KEDUDUKAN PENYEDIA BARANG/JASA MENURUT PERATURAN PRESIDEN NOMOR 4 TAHUN 2015 Oleh : Abu Sopian (Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Palembang)
Abstrak Tanggal 16 Januari 2015 terjadi perubahan ketentuan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah melalui Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Konsideran Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tersebut menyebutkan bahwa perubahan tersebut dalam rangka percepatan pelaksanaan belanja negara guna percepatan pelaksanaan pembangunan. Percepatan pelaksanaan belanja negara memerlukan inovasi terhadap pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi informasi. Secara umum inovasi yang dijumpai dalam Peraturan Presiden nomor 4 Tahun 2015 mengamanatkan berbagai penyederhaan sistem pengadaan barang/jasa khususnya dalam pengadaan barang/jasa yang dilakukan dengan cara lelang/seleksi. Penyederhanaan sistem tersebut antara lain dilakukan dengan memberikan keringanan persyaratan kepada Penyedia Barang/Jasa Pemerintah seperti tidak perlu memiliki Laporan Bulanan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta tidak harus menyerahkan surat jaminan penawaran. Kata Kunci : Pelelangan/seleksi, Penyedia Barang/Jasa, jaminan penawaran, sanggahan prakualifikasi, sanggahan banding. A. Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Untuk jajaran instansi vertikal pemerintah, anggaran belanja untuk pengadaan barang/jasa pemerintah dialokasikan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DPA). Sedangkan untuk jajaran Pemerintah Daerah anggaran belanja untuk pengadaan barang/jasa dialokasikan dalam Daftar Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPASKPD). Pengalokasian dana kedalam DPA dan DPA-SKPD didasarkan pada kebijakan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA). Pada jajaran pemerintah kebijakan tersebut tergambar pada Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL). Dengan mengamati RKA-KL dapat diketahui kegiatan apa yang akan dilaksanakan oleh masing-masing instansi pemerintah selama tahun anggaran berjalan. Dalam hal kegiatan pemerintah memerlukan barang/jasa, dengan melihat RKA-KL dapat diketahui pengadaan barang/jasa apa saja yang akan dilakukan sendiri dengan cara swakelola oleh instansi pemerintah dan pengadaan barang/jasa apa saja yang harus dilaksanakan dengan melalui penyedia barang/jasa. Dalam hal pengadaan barang/jasa dilakukan melalui penyedia barang/jasa, Pasal 35 Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 menetapkan bahwa Pemilihan Penyedia Barang/Jasa dilakukan dengan cara sebagai berikut: Pekerjaan Konstruksi a. Pelelangan Umum; b. Pelelangan Terbatas;
Barang a. Pelelangan Umum; b. Pelelangan Terbatas;
Jasa Lainnya a. Pelelangan Umum; b. Pelelangan Sederhana;
Jasa Konsultansi a. Seleksi Umum; b. Seleksi Sederhana;
c. Pemilihan Langsung; d. Penunjukan Langsung; e. Pengadaan Langsung;
c. Pelelangan Sederhana; d. Penunjukan Langsung; e. Pengadaan Langsung; f. Kontes
c. Penunjukan Langsung; d. Pengadaan Langsung; e. Sayembara
c. Penunjukan Langsung; d. Pengadaan Langsung; e. Sayembara
Pelaksanaan pelelangan dilakukan oleh Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) atas permintaan dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Prosedur dan mekanisme pelelangan serta persyaratan penyedia barang/jasa yang dapat mengikuti proses pelelangan telah ditentukan dalam Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Secara garis besar proses pemilihan penyedia barang/jasa dengan cara pelelangan dibagi dalam beberapa tahap sebagai berikut: a. Tahap persiapan pengadaan barang/jasa b. Tahap pelaksanaan pelelangan c. Tahap pelaksanaan pekerjaan Tahap persiapan pengadaan barang/jasa dilakukan oleh PA/KPA, PPK, dan Pokja ULP. PA/KPA menyiapkan pemaketan pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa yang akan dipilih melalui proses pelelangan. Hasil pemaketan pekerjaan dikaji ulang oleh PPK dengan melibatkan penanggung teknis kegiatan dan Pokja ULP. Hasil pengkajian ulang tersebut berupa rencana pelaksanaan pengadaan yang meliputi