EMBRYO RESCUE SECARA IN VITRO DAN PRODUKSI BIBIT AREN (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
MIRZA ARSIATY ARSYAD
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Embryo Rescue secara In Vitro dan Produksi Bibit Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2013 Mirza Arsiaty Arsyad NIM A253100061
RINGKASAN MIRZA ARSIATY ARSYAD. Embryo Rescue secara In Vitro dan Produksi Bibit Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.). Dibimbing oleh SUDARSONO, AGUS PURWITO dan DINY DINARTI. Aren merupakan tanaman asli kepulauan Indo-Melayu yang termasuk dalam famili Arecaceae (palmaceae). Aren memiliki peran penting sebagai tanaman penghasil bahan bakar nabati (BBN), sehingga dibutuhkan penelitian dan pengembangan dari tanaman ini. Penyediaan bahan tanam merupakan kendala utama dalam pengembangan budidaya dan pemuliaan tanaman aren. Permasalahan penyediaan bahan tanam (bibit aren) di Indonesia disebabkan oleh adanya dormansi benih dan penggunaan benih matang fisiologi sebagai bahan tanam. Teknik embryo rescue dapat dijadikan terobosan untuk memperoleh bibit aren dalam waktu relatif singkat. Tujuan dari penelitian ini adalah: mengevaluasi 1) pengaruh umur embrio zigotik dan efektifitas dua komposisi media dasar terhadap kemampuan berkecambah dan perkembangan embrio zigotik pada embryo rescue aren, 2) pengaruh pra-perlakuan dan penambahan ZPT (sitokinin), dan 3) pengaruh penambahan kombinasi ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin) terhadap pertumbuhan embrio zigotik secara in vitro dan produksi bibit aren. Percobaan pertama, embrio zigotik yang diisolasi dari buah muda dan tua aren dikulturkan dalam media Y3 atau WPM tanpa penambahan ZPT. Percobaan kedua sub-unit pertama, embrio zigotik muda dengan atau tanpa pra-perlakuan dikulturkan dalam media Y3 dengan penambahan sitokinin berupa air kelapa (100, 150 dan 200 ml/l) atau BAP (5 ppm). Percobaan kedua sub-unit kedua, penambahan NAA (1 atau 5 ppm), kinetin (5 ppm), BAP (5 ppm), kombinasi NAA (1 atau 5 ppm)+kinetin (1 atau 5 ppm), atau NAA (1 atau 5 ppm)+BAP (5 ppm) dalam media Y3 untuk regenerasi planlet. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa viabilitas dan perkecambahan embrio zigotik muda (92%) lebih baik dibandingkan embrio zigotik tua (72%). Di lain pihak, komposisi media dasar (Y3 atau WPM) tidak berpengaruh nyata terhadap perkecambahan embrio. Pada beberapa embrio zigotik yang dikulturkan memperlihatkan abnormalitas perkembangan haustorium dan apokol sebesar 32% dan 26%. Persentase planlet yang berasal dari embrio zigotik pada percobaan ini berkisar 6%-25%. Hasil dari percobaan kedua menunjukkan bahwa penambahan ZPT sitokinin (air kelapa atau BAP) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan embrio zigotik, sedangkan embrio zigotik muda dengan pra-perlakuan menunjukkan pembentukan tunas dan akar terbaik. Penambahan ZPT (dengan atau tanpa sitokinin) memberikan pengaruh positif pada panjang akar dari embrio zigotik. Penambahan kombinasi NAA (5 ppm)+BAP (5 ppm) menghasilkan jumlah planlet tertinggi. Planlet berhasil diregenerasi melalui embryo rescue dan dipindah ke tanah. Kata kunci : air kelapa, aren, auksin, embryo rescue dan sitokinin
SUMMARY MIRZA ARSIATY ARSYAD. Embryo Rescue through In Vitro Technique and Production of Sugar Palm (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) Seedlings. Supervised by SUDARSONO, AGUS PURWITO and DINY DINARTI. Sugar palm is a member of Arecaceae (palmaceae) originated from IndoMalayan archipelago. Sugar palm may have important position as biofuel producing crop. Hence, research and development of sugar palm need to be done. Availability of planting material is one of significant constraints to develop sugar palm for cultivation and breeding program. The main constraints of planting material (sugar palm seedlings) in Indonesia are the seed dormancy and the use of physiologically mature seed as planting material. Embryo rescue technique can be applied as a breakthrough to obtain sugar palm seedlings in a relatively short time. The objectives of the experiment were to evaluate: 1) the effect of zygotic embryo age and basal medium composition on germination and development of rescued zygotic embryo of sugar palm, 2) the effect of pre-treatment and cytokinins and 3) the effect of PGR combination (auxin with or without cytokinin) in vitro embryo culture and seedlings production of sugar palm. In exp. 1, zygotic embryos isolated from immature and mature sugar palm fruit were cultured on Y3 or WPM medium without of plant growth regulators. In exp. 2. sub-unit 1, immature zygotic embryos with or without pre-treatment were cultured onto Y3 medium containing cytokinin in the form of coconut water (100, 150 and 200 ml/l) or BAP (5 ppm). In exp. 2. sub-unit 2, addition of NAA (1 or 5 ppm), kinetin (5 ppm), BAP (5 ppm), a combination of NAA (1 or 5 ppm)+kinetin (5 ppm), or NAA (1 or 5 ppm)+BAP (5 ppm) in Y3 medium for plantlet regeneration. The result showed that the viability and germination of immature zygotic embryo (92%) was better than the mature one (72%). On the other hand, the composition of the basal medium (Y3 or WPM) did not significantly affect embryo germination. Some of the culture zygotic embryo developed abnormal development of haustorium and cotyledonary petiole, at 32% and 26%, respectively. The percentage of planlets from zygotic embryo in this experiment range from 6%-25%. The results showed that cytokinin (coconut water or BAP) did not affect growth of the rescued zygotic embryo, whereas immature embryo with pretreatment led to the highest shoot and root formations, respectively. On the other hand, addition of PGR (auxin with or without cytokinin) showed positive effects on length of root from the zygotic embryos. A combination of NAA (5 ppm)+BAP (5 ppm) gave the highest number planlets. The plantlet of sugar palm were successfully regenerated from rescued embryos and transferred into soil. Keywords : auxin, coconut water, cytokinin, embryo rescue and sugar palm
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EMBRYO RESCUE SECARA IN VITRO DAN PRODUKSI BIBIT AREN (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
MIRZA ARSIATY ARSYAD
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Dewi Sukma, SP. M.Si.
Judul Tesis : Embryo Rescue secara In Vitro dan Produksi Bibit Aren (Arenga pinnata (Wurrnb) Merr.) : Mirza Arsiaty Arsyad Nama : A253100061 NIM
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M .Sc.
Ketua
Dr. Ir. A
Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Trikoesoem~yas, M.Sc.
Tanggal Ujian: 25 Juli 2013
Tanggal Lu1us:
o4 OCT
2013
Judul Tesis : Embryo Rescue secara In Vitro dan Produksi Bibit Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) Nama : Mirza Arsiaty Arsyad NIM : A253100061
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc. Agr. Anggota
Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 25 Juli 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Bismillaahirrahmaanirrahiimi Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala pertolongan, berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul “Embryo Rescue secara In Vitro dan Produksi Bibit Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)” sebagai syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan jazakumullahu khairan katsira‟ kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, bimbingan dan doa selama kegiatan penelitian dan penulisan tesis, serta selama penulis menempuh masa studi di IPB: 1. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc, Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr dan Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si. selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, memberikan saran, bimbingan serta arahan kepada penulis dalam melakukan penelitian ini. 2. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. selaku Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman. 3. Dr. Dewi Sukma, SP. M.Si. selaku penguji pada ujian tesis. 4. Seluruh staf pengajar yang telah mencurahkan ilmunya selama menempuh pendidikan. 5. Ayahanda H. M. Arsyad B. dan ibunda Hj. Nurhayati Dunuyaali, terima kasih atas segala doa, bantuan moril dan kasih sayang yang diberikan. 6. Kepada seluruh keluarga besar H. Dunuyaali, terima kasih atas motivasi dan doanya. 7. Kepada sahabat-sahabatku yang telah bersama dari awal masa studi penulis, terima kasih atas kebersamaan, persahabatan, bantuan serta motivasi yang diberikan. 8. Kepada rekan-rekan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman dan Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB angkatan 2010, atas persahabatan, kebersamaan dan bantuannya. 9. Kepada semua pihak yang turut membantu dalam penelitian ini tetapi tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan kerja samanya. Penulis mendedikasikan tesis ini kepada orang tua tercinta Ayahanda H. M. Arsyad B. dan Ibunda Hj. Nurhayati Dunuyaali, serta tante tersayang Hj. Husnah Dunuyaali. Akhirnya dengan segenap kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil penelitian yang tertuang dalam tesis ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya. Bogor, Oktober 2013
Mirza Arsiaty Arsyad
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
xviii
DAFTAR GAMBAR
xix
DAFTAR LAMPIRAN
xx
GLOSARIUM
xxi
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
Alur Penelitian
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
5
Penyebaran dan Morfologi Aren
5
Potensi dan Eksplorasi Aren
9
Kultur Jaringan Palma
10
Kultur Embrio (Embryo Rescue)
11
Zat Pengatur Tumbuh
12
3 Umur Embrio dan Jenis Media Dasar Berpengaruh pada Keberhasilan Embryo Rescue Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) secara In Vitro
14
Abstrak
14
Pendahuluan
15
Bahan dan Metode
16
Hasil dan Pembahasan
18
Simpulan
28
Saran
28
4 Penambahan Zat Pengatur Tubuh dan Pra-Perlakuan Meningkatkan Keberhasilan Embryo Rescue Aren secara In Vitro
29
Abstrak
29
Pendahuluan
29
Bahan dan Metode
31
Hasil dan Pembahasan
33
Simpulan
46
Saran
46
5 PEMBAHASAN UMUM
47
6 SIMPULAN DAN SARAN
49
Simpulan
49
Saran
49
DAFTAR PUSTAKA
50
RIWAYAT HIDUP
61
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perbandingan produksi bio-etanol dari beberapa bahan baku
1
2.
Pengaruh umur embrio zigotik aren dan jenis media dasar terhadap persentase pembentukan apokol (%) pada 6 MST
21
3.
Uji Kruskal-Wallis bentuk dan warna apokol aren pada 6 MST
24
4.
Rekapitulasi persentase bentuk dan warna apokol (%) pada 6 MST
24
5.
Uji Kruskal-Wallis bentuk dan warna haustorium aren pada 6 MST
26
6.
Rekapitulasi persentase bentuk dan warna haustorium (%) pada 6 MST
26
7.
Persentase planlet aren (%) pada 24 MST
28
8.
Rekapitulasi interaksi penambahan sitokinin dan pra-perlakuan terhadap seluruh peubah pada 12 MST
39
Penambahan ZPT (sitokinin) dan pra-perlakuan terhadap Rata-rata panjang tunas dan akar aren pada 12 MST
39
Penambahan ZPT (sitokinin) dan pra-perlakuan terhadap rata-rata panjang tunas dan akar aren (cm) pada 12 MST
40
Penambahan ZPT (auksin dengan dan tanpa sitokinin) terhadap persentase apokol aren (%) pada 12 MST
41
Penambahan ZPT (auksin dengan dan tanpa sitokinin) terhadap persentase bertunas dan berakar aren (%) pada 12 MST
41
Penambahan ZPT (auksin dengan dan tanpa sitokinin) terhadap rata-rata panjang tunas dan akar aren (cm) pada 12 MST
42
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Planlet aren siap aklimatisasi dan transplanting (%) hasil dari percobaan penambahan sitokinin dan pra-perlakuan (32 MST)
45
Planlet aren siap aklimatisasi dan transplanting (%), hasil dari percobaan penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin) (32 MST)
46
DAFTAR GAMBAR Halaman Bagan alur penelitian embryo rescue secara in vitro dan produksi bibit aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
4
2.
Pohon aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
5
3.
Tandan bunga betina (atas) dan tandan bunga jantan (bawah)
7
4.
Irisan melintang buah aren (atas) dan biji aren (bawah)
8
5.
Tipe perkecambahan benih aren
9
6.
Sumber eksplan. Buah muda (a), buah tua (b), embrio dan endosperma (c), embrio muda (d), dan embrio tua (e)
16
Kecambah aren (kiri), haustorium (a), apokol (b). Embrio aren (kanan), dan bagian basal embrio (c)
19
Bentuk apokol, normal (a) dan abnormal (b). Warna apokol, putih (c), kuning kehijauan (d), cokelat muda dan putih (e) dan cokelat (f)
23
Bentuk haustorium, normal (a) dan abnormal (b). Warna haustorium (c-g), putih (c), kuning kehijauan (d), cokelat dan putih (e), cokelat muda (f) dan cokelat (g)
25
Planlet aren (24 MST) berasal dari embrio muda yang dikulturkan dalam media WPM
27
Planlet aren (kiri), pembentukan tunas tanpa akar (a). Kecambah aren (kanan), apokol (b), akar (c), dan pembengkakan pada apokol (d).
34
Tahapan keluarnya tunas dari apokol. celah pada apokol (a), celah melebar (b), tunas mulai keluar dari apokol (c), tunas telah keluar dari apokol (d), dan daun baru telah terbentuk (e)
35
1
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Planlet aren siap aklimatisasi (32 MST)
43
14.
Planlet dalam botol kultur (12 MST) (a), planlet (12 MST) (b), planlet siap diaklimatisasi (32 MST) (c), planlet diaklimatisasi (d-e), planlet siap dipindah ke tanah (f), dan bibit aren (g)
44
Bibit aren (48 MST) hasil embryo rescue yang dikulturkan dalam media dengan penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin)
45
15.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Komposisi air kelapa
59
2.
Komposisi media Y3 (Eeuwens 1976 dan vitamin dari Morel dan Wetmore 1951)
60
Komposisi media WPM (Brent Mc Cown dan Greg Lloyd 1981)
60
3.
GLOSARIUM Apokol
: Bagian kecambah tempat berkembangnya radikula dan plumula pada aren
BSP
: Bulan setelah polinasi
Endosperma
: Jaringan nutrisi pada biji (albumen)
Eksplan
: Jaringan yang diambil dari tempat asalnya dan ditransfer ke media buatan untuk pertumbuhan atau pemeliharaan
Embrio zigotik
: Embrio hasil fertilisasi antar gamet jantan dengan betina
Haustorium
: Struktur pada bagian embrio yang berfungsi melakukan penetrasi pada jaringan endosperma untuk mengambil makanan
HSP
: Hari setelah polinasi
MST
: Minggu setelah tanam
Perkecambahan
: Munculnya tunas dan akar dari benih/biji setelah melewati fase dormansi
Planlet
: Tanaman yang dipelihara dalam botol kultur atau secara in vitro
Planlet lengkap
: Planlet yang memiliki daun dan akar
Planlet tunas
: Planlet yang hanya dilengkapi dengan tunas tanpa adanya akar
Plumula
: Kotiledon pada tanaman rumput-rumputan dan tanaman monokotil lainnya yaitu daun yang sangat termodifikasi terdiri dari skutelum dan koleoptil
1
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sumber energi utama di Indonesia saat ini berasal dari bahan bakar fosil yaitu minyak bumi dan batubara. Kebutuhan energi ini akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Ditjen Migas melaporkan tahun 2010 penduduk Indonesia mengkonsumsi 388.241 ribu barel bahan bakar minyak (BBM) dan terus mengalami peningkatan setiap tahun. Peningkatan kebutuhan ini berbanding terbalik dengan ketersedian sumber energi karena bahan bakar fosil bersifat tidak dapat diperbaharui. Terbukti, sejak tahun 2004 hingga 2012 cadangan minyak bumi Indonesia terus mengalami penurunan sebesar 1.2 miliar barel (Ditjenmigas 2010). Jika hal ini dibiarkan terjadi terus-menerus maka dikhawatirkan beberapa tahun mendatang Indonesia akan mengalami krisis energi. Oleh karena itu, diperlukan suatu sumber energi alternatif yang dapat menggantikan peran bahan bakar fosil sebagai sumber bahan bakar utama. Salah satu sumber energi alternatif yang dapat dikembangkan adalah energi yang berasal dari bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel. Penggunaan BBN telah diatur dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 2006, tentang penyediaan dan pemanfaatan BBN sebagai bahan bakar lain serta Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 2006 tentang pengembangan BBN untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran. BBN sangat potensial untuk dikembangkan karena sumber energi ini bersifat terbarukan. Selain itu, Indonesia sebagai negara agraris memiliki berbagai sumber daya alam yang dapat dieksplorasi untuk mengembangkan BBN. Menurut BPPP, Indonesia memiliki berbagai jenis tanaman penghasil minyak yang dapat diolah menjadi BBN, di antaranya: kosambi (Schleichera oleosa Merr.), nyamplung (Calophyllum inophyllum L.), wijen (Sesamum indicum L.), kemalakian (Croton tiglium), jarak kepyar (Ricinus comunis L.), bunga matahari (Helianthus annus L.), kemiri minyak (Aleurites trisperma Blanco), kelapa (Cocos nucifera L.), sagu (Metroxylon sago) dan aren (Arenga pinnata Merr.). Tanaman yang akan dikembangkan sebagai sumber BBN sebaiknya bukan berasal dari tanaman pangan untuk menjaga kestabilan pangan nasional.
Tabel 1. Perbandingan produksi bio-etanol dari beberapa bahan baku Parameter Singkong Molases Nira Aren Harga Pokok Produksi 6.500 6.000 6.375 (Rp/l) Biaya Proses (Rp/l) 1.200 1.750 2.455 Biaya Bahan Baku (Rp/l) 4.800 4.250 3.920 Perbandingan 1 l = 6 kg 1 l = 4 kg 1 l = 14 l (Bio-etanol = Bahan baku) Produksi Bahan Baku/ha 35 ton/tahun 3.2 ton/tahun 957.000 l/7 tahun Produksi Bio-etanol/ha 5.800 l/tahun 800 l/tahun 68.350 l/7 tahun Sumber : Tenda et al. (2011)
2 Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) merupakan tanaman potensial yang berasal dari kepulauan Indo-Melayu dan menyebar hingga ke seluruh wilayah Indonesia. Aren dapat ditemukan di sebagian besar wilayah tropis Asia Tenggara dan Asia Selatan (Mogea et al. 1991). Tanaman yang termasuk dalam famili Arecaceae (Palmaceae) ini dilaporkan memiliki nilai ekonomi tinggi yang berpotensi untuk dikembangkan (Effendi 2010). Sebagai multiple purpose tree, hasil aren yang bernilai ekonomi tinggi adalah nira (BPPP 2009; Sangian dan Tongkukut 2011), pati (Alam dan Saleh 2009), ijuk (Mogea et al. 1991), serat (Ishak et al. 2011) serta buahnya (Siregar 2005). Di samping itu, aren juga dapat dikembangkan dalam sistem agroforestri (Solikin 2012). Nira yang dipanen dari tandan bunga jantan merupakan bahan baku BBN yang ramah lingkungan (Effendi 2010). Produksi nira untuk setiap pohon dapat mencapai 15 l/hari dengan rendemen gula 12% dan kadar etanol 70-90% (BPPP 2009; Effendi 2010). Tenda et al. (2011) menyatakan penggunaan nira aren sebagai bahan baku BBN juga sangat ekonomis dibandingkan dengan sumber bahan baku BBN utama lainnya yaitu singkong dan molases tebu (Tabel 1). Ditinjau dari segi pemanfaatannya maka aren termasuk tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan lebih luas sebagai tanaman penghasil BBN. Tahap awal pengembangan aren sebagai tanaman penghasil BBN adalah meningkatkan jumlah populasi tanaman. Berdasarkan data Ditjenbun (2011) luas areal tanaman aren tahun 2010 mencapai 66.309 ha dan pendataan 2011 mengalami peningkatan menjadi 66.441 ha. Pertanaman aren umumnya masih belum dibudidayakan dan merupakan perkebunan rakyat (Tenda et al. 2010). Aren tergolong ke dalam tanaman hepaxanthic palm yaitu tanaman yang memiliki pertumbuhan terbatas (Mujahidin et al. 2003). Pertumbuhan yang terbatas serta pemanfaatan tanaman secara terus-menerus dapat mengakibatkan kelangkaan tanaman sehingga perlu dilakukan budidaya secara intensif dan ekstensif. Perbanyakan tanaman aren dilakukan secara konvensional melalui benih. Perbanyakan melalui teknik ini membutuhkan waktu 1-12 bulan atau bahkan mencapai 24 bulan sebagai akibat adanya dormansi benih. Dormasi benih aren diakibatkan oleh peningkatan kandungan lignin dan tanin pada kulit benih (Widyawati et al. 2009) dan adanya inhibitor perkecambahan (asam absisat) pada kulit serta endosperma aren (Asikin dan Puspitaningtyas 2000). Upaya pematahan dormansi dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya: secara mekanis/fisik (Saleh 2004; Rofik dan Murniati 2008), kimia (Sirait 2010; Saleh 2003), media tanam (Usman 2006) dan pencahayaan (Saleh dan Wardah 2010). Selain dormansi, kendala lain yang ditemui pada perbanyakan bibit aren adalah penggunaan benih matang fisiologis sebagai bahan tanam, sedangkan untuk pematangan benih membutuhkan waktu 36 bulan. Penelitian berbagai tingkat kematangan benih sebagai bahan tanam oleh Usman (2006) menunjukkan daya berkecambah benih dari buah muda (kulit buah berwarna hijau) hanya sebesar 7.5%, sedangkan benih dari buah tua (matang fisiologis) mencapai 26.7%. Kedua faktor tersebut menjadi penghambat perbanyakan bibit untuk budidaya dan program pemuliaan tanaman aren di Indonesia. Embryo rescue merupakan teknik kultur jaringan dengan menumbuhkan embrio muda pada kondisi lingkungan optimal (Taji et al. 2002). Manfaat utama dari penerapan teknik ini adalah memperpendek siklus pemuliaan tanaman karena bahan tanam yang digunakan berupa embrio zigotik muda (Tamaki et al. 2011).
