Etika Media dan Keterbatasan Akses Informasi Ruth Mei Ulina Malau Telkom University, Bandung
[email protected]
Abstract Media memiliki cita-cita luhur untuk menciptakan masyarakat informasi yang ideal, namun terbentur oleh persoalan stratifikasi akses informasi yang bisa diakses masyarakat. Kehadiran media baru yang berbasis digital diharapkan dapat menjamin keberadaan ruang publik yang ideal dimana masyarakat bisa bebas mengakses informasi. Kenyataannya, ketimpangan informasi masih tetap terjadi meskipun dunia sudah beranjak dari era media lama menuju era media baru. Kehadiran teknologi baru ternyata tidak serta-merta menciptakan masyarakat informasi dan menjamin ekuitas informasi, namun justru menciptakan stratifikasi kelas khayalak media: kaya informasi dan miskin informasi. Lalu, siapakah yang selanjutnya diharuskan untuk mengemban tanggung jawab ini? Media? Dari segi etika media, persoalan ketimpangan akses informasi ini ternyata berada di tengah-tengah perebutan titik kekuasaan antara publik dan elit media yang sejatinya selalu memiliki agenda tersembunyi di balik setiap informasi yang dihadirkan oleh media massa.
Abstrak Media have a great aim to create an ideal information society, but it has been collided by the problem on information stratification. New media should guarantee a presence of ideal public sphere where society can access all information freely. In fact, information still remains unbalance though this world’s era change from the old media to the new media. The new technology apparently can’t create information society and guarantee an equity of information, it precisely stratifies media publics in two kind: rich information and poor information. The who will take responsibility? Media? From the perspective of media ethics, this problem actually happened in a period of power struggling between public and media elite whom always have a hidden agenda in every information given by the media.
PENDAHULUAN Industri media kini mengalami sebuah global shift yang digerakkan oleh arus globalisasi yang memang tak terelakkan. Implikasinya adalah reproduksi ruang publik yang mengacu pada struktur pasar yang memihak pada kapitalisme di era globalisasi. Media di Indonesia kemudian mengikuti dinamika kultur media global yang kini telah sangat tergantung pada ICT (Information and Communication Technology). Globalisasi kemudian mendifusi berbagai pemanfaatan ICT dalam industri media dan membawa perubahan pola struktur pasar secara global. Globalisasi mempercepat penciptaan masyarakat informasi (information society) yang dimediasi oleh berbagai industri media. Masyarakat informasi merupakan gambaran dari mereka yang telah menjadi „tergantung pada jaringan informasi elektronik yang rumit serta aktivitas komunikasi‟ (Melody dalam McQuail, 2011:114). Dengan kata lain, masyarakat informasi menghadirkan wujud nyata dari apa yang dikatakan Marshal McLuhan sebagai global village. Metafora ini akan terlihat berbeda ketika kita memperbandingkan dengan ratusan tahun yang lalu, di mana kita dapat melihat bahwa kini kita bisa memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai bangsa dan budaya asing dan disertai dengan akses yang lebih mudah dan cepat dalam memperoleh informasi tersebut (Ess, 2001: vii). Perubahan sosial ini terlihat dari struktur jaringan masyarakat yang kontras dengan masyarakat massa atau masyarakat industri di abad ke-19 dan ke-20 (McQuail, 2011:115). Kehadiran masyarakat informasi dalam desa global ini merupakan efek yang melekat pada ekspansi teknologi digital di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Mengacu pada cita-cita masyarakat informasi dalam desa global di atas, maka kita akan menemukan relevansi di mana globalisasi seharusnya membuka lebar-lebar ruang publik untuk dikonsumsi oleh masyarakat dari berbagai strata kelas tanpa adanya ketimpangan akses terhadap informasi apa pun yang mereka inginkan. Cita-cita masyarakat informasi ini mungkin tidak tercapai di era media lama (old media), karena era old media menyisakan kejayaan televisi dan surat kabar yang dalam prakteknya tidak mampu menjamin ekuitas informasi karena penyebarluasannya yang tidak merata ke seluruh masyarakat.
