Editor’s Note @erkoes MENEBAK jenis dan model apa yang tepat untuk program pelatihan dan pengembangan (training and development) di tahun-tahun mendatang, sama susahnya dengan menebak mana bisnis yang bisa bertahan dan mana yang tidak. Korelasi keduanya sangat erat dan juga menentukan. Kesiapan SDM (sumber daya manusia) yang ditandai dengan kemampuan skill, knowledge, serta innovation menjadi pembeda apakah organisasi mempunyai visi yang jauh ke depan atau tidak. Organisasi yang biasa-biasa saja atau organisasi yang memilih untuk ‘great.’ Pijakan training and development, sebetulnya lebih bicara mengenai dua hal penting, belief and commitment. Memang tidak mudah untuk bisa berada dalam tataran belief and commitment, karena training and development adalah investasi jangka panjang yang melibatkan dana tidak sedikit. Kedua elemen ini mungkin tidak tampak menonjol di saat kondisi usaha masih berjalan lancar. Ujian akan terasa ketika kondisi bisnis baik di internal sedang susah, maupun keadaan ekternal yang kurang mendukung, seperti krisis global misalnya. Pertanyaan besar yang pilihan jawabannya sangat sulit, masihkah manajemen belief, dan kalau masih, apakah ia juga masih punya commitment? Masih segar dalam ingatan, bagaimana industri telekomunikasi bergerak dan berubah dengan sangat cepat. Di tahun 1997-an, kita mengenal alat bernama “pager” yang merupakan terobosan dari cara komunikasi konvensional yang sebelumnya mengandalkan pesawat telepon fixed-line. Untuk orang-orang yang punya mobilitas tinggi, alat ini jelas sangat berguna, meski komunikasinya hanya searah. Saya pun merasakan manfaat tersebut ketika masih baru memasuki dunia jurnalistik. Saya yang lebih banyak bertugas di lapangan, terbantu dengan alat “pager” tersebut untuk mengetahui dengan cepat nara sumber mana yang saat itu menjadi target liputan.
Roda pun terus berputar. Hampir bersamaan, teknologi handphone sudah mulai masuk ke Indonesia, meski dengan handset yang berukuran besar, dan tentu saja harganya yang selangit. Model komunikasi ini ternyata lebih pas di pasar, sehingga mendorong
efek domino terhadap bisnis-bisnis yang lain, mulai dari produsen/vendor, operator telekomunikasi hingga content provider yang muncul bak jamur di musim penghujan.
Kini kita saksikan perkembangan teknologi komunikasi berubah demikian pesat. Hukum alam pun berlaku. Siapa yang tidak bisa berinovasi, ia pun hilang ditelan jaman. Revolusi di industri telekomunikasi pun terus bergerak, dari fixed line, mobile, SMS and voice, dan kini ramai-ramai berebut kue “internet data dan content”. Pesan penting dari perubahan ini adalah bagaimana mempersiapkan SDM yang di-drive melalui program training and development agar bisa mengantisipasi perubahan.
Issue training and development ini pula yang menjadi sajian pertama di Edisi #2, Jan-Feb 2013, yang diisi oleh kontributor-kontributor dari berbagai kalangan, mulai akademisi hingga praktisi. Di bagian kedua, ada topik mengenai “Inspiring Workplace Design” di mana kita bisa belajar dari organisasi yang sukses menerapkan strategi tata ruang untuk memicu dan memacu produktivitas karyawan. Menjadi spesial karena kita mendapat sharing langsung dari Google khusus untuk pembaca sekalian, bagaimana ia menerapkan strategi desain dan apa filosofi di balik desain kantornya, yang kita tahu di hampir banyak negara begitu dikagumi. Di issue ketiga, diangkat masalah yang sedang hangat saat ini: Outsourcing! Tak kalah menarik, issue keempat bicara tentang Work Engagement and Productivity, di mana ada beberapa cara yang bisa dijadikan inisitiatif agar karyawan menjadi lebih engage. Dan itu tidaklah harus mahal.
Di sajian terakhir, kami menampilkan issue Corporate University yang berisi best practice sharing dari dua BUMN kita, PT Telkom Tbk dan PT PLN (Persero). Tentu membanggakan melihat kedua BUMN tersebut tidak menutup mata akan adanya dinamika jaman, dan mereka memilih untuk berubah. Seperti apa mereka berubah, dan perubahan apa yang sedang dilakukan? Jawabannya telah kami hadirkan di edisi kali ini. HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
01
contents
//////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
//////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
Peran Pelatihan: Bagian dari Sistem Organisasi atau Hanya Pelengkap? Apa itu Pola 70-20-10 Development Plan Unilever Indonesia
page
04 21 30 47 60 73 88 102 page
page Inisiatif Ruang
Kerja Terbuka dan Ruang Laktasi
page
Paparan Isu-Isu Ketenagakerjaan di Akhir Tahun 2012
Corporate University: Paradigma Baru Cara Bekerja dan Belajar di PLN
page
page
Make People Before Making Products
page
page
Membedah Isu Outsourcing di Indonesia
page Memahami Apa Itu Outsourcing
Kerja Outsourcing di Indonesia yang Sesungguhnya? Bos (Ternyata) Juga Manusia
page
Langkah Telkom Menuju The Real Corporate University
page
page
Belajar Dari Kisah Sukses Googley
page Bagaimana Praktek
Hubungan dan Perjanjian Kerja Dalam Perspektif Bisnis
Tantangan HR adalah Mengalahkan Diri Sendiri
Praktisi HR pun Bicara Pentingnya Training & Development
page
page
Inspiring Workplace Design
Pentingnya Mendesain Workplace Bagi Perusahaan
page
Dunia Training Menjawab Tantangan Perubahan
PortalHR | HC Magazine
page
08 12 16 23 25 28 34 41 44 50 54 64 69 82 78 94 99
Webcast: Tinggalkan Kelas dan Embrace Your Technology
page
3 Tantangan Pada Program Pembelajaran Masa Depan
Landasan Training di Era Borderless
Info graphic
Melongok Tata Ruang Markas Besar Kaskuser
page
page
page
page
page
Perjalanan Mencari Makna Engagement bagi Organisasi: Pengertian Engagement dan Perilaku ‘nyeleneh’ Manusia
Lewat CU, GE Komit Rogoh US$ 1 Miliar/tahun untuk Pengembangan Karyawan
credits
page
page
President Malla Latif
[email protected] Editor Rudi Kuswanto
[email protected] Executive Editor Nukman Luthfie
[email protected] N. Krisbiyanto
[email protected] Meisia Chandra
[email protected] Rizki Nugroho
[email protected] Senior Reporter Nurul Melisa
[email protected] Reporter Tri Wahyuni
[email protected] Business Development Nurjamila Abdulrachman
[email protected] Creative Support M. Fajar Nugraha
[email protected] Sales-Marketing Iwan Setiawan
[email protected] Account-Financial Kurniawati Azzahra
[email protected] HC Magazine is published by Sarana Daya Media, PT All rights reserved. Wish to contact us? Sarana Daya Media, PT Setiabudi 2 building, 2nd Floor, Suite 209 Jl. HR Rasuna Said Kav. 62 Kuningan Jakarta 12920 Indonesia P. +62 21 5290 6813 F. +62 21 5290 5883 Letters to the editor must include the writer’s name, address and contact number and should be emailed to
[email protected] Contributions are welcomed. Text and photos (300 DPI) should be emailed to
[email protected] Prints on Demand & Permission: Print on Demand (PoD) can be ordered (minimum 1,000 copies) from the Publisher - Sarana Daya Media, PT. All rights reserved. No part of this publication, including photos and ilustration may be reproduced, store in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise, without prior written consent of the Publisher.
Find us on Facebook | www.facebook.com/PortalHR Facebook is a registered trademark of Facebook, Inc Twitter | www.twitter.com/PortalHR Twitter is a registered trademark of Twitter, Inc
part1
Peran Pelatihan:
Bagian dari Sistem Organisasi atau Hanya Pelengkap Saja? Hora Tjitra & Kristina Aryanti
04
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
“Great teams do not come ready made. They need to be developed through continuous and relevant training” (Bentley, 2011)
PERKEMBANGAN pesat dalam teknologi baru, pengetahuan, dan globalisasi mengakibatkan perubahan besar dalam organisasi masa kini. Preffer & Upton (Nguyen & Buyens, 2008) menyimpulkan bahwa kesuksesan dalam dunia yang semakin kompetitif tidak lagi ditentukan oleh sumber daya fisik, melainkan oleh sumber daya manusia (SDM). Tanpa pelatihan, tentunya kebutuhan organisasi akan sumber daya manusia yang berkualitas - baik saat ini maupun di masa depan – sulit dipenuhi karena terjadi skills gap, yang merujuk pada perbedaan signifikan antara kemampuan organisasi saat ini dan keahlian yang dibutuhkannya untuk mencapai tujuan. Skills gap merupakan titik di mana organisasi tidak lagi dapat tumbuh atau berkompetisi karena tidak dapat mengisi pekerjaan penting dengan karyawan yang memiliki pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang tepat.
Peranan pelatihan dalam perusahaan telah disadari oleh para pemegang posisi manajerial maupun oleh perusahaan itu sendiri. Office Team Survey menemukan bahwa 45% dari 500 Manajer HR di perusahaan dengan karyawan yang berjumlah 20 orang atau lebih mengekspresikan perhatiannya terhadap pelatihan dan pengembangan (“HR Experts”, 2010). Dalam survei lain yang dilakukan FMI Corp. terhadap lebih dari 4.000 perusahaan konstruksi di US untuk mengetahui kebijakan
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
05
part1
mereka mengenai pelatihan, ditemukan bahwa 81% perusahaan menyiapkan budget tahunan untuk aktivitas pelatihan, meskipun resesi memaksa 73% dari mereka untuk mengurangi dana tersebut (Sisk, 2011). Karyawan pun menganggap bahwa pelatihan berperan penting untuk membantu kesuksesan karir mereka. Dalam survei yang dilakukan oleh Accenture terhadap lebih dari 3.400 profesional di 29 negara, lebih dari 50% responden mau berusaha untuk mengembangkan pengetahuan atau keahlian untuk mencapai tujuan karirnya (“Survei : Pria dan Wanita”, 2011). Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimana peran ideal pelatihan dalam organisasi masa kini? Dunia yang berubah dengan cepat membuat pelaksanaan pelatihan untuk memenuhi kewajiban tidak cukup lagi. Pelatihan seharusnya dipandang sebagai sebuah sistem, di mana organisasi melakukan usaha terencana untuk mengintegrasikan komitmen organisasi, strategi perusahaan, serta budget dan investasi terhadap pengetahuan dan keahlian yang diperlukan karyawan agar dapat menyelesaikan pekerjaan (Sung, 2003 ; Noe, 2008). Agar sistem pelatihan dapat memberikan sumbangan kepada kesuksesan perusahaan, perlu dipastikan bahwa tujuan pelatihan dan pembelajaran sejalan dengan tujuan perusahaan, di mana analisa kebutuhan pelatihan berada dalam
06
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
konteks tujuan organisasi itu sendiri. Jika tidak, maka hasilnya adalah penyia–nyiaan sumberdaya serta kebingungan karena pelatihan memiliki tujuan yang berbeda dengan organisasi. Selain itu, agar sistem pelatihan dapat berhasil, maka semua karyawan, manajer, trainer profesional, dan manajemen atas harus ikut berkomitmen. Hal tersebut akan mempengaruhi seberapa sering dan seberapa baik sistem pelatihan yang ada digunakan. Jika para manajer tidak terlibat dalam proses pelatihan (misalnya menentukan topik pelatihan dan ikut serta sebagai trainer), pelatihan dapat menjadi tidak sesuai dengan kebutuhan bisnis. Sebagai hasilnya, dampak pelatihan dalam membantu perusahaan menjadi terbatas, karena manajer hanya merasa bahwa pelatihan dipaksakan kepada mereka, dan bukan untuk membantu mencapai tujuan bisnis yang diinginkan.
Dalam sistem pelatihan, aspek administratif dan non-administratif memiliki peran yang sama pentingnya untuk menghasilkan business impact. Tjitra & Zheng (2009) mengusulkan proses model untuk system Learning, Training dan Development dalam organisasi:
Gambar 1. Proses kunci untuk Training Operational Excellence (Tjitra, 2009)
Proses dasar administratif bertujuan untuk mengkoordinasikan pihak internal (karyawan dan manajemen) serta eksternal (trainer, konsultan, hotel, dsb) agar menghasilkan pelatihan yang efektif dan efisien. Dalam analisa kebutuhan, perlu diperhatikan apakah pelatihan merupakan solusi
yang tepat untuk masalah yang dihadapi? Proses kedua, yakni analisa kebutuhan (instrumen yang digunakan, sumber data dan kerangka analisa) juga perlu dilakukan dengan tepat agar desain pelatihan yang dirancang benarbenar dapat mewakili kebutuhan.
Aspek non-administratif bertujuan untuk meningkatkan komitmen terhadap pelatihan, dan dibagi menjadi aspek ‘beyond the training’ (sebelum dan sesudah pelatihan) serta ‘demonstrating value contribution’. Pada aspek ‘beyond the training’ - sebelum pelatihan, pemberian informasi/ marketing mengenai pelatihan serta seleksi para peserta dan pengukuran tingkat kemampuan sebelum pelatihan merupakan hal yang penting; sementara sesudah pelatihan, perlu adanya perhatian ekstra terhadap lingkungan kerja, pengembangan organisasi, motivasi dan penghargaan, serta keterlibatan manajemen agar pelatihan dapat diimplementasikan dan menghasilkan peningkatan yang permanen. Pada ‘demonstrating value contribution’, menekankan perlunya HR untuk mendemonstrasikan hasil dan impact daripada investasi yang dilakukan dalam kegiatankegiatan Learning, Training and Development. Hal ini dilakukan melalui evaluasi secara sistematik terhadap pelatihan yang telah dijalankan. Evaluasi pelatihan merujuk pada proses yang
dilakukan untuk mengumpulkan hasil atau kriteria khusus yang diperlukan agar dapat diketahui apakah pelatihan sudah efektif dan keuntungan telah diperoleh (Noe, 2008). Tujuannya adalah untuk meningkatkan komitmen organisasi terhadap pelatihan serta melakukan perbaikan terus menerus. Tahapan evaluasi pelatihan yang paling sering digunakan adalah pendapat dari Donald L. Kirkpatrick.
Tahap Reaksi digunakan untuk menentukan “seberapa peserta menyukai program pelatihan tertentu”. Tahap ini dilakukan setelah pelatihan selesai diberikan, dan biasanya dilakukan untuk mengukur reaksi peserta terhadap pelaksanaan pelatihan. Tahap kedua, yaitu Tahap Belajar, biasanya dilakukan pada jam terakhir pelatihan. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat perubahan sikap, keahlian, pengetahuan, atau kombinasi dari beberapa faktor tersebut dari peserta pelatihan. Asumsi dasarnya adalah jika peserta tidak memahami isi pelatihan yang diberikan, maka ia tidak dapat melakukan perubahan dalam kinerjanya.
Tahap Perilaku ditujukan untuk mengukur implementasi pelatihan dalam pekerjaan sehari-hari peserta pelatihan. Evaluasi biasanya dilakukan dalam
jangka waktu 3-6 bulan setelah pelaksanaan pelatihan, agar peserta pelatihan memiliki kesempatan untuk mempraktekkan apa yang mereka pelajari. Tahap terakhir, yaitu Tahap Hasil, bertujuan untuk melihat apakah pelatihan dapat memenuhi tujuan organisasi atau bisnis, yang meliputi aspek cost savings, peningkatan produktivitas dan sebagainya.
Hasil survey terhadap perusahaanperusahan multinational di China yang dilakukan oleh Tjitra & Associates (Tjitra, Verlinden & Weiss, 2010) menunjukkan bahwa Learning, Training and Development yang berdampak positive terhadap bisnis, tidak harus dilakukan dengan investasi yang besar. Tetapi lebih terhadap profesionalisme dan kreativitas dari pada HR dalam organisasi, di samping dukungan dari top management dan budaya organisasi yang ada terhadap proses pembelajaran dan pengembangan. Bagaimana peran pelatihan di organisasi Anda? *) Prof. Dr. Hora Tjitra: Executive Director di Tjitra & Associates Consulting dan Associate Professor for Applied Psychology di Zhejiang University, Hangzhou-China. | @ htjitra
*) Kristina Aryanti, M.Psi, Psikolog: Project Coordinator & Associate Consultant di Tjitra & associates Consulting. | @Glob_Indonesian
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
07
part1
Landasan
Training
Borderless di Era
Dr. Beni Bevly, Silicon Valley
08
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
DENGAN diterbitkan buku Thomas Friedman berjudul “The World Is Flat: A Brief History of The Twenty-First Century” pada tahun 2005 yang menghebohkan dan melihat bahwa dunia ini menjadi rata seperti lapangan sepak bola di mana setiap pemain dalam dunia bisnis berdiri sama rata dan saling bertatapan, maka semakin tersadarlah bahwa dunia ini semakin tanpa batas (borderless). Ide ini memang secara fisik agaknya berlebihan.
Bukankah bumi masih tetap bulat, dan setiap negara masih memiliki tapal batas? Tentu saja pengertian yang saya maksud adalah melebihi sifat fisik, tetapi saya melihat hal ini dari segi interaksi yang tercipta karena kolaborasi, konvensi antar negara dan perkembangan teknologi informasi yang menghubungkan setiap orang. Efek dari interaksi seperti ini dalam bidang bisnis tentu saja akan timbul persaingan yang pada tingkat tertentu akan memperlihatkan apa dan bagaimana keahlian yang dimiliki masing-masing pihak untuk merebut pasar. Untuk itu bagaimanakah mempersenjatai para professional ini supaya menjadi pemenang dalam interaksi tersebut? Landasan training seperti apakah yang perlu diterapkan.
Untuk para professional yang berada di Indonesia, interaksi bisnis di era borderless ini akan semakin terasa pada tahun 2015. Mengapa? Karena negara-negara yang tergabung di The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan yang sudah menandatangai ASEAN Free Trade Area (AFTA) sedang mempersiapkan diri untuk menghapuskan semua biaya masuk dari semua produk impor terhitung tahun 2015 yang dengan demikian interaksi borderless akan semakin meningkat. Melihat keadaan ini, professional Indonesia semakin perlu dilatih dengan metode tertentu agar mampu bersaing dalam era yang borderless ini.
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
09
part1
Inti dari metode training, baik itu technical ataupun soft skills training yang akan diberikan kepada para professional Indonesia adalah lebih baik berlandaskan pada Teori Kognitif yang menjurus pada penerapan Pygmalion Effect dan menghindari Golem Effect. Training yang berlandaskan teori ini akan memacu rasa percaya diri dan meningkatkan self-efficacy. Seorang conitivist, sesuai dengan Teori Kognitif memfokuskan pada pemikiran individu yang akan menentukan emosi, perilaku dan personality individu tersebut. Penganut teori ini yakin bahwa tanpa proses berpikir seperti ini, manusia tidak akan punya emosi dan tidak akan ada tingkah laku dan maka itu, manusia tidak akan berfungsi. Dengan kata lain, pemikiran terjadi dahulu sebelum perasaan dan setiap tindakan. Premis dasar dari teori kognitif adalah melihat bahwa gelas setengah penuh daripada melihat ia setengah kosong (the glass as half full rather than half empty). Bagaimanakah teori kognitif ini bisa diterapkan dalam suatu training? Apakah kaitannya dengan Pygmalion dan Golem Effect?
Sebelum memulai suatu proses training, agaknya lumrah jika seorang trainer bertanya, pertama, apakah seorang trainer harus menetapkan tujuan yang jelas untuk muridnya atau cukup katakan pada mereka untuk belajar dengan sebaik mungkin. Kedua, apakah trainer harus menunjukkan secara explisit reward apa yang akan diperoleh jika muridnya mencapai target dalam pembelajarannya, atau trainer tersebut cukup hanya menyebutkan bahwa mereka akan mendapatkan reward jika mereka berhasil mencapai target.
10
Untuk menjawab ini, sudah bisa diduga bahwa sistem yang bisa dipakai dan formal adalah memotivasi peserta training
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Teori the Pygmalion Effect diilhami oleh legenda mengenai seorang tukang emas yang bernama Pygmalion yang berasal dari negara Cyprus yang membuat satu patung wanita yang begitu cantiknya sehingga ia jatuh cinta padanya. Ia berdoa terhadap Dewi Venus agar patung itu bisa hidup. Ternyata doanya dikabulkan dan akhirnya Pygmalion menikahi patung yang hidup ini. dengan menerapkan sistem goal setting. Goal setting ini dirancang sedemikian rupa sehingga setiap peserta training bisa melihat secara jelas dan sistimatis bagaimana cara mencapai tujuan dari suatu training dan apa manfaat atau rewardnya bagi mereka. Loke dan Latham dalam “Work Motivation and Satisfaction: Light at the End of the Tunnel.” Psychological Science, 1990, melihat bahwa tujuan (goal) adalah faktor yang paling kuat untuk menentukan tingkat pelaksanaan tugas seorang individu. Tujuan berfungsi untuk mengarahkan perhatian, memobilisasi usaha (effort), membantu orang untuk menentukan strategi dalam mencapai tujuan, dan membantu orang untuk tetap meneruskan usaha hingga tujuan tersebut dicapai. Goal setting ini pada akhirnya akan menuju terciptanya tujuan yang lebih tinggi. Penerapan Teori Kognitif dengan menentukan tujuan yang akan dicapai oleh satu atau sekelompok pelajar akan menjadi lebih efektif jika seorang trainer bisa mengkombinasikannya dengan penerapan teori the Pygmalion Effect dan the Golem Effect. Mengapa demikian? Ternyata hasil riset menunjukkan bahwa penerapan kedua teori ini bisa merupakan self-fulfilling prophecy bagi peserta didik dalam mencapai atau tidak mencapai tujuan.
Apakah teori the Pygmalion Effect dan the Golem Effect? Robert Rosenthal yang lahir di Jerman pada tahun 1933 dan menjadi Distinguished Professor of Psychology di the University of California, Riverside melakukan penelitian di sebuah sekolah dasar (SD) di Amerika Serikat (AS). Ia menemukan bahwa prinsip dasar the Pygmalion Effect akan terjadi atau terwujud jika seorang trainer dalam hal ini guru SD mengartikulasikan harapan yang tinggi terhadap muridnya. Hal yang serupa juga terjadi pada the Golem Effect. Riset ini menyarankan bahwa jika seorang trainer mau memperbaiki performance muridnya maka ia harus menentukan target atau tujuan yang lebih tinggi, tetapi masih bisa dicapai, menunjukkan kepercayaan dan dukungan pada peserta didik untuk menyelesaikan pekerjaannya supaya tujuan tercapai. Teori the Pygmalion Effect diilhami oleh legenda mengenai seorang tukang emas yang bernama Pygmalion yang berasal dari negara Cyprus yang membuat satu patung wanita yang begitu cantiknya sehingga ia jatuh cinta padanya. Ia berdoa terhadap Dewi Venus agar patung itu bisa hidup. Ternyata doanya dikabulkan dan akhirnya Pygmalion menikahi patung yang hidup ini. Dalam studinya yang terkenal di sebuah sekolah dasar, Rosenthal
menciptakan suatu kondisi di mana para guru percaya bahwa muridmurid tertentu dalam kelasnya telah teridentifikasi sebagai “intellectual bloomers” yaitu muridmurid yang akan menunjukkan pertumbuhan intelektual yang luar biasa dalam tahun pelajarannya. Pada kenyataannya, mereka adalah murid yang secara random, bukan karena kepintaran dan bakatnya, ditentukan sebagai intellectual bloomer, tetapi pada akhir tahun pelajarannya murid-murid ini menunjukkan pencapaian akademik yang lebih tinggi dari yang lainnya.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena guru-guru mereka percaya terhadap kepintaran mereka. Ternyata karena kepercayaan ini telah membuat guru-guru ini secara tidak sadar memberikan perhatian, feedback, dan kesempatan belajar yang lebih positif pada mereka. Singkatnya, guru-guru ini mampu mengkomunikasikan harapan kesuksesan akademik mereka secara nonverbal. Sebaliknya, jika trainer menanamkan harapan yang negatif bahwa peserta didiknya akan gagal dalam pendidikannya maka prestasi mereka akan menurun. Kondisi seperti inilah yang dinamakan the Golem Effect. Serupa dengan Pygmalion dalam the Pygmalion Effect, Golem dalam the Golem Effect juga diangkat dari suatu legenda yang mengartikan Golem sebagai suatu benda yang terdiri dari bahan-bahan mati yang dibentuk untuk meniru rupa manusia secara kasar. Pada abad ke 16 Judah Loew ben Bezalel sebagai kepala pendeta Prague menciptakan dan menghidupkan Golem untuk melindungi rakyat Prague dari serangan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Rudolf II, Kaisar Agung Romawi. Ternyata Golem tumbuh semakin besar dan kuat, dan tak terkendalikan. Ia membunuh siapa
saja, bahkan termasuk rakyat Prague yang semestinya ia lindungi. Akhirnya Judah Loew terpaksa menamatkan riwayat Golem dengan cara menghapus kata “emet” yang berarti “realita” di jidat makhluk itu dan meninggalkan kata “met” yang berarti “mati”. Dalam penelitian selanjutnya oleh Davidson dan Eden menunjukkan adanya dua jenis the Golem Effect yaitu absolut dan relatif.
Pertama, the Absolute Golem Effect terjadi jika individu yang teridentifikasi sebagai lapisan bawah dari suatu group memang tidak qualified untuk ukuran tingkat keterampilan atau keahlian ratarata di group itu, maka individuindividu ini akan memperlihatkan prestasi yang buruk. Kedua, dalam the Relative Golem Effect, yaitu bahwa semua individu sebenarnya mempunyai kualifikasi keterampilan dan keahlian sesuai dengan standar suatu group, tetapi karena penanaman harapan yang rendah dan menganggap usaha mereka akan gagal, maka the Golem Effect ini secara potensial akan mampu menurunkan prestasi dari individu, termasuk yang mempunyai keahlian tertinggi di group itu. Sebagai seorang trainer yang bertujuan untuk mendidik pesertanya mencapai tujuan training maka ia harus bisa menerapkan Teori Kognitif dan the Pygmalion Effect ini dengan efektif. Cara yang bisa dilakukan diantaranya dengan menerapkan goal setting dan yang lain adalah:
Pertama, mengkomunikasikan, memperlakukan dan menanamkan harapan bahwa semua peserta training mempunyai potensi dan kemampuan yang tinggi untuk belajar, memecahkan masalah dan mencapai tujuan training ini. Jika ternyata mereka mengalami kesulitan mengerjakan tugasnya, mereka perlu disupport dan
dimotivasi secara positif.
Kedua, memberikan waktu yang cukup. Seorang trainer perlu menyusun jadwal training yang tepat sehingga ketika ia menugaskan peserta training untuk menyelesaikan sesuatu, terutama tugas yang termasuk cukup asing, maka mereka memiliki waktu yang cukup untuk mengenal, mempelajari dan menyelesaikan tugas mereka. Ketiga, melakukan follow up. Follow up yang dilakukan bisa berupa pertanyaan apakah ada hambatan dalam pelajaran atau tugas peserta training dan jika ya, sebagai seorang trainer, ia perlu membantu. Follow up ini dilakukan dengan mengarahkan dan memberi tahu bahwa sebenarnya muridnyalah yang mengerjakan dan memecahkan masalah dengan kemampuan mereka. Keempat, selalu positif. Selalu menunjukkan sikap positif dan dan keyakinan yang tulus akan kemampuan peserta didik mereka adalah kunci untuk menerapkan the Pygmalion Effect. Sikap ini akan menimbulkan rasa percaya diri mereka untuk mengerjakan tugasnya dengan tuntas dan mencapai tujuan.
Dengan penerapan Teori Kognitif, the Pygmalion dan the Golem Effect, dan tahu cara menerapkannya, maka setiap peserta didik diharapkan akan menyerap semua ilmu yang diajarkan dalam suatu training sehingga mereka akan mampu bersaing di era borderless dan menjadi pemenang! (Dr. Beni Bevly, pembicara di talkshow bisnis radio PAS FM, business trainer, consultant, cofounder d’Academy dan author yang bermukim di Silicon Valley. Ia bisa dihubungi di
[email protected], BeniBevly.com atau di Facebook dan Twitter: @benibevly) HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
11
part1
! Duni a Tra i ning Menjawab
Tantangan Perubahan Meisia Chandra
ANGIN perubahan telah berhembus kencang, menyusup memasuki jendela-jendela ruang-ruang training di seluruh dunia. Hal-hal yang selama ini kita kenal dalam dunia learning and development dalam korporasi harus didefinisikan ulang. Business as usual harus diruntuhkan. Banyak hal telah berubah, dan penggiat dunia training pun tidak bisa melakukan apa yang mereka lakukan dengan cara yang sama lagi.
12
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Angin perubahan itu terasa sekali dalam konferensi ASTD-STADA Asia Pasific yang berlangsung akhir Oktober hingga awal November yang lalu. Berdiri di Marina Bay Sands Singapura tempat berlangsungnya konferensi 3 hari itu, Anda bisa merasakan gairah dan semangat dalam menghadapi perubahan itu. Setidaknya ada 3 tren besar yang saya garis bawahi, yang menjadi issue utama dalam pembahasan berbagai sesi dalam konferensi ini: 1. Perkembangan Teknologi 2. Globalisasi 3. Generation Gap Perkembangan Teknologi --- Perkembangan teknologi, khususnya di era digital ini melahirkan banyak perubahan. Segalanya bergerak lebih cepat, lahirnya budaya saling terkoneksi, pesatnya perkembangan peralatan mobile yang membuat individu sangat mudah saling terhubung, untuk menyebut beberapa perubahan yang efeknya akan merambah juga pada dunia training. Pesatnya perkembangan social media juga telah mengubah
perilaku user, perilaku learner (pembelajar). Pembelajar kini bisa mendapatkan sumber pengetahuan tidak lagi dari sumber-sumber tradisional, seperti guru dan ruang kelas. Dengan perkembangan teknologi, pembelajar bisa mendapatkan ilmu dari mana saja, di samudera digital yang maha luas ini. Bahkan sumber pengetahuan tidak lagi melulu orang-orang yang dulu kita kenal sebagai expert/pakar saja. Dengan kekayaan dan saling malang-melintangnya informasi di jagat yang maha luas ini, setiap orang berpotensi menjadi guru/penasihat bagi kita. Setiap orang memiliki sesuatu yang dapat dibagikan dan dapat berharga bagi orang lain.
Hal ini antara lain diketengahkan oleh Dennis Brennan dari McDonalds. Perusahaan makanan cepat saji yang mendunia itu telah menerapkan apa yang mereka sebut Mentoring 5D di mana setiap orang dapat menjadi mentor apabila ada yang memerlukan. Hal ini salah satunya untuk menjawab kebutuhan belajar di era yang serba cepat ini.
Pada sesi yang lain Christoper Pirie dari Microsoft menyorot perkembangbiakan peralatan komputer yang super cepat, di mana saat ini sangat mudah ditemukan peralatan komputer di mana-mana, mulai dari ponsel, kamera, dan peralatan lainnya.
Selain itu, dengan kemampuan cloud computing yang dapat mengolah data dalam skala besar, kini tidak ada lagi kendala untuk terhubung secara lebih bermakna dengan rekan/kolega yang berada di bagian dunia yang lain. Tren ini membuat seseorang bisa belajar dari sumber yang berjarak ribuan kilometer jauhnya serta dengan zona waktu yang berbeda. Chris mencontohkan Khan Academy yang mendapat pendanaan dari Gates Foundation sebagai contoh belajar di masa kini. Khan Academy menyediakan lebih dari 3.000 video pelajaran yang dapat diakses secara gratis melalui web.
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
13
part1
Dengan sifat era ini yang sangat terbuka maka setiap orang dapat berpartisipasi dan juga tidak diperlukan biaya yang mahal. Di sisi lain hal ini juga berarti kompetisi yang dihadapi seorang trainer sekarang adalah kompetisi global. Globalisasi --- Globalisasi juga menjadi issue besar, dunia yang semakin terhubung membuat bisnis menjalar lebih luas dari batasan-batasan negara. Negaranegara Asia ingin merangsek ke pasar global, negara-negara Eropa melirik pasar Asia sebagai pasar yang sedang seksi-seksinya.
Globalisasi membawa bersamanya banyak issue terkait, seperti diversity, perbedaan budaya,
14
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
dan bahasa. Ini adalah studi yang sangat menarik dan tak ada habisnya. Para pembelajar pun dihadapkan pada tuntutan kompetensi baru, salah satunya: memiliki global mindset.
Salah satu temuan menarik dari riset yang dilakukan Cegos Asia Pacific yang disampaikan pada saat ASAP Conference itu adalah meningkatnya minat terhadap pelatihan bahasa. Hal ini secara spesifik ditemukan pada responden dari Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan.
Laporan riset itu menyebut adanya beberapa alasan terhadap peningkatan yang dramatis pada investasi di bidang pelatihan bahasa. Misalnya, karena perekonomian Jepang dan Korea Selatan yang menurun, mereka berusaha berkompetisi lebih baik secara internasional, mengintegrasikan talenttalent baru dan berkomunikasi lebih fleksibel dengan dunia luar. Pada kasus Indonesia, laporan itu menyebut, sebagai negara yang ekonominya berkembang paling pesat di wilayahnya, peningkatan investasi pada pelatihan bahasa ini menunjukkan kesadaran Indonesia tentang pentingnya perdagangan internasional dan pentingnya dapat berkomunikasi lintas batas dengan lebih baik.
Generation Gap --- Dunia training juga menghadapi jurang yang menganga antara satu generasi dengan generasi yang lain di tempat kerja. Setiap generasi mempunyai karakteristik dan kebutuhan yang berbeda, tidak terkecuali dalam hal belajar. Salah satu pembicara yang mengetengahkan hal ini adalah Sally Chew dari Temasek Polytechnic. Mengutip buku “Generation iY: Our Last Chance to Save Their Future” karangan Tim Elmore (2010) Sally menjelaskan perbedaan karakteristik dari masing-masing generasi tersebut. (Lihat tabel) Perbedaan generasi ini juga melahirkan tantangan untuk membuat reward system yang berbeda-beda bagi masing-masing
generasi.
