputi 3 (tiga) Kecamatan yaitu Cilegon, Bojonegara dan Pulomerak.
Berdasarkan Pasal 27 Ayat (4) UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah, Cilegon kiranya sudah memenuhi persyaratan untuk dibentuk menjadi Kota Administratif. Melalui surat Bupati KDH Serang No. 86/Sek/Bapp/VII/84 tentang usulan pembentukan administratif Cilegon dan atas pertimbangan yang obyektif maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1986, tentang pembentukan Kota Administratif Cilegon dengan luas wilayah 17.550 Ha yang meliputi 3 (tiga) wilayah Kecamatan meliputi Pulomerak, Ciwandan, Cilegon dan 1 Perwakilan kecamatan Cilegon di Cibeber ,sedangkan kecamatan Bojonegara masuk Wilayah kerja pembantu Bupati KDH Serang Wilayah Kramatwatu.
Berdasarkan PP No. 3 Tahun 1992 tertanggal 7 Februari 1992 tentang Penetapan Perwakilan Kecamatan Cibeber, Kota Administratif Cilegon bertambah menjadi 4 (empat) Kecamatan yaitu Pulomerak, Ciwandan, Cilegon dan Cibeber.
85
86
Dalam
perkembangannya
Kota
Administratif
Cilegon
telah
memperlihatkan kemajuan yang pesat di berbagai bidang baik bidang Fisik, Sosial maupun Ekonomi. Hal ini tidak saja memberikan dampak berupa kebutuhan peningkatan
pelayanan
di
bidang
pemerintahan,
pembangunan
dan
kemasyarakatan, tetapi juga memberikan gambaran mengenai perlunya dukungan kemampuan dan potensi wilayah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Dengan ditetapkannya dan disahkannya UU No. 15 tahun 1999 tanggal 27 April 1999 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, status Kota Administratif Cilegon berubah menjadi Kotamadya Cilegon, dengan duet kepemimpinan Drs. H. Tb. Rifai Halir sebagai Pejabat Walikota Cilegon dan H. Zidan Rivai sebagai Ketua DPRD Cilegon. Berdasarkan letak geografisnya, Kota Cilegon berada dibagian paling ujung sebelah Barat Pulau Jawa dan terletak pada posisi : 5°52'24" - 6°04'07" Lintang Selatan (LS), 105°54'05" - 106°05'11" Bujur Timur (BT). Secara administratif wilayah berdasarkan UU No.15 Tahun 1999 tentang terbentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon pada tanggal 27 April 1999, Kota Cilegon mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara: berbatasan dengan Kecamatan Bojonegara (Kabupaten Serang) Sebelah Barat: berbatasan dengan Selat Sunda
87
Seblah Selatan: berbatasan dengan Kecamatan Anyer dan Kecamatan Mancak (Kabupaten Serang) Sebelah Timur: berbatasan dengan Kecamatan Kramatwatu tepat di wilayah serdang (Kabupaten Serang) Kota Cilegon memiliki luas 175.5 Km2, dengan iklim tropis dan temperatur berkisar antara 21.9 C-33,5 C dan curah hujan rata-rata 100 mm per bulan. Pada tahun 2013 jumlah penduduk Kota Cilegon berjumlah 398.304 jiwa, dengan komposisi 203.502 laki-laki dan 194.802 perempuan dengan tingkat kepadatan mencapai 2.269 jiwa/Km2 Kota Cilegon memiliki wilayah yang relatif landai di daerah tengah dan pesisir barat hingga timur kota, tetapi di wilayah utara cilegon topografi menjadi berlereng karena berbatasan langsung gunung batur, sedangkan di wilayah selatan topografi menjadi sedikit berbukit-bukit terutama wilayah yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Mancak. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tentang pemerintahan daerah, Pemerintah Kota Cilegon telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2007 tentang pembentukan kelurahan di Kota Cilegon yang menyatakan bahwa daerah Kota Cilegon memiliki 43 kelurahan dan 8 Kecamatan, yaitu : 1. Kecamatan Ciwandan berjumlah 6 Kelurahan 2. Kecamatan Citangkil berjumlah 7 Kelurahan 3. Kecamatan Pulomerak berjumlah 4 Kelurahan 4. Kecamatan Purwakarta berjumlah 6 Kelurahan
88
5. Kecamatan Grogol berjumlah 4 Kelurahan 6. Kecamatan Cilegon berjumlah 5 Kelurahan 7. Kecamatan Jombang berjumlah 5 Kelurahan 8. Kecamatan Cibeber berjumlah 6 Kelurahan Gambar 4.1 Peta Kota Cilegon
( Sumber : BPS, 2014)
4.1.2 Profil Kementrian Agama Kota Cilegon Kementerian Agama adalah kementerian dalam pemerintahan Indonesia yang membidangi Urusan Agama. Menurut KMA 373 tahun 2002 Departemen Agama Kota Cilegon Provinsi Banten merupakan Instansi Vertikal Departemen Agama yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah Propinsi Banten.
89
A. VISI Visi yang hendak diwujudkan Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon adalah : “Terwujudnya Masyarakat Cilegon yang beriman, bertaqwa, cerdas, rukun, dan berbudaya”. B. MISI Sejalan dengan visi tersebut di atas, Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon memiliki misi sebagai berikut : 1. Meningkatkan kualitas pelayanan kehidupan beragama. 2. Meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan. 3. Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama. 4. Meningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. 5. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji. 6. Penciptaan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.
C. ARAH KEBIJAKAN Dengan mengacu kepada kebijakan Kementerian Agama Republik Indonesia dan Kebjakan Kementerian Agama Provinsi Banten, maka arah Kebijakan Kementerian Agama Kota Cilegon adalah sebagai berikut : 1. Peningkatkan kualitas pelayanan kehidupan beragama. 2. Peningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan. 3. Peningkatkan kualitas kerukunan umat beragama. 4. Peningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. 5. Peningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
90
6. Penciptaan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.
D. TUJUAN Adapun tujuan jangka panjang pembangunan Bidang Agama yang hendak dicapai oleh Kementerian Agama Kota Cilegon adalah Terwujudnya Masyarakat Cilegon yang beriman, bertaqwa, cerdas, rukun, dan berbudaya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
E. SASARAN STRATEGIS 2010 - 2014 Dengan mempertimbangkan kondisi, potensi dan permasalahan yang ada, sinergitas dengan visi , misi dan tujuan jangka panjang yang telah ditetapkan, maka Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon menetapkan sasaran strategis yang hendak dicapai dalam periode 2010-2014 berdasarkan lima bidang prioritas, yaitu : Pelayanan Administrasi Pemerintahan, Pendidikan Islam dan Pendidikan Keagamaan, kehidupan beragama, kerukunan umat beragama dan pemberdayaan umat dan lembaga keagamaan dan penyelenggaraan Ibadah Haji. 1). Pelayanan Administrasi. Sasaran Strategis bidang Pelayanan Administrasi adalah terwujudnya penyelenggaraan administrasi yang efektif, efisien dan akuntabel, serta tersedianya aparatur pelayanan keagamaam yang professional. Hal ini menjadi tugas dan fungsi Subbagian Tata Usaha pada Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon.
91
2). Pendidikan Islam dan Pendidikan Keagamaan. Sasaran Strategis bidang Pendidikan Islam dan Pendidikan Keagamaan adalah terwujudnya pelayanan pendidikan yang merata, bermutu dan berdaya saing, serta mampu menunjang kemandirian daerah. Hal ini menjadi tugas dan fungsi Seksi Pendidikan Madrasah dan Seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam pada Kementerian Agama Kota Cilegon. 3). Kerukunan Umat Beragama, Peningkatan Pemberdayaan Umat Beragama dan Fungsi Lembaga Keagamaan. Sasaran Strategis bidang kerukunan umat beragama adalah terwujudnya kehidupan harmoni intern dan antar umat beragama sebagai pilar kerukunan nasional. Hal ini menjadi tugas dan fungsi Seksi Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Syari’ah pada Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon. 4). Bidang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Sasaran strategis Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah adalah tercapainya tingkat kepuasan jama’ah dalam berbagai bidang pelayanan dan pengelolaan ibadah haji dan umrah. Hal ini menjadi tugas dan fungsi Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umrah pada Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon.
92
F. KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, yang telah disempurnakan dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005 Pasal 63, Departemen Agama mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keagamaan. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 373 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota, Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama dan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama, maka Kantor Departemen Agama Kota Cilegon yang selanjutnya disebut Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon memiliki kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja sebagai berikut : 1. Kedudukan Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon merupakan instansi Vertikal Kementerian Agama yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten. Kementerian Agama Kota Cilegon berdiri berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 30 tahun 2000 tertanggal 20 Oktober berkedudukan di :
93
Alamat
: Jl. Sukabumi II Kav. Blok I Ciwedus Kota Cilegon Provinsi Banten.
Kode Pos
: 42416
Telp./ Fax.
: (0254) 399536
Tahun Berdiri
: 2000
No. Pendirian
: KMA No. 30 Tahun 2000 Tanggal 20 Oktober 2000
Luas Tanah
: 3.000 m
Luas Bangunan
: 820 m
Status Tanah
: Hak Guna Bangun
Status Bangunan : APBN Th. 2004 2. Tugas Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon merupakan instansi Vertikal Kementerian Agama yang memiliki tugas melaksanakan tugas pokok dan fungsi Kementerian Agama Republik Indonesia dalam wilayah Kota Cilegon berdasarkan kebijakan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Fungsi Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, maka Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon menyelenggarakan fungsi : a. Perumusan
Visi, Misi dan kebijakan teknis di bidang pelayanan dan
bimbingan kehidupan beragama pada masyarakat Kota Cilegon. b. Pembinaan dan Pelayanan Bimbingan Masyarakat Islam, Pelayanan Ibadah Haji dan Umrah, Pengembangan Zakat dan Wakaf, Pendidikan Agama dan
94
Keagamaan, Pondok Pesantren, Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid, Urusan Agama, Pendidikan Agama, Bimbingan Masyarakat dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. c. Pelaksanaan kebijakan teknis pengelolaan administrasi dan informasi keagamaan. d. Pelayanan dan bimbingan di bidang kerukunan umat beragama. e. Pengkoordinasian perencanaan, pengendalian dan pengawasan. f. Pelaksanaan hubungan dengan Pemerintah Daerah, Instansi
terkait dan
lembaga masyarakat dalam rangka pelaksanaan tugas Kementerian Agama di Kota Cilegon.
G. ASPEK STRATEGIS Berdasarkan UUD 1945 (Pasal 29 ayat 2) yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Penetapan Presiden Nomor 1/SD/1946 tentang Pembentukan Kementerian Agama, Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2002 tentang Kementerian Agama, Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara, KMA Nomor 373 Tahun 2002, Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, Peraturan
95
Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama, maka ditetapkanlah Prioritas Pelayanan di Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon sebagai berikut : a. Meningkatkan kualitas kehidupan beragama bagi seluruh lapisan masyarakat; b. Meningkatkan peran serta lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan dalam pembangunan nasional; c. Meningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan; d. Meningkatkan kerukunan intern dan antar umat beragama dalam rangka terwujudnya kehidupan yang harmonis, toleran dan saling menghormati; e. Meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan agama untuk mendukung perumusan kebijakan pembangunan bidang agama; f. Meningkatkan kualitas tenaga penyuluh agama, penghulu dan pelayan keagamaan lainnya; g. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar zakat serta profesionalisme pengelola.
H. STRUKTUR ORGANISASI Struktur Organisasi Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon berdasrkan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama adalah sebagai berikut :
96
a. Subbagian Tata Usaha; Subbagian
Tata
Usaha
mempunyai
tugas
melakukan
koordinasi
perumusan kebijakan teknis dan perencanaan, pelaksanaan pelayanan dan pembinaan administrasi, keuangan dan barang milik negara di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon. b. Seksi Pendidikan Madrasah Seksi Pendidikan Madrasah mempunyai tugas melakukan pelayanan, bimbingan teknis, pembinaan, serta pengelolaan data dan informasi di bidang RA, MI, MTs, MA, dan MAK. c. Seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam Seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam mempunyai tugas melakukan pelayanan, bimbingan teknis, pembinaan, serta pengelolaan data dan informasi di bidang pendidikan agama Islam dan pendidikann keagamaan Islam. d. Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umrah Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umrah mempunyai tugas melakukan pelayanan, bimbingan teknis, pembinaan, serta pengelolaan data dan informasi di bidang penyelenggaraan haji dan umrah. e. Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Seksi Bimbingan Masyarakat Islam mempunyai tugas melakukan pelayanan, bimbingan teknis, pembinaan, serta pengelolaan data dan informasi di bidang bimbingan masyarakat Islam.
97
f. Penyelenggara Syariah Penyelenggara
Syariah
mempunyai
tugas
melakukan
pelayanan,
bimbingan teknis, pembinaan, serta pengelolaan data dan informasi di bidang pembinaan syariah.
Gambar 4.3 Strukutur Kementrian Agama Kota Cilegon Kepala Kantor Drs. H. Ubik Baehaqi, M.Si
KASUBAG TU Drs. H. Muhyi.MM
Penyelenggaraan Syariah Kasi. Peny. Haji dan Umroh
Kasi. Bimas islam Drs. H. Dedi Suryadi. MM
H. Untung Sudirman
H. Ishomuddin, S.H. M.Pd
Kepala Seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam
Kepala Seksi Pendidikan Madrasah
Drs. H. Abu Nashor. M.Si
Dra. Hj. Titim Fatimah, MM
(Sumber : Profil Kemenag, 2015)
4.1.3 Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon Pelaksana dalam penerapan kewajiban belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon adalah Kementrian Agama dengan sasaran siswa SD yang hendak masuk kejenjang SMP/MTs.
98
Madrasah Diniyah sebagai lembaga pendidikan nonformal berada dalam bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam (Pakis) Kementrian Agama tingkat Kabupaten/Kota yang kemudian pada tingkat Kecamatan di bawah bidang Waspendais (Pengawas Pendidikan Agama Islam) Kecamatan, Waspendais inilah yang bertanggung jawab penuh dalam masalah Madrasah Diniyah di lingkup Kecamatanya, Waspendais berfungsi sebagai koordinasi antara Madrasah Diniyah dengan Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon (Pakis Kemenag). Penerapan kebijakan penyelenggaran wajib belajar Madrasah Diniyah juga berkaitan dengan Dinas Pendidikan sebagai objek dari penerapan kebijakan tersebut. Sasaran dalam perda tersebut tidak hanya lembaga pendidikan yang berada dalam naungan Kemenag seperti Madrasah Tsanawiyah tetapi juga lembaga pendidikan yang berada dalam naungan Dinas Pendidikan seperti Sekolah Menengah Pertama oleh karenaya Dinas Pendidikan juga berperan dalam penerapan kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah tersebut. Penyelenggaraan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon resmi diberlakukan setelah keluarkanya Peraturan Daerah Nomor 1 Tentang Penyelenggaran Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon kemudian diperjelas dengan munculnya Perwal Nomor 44 Tahun 2011 yang kemudian di revisi dengan Perwal Nomor 25 Tahun 2014. Kementrian Agama sebagai lembaga yang menaungi pendidikan Keagamaan sebenarnya telah lama memberlakukan kewajiban menyerahkan Syahadah Diniyah bagi siswa yang hendak belajar kejenjang Madrasah
99
Tsanawiyah, hanya lembaga pendidikan yang berada dinaungan Dinas Pendidikan yang belum melaksanakan kewajiban tersebut.
4.2 Deskripsi Data 4.2.1 Daftar Informan Penelitian Pada bab sebelumnya mengenai metodologi penelitian, peneliti telah menjelaskan dalam pemilihan informan penelitian, peneliti menggunakan teknik Purposive (bertujuan). Adapun pihak pihak yang peneliti tentukan merupakan orang-orang yang menurut peneliti memiliki informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini, karena pihak tersebut senantiasa keseharianya berurusan dengan permasalahan yang peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung. Informan dalam penelitian ini adalah stakeholder (semua pihak) yang terlibat dan memiliki informasi mengenai penjelasan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon. Adapun nama-nama yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Bapak Drs. H. Ubik Baehaqi, M.Si (45) Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon (I1-1) 2. Bapak Drs. H. Abu Nashor, M.Si (37) Kepala Seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam Kementrian Agama Kota Cilegon (I12)
3. Ibu Dra. Hj. Titim Fatimah, MM (41) Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kementrian Agama Kota Cilegon (I1-3)
100
4. Bapak H. Muhyi, MM (50) Kepala Sub Bagian TU Kementrian Agama (I1-4) 5. Bapak Mahruri, S.Pd.I (45) Ketua Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliayh Kota Cilegon (I2-1) 6. Bapak Muizzudin, M. Ag (39) Pengurus Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah Kota Cilegon (I2-2) 7. Bapak Drs. Muchtar Gozali (51) Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon (I3-1) 8. Bapak Suhendi, MM (49) Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah Dinas Pendidikan Kota Cilegon (I3-2) 9. Bapak Bayu Panatagama, MM (50) Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon (I4) 10. Bapak Rafiuddin, M. Pd (48) Kepala Madrasah MTSN Pulomerak (I5-1) 11. Bapak Drs. Dedi Rustandi (50) Kepala Sekolah SMPN 3 Cilegon (I5-2) 12. Ibu Ruenah, (43)Wali Murid Diniyah (I6-1) 13. Bapak Sabililah, (55)Wali Murid Diniyah (I6-2) 14. Umi Habibah, (38) Wali Murid Diniyah (I6-3) 15. Bapak Jahidi, (39) Wali Murid Diniyah (I6-4) 16. Ibu Sukesih, (38) Wali Murid Diniyah (I6-5) 17. Bapak Baehaqi, (39) Wali Murid Diniyah (I6-6)
101
4.2.2 Deskripsi Data Penelitian Deskripsi data penelitian merupakan penjelasan mengenai data yang telah didapatkan selama proses penelitian di lapangan. Dalam penelitian ini mengenai Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon menggunakan jenis dan analisis data menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam pendekatan kualitatif maka data yang diperoleh berbentuk kata dan kalimat berdasarkan hasil wawancara dengan informan penelitian, observasi lapangan serta studi dokumentasi yang relevan dengan fokus penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan sejumlah informan penelitian yang memiliki informasi terkait permasalahan yang sedang di teliti. Selain wawancara pengumpulan data juga dilakukan melalui observasi langsung ke lokasi penelitian serta dokumentasi. Data tersebut merupakan data-data yang berkaitan Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon. hasil pengumpulan data-data tersebut kemudian di analisis menggunakan teknik analisis data kualitatif sehingga data-data tersebut dapat menghasilkan suatu pemahaman baru. Data-data yang telah diperoleh selama proses penelitian dirubah kedalam bentuk tertulis, kemudian dilakukan pengkodingan pada aspek tertentu. Dalam menyusun jawaban penelitian, peneliti memberikan kode yaitu : 1. Kode I1-1-I1-4 menunjukkan daftar urutan informan dari pihak Kementrian Agama
102
2. Kode I2-1-I2-2 menunjukkan daftar urutan informan dari Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah 3. Kode I3-1-I3-2 menunjukkan daftar urutan informan dari Dinas Pendidikan 4. Kode I4 Menunjukkan daftar Informan dari pihak LPPTKA/BKPRMI 5. Kode I5-1-I5-2 Menunjukkan daftar informan dari pihak Kepala Sekolah SMP dan MTs 6. Kode I6-1-I6-6 menunjukkan informan dari wali murid Setelah memberikan kode pada aspek tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian sehingga polanya ditemukan, maka dilakukan kategorisasi berdasarkan jawaban-jawaban yang ditemukan dari penelitian di lapangan dengan membaca dan menelaah jawaban-jawaban tersebut. Analisa data yang akan dilakukan dalam penelitian ini menggunakan beberapa kategori dengan beberapa dimensi yang dianggap sesuai dengan permasalahan penelitian dan kerangka teori yang telah diuraikan sebelumnya.
