Eps02 – Pandemonium Begins Samael berjalan menelusuri lorong rumah sakit itu dalam wujud manusianya. Beberapa perawat wanita yang ia lalui tersenyum ramah padanya. ‘Pasti karena baju putih ini’ pikir Samael. Perasaan gamang di hati Samael memberatkan setiap langkah yang harus ia ambil untuk menuju ke lift terdekat. Ia sedang dalam perjalanan menuju atap di mana ‘atasan’ barunya menunggu. ‘dr. Samuel Mortis’ demikian nama yang tertera pada tanda nama yang tergantung di dada Samael. Saat ini, Samael sedang dalam misi pengelana bumi. Bukan pekerjaan yang biasa ia lakukan memang, tetapi – mengutip perkataan Raphael – ‘perintah ini turun jauh dari atas’ dan tidak ada satu malaikat pun yang ingin menentang perintah yang ‘turun jauh dari atas’. Samael memasuki lift yang terbuka di depannya setelah ia menunggu sesaat lamanya. Tidak ada orang lain yang menunggu lift bersama Samael – mungkin karena masih pagi – sehingga ia memasuki lift kosong itu seorang diri dan langsung menekan tombol yang menuju atap. Bagi Samael, lift itu terasa bergerak sangat lambat. Seakan butuh waktu seabad untuk berpindah dari lantai empat menuju ke sepuluh lantai di atasnya. Biasanya, Samael hanya butuh satu kedipan mata untuk berpindah dari satu kota ke kota lainnya tetapi saat ini yang Samael rasakan ketika ia memejamkan mata hanyalah kegelapan dan sakit kepala yang amat sangat. Misi baru ini sudah memasuki hari ke tiga dan Samael masih belum dapat membiasakan diri dengan kehidupan manusia. Ditambah lagi tubuh yang ia kenakan saat ini berbeda dengan misi penyamaran sebelumnya. Kali ini tubuh yang Samael kenakan lebih – katakanlah – fana, adanya. Seperti yang Luminael – malaikat dengan jam terbang tertinggi untuk misi pengelana bumi – rasakan selama ini, Samael akhirnya – untuk pertama kali sejak keabadian – merasakan bagaimana rasanya menjadi, nyaris sepenuhnya, manusia. Capek, lelah dan kantuk akibat tidak tidur selama dua hari dua malam membuat sekujur tubuh Samael terasa sakit di banyak titik. Permasalahannya adalah karena malaikat tidak pernah tidur. Dan Samael belum pernah tidur sejak Adeus menciptakan
1
dirinya. Dan itu artinya Samael harus mencoba tidur untuk pertama kalinya sejak keabadian. Dan itu sama sekali bukan hal yang mudah. ‘Bagaimana manusia dapat tidur begitu lama di malam hari?’ pikir Samael dalam hati. ‘Kegelapan itu. Dan ketidakberdayaan selama tidur.’ Samael masih ingat bagaimana usahanya untuk tidur semalam gagal total. Rekor terlamanya untuk percobaan tidur masih terhenti pada enam puluh tujuh detik. Dan pada detik ke enam puluh delapan, Samael terbangun dalam kondisi tegang dan nafas terengah-engah. Jantungnya berpacu dan tubuhnya gemetaran dalam rasa takut sambil memandang sekeliling dan memastikan bahwa ia masih hidup saat itu. ‘Sungguh misi terberat..’ Beberapa lantai lagi menuju atap dan Samael sudah sangat tidak sabar untuk keluar dari kotak besi itu. Dan, lagi-lagi, Samael masih tidak mengerti mengapa semuanya bisa berubah menjadi seperti ini. Semuanya dimulai setelah ia menyelesaikan misi menyelamatkan manusia bernama Ryan Giovanni bersama Luminael. Begitu misi itu selesai, Samael, Luminael dan Raphael langsung kembali ke Ouranos – tempat tinggal para malaikat dan tempat Adeus bertahta. Betapa terkejutnya Samael ketika ia mendapati tempat itu begitu penuh dengan malaikat-malaikat. Tentu saja Samael sendiri sering mengunjungi Ouranos – biasanya setelah menyelesaikan daftar ajal manusia – tetapi jumlah malaikat yang begitu banyak belum pernah ia jumpai dalam waktu yang sangat lama. Seketika itu juga, kegelisahan melanda Samael. Seakan-akan seluruh malaikat di penjuru bumi ditarik pulang pada saat yang bersamaan. Samael melihat ke arah Luminael – yang langsung bercahaya sangat terang begitu mereka mencapai Ouranos – dan bahkan Luminael pun terlihat gundah. “Ada apa ini, Raphael?” tanya Luminael lirih. “Perintah Ayahanda kah ini?” “Kalian akan segera tahu.” Jawab Raphael singkat. Samael dan Luminael melihat ke arah senior mereka itu sambil berharap Raphael akan menatap balik mereka dan mengatakan bahwa ‘tidak ada yang perlu dikhawatirkan’. Tetapi hal itu tidak pernah terjadi.
2
Ouranos merupakan tempat kudus yang maha luas, dan bahkan jauh lebih luas daripada bumi. Dan saat ini semua malaikat Adeus tengah berkumpul di area celestial, yaitu area yang berada tepat di depan ruang tahta Adeus. Ruangan celestial itu terlihat bagaikan ruangan kosong yang sangat luas. Tidak ada suatu benda apapun di ruangan itu kecuali cahaya yang sangat terang yang memenuhi seisi ruangan itu. Semua malaikat – baik itu malaikat cahaya maupun malaikat pencabut nyawa – terlihat sama di dalam ruangan celestial. Tidak ada satu malaikat pun yang bercahaya lebih terang ataupun lebih redup dari yang lain. Walaupun masih mudah membedakan para malaikat pencabut nyawa dengan yang lainnya karena sepasang sayap mereka pasti terlihat lebih kusam – atau dalam kasus Samael, berwarna hitam pekat. Dan semua makhluk abadi bersayap itu melayang-layang mengelilingi sebuah gerbang besar yang ada di tengah-tengah mereka. Gerbang besar itu merupakan satu-satunya benda yang terlihat bercahaya keemasan di dalam ruangan celestial. Dan walaupun kedua sisi gerbang tersebut dapat terlihat dari depan dan belakang, tetapi para malaikat tahu bahwa Adeus berada di balik gerbang tersebut. Dan tidak banyak malaikat yang mendapat ‘hak istimewa’ untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Dan sejarah malaikat mencatat bahwa hanya ada satu malaikat yang dipilih Adeus menjadi pembawa pesan pribadinya. Dan sosok malaikat itulah yang selanjutnya – secara tiba-tiba – muncul di hadapan mereka semua. Gabriel. “Salam, saudara-saudaraku.” Suara Gabriel yang berat terdengar menggema di seluruh ruangan celestial. Salam serupa pun bersahutan membalas dari seluruh penjuru ruangan itu. Dan sementara Gabriel berbicara, mata Samael telah menyusuri ruangan celestial itu dari ujung ke ujung. Ia menghitung ada tujuh ratus tujuh puluh malaikat hadir di sana. “Semua saudara kita hadir.” Samael berbisik pada dirinya sendiri. Luminael – yang melayang tepat di sebelah Samael – mengangguk mengiyakan. Dan Samael yakin bukan hanya mereka berdua yang menyadari bahwa semua malaikat di seluruh jagat raya sudah hadir di ruangan celestial saat itu. Setelah itu, ruangan celestial hening seketika. Semua mata dan pikiran tertuju pada Gabriel yang membawa pesan Adeus di tangan kirinya yang bercahaya. Ketegangan makin bertambah ketika Gabriel membuka telapak tangannya dan melepaskan cahaya itu.
3
Dan begitu cahaya itu melesat dan berpindah dari telapak tangan Gabriel ke dalam mulutnya, pesan Adeus pun dimulai. “Demikian pesan Ayahanda :” kata-kata Gabriel kembali membahana, “sebagaimana kita tahu bahwa tak lama setelah awal keabadian, saudara kalian, Lucius dan enam saudara lainnya telah meninggalkan Ouranos dan memilih untuk menguasai Gehenna serta memusuhi manusia.” Sempat terjadi sedikit kericuhan ketika mereka mendengar nama saudara lama mereka, tetapi seiring pesan berlanjut, kericuhan itu reda seketika. “Atas izin dan kehendak Ayahanda, umat manusia akan mengalami ujian terberat mereka sejak keabadian dimulai.” Gabriel berhenti sejenak dan memejamkan mata. “Enam milliar delapan ratus delapan puluh delapan juta dan tujuh ratus tiga puluh satu ribu enam ratus tujuh puluh tiga penduduk bumi akan mengalami masa-masa yang sangat sulit dalam ujian ini. Lucius telah diijinkan Ayahanda untuk melakukan pandemonium di atas bumi.” Kericuhan kembali timbul. Istilah pandemonium dikenal para malaikat sebagai ‘kekacauan neraka’ di mana menggambarkan situasi di mana Adeus tidak mau terlibat atas apapun yang terjadi di dalam Gehenna. Dan mengijinkan membawa kekacauan dunia bawah ke atas bumi jelas menjadi berita terburuk yang pernah di dengar para malaikat dalam ribuan tahun terakhir. “Dan lagi,” Gabriel menaikkan intonasinya untuk meredakan kegaduhan yang ada. Namun bukan tingginya intonasi Gabriel yang meredakan kericuhan itu, melainkan kata ‘dan lagi’ yang sangat mungkin diterjemahkan menjadi ‘pandemonium bukan semua kabar buruknya’. “Lima puluh orang manusia telah dipilih oleh Adeus untuk mengalami ujian yang lebih berat dari manusia lainnya. Dan mereka akan berperan besar dalam penentuan masa depan kita semua kali ini. Oleh karena itu, pengaturan tugas dan tanggung jawab setiap malaikat akan diatur ulang agar lebih sesuai dengan keadaan kita saat ini. Kemudian…” ‘diatur ulang’ pikir Samael sembari menggaruk-garuk rambut ikalnya yang mulai sering terasa gatal. Tak pernah terbesit dalam pikiran Samael bahwa semua malaikat pencabut nyawa akan ditarik dari posisinya masing-masing dan ditempatkan pada misi penyamaran dan misi pengelana bumi.