1
Majalah, surat kabar, radio, dan televisi mengarahkan sebagian konten mereka pada khalayak spesial yaitu mereka yang berasal dari segmentasi atas karena hal itulah yang diinginkan oleh pengiklan. Media memiliki sedikit pilihan, meskipun demikian media menjual khalayaknya kepada pengiklan yang ingin membeli. “media redlining”, istilah ini berasal dari praktek perjanjian institusi untuk menggambarkan secara literal peta garis merah mengenai di sekitar wilayah yang berpendapatan rendah (yang pada umumnya dihuni oleh kaum minoritas). Praktek semacam ini tetap membatasi orang-orang yang berpenghasilan rendah, terutama kalangan minoritas untuk [misalnya] mengetahui penjualan rumah dari sirkulasi surat kabar yang kontennya ditujukan untuk kalangan atas, kecuali jika mereka mampu mendapatkan salinan surat kabar yang sebenarnya ditujukan untuk wilayah di luar tempat tinggal mereka (Gordon, dkk, 1996). Kehadiran new media selanjutnya menawarkan speed and space, di mana new media membuka peluang bagi kehadiran informasi-informasi yang tidak dapat ditemukan dalam bentuk hard copy media konvensional. Format multimedia yang ditawarkan juga lebih inovatif dan lebih menarik (Fenton, 2010: 7). Dengan bergantung pada ICT, kehadiran new media menciptakan digitalisasi informasi, yang memungkinkan akselerasi penyebarluasan informasi dan mempermudah penciptaan masyarakat informasi yang setara. Transisi dari old media ke new media menciptakan ruang publik yang lebih fleksibel terhadap akses ke media dan diharapkan dapat menghindari munculnya information apartheid. Di Indonesia sendiri, pemanfaatan new media masih cukup rendah, dengan penetrasi penggunaan internet hanya berkisar 16.1% di tahun 2011. Dari angka penetrasi tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informasi Indonesia mengeluarkan hasil suvey yang menunjukkan bahwa aktivitas akses ke media yang paling banyak adalah akses ke media sosial, yaitu sebesar 64,43%.
2
Dari data di atas, kita dapat melihat ragam informasi yang diakses masyarakat melalui media baru. Kehadiran new media menciptakan sebuah ruang publik ideal yang menjamin kebebasan akses informasi, di sisi lain kehadirannya bisa jadi semakin memperkuat ketimpangan akses yang sesungguhnya telah ada sejak awal media diciptakan.
MEMPERTANYAKAN MASYARAKAT INFORMASI Sejak informasi menjadi sebuah kekuatan dalam masyarakat berbasis informasi (information society) yang sedang berkembang saat ini, persamaan akses informasi menjadi persoalan krusial (Gordon, dkk, 2009: 109). Masyarakat informasi menggantikan kejayaan masyarakat „massa‟ di era modernisme di mana televisi merupakan salah satu media yang sangat powerful. Namun selanjutnya, hadirnya postmodernisme telah mengubah [pandangan] khalayak media, terutama khalayak televisi (Ang, 1996:1). Massa hanya sepenggal konstruksi sejarah yang diwariskan oleh modernisme. Massa di sini sering dimaknai sebagai khalayak yang pasif, yang menerima apa pun yang diberikan oleh media untuk dikonsumsi. Ke-pasif-an khalayak massa ini menjadi salah satu faktor yang menciptakan adanya ketimpangan akses terhadap informasi. Sementara di sisi lain, media juga tidak mau menaruh perhatian terhadap kelompokkelompok massa yang dianggap tidak akan memberi keuntungan bagi kepentingan kapital 3
industri media dan kepentingan pengiklan. Keadaan (ketimpangan informasi) ini telah berlangsung sangat lama, sejak masa kejayaan modernisme hingga kini di era postmodernisme yang masih menyimpan dan mewariskan tradisi-tradisi media di masa lalu. Resikonya adalah masyarakat tersebut akan terstratifikasi berdasarkan penggunaan informasinya, bersamaan dengan stratifikasi berdasarkan ekonomi, edukasi, ras, dan lainnya (Gordon, dkk, 2009: 109). Dengan kata lain, keadaan ini mengacu pada “informational underclass” atau “informational apartheid”, sebuah politik pembedabedaan yang