4.3
Deskripsi Hasil Penelitian 4.3.1 Dimensi Input Dimensi input ialah merupakan dimensi awal pada sebuah kebijakan yang berisikan masukan-masukan yang diperlukan pada kebijakan tersebut, dimensi ini merupakan point penting karena akan menentukan hasil dan tujuan kebijakan, dimensi input ini meliputi struktur kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana dan sosialisasi.
103
Pertama, struktur kelembagaan, dalam penyelenggaran wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon langsung dibawah Seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam Kementrian Agama Kota Cilegon dengan Kepala Seksi Bapak Abu Nashor, M.Si, dalam Seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam terdapat lembaga khusus untuk menangani secara teknis penyelenggaraaan wajib belajar Madrasah Diniyah tersebut yaitu Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah atau yang biasa disebut dengan
FKDT.
FKDT
inilah
yang secara
teknis mengatur dan
mengordinasikan berbagai macam kegiatan madrasah baik itu berupa pembinaan, pembuatan kurikulum madrasah dan pelaksanaan pelaksnaan teknis lainya. Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Seksi Pendidikan Agama dan Kegamaan Islam Kementrian Agama Kota Cilegon “Kita merupakan lembaga yang sudah diberikan amanah untuk membina diniyah, ada yang namanya Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah namanya FKDT itulah yang mewadahi supaya segala sesuatunya terkoordinasi, ada strukturnya, dipilih oleh mereka, ada ketua, sekertaris, ada FKDT Kota, turun FKDT Kecamatan, jadi ada 8 FKDT, FKDT inilah yang mengoordinasikan temanteman Madrasah Diniyah Cilegon yang saat ini sudah 152 Madrasah Diniyah, semuanya ada yang mengkoordinasikan, seperti ulangan semester, mereka yang buat bersama” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib, di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari hasil wawancara di atas diketahui bahwa penyelenggaraan Madrasah Diniyah berada pada bagian seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam, dan secara teknisnya dibuat lembaga yang disebut dengan Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah atau FKDT yang
104
berfungsi untuk menkoordinasikan Madrasah Diniyah yang ada di Cilegon, FKDT ini terbagi menjadi FKDT Kota dan FKDT Kecamatan, sehingga terdapat delapan FKDT Kecamatan dan satu FKDT Kota. Selain sebagai mengkoordinasikan, FKDT juga mempunyai fungsi untuk melakukan pembinaan madrasah dan para ustad, membuat kurikulum dan melakukan evaluasi belajar dan mengajar. Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah Kota Cilegon
“FKDT ini mempunyai fungsi untuk memberikan pembinaan madrasah dan para guru, melakukan evaluasi belajar mengajar, bahkan kita juga yang membuat soal-soal UAS dan UTS, strukturnya kami punya, tapi kebetulan hari ini saya tidak membawanya, adanya di lapotop. Saya sebagai ketuanya dan Bapak Hilman sebagai wakilnya “(Wawancara dengan Bapak Mahruri, Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 16.26 Wib di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Adanya lembaga khusus yang menangani penyelenggaraan wajib belajar Madrasah Diniyah di atas juga dikuatkan juga oleh, Kepala Kantor Kementrian Agama, yang menyatakan sebagai berikut
“lembaga tersebut sudah ada yang menangani yaitu di PAKIS, PAKIS yang punya hak dan wilayah dalam pelaksanaan perda tersebut, dan sekarang ada namanya FKDT, FKDT merupakan lembaga mitra Kementrian Agama dalam Madrasah Diniyah..mereka dibentuk supaya Madrasah Diniyah ini optimal dan membantu Kementrian Agama dalam melaksanakan pengawasan dan pengoordinasian” (Wawancara dengan Bapak Ubiq Baehaqi. Jum’at. 16 Oktober 2015. Pukul 09.00. WIB di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
105
Lebih lanjut diterangkan oleh Bapak Muizudin, Pengurus FKDT Kota Cilegon tentang pembentukan Fokmada yang kemudian menjadi FKDT, berikut paparanya:
“Awal sekali berdiri dalam memperjuangkan perda tersebut masyarakat diniyah membentuk forum namanya Fokmada yang menggagas namanya bapak H. Amin Mahtum dari Ciwandan, ketika pertama kali beliau menggagas sewaktu itu dibentuknya digedung dewan semua kepala madrasah sekota Cilegon mersepon positif dan menyatakan diri bergabung sehingga tiap-tiap kecamatan waktu itu ada, waktu itu namanya, belum ada FKDT, setelah berjalan sekian tahun kemudian, selalu koordinasi dengan Kemenag kemudian atas usulan Kemenag supaya sesuai dengan tupoksi, karena di Propinsi juga ada, di nasional juga ada yang membidangi diniyah maka di buatlah KKMD, Kelompok Kerja Madrasah Diniyah, dibawah bimbingan langsung pengawas dan Kasi Pekapontren, sekarang karena sudah ada nama-nama lain sesudah KKMD itu FKDT, KKMD otomatis berubah menjadi FKDT dan sampe sekarang yang ada itu organisasinya FKDT (Wawancara dengan Bapak Muizudin, M.Pd. Kamis 8 Oktober 2015 pukul 15.00 Wib Di MDTA langon)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa kepengurusan Madrasah Diniyah di Kota Cilegon telah berjalan dengan baik, bahkan sudah dibentuk semenjak perjuangan perda Madrasah Diniyah, ini dapat dilihat dari adanya struktur yang berjenjang dari tingkat Kecamatan sampai tingkat Kota. Kedua, Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber daya manusia ini ialah para pengajar/ustad Madrasah Diniyah. Dalam aturan Peraturan Daerah disebutkan bahwa untuk menjadi pengajar mempunyai klasifikasi atau standar minimal lulus SMA/MA atau sederajat atau juga bisa dari
106
pesantren, menurut hasil wawancara dengan I1-2 , beliau memaparkan sebagai berikut :
“Kalau tidak punya basic keagamaan tentu tidak, memang kami tidak mempersyaratkan secara khusus, misal harus S1, lulus SMA dan lain sebagainya, tetapi yang penting bisa dan mengerti agama saja sudah cukup, bahkan ada yang dari pesantren juga, tetapi yang sudah kami verivikasi bahwa banyak pengajar diniyah paginya ngajar di sekolah biasa, SD, SMP, Mts, MA, atau kegiatan lain dan sorenya ngajar diniyah (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib, di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa Kementrian Agama tidak memberikan persyaratan khusus bagi pengajar Madrasah Diniyah walaupun dalam aturan perda dan perwal mempersyaratkan untuk menjadi pengajar Madrasah Diniyah minimal SMA/MA dan alumni Pesantren. Kementrian Agama dalam urusan tenaga pengajar lebih melihat pada kemampuan agama tidak pada lulusan sekolah yang berstandar umum, oleh karenanya dalam Madrasah Diniyah ada yang memang hanya lulusan pesantren Pernyataan berbeda disampaikan oleh Bapak Mahruri, Ketua Forum Komunikasi
Madrasah
Diniyah
Takmiliyah
Kota
Cilegon
yang
menyampaikan sebagai berikut :
“Mestinya punya ijazah keguruan supaya dapat mengajar dengan baik, seperti lulusan PAI, tapi untuk yang belum PAI atau yang bukan luluasan PAI sementara ini masih boleh, tapi kedepanya
107
diharapkan semuanya sudah PAI seperti guru Madrasah Tsanawiyah”(Wawancara dengan Bapak Mahruri, Ketua FKDT Kota Cilegon Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 16.26 Wib di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Hal yang hampir senada juga disampaikan oleh I2-2, sebagai berikut :
“Kalau mengacu di Kementrian Agama memang pendidikanya minimal harus S1, karena mengikuti UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, tapi tidak terlalu saklek, karena diniyah itu berasal dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat, tapi untuk segala persyaratan administrasi yang diminta oleh Kemenag tersebut hal itu benar karena aturan formalnya begitu, adapun pelaksanaanya yang penting guru madrasah itu bisa ngaji, bisa sholat, ahklaknya bagus, mempunyai dedikasi yang tinggi, siap ikhlas, karena Madrasah Diniyah bukan untuk mencari kekayaan,tetapi untuk mengabdi kepada masyarakat” (Wawancara dengan Bapak Muizudin, M.Pd, Pengurus FKDT Kota Cilegon. Kamis 8 Oktober 2015 pukul 15.00 Wib Di MDTA langon)
Dari pernyataan di atas Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah mengin
ginkan bahwa untuk menjadi pengajar harus
memiliki ijazah S-1 Pendidikan Agama Islam, walaupun untuk saat ini belum berjalan tetapi kedepanya akan diterapkan seperti itu, saat ini pihak FKDT sama seperti Kementrian Agama memprioritaskan dalam masalah kemampuan agama yang dimiliki oleh pengajar dan tidak pada legalitas yang miliki oleh pengajar tersebut Terkait dengan pembinaan yang dilakukan oleh Kementrian Agama Kota Cilegon I1-2 memaparkan sebagai berikut :
108
“Memang dalam hal ini kami melakukanya rutin setahun sekali, bahkan oleh Kemenag menyumbang adanya tunjangan fungsional sekarang diganti menjadi insentiv guru MDTA, ada BOP, ada rehab, sekarang juga ada program Madrasah Diniyah percontohan, FKDT juga di bantu BOP, walau jumlahnya tidak besar, sekitar setahun 5 juta Rupiah (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 WIB. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari informasi di atas, dapat diketahui bahwa Kementrian Agama telah melakukan pembinaan terhadap pengajar Madrasah Diniyah walaupun hanya dilakukan setahun sekali, bahkan Kementrian Agama telah memberikan bantuan-bantuan terhadap para pengajar yang berupa insentiv guru MDTA, BOP dan rehab. Ketiga, sarana dan prasarana, dalam Madrasah Diniyah ini masalah sarana dan prasaran masih minim, ada banyak madrasah yang gedungnya belum punya dan masih menumpang pada gedung sekolah lain seperti geudung sekolah dasar, seperti yang terjadi pada SDIT Al Azhar, SDIT Rauhdhatul Jannah, SDIT Tamadun, dan SD YPWKS 1 sampai 5, Kementrian Agama beralasan bahwa di berlakukanya demikian ialah; pertama, tidak memadai jumlah Madrasah Diniyah di Cilegon, padahal keberadaan Madrasah Diniyah itu penting mengingat sudah diperdakan, kedua, lembaga-lembaga tersebut meminta ijin operasional kepada Kementrian Agama Kota Cilegon untuk diterbitkanya ijin operasional pendirian madrasah di lembaga tersebut, berikut ini pemaparan dari I1-2
109
“ Dalam masalah sarana prasarana kami sudah berupaya mungkin untuk menambah gedung madrasah dan membuka ijin selebarlebarnya bagi yayasan yang ingin mendirikan Madrasah Diniyah, bahkan ada yang meminta legalitas, sekarang sekolah-sekolah dasar islam terpadu atau yang biasa disebut SDIT sudah memohon ijin operasional Madrasah Diniyah dan saat ini sudah kami terbitkan sepuluh, SDIT KS 1, 2,3 sampai 5, SDIT RJ, SDIT Al Azhar, SDIT Uswatun Hasanah, dan SDIT Tamadun, sudah hampir 10, itu berarti mereka juga sudah mengerti bahwa perda itu harus diberlakukan dan diamalkan, bahkan SD umumpun pun saat ini, seperti Madintaul Hadid dan sekolah yang jauh-jauh lokasi diniyahnya meminta supaya dibuatkan ijin operasional, hanya ada satu tapi kami belum bisa memberikan ijin karena belum ada rekomendasi dari Dinas Pendidikan. Jadi dalam SD tersebut ada madrasah diniyah, kalau yang terpadu bisa dipola, sedangkan SD umum pulangnya sekolahya pukul 1;00 setelah solat, makan maka berngkat lagi untuk ke Madrasah Diniyah, untuk teknisnya di lapangan mereka yang lebih tau, karena disana juga ada PAI, yang penting kedua duanya jalan” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 WIB. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari wawancara di atas dapat diketahui bahwa gedung Madrasah Diniyah saat ini belum mencukupi dan ada yang menumpang pada sekolah lain seperti di SD YPWKS 1 sampai 5, dan beberapa SDIT yang ada di Kota Cilegon dan untuk memperbanyak Madrasah Diniyah, Kementrian Agama Kota Cilegon membuka perijinan operasional selebar-lebarnya bagi yayasan-yayasan pendidikan yang berada di Kota Cilegon untuk mendirikan Madrasah Diniyah. Upaya Kementrian Agama saat ini dalam mengatasi masalah gedung Madrasah yang kurang seperti yang disampaikan di atas ialah bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Lembaga-lembaga Pendidikan
110
swasta untuk mendirikan ijin operasional pendirian Madrasah, juga dibenarkan oleh I1-1, berikut pernyataanya :
“Dalam masalah sarana- prasarana kami sudah berupaya mungkin untuk membangun gedung-gedung baru dan bekerja sama dengan yayasan-yayasan pendidikan untuk mendirikan Madrasah Diniyah, dan untuk Dinas Pendidikan juga saat ini belum sepenuhnya membantu kalau masalah sarana prasarana baru membantu dalam Honor Daerah, dan saat ini juga kami sudah bekerja sama dengan sekolah sekolah swasta untuk mendirikan Madrasah Diniyah disekolah tersebut, dan bagi sekolah yang negeri nanti kita minta ijin terlebih dahulu ke Dinas Pendidikan untuk sementara waktu mengadakan pendirian madrasah ditempat tersebut, supaya siswa tersebut dapat sekolah madrasah sorenya...dan Dinas Pendidikan juga merespon hal itu dan siap bekerja sama dengan kita” (Wawancara dengan Bapak Drs. Ubiq Baehaqi, M.Si, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon. Jum’at. 16 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Sebenarnya dalam Peraturan Daerah juga dijelaskan bahwa Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas pendidikan juga membantu dalam masalah sarana dan prasarana, tetapi ini belum berjalan, Dinas Pendidikan hanya baru membantu dalam masalah honor daerah kepada guru-guru Madrasah Diniyah, seperti yang dipaparkan oleh I1-2 sebagai berikut :
“Karena ini nonformal maka bagaimana peraturan walikotanya, pada dasarnya sarana dan prasarana dari pemda belum kecuali untuk tenaga pendidik yang saat ini dari 1700 tenaga pendidik yang ada di Madrasah Diniyah sudah tercover 1.260 yang mendapatkan honor daerah dengan besaran 400.000 sebulan jadi sekitar 500 yang belum dapat honor, kalau untuk sarana prasarana belum. Ada juga yang pernah di bantu oleh Dinas Pendidikan di Ciwedus ini dibangunkan gedungnya dan hanya baru satu atau dua” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor,
111
Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Menanggapi hal demikian, Dinas Pendidikan beranggapan bahwa hal itu bila semuanya dibantu oleh Pemerintah Kota maka khawatir akan melampui kewenangan karena Madrasah Diniyah berada dalam naungan Kementrian Agama, dan Kementrian Agama merupakan lembaga yang tidak diotonomikan masih menjadi kewenangan pusat, berikut ini pernyataan dari I3-1 :
“Bukan apa-apa, kami sangat mendukung dengan adanya Madrasah Diniyah di Cilegon, tapi kami tidak bisa membantu sepenuhnya karena khawatir melampaui kewenangan, karena Madrasah Diniyah merupakan lembaga yang ada di Kementrian Agama bukan pada kami, kami khawatir jika ini dilakukan bisa di jadikan temuan BPK, karena tahun yang lalu BPK menanyakan tentang pembebasan dana SPP bagi Madrasah Aliyah Negeri dengan APBD Kota Cilegon, beruntung kami bisa menjelaskan sehingga tidak jadi masalah” (Wawancara dengan Bapak Muchtar Gozali. Kmis 22 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. Di Kantor Dinas Pendidikan Kota Cilegon)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa Dinas Pendidikan sangat mendukung adanya kebijakan tersebut, dan sudah banyak membantu Madrasah Diniyah seperti honor para pengajar, akan tetapi bantuan tersebut tidak bisa secara besar-besaran diberikan seperti pembangunan gedung-gedung madrasah ataupun sarana fisik lainya karena
112
khawatir melampui kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah. Minimnya sarana dan prasaran Madrasah Diniyah juga dibenarkan oleh I2-2, menurutnya memang sampai saat ini perhatian pemerintah terhadap Madrasah Diniyah masih kurang, akan tetapi walaupun kurang mendapat perhatian dari pemerintah Madrasah Diniyah masih tetap hidup karena memang Madrasah Diniyah itu merupakan dari, oleh, dan untuk masyarakat, berikut paparanya :
“Kalau melihat pada sarana dan prasarana memang kita masih kurang, pemerintah belum sepenuhnya memperhatikan Madrasah Diniyah, tetapi walaupun demikian, madrasah akan tetap hidup walau tanpa bantuan pemerintah, adanya Madrasah Diniyah ini sudah lama, bahkan sebelum kemerdekaan, yang membuat masyarakat dan juga untuk masyarakat, kalau dahulu dikenal dengan sekolah sore atau madrasah” (Wawancara dengan Bapak Muizudin, M.Pd, Pengurus FKDT Kota Cilegon. Kamis 8 Oktober 2015 pukul 15.00 WIB. Di MDTA langon)
Dari hasil wawancara dengan para narasumber di atas, dapat diketahui dan disimpulkan bahwa sarana dan prasarana Madrasah Diniyah masih kurang, saat ini pemerintah Kota Cilegon hanya baru membantu dalam bidang honorer para ustadz, sedangkan sarana prasarana secar fisik belum, hal ini juga menyebabkan sedikitnya gedung-gedung Madrasah Diniyah karena untuk membangunya memerlukan dana yang tidak sedikit, seperti halnya yang terjadi pada Madrasah Diniyah Daarul Muta’alimin Desa Gerem yang pembangunanya sampai sekarang masih terbengkalai.
