EVALUASI PELAKSANAAN INFORMED CONSENT DI PUSKESMAS DTP PLUMBON KABUPATEN CIREBON
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan oleh : Muhamad Firdaus Aditama NIM : 20111030149
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
EVALUASI PELAKSANAAN INFORMED CONSENT DI PUSKESMAS DTP PLUMBON KABUPATEN CIREBON Muhamad Firdaus Aditama1 , Aris Suparman Wijaya2 , Elsye Maria Rosa3 1. Mahasiswa, Program Magister Manajemen, Konsentrasi Manajemen Rumah Sakit, Universitas Muhamammadiyah Yogyakarta, Email :
[email protected] 2. Dosen Program Studi Manajemen Rumah Sakit Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 3. Dosen Program Studi Manajemen Rumah Sakit Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta INTISARI Latar Belakang : Meningkatnya pengetahuan masyarakat seiring pesatnya perkembangan teknologi dan kemudahan dalam mendapatkan informasi, membuat masyarakat lebih kritis terhadap pelayanan yang diberikan dokter. Kebutuhan pelayanan kesehatan oleh masyarakat meningkat signifikan seiring diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh pemerintah. Puskesmas sebagai pemberi pelayanan kesehatan tingkat satu menjadi penting untuk meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat Salah satu unsur dalam pelayanan yang diberikan tenaga medis kepada pasien adalah informed consent. Metode : Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus yang ekploratori mengenai pelaksanaan informed consent di Puskesmas Dengan Tempat Perawatan (DTP) Plumbon. Hasil dan Pembahasan : Pelaksanaan informed consent di Puskesmas DTP Plumbon belum optimal. Jumlah pasien tidak sebanding dengan jumlah tenaga medis. Beban kerja masing masing dokter umum adalah 139,08 jam /bulan dan beban kerja dokter gigi 145,31 jam /bulan melampaui beban kerja efektif 130,4 jam/ bulan. Belum semua dokter memberikan informed consent sesuai acuan Permenkes dikarenakan wawasan dan kesadaran hukum belum optimal. Kesimpulan dan Saran : Kendala belum optimalnya pelaksanaan informed consent di Puskesmas DTP Plumbon adalah beban kerja tenaga medis yang melampaui beban kerja efektif dan wawasan hukum tenaga medis belum optimal. Pemerintah harus membuat kebijakan yang relevan dengan fungsi Puskesmas di era Jaminan Kesehatan Nasional dan menjadikan Puskesmas sebagai Badan Layanan Umum Daerah. Kata Kunci : Informed consent, Puskesmas
THE EVALUATION OF INFORMED CONSENT IMPLEMENTATION AT PUSKESMAS OF DTP OF PLUMBON REGENCY OF CIREBON Muhamad Firdaus Aditama1, Aris Suparman Wijaya2, Elsye Maria Rosa3 1. Student, Magister of Management Program, Concentration of Hospital Management, Muhammadiyah Yogyakarta University, Email:
[email protected] 2. Lecturer of Study Program of Hospital Managemen, Post Graduate Program of Muhammadiyah Yogyakarta University 3. Lecturer of Study Program of Hospital Managemen, Post Graduate Program of Muhammadiyah Yogyakarta University ABSTRACT Background: the increasing of society’s knowledge along with the rapid of technology development and the ease of obtaining information, make the society mod critism toward the service given by the doctor. The demand of health service by the society is increasing significantly along with the enactment of National Health Guarantee or Jaminan Kesehatan National (JKN) by the government. Puskesmas as a health service provider in first level becomes important to improve quality if the service toward the society. One of the element in the service given by medical staff to the patients is informed consent. Method: this research includes into qualitative research with case study design which is exploratory concern with informed consent implementation at Puskesmas With Treatment Place (DTP) of Plumbon. Result and discussion: the informed consent implementation at Puskesmas of DTP of Plumbon has not been optimal yet. The number of patients are not comparable with the number of medical staff. The workload of each general doctor is 139,08 hours/month and workload of dentist is 145,31 hours/month, speeding effective workload is 130,4 hours/month. Not all of the doctors providing informed consent appropriate with Permenkes reference due to the law insigt and awareness have not been optimal. Conclusion and suggestion: constraints not optimal of informed consent implementation at Puskesmas DTP of Plumbon is the workload of medical staffs which are speeding standart workload and law insight of medical staff is has not been optimal. The government have to enact policy relevant with function of Puskesmas in the era National Health Guarantee or Jaminan Kesehatan National and bring the Puskesmas into Institute of Region General Service. Keywords: informed consent, puskesmas
