TESIS
ESTETIKA DEKONSTRUKSI LUKISAN “DALANG BALI” I NYOMAN GUNARSA
I KADEK AGUS ARDIKA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
TESIS
ESTETIKA DEKONSTRUKSI LUKISAN “DALANG BALI” I NYOMAN GUNARSA
I KADEK AGUS ARDIKA NIM: 1290261014
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i
ESTETIKA DEKONSTRUKSI LUKISAN “DALANG BALI” I NYOMAN GUNARSA
Tesis untuk Memperoleh Galar Magister pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana
I KADEK AGUS ARDIKA NIM: 1290261014
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 28 JANUARI 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M. Si Nip: 195208151981031004
Dr. I Gede Mudana , M.Si Nip: 196412021990111001
Mengetahui
Ketua Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M. Si Nip: 195208151981031004
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) Nip: 195902151985102001
iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Di Uji pada Tanggal 28 Januari 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 242/UN.14.4/HK/2015
Ketua
: Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si
Anggota
: 1 Dr. I Gede Mudana, M.Si 2. Prof. Dr. I Nyoman Suarka M.Hum 3. Prof. Dr. Ir. Putu Rumawan Salain, M.Si 4. Prof. Dr. Wayan Ardika, M.A
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama
:
I Kadek Agus Ardika
NIM
:
1290261014
Program Studi
:
S2 Kajian Budaya
Judul Tesis
:
Estetika Dekonstruksi Lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa
Dengan
ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 10 Desember 2014
(I Kadek Agus Ardika)
v
UCAPAN TERIMA KASIH Syukur dan terimakasih penulis ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Shang Hyang Widhi Wasa, karena dengan izin-Nya tesis yang berjudul “Estetika Dekonstruksi Lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa”, bisa penulis selesaikan dengan baik dan tanpa hambatan yang berarti. Dalam penulisan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak terutama dari pembimbing I, Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si, dan Pembimbing II, Dr. I Gede Mudana, M.Si, yang selalu sabar dalam memberi arahan dan masukan. Terima kasih kepada tim penguji Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si., Dr. I Gede Mudana, M.Si., Prof. Dr. Wayan Ardika, M.A., Prof. Dr. I Nyoman Suarka M.Hum, Prof. Dr. Ir. Putu Rumawan Salain, M.Si, atas kritikan, arahan, dan masukan dalam proses penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana, Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana, dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, serta ketua Program Studi Magister Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan di Universitas Udayana. Selanjutnya terima kasih kepada seluruh staf pengajar Program Magister (S2) Kajian Budaya yang telah banyak menularkan ilmunya, dan terimakasih kepada seluruh staf pegawai Program Pascasarjana Universitas Udayana. Demikian pula penulis ucapakan terima kasih kepada para informan yang telah membantu memberikan informasi dan berperan penting dalam penyempurnaan vi
tesis ini Terima kasih kepada rekan-rekan angkatan 2012 yang telah memotivasi dalam penyelesaian tesis ini. Terakhir untuk keluargaku tercinta, terimakasih atas dukungan, doa dan kesabarannya. Bukanlah kesempurnaan dari sebuah pengetahuan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan pengetahuan di masa mendatang, dan juga sebagai bahan pertimbangan kemajuan ilmu Kajian Budaya itu sendiri. Semoga tesis ini bermanfaat.
Denpasar, 10 Januari 2015
Penulis
vii
ABSTRAK Lukisan “Dalang Bali” merupakan sebuah karya seni atau bentuk karya dua dimensi seniman lukis terkenal Bali saat ini yaitu I Nyoman Gunarsa. Lukisan ini bertema tentang kebudayaan Bali, yang merupakan sebuah bentuk representasi yang di dalamnya terkandung ideologi dan berlatar belakang sosial budaya masyarakat Hindu Bali. Gunarsa yang menghadirkan representasi estetika dekonstruktif lewat tanda visual membawa misi tertentu yang menjadi ideologi dari seorang Gunarsa. Melalui tanda visual inilah lukisan “Dalang Bali” bisa dilihat sebagai tanda atau teks yang tidak bermakna tunggal (kompleks). Penelitian ini memfokuskan pada analisis dekonstruksi estetika yang hadir dalam lukisan “Dalang Bali”. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana representasi estetika dekonstruksi lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa, (2) fakta ideologis apakah yang melatar-belakangi estetika lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa, (3) bagaimana makna dekonstruksi dalam estetika lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa. Sebagai penelitian dengan sumber data berupa lukisan, penelitian ini menggunakan metode observasi, pengumpulan dokumentasi, dan wawancara. Teknik analisis data bersifat deskriptif. Teori yang digunakan adalah teori dekonstruksi, dan teori hipersemiotika yang diterapkan secara eklektik. Hasil pembahasan yang dimulai dari representasi estetika dekonstruksi lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa diurai dari beberapa aspek yakni, bentuk yang terdistorsi, ruang yang menghadirkan ruang terbatas dan tanpa batas atau menciptakan ruang kosong yang siap diisi oleh apresiator, komposisi yang di dalammya mengandung kontras dan sudut pandang yang menciptakan sistim pertandaan bertingkat yang menciptakan peleburan makna tunggal, transformasi struktur dalam pementasan wayang yang asli menciptakan konotasi makna dari makna yang bersifat denotasi, dan tanda yang menghadirkan tanda palsu dan tanda daur ulang yang menciptakan dekontekstualisasi pada tanda dan menciptakan pendevaluasian tanda maha tinggi dari teks referensi. Sementara fakta ideologis yang melatar-belakangi estetika lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa adalah estetika, kreativitas dan pembaharuan, kekuasaan, dan nasionalisme. Berdasarkan representasi dan fakta ideologis yang hadir, jadi pergulatan makna dekonstruksi estetika dalam lukisan “Dalang Bali” Gunarsa dapat dimulai dari estetika postmodern yang memiliki lima idiom, hingga bisa dilihat sebagai bentuk hiperrealitas, matinya pengarang, identitas, dan perlawanan. Kata kunci: ideologi, estetika, dekonstruksi, representasi.
viii
ABSTRACT The painting of “Dalang Bali” is an artwork or the form of two dimensional work created by I Nyoman Gunarsa. The theme of the painting is about Balinese culture, which is a form of representation contained within an ideology and has a background of socio-cultural of Balinese Hindu‟s society. The research focuses on the deconstruction analysis of existing aesthetic in the painting of “Dalang Bali”. A person such as Gunarsa who presented the representation of deconstructive aesthetic through visual sign which brought certain mission that became an ideology of a Gunarsa. It is through this visual sign that the painting of “Dalang Bali” can be seen as a sign or text which does not have a single meaning (complex). Based on the background, so the issues raised in this research are: (1) how is the representation of deconstruction aesthetic in the painting of “Dalang Bali” by I Nyoman Gunarsa, (2) what is the conseptual fact and ideology which backgrounding the aesthetic from the painting of “Dalang Bali” by I Nyoman Gunarsa, (3) how is the deconstruction meaning in the aesthetic from the painting of “Dalang Bali” by I Nyoman Gunarsa. As a research with the source of data in the form of a painting, this research uses a hermeneutic method, documentation collection, and interview. Data analysis technique is analysis descriptive by nature, and the theories being used are deconstruction theory,and hyper-semiotic theory which eklektik appled. The result of discussion which is started from the representation of deconstruction aesthetic from the painting of “Dalang Bali” by I Nyoman Gunarsa is described from several aspects that is, a distorted shape, the space which presents limited and unlimited space or creating an empty space which ready to be filled with audiences, the composition which contained within a contrast and point of view creating a fusion of single meaning and creating a sing multistoried system, transformation of a structure in the staging of original puppet show creating a meaning connotation from denotation meaning, and the sign which presents a false sign and recycle sign which creating decontextualization on the sign and creating a devaluation of supreme sign from reference texts. While a conceptual fact and ideology which backgrounding the aesthetic from the painting of “Dalang Bali” by I Nyoman Gunarsa is an aesthetic, creativity and renewal, power, and nasionalism. So that from the existing ideology there is a struggle of aesthetic deconstruction meaning in the painting of “Dalang Bali” by I Nyoman Gunarsa can be started from post-modern aesthetic which has five idioms, hyper-reality, the dead author, identity, and resistance. Keywords: ideology, aesthetic, deconstruction.
ix
RINGKASAN
Keindahan adalah kesempurnaan yang absolut dikenal melalui perasaan. Keindahan mengandung nilai harmoni antara unsur satu dengan unsur yang lainnya dalam sebuah karya. Sebagai animal aestetichum manusia memiliki hasrat mencipta karya seni yang mengandung nilai keindahan. Pada dasarnya keindahan memiliki tujuan untuk menyenangkan perasaan orang yang mengamati serta untuk menimbulkan keinginan, baik untuk mengetahui lebih lanjut, memiliki, untuk menciptakan kembali, atau keinginan lain yang lebih bersifat positif. Sesuai dengan perkembangan zaman, keindahan sebagai bentuk estetika dalam seni tidak hanya sekedar menampilkan nilai estetik melainkan terkandung berbagai kepentingan untuk menguasai. Dari berbagai kepentingan yang menguasai estetika bisa dikatakan sebagai representasi dari realitas, yang di dalamnya terkandung makna peniruan realitas, penyembunyian realitas, dan penciptaan realitas. Hal ini yang tercermin dalam lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa. Estetika dekonstruksi lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa mengandung nilai-nilai yang mencerminkan realitas sosial dan budaya masyarakat. Dalam lukisan “Dalang Bali”, Gunarsa sebagai pencipta dari lukisan memvisualkan kode dan tanda dari berbagai kebudayaan atau merepresentasikan estetika yang bersifat dekonstruktif, hingga melalui tanda dan kode tersebut menciptakan makna yang tidak tunggal. Berdasarkan uraian di atas rumusan masalah dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana representasi estetika dekonstruksi lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa? (2) fakta ideologis apakah yang melatarbelakangi estetika dekonstruksi lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa? (3) bagaimana makna dekonstruksi dalam estetika lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa? Tujuan penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji dan menggali praktik-praktik pemaknaan yang hadir lewat tanda-tanda dan menjawab kecurigaan
penulis
terhadap
tanda-tanda
x
yang
melampaui
yang dihadirkan Gunarsa melalui representasi estetika dekonstruksi lukisan “Dalang Bali” yang menjadi sebuah karya unik sekaligus karya yang memiliki berbagai kepentingan. Sementara tujuan secara khusus dalam penelitian ini adalah untuk memahami dan mendeskripsikan representasi estetika dekonstruksi lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa, untuk memahami dan mendeskripsikan fakta ideologis yang melatar-belakangi estetika lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa, dan untuk memahami dan mendeskripsikan pergulatan makna dekonstruksi dalam estetika lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam mengetahui bagaimana estetika dekonstruksi sebagai bentuk representasi memiliki sebuah ideologi dalam sebuah teks seni atau lukisan. Metode
penelitian
menggunakan
metode
hermeneotik.
Metode
hermeneotik merupakan metode yang menempatkan teks sebagai inti, atau menempatkan teks sebagai posisi sentral dalam penelitian ini. Estetika dekonstruksi lukisan dalam analisisnya menggunakan teori dekonstruksi untuk keseluruhaan analisis yang dibantu teori hipersemiotika. Dekonstruksi adalah sebuah teori yang digunakan untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat dalam teks atau tanda-tanda dengan membongkar oposisi biner yang salah satu prinsipnya merayakan sebuah penanda, hingga sebuah fenomena nyata tidak dipandang sebagaimana adanya. Hipersemiotika merupakan metode penyikapan kode-kode tanda yang bersifat melampaui, dinamis, transformatif, produktif, revolusioner, dan dekonstruktif, dalam hal ini hipersemiotika digunakan untuk memecahkan makna-makna dari teks yang hadir memiliki tanda-tanda yang dinamis dan melampaui. Dalam representasi yang di dalamnya memvisualkan sebuah bentuk atau wujud sebagai penanda merupakan unsur terpenting sebagai identitas suatu benda agar dapat dilihat secara langsung, hingga dari bentuk atau wujud sebagai penanda bisa terlihat ideologi yang dianut. Representasi estetika dekonstruksi lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa diurai dari beberapa aspek yakni, (a) bentuk, (b) ruang, (c) komposisi, (d) transformasi struktur, (e) tanda. Bentuk, hadirnya bentuk yang terdistorsi yang tercipta karena adanya hubungan timbal balik antara nilaixi
nilai yang dipancarkan oleh fenomena bentuk fisiknya terhadap tanggapan kesadaran emosionalnya atau bentuk yang merupakan hasil intepretasi nilai terhadap bentuk-bentuk eksternal melalui pengamatan dan perenungan, yang kemudian menjadi pengalaman batin yang lebih bersifat imajiner personal. Hal yang menunjukkan adanya proses yang terjadi di dalam dunia ciptaan bukan sekedar terjemahan dari pengalaman tertentu atau sekedar apa yang dilihatnya. Ruang yang hadir di dalamnya bersifat kosong dari kepadatan ruang yang divisualkan atau menciptakan ruang yang terbatas hingga tak terbatas. Ruang tidak terbatas ini hadir pada proses pemaknaan yang bersifat konotataif. Dalam komposisi menghadirkan kontras dan sudut pandang, dari segi kontras menghadirkan bentuk, menciptakan
peleburan
warna, dan keseimbangan makna
yang
bersifat
yang kontras hingga
tunggal.
Sudut
pandang,
menghadirkan dua sudut pandang dalam satu tanda, di mana hal tersebut juga menciptakan peleburan atau kekacauan dalam proses pemaknaan, dari hal yang denotatif mengarah kepemaknaan yang konotatif. Transformasi struktur yang hadir di mana menghadirkan perubahan pada pemvisualan pementasan wayang Bali dengan kehadiran figur perempuan dengan makna konotatif sebagai sinden dari wayang Jawa, dan dengan pemvisualan dari tampak belakang menghadirkan teks yang bersiafat vulgar. Tanda yang hadir di antaranya ada tanda palsu, dan tanda daur ulang. Tanda palsu merupakan tanda yang berdasarkan kemiripan atau tanda yang seakan-akan asli padahal palsu, di mana kehadiran teks kebudayaan Jawa dalam konteks kebudayaan Bali. Tanda daur ulang adalah tanda yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa lalau (dengan konteks ruang, waktu, dan tempatnya yang khas), kini digunakan untuk menjelaskan masa kini (yang sesungguhnya berbeda atau tidak ada sama sekali). Tanda daur ulang selalu mencari konteks ruang waktu yang baru yang di dalamnya sebuah peristiwa atau realitas dikosongkan dari makna sebenarnya, dan diisi oleh makna-makna yang diasumsikan lewat tanda daur ulang (dekontekstualisasi tanda). Dari representasi estetika dekonstruksi yang dihadirkan Gunarsa merupakan sebuah usaha untuk menciptakan sebuah xii
tanda, dalam artian
lewat penanda-penanda tersebut Gunarsa merepresentasikan apa yang ada dalam pemikirannya yaitu konsep atau kumpulan ide-ide yang dihadirkan lewat penanda untuk mewujudkan berbagai keinginan ataupun kepentingannya (ideologi). Dari representasi estetika dekonstruksi yang menjadi wujud kesatuan dari lukisan “Dalang Bali” sebagai tanda yang memiliki berbagai tujuan, dan sebuah tujuan dilatar belakangi oleh kumpulan ide-ide yang biasa disebut konsep sebagai ideologi memiliki sebuah kepentingan dalam tujuan mengarahkan penikmat ke arah yang diinginkan sang penciptanya. Adapun fakta ideologi yang melatar belakangi lukisan “Dalang Bali” yakni, (a) estetika, (b) kreativitas dan pembaharuan, (c) nasionalisme, (d) kekuasaan. Estetika, dari hal yang memiliki nilai dekonstruktif yang menjadi ciri-ciri khusus sehingga membuat suatu benda atau lukisan menjadi lebih indah dan bernilai estetik lebih tinggi, maka dalam konteks tersebut keindahan dilihat sebagai sebuah teori yang mampu menciptakan pemahaman-pemahan baru dari teks yang tercipta. Kreativitas dan pembaharuan, dari penanda dekonstruktif kreativitas menerjunkan Gunarsa ke dalam keadaan ambang, yakni keadaan antara yang belum ada dan yang ada, dengan demikian individu kreatif selalu dalam kondisi “kacau, ricuh, kritis, gawat, mencari-cari, mencoba-coba”, untuk menemukan sesuatu yang belum ada dari sesuatu tatanan budaya yang pernah dipelajari. Kreativitas merupakan sebuah kebebasan, atau sebuah kebebasan dalam keseriusan dalam bermain-main, atau bermain-main dalam sebuah keseriusan, dan kreativitas merupakan salah satu upaya untuk menciptakan sebuah pembaharuan hingga pembaharuan dapat terlihat dari terciptanya sistim tanda bertingkat dalam satu teks yang menciptakan pluralitas tekstual. Nasionalisme dalam hal ini, menghadirkan wayang sebagai identitas kebudayaan nasional dan berupaya mempertinggi keberadannya, maksudnya adalah suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu ” bangsa ” yang aktual atau ” bangsa ” yang pontesial. Kekuasan sebagai ideologi adalah kekuasaan dalam hal ini lebih merupakan suatu kebebasa
seniman
yang
memiliki xiii
kekuasaan
yang
bebas
bermain di wilayah kode dan tanda dari pragmen-pragmen sejarah atau kebudayaan yang ada yang merupakan kelahiran kekuatan yang bersifat humanism dalam postmodern. Namun bersamaan dengan itu juga mencerminkan kekuasaan sebuah kode dan tanda alami dan kebudayaan terhadap seniman, sehingga seniman terpenjara dari kebebasannya dalam bermain tanda dan kodekode kebudayaan saja. Hal tersebut merupakan usaha ke luar dari perangkap simbolik atau kekuasaan dari tanda-tanda alami dan simbolik tersebut dengan cara mencoba menafsirkan kembali bahasa simbolik yang telah diterima tersebut, lewat permainan bebas tanda-tanda dan bercampur aduk yang dilandaskan pada wawasan keterbukaan terhadap penafsiran untuk menciptakan kekuasaan baru, yaitu dengan memasuki ruang yang memungkinkan bagi pengakuan akan abnormalitas dan pemutar balikan grammar, atau fakta. Dari representasi estetika dan fakta konseptual dan ideologis yang hadir, pergulatan makna dekonstruksi estetika dalam lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa dapat dimulai dari (a) estetika postmodern yang memiliki lima idiom, (b) hiperrealitas, (c) matinya pengarang, (d) identitas, dan (e) perlawanan. Sebagai bentuk estetika postmodern lukisan “Dalang Bali” memiliki rekoleksi tanda-tand yang dimulai dari lima idiom-idiom estetika postmodern di antaranya, pastische, parody, kitsch, camp, dan skizofrenia. Dari lima idiom tersbut lukisan “Dalang Bali” merupakan sebuah teks di dalamnya memiliki berbagai kode acak dan tanda-tanda palsu
atau tanpa acuan referensi yang jelas dan hubungan ini
melibatkan tanda yang riil yang terbentuk melalui proses reproduksi, serta tanda semu yang tercipta dari proses reproduksi. Yang nyata atau realitas faktual, dan citraan berjalin dan berbaur atau menumpuk di mana hal ini yang terdapat dalam diskursus estetika postmodern. Hiperrealitas yang terjadi di dalamnya adalah objek-objek yang murni penampakan, yang tercabut dari realitas sosial masa lalunya atau sama sekali tidak mempunyai realitas sosial sebagai referensinya (simulacrum murni) dalam hal ini subjek (Gunarsa) sebagai konsumer digiring ke dalam pengalaman ruang yang disebut hiperrelitas-pengalaman silih bergantinya penampakan di dalam ruang, berbaur dan meleburnya relitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi, dan nostalgia, xiv
sehingga perbedaan antara satu dengan yang lainnya sulit ditemukan atau tidak ada lagi perbedaan antara yang nyata dan fantasi, atau lebih tepatnya fantasi itu lebih dirasakan seperti nyata. Fantasi tersebut bisa dilihat dari hadirnya tanda artifisial dan perbedaan yang mementingkan persamaan, atau diistilahkan pelenyapaan petanda metafisik representasi, runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu sendiri yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi, atau realitas pengganti realitas pemujaan (fetish) objek yang hilang bukan lagi objek-objek representasi tetapi ektase penyangkalan dan pemusnahan ritualnya sendiri. Matinya pengarang, merupakan dampak yang timbul ketika Gunarsa menghadirkan seni tinggi atau masa lalu dan ketika Gunarsa sebagai konsomer yang mengonsumsi objek-objek yang di dalamnya subjek yang dikontrol objekobjek atau dikuasai objek-objek, diistilahkan hilangnya kekuatan individu secara absolut, Narasi Besar yang sudah bangkrut atau pemudaran gaya personal. Kekuasaan dalam hal ini lebih merupakan sesuatu kebebasan seniman yang memiliki kekuasaan yang bebas bermain di wilayah kode dan tanda dari pragmenpragmen sejarah atau kebudayaan yang ada, yang merupakan kelahiran kekuatan yang bersifat humanism dalam postmodern, namun bersamaan dengan itu juga mencerminkan kekuasaan sebuah kode dan tanda alami dan kebudayaan terhadap seniman, sehingga seniman terpenjara dari kebebasannya dalam bermain tanda dan kode-kode kebudayaan saja. Matinya pengarang dalam hal ini juga merupakan sebuah kelahiran para pembaca atau teks sebagai pusat penciptaan ketimbang penciptanya sendiri, di mana diartikan sebagai kekuatan pembaca yang dibebaskan dari tirani pengarang dan berpeluang untuk berpartisipasi dalam menghasilkan pluralitas makna dalam diskursus. Dalam kondisi tersebut pembaca atau interpretan bebas melakukan penapsiran yang disandarkan dari proses makna konotasi yang sudah menjadi ideologi dari pengarang, sehingga menempatkan posisi interpretan dalam posisi oposisional. Identitas di sini adalah sesuatu yang bisa ditandakan dan identitas merupakan suatu yang bersifat sosial maupun personal maupun bukan sebagai sesuatu entitas yang tetap tetapi sebagai gambaran perihal diri yang penuh dengan xv
muatan emosi. Dari sebuah estetika postmodern yang memiliki lima kandungan estetika postmodern bahwa di dalamnya memilliki sebuah bentuk identitas yang bersifat anti esensialisme atau sebuah identitas yang bersifat lentur yang didukung oleh berbagai argumen-argumen, karena dalam hal ini identitas sepenuhnya kultural khas pada masing-masing zaman dan tempat, jadi identitas bisa di tukartukar dan terkait dengan keadaan sosial dan kultural tertentu (identitas yang terpecah). Perlawanan dalam lukisan “Dalang Bali” juga bisa dilihat dari hadirnya berbagai
penanda dari
berbagai
fragmen sejarah (representasi
estetika
dekonstruksi, fakta konseptual dan ideologis) salah satunya yang hadir pada nilai kekuasaan. Perlawanan yang hadir merupakan perlawanan terhadap nilai yang maha tinggi, hal tersebut bisa terlihat dari pendevaluasian nilai maha tinggi yang ada. Namun dari ketenggelaman dan keterikatannya terhadap penanda-penanda dari sejarah masa lalu atau budaya tinggi yang memiliki nilai tinggi dan bukannya terpisah dari kebudayaan yang bernilai tinggi, dalam hal seperti ini budaya perlawan dalam lukisan “Dalang Bali” bukanlah ruang-ruang perlawanan yang autentik, melainkan tempat-tempat negosiasi di mana posisi perlawanan adalah sesuatu yang bersifat strategis dan keberadaannya sendiri dimungkinkan oleh struktur-strutur kekuasaan.
xvi
GLOSARIUM
anonim
:
tanpa
nama;
tidak
beridentitas,
awanama,
tidak
ada
penandatangannya. canang
:
rangkaian atau hiasan yang terbuat dari janur dan bunga untuk keperluan yadnya dalam agama Hindu Bali, yang memiliki makna simbol.
dalang
:
orang yang memainkan wayang dan juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang dalam pementasan (wayang) yang berada
di
belakang
layar,
yang
membongkar
dan
menyebarluaskan ajaran, ilmu, pendididkan, dan informasi sehingga menghadirkan tontonan yang mampu menuntun. genre
:
ragam, pembagian suatu bentuk seni atau tutur tertentu menurut kriteria yang sesuai untuk bentuk tersebut.
hybrid
:
perpaduan atau penyilangan dua bentuk , spesies yang berbeda hingga melahirkan, menciptakan bentuk, spesies yang baru.
ider-ider
:
kain memanjang yang biasanya ditempati mengelilingi sisi atap bangunan suci dalam kaitan upacara ritual. Berwarna warni dihias dengan lukisan maupun pola-pola garis seperti lukisan adegan pewayangan dan pola bunga, dedaunan.
kamasan
:
nama desa di kabupaten Klungkung yang masih memiliki tradisi melukis gaya pewayangan yang dikenal dengan sebagai Lukisan Klasik Wayang Kamasan
kelir
:
layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak.
lamak
:
alas atau semacam taplak yang dibuat dari daun enau yang dirajut dengan lidi bambu yang ditempatkan di tempat pemujaan dalam ritual kebudayaan Hindu
lontar
:
sebutan khas Bali untuk sebuah teks yang ditulis tangan pada helai-helai daun lontar (palm-leaf).
xvii
mainstream
:
biasa, dengan kata lain berarti sesuatu yang sudah biasa dilakukan, berarti mayoritas/secara umum. Bisa juga diartikan biasanya/umumnya/lazim.
ngayah
:
jasa,
melakukan
tugas
tanpa
bayaran
sebagai
bentuk
pengabdian kepada pura atau puri. parba
:
dinding bagian dalam suatu bangunan suci yang biasanya berisi hiasan lukisan wayang.
pita maha
:
perkumpulan seniman modern Bali yang didirikan pada tahun 1936, bertujuan mewadahi perkembangan seni rupa Bali
pura
:
tempat
suci
umat
Hindu
di
Bali,
tempat
untuk
menyelenggarakan berbagai upacara keagamaan. puri
:
istana tempat kediaman para bangsawan.
rerajahan
:
sebuah gambar atau tulisan yang memiliki nilai magis yang berfungsi menolak bala dan yang lainnya dalam kehidupan beragama di Bali.
sangging
:
sebutan kepada orang yang dianggap memiliki keahlian khususnya dalam bidang kesenian dalam arti luas.
sinden
:
sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan (pementasan wayang) Jawa, umumnya sebagai penyayi satu-satunya atau seorang wanita yang menyayi sesuai gendhing yang disajikan.
tenget
:
istilah dalam Bahasa Bali yang menyiratkan larangan untuk mengganggu terhadap areal / lingkungan, tempat, bangunan, tumbuhan, hewan atau benda-benda tertentu, karena dianggap keramat, suci, bertuah atau dapat mendatangkan bencana atau risqi bagi pendukungnya.
umbul-umbul :
sarana upacara yang dipasang di berbagai sudut di tempat upacara, yang menjadi penanda pergelaran ritual keagamaan.
kober
:
bendera sebagai kelengkapan sarana upacara yang biasanya terlukiskan tokoh-tokoh pewayangan, khususnya Anoman anak dari dewa Bayu sebagai simbol penguasa angin. xviii
wayang kulit :
Seni
tradisional
Indonesia
yang
terutama
pertamakali
berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan, Yang Maha Esa. wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja.
xix
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL......................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ..................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................
iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...............................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................
vi
ABSTRAK .....................................................................................................
viii
ABSTRACT ...................................................................................................
ix
RINGKASAN ...............................................................................................
x
GLOSARIUM ................................................................................................
xvii
DAFTAR ISI .................................................................................................
xx
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xxiv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1
Latar Belakang ......................................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah .................................................................................
9
1.3
Tujuan Penelitian ..................................................................................
10
1.4
Manfaat Penelitian ................................................................................
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ..................................................................
13
2.1
Kajian Pustaka.......................................................................................
13
2.2
Konsep ..................................................................................................
18
2.2.1
Estetika Dekonstruksi.........................................................................
18
2.2.2
Lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa ........................................
26
Landasan Teori ......................................................................................
29
2.3.1
Teori Dekonstruksi ............................................................................
29
2.3.2
Teori Hipersemiotika .........................................................................
32
Model Penelitian ..................................................................................
35
2.3
2.4
xx
BAB III METODE PENELITIAN ..............................................................
37
3.1
Rancangan Penelitian ............................................................................
37
3.2
Lokasi Penelitian ...................................................................................
37
3.3
Jenis dan Sumber Data ..........................................................................
38
3.4
Teknik Penentuan Informan ..................................................................
38
3.5
Instrumen Penelitian..............................................................................
39
3.6
Teknik Pengumpulan Data ....................................................................
39
3.7
Teknik Analisis Data .............................................................................
40
3.8
Metode Penyajian Hasil Analisis Data ..................................................
40
BAB IV PERKEMBANGAN SENI LUKIS BALI DAN PROFIL I NYOMAN GUNARSA ..............................................................
41
Perkembangan Seni Lukis Bali .............................................................
41
4.1.1
Seni Lukis Klasik Bali .......................................................................
42
4.1.2
Seni Lukis Modern Bali .....................................................................
47
4.1.3
Seni Lukis Kontemporer Bali ............................................................
58
Profil I Nyoman Gunarsa sebagai Pelukis ............................................
65
4.2.1
Latar Belakang ..................................................................................
65
4.2.2
Perjalanan Karya ...............................................................................
69
4.2.3
Pameran dan Pencapaian di Luar Dunia Seni Lukis ..........................
72
4.3
Gaya Umum Lukisan I Nyoman Gunarsa ............................................
79
4.4
Pencapaian I Nyoman Gunarsa sebagai Maestro Pelukis Bali..............
91
4.1
4.2
BAB V
REPRESENTASI ESTETIKA DEKONSTRUKSI LUKISAN “DALANG BALI” I NYOMAN GUNARSA ..............................
94
5.1
Bentuk ...................................................................................................
97
5.2
Ruang ...................................................................................................
101
5.3
Komposisi .............................................................................................
103
5.4
Transformasi Struktur ...........................................................................
106
5.5
Tanda .....................................................................................................
108
xxi
BAB VI FAKTA
IDEOLOGIS
YANG
MELATAR-BELAKANGI
LUKISAN “DALANG BALI” I NYOMAN GUNARSA ...........
113
6.1
Estetika .................................................................................................
114
6.2
Kreativitas dan Pembaharuan ................................................................
118
6.3
Nasionalisme .........................................................................................
125
6.4
Kekuasaan .............................................................................................
129
BAB VII MAKNA DEKONSTRUKSI DALAM ESTETIKA LUKISAN “DALANG BALI” I NYOMAN GUNARSA ...............................
134
Estetika Postmodern .............................................................................
134
7.1.1 Pastiche ..............................................................................................
136
7.1.2 Parodi .................................................................................................
139
7.1.3 Kitsch .................................................................................................
143
7.1.4 Camp ..................................................................................................
145
7.1.5 Skizofrenia .........................................................................................
148
7.2
Hiperrealitas .........................................................................................
151
7.3
Matinya Pengarang ...............................................................................
154
7.4
Identitas ................................................................................................
164
7.5
Perlawanan ...........................................................................................
168
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ..........................................................
171
8.1
Simpulan ...............................................................................................
171
8.2
Saran .....................................................................................................
176
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
178
7.1
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1.
Daftar informan ....................................................................................
2.
Daftar Pertanyaan
xxiii
182
xxiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Begitu banyak seniman atau perupa yang tidak asing lagi mengolah secara
lihai ikon-ikon kebudayaan Bali atau melukis pola hias Bali dan kehidupan religi, sekaligus mengungkapkan kebiasaan-kebiasaan hidup orang Bali, di antaranya adalah I Nyoman Gunarsa. Gunarsa adalah seniman dari Bali yang pertama kali mengenyam pendidikan seni tingkat perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta yaitu ASRI Yogyakarta. Dari ASRI Yogyakarta Gunarsa banyak belajar dan mewarisi ilmu dari para guru-gurunya yang juga merupakan pelukis-pelukis utama dan legendaris Indonesia. Mike Susanto (dalam Jogjanwes.com, 13- April, 2012) mengemukakan, dalam proses berkeseniannya I Nyoman Gunarsa telah berkiprah sejak tahun 1960-an sebagai pelukis antara tahun 1960-1970-an Gunarsa masih merupakan sosok yang secara personal memasuki masa pencarian identitas. Di antara gurunya yang pertama yaitu Fadjar Sidik, darinya Gunarsa mewarisi spontanitas yang luar biasa baik dari segi garis, penempatan ruang, proporsi, dan komposisinya spontan, namun penuh pertimbangan intuisi. Guru kedua adalah Affandi, dari seorang Affandi ia mewarisi garis-garis yang diungkapkan secara ekspresif dan inspirasi berkarya yang bersumber dari kehidupan sehari-hari adalah modal yang didapat dari Affandi yang berhasil dimanfaatkan secara maksimal oleh Gunarsa, hingga menjadikan ia terlihat menjadi “pewaris” utama Affandi. Dua gurunya yang lain adalah Sudarso dan Trubus. Dari mereka Gunarsa mendapatkan pelajaran guna 1
2
menguasai perkara kemiripan atas realitas yang dihadapi atau kemampuan melukis tanpa model alias imajinatif. Dari mereka, Gunarsa mampu menguasai bentuk fisik manusia, melukis gerak, anatomi mahluk hidup, dan pembentukan karakter
objek/subjek.
Bisa
dikatakan
Gunarsa
memiliki
kemampuan
keterampilan yang lengkap sebagai pelukis. Dari para gurunya ia mampu memanfaatkan media yang dipegangnya menjadi alat dalam berkarya. Sebelum masuk kegaya ekspresionis yang membawanya pada puncak ketenaran hingga deterima sebagai seorang maestro seni lukis, gaya realistik sempat menjadi gaya ungkap dalam lukisannya yang tidak jauh juga dipengaruhi para guru-gurunya. Dari pergaulan dan kedekatan dengan para guru yang tinggal di Yogyakarta dan bergaul dengan para pelukis yang lain, Gunarsa menjadi pelukis yang tidak pernah melewatkan berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari. Secara tema, dari gaya realistik ke ekspresionis Gunarsa masih setia dengan tema-tema kehidupan sosial yang bercitra dan bertema kebudayaan Bali. Mikke Susanto (dalam Jogjanwes.com, 13- April, 2012) mengungkapkan secara khusus adalah perangkat seremoni upacara adat Bali, berbagai perangkat seperti canang, pajegan, tamyangkolem, cili, lamak, wayang, tari-tarian dan lain-lain yang diterapkan secara periodik. Pada masa periode pertama merupakan bagian dari pencarian identitasnya, pada masa periode kedua (tahun 1970-1981) Gunarsa menggunakan subjek sesaji sebagai inspirasi, sehingga disebut Periode Sesaji dan pada periode ketiga (tahun 1981-1987) disebutnya sebagai Periode Aringgit, yang melukiskan potret penari perempuan atau perempuan dalam aktivitas upacara
vii
3
maupun budaya Bali pada umumnya. Dengan gaya ekspresionis Gunarsa mampu menghadirkan citra kebudayaan Bali dalam sebidang kanvas dengan cara yang khas dan unik, hingga kepekaan Gunarsa terhadap kebudayaan yang dimiliki menjadikan lukisan Gunarsa sebagai bagian dari totalitas jiwa ketimurannya. Dalam pencarian identitas, pada awalnya lukisan Gunarsa mengarah pada gaya realistic. Namun sesuai dengan tuntutan jiwa berkeseniannya pada tahun 1970-an baik sketsa dan lukisan Gunarsa mulai berkembang dengan visualisasi yang berbeda yang akhirnya baik sketsa ataupun karya lukis Gunarsa berstilistik ekspresionis. Perbedaan gaya realistik dengan ekspresionis yang hadir di mana dalam gaya realistik Gunarsa menghadirkan objek atau bentuk tampak nyata sebagaimana aslinya, sedangkan dalam gaya ekspresionis bentuk tidak dihadirkan seperti adanya namun melalui pengolahan estetis bentuk yang hadir nampak lebih terolah dari realitas objek dan objek estetis yang dilukis telah mengalami distorsi baik bentuk maupun warna, melalui elemen atau unsur keliaran garis, warna, tekstur, dan objek yang dituangkan secara spontan sesuai emosi estetisnya yang bersifat ekspresif di atas bidang kanvas. Dengan hal tersebut Gunarsa sering menyebut garisnya adalah nyanyian dan warnanya adalah tarian (Putu Triastuti dalam wordpress.com, 11- Januari, 2010). Seni lukis ekspresionis merupakan salah satu aliran dalam seni lukis yang mengutamakan intuisi dan interpretasi senimannya dan merupakan penolakan dari seni lukis impresionis yang lebih menekankan keindahan alam lewat cahaya yang dipantulkannya. Soedarso (dalam Darsono, 2004: 75) menyatakan ekspresionisme
vii
4
berusaha menggambarkan perasaan subjektif seorang seniman, individualistis, dan pemunculannya tidak bertetapan dengan periode dan negara atau bangsa tertentu. Konsep tentang ekspresionis sebagai suatu aliran dalam seni lukis, penulis mengambil pendapat Worringer (dalam Soedarso, 1990: 7) yang mengatakan bahwa pada karya-karya ekspresionis umumnya terdapat tendensi ke arah individualisasi dan fragmentasi, pada pribadi tidak ditumbuhkan nilai-nilai sosialnya
melainkan
justru
dikembangkan
kesadaran
akan
isolasi
dan
keterpisahannya. Sekalipun fisik kita berkumpul dengan orang lain di sekitar kita, namun secara psikologis setiap orang adalah terpisah. Penguasaan teknik yang telah menyatu dengan kepribadiannya menjadi karakteristik tertuang dalam setiap lukisan. Penyatuan dan karakteristik ini menjadikan munculnya nama dan pribadi Gunarsa terlebih dahulu jika mengamati karya-karyanya. Dengan profesionalitas yang dimiliki Gunarsa juga mampu menghegemoni penikmat seni ataupun seniman yang lain larut ke dalam kode yang diciptakan, terbukti gaya Gunarsa menjadi penanda perkembangan seni rupa modern Bali pada khususnya. Begitu populernya gaya berkesenian Gunarsa hingga berkembang dan terciptanya sebuah kebudayaan populer dalam dunia kesenian di Bali, terbukti ikon-ikon kebudayaan Bali menjadi penanda visual yang begitu populer dalam karya seni rupa saat ini dan ekspresionis sempat menjadi gaya yang begitu populer dalam gaya berkesenian para pelukis Bali yang lahir di bawah generasi Gunarsa.