4
“Misi penyelamatan Ryan Giovanni membuktikan bahwa malaikat pada divisimu lebih susah dideteksi dari pada kami semua.” Kata Raphael sesaat sebelum ia mengutus Samael untuk menyamar menjadi dokter di rumah sakit tempat Ryan Giovanni dirawat. Dan, Samael menyayangkan dengan sangat, bahwa pernyataan itu benar adanya. Malam ketika Samael mengikuti Ryan Giovanni masuk ke dalam klub malam itu, dua orang iblis yang menyamar menjadi penjaga pintu masuk serta penerima tamu tidak dapat mengenali Samael yang berjalan tepat di depan hidung mereka. Pekatnya aura kematian yang melekat pada para malaikat pencabut nyawa membuat iblis-iblis itu sulit untuk menembus penyamaran Samael dan semua malaikat di divisnya. Dan, kebalikan dari nasib Samael, semua malaikat yang sedang dalam ‘tugas lapangan’ ditarik kembali ke Ouranos untuk melakukan tugas-tugas yang lain, termasuk salah satunya mengambil alih tugas para malaikat pencabut nyawa. Salah satu dari para malaikat itu – dan yang paling senior – adalah Luminael. Suara berdenting lift terdengar sangat merdu bagi Samael yang merasa sudah menunggu berabad-abad hanya untuk berpindah ke atap sebuah gedung. Samael mengetuk-ngetukan kakinya sembari menunggu pintu lift terbuka sepenuhnya. Mentari pagi yang bersinar cerah pagi itu membuat Samael memicingkan mata manusianya. Dan sebagaimana telah diberitahukan pada Samael sebelumnya, seorang malaikat dalam wujud manusia telah menunggunya di sana. Tidak seperti Samael yang berusaha menghindari silaunya cahaya matahari, sosok itu berdiri membelakangi Samael dan menatap langsung ke arah matahari. Rambut kuning keemasannya yang tertiup angin pagi berkilauan indah. Seakan-akan setiap helai rambut itu mampu menyerap cahaya mentari dan memancarkannya kembali. “Hai, sammy.” Sapa Luminael sambil berpaling ke arah Samael. Silaunya cahaya matahari membuat Samael tak dapat melihat langsung ke arah Luminael. “Hai.” Balas Samael lemah. Ada sedikit perasaan tak enak yang dirasakan Samael. Ia selalu beranggapan bahwa pekerjaan berjalan di atas bumi adalah pekerjaan yang paling ‘remeh’ di antara pekerjaan yang lain. Dan kenyataan bahwa ia terjebak di dalam tubuh fana ini dan sementara Luminael hanya berada dalam wujud fisik sementara membuat Samael merasa kurang nyaman. Seakan-akan baru saja terjadi perombakan posisi dalam sebuah kerajaan dan sementara Luminael mendapat promosi kenaikan
5
jabatan, Samael lebih merasa dicopot dari jabatannya dan diturunkan ke posisi yang lebih rendah. “Oh maaf.” Ujar Luminael sambil berpindah ke posisi yang tidak menyilaukan bagi Samael. Ia nampak sangat bahagia. Berkebalikan dengan wajah kusut Samael, senyum Luminael terbentang lebar. “hanya saja, sudah lama sekali aku tidak dapat melihat langsung ke arah matahari. Tentu saja aku biasa melihatnya dari balik kaca mata hitam, tapi tetap tidak seindah bila kita bisa melihatnya secara langsung. Benar-benar sangat indah, bukan begitu saudaraku?” Samael bergeming. “Eh..iya, memang indah.” Jawab Samael datar. “Ada berita apa, Luminael?” Lanjut Samael tak sabar. Ia berharap ada ‘berita baik’ yang menyatakan bahwa pekerjaan yang ia lakukan saat ini sudah dapat diakhiri. “Kabar baik, saudaraku!” seru Luminael girang sambil berjalan mendekat ke arah Samael. “Kita akan bekerja sama lagi dalam misi kali ini. Objektif misi kita juga tidak sulit. Kita hanya perlu memantau aktivitas Ryan Giovanni hingga ia keluar dari rumah sakit ini. Dan kau, saudaraku,” Luminael menggenggam erat kedua pundak Samael. Wajahnya berseri-seri seakan-akan hendak memberitahu Samael bahwa ia baru saja memenangkan sesuatu yang sangat berharga, “berkesempatan untuk menjalankan misi pengelana bumi pertamamu.” Samael terkejut. Alih-alih penderitaannya berakhir malahan semuanya berlanjut hingga waktu yang belum ditentukan. Ia tak tahu harus berkata apa. Tetapi yang pasti berita barusan sama sekali tidak masuk dalam kategori ‘kabar baik’ bagi Samael. “Kenapa saudaraku? Kau tampak terkejut.” Kata Luminael bingung. Bagi Luminael – yang sudah mengelana di atas bumi sejak keabadian – tidak ada pekerjaan yang lebih menarik dan menyenangkan daripada membaur di antara para manusia. Dan ketika Luminael melihat pucatnya wajah Samael maka satu-satunya jawaban yang paling masuk akal bagi Luminael adalah dengan menanyakan : “Kau sakit saudaraku?” “Bicara apa kau ini, saudaraku? Tidak mungkin seorang malaikat jatuh sakit bukan?” Samael tertawa kecil sambil memalingkan wajahnya dari Luminael. Samael pun merubah raut wajahnya agar terlihat sesegar mungkin. Entah mengapa ia melakukan itu, tetapi yang pasti ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Luminael.
6
Tiba-tiba tawa Luminael meledak. Samael menoleh kebingungan melihat rekannya terkekeh-kekeh dengan kedua tangannya memegangi perut. “Sudahlah saudaraku.” Sahut Luminael terbata-bata di antara tawanya. “aku sangat paham bahwa hal yang paling sulit dilakukan pada misi yang sedang kau lakukan adalah apa yang disebut manusia dengan : tidur nyenyak.” Samael terhenyak. Banyak sekali yang mengganggu Samael dalam pekerjaan kali ini, tetapi mungkin hal itu yang paling mendesak saat ini. Tanpa istirahat yang baik, tubuh fana yang Samael kenakan tidak mungkin dapat berfungsi dengan baik. Luminael tidak membutuhkan jawaban Samael untuk mengetahui bahwa tebakannya benar. Raut wajah terkejut saudaranya itu sudah lebih dari cukup bagi Luminael untuk memutuskan memberikan Samael sedikit bantuan. “Sini saudaraku, ku bagi sedikit rahasia yang akan membuatmu tidur lebih nyenyak nanti malam.” Samael mengikuti isyarat tangan Luminael dan membiarkan rekannya itu membisikkan sesuatu di telinganya. “Sungguhkah?!” Seru Samael terkejut mendengar tips dari Luminael. Spontan ia menarik tubuhnya menjauh dari Luminael dan menatap saudaranya itu. Kedua matanya yang sudah sangat mengantuk mendadak terbuka lebar serta berbinar. “Kau bisa melakukan itu?” Luminael mengangguk sambil mengangkat sudut bibirnya. “Tenang saja saudaraku. Kau lakukan saja seperti yang kukatakan padamu, dan semuanya akan baik-baik saja.” Walaupun hal itu tidak mengubah kenyataan bahwa pekerjaan yang berat ini masih akan terus berjalan lebih lama, tetapi senyum lebar di wajah Luminael – serta tips yang akan langsung ia coba nanti malam – membuat beban di pundak Samael terasa sedikit lebih ringan. Luminael ikut senang melihat Samael sudah lebih tenang. “Sekarang saudaraku,” Sebuah tepukan ringan yang menenangkan mendarat di pundak Samael, “ceritakan padaku tentang kondisi teman manusia kita yang bernama Ryan Giovanni ini.”