VUCA Istilah VUCA juga tidak ketinggalan muncul dalam konferensi ini, istilah yang mulai sering terdengar di seminar-seminar. VUCA adalah akronim yang dengan tepat melukiskan dunia saat ini yang volatile, uncertain, complex, dan ambiguous. Secara lebih detil VUCA dijabarkan di bawah ini: _ Volatility: the nature and dynamics of change; the nature and speed of change forces and change catalysts _ Uncertainty: the lack of predictability; the prospects for surprise _ Complexity: the multiplex of forces, the confounding of issues and the chaos and confusion that surround an organization
_ Ambiguity: the haziness of reality, the potential for misreads, and the mixed meanings of conditions; cause-and-effect confusion Arus perkembangan teknologi, globalisasi, dan munculnya generasi baru dengan segala kompleksitasnya, turut mendukung kondisi VUCA. Setidaknya 3 tren besar inilah yang akan terusmenerus mendorong perubahan yang menjadi tantangan dunia traning saat ini. Angin perubahan itu berderakderak bunyinya, siap mengempas siapa saja yang menghalangi jalannya. Sudah siapkah kita menghadapi perubahan ini? (Meisia Chandra, Editor in Chief PortalHR.com. Twitter @mei168)
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
15
part1
Daris Rahman
16
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
UNGKAPAN di atas disampaikan oleh Kenosuke Matsushita, pendiri Matsushita Electric, sebuah perusahaan elektronik terkenal di Jepang. Bisnis dijalankan oleh manusia, kalau karyawan tidak mendapatkan edukasi yang baik, kalau karyawan tidak tumbuh, maka bisnis tidak akan bisa menuai kesuksesan. Bukan hanya Matsushita Electric yang memberikan perhatian terhadap pengembangan karyawan, boleh dikata hampir semua perusahaan yang sukses di bidangnya memiliki perhatian yang penting terhadap pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Tengoklah Toyota dan General Electric (GE). Mereka sama-sama menjadi legenda di negaranya. Toyota menjadi legenda Jepang, dan GE menjadi legenda Amerika. Toyota maupun GE menjadi perusahaan yang sangat disegani baik pengalaman praktisnya maupun kinerjanya. Toyota berusia lebih dari 50 tahun. GE berusia lebih dari 100 tahun. Keduanya merupakan perusahaan yang sangat terhormat karena reputasinya. Kisahnya menjadi kasus bisnis yang diajarkan di sekolah bisnis, bukubuku tentang praktek manajemen menjadi best seller, dan menjadi perbincangan di kalangan praktisi dan akademisi bisnis.
Baik Toyota maupun GE memiliki kinerja yang sangat bagus dibandingkan dengan perusahaan lain di industrinya. Selain itu, perusahaan tersebut mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap orang dan proses (people and process). Dalam pengembangan karyawan dan pemimpinnya Toyota memiliki Toyota University, dan GE memiliki GE Management Development Center (GE MDI). Boleh dikata seluruh pemimpin bisnis di perusahaan tersebut pernah mengenyam dan mengisi pembelajaran di masing-masing pusat pelatihan tersebut. Baik Toyota maupun GE memiliki praktek bisnis yang menjadi benchmark dan best practice bagi industrinya, seperti Six Sigma, Workout, Innovation, Toyota Production System (TPS), TQM/TQC, QCC.
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
17
part1
Bukan hanya Toyota dan GE saja yang memiliki perhatian serius terhadap pengembangan karyawan dan para kader pemimpin. Di Indonesia, perusahaan seperti Astra misalnya juga memberikan perhatian terhadap pengembangan karyawan dan para kader pemimpin. Astra memiliki Astra Management Development Institute (AMDI). Di AMDI para kader pimpinan mulai dari Officer sampai General Manager bahkan para Eksekutif diberikan edukasi. Sementara untuk pengembangan teknikal dan fungsional tanggungjawab pengembangan karyawan diberikan kepada setiap kelompok bisnis atau anak perusahaan. Komitmen para pendiri dan pemimpin puncak perusahaan memiliki pengaruh yang penting terhadap program pengembangan karyawan dan kader pimpinan. Ada kesamaan yang dimiliki oleh para pendiri maupun pemimpin
puncak. Pada umumnya mereka memiliki visi jangka panjang yang kuat. Demikian juga pendiri Astra, Om William Soeryadjaya juga memiliki visi yang sangat kuat, bahkan saat sekolah bisnis di Indonesia belum berkembang Astra sudah mengirimkan para Eksekutifnya untuk belajar ke INSEAD, para general manager-nya diberikan pendidikan oleh Asian Institute of Management (AIM). Sebagaimana Toyota dan GE, para pemimpin Astra dikembangan dan ditumbuhkan dari dalam. Om William termasuk salah satu konglomerat yang menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern.
Dalam membangun program pengembangan, perusahaan perlu menyesuaikan dengan kebutuhan dan fase perkembangannya masingmasing. Oleh karena itu program pengembangan yang sukses di suatu perusahaan tidak dengan
Perusahaan yang sudah matang misalnya, programnya dituntut untuk bisa memantik para kader pemimpin untuk bisa keluar dari zona nyaman, agar bisa terus melakukan inovasi dan pembaruan untuk menjaga pertumbuhan. Sementara perusahaan yang masih dalam tahap pertumbuhan programnya sebaiknya disesuaikan agar materinya memberikan bekal kepada para pimpinan agar memperkuat bangunan fundamental perusahaan. Di sinilah peran penting penanggung-jawab pengembangan. 18
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
serta merta bisa ditiru dengan cara ‘copy and paste’ oleh perusahaan lain. Perusahaan yang sudah matang misalnya, programnya dituntut untuk bisa memantik para kader pemimpin untuk bisa keluar dari zona nyaman, agar bisa terus melakukan inovasi dan pembaruan untuk menjaga pertumbuhan. Sementara perusahaan yang masih dalam tahap pertumbuhan programnya sebaiknya disesuaikan agar materinya memberikan bekal kepada para pimpinan agar memperkuat bangunan fundamental perusahaan. Di sinilah peran penting penanggung-jawab pengembangan. Untuk menyesuaikan agar program pengembangan dengan fase perkembangan perusahaan, maka lembaga pengembangan perlu dijadikan sebagai agen perubahan untuk mengkomunikasikan visi, misi, strategi, inisiatif dan budaya perusahaan. Tujuannya adalah agar setiap program yang ada selalu selaras dan sejalan dengan pergerakan perusahaan dan relevan dengan kebutuhan. Program pengembangan bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan melalui pelatihan (training) maupun dengan melalui pendidikan (education). Pelatihan bisa dibagi menjadi 2 kategori yaitu pelatihan di tempat kerja (on the job training) dan pelatihan di luar tempat kerja (off the job training). Pelatihan pada umumnya difokuskan untuk meningkatkan ketrampilan untuk menangani tugas-tugas saat ini, sedangkan pendidikan difokuskan untuk memberikan wawasan dan pengetahuan baru untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Dengan on the job training, para karyawan akan mengalami pelatihan nyata di tempat kerja
+
Pengembangan Kader Pimpinan Triputra Group
Selepas menjabat CEO Astra, Teddy Permadi Rachmat mendirikan Triputra Group. Karyawan Triputra Group biasa memanggilnya dengan sebutan Pak Teddy atau Pak TPR sesuai dengan inisial namanya. Sebagai CEO yang sukses membesarkan bisnis Astra dan meletakkan landasan yang kuat untuk pengembangan sumber daya manusia, Teddy sering mendapatkan penghargaan baik untuk dirinya maupun mewakili institusinya. Saat ini Triputra Group memiliki empat kelompok bisnis, yaitu bidang manufaktur, pertambangan, agribisnis, dan perdagangan & layanan. Untuk bisa berkembang dan tumbuh kuat seperti Toyota dan GE, Triputra Group memandang perlu memiliki pusat pelatihan untuk para kader pimpinan. Oleh karena itulah Triputra mendirikan Triputra Excellence Center (TREC). Suatu ketika kelak, seluruh pemimpin Triputra Group diharapkan pernah mengenyam pendidikan di TREC. Sebagai sekolah para pemimpin dan kader pemimpin maka gurunya adalah juga para pemimpin. Oleh karena itu TREC melibatkan para pimpinan di setiap tingkatan untuk terlibat aktif dalam proses pelatihan dan pendidikan. Mereka aktif sebagai fasilitator, mentor, dan guru. Jabatan mereka adalah Supervisor, Manager, General Manager, Director, dan CEO. Mereka berasal dari berbagai anak perusahaan yang disebut subsidiary company (subco). Dengan demikian konsep “leaders create leaders” akan yang sesungguhnya. Atasan langsung adalah pelatih dan evaluator utama on the job training. Untuk off the job training para peserta sementara akan keluar dari tempat kerja dan dikirim masuk untuk belajar di kelas. Pelatihnya bisa atasan langsung, para ahli di bidangnya atau para pelatih profesional. Bisa di perusahaan bisa juga keluar perusahaan. Pada pelatihan semacam ini para peserta akan diasah kemampuan di bidangnya agar lebih terampil dan lebih mahir sesuai dengan bidangnya. Program pendidikan (education)
menjadi kenyataan. Triputra yakin bila program pengembangan pemimpin sukses, maka pertumbuhan yang berkesinambungan akan menjadi suatu keniscayaan.
Triputra sesuai dengan mottonya : “Excellence Through People and Process” terus berkomitmen
pada umumnya diperuntukkan bagi para karyawan yang menduduki jabatan struktural kepemimpinan di perusahaannya. Mereka biasanya sudah menduduki atau akan mendapatkan promosikan ke jabatan yang lebih tinggi atau akan menghadapi tugas yang lebih menantang. Untuk program pendidikan ini ada yang menyebut pengembangan kepemimpinan perusahaan (leadership development program). Apapun namanya, program pengembangan yang baik perlu dijalankan agar selaras dengan pengelolaan talent (talent
management). Pengelolaan talent ini meliputi proses perekrutan, pengembangan, penempatan, penghargaan dan pemberian kompensasi dan benefit. Tujuan mengintegrasikan pengelolaan talent adalah untuk memastikan ketersediaan kader yang diperlukan di berbagai tingkatan dan fungsi yang ada dalam struktur organisasi. Pengembangan yang tidak dikaitkan dengan pengelolaan talent akan membuat program pengembangan kurang ‘greng’. Meski pengelolaan talent itu penting, namun biasanya hanya mencakup kurang dari 20%
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
19
part1
dari populasi karyawan dalam perusahaan. Jadi masih ada 80% populasi karyawan dalam perusahaan yang juga memerlukan perhatian. 20% populasi biasanya adalah penentu kebijakan, arah dan bertugas membuat perencanaan, 80% sisanya adalah pelaku langsung di lapangan yang menghasilkan produk dan layanan, berhadapan langsung dengan pelanggan dan bertugas memastikan proses berjalan lancar. Oleh karena itu mereka semuanya membutuhkan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhannya. Adalah keliru kalau hanya cukup memberikan perhatian kepada 20% populasi. Tanpa adanya keseimbangan program pengembangan akan memberikan dampak pada kinerja perusahaan. Program pengembangan tentunya tidak free of charge alias gratis. Perusahaan perlu mengalokasikan biaya yang diperlukan. Mengingat program pengembangan adalah program jangka-panjang, maka hasil dan dampaknya tidak bisa langsung bisa dilihat saat ini. Oleh karena itu perlu komitmen yang tinggi dari pimpinan puncak untuk tetap memberikan perhatian terhadap pengembangan karyawan dan kader pimpinan. Fenomena yang acap terjadi adalah saat perusahaan dalam kondisi sulit, maka anggaran pengembangan yang akan pertama dipangkas. Jika demikian perusahaan tersebut masih belum melihat karyawan sebagai aset. Persoalan bisnis bukanlah hanya persoalan hari ini, namun setiap perusahaan ingin adanya suatu pertumbuhan, laba, dan kelangsungan (GPS: growth, profit, sustainability). Kalau GPS yang diharapkan maka tidak salah kalau pengembangan karyawan dan kader pemimpin mendapatkan perhatian yang serius.
20
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
-
untuk meningkatkan program pengembangan karyawan dan proses operasi. Perusahaan menyadari bahwa pengembangan karyawan dan kader pimpinan menjadi isu yang penting bila perusahaan ingin terus tumbuh dan berkembang. Salah satu mata rantai pengembangan karyawan dan kader adalah dengan terus memberikan pelatihan yang diperlukan. Pelatihan yang baik dan terstruktur akan memberikan pembangunan mind-set (pola pikir) yang baik yang bisa diaplikasikan di perusahaan masing-masing.
Dalam suatu perlombaan pelatihan menjadi hal yang penting untuk menyiapkan “ winning team.” Sebagai tempat pelatihan Triputra, seluruh subco dapat mengirimkan karyawan dan kadernya ke Triputra Excellence Center (TREC). Latihannya bisa di masing-masing perusahaan. Ibarat pertandingan olah raga, karyawan dan kader adalah atletnya. TREC adalah pusat pelatihannya, baik untuk soft skill maupun hard skill dan budaya disiplin. Para fasilitator, mentor dan guru yang berasal dari berbagai subco adalah pelatihnya. Karyawan dan kader sebagai atlet tugasnya adalah terus berlatih mengasah ketrampilan dan intuisi untuk menjadi pemenang. Ibarat seorang atlet sprinter, mereka akan terus berlatih berlari secara rutin agar pada suatu kompetisi bisa mencapai garis finish secepat mungkin. Dalam setiap sesi latihan atlet tersebut akan terus berusaha untuk melampaui catatan waktu yang telah dibuat sebelumnya. Ia akan berlatih tanpa kenal lelah dan waktu. Hanya dengan satu tujuan, untuk menjadi pelari pertama yang mencapai garis finish!
Begitu pula dengan seorang karyawan yang ingin mencapai target yang telah ditetapkan. Ia perlu membayar harganya: mengasah keterampilan diri, memperlengkapi diri dengan pengetahuan yang up to date, dan melakukan perbaikan berkelanjutan. Seorang karyawan yang terus melatih dan mengembangkan diri akan menjadi seorang yang kompeten dalam pekerjaannya, sehingga memiliki kinerja yang tinggi. Saat ini Triputra Group terus meningkatkan jumlah pasokan kader pimpinan. Untuk itu Triputra terus mendorong setiap posisi penting di setiap subco harus ada kadernya yang siap. Ini untuk mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan bisnis Triputra Group. Untuk itu Triputra mendirikan TREC untuk menyediakan program pelatihan bagi karyawan dan kader untuk Triputra Group.
Diharapkan dengan mendirikan Triputra Excellence Center (TREC), Triputa berkomitmen untuk memberikan layanan pembelajaran dan konsultasi bagi Triputra Group. TREC bercita-cita untuk menjadi partner dan menjadi penyedia program pengembangan internal yang disegani di lingkungan bisnis di Indonesia. Untuk mencapai cita-citanya TREC tidak bisa bekerja sendiri. Bahkan keberhasilan TREC mencapai cita-citanya merupakan keberhasilan bersama Triputra Group. Sebagai salah satu kendaraan untuk belajar bagi Triputra Group, TREC terus menerus memantau dan mengembangkan program agar selalu up to date dan menjalin kerjasama dengan institusi terbaik di bidangnya. (Daris Rahman, GM Group HR/TREC)
70-20-10 Apa itu Pola
Development Plan Unilever Indonesia? Enny Sampurno
SUM satu BER da sebu unsur ya man p u orga ah pro enting sia me s d n e seri isasi. s kem alam t rupaka U n n a e berb gkali p ntuk m juan d rciptan salah i e ya e a d r n g a u ai p Sela en saha capai lam i pers n peng getahu an mem tujuan e den onalny tahuan an dari anfaatk nya, a, pe gan tiap an yan Terk mel aksa ngetahu g datan individ a d a skill ng t g da u. nak an b ters juga ha idak ha an pela isa lah ri e n r i pen but, se us dim ya satu tihan-p r gem elat hing iliki , b e Oleh ban bera ihan ga d dar . men sebab gan me ari situ i individ pa m i l j t u a a u i kesu di seb , trai liki p h seb ni er ua u kses an s ah kesa ng dan an pent h d ebu ah p tuan da evelop ing. men lam erus t m aha an. enopa ng
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
21
part1
Training dan Development Pada saat mendevelope talent, job profile dan person profile seringkali ditemukan. Yang dimaksud dengan job profile ialah suatu pekerjaan yang dituntut untuk memiliki skill dan capabilities yang diperlukan. Sedangkan person profile, adalah kemampuan seseorang pada saat ia bekerja, dari situ biasanya akan diukur gapnya dan bisa didesain suatu development plan.
Model-model Training dan development Terdapat tiga model training dan development. Pertama, on the job training yaitu bagaimana tim dididik untuk belajar sesuatu. Karena seseorang paling bisa belajar pada saat ia ditugaskan di suatu tempat, jadi mau tidak mau ia terjun langsung bagaimana cara menjalankan pekerjaan. Ibaratnya belajar sambil bekerja.
Pertama, training mengenai skill atau fungsional, maka kita akan purely melihat gap di skill yang dibutuhkan oleh seseorang untuk melakukan pekerjaannya. Jenis training yang kedua ialah leadership training, kami menyiapkan para individu untuk menjadi seorang pemimpin dan menjadi leader di tempatnya.
Sedangkan yang ketiga, ialah class training, yakni memberikan contoh pada saat menemukan ilmu baru, di mana para karyawan bisa duduk bersama untuk belajar di dalam kelas.
Di perusahaan kami, development plan menganut unsur 70% on the job, 20% coach, 10% training, itulah yang kami namakan training. Training disesuaikan dari kebutuhan masing-masing personal.
Saat di dalam leadership training, lagi-lagi lihat gapnya baru itu kita rancang training untuk leadership. Leadership macam-macam, seperti mulai dari level asisten manajer, presentation skillnya seperti apa, influencing skill, communication skill. Setelah itu naik ke manajer negosiation skillnya seperti apa.
Selanjutnya ke seven habit, bagaimana seseorang menginfluence orang lain. Sedangkan development sendiri paling impact ketika on the job training, jadi pada saat kita mendevelop people ada di dalam pekerjaan dan rotasi pekerjaannya, jadi dari satu tempat kemudian ditempatkan ke tempat lain, jadi training merupakan a part of development. Seperti itulah kami melihat sebuah training dan development.
22
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Yang kedua, coaching merupakan arahan dari atasan kepada karyawan. Jika karyawan sedang mendapat masalah atau sedang tidak memiliki ide, tugas atasan yaitu membantu mengarahkan dalam penyelesaiannya.
Pentingnya training dan development bagi perusahaan Diakui, training dan development sangatlah penting bagi perusahaan, hal tersebut memiliki tujuan untuk mempersiapkan para talent dari sisi skill agar setiap individu mampu melakukan pekerjaannya dengan pengetahuan dan kompetensi yang memadai. Tidak hanya skill, dari sisi leadership, pada saat itu juga perusahaan mempersiapkan para karyawan untuk menjadi pemimpin, dengan keahlian yang cukup untuk memimpin departemennya.
Perusahaan-perusahaan apa saja yang wajib ada bagian Training and Development dan perusahaan apa yang tidak harus ada? Semua perusahaan butuh dan harus memiliki program training dan development. Hal tersebut agar bisa me-retain orang-orang di dalamnya. Karena dunia usaha dewasa ini semakin kompetitif, jadi
skill yang dibutuhkan akan semakin berkembang dan tidak bisa diam di tempat. Oleh karena itu harus terus-menerus diberi pembekalan. Bagaimana tahapan-tahapan agar perusahaan bisa menentukan Training and Development yang pas dan cocok? Ada beberapa tahapan untuk menentukan training dan development, di antaranya perusahaan harus profiling the job dan tahu persis skill atau kompetensi apa saja yang dibutuhkan untuk melaksanakan tiap-tiap pekerjaan yang dibutuhkan. Kemudian lihat individu yang duduk di pekerjaan itu, seperti apa personal profilenya. Setelah itu bisa ditemukan ‘gap’nya, dan dari gap tersebut bisa dioperasikan, dan dibuat program.
Implementasi di perusahaan kami, dilakukan dengan cara mendevelop, yakni dengan merotate orang dari suatu tempat ke tempat lain. Tahap selanjutnya ialah dengan coaching, dan yang ketiga dengan training. Di perusahaan kami terdapat tiga macam training dan development, di antaranya leadership training, general training, dan functional training. Functional training yaitu khusus untuk skill, contohnya adalah marketing, maka kami ajarkan marketing skill, begitu juga dengan finance, HR, dan lain sebagainya. Untuk karyawan yang baru masuk, kami memiliki orientation program, di mana selama satu minggu karyawan baru diberi pengetahuan mengenai selukbeluk perusahaan. Selama itu pula, semua kepala bagian datang untuk memberikan pelatihan. Selebihnya adalah bekerja. Setelah itu kami menerapkan coaching.
(Enny Sampurno, Director of Human Resource PT Unilever Indonesia Tbk, disarikan dari sesi wawancara khusus by @friesskk)
Tinggalkan Kelas dan Embrace Your Technology! Nurul Melisa
PSY menggeser Justin Bieber di YouTube sebagai video yang paling banyak ditonton. Berita itu sontak membuat definisi “terkenal” menjadi lebih simple. Bagaimana tidak? Baru 4 bulan video Psy muncul, namun sudah dilihat sekitar 983 juta orang di dunia. Angka yang fantastis bagi penyanyi yang notabene bukan berasal dari ranah Hollywood. Bahkan gaya “gangnam style”-nya itu ikut-ikutan dicicipi Madonna, Britney Spears hingga CEO Google, Erich Schmidt.
Fenomena itu hanya salah satu dari ratusan yang sudah terjadi. Siapa di balik semua itu? Jawabannya tidak lain adalah internet. Sejak masuknya internet ke Indonesia pada tahun 1995 lalu, daya tangkap masyarakat menjadi semakin cepat. Kejadian yang baru berlangsung sepersekian detik di negara yang jauh di sana, bisa langsung kita ketahui kurang dari 1 menit. Begitu membantunya internet bagi masyarakat kita.
Jika di tahun 1998 tercatat penetrasi penggunanya baru 600 ribu, kini tercatat jumlah pengguna internet di Indonesia (Desember 2011) mencapai 55 juta orang atau peringkat ke-4 di Asia setelah Jepang, India dan China. Survey itu pun mengatakan, kebanyakan yang mengakses internet adalah remaja tanggung berusia 14-20 tahun. Mereka inilah generasi konsumtif yang haus akan informasi. Kebanyakan mereka bergantung dari society activities dan ter-distract dari minat dan interest yang sama. Generasi netter ini berkembang melalui keterbukaan jalur informasi yang bisa diakses dari mana pun dan kapan pun. Koneksi tanpa batas itu pun menjadi kekuatan pengguna internet sekaligus ancaman dari distorsi sosial yang terlanjur terjadi. Mau tidak mau, kadang kita memilih untuk menghabiskan pulsa mobile phone ketimbang membaca buku yang sudah kita beli. Skema “kecanduan” berinternet ini akan berkembang sesuai dengan infrastruktur dan
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
23
part1
kebutuhan masyarakatnya. Hal yang bisa kita lakukan adalah beradaptasi dengan viral itu. Konsistensi kita untuk menjadi learner di tengah arus teknologi informasi menjadi value added bagi internet user.
Learning di Era Pengetahuan Secara general, konsep dari Learning itu sendiri sudah bergeser. Jika di era ekonomi industri fokusnya kepada materi atau content yang dimiliki si pengajar. Kini learner-nya juga ikut andil dalam menentukan materi apa yang dibutuhkan oleh mereka. Seperti yang dikatakan Alex Denni, Senior Vice President of Human Capital Policy & Strategy Bank Mandiri, di era knowledge economy ada 3 hal mendasar yang membedakan proses pembelajaran. 1. Focus of Learning Fokus dari learning menjadi ke learner-nya. Learner-nya kini bisa menentukan sendiri mengenai apa yang dia butuhkan untuk meningkatkan kompetensinya.
2. Source of Learning Kini konsep belajar menjadi multiple source of learning, sumber pengetahuan bisa dari siapa saja. Guru bisa belajar dari muridnya, konsultan dari kliennya, atasan dari bawahannya. 3. Technology Teknologi sangat membantu memudahkan kita dalam learning. Buatlah teknologi yang utilize dan bisa dijadikan alat yang mengenable learning. Kini kita tidak lagi mengandalkan perpustakaan untuk memenuhi rasa ingin tahu. Dengan sekejap Google, Youtube, PortalBerita, dll bisa menjelaskan secara lengkap apa yang Anda tanyakan. Pemanfaatan teknologi untuk menjadi sarana belajar kian berkembang. Salah satu sistem pengajaran global yang kini sudah
24
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
live webcast ini belum begitu tenar di Indonesia. Kita masih memanfaatkan YouTube dan video ketimbang training online. mulai populer adalah webcasting. Di mana penyampaian presentasi audio atau video bisa diakses melalui internet secara live dan bersamaan. Seperti apa webcast itu?
Unlimited Source for Learning and Sharing Penyiaran yang dilakukan melalui internet atau website disebut Webcasting, karena tidak menular secara luas melalui sarana nirkabel. Jadi Anda tinggal siapkan diri Anda (beserta device Anda tentunya) dan pastikan koneksi internet saat mengakses live webcast tersebut memadai.
Pada 24 Oktober 2012 lalu, kami tergoda untuk memanfaatkan live webcast. Sekitar 60 menit PortalHR memberikan “insight” cuma-cuma dengan menghadirkan Joseph Bataona, HR Director Bank Danamon dan Nukman Lutfi selaku pakar social media secara live. Selain tamu offline, seminar dengan memanfaatkan teknologi webcast itu otomatis bisa dikuti audience di mana saja. Dengan dukungan infrastruktur jaringan yang bagus dan team webcasting yang handal, maka bukan tidak mungkin, live webcast ini akan menjadi alternatif baru untuk training dan learning.
Beberapa tweet followers kami juga ikut menanggapi. Memang selama berlangsungnya live webcast, PortalHR membuka pertanyaan melalui social media yang ada. Karena berbeda dengan webinar -yang memungkinkan audience bisa langsung memberikan feedback pada layar- webcast memiliki metode One to Many. Sehingga memerlukan online platform lain yang bisa menampung pertanyaan peserta. Untuk itu kami meng-
engange audience online melalui social media, dan itu sangat efektif.
Kami melihat beberapa keuntungan menggunakan Webcast: - Penyelenggara learning tidak perlu menyediakan tempat yang besar untuk para peserta. - Penyelenggara live webcast tidak perlu repot menyediakan konsumsi serta media kit para peserta. - Feedback dari learning seperti pertanyaan audience, dapat ditampung sebanyak-banyaknya dan ditampilkan live di social media mereka. - Peserta dari mana saja dapat ikut dalam training atau seminar dengan tidak mengeluarkan biaya terlalu besar. Pesona live webcast ini juga dirasakan karyawan Bank Danamon yang menyaksikan langsung HR Director-nya live di website PortalHR.com melalui layar lebar, ibarat nonton bareng (nobar) pertandingan sepakbola. Sensasi belajar melalui webcast memang berbeda. Selain disiarkan live, audience juga bisa merasakan terlibat dalam gaya learning masa kini. Tidak perlu takut pengajarnya akan marah saat Anda bersenda gurau, karena Anda yang menentukan kapan waktunya belajar. Sayangnya, “kehebohan” live webcast ini belum begitu tenar di Indonesia. Kita masih memanfaatkan YouTube dan video ketimbang training online. Namun mungkin Anda setuju, saat arus internet semakin kuat menyerang Anda, pilihannya hanya ikut tertarik di dalamnya atau teknologi itu yang akan mengatur Anda. (Nurul Melisa, journalist at PortalHR and HC Magazine. Twitter @nurulmelisa)
Praktisi HR pun Bicara Pentingnya
Training & Development Rudi Kuswanto
BISA DIBILANG, hampir semua orang HR akan sepakat kalau Training and Development itu hukumnya wajib. Itu kalau perusahaan atau organisasinya mau survive atau ingin memenangkan kompetisi. Berikut ini petikan pendapat dari para praktisi HR mengenai pentingnya Training and Development.
Menurut Chairul Hamdani Nawawi, Head Human Resources Management Minamas Plantation, kebutuhan akan Training and Development di organisasinya cukup mendesak. “Seiring dengan perkembangan bisnis, kami membutuhkan SDM di level manajerial yang mau turun ke kebun-kebun. Tantangannya cukup berat mengingat susah sekali mengajak anak-anak muda yang mau berkerja jauh dari keramaian,” tuturnya. Keresahan Rully, panggilan akrabnya, cukup beralasan. Bisnis inti Minamas yang mengoperasikan ribuan hektar lahan kelapa sawit, memang lebih banyak berada di kebun-kebun yang terbilang daerah pelosok. Ia berujar, “Meskipun bisnis sawit saat ini slow down, kami percaya kondisi akan kembali pulih dan trendnya justru akan naik. Persoalannya adalah bagaimana kita
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
25
part1
menyiapkan SDM-nya, dan program training and development menjadi jawabannya.”
Sementara itu Maria Kurniawati, Chief Administration Officer PT Trakindo Utama pun mengaminipendapat tersebut di atas. Maria lantas menjelaskan bahwa di Trakindo, pihaknya sedang mengupayakan transformasi dari Training menjadi Learning. Artinya pembelajaran bisa dilakukan di mana saja, jadi tidak hanya ketika di-training. Development yang terjadi dapat melalui class room training, doing project, self study, reading, dan lain sebagainya.
“Kami juga sedang berupaya menuju ke arah Corporate University yang modul-modul kurikulumnya mencakup Technical Competencies, Core Competencies dan Leadership Competencies. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memberikan pilihan pada karyawan apakah ia akan menjadi specialist di satu bidang, atau menjadi generalis. Pilihan career yang mana pun akan link pada reward yang sesuai,” tutur Maria.
Dengan tegas Maria mengatakan bahwa Training and Development sangat penting. “Kami adalah perusahaan service yang merupakan distributor tunggal alat-alat berat dari Caterpillar. Sales executive kami harus menguasai produk-produk Caterpillar, demikian juga bagian service operation kami. Semua mechanics dan technicians kami harus memiliki certification agar dapat memberikan service yang dibutuhkan oleh pelanggan. Kami memililki training centre yang sudah mendapatkan pengakuan dari Caterpillar, tidak hanya di Jakarta saja, tetapi juga di beberapa daerahdaerah di mana customers kami berada antara lain di Balikpapan, Pekanbaru, Medan, Tembagapura, dan beberapa tempat lainnya,” jelasnya.
Maria menambahkan Training and Development penting bagi perusahaan karena melalui proses learning ini terjadi development bagi setiap individu dan ini merupakan lead indicator di mana bagian HR dapat mengetahui kualitas dari sumber daya manusia yang ada di organisasi. “Jika SDM kami siap, tentunya strategy perusahaan atau pun “change behavior” yang diharapkan dapat tercapai. Kami terus berkembang, dan mulai masuk dalam kegiatan “knowledge management,” di mana kami membuat communitycommunity agar sharing knowledge dapat dilakukan
26
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
dan berdampak pada banyak pegawai,” ujarnya.
Dasar implementasi Training and Development di Trakindo, lanjut Maria, bahwa manajemen percaya bahwa setiap staff harus siap meng-antisipasi perubahan. Ia mengatakan, “Untuk itu kami ingin setiap staff memiliki lebih dari satu kompetensi. Dan untuk senior manager diharapkan dapat menjadi leader yang siap, termasuk untuk dapat menempati posisi-posisi baru.”
Di Trakindo semua unit mendapatkan perhatian untuk dapat mengembangkan karir mereka, terlebih apabila mereka adalah key talent bagi organisasi. Maria juga mengatakan bahwa komitmen manajemen dalam berinvestasi di Training and Development ini, sangatlah besar. “Misalnya, kami memiliki kerja sama dengan 10 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jurusan Alat-alat Berat. Kami mendidik mereka dan jika mereka akhirnya bekerja untuk perusahaan kami, maka menjadi tugas kami untuk terus
Semakin besar sebuah perusahaan dimungkinkan untuk memiliki unit learning and development yang sebaiknya dioptimalkan dan selaras dengan goals yang ingin dicapai oleh perusahaan.
memberikan training-training kepada mereka dalam meniti karirnya masing-masing. Setiap karyawan juga memiliki “performance development program” yang direncanakan bersama dengan masing-masing supervisor mereka. Hasil performance development program ini kemudian disampaikan ke bagian learning and deveopment untuk pemenuhannya,” papar Maria sambil menambahkan sesuai dengan misi perusahaan, Trakindo ingin menciptakan pekerjaan yang berkualitas bagi sebanyak mungkin warga Indonesia, dengan prinsip memberikan “kail” dan bukan “ikan.”
Bagi perusahaan-perusahaan yang ingin memberdayakan bagian Training and Development, Maria mengingatkan bahwa semua perusahaan pasti memerlukan service ini sebagai bagian dari divisi Human Capital. “Hanya saja memang ada yang memutuskan untuk meng-outsource service ini. Atau tanggung jawab ini secara sporadis secara tidak langsung dilakukan oleh para supervisors atau managers. Semakin besar sebuah perusahaan dimungkinkan untuk memiliki unit learning and development yang sebaiknya dioptimalkan dan selaras dengan goals yang ingin dicapai oleh perusahaan,” katanya memberikan saran. Setiap perusahaan, lanjut Maria, tentunya ingin mendapatkan “result,” di mana untuk mencapai result yang diinginkan tentunya harus ada strategy untuk mencapainya. Strategy kemudian harus dieksekusikan. Agar mudah maka ada formula yang harus disepakati, contohnya ingin menaikkan angka penjualan dari X menjadi Y. Agar menjadi lebih pasti kemudian disepakati “by when.” Jika semua sudah jelas, maka bisa dilihat kapasitas Sales Executive, bagaimana caranya agar mereka bisa menjual dari X menjadi Y. Service untuk men-develop kemampuan para Sales Executive ini yang biasanya di-deliver oleh learning and development unit.
Seperti diketahui, ada beragam model Training and Development yang bisa dipilih. Menurut Mursosan Wiguna, Corporate Human Capital Director Tudung Group ada tiga model training and development, yakni Core, Generic, dan Specific. “Yang lebih penting lagi, diperlukan komitmen dari seluruh leaders dan budaya pembelajaran dari semua karyawan. Tentang bagaimana tahapan-tahapan agar perusahaan bisa
menentukan training and development yang pas dan cocok, pertama, sesuaikan dengan arah kebijakan perusahaan, kedua, berdasarkan kebutuhan competency dasar, serta fokus pada developing Leaders and High Potential,” imbuh Mursosan. Untuk model training and development, Maria menambahkan cara lain yang layak dicoba, yakni melaui business simulation, atau On the Job Training. Sedangkan untuk menentukan mana yang pas dan cocok, Maria sepakat kalau harus disesuaikan dengan jenis bisnisnya dan juga dilakukan individual assessment untuk mengetahui tingkat kecakapan karyawan yang bersangkutan. Di samping itu, menurutnya training bisa juga dilakukan dengan memberikan certification untuk pencapaikan hal-hal yang sifatnya teknis.
Khusus masuknya Gen Y di dunia kerja, baik Maria maupun Mursosan sepakat bahwa wadah untuk treatment bagi generasi ini adalah melalui management trainee program, bisa berupa On the Job Training dan Project Assignment. “Contohnya mereka diminta untuk mengerjakan project dan mempresentasikan hasilnya di mana di dalamnya harus diutarakan solusi yang diusulkan. Pendekatan yang pas buat merancang training and development bagi Gen Y, biasanya kami gunakan melalui sarana video, initiative-initiative yang sifatnya creative serta lebih banyak menggunakan bantuan technology,” imbuh Maria.