113
Pemerintah Daerah Kota Cilegon beralasan kenapa tidak membantu sepenuhnya ialah karena khawatir akan melampui batas kewenangan Pemerintah Daerah, seperti diketahui bahwa Kementrian Agama merupakan instansi vertikal kepusat dan tidak diotonomikan Gambar 4.4 Bangunan Madrasah MDTA Daarul Muta’alimn
(Sumber : Peneliti, 2015)
Keempat, Sosialisasi, dalam sebuah kebijakan dan program pemerintah sosialisasi merupakan bagian paling penting, karena ini akan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang tujuan dam manfaat kebijakan tersebut, masyarakat yang merupakan objek atau saasaran kebijakan publik harus mengetahui tentang kebijakan tersebut karena bagaimana pun juga masyarakatlah yang akan menerima dampaknya. Terkait dengan kebijakan pemerintah Kota Cilegon yang mengeluarkan peraturan wajib belajar Madrasah Diniyah upaya sosialisasi telah dilakukan oleh Kementrian Agama kepada Masyarakat Kota
114
Cilegon, sosialisasi ini dilakukan terhadap sekolah-sekolah yang ada di Cilegon, berikut pernyataan dari I1-1
“Sebelum saya ada disini, disini saya ada tahun 2011, sosialisasi sudah dilakukan ke sekolah-sekolah dan masyarakat Kota Cilegon, apabila ada kegiatan masyarakat kita selalu mensosialisasikan. Kitapun meminta kepada sekolah-sekolah untuk mensosialisasikan perda Madrasah Diniyah” (Wawancara dengan Bapak Drs. Ubiq Baehaqi, M.Si, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon. Jum’at. 16 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Hal yang senada juga disampaikan oleh I2-1, beliau menyampaikan sebagai berikut: “Kalau masalah sosialisasi, semenjak adanya perda ini sudah disosialisasikan ke Masyarakat” (Wawancara dengan Bapak Mahruri, Ketua FKDT Kota Cilegon Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 16.26 WIB di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon). Tetapi untuk masalah pemerataan sosialisasi belum semuanya terpenuhi karena ada pihak-pihak tertentu yang membuat pemahaman publik terpecah, berikut pernyataan dari I1-2
“ Untuk sosialisasi sudah kami lakukan, tetapi saat ini masyarakat di bingungkan karena untuk masuk SMP/MTs boleh menggunakan Syahadah TPA dan juga Diniyah, tetapi walaupun demikian kami tetap memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa syahadah diniyahlah yang berlaku, karena perdanya juga tentang perda diniyah, adapun keluar perwal terbaru tetap tidak akan merubah menjadi ke ijazah TPA, tetap harus Syahadah Diniyah, karena kewajiban syahadah diniyah merupakan amanat perda” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu
115
07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari wawancara di atas, dapat dikatakan bahwa sosialisasi perda ini telah berjalan tetapi terdapat hambatan karena ada pihak-pihak tertentu yang memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa untuk masuk SMP dan MTs boleh menggunakan syahadah Diniyah dan juga ijazah TPA. Pihak Dinas Pendidikan juga menyatakan demikian, seperti yang di sampaikan oleh I3-2 sebagai berikut:
“Sampai saat ini kita masih sosialisasi, kita tidak serta merta bahwa untuk masuk SMP dan MTs hanya menggunakan syahadah diniyah, karena ada juga pihak-pihak lain seperti LPPTKA/BKPRMI yang menginginkan juga ijazah TPA untuk bisa digunakan untuk masuk SMP/MTs, kita harus merangkul itu, karena mereka juga mempunyai tujuan yang sama, sama-sama memperjuangkan pendidikan agama islam” (Wawancara dengan bapak Suhendi, MM. Kabid Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kota Cilegon.Kamis. 22 Oktober 2015. Pukul 08.37 WIB. Di Kantor Dinas Pendidikan Kota Cilegon)
Adapun Pihak sekolah SMP atau Madrasah Tsanawiyah yang peneliti wawancarai tentang sosialisasi, I5-1, menyatakan sebagai berikut :
“Kalau sosialisasi kesini secara umum sudah, sudah disampaikan sosialisasi sejak lama dari Kemenag, dan kami sudah informasikan ke wali murid bahkan sekarang sudah diberlakukan kewajiban syahadah diniyah itu” (Wawancara dengan Bapak Rafiuddin, M.Pd, Kepala Madrasah MTsN Pulomerak Kota Cilegon Rabu 14 Oktober 2015. Pukul 10.00 WIB. Di Kantor Kepala MTsN Pulomerak)
116
Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa sosialisasi telah berjalan dan diterima oleh pihak MTsN Pulomerak bahkan pihak MTsN Pulomerak telah mewajibkan Syahadah Diniyah sebagai persyaratan pendaftaran siswa baru, dan hal yang sama juga dibenarkan oleh SMPN 3 Kota Cilegon yang menyatakan bahwa sosialisasi telah diterima dari Dinas Pendidikan akan tetapi pihak SMPN 3 Kota Cilegon belum mewajibkan syahadah Diniyah sebagai persyaratan pendaftaran siswa baru, berikut pernyataan I5-2 :
“Kalau untuk sosialisasi sudah kami terima melalui kepala sekolah, kemudian keguru-guru baru ke masyarakat, tetapi kalau SK untuk mewajibkannya belum turun, kami masih menunggu dari Dinas Pendidikan tentang kewajiban pakai syhadah diniyah” (Wawancara dengan Bapak Drs. Dedi Rustendi, Wakil Kepala Sekolah SMPN 3 Kota Cilegon Rabu 14 Oktober 2015. Pukul 10.00. Di SMPN 3 Kota Cilegon)
Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa sosialisasi telah diterima oleh pihak Madrasah Tsanawiyah dan SMP, yang kemudian sosialisasi tersebut diteruskan kepada wali murid akan tetapi mengenai kewajiban menyerahkan syahadah diniyah sebagai persyaratan belum dilakukan, baru hanya di Madrasah Tsanawiyah Sedangkan masyarakat Kota Cilegon yang penulis wawancarai mengenai sosialisasi perda Diniyah ini juga beragam, seperti yang disampaikan oleh I6-1
117
“Mendengar tapi masih samar, sekarang infonya wajib sekolah diniyah, secara pribadi saya tidak tau apa-apa, kalau di suruh sekolah tentu saya sekolahkan anak saya, dari pada hanya bermain-main,supaya dapat mengaji dengan baik” (Wawancara dengan Ibu Ruenah, Wali Murid Madrasah Diniyah Minggu, 25 Oktober 2015 . pukul 14.00 Wib.)
Senada dengan yang di atas, I6-2 juga menyatakan bahwa pernah mendengar wajib Madrasah Diniyah :
“Info yang saya dapatkan seperti itu, saya hanya ikut-ikutan saja, itu pun dari bapak H, Halil yang mengatakan bahwa saat ini siswa-siswa SD diharuskan belajar Madrasah Diniyah” (Wawancara dengan Bapak Sabililah, Wali Murid Madrasah Diniyah.Minggu, 25 Oktober 2015 Pukul 10.21 Wib)
Berbeda dengan I6-3 yang menjawab tidak tahu menahu adanya perda ini, baginya yang penting anaknya sekolah sore (madrasah) :
“Masalah seperti itu saya tidak mengerti sama sekali, dan saya hanya mengikuti para tetangga saja” (Wawancara dengan Umi Habibah, Wali Murid Madrasah Diniiyah Senin, 26 Oktober 2015. Pukul13.04 Wib)
Dari wawancara dengan masyarakat di atas diketahui bahwa untuk masalah sosialisasi perda tersebut masih belum maksimal, masyarakat hanya baru mendengar dan hanya ikut-ikutan tetapi tidak mengerti tentang kewajiban tersebut bahkan dan ada pula yang anaknya tidak di sekolahkan ke madrasah.
118
Berdasarkan paparan di atas dalam dimensi input
dapat
disimpulkan bahwa dalam struktur kelembagaan kepengurusan Madrasah Diniyah di Kota Cilegon telah berjalan dengan baik, bahkan sudah dibentuk semenjak perjuangan perda Madrasah Diniyah, ini dapat dilihat dari adanya struktur yang berjenjang dari tingkat Kecamatan sampai tingkat Kota.
Pada Sumber Daya Manusia yaitu para pengajar/ustad
Madrasah Diniyah belum memenuhi standar klasifikasi yang ditentukan oleh perda, dan begitu pula dalam hal pembinaan yang dilakukan oleh Kementrian Agama terhadap para pengajar/ustad Madrasah Diniyah belum optimal. Dalam masalah sarana dan prasarana Madrasah Diniyahpun masih minim, banyak Madrasah Diniyah yang gedungnya masih satu atap dengan Sekolah Dasar seperti pada SDIT Al-Azhar, SDIT Raudhtaul Jannah dan beberapa SD lainya. Pihak Dinas Pendidikan hanya baru membantu dalam masalah honor para pengajar Madrasah tetapi dalam masalah sarana dan prasarana sesuai amanat perda belum dapat dilaksanakan, sedangkan dalam sosialisasi belum berjalan dengan baik karena saat ini masyarakat terpecah pemahamanya dengan adanya sosialisasi yang berbeda yang dlakukan oleh Kementrian Agama dengan LPPTKA/BKPRMI. 4.3.2
Dimensi Proses Dimensi proses merupakan dimensi transformasi kebijakan kepada
masyarakat dalam bentuk pelayanan langsung, pemerataan kebijakan, dan
119
dalam dimensi ini lebih menekankan pada pelaksanaan kebijakan yang berupa hambatan dan tantangan kebijakan tersebut.
a.
Pelayanan langsung kepada Masyarakat. Kebijakan tentang penyelenggaraan Madrasah Diniyah di Kota
Cilegon tentu membutuhkan banyak gedung-gedung baru, sumber daya manusia seperti pengajar dan kebutuhan-kebutuhan lainya. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang hendak menyekolahkan anaknya kedalam madrasah sedangkan jumlah atau gedung madrasah tidak memenuhi maka Kementrian Agama bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Yayasan-Yayasan yang membawahi pendidikan untuk mendirikan Madrasah Diniyah di sekolah tersebut, seperti di SDIT Raudhatul Jannah, SDIT Tamadun, SDIT Al Azhar,SD YPWKS 1 sampai dan 5 dan beberapa SD lainya, mekanismenya adalah yayasan tersebut meminta ijin operasional kepada Kementrian Agama untuk mendirikan Madrasah Diniyah setelah Kementrian Agama meninjau dan mensurvei barulah ijin tersebut di terbitkan, seperti yang di sampaikan oleh I1-2 :
“Sekarang sekolah-sekolah yang dasar islam terpadu sudah memohon ijin operasional Madrasah Diniyah dan saat ini sudah kami terbitkan sepuluh, SDIT KS 1, 2,3 sampai 5, SDIT RJ sudah, SDIT Al Azhar sudah, SDIT Uswatun hasanah sudah, SDIT Tamadun sudah hampir 10, hal itu berarti mereka juga sudah mengerti bahwa perda ini harus diberlakukan dan diamalkan, bahkan SD negeri pun saat ini, seperti Madintaul Hadid dan yang lokasinya jauh madrasah diniyahnya meminta supaya dibuatkan
120
ijin operasional, hanya ada satu tetapi kami belum dapat memberikan dikarenakan belum ada rekomendasi dari Dinas Pendidikan. Jadi dalam SD nya ada diniyah, kalau yang terpadu itu bisa dipola, kalau SD umum pulangnya pukul 1;00, setelah solat, makan maka berangkat lagi untuk belajar ke Madrasah Diniyah, untuk teknisnya di lapangan mereka yang lebih tahu, karena disana juga ada PAI, yang terpenting kedua-duanya jalan” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Hal yang sama juga disampaikan oleh I1-1, yang menyatakan bahwa saat ini Kementrian Agama bekerjasama dengan Yayasan-yayasan Pendidikan dan Dinas Pendidikan dalam upaya dalam meminimalisir sedikitnya gedung Madrasah Diniyah, berikut pernyataanya :
“Dalam masalah sarana-prasarana kami sudah berupaya mungkin untuk membangun gedung-gedung baru dan bekerja sama dengan yayasan-yayasan pendidikan untuk mendirikan Madrasah Diniyah dan untuk Dinas Pendidikan juga saat ini belum sepenuhnya membantu kalau masalah sarana prasarana hanya baru membantu dalam Honor Daerah, dan saat ini juga kami sudah bekerja sama dengan sekolah-sekolah swasta untuk mendirikan Madrasah Diniyah disekolah tersebut, dan bagi sekolah yang negeri nanti kita minta ijin terlebih dahulu ke Dinas Pendidikan untuk sementara waktu mengadakan pendirian madrasah ditempat tersebut, supaya siswa-siswa terssebut dapat sekolah madrasah pada sore harinnya, dan Dinas Pendidikan juga merespon hal itu dan siap bekerja sama dengan kita” (Wawancara dengan Bapak Drs. Ubiq Baehaqi, M.Si, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon. Jum’at. 16 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Pembentukan Madrasah Diniyah di sekolah-sekolah tersebut juga dibenarkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon, Muchtar Gozali,
121
menurut beliau Dinas Pendidikan akan bekerjama sama dengan Kementrian Agama untuk melaksanakan peraturan Daerah tersebut, berikut pernyataaan I3-1 : “ Benar, memang ada beberapa sekolah yang mendirikan Madrasah Diniyah, selama itu tidak bertentangan dengan aturan, semua persaratanya lengkap, kami tidak masalah, dan kami mendorong terus supaya memang perda ini berjalan dengan baik” (Wawancara dengan Bapak Muchtar Gozali. Kamis 22 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. Di Kantor Dinas Pendidikan Kota Cilegon)
Akan tetapi tindakan yang dilakukan Kementrian Agama dengan menerbitkan ijin Operasional tersebut mendapatkan kritikan dari pengurus LPPTKA/BKPRMI, berikut pernyataanya I4 : “Hal ini adalah sebuah pemaksaan, seharusnya untuk mendirikan madrasah atau sekolah itu harus ada gedungya, gurunya siapa saja, siswanya mana saja, ada tida administrasinya, tetapi hal ini tidak terjadi, tiba-tiba langsung diikutkan ujian saja, ini sama sekali tidak mencerminkan pendidikan keagamaan Islam” (Wawancara dengan Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor Kesbanglinmas Kota Cilegon)
Menanggapi hal tersebut Pihak Kementrian Agama mengatakan bahwa hal itu tidak bertentangan, berikut pernyataan I1-2 : “Coba Herdandi sekarang lihat, dalam satu yayasan ada SD-nya, ada SMP, SMA-nya, bahkan ada MTs terus juga SMA, hal itu tidak apa-apa, dan itu tidak jadi masalah, tidak melanggar aturan yang berlaku” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama
122
Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari wawancara di atas terlihat Kementrian Agama tidak mempermasalahkan adanya Madrasah Diniyah dalam satu gedung dengan Sekolah Dasar dan berargumen bahwa hal itu banyak dijumpai dalam Yayasan-yayasan pendidikan dan hal itu tidak melanggar peraturan. Setelah peneliti observasi kelapangan, ternyata memang benar dalam satu gedung paginya digunakan oleh sekolah dasar dan sorenya digunakan untuk madrasah, dengan guru yang sama dan ada juga yang berbeda seperti di SD YPWKS 1 sampai 5, sedangkan Sekolah Dasar Islam Terpadu yang didalamnya terdapat pembelajaran keagaaman tidak perlu lagi belajar Madrasah Diniyah tetapi langsung mengikuti ujian Madrasah Diniyah. Dari hasil paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan langsung kepada msayarakat belum berjalan dengan optimal hal ini dikarenakan sedikitnya julmah gedung Madrasah Diniyah yang berakibat tidak
sanggupnya
menerima
siswa
Sekolah
Dasar
dan
untuk
meminimalisir hal tersebut pihak Kementrian Agama bersama dengan Dinas Pendidikan dan Yayasan-Yayasan Pendidikan berkerja sama untuk mendirikan ijin operasional pendirian Madrasah Diniyah. Akan tetapi perijinan operasional Madrasah Diniyah tersebut tidak dibarengi dengan penempatan prosedur yang jelas, fakta berbeda terjadi dilapangan seperti yang terjadi di SD YPWKS Sekolah Dasar milik
123
Krakatau Steel, dari hasil wawancara dengan Bapak Bayu Pantagama bahwa apa yang dinamakan belajar Madrasah Diniyah tidak terjadi dalam sekolah tersebut, para siswa tersebut tidak belajar Madrasah Diniyah tetapi diikutkan pada ujian madrasah. Fenomena di atas menunjukkan terlihat bahwa pelayanan yang diberikan oleh Kementrian Agama belum memenuhi aspek publik, apa yang dilakukan Kementrian Agama dengan mengikutkan Siswa SD YPWKS kedalam ujian Madrasah tetapi tidak pernah mengikuti pembelajaran Madrasah Diniyah merupakan sebuah kesalahan yang menyalahi prosedur Perda Diniyah. b.
