PERAN NEGARA DALAM IMPLEMENTASI EKONOMI ISLAM1 Dr. Ir. Conrad Hendrarto, MSc2 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG B. MAKSUD DAN TUJUAN C. PERMASALAHAN EKONOMI INDONESIA II. LANDASAN HUKUM A. AL QURAN DAN AL HADITS B. UUD 1945 C. UU PERBANKAN ISLAM, PERATURAN PEMERINTAH, PERATURAN MENTERI III. PERAN NEGARA DALAM IMPLEMENTASI EKONOMI ISLAM A. TUGAS DAN FUNGSI NEGARA B. PERAN NEGARA DALAM PERSEPSI ISLAM C. PERAN MUI D. PELAKSANAAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA IV. PENUTUP
1
2
Bahan Ajar ToT Ekonomi dan Keuangan Syari’ah bagi para Da’i oleh Yayasan Bina Usaha Umat di Masjid Al Muhajirin Kalibata Jakarta Selatan, tanggal 28-29 Mei 2016. Ketua Yayasan Bina Usaha Umat; Ketua Dewan Pembina Yayasan Kedaulatan Pangan, Energi dan Lingkungan Indonesia; Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan Ikatan Ahli Ekonom Islam Indonesia; Sekretaris Umum Babinrohis Kementerian Tenaga Kerja & Transmigrasi RI; Direktur Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Kementerian Desa, PDT & Transmigrasi.
1
PERAN NEGARA DALAM IMPLEMENTASI EKONOMI ISLAM I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembahasan tentang peranan Negara pada awal abad ke 21 masih berputar-putar pada tujuan dan kegiatan negara. Pembahasan terfokus pada intervensi dalam hubungan negara dengan individu, kepentingan dan kelas sosial yang terorganisasi. Negara merupakan organisasi yang berdaulat sebagaimana tercantum dalam konstitusinya. Secara substansial, penyelenggaran dan kekuasaan Negara dilaksanakan oleh penguasa yang resmi guna mencapai cita-cita dan tujuan negara. Menurut Rodgee, pada awalnya, negara ditandai dengan kewenangan yang terpusat, hierarki yang diformalkan, pengkhususan pekerjaan dalam pelaksanaan tugas umum dan komunikasi tertulis (Rodee et al., 1993). Dalam ilmu politik, Negara merupakan salah satu dari konsep utama, disamping konsep kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan serta distribusi (Budiardjo. 1978). Unsur-unsur negara yang membedakan dengan organisasi lainnya adalah luas dan besarnya kekuasaan dan kedaulatan serta hak istimewa negara dalam memaksa segala macam institusi untuk tunduk kepadanya dengan hegemoni yang dimilikinya. Sistem sosialis tradisional menetapkan kekuasaan Negara yang dapat memonopoli serta dapat merampas hak-hak rakyat baik secara pribadi, sosial dan ekonomi maupun substansi. Peranan negara ditetapkan sesuai dengan fungsi institusi politik yang dianut oleh dalam sistem politiknya. Adam Smith menyatakan bahwa tugas Negara adalah melindungi masyarakat dari kekerasan institusi manapun, ketidakadilan masyarakat lain dan menjaga pekerjaan masyarakat (Stepan, 1978). Disamping itu, negara juga mempunyai fungsi keamanan luar negeri, ketertiban dalam negeri, keadilan, kesejahteraan umum dan kebebasan (Budiardo, 1978). Oleh sebab itu, negara memerlukan sarana pendukung untuk menegakkan fungsi tersebut, yaitu kekuatan polisi dan militer, peradilan independen, pegawai negeri yang taat kepada negara serta administrasi keuangan yang jujur dan monopoli persoalan keuangan (Bonne, 1973). Negara memiliki peran guna mengatur dan mengelola perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial dan keamanan, serta kerja sama antar negara. Untuk melakukan kajian tentang peranan negara, maka diperlukan pendekatan multidisipler. 2
Demokratisasi sangat mempengaruhi dinamika peranan negara. Dalam era globalisasi saat ini, demokrasi mengalami banyak tantangan sebagai dampak negara-negara kuat atau besar yang cenderung ingin mempunyai pengaruh besar terhadap negara berkembang, sehingga peran negara di negara berkembang menjadi melemah. 1. Peran Negara Menurut Konstitusi Indonesia Peranan Negara sesuai konstitusi Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan Undang -Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan dengan sangat jelas sebagaimana tercantum pada alinia keempat, yaitu: “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, …dst ”. Pernyataan tersebut dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut: Pertama, pernyataan ”… melindungi segenap bangsa Indonesia…” mengandung arti bahwa negara menjamin terpeliharanya dengan jelas hak-hak warga atau penduduk dalam segala aspek kehidupan, seperti terjaminnya keselamatan jiwa dan raga, kepemilikan, kebebasan berakidah, berorganisasi, berpendapat dan lain sebagainya. Kedua, pernyataan “… seluruh tumpah darah …”, berarti negara sangat berperan dalam mempertahankan tanah air yang menjadi tumpah darah bangsa Indonesia, seluruh wilayah menyatu dengan bangsa adalah tanggung jawab negara untuk mempertahankannya, seperti keutuhan wilayah negara dari gangguan, ancaman dan tantangan dari luar, negara berperan menangkal upaya negara asing untuk mengintervesi sejengkalpun tanah Indonesia. Ketiga, pernyataan “…memajukan kesejahteraan umum…” mengandung arti peranan negara sangat dominan dalam kemajuan ekonomi, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menekan angka penggangguran dan sekaligus membuka lapangan kerja dan lain sebagainya.
3
Keempat, pernyataan “…mencerdaskan kehidupan bangsa…” mengandung arti negara berperan dalam pemberantasan buta huruf dan rendahnya mutu pendidikan, meningkatan kualitas dan komptetensi sumber daya manusia yang memiliki daya saing dan lain sebaginya. Kelima, pernyataan “…ikut melaksanakan ketertiban dunia….” mengandung arti negara terlibat dalam proses perdamaian dunia secara aktif, kepedulian yang tinggi terhadap masalah yang muncul di negara lain dan bekerja sama dengan masyarakat internasional untuk memecahkan persoalan dunia. 2. Peran Negara dalam menjalankan Ekonomi Islam Dalam fiqh muamalah, negara mempunyai peran penting dalam perekonomian. Para ulama dan pakar ekonomi Islam sepanjang sejarah telah membahas peran penting negara dalam perekonomian. Menurut para ulama dan fukaha, negara memiliki kekuasaan yang sangat luas dalam melaksanakan tugas-tugas Negara. Pelaksanaan tugas Negara tersebut harus dilaksanakan dengan syarat secara demokratis dan adil berdasarkan aturan Allah SWT dan tuntutan Rasulullah SAW, dimana segala keputusan diambil sesudah bermusyawarah secukupnya dengan wakil-wakil rakyat yang sebenarnya. Meskipun Islam memberikan peran kepada negara secara luas, namun hal itu tidak berarti bahwa konsep ekonomi Islam mengabaikan kemerdekaan dan hak individu. Al Quran sebagai sumber utama ajaran Islam, menjelaskan tentang peranan negara dalam mekanisme pasar dan dalam perekonomian secara umum sebagaimana dibahas dalam Fiqh Muamalah. Negara harus menjamin bahwa tegaknya dengan kekuasan yang diembannya.