Setelah inisitif dilakukan, pertanyaan pentingnya adalah bagaimana manajemen mengukur efektifitas program Training and Development dibandingkan dengan bujet yang sudah dikeluarkan. Untuk soal ini, Maria mengemukakan bahwa learning and development dilihat sebagai investment yang lebih banyak dikorelasikan dengan kebutuhan perusahaan dan kebutuhan karyawan dalam memberikan service kepada pelanggan. Sementara Mursosan berpendapat singkat, “Pengukuran dilakukan melalui productivity index dan RoI index.” (Rudi Kuswanto, Editor at PortalHR.com and HC Magz. Twitter @erkoes)
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
27
part1
INFOGRAPHIC
Tren Utama dalam Pelatihan dan Pengembangan Korporat Pengeluaran untuk Layanan Pelatihan Tetap Konservatif Pertumbuhan Pelatihan
2011
90%
Pasar Kerja Tetap Statis
2012
10%
Learning leaders menyatakan bahwa pelatihan internal organisasi mereka bertanggung jawab untuk pelatihan atau sumber pelatihan untuk inisiatif perubahan penting, atau akan melakukannya di masa depan.
Pasar Global untuk Jasa Pelatihan US$ 292 Miliar di tahun 2012 Pekerjaan untuk Para Profesionals di Bidang Pelatihan
+ 7%
2011
Hanya 25% percaya bahwa organisasi mereka sangat efektif dalam pelatihan atau sumber pelatihan.
2012
+ 2%
E-Learning Terus Tumbuh Pasar E-Learning Global Mencapai US $ 107 Miliar pada tahun 2015
25%
E-learning tidak untuk menggantikan pelatihan dalam kelas, namun perusahaan akan meningkatkan fokus mereka pada e-learning dan menemukan cara untuk melatih karyawan “sedikit demi sedikit.”
Bermitra dengan Provider Eksternal Learning leaders yang menemukan best practices melalui kemitraan dengan perusahaan atau individu dengan pengalaman dalam perubahan
95% 52,6%
Gamification Menjadi Momentum
>50%
Pada tahun 2015, lebih dari 50% dari organisasi yang mengelola proses inovasi akan melakukan gamification
Sosial Badging, Tool Baru untuk Recognition
95% Organisasi yang sangat efektif menerapkan inisiatif perubahan penting 52,6% Organisasi yang TIDAK terlalu efektif dalam menerapkan inisiatif perubahan penting
28
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Pelatih perlu mengetahui bahwa orang mendapat insentif dengan cara selain belajar. Dalam setting perusahaan, “Sabuk Hitam” tidak hanya ditunjukkan dari berapa banyak pelatihan yang telah diselesaikan, tetapi dari angka keberhasilan dalam mengelola proyek. Ini merupakan bentuk social badge.
Achievement Unlocked
Penggunaan Sumber Daya Eksternal
Peluncuran Platform Mobile Learning
Mobile learning diluncurkan, banyak implementasi oleh sebagian besar industri.
Menggunakan kombinasi sumber daya internal dan eksternal pada inisiatif perubahan
50,7%
17,2% dari learning leaders merencanakan implementasi mobile learning di 2012.
Tidak menggunakan sumber daya eksternal sama sekali
19,5%
Mobile learning dan peringkat social learning dengan teknologi canggih direncanakan untuk akuisisi setelah 2012.
Menerapkan sumber daya internal pada inisiatif perubahan untuk mengisi peran kunci Menerapkan sumber daya internal pada inisiatif perubahan dan tidak mengisi peran kunci kembali Menggunakan hanya sumber daya eksternal pada inisiatif perubahan
Outsourcing Tumbuh Sementara Offshoring Berkurang
Penggunaan pelatihan outsourcing sebagai strategi bisnis terus berkembang. Ada kemungkinan penggunaan pemasok eksternal akan terus tumbuh, terutama untuk penggunaan pengembangan layanan dengan konten yang disesuaikan. Pasar ini naik lebih dari 10% dari tahun lalu, dan diharapkan untuk terus tumbuh untuk beberapa waktu ke depan.
16,7% 10,9% 2,3%
Pelatihan Personalized Personalized learning sangatlah penting, dan konten harus disediakan dalam berbagai modalitas, untuk mengakomodir peserta didik dari seluruh spektrum yang luas menurut kategori usia dan geografis. Pelatih perlu untuk “mengidentitifikasi dan mengembangkan pelatihan yang adaptif, dapat langsung diubah saat itu juga, dengan mudah.”
Solusi Learning and Development yang saat ini dimiliki Web conference system, software; other… 14.2% Video training 12.8% Learning management system (LMS) 12.7% Pengembangan konten yang disesuaikan 12.6% Course authoring tools 10.9% Kurikulum e-learning yang siap pakai 9,4% Learning content management systmen (LCMS) 7.8%
Solusi Learning and Development Direncanakan untuk Akuisisi Setelah 2012
Social learning/social media 7.8%
Course authoring tools
6.6%
Simulations systems or software 7.4%
Learning management system (LMS)
8.8%
Mobile Learning 4.4%
Kurikulum e-learning yang siap pakai
8.8%
Video training
9.1%
Web conferene system, software; other virtual…
9.1%
Learning content management systmen (LCMS)
9.4%
Simulations systems or software
10.2%
Pengembangan konten yang disesuaikan
11.3%
Social learning/social media Mobile Learning
11.6% 15.2%
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
29
3 part1
Tantangan Pada Program Pembelajaran Masa Depan Octa Melia “MIA” Jalal
30
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
SELAMA ini, banyak perusahaan melakukan kegiatan pengembangan tanpa ada kaitannya dengan kegiatan operasional perusahaan sehari-hari. Umumnya, kegiatan pengembangan itu diselenggarakan oleh pemasok yang belum tentu memahami persoalan yang sedang dialami oleh manajemen ataupun sasaran organisasi yang ingin dicapai. Sehingga para manajer sering mempertanyakan kegunaan atau manfaat dari suatu program pengembangan yang dilaksanakan oleh fungsi pengembangan atau learning & development. Semua pihak dalam organisasi memahami bahwa, kegiatan pengembangan haruslah berdampak positif walaupun terkadang tidak bisa diukur dampak keberhasilannya terhadap organisasi. Dahulu, fungsi pengembangan atau learning & development memiliki banyak waktu untuk mendisain suatu kurikulum program pengembangan, dimana kurikulum tersebut mewakili adanya kebutuhan pengetahuan yang dibutuhkan dari kegiatan operasional kerja sehari-hari. Pada waktu itu, di beberapa perusahaan fungsi pengembangan atau learning & development biasanya bukan merupakan bagian dari tanggung jawab manajer lini sehari-hari. Saat itu, peranan pengembangan atau pembelajaran, semata-mata merupakan “building capacity”, yang memberikan kepada karyawan, suatu pengetahuan dan keahlian yang “just in-case” bisa digunakan di waktu-waktu tertentu di masa mendatang.
Saat ini, cara orang belajar di tempat kerja sudah banyak berubah. Banyaknya informasi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tersebut, juga sudah berubah. Informasi untuk pekerjaan banyak tersedia namun informasi tersebut berubah dengan cepat. Perubahan ini timbul dari sifathakekat dari produk atau jasa yang dihasilkan organisasi, terutama pada organisasi yang menyediakan jasa. Selain itu, perubahan itu juga disebabkan oleh karena teknologi komunikasi yang cepat berkembang.
Keadaan ini, menimbulkan adanya perubahan terhadap peranan fungsi atau Departemen Pembelajaran dan Pengembangan atau Learning & Development. Dahulu fungsi Pembelajaran dan Pengembangan, hanya memiliki tugas khusus di dalam kegiatan “building capability”, tugas utamanya pada saat itu hanya pada saat permulaan seorang karyawan mulai meniti karir di perusahaan atau saat karyawan memulai suatu tugas yang baru di dalam perusahaan. Namun, sekarang, Departemen Pembelajaran dan Pengembangan mesti meningkatkan dukungan yang kontinu agar para karyawan mampu untuk menangani tugastugas yang baru di dalam pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) Tantangan yang Dihadapi Saat Ini Departemen Pembelajaran dan Pengembangan mesti melakukan perubahan dalam melaksanakan fungsi dan perannya, yaitu:
1. Harus mengembangkan kurikulum dan disain materi Pembelajaran dan Pengembangan secara bersamasama. Departemen Pembelajaran & Pengembangan (Departemen P & P) tidak bisa lagi untuk bekerja sendiri dari unit lainnya di dalam perusahaan. Dahulu, para pelatih bisa mengembangkan keahlian yang mendalam pada suatu topik secara terpisah dengan kegiatan operasional. Namun saat ini, hal tersebut, menjadi tidak mungkin, karena semua fasilitator memerlukan informasi yang tepat mengenai operasional secara cepat. Sehingga Departemen Pembelajaran dan Pengembangan perlu mengatur proses bisnis untuk menyusun isi program pembelajaran secara bersamasama, berkolaborasi dengan para ahli di bidang pekerjaan dimaksud. Apabila hal ini tidak dikerjakan maka sering suatu program yang diminta oleh Departemen Pembelajaran dan Pengembangan, tidak mendapat sambutan dari peserta pembelajaran dan pengembangan serta atasannya karena dirasakan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka saat ini atau mendatang. 2. Harus mendukung kegiatan praktek yang kini sedang dilaksanakan sehari-hari di tempat kerja. Sudah banyak kegiatan pembelajaran dan pengembangan yang dilakukan di tempat kerja, yang dilaksanakan tanpa ikut campur dari Departemen Pembelajaran dan Pengembangan. Untuk situasi seperti ini, Departemen P & P
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
31
part1 memiliki peran untuk mendukung kegiatan pembelajaran tersebut, tanpa memperhitungkan apakah para manajer tersebut dengan sengaja mengatur kegiatan tersebut secara formal atau hanya secara informal diatur di antara mereka sendiri. 3. Harus menjaga dan membangun fungsi dan peran pembelajaran dan pengembangan yang berkaitan erat dengan unit operasional sendiri. Sudah tidak memungkinkan untuk mendukung permintaan lebih luas di tempat kerja apabila Departemen Pembelajaran dan Pengembangan mengandalkan dengan suatu kurikulum keahlian yang generalis. Sebaliknya, sangat penting bagi manajer lini untuk memiliki keahlian umum untuk pembelajaran dan pengembangan.
Demikianlah, beberapa prinsip program pembelajaran dan pengembangan yang harus dirubah oleh Departemen P & P guna mampu menghadapi tantangan saat ini. Tiga hal tersebut memang selalu merupakan bagian dari fungsi Departemen P & P. Namun, dengan adanya perubahan teknologi yang lebih cepat, ditambah peningkatan kepentingan adanya pembelajaran bagi organisasi modern, maka tiga hal tersebut harus merupakan fungsi, peran utama dan dasar pembuatan bisnis proses agar Departemen P & P dapat meraih sukses. Dalam kaitan ini, Departemen P & P merupakan bagian dari suatu lingkungan kerja yang modern, di mana para individu menjadi lebih fokus dan menjadi ahli dalam bidangnya masing-masing. Di dalam lingkup Departemen P & P ini, maka diperlukan tenaga ahli P & P di dalam lingkup tertentu dari suatu pembelajaran praktis. Hal ini akan menambah nilai
32
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Departemen P & P dgn pendekatan yang lama Sebuah program Pembelajaran dan Pengembangan dapat berlaku untuk semua perusahaan.
Seluruh program Pembelajaran dan Pengembangan disentralisir di departemen P & P.
Departemen P & P dengan pendekatan yang baru Sebuah program Pembelajaran dan Pengembangan hanya dapat berlaku untuk satu perusahaan karena sangat terkait dengan operasional, budaya dan kesiapan perusahaan tersebut. Sebuah program Pembelajaran dan Pengembangan harus mempertimbangkan operasional dan kegiatan pengembangan satu unit kerja besar seperti divisi atau departemen karena program pengembangan dan pembelajaran harus mendungkung konsep dan praktek yang berlaku di unit kerja tersebut. Dilakukan dengan multiple media atau beragam media pembelajaran, termasuk ruang kelas sesuai kebutuhan; secara synchronous dan asynchronous; online dan offline.
Menggunakan ruang kelas dan/atau metoda penyampaian isi materi ajaran dengan tatap muka. Penggunaan tenaga ahli atas Penggunaan tenaga ahli di dalam bagaimana seseorang isi materi ajaran. melakukan pembelajaran, serta bekerjasama dengan tenaga ahli untuk memperoleh hasil yang terbaik. Gaya penyampaian isi Gaya penyampaian isi materi ajaran secara beragam/multiple materi ajaran dengan gaya styles. Menggunakan gaya “push” sesuai kebutuhan (misalnya: “push” gaya “push” untuk pengembangan materi berkaitan dengan kepatuhan/compliance, dan gaya “pull” untuk mengajar mengenai informasi dukungan kinerja. Adanya tenaga ahli teknis Adanya tenaga ahli teknis di dalam kegiatan e-Learning. yang minimal. Adanya tenaga ahli penulis Tenaga ahli di bidang penulisan kurikulum untuk kursus/ kurikulum kursus/program. program, untuk menulis di blog dan di wikis. Perancangan dan Adanya tenaga ahli perancang kurikulum dan tenaga ahli penyusunan kursus/ konsultan kinerja, yang bisa menentukan apakah kursus/ program berdasarkan program tersebut benar-benar diperlukan. permintaan dari pihak management.
Perbedaan antara pendekatan yang lama dan pendekatan yang baru, di Departemen Pembelajaran dan Pengembangan. bagi perusahaan, apabila dapat bekerja sama dengan manajer lini di dalam penggunaan teknologi, guna memastikan bahwa seluruh karyawan dapat lebih fokus pada tugas-tugas yang bernilai tinggi.
Tantangan dalam pekerjaan akan senantiasa berubah, sehingga Departemen P & P juga harus berubah bersamanya. Departemen P & P dapat senantiasa berkiprah sesuai tugasnya, apabila dapat bersikap bahwa adanya bekerja bersama para tenaga ahli dan para manajer lini adalah suatu hal yang bernilai tambah. Perilaku
karyawan Departemen P & P juga perlu dibangun dengan cara yang terstruktur dan mendukung jasa yang akan diberikan melalui sistem yang tepat.
(Octa Melia “MIA” Jalal, Head of PPM Manajemen - Center for Human Capital Development)
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
33
part2
34
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Kepincut Google
Inilah Alasan Kenapa Banyak yang
dengan
GOOGLE, selain memiliki brand yang sangat kuat, ia juga perusahaan global yang mempekerjakan banyak talenta-talenta terbaik di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Tidak bisa disangkal, Google saat ini ibarat bintang yang cahayanya berkilau dan membuat banyak orang yang jatuh hati.
Tak heran pula jika Google masih menjadi primadona bagi para lulusan sarjana (fresh graduate) maupun profesional yang berpengalaman. Bahkan Google menempati urutan pertama dalam ranking InDemand Employer yang berdasarkan Talent Brand Index yang merupakan fitur baru untuk pelanggan Talent Solutions LinkedIn. Google,mengalahkan empat perusahaan top lainnya: Apple, Microsoft, Facebook dan Unilever. Di dalam index tersebut, diukur dari daya tarik perusahaan bagi pencari kerja dan memberikan wawasan tentang cara meningkatkan kemampuan perusahaan untuk menarik dan merekrut karyawan terbaik. Interaksi antara anggota LinkedIn (lebih dari 175 juta) dan perusahaan di LinkedIn dianalisa, yang hasilnya memberikan informasi mengenai perusahaan
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
35
part2
mana yang diminati oleh profesional sebagai tempat bekerja. Interaksi dan aktivitas anggota ini diamati dari profil yang terhubung ke karyawan di perusahaan tertentu, serta melihat dan mengikuti halaman perusahaan tertentu. Pesona Google lainnya, yang membuat ia begitu diminati sebagai tempat bekerja, adalah konsep bekerja sambil bermain. Konsep ini menjadikan Google terpilih sebagai “The Best Place To Work For” versi Majalah Time dan Fortune selama beberapa tahun terakhir.
Bahkan, Google berhasil menduduki peringkat pertama dalam 100 perusahaan yang dinilai Majalah Fortune sebagai tempat bekerja terbaik di Amerika Serikat, selama 3 tahun berturut-turut. Diantara banyak alasan kenapa Google begitu moncer pesonanya, satu satunya adalah lingkungan kerja yang nyaman buat para karyawannya. Larry Page, CEO Google, sedikit membuka rahasianya bahwa banyaknya sarana yang disediakan Google untuk karyawannya, sematamata agar lingkungan kerja ibarat seperti di rumah sendiri. Inilah yang menjelakan kenapa kalau berkunjung ke kantor Google, di kawasan Mountain View, California, Amerika Serikat, beberapa karyawan terlihat berjalan menggunakan otoped di sekeliling kantor. Nah, berikut ini ada 10 daya tarik mengapa Google menjadi tempat kerja yang menggiurkan di dunia: 1. Google menjadi teknologi penyaluran informasi di seluruh dunia. Dengan jutaan pengunjung setiap bulan, melalui aplikasi pencari tahu, Google bergerak seperti teman baik yang menghubungkan informasi yang dibutuhkan pencarinya. 2. Google memandang perbedaan bukan hanya perlu diterima, tapi dirayakan. Google menjelma menjadi teknologi yang memandang keberagaman sebagai keindahan dan menjadi bagian dari kepercayaan itu.
36
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
3. Apresiasi adalah motivasi terbaik. Untuk itu, Google membuat seluruh ruang kerja menjadi menyenangkan dan inspiratif. Menyediakan fasilitas kesehatan yang lengkap, ruang pijat dan yoga serta makanan ringan sepanjang sore, itu semua menjadi loyalitas perusahaan untuk menjaga kenyamanan karyawannya.
4. Bekerja sambil bermain. Tidak harus selalu bekerja, bermain adalah salah satu komponen yang bisa menstimulus kegairahan karyawan untuk lebih produktif melakukan inovasi. 5. Google sangat mencintai karyawannya. Mereka menawarkan jaminan kesehatan, dana pensiun berjangka, biaya persalinan, sampai investasi saham, dan masih banyak lagi tunjangan serta bonus yang lain. 6. Inovasi adalah nafas Google. Raksasa teknologi ini selalu melihat peluang menjadi relevan untuk diterapkan. Mereka saat ini masih menjadi pemimpin teknologi dalam mengorganisir informasi dunia.
7. Karyawan Google tidak harus memiliki background khusus, seperti CEO atau juara olimpiade. Siapa pun bisa bergabung di Google sekalipun itu marinir, dan Google tidak membatasinya.
8. Dalam satu waktu, orang di setiap negara dengan beratus bahasa dapat mengoperasikan Google. Mereka menyatukan dunia secara global,untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. 9. Komitmen untuk selalu berinovasi. Google merasa masih mempunyai ratusan tantangan yang harus dikembangkan menjadi produk baru. Google berharap dapat menyertakan pengunjungnya hingga dapat menghasilkan produk yang berguna. 10. Dan terakhir, “there is such as thing as a free lunch after all.” Di dalam kantor pusat mereka di Mountain View, California, mereka menyebutnya Googleplex, di mana manajemen Google menyediakan 11
kafe/restaurant dengan menu sekelas hotel bintang lima dan semuanya disajikan gratis. Semuanya dimasak oleh chef berkelas dunia, sebagai wujud kasih sayang Google untuk karyawannya. Seperti disinggung di atas, bahwa salah satu rahasia kesuksesan Google ada pada desain kantornya. Tidak hanya di kantor pusat, tapi merata di setiap negara di mana Google beroperasi. Untuk mengetahui bagaimana Google ‘meracik’ tata desain dan menguak filosofi dibaliknya, kami mencari dari sumbernya langsung. Dan berikut ini adalah hasil wawancara Rudi Kuswanto dari Majalah HC dengan Ms. Sarah Rob, Head of People Operations, APAC G&A, Google. Dapatkah Anda menjelaskan filosofi dasar Google dalam merancang kantor untuk karyawannya? Kami berusaha untuk mempertahankan budaya keterbukaan, yang sering dikaitkan dengan perusahaan-perusahaan start-ups, di mana setiap orang adalah kontributor yang praktikal dan bisa dengan nyaman berbagi ide dan pendapat. Budaya transparansi kami dibangun atas dasar misi perusahaan, yaitu: membantu membuat informasi dunia berguna dan dapat diakses secara universal. Kantor dan kafe kami dirancang untuk mendorong interaksi di dalam masing-masing tim Googler maupun antar tim, juga untuk memicu percakapan mengenai pekerjaan dan bermain.
Apa tema utama yang digunakan oleh Google untuk masingmasing negara, terutama Google Indonesia? Terlepas dari lokasi kami berusaha keras untuk mewakili budaya lokal secara jelas, hanya saja dengan “Googley” way. Untuk menentukan “Googley”, Anda harus kembali ke filosofi perusahaan yakni “Sepuluh hal yang kita ketahui benar/Ten things we know to be true”: a. Fokus pada pengguna maka hal lain akan mengikuti. b. Yang paling baik adalah melakukan
sesuatu dengan benar-benar baik. c. Cepat lebih baik daripada lamban d. Demokrasi pada karya-karya web. e. Anda tidak perlu berada di meja Anda untuk mendapatkan jawaban. f. Anda dapat menghasilkan uang tanpa melakukan kejahatan. g. Selalu ada informasi lebih di luar sana h. Kebutuhan akan informasi melintasi semua batas. i. Anda bisa serius tanpa mengenakan jas/pakaian formal. j. Hebat saja ternyata belum cukup baik. Biasanya setiap ruang rapat diberi nama unik, kenapa harus begitu? Kami ingin menjaga kantor kami tetap menyenangkan dan kami juga ingin menghormati budaya dan tradisi lokal. Karyawan melakukan voting akan tema untuk membantu
penamaan ruang konferensi. Untuk tujuan fungsional, kami cenderung memiliki area kantor dengan tema tertentu (misalnya nama seniman atau nama makanan atau nama tempat liburan) dan dengan mengetahui tema masing-masing, Anda akan tahu harus pergi ke bagian mana dari kantor Anda untuk sebuah meeting. Apa yang telah menjadi standar bagi Google dalam merancang kantor? Kami memiliki produk yang memungkinkan pengguna untuk mengakses informasi dari mana saja, sehingga kami juga memberikan karyawan konsep yang sama. Kami percaya pada konsep plan terbuka di mana tidak ada ruang terpisah yang membagi-bagi karyawan, tetapi pasti akan ada saat di mana seorang
karyawan perlu masuk ke “ruang grup/brainstorming” atau untuk mendapat perspektif segar dari kamar lain seperti kafetaria. Contoh lain, di Singapura kita memiliki ruang dengan tempat tidur gantung (hammock) – cara yang baik untuk mengatasi inbox Anda dengan menendang-nendang kembali di tempat tidur gantung?
Dalam desain kantor, apakah karyawan terlibat dengan menyumbang ide-ide? Karyawan dapat memberikan voting pada tema untuk membantu penamaan ruang konferensi. Mereka boleh menghias meja mereka (cubicle) semaunya dan beberapa tim telah mengembangkan tema-tema untuk area mereka, tetapi ruang kantor (seperti ruang konferensi dan dapur mikro) didekorasi oleh tim HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
37
part2
facilities kami yang luar biasa.
Apa yang diharapkan dari desain kantor Google? Tujuannya adalah: jika kami bisa menghilangkan sebagian stress dari kehidupan sehari-hari karyawan, diharapkan mereka bisa fokus pada bagaimana mencari solusi untuk permasalahan besar. Kami juga percaya kantor dengan desain “Googley” akan mendorong budaya inovasi dan menumbuhkan healthy disrespect for the impossible, rasa percaya bahwa tidak ada yang mustahil. Kami percaya ketika kantor terasa kurang formal, karyawan
akan merasa lebih nyaman bekerja sama dengan seluruh tim dan departemen. Kita juga merasa jika karyawan memiliki kesempatan untuk berinteraksi lebih santai tanpa dibatasi empat dinding formal ruang konferensi, kesempatan untuk inovasi akan berkembang. Di Mountain View (HQ), kita melakukan townhall besar (TGIF atau Thank God Its Friday) di mana para pendiri Google siap menjawab pertanyaan dari siapa pun. Ini menjadi contoh tipikal dari budaya transparansi kami di mana misi perusahaan direpresentasikan (untuk membantu membuat informasi dunia berguna
dan dapat diakses secara universal) dalam budaya perusahaan seharihari. Di kantor kami yang lain, kami sering memutar ulang rekaman video Mountain View TGIF ini untuk karyawan kami lainnya. Selain strategi desain, inisiatif lain apa yang dilakukan oleh Google untuk membuat karyawan tetap bahagia di kantor? Mungkin memang alasan kami membangun lingkungan kerja yang sangat menyenangkan ini tidak terlalu tampak jelas, tapi dibalik ini sebenarnya ada alasan bisnis yang sehat untuk memberikan
Exclusive Interview Human Capital Magazine with Ms. Sarah Rob, Head of People Operations, APAC G&A, Google Can you explain Google’s basic philosophy in designing the office for its employees? We strive to maintain the open culture often associated with startups, in which everyone is a handson contributor and feels comfortable sharing ideas and opinions. Our culture of transparency is based on our mission statement: to help make the world’s information universally accessible and useful. Our offices and cafes are designed to encourage interactions between Googlers within and across teams, and to spark conversation about work as well as play. What is the main theme that is used by Google for each country especially Google Indonesia? Regardless of location we try hard to represent the local culture distinctly, just in a “Googley” way. To define “Googley”, you would have to go back to the company’s philosophy or “Ten things we know to be true” which states: a. Focus on the user and all else will follow. b. It’s best to do one thing really, really well. c. Fast is better than slow.
38
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
d. Democracy on the web works. e. You don’t need to be at your desk to need an answer. f. You can make money without doing evil. g. There’s always more information out there. h. The need for information crosses all borders. i. You can be serious without a suit. j. Great just isn’t good enough. Usually, each meeting room is given a unique name, why is that? We want to keep our offices fun and we also want to honor local culture and tradition. Our employees vote on the themes to help name our conference rooms. For functional purposes, we tend to have areas of the office with certain themes (i.e. an artist or a food or a vacation spot) and by knowing what the theme is, you’ll know which section of the office you should be headed to for your meeting. What has become a standard for Google in designing an office? We have products that allow our users to access information from just about anywhere so we want to
tempat kerja yang menyenangkan bagi karyawan - yaitu inovasi dan kemampuan untuk mempertahankan kinerja tinggi (sustain high performance). Kami percaya bahwa dengan memberikan karyawan tempat di mana mereka dapat bersantai (kamar bermain, kamar pijat, dll) kami juga memberi mereka kesempatan untuk melepaskan diri dari pekerjaan untuk kemudian kembali membantu memecahkan masalah besar dalam membuat informasi dunia berguna dan dapat diakses secara universal dengan semangat baru. Juga dengan adanya makan gratis untuk sarapan dan
makan siang, akan ada lebih banyak waktu kasual bagi karyawan untuk saling berbagi informasi (catch up) dengan sesama karyawan, yang kami percayai dapat menumbuhkan inovasi.
Dengan suasana yang “menyenangkan” di kantor yang dilengkapi dengan gym, area bermain, dapur dan fasilitas lainnya yang terletak di berbagai daerah, bagaimana Anda mengkoordinasikan pekerjaan dari masing-masing individu dan tim? Fasilitas ini terbuka untuk digunakan kapan saja. Kami percaya bahwa
offer our employees that same concept. We believe in an open plan concept where there are no separate offices that divide our employees but there will definitely be times where an employee needs to step into a “huddle/ brainstorming room” or even get a fresh perspective from another room such as the cafeteria. Another example, in Singapore we have a hammock room - what better way to tackle your inbox than kicking back in a hammock? In the design of the office, are employees involved in contributing their ideas? Our employees can vote on the themes to help name our conference rooms. They can decorate their desk (cube) however they like and some teams have developed themes for their area, but the rooms (i.e. conference rooms and micro-kitchens) are decorated by our fabulous facilities team. What is hoped from the design of the Google office? The idea is that if we’re able to remove some of the real world stresses from our employees’ daily lives, that will hopefully allow them to focus on solving big problems. We also believe a “Googley” office helps foster a culture of innovation and a healthy disrespect for the impossible. We believe when an office feels less formal, it will allow employees to feel more comfortable collaborating across teams and departments. Again we feel that when employees have a chance to interact more casually without the formal four walls of a conference room we give an opportunity for innovation. In Mountain View (HQ), we do a big townhall (TGIF or Thank God Its Friday) where our founders get up to answer anyone’s
kami mempekerjakan orang yang tepat yang tahu bagaimana untuk tidak menyalahgunakan fasilitas yang kami tawarkan dan digunakan untuk membantu mereka bersantai saat menangani pekerjaan proyek besar. Tidak ada batas waktu dalam menggunakan fasilitas ini – selama tugas dan pekerjaan Anda beres, kami harap Anda merasa seperti di rumah sendiri. Tim Liputan: @nurulmelisa @friesskk @nurjamila)
question. This exemplifies our culture of transparency where we model our mission statement (to help make the world’s information universally accessible and useful) to our day to day corporate culture. In distributed offices we often replay this Mountain View TGIF on video for the rest of our employees. Apart from design strategies, what other initiatives are done by Google to make employees remain happy at the office? It may not seem immediately evident as to why we offer such a fun working environment, but there are sound business reasons to give our employees such a fun place to work - namely innovation and ability to sustain high performance. We believe that by giving employees a place where they can unwind (game rooms, massage, etc) we also give them an opportunity to detach from work and then go back to helping solve the big problem of making the world’s information universally accessible and useful with new vigor. Also the free food at breakfast and lunch allows for a more casual time to catch up with fellow employees which we believe sparks innovation. With such a “fun” atmosphere in the office that is equipped with a gym, play area, pantry and other facilities that are located in various areas, how do you coordinate the work of each individual and team? These facilities are open for use at anytime. We believe we hire the right people who know how not to abuse the perks we offer and use them to help them unwind and tackle big project work. There are no time limits on using the facilities either - as long as you get your work done, we hope you make yourself at home. @erkoes
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
39
part2
40
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
PM Susbandono *)
ADALAH kredo yang pernah dilontarkan Steve Jobs, founder dan CEO “Apple” tentang bagaimana seseorang harus menyikapi pekerjaannya, “Do what you love and love what you do.” Menariknya, bukan hanya menjadi kredo biasa, akan tetapi juga menjadi resep cespleng dari seseorang yang sukses mengubah dirinya, bahkan kemudian mengubah dunia. Jobs tidak sedang omong-kosong. Dia membuktikan bahwa inovasi luar biasa menjadi kenyataan. Terwujud karena dia mengerjakan apa yang dicintainya dan mencintai apa yang dikerjakannya.
Kisah kehidupan Jobs dengan segala kehebatannya sudah banyak ditulis pelbagai buku. Ia disiarkan ratusan stasiun TV, dan di-broadcast jutaan saluran internet. Tapi, kredo yang saya tulis di atas, menjadi golden rule yang lahir dari Jobs. Ia mengubah pandangan orang tentang bagaimana “bekerja” bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan, mengasyikkan dan membahagiakan. Pada suatu titik bahkan menghasilkan sesuatu yang mencengangkan. Kredo itu memang terlihat sederhana. Tetapi, tidak semudah untuk menerapkannya. Banyak pandangan yang - langsung atau tidak - mendukung ungkapan Jobs. Intinya adalah, orang yang mencintai pekerjaannya – apa pun itu –mengandung kebermaknaan yang tinggi. Pada akhirnya juga menjadikannya sukses.
Ada sebuah buku karangan Rivalino Shaffar, yang bahkan memasang judul provokatif untuk menegasi ungkapan di atas, “Ngapain Kerja Kalau Terpaksa” (2009). Dari judulnya saja, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam bekerja orang harus bahagia. Itu hanya terlaksana kalau mereka mencintai pekerjaannya. Tanpa itu, mereka sedang melakukan sesuatu yang sia-sia, dan tanpa makna. Banyak (sekali) orang bekerja karena tugas semata-mata. Bekerja adalah kewajiban. Bekerja adalah keterpaksaan. Bekerja adalah mata-pencaharian. Paradigma tadi melahirkan beberapa sindrom negatif yang mendegradasi aktivitas bekerja menjadi sebuah ritual yang tanpa spirit, tanpa roh, kosong-melompong. Bekerja hanya identik
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
41
dan senilai uang yang diterimanya setiap bulan. Tertawa apabila gaji besar dan menangis setiap problem datang. Bekerja menjadi siksaan yang ingin cepat-cepat dilewatinya di sore hari atau Jumat sore atau akhir bulan.
Kondisi ini melahirkan apa yang disebut “siksaan hidup setiap saat.” Pagi hari menjadi saat yang menyesakkan dan Senin pagi dijuluki: Monday Morning Blues, atau Grey Monday. Ia bahkan menjadi sindrom yang menjangkiti masyarakat luas di dunia yang semakin kompetitif. Gejalanya disebut Monday Morning Syndrome. Ia merugikan dunia industri dunia jutaan US Dolar setiap tahunnya, karena menyerang ulu-hati produktivitas pekerja. “Sindrom Senin Pagi” tidak akan terjadi bila manusia mencintai pekerjaannya. Bayangkan, kalau itu terjadi, apakah mungkin mereka menderita petaka itu. Mencintai pekerjaan ternyata tidak mudah. Tim kerja dan organisasi harus saling mendukung agar setiap anggotanya timbul rasa cinta kepada dunia kerja mereka. Salah satu perusahaan yang secara sengaja mendorong rasa cinta kepada pekerjaannya, adalah Google. Kalau kita berkunjung ke “markas besar” Google, akan dijumpai suasana kerja yang benar-benar rileks, apa adanya.
Salah seorang pekerja di sana, Cliff Redeker, bahkan ditugaskan sebagai ”Impresario” alias “manager hiburan” di Googleplex. Cliff mempunyai tugas dan tanggung-jawab menyenangkan bagi semua pekerja yang ada di kawasan itu. Googleplex sendiri adalah kompleks kantor pusat perusahaan Google, Inc, yang terletak di 1600 Amphitheatre Parkway di Mountain View, Santa Clara County, California, Amerika Serikat, dekat San Jose.
42
Secara sengaja Google memadukan pekerjaan, tugas dan proyek dengan hobi, fun dan senang-senang. Sering mereka dibuat lupa kalau saat itu sedang berada di “jam kantor.” Suasana itu disebut “Googley”, yang kira-kira berarti “tim Google sedang bekerja sambil suka-ria.” Kosa kata HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Googley terdengar mirip mereka yang sedang gembira dan bersorak “huray.”
Kaos atau “polo shirt” plus celana jean belel menjadi bagian identitas mereka. Roller-blade bukan merupakan alat transport yang aneh berseliweran di Googleplex. Yang lebih membuat orang iri adalah ketentuan bahwa Googler, sebutan khusus untuk pekerja Google, tidak boleh berada lebih dari 45 meter dari “snack and drink corner.” Luar biasa karena semuanya gratis. Itu mengandung arti bahwa setiap jarak maksimum 90 meter ada bar yang menyediakan calamari, sausage , sandwich, chips, fried chicken, burger lengkap dengan youghurt, soft drink, coffee, tea atau minuman energi. Apakah suasana Googley membuat kinerja para Googler mengkilap seperti yang diharapkan Sergey Brin dan Larry Page?
Nampaknya demikian. Sergey dan Larry, keduanya pendiri dan pimpinan Google, menggagas ini semua dengan cita-cita agar target yang dibebankan kepada Googler tercapai. Sukses hanya lahir dalam suasana fun. Ia memicu dan memacu rasa intrinsik yang menimbulkan “suka” akan pekerjaan, dan akhirnya memanen produk yang mengagumkan dari Google seperti yang kita nikmati saat ini. Apakah cara Google ini berlaku bagi setiap komunitas organisasi?