=== o0o ===
7
Ryan Giovanni masih tergolek lemas di atas ranjang rumah sakit berjarak kurang lebih tiga kilometer dari The Dome, tempat terjadinya tragedi yang menewaskan delapan puluh sembilan jiwa, tiga malam yang lalu. Semua pengunjung klub malam itu – kecuali satu orang pemuda – ditemukan meninggal dalam kondisi yang janggal dan mengerikan. Walaupun gedung besar itu akhirnya meledak dan hancur karena kebakaran, tetapi tim forensik menyatakan bahwa semua mayat yang ditemukan meninggal akibat memuntahkan seluruh isi perutnya keluar bahkan sebelum klub malam itu terbakar. Hal ini bisa dipastikan dari posisi tubuh-tubuh nahas itu yang sebagian besar masih berada di dekat tempat duduk mereka masing-masing. Dan bahkan polisi juga menemukan beberapa pasang mayat laki-laki dan perempuan yang berada dalam kondisi telanjang bulat di dalam bilik-bilik di bagian atas klub malam itu. “Tidak mungkin pasangan-pasangan tetap melakukan ‘hal itu’ bila kebakaran terjadi terlebih dahulu. Kami menduga adanya penggunaan narkotika jenis baru yang sangat mematikan.” Demikian pernyataan seorang perwira polisi yang dimuat di surat kabar setempat. Banyak spekulasi dan rumor yang bergulir di kota tersebut tetapi tidak ada yang dapat memastikan apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Kecuali satu orang. Ryan Giovanni. Sebagai satu-satunya orang yang selamat dari ‘racun mematikan’, serta kebakaran hebat yang meluluhlantakkan gedung besar itu, nama Ryan Giovanni segera memenuhi surat kabar dan media-media setempat. Dan bahkan bila ini terus bergulir, – sangat mungkin – media nasional akan segera berbondong-bondong ke kota ini untuk melihat sang anak ajaib. Lusinan wartawan sudah menunggu dan berkemah di sekitar rumah sakit tempat Ryan dirawat. Dan kalau bukan atas perintah kepala polisi kota itu, mungkin saat ini Ryan Giovanni bahkan tidak bisa buang air kecil di pispotnya tanpa diliput oleh media. ‘Kau seharusnya sangat bersyukur, manusia.’ Pikir Samael yang tengah mengunjungi kamar Ryan. Dr. Samuel Mortis adalah dokter yang ditugaskan rumah sakit itu untuk mengontrol kondisi tubuh Ryan pasca tragedi The Dome. Saat ini waktu tengah menunjukkan pukul sembilan malam lewat sepuluh menit dan Ryan tengah tertidur akibat efek obat penenang.
8
‘seandainya minuman keras yang tercampur dengan racun Asmodeus itu kau telan sedikit lebih banyak saja.’ Samael mengingat kembali bagaimana sebenarnya ia ingin berteriak menghentikan Ryan menenggak minuman keras yang dihidangkan oleh salah satu anak buah Asmodeus yang menyamar sebagai pelayan di The Dome malam itu. Dan sebenarnya semua staf, bartender dan pelayan The Dome pada malam itu adalah iblis suruhan Asmodeus. Itu juga sebabnya tidak ada satupun mayat yang ditemukan oleh polisi yang merupakan staf dari The Dome. Iblis-iblis suruhan Asmodeus telah menyusup jauh-jauh hari serta mempersiapkan dengan baik segala sesuatunya untuk memberi makan tuannya pada malam itu. Samael meletakkan telapak tangannya pada dahi Ryan serta mendeteksi bahwa pemuda itu akan baik-baik saja. Efek racun Asmodeus mungkin masih akan membuatnya merasa lemas dan mual untuk beberapa hari lagi, tetapi ia pasti akan baik-baik saja. Namun bukan hanya racun mematikan Asmodeus saja yang berhasil Ryan hindari. Malam itu bukan pertama kalinya Samael melihat Asmodeus beraksi merayu seorang manusia secara langsung. Terkadang Asmodeus muncul dalam wujud wanita yang sangat cantik dan menggoda namun tidak jarang Asmodeus menggunakan wujud lelaki tampan rupawan untuk menggoda para wanita – ataupun sesama lelaki, bila situasi menuntut demikian. Tapi jumlah laki-laki ataupun perempuan – terutama para laki-laki – yang lolos dari godaan Asmodeus dalam satu abad terakhir tidak lebih banyak dari hitungan jari. Dan Ryan Giovanni termasuk di dalamnya. ‘Luar biasa.’ Samael tertegun. ‘Semuanya tentu tidak lepas dari pekerjaan Adeus.’ Samael mengingat kembali betapa tepatnya timing dari segala yang terjadi tiga malam yang lalu. Pada awalnya, misi itu tampak janggal. Walaupun prioritas utama Samael dan Luminael hanyalah memastikan keselamatan Ryan Giovanni, tetapi tidak ada larangan untuk menyelamatkan semua manusia yang lain. Namun karena Samael harus ‘mengawal’ Ryan Giovanni, dan baru dapat memasuki The Dome bersamaan dengan Ryan, maka pada waktu Samael tiba di lokasi, Asmodeus sudah menyebar racunnya ke seluruh pengunjung yang ada. Namun berkat itu pula, Asmodeus tidak memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk menggoda Ryan. Hanya satu kali kesempatan yang dimiliki Asmodeus. Dan walaupun godaan itu cukup frontal, Ryan Giovanni berhasil menjadi satu dari segelintir
9
manusia yang akan diingat para malaikat sebagai manusia yang berhasil mengatakan “tidak” pada godaan Asmodeus. Jam dinding di ruangan Ryan sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit. Sudah tak banyak suara yang timbul di dalam rumah sakit itu. Kurang lebih lima belas menit yang lalu seorang perawat yang sedang tugas keliling melewati ruangan tempat Samael berada. “Bisa saya bantu, dokter?” perawat itu menjulurkan sebagian badannya dari pintu ruangan. Samael sempat bingung harus menjawab apa. Ia baru saja menjadi dokter dalam tiga hari terakhir. “Tidak ada..err..”Samael terdiam sejenak. Otaknya mengingat-ingat nama perawat tersebut, “Trisha.” Samael mengangguk-angguk lega. Ia tidak sadar bahwa bukan namanya yang perawat itu tanyakan sebenarnya. ‘Apa yang dokter lakukan di dalam ruangan pasien ini pada jam sepuluh malam?’ “Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Trisha ragu. Bagian badannya yang berada di luar ruangan mulai bergeser masuk. Dan saat itulah baru dr. Samuel Mortis mengerti. “Oooh.” Samael menggigit bibir bawahnya. “tidak ada masalah, Trisha. Aku cuma ingin memastikan ulang kondisi tuan Giovanni. Dan tampaknya ia baik-baik saja.” Samael teringat salah satu tips yang diberikan Luminael dan mempraktekkan sesuatu yang disebut ‘senyum yang menenangkan’. Dan walaupun mulanya Samael ragu hal remeh seperti itu dapat benar-benar bekerja, namun nampaknya memang demikian. “Wah, bagus kalau begitu!” seru Trisha senang. Melihat ‘taktik’nya berhasil, Samael mempertahakan senyumnya. “Kalau begitu saya permisi pulang dulu, dokter. Harus bangun pagi besok. Selamat malam, dokter.” Samael membalas lambaian tangan Trisha namun menemukan betapa sulitnya mempertahakan ‘senyum palsu’ ini sambil mengatakan “selamat malam, juga.” Tetapi setidaknya ia seorang diri kembali. Tiga hari berlalu dan Samael masih menemukan betapa sulitnya menempatkan diri di antara para manusia. Samael berjalan lemas lalu menempati kursi tak jauh dari tempat Ryan berbaring. Untuk sejenak ia memejamkan erat-erat kedua matanya. Jari-jari tangannya menekan dahinya yang terasa berdenyut-denyut akibat sakit kepala yang hebat.
10
“Anda belum pulang, dokter Mortis?” tiba-tiba suara seorang laki-laki mengenyakkan Samael dari kursinya. Tangan kirinya bergerak cepat mencegah kursi tersebut jatuh terguling sementara Luminael mulai terkekeh. “Sama sekali tidak lucu, Luminael.” Jawab Samael setengah kesal. Berada dalam wujud fana membuat Samael lebih sulit mendeteksi pergerakan dunia roh tetapi lebih peka terhadap emosi manusia, termasuk amarah. Dan Samael sedang berusaha keras untuk tidak melemparkan kursi itu ke arah Luminael. “Maaf, saudaraku.” Balas Luminael sambil merapatkan bibirnya, berusaha untuk tidak tertawa. “Waktunya pergantian shift jaga. Kau pergilah istirahat, saudaraku.” Samael menelan ludah. Saatnya sudah tiba untuk tidur dan mengistirahatkan badan fana Samael. Namun mengingat betapa menakutkannya tidur, Samael mulai mempertimbangkan untuk menjaga shift malam bersama Luminael. Namun sebelum Samael menyampaikan niatannya, Luminael meraih pundaknya dan kemudian – tidak sampai satu kedipan mata – mereka berdua telah berpindah ke tempat yang berbeda. Ruangan kecil berukuran dua kali empat meter itu hanya berisi sebuah ranjang single bed dan sebuah jendela dorong satu daun yang bertabirkan gorden yang sudah usang. Selain ruangan itu, apartemen Samael juga terdiri dari sebuah kamar mandi sempit berukuran satu kali dua meter yang terletak di sebelah kiri pintu masuk tadi. Luminael melihat sekeliling dan menghela nafas. Debu setebal beberapa milimeter tersebar nyaris merata di seluruh ruangan itu – bahkan di atas kasur Samael. “Ow, tidak ada seorang manusia pun yang boleh tidur di ruangan seperti ini. Terutama kau, saudaraku.” Luminael menjentikkan jari kanannya. Dan secepat bagaimana mereka berpindah tempat dari rumah sakit ke apartemen kecil Samael – yang kira-kira terletak dua setengah kilo dari rumah sakit –, kamar itu berubah menjadi bersih seketika. Gorden usang di dekat ranjang Samael berubah menjadi gorden baru berwarna hijau muda dengan motif bunga-bunga melati berukuran mini. Namun entah mengapa, Samael tampak kurang suka dengan motif itu.