Dalam konteks
ini
Al-Mubarak dalam
buku Nizaham al-Islam al-
Iqtishadi, mengutip ayat Alquran surah Al-Hadiid (QS:57) ayat 25 : Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa mukjizat-mukjizat yang jelas. Kami telah turunkan kitab suci dan syari’at yang adil bersama para rasul, agar manusia menegakkan keadilan. Kami telah menurunkan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan sangat bermanfaat bagi manusia. Allah hendak menguji manusia, siapa di antara manusia yang mau membela agama dan rasulrasul Nya karena beriman kepda yang ghaib. Sungguh Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Dalil yang menunjukan bahwa sistem ekonomi Islam memiliki posisi lebih tinggi dan lebih baik dari sistem konvensional dijumpai dalam Al Quran surat Ali Imran (3) ayat 110, yang arti tafsiriyahnya sebagai berikut: 4
Wahai kaum Mukmin, kalian benar-benar umat terbaik, yang ditampilkan di tengah manusia lainnya, supaya kalian menyuruh manusia berbuat baik, mencegah perbuatan munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya kaum Yahudi dan Nasrani mau beriman kepada al Quran dan kenabian Muhammad, maka hal itu lebih menguntungkan mereka. Di antara kaum Yahudi dan Nasrani ada yang mau beriman. Akan tetapi sebagian besar dari mereka adalah penentang kebenaran al Quran dan kenabian Muhammad. Dilain
pihak,
hukum
asal muamalat menyatakan bahwa
“segala
sesuatunya
dibolehkan, kecuali ada larangan dalam Al Quran atau Sunnah”. Jadi, sesungguhnya terdapat lapangan yang luas sekali dalam bidang muamalah. Yang perlu dilakukan hanyalah mengidentifikasikan hal-hal yang dilarang (haram), kemudian menghindarinya (Adiwarman A Karim, 2001). Ayat lain yang dapat dijadikan dalil adalah Al Quran Surat Al Maidah (QS 5) : 48, yang arti tafsiriyahnya sebagai berikut: Wahai Muhammad, Kami telah menurunkan Al Quran kepadamu, yang berisikan kebenaran dan mengakui sebagian kebenaran Taurat dan Injil, serta mengkoreksi penyimpangan yang dilakukan para pendeta mereka terhadap Taurat dan Injil. Wahai Muhammad, karena itu hukumlah kaum Yahudi dan Nasrani sesuai syariat Allah yang diturunkan kepadamu. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu setelah Al Quran datang kepadamu. Wahai para nabi, setiap orang dari kalian telah Kami beri syariah dan petunjuk penerapannya. Sekiranya Allah berkehendak menghilangkan hawa nafsu manusia, niscaya semua manusia dijadian mengikuti Islam. Wahai manusia, akan tetapi Allah ingin menguji ketaatan kalian kepada syariat yang telah Kami diberikan kepada kalian. Karena itu, hendaklah kalian segera melakukan amal sholeh. Hanya kepada Allah lah kalian semua kembali. Pada hari kiamat, Allah akan menampakkan kepada kalian kebenaran Islam yang kalian perselisihkan di dunia. Ayat tersebut sangat jelas menyatakan bahwasanya Islam adalah agama terakhir, terkini, yang selalu sesuai dengan tuntunan jaman, sesuai dengan keadaan mereka sendiri, hal ihwal jalan pikirannya serta perkembangan keruhaniannya (Adiwarman A Karim, 2001). Dengan demikian, penerapan syariah ini mengikuti evolusi peradaban manusia, seiring dengan diutusnya rasul-rasul kepada umat-umat tertentu dan pada zaman-zaman tertentu. Proses perkembangan syariat ini pada akhirnya telah sempurna dengan diutusnya Nabi 5
Muhammad Saw yang membawa syariat Islam. Fakta ini sejalan dengan firman Allah dalam Al Quran surat Al Maidah (QS 5) ayat 3 yang intinya adalah “…… Pada hari ini Aku telah menjadikan Islam agama yang sempurna untuk kalian. Aku telah berikan hidayah Ku kepada kalian dengan sempurna. Aku meridhoi Islam menjadi agama kalian ………“ Seluruh sistem kehidupan yang diatur dalam Islam, termasuk sistem ekonomi Islam membuktikan bahwa Islam merupakan rahmat bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah swt dalam al Quran surah Al Anbiya’a (21:107) yang arti tafsiriyahnya “Wahai Muhammad, Kami utus kamu hanyalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia”.
B. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud mata ajar Peran Negara dalam Implementasi Ekonomi Islam antara lain adalah: 1. Memberikan pengetahuan sejelas-jelasnya tentang peran negara dalam mengatur perekonomian negara; 2. Memberikan penjelasan singkat tentang Ekonomi Islam; 3. Memberikan penjelasan peran Negara dalam memfasilitasi penerapan ekonomi Islam. Adapun tujuannya adalah: 1. Sebagai bekal pengetahuan para peserta Pelatihan memahami secara baik dan benar tentang Peran Negara dalam Implementasi Ekonomi Islam; 2. Peserta Pelatihan mampu menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan dimasyarakat sesuai tuntunan agama Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Membentuk peserta Pelatihan sebagai sumber daya insani yang berdaya saing serta berakhlakul kharimah. C. PERMASALAHAN EKONOMI INDONESIA Selama ini, para ekonom beranggapan bahwa konsep ekonomi yang paling baik adalah sistem liberalisme dan sistem sosialisme. Namun faktanya pada tahun 2008 ditandai dengan terjadinya krisis ekonomi global di beberapa negara di dunia termasuk Indonesia juga mengalami hal yang serupa ternyata tidak mampu bertahan. Pertumbuhan ekonomi tahun 2013 sebesar 6,30% meningkat dari tahun 2010 sebesar 6,10% (Laporan Semester II tahun 2013 Kementerian Keuangan). Gross Domestic Product (GDP) per kapita meningkat lebih baik. Tahun 2009 sebesar US$2.299,63 pada 2011 menjadi 6
US$3.510,59, tahun 2012 berkembang US$3.592,29 dan tahun 2013 menjadi US$3.816,80 (Economy Watch Report, 2014). Dengan pertumbuhan tersebut, Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan terpesat kedua di G-20 setelah China. Namun kenyataannya, pertumbuhan tahun 2010 - 2013 tersebut tidak berpihak pada masyarakat golongan bawah, adanya kesenjangan ekonomi. Hal ini antara lain adanya kesenjangan dalam kesempatan berusaha, akses ke lembaga keuangan, dan tidak meratanya jaringan pengaman sosial (Hill, at all, 2012 # 5). Nilai Gini Coefficient per Capita, pada tahun 1981-2007 adalah 0,32-0,36. Pada 1990-1996 terjadi peningkatan namun turun menjelang 1997an karena pertumbuhan ekonomi sudah mulai membaik. Tahun 2006 naik kembali akibat naiknya harga beras menjadi 0,39 dan pada 2009 turun menjadi 0,37 (Hall, at all, 2012). Pada tahun 2013 Gini Coefficient sebesar 0,41. Padahal batas nilai Gini Coefficient per Capita yang sehat tidak boleh di atas 0,3 (Aviliani dalam Nugroho, 2014 dan Laporan TNP2K 2013). Kondisi ini bukan hanya memberatkan pemerintah, namun juga para pengusaha. Dampak terburuk ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada 2013 jumlah angkatan kerja 118,19 juta, yang bekerja 110,80 juta orang, sehingga tingkat pengangguran terbuka 6,25%. Kondisi ini semakin buruk dengan jumlah setengah penganggur yaitu mereka yang bekerja namun jam kerjanya kurang dari 35 jam per minggu sebanyak 10,89 juta (BPS, Agustus 2013). Penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya, khususnya kesempatan kerja formal yang digerakkan oleh sektor riil melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif sulit dilaksanakan. Upaya penciptaan kesempatan kerja dengan iklim investasi kondusif yang diharapkan akan tumbuh investasi melalui penanaman modal asing dan dalam negeri, belum banyak terealisasi (Suparno, 2008). Rakyat Indonesia sesungguhnya telah banyak berupaya sebatas kemampuannya. Salah satu upaya yang telah, sedang dan terus dilanjutkan adalah upaya menciptakan lapangan kerja sektor informal (Amalia, 2009). Namun, upaya pada tataran usaha mikro dan kecil (UMK) sering terkendala modal, keterampilan dan regulasi. Dari sekitar 51 juta Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sekitar 98,9% di antaranya merupakan pelaku Usaha Mikro (UM) dan hanya 500.000 unit merupakan pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM), sisanya pelaku usaha besar. Jumlah tenaga kerja informal masih mendominasi angkatan kerja (BPS, Maret 2011).
