Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 189-198
Tersedia Online di http://pasca.um.ac.id/conferences/index.php/snbk ISSN 2579-9908
EVALUASI KINERJA KONSELOR PROFESIONAL DALAM LAYANAN RESPONSIF SISWA INKLUSI Fitriana Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected] ABSTRAK Sistem Pendidikan Nasional mengadakan pengaturan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan atau mental. Peserta didik yang menyandang kelainan demikian juga berhak memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Dasar 1945 yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.Hak masingmasing warga negara untuk memperoleh pendidikan diartikan sebagai hak untuk memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Pendidikan Inklusif merupakan wadah yang sangat ideal. Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. SMP Neg 18 Malang merupakan salah satu sekolah yang menyelenggarakan sekolah inklusi. Kinerja konselor tidak lepas dari standar yang telah ditetapkan agar program BK dapat terintegrasi dengan program sekolah. Dapat disimpulkan bahwa konselor memiliki peran yang sangat penting dalam membantu para guru serta staff lainnya untuk mengintegrasikan tujuan-tujuan bimbingan di sekolah. Oleh karena itu, sangat penting bagi untuk melakukan sebuah proses evaluasi terhadap kinerja konselor di sekolah tersebut Hal ini sangat penting untuk mengetahui sejauh mana kinerja konselor dalam menangani siswa inklusi dimana prinsip dasar dari konselor adalah menangani orang sehat dan normal. Kata Kunci: evaluasi, inklusi, program BK, layanan responsif
yang menyandang kelainan fisik dan atau
PENDAHULUAN Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal
mental. Peserta didik yang menyandang
31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun
kelainan
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab
pendidikan
III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warga
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
negara mempunyai kesempatan yang sama
1945 yang dalam hal ini menyatakan dengan
memperoleh
ini
singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap warga
menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak
negara berhak mendapatkan pengajaran” yang
pula memperoleh kesempatan yang sama
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20
dengan anak lainnya (anak normal) dalam
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
pendidikan. Sistem Pendidikan Nasional juga
Nasional yang menyatakan bahwa “Warga
mengadakan pengaturan pendidikan khusus
Negara
yang diselenggarakan untuk peserta didik
emosional, mental, intelektual, dan atau sosial
pendidikan.
Hal
189
demikian yang
yang
juga
memperoleh
layak,
sebagaimana
memiliki
kelainan
fisik,
190 Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling, Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 189-198
berhak memperoleh pendidikan khusus”. Hak
mempertimbangkan
masing-masing
mendasar
memperoleh
warga pendidikan
negara dapat
untuk diartikan
pergeseran
yang
menggalakkan
diperlukan
pendekatan
sebagai hak untuk memperoleh pengetahuan,
inklusif.
Demikian
kemampuan,
deklarasi
tentang
Pendidikan
Inklusif
dan
keterampilan
sekurang-kurangnya
setara
yang dengan
kebijakan
juga
untuk
pendidikan
diperkuat
Indonesia
oleh
Menuju
yang dicetuskan di
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan
Bandung, 11 Agustus 2004. Pendidikan
tamatan pendidikan dasar. Tentu saja kelainan
inklusif
yang disandang oleh peserta didik yang
sekolah-sekolah
bersangkutan
semua anak, terutama mereka yang memiliki
menuntut
penyelenggaraan
pendidikan sekolah yang lain dari pada penyelenggaraan pendidikan sekolah biasa. Kebijakan pemerintah dalam penuntasan
diharapkan
mampu
reguler
mendorong
dapat
melayani
kebutuhan khusus. Pendidikan Inklusif merupakan wadah yang sangat ideal, yang diharapkan dapat
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun pada
mengakomodasi
dasarnya
seruan
terutama anak-anak berkebutuhan khusus
Internasional Education for All (EFA) yang
yang selama ini masih belum terpenuhi
dikumandangkan
haknya
disemangati
oleh
UNESCO
sebagai
untuk
pendidikan
bagi
memperoleh
pendidikan
kesepakatan global hasil World Education
sebagaimana
Forum di Dakar, Sinegal tahun 2000, bahwa
Walaupun
penuntasan EFA diharapkan tercapai pada
secara berangsur-angsur sudah mulai diterima
tahun 2015. Seruan ini senafas dengan
sebagai bagian dari upaya yang memiliki nilai
semangat dan jiwa pasal 31 Undang-undang
strategis dalam mengembangkan kebijakan
Dasar 1945 tentang hak setiap warga negara
pendidikan nasional.
