ETIKA GURU DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR AGAMA ISLAM MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALLIM
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam
Oleh : EDI HARIYANTO NIM. 053111324
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Edi Hariyanto
NIM
: 053111324
Jurusan/Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi ini secara kesuluruhan adalah hasil penelitian penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 9 Juni 2011 Saya yang Menyatakan,
Edi Hariyanto NIM:053111324
ii
KEMENTERIAN AGAMA R.I. INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS TARBIYAH Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan Semarang Telp/Fax 7601295, 7615387 Semarang 50185 PENGESAHAN Naskah skripsi dengan: Judul : Etika Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari Dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim. Nama : Edi Hariyanto NIM : 053111324 Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam. Telah diujikan dalam sidang munaqosyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam ilmu pendidikan Islam. Semarang, 23 Juni 2011 DEWAN PENGUJI Ketua,
Sekretaris,
H. Mursid, M.Ag. NIP. 19670305 200112 1 001
Dr. Ahwan Fanani, M.Ag. NIP. 19780930 200312 1 001
Penguji I,
Penguji II,
H. Abdul Kholiq, M.Ag. NIP. 19710915 199703 1 003
Amin Farih, M.Ag. NIP. 19710614 200003 1 002
Pembimbing I,
Pembimbing II
Dr. H. Ruswan, M.A. NIP. 19680424 199303 1 004
Syamsul Ma’arif, M.Ag. NIP. 19741030 200212 1 002
iii
Semarang, 8 Juni 2011
NOTA PEMBIMBING Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang
Assalamu’alaikum wr. wb. Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan: Judul
:
Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul Alim wal Muta’allim.
Nama
:
Edi Hariyanto
NIM
:
053111324
Jurusan
:
Tarbiyah
Program Studi :
Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqosyah. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Pembimbing I
Dr. H. Ruswan, M.A. NIP. 19680424 199303 1 004
iv
Semarang, 8 Juni 2011
NOTA PEMBIMBING Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamu’alaikum wr. wb. Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan: Judul
:
Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul Alim wal Muta’allim.
Nama
:
Edi Hariyanto
NIM
:
053111324
Jurusan
:
Tarbiyah
Program Studi :
Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqosyah. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Pembimbing II
Syamsul Ma’arif, M.Ag. NIP. 19741030 200212 1 002
v
ABSTRAK Judul
Penulis NIM
: Etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim. : Edi Hariyanto : 053111324
Skripsi ini membahas etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim Wal muta’allim. Kajianya dilatarbelakangi oleh pentingnya peran etika sebagai pondasi pokok dalam pendidikan Islam. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan: Bagaimana etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim?. Penelitian ini dilakukan melaui metode library reseach (kajian pustaka) dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Dimana data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara non statistic, dengan data primer sebagai sumber data utama dan sumber data skunder sebagai sumber data pendukung. Adapun metode analisis datanya menggunakan metode analisis deskriptif. Dimana data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara non statistik.yakni analisis untuk mengungkapkan gagasan pemikiran tokoh yang diteliti serta interpretasi data sebagai pendukung dalam menyampaikan pendapat dan pemikiran tokoh yang diteliti. Dari penelitian ini ditemukan bahwa pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim meliputi: 1. Etika Guru terhadap diri sendiri yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh setiap pribadi guru 2. Etika Guru dalam proses belajar mengajar 3. Etika bagi Guru terhadap murid 4. Etika terhadap kitab sebagai alat pelajaran Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai etika yang harus dipedomani oleh guru masih sangat relevan untuk diterapkan oleh guru dalam proses belajar mengajar agama Islam pada saat ini. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai manivestasi kompetensi yang ia miliki untuk menggapai derajat tertinggi baik dalam pandangan manusia maupun pandangan Tuhan.
vi
KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang berkat rahmat, taufiq dan hidayah-Nya skripsi penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut pemikiran KH. Asy’ari dalam kitab Adabul AlimWal Muta’allim” dapat disajikan, shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rasulullah SAW yang telah menuntun manusia ke jalan yang telah diridhai Allah. Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu demi kelancaran dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Dr. Sudja’i, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. 2. Dr. H. Ruswan M.A., selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam penulisan skripsi. 3. Syamsul Ma’arif, M.Ag., selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam penulisan skripsi. 4. Nasiruddin, M. Ag., selaku Kepala jururusan program studi Pendidikan Agama Islam. 5. H. Mursid, M.Ag., selaku sekretaris jururusan program studi Pendidikan Agama Islam. 6. Andi Fadhlan Spd., M.Si. selaku dosen Wali studi serta Bapak, Ibu dosen dan segenap karyawan/wati yang secara langsung ikut berpartisipasi. 7. Orang tua tercinta, yang telah membesarkan, mendidik, dan menyayangi dengan sepenuh hati. 8. KH. Muhammad Hanif Muslih, Lc., pengasuh pondok sekaligus pengasuh jiwaku. 9. Untuk seluruh Guru yang telah mendidik dan mengajar jiwa dan ragaku.
vii
10. Seluruh anggota keluarga, Kakak dan Adiku yang telah memberi dukungan yang sangat berharga. 11. Ustad-ustad dan Sahabat-sahabat dipasantren “FUTUHIYYAH” Mranggen Demak. 12. Sedulur tunggal kecer, Mas-Mas, Mbak-Mbak dan Adik-adik keluarga besar UKM PSHT IAIN Walisongo. Tunjukkan “SEMANGAT SANG JUARAMU” !!! 13. Sahabat-sahabat PAI C 2005, semoga Allah mempermudah jalan hidup kita. 14. Seseorang yang ada dihatiku “Semoga Allah menjadikan engkau sebagai penyejuk Jiwaku”. 15. Untuk seluruh Guru yang telah dipercaya oleh masyarakat. Wahai para Guru...Masyarakat telah berani memberikan “harta termahal, buah hati dan belahan jiwanya” untuk engkau didik. Apa yang engkau lakukan terhadapnya adalah amanat terbesar yang nantinya akan dipertanggung jawabkan kelak. Teriring doa semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan dari semuanya dengan sebaik-baik balasan. Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Semarang, 8 Juni 2011
Edi Hariyanto NIM. 053111324
viii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL..........................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN............................................................................
ii
PENGESAHAN
............................................................................................ iii
NOTA PEMBIMBING ...................................................................................... vi KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii DAFTAR ISI BAB I :
............................................................................................
x
Pendahuluan A. Latar belakang masalah ............................................................
1
B. Penegasan Istilah ......................................................................
8
C. Rumusan masalah..................................................................... 10 D. Tujuan dan Manfaat penulisan ................................................. 10 E. Kajian pustaka .......................................................................... 10 F. Metodologi penulisan ............................................................... 13 G. Sistematika penulisan skripsi ................................................... 15
BAB II :
Berisi tinjauan umum tentang etika guru dalam proses belajar Mengajar Agama Islam. A. Guru dalam perspektif Islam .................................................... 17 B. Tinjauan Umum Tentang Etika Guru ....................................... 19 1. Pengertian Etika dan guru................................................... 19 2. kode etik guru dalam Islam ................................................ 22 C. Kedudukan etika guru dalam proses belajar mengajar Islam... 24
BAB III :
Biografi dan Pemikiran Pendidikan KH. Asy’ari dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim A. Biografi KH. Hasyim Asy'ari. Pertama ................................... 28 1. Sejarah Kehidupan K.H. Hasyim Asy’ari .......................... 28 2. Latar Belakang Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari ............. 31
ix
3. Amal dan Kiprah Perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari .......... 34 4. Karya-karya beliau ............................................................. 36 B. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang etika guru ................. 39 C. Signifikansi Pemikiran Pendidikan KH Hasyim Asy’ari ......... 40
BAB IV :
Relevansi Etika Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Menurut KH. Hasyim Asy’ari Dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim A. Analisis Tujuan Pendidikan Dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’alim ................................................................................. 52 B. Analisis Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Etika Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim ........................................................................ 57 C. Kontribusi Konsep Etika Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Serta Relevansi Dengan Sistem Pembelajaran Saat Ini ............................................................................................ 64
BAB V :
Penutup A. Kesimpulan .............................................................................. 67 B. Saran-saran ............................................................................... 68 C. Penutup..................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia dilahirkan ke dunia ini tanpa pengetahuan apapun, tetapi dalam kelahirannya manusia telah dilengkapi dengan fitrah yang memungkinkannya untuk menguasai berbagai pengetahuan. Dengan memfungsikan fitrah itu maka diharapkan manusia dapat belajar dari lingkungan dan masyarakatnya.1 Diantara tanda dari fitrah itu adalah Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dengan menganugerahkan berbagai potensi, baik potensi jasmani (fisik), potensi spiritual (Qalbu) maupun potensi akal fikiran. Maka dari potensi yang dimiliki itu manusia diposisikan sebagai makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk lain. Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an surat At Tin ayat 4; ∩⊆∪ 5ΟƒÈθø)s? Ç|¡ômr& þ’Îû z≈|¡ΣM}$# $uΖø)n=y{ ô‰s)s9 ”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.2 Seiring dengan perjalanan kehidupan manusia di dunia, tiga potensi yang dianugerahkan tersebut tidaklah mudah untuk dapat berkembang dengan sendirinya tanpa adanya proses interaksi yang melibatkan orang lain, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu mengadakan proses interaksi dengan orang lain. Interaksi yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat diubah menjadi interaksi yang bernilai edukatif jika interaksi itu dilakukan dengan sadar untuk meletakkan tujuan agar manusia itu dapat merubah tingkah lakunya, pola fikir dan perbuatannya. Interaksi yang bernilai edukatif dalam dunia pendidikan ini disebut dengan
1
Hery Nur Aly dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003), hlm 1. 2 Departemen Agama R.I. Al-qur’an dan terjemah, (Jakarta: Dept. Agama R.I.,1983), hlm. 1076.
1
“interaksi edukatif”.3 Dari pola interaksi ini dapat diketahui bahwa proses interaksi pendidikan merupakan suatu proses yang sangat urgen untuk memobilisasi fitrah tiga potensi tersebut. Dengan kata lain pendidikan merupakan suatu proses untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh manusia agar menjadi optimal. Pada mulanya kewajiban mendidik secara langsung merupakan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan oleh Allah kepada kedua orang tua agar keturunan yang akan ditinggalkan oleh mereka tumbuh dan berkembang tidak berada dalam keadaan lemah. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 9 yang berbunyi : (#θä9θà)u‹ø9uρ ©!$# (#θà)−Gu‹ù=sù öΝÎγøŠn=tæ (#θèù%s{ $¸ ≈yèÅÊ Zπ−ƒÍh‘èŒ óΟÎγÏ ù=yz ôÏΒ (#θä.ts? öθs9 šÏ%©!$# |·÷‚u‹ø9uρ ∩∪ #´‰ƒÏ‰y™ Zωöθs% “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”4 Namun seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman yang semakin maju, nampaknya tugas dan peran mendidik telah mengalami pergeseran, pergeseran itu dapat dilihat dari beralihnya peran mendidik yang semula hanya tuntutan peran orang tua dan pada akhirnya bergeser pada tuntutan bahwa seorang atau tenaga pendidik haruslah sebagai seorang atau tenaga profesional. Jika dahulu anak-anak belajar apapun cukup hanya dari orang tua, maka di era sekarang ini nampaknya pendidikan tidak cukup hanya mengandalkan dan dilakukan sendiri oleh orang tua di dalam keluarga, mengingat kebutuhan setiap anak yang semakin berkembang sesuai zamannya. Maka dalam hal ini kewajiban yang harus dilakukan oleh orang tua dalam rangka menjalankan 3
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 11. 4 Departemen Agama R.I. Al-qur’an dan terjemah, (Jakarta: Dept. Agama R.I.,1983), hlm. 116.
2
tanggung jawabnya adalah memberikan pendidikan anak lewat pengajaran guru. Sebagaimana ungkapan KH Bisyri Mustofa dalam sebuah kitab syair berbahasa jawa : Ibu Bapak wajib mulang ing putrane # lanang wadon nganti ngerti agamane Lamun ora kongang wajib masrahake # marang wongkang pinter koyo mondo’ake.5 Berbicara tentang pendidikan sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari sosok keberadaan guru atau pendidik, karena guru memiliki arti orang yang mempunyai tugas mendidik. Guru bisa juga disebut pendidik, guru atau pendidik merupakan unsur manusiawi yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan. Begitu pula proses pendidikan yang baik baru akan terjadi manakala ada interaksi antara pendidik (guru) dengan anak didik (murid) dalam situasi pendidikan. Selain itu dalam undang-undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 39 dijelaskan bahwa “Pendidik merupakan
tenaga
profesional
yang
bertugas
melaksanakan
proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.6 Pada pasal 40 ayat 2 juga memberikan uraian tentang tanggung jawab pendidik atau tenaga kependidikan yang berbunyi: “Pendidik atau tenaga kependidikan berkewajiban: Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya”.7
5
Bisyri Mustofa, Mitra Sejati, (Surabaya: Maktabah Muhammad Nabhan, t.t.), hlm. 8. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 32. 7 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003…, hlm. 25-26. 6
3
Di dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 tentang guru dan dosen pada Bab I Pasal 1 ayat 1 juga disebutkan “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.8 Dari uraian pengertian tersebut dapat dipahami bahwa peran, tugas dan tanggung jawab guru tidaklah ringan dan tidak hanya sebatas pada tugas berangkat ke sekolah, menyampaikan materi dan kembali ke rumah. Namun tugas, peran dan tanggung jawabnya dipertegas dengan keharusan mempunyai sikap profesional dalam praktek proses kegiatan belajar mengajar yang melingkupi mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, serta mengevaluasi. Kegiatan proses belajar mengajar mengandung serangkaian hubungan timbal balik antara pendidik dan peserta didik yang berlangsung pada situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi tersebut merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar, interaksi dalam proses belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas. Hal ini bukan hanya menyampaikan pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap dan nilai dari diri anak didik (murid) yang sedang belajar.9 Pendidikan tidak bisa lepas dari kegiatan proses belajar mengajar karena di dalam pendidikan mengandung serangkaian hubungan timbal balik antara pendidik (guru) dan anak didik (murid) yang berlangsung untuk mencapai tujuan tertentu. Proses belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, tidak hanya berarti menyampaikan pesan berupa materi pelajaran atau ketrampilan, melainkan penanaman sikap. Pada hakikatnya proses belajar mengajar juga disebut sebagai proses interaksi edukatif yang mengandung norma, semua norma itulah yang harus
8
Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 3. 9 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), hlm 1.
4
ditransfer kepada anak didik.10 Belajar dan mengajar merupakan dua proses yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dua kegiatan tersebut menjadi terpadu dalam satu kegiatan manakala terjadi interaksi guru dengan anak didik, atau anak didik dengan anak didik pada saat pembelajaran itu berlangsung. Inilah makna belajar dan mengajar sebagai suatu proses interaksi guru dengan peserta didik. Sebagai makna utama, proses pembelajaran memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pendidikan yang efektif.11 Di dalam proses pembelajaran agama Islam, guru merupakan salah satu komponen pembelajaran dan juga sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan. Guru tidak hanya bertugas sebagai pengajar, tetapi juga berperan dalam usaha pembentukan watak, tabiat, maupun pengembangan sumber daya yang dimiliki oleh anak didik. Untuk itu peran guru tidak hanya terbatas pada peran sebagai pengajar yang hanya transfer of knowledge (memindahkan pengetahuan) dan transfer of skill (menyalurkan ketrampilan) saja, tetapi peran keaktifannya diharapkan mampu mengarahkan, membentuk dan membina sikap mental anak didik atau murid ke arah yang lebih baik, sehingga pada peran yang ketiga ini guru diharapkan untuk dapat transfer of value (menanamkan nilai-nilai).12 Baik peran itu terjadi dalam proses pendidikan secara langsung (di sekolah) maupun tidak secara langsung (di lingkungan masyarakat). Dalam paradigma Jawa, kata guru diidentikkan dengan gu berarti “digugu” dan ru yang berarti “ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru mempunyai kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak-tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh anak didiknya.
10
Djamarah, Guru dan Anak Didik…, hlm. 11. Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), hlm. 40. 12 A. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan Dan Bermanfaat), (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003), hlm. 19. 11
5
Dewasa ini dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai persoalan, persoalan itu dapat dilihat dari mulai banyaknya kenakalan anak didik seperti tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkoba dan kenakalan-kenakalan lainnya. Hal ini lebih diperparah lagi dengan hadirnya persoalan-persoalan yang justru datang dari seorang guru sendiri. Misalnya pada tahun 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan anak didiknya. Di Surabaya, seorang guru olahraga menghukum siswa yang terlambat datang ke sekolah dengan menghukum berlari beberapa kali putaran, tetapi karena fisiknya yang lemah, siswa yang dihukum tersebut akhirnya meninggal. Di Yogyakarta, pada 22 April 2002, ketika diadakan peringatan Hari Kartini di salah satu SMUN, seorang siswa, karena tidak berbusana ‘kartinian’ ditelanjangi dihadapan rekan-rekannya hingga tinggal memakai celana dalamnya saja.13 Ada juga kasus guru yang menempeleng anak didiknya, guru mogok mengajar dan kasus lainnya. Demikian rapuhkah pendidikan di negeri ini hingga aksi-aksi atau kasuskasus semacam itu cenderung terus meningkat dan masih sering terjadi sampai sekarang. Padahal jika saja seorang guru tahu apa yang seharusnya dia perbuat dan kerjakan sebenarnya kejadian-kejadian itu tidak perlu harus terjadi, apalagi kejadian itu terjadi di lingkungan pendidikan atau sekolah yang sepatutnya cara penyelesaiannya dengan cara yang edukatif pula. Sebenarnya jika dilihat dan dicermati dari semua kasus yang terjadi ini adalah karena etika dasar yang telah ditanamkan oleh guru-guru terdahulu kini telah mulai sirna, banyak orang yang lupa bahwa mencari ilmu dan mengajarkan ilmu adalah pekerjaan suci dan mulia. Lebih-lebih lagi apabila yang diajarkan adalah tentang ilmu agama. Dalam Islam ilmu adalah cahaya Ilahi sehingga harus ditempuh pula dengan jalan yang luhur pula (etika) dalam mencapainya, baik jalan itu adalah jalan yang harus ditempuh oleh anak didik maupun oleh guru. Andai saja kasus-kasus semacam itu terus ada, tentu ilmu 13
Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm 2.
