URGENSI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI MELALUI MEKANISME JUDICIAL REVIEW Oleh: Mexsasai Indra1 Abstract After amandment of the 1945 Constitution established the Constitutional Court regulated in the provisions of Article 24 C of the 1945 Constitution which states that: (1) The Constitutional Court has the authority to hear at the first and last that shall be final, to examine laws against the Constitution. The urgency of the examination against the 1945 Constitution Act that in order to balance the principles of democracy and Islam nomocracy,(state law in Islamic concept) in connection with the examination of legal norms in order to maintain the sanctity of the principle of lex superiori derogat lex inferiori. Keywords : Urgency, Judicial Review, Constitutional Court. A. Pendahuluan Salah satu berkah dari reformasi adalah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19452. Sejak keluarnya Dekrit 5 Juli 1959 yang memerintahkan kembali ke UUD 19453 sampai berakhirnya
1 Mexsasai Indra, S.H., M.H. adalah Ketua Badan Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Riau Pekanbaru. 2 Selanjutnya dalam makalah ini disingkat dengan UUD 1945. 3 Dalam konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dimuat dalam Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959, Dekrit tersebut dikeluarkan dengan alasan:1. bahwa anjuran Presiden dan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam UUD Sementara; 2. bahwa berhubung dengan persyaratan sebagian terbesar Anggota-anggota Sidang Pembuat UUD untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat Indonesia; menurut Adnan Buyung Nasution dalam Disertasinya yang dipertahankan di negeri Belanda Konstituante tidak dapat dikatakan gagal karena ketika itu sedang reses. Lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1955-1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 414-420. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 40.
27
kekuasaan Presiden Soeharto, Praktis UUD 1945 belum pernah diubah untuk disempurnakan.4 Menurut M. Solly Lubis suatu UUD memiliki sifat lentur (elastik) berarti mulur, dapat diulur dan fleksibel yaitu selalu dapat disesuaikan dengan kemauan masyarakat sebagai efek dari sifatnya yang mulur itu.5 Sifat lentur atau fleksibel inilah yang tidak pernah dipraktekkan selama pemerintahan orde lama dan orde baru. Reformasi
telah
membuka
peluang
bagi
siapapun
untuk
mempersoalkan UUD yang sedang berlaku6. Reformasi telah membuka ruang bagi publik untuk mengambil sikap sebagai oposan terhadap pemerintah, UUD 1945 yang selama orde lama dan orde baru disakralkan diusulkan oleh kalangan ahli hukum dan politik untuk dilakukan perubahan. Keinginan untuk melakukan Perubahan UUD 1945 secara filosofis tidak terlepas dari kehendak untuk mewujudkan sistem kekuasaan yang berkeadilan dan demokratis.7 Berdasarkan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 Majelis Permusyawaratan Rakyat8 melakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang telah dilaksanakan sebanyak empat kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua Tahun 2000, Perubahan Ketiga Tahun 2001, dan Perubahan Keempat Tahun 2002.9 Dalam proses perubahan UUD 1945 komitmen politik
4
Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Edisi Revisi), (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.136. 5 M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, (Bandung : CV Mandar Maju, 2008), hlm. 34. 6 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hlm.18. 7 Ellydar Chaidir, Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, (Yogyakarta: Total Media, 2008, hlm. 7. Buku ini berasal dari disertasinya pada Program Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2005. 8 Selanjutnya dalam Makalah ini disingkat dengan MPR. 9 Jimly Asshiddiqie, Op.,Cit, hlm. 47.