3 Pemanfaatan lain dari embryo rescue adalah memperoleh bibit tanaman dari hasil persilangan antar spesies (Cisneros dan Tel-Zur 2010; Clarke et al 2006), benih tanpa endosperma (Arsyad 2008), benih dengan endosperma abnormal (Sukendah 2008) dan benih dengan dormansi panjang (Kukharchyk dan Kastrickaya 2006). Tujuan lain dari penerapan embryo rescue pada perbanyakan tanaman adalah secara tidak langsung dapat memperpanjang umur produktif tanaman. Keberhasilan regenerasi embrio zigotik muda pada kultur jaringan dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya: umur embrio (Gebologlu et al. 2011), jenis media dasar (Muniran et al. 2008), jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan (Setiawan 2006), serta perlakuan embryo zigotik (eksplan) sebelum dikulturkan dalam media perlakuan (Maciel et al. 2010). Dengan demikian, untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan embryo rescue aren, maka dilakukanlah penelitian embryo rescue secara in vitro dan produksi bibit aren.
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan protokol baku embryo rescue untuk memproduksi bibit tanaman aren dalam waktu singkat. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengevaluasi pengaruh umur embrio zigotik dan efektifitas dua komposisi media dasar terhadap kemampuan berkecambah dan perkembangan embrio zigotik pada embryo rescue aren. 2. Mengevaluasi pengaruh pra-perlakuan dan penambahan sitokinin dalam media kultur in vitro terhadap perkembangan embrio zigotik muda melalui embryo rescue dan pertumbuhan planlet aren. 3. Mengevaluasi pengaruh penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin) ke dalam media kultur in vitro terhadap perkembangan embrio zigotik muda melalui embryo rescue dan pertumbuhan planlet aren.
Manfaat Penelitian 1. 2. 3.
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat : Diperoleh informasi umur embrio dan jenis media dasar terbaik untuk digunakan pada embryo rescue aren. Diperoleh informasi penerapan ZPT terbaik dan pra-perlakuan untuk digunakan pada embryo rescue aren. Diperoleh protokol baku embryo rescue aren secara in vitro yang efektif dan metode penyediaan bibit aren secara massal dalam waktu lebih singkat dibandingkan melalui benih.
Alur Penelitian Penelitian ini terbagi dalam dua percobaan utama. Percobaan pertama adalah umur embrio dan jenis media dasar berpengaruh pada keberhasilan embryo
4 rescue aren dan percobaan kedua adalah penambahan ZPT dan pra-perlakuan meningkatkan keberhasilan embryo rescue aren secara in vitro. Percobaan kedua terdiri atas dua sub-unit percobaan, yaitu: 1) pengaruh pra-perlakuan dan penambahan ZPT (sitokinin) terhadap embryo rescue aren, dan 2) pengaruh penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin) terhadap embryo rescue aren. Bagan alur penelitian tersaji pada Gambar 1.
Buah Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
Embrio Zigotik Aren
Percobaan 1 Umur Embrio dan Jenis Media Dasar Berpengaruh pada Keberhasilan Embryo Rescue Aren Percobaan 2 Penambahan Zat Pengatur Tumbuh dan Pra-perlakuan Meningkatkan Keberhasilan Embryo Rescue Aren secara In Vitro Pengaruh Penambahan ZPT (Auksin dengan atau Tanpa Sitokinin) terhadap Embryo Rescue Aren
Pengaruh Pra-perlakuan dan Penambahan ZPT (Sitokinin) terhadap Embryo Rescue Aren
Planlet Aren
Aklimatisasi
Bibit Aren
Gambar 1. Bagan alur penelitian embryo rescue secara in vitro dan produksi bibit aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Penyebaran dan Morfologi Aren Ditinjau dari aspek botani, aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) termasuk dalam kelompok tumbuhan berkeping satu (monocotyledon) dari famili Arecaceae (Palmaceae). Pohon aren ditemukan tumbuh di daerah Asia Tenggara sampai kepulauan Ryuku di Jepang dan tersebar ke Vietnam hingga Himalaya bagian timur. Aren juga ditemukan pada beberapa daerah di Afrika dan Kepulauan Pasifik sebagai tanaman introduksi (Mujahidin et al. 2003). Sentral tanaman aren di Indonesia berada pada provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Sumatera Barat (Soeseno 2000). Pohon aren tumbuh soliter dan tidak berumpun seperti pohon palem lainnya (Gambar 2). Batangnya ditutupi oleh serabut-serabut hitam kasar (ijuk) dan pelepah daun tua tetap melekat memenuhi batang. Tinggi pohon sekitar 10-20 m dan diameter batang 30-65 cm. Batang pohon disokong oleh akar serabut berwarna hitam dan sangat kuat, tersebar hingga sepuluh meter atau lebih dengan kedalaman tiga meter. Sistem perakaran tersebut sangat cocok untuk menahan erosi pada lahan-lahan miring. Akar aren juga memiliki kemampuan untuk mengikat air sehingga dapat juga ditanam pada daerah relatif kering (Mujahidin et al. 2003).
Gambar 2. Pohon aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.). Sumber: Haynes (1998)
6 Daun aren termasuk tipe daun menyirip yaitu tipe daun majemuk dimana semua anak daun tersusun pada perpanjangan ibu tulang daun (rakis). Bagian bawah helaian daun terdapat lapisan lilin. Daun majemuk aren memiliki panjang 6-12 meter dan umumnya tersusun melingkar (spiral) ke arah kanan tetapi ada juga yang ditemukan melingkar ke arah kiri. Satu tangkai daun majemuk terdiri dari 80-155 helai anak daun yang tersusun menyirip ganjil. Panjang tangkai daun 1-2.5 meter. Bagian pangkal tangkai daun merupakan pelepah yang menempel kuat melingkari batang. Satu pohon aren terdapat 3-6 daun majemuk. Jumlah daun yang terbentuk dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuhnya. Selama siklus hidup pohon aren dapat menghasilkan sekitar 50 daun (Mujahidin et al. 2003). Aren termasuk tanaman yang memiliki pertumbuhan terbatas (hepaxanthic palm). Hepaxanthic palm ialah jenis palem yang pertumbuhan batang dan pembentukan daun barunya (pertumbuhan vegetatif) terhenti pada periode waktu tertentu dan dilanjutkan dengan pembentukan bunga, pematangan buah lalu mati. Terhentinya pertumbuhan vegetatif ditandai oleh munculnya 2-3 daun terpendek secara bersamaan di ujung batang tanaman. Hal ini merupakan indikator bahwa pembentukan bunga (masa generatif) akan dimulai. Periode pembentukan bunga sangat dipengaruhi oleh ketinggian lingkungan tumbuh. Pada dataran rendah pembentukan bunga memerlukan waktu 5-7 tahun, sedangkan pada dataran tinggi dapat mencapai 12-15 tahun (Mujahidin et al. 2003). Aren tergolong dalam tanaman berumah satu (monoecious) (Gambar 3). Bunga berbentuk malai yang diselubungi oleh beberapa seludang dan tersusun dalam tandan. Tandan bunga muncul dari setiap pelepah atau bekas pelepah daun. Posisi munculnya tandan bunga dimulai dari bagian atas tanaman ke arah bawah. Bunga aren terdiri atas dua bunga jantan dan satu bunga betina. Bunga betina terletak di antara bunga jantan. Seiring dengan perkembangannya, tandan bunga betina dan tandan bunga jantan mengalami perubahan. Pada tandan bunga betina, bunga jantan akan gugur dan menyisakan bunga betina setelah malai bunga keluar dari seludang. Tandan bunga jantan memiliki dua tipe perkembangan yang terlihat setelah malai bunga keluar dari seludangnya. Tipe pertama, perkembangan hanya terjadi pada bunga jantan sedangkan tipe kedua bunga betina gugur setelah bunga jantan mekar (Mujahidin et al. 2003). Bunga betina tersusun dari untaian bunga berbentuk butiran kecil. Tandan bunga betina terdiri dari ± 38 malai dengan 112-132 bunga betina setiap malai. Bunga betina berwarna hijau muda, terdiri atas dua kelopak luar, tiga kelopak dalam dan tiga mahkota bunga. Kepala putik terbelah tiga dan tidak memiliki tangkai. Bakal buah beruang tiga dan masing-masing ruang terdapat satu bakal biji. Jumlah tandan betina berkisal 3-9 tandan (Effendi 2010; Mujahidin et al. 2003). Tandan bunga jantan (Gambar 3) umumnya muncul setelah tandan bunga betina muncul seluruhnya, tetapi terkadang tanda bunga betina kembali muncul setelah tandan bunga jantan lalu diikuti dengan munculnya tandan bunga jantan secara berselang seling. Satu pohon aren umumnya dapat menghasilkan 7-15 tandan bunga jantan. Bunga jantan memiliki kelopak bunga berwarna hijau dan tiga mahkota bunga berbentuk kapsul berwarna ungu. Mahkota bunga akan terbuka ketika benang sari siap untuk membuahi bunga betina. Benang sari berwarna kuning dengan panjang 1.8 cm dan bertangkai putih dengan panjang 1.3 cm. Satu bunga jantan terdapat 111-122 benang sari (Mujahidin et al. 2003).
7
Gambar 3. Tandan bunga betina (atas) dan tandan bunga jantan (bawah)
Buah aren berbentuk bulat panjang dengan ujung melengkung ke dalam. Diameter buah 3-5 cm (Gambar 4). Kelopak bunga tetap melekat hingga buah matang. Buah muda berwarna hijau muda dan setelah matang berwarna hijau tua hingga kuning kecoklatan. Setiap buah terdapat 1-3 biji yang berwarna hitam ketika telah matang. Buah aren mengandung konsentrasi asam oksalat mencapai 12.989 µg/g yang dapat mengakibatkan iritasi kulit (Effendi 2010; Broschat dan Meerow 2000). Serbuk sari (pollen) yang membuahi bunga betina diduga berasal dari pohon lain karena adanya berbedaan waktu muncul kedua tandan bunga tersebut. Penyerbukan bunga diduga dilakukan oleh angin, lebah atau lalat kecil (Mujahidin et al. 2003). Penyebaran tanaman ini secara alami dibantu oleh musang (Mogea et al. 1991). Susunan biji aren terdiri dari kulit biji (testa), endosperma dan embrio. Jaringan testa disusun oleh sel-sel sklereid, sedangkan jaringan endosperma dan embrio disusun oleh sel-sel parenkim. Embrio benih tersusun dari sel-sel hidup yang aktif secara fisiologis dan banyak mengandung air untuk mempertahankan kehidupan sel penyusunnya (Widyawati et al. 2009). Biji aren termasuk benih rekalsitran karena kandungan airnya relatif tinggi pada waktu dipanen (Gambar 4). Penurunan kandungan air benih dapat menurunkan daya berkecambah benih aren (Rabaniyah 1997).
8 Kulit biji yang telah matang berwarna hitam dan keras. Di bagian sisi dalamnya terdapat lapisan tipis berwarna coklat. Sebagian besar kandungan dalam biji merupakan pati yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Benih aren memiliki embrio yang cukup unik, tidak berada di ujung maupun di pangkal biji akan tetapi berada di sisi kanan atau kiri bagian tengah biji. Embrio aren berbentuk kerucut tumpul dengan ukuran 1-2 mm. Embrio terdiri dari sumbu embrionik dan bakal daun tunggal yang diselubungi bakal seludang (coleoptile). Terdapat pula modifikasi bakal daun yang disebut scutellum. Sumbu embrionik merupakan kesatuan dari bakal akar dan basisnya (cotyledonary petiole) (Mujahidin et al. 2003). Perkecambahan benih aren dimulai dari bagian lateral (Gambar 5). Perkecambahan benih secara alami dimulai dengan munculnya tonjolan pada bagian lateral biji. Setelah mencapai panjang tertentu bagian ujung apokol membengkak. Pada bagian inilah akan muncul plumula dan radikula. Perkembangan benih aren melalui kultur jaringan dimulai dengan menggembungnya embrio sehingga ukurannya lebih besar (Rofik dan Murniati 2008; Widyawati et al. 2009).
Gambar 4. Irisan melintang buah aren (atas) dan biji aren (bawah)
9
Gambar 5. Tipe perkecambahan benih aren. Sumber: Broschat dan Meerow (2000)
Potensi dan Eksplorasi Aren Hasil utama tanaman aren adalah nira. Nira tersebut dapat diolah menjadi bahan bakar nabati (BBN), gula merah, gula semut, alkohol dan cuka. Nira aren mengandung kadar etanol 70-90%. Potensi etanol yang berasal dari nira aren dapat mencapai 20.160 l/ha/tahun. Jika dihitung dari luasan pertanaman aren yang ada dan hanya 50% yang berproduksi, maka tanaman aren berperan menyumbang etanol sebesar 610 juta l/tahun (Effendi 2010). Gula semut merupakan bentuk lain dari gula merah. Bahan baku untuk pembuatan gula semut adalah nira segar yang sama dengan bahan baku untuk pembuatan gula merah. Keduanya dibedakan dari bentuk fisik produk akhir. Gula merah dalam bentuk produk cetakan, sedangkan gula semut berbentuk kristal yang lolos saringan 18-20 mesh (Lay dan Karouw 2008). Pembuatan cuka aren dilakukan melalui proses fermentasi gula-gula sederhana menjadi alkohol dan fermentasi alkohol lebih lanjut menjadi asam asetat. Nira aren segar yang manis jika dibiarkan tetap tersimpan dalam bumbung bambu maka akan mengalami fermentasi. Hal ini disebabkan karena nira aren mengandung sel-sel Saccharomyces tuac. Nira yang telah mengalami fermentasi memiliki kadar etanol 4% dan jika dibiarkan berlangsung terus maka akan terbentuk asam cuka dengan rata-rata kadar etanol sebesar 1.2% (Baharuddin et al. 2009). Pohon aren yang telah tua dan kurang produktif umumnya ditebang untuk dimanfaatkan sebagai sumber pati. Pati atau tepung aren yang diperoleh dari empulur batang merupakan bahan baku pembuatan starch noodle. Semakin
10 tua umur dari batang aren, maka viskositas pati semakin tinggi dan sangat sesuai untuk digunakan dalam pembuatan starch noodle (Alam dan Saleh 2009). Hasil sampingan aren berupa buah yang dapat diolah menjadi kolang kaling. Daun/lidi dan ijuk sebagai bahan baku kerajinan tangan. Batang pohon aren dapat diambil tepung/patinya untuk digunakan sebagai bahan makanan. Hasil-hasil sampingan ini dapat menjadi sumber pendapatan tambahan petani (Rindengan dan Manaroinsong 2009). Aren dapat juga berfungsi sebagai tanaman konservasi pada lahan miring (>30%) dengan populasi tanaman 100-200 pohon/ha. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lahan misalnya 5 m x 10 m atau 10 m x 10 m. Populasi tanaman per satuan luas, hanya 50% yang produktif menghasilkan nira (BPPP 2009). Berdasarkan eksplorasi plasma nutfah aren di Tomohon diperoleh tiga aksesi aren tipe Dalam, yaitu aksesi aren Tara-tara, Pinaras dan Woloan. Aksesi aren Tara-tara memiliki produksi dan kadar gula nira tertinggi dibandingkan aksesi lainnya. Produksi nira per hari untuk aksesi aren asal Tara-tara, Pinaras dan Woloan masing-masing berkisar 25-38 l; 24.16-36.8 l dan 24-30 l. Waktu penyadapan per tandan 6.3 bulan untuk Tara-tara, 6.5 bulan untuk Pinaras dan 5.2 bulan untuk Woloan. Hasil nira (optimal) per mayang untuk aksesi aren Tara-tara 6.237 l, aren Pinaras 5.850 l dan aren Woloan 4.860 l (Tenda 2009). Eksplorasi aren di Kalimantan Selatan memperoleh tiga aksesi aren tipe Dalam dan satu aksesi aren tipe Genjah. Aksesi Dalam Anduhum di Kabupaten Hulu Sungai Tengah memiliki produksi nira dan kadar gula nira tertinggi. Seleksi dilakukan berdasarkan karakter produksi dan kadar gula nira keempat aksesi aren tersebut karena memiliki keragaman tinggi. Keragaman karakteristik keempat aksesi sangat tinggi, sehingga memungkinkan dilakukan seleksi maupun materi persilangan untuk mendapatkan varietas unggul aren (Tenda et al 2008).
Kultur Jaringan Palma Kultur jaringan ialah suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik dalam medium hara (Gunawan 1987). Teknik kultur jaringan dilakukan untuk membuktikan kebenaran teori totipotensi sel. Totipotensi sel merupakan kemampuan setiap sel apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Nugroho dan Sugianto 1996). Pemanfaatan kultur jaringan dalam bidang pertanian, antara lain: membantu perbanyakan vegetatif tanaman dalam rangka penyediaan bibit dari induk superior, memperoleh tanaman bebas dari penyakit, membantu proses konservasi dan preservasi plasma nutfah tanaman dan produksi persenyawaan kimia untuk keperluan farmasi dan pewarna untuk industri makanan dan kosmetik (Gunawan 1995). Teknik kultur jaringan juga dapat digunakan untuk manipulasi jumlah kromosom melalui bahan kimia atau meregenerasikan jaringan tertentu, menghasilkan tanaman haploid dan double haploid yang homogen melalui kultur anter atau mikrospora, polinasi in vitro dan pertumbuhan embrio yang secara normal abortif, hibridisasi somatik melalui teknik fusi protoplasma antar spesies,
11 variasi somaklonal dan transfer DNA atau organel untuk memperoleh sifat tertentu (Gunawan 1987). Kultur jaringan palma yang dilakukan oleh Mashud dan Manaroinsong (2007) melaporkan tanaman kelapa kopyor yang diperbanyak melalui teknik kultur jaringan berpotensi menghasilkan buah kopyor sebesar 90%. Penambahan GA3 0.46 µM ke dalam media cair Eeuwens (Y3) dan 4.6 µM pada media semi solid Y3 merupakan konsentrasi GA3 optimal dan dapat mengecambahkan masing-masing 80% dan 90% embrio zigotik kelapa (Pech y Aké et al. 2007). Penelitian Bustaman et al. (2004) pada kultur embrio pinang sirih yang ditanam pada media MS dengan penambahan 4 ppm NAA memberikan pembentukan tunas terbaik. Kultur jaringan Acrocomia aculeate pada media Y3 dengan penambahan 9 mM pikloram atau 2.4-D dengan atau tanpa kombinasi 1mM TDZ memperoleh kalus embriogenik setelah dikulturkan selama 60 hari, selanjutnya embrio somatik diperoleh dengan menginduksi kalus embrogenik menggunakan 9 mM pikloram (Moura et al. 2009). Kultur jaringan kurma yang dilakukan oleh Al-Khateeb (2008) menggunakan berbagai konsentrasi dan jenis sumber karbon (sukrosa, glukosa, fruktosa dan maltosa) pada media MS menunjukkan kualitas dan kuantitas pertumbuhan tunas yang optimal pada konsentrasi sumber karbon 30 g/l dan 60 g/l, sedangkan fruktosa menghasilkan berat kering tertinggi dibandingkan jenis sumber karbon lainnya. Penelitan Putih et al. (2003) pada kultur tunas aren menghasilkan persentase eksplan hidup dan persentase eksplan berkalus tertinggi dengan penambahan kombinasi NAA 1 ppm dan BAP 1 ppm, namun kalus yang diperoleh belum dapat membentuk akar dan tunas. Ismail (1994) membuktikan bahwa kultur embrio zigotik aren yang ditanam pada media Tisserat dan De Mason dengan penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh berupa kombinasi 22 µM 2.4-D dan 9.8 µM 2iP, kombinasi 50 µM 2.4-D dan 10 µM kinetin, kombinasi 100 µM IAA dan 10 µM kinetin dan kombinasi 100 µM NAA dan 10 µM kinetin menghasilkan pertumbuhan akar dan tunas normal berturut-turut sebesar 86.7%; 80%; 80% dan 82%.
