16 Jurnal Pharmascience, Vol 1, No. 2, Oktober 2014, hal: 16 - 26 ISSN : 2355 – 5386 Research Article
Evaluasi Obat-Obatan Berpotensi Hepatotoksik pada Pasien Dengan Gangguan Fungsi Hepar di Ruang Rawat Inap RSUD Ulin Banjarmasin *Noor Cahaya, dan Arita Rahmadani Mutia Safitri Prodi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru *Email:
[email protected] Abstrak Kerusakan hati disebabkan oleh obat merupakan masalah klinis yang sangat berbahaya. Penggunaan obat yang berpotensi hepatotoksik pada pasien dengan gangguan fungsi hepar dapat meningkatkan resiko kerusakan hati. Penelitian ini bertujuan menentukan persentase pasien dengan gangguan fungsi hepar yang diberikan obat yang berpotensi hepatotoksik, menentukan jenis obat yang berpotensi hepatotoksik pada pasien dengan gangguan fungsi hepar, dan menghitung persentase pasien dengan gangguan fungsi hepar yang mendapatkan perlakuan khusus ketika menggunakan obat yang berpotensi hepatotoksik di ruang rawat inap RSUD Ulin Banjarmasin. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan cross-sectional dan analisis data secara deskriptif. Hasil dari penelitian diperoleh total dari 72 subjek penelitian diketahui sebanyak 70 orang (97,22 %) menggunakan obat yang berpotensi hepatotoksik. Obat yang berpotensi hepatotoksik yang paling banyak digunakan adalah ranitidin (82,86%), furosemid (38,57%), seftriakson (30,00%), ondansetron (17,14%), dan metoklopramid (17,14%). Subjek penelitian pengguna obat yang berpotensi hepatotoksik yang mendapatkan perlakuan khusus sebanyak 60 orang (85,71%) dan tidak mendapat perlakuan khusus sebanyak 10 orang (14,29%). Kesimpulan yang didapat dari penelitian adalah pasien dengan gangguan fungsi hepar yang diberikan obat berpotensi hepatotoksik sebesar 97,22% dengan jumlah terbanyak adalah obat ranitidin dan pasien gangguan fungsi hepar yang diberikan obat berpotensi hepatotoksik mendapatkan perlakuan khusus cukup besar yaitu sebesar 85,71%. Kata kunci: hepatotoksik, gangguan fungsi hepar
Abstract Drug induced liver injury is clinical problem that extremely dangerous. The use of potentially hepatotoxic drugs in patients with hepatic function disorder increase the risk of liver injury. The studi was conducted to calculate the percentage of patients with hepatic function disorder who use potentially hepatotoxic drugs, determine potentially the kinds of hepatotoxic drugs that most widely used by patients with hepatic function disorders, calculate the percentage of patients with hepatic function disorder who get special treatment when using potentially hepatotoxic drugs in the inpatient general hospital Ulin Banjarmasin in 2013. Information were collected retrospective in 2013 from the patient’s medical record. A total of 72 patients research subjects were discovered 70 patients (97,22%) using potentially hepatotoxic drugs. Potentially hepatotoxic most widely used were ranitidine (82,86%), furosemide (38,57%), ceftriaxone (30,00%), ondansentron (17,14%), and metoclopramide (17,14%). Research subject user were potentially hepatotoxic drugs who get special treatment as many as 60 people (85,71%) and did Volume 1, Nomor 2 (2014)
Jurnal Pharmascience
17 not get it as many as 10 people (14,29%). Most patients of potemtially hepatotoxic drugs user decreased liver function parameters. Keyword : hepatotoxic drugs, hepatic disorders.
I.
cukup tinggi, dan pada banyak kasus juga dapat
PENDAHULUAN
Hati merupakan salah satu organ vital tubuh.
menimbulkan kegagalan hati
(Zimmerman,
Fungsi utama hati terutama bertanggungjawab
1978). Sebagai contoh di Amerika Serikat,
terhadap metabolisme glukosa dan lemak,
sekitar 2000 kasus gagal hati akut terjadi setiap
sintesis protein (albumin, globulin, dan faktor
tahun dan lebih dari 50% disebabkan oleh obat
koagulan), ekskresi bilirubin, metabolisme obat
(39% disebabkan asetaminofen; 13% reaksi
dan hormon dan detoksifikasi (Ziser, 2001).
