EVALUASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PERAN SERTANYA MENGATASI POLUSI UDARA DI KOTA YOGYAKARTA1 EVALUATION OF GOVERNMENT POLICY TO REDUCE AIR POLLUTION IN YOGYAKARTA CITY Sulistya Rini Pratiwi Universitas Borneo Tarakan, Jl. Amal Lama 1, Tarakan email :
[email protected] Abstrak :Dalam rangka upaya perlindungan lingkungan, khususnya pencemaran udara Pemerintah Indonesia, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah, telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan terkait dengan berbagai sektor yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan pencemaran udara tersebut. Tujuan penelitian ini adalah: menganalisis kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta dalam menurunkan tingkat polusi udara. Metode SWOT digunakan dalam analisis kebijakan pemerintah ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa peraturan yang terkait dengan upaya pengendalian pencemaran udara belum mencukupi. Kata Kunci: Kebijakan Pemerintah, Polutan, SWOT. Abstract : In the framework protection measures the environment, specifically air pollution the Indonesian Government, central and local government, has issued various policies and legislations related to various sectors related directly or indirectly to the air pollution. The purpose of this study are: to analyze the government's policy of Yogyakarta in reducing air pollution. SWOT analysis methods used in the government's policy. The analysis showed that the regulations related to air pollution control efforts have not been sufficient. Keywords: Government Policy, Pollutant,SWOT.
PENDAHULUAN Kualitas udara perkotaan sangat menurun akibat tingginya aktivitas transportasi. Emisi kendaraan bermotor yang berbahan bakar bensin (premium) ataupun solar dapat mengeluarkan CO (Karbon Monoksida), NO2 (Nitrogen Dioksida), SO2 (Sulfur Dioksida), CO2 (Karbon Dioksida), Partikel Pb (Timbal), dan asap fotokimia (photochemical smog) yang kesemuanya dapat menggangu kesehatan (Wardhana, 2004). Karena berasal dari kendaraan bermotor, maka tingkat penggunaan kendaraan bermotor menjadi signifikan terhadap kadar pencemaran udara oleh emisi gas buang kendaraan bermotor. Zat pencemar tersebut jika tinggal di atmosfer cukup lama akan bercampur dengan seluruh atmosfer akibat proses meteorologist global. Ini dapat menyebabkan pengurangan lapisan ozon dan efek rumah kaca (Tjasyono, 2004). Setiap manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak bisa lepas dari ketersediaan sumber daya alam, baik berupa udara, air, tanah, dan sumber daya alam lainnya termasuk sumber daya alam yang dapat dan tidak dapat diperbaharui. Namun demikian, harus kita sadari bahwasannya sumber daya alam yang selama ini kita nikmati memiliki keterbatasan dalam banyak hal, seperti Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Tahunan VI: “Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Program Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Udayana, di Kampus Denpasar, Tanggal 29 Juli 2010 1
1
keterbatasan dalam segi kuantitas, kualitas, ruang, dan waktu. Oleh karena itu manusia dituntut untuk menggunakan dan mengelola sumber daya alam secara efektif dan efisien demi keterlanjutan sumber daya di masa mendatang. Lingkungan serta manusia merupakan dua hal yang memiliki keterikatan yang sangat erat. Hal ini dapat kita lihat dan kita tentukan bahwasannya perilaku manusia itu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan dimana manusia itu hidup dan tinggal. Sebagai contoh adalah bagaimana sumber daya alam seperti air, udara, dan tanah menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Manusia tidak dapat hidup tanpa adanya udara, air, tanah, dan sebagainya. Sebaliknya pula adalah bagaimana kondisi suatu lingkungan itu dipengaruhi oleh perilaku manusia. Sebagai contoh adalah kerusakan alam yang dilakukan oleh manusia baik melalui kegiatan eksploitasi secara besar-besaran, pencemaran