antara lain kapan pelaksanaan akan dimulai, berapa lama waktu dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan, persyaratan apa saja yang ditetapkan bagi penyedia barang/jasa, dan spesifikasi teknis barang/jasa. Selanjutnya berdasarkan gambaran hasil pengajian tersebut PPK menyusun spesifikasi teknis barang/jasa, melakukan survei harga pasar untuk menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS), menyusun draft kontrak berupa syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus kontrak. Setelah spesifikasi teknis barang/jasa, HPS, dan draft kontrak selesai ditetapkan PPK meminta kepada Pokja ULP untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa dengan menyerahkan spesifikasi teknis pekerjaan, HPS, dan draft kontrak kepada Pokja ULP. Selanjutnya Pokja ULP menindaklanjuti dengan melakukan persiapan pelaksanaan pelelangan yang meliputi kegiatan penyusunan dokumen pelelangan dan menetapkan jadwal pelelangan. Tahap pelaksanaan proses pelelangan dilakukan oleh Pokja ULP dimulai dengan mengumumkan proses pelelangan melalui Sistem Pengadaan Secara Elekronik (SPSE) sampai dengan diperoleh penyedia barang/jasa yang ditetapkan sebagai pemenang lelang. Dalam pelaksanaan pelelangan pokja ULP menerima dokumen penawaran, membuka dokumen penawaran, melakukan evaluasi terhadap dokumen penawaran yang masuk, melakukan pembuktian kualifikasi penyedia yang akan ditetapkan sebagai pemenang, dan menetapkan serta mengumumkan hasil penetapan pemenang. Selanjutnya jika tidak ada sanggahan atas hasil penetapan pemenang lelang yang telah diumumkan oleh Pokja ULP, Pokja ULP menyampaikan hasil pelelangan tersebut kepada PPK untuk ditindaklanjuti dengan suatu perikatan dalam bentuk surat perjanjian atau kontrak antara PPK dan Penyedia barang/jasa. Tahap pelaksanaan pekerjaan dilaksanakan berdasarkan kontrak antara PPK dengan penyedia barang/jasa. Segala sesuatu yang disepakati oleh PPK dan penyedia terkait dengan pelaksanaan pengadaan barang/jasa dituangkan dalam kontrak yang akan berlaku sebagai hukum yang mengikat antara PPK dan penyedia barang/jasa. Hal yang diatur dalam kontrak meliputi semua hak dan kewajiban para pihak (PPK dan Penyedia) antara lain mengenai uraian pekerjaan, jumlah dan jenis serta spesifikasi teknis barang/jasa yang harus diserahkan, tempat dan waktu penyerahan hasil pekerjaan, jaminan mutu, ketentuan tentang cara
pembayaran, sanksi akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan, pemutusan kontrak secara sepihak, serta penyelesaian perselisihan. Untuk menjamin bahwa penyedia akan melaksanakan pekerjaan pengadaan sesuai dengan ketentuan dalam kontrak, maka sebelum penandatanganan kontrak penyedia diwajibkan menyerahkan kepada PPK surat jaminan pelaksanaan yang diterbitkan oleh bank/asuransi senilai 5% dari nilai kontrak. Keterlambatan penyelesaian pekerjaan dikenakan denda sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari nilai kontrak. Jika denda akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan melebihi nilai jaminan pelaksanaan PPK dapat melakukan pemutusan kontrak secara sepihak. B. Kedudukan Penyedia Barang/Jasa Perubahan peraturan tentang pengadaan barang/jasa melalui terbitnya Peraturan Presiden nomor 4 Tahun 2015 membawa perubahan kedudukan penyedia barang/jasa. Beberapa pasal dalam Perpres tersebut menguntungkan penyedia namun ada juga pasal yang merugikan penyedia. Karena itu perubahan peraturan tersebut dapat dipandang sebagai pelemahan dan penguatan kedudukan penyedia. Pelemahan dan penguatan kedudukan penyedia dimaksud dapat muncul dalam posisi penyedia dalam setiap tahapan proses pengadaan barang/jasa sebagai berikut: 1. sebagai peserta pelelangan (dalam tahap pelelangan). 2. sebagai pemenang lelang (setelah ditetapkan sebagai pemenang); 3. sebagai penyedia barang/jasa (setelah penandatanganan kontrak). 