Kultur Embrio Zigotik (Embryo Rescue) Kultur embrio pertama kali dilakukan oleh Charles Bonnet pada abad ke 18 melalui kultur embrio Phaseolus dan Fagopyrum. Keberhasilan meregenerasikan tanaman dari embrio muda dipengaruhi oleh kematangan serta komposisi media kultur. Semakin muda umur dari eksplan embrio zigotik, maka komposisi media kultur yang digunakan semakin lengkap (Sharma et al. 1996). Kegunaan kultur embrio adalah untuk mengecambahkan embrio zigotik menjadi tanaman lengkap. Kultur embrio secara harfiah sering disinonimkan dengan embryo rescue, akan tetapi untuk lebih tepatnya embryo rescue diartikan sebagai teknik kultur jaringan dengan cara menumbuhkan embrio zigotik muda pada kondisi lingkungan yang optimal. Teknik ini dilakukan pada embrio yang memiliki masa dormansi panjang, embrio zigotik hibrida hasil persilangan antar spesies yang tidak kompatibel dengan endospermanya, embrio zigotik dengan endosperma abnormal atau tanpa endosperma serta mengintrograsian materi
12 genetik pada suatu spesies. Selain itu dari segi fisiologis perkembangan embrio, kultur embrio juga digunakan untuk mempelajari tahap perkembangan embrio dan kemampuan regenerasi dari bagian-bagian embrio, sitologi serta filogenetik molekuler (Gunawan 1987; Davey dan Anthony 2010). Tahapan penting dalam kultur embrio adalah cara mengisolasi embrio dari dalam benih. Isolasi embrio umumnya dilakukan dengan penyayatan dan pemisahan jaringan-jaringan disekitar embrio tersebut. Untuk memudahkan penyayatan dapat dilakukan perendaman benih di dalam air selama selang waktu tertentu. Pada embrio yang berukuran lebih kecil atau sangat kecil, penyayatan dapat dilakukan dengan bantuan mikroskop dan embrio harus segera dipindah ke dalam medium pertumbuhan (Pardal 1993).
Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik yang berfungsi merangsang pertumbuhan tanaman. Pada teknik kultur jaringan ZPT digunakan untuk mengarahkan pertumbuhan eksplan. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi antara ZPT endogen (fitohormon) dan ZPT eksogen yang diserap dari media tumbuh (Pierik 1987). Tanpa penambahan ZPT dalam media tanam, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat bahkan dapat tidak tumbuh sama sekali. ZPT dalam tanaman terdiri dari lima kelompok yaitu auksin, sitokinin, giberelin, etilen dan asam absisat yang memiliki ciri khas dan pengaruh yang berbeda terhadap proses fisiologis tanaman (Abidin 1983). Faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan ZPT, antara lain : 1) jenis ZPT yang akan digunakan, 2) konsentrasi ZPT, 3) urutan penggunaan, 4) periode masa induksi dalam kultur tertentu, dan 5) kelemahan aktifitasnya. ZPT yang sering digunakan pada kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin. (Gunawan, 1995). Auksin merupakan salah satu golongan fitohormon yang berperan dalam menginduksi pemanjangan sel dan juga dalam kasus tertentu pembelahan sel. Golongan persenyawaan ini dapat pula mempengaruhi dominasi apikal, penghambatan pucuk aksilar dan adventif serta inisiasi pengakaran (Wattimena et al. 1992). Dalam kultur jaringan auksin digunakan secara luas untuk merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ. Auksin alami adalah IAA (Indole Acetic Acid), sedangkan auksin sintetik antara lain NAA, IBA, NAA, pikloram, NOA, 4-CPA dan 2.4.5-T (Gunawan 1987). Konsentrasi dan jenis auksin yang digunakan ditentukan oleh faktor-faktor berikut : 1) tipe pertumbuhan dan perkembangan yang dikehendaki, 2) konsentrasi auksin di dalam eksplan pada waktu eksplan tersebut diambil, 3) kemampuan jaringan yang dikulturkan pada saat eksplan tersebut diambil, dan 4) interaksi antara auksin yang diberikan secara eksogen dan auksin endogen. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi aktivitas auksin sintetis adalah: a) kemampuan senyawa tersebut untuk dapat menembus lapisan kutikula atau epidermis yang berlilin, b) sifat translokasi di dalam tanaman, c) perubahan auksin menjadi senyawa yang tidak aktif di dalam tanaman (destruksi atau pengikatan), d) interaksinya dengan hormon tumbuh lain, e) spesies tanaman, f) fase pertumbuhan, dan g) lingkungan (suhu, radiasi dan kelembaban) (Wattimena 1988).
13 Menurut Wattimena (1988), auksin dalam tubuh tanaman berperan dalam proses perpanjangan sel melalui dua cara, yaitu: a. Mengaktifkan pompa ion. Auksin mengaktifkan pompa ion pada plasma membran sehingga dapat mempertahankan pH sekitar 4 pada dinding sel. Dinding sel menjadi longgar, tekanan dinding sel menjadi berkurang, air masuk ke dalam sel dan terjadi pembesaran dan perpanjangan pada sel. b. Mengaktifkan enzim-enzim yang berperan dalam pembuatan komponen sel. Setelah pembesaran sel, keutuhan dinding sel terganggu (retak). Auksin mengaktifkan pembuatan komponen-komponen dinding sel dan menyusun kembali ke dalam suatu matriks dinding sel yang utuh. Sitokinin pertama kali ditemukan oleh Haberlandt (1913). Bentuk dasar sitokinin adalah adenin (6-amino purine). Golongan sitokinin sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan ialah Kinetin (6-furfuryl amino purine), Zeatin (4-hydroxyl-3-methyl-trans-, 2-butenyl amino purine), BAP atau BA (6-benzyl amino purine/6-benzyl adenine), PBA (6-benzylamino-9-2-tetrahydropyranyl-9Hpurine) , 2 Cl-4 PU dan 2.6-Cl-4 PU dan tidiazuron (Gunawan 1987). Sitokinin berperan dalam metabolisme asam nukleat dan sintesis protein. Sitokinin memiliki cincin adenin, yaitu basa purin yang terdapat pada DNA dan RNA. Sitokinin dapat pula mencegah terjadinya penguningan daun yang umumnya timbul pada proses penuaan (senescence). Warna kuning pada daun disebabkan oleh perombakan butir-butir klorofil, tetapi sitokinin mengaktifkan beberapa perombakan dari butir-butir klorofil dan protein (Wattimena 1988). Air kelapa telah lama diketahui sebagai sumber senyawa-senyawa aktif yang diperlukan untuk perkembangan embrio. Air kelapa tidak hanya mengandung unsur hara makro yang berupa nitrogen dan karbon, tetapi juga unsur hara mikro dan diphenylurea (Wattimena 1988). Unsur nitrogen yang terkandung dalam air kelapa berupa protein yang tersusun dari asam amino. Dibandingkan asam amino yang terdapat pada susu sapi, asam amino yang terkandung dalam air kelapa memiliki konsentrasi lebih tinggi. Sementara unsur karbon dapat dijumpai dalam bentuk karbohidrat sederhana seperti glukosa, sukrosa, dan fruktosa. Jika diteliti lebih jauh, air kelapa juga mengandung beragam vitamin. Di antaranya vitamin C, niasin, asam pantotenat serta riboflavin. Peranan dari air kelapa ialah untuk mendorong pertumbuhan pada kalus, kultur suspensi dan morfogenesis. Konsentrasi air kelapa yang umum digunakan dalam kultur jaringan berkisar 10–20% (George dan Sherrington 1984). Penelitian Yong et al. (2009) menunjukkan konsentrasi komposisi dari air kelapa (Lampiran 1).
14
UMUR EMBRIO DAN JENIS MEDIA DASAR BERPENGARUH PADA KEBERHASILAN EMBRYO RESCUE AREN (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) SECARA IN VITRO* Abstrak Penyediaan bibit merupakan salah satu kendala pengembangan tanaman aren untuk budidaya dan pemuliaan tanaman. Embryo rescue diharapkan dapat menjadi alternatif solusi penyediaan bibit aren. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh umur embrio zigotik dan komposisi media dasar terhadap perkecambahan dan perkembangan embrio zigotik pada embryo rescue aren secara in vitro. Embrio zigotik yang berasal dari buah aren muda dan tua dikultur pada media dasar Y3 atau WPM tanpa penambahan ZPT. Hasil yang diperoleh menunjukkan kemampuan hidup dan perkecambahan embrio zigotik aren terbaik diperoleh pada eksplan embrio muda (92%) dibandingkan embrio tua (72%). Komposisi media dasar (Y3 atau WPM) tidak berpengaruh nyata terhadap perkecambangan embrio aren. Haustorium dan apokol dalam kultur in vitro ada yang berkembang menjadi bentuk-bentuk abnormal dengan persentase hingga 32% (untuk haustorium) dan 26% (untuk apokol). Perkembangan haustorium dan apokol abnormal tidak berpengaruh terhadap planlet yang terbentuk dari embrio zigotik. Persentase planlet yang terbentuk dari embrio zigotik aren berkisar 6%-25% pada umur embrio zigotik dan jenis media yang dievaluasi.
Kata kunci : aren, embrio muda, embrio tua, WPM, Y3. * Bagian dari tesis ini telah memasuki tahap review untuk dipublikasikan pada Jurnal Buletin Palma
15
PENDAHULUAN Penyediaan bahan tanam (bibit) menjadi salah satu kendala dalam pengembangan aren di Indonesia (Widyawati et al. 2009). Perkecambahan benih aren secara alami membutuhkan waktu 1 hingga 12 bulan, atau bahkan 24 bulan akibat adanya dormansi pada kulit. Selain dormansi, benih aren juga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mencapai masak fisiologis, yaitu sekitar 36 bulan setelah polinasi (BSP) (Haris 1994). Kedua faktor ini menjadi penghambat utama dalam pengadaan bibit untuk keperluan budidaya dan pemuliaan tanaman aren di Indonesia. Embryo rescue merupakan teknik untuk menumbuhkan embrio muda pada kondisi lingkungan optimal secara in vitro (Taji et al. 2002). Teknik embryo rescue telah digunakan untuk memperoleh bibit dari hasil persilangan tanaman antar spesies (Viloria et al. 2005), benih tanpa endosperma (Arsyad 2008), benih dengan endosperma abnormal (Sukendah et al. 2008) atau benih dengan dormansi panjang (Uma et al. 2011; Ning et al 2007). Kelebihan utama embryo rescue ialah mempercepat perolehan bibit tanaman karena bahan tanaman yang digunakan berupa embrio zigotik muda. Keberhasilan penerapan embryo rescue sangat dipengaruhi oleh umur embrio zigotik dan komposisi media dasar yang digunakan. Hasil studi pada tanaman jarak pagar menunjukkan bahwa penggunaan eksplan yang semakin muda semakin meningkatkan keberhasilan kultur in vitro (Al-Hafiizh 2012). Gebologlu et al. (2011) melaporkan embryo rescue tomat yang berumur 28-32 hari setelah polinasi (HSP) mampu berkecambah lebih baik dibandingkan embrio yang berumur 20, 24 dan 36 hari setelah polinasi (HSP). Embryo rescue pada kelapa makapuno yang dilakukan oleh Islam et al. (2009) menggunakan embrio zigotik umur 9, 10 dan 11 BSP menunjukkan respon yang berbeda. Binott et al. (2008) juga melaporkan bahwa umur embrio berpengaruh nyata terhadap perkembangan eksplan embrio jagung dalam kultur in vitro. Komposisi media dasar yang digunakan juga berpengaruh terhadap perkembangan eksplan. Embrio muda yang ditumbuhkan secara in vitro membutuhkan media dengan kandungan garam-garam organik lebih lengkap dibandingkan embrio tua (Taji et al. 2002). Selain itu, komposisi media dasar berpengaruh terhadap kemampuan mematahkan dormansi embrio Prunus avium ketika dilakukan embryo rescue meskipun dalam penelitian tersebut diberi penambahan ZPT (Kukharchyk dan Kastrickaya 2006). Dalam penelitian yang lain, Muniran et al. (2008) melaporkan pembentukan akar pada embrio zigotik muda kelapa sawit Dura dipengaruhi oleh komposisi media dasar. Pembentukan perakaran terbaik diperoleh dengan menanam embrio zigotik muda pada media berbasis Eeuwens (Eeuwens 1976) dan kurang baik jika menggunakan media N6 (Chu et al. 1975) dan Murashige dan Skoog (Murashige dan Skoog 1962). Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengevaluasi pengaruh umur embrio zigotik terhadap kemampuan berkecambah dan perkembangan kecambah dalam embryo rescue aren. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menguji efektifitas dua komposisi media dasar yang digunakan dalam mengkulturkan embrio zigotik aren secara in vitro.
16
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai dengan Oktober 2012. Percobaan ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor.
Bahan dan Alat Bahan tanaman (eksplan) yang digunakan ialah embrio zigotik aren yang diperoleh dari pertanaman di sekitar Bogor, Jawa Barat (Desa Cinangneng dan Cihideung). Embrio zigotik diisolasi dari buah aren muda (± 15 BSP) dan buah aren tua (± 30 BSP) (Matana, Staf peneliti Balai Penelitian Tanaman Palma, wawancara langsung). Karakteristik buah aren muda yang digunakan, antara lain: kulit buah berwarna hijau, endosperma bertekstur kenyal berwarna putih transparan dan kulit biji berwarna kuning dan tipis. Karakteristik buah aren tua yang digunakan, antara lain: kulit buah berwarna hijau kekuningan, endosperma bertekstur keras berwarna putih dan kulit biji berwarna coklat dan tebal (Gambar 6).
b
a
e d
c
Gambar 6. Sumber eksplan. Buah muda (a), buah tua (b), embrio dan endosperma (c), embrio muda (d), dan embrio tua (e)
17 Media dasar yang digunakan dalam penelitian terdiri atas media berbasis Eeuwens atau Y3 (Eeuwens 1976) dan media berbasis Woody Plant Medium atau WPM (Lloyd dan McCown 1981) (Lampiran 2 dan 3). Ke dalam media berbasis Y3 ditambahkan komposisi vitamin yang dikembangkan oleh Morel dan Wetmore (1951). Selain vitamin, ke dalam kedua media juga ditambahkan sukrosa 60.000 mg/l, arang aktif 2.500 mg/l, agar 7.000 mg/l. pH media diatur hingga mencapai 5.5-5.8 dengan penambahan NaOH (0,1 N) atau HCl (0,1 N). Bahan lain yang digunakan adalah alkohol 70%, alkohol 96%, tween 20, larutan cairan pemutih komersial (bleach), detergen, aquades, spiritus, label, plastik, karet gelang, korek api, perekat bening dan tissue. Alat-alat yang digunakan ialah Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), autoclave, timbangan analitik, kompor, magnetic stirer, lampu bunsen, pH meter, alat gelas standar (gelas piala, gelas ukur, petridis, pipet, botol kultur dan batang pengaduk), alat diseksi (pinset, gunting, skalpel dan pisaunya), saringan, sprayer rak kultur, alat tulis-menulis dan kamera digital.
Sterilisasi Bahan Tanam Persiapan eksplan dimulai dengan memotong buah aren untuk diambil bijinya. Endosperma yang diperoleh dipotong membentuk balok pada bagian yang berisi embrio, dicuci dengan detergen dan dibilas dengan aquades steril. Selanjutnya, potongan-potongan endosperma disterilkan dalam cairan pemutih komersial dengan konsentrasi 20% dan 10%, masing-masing selama 15 menit. Ke dalam larutan cairan pemutih komersial ditambahkan Tween 20 sebanyak dua tetes sebagai pengemulsi. Setelah sterilisasi dalam cairan pemutih komersial 10%, selanjutnya embrio zigotik diisolasi dari balok endosperma dan direndam dalam cairan pemutih komersial 5% selama 15 menit. Selanjutnya, embrio zigotik dibilas tiga kali dengan aquades steril dan embrio zigotik siap ditanam dalam media perlakuan. Embrio zigotik dalam media in vitro diinkubasi dalam ruang kultur pada suhu 24-250C dengan lama penyinaran 24 jam.
Rancangan Percobaan Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor. Faktor pertama dua macam embrio zigotik, yaitu embrio zigotik muda dan embrio zigotik tua aren dan faktor kedua dua jenis media dasar, yaitu media Y3 dan media WPM. Unit percobaan terdiri atas lima botol masing-masing dengan satu embrio zigotik dan diulang lima kali. Dalam satu set percobaan digunakan 100 embrio zigotik. Model linier RAL faktorial (Mattjik dan Sumertajaya 2006) ialah : Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yij = Pengamatan pada faktor A taraf ke -i faktor B taraf ke -j dan ulangan ke -k µ = Rataan umum αi = Pengaruh utama faktor A
18 βj αβij εijk
= Pengaruh utama faktor B = Komponen interaksi dari faktor A dan B = Pengaruh acak
Pengamatan dan Analisis Data a.
Pengamatan mulai dilakukan enam MST. Peubah yang diamati meliputi : Persentase pembentukan apokol, dihitung dengan rumus: % pembentukan apokol =
Keterangan : x = jumlah eksplan membentuk apokol, y = jumlah eksplan total yang ditanam. b. Perkembangan haustorium dan apokol (bentuk dan warna), diamati menggunakan sistem skoring. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji F pada taraf nyata α 5% dan jika hasil uji F menunjukkan berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT). Data skoring (bentuk dan warna) dianalisis menggunakan uji Kruskal-Wallis. Semua analisis data dilakukan dengan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) versi 9.0 (SAS Institute Inc., USA) atau Minitab versi 15 (Minitab Inc.,USA).
Regenerasi Planlet Setelah dilakukan pengamatan pada enam MST, embrio aren tetap dipelihara dan disubkultur ke dalam media kultur dengan penambahan ZPT (air kelapa atau BAP). Konsentrasi penambahan air kelapa yang dilakukan adalah 100, 150 dan 200 ml/l, sedangkan konsentrasi BAP adalah 5 ppm. Pengamatan kembali dilakukan pada 24 MST yang meliputi jumlah planlet yang terbentuk. Jumlah seluruh satuan percobaan yang diamati berjumlah 54 embrio zigotik aren (jumlah eksplan yang tidak mengalami kontaminasi).
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkecambahan embrio zigotik aren Kecambah yang berkembang dari benih aren terdiri atas dua bagian utama yaitu haustorium dan apokol (Gambar 7a dan 7b). Haustorium pada aren dan palma lainnya berperan sebagai organ penyerapan dan penyimpanan cadangan makanan selama proses perkecambahan embrio. Apokol merupakan bagian kecambah tempat berkembangnya radikula dan plumula pada aren (Meerow 2004). Perkembangan embrio zigotik aren diawali dengan membengkaknya ukuran embrio zigotik hingga ukurannya menjadi kurang lebih dua kali ukuran awal.
