ISSN 2088-6527
AGUSTUS 2015
VOL. 6 NO. 2
GEMA BNPB Ketangguhan Bangsa Dalam Menghadapi Bencana
One ASEAN
One Response
Fokus Berita
Menuju Ketangguhan Terhadap Bencana Hidrometeorologi di Indonesia
Liputan Khusus Pasca Bencana Tohoku
DAFTAR ISI GEMA BNPB
Vol. 6 No. 2 Agustus 2015
22 FOKUS BERITA
Menuju Ketangguhan Terhadap Bencana Hidrometeorologi di Indonesia
04 LAPORAN UTAMA
One ASEAN One Response 03 Pengantar Redaksi 08 ASEAN Bangun Kemitraan 3 Pilar di Bidang Mitigasi Bencana
11 ERAT Perkuat
Tanggap Darurat di Kawasan ASEAN
14 ASEAN ERAT
Misi Kemanusiaan Banjir Myanmar
33 Embung
36 Pembahasan
Panduan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kawasan ASEAN
41 Target dan Indikator PRB dalam SDGs
49 Bantuan
26 Kekeringan, DAS
52 Komitmen BNPB
dan Masyarakat Tangguh
30 BNPB Perkuat
Kapasitas SDM Pusdalops Bali
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
55 TEROPONG
Semester Pertama Tanah Longsor Mendominasi Bencana
Kemanusiaan Indonesia untuk Gempabumi Nepal Mengelola Dana Penanggulangan Bencana Secara Profesional
58 Pemantauan Media
Mengapa Diperlukan?
70 Snapshot 2 |
Pasca Bencana Tohoku
Asa di Tengah Kekeringan yang Melanda
18 DELSA
Depot Logistik Kemanusiaan ASEAN
44 LIPUTAN KHUSUS
64 PROFIL
Direktur Logistik - Kedeputian Bidang Logistik dan Peralatan
ISSN 2088-6527
AGUSTUS 2015
VOL. 6 NO. 2
GEMA BNPB Ketangguhan Bangsa Dalam Menghadapi Bencana
One ASEAN
One Response
Fokus Berita
Menuju Ketangguhan Terhadap Bencana Hidrometeorologi di Indonesia
Liputan Khusus Pasca Bencana Tohoku
Foto Sampul AHA Centre
Penanggung Jawab Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Editor Rita Rosita S, Ario Akbar Lomban, I Gusti Ayu Arlita NK, Theophilus Yanuarto, Rusnadi Suyatman Putra, Slamet Riyadi Fotografer Andri Cipto Utomo Desain Grafis Ignatius Toto Satrio Alamat Redaksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Pusat Data, Informasi dan Humas, GRAHA BNPB Jl. Pramuka Kav. 38 Jakarta 13120 Telp. & Fax. : 021 - 21281200 Email : majalahgema @bnpb.go.id
T
Pengantar Redaksi
ahun 2015 ini merupakan momentum Association of Southeast Asian Nations atau ASEAN untuk mengenalkan visi “One ASEAN One Response”. Visi tersebut mengandung makna bahwa ASEAN secara konkret memberikan perhatian dan kepedulian terhadap anggotanya yang tertimpa musibah dan sekaligus memberikan ruang bersama terhadap solidaritas dan respon. Pada konteks tersebut, Pemerintah Indonesia sangat aktif untuk turut mensosialisasikan visi yang targetnya tercapai pada 2020. Di sisi lain, ASEAN memiliki segudang kegiatan dalam menyempurnakan mekanisme, penguatan kapasitas, maupun kerangka kerja dalam kerjasama penanggulangan bencana di kawasan Asia Tenggara, tentunya berlandaskan visi tersebut. Salah satu wujud kegiatan adalah penyelenggaraan pelatihan ASEAN ERAT (Emergency Response and Assessment Team) dari gabungan perwakilan negara-negara ASEAN. Menyambung diskursus di atas, secara khusus, majalah GEMA BNPB Volume 6 Nomor 2 edisi Agustus 2015 menampilkan tulisan mengenai penanggulangan bencana dalam konteks ASEAN sebagai laporan utama. Beberapa artikel tersebut seperti ERAT, solidaritas pada banjir Myanmar, dan DELSA. Edisi ini juga menampilkan tulisan-tulisan dengan beragam tema bencana pada fokus berita, seperti kekeringan dan pengurangan risiko bencana. Sementara itu, rubrik liputan khusus membahas mengenai pascabencana Tohoku di Jepang, daerah aliran sungai, bantuan kemanusiaan Indonesia untuk gempabumi Nepal, dan penguatan kapasitas Pusdalops Bali. Tulisan mengenai tanah longsor sebagai bencana dominan pada semester pertama juga terdapat pada bagian ini. Rubrik lain seperti teropong, profil, dan snapshot selalu menghiasi majalah GEMA BNPB pada setiap edisinya. Pada rubrik profil, tim redaksi mengkisahkan sosok Bapak Sunardi sebagai Direktur Logistik di Kedeputian Bidang Logistik dan Peralatan BNPB. Akhir kata, semoga tulisan yang disajikan memberikan informasi dan wawasan bencana di Indonesia maupun di tingkat internasional. Salam Tangguh! Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB Dr. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si., APU
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
3
LAPORAN UTAMA
One ASEAN One Response
ASEAN ERAT berlatih mendirikan Mobile Storage Unit selama pelatihan ACE Programme di Subang, Malaysia, pada Juli lalu. Foto: AHA Centre
4 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Risiko bencana alam di kawasan Asia Tenggara termasuk sangat tinggi. Indeks risiko bencana alam 2010 dari Maplecroft menempatkan tiga negara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yaitu Indonesia, Filipina, dan Myanmar dengan kategori ekstrim.
M
asih dari sumber yang sama, ketahanan sosial-ekonomi 2013 di kawasan ASEAN termasuk memiliki risiko yang tinggi. Bencana alam secara nyata dapat memberikan dampak yang sangat buruk terhadap masyarakat dan ekonomi negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, sebagai contoh data ASEAN Disaster Information Network (ADInet) mencatat banjir sebagai bencana dengan frekuensi tertinggi di kawasan ASEAN selama tahun 2014. Bank Dunia menyebutkan bahwa negara-negara kawasan ASEAN berada kategori terpapar kelas tinggi terhadap bencana alam seperti gempabumi, banjir, siklon dan kekeringan. Lebih dari 100 juta orang di kawasan ASEAN terdampak bencana sejak tahun 2000, belum lagi jumlah penduduk yang berpotensi terpapar. Kecenderungan ke depan keterpaparan penduduk semakin meningkat karena
pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim. Sementara itu, Bank Dunia menyebutkan setiap tahun rata-rata kerugian akibat bencana mencapai 4,6 trilyun dolar. Ketangguhan menghadapi bencana menjadi landasan yang utama dalam menghadapi setiap risiko bahaya. ASEAN memiliki berbagai mekanisme seperti kelembagaan, perjanjian, kerangka kerja untuk
membangun ketangguhan di kawasan Asia Tenggara. Di samping itu, berbagai mekanisme bertujuan untuk menekan kerugian dampak bencana dan melakukan respon bersama pada masa tanggap darurat. Kondisi tersebut merupakan salah satu pendorong lahirnya gagasan akan visi ‘One ASEAN One Response’ sebagai refleksi solidaritas dan menjadi pondasi dalam membangun
Dukungan ASEAN ERAT di lokasi bencana banjir Thailand pada 2013. Foto: AHA Centre
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
5
ketangguhan. Visi tersebut hadir pada dokumen 2nd ASEAN Ministerial Meeting on Disaster Management (AMMDM) di Bandar Seri Begawan pada 16 Oktober 2014. Visi ini kembali ditegaskan sebagai salah satu prioritas penting dan komitmen serius dalam pertemuan 13th ASCC Council pada 26 Maret 2015 di Melaka, Malaysia.
Target pencapaian visi bersama ini pada 2020. ‘One ASEAN One Response’ sebagai sebuah visi mendorong ASEAN untuk membangun komitmen nyata dan memperkuat respon bersama menghadapi bencana, serta upaya mitigasi terhadap dampak yang mungkin terjadi.
Sehubungan dengan konteks tersebut, ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre), sebagai representasi operasional dan memiliki mandat dalam penanggulangan bencana, melakukan sosialisasi visi One ASEAN One Response.
AHA Centre mengawali sosialisasi atau roadshow ‘One ASEAN One Response’ di Jakarta, Indonesia. Sosialisasi visi tersebut berlangsung April 2015 lalu. Di saat suatu negara mengalami bencana, bukan berarti tidak memiliki kemampuan. ‘One ASEAN One Response’ merupakan semangat
Sosialisasi ‘One ASEAN One Response’
Tim ASEAN ERAT berinteraksi dengan anak-anak korban bencana banjir di Myanmar. Foto: Luqmanul Hakim
6 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
antar negara-negara ASEAN sebagai solidaritas dan upaya mewujudkan hidup aman. Sosialisasi ini bertujuan untuk mempromosikan mekanisme penanggulangan bencana di kawasan ASEAN dan visi ‘One ASEAN One Response’. Visi juga bermakna bahwa negaranegara ASEAN merupakan satu entitas dalam merespon bencana baik di dalam dan luar kawasan. Pada kesempatan itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif mengemukakan pokok-pokok pikiran dalam menambah wacana ‘One ASEAN One Response’. Dalam kerangka visi, Kepala BNPB berpendapat bahwa pelibatan masyarakat dan mitra kerja sangat penting. Masyarakat dengan bekal pengetahuan lokal berbasis komunitas mampu memberikan kontribusi dalam pengurangan risiko bencana. Kepala BNPB mencontohkan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yang menggunakan lagu dangdut dengan pengeras suara dalam mencari korban warga negaranya setelah terjadi bencana tsunami di Sendai, Jepang pada 2011. Selain itu, banyak budaya kita yang bersentuhan langsung tentang bagaimana living harmony with nature sebaiknya jangan ditinggalkan. "Ada rembug ndeso, resik ndeso dan mbangun ndeso dalam adat Jawa, di Bali ada adat dilarang meminjamkan tanah atau biasa disebut Subak”, tambah Syamsul Maarif. Menurutnya, negara lain tentu memiliki pengalaman dan pengetahuan lokal dari masyarakat.