1. Posisi Penyedia Sebagai Peserta Pelelangan Dalam kedudukan sebagai peserta pelelangan penyedia barang/jasa berhadapan langsung dengan Pokja ULP dimana Pokja ULP mengundang penyedia untuk menjadi peserta dalam proses pelelangan yang dilaksanakan oleh Pokja ULP. Sebagai peserta pelelangan penyedia harus menaati seluruh persyaratan yang telah ditetapkan oleh Pokja ULP. Peraturan Presiden memberi batasan kepada Pokja ULP agar tidak menetapkan persyaratan penyedia di luar ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan dan tidak menetapkan persyaratan yang bersifat diskriminatif. Dengan demikian proses pelelangan dapat berlangsung secara kompetitif dengan menerapkan prinsip adil dan terbuka. Jika dibandingkan antara Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 dengan Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012, maka perubahan peraturan melalui Perpres nomor 4 tahun 2015 tersebut ada yang memperkuat posisi penyedia sebagai peserta pelelangan dan ada yang melemahkan penyedia sebagai peserta pelelangan. Hal yang memperkuat posisi penyedia sebagai peserta dalam proses pelelangan adalah: a. Penyedia tidak harus menyerahkan surat jaminan penawaran [pasal 109 ayat (7) huruf a]; Ketentuan ini sangat menguntungkan penyedia yang mengikuti proses lelang karena penyedia bersangkutan tidak perlu mengorbankan biaya dan waktu untuk mengurus surat jaminan penawaran. Berdasarkan ketentuan ini Pokja ULP tidak dapat menggugurkan penawaran peserta lelang yang tidak dilampiri jaminan penawaran. Pada masa berlakunya Perpres nomor 70 tahun 2012 proses pelelangan dengan nilai di atas Rp2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) mengharuskan peserta untuk menyerahkan asli surat jaminan penawaran. Besaran nilai jaminan penawaran ditetapkan oleh Pokja ULP antara 1% sampai 3% dari total HPS. b. Penyedia tidak harus melunasi pajak (PPh dan PPN) bulanan dan tidak harus memiliki laporan pajak (PPh dan PPN) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir [pasal 19 ayat (1) huruf l]; Ketentuan ini sangat menguntungkan penyedia sebagai peserta lelang. Sebagai peserta lelang, penyedia hanya diwajibkan melampirkan SPT tahunan dalam dokumen
penawarannya. Karena itu bagi penyedia yang belum melunasi kewajiban pajak bulanan masih dapat menjadi peserta lelang/seleksi. Hal ini tentu tidak berarti bahwa setiap perusahaan yang berbadan hukum dibolehkan mengabaikan kewajiban perpajakannya. Ketentuan ini hanya dimaksudkan untuk menyederhanakan proses pelelangan saja. Dengan ketentuan ini urusan perpajakan tersebut dikeluarkan dari ruang lingkup penilaian penyedia oleh Pokja ULP. Penilaian dan pemeriksaan atas pemenuhan kewajiban perpajakan penyedia diserahkan sepenuhnya kepada aparat pajak. Pada masa berlakunya Perpres nomor 70 tahun 2012 penyedia yang mengikuti proses pelelangan selain harus memiliki SPT tahunan diharuskan pula memiliki tanda terima laporan pajak PPh dan PPN paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir. Hal yang melemahkan posisi penyedia dalam proses pelelangan adalah: a. Tidak dibolehkan melakukan sanggahan prakualifikasi [pasal 109 ayat (7) huruf b]. Ketentuan ini dipandang melemahkan kedudukan penyedia sebagai peserta pelelangan karena peserta yang merasa dirugikan oleh putusan Pokja ULP dalam proses prakualifikasi tidak dibolehkan mengajukan sanggahan. Pada masa berlakunya Perpres nomor 70 tahun 2012 peserta pelelangan dibolehkan mengajukan sanggahan prakualifikasi. Apabila sanggahan prakualifikasi telah dijawab oleh Pokja ULP peserta tidak dibolehkan mengajukan sanggahan banding. b. Tidak dibolehkan melakukan sanggahan banding [pasal 109 ayat (7) huruf d]. Ketentuan ini dipandang melemahkan kedudukan penyedia sebagai peserta pelelangan karena peserta yang merasa dirugikan oleh putusan Pokja ULP dalam proses lelang tidak dibolehkan mengajukan sanggahan banding. Peserta pelelangan hanya dibolehkan mengajukan sanggahan satu kali atas putusan Pokja ULP. Apabila sanggahan yang diajukan peserta pelelangan telah dijawab oleh Pokja ULP peserta tidak dibolehkan mengajukan sanggahan banding. Pada masa berlakunya Perpres nomor 70 tahun 2012 peserta yang tidak puas atas jawaban sanggahannya dapat mengajukan sanggahan banding dengan syarat melampirkan surat jaminan sanggahan banding senilai 1% dari nilai total HPS.