7
Kendala pengusaha mikro dan kecil (UMK) antara lain tidak adanya akses permodalan ke lembaga keuangan baik perbankan maupun non-perbankan, tidak memiliki informasi, tidak memiliki sesuatu yang dapat diagunkan dan tidak mempunyai pilihan lain. Alternatifnya mereka “dibantu” para rentenir. Para rentenir banyak memberikan kemudahan kepada kelompok UMK, tanpa agunan, birokrasi sangat sederhana tidak berbelit. Namun pada kenyataannya bukannya membantu, namun merugikan karena bunga yang dibebankan. Paling tidak sekitar 2,5 miliar penduduk dunia tidak memperoleh akses layanan keuangan sebagai persyaratan untuk pengembangaan usaha dan ekonomi keluarga (Laporan GIZ 2011). Untuk mengatasi kesulitan UMK memperoleh modal usaha, maka organisasi nonpemerintah di negara-negara berkembang mendirikan lembaga keuangan. Namun pinjaman dengan bunga tidak membantu mengembangkan usaha dan meningkatkan penghasilan. UMK harus membayar pokok pinjaman dan bunganya tanpa mempertimbangkan untung atau rugi. Hal ini merupakan ketidakadilan serta eksploitasi kepada UMK (Widiyanto, 2010). Pada umumnya kondisi UMK adalah un-Bankable sehingga tidak ada akses ke bank. Amalia, 2009, dalam penelitiannya menemukan bahwa 94,7% respondennya (UKM) membutuhkan lembaga keuangan untuk pengembangan usahanya. Guna memperoleh permodalan di luar sistem perbankan, pada umumnya di negaranegara berkembang diperoleh dari lembaga keuangan mikro non-bank non-pemerintah. Namun, lembaga-lembaga ini mengenakan biaya dan bunga yang cukup tinggi. Walaupun UKM memperoleh bantuan permodalan, kondisi tidak membantu UKM untuk tumbuh berkembang dengan sehat (Widiyanto, 2012). Untuk mengatasi permasalahan UMK yang un-Bankable serta bebas bunga bank, maka BMT merupakan solusi pilihan yang paling tepat. Hal ini karena 87,7% merupakan pilihan dari UKM (Amalia, 2009). Namun demikian, BMT mempunyai kendala tersendiri yaitu keterbatasan SDM yang profesional dan keterbatasan modal. Pada umumnya anggota bergabung di BMT untuk memperoleh pinjaman modal usaha. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, khususnya kegiatan ekonomi sementara ini tidak mendasarkan pada prinsip-prinsip syariat Islam. Pelanggaran tersebut antara lain masih diterapkannya riba, pengurangan timbangan, tipu muslihat dalam jual beli, tidak jujur dan adil dalam bermuamalah, praktek penimbunan barang kebutuhan pokok masyarakat dan lain sebagainya. Dalam sistem perekonomian Islam sudah jelas sekali larangan melakukan MAGHRIB yaitu Maisir, Gharar, Haram, dan Riba. 8
Maisir adalah setiap transaksi yang bersifat untung-untungan/spekulatif dengan maksud untuk memperoleh keuntungan materi seperti membawa dampak terjadinya praktik kepemilikan harta secara bathil (Mujahiddin, 2013). Gharar adalah transaksi yang mengandung ketidakjelasan, dan/atau tipuan dari salah satu pihak, seperti bai’ ma’dum (jual beli sesuatu yang belum ada barangnya) (Mujahiddin, 2013 dan Buku Saku Bank Syariah). Larangan riba sudah disebutkan secara tegas dalam Al-Quran surat Ali Imran (3) ayat 130: Wahai kaum mukmin, janganlah kalian memakan riba berlipat ganda. Taatlah kepada Allah supaya kalian beruntung di akherat. Dengan demikian sangatlah jelas, apabila sistem perekonomian tidak sejalan dengan aturan dan syariah Allah swt, maka segala permasalahan kehidupan manusia akan terus muncul dan cita-cita terbentuknya masyarakat adil dan makmur apalagi baldathun thayyibatun warabbun ghafur akan jauh dari harapan. Permasalahan lain yang dihadapi umat Islam Indonesia saat ini dalam menerapkan ekonomi syariah, walaupun telah ada beberapa perangkat peraturan perundang-undangan yang memfasilitasi pelaksanaan ekonomi syariah, namun kesiapan Sumber Daya Insani belumlah memadai. Sumber informasi utama tentang Ekonomi Islam diperoleh masyarakat adalah dari teman, keluarga, kerabat (70,65%). Informasi melalui mulut ke mulut (gethok tular) merupakan media yang sangat efektif. Informasi ini menggambarkan bahwa media dakwah melalui pengajian, majelis taklim dan sebagainya ternyata belum dipergunakan secara optimal (16,3%), sedangkan informasi melalui media cetak sebesar 9,42% dan media elektronik sebesar 1,81% serta lainnya sebesar 1,81%. Untuk itu strategi yang efektif untuk meningkatkan kepedulian terhadap ekonomi syariah selain melalui antar teman, saudara, keluarga dan kerabat, sarana komunikasi, informasi dan edukasi yang efektif dan perlu ditingkatkan adalah melalui pengajian dan dakwah. Para Da’i harus lebih aktif dalam menyampaikan informasi ini pada saat pengajian dan sebagainya dengan memasukan materi ekonomi syariah (Hendrarto, 2014).
9
II. LANDASAN HUKUM A. AL QURAN DAN AL HADITS Dalam kehidupan di dunia ini, pedoman utamanya haruslah mengacu pada petunjuk Allah berupa wahyu (al Qur’an) yang dijabarkan lebih lanjut dalam as Sunah, qiyas, ijma’ dan ijtihad serta ayat-ayat kauniyah. Wujud kegiatan ekonomi dilaksanakan atas dasar GodInterest, mengabdi dan mencari ridha Allah SWT (Mujahidin, 2013). Dalam Al Qur’an surat Asy-Syuura (QS 42:52) Allah berfirman: Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan perintah Kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu (Nabi Muhammad SAW) benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Dengan demikian jelas dan nyata bahwa Allah telah memerintahkan manusia agar menggunakan Al Qur’an sebagai sumber utama ilmu dalam kehidupan di dunia ini. Tawhidi String Relation (TSR) sebagai teori yang membahas penelitian empirik dengan hukum Allah dari Al Qur’an dan As Sunah belum diterapkan. Choudhury (2002) menyatakan dalam teori Tawhidi String Relation (TSR) bahwa sumber segala ilmu pengetahuan adalah Al Qur’an. Al Qur’an bersifat universal menjelaskan pengetahuan tentang ke Esaan Allah yang dinamakan Tawhid. Ilmu pengetahuan yang terkandung dalam Al Qur’an di turunkan Allah SWT melalui wahyu-Nya dalam proses suratic process. Khusus mengenai riba yang marak berkembang dan diterapkan dalam ekonomi dewasa ini. Sesungguhnya larangan praktek riba yang terdapat dalam Al-Quran tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap (Muhammad Syafi’i Antoni, 2001). Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong
mereka
yang
memerlukan
sebagai
suatu
perbuatan
mendekati
atau taqarrub kepada Allah swt (QS Ar-Ruum 30:39); Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk, Allah swt mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba (QS an-Nisaa’4:160161); 10
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut Allah berfirman dalam surah Ali Imran : 130. Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah : 278-279. Sesuai dalam Al Qur’an, apabila masyarakat dalam kehidupannya telah sesuai dengan syariah, maka akan memperoleh ridho Allah SWT dan kemuliaan, untuk mencapai masyarakat yang baldathun thayyibatun warabbun ghafur. Namun sebaliknya apabila manusia menentang syariah-Nya, maka bencana dan murka Allah akan menimpa manusia (QS Al Maidah 5:49-50): Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin. Artinya dalam berkehidupan bernegara harus berhukum pada hukum Allah sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur’an dan as Sunah. Bila berhukum atau mengikuti aturan di luar itu, maka manusia akan celaka. Ketentuan ini sebagaimana peringatan Allah SWT kepada kaum Saba' agar mengikuti perintah Allah agar dapat membentuk negari yang baik karena Allah Maha Pengampun, namun mereka menolaknya, maka Allah mendatangkan azab bagi mereka (QS As Saba' 34:15-16). Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) 11
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". Tetapi mereka berpaling, Maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Selain Al Quran sebagai sumber ilmu, manusia diperintahkan Allah berhukum berdasarkan hukum yang ditetapkan Allah, karena sesungguhnya manusia yang berhukum kepada selain hukum Allah termasuk sebagai orang-orang kafir, sebagaimana dimaksudkan dalam firman Allah SWT (Al Qur’an surat Al Maidah 5:44): Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orangorang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orangorang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. B. Undang-Undang Dasar 1945 Dalam pelaksanaan syariah Islam, sesungguhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah sangat akomodatif. Hal ini sebagai pelaksanaan dari amanah UndangUndang Dasar 1945, yaitu pengakuan bahwasanya kemerdekaan Negara Republik Indonesia adalah merupakan rahmat dari Allah SWT, sebagaimana tercantum di dalam Alinia ke 3 pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kalimat tersebut bukan saja menegaskan apa yang menjadi motivasi nyata dan materiil bangsa Indonesia, untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi keyakinan motivasi spiritualnya, bahwa maksud dan tindakan menyatakan kemerdekaan itu diberkati oleh Allah Yang Maha Kuasa. Hal tersebut berarti bahwa bangsa Indonesia 12
mendambakan kebidupan yang berkeseimbangan material dan spiritual serta keseimbangan kebidupan
di
dunia
dan
di
akhirat.