19 Pembesaran ukuran embrio zigotik diduga disebabkan oleh imbibisi air ke dalam jaringan selama proses perkecambahan. Embrio zigotik aren dalam percobaan ini berkembang lebih lanjut sehingga muncul tonjolan dari bagian basal embrio (Gambar 7c.) dan berkembang menjadi struktur apokol (cotyledonary petiole). Apokol yang terbentuk akan semakin memanjang hingga menembus ke dalam media tanam secara in vitro. Terbentuknya apokol menjadi indikator bahwa embrio zigotik pada embryo rescue ini telah berkecambah. Dalam percobaan ini proses perkecambahan embrio zigotik mulai terlihat 1-2 MST. Eksplan embrio zigotik muda dan tua mampu berkembang membentuk apokol dalam media in vitro yang digunakan. Di akhir 6 MST seluruh embrio zigotik yang ditanam belum dapat membentuk planlet. Asikin dan Puspitaningtyas (2000) melaporkan perkecambahan embrio aren secara in vitro mulai terjadi 1-2 MST. Dalam studinya, Asikin dan Puspitaningtyas (2000) juga melaporkan terjadinya pemanjangan apokol sebagai awal perkecambahan embrio secara in vitro sebagaimana yang diamati dalam penelitian embryo rescue aren dalam percobaan ini. Kontaminasi juga terjadi selama proses perkecambahan eksplan, namun penyebaran kontaminan dapat diatasi dengan melakukan subkultur pada media steril lainnya. Kontaminasi yang terjadi disebabkan oleh cendawan dan bakteri. Kontaminasi oleh cendawan ditandai dengan adanya spora-spora cendawan berwarna putih, hijau atau jingga di sekitar permukaan media. Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan munculnya lendir berwarna putih pada permukaan media.
a
c
b
Gambar 7. Kecambah aren (kiri), haustorium (a), apokol (b). Embrio aren (kanan), dan bagian basal embrio (c)
20 Persentase Pembentukan Apokol Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat pengaruh interaksi antara umur embrio dan jenis media dasar terhadap persentase pembentukan apokol. Umur embrio sebagai faktor tunggal berpengaruh nyata terhadap pembentukan apokol, sedangkan jenis media dasar tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan apokol. Data persentase pembentukan apokol tersaji pada Tabel 2. Hasil analisis menunjukkan persentase perkecambahan mempunyai pola yang sama untuk kedua umur embrio pada dua jenis media yang berbeda. Dalam dua jenis media yang digunakan, embrio zigotik muda menghasilkan persentase pembentukan apokol lebih tinggi dibandingkan embrio zigotik tua (Tabel 2). Hasil ini mengindikasikan bahwa embrio zigotik muda masih berada pada fase juvenil sehingga memiliki kemampuan regeneratif yang lebih baik dibandingkan embrio tua. Hasil ini sejalan dengan penelitian Murashige dan Huang (1985), embrio muda terdiri dari sel-sel yang memiliki kemampuan totipotensi yang tinggi. Selsel tersebut menyerupai sel-sel meristemoid pada kalus. Penelitian lain yang dilakukan oleh Karunaratne dan Periyapperuma (1990) dan Mirici et al. (2005) menunjukkan bahwa embrio zigotik muda memiliki aktifitas pembelahan sel, perkembangan organel serta kemampuan regeneratif lebih tinggi dibandingkan pada embrio zigotik yang lebih tua. Kultur embrio muda umumnya membentuk kecambah lebih tinggi dibandingkan embrio tua, hal ini disebabkan karena mekanisme inkompatibilitas eksplan (embrio zigotik muda) berdampak negatif hanya dalam jangka waktu singkat (Geogre et al. 2008). Di samping kemampuan regeneratif yang tinggi, kandungan hormon endogen juga ikut mempengaruhi proses perkecambahan embrio zigotik muda. Kandungan hormon endogen yang berperan dalam perkecambahan embrio sangat dipengaruhi oleh umur eksplan (Kucera et al 2005). Penelitian Etienne et al. (1993) menyatakan embrio zigotik mengandung hormon IAA dengan konsentrasi yang tinggi pada awal fase perkembangannya. Konsentrasi IAA tertinggi diperoleh pada fase awal torpedo dan semakin menurun secara progresif pada saat embrio mencapai fase maturasi. Selain IAA, embrio zigotik juga mengandung hormon endogen ABA. IAA berperan dalam perkembangan embrio, sedangkan ABA berperan dalam pematangan embrio. Fu et al. (2006) melaporkan telah mendeteksi keberadaan hormon endogen auksin (IAA), asam absisat (ABA), giberelin (GA3 dan GA4) dan sitokinin (DHZR, IPA, ZR) pada embrio muda jagung. Charriere et al. (1999) menambahkan konsentrasi hormon endogen auksin (IAA) embrio zigotik muda Helianthus annuus dipengaruhi oleh media yang digunakan. Penggunaan embrio muda sebagai eksplan juga dilaporkan dapat meningkatkan jumlah perolehan planlet (Uranbey 2011). Perolehan planlet Sternbergia fischeriana pada penelitian Mirici (2011) semakin meningkat dengan menggunakan eksplan bebas kontaminan berupa embrio zigotik muda. Oleh sebab itu, pemanfaatan embrio muda sebagai eksplan pada embryo rescue aren merupakan alternatif yang tepat terkait dengan upaya penyediaan bibit aren secara berkelanjutan.
21 Tabel 2. Pengaruh umur embrio zigotik aren dan jenis media dasar terhadap persentase pembentukan apokol (%) pada 6 MST Media Umur Embrio Rataan Y3 WPM Muda 88 96 92a Tua 68 76 72b Rataan 78 86 82 Keterangan
: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf berbeda, berbeda nyata pada DMRT α 5%
Dari hasil pengamatan diduga embrio zigotik aren membutuhkan jenis media dasar dengan komposisi senyawa anorganik sederhana untuk perkecambahannya. Meskipun WPM memiliki komposisi media lebih sederhana, akan tetapi untuk sejumlah hara makro, mikro dan vitamin WPM memiliki konsentrasi lebih tinggi dibandingkan media Y3. Jika kedua media dibandingkan, maka diketahui bahwa konsentrasi kalsium (Ca), magnesium (Mg), sulfur (S), boron (B), mangan (Mn), seng (Zn) dan vitamin B (piridoksin, tiamin, niasin) pada media WPM lebih tinggi dibandingkan media Y3. Kalsium berperan sebagai penyeimbang anion dalam tanaman dan penyusun struktur dinding dan membran sel, sedangkan defisiensi kalsium pada tanaman mengakibatkan kehilangan turgor dan kerusakan sel (Simon 2006; George et al. 2008). Magnesium merupakan atom sentral penyusun molekul klorofil dan berperan dalam berbagai aktifitas enzimatik terutama yang berkaitan dengan transfer fosfat (Shaul 2002; Lasa et al. 2000). Sulfur dimanfaatkan oleh tanaman untuk mensintesis lipid (George et al. 2008). B, Mn dan Zn merupakan nutrisi mikro yang sering ditambahkan ke dalam media kultur jaringan (Gunawan 1987). Boron berperan dalam elongasi sel, sintesis asam nukleat dan diferensiasi sel (Lauchli 2002). Mangan merupakan salah satu nutrisi mikro penyusun protein sel yang berperan sebagai struktur metalloprotein dalam proses fotosintesis dan respirasi tanaman. Selain itu, Mn juga dibutuhkan untuk aktifitas beberapa jenis enzim (George et al. 2008). Penelitian Schwambach et al. (2005) membuktian bahwa Zn dibutuhkan untuk pembentukan akar adventif pada Eucalyptus globulus. Diduga Zn merupakan kompenen enzim yang terlibat dalam sintesis precursor IAA, Triptofan. Vitamin merupakan substansi nitrogen yang memiliki fungsi katalistik pada proses enzimatik dan dibutuhkan dalam jumlah kecil oleh tanaman (Doods dan Robert 1999). Tiamin (vitamin B1) berperan penting dalam metabolisme karbohidrat dan biosintesis beberapa asam amino (George et al. 2008). Selain tiamin, piridoksin (vitamin B6) dan niasin (vitamin B3) telah umum digunakan dalam kultur embrio zigotik, beberapa diantara: kelapa sawit (Thuzar et al. 2011), Helianthus hibrida (Chandler dan Beard 1983), jeruk lemon (Viloria et al. 2005) dan kenari (Kaur et al 2006). Hasil yang diperoleh didukung oleh Sanchez-Zamora et al. (2006) yang melaporkan bahwa persentase perkecambahan tertinggi kultur embrio kenari diperoleh dengan mengkulturkan embrio zigotik dalam media WPM (81%) dan berbeda nyata dari media MS, NGE dan DKW. Meitram dan Sharma (2006) menyatakan pertumbuhan planlet dari kultur embrio Calamus latifolia Roxb. (panjang tunas dan akar sebesar 7.48 cm dan 6.70 cm) dan Calamus tenuis Roxb.
22 (panjang tunas dan akar sebesar 5.4 cm dan 6.16 cm) terbaik diperoleh pada media WPM dibandingkan media Y3 atau MS, meskipun dalam penelitian tersebut diberi penambahan ZPT. Hasil percobaan ini berbeda dengan hasil yang diperoleh dari penelitian kultur jaringan palma lain. Media dasar Y3 merupakan salah satu media dasar yang umum digunakan dalam kultur jaringan palma. Beberapa penelitian kultur jaringan palma yang menggunakan media Y3, antara lain: kelapa (Fernando et al. 2002), kurma (Asemota et al. 2007) dan Euterpe edulis Mart. (Guerra dan Handro 1998), kelapa sawit (Srisawat dan Kanchanapoom 2005; Muniran et al. 2008).
Abnormalitas Perkembangan Apokol Apokol yang berkembang dari embrio zigotik aren yang dikulturkan dalam percobaan ini digolongkan sebagai apokol normal atau abnormal. Apokol normal memiliki tekstur permukaan mulus dengan diameter 1-2 mm (Gambar 8a). Sebaliknya, apokol abnormal ditandai dengan adanya retakan-retakan pada permukaan apokol. Diameter apokol abnormal umumnya juga lebih besar dan lebih pendek dari apokol normal (Gambar 8b). Hasil uji Kruskal-Wallis (Tabel 3) menunjukkan bahwa umur embrio zigotik dan jenis media dasar tidak berpengaruh nyata terhadap bentuk apokol. Z bernilai negatif diperoleh pada embrio zigotik muda dan media WPM, sedangkan Z dengan nilai positif diperoleh pada embrio zigotik tua dan media Y3. Hal ini menunjukkan bahwa embrio zigotik tua dan media Y3 cenderung menghasilkan bentuk abnormal lebih tinggi dibandingkan embrio zigotik muda dan media WPM. Rekapitulasi persentase apokol (Tabel 4) memperlihatkan bahwa bentuk normal mendominasi bentuk apokol. Bentuk apokol normal tertinggi diperoleh oleh embrio muda (88%), sedangkan terendah pada embrio tua (60%). Untuk media Y3 dan WPM persentase apokol normal sebesar 66% dan 82%. Bentuk apokol abnormal tertinggi diperoleh pada media Y3 yaitu sebesar 34%, sedangkan terendah diperoleh pada embrio zigotik muda (12%). Perbedaan kedua tipe bentuk mengindikasikan terjadinya aktifitas elongasi dan pembelahan sel selama proses perkecambahan. Seiring dengan meningkatnya aktifitas pembelahan dan diferensiasi sel, maka tekanan pada subepidermal ikut meningkat. Peningkatan tekanan ini menyebabkan terbentuknya celah atau retakan-retakan pada lapisan epidermis (Ribeiro et al. 2012). Selain bentuk, apokol juga memperlihatkan adanya perbedaan warna. Perbedaan warna ini terdiri atas empat yaitu putih, kuning kehijauan, cokelat muda dan putih serta cokelat (Gambar 8c). Dari hasil uji Kruskal-Wallis diketahui bahwa warna apokol sangat dipengaruhi oleh umur embrio zigotik tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis media dasar (Tabel 3). Khusus untuk warna apokol, Z bernilai negatif diperoleh pada embrio zigotik muda dan media Y3, sedangkan Z bernilai positif ditunjukan oleh embrio zigotik tua dan media WPM. Hal ini mengindikasikan bahwa embrio zigotik tua dan media WPM cenderung menghasilkan pencokelatan lebih tinggi pada apokol dibandingkan embrio zigotik muda dan media Y3.
23 Persentase warna apokol didominasi oleh warna kuning kehijauan untuk semua perlakuannya (Tabel 4). Persentase warna terendah pada Y3 dan embrio muda adalah warna cokelat, sedangkan pada media WPM dan embrio tua adalah warna cokelat muda dan putih. Dari pengamatan diketahui bahwa bentuk normal apokol umumnya berwarna kuning kehijauan. Terdapatnya perbedaan warna pada apokol aren yang diduga disebabkan oleh akumulasi senyawa fenolik (browning). Pencokelatan merupakan suatu karakter munculnya warna cokelat atau hitam pada eksplan sebagai akibat pelukaan atau reaksi biokimia. Warna cokelat yang terbentuk diakibatkan oleh reaksi hidrolisasi sekunder O-quinon atau kelebihan Odifenol (Santoso dan Nursandi 2003). Pencokelatan adalah salah satu hambatan dalam perbanyakan tanaman palma secara in vitro (Melo et al. 2001; Zouine et al. 2007). Namun dalam percobaan ini abnormalitas dan pencoklatan yang terjadi pada apokol tidak mengakibatkan terhambatnya perkecambahan embrio zigotik aren.
a
b
c
d
e
f
Gambar 8. Bentuk apokol, normal (a) dan abnormal (b). Warna apokol, putih (c), kuning kehijauan (d), cokelat muda dan putih (e) dan cokelat (f)
24 Tabel 3. Uji Kruskal-Wallis bentuk dan warna apokol aren pada 6 MST Perlakuan n Median Z Bentuk Muda 46 1 -0.95 Umur embrio Tua 36 1 0.95 Y3 39 1 0.84 Jenis media WPM 43 1 -0.84 Warna Muda 46 2 -2.42 Umur embrio Tua 36 2 2.42 Y3 39 2 -.1.30 Jenis media WPM 43 2 1.30
Nilai P 0.064tn 0.104tn
0.002** 0.089tn
Keterangan : Uji Kruskal-Wallis, tidak nyata (tn) P>0.05, berbeda nyata (*) pada 0.01
Tabel 4. Rekapitulasi persentase bentuk dan warna apokol (%) Apokol (%) Perlakuan Bentuk Normal Abnormal 1 Media : Y3 66 34 0 WPM 82 18 0 Rataan 74 26 0 Umur : Muda 88 12 0 Tua 60 40 0 Rataan 74 26 0
pada 6 MST Warna (skor) 2 3 4 32 29 61
5 5 10
2 9 11
40 21 61
5 5 10
1 10 11
Keterangan : Skoring warna apokol, putih (1), kuning kehijauan (2), cokelat muda dan putih (3) dan cokelat (4)
Abnormalitas Haustorium Haustorium yang menjadi bagian dari embrio zigotik aren menunjukkan respon berbeda. Bentuk haustorium yang diamati juga terdiri atas dua tipe bentuk yaitu bentuk normal (Gambar 9a) dan abnormal (Gambar 9b). Haustorium normal tetap berbentuk kerucut, sedangkan haustorium abnormal menunjukan perubahan bentuk menjadi tidak beraturan dan terdapat retakan pada permukaannya. Hasil uji Kruskal-Wallis (Tabel 5) menunjukkan bahwa jenis media dasar tidak berpengaruh terhadap bentuk haustorium. Namun, umur embrio zigotik berpengaruh nyata terhadap bentuk haustorium. Z bernilai negatif untuk bentuk haustorium diperoleh pada embrio zigotik tua dan media WPM. Hasil ini mengindikasikan embrio zigotik tua dan media WPM menghasilkan bentuk abnormal lebih rendah dibandingkan embrio zigotik muda dan media Y3.
25 Bentuk normal mendominasi bentuk haustorium dari embrio zigotik aren yang dikulturkan. Bentuk haustorium normal tertinggi diperoleh pada embrio tua yaitu 78%, sedangkan terendah pada embrio zigotik muda (58%). Penelitian Ribeiro et al. (2012) membuktikan perubahan bentuk haustorium pada macaw palm mulai terlihat 2 hari setelah tanam (HST). Pembesaran pada haustorium kurma diakibatkan aktivitas pembelahan mitosis pada epithelium, sehingga mengakibatkan terbentuknya lapisan tipis pada sel-sel haustorium (DeMason 1985). Sugimuma dan Murakami (1990) menambahkan perubahan bentuk haustorium kelapa berkaitan dengan fungsinya sebagai organ penyerapan dan penyimpanan cadangan makanan. Warna haustorium yang terlihat enam MST juga menunjukkan perbedaan pada setiap eksplannya. Warna haustorium dari embrio muda atau tua terbagi dalam lima warna yang berbeda. Kelima warna haustorium yang diperoleh tersebut adalah putih, kuning kehijauan, putih dan cokelat, cokelat muda dan hitam (Gambar 9c-g). Uji Kruskal-Wallis menunjukkan warna haustorium sangat dipengaruhi oleh umur embrio zigotik tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis media dasar. Z bernilai negatif pada warna haustorium dihasilkan oleh embrio zigotik muda dan media WPM. Dari analisis tersebut diketahui bahwa pencokelatan haustoium nampak lebih jelas pada embrio zigotik tua dan penanaman pada media Y3.
a
b
e
d
c
f
g
Gambar 9. Bentuk haustorium, normal (a) dan abnormal (b). Warna haustorium (c-g), putih (c), kuning kehijauan (d), cokelat dan putih (e), cokelat muda (f) dan cokelat (g)
26 Rekapitulasi persentase warna haustorium (Tabel 6) menunjukkan bahwa warna haustorium sebagian besar memperlihatkan warna cokelat muda, kecuali pada embrio zigotik tua. Warna haustorium tertinggi terdapat pada warna cokelat muda (39%), sedangkan persentase warna haustorium terendah diperoleh pada warna kuning kehijauan (4%). Akumulasi senyawa fenolik menyebabkan terjadinya pencokelatan (browning) eksplan yang terlihat lebih jelas pada bagian haustorium. Ribeiro et al. (2012) melaporkan pencokelatan pada haustorium macaw palm mulai terlihat pada lima HST. Pembelahan sel jaringan meristematik secara intensif menyebabkan pecahnya lapisan sel subepidermal, sehingga senyawa fenolik pada bagian tersebut terdorong ke lapisan epidermis. Terakumulasinya senyawa-senyawa ini di bagian epidermis menyebabkan perubahan warna menjadi lebih gelap (cokelat) pada eksplan.
Tabel 5. Uji Kruskal-Wallis bentuk dan warna haustorium aren pada 6 MST Perlakuan n Median Z Nilai P Bentuk Muda 50 1 1.72 Umur embrio 0.033* Tua 50 1 -1.72 Y3 50 1 1.03 Jenis media 0.201tn WPM 50 1 -1.03 Warna Muda 50 2 -0.95 Umur embrio 0.002** Tua 50 2 0.95 Y3 50 2 0.84 Jenis media 0.104tn WPM 50 2 -0.84 Keterangan : Uji Kruskal-Wallis, tidak nyata (tn) P>0.05, berbeda nyata (*) pada 0.01
Tabel 6. Rekapitulasi persentase bentuk dan warna haustorium (%) pada 6 MST Haustorium (%) Warna (Skor) Perlakuan Bentuk Normal Abnormal 1 2 3 4 Media : Y3 62 38 9 2 5 20 14 WPM 74 26 8 2 8 19 13 Rataan 68 32 17 4 13 39 27 Umur : Muda 58 42 5 4 11 23 7 Tua 78 22 12 0 2 16 20 Rataan 68 32 17 4 13 39 27 Keterangan : Warna haustorium, putih (1), kuning kehijauan (2), cokelat dan putih (3) dan cokelat (4)
5
27 Regenerasi Planlet Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemindahan kecambah ke dalam media Y3 dengan penambahan air kelapa 100 dan 150 ml/l menghasilkan persentase regenerasi planlet tertinggi yaitu masing-masing 2% (3 planlet), sedangkan air kelapa 200 ml/l dan BAP 5 ppm hanya dapat menghasilkan persentase planlet masing-masing sebesar 1% (1 planlet). Embrio zigotik muda atau tua dapat membentuk planlet masing-masing sebesar 2% (4 planlet), sedangkan embrio yang ditanam dahulu dalam media WPM atau Y3 sebelum disubkultur pada media ber-ZPT dapat membentuk planlet masing-masing sebesar 3% (5 planlet) dan 2% (3 planlet) (Tabel 7). Planlet yang diperoleh pada percobaan ini belum dapat diaklimatisasi (Gambar 10). Hal ini disebabkan karena pertumbuhan planlet belum mencapai pertumbuhan optimal sehingga dikhawatirkan planlet tidak dapat bertahan hidup selama tahap aklimatisasi. Terdapat juga embrio zigotik yang tidak menunjukkan adanya perkembangan (stagnan) (17%) meskipun telah disubkultur ke dalam media ber-ZPT.
Gambar 10. Planlet aren (24 MST) berasal dari embrio muda yang dikulturkan dalam media WPM
28 Tabel 7. Persentase planlet aren (%) pada 24 MST Media subkultur Perlakuan Awal AK1 (x) AK2 (x) AK3 (x)
Total BAP5 (x)
Muda
Y3
0 (3)
1 (5)
0 (6)
0 (6)
1
Muda
WPM
2 (5)
1 (3)
0 (3)
0 (4)
3
Tua
Y3
0 (0)
1 (3)
1 (3)
0 (1)
2
Tua
WPM
1 (4)
0 (2)
0 (1)
1 (5)
2
Total
3 (12)
3 (13)
1 (13)
1 (16)
8 (54)
Persentase (%)
25
23
8
Keterangan
6
15
: AK1 = air kelapa 100 ml/l, AK2 = air kelapa 150 ml/l, AK3 = air kelapa 200 ml/l, BAP5 = BAP 5 ppm. x = jumlah total eksplan yang ditanam
SIMPULAN Kemampuan hidup dan perkecambahan embrio zigotik aren terbaik diperoleh pada eksplan embrio zigotik muda (92%) dibandingkan embrio zigotik tua (72%). Komposisi media dasar (Y3 atau WPM) tidak berpengaruh nyata terhadap perkecambangan embrio zigotik aren. Jenis media dasar yang digunakan tidak berpengaruh terhadap bentuk, warna apokol dan haustorium aren. Umur embrio memberikan pengaruh nyata terhadap bentuk hastorium, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap bentuk apokol. Perkembangan haustorium dan apokol abnormal tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet yang diperoleh. Persentase planlet yang terbentuk dari embrio zigotik aren selama periode pengamatan berkisar antara 6%-25% planlet.