Tim ASEAN ERAT usai menyelesaikan simulasi pelatihan di INADRTG pada Juni lalu. Foto: AHA Centre
Tidak terlepas dari ‘One ASEAN One Response’, kolaborasi dan kerjasama menjadi upaya nyata dalam pembangunan sumber daya manusia. Pada wacana ini, harapan ke depan akan tindak lanjut dari Kementerian Luar Negeri secara proaktif dalam menggagas rule of engagements dan rule of conducts pada mekanisme penanggulangan bencana berbasis komunitas di ASEAN. Sementara itu Direktur Eksekutif AHA Centre Said Faisal mengatakan bahwa ASEAN memiliki mekanisme bersama yang tertuang dalam ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER). Perjanjian ini merupakan bentuk ikatan antar negara ASEAN dalam menguji solidaritas dan relevansi ASEAN sebagai suatu strategi.
Sosialisasi kedua berlangsung di Manila, Filipina, pada 11 – 13 Agustus 2015. AHA Centre bersama National Disaster Risk Reduction and Management Council, Office of Civil Defense (NDRRMC) menyelenggarakan sosialisasi yang dihadiri mitra kerja penanggulangan bencana. Pada sambutan pembuka, Said Faisal mengatakan bahwa ‘One ASEAN One Response’ adalah visi dimana ASEAN membentuk kesatuan dan solidaritas di antara sepuluh negara anggota. Said Faisal mengungkapkan penghargaan yang dalam atas dukungan terus menerus dari semua negara ASEAN. Dukungan ini mampu mewujudkan visi ‘One ASEAN One Response’. “Kami yakin melalui sosialisasi akan membawa dampak yang signifikan untuk memahami
kerangka kerja ASEAN dalam penanggulangan bencana, dan tentunya respon darurat. Lebih lagi kami dapat memahami bagaimana AHA Centre berperan dalam mekanisme penanggulangan bencana di tingkat regional dan bagaimana NDRRMC dapat memanfaatkan dukungan seperti berbagi informasi, tanggap darurat, dan peningkatan kapasitas bagi personil kami”, kata Usec Parma, Kepala NDRRMC. Laporan utama majalah GEMA BNPB kali ini membahas mengenai visi ‘One ASEAN One Response’ seperti kemitraan tiga pilar antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga swadaya masyarakat, respon banjir di Myanmar dan ASEAN Emergency Response and Assessment Team (ERAT). (PHI)
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
7
LAPORAN UTAMA
Pelatihan berbasis masyarakat di tingkat desa untuk membentuk Komite Pembangunan Desa (VDC) di Provinsi Savannakhet, Lao PDR. Foto: www.aadmerpartnership.org
ASEAN Bangun Kemitraan 3 Pilar
di Bidang Mitigasi Bencana Pemerintah, Dunia Usaha, dan Lembaga Swadaya Masyarakat
8 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan AADMER Partnership Group (APG) yang didukung Singapore Management University menyelenggarakan pertemuan untuk membahas komunikasi antara tiga pilar di bidang bencana pada 11 Agustus 2015.
K
etiga pilar tersebut adalah pemerintah, dunia usaha, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), sebagai salah satu representasi masyarakat sipil. APG merupakan kelompok yang terdiri atas LSM international di kawasan ASEAN yang berperan dalam mengimplementasikan ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER). Foto: www.aadmerpartnership.org
Upaya mempersatukan tiga pilar ini merupakan langkah awal di ASEAN dalam membangun kebersamaan di bidang tanggap darurat dan pengelolaan risiko bencana. Pertemuan atau workshop ini bersifat informal sekaligus penjajagan isu terkait dengan pengelolaan risiko bencana yang dapat dikolaborasikan bersama.
1
Pertemuan ini telah dihadiri oleh 40 orang dari berbagai negara dan pihak, termasuk Indonesia yang telah mengirimkan delegasi pemerintah dari BNPB dan DRP yang aktif mendukung dari dunia usaha di Indonesia.
3
TUJUAN PERTEMUAN
2
Berupaya untuk menyediakan forum untuk memulai dan membangun proses komunikasi untuk mendapatkan perspektif dari masih-masing pilar yang terdiri dari pemerintah, dunia usaha, dan lembaga masyarakat. Mencoba untuk mendapatkan bentuk kerjasama dan inisiatif dari ketiga pilar dalam pengelolaan risiko bencana dan tanggap darurat di kawasan ASEAN. Mempertimbangkan langkah selanjutnya dalam diskusi dan aksi pengelolaan kebencanaan di ASEAN.
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
9
Perjanjian ASEAN tentang Penanggulangan Bencana dan Tanggap Darurat (AADMER - Agreement on Disaster Management and Emergency Response) telah disepakati oleh seluruh negara anggota ASEAN pada tahun 2005 dan mulai efektif berlaku pada tahun 2009. Salah satu prinsip dari AADMER adalah keikutsertaan dan partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan di bidang kebencanaan yang sejalan dengan tujuan ASEAN Charter untuk mempromosikan secara terbuka, inklusif, dan transparan yang berorientasi pada masyarakat ASEAN. Pada tahun 2009 Kelompok Kemitraan AADMER (APG - AADMER Partnership Group), sebuah perkumpulan yang teridiri dari tujuh LSM di ASEAN, bermaksud untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia melalui berbagi ilmu pengetahuan dan keahlian untuk memberikan dukungan bagi negara-negara di ASEAN. Komite ASEAN tentang Penanggulangan Bencana (ACDM - ASEAN Committee on Disaster Management), dengan
dukungan dari Sekretariat ASEAN, saat ini sedang mengembangkan program kerja AADMER pasca-2015, termasuk membangun kemitraan yang lebih kuat dengan para multipihak di bidang kebencanaan. Beberapa hasil yang disimpulkan dalam pertemuan ini adalah isu kesepakatan, upaya dalam merealisasikannya, dan langkah ke depan untuk ASEAN. Isu yang menjadi kesepakatan bersama antara lain adalah: penguatan kapasitas dengan pelatihan untuk dunia usaha dan pelaporan ke media dalam perumusan kebijakan, membangun bahasa yang sama dalam kebencanaan, melatih dunia usaha dalam tanggap darurat bersama AHA Centre dalam ERAT, melibatkan sektor dunia usaha dalam pengelolaan risiko bencana melalui kolaborasi pembiayaan dan mekanisme yang jelas, kolaborasi untuk bidang pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan, serta permasalahan kepemimpinan, membangun
sistem, berkoordinasi, terlibat dalam proses perencanaan, kontigensi, untuk memasukan proses bisnis secara kontinu perlu menjadi perhatian bersama. Upaya dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut perlu suatu langkah kerja yaitu dengan mengembangkan kolaborasi antar tiga pilar, membangun mekanisme yang baik antar sektor pemerintah, dunia usaha, dan lembaga masyarakat. Di samping itu, upaya bersama dalam membangun jejaring on line untuk ASEAN, membuat road map bersama antar pilar, memanfaatkan pertemuan-pertemuan yang telah dirancang dalam ASEAN, serta menyelaraskan dengan program “One ASEAN, One Response”. Langkah ke depan adalah menindaklanjuti pertemuan ASEAN di Kuala Lumpur pada November 2015 serta melalui Sekretariat ASEAN yang dapat memberikan dukungan pada berbagai kegiatan yang terintegrasi antara 3 pilar kepentingan untuk ASEAN. (RDJ)
Foto: www.aadmerpartnership.org
10 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
LAPORAN UTAMA
ERAT Perkuat Tanggap Darurat di Kawasan ASEAN
Sebagian besar dari kita mungkin belum mengetahui bahwa ASEAN memiliki tim khusus yang selalu siaga apabila dibutuhkan oleh negara yang terdampak bencana.