idiosinkratik terhadap obat lainnya). Sekitar
Sebagai pusat metabolisme di tubuh, hati rentan
75% reaksi idiosinkratis (reaksi tidak diharapkan
terpapar zat kimia yang bersifat toksik sehingga
terjadi) dari obat menyebabkan transplantasi hati
menimbulkan kerusakan. Penyebab penyakit
atau kematian (Mehta, 2010). Selain itu, dalam
hati bervariasi, sebagian besar disebabkan oleh
dua survei terbaru dari Eropa menunjukkan
virus HAV, HBV, HCV, HDV, dan HEV yang bahwa angka kematian yang disebabkan oleh menular secara fekal-oral, parenteral, seksual,
obat penginduksi kerusakan hati dilaporkan
perinatal dan sebagainya. Penyebab lain dari
sebesar
penyakit hati adalah akibat efek toksik dari obat-
disebabkan oleh antibiotik, obat-obatan penurun
obatan, alkohol, racun, jamur dan lain-lain.
lipid (antihiperlipidermia), antidepresan, dan
Prevalensi penyakit hati di Indonesia belum
analgesik (Wai, 2006).
diketahui karena faktor geografi yang sangat
Drug-induced
luas.
Menurut
WHO,
pada
tahun
2003
5,9%
dan
11,9%,
liver
masing-masing
injury
(DILI)
merupakan istilah lain dari hepatotoksik yang
prevalensi penyakit hati kronik di Indonesia
diinduksi oleh obat dan
antara 1,-2,4 %. Jumlah tersebut sama dengan
digunakan oleh para tenaga kesehatan. DILI
prevalensi di Australia dan Amerika Serikat
merupakan penyebab utama kegagalan hati akut
(Depkes RI, 2007).
dan
transplantasi
di
istilah ini sering
negara-negara
barat
Kerusakan hati akibat obat adalah kerusakan
(Cinthya et al, 2012). Hepatoksisitas yang
hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati
diakibatkan oleh obat dapat menjadi masalah
yang disebabkan oleh karena terpajan obat atau
klinis yang sangat berbahaya, sehingga dapat
agen non infeksius
lainnya (Lee, 2003).
berakibat fatal karena proses metabolisme pada
Meskipun prevalensi
kerusakan hati
hepar
yang
akan
terganggu
2009).
obat
selalu
diinduksi oleh obat-obatan mungkin relatif tidak
Hepatotoksisitas
terlalu tinggi pada masyarakat, namun angka
dipertimbangkan
kematian dalam kasus-kasus tersebut seringkali
penyebab penyakit hati. Sebuah survei dari
Volume 1, Nomor 2 (2014)
akibat
(Russmann,
sebagai
harus
kemungkinan
Jurnal Pharmascience
18 Acute Liver Failure Study Group (ALFSG) yang tinggi yaitu sebesar 96%. Obat penginduksi dilakukan pada pasien rawat inap di 17 rumah
yang paling banyak digunakan yaitu ranitidin
sakit Amerika Serikat menunjukan bahwa obat
(31,3%), seftriakson (23,1%), dan parasetamol
yang
(16,4%).
diresepkan
(termasuk
asetaminofen)
Sedangkan
kajian
retrospektif
obat
penginduksi
menyebabkan > 50% kasus gagal hati akut. Saat
penggunaan
kelompok
ini, efek hepatotoksik merupakan alasan utama
penyakit hati yang dilakukan oleh Jalil (2010)
terhentinya pengembangan obat lebih lanjut dan
pada pasien rawat inap penyakit hati di salah
ditariknya obat yang telah disetujui oleh FDA
satu
dari pasaran seperti troglitazon, bromfenak,
menunjukkan bahwa tingkat penggunaan obat
trovafloksasin, ebrotidin, nimesulid, nefazodon,
penginduksi penyakit hati masih tergolong
Rumah
Sakit
di
Kota
Bandung
and ximelagatran (Andrade, et. al., 2007). Salah tinggi yaitu sebesar 80,4 %. Obat penginduksi satu alasan penarikan obat di pasaran adalah
kerusakan hati yang paling banyak digunakan
karena
yaitu parasetamol (22%), ranitidin (21,6%), dan
obat-obat
tersebut
menyebabkan
peningkatan kadar enzim-enzim di hati (Dipiro, pantoprazole (17,4%). Terdapat 3 pasien (2,4%) 2005).
pengguna obat penginduksi penyakit hati yang
Kajian prospektif pada penggunaan obat
mendapat
perlakuan
khusus.
Prevalensi
penginduksi kerusakan hati yang dilakukan oleh
penggunaan obat yang berpotensi hepatotoksik
Bjornsson et. al (2013) pada pasien penyakit
pada penyakit hepar masih relatif tinggi
hati di Rumah Sakit Universitas Nasional
disebabkan karena obat-obat tersebut digunakan
Islandia
tingkat
untuk menghilangkan gejala penyakit dan
penggunaan obat penginduksi kerusakan hati
sebagai terapi untuk penyakit lain yang diderita
masih tergolong tinggi yaitu sebesar 75 %. Total
pasien.
menunjukkan
bahwa
subjek penelitian sebanyak 96 pasien diketahui
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin
sebanyak 72 pasien (75%) menggunakan obat
Banjarmasin merupakan rumah sakit tipe B
penginduksi kerusakan hati. Obat penginduksi
pendidikan dan merupakan salah satu rumah
kerusakan hati yang paling banyak digunakan
sakit terbesar di Kalimantan Selatan. RSUD
yaitu amoksisilin-klavulanat (22%), diklofenak
Ulin Banjarmasin telah menjadi rumah sakit
(6%), dan azatioprin (4%).
pusat rujukan di Kalimantan Selatan dan sebagai
Kajian
retrospektif
penggunaan
obat
sarana pendidikan serta penelitian bagi para
penginduksi kerusakan hati yang dilakukan oleh
dokter
dan
paramedik
(Yusuf,
2010).