Alinea ini memuat motivasi spiritual yang luhur dan mengilhami Proklamasi Kemerdekaan (sejak dari Piagam Jakarta) serta menunjukkan pula ketaqwaan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat ridho-Nyalah bangsa Indonesia berhasil dalam perjuangan mencapai kemerdekaannya, dan mendirikan negara yang berwawasan kebangsaan. Nilai luhur bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius, bangsa yang beragama berkeyakinan kepada Allah Swt ditetapkan lebih lanjut sebagai hak kebebasan dalam melaksanakan ibadah agamanya. Hal ini diatur dalam Bab XI tentang Agama. Pada Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untu memeluk agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Dengan demikian, Negara harus menjamin pelaksanaan ekonomi syariah yang berdasarkan ajaran Allah SWT dan Rasullulah SAW. Dalam pelaksanaan sistem perekonomian untuk mencapai cita-cita bangsa yaitu kesejahteraan sosial, maka system perokonomian Negara diatur dalam Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial. Pada Pasal 33 ayat (1) dinyatakan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; dan lebih lanjut dalam ayat (2) dinyatakan Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikusasi oleh Negara; sedangkan ayat (3) mengatur bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. C. UU PERBANKAN ISLAM, PERATURAN PEMERINTAH, PERATURAN MENTERI Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka secara legal formal operasional perbankan syariah di Indonesia sudah sangat kuat. Berdasarkan Undang-undang tersebut, perbankan Syariah telah memiliki legitimasi yuridis bukan hanya memiliki kemungkinan untuk tumbuh dan kembang, melainkan juga dapat memacu perkembangan lembaga syariah non-bank serta lembaga keuangan nonsyariah. Apabila semula menurut Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, bank konvensional tidak boleh memiliki Islamic window dalam melakukan kegiatan usahanya, maka dengan dirubahnya undang-undang tersebut menjadi Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 dan diperkuat lagi dengan disahkannya Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 13
serta Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, maka bank konvensional di Indonesia dapat membuka Islamic window, disamping kegiatannya yang sudah lazim dilakukan dalam memberikan jasa-jasa perbankan dengan sistem konvensional, juga bisa menawarkan perbankan syariah. Mengingat semangat yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 itu, yaitu semangat untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya jasa-jasa perbankan syariah sebagai alternatif pembiayaan yang dapat diberikan oleh pasar keuangan di Indonesia, maka dunia perbankan Indonesia dan masyarakat pengguna jasa perbankan perlu memperoleh sosialisasi yang benar mengenai apa dan bagaimana bank syariah atau bank yang melakukan kegiatannya berdasarkan prinsip syariah tersebut. Disamping itu, perlu diberikan pemahaman mengenai kedudukan perbankan syariah dalam tata hukum perbankan Indonesia. Hal lain yang harus disampaikan pada saat sosialisasi adalah bahwa bank yang melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah berlaku pula prudential standards atau rambu-rambu kesehatan bagi perbankan sebagaimana bank konvensional yang ditentukan oleh undangundang perbankan dan ketentuan-ketentuan Bank Indonesia. Pada dasarnya bank syariah dan konvensional adalah sama-sama lembaga keuangan yang menjalankan aktivitas bisnis dan mengedepankan keuntungan. Namun dalam tataran filosofis dan aplikasi, secara filosofis dasarnya kedua bentuk sistem keuangan ini mempunyai perbedaan yang sangat signifikan baik dari dalam hal semangat dasar, landasan operasional sampai pada produk yang ditawarkan. Pada tataran UMKM, masyarakat membutuhkan lembaga keuangan syariah yang dapat menjangkau mereka. Sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan, dikenal Baitul Wat Tamwil atau BMT. BMT dibentuk mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Perkoperasian. Selain peraturan tentang koperasi dengan segala bentuk usahanya, BMT diatur secara khusus diatur berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah yang telah direvisi melalui Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 35.2 /Per/M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi (UJKS). Dengan aturan regulasi Menteri ini, segala sesuatu yang terkait dengan pendirian dan pengawasan BMT berada di bawah Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
14
Namun dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), maka LKM dan juga BMT berada dibawah binaan dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan Koperasi dan Kementerian Dalam Negeri.
III. PERAN NEGARA DALAM IMPLEMENTASI EKONOMI ISLAM A. TUGAS DAN FUNGSI NEGARA Peran Negara Menurut Konstitusi Indonesia Negara adalah salah satu dari konsep utama dalam ilmu politik, disamping konsep kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan (policy) serta distribusi (Budiardjo. 1978). Unsur-unsur negara yang paling penting yang dapat membedakan dengan organisasi lainnya adalah luas dan besarnya kekuasaan serta kedaulatan dan hak istimewa negara dalam memaksa segala macam institusi untuk tunduk kepadanya dengan hegemoni yang dimilikinya. Apalagi dalam penerapan sistem sosialis tradisional negara dapat memonopoli serta dapat merampas hakhak rakyat baik secara pribadi, sosial dan ekonomi maupun substansi seperti cara berpikir, berbicara dan bertingkah laku. Peranan negara sesuai dengan fungsi institusi politik serta ditentukan oleh corak sistem politiknya. Menurut Adam Smith, tugas negara adalah melindungi masyarakat dari kekerasan institusi manapun, ketidakadilan masyarakat lain dan menjaga pekerjaan masyarakat (Stepan, 1978). Fungsi penting negara lainnya adalah keamanan luar negeri, ketertiban dalam negeri, keadilan, kesejahteraan umum dan kebebasan (Budiardo, 1978). Untuk itu, negara harus memiliki sarana dan perangkat untuk tercapainya fungsi tersebut, yaitu kekuatan polisi dan militer, peradilan yang independen, pegawai negeri yang taat kepada negara serta administrasi keuangan yang jujur dan monopoli keuangan (Bonne, 1973). Dari berbagai perspektif fungsi negara, yang terlihat lebih dominan adalah peran negara di bidang ekonomi berupa kepemilikan masyarakat terhadap kapital produksi (state owned enterprise). Beberapa fungsi negara yang berkaitan dengan ekonomi, antara lain adalah menjamin hak memiliki, liberalisasi ekonomi, pengaturan siklus bisnis, perencanaan ekonomi, pemberian input tenaga kerja, tanah, modal, teknologi, infrastruktur ekonomi dan input manufaktur, campur tangan sensus sosial dan mengelola sistem ekonomi (Rusli, 1995). Sekalipun banyak pemikir yang mempunyai pandangan peranan negara dalam ekonomi dominan, namun pemikir lain seperti Evans membantah ”hipotesis” negara merupakan ”aktor 15
ekonomi” yang sudah ditinggalkan, karena aktor lintas bangsa swasta lebih berkembang, sehingga aparatur negara menjadi lemah (Evans, 1986). Peran Negara di Indonesia sudah sangat jelas sebagaimana amanat Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan dengan jelas tentang peranan negara pada alinia ketiga dan keempat. Permasalahnnya adalah bagaimana negara memainkan perannya yang telah digariskan dalam UUD 1945 tersebut. Berdasarkan aturan dan konstitusi dalam pasal-pasal UUD 1945 terdapat ketentuan tentang “bentuk dan kedaulatan” yang dinyatakan dalam Bab I UUD 1945, yaitu “Pasal 1 ayat (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Sebagai bentuk negara kesatuan, maka peran negara sangat kuat terhadap seluruh bangsa dan tanah air negara Indonesia. Bagaimana bentuk pelaksanaannya terlihat dari pernyataan “…yang berbentuk republik…...” yang menunjukkan bahwa bentuk pemerintahan negara adalah ”republik” dimana ciri utamanya adalah kepala negara adalah Presiden. Dengan demikian tinggi atau rendahnya, kuat atau lemahnya peranan negara sangat ditentukan oleh kekuasaan yang dimainkan oleh Presiden. Khususnya kekuasaan yang ditujukan kepada fungsi dan peranan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 di atas. “Pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dilaksanakan berdasarkan UndangUndang Dasar”. Ayat ini menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sistem pemerintahan yang digunakan adalah demokrasi. Sistem presidensial dalam UUD 1945 mengacu kepada kedudukan dan peran sentral dari presiden dalam penyelenggaraan negara. Presiden memimpin administrasi negara, mengendalikan pemerintahan sebagai pemimpin tertinggi lembaga eksekutif dan juga sebagai kepala negara. Ketika Presiden secara sah memenangi pemilu, dia memperoleh mandat langsung dari rakyat dan menjadi pemimpin administrasi Negara. Sebagai kepala negara, Presiden secara moral dan hukum menampilkan semua gerak dan kegiatan negara secara nyata. Menjaga keharmonisan dan keserasian pelaksanaan fungsi masingmasing institusi yang ada dalam negara merupakan peran kepala negara (Presiden).