vii
5
Faisal (dalam academia.edu, 8- Juli, 2012) mengatakan, prinsip budaya populer adalah mudah ditiru, menciptakan keriangan hidup yang egaliter dan dapat dinikmati oleh siapa pun tanpa terikat status sosial, yang dibutuhkan hanya kemelekan budaya (cultural literacy), komoditas menciptakan sebuah hegemoni. Peleburan budaya tinggi ke budaya rendah, tidak ada batas budaya barat dan timur. Dari prnsip-prinsip budaya di atas, gaya berkesenian Gunarsa juga menganut dan dapat dikatakan sebagai bagian dari penanda kebudayaan populer. Dari proses gaya berkesenian dan berkarya Gunarsa, ada salah satu karya lukis Gunarsa yang bergaya realistik yang berjudul “Dalang Bali”. Lukisan ini diciptakan sekitaran 1970-1976 di mana gaya realistik masih mendominasi pada gaya lukisan Gunarsa dan belum begitu getol memasuki gaya ekspresionis yang telah melambungkan nama Gunarsa. Fakta unik dan menarik salah satu karya yang bergaya realistik yang berjudul “Dalang B5ali”, justru karya ini menjadi koleksi dari istana kepresidenan yang ada di Yogyakarta. Lukisan “Dalang Bali” juga merupakan salah satu lukisan yang tercipta pada awal-awal proses di mana sebelumnya Gunarsa mengolah tema kehidupan sehari-hari hingga berkembang dengan bercerita dan mengolah tema-tema kebalian yang menggunakan teknik dan gaya realistik. Dengan unsur-unsur rupa dan estetika yang terstruktur dan lebih detail, baik dari segi bentuk maupun pencahayaan hingga memiliki kesan yang jauh berbeda dari sudut pandang teknik penyajian karya dengan karya bergaya ekspresionis atau ekspresi yang dihadirkan
vii
6
Gunarsa pada proses berkarya saat ini, namun kekuatan secara tematik Gunarsa masih setia terhadap artefak dan aktivitas kebudayaan Bali. Penelitian ini secara
khusus membahas karya Gunarsa yang berjudul
“Dalang Bali”, karya lukis ini menarik dibahas karena lukisan ini di luar gaya ekspresionis Gunarsa yang secara umum Gunarsa dikenal sebagi pelukis ekspresionis. Lukisan “Dalang Bali” memvisualkan pementasan wayang Bali yang merepresentasikan sebuah kegiatan budaya yang memiliki nilai kandungan filosofis yang kuat, digambarkan secara frontal figur dan volume tubuh yang realistik dengan kepadatan ruang dan objek dalam bidang kanvas, perspektif ruang juga dibuat senyata-nyatanya. Wayang-wayangnya pun tampak lebih detail dan tidak sebagai sebuah lukisan ekspresionistik. Penanda dekoratif dalam lukisan tersebut hanyalah pada hiasan detail figur maupun banyaknya bunga-bunga yang berserakan di depan figur-figur tersebut. Hal lain yang signifikan dalam lukisan era 1970-an ini adalah munculnya wajah figur manusia yang dilukis secara formal dari samping. Hampir semua wajah yang dilukis menghadap ke samping atau mirip cara membuat wajah wayang. Dilukiskan dengan teknik semacam ini, maka figur-figur dalam lukisan ini menjadi tampak kaku dan dekoratif seperti wayang kulit. Jika dibandingkan dengan realitas pertunjukan wayang Bali ada beberapa perbedaan yang hadir pertama adanya seorang perempuan yang hadir di belakang Dalang yang menimbulkan berbagai tafsiran atau sebagai sebuah konotasi. Perempuan tersebut sebagai sinden atau penonton, jika sebagai sinden sesuai dengan kenyataannya
vii
7
dalam pementasan wayang Bali belum ada seorang sinden dalam pementasan wayang pada jaman karya itu diproduksi, dan jika wanita tersebut hadir sebagai penonton justru berbeda terbalik dengan realitas yang hadir pada pertunjukan wayang Bali. Dalam pertunjukan wayang Bali penonton menikmati pertunjukan wayang dari depan Dalang atau layar hingga menikmati bayangan dari wayang tersebut. Dari apa yang divisualkan dalam lukisan “Dalang Bali” ini, observasi awal penulis menemukan pendeformasian bentuk dan struktur dari pertunjukan wayang Bali. Dari segi bentuk semua wajah figur yang hadir divisualkan dengan tampak samping persis seperti muka wayang pada kenyataannya hingga lukisan terkesan kaku dan dekoratif seperti wayang. Secara struktur Gunarsa menghadirkan sosok perempuan yang hadir di belakang layar atau di samping Dalang yang mengundang sebuah konotasi. Kedua, dengan memvisualkan “Dalang Bali” Gunarsa sedang melakukan pendaur-ulangan pada kebudayaan lama salah satunya wayang sebagai elemen seni yang biasa dipakai untuk menunjang aktivitas ritual dalam kebudayaan Bali. Dari deskripsi visual
lukisan “Dalang Bali”,
pernyataan yang dapat
diasumsikan adalah apakah benar teks atau visual yang hadir dalam karya “Dalang Bali”
Gunarsa mewakili
fenomena pertunjukan “Dalang
Bali” hingga
merepresentasikan kebudayaan Bali (wayang Bali) yang sesungguhnya. Tanda daur ulang yang hadir apakah memiliki bagian dari sejarah dari pendaur-ulangan masa lalu yang memiliki motif apresiasi, rekonstruksi, nostalgia, revitalisasi,
vii
8
rekontekstualisasi, atau hanya keinginan untuk menciptakan seni sebagai seni yang mencitrakan seni, ekspresi kebebasan kreativitas untuk menciptakan sesuatu yang hanya bersifat keindahan dalam seni. Dapat dipersoalkan mengapa lukisan tersebut harus mewakili kenyataan kebudayaan yang tercipta dari masa lalu, kenapa tidak mewakili kebudayaan yang hadir pas pada zaman karya itu dibuat, dan mengapa tidak merepresentasikan konsep kebudayaan yang sifatnya tak berbentuk atau tanda visual yang hanya bersifat ikonik, ataukah tanda hadir hanya sebagai kepentingan dari penciptanya. Kemungkinan sesungguhnya ada hal lain yang diinginkan oleh penciptanya terhadap penikmat karya dan tentu tanda atau visual yang dihadirkan membawa misi tertentu dari penciptanya yang perlu “dicurigai” terlebih apakah Gunarsa hanya sebagai pelukis yang melukiskan atau memvisualkan “Dalang Bali” sebagai makna nilai dari kebudayaan Bali, ataukah seorang Gunarsa yang menjadi “Dalang” dalam proses berkeseniannya melakukan sebuah simulasi tanda visual sehingga membentuk citra diri dan ideologi kesenian yang ideal, di mana seniman mencoba menghegemoni penikmat dan masyarakat seni dalam kesadaran yang diinginkan oleh seniman (kesadaran palsu). Seperti diungkapkan Gadamer (dalam Endraswara, 2008: 38), “sebuah karya sastra (teks seni) tidak muncul ke dunia sebagai seberkas arti yang selesai dan terbungkus rapi”. Pentingnya mengkaji lukisan “Dalang Bali” baik dari representasi estetika, fakta ideologis, serta pergulatan makna dekonstruksi dari keilmuan kritis kajian budaya, dari sebuah karya seni rupa dan satu karya lukisan banyak yang bisa
vii
9
diungkap ataupun dibahas. Tujuannya adalah untuk membongkar bahwa ideologi yang tersandang dalam lukisan realistik Gunarsa merupakan sebuah konstruksi realitas. Tarik-menarik antara objektivitas dan subjektivitas menjadi pergulatan antarwacana yang memberlangsungkan kebudayaan yang memang akan selalu terhadirkan sebagai meta kebudayaan, yakni kebudayaan tentang kebudayaan, karena kebudayaan terhadirkan dalam proses perbincangan. Ini berarti manusia yang berada di dalam kebudayaan, dalam hubungan dibentuk/membentuk kebudayaan. Dengan teori dekonstruksi adalah bagaimana mengungkap praktek pemaknaan yang hadir lewat estetika bentuk, makna-makna seperti peniruan realitas (mimesis), penyembunyian realitas (lewat simbolisasi), dan penciptaan realitas (konstruksi, simulasi) dalam struktur yang disusun, dideformasi dan sistem tanda palsu, tanda daur ulang yang terjadi dalam lukisan “Dalang Bali”. Lukisan “Dalang Bali” merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan bukan sebagai karya seni yang hadir dengan makna yang tunggal atau tanpa masalah. Mengingat teks visual (teks seni) berupa lukisan yang didekonstruksi, Derrida (dalam Piliang, 2010: 281) mengemukakan dekonstruksi adalah perayaan permainan penanda, dengan mengabaikan petanda, konsep atau makna akhir. Bahasa adalah sebuah momen di mana” dalam absennya segala pusat asal-usul (origin) apapun menjadi wacana yaitu sebuah sistim di mana sebuah penanda sentral, petanda asli atau transedental, tidak pernah hadir secara absolut di luar sistim perbedaan, absennya petanda transdental memperluas domain dan
vii
10
permainan petanda secara tak terhingga, jadi segala sesuatu bisa menjadi sebuah wacana.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: (a) Bagaimana representasi estetika dekonstruksi lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa? (b) Fakta ideologis apakah yang melatar-belakangi estetika dekonstruksi lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa? (c) Bagaimana makna dekonstruksi dalam estetika lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa?
1.3
Tujuan Penilitian Penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus,
yang dapat dijabarkan sebagai berikut. 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian bertujuan untuk mengkaji dan menggali praktikpraktik pemaknaan yang hadir lewat tanda-tanda dan menjawab kecurigaan penulis terhadap tanda-tanda melampaui yang dihadirkan Gunarsa melalui representasi estetika dekonstruksi lukisan “Dalang Bali” yang menjadi sebuah karya unik sekaligus karya yang memiliki berbagai kepentingan.
vii
11
1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian ini secara khusus dilakukan untuk tujuan sebagai berikut: (a) Memahami dan mendeskripsikan representasi estetika dekonstruksi lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa. (b) Memahami dan mendeskripsikan fakta ideologis yang melatar-belakangi estetika lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa. (c) Memahami dan mendeskripsikan makna dekonstruksi dalam estetika lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis dalam
jabaran sebagai berikut: 1.4.1
Manfaat Teoretis Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut:
(a) Dapat dipakai sebagai bahan referensi untuk menambah pengetahuan tentang penelitian kajian budaya, yang menjadikan lukisan sebagai objek primernya. (b) Menyumbangkan temuan baru dalam rangka pengembangan ilmu dalam bidang kajian budaya, khususnya yang menyangkut budaya senirupa. (c) Dapat membuka wawasan bagaimana teks visual atau teks seni (lukisan) hadir tidak terlepas dari kepentingan di balik teks itu sendiri.
1.4.2 Manfaat Praktis vii
12
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat sebagai berikut: (a) Bagi jagat seni rupa, sebagai pengontrol terhadap kepentingan-kepentingan yang terbungkus dalam teks visual (seni lukis). (b) Bagi masyarakat, khususnya pemerintah dan pecinta seni, sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pengembangan kesenirupaan serta pelestarian budaya. (c) Bagi komonitas perupa, sebagai bahan evaluasi terhadap kemapanan dalam aktifitas kreatif. Begitupula bisa keluar dari sebuah hegemoni yang tercipta bagi sang seniman melalui karyanya. Hingga bisa memilih atau menentukan arah ideologi berkesenian dan menciptakan ruang apresiasi bagi seni-seni yang tidak hanya berkutat dan bertemakan pada kebudayaan Bali secara ikonik, melainkan terhadap karya seni yang mulai mengolah konsep-konsep budaya Bali yang tidak tampak secara kasat mata atau tidak bersifat ikonik.
vii
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Hasil penelitian yang sudah ada yang dianggap relevan dan dapat
dijadikan acuan serta masukan pada penelitian ini dijelaskan di bawah ini. Penelitian Seno Gumira Ajidarma (2011) dengan judul disertasi ”Panji Tengkorak Kebudayaan dalam Perbincangan” merupakan hasil kajian terhadap buku komik Panji Tengkorak yang telah tiga kali digubah oleh komikus Hans Jaladara, pencipta komik tersebut pada tahun 1968, 1985, dan 1996 yang berlatar pendekatan cultural studies dan mengkaji sosok hero atau ”jagoan” atau ”pahlawan” rekaan. Seno Gumira ingin membuktikan secara ilmiah bahwa adanya perbedaan atau persamaan yang ditemukan dalam ketiga versi buku Panji Tengkorak ternyata menunjukkan bagaimana ideologi berjuang dalam pergulatan antarwacana. Dinamika perjuangan ideologis yang muncul lewat ketiga komik “Panji Tengkorak” ternyata mengikuti gerak perubahan zaman. Dalam penelitian ini diungkapkan ideologi macam apa yang telah menggerakkan perubahan zaman, dan kemudian memengaruhi gerak perubahan naratif komik “Panji Tengkorak” pada setiap versinya. Penelitian ini menawarkan bahan refleksi guna membebaskan diri dari berbagai kepentingan yang bersembunyi di balik kisah kehebatan superhero yang hadir dalam sebuah komik. Dari sebuah komik ataupun karya seni rupa banyak
13
14
yang bisa diungkap ataupun dibahas, mulai dari politik identitas sampai bias gender, sehingga terbongkar bahwa ideologi yang tersandang dalam gambar realisme dan gambar kartun adalah konstruksi realitas. Tarik menarik antara objektivitas
dan
subjektivitas
menjadi
pergulatan
antarwacana
yang
memberlangsungkan kebudayaan yang memang akan selalu terhadirkan sebagai metakebudayaan, yakni kebudayan tentang kebudayaan, karena kebudayaan terhadirkan dalam proses perbincangan. Ini berarti manusia yang berada di dalam kebudayaan, dalam hubungan dibentuk/membentuk kebudayaan, hanya akan melihat kebudayan sebagai suatu jejak. “Tiga Panji Tengkorak” adalah jejak-jejak kebudayaan yang dalam pembongkaran telah memperlihatkan berlansungnya kebudayaan. Dalam “Tiga Panji Tengkorak” itu pula tergambar pergulatan Hans Jaladara sebagai komikus keturunan Tionghoa dalam negosiasi terhadap hegemoni wacana. Hal menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bagaimana kepentingan modal dan budaya global atau konsumerisme berhasil melakukan hegemoni melalui industri media. Penelitian di atas relevan dengan penelitian ini adalah karena sama-sama mempunyai tujuan membongkar berbagai kepentingan yang tersembunyi di balik teks seni, mulai dari politik identitas sampai membongkar ideologi yang tersandang dalam visual teks seni atau visual yang hadir dalam sebuah lukisan merupakan sebuah konstruksi realitas. Dari meng-copy realitas, menyembunyikan realitas, dan menciptakan realitas. Perbedaanya adalah Seno Gumira mengkajinya dan menemukan perbedaan dan persamaan dari tiga komik dari sudut cerita yang
vii
15
hadir dalam setiap komik. Sedangkan penelitian ini menitik beratkan pada satu karya lukisan yang dikaji melalui tanda-tanda estetik (visual) yang hadir dalam satu karya lukisan yang maknanya dibongkar melalui pendekatan-pendekatan idiom estetika postmodern yang besifat dekonstruktif. Refli, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana (2001), melakukan penelitian “Bahasa Estetika Postmoderenisme dalam Puisi Rupa Made Wianta” yang juga telah dibukukan. Tesis ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk bahasa estetika postmoderenisme puisi rupa Wianta yang berupa bahasa estetika hibrida, eklektik, parodi, skizofrenik, dan bentuk bahasa estetika nonsen. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan fungsi bahasa estetika postmodern seperti fungsi produksi, imitasi, permainan bahasa, dan kesenangan, serta berusaha mengungkapkan makna bahasa posmoderenisme seperti makna humanism, plural, egaliter, emansipasif, dan demokratis. Sesuai dengan topik tesis, penelitian tersebut memberi penekanan kepada pendeskripsian bahasa puisi. Penelitian diatas relevan dengan penelitian ini di mana sama-sama membahas estetika postmodern dalam sebuah teks atau tanda yang bersifat eklektik, dan estetika yang bersifat hibrida. Perbedaannya Refli hanya mendeskripskan bahasa puisi Made Wianta dari sudut bentuk, fungsi, dan makna dari bahasa estetika postmodern. Sedangkan penelitian ini menggunakan sudut pandang estetika postmodern yang bersifat dekonstruktif yang dari ke eklektikan tanda dari sebuah teks dibongkar praktik pemaknaannya yang hadir lewat tanda dan estetika bentuk melalui lima idiom estetika potsmodern dalam pendekatannya
vii
16
untuk menemukan kepentingan yang hadir di balik teks. Hingga dapat terlihat sebuah peniruan, penyembunyian, dan penciptaan realitas baru yang dihadirkan Gunarsa lewat satu visual lukisan yaitu lukisan “Dalang Bali”. Penelitian Tjok Udiana NP, (2007) dengan judul disertasi “Estetika Posmodern Patung Garuda” membahas tentang makna estetika posmodern patung Garuda sebagai produk komoditas masyarakat di Bali, yakni memiliki hubungan dengan pemilik, pelaku produksi, dan pelaku konsumen produk patung garuda. Patung garuda sebagai produk komoditas era postmodern pada saat ini berpengaruh terhadap makna estetika bagi pemilik (owner) patung garuda, kemudian berpengaruh terhadap pelaku produksi, dan terhadap konsumen yang membeli produk patung tersebut. Dalam artian ada dua makna yang dibahas dalam penelitian ini di antaranya makna keuntungan ekonomis bagi pemilik patung garuda dan makna identitas budaya Bali. Penelitian ini menggunakan beberapa idiom-idiom estetika postmodern seperti pastiche, parody, kitsch, dan camp untuk menganalisis dan mengetahui makna yang tersembunyi di balik patung garuda sebagai produk komoditas budaya. Penelitian di atas relevan dengan penelitian ini yaitu sama-sama mengunakan bahasa estetika dan idiom-idiom estetika postmodern untuk menganalisis dan mengetahui makna yang tersembunyi di balik teks, dan samasama menganalisa teks visual (teks seni). Sedangkan perbedaannya penelitian di atas memaknai estetika posmodern dari sudut pandang komodifikasi sedangkan penelitian ini memaknai estetika postmodern yang besifat dekonstruktif untuk
vii
17
membongkar ideologi Gunarsa yang hadir pada teks atau sebuah lukisan yang memiliki tanda yang melampaui. Artikel yang dihadirkan Mike Susanto (dalam jogjanwes.com, 13-April, 2012) yang berjudul “Perfoma Karya I Nyoman Gunarsa”, di mana artikel ini merupakan rangkuman dari kuratorial pameran seni rupa yang menghadirkan karya dari banyak seniman, yang karyanya menjadi koleksi dari istana kepresidenan yang ada di Yogyakarta, konsep dari tulisan tersebut adalah nasionalisme. Nasionalisme yang dimaksud di sini adalah, tidak saja sekedar sesuatau ungkapan kehebatan masa lalu bangsa Indonesia, namun juga bertujuan untuk menggalang rasa kebangsaan baru sebagai upaya untuk menggali nilai-nilai nasionalisme di masa kini. Di samping itu, kepentingan lain seperti pencataatan aktivitas budaya dan kehidupan sehari-hari adalah hal yang tak mungkin dilepaskan sebagai tajuk penting yang terkait dengan isu nasionalisme. Kehadiran wacana (kuratorial) tersebut dimulai dari atau bisa dilihat dari koleksi dari karyakarya dari istana kepresidenan Yogyakarta yang di pamerkan memiliki visual dan tema atau bertemakan aktivitas hidup dan budaya sehari-hari yang dalam hal ini dijadikan penggalan utama atau irisan utama dalam kuratorial. Salah satu dari karya yang disinggung dalam artikel tersebut salah satunya karya I Nyoman Gunarsa yang berjudul “Dalang Bali”, sebagai suatu karya yang termasuk memiliki konsep nasionalisme yang menghadirkan tema atau aktivitas kebudayaan Bali yaitu wayang atau pementasan wayang, dan di dalamnya juga menjelaskan proses berkesenian seorang Gunarsa sebagai seorang seniman. Jadi
vii
18
artikel di atas relevan dengan penelitian ini di mana mengandung persamaan melihat
lukisan
“Dalang
Bali”
yang
berkonsep
nasionalisme,
namun
perbedaannya dalam penelitian ini pembacaan teks dari lukisan “Dalang Bali” tidak hanya dilihat sebagai bentuk ideologi yang bersifat nasionalisme melainkan sebagai sebauh teks yang merupakan suatu bentuk konstruksi realitas yang memiliki berbagai ideologi yang melatar belakanginya seperti, estetika, kreativitas dan pembaharuan, nasionalisme, dan kekuasaan hinga menciptakan sebuah pergulatan dalam proses pemaknaan.
2.2
Konsep Beberapa konsep yang perlu dijelaskan antara lain, estetika dekonstruksi
dan lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa. 2.2.1
Estetika Dekonstruksi Estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan karya seni (Kattsoff dalam Sachari, 2002: 3). Estetika merupakan suatu telaah yang berkaitan dengan penciptaan, apresiasi, dan kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan seni dengan kegiatan manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia (Van Mater Ames dalam Sachari, 2002: 3). Estetika merupakan filsafat yang membahas esensi dari totalitas kehidupan estetika dan artistik yang sejalan dengan zaman (Sachari, Estetika Terapan, 1989). Dalam hal ini estetika dalam seni tidak sekedar menampilkan nilai estetik, tetapi terkandung kepentingan untuk menguasai. Karya seni dan kebudayaan sangat
vii
19
bergantung pada banyak aspek lain, serta tidak mandiri dari kepentingan dan kekuasaan dan melanggengkan dominasi untuk suatu tatanan sosial ekonomi politik seperti yang dikehendaki oleh yang berkuasa. Jadi estetika dalam karya seni rupa biasa dikatakan sebagai representasi realitas, yang di dalamnya merupakan sebuah konstruksi realitas yang terkandung makna peniruan realitas (mimesis), penyembunyian realitas (lewat simbolisasi), dan penciptaan realitas (konstruksi, simulasi) merupakan anggapan-anggapan yang dapat memiliki kedudukan yang sama dan hal ini yang bisa di katakana sebagai estetika yang bersifat dekonstruktif. Estetika dekonstruksi yang dimaksud adalah sebuah estetika pos-struktural yang merupakan perkembangan dari estetika struktural, di mana dalam estetika struktural
yang
biasanya
hadir
dalam
bentuk
estetika
modern
yang
mengedepankan fungsi di dalamnya atau lebih sebagai ekspresi logika dan rasionalitas fungsi ketimbang ekspresi personalitas. Dalam estetika strukturalis menciptakan perelasian sebuah proses tanda, penanda-petanda yang bersifat simetris (relasi simetris) sehingga pemaknaan yang hadir bersifat logosentris. Sedangkan estetika poststrukturalis merupakan sebuah bentuk yang bersifat melampaui dari bentuk estetika struktural yang mapan dalam estetika modern, perlawanan terhadap kemapanan
yang terlihat dalam estetika
posstruktural, di mana proses tanda atau penanda-petanda tidak dihadirkan secara simetris sehingga mampu memecah proses pemaknaan yang bersifat logosentris dan menciptakan makna yang majemuk, bentuk-bentuk yang hadir bersifat hibrid
vii
20
dan gaya bersifat eklektik, ketidak jelasan atau ambiguitas yang diciptakan melalui kandungan kesenangan menjadi isi, dan begitu pula abnormalitas menjadi ideal estetik dalam estetika posttruktural, di mana estetika post struktural hadir pada prinsip-prinsip dari estetika postmodern. Estetika memiliki tiga wacana utama di antaranya wacana estetika di era pramodern, modern, dan postmodern. Wacana estetika pramodern mengandung prinsip-prinsip seperti idealisme, mitologis, mimesis, imitasi, katarsis, transenden, estetika pencerahan, teleologisme,relativisme, subjektivisme, positivisme. Wacana estetika modern memiliki prinsip-prinsip rasionalisme, realisme, humanisme universal, simbolisme, strukturalisme, semiotika, fenomenologi, eko-estetik, kompleksitas, etnosentris, budaya komoditas. Wacana estetika postmodern mengandung
prinsip-prinsip
poststrukturalisme,
global-lokal,
intertekstual,
pospositivisme, hiperealitas, poskolonial, oposisi biner, dekonstruksi, pluralisme, lintas budaya, chaos (Sachari, 2002: 9). Dari tiga wacana utama estetika yang ada, Piliang dalam (Sachari, 2002: 66) menyerap pemikiran Baudrillard bahwa terdapat relasi pertandaan simulasi dalam wacana seni dari pelbagai zaman. Pada zaman pramodern terdapat upaya praksis dalam berkesenian melalui penggalian makna ideologis yang telah ada di alam, dan secara prinsipnya suatu bentuk mengikuti makna (form follow meaning). Sedangkan di era modern terdapat upaya praksis untuk mengedepankan fungsi dalam berbagai kegiatan desain maupun berkesenian berupa pencapaian fungsional yang dapat diberikan oleh karya estetik tersebut, dan bisa dikatakan
vii
21
secara prinsip sebuah bentuk mengikuti fungsinya (form follows fungction). Pada era postmodern terdapat upaya untuk mengedepankan aspek-aspek “gelitikan: dalam berekspresi, baik komedi, parodi, pelesetan, maupun keironisan makna, semuanya berupaya melakukan permainan-permainan yang bebas dalam member tanda-tanda estetis, dan secara pinsip bentuk mengikuti kesenangan (form follows fun). Praktik estetika postmodern berbeda dengan praktik estetika sebelumnya yang bersifat progresif, rasional, dan serius. Kini praktik estetika beralih kepada pendekatan-pendekatan baru yang bersifat eklektik, irasional, dan ironis. Estetika postmodern dibaginya atas beberapa konsep pendekatan, yaitu pastische, parody, kitsch, camp, dan skizofrenia yang juga menjadi idiom-idom estetika postmodern. Kelima idiom tersebut didefinisikan dalam (Piliang, 2010: 177-199) pertama, Pastiche adalah sebagai karya yang mengandung unsur-unsur pinjaman, pastiche mempunyai konotasi negatif sebagai miskin kreativitas, orsinilitas, keontentikan dan kebebasan. Eksistensi karya pastiche sangat bergantung pada eksistensi kebudayaan masa lalu dan karya-karya serta idiom-idiom estetika yang ada sebelumnya. Pastiche bersifat imitasi murni yang menekankan persamaan ketimbang perbedaan. Kedua parodi, adalah satu bentuk dialog antar teks dan sebagai oposisi atau kontras. Ada dua pengertian tentang parodi, pertama parodi salah satu bentuk dialog antara satu teks bertemu dan berdialog dengan teks lainnya. Kedua, tujuan dari parodi adalah untuk mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang,
vii
22
tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk. Parodi juga merupakan salah satu bentuk imitasi yang selalu mengambil keuntungan dari taks yang menjadi sasaran (kelemahan, kekurangan, keseriusan atau bahkan kemasyuran), makanya parodi sebagai satu bentuk wacana selalu memperalat wacana pihak lain untuk menghasilkan efek makna idealitas dan nilai estetika yang dibangunnya. Ketiga kitsch yang berasal dari bahasa Jerman Verkitschen (membuat rumah) dan kitschen secara literal berarti „memungut sampah dari jalan‟. Oleh karena itu , istilah kitsch sering diartikan sampah artistik atau selera rendah (bad taste). Eco (dalam Piliang, 2010: 187) juga menyatakan kitsch merupakan usaha memassakan seni, perkembangan kitsch tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumsi massa dan kebudayaan. Oleh karena itu, sebagaimana halnya parodi, kitsch merupakan stylemes untuk kepentingan citranya. Akan tetapi berbeda dengan parodi yang produksinya didasarkan oleh semangat kritik, bermain (play), produksi kich lebih didasarkan oleh semangat reproduksi, adaptasi, simulasi. Produksi kitsch lebih didasarkan oleh proses demitosasi nilai-nilai seni. Kitsch mengadaptasi dari medium ke medium lain atau dari satu tipe seni ke tipe seni yang lain. Keempat, camp adalah satu idiom estetik yang masih menimbulkan pengertian kontradiktif (Piliang, 1999:161), satu pihak mengasosiasikan dengan pembentukan makna, dan di sisi lain justru diasosiasikan dengan kemiskinan makna. Menurut Sontag (dalam Piliang, 2002: 191) mengungkapkan camp adalah satu model „estetisisme‟ atau satu cara melihat dunia sebagai satu fenomena
vii
23
estetik bukan dalam pengertian keindahan atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian „keartifisialan‟ dan penggayaan. Kelima skizofrenia adalah sebuah istilah psikoanalisis yang pada awalnya digunakan untuk menjelaskan fenomena psikis dalam diri manusia. Namun demikian dalam perkembangannya wacana ini berkembang dan digunakan untuk menjelaskan fenomena yang lebih luas, termasuk di dalamnya peristiwa bahasa (Lacan), fenomena sosial ekonomi, sosial politik (Deleuze dan Guattari), dan fenomena estetika (Jameson). Skizofrenia didefinisikan oleh Jacues Lacan yang dikutip oleh Fredric Jameson (dalam Piliang, 2010: 196) sebagai putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna. Piliang (dalam Sachari, 2002: 65) mengungkapkan konsep-konsep tersebut secara luas dipergunakan sebagai model-model pemuatan makna-makna (juga anti makna), Piliang merumuskan paradigma baru wacana estetika ke arah estetika hiper-realitas yang ditandai oleh lenyapnya petanda, runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu sendiri. Dunia hiper-realitas adalah dunia yang sarat silih bergantinya reproduksi objek, subjek digiring ke dalam pengalaman ruang baur, serta leburnya realitas, dan fantasi, fiksi, halusinasi, dan nostalgia. Dengan prinsip melenyapkan petanda dan merayakan penanda estetika postmodern juga memliki wacana dan prinsip yang sama dari dekonstruksi. Derrida (dalam Barker, 2009: 81) menyatakan dekonstruksi adalah sebuah metode yang dikembangkan oleh Derrida yaitu dengan membongkar struktur dari kodekode bahasa termasuk di dalamnya adalah teks sebagai komponen bahasa itu
vii
24
sendiri.
Derrida
mengemukakan
mendekonstruksi
berarti
memisahkan,
melepaskan, dalam rangka mencari dan membeberkan asumsi atau teks. Dekonstruksi sesungguhnya lebih dihubungkan dengan „penghapusan‟ dengan membongkar ataupun memutus rantai, mencairkan batas, hirarki aturanaturan yang mapan (tentang yang indah, estetis, baik, etis) suatu bentuk peruntuhan relasi simetris penanda dan petanda ini, dengan merayakan penanda dengan merendahkan derajat petanda, konsep atau makna. Sebuah penanda tidak mesti diikat oleh petanda (Derrida dalam Piliang, 2010: 273). Dekonstruksi berusaha menampakkan titik kosong dalam teks, asumsi yang tak dikenal yang melandasi cara kerjanya (Barker, 2009: 34). Menurut keterangan Piliang (2010: 158-159), ketika estetika dicampurkan dengan prinsip-prinsip dekonstruksi yang terjadi adalah post-estetika (estetika post stuktural) atau estetika postmodern (form follow fun). Diskursus estetika post-modernisme mengandung prinsip melenyapkan atau mengabaikan sebuah petanda, dan bukan makna-makna ideologis yang ingin dicari, melainkan kegairahan dalam bermain dengan penanda. Yang tidak berbeda juga dimiliki oleh prinsip dari dekonstruksi, khususnya dalam karya seni saat ini bukan hanya sebatas simbolisasi dan makna namun berkembang menjadi sikap dan daya. Seni atau estetika posmodernisme dibandingkan dengan seni pada era pramodern dan modern, relasi pertandaan bersifat lebih ironis. Post-modernisme tidak saja menolak mengacunya penanda pada makna ideologis yang konvensional, akan tetapi juga menolak menjadikan fungsi sebagai refrensi
vii
25
dominan dalam pertandaan, sebagaimana yang terdapat pada modernisme. Posmodernisme mengambil tanda-tanda dari periode klasik maupun modern, bukan dalam rangka menjunjung tinggi makna-makna ideologis dan spiritualnya, akan tetapi unuk menciptakan satu rantai pertandaan yang baru dengan menanggalkan makna-makna konvensional tersebut, lalu menghanyutkan diri dalam ajang permainan bebas penanda-penanda, sebagaimana yang dikemukakan Derrida dan Baudrillard. Estetika post-modernisme, yang salah satu strateginya adalah penggunaan kembali unsur-unsur dan idiom-idiom masa lalu yang sudah ada, sudah ditulis, dibaca, diungkapkan dalam ajang eklektikisme tanda, dan kode-kode. Tanda dan kode-kode di dalam teks post-moderenisme tidak mengandaikan satu kesatuan teks yang monolitik dan homogen, akan tetapi menggiring ke arah kontradiksi dan anti-tesis tanda. Sebuah teks post-modernisme bukanlah sebuah produk selesai, yang dihasilkan melalui kode yang hegemonik, dan stabil, sehingga menjadi sebuah teks Grand Recit- melainkan, sebuah perspektif yang berisikan fragmenfragmen dari suara-suara, dari teks-teks yang beraneka ragam, dari kode-kode yang tumpang tindih. Sebuah teks post-modernisme bukanlah sebuah recit yang menghasilkan makna tunggal atau pesan tunggal pengarang (seperti pada teks modernisme) melainkan, sebuah ruang multidimensional, yang di dalamnya berbaur, bercampur aduk dan berinteraksi berbagai macam tulisan yang tak satu pun di antaranya yang orisinal. Teks Post-modernisme adalah sebuah jaringan
vii
26
kutipan tanda-tanda dan kode-kode yang berasal dari berbagai periode, tempat, dan kebudayaan yang berbeda-beda (Piliang, 2010: 163). Tidak hanya pluralisme tanda yang ditawarkan oleh teks post-modernisme, melainkan yang lebih penting adalah
jaringan interaksi, dialog, dan
persinggungan dari tanda-tanda yang berasal dari periode, tempat, dan kebudayaan yang berbeda, hingga pluralisme tanda di dalam post-modernisme harus diiringi oleh eklektisisme tanda dan kode. Rekoleksi tanda atau idiom-idiom estetika yang telah terkubur di bawah monumen moderenisme, tampaknya, merupakan satu peluang bagi penjelajahan ke dalam kemungkinan-kemungkinan estetik melalui permainan tanda dan kode, yang mampu menghasilkan pluralitas tekstual. Dalam hal ini tanda-tanda visual sebagai objek primer yang akan diteliti adalah bagian dari tanda-tanda yang menyimpan makna, dalam hal ini Barker (2009: 33) mengemukakan “tanda sebagai semiotika yang mengeksplorasi berbagai makna yang terbentuk oleh teks diperoleh melalui penataan tanda dengan cara tertentu dan melalui penggunaan kode-kode kultural”. Teks sebagai rangkaian yang membentuk narasi yang menghasilkan makna. Lukisan “Dalang Bali” dilihat dari sudut postmodernisme yang lebih menekankan permainan tanda dan kode-kode memandang objek seni sebagai mosaik tanda dan kode, yang bisa diikuti dari pendekatan idiom-idiom estetika posmodern di antaranya pastische, parody, kitsch, camp, dan skizofrenia, sebagai pemuatan makna-makna. 2.2.2
Lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa
vii
27
Lukisan merupakan salah satu kesenian yang berbentuk dua dimensional yang mengandung unsur-unsur elemen seni rupa seperti garis, bentuk, tekstur, bidang, titik, warna dan lain-lainnya, atau lukisan juga merupakan proses lanjutan melibatkan kerja yang lebih sistematik menggunakan jalinan, ton, cahaya, ruang dan komposisi. Lukisan adalah kerja-kerja peringkat awal dalam bentuk imej untuk menghasilkan karya-karya yang lebih kompleks, dalam artian lukisan juga merupakan sebuah media komunikasi, untuk penyampaian maksud, pesan, amanat, dan lain-lain. Lukisan dalam komunikasi menggunakan media visual, dan di dalam rangkaian visual terselubung kepentingan-kepentingan, yang mana ketika kita menelanjangi visual tersebut, baru dapat menemukan makna sebenarnya, dalam artian “kita harus memahami makna sebuah visual secara lebih baik daripada penciptanya sendiri” (Gadamer dalam Hoed, 2008: 90).
vii
28
Gambar 2.1 Lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa (foto Mikke susanto 2012) Lukisan “Dalang Bali” adalah karya seni dua dimensi yang diciptakan oleh Gunarsa yang berukuran 145cm x145cm, dibuat di antara tahun /1970-1976/ yang di dalamnya memvisualkan tentang pertunjukan wayang Bali, yang merupakan bagian dari sebuah identitas kebudayaan Bali yang biasa disebut sebagai bagian dari sebuah tradisi. Lukisan “Dalang Bali” secara teknis mengadopsi teknik-teknik dan unsur-unsur elemen seni dalam seni rupa modern. Dari percampuran faktor tradisi dan modern menghadirkan sebuah teks yang bersifat eklektik dan tanda yang bercampur aduk dan bersifat hybrid.
vii
29
Dari teks yang eklektik dan tanda yang bersifat campur aduk juga merupakan bagian dari diskursus yang dimliki oleh estetika postmodern. Jadi tanda dan kode yang hadir dalam lukisan “Dalang Bali” bisa di lihat dari sudut pandang estetika postmodern, sehingga untuk menganalisis tanda dan makna yang tersembunyi dalam lukisan melalui lima idiomnya seperti pastische, parody, kitsch, camp, dan skizofrenia. Dari sudut pandang estetika postmodern yang juga merupakan bagian dan memiliki prinsip yang sama dengan dekonstruksi, bahwa lukisan “Dalang Bali” merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan bukan sebagai karya seni yang hadir dengan makna yang tunggal atau tanpa masalah. Lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa bisa dilihat sebagai bentuk representasi dari seorang Gunarsa (seniman), di mana sebagai bentuk representasi sesuatu yang diwakili dalam bentuk visual atau bentuk tanda-tanda yang hadir secara tidak langsung mampu mewakili apa yang diinginkan, dirasakan, atau mampu melihat pribadi dan kepentingan Gunarsa dalam lukisan, salah satunya lukisan yang berjudul “Dalang Bali”. Dalam diskursus moderenisme, seniman, atau pencipta (Gunarsa) adalah figur yang sangat penting dan sentral. Sebuah karya seni atau teks modern selalu diidentifikasikan dengan seniman atau pengarangnya dalam artian jiwa dari seorang pengarang terpancar dari dalam sebuah lukisan atau dengan perkataan lain, dalam proses melukis, dalam keadaan ekstasi seniman tenggelam dalam lukisannya, sehingga secara kasar dapat dikatakan, perbedaan seniman dan lukisannya secara spritul menjadi kabur. Prinsip secara garis besar bahwa karya
vii
30
merupakan ekspresi diri dari subjek, yang nilai-nilainya diserap oleh subjek sebagai pengembangan diri selanjutnya (Hegel dalam piliang , 2010: 144). Hingga karya-karya seni dan literatur moderenisme pada umumnya berpusat pada pengarangnya, yaitu keinginan, hasrat, selera, kegelisahan, kegembiraan, kesenangan, atau totalitas hidup mereka. Dengan dekonstruksi makna dalam sebuah teks dibongkar karena sebuah teks (teks visual) dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna, sehingga teks (visual) juga bisa sangat rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan bersifat plural, makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang, karenanya dekonstruksi membiarkan teks itu ambigu dan menantang segala kemungkinan (Endraswara, 2008:169-170).
2.3
Landasan Teori Teori-teori berikut digunakan dalam menganalisis pokok permasalahan
secara eklektik, tidak terpisah antara satu dengan yang lain sehingga tujuan penelitian ini dapat tercapai, secara berturut-turut sesuai pokok permasalahan, teori-teori yang digunakan yaitu teori dekonstruksi dan hipersemiotika. 2.3.1
Teori Dekonstruksi Lebih mudahnya memahami dekonstruksi adalah sebagai faham anti
konstruksi. Dekonstruksi menganggap fenomena nyata tidak dipandang sebagaimana adanya (teori dusta Umberto eco). Fokus utama dalam dekonstruksi Derrida adalah bahasa tulisan atau teks, Ia menginginkan setiap manusia dalam vii
31
membaca teks tidak dengan serta merta terlalu cepat menyimpulkan atau menyingkap arti dalam setiap teks yang dibacanya. Teori dekonstruksi di sini diterapkan untuk megidentifikasi hirarki oposisi yang ada dalam lukisan “Dalang Bali” dalam rangka mengangkatnya kepermukaan atau mengembalikannya untuk menunjukkan kontradiksi, hingga mengaburkan hirarki atau batasan antara keduanya yang terdapat dalam objek, dan berusaha membaca titik kosong dalam teks dengan berusaha menguliti lapisanlapisan makna yang terdapat dalam teks atau tanda dalam lukisan “Dalang Bali. Dalam hal ini lukisan sebagai objek primer yang akan diteliti adalah bagian dari tanda-tanda yang menyimpan makna, Menurut Derrida (2005: 250), suatu bacaan dekonstruktif harus selalu tampak pada hubungan-hubungan tertentu yang tidak difahami oleh sang penulis, antara apa yang diinginkan, dan apa yang tidak diinginkan dari pola bahasa yang dipergunakan. Hubungan ini adalah struktur penandaan kritis (yaitu dekonstruktif) yang akan dihasilkan dari bacaan, yakni perbuatan yang berusaha melihat dari apa-apa yang tidak bisa dilihat (Storey, 2003: 128). Derrida memberikan asumsi-asumsi dasar sebagai berikut: (1) bahasa senantiasa ditandai oleh ketidakstabilan dan ketidaktetapan makna; (2) mengingat ketidakstabilan dan ketetapan itu tidak ada metode analisis, misalnya, filsafat atau kritik yang memiliki klaim istimewa apa pun atas otoritas dalam kaitannya dengan tafsir tekstual; dan (3) tafsir adalah kegiatan yang tak terbatas dan lebih mirip dengan permainan daripada analisis seperti yang lazimnya dipahami.
vii
32
Meskipun dekonstruksi terkesan mengambang bahkan marjinal dalam perdebatan kultural, tetapi jelas memiliki sisi yang serius dalam kepeduliannya untuk menguji ulang dasar-dasar metode penafsiran yang seringkali didasarkan pada otoritas yang goyah kalaupun itu ada (Sim, 2006: 26-27). Derrida
(dalam
Duija,
2004:
44)
memberikan
langkah-langkah
dekonstruksi sebuah teks, yaitu (1) mengidentifikasi hirarki oposisi dalam teks, yakni biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak; (2) oposisi-oposisi itu di balik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilisennya di balik; (3) memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang tidak bisa dimasukkan kekatagori oposisi lama. Dengan langkah-langkah ini pembaca dekonstruksi berbeda dengan pembaca biasa. Pembaca biasa selalu memberi pemaknaan sebenarnya dari teks atau bahkan kadang-kadang berusaha menemukan makna yang lebih benar dari teks itu sendiri. Dekonstruksi dalam hubungan ini sebagai usaha untuk memberikan arti pada kelompok-kelompok lemah yang selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Culler (dalam Susanto 2008: 18) mengemukakan “dekonstruksi sebagai metode analisis biasanya diawali dengan mengidentifikasi oposisi biner yang ada di dalam objek, kemudian mengembalikannya untuk menunjukkan kontradiksi atau mengaburkan hirarki atau batasan antara keduanya”. Dengan demikian jika oposisi biner sebuah objek dibalikkan maka di sinilah dekonstruksi mulai bekerja.
vii
33
Hal ini sama dengan yang dikemukakan Piliang (2011: 261) “Dekonstruksi adalah istilah yang dipakai Derrida sebagai salah satu bentuk pembongkaran oposisi biner”. Bagi Derrida, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan intelektual untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan fundamen hirarki. Dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat dalam teks atau tanda. Dalam hal ini lukisan sebagai objek primer yang akan diteliti adalah bagian dari tanda-tanda
yang menyimpan makna, Barker (2009: 33)
mengemukakan “tanda sebagai semiotika yang mengeksplorasi berbagai makna yang membentuk sebuah rupa diperoleh melalui penataan tanda dengan cara tertentu melalui penggunaan kode-kode kultural”. Selanjutnya rupa atau objek yang hadir sebagai rangkaian yang membentuk narasi yang menghasilkan makna. Teks dalam dekonstruksi adalah sebuah jejak dari rangkaian cerita, di mana dari jejak teks (visual) ini dapat dimulai sebuah asumsi dan kecurigaan atas teks dan kepentingan hadirnya teks dalam rangkaian cerita (lukisan) tersebut, setiap hadirnya teks pasti ada penundaan teks yaitu makna yang tersembunyi di balik rangkaian teks (Al-Fayadel, 2006:15).
