EPITEMOLOGI ISLAM DALAM PENELITIAN 1 Oleh Alimuddin Jurusan Akuntansi FE UNHAS
1. Pengantar
Pengembangan pengetahuan akan memberikan hasil yang sangat berarti apabila dilandasi dengan epistemologi yang kuat (Qomar, 2005: 10) karena ia merupakan tempat berpijak dan pondasi atau landasan yang kokoh sehingga pengetahuan yang didapatkan tersebut menjadi lebih bermakna. Menurut sain Barat epistemologi yang kuat harus didukung oleh metode ilmiah (Qomar, 2005: 11; dan Zainuddin, 2006: 28). Metode ilmiah yang kuat selalu didukung oleh dua pilar, yaitu rasio dan fakta fisik secara integratif. Namun kedua pilar ini dilatarbelakangi sifat individualistik, materialistik, dan utilitarian sehingga ilmu yang berkembang adalah ilmu pada tataran materi. Akibatnya cepat atau lambat pengembangan ilmu akan mengalami kemunduran atau bahkan mati karena tidak mampu memberikan formula keseimbangan dalam hidup. Menurut al-Attas (1986), epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadits, akal, pengalaman, dan intuisi. Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman terhadap wahyu yang memiliki konsepkonsep yang universal, permanen dan dinamis, pasti dan samar-samar, yang asasi dan yang tidak. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap wahyu tidak dapat dilihat
secara
dikotomis:
historis-normatif,
tekstual-kontekstual,
objektif-
subjektif, dan lain sebagainya (Zarkasyi, 2005). Wahyu harus dipahami sebagai realitas bangunan konsep yang perlu dijelaskan dan ditafsirkan agar dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan realitas alam semesta dan kehidupan ini. Oleh karena bangunan konsep yang ada dalam wahyu sarat dengan prinsip-prinsip tentang ilmu, maka epistemologi merupakan bagian terpenting didalamnya.
1
Dipresentasikan pada Debat Epistemologi yang dilaksanakan Program Doktor Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, 20 Desember 2010.
1
2
Dalam epistemologi Islam, „wahyu‟ menduduki posisi yang sangat penting karena dia merupakan sumber ilmu (al-Faruqi,1995: 46-8), wahyu menempati posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk mengenai realitas. Wahyu diyakini sebagai „ayat-ayat Allah‟ yang memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan bagi umat manusia2. Dalam konteks ini, wahyu menjadi unsur konstitutif di dalam paradigma Islam (Kuntowijoyo, 2007: 17). Dengan demikian, wahyu yang merupakan konstruk pengetahuan, menempatkannya sebagai salah satu sumbernya yang berarti mengakui adanya struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas (Kuntowijoyo, 2007: 17). Hal ini mengandung makna bahwa adanya pengakuan mengenai adanya ide yang murni, asli, yang sumbernya berada di luar diri manusia; suatu konstruk tentang struktur nilai-nilai yang berdiri sendiri dan bersifat transendental. Pengakuan tentang adanya struktur transendental berarti mengakui bahwa al-Quran harus dipahami sebagai memiliki bangunan ide yang transendental, suatu orde, atau sistem gagasan yang sempurna dan otonom (Kuntowijoyo, 2007: 17). Oleh karena itu, untuk memahami al-Quran dan as-Sunnah sebagai dokumen sejarah yang senantiasa mutakhir perlu dilakukan pemaknaan baik secara teks (nash) maupun secara konteks sehingga al-Quran menjadi pedoman dan petunjuk dalam bertindak kapan dan di mana pun manusia berada.
2. Konsep Ilmu Pengetahuan Pengembangan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh dua arus utama sumber ilmu pengetahuan, yaitu pertama, ilmu pengetahuan yang lahir atas pertimbangan rasio (akal/deduksi) dan pengetahuan yang dihasilkan melalui pengalaman
(empiris/induksi)
(Surisumantri,
1990:
55-6).
Jenis
ilmu
pengetahuan yang demikian dianut oleh filosof dan saintis Barat (modern). Kedua, bersumber dari wahyu yang termanifestasi dalam bentuk al-Quran dan as-Sunnah; serta empiris yang faktual/induktif dan rasio (akal/deduktif). Dalam kenyataannya, sumber ilmu pengetahuan terdapat
perbedaan
pandangan
di
dalam
kedua tersebut
penerapannya.
Ada
yang
berpandangan bahwa wahyu menjadi sumber utama (informasi) dan yang lain berpendapat bahwa wahyu menjadi alat pembenar (konfirmasi) terhadap segala
2
QS. an-Nahl: 89.
3
capaian yang dihasilkan alat indera dan rasio manusia (Sumarna, 2006: 101-2). Jenis ilmu pengetahuan yang kedua ini dianut oleh filosof dan saintis Muslim.