Cinthya et. al. (2012) pada pasien rawat inap
Berdasarkan survey pendahuluan yang telah
penyakit hati di salah satu Rumah Sakit di Kota dilakukan peneliti, di dalam peresepan pasien Tasikmalaya diperoleh hasil penelitian yang rawat inap penyakit dalam banyak sekali menunjukkan bahwa tingkat penggunaan obat
ditemukan
penginduksi kerusakan hati masih tergolong
hepatotoksik
Volume 1, Nomor 2 (2014)
obat-obatan seperti
yang
seftriakson,
berpotensi ranitidin,
Jurnal Pharmascience
19 omeprazol, dan parasetamol. Berdasarkan uraian
medis pasien yang lengkap. Data yang diperoleh
di atas, maka perlu dilakukan penelitian
dianalisa kemudian dihitung persentase pasien
mengenai penggunaan obat yang berpotensi
dengan gangguan fungsi hepar yang diberikan
hepatotoksik pada pasien rawat inap Penyakit
obat berpotensi hepatotoksik; obat berpotensi
Dalam RSUD Ulin Banjarmasin.
hepatotoksik yang paling banyak digunakan dan persentase pasien dengan gangguan fungsi hepar yang mendapatkan perlakuan khusus ketika
II. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian non
menggunakan obat berpotensi hepatotoksik.
eksperimental dengan analisa deskriptif dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Penelitian
deskriptif
adalah
suatu
metode
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Subjek Penelitian
penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama
Penelitian ini menggunakan data resep dan
untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang
data rekam medik pasien rawat inap penyakit
suatu keadaan secara objektif (Notoadmodjo,
dalam dengan diagnosa utama gangguan fungsi
2005).
hepar.
Sumber
data
yang
diolah
dalam
penelitian ini adalah data rekam medis pasien rawat
inap
Banjarmasin
Penyakit
Dalam
meliputi
Ruang
RSUD
Ulin
Tabel I. Karakteristik subjek penelitian
Flamboyan
(Penyakit Dalam Pria) dan Tanjung (Penyakit Dalam Wanita). Instrumen penelitian ini berupa blangko isian yang memuat nomor rekam medis pasien, umur, jenis kelamin, diagnosis, lama rawat inap, tanggal pemberian obat, nama obat, dosis
obat,
tanggal
Jumlah subjek penelitian yang berjenis
pemeriksaan, parameter fungsi hati (ALT, AST,
kelamin laki-laki lebih besar dibandingkan
dan
status
jumlah pasien perempuan. Laki-laki lebih rentan
kepulangan pasien. Adapun kriteria Inklusi,
mengalami gangguan fungsi hepar karena
yaitu:
dengan
adanya hormon testosteron pada laki-laki.
gangguan fungsi hepar di ruang rawat inap
Hormon ini dapat meningkatkan kerentanan
Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin dilihat
terhadap amuba yang akan menimbulkan abses
dari diagnosis (hepatitis, sirosis hepatis, abses
hati (Lotter et al., 2013). Pria juga memiliki
bilirubin
data
frekuensi
total,
rekam
pemberian,
outcome,
medis
dan
pasien
liver, asites, fatty liver, kolestasis, dan lain-lain) resiko menderita hepatitis E dibandingkan dan/atau kadar ALT dan AST ≥ 2 kali nilai perempuan (WHO, 2010). normal dan/atau bilirubin diatas normal; pasien mendapatkan terapi pengobatan dan data rekam Volume 1, Nomor 2 (2014)
Tabel I juga menunjukkan bahwa gangguan fungsi
hepar
lebih
banyak
diderita
oleh
Jurnal Pharmascience
20 kelompok
usia
45-59
tahun
atau
usia
obat yang berpotensi hepatotoksik disebabkan
pertengahan (middle age). Pada usia tersebut
karena obat-obat tersebut digunakan untuk
sebagian pasien menderita lebih dari satu
menghilangkan gejala penyakit dan sebagai
penyakit. Hal ini disebabkan karena semakin
terapi untuk penyakit lain yang diderita oleh
meningkat usia manusia maka penurunan fungsi
pasien. Jenis obat yang berpotensi hepatotoksik
organ tubuh juga akan semakin meningkat.
yang diberikan pada subjek penelitian ada 24
Dengan adanya penurunan fungsi tubuh tersebut
jenis obat.
maka tubuh tidak dapat bekerja secara maksimal
Persentase jumlah masing-masing obat yang
sehingga dapat mempengaruhi organ tubuh lain
berpotensi hepatotoksik yang digunakan dapat
dan menimbulkan komplikasi. Hasil penelusuran
dilihat pada Tabel II.
data menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis penyakit yang diderita oleh pasien.