A
ssociation of Southeast Asian Nations Emergency Response and Assessment Team atau ASEAN ERAT merupakan tim yang dibekali pengetahuan dan keterampilan khusus pada saat tanggap darurat, seperti kaji cepat, koordinasi dan mobilisasi sumber daya, dan memfasilitasi bantuan kemanusiaan. Tim yang beranggotakan dari negaranegara ASEAN ini berperan dalam merespon bencana secara cepat. Pembentukan ASEAN ERAT tidak terlepas dari konteks potensi dan kejadian bencana yang tinggi di kawasan Asia Tenggara. ASEAN ERAT pertama kali dibentuk oleh ASEAN Committee on Disaster
Management (ACDM) pada 2007, yang berpegang pada AADMER dan ASEAN SASOP. ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response atau AADMER yang ditandatangani bersama pada 26 Juli 2005 merupakan kerangka kerja kerjasama, koordinasi, bantuan teknis, dan mobilisasi sumber daya di saat tanggap darurat, sedangkan ASEAN SASOP merupakan prosedur standar operasi terhadap misi kemanusiaan bersama ASEAN. Upaya konkret terhadap penguatan ASEAN ERAT muncul pada dokumen Program Kerja AADMER (2010 – 2015). Salah satu butir dari prioritas tahap kedua pada dokumen tersebut adalah mengenai penguatan kapasitas
dan peran ASEAN ERAT. Pada November 2013, peran ASEAN ERAT tidak hanya melakukan kaji cepat tetapi juga memberikan dukungan logistik, komunikasi, dan koordinasi pada saat tanggap darurat. ASEAN ERAT pertama kali dimobilisasi pada saat misi kemanusiaan pasca Siklon Nargis yang terjadi di Myanmar pada tahun 2008. Hingga kini, ASEAN ERAT telah melakukan beberapa misi kemanusiaan, seperti tsunami Mentawai (2010), banjir Bangkok (2011), taifun Bopha (2012), gempabumi Bohol (2013), taifun haiyan dan rammasun (2014). Misi terakhir berlangsung pada saat tanggap darurat bencana banjir di Myanmar beberapa waktu lalu. GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
11
Personel ASEAN ERAT pada pelatihan khusus ke-5 di Sentul, Jawa Barat. Foto: AHA Centre
Sebagai upaya memperkuat ASEAN ERAT, AHA Centre telah melakukan lima kali pelatihan khusus yaitu angkatan pertama hingga ketiga berlangsung di Singapura (2010, 2011, 2013), keempat dan kelima berlangsung di Indonesia (2014, 2015). Total personil ASEAN ERAT mencapai lebih dari 100 personil. Indonesia sendiri memiliki 10 personil ERAT yang berasal dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai focal point penanggulangan bencana di Indonesia, organisasi nonpemerintah, dan Palang Merah Indonesia. Tim yang beranggotakan dari lembaga pemerintah, Sekretariat ASEAN, AHA Centre, dan organisasi non-pemerintah ini mendapatkan pembekalan dari ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre) yang didukung berbagai pihak, khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun ini, tercatat beberapa organisasi yang mendukung terselenggaranya pelatihan ASEAN ERAT, antara lain BNPB, Pemerintah Australia dan Jepang, Singapore Civil Defense Force (SCDF), United Nations Office of Humanitarian 12 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Affairs (UNOCHA), AADMER Partnership Group, Palang Merah Internasional (IFRC) dan Channel News Asia.
AS E AN ERAT Simb ol Solidaritas dan Respon Bersama
Pengerahan personil ASEAN ERAT memiliki prinsip kemandirian pada saat di lokasi bencana. Secara teknis, ASEAN ERAT berada di bawah tanggung jawab AHA Centre yang berkantor di Jakarta, Indonesia. Pengerahan ASEAN ERAT sangat tergantung pada kebutuhan bencana di lapangan. ASEAN ERAT merupakan tim yang didesain berada di lokasi 8 jam setelah aktivasi dari AHA Centre. Tim ini akan membantu lembaga pemerintah yang menjadi focal point penanggulangan bencana. ASEAN ERAT merupakan simbol solidaritas dan relasi emosional di antara negara-negara ASEAN. Solidaritas dengan bekerja bersama, One ASEAN One Respon, perlu langkah konkret sehingga ini bukan hanya menjadi simbol tetapi nyata. Di samping itu, ASEAN ERAT menjadi aktualisasi dari hubungan emosial, khususnya ketika salah satu negara di kawasan ASEAN mengalami bencana.
“It is about professionalism”, kata Said Faisal, Direktur Eksekutif AHA Centre pada acara pembukaan pelatihan ASEAN ERAT Juni 2015 lalu. Said mengatakan bahwa profesionalitas sangat penting dalam mewujudkan fungsi ERAT di lokasi bencana sehingga memberikan nilai lebih untuk negara yang terpapar bencana. ASEAN ERAT menuntut profesionalisme dalam setiap operasi tanggap darurat. Cita-cita untuk memiliki standar kualitas dunia menjadi target di waktu yang akan datang. “Baik tidak cukup untuk ERAT, kita harus lebih dari baik (great)”, kata Said Faisal. Profesionalisme melandasi peran ASEAN ERAT di lokasi bencana yang meliputi: • Melakukan kaji cepat di lokasi terdampak; • Memperkirakan skala, kerusakan dan dampak bencana; • Mengumpulkan informasi dan melaporkan kebutuhan dari masyarakat terdampak; • Mengkoordinasi bersama AHA Centre untuk mobilisasi, respon, dan pengerahan sumber daya, kapasitas dan bantuan logistik ke lokasi bencana.
Pelatihan Khusus Angkatan ke-5 ASEAN ERAT
Gempabumi berkekuatan 7,2 SR dan berkedalaman 24 km menguncang beberapa provinsi di negeri Yanaya pada 25 Juni 2015, pukul 13.10 waktu setempat. Gempabumi berpusat 150 km timur laut Bekario berdampak pada Provinsi Amethyst, Cobalt, Emerald, dan Bronze. Pemerintah Yanana menginformasikan dampak bencana antara lain jatuh korban jiwa, kerusakan rumah serta fasilitas umum, seperti jalan dan jembatan. Ratusan ribu masyarakat kehilangan tempat tinggal. Kondisi parah pascabencana mendorong otoritas setempat meminta bantuan internasional, khususnya ASEAN ERAT. AHA Centre kemudian menerjunkan ASEAN ERAT di negeri antah berantah Yanaya, yang diguncang gembumi Kamis pagi itu. Selanjutnya ASEAN ERAT yang beranggotakan tujuh personil gabungan dari negaranegara di kawasan ASEAN bertugas untuk mendukung Pemerintah Yanaya dalam tanggap darurat.
yang bergerak di bidang bencana atau National Disaster Management Office (NDMO), yang terdampak bencana di kawasan ASEAN. Pelatihan yang dipersiapkan untuk melatih personil ERAT berasal dari perwakilan pemerintah dan nonpemerintah dari negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Pelatihan ASEAN ERAT ini meluluskan sebanyak 27 peserta dari 10 negara ASEAN. Perwakilan lembaga pemerintah yang bergerak di bidang penanggulangan bencana berasal dari Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam, sedangkan beberapa lembaga non-pemerintah mengirimkan perwakilan, seperti dari Sekretariat ASEAN, Palang Merah Indonesia (PMI) dan lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam AADMER Partnership Group (APG). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengirimkan tiga perwakilan dari Kedeputian Penanganan Darurat dan Pusat Data, Informasi dan Humas.
Menyikapi penyelenggaraan pelatihan, Kepala Biro Hukum dan Kerjasama BNPB Sugiharo mengatakan bahwa pelatihan ASEAN ERAT sebagai implementasi nyata atas komitmen besama dalam respon bencana melalui kerjasama melalui upaya nasional, regional maupun internasional. “ASEAN ERAT sangat penting dalam mendukung kesiapsiagaan, efektivitas tanggap darurat terhadap pengiriman sumber daya dari negara-negara di dalam kawasan ASEAN”, kata Sugiharto pada acara pelatihan yang berlangsung 10 hari tersebut. Pelatihan ASEAN ERAT disambut dengan penuh semangat dari para peserta. “5 th ASEAN ERAT Induction Course merupakan wujud nyata bagaimana ASEAN menyiapkan pemimpin mereka dalam penanggulangan bencana”, kata Riezel Chatto perwakilan Pemerintah Filipina. Melalui ASEAN ERAT solidaritas dapat dilakukan untuk mendukung negara yang tertimpa bencana, tambah Riezel Chatto. (PHI)
Paragraf di atas merupakan narasi skenario simulasi dalam rangkaian Pelatihan Khusus Angkatan ke-5 ASEAN ERAT yang berlangsung pada 19 - 29 Juni 2015 di Bogor dan Sentul, Jawa Barat. Sebelum latihan simulasi berlangsung di Indonesia Disaster Relief Training Ground (Ina DRTG), peserta mendapatkan pelatihan dengan berbagai materi terkait panduan ASEAN ERAT, kaji cepat, media, logistik, webeoc, dan manajemen stress. Dalam latihan simulasi itu, peran ASEAN ERAT adalah membantu pemerintah, khususnya lembaga
Said Faisal memberikan arahan pada pelatihan khusus ke-5 ASEAN ERAT di Sentul, Jawa Barat.
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
13
LAPORAN UTAMA
ASEAN ERAT Misi Kemanusiaan Banjir Myanmar
Curah hujan yang tinggi selama bulan Juli memicu banjir bandang dan longsor di beberapa wilayah Sagaing dan Kachin, Myanmar. Kondisi ini diperparah dengan Siklon Komen yang melanda Bangladesh pada akhir Juli. Siklon membawa angin kencang hingga memicu hujan lebat. Bencana yang lebih parah pun terjadi di hampir seluruh negeri.
B
erdasarkan laporan United Nations Office for Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA), Presiden Myanmar U Thein Sein mengeluarkan pernyataan status tanggap darurat di negara bagian Chin dan Rakhine, serta propinsi Sagaing dan Magway. Wilayah terdampak pun meluas memasuki bulan Agustus. Ratusan ribu masyarakat menderita dan mengungsi ke tempat yang aman. Di samping rumah, bangunan umum, dan infrastruktur rusak, lebih dari 500 ribu ha sawah tergenang banjir sejak Juni dan 370 ribu ha rusak.
14 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Kementerian Kesejahteraan Sosial, Bantuan, dan Pemukiman melaporkan per 15 Agustus jumlah masyarakat terdampak hingga 1,6 juta jiwa, lebih dari 300 ribu jiwa mengungsi dan 117 jiwa meninggal dunia. Pemerintah setempat memperkirakan 1,8 miliar dolar dikucurkan untuk membantu masyarakat terdampak di seluruh wilayah. Pemerintah, militer, relawan dari palang merah dan organisasi non-pemerintah, serta dunia usaha berperan penting dalam melakukan tanggap darurat kepada para korban.