2.1. Karakteristik Ilmu Pengetahuan Modern Berbagai karakteristik dari ilmu pengetahuan yang dihasilkan sains Barat yang menjadikannya eksis hingga saat ini. Meskipun demikian, keunggulan tersebut mengandung beberapa kelemahan fundamental, di antaranya, pertama, skeptisisme yang diperkenalkan oleh Rene Descartes (1596-1650). Bagi Descartes, filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbarui melalui metode dengan menyangsikan segala-galanya. Dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti; semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga, kecuali ilmu pasti (Bertens, 1993: 45). Paradigma berpikir skeptis ini sampai sekarang selalu dijadikan pedoman dalam memperbarui dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan senantiasa menyangsikan segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan hingga mendapatkan kemantapan. Pada suatu saat, kemantapan ini dapat diusik kembali, jika terdapat celah-celah yang dapat diragukan. Bagi penganut paham ini, kebenaran ilmiah tidak datang tiba-tiba atau mendadak, kebenaran ilmiah akan muncul setelah diproses dengan mekanisme ilmiah juga. Maka kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang telah diuji keabsahannya, baik secara nalar maupun empirik, sehingga memiliki landasan yang kuat untuk dianggap benar, selama tidak digugurkan oleh kebenaran ilmiah lainnya yang lebih terandalkan. Kedua, pendekatan rasional-empirik. Dalam epistemologi Barat, metode rasional memiliki tempat istimewa, terutama pada saat mengukur keabsahan kebenaran ilmu pengetahuan. Betapa pun bagusnya temuan ilmu pengetahuan, bila tidak rasional kebenarannya, maka temuan tersebut tidak akan diakui sebagai kebenaran ilmiah. Bagi penganut paham ini „apa yang tidak logis adalah tidak riil‟ dan „apa yang tidak riil adalah tidak logis‟ (Kuntowijoyo, 2007: 17). Ketiga, pendekatan dikotomik. Epistemologi Barat selalu berusaha memisahkan antara pertimbangan moral dengan pertimbangan objektivitas. Dikotomi pengetahuan ini muncul bersamaan atau setidak-tidaknya beriringan dengan masa Renaissance di Barat. Pada masa ini muncullah aliran sekulerisme (pemisahan urusan dunia dan akhirat) sebagai akibat kegagalan gereja mengakomodasi pendapat ilmuan yang berbeda dengan pandangan
4
agamawan gereja waktu itu. Barat memisahkan kemanusiaan (humanitas) dari ilmu-ilmu sosial, karena pertimbangan-pertimbangan metodologi (al-Faruqi, 1985: 14). Apabila terjadi benturan antara pertimbangan moral dan objektivitas, ilmu-ilmu sosial memihak pada objektivitas, sedangkan kemanusiaan memihak moral. Keempat, Pendekatan positif-objektif. Ciri lain dari efistemologi Barat adalah pendekatan positif yang dipengaruhi oleh paham positivisme, suatu aliran pemikiran filsafat yang digagas oleh Auguste Comte (1798-1857). "Filsafat positif" ini bukanlah lawan dari "filsafat negatif", melainkan lawan dari "filsafat spekulatif" atau metafisika. Kata "positif" sama artinya dengan faktual. Positivisme hanya membahas tentang gejala-gejala secara ilmiah-positif, sedang aspek lainnya tidak berarti. Tidak ada gunanya mencari "hakekat" kenyataan. Dengan kata lain, ilmu positif tidak mempergunakan keterangan yang sifatnya metafisis (Dister, 1988: 125). Ilmu yang dihasilkan dari tahapan metafisis ini tidak diakui sebagai ilmu pengetahuan karena sifatnya yang subjektif. Baru diakui sebagai ilmu pengetahuan yang sebenarnya bila ilmu tersebut dihasilkan dari tahapan ilmiah. Positivisme hanya mau menerima fakta, realitas atau kenyataan empiris. Ini berarti, bahwa kendatipun terdapat fakta, tetapi di luar jangkauan indera, maka tetap ditolak sebagai suatu kebenaran faktual.
2.2. Karakteristik Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam Terdapat perbedaan yang fundamental antara pandangan Islam dengan Barat tentang karakteristik ilmu pengetahuan. Perbedaan ini didasarkan pada landasan pijakan dan orientasinya. Adapun karakteristik ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam adalah berlandaskan pada kekuatan spiritual, terjalinnya hubungan yang harmonis antara wahyu dengan akal, orientasi dari ilmu yang dihasilkan, dan keterikatan pada nilai (Kirman, 1994).