2.3.2
Teori Hipersemiotika Hipersemiotika dipandang sebagai metode, khususnya metode pembacaan
teks atau penyingkapan kode-kode tanda. Hipersemiotika menawarkan sebuah metode
yang
proses
pembacaan
yang vii
melampaui,
dinamis,
berubah,
34
transformative,
produktif,
subversive,
revolusioner,
dan
dekonstruktif.
Hippersemiotika sebagai hal yang melampaui (hyper, beyond) dalam pengertian melampaui struktur, tanda, realitas, objek, alam, kodrat, konvensi, dan makna. Melampaui juga dapat dimaknai menembus, meresapi atau melompati. Hipersemiotika, dengan demikian, lebih nyaman bekerja di wilayah atau objekobjek kajian yang tak biasa, tidak mapan, bergerak, terbuka, spekulatif, akodrati, abnormal, janggal, asing, mutan, alien, liyan, anti-kode, anti aestetik dan anti kemapanan (Piliang, 2010: 247). Dari
sifatnya
yang
dinamis,
bergerak
dan
melampaui
dalam
hipersemiotika, kita tidak dapat lagi bersandar pada makna terstruktur, mapan dan konvensional. Makna bergerak bersama pergerakan tanda dan pikiran kita. Tidak semua tanda mengikuti konvensi baku, tidak semua makna terstruktur, dan tidak semua pikiran patuh pada struktur. Tanda tidak saja terputus dari struktur dan aturan, tetapi juga terputus dari realitas itu sendiri, dan bergerak di dalam ruangruang hiper-realitas (Piliang, 2010: 248). Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori hipersemiotika sebagai pendukung teori dekonstruksi untuk memecahkan makna-makna yang hadir lewat tanda-tanda yang dinamis dan melampaui dengan alasan tidak bertentangan dengan teori dekonstruksi namun sangat mendukung dalam penelitian ini. Dengan memandang lukisan “Dalang Bali” sebagai objek seni dan objek tersebut merupakan mosaik tanda, yang di dalamnaya memiliki tanda-tanda dan bentuk yang palsu, kontradiktif dan melampaui dari tanda dan bentuk formal. Dari
vii
35
kepalsuan, kekontrasan tanda dan bentuk yang melampaui menciptakan makna yang dinamis, dalam hal ini objek seni juga dapat dikaji sebagai unit kebudayaan. Dengan demikian, ia berfungsi sebagai tanda yang mempunyai refrensinya pada fenomena kultural. Dengan memandang objek seni, kita bisa melihat bahwa ia merupakan milik lingkungan tertentu, kelompok masyarakat tertentu, tradisi tertentu. Dapat dikatakan, bahwa objek seni menyatakan pertaliannya dengan sesuatu melalui bentuknya. Dari kode yang bersifat beraneka ragam menurut Eco (dalam Piliang, 2003: 217), kode itu sendiri dapat menjadikan referensinya berbagai unit kebudayaan, yang menurutnya bisa berupa apa saja, mulai dari orang, tempat, perasaan, fantasi bahkan halusinasi. Pendapat Eco ini memberikan gambaran tentang kelenturan kode yang tidak harus rasional, konvensional, normal dan stabil, akan tetapi membuka wawasan bagi ketidakbiasaan, abnormalitas, dan irasional. Dengan bermacam kode, konteks, dan situasi, memperlihatkan pada kita, bahwa pesan yang sama dapat dipahami kodenya dari sudut pandang yang berbeda, dan dengan referensi pada sistem-sistem yang beragam.
vii
36
2.4
Model Penelitian Untuk memahami permasalahan yang dibahas menggunakan landasan
teori dengan konsep di atas, maka alur permasalahan tersebut akan diterjemahkan ke dalam sebuah model penelitian sebagai berikut. Tradisi
I Nyoman Gunarsa
Modern
Tema
-
Tema Artefak kebudayaan tinggi
Lukisan “Dalang Bali”
-
Teknik Gaya
Estetika Dekonstruksi Lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa
Representasi Estetik
Fakta Ideologis
Makna Dekonstruksi
Gambar 2.2 Model Penelitian Keterangan: : Menunjukkan adanya hubungan dengan pengaruh langsung : Menunjukkan adanya hubungan timbal balik vii
37
Model di atas menunjukkan bahwa, faktor yang mempengaruhi ideologi I Nyoman Gunarsa dalam proses berkarya di antaranya ada unsur tradisi dan modern. Dari unsur tradisi Gunarsa dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai seorang individu dengan kebudayaan dan tradisi yang kental dengan estetika ketimuran hingga memvisualkan pementasan wayang Bali dalam lukisan berjudul “Dalang Bali”. Wayang merupakan pendukung dari kegiatan ritual keagamaan, juga merupakan sebuah identitas dan bagian dari tradisi kebudayaan Bali. Unsur modern, sebagai individu yang hidup dalam dunia dan prinsipprinsip kehidupan modern, dan peneraapan estetika barat atau modern dalam berkarya yang didapatkan atau dipelajari saat mengenyam pendidikan tinggi seni. Dengan kondisi tersebut mempengaruhi ideologi dan profesionalitas Gunarsa hingga menciptakan lukisan “Dalang Bali” yang secara teknik mengadopsi estetika seni rupa modern yang memiliki unsur dan elemen-elemen seni seperti, garis, bidang, warna, tekstur, bentuk, titik dan lain-lainnya. Dari dua unsur tersebut melahirkan tanda yang bersifat ekletik yang menjadi sebuah ideologi. Dari ideologi Gunarsa yang sudah menjadi sebuah wacana ataupun pesan yang berbentuk lukisan “Dalang Bali” bukanlah merupakan sesuatu karya yang hadir dengan makna yang tunggal dan tanpa masalah melainkan merupakan sesuatu yang kompleks sehingga perlu dicurigai dan didekonstruksi. Bisa dikatakan dari sebuah produksi, Gunarsa mereproduksi produksi untuk menciptakan produksi kembali. Jadi proses ini menarik dikaji dengan pendekatan
vii
38
teori kritis kajian budaya sehingga terlihat representasi estetika, fakta ideologis, serta pergulatan makna dekonstruksi sehingga dapat dilihat makna yang tersembuyi di balik teks.
vii
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Rancangan Penelitian Sebagai penelitian kajian budaya (cultural studies), penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif berlandaskan pada filsafat pospositivisme, yang sering disebut sebagai paradigma interpretatif dan konstruktif yang memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan gejala yang bersifat interaktif (reciprocal). Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai bobot atau kualitas data yang diperoleh. Dengan demikian, bentuk penlitian merupakan sajian data riset yang diperoleh di lapangan dengan kualitas atau bobot kekuatan atau data yang diperoleh, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif (Subrata, 1983: 20). Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna, makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti merupakan suatu nilai di balik data yang tampak. Oleh karena itu penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi, tetapi lebih menekankan pada makna (Sugiyono, 2006: 9). Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik untuk mampu melakukan eksplorasi atau penafsiran mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial disertai analisis lebih mendalam.
3.2
Lokasi penelitian Karena penelitian mengkaji teks visual (lukisan) maka lokasi bisa saja
berupa tempat, sistem budaya kelompok masyarakat yang terkonstruksi dalam 39
40
teks visual sebagai fenomena yang nyata (konteks) (Welek dan Waren, 1993:109). Dalam hal ini penelitian ini mengambil konteks pada kebudayaan Bali, karena untuk mempelajari objek seni sebagai tanda sama artinya mempelajari kebudayaan di mana objek tersebut berada, dan dalam konteks itulah teks lukisan “Dalang Bali” Gunarsa berada. Dipilihnya Bali secara umum karena di Bali kebudayaan begitu kuat begitupun sebaliknya kebudayaan modern begitu gencar memasuki ranah-ranah kehidupan masyarakat Bali sehingga dipandang dari sudut kesenian mempengaruhi senimannya untuk mencipta sebuah karya dan secara khususnya pada Museum klasik I Nyoman Gunarsa yang juga menjadi kediaman Nyoman Gunarsa di Desa Banjarangkan Klungkung, Semarapura.
3.3
Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu berupa, bentuk-
bentuk, pernyataan, uraian, dan hal-hal yang berkaitan dengan teks visual lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa. Sementara sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer diambil dari objek kajian teks visual lukisan “Dalang Bali”. Sementara sumber data sekunder diproleh dari luar objek kajian (artikel, makalah, penelitian, resepsi, jurnal, katalogus, dan observasi data wawancara dengan kolektor, kritikus, kurator, dan seniman-seniman lainnya.
3.4
Teknik Penentuan Informan
vii
41
Penelitian ini juga melibatkan masyarakat khususnya masyarakat seni, dengan tujuan dapat menambah informasi data yang akurat diperlukan informan yang tepat. Penentuan informan yang tepat dilakukan secara purposif sesuai dengan kebutuhan informasi data. Adapun imformannya antara lain, seniman, kurator seni, pengamat atau kritikus seni, dan pemilik galeri atau kolektor.
3.5
Instrumen Penelitian Peneliti sendiri adalah human instrument dalam penelitian kualitatif,
karena itu seorang peneliti dituntut untuk memiliki bekal teori dan wawasan yang luas sehingga mampu bertanya, menganalisis, memotret, dan mengkonstruksi situasi sosial menjadi lebih luas dan bermakna. Instrumen penelitian ini adalah penulis sendiri, di mana penulis menjadi instrument penelitian yang paling penting dalam hal pengumpulan data mendengar, mencatat, membaca, memaknai, menfsirkan, dan menginterpretasi. Dalam hal ini penulis dituntut memahami secara mendalam teks atau lukisan “Dalang Bali”, yang dibantu dengan pedoman wawancara dari berbagi sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji.
3.6
Teknik Pengumpulan Data Data diperoleh dari teks atau visual dalam lukisan “Dalang Bali”, serta
wawancara terhadap seniman, kritikus, ilmuwan, pengajar seni, kolektor dan yang dianggap perlu dan terkait dengan teks dalam lukisan “Dalang Bali” atau estetika yang dihadirkan dalam karya-karya Gunarsa (teks dan konteks). Hasil data dari
vii
42
pembacaan teks atau visual dan wawancara kemudian dicatat pada kartu data, dan diinvetarisasi, kemudian dikelompokkan berdasarkan klasifikasi data yang akan dianalisis. 3.7
Teknik Analisis Data
Analisis data penelitian ini dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut. a) Memantapkan unit analisis data dari hasil pengumpulan data ( data visual, hasil wawancara, dan jajak pendapat). b) Melaksanakan analisis dengan menghubungkan landasan teoretik dan empirik yang mengacu pada permasalahan c) Menyusun tafsiran dan simpulan dari hasil olahan data permasalahan.
3.8
Metode Penyajian Hasil Analisis Data Hasil dari analisis data merupakan tahapan terakhir dari suatu penelitian.
Penyajian hasil analisis data dilakukan secara informal menggunakan narasi katakata, ungkapan, interpretasi yang dirangkai sedemikian rupa sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah secara formal, dengan bagan dan foto.
vii
BAB IV PERKEMBANGAN SENI LUKIS BALI DAN PROFIL I NYOMAN GUNARSA
4.1 Perkembangan Seni Lukis Bali Bali identik dengan kebudayan dan kesenian, dalam mayarakat Bali kesenian merupakan hal yang sudah biasa karena dalam kebudayan Bali kesenian merupakan sebuah ihwal dan ujung dari sebuah upacara ataupun kebudayaan. Aktivitas seni merupakan bagian dari tugas ngayah, pengabdian yang diperuntukkan demi bakti kepada leluhur, dewa, atau para penguasa, puri. Karya seni yang lahir lebih bersifat anonim semata-mata demi pengabdian ”ngayah” dan bakti. Sepirit ngayah mendasari aktivitas seni masyarakat Bali pada umumnya dan tidak ada keterpisahan antara aktivitas seni sebagi aktivitas budaya dan spiritual, namun luruh dalam satu kesatuan yang utuh. Dalam perkembangan zaman khususnya dunia seni rupa atau seni lukis Bali, mengalami perkembngan yang cukup pesat, sehingga Bali memiliki sejarah yang panjang terhadap dunia kesenin ataupun sejarah seni lukis secara khusus. Perkembangan seni atau seni lukis Bali tampak berjalan seiring dengan dinamika sejarahnya. Namun dalam perjalanan sejarahnya, tidak menjadikan kebudayaa Bali kehilangan landasan budayanya sendiri, sehingga kesenian di Bali tetap menujukkan kekhasanya sebagai produk kreasi Bali. Dalam sejarahnya Bali mengalami beberapa periode penting dalam perkembangan kesenian khususnya
43
44
perkembangan dalam seni lukis, dari seni lukis klasik, modern, hingga seni lukis sekarang yaitu kontemporer.
4.1.1
Seni Lukis Klasik Bali (Pra-Kolonial) Seni lukis klasik (pra-kolonial) Bali adalah warisan dari tatanan dari
ideoreligeus budaya agraris Hindu-Budha yang berkembang di Bali sekitar abad ke 10, ketika didirikan kerajaan-kerajaan yang mendapat pengaruh langsung dari kebudayaan India, yang dibawa oleh pendeta penyebar agama serta para biarawan, dan juga yang tercampur lewat kontak-kontak dengan kerajaan Hindu dari Jawa khususnya pengaruh kerajaan Majapahit yang melakukan invansi pada tahun 1343, serta kontak-kontak dengan Cina serta beberapa daerah di Asia Tenggara (Holt dalam Soedarsono, 2000: 242). Seni lukis yang dikenal pada waktu itu didominasi oleh genre pewayangan, yaitu merupakan ilustrasi naratif baik cerita maupun ikonografinya diturunkan langsung dari kesenian wayang atau menunjukka tanda persamaan dalam bentuk tokoh cerita wayang kulit (Yudoseputro dalam Atmadja, 19901991; 41). Teks lukisan tertua adalah sebuah torehan pada lempeng tembaga bersubjek gambar wayang, yang menggambarkan sosok Dewa Siwa, ditemukan di pura Kehen, Bangli, berangkat tahun 1126 Saka (1204 Masehi) (Gorris, 1961: 1112). Perkembangan seni lukis ini selanjutnya terlihat nyata pada naskah-naskah kuno yang berupa lontar-lontar. Kitab lontar yang biasanya berisikan cerita legenda, simbol-simbol magis (rerajahan) ataupun cerita wayang, tersaji dengan
vii
45
ilustrasi gambar naratif. Bisa dipastikan inilah cikal bakal perkembangan seni lukis Bali (Taylor dalam Darmawan T, 2007: 19-20). Seni klasik berkembang hampir di seluruh wilayah Bali, perkembanganya berkaitan dengan raja sebagai patron utama. Selain berkembang di Desa Kamasan Klungkung, yang sampai sekarang tetap berproduksi, tradisi lukisan wayang klasik dulu juga pernah berkembang di beberapa desa seperti di wilayah Bali Aga di Kabupaten Karangasem, tepatnya di Desa Julah, berkembang seni lukis wayang yang bentuknya lebih sederhana dibandingkan seni wayang Kamasan yang kemungkinan berkembang lebih awal dari pada di Kamasan. Seni lukis di Desa Kamasan, sudah berkembang sejak abad ke-15 dan sangat maju pada saat pemerintahan Dalem Watu Renggong. Di Ubud seni lukis kalsik yang berkembang menyerupai seni lukis wayang Kamasan. Sekitar abad ke-19 seni lukis klasik telah berkembang di Desa Krambitan Tabanan, yang menunjukkan perbedaan dengan seni lukis wayang yang berkembang di kamasan (Darmawan T, 2007: 20). Karena memiliki fungsi ritual dan sosial dalam masyarakat Bali, seni lukis wayang berkembang di seluruh Bali, namun lebih menonjol di desa-desa yang berkaitan dengan keberadaan penguasa atau puri. Fungsi dari seni lukis pada waktu itu terutama untuk kepentingan adat, pura dan puri. Seni lukis dipersembahkan untuk hiasan Pura, ritual agama, balai adat, serta untuk penghias tempat tinggal raja. Pada dinding praba satu bangunan suci di areal pura biasanya dilengkapi dengan lukisan wayang yang cukup indah. Hal ini juga dapat ditemui pada beberapa bangunan rumah tradisional Bali di lingkungan puri, maupun di rumah-ruma penduduk. Lukisan wayang juga sering
vii
46
ditemui pada beberapa sarana ritul seperti pada ider-ider, kober, maupun umbulumbul. Lukisan wayang banyak mengambil tema dari cuplikan efos Ramayana dan Mahabarata, serta legenda malat panji, cupak grantang, calonarang dan sejumlah cerita tantri lainnya. Dilihat dari segi motif lukisannya menekankan pada motif wayang dengan corak yang bersifat dekoratif. Pencipta disebut sangging dan tidak mencantumkan nama pada karyanya. Waktu itu belum dikenal istilah „seniman‟, dan umumnya selain melukis mereka juga punya kemampuan sebagai dekorator, undagi dan pematung. Bahkan ada di antaranya yang ahli menari dan main musik (Darmawan T, 2007; 21). Kegiatan seni mereka bukan merupakan sebuah fropesi pada sebuah materi, tetapi lebih pada ungkapan pengabdian (ngayah) kepada agama dan kemasyarakatan. Fungsi seni masih terbatas pada funsi sosioreligius semata.
vii
47
Gambar 4.1 Contoh gambar pada lontar (atas) (foto rep, dari Leonard Lueras, Bali The Ultimate Island, 1992), dan lukisan wayang kamasan pada langit-lagit bagunan Kerta Gosa (foto Kal Muller, 2001).
vii
48
Gambar 4.2. Contoh lukisn wayang pada bangunan pelinggih (atas), dan palelintangan dengan menggunakan visual lukisan wayang (bawah) foto Adrian Vickers, 2001)
vii
49
4.1.2
Seni Lukis Modern Bali Invansi Belanda di Bali, pada tahun 1845-1848 di Bali utara dan 1906-
1908 di Bali selatan berdampak cukup besar terhadap arah perkembangan seni di Bali. Terjadinya sistim perubahan dalam sistim pemerintahan dari sisitim pemerintahan tradisional kerajaan ke sistim kolonial mengakibatkan melemahnya salah satu pilar tradisional budaya Bali. Pengaruh istana atau puri semakin terbatas, seni yang awalnya berkembang atau bernaung pada puri, kemudian bergeser dan tumbuh di desa-desa. Karakterristik seni istana atau puri yang sangat ketat terhadap peraturan dan harus mengikuti pakem-pakem yang telah digariskan, mengalami beberapa penyesuaian untuk tumbuh di pedesaan. Evolusi seni rupa Bali dimulai dari Buleleng (Bali Utara), meski menyangkut segi yang skunder, seperti diperkenalkan dengan bahan modern seperti kertas, gambar dibuat satu adegan saja dan bukan narasi lengkap seperti pada lukisan wayang klasik. Beberapa gambar sudah memperlihatka awal strukturasi ruang, dan sudah mulai mengarah keunsur tematika baru (Vikers dalam Soemantri, 2002: 112-113). Hal-hal itu sudah memperlihatkan meresapnya unsurunsur baru pada tatanan seni rupa Bali. Dampak yang lebih jelas terasa terjadi setelah Belanda menguasai Bali secara utuh pada tahun 1908. Kehadiran beberapa seniman asing di tengah-tengah masyarakat Bali memungkinkan terjadinya persentuhan dengan budaya lain. Para seniman barat hadir dengan pandangan baru yang belum dikenal dalam budaya Bali sebelumnya, bahwa karya seni juga merupakan karya individu yang dapat dijual dan dipasarkan. Permintaan produk lukisan yang terus meningkat, utamanya vii
50
oleh pengunjung asing, mengakibatkan adanya peningkatan produksi lukisan yang melampaui permintaan religius dan kuasi religius prakolonial. Adanya pasaran baru ini, bukan hanya mengakibatkan perubahan format atau teknik karya yang dihasilkan, tetapi juga mempengaruhi isi lukisan. Dari penggunaan simbol agama, kisah-kisah mitologi tredisional dan cerita-cerita dari epos Mahabarata dan Ramayana (seprti pada lukisan klasik wayang), ke hal-hal yang berasal dari keseharian yang dekat sekitar mereka, para pelukis mengarahkan pada objekobjeknya pada adegan-adegan menanam dan memanen padi, mencari ikan, kehidupan di pasar, perayaan-perayaan ritual, serta pertunjukan-pertunjukan dramatik (Holt, 2000: 257-258). Mulai tahun 1930-an ditengarai terjadi suatu fenomena unik, yaitu intervensi langsung maupun tidak langsung dari seniman Barat maupun pengaruh luar lainnya. Yang akan memberikan corak tersendiri pada perkembangan seni pedesaan Bali, selanjutnya perkembangan melahirkan berbagai kecendrungan gaya yang sangat menarik, yaitu dimulai dari aliran Pita Maha (Gaya Ubud, Batuan dan Sanur), Young Artis, Pengosekan, dan Keliki. (a) Gaya Ubud Pada awal abad ke 20 seni lukis Ubud tumbuh dengan gerak dengan penciptaan yang mirip gaya seni lukis Kamasan, dengan tema-tema wayang. Dengan para tokohnya pada waktu itu adalah I Made Geria, I Made Togog, Ida Bagus Kembeng, Tjokkorda Oka Gambir, I Gusti Nyoman Lempad dan sedikit yang lain (Darmawan T, 2007: 25).
vii
51
Bentuk, tema dan gaya seni Ubud berubah ketika hadirnya dua seniman asing, Walter Spies pelukis Jerman (1895-1942) pada tahun 1927 dan disusul Rudolf Bonnet pelukis Belanda (1895-1978) pada tahun1929. Kedatangan merka atas undangan dari pemimpin Puri Ubud Tjokorda Gede Raka Sukawati (Picard, 2002; 114), dan atas kemurahan beliau juga, mereka dapat membangun studio di Ubud.
Gambar 4.3. Perkembangan lukisan di Ubud dari tradisi pewayangan karya Cokorda Oka Gambir, “Ramayana”, 1935 (rep. dari katalog pameran Melintas Batas, 2002)
vii
52
Gambar 4.4. Contoh dua buah lukisan karya I Gusti Nyoman Lempad, “pengonying menyerang Rangda”, 1939 (kiri), “Anak-anak mengganggu Men Brayut”, 1930-an (foto Ardika, 2013) Bonnet dan Spies senang bergaul dan berkomunikasi dengan masyarakat sekitar, khususnya dengan para pelukis setempat. Mereka yang mendorong para pelukis tradisiona Bali untuk mengambil tema-tema yang lebih luas. Mereka berusaha
menumbuhkan
ekspresi
pribadi
pada
setiap
pelukis,
dengan
menjelaskan, apa yang dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari dapat dijadikan objek lukisan. Dari pembinaan ini lahirlah lukisan-lukisan yang bertema sekuler yang merekam objek-objek keseharian di Bali. Dalam waktu yang tidak lama, pengaruh kedua orang asing kemudian bergkembang di Desa Ubud dan menyebar di beberapa desa lainnya seperti di desa Batuan. Untuk mewadahi perkembangan ini maka lahirlah Pita Maha, pada tanggal 29 Januari 1936. Pita Maha sebagi perkumpulan seniman, didirikan oleh Tjok Gede Agung Sukawati bersama dengan Walter Spies dan Rudolf Bonnet dan
vii
53
didukung oleh para seniman Bali dan sejumlah orang asing lainnya. Perkumpulan ini tercatat memiliki anggota lebih dari 10 orang (Picard, 2006: 114). Salah satu ideologi yang ditawarkan Spies dan Bonnet melalui Pita Maha adalah perluasan dalam horizon penciptaan, bahwa tema seni lukis Bali tidak harus berkutat kepada mitologi dan tidak semustinya terkungkung oleh kekhusyukan religi. Bahwa seni lukis Bali seharusnya memilki sifat individual sebagaimana kaum modernis Eropa dan Amerika menawarkan secara konsepsual, dan seni lukis Bali boleh saja sekuler (Darmawan T, 2007: 12). Pengaruh Spies dan Bonnet tampak pada pengolahan komposisi yang lebih dinamis, penggarapan perspektif, serta penggayaan warna. Pada masa ini pelukis mulai mempergunakan bahan-bahan yang didatangkan dari negeri Belanda, seperti tempera, cat, air dan lain-lain. Teknik yang dipakai pada prinsipnya tetap mengikuti langkah-langkah seni lukis tradisional, mulai dari membuat sketsa dengan pensil, nyawi (menegskan sketsa dengan tinta cina), ngabur (mengesankan gelap terang), Nyenter (memberi pencahayaan dengan warna putih atau kuning), ngewarna (mewarnai), nyawi (membuat detail dan ornamen), serta menyelesaikan dengan warna tambahan. Sejak itu seni lukis Ubud menemukan bentuknya yang kita kenal sebagai seni lukis gaya Ubud.
vii
54
Gambar 4.5. Contoh lukisan yang berkembang di DesaUbud, lukisan gaya Ubud periode awal, tanpa nama (atas), dan karya A.A.Gd. Sobrat, “Tarian Tamulilingan” (bawah) (foto Ardika)
vii
55
(b) Gaya Batuan Di desa Batuan, Sukawati, seni lukis juga mengalami perkembangan seperti halnya di Ubud. Para tokohnya banyak yang bergabung dalam perkumpulan Pita Maha. Meski mereka termasuk anggota Pita Maha dan bergaul dengan pelukis-pelukis Ubud, karya-karya mereka menunjukkan perbedaan dengan lukisan gaya Ubud. Coraknya yang dekoratif ditata sedemikian rupa sehingga terlihat sangat detil. Peranan garis begitu dominan sebagi pembatas bidang yang dilukis dengan telaten. Tema-tema yang digelar dalam lukisan antara lain cerita tantri, dongeng, Mahabarata, Ramayana dan lain-lain. Karya-karya mereka umumnya sangat ekspresif, menyimpan atmosfer yang mencekam dan tenget. Dengan visualisasi yang khas, seni lukis ini adalah perkembangan gaya klasik dan lebih menekankan teknik hitam putih. Dalam pewarnaan umumnya digunakan warna hijau dan merah kecoklatan dengan latar belakang gelap (Darmawan T, 2007: 28-29). Sebelum tahun 1930-an, sudah ada pelukis yang memilki tradisi melukis gaya wayang. Tradisi ini berkembang dikalangan wangsa Brahmana, difungsikan dalam kaitan ritual sebagai kelengkapan sarana upacara. Orang yang memilki keahlian ini disebut dengan sangging. Beberapa tokoh seniman atau sangging yang cukup menonjol antara lain I Dewa Nyoman Mura (1877-1950) dan I Dewa Putu Kebes (874-1962). Setelah itu, Ketut Ngendon (1915-1048), membentuk perkumpulan seni modern di Batuan. Dia berasal dari keluarga yang lebih makmur, sehingga memiliki kesempatan memperoleh pendidikan dibanding temen-teman sebayanya, vii
56
dia bergabung dalam pendidkan Taman Siswa. Pada tahun 1948 dia dihukum mati oleh Belanda, karena dikethui membuat poster untuk perjuangan kemerdekaan. Selain Ngendon tokoh-tokoh pelukis Batuan lainnya antara lain I Patera (19001953) masih berhubungan keluarga dengan Ngendon, kemudian Ida Bagus Made Togog (1913-1989), Ida Bagus Made Jatasura (1917-1946), I Reneh, serta I Dewa Ketut Baru, I Tomblos (1917), Ida Bagus Ketut Dinding (1914-1990), I Made Djata (1920-1952), dan Ida Bagus Widja (1912-1992) (Vikers dalam Sumantri, 2002; 119). Semangat perkembangan lukisa ini dilanjutkan oleh generasi Batuan setelah Pita Maha antara lain I Made Budi, I Wayan Bendi (950), I Ketut Murtika (1952), I Made Sujendra (1964), dan lain-lain.
Gambar 4.6. Contoh lukisan yang berkembang di Desa Batuan, karya I Ketut Ngendon, “Mitos”, 49x39, tinta dan ca air di atas kertas, 1939 (kiri) dan karya Ida Bagus I Made Togog, “Dewi Durga Memberi Anugrah”, 47x36, inta dan cat air di kertas, 1936, (kanan) (foto rep. dari catalog pameran “melintas batas”, 2002).
vii
57
(c) Gaya Sanur Lukisan yang berkembang di wilayah Sanur dikatakan terpengeruh dengan gaya Batuan, karena banyak pelukisnya yang berguru kepada pelukis Batuan. Tetapi letak wilayah Sanur yang dekat dengan pantai, menghasilkan gaya lukis yang berbeda dengan gaya seniman-seniman pedalaman (Batuan atau Ubud). Pada lukisan yang berkembang di pedalaman, pelukis selalu memenuhi bidang kanvasnya hingga tidak tersisakan ruang kosong, mungkin dikarenakan tidak adanya pemandangan-pemandanga luas atau cakrawala yang jauh yang membuka pandangan. Sedangkan seniman yang lahir di pantai selatan Bali di Desa Sanur, laut adalah dominan. Garis yang jauh dari cakrawala diganggu hanya oleh siluet dari pulau kecil atau pelayaran yang berupa perahu nelayan. Lukisan Sanur mulai mengalami perkembangan sekitar tahun 1930-an, dengan berdirinya gallery milik keluarga Neuhaus, yang menghimpun karya-karya seniman lokal, yang hingga akhir tahun 1930-an terkumpul 25 seniman lokal Sanur. Kebanyakan karya lukisannya berwarna hitam dan putih, yang menggamgarkan kehidupan seharihari khususnya kehidupan di dalam laut, banyak mahluk-mahluk laut seperti kurakura, kepiting dn adegan-adegan mandi (Holt, 2000: 266). Sejumlah seniman sanur yang cukup menonjol antara lain, Ida Made Telaga, I Sukaria, Gusti Rundu, dan lain-lain, serta tokoh yang dianggap menawarkan pembaharuan pada gaya seni di sanur adalah Ida Bagus Rai, yang masih kerabat dari Ida Made Telaga (Vickers, 2002: 119).
vii
58
Gambar 4.7. Contoh lukisan yang berkembang di Desa Sanur, karya Ida Bagus Nyoman Rai “Nelayan” (atas), dan karya Sukaria “Sutasoma”, tinta di kertas, 1937 (bawah) (foto rep. darikatalog pameran “melintas batas”, 2002)
Timbulnya beraneka genre seni lukis Bali dengan berbagai karakter di tiap desa, menunjukkan adanya dinamika pembaharuan yang terus bergerak. Tiap-tiap
vii
59
desa bersikap aktif dalam menanggapi perkembangan dan pengaruh luar yang diolah menjadi identitas sendiri sehingga berbeda dengan desa yang lainnya. Pembaharuan seni lukis Bali yang terjadi dibeberapa desa tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari adanya peran pendatang asing yang memicu timbulnya semangat perubahan. Seperti kehadiran kedua seniman Spies dan Bonet di Desa Ubud yang dinamikanya juga terasa hingga ke Desa Batuan, dan kehadiran Neuhaus bersaudara di Sanur membuka galleri, memediasi interaksi antara wisatawan dan seniman di Desa Sanur. Namun seperti yang diungkapkan oleh Yuliman (2001: 300), “ sepuluh Bonnet dan sepuluh Pita Maha tidak akan dengan sendirinya menumbuhkan seni lukis
baru di Bali jika tidak dapat
kelenturan jiwa pelukis Bali sendiri untuk menerima hal-hal baru dan kesiapan mereka untuk berubah”. Kehadiran pendatang asing memang sangat berpengaruh terhadap dinamisasi seni lukis di Bali, namun jika tanpa didukung oleh kreativitas dan keterbukaan penduduk sangat sulit inovasi akan berkembang. Dapat dilihat bagai mana pembaharuan seni lukis di Bali pada waktu itu hanya menonjol dibeberapa desa saja, seperti disekitar desa Ubud, Batuan, dan Sanur. Pasang surut kebudayaan menunjukkan dinamika yang terjadi di dalam masyarakatnya. Setelah merebaknya kelahiran aneka genre seni lukis Bali pada tahun 1930-an, yang didorong oleh kehadiran sejumlah seniman dan budayawan Eropa, secara perlahan pembaharuan ini meredup seiring dengan perjalanan waktu dan peristiwa yang ikut mempengaruhi perkembangannya. Perkumpulan Pita Maha mengalami kevakuman dengan meletusnya perang dunia 11 yang memaksa Walter Spies dan Rudolf Bonnet meninggalkan pulau Bali. Walter Spies meningal vii
60
di perjalanan di tengah laut ketika kapal yang ditumpanginya dibom tentara Jepang. Sedangkan R, Bonnet ditahan oleh Jepang. Denyut nafas Pita Maha sempat diperpanjang staminanya oleh kehadiran golongan pelukis Ubud tahun 1956, sempat di sela oleh “ideologi” seni lukis lain seperti Young Artis di Penestanan asuhan Arie Smith tahun 1960. Pada generasi 1980-an lahirlah era seni lukis pasca Bonnet yaitu Pita Prada. Munculnya aliran ini berusaha menyingkirkan bayang-bayang Pita Maha dengan cara mencari identitas personal degan berguru kepada situasi dunia modern yang dipenuhi teknologi informasi (Darmawan T, 2007: 12).
4.1.3
Seni Lukis Kontemporer Bali Kemunculan sebuah karya baru yang semangat mendobraknya sangat
radikal sekalipun, tetap
dimotivasi
kecendrungan dominan oleh
karya
sebelumnya. Pengaruh pandangan modern Barat di Bali pada tahun 1930-an, nampak dari perubahan lukisan-lukisan seniman lokal Bali pada masa tersebut, di mana semua berlatar belakang putih kanvas yang merupakan simbol langit dengan bagian kecil bawah berbatu kerang simbol dunia manusia kemudian berubah dengan gambar kegiatan manusia yang mendominasi seluruh kanvas tanpa langit. Sekulerisme pandangan dunia dan cara menggambar ini memang masih membuat kanvas Bali penuh dengan figur-figur rakyat biasa tetapi porsi pada bidang langit (yang putih) telah lenyap dalam lukisan-lukisan modern mereka. Gambar-gambar Dewa yang naratif diganti oleh gambar-gambar kehidupan rakyat Bali yang deskriptif, dari lukisan relijius menjadi lukisan sekuler (Sumarjan, 2007: 62). Dalam wacana seni rupa Indonesia, persoalan seputar seni rupa kontempore sering vii
61
muncul karena dipicu oleh „ketidaktuntasan‟ pemikiran terhadap modernism dan postmodernisme iu sendiri. Globalisasi dan kepesatan sains dan teknologi, terutama teknologi informasi, menyebabka berbagai hal menjadi tumpang tindih (Saidi, 2008). Perkembangan alur sejarah seni tradisi, modern dan kontemporer di Indonesia khususnya di Bali sebelumnya sangat kabur, artinya tidak memiliki batasan waktu yang jelas dan konkrit. Lukisan yang dihasilkan pada mazhab Pita Maha, pada ranah seni rupa Indonesia akan dikategorikan dalam seni rupa tradisi sedangkan para penulis Barat mengatakan bahwa lukisan mereka sudah modern bahkan postmodern. Hal ini disebabkan perkembangan seni rupa Bali dengan seni rupa Indonesia yang berkembang di pulau Jawa memiliki pengaruh sosio-budaya yang berbeda. Akhirnya, karya yang dihasilkan pun memilki karakter dan definisi yang berlainan (Sucitra dalam Narasi Sanggar Dewata Indonesia, 2013: 18). Dinamika seni rupa kontemporer Bali, tidak bisa dilepaskan dari dinamika perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, terutama perjalanan seni rupa modern-kontemporer di Yogyakarta. Seni rupa Indonesia muncul menyuarakan zaman kini yang sangat kompleks dengan persoalan kemanusiaan. Kapitalisme global yang kian menggurita, hedonism, perusakan lingkungan, sain dan teknlogi yang maju demikian pesat (terutama teknologi informasi), perang (baik fisik maupun ideologi), pribadi manusia yang terbelah, masalah gender, gambaran peradaba manusia masa kini. Kompleksitas permasalahan tersebut memungkinkan para seniman mencari berbagai cara dan medium untuk merepresentasikanya. Dalam konteks ini
vii
62
berkarya rupa tidak hanya berkutat pada permasalahan teknik, melainkan bagaimana pula menyalurkan gagasan menyangkut berbagai persoalan tadi. Paradigma postmodern sebagai latar konseptual yang dominan saat ini mengidentifikasikan bahwa satu ciri seni rupa kontemporer adalah tingkat kepedulian yang tinggi terhadap realitas kehidupan masyarakat ketimbang mengurus masalah estetika itu sendiri (Saidi, 2008: 5). Berdasarkan hal tersebut, seni rupa kontemporer Indonesia diasumsikan sebagai seni yang berkecendrungan untuk menyampaikan berbagai gagasan dalam kaitannya dengan kompleksitas persoalan kemanusiaan di seputarnya. Seni rupa kontemporer adalah seni yang cendrung diperuntukkan bagi pemikiran daripada penikmat aspek visual. Karena beragam dan kompleksnya permasalahan, dalam penyampaian berbagai gagasannya seniman kontemporer menggunakan struktur dan pola ucap naratif secara simbolik (narasi simbolik). Pola ucap yang naratif ini diasumsikan juga berhubungan dengan kebiasaan bercerita yang berkembang di masyarakat sebagai sebuah tradisi atau ciri lokal yang sudah berada sejak lama. Pola ucap
naratif yang demikian dapat dikaitkan
dengan paradigma
postmoderenisme yang melatar belakanginya sebagaimana telah disinggung di atas. Posmodern adalah sebuah usaha untuk memberi pemahaman dan penilaian baru tehadap potensi lokal dan tradisi dalam rangka menaklukkan perubahan terhadap tatanan kehidupan moderenisme yang mapan dengan berbagai hal yang sebenarnya semu. Dengan perkataan lain, kecerdasan, nilai, dan potensi lokal lain
vii
63
mendapat tempat yang strategis dalam paradigma postmodernisme (Saidi, 2008: 9). Pola penciptaan dalan seni rupa kontemporer Bali yang terjadi justru semacam mainstream seni rupa kontemporer Bali yang pararel denga mitologisasi kekhasan dan keunikan Bali dengan adat dan agama Hindunya. Dengan kata lain strategi yang digunakan ialah dengan mengeksplorasi nilai-nilai dan potensi lokal yang mengarah kepemikiran postmodern seperti yang disebutkan di atas oleh Saidi. Seni rupa modern dan kontemporer Bali sebagian besar dikembangka dan diperkenalkan oleh seniman-seniman akademis. Terutama pada gelombang seni rupa kontemporer yang diserap dengan baik oleh perupa asal Bali yang merantau ilmu seni di Yogjakarta. Spirit yang disampaikan Wirata Dwikora (dalam Narasi Sanggar Dewata (2012: 152), mengatakan lokomotip dari mainstream seni kontemporer di Bali ini adalah Sanggar Dewata Indonesia, yaitu sebuah perkumpulan seniman yang didirikan oleh mahasiswa ISI Yogjakarta asal Bali di Yogyakarta pada tahun 1970. Karya-karya yang dimotori oleh seniman Sanggar Dewata Indonesia (SDI) inilah yang sepanjang seperempat abad lebih menjelang akhir millennium kedua ini memberi warna pada seni. Aspek lokalitas Bali yang dibumbui dengan isu-isu sosial, politik, ekonomi dalam keseharian menghadirkan identitas kultural yang kentara pada karya seni rupa seniman kontemporer Bali. Karya mereka menghadirkan Bali dalam „gaya‟ baru. Gaya yang tentunya berbeda dengan pencapaain I Gusti Nyoman Lempad dan kawan-kawan ketika mengembagkan aliran Pita Maha.
vii
64
Karya seni merupakan representasi budaya dari masyarakatnya, dengan kata lain bahwa gaya juga merupakan identitas kultural dari masyarakat kumunalnya. Berkaitan dengan hal-hal tersebut Polly Wiessner menjelaskan (dalam Sumaryono 2011: 72), bahwa gaya adalah variasi formal di dalam kebudayaan material yang mengandung informasi tentang identitas personal dan sosial. Identitas personal yang dimaksud adalah, bahwa setiap anggota masyarakat memiliki cara sendiri-sendiri dalam mengungkapkan identitas budayanya yang lebih sebagai ekspresi individual. Adapun gaya sebagai ungkapan identitas sosial adalah suatu gaya yang menunjukan identitas kultural dari suatu kelompok masyarakt atau suku. Sekelempok mahasiswa ISI Yogyakarta asal Bali di antaranya I Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Wayan Sika, Pande Gede Supada, Wayan Arsana mereka mendirikan Sanggar Dewata Indonesia pada tahun 1970-an di Yogyakarta. Supada bermain dengan tekstur dengan tema-tema wayang, Gunarsa mengangkat tema penari dan wayang Bali, dan Wayan Sika mencari ikon-ikon Bali sebagai representasi spiritualitas dan cirri-ciri ke-Bali-an. Hanya Made Wianta yang menyempal dari kelompok ini dikarenakan konsep-konsepnya benar-benar berbeda, di mana Wianta tidak mau merujuk pandangan kulturalis ala Bali itu dan memilih jalan lain yakni ekspresi universal dan modern. Menjadikan tardisi Bali sebagai ciri, yang kemudian melahirkan berbagai stigma identitas pada karya kultural pada karya kontemporer Bali agaknya memang sudah merupakan obsesi Nyoman Gunarasa dan kawan-kawannya sejak mendirikan SDI. Di sana mereka mengangkat identitas etnik untuk memperkuat ciri kultural. Walaupun seniman-
vii
65
senimannya tidak secara vulgar menolak eksotisme seni lukkis tradisi oleh pelaku pariwisata, namun karya-karya seniman SDI tidak sepenuhnya melepaskan cap eksotik tersebut (Sucitra dalam Narasi Sanggar Dewata Indonesia, 2013: 21). Meskipun berasal dari kesamaan adat istiadat, tradisi, agama yang sama dengan angkatan Pita Maha namun SDI memiliki misi yang berbeda terhadap Pita Maha yang terlebih dahulu mengadakan perubahan seni di Bali. Perbedaan mereka tampak dalam visi maupun gaya. Pita Maha lebih bersifat orientasi kepemikiran lokal dan bergaya naturalis/realistis serta dekoratif, sedangkan SDI bersifat ekspresionis abstrak, dan mendunia (Ngurah Bagus dalam Koentjaraningrat, 1997; 313). Identitas etnik yang kental, epigonisme abstrak ekspresionis dengan nuansa khas ikon-ikon Bali Hindu yang merebak pada seniman-seniman muda, diamdiam melegitimasi keberadaan mainstream SDI sebagi wacana seni kontemporer di Bali. Para pendukung SDI adalah seniman Bali yang merasa tidak cocok lagi merepresentasikan dirinya sebagai ahli waris yang cuma meneruskan seni budaya Bali sebelumnya, yang merupakan karya-karya rumit tradisional dari zaman Pita Maha atau Batuan pada akhir 1930-an, dan apalagi seni lukis klasik gaya wayang Kamasan yang diperkenalkan sekitar seabad sebelumnya. Seperti ungkapan Ngurah Bagus yang diungkapkan Sucitra (dalam Narasi Sanggar Dewata Indonesia, 2013: 26), dari para pendukung SDI yang juga terhimpun dalam sebuah wadah yang bersifat komunitas menghadirkan tiga ciri yang secara sadar maupun tidak sadar telah mengikat mereka, yaitu pertama acuan mereka dalam berkarya yang mengacu kepada nilai budaya Bali bersumber pada agama Hindu.
vii
66
Nilai inilah yang menjadi ruh yang menjiwai karya-karyanya dalam berkreativitas. Hal ini nampak pada nama sanggar tersbut yang memakai kata Dewata yang dianggapnya sebagai lambang (kata lain) untuk menyebutkan nama Bali sedangkan nama Indonesia untuk menunjukkan kenasionalan mereka yang terikat pada wawasan kebangsaan. Kedua adalah ciri yang mengungkapkan visi tersebut dalam bentuk yang umumnya bergaya abstrak dan ekspresionis yang membedakannya dengan Pita Maha. Ketiga adalah ikatan yang ada di antara mereka atau inividu dalam kelompok secara eksplisit mengatakan bahwa dalam mereka berkarya bukan saja dalam ruang lingkup daerah dan nasional, tetapi juga supaya karya mereka diterima dalam lingkup internasional. Di kampus ISI Yogyakarta para seniman muda SDI berkenalan dengan konsep-konsep dan estetika barat yang tidak dikenal dikalangan seniman tradisional Bali. Di sanalah mereka berkenenalan dengan sejarah seni lukis Eropa dan Amerika, mulai dari realism, naturalism, impresionisme, ekspresionisme, sampai abstrak ekspresionisme. Perjalanan seni lukis barat yang telah melewati ruang dan waktu sepanjang beberapa abad, tentu saja mereka diperkenalkan dengen sejumlah nama besar Leonardo da Vinci, Hennry Matisse, Vincnt Van Gogh, Paul Cezzane, Paul Gauguin, George Baraque, Mark Cagal, Pablo Picasso, Salvador Dali, Lagger, Jackson Pollok hingga Basquiat. Darmawan T (1995: 14) menyatakan, SDI merupakan sebuah sanggar yang nampaknya memiliki misi yang lain, ia tidak sekedar non politik tapi lebih dari itu: amat spesifik. Karena sanggar yang didirikan oleh I Nyoman Gunarsa dan kawan-kawannya ini memilki aspirasi khas: mewadahi dan mengembangkan
vii
67
aspirasi para pelukis yang berasal dari Bali dalam lingkup seni rupa modern bahkan “postmodern”. Jadi bisa dikatakan kelahiran perkembangan seni rupa atau seni lukis kontemporer Bali tidak bisa lepas dari peran seorang Gunarsa, dimulai dari kedatangan sosok seorang I Nyoman Gunarsa yang pertama kali mengeyam pendidikan seni di ASRI Yogyakarta tahun 1959/1960 yang kini bernama ISI Yogyakarta dan disusul teman-temannya pada generasi 1970-an yang pada akhirnya membentuk sebuah perkumpulan dengan Gunarsa yang bernama SDI yang pada akhirnya memberi dampak terhadap pekembangan seni rupa kontemporer Indonesia dan seni rupa kontemporer Bali pada khususnya. Gunarsa merupakan tokoh sentral di antara pendiri-pendiri SDI dan berperan sbagai lokomoif dalam perkembangan dinamika SDI.