6
manfaat yang menjadi dambaan setiap pencari ilmu maupun yang mengajarkannya tidak mungkinlah dapat diperoleh keduanya, malah sebaliknya menjadi ghoiru nafi’. Kedudukan etika dalam Islam dipandang sangat penting, karena etika merupakan pengamalan dari ilmu, etika juga dipandang sebagai media efektif penerimaan nur Ilahi dan sarana mencapai ilmu manfaat. Syekh Al Zarnuji dalam kitab Ta’limul Mutallimnya menyebutkan bahwa setiap maksiat yang dilakukan menjadi salah satu penyebab sulitnya ilmu masuk dalam hati seseorang dan dari tercapainya ilmu manfaat. Karena ilmu pada dasarnya adalah nur yang ditancapkan Allah kedalam hati, sedang maksiat justru memadamkan cahaya itu.14 Dalam pendidikan Islam anak didik (murid) merupakan mitra kerja dalam kebaikan yaitu bersama mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam konsep Islam, anak didik dan pengajar (guru) harus memperhatikan beberapa aturan yang bersifat akhlaki agar memperoleh ilmu dan kemanfaatan ilmunya. Adapun diantara beberapa karya tentang etika dalam bidang pendidikan yang telah ada di Indonesia dan masih eksis ada sampai saat ini adalah kitab karya KH. Hasyim Asyari yang berjudul Adabul ‘Alim Wal Muta’allim yang juga turut memberi pengaruh dalam menanamkan nilai etika pada perilaku anak didik (murid) maupun guru khususnya dan pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya. Sehubungan dengan adanya persoalan tersebut maka dirasa perlu adanya pembahasan tentang etika yang menyangkut keseluruhan aspek yang menyangkut nilai perilaku atau etika anak didik maupun guru, namun jika melihat karya-karya yang sudah ada dan kebanyakan hanya memfokuskan pada etika murid terhadap guru. Maka dalam Skripsi ini penulis tertarik untuk membahas tentang perilaku atau etika, dengan memfokuskan pada pembahasan perilaku atau etika guru dalam proses belajar mengajar menurut KH. Hasyim Asyari dalam kitabnya yang berjudul Adabul ‘Alim Wal Muta’allim. 14
Syeikh Al Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, (Semarang: Pustaka Alawiyah, t.t.), hlm. 42.
7
Dari uraian diatas, muncul sebuah gagasan untuk menyusun sebuah karya ilmiah dengan tema yang menyoroti perilaku atau etika seorang guru dalam proses belajar mengajar, oleh karena itu penulis memilih skripsi dengan judul “ETIKA GURU DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR AGAMA ISLAM MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALLIM”.
B. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman judul skripsi ini, maka penulis perlu memberikan pengertian dari istilah-istilah yang digunakan dalam judul skripsi ini. 1. Etika Guru Etika menurut Zainudin Ali merupakan “kata yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti adat kebiasaan. Hal ini berarti sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem nilai dalam masyarakat tertentu”.15 Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia etika diartikan “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban (moral).”16 Sedangkan pengertian tentang guru atau pendidik menurut tokoh barat antara lain dikemukakan oleh Pollios and James D. Young ia mengatakan bahwa : The teacher is “learned” he should know more than his student however, he re cognizes that he does not know everything, and he is mainly mistake, he is human. The teacher should be objective but the teacher, student relationship is so close that it of ten may be difficult to be objective.17 Guru adalah pengajar dia harus tahu lebih banyak dari pada muridnya akan tetapi dia tidak mengakui bahwa dia tidak tahu sesuatu dan disebagian besar adalah pelajar. Guru adalah contoh bagi muridnya, dia juga
15
Zainudin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm 29. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 383. 17 Earl V Pullias and James D young. Teacher is many things (USA. Faw cett. 1968) Hlm. 14 16
8
membuat kesalahan. Dia adalah objektif, tetapi hubungan antara guru dan murid juga dekat mungkin sulit objektif. Adapun yang dimaksud dengan etika dalam skripsi ini adalah segala suatu yang berkaitan dengan norma, perilaku, perbuatan, kepribadian guru, baik dalam praktek kegiatan belajar mengajar maupun di lingkungan masyarakat. 2. Proses Belajar Mengajar Proses menurut Muhibbin Syah adalah “kata yang berasal dari bahasa latin processus yang berarti berjalan kedepan. Kata ini juga mempunyai konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan”.18 Belajar menurut Muhibbin Syah berarti “tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relative menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif”.19 Suprijanto mengartikan bahwa “proses kegiatan belajar adalah proses yang dilakukan oleh anak didik atau murid dan kegiatan mengajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru, pendidik atau pembimbing”.20 Jadi proses belajar mengajar dalam skripsi ini maksudnya adalah keterpaduan proses interaksi antara pendidik (guru) dan anak didik (murid) yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku anak didik melalui pengalaman belajar yang dilakukan oleh pendidik (guru). 3. Agama Islam Agama Islam yang dimaksud dalam skripsi ini adalah Pendidikan agama Islam. Menurut Marimba “pendidikan agama Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
18
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan: Suatu pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1995), hlm. 113. 19 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan…, hlm. 92. 20 Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa: dari Teori Hingga Aplikasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 39.
9
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.”21 Adapun jika digabungkan antara rangkaian kata etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam yang dimaksud dan ditekankan dalam pembahasan dalam skripsi ini adalah segala etika, tingkah laku atau perilaku guru yang berkaitan dengan norma-norma yang berlangsung dalam proses kegiatan belajar anak didik dan memberi pengajaran Agama Islam pada anak didik. Atau etika keterpaduan guru dalam proses interaksi antara pendidik (guru) dan anak didik (murid) yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku anak didik melalui pengalaman belajar yang dilakukan oleh pendidik (guru). Di dalam skripsi ini penulis mengambil dan menekankan pembahasan yang ada dalam kitab karangan KH. Hasyim Asy’ari sebagai acuan sumber berfikir pokok (primer).
C. Rumusan Masalah Berangkat dari kerangka dan latar
belakang masalah diatas, maka
muncul beberapa permasalahan yang menjadi acuan pembahasan sebagai yaitu bagaimana etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim. Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis Dari penelitian skripsi ini, maka secara teoritis diharapkan akan diperoleh pengetahuan, pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang etika guru 21
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al Ma’arif, 1989),
hlm. 19.
10
dalam proses belajar mengajar Agama Islam dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim. 2. Manfaat Praktis Setelah manfaat secara teoritis dari skripsi ini diperoleh, maka manfaat praktisnya diharapkan akan dapat dijadikan tuntunan atau sumber informasi bagi guru dan murid dalam rangka mengupayakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang optimal, baik di dalam maupun diluar proses belajar- mengajar.
E. Kajian Pustaka Topik dan kajian tentang pendidikan sejak dulu sampai sekarang terusmenerus diperhatikan, baik di kalangan pakar ilmu pendidikan, maupun praktisi pendidikan. Perhatiannya ini tidak dapat dilepaskan dari peran pentingnya pendidikan itu sendiri. Dasar pertimbangan utama dan bersifat umum adalah berupa belajar dan mengajar berlangsung secara interaktif yang melibatkan berbagai komponen yang saling konsisten satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan pendidikan. Pertama Skripsi Musarmadan yang berjudul Ahklak guru dan murid dalam perspektif pendidikan Islam (studi atas pemikiran K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’alim). Dalam skripsi ini, penulis hanya memfokuskan tindakan murid kepada guru yang berkaitan dengan akhlak, dari sisi guru penulis sama sekali tidak menyinggung kecuali sedikit.22 Kedua buku Drs. Sya’roni, M. Ag “Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah atas pemikiran Al-Zarnuji dan KH. Hasyim Asy’ari”, berisi tentang dua hal penting yang berkaitan dengan pemikiran keduanya yaitu pola hubungan atau relasi antara guru dan murid dalam proses belajar mengajar, dimana antara Al-Zarnuji dan KH Asy’ari sama-sama memposisikan guru begitu terhormat sebagai ‘alim, wara’ shalih dan sekaligus sebagai uswah. Adapun letak perbedaan pemikiran antara keduanya dalam buku ini dijelaskan yaitu terletak 22
Musarmadan, Ahklak Guru dan Murid dalam Perspektif Pendidikan Islam (studi atas pemikiran K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim wal Muta’alim), (Semarang: IAIN Walisongo, 2006).
11
pada bagaimana cara keduanya memposisikan guru dan murid, dalam pandangan al-Zarnuji guru diposisikan sebagai orang yang dipatuhi dan murid sebagai orang yang harus mematuhi dalam bentuk apapun, sebagai manifestasi bentuk etika penghormatan murid terhadap guru. Sedangkan KH. Hasyim Asy’ari yang sudah memasuki dalam tataran fase dunia modern memposisikan guru dan murid sebagai orang yang sama sehingga dalam hal ini terjadi yang namanya relasi kesederajatan (equality). Sebagai dampaknya, maka bukan saja murid yang dituntut untuk berakhlak atau beretika, akan tetapi guru juga harus mematuhi etika sehingga balancing antara keduanya.23 Ketiga tulisan Drs. H. Muhammad Ali, “Guru Dalam Proses Belajar Mengajar”, berisi tentang peran dan fungsi guru dalam proses belajarmengajar, dengan tujuan membantu para guru atau calon guru dalam memahami persoalan keguruan yang dihadapi sehari-hari. Dalam buku ini, penulis juga tidak menemukan mengenai bagaimana seharusnya guru dalam memberikan contoh untuk berperilaku yang baik sebagai landasan bagi siswa untuk menjadi manusia yang baik.24 Keempat, buku yang berjudul “Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak” yang ditulis oleh Tamyiz Burhanuddin. Dalam buku ini dikupas metode pendidikan akhlak yang telah diterapkan di pesantren. Metode tersebut berasal dari kitab Ta’lim Al-Muta’alim karya Syekh Al Zarnuji yang diadaptasi oleh KH. Hasyim Asy’ari kemudian melahirkan karya yang berjudul Adabul ’Alim Wal Muta’allim yang menjadi acuan dasar bagi pendidikan akhlak di pesantren-pesantren. Selain itu, buku ini sebagai telaah terhadap kitab Adabul ’Alim Wal Muta’allim yang menekankan pada aspek pendidikan santri di pondok pesantren secara khusus.25 Kelima buku yang berjudul menjadi Guru favorit karya Asep Umar Fakhruddin. Dalam buku ini dijelaskan mengenai kiat-kiat agar menjadi 23
Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji dan KH. Asy’ari, (Yogyakarta: Teras, 2007). 24 Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algesindo, 2007). 25 Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001).
12
seorang untuk dapat menjadi guru favorit bagi anak didik, yaitu sebagai guru yang patut diteladani digugu dan ditiru, baik secara Inteligensia (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritualnya (SQ). Diantaranya juga menjelaskan bagaimana agar guru dapat mengemban amanah besar sebagai pendidik baik secara teoritis (akademis) dan sekaligus praktis (praktis).26 Untuk membedakan skripsi ini dengan skripsi yang lain, maka penulis memfokuskan pada aspek guru, khususnya tentang etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam, mengingat banyaknya skripsi-skripsi atau penelitian lain yang telah membahas tentang kewajiban beretika hanya khusus bagi anak didik terhadap guru dan sedikit sekali yang memperhatikan dari segi etika guru terhadap murid. Selain itu penulis mengambil kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim sebagai rujukan dalam pembuatan skripsi ini karena penulis tertarik dengan gagasan dan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, dimana beliau merupakan salah satu tokoh yang mempunyai pandangan jauh tentang konsep pendidikan dengan mementingkan nilai-nilai etika sebagai dasar pendidikan Islam.
F. Metode Penelitian Pada dasarnya penelitian merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan cara sistematik dan terencana untuk menyelesaikan suatu masalah, untuk itu dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan beberapa cara dalam mengkajinya, adapun cara itu meliputi sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis library research atau studi pustaka yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka.27 Atau penelitian kepustakaan murni yang terkait dengan obyek penelitian.
26 27
Asep Umar Fakhruddin, Menjadi Guru Favorit, (Jakarta: PT. Grasindo, 1999). Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),
hlm. 3.
13
2. Metode Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode dokumentasi sebagai cara untuk mengumpulkan data peninggalan tertulis, Seperti arsip-arsip, teori, buku, surat kabar, majalah yang berhubungan dengan pokok penelitian.28 Langkah yang ditempuh adalah mencari tahu atau mengumpulkan data-data tertulis sesuai dengan pembahasan. Adapun sumber datanya meliputi: a. Sumber Data Primer Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian sebagai sumber informasi yang dicari. Data ini disebut juga dengan data tangan pertama.29 Atau data yang langsung berkaitan dengan obyek riset. Sumber data dalam penelitian ini adalah kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim karya KH. Hasyim Asy’ari. b. Sumber Data Sekunder Adapun sumber data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya.30 Dalam hal ini data sekundernya adalah buku-buku yang mendukung penulis untuk melengkapi isi serta interpretasi dari kitab maupun buku dari sumber data primer. 3. Metode Analisis Data Metode analisis ini digunakan untuk menganalisis data yang berhasil dihimpun, karena kajian ini bersifat kualitatif literer murni, maka analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Dimana data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara non statistik. Metode deskriptif yaitu usaha untuk mendeskripsikan apa yang ada, pendapat yang sedang tumbuh.
28
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 181.
29
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 91.
30
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian…, hlm. 91.
14
Prosedur yang ada sedang berlangsung yang telah berkembang.31 Selanjutnya dianalisis dengan metode Interpretasi yang berarti menyusun dan merakit atau merangkai unsur-unsur data yang ada dengan cara yang baru.32 Metode ini digunakan dalam rangka untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan.33 Metode ini digunakan setelah penulis membaca karangan KH. Hasyim Asy’ari dan menangkap gagasan beliau lewat pemikiran dalam kitabnya Adabul ‘Alim Wal Muta’allim dan berusaha menyusun dan menuangkan kembali ide pemikiran beliau lewat interpretasikan data yang baru. Dengan adanya metode analisis ini, maka langkah yang ditempuh untuk menyajikan fakta-fakta dan data secara sistematis dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Metode-metode ini juga sangat urgen untuk mengetahui kerangka berpikirnya KH. Hasyim Asy’ari khususnya tentang etika guru dalam proses belajar mengajar dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim .
G. Sistematika Pembahasan Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis dan konsisten serta dapat menunjukkan gambaran yang utuh dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika penulisan yang berisi sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas beberapa hal seperti, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, penjelasan kata kunci, telaah pustaka, metode penulisan skripsi dan sistematika penulisan skripsi. Bab II berisi tinjauan umum tentang etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam. Dalam bab ini akan dibahas tentang : Tinjauan etika 31
Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, 1982),
hlm 119. 32
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 1992), hlm.
127. 33
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 151.
15
meliputi: Pengertian Etika dan guru, kode etik guru dalam Islam. Guru dalam perspektif pendidikan Islam dan kedudukan etika guru dalam proses belajar mengajar Islam. Bab III berisi tentang biografi KH. Hasyim Asy'ari. Pertama, sesuatu yang berkaitan dengan penulis yaitu
biografi K.H. Hasyim Asy’ari, latar
belakang pendidikan, amal dan perjuangan, serta karya-karya beliau. Kedua, tentang isi kitab Adabul Alim Wal Muta’allim, yang meliputi: latar belakang penyusunan, sistematika pembahasan, isi kitab, etika guru terhadap murid dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim. Bab IV membahas tentang relevansi etika guru dalam proses belajar mengajar menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim. Dalam bab ini akan dibahas poin-poin sebagai berikut: (1) Analisis Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Dalam Pendidikan. (2) Kontribusi Konsep Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar serta Relevansi dengan Sistem Pembelajaran Saat Ini. (3) Tujuan Pendidikan dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim. Bab V adalah Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang meliputi: Kesimpulan, saran-saran dan penutup. Dalam bagian terakhir skripsi, penulis melengkapi dengan daftar pustaka, dan daftar riwayat hidup.
16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ETIKA GURU DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR AGAMA ISLAM
A. Guru dalam Perspektif Islam Guru diyakini menempati posisi kunci dalam pendidikan. Guru atau pendidik juga merupakan sosok yang akan memberi pengaruh kepada murid atau anak didiknya. Karena itu, seorang guru atau pendidik haruslah orang yang dapat digugu dan ditiru sebagai panutan baik dari segi pribadi, ilmu dan tingkah lakunya. Adapun guru yang ideal seharusnya memiliki kualifikasikualifikasi tertentu, baik menyangkut jasmani, etika atau akhlak maupun keilmuannya. Selain itu walaupun tidak memberikan pengertian secara jelas tetapi AlZarnuji salah seorang tokoh pendidikan klasik menggambarkan bahwa seorang guru atau pendidik haruslah A’lam (menguasai materi), Arwa’ (memiliki kematangan emosional) dan Al asan (berpengetahuan). Oleh karena itu dalam hal ini beliau menyarankan agar para pencari ilmu mencari guru atau pendidik yang mempunyai kualifikasi tersebut.1 Kata guru atau pendidik dalam bahasa Indonesia berarti orang yang mengajar, dalam bahasa Arab antara lain disebut Mu’allim, artinya orang yang banyak mengetahui dan juga mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat ilmu yang diajarkannya, serta menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya serta membangkitkan anak didik untuk mengamalkannya.2 Kata mu’allim ini biasanya digunakan para ahli pendidikan sebagai sebutan untuk guru. Selain itu juga terdapat istilah yang juga berarti guru atau pendidik seperti, mudarris, muaddib, murabbiy, ustadz, Syaikh atau mursyid (sebutan untuk guru tasawuf), dan juga kyai. Dalam sejarah peradaban Islam klasik telah mencatat banyak istilah yang dipakai untuk kata guru atau 1
Syeikh Al Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, t.t.), hlm. 13.