2. Posisi Penyedia Sebagai Pemenang Pelelangan Dalam kedudukan sebagai pemenang pelelangan penyedia barang/jasa berhadapan dengan langsung PPK. Setelah penetapan pemenang lelang diumumkan oleh Pokja ULP dan tidak ada peserta lain yang mengajukan sanggahan atau sanggahan dari peserta telah dijawab oleh Pokja ULP, ULP menyampaikan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) kepada PPK sebagai dasar bagi PPK untuk menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ). Setelah diterbitkan SPPBJ status penyedia menjadi pemenang lelang. Sebagai pemenang penyedia wajib menyerahkan jaminan pelaksanaan sebesar 5% dari nilai kontrak. Nilai kontrak adalah sama dengan nilai penawaran penyedia yang telah ditetapkan sebagai pemenang. Dalam hal nilai penawaran peserta yang menjadi pemenang kurang dari 80% nilai total HPS maka nilai jaminan pelaksanaan yang harus diserahkan oleh penyedia adalah 5% dari nilai total HPS. Jaminan pelaksanaan merupakan persyaratan penandatanganan kontrak. Karena itu sebelum penyedia menyerahkan jaminan pelaksanaan kepada PPK maka kontrak tidak boleh ditandatangani. Pada masa berlakunya Perpres nomor 70 tahun 2012 batas waktu penyerahan jaminan pelaksanaan ditetapkan dalam pasal 86 ayat (3) selama 14 (empat belas) hari kerja setelah diterbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) dan jika penyedia tidak menyerahkan jaminan pelaksanaan dalam kurun waktu tersebut penyedia dibatalkan sebagai pemenang dan dikenakan sanksi blacklist.
Dalam Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015, pasal 86 ayat (3) Perpres nomor 70 tahun 2012 tersebut dihilangkan, selain itu ditetapkan pula dalam pasal 70 ayat (2) huruf a dan huruf c Perpres nomor 4 tahun 2015 bahwa jaminan pelaksanaan tidak disyaratkan pada Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang dilaksanakan dengan metode Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung Untuk Penanganan Darurat, Kontes, atau Sayembara serta Pengadaan Barang/Jasa dalam Katalog Elektronik melalui E-Purchasing. Perubahan tersebut memberikan kedudukan yag sangat kuat kepada penyedia sebagai pemenang pelelangan. Dengan perubahan ketentuan tersebut penyedia dapat mengulur waktu penyerahan jaminan pelaksanaan tanpa risiko dibatalkan sebagai pemenang dan dikenakan blacklist. Ketentuan ini dapat menimbulkan persoalan karena menimbulkan kesenjangan peran dan kewajiban antara PPK dan Pemenang lelang. Kedudukan pemenang lelang menjadi sangat kuat dibandingkan dengan kedudukan PPK. Penyedia sebagai pemenang lelang dapat menghambat penyelesaian tugas PPK dengan menunda penyerahan jaminan pelaksanaan, sedangkan PPK tidak dapat membatalkan penunjukan pemenang untuk memilih pemenang peringkat berikutnya. PPK tidak juga dapat mengenakan sanksi kepada penyedia yang menunda penyerahan jaminan pelaksanaan. Meskipun penundaan penyerahan surat jaminan pelaksanaan oleh pemenang lelang akan menyebabkan tertundanya penandatanganan kontrak, dan penundaan penandatangan kontrak akan berpengaruh pada waktu penyelesaian pekerjaan. Tertundanya pelaksanaan pengadaan barang/jasa tentu saja merugikan pemerintah. Bentuk kerugian tersebut tidak hanya waktu penyelesaian pekerjaan yang akan terlambat, tetapi juga dapat berakibat anggaran yang disediakan oleh pemerintah dalam DIPA atau DPA-SKPD tidak dapat direalisasikan. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika dalam pengadaan pekerjaan konstruksi seperti pembangunan gedung kantor yang membutuhkan waktu pelaksanaan pekerjaan selama 6 (enam) bulan, jaminan pelaksanaan baru diserahkan oleh penyedia pada bulan September sehingga penandatanganan kontrak baru dilakukan dalam bulan September dan pekerjaan pembangunan baru dimulai setelah kontrak ditandatangani, tentu tidak mungkin pembangunan gedung tersebut dapat diselesaikan sebelum tahun anggaran berakhir.