PENDAHULUAN Meningkatnya pengetahuan masyarakat seiring pesatnya perkembangan teknologi dan kemudahan dalam mendapatkan informasi, membuat masyarakat lebih kritis terhadap pelayanan yang diberikan dokter. Kritik masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin sering muncul di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Pada masa lalu dokter seakanakan hidup terisolir tidak tersentuh oleh hukum. Sejak peristiwa Pati 1981, tuduhan “malpraktek” dan kritik terhadap profesi kedokteran makin lama semakin banyak.(Hendrojono,2007) Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Diterbitkannya Permenkes nomor 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan kedokteran, sebenarnya informed consent telah menjadi kebutuhan dalam pemberian pelayanan kesehatan di Indonesia. Sebagai aturan hukum sudah seharusnya ketentuan tentang informed consent diterapkan pada pelaksanaan tindakan-tindakan medik tertentu. Namun dalam kenyataannya, sampai sekarang informed consent masih belum begitu dipahami dengan benar dan dilaksanakan dengan lengkap. Hal ini dikarenakan masih banyak yang menganggap bahwa penandatanganan formulir informed consent yang sudah disediakan di rumah sakit hanya bersifat formalitas. Upaya dan kebijakan yang dapat dilakukan oleh dokter dan manajemen rumah sakit dalam usaha pencegahan maraknya tuntutan hukum tersebut antara lain dengan menyiapkan legal defence yang salah satunya adalah Informed consent.( Dinajani, 2008) Selain sebagai usaha pencegahan tuntutan hokum, informed consent juga menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan dokter atau rumah sakit kepada pasien. Informed consent merupakan suatu persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap diri pasien setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk
menolong diri pasien disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi. Sehingga dengan pelaksanaan informed consent, maka secara tidak langsung dokter telah melakukan komunikasi yang baik dengan pasien. Sehingga kepercayaan pasien kepada dokter dan rumah sakit akan meningkat. Sesuai hasil pengamatan penulis di puskesmas Dengan Tempat Perawatan Plumbon. Informed consent yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rekam medis, masih belum dijalankan dengan lengkap sesuai Permenkes 290 tahun 2008. Hal ini sebetulnya bisa membuka peluang adanya tuntutan hukum. Meski sejauh ini belum ada tuntutan hukum sehubungan dengan belum lengkapnya informed consent bukan berarti bahwa informed consent sudah dianggap benar dalam pelaksanaannya. Untuk itulah penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul : ” Evaluasi Penerapan Informed Consent pada Pelayanan Medik di Puskesmas Dengan Tempat Perawatan Plumbon Kabupaten Cirebon”
METODE Jenis Penelitian dalam penulisan tesis ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus yang ekploratori mengenai pelaksanaan informed consent Puskesmas Dengan Tempat Perawatan (DTP) Plumbon. Populasi dalam penelitian ini adalah semua dokter yang melakukan pelayanan medis di puskesmas yaitu tujuh orang dokter. 3.1.1
Sample Dalam penelitian ini digunakan sampel dari semua populasi karena jumlah
dokter yang melaksanakan pelayanan medis 7 orang dokter. Informed consent yang merupakan bagian dari pelayanan medik dokter kepada
pasien
harus
benar
dilakukan
sesuai
Permenkes
No
290/Menkes/Per/III/2008. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan informed consent di Puskesmas Plumbon maka dilakukan observasi, wawancara, dan focus group discussion terhadap semua dokter yang memeberikan pelayanan medis.