2
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 210.
17
pendidik. Keberagaman istilah itu, di satu sisi menunjukkan tingkatan pendidik itu sendiri. Namun disisi lain juga dapat menggambarkan spesialisasinya.3 Dalam Al-Qur’an sebutan untuk guru atau pendidik lebih banyak lagi disebutkan, seperti: al-’Alim atau Ulama, Ulul ’Ilmi, Ulul al-Bab, Ulul Abshar, al-Mudzakir, al-Muzakki, dan al-Murabbi yang kesemuanya tersebar pada ayat-ayat al-Qur’an. Sementara dalam al-Hadits kata pendidik antara lain disebut dengan istilah ’Alim, seperti dalam hadits yang artinya: (KGارI= اM )روا45678 9:@?> ا=<اA وCDE7FG اوCE5D7G اوCE=CHIJا “Jadilah orang yang ’alim (guru atau pendidik), atau orang yang belajar, atau pendengar (ilmu), dan jangan menjadi orang yang keempat (orang yang tidak memilih salah satu posisi tersebut) maka kamu akan binasa”.4 Guru atau pendidik adalah figur orang yang mempunyai kedudukan terhormat dan juga mulia. Hal ini sebagaimana ungkapan al-Ghazali, “Makhluk yang paling mulia di kerajaan langit adalah manusia yang mengetahui, mengamalkan dan mengajar. Ia seperti matahari yang menerangi dirinya dan orang lain…” Dari pernyataan tersebut dapat dipahami betapa besar dan pentingnya profesi guru atau pendidik dibandingkan dengan profesi yang lain. Pendidik menjadi perantara antara manusia, dalam hal ini anak didik- dengan penciptanya, yakni Allah SWT. sehingga bisa dikatakan tugas pendidik sama seperti tugas para utusan Allah. Rasulullah, sebagai Mu’allimul Awwal fil Islam (pendidik pertama dalam Islam) telah mengajarkan ayat-ayat Allah kepada manusia, menyucikan jiwa dari dosa, menjelaskan yang baik dan buruk, yang halal dan haram dan berbagai tentang ajaran bermasyarakat. Dengan demikian secara umum tugas pendidik adalah sama dengan tugas para Rasul.5 Tugas guru atau pendidik tidak hanya mengajarkan ilmunya kepada, anak didiknya saja, tetapi dia juga bertanggung jawab memberi petunjuk kepada anak didik dalam meniti kehidupan, membekalinya dengan budi pekerti, etika, akhlak, dan lain-lain yang berguna bagi kehidupannya kepada manusia. Oleh 3
Misbahul Huda, ”Profil dan Etika Pendidik dalam Pandangan Pemikir Pendidikan Islam Klasik”, Religia, (vol. II, No. 2 Oktober/ 1999), hlm. 106. 4
Hadis Riwayat ad Darimi, Sunan Ad Darimi, (Dar al-Fikr: Mesir, tt), hlm. 79.
5
Fuad Asy Syalhub, Guruku Muhammad, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. ix.
18
karena begitu besar dan pentingnya posisi guru atau pendidik, Moh. Athiyah al-Abrasy berpendapat tentang sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik dalam mengemban tugasnya, sebagai berikut: zuhud, tidak mengutamakan materi, bersih tubuhnya, jauh dari dosa, bersih jiwanya, tidak riya, tidak dengki, ikhlas, pemaaf, mencintai dan memikirkan anak didik seperti mencintai dan memikirkan anaknya, mengetahui tabiat anak didik dan menguasai materi.6
B. Tinjauan Umum tentang Etika Guru 1. Pengertian Etika dan Guru Etika berasal dari bahasa Yunani “ethichos” berarti adat kebiasaan, disebut juga dengan moral, dari kata tunggal mos, dan bentuk jamaknya mores yang berarti kebiasaan, susila.7 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia etika berarti “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban (moral)”.8 Dalam perkembangan selanjutnya kata etika lebih banyak berkaitan dengan ilmu filsafat. Oleh karena itu standar baik dan buruknya adalah akal manusia.9 Menurut Raziel Abelson dalam Suparman Syukur Etika Religi menjelaskan bahwa ”istilah etika juga sering digunakan dalam tiga perbedaan yang saling terkait, pertama merupakan pola umum atau jalan hidup, kedua seperangkat aturan atau “kode moral”, dan ketiga penyelidikan tentang jalan hidup dan aturan-aturan perilaku”.10 Berbicara tentang etika dalam Islam tidak dapat lepas dari ilmu akhlak sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu etika dalam Islam dapat dikatakan identik dengan ilmu akhlak, yaitu ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan bagaimana cara mendapatkannya agar 6
Athiyyah Al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah Wa Falasifatuha, hlm. 136-138.
7
Zainudin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 29.
8
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. 4, hlm 383. 9
Zainudin Ali, Pendidikan Agama Islam, hlm. 29.
10
Suparman Syukur, Etika Religius, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 1.
19
manusia berhias dengannya, dan ilmu tentang hal-hal yang hina dan bagaimana cara menjauhinya agar manusia terbebas darinya. Oleh karena itu etika dalam islam juga sering disebut sebagai falsafah akhlaqiyyah.11 Selain kata akhlak, dalam Islam etika juga sering disebut dengan kata adab yang berarti perilaku atau sopan santun, atau juga disebut “kehalusan dan kebaikan budi pekerti atau kesopanan dan akhlak”.12 Adab sendiri juga berarti pengetahuan yang mencegah manusia dari kesalahan-kesalahan penilaian.13 Namun secara substantif sebenarnya apa yang disebut dengan etika, moral, akhlak dan adab mempunyai arti dan makna yang sama, yaitu sebagai jiwa (ruh) suatu tindakan, dengan tindakan itu perbuatan akan dinilai, karena setiap perbuatan pasti dalam prakteknya akan diberi predikatpredikat sesuai dengan nilai yang terkandung dalam perbuatan itu sendiri, baik predikat right (benar) dan predikat wrong (salah). Adapun hal yang membedakan antara etika, moral, akhlak dan adab yaitu terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan akal pikiran, moral berdasarkan kebiasaan umum yang berlaku umum dimasyarakat, maka pada akhlak dan adab ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk adalah Al Qu’an dan Hadis.14 Adapun berikut merupakan pengertian dari istilah guru atau pendidik dalam bidang pendidikan: Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar”.15
11
Suparman Syukur, Etika Religius, hlm. 3.
12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 6. 13
Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2009), hlm. 12. 14
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 97.
15
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 337.
20
Dalam pengertian yang sederhana, Syaiful Bahri Djamarah menjelaskan “guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Dalam pandangan masyarakat, guru adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak harus di lembaga formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau atau di mushalla, di rumah dan sebagainya”.16 Asep Umar Fahruddin dalam bukunya menjadi guru favorit, memberi makna “guru merupakan profesi atau jabatan yang memerlukan keahlian khusus”.
17
Ini berarti guru bertanggung jawab sesuai dengan profesi dan
jabatan dalam membimbing anak untuk mencapai kedewasaannya. Menurut Undang-undang Guru dan Dosen, “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini lajur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”.18 Dari beberapa uraian yang menjelaskan tentang pengertian guru atau pendidik adalah seseorang yang menyampaikan ilmu atau pengetahuan kepada seseorang murid atau pelajar seperti yang diketahui sebagian orang, adapun tugas seorang guru adalah menambahkan kecerdasan anak, mengembangkan akhlak mereka. Melatih dalam kemampuan dalam bekerja, menebar kasih sayang kepada seluruh alam, serta mengenalkan kepada masyarakat untuk itu tugas adalah memberi penjelasan dan petunjuk bagi para muridnya. Dan selanjutnya dari pengertian etika dan guru dapat diketahui dan disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan etika guru adalah segala suatu yang berkaitan dengan norma, perilaku, perbuatan, kepribadian guru, baik dalam praktek kegiatan belajar mengajar maupun di lingkungan masyarakatnya. 16
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka cipta, 2000), hlm. 31. 17
Asep umar Fahruddin, Menjadi Guru Favorit, (Jogjakarta: Diva Press. 2010), hlm. 73.
18
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 3.
21
2. Kode Etik Guru dalam Islam Dalam sejarah pendidikan Islam, guru merupakan orang yang mempunyai status yang terhormat dalam masyarakat, mempunyai wibawa sangat tinggi dan dianggap sebagai orang yang serba tahu. Peranan guru saat itu tidak hanya sebatas pada mendidik anak didik di dalam kelas, tetapi juga mendidik masyarakat. Namun status dan kewibawaan guru kini mulai memudar sejalan dengan kemajuan zaman, perkembangan ilmu dan teknologi. Ironisnya memudarnya status dan kewibawaan guru tersebut kurang lebihnya banyak ditimbulkan oleh pribadi guru sendiri, seperti buruknya perilaku, etika dan kualitas kepribadian dan juga kurangnya kemampuan guru dalam hal kompetensi yang dimilikinya. Untuk menanggulangi agar tidak terjadi permasalahan yang kurang baik terhadap guru dan profesi keguruan, maka untuk menjamin mutu dan kualitas guru dalam melaksanakan profesinya harus terdapat kode etik, karena kode etik suatu profesi merupakan norma-norma yang harus diindahkan dan dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya dimasyarakat.19 Dalam pendidikan Islam kode etik guru atau pendidik merupakan norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan antara pendidik dan anak didik, orang tua anak didik, koleganya serta dengan atasannya.20 Sedangkan dalam Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia. Sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat dan warga negara. Berkaitan dengan kode etik guru, para ulama’ juga mengemukakan pendapatnya, diantaranya adalah Al-Ghazali, beberapa batasan kode etik yang harus dimiliki dan dilakukan seorang guru atau pendidik menurut beliau. Hal ini juga sebagai landasan dasar etika-moral bagi para guru atau pendidik. Gagasan-gagasan tersebut antara lain sebagai berikut: 19
Soetjipto, et.al., Profesi keguruan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 30.
20
Abdul Mujib, et al., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 97.
22
1. Seorang guru haruslah orang yang sayang kepada anak didik, serta menganggap mereka seperti anak sendiri, jika ia ingin berhasil dalam menjalankan tugasnya. 2. Guru haruslah orang yang meneladani perilaku Nabi. Mengingat sosok guru merupakan orang yang mewarisi Nabi. Baik mewarisi ilmu dan juga dalam menjalankan tugasnya, guru atau pendidik harus memposisikan diri seperti para Nabi, yakni mengajar dengan ikhlas mencari kedekatan diri kepada Allah SWT. 3. Guru sebagai Pembimbing bagi anak didik hendaklah dapat memberi nasihat mengenai apa saja demi kepentingan masa depan muridnya. 4. Guru sebagai figur sentral bagi anak didik, hendaklah tidak hentihentinya memberi nasihat kepada anak didik untuk tulus, serta mencegah mereka dari etika dan akhlak yang tercela.21 Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut dalam bahasa yang berbeda, Muhammad Athiyyah Al-Abrasyi menerangkan kode etik sebagai berikut: 1. Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang guru atau pendidik, sehingga ia menyayangi anak didiknya seperti anaknya sendiri. 2. Adanya komunikasi yang aktif antara guru atau pendidik dan anak didik dalam interaksi belajar mengajar. 3. Memperhatikan
kemampuan
dan
kondisi
anak
didiknya,
dan
kemampuan.22 Berkaitan dengan kode etik guru dalam menjalankan tugasnya, faktor yang amat penting yang perlu dimiliki oleh pendidik adalah etika atau akhlaknya, diantara dari etika atau akhlak itu adalah niat yang tulus karena Allah.
Muhyiddin
Al-Nawawi
menjelaskan
“agar
dalam
kegiatan
pengajarannya hanya dimaksudkan Wajhillah dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan tujuan-tujuan duniawi, seperti memperoleh harta, kedudukan,
21
Al Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, terj. Abdul Rosyad Shiddiq, (Jakarta: Akbar Media, 2008), hlm. 16-18. 22
Athiyyah Al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah Wa Falasifatuha, (Mesir: al-Halabi, 1975), hlm. 225.
23
ketenaran dan semisalnya”. Jauh sebelum al-Nawawi, Khatib al-Baghdadi telah menekankan pentingnya etika dan akhlak dengan menganjurkan agar seorang yang ‘Alim (guru) selalu beretika dan berakhlak karimah, misalnya tidak banyak berbicara (yang tidak berguna) dan “jika mendapatkan ucapanucapan yang tidak senonoh dalam perdebatan dengan lawannya, hendaklah tidak membalasnya”.23
C. Kedudukan Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam Dunia pendidikan dalam beberapa aspeknya tidak dapat lepas dari adanya proses belajar mengajar yang tidak mungkin bisa berjalan tanpa adanya relasi antara guru dan murid. Pada saat ini pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama pada khususnya telah mengalami krisis dan mengalami pergeseran dalam pelaksanaannya. Pola pendidikan yang ada pada umumnya telah mengabaikan pendidikan yang banyak bersentuhan dengan hati nurani yang mengarah pada pembentukan etika atau karakter anak didik, sekarang ini pendidikan cenderung diarahkan pada pencapaian keunggulan materi, kekayaan, kedudukan dan kesenangan dunia semata, sehingga apa yang menjadi hakikat dari tujuan pendidikan itu sendiri telah terabaikan. Padahal menurut Hasbi Ash-Shiddiqi sekurang-kurangnya pendidikan harus dapat mengembangkan tiga hal pokok, yaitu tarbiyah jismiyah, tarbiyah aqliyah, dan tarbiyah adabiyah.24 Dalam pendidikan agama Islam nampaknya pokok tarbiyah adabiyah adalah pokok yang harus mendapat perhatian lebih dari yang lainnya, karena pokok yang ketiga ini berkaitan dengan masalah etika, akhlak atau budi pekerti yang juga akan menjadi aplikasi nilai dari kedua pokok yang lain. Selain itu etika, akhlak atau budi pekerti merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang harus diutamakan dalam pendidikan untuk ditanamkan atau diajarkan kepada 23
Lihat pendapat Muhyiddin al-Nawawi dan Al-Khatib al-Baghdadi dalam Misbahul Huda, ”Profil dan Etika Pendidik dalam Pandangan Pemikir Pendidikan Islam Klasik”, Religia, (vol. II, No. 2, Oktober/ 1999), hlm. 108. 24
Abdul Majid, et.al., Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 138.
24
anak didik.25 Untuk menggapai itu semua membutuhkan adanya peran seorang guru untuk mewujudkannya, karena pendidikan akan dapat menghasilkan produk yang unggul dan berkualitas manakala melalui proses yang baik dan ilmu-ilmu yang didalamnya mengutamakan kebajikan. Sebab ilmu pada akhirnya bertujuan mewujudkan keutamaan dan kemuliaan.26 Peran guru agama dalam hal ini tidak hanya terbatas pada saat hubungan proses belajar itu sedang berlangsung dan berakhir. Juga tidak hanya sebatas pada kemampuan profesional dalam mendidik atau tanggung jawabnya pada orang tua, kepala sekolah dan sosial saja, melainkan peran pengabdiannya haruslah benar-benar sampai kepada Allah. Karena apa yang dikerjakan dan diajarkan guru dalam konteks pendidikan nantinya juga akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah di akhirat kelak.27 Guru atau pendidik dalam Islam tidak hanya diposisikan sebagai orang yang ‘alim, wara’, shaleh dan uswah, tetapi guru juga diposisikan sebagai orang yang mewarisi dan menggantikan para nabi dalam hal menjelaskan, menerangkan dan mengaplikasikan nilai-nilai ajaran nabi (agama) dalam kehidupan bermasyarakat. Guru yang di dalam undang-undang disebut sebagai orang yang memangku jabatan profesional merupakan orang yang paling bertanggung jawab dalam pembentukan etika dan karakter anak didik. Oleh karena itu menurut Zakiah Daradjat, faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya, karena kepribadian itulah yang akan menentukan apakah guru itu akan menjadi pendidik yang baik bagi anak didiknya, atau akan menjadikan anak didik menjadi sebaliknya.28 Untuk itu guru dituntut untuk memiliki kepribadian, etika dan karakter yang baik, selain itu guru yang juga disebut
25
Abdul Majid, Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, hlm. 138.
26
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 236. 27
Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji dan KH. Asy’ari, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. 5. 28
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 9.
25
sebagai spiritual father merupakan orang yang berjasa dalam memberikan santapan jiwa anak didik dengan ilmu.29 Dalam keseluruhan proses pendidikan, khususnya proses pembelajaran, guru memegang peran utama dan sangat penting. Oleh karenanya etika atau perilaku guru yang merupakan bagian dari kepribadiannya dalam proses belajar mengajar, akan memberikan pengaruh dan corak yang kuat bagi pembinaan perilaku dan kepribadian anak didiknya. Merujuk pada pola kependidikan dan keguruan Rasulullah SAW. Dalam perspektif Islam, guru menjadi posisi kunci dalam membentuk kepribadian Muslim sejati. Keberhasilan Rasulullah SAW dalam mengajar dan mendidik umatnya lebih banyak menyentuh pada aspek perilaku. Secara sadar atau tidak, semua perilaku dalam proses pendidikan dan bahkan diluar konteks proses pendidikan, perilaku guru akan ditiru oleh siswanya. Guru dan murid merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dalam kajian ilmu pendidikan. Dimana dalam prakteknya aspek etika atau perilaku guru khususnya dalam proses pendidikan baik di sekolah, madrasah atau diluar sekolah (masyarakat) selalu menjadi sorotan. Beberapa aspek etika atau perilaku guru yang harus dipahami antara lain berkenaan dengan peran dan tanggung jawab, kebutuhan anak didik, dan motivasi serta kepribadian guru (termasuk ciri-ciri guru yang baik).30 Guru yang baik dalam perspektif pendidikan agama Islam adalah guru yang bertitik tolak dari panggilan jiwa, dapat dan mampu bertanggung jawab atas amanah keilmuan yang dimiliki, bertanggung jawab atas anak didiknya, amanah orang tua anak didik dan atas profesi yang dia sandang, baik tanggung jawab moral maupun sosial dan dapat menjadi uswah bagi murid atau anak didiknya. Karena secara umum kinerja guru atau pendidik adalah seluruh aktivitasnya dalam hal mendidik , mengajar, mengarahkan dan memandu anak didik untuk mencapai tingkat kedewasaan dan kematangan. Untuk itu sebagai 29
Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid…, hlm. 5.