Pemerataan Kebijakan Pemerataan kebijakan ini dapat dilihat dari merata tidaknya
pelaksanaan kebijakan ini ke masyarakat, output dari kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah ini ialah berupa kewajiban menyerahkan syahadah diniyah ketika hendak melanjutkan ke SMP/MTs, dari informasi yang peneliti dapatkan kewajiban ini belum berjalan baru hanya pada sekolah-sekolah yang berada di bawah Kementrian Agama seperti MTsN Pulomerak,
ketika
peneliti
wawancarai
pihak
MTsN
Pulomerak
membenarkan hal tersebut, berikut penyampaian yang di sampaikan oleh I5-1
“ Kami sudah mendapatkan instruksi dari Kementrian Agama Kota Cilegon untuk mewajibkan syahadah diniyah ketika hendak masuk ke madrasah kami, dan ini sudah berjalan lama, kira-kira kurang
124
lebih tiga tahun” (Wawancara dengan Bapak Rafiuddin, M.Pd, Kepala Madrasah MTsN Pulomerak Kota Cilegon Rabu 14 Oktober 2015. Pukul 10.00 WIB. Di Kantor Kepala MTsN Pulomerak)
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kementrian Agama Kota Cilegon, I1-3 menyampaikan sebagai berikut :
“Kami sudah menginstrusikan kepada madrasah-madrasah yang berada dinaungan kami terutama yang negeri seperti MTsN Pulomerak, MTsN Cilegon dan MTsN Ciwandan, dan itu sudah lama ketika sudah muncul Perwal No. 44 Tahun 2011” (Wawancara dengan Ibu Titim Fatimah, MM. Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kementrian Agama Kota Cilegon Jum’at, 16 Oktober 2015, Pukul 08.00 Wib. Di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa kewajiban menyerahkan Madrasah Diniyah tersebut hanya baru pada lembaga pendidikan di bawah Kementrian Agama sedangkan yang berada dibawah Dinas Pendidikan belum sama sekali, Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kota Cilegon menyampaikan bahwa hal tersebut belum bisa dilakukan karena masih ada perselisihan antara LPPTKA/BKPRMI dengan Kementrian Agama, berikut penyampaian I3-2 :
“ Saat ini kami belum bisa melaksanakan kebijakan mewajibkan syahadah diniyah ke sekolah-sekolah, karena masih ada perselisihan dan permasalahan yang belum selesai sampai saat ini, jika nanti LPPTKA/BKPRMI sudah ada kesepakatan dengan Kementrian Agama barulah kami bisa melaksanakan”
125
(Wawancara dengan bapak Suhendi, MM. Kabid Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kota Cilegon.Kamis. 22 Oktober 2015. Pukul 08.37 Wib. Di Kantor Dinas Pendidikan Kota Cilegon)
Pendapat yang hampir sama juga di sampaikan oleh I3-1 : “Kami belum melakukan hal tersebut karena keberadaaan Madrasah Diniyah itu belum sepenuhnya berjalan dan juga jumlah SD dengan Madrasah itu berbeda lebih banyak jumlah SD, kami khawatir jika ini dilakukan nanti akan ada masyarakat meminta surat pernyataan ke madrasah-Madrasah Diniyah, minta surat keterangan sedang belajar, padahal siswanya tidak belajar, kami tidak menginginkan hal itu” (Wawancara dengan Bapak Muchtar Gozali. Kamis 22 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. Di Kantor Dinas Pendidikan Kota Cilegon)
Dari pendapat I3-1 di atas lebih melihat kepada jumlah Sekolah Dasar yang tidak berimbang dengan jumlah MDTA dan ini akan menghawatirkan bila kebijakan ini dipaksakan maka akan terjadi praktek meminta surat keterangan sedang belajar Madrasah Diniyah, padahal siswanya tidak belajar.
Untuk diketahui saat ini jumlah Sekolah Dasar dan jumlah SD memang tidak sama, seperti dapat dilihat dalam tabel berikut :
126
Tabel 4.1 Perbandingan Jumlah Madrasah Diniyah dan Sekolah Dasar Beserta Murid, dan Guru Menurut Kecamatan di Kota Cilegon, 2013/2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kecamatan Ciwandan Citangkil Pulomerak Purwakarta Grogol Cilegon Jombang Cibeber JUMLAH
MDTA Madrasah Murid 29 3. 818 26 3.113 13 1.525 10 1.295 15 2.300 16 2.095 14 2. 016 21 2. 493 144 18.655
Guru 368 333 125 119 172 178 147 295 1.737
Sekolah Dasar Sekolah Murid 20 5.217 25 7.159 23 5.119 22 5.526 15 3.467 15 3.787 32 8.371 23 6.797 175 45.433
Guru 312 438 294 317 203 234 492 399 2.689
(Sumber : Cilegon Dalam Angka, BPS. 2014
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa jumlah Madrasah Diniyah atau Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA) sekota Cilegon berjumlah 144 Madrasah dengan jumlah murid 18.655 dan tenaga pengajar sebanyak 1.737 yang sangat jauh berbeda dengan jumlah Sekolah Dasar yang memiliki jumlah murid sekitar 38.556 dan jumlah sekolah 175 Sekolah, perbedaan tersebut akan menyebabkan ada banyak siswa Sekolah Dasar yang tidak terakomodir di Madrasah Diniyah seharusnya jumlah Madrasah Diniyah di Kota Cilegon sebanyak jumlah SD, dengan demikian siswa SD tersebut dapat terakomodir untuk belajar di madrasah dengan efektif. Dari pendapat pihak Dinas Pendidikan di atas disimpulkan bahwa keterlambatan pelaksanaan kewajiban menyerahkan syahadah diniyah ketika masuk SMP ialah :
127
Pertama, belum ada kesepakatan antara Pihak Kementrian Agama dengan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, pihak Dinas Pendidikan tidak menginginkan ada pihak yang dirugikan dengan kebijakan tersebut, dan menginginkan semuanya dirangkul baik dari MDTA maupun dari pihak LPPTKA/BKPRMI. Kedua, tidak setaranya jumlah Sekolah Dasar dengan jumlah MDTA, yang apabila ini tetap dilaksanakan maka dikhawatirkan akan ada praktek jual beli ijazah Berdasarkan pada pemaparan di atas dapat diketahui dan disimpulkan bahwa pemerataan kebijakan melampirkan syahadah diniyah sebagai persyaratan pendaftaran di SMP/MTS belum berjalan dengan baik, yang baru melaksanakan hanya baru pada lembaga pendidikan yang dibawah Kementrian Agama yang negeri, sedangkan pada lembaga pendidikan dibawah Dinas Pendidikan belum berjalan sama sekali. c.
Hambatan dan Tantangan Dimensi ini menurut peneliti merupakan dimensi yang sangat
penting dalam penelitian Eavaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, karena pada dimensi ini permasalahan utama kebijakan tersebut. Perjalanan kebijakan penyelenggaraan wajib belajar Madrasah Diniyah sejak tahun 2008 sampai sekarang masih memiliki hambatan
128
sehingga kebijakan mewajibkan syahadah diniyah ketika hendak masuk SMP/MTs belum terlaksana dengan baik. Pihak
Forum
Komunikasi
menganggap
bahwa
hambatan
Madrasah tersebut
Diniyah berasal
Takmiliyah dari
pihak
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, yang hendak menyamakan TPA dengan MDTA, berikut pernyataan dari I2-2: “Sebenarnya perda ini harus sudah dijalankan karena sudah ada perwalnya yang keluar pada tahun 2011, akan tetapi sampai sekarang belum terlaksana, karena pihak LPPTKA/BKPRMI hendak menyamakan TPA sama dengan Diniyah, penyamaan ini tidak bisa diterima dikarenakan beda jenjang, beda umur dan juga beda kurikulum” (Wawancara dengan Bapak Muizudin, M.Pd, Pengurus FKDT Kota Cilegon. Kamis 8 Oktober 2015 pukul 15.00 Wib Di MDTA langon)
Hal yang sama disampaikan oleh I2-1 bahwa hambatan dalam pelaksanaan Madrasah Diniyah berasal dari pihak LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon yang meminta disamakan antara TPA dengan Madrasah Diniyah, berikut pernyataanya : “Bapak Bayu yang ngotot minta disamakan, dan hal tidak bisa, TPA tidak bisa disamakan dengan MDTA, di PMA dengan di PP 55 2007 juga dijelaskan kalau TPA itu tidak sama dengan MDTA, harusnya melihat kesitu, dalam maslah pendidikan Agama dan Keagamaan harus mengikut ke Kemenag tidak mengatur sendiri, jadi repot nantinya. (Wawancara dengan Bapak Mahruri, Ketua FKDT Kota Cilegon Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 16.26 Wib di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa pihak Forum Komunikasi Madrasah Diniya Takmiliyah menganggap bahwa hambatan
129
atau rintangan dalam pelaksanaan kebijakan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon adalah LPPTKA/BKPRMI. Pihak LPPTKA/BKPRMI menginginkan TPA disamakan dengan MDTA, sedangkan Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah tidak bisa menerima persamaan tersebut karena berbeda jenjang umur dan kurikulum antara TPA dengan Madrasah Diniyah atau MDTA Pihak Kementrian Agama juga mempunyai pendapat yang sama dengan Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah, berikut pernyataan I1-2 :
“ TPA itu sama dengan TPQ, dan TPQ itu pra diniyah, jadi tidak bisa disamakan, dengan keluarnya PMA No 3 tahun 2013, disitu di jelaskan bahwa kedudukan TPA berada dibawah MDTA” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari pendapat di atas terlihat jelas bahwa pihak Kementrian Agama dan pihak FKDT menganggap bahwa hambatan utama pelaksanaan
kebijakan
Perda
Madrasah
Diniyah
adalah
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon yang hendak menyamakan TPA dengan MDTA, dan persamaan ini tidak bisa diterima oleh Kementrian Agama Kota Cilegon, Kementrian Agama menganggap TPA sebagai pendidikan Pra Madrasah Diniyah, lebih lanjut pihak Kementrian Agama dan FKDT
130
meenjelaskan tentang beda usia antara TPA dengan Madrasah Diniyah seperti pada tabel berikut :
Tabel 4.2 Ilustarasi Jenjang Pendidikan DIKNAS
DEPAG
No
1
2
FORMAL TK Kelompok A TK Kelompok B
FORMAL RA Kelompok A RA Kelompok B
NON FORMAL TKQ Kelompok A TKQ Kelompok B
SD Kelas 1 SD Kelas 2 SD Kelas 3 SD Kelas 4 SD Kelas 5 SD Kelas 6
MI Kelas1 MI Kelas 2 MI Kelas 3 MI Kelas 4 MI Kelas 5 MI Kelas6
TPQ Kelompok A TPQ Kelompok B MDTA Kelas 1 MDTA Kelas2 MDTA Kelas 3 MDTA Kelas 4
BKPRMI NON FORMAL
USIA
TKA Paket A
4-5 Tahun
TKA Paket B
5-6 Tahun
TPA Paket A TPA Paket B
6-7 Tahun 7-8 Tahun 8-9 Tahun 9-10 Tahun 10-11 Tahun 11-12 Tahun
(sumber : Perwal No. 44 Tahun 2011) Dari tabel di atas dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa TPA merupakan pendidikan Pra-Madrasah Diniyah dengan TPA paket A berada pada usia 6-7 tahun, dan TPA paket B pada usia 7-8 tahun, dan usia tersebut masuk pada usia kelas 1 dan 2 SD maupun MI, sedangkan untuk MDTA berada pada usia 8-12 tahun dan setara dengan kelas 3 sampai dengan kelas 6 untuk SD dan MI. Perbedaan dan pengklasifikasian tersebut tidak dibenarkan oleh pihak LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, berikut pernyataan I4 :
131
“Atas dasar apa mereka membedakan hal tersebut, coba lihat PP No.55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, disitu dijelaskan ada pasal mengenai pendidikan keagamaan islam, dalam pasal tersebut ada point-pointya, salah satunya bahwa pendidikan kegaamaan islam itu berupa Madrasah Diniyah, TPA dan Majlis Ta’lim, itu tidak dibedakan, harusnya melihat kesitu, kita ini hierarki peraturanya” (Wawancara dengan Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor Kesbanglinmas Kota Cilegon)
Lebih dalam pihak LPPTKA/BKPRMI mengatakan bahwa pengkalsifikasian
tersebut
bertentangan
dengan
peraturan
yang
dikeluarkan oleh Kementrian Agama Pusat yaitu tentang Standar Nasional dan Mutu Pendidikan Al-Qur’an, dalam peraturan tersebut bahwa siswa TPA itu berusia pada kisaran 7-12 tahun :
“Bahkan ada di Kementrian Agama aturan mengenai standar nasional dan mutu pendidikan Al-Qur’an, disitu dijelaskan bahwa TPA itu sama dengan Diniyah dalam masalah umuruya, sekarang Kemenag Cilegon mau tidak menggunakanya aturan tersebut.” (Wawancara dengan Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor Kesbanglinmas Kota Cilegon
Menyikapi
hal
tersebut
pihak
Kementrian
Agama
yang
disampaikan oleh I1-3 menyatakan sebagai berikut:
“Dalam masakah tersebut mereka tidak membaca Perda No. 1 Tahun 2008, disitu dijelaskan bahwa masalah pendidikan keagamaan islam di serahkan ke Kemenag, mereka sebagai ormas harus mengikuti kita, karena kita yang punya wewenang, harusnya
132
mereka meminta izin operasionl pendirian pendidikan agama Islam di Kota Cilegon, tapi sekarang belum ada ijin operasional tersebut” (Wawancara dengan Ibu Titim Fatimah, MM. Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kementrian Agama Kota Cilegon Jum’at, 16 Oktober 2015, Pukul 08.00 Wib. Di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon) Dalam kesempatan lain pihak FKDT yang peneliti wawancarai menyampaikan sebagai berikut :
“Kalau TPA hendak disamakan dengan Madrasah Diniyah, yang bersangkutan harus ijin operasioanal pendirian Madrasah Diniyah di TPA tersebut, kurikulumnya harus sama, jam belajarnya juga harus sama, nah sekarang yang bersangkutam alergi tidak dengan Madrasah Diniyah, sebenarnya hanya itu saja,” (Wawancara dengan Bapak Muizudin, M.Pd, Pengurus FKDT Kota Cilegon. Kamis 8 Oktober 2015 pukul 15.00 Wib Di MDTA langon)
Menanggapi hal tersebut, pihak LPPTKA/BKPRMI seperti yang disampaikan oleh I4 :
“Kalau untuk disamakan tentu tidak bisa, tapi jika memuat kurikulum yang sama kami bisa, dan memang saat ini kami sudah mempunyai kuruikulum yang baru yang sama seperti MDTA” (Wawancara dengan Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor Kesbanglinmas Kota Cilegon)
Dari wawancara di atas dapat terlihat bahwa masing-masing pihak antara Kementrian Agama dan LPPTKA/BKPRMI masih saling bersitegang dan mempunyai dasar masing-masing sebagai argumenya, dengan adanya perseslisihan tersebut Peraturan Daerah Nomor 1 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah tersebut tidak berjalan dengan semestinya.
133
Pada dasarnya permasalahan pokok lamanya implementasi kebijakan ini ialah masalah jenjang TPA dan MDTA, Pihak LPPTKA/BKPRMI menginginkan TPA dan MDTA disamakan dan dapat digunakan ijazahnya untuk masuk SMP/MTs, sedangkan Kementrian Agama tidak bisa menerima persamaan tersebut, TPA dianggap sebagai pra MDTA, dan ijazah yang digunakan untuk masuk SMP/MTs hanya menggunakan ijazah/Syahadah MDTA. Saat ini masyarakat terpecah dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon tersebut, sebagian menganggap bahwa perda ini mandul, dan sebagian lagi menganggap perda berjalan dan sedang dalam proses pengimplementasian. Berdasarkan pada paparan diatas dapat disimpulkan Kementrian Agama dan Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah (FKDT) menganggap bahwa hambatan dalam penyelenggaraan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon adalah LPPTKA/BKPRMI. Kementrian Agama menolak keinginan LPPTKA/BKPRMI yang ingin menyamkan TPA dengan Madrasah Diniyah karena dianggap beda jenjang, umur dan kurikulum. Permasalahan di atas disebabkan karena terdapatnya penafsiran, dan pola pikir yang berbeda antara Kementrian Agama Kota Cilegon dan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon dalam menerjemahkan PP No. 55 tahun
134
2007 dan PMA No. 13 Tahun 2014 sehingga menyebabkan perbedaam acuan hukum antara Pihak Kementrian Agama Kota Cilegon dengan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, pihak Kementrian Agama mengacu pada Perwal No. 44 Tahun 2014, sedangkan LPPTKA/BKPRMI mengacu pada Perwal No. 25 tahun 2014. Proses Perumusan dan Perubahan Peraturan Walikota Pada hari senin tanggal 18 Oktober Tahun 2010, bertempat di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon telah diadakan pembahasan akhir draft Rancangan Peraturan Walikota Cilegon Tentang Wajib Belajar Pendidikan Diniyah Awaliyah yang selanjutnya diajukan kepada Biro Hukum Setda Pemerintah Kota Cilegon untuk diadakan kajian lebih lanjut sebelum akhirnya
ditetapkan
sebagai
Peraturan
Walikota
Cilegon
untuk
melaksanakan Perda No. 1 Tahun 2008. Dalam pembahasan akhir draft tersebut dihadiri oleh Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon, Drs. H. Mahmudi, M.Si, Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kota Cilegon, Drs. H. Romli Rohani, M.Pd, Kepala Seksi Pekapontren dan Penmas Kementrian Agama Kota
Cilegon,
Dra.
Hj.
Titim
Fatimah,
MM,
Direktur
Daerah
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, Bayu Panatagam, S.Pd, Sekretaris Daerah LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, M. Rohman, Ketua KKMD Kota Cilegon, Tb. Mastur, S.Pd, Sekretaris KKMD Kota Cilegon, Ahmad Yani,
135
S.Pd.I, Wakil Sekertaris FOKMADA Kota Cilegon, Sekretaris POKJAWAS Kementrian Agama Kota Cilegon. Dalam perumusan tersebut disepakatilah bahwa pendidikan diniyah bersifat umum dan terbuka dengan perserta usia didik antara 7-12 tahun (pasal 6 ayat 1 dan 2) dan membolehkan satuan pendidikan yang telah memuat kurikulum pendidikan diniyah sebagai penyelenggara pendidikan diniyah (pasal 13 ayat 1 dan 2), tetapi pada tanggal 16 April 2011 rumusan tersebut tersebut dirubah atau direvisi oleh Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Kota Cilegon, yaitu pada pasal 6 ditambahkan dengan 1 pasal yang mengkalsifikasikan jenjang peserta didik dengan usia didik 6-7 tahun sebagai usia TPA paket A atau TPQ paket A, usia 7-8 tahun untuk TPA paket B atau TPQ paket B, dan MDTA kelas 1-4 pada usia 8-12 tahun, sedangkan pada pasal 13
dihapus karena tidak sesuai dengan Perda
Diniyah. Setelah revisi Raperwal tersebut, maka jadilah sebuah Peraturan Walikota Nomor 44 Tahun 2011 yang isinya sesuai dengan yang diajukan oleh Forum Komunikasi Madrasah Diniyah (FOKMADA) Kota Cilegon, setelah adanya perwal tersebut lalu keluar Surat Edaran Kementrian Agama Kota
Cilegon
Nomor.