a. Bersandar pada Kekuatan Spiritual Sesungguhnya
cara
berpikir
rasional
objektif semestinya
dapat
dipasangkan dengan intuitif-subjektif sewaktu melihat sains, agar tidak pincang' (Saefuddin dan Marasabessy, 1991: 78). Kalau dalam sains modern yang hanya membatasi ruang lingkup pada benda-benda yang bersifat inderawi (observable facts), maka ilmu pengetahuan Islam, bekerja pada wilayah yang
5
terpikirkan (conceivable area) dan wilayah yang tidak terpikirkan (unconceivable area). Pada wilayah yang tak terpikirkan ini, ilmu pengetahuan dalam Islam banyak diperoleh melalui metode-metode spiritual yang tidak pernah dipakai oleh sains modern. Menurut M. Riaz Kirman, metode spiritual itu terdiri atas intuisi, inspirasi dan mimpi. Fakta bahwa inspirasi dan mimpi adalah sumber pengetahuan jelas dari Al-Quran3 (Kirman, 1994: 103). Sedangkan sejarah, observasi, eksperimen, penalaran dan penyimpulan termasuk metode-metode non spiritual (Kirman, 1994: 98). Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan Islam adalah wahyu Tuhan (alQuran dan as-Sunnah) ditempatkan di atas rasio. Wahyu memperoleh kedudukan
yang
paling
tinggi.
Dalam
upaya
mengembangkan
ilmu
pengetahuan Islam, yang akan dilakukan adalah menjadikan wahyu Ilahi sebagai sumber kebenaran mutlak (Rofiuddin, 1994: 17-18). Suatu kebenaran yang kokoh dan tidak tergoyahkan sedikit pun oleh kebenaran yang lain. Wahyu Tuhan
memberikan penyelesaian terakhir setelah akal tidak lagi berdaya
memecahkan suatu persoalan, tetapi wahyu juga terkadang memberikan petunjuk awal dari suatu pencarian pengetahuan.
b. Hubungan Harmonis antara Wahyu dengan Akal Karakter ilmu dalam Islam yang kedua adalah berdasarkan hubungan yang harmonis antara wahyu dengan akal. Keduanya tidak dipertentangkan, karena terdapat titik temu. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak hanya diformulasikan dan dibangun melalui akal semata, tetapi juga melalui wahyu. Akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan mengembangkan ilmu, sedang wahyu datang memberikan bimbingan serta petunjuk yang harus dilalui akal. Jujun S. Suriasumantri memberi gambaran bahwa wahyu dan akal memiliki hubungan yang harmonis (1989: 4). Jika salah satu terlepas dari yang lain, maka akan rusaklah hubungan itu. Ilmu yang dikembangkan tanpa petunjuk agama mengakibatkan kebutaan sehingga menyebabkan seseorang menabrak sesuatu pantangan. Sedangkan agama tanpa bantuan ilmu tidak bisa dijelaskan secara logis, rasional dan memuaskan bagaikan lumpuh. Oleh karena itu, menurut Ibrahim Madkour, "Filsafat Islam Berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, antara akidah dengan hikmah, antara agama dengan filsafat” (1988: 8). Maka filsafat Islam memiliki ciri khas dan 3
QS. al-Qasas [28]: 7 dan Yusuf [12]: 4.
6
kepribadian tersendiri, yaitu sinkritis dan eklektis: memadukan antara logika dengan agama dan mendamaikan antara agama dengan filsafat (Madkour, 1988: 284). Implikasinya adalah bahwa filsafat Islam bersifat moderat; tidak menyimpang jauh, seperti pemikiran liberal di Barat dan juga tidak terjebak pada doktrin-doktrin, seperti yang dialami oleh teologi. Filsafat Islam juga menjembatani antara persoalan-persoalan yang dapat dinalar dan di luar kemampuan penalaran manusia yang mengandung misteri-misteri.