Jawabannya adalah : “Belum tentu.” Teman saya, seorang Direktur HR dari sebuah perusahaan terkemuka di Indonesia, barusan mengeluh karena suasana fun dan “lepas” yang meniru Google bahkan memukul balik produktivitas. Gagasan seperti officeless, I love Monday, flexitime, clubbing room, dan banyak lagi, alih-alih mendongkrak produktivitas, malahan menggelincirkannya. Target
Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven’t found it yet, keep looking. Don’t settle. As with all matters of the heart, you’ll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on. So, keep looking until you find it. Don’t settle.
salah satu sudut ruangan kantor google.
PM Susbandono meleset dan kinerja bergeming. Tak tahu dimana rahasia kegagalannya.
Googley memang hanya milik Googler. Kesuksesannya bukan hanya karena mereka berada Googleplex yang meriah dan gegap-gempita. Tetapi fun dan menyenangkan harus diikuti dengan etos kerja-keras yang melekat pada budaya organisasi. Bahkan mungkin budaya masyarakat. Kemudian kredo Jobs akan menjadi kenyataan. Tanpa itu, ia akan pincang dan memukul balik. Fun dan kerja keras, seperti yang terjadi di Google, juga pernah diucapkan Jobs dalam pidatoilmiahnya di wisuda sarjana Stanford University pada tahun 2005. Ia menjadi phenomenal speech dan rujukan bagi siapa saja yang ingin tahu mengapa Jobs sukses besar.
“Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do
great work is to love what you do. If you haven’t found it yet, keep looking. Don’t settle. As with all matters of the heart, you’ll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on. So, keep looking until you find it. Don’t settle”.
Vice President Human Resources & Services PT StarEnergy Indonesia
@pmsusbandono tap to follow
“Mencintai pekerjaan” bukan monopoli Jobs atau Googler, tapi menjadi prasayarat bagi semua orang dalam bekerja dan sukses. Apakah dia seorang Jenderal atau Kopral, Direktur atau Kondektur, di Amerika atau Indonesia. Orang Jawa mempunyai guyonan yang khas tentang hal ini.
“Luwih becik mikul lan dodolan Dawet karo rengeng-rengeng, tinimbang numpak Mercy nanging mbrebes mili.” Terjemahan bebasnya kurang lebih, memanggul dan jualan Es Cendol sambil berdendang karena bahagia lebih mulia daripada naik Mercy tetapi selalu menangis karena sedih hati. HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
43
part2
Frieska Maulidiyah *) KASKUS merupakan situs forum komunitas maya terbesar dan nomor satu di Indonesia. Kaskus memiliki lebih dari 4,5 juta pengguna terdaftar, dengan pengunjung sedikitnya 900 ribu orang, dengan jumlah page view melebihi 15.000.000 setiap harinya. Anggota Kaskus ini biasa disebut Kaskuser, atau dipanggil aganagan. Berdirinya Kaskus terbilang unik. Ia bermula dari sekadar hobi dari sebuah komunitas kecil yang kemudian menyebar secara viral dan berkembang hingga saat ini. Situs komunitas yang lahir pada tanggal 06 November 1999, saat ini dikelola oleh PT Darta Media Indonesia.
Kaskus yang kepanjangannya kasak-kusuk ini, terbilang fenomenal dan banyak menginspirasi. Salah satunya adalah untuk urusan desain ruangan kantornya. Devi Apriani selaku Media Relationship Kaskus, kepada Majalah HC bercerita bagaimana kantor Kaskus dirancang tidak seperti kantor pada umumnya. “Kami tidak menyebut ini kantor, tapi kami menyebut kantor ini sebagai playground.
44
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Sehingga teman-teman yang bekerja di sini tidak merasa terbebani setiap harinya untuk datang ke kantor,” imbuh Devi.
Devi lantas menjelaskan kalau setiap ruangan memiliki tematik yang berbeda-beda, dengan tema besarnya seperti “Alice in Wonderland.” Contohnya Green Room yang merupakan ruang tunggu di markask Kaskus. Ruang ini memiliki konsep mini golf dengan hiasan interior rumput hijau. Devi mengatakan karena Kaskus berlokasi di wilayah yang identik dengan kemacetan, maka para tamu yang datang bisa menunggu sambil melepas penat dengan bermain golf. Selain mini golf, juga terdapat mini stage multifungsi, yang diharapkan dapat digunakan saat event digelar di ruangan ini. Owner Kaskus merancang desain kantor bukan tanpa alasan dan pertimbangan, hal tersebut selalu diwujudkannya dengan berbagai inisiatif untuk mewujudkan desain yang menarik. Keunikan-keunikan tersebut akan ditemui ketika memasuki tiap ruangan.
“Andrew Darwis dan Ken Dean Lawadinata berangkat dari bidang developer, mereka melihat anakanak muda Indonesia khususnya di bidang IT lebih tertarik bekerja di luar negeri. Alasannya mungkin karena di luar negeri lebih keren seperti di kantor Google atau Facebook. Mereka berdua miris melihat anak-anak muda yang ogahogahan kerja di dalam negeri, apakah industri di Indonesia tidak terlalu berkembang? Inilah alasan mereka
menciptakan kantor Kaskus seperti saat ini, dengan harapan bisa menjadi suatu kebanggaan, dan suatu hari nanti anak-anak muda Indonesia mmenyukai dan ingin bekerja di Kaskus,” cerita Devi. Setiap ruangan yang didesain memiliki bermacam-macam filosofi, seperti pada lorong yang menjadi akses menuju ruang dalam atau ruang kerja. Interior sepanjang lorong didominasi oleh kayu dan pada sebagian ruangan digunakan untuk memajang beberapa penghargaan yang diterima Kaskus dan Andrew Darwis. Setelah menelusuri lorong, pengunjung biasanya dikejutkan dengan tempat
yang lebih terang, yakni wall of scribble yaitu satu space dipenuhi oleh dinding keramik putih, yang dimaksudkan setiap pengunjung yang datang bisa memberikan comment dengan corat-coret apa saja di dinding tersebut.
“Karena ruangan yang terbatas, banyak tamu yang tidak bisa menulis di dinding ini, pasalnya sisa space terlalu tinggi dan tidak bisa dijangkau oleh pengunjung,” tutur Devi sambil tersenyum. Keunikan lainnya ialah diantara dinding putih itu terdapat pintu dari ruang tersembunyi, yang digunakan sebagai ruang meeting. Tidak
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
45
part2
jauh dari kedua ruangan tersebut, pengunjung Kaskus bisa terkejut. Ini tak lain karena ada closet yang menempel di dinding tapi dengan posisi terbalik.
“Siapa pun yang pertama kali melihatnya pasti merasa aneh. Beberapa orang yang belum familiar dengan Kaskus memang sering salah menyebutkan kata ‘kaskus’ menjadi ‘kakus’. Pesan dari desain ini karena biasanya banyak orang yang setelah dari toilet mendapat ide baru atau inspirasi,” ujar Defi sambil menemani mengelilingi ruangan.
Berbagai spot-spot yang menarik lainnya bisa ditemukan di markas Kaskus, namun bagaimana Kaskus merancang desain kantornya? Kantor Kaskus yang berlokasi di belakang Gedung Palma-Annex Building, Jl HR Rasuna Said Blok X2 Kav. 6, Kuningan, Jakarta ini, memiliki dua lantai yang sengaja dirancang untuk tidak menyatu dengan gedung utama. Selidik punya selidik, ternyata ada maksudnya, yaitu karena operasional kerja di kantor Kaskus tidak seperti kantor-kantor pada umumnya, di mana karyawan bahkan bisa bekerja larut sampai tengah malam.
“Jika kantor kami menyatu dengan gedung utama, kemungkinan kami harus mengikuti peraturan yang ada di gedung utama seperti diberlakukannya pembatasan daya listrik, air, dan lain-lain,” jelas Devi. Sedangkan pada lantai yang lain konsep ruang kerja tidak jauh berbeda, yaitu tidak memiliki sekat-sekat yang berarti, lebih ke konsep ruang terbuka. Seakan tidak kehabisan ide, Kaskus membuat quote-quote di satu dinding yang bercat putih. Devi berujar, “Mengapa ada quote di sini, karena bisnis yang kami geluti ialah digital internet, maka quote yang dibuat mengenai internet, quote-nya pun juga masih berupa kutipan. Kami belum membuka audisi bagi para Kaskuser untuk menuliskan mengenai Kaskus, so far kami baru menempelkan quotequote saja.” Menjelajahi ‘daleman’ Kaskus, akan
46
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
dengan mudah tertuju pada ruang kerja tim Kaskus yang dibuat dengan konsep open stage dan melingkar, hal ini sebagai alternatif agar tidak selalu melakukan pertemuan di meeting room. Simpelnya, tiap diperlukan diskusi bersama, masing-masing tim tinggal membalikkan kursinya. “Meskipun tidak disekat, positifnya kami jadi bisa saling mengenal antar karyawan dan yang lewat ruang kerja bisa mengetahui apakah ada tenaga kerja baru,” katanya. Di area pada working space digunakan sekitar lima tim. Uniknya, di tengah-tengah area bekerja tersebut terdapat fasilitas game room yang diperuntukan bagi karyawan yang sedang suntuk dengan pekerjaannya. “Jadi mereka bisa bermain game dan refreshing kapan saja, tidak diberlakukan jam khusus, yang terpenting dari pihak perusahaan telah memberikan tanggung jawab, as long as pekerjaan bisa selesai, tepat waktu sesuai deadline,” jelasnya.
Ruang kerja ‘boss’ Kaskus, Andrew, terpisah lantai dari ruang kerja tim yakni berada di lantai 10. Ruangan ini memang lebih privacy, tampak lebih tertutup dibandingkan dengan ruang kerja lainnya. Selain ruang kerja, pada lantai ini terdapat mini auditorium yang digunakan untuk acara yang dibuat oleh Kaskus, seperti acara Kaskus The Lounge. “Kaskus tidak lupa juga membuat kantin untuk para karyawan, mengingat jam kerja yang fleksibel. Andrew mendesain kantin yang elegan dengan lighting dibuat tidak begitu terang,” imbuh Devi. Selain mengandalkan desain yang menarik, manajemen juga memberlakukan kebijakan-kebijakan agar para karyawan betah di kantor. Devi menjelaskan, sebelum Kaskus pindah di tempat yang sekarang ini para karyawan sudah menjalin hubungan selayaknya kekeluargaan, sehingga hubungan antar karyawan begitu dekat.
Ia menambahkan, “Hal itu terjalin karena pada saat itu kami merupakan tim kecil, kurang lebih sebanyak 40
“Menurut saya bukan hanya sekedar bekerja, funnya ini yang belum tentu bisa didapatkan di tempat kerja lain. Rasanya tidak ada persaingan, justru sesama tim saling support.”
orang. Walaupun kami telah pindah ke kantor baru dan akhirnya menjadi besar, dengan jumlah karyawan yang bertambah dua kali lipat, hubungan baik tersebut tetap terjalin.” Menariknya, para karyawan Kaskus bisa dikatakan relatif muda, yakni sekitar umur 22 tahun sampai 40 tahun ke atas, dengan mayoritas pekerja baru di usia 23 tahun. Dengan demografi usia inilah, bisa dipahami kalau Kaskus memilih desain yang nyentrik untuk menampung ide-ide segar para karyawannya.
Dengan desain kantor yang ramah, Kaskus pun tidak membuat batasan hubungan untuk teman-teman officer yang lama maupun yang baru. Malah tak jarang karyawan tampak guyub dan bisa sharing bersama dengan Andrew dan Ken tanpa ada sedikit pun rasa takut. Devi mengaku dari hubungan yang harmonis inilah bisa tercipta rasa tanggung jawab, komunikasi yang fleksibel, namun tetap saling menghargai. “Menurut saya bukan hanya sekedar bekerja, funnya ini yang belum tentu bisa didapatkan di tempat kerja lain. Rasanya tidak ada persaingan, justru sesama tim saling support. Jadi timnya sendiri yang selalu mengingatkan agar kinerja tetap oke meski bekerja santai. (Frieska Maulidiyah, journalist HC Magz, twitter @friesskk)
Suwito K. Citra
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
47
part2
MENDESAIN suatu tempat kerja di perusahaan selain untuk mendapatkan keunikan tersendiri, tentunya memiliki tujuan-tujuan yang diharapkan oleh ‘si owner.’ Diantara tujuan tersebut seperti meningkatkan produktivitas karyawan, sementara ia seolah merasa tidak terbebani oleh pekerjaan. Lantas bagaimana cara mendesain ruangan kantor yang ideal? Banyak hal yang ternyata harus dipertimbangkan dalam menata ruangan maupun desain kantor. Mengikuti perkembangan waktu dan semakin terbukanya informasi, banyak desain dan tata letak kantor yang menginspirasi. Hal ini juga membuat beberapa perusahaan di Indonesia yang dewasa ini telah mengubah gaya desain dari sebelumnya sangat hierarkis mejadi lebih terbuka.
Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam urusan tata letak ruangan. Dalam mendesain tempat kerja, perusahaan sejatinya tetap harus memperhitungkan bangunan atau ruangan-ruangan agar dapat digunakan dengan baik. Menggali kemauan klien melalui sesi interview jelas sangat membantu. Semakin high level klien maka akan semakin baik, apalagi kalau bisa tembus level ownernya. Sebelum merancang desain kantor ada dua sisi yang biasanya diminta kepada klien untuk dishare kepada desainer, yaitu dari segi functional dan filosofis. Untuk functional, biasanya dibahas mengenai kebutuhan spacenya, misalnya berapa banyak karyawan yang bekerja di tempat tersebut, seperti apa struktur organisasinya, bagaimana kebutuhan organisasinya dan apakah sifat pekerjaannya stay di dalam office, combine atau lebih banyak yang keluar kantor. Hal ini
48
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
sangat mempengaruhi ke dalam space desain basicly-nya. Sedangkan dari sisi filosofis, biasanya digali dari bidang apa perusahaan itu bergerak.
Akan sangat berbeda, karakter antara perusahaan yang bergerak di bidang teknologi dengan perusahaan yang bergerak di manufaktur. Secara filosofi, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi atau advertising cenderung lebih free dalam hal desain. Mereka lebih senang memilih desain yang fleksibel dan tidak kaku. Namun semua itu kembali lagi kepada ownernya, maunya ke arah mana, apakah style modern atau desain yang klasik. Diakui bahwa sisi functional dan filosofis saling mempengaruhi satu sama lain, keduanya merupakan suatu input sebagai rekomendasi untuknya dalam merancang tempat kerja. Selain itu, biasanya owner mengajak para karyawannya untuk berelaborasi dalam memberikan input dan berpartisipatif dalam merencanakan desain kantornya.
Ada beberapa faktor penting yang harus dilakukan perusahaan sebelum memutuskan untuk menggunakan desain tertentu, seperti ke arah filosofis dan juga budged. Bahkan filosofis perlu digali lebih dalam, karena karakter perusahaannya akan membawa pengaruh besar. Misalnya, desain workplace di Google akan berbeda dengan desain kantor pemerintahan. Juga ada beberapa faktor yang harus dihindari dalam sebuah rancangan desain kantor. Pertama, pastinya desain yang tidak memperhatikan kebutuhan dari seseorang yang akan menggunakan space itu. Terkadang yang menjadi problem dari owner ialah ia tidak terlalu memperhatikan ke bawah, kebutuhan karyawannya seperti apa.
Biasanya owner hanya menceritakan keinginannya saja padahala requirement di lapangannya berbeda. Hal penting lain yang harus diperhatikan ialah ke arah green design, seperti desain-desain yang space utilitationnya tidak terlalu bagus atau over. Kami sering menemukannya di kantor-kantor pemerintahan.
Dulu, kami pernah mengerjakan sebuah perusahaan BUMN, kebetulan inisiatif desain datang dari mereka sendiri. Kami temui beberapa desain yang over seperti halnya ada beberapa lantai yang spacenya besar, namun isinya hanya digunakan untuk beberapa orang saja. Mungkin kebutuhan ruangan dahulu beda dengan sekarang, terlebih lagi bangunan tersebut milik government dan mereka menyukai ruangan yang besar dan identik dengan kubikal. Saat ini kebanyakan perusahaan mencoba men-define kebutuhan yang optimal, seperti mencoba menyatukan beberapa ruangan menjadi satu, atau dua lantai yang digabung menjadi satu lantai. Jika konsep ini diterapkan, tentu saja akan menjadi efisien.
Lantas seperti apa desain yang ideal bagi perusahaan?
Tergantung dari masing-masing perusahaan, namun desain yang ideal ialah yang sesuai dengan fungsi dan mencerminkan filosofis atau karakter dari perusahaan tersebut. Seperti setiap ruangan harus berfungsi dengan baik, sehingga orang yang datang ke office bukan merasa harus bekerja, tetap ‘works is works’ namun bukan sesuatu yang harus terbebani dengan pekerjaan. Diharapkan karyawan bisa lebih berkontribusi banyak untuk perusahaan. Apalagi kalau dipadu dengan konsep
green, di mana desain kantor harus memperhatikan faktor penting seperti kebutuhan energi dan faktor ekonomis.
Sedangkan mengenai korelasi antara desain kantor terhadap tingkat produktifitas karyawan, desain kantor harus memberikan kenyamanan bagi para karyawan dan mereka bisa terinspirasi dari desain tersebut. Seperti halnya Google yang merancang kantornya dengan menarik dan fasilitas super lengkap, ini jelas sebuah inspirasi, meski hal tersebut tidak selalu menjadi suatu acuan standar bagi para perusahaan lain.
meskipun sebagian besar ke arah sana. Namun semua itu tergantung bagaimana cara perusahaan dalam hal pendekatan desainnya dan pemilihan materialnya. Jadi tidak selalu harus mahal, meskipun mahal mendapat previllage untuk mendapatkan suatu kualitas yang lebih.
Ada beberapa perusahaan khususnya di luar negeri yang memiliki desain yang baik dan menginspirasi, seperti Google, Aple, IBM, dan Vodafone. Sedangkan di dalam negeri bisa melongok kantor UOB, Garuda Indonesia, dan IBM Indonesia.
Kembali lagi memang tergantung dari scale perusahaannya. Semakin besar perusahaannya maka requirementnya semakin kompleks. Jika mengacu ke desain perusahaan Google, maka perusahaan yang ingin mendesain seperti itu juga harus setara dengan Google, paling tidak dari sisi karakternya.
Di Indonesia sendiri, sudah banyak yang ke arah sana. Saat ini perusahaan cenderung memilih konsep open space, artinya hierarki atasan kepada bawahan menjadi semakin tipis. Area kubikal benarbenar untuk level eksekutif atas, sedangkan yang berada di eksekutif kelas General Manager saat ini sudah berkonsep open space.
Ada pertanyaan menarik, demi mendapatkan desain kantor yang apik dan nyaman, perusahaan terkadang tidak ragu untuk mengeluarkan biaya yang besar, namun apakah hal tersebut identik dengan budged yang besar?
(Suwito K. Citra, arsitek dan pemimpin PT Creatura Kreasi Indonesia, berdasarkan wawancara khusus by @friesskk)
Saat ini ada tendensi seseorang lebih cenderung melihat kompeks ruangannya, dan cara kerja karyawan yang tidak harus standby di kantor, mengingat lingkungan Jakarta yang identik dengan traffic-jam. Sehingga support teknologi juga merupakan bagian penting, disesuaikan dengan karakter perusahaan. Melihat trens sekarang yang sudah menerapkan telecommuting, bisa jadi ruang kantor hanya digunakan untuk meeting point saja.
Tentu jawabannya tidak juga,
Perhitungannya memang dekat dengan tingkat keekonomisan, karena sewa ruangan, apalagi di Ibukota yang tidak bisa dibilang murah. Semakin kecil space tempat bekerja sedangkan orang yang menggunakan semakin banyak, maka konsep open space menjadi sangat ideal. Referensi perusahaan multinasional sudah mengacu kepada standar luar negeri, sedangkan kantor-kantor di Indonesia juga sudah mulai mengikuti trend global.
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
49
part2
InisiAtif Ruang Kerja Terbuka Josef Bataona dan Ruang Laktasi RUANGAN kantor memang penuh makna. Tak dipungkiri, para manager sangat menikmati “privacy” mereka dengan memiliki ruang sendiri. Itu artinya perlambang status. Ya, secara kasat mata karyawan akan bisa melihat siapa yang sudah manager dan mana yang belum, hanya dari ruang kerja dan singkatan nama yang ada di daftar inisial! Zaman sudah berubah, trend untuk beralih ke ruang kerja terbuka semakin lazim di dunia kerja. Cepat atau lambat kita akan menuju ke sana. Karena itu ancang-ancang sudah harus diambil. Sharing ini sewaktu saya masih di Unilever Indonesia. Sebuah tim kecil dibentuk untuk memberikan rekomendasi mengenai ‘ruang kerja terbuka’ seperti apa yang akan digunakan.
Di atas kertas, memang design-nya sangat menarik. Alasan untuk meninggalkan ruang kerja pun juga sangat meyakinkan. Di antaranya: • Melalui ‘ruang kerja terbuka’ bisa membangun komunikasi antar karyawan dengan lebih
50
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Pendekatan tersebut ternyata membuat karyawan merasa dilibatkan dalam merancang ruang kerja mereka bersama designer yang sudah ditunjuk. Mereka memutuskan sendiri tema, warna dan berbagai pernak-pernik yang harus dihadirkan. Dan hasilnya luar biasa. Ada kompetisi kecil-kecilan antar lantai, yang berimbas kepada tingkat kepuasan meningkat, meskipun ada upaya pamer lantai kerja mana yang paling cantik. Namun demikian, mereka semuanya gembira menempati ruang kerja baru. Caption foto here.
cepat. • Banyak hal yang bisa diraih dengan berbicara langsung, tanpa harus menggunakan telepon atau ruang meeting. • Ruang dirancang mengikuti proses kerja. • Lebih efisien karena ruang yang dibutuhkan lebih sedikit. • Pencahayaan ruangan dengan memanfaatkan sinar matahari dan sedikit lampu. • Dan masih banyak lagi.
Pengumuman pun dibuat, di mana giliran lantai 14 yang akan digarap duluan. Karenanya, ‘penghuni’ lantai tersebut harus pindah sementara. Lantai lainnya akan segera menyusul. Saatnya lantai 14 selesai dirombak. Pemeriksaan lapangan dilakukan oleh panitia, dan semua sepakat bahwa ruang kerja baru sangat bagus, karyawan pasti sangat gembira. Beberapa hari dibutuhkan untuk pindahan kembali. Dan mulailah kehidupan baru di ‘ruang kerja terbuka’. Hanya dalam beberapa jam, keluhan bermunculan: • Bagaimana saya bisa konsentrasi kerja, suara teman sebelah yang lagi menelpon sangat mengganggu.
• Orang lalu lalang di depan atau samping saya: saya terganggu! • Kelihatan sepertinya bos saya yang duduk persis di depan saya, memelototi saya terus.
Kami hampir saja menyiapkan daftar jawaban atas keluhan mereka tersebut, namun kami akhirnya menyadari bahwa ada sesuatu yang kurang dalam perencanaan ini. Walaupun rancang ruang kerja itu sangat cantik, tapi cantik menurut siapa? Kalau sudah begini, rasanya pas apa yang ditulis oleh George S. Patton, “Don’t tell people how to do things, tell them what to do and let them surprise you with their result.” Karyawan di lantai tersebut, ternyata tidak dilibatkan dalam merancang ruang kerja mereka. Mereka merasa dipaksa menerima rancangan yang dibuat perusahaan. Menyadari hal tersebut, semua tim di masingmasng lantai dikumpulkan. Rencana baru dibeberkan: semua lantai akan diberikan anggaran tertentu. Mereka diberikan kebebasan untuk merancang sendiri ruang kerja mereka, dengan syarat: tidak ada lagi ruangan tertutup, ada piazza (area untuk sosialisasi), dan sesuai anggaran.
Apa rahasianya? Ternyata dalam menangani PERUBAHAN, betapa pun kecilnya, harus ditangani secara bijak. Karena ternyata akan ada perubahan pola pikir, perilaku dan pola kerja dari mereka yang terlibat. Karena itu pula, sungguh bijaksana untuk melibatkan karyawan yang akan menempati ‘ruang kerja terbuka’ tersebut.
Jelang akhir bulan November 2012 silam…. Hari itu ada dua tumpeng tersedia, ditambah dengan berbagai makanan dan minuman sekitarnya. Semua itu adalah sumbangan yang dibawa oleh mereka yang hadir. Menjelang jam 12.00, saya diminta untuk masuk ke ruangan, dan tidak ada seorang pria pun disana kecuali Arif, pemain key board. Hari itu adalah hari yang sangat special bagi ibu-ibu yang hadir di sini. Sebuah moment yang tidak ingin mereka lewatkan: Ulang Tahun Pertama hadirnya Ruang Laktasi (Nursery Room) di Danamon. Untuk mengingatkan kita semua akan pentingnya Ruang Laktasi dan tanggung jawab berbagai pihak untuk penyediaan fasilitas ini di tempat kerja, Dewi memaparkan dalam presentasinya, yang saya ingin petikkan beberapa slide diantaranya:
1. Konsep dasar pemberian ASI eksklusif. Lihat diagram di bawah ini. 2. Peraturan yang ada: UU no 36/2009 tentang Kesehatan, pasal 128 (2) berbunyi: “Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
51
part2
“Don’t tell people how to do things, tell them what to do and let them surprise you with their result.” George S. Patton dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
3. Sementara itu Peraturan Bersama Tiga Menteri: Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi dan Menteri Kesehatan No 48/MEN.PP/ XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008 dan 1177/MENKES/PB/XII/2008 tahun 2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja.
Untuk apa perayaan tersebut? Dalam sambutannya, ketua komunitas ibu-ibu tersebut mengingatkan tentang kepedulian Perusahaan kepada kebutuhan ibuibu. Bahkan peraturan perundangundangan juga telah memberikan peluang agar di tempat kerja tersedia fasilitas tersebut.
Meski mereka harus menunggu sampai perusahaan berusia 58 tahun, namun hadirnya sebuah fasilitas sederhana untuk ibu-ibu yang sedang menyusui, adalah sebuah anugerah. Mengapa demikian? 1.Walaupun fasilitas ini belum sempurna, namun patut disyukuri, karena masih banyak teman yang belum mempunyai fasilitas ini, termasuk teman-teman satu perusahaan yang berada di gedung yang berbeda.
2. Menengok ke belakang, komentar teman-teman berikut ini layak disimak:
52
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Aku sangat bersyukur dan seneng banget difasilitasi dengan ruangan khusus untuk memerah ASI. Bisa mompa dengan nyaman, bersih, higienis, ngga keburu2 krn diantri’in orang, bahkan bisa denger sharing dan tips2 dari temen2 yang sama2 ikut mompa, jadi tambah semangat ngasih ASI buat buah hati. (Berty Tjahyarini) Pastinya Alhamdulillah bgt ada nursing room ini jd gk perlu lg di toilet, gk perlu lg nyium bau-bau yg aneh-aneh…(Sari Kuswandari) Kalo inget lagi waktu anak pertama harus mompa di toilet setiap hari, rasanya sedih banget. Boro boro higienis kan? Makanya begitu ada informasi tentang nursing room, haduh, bahagiaaaaaa banget. Akhirnya ada tempat yang nyaman dan higienis untuk mengumpulkan setiap tetes yang sangat berharga untuk Anakku.(Weti Kusmiati ) 3. Hadirnya Ruang Laktasi juga menginspirasi ibu-ibu pengguna untuk saling menunjang dalam memberikan ASI eksklusif.
4. Bila seorang bayi telah melampaui masa 6 bulan menggunakan ASI eksklusif, maka akan dirayakan bersama, demikian juga setelah setahun. Ini akan mendorong ibu-ibu yang baru melahirkan untuk juga memberikan ASI eksklusif kalau perlu sampai lebih dari 1 tahun.
5. Melalui kebersamaan, mereka juga bisa saling belajar dari pengalaman
masing-masing karena ada yang baru anak pertama, sementara teman lainnya sedang menyusui anak kedua. 6. Adapun perayaan hari ini adalah perayaan syukur akan sebuah anugerah yang sudah lama ditunggu. Karena itu, acara tersebut diawali dengan doa bersama, diikuti dengan pemotongan tumpeng
Dalam sambutan saya, tidak lupa saya ketengahkan dua inisiatif yang berhubungan: Ruang Laktasi dan Day Care Seputar Lebaran. Seperti kita ketahui bersama, saat-saat sulit yang dihadapi ibu-ibu seputar lebaran, adalah ketika Pembantu Rumah Tangga dan baby sister harus memilih pulang kampung seputar lebaran. Dan bagi ibu-ibu tersebut pilihannya adalah harus masuk kerja atau tinggal di rumah mengurus anak dan rumah tangga. Dan ini bukan pilihan atau/atau, tapi keduanya harus dipilih. Karena itu Perusahaan mengedepankan bantuan berupa menghadirkan Day Care di tempat kerja.
Ruang meeting disulap menjadi tempat untuk Day Care, mengundang tenaga berpengalaman dari luar untuk menyelenggarakannya, dan ibu-ibu yang punya anak boleh membawa anaknya untuk berada di tempat kerja selama jam kerja. Ini merupakan inisiatif yang juga sangat dihargai.
Di samping itu, sudah ada rencana bahwa di tahun 2013, akan hadir lagi beberapa Ruang Laktasi di Kantor Jakarta dan beberapa kantor Wilayah di luar Jakarta. Perayaan hari itu sekaligus juga menandakan lahirnya komunitas POMCYN: Komunitas Pompa Cynta. Semoga inisiatif ini akan turut menunjang upaya ibu-ibu untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, dengan cara yang hygienis dan menyenangkan. (Josef Bataona, Praktisi HR, speaker and blogger. Ditulis ulang dari sumber artikel www.josefbataona.com. Follow Twitter di akun @Josefbataona)
Inovasi Untuk Bangsa
PT KERETA API INDONESIA (PERSERO) terus melakukan berbagai inovasi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh pengguna jasa kereta api. Dengan tetap mengutamakan keselamatan, berbagai terobosan pun dilakukan manajemen PT KAI yang merupakan harmonisasi antara struktur, kultur dan strategi yang berbasis customer oriented agar bisa memberikan nilai dan manfaat yang besar bagi masyarakat atau pengguna jasa kereta api. Inovasi-inovasi yang telah dilakukan PT KAI antara lain: - Internet Reservasi - Perluasan Channel - Pemesanan Tiket H-90 Pemesanan Tiket KA - Sistem Boarding - No Smoking Area - AC-nisasi Kereta Ekonomi - Stop Kontak di setiap - Customer Service On Train Kereta Eksekutif - Toilet Gratis - dll. - Railbox & Railcard Atas terobosan dan inovasi tersebut, PT KAI mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak. Namun itu tidak membuat PT KAI berpuas diri. Kami terus berkomitmen untuk meningkatkan pelayanan, karena “Anda Adalah Prioritas Kami”. Informasi & Reservasi Tiket :
www.kereta-api.co.id
Contact Center 121
121 : Telepon Rumah 021-121 : Telepon Genggam
part3
SPECIAL REPORT
54 50
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
MEMBEDAH ISU
OUTSOURCING DI
INDONESIA Frieska Maulidiyah
PEOPLE Institute bekerja sama dengan PortalHR pada 28 November 2012 silam, menggelar acara seminar sehari dengan mengangkat topik “Revamp The Outsourcing Regulation?” Acara yang berlangsung di Puri Denpasar, Jakarta ini dihadir sekitar 100-an peserta. Jumlah ini membengkak dari rencana awal yang hanya akan diikuti sekitar 40-an peserta. Nah, bagi Anda yang tidak bisa mengikuti acara tersebut, atau peserta yang ingin me-refresh materi yang sudah disampaikan, Tim Majalah HC sudah merangkum dalam beberapa tulisan di edisi ini.
Salah satu pembicaranya adalah Ir. N. Krisbiyanto MBA, CCP selaku Senior Partner People Consulting. Kris, biasa ia dipanggil, memaparkan besarnya jumlah pengguna internet di Indonesia membuat praktisi HR harus mulai aware dan menyadari keberadaannya. “Pemakai internet di Indonesia semakin banyak, di tahun 2011 telah mencapai 55 juta pengguna, dan pada 2014 diprediksi akan tembus 150 juta. Jadi kita bisa melihat bahwa landscape dari human resource (HR) Indonesia juga berubah dan berkembang,” ujarnya di awal pembicaraan. Social media juga telah memberikan perubahan dalam landscape komunikasi, penyebaran internet kini mencapai 72%. Sebanyak 60%-nya disumbang dari facebookers (pengguna facebook). Hal ini perlu disikapi dengan cepat oleh para praktisi HR, untuk meretain karyawannya secara update melalui social media. Kris pun mengingatkan, bahwa di Indonesia jumlah Gen Z semakin mendominasi. Barisan anak muda itu mencapai 31%, sedangkan Gen Y mencapai 28%, Gen X sebanyak 24%, dan boomers hanya 17%. Di mana para Gen Y sangat adaptif terhadap penggunaan gadget dan internet. “Jadi kita membutuhkan landscape social media yang memberikan feedback langsung. Bukan hanya melakukan employee engagement setahun sekali, karena menurut saya cara tersebut sudah ketinggalan zaman,” ujar Kris. Ia mengungkapkan praktisi HR bisa memanfaatkan social media sebagai dashboard komunikasi. “Kita perlu adanya dashboard yang lebih cepat, yang bisa merepresentasikan isu-isu yang ada di dalam organisasi. Sehingga top
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
55 51
part3
management bisa merespon lebih cepat.”
Terkait aksi demonstrasi outsourcing yang belum lama ini sering terjadi, Kris berharap permasalahan itu segera diselesaikan. “Demonstrasi ini menjadi permasalahan yang harus segera diselesaikan, karena jika dibiarkan berlarutlarut akan mempengaruhi iklim investasi di Indonesia,” ujar Kris. Ia menambahkan, “Bahkan sangat mungkin terdapat beberapa perusahaan yang terancam akan menutup usahanya dikarenakan tidak kunjung selesainya permasalahan mengenai tenaga kerja ini.” Kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan regulasi terkait outsourcing masih menimbulkan polemik, salah satunya penyebutan outsourcing itu sendiri. “Pemerintah bilang hapuskan outsourcing lalu ganti dengan tenaga alih-daya, secara tidak langsung itu sama saja khan,” ujar Krisbiyanto bertanya retorik. Menurutnya, permasalahan outsourcing sudah bukan lagi isu regional. Jumlah perusahaan outsourcing saja sudah mencapai angka 6.239 perusahaan dan akan terus berkembang. “Ini faktanya, jumlah pekerja outsourcing di Indonesia mencapai 300 ribu orang lebih tanpa pengontrolan yang jelas dan izin yang legal dari pemerintah,” katanya. Definisi Outsourcing Kris pun lantas mengajak peserta
56
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
untuk mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan outsourcing. Berdasarkan pasal 64 Undang-Undang No 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) disebutkan di antaranya, “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Namun dalam UU Ketenagakerjaan, tidak ada definisi mengenai apa yang dimaksud dengan outsourcing,” imbuh Kris.