Kd.28.06./5/PP.00.8/2328/2014
Tentang
Pemberlakuan wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah di Kota Cilegon. dalam Surat Edaran tersebut dinyatakan bahwa untuk masuak SMP/MTs wajib menyerahkan Syahadah Diniyah.
136
Ketentuan
tersebut
mendapatkan
pertentangan
dari
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, pihak LPTTKA/BKPRMI mengatakan bahwa ketentuan dalam Perwal Nomor 44 Tahun 2011 dan Surat Edaran Kementrian Agama tersebut telah menyalahi kesepakatan yang telah dibuat bersama-sama
dengan
Dinas
Pendidikan,
Kementrian
Agama,
LPPTKA/BKPRMI, KKMD dan FOKMADA Kota Cilegon,berikut pernyataan I4 :
“Ceritanya seperti ini pada hari senin tanggal 18 Oktober Tahun 2010, bertempat di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon (sambil memperlihatkan dokumen), kami bersama-sama dengan dinas Pendidikan, Kemenag, Fokmada dan KKMD merumuskan raperwal tersebut, dan kami telah sepakat, tetapi tiba-tiba ketika muncul di perwal Nomor 44 Tahun 2011 berbeda dengan apa yang kami usulkan bersama-sama, ini siapa yang melakukan, Masya Allah ini dokumen negara, kalau dituntut bisa dibawa kepengadilan, tapi kami berusaha sabar, kenapa bisa-bisanya rumusan ini dirubah, siapa ini yang merubah, padahal pada awalnya tidak seperti ini, ini lihat dokumen dan BAP-nya (sambil menyodorkan BAP dan Dokumen rumusan Perwal), ini yang benar, ini ada cap Kementrian Agama dan legal, sedangkan yang ini, ini tanda tangan siapa, dan juga ini bukan cap Kemenag tapi cap Fokmada” (Wawancara dengan Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor Kesbanglinmas Kota Cilegon)
137
Gambar. 4.5 Direktur LPPTKA/BKPRMI Bayu Pantagama sedang membuka dokumen
(Sumber : Peneliti, 2015)
Menyikapi hal tersebut ketika peneliti tanyakan ke Kementrian Agama, mengenai adanya perubahan revisi sepihak yang dilakukan oleh FOKMADA, I1-3 menjawab “ tidak jadi masalah, kontenya masih tetap sama baik yang belum direvisi maupun yang sudah direvisi” (Wawancara dengan Ibu Titim Fatimah, MM. Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kementrian Agama Kota Cilegon Jum’at, 16 Oktober 2015, Pukul 08.00 Wib. Di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon) Sebagai bentuk rasa protes pihak LPTTKA/BKPRMI Kota Cilegon mendatangi Bapak Iman Ariyadi, M,Si Walikota Cilegon untuk melakukan perubahan Peraturan Walikota Nomor 44 Tahun 2011 menjadi seperti semula seperti pada pembahasan draft pada tanggal 18 Oktober tahun 2010. Atas protes dan audiensi tersebut Walikota Cilegon mengeluarkan Perwal No. 44 Tahun 2014 sebagai bentuk revisi terhadap Perwal Nomor
138
44 tahun 2011, yang isinya bahwa bahwa jenjang umur pendidikan diniyah itu berkisar 7-12, dan TPA masuk didalamnya. Pihak Kementrian Agama menanggapi adanya perubahan Perwal tersebut mengatakan tidak akan memberikan pengaruh bagi Madrasah Diniyah, dan tetap mempertahankan bahwa ketika masuk SMP/MTs hanya boleh menggunakan ijazah Syahadah Diniyah bukan TPA, berikut pernyataan I1-2 :
“Saat ini masyarakat dibingungkan karena untuk masuk SMP/MTs boleh menggunakan Syahadah TPA dan juga Diniyah, tetapi walaupun demikian kami tetap memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa syahadah diniyahlah yang berlaku, karena perdanya juga tentang perda diniyah, adapun keluar perwal terbaru tetap tidak akan merubah menjadi ke ijazah TPA, tetap harus Syahadah Diniyah” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Ketika peneliti tanyakan kepada Dinas Pendidikan mengenai adanya perwal terbaru dan adanya perbedaaan antara LPPTKA/BKPRMI, dengan Kementrian Agama tersebut I3-1 menyampaikan:
“Itu urusan mereka, mereka yang harus menyelesaikan, tapi dalam perda hanya disebutkan syhadah, selain syahadah tidak kami terima di sekolah-sekolah negeri, dan yang mengeluarkan syahadah itu Kementrian Agama Kota Cilegon, kalau TPA ingin mendapatkan syahadah harus Kementrian Agama, meminta ijin operasional pendirian diniyah” (Wawancara dengan Bapak Muchtar Gozali. Kamis 22 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. Di Kantor Dinas Pendidikan Kota Cilegon)
139
Dari wawancara dengan Dinas Pendidikan di atas dapat disimpulkan bahwa Dinas Pendidikan juga mempunyai pandangan yang sama dengan Kementrian Agama, bahwa untuk masuk SMP/Mts harus menggunakan syahadah diniyah yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama Kota Cilegon, menanggapi adanya perubahan perwal tersebut Dinas Pendidikan juga mempunyai pandangan yang sama bahwa hal tersebut tidak merubah membolehkan Syahadah Diniyah digantikan dengan ijajzah TPA.
Berdasarkan pemaparan diatas dalam dimensi proses dapat disimpulkan, pada pelayanan langsung dan pemerataan kebijakan saat ini Madrasah Diniyah belum memenuh aspek publik karena kurangnya gedung-gedung madrasah yang menyebabkan kebijakan menyerahkan Syahadah Diniyah ketika hendak melanjutkan kesekolah SMP/MTs belum berjalan dengan baik, yang baru melaksanakan hanya baru pada lembaga pendidikan yang dibawah Kementrian Agama yaitu MTs-MTs Negeri, sedangkan pada lembaga pendidikan dibawah Dinas Pendidikan belum berjalan sama sekali. Selanjutnya indikator hambatan, dalam indikator ini permasalahan terjadi karena terdapatnya penafsiran, dan pola pikir yang berbeda antara Kementrian Agama Kota Cilegon dan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon dalam melaksanakan amanat Perda tersebut sehingga menyebabkan
140
perbedaam acuan hukum antara Pihak Kementrian Agama Kota Cilegon dengan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, pihak Kementrian Agama mengacu pada Perwal No. 44 Tahun 2014, sedangkan LPPTKA/BKPRMI mengacu pada Perwal No. 25 tahun 2014. Penyebebab adanya multitafsir dan pemahaman yang berbeda tersebut dikarenakan kedua Perwal Madrasah Diniyah tidak sesuai dan telah menyalahi atau bertentangan dengan Perda Madrasah Diniyah, kedua perwal tersebut tentang pendidikan diniyah bukan Madrasah Diniyah, permasalahan inilah yang menyebabkan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon dan Kementrian Agama Kota Cilegon mempunyai pemahaman yang tidak sama
4.3.3
Dimensi Outputs Outputs yaitu hasil dari pelaksanaan kebijakan, apakah sutau
kebijakan menghasilkan produk sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, Outputs antara lain meliputi ketepatan, dan sasaran yang tertangani. a. Ketepatan Pemberlakuan adanya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah, menurut beberapa narasumber memang tepat untuk diberlakukan di Kota Cilegon, seperti yang disampaikan oleh I2-2 :
141
“Perda ini diawali dengan inisiatif kita pada waktu itu ketuanya pak Haji Amin makhtum, melihat fenomena di masyarakat Kota Cilegon sekarang sudah berubah, nilai-nilai keagmaan ini sudah semakin hilang, jadi adanya perda ini tepat sekali bahkan mendesak untuk diadakan” Wawancara dengan Bapak Muizudin, M.Pd, Pengurus FKDT Kota Cilegon. Kamis 8 Oktober 2015 pukul 15.00 Wib Di MDTA langon Hal yang sama juga disampaikan oleh I1-2
“Bukan tepat lagi tapi memang benar-benar dibutuhkan, dulu itu madrasah berkembang, tapi sekarang sudah sedikit yang minat, masyarakat sudah sedikit yang menyekolahkan anaknya kemadrasah, jadi perda ini memang harus dilakukan supaya generasi mendatang pada bisa memahami agama dengan baik” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari wawancara di atas adanya peraturan daerah tentang kewajiban belajar Madrasah Diniyah di Cilegon merupakan hal yang penting mengingat Cilegon adalah kota santri, tetapi predikat tersebut semakin bergeser dengan masuknya budaya-budaya asing yang secara tidak langsung merubah tatanan budaya Wong Cilegon yang agamis menajdi hedonis dan matrealisitis, nilai nilai keagamaan sudah semakin hilang, madrasah menjadi sepi dan tidak yang meminati, jadi dengan adanya perda ini diharapkan mampu menghidupkan lagi madrasah yang sudah hampir hilang.
142
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh I4 menyampaikan sebagai berikut : “Pada awalnya saya menolak adanya perda ini, karena memang tidak di ikutkan, kami tidak dianggap sebagai lembaga pendidikan keagamaan, dan saya juga tidak setuju dengan judul perda, seharusnya bukan Madrasah Diniyah tapi pendidikan keagamaan Islam” (Wawancara dengan Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor Kesbanglinmas Kota Cilegon)
Dari pendapat I4 dapat diketahui bahwa pada awalnya menolak karena lembaga pendidikan TPA tidak diikutsertakan menjadi bagian dari pendidikan diniyah, penolakan tersebut bukan pada penolakan substansi perlunya belajar keagamaan islam di Cilegon tetapi pada redaksi judul perda dan diabaikanya TPA sebagai lembaga pendidikan diniyah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya perda ini memang tepat untuk diberlakukan di Cilegon, adapun yang menolak hanya pada redaksi isi perda bukan pada substansi pentingnya pendidikan keagamaan di Kota Cilegon. b. Sasaran yang ditangani Sasaran perda ini adalah siswa SD yang berusia 7-12 tahun, saat ini berdasarkan hasil wawancara bahwa banyak siswa Sekolah Dasar yang belum masuk Madrasah Diniyah dikarenakan lokasinya yang jauh seperti yang disampaikan oleh I6-6: “ Seperti tempat saya di Warnasari itu diniyahnya jauh, berapa kilo itu, itu harus bagaimana, tetap masuk diniyah atau ada solusi
143
seperti apa, ini perlu dibicarakan oleh Kementrian Agama (Wawancara dengan Bapak Baehaki, Wali Murid Diniyah Rabu, 7 Oktober 2015. Pukul 02.00. WIB)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa Madrasah Diniyah belum sepenuhnya dapat mewadahi siswa Sekolah Dasar dikarenakan jumlah gedung yang belum memadai. Pihak Kementrian Agama pun mengakui demikian, pihaknya akan meminta ijin kepada Dinas Pendidikan untuk mendirikan Madrasah Diniyah di SD tersebut, berikut penyampaian dari I1-1 : “ masalah hal itu kita minta ijin terlebih dahulu ke Dinas Pendidikan untuk sementara waktu mengadakan pendirian madrasah disitu, supaya anak -anaknya sekolah madrasah pada sore harinya ” (Wawancara dengan Bapak Drs. Ubiq Baehaqi, M.Si, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon. Jum’at. 16 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon) Pendapat yang berbeda disampaikan oleh I4 : “ Perda diniyah harusnya melihat kekami, kami punya ribuan murid yang sekolah di TPA, kalau dipaksakan ke MDTA, kasihan mereka, dan bisa jadi pindah, apa sih bedanya padahal kami sama-sama pendidikan keagamaaan” (Wawancara dengan Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor Kesbanglinmas Kota Cilegon
Pihak I4 menyatakan bahwa sasaran Madrasah Diniyah telah mengambil jatah murid TPA, menurutnya seharusnya tidak boleh terjadi, MDTA dan TPA harus berjalan seiringan tidak berebut murid dan tidak
144
boleh ada pemaksaan bahwa pesertad didik yang berusia 7-12 tahun harus ke MDTA karena dalam aturan Kementrian Agama pun murid TPA berkisar 7-12 tahun. Kesimpulan dari paparan di atas ialah bahwa sasaran perda ini belum sepenuhnya maskimal, ada banyak siswa sekolah dasar yang belum masuk MDTA, dan ada pihak yang keberatan jika peserta didik dari 7-12 tahun harus masuk ke MDTA semua, karena ada lembaga pendidikan keagamaan seperti TPA yang juga mempunyai usia peserta didik 7-12 tahun. Berdasar pada paparan diatas dimensi Ouputs dapat disimpulkan bahwa sasaran dan ketepatan kebijakan perda Madrasah Diniyah tersebut belum optimal karena belum sepenuhnya dapat mewadahi peserta didik disebabkan jumlah gedung yang belum memadai dan adanya kebijakan ini juga telah merugikan lembaga pendidikan TPA dibawah naungan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. 4.3.4 Dimensi Outcomes Outcomes yaitu apakah suatu pelaksanaan kebijakan berdampak nyata terhadap kelompok sasaran sesuai dengan tujuan kebijakan. Untuk mengetahui outcomes yang dihasilkan dari penyelenggaraan kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, maka peneliti menganalisis tentang perubahan apa yang terjadi dimasyarakat dan juga
145
dipemerintahan yaitu Pemerintah Kota Cilegon dan Kementrian Agama dan berbagai macam dampak lain baik berupa dampak negatif dan positif. Data yang berkaitan dengan outcomes yang ditimbulkan dari adanya kebijakan tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara peneliti dengan I4 :
“Besar sekali dampaknya, pertama menurunya jumlah santri kami, dari 160 unit TKA TPA, 20 unit TKA TPA yang telah kami bina bertahun-tahun hijrah ke Madrasah Diniyah dan ada juga yang menjadi TPQ, Dampak yang kedua yaitu secara moral walaupun hal ini tidak terasa, masyarakat masih mengakui LPPTKA/BKPRMI, yaitu terjadinya komunikasi yang tidak baik antara kami dengan pemerintah, tadi sudah dikatakan yang menjadi penghambat kan LPPTKA, itu merupakan kesan yang dimunculkan, seharusnya mereka berterima kasih kepada kami karena telah membantu mereka, kami adalah mitra pemerintah, mereka yang salah dan kami luruskan” (Wawancara dengan Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor Kesbanglinmas Kota Cilegon)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa dampak adanya kebijakan tersebut ialah pertama berkurangnya jumlah sekolahsekolah TPA di bawah naungan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon dari 160 unit menjadi 140 unit, 20 unit tersebut pindah menjadi Madrasah Diniyah dan sebagian lagi menjadi TPQ (Taman Pendidikan Qur’an). Kedua, terjadinya komunikasi yang tidak baik antara ormas LPPTKA/BKPRMI dengan pemerintah, yaitu Dinas Pendidikan Kota Cilegon dan Kementrian Agama, pihak LPPTKA/BKPRMI menganggap
146
penyudutan lembaganya sebagai pihak yang menghalangi pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah merupakan kesan yang negatif dimata masyarakat Kota Cilegon. Selain di atas juga dampak dari adanya kebijakan Perda Diniyah ialah : a. Pemerintah Daerah. Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 pada BAB IV pasal 53 dijelaskan bahwa pembiayaan pendidikan keagamaan Islam bersumber dari penyelenggara, pemrintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat atau sumber lain yang sah, dalam Peraturan Mentri Agama tersebut jelas bahwa salah satu pembiayaan pendidikan keagamaan islam dari pemerintah daerah, dalam hal ini ialah pemerintah kota Cilegon. Dalam hal ini pemerintah Kota Cilegon telah banyak membantu dalam penyelenggaraan Madrasah Diniyah, berikut penuturan I3-1 :
“Untuk masalah bantuan, saat ini kami pemerintah Kota Cilegon telah banyak membantu terhadap Madrasah Diniyah, dimulai dari honor gaji guru-guru madrasah walau masih kecil juga, supaya mereka mau mengaajar, termasuk juga sarana prasarana, tetapi karena ini tidak diotonomikan, jadi tidak bisa dianggarkan secara kegiatan, tapi harus bentuk proposal ke Kesra, sekarang udah banyak yang mengajukan” (Wawancara dengan Bapak Muchtar Gozali. Kmis 22 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. Di Kantor Dinas Pendidikan Kota Cilegon)
147
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa Pemerintah Kota Cilegon telah banyak membantu Madrasah Diniyah sebagai bentuk kepedulian terhadap pendidikan keagmaaan, khususnya agama islam dalam bentuk honor gaji para guru-guru madrasah walaupun besaranya tidak besar yaitu Rp.400.000,00. Bantuan pemerintah Kota Cilegon terhadap Madrasah Diniyah juga dibenarkan oleh I1-2 :
“Pada dasarnya sarana dan prasarana dari pemda belum kecuali untuk tenaga pendidik yang saat ini dari 1700 tenaga pendidik yang ada di Madrasah Diniyah sudah tercover 1.260 yang mendapatkan honor daerah yang besaranya 400.000 sebulan jadi sekitar 500 yang belum mendapatkan honor, kalau untuk sarana prasarana belum. Ada juga yang pernah dibantu oleh Dinas Pendidikan di Ciwedus ini dibangunkan gedungnya dan itu pun hanya satu atau dua” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari wawancara di atas dapat diketahui bahwa pemerintah daerah telah membantu Madrasah Diniyah terutama dalam honor daerah bagi para guru-guru madrasah dinyah dengan besaran Rp. 400.000 bagi 1.260 guruguru madrasah, saat ini jumlah tenaga pendidik atau pengajar Madrasah Diniyah berjumlah 1.700 pengajar yang berarti sekitar 440 pengajar yang belum tercover atau belum mendapatkan honor dari pemerintah Kota Cilgon, untuk memenuhi rasa keadilan bersama honor tersebut tidak dibagikan lengsung ke pengajar tetapi diakumulasikan dan dibagi rata
148
keseluruh guru madrasah, sehingga besaran yang diterima tidak sebanyak Rp.400.000,00 tetapi sekitar Rp.300.000,00 per-guru. Pendapat yang berbeda di sampaikan oleh I1-4 : “Bantuan tersebut belum ada nominalnya berapa, untuk pembangunan gedung berapa, untuk honor berapa, hanya masih bersifat membantu, kalau membantu tentu semua juga harus membantu, kami inginya dinominalkan berapa, karena PMA Nomor 13 Tahun 2014 juga dijelaksan bahwa pembiayaan tersebut juga berasal dari Pemerintah Daerah” (Wawancara dengan Bapak H. Muhyi. Kepala Sub Bagian TU Kementrian Agama Senin, 05 Oktober 2015, Pukul 10.00 WIB Di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari pendapat di atas I1-4 menginginkan bahwa pemerintah daerah harus menganggarkan dalam bentuk kegiatan untuk Madrasah Diniyah dengan jumlah nominal tertentu, akan tetapi pendapat tersebut oleh Dinas Pendidikan
terlalu
berlebihan
karena
khawatir
akan
melampaui
kewenangan, berikut pernyataan I3-1 :
“Bukan apa-apa, kami sangat mendukung dengan adanya Madrasah Diniyah di Cilegon, tapi kami tidak bisa membantu sepenuhnya karena khawatir melampaui kewenangan, karena Madrasah Diniyah merupakan lembaga yang ada di Kementrian Agama bukan pada kami, kami khawatir jika ini bisa di jadikan temuan BPK, karena tahun yang lalu BPK menanyakan tentang pembebasan dana SPP bagi Madrasah Aliyah Negeri dengan APBD Kota Cilegon beruntung kami bisa menjelaskan sehingga tidak jadi masalah” (Wawancara dengan Bapak Muchtar Gozali. Kmis 22 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. Di Kantor Dinas Pendidikan Kota Cilegon)
149
Pihak Dinas Pendidikan seperti yang disampaikan di atas menyampaikan bahwa pemerintah Kota Cilegon sudah banyak membantu pendidikan keagamaan yang berada di bawah naungan Kementrian Agama berupa dana honor guru madrasah, pembebasan SPP bagi Madrasah Aliyah Negeri, apabila nanti Dinas Pendidikan membantu lagi dan menominalkan anggararn dalam bentuk kegitan khawatir nanti melebihi kewenangan pemerintah daerah, dan akan dipermasalahkan dengan BPK. Dari pendapat dan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa pembiayaan madrasah oleh pemerintah Kota Cilegon telah banyak digulirkan dalam bentuk honor daerah walaupun besaranya masih kecil, sedangkan dalam bidang sarana-prasarana belum sepenuhnya dapat dilakukan sesuai amant perda. b. Kementrian Agama dan Forum Komunikasi Diniyah Takmilyah (FKDT) Kota Cilegon Kementrian Agama sebagai lembaga pemerintah yang memiliki otoritas dalam pendidikan kegamaan tentunya dengan adanya perda ini akan bekerja lebih keras lagi, Kementrian Agama harus menyiapkan Sumber Daya Manusia, pengawasan, pembiayaan (supervisi) dan berbagai macam keperluan teknis lainya seperti ijin operasional pendirian Madrasah Diniyah, berikut penyampaian yang disampaikan oleh I1-2 : “Adanya kebijakan ini membuat kita harus lebih ekstra lagi, menyiapkan sumber daya manusia, supervisi madrasah, ijin pendirian madrasah, pembutan kurikulum, pelatihan para tenaga
150
pendidik, tapi hal itu tidak jadi masalah bagi kami, kami siap dengan semua itu” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari apa yang disampaikan di atas pihak Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam (PAKIS) Kementrian Agama menyatakan bahwa memang ada tugas yang lebih ekstra tetapi hal itu tidak menjadi masalah bagi Kementrian Agama, karena memang pendidikan diniyah atau Madrasah Diniyah sudah ada semenjak belum adanya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon. Pihak Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) Kota Cilegon juga membenarkan pendapat yang disampaikan oleh I1-2, FKDT tidak keberatan bahkan mendukung adanya Peraturan Daerah tersebut, berikut penyampaian I2-2 :
“Adanya Peraturan daerah ini merupakan atas usulan kita-kita, yang pada waktu itu Bapak H. Amin Makhtum ketuanya, kami terus berupaya supaya perda ini digolkan didewan, dan alhamdulilah gol, dampaknya sangat baik, karena ini akan menjadikan madrasah hidup lagi” ( Wawancara dengan Bapak Muizudin, M.Pd, Pengurus FKDT Kota Cilegon. Kamis 8 Oktober 2015 pukul 15.00 Wib Di MDTA Langon)
Dari wawancara dengan para narasumber di atas dari Kementrian Agama dan pihak FKDT dapat disimpulkan bahwa Kementrian Agama dan FKDT tidak keberatan dengan adanya perda tersebut bahkan sangat
151
mendukung jika diberlakukan di Cilegon, karena image Kota Cilegon adalah Kota santri dan kental akan nilai-nilai keislaman, sehingga dengan adanya perda ini akan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat Cilegon. c.