2. Persentase
Pasien
dengan
Tabel II. Persentase pasien yang diberikan obat berpotensi hepatotoksik
Gangguan
Fungsi Hepar yang Menggunakan Obat yang Berpotensi Hepatotoksik Persentase jumlah subjek penelitian yang menggunakan obat yang berpotensi hepatotoksik dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Persentase jumlah subjek penelitian yang menggunakan obat yang berpotensi hepatotoksik
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa 70 pasien (97,22 %) dari total subjek penelitian yang
menggunakan
obat
yang
berpotensi
hepatotoksik dan 2 pasien (2,78 %) dari total subjek penelitian yang tidak mendapatkan terapi obat yang berpotensi hepatotoksik. Pasien dengan gangguan fungsi hepar banyak mendapat Volume 1, Nomor 2 (2014)
Obat yang berpotensi hepatotoksik yang paling banyak digunakan pada subjek penelitian adalah ranitidin sebesar 82,86%; furosemid sebesar 38,57%; seftriakson sebesar 30,00%; ondansetron
sebesar
17,14%;
dan
Jurnal Pharmascience
21 metoklopramid sebesar 17,14%. Berdasarkan
Ranitidin merupakan antagonis reseptor H2 yang
data yang diperoleh, ranitidin diberikan dalam
bekerja dengan cara menghambat kerja histamin
bentuk injeksi dan peroral. Ranitidin diberikan
pada
dalam bentuk injeksi sebanyak 53 orang dan
mengurangi sekresi asam lambung (Deng et. al.,
dalam bentuk oral sebanyak 5 orang. Dosis
2009).
ranitidin yang digunakan adalah 150 mg dua kali
disebabkan oleh ranitidin merupakan reaksi
sehari (oral) dan 2 x 50 mg (intravena) berarti
toksisitas idiosinkratis dimana pada pasien
dosis ini cukup aman bagi pasien gangguan
tertentu mengalami kelainan gen sehingga
reseptor
H2
secara
Mekanisme
kompetitif
kerusakan
hati
dan
yang
fungsi hepar (Liberopoulos, et al, 2002). Dosis metabolit yang dihasilkan akan berbeda dengan terapi ranitidin dewasa dan anak lebih dari 12
orang pada umumnya serta bersifat toksik atau
tahun yang diberikan secara oral adalah 150 mg
merusak
dua kali sehari atau 300 mg pada malam hari
idiosinkratis terjadi kurang dari 0,1% dari pasien
selama 4-8 minggu. Sedangkan untuk injeksi
yang menggunakan ranitidin (Vial et. al. 1991).
(Kaplowitz,
2007).
Toksisitas
intravena sebesar 50 mg, 45-60 menit sebelum Reaksi toksisitas dari ranitidin sebagian besar induksi anestesi (BNF, 2009). Bioavailabilitas
bersifat reversibel dan ringan; kerusakan hati
ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50%
yang parah dan menyebabkan kematian telah
dan meningkat pada pasien penyakit hati. Waktu
terjadi pada beberapa individu (Deng et. al.,
paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa
2009).
dan meningkat pada orang tua. Pada pasien
Obat yang berpotensi hepatotoksik kedua
gangguan hepar, waktu paruh ranitidin juga
yang paling banyak digunakan adalah furosemid.
meningkat. Ranitidin mengalami metabolisme Pasien dengan diagnosis asites harus melakukan lintas pertama di hati dalam jumlah yang cukup
terapi diawali dengan diet rendah garam.
besar setelah pemberian oral. Sekitar 70 % dari
Konsumsi garam sebaiknya sebanyak 5,2 g atau
ranitidin yang diberikan secara intravena dan
90 mmol/hari. Diet rendah garam juga disertai
30 % yang diberikan secara oral dieksresi dalam
dengan pemberian diuretik, salah satunya adalah
urin
furosemid
dalam
bentuk
yang
tidak
(Ganiswarna,
1995).