Sementara menurut Dave Griffiths, pengertian outsourcing merupakan penggunaan strategis sumber dari luar untuk melakukan kegiatan secara tradisional ditangani oleh staf internal dan sumber daya. “Jadi ada subkontrak proses atau kontrak dari satu atau lebih dari proses bisnis perusahaan ke penyedia layanan luar untuk membantu meningkatkan nilai saham pemegang, dan mengurangi biaya operasi dan fokus pada kompetensi inti,” tutur Kris. “Sedangkan menurut Chandra Suwondo, OS atau Outsourcing ialah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar atau perusahaan penyedia jasa outsourcing,” tambahnya.
Outsourcing menunjukkan pengadaan layanan yang berkelanjutan dari pihak ketiga, juga memanfaatkan proses yang sangat terintegrasi,
dari model organisasi dan sistem informasi. “Bukan hanya meng-OSkan, jadi ada suatu hal yang sifatnya berkelanjutan terus menerus, kata kunci lainnya ialah terintegrasi, banyak hal yang strategis yang masuk ke dalam definisi-definisi. Pada dasarnya apabila dijalankan dengan baik maka pelaksanaan sistem outsourcing ini dapat memberikan dampak yang positif baik bagi para pengusaha, para pekerja, bahkan bagi pemerintah itu sendiri,” sebut Kris. Tujuan Positif Outsourcing Menurut Kris terdapat beberapa dampak positif dari penerapan sistem outsourcing, di antaranya : 1. Meningkatkan fokus tujuan dari Perusahaan itu sendiri.
2. Meningkatkan efektifitas dari suatu proses kerja dengan sebisa mungkin mengurangi biaya operasional perusahaan. 3. Memanfaatkan kemampuan kelas dunia kepada pihak yang lebih ahli.
4. Membagi resiko (dimana resiko bidang pekerjaan ditangani oleh Perusahaan Outsourcing dan resiko di bidang lain ditangani perusahaan itu sendiri) 5. Prioritas alokasi sumber daya sendiri dapat digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Pertanyaannya kini, mengapa perusahaan melakukan Outsourcing? Menurut Kris perusahaan ingin
“Mereka memakai Outsourcing karena ingin meningkatkan kredibilitas, meningkatkan kinerja, mengurangi beban administrasi, fokus pada bidang-bidang strategis dan fungsi inti, mengurangi biaya, memperoleh manajemen yang lebih baik, mempercepat pertumbuhan, menghindari masalah ketenagakerjaan, menghindari investasi besar, dan menghindari berbagai resiko.”
N. Krisbiyanto
meningkatkan fleksibilitas, juga meningkatkan rasio efisiensi. “Mereka memakai Outsourcing karena ingin meningkatkan kredibilitas, meningkatkan kinerja, mengurangi beban administrasi, fokus pada bidang-bidang strategis dan fungsi inti, mengurangi biaya, memperoleh manajemen yang lebih baik, mempercepat pertumbuhan, menghindari masalah ketenagakerjaan, menghindari investasi besar, dan menghindari berbagai resiko,” tambah Kris.
Seperti pada saat masyarakat Mesir dibantu tenaga outsourcing untuk membangun saluran irigasi dan pyramid. Kemudian orang Cina Han dikenal telah mendelegasikan pembuatan perhiasan dengan pengrajin yang berasal dari sukusuku lainnya. Para navigator kapal laut ternyata kebanyakan diisi oleh pelaut Belanda, atau orang-orang Yunani dan Romawi yang menyewa tentara asing untuk perang dan ahli bangunan untuk membangun kota dan istana.
Outsourcing Sudah Ada Sejak Zaman Dahulu Ternyata keberadaan outsourcing bukan baru-baru ini saja. Kris lantas membeberkan fakta-fakta outsourcing sudah ada sejak zaman dahulu. Outsourcing telah diterapkan dalam budaya kuno seperti pada sektor pertanian, pembangunan, kerajinan dan bahkan perang.
Setelah kemerdekaan, outsourcing akhirnya diatur dalam KUH Perdata Pasal 1601 (b), yang berbunyi, “Pemborongan Pekerjaan adalah perjanjian dengan nama pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan,
Dan mengapa Outsourcing terjadi, bisa dilihat dari sisi micro driver, yaitu kesempatan untuk mengurangi biaya sebesar 20%-40%. “Serta meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan pelayanan, akses menuju kemampuan kelas dunia, pergeseran dari relatif tetap untuk biaya variabel. Sedangkan dari sisi makro driver yaitu pergeseran fokus dengan tujuan bisnis strategis, transformasi bisnis melalui inovasi, menjadi lincah dan siap untuk merespon perubahan pasar, pertumbuhan, divestasi, dan lain sebagainya,” tambahnya.
Di Indonesia sendiri jauh sebelum kemerdekaan outsoucing juga sudah jamak dijalankan. “Jika dilihat sebelum Kemerdekaan, ‘Animier’ atau ‘Koeli’ dikenal sebagai pekerja outsourcing di Tanjung Priok yang bekerja untuk Belanda, di abad ke-19 tahun 1879. Adalah Deli Planters Vereeninging, sebuah organisasi yang di bawah Pemerintah Belanda yang ditugaskan untuk menyediakan ‘buruh pasokan’ kontrak dengan beberapa penyedia dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam hal ini, Deli Planters Vereeninging bekerja sama dengan para ‘Lurah’, ‘Kepala Desa’ dan ‘Calo’.
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
57
part3
Peserta seminar sehari “Revamp The Outsourcing Regulation?” membludak.
dengan menerima suatu harga yang ditentukan.”
Namun sayangnya, KUH Perdata tersebut tidak menentukan: 1. Apa jenis pekerjaan yang dapat dioutsource-kan. 2. Tanggung jawab pengguna, dan penyedia outsourcing. 3. Apa jenis perusahaan yang dapat menyediakan tenaga kerja outsourcing. Namun setelah UU No 13/2003 diterapkan, Manajemen Riset PPM, menemukan data bahwa pada 2008, lebih dari 44 perusahaan dari berbagai industri, sebanyak 73% perusahaan menggunakan tenaga kerja outsource, dan hanya 27% perusahaan tidak menggunakan tenaga kerja outsourcing.
58
Kris yang sudah berkecimpung di dunia HR kurang lebih 20 tahun ini menjabarkan beberapa permasalah outsourcing di Indonesia, di antaranya: jumlah perusahaan outsourcing sebanyak 6.239 itu terlalu banyak yang mempekerjakan HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
sekitar 338,505 pekerja outsourcing yang ini tidak terkontrol kualitasnya, maupun memiliki ijin dari pemerintah), undang-undangnya dianggap tidak jelas, sehingga polemik mengenai pekerjaan inti dan non inti tak kunjung usai. “Selain itu 5 jenis pekerjaan yang boleh di-outsource-kan, kualitas perusahaan outsourcing, belum padunya pengertian hubungan kerja antara user-perusahaan outsource-dan pekerja outsource, serta kewenangan penerbitan ijin outsourcing tidak berada di bawah Kemenakertrans,” tutur Kris. Ia menambahkan, kewenangan penerbitan izin perusahaan outsourcing harus berada di Kemenakertrans. Selama ini kewenangan dipegang oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Hal ini justru yang menjadi salah satu penyebab carut-marutnya pelaksanaan outsourcing di Indonesia. Menakertrans harus merevisi Pasal 6 ayat (3) Kepmenakertrans No. 220 Tahun
2004. Ketentuan itu memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk menentukan jenis pekerjaan, apakah masuk dalam jenis pekerjaan inti atau penunjang.
Mengingat pekerja outsourcing tidak boleh bekerja di jenis pekerjaan inti dan kerap terjadi perselisihan dalam menentukan jenis pekerjaan antara serikat pekerja dan pengusaha, perlu kejelasan dari Kemenakertrans bersama Tripartit Nasional mengenai penentuan jenis pekerjaan. Kris menghimbau kepada perusahaan mengenai standarisasi dan sertifikasi untuk perusahaan, “Saya melihat sertifikasi perlu diterapkan, contohnya HR Director, kebanyakan para HR datang dari bidang bisnis dan menganggap bahwa orang bisnis bisa menangani masalah HR. Nyatanya banyak sekali orang yang tidak memiliki wawasan, duduk menjadi direktur SDM, sementara ia tidak memiliki kompetisi di bidang HR tersebut. Saya berharap pemerintah segera mengeluarkan suatu aturan bagi orang-orang yang duduk di SDM yang mengatur
mengenai SDM, paling tidak ia harus mengerti mengenai peraturan perundang-undangannya tentang ketenagakerjaan.”
Mengenai carut marut outsourcing atau tenaga kerja, sudah saatnya Indonesia memiliki suatu standar kompetensi, seperti dibuatnya lembaga yang mengkaji mana yang core dan mana yang non-core. “Misalnya ini merupakan peraturan peralihan selama satu tahun, jika ini akan dijadikan UU sekalian saja dibuat peraturan bahwa untuk divisi SDM suatu perusahaan, bagaimana kita memberikan standar kompetensi pekerja. Agar kasus debt colector dari pekerja outsourcing salah satu bank asing yang menyandera orang hingga akhirnya meninggal dunia tidak terjadi lagi,” imbuh Kris. Penyebab Kegagalan Outsourcing Ada beberapa penyebab kegagalan outsourcing, yang menurut Kris di antaranya adalah karena kurangnya komitmen, dukungan dan keterlibatan pihak manajemen dalam pelaksanaan proyek outsourcing. Ia
mengatakan, “Tanpa keterlibatan dari pihak manajemen dalam mencapai tujuan jangka pendek maupun jangka panjang proyek outsourcing, proyek outsourcing akan berjalan tanpa arahan yang jelas dan bahkan menyimpang dari strategi dan tujuan awal perusahaan.” Kris juga menekankan setiap praktisi HR seharusnya mengetahui permasalahan alih-daya ini, karena, “Kurangnya pengetahuan mengenai siklus outsourcing secara utuh dan benar dapat mengakibatkan proyek outsourcing gagal memenuhi sasaran dan bahkan merugikan perusahaan. Hal ini terjadi karena perusahaan gagal memilih vendor yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan.” Selain itu komunikasi harus dilakukan secara efektif dan terarah agar tidak muncul rumor dan resistensi dari karyawan yang dapat mengganggu kemulusan proyek outsourcing. “Resistensi ini muncul karena kekhawatiran karyawan akan adanya PHK, adanya penentangan
dari karyawan atau serikat pekerja. Selain itu adanya kekhawatiran bahwa outsourcing dapat merusak budaya yang ada, kekhawatiran akan hilangnya kendali terhadap pekerjaan-pekerjaan yang dialihkan. Dan kekhawatiran bahwa kinerja vendor dalam melakukan pekerjaan yang dialihkan ternyata tidak sebaik saat dikerjakan sendiri oleh perusahaan,” sambung Kris.
Tidak sampai di situ, alasan kegagalan outsourcing, di antaranya terburu-buru dalam mengambil keputusan outsourcing. Padahal proses pengambilan keputusan untuk outsourcing harus dilakukan dengan hati-hati, terencana dan mempunyai metodologi yang jelas dan teratur, jika tidak, hal ini malah menjadikan outsourcing sebagai keputusan yang beresiko tinggi,” pungkas Krisbiyanto.
Tim Majalah HC: @friesskk, @nurulmelisa
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
59
part3
Hubungan dan Perjanjian Kerja dalam Perspektif Bisnis Sofyan Rofiq Ma’mun
60
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
K
ebutuhan hubungan kerja berdasarkan sistem outsourcing tidak dapat dihindari. Hal itu merupakan kebutuhan nyata pada berbagai jenis bidang usaha. Sebab berdasarkan pertimbangan ekonomi, beberapa pekerjaan lebih tepat dilakukan secara outsourcing. Namun demikian, sistem outsourcing tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk menghindari dari kewajiban-kewajiban terhadap pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan. Demikian pula, terhadap perjanjian kerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Yang disayangkan adalah kurangnya pelaksanaan dari peraturan itu. Sanksi dan peraturan pelaksana di bawah undang-undang memerlukan adanya pengaturan lebih lanjut mengenai penyelesaian dan perlindungan hukum bagi mereka yang bekerja secara kontrak maupun mereka yang bekerja secara outsourcing. Hubungan kerja pada masa sekarang ini secara umum disebut hubungan kerja yang fleksibel, dalam arti hubungan kerja yang terjadi tidak memberikan jaminan kepastian apakah seseorang dapat bekerja secara terus menerus dan hal-hal lain yang berkaitan dengan haknya. Fleksibilitas bisa menyangkut waktu melakukan pekerjaan yang tidak selalu terikat pada jam kerja yang ditentukan pemberi kerja, atau bisa juga ditentukan oleh pekerja itu sendiri.
Dasar hukum outsourcing di tanah air, diatur melalui UU Ketenagakerjaan No. 13 pasal 64 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Untuk melaksanakan praktek outsourcing, bukanlah tanpa perhitungan kapan mereka akan melaksanakan sistem yang
juga disebut alih daya tersebut. Waktu yang tepat ialah pada saat perusahaan memiliki strategi plan untuk masa mendatang, juga saat perusahaan ingin fokus kepada bisnis inti, dan mencapai efektifitas bisnis yang ujung-ujungnya mendapatkan keuntungan yang besar. Hal ini memiliki dasar hukum yang tercantum pada pasal 65 & 66 UU No. 13 tahun 2003, tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan hanya untuk kegiatan penunjang.
Beberapa aturan pokok yang berakibat hukum yakni pemborongan pekerjaan yang tertera pada pasal 65 ayat 8 UU No. 13/2003 jo Kepmenaker No. 220/MEN/X/2004 yang jika dapat diambil poin-poinnya adalah sebagai berikut; • dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama • dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan • merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan • tidak menghambat proses produksi secara langsung • perusahaan pemborong pekerjaan harus berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang memenuhi syarat teknis yaitu apabila di suatu daerah tidak ada perusahaan pemborong pekerjaan yang berbentuk badan hukum. Aturan pokok tersebut berakibat hukum, karena apabila unsurunsur di dalam pasal tersebut tidak dipenuhi, maka secara otomatis isi dari pasal tersebut akan berakibat hukum kepada si pengguna jasa. Selain itu bahwa si karyawan atau pekerja yang telah bekerja terus menerus akan diakui menjadi karyawan tetap. Sedangkan aturan pokok bagi penyedia jasa pekerja pada pasal 66 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003 diantaranya, pekerjaan tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, adanya hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja, perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
adalah PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) sesuai pasal 59 UU No.13/2003 atau PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu), selanjutnya ialah perusahaan penyedia jasa pekerja merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin operasional penyedia jasa pekerja dari instansi yang berwenang. Namun, ada beberapa aturan pokok yang tidak berakibat hukum, seperti pada pasal Pasal 6 Kepmenaker No. 220/MEN/IX/2004 yang berisi perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja perusahaan pemborongan pekerjaan sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai perundangundangan yang berlaku (pada pasal 65 ayat 4 UU No. 13/2003), hubungan kerja antara perusahaan pemborongan pekerjaan dengan pekerjanya diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis baik berbentuk PKWT atau PKWTT.
Sedangkan bagi penyedia jasa pekerja penjelasan tertera pada pasal 66 ayat 2 huruf c UU No. 13 tahun 2003 yang berisi, perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syaratsyarat kerja serta perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan pekerja harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pekerja yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja memperoleh (hak yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja. Permasalahan lain yang terkait dengan hubungan hukum berupa hubungan kerja ialah mengenai sanksi. UU No. 13/2003 yang tidak memuat mengenai sanksi terhadap
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
61
part3
pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian kerja. Hal ini secara yuridis disadari sangat rawan bagi pekerja untuk menuntut hak-haknya secara hukum, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian kerja dalam undang-undang tersebut. Oleh karenanya wajar apabila terjadi pekerja yang bekerja terus menerus dengan sistem kontrak yang diperbaharui, atau bahkan kemudian dialihkan menjadi pekerja outsourcing yang konsekuensi sanksi hukumnya lebih mudah dihindari oleh perusahaan pengguna.
Bergantungnya perjanjian kerja bagi pekerja outsourcing dengan perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna dengan perusahaan penyedia jasa outsourcing, seperti dapat ditarik analogi berdasarkan hubungan accessoir dalam kedua perjanjian tersebut. Artinya perjanjian kerja outsourcing sangat bergantung pada perjanjian kerjasama perusahaan pengguna dan penyedia jasa. Apabila perjanjian kerjasamanya berakhir sebelum waktu yang diperjanjikan, maka perjanjian kerja outsourcing juga dengan demikian menjadi berakhir bersamaan dengan berakhirnya perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia jasa.
Batasan Core dan Non-Core Bicara mengenai bisnis utama (core business) dan bukan bisnis utama (non-core) sering menjadi permasalahan baik dari sisi organisasi dan dari sisi penyedia jasa, karena batasan-batasan core dan noncore ini belum jelas sehingga waktu praktek di lapangan bukan hanya perusahaan swasta, namun di BUMN juga menggunakan outsourcing tanpa disadari secara terus-menerus.
62
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Untuk pemborong pekerjaan, diatur pada Pasal 6 Kepmenaker No. 220/ MEN/IX/2004 yang berisi dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan, kegiatan penunjang, kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai alur kegiatan kerja perusahaan pemberi pekerjaan. Serta tidak menghambat proses produksi, kegiatan tersebut adalah kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Membuat alur kegiatan proses pekerjaan. Berdasarkan alur kegiatan proses pekerjaan, perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan utama dan penunjang serta melaporkan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.
Untuk penyedia jasa pekerja, penjelasan ada pada pasal 66 UU No. 13/2003 yang berisi, pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya memperbolehkan memperkerjakan pekerja atau buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu atau dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Yang dimaksud dengan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business). Serta tidak ada kewajiban membuat alur kegiatan proses pekerjaan. Tetapi sebaiknya tetap membuat alur kegiatan proses dan melaporkan ke instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.
Mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), semua berkaitan baik pengguna jasa langsung ataupun vendor outsourcing harus melakukan kontrak kerja dengan PKWT, dasar hukum pada pasal 56 sampai dengan 59 UU No. 13 tahun 2003 Kepmenakertrans No. Kep.100/
MEN/VI/2004, yang didasarkan pada jangka waktu, selesainya pekerjaan, musiman, pesanan, produk baru, harian, dengan tertulis, bahasa Indonesia (huruf latin), tidak ada masa percobaan, dan bukan pekerjaan yang bersifat tetap.
Kadang-kadang orang lupa dari sisi UU, baik melalui jasa outsourcing atau dikontrak langsung. Bahwa PKWT di pasal 59 berisi kontrak pertama maksimal dua tahun, dan ada jeda selama 30 hari, sehingga total kontrak menjadi tiga tahun. Jika dilakukan secara terus menerus, maka akan menjadi karyawan tetap. Sedangkan yang perlu diperhatikan ialah pembaharuan hanya untuk pekerjaan sekali selesai, jeda boleh dikesampingkan kalau sifatnya sekali selesai namun harus diperjanjikan di dalam PKWT, ada training untuk tempat yang baru, dan seleksi untuk diangkat menjadi karyawan tetap. UU masih mengatur asas khususnya mengenai kebebasan berkontrak boleh diberlakukan seperti itu, asalkan diperjanjikan. Kompetensi Pekerja Outsourcing dan PKWT Berdasarkan rata-rata kasus yang terjadi, hampir semua perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing mengeluhkan beberapa kemampuan dan kompetensi pekerja outsourcing. Mereka juga mengeluhkan jika pekerja outsourcing melakukan tindakan pidana atau pelanggaran lain yang merugikan perusahaan pengguna, maka perusahaan outsourcing yang menanggungnya. Hal tersebut menjadi berat, oleh karena tindakan pelanggaran yang dilakukan pekerja outsourcing tidak sebanding dengan pemasukan yang diterima perusahaan jasa outsourcing. Sulitnya memperoleh pekerja yang berkualitas baik secara akademis, teknis dan mental kepribadian juga masih menjadi masalah bagi pekerja outsourcing. Di antara alih daya (outsourcing) dengan PKWT terdapat perbedaan pada sisi hubungan kerja dan jenis pekerjaannya. Jika hubungan kerja outsourcing ialah antara tenaga
outsource dan perusahaan outsource, maka untuk hubungan kerja pada PKWT ialah antara karyawan dengan perusahaan. Sedangkan mengenai masalah jenis pekerjaan, pada outsourcing ialah kegiatan penunjang perusahaan yang tertera pada pasal 65 & 66 UU 13 tahun 2003. Jenis pekerjaan pada PKWT ialah pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang penyelesaiannya tidak terlalu lama paling lama tiga tahun, selanjutnya ialah pekerjaan yang sifatnya musiman, dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, di antaranya ialah, pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang bersifat musiman, pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Sedangkan untuk masa sekarang ini hampir semua jenis pekerjaan dapat ‘di-PKWT-kan’ atau diikat dengan perjanjian kontrak maupun juga dengan cara outsourcing, suatu hal yang sebenarnya melanggar ketentuan peraturan perundangundangan.
Duduk Bersama untuk Outsourcing Bagi para pekerja, hubungan hukum yang terjadi dengan pengusaha selalu berada dalam hubungan subordinatif atau hubungan di mana kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha atau majikan. Bagi pekerja outsourcing hal tersebut menjadi semakin parah karena pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pemberi kerja.
Pemetaan masalah alih daya, di antaranya bagi pekerja, yakni tidak ada kepastian menjadi karyawan tetap. Sebagai bentuk praktek tenaga murah, dibayar UMP terus menerus, kedekatan psikologis antara pekerja outsourcing dengan pekerja perusahaan pengguna, overtime yang tidak dibayar, masa jeda 30 hari diabaikan, karir karyawan outsourcing tidak jelas dan tidak ada pengembangan atas kompetensinya.
diri menuju angkatan kerja yang kompetitif, capable, dan memiliki etos kerja yang didasarkan kepada spirit hidup yang tinggi.
Solusi pemecahan masalah dalam jangka pendek yang harus dilaksanakan oleh pemerintah di antaranya, memperbaiki kinerja pengawasan dari pusat sampai dengan daerah yang mendasarkan kepada standar regulasi/juklak/ juknis/SOP yang terkait dengan bentuk-hubungan kerja. Dan perlunya sertifikasi terhadap para pengawas sehingga dapat lebih baik dalam menjalankan tugasnya.
Sedangkan bagi lembaga outsourcing di antaranya sebagai mitra yang strategis bagi perusahaan pengguna yang mendasarkan kepada Kompetensi, Produktifitas, Kesejahteraan dan keseimbangan yang didasarkan kepada performance. Bagi pekerja di antaranya, peningkatan keahlian penuh dan kompetensi yang berorientasi ke depan, perspektif karakter harus dicari jadi bukan mencari pekerjaan, serta kompetitif.
Sementara untuk pengusaha, masih belum jelasnya batasan core & non core, termasuk belum ada bisnis proses, administrasi dan praktek yang tidak rapi di pihak vendor, perjanjian perusahaan pengguna dan perusahaan outsourcing tidak jelas (tidak ada), atribut Perusahaan pengguna yang digunakan pekerja outsourcing, serta adanya pembayaran langsung dari perusahaan pengguna kepada pekerja outsourcing.
Sedangkan bagi pengusaha ialah, mendefinisikan core & non core berdasarkan strategi bisnisnya yang dituangkan dalam bisnis proses, pola hubungan dengan lembaga outsourcing dalam bentuk MOU atau perjanjian kerjasama menitikberatkan kepada perlindungan hak pekerja.
Bagi lembaga outsourcing di antaranya, legalitas dan compliance atas berdirinya lembaga outsourcing menjadi prioritas dan profesionalisme lembaga outsourcing memberikan rasa aman bagi karyawan dan mitra usaha. Dan bagi pekerja, ialah tumbuhnya kesadaran untuk meningkatkan kualitas
Solusi pemecahan masalah jangka panjang yang harus dilakukan oleh pemerintah ialah, dengan menata kembali kinerja pusat dan daerah dalam sistem yang terintegrasi, sehingga tidak timbul penafsiran yang berbeda atas UU/Kepmen/ Regulasi. Selain itu memastikan bahwa regulasi atau ketentuan perundangan dapat dilaksanakan bukan hanya dapat diputuskan saja, perlu kajian yang lebih mendalam sebelum diimplementasikan melalui analisis dampak regulasi. Bagi pengusaha, outsourcing bukan alternatif cost reduction program atau mencari tenaga murah, namun memberikan spirit untuk focus pada bisnis inti terhadap produktifitas dan kesejahteraan.
Yang perlu dilakukan adalah menertibkan pelaksanaannya agar semua pihak bisa duduk bersama untuk mencapai kesepakatan. Pemahaman mengenai hubungan kerja sebaiknya juga diketahui semua pihak, seperti UMR (upah minimum regional) yang layak. Juga jangan asal dinaikkan, tapi seharusnya mereka mengukur dan memetakan agar solusinya berlaku untuk jangka panjang. (Sofyan Rofiq Ma’mun, pengamat oursourcing, Industrial Relation Expert dari PT Graha Bandung Sentosa)
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
63
part3
Bagaimana Praktek Kerja Outsourcing di Indonesia yang Sesungguhnya? Jaya Santosa
P
raktek outsourcing di Indonesia semakin berkembang pesat seiring berjalannya waktu dewasa ini. Praktek ini pertama kali muncul di Indonesia dan semakin meluas hingga hampir di seluruh daerah setelah disahkan dan diberlakukannya UU No. 13 tahun 2003 yang mengatur tentang Ketenagakerjaan. UU tersebut memiliki dampak yang cukup besar dalam dunia bisnis, baik dari sisi perusahaan maupun dari sisi kalangan buruh dan serikatnya. Praktek tersebut merupakan salah satu cara dalam dunia bisnis yang hingga saat ini memiliki peminat dan daya tarik yang cukup besar. Pengertian outsourcing ialah menyerahkan sebagian pekerjaan kepada pihak lain atau menggunakan pekerja yang disediakan oleh pihak lain. Hingga saat ini, praktek tersebut masih menjadi kasus hangat yang selalu mendapatkan perdebatan dari berbagai pihak. Perusahaan, dalam hal ini sebagai pihak yang mendapatkan keuntungan luar biasa dari diberlakukannya praktek outsourcing mendukung penuh diberlakukannya praktek outsourcing di Indonesia.
64
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Namun, kalangan buruh dan sekitarnya yang merasa sebagai pihak yang dirugikan dalam praktek outsourcing ini menolak diberlakukannya sistem outsourcing di Indonesia.
Beberapa keuntungan didapat oleh perusahaan seperti keberadaan praktek outsourcing di Indonesia memang sangat membantu pekerjaan. Namun, sangat disayangkan bahwa praktek outsourcing yang berlaku di Indonesia tidak diimbangi dengan pengawasan-pengawasan yang dapat menjamin terpenuhinya hak dari setiap buruh. Dilihat dari keberadaan praktek outsourcing juga membantu peningkatan efisiensi dan produktifitas perusahaan, sedangkan dilihat dari sisi sumber daya manusia (SDM), perusahaan juga tidak perlu lagi dipusingkan dalam masalah rekrutmen, pelatihan dan pengembangan bagi karyawan baru dalam perusahaan, karena prosesproses tersebut telah dilakukan dari pihak perusahaan penyedia tenaga outsourcing. Selain itu, keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan juga karena pihak perusahaan
dapat dengan mudah dalam hal pemutusan hubungan kerja karyawan yang sudah dianggap tidak memenuhi kriteria perusahaan. Jadi, perusahaan dapat dengan mudah mengganti karyawan sesuai dengan yang diinginkan oleh kriteria perusahaan tanpa harus memberikan kompensasi pada pihak karyawan. Dalam pelaksanaannya, keuntungan yang didapatkan dari pihak perusahaan tidak sebanding dengan apa yang didapatkan oleh buruh. Kemudahan dan efisiensi yang didapatkan perusahaan sangat berbanding terbalik dengan kondisi kerja dan kesejahteraan dari kaum buruh dan serikatnya. Sistem kerja yang fleksibel sebagai salah satu aturan pekerja outsourcing membuat pekerja dan buruh merasa tidak memiliki status bekerja yang jelas, pekerja merasa khawatir karena kapan saja perusahaan dapat memutuskan hubungan kerja dirinya apabila perusahaan sudah tidak merasa membutuhkan pekerja yang mengisi kedudukan tertentu. Kerugian lainnya ialah buruh atau pekerja outsourcing mendapatkan
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
65
part3
gaji yang lebih rendah dari buruh tetap. Pekerja atau buruh outsourcing hanya mendapatkan upah minimum dan tunjangan kecil lainnya yang jumlahnya juga jauh lebih rendah dari pekerja/buruh tetap. Hal ini disebabkan karena adanya pemotongan gaji dari pihak penyedia jasa outsourcing. Kerugian lain yang dirasakan oleh pihak buruh dengan adanya praktek outsourcing di Indonesia adalah kecilnya peluang yang didapatkan oleh buruh untuk memajukan karir, karena tenaga outsourcing terbatas pada kontrak kerja waktu yang telah disepakati yang pada umumnya terbatas pada satu tahun kontrak masa kerja.
Kini sistem outsourcing kian menggurita setelah UU Nomor 13 Tahun 2003 disahkan. Keadaan tersebut merupakan hasil dari keadaan yang saling mengait antara kesempatan kerja yang terbatas, suplai tenaga kerja yang melimpah, dan keterbatasan kemampuan sumber daya manusia. Keadaan demikian semakin subur ketika serikat buruh belum pulih sepenuhnya setelah dihancurkan secara sistematis selama rezim Soeharto berkuasa. Dengan demikian, selain bagian dari agenda kapital global yang diadopsi mentah-mentah dalam strategi pembangunan, menguatnya outsourcing disebabkan oleh persoalan-persoalan struktural. Namun demikian, keadaan semacam itu tidak berarti tidak dapat dilawan. Meminimalisasi dampak buruk outsourcing, apalagi menghapusnya, memiliki kaitan dengan kehendak negara. Mengandalkan strategi “lama” yang mengandaikan pada keberadaan buruh tetap dengan sistem kerja yang stabil jelas tidak memadai untuk melawan sistem kerja outsourcing. Seperti diketahui, negara memiliki tugas yang salah satunya memberikan jaminan sosial
66
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi karyawan tetap dan BUMN tidak ada masalah karena telah mendapatkan jaminan sosial yang jelas. Bagaimana dengan tenaga outsourcing, itu yang kami ingin agar semua kebenaran dijalankan, terlebih lagi sistem jaminan sosial nasional menyebutkan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan pensiun. Pemerintah menetapkan, jika tidak ada aral mulai 1 Januari 2014, sistem jaminan sosial nasional bisa dilaksanakan.
Masalah timbul saat praktek kerja outsourcing di Indonesia yang dilaksanakan berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 di antaranya pasal 59 dan 64, melanggar UUD 1945. Khususnya terkait dengan pengalihan hak. Banyak persoalan yang tengah melanda praktek outsourcing, seperti kasus perusahaan yang bergantiganti dan berimbas pada status karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan mengenai pesangon, bahwa karyawan dengan masa kerja enam bulan sampai satu tahun berhak atas pesangon sebesar satu kali gaji.
Selama ini apakah pernah karyawan outsourcing yang sudah satu tahun bekerja setelah itu berhenti namun diberikan pesangon, padahal mungkin mereka dibayar besar oleh perusahaan pemberi kerjanya. Inilah dasarnya, karena dewasa ini merupakan era globalisasi maka persaingan terjadi dalam core bisnis, sehingga perusahaan melaksanakan praktek kerja outsourcing yang didasari oleh beberapa hal di antaranya karena efisiensi kerja. Sudah jelas semuanya akan serba efisien jika tenaga kerja di outsourcing-kan. Sedangkan outsourcing ada dua macam, yaitu outsourcing pekerjaan dan outsourcing tenaga kerja yang
terkadang keduanya dijadikan satu. Sedangkan perusahaan terus memaksimalkan faktor produksi yang di sisi lain karyawan tetap difokuskan untuk core bisnisnya, dan sumber daya fokus tingkatkan produksi.
Di sini sudah jelas bahwa mengenai produksi agar ditingkatkan dengan resiko yang sangat besar, namun haknya tidak sama dengan karyawan tetap. Hal ini melanggar prinsip kemanusiaan. Di dalam masalah keefisiensian, perusahaan yang melaksanakan outsourcing di antaranya dalam rangka ingin memperkecil biaya pengeluaran (capital expenditure), jadi dapat mengalihkan biaya operasional dan biaya lainnya menjadi usaha core bisnisnya. Karena hal ini berkelanjutan dan masalah ini semakin menjadi-jadi, maka kami mengadakan demo buruh untuk menaikkan UMP yang rata-rata kenaikannya sebesar Rp 700-800 ribu di seluruh Indonesia. Alasan lainnya karena perusahaan berharap agar mekanisme kontrol lebih baik dalam menjalankan perusahaan, namun ada masalah di regulasi yang kurang melindungi karyawan, di mana keberpihakan kepada pengusaha lebih besar ketimbang membela karyawan. Maka masalah yang akan dihadapi oleh karyawan/buruh outsourcing adalah ketidakpastian bekerja dan ketidakpastian hukum. Dengan berbagai macam alasan perusahaan melaksanakan outsourcing hal ini malah menambah deretan masalah yang sedang dihadapi pekerja/ buruh outsourcing, di antaranya ketidakpastian bekerja dan ketidakpastian masa depan, ketidakpastian keinginan pengusaha, jam kerja tidak menentu, kerja harus standar yang tinggi, upah yang murah dan cenderung tidak tetap, tidak ada bonus, tidak ada hak cuti,
memiliki kekuatan hukum mengikat atau bersyarat. Ketidakpastian nasib pekerja atau buruh sehubungan dengan pekerjaan outsourcing tersebut, terjadi karena UU Ketenagakerjaan tidak memberi jaminan kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sehingga esensi utama dari hukum perburuhan.
tidak ada jaminan hari tua dan jaminan kesehatan, tidak ada tunjangan, transport untuk makan, K3 tidak standar, terkadang terjadi kekerasan/pelecehan, masuk kerja tanpa pelatihan, karir yang stagnan, dan sulit berserikat pekerja. Sedangkan apa yang dikampanyekan oleh pekerja atau buruh, konsepsi hubungan industrial Pancasila, yang tercermin dari sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, selanjutnya kami meminta kepada pemerintah untuk menetapkan regulasi yang baik seperti munculnya Permenakertrans yang baru No. 19.
Sebelum outsourcing dimulai, saya rasa kita harus clear di perjanjiannya, setelah itu mengawal peran perusahaan pengerah jasa buruh agar perusahaan outsourcing bisa sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada, info hak pekerja sesuai dengan UU/kemampuan perusahaan, hak yang sama dengan karyawan tetap dimulai dari hari pertama kerja, jaminan sosial yang baik,
dan jaminan pelatihan dan pengembangan karir, hak yang sama, tunjangan yang sama, perjanjian kerja sesuai dengan aturan dan perkembangan upah, jaminan hak berserikat pekerja, hal-hal ini yang sedang kita kampanyekan. Bagi saya pribadi tidak perlu ada demo-demo lagi, hal ini didasari atas solidaritas dan kemanusiaan.