SARAN Dalam penelitian selanjutnya, disarankan untuk mengevaluasi peranan penambahan ZPT dalam media kultur serta penerapan pra-perlakuan pada embryo rescue aren sehingga dapat meningkatkan keberhasilan konversi embrio zigotik menjadi planlet aren.
29
PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH DAN PRA-PERLAKUAN MENINGKATKAN KEBERHASILAN EMBRYO RESCUE AREN SECARA IN VITRO Abstrak Aren merupakan tanaman asli Asia tenggara yang termasuk dalam famili Arecaceae (palmaceae). Tujuan dari percobaan ini adalah: mengevaluasi pengaruh 1) pra-perlakuan dan penambahan sitokinin dalam media, 2) penambahan kombinasi auksin dan sitokinin ke dalam media terhadap perkembangan embrio zigotik muda dan pertumbuhan planlet dalam embryo rescue aren. Percobaan satu, embrio zigotik muda dengan atau tanpa pra-perlakuan dikulturkan pada media Y3 dengan penambahan sitokinin berupa air kelapa (100, 150 dan 200 ml/l) atau BAP (5 ppm). Percobaan dua, penambahan ZPT (NAA 1 ppm, NAA 5 ppm, kinetin 5 ppm, BAP 5 ppm, NAA 1 ppm+kinetin 5 ppm, NAA 5 ppm+kinetin 5 ppm, NAA 1 ppm+BAP 5 ppm dan NAA 5 ppm+BAP 5 ppm) ke dalam media Y3 untuk regenerasi planlet. Hasil menunjukkan bahwa penambahan sitokinin (air kelapa atau BAP) tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan embrio, sedangkan embrio dengan pra-perlakuan menunjukkan pertumbuhan tunas dan akar terbaik. Penambahan auksin dengan atau tanpa sitokinin berpengaruh positif terhadap panjang akar dari embrio zigotik aren. Kombinasi NAA 5 ppm+BAP 5 ppm menghasilkan jumlah planlet tertinggi. Planlet berhasil diregenerasikan melalui embryo rescue dan dipindahkan ke tanah. Kata kunci : aren, air kelapa, auksin, embrio muda dan sitokinin
PENDAHULUAN Tanaman aren merupakan multi porpose tree spesies dimana seluruh bagian dari tanaman ini dapat digunakan dan tidak terbuang (Atjung 1990). Produk utama tanaman aren adalah nira yang dipanen dari tandan bunga jantan (mayang). Nira memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena merupakan bahan baku bahan bakar nabati (BBN), gula, alkohol dan cuka (Hasibunan 2011; Effendi 2010; Baharuddin et al. 2007; Baharuddin et al. 2009). Nira mulai diproduksi oleh tanaman pada umur 5-8 tahun (Tenda et al. 2011). Jumlah tanda produktif hanya 4-6 tanda dan dengan masa sadap 2-3 bulan. Dengan demikian, masa sadap aren berkisar 8-18 bulan. Setelah itu, bunga jantan masih terbentuk, namun kurang produktif. Nira dapat dihasilkan tanaman 15 l/hari/tanaman. Tanaman akan mati lima tahun setelah berbunga (BPPP 2009). Peningkatan produksi nira aren dilakukan melalui penerapan pupuk (anorganik dan organik) dan penanaman varietas unggul (Malingkay et al. 2012; Tenda et al. 2011). Pemberian pupuk NPK 1.200 g/pohon/tahun dan pupuk organik 800 g/pohon/tahun meningkatkan produksi nira mencapai 17.2-17.5 l/pohon/hari (Malingkay et al. 2012), sedangkan penanaman varietas Kutai Timur
30 (Kutim) menghasilkan produksi nira sebesar 11-17 l/hari (Tenda et al. 2011). Namun hingga saat ini belum diperoleh informasi mengenai teknik yang berfungsi untuk memperpanjang umur produksi dari pohon induk aren. Penyediaan bibit sebagai bahan tanam merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam program pengembangan tanaman aren. Faktor yang berpotensi menjadi penghambat penyediaan bibit aren adalah adanya dormansi benih (Asikin dan Puspitaningtyas 2000). Upaya pematahan dormansi benih aren dengan perlakuan fisik (Rofik dan Murniati 2008), kimiawi (Asikin dan Puspitaningtyas 2000; Indrawati 1999), ZPT (Sirait 2010; Saleh dan Wardah 2010) atau penanaman benih dalam berbagai media perkecambahan benih (Rofik dan Murniati 2008) belum mampu mengatasi masalah dormansi benih aren. Salah satu solusi yang diharapkan dapat digunakan untuk mengatasi masalah dormansi sekaligus memperpanjang umur produktif pohon aren adalah melalui embryo rescue secara in vitro. Teknik embryo rescue dilakukan untuk memperoleh planlet dengan mengkulturkan embrio zigotik muda dalam media in vitro (Cisneros et al 2012). Penanaman embrio zigotik muda dalam media in vitro yang mengandung berbagai nutrisi tertentu bermanfaat untuk mematahkan dormansi (Stojicic et al 2012), mempercepat perolehan bibit tanaman (Liu et al. 2004) dan mempercepat siklus pemuliaan tanaman (Murphy 2007). Selain itu, pemanenan buah dalam kondisi masih muda untuk diambil embrio zigotiknya secara tidak langsung dapat memperpanjang umur produktif pohon aren. Hal ini disebabkan karena hasil fotosintesis yang ditujukan untuk pematangan buah dapat dialihkan ke proses sintesis nira atau proses metabolisme lainnya sehingga pohon induk dapat berproduktif dalam jangka waktu yang lebih lama. Penambahan ZPT ke dalam media in vitro dan pra-perlakuan embrio zigotik muda sebelum ditanam dalam media in vitro diduga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio muda menjadi planlet. Arsyad et al. (2013) melaporkan penambahan air kelapa (100 dan 150 ml/l) dan pra-perlakuan menghasilkan jumlah planlet lebih tinggi dibandingkan penambahan air kelapa 200 ml/l dan BAP 5 ppm pada embryo rescue aren. Mashud (2009) juga melaporkan penggunaan air kelapa 100 ml/l berpengaruh positif terhadap perkecambahan embrio zigotik kelapa Dalam Mapanget. Penelitian penggunaan ZPT α-naphthaleneacetic acid (NAA) dan 6-benzylaminopurine (BAP) telah dilaporkan pada embryo rescue kelapa sawit (Alves et al. 2011) dan air kelapa pada embryo rescue kelapa kopyor (Sukendah et al. 2008). Ismail (1994) juga melaporkan penggunaan ZPT auksin (2.4 D, IBA, IAA dan NAA) dan sitokinin (BAP, 2ip dan kinetin) pada kultur embrio zigotik aren. Dalam penelitian lain, pra-perlakuan berpengaruh pada perkembangan embrio zigotik muda peach palm (Maciel et al. 2010). Percobaan ini dilakukan untuk mengatasi masalah dormansi benih aren melalui embryo rescue. Tujuan dari percobaan ini adalah mengevaluasi pengaruh 1) pra-perlakuan dan penambahan sitokinin dalam media kutur in vitro, 2) penambahan ZPT (auksin dan atau sitokinin) ke dalam media kultur in vitro terhadap perkembangan embrio zigotik muda melalui embryo rescue dan pertumbuhan planlet aren.
31
BAHAN DAN METODE Waktu, Tempat, dan Bahan Tanam (Eksplan) Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai Oktober 2012. Bertempat di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor. Eksplan yang digunakan adalah embrio zigotik muda aren yang diperoleh dari pertanaman di sekitar Bogor, Jawa Barat (Desa Cinangneng) dan Maros, Sulawesi Selatan (Desa Kaluku). Embrio zigotik diisolasi dari buah aren muda (±15 BSP) (Matana, Staf peneliti Balai Penelitian Tanaman Palma, wawancara langsung). Karakteristik buah aren muda yang digunakan pada percobaan ini adalah kulit buah berwarna hijau, endosperma bertekstur kenyal berwarna putih transparan dan kulit biji berwarna kuning dan tipis.
Sterilisasi Eksplan Sterilisasi eksplan dimulai dengan memotong buah aren untuk diambil bijinya. Biji/endosperma dipotong membentuk balok pada bagian yang berisi embrio lalu biji dicuci dengan detergen dan dibilas dengan aquades steril. Potongan balok endosperma disterilkan dalam larutan cairan pemutih komersial (bleach) dengan konsentrasi 20% dan 10%, masing-masing selama 15 menit. Dua tetes Tween 20 ditambahkan ke dalam cairan pemutih komersial sebagai pengemulsi. Selanjutnya embrio zigotik diisolasi dari balok endosperma dan disterilisasi dalam cairan pemutih komersial 5% selama 15 menit. Embrio-embrio zigotik dibilas tiga kali dengan aquades steril untuk dibersihkan dari cairan pemutih komersial dan embrio zigotik siap untuk ditanam dalam media perlakuan. Setelah ditanam dalam botol kultur, embrio zigotik diinkubasi dalam ruang kultur pada suhu 24-250C dengan lama penyinaran 24 jam.
Media Dasar Kultur In Vitro dan Aklimatisasi Media dasar yang digunakan adalah media berbasis Eeuwens atau Y3 (Eeuwens 1976) (Lampiran 2). Ke dalam media berbasis Y3 ditambahkan komposisi vitamin yang dikembangkan oleh Morel dan Wetmore (1951). Media juga ditambahkan sukrosa 60.000 mg/l, arang aktif 2.500 mg/l, agar 7.000 mg/l. pH media diatur hingga mencapai 5.5-5.8 dengan penambahan NaOH (0,1 N) atau HCl (0,1 N). Aklimatisasi dilakukan menggunakan wadah gelas plastik yang terlebih dahulu diberi lubang pada bagian dasar wadah. Selanjutnya wadah diisi dengan arang sekam yang telah disterilisasi menggunakan autoclave. Setelah wadah diisi dengan arang sekam steril, planlet ditanam dan disimpan pada suhu ruang. Setelah satu minggu dalam suhu ruang, planlet dipindahkan ke luar ruangan dengan tujuan agar planlet dapat beradaptasi dengan lingkungan luar. Planlet dipindahkan ke polibag yang berisi media tanam (campuran tanah, pupuk kandang dan arang sekam) setelah akar dan daun baru terbentuk.
32 Pengaruh penambahan ZPT sitokinin dan pra-perlakuan Percobaan ini tersusun dalam RAL dengan dua faktor. Faktor pertama penambahan ZPT sitokinin, yaitu air kelapa muda 100, 150, 200 ml/l dan BAP 5 ppm. Faktor kedua adalah pra-perlakuan, yaitu dengan dan tanpa pra-perlakuan. Pra-perlakuan dilakukan dengan menanam embrio zigotik pada media Y3 tanpa penambahan ZPT selama enam minggu. Setelah enam minggu di media praperlakuan, embrio zigotik aren yang telah membentuk apokol (kecambah) disubkultur ke dalam media perlakuan yang mengandung ZPT. Pra-perlakuan yang diberikan diharapkan mampu mendorong perkembangan embrio zigotik mengarah ke pembentukan plantlet yang baik dan dalam waktu yang lebih cepat, kecambah aren yang lebih seragam dan kepastian bahwa eksplan yang ditanam dalam media perlakuan terbebas dari mikroba kontaminan. Unit percobaan terdiri atas lima botol dan diulang lima kali. Di dalam masing-masing botol kultur ditanaman dengan satu embrio zigotik. Jumlah seluruh satuan percobaan adalah 200 embrio zigotik. Model linier RAL faktorial menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) ialah : Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yij = Pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k µ = Rataan umum αi = Pengaruh utama faktor A βj = Pengaruh utama faktor B αβij = Komponen interaksi dari faktor A dan B εijk = Pengaruh acak Pengaruh penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin) Percobaan disusun dalam RAL satu faktor, dengan delapan perlakuan penambahan ZPT, yaitu: penambahan NAA (1 ppm atau 5 ppm); kinetin (5 ppm) atau BAP (5 ppm). Selain itu, perlakuan penambahan kombinasi BAP (5 ppm) dengan NAA (1 ppm atau 5 ppm), atau kombinasi kinetin (5 ppm) dengan NAA (1 ppm atau 5 ppm). Unit percobaan terdiri atas lima botol kultur dengan lima ulangan. Satu embrio zigotik ditanam dalam setiap botol sehingga seluruh total embrio zigotik muda aren yang ditanam berjumlah 200 embrio. Model linier RAL faktor tunggal menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) : Yij = µ + τi + βj + εij Keterangan : i = 1, 2, …, t dan j = 1, 2, …, r Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Rataan umum = Pengaruh perlakuan ke-i τi εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-i
Pengamatan dan Analisis Data Untuk kedua percobaan, pengamatan dilakukan terhadap semua kultur yang terbebas dari kontaminasi pada 12 minggu setelah tanam (MST). Peubah yang
33 diamati, meliputi: (a) Persentase pembentukan apokol dari eksplan, (b) Persentase eksplan yang bertunas, (c) Persentase eksplan yang berakar, (d) Panjang tunas, dan Panjang akar yang berkembang dari eksplan yang dikulturkan. Pada 32 MST, pengamatan kembali dilakukan untuk menghitung persentase pembentukan planlet dari total embrio zigotik aren yang dikulturkan. Persentase planlet dihitung dari jumlah planlet yang berkembang dari eksplan dibagi dengan jumlah total eksplan yang diamati dikalikan dengan 100%. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji F pada taraf nyata α 5% dan jika hasil uji F menunjukkan berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT). Analisis data dilakukan dengan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) versi 9.0 (SAS Institute Inc., USA).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada akhir percobaan (12 MST) terlihat pertumbuhan embrio zigotik muda aren dapat mencapai pembentukan tunas dan akar. Penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin) diduga sebagai salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembentukan akar dan tunas pada embrio zigotik yang dikulturkan. Selain itu, melalui kultur in vitro eksplan yang berupa embrio zigotik dapat kontak langsung dengan media tanam sehingga masalah dormansi tidak lagi menghambat pertumbuhan embrio zigotik aren. Hasil yang diperoleh pada percobaan ini lebih baik dibanding penelitian Saleh dan Wardah (2010) dan Saleh et al. (2008) yang melaporkan perkecambahan biji aren secara konvensional belum dapat membentuk bibit pada 12 MST. Pertumbuhan embrio zigotik aren menunjukkan pertumbuhan morfologi spesifik yaitu didahului dengan pemanjangan apokol, induksi akar kemudian disusul oleh keluarnya tunas dari dalam apokol (Mujahidin et al. 2003). Pembentukan akar dimulai dari ujung apokol yang membengkak, sedangkan pembentukan tunas berasal dari celah yang berada pada apokol. Selain itu, terdapat fenomena dimana tunas dapat terbentuk tanpa didahului oleh pembentukan akar (Gambar 11a), namun pada tahap aklimatisasi planlet tersebut tidak dapat bertahan hidup (mati). Akar terbentuk sebagai perpanjangan apokol dan dimulai dari ujung apokol yang membengkak (Saleh dan Wardah 2010). Secara visual terdapat perbedaan diameter antara akar dan apokol yang diperoleh pada percobaan ini. Diameter akar terlihat lebih kecil dibandingkan diameter apokolnya (Gambar 11c). Di samping itu, akar yang terbentuk umumnya berwarna kuning sedangkan apokol memiliki empat warna yang berbeda (putih, kuning kehijauan, cokelat dan putih serta cokelat). Kedua hal ini menjadi indikator untuk mengetahui terbentuknya akar pada kecambah aren. Pembentukan tunas pada kecambah aren dimulai dengan munculnya retakan di tengah atau sela-sela apokol (Mogea et al. 1991). Retakan apokol akan semakin memanjang dan akhirnya membentuk celah. Dari celah apokol yang terbentuk akan keluar tunas yang pada awalnya hanya sebagian kecil dari ukurannya. Seiring dengan bertambahnya periode in vitro, tunas ini akan semakin membesar
34 hingga seluruh bagian dari tunas keluar dari apokol. Tunas yang keluar pertama kali berbentuk duri landak, runcing dan tajam (Gambar 12).
a
b
c
d
Gambar 11. Planlet aren (kiri), pembentukan tunas tanpa akar (a). Kecambah aren (kanan), apokol (b), akar (c), dan pembengkakan pada apokol (d).