c. Memiliki Orientasi Teosentris Jika sains Barat tidak memiliki kepedulian kepada Tuhan, maka ilmu dalam Islam selalu diorientasikan kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Dalam Islam sebenarnya ilmu bukan hanya untuk ilmu, melainkan yang lebih penting justru untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan begitu, ilmu bisa secara tidak langsung berusaha mendekatkan manusia terhadap Tuhannya. Muhammad Imarah menyatakan, bahwa ilmu dalam Islam menjadi media menumbuhkan taqwa kepada Allah (Qomar, 2005: 155)
d. Terikat Nilai Mengingat ilmu dalam Islam dipengaruhi dimensi spiritual, wahyu, intuisi, dan memiliki orientasi teosentris, konsekuensi berikutnya sebagai salah satu ciri ilmu tersebut adalah terikat nilai. Ini sangat membedakan dengan sains Barat, karena semangat tradisi ilmiah Barat senantiasa berusaha menegaskan, bahwa ilmu itu netral atau bebas nilai, dan tidak boleh terikat nilai tertentu. Pada kenyataannya, pengetahuan tidaklah netral dan memang dapat dimasuki suatu sifat dan muatan yang ditopengi sebagai pengetahuan (al-Attas, 1986: 127). Menurut epistemologi Kuhn, sebuah sains yang objektif, bebas nilai dan netral, tidak mungkin akan ada (Sardar, 1998: 40). Ketika seseorang ilmuan merumuskan teori-teori sebagai hasil dari penelitiannya tidak mungkin secara utuh disampaikan sesuatu yang benar-benar netral dan bebas nilai. Ada banyak faktor yang turut mempengaruhi rumusan teori tersebut, sebab para ilmuan sendiri tidak mungkin hidup di "alam telanjang". Profil seorang ilmuan itu akan dibentuk oleh pengaruh-pengaruh yang diserap selama hidupnya. Dari penjelasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya sumber utama ilmu pengetahuan meliputi indera, akal, intuisi, ilham, dan wahyu Ilahi (al-Syaibany, 1979: 247). Tiga sumber yang terakhir, yaitu intuisi, ilham dan wahyu Ilahi, kendatipun secara tajam bisa dibedakan, tetapi
7
bisa saja intuisi dan ilham secara substantif merupakan "wahyu" dalam pengertian yang luas, sebab, baik intuisi maupun ilham merupakan pemberian dari kekuatan spiritual. Sementara menurut Zarkasyi (2005 dan 2009), terdapat lima elemen yang membedakan pandangan hidup pengembangan ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu pengetahuan Barat, yaitu prinsip, asas, sifat, makna realitas, dan objek kajian ilmu pengetahuan. Perbedaan tersebut dapat disarikan pada tabel berikut ini: Tabel 1. Perbandingan Pandangan Islam dan Barat tentang Ilmu Pengetahuan No.
Elemen
Pandangan Islam
1
Prinsip
2
Asas
3
Sifat
Otentitas dan finalitas
4
Makna Realitas
Berdasarkan kajian metafisis
5
Objek Kajian
Visible dan invisible
Pandangan Barat
Tauhiid
Dikotomi
Wahyu, hadits, akal,
Rasio dan spekulasi
pengalaman, dan intuisi
filosofis Rasionalitas, terbuka, dan selalu berubah Pandangan sosial, kultural, dan empiris Tata nilai masyarakat
Sumber: Zarkasyi (2005, 2009).
3. Epistemologi Islam sebagai Aliran Utama Kesalahan yang dialami selama ini dipengaruhi oleh epistemologi Barat perlu diluruskan untuk menghindari kesalahan pemahaman dan tindakan yang lebih parah lagi. Dalam tataran idealisme, gagasan membentuk epistemologi Islam adalah upaya penyelamatan umat dari "keterjebakan intelektual", tetapi secara konseptual formulasi-formulasi yang ditawarkan bisa saja diperdebatkan dan didiskusikan secara serius (Qomar, 2005: 103). Oleh karena itu, al-Faruqi (1989), mengatakan bahwa untuk mengatasi dualisme sistem pendidikan dan sistem hidup Muslim hanya dapat dilakukan dengan cara ilmu pengetahuan harus diIslamkan (Triyuwono, 2006b: 242). Menurut Sardar (1988), Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan duplikasi, bagaikan „tambal-sulam‟ dari ilmu yang sudah ada sehingga menghasilkan karya tambal-sulam dan imitasi buruk. Sementara menurut Kuntowijoyo, mengusulkan untuk gerakan intelektual Islam sekarang ini harus bisa meninggalkan „Islamisasi ilmu pengetahuan‟ (konteks ke teks) menuju „pengilmuan Islam‟ dari teks (al-Quran dan as-Sunnah) menuju ke konteks (2007: 1) dan dari reaktif menjadi proaktif (2007: viii).