lingkungan oleh limbah pabrik, dan lain-lain sehingga menyebabkan kondisi alam yang rusak parah dan akhirnya merugikan manusia itu sendiri. Pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari pengelolaan serta penggunaan sumber daya alam. Namun kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang tidak mengindahkan kemampuan serta daya dukung dari lingkungan tersebut mengakibatkan kerusakan pada lingkungan, serta merosotnya kualitas dari lingkungan tersebut. Banya sekali faktor yang dapat menyebabkan merosotnya kualitas lingkungan yang dapat kita identifikasi dari pengamatan di lapangan. Hingga saat ini peran pemerintah khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam seperti mengatasi permasalahan lingkungan baik yang berupa pencemaran dan sebagainya belum sepenuhnya terealisasikan dengan baik dan konsisten. RUMUSAN MASALAH Bagaimana peran serta kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengurangi polusi udara (Pb) dengan penanaman vegetasi? TUJUAN PENELITIAN Menganalisis kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta dalam menurunkan tingkat polusi udara. TINJAUAN PUSTAKA Cesar (2000) menggunakan metode exposure-response (ER) functions untuk menganalisis estimasi manfaat yang diperoleh dari penurunan 10 persen dan 20 persen kandungan partikel debu ( PM10 ) dan ozon di udara wilayah Mexico City, dengan mengkombinasikan antara peta jumlah penduduk dengan peta kualitas udara. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa estimasi manfaat yang diperoleh dari penurunan 10 persen polusi udara oleh PM10 dan penipisan ozon adalah sebesar US $ 760 juta per-tahun dan sebesar US $ 1,49 miliar per-tahun untuk penurunan 20 persen. Penilaian dampak ekonomi akibat polusi udara dan manfaat yang diperoleh penurunan polusi udara, yang diproyeksikan pada tahun 2010, menggunakan empat skenario, yaitu 10 persen penurunan PM10 dan ozon; 20 persen penurunan PM10 dan ozon; menaikkan ambang batas PM10 dan ozon di
area metropolitan; dan penurunan 47 persen PM10 dan 68 persen ozon di area metropolitan. Penilaian moneter terhadap sumber daya alam berbasis pohon dikemukakan oleh Tejo (2003) pada penelitiannya tentang hutan kota di Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan Campbell (1993) mengemukakan di Zimbabwe. Kedua penelitian ini menggunakan metode valuasi kontingensi (CVM) untuk melihat nilai pohon sebagai persediaan sumber daya alam. Samudro (2004) meneliti tentang dampak kesehatan masyarakat akibat polusi udara di Kabupaten Sleman. Penelitian ini mengambil data pada pasien di RSU Sardjito yang menderita penyakit akibat CO, dengan kode rekam medik J.45. Hasil penelitian ini adalah adanya peningkatan pengeluaran masyarakat Karena meningkatnya kadar CO di udara. Pentaatan dan penegakan hukum Ada ketidak-konsistenan dalam hal pengenaan sanksi antara UU23/1997 dan PP41/1999. Dalam UU23/1997 diatur dengan jelas tentang pengenaan sanksi administratif dan ketentuan pidana. Sementara itu, dalam PP41/1999 disebutkan bahwa pencemaran udara hanya dapat dijatuhi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU23/1997. PP41/1999 tidak menyebutkan sama sekali tentang kemungkinan pengenaan sanksi administratif sebagai akibat pencemaran udara. Terkait dengan penegakan hukum tersebut, apabila terjadi pencemaran udara oleh kegiatan/usaha sebagaimana ditunjukkan dalam hasil pemantauan kualitas udara yang dilakukan oleh instansi terkait, tidak ada mekanisme bagaimana proses penindakan akan dilakukan. Pada prinsipnya UU23/1997 maupun PP41/1999 merupakan upaya pengendalian pencemaran udara yang berdasar pada ”command and control” atau ”atur dan awasi”. Dalam banyak kasus, pengendalian yang hanya didasarkan pada command and control tidak efektif; harus didorong dengan berbagi insentif. Namun disayangkan, bahwa UU dan PP tidak menyinggung sama sekali tentang peluang pemberian insentif untuk kegiatan/usaha yang mampu