memaksakan adanya stratifikasi dalam hal mengakses media. Persoalan ini memang tidak secara langsung terkait dengan persoalan etika media. Namun media memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan ruang publik seperti apa yang nantinya akan tercipta dan apakah cita-cita masyarakat informasi dapat tercapai. Isu yang perlu dipertanyakan juga adalah mengenai bagaimana transisi media lama ke media baru telah mengubah pola konsumsi masyarakat terhadap informasi, apakah masyarakat mampu memanfaatkan kebebasan akses yang disediakan di ruang publik, atau apakah masyarakat justru semakin dibatasi. Jika disederhanakan, maka muncul pertanyaan seperti yang diutarakan oleh David Gordon: Will our mass media remain mass? Apakah media massa kita akan tetap bersifat massa? Atau akankah kita melihat sebuah kombinasi ekonomi, teknologi media baru, dan bahkan teknik pemasaran yang baru mengurangi
dengan drastis, atau bahkan
mengeliminasi kemampuan media untuk melayani masyarakat seutuhnya? Mungkinkah faktor yang sama akan membatasi kemampuan beragam individu dan kelompok dari semua level masyarakat (misalnya orang yang cacat visual atau pendengaran) untuk menggunakan media dalam rangka memperoleh informasi?
AKSES MEDIA: KAYA VS MISKIN INFORMASI Rogers (1986) menguraikan tiga ciri utama yang menandai kehadiran teknologi komunikasi baru, yaitu: interactivity, demassification, dan asynchronous. Interacticity merupakan kemampuan sistem komunikasi baru untuk berbicara balik, talk back, kepada penggunanya, hampir seperti seorang individu yang berpartisipasi dalam sebuah
4
percakapan. Dalam ungkapan yang lain, media baru memiliki sifat interaktif yang tingkatannya mendekati sifat interaktif pada komunikasi antarpribadi secara tatap muka. Media komunikasi yang interaktif ini memungkinkan para partisipannya dapat berkomunikasi secara lebih akurat, lebih efektif dan lebih memuaskan. Demassification berarti tidak bersifat massal, maksudnya suatu pesan khusus dapat dipertukarkan secara individual di antara partisipan yang terlibat dalam jumlah yang besar. Demassification juga bermakna bahwa kontrol atau pengendalian sistem komunikasi massa biasanya berpindah dari produsen pesan ke konsumen media. Asynchronous bermakna bahwa teknologi komunikasi baru mempunyai kemampuan untuk mengirimkan dan menerima pesan pada waktu yang dikehendaki oleh setiap individu peserta (Rahardjo, 2011:7-8). Dalam dorongan kecepatan yang tak kuasa dikendalikan, komunikasi dan informasi menjadi sebuah teror (terror of speed), yang menghasilkan kecemasan (anxiety) dan kondisi panik (panics): kecepatan pergantian citra televisi yang tak sanggup dicerna; serbuan pesan-pesan e-mail, blog, atau spam internet yang tak mampu dimaknai; kecepatan pergantian perangkat lunak yang tak mampu diikuti; gelombang perangkat lunak yang tak mampu diikuti; gelombang pergantian gaya dan gaya hidup yang menjadikan orang selalu merasa kurang (lack) dan ketinggalan zaman (Mufid, 2009:76). Inilah gambaran struktur pasar saat ini. Baik media dan khalayaknya sama-sama diteror dengan keberadaan teknologi digital yang mengutamakan speed and space. Hasilnya adalah ruang publik yang sesungguhnya penuh dengan variasi informasi yang tak habis-habisnya untuk dikonsumsi. YouTube contohnya, sebuah media berbasis internet yang menyediakan akses terhadap khalayak yang ingin mengkonsumsi berbagai macam video dari berbagai belahan dunia. Untuk menonton semua video yang pernah di unggah di situs ini, diperkirakan butuh waktu seribu tahun. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap media kini tidak melulu menjadi tanggung jawab pemilik media, karena ada terlalu banyak hal yang perlu dipertimbangkan ketika kita memperbincangkan ruang publik yang kini didominasi oleh media baru. Namun bukan berarti para pemilik media telah lepas tanggung jawab terkait isu-isu yang menyangkut akses ke media. Media, bagaimanapun tetap menjadi aktor utama yang paling banyak memiliki kepentingan di samping para pengiklan. Dengan kata lain, para