30
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integritas dan Kompetensi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 164.
26
dasar tuntutan keprofesionalan atas keilmuan diri yang didapatnya hendaklah seorang guru atau pendidik melaksanakan tugas profesinya tidak hanya sebatas pada tataran teoritis saja, tetapi juga dilakukan pada tataran praktis.31 Adapun pada tataran prakteknya uraian berikut merupakan pemaparan beberapa prinsip yang berlaku umum tentang etika guru dalam pembelajaran. Pertama, memahami dan menghormati anak didik. Kedua menghormati bahan pelajaran yang diberikannya, artinya guru dalam mengajar harus menguasai sepenuhnya bahan pelajaran yang diajarkan. Ketiga menyesuaikan metode mengajar dengan bahan pelajaran. Keempat menyesuaikan bahan pelajaran dengan kesanggupan individu. Kelima mengaktifkan siswa dalam konteks belajar. Keenam memberi pengertian bukan hanya kata-kata belaka. Ketujuh menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan siswa. Kedelapan mempunyai tujuan tertentu dengan tiap pelajaran yang diberikan. Kesembilan jangan terikat dengan satu buku teks (teks book). Kesepuluh tidak hanya mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan saja kepada anak didik, melainkan senantiasa mengembangkan kepribadiannya.32 Dari semua yang dipaparkan mengenai etika, sikap, perilaku atau kepribadian seorang guru diatas, terdapat relevansi dengan apa yang disampaikan K.H Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul Alim Wa Al Muta’llim, perbedaan hanya terletak pada penyampaian bahasa yang digunakan, namun substansi yang dimaksudkan adalah sama dalam hal pembelajaran, lebih-lebih lagi KH. Hasyim Asy’ari telah mengemukakan pendapatnya dengan menambahkan dan memberi perhatian khususnya kepada perilaku etika guru atau pendidik dengan menjelaskan etika yang harus dilakukan sebagai guru atau pendidik yang mana hal ini tidak dapat dijumpai pada karangan ulama’ masa sebelumnya seperti Az-Zarnuji, Al-Jauzy dan Abu Hanifah.
31
Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Misaka Galiza, 2003), hlm. 99. 32
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam…, hlm. 173-177.
27
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN KH. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALLIM
A. Biografi KH. Hasyim Asy’ari KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu tokoh dari sekian banyak ulama’ besar yang pernah dimiliki oleh bangsa ini, biografi tentang kehidupan beliaupun sudah banyak ditulis oleh beberapa kalangan. Namun dari beberapa tulisan atau karya yang telah ada ternyata terdapat satu hal yang menarik yang mungkin dapat digambarkan dengan kata sederhana, yaitu kata “pesantren”, bahkan
Abdurrahman Mas’ud menyebut beliau sebagai “Master Plan
Pesantren”.1 mengingat latar belakang beliau berasal dari keluarga santri dan hidup di pesantren sejak lahir. Beliau juga dididik dan tumbuh berkembang di lingkungan pesantren. Selain itu juga hampir seluruh kehidupan beliau dihabiskan di lingkungan pesantren. Bahkan sebagian besar waktu beliau dihabiskan untuk belajar dan mengajar di pesantren. Selain itu beliau juga banyak mengatur kegiatan yang sifatnya politik dari pesantren. 1. Sejarah Kehidupan KH. Hasim Asy’ari Muhammad Hasyim itu adalah nama kecil pemberian orang tuanya, lahir di desa Gedang, sebelah timur Jombang pada tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H. atau bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Asy’ari merupakan nama ayahnya yang berasal dari Demak dan juga pendiri pesantren keras di Jombang.2 sedangkan ibunya Halimah merupakan putri Kiai Usman pendiri dan pengasuh dari Pesantren Gedang akhir abad ke-19 M. KH. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafi’ah, Ahmad Sholeh, Radi’ah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. Beliau merupakan seorang Kyai keturunan bangsawan Majapahit dan juga keturunan ‘elit’ Jawa. Selain itu, moyangnya, Kiai Sihah adalah 1
Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LkiS, 2004), hlm. 207. 2
Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, hlm. 197.
28
pendiri Pesantren Tambak beras Jombang. Ia banyak menyerap ilmu agama dari lingkungan pesantren keluarganya. Adapun Ibu KH. Hasyim Asy’ari, merupakan anak pertama dari lima bersaudara, yaitu Muhammad, Leler, Fadil dan Nyonya Arif.3 Adapun silsilah garis nasab KH. Hasyim Asy’ari bila diurutkan berasal dari raja Brawijaya V1 yang juga dikenal dengan Lembu Peteng (kakek kesembilan). Salah seorang putra Lembu Peteng bernama Jaka Tingkir atau disebut Karebet. Hal ini dapat dilihat dari silsilah beliau, yaitu: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Joko Tingkir alias Karebet bin Prabu Brawijaya V1 (Lembu Peteng).4 Garis Nasab KH. Hasyim Asy’ari5 Brawijaya V1 Lembu Peteng
Joko Tingkir Sultan Pajang
Pangeran Benowo Hadi Wijaya
Pangeran Sambo
Ahmad
Abdul Jabar
KH. Shihah
KH. Said+Fatinah
KH. Usman + Layyinah
KH. Hasbullah
KH. Asy’ari+Halimah (Winih)
KH. Wahab Hasbullah Rais NU Ke-11
KH. Hasyim Asy’ari Rais NU ke-1
Putri –Putri yang lain
3
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm. 17. 4
Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Sala: Jatayu Sala, 1985), hlm. 57. 5
Sumber diambil dari Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), hlm. 16.
29
Pada tahun 1892 M. saat KH. Hasyim Asy’ari berusia 21 tahun, beliau dinikahkan dengan putri Kiai Ya’kub yaitu Khadijah. Setelah beberapa bulan dari pernikahannya dengan Khadijah, beliau bersama istri dan mertuanya berangkat menunaikan ibadah haji dan menetap di Makkah. Belum sampai satu tahun disana istri beliau melahirkan putranya yang pertama dan diberi nama Abdullah, dan tidak lama setelah melahirkan istri beliau meninggal dunia, kemudian disusul putranya yang baru berusia 40 hari. Setelah itu, KH. Hasyim Asy’ari kembali ke tanah air. Pada tahun 1893 dan beliau kembali ke Hijaz bersama Anis, adiknya yang tak lama kemudian juga meninggal disana. Beliau di Mekkah sampai 7 tahun.6 Semasa hidupnya KH. Hasyim Asy’ari menikah 7 kali.7 Semua istrinya adalah putri kiai sehingga beliau sangat dekat dengan para Kiai. Di antara mereka adalah Khadijah, putri Kiai Ya’kub dari Pesantren Siwalan. Nafisah, putra Kiai Romli dari Pesantren Kemuring, Kediri. Nafiqoh, yaitu putri Kiai Ilyas dari Pesantren Sewulan Madiun. Masruroh, putra dari saudara Kiai Ilyas, pemimpin Pesantren Kapurejo, Kediri, Nyai Priangan di Mekkah.8 KH. Hasyim Asy’ari mempunyai 15 anak. Anak-anak perempuan beliau adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Ummu Abdul Jabar, Ummu Abdul Haq, Masrurah, Khadijah dan Fatimah. Sedangkan anak laki-lakinya adalah Abdullah, meninggal di Mekkah sewaktu masih bayi, Abdul Wahid Hasyim, Abdul Hafidz, yang lebih dikenal dengan Abdul Khalik Hasyim, Abdul Karim, Yusuf Hasyim, Abdul Kadir dan Ya’kub.9 KH. Hasyim Asy’ari sangat dihormati oleh kawan maupun kolegannya karena kealimannya, bahkan sebagai ilustrasi gambaran tentang pengakuan kealiman gurunya, Kiai Kholil Bangkalan juga menunjukkan
6
Herry Muhammad, et.al., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 23. 7
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 126.
8
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, hlm. 20-21.
9
Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan ..., hlm. 58-59.
30
rasa hormat kepada beliau dengan mengikuti pengajian-pengajian yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari.10 Beliau dianggap sebagai guru dan dijuluki “Hadratus Syekh” yang berarti “Maha Guru”11. Kiprahnya tidak hanya di dunia pesantren, beliau ikut berjuang dalam membela negara. Semangat kepahlawanannya tidak pernah kendor. Bahkan menjelang hari-hari akhir hidupnya, Bung Tomo dan panglima besar Jendral Soedirman kerap berkunjung ke Tebuireng meminta nasehat beliau perihal perjuangan mengusir penjajah.12 KH. Hasyim Asy’ari meninggal dunia pada tanggal 7 Ramadhan 1366/25 juli 1947 karena terkena tekanan darah tinggi. Dimasa hidupnya beliau mempunyai peran yang besar dalam dunia pendidikan, khususnya di lingkungan pesantren, baik dari segi ilmu maupun garis keturunan. Sedangkan dalam perjuangannya dalam rangka merebut kemerdekaan melawan Belanda, beliau gigih dan punya semangat pantang menyerah serta jasa-jasanya kepada bangsa dan negara sehingga beliau diakui sebagai seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional.13
2. Latar Belakang Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari Berlatar belakang dari keluarga pesantren, Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari tidak berbeda jauh dengan kebanyakan muslim lainnya, dimana dari kecil KH. Hasyim Asy’ari belajar sendiri dengan ayah dan kakeknya, kiai Usman. Bakat dan kecerdasan beliau sudah mulai nampak sejak diasuh oleh keduanya, Karena kecerdasan dan ketekunannya tersebut di usia 13 tahun dibawah bimbingan ayahnya, beliau mempelajari dasar-dasar tauhid, fiqh,
10
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996) hlm. 249-250. 11
Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan…, hlm. 56.
12
Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan…, hlm. 58.
13
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, studi tentang pandangan hidup kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 98.
31
tafsir dan hadits. Bahkan di usia yang tergolong masih sangat belia sang ayah menyuruhnya mengajar para santri di pesantren yang dimilikinya.14 Pada umur 15 tahun, beliau mulai berkelana mencari pengetahuan agama Islam ke beberapa pesantren, sebut saja Pesantren WonokoyoProbolingga, Pesantren Langitan-Tuban, Pesantren Trenggilis-Semarang, Pesantren Kademangan Bangkalan Madura dan Pesantren SiwalanSurabaya. Di Bangkalan beliau belajar tata bahasa, sastra Arab, fiqh dan sufisme dari Kiai Khalil selama 3 bulan. Sedangkan di Siwalan, beliau lebih memfokuskan pada bidang fiqh selama 2 tahun, dengan Kiai Ya’kub. Diperkirakan KH. Hasyim Asy’ari pernah belajar bersama dengan Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), petualangan beliau dalam mencari ilmu juga sampai di Semarang.15 Kemudian KH. Hasyim Asy’ari pergi ke Hijaz guna melanjutkan pelajarannya disana. Semula beliau belajar dibawah bimbingan Syekh Mahfudz dari Termas, Pacitan. Syekh Mahfudz adalah ahli hadits, beliau orang Indonesia pertama yang mengajar Shahih Bukhari di Mekkah. Dari beliau KH. Hasyim Asy’ari mendapat ijazah untuk mengajar Shahih Bukhari. Di bawah bimbingannya, KH. Hasyim Asy’ari juga belajar Tarekat Qadariyah dan Naqsyabandiyah. Ajaran tersebut diperoleh Syekh Mahfudz dari Syekh Nawawi dan Syekh Sambas. Jadi, Syekh Mahfudz merupakan orang yang menghubungkan Syekh Nawawi dari Banten dan Syekh Sambas dengan K.H. Hasyim Asy’ari. Pengaruh ini dapat ditemukan dalam pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari. Murid Syekh Khatib banyak yang menjadi ulama terkenal, baik dari kalangan NU maupun dari kalangan yang lain, misalnya, KH. Hasyim Asy’ari sendiri, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri, KH. Ahmad Dahlan (tokoh Muhammadiyah), Syekh Muh. Nur Mufti dan Syeh Hasan Maksum dan masih banyak lagi.16 14
Badiatul Rozikin, et. al., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009) , hal. 246. 15
Badiatul Rozikin, et. al., 101 Jejak Tokoh Islam, hlm. 246.
16
Badiatul Rozikin, et. al., 101 Jejak Tokoh Islam, hlm. 248.
32
Di bawah bimbingan Ahmad Khatib yang juga seorang ahli astronomi, matematika dan al-Jabar, KH. Hasyim Asy’ari juga belajar fiqh madzhab Syafi’i. Ahmad Khatib tidak setuju dengan pembaharuan Muhammad Abduh mengenai pembentukan madzhab fiqh baru, beliau hanya setuju pada pendapatnya mengenai tarekat. Atas izin dari beliaulah KH. Hasyim Asy’ari mempelajari tafsir Al-Manar karya Abduh. Dalam hal ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak menganjurkan kitab ini dibaca oleh muridnya, karena Abduh mengejek ulama tradisionalis karena dukungandukungan mereka pada praktek Islam yang dianggap tidak dapat diterima. KH. Hasyim Asy’ari setuju dengan dorongan Abduh untuk meningkatkan semangat muslim, tapi tidak setuju dengan pendapat Abduh untuk membebaskan umat dari tradisi madzhab. Berbeda dengan Abduh, KH. Hasyim Asy’ari percaya bahwa tidak mungkin memahami al-qur’an dan hadis tanpa memahami perbedaan pendapat pemikiran hukum. Penolakan terhadap madzhab, menurut beliau, akan memutarbalikkan ajaran Islam.17 Adapun jika runtutan silsilah intelektual beliau dapat dilihat dalam diagram sebagai berikut: Genealogi intelektual kiai-kiai besar di Jawa18 Abdulghani Bima
Khatib Sambas (1875 M)
A.H. Daghestani Yusuf Nahrawi
Nahrawi Syeh Ahmad Mahfud Termas Khatib Minangkabau
Hasyim Asy’ari (Hadratus-Shaikh) 1871-1947 Ra’is Am NU 1, 1926-1947 M Bisri Syamsuri 1886-1980 Rois ‘Am III 1972-1980
Abdul Karim
Khalil Bangkalan
Khalil dari Peterongan
Wahab Hasbullah 1888-1971 Rois ‘Am NU II, 1947-1971
Mubarraq
Para pemimpin Tarekat Qadariyah dan Naqshabandiyah
Pemimpin para Ulama di Jawa Source: Dhofier, 1984:86
17
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hlm.95 .
18
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama…, hlm. 34.
33
Dalam perkembangan selanjutnya, KH. Hasyim menjadi pemimpin dari kiai-kiai besar di tanah Jawa. Menurut Zamachsari, setidaknya terdapat empat faktor penting yang melatarbelakangi watak kepemimpinan beliau. Pertama, ia lahir ditengah-tengah Islamic revivalism baik di Indonesia maupun di Timur tengah, khususnya di Mekkah. Kedua, orang tua dan kakeknya merupakan pimpinan pesantren yang punya pengaruh di Jawa Timur. Ketiga, ia sendiri ia dilahirkan sebagai seorang yang sangat cerdas dan memiliki kepemimpinan. Keempat, berkembangnya perasaan anti kolonial, nasional Arab, dan pan-Islamisme di dunia Islam.19 Dari faktorfaktor tersebut dapat disimpulkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari mempunyai potensi dan keturunan untuk menjadi orang besar.
3. Amal dan Kiprah perjuangan KH. Hasyim Asy’ari Kiprah dan perjuangan beliau sangatlah banyak dalam berbagai bidang, seperti kemasyarakatan, sosial dan politik merupakan cerminan dari praktek keagamaan beliau dan pendidikan. Dalam bidang-bidang inilah beliau menunjukkan perjuangannya. Pertama, perjuangannya dalam bidang kemasyarakatan. Dalam bidang ini kiprah beliau diwujudkan dengan mendirikan Jami’iyah Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926 bersama sejumlah kiai. Bahkan beliau ditunjuk sebagai Syeikhul Akbar dalam perkumpulan ulama terbesar di Indonesia ini. Organisasi ini didirikan pada hakekatnya bertujuan karena belum adanya suatu organisasi yang mampu mempersatukan para ulama dan mengubah pandangan hidup mereka tentang zaman baru. Kebanyakan mereka tidak perduli terhadap keadaan di sekitarnya. Bangkitnya kaum ulama yang menggunakan NU sebagai wadah pergerakan, tidak dapat dilepaskan dari peran KH. Hasyim Asy’ari. Beliau berkeyakinan, bahwa tanpa persatuan dan kebangkitan ulama, terbuka kesempatan bagi pihak lain untuk mengadu domba. Selain itu didirikannya 19
Humaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ‘Am Nahdlotul Ulama, (Yogyakarta: LTN bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1995), hlm.2.