Penggunaan
berubah
(Nurdjanah,
ranitidin merupakan
secara oral diberikan secara hati-hati dan perlu
bekerja
dimonitoring fungsi hatinya karena ranitidin
+
+
golongan
dengan
2006). diuretika
menghambat
Furosemid loop
yang
kotranspor
-
Na /K /Cl dari membran lumen pada pars
dimetabolisme dihati (Liberopoulos, et al, 2002). asendens ansa henle. Hepatotoksisitas dari Pasien rawat inap biasanya mengalami hipermetabolisme
yang
furosemide
sangat
langka
dan
jika
menyebabkan
hepatotoksisitas terjadi maka akan muncul
peningkatan sekresi asam lambung, sehingga
menjadi cedera hepatoseluler. Hal ini dibuktikan
perlu diberikan terapi obat-obatan yang mampu
pada penelitian dengan menggunakan model
menekan sekresi asam lambung seperti ranitidin.
hewan uji yang telah menjelaskan cedera
Volume 1, Nomor 2 (2014)
Jurnal Pharmascience
22 hepatoseluler Furosemid
tersebut cepat
(Kaplowitz,
diserap
dari
2007).
Berdasarkan data yang diperoleh, seftriakson
saluran
hanya diberikan dalam bentuk injeksi sebanyak
gastrointestinal saluran; bioavailabilitas telah
21
dilaporkan menjadi sekitar 60 sampai 70%.
farmakokinetika non linier (bergantung dosis),
Waktu paruh furosemid sekitar 2 jam dan
terikat protein plasma 85 hingga 95%. Absorbsi
meningkat pada pasien dengan gangguan hepar.
seftriakson di saluran cerna buruk, sehingga
Furosemid sekitar 99% terikat albumin plasma,
diberikan
dan terutama diekskresikan dalam urin sebagian
eliminasi seftriakson tidak tergantung pada dosis
besar tidak berubah dan sisanya diekskresikan
dan bervariasi antara 6 dan 9 jam. Waktu paruh
melalui empedu (Sean, 2009). Berdasarkan data
eliminasi mengalami penurunan terutama ketika
yang diperoleh, furosemid diberikan dalam
terjadi gangguan hepar. Sekitar 33 hingga 67 %
bentuk injeksi dan peroral. Furosemid diberikan
seftriakson diekskresikan dalam urin dan sisanya
dalam bentuk injeksi sebanyak 20 orang dan
diekskresikan dalam empedu (Sean, 2009).
dalam bentuk oral sebanyak 7 orang.
paling
seftriakson.
banyak
digunakan
Seftriakson
secara
Seftriakson
parentral.
mengikuti
Waktu
paruh
Obat lainnya yang berpotensi hepatotoksik
Obat yang berpotensi hepatotoksik ketiga yang
orang.
digunakan
adalah
ondansetron
dan
metoklopramid.
adalah
Ondansetron merupakan antagonis spesifik dari
untuk
reseptor 5-HT3 yang digunakan untuk mual dan
mengobati abses hepar. Abses hepar merupakan
muntah,
dimetabolisme
infeksi pada hati yang disebabkan oleh infeksi
sitokrom P450 di hati. Metabolit utama dibentuk
bakteri, parasit, jamur yang bersumber dari
oleh
CYP1A2,
secara
CYP1A1,
luas
dan
oleh
CYP2D6.
sistem gastrointestinal (Lestari et al., 2011). Metabolisme lintas pertama ondansetron oral Seftriakson
merupakan
sefalosporin
generasi
terhadap
antibiotik ketiga
Neisseria
golongan
yang
gonorrhoae
efektif
dapat terganggu pada pasien sirosis (Kaplowitz, 2007).
Berdasarkan
data
yang
diperoleh,
yang ondansetron diberikan dalam bentuk injeksi dan
menginfeksi faring, anal dan genital yang
peroral.
resisten terhadap penisilin (Mycek et al., 2001).
ondansetron terjadi sekitar 1,5 jam setelah
Seftriakson
pemberian dosis oral 8 mg dan menurun pada
diketahui
dapat
menyebabkan
Konsentrasi
plasma
puncak
dari
terbentuknya batu empedu (Kaplowitz, 2007). gangguan fungsi hepar. Bioavailabilitas absolut Suatu penelitian in vitro diketahui bahwa ondansetron sekitar 60%, terutama disebabkan seftriakson memiliki afinitas tinggi dalam
metabolisme lintas pertama di hati. Pada pasien
mengikat
batu
lanjut usia, bioavailabilitas mungkin sedikit
empedu diakibatkan adanya masalah kelarutan
lebih tinggi (65%) dan klirens lebih rendah,
yang terjadi pada pasien yang menerima
karena penurunan metabolism lintas pertama.
perawatan dosis tinggi (lebih besar dari atau
Ondansetron secara luas didistribusikan dalam
sama dengan 2 g) (Shifmann et. al. 1990).
tubuh sekitar 70-75% dari obat terikat dalam
kalsium
dan
Volume 1, Nomor 2 (2014)
pembentukan
Jurnal Pharmascience
23 protein plasma. Hal ini disebabkan ondansentron
pemberian zat lain yang dapat mengurangi efek
dimetabolisme di hati melalui beberapa jalur
toksik dari obat yang berpotensi hepatotoksik.