4.2
Profil I Nyoman Gunarsa Sebagai Pelukis
4.2.1
Latar Belakang I Nyoman Gunarsa adalah seorang pria kelahiran Klungkung, Bali, 1944
dari lingkungan keluarga petani dan salah satu pamannya seorang dalang. Gunarsa dibesarkan di lingkungan yang kental dengan seni tari, seni musik, dan pewayangan. Gunarsa rupanya sejak kecil telah terpesona dengan keindahan alam dan kesenian yang tumbuh subur di Klungkung. Berbagai kegiatan kesenian kemudian digelutinya seperti, menari, menabuh gambelan, kemudian jatuh hati pada dunia seni lukis.
vii
68
Gambar 4.8. Potret diri I Nyoman Gunarsa, (Foto Ardika 2012), kanan, wawancara peneliti dengan I Nyoman Gunarsa di studio yang bertempat di Museum yang menjadi kediamannya yang bertempat di Desa Klungkung, (foto Ardika, 2014),
Perbincangannya tentang minat melukis dengan guru menggambar sewaktu SMP kemudian membawanya ke Singaraja, pada tahun1959 untuk belajar melukis pada sekolah seni rupa yang bernama sekolah Rupa Datu. Sebuah sekolah setingkat SMA yang didirikan pada tahun 1945 oleh bapak Wayan Kaya, Ibu Ni Made Kajeng, dan pelukis Soka Ngaja. Sekolah itu bertujuan mencetak guru-guru gambar, namun kemudia Gunarsa tidak merasa perlu berlama-lama di sekolah seni Rupa Datu itu, karena dia ingin menjadi seorang seniman (wawancara dengan Gunarsa, 15 oktober 2014). Gunarsa terinspirasi dengan pelukis-pelukis asing yang tinggal di Bali. Gunarsa saat masih belia sangat tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Le Mayuer, Antonio Blanco, Arie Smit, Rudolf Bonnet, dan Han Snel. Disaat liburan sekolah adalah kesempatan bagi Gunarsa muda untuk bersepeda keliling Sanur-
vii
69
Ubud-Klungkung ataupun mengunjungi studio para pelukis-pelukis itu. Di Sanur Gunarsa terkesan menyaksikan pelukis Le Mayuer melukis modelnya yang cantik dari desa klandis, Denpasar timur yaitu Ni Polok. Kecantikan Ni Polok membuat Le Mayur jatuh cinta dan kemudian mempersuntingnya menjadi istri. Di Ubud Gunarsa mengunjungi Antonio Blanco, Rudolf Bonnet, Arie Smit, dan Han Snell. Di Bali selain berjumpa dengan pelukis-pelukis asing, Gunarsa bertemu juga dengan Affandi, Hendra Gunawan, Sujojono, Agus Djaja, Alimin, dan Abas Alibasyah diseputaran daerah Sanur dan Tanjung Bungkak, Denpasar Timur. Dari para pelukis rata-rata tamatan ASRI Yogyakarta itulah Gunarsa mendapat gambaran serta mantap hatinya untuk belajar melukis ke ASRI Yogyakarta. Sekolah Rupa Datu di Singaraja ia tinggalkan tahun1959. Pada tahun awal-awal itu ASRI menerima lulusan dari sekolah menengah pertama (SMP) (Mike Susanto, 2002; 18). Dengan meninggalkan sekolah Rupa Datu dan menuntut ilmu di ASRI membuktikan bahwa betapa besar keinginan Gunarsa sebagai seniman dan minat Gunarsa terhadap dunia seni lukis hingga pada prosesnya berkarya menghadirkan tema-tema spiritualis Bali religius dengan karya-kara yang menebarkan spirit dan ikonografi Bali. Dari ASRI Yogyakarta Gunarsa banyak belajar dan mewarisi ilmu dari para guru-gurunya yang juga merupakan pelukis-pelukis utama dan legendaris Indonesia. Di antara gurunya yang pertama yaitu Fadjar Sidik, darinya Gunarsa mewarisi spontanitas yang luar biasa baik dari segi garis, penempatan ruang, proporsi, dan komposisinya spontan, namun penuh pertimbangan intuisi.
vii
70
Guru kedua adalah Affandi, dari seorang Affandi ia mewarisi Garis-garis yang diungkapkan secara ekspresif dan inspirasi berkarya yang bersumber dari kehidupan sehari-hari adalah modal yang didapat dari Affandi yang berhasil dimanfaatkan secara maksimal oleh Gunarsa, hingga menjadikan ia
terlihat
menjadi “pewaris” utama Affandi. Dua gurunya yang lain adalah Sudarso dan Trubus. Dari mereka Gunarsa mendapatkan pelajaran guna menguasai perkara kemiripan atas realitas yang dihadapi atau kemampuan melukis tanpa model alias imajinatif. Dari mereka, Gunarsa mampu menguasai bentuk fisik manusia, melukis gerak, anatomi makhluk hidup, dan pembentukan karakter objek/subjek. Bisa dikatakan Gunarsa memiliki kemampuan
keterampilan yang lengkap sebagai pelukis. Dari para
gurunya ia mampu memanfaatkan media yang dipegangnya menjadi alat dalam berkarya. Hingga sebelum masuk ke gaya ekspresionis yang membawanya pada puncak ketenaran hingga deterima sebagai seorang maestro seni lukis, gaya realistik sempat menjadi gaya ungkap dalam lukisannya yang tidak jauh juga dipengaruhi para guru-gurunya, (Mike Susanto dalam Jogjanwes.com, 13-april, 2012).
vii
71
Gambar 4.9. Gunarsa sedang melukis dalam studionya, (foto Sandika, 2010)
4.2.2
Perjalanan Karya I Nyoman Gunarsa telah berkiprah sejak tahun 1960-an sebagai pelukis
antara tahun 1960-1970-an Gunarsa masih merupakan sosok yang secara personal memasuki masa pencarian identitas. Dari pergaulan dan kedekatan dengan para guru yang tinggal di Yogyakarta tersebut dan bergaul dengan para pelukis yang lain, Gunarsa menjadi pelukis yang tak pernah melewatkan berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari. Begitu tersihir dengan profesinya sebagai pelukis, Gunarsa sangat giat berlatih dan bekerja sehingga banyak dan sering melahirkan karyakarya seni khususnya seni lukis, hingga Gunarsa
vii
menjadi sosok yang lahir
72
dengan identifikasi yang khas dan unik. Garis-garisnya memanggul nama-nama besar, yakni para gurunya. Tema dan gaya yang diutarakan tak jauh dari para pelukis yang telah diutarakan di atas. Dalam pencarian identitas dan pada awalnya lukisan Gunarsa mengarah pada stilistik realis, namun sesuai dengan tuntutan jiwa berkeseniannya, pada tahun 1970-an baik sketsa dan lukisan Gunarsa mulai berkembang dengan visualisasi yang berbeda. Yang akhirnya baik sketsa ataupun karya lukis Gunarsa berstilistik ekspresionis yang membawanya
pada puncak ketenaran hingga
deterima sebagai seorang maestro seni lukis (Mike Susanto dalam Jogjanwes.com, 13- April, 2012). Dari totalitas jiwa ketimurannya dalam prose berkarya secara tema, dari gaya realistik ke ekspresionis Gunarsa masih setia dengan tema-tema kehidupan sosial, bercitra dan bertema kebudayaan Bali, Mikke Susanto (dalam Jogjanwes.com, 13 April, 2012) juga mengatakan yang secara khusus adalah perangkat seremoni upacara adat Bali. Berbagai perangkat seperti canang, pajegan, tamyang kolem, cili, lamak, wayang, tari-tarian dan lain-lain yang diterapkan secara periodik. Pada masa periode pertama merupakan bagian dari pencarian identitasnya, pada masa periode kedua (tahun 1970-1981) Gunarsa menggunakan subjek sesaji sebagai inspirasi, sehingga disebut Periode Sesaji. Pada periode ketiga (tahun 1981-1987) disebutnya sebagai Periode Aringgit, yang melukiskan potret penari perempuan atau perempuan dalam aktivitas upacara maupun budaya Bali pada umumnya. Dengan gaya ekspresionis Gunarsa mampu menghadirkan citra kebudayaan Bali dalam sebidang kanvas dengan cara yang
vii
73
khas dan unik, hingga kepekaan Gunarsa terhadap kebudayaan yang dimiliki menjadikan lukisan Gunarsa sebagai bagian dari totalitas jiwa ketimurannya. Dalam pencarian identitas pada awalnya lukisan Gunarsa mengarah pada gaya realistik, namun sesuai dengan tuntutan jiwa berkeseniannya, pada tahun 1970-an baik sketsa dan lukisan Gunarsa mulai berkembang dengan visualisasi yang berbeda, hingga akhirnya baik sketsa ataupun karya lukis Gunarsa berstilistik ekspresionis. Perbedaan gaya realistik dengan ekspresionis dalam karya-karya yang bertema kebudayaan Bali di mana dalam gaya realistik Gunarsa menghadirkan objek atau bentuk tampak nyata sebagaimana aslinya, sedangkan dalam gaya ekspresionis bentuk tidak dihadirkan seperti adanya namun melalui pengolahan estetis bentuk yang hadir nampak lebih terolah dari realitas objek dan objek estetis yang dilukis telah mengalami distorsi baik bentuk maupun warna, melalui elemen atau unsur keliaran garis, warna, tekstur, dan objek yang dituangkan secara spontan sesuai emosi estetisnya yang bersifat ekspresif di atas bidang kanvas. Penggunaan garis lengkung meliuk-liuk, tebal dan tipis mengikuti bentuk objek menjadi karakteristik yang paling menonjol dari lukisan Gunarsa. Warna yang cenderung cerah dan objek estetis yang dilukis telah mengalami distorsi baik bentuk maupun warna, diungkapkan dengan spontan sesuai emosi estetisnya. Hingga Gunarsa sering menyebut garisnya adalah nyanyian dan warnanya adalah tarian (Pututriastuti dalam wordpress.com, 11- januari, 2010). Dalam artian Gunarsa sebagai seorang profesional memiliki kerangka pengetahuan, relasi produksi, infrastruktur teknis hingga mampu meng encoding
vii
74
atau menciptakan kode dan tanda baru dari kode dan tanda yang sudah ada sebelumnya atau tanda yang bersifat alami. Tanda yang dihadirkan Gunarsa bersifat tanda ikonik hingga lukisan merupakan sebuah diskursus visual yang menerjemahkan dunia tiga dimensi menjadi tatanan dua dimensi. Penyatuan dan karakteristik ini menjadikan munculnya nama dan pribadi Gunarsa terlebih dahulu jika mengamati karya-karyanya.
4.2.3
Pameran dan Pencapaian di Luar Dunia Seni Lukis Pergulatan proses berkarya Gunarsa merupakan sebuah pergulatan proses
berkesenian yang cukup panjang, terbukti berbagai kegiatan pameran yang dilakukan untuk memprkenalkan karya-karya Gunarsa ke khalayak publik baik pameran yang bersifat lokal/Nasional ataupun Internasional dan pameran bersama maupun yang bersifat solo/ tunggal. Pameran merupakan sebuah kegiatan untuk menampilkan karya yang dibuat secara khusus dalam hal ini adalah lukisan. Pameran juga memiliki berbagai tujuan yang satu di antaranya adalah tujuan untuk meningkatkan apresiasi seni pada genarasi muda, karena bangsa yang maju sering didasari oleh besarnya apresiasi masyarakat terhadap kehidupan seni dan budaya. Selain tujuan pameran juga memiliki sebuah fungsi di antaranya: sebagai penanaman kesadaran akan nilai-nilai keindahan tentang karya seni, sebagai sarana pencapaian prestasi atau merupakan ajang prestasi dan kompetisi timbul pemikiran untuk berkarya yang lebih baik, dan sebagai sarana apresiasi dengan melihat pameran akan muncul berbagai tanggapan, kritik, penilaiian, sarana penghargaan, rangsangan seseorang untuk berbuat kreatif dalam berkarya seni dan berolah seni (Siswoyo vii
75
dalam agussiswoyo.net, juni, 9, 2013). Jadi sebuah pameran merupakan persayaratan yang mutlak bagi para seniman yang ingin dikenal secara lebih jauh baik pribadi maupun karya-karyanya. Adapun pameran seni yang pernah diciptakan ataupun diikuti secara nasional dan internasional, pameran yang bersifat tunggal dan bersama antara lain; dari pameran tunggal yang pertama pernah diciptakan Gunarsa pada tahun 1962 pameran di Museum Gedung Gajah Jakarta, 1968 pameran di Jakarta Arts Council dibuka oleh Umar Khayam, 1971 pameran di British Council, Kuala Lumpur Malaysia dibuka oleh Mr. Imam Abikusno Duta Besar Indonesia, 1972 pameran di British Council, Kuala Lumpur Malaysia disponsori oleh Gallery Frank Solliven, 1977 pameran di Art Centre Denpasar Bali, 1979 pameran di Art Centre Denpasar Bali disponsori oleh Bali Arts Council dibuka oleh Gubernur Bali Prof. DR. Ida Bagus Mantra. Tahun 1981 pameran di Jakarta disponsori oleh Indonesian American Association (LIA) dibuka oleh Allene Master, Istri Duta Besar Amerika untuk Indonesia. Tahun 1981 pameran di Galeri Zielona, Gora, Polland. Tahun 1981 pameran tunggal di Indonesian American Association Washington dan sebagai Dosen di Columbia University New York USA. Tahun 1981 mengadakan ceramah di Indonesia Amerika Assosiation di Washington dan diundang ke Pentagon oleh General Maynard untuk melihat-lihat Museum Perjuangan Rakyat Amerika. Tahun 1984 pameran tunggal di Womens International Club, Jakarta diprakarsai oleh Garreta Lamore, kritikus Amerika. Tahun 1985 pameran di Galeri 2000, Gravenhage Holland dibuka oleh Mr. Kadarisman Duta Besar
vii
76
Indonesia untuk Belanda. Tahun 1986 pameran di kediaman duta besar Amerika Paul Wolfowits Jakarta, untuk dana AFS. Tahun 1987 pameran di Chase Manhattan Bank, Jakarta dibuka oleh Duta besar Amerika untuk Indonesia Paul Wolfowits. Tahun 1987 pameran di Erasmus Huis Jakarta dibuka oleh meteri sosial Prof. Dr. Hariyati Subadio. Tahun 1990 pameran di Duta Fine Art Foundation Jakarta, diprakarsai oleh Didier Hamel. Tahun 1991 pameran di ARCADE Gallery, Oakland, San Franscisco, USA diprakarsai oleh Gareta Lamore. Tahun 1991 pameran di Blance Gallery dan ISM Hamamatsu, Japan disponsori oleh Agung Rai gallery. Tahun 1996 pameran di Opera Gallery, Singapore. Tahun 1997 pameran tunggal di Opera Gallery, Paris Prancis, 1998 pameran tunggal Hamburgische Landesbank, Jerman yang disponsori oleh gallery Frederike Volker. Tahun 1998 pameran tunggal Kiels Landesbank Jerman yang disponsori oleh Gallery Frederike Volker. Tahun 2000 Pameran tunggal di Horehore Café Jakarta, sponsor Ibu Sri Hartadi. Tahun 2000 Pameran tunggal di Malinda Gallery Park Mall Singapore. Tahun 2000 Menyelenggarakan pameran bersama Fakultas Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) di NGM. Tahun 2000 pameran tunggal di Graha Niaga, Jakarta yang dibuka oleh Tri Sutrisno mantan Wakil Presiden. Tahun 2001 pameran tunggal serentak di empat negara, New York, San Francisco, Berlin dan Dresden. Tahun 2001 pameran tunggal di Malinda Gallery, Demptsy Road, Singapura yang dibuka oleh Perdana Menteri Singapura Goh Choo Tong.
vii
77
Tahun 2002 pameran tunggal di Piazza Art Gallery, Sausalito San Francisco yang dibuka oleh Claire Fisher. Tahun 2002 pameran tunggal di Agama Art Gallery yang dipromotori oleh Linda Orst Eier New York USA.Tahun 2003 pameran tunggal di Linda Fine Art Gallery, Demptsy Road, Singapore. Tahun 2004 Ulang Tahun Nyoman Gunarsa Museum ke 10, serta peluncuran buku Nyoman Gunarsa Aquarell yang ditulis oleh Thomas U Freitag tentang Moksa (perjalanan spirit Nyoman Gunarsa). Tahun 2005 pameran tunggal di East West Gallery, Melbourne, Australia. Tahun 2005 Pameran tunggal di “Rathaus Art Gallery” di Inzllingen, Germany. Tahun 2005 pameran tunggal di “Claudius Art Gallery” Hamburgh Germany. Tahun 2005 pameran tunggal di Novotel Palembang, sponsor Cayman Trust Jakarta. Tahun 2005 pameran tunggal bersama penari Made Djimat , Maestro meets Maestro sponsor Bisnis Indonesia dengan Cayman Trust. Tahun 2010 pameran tunggal koleksi dari Nyoman Gunarsa dalam rangka Visit Museum Year 2010. Tahun 2011 pameran tunggal “Watercolour Exhibition” di Konjen RI di San Francisco dalam mensuport acara “Bali: Art, Ritual, Performance” di Asian Art Museum, San Francisco, USA, Bp. Asianto Sinambela. Dalam pameran bersama yang pernah di ikuti diantaranya, pada tahun 1962 pameran bersama di Akademi Seni Rupa (ASRI) Yogyakarta saat Asian Games berlangsung. Tahun 1963 pameran bersama di Christian Chruch, Yogyakarta, diselenggarakan oleh Mahmud Jaya, pameran bersama di Museum Sono Budoyo, Yogyakarta pada waktu GANEFO. Tahun 1965 pameran bersama di Museum Sono Budoyo, Yogyakarta. Tahun 1973 pameran bersama
vii
78
International Young Artists, New York, USA sebagai peserta termuda dunia. Tahun 1979 pameran International untuk seniman Asean di Cipta Gallery (TIM) Jakarta. Tahun 1979 pameran bersama Mahasabha Hindu Dharma di Art Centre, Denpasar. Tahun 1979 pameran Asian di Tokyo Jepang di sponsori oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Tahun 1980 pameran Sanggar Dewata Indonesia di Mitra Budaya, Jakarta dibuka oleh Allene Masters, istri Duta Besar Amerika untuk Indonesia. Tahun 1980 pameran Asean di Thailand, Singapore, Philipina, Malaysia dan Indonesia, disponsori oleh Departemen Seni dan Budaya RI. Tahun 1980 pameran Internasional di Fukuoka Museum Tokyo Jepang. Tahun 1980 pameran di Singapore Art Festival di Nan Nyang University, Singapore. Tahun 1980 pameran di Nusantara Gallery, Warsawa, Polandia dibuka oleh Mr. Andrzey Waurziniak Dubes Polandia. Tahun 1982 pameran bersama Sanggar Dewata Indonesia di Asosiasi Indonesia Amerika, Jakarta yang dibuka oleh Ian La Salle, Sekretaris Utama Duta Besar Amerika. Tahun 1982 pameran di PKB Art Centre, Denpasar. Tahun 1983 pameran di Gallery Ostrow , Wielkopolski, Polandia. Tahun 1983 pameran di Pilla Art Gallery, Polandia. Tahun 1983 pameran lukisan modern Indonesia di Sieradz District Museum, Polandia yang dikoleksi oleh A. Vawizyniak. Tahun 1983 pameran internasional Biennale, Sao Paulo, Brazil. Tahun 1983 pameran di Bursa Festival Seni, Mandarin Hotel, Jakarta. Tahun 1983 pameran Akbar di Borobudur, Jawa Tengah, Indonesia untuk renovasi, 1984 pameran di Gallery Ancol, Jakarta. Tahun 1987 Forum Seni Komunikasi, pameran bersama denga Suwaji-FSRD “ISI” Yogyakarta. Tahun
vii
79
1988 pameran di East West Centre, Honolulu, Hawaii disponsori oleh Museum Neka, melukis mural untuk Jefferson Conference Building, Honolulu, Hawaii, USA. Tahun 1989 group seniman Indonesia pameran di rumah parlemen Deutch Bonn West Germany, yang diprakarsai oleh Duta Besar Indonesia. Tahun 1990 pameran keliling untuk Belanda, Inggris, Prancis, Jerman yang disponsori oleh Depdikbud RI. Tahun 1990 Pameran bersama dengan Affandi dan Widayat di Rudana Art Gallery, Ubud, Bali dibuka oleh Gubernur Bali Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Tahun 1990 pameran bersama Sanggar Dewata Indonesia di Art Centre, Denpasar dibuka oleh Gubernur Bali Ida Bagus Mantra. Tahun 1991 Ikut serta dalam pameran Sanggar Dewata Indonesia di Yogyakarta setiap tahun, Tahun 1992 pameran Seni Asian Internasional yang ke VII di Gedung Merdeka Bandung, Indonesia. Tahun 1992 eserta pameran International “KIAS”, Kesenian Indonesia di Amerika selama setahun penuh di benua Amerika dibawah Prof. DR. Yoseph Fischer. Tahun 1993 Berpartisipasi dalam Federasi Hindu Internasional di Art Centre, Denpasar. Tahun 1993 pameran bersama Seniman Indonesia untuk PAKIB Belanda, di bawah promotor Ellena Spanyard. Tahun 1996 pameran bersama dengan Jehan dan Srihady di Le Merridien Hotel, Jakarta dibuka oleh Ibu Tien Soeharto. Tahun 1997 pameran bersama GNOTA di Holidy Inn Hotel, Jakarta. Tahun 2000 pameran bersama Millenium ketiga Sanggar Dewata Indonesia di 6 Museum di Bali. Tahun 2000 pameran bersama pelukis Indonesia di Shangrila Hotel, Jakarta. Tahun 2001 pameran bersama di Hotel Sahid, Kuta Bali. Tahun 2002 Pameran bersama di Taman Budaya Denpasar pada PKB. Tahun 2003 pameran bersama di
vii
80
Taman Ismail Marzuki Jakarta. Tahun 2004 pameran bersama di Linda Gallery Demptsy Road Singapore. Tahun 2004 pameran bersama “ASIAN Water Colour” di ARMA Museum. Tahun 2004 pameran bersama di “Apartment THE PICK “ Jakarta dalam rangka Soft Opening bersama kawan-kawan Sanggar Dewata Indonesia. Tahun 2005 Berkolaborasi dengan Walter Van Oel, demontrasi melukis di atas kanvas 3 meter x 2 meter di ARMA Museum. Tahun 2005 pameran bersama di TIM Jakarta atas prakarsa Dewan Kesenian Jakarta di bawah Sri Warso Wahono. Tahun 2005 pameran kolaborasi dengan Bapak Djimat penari Bali yang disponsori oleh Bisnis Indonesia, Bapak Sukamdani Gito Sarjono dengan Cayman Trust Dewi Meruta di President Hotel Jakarta Tahun 2005 pameran Erotica bersama di Tony Raka Art Gallery Ubud, 2006 Pameran Historiography di Bali Biennale. Tahun 2006 pameran Historiography di Gallery Yogyakarta, 2012 Melaksanakan pameran The First International Festival of Classical Balinese Painting di Nyoman Gunarsa Museum, Klungkung selama 3 bulan mulai 28 Juli sampai 28 Oktober 2012. Selain berproses sebagai seorang seniman lukis, seorang Gunarsa juga memilki prestasi berkarya di luar dunia seni lukis, di mana Gunarsa pernah menggarap karya-karya yang bersifat monumental. Beberapa karya monumental yang dibuat di antaranya, Membuat diorama untuk monumen Puputan Klungkung, membuat patung Darmawangsa untuk Pemda Klungkung, menyumbang patung Jogor Manik, patung Sang Suratma, untuk kota Klungkung. Membuat lukisan dinding 3 X 6 meter untuk Jeferson Building di East West Centre Honolulu Hawai, USA 1988 dengan tema “Kresna Duta”, satu lukisan ukuran 3 x 6 meter
vii
81
menghias gedung “Unicef” di Roterdam Netherland. Satu lukisan ukuran 2 x 3 meter menghias Lobby Ritscalton Hotel di Singapore. Karya-karya
lukisannya
banyak
dikoleksi
di
museum-museum
diantaranya, Agung Rai Art Museum, Neka Museum, Rudana Museum, Museum Bali, Museum Pusat Jakarta, Museum Fatahillah, Art Centre Denpasar, Tropen Museum, Landesbank Hamburgische, Museum Fukuoka Jepang, Museum Hermitasche St Petersburg, Rusia, Moma Art Museum, New York, USA, Asian Art Museum, San Francisco, USA. Membuat film “Short Picture” untuk Moksa berkolaborasi dengan ISI Denpasar. Diundang untuk melukis Raja Badung, Ida Cokorda Denpasar IX dalam pelantikan “MABISEKA RATU” tahun 2005. Diundang demo melukis wajah raja-raja Ubud dalam “Ubud Art Festival“ bersama Jackson Monet tahun 2006, diundang BTDC Nusa Dua Art Festival untuk melukis demo wajah-wajah menteri Indonesia bersatu
tahun 2006.
Diundang panitia Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXIII untuk demonstrasi sketsa wajah para pejabat. Berabagi pengalam pameran dan prestasi baik di dalam maupun di luar dunia seni lukis telah dilakukan dan di dapatkan Gunarsa sehingga membentuk citra Gunarsa sebagai seniman lukis Bali dan juga disebut sebagi maestro seni lukis di Bali.
4.3
Gaya Umum Lukisan I Nyoman Gunarsa Setelah mengalami proses pencarian identitas pada akhirnya Gunarsa
menjatuhkan pilihannya terhadap satu gaya yaitu gaya ekspresionis, yang pada
vii
82
tahun 1970-an sketsa dan lukisan Gunarsa berkembang dengan gaya ekspresionis yang pada akhirnya gaya ekspresionis menjadi gaya umum dalam lukisannya hingga dikenal dan membawanya pada puncak ketenaran hingga diterim sebagai maestro seni lukis. Lukisan ekspresionis Gunarsa adalah totalitas jiwa ketimurannya, tema dan citra kebudayaan Bali divisualkan dengan teknik modern melalui elemen atau unsur keliaran garis, warna, tekstur, objek yang dituangkan secara ekspresif di atas bidang kanvas. Sementara objek lukisan tidak diungkapkan secara realistis sebagaimana yang nampak (nyata), melainkan melalui pengolahan estetis (bentuk yang hadir nampak lebih terolah dari realitas objek). Menurut penulis estetika lukisan ekspreionis Gunarsa dapat dilihat dari bentuk atau wujud, dan ide atau gagasan. Estetika bentuk atau wujud visual lukisan
ekspresionis
Gunarsa
merupakan
keberhasilan
sipelukis
untuk
mengungkapkan unsur-unsur seni lukisnya, yakni garis obyek, warna, dan tekstur dalam media kanvas. Unsusr-unsur tersebut disusun sedemikian rupa dengan mempertimbangkan struktur penyusunan yakni komposisi, proporsi, irama, balance, kontras, pusat pandang, kesungguhan, harmoni, dan unity. Garis sebagai salah satu unsur dalam lukisan ekspresionis Gunarsa memiliki peranan yang paling menonjol atau paling dominan jika dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya. Kekuatan penampilan garis oleh Gunarsa yang cendrung melengkung dan berirama dengan berhasil menampilkan suasana objek yang dilukis. Penggunaan garis lengkung meliuk-liuk, tebal dan tipis mengikuti bentuk objek menjadi karakteristik yang paling menonjol dari lukisan Gunarsa.
vii
83
Warna yang cenderung cerah dan objek estetis yang dilukis telah mengalami distorsi baik bentuk maupun warna, diungkapkan dengan spontan sesuai emosi estetisnya. Dalam konteks tersebut hingga Gunarsa sering menyebut garisnya adalah nyayian dan warnanya adalah tariannya (Putu Triastuti dalam wordpress.com, 11, januari, 2011). Dasar melukis bentuk yang sangat kuat mendukung karakter objek yang ditampilkan, dengan tidak realistis, namun karakter dan volume berhasil di wujudkan dengan ekspresif. Kemampuan dan keberhasilan teknik melukis yang telah dikuasai Gunarsa menjadikan kebebasan dalam mengungkapkan garis dan juga warna di atas media. Goresan garis yang tebal tipis dan sapuan warna yang transparan dengan kombinasi tebal menimbulkan irama dan juga kontras. Penyederhanaan bentuk yang dihadirkan mampu menciptakan karakter dari objek dan menciptakan keharmonisan di balik kekontrasan dalam penyususna komposisi lukisan. Penampilan unsur seni lukis terutama garis dan warna dengan pertimbangan konsep penyusunan dalam komposisi dan yang lain didukung oleh spontanitas proses penciptaan menjadikan lukisan-lukisan ekspresionis Gunarsa bernilai estetik. Selain dalam wujud visual keindahan, atau estetika lukisan ekspresionis Gunarsa juga terdapat dalam ide yang diungkapkan. Ide adalah angan-angan, harapan, yang terdapat dalam pikiran yang nantinya menjadi petunjuk dalam mewujudkan karya seni. Plato berpendapat bahwa karya seni yang paling murni adalah dalam bentuk ide. Karya seni seperti yang dapat dilihat baik lukisan maupun yang lainnya merupakan tiruan dari ide yang telah tumbuh sebelumnya.
vii
84
Plato (dalam Sachari, 2002; 5) menilai keindahan ideal adalah yang selalu membawa pada keindahan yang tidak terbatas, sehingga ide merupakan hal yang sangat menentukan keberhasilan dalam sebuah karya seni. Ide Gunarsa untuk melukiskan tentang tema Bali merupakan harapan atau angan-angan Gunarsa tentang tema tersebut. Harapan tentang angan-angan tersebut telah terkontrol dan terseleksi yang tertuang dalam media kanvas. Kontrol dan seleksi tersebut baik berupa objek yang akan dilukis, besarnya kanvas yang dipakai, maupun penyusunsn unsur di atas media. Proporsi objek dengan kanvas serta moment yang akan diungkapkan telah melalui kontrol dalam ide. Hal ini terbukti lewat pendalaman pengenalan objek sebelum Gunarsa mulai melukis. Pendalaman pengenalan objek tersebut dilakukan mlalui pengamatan berulang kali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti halnya Gunarsa yang memiliki dan dekat dengan lingkungan yang berlatar belakang budaya khususnya kebudayan Bali yang memiliki berbagai aktivitas kesenian untuk menunjang aktivitas ritual keagamaan, secara tidak langsung kondisi tersebut mempengaruhi secara kuat untuk kenal atau mengenali objek-objek yang ada hingga menciptakan kematangan terhadap ide yang nantinya akan dituangkan dalam karya lukis. Selain karya seni lukis, ide Gunarsa yang menuntun perwujudan tersebut, telah mengandung nilai yang estetis. Namun ada kalanya bahwa ide yang ingin diungkapkan Gunarsa bukan dilatarbelakangi oleh nilai estetik saja melainkan sebagai fungsi dari ekspresi dari keprihatinan dirinya. Lukisan-lukisan yang memvisualkan tenteng tarian-tarian Bali misalnya dimaksudkan tentang keprihatinan gunarsa tentang perkembangan
vii
85
seni-seni tradisi yang merosot akibat pengaruh dari perkembangan jaman modern sehingga jarang yang mau mengembangkan kesenian yang bersifat tradisi khususnya kesenian, sehingga bentuk ekspresionis Gunarsa memiliki sifat refleksi budaya. Walaupun beberapa lukisan ekspresionis Gunarsa tidak didasari oleh ide estetik, namun dalam memilih objek, momen, dan proses penciptaannya tidaklah lepas dari kontrol estetis, sehingga dengan demikian nilai estetis tetap mendampingi atau menyertai setiap proses perwujudan karya lukisanya. Selain berfungsi secara estetis dan refleksi budaya, lukisan ekspresionis Gunarsa juga memiliki fungsi perubahan atau pembaharuan dan ekonomis. Dari segi pembaharuan dihadirkan Gunarsa lewat teknik yang spontan dan ekspresif yang membedakan karya-karya ekpresionisnya dengan karya-karya pada seni rupa klasik Bali dan seni rupa modern. Dengan pengaruh dari seni rupa yang hadir pada masa seni lukis moder Bali yang menganggap seni tidak saja berfungsi sebagai kepentingan ritual melainkan sebagai barang konsumsi, dan melukis di atas bidang kanvas yang segi empat secara tidak langsung ekspresionis Gunarsa memiliki fungsi yang bersifat komoditi atau ekonomis. Makna yang terkandung dalam lukisan ekspresionis Gunarsa di antaranya pertama, makna humanis dengan memvisualkan berbagai aktivitas kesenian atau kebudayaan, secara tidak langsung di dalam simbol tersebut sudah memiliki kandungan kemanusiaan di mana kebudayaan adalah salah satu cara untuk memanusiakan manusia.
vii
86
Makna simbol, secara leksikal simbol berarti lambang. Simbolisme adalah perihal pemakaian simbol atau lambang untuk menyampaikan ide-ide (Tim, 1988: 840). K. Kuypers mengatakan karya bahwa seni boleh dipandang sebagai tanda, karena diciptakan dengan maksud untuk menyampaikan sesuatu. Dengan sendirinya tanda merupakan lambang atau simbol (Sahman, 1993: 31). Demikian juga dengan lukisan ekspresionis Gunarsa, meskipun mengungkapkan objek yang bersifat realistis dalam arti melukis apa yang dilihat secara langsung, namun ada pesan serta ada makna tertentu yang ingin disampaikan. Kritik sosial, humanis, estetika, emosi yang diharapkan Gunarsa, diwakili dengan perwujudan seni lukis sehingga dengan sendirinya lukisan Gunarsa memiliki makna simbolis. Makna religi, menurut J.G. Frezer religi adalah segala sistim perbuatan untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri pada kehendak dan kekuasaan
mahluk-mahluk halus misalnya ruh, dewa, dan sebagainya yang
memenuhi alam semesta ini (Koentjaraningrat, 1998: 134-197). Menurut E.B. Tylor, bahwa religi berkaitan dengan kesadaran manusia dengan adanya ruh. Ruh memiliki kekuatan lebih dari manusia. Koentjaraningrat merangkum pendapat tentang religi, bahwa manusia berharap dapat menyelesaikan permasalahan atau krisis yang berkaitan dengan gejala yang tidak dapat dijelaskan. Pengalamna atau kejadian yang dianggap luar biasa, juga menjadikan manusia mencari pendekatan dalam bentuk religi (Koentjaraningrat, 1998: 194). Dengan kedekatan, keterlibatan Gunarsa dengan ritual keagamaan yang ada di Bali secara tidak langsung dia menyenangi objek yang hadir, jadi Gunarsa tidak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk mengamati objek yang akan
vii
87
dilukis. Denga memvisualkan aktivitas kesenian Bali yang memiliki kaitan erat dan menjadi bagian dengan aktifitas ritual keagamaan Hindu Bali, secara tidak langsung karya Gunarsa sudah memiliki makna yang bersifat rligius. Sampai sekarang masyarakat Bali masih percaya dengan melalui prasarana tertentu seperti barong, rangda, pratima dan tarian sakral akan memberikan petunjuk dan keselamatan dalam kehidupan. Hal-hal yang bersifat religius, Tuhan sebagai sumber dari segala kehidupan tidak dapat ditangkap oleh panca indra sehingga dibuatlah perlambang yang dijadikan sarana penghubung mendekatkan diri kehadapan- Nya. Sebagai wujud rasa bakti kehadirat Tuhan dan terprliharanya kesakralan sarana tadi maka dilakukan berbagai upacara, doa, dan saji-sajian. Makna budaya, menurut Raymond William bahwa kebudyaan bersifat sehari-hari yang bukan sekedar bangunan, karya-karya intelktual, dan imajinatif, kebudayaan pun pada dasarnya adalah seluruh pandangan hidup (Peter Beilharz, 2002: 377). Mengacu pada pandangan Raymond William di atas maka jangkauan kebudayaan dapat dipersempit dan diperluas. Dalam sekup sempit kebudayan berarti kelakuan, sikap pandangan hidup perorangan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan dalam sekup yang lebih luas kebudayaan berarti pandangan hidup kelompok suatu masyarakat untuk meningkatkan hidup secara bersama. Dari sini dapat dilihat apa yang dilakukan dan diperbuat Gunarsa dalam lukis-lukisanya merupakan perlakuan dan hasil budaya pribadi. Hasil karya lukisan yang telah mampu membentuk pandangan publik serta pandangan positif merupakan hasil budaya yang telah diciptakan pribadi Gunrsa. Terlebih lagi apa yang dilukis Gunarsa tentang kesenian dan budaya Bali
vii
88
yang mencitrakan citra kebalian yang secara khusus perangkat seremoni upacara adat Bali seperti canang, pajegan, tamyang kolem, cili, lamak, wayang, tari-trian dan lain-lain jelas mencerminkan perhatian yang lebih mendalam terhadap kebudayaan lokal Bali. Dengan mengamati lukisan ekspresionis Gunarsa yang bertemakan kebalian, para pengamat disuguhkan kondisi kesenian dan budaya yang berlangsung pada masa lukisan tersebut diciptakan. Untuk generasi sekarang mukin hal ini tidaklah begitu istimewa karena kesenian dan budaya masyarakat yang dilukis masih dapat disaksikan. Namun untuk masyarakat mendatang yang mengalami perubahan atau perkembangan budaya, tentu hal ini menjadi sangat berharga. Dari penguasaan teknik yang telah menyatu dengan kepribadianya menjadi karakteristik yang tertuang dalam setiap lukisan, sehingga penyatuan dan karakteristik ini menjadikan munculnya nama dan pribadi Gunarsa terlebih dahulu jika mengamati karya-karyanya.