34
NU bertujuan untuk menyatukan kekuatan Islam dengan kaum ulama sebagai wadah untuk menjalankan tugas peran yang tidak hanya terbatas dalam bidang kepesantrenan dan ritual keagamaan belaka, tetapi juga pada masalah sosial, ekonomi maupun persoalan kemasyarakatan.20 Dengan Nahdhatul Ulama, beliau berjuang mempertahankan kepentingan umat. Disatukannya potensi umat Islam menjadi kekuatan kokoh dan kuat, tidak mudah menjadi korban oleh kepentingan politik yang hanya mencari kedudukan dengan mengatasnamakan Islam. Kedua, bidang ekonomi, perjuangan KH. Hasyim Asy’ari juga layak dicatat dalam bidang ekonomi. Perjuangan ini barangkali adalah cerminan dari sikap hidup beliau, dimana meskipun zuhud, namun tidak larut untuk melupakan dunia sama sekali. Tercatat bahwa beliau adalah juga bekerja sebagai petani dan pedagang yang kaya. Mengingat para kyai pesantren pada saat itu dalam mencari nafkah banyak yang melakukan aktifitas perekonomiannya lewat tani dan dagang dan bukan dengan mengajar.21 Perjuangan beliau dalam bidang ekonomi ini diwujudkan dengan merintis kerjasama dengan pelaku ekonomi pedesaan. Kerjasama itu disebut Syirkah Mu’awanah, bentuknya mirip koperasi atau perusahaan tetapi dasar operasionalnya menggunakan Syari’at Islam. Ketiga, bidang politik. Kiprah beliau dalam bidang ini ditandai dengan berdirinya wadah federasi umat Islam Indonesia yang diprakarsai oleh sejumlah tokoh Indonesia yang kemudian lahirlah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang menghimpun banyak partai, organisasi dan perkumpulan Islam dalam berbagai aliran. Lembaga ini menjadi Masyumi yang didirikan tanggal 7 November 1945, yang kemudian menjadi partai aspirasi seluruh umat Islam. Sedangkan perjuangan beliau dimulai dari perlawanannya terhadap penjajahan Belanda. Acapkali beliau mengeluarkan fatwa-fatwa yang sering menggemparkan pemerintah Hindia Belanda. Misalnya, ia mengharamkan 20 21
Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan…, hlm. 15. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam…, hlm. 252.
35
donor darah orang Islam dalam membantu peperangan Belanda dengan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, KH. Hasyim Asy’ari memimpin MIAI (Majlis Islam Ala Indonesia). Demikian pula dalam gerakan pemuda, seperti Hizbullah, Sabilillah dan Masyumi, bahkan yang terakhir beliau menjadi ketua, membuat beliau dikenal sebagai kyai yang dikenal oleh banyak kalangan. 22 Keempat, dalam bidang pendidikan, perjuangan beliau diawali dengan mendirikan pesantren di daerah Tebuireng, daerah terpencil dan masih dipenuhi kemaksiatan. Tepatnya tanggal 12 Rabi’ al Awwal 1317 H atau tahun 1899 M, pesantren Tebuireng berdiri dengan murid pertama sebanyak 28 orang. Berkat kegigihan beliau pesantren Tebuireng terus tumbuh dan berkembang serta menjadi innovator dan agent social of change masyarakat Islam tradisional di tanah tersebut.23 Pesantren ini merupakan cikal bakal penggemblengan ulama dan tokoh-tokoh terkemuka sekaligus merupakan monumental ilmu pengetahuan dan perjuangan nasional.
4. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari Kealiman dan keilmuan yang dimiliki Kiai Hasyim yang didapat selama berkelana menimba ilmu ke berbagai tempat dan ke beberapa guru dituangkan dalam berbagai tulisan. Sebagai seorang penulis yang produktif, beliau banyak menuangkannya ke dalam bahasa Arab, terutama dalam bidang tasawuf, fiqih dan hadits. Sebagian besar kitab-kitab beliau masih dikaji diberbagai pesantren, terutama pesantren-pesantren salaf (tradisional).
22
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 82. 23
Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, hlm. 202.
36
Diantara karya-karya beliau yang berhasil didokumentasikan, terutama oleh cucu beliau, yaitu KH. Ishamuddin Hadziq,24 adalah sebagai berikut: a. Adabul ‘Alim wal Muta’alim. Menjelaskan tentang etika seorang murid yang menuntut ilmu dan etika guru dalam menyampaikan ilmu. Kitab ini diadaptasi dari kitab Tadzkiratu al-Sami’ wa al-Mutakallim karya Ibnu Jamaah al-Kinani. b. Risalah Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah (kitab lengkap). Membahas tentang beragam topik seperti kematian dan hari pembalasan, arti sunnah dan bid’ah, dan sebagainya. c. Al-Tibyan Fi Nahyi ‘An Muqatha’ati’ Al-Arkam wa Al-‘Aqarib Wa AlIkhwan. Berisi tentang pentingnya menjaga silaturrahmi dan larangan memutuskannya. Dalam wilayah sosial politik, kitab ini merupakan salah satu bentuk kepedulian Kiai Hasyim dalam masalah Ukhuwah Islamiyah d. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li jam’iyyat Nahdhatul Ulama’. Karangan ini berisi
pemikiran dasar NU, terdiri dari ayat-ayat Al-
Qur’an, hadis, dan pesan-pesan penting yang melandasi berdirinya organisasi NU. e. Risalah Fi Ta’kid al-Akhdzi bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Karangan ini berisi tentang pentingnya berpedoman kepada empat mazhab, yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali. f. Mawai’idz. Karangan berisi tentang nasihat bagaimana menyelesaikan masalah yang muncul ditengah umat akibat hilangnya kebersamaan dalam membangun pemberdayaan. g. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’i Jamiyyah Nahdlatul Ulama’. Karya ini berisi 40 Hadis tentang pesan ketakwaan dan kebersamaan dalam hidup, yang harus menjadi fondasi kuat bagi umat dalam mengarungi kehidupan. 24
keterangan lebih lanjut baca dalam kitab kumpulan karangan KH. Hasyim Asy’ari yang dihimpun oleh KH. Ishomuddin Hadzik dalam kitab Irsyad al-Sari.
37
h. An-Nur Al-Mubin Fi Mahabbati Sayyid Al-Mursalin. Menjelaskan tentang arti cinta kepada Rasul dengan mengikuti dan menghidupkan sunnahnya. Kitab ini diterjemahkan oleh Khoiron Nahdhiyin dengan judul Cinta Rasul Utama. i. Ziyadah Ta’liqat. Berisi tentang penjelasan atau jawaban terhadap kritikan KH. Abdullah bin Yasin al-Fasuruwani yang mempertanyakan pendapat
Kiai Hasyim memperbolehkan,
bahkan menganjurkan
perempuan mengenyam pendidikan. Pendapat Kiai Hasyim tersebut banyak disetujui oleh ulama-ulama saat ini, kecuali KH. Abdullah bin Yasin al-Fasuruwani yang mengkritik pendapat tersebut. j. Al-Tanbihat Al-Wajibah Liman Yashna’ Al-Maulid bi Al-Munkarat. Berisi
tentang nasehat-nasehat
penting bagi
orang-orang
yang
merayakan hari kelahiran Nabi dengan cara-cara yang dilarang agama. k. Dhau’ul Misbah fi Bayani Ahkam al-Nikah. Kitab ini berisi tentang halhal yang berkaitan dengan pernikahan, mulai dari aspek hukum, syarat rukun, hingga hak-hak dalam pernikahan. l. Risalah bi al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus. Menerangkan tentang permasalahan hukum memukul kentongan pada waktu masuk waktu sholat. m. Risalah Jami’atul Maqashid. Menjelaskan tentang dasar-dasar aqidah Islamiyyah dan Ushul ahkam bagi orang mukallaf untuk mencapai jalan tasawuf dan derajat wusul ila Allah. n. Al-Manasik al-shughra li qashid Ummu al-Qura. Menerangkan tentang permasalahan Haji dan Umrah. Selain karangan tersebut, juga terdapat karya yang masih dalam bentuk manuskrip dan belum diterbitkan. Karya tersebut antara lain, Al Durar Al-Munqatirah Fi Al-Masa’il Tis’a ‘Asyara, Hasyiyat ala Fath alRahman bi Syarh Risalat al-Wali Ruslan li Syaikh al-Islam Zakariyya al al-
38
Anshari, al-Risalat al- Tauhidiyyah, al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al Aqaid, al Risalat al-Jama’ah, Tamyuz al-Haqq min al-Bathil.25
B. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Etika Guru Kitab Adabul’Alim wal Muta’alim merupakan salah satu karya terpopuler KH. Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan, kitab ini adalah kitab yang mengupas masalah etika belajar mengajar secara terperinci. Adabul’Alim wal Muta’alim ini juga merupakan satu-satunya karya karangan beliau yang berisi tentang aturan-aturan etis dalam proses belajar mengajar atau etika praktis bagi seorang guru atau murid atau anak didik dalam proses pembelajaran. Untuk itu pembahasan mengenai pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan dalam proses pembelajaran akan difokuskan pada kitab tersebut, mengingat kitab ini adalah kitab yang membahas tentang permasalahan etika dalam pembelajaran . Dari uraian-uraian yang terdapat dalam kitab Adabul’Alim wal Muta’alim nampaknya apa yang menjadi karakteristik pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari dapat dikategorikan dalam corak pemikiran yang mengarah pada tataran ranah praktis yang juga tetap berpegang teguh pada sandaran dalil AlQur’an dan hadits. Kecenderungan lain yang dapat dipahami dari pemikiran beliau adalah mengetengahkan nilai-nilai etika yang bernafaskan sufistik. Kecenderungan ini dapat terbaca melalui gagasan-gagasannya, misalnya keutamaan menuntut ilmu dan tentang keutamaan ilmu. Menurut KH. Hasyim, ilmu dapat diraih hanya jika orang yang mencari ilmu itu suci dan bersih dari segala sifat-sifat jahat dan aspek keduniaan.26 Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim, secara keseluruhan berisi tentang delapan bab, meliputi: 1) Membahas tentang keutamaan ilmu dan keilmuan serta pelajaran 25
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 99. Lihat juga dalam kata sambutan KH. Ishamuddin Hadzik dalam cetakan kitab-kitab KH. Hasyim tentang Al-Ta’rif bi al-Muallif. 26
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wa al Muta’allim, (Jombang: Maktabah Turats alIslami, 1413 H), hlm. 22-23.
39
2) Etika yang harus dimiliki murid dalam pembelajaran 3) Etika seorang murid terhadap guru 4) Etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani bersama guru 5) Etika yang harus diperhatikan bagi guru 6) Etika guru ketika akan mengajar 7) Etika guru terhadap murid, dan 8) Etika dalam menggunakan literatur dan alat-alat yang digunakan dalam belajar (buku atau kitab). Kedelapan bab tersebut dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian yang menjadi signifikansi pendidikan, yaitu tugas dan tanggung jawab seorang murid, tugas tanggung jawab seorang guru, etika atau akhlak terhadap buku atau kitab alat pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Adapun yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini yaitu empat kriteria etika yang harus dimiliki dan dilaksanakann bagi seorang guru atau pendidik dalam pembelajarannya meliputi: 1. Etika guru terhadap diri sendiri yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh setiap pribadi guru. 2. Etika guru dalam proses belajar mengajar. 3. Etika guru terhadap murid atau anak didik. 4. Etika terhadap kitab sebagai alat untuk belajar.
C. Signifikansi Pemikiran Pendidikan KH Hasyim Asy’ari Pola pemikiran pendidikan KH. Hasyim dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim beliau mengawali penjelasannya langsung dengan mengutip ayatayat Al-Qur'an, dan hadits, yang kemudian diulas dan dijelaskan dengan singkat dan jelas. Misalnya beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya. Hal yang demikian dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di
40
akhirat kelak. Mengingat begitu pentingnya, maka syariat mewajibkan untuk menuntutnya dengan memberikan pahala yang besar.27 Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu: pertama bagi murid hendaknya berniat suci untuk menuntut ilmu, jangan berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengerjakan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata-mata. Di samping itu, yang diajarkan hendaknya sesuai dengan tindakan-tindakan yang diperbuat. Dalam hal ini yang dititik beratkan adalah pada pengertian bahwa belajar merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah yang mengantarkan seseorang memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. 28 Karena belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya sekedar menghilangkan kebodohan. Di samping itu, menurut beliau bahwa ulama dan penuntut ilmu mempunyai derajat yang tinggi. Hal ini juga diterangkan dalam al-Qur’an surat al Mujadalah ayat 11: ∩⊇⊇∪ ×Î7yz tβθè=yϑ÷ès? $yϑÎ/ ª!$#uρ 4 ;M≈y_u‘yŠ zΟù=Ïèø9$# (#θè?ρé& tÏ%©!$#uρ öΝä3ΖÏΒ (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# ª!$# Æìsùötƒ “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat”. (QS. Al-Mujadalah, 11).29 Pembahasan ini menjelaskan keutamaan ulama serta keutamaan belajar mengajar, juga keutamaan ilmu yang dimiliki oleh ulama yang mengamalkan ilmunya. Ketegasan tentang tingginya derajat ulama itu sering diulang, misalnya dengan argumentasi hadits, ” ِءYMNOP اRS ورVء هYZ[\]”ان ا
30
(sesungguhnya
ulama adalah pewaris para nabi). Hadits ini sesungguhnya menyatakan bahwa derajat para ulama setingkat lebih rendah di bawah derajat nabi. 27
Samsul Nizar dan Abdul Halim (Ed), Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 156. 28
Samsul Nizar dan Abdul Halim, (Ed), Filsafat Pendidikan Islam…, hlm. 157.
29
Departemen Agama R.I. Al-qur’an dan terjemah, (Jakarta: Dept. Agama R.I.,1983), hlm.
910-911. 30
HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Mesir: Dar Ibnu Haitsam, tt), hlm. 85.
41
Keagungan ulama’ seperti di atas pada akhirnya mengantarkan kedudukan ulama pada posisi paling tinggi setelah kedudukan para nabi, dan pada keagungan inilah usaha dan kesungguhan mencari ilmu harus diarahkan. Selanjutnya dijelaskan bahwa keagungan ulama tersebut hanya bagi mereka yang mengamalkan ilmunya dengan ikhlas kepada Allah, karena diantara karakter ilmu dan ulama’ itu sendiri adalah Amanah yang wajib disampaikan.31 Karena ilmu-ilmu tersebut tidak hanya akan membawa kemaslahatan pada masa sekarang, tapi juga masa yang akan datang. Kaitannya dengan pembelajaran guru yang memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, paling tidak guru disamping melaksanakan konsepsi nilai-nilai yang disampaikan diatas, guru juga harus menjalankan tugas utama sebagai pengajar meliputi tiga macam tugas, diantaranya: merencanakan pengajaran, melaksanakan pengajaran, dan memberikan balikan. Sehingga nantinya tercipta situasi yang memungkinkan mengantarkan siswa mencapai tujuan yang diharapkan.32 Guru selain dianggap sebagai sosok yang patut dihormati juga sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Untuk itu etika sebagai alat akhlak yang berlaku bagi guru bertujuan untuk menjaga perilaku mereka sendiri karena setiap perbuatan mereka merupakan panutan dan senantiasa mendapat sorotan dari murid-muridnya.
1. Etika Guru Terhadap Diri Sendiri Yang Harus Dipenuhi dan Dimiliki Oleh Setiap Pribadi Guru Etika dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya berlaku untuk murid saja, tetapi etika lebih-lebih juga harus dimiliki guru atau pendidik dalam proses belajar. Jika guru sebagai pendidik tidak mempunyai
31
Yusuf al-Qardhawi, Konsepsi Ilmu dalam Persepsi Rasulullah SAW, Karakter Ilmu dan Ulama’, (Jakarta: Firdaus, 1994), hlm. 24. 32
Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007), hlm. 4-6.
42
etika, maka sis-sia menerapkan etika pada murid. Beberapa etika yang harus dimiliki oleh seorang guru menurut KH. Hasyim adalah sebagai berikut: a. bاRNcاde V`a` ( انselalu mendekatkan diri) kepada Allah SWT dalam berbagai kondisi dan situasi. b. i]Y\j klmn زمh` ( انsenantiasa takut kepada murka siksa Allah SWT), dalam setiap gerak, diam, perkataan dan perbuatan. c. RoMpq]زم اh` ( انSenantiasa sakinah atau tenang) d. رعm]زم اh` (انsenantiasa berhati-hati) dalam perkataan dan perbuatan. e. stاmu]زم اh` ( انselalu rendah hati) atau tidak menyombongkan diri. f. i] Y\j bع اmvw]زم اh` ( انsenantiasa kepada Allah SWT). g. b اi[x yرme اsMZz il k[` m\j نmp` ( انSenantiasa berpedoman kepada hukum Allah) dalam setiap hal. h. R`mMOa]اض اdP اi]{| اmu` YZ[{ kZ[x |\}`P ( انtidak menjadikan ilmu yang dimiliki sebagai sarana mencari keuntungan duniawi) seperti harta benda kedudukan (jabatan). i. Tidak merasa rendah di hadapan para pemuja dunia (YMOa]ءاYo )اorang yang punya kedudukan dan harta benda, tidak pula mengagungkan mereka dengan sering-sering berkunjung dan berdiri menyambut kedatangan mereka tanpa kemaslahatan apapun di dalamnya. j. a]هY [wu` ( انZuhud) tidak terlampau mencintai kesenangan duniawi dan rela hidup sederhana. Jika ia membutuhkan dunia sekedar untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarga. k. {YpZ] اMO دx axYNu` ( انmenjauhi pekerjaan / profesi yang dianggap rendah/ hina) menurut pandangan adat maupun syariat. l. Vu] اstاme ou}` (انmenghindari tempat-tempat yang dapat mendatangkan fitnah, serta meninggalkan hal-hal yang menurut pandangan umum dianggap tidak patut dilakukan meskipun tidak ada larangan atasnya dalam syariat Islam. m. مYpP اdاهmم وh{P اdY\v مYM] اi[x lY` ( انmenghidupkan syiar dan ajaran- ajaran Islam) seperti mendirikan shalat berjama’ah di masjid, menebarkan salam kepada orang lain, menganjurkan kebaikan dan
43
mencegah kemungkaran dengan penuh kesabaran (dalam menghadapi resiko yang menghadang). n. عaN] اRjYe وإoq]ر اY مm` ( انmenegakkan sunnah Rasulullah SAW dan memerangi bid’ah) serta memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dengan cara-cara yang populis (memasyarakat) dan tidak asing bagi mereka. o. RM[\] واRM]m] اRMxdv]ت اYوaoZ] اi[x lY` ( انmenjaga hal-hal yang sangat dianjurkan oleh syari’at, baik berupa perkataan maupun perbuatan), seperti memperbanyak membaca Al-Qur’an, berdzikir dengan hati maupun lisan. p. قhPرم اYpZ سYo]| اeY\` ( انmempergauli manusia dengan akhlak-akhlak) terpuji seperti bersikap ramah, menebarkan salam, menahan (emosional), tidak suka menyakiti, tidak berat hati dalam memberi penghargaan (kepada yang berhak) serta tidak terlalu menuntut untuk dihargai. q. R`دd]ق اhP اe ydهY VS koY d` ( انmenyucikan jiwa dan raga dari akhlak-akhlak tercela), dan menghiasi keduanya dengan akhlak-akhlak mulia. r. |Z\] واV[\]د اY` ازدi[x صd] اV`a` ( انselalu berusaha mempertajam ilmu pengetahuan dan amal), yakni melalui kesungguhan hati dan ijtihad, muthala’ah (mendaras), muzakarah (merenung), ta’liq (membuat catatan-catatan), menghafal dan melakukan pembahasan (diskusi) s. kZ[\` P دةYu{ اx pouq`P ( انtidak merasa segan mengambil faedah (ilmu pengetahuan) dari orang lain atas apapun yang belum dimengerti), tanpa memandang perbedaan status atau kedudukan, nasab/ garis keturunan, dan usia. t.