mengendalikan pencemaran udaranya, terutama insentif yang dapat diberikan untuk penggunaan teknologi pengolahan yang lebih bersih. Juga tidak disinggung dalam UU dan PP tentang kemungkinan/keharusan kegiatan/usaha untuk mengimplementasikan sistem managemen lingkungan, misalnya ISO 14000. Padahal, apabila pemerintah mampu menggerakkan industri yang berpotensi besar untuk mencemari udara untuk menerapkan standar managemen lingkungan, hal ini akan sangat mendukung terhadap upaya penurunan pencemaran udara. Kewenangan dan Kelembagaan UU23/1997 dan PP41/1999 menyebutkan secara jelas peran sentral dari Menteri Lingkungan Hidup (termasuk Bapedal yang sudah dilikuidasi dan perannya dilimpahkan ke MenLH) dalam mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian pencemaran udara. Namun, dalam konteks kelembagaan di Indonesia apabila satu lembaga ditunjuk untuk menjadi koordinator, maka koordinasi tidak akan menjadi efektif apabila koordinator tidak memiliki fungsi subordinasi terhadap lembaga lain yang harus dikoordinasikan. Hal ini terjadi pada Kementerian Lingkungan Hidup yang ditunjuk dalam UU dan PP untuk mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian pencemaran udara secara nasional.
3
Pada kenyataanya fungsi koordinasi yang diemban oleh kementerian Lingkungan Hidup tidak dapat berfungsi dengan baik, karena kementerian lain yang harus dikoordinasikan adalah kementerian yang sejajar. Disamping itu, peran Kementerian Lingkungan Hidup yang terasa dimarjinalkan sebagai simbol dari kurangnya komitmen pemerintah terhadap permasalahan lingkungan hidup membuat kementerian lainnya tidak terlalu bergairah untuk dikoordinasikan oleh Kementerian ini. Sebagai akibatnya, banyak hal-hal baik yang diinisiasi oleh Kementerian ini menjadi terasa mandul karena kementerian yang lain tidak ikut mendukung. Contoh yang nyata adalah penetapan Kepmen LH NO. 141/2003 yang menetapkan penerapan standar EURO II untuk emisi mobil tipe baru; standar ini tidak dapat diterapkan secara efektif, karena bahan bakar yang dibutuhkan untuk mencapai standar tersebut tidak tersedia, terhambat oleh keengganan Menteri Keuangan untuk menambah anggaran untuk pengadaan bensin tanpa timbal serta keterlambatan dari Dirjen Migas dalam menetapkan spesifikasi bahan bakar yang baru. Terkait dengan peran sentral Depdagri dalam pelaksanaan otonomi daerah, dalam hal ini dipertanyakan peran apa yang dapat dimainkan oleh Depdagri dalam konteks perbaikan kualitas udara perkotaan? Dalam berbagai kesempatan, tidak kelihatan dengan jelas bagaimana Depdagri dapat berperan dalam hal ini. Dalam PP41/1999 disebutkan secara jelas tentang peran dari Bapedal (sudah dilikuidasi dan fungsinya beralih ke Kementerian Lingkungan Hidup) dalam mengkoordinasikan pelaksanaan pengawasan pentaatan ambang batas emisi gas buang sebagai bagian dari strategi untuk pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak. Disayangkan, bahwa dalam PP tersebut tidak disebutkan mekanisme pengawasan pentaatan ambang batas tersebut. Apabila merujuk pada UU14/1992 tentang Lalulintas dan angkutan jalan dan PP44/1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, yang mana dalam UU dan PP tersebut disebutkan dengan jelas tentang kewajiban uji berkala dalam rangka pengujian kelaikan jalan kendaraan bermotor, yang mana pengujian emisi merupakan salah satu bagian dari rangkaian pengujian yang harus dilakukan, maka kemungkinan akan terjadi konflik, karena uji laik jalan tersebut dikoordinasikan oleh Departemen Perhubungan (pelaksanaan sudah lama dilimpahkan ke daerah). Yang menjadi pertanyaan, apakah pengawasan pentaatan ambang batas emisi gas buang akan menjadi bagian dari uji layak jalan, ataukah akan ada dua sistem yang akan berjalan, satu untuk uji laik jalan, sedangkan satunya khusus untuk uji emisi. UU dan PP tersebut pada prinsipnya juga telah mengantisipasi peran daerah sebagai aktor utama dalam pengendalian pencemaran udara di daerahnya masing-masing dalam konteks pelimpahan kewenangan, belum sebagai kewajiban sebagaimana yang diatur dalam UU32/2004 tentang otonomi daerah. PP 9/2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tatakerja Kementerian Negara RI menyebutkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup berada dibawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa fungsi dari KLH adalah perumusan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan. Mengingat permasalahan lingkungan, termasuk pencemaran udara, merupakan efek langsung dari kegiatan