Dalam UU Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 64 dinyatakan bahwa Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/ buruh yang dibuat secara tertulis. Ketentuan selanjutnya dinyatakan pula dalam pasal 65 dan 66, ini bertentangan dengan UUD 45. Sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 27/ PUU-IX/2011 memutuskan, aturan untuk pekerja kontrak (outsourcing) dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak
Dalam Pasal 22 Pernyataan Umum HAM PBB dinyatakan bahwa warga negara tidak hanya berhak atas jaminan sosial melainkan juga hak-hak ekonomi. Hak-hak ekonomi antara lain mencakup perolehan pekerjaan yang layak dan upah yang memadai. Karena itu, ILO (International Labor Organization) mengupayakan, hak hak normatif pekerja, perluasan kesempatan kerja, jaminan sosial, kesempatan kerja adalah dasar untuk sukses jaminan sosial [Psl 28-D (2), UUD 1945]. Sistem outsourcing akan berdampak pada pelanggaran terhadap Konstitusi Negara Republik Indonesia khususnya pasal 28D ayat (2), yang menyatakan: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Semakin menjamurnya praktek sistem kerja outsourcing menunjukkan bahwa telah munculnya sistem perbudakan jaman modern yang habis menyerap tenaga buruh namun tidak memberikan imbalan yang setimpal. Perusahaan pemberi kerja memerlukan pekerjaan, mereka membeli kepada pengarah pekerjaan, mereka beli, contohnya satu orang dihargai sebesar Rp 2.000.000, namun yang disampaikan kepada karyawannya
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
67
part3
ialah sebesar Rp 1.500.000 atau UMK/UMP atau upah minimum kontrak setempat. Jadi kita ini dijual, sehingga sebenarnya kalau kita mau, perusahaan mau, tidak usah pakai perantara, sistemnya PKWT dan PKWTT.
Kampanye perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing, yakni pelaksanaan konsepsi Hubungan Industrial Pancasila, membuat/ mengubah/melengkapi aturan yang lebih baik untuk menghindari PHK dan pelanggaran pekerja outsourcing dan pekerja kontrak. Mengawal pelaksanaan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh pekerja outsourcing hanya pada 5 jenis pekerjaan saja yaitu: Jasa Pengamanan, Transportasi, Jasa Katering, Cleaning Service dan Jasa Penunjang Pertambangan dan Migas, sebagaimana UUK 13/2003, menjamin relasi perburuhan formal antar pekerja dan pengusaha akan dimulai sebelum pekerjaan dimulai, memastikan peran dari perusahaan pemberi kerja dan PPJP/B dideskripsikan dengan baik, memberikan informasi kepada pekerja agar mereka mengetahui hak-hak mereka dan mendapat informasi yang baik atas kondisi dan keadaan dari pekerjaan mereka, jaminan perlindungan hukum bagi pekerja yang melaporkan pelanggaran yang mereka terima pada serikat pekerja, perusahaan dan pemerintah, hak yang sama atas pekerjaan yang sama dimulai dari hari pertama, mengupayakan tunjangan (selain upah/gaji) bagi pekerja dengan level yang sama yang biasa diterima pekerja tetap, juga dimulai pada hari pertama, perlindungan jaminan sosial yang baik bagi seluruh pekerja, jaminan atas pelatihan dan pengembangan karir bagi pekerja, mengurangi jangka waktu maksimal yang diijinkan untuk pekerja outsourcing dan pekerja kontrak, memastikan bahwa perjanjian kerja pekerja outsourcing dan
68
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
“Di banyak praktek, perusahan outsourcing memotong gaji tenaga kerja tanpa ada batasan, sehingga yang mereka terima, berkurang lebih banyak.” kontrak dibuat dengan baik mengikuti perkembangan kenaikan upah/gaji dan sesuai dengan peraturan perundangan, menjamin pemenuhan atas hak-hak serikat pekerja, serta menjamin hak pekerja untuk berserikat melakukan pengorganisasian serikat pekerja. Perusahaan harus mematuhi prinsip-prinsip pola hubungan kerja yang menyangkut ketenagakerjaan baik itu pengerahan tenaga kerja maupun penyediaan tenaga kerja. Prinsipprinsip pola hubungan kerja bagi perusahaan itu ada dua, bila menyangkut pengerah tenaga kerja yaitu penyediaan tenaga kerja itu yang harus ditata dan diawasi. Tetapi untuk penyerahan tenaga kerja, itu masih dapat dilakukan dengan pola hubungan kerja waktu tertentu atau waktu tidak tertentu.
Masalah inti dari penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain adalah siapa yang bertanggung jawab dalam pemberian kompensasi dan pensiun ketika hubungan kerja berakhir. Untuk itu perlu diatur dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara perusahaan pemborongan dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk selanjutnya diatur dalam perjanjian kerja. Pelanggaran ketentuan outsourcing demi mengurangi biaya produksi, perusahaan terkadang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku, dan akibat yang
terjadi adalah demonstrasi buruh yang menuntut hak-haknya. Hal ini tentu saja menjadi salah satu perhatian bagi investor asing yang mau masuk mendirikan usaha di Indonesia.
Di banyak praktek, perusahan outsourcing memotong gaji tenaga kerja tanpa ada batasan, sehingga yang mereka terima, berkurang lebih banyak. Guna mengefektifkan peran dan fungsi masing-masing unsur baik pekerja, pemerintah maupun pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial maka masing-masing unsur perlu meningkatkan koordinasi dan komunikasi. Untuk dapat lebih efektif, disarankan adanya komunikasi dua arah antara perusahaan dengan provider jasa outsource (Service Level Agreement) akan kerja sama, perubahan atau permasalahan yang terjadi. Tenaga outsource juga perlu di-training terlebih dahulu agar memiliki kemampuan/ketrampilan. Memperhatikan hak dan kewajiban baik pengguna outsource maupun tenaga kerja yang ditulis secara detail dan mengingformasikan apa yang menjadi hak-haknya. Perlu diperhatikan juga, yang menyebabkan outsourcing menjadi tidak efektif adalah karena kurangnya knowledge, skill dan attitude (K.S.A) dari tenaga outsource. (Jaya Santosa, Presiden DPP Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Ketua Umum DPP SP Pos Indonesia)
Memahami Apa Itu Outsourcing Farid Aidid
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
69
part3
DUNIA outsourcing (OS) sudah cukup lama saya tekuni. Saya pernah menjadi karyawan outsourcing saat masih mengenyam pendidikan. Pada saat itu, saya mendaftarkan diri di suatu perusahaan OS, setelah saya terdaftar di perusahaan tersebut, maka jika perusahaan membutuhkan selanjutnya akan dipanggil, kecuali jika libur panjang saya bekerja tetap. Saat itu saya bekerja di perusahaan mobil dove yang diperuntukan untuk para tentara, sebagai final checker yang bekerja sampai pagi. Setelah saya lulus sekolah, saya bekerja di beberapa perusahaan perminyakan dan memakai jasa OS. Selain itu saya juga pernah bekerja di Citibank selama kurang lebih 10 tahun, di mana saya membantu mendirikan beberapa perusahaan OS, agar bisa membantu Citibank dalam melakukan pekerjaanpekerjaan yang jangkauannya agak jauh dari kantor pusat, seperti pada bagian sales, marketing, dan produk-produk lain, sehingga itu mempermudah memanage bisnis di dalam kantor pusat secara lebih fokus. Dari cerita tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa ada beberapa manfaat OS bagi perusahaan. Harus kita akui bahwa di dalam praktek OS khususnya selalu tidak ada yang sempurna. Hal tersebut ialah membuat kami berpikir agar OS tidak dibatasi, namun diatur agar lebih sempurna. Dan bicara mengenai outsourcing saat ini, yang ada di benak kita mungkin masih identik dengan masalah-masalah yang terkait dengannya. Misalnya, belum lama ini, para buruh berdemo menuntut Menteri Koordinator Perekonomian serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk merevisi Peraturan Menteri tentang Kebutuhan Hidup Layak dari 60 item menjadi 84 hingga
70
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
122 item. Menuntut penghapusan outsourcing di luar lima jenis pekerjaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta menuntut pemerintah agar memutuskan iuran pekerja untuk jaminan kesehatan ditanggung oleh pengusaha.
Jika dilihat dari definisinya, kata outsourcing sendiri terbagi atas dua suku kata, yakni out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Sedangkan outsourcing dalam bahasa Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya noncore (bukan inti) atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Namun melihat fungsi dari OS, beberapa waktu yang lalu mungkin fungsi OS ialah untuk cost saving, agar cost-nya dimasukkan ke dalam operating cost bukan pada posisi head count. Pengguna jasa OS di Indonesia melihat praktek ini sebagai cara memangkas biaya pengeluaran perusahaan untuk menjadi lebih efisien. Memang dilihat dari sisi birokrasi dan anggaran pihak perusahaan banyak diuntungkan. Misalnya dengan menyewa perusahaan OS, biaya produksi menjadi lebih murah dari pada ketika memproduksi sendiri. Melalui pihak OS, perusahaan juga tidak harus membuat divisi cleaning services tersendiri yang hanya akan memperpanjang birokrasi. Banyak perusahaan yang juga menyewa jasa OS untuk mengelola sistem IT dengan begitu perusahaan tersebut dapat lebih memusatkan perhatian dalam mengelola bisnisnya serta
meningkatkan kualitas kompetensi utamanya. Namun ketika pekerja OS mulai dipandang hanya sebagai buruh semata dengan bentuk perlakuan diskriminasi yang tajam, maka permasalahan ini jelas tidak bisa dipandang demi keuntungan pihak perusahaan saja. Karena perkembangan era yang cukup pesat, membuat OS mengalami perbedaan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan waktu yang lalu, di mana kini OS menjadi bagian strategi dari perusahaan.
Mungkin bagi perusahaan sistem OS ini sangat membantu dalam kegiatan produksi untuk membayar upah tenaga kerja karena salah satu keuntungan OS, perusahaan tidak terlalu repot-repot dalam memanajemen tenaga kerja karena sudah menjadi tanggung jawab pihak penyedia tenaga kerja. Belum lagi tuntutan buruh yang kadang mengganggu perusahaan, dengan OS, perusahaan pemakai tenaga kerja akan dapat memotong atau dengan kata halusnya mengembalikan buruh kepada pihak penyedia yang tidak setuju dengan kebijakan perusahaan pemakai.
Namun jika dilakukan dengan benar, OS dapat memberikan keuntungan. Beberapa keuntungan OS di antaranya, penghematan dan pengendalian biaya operasional. Salah satu alasan utama melakukan OS adalah peluang untuk mengurangi dan mengontrol biaya operasional. Perusahaan yang mengelola SDM-nya sendiri akan memiliki struktur pembiayaan yang lebih besar daripada perusahaan yang menyerahkan pengelolaan SDM-nya kepada vendor outsourcing. Hal ini terjadi karena vendor outsourcing bermain dengan “economics of scale” (ekonomi skala besar) dalam mengelola SDM. Selain itu, OS dapat memanfaatkan kompetensi vendor outsourcing,
karena core-business-nya di bidang jasa penyediaan dan pengelolaan SDM, vendor outsourcing memiliki sumber daya dan kemampuan yang lebih baik di bidang ini, dibandingkan dengan perusahaan. Kemampuan ini didapat melalui pengalaman mereka dalam menyediakan dan mengelola SDM untuk berbagai perusahaan. Bila tidak ditangani dengan baik, pengelolaan SDM dapat menimbulkan masalah dan kerugian yang cukup besar bagi perusahaan, bahkan dalam beberapa kasus mengancam eksistensi perusahaan.
Outsourcing juga dapat membuat perusahaan menjadi lebih ramping dan cepat dalam merespon kebutuhan pasar. Artinya kecepatan merespon pasar ini menjadi competitive advantage (keunggulan kompetitif) perusahaan dibandingkan kompetitor. Setelah melakukan outsourcing, beberapa perusahaan bahkan dapat mengurangi jumlah karyawan mereka secara signifikan karena banyak dari pekerjaan rutin mereka menjadi tidak relevan lagi. Juga dapat mengurangi Resiko, perusahaan mampu mempekerjakan lebih sedikit karyawan, dan dipilih yang intinya saja. Hal ini menjadi salah satu upaya perusahaan untuk mengurangi resiko terhadap ketidakpastian bisnis di masa mendatang. Jika situasi bisnis sedang bagus dan dibutuhkan lebih banyak karyawan, maka kebutuhan ini tetap dapat dipenuhi melalui outsourcing. Sedangkan jika situasi bisnis sedang memburuk dan harus mengurangi jumlah karyawan, perusahaan tinggal mengurangi jumlah karyawan outsourcing-nya saja, sehingga beban bulanan dan biaya pemutusan karyawan dapat dikurangi.
Meningkatkan efisiensi dan perbaikan pada pekerjaanpekerjaan yang sifatnya non-core. Umumnya mereka menyadari bahwa merekrut dan mengkontrak karyawan, menghitung dan membayar gaji, lembur dan tunjangan-tunjangan, memberikan pelatihan, administrasi umum serta memastikan semua proses berjalan sesuai dengan peraturan perundangan adalah pekerjaan yang rumit, banyak membuang waktu, pikiran dan dana yang cukup besar. Mengalihkan pekerjaan-pekerjaan ini kepada vendor outsourcing yang lebih kompeten dengan memberikan sejumlah fee sebagai imbalan jasa terbukti lebih efisien dan lebih murah daripada mengerjakannya sendiri. Begitu banyak keuntungan dari outsourcing jika dijalankan dengan benar, namun lain halnya bagi tenaga kerja sistem outsourcing ini membuat buruh merasa diperbudak, hanya mengikuti aturan yang ada tanpa diberi kebebasan menyuarakan aspirasinya untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Tenaga kerja sudah merasa tertindas saat sistem kontrak tenaga kerja dan beberapa tahun ini lebih sangat
“Intinya kami hanya membantu bagi mereka, kami tidak mengambil keuntungan, kami mendapatkan fee dari pengguna jasa tersebut, kami sama sekali tidak memotong dari hak pekerja, di samping membantu pemerintah dalam mengurangi pengangguran.”
tertindas dan diperbudak dengan adanya outsourcing tenaga kerja, yang mana perusahaan pemakai hanya memakai buruh bila hanya benar-benar dibutuhkan setelah itu akan dikembalikan. Upah gaji yang minim, jaminan kerja yang tersendat-sendat, diskriminasi perlakuan, dan masih banyak lagi masalah lainnya membuat MK dan Menakertans meninjau kembali hukum yang mengatur tentang penggunaan jasa outsourcing dan pekerjaannya. Hal ini merupakan suatu niatan yang baik, tentunya jika diimbangi dengan penegakan hukum yang tepat pula. Lantas bagaimana dengan Business Process Outsourcing? Apakah itu sudah diatur dengan baik di Indonesia? Itu juga perlu mendapatkan perhatian yang sangat detail, kecuali kalau memang keputusan pemerintah sudah baku bahwa outsourcing dilarang kecuali yang lima jenis pekerjaan, tetapi berbicara mengenai lima jenis adalah kebanyakan bagian dari bisnis proses outsourcing.
Ketika saya menggunakan jasa dari suatu perusahaan kebersihan outsourcing, saya tidak peduli berapa orang yang bekerja, yang saya tertarik adalah kantor saya bersih. Namun apakah itu sekarang sudah diatur dengan baik, jika itu dibolehkan, harus ada pengaturan bisnis proses outsourcing dan juga Recruitment Process Outsourcing apakah itu masih dibolehkan atau juga dibatasi.
Beberapa tujuan menggunakan jasa outsourcing di antaranya ialah penghematan, efisiensi, dan kemitraan. Di masa lalu menggunakan jasa outsourcing bertujuan sebagai penghematan seperti untuk cost saving dan mengkontrol head count yang ada, namun saat ini sudah tidak bisa dikatakan seperti itu lagi. Jadi perusahaan-perusahaan pengguna jasa outsourcing yang berpikiran untuk hemat yang instan sudah tidak HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
71
part3
cocok. Betul ada penghematan, namun untuk jangka panjang.
Kemitraan yang memiliki kaitan dengan bisnis proses outsourcing, di antaranya mencari satu mitra untuk melakukan beberapa pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan sendiri. Untuk ini dilakukan rekrutmen terhadap para pencari kerja diantaranya ialah yang baru lulus dari pendidikan, pelamar yang belum memiliki pengalaman kerja, dan mereka yang tidak berhasil mendapatkan pekerjaan tetap. Saya punya pengalaman saat melakukan perekrutan, yang datang pada kami semuanya adalah yang baru lulus. Saat ditanya kenapa melamar, jawabannya hampir seragam karena tidak kunjung mendapat pekerjaan.
Selain yang baru lulus, banyak calon belum berpengalaman, banyak mahasiswa-mahasiswa kita yang belum berpengalaman. Kategori selanjutnya ialah mereka yang tidak berhasil mendapatkan pekerjaan tetap. Pada saat saya melakukan rekrutmen, ada seseorang masuk dengan pakaian agak lusuh, kemudian di depan sudah ditolak, namun karena saya tertarik dengan sosok dia, saya panggil dan ternyata dia adalah Sarjana S1. Saya tanya mengapa Anda berpakaian sangat sederhana begini, seraya menjawab karena saya tidak punya, lalu saya sepakat saat itu juga saya memberikannya uang untuk membeli pakaian, lalu ia kembali untuk mengikuti interview. Ternyata ia memiliki capability untuk di-hire lalu saya ikuti perkembangannya dua tahun kemudian ia telah berubah sangat positif. Intinya kami hanya membantu bagi mereka, kami tidak mengambil keuntungan, kami mendapatkan fee dari pengguna jasa tersebut, kami sama sekali tidak memotong dari hak pekerja, di samping membantu pemerintah dalam mengurangi pengangguran. Kenapa harus dibatasi saat ini, di negara-negara mana pun tidak ada pembatasan mengenai outsourcing, yang ada adalah regulasi yang baku yang memberikan gaji yang fair kepada mereka. Peraturan baku yang melindungi tenaga kerja itu sudah absolut, peraturan/pengawasan untuk penyedia tenaga kerja, kami ini memang harus diawasi, diseleksi, dan bertanggung jawab atas pekerja tersebut. Bagi pengguna jasa itu adalah kepastian, banyak grey area yang bisa nanti kembali lagi tidak ada perubahan. Sedangkan yang dimaksud peraturan melindungi tenaga kerja di antaranya ialah upah dasar untuk dapat hidup layak, wajib diberikan upah tambahan khusus, berupa tunjangan retensi, yang jumlahnya meningkat setiap tahunnya, jaminan sosial sesuai peraturan pemerintah, dan asuransi kesehatan. Tahun lalu saya mengurangi sekitar 1.500 karyawan, karena kami tidak bisa mendapatkan kesepakatan.
72
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Kami tidak bisa mengubah, karena itu prinsip dari perusahaan, karena kami ingin memberikan yang terbaik bagi pekerja. Modal uang, ada klasifikasi yang saya kira ada baiknya setiap perusahaan outsourcing kalau masih diizinkan dibuat klasifikasinya, dari kecil, sedang, dan besar. Dengan klasifikasi ini, modal kerjanya ditetapkan oleh pemerintah sehingga tidak ada alasan pada bulan ke-13 telat bayar THR, kalau memang ingin klasifikasinya kecil maka ditentukan head count-nya, demikian juga untuk perusahaan skala sedang dan besar juga begitu.
Saat ini jumlah angkatan kerja di tanah air kurang lebih 120 juta, dan menurut statistik tingkat pengangguran terbuka 6,14% atau sama dengan 76 juta. Perbandingannya dengan negara-negara Eropa, Jerman jumlah pengangguran sekitar 6%, Belanda (5,3%), Prancis 10%, dan Spanyol 25% di mana angka ini mengkhawatirkan karena pengangguran dalam usia muda mencapai separuhnya (50%). Selain itu, jika berbicara mengenai sosialisasi ketenagakerjaan, menurut saya satu tahun sangatlah pendek, karena ini menyangkut dapur banyak orang. Prakteknya melakukan sosialisasi dalam hal ini perlu melibatkan organisasi maupun perusahaan sehingga bagusnya dimulai sejak dini. Langkah pertama yang mungkin dapat dikerjakan ialah mengumpulkan perusahaan yangg melakukan praktek alih daya yang difasilitaskan oleh pemerintah. Kemudian mengundang pengguna jasa, dan juga serikat buruh agar mendapatkan persepsi yang sama. Jika di UU tidak terlalu detail, mungkin bisa dicontohkan dengan juklak. Termasuk yang baru-baru ini perusahaan outsourcing dibingungkan untuk membayar PPn atas karyawan outsourcing, dengan jumlah PPn besar, dan sekarang ada lagi yang bilang kalau peraturan yang menyatakan bahwa PPn tidak harus. Sayangnya saat diklarifikasi, tidak ada yang dapat memberikan penjelasan secara tertulis.
Jadi kembali lagi bahwa sosialisasi ketenagakerjaan ini harus cepat dan direncanakan sebaik mungkin agar menjadi jelas dan sanksi-sanksi apa yang akan diberikan kepada penyedia tenaga kerja dan pemakai tenaga kerja. Bagi perusahaan seperti kami, jika sudah mengambil dan mengikatkan diri dengan sebuah tanggung jawab, maka perusahaan akan terseleksi dan berhati-hati dalam melakukan tanggung jawabnya. Prinsipnya bukan hanya mendapatkan untung saja, namun juga memberikan haknya kepada pekerja. (Farid Aidid, Managing Director at Advanced Careers Indonesia)
Paparan Isu-Isu Ketenagakerjaan di Akhir Tahun 2012 Irianto Simbolon
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
73
part3
KITA semua tentunya mengetahui cukup hangat mengenai fenomena yang mencuat belakangan ini. Dari catatan kami ada beberapa isu ketenagakerjaan yang berasal dari keinginan tuntutan masyarakat baik masyarakat pekerja, masyarakat pengusaha, dan masyarakat akademisi, dan sebagainya, yang tentunya masyarakat tersebut tidak hanya berada di Indonesia, namun juga yang berada di luar negeri yang menghendaki adanya sesuatu lebih baik, seperti adanya kepastian berbisnis, khusus terkait dengan outsourcing. Pemerintah Indonesia juga tengah melakukan peninjauan terhadap praktek outsourcing yang terjadi serta bagaimana penegakan hukumnya selama ini. Pada Januari 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Menteri Tenaga Kerja dan Tansmigrasi meninjau ulang kebijakan-kebijakan yang mengatur praktek outsourcing dan memberi putusan-putusan perkara untuk memperkuat posisi pekerja outsourcing. Masalah-masalah yang dibahas oleh MK dan Menakertans tersebut antara lain adalah hak pekerja (terutama gaji), isu-isu pekerja, jaminan pekerja, serta perlakuan tanpa diskriminasi di antara pekerja dalam suatu perusahaan pengguna outsourcing. Hal ini tentunya sangat disambut oleh pekerja outsourcing dengan suka cita mengingat bahwa regulasi di Indonesia masih belum jelas sehingga pekerja tersudutkan. Ada beberapa isu yang berkembang di tahun 2012, pertama mengenai masalah penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau outsourcing. Pengertian atau definisi outsourcing dalam hubungan kerja tidak ditemukan dalam UU No.13/2003. Akan tetapi di dalam Pasal 64 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem outsourcing adalah hubungan kerja fleksibel yang berdasarkan pengiriman atau peminjaman pekerja. Meskipun pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pengguna, akan tetapi Undang-undang sebenarnya mengatur perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja dari perusahaan penyedia jasa sekurang-kurangnya sama dengan pekerja yang berstatus pekerja di perusahaan pengguna. Bahwasanya pemerintah tidak mengenal istilah outsourcing, karena di dalam UU No. 13 2003 pada pasal 64, 65, dan 66 tidak ada satu kata yang menyinggung mengenai outsourcing. Sedangkan di tahun 2011, Mahkamah Konstitusi
74
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
“Nilai pembeda antara suatu perusahaan dengan perusahaan lain bukanlah terletak pada produknya semata, melainkan pada manusianya yang berkualitas sehingga dapat membuat produk yang bernilai.”
dengan keputusan No. 27, menyebutkan mengenai outsourcing. Sedangkan isu selanjutnya ialah mengenai pengupahan, Perusahaan Penyedia Jasa (PPJ). Sebagai komponen bangsa, kita semua tidak boleh langsung bersenang-senang terlebih dahulu, karena esok akan ada lagi masalah yang datang seiring dengan dinamika. Misalnya, saat ini sebanyak 117.000 perusahan, kami record dengan UU No. 7 tentang wajib lapor ketenagakerjaan. Mungkin bulan depan sejalan dengan kondisi kemampuan ataupun pertumbuhan ekonomi ada yang berakhir usahanya, ada juga yang malah tutup. Sehingga SDM yang akan mengelola usaha-usaha itu harus ditambah lagi skill dan pengetahuannya, hal ini dimaksudkan bahwa akan selalu ada perubahan-perubahan. Jika kita mengikuti seperti apa yang diungkapkan Menteri Ketenagakerjaan, ini merupakan bagian dari perubahan. Saya menambahkan, persoalan-persoalan yang timbul bisa dikatakan merupakan bagian dari suatu perubahan yang signifikan menjelang satu dasawarsa diberlakukannya UU No. 13 2003. Kita bersyukur karena di dalam persoalan yang tengah dihadapi, akhirnya bisa diselesaikan dengan baik, dan berarti persoalan outsourcing bisa dianggap selesai dari sisi aturannya. Karena hal itu merupakan harapan kita semua yang telah melewati proses yang panjang. Persoalan-persoalan yang timbul, kami lihat tidak hanya miss di vendornya atau di pihak ketiga, namun juga di perusahaan pemberi kerjanya, karena memang perusahaan pemberi kerja yang diberi kewenangan dalam UU untuk menetapkan mana alur pekerjaan yang core ataupun yang non-core. Di situlah awal mula
timbulnya persoalan lain, yang langsung menjadi rangkaian panjang yang berujung pada masalah sistem hubungan kerja. Seharusnya pada pasal mengenai sistem hubungan kerja yang menyebutkan, bahwa sifat pekerja yang bekerja terus menerus tidak boleh dikontrak, namun oleh sebagian teman-teman pengusaha baik pemberi pekerja maupun penerima kerja melaksanakan hal yang yang tidak sesuai, sehingga persoalan menjadi kompleks. Satu hal yang perlu disayangkan dari perspektif kebanyakan perusahaan di Indonesia ini adalah memandang bahwa pekerjaan buruh tidaklah penting. Banyak yang beranggapan bahwa pekerja buruh bisa dengan mudah dicari sebab tidak membutuhkan keterampilan khusus dan di zaman seperti ini siapa pun butuh pekerjaan. Maka tidak berlebihan jika mengatakan bahwa mereka memandang pekerja outsourcing bukanlah aset yang penting bagi perusahaan mereka.
Padahal jika menurut perspektif HR, SDM merupakan aset yang paling penting dalam suatu perusahaan. Nilai pembeda antara suatu perusahaan dengan perusahaan lain bukanlah terletak pada produknya semata, melainkan pada manusianya yang berkualitas sehingga dapat membuat produk yang bernilai. Jika perusahaan dapat menanamkan nilai-nilai organisasi serta menjelaskan bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan itu penting meskipun ia hanya sebagai buruh sekali pun, pekerja akan merasa bahwa dirinya dibutuhkan
dalam perusahaan dan bahwa pekerjaannya tersebut berperan dalam mencapai tujuan organisasi.
Tentu kita juga menyelaraskan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi No 27. Pokok-pokok perubahan yang pertama ialah mengenai kepastian berbisnis, karena semua negara menjalankan sistem alih daya, malah di beberapa negara sistem ini tidak dilindungi oleh satu peraturan perundang-undangan, asalkan telah terjadi perjanjian dari kedua belah pihak.
Soal kepastian berbisnis ini, seiring dengan kepastian mana yang core dan yang non-core, jelas bahwa yang core tidak boleh di-outsourcing, sedangkan non-core atau penunjang boleh di-outsourcing. Untuk yang noncore dipertegas melalui Peraturan Menteri, dan dapat dilaksanakan melalui dua metode. Pertama, melalui pemborongan pekerjaan. Kedua, melalui perusahaan penyedia jasa. Perusahaan yang melaksanakan pekerjaan non-core dengan pola diborongkan, beda lagi dengan pekerjaan yang dilakukan dengan pekerja buruh penyedia jasa pekerja buruh/alih daya.
Setelah didiskusikan, ternyata UU itu mengisyaratkan hanya lima yang boleh dilakukan oleh pekerja buruh untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Hanya lima kegiatan di antaranya, cleaning service, catering, transportasi untuk pekerja buruh, penunjang oil & gas, dan bidang pengamanan (security). Untuk bidang security ada bagian-bagian tertentu yang pengertian pengamanan di bank tidak tepat diHC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
75
part3
outsourcing, karena berbahaya dan mengancam kerahasiaan bank.
Tinggal kita beri kesempatan untuk melakukan penyesuaian mengubah, karena banyak hal yang dilakukan, seperti dahulu pada Permenakertrans No. 101 dan No. 220 mengatakan izin operasional lima tahun, akhirnya izin operasional dipotong melalui pertimbangan oleh Menteri cukup tiga tahun, agar kita mudah melakukan penyegaran dan kontrol. Yang kedua ialah izin itu tidak berlaku lagi skala nasional namun di tingkat I/provinsi. Itu juga dipotong jika menjadi high cost, intinya kita akomodir apa yang menjadi keluhan pengusaha.
Yang terakhir ialah adanya suatu peningkatan kesejahteraan, karena di Permenakertrans ini, pekerja buruh yang di-outsourcing haknya sama dengan pekerja buruh yang permanen maupun kontrak, ataupun yang organik, seperti mendapatkan tunjangan hari raya. Kami terus melakukan pembinanan dan kontrol, karena kita tahu kebanyakan teman-teman yang di-outsourcing tidak mendapatkan THR. Sekarang wajib diberikan THR, caranya ialah tingggal menghitung proporsional masa kerjanya. Selain itu meningkat pula partisipasi keikutsertaan program sosial security, serta mulai ada yang memberikan hak cuti. Semua itu kita beri waktu untuk transisi mengikuti kepada Peraturan Menteri yang baru,
76
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
selambat-lambatnya 12 bulan agar bisa segera melakukan penyesuaian-penyesuaian. Nanti pada tanggal 13 November 2013 akan dilakukan tutup buku, yakni untuk mengevaluasi bagaimana perusahaan yang belum dengan alasan apa pun, dan kalau tidak berubah akan dicabut izinnya, tidak ada lagi main-main. Kami meminta kepada perusahaan pemberi kerja agar lebih selektif untuk memenangkan tender kepada perusahaan penyedia jasa. Kami tahu bahwasanya tidak ada yang rugi, hanya saja berkurang untungnya, mungkin saja tidak sebesar yang lalu. Kita lakukan usaha dengan membuat peraturan yang jelas mengingat masih ada sekitar 7,2 juta saudara-saudara kita yang masih menganggur.
Kalau pola eskalasi angka pengangguran tidak turun, ini perlu diwaspadai karena di era bebas ini semua bisa masuk ke mana saja, seperti ekspatriat akan masuk di tahun 2015 dan pastinya menjadi ancaman sekaligus peluang bagi kita. Kita akan terus berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita yang sudah terus membaik, pemerintah juga terus berupaya bagaimana pekerja buruh itu seiring dengan kemajuan bisnis, juga kesejahteraannya ikut meningkat. (Irianto Simbolon, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenakertrans RI)
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
05
part4
Seri Peningkatan Karir 1: BOS JUGA MANUSIA, Teknik Kompak dengan Atasan
Bos
Manusia (ternyata) juga
ADALAH sebuah kisah klasik jika kita berbicara naik turunnya hubungan atasan dan bawahan. Jika bisa didramatisir, seorang bawahan, team member atau subordinate punya hubungan antara benci tapi rindu. Pada kenyataannya, jika berbicara tentang atasannya, semua peserta pelatihan yang saya temui berkisah antara kesal sampai terinspirasi. Banyak sekali yang berharap, atasannyalah yang diikut sertakan dalam pelatihan ini, bukan dirinya. Namun pernahkah kita melihat dari sudut pandang atasan?
Saya bertanya kepada beberapa top level management termasuk beberapa CEO dari perusahaan minyak serta permen terkenal di Indonesia tentang bawahan terhebat yang pernah bekerja sama bersamanya, mereka menyebutkan beberapa kesamaan ciri. Bawahan yang mereka anggap berpengaruh ini memiliki ciri: 1. Punya kompetensi di pekerjaannya, 2. Penuh inisiatif dan mau belajar dari kesalahan dan 3. Enak diajak diskusi. Ternyata, seperti layaknya para bawahan yang membutuhkan bantuan orang lain, atasan juga membutuhkan bantuan dari bawahannya, untuk memberi dukungan dan tukar pikiran. Bawahanbawahan seperti inilah yang saya sebut Bawahan
78
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Berpengaruh. Merekalah yang menjadi inspirasi saya dalam membuat buku Menjadi Bawahan Berpengaruh, bahwa bawahan bisa begitu berarti bagi atasannya.
Stresnya Menjadi Atasan Tidak bisa dipungkiri bahwa semenjak memasuki milenium ketiga, dengan globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi, persaingan bisnis memasuki tahap yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Perusahaan raksasa bisa jatuh dalam hitungan beberapa tahun saja dan perusahaan kecil bisa mencapai laba raksasa. Hal ini membuat tekanan pada top level management meluap sampai ke orangorang di bawahnya. Semua profesional di semua level merasakan peningkatan stres dalam bekerja, termasuk para atasan. Sebuah organisasi pengembangan kompetensi kepemimpinan, Center for Creative Leadership atau CCL yang berpusat di Amerika Serikat, mengemukakan hasil survei tentang stres-nya dari atasan: • 88% pemimpin yang disurvei merasa bahwa sumber stres mereka datang dari pekerjaan dan menjadi pemimpin meningkatkan stres mereka. • Lebih dari 60% pemimpin yang disurvei menyatakan bahwa organisasinya gagal memberikan dukungan
pada mereka dalam mengelola stres. • Lebih dari 2/3 pemimpin yang di survei menyatakan bahwa stres meningkat dibanding 5 tahun lalu.
Survei yang dilakukan pada tahun 2006 meneliti 160 responden dalam 3 bulan ini juga mengungkapkan bahwa penyebabnya karena kurangnya sumber daya dan waktu yang menjadi penyebab stres mereka. Stres disebabkan karena upaya yang diberikan untuk mencapai target yang lebih banyak, lebih cepat dengan sumber daya yang lebih sedikit. Terima kasih untuk Michael Campbell – project leader dari survei ini yang telah memberi ijin untuk menggunakan data dalam white paper report dari survei ini. Kondisi di atas membuat pendapat dari para penulis War for Talent (perang mendapatkan karyawan bagus) menjadi sangat masuk akal: “Adalah sebuah pemahaman penting yang mengatakan bahwa karyawan berbakat adalah pendorong penting bagi kinerja organisasi dan kemampuan perusahaan dalam menarik, mengembangkan dan mempertahankan karyawan berbakat akan menjadi faktor yang membuat perusahaan dapat bersaing.” War for Talent, Ed Michaels, Helen Handfield-Jones, Beth Axelrod, Harvard Business School Press, 2001. Dan tak pelak lagi, buku yang terbit di awal milenium ketiga ini masih menjadi salah satu referensi penting bagi banyak praktisi talent management di berbagai industri.