8
Selanjutnya Ziauddin Sardar mengemukakan, epistemologi Islam menekankan totalitas pengalaman dan kenyataan serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam, sehingga ilmu bisa diperoleh dari wahyu, hadits, maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dari tradisi maupun spekulasi teoritis. Maka epistemologi Islam menekankan pencarian semua bentuk ilmu pengetahuan dalam rerangka nilai-nilai abadi yang merupakan landasan utama peradaban muslim (Sardar, 1998: 17). Oleh karena itu, formulasi ilmu kontemporer yang perlu dibangun bukan hanya mensintesiskan apa yang disebut dengan "sains keagamaan' dengan "sains sekuler", fisik dan metafisik, tetapi harus menempatkan aspirasi dan intuisi pada inti pengetahuan (Sardar, 2000b: x). Penempatan aspirasi dan intuisi pada inti pengetahuan ini untuk memperoleh bimbingan dari Tuhan dalam membangun ilmu pengetahuan. Hanya ilmu pengetahuan yang terbimbing oleh Tuhan sajalah yang mampu menyelamatkan manusia dari tindakannya sendiri Akhirnya
peradaban
Islam
tidak
mungkin
diwujudkan
dengan
menggunakan epistemologi (metodologi) Barat, Epistemologi Barat hanya mampu melahirkan peradaban yang sekuler, peradaban yang hanya bertopang pada fakta empirik, peradaban yang terlepas dari nilai-nilai spiritual, dan peradaban yang tidak dikendalikan oleh agama (wahyu). Menurut al-Faruqi, tidak ada ilmu pengetahuan yang dapat mengklaim dirinya sepenuhnya Islami, bila metodologi yang digunakan tetap berakar dari paradigma sains modern. Metode keilmuan ini harus diislamisasikan terlebih dahulu (Triyuwono, 2006b: 242 dan Qomar, 2005: 119), sebab bagi orang-orang non-Muslim Barat, metode itu menghasilkan ilmu yang sifatnya netral; walaupun kebenarannya sudah dianggap objektif, namun, objektivitas itu belum dapat diterima oleh Allah, karena kebenaran hanya ditunjukkan atau diberitahukan dalam al-Quran (Saefuddin, 1991b: 44). Kebenaran yang dicapai metode Barat, jika ternyata riil, maka hanya sementara sifatnya, dan kebenaran yang objektif tersebut suatu ketika tertandingi oleh kebenaran yang juga mengklaim objektif. Dalam kenyataannya, kebenaran objektif bisa berhadapan dengan kebenaran objektif secara berlawanan. Ini berbeda dengan kebenaran yang ditunjukkan oleh wahyu yang kebenarannya bersifat absolut. Dalam Islam, manusia hanya diwajibkan mencari dan menjelaskan bukti-bukti kebenaran di dalam wahyu, Meskipun demikian, umat manusia distimulasi untuk melakukan penggalian-penggalian ilmu yang sifatnya
9
pengembangan agar dapat mencapai kemajuan dan kesejahteraan manusia secara keseluruhan tanpa diskriminatif sedikit pun. Epistemologi Islam membawa ciri tersendiri yang sangat berbeda dengan ciri epistemologi lainnya. Ziauddin Sardar menyebutkan bahwa ada sembilan ciri dasar epistemologi Islam yaitu: pertama, didasarkan atas suatu kerangka pedoman mutlak; kedua, bersifat aktif [proaktif] dan bukan pasif [reaktif]; ketiga, memandang objektivitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi; keempat, sebagian besar bersifat deduktif; kelima, memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam; keenam, memandang pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif dan bukan eksklusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subjektif sama sahnya dengan evaluasi yang objektif; ketujuh, berusaha menyusun pengalaman subjektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman ini, yang dari sini umat Muslim memperoleh komitmen-komitmen nilai dasar mereka; kedelapan, memadukan konsep-konsep dari tingkat kesadaran, atau tingkat pengalaman subjektif, sedemikian rupa sehingga konsepkonsep dan kiasan-kiasan yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya. (ini sama dengan perluasan dari jangkauan proses 'kesadaran' yang dikenal dan termasuk dalam bidang imajinasi kreatif dan pengalaman mistis serta spiritual); dan kesembilan, tidak bertentangan dengan pandangan holistik, menyatu dan manusiawi dari pemahaman dan pengalaman manusia. Dengan begitu dia sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual (Sardar, 1993: 44 - 5).
Ciri-ciri tersebut sesungguhnya menggambarkan betapa epistemologi Islam berusaha tampil membawa nuansa yang berbeda dengan epistemologi Barat yang mempengaruhi hampir semua ilmuwan dunia dewasa ini. Perbedaan yang paling mencolok adalah bahwa epistemologi Islam memiliki sandaran teologis berupa rerangka pedoman mutlak, sehingga para ilmuwan muslim
dalam
proses
kegiatan
menggali
pengetahuan
senantiasa
menyandarkan diri pada Allah sebagai pemilik rerangka pedoman mutlak tersebut. Lantaran epistemologi Islam didasarkan
pada rerangka
tersebut,
menyebabkan para ilmuwan muslim bertolak dari kepercayaan atau keimanan lebih dahulu baru mencari bukti-bukti kebenaran dari kepercayaan atau keimanan itu sehingga bersifat deduktif. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka epistemologi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah epistemologi Islam, dimana wahyu (alQuran dan as-Sunnah) ditempatkan pada posisi yang mutlak dan benar keberadaannya. Secara ontologi wahyu memiliki tempat yang tidak dapat digugat kebenarannya. Oleh karena itu, penafsiran atas makna nilai yang terkandung di dalam wahyu tersebut menjadi salah satu galian di dalam penelitian ini.