perekonomian, adalah lebih tepat apabila KLH berada dibaawah koordinasi Kementerian Bidang Perekonomian. Dengan berada di bawah satu koordinasi maka upaya perlindungan lingkungan dapat lebih dioptimalkan (KLH memberikan rambu-rambu dalam kegiatan perekonomian dalam konteks pengendalian pencemaran udara/pengelolaan lingkungan hidup). METODE ANALISIS DATA Analisis kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (threat) (Rangkuti, 1997). Analisa SWOT berguna untuk menganalisa faktor-faktor di dalam organisasi yang memberikan andil terhadap kualitas pelayanan atau salah satu komponennya sambil mempertimbangkan faktor-faktor eksternal. Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategis, dan kebijakan organisasi. Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis organisasi (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Diagram Analisis SWOT BERBAGAI PELUANG 1.
3.Mendukung strategi turn-around
KELEMAHAN INTERNAL
Mendukung strategi agresif
KEKUATAN INTERNAL
2. Mendukung strategi diversifikasi
4. Mendukung strategi defensif
BERBAGAI ANCAMAN
Sumber: Rangkuti, 1997.
Kuadran 1: Ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Perusahaan/ organisasi tersebut memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy). Kuadran 2: Meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan/ organisasi ini masih memiliki peluang kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk
5
memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi. Kuadran 3: Organisasi menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi di lain pihak, ia menghadapi beberapa kendala/ kelemahan internal. Fokus strategi organisasi ini adalah meminimalkan masalahmasalah internal sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik. Kuadran 4: Ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisis Kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta Kebijakan Dan Peraturan Perundangan Yang Berlaku Saat Ini Dalam rangka upaya perlindungan lingkungan, khususnya pencemaran udara Pemerintah Indonesia, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah, telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan terkait dengan berbagai sektor yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan pencemaran udara tersebut. a) Lingkungan Hidup 1) Undang-undang No. 23 tahun 1997 merupakan landasan yang digunakan untuk perlindungan lingkungan secara umum. Beberapa hal yang diatur dalam UU ini diantaranya adalah: Hak setiap orang untuk lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kewajiban setiap orang untuk memelihara fungsi lingkungan hidup, serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan, kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan akurat tentang pengelolaan lingkungan hidup Kewajiban pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu berdasarkan kebijakan nasional yang ditetapkan oleh pemerintah yang dikoordinasikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan dapat dilimpahkan kepada perangkat pemerintah di wilayah. Larangan setiap usaha dan/atau kegiatan melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup demi menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup; Kewajiban setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup untuk memiliki AMDAL sebagai prasyarat untuk memperoleh ijin usaha dan/atau kegiatan.