untuk memperoleh pendidikan dan pasal 32
layaknya
semua
demikian
anak-anak
pendidikan
lain. inklusif
Sapon-Shevin (dalam O’Neil, 1997)
UUSPN Nomor 20 tahun 2003 tentang
menyatakan
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan
sebagai sistem layanan pendidikan yang
Khusus.
mempersyaratkan
Sementara itu pemerataan kesempatan belajar
bagi
anak
berkebutuhan
berkelainan
bahwa
pendidikan
agar
dilayani
semua
di
inklusi
anak
sekolah-sekolah
khusus
terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman
dilandasi dengan pernyataan Salamanca tahun
seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya
1994. Pernyataan Salamanca ini merupakan
perombakan
perluasan tujuan Education for All dengan
komunitas
sekolah, yang
sehingga
mendukung
menjadi
pemenuhan
Fitriana, Evaluasi Kinerja Konselor... 191
kebutuhan khusus setiap anak, sehingga
sebagai suatu komunitas. Deklarasi dunia
sumber
dan
tentang Pendidikan Inklusi menuntut tanggap
mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu
kerja semua komponen lembaga pendidikan
para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat
untuk melaksanakan tugas dalam melayani
sekitarnya. Melalui pendidikan inklusi, anak
anak, khususnya anak berkebutuhan khusus
berkelainan
anak
atau anak luar biasa. Demikian halnya,
mengoptimalkan
konselor. Konselor ABK yang dipersiapan
potensi yang dimilikinya (dalam Freiberg,
untuk sekolah inklusi, tugas mereka akan
1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa
bertambah, sehingga menuntut kompetensi
di dalam masyarakat terdapat anak normal
yang lebih juga. Konselor sebagai salah satu
dan anak berkelainan yang tidak dapat
pelaksana pendidikan dalam membantu anak
dipisahkan sebagai suatu komunitas.
seyogyanya juga memahami konsep inklusi
lainnya
belajar
menjadi
dididik
(normal)
memadai
bersama-sama
untuk
Dalam lingkup ruang kerja inklusi, suksesnya
program
tersebut
dalam melayani anak berkebutuhan khusus
sesungguhnya tergantung pada keterlibatan
dan proses pendidikan bersama-sama dengan
tim kerja dan kolaborasi yang dibangun oleh
anak normal pada umumnya.
beberapa
orang
konselor
sekolah
pendidikan
dalam keseluruhan kerangka kerja konselor
didalamnya
SMP Neg 18 Malang merupakan salah
profesional.
satu sekolah yang menyelenggarakan sekolah
Pendidikan sebenarnya seperti halnya sebuah
inklusi. Sekolah ini adalah sekolah yang
jaringan yang harus melibatkan beberapa
pertama kali mendirikan sekolah inklusi di
orang untuk bekerja sama dan saling terkait
Kabupaten Malang berdiri sejak tahun 2007.
satu sama lain. Hal itulah yang sepertinya
Menurut hasil wawancara, berdirinya sekolah
gambaran yang tepat untuk menggambarkan
inklusi ini karena “kemasukaan” anak inklusi
pergerakan pendidikan inklusi, dimana hal itu
yang awalnya tidak terprediksikan. Pada
tidak bisa di lakukan tanpa kerjasama.
awalnya pihak sekolah menganggap semua
Melalui
termasuk yang
inklusif,
anak
murid yang lolos penjaringan adalah murid
bersama-sama
anak
normal. Lama kelamaan ternyata terdapat
mengoptimalkan
siswa yang memiliki kelainan dengan siswa
potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi
lain, dimana fisik dari anak itu terlihat
oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat
normal, akan tetapi terdapat kelainan dalam
terdapat anak normal dan anak berkelainan
berkomunikasi.
berkelainan lainnya
pendidikan dididik
(normal)
untuk
(berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan
Sejak
saat
itu
sekolah
192 Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling, Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 189-198
memutuskan untuk membuka sekolah inklusi
sekolah. Selanjutnya proses evaluasilah yang
sampai saat ini.