28
yang kemudian disebut sebagai kesepakatan dasar yang mencakup lima hal:10 Pertama, Pembukaan UUD tidak akan diubah dan tetap dipertahanklan sebagaimana adanya. Kedua, Bentuk negara kesatuan sebagaimana di dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak akan diubah dan tetap dipertahankan sebagaimana adanya.11 Ketiga, Sistem presidensial dipertahankan dan diperkuat sebagai sistem pemerintahan negara yang dianut. Keempat, Penjelasan UUD dihapuskan dan isinya yang bersifat normatif dimasukkan ke dalam Pasal-pasal UUD. Kelima, Perubahan dilakukan dengan cara adendum.12 UUD 1945 hasil perubahan sudah memunculkan ketentuan tentang checks and balances secara lebih proporsional di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pengujian
peraturan
perundang-undangan
sesuai
dengan
penjenjangannya sekarang sudah berjalan secara baik. Sebelum UUD 1945 diamandemen,
banyak
produk
peraturan
perundang-undangan
yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tertapi tidak ada lembaga pengujian yang dapat dioperasionalkan. Padahal pada saat itu banyak sekali undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan banyak peraturan perundang-undangan di bawah UU yang bertentangan dengan UUD13. 10
Moh. Mahfud MD, Op.,Cit, hlm 40. Komitmen tidak akan merubah bentuk negara kesatuan ini tertuang dalam ketentuan Pasal 37 ayat (5) yang menyatakan “Khusus bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. 12 Mempertahankan naskah asli sedangkan perubahan-perubahannya dijadikan lampiran resmi. 13 Sebelum Perubahan UUD 1945 memang ada ketentuan pengujian peraturan perundangundangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (seperti UU Nomor 14 Tahun 1970, TAP MPR Nomor III/MPR/1978, dan UU Nomor 14 Tahun 1985), namun hal ini tidak pernah dapat dioperasionalkan karena memang sengaja dibuat adanya kekcauan 11
29
Setelah perubahan UUD 1945 dibentuk Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam ketentuan Pasal 24 C UUD 1945 yang menyatakan bahwa; (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.14 (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Dari ketentuan Pasal 24 C ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut di atas terlihat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yakni Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Terdapat sejumlah alasan tentang perlunya undangundang dapat diuji konstitusionalitasnya, antara lain15:
teoretis agar ia tidak dapat dilaksanakan. Uraian tentang kekacauan teoretis ini dapat dilihat dalam dua bab terakhir buku Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia), 19998. Lihat Moh. Mahfud MD, Op.,Cit, hlm xii. 14 Dalam perkembangannya yang terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum diperluas, termasuk di dalamnya sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Hal ini merupakan konsekuensi dari masuknya pemilihan kepala daerah sebagai bagian dari rezim pemilihan umum tidak lagi merupakan rezim pemerintahan daerah. 15 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), Penerbit PT. Alumni Bandung. 2008, hlm 7-8. Buku ini diangkat dari Disertasinya yang berjudul “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang Terhadap UUD 1945 dari Perspektif Negara Hukum Yang Demokratis. Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran Bandung 12 Maret 2007.
30
Pertama, karena undang-undang dapat digolongkan sebagai produk politik dari dua lembaga negara, yaitu Presiden dan DPR pilihan mayoritas rakyat berdasarkan prinsip rule by majority
yang belum tentu menjamin
kebenaran dan keadilan berdasarkan UUD 1945. Kedua, kehendak rakyat seluruhnya tercermin dalam UUD 1945, sedangkan undang-undang dapat mencerminkan kehendak pemimpin atau elite politik yang ada di parlemen. Ketiga, perihal pengaturan perlindungan konstitusi dalam hubungannya dengan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dalam negara hukum yang demokratis masih menimbulkan permasalahan, bukan saja karena belum jelas hakikatnya, tetapi juga karena banyaknya produk perundang-undangan yang dibuat sejak Orde Baru berkuasa, yang tergolong otoriter, represif, dan bertentangan dengan UUD1945. Sejak terbentuknya Mahkamah Konstitusi sudah banyak UU yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi sebagai implementasi checks and balances yang bagus bagi sistem ketatanegaraan. Sekarang legislatif tak bisa lagi membuat UU dengan sembarangan atau melalui transaksi politik tertentu sebab produk legislasi sekarang sudah dapat diawasi dan diimbangi oleh lembaga yudisial yakni Mahkamah Konstitusi.16 Sekarang legislatif tak bisa lagi membuat UU dengan sembarangan atau melalui transaksi politik tertentu sebab produk legislasi sekarang sudah dapat diawasi dan diimbangi oleh lembaga yudisial yakni Mahkamah Konstitusi. Bayangkan, hanya dalam waktu 3,5 tahun sejak
16
Moh. Mahfud MD, Op.,Cit., hlm xiii.