Pada akhirnya dampak yang sangat luas mendorong Pemerintah Myanmar untuk membuka pintu terhadap bantuan internasional pada masa tanggap darurat. Visi ‘One ASEAN One Response’ merupakan panggilan solidaritas terhadap negara ASEAN yang tertimpa bencana. ASEAN ERAT pun diterjunkan untuk mendukung misi kemanusiaan pemerintah setempat. Berikut ini wawancancara personil ASEAN ERAT dari perwakilan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Luqmanul Hakim.
Foto: Luqmanul Hakim
ASEAN memilik visi “One ASEAN One Response”. S e hub un ga n d en g a n situasi bencana banjir ekstrim di Myanmar, keterlibatan ASEAN ERAT menunjukkan aktualisasi visi tersebut. Peran apa saja yang telah dilakukan oleh ASEAN ERAT dalam tang ga p da ru ra t d i Myanmar? Periode operasi banjir Myanmar adalah dari tanggal 11-19 Agustus 2015, dimana dalam melaksanakan misi ASEAN ERAT berkoordinasi dengan Ministry of Social Welfare Rehabilitation
and Reconstruction Myanmar. Beberapa hal yang menjadi tugas ASEAN ERAT selama operasi berdasarkan permintaan pemerintah Myanmar adalah pertama, identifikasi dan fasilitasi kemungkinan bantuan dari negara anggota ASEAN. Kedua, mendukung dan memfasilitasi tugas pemerintah negara terdampak pada fase tanggap darurat. Kemudian membantu dan bertugas dalam dimensi kemanusiaan dan kedaruratan AHA Centre, dengan tujuan memberikan gambaran yang jelas mengenai
situasi dan dampak bencana kepada negara-negara anggota ASEAN. Berikutnya, menjaga hubungan baik dan secara berkala melaporkan perkembangan pelaksanaan misi kepada AHA Centre selama jangka waktu pelaksanaan misi tersebut. Terakhir, melakukan kaji cepat di distrik Hintadha dan Maubin dari tanggal 14-16 Agustus 2015 Selama beberapa hari di Myanmar, kami melakukan kaji cepat di wilayah Distrik Hintadha dan Maubin yang terletak di Region Ayeyarwady. GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
15
Di sana, kami memfasilitasi penerimaan bantuan dari Disaster Emergency Logistic System for ASEAN (DELSA) serta mendirikan Mobile Storage Unit (MSU) di Yangon dan Mandalay.
Bagaimana mekanisme kerjasama sehingga pada akhirnya AHA Centre mengirimkan ASEAN ERAT ke Myanmar? Proses pengiriman ASEAN-ERAT ke Myanmar dimulai pada fase tanggap darurat banjir dimana pemerintah Myanmar telah menyatakan menerima bantuan kemanusiaan dalam rangka penanggulangan bencana tersebut. AHA Centre kemudian melakukan pendekatan terhadap pemerintah Myanmar untuk dapat terlibat dalam respons kejadian bencana tersebut dengan menawarkan bantuan logistik dan ASEAN ERAT untuk bergabung dalam Joint Assesment bersama
pemerintah Myanmar dan Organisasi Internasional lainnya. Setelah disetujui, selanjutnya AHA Centre mengirim tim Advance untuk memfasilitasi proses pemberian bantuan kemanusiaan terhadap pemerintah Myanmar, termasuk mengirimkan notifikasi aktivasi ASEAN ERAT kepada seluruh anggotanya. Selanjutnya proses deployment ASEAN ERAT dimulai pada tanggal 1011 Agustus 2015 yang terdiri dari 6 orang yaitu, saya sendiri dari BNPB sebagai team leader dan dibantu dua rekan dari Indonesia, dua dari Brunei dan satu dari Vietnam. Mereka di dalam tim memiliki peran masing-masing, seperti logistic, assessment, information management, dan finance specialist. Selain itu ASEAN ERAT juga didukung oleh In Country Coordination Team (ICCT) atau dari AHA Centre.
Bagaimana kondisi lapangan pada saat Anda berada di sana, seperti masyarakat dan wilayah yang terdampak? Seperti apa tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat Myanmar? Banjir dan longsor Myanmar berdampak pada 12 wilayah states/region, 117 jiwa meninggal dunia, lebih dari 1,2 juta penduduk meninggalkan kediamannya untuk hidup sementara di tempat penampungan, 453.000 rumah rusak dan hancur, 868 ruas jalan dan 831 jembatan rusak sehingga memutus akses transportasi. Secara umum tantangan yang dihadapi oleh pemerintah Myanmar adalah dampak banjir yang begitu masif dengan cakupan wilayah terdampak yang sangat luas. Terputusnya akses menuju beberapa lokasi terdampak menyebabkan pemerintah Myanmar kesulitan dalam
Foto: Luqmanul Hakim
16 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Foto: Luqmanul Hakim
mendistribusikan bantuan kepada masyarakat. Hal lain yang menjadi permasalahan adalah terdapat keterlambatan penyampaian informasi terkini perkembangan dampak banjir yang disebabkan terbatasnya sarana komunikasi khususnya pada daerah-daerah terpencil.
Menurut Anda lesson learned dari bencana banjir ekstrim di Myanmar dan peran ASEAN ERAT dalam memberikan kontribusi di saat tanggap darurat? Beberapa hal yang menjadi catatan penting dari kegiatan respons terhadap banjir dan longsor di Myanmar adalah: a. Organisasi penanggulangan bencana di Myanmar lebih terpusat (sentralistik) dengan perwakilan pada masing-masing ibukota region, sehingga pada keadaan darurat response yang dilakukan mengalami kendala khususnya dalam kecepatan penanganan.
b. Pemanfaatan teknologi informasi dalam hal penanganan darurat menjadi hal penting dalam memperoleh informasi terkini yang akurat, sehingga dapat memudahkan pengambilan keputusan. Nilai tambah yang diberikan oleh AHA Centre dan ASEAN ERAT terkait hal ini adalah aktivasi WebEOC pada Emergency Operation Centre (EOC) pusat di Naypyitaw Myanmar. c. Keterlibatan Organisasi Internasional dan lembaga swadaya masyarakat secara terintegrasi dibawah koordinasi pemerintah Myanmar memberi dampak positif dalam penanganan bencana banjir dan longsor yang terjadi. Salah satunya adalah pada pelaksanaan kegiatan Joint Rapid Assesment dapat dilakukan dengan cepat dan akurat. Beberapa cerita menarik lainnya dalam misi ini adalah peran In Country Coordination
Team (ICCT) dalam hal memfasilitasi dan menjadi penghubung antara pemerintah Myanmar dan ASEAN ERAT berjalan dengan sangat baik. Proses koordinasi berjalan dengan lancar baik pada tahap mobilisasi, pelaksanaan kaji cepat, maupun tahap pengakhiran misi. Luasnya wilayah terdampak banjir dan longsor mengharuskan kami untuk menempuh perjalanan yang cukup jauh dari satu daerah ke daerah yang lain dengan waktu tempuh rata-rata ke satu daerah ± 5 jam perjalanan darat. Menjadi team leader dari ASEAN ERAT pada misi ini merupakan tantangan tersendiri bagi saya pribadi. Pembagian tugas berdasarkan spsesialisasi anggota tim, meredam ego pribadi masing-masing anggota, dan memastikan misi dapat berhasil dengan tenggat waktu yang terbatas menuntut upaya yang luar biasa. (PHI)
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
17
LAPORAN UTAMA
DELSA Depot Logistik
Kemanusiaan ASEAN Memasuki salah satu kawasan pangkalan udara militer, berdiri sebuah depot atau gudang logistik tempat Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) menyimpan bantuan kemanusiaan.
T
ampak rak-rak berukuran besar tertata rapi dipenuhi berbagai jenis bantuan. Logo ASEAN terpapang pada salah satu rak yang menunjukkan bahwa rak tersebut tempat persediaan logistik yang siap didistrubusikan setiap saat. Depot yang berlokasi di Subang, Malayasia ini mampu memaksimalkan distribusi logistik bantuan kemanusiaan dalam hitungan 5 hingga 8 jam ke seluruh titik di kawasan ASEAN. ASEAN Coordinator Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre) dengan dukungan Pemerintah Jepang membangun program DELSA. DELSA yang didanai melalui Japan-ASEAN Integrated Fund (JAIF) bertujuan untuk mendukung distribusi bantuan kemanusiaan secara cepat di lokasi bencana. Program ini merupakan persediaan yang dimiliki ASEAN
18 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
pertama kali, dan operasionalnya dari dan untuk negara-negara ASEAN. Termasuk di dalam program ini adalah peningkatan kapasitas berupa pelatihan logistik atau dukungan teknis terhadap AHA Centre dan negara-negara ASEAN dalam logistik selama masa tanggap darurat. DELSA yang dimulai pada Desember 2012 telah mendukung berbagai misi kemanusiaan di kawasan ASEAN seperti respon bencana taifun Haiyan dan banjir Myanmar beberapa waktu lalu. Secara fisik, depot logistik ASEAN berada di dalam kawasan depot yang dikelola oleh United Nations Humanitarian Response Depot (UNHRD). Berbagai persediaan bantuan logistik ASEAN tersimpan di gudang antara lain Mobile Storage Unit (MSU), generator, tenda keluarga, beberapa jenis perkakas untuk keperluan shelter, family kits, tenda komando. Barang-barang tersusun dan
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
19
terbungkus rapi dengan standar manajemen pengudangan yang tinggi. Melalui manajemen UNHRD, logistik bantuan dapat dengan cepat disusun ke dalam pesawat angkut yang siap menuju lokasi bencana. Dalam konteks peningkatan kapasitas, AHA Centre telah menyelenggarakan dua kali pelatihan komprehensif bagian dari AHA Centre Executive Programme (ACE Programme). Ini dimaksudkan sebagai pengintegrasian kapasitas ASEAN ERAT dengan mekanisme yang berlaku di UNHRD serta manajemen operasi logistik di lokasi bencana.