HASIL. Informed consent yang merupakan bagian dari unsur-unsur pelayanan medis yang diberikan kepada pasien, secara umum belum berjalan optimal di Puskesmas DTP Plumbon. Semua unit pelayanan yang ada di Puskesmas DTP Plumbon belum memasukkan dan mencantumkan unsur informed consent dalam Standar Operasional Prosedur yang dibuat sebagai acuan dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Informed consent masih dipandang sebagai kebutuhan pihak tenaga medis untuk menghindari risiko hukum yang mungkin dapat terjadi akibat dari tindakan medis yang dilakukan. Manajemen puskesmas belum menjadikan unsur informed consent sebagai upaya minimal yang harus ada dalam rangka memberikan pelayanan medis sesuai Undang-undang dan Peraturan yang berlaku. Kontrol pengawasan pelayanan medis terutama dalam hal pelaksanaan informed consent yang diberikan oleh dokter pada pasien di Puskesmas DTP Plumbon tidak optimal karena belum ada acuan prosedur baku yang dibuat khususnya mengenai pelaksanaan informed consent. Puskesmas belum memiliki mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap kwalitas pelayanan medis kepada pasien menyangkut administrasi khususnya mengenai informed consent. Setiap pemberi pelayanan medis di Puskesmas bekerja berdasarkan standar pelayanan minimal yang dibuat sesuai diagnosa masing-masing penyakit sesuai tupoksi profesinya. Tidak ada prosedur baku khususnya terkait informed consent yang dibuat oleh manajemen sehingga pelaksanaan informed consent menjadi inisiatif masing-masing tenaga kesehatan, bukan bagian dari prosedur baku yang harus dilengkapi.
Pembahasan Dari hasil observasi, wawancara, dan hasil dari focus group discussion dengan para dokter pelaksana layanan medis dapat dibuat pengkodean sebagai berikut: No 1
Responden Responden 1
Koding awal Waktu untuk periksa pasien terbatas, latar belakang pendidikan pasien, kurangnya kemampuan komunikasi
dokter, tempat tidak kondusif, isi informed consent belum lengkap 2
Responden 2
Waktu untuk periksa pasien terbatas, jumlah dokter sedikit, latar belakang pendidikan pasien, isi informed consent belum lengkap
3
Responden 3
Latar
belakang
pendidikan
pasien,
kemampuan
komunikasi dokter, isi informed consent belum lengkap 4
Responden 4
Waktu untuk periksa pasien terbatas, latar belakang pendidikan pasien, kemampuan komunikasi dokter, isi informed consent belum lengkap
5
Responden 5
Waktu untuk periksa pasien terbatas, latar belakang pendidikan pasien, tempat tidak kondusif, isi informed consent belum lengkap
6
Responden 6
Waktu periksa untuk pasien sedikit, jumlah pasien banyak, latar belakang pendidikan pasien, jumlah dokter sedikit, isi informed consent belum lengkap
7
Responden 7
Waktu untuk periksa pasien sedikit, jumlah pasien banyak, latar belakang pendidikan pasien, isi informed consent belum lengkap
Dari pengkodean awal dapat diperoleh dua kelompok data koding akhir yang menjadi kendala dalam pelaksanaan informed consent di Puskesmas: No 1
Koding awal
Koding akhir
Waktu untuk periksa pasien sedikit, jumlah pasien Beban kerja dokter banyak, jumlah dokter sedikit
2
Latar belakang pendidikan pasien, kemampuan Wawasan hukum komunikasi dokter, isi informed consent belum lengkap
Perhitungan beban kerja sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien. Beban kerja yang berlebihan akan