3. Posisi Penyedia Sebagai Penyedia barang/Jasa Dalam kedudukan sebagai penyedia barang/jasa, penyedia berhadapan dengan langsung PPK. Status sebagai penyedia melekat pada penyedia setelah penandatanganan kontrak, dimana penyedia merupakan salah pihak yang mengikatkan diri untuk melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa sebagaimana yang tertuang dalam dokumen kontrak. Perubahan peraturan tentang pengadaan barang/jasa melalui Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 tidak melemahkan kedudukan penyedia sebagai penyedia barang/jasa (pelaksana kontrak). Namun Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 memberikan kedudukan yang lebih kuat kepada PPK dan Pokja ULP untuk menunjuk penyedia lain dengan cara penujukan langsung. Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 93 ayat (3) Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 yang berbunyi “Dalam hal dilakukan pemutusan Kontrak secara sepihak oleh PPK karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kelompok Kerja ULP dapat melakukan Penunjukan Langsung kepada pemenang cadangan berikutnya pada paket pekerjaan yang sama atau Penyedia Barang/Jasa yang mampu dan memenuhi syarat. Berdasarkan keterntuan tersebut yang membolehkan penunjukan penyedia lain dengan cara penunjukan langsung maka ancaman bagi penyedia untuk mengalami pemutusan kontrak secara sepihak oleh PPK semakin besar. Ini berarti melemahkan kedudukan penyedia sebagai
pelaksana kontrak. Pada masa berlakunya Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 penunjukan langsung seperti itu tidak dibolehkan. Karena itu PPK lebih bersifat teleran terhadap kekurangan penyedia dalam melaksanakan kontrak. Hal tersebut menjadi sebab banyaknya temuan oleh aparat pengawas intern pemerintah terhadap hasil pekerjaan yang dikerjakan oleh penyedia. C. Kesimpulan
Perubahan Peraturan Presiden tentang pengadaan barang/jasa melalui Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 dimaksudkan untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan. Percepatan pelaksanaan pembangunan tersebut ditempuh dengan cara menyederhanakan proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Penyederhanaan proses pengadaan barang/jasa tersebut membawa konsekwensi terhadap kedudukan para pihak dalam pengadaan barang/jasa. Para pihak tersebut adalah PPK sebagai pemilik pekerjaan/kegiatan, Pokja ULP sebagai pelaksana proses pemilihan penyedia barang/jasa, dan Penyedia Barang/jasa sebagai pelaksana pekerjaan. Bagi penyedia barang/jasa konsekwensi yang diharus diterima sebagai akibat berlakunya Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 adalah sebagai berikut: a. Dalam posisi sebagai peserta lelang, di satu sisi kedudukannya semakin kuat karena adanya penyederhanaan persyaratan penyedia. Namun di sisi lain kedudukannya semakin lemah karena tidak dibolehkan mengajukan sanggahan prakualifikasi dan sanggahan banding. b. Dalam posisi sebagai pemenang lelang kedudukannya semakin kuat karena dihapusnya batas waktu penyerahan jaminan pelaksanaan. c. Dalam posisi sebagai penyedia barang/jasa kedudukannya semakin lemah karena adanya kemudahan penunjukan penyedia lain oleh Pokja ULP jika terjadi pemutusan kontrak secara sepihak oleh PPK. Daftar Pustaka: 1. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 2. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 3. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.