Depot UNHRD
Pada saat tanggap darurat, masyarakat yang terdampak
Foto : AHA Centre
20 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
tentu membutuhkan intervensi bantuan kemanusiaan dalam tempo cepat. Situasi ini melatarbelakangi Pemerintah Malaysia memberikan dukungan pembangunan depot logistik bantuan kemanusiaan di kawasan militer Subang. Depot logistik yang berlokasi di Subang memberikan keuntungan terhadap pengiriman bantuan kemanusiaan secara cepat ke lokasi bencana, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Di sisi lain, Malaysia memiliki posisi geografi yang strategis di antara negara-negara Asia Tengara, dan aman terhadap bencana seperti gempabumi atau erupsi gunungapi.
menyediakan, menggudangkan dan mengirimkan bantuan kemanusiaan. Dibangunnya depot tersebut sebagai upaya yang berfokus pada kesiapsiagaan dan tanggap darurat serta penyediaan fasilitas terhadap akomodasi logistik kemanusiaan dari 68 mitra kerja seperti lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lain, lembaga pemerintah dan non-pemerintah, serta komunitas palang merah. Mereka sebagai pengguna dapat saling meminjam stok logistik yang tersedia untuk pemanfaatan yang bersifat mendesak ataupun berkolaborasi dalam pengiriman logistik.
UNHRD adalah jaringan depot yang berlokasi strategis dan mampu untuk
Sementara itu, mandat dari UNHRD adalah membantu masyarakat yang tertimpa bencana atau situasi darurat yang bersifat kompleks di suatu negara. UNHRD menawarkan fasilitas untuk pelayanan penggudangan, penyimpanan, inspeksi dan penanganan logistik di gudang. Biaya hanya dikenakan terhadap mitra kerja yang membutuhkan bantuan untuk pengadaan, pengiriman ke lokasi tujuan, atau pun pengemasan kembali logistik yang akan disimpan di depot. Depot UNHRD Subang seluas 5.000 m² terbagi menjadi dua depot utama. Sekitar 4.000 m² depot dimanfaatkan sebagai ruang untuk logistik yang sifatnya kering dengan muatan lebih dari 2.300 palet, sedangkan depot lain sebagai ruang penyimpanan berpendingin khusus. Logistik tersimpan dalam depot ini antara lain tenda depot sementara atau MSU, family kits, generator, tenda, dan sebagainya. Depot
kelima dari enam depot PBB berdiri sejak 2010. Fasilitas selain depot adalah ruang kantor administrasi, ruang pelatihan, beberapa container, peralatan dan kendaraan bongkar muat.
pesawat komersil atau charter untuk mengangkut logistik. Kekhususan tersebut dapat dilakukan dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah ada permintaan pengiriman.
Fasilitas yang sangat khusus pada depot Subang adalah pemanfaatan pesawat angkut militer apabila tidak tersedia
Depot UNHRD merupakan salah satu dari enam depot yang dikelola oleh United Nations World Foord Programme.
Keenam depot tersebut berlokasi di Panama City (Panama), Las Palmas (Spanyol), Accra (Ghana), Brindisi (Italia), Dubai (Uni Emirat Arab), dan Subang (Malaysia). Pertimbangan lokasi keenam depot adalah efisiensi dan efektivitas dalam menjangkau wilayah-wilayah terdampak bencana di seluruh dunia dalam waktu 8 jam. (PHI) GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
21
FOKUS BERITA
Menuju Ketangguhan Terhadap Bencana Hidrometeorologi di Indonesia Permasalahan Konvergensi Pengurangan Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim dalam Kekeringan dan Upaya Penyelesaian
Kita mengetahui bersama bahwa bencana kekeringan di berbagai daerah di Indonesia akhirakhir ini makin intensif, seiring meningkatnya fenomena El Nino pada tahun 2015.
B
adan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan beberapa lembaga meteorologi di dunia menyatakan bahwa saat ini sedang terjadi El Nino dengan tingkat moderate dan diprediksi akan menguat hingga awal tahun 2016. Bahkan El Nino 2015 diperkirakan akan sekuat bahkan lebih kuat dibandingkan dengan fenomena serupa yang terjadi pada tahun 1997. Fenomena ini sudah mulai aktif sejak
22 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Juni hingga September dan semakin dirasakan dampaknya pada bulan Agustus sehingga kondisi ini akan memberikan efek pada tingkat intensitas dan frekuensi curah hujan yang akan semakin berkurang dan bahkan kemungkinan menyebabkan mundurnya awal musim hujan di sebagian wilayah Indonesia. El Nino adalah gejala penyimpangan (anomali) pada suhu permukaan Samudera Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya.
Peristiwa ini membawa dampak kekeringan panjang di beberapa daerah di Indonesia, terutama Indonesia bagian Timur dan daerah-daerah yang terletak di Lintang Selatan, seperti Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua bagian selatan Dibandingkan dengan kejadian El Nino tahun 1997 yang terjadi di Samudera Pasifik juga diikuti dengan kenaikan suhu di Samudera Hindia sebelah Barat
Indonesia, kondisi ini memicu wilayah barat Indonesia tertarik suhunya ke Samudera Hindia (Indian Ocean Dipole – IOD) terkena pengaruh El Nino. Pada akhirnya kondisi ini berakibat pada terjadinya kekeringan yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Sementara untuk kejadian El Nino tahun 2015 ini, di kawasan pasifik terjadi pada tingkatan yang sama, namun tidak diikuti kejadian IOD Positif sehingga wilayah barat Indonesia masih diguyur hujan (basah).
Sementara di wilayah selatan dan timur Indonesia sudah terjadi kekeringan. Masalah utama yang kita hadapi terkait situasi ini adalah terkait perilaku keseharian yang belum memanfaatkan dan pengelolaan air yang bijaksana, termasuk dalam menyiapkan perangkat kebijakan. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), saat ini Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara musim kemarau di wilayah tersebut
mengalami defisit air sekitar 20 milyar meter kubik. BNPB mencatat kekeringan telah melanda 16 provinsi, meliputi 102 kabupaten/kota dan 721 kecamatan di Indonesia hingga akhir Juli 2015. Seluas 111 ribu hektar lahan pertanian juga mengalami kekeringan. Menurut Kementerian Pertanian, El Nino memang cukup berpengaruh pada sektor pertanian, khususnya untuk produksi beras. Namun, selain keberadaan sawah irigasi kita juga memiliki lahan rawa yang GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
23
luasnya sekitar 33 juta hektar dimana pada saat terjadi El Nino permukaan airnya surut sehingga bisa ditanami dan 1 juta hektar dari lahan rawa tersebut sudah memproduksi beras. Secara nasional, berdasarkan data yang di keluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) produksi beras kita masih aman untuk mencukupi kebutuhan nasional, karena pengurangan jumlah produksi hanya terjadi sekitar 3% saja. Saat ini, kekeringan meteorologis berdampak sangat buruk terhadap kekeringan hidrologis. Hal ini disebabkan karena belum terwujudnya penyelamatan hutan dan DAS, belum membudayanya upaya memanen dan menabung air hujan, ketidaksiapan masyarakat untuk menghadapi
24 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
musim kering. Teknologi rekayasa atmosfir memang cukup efektif dilakukan di wilayah yang tidak terdampak secara masif dan ketika musim kemarau belum mencapai puncaknya. Kawasan hutan dan DAS mempunyai pengaruh signifikansi pada ketidakseimbangan neraca air mikro dan makro suatu wilayah. Belum terciptanya budaya menampung air hujan menyebabkan tidak adanya persediaan cadangan air di masyarakat sehingga musim kemarau yang berkepanjangan berakibat pada penderitaan kekeringan di berbagai daerah yang rentan. Upaya dalam mengatasi permasalahan dampak kekeringan ini dapat dilakukan secara kuratif dan preventif. Upaya tersebut merupakan
upaya pengintegrasian antara pengelolaan risiko bencana dengan adaptasi perubahan iklim yang saat ini menjadi salah satu prioritas dalam pola gerakan nasional untuk menjadikan wilayah Indonesia tangguh terhadap bencana kekeringan khususnya. Penerapan teknologi sederhana terkait pengelolaan air hujan melalui budaya gerakan TRAP (Tampung, Resapkan, Alirkan, dan Pelihara) harus menjadi gerakan bersama. Pola gerakan ini dapat menjadi program dengan skala waktu jangka panjang yang melalui tahapan-tahapan perencanaan dapat berkoordinasi antar kementerian dan lembaga, hingga ke peran masyarakat secara langsung di daerah. (Kelompok kerja Banjir dan Kekeringan – IABI). (RDJ)
DALAM MENGHADAPI SITUASI SAAT INI MAKA PERLU DIDORONG UPAYA-UPAYA
1
Pemerintah pusat dan daerah untuk bekerjasama melakukan identifikasi kondisi saat ini, memprediksi ketersediaan air hingga bulan November, dan menginventarisasi kekuatan sumberdaya yang ada. Jika ada hal-hal yang dirasa perlu untuk dilakukan dalam menghadapi kondisi kekeringan jangka pendek ini maka perlu dilakukan sinergi pusat dan daerah untuk mengatasinya. Teknologi tepat guna maupun teknologi canggih perlu diaplikasikan untuk membantu mangatasi masalah kekeringan, seperti pecarian sumber-sumber air, penjernihan air, desalinasi air laut, teknologi rekayasa atmosfir, dan sebagainya. Penanganan bencana kekeringan harus menjadi ancaman dampak perubahan iklim tidak dipandang secara darurat.