11
“Bonus dariku, Sammy.” Luminael nyengir lebar. “Dan sekarang, kau benar-benar butuh istirahat, saudaraku. Dokter Samuel Mortis tidak akan dapat bekerja maksimal bila ia terjaga semalaman lagi.” “Tapi..” Samael tetap merasa ragu untuk membaringkan tubuhnya di atas dipan. Ia masih tidak dapat membayangkan harus ‘menon-aktifkan’ seluruh panca inderanya selama – kurang lebih – enam jam lamanya. Sepuluh detik saja sudah terlalu lama bagi Samael. Enam jam tanpa kesiagaan sama sekali terlihat sangat mustahil baginya. “aku tidak tahu, Luminael.” Kata Samael enggan sementara Luminael mendorongnya perlahan ke arah ranjang. Bagaikan orang tua yang menuntun anaknya yang berusia enam tahun – yang masih belum ingin tidur –, Luminael membuat Samael terbaring di tempat peraduannya. “Oh, tenanglah saudaraku.” Luminael menjentikkan lagi jarinya dan tiba-tiba lampu di kamar itu berubah temaram. “Bukankah sudah kubilang kalau Ayahanda sendiri yang akan menjagaimu?” “Sungguhkah demikian?” Samael mengernyit. “Kau meragukan janji Ayahanda?!” seru Luminael dengan nada terkejut yang dibuat-buat – walaupun rupanya Samael tidak tahu kesengajaan ini. “Ow ti..tidak begitu, saudaraku! Sungguh aku tidak akan pernah meragukan janji Ayahanda.” Sahut Samael gugup. Spontan ia terduduk di atas ranjangnya. “Hanya saja,” Samael menghindari kontak mata dengan Luminael. Ia tertunduk lesu. “akan lebih menyenangkan kalau Ayahanda menyampaikannya langsung padaku. Walaupun bukan berarti aku tidak percaya padamu, Luminael.” Samael buru-buru menambahkan kalimat terakhir tadi. Luminael terdiam. Samael mulai ragu apakah ia telah mengatakan sesuatu yang kurang tepat. “Apa yang harus aku lakukan agar dapat tidur, saudaraku?” kata Samael lirih. “Berdoalah, saudaraku.” Samael terkejut. “Berdoa?” “Iya. Kau sangat beruntung, Samael.” Luminael mendorong tubuh Samael, merebahkannya di atas tempat tidur. “Pejamkan matamu, dan berbicaralah langsung pada Adeus.”
12
“Praktisnya kau seorang manusia saat ini, Samael. Hampir semua kekuatanmu dibelenggu. Demikian juga hak-hakmu untuk berhubungan langsung dengan para malaikat di Ouranos juga dibekukan selama kamu berada dalam wujud ini.” Dalam hatinya, Samael mengiyakan pernyataan Luminael. Dan memang hal-hal yang Luminael katakan itulah yang sangat mengganggu Samael beberapa hari ini. Perubahan status dari seorang malaikat pencabut nyawa hingga menjadi entah apapun ini, membuatnya merasa sangat menderita. Di satu sisi ia tidak mungkin mempertanyakan kebijakan senior-seniornya di Ouranos dan – apalagi – mempertanyakan keputusan Adeus yang mengizinkan semua ini terjadi. ‘Ternyata tidak mudah untuk – nyaris – menjadi manusia.’ Pernyataan inilah kesimpulan terbesar dalam benak Samael. Makhluk fana ini ternyata benar-benar rapuh – bukan hanya di luar, tetapi juga di dalam. Manusia benar-benar memiliki banyak kebutuhan dan – terutama – keinginan. Dan yang paling berat adalah – untuk pertama kalinya sejak keabadian – Samael merasakan
begitu
jauh
dari
Ouranos.
Ia
tidak
dapat
mendengarkan
percakapan-percakapan para malaikat yang lain. Alih-alih suara saudara-saudaranya, yang menggema di dalam kepalanya hanyalah suaranya sendiri. Dan sekeras apapun ia menjerit di dalam hatinya, seakan-akan ada tembok tak terlihat yang menghalangi suara hatinya mencapai Ouranos. Dan oleh sebab itulah ia begitu takut untuk tidur dan kehilangan kontrol atas segala eksistensinya. “Tetapi sebagai ganti semua hak-hak itu, kau beroleh hak yang istimewa, saudaraku. Semua manusia, bila dengan sungguh-sungguh mencari, akan dapat menemukan Adeus.” Samael terdiam mendengar kata-kata Luminael. Bukannya Samael tidak mengetahui hal ini. Semua malaikat tahu akan hal ini. Hanya saja Samael tidak pernah membayangkan bahwa menjalaninya dengan sekedar mengetahui memiliki perbedaan yang begitu jauh. “Huff!” Luminael menghembuskan nafas keras-keras kemudian berjalan ke arah pintu. “Maaf, Sammy. Tugas memanggil. Aku harus kembali ke rumah sakit itu sekarang.”
13
Pintu kamar Samael terbuka. Cahaya di luar kamar terlihat tidak lebih terang dari kamar Samael. Apartemen tempat Samael tinggal memang hanya tergolong apartemen kelas teri yang sebagian besar dihuni oleh perantau-perantau yang bekerja sebagai penjaga toko hingga pekerja kasar di situs-situs pembangunan gedung bertingkat. “Kau tidak bisa melakukan teleport?” tanya Samael bingung melihat saudaranya itu. Dalam satu kedipan mata saja, Luminael bisa langsung berpindah tempat ke rumah sakit tadi. “Ow, Daphiel sedang bertugas di dekat sini. Aku memintanya menunggui Ryan sebentar.” Luminael tersenyum lebar. “Langit malam begitu cerah hari ini. Aku ingin melihat-lihat sebentar.” “Kau ini..” Samael menghela nafas. “Pandemonium sudah berada di atas kita, Luminael. Dan kau masih sempat berjalan-jalan menikmati keindahan yang fana.” Emosi manusia Samael melonjak tinggi. Jantungnya berdegup kencang. Aliran darah – serta adrenalin – yang kencang ke kepalanya membuat sakit kepala Samael mereda sedikit. Suasana sempat hening sejenak. Samael menanti tanggapan Luminael. Namun tidak ada sanggahan keluar dari mulut saudaranya itu. Luminael hanya tertawa kecil dan sebelum ia menutup pintu kamar Samael di belakangnya, ia berkata “sesekali cobalah melihat keindahan fana itu dan kau akan mengerti, saudaraku.” Pintu tertutup. Di depan lorong terdengar suara Luminael yang beranjak pergi “Mimpi yang indah, Sammy.”
==== o0o ==== Samael memutar posisi tidurnya. Kali ini menghadap ke arah tembok kamar apartemennya. Warna dasar tembok itu berwarna putih susu, tetapi kini sudah berubah mendekati warna abu-abu dengan coretan-coretan aneh di sana-sini. Mulai dari nomor telepon wanita penghibur bernama Charlotte, gigolo yang menjamin kepuasan pelanggannya – pria maupun wanita –, hingga tulisan ‘Brad pernah ada di sini!’. ‘Mestinya aku meminta Luminael membersihkan tembok ini juga.’ Pikir Samael sambil membalik lagi tubuhnya menghadap ke arah pintu kamarnya. Waktu sudah beberapa menit melewati pukul satu pagi, dan ia masih belum dapat tidur. Rekor terlama Samael untuk memecamkan mata sejauh ini adalah satu menit lewat tujuh detik.
14
Detik pertama begitu Samael memejamkan matanya, ia langsung merasa seakan berada di dalam ruangan gelap yang sempit. Dan karena manusia tidur tanpa menggerakkan tubuhnya, Samael juga merasa terbelenggu dan tak berdaya. Jantung Samael langsung terpacu cepat dan seluruh panca inderanya – yang memang lebih tajam dari manusia normal – berubah menjadi lebih peka dan tajam. Suara jarum jam yang bergerak. Suara hembusan angin yang bergerak melewati celah kecil di bagian bawah jendela kamarnya. Suara kendaraan bermotor yang sesekali masih terdengar melewati jalan di depan apartemennya. Dan – yang paling parah menurut Samael – suara binatang-binatang yang bergerak di dalam saluran ventilasi di dalam dinding kamarnya. ‘Oh Adeus Yang Agung, bagaimana caranya aku bisa tidur kalau begini?!’ seruan frustasi Samael bergema di dalam benaknya. Sempat terlintas dalam pikiran Samael seandainya saja seorang malaikat pencabut nyawa datang untuk mencabut nyawanya dari tubuh fana ini hingga fajar menyingsing. Tetapi ide ini pun sia-sia karena Samael teringat tubuh fana ini tidak dapat bertahan selama itu tanpa kehidupan di dalamnya. ‘Pertama-tama anakku,’ tiba-tiba Samael mendengar suara lembut berbicara di dalam kepalanya. ‘kau harus memejamkan kedua matamu terlebih dahulu.’ Suara itu – entah laki-laki atau perempuan – walaupun terdengar asing bagi Samael, namun terdengar sangat lembut dan meyakinkan. Satu-satunya pertanyaan besar yang muncul sekarang adalah : benarkah itu Sang Ayahanda sendiri? Suara Adeus-kah itu? ‘Kau meragukanku, Samael?’ tanya suara itu lagi. Dan walaupun suara itu berbicara dengan sangat lembut, Samael terhenyak kaget. Ia tidak dapat memastikan apapun juga. Tanpa hubungan langsung dengan Ouranos, Samael tidak memiliki cara apapun untuk memastikan apakah itu benar Adeus. Samael terdiam. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ia pun berusaha mengosongkan pikirannya untuk menghindari ‘salah ucap’. Baik itu Adeus ataupun iblis yang sedang menyamar, Samael berpikir bahwa akan lebih baik bila ia berhati-hati memilih kata berikutnya yang ia ucapkan – atau dalam kasus ini, pikirkan.