SMP/MTs Kewajiban
belajar
Madrasah
Diniyah
di
kota
Cilegon
dipergunakan salah satunya dalam bentuk kewajiban melampirkan syahadah diniyah ketika melanjutkan jenjang sekolah ke SMP/MTs. Adapun dampak yang diterima oleh pihak SMP dan MTs ialah seperti yang di sampaikan oleh I5-2 :
“Kami mendukung adanya kebijakan ini, supaya anak-anak bisa ngaji, bisa paham agama, dan ini sangat membantu sekali, terutama bagi guru PAI, dan juga mengenai pendidikan karakter, sesuai dengan ikon Cilegon sebagai Kota santri, kami dari SMPN 3 Cilegon sangat setuju, dan tidak jadi masalah bagi kami kalau nanti ketika masuk harus menggunakan syahadah diniyah” (Wawancara dengan Bapak Drs. Dedi Rustendi, Wakil Kepala Sekolah SMPN 3 Kota Cilegon Rabu 14 Oktober 2015. Pukul 10.00. Di SMPN 3 Kota Cilegon) Dari paparan yang disampaikan oleh I5-2 dapat diketahui bahwa perda ini berdampak positif bagi pihak SMP karena ini akan sangat membantu guru PAI dalam mengajarkan bacat tulis Al-Quran, dan pemahaman tentang masalah agama seperti fiqih, praktek ibadah, AlQur’an Hadis dan lain sebagainya, selain hal tersebut juga membantu dalam problema pendidikan karakter bagi peserta didik.
152
Hal yang senada juga disampaikan oleh I5-1 :
“ Dengan adanya perda ini saya mendukung sekali supaya anakanak dapat mengaji dan dapat membaca Al-Qur’an, jadi ketika di Tsanawiyah tinggal melanjutkan saja, kalau masalah syahadah diniyah itu sudah diterapkan disini dan semuanya berjalan dengan baik, tidak menjadi beban atau apapun” (Wawancara dengan Bapak Rafiuddin, M.Pd, Kepala Madrasah MTsN Pulomerak Kota Cilegon Rabu 14 Oktober 2015. Pukul 10.00 WIB. Di Kantor Kepala MTsN Pulomerak)
Dari paparan para narasumber di atas dapat disimpulkan bahwa adanya perda ini merupakan hal yang positif tidak menjadi beban bahkan mendukung karena akan membantu guru-guru PAI dan sekolah dalam memberikan pemahaman agama dan pendidikan karakter.
d. Masyarakat Masyarakat dalam teori kebijakan publik merupakan objek atau sasaran kebijakan. Masyarakat secara langsung yang merasakan kebijakan tersebut dalam bentuk dampak baik itu secara negatif maupun positif. Adanya kebijakan peraturan daerah tentang penyelenggaraan wajib belajar Madrasah Diniyah ini juga memberikan dampak bagi masyarakat Cilegon, berikut pernyataan dari I6-1 “kita tidak tau apa-apa dan, menurut saya hal itu baik jika memang diterapkan” (Wawancara dengan Ibu Ruenah, Wali Murid Madrasah Diniyah Minggu, 25 Oktober 2015 . pukul 14.00 Wib). I6-2 juga mengatakan demikian “tentu sangat positif, mengurangi aktivitas
153
anak-anak yang kebanyakan bermain” (Wawancara dengan Bapak Sabililah, Wali Murid Madrasah Diniyah.Minggu, 25 Oktober 2015 Pukul 10.21 Wib) Pendapat yang berbeda yang disampaikan oleh I6-3 mengatakan sebagai berikut :“katanya adanya yang bilang tidak wajib syahadah diniyah, ada juga yang bilang bisa ijazah TPA, saya bingung acaun apa yang harus saya pakai, ini aturanya tidak jelas” (Wawancara dengan Umi Habibah, Wali Murid Madrasah Diniiyah Senin, 26 Oktober 2015. Pukul13.04 Wib) Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa sebagian masyarakat ada yang merespon positif, ada yang acuh tak acuh, dan ada yang bingung, tetapi sebagian besar masyarakat mersepon positif adanya perda ini. Ketika peneliti tanyakan apakah menambah beban bagi para orang tua untuk mengeluarkan uang lebih banyak lagi, karena harus membayar SPP, bayar bangunan gedung dan keperluan-keperluan lainya, I6-4 menyampaikan sebagai berikut :“ biasa aja, paling cuma bayar SPP 10.000 Rupiah” (Wawancara dengan Bapak Jahidi, Wali Murid Madrasah Diniyah Sabtu, 24 Oktober 2015 Pukul 11.44 Wib), ada juga yang berpendapat demikian “tidak jadi masalah demi anak sekolah” (Wawancara
dengan Umi Habibah, Wali Murid Madrasah Diniiyah Senin,
26 Oktober 2015. Pukul13.04 Wib)
154
I6-5 juga mengatakan“tidak menjadi masalah, terlebih saat ini Sekolah Dasar Geratis ( Wawancara dengan Ibu Sukesih, Wali Murid Madrasah Diniyah Sabtu, 24 Oktober 2015 Pukul 16.20 Wib) Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bhawa masyarakat sebenarnya tidak keberatan dengan adanya kebijakan tersebut begitu juga dengan dana yang harus dikeluarkan untuk bayar SPP dan bangunan gedung madrasah. Dalam dimensi Outcomes dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya adanya kebijakan perda Madrasah Diniyah mempunyai dampak yang positif
hanya
saja
adanya
kebijakan
tersebut
telah
merugikan
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon dikarenakan banyaknya sekolah-sekolah TPA dibawah naungan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon beralih menjadi Madrasah Diniyah dan citra LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon menjadi negatif dimata pemerintah karena dianggap telah menghalangi adanya kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon.
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian Pembahasan hasil penelitian merupakan isi dari hasil analisis data dan fakta yang peneliti dapatkan dilapangan serta disesuaikan dengan teori yang digunakan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori evaluasi menurut Nurcholis (2007) dalam bukunya Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi
155
Daerah dimana evaluasi kebijakan merupakan penilaian secara menyeluruh terhadap aspek input, proses, output dan outcomes. Selanjutnya dalam penelitian mengenai Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon dari hasil penelitian dilapangan dapat dilihat dari asepk input, proses, output dan outcomes dari kebijakan tersebut. Adapun pembahasan yang dapat peneliti paparkan adalah sebagai berikut : 1. Input Dimensi input merupakan dimensi pertama dalam evaluasi yang dikemukakan oleh Nurcholis (2007), dimensi ini melihat pada struktur organisasi kelembagaan, sumber daya, dan sosialisasi kebijakan. Pada bagian pertama yaitu mengenai struktur organisasi, dalam Madrasah Diniyah ini telah ada lembaga yang membidangi yaitu bagian Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam di Kementrian Agama Kota Cilegon, dan lembaga tersebut juga memiliki lembaga teknisnya yaitu Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliah atau FKDT. Sebagai lembaga bentukan Kementrian Agama yang menangani masalah Madrasah Diniyah FKDT mempunyai tanggungjawab penuh dalam pengelolaan madrasah dan mempunyai fungsi teknis seperti pembelajaran, kurikulum, pembinaaan para pengajar Madrasah Diniyah dan bentuk kegiatan teknis lainya. Untuk lebih mempermudah koordinasi FKDT terbagi dalam setiap Kecamatan, dan saat ini telah terdapat delapan FKDT sesuai dengan jumlah
156
kecamatan yang ada di Cilegon, dengan fungsi yang begitu besar terhadap pengelolaan Madrasah Diniyah sampai saat ini FKDT belum memilki gedung sekretariat sendiri dan masih bergabung dengan Kementrian Agama, padahal kepemilikan gedung merupakan hal yang penting bagi sebuah organisasi terlebih saat ini Madrasah Diniyah telah diPerdakan. Kesimpulanya
ialah
bahwa
untuk
struktur
kelembagaan
dalam
pelaksanaan kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah ini telah berjalan dengan baik, akan tetapi struktur kelembagaan yang baik tersebut tidak dibarengi dengan adanya gedung kesekretariatan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan FKDT dalam mengelola dan membina Madrasah Diniyah. Kedua, mengenai sumber daya. Sumber daya (resouces) memilik peran penting dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Widodo (2007 :198) mengemukakan bahwa bagaimanapun jelas dan konsistenya ketentutan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang
bertanggung
jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementassi kebijakan tersebut tidak efektif. Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas
sumber
daya
manusia
berkaitan
dengan
keterampilan,
dedikasi,profesionalitas, dan kompetensi dibidangnya, dan adanya kualitas yang baik tersebut dimulai dari kualifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya atau standar yang ditetapkan
dalam proses penyeleksian. Sedangkan kuantitas
157
berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang handal maka implementasi kebijakan tersebut akan berjalan dengan lambat. Berkaitan dengan penelitian ini, sumber daya yang dimaksud ialah para pengajar dan guru Madrasah Diniyah. Saat ini untuk kuantitas atau jumlah para pengajar Madrasah Diniyah telah mencukupi, akan tetapi dalam masalah kualifikasi dan penyeleksian pengajar atau tenaga pendidik belum sesuai dengan standar yang berlaku. Kementrian Agama tidak melakukan seleksi secara khusus bagi para pengajar Madrasah Diniyah karena dianggap sebagai pendidikan nonformal yang tidak perlu sebuah aturan yang baku dalam masalah tenaga pengajar yang terpenting adalah mengerti tentang agama. Dalam analisa peneliti apa yang dilakukan oleh Kementrian Agama tersebut dalam segi kebijakan publik kurang tepat mengingat sumber daya manusia dalam kebijakan publik sangatlah penting seperti yang diungkapkan oleh Edward III diatas, dalam kebijakan publik tidak memandang apakah kebijakan tersebut berkaitan dengan masalah formal, informal ataupun nonformal seperti pada Madrasah Diniyah, tetapi melihat pada usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk mewujudkan tujuan kebijakan tersebut, dan dalam kesuksesesan tujuan kebijakan tesebut segi seumber daya manusia adalah kunci utamanya. Kesuksesan tujuan kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah terletak pada kemampuan dan profesionalitas pengajarnya, seorang pengajar tidak hanya
158
cukup paham dalam masalah agama tetapi juga harus paham dan mengerti bagaimana caranya mengajar dan mendidik supaya tujuan dari kebijakan adanya perda wajib belajar terwujud dengan baik, oleh karenanya pendidikan formal yang dimiliki oleh pengajar adalah penting seperti harus lulusan S1 Pendidikan Agama Islam. Selain memperioritaskan pada kualifikasi pada penerimaan tenaga pengajar, Kementrian Agama juga perlu melakukan pembinaan kepada para pengajar Madrasah Diniyah Kota Cilegon, terlebih saat ini tenaga pengajar Madrasah Diniyah tidak melakukan kualifikasi secara khusus. Pembinaan tersebut berupa keterampilan dan melatih keprofesionalan para pengajar Madrasah Diniyah supaya tujuan kebijakan tersebut benar-benar tercapai. Pembinaan yang dilakukan oleh Kementrian Agama setahun sekali dengan kondisi pengajar yang tidak ada kualifikasinya merupakan sebuah hal yang tidak tepat, seharusnya Kementrian Agama rutin untuk melakukan pembinaan tersebut terutama bagi para pengajar yang hanya lulusan pesantren. Pembinaan tersebut seperti yang disampaikan diatas berupa pelatihan-pelatihan, keterampilan dan keprofesionalan tenaga pengajar dalam mendidik peserta didiknya. Sumber daya manusia yang tidak terampil dan profesional akan menghambat daripada tujuan kebijakan wajib belajar Madarasah Diniyah di Kota Cilegon, terlebih saat ini kondisi yang terjadi dimasyarakat sangat begitu kompleks yang hal ini tentunya membutuhkan kualitas sumber daya manusia yang
159
handal dan dapat menjadi problem solver terhadap permasalahan yang terjadi dimasyarakat. Ketiga, mengenai sosialisasi, sosialisasi dalam kebijakan merupakan hal yang penting setidaknya memiliki dua hal menurut Pasalong (2010 : 56). Pertama, sebagai upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang adanya kebijakan tersebut, kedua, sebagai control dari masyarakat, dengan adanya sosialisasi tersebut masyarakat pada nantinya akan menilai apakah kebijakan yang telah disosialisasikan tersebut berjalan dengan baik atau tidak serta memberikan dampak yang positif atau negatif kepada masyarakat. Dalam masalah kebijakan perda wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon sosialisasi telah dilakukan oleh Kementrian Agama sejak tahun 2008 kepada masyarakat Kota Cilegon, bahkan untuk melegitimasikan sosialisasi Kementrian
Agama
mengeluarkan
surat
edaran
Nomor.
Kd.28.06./5/PP.00.8/2328/2014 kepada setiap sekolah dan lembaga pendidikan yang ada di Kota Cilegon tentang kewajiban Madrasah Diniyah. Tetapi dalam pelaksanaanya sosialisasi ini berbenturan dengan Perwal Nomor 25 Tahun 2014, dalam perwal tersebut dijelaskan bahwa TPA disamakan dengan MDTA yang berarti siswa TPA tidak perlu untuk belajar Madrasah Diniyah lagi. Fenomena ini tentu membingungkan masyarakat dan juga pihak sekolah terutama SMP dan MTs, informasi tentang kewajiban syahadah diniyah tidak lagi menjadi isu sentral bagi masyarakat karena pihak LPPTKA/BKPRMI juga
160
mensosialisasikan tentang kebolehan kewajiban menggunakan ijazah TPA ketika masuk SMP/MTs. Apa yang terjadi dilapangan dengan adanya dua sosialisasi yang berbeda akan menyebabkan kekuatan peraturan tersebut dianggap lemah oleh masyarakat, masyarakat menganggap bahwa Kementrian Agama serta Dinas Pendidikan tidak sanggup untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sebagai otoritas pemerintah yang mempunya wewenang, Kementrian Agama dan Dinas Pendidikan berhak untuk mengekseskusi kebijakan tersebut dan juga mensosialisasikanya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan sosialisasi telah berjalan dengan baik tetapi mengalami hambatan ketika LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon juga mensosialisasikan tentang kebolehan menggunakan ijazah TPA, sehingga saat ini perhatian masyarakat terpecah dengan adanya dua sosialisasi yang berbeda tersebut dan juga terlihat lemahnya Kementrian Agama dan Dinas Pendidikan sebagai seksekutor sosialisasi kebijakan Wajib Belajar Madrasah Diniyah. 2.