2
Pemerintah pusat dan daerah untuk bersama-sama memberikan informasi dan prediksi jauh-jauh sebelumnya tentang tingkat kekeringan yang akan terjadi, mensosialisasikan pola tanam yang berbasis pada teknologi keikliman, dan menganggarkan penciptaan cadangan air baik melalui penyelamatan hutan dan DAS maupun upaya pemanenan air hujan. Ancaman kekeringan perlu disikapi secara menyeluruh dan sistemik sesuai dengan SOP penanggulangan bencana level nasional. Siapa berbuat apa dan saling percaya dalam pertukaran data dan informasi.
3
Masyarakat bersama pemerintah dan kelompok-kelompok peduli perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana melakukan kampanye pengelolaan air yang bijaksana dan berkeadilan. Dan melakukan pendampingan kepada masyarakat untuk mempraktekkan pertanian dengan pola tanam berbasis teknologi keikliman, melakukan penyelamatan hutan dan DAS, serta melakukan gerakan pemanenan air hujan.
4
Analisis prakiraan El Nino tahun 2015 perlu ditindaklanjuti dengan melakukan monitoring dan evaluasi secara intensif agar keterandalannya dapat efektif di beberapa wilayah ZOM/ zone musim. Monev indeks kehijauan vegetasi (NDVI) melalui interpretasi citra satelit perlu dikombinasikan dengan potensi air yang masih ada saat ini di waduk, embung danau, dan lainnya sehingga dapat diketahui wilayah-wilayah yang berisiko tinggi terhadap kekeringan.
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
25
FOKUS BERITA
Kekeringan, DAS dan Masyarakat Tangguh Air penting bagi kehidupan umat manusia dan penghidupan manusia. Tanpa air, tidak mungkin manusia hidup tanpanya, namun apa yang terjadi akibat perubahan iklim berdampak pada bencana di Indonesia, yakni bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi adalah jenis bencana yang dipengaruhi oleh aspek cuaca seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, cuaca ekstrem dan puting beliung.
26 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
P
ada tahun 2000, secara nasional ketersediaan air permukaan hanya mencukupi 23% dari kebutuhan penduduk . Tingkat ketersediaan air permukaan di Pulau Jawa hanya 47.263 juta m3/tahun sedangkan kebutuhan mencapai 89.476 juta m3/tahun, sehingga terjadi defisit air 42.213 juta m3/tahun. Hasil model perhitungan lain untuk Pulau Jawa menyatakan bahwa ketersediaan air diperkirakan tinggal 1.750 m3/kapita/tahun, yang telah mengisyaratkan krisis air jika dibanding dengan standar kecukupan air sebesar 2.000 m3/kapita/tahun. Hal tersebut akan merosot sampai 1.200 m3/kapita/ tahun ketika penduduk Indonesia mencapai 267 juta pada tahun 2020, dimana 150 juta diantaranya tinggal di Pulau Jawa. Sementara itu, laju kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) setiap tahun terus meningkat. Pada tahun 1984, jumlah DAS kritis di Indonesia mencapai 22 DAS kemudian meningkat menjadi 42 DAS pada tahun 1998. Tahun 2000 menjadi 58 DAS kritis dan pada tahun 2015 ini ada 108 DAS kritis. Menurut Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, DR. Sutopo Purwo Nugroho, penyebab bencana umumnya adalah kombinasi antara faktor alam dan antropogenik atau akibat ulah manusia, “Seperti pengaruh dampak perubahan iklim, meningkatnya jumlah penduduk dan kerentanan, degradasi lingkungan dan kerusakan DAS, penataan ruang, serta lemahnya penegakan hukum, dan lemahnya kepemimpinan atau leadership” ucapnya. Sementara itu menurut Prof. Dr. Emil Salim perubahan iklim sudah terjadi di
Indonesia, maka pola pembangunan yang dapat dikembangkan selanjutnya adalah pembangunan 3 jalur, yakni ekonomi, sosial dan lingkungan. “Pola inklusif pembangunan penting diterapkan sehingga tidak ada penduduk yang miskin. September nanti di New York, akan dicanangkan perubahan pembangunan ekonomi konvensional menjadi pembangunan ekonomi berkelanjutan” ucap Emil. Dasar dari bumi adalah tanah, air dan sumber daya alam. Oleh karena itu, iklim saling pengaruh dan mempengaruhi. “Terkait penyakit dan obat Daya Aliran Sungai diteliti dalam rangkaian studi kajian DAS. Sehingga ditemukan bahwa benang merahnya adalah perlu restorasi DAS dan pembenahan diskoneksi pengelolaan DAS. Regulasi pengelolaan DAS memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dan masih mengandung ego sektoral setiap kementerian” kata Emil. Kementerian harus meninggalkan ego sektoralnya untuk upaya kesejahteraan rakyat. Pemerintah bersama rakyat dan dunia usaha harus bersamasama mengelola dan memelihara DAS guna kepentingan rakyat, sehingga Indonesia tidak mengalami kekeringan berkelanjutan.
Masyarakat Tangguh
Dalam konteks ketangguhan masyarakat menghadapi bencana, maka masyarakat perlu memiliki lima daya atau Panca Daya menurut Kepala BNPB, Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si. Kepala BNPB dalam paparannya saat Kongres Sungai Indonesia di Banjarnegara, pekan lalu. Ada lima kunci yang disampaikan, yakni daya akses informasi, daya untuk mengantisipasi setiap ancaman, daya untuk melawan atau menghindari ancaman bencana banjir, daya untuk GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
27
mengadaptasi bencana dan dampak yang ditimbulkan, daya untuk pulih kembali secara cepat setelah terjadi bencana. (1) Daya akses informasi. UNISDR (2012) mengatakan bahwa kunci utama dalam penanggulangan bencana bencana, baik pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana adalah kemampuan memperoleh informasi dan komunikasi. Bagaimana semua potensi ancaman yang ada dapat dipahami dan dikenali oleh masyarakat. (2) Daya untuk mengantisipasi setiap ancaman. Untuk mencapai hal ini masyarakat dituntut mampu untuk melakukan prediksi, analisis, identifikasi dan kajian terhadap risiko bencana. Kemampuan ini memerlukan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang canggih maupun yang tepat guna. Juga dari pengetahuan yang modern hingga kearifan lokal yang sudah ada di masyarakat. (3) Daya untuk melawan atau menghindari ancaman bencana banjir. Kemampuan
dapat ditempuh melalui beberapa hal seperti relokasi permukiman, pemban gunan tanggul sungai, dan normalisasi sungai. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir dipindahkan ke tempat-tempat yang lebih tinggi dan aman dari banjir. Upaya relokasi umumnya sulit dilakukan karena terkait dengan faktorfaktor sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Seperti masyarakat di sekitar Bojonegoro, Jawa Timur yang tinggal di daerah rawan aliran banjir dari Bengawan Solo. Hampir tiap tahun masyarakat tersebut mengalami banjir. Mereka tetap tinggal di daerah tersebut dan tidak mau direlokasi dengan alasan mata pencahariannya berada di sekitar sungai tersebut. (4) Daya untuk mengadaptasi bencana dan dampak yang ditimbulkan. Apabila kita tidak mampu melawan a ta u p u n m e n g h i n d a r, maka kita harus mampu mengurangi, mengalihkan
atau menerima risiko bencana yang akan terjadi. Prinsipprinsip manajemen risiko berlaku untuk menanggulangi bencana. Pengalihan risiko atau risk transfer, seperti asuransi bencana mulai dibudayakan. Pada dasarnya mengadaptasi bencana ini bertujuan agar kemampuan masyarakat untuk menerima risiko semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan filosofi hidup berdampingan secara damai dengan bencana. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir, seperti membangun rumah panggung. Orang Dayak di daerah rawa-rawa Kalimantan dan sebagainya sudah beradaptasi dengan ancaman banjir. Masyarakat di sekitar bantaran sungai telah beradaptasi dengan membangun rumah-rumah bertingkat. Ketika akan terjadi banjir, barang-barang berharga dan persediaan makanan milik masyarakat ditaruh di tempat yang lebih tinggi untuk mengantisipasi banjir. (5) Daya untuk pulih kembali secara cepat setelah terjadi bencana. Ketangguhan suatu masyarakat dalam menanggulangi bencana dapat dilihat dari kemampuannya (daya lenting) untuk pulih kembali setelah ditimpa bencana. Pada intinya, end to end dari penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah dari manusia sampai dengan manusia. Manusia menciptakan alat atau ciptaan-ciptaan lain, tetapi pada ujungnya bagaimana masyarakat menerima itu dan berakhir pada masyarakat sendiri.
28 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Menurut Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo masyarakat Jawa Tengah sudah menyadari bencana kekeringan setiap tahunnya. "Melalui kearifan lokal yang dimiliki masyarakat, mereka sudah tangguh dalam menghadapi bencana kekeringan ini, namun media terlalu sering meng-ekspose berita tersebut sehingga muncul empati masyarakat terhadap masyarakat lainnya" ucapnya.