15
‘Tidakkah kau dapat mengenali suaraku, anakku?’ suara itu bertanya lagi. Samael – yang terbaring di atas tempat tidurnya dengan mata terbuka lebar – masih tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Kedua matanya menyapu sekeliling dan berhenti pada pintu keluar yang terletak beberapa langkah di depannya. ‘Tenangkan dirimu dan dengarkan, Samael!’ pinta suara itu tegas – namun tetap tidak kehilangan kelembutannya. ‘Sungguhkah kau membutuhkan saudara-saudaramu untuk mengenali suaraku?’ ‘Bagaimana aku bisa tahu?!’ Samael membalas suara itu dalam pikirannya. Banyaknya adrenalin yang mengalir dalam aliran darah Samael membuatnya tidak dapat terbaring lebih lama lagi, ia pun terduduk di atas tempat tidurnya. ‘Tanpa hubungan langsung dengan Ouranos, aku tidak akan pernah tahu.’ ‘Apa itu Ouranos, Samael? Apa yang membedakan Ouranos dengan ruangan ini?’ suara lembut itu merespon dengan cepat. Ia membalas pertanyaan Samael dengan lebih banyak pertanyaan lagi. ‘Apa-apaan ini?!’ Samael berteriak di dalam pikirannya. Kedua tangan Samael menggaruk-garuk kulit kepalanya dengan sekenanya. Otak Samael berputar dengan keras hingga membuat sakit kepala yang ia rasakan makin menjadi-jadi. Dalam kebingungan, Samael spontan memejamkan kedua matanya. Ia berusaha menghubungi Ouranos melalui batinnya. ‘Ouranos, Luminael, Raphael atau malaikat manapun juga boleh.’ Pikir Samael. Namun, lagi-lagi, Samael menemukan betapa jauhnya Ouranos dengan bumi tempat ia berada. Suara batinnya lenyap bagaikan sebuah teriakan kosong di kegelapan. ‘Sekeras apapun kau berteriak, suaramu tidak akan sampai ke Ouranos, anakku.’ Sahut suara lembut itu lagi. ‘Saudara-saudaramu tidak dapat mendengar panggilanmu dalam wujud fana-mu ini.’ ‘Apa yang kau inginkan dariku?’ tanya Samael lesu. ‘Tidak ada.’ Samael kembali terkejut. Ia baru saja hendak memprotes pernyataan itu ketika suara itu mendahuluinya. ‘bukankah kau yang memanggilku tadi?’
16
Mulut Samael ternganga. Sungguhkah teriakan putus asanya tadi terdengar sampai ke telinga Adeus sendiri? Dan kemudian Samael tersadar bahwa peluang bahwa suara ini adalah iblis yang sedang menyamar, sangat kecil adanya. Pertama, penyamaran Samael terbukti sulit terdeteksi dan seandainya pun ada iblis yang mengincarnya, Luminael – yang sangat peka terhadap keberadaan iblis – sudah pasti akan memperingatkan Samael. Dan pemikiran yang kedua, yang juga sangat masuk akal, yaitu tidak akan terlalu menguntungkan bagi iblis manapun untuk menipu seorang malaikat yang sedang kesulitan tidur di malam hari. Kalau iblis itu bermaksud membunuh Samael dan ia sudah berada di dalam ruangan yang sama dengan targetnya – tanpa terdeteksi siapapun juga –, maka dokter Samuel Mortis pasti sudah tidak bernyawa saat ini. ‘Pemikiran yang menarik. Sekarang apakah kau percaya, anakku?’ Suara itu menanggapi ide yang mencuat di dalam benak Samael barusan. Samael yakin pemikirannya sudah tepat, namun – entah mengapa – ia masih tetap merasa ragu. Samael terdiam. Dan sebagaimana sebelumnya, suara lembut misterius itu menangkap isi hati Samael ‘ternyata masih belum juga.’ Samael menangkap perasaan sedih tersirat dalam kata-kata suara itu kali ini. ‘kalau begitu , apa yang harus kulakukan agar kau percaya?’ Samael tidak langsung menjawab. Tapi memang ada satu hal yang sangat ia inginkan sekarang. Tidur nyenyak. Suara itu terdiam untuk beberapa saat. Samael melihat ke sekelilingnya sembari mendengarkan suara detik jam yang terus berputar dan berpikir kalau-kalau suara lembut itu sudah pergi. ‘membuatmu tertidur bukan perkara sulit bagiku, Samael. Tetapi sebelumnya aku mau kau melakukan sesuatu untukku.’ ‘Apa yang engkau ingin aku lakukan?’ tanya Samael. Pikirnya, bagaimanapun juga ia tidak rugi apapun juga. Dengan kondisinya saat ini, Samael tahu kalau suara itu dapat membuatnya melakukan apapun juga diluar kehendaknya sendiri. ‘berbaringlah dan pejamkan matamu, anakku.’ Pinta suara itu lembut. Samael – walaupun ragu – mengikutinya. Dengan posisi terlentang, Samael mencoba mencari posisi yang paling nyaman sebelum ia memejamkan matanya.
17
Lima detik. Hanya lima kali suara detik jam bergerak sebelum Samael menyerah dan membuka kedua matanya kembali. ‘Ini mustahil.’ Pikir Samael sambil menunggu respon suara itu kembali. ‘Coba lagi. Dan kali ini, bayangkan kau berada di Ouranos, Samael.’ Kata suara itu lagi. Dan setelah ‘bercakap-cakap’ hampir setengah jam lamanya, untuk pertama kalinya Samael merasakan bahwa suara lembut itu terasa begitu dekat. Samael ingin menyanggah sebelum menemukan bahwa itu sebenarnya ide yang baik – yang belum ia coba selama ini. Dengan satu tarikan nafas panjang yang menenangkan, Samael memejamkan kedua matanya kembali. Namun kali ini, sebelum Samael melompat ke dalam kegelapan yang menakutkan itu, ia membayangkan tengah berada di Ouranos. Sepuluh detik berlalu dan Samael masih dapat mempertahankan bayangan Ouranos di dalam pikirannya. Sebetulnya hal ini tidak mudah bagi Samael. Karena tidak ada kegelapan di Ouranos dan malaikat tidak perlu memejamkan mata di sana. Dan pada sekitar detik ke duapuluh serangan rasa takut itu datang menyerang. Samael merasa bagaikan terikat di dalam kegelapan yang sangat pekat. Dan godaan bahwa semua siksaan itu dapat berlalu hanya dengan membuka matanya membuat Samael berniat akan menyerah. ‘tahan dulu, Samael! Bertahanlah!’ cegah suara itu tepat sebelum Samael menyerah. ‘Kau pernah melewati yang lebih buruk dari ini. Percayalah sedikit lagi!’ Satu hal yang menarik dari manusia bagi Samael adalah daya imajinasi dari pikiran mereka. Malaikat tidak punya hal yang seperti itu. Bila malaikat melihat sesuatu yang tidak ada di depan mereka, itu artinya mereka mendapat penglihatan dari Ouranos tentang sesuatu yang terjadi di masa ini ataupun di masa yang akan datang. Dan pernyataan ‘melewati yang lebih buruk’ membuat Samael teringat bagaimana ia lolos berkali-kali dari maut. Dan itu semua, Samael yakini, berkat pertolongan Adeus sendiri – walaupun terkadang melalui usaha saudara-saudaranya yang lain. ‘Aku pernah melalui yang lebih buruk!’ Samael menegaskan hal itu pada dirinya sendiri. Dan pada saat itulah Samael tersadar bahwa yang ia takutkan bukanlah hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi selama ia tertidur, tetapi kenyataan bahwa ia menjadi tidak berdaya dan tidak memegang kontrol atas situasi yang ada.