C. PERAN NEGARA DALAM PERSEPSI ISLAM Teori kesejahteraan dalam ekonomi Islam yang berporos pada al-falah (kesejahteraan material/duniawi) dan al-ashalah (kesejahteraan spiritual/ukhrowi) sejalan dengan teori kesejahteraan dalam ilmu hukum sebagaimana terkandung dalam UUD 1945. Teori kesejahteraan dalam UUD 1945 sesuai dengan teori tujuan mendirikan negara yang 16
dikemukakan pemikir Islam al-Mawardi, yakni liharasat aldiin wa al umur al dynyawiyyah untuk memelihara agama dan kehidupan di dunia. Menurut ilmu ekonomi Islam, negara mempunyai peran penting dalam perekonomian. Para ulama dan pakar ekonomi Islam sepanjang sejarah telah membahas peran penting negara dalam perekonomian, Menurut para ulama, dalam ekonomi Islam, negara memiliki kekuasaan yang paling luas untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, dengan syarat bahwa tugas itu dilaksanakan dengan cara demokratis dan adil, dimana segala keputusan diambil sesudah bermusyawarah secukupnya dengan wakil-wakil rakyat yang sebenarnya. Meskipun Islam memberikan peran kepada negara secara luas, hal itu tidak berarti bahwa konsep ekonomi Islam mengabaikan kemerdekaan individu. Dalam politik ekonomi Islam, negara bertugas dan bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dalam ekonomi, mencegah terjadinya setiap kezhaliman serta menindak para pelanggar hukum di bidang ekonomi. Usaha mewujudkan itu, dapat dilakukan dengan kekuatan aparat pemerintah (tangan besi), apabila kondisi membutuhkannya sebagaimana yang dijabarkan di atas berdasarkan ayat Alquran Al-Hadiid ayat 25 tersebut di atas. Dalam pembahasannya, mengenai peran negara dalam ekonomi, Muhammad Al Mubarak, dalam buku Nizam al-Islam, menyatakan bahwa negara merupakan salah satu dari tiga sokoguru sistem ekonomi Islam bersama-sama dengan iman (moral) dan prinsip-prinsip organisasi ekonomi. Fungsi negara adalah untuk menegakkan keadilan ekonomi, pasar dan menjamin terpenuhinya kebutuhan dengan mengatur fasilitas–fasilitas umum dan sistem jaminan sosial. Aswaf Ali, dalam disertasi doktornya, Political Economy of the Islamic State, menyimpulkan bahwa filsafat kemasyarakatan Islam menggambarkan suatu masyarakat ekonomi yang didasarkan pada peranan negara yang luas di dalam bidang perekonomian, perdagangan dan keuangan. Sementara itu, Dr. Fazlur Rahman mengatakan bahwa dalam kepentingan dasar dari keadilan sosial ekonomi, negara harus mencampuri pribadi warga negara, sejauh keadilan sosial ekonomi menuntutnya. Prof. Dr. M. Umer Chapra, juga berpandangan bahwa peranan ekonomi yang aktif oleh negara merupakan segi yang tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi Islam. Selanjutnya Chapra menyatakan bahwa penyediaan modal untuk kepentingan sosial serta 17
penataan jaminan sosial merupakan kewajiban penting negara. Negara juga bertanggung jawab untuk menciptakan kemantapan (stabilitas) nilai mata uang, selain usaha penghapusan kemiskinan dan penciptaan kondisi yang sehat untuk pemberian kesempatan kerja yang penuh (full employment) serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pemerintah dalam menegakan aturan dapat melalui paksaan. Diantara tindakan paksaan yang dibolehkan, guna melindungi masyarakat umum adalah pembatasanpembatasan kebebasan pribadi dalam bertindak, seperti pengaturan kegiatan bisnis, penentuan harga barang-barang tertentu, perpajakan, pajak progressif, nasionalisasi, pembatasan pemilikan, penetapan denda-denda keuangan. Demikian pula isi Undang-undang yang berkaitan dengan monopoli, hak-hak konsumen, dan hak cipta. Untuk pelaksanaan tujuan ini, merupakan kewajiban negara untuk menyediakan sumber-sumber daya, khususnya sumber-sumber yang langka, atau intervensi pasar ketika kekuatan pasar berjalan tak terkendali. Sementara itu menurut Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ashshiddiqi, peranan negara mencakup empat macam. 1. Menjamin tegaknya etika ekonomi dan bisnis Islam dari setiap individu melalui pendidikan, dan bila perlu melalui paksaan. 2. Menciptakan iklim yang sehat dalam mekanisme pasar. 3. Mengambil langkah-langkah positif di bidang produksi dan pembentukan modal, guna mempercepat pertumbuhan dan menjamin keadilan sosial. 4. Perbaikan penyediaan sumber-sumber daya dan distribusi pendapatan yang adil, baik dengan bimbingan, pengaturan, maupun campur tangan langsung dalam proses penyediaan sumber daya itu dan distribusi pendapatan.
Sejalan dengan uraian di atas dan hukum Islam sebagai sub sistem hukum nasional, maka strategi dan kebijakan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera serta untuk memulihkan sektor ekonomi, perlu disertai dengan upaya pengelolaan keuangan secara optimal melalui peningkatan efisiensi guna menjalankan prinsip-prinsip syariah. Para penguasa pada periode Islam yang pertama sangat menyadari tanggung jawab mereka selaku Kepala Negara terhadap perekonomian, terutama terhadap pemenuhan
18
kebutuhan dasar seluruh warga negara. Keempat khalifah pertama yang berkuasa, memerintah negara Islam setelah wafatnya Nabi SAW, telah menganggap pemenuhan kebutuhan dasar, sebagai salah satu tujuan dasar dari kebajikan negara. Dalam periode Abu Bakar (Khalifah pertama), ada segolongan penduduk yang enggan membayar zakat. Penolakan membayar zakat dianggap sebagai penentangan terhadap negara, sehingga tindakan bersenjata dilakukan untuk memaksa mereka membayar zakat. Khalifah kedua, Umar, juga sangat menyadari tanggung jawab ini, sehingga beliau menyampaikan pengumuman yang sangat monumental, “Jika seekor unta mati tanpa perawatan di tepi Sungai Eufrat, saya takut Allah akan meminta pertanggungjawaban saya terhadap hal itu di akhirat”. Pernyataan ini mengandung makna yang dalam, betapa seorang penguasa memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap rakyatnya. Jangankan manusia yang tidak bisa makan karena busung lapar, misalnya, seekor hewan saja yang mati karena kelalaian penguasa, menjadi tanggung jawab penguasa. Catatan sejarah juga menunjukkan bahwa ada beberapa contoh pada periode ini, dimana pada daerah-daerah Daulah Islamiyah, tidak ditemukan seorangpun warga negara yang fakir miskin, karena mendapat perhatian serius dari negara. Para ahli fiqh Islam telah menulis secara mendalam mengenai prinsip pemenuhan kebutuhan. Mereka semua setuju bahwa secara umum, pemenuhan kebutuhan dasar merupakan kewajiban negara dan masyarakat, sehingga tak seorangpun dijumpai yang tak bisa memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sehubungan dengan itulah, Dr. Mustaq Ahamd, dalam buku Business Ethics in Islam, menulis, “Setiap individu bisa menuntut hak dari masyarakat (negara) dimana ia hidup untuk memperoleh pekerjaan. Jadi, tugas utama pemerintah adalah menyediakan lapangan kerja bagi setiap orang yang mampu bekerja dan orang yang mau untuk bekerja. Kemudian, negara juga hendaknya mengatur untuk memberikan semua kemudahan dan bantuan bagi para pekerja yang ditimpa bencana serta memberikan kepada mereka sebuah kekuatan tawar (barganing power), jika tidak demikian, dirinya terpaksa untuk menjual tenaganya dengan harga yang tidak wajar. Negara dalam pandangan Islam, berperan menyediakan kesempatan pelatihan dan menciptakan peluang pekerjaan. Negara membuat program membantu pengangguran. Negara berperan memberdayakan orang miskin, anak yatim, janda, manula, orang cacat dan seluruh rakyat yang tak memiliki kemampuan untuk memenuhi keperluannya sendiri. 19
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang diberikan Allah amanah menjadi penguasa untuk mengurus urusan kaum muslimin, namun ia acuh tak acuh terhadap kebutuhan dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak memperdulikan kebutuhannya”. Peran Negara sebagai Pengawas Dalam kehidupan ekonomi, Islam juga menekankan implementasi amar ma’ruf nahi munkar. Tugas ini, menurut Mustaq Ahmad, hendaknya dilakukan aparat pemerintah. Rasulullah selalu melakukan pengawasan dan investigasi terhadap aktivitas yang dilakukan oleh para Gubernur dan pejabat-pejabat yang lain. Jika dia menemukan penyimpangan secara nyata, maka ia menggantinya dengan orang yang lebih baik. Rasul