Mou]اY |uv` ( انmeluangkan sebagian waktu untuk kegiatan menulis, mengarang atau menyusun kitab).33
33
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 65-72.
44
2. Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Seorang guru hendaknya ketika akan dan saat mengajar perlu memperhatikan beberapa etika. Dalam bab ini KH. Hasyim Asyari tidak membagi etika guru secara terperinci namun beliau memberi keterangan dengan menjelaskan beberapa gagasan ketika guru dalam melaksanakan pengajaran sebagai berikut: Seorang guru hendaknya mempunyai niat yang baik untuk taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) sebelum berangkat menghadiri majelis atau tempat belajar mengajar (sekolah), mensucikan dan membersihkan diri dari hadas atau kotoran dan memakai pakaian yang rapi bahkan wangi. Hal ini dimaksudkan agar niatan guru mengajar itu karena untuk ibadah karena Allah. Berdoa sebelum berangkat dan melanggengkan berdzikir kepada Allah hingga sampai di majelis pembelajaran (sekolah), menjaga sikap dan menjaga diri dari segala yang dapat mengurangi kewibawaan dan mengajar dengan menggunakan bahasa yang santun. Hendaknya guru juga tidak mengajar pada saat sangat haus dan lapar, juga diwaktu dingin dan panas yang berlebihan, karena hal itu dapat mempengaruhi jiwa psikologis guru terhadap anak didik atau murid. Pada saat sampai di sekolah hendaklah guru memberi salam pada murid atau anak didik dan duduk menghadap kiblat (jika memungkinkan) atau langsung berhadapan dengan para murid atau anak didik. Mengawali pengajaran dengan membaca ayat suci Al- Qur’an untuk tabarrukan dan berdo’a untuk kebaikan dirinya dan kebaikan murid, anak didiknya, kaum muslimin dan mereka yang ikut mensukseskan pendidikan, lalu dilanjutkan dengan ta’awudz, bismillah, hamdalah dan shalawat atas pada Nabi dan pengikutnya. Jika di dalam kelas terdapat banyak pelajaran maka guru hendaknya mendahulukan pelajaran yang paling penting dan mulia, misal tafsir, hadis, ushul fiqh dan mengakhiri dengan kitab rakai’iq (kelembutan hati) dan kitab lainnya. Mengeraskan dan merendahkan suara sesuai kebutuhan, menjaga
45
majelis (kelas) agar tidak ramai serta guru hendaknya tidak meneruskan dan mengakhiri pelajaran pada pembahasan-pembahasan yang membingungkan murid, dan juga harus bersungguh-sungguh dalam mencegah dan mengingatkan murid yang menyimpang dari pembahasan tanpa harus membuatnya malu. Jika seorang guru ditanya oleh murid tentang sesuatu yang dia tidak ketahui maka dijawab tidak tahu karena itu merupakan bagian dari ilmu. Lebih banyak lagi memperhatikan orang pengembara atau anak didik yang jauh dari orang tua, dan hendaknya di akhir pelajaran guru menutup pelajaran dengan atau penjelasannya dengan kata “Wa Allah A’lam” sebagai dzikir dan menyandarkan segala sesuatunya yang tahu hanya Allah.34 Tampak disini, gagasan yang ditawarkan lebih bersifat praktis. Artinya apa yang ditawarkan sesuai dengan praktek yang selama ini dialaminya. Kehidupan yang diabdikan untuk ilmu dan agama telah memperkaya pengalamannya dalam mengajar.
3. Etika Guru terhadap Murid atau Anak Didik Mengenai pembahasan adab guru dalam kitab Adabul Alim Wa Al Mutallim kiai K.H Hasyim Asy’ari memberikan 14 point acuan yang harus dilakukan oleh guru diantaranya : a. (b اkz وVZM[\u a` )انhendaklah seorang guru dalam menjalankan profesi yang tugas utamanya adalah memberikan pengajaran dan pendidikan kepada anak didik mempunyai niat dan tujuan yang luhur, yakni demi mencari ridho Allah SWT, mengamalkan ilmu pengetahuan, menghidupkan (melestarikan) syariat Islam, menjelaskan sesuatu yang hak dan yang batil, menyejahterakan kehidupan (sumber daya) umat, serta demi meraih pahala dan berkah ilmu pengetahuan.35 b. (]Y]YZM[\j x souZ`P )انhendaklah tidak menghalangi hak seseorang murid untuk menuntut ilmu, karena terkadang dalam kegiatan pembelajaran 34
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 71-80.
35
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm 85.
46
sering kali ditemukan siswa (terutama siswa pemula) yang tidak serius serta memiliki niat yang kurang tulus. Terhadap hal seperti itu, guru hendaknya bersikap sabar dan tidak menyurutkan semangatnya dalam memberikan pengajaran kepada mereka. Karena bagaimanapun juga suatu niat memerlukan proses. Niat yang tulus (keikhlasan) dalam belajar sering kali akan segera mereka dapatkan melalui unsur barakah ilmu pengetahuan yang terus-menerus dipelajari atau diajarkan. Sebagaimana ungkapan beliau: V[\] اRآdN mzde RMo] اq ءنYl (maka sesunguhnya sebaikbaik niat adalah mengharapkan ilmu yang berkah). 36 c. (kqo] `Ye kN]Y] ` )انmencintai para anak didik sebagaimana mencintai
dirinya
sendiri),
berusaha
memenuhi
kemaslahatan
(kesejahteraan) mereka, serta memperlakukan mereka dengan baik sebagaimana ia memperlakukan anak-anaknya sendiri yang amat disayangi. d. (kZM[\j l ءY]P اR]mq k] Zq` )انmendidik dan memberi pelajaran kepada mereka dengan penjelasan yang mudah dipahami sesuai dengan kemampuan mereka. Selain itu, ia hendaknya tidak memberikan materimateri yang terlalu berat bagi mereka karena hal itu akan mengganggu dan merusak konsentrasi mereka.37 e. (yaz ل N kZMj وkZM[\j [x صd` )انbersungguh-sungguh dalam memberikan pengajaran dan pemahaman kepada anak didik. Oleh karena itu guru hendaknya memahami metode-metode pengajaran secara baik agar dapat memudahkan dan mempercepat pemahaman mereka. f.
(تYmZ]دة اYxت اYcوP \¡ اl RN[] اe [` )انmeminta anak didik untuk menggunakan waktu dalam mengulang kembali pembahasan yang telah disampaikan serta jika perlu hendaknya memberikan pertanyaanpertanyaan kepada mereka melalui latihan, ujian, dan semacamnya demi mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman mereka dalam menyerap materi yang telah disampaikan.
36
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 86.
37
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 88.
47
g. Apabila
di antara anak didik terdapat anak yang tempat tinggalnya
sangat jauh sehingga untuk sampai ke tempat pengajaran gurunya itu (sekolah, madrasah dan sebagainya) dibutuhkan waktu yang cukup lama dan juga stamina yang prima, seorang guru hendaknya memaklumi keadaannya jika saat mengikuti pelajaran siswa itu mungkin nampak kelelahan atau sering terlambat lantaran perjalanan yang telah ditempuhnya.38 h. ( ¡\ [x V¢\ |M¢j RN[[] d£`P )انhendaklah guru tidak memberikan perlakuan khusus kepada salah seorang anak didik dihadapan anak didik yang lain, karena hal seperti ini akan menimbulkan kecemburuan dan perasaan yang kurang baik diantara mereka. i. (ءYoS q وdMw VNY dآ ` وVهdtY] ددmu` )انmemberikan kasih sayang dan perhatian kepada siswa. Salah satu bentuk perhatian dan kasih sayang terhadap mereka adalah dengan cara berusaha sebaik mungkin mengenal kepribadian dan latar belakang mereka serta berdoa untuk kebaikan (keberhasilan) mereka.39 j. (Y¢\ V¢\ k |eY\` YeY¢` ا¤Mv] اaهY\u` )انmembiasakan diri sekaligus memberikan contoh kepada siswa tentang cara bergaul yang baik, seperti mengucapkan salam, berbicara dengan sopan, saling mencintai terhadap sesama, tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan lain sebagainya. k. (kM[xdqMj YZ VjaxYqe وVm[c sZz وRN[]] اYe l V]Y\]\ اq` )انapabila memungkinkan (punya kemampuan), seorang guru hendaknya turut membantu dan meringankan masalah mereka dalam hal materi, posisi (kedudukan/ pekerjaan), dan sebagainya.40
38
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 89.
39
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 90.
40
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 91.
48
l. (kox |{ دةY\] اx اa زاR[] اeزhe اوRN[]ب \¡ اY )اذاapabila di antara beberapa anak didik terdapat seorang siswa yang tidak hadir dan hal itu diluar kebiasaannya, hendaknya ia menanyakan kepada siswa yang lain. m. (a§duqe |] وآY] اse stاmu` )انmeskipun berstatus sebagai guru yang berhak dihormati oleh murid-muridnya, hendaknya ia tetap bersikap tawadhu’ (rendah hati) terhadap mereka. n. (RN[] اe h آYwu` )انmemperlakukan anak didik dengan baik, seperti memanggil dengan nama dan sebutan yang baik, menjawab salam mereka, dengan ramah menyambut kedatangan mereka, menanyakan kabar dan kondisi mereka.41 Tidak kalah penting dari yang disebutkan diatas guru juga mempunyai tugas mendidik, mengajar, dan melatih anak didik. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup (afektif). Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (kognitif), adapun melatih berarti mengembangkan ketrampilan para siswa (psikomotorik). Ketiga tugas tersebut harus terintegrasi menjadi satu kesatuan dan tidak terpisah-pisah. Artinya, dalam melaksanakan tugas mengajar, seorang guru tidak bisa mengabaikan nilai-nilai kehidupan dan ketrampilan. Mereka mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tidak mengesampingkan nilai-nilai penggunaan ilmu dan teknologi tersebut.
4. Etika terhadap Kitab sebagai Alat Belajar Sering dianggap aturan ini sudah umum berlaku dan cukup diketahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi, beliau memandang bahwa akhlak tersebut penting dan perlu diperhatikan. Akhlaknya antara lain: a. Menganjurkan dan mengusahakan agar memiliki buku pelajaran yang diajarkan. Apabila tidak mampu memberi, hendaknya dapat menyewa atau meminjam kepada temannya.
41
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 93.
49
b. Merelakan, mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi peminjam harus menjaga barang tersebut. c. Meletakkan buku pada tempat yang terhormat, dengan memperhitungkan keagungan kitab dan ketinggian keilmuan penyusunnya. Menurut K.H. Hasyim Asy’ari urutan yang pertama adalah Al-Qur'an, disusul Hadits, Tafsir Al-Qur'an, Tafsir Hadits kemudian disusul dengan kitab-kitab yang lain. d. Periksa dahulu bila membeli atau meminjam buku, lihat bagian awal, tengah, dan akhir buku. e. Bila menyalin buku pelajaran Syari'ah, hendaknya dalam keadaan suci kemudian diawali dengan Basmalah, sedangkan menyalinnya, mulailah dengan Hamdalah serta Shalawat Nabi.42 Diterangkan bahwa diharuskan bersuci terlebih dahulu apabila hendak mengkaji atau belajar. Dasar epistemologi untuk menjawabnya yakni, ilmu adalah Nur Allah, maka bila hendak mencapainya harus suci jasmani dan rohani. Dengan demikian diharapkan ilmunya bermanfaat dan membawa berkah dan dapat diraihnya. Perlu diperhatikan pula tugas sebagai seorang guru, guru merupakan model dan teladan bagi peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Keprihatinan, kerendahan, kemalasan dan rasa takut, secara terpisah atau bersama-sama bisa menyebabkan seseorang berpikir atau berkata, “Jika saya harus menjadi teladan atau dipertimbangkan untuk menjadi model, maka pembelajaran bukanlah pekerjaan yang tepat bagi saya. Saya tidak cukup baik untuk diteladani”. Alasan tersebut tidak dapat dimengerti, mungkin dalam hal tertentu dapat diterima tetapi mengabaikan atau menolak aspek fundamental dari sifat pembelajaran, dan ketika seorang guru tidak mau menerima, ataupun menggunakannya secara konstruktif maka telah mengurangi
42
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 95-101.
50
keefektifan pembelajaran. Peran dan fungsi ini patut di pahami, dan tidak perlu menjadi beban yang memberatkan sehingga dengan ketrampilan dan kerendahan hati akan memperkaya arti pembelajaran. Etika yang berlaku pada keduanya antara lain: berniat mendidik dan menyebarkan ilmu serta menghidupkan syari’at Islam, menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian, selalu introspeksi diri, tepat dalam menggunakan
metode
dalam
mendidik
murid,
memotivasi murid,
memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu; selalu memperhatikan kemampuan murid, tidak pilih kasih, mengarahkan minat murid, bersikap terbuka dan sabar, mencari kabar apabila ada yang tidak hadir, membantu memecahkan masalah, bersikap arif dan bijaksana dan tawadhu’.43 Peran guru disini nampak bukan sekedar menyampaikan ilmu pengetahuan (Transfer of Knowledge), tapi juga sebagai teman atau sahabat yang siap membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh anak didiknya.
43
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 80-95.
51
BAB IV RELEVANSI ETIKA GURU MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB ADABUL ALIM WAL MUTAALLIM DENGAN PROSES PEMBELAJARAN KONTEMPORER
A. Analisis Tujuan Pendidikan dalam kitab Adabul Alim Wa Al Muta’allim Secara langsung tujuan pendidikan yang sistematis dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim sebenarnya tidak disebutkan, namun secara ringkas dari apa yang menjadi uraian pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang tujuan pendidikan dalam kitabnya dapat disebutkan bahwa derajat ulama’ merupakan suatu keharusan dan tujuan yang harus dimiliki dan dicapai oleh pendidik maupun anak didik.1 puncak dari ilmu adalah mengamalkan ilmu.2 Tujuan selanjutnya adalah, kemuliaan ilmu untuk menggapai ridha Allah yang sepenuhnya berjuang dijalan Allah. Dari penjelasan tersebut tampaknya apa yang telah dipikirkan KH. Hasyim tidak lepas dari tujuan ideal dan tujuan operasional. Tujuan ideal biasanya disesuaikan dengan tujuan hidup manusia. Pendapat ini berlandaskan pada asumsi bahwa pendidikan merupakan bagian dan sarana untuk mencapai tujuan hidup. Oleh karena itu, tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup. Sedangkan tujuan operasional adalah suatu kondisi yang ingin dicapai pada setiap tahap dalam proses pendidikan yang sedang dilangsungkan. Tujuan pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari memberikan tekanan yang sama kuat antara etika dan intelektualitas. Tujuan pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah untuk mewujudkan masyarakat yang berilmu dan beretika. Titik tekan pada ilmu dan etika itu tampak tersebar di berbagai tempat dalam karyanya Adabul ‘Alim wal Muta’alim. Adapun etika yang ditekankan beliau dalam kitab tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yakni etika kepada Allah dan etika kepada sesama manusia. Pertama, adab kepada Allah, beliau menyatakan bahwa hendaknya: 1
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wa al Muta’allim, (Jombang: Maktabah Turats alIslami, 1413 H), hlm.13. 2 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’alim, hlm. 13-14.
52
a. Aktifitas seorang guru dan murid dalam belajar-mengajar diniatkan kepada Allah semata, bukan karena tujuan duniawi saja. b. menyerahkan semua urusan kepada Allah serta memohon petunjuk-Nya, c. Menerima apa adanya pemberian Allah (qanaah) dan sabar dengan segala kondisi dirinya.3 Kedua, adab kepada sesama manusia, khususnya etika guru terhadap murid. Dimana guru dipandang sebagai pribadi yang sangat dihormati, dan menjadi publik figur bagi keteladanan muridnya baik di kala beliau masih hidup maupun ketika beliau sudah meninggal. Selain itu adab murid terhadap teman senasib seperjuangannya juga perlu mendapat perhatian. Karena dari sini akan tercipta sebuah pemahaman bahwa murid mempunyai etika yang baik kepada teman sesamanya, sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Apa yang menjadi pemikiran KH. Hasyim tentang tujuan pendidikan dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim dirasa sangat relevan dengan apa yang menjadi cita-cita tujuan pendidikan saat ini bahkan menjadi tujuan pendidikan sepanjang masa. Dimana pada tujuan pertama yaitu mencapai derajat ulama’ (menjadi orang yang berilmu) dan derajat insan utama (khair albariyyah)4, adalah tujuan dambaan bagi pendidik maupun anak didik. hal ini senada dengan Kongres se-Dunia ke 11 tentang pendidikan Islam tahun 1980 di Islamabad, menyatakan bahwa: “Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan manusia (peserta didik, pendidik) secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan
3
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’alim, hlm.25-29.
4
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’alim, hlm.13.