mampu untuk mengukur efektif atau tidaknya
Program
bimbingan
konseling
program yang dijalankan. Khusus untuk
menggunakan pola bimbingan dan konseling
layanan terhadapa siswa inklusi. Oleh karena
komprehensif yang dirancang dalam empat
itu, sangat penting bagi penulis untuk
bidang, yaitu layanan dasar, perencanaan
melakukan sebuah proses evaluasi terhadap
individual, layanan responsif dan dukungan
kinerja konselor di sekolah tersebut. Hal ini
sistem (Gysbers & Henderson, 2006; Gysbers,
sangat penting untuk mengetahui sejauh mana
2008;
Program
kinerja konselor dalam menangani siswa
konseling perlu dilaksanakan evaluasi. Hasil
inklusi dimana prinsip dasar dari konselor
evaluasi yang dilaksanakan akan digunakan
adalah menangani orang sehat dan normal.
sebagai dasar untuk memverifikasi kekuatan
METODE
dan kelemahan program konseling (Otto,
Prosedur Evaluasi
Gysbers
dkk.,
dan
2008).
2001).
Prosedur evaluasi yang digunakan dalam
Evaluasi merupakan komponen yang
kegiatan evaluasi perencanaan pendidikan ini
sangat penting dalam program bimbingan dan
menggunakan discrepancy model (model
konseling
akuntabilitas
kesenjangan) oleh Malcolm Provus (1973).
konselor. Oleh karena itu adanya evaluasi
Discrepancy model yaitu mendeskripsikan
merupakan
bagi
kesenjangan antara baku (standard yang sudah
penyempurnaan program dan peningkatan
ditentukan) dalam program layanan konseling
profesionalitas
dan
dengan kinerja (performance) sesungguhnya
Mitchell, 2010:579). Program BK yang
dari program layanan konseling di sekolah.
direncanakan dan implemantasikan tentunya
Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat
harus berdasarkan need assessment. Selain itu
kesesuaian
kinerja konselor juga tidak lepas dari standar
ditentukan dengan penampilan aktual dari
yang telah ditetapkan agar program BK dapat
pelaksanaan program konseling (Fitzpatrick,
terintegrasi
Sanders & Worthen, 2004; McKenna, 1981).
sebagai
jaminan
sebuah
proses
konselor
dengan
(Gibson
program
sekolah.
antara
telah
Provus
disimpulkan bahawa konselor memiliki peran
Worthen, 2004) memandang evaluasi ini
yang sangat penting dalam membantu para
sebagai
guru
untuk
kesepakatan tentang standar tertentu; (b)
mengintegrasikan tujuan-tujuan bimbingan di
menentukan ada/tidak ada kesenjangan yang
staff
lainnya
proses
Fitzpatrick,
yang
Berdasarkan uraian teoritis diatas, maka dapat
serta
(dalam
standar
yang
Sanders
mencakup
&
(a)
Fitriana, Evaluasi Kinerja Konselor... 193
muncul
antara
performansi
dan
aspek
b. Kriteria
6.
Guru
profesional
program dengan perangkat standar tertentu;
berkonsultasi
dan (c) menggunakan informasi tersebut
orangtua, pimpinan sekolah, guru, dan
sebagai dasar membuat keputusan untuk
individu lain yang relevan.
mengembangkan,
efektif
dengan
atau
c. Kriteria 7. Konselor sekolah professional
menghentikan program tersebut. Tahapan
menerapkan proses alih tangan dalam
yang dilalui dalam model ini terdiri atas
berkolaborasi dengan orang tua,
beberapa tahapan yaitu, definisi, instalasi,
pimpinan sekolah, dan personil sekolah
proses,
(bila
lainnya.
diperlukan) (Fitzpatrick, 2004:75-76). Berikut
2. Instalasi
hasil,
melanjutkan,
secara
BK
dan
analisis
biaya
ini merupakan penjabarannya.
Instalasi adalah proses menjadikan desain
1. Definisi
program sebagai standar untuk pelaksanaan
Definisi, atau juga sering disebut tahap perancangan, standar,
guru,
berfokus
proses
pada
atau
penentuan
aktivitas,
dan
penilaian program. Pada tahap ini evaluator menghasilkan perangkat tes (alat ukur atau instrumen)
yang
sesuai
untuk
memaparkan sumber daya-sumber daya yang
mengidentifikasi sejumlah kesenjangan antara
diperlukan, serta partisipan yang akan turut-
yang
serta dalam pelaksanaan dan penyelesaian
program yang aktual (Fitzpatrick, 2004:76).
tujuan-tujuan (Fitzpatrick, 2004:76).