Sanksi administratif, denda dan pidana untuk pelanggaran terhadap ketentuan UU. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 merupakan pengaturan lebih lanjut dari UU 23/1997, khusus untuk pengendalian pencemaran udara. PP ini mengatur tentang: Perlindungan mutu udara yang didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar pencemar Udara. Inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemar, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah harus dilaksanakan untuk dapat menentukan status mutu udara ambien. Operasionalisasi pengendalian pencemaran udara berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh kepala instansi yang berwenang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dikoordinasikan oleh Gubernur. Pencegahan pencemaran udara dilaksanakan dengan keharusan setiap usaha dan/atau kegiatan untuk menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan, serta melalui mekanisme perijinan. Kewajiban melakukan penanggulangan dan pemulihan apabila terjadi pencemaran udara. Sanksi pidana, ganti rugi sebagai akibat pelanggaran terhadap ketentuan PP. 3) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup yang terkait dengan baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar pencemar Udara. Disamping UU23/1997 dan PP41/1999 serta Keputusan Menteri tersebut, pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Daerah DIY juga mengeluarkan berbagai peraturan dan keputusan. Peraturan dan keputusan tersebut pada dasarnya mengacu pada peraturan tingkat nasional, dengan modifikasi pada sebagian peraturan dan keputusan. Peraturan dan keputusan tingkat daerah tersebut diantaranya adalah: 1) Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 182 tahun 2003 tentang Program Langit Biru di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan ini mengatur tentang strategi dan program pengendalian pencemaran udara yang disepakati dan akan
7
dilaksanakan di 4 kabupaten dan 1 kota di wilayah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2) Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan ini menetapkan baku mutu udara ambien serta metoda pengukurannya, yang terdiri dari baku mutu udara ambien primer untuk perlindungan manusia dan baku mutu udara sekunder untuk perlindungan hewan, tumbuhan, jarak pandang, kenyamanan serta cagar budaya. 3) Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 167 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Bergerak Kendaraan Bermotor di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan ini mengatur tentang ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor yang sebagiannya lebih ketat dibanding dengan ambang batas tingkat nasional. 4) Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 169 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan ini mengatur baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis industri gula, pengolahan kayu, industri dan jenis kegiatan lain, serta kegiatan utilitas. b) Sektor Transportasi 1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan: UU ini dimaksudkan untuk melakukan pengaturan dibidang transportasi jalan sehingga lalulintas yang aman, lancar dan tertib dapat diwujudkan. Hal-hal yang diatur dalam UU ini yang dapat mengendalikan pencemaran udara diantaranya adalah pengaturan lalu lintas dan sistem transportasi, pengujian kelaikan kendaraan yang difokuskan pada uji tipe, pemeriksaan kendaraan di jalan yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat penaatan pemilik kendaraan terhadap ketentuan ambang batas emisi gas buang. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan: Berdasarkan PP ini maka pemeriksaan kendaraan di jalan dapat dilakukan untuk memeriksa kelengkapan administrative serta kelaikan jalan kendaraan. Hal yang berhubungan dengan pengendalian pencemaran udara adalah dimungkinkannya pemeriksaan di jalan untuk memeriksa emisi gas buang kendaraan sebagai upaya untuk melihat kepatuhan pemilik kendaraan terhadap ketentuan ambang batas emisi gas buang kendaraan. 3) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi: PP ini mengatur tentang persyaratan teknis yang harus dimiliki oleh kendaraan yang akan diproduksi di Indonesia.