10
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, dunia Islam telah mengembangkan
tiga
jenis
epistemologi
dalam
mengkonstruk
ilmu
pengetahuan. Ketiga epistemologi tersebut menurut Muhammad Abid al-Jabiry adalah epistemologi bayani, epistemologi burhani, dan epistemologi irfani (Abdullah, 2007: 11-24). Ketiga epistemologi ini telah berhasil melahirkan capaian pengetahuan yang luar biasa dalam dunia Islam hanya saja akhir-akhir ini ketiga epistemologi ini banyak ditinggalkan seiring dengan perkembangan epistemologi Barat. Dalam epistemologi bayani, suatu metode berfikir yang didasarkan pada teks (nash) dari wahyu. Teks suci menurut epistemologi ini dianggap mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti terhadap kebenaran. Akal tidak diberi kebebasan untuk menentukan makna dan maksud dari teks tetapi ia harus tetap bersandar pada teks aslinya (Sumarna, 2005: 160). Cara pandang seperti ini sangat dipengaruhi oleh pola pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas teks (nash) dari wahyu tanpa pemikiran dan penalaran (Arif, 2008: 38). Akibatnya, Dominasi pola pikir semacam ini dan bersifat hegemonik sehingga kurang begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual dan melalui pengalaman yang dirasakan dan dihayati. Secara nalar, epistemologi bayani selalu mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual. Sampai-sampai pada kesimpulan bahwa wilayah kerja akal pikiran perlu dibatasi sedemikian rupa dan perannya dialihkan menjadi pengatur dan pengekang hawa nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang akurat. Inilah yang menyebabkan pola pikir bayani ini menjadi kaku dan rigid (Arif, 2008: 3). Kelemahan yang paling mencolok dari tradisi nalar epistemologi bayani atau tradisi berpikir tekstual-keagamaan adalah ketika ia harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain. Dalam berhadapan dengan komunitas lain agama, corak epistemologi berpikir keagamaan model tekstual-bayani biasanya mengambil sikap mental yang bersifat, defensif, apologis, dan polemis, dengan semboyan kurang lebih semakna dengan “right or wrong is my country’’ (Abdullah, 2007). Demikian juga halnya dengan kebenaran teks yang dipahami dan diakui oleh aliran atau organisasi tertentu belum tentu dapat dipahami dan diakui secara sama dan sebangun oleh aliran, kelompok, atau organisasi lain yang menganut agama yang sama.
11
Hal demikian dapat saja terjadi karena fungsi dan peran akal pikiran manusia tidak lain dan tidak bukan hanyalah digunakan untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks. Sama sekali di luar kalkulasi pendukung corak epistemologi ini apakah pelaksanaan dan implementasi ajaran teks dalam kehidupan masyarakat luas masih seorisinal dan seotentik lafal itu sendiri atau tidak (Abdullah, 2007: 13-4). Sebaliknya epistemologi burhani yang diperkenalkan oleh Ibn Rusyd menganggap sumber ilmu pengetahuan bersumber pada realitas atau al-waqi’, baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. llmu-ilmu disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq, dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas intuisi (Arif, 2008: 67). Dengan demikian, prinsip yang mendasari epistemologi burhani adalah rasionalitas, kausalitas, dan esensialisme yang dikembangkan lewat metode utama deduksi dan induksi. Model pendekatan epistemologi ini mendasarkan pada kemampuan rasio atau akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika, artinya keruntutan logika sebagai epistemologi utamanya (Sumarna, 2005: 160; Arif, 2008: 67). Peran akal pikiran sangat menentukan dalam menyusun atau merumuskan epistemologi sebab-akibat sebagai landasan kebenarannya (Abdullah, 2007: 22). Dalam epistemologi burhani, peran akal bukan untuk mengukuhkan kebenaran teks tetapi lebih menekankan pada analisis dan pengujian terusmenerus atas kesimpulan-kesimpulan sementara dan teori yang dirumuskan lewat premis-premis logika keilmuan. Dengan cara ini akan membentuk budaya kerja penelitian baik yang bersifat eksplanatif, eksploratif, maupun verifikatif. Akan tetapi, kelemahan yang tampak pada epistemologi burhani terletak pada peran akal pikiran dalam memahami dan menafsirkan hal-hal yang terkait dengan soal-soal keberagamaan atau religiositas manusia yang sangat terbatas. Sementara epistemologi irfani tidak puas hanya berhenti pada pengetahuan
tentang
mengembangkan
terus
hal-hal cara
fenomenal
mendapatkan
(lahiriah-eksoteris), ilmu
hingga
sampai
tetapi pada
pengetahuan tentang hal-hal noumenal (batiniah-esoteris) yang bermuara akhirnya di luar jangkauan indera dan akal manusia (Arif, 2008: 61). Jadi Epistemologi irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks maupun logika. Sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berpikir irfani adalah pengalaman langsung (direct experience) atas realitas spiritual keagamaan
12
(Sumarna, 2005: 160 dan 2006: 22). Dalam pandangan ini, pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya. Pengalaman otentik ini dapat “dirasakan dan dihayati” secara langsung oleh setiap umat manusia apapun agama, bangsa, warna kulit, ras, dan budaya yang diyakininya, tanpa harus menunggu turunnya teks (bahasa) atau logika karena tanda-tanda dari alam tersebut merupakan juga wahyu 4. Dengan demikian validitas kebenaran epistemologi irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung. Oleh karena itu, sasaran bidik epistemologi ini adalah bersifat esoterik atau dengan kata lain apa yang ada di balik teks (Sumarna,
2005: 160).