53
ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.”5 Dengan tujuan pendidikan seperti ini, maka murid maupun guru dapat mempersiapkan diri secara penuh yang tidak hanya ahli dalam keilmuan agama saja. Karena beerbicara tentang tujuan berarti berbicara mengenai hasil yang nantinya akan dicapai dalam pendidikan. Bahkan menurut syaeikh al Zarnuji persyaratan menjadi seorang guru sangatlah lebih ketat sebagaimana ungkapan beliau: ...واا راذ ان را واورع وا “dianjurkan bagi sorang murid dalam mencari ilmu harislah a’lam (pandai menguasai materi), aura’(memiliki kematangan emosional) dan asan (berpengetahuan).” 6 Sedangkan pada tujuan yang kedua yaitu beramal baik sesuai dengan ilmu yang diperoleh merupakan puncak dari segala ilmu. Amal ini juga yang menjadi manifestasi tujuan setiap orang, karena yang dianggap sebagai buah dari ilmu adalah amal. Tujuan semacam ini dapat memberi pengaruh yang signifikan terhadap langkah orang yang berilmu dalam mengaplikasikan keilmuannya. Adapun manifestasi dari pengamalan ilmu itu sendiri adalah sikap, perilaku atau etika sang pemilik ilmu. Dalam islam ilmu bukan hanya dipandang sebagai sesuatu yang cukup diketahui saja, tapi juga perlu diamalkan sekaligus sebagai bekal kehidupan akhirat kelak. Secara sederhana tujuan semacam ini sudah merupakan cerminan pandangan hidup manusia. Pemikiran semacam ini juga searah dengan yang disampaikan oleh pakar pendidikan seperti, Ahmad D. Marimba, mengatakan tujuan akhir pendidikan Islam
adalah
terbentuknya
kepribadian
muslim.7
Sedangkan
tentang
kepribadian muslim, yakni kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya, baik tingkah laku luarnya,
kegiatan-kegiatan jiwanya, filsafat hidup
dan
5
Dikutip dari Samsul Nizar, Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, Abdul Halim (Ed), (Ciputat Press: Jakarta, 2002), hlm. 37-38. 6 7
Syeikh Al Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, t.t.), hlm. 13 Ahmad D. Marimba, Pengantar Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif , 1980), hlm.
47.
54
kepercayaannya menuju pengabdian kepada Tuhan dengan wujud penyerahan diri kepada-Nya. Sebagaimana Marimba, Hasan Langgulung menyebutkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan adalah menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat, memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua ke generasi muda, memindahkan nilai-nilai yang bertujuan untuk memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat.8 Ini berarti bahwa pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge saja, tetapi lebih kepada pembentukan pribadi yang mantap dan berakhlak mulia, pribadi yang cakap dan ideal untuk dijadikan sebagai figur seorang pemimpin. Pada tujuan yang ketiga yaitu mencapai ridha Allah, dapat dikatakan merupakan tujuan operasioanal dalam pendidikan. Dimana dalam konsep ini segala aktifitas yang dilakukan harus bertujuan demi tercapainya ridha Allah dan kebaikan disisinya. Abdurrahman an-Nahlawi, mengatakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat. Hal ini berarti sejalan dengan tujuan diciptakannya manusia dimuka bumi ini, yakni untuk beribadah kepada Allah SWT (QS. adz-Dzariyat 51: 56).9 Pandangan semacam ini merupakan proses yang perlu diterapkan kembali oleh guru-guru dalam pelaksaan praktek pendidikan pada saat ini, dimana tujuan terpenting dalam pendidikan adalah ridha Allah sebagai manifestaasi pengamalan ilmu, adapun yang selain dari itu semua bukan tujuan utama. Dari beberapa tujuan-tujuan tersebut di atas, dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu pertama, yakni tujuan individu yang berkaitan dengan individu dan pelajaran mereka sebagai persiapan di kehidupan dunia
8
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT. AlMa’arif, 1980), hlm. 92. 9
Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali, (Bandung: Diponegoro, 1989), hlm. 160.
55
dan akhirat. Kedua, yakni tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat untuk memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diinginkan. Ketiga, yakni tujuan-tujuan profesional yang berkaitan dengan pengajaran sebagai ilmu, sebagai profesi dan sebagai suatu aktivitas dalam masyarakat.10 Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah manusia menjadi pribadi yang shaleh. Dengan begitu diharapkan anak didik mampu memadukan fungsi iman, ilmu dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik dunia maupun akhirat. Prof. Dr. M. Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri dari 5 sasaran, yaitu: pembentukan moral yang tinggi, mempersiapkan kehidupan dunia-akhirat, persiapan mencari rizki dan cara memanfaatkannya, menumbuhkan semangat belajar dan mempersiapkan tenaga profesional.11 Ini berarti bahwa pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada satu sisi kehidupan saja, melainkan dua sisi kehidupan yang sama-sama punya peranan penting, yaitu dunia-akhirat. Menurut ajaran Islam keduanya harus dituntut bersama-sama, karena hidup akhirat merupakan kelanjutan dari kehidupan dunia.12
B. Analisis Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim K.H Hasyim Asy’ari merupakan tokoh pendidikan yang banyak mencurahkan gagasan mengenai relasi etika guru dan murid, yang melandasi ajarannya dengan penekanan religious ethic. Etika religius ini, didasarkan atas keimanan sehingga proses pencarian ilmu itu merupakan bagian dari realisasi iman dan sekaligus untuk menjaganya dalam rangka mencari ridha Allah. Dalam kerangka praksisnya, mencari ilmu senantiasa harus mengacu pada etika 10
Omar Muhammad Al-Taomy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Bulan Bintang: Jakarta, 1979), hlm. 399. 11
Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 15-18. 12
Chabib Thoha, dkk, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996), hlm. 303.
56
dan memperhatikan kemanfaatan (al-ilmu al-nafi). Menurut KH. Hasyim ‘ilmu nafi’ akan didapatkan apabila aturan etika dapat dijalankan dengan baik dalam proses belajar mengajar, etika tidak hanya berlaku pada anak didik saja tetapi etika juga berlaku bagi guru. Terlebih lagi bagi guru Pendidikan agama Islam. Menurut beliau kesuksesan dapat dihasilkan dan dicapai apabila antar etika guru dan murid saling dilaksanakan secara baik sesuai dengan aturan dalam kegiatan belajar mengajar yang berdasarkan kepada akhlak. Mengapa demikian, karena menurut beliau adanya etika religius itu merupakan komponen yang menjadi indikator dan prasyarat keberhasilan dalam tujuan pendidikan. Sehingga dalam konteks kekinian dengan adanya penekanan etika religius ini sangat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab II Pasal 3. Yaitu: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.13
Dengan mencoba melihat fenomena pendidikan yang terjadi saat ini, penulis menganalisa berbagai problematika pendidikan yang timbul, terutama seorang guru. Selanjutnya ditengah-tengah kemerosotan posisi guru pada saat ini, konsep pemikiran etika pendidikan KH Hasyim ‘Asyari patut dipertimbangkan kembali. Mengingat peranan pemikirannya yang sangat signifikan dan sangat menekankan nilai religius ethic dalam mempertahankan eksistensi dan wibawa guru dimata anak didik dan masyarakat. Sebagai seorang pendidik, guru juga mempunyai tanggung jawab etika yang harus berlaku terhadap diri sendiri, maupun terhadap orang lain. Dibawah ini akan dibahas dan analisis etika guru satu persatu.
13
Undang-Undang Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 8.
57
1. Analisis Etika Guru terhadap Diri Sendiri Dalam bab etika guru terhadap murid terdapat empat pokok penting yang perlu dianalisis yaitu: Pertama tentang adanya penekanan jalan kesufian yang harus dilakuakan oleh guru. Karena hal ini dianggap sebagai jalan tercepat untuk mendekatkan diri pada Allah. Diantaranya adalah bersikap muraqabah, khouf, wara’, tawadlu’, dan khusuk kepada Allah. Ini dimaksudkan agar orang yang berilmu selalu berpegang teguh pada norma ilahi. Seorang pakar pendidikan asal pakistan, Khursyid Ahmad mencatat empat kegagalan yang diterima pendidikan barat yang lebih cenddrung bersifat liberal dan sekuler, yakni 1) pendidikan barat gagal menanamkan dan mengembangkan cita-cita kemasyarakatan dikalangan murid atau anak didik. 2) Pendidikan barat gagal menanamkan nilai-nilai moral dan etika dalam hati dan jiwa murid atau anak didik dalam memenuhi kebutuhan jiwanya. 3) Pendidikan liberal membawa akibat perpecah belahan ilmu pengetahuan. 4) Pendidikan liberal tidak mampu menjawab tentang permasalahan-permasalahan mendasar.14 Sudah sepantasnya guru sebagai pendidik haruslah punya bekal keilmuan dan dekat dengan tuhan sebagai dasar dalam mendidik murid. Kedua, tidak menjadikan ilmunya sebagai tangga mencapai keuntungan duniawi, membiasakan melakukan kesunahan-kesunahan syari’at, dan senantiasa bersemangat mencapai perkembangan ilmunya.15 Konsep ini
menuntut adanya keikhlasan dalam setiap aktivitas guru,
menurut Al-Ghazali, mendidik adalah tanggungjawab bagi orang yang berilmu. ini dimaksudkan agar dalam mengajar ilmu niat guru hanya karena Allah dan sebagai perantara untuk mendekatkan diri antara anak didik, guru kepada-Nya.16 Hal ini berarti seorang guru tidak boleh memanipulasi atau menyalahgunakan keilmuannya demi keuntungan duniawi, sehingga lupa 14
Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001). hlm. 114. 15
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’alim..., hlm. 55
16
Abidin ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 64.
58
pada tugasnya sebagaimana seorang pendidik yang mengindahkan normanorma Illahi. Selanjutnya sebagaimana penjelasan ulama’ terdahulu tentang faktor pentingnya niat dan tujuan yang luhur ikhlas karena Allah, mencari kebahagiaan akhirat, menghilangkan kebodohan diri, menghidupkan agama dan untuk melestarikan ajaran Islam. Ini dimaksudkan agar seorang guru atau murid dalam mendidik dan mencari ilmu tidak terbersit niatan dalam hatinya untuk mendapat penghormatan, prestise, dan untuk mendapatkan kepentingan duniawiyah saja. Hal ini berbeda dengan pendidikan dan pencarian ilmu yang dikedepankan saat ini, di mana aspek material oriented sangat dominan sehingga menyebabkan dunia pendidikan kehilangan keseimbangan antar aspek material oriented
dan spiritual oriented.
Akibatnya out put yang dihasilkan tidak jarang justru melahirkan manusia yang memandang segala sesuatunya dari sudut pandang materi. Sehingga tidak jarang kejahatan yang besar justru banyak dilakukan orang-orang berpendidikan. Ketiga, kesadaran diri sebagai guru. Ini berarti guru harus dapat menjadi teladan (uswah) dalam memberi contoh yang baik kepada murid atau anak didik, sehingga tertanam dalam dirinya untuk dapat menjadi guru yang benar-benar edukatif. Al- Ghazali mengibaratkan kedudukan guru dan murid sebagai kayu dan bayangannya. Murid sebagai bayangan tidak mungkin dapat lurus jika guru atau kayunya bengkok.17 Keempat,
keharusan
bagi
seorang
guru
untuk
semangat
mengembangkan keilmuan, seperti penelitian, dialog, maupun menulis baik untuk merangkum maupun mengarang buku sebagai upaya untuk memantapkan keilmuannya. Untuk itu, apa yang ditawarkan KH. Hasyim Asy’ari seperti, bahwa seorang guru haruslah orang ‘Alim (kompeten) dan selalu bermuthala’ah merupakan tawaran yang sesuai dengan konteks
17
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran dalam pendidikan, Studi tentang Aliran Pendidikan menurut Al-Ghazali , (Semarang: Dita Utama, 1993), hlm. 39.
59
kekinian, dimana seorang guru dituntut untuk memiliki kecakapan meliputi kompetensi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. 2. Analisis Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Pada dasarnya apa yang terkait dalam bab etika guru dalam proses belajar mengajar adalah pembahasan tentang etika guru dalam hal kemampuan psikologis. Kaitannya dengan dalam pembelajaran kontemporer yang terpenting saat ini menurut Sya’roni adalah adanya keterbukaan psikologis bagi seorang guru.18 Karena keterbukaan psikologis ini akan berimplikasi pada dua hal, yaitu: Pertama, keterbukaan psikologng is guru merupakan prasyarat penting yang harus dimiliki guru sebagai upaya untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain. Kedua, dapat menciptakan relasi antar pribadi guru dengan murid yang harmonis, sehingga dapat mendorong murid untuk mengembangkan dirinya secara bebas dan tanpa ganjalan. 3. Etika Guru terhadap Murid atau Anak Didik Secara umum, guru adalah orang yang memiliki tangung jawab untuk mendidik.19 Sedangkan secara khusus, guru dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, kognitif maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.20Berarti guru mempunyai peranan penting dalam pembentukan etika atau akhlak anak didik, tetapi juga tidak mengesampingkan peranan orang tua sebagai basic pembentukan etika atau akhlak anak tersebut. Sebagai
seseorang
yang
diagungkan
dalam
sebuah
proses
pembelajaran, guru juga mempunyai etika terhadap murid sebagai anak 18
Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji dan KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. 76. 19
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif , 1989), hlm. 37. 20
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 74-75.
60
didiknya. Diantara etika tersebut adalah kasih sayang dalam pergaulan, yaitu sikap lemah lembut dalam bergaul.21 Artinya guru memberi contoh pergaulan yang baik antara sesama guru di hadapan para murid, sebagai pendidikan bagi kebaikan agama dan pergaulan mereka. Selain itu kasih sayang dalam mengajar, guru juga tidak boleh memaksa muridnya untuk mempelajari sesuatu yang belum dijangkaunya. Melainkan menjelaskan lagi sesuatu yang tidak di pahami murid agar tercipta pemahaman yang benar.22 Dari sini akan terlahir hubungan yang harmonis antara guru dan muridnya, hubungan yang lebih dari sekedar guru dan murid, melainkan hubungan ayah dan anak. Dengan begitu murid akan lebih bersemangat dalam belajar sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai. 4. Analisis Etika Guru terhadap Kitab Kaitannya dengan hal yang perlu dibahas dalam etika guru terhadap kitab adalah adanya kecendrungan mengedepankan pengetahuan agama dan adanya nilai-nilai religius yang menyertai kegiatan guru. Pada dasarnya, cabang-cabang ilmu adalah saling berhubungan dan terkait sehingga penguasaan terhadap seluruh pengetahuan merupakan suatu keharusan. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan penguasaan terhadap keseluruhan pengetahuan secara sekaligus tidaklah mungkin dengan cepat dan secara instan. Maka seorang guru harus dapat memilih dan mengkalasifikasi manakah pelajaran yang paling penting, cocok dan berguna untuk murid. Dalam memahami konsep ini bukan berarti trend agama dalam arti mendahulukan pendahuluan agama yang hanya mendominasi uraian-uraian tersebut, melainkan juga trend pragmatisme (dalam pengertian secara umum), sehingga apapun yang menjadi penilaian tentang kedudukan ilmu berdasar kegunaan bagi manusia juga penting, namun ilmu agama juga penting. Keuntungan dari konsep ini adalah pemahaman keagamaan
21
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan..., hlm. 85.
22
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan..., hlm. 85.
61
menjadi sangat mendalam dan ilmu-ilmu lain juga penting sebagai keharusan untuk kegunaan manusia.23 Adapun analisis dan kaitannya empat etika guru tersebut dengan penerapan secara umum, penulis melihat fenomena ini sebagai keharusan, karena hal ini bukanlah tanpa alasan, mengingat memang ada sebagian guru sekarang ini telah menyimpang dari kode etiknya. Ditambah lagi adanya ketidakseriusan guru dalam pembelajaran untuk menjadikan murid sebagai generasi yang baik dan mempunyai etika, adab atau sifat yang terpuji masih jauh dari harapan. Sementara itu, kesalahan kecil yang dilakukan guru mendapatkan respon yang begitu besar dan hebat dari masyarakat, mengingat kedudukan guru adalah sebagai uswah. Hampir setiap hari kita disuguhkan berita dari televisi maupun surat kabar tentang fenomena kekerasan dalam dunia pendidikan. Kekerasan yang terjadi di dalam dunia pendidikan, baik yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya maupun kekerasan yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa yang lain. Hal tersebut sangat memprihatinkan karena di sekolahlah seharusnya nilai-nilai etika dan budi pekerti itu ditanamkan. Adanya fenomena guru yang tidak edukatif dalam pendidikan tentu sangatlah riskan. Implikasi dari asumsi tindakan yang tidak edukatif adalah siswa merasa tidak aman dan tidak nyaman dalam proses pembelajaran. Dari fenomena ini banyak pakar menganalisa akibat dari pertama kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik, jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Kedua kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikulum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. Ketiga kekerasan dalam pendidikan
23
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran dalam pendidikan...,hlm. 46.
62
dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan. Keempat
sikap
guru
yang
kurang profesional
dalam
melaksanakan
pembelajaran sehingga berimplikasi pada pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan. Oleh karena itu penekanan terhadap aspek etika, moral atau adab menjadi harga mutlak yang tidak bisa ditawar lagi, agar pendidikan Islam dapat berjalan dengan baik sehingga mampu menghasilkan generasi yang berakhlak mulia. Hal senada juga disampaikan Athiyah al-Abrasyi bahwasanya pendidikan budi pekerti atau akhlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam menyimpulkan bahwa pendidikan etika, adab, budi pekerti atau akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak sempurna merupakan tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam.24 Kaitannya dengan fenomena tersebut perlu kiranya sebagai guru untuk kembali pada kaidah yang disampaikan K.H Hasyim Asy’ari tersebut, walaupun akhirnya ada imbalan itu merupakan bagian dari jerih payah orang melakukan aktifitas dan sebagai penunjang kesejahteraan guru meskipun tidak menjadi prioritas. karena dalam pembelajaran sangat perlu menekankan rasa keikhlasan dalam segala aktifitas, karena salah satu kemudahan agar dapat menerima apa yang disampaikan guru dalam proses belajar mengajar adalah rasa ikhlas dari gurunya, dan salah satu jalan masuknya nur ilahi adalah dengan rasa keikhlasan, dan ini bukan berarti guru tidak boleh sepenuhnya tanpa harus digaji dan tanpa harus dihormati. Untuk itu apa yang diungkapkan oleh KH. Hasyim Asy’ari bahwa seorang guru harus mempunyai kompetensi yang memadai dengan menjadikan dirinya sebagai top model. Karena bagaimanapun juga eksistensi guru sampai kapan pun tetap tidak akan terganti oleh mesin yang canggih sekalipun.