mengurangi kualitas pelayanan akan tetapi sebaliknya beban kerja yang sesuai dengan porsinya dapat meningkatkan kualitas melalui pengembangan inovasi pelayanan (Ilyas, Y, 2006) Beban kerja adalah frekuensi kegiatan rata-rata dari masing-masing jenis pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. (Moekijat, 1999). Salah satu metode penghitungan beban kerja tenaga kesehatan adalah metode estimasi beban kerja yaitu suatu metode penyusunan kebutuhan berdasarkan Indicator of Staff Needed (ISN). Metode ISN ini adalah metode untuk menetapkan jumlah tenaga berdasarkan jenis kegiatan dan volume pelayanan pada suatu unit atau institusi. Dengan metode estimasi beban kerja setiap tenaga kesehatan mempunyai beban kerja efektif sekitar 80% dari waktu kerja sebulan. Sehingga apabila jam kerja di puskesmas adalah 37,5 jam seminggu (PERDA Kabupaten Cirebon) dalam 6 hari kerja berarti 63 jam kerja sebulan (26 hari kerja). Waktu kerja efektif adalah waktu yang sungguh-sungguh digunakan untuk bekerja secara efektif oleh tenaga kesehatan yaitu 80% dari waktu kerja sebulan (163 jam) atau sama dengan 0,8 x 163 jam = 130,4 jam. Jumlah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan adalah sama dengan jumlah keempat waktu berikut: -
waktu yang sungguh sungguh dipergunakan untuk bekerja, yaitu waktu yang dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan yang langsung berhubungan dengan pelayanan kepada pasien (cycle time atau cyclical time).
-
Waktu yang dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan kepada pasien ( non cyclical time)
-
Waktu untuk menghilangkan kelelahan ( fatique time )
-
Waktu untuk keperluan pribadi ( personal time ) Kunjungan pasien tahun 2014 Puskesmas Plumbon di klinik umum adalah
86092 pasien, klinik kesehatan ibu dan anak 1748 pasien, klinik gigi 8719 pasien, unit gawat darurat 3968 pasien, dan rawat inap 1565 pasien. Total jumlah beban kerja masing masing dokter umum adalah 139,08 jam /bulan dan beban kerja dokter gigi 145,31. Banyaknya kunjungan pasien dan terbatasnya jam kerja memaksa dokter umum ataupun dokter gigi melakukan upaya mengefektifkan pelayanan namun
mengorbankan beberapa aspek penunjang terutama yg tidak berhubungan secara langsung dengan inti pelayanan kepada pasien seperti pencatatan atau dokumentasi. Pelaksanaan informed consent menjadi tidak optimal disebabkan banyak membutuhkan waktu sehingga dikhawatirkan pasien tidak akan semua terlayani. Jumlah kebutuhan tenaga dokter dan dokter gigi minimal untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal khususnya terkait pelaksanaan informed consent di Puskesmas Plumbon dapat dihitung dengan menambah asumsi kebutuhan waktu yang diperlukan untuk memberikan pelayanan kepada pasien di tiap-tiap unit pelayanan. Apabila asumsi waktu yang diperlukan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar pelayanan minimal kepada pasien ditambah 100% artinya jumlah ideal dokter umum dan dokter gigi seharusnya 12 dokter umum dan 2 dokter gigi. Itupun status kepegawaian dari tenaga medis harus pegawai tetap. Status kepegawaian tidak tetap (magang) dari sebagian dokter umum yang memberikan pelayanan berpotensi mengganggu kualitas pelayanan kepada pasien karena sewaktu-waktu dokter umum–dokter umum tersebut bisa meninggalkan puskesmas apabila masa bertugas telah habis. Jumlah dokter umum dan dokter gigi di Puskesmas Plumbon sangat tidak memenuhi standar untuk dapat memberikan pelayanan sesuai standar pelayanan minimal yang ditetapkan. Dalam era JKN maka konsep kewilayah-kerjaan puskesmas otomatis berubah. Para peserta JKN lebih memilih terdaftar di puskesmas yang letaknya relatif jauh dari tempat tinggalnya namun memiliki sarana prasarana yang lengkap daripada puskesmas yg relatif dekat namun sarana prasarananya kurang lengkap. Dengan demikian sebuah puskesmas besar yang memiliki sarana prasarana lengkap seperti Puskesmas Plumbon akan semakin terbebani dengan jumlah kunjungan pasien yang tinggi. Padahal sumber daya manusia baik secara kuantitas dan kualitas relatif sama dengan puskesmaspuskesmas di wilayah sekitarnya. Selain masalah beban kerja dokter yang tinggi, kendala pelaksanaan informed consent adalah kurang optimalnya pengetahuan dokter itu sendiri terhadap wawasan hukum. Penguasaan isi informed consent yg sesuai dengan