Pada
Adapun standar yang harus dipenuhi adalah
Standart
professional
3:
Konselor
menerapkan
diharapkan
evaluasi
dengan
ini
Standar
implementasi
yang
telah
disebutkan dalam tahap definisi atau desain
sekolah
dikembangkan menjadi sebuah instrumen
komponen
guna mengetahui performansi aktual konselor
pelayanan responsif pada layanan inklusi
dan
melalui
siswa Sekolah Menengah Pertama SMP Neg
konseling,
menggunakan individual
keterampilan dan
kelompok,
konsultasi, dan referal. Dengan 3 kriteria
kompetensi
perencanaan
pendidikan
18 Malang. Instrumen tersebut divalidasi melalui uji
sebagai berikut:
Ahli instrumen. Penguji instrumen tersebut
a. Kriteria 5. Konselor sekolah professional
adalah Prof. Dr. Hj. Nur Hidayah, M.Pd ( ahli
mengkonseling siswa secara individual dan
supervisi) dan dosen Evaluasi dan Supervisi
kelompok yang teridentifikasi kebutuhan
Bimbingan
dan masalahnya dan memerlukan bantuan.
Program Studi Bimbingan dan Konseling
dan
Konseling
Universitas Negeri Malang.
Pascasarjana
194 Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling, Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 189-198
Instrument ini merupakan pengembangan
menentukan apakah mereka menunjukkan
sendiri oleh penulis, berhubung karena tidak
perubahan
ada
dijadikan
diharapkan (Fitzpatrick, 2004:76). Proses
Indikator-
evaluasi ini terdari dari beberapa tahapan
acuan
sebagai
sebelumnya
bahan
untuk
perbandingan.
tingkah
laku
seperti
yang
indikator dari instrument ini diperoleh dari
yaitu,
referensi-refensi tentang sekolah inklusi yang
a. Pembuatan instrument yang dimulai pada
ada.
awal bulan April kemudian diserahkan Berdasarkan proses validasi melalui uji
kepada ahli untuk direvisi.
ahli, instrumen ini mengalami perbaikan
b. Pengajuan permohonan kepada kepala
penulisan kalimat, perbaikan konsep, dan
sekolah Sekolah Menengah Pertama SMP
penambahan sejumlah instrumen lain guna
Neg 18 Malang.
triangulasi dalam proses evaluasi. Instrumen
c. Setelah penyerahan hasil uji validitas oleh
yang dikembangkan terdiri dari 55 butir
ahli,
pernyataan dengan pilihan jawaban 1=tidak
diserahkan kembali.
terlaksana,
2=terlaksana,
3=terlaksana
dilakukan
revisi
Setelah
revisi.
diujicobakan ke lapangan.
tersebut,
evaluator
itu
instrument
e. Pengumpulan
data
siap
untuk
menggunakan
sambil
instrumen. Dalam proses pengumpulan
melakukan wawancara terbuka yang tidak
data disertai dengan proses wawancara
terstruktur.
dengan
Jadi
mengisinya
dan
d. Revisi selanjutnya kemudian dilakukan.
sempurna. Instrument ini mengalami 3 kali
Dalam proses ini penilaian instrument
kembali
tidak
ada
pedoman
wawancara yang digunakan. Setiap item pertanyaan dipertanyaakan langsung oleh
konselor
serta
GBK
(Guru
Bimbingan Khusus) untuk siswa inklusi. f. Penyusunan
hasil
laporan
setelah
evaluator kemudian jika ada hal yang ingin
pengumpulan data. Metode harus memuat
diperjelas,
kemudian
rancangan penelitian, subjek penelitian,
dikembangkan melalui wawancara. Hal itu
instrumen, prosedur pengumpulan data,
dilakukan untuk memperjelas proses penilaian
dan analisis data.
pertanyaan
itu
kepada konselor. 3. Proses
4. Hasil Tahap hasil dalam evaluasi dilakukan
Tahap proses merupakan tahap penilaian
untuk menentukan apakah tujuan jangka
yang memfokuskan pada pengumpulan data,
panjang dan pendek dari program tercapai.
penilaian dan pelaporan partisipan untuk
Terminal
objective
(immediate
outcome)
Fitriana, Evaluasi Kinerja Konselor... 195
dengan
ultimate
objectives
(long-term
outcome) (Fitzpatrick, 2004:76). Kegiatan ini bersamaan dengan proses penulisan laporan evaluasi. Pada kegiatan evaluasi ini tidak dilaksanakan
analisis
biaya,
karena
pelaksanaan kegiatan perencanaan pendidikan yang dilaksanakan pada Sekolah Menengah Pertama
SMP
Neg
18
Malang
tidak
menggunakan biaya. HASIL Pada bagian ini akan dijelaskan hasil analisis evaluasi yang terdiri dari dua bagian yaitu, hasil analisis instrument evaluasi dan wawancara konselor. Dalam pengisian nilai untuk instrument evaluator mewawancarai 2 sumber, yaitu Konselor dan Guru Bimbingan Khusus (GBK).