35
a
c
b
d
d
e
Gambar 12. Tahapan keluarnya tunas dari apokol. Celah pada apokol (a), celah melebar (b), tunas mulai keluar dari apokol (c), tunas telah keluar dari apokol (d), dan daun baru telah terbentuk (e)
36 Pengaruh penambahan ZPT sitokinin dan pra-perlakuan Pengamatan pada percobaan ini dilakukan pada 12 MST. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara penambahan sitokinin (air kelapa atau BAP) dan pra-perlakuan terhadap persentase eksplan bertunas, persentase berakar, panjang tunas dan panjang akar. Data rekapitulasi interaksi penambahan sitokinin dan pra-perlakuan tersaji pada Tabel 8. Kombinasi penambahan air kelapa 200 ml/l dan dengan pra-perlakuan cenderung menghasilkan persentase eksplan bertunas tertinggi yaitu sebesar 46%, sedangkan kombinasi BAP 5 ppm dan tanpa pra-perlakuan cenderung menghasilkan persentase berakar tertinggi (12%). Kombinasi penambahan BAP 5 ppm dan dengan pra-perlakuan memiliki kecenderungan untuk menghasilkan ratarata panjang tunas tertinggi (0.82 cm). Rata-rata panjang akar tertinggi cenderung dihasilkan oleh kombinasi penambahan air kelapa 200 ml/l dan dengan praperlakuan (0.35 cm). Pada percobaan ini embrio zigotik muda aren telah dapat bertunas dan berakar, akan tetapi persentase pembentukannya masih relatif kecil (Tabel 8). Terdapat satu kombinasi perlakuan (air kelapa 200 ml/l dan tanpa pra-perlakuan) yang tidak memperlihatkan pembentukan tunas (0%). Terdapat juga dua kombinasi yang tidak menunjukkan adanya pembentukan akar. Kedua kombinasi tersebut adalah kombinasi perlakuan air kelapa 100 ml/l dan tanpa pra-perlakuan serta kombinasi air kelapa 150 ml/l dan tanpa pra-perlakuan (0%). Keragaman kemampuan tumbuh eksplan diduga dipengaruhi oleh genotipe eksplan. Hal ini disebabkan karena meskipun embrio berasal dari buah yang sama, namun fertilisasi yang terjadi berasal dari serbuk sari yang berbeda sehingga genotipe ketiga embrio dalam satu buah juga ikut berbeda. Gebologlu et al. (2011) menyatakan keberhasilan kultur embrio zigotik dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya: genotipe, umur embrio dan ZPT. Analisis ragam menunjukan bahwa penambahan sitokinin berupa air kelapa atau BAP ke dalam media kultur tidak berpengaruh nyata terhadap persentase eksplan bertunas (Tabel 9). Perlakuan pra-perlakuan sebagai faktor tunggal memberikan pengaruh sangat nyata terhadap persentase embrio zigotik muda yang bertunas. Terjadi peningkatan pembentukan tunas seiring meningkatnya kandungan air kelapa dalam media. Terlihat bahwa embrio zigotik muda yang terlebih dahulu ditanam dalam media tanpa penambahan ZPT menghasilkan persentase bertunas lebih tinggi dan berbeda nyata dari eksplan yang dikulturkan langsung dalam media ber-ZPT (tanpa pra-perlakuan). Dari data persentase bertunas yang diperoleh diketahui bahwa air kelapa 200 ml/l cenderung menghasilkan persentase tunas tertinggi (23%), meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena air kelapa mengandung hormon endogen yang memacu pembelahan sel dari embrio zigotik muda aren. Yong et al. (2009) melaporkan air kelapa mengandung hormon endogen yang terdiri atas: auksin dan sitokinin. Selain itu, air kelapa juga mengandung asam amino, vitamin, gula (sukrosa, glukosa dan fruktosa), gula alkohol (manitol, sorbitol dan mio-inositol), senyawa nitrogen (etanolamin dan amonium), asam organik dan enzim. Gula dan gula alkohol merupakan sumber energi untuk pertumbuhan kultur jaringan tanaman. Salah satu proses yang membutuhkan energi adalah penyerapan unsur hara dari dalam media. Asam
37 amino merupakan sumber N-organik yang siap diasimilasi dan dapat mendorong pertumbuhan sel dalam kultur apabila nitrat dan amonium kurang tersedia. Asam organik berfungsi meningkatkan pertumbuhan sel dalam media yang hanya mengandung amonium sebagai sumber N. Vitamin berfungsi pada reaksi enzimatik (Mashud 2009). Penambahan air kelapa pada media kultur meningkatkan kandungan fosfat (P) dalam media sehingga dapat mengurangi subkultur pada kultur jaringan Cyamopsis tetragonolobust (Mohammad dan Ali 2010). Penelitian lain yang dilakukan oleh Peixe et al. (2007) menambahkan penambahan air kelapa dalam media kultur dapat mensubtitusi peran zeatin pada kultur jaringan zaitun. Hasil yang diperoleh didukung oleh penelitian Asif et al. (2001) yang melaporkan bahwa air kelapa 200 ml/l menghasilkan perkecambahan dan pertumbuhan embrio zigotik pisang tertingggi (93.8%) dibandingkan air kelapa 100 ml/l (87.5%) dan 300 ml/l (68,8%). Nasib et al. (2008) membuktikan penambahan air kelapa 200 ml/l ke dalam media kultur mengahasilkan rata-rata jumlah tunas lebih tinggi (7.2) dibandingkan penambahan air kelapa 150 ml/l dan tanpa penambahan air kelapa (6.7 dan 5.5) pada kultur jaringan kiwi. Namun hasil berbeda diperoleh Sukendah et al. (2008) pada embryo rescue kelapa kopyor. Sukendah et al. (2008) melaporkan air kelapa tidak memberikan peningkatan yang signifikan terhadap pertumbuhan planlet pada kultur embrio kelapa kopyor asal Sumenep. Media dengan air kelapa 200 ml/l justru menghasilkan jumlah dan lebar daun lebih rendah dibandingkan media dengan konsentrasi air kelapa lebih kecil atau tanpa air kelapa. Perlakuan penambahan sitokinin atau pra-perlakuan secara tunggal tidak berpengaruh nyata terhadap persentase akar yang terbentuk dari embrio zigotik muda aren. Persentase berakar tertinggi untuk perlakuan penambahan sitokinin cenderung dihasilkan oleh penambahan BAP 5 ppm (10%) ke dalam media. Di antara ketiga konsentrasi penambahan air kelapa, penambahan air kelapa 200 ml/l cenderung menghasilkan persentase pembentukan akar lebih baik (6%) dibandingkan penambahan air kelapa 100 dan 150 ml/l (5%). Untuk perlakuan pra-perlakuan, persentase akar cenderung lebih tinggi pada perlakuan dengan penanaman terlebih dahulu dalam media kultur tanpa ZPT (9%) (Tabel 9). Dari percobaan ini diketahui sitokinin dapat menginduksi pembentukan akar meskipun tanpa penambahan auksin eksogen dalam media kultur. Keseimbangan nisbah sitokinin dan auksin endogen diduga menjadi salah satu penyebab terbentuknya akar dari embrio zigotik aren yang dikulturkan. Keseimbangan antara auksin dan sitokinin sebagai ZPT sangat dibutuhkan untuk pembentukan meristem akar pada kultur jaringan (George et al. 2008). Selain itu, penambahan BAP dalam media kultur dapat memicu biosintesis etilen pada jaringan eksplan (Wang et al. 2002). Pernyataan tersebut didukung oleh Stepanova et al. (2005), terjadi akumulasi IAA pada jaringan tudung akar Arabidopsis thaliana seiring dengan meningkatnya konsentrasi etilen. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ruzicka et al. (2007) menunjukkan bahwa etilen berperan dalam mengaktifkan auxin signaling pathway dan mengatur pertumbuhan akar dengan mendorong biosintesis serta transpor auksin. Pola pertumbuhan dari embrio zigotik aren diduga pula menjadi salah satu penyebab tingginya eksplan berakar pada penambahan BAP. Penambahan BAP menginduksi terjadinya pembelahan sel pada jaringan apokol sehingga ketika
38 apokol telah mencapai panjang tertentu maka induksi akar dimulai dengan didahului oleh pembengkakan pada ujung apokol. BAP merupakan ZPT yang tergolong ke dalam sitokinin sintesis. Golongan sitokinin ini mempengaruhi berbagai proses fisiologi dan berperan penting dalam sitokinesis atau pembelahan sel serta morfogenesis pada kultur jaringan tanaman (Wattimena 1988; Gunawan 1987; Barciszewski et al. 1999). Analisis ragam menunjukkan bahwa panjang tunas dan akar tidak dipengaruhi oleh penambahan sitokinin dalam media. Berbeda dengan penambahan sitokinin, perlakuan pra-perlakuan secara tunggal sangat berpengaruh terhadap panjang tunas, tetapi tidak berpengaruh terhadap panjang akar yang terbentuk dari embrio zigotik aren. Rata-rata panjang tunas dan akar tertinggi cenderung diperoleh pada penambahan BAP 5 ppm ke dalam media kultur, masing-masing sebesar 0.40 cm dan 0.24 cm. Pada perlakuan praperlakuan, rata-rata panjang tunas dan akar lebih tinggi dihasilkan oleh perlakuan dengan pra-perlakuan (0.56 cm dan 0.86 cm). Penambahan BAP dalam media in vitro pada percobaan ini memperlihatkan pengaruh yang lebih superior dalam menginduksi panjang tunas dan akar eksplan dibandingkan penambahan air kelapa di ketiga konsentrasinya. Hasil ini didukung oleh Gnasekaran et al. (2010), air kelapa umum digunakan sebagai senyawa organik kompleks pada kultur jaringan karena mengandung 1,3-Diphenylurea yang memiliki pengaruh yang sama dengan sitokinin. Namun, air kelapa juga memiliki faktor penyebab dormansi alami seperti asam absisik (ABA). Selain itu air kelapa dapat berubah menjadi senyawa toksin jika terlalu lama kontak dengan udara bebas. Srivastava (2002) menyatakan Diphenylurea menginduksi pembelahan sel lebih rendah dibandingkan sitokinin adenine dengan rasio pembelahan sel 1:100. Di samping itu, diduga air kelapa mengandung monosakarida dengan kandungan gula setara 60 g/l. Peningkatan konsentrasi gula menyebabkan meningkatnya tekanan osmotik media sehingga mengakibatkan terhambatnya pembentukan akar. Asemota et al. (2007) melaporkan bahwa peningkatan konsentrasi sukrosa hingga 90 g/l menurunkan pembentukan dan pemanjangan akar pada kultur jaringan kurma. Penanaman terlebih dahulu embrio zigotik muda dalam media tanpa penambahan ZPT menghasilkan persentase bertunas, persentase berakar, panjang tunas serta panjang akar lebih tinggi dibandingkan eksplan yang dikulturkan langsung dalam media ber-ZPT (Tabel 9 dan 10). Hal ini mengindikasikan bahwa media tanpa ZPT (free hormone medium) berperan dalam proses pematangan jaringan embrio zigotik muda aren. Selama proses pematangan, terjadi akumulasi pati, protein (Peran-Quesada et al. 2004), lipid dan enzim (Davies 2004) yang dibutuhkan untuk proses perkecambahan dan pertumbuhan embrio. Sanputawong dan Te-chato (2011) juga melaporkan mengkulturkan embrio kelapa sawit dalam media tanpa penambahan ZPT selama 2 bulan menyebabkan terjadi stres pada embrio. Kondisi stress embrio ini berkaitan dengan hidrolisis dan mobilitas cadangan makanan yang dibutuhkan selama perkecambahan dan pertumbuhan embrio (Sarasan et al. 2005). Diduga pula perlakuan pra-perlakuan juga mempengaruhi konsentrasi hormon endogen dalam jaringan embrio zigotik. Feher et al. (2003) menambahkan pra-perlakuan dapat berperan dalam mengubah keseimbangan hormon endogen dalam jaringan embrio zigotik.
39 Tabel 8. Rekapitulasi interaksi penambahan sitokinin dan pra-perlakuan terhadap seluruh peubah pada 12 MST Penambahan Sitokinin Tanpa Pra-perlakuan Dengan Pra-perlakuan (Σx / n) (Σx / n) dalam media Y3 Persentase bertunas (%) AK 1 7 (1/19) 29 (6/18) AK 2 5 (1/21) 31 (6/17) AK 3 0 (0/25) 46 (8/20) BAP 5 4 (1/24) 37 (8/18) Persentase berakar (%) AK 1 0 (1/19) 9 (2/18) AK 2 0 (0/21) 10 (1/17) AK 3 4 (1/25) 8 (2/20) BAP 5 12 (3/24) 9 (2/18) Panjang Tunas (cm) AK 1 0.03 (1/19) 0.60 (6/18) AK 2 0.05 (1/21) 0.44 (6/17) AK 3 0 (0/25) 0.46 (8/20) BAP 5 0.09 (1/24) 0.82 (8/18) Panjang Akar (cm) AK 1 0 (1/19) 0.02 (2/18) AK 2 0 (0/21) 0.02 (1/17) AK 3 0.04 (1/25) 0.35 (2/20) BAP 5 0.27 (3/24) 0.20 (2/18) Keterangan :
AK1 = air kelapa 100 ml/l, AK2 = air kelapa 150 ml/l, AK3 = air kelapa 200 ml/l, BAP5 = BAP 5 ppm. Σx = jumlah eksplan bertunas atau berakar. n = jumlah total eksplan setiap perlakuan.
Tabel 9. Penambahan sitokinin dan pra-perlakuan terhadap persentase tunas dan akar aren (%) pada 12 MST Persentase tunas Persentase akar Perlakuan (Σx / n) (Σx / n) Penambahan sitokinin dalam media Y3 : Air kelapa 100 ml/l 18 (7/37) 5 (2/37) Air kelapa 150 ml/l 18 (7/38) 5 (1/38) Air kelapa 200 ml/l 23 (8/45) 6 (3/45) BAP 5 ppm 20 (9/42) 10 (5/42) Pra-perlakuan : Tanpa Pra-perlakuan 4b (3/89) 4 (4/89) Dengan Pra-perlakuan 36a (28/73) 9 (7/73) Keterangan :
Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda, berbeda nyata pada uji DMRT taraf α 1%. Σx = jumlah eksplan bertunas atau berakar. n = jumlah total eksplan setiap perlakuan.
40 Tabel 10. Penambahan ZPT (sitokinin) dan pra-perlakuan terhadap rata-rata panjang tunas dan akar aren (cm) pada 12 MST Panjang Tunas Panjang Akar Perlakuan (Σx / n) (Σx / n) Penambahan sitokinin dalam media Y3 : Air kelapa 100 ml/l 0.31 (7/37) 0.01 (2/37) Air kelapa 150 ml/l 0.23 (7/38) 0.01 (1/38) Air kelapa 200 ml/l 0.20 (8/45) 0.18 (3/45) BAP 5 ppm 0.40 (9/42) 0.24 (5/42) Pra-perlakuan : Tanpa pra-perlakuan 0.04b (3/89) 0.08 (4/89) a Dengan pra-perlakuan 0.58 (28/73) 0.16 (7/73) Keterangan :
Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda, berbeda nyata pada uji DMRT taraf α 1%. Σx = jumlah eksplan bertunas atau berakar. n = jumlah total eksplan setiap perlakuan
Pengaruh penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin) Media yang digunakan pada percobaan ini adalah media Y3 dengan penambahan ZPT sesuai perlakuan masing-masing. Percobaan dilakukan dengan mengkulturkan embrio muda dalam media mengandung ZPT auksin (NAA), sitokinin (kinetin atau BAP) serta kombinasi keduanya. Pengamatan dilakukan 12 MST. Setelah 12 MST, di beberapa embrio zigotik muda pada masing-masing perlakuan terlihat telah dapat membentuk tunas atau akar. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pembentukan apokol tidak dipengaruhi oleh penambahan auksin dengan atau tanpa sitokinin. Tabel 11 menunjukkan bahwa pembentukan apokol tertinggi terdapat pada penambahan kombinasi NAA 5 ppm dan BAP 5 ppm dalam media (96%), sedangkan persentase pembentukan apokol terendah terdapat pada penambahan NAA 5 ppm dan penambahan kombinasi NAA 5 ppm dan kinetin 5 ppm (80%). Hasil ini tidak sejalan dengan hasil Alves et al. (2011), penambahan NAA dan BAP menjadi inhibitor perkecambahan embryo rescue kelapa sawit hibrida (Elaeis oleifera x Elaeis guineensis). Ini disebabkan karena meskipun embrio zigotik yang digunakan berumur masih muda akan tetapi embrio tersebut telah dapat mensintesis hormon endogen sendiri. Analisis ragam menunjukkan bahwa persentase eksplan bertunas dan berakar tidak dipengaruhi oleh penambahan auksin dengan atau tanpa sitokinin ke dalam media kultur. Penambahan auksin dengan atau tanpa sitokinin tidak berpengaruh terhadap rata-rata panjang tunas, namun sangat berpengaruh nyata terhadap rata-rata panjang akar. Data tersaji pada Tabel 12 dan 13. Penambahan kombinasi NAA 5 ppm dan BAP 5 ppm cenderung menghasilkan persentase embrio zigotik muda bertunas tertinggi dibanding perlakuan lainnya (51%), sedangkan persentase bertunas terendah cenderung dihasilkan oleh penambahan NAA 5 ppm (4%). Di sisi lain, penambahan kombinasi NAA 5 ppm dan BAP 5 ppm cenderung menghasilkan rata-rata panjang tunas tertinggi dari seluruh penambahan auksin dengan atau tanpa
41 sitokinin (1.46 cm), sedangkan penambahan kombinasi NAA 1 ppm dan BAP 5 ppm cenderung menghasilkan panjang tunas terendah (0.11 cm). Hasil ini didukung oleh Ogunsola dan Ilori (2008), penambahan BAP 0,6-3 mg/l dan NAA 0.1-0.2 mg/l pada kultur embrio Synsepalum dulcificum Daniel menghasilkan jumlah tunas tertinggi. Persentase berakar pada embrio zigotik muda tertinggi cenderung diperoleh pada penambahan kinetin 5 ppm (55%), sedangkan persentase terendah terdapat pada penambahan kombinasi NAA 1 ppm dan BAP 5 ppm (15%). Penambahan kombinasi NAA 5 ppm dan kinetin 5 ppm menghasilkan panjang akar tertinggi (5.17 cm), sedangkan panjang akar terendah diperoleh pada penambahan NAA 5 ppm ke dalam media (0.74 cm). Hasil yang diperoleh berbeda dari penelitian Laplaze et al. (2007), penambahan kinetin dengan konsentrasi 0.1-0.5 µM penjadi inhibitor pemanjangan akar primer. Berbeda dari hasil yang diperoleh Laplaze et al. (2007), Debi et al. (2004). membuktikan bahwa kinetin 1 µM menginduksi elongasi sel-sel akar padi. Oleh sebab itu, diduga kombinasi kinetin dan NAA dengan konsentrasi 5 ppm bersinergis untuk memicu pembelahan dan elongasi sel pericycle pada jaringan akar.
Tabel 11. Penambahan ZPT (auksin dengan dan tanpa sitokinin) terhadap persentase apokol aren (%) pada 12 MST Perlakuan n Persentase apokol (%) NAA 1 ppm 19 88 NAA 5 ppm 20 80 Kinetin 5 ppm 15 95 BAP 5 ppm 18 89 NAA 1 ppm + Kinetin 5 ppm 15 81 NAA 5 ppm + Kinetin 5 ppm 18 80 NAA 1 ppm + BAP 5 ppm 19 86 NAA 5 ppm + BAP 5 ppm 17 96 Keterangan :
n = jumlah total eksplan setiap perlakuan
Tabel 12. Penambahan ZPT (auksin dengan dan tanpa sitokinin) terhadap persentase bertunas dan berakar aren (%) pada 12 MST Persentase Bertunas Persentase Berakar Penambahan ZPT dalam media Y3 : (Σx / n) (Σx / n) NAA 1 ppm 38 (6/19) 36 (6/19) NAA 5 ppm 4 (1/20) 19 (4/20) Kinetin 5 ppm 41 (7/15) 55 (7/15) BAP 5 ppm 29 (5/18) 16 (3/18) NAA 1 ppm + Kinetin 5 ppm 23 (5/15) 24 (6/15) NAA 5 ppm + Kinetin 5 ppm 15 (2/18) 48 (8/18) NAA 1 ppm + BAP 5 ppm 5 (1/19) 15 (3/19) NAA 5 ppm + BAP 5 ppm 51 (8/17) 54 (9/17) Keterangan :
Σx = jumlah eksplan bertunas atau berakar. n = jumlah total eksplan setiap perlakuan
42 Tabel 13. Penambahan ZPT (auksin dengan dan tanpa sitokinin) terhadap rata-rata panjang tunas dan akar aren (cm) pada 12 MST Panjang Tunas Panjang Akar Penambahan ZPT dalam media Y3 : (Σx / n) (Σx / n) NAA 1 ppm 0.76 (6/19) 1.17b (6/19) NAA 5 ppm 0.43 (1/20) 0.74b (4/20) Kinetin 5 ppm 0.85 (7/15) 3.04ab (7/15) BAP 5 ppm 0.62 (5/18) 0.77b (3/18) NAA 1 ppm + Kinetin 5 ppm 0.43 (5/15) 2.68ab (6/15) NAA 5 ppm + Kinetin 5 ppm 0.62 (2/18) 5.17a (8/18) NAA 1 ppm + BAP 5 ppm 0.11 (1/19) 0.96b (3/19) NAA 5 ppm + BAP 5 ppm 1.46 (8/17) 4.73a (9/17) Keterangan :
Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda, berbeda nyata pada uji DMRT taraf α 1%. Σx = jumlah eksplan bertunas atau berakar. n = jumlah total eksplan setiap perlakuan
Pembentukan Plantlet dan Keberhasilan Aklimatisasi Pada 32 MST, pengamatan kembali dilakukan untuk jumlah planlet yang dapat diaklimatisasi di kedua percobaan yang dilakukan. Planlet yang akan diaklimatisasi terlebih dahulu diseleksi berdasarkan beberapa kriteria. Kriteria planlet siap aklimatisasi adalah daun pertama dan akar lateral telah terbentuk serta planlet memiliki penampakan yang vigor (Gambar 13). Seleksi ini dilakukan untuk meningkatkan jumlah planlet yang dapat bertahan hidup selama proses aklimatisasi. Tahapan aklimatisasi planlet yang diperoleh dari embrio zigotik aren tersaji pada Gambar 14 dan 15. Persentase bentuk apokol dari planlet siap aklimatisasi didominasi oleh bentuk abnormal, yaitu sebesar 100% atau 7 planlet (untuk percobaan penambahan sitokinin dan pra-perlakuan) dan 77% atau 17 planlet (untuk percobaan penambahan auksin dengan atau tanpa sitokinin). Bentuk apokol normal hanya diperoleh pada percobaan penambahan auksin dengan atau tanpa sitokinin sebesar 22% atau 5 planlet. Persentase planlet yang dapat diaklimatisasi pada percobaan penambahan sitokinin dan pra-perlakuan sebesar 4% (7 planlet dari 162 eksplan), sedangkan planlet yang dapat dipindahkan (transplanting) ke tanah hanya 3% (5 planlet) (Tabel 14). Dari pengamatan yang dilakukan terdapat empat perlakuan yang tidak menghasilkan planlet siap aklimatisasi. Keempat perlakuan tersebut adalah kombinasi penambahan air kelapa 100 ml/l dan tanpa pra-perlakuan, kombinasi penambahan air kelapa 150 ml/l dan tanpa pra-perlakuan, kombinasi penambahan 200 ml/l dan tanpa pra-perlakuan serta kombinasi penambahan 150 ml/l dan dengan pra-perlakuan. Rendahnya persentase planlet yang dapat diaklimatisasi disebabkan oleh akar dan tunas yang belum terbentuk sempurna, sehingga dikhawatirkan tidak mampu bertahan hidup selama proses aklimatisasi. Nizam dan Te-chato (2009) menyatakan aklimatisasi merupakan tahapan penting dari mikropropagasi dengan tingkat keberhasilan rendah. Hal ini disebabkan karena aklimatisasi merupakan tahap transisi planlet dari lingkungan kultur yang optimal ke lapang.
43 Percobaan penambahan ZPT (auksin dan atau tanpa sitokinin) menghasilkan planlet siap aklimatisasi sebesar 16% (22 planlet) dan jumlah planlet yang dapat dipindah ke tanah sebesar 9% (12 planlet) (Tabel 15). Jumlah planlet siap aklimatisasi tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan kombinasi NAA 5 ppm dan BAP 5 ppm yaitu sebesar 8 planlet, sedangkan dari 8 planlet yang telah di aklimatisasi hanya 4 planlet yang dapat dipindah ke tanah. Penambahan NAA 5 ppm dan penambahan kombinasi NAA 1 ppm dan BAP 5 ppm dalam media in vitro tidak menghasilkan planlet siap aklimatisasi. Penelitian Oliveira et al. (2008) menyatakan keberhasilan aklimatisasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan fotosintesis dan transisi tanaman dari kondisi heterotropik ke autotropik selama tahap aklimatisasi. Salah satu faktor penentu keberhasilan aklimatisasi adalah akumulasi karbohidrat selama kultur (Doods dan Roberts 1999).