juga
selalu
mengadakan
pengawasan
terhadap
orang-orang
yang
mengumpulkan zakat (amil zakat) dana dia selalu mengecek jumlah zakat yang terkumpul. Dengan adanya perintah Al-Qur’an dan praktek yang dijalankan oleh Rasulullah maka jelaslah bahwasanya sebuah negara dalam Islam terikat kewajiban untuk menjalankan dan mempraktekkan institusi hisbah ini. Penentuan orang-orang yang melakukakan hisbah, menurut Nizham Al-Muluk dilakukan oleh kepala negara. Kewajiban seorang muhtasib adalah untuk mengecek dan memeriksa skala dan harga barang dan untuk melihat bisnis dan perdagangan apakah telah dilakukan dengan cara-cara yang benar ataupun tidak. Sejarah memaparkan satu bukti yang sangat jelas bahwasanya untuk melakukan pengawasan yang ketat ini negara Islam yang ada selalu memperhatikan institusi hisbah. Adalah tugas negara untuk menerapkan sistem hisbah, yaitu pengecekan langsung atas ukuran dan berat, kendali mutu, dan standarisasi. Juga tugas negara untuk melarang praktek spekulasi dan monopoli. Cara yang terbaik adalah dengan menyediakan barang murah di pasar, seperti yang pernah dilakukan Umar bin Khattab. Dengan cara demikian, harga dapat kembali normal. Dalam hadits lain Rasul SAW bersabda “Penguasa negara pelindung bagi orang yang tak memiliki pelindung”. Khalifah itu berjalan ke pasar-pasar untuk mengontrol apakah takaran dan timbangan dalam bisnis telah dilakukan dengan sebaik-baiknya dan apakah ada orang yang melakukan kecurangan. Pada masa pemerintahan Bani Ummayyah, beberapa polisi pengaman diperintahkan untuk mengawasi masalah timbangan dan takaran itu.
20
Termasuk tugas negara dalam ekonomi adalah memerangai praktek riba yang berkembang di masyarakat. Penguasa bertanggung jawab untuk memberikan solusi mengatasi praktik-praktik
ribawi tersebut. Sayyid Qutub menyebutkan, bahwa pemerintah harus
memerangi orang yang melakukan riba, sekalipun mereka menyatakan diri sebagai Muslim, Sebagaimana Abu Bakar memerangi orang yang enggan membayar zakat, sekalipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan shalat. Negara juga bertanggung jawab untuk memberantas segala bentuk monopoli yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, mencegah penimpunan (spekulasi) dan pasar gelap, dan semua praktek-praktek jahat dalam bisnis. Dalam situasi yang sangat mendesak, misalnya kelangkaan bahan-bahan pokok, negara hendaknya mengambil inisiatif untuk mengatur pengiriman-pengiriman barang dan kebutuhan pokok rakyat sehingga harga lebih murah. Umar bin Khattab, mengambil inisiatif untuk melakukan intervensi pasar dengan cara mensupply gandum dari Mesir ketika terjadi kelaparan yang dahsyat di Mesir. Selanjutnya, negara atau pemerintah tidak boleh membiarkan tanah-tanah kosong terlantar dan uang negara bocor dan terboroskan tanpa diinvestasikan dalam perdagangan dan bisnis. Umar bin Khattab adalah khalifah yang sangat hati-hati dalam masalah ini. Dalam
sebuah
bukunya
yang berjudul
Arab
Administration, Dr.
Husain
mengatakan :“Sejak awal berdirinya negara Islam, perhatian yang sedemikian besar telah diberikan oleh pihak pemerintah untuk melihat kondisi dagangan dan para pedagang apakah dalam melakukan perdangan mereka telah menjalankan aturan seperti yang diajarkan Islam ataupun tidak. Dari semua khalifah Rasyidin, Saidina Ali adalah yang sangat konsern dalam masalah ini. Ia akan keliling ke pasar-pasar di Kufah, dengan membawa cimeti. Sebelumnya praktik ini banyak dilakukan oleh Umar bin Khattab”.
D. PERAN MAJELIS ULAMA INDONESIA Majelis Ulama Indonesia atau MUI adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia. Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
21
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala; 2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; 3. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; 4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik. Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu: 1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya); 2. Sebagai pemberi fatwa (mufti); 3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah); 4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid; 5. Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar. MUI adalah lembaga yang mandiri. Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam).
22
1. Dewan Syariah Nasional (DSN) Dewan syariah nasional (DSN) merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi, dan reksa dana. Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait dengan perekonomian dan syariah muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk bakti 4 tahun. DSN
merupakan
satu-satunya
badan
yang
mempunyai
kewenangan
yang
mengeluarkan fatwa dan jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah; serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Disamping itu DSN juga mempunyai kewenangan untuk: a. Memberikan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai anggota DPS pada suatu lembaga keuangan syariah; b. Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum fihak terkait; c. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan BAPEPAM; d. Memberi
peringatan
kepada
lembaga
keuangan
syariah
untuk
menghentikan
penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN; e. Mengusulkan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan. Keberadaan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI belum diatur secara khusus dalam sebuah undang-undang. Dasar hukum yang mengikat bagi DSN adalah Peraturan Bank Indonesia nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dalam pengaturan ini hanya dijelaskan pengertian DSN, tidak diatur hal-hal lainnya. Aturan lain adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Menurut PBI nomor 6/24/PBI/2004. Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan
23
untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dewan Syariah Nasional berfungsi memberikan kejelasan atas kinerja lembaga keuangan syariah agar betul-betul berjalan sesuai dengan prinsip syariah. Lahirnya DSN sebagai wujud dan antisipasi atas kekhawatiran munculnya perbedaan fatwa di kalangan dewan pengawas syariah. Karena bersifat fiqhiyah, kemungkinan tejadi perbedaan pendapat fatwa yang besar. Untuk itu dengan dibentuknya, sebuah dewan pemberi fatwa ekonomi Islam yang berlaku secara nasional diharapkan tidak terjadi perbedaan istinbat hukum. Fatwa DSN menjadi pegangan bagi DSN untuk mengawasi apakah lembaga keuangan syariah menjalankan prinsip syariah dengan benar. DSN adalah salah satu lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1998 yang kemudian dikukuhkan oleh SK Dewan Pimpinan MUI nomor Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999. Selain itu kehadiran DSN pun diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi dan keuangan. Oleh karena itu DSN akan senantiasa dan berperan secara proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidang ekonomi dan keuangan DSN memiliki metode tersendiri dalam menjamin kesyariahan ekonomi Islam. Karakteristik utama dari metode itu adalah: Pertama, Jika ada suatu teks di dalam Al Quran atau sunnah yang tampak relevan dengan problem yang dihadapi, Dewan Syariah tidak akan mencari di luar teks tersebut. Jika ada kesepakatan di kalangan fuqaha atas suatu masalah, Dewan Syariah mengikuti apa yang sudah menjadi kesepakatan itu; Kedua, Menguji masalah yang sedang berkembang di masyarakat, untuk dilihat apakah masalah itu dapat dimasukkan ke dalam salah satu kontrak atau masalah yang diharamkan atau dihalalkan dalam fiqh. Dalam perbandingan antara masalah yang dihadapi dengan yang ada dalam fiqh ini, fokus Dewan Syariah umumnya adalah definisi-legal fiqh. Jika masalah itu akan diselesaikan dengan hukum yang ada dalam fiqh. 2. Dewan Pengawas Syariah Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah badan independen pada bank. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar dibidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan umum perbankan. Persyaratan anggota DPS diatur dan ditetapkan oleh DSN.