5
pemilik media selalu berusaha menjaga wilayah teritori kekuasaannya untuk menjamin lancarnya arus kapital ke perusahaan media. Perbincangan mengenai media memang tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada di balik media tersebut, khususnya kepentingan terhadap informasi yang disampaikannya. Di dalam perkembangan media mutakhir, setidak-tidaknya ada dua kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest) yang membentuk isi media (media content), informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Di antara dua kepentingan tersebut, ada kepentingan lebih dasar yang justru terabaikan, yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya berperan sebagai ruang publik (public sphere), disebabkan oleh kepentingan-kepentingan di atas, justru mengabaikan kepentingan publik itu sendiri (Piliang, 2004:69). Media memang pintar bermain teknologi dan menciptakan berbagai bentuk-bentuk evolusi media yang dulu tidak pernah terpikirkan. Samsung contohnya. Salah satu produk Smart TV yang terkenal adalah hasil produksi Samsung, yang kononnya memiliki visi untuk menciptakan konektifitas yang tidak terbatas agar tercipta kehidupan yang saling terkoneksi (connected life). Inovasi ini muncul dengan tiga pilar utama yaitu Smart Interaction, Smart Content, dan Smart Evolution yang menawarkan media televisi yang lebih banyak konten, layar interaktif, pengatur intuitif, kualitas gambar yang luar biasa, serta desain yang menawan (http://www.samsung.com/id/news/localnews/2012/). Gagasan samsung mengenai kehidupan yang saling terkoneksi (connected life) tersebut merupakan perwujudan masyarakat informasi yang sedang dikembangkan. Namun, ketika kita menelaah model media dengan teknologi semacam itu, kita akan menemukan kejanggalan konsep mengenai akses ke media. Teknologi Samsung jelas mampu menghadirkan wacana ruang publik yang menyediakan kebebasan akses informasi, yang mana hanya dengan satu medium masyarakat mampu mengkonsumsi informasi dari berbagai varian media dengan berbagai varian informasi yang tidak akan habis. Namun di sisi lain, media tidak peduli terhadap masyarakat yang berasal dari kalangan menengah ke bawah yang pastinya tidak akan mampu membeli media dengan teknologi semacam itu. Dalam kasus ini, ICT telah membawa industri media untuk semakin meninggikan egonya dan semakin memperjelas
6
batasan teritorial khalayak media mereka. Tidak jauh dari persoalan ini, dalam lingkup yang lebih personal kita akan melihat persoalan akses ke media kini ditentukan oleh apa jenis smart phone yang kita genggam. Semakin bagus fitur teknologi yang terdapat dalam genggaman kita, maka semakin mudah akses terhadap informasi, dan di sisi lain semakin tinggi modal yang harus kita keluarkan untuk mendapatkan teknologi tersebut beserta akses informasinya. Inilah persoalan transisi dari media lama ke media baru, munculnya ranah kompetisi baru yang mempersoalkan kepentingan dan agenda tersembunyi. Noam Chomsky menyebutkan bahwa manusia harus menyadari bahwa para elit media dan elit intelektual umumnya memiliki agenda tertentu (Ibrahim, 2011:215). Media baru memang membawa inovasi teknologi broadband yang memungkinkan khalayak media untuk mengakses informasi dengan bebas. Namun di sisi lain, media juga menuntut perolehan kapital yang lebih besar sehingga pada akhirnya wacana ini tetap menyisakan dikotomi antara masyarakat kaya-miskin, mayoritas-minoritas. Dengan demikian, persoalan akses terhadap media tentu saja tidak terlepas dari dua kepentingan yang diutarakan Piliang di atas. Argumen Piliang mengenai kepentingan ekonomi dan politik yang mengendalikan media tampaknya memiliki relevansi dengan pemikiran Marx, di mana negara sebagai kelas