18
Bayangan indah tentang kondis Ouranos segera memenuhi pikiran Samael. Namun bayangan itu tidak berlangsung lama. Samael menyadari betapa sulitnya membayangkan sesuatu yang indah di tengah sesuatu yang tidak menyenangkan. Kini, ia berada di tengah kegelapan lagi. Kedua tinjunya mengepal erat. Samael berjuang keras untuk tetap terpejam. Dan tanpa Samael sadari, rekor pribadinya untuk memejamkan mata sudah berubah dari satu menit lewat tujuh detik menjadi lima menit – dan masih berlanjut. Samael merasa takut. Sangat takut, sebetulnya. Tetapi ia berusaha untuk ‘percaya sedikit lebih lama’. ‘Kau perlu menjadi lebih tenang, anakku.’ Kata suara itu lagi. Samael – yang masih dapat mendengar detak jantungnya berdebar kencang – menyadari betapa tegangnya dirinya. Dengan satu tarikan nafas panjang yang pelan, Samael merenggangkan kedua tinjunya yang – tanpa Samael sadari – telah terkepal erat. Dan sisa malam itu Samael lewati dengan penuh perjuangan. Repetisi dinamika metabolisme tubuh terus Samael alami hingga fajar menyingsing. Ketegangan dan relaksasi terus berulang bagaikan pertempuran dalam diri Samael. Namun akhirnya, – untuk pertama kalinya sejak keabadian dimulai – Samael terlelap. Jam dinding menunjukkan waktu pukul enam lewat lima belas menit ketika Samael terbangun. Ia menoleh ke arah jam dinding itu dan masih belum dapat mempercayai bahwa ia baru saja melalui pengalaman tidur pertamanya. Namun bagaimanapun, tidur terasa aneh bagi Samael. Seakan-akan malam berlalu begitu saja. Dan – yang paling aneh menurut Samael – ada kepingan-kepingan ingatan yang terhilang dalam proses itu. Sambil terduduk di atas tempat tidurnya, Samael menggosok rasa lengket di matanya dengan ujung-ujung jarinya sembari berusaha mengingat-ingat kapan tepatnya ia jatuh tertidur semalam. Otak Samael berusaha menghitung mundur waktu-waktu yang ia lalui semalam. Mulai dari saat ia pertama kali mendengar suara Adeus. ‘itu sekitar pukul satu pagi lewat tujuh menit dua puluh sembilan detik.’ Samael mulai mengingat-ingat dengan rinci. ‘lalu Adeus datang.’ Samael tertegun sejenak. Pemikiran barusan tentang ‘kedatangan Adeus’ masih sulit untuk Samael percayai sepenuhnya. Walaupun bukan berarti Samael tidak percaya bahwa yang semalam
19
berbicara padanya adalah Adeus sendiri, tetapi otak manusianya masih berusaha menggolongkan hal itu sebagai sesuatu yang ‘terlalu ajaib untuk dipercaya’. Selama pekerjaannya sebagai malaikat sejak keabadian dimulai, belum pernah Samael merasakan Adeus berada sedekat itu dengan eksistensinya. Dan percakapan yang Samael alami bersama Adeus semalam juga adalah percakapan terpanjang yang pernah ia alami. Sebelumnya ia tak pernah mengalami – ataupun membayangkan – bercakap-cakap dengan Sang Ayahanda sendiri selama satu jam lamanya! Jam kerja dr. Samuel Mortis dimulai pukul sembilan pagi, tetapi Samael memilih untuk mulai bersiap-siap. Walaupun berada dalam wujud fana, malaikat tidak melakukan pengeluaran metabolisme seperti manusia pada umumnya. Keringat, air seni ataupun feses tidak diproduksi sama sekali dalam wujud fana Samael. Jadi sebenarnya keberadaan kamar mandi kecil di dekat pintu masuk kamar Samael itu tidak terlalu diperlukan. Namun menurut Luminael, penampilan adalah aspek yang penting dalam tugas penyamaran. Oleh karena itu, Samael bergerak malas ke arah kamar mandi untuk melakukan mandi pertamanya sejak keabadian. ‘manusia lebih suka melihat hal-hal yang terlihat segar. Kau harus selalu segar!’ Samael mengingat-ingat perkataan Luminael sembari memutar keran pancuran air di depannya. Sempat timbul suara aneh di dalam dinding sebelum air dingin yang segar mengalir dari pancuran air itu. Dinginnya air yang jatuh sempat memberikan kejutan kecil pada permukaan kulit Samael tetapi kejutan itu tidak bertahan lama. Samael menemukan bahwa pengalaman itu cukup menyenangkan. Ia menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, memastikan air yang jatuh dari pancuran mengenai semua titik dari tubuh manusianya. Samael memutar keran di hadapannya ke putaran maksimal dan menambah derasnya air yang jatuh dari pancuran air. Sambil mencondongkan kepalanya tepat ke arah jatuhnya air, Samael membiarkan air pancuran membasahi kepalanya. Dan untuk sejenak, Samael sempat memejamkan matanya untuk menghindari derasnya air dingin nan segar masuk ke dalam kelopak matanya. Dan untuk pertama kalinya, Samael menemukan sekeping kedamaian di dalam kegelapan ketika ia memejamkan kedua matanya. Di dalam kamar mandi yang kecil itu memang tidak ada siapa-siapa kecuali Samael, tetapi pengalaman semalam membuat
20
Samael belajar sesuatu yang baru. Bahwa di dalam kondisi apapun, ia tidak pernah jauh dari Ouranos. Apartemen kecil nan butut ini pun bisa menjadi Ouranos bila Adeus ada di sini. ‘menakjubkan.’ Pikir Samael. Seiring aliran air yang sejuk itu membersihkan debu-debu yang menempel pada kulitnya. Dan bukan hanya badannya, rasa gatal dan berat yang melekat di kulit kepala dan rambut Samael pun seakan ikut hanyut ke dalam lobang saluran air. ‘Luminael benar. Aku harus lebih sering mandi.’ Dan tak lama kemudian, dr. Samuel Mortis sudah terlihat segar dibalik baju kerjanya dan siap untuk berangkat. Istirahat semalam – walaupun tidak terlalu nyenyak – membuat Samael merasa jauh lebih segar dari hari sebelumnya. Dan karena tak ada yang Samael perlu lakukan lagi di apartemennya, maka ia memutuskan untuk segera bergegas saja ke rumah sakit. Jam digital – dengan angka berwarna merah – di atas pintu keluar apartemen Samael menyatakan bahwa masih dua jam lagi hingga waktu bekerja dr. Samuel Mortis dimulai, tetapi Samael mengayunkan langkahnya dengan cepat menuju ke rumah sakit. Dibalik jubah dokternya, – yang berwarna putih dan sangat menarik perhatian – Samael mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru gelap yang dipadukan dengan celana kain hitam berbahan lembut. Dan tak lupa, – untuk memperkuat penampilannya – Samael mengenakan seutas dasi yang berwarna sedikit lebih gelap dari warna kemejanya dan juga sabuk kulit berwarna hitam dengan gesper lingkaran berwarna emas. Banyak pasang mata yang memperhatikan langkah cepat Samael ke arah rumah sakit pagi itu. ‘aneh,’ pikir Samael. ‘kupikir aku sudah cukup membaur.’ Namun pagi itu, bukan hal itu yang paling mengganggu pikiran Samael. Di balik gedung-gedung perkantoran yang tinggi menjulang di pusat kota itu, Samael melihat bagian atas rumah sakit yang ia tuju tengah bercahaya terang. Seakan-akan seseorang memasang lampu sorot berukuran besar di atap gedung rumah sakit itu. Dan Samael mengenali cahaya itu. ‘Seorang malaikat. Daphiel-kah itu?’ ‘Samael.’ Sebuah suara tiba-tiba menggema di dalam benak Samael. Rupanya memang Daphiel yang berada di atas gedung itu. ‘Di mana Luminael?’
21
‘Dia berada di dalam. Kemungkinan besar ia sedang menunggumu.’ Samael menangkap perasaan was-was Daphiel dalam percakapan barusan dan itu membuatnya semakin bergegas memasuki gerbang rumah sakit dan langsung ke pintu utama. “Selamat pagi, dokter.” Sapa petugas keamanan yang membukakan pintu bagi Samael. Namun samael berlalu begitu saja bagaikan angin, menuju ke lift di dekat lobby. Tepat sebelum Samael memasuki rumah sakit tadi, ia dapat merasakan jelas bahwa Daphiel sedang dalam kondisi siaga penuh. Dan itu tidak mungkin berarti baik. Telunjuk Samael menekan tanda panah naik beberapa kali. Tanda panah naik itu menyala merah, yang langsung disusul dengan bunyi ‘ting’ nyaring ketika pintu lift mulai terbuka. Tidak ada orang lain yang menunggu lift sehingga Samael langsung bergegas masuk dan menekan tombol ‘R’ untuk menuju ke atap. “Salam, Luminael.” Sahut Samael cepat. Ia baru saja memotong perkataan Luminael yang muncul di belakangnya begitu pintu lift tertutup. Kini, dalam kondisi segar – dan tenang –, Samael merasa ia dapat lebih peka merasakan keberadaan saudara-saudaranya. “Wow!” Luminael terkejut. Samael baru saja menggagalkan rencananya untuk mengejutkan saudaranya itu. “Kau bisa merasakan kehadiranku dalam wujud fana itu, Sammy?! Itu menakjubkan sekali!” Pagi itu Luminael masih muncul dalam wujud yang sama seperti pada misi di The Dome tiga hari yang lalu. Pemuda berambut kuning keemasan dengan rambut diikat ekor kuda. Seperti biasa, Luminael tampil kasual. Ia mengenakan kaus polo berwarna putih dengan garis-garis horisontal berwarna hitam. Garis-garis hitam itu masing-masing berjarak satu jengkal dari satu garis ke garis berikutnya. Baju itu dipadukan dengan celana jeans berwarna biru tua serta sepasang sneakers berwarna putih dengan pola garis warna biru gelap. Samael senang mendengar pujian Luminael. Terlebih lagi karena Samael benar-benar merasa jauh lebih rileks pagi itu. Tetapi ia tidak bereaksi sama sekali. Karena ada hal yang lebih penting saat itu dan pekerjaan harus didahulukan di atas kesenangan. “Apa yang terjadi semalam, Luminael?” tanya Samael cepat. “Mengapa Daphiel bersiaga penuh di atap? Semuanya baik-baik saja?”