24
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. DPS wajib mengikuti fatwa DSN yang merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa mengenai kesesuaian produk dan jasa bank dengan ketentuan dan prinsip syariah. Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dari prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN. Selain itu DPS juga mempunyai fungsi: a. Sebagai penasehat dan pemberi syaran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah; b. Sebagai mediator antara bank dan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari bank yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN; c. Sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada bank. DPS wajib melaporkan kegiatan usaha serta perkembangan bank syariah yang diawasinya kepada DSN sekurangkurangnya satu kali dalam satu tahun. Dewan Pengawas Syariah diatur dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang mengakomodasikan DPS sebagai lembaga pengawas syariah terhadap bank yang menerapkan prinsip syariah. Pedoman dasar DSN (Bab II ayat 5) mengemukakan, Dewan Pengawas Syariah
adalah
badan
yang
ada
di
lembaga
keuangan
syariah
dan
bertugas
mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah Nasional di lembaga keuangan syariah. Sementara itu, pedoman rumah tangga DSN (pasal 3 ayat 8) menegaskan, untuk lebih mengefektifkan peran DSN pada lembaga keuangan syariah dibentuk Dewan Pengawas Syariah, disingkat DPS, sebagai perwakilan DSN pada lembaga keuangan syariah yang bersangkutan. DPS, sebagaimana diatur dalam PBI no. 6/24/PBI/2004 adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha LKS. D. PELAKSANAAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA Diterbitkannya Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah serta seluruh aturan operasional di bawahnya, maka secara legal Ekonomi Islam atau Ekonomi Syariah telah diterima dan dapat diterapkan secara resmi di Indonesia. Bahkan sebelumnya, di dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang mengakomodasikan Dewan Pengawas Syariah sebagai lembaga pengawas syariah terhadap bank yang menerapkan 25
prinsip syariah menunjukkan bahwa secara legal sistem ekonomi syariah sudah diakui dan dapat diterapkan di Indonesia sejak tahun 1998. Sesungguhnya pergerakan ekonomi Islam di Indonesia bukan hanya pada masa kini, namun sejak awal pertama Islam masuk ke Indonesia. Ketika Islam masuk ke Indonesia pertama kali, melalui jalur perdagangan oleh para pedagang muslim dari Gujarat, Persia, Yaman, Cina dan beberapa Negara lainnya. Kearifan ahlak dan santunnya tata dagang dan penyelesaian akad yang dilakukan para pedagang muslim memberikan referensi tersendiri bagi masyarakat pesisir kala itu. Keterpikatan awal tersebut menghantarkan ketertarikan tersendiri bagi masyarakat untuk lebih kenal dengan ajaran Islam. Masalah-masalah ekonomi sederhana yang terjadi di masyarakat pun secara alami memperoleh solusi bijak dari para pedagang muslim perantau maupun para ulama yang menyertainya. Perselisihan dagang, hak monopoli, kesantunan dagang, bagi waris bahkan hingga masalah pembagian harta kala terjadi perceraian semua diatur dalam Islam. Pada era modern ini, perkembangan sistem perekonomian Islam di Indonesia mulai marak sejak berdirinya Bank Muamalat sebagai pelopor bank yang menggunakan sistem syariah pada tahun 1991. Perkembangan terus hingga kini banyak bermunculan bank-bank syariah, baik yang murni menggunakan sistem tersebut maupun baru pada tahap membuka Unit Usaha Syariah (UUS) atau divisi usaha syariah. Pada awal tahun 1997, terjadi krisis ekonomi di Indonesia yang berdampak besar terhadap goncangan lembaga perbankan yang berakhir likuidasi pada sejumlah bank. Namun sebaliknya, Bank Islam atau Bank Syariah justru bertambah berkembang semakin pesat. Pada tahun 1998, sistem perbankan Islam dan gerakan ekonomi Islam di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit serta terus menghasilkan keuntungan. Sistem keuangan Islam telah menjadi salah satu segmen keuangan yang pertumbuhannya paling cepat, diperkirakan mencapai 20% mulai 2008 hingga 2012. Saat ini 26
ada US$600 miliar asset yang dikelola oleh perbankan Islam. Diperkirakan akan tumbuh mencapai satu triliyun dollar AS dalam beberapa tahun mendatang. Pertumbuhan yang pesat juga muncul dari segmen sistem keuangan Islam, misalnya Islamic mutual fund diperkirakan telah mencapai US $ 300 milliar dan diperkirakan akan mencapai tiga kali lipat pada akhir decade ini. Tahun 2007 pertumbuhan luar biasa terjadi pada pasar sukuk dunia yang tumbuh lebih dari 70%. Sukuk baru yang diluncurkan telah mencapai rekor yang tinggi sekitar 47 miliar dollar AS dan pasar sukuk dunia telah melebihi 100 miliar dollar AS. Perkembangan kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah di Indonesia berdasarkan Laporan Tahunan 2011 BAPEPAM & LK, menunjukkan tren yang positif. Sampai dengan Desember 2011, total aktiva (total aset) menunjukkan peningkatan yang sangat besar yaitu menjadi Rp4.295,09 miliar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu Rp556,05 miliar pada tahun 2008, Rp639,11 miliar pada tahun 2009 dan Rp2.364,65 miliar pada tahun 2010. Jumlah perusahaan keuangan berprinsip Syariah juga berkembang dari tahun 2008 s.d. 2011 berturut-turut sebagai berikut 4 perusahaan, 7, 11 dan pada tahun 2011 menjadi 16 perusahaan. Data selengkapnya perkembangan kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah diuraikan pada tabel berikut: Tabel. Perkembangan Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah Periode Desember 2008 s.d. Desember 2011 (dalam miliar rupiah) URAIAN 2008 2009 2010 2011 Total Aktiva (total aset)
556,05
639,11
2.364,65 4.249,05
Kegiatan Pembiayaan Syariah
490,23
540,77
2.148,76 3.944,48
396,39
427,9
2.014,92
3.726,04
6,85
7,29
7,29
3,1
86,99
105,59
114,94
206,48
283,9
341,88
a. Pendanaan Mudharabah
0
39,33
399,33
689,69
b. Pendanaan Musyarakah
46,71
55,3
322,15
763,71
228,62
245,33
1.089,29
2.021,10
8,57
1,92
110,57
173,75
0
0
a. Piutang Murabahah b. Piutang Hiwalah c. Aktiva Ijarah Muntahiyah Bittamlik
Sumber Pendanaan
c. Fasilitas Pendanaan Murabahah d. Pendanaan lain
Piutang Pihak Ketiga
1.815,50 3.495,87
106,4 1.820,41
27
Chanelling
0
0
32,28
Joint Financing
0
0
74,12 1.155,06
Jumlah Perusahaan
4
7
11
665,34
16
Data dari OJK berikut ini menunjukkan perkembangan sistem keuangan syariah di Indonesia lima tahun terakhir sejak tahun 2011 s.d. 2015
28
Perkembangan saham syariah meningkat cukup tajam pada periode tahun 2011 2012. Namun secara umum dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan positif dari saham syariah.
Sistem ekonomi dan keuangan syariah bukan hanya bergerak pada tingkat UMKM saja, namun berperan positif dalam pasar uang di dunia usaha
29
Catatan OJK tetang peluang industri dan keuangan syariah di Indonesia antara lain sangat dibutuhkan adanya pelatihan keuangan syariah agar lebih memasyarakat. Peningkatan jumlah penduduk kelas menengah terutama dari kelompok Muslim merupakan pangsa pasar potensial dalam pemasaran produk-produk keuangan syariah.