Proses. Dimensi proses dalam penelitian ini merupakan dimensi yang paling
penting karena dari dimensi ini permasalahan utama kebijakan tentang wajib belajar Madrasah Diniyah, dimensi ini menggambarkan tentang pelbagai macam permasalahan yang menyebabkan lamanya penyelenggaraan kebijakan wajib
161
belajar Madrasah Diniyah diimpelentasikan secara baik sesuai dengan amanat perda. Pertama mengenai pelayanan langsung kepada masyarakat, dalam indikator pertama dapat dilihat bahwa pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan wajib belajar madrasah ini belum memenuhi aspek kebutuhan masyarakat, dengan jumlah peserta didik yang banyak dan sedikitnya gedung madrasah mengharuskan Kementrian Agama untuk mendirikan pendirian ijin operasional dalam sebuah sekolah dasar, seperti SDIT Raudhatul Jannah, SDIT Tamadun, dan beberapa sekolah SD lainya yang berjumlah sepuluh Sekolah Dasar. Pihak Kementrian Agama mengatakan bahwa hal tersebut harus dilakukan karena kebutuhan yang mendesak dan juga atas permintaan pihak lembaga tersebut untuk mendirikan Madrasah Diniyah. Pihak Dinas Pendidikan pun tidak keberatan apabila Sekolah Dasar yang negeri dapat digunakan sebagai madrasah. Tetapi fakta dilapangan berbeda seperti yang terjadi di SD YPWKS Sekolah Dasar milik Krakatau Steel, dari hasil wawancara dengan Bapak Bayu Pantagama bahwa apa yang dinamakan belajar Madrasah Diniyah tidak terjadi dalam sekolah tersebut, para siswa tersebut tidak belajar Madrasah Diniyah tetapi diikutkan pada ujian madrasah. Fenomena di atas menunjukkan terlihat bahwa pelayanan yang diberikan oleh Kementrian Agama belum memenuhi aspek publik, apa yang dilakukan Kementrian Agama dengan mengikutkan Siswa SD YPWKS kedalam ujian
162
Madrasah tetapi tidak pernah mengikuti pembelajaran Madrasah Diniyah merupakan sebuah kesalahan yang menyalahi prosedur Perda Diniyah. Kedua, pemerataan kebijakan, pemerataan kebijakan ini dapat dilihat dari belum meratanya Madrasah Diniyah keseluruh Kota Cilegon, Madrasah Diniyah hanya berkembang pada masyarakat tradisional tetapi pada masyarakat yang hidupnya di komplek perumahan, Madrasah Diniyah belum berkembang, seperti yang terjadi di komplek perumahan Warnasari Citangkil, dengan penyebaran yang belum merata ini pihak Kementrian Agama seperti diawal dijelaskan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan untuk mendirikan ijin operasional Madrasah Diniyah di Sekolah Dasar terdekat. Pemerataan kebijakan juga dapat dilihat dari sudah berlaku atau tidaknya kewajiban melampirkan Syahadah Diniyah di Kota Cilegon, dari hasil wawancara dengan para narasumber dapat diketahui bahwa hanya lembaga pendidikan yang berada dinaungan Kementrian Agama terutama yang negeri seperti MTsN Pulomerak, MTsN Cilegon, dan MTsN Ciwandan yang melaksanakan kewajiban melampirkan syahadah diniyah sebagai persaratan masuk ketika pendaftaran siswa baru, sedangkan untuk lembaga pendidikan yang berada dibawah Dinas Pendidikan belum sama sekali melakukan kewajiban Syahadah Diniyah tersebut. Dinas Pendidikan berpendapat bahwa mulai berlaku wajib belajar Madrasah Diniyah dimulai dengan adanya Surat Edaran Kementrian Agama Kota Cilegon Nomor. Kd.28.06./5/PP.00.8/2328/2014 Tentang Pemberlakuan wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah di Kota Cilegon, sedangkan untuk kewajiban
163
melampirkan syahadah diniyah nanti ketika setelah empat tahun yaitu ketika peserta didik tersebut lulus dengan demikian pada tahun 2018. Alasan utama diberlakukanya nanti pada tahun 2018 dikarenakan saat ini tidak semua siswa Sekolah Dasar belajar pada Madrasah Diniyah, yang apabila diberlakukan sekarang maka akan banyak jumlah siswa Sekolah Dasar yang tidak mempunyai ijazah, Dinas Pendidikan mengkhawatirkan apabila dipaksakan akan jual beli ijazah atau ramai-ramai akan membuat surat keterangan sedang belajar Madrasah Diniyah. Pemberlakuan kewajiban syahadah diniyah sebagai persaratan masuk SMP oleh Dinas Pendidikan dengan beralasan bahwa apabila dipaksakan akan banyak siswa SD yang tidak belajar ke Madrasah Diniyah tetapi kemudian meminta surat keterangan belajar Madrasah Diniyah dan akan menimbulkan masalah baru, dalam hemat peneliti apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan tersebut kurang tepat, mengingat dalam perda pada BAB X Ketentuan Peralihan Pasal 20 dijelaskan bahwa apabila siswa tersebut tidak memiliki syahadah diniyah tetap diperbolehkan dan diterima dengan syarat siswa tersebut wajib mengikuti belajar Madrasah Dinyah yang dilaksanakan secara khusus selama satu tahun dan pihak Sekolah SMP tetap melakukan pengawasan seperti pada pada Madrasah Tsanawiyah kepada siswanya yang belum memiliki syahadah untuk belajar di Madrasah Diniyah, dan ketika kelas tiga syahadah diniyah tersebut diminta sebagai persyaratan Ujian Nasional (UN) atau untuk pengambilan ijazah.
164
Asumsi yang digunakan oleh Dinas Pendidikan bahwa pemberlakukan wajib belajar Madrasah baru dimulai pada Tahun 2014 dan kemudian kewajiban melampirkan atau menyerahkan syahadah sebagai persaratan pendaftaran SMP diberlalukan pada tahun 2018 merupakan sebuah kekeliruan yang besar, yaitu: a.
Keberadaan Madrasah Diniyah di Kota Cilegon sudah ada bahkan sebelum kemerdekaan Negara Indonesia hal ini dapat dilihat pada usia Madrasah Diniyah yang sangat tua seperti di MDTA langon yang menurut pengurusnya sudah ada semenjak tahun 1928, begitu pula untuk di daerah lain seperti di Cibeber, Citangkil, dan Karang tengah, yang basicnya banyak pesantren dan kegiatan pembelajaran di Madrasah Diniyah sudah berjalan semenjak sebelum kemerdekaan. Apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dengan menyatakan bahwa mulai belajar Madrasah Diniyah pada tahun 2014 pada sisi lain telah menghilangkan nilai historis Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, Dinas pendidikan telah menganggap keberadaaan Madrasah Diniyah di Kota Cilegon dimulai ada pada tahun 2014 padahal Madrasah Diniyah sudah ada semenjak sebelum adanya Kemeerdekaan Negara Indonesia. Adanya kebijakan atau dimunculkan kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon bukanlah ditujukan untuk memulai baru adanya Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, tetapi untuk menghidupkan kembali Madrasah Diniyah yang kini mulai redup dan hilang dari Masyarakat Kota Cilegon, Madrasah Diniyah sekarang sudah tidak lagi diminati oleh masyarakat, dan lebih memilih kepada sekolah-sekolah umum dan kursus-
165
kursus tertentu. Jadi harapanya dengan adanya kebijakan ini Madrasah Diniyah hidup kembali dan banyak masyarakat Kota Cilegon yang kembali menyekolahkan anaknya ke Madrasah Diniyah. b.
Dalam segi kebijakan publik, hal tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan yang mana dalam impelementasi sebuah perda harus dilaksanakan maksimal empat tahun setelah diundangkan, kebijakan tentang wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon diterbitkan pada tahun 2008 yang seharusnya sudah dilaksanakan pada tahun 2012 seiring dengan munculnya Perwal Nomor 44 Tahun 2011. Proses perubahan dan perumusan perwal yang terjadi selama dua kali pada jangka tahun yang lama selama kurang
lebih
tiga
tahun
dan
polemik
ketidaksepahaman
antara
LPTTKA/BKPRMI dengan Kementrian Agama juga merupakan bentuk dari ketidakefktifan dan ketidak efisienya kebijakan tersebut dan tentu saja banyak menghabiskan banyak waktu dan energi yang berimbas pada kemandegan implementasi kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah c. Keterlambatan pelaksanaan kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon akan menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat Kota Cilegon dengan kebijakan tersebut, padahal sosialisasi telah diterima oleh Masyarakat semenjak pada tahun 2008. Dalam aspek Kebijakan publik, masyarakat merupakan sasaran dalam kebijakan, apabila kepercayaan masyarakatnya hilang maka Kebijakan tersebut akan menjadi mandul dan tidak lagi menjadi prioritas untuk dilaksanakan oleh masyarakat.
166
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa pemerataan penerapan Madrasah Diniyah belum berjalan dengan baik, bahkan Dinas Pendidikan ingin menerapkan kebijakan tersebut pada tahun 2018, yang secara aturan kebijakan ini sudah kadaluarsa karena terlalu lama dan butuh sepuluh tahun untuk diimplementasikan padahal dalam aturan, sebuah perda harus dilaksanakan maksimal empat tahun setelah undangkan, dan hal ini menyebabakan tiga efek yang harus diterima seperti yang telah dipaparkan diatas yaitu, terabaikanya nilai historis Madrasah Diniyah Kota Cilegon, menyalahi peraturan dan perundangundangan, dan yang terahir kepercayaan masyarakat (publik) menurun. Ketiga, hambatan, indikator ini merupakan indikator yang utama dalam dimensi proses, karena indikator inilah yang menghabiskan banyak tenaga dan waktu dalam penelitian ini. Pada indikator ini dapat menjelasakan apa yang menjadi halangan utama pelaksanaan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon. Pihak Kementrian Agama dan Forum Komunikasi Madrasah Diniyah mengatakan bahwa hambatan utama dalam pelaksanaan perda ini ialah dari pihak LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. menurutnya pihak LPPTKA/BKPRMI menginginkan lembaga TPA disamakan dengan Madrasah Diniyah, dan pihak Kementrian Agama pun menolak atas persamaan tersebut, karena TPA adalah lembaga pra Madrasah Diniyah yang kedudukanya disamakan dengan TPQ. Pihak LPPTKA/BKPRMI pun menolak jika TPA dijadikan pra Madrasah Diniyah karena usia peserta didik sama antara TPA dan MDTA atau Madrasah
167
Diniyah yaitu dalam rentang 7-12 tahun. Pihak LPPTKA/BKPRMI juga berargumen bahwa TPA sebagai pra Madrasah Diniyah itu telah bertentangan dengan peraturan di atasnya yaitu PP No. 55 tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan dan Peraturan Menteri Agama Nomor Tahun 2014 Tentang Pendidikan Keagamaan Islam, dalam kedua peraturan tersebut tidak menjelasakan bahwa TPA dibawah Madrasah Diniyah. Ketidaksepakatan
tersebut
akhirnya
mempunyai
titik temu pada
pembahasan Raperwal pada hari senin tanggal 18 Oktober tahun 2010, di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon yang akan diajukan kepada Biro Hukum Setda Pemerintah Kota Cilegon untuk ditetapkan sebagai Peraturan Walikota Cilegon sebagai bentuk pelaksanaan teknis Perda No. 1 Tahun 2008. Dalam pembahasan akhir draft tersebut dihadiri oleh Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon, Drs. H. Mahmudi, M.Si, Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kota Cilegon, Drs. H. Romli Rohani, M.Pd, Kepala Seksi Pekapontren dan Penmas Kementrian Agama Kota Cilegon, Dra. Hj. Titim Fatimah, MM, Direktur Daerah LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, Bayu Panatagam, S.Pd, Sekretaris Daerah LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, M. Rohman, Ketua KKMD Kota Cilegon, Tb. Mastur, S.Pd, Sekretaris KKMD Kota Cilegon, Ahmad Yani, S.Pd.I, Wakil Sekertaris FOKMADA Kota Cilegon, Sekretaris POKJAWAS Kementrian Agama Kota Cilegon. Dalam perumusan tersebut disepakatilah bahwa pendidikan diniyah bersifat umum dan terbuka dengan perserta usia didik antara 7-12 tahun (pasal 6
168
ayat 1 dan 2) dan membolehkan satuan pendidikan yang telah memuat kurikulum pendidikan diniyah sebagai penyelenggara pendidikan diniyah (pasal 13 ayat 1 dan 2), tetapi pada tanggal 16 April 2011 rumusan tersebut tersebut dirubah atau direvisi oleh Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Kota Cilegon, yaitu pada pasal 6 ditambahkan dengan 1 pasal yang mengkalsifikasikan jenjang peserta didik dengan usia didik 6-7 tahun sebagai usia TPA paket A atau TPQ paket A, usia 7-8 tahun untuk TPA paket B atau TPQ paket B, dan MDTA kelas 1-4 pada usia 8-12 tahun, sedangkan pada pasal 13 dihapus karena tidak sesuai dengan Perda Madrasah Diniyah. Setelah revisi Raperwal tersebut, maka terbentuklah sebuah Peraturan Walikota Nomor 44 Tahun 2011 yang isinya sesuai dengan yang diajukan oleh Forum Komunikasi Madrasah Diniyah (FOKMADA) Kota Cilegon, setelah adanya perwal tersebut lalu keluar Surat Edaran Kementrian Agama Kota Cilegon Nomor. Kd.28.06./5/PP.00.8/2328/2014 Tentang Pemberlakuan wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah di Kota Cilegon. dalam Surat Edaran tersebut dinyatakan bahwa untuk masuk SMP/MTs wajib menyerahkan syahadah Diniyah. Ketentuan tersebut mendapatkan pertentangan dari LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, pihak LPTTKA/BKPRMI mengatakan bahwa ketentuan dalam Perwal Nomor 44 Tahun 2011 dan Surat Edaran Kementrian Agama tersebut telah menyalahi kesepakatan yang telah dibuat bersama-sama dengan Dinas Pendidikan, Kementrian Agama, LPPTKA/BKPRMI, KKMD dan FOKMADA Kota Cilegon.
169
Sebagai pihak yang merasa dirugikan LPPTKA/BKPRMI mendatangi Kantor Walikota Cilegon untuk dilakukan perubahan Perwal Nomor 44 Tahun 2011, seteleh LPPTKA/BKPRMI menunjukkan fakta-fakta dilapangan dan menerangkan sebenarnya apa yang telah terjadi akhirnya perubahan Perwal tersebut dilakukan dan kemudian terbit Perwal 25 Tahun 2014 yang merupakan revisi perwal dari Perwal Nomor 44 Tahun 2011. Revisi perwal tersebut mengembalikan pasal 6 dan 13 sesuai dengan kesepakatan bersama antara Kementrian Agama, KKMD dan LPPTKA/BKPRMI pada bulan Oktober tahun 2010 yang lalu. Pihak Kementrian Agama menjelaskan bahwa sampai saat ini tetap mengacu kepada Peraturan Walikota yang pertama yaitu Perwal Nomor 44 Tahun 2011, walaupun dengan adanya perubahan perwal tersebut tidak akan menjadikan adanya standar ganda yang berlaku yaitu ijazah TPA dan Syahadah Diniyah terhadap masyarakat Cilegon. Pihak Kementrian Agama mengatakan jika TPA ingin disamakan dengan Madrasah Diniyah maka TPA harus menyelenggarakan Pendidikan Diniyah di TPA tersebut dengan cara meminta ijin operasional kepada Kementrian Agama dan juga mempunyai kurikulum yang sama dengan Madrasah Diniyah seperti pada Sekolah Dasar Islam Terpadau (SDIT). Pihak TPA atau LPPTKA/BKPRMI pun menyatakan bahwa lembaganya sudah berulang kali mengajukan permohonan ijin operasional kepada Kementrian Agama, tetapi sampai sekarang pihak Kementrian Agama Kota Cilegon belum
170
mengeluarkan ijin operasional tersebut dengan alasan bahwa pengajuan ijin operasional tersebut bersifat kolektif yang dikumpulkan dari semua TPA kepada LPPTKA/BKPRMI, dan kemudian LPPTKA/BKPRMI yang mengajukan secara kepada
Kementrian
Agama.