22
Luminael berhenti nyengir. Raut wajahnya berubah serius. “Kita diserang semalam. Beberapa iblis penyusup berusaha memasuki gedung ini. Kemungkinan besar mereka mengincar Ryan Giovanni.” “Asmodeus kah?” Samael berasumsi. “Entahlah.” Luminael mengangkat kedua tangannya. “Bisa jadi, tetapi belum ada kepastian tentang hal itu. Daphiel mungkin bisa memberi informasi lebih banyak ketika kita tiba di atap nanti.” Tidak ada percakapan lain yang terjadi sepanjang sisa perjalanan Samael dan Lumiael menuju ke atap. Samael sempat melihat saudaranya itu menoleh ke arahnya dan membuka mulutnya – seperti hendak mengatakan sesuatu – tetapi kemudian membatalkannya. Suara ‘ting’ nyaring berikutnya yang mereka dengar membawa Samael dan Luminael di atas atap rumah sakit itu. Pintu lift terbuka perlahan dan Samael terpaksa mengangkat lengannya untuk melindungi matanya. Aura cahaya Daphiel – yang bersinar sangat terang – membuat atap rumah sakit itu terlihat bagaikan bermandikan cahaya matahari di musim panas. Mata Samael memincing, ia berusaha melihat sosok Daphiel yang berada di tengah cahaya itu, tetapi usahanya sia-sia belaka. Mata manusianya tak dapat membendung silaunya aura cahaya Daphiel. Tak ayal, langkah Samael terhenti dua langkah setelah pintu lift tertutup di belakangnya. Lain halnya Luminael yang dapat terus berjalan mendekat ke arah Daphiel tanpa kesulitan apapun. Samael hanya dapat melihat dari balik lengannya bagian kaki Luminael yang tenggelam ke dalam aura cahaya Daphiel. “Salam, saudaraku.” Sapa Luminael kepada sosok di dalam cahaya itu. “Kurasa kau sudah bisa melonggarkan penjagaanmu, Daphiel. Dan juga, kurangi pancaran aura cahayamu. Sedikit lebih lama lagi, kau akan harus memperbaiki penglihatan Samael.” Sedetik kemudian cahaya itu pun padam, diikuti suara Daphiel yang Samael dengar di dalam pikirannya. ‘Ow, maafkan aku, Samael.’ “Tak apa, Daphiel.” Sahut Samael lega. Walaupun demikian, kedua mata Samael masih terasa silau, seakan-akan ada yang bercahaya di tengah-tengah penglihatannya. Namun setidaknya ia sudah dapat menurunkan lengannya dan menghadap ke arah Daphiel.
23
‘Hanya saja tak biasa melihatmu dalam wujud fana yang sesungguhnya’ lanjut Daphiel yang – sebenarnya – tidak membuat perasaan Samael menjadi lebih senang. ‘Dan lagipula, wujudmu tak banyak berbeda dalam wujud malaikatmu, Samael.’ “Percayalah, Daphiel. Aku juga belum sepenuhnya terbiasa.” Balas Samael yang kini sudah berdiri di hadapan Luminael dan Daphiel. Dan untuk pertama kalinya, Samael memperhatikan sosok saudaranya yang berada dalam wujud malaikat melalui mata manusia biasa. Sosok seorang malaikat sebenarnya tidak jauh berbeda dengan manusia dewasa pada umumnya. Sebagian malaikat memiliki postur laki-laki dewasa dan sebagiannya lagi perempuan. Lekuk tubuh mereka pun Adeus sesuaikan dengan postur tubuh mereka masing-masing. Namun walaupun demikian tidak ada pembedaan jenis kelamin karena para malaikat tidak memiliki alat reproduksi seperti manusia. Daphiel – yang berwujud perempuan – juga seorang malaikat cahaya seperti Luminael. Oleh karena itu, tubuh Daphiel tidak dapat berhenti memancarkan cahaya.Walaupun Daphiel berusaha menekan aura cahayanya, Samael masih dapat melihat tubuh Daphiel berpendar di balik seluruh perlengkapan tempur malaikat yang ia kenakan. “Kau boleh melepaskan perlengkapan perangmu, Daphiel. Aku sudah memastikan kalau para iblis itu sudah meinggalkan perimeter ini.” Kata Luminael yang melihat Daphiel masih menghunus pedangnya di hadapan mereka. ‘Ow,’ Daphiel terdengar terkejut mendengar perkataan Luminael. Daphiel sempat ragu sejenak sebelum tiba-tiba pedang bercahaya di tangannya menghilang bagai debu. ‘kurasa kau benar, Luminael. Aku juga sudah tidak dapat merasakan keberadaan mereka sejak beberapa jam yang lalu.’ Seperti pedang cahaya Daphiel yang terurai begitu saja bagaikan debu di udara, begitu pula ketopong perang dan baju zirah Daphiel juga mulai menghilang. Kemudian diikuti sepasang sayap putih Daphiel yang berubah transparan sebelum akhirnya menghilang. Yang tampak di hadapan Samael dan Luminael kini adalah tubuh polos Daphiel yang berpendar keemasan. Daphiel berwujud perempuan muda dengan rambut lurus lembut berwarna kuning keemasan – sebagaimana warna rambut malaikat-malaikat cahaya lainnya. Tidak seperti
24
rambut Luminael yang panjang, rambut Daphiel justru tertata pendek dan rapi. Hembusan angin sepoi-sepoi membuat rambut Daphiel yang berpendar terlihat bagaikan surai emas yang melambai-lambai. Garis wajah Daphiel terlihat lembut namun tidak demikian tatapan matanya. Kedua biji mata Daphiel yang berwarna biru safir selalu terlihat tajam dan fokus pada apapun yang ia lihat. “Jadi saudaraku, apa yang terjadi di sini semalam?” Samael membuka pertemuan itu dengan pertanyaan yang sudah ia pikirkan sejak dalam perjalanan ke rumah sakit. Tanpa pikiran yang terkoneksi langsung ke Ouranos, Samael membutuhkan penjelasan langsung agar dapat terus mengikuti situasi yang ada. “Tunjukkan padanya, Daphiel.” Kata Luminael sambil mengangguk ke arah Daphiel. Samael belum menerima perintah langsung dari Ouranos, tetapi ia mulai berpikir kalau Luminael-lah yang dipercaya sebagai penanggung jawab misi kali ini. “Tentu saja.” Daphiel mendekat hingga di hadapan Samael. Kedua matanya menatap tajam ke arah Samael “Tatap mataku, Samael.” Samael pun menyatukan pandangannya dengan pandangan Daphiel, dan detik di mana tatapan mereka menyatu, Samael merasa seolah tatapan mata Daphiel menembus jauh ke dalam pikirannya. Dalam waktu sekejap, Samael merasa seluruh kesadarannya terhisap ke dalam mata Daphiel. Keadaan pagi hari di sekitar Samael mendadak berubah menjadi gelap gulita. Ia masih berada di atas atap rumah sakit bersama Luminael dan Daphiel, namun rupanya waktu dalam penglihatan Samael telah mundur ke beberapa jam sebelumnya. Samael mendapati dirinya tengah berdiri di atap rumah sakit seorang diri. Angin berhembus kencang dan malam terlihat lebih gelap di bagian atas gedung itu. Samael melihat ke atas, dan di tengah kegelapan malam itu, sosok Daphiel – yang sedang melayang sekitar lima belas meter di atas gedung – tengah bercahaya dengan terangnya. Dengan pedang terhunus dan pakaian tempur lengkap, Daphiel membentangkan kedua sayapnya lebar-lebar. Bukan hanya angin besar itu yang sedang Daphiel hadang, tetapi juga kekuatan kegelapan dalam jumlah besar yang sedang menuju ke arahnya. Samael melihat dari tengah gelapnya malam di atas Daphiel, sesuatu yang jahat mulai bermunculan. Lusinan awan-awan hitam. Awan-awan hitam yang berdesis saling
25
berbalapan satu dengan yang lain, mulai mengepung Daphiel di atas sana. Samael sudah sangat familiar dengan awan-awan hitam itu. Para iblis biasa menggunakannya sebagai manifestasi untuk melakukan penyusupan di tengah pertempuran. Daphiel memaksimalkan pancaran aura cahayanya untuk menekan keberadaan para iblis penyusup. Dan siasat Daphiel itu berhasil membuat awan-awan itu tidak dapat bergerak lebih dekat dari sepuluh meter dari Daphiel. Tetapi Daphiel tahu bahwa bukan dirinyalah yang menjadi incaran mereka. Itu terbukti ketika tiba-tiba lima gumpalan awan hitam yang mengelilingi Daphiel tiba-tiba menerjang ke arah gedung di bawahnya. Daphiel menyabetkan pedang cahaya di tangannya dan melepaskan lecutan energi ke arah awan-awan yang menerjang masuk tadi. Dengan cekatan, serangan-serangan cahaya Daphiel berhasil memusnahkan empat iblis penyusup. Namun ketika Daphiel mengarahkan telapak tangan kirinya ke arah awan yang kelima – yang terlihat hendak menerjang masuk dari bagian depan gedung rumah sakit itu –, Daphiel merasakan lonjakan energi kegelapan terjadi di belakangnya. Daphiel menoleh ke belakang. Awan-awan hitam di sekitarnya berkumpul menjadi satu, berputar-putar dan berpilin membentuk satu pusaran awan hitam raksasa yang hendak melumat Daphiel dari atas. Spontan Daphiel mengarahkan energi yang terkumpul di tangan kirinya pada pusaran itu. Tembakan energi cahaya Daphiel berhasil menahan laju energi awan-awan hitam itu. Dan dengan satu hentakan energi, kekuatan cahaya Daphiel mulai melemahkan paduan kekuatan iblis-iblis penyusup serta mulai menghancurkan wujud awan raksasa mereka. Tetapi ia tidak mungkin sempat menghadang laju awan gelap yang sudah hampir mencapai tujuannya. Daphiel hendak berbalik, meninggalkan pertarungan dengan iblis-iblis penyusup itu setengah selesai dan menerjang ke arah awan hitam yang lolos tadi. Walaupun itu juga berarti Daphiel berpeluang besar menerima serangan telak dari arah belakang, tetapi tekad Daphiel sudah bulat. Baginya, misi menjaga manusia bernama Ryan Giovanni yang berada di dalam gedung adalah prioritas tertinggi saat itu. Awan hitam itu menembus kaca gedung dan berhasil menyusup masuk. Namun tidak untuk waktu yang lama. Sebuah ledakan cahaya yang menyilaukan tiba-tiba terjadi pada lantai tujuh, dan sekaligus memusnahkan keberadaan iblis penyusup tadi. Daphiel