Gambar 13. Planlet aren siap aklimatisasi (32 MST)
44
a
b
d
c
e
f
g
Gambar 14. Planlet dalam botol kultur (12 MST) (a), planlet (12 MST) (b), planlet siap diaklimatisasi (32 MST) (c), planlet diaklimatisasi (d-e), planlet siap dipindah ke tanah (f), dan bibit aren 48 MST (g)
45
Gambar 15. Bibit aren (48 MST) hasil embryo rescue yang dikulturkan dalam media dengan penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin)
Tabel 14. Planlet aren siap aklimatisasi dan transplanting (%) hasil dari percobaan penambahan sitokinin dan pra-perlakuan (32 MST) Persentase Planlet (%) Sitokinin Pra-perlakuan Aklimatisasi (Σx/n) transplanting (Σx/n) AK 1 Tanpa 0 (0/19) 0 (0/19) AK 2 Tanpa 0 (0/21) 0 (0/21) AK 3 Tanpa 0 (0/25) 0 (0/25) BAP 5 Tanpa 8 (2/24) 0 (2/24) AK 1 Dengan 11 (2/18) 11 (2/18) AK 2 Dengan 0 (0/17) 0 (0/17) AK 3 Dengan 5 (1/20) 5 (1/20) BAP 5 Dengan 11 (2/18) 11 (2/18) Total 4 (7/162) 3 (5/162) Keterangan : AK1 = air kelapa 100 ml/l, AK2 = air kelapa 150 ml/l, AK3 = air kelapa 200 ml/l, BAP 5 = BAP 5 ppm. Tanpa = tanpa pra-perlakuan, dengan = dengan pra-perlakuan Σx = jumlah planlet. n = jumlah total eksplan setiap perlakuan
46 Tabel 15. Planlet aren siap aklimatisasi dan transplanting (%), hasil dari percobaan penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin) (32 MST) Persentase (%) Penambahan ZPT Aklimatisasi (Σx/n) Transplanting (Σx/n) NAA 1 ppm 21 (4/19) 11 (2/19) NAA 5 ppm 0 (0/19) 0 (0/19) Kinetin 5 ppm 33 (5/15) 20 (3/15) BAP 5 ppm 11 (2/18) 6 (1/18) NAA 1 ppm+Kinetin 5 ppm 11 (2/18) 6 (1/18) NAA 5 ppm+Kinetin 5 ppm 7 (1/15) 7 (1/15) NAA 1 ppm+BAP 5 ppm 0 (0/19) 0 (0/19) NAA 5 ppm+BAP 5 ppm 47 (8/17) 24 (4/17) Total 16 (22/140) 9 (12/160) Keterangan :. Σx = jumlah planlet. n = jumlah total eksplan setiap perlakuan
SIMPULAN Perlakuan dengan pra-perlakuan menghasilkan pertumbuhan embrio zigotik muda terbaik, sedangkan penambahan ZPT sitokinin tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan embrio zigotik aren. Penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin) berpengaruh nyata hanya terhadap panjang akar. Persentase planlet yang diperoleh dari embryo rescue aren siap aklimatisasi adalah 4% (untuk penambahan ZPT sitokinin dan pra-perlakuan) dan 16% (untuk penambahan ZPT auksin dengan atau tanpa sitokinin). Dari kedua percobaan yang dilakukan penambahan kombinasi NAA 5 ppm dan BAP 5 ppm ke dalam media in vitro menghasilkan regenerasi planlet tertinggi, yaitu 8 planlet.
SARAN Penelitian kultur jaringan aren selanjutnya disarankan untuk melakukan evaluasi jenis senyawa organik serta ZPT lain untuk meningkatkan perolehan planlet dari embrio zigotik aren. Di samping itu, tahap aklimatisasi planlet aren merupakan tahapan yang memiliki persentase keberhasilan yang rendah sehingga disarankan pada penelitian selanjutnya untuk melakukan optimasi tahapan aklimatisasi planlet aren.
47
5 PEMBAHASAN UMUM Dormansi benih merupakan masalah utama pada perbanyakan bibit aren secara konvensional. Pematahan dormansi benih aren secara konvensional telah banyak dilakukan, akan tetapi hasil yang diperoleh dianggap masih kurang. Hal ini disebabkan karena teknik perkecambahan benihnya masih membutuhkan benih matang fisiologi sebagai bahan tanam (Rofik dan Murniati 2008; Sirait 2010; Marito 2008), sedangkan pematangan benih aren membutuhkan waktu relatif lama yaitu sekitar 36 bulan (Haris 1994). Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu metode perbanyakan bibit aren yang dapat memecahkan masalah dormansi sekaligus mempersingkat waktu perolehan bibit aren. Salah satu teknik yang dapat digunakan dalam memecahkan kedua kendala tersebut adalah melalui embryo rescue secara in vitro. Embryo rescue merupakan suatu teknik in vitro dengan mengisolasi embrio zigotik muda secara aseptik dan menumbuhkannya dalam media yang mengandung garam-garam mineral dan gula (Bridgen 1994). Penelitian embryo rescue telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai metode, di antaranya: umur embrio, jenis media dasar, pra-perlakuan, konsentrasi ZPT dan bahan aktif (air kelapa) (Gebologlu et al. 2011; Sanchez-Romero et al. 2007; Alves et al. 2011; Sukendah et al 2008). Namun, hingga saat ini belum diperoleh informasi mengenai perbanyakan bibit aren melalui teknik embryo rescue. Penelitian embryo rescue secara in vitro dan produksi bibit aren terbagi atas dua percobaan utama. Percobaan pertama adalah pengaruh umur embrio dan jenis media dasar terhadap perkecambahan embrio zigotik aren. Percobaan kedua terdiri atas dua sub-unit percobaan yang terdiri dari: 1) pengaruh penambahan ZPT sitokinin dan pra-perlakuan dan 2) pengaruh penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin). Percobaan pertama menunjukkan bahwa perkecambahan terbaik diperoleh oleh embrio zigotik muda (± 15 BSP), sedangkan media Y3 atau WPM tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap perkecambahan embrio zigotik. Terdapat abnormalitas bentuk pada apokol dan haustorium. Abnormalitas ini disebabkan oleh aktifitas pembelahan sel pada jaringan apokol serta haustorium yang menyebabkan terbentuk retakan pada jaringan epidermisnya. Selain abnormalitas bentuk apokol dan haustorium, diperoleh juga perbedaan warna pada kedua organ tersebut. Pada apokol terbagi dalam empat warna berbeda yaitu putih, kuning kehijauan, cokelat muda dan putih serta cokelat, sedangkan haustorium terbagi atas lima warna yaitu putih, kuning kehijauan, cokelat dan putih, cokelat muda dan cokelat. Abnormalitas dan warna apokol serta haustorium tidak dipengaruhi oleh jenis media dasar Y3 atau WPM. Akan tetapi, umur embrio zigotik berpengaruh pada abnormalitas bentuk haustorium serta warna apokol dan haustorium. Percobaan kedua pada pengaruh penambahan ZPT sitokinin dan praperlakuan tidak menunjukkan adanya pengaruh interaksi keduanya. Dua belas MST, embrio zigotik muda telah bertunas dan berakar. Dari ketiga konsentrasi air kelapa (100, 150 dan 200 ml/l) dan BAP 5 ppm, penambahan BAP 5 ppm cenderung menghasilkan pertumbuhan embrio zigotik terbaik meskipun di antara keempat perlakuan tidak berbeda nyata. Penanaman terlebih dahulu dalam media
48 Y3 tanpa penambahan ZPT menghasilkan pertumbuhan embrio terbaik dibandingkan dengan tanpa pra-perlakuan. Percobaan kedua penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin) berpengaruh nyata hanya pada peubah panjang akar. Pertumbuhan embrio zigotik muda cenderung terbaik diperoleh pada penambahan NAA 5 ppm dan BAP 5 ppm. Regenerasi planlet yang diperoleh dari kedua percobaan utama pada penelitian ini dapat diaklimatisasi, namun persentase bibit yang diperoleh masih relatif rendah. Pemanfaatan teknik embryo rescue tidak hanya terfokus pada perbanyakan tanaman secara in vitro. Pada beberapa kasus, teknik embryo rescue juga dapat digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman. Penggunaan eksplan embrio zigotik muda membuka peluang untuk menginduksi keragaman genetik melalui somatik embryogenesis, fusi protoplasma (Susanto 2001) hingga transfer genetik (Clarke et al. 2006). Penelitian Ramon dan Hanneman (2002) memperoleh kentang yang resisten terhadap patogen Phytophthora infestans melalui embryo rescue. Alves et al. (2011) mengoptimasi protokol embryo rescue pada persilangan kelapa sawit Elaeis oleifera (H.B.K) Cortes x Elaeis guineensis Jacq. untuk memperoleh tanaman yang resisten terhadap patogen. Akinbo et al. (2010) melaporkan embryo rescue sebagai suatu metode untuk mengembangkan dan multiplikasi populasi backcross pada Mannihot esculenta Crantz hasil persilangan antar spesies Mannihot esculenta ssp. Flabelifolia. Hirsch et al. (2001) meningkatkan keragaman genetik pada genus Actinidia hasil persilangan interspesifik melalui embryo rescue. Oleh sebab itu, jika optimasi protokol embryo rescue aren telah diperoleh, maka memperbanyak bibit aren secara massal dalam waktu singkat, meningkatkan kualitas bibit aren serta memperpanjang masa produktif dari pohon induk benih dapat dilakukan dalam upaya pengembangan tanaman aren di Indonesia.
49
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa: 1) umur embrio zigotik yang baik untuk digunakan sebagai eksplan pada embryo rescue aren adalah embrio zigotik muda (±15 BSP). Media WPM dapat digunakan sebagai media dasar untuk mengecambahkan embrio zigotik aren. 2) Respon pertumbuhan dan perkembangan terbaik diperoleh melalui penanaman eksplan embrio zigotik dalam media tanpa ZPT sebelum disubkultur ke media ber-ZPT (dengan praperlakuan), sedangkan penambahan air kelapa 100 ml/l merupakan penambahan ZPT (sitokinin) yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan embrio zigotik aren. 3) Penambahan ZPT (auksin dengan atau tanpa sitokinin) terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan eksplan adalah penambahan kombinasi NAA 5 ppm dan BAP 5 ppm.
Saran Penelitian embryo rescue aren selanjutnya disarankan untuk mengevaluasi pengaruh genotipe, penyadapan mayang serta posisi buah pada tandan terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio zigotik aren. Penelitian kultur jaringan aren disarankan tidak hanya terbatas pada teknik embryo rescue, akan tetapi juga dilakukan pada teknik kultur jaringan lain sehingga membuka peluang dilakukannya perbaikan kualitas tanaman melalui rekayasa genetik.
50
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 1983. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung (ID): Angkasa. Akinbo O, Abuschagne M, Fregene M. Embryo rescue as a method to develop and multiply a backcross population of cassava (Mannihot esculenta Crantz) from interspecific cross of Mannihot esculenta ssp. Flabelifolia. Afr. J. Biotechnol. 9:7058-7062. Al-Hafiizh E. 2012. Studi induksi dan pendewasaan embrio somatik jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan berbagai jenis eksplan dan zat pengatur tumbuh. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Al-Khateeb. 2008. Regulation of in vitro bud formation of date palm (Phoenix dactylifera L.) cv. Khanezi by different carbon sourse. Bioresourse Technol. 99:6550-6555. Alam N, Saleh MS. 2009. Karakteristik pati dari batang pohon aren pada berbagai fase pertumbuhan. J. Agroland. 16:199-205. Alves SAO, de Lemos OF, Filho BGDS, da Silva ALL . 2011. In vitro protocol optimization for development of interspecific hybrids of oil palm (Elaeis oleifera (H.B.K) Cortes x Elaeis guinensis Jacq.). J. Biotechnol. Biodiver. 2:1-6. Arsyad MA. 2008. Pertumbuhan anak semai anggrek Dendrobium yang berasal dari protocorm kultur polong hijau pada berbagai media Secara In Vitro [Skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Arsyad MA, Sudarsono, Purwito A, Dinarti D. 2013. Umur embrio dan jenis media dasar berpengaruh pada keberhasilan embryo rescue aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) secara in vitro. Bul. Palma, siap terbit. Asemota O, Eke CR, Odewale JO. 2007. Date palm (Phoenix actylifera L.) in vitro morphogenesis in response to growth regulators, sucrose and nitrogen. Afr. J. Biotechnol. 6:2353-2357. Asif MJ, Mak CK, Othman RY. 2001. In vitro zygotic embryo culture of wild Musa acuminate ssp. Malaccensis and factors affecting germination and seedling growth. Plant Cell Tiss. Organ Cult. 67:267-270. Asikin D, Puspitaningtyas DM. 2000. Studi perkecambahan biji aren (Arenga pinnata (Wurm) Merr.) secara in vitro dan in vivo. Di dalam: Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi III. 2000 Maret 79; Cibinong, Indonesia. Cibinong (ID). hlm 411-419. Atjung. 1990. Tanaman yang Menghasilkan Minyak, Tepung, dan Gula. Jakarta (ID): CV. Yayasanguna Baharuddin, Muin M, Bandaso H. 2007. Pemanfaatan nira aren (Arenga pinnata Merr) sebagai bahan pembuatan gula kristal. J. Perennial. 3:40-43. Baharuddin, Syahidah, Yatni N. 2009. Penentuan mutu cuka nira aren (Arenga pinnata) bedasarkan SNI 01-4371-1996. J. Perennial. 5:31-35. Barciszewski J, Rattan SIS, Siboska G, Clark BFC. 1999. Kinetin: 45 years on. Plant Sci. 148:37-45. Binott JJ, Songa JM, Ininda J, Njagi EM, Machuka J. 2008. Plant regeneration from immature embryos of Kenyan maize inbred lines and their respective
51 single cross hybrids through somatic embryogenesis. Afr. J. Biotechnol. 7:981-987. Bridgen MP. 1994. A review of plant embryo culture. Hort. Sci. 29:1243-1246. Broschat TK, Meerow AW. 2000. Ornamental Palm Horticulture. Florida (USA): University Press of Florida. [BPPP] Balai Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2009. Aren, sumber energi alternatif. Warta Penelitian Pengembangan Pertanian. 31:1-3. Bustaman T, Rozen N, Kurniawan W. 2004. Effect of NAA and BAP concentration on embryo culture of pinang sirih (Areca catechu L.) by in vitro. J. Stigma. 12:209-213. Chandler JM, Beard BH. 1983. Embryo culture of Helianthus hybrid. Crop Sci. 23:1004-1007. Charriere F, Sotta B, Migniac E, Hanhne G. 1999. Induction of adventitious shoot or somatic embryos on in vitro cultured zygotic embryos of Helianthus annus: variation of endogenous hormone levels. Plant Physiol. Biochem. 37:751-757. Chu CC, Wang CC, Sun CS. 1975. Establisment of an efficient medium for anther culture of rice through comparative experiment on the nitrogen sources. Sci. Sinica. 18:659-668. Cisneros A, Garcia RB, Tel-Zur N. 2012. Creation of novel interspecificinterploid Hylcereus hybrids (Cactaceae) via embryo rescue. Euphytica. 189:433-443. Cisneros A, Tel-Zur N. 2010. Embryo rescue and plant regeneration following interspecific crosses in the genus Hylocreus (Cactaceae). Euphytica. 174:7382. Clarke HJ, Wilson JG, Kuo I, Lulsdorf MM, Mallikarjuna N, Kuo J, Siddique KHM. 2006. Embryo rescue and plant regeneration in vitro of selfed chickpea (Cicer arietinum L.) and its wild annual relatives. Plant Cell Tiss. Organ Cult. 85:197-204. Davey MR, Anthony P. 2010. Plant Cell Culture: Essential Methods. West Sussex (GB): John Wiley & Sons, Ltd. Davies PJ. 2004. Plant Hormones: Biosynthesis, Signal Transduction, Action !. London (GB): Kluwer Academic Publishers. Debi BR, Taketa S, Ichii M. 2004. Cytokinin inhibits lateral root initiation but stimulates lateral root elongation in rice (Oryza sativa). J. Plant Physiol. 162:507-5015. DeMason DA. 1985. Histochemieal and ultrastructural changes in the haustorium of date (Phoenix dactylifera L.). Protoplasma I26:168-177. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Statistik perkebunan: tree crop estate statistic 2009-2011. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perkebunan. [Ditjenmigas] Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. 2010. Statistik Minyak Bumi. [Internet]. [diunduh 2013 Mei 20]:1-11. Tersedia pada: http://prokum.esdm.go.id/Publikasi/Statistik/Statistik%20Minyak%20Bumi.p df. Doods AH, Roberts LW. 1999. Experiments in Plant Tissue Culture 3rd Ed. Cambridge (GB). Cambridge University Press. Eeuwens CJ. 1976. Mineral requirements of culture coconut tissue. Physiol. Plant. 36:23-24.
52 Effendi DS. 2010. Prospek pengembangan Tanaman Aren (Arenga pinnata Merr) mendukung kebutuhan bioetanol di Indonesia. Perspektif. 9:36-46. Etienne H, Sotta B, Montoro P, Miginiac E, Carron MP. 1993. Comparation of endogenous ABA and IAA contents in somatic and zygotic of Hevea brasiliensis (Mull. Arg.) during ontogenesis. Plant Sci. 92:111-119. Feher A, Pasternak TP, Dudits D. 2003. Transition of somatic plant cells to an embryogenic state. Plant Cell Tissue Organ Cult. 74:201–228. Fernando SC, Weerakoon LK, Karunaratne SM, Santha ES. 2002. A cost effective medium for producing embryo cultured coconut plants. Cocos. 14:45-52. Fu FL, Feng ZL, Qu BY, Li WC. 2006. Relation between induction rate of embryonic callus and endogenous hormones content in Maize. J. Nuclear Agr. Sci. [Internet]. [diunduh 2013 Mar 20]:01. Tersedia pada: http://en.cnki.com.cn/Article_en/ CJFDTOTAL-HNXB2 00601003.htm. Gebologlu N, Bozmaz S, Aydin M, Çakmak P. 2011. The role of growth regulators, embryo age and genotypes on immature embryo germination and rapid generation advancement in tomato (Lycopersicon esculentum Mill.). Afr. J. Biotechnol. 10:4895-4900. George EF, Hall MA, Klerk GJ. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. Netherland (NL): Springer. George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture: Handbook and Directory of Commercial Laboratories. England (GB): Exegetic Ltd. Gnasekaran P, Rathinam X, Sinniah UR, Subramaniam S. 2010. A study on the use of organic additives on the protocorm-like bodies (PLBS) growth of Phalaenopsis violacea Orchid. J. Phytol. 2:029-033. Guerra MP, Handro W. 1998. Somatic embryogenesis and plant regeneration in different organs of Euterpe edulis Mart. (Palmae): Control and structural features. J. Plant Res. 111:65–71. Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas (PAU) IPB. Gunawan LW. 1995. Teknik Kultur In Vitro dalam Hortikultura. Jakarta (ID): Penebar Swadaya Haris TCN. 1994. Developmental and germination studies of the sugar palm (Arenga Pinnata Merr.) seed [Disertasi]. Malaysia (MY): University Pertanian Malaysia. Hasibuan MA. 2011. Etnobotani masyarakat suku Angkola (studi kasus di Desa Padang Bujur sekitar Cagar Alam Dolok Sibual-buali, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Haynes J. (1998). Arenga pinnata (Wurmb) Merr. [Internet]. [diunduh 2013 Mei 20]. Tersedia pada: http://www. Plantapalm.com/vpe/photos/Species/ arenga_pinnata.htm. Hirsch AM, Testolin R, Brown S, Chat J, Fortune D, Bureau JM, Nay DD. 2001. Embryo rescue from interspecific crosses in the genus Actinidia (kiwifruit). Plant Cell Rep. 20:508-516. Indrawati R. 1999. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi dan kedalaman tanam terhadap viabilitas benih aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) [Skripsi]. Bogor (ID): Instititut Pertanian Bogor.