24
Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok…, hlm. 15.
63
C. Kontribusi Konsep Etika Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Serta Relevansi Dengan Sistem Pembelajaran Saat Ini. Dunia pendidikan Indonesia saat ini bisa digambarkan dengan pola hidup masyarakat Indonesia yang sudah memprihatinkan. Dalam hal ini terdapat dua kelompok. Satu kelompok melihat nilai-nilai lama mulai runtuh sedang nilai-nilai baru belum muncul untuk menggantikan nilai-nilai lama. Sedangkan kelompok kedua melihat nilai-nilai lama itu masuk ke dalam nilainilai baru dan membantu menegakkannya. Samsul Nizar mengungkapkan bahwa keprihatinan bangsa yang tengah dilanda krisis dalam berbagai aspek kehidupan membuat peran pendidikan khususnya sekolah dipertanyakan.25 Ini berarti pendidikan belum mampu membentuk manusia ideal yang dapat diandalkan dalam masyarakat. Melihat kondisi riil yang ada sekarang ini, seperti maraknya tawuran pelajar, konsumsi dan pengedaran narkoba yang merajalela, dan pergaulan bebas, membuat peran pendidikan semakin tersudut. Seakan pendidikan sekolahlah yang bertanggung jawab penuh terhadap berbagai permasalahan yang menyelimuti generasi bangsa dan masyarakat. Kondisi seperti di atas sebenarnya sudah lama tergambar pada masa lalu, hal semacam ini pula yang melatar belakangi terciptanya karangan kitab Adabul alim wal mutaa’allim. Pendidikan dimasa sekarang ini disadari atau tidak telah mengalami pergeseran nilai dan orientasi, pendidikan Islam yang awalnya bertujuan membentuk karakter anak didik dan membentuk etika religius, ternyata secara metodologis justru lebih banyak terjebak dalam pola pendidikan satu arah bersifat pengajaran semata. Kondisi seperti ini pada akhirnya akan kembali menimbulkan krisis etika dan moral serta keagamaan. Melihat kondisi seperti itu, maka kontribusi yang akan diberikan oleh beliau adalah sebagai berikut: 1. Orientasi Tujuan Pendidikan yang Mempunyai Arah Duniawi untuk Ukhrawi
25
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…, hlm. 32.
64
Dalam hal ini, akan terjadi keseimbangan antara jasmani dan rohani. Keseimbangan ini akan menjadi dasar untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna. Dengan adanya tujuan ke arah ukhrawi maka perkembangan pendidikan tidak hanya terfokus pada transfer of knowledge
dengan
pengajaran semata. 2. Penyertaan Religius dalam setiap Unsur Proses Belajar Mengajar Adapun yang dimaksud adalah berusaha membuat suasana keagamaan dalam proses pendidikan. Dan ini, mempunyai peran besar dalam menumbuhkembangkan moral dan spiritual peserta didik. Karena suasana religius dan membiasakan akhlak dalam setiap kegiatan belajar mengajar merupakan langkah maju menuju cita-cita keseimbangan dunia dan akhirat. 3. Optimalisasi Etika Religius terhadap Guru dan Murid Tentang optimalisasi etika religius terhadap guru dan murid merupakan konsep untuk pengamalan secara maksimal terhadap ajaranajaran Islam. Dalam konteks ini, ajaran agama tidak boleh hanya dikuasai sebagai pengetahuan, melainkan pengamalan yang mengkristal dalam diri guru dan murid. Optimalisasi religius ini menitik beratkan pada individu guru dan murid. Kalau dilihat secara seksama, pemikiran K.H Hasyim Asy’ari berusaha membuat dasar bangunan masyarakat moral religius melalui pembinaan moral. Dari beberapa pemaparan diatas menunjukkan adanya sesuatu yang salah dalam praktek pendidikan kita, yaitu kurangnya perhatian pada aspek etika, moral yang perlu dicarikan pemecahannya. K.H Hasyim Asy’ari telah memberikan sedikit gambaran atas pemecahan persoalan yang terjadi dengan mengedepankan pendidikan etika sebagai tujuan pendidikan, pesantren sudah membuktikan keberhasilannya dalam mencetak murid, anak didik yang saleh, beretika dan berakhlak mulia.26 Maka membuat
26
Ahmad Magfurin, “Model Pendidikan Alternatif Masa Depan”, dalam Ismail SM, dkk (Ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002), hlm. 143.
65
suasana religius dan membiasakan etika dan akhlak yang baik dalam setiap kegiatan belajar mengajar merupakan langkah maju menuju cita-cita keseimbangan dunia akhirat. Etika, akhlak dan adab merupakan salah satu dari bentuk sifat yang harus diperhatikan dan dimiliki oleh siapapun, khususnya guru dan murid atau anak didik dalam pendidikan, dimana antara sikap guru dan murid sangatlah terkait satu sama lain dalam proses belajar mengajar. Murid selaku penerima ilmu haruslah hormat terhadap guru, sedangkan guru sebagai pendidik sudah seharusnya bersikap lebih dibandingkan murid.
66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari beberapa uraian bab diatas setidak-tidaknya ada tiga dimensi penting yang terdapat dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, yakni dimensi keilmuan yaitu dimensi yang memandang pendidikan sebagai wadah pengembangan keilmuan, dimensi pengamalan berarti mengupayakan pendidikan sebagai aktualisasi dari ilmu yang selama ini dicari, dan dimensi religius sebagai kontrol bahwa pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan keimanan dan pengetahuan kepada Tuhan. Dimana dari tiga dimensi tersebut terangkum dalam satu konsepsi pendidikan yang bercirikan dengan nilai-nilai moral dan berlandaskan “etika”. Kaitanya dengan etika guru terhadap murid yang disampaikan K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim Wa Al Muta’allim dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam menjalankan tugas utama profesinya sebagai guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran kepada murid atau anak didik, apa yang dilakukan oleh guru kurang lebih nantinya adalah yang akan dilakukan oleh murid atau anak didik. Oleh karena itu guru hendaknya bersikap hati-hati dalam menjaga sikap,
etika
dan
perilakunya
dalam
menjalankan
kegiatan
belajar
mengajarnya, serta mendasari setiap perilaku pengajarannya dengan nilai nilai etika keagamaan (religius ethic). KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan, bahwa kunci sukses belajar mengajar adalah adanya aturan etika yang dijalankan dalam relasi hubungan komunikasi yang baik antara guru dengan murid yang berdasarkan pada nilai-nilai agama. Hal ini membuktikan bahwa apa yang dipahami beliau dalam bidang pendidikan merupakan buah karya perhatian beliau tentang tentingnya nilai etika dalam pendidikan. Adapun peran dan pentingnya kesuksesan suatu pendidikan itu hanya dapat dilakukan oleh guru yang mempunyai kompetensi tertentu
dengan
menjadikan
etika
mengajarnya.
67
sebagai
landasan
tinggi
belajar
Adapun relevansi pemikiran etika guru yang digambarkan KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adabul Alim Wal Mutaallim meliputi empat etika pokok yaitu, etika guru terhadap diri sendiri , etika guru dalam proses belajar mengajar, etika guru terhadap murid atau anak didik, etika terhadap kitab sebagai alat untuk belajar. Untuk sekarang ini dirasa sangat penting untuk diapresiasi kembali di tengah-tengah keadaan sistem pendidikan yang sudah terjebak dalam pandangan material oriented. Dimana dalam pandangan beliau bahwa materi bukanlah tujuan dari pendidikan. Adapun jika diimplementasikan dalam praktek kegiatan belajar mengajar, pemikiran K.H Hasyim Asy’ari sangatlah penting, artinya ditengah-tengah keadaan sistem pendidikan yang terjebak pada materialoriented seperti sekarang ini. Dengan kata lain, guru memandang bahwa pendidikan merupakan satu-satunya wadah untuk menghasilkan materi. Maka yang akan terjadi adalah hilangnya aspek etika religius dan barakah dalam pendidikan tersebut. Oleh karena itu, berefleksi dari pemikiran beliau, perlu rasanya untuk mengadakan evaluasi diri, sudah sejauh manakah perjalanan pendidikan selama ini, maka apa yang diungkapkan K.H Hasyim Asy’ari layak direnungkan kembali, yakni tentang adanya guru profesional yang mempunyai kompetensi akademik dengan kualitas etika tinggi yang memadai dengan menjadikan dirinya sebagai top model atau uswah bagi perkembangan murid atau anak didik. Namun demikian, tidak harus sampai mereduksi adannya nilai-nilai etika dalam proses pembelajaran. Jadi, yang perlu diingat adalah bagaimana proses pembelajaran tersebut, dibangun atas dasar etika dan ta’zim yang besar dari seorang murid dan cinta kasih yang tulus dari seorang guru. Maka pendidikan yang berdasarkan etik di atas akan terjalin sikap yang kritis dan demokratis dan eksistensi guru dan siswa sama-sama diakui, lebih dari itu siswa diperlakukan secara manusiawi, diberikan hak untuk mengemukakan pendapat, mengkritik. Tapi bagaimana kritikan dan pendapat tersebut disampaikan dengan santun dan beretika. B. Saran-Saran Adapun saran-saran untuk mengakhiri skripsi ini adalah sebagai berikut:
68
Pertama, Dalam kaitannya dengan pendidikan, pemikiran K.H Hasyim Asy’ari tentang etika guru terhadap murid dan implementasinya dalam pendidikan modern, setidak-tidaknya
memberikan sumbangan
pemikiran dalam pendidikan Islam. Kedua, Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari masih sangat relevan untuk dikaji dan dikembangkan karena dengan melihat fenomena pendidikan yang sering terjadi, sebagaimana kekerasan dalam pendidikan di Indonesia. Hal ini, mengingat kondisi bangsa Indonesia yang secara budaya dan pendidikan semakin tertindas dan terhegemoni Barat. Maka pemikiran K.H Hasyim Asy’ari
mencoba
menata
kembali
masalah
pendidikan
dengan
mengembangkan sebuah etika religius dan transendental dalam pendidikan. Ketiga,
untuk
kepentingan
teoritis
maupun
praktis
bagi
pengembangan pendidikan Islam umumnya dan belajar mengajar pada prakteknya, pengkajian secara kritis terhadap konsep-konsep yang berasal dari ulama-ulama tradisional penting untuk terus dilakukan, karena menemukan pemikiran ulama tradisional secara kritis ibarat menemukan kembali mutiara berharga yang telah lama terpendam di kedalaman lumpur sejarah selama bertahun-tahun. Keempat, Salah satu temuan dalam dalam penelitian adalah adanya indikasi bahwa apa yang mejadi pemikiran pendidikan K.H Hasyim Asy’ari khususnya tentang etika sedikit banyak merupakan manifestasi dari pemahaman tasawuf dan keagamaan yang disandangnya. Namun dalam penelitian ini hal itu hanya disinggung sebagaian saja, sehingga kajian lebih lanjut mengenai pengaruh paham keagamaan dan tasawuf
K.H Hasyim
Asy’ari terhadap konsep pendidikan yang beliau bangun memiliki signifikansi dan urgensi yang cukup penting untuk dilakukan.
C. Penutup Demikianlah hasil akhir dari skripsi ini, yang telah mengalami perjalanan panjang yang harus dilalui untuk sampai pada penghujung untuk mencapai garis akhir. Segala tulisan yang tertuang dalam skripsi ini merupakan
karya
yang
ditulis
dengan
sungguh-sungguh
dan
69
bertanggungjawab, namun tetap harus diakui bahwa segala kekurangan dan kesalahan sudah barang tentu masih tetap melekat dalam rangkaian kata-kata dari awal sampai akhir. Untuk itu, tidak ada usaha yang lebih berharga kecuali melakukan kritik konstruktif terhadap setiap elemen untuk membangun skripsi ini, demi perbaikan dan kebaikan semua pihak. Namun penulis tetap berharap, dengan segala kekurangan dan kesalahan yang ada, skripsi ini tetap menjadi bagian dari usaha yang bermanfaat bagi pengembangan pendidikan Islam pada khususnya, dan pengayaan khazanah Islam pada umumnya, atau paling tidak dapat memenuhi standar minimal dari kriteria kegunaan yang telah ditetapkan sejak penelitian ini berupa rancangan. Amin.
70
DAFTAR KEPUSTAKAAN Abdussami, Humaidy, dan Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ‘Am Nahdlotul Ulama, Yogyakarta: LTN bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1995. Al Abrasyi, Athiyyah, al-Tarbiyah al-Islamiyah Wa Falasifatuha, Mesir: alHalabi, 1975. _______, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970. Al Darimi, Imam, Sunan Al- Darimi, Dar al-Fikr: Mesir, tt. Al Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, terj. Abdul Rosyad Shiddiq, Jakarta: Akbar Media, 2008. Al Qardhawi, Yusuf, Konsepsi Ilmu dalam Persepsi Rasulullah SAW, Karakter Ilmu dan Ulama’, Jakarta: Firdaus, 1994. Al-Syaibany, Omar Muhammad Al-taomy, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang: Jakarta, 1979. Al Zarnuji, Ta'limul Muta'llim, Semarang: Pustaka Alawiyyah, t.t. Ali, Muhammad, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Penerbit Sinar Baru Algesindo, 2007. Ali, Zainudin, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Aly, Hery Nur dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2003. Anam, Chairul, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Surabaya: Bisma Satu, 1999. An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali, Bandung: Diponegoro, 1989. Assegaf, Abd. Rahman, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Asy’ari, KH. Hasyim, Adabul ‘Alim wa al Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats al-Islami, 1413 H. Asy Syalhub, Fuad, Guruku Muhammad, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
Azizy, A. Qodri A., Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan Dan Bermanfaat), Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003. Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Burhanuddin, Tamyiz, Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak, Yogyakarta: ITTAQA Press, 2001. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Daradjat, Zakiah, Kepribadian Guru, Jakarta: Bulan Bintang, 2005. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang pandangan hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982. Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Fakhruddin, Asep Umar, Menjadi Guru Favorit, Jakarta: PT. Grasindo, 1999. Hadzik, KH. Ishomuddin, Irsyad al-Sari, Jombang: Maktabah Turats al-Islami, tt. Huda, Misbahul, ”Profil dan Etika Pendidik dalam Pandangan Pemikir Pendidikan Islam Klasik”, Religia, vol. II, No. 2, Oktober, 1999. Khuluq, Lathiful, Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: LkiS, 2000. Komarudin, et.al., Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980. Magfurin, Ahmad, Model Pendidikan Alternatif Masa Depan, dalam Ismail SM, dkk (Ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002. Majid, Abdul, et.al., Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma'arif, 1989. Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LkiS, 2004. Misrawi, Zuhairi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan kebangsaan, Jakarta: Kompas, 2010. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafika, 1996. Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Muhammad, Herry, et.al., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani, 2006. Mujib, Abdul, et al., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008 Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Misaka Galiza, 2003. Musarmadan, Ahklak Guru dan Murid dalam Perspektif Pendidikan Islam (studi atas pemikiran K.H Hasyim Asy'ari dalam kitab Adabul Alim wa Al Muta'alim), Semarang IAIN Walisongo, 2006. Mustofa, KH. Bisyri, Mitra Sejati, Surabaya: Maktabah Muhammad Nabhan, tt. Nasution, S., Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1992. Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Nizar, Samsul, dan Abdul Halim (Ed), Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2002. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996. Rozikin, Badiatul, et. al., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: eNusantara, 2009.
Rusn, Abidin ibnu, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Soetjipto, et.al., Profesi keguruan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1994. Sudjana, Nana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002. Sulaiman, Fathiyah Hasan, Aliran-Aliran dalam pendidikan, Studi tentang Aliran Pendidikan menurut Al-Ghazali , Semarang: Dita Utama, 1993. Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa: Dari Teori Hingga Aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan: Suatu pendekatan Baru, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1995. Sya'roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji dan KH. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: Teras, 2007. Syukur, Suparman, Etika Religius, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992. Tantowi, Ahmad, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009. Thoha, Chabib, dkk, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integritas dan Kompetensi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006. Undang-Undang R.I. Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang "SISDIKNAS: Sistem Pendidikan Nasional", Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.
Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000. Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri 1. Nama 2. Tempat tanggal lahir 3. NIM 4. Alamat Asal
: Edi Hariyanto : Demak, 5 Maret 1987 : 053111324 : Tb. Malang, RT/RW. 04/06. Purworejo, Kec. Bonang, Kab. Demak : 085726920364 : edi.
[email protected] terate
HP E-mail B. Riawayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal
:
a. RA. Raudlotul Islamiyyah ............................................. Tahun 1992 b. MI Raudlatul Islamiyyah ................................................ Tahun 1999 c. MTs Futuhiyyah I Mranggen ......................................... Tahun 2002 d. MA Futuhiyyah I Mranggen........................................... Tahun 2005 e. IAIN Walisongo Semarang ........................................... Tahun 2011 2. Pendidikan Non Formal : a. Pondok Pesantren Futuhiyyah ........................................ Tahun 1999 C. Pengalaman Organisasi : 1. IKSANDA (Ikatan Santri Demak) ............................ Tahun 2003-2004 2. Dep. KAMTIB (Keamanan dan Ketertiban) PP. Futuhiyyah ..................................................................... Tahun 2005 3. PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate ................................ Tahun 2010 D. Karya Ilmiah 1. Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim.(Skripsi) Semarang, 10 Juni 2011 Penulis
Edi Hariyanto NIM. 053111324
i