Hal yang terkait dengan pengendalian pencemaran udara adalah kewajiban untuk melaksanakan pengujian emisi sebagai bagian dari uji tipe maupun uji berkala kendaraan. Uji tipe dilakukan terhadap semua jenis kendaraan yang akan diproduksi/dirakit/diimpor di Indonesia, kecuali untuk kendaraan bermotor dengan jumlah produski/rakit/impor maksimum 10 unit. Sedangkan uji berkala diwajibkan untuk kendaraan komersial sedikitnya sekali dalam 6 bulan. Khusus untuk sepeda motor dan mobil penumpang bukan umum, pengujian berkala untuk sementara tidak diberlakukan, menunggu adanya PP khusus yang mengatur hal tersebut. Analisis SWOT a) Strength (Kekuatan) 1) UU23/1997 dan peraturan turunannya pada prinsipnya sudah memadai untuk digunakan sebagai dasar pengendalian pencemaran udara yang berdasar pada command and control atau ”atur dan awasi”. 2) Polluter’s pay principle sudah diakomodir dalam UU23/1997 dan PP41/1999. 3) Berbagai kebijakan yang diambil oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada dasarnya merupakan bagian dari pengendalian pencemaran udara secara komprehensif. 4) Penetapan EURO II sebagai standar emisi kendaraan tipe baru menunjukkan komitmen KLH terhadap upaya pengendalian pencemaran udara. 5) Strategi KLH yang mengedepankan kolaborasi dengan berbagai stakeholder telah berhasil mendorong penghapusan bensin bertimbal. Saat ini bensin tanpa timbal sudah tersedia di beberapa daerah, seperti Jabodetabek, Cirebon, Denpasar, Batam. b) Weakness (Kelemahan) 1) Kementerian Lingkungan Hidup belum menyusun kebijakan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional, sebagaimana diamanatkan PP41/1999. 2) Masih banyak pedoman teknis yang harus disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam rangka pengimplementasian UU23/1997 dan PP41/1999 secara efektif serta dalam rangka pembinaan daerah. 3) Emisi lintas batas serta pengendaliaannya belum diakomodasi dalam peraturan. 4) Pendekatan insentif ekonomi tidak banyak digunakan untuk menanggulangi pencemaran udara. 5) Penempatan KLH dibawah Menkokesra mengakibatkan koordinasi dengan sumber pencemar tidak dapat dilakukan secara langsung.
9
c) Opportunity (Peluang) 1) Upaya penghematan BBM yang digalakkan pemerintah saat ini memberikan timing yang tepat untuk mengangkat isu pencemaran udara, mengingat keterkaitan yang sangat erat antara penggunaan BBM dan pencemaran udara. 2) Harmonisasi tingkat regional dan internasional dalam hal standar emisi kendaraan. 3) Insentif fiskal dan kepabeanan untuk investasi dan pemanfaatan energi alternatif ramah lingkungan. 4) Adanya badan usaha lain yang dapat melaksanakan kegiatan pendistribusian bahan bakar minyak diyakini merupakan salah satu opsi untuk mempercepat pengadaan bensin dengan kualitas yang lebih baik, berdasarkan spesifikasi yang ditentukan oleh Ditjen Migas. 5) Kebijakan energi (energy mix): Departemen ESDM telah menetapkan energy mix Indonesia hingga 2020. Dengan adanya energy mix ini maka ketergantungan terhadap minyak bumi sebagai sumber energi nasional diharapkan dapat dikurangi secara signifikan. d) Threat (Ancaman) 1) Pada saat pertumbuhan ekonomi masih merupakan prioritas utama pemerintah, pengendalian pencemaran udara dapat terlupakan. 2) Kebijakan subsidi BBM merupakan insentif untuk peningkatan pencemaran udara. 3) Positioning udara lemah dibanding isu lain, seperti isu air, sehingga permasalahan pencemaran udara terkendala untuk ”diarusutamakan”. 4) Pengendalian pencemaran udara tidak dapat dilakukan secara efektif mengingat tingginya kandungan timbal dalam bensin serta belerang dalam solar. 5) Pendanaan merupakan permasalahan penghapusan bensin bertimbal.