26
bernafas lega. Untunglah Luminael datang tepat waktu sebelum ia terlanjur terluka oleh gempuran iblis-iblis penyusup di hadapannya. “Kurang lebih begitu.” Kata-kata Luminael menyadarkan Samael yang mendapati dirinya tengah tertegun. Rupanya penglihatan tadi telah berakhir dan waktu telah kembali seperti semula. “Dan kejadian serupa terjadi perbagai penjuru bumi. Saudara-saudara kita memperkirakan bahwa iblis-iblis itu sedang mengincar kelima puluh manusia yang terpilih. “Apa yang mereka inginkan? Bagaimana nasib kelima puluh manusia itu?” tanya Samael cepat-cepat. Keterbatasannya terhadap akses informasi membuat rasa ingin tahunya menjadi menggebu-gebu. Daphiel tak bereaksi. Seperti Samael, Daphiel juga melihat ke arah Luminael, seakan-akan ikut menanti sebuah penjelasan. Luminael terdiam. Ia melihat kedua saudaranya secara bergantian. Dan dari raut wajah Luminael, Samael tahu bahwa yang akan ia dengar pasti bukanlah kabar yang menggembirakan. “Tidak ada yang meninggal dalam serangan tadi malam.” Luminael tersenyum tipis. Namun senyum itu hanya bertahan sekilas sebelum wajahnya kembali muram. “Namun sembilan orang gagal dilindungi. Para penyusup berhasil memasuki tubuh mereka semalam.” Samael terkesiap. Pernyataan Luminael barusan sangat mengerikan baginya! Terlepas dari nasib kesembilan manusia itu, berita barusan juga berarti sembilan penjagaan yang dilakukan oleh saudara-saudaranya gagal total. Dan seingat Samael, sembilan kegagalan dalam waktu yang nyaris bersamaan merupakan rekor terburuk yang pernah terjadi sejak keabadian dimulai. “Lalu, mereka kerasukan?” tanya Samael penasaran. “Iya.” Jawab Luminael datar. “Tidak untuk waktu yang lama, memang. Rata-rata tubuh mereka hanya disusupi selama kurang dari satu menit sebelum diusir dan dimusnahkan. Namun, nampaknya tujuan mereka sudah terlanjur tercapai. Kesembilan manusia itu telah melihat kengerian Pandemonium. Lucius membuat mereka melihat apa yang terjadi bila ia memenangkan pertempuran kali ini.”
27
“Hapus saja ingatan itu.” Samael merespon dengan cepat. Berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam kepalanya membuat nafasnya tersenggal-senggal. “Bukankah itu sangat mudah dilakukan?!” Suasana mendadak menjadi hening. Luminael, yang lebih memahami kondisi emosi Samael, meraih pundak saudaranya itu untuk menenangkannya. “Tenangkan dirimu, saudaraku. Tarik nafas yang panjang.” Samael memejamkan kedua matanya dan mengikuti intstruksi Luminael. Ia sadar kini bahwa pertanyaannya tadi tidak membutuhkan penjelasan lagi. Bila memang memungkinkan untuk menghapus ingatan kesembilan manusia itu, pastilah seluruh malaikat di Ouranos sudah melakukannya. Sesuatu pasti telah membuat tugas sederhana itu menjadi tidak dapat mereka lakukan. “Pandemonium..” Kata Samael lirih. “Salah satu peraturan licik Lucius ‘kah? Daphiel dan Luminael mengangguk bersamaan. Ketiga malaikat itupun terdiam. Entah apa yang Daphiel dan Luminael dengar dari arus informasi Ouranos, tetapi Samael tenggelam dalam kekalutan pikirannya sendiri. Seakan-akan tidak ada lagi kata-kata yang tepat untuk diucapkan, keheningan di atap rumah sakit itu bertahan selama hampir lima menit. Dan Samael, yang tak dapat mengakses Ouranos secara langsung, merasa sangat tak berdaya di dalam keterbatasannya. Mulutnya ingin bertanya ‘apa yang harus kita lakukan?’ tetapi ia takut pertanyaan itu hanya akan membuat dirinya sendiri makin terpuruk. “Kita belum kalah, saudaraku.” Luminael memukul pelan pundak Samael. “Pertempuran masih sangat panjang dan pandemonium baru saja dimulai.” “Aku
mengerti,
Luminael.”
Samael
mengangguk
lemah.
Ia
berusaha
mengendalikan emosi manusiawi yang sempat mengendalikan dirinya. “Hanya saja, akan lebih mudah bila aku dapat terhubung langsung dengan Ouranos.” “Aku meragukan hal itu.” Balas Luminael. Samael mengernyit, ia tak mengerti. “Situasi di Ouranos sudah banyak semenjak ayahanda sudah tidak lagi berbicara secara langsung pada kami semua.” Mata Samael terbelalak. Ia tak dapat mempercayai – ataupun menerima – apa yang baru saja ia dengar. Beberapa pertanyaan sudah hendak terlontar dari mulut Samael, namun berita Luminael belum selesai.
28
“Hingga pandemonium selesai, kita hanya akan mendengar suara Adeus melalui saudara kita, Gabriel. Dan itupun kita lakukan tanpa bertemu secara langsung dengan Gabriel, karena ia juga turut mengunci diri bersama ayahnda di dalam ruangannya.” Luminael tersenyum kecut, seakan hendak meringankan bobot negatif dari kabar itu. Usaha yang sia-sia rupanya. Wajah Samael langsung pucat pasi. Ia baru saja mendengar kabar terburuk yang pernah ia dengar sejak keabadian dimulai. “Aku tidak ingin mencela.” Kata Daphiel tiba-tiba. Luminael dan Samael menahan kata-kata mereka dan melihat ke arah Daphiel. “Tetapi sebentar lagi, Ryan Giovanni tersadar.” Suasana berubah hening, namun terasa aneh. Masih ada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, tetapi dr. Samuel Mortis harus segera kembali ke pekerjaannya di dalam rumah sakit. Sementara Daphiel berdiri mematung, Luminael mulai melangkah kembali ke arah lift. “Ayo, Sammy.” Ajak Luminael sembari meraih lengan saudaranya itu. “Akan kuceritakan detil peraturan sementara dari pandemonium ini di dalam lift. Kuserahkan penjagaan kepadamu, Daphiel!” “Tidak masalah, Luminael.” Sahut Daphiel yang dalam sekejap sudah kembali mengenakan perlengkapan tempurnya. Sepasang sayap bercahaya Daphiel mengepak satu kali dan membawa tubuhnya melayang ke angkasa, meninggalkan Samael dan Daphiel yang menunggu lift tiba. Bunyi ‘ting’ nyaring membuat tatapan Samael yang menerawang fokus kembali. Mereka berdua masuk dan Luminael memilih lantai satu sebagai tempat perhentian mereka berikutnya. “Ceritakan padaku, Luminael. Apa saja yang terjadi di Ouranos selama beberapa hari ini?” Lift bergerak turun perlahan. Luminael melihat ke arah Samael serta menarik nafas panjang. “Tentu saja, Samael. Bagaimanapun kau perlu tahu.” Ia meletakkan telunjuknya di atas dahi Samael. “Informasi akan kuberikan bergantian. Pertama-tama tentang detil perjanjian ayahanda dengan Lucius dahulu. Kemudian detil-detil lain akan menyusul kemudian. Kau sudah siap?”
29
Samael mengangguk yakin. Tidak ada yang lebih ia inginkan saat ini daripada mengetahui semua yang saudara-saudaranya sudah ketahui. Perasaan ketidaktahuan yang berkecamuk membuat Samael merasa tidak jauh berbeda dengan manusia yang fana dan rapuh. “Ow, kau tidak akan menyukai apa yang akan kau lihat.” Luminael menggeleng-gelengkan kepalanya sembari memulai proses transfer ingatan ke dalam kepala Samael. Luminael sulit untuk membayangkan reaksi Samael ketika ia mengetahui betapa runyamnya pandemonium ini. Ujian yang menunggu para malaikat sebenarnya jauh lebih berat daripada yang menghadang nasib umat manusia. Karena kali ini Adeus tidak akan berbuat banyak. Atau lebih tepatnya lagi, Adeus tidak akan berbuat apa-apa kali ini. “Aku mulai, Sammy.”
=== o0o ===
30