Antisipasi Kekeringan dan DAS
Menurut Kepala BNPB, untuk mengatasi masalah kekeringan ada 4 (empat) cara antara lain adalah Hujan buatan, Tangkinisasi (droping air minum), Embungnisasi, dan Desalinasi. Pada rapat penanggulangan bencana kekeringan tahun 2015 yang dihadiri oleh BNPB dan Kementerian Pertanian, disepakati bahwa prioritas penanggulangan bencana kekeringan di Pulau Jawa adalah di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat (10/8). Tindak lanjut yang akan dilakukan antara lain adalah hujan buatan dengan posko di Lanud Halim Perdanakusuma. "Namun metode ini juga tergantung dari awan yang bisa disemai, sehingga tergantung informasi dari BMKG" ucap Syamsul Maarif. Peran aktif masyarakat ini telah ditunjukkan diberbagai bentuk kegiatan seperti rehabilitasi hutan dan lahan, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air, agroforestri dan hutan rakyat, baik untuk tujuan pelestarian maupun untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, peran aktif dan partisipasi ini perlu lebih
didorong dan diberi ruang oleh pemerintah, baik melalui pembinaan, fasilitasi maupun penghargaan agar masyarakat dapat menjadi penggerak dari restorasi itu sendiri. Selain itu, restorasi DAS juga membutuhkan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) termasuk kearifan lokal, keseriusan parapihak, keterpaduan antar lembaga maupun antar disiplin ilmu pengetahuan, terutama pada tahap perencanaan (planning), pelaksanaan (implementation) serta monitoring dan evaluasi (monitoring and evaluation) DAS.
batas maksimal yang mengikuti deviasi curah hujan maksimal, (2) adaptasi manajemen melalui efisiensi penggunaan air serta meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah melalui tindakan-tindakan konservasi tanah dan air secara vegetatif, seperti penanaman jenis-jenis tanaman yang toleran terhadap kekurangan air, dan (3) adaptasi operasional yang dapat dilakukan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan program yang sudah berjalan supaya maksimal, yang bertujuan untuk mengatasi banjir pada puncak curah hujan tinggi.
Dalam restorasi DAS, perubahan iklim dengan cuaca ekstrimnya diperkirakan dapat meningkatkan frekuensi terjadinya bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan adaptasi terhadap kemungkinan terjadinya banjir dan tanah longsor pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi. Usaha adaptasi tersebut dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu: (1) adaptasi infrastruktur dengan menyiapkan dan memelihara volume saluran air dengan
Sinergi antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam pengelolaan air sebagai sumber penghidupan manusia sangat dibutuhkan. Meliputi kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS, pengelolaan kuantitas dan kualitas air, pengendalian banjir, pengelolaan lingkungan DAS, dan pengelolaan infrastruktur sumberdaya air sehingga antisipasi kekeringan dapat dilakukan. Sudah seharusnya dipahami dan dilaksanakan oleh semua pihak dengan mempertimbangkan tantangan perubahan iklim ke depan. (ACU). GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
29
FOKUS BERITA
BNPB Perkuat Kapasitas SDM
Pusdalops Bali
30 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Pusat Pengendalian Operasi atau Pusdalops baik berlokasi di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota berperan penting dalam memantau situasi terkait bencana di seluruh Indonesia.
L
atar belakang situasi Indonesia ditinjau dari segi geografi, geologi, dan sosiologi mendorong d i l a ku ka n n ya pemantauan situasi terhadap fenomena alam maupun bencana sedang yang terjadi. Namun demikian, tidak hanya sampai pada pemantauan, Pusdalops berperan dalam diseminasi data dan informasi kepada internal organisasi hingga publilk. Pusdalops tidak sebatas menyediakan informasi bencana tetapi juga upaya penanganan yang dilakukan berbagai pihak pada saat bencana dan pascabencana. Tertulis di
dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pusat Pengendalian Operasi Pe n a n g g u l a n g a n B e n c a n a menyebutkan pengertian Pusdalops sebagai unsur di BNPB/BPBD yang bertugas menyelenggarakan system informasi dan komunikasi penanggulangan bencana. Di tingkat pusat, Pusdalops berada di bawah manajemen Kedeputian Bidang Penanganan Darurat Sementara di tingkat provinsi/kabupaten/kota, Pusdalops ini berada di bawah koordinasi Bidang Kedaruratan dan Logistik.
PUSDALOPS MEMILIKI TUGAS DAN FUNGSI TERTUANG DALAM PERKA NO. 15 TAHUN 2012
SESUAI
1
Prabencana: memberikan dukungan kegiatan pada prabencana seperti pengumpul, pengolah, penyaji data dan informasi bencana.
2
Bencana: memberikan dukungan pada Pos Komando Tanggap Darurat dan Pelaksanaan Kegiatan Tanggap Darurat
3
Pascabencana: memberikan dukungan kegiatan pada pascabencana, seperti penyedia data dan informasi khususnya dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
31
Sesuai dengan tugas Pusdalops yang sangat penting dalam penanggulangan bencana, kri teria sebagai personil merupakan aspek yang harus dipenuhi. Sehubungan dengan konteks ini, Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB menyelenggarakan bimbingan teknis terhadap personil Pusdalops yang berada di tingkat provinsi/kabupaten/kota. Tahun ini, BNPB menyelenggarakan bimbingan teknis (bimtek) secara khusus bagi personil Pusdalops di Bali. Bimtek bertujuan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali. Penyelenggaraan berlangsung pada 18 – 20 Agustus 2015, di Kuta Bali. Para peserta yang sebagian besar bekerja untuk pusat pengendali operasi
32 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
(Pusdalops) sangat bersemangat untuk mengikuti setiap sesi yang terkait dengan data, informasi, dan kehumasan. Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali, Dewa Made Indra menyambut baik bimtek bagi jajaran BPBD, baik di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, dalam pembukaan bimtek, pada 18 Agustus lalu. Made Indra mengatakan bahwa pengelolaan data sangat penting dalam manajemen informasi sehingga publik dapat memanfaatkannya dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana. Di samping itu, peserta yang berjumlah tiga puluh orang dapat belajar berbagai keterampilan dalam sisi kehumasan. Sementara itu, Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengapresiasi pencapaian Pusdalops Provinsi
Bali, misal dalam hal pelaporan dan koordinasi antar BPBD Kabupaten/Kota. Pusdalops BPBD Provinsi Bali merupakan salah satu Pusdalops dengan perlengkapan dan peralatan yang sangat memadai. Hingga kini, BNPB telah membantu peralatan di 52 BPBD kabupaten dan kota. Tantangan selanjutnya adalah penguatan sumber daya manusia dalam pemanfaatan peralatan tersebut. Materi pada hari pertama dan kedua mencakup bidang informasi dan kehumasan, seperti pemanfaatan radio komunikasi, mobil komunikasi, penulisan berita dan rilis pers, media center, serta fotografi. Hari terakhir bimtek pada esok hari akan membahas mengenai InAWARE, suatu aplikasi untuk memonitor kejadian bencana dan membangun kesiapsiagaan. (PHI)
FOKUS BERITA
Embung untuk pertanian Desa Karanganyar, Musuk, Boyolali.
Embung Asa di Tengah
Kekeringan yang Melanda Musim kemarau telah melanda sebagian besar wilayah Indonesia di tahun 2015 ini. Dampak dari kemarau sudah mulai terasa seperti masyarakat kesulitan mendapatkan air dan titik api (hot spot) yang semakin sering muncul. Laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan sedikitnya 100 kabupaten/kota melaporkan kekeringan telah melanda wilayah mereka.
S
ementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika melaporkan bahwa kemarau pada tahun ini dibarengi dengan fenomena El Nino sehingga diperkirakan musim kemarau menjadi lebih lama. Pusat prakiraan iklim Amerika (Climate Prediction Center)
mencatat bahwa sejak tahun 1950, telah terjadi setidaknya 22 kali fenomena El Nino, 6 kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitas kuat yaitu 1957/1958, 1965/1966, 1972/1973, 1982/1983, 1987/1988 dan 1997/1998. Di Indonesia pada tahun 1997 El Nino telah menyebabkan dampak kekeringan yang luar biasa dan membuat sentral-sentral
pertanian mengalami gagal panen karena kesulitan mendapatkan air. Kementerian Pertanian telah merilis bahwa 17 ribu ha lahan pertanian mengalami puso akibat kekeringan di tahun ini. Sebenarnya, Indonesia merupakan negara tropis sehingga dalam setahun selalu mengalami dua musim yaitu GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
33
hari. Air ini juga digunakan untuk memberikan minum ternak mereka, terlebih lagi jika ternak tersebut merupakan mata pencaharian utama seperti sapi perah.
Kepala BNPB Syamsul Maarif memberikan bantuan droping air bersih di Desa Sumur, Musuk, Boyolali.