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang persetujuan tindakan medis belum optimal. Hal tersebut dapat terlihat dari tabel dibawah ini :
No 1
Aspek yang dinilai Membuat informed consent pada setiap tindakan medis
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
***
**
**
**
***
**
**
Keterangan : -R (responden) -***(selalu dilakukan pada semua tindakan medis) -**(hanya dilakukan pada tindakan medis tertentu) -*(tidak dilakukan)
Dua responden yang selalu melakukan prosedur informed consent sebelum melakukan tindakan medis. Lima responden mengaku melakukan prosedur informed consent hanya pada tindakan-tindakan medis tertentu yang dianggap beresiko. No
Aspek yang dinilai
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
1
Menjelaskan diagnosis dan tata cara medis kepada pasien
S
S
S
S
S
S
S
2
Menjelaskan tujuan tindakan medis yang akan dilakukan
S
Sr
Sr
Sr
Sr
Sr
Sr
3
Menjelaskan alternatif tindakan lain dan resikonya
Sr
K
K
K
Sr
Sr
K
4
Menjelaskan komplikasi yang mungkin terjadi
Sr
Sr
Sr
Sr
Sr
Sr
Sr
5
Menjelaskan prognosis tindakan yang dilakukan
Sr
Sr
Sr
Sr
K
K
Sr
Keterangan: R (responden), S (selalu), Sr (sering), K (kadang-kadang), T (tidak pernah)
1. Semua responden mengaku menjelaskan diagnosis dan tata cara medis kepada pasien.
2. Satu responden mengaku selalu menjelaskan tujuan tindakan medis, enam responden mengaku sering menjelaskan tujuan tindakan medis. 3. Tiga pasien mengaku sering menjelaskan alternatif tindakan lain dan resikonya, empat responden mengaku kadang-kadang menjelaskan alternatif tindakan lain dan resikonya. 4. Tujuh responden mengaku sering menjelaskan komplikasi yang mungkin terjadi. 5. Lima responden mengaku sering menjelaskan prognosis tindakan yang dilakukan, dua responden mengaku kadang-kadang menjelaskan prognosis tindakan yang dilakukan. Dalam masalah informed consent dokter sebagai pemberi pelayanan tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuanketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Kesimpulan 1. Informed consent merupakan salah satu indikator baik-tidaknya kualitas pelayanan yang diberikan oleh dokter pada pasien. Pelaksanaan informed consent di Puskesmas DTP Plumbon Kabupaten Cirebon belum optimal dikarenakan manajemen puskesmas belum memasukkan unsur informed consent dalam pembuatan standar operasional prosedur di setiap unit pelayanan. 2. Sistem kontrol manajemen mengenai pelaksanaan informed consent tidak dapat dilakukan karena tidak ada standar operasional prosedur baku sebagai acuan dokter dalam memberikan pelayanan medis khususnya terkait informed consent. 3. Kurangnya jumlah dokter umum dan dokter gigi membuat beban kerja yang relatif berat sehingga menyulitkan manajemen membuat suatu standar operasional prosedur baku terkait informed consent. Beban kerja dokter umum dan dokter gigi yang terlalu tinggi mengakibatkan kualitas pelayanan kepada pasien tidak optimal. 4. Sebagian dokter memandang bahwa informed consent hanya bertujuan untuk melindungi dirinya dari aspek hukum atas kemungkinan terjadinya hal-hal yg tidak diinginkan. Sebagian dokter lupa bahwa sebetulnya informed consent adalah hak pasien. 5. Dalam melakukan tindakan-tindakan medis terhadap pasien seringkali dokter menjadikan pengalaman empiris sebagai alasan diabaikannya pelaksanaan informed consent. Saran 1. Jumlah dokter umum yang memberikan pelayanan di Puskesmas Plumbon harus ditambah untuk mencapai kualitas pelayanan yang memenuhi standar pelayanan minimal. 2. Manajemen Puskesmas harus membuat standar operasional prosedur pelayanan yang didalamnya memenuhi semua aspek yang mendukung terhadap kualitas pelayanan kepada pasien.