Evaluasi dan wawancara
Konseling individual Konseling kelompok Konsultasi dengan orang tua
4
12 / 12 x 100 % = 100 %
6
14 / 18 x 100% = 77,78 %
6
17 / 18 X 100% = 94,44 %
3
9 / 9 X 100% = 100 %
4
11 / 12 X 100 % = 91,67 %
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa, konsultasi dengan pimpinan sekolah, konsultasi dengan pihak administrasi sekolah
Tabel 1. Deskripsi Data Hasil Instrumen
Indikator
Konsultasi dengan pihak administrasi dan pihak sekolah lainnya Kolaborasi dengan orang tua Kolaborasi dengan wali kelas Kolaborasi dengan pimpinan sekolah Kolaborasi dengan administrasi
Total Persentase: item Jumlah Skor item /total maksimal item tiap indikator x 100% 6 17 / 18 x 100% = 94,44%
dan pihak sekolah lainnya, serta kolaborasi dengan pimpinan sekolah adalah 100%. Artinya, seluruh indikator yang terdapat dalam instrument terpenuhi. Sedangkan untuk konseling individual persentasenya > 90 % itu artinya hampir terpenuhi semua indikator
4
4 / 12 x 100 % = 33,33 %
9
24 / 27 x 100 % = 88,89%
yang ada. Indikator lain yang berhubungan dengan orang tua, guru juga bisa dikatakan hampir terpenuhi meskipun ada beberapa indikator yang tidak terpenuhi. Sedangkan
Konsultasi 4 dengan pimpinan sekolah Konsultasi 9 dengan guru
12 / 12 x 100 % = 100 %
untuk konseling kelompok ditunjukkan nilai yang sangat turun drastis karena memang
24 / 27 x 100 % = 88,89 %
pada pelayanan siswa inklusi, tidak efektif digunakan konseling kelompok, dimana rata-
196 Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling, Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 189-198
rata anak berkebutuhan khusus harus dilayani
Hal ini terjadi karena pada umumnya anak
secara individual.
ABK tidak ingin melakukan konseling pribadi
Tabel 2. Penilaian Layanan
akan tetapi GBK dan Konselor dengan
Indikator Konseling individual
Persentase 94,44%
Kriteria terlaksana
inisiatif sendiri melakukan konseling bagi mereka
yang
merupakan Konseling kelompok
33,33%
Tidak terlaksana
butuh.
program
mereka
Konsultasi dengan pimpinan sekolah Konsultasi dengan guru
100%
Konsultasi dengan pihak administrasi dan pihak sekolah lainnya Kolaborasi dengan orang tua Kolaborasi dengan wali kelas Kolaborasi dengan pimpinan sekolah
100%
Kolaborasi dengan administrasi
91,67%
Terlaksana sempurna Terlaksana sempurna
bisa
memperoleh
terlaksana. Hal ini tidak terlaksana karena ABK
hanya
bisa
dilayani
dengan
menggunakan konseling individual, tidak konseling
berhubungan Terlaksana sempurna Terlaksana smepurna
yang
persentase 33,33 % dengan kriteria tidak
dengan 100%
perilaku
dikatakan sangat sering dilakukan. Konseling kelompok
Konsultasi 100% dengan orang tua
Terapi
kelompok.
dengan
efektif
Hal dan
ini tidak
efektifnya jika program dilakukan secara kelompok. Konsultasi dengan orang tua dengan pesentase 88,89 % masuk dalam kriteria terlaksana sebagian. Konsultasi dengan orang
77,78%
94,44%
Terlaksana sebagian
tua adalah hal yang sangat urgent, karena
Terlaksana
penting dalam proses ini.
orang harus memiliki andil yang sangat
Konsultasi dengan pimpinan sekolah 100 100%
Terlaksana sempurna
%
terlaksana
sempurna.
Konsultasi
dengan kepala sekolah adalah hal yang sangat penting. Pengadaan jurnal mingguan untuk di
Terlaksana
konselor dan GBK merasa terawasi dan terkontrol. Konsultasi dengan guru 100
PEMBAHASAN Konseling individual
serahkan kepada kepala sekolah membuat
memperoleh
persentase 94,44% dengan kriteria terlaksana.