31
berdiri, tepatnya sampai akhir 2006, MK sudah menguji UU terhadap UUD tak kurang dari 99 kasus.17 Berdasarkan rekapitulasi perkara pengujian UU Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun 2003 sampai dengan 30 Juni 2010 jumlah undangundang yang diuji adalah; pada tahun 2003
18
terdapat sebanyak 16 UU yang
diuji, tahun 2004 sebanyak 14, tahun 2005 sebanyak 12, tahun 2006 sebanyak 9 , tahun 2007 sebanyak 12, tahun 2008 sebanyak 18, tahun 2009 sebanyak 27 permohonan, dan terakhir tahun 2010 sebanyak 6. Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa ada kecendrungan dari tahun ketahun permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 selalu meningkat meskipun juga mengalami pasang surut
hal ini dapat
menunujukkan beberapa hal: Pertama, adanya kesadaran dari masyarakat dalam hal ini pemohon pengujian UU terhadap UUD 1945 akan hak-hak konstitusionalnya. Kedua, menunjukkan bahwa produk UU yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah banyak sekali yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan UU yang
17 Yuliandri, “Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dalam Rangka Pertumbuhan Undang-Undang Berkelanjutan, “Ringkasan Disertasi yang dipertahankan di Universitas Airlangga, Surabaya, 12 April 2007. Dalam, ibid. Dalam lima tahun pertama kehadiran MK, perkara pengujian undang-undang menjadi mayoritas kerja MK, pun dengan intensitas yang tidak begitu tinggi. Hingga akhir 2008, menurut data Sekjend dan Kepaiteraan MK, tercatat MK baru menerima 166 perkara pengujian undang-undang, dan 10 perkara sengketa kewenangan antar-lembaga negara (SKLN). Berarti dalam setahun MK rata-rata hanya mengadili 33 perkara, sangat kecil tentunya bila dibandingkan dengan MA, yang tumpukan perkaranya mencapai ribuan. Peningkatan jumlah perkara di MK terjadi pasca-pelaksanaan Pemilu 2004, dikarenakan banyaknya pihak yang mengajukan gugatan sengketa hasil pemilu. Setidaknya terdapat 274 perkara yang diterima MK berkait dengan perselisihan hasil Pemilu 2004. Lihat,http://wahyudidjafar.wordpress.com/2009/06/19/menimbang-kembali-kewenangan-mk/1 Dikunjungi terakhirkali tgl 16 Des 2010, Pkl 04.55 Wib. 18 Lihat Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepanitreraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 137.
32
baik sehingga banyak sekali yang merugikan hak-hak konstitusional masyarakat dan bertentangan dengan UUD 1945.
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis mengajukan permasalahan dalam bentuk pertanyaan yakni Apa urgensi pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme judicial review? C. Pembahasan Munculnya lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan implikasi positif dari gejolak reformasi dan amandemen UUD 1945. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol diantara lembaga-lembaga negara dan merupakan penegasan terhadap prinsip-prinsip negara hukum serta perlunya perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin konstitusi, pada hakikatnya, fungsi utama MK adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitution) dan sebagai penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution). Fungsi MK dapat dilihat juga dalam Penjelasan Umum UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dimana dijelaskan bahwa fungsi MK adalah untuk menegakkan konstitusi dalam rangka mewujudkan negara hukum dan demokrasi.
33
Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan mendasar atas UUD 1945. Dalam rangka Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD 1945, bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan ‘checks and balances’ sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Sebagai akibat perubahan tersebut, maka (a) perlu diadakan mekanisme untuk memutus sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat,
yang
kewenangannya
ditentukan
da l a m
UUD,
(b)
perlu
dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip ‘the rule of majority’.19 Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu, (c) juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat diselesaikan malalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perakara semacam ini berkaitan 19 Dalam pengertian inilah muncul doktrin ‘demokrasi berdasar atas hukum’ atau ‘constitutional democracy’ yang berimbangan dengan doktrin negara hukum yang demokratis atau ‘democratische rechtsstaat’. Lihat juga Dennis C. Mueller, Constitutional Democracy, Oxford University Press, 1996. Baca juga Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective, Oxford: Clarendon Press, 1989. Lihat Jimly Asshiddiqie, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, sumber tidak diketahui.