53 Ishak MR. Sapuan SM. Leman Z. Rahman MZA. Anwar UMK. 2011. Characterization of sugar palm (Arenga pinnata) fibres: tensile and thermal properties. J. Therm Calorim. 109:981-989. Islam MN, Cedo MLO, Namuco LO, Borromeo TH, Aguilar EA. 2009. Effect of fruit age on endosperm type and embryo generation of Makapuno coconut. J. Gene Conserve. 32:708-722. Ismail JBT. 1994. Kajian perkecambahan dan kultur in vitro enau (Arenga pinnata) [Disertasi]. Malaysia (MY): University Pertanian Malaysia. Karunaratne S, Periyapperuma P. 1990. Culture of immature embryos of coconut, Cocos nucifera L: callus proliferation and somatic embryogenesis. Cocos. 8:13-22. Kaur R, Sharma N, Kumar K, Sharma DR, Sharma SD. 2006. In vitro germination of walnut (Juglans regia L.) embryos. Sci. Horti. 109:385-388. Kucera B, Cohn MA, Leubner-Metzger G. 2005. Plant hormone interactions during seed dormancy release and germination. Seed Science Research 15:281-307. Kukharchyk N, Kastrickaya M. 2006. Embryo rescue techniques in Prunus L. J. Fruit Ornam. Plant Res. 14:129-135. Laplaze L, Benkova E, Casimiro I,Maes L, Vanneste S, Swarup R, Weijers D, Calvo V, Parizot B, Herrera-Rodriguez BM et al. 2007. Cytokinins act directly on lateral root founder cells to inhibit root initiation. Plant Cell. 19:3889–3900. Lasa B, Frechilla S, Alcu M, Gonzalez-Moro B, Lamsfus C, Aparicio-Tejo PM. 2000. Effect of low and high levels of magnesium on the response of sunflower plant grown with ammonium and nitrate. Plant Soil. 225:167-174. Lauchli A. 2002. Functions of boron in higher plants: resent advances and open questions. Plant Biol. 4:190-192. Lay A, Karouw S. 2008. Mutu gula aren dan perubahannya selama penyimpanan (studi kasus di Desa Hariang-Lebak Provinsi Banten). Bul. Palma. 35:77-84 Li Z, Pinkham L, Campbell NF, Espinosa AC, Conev R. 2009. Development of triploid daylily (Hemerocallis) germplasm by embryo rescue. Euphytica. 169:313-318. Liu GS, Qi DM, Zhang WD, Liu JS, Li HJ. 2004. Highly efficient embryo germination in in vitro shortens the breeding cycle in Leymus chinensis. In Vitro Cell. Dev. Biol. 40:321-324. Lloyd G, McCown B. 1981. Commercially feasible micropropagation of mountain laurel, Kalmia latifolia, by use of shoot-tip culture. Comb. Proc. Int. Plant Prop. Soc. 30:421-426. Maciel SDA, Junior PCPF, da Silva RA, Scherwinski-Pereira. 2010. Morphoanatomical characterization of embryogenic calluses from immature zygotic embryo of peach palm during somatic embryogenesis. Acta. Sci. Agron. 32:263-267. Malingkay RB. Mashud N, Nur M. 2012. Pengaruh pemupukan terhadap pertumbuhan dan produksi nira tanaman aren (Arenga pinnata Merr.). Di dalam: Seminar Nasional Aren, Aren untuk Pangan dan Energi Alternatif Terbarukan. 2012 Septembet 26; Balikpapan (ID): Indonesia. Marito R. 2008. Berbagai metode pemecahan dormansi biji aren (Arenga pinnata Merr.) [Skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.
54 Mashud N. 2009. Pertumbuhan embrio kelapa dalam Mapanget pada media Y3 yang disubstitusi dengan air kelapa. Bul. Palma. 37:138-144. Mashud N, Manaroinsong E. 2007. Teknologi kultur embrio untuk pengembangan kelapa kopyor. Bul. Palma. 33:44. Mattjik AA. Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB press. Meerow AW. 2004. Palm Seed Germination. Florida (US): Cooperative Extension Service. Meitram B, Sharma GJ. 2006. In vitro zygotic embryo germination of Calamus latifolius Roxb. and Calamus tenuis Roxb. J. Food Agr. Env. 4:306-309. Melo BD, Pinto JEBP, Luz JMQ, Peixoto JR, Juliatti FC. 2001. Diferentes antioxidantes no controle da oxidação, germinação e desenvolvimento das plântulas na cultura in vitro de embriões da guarirobeira Syagrus oleracea (Mart.) Becc. Ciênc. Agrotec. Lavras. 25:1301-1306. Mirici S, Parmaksiz I, Ozcan S, Sancak C, Uranbey S,. Sarihan EO, Gumuscu A, Gurbuz B, Arslan N. 2005. Efficient in vitro bulblet regeneration from immature embryos of endangered Sternbergia fischeriana. Plant Cell Tissue Organ Cult. 80:239–246. Mogea J, Seibert B, Smits W. 1991. Multipurpose palm: the sugar palm (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.). Agroforest. Sys. 13:111-129. Mohammad S, Ali M. 2010. Effect of coconut water on callus growth of cyamopsis tetragonolobust. Pharmacia. 1:25-27. Morel G, Wetmore RM. 1951. Fern callus tissue culture. Am. J. Bot. 38:141-143. Moura EF, Motoike SY, Ventrella MC, Junior AQDS, Carvalho M. 2009. Somatic embryogenesis in macaw palm (Acrocomia aculeate) from zygotic embryos. Sci. Hort. 119:447-454. Mujahidin, Sutrisno, Dian L, Tri H, Izu AF. 2003. Aren Budidaya dan Prospeknya. Bogor (ID): Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, LIPI. Muniran F. Bhore S, Shah F. 2008. Micropropagation of Elaeis guineensis Jacq. Dura: Comparison of three basal media for efficient regeneration. Indian J. Exp. Bio. 46:79-82. Murashige T, Huang LC. 1985. Organogenesis in vitro: structural, physiological, and biochemical aspects. Di dalam: Biotechology in International Agricultural Research. International Agricultural Research Center (IARCs) and Biotehnology; 1984 April 23-27; Manila (PH): IRRI. hlm 227-240. Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassay with tobacco tissue. Physiol. Plant. 15:473-497. Murphy JD. 2007, Plant Breeding and Biotechnology. Cambridge (GB). Cambridge University Press. Nasib A, Ali K, Khan S. 2008. An optimized and improved method for the in vitro propagation of kiwifruit (Actinidia deliciosa) using coconut water. Pak. J. Bot. 40:2355-2360. Ning GG, Bai SP, Bao MZ, Liu L.2007. Factors affecting plantlet regeneration from in vitro cultured immature embryos and cotyledons of Prunus mume “Xue mei”. In vitro Cell Dev. Biol. Plant. 43:95–100.
55 Nizam K. Te-chato S. 2009. Optimizing of root induction in oil palm planlets for acclimatization by some potent plant growth regulators (PRGs). J. Agr. Technol. 5:371-383. Nugroho, Sugianto. 1996. Teknik Kultur Jaringan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Ogunsola KE, Ilori CO. 2008. In vitro propagation of miracle berry (Synsepalum dulcificum Daniel) through embryo and nodal cultures. J. Biotechnol. 7:244248. Oliveira LMD, Paiva R, de Santana JRF, Alves E, Nogueira RC, Pereira FD. 2008. Effect of cytokinin on in vitro development of autotrophism and acclimatization of Annona glabra L. In Vitro Cell. Dev. Biol-Plant. 44:128135. Pardal SJ. 1993. Pengaruh umur embrio dan genotipe tanaman terhadap pertubuhan kultur embrio muda kedelai (Glycine max (L). Merr.) secara in vitro [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pech y Aké A, Maust B, Orozco-Segovia A, Oropeza. 2007. The effect of gibberellic acid on in vitro germination of coconut zygotic embryos and their conversion into planltlets. In Vitro Cell. Dev. Biol.-Plant. 43:247-253. Peixe A, Raposo A, Laourenco R, Cardoso H, Macedo E. 2007. Coconut water and BAP successfully replaced zeatin in olive (Olea europaea L.) micropropagation. Sci. Hort. 113:1-7. Peran-Quesada R, Sanchez-Romero C, Barcelo-Munoz A, Pliego-Alfaro F. 2004. Factors affecting maturation of avocado somatic embryos. Sci. Hort. 102:6173. Pierik RLM. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Netherlands (NL): Martinus Nijhoff Publishers. Presiden Republik Indonesia. 2006. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 2006 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Jakarta (ID): Jakarta. Presiden Republik Indonesia. 2006. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 2006 Tentang Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran. Jakarta (ID): Jakarta. Putih R, Satria B, Thaib R. 2003. Upaya perbanyakan vegetatif enau (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) melalui regenerasi tunas secara in vitro. Stigma. 11:208-212. Rabaniyah R. 1997. Pengaruh cara penyimpanan terhadap daya simpan dan perkecambahan benih aren (Arenga pinnata (Wumrb) Merr.). B. Pert. 6:3338. Ramon M, Hanneman RE. 2002. Introgression of resistance to late blight (Phytopthora infestans) from Solanum pinnatisectum into S. tuberosum using embryo rescue and double pollination. Euphytica. 127:421-432. Ribeiro LM, Oliveira DMT, Garcia QDS. 2012. Structural evaluations of zygotic embryos and seedlings of the macaw palm (Acrocomia aculeata, Arecaceae) during in vitro germination. Trees. 26:851–863. Rindengan B dan Manaroinsong E. 2009. Aren, tanaman perkebunan penghasil bahan bakar nabati (BBM). Pusat Penelitian Pengembangan Perkebunan. 122.
56 Rofik A, Murniati E. 2008. Pengaruh perlakuan deoperkulasi benih dan media perkecambahan untuk meningkatkan viabilitas benih aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.). Bul Agron. 36: 33-40. Ruzicka K, Ljung K, Vanneste S, Podhorska R, Beeckman T, Frimi J, Benkova E. 2007. Ethylene regulates root growth through effects on auxin biosynthesis. Plant Cell. 19:2197-2212. Saleh MS. 2003. Peningkatan kecepatan berkecambah benih aren yang diberi pelakuan fisik dan lama perendaman KNO3. Agroland. 4:436-330. Saleh MS. 2004. Pematahan dormansi benih aren secara fisik pada berbagai lama ekstraksi buah. Agrosains. 6:79-83. Saleh MS, Adelina E, Murniati E, Budiarti T. 2008. Pengaruh skarifikasi dan media tumbuh terhadap viabilitas benih dan vigor kecambah aren. J. Agroland. 15:182-190. Saleh MS, Wardah. 2010. Perkecambahan benih aren dalam kondisi terang dan gelap pada berbagai konsentrasi GA3. J. Agrivigor. 10:18-25. Sanchez-Romero C, Peran-Quesada R, Marquez-Martin B, Barcelo-Munoz A, Pliego-Alfaro F. 2007. In vitro recsue of immature avocado (Persea Americana Mill.) embryos. Sci. Horti. 111:365-370. Sanchez-Zamora MA, Cos-Terrer J, Frutos-Tomas D, Garca-Lopez. 2006. Embryo germination and proliferation in vitro of Juglans regia L. Sci. Horti. 108:317-321. Sangian HF, Tongkukut S. 2011. Study of bio-ethanol preparation from arenga palm sugar. J. Ilmiah Sains. 11:159-167. Sanputawong S, Te-chato S. 2011. Analysis of somaclonal variation of callus, somatic embryo and plant regeneration of in vitro oil palm (Elaeis guineensis Jacq). J. Agr. Technol. 7:531-545. Santoso U, Nursandi F. Kultur Jaringan Tanaman. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah Malang Pres. Sarasan V, Ramsay MM, Robert AV. 2005. Rescue of endangered palms by in vitro methods: the case of „bottle palm‟. Netherland (NL): Springer. Schwambach J, Fadanelli C, Fett-Neto AG. 2005. Mineral nutrition and adventitious rooting in microcuttings of Eucalpyptus globules. Tree Physiol. 25:487-494. Sharma DR, Kaur R, Kumar. 1996. Embryo rescue in plant: review. Euphytica. 89: 325-337. Shaul O. 2002. Magnesium transport and function in plant: the tip of iceberg. BioMetals. 15: 309-323. Setiawan EP. 2006. Pengaruh konsentrasi air kelapa dan casein hydrolysat pada kultur embrio mangga (Mangifera indica L.) dalam media B5 modifikasi [Skripsi]. Malang (ID): Universitas Muhammaduyah Malang. Simon EW. 2006. The symptoms of calcium deficiency in plants. New phytologist. 80:1-15. Sirait D. 2010. Pengaruh skarifikasi bagian-bagian benih dan konsentrasi asam giberelat (GA3) terhadap perkecambahan benih aren (Arenga pinnata L.) [Skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Siregar EBM. 2005. Inventarisasi jenis palem (Arecaceae) pada kawasan hutan dataran rendah di stasiun penelitian Sikundur (Kawasan Ekosistem Leuser) Kab. Langkat. e-USU Repository [internet]. [diunduh 2013 Juni 21]; 1-11.
57 Tersedia pada: http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-edi% 20batara12 .pdf Soeseno S. 2000. Bertanam Aren. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Solikin. 2012. Diversity of food plants in agroforestri in the pasuruan regency. Di dalam: Seminar Nasional: Kedaulatan Pangan dan Energi; 2012 Juni; Madura, Indonesia, Jawa Timur (ID): Universitas Trunojoyo; [diunduh 2013 Mei 20]. Tersedia pada: http://pertanian.trunojoyo.ac.id/semnas/wpcontent/uploads/DIVERSITY-OF-FOOD-PLANTS-IN-AGROFORESTRIIN-THE-PASURUAN-REGENCY1.pdf Srisawat T, Kanchanapoom K. 2005. The influence of physical conditions on embryo and protoplast culture oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Sci. Asia. 31:23-28. Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development: Hormones and Enviroment. London (GB): Academic Press. Sugimuma Y, Murakami T. 1990. Structure and fuction of the haustorium in germinating coconut palm seed. Jarq. 24:1-14. Sukendah, Sudarsono, Witjaksono, Khumaida N. 2008. Perbaikan teknik kultur embrio kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) asal Sumenep Jawa Timur melalui penambahan bahan aditif dan pengujian periode subkultur. Bul. Agron. 36:1623 Susanto A. 2001. Somatic embryogenesis and protoplast isolation and culture in papaya (Carica papaya L.). Malaysia (MY): University Putra Malaysia. Stepanova AN, Hoyt JM, Hamilton AA, Alonso JM. 2005. A link between ethylene and auxin uncovered by the characterization of two root-specific ethylene-insensitive mutants in Arabidopsis. Plant Cell. 17:2230-2242. Stojicic D, Janosevic D, Uzelac B, Cokesa V, Budimir S. 2012. In vitro zygotic embryo culture of Pinus peuce Gris.: optimization of culture conditions affecting germination and early seedling growth. Arch. Biol. Sci. 64:503-509. Tamaki M, Urasaki N, Nakamura I, Motomura K, Adaniya S. 2011. Shortening the breeding cycle of papaya (Carica papaya L.) by culturing embryos treated with ethrel. Plant Cell Tiss Organ Cult. 106: 225-233. Taji A, Kumar P, Lakshmanan P. 2002. In Vitro Plant Breeding. United State of America (US): Haworth. Tenda ET, Maskromo I, Miftahorachman. 2008. Karakteristik empat aksesi aren (Arenga pinnata Merr.) di Kalimantan Selatan. Bul.Palma. 35:67-76. Tenda ET. 2009. Eksplorasi aren (Arenga pinnata Merr.) di Tomohon, Sulawesi Utara. Bul. Palma. 37:114-118. Tenda ET, Maskromo IS, Heliyanto H. 2010. Eksplorasi Plasma Nutfah aren (Arenga pinnata Merr.) di Kutai Timur, Provinsi Kalimantas Timur. 38:8894. Tenda ET, Pandin D, Maskromo I. 2011. Potensi pengembangan aren genjah Kutim. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Inovasi Perkebunan 2011. hlm. 45-57. [diunduh 2013 Mei 20]. Tersedia pada: http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/wp-content/uploads/2012/04/perkebu nan_prosdENIP11_MP_Elsje.pdf Thuzar M, Vanavichit A, Tragoonrung S, Jantasuriyarat C. Efficient and rapid plant regeneration of oil palm zygotic embryos cv. „Tenera‟ through somatic embryogenesis. Acta Physiol. Plant. 33:123-128.
58 Uma S, Lakshmi S, Saraswathi MS, Akbar A, Mustaffa MM. 2011. Embryo rescue and plant regeneration in banana (Musa spp.). Plant Cell Tissue Organ Cult. 105:105-111. Uranbey. 2011. In vitro bulblet regeneration from immature embryos of endangered and Endemic Muscari azureum. Arch. Biol. Sci. 63:209-215. Usman MA. 2006. Pengaruh tingkat kemasakan dan pematahan dormansi benih aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) pada kondisi media yang berbeda [Skripsi]. Bogor (ID): Instititut Pertanian Bogor. Wang KLC, Li H, Ecker JR. 2002. Ethylene biosynthesis and signaling networks. Plant Cell. 131-151. Viloria Z, Grosser JW, Bracho B. 2005. Immature embryo rescue, culture and seedling development of acid citrus fruit derived from interploid hybridization. Plant Cell Tiss. Organ Cult. 82:159–167. Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas (PAU) IPB. Wattimena GA, Gunawan LW, Mattjik NA, Syamsudin E, Wiendi NMA, Ernawati A. 1992. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas (PAU) IPB. Widyawati N, Tohari, Yudono P, Soemardi I. 2009. Permeabilitas dan perkecambahan benih aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr). J. Agron. Indonesia. 37:152-158. Yong JWH, Ge L, Ng YF, Tan SN. 2009. The chemical composition and biological properties of coconut (Cocos nucifera L.) water. Molecules. 14:5114-5164. Zouine J. Hadrami IE. 2007. Effect of 2.4-D, glutamine and BAP on embryogenic suspension culture of date palm (Phoenix dactylifera L.). Sci. Horti. 112:221226
59 Lampiran 1. Komposisi air kelapa No. Komponen Kimia 1 Gula total 2 Kalsium 3 Besi 4 Magnesium 5 Fosfat 6 Kalium 7 Natrium 8 Seng 9 Tembaga 10 Mangan 11 Selen 12 Asam askorbat 13 Tiamin 14 Riboflavin 15 Niasin 16 Asam pantotenat 17 Piridoksina 18 Folat total 19 Lipid total 20 Alanina 21 Arginina 22 Asam aspartat 23 Sistina 24 Asam glutamina 25 Glisina 26 Histidina 27 Isoleusina 28 Leusina 29 Lisina 30 Metionina 31 Fenilalanina 32 Prolina 33 Serina 34 Tirosina 35 Triptofan 36 Protein 37 Treonina 38 Valina 39 Auksin 40 1.3-Diphenylurea 41 Sitokinin Keterangan
: * = g/100 g. Sumber
: Yong et al. (2009).
Konsentrasi (mg/100 g) 2.61* 24 0.29 25 20 250 105 0.1 0.04 0.142 0.001 2.4 0.03 0.057 0.08 0.043 0.032 0.03 0.2* 0.037* 0.118* 0.07* 0.014* 0.165* 0.034* 0.017* 0.028* 0.053* 0.032* 0.013* 0.037* 0.03* 0.037* 0.022* 0.008* 0.72* 0.026* 0.044* Ada Ada Ada
60 Lampiran 2. Komposisi media Y3 (Eeuwens 1976 dan vitamin dari Morel dan Wetmore 1951) No. Komponen Kimia Konsentrasi (mg/l) 1 NH4Cl 535 2 KNO3 2020 3 MgSO4.7H2O 247 4 CaCl2.2H2O 294 5 NaH2PO4.2H2O 312 6 KI 8.2 7 H3BO3 3.1 8 MnSO4.4H2O 11.2 9 ZnSO4.7H2O 7.2 10 CuSO4.5H2O 0.25 11 CoCl2.6H2O 0.24 12 NaMoO4.H2O 0.24 13 NiCl.6H2O 0.024 14 Fe2SO4.7H2O 13.9 15 Na2EDTA 37.3 16 Myo-inositol 100 17 Pyridoxine-HCl 0,05 18 Thiamine-HCl 0,05 19 Nicotinic Acid 0.05 20 Ca-D-pantothenate 0.05 21 Biotin 0.05
Lampiran 3. Komposisi media WPM (Brent McCown dan Greg Lloyd 1981) No. Komponen Kimia Konsentrasi (mg/l) 1 NH4NO3 400 2 Ca(NO3)2.4H2O 576 3 CaCl2.2H2O 96 4 KH2PO4 170 5 H3BO3 6,2 6 Na2MoO4.2H2O 0,25 7 FeSO4.7H2o 27,8 8 Na2EDTA 37,3 9 MnSO4.4H2O 22,3 10 ZnSO4.7H2O 8,6 11 MgSO4.7H2O 370 12 Myo-inositol 100 13 Niacin 0,5 14 Pyridoxine-HCl 0,5 15 Thiamine-HCl 1
61
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada tanggal 15 Juni 1985. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan ayah Drs. H. M. Arsyad B. dan ibu Dra. Hj. Nurhayati Dunuyaali. Penulis mengenyam pendidikan dasar dan menengah di SDN Komp. IKIP dan SLTP Negeri 6 Makassar. Pada tahun 2000 melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 2 Makassar. Tahun 2003, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi pada Program S1 Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar dan lulus tahun 2008. Tahun 2010, penulis diterima di Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Sekolah Pascasarjana IPB. Selama studi jenjang S1, tahun 2007-2008 penulis bekerja sebagai asisten tenaga ahli pada Penelitian Pengembangan Tanaman Hias Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Tahun 2009 penulis bekerja sebagai analis data pada Proyek Pendataan Barang Milik Negara (BMN) Kementerian Pekerjaan Umum. Tahun 2010 penulis bekerja pada Badan Pusat Statistika Provinsi Sulawesi Selatan sebagai analis data SP 2010.