vii
89
Gambar 4.10. contoh karya ekspresionis Gunarsa tentang sesaji dan citra religius budaya Bali, “sesaji”, 1981 (kiri) “Magic Of Bali”, 1998 (kanan)
vii
90
Gambar 4.11. Contoh lukisan ekspresionis Gunarsa yang bertema pewayangan berjudul “Subali dan Sugriwa”, 1989, (foto wayan sandika 2007) (Bawah)
vii
91
Gambar 4.12. Lukisan yang berjudul “oleg Tamulilingan, berbahan cat air, 2007 (atas) (foto dalam Artha Galri.com 2012) “Calonarang” berbahan cat air,2006
vii
92
Gambar 4.13. lukisan berjudul “Dancer In Red”, 2007 (kiri) dan “Let The Music Play”, 2012 (kanan) (foto Ardika 2014)
vii
93
Gambar 4.14. Luksan berjudul “Prayer Ceremony Preparation”, 2009 (atas), dan “Three Balinese Dancers” (bawah) (foto dalam Artha Galeri.com 2012) 4.4
Pencapaian I Nyoman Gunarsa Sebagai Maestro Pelukis Bali Kreativitas berkesenian Gunarsa sebagai seniman serba bisa ini tidak
diragukan lagi. Itu dibuktikan degan berbagai aktifitas di dalam maupaun di luar dunia keseniannya. Dengan aktif berpameran sejak 1962 hingga 2011, dan berkontribusi dalam publikasi seni rupa, Gunarsa memperkaya sejarah seni rupa modern Indonesia. Dia tercatat sebagai pendiri Sanggar Dewata Indonesia (SDI) pada 1970, kala itu berstatus sebagai dosen sekolah tinggi seni rupa Indonesia (STSRI) dan Akademi Seni Rupa (ASRI) Yogyakarta. Terakhir menjadi Institute Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Tahun 1980 membentuk Lempad Prize SDI, tahun 1988 ikut mendirikan organisasi pemuda Hindu Indonesia di Yogyakarta, tahun 1987 – 1994 sebagai Wakil Ketua “Badan Musyawarah Museum” (Baramus) Daerah Istimewa Yogyakarta. sebagai ketua umum HIMUSBA di Bali, vii
94
2005 – 2011 sebagai Ketua Umum HIMUSBA Bali yang kedua kalinya. Sebagai pelukis Gunarsa mendapatkan gelar dan kini bergelar Doktor Honouris Causa (DR.HC) dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Gelar kehormatan Doktor HC Seni Lukis Modern diberikan pada 14 Juli 2012 di kampus ISI Yogyakarta. Pengukuhan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap kerja keras Nyoman Gunarsa di dunia seni modern dan juga perjuangannya terhadap Hak Atas Kekayaan Inteletual (HAKI) seniman, (Yuli Yanti dalam satulingkar.com, 13 juli, 2012). Gunarsa juga pernah menjadi juri kompetisi Seni Rupa Indonesia di antaranya; juri Bienal Porseni Indonesia di Jakarta, juri festival kesenian Bali dan sekaligus sebagai panitia berturut-turut dari tahun 1994 – 2000 di Denpasar, Bali, ketua Listibya Klungkung 1994 – 1999, anggota Listibya di Bali sampai sekarang, anggota Asosiasi Museum Indonesia pusat di Jakarta sampai 2010, ketua bidang pelestarian tradisi” dewan pengurus sekretariat nasional perkerisan Indonesia, Jakarta, periode 2011-2016. Selain sebagi juri, Gunarsa juga memilki konstribusi besar kepada seni budaya bangsa. Dengan mendirikan Museum seni lukis kontemporer Indonesia 1987 di Yogyakarta diresmikan Sri Paku Alam VIII Gubernur DIY. Yang lahir dari keprihatinan Gunarsa atas kenyataan bahwa Yogyakarta sebagai kota seni budaya kekurangan museum seni rupa yang representatif, sekaligus untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni lukis (wikipidea,org,6 april 2013). Dan mendirikan Museum seni lukis klasik Bali th 1994 di Klungkung diresmikan Prof. DR. Wardiman Djoyonegoro Mendikbud RI, yang memajang lukisan dan benda-benda seni Bali yang merupakan penggabungan antara seni vii
95
klasik dan modern. Memberikan berbagai Award seperti: “Gunarsa Prize” di UNS Solo dan ISI Yogyakarta berlaku setiap tahun bagi para mahasiswa berprestasi terbaik Gunarsa juga memberikan “Aji Sewaka Nugraha” kepada para seniman budayawan dari I Nyoman Gunarsa Museum kepada semua tokoh budayawan Indonesia setiap 3 tahun. Melaksanakan acara The First International Festival of Classical Balinese Painting tanggal 21 Juli 2012 selama 1 bulan, yang diikuti 7 negara antara lain Amerika, Germany, Switzerland, Belanda, Italia, Australia, Perancis, dan 10 banjar di Desa Adat Kamasan, serta dari koleksi Museum Neka, Museum ARMA, Museum Puri Lukisan, Museum Bali, serta NGM.
vii
BAB V REPRESENTASI ESTETIKA DEKONSTRUKSI LUKISAN “DALANG BALI” I NYOMAN GUNARSA
Lukisan “Dalang Bali” adalah karya seni dua dimensi yang diciptakan oleh Gunarsa yang berukuran 145cm x 145cm, dibuat di antara tahun (1970-1976) yang berbahan cat minyak di atas kanvas, di mana pada tahun tersebut gaya realistik masih mendominasi pada gaya lukisan Gunarsa dan belum begitu getol memasuki gaya ekspresionis. Lukisan “Dalang Bali” memvisualkan tentang pertunjukan wayang Bali, yang merupakan bagian dari sebuah identitas kebudayaan Bali yang biasa disebut sebagai bagian dari sebuah tradisi. Secara teknis, lukisan “Dalang Bali” mengadopsi teknik-teknik dan unsurunsur elemen seni dalam seni rupa modern. Lukisan “Dalang Bali” juga merupakan salah satu lukisan yang tercipta pada awal-awal proses di mana sebelumnya Gunarsa mengolah tema kehidupan sehari-hari hingga berkembang dengan bercerita dan mengolah tema-tema kebalian, yang menggunakan teknik dan gaya realistik dengan unsur-unsur rupa dan estetika yang terstruktur dan lebih detail dalam penyusunannya baik dari segi bentuk maupun pencahayaan hingga memiliki kesan yang jauh berbeda dari sudut pandang teknik penyajian karya dengan karya bergaya ekspresionis. Fakta unik dan menarik salah satu karya yang bergaya realistik yang berjudul “Dalang Bali”, justru karya ini menjadi koleksi dari istana kepresidenan yang ada di Yogyakarta. Lukisan “Dalang Bali” memvisualkan pementasan wayang Bali yang merepresentasikan sebuah kegiatan budaya yang memiliki nilai kandungan
96
97
filosofis yang kuat, digambarkan secara frontal figur dan volume tubuh yang realistik dengan kepadatan ruang dan objek dalam bidang kanvas. Perspektif ruang juga dibuat senyata-nyatanya. Wayang-wayangnya pun tampak lebih detail dan tidak sebagai sebuah lukisan ekspresionistik. Penanda dekoratif dalam lukisan tersebut hanyalah pada hiasan detail figur maupun banyaknya bunga-bunga yang berserakan di depan figur-figur tersebut. Penggunaan warna-waran cerah yang hanya dihadirkan
pada wayang dan warna atau motif kain yang hadir pada
suasana kelam atau gelap dalam sebuh pertunjukan wayang. Figur manusia yang di hadirkan dalam visual berjumlah tiga orang, dua lelaki dan satu perempuan. Lelaki yang satu melakukan aktifitas memainkan wayang (sebagai Dalang) dan yang satunya lagi sedang memainkan gambelan, sosok seorang perempuan yang duduk di belakang Dalang menjadi latar depan dalam lukisan. Hampir semua wajah dalam figur yang dilukis menghadap ke samping atau mirip cara membuat wajah wayang yang bersifat dekoratif dan bentuk wajah dari Dalang tidak divisualkan seperti wajah menusia secara normal. Kepadatan objek juga dihadirkan hinga ruang yang tercipta di atas kanvas terkesan sangat padat yang hanya menyisakan ruang kosong pada kesan gelap yang hadir. Penggunaan warna, bentuk yang kontras dan balance (keseimbangan) yang bersifat asimetris atau tidak formal mampu menciptakan kesatuan yang bersifat harmonis. Penerapan dua pusat pandang (centre of interest) antara figur Dalang dan perempuan menghadirkan sosok Gunarsa yang ingin mengungkapkan berbagai hal permasalahan yang ada. Lebih dari itu lukisan “Dalang Bali” tidak
vii
98
hanya merupakan sebuah karya seni yang hanya merupakan sebuah peniruan realitas semata melainkan sebuah karya seni yang memiliki tanda dan kode yang bercampur baur atau eklektik seperti layaknya teks postmodern yang mampu memunculkan berbagai permainan bahasa. Sebagai bentuk representasi, atau penggunaan tanda-tanda (gambar, suara, dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik (Marcel Danesi dalam www.repository.usu.ac.id, 24 juli 2012), salah satunya adalah lukisan “Dalang Bali” juga merupakan sebuah tanda. Hoed (2008: 40) menyatakan “tanda adalah sesuatu yang terstruktur karena terdiri atas komponen (dalam hal ini ada dua) yang berkaitan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan”, artinya tanda yang hadir pada teks akan saling berkaitan baik antar teks maupun teks dan konteks. Seperti halnya sebuah lukisan memiliki sebuah bidang yang datar yang memiliki image (bentuk)
dan makna (konsep), antara bentuk dan makna ini yang
membentuk satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini representasi menurut Goodman (dalam Muelder Eton, 2010: 79) mengatakan, representasi tidak dilihat hanya sebagai satu kemiripan karena lukisan dalam hal ini seperti kata-kata, mengartikan sesuatu bukan karena ia digunakan sebagai pengganti sesuatu itu, tetapi karena kita belajar apa yang mereka tunjuk. Representasi dalam konteks ini melihat karya seni sebagai berciri kebahasaan, dalam artian dilihat sebagai sebuah keadaan atau seperti seniman (Gunarsa) melihat pada benda-benda kemudian mencoba mereproduksikannya pada kertas atau kanvas. Ketika melakukannya, merupakan suatu kesalahan saat
vii
99
berpikir bahwa seniman sedang mencoba menyamakan apa yang mereka lihat dengan jalan membuat tanda yang mirip. Hal tersebut lebih sebagai “menciptakan terlebih dahulu sebelum menyamakan”. Seniman tidak melakukan pekerjaanya dengan “mata polos”, tetapi menggunakan skemata yang telah dipunyainya sejak lama (Gombrich dalam Muelder Eaton, 2010: 77) Sebagai sebuah tanda yang memiliki penanda dan kode yang bercampur baur yang mampu menciptakan permainan bahasa atau karya seni yang berciri kebahasaan, maka dapat dikatakan representasi estetika yang dihadirkan Gunarsa dalam lukisan “Dalang Bali” adalah estetika yang bersifat dekonstruksi, di mana representasi estetika dekonstruksi yang hadir dapat dilihat dari segi bentuk, ruang, komposisi, transformasi struktur, dan tanda.
5. 1
Bentuk Bentuk yang dihadirkan Gunarsa dalam lukisan “Dalang Bali” merupakan
sebuah bentuk yang terdistorsi, bentuk yang terdistorsi terlihat hadir pada wajah semua figur yang tampak seperti penggambaran sebuah wajah wayang. Bentuk tersebut tercipta karena adanya hubungan timbal balik antara nilai-nilai yang dipancarkan oleh fenomena bentuk fisiknya terhadap tanggapan kesadaran emosionalnya atau bentuk yang merupakan hasil intepretasi nilai terhadap bentuk-bentuk eksternal melalui pengamatan dan perenungan, yang kemudian menjadi pengalaman batin yang lebih bersifat imajiner personal, hingga menghasilkan bentuk yang secara umum terdistorsi dengan tujuan menekankan pencapaian karakter dari suatu objek yang bersifat ikonik, bentuk yang lebih
vii
100
bebas dan tidak terlalu terpaku terhadap bentuk-bentuk alami. Di sini Gunarsa mulai terlihat sedikit berjarak dengan alam atau suatu seni yang meniru alam secara penuh. Saya melukiskan bentuk yang pernah saya bayangkan dan lihat, sehingga pada proses berkarya saya cukup membayangkan apa yang pernah saya lihat dan menuangkannya di atas media meski tanpa objek secara langsung, sosok wajah Dalang yang hadir merupakan ingatan saya tentang wajah seorang Dalang pada jaman dulu yang mirip dengan Delem (seorang pundakawan dalam pewayangan). (Gunarsa, wawancara 15 oktober 2014) Hal yang sama juga terlihat pada bentuk yang disederhanakan di antaranya penyederhanaan pada bentuk-bentuk figur manusia, graperi kain dan motifmotifnya. Bentuk merupakan totalitas daripada karya seni yang diciptakan Gunarsa. Bentuk itu merupakan organisasi atau satu kesatuan atau komposisi dari unsusr-unsur pendukung karya. Ada dua macam bentuk: pertama visual form, yaitu bentuk fisik dari sebuah karya seni atau satu kesatuan dari unsur-unsur pendukung dari karya seni tersebut. Kedua special form, yaitu bentuk yang tercipta karena adanya hubungan timbal balik antara nilai-nilai yang dipancarkan oleh fenomena bentuk fisiknya terhadap tanggapan kesadaran emosionalnya. Bentuk fisik sebuah karya dapat diartikan sebagai kongkritisasi dari subject matter tersebut dan bentuk fisikis dari sebuah karya merupakan susunan dari kesan hasil tanggapan (Darsono,2004; 30). Kehadiran bentuk dalam seni rupa tidak terlepas dari peranan garis yang memberi batas ruang, sebagaimana yang terdapat dalam bentuk bidang dua dimensional garis menjadi batas keruangan dengan bidang yang lainnya dan pada bentuk tiga dimensional dibatasi oleh garis imajiner. Maka dalam hal ini bentuk
vii
101
sangat tergantung dari keberadaan garis yang menentukan identitas dari sebuah bentuk. Feldman (dalam SP. Gustami, 1991: 28-29) menyebutkan, bentuk adalah “manifestasi fisik luar dari suatu objek yang hidup” tetapi bidang adalah “manifestasi dari suatu objek yang mati”. Hasil berbagai bentuk dapat memiliki kualitas linier. Kehadiran bentuk yang memiliki kualitas linier mempunyai efek batas keruangan, sehingga kita menyadari bentuk itu sendiri memiliki keluasan dan volume yang dapat dirasakan, diukur, dan ditafsirkan keberadaannya. Dalam penciptaan
karya
seni
lukis khususnya lukisan “Dalang Bali”,
bentuk
merupakan hasil intepretasi nilai terhadap bentuk-bentuk eksternal melalui pengamatan dan perenungan, yang kemudian menjadi pengalaman batin yang lebih bersifat imajiner. Ketika ada rangsangan intuitif, secara internal muncul suatu dorongan terhadap emosi untuk mengekspresikan kembali nilai-nilai tersebut yang disusun atas dasar pertimbangan-pertimbangan estetik dan artistik, melalui pemanfaatan medium tertentu seperti bahan, warna, tekstur serta teknik yang digunakan. Dari nilai bentuk ini dapat membangkitkan seluruh potensi diri penikmat untuk menggali lebih jauh nilai-nilai lain yang ditawarkan. Dalam hal ini penikmat dapat menangkap perasaan tertentu atau terbangkitkan perasaan tertentunya, karena bentuk lahiriah (inderawi) dari suatu karya seni juga dapat memberikan pengalaman imajiner dan mengembangkan pesan pada penikmat (Gulendra dalam www.isi-dps.ac.id, 4 juni 2010).
vii
102
Sebuah bentuk dalam lukisan “Dalang Bali” memiliki sebuah bangun atau shape, shape adalah suatu bidang kecil yang terjadi karena dibatasi oleh sebuah kontur (garis) dan shape atau bangun digunakan sebagai simbol dari perasaan seniman di dalam menggambarkan objek hasil subject matter. Shape atau bangun mengalami beberapa perubahan dalam penampilannya (transformasi) yang sesuai dengan cara ungkap secara pribadi seorang seniman, bahkan perwujudan yang terjadi akan semakin jauh dengan objek sebenarnya. Itu menunjukkan adanya proses yang terjadi di dalam dunia ciptaan bukan sekedar terjemahan dari pengalaman tertentu atau sekedar apa yang dilihatnya (Dharsono, 2004: 41). Shape (bangun) yang terjadi ada dua yaitu bangun yang menyerupai wujud alam (figur) dan bangun yang tidak sama sekali menyerupai bentuk alam (non figur). Keduanya akan terjadi menurut kemampuan senimannya dalam mengolah objek. Dalam pengolahan objek akan terjadi perubahan wujud sesuai dengan selera maupun latar belakang sang senimannya. Perubahan wujud tersebut antara lain: stilisasi, distorsi, transformasi, disformasi. Stilisasi adalah penggambaran dengan menggayakan objek atau benda yang digambar yaitu menggayakan setiap kontur pada objek tersebut. Distorsi adalah penggambaran bentuk yang menekankan pada pencapaian karakter, dengan cara menyangatkan wujud-wujud tetentu pada benda atau objek yang digambar. Transformasi adalah penekanan bentuk yang menekankan pada pencapaian karakter, dengan cara memindahkan (trans=pindah) wujud atau figur dari objek lain ke objek yang digambar. Yang terakhir ada disformasi
merupakan penggambaran bentuk yang menekankan
interpretasi karakter, dengan cara mengubah bentuk objek daengan cara
vii
103
menggambarkan objek tersebut dengn hanya sebagian yang dianggap mewakili (Dharsono, 2004: 41-42).
5.2
Ruang Kehadiran ruang dalam hal ini dihadirkan dengan ruang dan volume yang
dimanfaatkan secara ilusif karena teknik, dengan teknik penggarisan yang perspektif atau adanya tone (nada) yang bertingkat-tingkat dan berbeda-beda baik dari bentuk dan warna hinga menciptakan kesan nyata dari keadaan ruang yang sebenarnya hinga mencerminkan realitas objek yang sebenar-benarnya. Dalam kehadiran ruang seperti itu mampu menggambarkan suasana yang lebih nyata secara indrawi. Di balik menciptakan ruang yang semu dan terbatas atau di batasi oleh garis dari sebuah bentuk kanvas, seorang Gunarsa sebenarnya sudah membagun sebuah ruang- ruang baru lewat penanda-peanda atau kode-kode yang bersifat acak sehingga memancing pikiran apresiator ke arah ruang tanpa batas, hingga menciptakan apresiasi yang lebih jauh terhadap apa yang dimaknakannya. Ruang sebenarnya tidak dapat dilihat (khayalan), hanya bisa dihayati ruang baru dapat dihayati setelah kehadiran benda atau unsur garis dan bidang dalam kekosongan atau kehampaan. Misalnya ruang yang ada disekeliling benda, ruang yang dibatasi oleh bidang dinding rumah, ruang yang terjadi karena garis pembatas pada kertas atau kanvas (wordpress.com, 12 juli 2012). Hingga dalam seni lukis bisa disebut ruang semu. Ruang semu di sini artinya, indra penglihatan menangkap bentuk dan ruang sebagai gambaran sesungguhnya yang tampak pada traferil/layar/kanvas
vii
104
dua matra seperti yang dapat kita lihat pada karya lukis, karya disain, ilustrasi dan pada layar film. (Dharsono, 2004: 53-54). Dari kehadiran berbagai unsur benda atau berbagai penanda yang dihadirkan, yang menciptakan ruang semu juga bisa dilihat kehadiran ruang yang bersifat kosong. “Kekosongan” yang ada disekitar kita maupun disekitar objek atau benda, ruang yang terkandung di dalam adalah lebih hakiki ketimbang materialnya, yakni masa. Kekosongan yang terbingkaikan oleh elemen pembatas seperti garis, boleh dianggap sebagai ruang transisi yang membatasi sebuah bentuk yang fundamental. Dari bercampur baurnya kode, dan penanda di antaranya kebudayaan Jawa dan Bali, modern dan tradisi secara tidak langsung Gunarsa menciptakan ruang kosong yang sifatnya sebagai ruang peralihan yang membentuk suatu hubungan antara di dalam dengan dunia di luar hingga ruang yang hadir merupakan sesuatu yang dapat dibayangkan sebagai satu kesatuan terbatas atau tidak terbatas, seperti keadaan yang kosong yang sudah disiapkan mempunyai kapasitas untuk diisi barang, (Irawan Suraseteja dalam Rudolf Arnheim,www.upi.edu, 28 juli, 2007). Sebagai sebuah karya seni yang memiliki sifat ruang yang terbatas lukisan “Dalang Bali” juga memiliki ruang-ruang kosong sehingga memancing pikiran apresiator ke arah ruang tanpa batas, hinga menciptakan apresiasi yang lebih jauh terhadap apa yang dimaknakannya. Ruang kosong tak terbatas ini di isi oleh pada tingkat pemaknaan konotasi, atau bentuk sebagai penanda yang memiliki tanda bermuatan makna-makna tersembunyi dan lebih dari satu.
vii
105
5.3
Komposisi Lukisan “Dalang Bali” sebagai bentuk karya seni khususnya karya seni
rupa (lukis) memiliki suatu komposisi, di mana komposisi berupa kaidah atau aturan baku diyakini para seniman secara konvensional dapat membentuk sebuah karya seni yang baik dan indah. Komposisi dalam hal ini merupakan kaidah atau aturan-aturan yang memiliki unsur- unsur non fisik
yang disusun dan
digabungkan menjadi satu (Dharsono, 2004: 54). Dalam lukisan “Dalang Bali” unsur-unsur yang hadir dalam komposisi yang bersifat dekonstruktif di antaranya ada kontras, aksentuasi (sudut pandang), dan kesatuan. Kontras adalah perbedaan penggunaan unsur-unsur atau paduan unsurunsur yang berbeda tajam. Dalam seni lukis kontras merupakan perbedaan penggunaan garis, objek, warna, tekstur maupun cara pengungkpannya. Semakin besar perbedaan umumnya semakin besar pula kontras yang ditimbulkan. Kontras berfungsi untuk menghindari kesan monotun atau statis, sebab monotun atau statis menyebabkan kurangnya daya tarik dan cepat menimbulkan kebosanan. Kontras dari segi bentuk, warna, dan keseimbangan dapat dilihat dari penanda visual yang hadir pada teks lukisan “Dalang Bali” di mana kehadiran bentuk seorang perempuan menghadirkan warna yang lebih terang atau cerah dibandingkan dengan dua figur lelaki dan dari segi keseimbangan mengadopsi keseimbangan yang asimetris baik dari segi warna dan bentuknya. Terlihat kekuatan yang tampak lebih dominan terhadap bentuk dan warna yang hadir pada penanda yang tidak terlalu dominan, seperti yang hadir pada sosok figur seorang perempuan, tampak kehadiran seorang perempuan yang memiliki kekuatan yang
vii
106
sangat besar yang mampu mengalahkan kekuatan dari penanda yang lebih bersifat dominan. Dari penanda kontras ini, dapat diartikan bahwa begitu besar perhatian Gunarsa terhadap sosok seorang perempuan Bali pada khususnya sehingga menciptakan figur perempuan yang hadir sebagai salah pusat pandang pada lukisan “Dalang Bali” pada khususnya dan pada lukisan-lukisanya yang lain secara umum. Seorang Gunarsa dalam hidupnya sebagai umat Hindu Bali dikelilingi ritual-ritual keagamaan di mana dalam ritual tersebut melibatkan peran perempuan yang sangat vital. Perempuan bagi saya adalah hal yang luar biasa mempengaruhi kesenian saya, Perempuan bagi saya sangat estetik dari segi visual, senyumnya, lekuk tubuhnya, matanya, lentik bulu mataya, sehingga menggugah naluri estetik saya untuk menciptakan sebuah karya seni lukis. karena perempuan di Bali khususnya dalam kebudayaan Bali merupakan sosok yang berperan sangat vital dan jika tidak ada perempuan Bali mungkin tidak ada Bali yang mempunyai nilai-nilai kekuatan kebudaya seperti saat ini. (wawancara Gunarsa, 15 oktober, 2014) Kehadiran kontras dan pandangan Gunarsa tentang perempuan sebagai sesuatu yang bersifat estetis terlihat hanya berfungsi sebagai kebutuhan komposisi dalam menciptakan lukisan yang harmonis atau keindahan yang bersifat permukaan (mempercantik komposisi), karena pada dasarnya atau umumnya wanita merupakan sebagai simbol kecantikan dan keindahan sehingga ketika divisualkan dalam sebuah karya seni ataupun lukisan, secara tidak langsung nilainilai simbol yang ada pada wanita akan tampak dalam lukisan. Dari penanda yang kontras juga menciptakan peleburan makna dari teks lukisan “Dalang Bali” yang bersifat tunggal, tunggal dalam artian di sini bahwa dari beberapa penanda yang hadir menunjukkan penanda dari pementasan wayang vii
107
Bali dan dengan pembubuhan judul “Dalang Bali” secara tidak langsung teks atau tanda visual yang hadir memiliki makna yang bersifat tunggal. Jadi bukannya berbicara tentang wayang sebagai kebudayaan tinggi melainkan menciptakan berbagai tafsiran terhadap konflik budaya yang ada di Bali. Hal yang sama dapat dilihat dari penciptaan aksentuasi dengan menarik perhatian kesebuah titik berat atau sudut pandang (centre of interest). Dua sudut pandang dihadirkan dalam komposisi dari lukisan “Dalang Bali”, pertama hadir pada figur wanita dengan pewarnaan yang terang dengan hiasan dan motif yang lebih detail yang posisinya sebagai latar depan dalam lukisan. Kedua pada figur yang sedang memainkan wayang yang berada dekat dengan cahaya api, sehingga menciptakan warna yang lebih terang daripada warna latar belakang, penanda tersebut berposisi sebagai latar tengah dalam lukisan. Hadirnya dua sudut pandang juga menciptakan makna yang bersifat ganda dan menciptakan kekacauan pada petanda sehingga tercipta distorsi dalam proses pemaknaan yang biasa disebut sebuah kesatuan atau keutuhan yang terpecah, sehingga kesatuan dari tujuan tidak tercipta dari apa yang di arahkan oleh sang penciptanya yang tunggal. Kesatuan atau keutuhan dalam tujuan, dalam karya seni, merupakan sesuatu yang sudah menginjak pada kawasan “bobot” isi dan makna dari karya itu. Penikmat atau audians tidak lagi melulu mengarahkan pikiran kepada wujudnya, walaupun keutuhan tujuan dan keutuhan wujudnya tak dapat dipisahkan, yang satu membantu menegaskan yang lalu. Keutuhan dalam tujuan diperlukan agar perhatian dari yang menyaksikan betul-betul dipusatkan pada
vii
108
maksud yang sama dari karya itu dan tidak terpencar dari kebeberapa arah yang tidak karuan. Dalam kata tujuan sudah terkandung pengertian bahwa dalam penampilan karya seni itu sang pencipta ingin mengarahkan pikiran dan perasaan penikmat, apresiator atau audian kejurusan tertentu. Jadi dari komposisi kontras dan dan sudut pandang yang dimiliki dalam lukisan “Dalang Bali” mengandung sebuah prinsip perbedaan, di mana perbedaan tersebut digunakan sebagai jembatan untuk menciptakan makna-makna baru yang potensial tak terbatas sehingga mampu memecah ketunggalan makna yang dihadirkan Gunarsa (makna logosentris) atau melemparkan tantangan kepada sang pengamat sehingga teks yang hadir tidak berhenti pada proses pemaknaan yang diciptakan penciptanya, melainkan teks tersebut memiliki makna yang terus berkembang sesuai pengalaman estetis sang pengamat.
5.4
Transformasi Struktur Struktur atau susunan dari suatu karya seni adalah aspek yang menyangkut
keseluruhan dari karya itu dan meliputi juga peranan dari masing-masing bagian dalam keseluruhan itu. Kata struktur mengandung arti bahwa di dalam karya seni itu terdapat pengorganisasian, penataan; ada hububungan tertenu antara bagianbagian yang tersusun itu. Akan tetapi dengan adanya suatu penyusunan atau hubungan yang teratur antara bagian-bagian, belumlah terjamin bahwa apa yang terwujud sebagai keseluruhan itu merupakan sesuatu yang indah atau seni. Dalam lukisan “Dalang Bali” Gunarsa menggunakan elemen dan prinsip atau struktur penyusunan dari seni rupa guna mendapatkan sebuah komposisi
vii
109
rupa yang utuh atau menarik. Lepas dari unsur dan prinsip seni rupa yang dihadirkan, dengan menghadirkan objek pementasan wayang Bali yang pada kenyataannya pementasan wayang juga memiliki prisip-prinsip dasar penyusunan dan hukum penyusunan guna menciptakan keutuhan dalam sebuah komposisi. Seperti
contoh
pada
pementasan
wayang
Bali,
salah
satu
struktur
(pengorganisasian, penataannya) yang menjadi sebuah kesatuan yang baku adalah Dalang memiliki jarak dengan penonton, bahwa penonton menikmati pertunjukan dari depan layar sehingga penonton hanya menikmati siluet/bayangan dari wayang tersebut dan yang berada di belakang layar hanya seorang Dalang dan pemain gamelan atau elemen-elemen sebagai pendukung dalam satu kesatuan dalam sebuah pementasan. Namun dalam lukisan “Dalang Bali” Gunarsa menghadirkan komposisi yang sedikit berbeda dengan komposisi dari kenyataan pementasan wayang Bali, dengan menghadirkan sosok figur perempuan di belakang layar, bahwa Gunarsa sedang mentransformasi struktur pementasan wayang Bali. Pada kenyataan pementasan wayang Bali, sosok perempuan tidak pernah hadir di belakang layar sebagai salah satu unsur dari struktur dalam keutuhan sebuah komposisi. Dari perubahan struktur tersebut menghadirkan sesuatu yang bersifat konotasi, hingga memiliki makna distorsi yang sama seperti dalam komposisi. Konotasi yang muncul apakah perempuan sebagai penonton atau sinden. Sebab jika sebagai seorang sinden, dalam tahun pembuatan lukisan “Dalang Bali” sinden belum hadir pada pementasan wayang bali dan sinden hanya hadir pada pementasan wayang jawa. Jika sebagai seorang penonton, figur tersebut hadir di depan Dalang atau
vii
110
layar sebagimana layaknya dalam pementasan wayang Bali dan bukan berada di belakang dari seorang Dalang. Dengan memvisualkan dan menghadirkan perempuan di belakang Dalang secara otomatis Gunarsa melukiskan pementasan wayang dari tampak belakang, Pada penanda tersebut menunjukkan teks “Dalang Bali” sebagai teks yang fulgar. Fulgar di sini bisa diartikan bahwa seorang Gunarsa ingin memasuki dan melihat wilayah-wilayah yang secara umum tidak dilihat oleh khalayak dan di hadirkan sesuai apa yang dilihatnya. Gunarsa menghadirkan bentuk proses dari karya seni tersebut yang mencerminkan kegelisahan Gunarsa dalam berkreativitas sebagai seniman modern untuk menciptakan sesuatu yang baru dari kejenuhan-kejenuhan yang dialami.
5.5
Tanda Lukisan “Dlang Bali” merupakan sebuah tanda yang mewakili sesuatu
atau mengungkapkan sebuah tanda yang terdiri dari penanda dan petanda. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu [yang lain] dalam kaitan atau kapasitas tertentu. Sausure (dalam Piliang, 2010: 152) mengungkapkan sebuah tanda terdiri dari penanda dan petanda. Penanda mengacu kepada petanda, yang selanjutnya pada refrensi atau realitas. Dalam pandangan Seausuran makna adalah apa-apa yang ditandakan (petanda), yakni kandungan isi. Tanda yang hadir dalam lukisan “Dalang Bali” dapat dikatagorikan dalam dua tanda yang berbeda yaitu, tanda palsu dan tanda daur ulang yang bersifat sebagai penopengan realitas.
vii
111
Tanda palsu pada lukisan “Dalang Bali” dapat dilihat dari penanda visual (pementasan wayang Bali). Kehadiran wayang Bali sebagai tanda dalam lukisan tidak menandakan peristiwa yang sesungguhnya dikarenakan penanda perempuan yang hadir di belakang Dalang yang berkonotasi sebagai sinden dalam pementasan wayang di Jawa dan peletakan atau pemakaian keris yang terdapat di belakang pinggang seorang Dalang yang juga merupakan bagian elemen-elemen tanda dari pementasan wayang Jawa. Dengan memberi judul “Dalang Bali” penanda berpretensi seakan-akan asli (sebenarnya) padahal palsu, karena untuk menjelaskan peristiwa yang sesungguhnya tidak terjadi sepenuhnya demikian. Dari penanda tersebut bisa terlihat keterbukaan Gunarsa terhadap hal-hal yang baru yang dipengaruhi oleh lingkungan di mana dia pernah belajar seni dan berproses di Jogjakarta, secara tidak langsung kebudayaan Jawa mempengaruhi peoses berkeseniannya. Dari hal tersebut tampak individu Gunarsa yang tidak terlalu fanatik terhadap kebudayaannya sendiri, namun dari penanda-penanda palsu yang hadir yang sesungguhnya mengandung kebenaran parsial tentang realitas-digunakan untuk melukiskan realitas yang seakan-akan total. Tanda palsu yang hadir dalam kontek ini bersifat tidak tulen, tiruan, berpretensi, gadungan yang di dalamnya berlangsung semacam reduksi realitas, lewat reduksi penanda maupun petanda. Penanda berfungsi seakaan-akan ia adalah asli (sebenarnya) padahal palsu (bukan sebenarnya). Penanda berpretensi melukiskan realitas sesungguhnya, padahal ia menyembunyikannya lewat topengtopeng realitas.
vii
112
Sebagai tanda palsu tanda dalam konteks di atas juga bisa disebut ikon, ikon adalah tanda yang merujuk pada objek yang ditunjuknya semata karena karakter diri yang dimilikinya, adalah sama, terlepas objek itu ada atau tidak. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan, (Peirce dalam Piliang, 2010: 283) Sedangkan tanda daur ulang, bisa terlihat hadir hadir pada tanda wayang atau pementasan wayang Bali sebagai tanda yang bersifat klasik atau jaman dulu di hadirkan sebagai tanda baru dalam sebuah lukisan yang wujudnya menganut unsur-unsur dasar elemen dan prinsip penyusunan dalam seni rupa. Tanda wayang tidak dihadirkan sebagi tanda yang memilki kandungan dari sebuah citra dari pewayangan yang memiliki pesan tentang berbagai kehidupan, melainkan hanya menampilkan tarian dari pementasan wayang Bali sebagai representasi atau citra dari kebudayaan Bali, di mana tarian merupakan sebuah kesenian yang menjadi identitas dari sebuah budaya khususnya budaya Bali. Tanda daur ulang yang hadir adalah tanda yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa lalu (dengan konteks ruang, waktu, dan tempatnya yang khas), kini digunakan untuk menjelaskan masa kini (yang sesungguhnya berbeda atau tidak ada sama sekali). Tanda daur ulang selalu mencari konteks ruang waktu yang baru yang di dalamnya sebuah peristiwa atau realitas dikosongkan dari makna sebenarnya, dan diisi oleh makna-makna yang diasumsikan lewat tanda daur ulang. Dalam konteks tersebut hal ini yang dimaksudkan sebagai dekontekstualisasi tanda atau kenyataan makna dari teks
vii
113
sebelunya dikosongkan, dihilangkan dan diganti oleh makna-makna yang diasumsikan lewat tanda daur ulang yang hadir, yang memiliki berbagi kepentingan dan tujuan dan strategi tertentu. Daur ulang tanda-tanda masa lalu juga dapat digunakan sebagai topeng realitas, hingga proses pemaknaan dimulai dari makna yang hadir dari penanda, secara tidak langsung menciptakan lautan makna. Dengan perkataan lain, dari dua tanda yang terkandung dan sebagai tanda yang bersifat campur aduk dari teks lain yang berbeda dalam sebuah permainan penandanya hingga sebagai makna yang terdekontekstualisasikan, secara tidak langsung dan hal yang sama yang terjadi dalam komposisi yaitu menciptakan perpecahan terhadap makna yang bersifat logosentris. Logosentris merupakan suatu pemaknaan yang bersifat tunggal atau makna-makna transendental dan tetap, makna terlahir dari sebuah permainan penanda, dan bukan dari sebuah referensi objek yang idependen (referensi dari objek yang asli). Dalam kondisi tersebut kehadiran makna tidak mungkin bersifat tetap atau tanda tidak akan memiliki makna denotatif yang stabil dan baku, melainkan bersifat polisemi, artinya tanda mengandung banyak makna yang potensial, tanda selalu mengandung banyak makna yang di dalamnya terdapat pula makna-makna lain yang berasal dari kata atau tanda-tanda yang lain (yang berhubungan) dalam konteks yang berlainan, hingga menciptakan ketidakstabilan dan penundaan makna atau pergeseran makna (Derrida dalam Barker, 2005: 100). Dalam hal ini sebuah teks khususnya teks lukisan “Dalang Bali” bisa ditafsirkan dengan
vii
114
beberapa cara yang berbeda hinga makna makna memiliki potensi untuk terus mengalami perubahan secara tak terbatas.