34
erat dengan hak dan kebebasan para warganegara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik juga dikaitkan dengan kewenangan MK. Dalam kaitannya dengan pengujian UU terhadap UUD 1945 sangat erat kaitannya dengan implementasi nilai-nilai demokrasi yang diterapkan dalam pembentukan UU. Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik, berlandaskan pada suara mayoritas. Sistem politik demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan publik atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme perwakilan yang dipilih lewat Pemilu. Kekuatan mayoritas itu perlu dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan pembatasan yang rasional, bukan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru menjadi salah satu esensi demokrasi.20 Mekanisme judicial review yang dibanyak negara dijalankan oleh MK merupakan mekanisme untuk membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi tradisional.21 Dalam sistem demokrasi konstitusional, penyelenggaraan negara dengan model pemisahan ataupun penbagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan agar tidak terjadi
20
Lihat, David Wood, Judicial Invalidation of Legislation and Democratic Principles, dalam Charles Samford and Kim Preston (eds), Interpreting Constitutions, (NSW: The Federation Press, 1996), hlm. 171-183. Dalam, Ibid, hlm. 3. 21 Lihat, I Dewa Gede Palaguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2008), hlm.3. dalam Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Op.,Cit, hlm. 3.
35
penyalahgunaan kekuasaan “power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely”. Kekuasaan negara dibagi atas cabang-cabang tertentu menurut jenis kekuasaan dan masing-masing dipegang dan dijalankan oleh lembaga yang
berbeda.
Dalam
perkembangannya
kelembagaan
negara
da n
pencabangan kekuasaan semakin kompleks dan tidak dapat lagi dipisahkan saecara tegas hanya menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dari sisi hukum, keberadaan MK adalah konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi yang menurut Hans Kelsen
ntuk menjaganya
diperlukan pengadilan khusus guna menjamin kesesuaian antara hukum yang lebih rendah dengan aturan hukum di atas22. Kelsen menyatakan23: The application of the constitutional rules concernong legislation can be effectivelly guaranted only if an organ other than the legislative body is entrusted with the task of testing whether a law is constitutional, and of annuling it if-according to the opinion of this organ- it is “unconstitutional”. There may be a special organ estabilished for this purpose, for instance, a special court, a so-called ”constitutional court”... Pandangan tersebut merupakan konsekuensi dari dalil hierarki norma hukum yang berpuncak kepada konstitusi sebagai the supreme law of the land. Hierarki tersebut sekaligus menempatkan landasan validitas suatu norma hukum adalah norma hukum yang berada di atasnya demikian seterusnya hingga ke puncak dan sampai pada konstitusi pertama24. Konsekuensi dari supremasi konstitusi tidak hanya terbatas bahwa semua aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Supremsi 22
Dalam asas hukum dikenal dengan asas lex superiori derogat lex inferiori. Donald P Kommers, The Constitutional Jurisprudence of The Federal Republic of Germany, (Durham and London: Duke University Press, 1989), hlm. 3. Dalam Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Op.,Cit, hlm. 4. 24 Ibid, hlm. 4 23
36