12
3. Manajemen Puskesmas harus membentuk tim yang bertanggung jawab terhadap terjaminnya kualitas pelayanan medis kepada pasien di Puskesmas. 4. Manajemen Puskesmas harus mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya para dokter dengan cara memfasilitasi dokter–dokter untuk mengikuti pendidikan kedokteran berkelanjutan, sehingga diharapkan dokter mampu memberikan pelayanan yang optimal sesuai dengan kompetensinya. 5. Membuat standar pelayanan minimal yang baku pada setiap tindakan medis di setiap unit layanan. 6. Revitalisasi Puskesmas dengan cara Pemerintah harus membuat regulasi kebijakan yang relevan dengan kebutuhan pelayanan kesehatan di era Jaminan Kesehatan Nasional. 7. Menjadikan puskesmas sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) akan membantu manajemen puskesmas membuat kebijakan dan aturan internal yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA
Anny Isfandyarie (2005), Malpraktek dan Resiko Medik, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Bambang Sunggono. (2003). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Burhan Ashofa. (2004). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta Dinajani S Abidin Mahdi (2008), Quo Vadis Kliniko Mediko Legal Indonesia, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (1999). Pedoman Persetujuan Tindakan Medik. Jakarta: Depkes RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. (2006). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Guwandi. (2004). informed Consent. Jakarta: BP. FKUI Guwandi (2006). Dugaan Malpraktek Medik & Draft RPP “ Perjajjian Terapetik Antara Dokter dan Pasien”. Jakarta: BP Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hendrojono Soewono (2007), Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Dokter dalam Transaksi Terapeutik,Srikandi, Surabaya. Ilyas . Yaslis (2006), Mengenal Asuransi Kesehatan, Review Untilisasi Manajemen Klaim dan Fraud. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonsia. Jusuf Hanafiah (1999), Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, Penerbit Buku Kesehatan EGC Kansil CST (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta.: Balai Pustaka Konsil Kedokteran Indonesia (2006), Manual Persetuan Tindakan Medik Lexy J Moleong (1995). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Maria SW. Soemarjono (1997). Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama
Muchin. (2002). Ikhtisar Ilmu Hukum. Jakarta: BP IBLAM Munir Fuady (2005), Sumpah Hipocrates (aspek hukum malpraktek dokter), Bandung, Citra Aditya Bakti Nusye.KI.Jayanti (2009), Penyelesaian Hukum dalam Malpraktik Kedokteran, Yogyakarta, Pustaka Yustisia Permenkes RI Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Medik Permenkes RI Nomor : 1419/Menkes/Per/X/2005 Tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi Soejono Dirdjosisworo (1984). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: CV Rajawali Soerjono Soekanto (2005). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press Soetopo (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press Tjetjep Rohendi (1992) Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Ctra Aditya Bakti Triana Ohoiwutun (2007), Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Malang: Bayumedia Publishing Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Utrecht E (1983) Pengantar Dalam Hukum Indonesia (disadur oleh Moh Sidik Djindang). Jakarta: Ichtiar Baru Van Apeldorn.(1981). Pngantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradya Paramita Veronica Komalawati (2002). Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Warassih, Esmi (2005). Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: Yuryandaru Utama.