penguasa yang perlu dipertentangkan dengan rakyat sebagai kelas yang dikuasai (Takwin, 2003:60). Terlebih ketika media diposisikan sebagai the fourth estate—yang konon merupakan pilar demokrasi yang mendasari reformasi di Indonesia—maka kepentingan ekonomi dan politik menjadi faktor yang tidak terelakkan yang ikut campur tangan dalam struktur pasar media. Dalam hal ini, kepentingan ekonomi dan politik tidak hanya mengacu pada para kapitalis pemegang kekuasaan ekonomi, melainkan juga para politikus yang merupakan pemegang kekuasaan politik. Akhirnya sudah jelas, kepentingan-kepentingan tersebut pada ujungnya akan menciptakan ketimpangan dalam hal apa pun, termasuk ketimpangan akses publik terhadap media. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Everette Dennis: “alasan kenapa harus memperhatikan orang yang kaya informasi versus orang yang miskin informasi (information-rich people vs information-poor people). Informasi adalah kekuasaan dan beberapa informasi ditawar dengan harga yang sangat tinggi untuk disampaikan ke banyak orang”. Informasi menjadi ranah kapital yang sangat krusial terhadap pengukuhan dikotomi terutama yang berkaitan dengan faktor ekonomi. 7
Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang
berjudul “Post-realitas: Realitas
Kebudayaan dalam Era Post-metafisika” menyebut fenomena ini sebagai post-media, di mana media kini menciptakan hiper-realitas yang berkembang karena media dikendalikan oleh kepentingan ekonomi dan politik, yang di dalamnya objektivitas, kebenaran, keadilan, dan makna sebagai kepentingan publik dikalahkan oleh subjektivitas, kesemuan, dan permainan bahasa (Piliang, 2004:70). Dari titik ini, media massa yang merupakan bagian dari ruang publik sesungguhnya merupakan mediasi yang membawa serta persoalan etika media meski tidak secara langsung.
ETIKA DEONTOLOGI BERTENS Kekuatan yang dipimpin oleh pasar ini memang logis dilihat dari perspektif ekonomi, namun hal ini dipertanyakan secara etis mengenai keinginan kita untuk membatasi segmen-segmen masyarakat tertentu untuk mengakses channel media massa yang seharusnya bersifat massa. Dari sudut pandang etika, Bertens (1993) menjelaskan bahwa semua sistem etika deontologi berorientasi pada hasil perbuatan. Baik tidaknya perbuatan bergantung pada konsekuensinya. Karena itu, sistem-sistem ini dianggap sistem konsekuensialistis. Utilitarisme, misalnya, bersifat teleologis (=terarah pada tujuan). Namun sistem etika tidak menyoroti tujuannya melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan atau keputusan si pelaku. Ada dua macam etika deontologi yang disebutkan oleh Bertens. Pertama, etika deontologi Immanuel Kant. Menurutnya yang bisa dianggap baik dalam arti yang sesungguhnya adalah kehendak yang baik, semua hal lain dianggap baik secara terbatas atau dengan syarat. Suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata „karena hormat untuk hukum moral‟. Kant membedakan kewajiban moral yang mengandung imperatif kategoris (tanpa syarat) dan imperatif hipotesis (bersyarat). Selanjutnya, Kant menyimpulkan adanya otomi kehendak yang memampukan manusia menemukan kebebasannya. Namun kebebasan ini tidak berarti bebas dari segala ikatan. Kedua, etika deontologi menurut W.D. Ross. Filsuf Inggris ini menerima teori deontologi, namun ia menambah sebuah nuansa penting di mana kewajiban selalu merupakan kewajiban prima facie (pada pandangan pertama), artinya, suatu kewajiban-
8
sementara yang hanya berlaku hingga timbul kewajiban yang lebih penting. Ross menyusun daftar kewajiban prima facie, yaitu: kewajiban kesetiaan, kewajiban ganti rugi, kewajiban terima kasih, kewajiban keadilan, kewajiban berbuat baik, kewajiban mengembangkan diri, kewajiban untuk tidak merugikan. Menurut Ross, setiap manusia mempunyai intuisi tentang kewajiban tersebut, artinya, kewajiban itu berlaku langsung bagi manusia.