utama
dari
kegagalan
KESIMPULAN Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal dan hasil pembobotan dari masing-masing faktor, maka formulasi strategi kebijakan pemerintah pada peran sertanya dalam mengurangi pencemaran polusi udara berdasarkan Analisis SWOT yaitu: 1) Strategi SO: Pemerintah harus segera melengkapi berbagai peraturan yang terkait dengan upaya pengendalian pencemaran udara. Dalam kesempatan yang sama pemerintah perlu menyesuaikan berbagai peraturan perundangan
terkait dengan pengendalian pencemaran udara dengan UU32/2004 tentang otonomi daerah; Untuk mendorong pengendalian emisi dari kendaraan yang sudah beroperasi telah banyak dilakukan oleh kementerian lingkungan hidup, terutama untuk kendaraan-kendaraan pribadi, diantaranya lomba emisi dan pengujian emisi di berbagai daerah, penyusunan pedoman pemeriksaan dan perawatan, penyusunan draft ambang batas emisi kendaraan tipe lama, dan lain-lain. 2) Strategi ST: Sesuai dengan amanat PP41/1999 perlu disusun dokumen kebijakan teknis pengendalian pencemaran udara yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengarus-utamakan serta pengendalian pencemaran udara di perkotaan; Untuk penegakan hukum lingkungan perlu inisiatif dari pemerintah untuk menerapkan insentif ekonomi untuk memotivasi pelaku kegiatan menaati peraturan lingkungan 3) Strategi WO: Perlu dibentuk team yang bersifat regional untuk menangani pencemaran udara secara lintas batas; Upaya KLH dalam pengendalian pencemaran udara yaitu dengan pemanfaatan gas sebagai bahan bakar untuk transportasi dan industri. 4) Strategi WT: Perlu ditinjau ulang untuk menempatkan KLH di bawah koordinasi Menko Perekonomian; Pemerintah perlu mengalokasikan dana yang memadai untuk pengendalian pencemaran udara di perkotaan, perlu dicari terobosan baru untuk pengadaan pendanaan tersebut, misalnya pengalokasian dari pajak bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, dan lain-lain SARAN Dengan dialihkannya kewenangan pengandalian pencemaran udara dari tingkat pusat menjadi kewajiban daerah, pemerintah pusat seharusnya juga menyiapkan dana untuk pelimpahan wewenangan tersebut. Sehingga pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kota Yogyakarta juga dapat lebih tegas dengan menetapkan kebijakan yang menyangkut pendanaan bagi pengendalian pencemaran udara. Selain itu, Pemerintah atau Lembaga serta organisasi yang khusus menangani masalah lingkungan baik di pusat maupun daerah terutama menentukan penyimpangan, denda, kepada siapa denda harus dibayar, dan lainlain, serta yang membuat laporan tahunan lingkungan pertahunnya. Kita sebagai masyarakat yang merasakan dampak akan pencemaran lingkungan, hendaknya menanamkan perilaku disiplin.
11
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1992, Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalulintas dan angkutan Jalan Anonim, 1993, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan di Jalan, Jakarta. Anonim, 1993, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaran dan Pengemudi, Jakarta. Anonim, 1997, Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup Anonim, 2000, ”Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara”, Jakarta. Anonim, 2002, Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah Istimewa Yogyakarta. Anonim, 2003, Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 167 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Bergerak Kendaraan Bermotor di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Anonim, 2003, Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 169 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Anonim, 2003, Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 182 tahun 2003 tentang Program Langit Biru di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kementrian Dalam Negeri , 2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, Yogyakarta. Campbell, B., 1993, Monetary Valuation of Tree-Based Resources in Zimbabwe: Experience and Outlook, University of Zimbabwe. Cesar, H., 2000, Economic valuation of Improvement of Air Quality in the Metropolitan Area of Mexico City, Institute for Environmental Studies (IVM) W00/28 + W00/28 Appendices (http://www.vu.nl/ivm) , Vrije Universiteit, Amsterdam. Rangkuti, Freddy, 1997, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Gramedia Pustaka Utama, Yogyakarta.
Samudro, Bhimo Rizki, 2004, “Analisis Ekonomi Dampak Gas Buang Kendaraan Bermotor terhadap Kesehatan Masyarakat, Studi Kasus Kabupaten Sleman”, Tesis, Ilmu Ekonomi-UGM, Yogyakarta Tejo. S, Hario. A, 2003, Analisis Ekonomi Pengembangan Hutan Kota Studi Kasus: Pengembangan Hutan Kota dan Lingkungan Kampus UGM Yogyakarta, Skripsi, Ilmu Ekonomi-UGM, Yogyakarta. Tjasyono, Bayong, 2004, Klimatologi, ITB, Bandung. Wardhana, Arya Wisnu, 2004, Dampak Pencemaran Lingkungan, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta.
13