enzimatik. Ondansetron merupakan substrat
Subjek
untuk
berpotensi
isoenzim
sitokrom
P450,
terutama
CYP3A4, CYP1A2, dan CYP2D6 (Sean, 2009). Metoklopramid
merupakan
penelitian
pengguna
hepatotoksik
yang
obat
yang
mendapatkan
perlakuan khusus berupa penyesuaian dosis dan
pengganti
pemberian zat lain yang dapat mempertahankan
benzamid dengan aktivitas antimuntah (Mycek
fungsi hepar sebanyak 60 pasien (85,71%).
et al., 2001). Metoklopramid juga dapat
Sebanyak 10 pasien (14,29%) subjek penelitian
menyebabkan peningkatan parameter fungsi hati, tidak mendapatkan perlakuan khusus disebabkan penyakit
kuning,
dan
karena pasien tidak memiliki diagnosis penyakit
2014).
hepar tetapi nilai parameter fungsi heparnya 2
diperoleh,
kali lipat diatas normal, sehingga tidak diberikan
metoklopramid hanya diberikan dalam bentuk
suplemen untuk mempertahankan fungsi hepar.
injeksi sebanyak 12 orang. Metoklopramid
Persentase
diserap cepat melalui saluran pencernaan setelah
perlakuan khusus dapat dilihat pada Gambar 2.
hemangiomatosis Berdasarkan
kolestasis,
hati
(Drugs,
data
yang
jumlah
pasien
yang
mendapat
pemberian secara oral. Obat ini mengalami metabolisme
lintas
pertama
di
hati.
Bioavailabilitas rata-rata metoklopramid secara oral sekitar 80%. Konsentrasi plasma puncak metoklopramid terjadi sekitar 1 sampai 2 jam setelah pemberian secara oral. Waktu paruh eliminasi metoklopramid sekitar 4 sampai 6 jam. Obat ini diekskresikan melalui urin sekitar 85% Gambar 2. Persentase jumlah pasien pengguna obat yang berpotensi hepatotoksik dan sisanya diekskresikan melalui empedu (Sean, yang mendapat perlakuan khusus 2009).
Salah satu cara untuk mempertahankan fungsi hepar yaitu dengan menambahkan zat
3. Persentase Fungsi
Pasien
Hepar
dengan yang
Gangguan
Mendapatkan
Perlakuan Khusus Penggunaan
obat
berpotensi
fungsi hepar sebaiknya dihindari. Jika masih maka
perlu
Berdasarkan data yang diperoleh, kandungan suplemen yang dapat mempertahankan fungsi
yang
hepatotoksik pada pasien dengan gangguan
digunakan
lain yang dapat mempertahankan fungsi hepar.
diberikan
dengan
perlakuan khusus seperti pengurangan dosis,
hepar
adalah
kurkumin,
metionin,
coline
bitartrat, vitamin B kompleks, vitamin E, asam amino, silymarin phytosome, dan lain-lain. Curcuma mengandung bubuk dari akar curcuma dimana dalam akar curcuma mengandung
pengawasan parameter fungsi hati, ataupun Volume 1, Nomor 2 (2014)
Jurnal Pharmascience
24 senyawa kurkumin. Meskipun belum jelas sisanya mendapatkan suplemen hepar lainnya mekanisme kurkumin dalam mengobati fungsi
yang mengandung curcumin, ekstrak siccum,
sel hati, tetapi pada sebuah uji pada hewan
ekstrak fructus schisandrae, ekstrak silybum
percobaan menyatakan bahwa kurkumin secara
marianum,
dan
lecithin.
Pasien
yang
kuat menghambat enzim sitokrom 4501A1/1A2 mendapatkan perlakuan khusus berupa N-asetil di hati. Kurkumin juga ditemukan mencegah
sistein ketika diberikan parasetamol disebabkan
pembentukan ikatan kovalen antara sitokrom karena pasien memiliki diagnosis hepatitis viral P450 dan DNA. Masih dalam studi pra klinis,
akut dan hepatomegali dengan nilai parameter
kurkumin dilaporkan meningkatkan aktivitas
fungsi hepar 50 kali lipat diatas normal,
glutation-S-transferase
sehingga perlu diberikan perlakuan khusus.