Pihak
Kementrian
Agama
Kota
Cilegon
menginginkan pengajuan tersebut perlembaga TPA, karena hal ini akan mempermudah untuk melakukan peninjaun dan supervisi lapangan Sebenarnya permasalahan tersebut dikarenakan adanya beda penafsiran antara LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon dengan Kementrian Agama Kota Cilegon dalam menerjemahkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan dan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahuun 2014 Tentang Pendidikan Keagamaan Islam. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, pasal 21 dijelaskan sebagai berikut “Pendidikan Diniyah Nonformal diselenggarakan dalam bentuk Pengajian Kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al-Qur’an. Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis”. Dan dalam Peraturan Menteri Agama Nomor : 13 Tahun 2014. Tentang Pendidikan Keagamaan Islam, pasal 45 Ayat (1) juga menjelaskan bahwa
Pendidikan Diniyah nonformal diselenggarakan dalam
bentuk : a. Madrasah Diniyah Takmiliyah b. Pendidikan Al-Qur’an c. Majelis Taklim, atau d. Pendidikan Keagamaan Islam lainya
171
Dan pada BAB I Ketentuan Umum dalam PP No. 55 tahun 2007 serta PMA No. 13 Tahun 2014 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang sejalur dan bertingkat, ini dapat dipahami bahwa pendidikan diniyah itu merupakan pendidikan agama yang mempunyai berbagai macam cabang salah satunya adalah Madrasah Diniyah dan TPA. Atas dasar inilah pihak LPPTKA/BKPRMI berargumen bahwa TPA setara dan sama dengan Madrasah Diniyah, tetapi jika dilihat lebih dalam penyebutan bahwa Pendidikan Diniyah adalah : Madrasah Diniyah, Pendidikan Al-Qur’an, dan Majlis Taklim, pada dasarnya bukan menunjukkan persamaan dan kesetaraan bahwa ketiga bentuk pendidikan tersebut adalah sama dan setara, majelis taklim berbeda dengan TPA dan MDTA, dan begitu juga MDTA berbeda dengan TPA dan Majlis Takilm. Oleh karenanya menurut hemat peneliti adalah benar apabila TPA tidak bisa disamakan dengan Madrasah Diniyah Takmiliyah dan juga benar bahwa TPA bukan pula pra-Madrasah Diniyah seperti yang dimaksud Kementrian Agama Kota Cilegon, karena kedua-keduanya mempunyai jenjang umur yang sama tetapi dengan kurikulum yang berbeda, hal ini dapat dilihat pada pasal 46, 47,48,49 dan 50 PMA No. 13 Tahun 2014, tentang perbedaan TPA dengan Madrasah Diniyah dan buku Standarisasi Nasional Mutu Pendidikan Al-Qur’an terbitan Kementrian Agama Tahun 2012 Penyamaan TPA dengan Madrasah Diniyah atau menjadikan TPA sebagai pra-Madrasah Diniyah merupakan upaya pemaksaan kehendak yang tidak dalam
172
aturannya baik dalam Perda No. 1 Tahun 2008, PP.55 tahun 2007 maupun PMA No.13 Tahun 2014. Selain permasalahan di atas, terdapat juga permasalahan yang sangat krusial karena hal ini penyebab utama penfsiran yang berbeda antara Kementrian Agama Kota Cilegon dengan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon yaitu dalam masalah Perwal, dalam Perwal tersebut baik Perwal yang Pertama Nomor 44 Tahun 2011 ataupun Perwal yang kedua Nomor 25 tahun 2014 bukan tentang Madrasah Diniyah tetapi tentang Pendidikan Diniyah. PP No. 55 Tahun 2007 dan PMA No.13 Tahun 2014 dalam BAB I Ketentuan Umum menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang sejalur dan bertingkat, lebih lanjut diterangkan dalam PMA Nomor 13 Tahun 2014, BAB III pasal 20 tentang pendidikan diniyah yaitu bahwa pendidikan diniyah terbagi menjadi : a. Pendidikan diniyah formal b. Pendidkan diniyah nonformal c. Pendidikan diniyah informal Dan pada pasal 21 PP No. 55 Tahun 2007 dan pasal 45 Ayat (1) Peraturan PMA No. 13 Tahun 2014, dijelaskan sebagai berikut “Pendidikan Diniyah Nonformal diselenggarakan dalam bentuk Pengajian Kitab, Majelis Taklim, Pendidikan AlQur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis” Sedangkan Madrasah Diniyah Dalam PMA No.13 Tahun 2014 di BAB 1 Ketentuan Umum, Madrasah Diniyah didefiniskan sebagai berikut “ Diniyah
173
Takmiliyah yang selanjutnya disebut Madrasah Diniyah Takmiliyah adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam pada jalur pendidikan nonformal yang diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang sebagai pelengkap pelaksanaan pendidikan agama islam pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi” Melihat definisi di atas sungguh sangat jelas perbedaan antara Madrasah Diniyah dengan Pendidikan Diniyah, Pendidkan Diniyah ialah pendidikan keagamaan Islam yang mencakup seluruh pendidkan Islam baik yang formal, informal maupun nonformal, sedangkan Madrasah Diniyah merupakan salah satu bagian dari pendidikan diniyah yaitu pendidikan diniyah nonformal yang diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang sebagai pelengkap pelaksanaan pendidikan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Apabila kedua perwal tersebut baik yang pertama No. 44 Tahun 2014, maupun yang terbaru No. 25 Tahun 2011 dijadikan sebagai acuan teknis dalam implementasi Perda No. 1 Tahun 2008, maka, argumen yang dilakukan pihak LPPTKA/BKPRMI untuk memasukan TPA dalam perwal tersebut adalah benar karena TPA bagian dari pendidikan diniyah yaitu pendidikan diniyah nonformal seperti yang dimaksud dalam PMA Nomor 13 Tahun 2014 BAB III pasal 20, tetapi pada sisi lain secara hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia perwal tersebut telah bertentangan atau menyalahi peraturan di atasnya yaitu Perda No. 1 Tahun 2008, karena perda tersebut tentang kewajiban belajar Madrasah Diniyah bukan kewajiban pendidikan diniyah, seharusnya bunyi perwal tersebut ialah mengikuti sesuai dengan bunyi perda.
174
Atas dasar inilah kiranya perlu diadakan peninjauan kembali (PK) dan melakukan revisi terhadap Perwal No. 44 Tahun 2011 dan Perwal No. 25 Tahun 2014, karena klausul perwal tersebut telah menyalahi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah dengan catatan tetap mengikut sertakan TPA dalam pasal-pasalnya sesuai dengan amanat pasal 13 point (c) Perda Madrasah Diniyah. Bagi penyelenggara TPA, tidak perlu merasa khawatir dengan adanya perubahan perwal tersebut karena sesungguhnya perda telah memberikan jalan keluar bagi TPA yaitu pada pasal 13 point (c) Perda Madrasah Diniyah yang berbunyi “bagi penyelenggara TPA Paket B atau TQA wajib menyesuaikan masa lamanya belajar dan kurikulum Diniyah Awaliyah”. Dari pasal tersebut sangat jelas solusi yang diberikan bagi penyelenggara TPA khususnya TPA Paket B apabila ingin disamakan dengan Madrasah Diniyah harus mempunyai kurikulum dan waktu belajar yang sama dengan Madrasah Diniyah, dengan ketentuan hal tersebut harus memperoleh ijin opersional dari Kementrian Agama Kota Cilegon, hanya saja nanti dalam point-point perwal tersebut harus menjelaskan tetang aturan main (rule of game) TPA paket B supaya tidak bertentangan dari pasal 13 point (c) di atas. c. Output Dimensi output merupakan dimensi tentang hasil kebijakan yang dapat diamati dari indikator sebagai berikut :
175
a. Ketepatan Adanya Kebijakan ini sangat tepat untuk diberlakukan di Kota Cilegon, mengingat Kota Cilegon merupakan kota yang kental dengan nilai-nilai keislaman. Ditengah arus globalisai saat ini budaya keislaman tersebut telah hampir terkikis dan hilang, Madrasah Diniyah tidak ada yang meminati dan sepi peserta didik, melihat fenomena ini para guru Madrasah Diniyah yang tergabung dalam Forum Komunikasi Madrasah Diniyah (Fokmada) mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Cilegon untuk membuat perda tentang wajib belajar Madrasah Diniyah. Akan tetapi perda ini telah mengabaikan salah satu lembaga pendidikan Islam yaitu TPA yang berada dibawah naungan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. padahal TPA tersebut sudah lama berkembang dan eksis di Kota Cilegon dengan adanya kewajiban belajar Madrasah Diniyah tersebut TPA akan dirugikan, karena sedikit yang meminati b. Sasaran yang tertangani Kebijakan perda tentang wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon ditujukan kepada peserta didik dengan usia 7-12 tahun, dalam artian sasaran kebijakan ini adalah siswa Sekolah Dasar. Fakta dilapangan saat ini masih banyak siswa Sekolah Dasar yang belum belajar di Madrasah Diniyah, hal ini disebabkan tidak berimbangnya jumlah Sekolah Dasar dengan Madrasah Diniyah, bahkan ada beberapa tempat di Kota Cilegon yang belum ada Madrasah Diniyahnya.
176
Solusi yang diajukan oleh Kementrian Agama ialah bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan lembaga-lembaga atau yayasan pendidikan untuk mendirikan Madrasah Diniyah ditempat tersebut, kendati demikian hal tersebut juga belum memenuhi aspek publik dan belum mampu menampung sasaran peserta didik Madrasah Diniyah yang ada di Kota Cilegon Adanya kebijakan ini juga pada sisi yang lain telah merugikan salah satu lembaga pendidikan yaitu Taman Pendidikan Al-Qur’an atau TPA. Sasaran murid TPA juga sama yaitu peserta didik dengan usia 7-12 tahun, dengan adanya kebijakan ini maka akan banyak peserta didik TPA yang beralih ke Madrasah Diniyah dan apabila diwajibkan untuk menggunakan syahadah diniyah ketika memasuki jenjang yang lebih tinggi maka secara otomatis keberdaan TPA akan ditinggalkan dan kemungkinan tidak diakui oleh masyarakat. Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa sasaran kebijakan Madrasah Diniyah belum semuanya optimal dan telah merugikan salah satu pendidikan keagamaan Islam yaitu TPA yang sasaranya sama-sama peserta didik dengan usia 7-12 tahun. d. Outcomes Adanya kebijakan perda diniyah memberikan dua dampak yaitu positif dan negatif. Dampak positifnya yaitu keberadaan Madrasah semakin berkembang di masyarakat dan terjadi peningkatan setiap tahunya, peningkatan ini karena kebutuhan madrasah yang begitu besar dari masyarakat Kota Cilegon.
177
Grafik 4. 1 Perkembangan Jumlah Madrasah Diniyah 144 142 140 138 136 134 132 130
141
142
2013
2014
138
Jumah Madrasah Diniyah Takmiliyah
135 2011
2012
(Sumber : BPS, 2014)
Dari data di atas terlihat terdapat penambahan jumlah Madrasah per tiap tahunya dengan penambahan per tahun tiga madrasah. Penambahan jumlah Madrasah Diniyah ini menunjukkan bahwa Madrasah Diniyah semakin berkembang dan maju pesat, dan juga menunjukkan apresiasi masyarakat yang begitu tinggi terhadap Madrasah Diniyah Selain itu pula masyarakat merespon positif dengan adanya kebijakan perda tersebut, berdasarakan hasil wawancara dengan masyarakat dapat diketahui bahwa masyarakat tidak mempermasalahkan adanya kebijakan tersebut, begitu juga dengan pemerintah Kota Cilegon, pemerintah Kota Cilegon sangat mendukung pemberlakuan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, dan sebagai bentuk dukungan pemerintah Kota Cilegon memberikan honor bagi para pengajar/ustad Madrasah Diniyah. Adapun dampak lain yang ditimbulkan oleh adanya kebijakan ini ialah, banyaknya sekolah-sekolah TPA yang di bawa asuhan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon yang beralih menjadi Madrasah Diniyah, peralihan menjadi Madrasah
178
Diniyah ini sangat merugikan lembaga LPPTKA/BKPRMI, selain itu pula dampak yang diterima oleh LPPTKA/BKPRMI dengan adanya kebijakan ini ialah LPPTKA/BKPRMI mempunyai image yang buruk di masyarakat Kota Cilegon dan Kementrian Agama sebagai lembaga yang mempunyai tugas dalam pendidikan keagamaan, image ini dikarenakan LPPTKA/BKPRMI dianggap sebagai penghalang perda diniyah.
179
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan analisis teori dari Nurcholis yang berupa input, proses, output,dan outcomes peneliti menyimpulkan bahwa Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah belum berjalan dengan optimal. Hal tersebut dikarenakan banyaknya permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan kebijakan yang hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor : Pertama, Input,
yaitu Sumber Daya Manusia para pengajar/ustad
Madrasah Diniyah belum memenuhi standar klasifikasi yang ditentukan oleh perda, pembinaan yang belum optimal, sarana dan prasarana Madrasah Diniyah yang masih minim, dan terdapatnya sosialisasi yang berbeda yang dilakukan oleh Kementrian Agama dengan LPPTKA/BKPRMI. Kedua, Proses, yaitu pada pelayanan langsung kepada masyarakat dan pemerataan kebijakan yang belum optimal dan memenuhi aspek publik, terdapatnya penafsiran, dan pola pikir yang berbeda antara Kementrian Agama Kota Cilegon dan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Ketiga, Outputs, yaitu pada ketepatan dan sasaran kebijakan yang belum sepenuhnya dapat mewadahi peserta didik dan jumlah gedung yang belum
179
180
memadai serta telah merugikan lembaga pendidikan TPA dibawah naungan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Keempat, Outcomes. Yaitu adanya kebijakan perda Madrasah Diniyah mempunyai dampak yang positif hanya saja adanya kebijakan tersebut telah merugikan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon dan citra LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon menjadi negatif dimata pemerintah karena dianggap telah menghalangi adanya kebijakan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon. 5. 2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti maka saran yang peneliti ajukan dalam bentuk rekomendasi dan masukan adalah sebagai berikut : 1. Kepada Kementrian Agama perlu mengadakan seleksi dan kualifikasi bagi para pengajar Madrasah Diniyah, memperbanyak pelatihan bagi para pengajar Madrasah Diniyah, bentuk pola rekrutmen sesuai dengan satandar yang telah ditentukan, dan memperbanyak sarana dan prasarana pembangunan gedung madrasah. 2. Kepada
Kementrian Agama dan Dinas Pendidikan untuk terus
meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat dengan memberikan satu pemahaman yang jelas terkait dengan legalitas yang digunakan dalam masalah ijazah
TPA dan
Syahadah
Diniyah
dan
mempercepat
pengimplemtasian kebijakan menggunakan Syahadah Diniyah sebagai persaratan pendftaran SMP/MTs, karena apabila terlalu lama dan masih
181
terdapat tarik ulur maka kepercayaan publik akan hilang, dan tujuan kebijakan tersebut tidak berhasil. 3. Bagi penyelenggara TPA, tidak perlu merasa khawatir dengan adanya kebijakan Perda tersebut karena sesungguhnya perda telah memberikan jalan keluar bagi TPA yaitu pada pasal 13 point (c). Pasal tersebut telah memberikan solusi bagi penyelenggara TPA khususnya TPA Paket B apabila ingin disamakan dengan Madrasah Diniyah harus mempunyai kurikulum dan waktu belajar yang sama dengan Madrasah Diniyah, dengan ketentuan hal tersebut harus memperoleh ijin opersional dari Kementrian Agama Kota Cilegon. 4. Meninjau kembali dan perlu melakukan revisi terhadap kedua Perwal baik Perwal Nomor 44 Tahun 2011, dan Perwal Nomor 25 Tahun 2014, karena kedua perwal tersebut telah menyalahi Perda Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Agustino, Leo. 2006a.Dasar-Dasar Kebijakan Publik:Bandung:AIPI BandungPuslit KP2W Lemlit Unpad 2006b. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung:AIPI BandungPuslit KP2W Lemlit Unpad Dunn, William, 2003. Pengantar Anaslisis Kebijakan Publik (Edisi Terjemahan) Yogyakarta: Gadjah Mada University Press El
Widdah, Minnah, dkk, 2012. Kepemimpinan Berbasis Pengembangan Mutu Madrasah. Bandung : Alfabeta
Nilai
Dan
Irawan, Prasetyo.2005. Materi Pokok Metodologi Penelitian Administrasi. Jakarta: Universitas Terbuka Jahari,
Jaja, dkk. 2013, Manajemen Implementasi.Bandung : Alfabeta
Madrasah
Teori,
Strategi,
dan
Lembaga Administrasi Negara, 2004. Sistem Adminstrasi Negara kesatuan Republik Indonesia, Edisi revisi, Buku III. Landasan dan Pedoman Pokok Penyelenggraan dan Pengembangan Sistem Administrasi Negara. Jakarta: CV Raga Meulaba Moleong. L. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Nurcholis, Hanif.2007.Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo Pasalong, Harbani.2010.Teori Administrasi Publik.Bandung:Alfabeta Parsons, Wayne.2006. Public Policy:Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan.Jakarta:Kencana Prenada Media Group Subarsono, AG. 2012. Analisis Kebijakan Publik. Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
xiv
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung, Alfabeta . 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, R &D. Bandung. Alfabeta Suharto, Edi. 2007. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Public. Bandung: Alfabeta Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Widodo. Joko 2007. Analisis Kebijakan Publik : Konsep dan Aplikasi Proses Kebijakan Publik. Malang : Bayumedia Winarno, Budi.2007. Kebijakan Publik; Teori dan Proses. Jakarta:Media Presindo Widya Wicaksono, Kristian. 2006. Administrasi dan Birokrasi Pemerintah. Yogyakarta : Graha ILMU Wibawa, Samodra, dkk, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Yashin, Sulcahn. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KBI-Besar) serta Ejaan Yang Disempurnakan Dan Kosa Kata Baru. Surabaya: Amanah .
Dokumen : Uundang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Tentang Pendidikan dan Kebudayaan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Pendidikan Keagamaan Islam
xv
Peraturan Daerah Kota Cilegon No. 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaran Wajib Belajar Madrasah Diniyah Di Kota Cilegon Peraturan Walikota Cilegon No. 44 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaran Wajib Belajar Madrasah Diniyah Di Kota Cilegon Peraturan Walikota Cilegon No. 25 Tahun 2014 Tentang Perubahan Peraturan Walikota Nomor 44 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Pendidikan Diniyah di Kota Cilegon Surat Edaran Kementrian Agama No. Kd.28.06/5/PP.00.8/2328/2014 Tahun 2014 Tentang Wajib Pemberlakuan Wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah Pedoman Operasioanl Madrasah Diniyah. 2013 Standarisasi Nasional Mutu Pendidikan Al-Qur’an Kementrian Agama 2012 Sumber lain : Fadullah. 2012. Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten.Sebuah jurnal ADDIN. STAIN Kudus Jateng Ciyarti.2009. Peran Madrasah diniyah Nurul Anam Dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Desa Kranji Kecamatan Kedungwuni Pekalongan. IAIN Walisongo Semarang Saikhul Aris. 2014. Implementasi Amaliyah Diniyah Dalam Mewujudkan Budaya Sekolah Islami di SD Islam Sultan Agung 4 Semarang. IAIN Walisongo Miftahudin. 2009. Evaluasi Kebijakan Peraturan Walikota Semarang Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Sistem dan Tata Cara Penerimaan Peserta Didik di Kota Semarang (Kasus Penerimaan Peserta Didik Melalui Seleksi Khusus SMP Negeri 10 Kota Semarang). Universitas Diponegoro Seamarang Mariah. 2013. Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Tanggerang Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Studi Kasus Penyelenggaraan Terminal Balaraja). Untirta Serang
xvi
RIWAYAT HIDUP Nama
: Herdandi
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Tempat Tanggal Lahir : Legundi, 20 Januari 1993 Agama
: Islam
Alamat
: Jl. H. Leman Pintu Air Link. Kagungan Kelurahan Gerem Kecamatan Grogol Kota Cilegon, Banten 42438
Email
:
[email protected]
Pendidikan Formal
:
1999-2005
: SD Negeri 2 Legundi
2005-2008
: MTs Al Munawwaroh
2008-2011
: MAN Pulomerak
2011-2015
: Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Pengalaman Organisasi: 2012-2013
: Ketua Komisi Legislasi DPM FISIP UNTIRTA
2012-2103
: Bendahara Umum HMI Komisariat Pertanian-FISIP
2013-2014
: Wakil Ketua 1 DPM FISIP UNTIRTA