SIMPULAN Persoalan yang berkaitan dengan informasi adalah persoalan kebebasan. Jadi, setiap manusia seharusnya dibebaskan untuk mengakses informasi apa pun yang dibutuhkannya, terlepas dari setiap kepentingan ekonomi dan politik yang mengendalikan media untuk melakukan pembatasan wilayah akses terhadap publik-publik tertentu. Dengan mengacu pada apa yang dikatakan Satre (dalam Bertens, 2005:214)—“manusia adalah kebebasan”, akses terhadap media telah menjadi sebuah persoalan ekstrem yang menentukan eksistensi manusia. Informasi adalah salah satu objek kebebasan manusia sehingga akses terhadapnya harus dijamin oleh negara melalui para pemilik media. Jaminan ini bahkan tertuang dalam Amandemen UUD 1945/28f, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari dan memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Akses terhadap media menjadi persoalan krusial yang diperebutkan dalam wilayah tarik-menarik antara kepentingan media dan kepentingan publik. Akibatnya, media di abad informasi-digital berkembang ke arah sebuah titik, yang di dalamnya terjadi pelencengan fungsi komunikasi, kesimpangsiuran tanda, pengaburan makna, pendistorsian realitas, dan penisbian kebenaran. Akibatnya komunikasi dalam hal ini tak lagi mempunyai tujuan yang pasti; informasi tak lagi punya makna yang jelas, yang diproduksi dalam porsi yang berlebihan (Mufid, 2009:77). Persoalan ini mengingkari etika teleologi, di mana Gordon menyebutkan bahwa media massa harus melakukan usaha-usaha khusus untuk menjamin bahwa mereka senantiasa berusaha untuk mencapai khalayak massa yang murni, dan dalam proses
9
tersebut, media massa mampu menyampaikan informasi tersebut kepada semua lapisan masyarakat. Apa yang dikatakan Gordon ini merupakan sebuah situasi ideal yang tampaknya sulit diwujudkan di era media digital saat ini, terlebih karena ICT yang diterapkan dalam industri media global membawa wacana demasifikasi yang mengacu pada pendefinisian ulang khalayak massa. Pertanyaan seputar akses ke media merupakan persoalan yang sulit dijawab, karena dilandasi dengan persoalan perekonomian yang terkadang kita tidak boleh asal menyalahkan siapa pun juga. Persoalan akses ini juga menjadi sebuah persoalan yang tidak dapat digeneralisasikan secara global, karena bagaimanapun, setiap khalayak dan setiap media memiliki kepentingan dan alasan-alasan tertentu atas perilaku sosial yang mereka lakukan terkait akses informasi.
DAFTAR PUSTAKA Ang, Ieng. (1996). Living Room Wars: Rethingking Media Audience in a postmodern world. e-book. London: Routledge Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Bertens, K. (2005). Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Penerbit Teraju Ess, Charles. (2001). Culture, Technology, Communication: Towards an Intercultural Global Village. New York: State University of New York Fenton, Natalie (Ed). (2010). New Media, Old News: Journalism & Democracy in the Digital Age. e-book. London: Sage Publications Gordon, David A., John M. Kittross, Carol Reuss. (1996). Controversies in Media Ethics. New York: Longman Publisher. Ibrahim, Idi Subandy. (2011). Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra McQuail, Dennis. (2011). Teori Komunikasi Massa McQuail (Ed.6). Jakarta: Salemba Humanika
10
Mufid, Muhammad. (2009). Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana Piliang, Yasraf Amir. (2004). Post-realitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra Takwin, Bagus. (2003). Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra Samsung Menghadirkan Samsung Smart TV Terbaru dengan Tiga Pilar Utama Smart Interaction, Smart Content dan Smart Evolution. (April, 26th 2012). Dalam http://www.samsung.com/id/news/localnews/2012/samsung-menghadirkansamsung-smart-tv-terbaru-dengan-tiga-pilar-utama-smart-interaction-smart-contentdan-smart-evolution/ diunduh pada 1 Juli 2012 pukul 14.30 WIB Indikator TIK Indonesia 2011—Departemen Komunikasi dan Informasi. (2012, Februari 6th). Dalam http://publikasi.kominfo.go.id/ diunduh pada 1 Juli 2012 pukul 15.00 WIB
11