yang
penting
dalam
detoksifikasi (pengeluaran racun) (Dalimartha, IV. KESIMPULAN
2006). Obat-obat yang berpotensi hepatotoksik yang
mendapatkan
suplemen
untuk
mempertahankan fungsi hati adalah ranitidin, furosemid,
seftriakson,
metoklopramid,
ondansetron,
omeprazole,
spironolakton,
parasetamol, amlodipin, dan kaptopril. Cara lain untuk mempertahankan fungsi hepar adalah penyesuaian dosis yang hanya dilakukan pada pemberian ranitidin. Sedangkan, penggunaan parasetamol yang mendapat perlakuan khusus
Persentase pasien dengan gangguan fungsi hepar yang diberikan obat yang berpotensi hepatotoksik di ruang rawat inap Penyakit Dalam
RSUD
Ulin
Banjarmasin
sebesar
97,22 % dengan jumlah terbanyak adalah obat ranitidin yaitu sebesar 82,86%. Sedangkan persentase pasien dengan gangguan fungsi hepar yang mendapatkan perlakuan khusus ketika menggunakan obat yang berpotensi hepatotoksik adalah sebesar 85,71%.
sebanyak 6 orang dan sebanyak 1 orang tidak mendapat
perlakuan
parasetamol diberikan
terhadap perlakuan
penambahan suplemen merangsang
khusus. pasien khusus
N-asetilsistein
hati
lainnya.
pembentukan
yang
telah
dengan
cara
(NAC)
dan
NAC
ini
dapat
glutation
untuk
mengikat metabolit toksik yaitu N-asetil-pbenzoquinon-imin
(NAPQI)
selama
metabolisme parasetamol (Kaplowitz, 2007). Penggunaan
parasetamol
UCAPAN TERIMAKASIH
Penggunaan
yang
mendapat
Penelitian ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. terima
Penulis
kasih
terutama
kepada
pihak
menyampaikan RSUD
Ulin
Banjarmasin yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
perlakuan khusus dengan menggunakan Nasetilsistein (NAC) sebanyak 1 orang dan Volume 1, Nomor 2 (2014)
Jurnal Pharmascience
25 DAFTAR PUSTAKA Andrade, R J., Robles, M., Castener, A.F., Ortega, S. L., Vega, M.C.L., & Lucena, M.I. 2007. Assessment of DrugInduced Hepatotoxicity in Clinical Practice : A Challenge for Gastroenterologist. World Jornal of Gastroenterol. 21: 13 (3): 329-340. Bayupurnama, P. 2006. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Benvie. 2009. Hepatotoksisitas Obat .http://doctorology.net?p=31(diakses tanggal 18 Nopember 2013) Bergman, R.A., Afifi A.K, and Heidger P.M. 1996. Saunders Text and Riview Series Histology. Saunders Company, Philadelphia. Bjornsson, E. S., Bergmann. O. M., Bjornsson., H. K., Kvaran, R. B., & Olafsson, S. 2013. Incidence, Presentation, and Outcome in Patients With Drug-Induced Liver Injury in the General Population of Iceland. Gastroenterology. Vol. 144, No. 1419–1425. BNF. 2009. British National Formulary 57. British Medical Association, London. Cinthya, S.E., I.S. Pradipta., R. Abdullah. 2012. Penggunaan Obat Penginduksi Kerusakan Hati pada Pasien Rawat Inap Penyakit Hati di Salah Satu Rumah Sakit di Kota Tasikmalaya. Jurnal Farmasi Klinik. Vol. 1. No. 2. Dalimartha, S. 2006. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis. Penebar Swadaya, Jakarta. Damjanov, I. 1996. Liver. In: Anderson’s Pathology. Edisi ke-10. Mosby, USA. Darsono, L. 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Deng, X., Luyendyk, J.P., Ganey, P.E., Roth, R.A. 2009. Inflammatory Stress and Idiosyncratic Hepatotoxicity: Hints from Animal Models. Pharmacological Reviews. 61: 262-282. Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Volume 1, Nomor 2 (2014)
Dhingra, V. K. 2006. Treatment of Tuberculosis in Liver Disease. Indian Journal of Tuberculosis. 53: 232-233. Di Piro, J.T. 2005. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach. Edisi ke-6. McGraw-Hill Companies, US. Drugs1. 2014. Metoclopramide Side Effects. http://www.drugs.com/sfx/metoclopramideside-effects.html (diakses tanggal 16 Agustus 2014). Ganiswarna, S. G. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Gutkowski, K., Chwist, A., Hartleb, M. 2011. Liver Injury Induced by High-Dose Metylprednisolone Therapy : A Case Report and Brief Review of the Literature. Hepat Mon. 11(8): 656-61 Hadi, S. 2002. Gastroenterologi. Penerbit Alumni, Bandung. Jalil, T. R. 2010. Penggunaan Kelompok Obat Penginduksi Penyakit Hati pada Pasien Rawat Inap Penderita Penyakit Hati di Salah Satu Rumah Sakit di Kota Bandung. Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran, Bandung. Junqueira, L.E., et al. 1995. Histologi Dasar. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Kaplowitz, N. & L.D. Deleve. 