vii
BAB VI FAKTA IDEOLOGIS YANG MELATAR-BELAKANGI LUKISAN “DALANG BALI” I NYOMAN GUNARSA
Lukisan sebagai karya seni dua dimensi salah satunya lukisan “Dalang Bali” memiliki fakta secara fisik yang bisa dilihat dari berbagai penanda visual yang hadir. Fakta secara fisik adalah di mana sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi yang bisa dirasakan oleh panca indra itu sendiri, dan wujud fakta non fisik dari sebuah karya seni adalah tujuan dari sebuah karya seni yang bisa dilihat melalui fakta secara fisik atau wujud dari sebuah karya seni. Dari fakta yang hadir dapat dilihat bahwa setiap wujud kesatuan dari sebuah karya seni memiliki berbagai tujuan dan sebuah tujuan dilatar belakangi oleh kumpulan ide-ide yang biasa disebut konsep sebagai ideologi yang memiliki sebuah kepentingan dalam tujuan mengarahkan penikmat ke arah yang diinginkan sang penciptanya. Terry Eagletton (dalam Tilaar, 2003: 116) merumuskan konsep ideologi sebagai berikut, (a) ideologi sebagai proses produksi dari arti, lambang , dan nilainilai dalam kehidupan sosial, (b) ideologi sebagai sekumpulan ide yang merupakan karakteristik dari suatu kelompok sosial atau kelas, (c) ideologi merupakan ide-ide yang membantu legitimasi kekuasaan politik yang dominan, (d) ideologi merupakan ide-ide palsu untuk melegitimasi kekuasaan politik yang dominan, (e) ideologi merupakan bentuk-bentuk pemikiran yang dimotivasikan oleh kepentingan-kepentingan sosial, (f) Ideologi adalah pemikiran identitas, (g) ideologi adalah ilusi sosial yang diperlukan, (h) ideologi merupakan perangkat
115
116
pelaku-pelaku sosial untuk menentukan arti terhadap dunianya, (i) ideologi merupakan suatu perangkat kepercayaan sebagai dasar bertindak, (j) ideologi sebagai perangkat yang diperlukan sebagai seorang individu untuk hidup dalam hubungannya dengan struktur sosial. Dari pendapat yang dikemukakan di atas, lukisan “Dalang Bali” yang diciptakan Gunarsa memiliki sebuah tujuan dalam wujud atau kepentingan (ideologi), yang mana kenyataan atau fakta ideologis
yang melatarbelakangi
tersebut bisa dilihat melalui wujud atau fakta fisik yang ada. Jadi fakta ideologis yang melatarbelakangi lukisan “Dalang Bali” adalah, estetika, kreativitas dan pembaharuan, nasionalisme, dan kekuasaan. 6.1
Estetika Keindahan adalah kesempurnaan yang absolut dikenal melalui perasaan,
kaidah mengandung nilai harmoni antara unsur satu dengan unsur yang lainnya dalam sebuah karya (Bamgarten dalm Kadir, 1974: 11-12). Keindahan memiliki tujuan untuk menyenangkan perasaan orang yang mengamati serta untuk menimbulkan keinginan baik untuk mengetahui lebih lanjut, memiliki, untuk menciptakan kembali, atau keinginan lain yang lebih bersifat positif. Keindahan atau estetik dapat dilihat dalam tiga segi, yakni keindahan bentuk, ide, dan ekspresi yang merupakan perpaduan dari keindahan ide dan ekspresi (Wickelman dalam Kadir, 1974: 12-13). Senada dengan pendapat Wickkelman, Djelantik menyebutkan bahwa semua benda termasuk hasil karya seni mengandung tiga aspek yaitu wujud, bobot atau isi, dan penampilan (Djelantik, 1990: 14).
vii
117
Dengan memvisualkan pementasan wayang Bali yang merupakan sebagai bagian dari aktifitas seni dan estetik, dan sudah memilki kualitas keindahan yang sudah melekat pada objek tersebut. Melalui pengamatan dan menyikap sifat-sifat indah yang hadir dalam sebuah kenyataan dalam sebuah bentuk kesenian, Gunarsa merekam, mengubah, dan memindahkannya ke dalam lukisan. Dalam artian merubah kenyataan yang bersifat tiga dimensi ke tatanan dua dimensi yang di dalamnya memiliki unsur dan prinsip dalam seni lukis hingga membuat lukisan “Dalang Bali” bernilai estetis. Lukisan yang sangat bernilai estetis, di mana kehdiran pementasan wayang pada dasarnya merupakan sesuatu yang bernilai estetik yang memiliki niliai-nilai yang sangat filosofis sehingga menciptakan nilai tambah dalam lukisan “Dalang Bali” (Tony Hartawan, wawancara 6 oktober 2014) Dari hal tersebut nilai keindahan dalam “Dalang Bali” memiliki nilai yang bersifat objektif dalam artian bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetika adalah (kualitas) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Dalam konteks ini, keindahan hanya bersifat definisi atau keindahan hanya memberi tau orang hanya untuk mengenali. Estetika bentuk atau wujud visual lukisan “Dalang Bali” merupakan keberhasilan Gunarsa mengungkapkan unsur-unsur seni lukisnya yakni, garis, warna, tekstur, objek dan lain-lainnya di dalam media kanvas. Unsur-unsur seni lukis tersebut disusun sedemikian rupa dengan mempertimbangkan struktur
vii
118
penyusunan dalam komposisi yakni proporsi, irama, balance, kontras, pusat pandanag, harmoni, dan uniti. Selain unsur seni rupa dan prinsip penyusunannya keberhasilan sebuah wujud juga ditentukan dari bakat, keterampilan, dan, sarana atau medium yang dipakai. Dari pengungkapan tatanan tiga dimensi ketatanan dua dimensi, perpaduan unsur-unsur seni lukis dan penyusunan dalam komposisi yang juga memiliki nilai dekonstruktif yang menjadi ciri-ciri khusus sehingga membuat suatu benda atau lukisan menjadi lebih indah dan bernilai estetik lebih tinggi. Maka dalam konteks tersebut keindahan dilihat sebgai sebuah teori yang mapu menciptakan pemahaman-pemahan baru dari teks yang tercipta. Ide Gunarsa untuk melukiskan tentang pementasan wayang Bali merupakan harapan dan angan-angan yang sudah terkontrol dan terseleksi yang tertuang dalam media kanvas. Kontrol dan emosi tersebut berupa objek yang akan dilukis, besarnya kanvas yang dipakai, maupun penyusunan unsur di atas media. Proporsi objek dengan kanvas serta momen yang akan diungkapkan telah melalui kontrol dalam ide, dari sebuah gagasan mencerminkan sebuah suasana yang memiliki berbagai kandungan pesan tertentu di mana suasana, gagasan, dan pesan merupakan tiga aspek dari sebuah bobot sebuah kesenian. Dari kelengkapan tersebut bahwa lukisa “Dalang Bali” merupakan sebuah karya yang juga telah bernilai estetis, karena keindahan dapat dilihat dalam tiga segi, yakni keindahan bentuk, ide, dan ekspresi yang merupakan perpaduan dari keindahan ide dan ekspresi (Wickelman dalam Kadir, 1974: 12)
vii
119
Plato berpendapat bahwa karya seni yang paling murni adalah dalam bentuk ide. Karya seni yang dapat dilihat baik lukisan maupun yang lainnya merupakan tiruan dari ide yang telah tumbuh sebelumnya. Plato (dalam Sachari, 2002: 5) menilai bahwa keindahan yang ideal adalalah yang selalu membawa pada keindahan yang tidak terbatas sehingga ide merupakan hal yang sangat menentukan keberhasilan karya seni. Keberangkatannya dari bentuk atau wujud estetika yang lama, bahwa wujud dari estetika “Dalang Bali” memiliki kandungan bentuk yang bersifat hybrid. Hal itu bisa terlihat dalam lukisan “Dalang Bali” terjadinya „perkawinan silang‟ antara gaya atau teknik perwujudan yang bersifat modern dengan tema dan bentuk yang masih bersifat tradisi, secara tema yang dipengaruhi oleh tematema pada gaya Pita Maha. Bentuk atau wujud dari estetika yang bersifat hibrid dapat dilihat dalam teknik perwujudan bentuk dengan menggunakan elemenelemen dan prinsif-frinsif penyusunan dalam seni rupa modern seperti garis, bentuk, warna, bidang, tekstur, komposisi, kesatuan, keseimbangan, kontras, proposi dan lain-lain dan penyampaian bentuk dan tema yang bersumber dari kebudayaan yang bersifat tradisi atau kebudayaan
yang lama hingga
menghadirkan sebuah teks atau tanda yang bisa dikatakan baru pada jaman karya itu dibuat. Hibrid atau dikenal dengan hibrida adalah istilah yang berasosiasi pada bidang ilmu biologi, dalam artian sempit hibrida berarti, silangan antara “orang tua” bibit yang berasal dari spesies yang berbeda atau variasi dari dua spesies. Grollier Universal Encyclopedia mendefinisikan hybrid sebagai offspring of
vii
120
thesimillar parents, to the breeding of animal of plant. Hybriyd is the offsprings of parents of different breed, variaties, races of spicies. To the geneticist who is interested in smaller genetic defferntces, a hyrid iste offspring or organisem that differ by only a single gene (Ganus, 1963; 323). Hibrid adalah keturunan dari induk asal yang tidak sama yang mengembang biakkan binatang atau tumbuhan. Hibrid adalah perkawinan dari induk yang berbeda atau lain, baik dari ras ataupun spesiesnya. Bagi para ahli genetika yang tertarik pada perubahan genetic, hibrid adalah perubahan organisme yang berbeda dengan hanya satu gen (Ganus, 1963: 323). Hibrid merupakan satu usaha penyilangan dari dua spesies dan ras yang berbeda yang menghasilkan ras tau spesies baru. Melalui proses penyilangan hibrid ini dihasilkan generasi baru yang berbeda dari asalnya, namun memiliki kemiripan dengan induk atau asalnya semakin berhasil usaha penyilangan itu. Sebagai estetika hibrid mampu menciptakan pluralitas tekstual dalam proses pemaknaannya, hinga proses pemaknaan yang bersifat logosentris dipecah oleh kehadiran bentuk keindahan yang hibrid.
6.2
Kreativitas dan Pembaharuan Kreativitas
dalam
lukisan
“Dalang
Bali”
merupakan
kreativitas
menyangkut penemuan sesuatu yang “seni” nya belum pernah terwujud sebelumnya. Apa yang dimaksud dengn seni nya tidak mudah ditangkap, karena ini menyangkut sesuatu yang prinsipil, dan konseptual, yang dimaksudkan bukanlah hanya wujud yang baru, tetapi adanya pembaharuan dalam konsepkonsep estetikanya sendiri (Djelantik, 1999: 81). vii
121
Lukisan “Dalang Bali” juga dilatarbelakangi oleh nilai kreativitas yang bermacam-macam di antaranya ada kreativitas sebagai bakat individu, sebagai proses, sebagai produk, dan sebagai pengakuan orang lain. Kreativitas sebagi bakat idividu bahwa seorang individu memiliki bakat secara alamiah. Seperti contoh banyak dari kita tanpa kita sadari dalam melakukan aktifitas kesenian ide-ide muncul tanpa kita sadari entah dari mana, tampaknya merupakan produk dari otak kita semata-mata. Dalam hal ini seorang Gunarsa sebagai individu yang hidup dalam sebuah lingkungan yang kental terhadap tradisi hinga berpengaruh terhadap jiwa berkeseniannya. Secara alamiah Gunarsa lahir dengan bakat yang kuat secara individu, dengan belajar seni lebih serius sehingga bakat tersebut mampu mendukung apa yang dipelajari untuk menyempurnakan ilmu berkeseniannya, sehingga ideologi juga lahir dipengaruhi oleh ideologi yang sebelumnya. Berpikir kreatif adalah proses berpikir yang menghasilkan kreativitas. Kreativitas sangat penting untuk menyiasati segala keterbatasan yang kita miliki, memecahkan masalah pada berbagai aspek kehidupan, sekaligus menghasilkan peluang atau karya baru untuk memudahkan kehidupan kita. Kreativitas merupakan bahan bakar yag menghasilkan energi atau gairah. Syarat tumbuhnya suatu kreativitas dalam kebudayaan adalah jika di dalamnya terdapat keberanian dan kebebasan (Noerhadi dalam Shacari, 2002: 150). Kreativitas sebagi proses merupakan dua buah konsep yang tidak saling berhubungan akantetapi secara tidak langsung menyatu. Dengan menggunakan elemen-elemen yang berbeda akan menciptakan sesuatu yang baru, ide-ide kreatif
vii
122
yang berhasil dan mengagumkan berasal dari banyak ide yang tidak begitu bagushasil dari penggabungan elemen yang berbeda. Kreativitas sebagi proses dapat dilihat dari penggambungan ide dengan elemen-elemen seni dari ketidak saling berhubungannya konsep tersebut menciptakan sebuah wujud yang dalam karyanya sesuatu dalam tuangannya bersifat prinsipil baru, yang mendasar, yang membawa konsepsi baru dalam dunia seni lukis. Seperti objek yang hadir diungkapkan menurut konsep yang baru, dengan cara melihat yang lain daripada biasanya, seperti kehadiran dari sebuah tanda yang bersifat daur ulang yang mengkosongkan makna asli dari tanda referensi dan penghadiran tanda yang bersifat fulgar dari teks referensi. Hal seperti ini Bisa juga dikatakan sebuah kreativitas yang menciptakan produktivitas, di mana menghasilkan produksi baru yang merupakan ulangan dari apa yang telah terwujud, walaupun sedikit percobaan atau variasi di dalam pola yang sudah ada atau prwujudan bukan sepenuhnya kreasi baru, yang bersifat peralihan di tengah, yang memasukkan unsur-unsur yang baru ke dalam sesuatu yang telah ada, atau mengolahnya dengan cara yang baru, yang belum pernah dilakukan, yang bersifat “original”. Kreativitas sebagai produk, dalam lukisan “Dalang Bali” bisa terlihat pada kehadiran tanda masa lalu yang hadir sebagai tanda yang bersifat ikonik. Tanda ikonik tersebut merupakan bagain dari sebuah produk budaya dari kebudayaan Bali. Kreativitas produk yang lain terlihat kehadiran seni pertunjukan dalam media dua dimensi. Dalam pementasan kehadiran wujud kebudayaan lewat gerak
vii
123
dan suara sedangkan pada lukisan menghadirkan sebuah wujud dari kebudayaan lewat bahas rupa atau bentuk. Kreativitas sebagai pengakuan dari orang lain bermakna, bahwa pengakuan dari khalayak yang lebih luas dipandang oleh sebagian orang sebagai elemen penting dalam memaknai sebuah kreativitas, proses kreatif tidak hanya dimulai pada titik awal pembuatan oleh sipencipta, tetapi juga pada saat mendapat pengakuan dari orang lain. Dalam hal ini seorang Gunarsa yang hidup dalam sebuah kebudayaan yang beridentitas kesenian dan dengan mengenyam pendidikan seni tinggi memposisikan posisi Gunarsa secara tidak langsung mendapatkan pengakuan dari orang lain sebagai seniman atau individu yang kreatif. Dari sebuah pengakuan juga menjadi landasan ideologi Gunarsa untuk menciptakan sebuah karya kreatif salah satunya adalah karya yang berjudul “Dalang Bali”. Meskipun dalam kesenian sejatinya tidak ada yang bersifat asli, banyak yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya atau banyak kombinasi dari hal yang berbeda yang sering telah dipakai di masa lalu. Namun saat dinobatkan sebagai individu kreatif, yang hidup seperti sebuah aliran sungai yang terus berubah. Konsekwensinya adalah sangat sah-dan bahkan kreatif-untuk mengunakan sebuah ide-ide yang telah dipakai sebelumnya. Namun penggabungan elmen-elemen yang berbeda sering kali tidak mampu menghasilkan nilai tambah pada saat ide-idenya disajikan. Namun dengan adanya perubahan konteks seperti perkembangan teknologi, sosial, atau sejarah elemen nilai tambah dapat diraih, dalam artian
vii
124
tidak ada yang salah dari „mencuri‟ ide orang lain: konteks di mana ide tersebut dipakailah yang merupakan aspek yang penting. Hal yang dimaksud di atas dapat dilihat dari penanda
Gunarsa
menghadirkan tanda masa lalu (tanda yang bersifat daur ulang) dengan sebuah konteks yang berbeda yaitu bukan saja hanya berbicara pada konteks citra dari sebuah wayang melainkan sebuah konteks yang berbeda yang lebih bersifat multi tafsir dengan bentuk atau tanda yang hibrid dan eklektik sehingga menciptakan berbagai interpretasi dan konteks yang berbeda-beda hingga hal seperti ini yang biasa disebut dengan kreativitas ruang dan waktu. Kreativitas adalah suatu kondisi, suatu sikap atau keadaan mental yang sangat khusus sifatnya dan tidak mungkin dirumuskan. Kreatifitas adalah kegiatan mental yang sangat individual, yang merupakan manifestasi kebebasan manusia sebagai individu. Manusia kreatif adalah manusia yang menghayati dan menjalankan kebebesan dirinya secara mutlak. Kreativitas menerjunkan seseoran kedalam keadaan ambang, yakni keadaan antara yang belum ada dan yang ada. Dengan demikian seorang yang kreati selalu dalam kondisi “kacau, ricuh, kritis, gawat, mencari-cari, mencobacoba”, untuk menemukan sesuatu yang belum ada dari sesuatu tatanan budaya yang pernah dipelajari. Inilah sebabnya dalam kreativitas diperlukan keberanian kreatif, selain keberanian menghadapi diri yang gawat, juga keberanian dalam menghadapi kebudayaannya, lingkunganya, masyarakatnya, dunia, dan sejarah (Sumardjo, 2000: 80).
Sebagai pribadi yang kreatif Gunarsa selalu dalam kondisi yang gelisah mencari dan mencoba untuk menemukan sesuatu yang belum pernah ada dari tataran budaya yang pernah diketahui. Sebuah kreativitas memerlukan keberanian dalam bentuk fisik maupun keberanian dalam mewujudkan impian rohani. Gunarsa telah mengembangkan kreativitasnya dengan menciptakan sebuah lukisan, sebagai sebuah ungkapan emosi, angan-angan, pembaharuan mimpi tentang sebuah kehidupan berbudaya yang ideal yang di ungkapkan lewat lukisan vii
125
yang brjudul “Dalang Bali”. Dengan menghadirkan visual wayang Bali dari tampak belakang dan sosok seorang figur perempuan yang hadir di belakang Dalang
(tanda palsu) merupakan salah satu kebebasan yang mencerminkan
sebuah kegelisahan Gunarsa dalam berkreativitas, di mana pada kenyataannya perempuan tidak pernah hadir di belakang pada pementasan wayang Bali, hingga menciptakan keadaan ambang atau antara keadaan yang ada maupun yang tidak ada, yang mengindikasikan pribadi yang kreatif “kacau, ricuh, gawat, mencaricari, dan mencoba-coba disebut sebagai keberanian kreatif. Kreativitas merupakan sebuah kebebasan, atau sebuah kebebasan dalam keseriusan dalam bermain-main atau bermain-main dalam sebuah keseriusan, dan kreativitas merupakan salah satu upaya untuk menciptakan sebuah pembaharuan. Nilai pembaharuan yang dapat dilihat dari tanda yang hadir dalam teks “Dalang Bali” adalah hadirnya figur perempuan dan keris yang bermakna konotasi dan bersifat tanda palsu, serta tanda daur ulang yang bersifat ikonik, hingga menciptakan makna denotasi dari sebuah teks. Dalam konteks tersebut bisa dikatakan Gunarsa menghadirkan sistim pertandaan bertingkat dalam sebuah kreativitas sebagai upaya untuk menciptakan pembaharuan. Sistim pertandaan bertingkat yaitu denotasi konotasi, pada tingkat denotasi, bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera tampak kepermukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya pada tingkat konotasi, bahas menghadirkan kode-kode, yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu
vii
126
sistim kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi dan hal ini merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi, Barthes (Piliang, 2010: 159). Pada tingkat denotasi, para pembaca mungkin bisa menyingkapkan makna yang sama dengan apa yang dimaksudkan pengarang: akan tetapi, pada tingkat konotatif atau pada tingkat ideologis, para pembaca mungkin saja mengikuti jalur dan jejak unit kebudayaan yang berbeda dengan jalur yang diikuti pengarang, sehingga kemungkinan besar mereka akan menangkap makna-makna konotatif yang berbeda sama sekali. Hal ini memprlihatkan bahwa di dalam produksi dan konsumsi teks atau diskursus tidaklah mudah memastikan nilai komunikatif sebuah teks, disebabkan keanekaragaman jalur kebudayaan. Dari bermacamragamnya kode, konteks, dan situasi, memperlihatkan kepada kita, bahwa pesan yang sama dapat dipahami kodenya dari sudut pandang yang berbeda dan dengan referensi pada sistim konvesi yang beragam (Eco, 2010: 161). Tanda dan kode-kode dari teks “Dalang Bali” tidak mengandaikan satu kesatuan teks yang monolitik dan homogen, akan tetapi menggiring ke arah kontradiksi dan anti tesis tanda, sehingga bukan pula merupakan sebagai produk yang selesai yang dihasilkan melalui satu kode yang hegemonik, dan stabil melainkan, sebuah perspektif yang berisikan fragmen-fragmen dari suara-suara dari teks yang lain yang beraneka ragam dari kode yang bertumpang tindih. Bukan menghasikan pesan tunggal dari seorang pengarang (seperti pada teks moderenisme) melainkan melahirkan semacam ruang multidimensional, yang di dalamnya berbaur dan bercampur aduk dan berinteraksi berbagai macam tulisan yang tak satupun di antaranya yang orisinil. Namun dari hal yang lebih penting
vii
127
tidak hanya kepluralan tanda yang ditawarkan melainkan jaringan interaksi, dialog, dan persinggungan dari tanda-tanda yang berasal dari berbagai periode, tempat dan kebudayaan yang berbeda. Pembaharuan dalam lukisan “Dalang Bali” bersifat bukan sekedar upaya untuk mengubah suatu keadaan tanpa arah perubahan yang jelas. Pembaharuan juga bukan merupakan suatu kegiatan yang sifatnya coba-coba tanpa pertimbangan yang matang, meskipun pada prosesnya bisa melibatkan serangkaian langkah uji coba yang panjang. Pembaharuan merupakan upaya yang memerlukan persiapan matang, pemikiran dan kerja keras, keuletan dan kreativitas, serta arah sasaran yang jelas.
6.3
Nasionalisme Dengan memvisualkan lukisan “Dalang Bali” yang memvisualkan tentang
kebudayaan non material (ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi kegenerasi) yang
salah satunya adalah tarian wayang (pementasan wayang)
Gunarsa berusaha memposisikan diri sebagai pribadi yang bersifat nasionalis. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan di bawah Saya sangat bangga dengan apa yang kita miliki yaitu sebuah tradisi dalam kebudayaan dan artefak-artefaknya dan sangat bangga akan semua kekayaan yang dimiliki Indonesia dan Bali pada khususnya, saya ingin membangun spirit dari nilai-nilai kelokalan yang ada di Idonesia, sekaligus memperkenalkan kebudayaan Indonesia keseluruh dunia lewat karya seni yang saya pamerkan, dan tidak pernah merasa minder ketika berdampingan dengan para seniman-seniman luar yang ada (wawancara Gunarsa, 15, Oktober 2014). Dengan memvisualkan hal yang bersifat tradisi, di mana tradisi atau dalam hal ini wayang menjadi identitas dari sebuah kebudayaan nasional.
vii
128
Kebudayaan nasional dalam hal ini menurut Koentjaraningrat (dalam www.cpuik.com, 2 Agustus 2013) adalah suatu kebudayaan yang didukung oleh sebagian besar warga suatu negara, dan memiliki syarat mutlak bersifat khas dan dibanggakan, serta memberikan identitas terhadap warga, atau budaya yang dihasilkan oleh masyarakat bangsa tersebut sejak zaman dahulu hingga kini sebagai suatu karya yang dibanggakan yang memiliki kekhasan bangsa Indonesia, memberi identitas warga, serta menciptakan suatu jati diri bangsa yang kuat. Kebudayaan nasional sesungguhnya dapat berupa sumbangan dari kebudayaan lokal, sumbangan beberapa kebudayaan lokal tergabung menjadi satu ciri khas yang menjadi kebudayaan nasional. Ciri khas yang dimaksudkan didalam kebudayaan nasional hanya dapat di manifestasikan pada unsur budaya bahasa, kesenian, pakaian, dan upacara ritual, di mana dalam hal ini wayang adalah hasil dari kebudayaan lokal yang menjadi kebudayaan nasional. Dari kehadiran kebudayaan nasional dalam teks lukisan “Dalang Bali” dapat dikatakan Gunarsa memilki ideologi untuk mempertahankan atau melestaraikan sebuah identitas dari kebudaya Nasional, yaitu ideologi yang meletakkan bangsa dipusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keberadaannya. Maksudnya adalah suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas dari kebudayaan yang dimiliki, khusunya wayang sebagai kebudayaan yang bersifat non material yang juga merupakan identitas dari kebudayaan nasional. Dengan identitas yang dimiliki negara bisa dikenal dan memiliki posisi yang setara dari berbagai hal, karena identitas menentukan kebesaran dari sebuah negara. Dari kebanggaan dan penghargaan yang dimilki hingga memvisualkan tanda yang bersifat tradisi, merupakan sebuah sikap pemupukan rasa cinta daerah kelahiran melalui pengenalan dan pemahaman berbagai aspek yang dimilikinya, baik fisik, sosial, maupun budayanya secara integrativ merupakan salah satu cara
vii
129
awal menanamkan nasionalisme. Pengetahuan akan kebudayaan daerahnya akan meningkatkan rasa cinta dan syukur terhadap kebudayaan sendiri hingga memperkenalkannya kehadapan dunia. Hal yang sama juga terlihat dalam penanda yang lain, di mana kehadiran kode dan tanda-tanda dari kebudayaan Jawa (sinden dan pemakaian keris) hadir dalam konteks wayang Bali sebagai kebudayaan Bali. Dari hal tersebut mencerminkan pribadi Gunarsa yang tidak terlalu fanatik terhadap kebudayaan Bali, karena dengan sifat fanatisme yang tidak berlebihan merupakan salah satu nilai yang dimiliki oleh nasionalisme itu sendiri. Saya lebih senang melihat karya seni yang mengolah kebudayan lokal (tradisi) untuk menciptakan hal-hal yang lebih segar dan baru dan terus terang saya tidak senang melihat karya abstrak karena menurut saya karya abstrak dengan tidak menghadirkan bentuk karya tersebut sudah “habis”, selesai karena tidak bisa lagi bermain-main di wilayah bentuk lagi, (wawancara, Gunarsa, 15 oktober, 2014). Jadi dari wawancara di atas, nasionalisme sebagai ideologi yang melatarbelakanginya di hadirkan lewat penanda dari kebudayaan nasional atau pengolahan bentuk-bentuk dari kebudayaan tinggi, bisa dikatakan Gunarsa melihat suatu karya sebagai sebuah bentuk gaya dari sudut pandang teknis, atau tak lebih dari idiom-idiom tertentu yang digunakan seniman untuk menyusun bentuk seninya. Oleh karena itu masalah yang ditimbulkan dari konsep gaya mengacu lebih daripada sekedar masalah bentuk, yang lebih jauh melingkupi masalah kehendak di balik bentuk tersebut, di mana kehendak akan kekuasaanlah yang melatarbelakangi praktik seni pada umumnya, (Nietzsche, Sontag, dalam Piliang, 2010: 168) salah satunya praktik seni yang di hadirkan Gunarsa.
vii
130
Dari kekuasaan tersebut bisa dilihat bagaimana ideologi seni yang dilatar belakangi oleh rasa nasionalisme yang merupakan representasi dari kekuasaan, akan tetapi lebih dari itu ia adalah kekuasaan itu sendiri, atau kekuasaan yang menghadirkan bentuk hegemoni. Hal itu bisa terlihat dari bagaimana kehadiran teks-teks lama dari kebudayaan tinggi dan nasional hadir sebagai bentuk perkembangan seni yang bersifat mainstream pada era saat ini, khususnya di Bali kondisi tersebut secara umum dianggap sebagai kebenaran universal oleh berbagai pihak. Khususnya pihak-pihak yang berkepentingan yang memang ingin mempertahankan identitas sebagai karakter yang kuat dalam sebuah wilayah dan Negara atau pihak yang memiliki kesadaran tentang identitas demi untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis dengan dalih kesejahteraan dari masyarakt (kesadaran palsu). Dari kondisi yang menghadirkan tanda-tanda ikonik kebudayaan sebagai bentuk mempertahankan atau pun pelestarian seperti apa yang dijelaskan di atas bahwa, bisa dikatakan seorang Gunarsa sebagai individu yang memiliki nilai akar kebudayaan yang kuat, di mana takut akan kehilangan identitas yang dimiliki. Sebagai bentuk kesadaran palsu, kebudayaan digunakan untuk melompati atau melanggengkan memanfaatkan
kepentingan tanda
(eksploitasi
kebudayaan
tinggi
atau
kebudayaan), lama
untuk
seakan-akan kepentingan
pemertahanan atau pelestarian, melainkan untuk meninggikan identitas diri secara pribadi yang tercipta dari identitas kebudayaan yang ada.
vii
131
6.4
Kekuasaan Sebagai pribadi yang memiliki keberanian kreatif merupakan salah satu
kebebasan yang merupakan salah satu nilai dari kekuasaan secara individu. Nilai kekuasaan yang hadir pada lukisan “Dalang Bali” juga bisa ditemukan lewat penanda-penada atau kode yang dihadirkan yaitu, hadirnya tanda-tanda yang tumpang tindih, campur aduk dari teks-teks yang lainnya atau dari frgmenfragmen sejarah dari kebudayaan tinggi dalam satu teks yang juga menjadi etika dari ekstasi permainan dalam menciptakan sebuah tanda yang juga menciptakan pemaknaan yang bersiafat denotasi, salah satunya hadirnya penanda dari kebudayaan jawa dalam sebuah teks yang diberi judul “Dalang Bali”. Dalam kondisi tumpang tindih tersbut bisa dilihat sebagai individu yang bebas atau kebebasan dan kekuasaan Gunarsa dalam ekstasi bermain dalam tandatanda dari sejarah yang secara tidak sadar ia telah dibentuk oleh kekuasaan dalam sejarah tersebut sebagi tawanan dari sejarah. Dalam bermain-main Gunarsa menemukan dirinya telah terlempar atau tercetak dalam satu posisi dalam rentang sejarah yang bukan hasil karya sendiri-di satu tempat dan waku tertentu. Gunarsa tidak bisa melepaskan dirinya dari fenomena sejarah. Sekali ia melihat posisinya dalam sejarah, maka ia segera menyadari, secara tidak sadar ia telah dibentuk oleh bentuk-bentuk kekuasaan dalam sejarah tersebut (Hidegger dalam Piliang, 2010: 82). Dengan hadirnya percampur bauran tanda dan menciptakan pemaknaan yang tumpang tindih hingga kebenaran sebuah teks, bahwa teks tersebut adalah teks dari kebudayaan Bali merupakan hal yang tidak terlalu penting dalam sebuah
vii
132
tujuan karya seninya, secara tidak langsung juga menciptakan keambiguan terhadap makna teks, ambigu di sini dalam artian membiarkan sesuatu hidup tanpa nilai dan makna yang disebut nihil atau nihilisme yang disebabkan oleh lenyapnya oposisi biner, nihilisme dan perbedaan adalah upaya untuk menolak dan meleburkan setiap klaim akan Kebenaran Absolut dan makna nihilisme dalam hal ini tidak menerangkan tentang ketiadaan nilai, akan tetapi menerangkan nilai nol, yang biasa disebut sebagai pendevaluasian nilai tertinggi atau kematian Tuhan. Proses nihilisme merepresentasikan suatu kondisi, bahwa kematian Tuhan sebagai sumber absolut nilai-nilai dan makna. Pendevaluasian Nilai Tertinggi atau nihilisme berarti penghancuran ada (being), penghancuran yang menunjuk pada kondisi moderenitas. Istilah ada di sini digunakan untuk melukiskan praeksisitensi manusia, dengan pengertian bahwa manusia hanya ada disebabkan ia mendiami ada yang mendahuluinya, yang bukan ciptaan manusia itu sendiri (mitos, legenda, dongeng). Hal ini disebut kondisi posmoderenitas adalah kondisi pengumpulan kembali Ada, dengan segala dimensinya. Kembali kepada ada diartikan sebagai terlepasnya manusia dari perangkap paham humanism rasional moderenitas, di mana manusia tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya ukuran dan landasan dalam menentukan bentuk kehidupannya di dunia, yang tanpa toleransi sama sekali terhadap perbedaan, yang tidak menghiraukan tuntunan-tuntunan ekologis, yang tidak mengacuhkan kcendrungan pluralism, yang mengangap mitos tak lebih dari fiksi. Modernitas menyusun sendiri landasan nilai-nilai yang bersifat oposisi biner seperti, benar/salah, baik/buruk, rasional/irasional, sebagai substansi dari
vii
133
kekosongan nilai yang di dunia, dan mengklaimnya sebagai bersifat universal. Dari sini tampak setelah mendekonstruksi nilai Maha Tinggi, manusia modern menciptakan Nilai Tetringgi sendiri, yaitu paham humanisme yang melandasi dirinya pada rasionalitas. Dalam pandangan Derrida, didevaluasinya Nilai Maha Tinggi di dalam wacana moderenitas merupakan sebagai satu wawasan kebangkitan humanismwawasan manusia yang melihat bangkitnya manusia yang memiliki kekuasaan dihadapan Tuhan yang telah mati, wawasan manusia sebagai penguasa dunia. Wawasan humanisme ini sangat diwarnai apa yang disebut dengan metafisika kehendak atau kehendak akan kekuasaan (power), kehendak untuk mendominasi, (Heidegger, 2010: 79). Hal ini merupakan satu diskursus yang di dalamnya terdapat upaya manusia untuk menggantikan
peran Tuhan di dunia melalui
universalisasi Pengetahuan Absolut yang dicari melalui pengembaraan ilmu pengetahuan. Sebagai suatu yang bersifat humanism terlihat usaha Gunarsa keluar dari perangkap simbolik atau kekuasaan tersebut dengan cara mencoba menafsirkan kembali bahasa simbolik yang telah diterima tersebut, lewat permainan bebas tanda-tanda dan bercampur aduk yang dilandaskan pada wawasan keterbukaan terhadap penafsiran untuk menciptakan kekuasaan baru, yaitu dengan memasuki ruang yang memungkinkan bagi pengakuan akan abnormalitas, pelanggaran tabu, pemutar balikan grammar atau tata bahasa. Dari penanda denotatif yang hadir mencerminkan kekuasaan Gunarsa yang bersifat politis, karena menciptakan tanda seakan-akan tampak nyata atau tanda
vii
134
yang tidak palsu, dengan demikian menutupi hubungan-hubungan eksploitatif yang ada di baliknya (menggunakan penanda lama untuk menciptakan bentuk makna yang baru), hingga kondisi seperti ini bersifat ideologis. Yang dimaksud ideologis adalah peta-peta makna yang meski seolah tampak seperti kebenaran universal, merupakan pemahaman-pemahaman yang secara historis bersifat spesifik, yang menyelubungi dan melanggengkan kekuasaan, atau lebih gamblangnya, gagasan yang berkuasa adalah gagasan milik kelas penguasa. Dengan menutupi hubungan-hubungan eksploitatif yang ada sebagai hal yang bersifat ideologis adalah peta-peta makna yang tampak seolah-olah memiliki kebenaran universal dan diterima sebagai kebenaran universal. Kondisi ini bisa dikatakan sebagai kekuasaan yang bersifat hegemonik, di mana kekuasaan hegemonik yang hadir di dalamnya mengandung kebenaran yang dikonstruksi. Kenyataan yang mampu dihasilkan dari hegemoni tersebut bisa dilihat dari kehadiran teks yang mengolah kebudayaan lama dan tinggi ke dalam kemasan modern, merupakan gaya umum atau mainstream yang terjadi dalam dunia kesenian pada era saat ini secara khusus. Perkembangan seni yang memiliki kebenaran yang di konstruksi memiliki realitas-realitas kebenaran yang di sembunyikan lewat topeng-topeng realitas, karena besar kemungkinan sesuatu yang diterima sebagai kebenaran universal dari berbagai pihak merupakan sebuah kepentingan atau sebuah bentuk politik dari sebuah identitas. Dalam artian Bali merupakan tujuan wisata di mana kebudayaan menjadi aset dan identitas dari pariwisata tersebut yang mampu menciptakan keuntungan secara ekonomi, sehingga dengan menghadirkan seni tinggi atau
vii
135
kebudayaan lokal pada bentuk kesenian, bertujuan untuk memperkuat dan menghadirkan identitas kebudayaan Bali ke mata dunia lewat dunia pariwisata yang mampu menciptakan keuntungan secara ekonomi. Proses konsumsi yang hadir pada kesenian khususnya seni rupa yang mampu menciptakan keuntungan secara ekonomi dalam pengaruh pariwisata adalah, di mana para wisatawan datang ke Bali dan mengkonsumsi benda seni secara umum, wisatawan akan mengonsumsi sesuatu sebagai bentuk tanda atau sesuatu yang mewakili sesuatu, benda seni yang memiliki identitas dan mewakili tempat yang pernah dikunjungi, salah satunya Bali sebagi tempat yang dikunjungi. Dalam konteks tersebut bisa dilihat dari karya seni mainstream yang berkembang di Bali saat ini secara visual banyak menghadirkan ikon-ikon dari sebuah kebudayaan Bali yang juga merupakan ikon dari pariwisata budaya yang tercipta di Bali. Bisa dikatakan kebenaran universal yang hadir merupakan realitas kebenaran yang disembunyikan, karena bukan atas dasar kebenaran menciptakan makna seni dengan kebenaran absolut melainkan mengutamakan menciptakan seni lebih pada berbagai kepentingan salah satunya kepentingan ekonomi, di mana hal ini kekuasaan bisa dilihat sebagai kekuasaan itu sendiri.
vii
BAB VII MAKNA DEKONSTRUKSI DALAM ESTETIKA LUKISAN “DALANG BALI” I NYOMAN GUNARSA Makna dekonstruksi dalam hal ini merupakan “cara membaca teks di luar kebiasaan” atau “membaca teks dengan melawan teks itu sendiri” karena teks tidak dapat memahami dirinya sendiri (Barry dalam Lubis, 2014: 42). Pembacaan dekonstruki adalah penyingkapan dimensi tak sadar teks (segala sesuatu yang direpresi atau yang tersembunyi dalam teks, bukan dimensi sadarnya, maksudnya adalah semua hal yang jelas dan terbuka tidak menjadi perhatian dan di abaikan saja, dekonstruksi justru menyikap hal yang tersembunyi, kontradiktif, dan inkonsistensi dalam teks (Eagleton dalam Lubis, 2014: 42). Jadi pergulatan makna dekonstruksi dalam esteika lukisan “Dalang Bali” I Nyoman Gunarsa dapat dilihat dari estetika postmodern, hiperrealitas, matinya pengarang, identitas, dan perlawanan. 7.1
Estetika Posmodern Berpijak dari representasi estetika dan fakta ideologis yang dihadirkan
dalam lukisan “Dalang Bali”, bahwa lukisan “Dalang Bali” merupakan sebuah teks yang di dalamnya mengandung keseriusan dalam bermain yang disebut kreativitas yang merupakan prinsip estetika modern, namun di dalamnya juga menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang bersifat eklektik, hibrid, irasional yang menjadi prinsip dari estetika posmodern atau memiliki rekoleksi tanda atau idiom-idiom dari estetika postmodern yang telah terkubur di bawah monument moderenisme,dengan kondisi twrebut menciptakan satu peluang bagi penjelajahan
136
137
ke dalam kemungkinan-kemungkinan estetik melalui permainan tanda dan kode yang mampu menghadirkan pluralitas tekstual. Lukisan “Dalang Bali” merupakan sebuah teks atau bentuk dari estetika post-modernisme, yang salah satu strateginya adalah penggunaan kembali usurunsur dan idiom-idiom masa lalu yang sudah ada, sudah ditulis, dibaca, diungkapkan dalam ajang eklektikisme tanda, dan kode-kode. Tanda dan kodekode yang hadir tidak mengandaikan satu kesatuan teks yang monolitik dan homogen, akan tetapi menggiring ke arah kontradiksi dan anti-tesis tanda. Dari representasi dan fakta ideologis yang hadir, lukisan “Dalang Bali” juga bukanlah sebuah produk selesai yang dihasilkan melalui kode yang hegemonik, dan stabil, sehingga menjadi sebuah teks Grand Recit- melainkan sebuah perspektif yang berisikan fragmen-fragmen dari suara-suara, dari teks-teks yang beraneka ragam, dari kode-kode yang tumpang tindih. Bukan sebuah recit yang menghasilkan makna tunggal atau pesan tunggal pengarang (seperti pada teks modernisme) melainkan, sebuah ruang multidimensional, yang di dalamnya berbaur, bercampur aduk dan berinteraksi berbagai macam tulisan yang tak satu pun di antaranya yang orisinal. Jadi lukisan “Dalang Bali” adalah sebuah jaringan kutipan tanda-tanda dan kode-kode yang berasal dari berbagai periode, tempat, dan kebudayaan yang berbeda-beda (Piliang, 2010: 163), hingg dari hal yang di atas dapat dikatakana bahwa lukisan “Dalang Bali” sebagai bentuk estetika postmodern.