konstitusi juga mengikat kepada tindakan negara sehingga tidak ada satupun tindakan negara yang boleh bertentangan dengan konstitusi. Untuk mengontrol tindakan negara ini, terdapat mekanisme constitutional compalint yang menjadi salah satu wewenang pokok MK di berbagai negara25. Dalam kaiktannya dengan proses legislasi yang terjadi di parlemen menurut Saldi Isra bentuk pengaruh kewenangan Judicial Review MK dalam fungsi legislasi dapat dikemukakan sebagai berikut: 26 Pertama, secara langsung mengaplikasikan model purifikasi dan kontrol second chamber judicial review terhadap model legislasi. Melalui kewenangan judicial review MK telah melakukan purifikasi UU yang bertentangan dengan norma dasar (konstitusi). Pada saat yang sama, MK telah menjadi pengontrol bagi kekuasaan legislatif dalam hal kemungkinan adanya kekeliruan baik formal maupun substansil dalam proses legislasi. Paling tidak, dari data hingga tahun 2007, MK telah menerima 24 permohonan mengenai uji materi undang-undang. artinya, telah terjadi perubahan mendasar atau perubahan kecil pada beberapa undang-undang yang telah dihasilkan oleh pembentuk undang-undang. Hal itu telah menunjukkan MK sebagai negative-legislator. Ada beberapa bentuk putusan yang telah dilakukan MK dalam konsep purifikasi ini, yaitu: (1) mengabulkan permohonan yang diajukan pemohon secara keseluruhan; (2) mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan pemohon; (3) mengabulkan permohonan pemohon secara meluas (ultra petita), yakni mengabulkan melebihi dari yang dimintakan oleh pemohon; (4) mengabulkan dengan penundaan pemberlakuannya; dan (5) mengabulkan permohonan yang diajukan dengan syarat (conditionally constitutional ataupun conditionally unconstitutional). Bentuk pertama, kedua, ketiga, dan keempat dapat berimplikasi pada pembentukan undang-undang yaitu dengan melakukan revisi, mengubah, atau sekaligus mengganti undang-undang baru atau dapat juga membuat undang-undang yang baru sama sekali. Tidak hanya itu, 25
Ibid. hlm. 4-5. Lihat Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 301-302. Buku ini berasal dari Disertasinya yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka tanggal 7 Februari 2009 Pada Program Doktor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 26
37
dalam kondisi tertentu, implikasi putusan MK mengharuskan perubahan undang-undang secara sektoral, bukan hanya satu undangundang. misalnya, putusan MK dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU No 22/2004). Menurut H.A.S Natabaya sebagaimana dikutip oleh Yuliandri: “...kita perlu menyadari bahwa di dalam suatu negara yang masyarakatnya sangat pluralistis seperti Indonesia perlu ada semacam konsensus atau kompromi nasional melakukan pelbagai tindakan yang berisi nilai-nilai di bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan budaya yang akan dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pembentukan peraturtan perundang-undangan sebagai manifestasi nilai-nilai dasar, tidak jarang terjadi deal-deal politik yang kadang menyimpang dari esensi nilai-nilai dasar.27 Oleh karena itu, hal yang perlu menjadi pertimbangan ialah: “...peraturan perundang-undangan merupakan produk politis berbaju yuridis, ytidak jarang norma-norma yang merupakan esensi dari peraturan perundang-undangan yang berisi nilai-nilai larangan (verbod), suruhan/perintah (gebod) dan kebolehan/izin (toestemming) dan kadang uitzondering (pengecualian) bila diperlukan, di mana implementasinya di masyarakat sering terjadi bentrokan atau konflik dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang sangat pluralistik tersebut.28 Dengan pemahaman yang demikian, untuk mengantisipasi terjadinya konflik/pertarungan kepentingan, maka dibukalah kanal/jalur untuk mencari solusi, melalui lembaga pengujian peraturan perundang-undangan, yakni: Pertama, lembaga pengujian ini dapat dilakukan sendiri oleh pembentuk peraturan perundang-undangan dalam pengujian politik atau legislatif (political/legislativereview), atau lembaga peradilan melalui Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung (judicial review). Kedua, meluruskan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (UU) terhadap UU (Aspek Legalitas); dan ketiga, Mahkamah konstitusi meluruskan Undang-Undang (UU) terhadap UUD yang berisi nilai-nilai dasar dan nilai-nilai rinciannya. Bahkan,
27
Lihat H.A.S Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 23. Dalam Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan,PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2009, hlm. 157. Buku ini berasal dari Disertasinya Pada Program Doktor Universitas Airlangga Surabaya, tahun 2007. 28 Ibid.