Pentingnya Kompak dengan Atasan Di satu sisi, atasan stres karena perusahaan memberinya target lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit. Di sisi lain, Anda sebagai bawahan sangat butuh untuk mencapai target yang diberikan oleh atasan agar di akhir tahun Anda mendapat bonus, track record Anda lebih baik atau kepuasaan Anda dalam mencapai target tercapai. Atasan sebenarnya berperan banyak dalam membangun keterlibatan kerja dan peningkatan karir Anda. Kalau Anda bisa kompak dengan atasan, dia bisa menjadi penasehat dalam Anda mengambil keputusan penting pekerjaan dan pengembangan kompetensi Anda, sebagai rekan tukar pikiran bahkan untuk urusan keluarga, serta sebagai pembuka jalan bagi karir yang lebih baik. Sebaliknya, bagi atasan, pendapat Anda berpengaruh karena Anda dapat dihandalkan dalam keadaan darurat karena tekanan atasannya. Seorang manager wilayah sebuah rantai restauran pernah bercerita bagaimana atasannya yang keras dan ditakuti oleh bawahan bisa menjadi pemecut semangatnya untuk mengambil kuliah malam dan membantunya mendapatkan posisi yang lebih baik. Menjadi Bawahan yang Berpengaruh
Menjadi kepercayaan atasan alias pendapat Anda didengar dan diperhitungkan oleh atasan membuat kepentingan Anda juga didengar dan diperhitungkan. Tentunya menjadi kepercayaan atasan bukan berarti kerja santai. Tekanan pada bawahan seperti ini bisa jadi lebih besar dibanding bawahan yang ‘kurang’ dipercaya. Karena atasan tentunya akan menanyakan pendapatnya. Namun karena besarnya peran bawahan berpengaruh ini wajar saja soal penilai kinerja akan dipandang berkinerja di atas rata-rata. Saya menyarankan pendekatan berikut ini agar Anda bisa menjadi bawahan yang berpengaruh bagi atasan. Pendekatan yang sangat Indonesia agar mudah dimengerti dan dipraktikkan oleh profesional Indonesia.
Kerja Ikhlas Ikhlas memiliki arti mendalam lebih dari sekedar tulus. Ikhlas menurut Bapak Quraish Shihab, yang sangat paham Bahasa Arab, berasal dari kata khalis yang berarti kembali suci dari yang sebelumnya kotor. Bekerja ikhlas berarti meluruskan niat Anda kembali dalam bekerja. Kalau di Barat, sense of meaning ini adalah sisi spiritual dari pekerjaan. Anda ke kantor tentunya berniat untuk mencari nafkah, mencari ilmu, menebar manfaat atau mencari uang untuk menggapai cita-cita. Jadi bersihkan kembali niat itu, karena niat yang paling mulia pun pasti akan mendapat tantangan
“Adalah sebuah pemahaman penting yang mengatakan bahwa karyawan berbakat adalah pendorong penting bagi kinerja organisasi dan kemampuan perusahaan dalam menarik, mengembangkan dan mempertahankan karyawan berbakat akan menjadi faktor yang membuat perusahaan dapat bersaing.”
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
79
part4
dalam pelaksanaannya.
Pertanyaan pentingnya adalah apa alasan terdalam dari Anda bekerja? Kerja Cerdas Bekerja cerdas berarti menemukan cara agar Anda memenuhi kualifikasi pekerjaan Anda. Yang berarti Anda memang harus menguasai ketrampilan, pengetahuan dan karakter yang dibutuhkan sesuai pekerjaan Anda. Bekerja cerdas juga berarti bekerja cerdas-cendas alias pintar-pintar. Bukan dalam arti yang negatif seperti pintar mencari muka, tapi Anda harus cerdik melibat kebutuhan atasan Anda. Seorang penasehat karir dari Inggris, Sophie Rowan dalam bukunya Happy at Work (Prentice Hall, 2007) menulis, “Memahami apa yang mendorong sikap dan tindakan atasan membantu Anda membaca situasi dan mengantisipasi situasi kerja yang berbedabeda.” Bekerja cerdas ini membutuhkan kecerdasan, kreativitas serta kepekaan dalam mendeteksi kebutuhan atasan dan orang lain sehingga orang merasa aman dan nyaman dengannya.
Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah Anda mengenali gaya kerja atasan Anda? Kerja Keras Kerja keras tentunya bicara energi dan usaha. Energi dan usaha yang maksimal dalam mencapai hasil yang terbaik dalam situasi yang banyak di luar kontrol kita. Sedia payung sebelum hujan, alias lakukan antisipasi. Bersakit-sakit dahulu berenang-renang kemudian, agar Anda siap menghadapi permintaan atasan atau perubahan yang mendadak. Paduan antara kedisiplinan dan kecermatan dikombinasikan dengan energi murni dari niat kerja yang tulus dan kecerdasan membuat Anda bisa memberi lebih dari apa yang diminta sesuai batas luar kemampuan Anda. Pertanyaan pentingnya adalah apa antisipasi yang Anda perlu lakukan mengingat gaya kerja atasan Anda? Kerja Sehat Hubungan yang langgeng menuntut kondisi dan hubungan yang sehat. Kelola stres Anda. Kondisi badan dan pikiran yang sehat membuat Anda selalu fit sehingga memudahkan Anda untuk konsentrasi dan tanggap dalam menghadapi tantangan. Dalam bahasa keamanannya adalah 55, yang berarti fit atau dalam stamina terbaik dan siap menyelesaikan tugas secara maksimal. Kerja sehat juga berarti memiliki hubungan yang sehat dengan atasan. Sebuah penindasan jika Anda sering menjadi korban dari egoisme atasan sehingga Anda harus mampu bernegosiasi dengannya agar kehidupan Anda bisa lebih seimbang. Kerja sehat sengaja diletakkan diakhir dari proses ini agar Anda memiliki nilai lebih di mata atasan dahulu agar
80
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
memperkuat nilai tawar Anda dalam bernegosiasi kepentingan pribadi dan keluarga Anda.
Pertanyaan bagi Anda agar memiliki hubungan kerja sehat dengan atasan adalah apakah Anda bisa mengungkapkan pendapat dan kekhawatiran Anda dengan sistematis dan masuk akal? Kedengaran sangat idealis untuk memenuhi kerja ikhlas-cerdas-keras-sehat ini. Namun bagi Anda yang mengerjakan PR (pekerjaan rumah) Anda sebagai seorang profesional yang bertanggung jawab pada hidup Anda, proses ini sangat masuk akal dan nyata. PR yang saya maksud adalah setiap profesional bertanggung jawab untuk merencanakan karirnya sendiri. Hanya profesional yang punya rencana karir dan cita-cita memiliki energi lebih untuk memecahkan masalah sehari-hari. Pesatnya Karir si Bawahan Berpengaruh Dari semua direktur dan top level management yang saya interview, semuanya menyatakan bahwa profesional hebat yang pernah menjadi bawahan mereka dulu, saat ini memiliki karir yang gemilang. Bahkan ada yang memiliki perusahannya sendiri. Tidaklah mengherankan jika seorang yang memiliki kompetensi, inisiatif dan mau terus belajar serta membuat orang nyaman bahkan untuk bertukar pikiran memiliki kelapangan jalan untuk berkembang. Jadi tunggu apa lagi, waktunya Anda mencapai karir impian Anda tahun ini.
(Rivalino Shaffar, adalah penulis dan fasilitator yang memfokuskan diri dalam pengembangan karir, produktivitas dan kepemimpinan. Rino menciptakan perencanaan karir The Esssential Career Compass. Kontak Rino di Twitter@rivalinoshaffar dan progresperforma.com)
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
81
part4
Perjalanan Mencari Makna Engagement bagi Organisasi Pengertian Engagement dan perilaku ‘nyeleneh’ manusia N. Krisbiyanto
82
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
ENTAH mengapa pilihan kata engagement dipakai untuk menjelaskan keterpautan dan dedikasi yang tinggi dari seorang karyawan kepada Perusahaannya. Sementara arti harfiah dari kata “engagement” sebenarnya adalah pertunangan sepasang kekasih. Mungkin saja hal ini didasari bahwa suatu pertunangan bermakna akan adanya suatu komitmen, keterpautan, dedikasi, loyalitas, kesetiaan dan tentunya sudah semestinya jauh dari “perselingkuhan moral.” Saya pernah membaca artikel beberapa fenomena aneh ketika seseorang menikahi benda hidup dan benda mati seperti Erika La Tour Eiffel, yang berusia 37 tahun, seorang mantan tentara yang tinggal di San Fransisco yang menikahi menara Eiffel pada tanggal 4 Juni 2007. Atau Sharon Tendler, seorang wanita asal Redbridge,London Timur, yang menikahi seekor lumba-lumba, prosesi pernikahannya digelar di Israel. Dalam pernikahan itu Sharon mengenakan gaun pengantin sutra warna putih dan mahkota berwarna merah muda. Sedangkan lumba-lumba yang dinikahinya bernama Cindy. Selama pernikahannya Cindy berenang mengiringi pengantin wanitanya. Salah satu prosesi acara itu adalah Sharon mencium Cindy, dan berbisik…“saya cinta kamu.” Cukup gila dan ‘nyeleneh’ mungkin, tapi bagaimana jika seorang karyawan bertunangan dan menikahi Perusahaannya? Bukankah dia menghabiskan sebagian besar waktunya di Perusahaan? Bukankah banyak ungkapan seorang isteri kepada suaminya bahwa pekerjaannya adalah isteri pertamanya dan isterinya yang di rumah adalah yang kedua? Bukankah Perusahaan memberinya nafkah, memberinya karir dan juga terkadang rasa sangat bahagia (apabila mendapatkan bonus besar dan promosi tentunya) dan duka yang dalam (apabila diacuhkan atasan, diberikan surat peringatan, dan tidak ada kenaikan gaji). Saya tentunya tidak serius mengajak Anda menikahi atau bertunangan dengan Perusahaan Anda, tetapi hanya memberikan gambaran betapa dahsyatnya kalau seorang karyawan begitu mencintai perusahaannya. Dia tentunya akan berdedikasi sangat tinggi, begitu mencintai dan menjaga brand image perusahaannya, membelanya mati-matian, bekerja keras memajukan perusahannya dan memegang teguh moralitas yang tinggi untuk tidak pernah menduakannya dengan memikirkan untuk pindah ke perusahaan lain. Seringkali kita tidak benar-benar memikirkan bahwa banyak orang-orang yang masih berdedikasi tinggi di sekitar kita. Mungkin kita perlu untuk sesaat membayangkan diri kita menjadi seorang tentara yang sedang dalam keadaan berperang terbaring di hutan belantara menggenggam senjata dengan peluru yang tak henti-hentinya berdesing di atas kepala kita,
apakah seorang prajurit melakukan itu semua karena mengharapkan penghasilan semata? Atau pernahkah Anda membayangkan menjadi seorang nahkoda kapal yang terombang-ambing di lautan di tengah badai hebat, apakah si nahkoda rela terombang-ambing karena hanya mengharapkan penghasilan semata? Rasa-rasanya, jawabannya tidak, karena ada sesuatu yang begitu ia percayai, ia cintai dan banggakan dari pekerjaan atau institusinya.
Dedikasi dan keterlibatan seorang karyawan untuk menjalankan tugas terkadang sulit dibayangkan secara masuk akal bahkan oleh manusia lainnya. Jika ukuran suatu keterikatan adalah uang semata maka mungkin kita keliru karena banyak sekali orang yang bekerja tanpa mengharapkan upah. Contohnya, adalah Pak Madsai yang menanam mangrove selama 30 tahun di cagar alam Pulau Dua Banten. Semua ia lakukan karena kecintaannya yang tinggi akan lingkungan hidup yang begitu dijiwainya sehingga mengalahkan begitu banyak prioritas dalam kehidupannya. Ketertarikan Organisasi mempelajari mengenai Engagement Karyawan Sejak awal 1920-an, peneliti-peniliti manajemen di Amerika telah tertarik kepada hal-hal dan kondisikondisi apa yang mendorong terbentuknya tenaga kerja yang efektif. Penelitian difokuskan pada semangat dalam pengaturan tim dan dampaknya terhadap kesediaan tim untuk mencapai tujuan organisasi.
Salah satu aplikasi awal teori ‘engagement’ dibuat oleh para peneliti Angkatan Darat AS yang selama Perang Dunia Kedua (PD II) berupaya untuk memprediksi kekompakan unit dan pertempuran serta kesiapan prajurit sebelum pertempuran. Dengan teori manajemen bisnis yang mempelajari dan mendalami asal-usul para prajurit tersebut dan mempelajari hal-hal yang membuat mereka secara aktif memiliki engagement kepada institusinya telah menjadi suatu landasan teori engagement yang penting yang menjadi kunci suksesnya pelaksanaan strategi militer. Maka kalau Anda pernah menonton film-film Amerika yang menayangkan mengenai Navy Seal, atau GI-Joe, Anda akan dapat dengan mudah menilai bagaimana kecintaan dan kebanggaan para prajurit terhadap institusi-institusi mereka.
Pada 1930, George Gallup memulai study di seluruh dunia mengenai kebutuhan manusia dan kepuasan. Dia mempelopori pengembangan proses pengambilan sampel ilmiah untuk mengukur opini populer. Dr. Gallup yang tadinya berkecimpung di dalam surveysurvey politik mulai melakukan penelitian yang serius HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
83
part4
tentang kesejahteraan manusia, mempelajari faktor-faktor umum di antara orang-orang yang hidup sampai 95 tahun atau lebih (Gallup & Hill, 1959). Selama beberapa dekade berikutnya, Dr. Gallup dan rekan-rekannya melakukan jajak pendapat banyak di seluruh dunia, yang mencakup banyak aspek kehidupan kemasyarakatan. Jajak pendapat awal dunia berurusan dengan topik-topik seperti keluarga, agama, politik, kebahagiaan pribadi, ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan sikap terhadap pekerjaan. Dimulai pada 1950-an, Dr. Clifton dari Selection Research, Incorporated (SRI) di Lincoln, Nebraska, yang kemudian melakukan merger dengan Gallup, mulai mempelajari pekerjaan dan lingkungan belajar untuk menentukan faktor-faktor yang berkontribusi positif terhadap lingkungan dan yang memungkinkan orang untuk memanfaatkan bakat mereka yang unik. Dr. Clifton mulai mendalami mengenai ilmu pengetahuan dan studi tentang kekuatan referensi individu terhadap sikap yang terbentuk.
84
Dari tahun 1950 hingga tahun 1970-an, Dr. Clifton melanjutkan penelitian terhadap siswa, konselor, manajer, guru, dan karyawan. Dia menggunakan skala penilaian dan berbagai teknik wawancara untuk mempelajari perbedaan individu, menganalisis pertanyaan dan faktor-faktor yang menjelaskan perbedaan pada manusia. Konsep belajar seseorang termasuk hal-hal yang menyangkut kepada “fokus seseorang pada kekuatannya dibandingkan kepada kelemahannya,” “hubungan,” “dukungan personel,” “persahabatan”, dan “belajar”. Berbagai pertanyaan didalami, ditulis dan diuji. Hal-hal tersebut yang pada akhirnya melahirkan HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
versi awal dari Q12 yang sangat terkenal yang hingga saat ini selalu dipakai oleh Gallup untuk mengukur mengenai engagement karyawan di suatu organisasi.
Teknik umpan balik berkelanjutan pertama kali dikembangkan, dengan maksud mengajukan pertanyaan, mengumpulkan data, dan mendorong diskusi yang sedang berlangsung di mana hasilnya dapat dipergunakan untuk memberikan umpan balik perbaikan dan potensi – umpan balik pengukuran yang berbasis proses yang dipakai untuk mempelajari penyebab “turnover” dari karyawan. Wawancara keluar dilakukan dengan karyawan yang meninggalkan organisasi di mana alasan-alasan umum kebanyakan berpusat pada kualitas manajer.
Pada 1980-an, ilmuwan Gallup melanjutkan proses berulang-ulang dengan mempelajari individu dan tim yang menunjukkan kinerja tinggi. Studi melibatkan penilaian bakat individu dan sikap kerja. Sebagai titik awal untuk desain kuesioner. Analisis kualitatif banyak dilakukan, termasuk wawancara dan diskusi kelompok secara terarah. Peneliti Gallup meminta performa terbaik individu atau tim untuk menggambarkan pekerjaan, lingkungan, pikiran, perasaan, dan perilaku mereka yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan kesuksesan. Kemudian pada pertengahan 1990-an istilah engagement muncul dan mulai digunakan untuk organisasi komersial dengan didefinisikan sebagai ‘suatu keterlibatan karyawan dengan, komitmen, dan kepuasan dengan pekerjaan’. Engagement karyawan adalah bagian dari ‘retensi karyawan yang dipopulerkan oleh Schmidt, et al, 1993, seorang pakar engagement dari Universitas Iowa. Selain retensi, tingginya tingkat keterlibatan telah terbukti
sangat berpengaruh baik untuk kinerja individu atau tim, layanan pelanggan maupun unit bisnis produktivitas.
Selanjutnya dari beberapa penelitian yang dilakukan di Inggris baru-baru ini juga mengungkapkan bahwa program engagement yang terencana secara baik dapat mendorong karyawan untuk menghasilkan dan saling berbagi ide bahkan di organisasi yang paling terdesentralisasi dan tersebar luas sekali pun. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Glenn Mead, seorang pakar study mengenai engagement dari Inggris menunjukkan, bahwa kepemimpinan atau yang lebih dikenal dengan istilah leadership yang sebenarnya mengilhami dan memotivasi organisasi dan bukan proses mekanis dari suatu engagement di suatu organisasi.
Proses mekanis? Ya tentunya maksudnya adalah hasil turunan dari suatu system kebijakan mengenai pengaturan SDM di suatu Perusahaan yang dapat dirasakan secara tangible maupun intangible oleh karyawan.
Seberapa Besar Pengaruh Engagement di Suatu Organisasi? Banyak sekali institusi yang melakukan riset mengenai pengaruh engagement di suatu organisasi. Mereka mencoba mencari fakta-fakta mengenai benang merah akan pentingnya tercipta suatu engagement di organisasi. Berikut beberapa fakta yang kami dapatkan dari beberapa hasil penelitian: 1) Dari segi pelayanan pelanggan: Tiga dari empat karyawan yang memiliki engagement tinggi berpikir mereka secara positif dapat mempengaruhi layanan pelanggan. Hanya satu dari empat karyawan yang tidak merasakan engagement berpikir begitu.
2) Dari tanggung jawab terhadap keselamatan kerja: Karyawan yang memiliki engagement yang tinggi lima kali lebih berperilaku bertanggung jawab dan berhati-hati dalam memikirkan keselamatan kerja dibandingkan dengan karyawan yang mengalami insiden dari yang tidak memiliki engagement. Dan ketika karyawan yang disengaged melakukan kesalahan dalam aspek keselamatan kerja, dampak biayanya adalah enam kali lebih tinggi dari rata-rata per insiden. Sekarang ambil kalkulator Anda, hal itu berarti karyawan yang memiliki dis-engagement menimbulkan dampak biaya 30 kali lipat dalam insiden keselamatan kerja. Perusahaan Coors mampu menghemat lebih dari USD 1,7 juta pada biaya yang terkait dengan keselamatan dalam satu tahun hanya dengan meningkatkan program keterlibatan karyawan mereka.
3) Dari biaya perekrutan dan training: Karyawan yang mengalami disengagement, sebanyak 85% meninggalkan Perusahaan mereka, yang akhirnya mengakibatkan meningkatnya biaya rekrutmen dan pelatihan. Biaya rekrutment dan pelatihan karyawan berdasarkan survey mencapai hampir 4 s/d 6 kali gaji bulanan, jadi Anda bisa bayangkan jika karyawan-karyawan Anda mengalami dis-engagement maka biaya rekrutmen dan pelatihan juga akan mengalami kenaikan. Di Amerika, perkiraan biaya kehilangan karyawan di tempat kerja adalah lebih dari $ 350 miliar pada kehilangan produktivitas, kecelakaan, pencurian dan omset setiap tahun (The Economics of Engagement by Allan Schweyer with Human Capital Institute and
Enterprise Engagement Alliance).
dis-engaged.
Talent pengganti akan membebani biaya organisasi antara 30% dan 50% dari gaji tahunan karyawan entry-level, 150% dari tingkat menengah dan karyawan sampai dengan 400% untuk khusus, karyawan di tingkat senior.
Pertumbuh pendapatan per share (EPS) pada Perusahaan yang memiliki level engagement yang tinggi adalah lebih cepat (28%) sementara Perusahaan yang memliki penurunan engagement juga mengalami penurunan EPS ke tingkat 11,2% (Towers Perrin, Menutup Gap Engagement: Studi Tenaga Kerja Global).
4) Dari segi kesehatan karyawan: Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Gallup di UK, pada tahun 2003, karyawan yang memiliki engagement tinggi hanya mengalami rata-rata sakit 2.69 hari per tahun dibandingkan dengan karyawan yang dis-engaged yang mengalami atau beralasan sakit dengan rata-rata 6.19 hari per tahun.
5) Dari produktivitas kinerja: Sebuah hasil study perusahaan asuransi jiwa menemukan bahwa perusahaan dengan tingkat engagement tinggi produktivitasnya mampu mencapi 200% dibanding dengan karyawan yang mengalami
Peningkatan tingkat engagement karyawan berhubungan secara langsung dengan kepuasan pelanggan yang lebih besar, produktivitas, keuntungan, dan omset serta menunjukkan absensi, dan kecelakaan kerja yang menurun. Dampak yang dihasilkan pada pendapatan berkisar antara $ 960.000 hingga $ 1.440.000 per tahun per unit usaha ketika membandingkan perusahaanperusahaan di kuartil atas yang memliki nilai engagement yang
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
85
part4
tinggi dibandingkan perusahaanperusahaan di kuartil bawah. ( data dari Journal of Applied Psychology) Bagaimana Gambaran Engagement Karyawan Dewasa Ini ? Beberapa study mengenai engagement hampir seragam memberikan gambaran bahwa engagement karyawan di dunia saat ini masih sangat tidak menggembirakan. Sebuah studi tenaga kerja global yang baru dengan Towers Watson mengungkapkan bahwa 63% karyawan Amerika Serikat tidak sepenuhnya terlibat dalam pekerjaan mereka dan berjuang untuk mengatasi ketika dukungan yang memadai tidak tersedia. Bagaimana di Indonesia? Di balik pertumbuhan bisnis yang kuat di Indonesia, rupanya engagement atau loyalitas dan kesungguhan dalam bekerja yang dimiliki oleh karyawan di Indonesia ini sangat rendah. Hal tersebut terungkap dari survei yang dilakukan Towers Watson. Perusahaan konsultan di bidang tenaga kerja ini merilis survei terbarunya mengenai Global Workforce Study 2012 yang mengikutkan 29 negara termasuk Indonesia dengan total responden sebanyak 32.000 karyawan.
Khusus untuk Indonesia, hasilnya kelihatannya sukup senada. Sekitar dua pertiga karyawan di Indonesia tidak memiliki engagement yang tinggi terhadap perusahaannya. Bahkan, survei itu juga menyebutkan bahwa sekitar 27% dari karyawan saat ini telah merencanakan untuk pindah dalam dua tahun ke depan.
Lebih jauh lagi diungkapkan bahwa 42% dari total responden di Indonesia yang sebanyak 1.005 karyawan, menyatakan bahwa mereka berniat untuk hengkang dari perusahaannya sekarang untuk meningkatkan karirnya di masa depan. Sedangkan karyawan yang
86
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
memiliki engagement terhadap perusahaannya di mana dia bekerja saat ini, jumlahnya hanya sekitar 36%.
Nampaknya hasil engagement survey masih sangat mengecewakan. Dari gambaran hasil survey dapat ditarik suatu benang merah bahwa rata-rata kualitas leadership di organisasi saat ini masih buruk, keseimbangan hidup karyawan antara bekerja dan kehidupan pribadi atau sering disebut work life balance juga masih buruk, budaya mendengarkan, memperhatikan, memberikan umpan balik secara konsiten, dan memberikan kesetaraan untuk berkembang juga mungkin masih tidak menggembirakan. Lalu apa yang menggembirakan? Saya selalu melihat dari sudut yang positif mengenai hasil survey yang tidak menggembirakan ini. Khusus untuk di Indonesia, ternyata kita tidak sendirian karena rata-rata negara di Asia masih menunjukkan hasil yang rata-rata tidak menggembirakan, sehingga secara garis besar dapat disimpulkan rata-rata kinerja organisasi di Asia masih belum sampai ke tingkat yang produktif. Artinya, jika dilihat dari sudut yang berbeda, kebanyakan organisasi di dunia memiliki kesempatan untuk memperbaiki kualitas engagement karyawannya, terutama dalam aspek leadership-nya. Apakah program engagement membutuhkan investasi yang mahal?
Organisasi sebenarnya tidak membutuhkan investasi yang mahal untuk memperbaiki kualitas engagement, semua harus dimulai dari kualitas hubungan dan komunikasi di organisasi, kepedulian, mendengarkan dengan penuh empathy, menumbuhkan rasa saling menghargai, memberikan kesempatan
berkembang, merayakan keberhasilan tim dan masih banyak lagi. Ada baiknya kita memulai dengan diri kita sendiri, jika Anda adalah seorang leader yang memiliki anak buah dan Anda memiliki perasaan tidak bahagia setiap pergi ke kantor maka setiap hari Anda akan menyebarkan aura dis-engagement yang kuat kepada anak buah, rekan kerja dan seluruh lingkungan kantor. Jika Anda seorang leader, berfungsilah sebagai leader yang baik, jangan sebarkan spirit dis-engagement. Jika Anda mulai tidak bahagia di kantor, mulalilah merenungkan kenapa Anda tidak bahagia dan carilah jalan keluar.
Apabila terlalu banyak hal di kantor yang membuat Anda tidak bahagia, mungkin Anda dapat terjebak menjadi karyawan yang actively dis-engaged yang cenderung merusak organisasi. Bagaimana pun organisasi Anda adalah tempat Anda dan karyawan lain bekerja mencari nafkah, jadi mungkin sudah waktunya Anda mencari opsi pekerjaan lain. Saya jadi teringat pengalaman saya ketika mengikuti sebuah training orientasi perusahaan selama beberapa hari. Di akhir training setelah sangat lelah di malam hari, kami diminta menghadap cermin dan mengucapkan janji kepada diri sendiri untuk menjunjung tinggi komitmen, integritas, professionalisme, dan loyalitas kepada perusahaan. Saya ingat betul beberapa dari kami menangis tersedu. Rupanya berjanji dan berkomitmen kepada perusahaan yang diwujudkan sebagai janji kepada diri sendiri memang seharusnya dijunjung dengan sepenuh hati dan dengan penuh rasa tanggung jawab.
(N. Krisbiyanto, Senior Consultant at People Institute. Twitter @krisbi27)
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
05
part5
88
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Dunia telah berubah, demikian juga generasi pekerja telah berubah. Kita telah melihat banyak perubahan selama beberapa tahun terakhir, tidak hanya naiknya popularitas dan pengaruh jejaring sosial seperti Facebook®, LinkedIn® atau Twitter® dan lain-lainnya, namun “Generasi Baru” tenaga kerja di semua perusahaan di seluruh dunia telah datang.
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
89
part5
Corporate University,
Paradigma Baru Cara Bekerja dan Cara Belajar di PLN Eddy D Erningpraja Saat ini diperkirakan lebih dari 64% angkatan kerja atau pekerja di semua perusahaan di seluruh dunia berasal dari generasi yang disebut “Generasi Y” yang berarti mereka lahir setelah tahun 1981an. Sebagai konsekuensinya, tentu saja akan merubah pendekatan baru dalam mengelola SDM di perusahaan.
Dahulu kita belajar tentang organization development (OD), saat ini orang mulai bicara tentang personal development. Dahulu orang hanya mengenal formal clasess sekarang banyak organisasi mulai menerapkan informal tools and method, e-learning dan sebagainya. Lalu apa peran organisasi terhadap perubahan dunia kerja seperti itu? Apakah peran pusat pendidikan dan pelatihan masih diperlukan? Dan ternyata banyak organisasi di dunia saat ini mulai “melirik” sebuah konsep baru, cara bekerja dan cara belajar yang dikenal dengan konsep “Corporate University”.
90
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan Corporate University? Corporate University, merupakan salah satu alat stratejik perusahaan yang berfungsi mengintegrasikan semua “sumberdaya pembelajaran, proses dan orang” di perusahaan yang memungkinkan terwujudnya kinerja terbaik dengan terus menerus meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku orang dalam lingkungan ekosistem bisnis.
Pemahaman ini berbeda dengan universitas/lembaga pendidikan pada umumnya, di mana corporate university tidak hanya mencetak insan yang kompeten dan siap bekerja, namun juga membangun tempat dan suasana pembelajaran di dalam perusahaan, sehingga spirit-nya adalah penciptaan budaya pembelajaran yang menjadi kebutuhan utama dari setiap insan yang bekerja di Perusahaan. Setidaknya ada 10 karakteristik
yang perlu dipenuhi agar diakui telah meng-implementasikan Corporate University, yaitu : 1. Secara proaktif mencari dan mengupayakan penyelesaian masalah performance melalui solusi pembelajaran. 2. Sebagai pendukung kebutuhan pembelajaran perusahaan maupun pengembangan individu pegawai. 3. Sasaran objek pembelajaran tidak hanya terbatas pada pegawai saja, tetapi juga pemasok, pelanggan dan masyarakat melalui program orientasi, induksi, pelatihan, pengembangan dan pendidikan. 4. Fasilitas pembelajarannya telah terkoneksi secara fisik dan virtual melalui Learning Management System (LMS) dan Knowledge Management System (KMS) yang terintegrasi 5. Terjalinnya kemitraan dengan Universitas atau Institusi Pendidikan untuk pengembangan individu pegawai. 6. Terbangunnya “brand” yang meyakinkan pegawai dan pelanggan.
7. Menjadi tempat diturunkannya pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada generasi berikutnya melalui program “Leader As Teacher (LAT) & Retired Faculty” 8. Menjadi tempat menginternalisasi budaya dan tata nilai organisasi. 9. Program Corporate University telah selaras, terintegrasi dan saling terkait dengan inisiatif SDM. 10. Pengelolaan pembelajarannya dilaksanakan oleh para profesional yang ahli di bidang learning (Learning Technologist).
Di beberapa negara dan perusahaan world class, konsep Corporate University sudah banyak diimplementasikan karena terbukti memberikan dampak positif dalam proses transformasi perusahaan terutama terkait 10 kriteria di atas.
Mengapa PLN perlu menerapkan konsep Corporate University ini? Pertimbangannya antara lain, pertama, merupakan pengejawantahan cita-cita membangun organisasi pembelajar di PLN sebagaimana tercantum dalam RJP PT PLN (Persero). Kedua, perlunya melakukan integrasi berbagai program Diklat dengan program Direktorat/ Divisi sebagai pemilik proses bisnis, sehingga pelatihan yang diselenggarakan berorientasi pada usaha peningkatan kinerja korporat secara signifikan, sekaligus membangun kultur baru selaras dengan tata nilai perusahaan. Ketiga, bagi PLN, ada 3 (tiga) unsur utama pembentukan budaya berkinerja tinggi yaitu dilandasi pada kualitas kepemimpinan, kompetensi tenaga kerja, dan budaya berkinerja. Dengan demikian peran lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) yang dimiliki perusahaan -dalam hal ini PLN- Pusdiklat tidak hanya sekedar runtuk meningkatkan kompetensi pegawainya, namun
hasil diklatnya juga diharapkan berdampak pada peningkatan kinerja unit bisnis dan korporasi.
Sebagaimana diketahui, kunci sukses suatu organisasi tidak dapat dipungkiri sangat ditentukan dari kepemimpinan, sehingga diperlukan yang namanya strong leadership yang mampu membangun sebuah tim yang solid dan bersinergi dalam suatu organisasi kepemimpinan. Ke depan, pemimpin di perusahaan bukan hanya karena bakat alami atau keberuntungan yang dimilikinya, melainkan karena diciptakan dan dibentuk oleh perusahaan. Setiap Pemimpin ada pada setiap level organisasi, oleh sebab itu PLN telah memiliki diklat kepemimpinan berjenjang mulai dari tingkatan terbawah sampai tertinggi pada organisasi (EE4 s/d
EE1).
Apabila nanti pada tahun 2030, Indonesia berpeluang untuk mencapai visinya menjadi negara maju dan masuk dalam 5 (lima) besar kekuatan ekonomi dunia, maka demikian pula halnya dengan PLN yang seyogyanya harus bisa menjadi salah satu dari 30 perusahaan Indonesia yang akan masuk dalam daftar Fortune 500 Companies. Sejalan dengan cita-cita tersebut, maka tidak pelak lagi PLN sejak saat ini harus sudah mempunyai program pengembangan kompetensi tenaga kerjanya yang memiliki standard nasional maupun internasional. Tenaga kerja di sini bukan hanya pegawai PLN, tetapi seluruh insan yang berkontribusi dan bekerja untuk PLN. HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
91
part5
Seperti diketahui, saat ini PLN memiliki Pegawai lebih dari 40.000 orang dan tenaga kerja outsource lebih dari 70.000 orang. Sebagai corporate university, PLN harus mampu membangun, memelihara, dan meningkatkan kompetensi pegawainya, pemasoknya, pelanggannya, dan juga masyarakat.
Program-program sertifikasi kompetensi sudah dimulai sejak pencanangan Manajemen SDM berbasis kompetensi pada tahun 2004, dan sejak tahun 2010 fokus terhadap sertifikasi kompetensi tenaga kerja semakin ditingkatkan dengan membentuk Unit Sertifikasi di bawah PLN Pusdiklat yang akan diakreditasi secara nasional dan internasional. Tahun 2012 telah dimulai pemetaan kompetensi terhadap seluruh pegawai melalui uji kompetensi secara online untuk memastikan bahwa SDM PLN benar-benar kompeten. Tidak berhenti sampai di situ, saat ini dan ke depan PLN juga menginginkan tenaga outsource yang bekerja di PLN harus mengikuti pelatihan dan memiliki sertifikat kompetensi yang dibutuhkan. PLN tidak hanya mempekerjakan orangnya, namun juga membina para pemasok tenaga kerjanya. Edukasi terhadap pelanggan dan masyarakat senantiasa dilakukan baik dalam bentuk media elektronik, surat kabar, dan program sosialisasi. Penyelarasan kompetensi tenaga kerja dan kepedulian terhadap dunia pendidikan telah dilakukan oleh PLN dalam bentuk 2 (dua) program, yaitu: Program CoOperative Education (fokus pada peningkatan kompetensi mahasiswa), dan Program Peningkatan Kompetensi Anak Bangsa (fokus pada peningkatan kompetensi tenaga pengajar).