2007. Drug Induced Liver Disease Second Edition. Informa Health, USA. Kee, J.L., Carneiro, Robert, O. K. 2008. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Kenward, R. C. K. T. 2003. Farmasi Klinik. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Lee, W. M. 2003. Drug Induced Hepatotoxicity. New England Journal of Medicine. 349: 5. Leeson, C.R. 1996. Buku Ajar Histologi. Edisi ke-5. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Lestari, W., Almahdy, A., Zubir, N., Darwin, D. 2011. Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Sistem ATC/DDD dan Kriteria Gyysens di Bangsal Penyakit Dalam RSUP DR.M.Djamil Padang. Fakultas Farmasi Pascasarjana Universitas Andalas, Padang. Liberopoulos, E.N., Nonni, A.B., Tsianos, E.V., & Elisaf, M.S. 2002. Possible RanitidineInduced Cholestatic Jaundice. Ann. Pharmacother, 36: 172. Jurnal Pharmascience
26 Lotter, H., Helk, E., Bernin, H., Jacobs, H., Prehn, C, Adamski, J., Gonza, N., Rolda, Otto Holst, O., Tannich, E. 2013. Testosterone Increases Susceptibility to Amebic Liver Abscess in Mice and Mediates Inhibition of IFNc Secretion in Natural Killer T Cells. Plus One. Mehta,N.2001.Drug Induced Hepatotoxicity. http://emedicine.medscape.com/article/1698 14-overview (diakses tanggal 13 Oktober 2013) Mutiara, E. 2010. Karakteristik Penduduk Lanjut Usia Di Sumatera Utara Tahun 1990.http://library.usu.ac.id/download/fkm/f kmerna%20mutiara.pdf(diakses tanggal 21 Juli 2014) Mycek, M.J., Harvey, R.A., dan Champe C.C. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Lippincottt’s Illustrated Reviews: Farmacology. Penerjemah Azwar Agoes. Edisi II. Widya Medika, Jakarta. Notoadmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. Nurdjanah, 2006. Sirosis Hati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. FK UI. Jakarta. Paulsen, D.F. 2000. Histology and Cell Biology. Edisi ke-4. McGrawhill, New York. Pettersson J, Hindorf U, Persson P, Bengtsson T, Malmqvist U, Werkström V. 2007. Muscular exercise can cause highly pathological liver function tests in Healthy Men. British Journal of Clinical Pharmacology. Price, S.A. & Wilson, L.M. 1997. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Russmann, S., & Kullak-Ublickv. 2009. Current Concepts of Mechanisms in Drug-Induced Hepatotoxicity. Current Medicinal Chemistry. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez (diakses tanggal 18 Nopember 2013). Sean, C. S. 2009. Martindale The Complete Drugs Reference 36th Ed. Pharmaceutical Press, USA. Senior, J.R. 2005. Recognizing Drug-Induced Liver Injury (DILI) In Exposure Populations.
Volume 1, Nomor 2 (2014)
Pharmacoeepidemiology and Statistical Science Food and Drug Administration (FDA), United State of America. Setiabudy, R. 1979. Hepatitis Karena Obat. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Shiffman, M.L., Keith, F.B., Moore, E.W. 1990. Pathogenesis of Ceftriaxone Associated Biliary Sludge. In Vitro Studies of CalciumCeftriaxone Binding and Solubility. Gastroenterology. 99(6): 1772-8. Tajiri, K., Shimizu, Y. 2008. Practical Guidelines for Diagnosis and Early Management of Drug-Induced Liver Injury. World Journal of Gastroenterol. 14(44): 6774-6785. Topal, F., Ersan. O., Sabiye.A., Metin. K., Osman, Y., Emin. A. 2006. Methylprednisolone-Induced Toxic Hepatitis. Ann Pharmacother 40(10): 1868-1871. Vial, T., Goubier, C., Bergeret, A., Cabrera, F., Evreux, J.C., Descotes, J. 1991. Side Effects of Ranitidine. Drug Safety. 6: 94-117. Wai, CT. 2006. Presentation of Drug-Induced Liver Injury in Singapore. Singapore Medical Journal. 47(2) : 116. WHO. 2003. The Global Prevalence of Hepatitis E Virus Infection and Susceptibility: A Systematic Review. World Health Organization, Switzerland. Wibowo, N. R. Drug-Induced Liver Injury. Kepaniteraan Klinik Mayor Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tanjungpura, Pontianak. Yusuf, M. 2010. RSUD Ulin Banjarmasin, Pelayanan Terbaik Se-Kalimantan. http://www.rsudulin.com (diakses tanggal 18 Nopember 2013) Zimmerman, H. J. 1978. Hepatotoxicity. Appleton Century Crofts, New York. Ziser, A., Plevak D.J., Wiesner RH, Rakela J, Offord KP, Brown DL 2001. Morbidity and Mortality in Cirrhotic Patients Undergoing Anesthesia and Surgery. Current Opinion in Anaesthesiology. (1): 42-53.
Jurnal Pharmascience