30
IV. PENUTUP 1. Peran Negara sangat signifikan dalam implementasi ekonomi dan keuangan syariah; 2. Negara berperan dalam penyusunan regulasi, sosialisasi, advokasi, komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat luas dalam pelaksanaan ekonomi dan keuangan syariah; 3. Negara berperan dalam pengawasan dan tindakan pemaksaan apabila diperlukan untuk menegakkan aturan secara adil sesuai peraturan perundang-undangan; 4. Bahwa sebagian prinsip-prinsip ekonomi syariah yang telah diatur dalam Al Quran dan Hadits telah ditransformasi kedalam undang-undang Perbankan Syariah. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai capital produktive untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Islam menjamin kepemilikan masyarakat yang penggunanya direncanakan untuk kepentingan orang banyak; 5. Orang muslim harus takut kepada Allah dan hari kiamat, oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan. Seorang muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu (nisab) diwajibkan membayar zakat. Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah maupun institusi lain; 6. Sebagian prinsip-prinsip ekonomi syariah dalam Al-Quran dan Hadits telah diimplementasikan dalam perbankan. Implementasi tersebut baru sebagian karena bank syariah dalam operasionalnya masih dibatasi oleh peraturan Bank Indonesia dan peraturan / perundang-undangan yang berlaku, misalnya prinsip mudharabah, prinsip Mudharabah (mark-up), prinsip Bai’ Salam, prinsip Wadi’ah, prinsip Musyarakah, prinsip sewa (Ijarah); 7. Realitas di lapangan, bahwa perbankan syariah di Indonesia belum 100% menerapkan sistem perbankan berbasis hukum Islam secara murni karena masih dalam taraf awal berkembang; 8. Bank syariah dalam pelaksanaan pengoprasiannya tidak semata-mata berdasarkan pada prinsip bagi hasil, karena lain produk jasa lain pula sistemnya hal ini sesuai dengan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
31
9. Perlu dilakukan kajian tentang prinsip-prinsip syariah, baik yang ada dalam Undangundang Nomor 21 tahun 2008 maupun yang ada dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hal ini dimaksudkan agar dalam penerapan prinsip-prinsip syariah pada perbankan syariah bisa sesuai dengan yang dimaksud dalam Al Quran dan Hadis Nabi. Oleh karenanya, perlu peran serta para akademisi untuk mengkaji Undang-undang Perbankan Syariah, agar perbankan syariah Indonesia kedepan sesuai dengan Al Quran dan Hadits Nabi secara kaffah; 10. Untuk lebih meningkatkan peran perbankan syariah dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, sekaligus memberdayakan peran masyarakat dalam pembangunan ekonomi syariah, perlu adanya upaya sosialisasi keberadaan perbankan syariah disetiap lapisan masyarakat baik melalui seminar maupun penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan secara berkala; 11. Bagi pemerintah sebaiknya terus melakukan regulasi yang memungkinkan perbankan syariah bisa tumbuh dan berkembang tanpa sedikitpun yang menyimpang dari ketentuan Al Quran dan Hadis Nabi; 12. Bila Perbankan Syariah ingin tumbuh dan berkembang dengan baik, maka kepatuhan terhadap undang-undang dan fatwa Dewan Syariah Nasional, khususnya yang berkaitan dengan perbankan syariah adalah salah satu kunci keberhasilan usaha berikutnya; 13. Kajian dan pembelajaran sangat diperlukan untuk mendalami dan mengaplikasikan amanah Allah SWT untuk berkehidupan dan bermuamalah sesuai syariah, untuk kebahagiaan dunia akherat; 14. Sosialisasi, pelatihan, seminar, lokakarya serta diskusi pelaksaan muamalah dan ekonomi keuangan syariah untuk meningkatkan kualitas dan kapabilitas Sumber Daya Insansi.
32
DAFTAR PUSTAKA 1. Al Qur’an al-Karim 2. Agustianto. (2013). Peranan Negara Dalam Perekonomian (Perspektif Islam). Posting an e-Artikel, Islamic Economics. 3. Antonio, Muhammad Syafei. (2007). Bank Syari’ah dan Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani. 4. Arifin, Zainul (2006). Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta. Pustaka Alfabet. 5. Aziz, Amin. (2004). Pedoman Pendirian BMT. Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK). Jakarta. 6. Chapra, M. Umer. (1999). Islam dan Tantangan Ekonomi. Surabaya. Risalah Gusti. 7. Choudhury, Masudul Alam dan Harahap, Sofyan, S. (2009). Complementing Community, Business and Microenterprise by the Islamic Epistemological Methodology: A Case Study of Indonesia. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, Vol. 2 Iss: 2. pp. 139 – 159. 8. Choudhury, Masudul Alam dan Hossain, Mohammad Shahadat, dan Solaiman, Mohammad. (2008). A Well-Being Model of Small-Scale Microenterprise Development to Alleviate Poverty: a Case Study of Bangladesh Village. International Journal of Sociology and Social Policy, Vol. 28. Iss: 11 pp. 485 – 501. 9. Hadah,
Muliaman.
D
(2015),
Industri
Pasar
Modal
Syariah:
Peluang, Tantangan dan Sasaran Strategis Pengembangan Industri Pasar Modal Syariah. IAEI Seminar International: Building Strategic Alliance in Islamic Economics, Finance and Business Policies 30 Aprl 2015. Jakarta. 10. Hendrarto, Conrad. (2008). Ekonomi Syariah Menjawab Tantangan dan Peluang Pembangunan Ekonomi Indonesia. Makalah dalam Tugas Kuliah Doktoral Program IEF Trisakti Jakarta. 11. Hendrarto, Conrad. (2014). Pengaruh Tipologi Anggota BMT Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja di Jakarta. Disertasi Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta. 12. Huda, Nurul dan Nasution, Mustafa Edwin. (2009). Current Issues Lembaga Keuangan Syariah. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
33
13. Mujahidin, Akhmad. (2013). Ekonomi Islam.Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar. Edisi Revisi. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. 14. Rahman, Abdul Rahim Abdul. (2010). Islamic Microfinance: an Ethical Alternative to Poverty Alleviation. Humanomics, Vol. 26. Iss: 4 pp. 284 – 295. 15. Rahman, Afzalur. (1995). Doktrin Ekonomi Islam. Seri Ekonomi Islam, No.3. Yogyakarta. PT. Dana Bhakti Wakaf. 16. Suhendi, Hendi. (2007). Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers. 17. Suparno, Erman. (2008). Paradigma Baru Penyediaan Tenaga Kerja yang didasarkan pada Kebijakan Sistem Pendidikan Nasional: Sebuah Analisis Kebijakan. Disertasi Doktor Manajemen Pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Unpublished. 18. Sugianto (2015). Strategy for Development of the Sharia Capital Market in Indonesia. IAEI Seminar International: Building Strategic Alliance in Islamic Economics, Finance and Business Policies 30 Aprl 2015. Jakarta 19. Sutrisno (2010). Penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perbankan Syariah di Indonesia. 20. Syarbaini. Syahrial. (2010). Peranan Negara Dalam Undang _undang Dasar 1945. Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta. 21. Thalib, Muhammad. (2011). Al Qur'anul Karim Tarjamah Tafsiriyah. Yayasan Islam Ahlu Shuffah & Pusat Studi Islam An-Nabawi. Yogyakarta. 22. Warsito,
Ito.
(2015).
Indonesia
Sharia
Capital
Market
Recent Development. IAEI Seminar International: Building Strategic Alliance in Islamic Economics, Finance and Business Policies 30 Aprl 2015. Jakarta. 23. ---------. (1998). Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. 24. ---------. (2004). Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah. 25. ---------. (2008). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 34
26. ---------. (2011). Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2010. Direktorat Perbankan Syariah. Bank Indonesia. Jakarta. 27. ---------. (2013). Economy Watch Report 2013.
35
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Dr. Ir. Conrad Hendrarto, MSc
Tempat/Tgl Lahir : Lampung / 5 Maret 1960 Alamat
: Kementerian Desa, PDT & Transmigrasi Jl. TMP Kalibata No 17 Jakarta Selatan
No Hp
: 0816 96 2424
Alamat e-mail
:
[email protected]
Pekerjaan
: Direktur Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi – Ditjen PKP2Trans Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Pendidikan
: S1 – Mekanisasi Pertanian IPB S2 – Human
Settlement
Developments
–
Asian
Institute
of
Technology (AIT) Thailand – Bangkok Post Graduate Diploma – Rural Regional Development Planning & Management – Dortmund University Germany S3 - Ilmu Ekonomi (Program Studi Islamic Economics and Finance) Universitas Trisakti Jakarta Kegiatan Kemasyarakatan
Ketua Dewan Pembina Yayasan Forum Kedaulatan Pangan dan Lingkungan Indonesia
Ketua Yayasan Bina Usaha Umat
Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan Ikatan Ahli Ekonom Islam Indonesia; Sekretaris Babinrohis Kemenakertrans
36