Saat ini PLN, melalui Pusdiklat-nya telah merintis penerapan Corporate
92
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
University, yang diawali dengan pengembangan diklat-diklat yang fokus pada pengembangan kompetensi core business ketenagalistrikan. Pusdiklat secara proaktif bekerjasama dengan para KDIV dan pimpinan unit mencari solusi permasalahan kinerja melalui proses pembelajaran. Untuk itulah beberapa Udiklat difokuskan menjadi Udiklat spesialis dan difungsikan sebagai Academy antara lain: Distribution Academy di Pandaan, Live Line Maintenance & Transmission Academy di Semarang, Leadership Academy di Jakarta dan untuk yang akan datang akan ada beberapa lagi yang akan disiapkan.
Harapannya, Pusdiklat mampu bertransformasi menjadi corporate university yang memberikan brand image yang kuat terhadap pelanggannya sebagai tempat solusi pembelajaran ketenagalistrikan, misalnya jika kita ingin belanja bulanan, yang akan terbesit di pikiran kita adalah “ke Carrefour aja, ah…” atau“ke Giant” atau Hypermarket lainnya. Demikian halnya dengan Pusdiklat ke depannya, jika ada unit bisnis ingin mengetahui penyebab penurunan kinerja transmisi atau bagaimana kinerja transmisi dapat ditingkatkan secara optimal, yang ada di pikiran unit bisnis dan para pegawai adalah “Transmission Academy-lah tempatnya!” Dengan konsep-konsep academy tersebut diharapkan Udiklat dapat menjadi simulator day to day business activity, sehingga secara bertahap sarana dan prasarana
diklat terus dikembangkan, mulai dari alat praktek, laboratorium, sampai dengan simulator perangkat keras dan lunak.
Di samping mengembangkan program-program yang merupakan business needs, PLN juga mengembangkan virtual dan blended learning yang memungkinkan setiap pegawai dapat belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan caranya sendiri. Modul-modul pembelajaran dikembangkan melalui e-learning, distance learning (pembelajaran jarak jauh seperti universitas terbuka), portal KM (knowledge management), webinar dan e-library. Agar menjadi kebiasaaan (habit)dan budaya (culture), kesenangan dalam pembelajaran dan akuisisi pengetahuan diselaraskan dengan paramater suksesi jabatan/karir pegawai melalui online performance management system. Setiap individu harus tahu pembelajaran apa yang ia butuhkan untuk menapaki karir di perusahaan, dan setiap individu terinspirasi untuk belajar bukan karena paksaaan tetapi karena kebutuhan dan kesenangan. Jika dahulu yang namanya diklat ownership-nya adalah Bidang SDM atau Pusdiklat, sejak saat ini dan ke depan ownership pembelajaran akan diperankan oleh business process owner. Jika dahulu identifikasi kebutuhan diklat korporat dilakukan oleh Pusdiklat, maka sekarang business process owner bertanggung jawab menentukan dimensi kompetensi
apa yang butuh dikembangkan selaras dengan arah dan strategi bisnis perusahaan, beranjak dari kebutuhan tersebut disusun kurikulum, silabus, metoda dan konten pembelajaran yang bertujuan untuk memastikan terjadinya peningkatan kinerja korporasi. Untuk dapat merealisasikan berbagai tujuan sebagaimana di ungkap pada tulisan ini, maka sudah menjadi suatu keharusan bagi Board of Director dan para KDIV untuk berperan sebagai Learning Council dan Learning Committee dari Corporate University.
Implementasi PLN Corporate University rupanya sangat serius ditekuni PLN, buktinya sejak di-launching pada tanggal 14 November 2012, banyak hal yang telah dipersiapkan oleh perusahaan ini, antara lain: Pertama, Building CU People Culture. Di antaranya telah
dilakukan perubahan mindset tentang corporate university di PLN. Kedua, Organizational Learning Technologist Program. Di antaranya telah dilakukan mapping para Organizational Learning Technologist untuk dapat diikutsertakan pada Program Pengembangan Executive Diploma Learning Technologist yang bekerjasama dengan perguruan tinggi di Australia. Organizational Learning Technologist adalah sebutan bagi para expert dalam bidang pengelolaan pembelajaran, perancangan program pembelajaran, dan instruktur.
Ketiga, mengimplementasikan learning governance yang mengedepankan delivery pembelajaran secara cepat, mutakhir, dan akurat. Keempat, mengembangkan akademi-akademi pembelajaran di seluruh Indonesia. Telah dilakukan penetapan learning focus, learning blueprint, dan learning theme pada masingmasing akademi. Salah satu contoh pengembangan renewable energy
dipusatkan di Makassar untuk mendukung Program 100 Pulau 100% Surya. Ke depan seluruh expert dalam bidang energi baru dan terbarukan akan ada di akademi ini termasuk pusat penelitian dan pengembangannya.
Dan kelima, membangun community program, yaitu suatu program pembelajaran untuk para stakeholders PLN. Di antaranya telah dilakukan peningkatan jumlah kepesertaan pembelajaran bagi guru-guru SMK seluruh Indonesia, dari 1.000 orang menjadi 1.135 orang; merintis program pembelajaran bagi para disabilities agar mampu terjun di dunia kerja; meningkatkan kompetensi para mitra kerja, seperti pelayanan teknik; serta membuka kesempatan bagi instansi BUMN/Swasta yang sudah banyak berminat mengikuti program pembelajaran di PLN. (Eddy D Erningpraja, Direktur SDM PT PLN (Persero), follow Twitter @eddy_erning)
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
93
part5
Langkah Telkom Menuju
The Real Corporate
University M. Atiqurrakhman
SEPERTI diketahui, saat ini marak dilakukan oleh perusahaan/ organisasi yang berinisiatif mendirikan Corporate University. Makna dari Corporate University sendiri bisa diartikan sebagai methodology yang dipakai oleh perusahaan besar dunia untuk membentuk corporate learning.
Istilah University dipakai untuk menunjukkan bahwa methodology learning yang diterapkan mempunyai metoda ilmiah. Corporate University berbeda dengan Public University, di mana fokus Corporate University adalah kebutuhan strategi bisnis yang berujung pada tujuan membangun kompetensi inti organisasi. Sementara Public University, memiliki fokus pada general education dengan tujuan membangun knowledge, skill, atau keahlian yang umum.
94
Corporate University didefinisikan sebagai alat strategis yang digunakan perusahaan untuk membantu mencapai visi dan
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
misinya, dengan cara menjalankan aktifitas-aktifitas dalam menumbuhkembangkan keahlian, pengetahuan dan wisdom baik individu maupun organisasi. Kata strategis dipakai karena yang dikembangkan adalah kompetensi inti perusahaan yang menjadi alat kompetisi dalam memenangkan persaingan bisnis.
Intinya, Corporate University bertanggung jawab mengembangkan SDM dan meningkatkan kapabilitas dan daya saing perusahaan, sehingga Corporate University harus go beyond training & development dalam memastikan bahwa ilmu yang didapatkan dapat diimplementasikan dan memiliki linkage yang kuat dan berdampak signifikan pada performansi bisnis perusahaan Kalau ada pertanyaan, kenapa juga sebuah perusahaan atau organisasi merasa perlu mengimplementasikan Corporate University? Corporate University
sudah diimplementasikan pada lebih dari 4000 perusahaan di dunia ini. Sebagai contoh adalah General Electric, Cisco, At&T Disney, McDonald, Exxon Mobil, dan juga perusahaan-perusahaan yang menjadi ranking atas dalam 500 Top Fortune, dan sebagian besar telah menerapkan Corporate University. Selain itu 7 dari 10 terbesar Forbes dipercaya menggunakan metoda CorpU.
Bagi perusahaan, Corporate University akan menciptakan keunggulan bersaing melalui SDM-nya,
memastikan inisiatif learning yang dilakukan akan memiliki dampak bisnis yang nyata, meningkatkan nilai perusahaan dengan secara terus menerus menumbuhkembangkan kapabilitas individu dan organisasi. CorpU juga sebagai alat utama dalam perubahan budaya perusahaan. Di bawah ini merupakan beberapa keuntungan bagi perusahaan dan individu yang diberikan Corporate University;
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
95
part5
For Company
For Employee
Increase Intangible Asset Increase Leader Supply & Talent As a comparative strategy to create unique resources
Increase in individual development opportunity Increase Individual Competence
Increase Corporate Agility to adapt new technology
Increase Individual Agility to adapt new technology
Learning Culture
Self Learning Character
Create The Dream Company for talent
Increase self confident becoming part the Company
Foster Continuous Individual, Business Unit and Organizational Effectiveness Lantas di dalam implementasi Corporate University, strategi HR apa saja yang harusnya menjadi perhatian utama. Corporate University yang sangat ideal, menuntut integrasi yang kuat antara learning dengan kesisteman SDM lainnya. Contohnya adalah, knowledge management, pengembangan karir, change management, performance management dan bahkan organizational development. Dalam building block Corporate University, salah satu yang menjadi landasan bangunan Corporate University adalah Learning Strategic Governance, di antaranya adalah adanya integrasi antara Learning dengan system-system SDM lainnya, yang membentuk linkage dalam menumbuhkan learning organization, dan menciptakan
96
Increase Intangible Individual value
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Foster Continuous Individual development
motivasi pegawai untuk selalu mengembangkan diri dan akhirnya menciptakan kapabilitas organisasi yang mampu menjadi keunggulan kompetitif perusahaan.
Munculnya ide Corporate University didasari oleh fakta research yang salah satunya dilakukan oleh McKinsey. Ditemukan fakta bahwa 66% program training yang dilakukan perusahaan tidak memberikan peningkatan kapabilitas organisasi yang merupakan nilai terbesar bagi kinerja perusahaan. Dengan dasar itu, maka methodology Corporate University harus dapat menjawab permasalahan-permasalahan alignment dan dampak learning terhadap kebutuhan bisnis perusahaan. Target utama Corporate University
adalah, pertama, menjamin relevansi dan efektifitas dari inisiatif learning yang harus melipatgandakan dampak learning terhadap performansi bisnis. Kedua, Corporate University harus mampu melipatgandakan speed learning sehingga Corporate University merupakan leading supply capability terhadap kebutuhan kompetisi perusahaan. Ketiga, Corporate University harus mampu menciptakan scalability dari kegiatan learning perusahaan, sehingga dengan biaya yang sama, kegiatan learning menghasilkan output learner yang berlipatganda. Keempat adalah aspek Cost of Learning Ignorance, yaitu cost yang mungkin muncul karena failure dalam menerapkan inisiatif learning. Failure terjadi karena beberapa hal, misalnya biaya ketidaklulusan sertifikasi,
kesalahan dalam mendiagnosis kebutuhan learning, biaya berulangnya learning yang harus dilakukan karena tidak efektif, dan lain sebagainya.
Secara singkat 3 (tiga) indikator keberhasilan Corporate University bila berhasil mencapai targetnya; yaitu melaksanakan: 1. Aligning (alignment learning terhadap bisnis) 2. Performing (hasil learning dapat meningkatkan performansi bisnis) 3. Transforming (learning mampu mentransformasikan SDM perusahaan)
Efektivitas Corporate University dapat diukur dari indikatorindikator di atas. Pertama adalah Speedability: dengan mengukur waktu kecepatan proses learning dari mulai identifikasi sampai dengan memastikan bahwa knowledge, skill maupun expertis yang dipelajari dapat diimplementasikan di lapangan. Selain kecepatan akuisisi di atas, maka speedability juga mengukur
lead time antara kebutuhan kapabilitas yang didefinisikan oleh strategi bisnis sampai dengan kapabilitas tersebut dimiliki organisasi.
Kedua, Scalability. Scalabilty dapat diukur dari cakupan sebuah materi learning dapat dimanfaatkan oleh kebutuhan karyawan di lapangan. Semakin besar jumlah karyawan dapat memanfaatkan solusi learning yang ditawarkan, maka semakin baik scaleability-nya Ketiga efektifitas learning, yang diukur dari indikator yang sudah didefinisikan oleh Kirkpatrick, mulai level 1, yaitu; kepuasan penyelenggaraan learning, efektifitas pembelajaran, perubahan perilaku, dampak terhadap performansi dan Return of Learning Investment.
Bagaimana dengan Telkom sendiri? Telkom mengenal Corporate University sejak akhir tahun 2007. Sejak saat itu, berbagai upaya telah dilakukan. Dimulai dengan mencari
pemahaman tentang corporate university melalui literatur, diskusi, seminar, benchmark kepada perusahaan-perusahaan terkemuka yang telah berhasil menjalankan corporate university, manfaat yang telah mereka dapatkan dengan menjalankan corporate university dan lain sebagainya. Upaya tersebut menghasilkan pengertian bahwa methodology corporate university merupakan alat strategis yang dapat membantu perusahaan mencapai sustainable growth. Pemahaman tersebut mendorong Telkom untuk melakukan kajian-kajian tentang peluang untuk mengimplementasikan methodology corporate university di Telkom. Dalam perjalanannya, ditemukan ternyata sudah banyak inisiatif yang telah dilakukan oleh Telkom di bidang learning, yang merupakan prasyarat dari sebuah corporate university. Namun untuk menjadi benar-benar corporate university, masih ada hal-hal yang harus Telkom perbaiki dan di tingkatkan. Salah satu hal penting
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
97
part5
yang menjadi peluang perbaikan learning yang disadari adalah pergeseran ownership learning yang tadinya lebih besar berada di unit SDM/HC dan learning center, menjadi berada lebih besar di unit bisnis atau di semua direktorat bisnis. Berbagai upaya telah dilakukan, untuk perbaikan-perbaikan tersebut. Di antaranya adalah meletakkan landasan learning strategy governance, dan memperbaiki learning focus, yang merupakan basis dari sebuah bangunan corporate university. Berbagai analisis juga dilakukan terhadap value chain learning dengan framework enterprise learning system, yang merupakan framework yang telah dikenal di dunia learning untuk mengukur kesiapan menuju corporate university.
Dari analisis tersebut, dirumuskan berbagai program yang diperlukan untuk meningkatkan value dari setiap aktifitas atau proses dalam corporate learning system. Langkah Telkom menuju “The Real Corporate University”, semakin mendapatkan hembusan angin yang sangat kuat pada saat Dirut Telkom yang didukung oleh semua direksi, menyatakan belief bahwa tercapainya tujuan perusahaan di tengah kompetisi bisnis yang semakin ketat, dan cenderung berskala global ini, harus dimulai dengan pengembangan SDM (invest in people) yang lebih unggul dan lebih tangguh. Belief tersebut dituangkan dalam strategic initiative Telkom pertama yaitu menciptakan center of excellence, dengan menggunakan methodology Corporate University. Dengan berlandaskan hal tersebut, dan untuk menjamin terciptanya center of excellence, maka dicanangkanlah Visi Telkom Corporate University menjadi Center of Excellence dengan
98
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
3 indikator keberhasilan Corporate University bila berhasil mencapai targetnya; yaitu melaksanakan Aligning, Performing dan Transforming. memberikan solusi learning sesuai bisnis TIME perusahaan untuk meningkatkan performansi perusahaan. Kedua adalah menjadi 10 Corporate University terbaik di kawasan Asia Pasifik. Misi yang dicanangkan adalah meningkatkan kapabilitas Human Capital sebagai competitive advantage dengan meningkatkan solusi learning yang berdampak pada bisnis perusahaan.
Saat ini Telkom Corporate University telah memiliki infrastruktur digital learning untuk memfasilitasi karyawan agar dapat melakukan pembelajaran any how, any where, any who, any time. Digital learning Telkom di antaranya berupa e-Learning, yang dapat diakses oleh seluruh karyawan Telkom, dan Telkom Group, mitra Telkom yang berkaitan dengan bisnis value chain Telkom, dan sedang dikembangkan untuk ecosystem yang lebih luas. Selain e-Learning, juga dikembangkan mobile learning, dengan aplikasi yang sudah dapat diakses dari smartphone Android, dan Learning Channel, berupa media video broadcast yang berisi lebih dari 1.000 content video.
Berbagai inisiatif lainnya juga sudah dilaksanakan, seperti program Leaders as Father atau juga dikenal sebagai Leaders as Teacher. Inisiatif ini dilaksanakan untuk memberikan kesempatan pada Leaders Telkom menularkan wisdom kepada para peserta pembelajar. Diskusi setengah hari juga dilakukan untuk meningkatkan budaya sharing di lingkungan perusahaan, dan disiarkan secara broadcast melalui web di internal
Telkom. Karyawan dapat mengikuti melalui online di komputer masingmasing.
Selain itu, dilakukan juga Integrated Learning at Work (iL@W), yakni pembelajaran dilakukan on the spot di lapangan, dengan coach dari expert yang ada di Corporate University. Pembelajaran ini menjadi sangat efektif dan efisien, mengingat coach dilakukan langsung di lapangan. Dengan program-program di atas, Telkom Corporate University telah mempercepat program penyiapan Supervisor untuk teknisi jaringan akses sebanyak 400-an orang dengan program sertifikasi. Selain itu, juga sudah dijalankan program e-Learning untuk mitra pengelola jaringan dan sudah diakses oleh 2.000-an orang.
Untuk program iL@W telah menghasilkan peningkatan performansi jaringan akses di wilayah regional Jawa Barat, sedangkan untuk program Leadership, sudah dilakukan pengembangan Managerial Leadership untuk Telkom Group (Telkom dan anak perusahaan). Terakhir, Telkom Corporate University mendapatkan penghargaan-penghargaan: The Best CLO Award kategori Technology dari CLO Magazine USA pada Oktober 2012, dan Best Innovation on HC dengan Telkom Corporate University pada Anugrah BUMN Award 2012. (M. Atiqurrakhman, ST.MM, SM Planning & Controlling, Telkom Learning Center)
Lewat CU, GE Komit Rogoh US$ 1 Miliar/tahun untuk Pengembangan Karyawan
CORPORATE University adalah investasi yang sangat berharga yang dilakukan sebuah perusahaan untuk memberikan kesempatan untuk terus belajar dan mengembangkan potensi diri kepada seluruh karyawannya. Mendirikan sebuah universitas yang baik dapat memperkuat usaha untuk mempertahankan karyawan yang potensial dan membangun sumberdaya manusia yang lebih produktif. Di GE, kami memiliki strategi e-learning yang kami sebut, GE Global Learning. Kurikulum GE Global Learning mencakup pendidikan kepemimpinan, skills berdasarkan fungsi kerja karyawan seperti sales atau marketing, kemudian materi business. Materi yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan dan perspektif bisnis dan industri.
Salah satu contoh Corporate University yang dimiliki oleh GE adalah Jack Welch Leadership Development Center (yang dahulu disebut Crotonville Leadership Development Center). Saat ini, kami memiliki 5 (lima) kampus di seluruh dunia, antara lain di Amerika Serikat, Cina, India, Rio de Janeiro, dan Munich, di mana kami memberikan kursus mengenai kepemimpinan dan manajemen. Saat pertama kali kami mendirikan universitas di pertengahan tahun 1950-an, kursus manajemen terpanjang HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
99
part5
adalah 13 minggu, sekarang, berkat dukungan teknologi dan juga faktor lainnya, kursus terpanjang dapat diselesaikan dalam waktu 3 minggu saja. Selain dari Jack Welch Leadership Development Center, kami juga memiliki pusat pelatihan teknis yang dikelola oleh bisnis unit GE, sepert GE Energy institute, GE Capital University, GE Lighting Institute, dan lain-lain. Seperti yang sudah diketahui, GE bergerak di berbagai industri, seperti aviasi, kesehatan, hingga keuangan, sehingga kami harus memberikan pelatihan spesifik dalam masingmasing industri tersebut.
Adanya sebuah universitas menunjukkan keseriusan komitmen perusahaan terhadap pendidikan dan menunjukkan kepada segenap karyawannya bahwa pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia merupakan prioritas utama. Selain itu, adanya sebuah universitas juga memastikan konsistensi standar pengajaran dan strategi pelatihan. Riset menunjukkan bahwa perusahaan yang menanamkan investasi untuk pelatihan seringkali memiliki
100
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
reputasi yang kuat.
Di GE, segala hal yang kami lakukan dalam mengembangkan sumber daya manusia bertujuan untuk memberikan inspirasi (inspire), menghubungkan (connecting), dan mengembangkan (developing) pemimpin yang kami miliki hari ini dan di masa yang akan datang. Kami melakukannya melalui Crotonville experience. JIka kami memberikan pelatihan yang baik kepada orang-orang yang datang ke Crotonville, maka akan menciptakan multiplier effect. Saat mereka kembali ke tempat kerja mereka masing-masing, mereka akan melakukan hal yang sama, inspire, connect, and develop tim mereka. Selain itu, Corporate University tidak hanya untuk pelatihan tetapi juga untuk diskusi dan menciptakan ide-ide baru. Sebuah Corporate University juga harus berfungsi sebagai “think tank” dari sebuah institusi/perusahaan.
What is the strategy for implementing CU Komitmen dan dukungan penuh dari dewan direksi dan manajemen,
serta dari seluruh karyawan, merupakan hal yang penting dalam mendirikan corporate university. Di GE, pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia merupakan nilai yang sangat penting. Di GE kami yakin bahwa pendidikan/ pelatihan yang kontinyu harus menjadi bagian inti dari nilainilai perusahaan. Oleh karena itu, komitmen dalam pendidikan dan mengembangkan pemimpin dari dalam organisasi merupakan hal yang penting dalam mendukung kesuksesan sebuah corporate university. Sebuah Corporate University yang baik juga harus berwawasan ke depan (outward and forward looking). Ini berarti kita harus membandingkan kondisi perusahaan saat ini dengan perusahaan-perusahaan yang telah mencapai sukses jangka panjang dalam menciptakan pemimpin-pemimpin dari dalam perusahaan. Selain itu, kita juga harus membandingkan dengan visi dan misi perusahaan. Dalam hal ini, kita membandingkan kondisi saat ini dengan kondisi yang ingin dicapai dalam 5-10 yang akan datang, dalam hal pertumbuhan
perusahaan dan kapasitas sumber daya manusianya.
Jadi untuk mendukung kesuksesan sebuah Corporate University dibutuhkan internal komitmen yang kuat dan visi yang jelas.
Dalam melatih kepemimpinan di GE kami memiliki beberapa tahapan. Pertama, kami memiliki materi kursus online yang tersedia 24 jam sehari 7 hari seminggu melalui komputer. Kami memiliki license untuk seluruh karyawan dari beberapa vendor untuk memberikan materi pelatihan. Kami memastikan bahwa materi yang tersedia mencakup berbagai jenis topic dari management skills hingga project skills. Kami juga menggunakan banyak video, materi yang dapat di-download, dsb. Kami juga mendorong karyawan kami untuk menggunakan metode tersebut sebagai peluang untuk belajar dalam waktu singkat. Materi yang ada merupakan materi-materi dasar dan tersedia setiap saat.
Kelompok berikutnya adalah materi pelatihan keterampilan utama (essential skills). Kami memiliki beberapa materi kepemimpinan yang harus dikuasai seluruh karyawan, antara lain presentation skills, project management skills, pemahaman dasar finance, dan masih banyak lagi. Materi ini dikelola oleh staff Crotonville tetapi dijalankan di berbagai lokasi GE di seluruh dunia. Materi ini diberikan melalui konsep TTT (Train the Trainer). Integritas kursus ini tetap terjaga karena staf Crotonville memastikan bahwa trainer yang membawakan materi ini telah melalui pelatihan dan memiliki sertifikasi. Tingkat selanjutnya adalah materi kursus inti (cornerstone courses).
Program-program ini harus dijalankan dengan mengikuti pelatihan langsung di lokasi GE. Kursus-kursus ini umumnya berlangsung selama satu minggu dan dapat dilakukan di seluruh dunia. Kami memiliki empat materi kursus utama. Pertama, Foundations of Leadership Course, yang umumnya diambil karyawan pada tahun pertama sampai ketiga dalam karir seseorang. Selanjutnya adalah Leadership Development Course, a New Manager Development Course, dan Advanced Manager Course. Kursus-kursus tersebut dapat dilakukan dalam waktu 10 tahun karir seorang karyawan, di mana karyawan akan menghadiri kursus tersebut setiap dua tahun atau tiga tahun sekali.
Setelah itu, kami menyediakan executive level courses. Kursuskursus tersebut berlangsung selama tiga minggu dan hanya diberikan di Crotonville, antara lain: Manager Development Course, Business Management Course, and the Executive Development Course. Kursus-kursus tersebut (MDC, BMC, dan EDC) telah dikenal di GE sejak tahun 1960-an, dan merupakan brand yang sudah dikenal di dalam GE.
Materi kursus lainnya yang kami berikan adalah untuk tim. Jadi di GE, kami memiliki berbagai jenis kursus bagi seluruh tingkatan karyawan.
Kami bermitra dengan Garuda Indonesia untuk menjalankan/ mengembangkan Leadership Development Program dan program pelatihan khusus bagi eksekutif dan pemimpin yang terpilih. Program-program ini adalah bagian dari Garuda Indonesia Corporate University dan focus Garuda dalam pengembangan kepemimpinan dan beberapa fungsi dari Kelompok Garuda Indonesia. Ke depannya, kami berharap dapat melakukan hal yang sama dengan beberapa perusahaan lainnya di Indonesia. Setiap tahunnya, GE mengeluarkan lebih dari $1 milyar untuk mengadakan pelatihan dan pengembangan sumber daya manusianya. Dampak dari investasi ini adalah pertumbuhan perusahaan yang terus meningkat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di GE. (Caecilia Adinoto, HR Director, GE Indonesia)
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
101
sosokhr
FX Sri Martono:
Tantangan HR adalah Mengalahkan Diri Sendiri KISAH hidup FX Sri Martono yang dari kecil ingin menjadi seorang insinyur hingga kini memegang tampuk tertinggi dari perusahaan yang memiliki ribuan karyawan dalam urusan managing people, memang panjang untuk diceritakan. Beruntung, kisah anak pertama pasangan Johanes Soetardjo Prawiro Soepadmo dan Margaretha Siti Roch Kepareng sudah didokumentasikan dalam bentuk buku setebal 400 lebih, berjudul “Unlocking the Hidden Talent.” Buku ini memang buku biografi-nya FX Sri Martono yang kini menjabat sebagai Vice President, Chief Corporate Human Capital Development PT Astra International, Tbk. Di kantornya yang sederhana dan asri, di Jl Gaya Motor Raya No.8, Sunter, Jakarta, Sri Martono berkenan menerima tim Majalah HC untuk mendengarkan langsung penuturannya, soal kiprahnya di dunia HR (human resources). “Bagi saya HR menjadi kawah candradimuka di mana seseorang didorong untuk mampu mengembangkan berbagai potensi dirinya secara utuh dan multidimensional, seperti potensi, intelektual, karakter, mental spiritual, dan tentu kinerja yang tinggi,” ujarnya.
102
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
Motivasi yang juga menguatkan Sri Martono, sebagai fungsi yang bertanggungjawab untuk pengembangan SDM, orang HR mempunyai peran nyata dalam leaders creation di samping tentunya pengembangan dan implementasi sistem yang terintegrasi yang didasari oleh nilai-nilai yang terkandung dalam Catur Dharma Astra; seperti AMS (Astra Management System), AHRM (Astra Human Resources Management), dan lain sebagainya. Ia berkata, “Secara nyata juga perlu dapat menangkap aspirasi karyawan dan menciptakan working-environment yang kondusif, dengan high performance culture yang memampukan setiap insan Astra untuk dapat bekerja dengan tingkat komitmen yang tinggi, sekaligus juga passion yang besar. Senang rasanya melihat insan Astra yang bertumbuh tidak hanya dalam karir tetapi juga tumbuh dalam kematangan pribadinya.”
Sosok HR kali ini yang juga begitu menyukai dunia fotografi, menggarisbawahi bahwa tantangan HR saat ini adalah mengalahkan diri sendiri. Tidak cepat puas karena semakin hari tantangan semakin besar. “Di tahun ini kita melihat kecenderungan scarcity of talent di mana-mana. Mungkin karena kita semua, perusahaanperusahaan di Indonesia, mengalami masa-masa sulit setelah krisis keungan tahun 1998 dulu, sehingga ada beberapa perusahaan yang masih menghadapi leadership succesion gap dan distribusi talent yang tidak merata. Sementara bisnis harus terus tumbuh dan berkembang. Di sinilah talent management dibutuhkan untuk memastikan ketersediaan SDM yang kompeten, berpotensi dan fit secara cultural serta sesuai dengan kebutuhan organisasi,” jelasnya. Terkait dengan scarcity of talent di atas, lanjut Sri, tidak dapat
Pergerakan social media ini tidak hanya sekadar teknologi atau sarana komunikasi, tetapi juga sebuah transformasi budaya. dipungkiri bahwa kemudian employer branding menjadi salah satu strategi penting untuk menjaring para talent terbaik yang ada di luar organisasi. Sri menyebut, “Saya melihat implikasinya cukup terasa dalam praktik human capital development, misalnya dalam proses rekrutmen. Jika pada waktu sebelumnya, rekrutmen dapat dianalogikan sebagai proses “purchasing” yakni membeli calon karyawan dari pasar tenaga kerja yang ada, maka saat ini rekrutmen seperti halnya sebuah proses “selling”, yakni menjual kesempatan pengembangan dan berkarier kepada para talent terbaik. HR juga memiliki peran strategis dalam memperkenalkan perusahaan yang tentu saja tidak hanya sekadar aspek komersialnya, tetapi bagaimana kita mengenalkan corporate values serta intangible assets lainnya.” Dalam perjalanan karirnya di dunia HR, Sri mengaku bersyukur bahwa ia berada pada jalur human capital development. “Di mana saya mendapat banyak kesempatan untuk berbagi values, culture dan semangat. Saya selalu mengingatkan kepada para karyawan bahwa pembangunan karakter menjadi hal fundamental bagi pengembangan diri mereka ke depan. Demikian juga dengan para leader, dalam berbagai kesempatan berdialog dengan mereka, saya juga selalu mengajak mereka untuk selalu menjadi role model positif, memiliki komitmen, passion, dan ‘hati’ kepada pekerjaan dan team
member mereka.
Memiliki semangat Man of Others menjadikan mereka tidak hanya dikenal sebagai pemimpin yang jago dalam mengelola pekerjaan, tetapi juga sebagai model the way yang berdialog hangat dan dekat dengan karyawan.”
Menanggapi maraknya social media, Sri Martono punya pandangan. Menurutnya, dinamika media komunikasi yang terus bergerak, adalah signal positif bagi peradaban manusia pada umumnya. Apa pun mediumnya, selalu membawa konsekuensi positif maupun negatif.
“Kami lebih memilih untuk mengoptimalkan sisi positifnya. Pergerakan social media ini tidak hanya sekadar teknologi atau sarana komunikasi, tetapi juga sebuah transformasi budaya. Kami tentu harus dapat menggunakannya untuk mengirimkan message positif, membangun sinergi dan kolaborasi, mendorong knowledge sharing dan memperkuat engagement level. Bagi kami organisasi yang sukses adalah yang dapat mengadopsi dinamika budaya dan mengoptimalkannya untuk menghasilkan sumber daya berkualitas, yang ujung-ujungnya adalah tersedianya talent pool dan future leaders sebagai competitive advantage bagi penentu kesuksesan perusahaan,” pungkas Sri Martono. (by @erkoes)
HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
103
boardmessage
Beri Lampu Hijau untuk Social Media DALAM berbagai sesi yang saya fasilitasi, ada beberapa insight menarik. Diantaranya ada yang bingung atas ‘polah’ karyawan yang sering ‘ngrasanin’ bosnya di FB, atau tingkah karyawan yang sangat aktif check-in di social media setiap ada klien maupun calon klien yang bertandang ke kantornya, sehingga dengan mudah terbaca oleh kompetitor. Atau kabar menyenangkan dari calon kandidat yang diinterview karena tertarik dengan iklim perusahaan yang terwakili dari foto-foto yang diunggah via Instagram. Intinya, mereka mencari solusi bagaimana mengendalikan karyawan dalam ber-social media saat bekerja.
Kondisi ini tidak mengherankan. Sebuah survey dari SilkRoad Technology mengungkapkan bahwa minimal 6 dari 10 karyawan tiap harinya berkali-kali mengakses jejaring sosial dari tempatnya bekerja. Data ini selaras dengan pengguna FB di Indonesia yang mencapai lebih dari 51 juta (atau setara dengan 21% total populasi), serta penobatan Jakarta sebagai kota twitter tercerewet sedunia. Sehingga logikanya, besar kemungkinan karyawan kita juga termasuk di antaranya.
104
Lalu, apa yang harus dilakukan? Banyak perusahaan mencoba mengatasinya dengan menghentikan akses karyawan ke situs jejaring sosial dari PC kantor. Tindakan yang menurut saya sia-sia dan menggelikan. Saat ini bahkan gadget dengan harga ekonomis, HC MAGAZINE | #2 | JANUARI - FEBRUARI 2013
telah dilengkapi features untuk mempermudah penggunanya mengakses berbagai situs tersebut. Ingat, data pengguna internet pada 2012 menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), mencapai 63 juta orang (24.23% populasi), yang 70.1% mengakses dari telepon pintar.
Sementara perusahaan lain memilih alternatif menyikapi ini dengan lebih bijaksana, melalui penerapan social media policy untuk menghindari efek negatif. Formatnya beragam sesuai kebutuhan dan budaya perusahaan, mulai dari yang lengkap dan komprehensif, hingga sederhana. Pelatihan juga diberikan dalam rangka membantu karyawan membangun brand image yang positif di dunia online. Salah satu tujuannya adalah agar mereka juga dapat menjaga atau bahkan mengangkat persepsi masyarakat terhadap produk perusahaan.
Perusahaan terkemuka di dunia seperti IBM, AT&T, Ford, DELL, Best Buy, dan sederet lainnya bahkan telah melangkah lebih jauh. Mereka dengan serius membangun program untuk mengoptimalisasikan aktifitas karyawan di social media ini untuk kepentingan perusahaan, tanpa tentunya melanggar privacy ataupun unsur kesenangannya. Melalui program ‘employee social media ambassador,’ karyawan menjadi agent yang membantu perusahaan untuk mendapatkan
kandidat, promosi, meningkatkan pelayanan, hingga penjualan.
DELL misalnya, mengeluarkan sertifikasi khusus social media. Hingga tahun 2012, sekitar 3000 dari 100.000 karyawannya telah menjalani pelatihan tersebut dan dinyatakan lulus. Sebagai pelengkap, DELL juga membangun Command Center yang memonitor, mencatat dan menganalisa pembicaraan karyawan dalam 11 bahasa. Program ini sangat menarik, hingga karyawan berlomba untuk dapat diikutsertakan. Hal yang mirip juga dilakukan oleh Best-Buy. Setiap karyawan didorong untuk mampu menjawab pertanyaan dan komentar dari pelanggannya melalui jejaring social media, terutama Twitter. Agar mampu memberi respon yang tepat, Bestbuy menerapkan suatu sistem komunikasi internal berbasis social media, sehingga memungkinkan karyawan berinteraksi, bertukar pengetahuan, informasi produk terbaru, pendapat dan pengalaman secara real-time. Alasan di atas pula yang menjadi dasar PortalHR untuk terus secara konsisten mengajak para praktisi HR memahami, meningkatkan kompetensi dan akhirnya menerapkan beberapa program HR terkait social media. Silahkan kontak saya untuk berdiskusi mengenai hal ini, melalui akun Twitter @mallalatif ataupun tinggalkan pesan inbox di akun Facebook dan LinkedIn.