38
ada yang berpendapat bahwa sangat ideal kalau sebelum suatu RUU29 yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden (Pemerintah) disahkan oleh Presiden diuji dahulu aspek-aspek konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi agar nilai-nilai yang terkandung dalam pasal-pasal RUU tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pasal-pasal UUD negara RI Tahun 1945. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik antar nilai tersebut yang merugikan kita bersama. Pengujian RUU di Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengetahui sejauhmana RUU (UU) tersebut telah memenuhi asas efisiensi dan efektivitas (kedayagunaan dalam kehasilgunaan) pembentukan peraturan perundang-undangan dan menguji aspek konstitusionalitasnya.30 Melalui ketiga cara tersebut di atas, maka diharapkan: “...bentrokan/konflik atai ketidakharmonisan atau ketidakcocokan antara nilai-nilai yang termuat dalam peraturan perundang-undangan dengan nilai-nilai dasar utama (Pancasila) atau nilai-nilai dasar rinciannnya dalam pasal-pasal UUD dapat diselaraskan kembali. Itulah makna hakiki dari Pancasila sebagai leidstar atau bintang pemandu bagi pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.31 Dalam perspektif lain dalam kaitannya dengan model-model negara hukum diberikannya kewenangan kepada MK dalam melakukan judicial review sesungguhnya dalam rangka menjaga keseimbangan antara prinsip negara demokrasi dan nomokrasi Islam, di mana proses yang terjadi di DPR merupakan manifestasi dari prinsip-prinsip demokrasi, karena yang menjadi ukuran bukanlah benar atau salah tertapi adalah kalah dan menang, makanya kalau sudah bicara kalah dan menang cara apapun akan dilakukan. Untuk itu terbuka peluang bahwa produk hukum yang lahir dalam bentuk Undang-Undang akan sarat dengan politik transaksional yang sarat
29
Model pengujian seperti ini dikenal dengan istilah judicial preview. Lihat, Mujiyana & Maulana MPMDS, Perbandingan Uji Materil Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Dewan Konstitusi Prancis. Jurnal Konstitusi PK2P-FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Volume III Nomor 1, Juni 2010. hlm. 28. 30 Ibid, hlm. 158. 31 Ibid.
39
dengan kepentingan jangka pendek elit-elit politik di Parlemen. Untuk melakukan pengawasan terhadap produk yang dihasilkan parlemen dalam bentuk Undang-Undang itulah kehadiran MK sangat diperlukan karena MK sejatinya menegakkan prinsip-prinsip nomokrasi islam yang ukurannya bukanlah kalah dan menang tapi benar atau salah. D. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa urgensi pengujian UU terhadap UUD 1945 dalam kaitannya dengan kewenangan MK dalam proses judicial review adalah dalam rangka melakukan purifikasi terhadap proses legislasi yang terjadi di parlemen, dalam perspektif lain kehadiran MK dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 untuk menegakkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam nomokrasi islam. Sedangkan dalam kaitnnya dengan pengujian norma erat kaitannya untuk menjaga “kesucian” asas lex superiori derogat lex inferiori.
40
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Adnan Buyung Nasution, 1995. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1955-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. David Wood, 1996. Judicial Invalidation of Legislation and Democratic Principles, dalam Charles Samford and Kim Preston (eds), Interpreting Constitutions, NSW: The Federation Press. Dennis C. Mueller, 1996. Constitutional Democracy, Oxford University Press. Donald P Kommers, 1989. The Constitutional Jurisprudence of The Federal Republic of Germany, Durham and London: Duke University Press. Ellydar Chaidir, 2008. Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Total Media, Yogyakarta. H.A.S Natabaya, 2006. Sistem Peraturan Perundang-Undangan, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. I Dewa Gede Palaguna, 2008. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI. Iriyanto A. Baso Ence, 2008. Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), Penerbit PT. Alumni Bandung. Jimly Asshiddiqie, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, sumber tidak diketahui. -------------------------, 2010. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta. M. Solly Lubis, 2008. Hukum Tata Negara, CV Mandar Maju. Mahkamah Konstitusi, 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepanitreraan Mahkamah Konstitusi.
41
Mauro Cappelletti, 1989. The Judicial Process in Comparative Perspective, Oxford: Clarendon Press. Moh. Mahfud MD, 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers. -------------------------, 1998. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia Ni’Matul Huda, 2010. Hukum Tata Negara Indonesia (Edisi Revisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Saldi Isra, 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Yuliandri 2009. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan y ang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan,PT. Raja Grafindo, Jakarta. B. Disertasi/Jurnal Mujiyana & Maulana MPMDS, Perbandingan Uji Materil Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Dewan Konstitusi Prancis. Jurnal Konstitusi PK2P-FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Volume III Nomor 1, Juni 2010. Yuliandri, “Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dalam Rangka Pertumbuhan Undang-Undang Berkelanjutan, “Ringkasan Disertasi yang dipertahankan di Universitas Airlangga, Surabaya, 12 April 2007 C. Peraturan Perundang-Undangan Sekretariat Jenderal Majelis Peremusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
42