%
juga
terlaksana sempurna. Konsultasi dengan guru kelas juga merupakan hal yang sangat urgent
Fitriana, Evaluasi Kinerja Konselor... 197
karena pada dasarnya performansi anak
Kolaborasi dengan pihak administrasi
inklusi di dalam kelas merupakan hal yang
91,67 % terlaksana. Bisa dikatakan bahwa
menjadi pusat perhatian semua pihak. Baikitu
indikator ini terlaksana dengan baik. Hampir
dalam hal akademik, ataupun berhubungan
semua indikator terpenuhi. Bukti administrasi
dengan sosialisasi dengan teman sebaya.
sekolah bisa dikatakan lengkap.
Konsultasi dengan pihak administrasi sekolah dan pihak sekolah lainnya 100 %
PENUTUP Kesimpulan
terlaksana sempurna. Dalam hal ini konsultasi
Sesuai dengan hasil analisis data dan
untuk penyediaan sarana dan prasarana untuk
hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa
kepentingan siswa ABK terpenuhi dengan
pelaksanaan layanan inklusi di SMP Neg 18
baik.
Malang terlaksana dengan baik. SMP Neg 18
Kolaborasi dengan orang tua
77,78 %
Malang merupakan Sekolah inklusi SMP
terlaksana sebagian. Point ini terlaksana
pertama di Kota Malang. Sehingga bisa
sebagian karena banyak orang tua yang tidak
dikatakan bahwa satu-satunya sekoloh inklusi
percaya dengan kinerja konselor dan GBK.
yang memiliki program kerja yang jelas dan
Sehingga terdapat kasus dimana orang tua
menjadi percontohan.
yang
Saran
menarik
anaknya
untuk
dirawat
(psikiater) tanpa harus melakukan konsultasi dengan pihak sekolah. Kolaborasi
dengan
untuk SMP Neg 18 Malang adalah: wali
kelas
memperoleh presentasi 94,44 % dengan kriteria terlaksana. Kolaborasi dengan wali kelas
dapat
dibuktikan
Adapun saran yang kami rekomendasikan
dengan
adanya
pendamping anak ABK di dalam kelas untuk masing-masing siswa ABK. Mereka berperan
1. Komunikasi orang tua anak inklusi dan guru harus ditingkatkan. 2. Sebaiknya diadakan pertemuan rutin antara Orang tua dan pihak sekolah 3. Mengefektifkan kerja sama yang baik antara konselor dan GBK.
sebagai pendamping ketika anak ABK tidak
DAFTAR RUJUKAN
mampu mengikuti alur pembelajaran pada
Cone, T. E., & Wilson, L. R. (1981). Quantifying a severe discrepancy: A critical analysis. Learning Disability Quarterly (4) 359 – 371 Fitzpatrick, J. L., Sanders, J. R., & Worthen, B. R. 2004. Program Evaluation: Alternative Approaches and Practical Guidelines. Boston: Pearson
kelas umum. Kolaborasi dengan pimpinan sekolah 100 %
terlaksana sempurna. Dalam hal ini
semua indikator terpenuhi.
198 Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling, Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 189-198
Gibson, Robert.L & Marianne H. Mitchell. 2011. Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Gysbers, C. N. & Henderson, P. 2006. Developing & Managing Your School Guidance and Counseling Program. American Counseling Association: Alexandria. Gysbers, C. N. 2008. Individual Student Planning in the United States: Rationale, Practices, and Results. Asian Journal of Counselling, 15 (2): 117–139. Gysbers, C. N., Stanley, J. B., KosteckBunch, L., Magnuson, C. S., & Starr, M. F. 2008. Missouri Comprehensive Guidance Program: A Manual for Program Development, Implementation, Evaluationand Enhancement. Missouri: Missouri Center for Career Education. Provus, M.M. 1969. The Discrepancy Evaluation Model: An Approach to Local Program Improvement and Development. Pittsburg: Pittsburg Public Schools. South Carolina Guidance and Counseling. 1999. The South Carolina Comprehensive Developmental Guidance and Counseling Program Model: Colombia Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pelayanan Bimbingan dan Koseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. UNESCO (1994). The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education. Paris: Author OíNeil, J. (1997). Building Schools as Communities: A conversation with James Comer. Educational Leadership (54) 6-10 Otto, C. N. C. 2001. An Evaluation of the School Counseling Program at Stillwater Area Schools in Stillwater, Minnesota. University of Wisconsin Stout: The Graduate College.