vii
138
Sebagai bentuk estetika postmodern bisa dilihat dari lima idiom yang ada di dalamnya sekaligus pergulatan makna dekonstruksi dalam estetika lukisan “Dalang Bali” dapat dimulai dari lima idiom-idiom estetika postmodern di antaranya, pastische, parody, kitsch, camp, dan skizofrenia. 7.1.1
Pastiche Sebagai bentuk pastiche, wujud visual dari lukisan “Dalang Bali” tidak
menciptakan tanda-tanda yang bersifat “baru”, orisinal, namun hanya merangkai tanda-tanda yang hadir dari berbagai fragmen-fragmen sejarah sehingga lukisan sebagai teks merupakan sebuah mosaik tanda-tanda dari kanon masa lalu. Dengan kata lain kandungan pashtice dalam lukisan “Dalang Bali” bertujuan lebih kepada upaya membuat sesuatu dari materi apapun yang ada, tanpa harus terikat dengan semangat materi tersebut sebagai parodi yang kosong (blank parody), yaitu parodi yang tanpa cemoohan, tanpa sense of humor (Fredric Jameson dalam Piliang, 2010: 180). Dari kehadiran teks dari kebuadayaan masa lalu yang dihadirkan sebagai metafora untuk menerangkan karakteristik dari sesuatu yang bersifat permukaan, lukisan “Dalang Bali” merupakan satu bentuk artistik imanensi, yang menopengi semangat kemajuan yang sudah kehilangan daya utopisnya, narasi besar yang sudah bangkrut. Pastiche adalah sebagai karya yang mengandung unsur-unsur pinjaman, pastiche mempunyai konotasi negatif sebagai miskin kreativitas, orisinilitas, keontentikan dan kebebasan. Eksistensi karya pastiche sangat bergantung pada eksistensi kebudayaan masa lalu dan karya-karya serta idiom-idiom estetika yang
vii
139
ada sebelumnya. Pastiche bersifat imitasi murni yang menekankan persamaan ketimbang perbedaan. Menurut Hutcheon “Pastiche lebih beroprasi berdasarkan pada prinsip kesamaan dan keberkaitan”. Pastiche dalam hal ini adalah, imitasi murni, tanpa ada pretensi apa-apa. Kalaupun ada perbedaan teks pastiche dengan teks rujukan, perbedaan-perbedaan ini dapat dianggap sebagai persamaan. Teks pastiche mengimitasi tek-teks masa lalu dalam rangka mengangkat dan mengapresiasinya. Pastiche mengambil bentuk-bentuk dari berbagai fragmen sejarah, sekaligus mencabutnya dari semangat zamannya dan menempatkannya ke dalam konteks semangat zaman masa kini. Levi-Strauss (dalam Piliang, 2010: 180) juga mengemukakan teks-teks pastiche menjadikan masa lalau sebagai patron (sebagai semangat bricolage), atau yang dikatakan Baudrillard sebagai semangat simulasiyang menekankan aspek- aspek yang tampak, atau permukan dari permukaan objek-objek sejarah ketimbang nilai transendentalnya. Oleh sebab itu pastiche oleh
sementara
kritik
dijuluki
“rendring
bentuk”,
untuk
menerangkan
kecendrungannya pada permukaan dan miskin akan kedalaman Dengan mendaur ulang dan memvisualkan kebudayaan masa lalu atau bahasa estetika masa lalu salah satunya wayang atau pementasan wayang Bali yang divisualkan dengan prinsip-prinsip estetika yang baru dan masa kini, bahwa teks dalam lukisan “Dalang Bali” mengimitasi tek-teks masa lalu dengan mengambil bentuk-bentuk bahasa estetika dari berbagai fragmen sejarah, sekaligus mencabutnya dari semangat zamannya, dan menempatkannya ke dalam
vii
140
konteks semangat zaman masa kini dengan wujud sebuah lukisan yang memiliki makna yang berbeda dari referensi sebelumnya. Lukisan “Dalang Bali” yang merupakan patronisasi kekanon-kanon masa lalu mengandung beberapa prinsip yaitu pertama, realisme rekonstruksi, yaitu replika murni atau duplikasi dari kebudayaan atau karya masa lalu (Eco dalam Piliang, 2010: 181), seperti wayang, gamelan, Dalang, sesaji, dan lain-lain yang hadir dalam visual lukisan merupakan replika pementasan wayang Bali yang sudah diciptakan masa lalau dan masih diterapkan sampai sekarang, kedua historisisme, yang di dalamnya mengandung pengkombinasian dari berbagai unsur, gaya atau subsistem (yang ada dalam konteks sebulumnya) digunakan dalam suatu sintesis baru, dan prinsip ketiga revivalisme yaitu wujud dalam lukisan “Dalang Bali” merupakan suatu bentuk substitusi, yaitu pengambil alihan posisi satu periode yang dipertahankan bukan dalam bentuk kontinunitas yang kreatif dari tradisi, bukan pula duplikasi murni (Jencks dalam Piliang, 2010: 181). Dari hal tersebut, dengan visual pementasan sebuah wayang
dan
pemberian judul “Dalang Bali” terlihat sebuah teks yang hanya beroperasi pada prinsip kesamaan dan keberkaitan, meskipun di dalamnya terdapat dua teks yang berbeda, Jadi teks dalam hal ini bersifat imitasai murni tanpa ada pretensi apa-apa. Dari perbedaan yang dianggap sebagai persamaan di mana pastiche yang hadir dalam lukisan “Dalang Bali” yang mengimitasi teks masa lalu dalam rangka mengangkat dan mengapresiasinya.
vii
141
7.1.2 Parodi Lukisan “Dalang Bali” merupakan sebuah imitasi dari sebuah karya yang dibuat modelnya kurang lebih mendekati aslinya. Dengan menghadirkan teknik modern dalam menciptakan kesatuan wujudnya (estetika modern) menghadirkan bentuk pementasan wayang sebagai estetika masa lalu atau tradisi. Kehadiran kode-kode pementasan wayang Bali dan Jawa merupakan bagian dari hal yang brsifat oposisi atau kontras. Dengan melibatkan objek yang lucu pada wajah Dalang dan janggal pada kehadiran figur perempuan yang menjadi salah satu pusat pandang di belakang Dalang dalam konteks pementasan wayang Bali, merupakan bagian yang bermakna penyimpangan arah dari teks yang asli (objek nyata sebagai referensi) hingga menghadirkan teks lukisan tersebut tampak absurd atau bermakna konotasai. Jadi bisa dilihat sebuah teks bertemu dan berdialog dengan teks yang lainnya dalam sebuah kesatuan wujud. Dari dialogisme yang bersifat tekstual (dua teks bertemu dan berinteraksi satu sama lain dalam bentuk dialog), dialog seperti ini bisa berupa kritik serius, polemik, sindiran atau hanya sekedar permainan atau sekedar lelucon dari bentukbentuk yang ada. Dari ketergantunganya terhadap teks masa lalu dan tanda-tanda yang hadir yang bersipat melenceng, penyimpangan, dan pelesetan makna yang dihadirkan, teks tersebut merupakan sebuah representasi palsu (Bakhtin dalam Piliang, 2010: 184), di mana hal yang seperti di atas diistilahkan dengan parodi. Parodi, adalah satu bentuk dialog antar teks dan sebagai oposisi atau kontras. Ada dua pengertian tentang parodi, pertama parodi salah satu bentuk dialog antara satu teks bertemu dan berdialog dengan teks lainnya. Kedua; tujuan
vii
142
dari parodi adalah untuk mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk. The Oxford English Dictionary mendefinisiksn parodi sebagai: “Sebuah komposisi dalan prosa atau puisi yang di dalamnya berisi kecendrungan-kecendrungan pemikiran dan ungkapan-ungkapan karakteristik dalam diri seorang pengarang atau kelompok pengarang di imitasai sedemikian rupa untuk membuatnya tampak absurd. Khususnya dengan melibatkan subjek-subjek lucu, dan janggal, imitasi dari sebuah karya yang dibuat modelnya yang kurang lebih mendekati aslinya, akan tetapi disimpangkan arahnya, sehingga mnghasilkan efek-efek kelucuan (Piliang, 2010: 183). Parodi merupakan sebuah bentuk representasi palsu, karena bentuk representasi lebih ditandai oleh pelencengan, penyimpangan, dan pelesetan makna. Parodi menurut Bakhtin, adalah suatu bentuk dialogisme tekstual yaitu dua teks atau lebih bertemu dan berinteraksi satu sama lain dalam bentuk dialog. Parodi berupa kritik serius, polemik, sindiran, atau hanya sekedar lelucon dari bentuk-bentuk yang ada (Hutcheon, Piliang, 2010: 184). Dengan demikian parodi selalu mengambil keuntungan dari teks atau karya yang mengambil sasarannya (kelemahan, kekurangan, keseriusan atau bahkan kemasyurannya). Parodi sebagai satu bentuk diskursus selalu memperalat diskursus pihak lain untuk menghasilkan afek makna yang berbeda. Parodi juga merupakan salah satu bentuk imitasi yang selalu mengambil keuntungan dari teks yang menjadi sasaran (kelemahan, kekurangan, keseriusan atau bahkan kemasyhuran), makanya parodi sebagai satu bentuk wacana selalu
vii
143
memperalat wacana pihak lain untuk menghasilkan efek makna idealitas dan nilai estetika yang dibangunnya. Dengan hadirnya berbagai kode-kode masa lalu, dari sudut pandang parodi teks lukisan “Dalang Bali” juga memiliki ketergantungan terhadap teks. Karya atau gaya masa lalu sebagai rujukan atau titik berangkatnya, dari kritik, sindiran, kecaman, sebagai ungkapan ketidak puasan atau sekedar rasa humor. Namun dengan ketergantungan dari masa lalu, pemanfaatan masa lalu bukan diciptakan untuk hal yang sama dengan apa yang hadir pada teks masa lalu melainkan memperalatnya untuk menciptakan diskursus atau wacana yang baru dalam konteks yang diinginkan. Dari transpormasi bentuk dan struktur yang terjadi dalam lukisan “Dalang Bali”, sistim tanda digunakan untuk merusak satu (atau beberapa) sistim tanda sebelumnya. Perusakan ini misalnya, berupa penambahan dan penyilangan bagian dari sistim tanda teks referensi, atau dengan perusakan yang dilakukan dengan cara mendistorsi mengubah, atau mempermainkan tanda dari teks refrensi untuk tujuan kritis, sinisme, atau sekedar lelucon, di mana sistim pelintasan tanda ketanda lain seperti ini disebut transposisi (Kristeva dalam Piliang, 2010: 120). Dengan hadirnya kode baru dan lama, Jawa dan Bali hingga menciptakan dialog yang tekstual oleh sebab itu sangat jelas dilihat bahwa ada unsur-unsur kesengajaan dalam menyilangkan dua bahasa, hingga pada akhirnya dua subjek yang berbicara. Dengan kata lain lukisan “Dalang Bali” dari sudut pandang parodi, diaolog tersebut terjadi dan dihadirkan secara sengaja. Dua gaya, dua bahasa (tradisi dan modern, Jawa dan Bali) yang secara sengaja dipertemukan
vii
144
dalam satu dialog yang akan menghasilkan gaya ketiga yang hibrida. Hibrida menurut Bakhtim (dalam Piliang, 2010: 185) menyatakan bahwa setiap ungkapan yang menjadi milik seseorang pembicara tunggal-berdasarkan grammar-nya, (sintaktik) dan sifat-sifat komposisinya- akan tetapi pada kenyataanya mengandung dua ungkapan, dua adab berbicara, dua gaya, dua bahasa, dua cakrawala sematik dan aksiologi yang bercampur baur di dalamnya. Sama halnya dengan lukisan “Dalang Bali” yang juga merupakan sebuah ungkapan yang dimiliki dari seorang Gunarsa sebagai pembicara tunggal berdasarkan sifat-sifat dari komposisinya, pada kenyataannya mengandung dua gaya, dua bahasa. Lukisan “Dalang Bali” sebagai bahasa ketiga yang bersifat hibrida yang memiliki kesaling ketergantungan satu teks dengan teks-teks sebelumnya, hal ini apa yang diistilahkan sebagai intertekstualitas (Kristeva dalam Piliang, 2010: 119). Sebuah teks (dalam pengertian umum) bukanlah sebuah fenomena kebudayaan yang berdiri sendiri dan bersifat otonom, dalam pengertian, bahwa teks tersebut eksis berdasarkan relasi-relasi atau kriteria-kriteria yang internal pada dirinya sendiri, tanpa dilatarbelakangi oleh sesuatu yang eksternal, melainkan sebuah permainan dan mosaik dari kutipan-kutipan dari teks-teks yang mendahuluinya. Jadi keeksisan dari teks lukisan “Dalang Bali” di tentukan dari beraneka ragam ungkapan yang diambil dari teks-teks lain, silang menyilang dan saling menetralisir satu sama lain.
vii
145
7.1.3
Kitsch Kitsch yang berasal dari bahasa Jerman Verkitschen (membuat rumah) dan
kitschen secara literal berarti „memungut sampah dari jalan‟. Oleh karena itu , istilah kitsch sering diartikan sampah artistik atau selera rendah (bad taste), kitsch merupakan usaha memassakan seni, perkembangan kitsch tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumsi massa dan kebudayaan, (Eco dalam Piliang, 2010: 187). Dengan pernyataan Eco dan Baudrilard tersebut dari penanda yang hadir bisa dilihat lukisan ”Dalang Bali” memiliki kandungan dari idiom kitsch, di mana di dalamnya menyiratkan miskinnya orisinalitas, keotentikan, kreativitas, yang disebabkan oleh kelemahan eksternalnya yang tergantung terhadap keberadaan objek, konsep, atau kriteria eksternalnya. Salah satunya menghadirkan seni tinggi dengan berbagai artefak atau stylmes (mempopulerkn nilai-nilai objeknya) yang dihadirkan dalam visualnya atau kehadiran seni tinggi yang didasari oleh semangat adaptasi terhadap zaman yaitu menghadirkan dunia tradisi ke dalam dunia yang bersifat modern. Dengan mereproduksi seni tinggi yang sebagai produksi dari masa lalu dengan berbagai kepentingan identitas atau pencitraannya, dan dari sisi lain lebih mementingkan kualitas persamannya ketimbang kualitas perbedaanya yang biasa disebut simulasi. Hal ini yang membedakan lukisan “Dalang Bali” sebagai teks yang memiliki kandungan idiom kitsch dengan parodi, di mana parodi memperalat stylmes atau produksinya lebih didasarkan oleh semangat kritik, bermain (play). Berlawanan dengan seni tinggi yang mengutamakan nilai-nilai kebaruan, inovasi,
vii
146
dan kreativitas, sedangkan kitsch miskin akan nilai-nilai tersebut, atau memilikinya dengan sangat minimal (Piliang, 2010: 188). Jadi berkaitan dengan yang di atas lukisan “Dalang Bali” di dalam produksinya lebih didasarkan oleh semangat reproduksi, adaptasi, simulasi, yang lebih didasarkan oleh proses demitosasi nilai-nilai seni tinggi, dan mengadaptasi satu medium kemedium lain atau satu tipe seni ketipe lainnya (seni pementasan wayang jawa dan Bali), hingga teks lukisan “Dalang Bali” merupakan sebuah teks yang menyimpang dari referensi aslinya atau medium sebenarnya. Kehadiran beberapa stylmes (komponen-komponen terkecil dari gaya atau tanda) dari pementasan wayang Jawa dalam teks wayang Bali (seorang perempuan di belakang Dalang yang berkonotasi sinden yang hadir pada pementasan wayang Jawa dan pemakaian keris yang terselip dibagian pinggang belakang Dalang) tidak akan terlalu menyesatkan pikiran audian untuk menafsirkan bahwa visual yang di hadirkan adalah pementasan wayang Jawa. Pengalihan totalitas dari karya seni dari status dan konteks asalnya sebagai seni tinggi dan digunakan sebagai status dan konteks barunya sebagai kebudayaan masa, dengan menghadirkan seni tinggi dalam bentuk dua dimensi yang dibawa kehadapan masa yang bersifat sekuler, di mana produksi di dalamnya dengan menanggalkan makna-makna mitologis, ideologis atau dalam perkataan lain auraobjek-objek dari kebudayan tinggi djadikannya tidak lebih dari sebuah tanda transparan dan bersifat seolah-olah, sebuah tanda ikonik, yang maknanya segera tampak secara denotatif tanpa perlu lagi merujuk lagi pada referensi dunia realitas sebagai petanda, namun makna tersebut disimpangkan atau disalahgunakan,
vii
147
hingga hal semacam ini didefinisikan sebagai bentuk estetika hiper-realitas (Piliang, 2010: 189). Jadi kitsch bisa dilihat sebagai peseudo-objek, yaitu sebagai ”...simulasi, kopi, facsimile, atau stereotip; sebagai pemiskinan kualitas pertandaan (signification) yang sesungguhnya sebagai proses melimpah ruahnya tanda-tanda referensi alegorik atau konotasi-konotasi perbedaan; sebagai bentuk pemujaan detil, dan sebagai bombardir melaluia detail (Bauddrilard dalam Piliang, 2010: 189). Sebagaimana halnya dengan definisi Eco, menyiratkan miskinnya orisinalitas, keotentikan, kreativitas, dan kriteria estetik dari kitsch disebabkan oleh kelemahan eksternal ini, eksisitensi kitsch juga sangat tergantung pada keberadaan objek, konsep atau kriteria yang bersifat eksternal, seperti seni tinggi, objek sehari-hari, dan mitos.
7.1.4
Camp Camp adalah satu model estetisisme atau satu cara melihat dunia sebagai
satu fenomena estetik, namun estetik bukan dalam artian keindahan atau keharmonisan melainkan dalam pengertian keartifisialan dan penggayaan, Estetisisme semacam ini dapat dipandang positif dalam peranannya terhadap pengembangan gaya, oleh karena ia adalah semacam pemberontakan menentang gaya elit kebudayan tinggi. Camp tidak begitu tertarik pada suatu yang otentik atau orisisnil, ia sebaliknya lebih tertarik pada duplikasi dari apa-apa yang sudah ditemukan untuk tujuan dan kepentingannya sendiri, ia adalah satu bentuk yang menghasilkan sesuatu dari apa-apa yang sudah tersedia (Sontag dalam Piliang, 2010: 191). vii
148
Camp yang dapat terlihat dalam lukisan “Dalang Bali” adalah sama halnya dengan kitchs dalam lukisan “Dalang Bali” memuja dan bersandar pada hal yang bersifat masa lalu namun pendaur ulangan dari teks masa lalu yang hanya memiliki sifat keartifisial dan keelokannya, bukan makna-makna ideologis, ritual atau spiritulnya. Hal ini dapat dilihat dari hadirnya stylmes dari dua bahasa dan gaya (wayang Bali, seorang figur perempuan di belakang Dalang, dan pembuatan bentuk-bentuk figur yang dideformasi dan didistorsi hingga kepenuhan ruang yang tercipta dalam lukisan) merupakan upaya-upaya melakukan sesuatu yang luar biasa, dengan pengertian ingin menjadi berlebihan, spesial atau glamor dan bukan keinginan untuk menekankan keunikan dalam karya seni melainkan kegairahan reproduksi dan distorsi. Layaknya kitsch, lukisan “Dalang Bali” yang memiliki kandungan camp juga terlihat pada peranan seorang Gunarsa mengenghadirkan sensasi lewat ketidak normalan dan ketidak orisinilan (tanda palsu) yang biasanya ketidak normalan dan ketidak orisinilan dalam camp merupakan cara untuk menentang kebosanan, dan sekaligus merupakan reaksi terhadap keangkuhan terhadap kebudayaan tinggi yang telah memisahkan seni dari makna-makna sosial dan fungsi komunikasi visual. Ketidaknormalan dan ketidakorisinilan tersebut bisa dikatakan sesuatu yang artifisial dan keartifisialan merupakan ideal estetik dalam camp. Dengan menghadirkan kebudayan tinggi dalam bidang dua dimensi, dengan menanggalkan ideologi dari referensi aslinya, menghadirkan sifat keartifisialan dan keelokannya hingga siap diapresiai oleh siapa saja merupakan
vii
149
upaya Gunarsa merenggut seni dari menara gading dari seni kebudayaan tinggi dan membawanya kehadapan masa. Dari kepalsuan tandanya, dengan memperalat stylmes, penyimpangan dari medium yang sebenarnaya, hingga keartifisialannya sebagai ideal estetik, lukisan “Dalang Bali” merupakan suatu teks yang memilki sifat kevulgaran, karena sesuatu yang estetik tidak selalu memiliki sesuatu yang bersifat keteraturan, organisasi, keindahan, atau keharmonisan. Sesuatu yang dalam ukuran estetik yang baku (modernism tinggi) dianggap vulgar, itu justru dianggap estetik. Satu contoh dalam visualnya dapat terlihat dilukiskannya berbagai artefak pementasan wayang dengan cara realistik dan dilukisnya kenyataan atau realitas yang terdapat dalam pementasan wayang Bali dari tampak belakang atau pemvisualan dari belakang layar, di mana hal ini yang bisa dimaknai sebuah kevulgaran karena menghadirkan sesuatau yang bersifat tertutup dari sebuah pementasan wayang Bali dan membawanya kehadapan masa. Apa yang ditekankan dalam camp bukanlah keunikan dari satu karya seni, melainkan kegairahan reproduksi dan distorsi yang bersifat menjunjung tinggi ketidak normalan dan keluarbiasaan. Camp sebagaimana halnya kitsch merupakan satu jawaban terhadap kebosanan, ia memberikan jawaban yang bersifat ilusif dari kedangkalan, kekosongan, dan kemiskinan makna dalam kehidupan modern dan ia mengisi kekosongan, ini dengan pengalaman melakukan peran dan sensasi lewat ketidak normalan dan ketidak orisinilan. Camp adalah teriakan lantang menentang kebosanan tersebut dan sekaligus suatau reaksi terhadap keangkuhan kebudayaan tinggi, yang telah memisahkan seni dari makna-makna sosial dan
vii
150
fungsi komunikasi sosial. Camp juga berupaya merenggut seni dari menara gading kebudayaan tinggi dan membawanya kehadapan masa. Sebagai satu bentuk seni, camp menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual, dan gaya dengan mengorbankan isi, dan memiliki karakter yang bersifat anti alamiah, (Piliang, 2010: 192). Camp juga memuja masa lalu, meskipun masa lalu bukan satu-satunya inspirasi camp. Hubungan camp dengan masa lalu bersifat sentimental. Yang didaur ulang dari masa lalu bukanlah makna-makna, ideologis, ritual, atau spiritualnya, melainkan sifat keartifisialan, dan keelokannya. Dari sudut pandang camp lukisan “Dalang Bali” lebih tertarik kepada bagaimana makna diproduksi dan direproduksi atau lebih tertarik pada gaya bagaimana makna diproduksi ketimbang makna itu sendiri, makna itu ditolak, atau paling tidak didistorsi hingga bentuk yang hadir dalam visual merupakan bentuk itu sendiri yang menjadi kandungan isi.
7.1.5
Skizofrenia Skizofrenia adalah sebuah istilah psikoanalisis, yang pada awalnya
digunakan untuk menjelaskan fenomena pisikis dalam diri manusia. Akan tetapi, kini terutama dalam diskursus intelektual di Barat, istilah ini digunakan secara metaforik untuk menjelaskan fenomena secara lebih meluas salah satu di antaranya adalah fenomena estetik. Dari kehadiran representasi estetik dan fakta konseptual dan ideologis lukisan “Dalang Bali” yang hadir atau berbagai kehadiran kode dan tanda yang bercampur baur dan bertumpang tindih yang berasal dari berbagai fragmen sejarah vii
151
dan kebudayaan yang juga menciptakan jenis pertandaan yang bertingkat menciptakan kekacauan dalam proses pemaknaan dikarenakan putusnya rantai pertandaan dalam artian dalam kondisi di atas menciptakan hubungan penanda dan petanda tergangu atau keterputusan rantai pertandaan. Jacques Lacan, sebagaimana yang dikutip oleh Fredric Jameson (dalam Piliang, 2010: 196-197) mendefinisikan skizofrenia sebagai “putusnya rantai pertandaan, yaitu, rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk suatu ungkapan atau makna atau ketika hubungan penanda dan petanda terganggu, yaitu ketika sambungan rantai pertandaan terputus, maka kita menghasilkan ungkapan skizofrenia, dalam bentuk serangkaian penanda yang tidak berkaitan satu sama lainya. Lukisan “Dalang Bali” sebagai bahasa skizofrenia memiliki ciri tidak terikatnya suatu penanda pada suatu petanda, di mana keterkaitan bahasa satu subjek dengan realitas yang dapat diterima dalam diskursus bahasa yang normal tidak terjadi sama sekali, sehingga yang terbentuk adalah seorang skizofrenia. Bahasa skizofrenia yang hadir memberikan penghargaan terhadap nilai oposisi (kontradiksi, ambiguitas, ambivalensi) yang di dalamnya kontradiksi dan ambiguitas merupakan isi dari karya itu sendiri dan dengan demikian juga merupakan nilai estetiknya. Dalam kaitan ini apabila penganut strukturalisme mengangap sesuatu (realitas) itu sebagai petanda atau makna dalam rantai pertandaan, maka dalam pandangan yang lain tentang bahasa skizofrenik, penanda itu bukan wakil dari petanda, melainkan sama dengannya yaitu petanda adalah sebuah penanda (Lacan dalam Piliang, 2010: 197-198).
vii
152
Dalam bahasa skizofrenia tersebut semua kata atau penanda dapat digunakan untuk menyatakan satu konsep atau petanda. Dengan perkataan lain, konsep atau petanda tidak dikaitkan dengan satu penanda dengan cara yang stabil, dan dengan demikin persimpang siuran kata atau penanda untuk menyatakan satu konsep dimungkinkan (Lemaire dalam Piliang, 2010: 198). Skizofrenik dengan demikian hidup di dalam satu dunia simbol yang berlapis-lapis, yang tidak memungkinkannya sampai
pada satu dunia yang absolut, sebagaimana yang
diklaim oleh strukturalisme. Skizofrenia merupakan sebuah istilah yang hanya digunakan sebagai satu metafora untuk menggambarkan persimpang siuran dalam penggunaan bahasa. Kekacauan pertandaan, selain terdapat pada kalimat juga terdapat pada gambar, teks, atau objek. Dalam lukisan “Dalang Bali” skizofrenia dapat terlihat dari keterputusan dialog di antara elemen-elmen dalam karya yaitu, tidak berkaitannya elemen tersebut satu sama lain, sehingga makna dari karya tersebut sulit untuk ditafsirkan. Teks atau lukisan tersebut merupakan sesuatu yang kompleks dan bukanlah sebuh teks orisinal yang lahir tanpa masalah. Teks lukisan “Dalang Bali” merupaka teks yang lahir dengan berbagai kepentingan dari seorang Gunarsa yang dihadirkan melalui semangat reproduksi dari sebuah produksi unuk menciptakan produksi, dalam hal ini bisa disebut sebagai proses strategi intelktual yang disebut sebagai simulasi dan dari proses tersebut menghasilkan efek, keadaan, pengalaman kebendaan dan atau ruang yang disebut hiperrealitas.
vii
153
7.2
Hiperrealitas Lukisan “Dalang Bali” sebagai teks postmodern yang memiliki kandungan
lima idiom yang mana di dalamnya memiliki berbagai kode acak, tanda-tanda palsu atau tanpa acuan referensi yang jelas dan hubungan ini melibatkan tanda yang riil yang terbentuk melalalui proses reproduksi, serta tanda semu yang tercipta dari proses reproduksi. Hingga yang nyata atau realitas faktual, dan citraan berjalin dan berbaur atau menumpuk. Dalam ini kita tidak bisa membedakan secara tegas mana yang asli, yang riil, yang palsu, dan yang semu. Kesatuan dari realitas inilah yang disebut Bauddrilard dengan simulacra. Simulacra adalah perpaduan antara nilai, fakta, tanda, citra, dan kode. Pada realitas ini kita tidak lagi menemukan referensi atau representasi kecuali simulacra itu sendiri. Dalam dunia dan wacana simulasi, batas antara yang riil dengan yang imajiner atau palsu, tiruan tidak hanya berbaur akan tetapi simulasi atau citraan lebih unggul dan lebih dipercaya dari fakta, (Baudrillard dalam Lubis, 2014: 174). Dari lenyapnya petanda metafisik representasi, runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu sendiri, yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi, atau realitas pengganti realitas pemujaan (fetish) objek yang hilang bukan lagi objek-objek representasi tetapi, ektase penyangkalan dan pemusnahan ritualnya sendiri, hal ini merupakan tanda dari sebuah bentuk hiperrealitas (Baudrillard dalam Piliang, 2010:130). Dalam kaitannya dengan hal ini adalah bisa dikatakan Gunarsa sebagai konsumer yang transparan, yang menyerap nilai-nilai keterpesonaan akan
vii
154
penampakan, akan tetapi tidak perlu lagi menyerap nilai-nilai transendental, mitologis, ideologis, atau spiritualnya yang memang sudah tercabut dari realitas sosial objek yang nyata. Hal ini yang di istilahkan akhir dari representasi dari sebuah ideologi. Yang dimaksud akhir dari sebuah ideologi di sini adalah, akhir dari ideologi sebagai order kedua dari sistim pertandaan atau ideologi sudah diartikulasikan atau bergerak ke tingkat penanda, penyebaran itu juga menandakan akhir dari transendensi dan kedalaman hingga yang nampak sesuatu yang bersifat permukaan yang tidak merepresentasikan apapun (dari referensi aslinya), selain dari permainan bentuk, representasi yang palsu (ideologi) realitas ditopengi oleh tanda, sebab tanda hanya ekivalensi dari realitas; dalam simulasi, tidak ada yang ditutupi topeng. Hal yang senada juga diungkapkan seperti di bawah: Kesenian sekarang secara umum, hanya lebih bersifat kepentingan individu senimannya, di mana memperalat nilai nilia kebudayaan untuk meninggikan diri dan bersifat representatif, bukan untuk menciptakan makna yang lebih tinggi hingga kesenian sekarang terlihat bersimulasi. Seakan –akan perhatian terhadap suatu budaya padahal budaya dijadikan komoditias dalam karyanya untuk menciptakan keuntungan secara ekonomi, (wawancara, I Wayan Upadana, 14 september 2014). Tanda dalam teks “Dalang Bali” adalah citra murni tanpa transendensi, di mana citra memiliki empat fase dalam perkembangannya di antaranya pertama, citra adalah refleksi
dari realitas, kedua, citra menyembunyikan dan
menyimpangkan realitas, ketiga, menyembunyikan absennya realitas, dan keempat, citra tidak berkaitan dengan realitas apa pun: citra merupakan simulacrum murni. Sebagai bentuk simulasi citra di sini merupakan citra tanpa referensi-suatu simulacrum (Baudrillard dalam Piliang, 2010: 130).
vii
155
Keadaan seperti di atas juga disebut dengan mayoritas yang diam, yang hanya bersifat memamah biak, dalam artian tempat mengalirnya apapun bentuk informasi, gaya, atau produk dan menyerap informasi, tanda, pesan-pesan, norma akan tetapi tidak merefleksikannya, dikarenakan Gunarsa sebagai subjek yang mengonsumsi objek (konsumer) terperangkap di dalam kondisi skizofrenia yang terlalu banyak tanda, terlalu banyak pesan, terlalu banyak informasi, dan terlalu banyak gaya (Piliang, 2010: 131). Dari mayoritas yang diam juga bisa diistilahkan dengan hilangnya kekuatan individu secara absolut sebagai pusat. Sebagai bentuk hiperrealitas teks “Dalang Bali” merupakan sebuah duplikat atau kopi dari realitas yang didekodefikasikan yang disebut sebagai reproduksi ikonik. Reproduksi ikonik rialitas ini dilandasi oleh alasan-alasan nostalgia sebagai akibat dari realitas yang hilang, atau sebagai akibat dari janjijanji utopis kemajuan yang tidak pernah terpenuhi (oleh moderinsme). Dalam hal ini “Kita melihat bahwa dalam memahami masa lalu, bahkan secara lokal, kita harus memiliki di depa mata sesuatu yang sedapat mungkin yang menyerupai model asli (Eco dalam Piliang, 2010: 132). Sebagai bentuk hiperrealitas diistilahkan sebagai sebuah padang pasir, dan ini tentunya sebagai istilah yang digunakan untuk menerangkan aspek-aspek alusinasi, khayali, dan fatamorgana yang ada dalam teks “Dalang Bali”. Di tengah padang pasir seseorang dapat menyaksikan citra-citra fatamorgana, citra-citra yang segara menghilang tatkala seseorang mendatanginya secara lebih mendekat, (Baudrillard dalam Piliang, 2010: 133).
vii
156
7.3
“Matinya Pengarang” Sebagai sebuah bentuk estetika postmodern yang bersimulasi atau
memiliki kandungan hiperrealitas yang bisa dilihat dari penanda estetis, fakta ideologis dan kandungan lima idiom yang ada bahwa lukisan “Dalang Bali” merupakan satu bentuk artistik imanensi, yang menopengi semangat kemajuan yang sudah kehilangan daya utopisnya. Gunarsa sebagai konsumer yang mengonsumsi objek-objek yang di dalamnya subjek yang dikontrol objek-objek atau dikuasai objek-objek, diistilahkan dalam diskursus postmodern hilangnya kekuatan individu secara absolut, Narasi Besar yang sudah bangkrut, atau pengarang yang sudah mati, serta semakin memudarnya gaya-gaya personal, yang dominan dalam modernisme. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah, bahwa Gunarsa tidak menciptakan tanda-tanda yang bersifat “baru”, orisinal, namun hanya merangkai tanda-tanda yang hadir dari berbagai fragmen-fragmen sejarah sehingga lukisan sebagai teks merupakan sebuah mosaik tanda-tanda dari kanon masa lalu. Dalam diskursus moderenisme pengarang (atau seniman, atau pencipta) adalah figur yang sangat penting dan sentral. Sebuah karya seni atau teks modern selalu diidentifikasikan dengan seniman atau pengarangnya dalam artian jiwa dari seorang pengarang terpancar dari dalam sebuah lukisan atau dengan perkataan lain, dalam proses melukis, dalam keadaan ekstasi seniman tenggelam dalam lukisannya, sehingga secara kasar dapat dikatakan, perbedaan seniman dan lukisannya secara spritul menjadi kabur. Prinsip secara garis besar bahwa karya merupakan ekspresi diri dari subjek, yang nilai-nilainya diserap oleh subjek
vii
157
sebagai pengembangan diri selanjutnya (Hegal dalam Piliang , 2010: 144). Karyakarya
seni
dan
literatur
moderenisme
pada
umumnya
berpusat
pada
pengarangnya, yaitu keinginan, hasrat, selera, kegelisahan, kegembiraan, kesenangan, atau totalitas hidup mereka. Dalam artian lain moderenitas sebagai produk dari filsafat pencerahan, menurut Hegal melibatkan sang subjek dalam proses dialektika pembaharuan secara konstan terhadap dunia realitas, disebabkan ketidak percayaan pada spirit dan hukum alam. Dalam penciptaan dunia objek-objek, dan dalam dunia pencarian nilai-nilai, subjek selalu terlibat dalam proses yang bergerak ke depan, objek selalu mengacu kepada Kebenaran Ideal, sementara Kebenaran Ideal itu sendiri juga selalu dalam proses menjadi. Di mana Kebenaran dalam hal ini adalah perubahan yang dihasilkan dari proses bergerak kedepan dan proses menjadi inilah yang oleh subjek modern itu sendiri yang dinilai sebagai kemajuan. selalu bergerak (Hegal dalam Piliang, 2010: 74). Habermas (dalam Piliang, 2010; 74) menyatakan, dari proses yang bergerk kedepan dan keterbukannya terhadap masa depan yang dapat menghasilkan halhal yang baru. Dalam proses tersebut subjek selalu mengalami posisi subjektivitas, sedang objek-objek ciptaannya sendiri dalam rentang sejarah subjek dan objek sebagai satu posisi yang selalu bersifat temporer- posisi yang selalu terganggu oleh harapan hari esok yang lebih baik atau lebih sempurna. Subjek selalu tidak puas terhadap tahap yang telah dicapainya, dalam pengertian, (posisi) subjek dibentuk dengan cara tertentu sehingga ia tidak pernah merasa sempurna, dihadapan pengetahuan Absolut, dan adalah perasaan ketidaksempurnan inilah
vii
158
yang memberikan kekuatan pendorong bagi aktifitas selanjutnya (Miller dalam Piliang, 2010: 75). Dari satu posisi yang temporalitas yang abadi dan dalam setiap proses berkarya sama artinya dengan proses mencari lagi, landasan, paradigma, refrensi, dan kriteria-kriteria baru, dan membuat sang seniman semakin menjauh dari konvensi dan kode-kode sosial, budaya, bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Yang disebut karya otentik dalam estetika modernitas adalah sesuatu yang selalu dikaitkan dengan saat kemunculan yang baru, dan saat keberangkatanya dari yang lama. Keberangkatan dan kemunculan yang baru ini sifatnya tak lebih dari “pemenuhan sementara terhadap kerinduan yang abadi akan keindahan, proses pencarian terus menerus akan sesuatu yang baru untuk mencapai apa yang disebut dengan Keindahan Absolut, sesuatu yang baru yang segera dikuasai dan dijadikan usang melalui kebaruan gaya berikutnya (Habermas dalam Piliang, 2010: 76). Hal ini yang merupakan salah satu dari kekuatan seniman sebagai pencipta atau pengarang dalam estetika moderenisme. Moderenisme tinggi merupakan satu-satunya bentuk pembebasan yang sesungguhnya dalam kebudayaan, satu diskursus yang menjauhkan diri dari penjara komoditi. Moderenisme tinggi mencari bentuk-bentuk kebudayaan dan seni yang otonum, yaitu bentuk yang dibebaskan setiap nilai-nilai tradisi dari kanon, dari setiap batasan sosial, dan terutama dari batasan sosial. Cara untuk mendapatkan otonomi ini adalah dengan kembali pada konsep tentang kritik diri dan referensi diri yang bertujuan untuk menghilangkan efek-efek setiap seni, setiap efek yang mungkin dipinjam dari atau melalui medium seni lain. Adorno
vii
159
(dalam Piliang, 2010: 89) menyatakan, setiap karya seni tidak saja harus berbeda dari karya-karya yang sudah ada sebelumnya, baik dalam bentuk dan kandungan makna, akan tetapi dalm waktu yang bersamaan harus terlepas dari realitasrealitas sosial. Dalam pengertian inilah bahwa seniman dianggap jenius atau pengarang. Dalam diskursus postmodern “matinya pengarang” merupakan sebuah metafora untuk menggambarkan bahwa tidak ada lagi semangat jiwa pengarang dalam karyanya, pengarang tidak lagi berbicara, bahasa yang bicara bukan pengarang (Barthes dalam Piliang, 2010: 116). Hingga dalam setiap karya seni dapat ditemukan kode-kode bahasa estetiknya tanpa kehadiran penciptanya. Dalam lukisan “Dalang Bali” bukan Gunarsa yang berbicara melalui objek karyanya, akan tetapi estetika timur yang bersifat tradisional yang memiliki berbagai tanda-tanda dari bahasa tempo dulu atau dialog antara teknik-teknik modern dan kode-kode kebudayaan masa lalu . Gunarsa dalam hal ini tak lebih dari seorang operator yang memberi peluang bagi bahasa-bahasa ini untuk bicara. Lukisan “Dalang Bali” tidak lagi dikatagorikan menjadi teks atau karya dalam pengertian moderenisme, yaitu karya yang memiliki arti yang tunggal dan utuh. Hal ini disebabkan bahasa yang digunakan tidak lagi bahasa tunggal dan subjektif pencipta, akan tetapi aneka ragam bahasa masa lalu dengan asal usul yang tidak pasti. Teks dari lukisan “Dalang Bali” bukanlah rangkaian tanda-tanda yang menghasilkan makna tunggal teologis (pesan atau wahyu PengarangTuhan), akan tetapi ruang multi dimensional yang di dalamnya beraneka ragam tanda, yang juga memiliki tanda yang bersifat tidak orisinil, bercampur, dan
vii
160
bertumpang tindih yang juga merupakan sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari pusat kebudayaan yang lain. Sebuah teks atau karya seni rupa dalam hal ini adalah lukisan merupakan kombinasi dari tanda-tanda yang diambil dari berbagai kebudayaan, dan memasuki ruang tertentu yang di dalamnya semuanya dipusatkan dan berinteraksi dalam bentuk dialog, parodi, arena kontes, atau alegori yang mana hal ini disebut pembaca (Barthes dalam Piliang, 2010: 117). Dalam hal ini kedudukan Gunarsa berkenaan dengan lukisan “Dalang Bali” lebih sebagai pembaca ketimbang pengarang. Ia adalah ruang, tempat bahasa-bahasa estetika masa lalu yang memiliki berbagai tanda yang berinteraksi dalam satu dialog tertentu. Bisa dikatakan Gunarsa bukan lagi sosok seorang jenius sebagai sumber dan usul dari gagasan-gagasan melainkan tempat semua kutipan-kutipan dari tanda-tanda yang membentuk teksnya (“Dalang Bali”) membekaskan jejaknya, atau seorang individu yang terpenjara dari kebebasannya dalam permainan tanda-tanda dari objek-objek yang ada (alami), masa lalu, atau sebagai subjek ia dikontrol oleh objek-objek yang ada (masa lalu, alami). Matinya pengarang dalam diskursus postmodern juga diiringi dengan lahirnya para pembaca, dan berkembangnya model writerly text, yaitu teks yang menjadikan pembaca/teks sebagai pusat penciptaan, ketimbang penciptanya sendiri. Matinya sang pengarang, juga diikuti dengan munculnya apa yang disebut oleh Chaterine Belsey sebagai kekuatan pembaca (reader‟s Power) (Piliang, 2010: 117). Pada model writerly text ini, menurut Belsey, para pembaca
vii
161
dibebaskan dari tirani pengarang, dan mereka berpeluang untuk berpartisifasi dalam menghasilkan pluralitas makna dalam diskursus. Stanely Fish (dalam Piliang, 2010: 117) juga mendefinisikan model teks ini sebagai teks dialektik, sebagai kebalikan dari, teks retorik, yang biasanya memberi kepuasan kepada pembacanya. Teks dialektik bersifat mengganggu, karena teks tersebut mengharuskan pembacanya mencari dan mempelajari secara teliti segala sesuatu yang mereka percayai dan di dalam mana mereka hidup. Bisa dikatakan teks tersebut tidak mengajarkan kebenaran, akan tetapi, meminta para pembaca menemukan kebenaran bagi mereka sendiri dan kadang-kadang kebenaran tersebut mustahil bisa ditemukan. Dari kehadiran kekuatan pembaca bisa terlihat kehadiran pembaca yang tidak dihadapkna dengan peristiwa sosial yang “mentah” atau kehadiran pembaca dihadapkan dengan tanda yang sudah dalam tingkatan ideologis dari pengarang. Pada tingkat ideologis atau pada tingkat konotatif, para pembaca mungkin saja mengikuti jalur dan jejak unit kebudayaan yang berbeda dengan jalur yang diikuti pengarang, sehingga kemungkinan besar mereka akan menangkap makna-makna konotatif yang berbeda sama sekali. Hal ini memperlihatkan bahwa di dalam produksi dan konsumsi teks atau diskursus tidaklah mudah memastikan nilai komunikatif sebuah teks, disebabkan keanekaragaman jalur kebudayaan. Dalam kondisi tersebut menempatkan posisi pembaca atau interpretan sebagai posisi yang bersifat oposisional, di mana posisi ini merupakan posisi ketiga dari wacana encoding-decoding Stuart hall.