Pemanfaatan
rasio
hanya
untuk menjelaskan
pengalaman spiritual yang dirasakan (Abdullah, 2004: ix). Menurut Triyuwono (2006a), proses intuisi ini akan mengaktifkan energi spiritual yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi secara langsung dari Yang Maha Mengetahui, karena energi spiritual terkoneksi dengan Sang Pencipta.
Selanjutnya
Triyuwono,
memberi
alternatif
petunjuk
cara
mendapatkan ilmu melalui intuisi dengan melakukan latihan olah-batin. Pada dasarnya latihan ini meliputi dzikir, shalat tahajjud, merilekskan diri tanpa ada gangguan, kemudian bermohon kepada Yang Maha Mengetahui, dan diakhiri dengan puji syukur kekhadirat Allah swt5 (2006a). Cara lain yang dilakukan adalah memperhatikan isyarat atau tanda-tanda yang terlintas kapan dan dimana saja, kemudian pada saat itu dikembangkan atau digali terus untuk mendapatkan informasi atau ilmu pengetahuan. Menurut anggapan epistemologi irfani ini, kebenaran apa pun, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial-keagamaan adalah bersifat intersubjektif. Apa yang dirasakan oleh penganut suatu kultur, ras, agama, kulit, bangsa tertentu dengan sedikit tingkat perbedaan juga dirasakan oleh manusia dalam kultur, ras, agama, kulit dan bangsa yang lain. Dengan demikian epistemologi antara subjek dan objek bukannya bersifat subjektif dan bukan pula bersifat objektif, tetapi lebih pada intersubjektif. Hingga saat ini, ketiga epistemologi tersebut masing-masing memiliki pendukung dan masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Padahal kekuatan utama epistemologi Islam ini jika digunakan bersinergi dan terintegrasi. Menurut Arif (2008: 256), hubungan antara tiga jenis epistemologi ini baik sebagai mode 4
QS. Qaaf [50]: 6-8. Untuk memahami lebih lanjut cara melakukan latihan untuk mempertajam sensitivitas intuisi dapat dibaca Pidato Pengukuhan Guru Besar Iwan Triyuwono, Akuntansi Syariah: Menuju Puncak Kesadaran Ketuhanan Manunggaling Kawulo Gusti. 2 September 2006 5
13
of thought (ru’yah) maupun mode of inquiry (manhaj), dapat dirumuskan ke dalam struktur hierarkis-piramidal pada skema 1 berikut ini.
Skema 1 Epistemologi Islam Transformatif
Sumber: Arif (2008: 257)
Struktur ini tidak dipahami dalam pengertian statis tetapi dalam pengertian dinamis-dialektis dengan realitas yang ada dan dalam pengertian momot nilai-nilai penyadaran dan pemberdayaan, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dalam skema tersebut, epistemologi Islam mengarah pada pemaduan secara nuansif dan sinergis antara yang insaniah dengan yang Ilahiah melalui formulasi konsep keilmuan teoantroposentris, yaitu (1) konsep keilmuan yang dihasilkan dari penggunaan dan pengembangan segenap potensi manusia: indera, akal, dan intuisi (hati) untuk dapat memahami dan mendayagunakan tatanan realitas, baik wahyu, sosial-budaya, maupun kealaman, dengan berangkat dari kesadaran teistik, dan (2) konsep keilmuan yang berwawasan "amal": ilmu yang siap diaplikasikan bagi kemaslahatan hidup manusia dalam rangka realisasi penghambaan diri kepada-Nya. Dengan demikian, konsep keilmuan
teoantroposentris
berarti
menolak
adanya
reduksi
ontologis,
epistemologis, dan metodologis yang telah memunculkan berbagai problem keilmuan. Sebaliknya, ia justru berorientasi ke arah cara pandang holistik-
14
integratif terhadap segenap tataran realitas dan jenis pengetahuan manusia (Arif, 2008: 259). Selanjutnya Arif mengatakan, jika dikaitkan dengan konsep epistemologi bayani, burhani, dan irfani yang berkembang dalam dunia Islam, formulasi skema di depan merupakan bentuk ekstensi dan kritik terhadap hilangnya watak holistik dan integralistik dalam ketiga konsep epistemologi tersebut. Hilangnya watak holistik, antara lain, ditandai oleh "pembatasan" realitas hanya pada teks-wahyu, sebagaimana dalam epistemologi bayani yang lebih mengedepankan pendekatan kebahasaan, fiqh, dan teologi untuk reproduksi teks sehingga aktivitas intelektual kurang memerhatikan realitas empirik kealaman dan sosial-budaya. Demikian juga pembatasan realitas hanya pada wilayah esoterik-spiritual (batiniah), sebagaimana dalam epistemologi irfani telah mengabaikan hal-hal yang bersifat eksoterik-lahiriah. Sementara itu, hilangnya watak integralistik ditandai oleh reduksi sumber pengetahuan melalui penegasian watak saling melengkapi (komplementer) berbagai sumber epistemologis yang ada (2008: 259-260). DAFTAR PUSTAKA -----------------------.2001. Al Q’uran dan Terjemahannya. Percetakan Al Qur‟anul Karim Kepunyaan Raja Fadh. Madina Al-Munawwarah. Abdullah, Amin. 2007. Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN: dari Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Integratif-Interkoneksf. Dalam Amin Abdullah, dkk. Islamic Studies dalam Paradigma Interkoneksi (Sebuah Antologi). Suka Press. Yogyakarta. Abdullah, Amin. 2004. Filsafat Islam bukan hanya Sejarah Pemikiran. Sebuah Penngantar dalam A. Khudori Shaleh. Wacana Baru Filsafat Islam. Tiara Wacana. Yogyakarta. Al-Attas, Muhammad An-Naquid. 1986. Dilema Kaum Muslim. Terjemahan Anwar Wahid Hasi dan Muchtar Zoerni. PT Bina Ilmu. Surabaya. Al-Faruqi, Ismail Raji. 1995. Islamisasi Pengetahuan. Terjemahan Anas Mahyuddin. Pustaka. Bandung. Al-Faruqi, Ismail Raji. 1989. Toward a Critical World Theology. Dalam Toward Islamization of Disciplines. The International Institute of Islamic Thought. IIIT. Herndon. Al-Faruqi, Ismail Raji. 1985. Mengislamkan Ilmu-ilmu Sosial, dalam Abubakar A. Bagader. Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial. PLP2M. Yogyakarta. Al-Syaibany, Omar Muhammad al-Toumy. 1979. Filsafat Pendidikan Islam. terjemahan. Bulan Bintang. Jakarta.
15
Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transformatif. LKIS. Yogyakarta. Bertens, K. 1993. Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisus. Yogyakarta. Kirman, M. Riaz. 1994. Qur‟anic Method of Enquiry. Dalam Mohammad Muqim. Research Methodology in Islamic Perspective. Institute of Objective Studies. New Delhi. Kuntowijoyo. 2007. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Tiara Wacana. Yogyakarta. Madkour, Ibrahim. 1988. Filsafat Islam: Metode dan Penerapan. Terjemahan Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakkir. Rajawali. Jakarta. Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Penerbit Erlangga, Jakarta. Rofiuddin, Mohammad. 1994. Qur‟anic Method of Enquiry. Dalam Mohammad Muqim. Research Methodology in Islamic Perpective. Institute of Objective Studies. New Delhi. Saefuddin, AM. dan Yusra Marasabessy. 1991. Menerapkan Nilai-nilai Islam di Lingkungan Universitas. Dalam AM. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Mizan. Bandung. Sardar, Ziauddin. 2000a. Dimensi Ilmiah al-Ilm, dalam Ziauddin Sardar. Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, terjemahan Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyartanto. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sardar, Ziauddin. 2000b. Pengantar: Perkenalan dengan al-Gahazali. dalam Ziauddin Sardar. Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, terjemahan Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyartanto. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sardar, Ziauddin. 1998. Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam. terjemahan AE. Priyono. Risalah Gusti. Surabaya. Sardar, Ziauddin. 1993. Rekayasa Masa Depan Terjemahan Rahmani Astuti. Mizan. Bandung.
Peradaban
Muslim.
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju Nilai. Pustaka Bani Quraisy. Bandung Sumarna, Cecep. 2005. Rekonstruksi Ilmu; dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik- Rasional Teistik.Benang Merah Press. Bandung. Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu Sosial Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Suriasumantri, Jujun S. 1989. Ilmu dalam Perspektif. PT Gramedia, Jakarta. Triyuwono, Iwan. 2006a. Akuntansi Syari’ah: Menuju Puncak Kesadaran Ketuhanan Manunggaling Kawula-Gusti. Pidato Pengukuhan Jabatan
16
Guru Besar bidang Akuntansi Syari‟ah pada Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. 2 September. Malang. Triyuwono, Iwan. 2006b. Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Zainuddin, M. 2006. Filsafat Islam: Perspektif Pemikiran Islam. Prestasi Pustaka. Jakarta. Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2005. Worldview sebagai Asas Epitemologi Islam. Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia. Tahun II. Nomor 5, April – Juni. Jakarta.