vii
162
Stuart Hall (dalam Piliang, 2010: 240) mengungkapkan, encoding dan decoding
merupakan komunikasi model sirkuler, di mana kedudukan
komunikator dan komunikan relatif setara dan penerima pesan tidak bersifat pasif. Model ini menggambarkan komunikasi sebagai proses yang dinamis di mana pesan ditransmisikan melalui proses encoding dan decoding. Hubungan antara encoding dan decoding layaknya sumber (encoder)–penerima (decoder) yang saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, interpreter berfungsi ganda sebagai pengirim dan penerima pesan. Berikut adalah model sirkulasi maknamakna dalam encoding-decoding
Lukisan “Dalang Bali" sebagai wacana bermakna
Encoding Struktur makna 1
Decoding Struktur makna 2
Kerangka pengetahuan Hubungan produksi Infrastruktur teknis
Kerangka pengetahuan Hubungan produksi Insfrastruktur teknis
Gambar 7.1 Dimodifikasi dari Model Encoding-Decoding Stuart Hall (Storey, 2006: 12)
Model ini melewati tiga moment sirkulasi makna dalam wacana yang berbeda (wacana visual). Masing-masing punya kondisi dan eksistensi dan modalitasnya yang spesifik, momen pertama yaitu momen produksi lukisan, pertama-tama para pofesional atau seniman (Gunarsa) memaknai wacana visual dengan suatu laporan khusus mereka tentang sebuah peristiwa yang “mentah”, vii
163
produksi media dalam hal ini adalah media dua dimensional (lukisan) dibingkai seluruhnya oleh makna-makna dan ide-ide. Praktik pengetahuan yang menyangkut rutinitas produksi, secara historis mendefinisikan keahlian teknis, ideologi professional, pengetahuan institusional, definisi dan asumsi, asumsi tentang khalayak dan seterusnya membingkai komposisi (visual lukisan) melalui stuktur produksi ini. Jadi para professional dalam hal ini Gunarsa sebagai seniman atau pencipta menentukan bagaimana peristiwa sosial “mentah” di-encoding dalam wacana. Tetapi pada momen kedua, segera sesudah makna dan pesan berada pada wacana yang bermakna atau sesuatu yang sudah hadir sebagai bentuk tanda yang mengambil sebuah bentuk visual, aturan formal bahasa dan wacana “bebas dikendalikan” satu pesan kini terbuka, misalnya bagi permainan polisemi. Wacana visual dua dimensi (lukisan) menerjemahkan dunia tiga dimensi ke dalam media dua dimensi, di mana pada momen tersebut bisa dikatakan, dalam keberhasilannya meng encoding wacana mentah, Gunarsa secara tidak langsung telah menciptakan tanda dan membangun ideologi dari kerangka-kerangka pengetahuan yang dimiliki sebagai seorang encoder atau professional. Momen ketiga adalah momen decoding merupakan momen di mana seorang khalayak, atau apresiator tidak dihadapkan dengan peristiwa sosial yang “mentah” melainkan terjemahan dikursif dari suatu peristiwa yang dianggap sebagai bentuk tanda. Dalam hal ini peneliti melihat lukisan “Dalang Bali” yang merupakan sebuah bentuk tanda yang siap dikonsumsi dan diterjemahkan lewat kerangka pengetahuan yang dimiliki, sebagai bentuk tanda yang bisa dikonsumsi lukisan “Dalang Bali” menyertakan peristiwa yang bermakna, siap diinterpretasi
vii
164
dengan pemahaman-pemahaman yang di miliki seora peneliti yang di dalamnya mapu menciptakan pemahaman baru terhadap wacana yang yang di artikulasikan lewat praktik dan kerangka pengetahuan yang dimiliki peneliti. Jika tidak ada makna yang diambil, maka boleh jadi tidak ada „konsumsi‟. Jika makna tidak diartikulasikan dalam praktik, pasti tidak ada efek. Jadi melalui sirkulasi wacana, produksi direproduksi untuk menjadi sebuah produksi kembali (Hall dalam Storey, 2006:13). Encoding dan decoding terbuka bagi resiprositas yang berubah-ubah, ditentukan oleh kondisi eksistensi berbeda. Dalam decoding ada tiga posisi hipotesis unuk mendecoding sebuah wacana ataupun pesan yang berbentuk visual. Yakni pertama: posisi dominan-hegemonik yaitu posisi apresiator membaca lukisan “Dalang Bali” searah apa yang dimaknai dan diinginkan Gunarsa, posisi ini terjadi‟ tatkala audien memetik makna yang dikonotasikan dari visual dengan secara penuh dan apa adanya, men-decoding pesan berdasarkan kode acuan di mana ia di-encoding. Di sini suatu keberhasilan seorang profesional atau encoder mampu menghegemoni audien karena berada dalam harmoni dengan kode professional dari sebuah encoding. Kedua adalah posisi yang dinegosiasikan: decoding dalam versi ini yang dinegosiasikan memuat bauran dari unsur-unsur yang oposisional dan adaftif, dan mengakui legitimasi dari definisi-difinisi hegemonik untuk membuat penandaan yang hebat, walaupun pada level yang lebih terbatas, situasional (terkondisikan), ia membuat aturan-aturannya sendiri. Beroperasi dengan pengecualian terhadap aturan dan ideologi dominan yang dinegosiasikan selanjutnya diliputi dengan
vii
165
kontradiksi-kontradiksi, meskipun hanya dengan kejadian-kejadian tertentu yang dibawa menuju visibilitas penuh. Posisi decoding yang ketiga adalah oposisional di mana posisi seorang apresiator atau penonton untuk memahami secara sempurna perubahan harafiah maupun konotatif yang diberikan diskursus dan melucuti ketotalitasan kode terpilih untuk kembali menjadi pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan alternative. Momen ini bisa dikatakan momen politik paling signifikan, di mana peristiwa yang lazim ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan cara yang ternegosiasikan mulai dari pembacaan oposisional dan di sini politik penandaan-pertarungan dalam diskursus- digabungkan.Kondisi ini yang terjadi dalam “Matinya pengarang” dan bagaimana peneliti dalam hal ini memposisikan diri dalam posisi yang oposisional dalam mendecoding lukisan “Dalang Bali”. Dalam arti kata lain decoding menurut Hall (dalam Piliang, 2010: 241) merupakan sebuah konsumsi-yaitu berupa proses pembacaan kode, pesan dan makna dari sebuah teks oleh konsumen-adalah juga sebuah proses produksi. Dalam pengertian, bahwa para konsumen teks ini-dalam berhadapan dengan sebuah teks-akan memproduksi makna mereka sendiri, berdasarkan latar belakang kode, konvensi, budaya, pengetahuan, keyakinan, dan ideologi mereka sendiri, yang boleh jadi berbeda sama sekali, dengan kode, konvensi, ideologi, budaya, dan makna yang ditawarkan oleh produser. Di dalam hubungan encoder/decoder atau produser/receiver dapat terbentuk relasi simetris atau asimetris, bergantung pada tingkat pengertian bersama atau kesalahmengertian bersama dalam sebuah teks. Apa yang disebut
vii
166
distorsi adalah ketika terjadi relasi asimetris di antara kedua belah pihak di dalam wacana, yaitu apa yang dimaksud produser/encoder tidak sama dengan apa yang dipahami penerima/decoder, dengan perkataan lain terjadi kesalah pengertian.
7.4
Identitas Identitas dalam lukisan “Dalang Bali” dimaksudkan di sini
bahwa
bagaimana melihat diri Gunarsa sendiri dan bagaimana orang lain melihatnya dalam sebuah tanda yang hadir pada lukisan. Dengan menghadirkan lukisan dengan tanda-tanda dari kebudayaan tinggi yang bernilai estetik, dan sebagai individu yang ”kacau” mempunyaui keberanian kreativitas yang melibatkan berbagai bentuk emosi hingga menjadi sebuah proses dalam pencarian identitas. Dalam hal ini bisa dilihat identitas terekspresikan melalui bentuk-bentuk represntasi yang kita kenal maupun yang orang lain kenal, jadi identitas merupakan sesuatu yang bisa ditandakan dan identitas merupakan suatu yang bersifat sosial maupun personal maupun bukan sebagai sesuatu entitas yang tetap tetapi sebagai gambaran perihal diri yang penuh dengan muatan emosi. Dengan mengartikulasikan-kembali, mencipta ulang membentuk yang baru dengan cara yang khas, secara tidak langsung membuat diri kita khas dengan membuat bahasa baru yang mampu menggambarkan diri. Dalam lukisan “Dalang Bali” dengan menghadirkan representasi estetik dan sebagai bentuk estetika postmodern yang memiliki lima kandungan estetika postmodern, bahwa di dalamnya memilliki sebuah bentuk identitas yang bersifat anti esensialisme atau sebuah identitas yang bersifat lentur yang didukung oleh
vii
167
berbagai argumen-argumen. Karena dalam hal ini identitas sepenuhnya kultural khas pada masing-masing zaman dan tempat, jadi identitas bisa ditukar-tukar dan terkait dengan keadaan sosial dan kultural tertentu. Di sini juga identitas tidak mengacu pada kualitas esensialis dan universal (esensi tetap seperti, maskulin, femininitas, remaja dan kata gori yang lainnya) sebab bahasa “menciptakan” dan bukan “menemukan”. Identitas bukanlah suatu benda, melainkan gambaran dalam bahasa, dan merupakan wacana yang bisa berubah makna seturut waktu, tempat, dan penggunaan. Dalam kontek ini identitas bisa dikatakan sebagi proyek, dalam artian identitas bukanlah kumpulan ciri yang dimiliki Gunarsa, ia bukanlah sesuatu: bukan sesuatu yang dimiliki, juga bukan entitas atau hal yang bisa kita tunjuk. Identitas merupakan sebuah ciptaan, sesuatu yang selalu berproses, sesuatu yang selalu bergerak menuju dan bukan suatu kedatangan. Proyek identitas di sini tersusun dari apa yang kita pikirkan tentang diri kita sekarang dengan dasar situasi masa lalu dan masa sekarang kita (Giddens dalam Barker, 2005: 220). Gunarsa yang sebagai subjek yang memiliki nilai persoalan identitas yang bersifat kultural, merupakan sebuah subjek yang memiliki identitas yang bersifat terpecah, keterpecahan identitas bisa terlihat dari, Gunarsa sebagai subjek pencerahan, subjek sosiologi, dan sabagai subjek postmodern (Hall dalam Barker, 2005: 221). Sebagai subjek pencerahan didasarkan pada konsep bahwa manusia adalah individu yang sepenuhnya terpusat, tunggal, memiliki kemampuan nalar, kesedaran, dan tindakan: “pusat di sini berisikan inti batin….. pusat esensial diri adalah identitas orang (Hall dalam Barker, 2005: 222).
vii
168
Hal ini yang berhubungan dengan gagasan bahwa nalar dan rasional menjadi dasar kemajuan manusia atau pandangan ini dikenal sebagai subjek Cartesian dan terkait dengan pernyataan terkenal Cartes “Aku berpikir maka aku ada” menempatkan subjek individual yang rasional dan sadar sebagai inti filsafat Barat. Di sini akal dianggap memiliki kemampuan inheren sehingga bisa mengalami dunia dan memahaminya menurut cirri-ciri aktual dunia itu. Bisa dikatakan subjek dalam hal ini dapat dikatakan melihat orang sebagai sesuatu yang tunggal dan mampu mengatur diri mereka sendiri. Dalam teks “Dalang Bali” hal ini bisa dilihat dari pendevalaluasian nilai maha tinggi hingga terciptanya paham humanisme dan kekuasan yang hadir sebagai ideologi dari estetika lukisan “Dalang Bali”. Dari penanda dan kekuasaan yang hadir bisa dilihat bagaimana Gunarsa menghadirkan kode-kode kebudayaan dari lingkungan sosial yang pernah didiami atau kekuasaan yang dikuasai oleh tanda, kode, dan sejarah yang ada sebelumnya dari lingkungannya, hingga hal ini yang dimaksud sebagai subjek sosiologi. Jadi dalam konteks di atas identitas bukanlah hal yang menciptakan dirinya sendiri atau bersifat internal dalam diri, tetapi “sepenuhnya” kultural karena diciptakan melalui proses akulturasi atau diri yang tersosialisasikan. Inti batin subjek tidaklah otonum dan cukup-diri, tetapi terbentuk dalam hubungan dengan “si lain yang penting”, yang menjembati dengan nilainilai, makna-makna, dan lambang-lambang-budaya-dari subjek tinggali (Hall dalam Barker, 2005: 223). Sosiologis terhadap subjek adalah bahwa orang-orang merupakan mahluk ciptaan sosial, di mana sosial dan subjek saling menciptakan. Meskipun diri dianggap memiliki inti batin yang tunggal, ia tercipta secara interaktif antara vii
169
dunia batin dengan dunia sosial di luar. Sedangkan subjek postmodern, bisa dilihat dari penanda atau tanda dan kode yang tumpang tindih, bercampur baur, hingga menciptakan ruang-ruang kosong yang segera diisi oleh proses pemaknaan secar konotasi, hingga bisa dikatakan subjek sebagai diri yang tidak terpusat meliputi subjek dengan identitas-identitas yang terus bergeser, terpecah, dan memiliki identitas jamak. Identitas tidak terdiri dari satu tetapi, beberapa identitas yang kadang bertentangan. Subjek memiliki identitas yang berbeda pada waktu yang berbeda, identitas yang tidak terpusat pada “diri” yang koheren. Dalam diri kita terdapat identitas-identitas yang bertentangan, menyeret keberbagai arah, sehingga proses identifikasi kita selalu bergeser-geser. Jika kita merasa kita memiliki identitas yang utuh dari lahir sampai mati, ini karena hanya kita menyusun kisah penenang atau “narasi diri” untuk kita sendiri (Hall dalam Barker, 2005: 233). Jadi dari identitas yang terpecah dari teks atau bahasa yang hadir, bukanlah cermin yang memantulkan dunia objek yang indevenden (kenyataan), melainkan sumber yang “memberi bentuk” pada kita dan dunia kita melalui arus percakapan dan praktik sehari-hari yang tak pasti yang kacau (Shotter dalam Barker, 2005: 277). Di sini bukanlah hal yang tetap, kekal, juga bukan esensi batin seseorang yang diacu oleh kata-kata, tetapi merupakan cara “bicara” teratur perihal seseorang, hingga bisa dikatakan dalam hal ini bahwa identitas merupakan ciptaan dari wacana yang didasari oleh pandangan tentang bahasa yang mengatakan tidak ada esensi yang diacu oleh bahasa dan oleh karena itu tidak ada identitas
yang
bersifat
esensial,
hingga
representasi
tidak
bersifat
“menggambarkan” dunia melainkan bagaimana menyusun dunia untuk kita.
vii
170
7.5
Perlawanan Perlawanan dalam lukisan “Dalang Bali “ juga bisa dilihat dari hadirnya
berbagai
penanda dari
berbagai
fragmen sejarah (representasi
estetika
dekonstruksi, dan fakta ideologis) salah satunya yang hadir pada nilai kekuasaan. Perlawanan yang hadir merupakan perlawanan terhadap nilai yang maha tinggi, hal tersebut bisa terlihat dari pendevaluasian nilai maha tinggi yang ada. Namun dari ketenggelaman dan keterikatannya terhadap penanda-penanda dari sejarah masa lalu atau budaya tinggi yang memiliki nilai tinggi dan bukannya terpisah dari kebudayaan yang bernilai tinggi, perlawanan juga bisa dilihat sebagai perlawanan terhadap hal yang bersifat baru atau modern. Namun di balik kehadiran budaya tinggi, terlihat arus kegelisahan yang cemas akan kehilangan pertalian dengan masa lampau dengan kata lain, kehilangan “jiwa ketimurannya” atau “kepribadian timur” yang dibayangkan sebagai semangat mistik. Dalam dua hal ini dapat dikatakan Gunarsa sebagai seorang individu memiliki diri yang terbelah, (Yuliman, 2001: 218) di mana hal yang sama dikatakan dalam wawancara di bawah ini; Hal yang saya tangkap dalam lukisan ini adalalah, terlihat bagaimana pribadai Gunarsa yang terbelah, disatu sisi ingin menggenggam erat-erat budaya ke timuran yang dimiliki, dan di sisi lain ingin juga merengkuh nilai-nilai yang hadir pada zaman sekarang. (Seri Yogaparta, wawancara 12 september 2014). Dalam hal seperti ini budaya perlawan dalam lukisan “Dalang Bali” bisa dikatakan bukanlah ruang-ruang perlawanan yang autentik, melainkan tempat-
vii
171
tempat negosiasi di mana posisi perlawanan adalah sesuatu yang bersifat strategis dan keberadaannya sendiri dimungkinkan oleh struktur-struktur kekuasaan (Best dalam Barker, 2005: 457). Hall (dalam Barker, 2005: 457) menyatakan, dalam konteks di atas perlawanan tidak bisa dipahami sebagai pembalikan sederhana tatanan tinggi dan rendah, kekuasaan dan ketidakberkuasaan, sebagai gantinya adalah yang menempati ruang perlawana adalah ambivalensi dan ambiguitas, hingga menciptakan sesuatu yang disebut dengan carnivalesque, adalah pembalikan sementara tatanan kekuasaan dari berbagai ritual, permainan, ejekan, dan bahasa kasar, di mana yang sopan disingkirkan oleh yang vulgar, dan sang raja digulingkan oleh si bodoh. Namun carnivalesque bagi Hall bukan terletak pembalikan hal yang sederhana dari pemisahan-pemisahan ini, melainkan pada invansi (penyerbuan) yang tinggi oleh yang rendah, yang menciptakan bentuk-bentuk hibrida, tantangannya bukanlah terhadap hal yang tinggi dari yang rendah, melainkan terhadaf klasifikasi klasifikasi kultural oleh kekuasaan itu sendiri (Hall dalam Barker, 2005: 457). Dalam teks “Dalang Bali” terlihat parktik-praktik pelawanan sebagai sesuatu yang sudah selalu berada dalam ruang kekuasaan. Tidak ada “margin” (tempat) di luar kekuasaan yang bisa digunakan untuk menyerang kekuasaan atau untuk melontarkan klaim outentisitas. Praktik-praktik puitis dan tak terbaca dari yang popular adalah bentuk-bentuk perlawanan yang menciptakan permainan kreatif dan adaftif dalam kekuasaan (Certeau dalam Barker, 2005: 459). Certeau memisahkan strategi-strategi kekuasaan dengan taktik taktik perlawanan.
vii
172
Strategi adalah cara-cara yang dipakai kekuasaan untuk menandai suatu orang bagi dirinya sendiri yang terpisah dari lingkungannya, yang bisa digunakan untuk beroprasi sebagai subjek kehendak. Dengan demikian kekuasaan suatu karya seni melibatkan penciptaan ruangnya sendiri dan cara-cara untuk bertindak secara terpisah. Sedangkan taktik adalah suatu tindakan yang diperhitungkan oleh tidak adanya suatu lokus yang sesuai. Dengan demikian tidak adanya pembatasan (delimitasi) eksterioritas (batas-batas luar) yang bisa memberinya kondisi-kondisi yang diperlukan untuk otonomi. Ruang taktik adalah ruang ruang yang lain (the other). Maka ia harus bermain di atas dan di luar suatu medan yang dipaksakan padanya, suatu medan yang diatur oleh hukum sebuah kekuasan asing….Karena itu sebuah taktik tidak bisa merencanakan suatu strategi umum atau melihat simusuh dalam secara keseluruhan dari suatu ruang yang tampak dan bisa didefinisikan. Taktik beroperasi dalam tindakantindakan terisolasi, melancarkan satu demi satu pukulan. Karena tidak memiliki basis di mana ia bisa menyimpan kemenangannya, membangun posisinya dan merencanakan serangan, taktik harus mengambil keuntungan dari kesempatan-kesempatan” dan menjadi tergantung padanya (Certeau dalam Barker, 2005: 461). Lukisan “Dalang Bali” merupakan sebuah medan yang dipaksakan padanya
melalui
representasi
estetik
atau
penanda-penandanya
hingga
menciptakan ruang kosong atau ruang yang lain (the others). Sebagai sebuah perlawanan teks “Dalang Bali” juga merupakan sebuah permainan, tipuan dan kebohongan-kebohongan hidup sehari-hari yang menggunakan apa yang dimiliki yang lain untuk membuat ruang bisa dihuni. Termasuk di sini adalah produksi menyimpang dari konsumsi, yang menyusupkan dirinya ke mana-mana, diamdiam dan hampir takterlihat, karena ia tidak mewujudkan dirinya melalui produknya sendiri, melainkan melalui caranya yang menggunakan produk yang dipaksakan.
vii
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan Sesuai dengan permasalahan yang terdapat pada rumusan masalah, dan tujuan penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan dari uraian hasil pembahasan, bahwa lukisan “Dalang Bali” merupakan sebuah karya seni bergaya realistik sebagai sesuatu yang bersifat representati. Sebagai bentuk tanda di mana objekobjek atau penanda yang dihadirkan dalam lukisan menanggalkan makna ideologis dari penanda asli (realitas) dan menciptakan makna atau petanda baru dari penanda yang ada, hingga ideologi yang dihadirkan ke dalam media visual dua dimensi yang di dalamnya terdapat representasi estetika yang bersifat dekonstruktif
yang membentuk teks lukisan “Dalang Bali” secara utuh.
Representasi estetika dekonstruksi yang hadir dalam lukisan “Dalang Bali” dapat dilihat yakni, bentuk, ruang, komposisi, transformasi struktur, dan tanda. Bentuk yang terdistorsi merupakan
hasil interpretasi
nilai
terhadap
bentuk-bentuk eksternal melalui pengamatan dan perenungan, yang bersifat imajiner personal. Hal ini merupakan ciptaan bukan sekedar terjemahan dari pengalaman tertentu atau sekedar apa yang dilihatnya, sehingga nilai bentuk ini dapat membangkitkan seluruh potensi diri penikmat untuk menggali lebih jauh nilai-nilai lain yang ditawarkan. Ruang yang hadir di dalamnya ruang yang bersifat kosong dari kepadatan ruang yang divisualkan atau menciptakan ruang yang terbatas, hingga tak terbatas. Secara komposisi menghadirkan kontras dan
173
174
sudut pandang, dari segi kontras menghadirkan bentuk, warna, dan keseimbangan yang kontras hingga menciptakan peleburan makna yang bersifat tunggal. Sudut pandang, menghadirkan dua sudut pandang dalam satu tanda, di mana hal tersebut juga menciptakan peleburan atau kekacauan dalam proses pemaknaan, dari hal yang denotatif mengarah ke pemaknaan yang konotatif. Transformasi
struktur,
menghadirkan
perubahan
pada
pemisualan
pementasan wayang Bali dengan kehadiran figur perempuan dengan makna konotatif sebagai sinden dari wayang Jawa, dan dengan pemisualan dari tampak belakang menghadirkan teks yang bersifat vulgar. Tanda yang hadir di antaranya, ada tanda palsu, dan tanda daur ulang. Tanda palsu merupakan tanda yang berdasarkan kemiripan atau tanda yang seakan-akan asli padahal palsu. Tanda daur ulang adalah tanda yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa lalau (dengan konteks ruang, waktu, dan tempatnya yang khas), kini digunakan untuk menjelaskan masa kini (yang sesungguhnya berbeda atau tidak ada sama sekali), atau sebuah realitas dikosongkan dari makna sebenarnya, dan diisi oleh maknamakna yang diasumsikan lewat tanda daur ulang (dekontekstualisasi tanda). Dari representasi estetika dekonstruksi yang dihadirkan Gunarsa merupakan sebuah usaha Gunarsa untuk menciptakan sebuah tanda, dalam artian lewat penanda-penanda tersebut Gunarsa merepresentasikan apa yang ada dalam pemikirannya, yaitu konsep atau kumpulan ide-ide yang dihadirkan lewat penanda untuk mewujudkan berbagai kepentingnnya (ideologi). Fakta ideologis yang menjadi latar belakang dalam lukisan “Dalang Bali” dapat dilihat dari representasi atau penanda yang hadir. Adapun fakta ideologis yang melatar belakangi lukisan
vii
175
“Dalang Bali” yakni, (a) estetika, (b) kreativitas dan pembaharuan, (c) nasionalisme, (d) kekuasaan. Estetika, dengan nilai dekonstruktif yang dimiliki menjadikan atau membuat suatu benda atau lukisan menjadi lebih indah dan bernilai estetik lebih tinggi di mana keindahan dilihat sebagai sebuah teori yang mampu menciptakan pemahaman-pemahaman
baru
dari
teks
yang
tercipta.
Kreativitas
dan
pembaharuan, dengan menghadirkan estetika yang memiliki kandungan dekonstruksi yang di dalamnya memiliki tanda palsu dan daur ulang merupakan sebuah bentuk kreativitas yang menciptakan sistim tanda yang bertingkat, yang merupakan usaha untuk sebuah perubahan dan pembaharuan. Nasionalisme adalah, suatu ideologi yang meletakkan bangsa dipusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keberadaannya, maksudnya adalah suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu ” bangsa ” yang aktual atau ” bangsa ” yang pontesial, salah satunya menghadirkan wayang sebagai salah satu identitas dari kebudayaan nasional. Sedangkan kekuasan sebagai ideologi adalah kekuasaan dalam hal ini lebih merupakan suatu kebebasan seniman yang memiliki kekuasaan yang bebas bermain di wilayah kode dan tanda dari pragmen-pragmen sejarah. Namun bersamaan dengan itu juga mencerminkan kekuasaan sebuah kode dan tanda alami dan kebudayaan terhadap seniman, sehingga seniman terpenjara dari kebebasannya dalam bermain tanda dan kode-kode kebudayaannya saja.
vii
176
Kekuasaan di sini juga bersifat hegemonik, atau kekuasaan mengandung kebenaran yang dikonstruksi, bisa di lihat dengan penanda denotatif, kondisi di dalamnya menutupi hubungan-hubungan eksploitatif yang ada sebagai hal yang bersifat ideologis adalah peta-peta makna yang tampak seolah-olah memiliki kebenaran universal dan diterima sebagai kebenaran universal, bahwa kondisi ini bisa dikatakan sebagai kekuasaan yang hegemonik. Dari representasi estetika dekonstruksi dan fakta ideologis yang dihadirkan dalam lukisan “Dalang Bali”, bahwa lukisan “Dalang Bali” merupakan sebuah teks yang tidak lepas dari berbagai kepentingan, yang di dalamnya menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang bersifat eklektik, hibrid, irasional yang memiliki rekoleksi tanda atau idiom-idiom dari estetika postmodern yang telah terkubur di bawah monument moderenisme, hingga menciptakan satu peluang bagi penjelajahan ke dalam kemungkinan-kemungkinan estetik melalui permainan tanda dan kode yang mampu menghadirkan pluralitas tekstual. Oleh karena itu makna dekonstruksi dalam estetika lukisan “Dalang Bali” dapat dimulai dari, (a) estetika posmodern, (b) hiperrealitas, (c) matinya pengarang, (d) perlawanan, (e) identitas. Sebagai bentuk estetika postmodern lukisan “Dalang Bali” ” merupakan sebuah teks di dalamnya memiliki berbagai kode acak dan tanda-tanda palsu atau tanpa acuan referensi yang jelas, atau merupakan sebuah rangkaian kutipan tandatanda (mozaik tanda) dari berbagai sejarah yang mampu menciptakan pluralitas tekstual yang lebih mengutamakan kegairahan dalam bermaian-main dalam menciptakan pesan dan bukan pada menciptakan makna yang otonum. Kegairahan vii
177
tersebut bisa dilihat dari lima idiom yang terdapat pada estetika postmodern, di mana idiom tersebut juga terdapat dalam teks lukisan “Dalang Bali”. Adapun idiom-idiom yang hadir di antaranya ada pastiche yang memiliki ketergantungan terhadap kebudayaan tingi yang mengutamakan semangat zaman, parodi yang merupakan bentuk sindiran dan hadirnya dua teks jawa dan Bali bertemu dan membentuk dialog yang bisa disebut dengan intertekstual, kitsch yang menghadirkan seni tinggi berdasarkan kesenangan yang menghadirkan sesuatau yang bersifat permukaan (sampah artistik), camp yang mengolah berbagai teks sebagai bentuk kebebasan yang menantang sebuah kejenuhan atau kebosanan, dan yang terakhir skizofrenia yang menghadirkan pertumpang tindihan tanda dan makna dari teks yang tidak mempunyai asal usul yang jelas atau menghadirkan keabnormalan sebuah tanda dalam teks lukisan “Dalang Bali”. Hiperrealitas yang terjadi di dalamnya adalah objek-objek yang murni penampakan, yang tercabut dari realitas sosial masa lalunya atau sama sekali tidak mempunyai realitas sosial sebagai referensinya (simulacrum murni), runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu sendiri. Pengarang sudah mati, merupakan dampak yang timbul ketika Gunarsa sebagai konsomer mengonsumsi objek-objek yang di dalamnya subjek yang dikontrol objek-objek atau dikuasai objek-objek, diistilahkan
hilangnya kekuatan individu secara absolut, pemudaran gaya
personal, hal tersebut mencerminkan kekuasaan sebuah kode dan tanda alami dan kebudayaan terhadap seniman, sehingga seniman terpenjara dari kebebasannya dalam bermain tanda dan kode-kode kebudayaan saja. Disatu sisi juga
vii
178
menciptakan teks sebagai pusat penciptaan, atau para pembaca terbebas dari tirani pengarang hingga menempatkan pembaca pada posisi yang oposisional yang menciptakan pluralitas pada proses pemaknaan. Identitas adalah sesuatu yang bisa ditandakan (identitas yang terpecah), identitas yang bersifat anti esensialisme atau sebuah identitas yang bersifat lentur yang didukung oleh berbagai argumen-argumen. Perlawanan dalam lukisan “Dalang Bali” bukanlah ruang-ruang perlawanan yang autentik, melainkan tempat-tempat negosiasi di mana posisi perlawanan adalah sesuatu yang bersifat strategis dan keberadaannya sendiri dimungkinkan oleh struktur-struktur kekuasaan, hal ini bisa diistilahkan sebagai perlawanan dari dalam.
8.2
Saran Sesuai dengan judul tesis ini Estetika Dekonstruksi lukisan “Dalang Bali”
I Nyoman Gunarsa, tersirat makna bahwa penelitian ini belum bersifat final, karena begitu luasnya bidang ilmu Kajian Budaya, dengan demikian maka peluang untuk mengkaji lukisan “Dalang Bali” menggunakan teori posmdernisme masih terbuka bagi penelitian lain. Berangkat dari wacana tersebut, maka peneliti berharap pada peneliti selanjutnya baik dari ilmu sosial mau pun filsafat, agar tidak menganak tirikan karya seni rupa khususnya seni lukis atau satu karya lukis sebagai objek kajian, karena karya seni juga merupakan cerminan kehidupan masyarakat nyata, sehingga dapat pula dikaji dengan menerapkan teori-teori lain di luar ilmu sastra.
vii
179
Penelitian ini diharapkan memberikan konstribusi bagi masyarakat pada umumnya dan masyarakat seni pada khususnya mengenai estetika dalam karya seni saat ini. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka hendaknya penelitian selanjutnya lebih sempurna dari penelitian sebelumnya, penelitian terhadap lukisan “Dalang Bali” dirasakan masih belum sempurna sesuai tutunan konstribusi ilmu pengetahuan, karena masih banyak hasil pemikiran para teoritikus yang belum terjangkau oleh peneliti, namun hasil penelitian ini diharapkan
pula
menjadi
pedoman
bagi
penelitian
selanjutnya,
untuk
mengembangkan teori yang ada, dan relevan dalam paradigma Kajian Budaya.
vii
DAFTAR PUSTAKA Agus Sachari. 2002. “Estetika Makna, symbol, dan Daya” ITB , Bandung. Al-Fayadle, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta : LkiS Bakker, Anton dan Zubair, Ahmad Charris. 1990. Metodologi Penelitian filsafat. Yogyakarta : Kanisius Barker, Chris. 2009. Cultural Studies; teori & Praktek. Terjemahan Nurhadi, Bantul : Kreasi Wacana Berger, Arthur Asa. 2005. “Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, Suatu Pengantar Semiotika Yogyakarta: Tiara Wacana. Dharsono. 2004. “Seni Rupa Modern”, Bandung: Rekayasa Sains. Darmawan T. , Agus. Bali Bravo :Leksikon Pelukis Tradisional Bali. Jakarta: 200 tahu Bali Bangkit. 2007. Djelantik. A. A. M. 1999, Estetika Sebuah Pengantar. Bandung : Masyarakat seni pertunjukan Indonesia. Depdiknas, 2008.Kamus Besar Indonesia.Jakarta : Pusat Bahasa. Duija, I Nengah. 2004. “Tokoh Sabda Palon: Rekonstruksi Pemaknaan Politik Kebudayaan Hindu-Islam Di Blambangan, Banyuwangi” Disertasi Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana, Denpasar. Eka Darmadi, IGNA. 2011 “Bali; Bazar Turisme Global, Kontestasi Tanda Turistik, Dan Agensi Budaya Lokal” dalam Jelajah Kajian Budaya (Denpasar,Pustaka Larasan,) Endra Swara, Suwardi. 2008. Metodelogi Penelitian Sastra ; Epistimologi, Model, teori, & Aplikasi. Yogyakarta Medpress Fasya, Teuku Kemal, Abdullah Akhasyar Nasution, Ibrahim Chalid (Ed). 2006: Kata dan Luka Kebudayaan: Isu-isu Gerakan Kebudayaan dan Pengetahuan Kontempor Medan: Usu Press. Green, Andy “ Kreatifitas dalam Publik Relations” 2001. Penerbit Erlangga. Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme & Modernitas. Yogyakarta : Kanisius
180
181
Hartoko, Dick. 1983. Manusia dan Seni. Yogyakarta : Kanisius Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: FIB UI Holt, Claire. 2000.1997. Melacak jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terjemahan R.M. Soedarsono. Arti line. Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1991.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ( Balai Pustaka). Kanta, I Made. 1977. Proses Melukis Tradisional Wayang Kamasan. Denpasar : Proyek Sesana Budaya Bali. Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. …………………. .1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Kusnadi. 1979. Sejarah Seni Rupa Indonesia. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maquet, J. 1971. Introduction to Aesthetic Anthropology. Massachussett:Addison Wesley. Moleong, Lexi J. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Muelder Eaton, Marcia. 2010. Persoalan-persoalan Dasar Estetika. Jakarta : Salemba Humanika. Mike, Susanto. ”Karya-karya Dan Performa Berkarya Nyoman Gunarsa”, Jogjanmes.com 2012 Muh, Faisal. “Estetika dalam Narasi Kebudayaan Populer”, www.academia.edu 2012. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir cultural studies atas matinya makna.Yogyakarta : Jalasutra ……………………... 2010. Semiotika dan Hipersemiotika Gaya Kode Dan Matinya Makna. Bandung, Matahari. Picard, Michael. “Pita Maha” dalam Hildawati Soemantri, ed. Heritage Indonesia: Seni Rupa Terj., Karsono H. Saputra. Saputra Jakarta: Groiler, 2002 Pitana, I Gede dan Putu G. Gayatri. Sosiologi Pariwisata Yogyakarta: Penerbit Andi, 2005. vii
182
Rediasa, I Nyoman.2005 “Pariwisata dan Gelap-Terangnya Seni Rupa Bali” Jurnal Kajian Budaya volume 2 no 4 2005. Denpasar universitas Udayana.hal 41-54 Refli. 2001, “Bahasa Estetika Postmodernisme dalam Puisi Rupa Made Wianta” (tesis). Program Magister Kajian Budaya Unuversitas Udayana, Denpasar. Robinson, G. 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata. Yogyakarta : LKIS, Sahman, Humar, 1993. Estetika, Telaah sistemmatik dan historis, Semarang IKIP Press. Sanento Yuliman, 2001. “Dua Seni Rupa” Yayasan Kalam, Jakarta. Soedarso SP. 1987. Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni. Yogyakarta : Suku Datar Sana. Soedarsono.1999. Seni Pertunjukkan Indonesia dan Pariwisata. Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia. Storey, John, 2006. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Jalasutra: Yogyakarta. ……………, 2003. “Teori Budaya dan Budaya Pop”, Yogyakarta: kalam rosda. Sucitra, I Gede Arya. 2013. “Narasi Sanggar Dewata Indonesia”, Yogyakarta, Cahaya Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan RnD. Bandung: Penerbit Alfabeta. Suryawan, I Ngurah. 2002. “ Sebidang Kanvas di Tengah Dolar (Industry Kuasa Seni Rupa Bali)‟, Harian Sinar Harapan, 30 november. The Liang Gie. 2005. Filsafat Seni Sebuah Pengantar, Pusat Belajar Ilmu Berguna, Yogyakarta. Tilaar,H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang : Indonesia Tera. Tim Penyusun, 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia” Departemen pendidikan dan kebudayaan: Bali Pustaka Udiana NP, Tjok. 2000 “Esteika Posmodern Patung Garuda” (tesis). Program Magister Kajian Budaya Unuversitas Udayana, Denpasar.
vii
183
Vickers, Adrian. “Pembaharuan dalam Tradisi”, dalam Hilda Soemantri, ed., Indonesia Heritage: Seni Rupa Terj., Karsono H. Saputra. Jakarta: Groile, 2002 Yuliman, Sunento. “Kenyamanan Nyoman” dalam Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yulima. Jakarta: Yayasan Kalam , 2001.
vii
184
Lampiran 1 DAFTAR INFORMAN 1. Nama
: I Nyoman Gunarsa
Umur
: 60 tahun
Pekerjaan
: Seniman
Alamat
: Klungkung
2. Nama
: I Wayan Seriyoga Parta
Umur
: 35 tahun
Pekerjaan
: Pengajar/ curator seni
Alamat
: Tabanan
3. Nama
: I Wayan Upadana
Umur
: 30
Pekerjaan
: Seniman
Alamat
: Gianyar
4. Nama
: I Wayan Legianta
Umur
: 30
Pekerjaan
: Seniman
Alamat
: Gianyar
5. Nama
: I Nyoman Erawan
Umur
: 52 tahun
Pekerjaan
: Seniman
Alamat
: Gianyar
vii
185
6. Nama
: I Gd Arya Sucitra
Umur
: 33 Tahun
Pekerjaan
: Dosen/pengajar seni
Alamat
: Denpasar
7. Nama
: I Wayan Wirawan
Umur
: 38 tahun
Pekerjaan
: Seniman
Alamat
: Gianyar
8. Nama
: I Wayan Kun Adnyana
Umur
: 37
Pekerjaan
: Seniman, pengajar, dan kurator seni
Alamat
: Klungkung
9. Nama
: A. A Tony Hartawan
Umur
: 44 tahun
Pekerjaan
: Kolektor, kolekdol (pemilik Galeri Tony Raka)
Alamat
: Gianyar
vii
186
Lampiran 2 DAFTAR PERTANYAAN 1. Apa yang ingin anda sampaikan dalam karya lukis yang berjudul “Dalang Bali” ? 2. Bagai mana tanggapan anda tentang lukisan “Dalang Bali” yang diciptakan Gunarsa? 3. Apa alasan anda tentang tanda ikonik kebudayaan Bali yang hadir pada karya anda? 4. Apa pandangan anda tentang bentuk kesenian yang mencitrakan citra dari sebuah kebudayaan Bali pada khususnya? 5. Seberapa
besar
kebudayaan
mempengaruhi
pribadi
anda
dalam
menciptakan kesenian anda? 6. Bagaimana pandangan anda terhadap perkembangan bentuk-bentuk seni sekarang jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk kesenian sebelumnya khususnya dalam seni rupa Bali? 7. Seberapa jauh kehadiran dunia pariwisata mempengaruhi idiologi para seniman Bali dalam penciptaan karya seninya? 8. Bagaimana pendapat anda dalam sebuah kesenian jika dilihat dari sisi yang lain, di mana kebudayaan dieksploitasi untuk menciptakan sesuatu yang baru untuk berbagai kepentingan senimannya ? 9. Pandangan anda tentang berkesenian yang ideal?
vii