penghujan dan kemarau. Biasanya pada musim kemarau kekeringan melanda, masyarakat akan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Masyarakat bisa mendapatkat air dari sumur bor jika kandungan air dalam tanah ada, melalui sungai, mata air atau membeli dari penyedia air. Secara geologi memang tidak semua wilayah di Indonesia memiliki kandungan air yang cukup untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang tinggal di wilayah seperti ini sangat menggantungkan kebutuhan airnya dari air hujan. Bagi masyarakat yang sudah puluhan tahun tinggal di wilayah 34 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
kekeringan sudah pasti memiliki cara atau kearifan secara turun temurun untuk menghadapi keadaaan ini. Kekeringan tahun ini yang dibarengi dengan El Nino menimbulkan mundurnya musim penghujan, sehingga masyarakat mulai mengalami kesulitan dalam mendapatkan air. Pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) beserta instansi terkait lainnya memberikan bantuan droping air bersih kepada masyarakat. Droping air digunakan sebagai solusi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-
Sebenarnya sebagian besar masyarakat sudah memiliki cara tersendiri dalam mengatasi kekeringan yang sering melanda. Dalam lingkup keluarga sebagian masyarakat telah membangun wadah seperti kolam yang digunakan untuk menampung air hujan guna keperluan di musim kemarau. Kolam ini mampu untuk menyuplai kebutuhan air, walaupun masih sangat tergantung pada lama tidaknya musim kemarau yang melanda. Bagi keluarga yang memiliki perekonomian lebih mereka biasanya akan mengisi kolam ini dengan langsung membeli beberapa tangki air untuk persediaan. Konsep kolam tadah hujan ini sangat menarik sebagai solusi jangka panjang, namun yang menjadi permasalahan adalah biaya pembuatan yang cukup mahal dan kondisi perekonomian masyarakat yang berbeda satu dengan lainnya. Campur tangan pemerintah dan lembaga swasta sangat penting untuk mengembangkan konsep kolam tadah hujan ini. Melalui kolam tadah hujan ini, setiap keluarga mampu untuk mengelola dengan baik ketersediaan air yang ada, sehingga mereka mampu menghemat dalam penggunaannya. Selain sebagai pemenuhan kebutuhan hidup dan ternak, air juga digunakan masyarakat untuk pengairan pertanian. Masalah timbul bagi masyarakat di wilayah sentral pertanian seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur apabila kekeringan mulai terjadi. Kesulitan mendapatkan air menjadikan pertanian terancam gagal panen. Pada tahun ini saja (2015) sudah 17 ribu sawah puso karena kekeringan, hal ini jika terjadi secara terusmenerus bukan tidak mungkin akan menyebabkan suplai dan cadangan kebutuhan pokok masyarakat menjadi terancam. Beberapa kelompok tani memiliki cara yang unik dalam mengatasi masalah ini. Mereka membuat embung (kolam tadah hujan dengan ukuran besar) di area persawahan yang berguna untuk menampung air hujan. Embung ini mampu menyediakan air untuk pertanian sehingga lahan masih produktif walaupun terjadi musim kemarau. Cara ini cukup menarik dan patut untuk dicontoh karena mampu memberikan solusi mengatasi kegagalan panen. Agar lebih efektif embung dibangun dengan ukuran dan kedalaman tertentu disesuaikan dengan cakupan pertanian serta jika memungkinkan dibangun pada dataran yang lebih tinggi. Sebagai contoh embung yang ada
di Desa Karanganyar, kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali dengan ukuran kurang lebih 100 x 100 m dan kedalaman 3 meter mampu mengairi area pertanian di sekitarnya. Memang biaya pembuatan embung ini cukup mahal, pada tahun 2009 saja satu embung menghabiskan dana 350 juta rupiah. Keberadaan embung mampu untuk menyelesaikan masalah pertanian di musim kemarau, petani masih bisa produktif walaupun sungai telah mengering. Hal-hal seperti ini yang perlu dijadikan contoh dan ditiru untuk wilayah yang selalu mengalami kekeringan. Dalam pembuatan embung yang perlu mendapatkan perhatian adalah kepemilikan tanah yang akan dibuat embung, luas area pertanian, perkiraan luas area yang mampu dialiri dan sumber dana. Hal ini perlu diperhitungkan sebagai upaya untuk meminimalisir permasalahan yang mungkin muncul di kemudian hari. Tenaga ahli juga dibutuhkan dalam pembuatan ini, akan sangat bermanfaat jika tanah yang akan
digunakan sebagai embung terlebih dahulu diteliti agar tidak terjadi kendala dan mengganggu struktur tanah yang ada. Sangat menarik memang kearifan lokal masyarakat yang tinggal di daerah kekeringan, kolam penampung air hujan dan embung patut dikembangkan oleh pemerintah untuk mengatasi kekeringan dalam jangka waktu yang panjang. Tentu saja peran masyarakat sekitar sangat besar untuk lestarikan kearifan ini dan menjaganya secara bersamasama. Walaupun kemajuan teknologi telah mampu memodifikasi cuaca untuk mendatangkan hujan, namun teknologi ini masih berkaitan erat dengan ada tidaknya bibit awan yang dapat disemai. Membiasakan masyarakat untuk hidup selaras dengan ancaman yang ada ditambah dengan meningkatkan kapasitas mereka maka risiko akan bencana yang datang dapat diminimalkan. Living harmony with Risk merupakan konsep yang menggabungkan risiko yang ada dengan kearifan lokal masyarakat untuk menanggulanginya. (SPT)
Kolam tadah hujan milik masyarakat di Desa Sumur, Kec. Musuk Kab. Boyolali.
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
35
FOKUS BERITA
Pembahasan Panduan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Kawasan ASEAN Rehabilitasi dan rekonstruksi atau recovery merupakan proses penting dalam membangun kembali kehidupan masyarakat pascabencana. Secara bertahap isu terkait rehab-rekon ini menjadi pembahasan di kawasan Asia Tenggara.
K
onteks tersebut mendorong negaranegara ASEAN atau Association of Southeast Asian Nations menyusun pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi (Rehab-Rekon) sebagai prioritas tinggi yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan kapasitas di antara negara-negara ASEAN. Di samping itu, panduan bermanfaat sebagai upaya untuk meningkatkan proses rehab-rekon pascabencana yang
36 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
terjadi di kawasan Asia Tenggara. Mekanisme penyusunan masih dalam dinamika diskusi untuk menghasilkan panduan atau ASEAN Disaster Recovery Reference Guide yang komprehensif. Pembahasan panduan ini tidak terlepas dari konteks ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER) yang terangkum pada AADMER Work Programme 2010 – 2015. AADMER merupakan kerangka
kerja perjanjian mengikat antar negara-negara ASEAN yang bertujuan membangun kerjasama, koordinasi, bantuan teknis, dan mobilisasi sumber daya dalam segala aspek terkait penanggulangan bencana. Dalam rangka pembahasan tersebut, ASEAN membentuk kelompok kerja atau working group rehab-rekon. Kementerian Sosial, Bantuan dan Resettlement Pemerintah Myanmar dengan dukungan dari United Nations
Development Programme (UNDP) sebagai ketua dalam kelompok kerja ini, sedangkan negaranegara yang tergabung dalam kelompok kerja antara lain Brunei, Filipina, Indonesia, dan Myanmar. Mekanisme lanjutan dari pembahasan ini antara lain memanfaatkan studi kasus dari negara-negara ASEAN serta berbagai saran dan informasi sebagai bentuk pembelajaran dari proses rehab-rekon yang pernah terjadi. Kelompok kerja
PANDUAN REHAB-REKON NANTINYA AKAN MEMUAT ASPEK BAIK PRABENCANA DAN PASCABENCANA YANG TERBAGI KE DALAM LIMA ISU UTAMA
1
Kaji cepat pascabencana.
2
Kebijakan, perencanaan dan program.
3
Kerangka kerja kelembagaan dan mekanisme koordinasi.
4
Mobilisasi sumber daya dan manajemen keuangan.
5
Implementasi, komunikasi, dan monitoring.
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
37
Kelompok kerja rehab-rekon ini memberikan kriteria dari setiap studi kasus sebagai referensi. Kriteria tersebut mencakup efektivitas, efisiensi, sensitif gender dan kelompok rentan, partisipatoris, build back better, dan kritis membangun ke depan.
rehab-rekon ini memberikan kriteria dari setiap studi kasus sebagai referensi. Kriteria tersebut mencakup efektivitas, efisiensi, sensitif gender dan kelompok rentan, partisipatoris, build back better, dan kritis membangun ke depan. Kelompok kerja rehab-rekon memulai pertemuan pertama kali pada February 2015 di Nay Pyu Taw, Myanmar. Pertemuan berlangsung untuk pembahasan
kembali dan masukan pada rancangan proposal panduan ASEAN pada perencanaan rehabrekon. Pembahasan berlanjut hingga penyelenggaraan pertemuan keempat pada Agustus 2015 lalu. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Association Southeast Asian Nations (ASEAN) menyelenggarakan pertemuan yang berlangsung di Yogyakarta dengan agenda antara lain
berbagi pengalaman dari Filipina dan Indonesia. Peserta dari Filipina mempresentasikan mengenai perkembangan terkait rehab-rekon pascabencana siklon Yolanda atau ASEAN Assistance for the Recovery of Yolanda Areas (ARYA). Terkait dengan pedoman, Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Harmensyah sebagai co-chair pada pertemuan tersebut mengharapkan gagasan baru sebagai masukan terhadap rancangan yang sedang disusun. Di sisi lain, Deputi menyampaikan apresiasi yang tinggi atas pencapaian yang telah dibahas pada pertemuan sebelumnya di Inle Lake, Myanmar tahun lalu. Pertemuan keempat ini merupakan pertama kali sejak pertemuan Sendai Framework di Jepang pada Maret 2015. Sementara itu, co -chair perwakilan Pemerintah Myanmar Phyu Phyu Win menyampaikan perihal peran dalam kolaborasi di antara negara-negara ASEAN. Phyu Win mengatakan bahwa kolaborasi memiliki arti penting terhadap rehab-rekon dalam kerangka membangun kembali masyarakat. Phyu Win menekankan pada prinsip build back better dan disaster risk reduction. Phyu Win, perwakilan Pemerintah Myanmar sebagai focal point kelompok kerja ini, menyampaikan terima kasih atas kerjasama dan kolaborasi antara BNPB sebagai tuan rumah pertemuan keempat, ASEAN Sekretariat dan AHA Centre.
Pembelajaran RehabRekon dari Indonesia
Pada kesempatan pertemuan keempat di Yogyakarta, BNPB juga berbagi pengalaman 38 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
mengenai Post Disaster Need Assessment (PDNA) dan Indonesia Post Disaster Recovery Index (Ina PDRI). Secara bergantian, Direktur Pemulihan dan Peningkatan Sosial Ekonomi BNPB Siswanto Budi Prasodjo dan Direktur Pemulihan dan Peningkatan fisik BNPB Tetty Saragih mempresentasikan kedua tema di atas. Perangkat PDNA membantu dalam proses rehab-rekon seperti penyusunan prioritas kebutuhan, penyesuian anggaran, dan kerangka pengawasan dan evaluasi. Namun pada implementasi proses rehabrekon harus memiliki rencana aksi sebagai payung legal formal. PDNA memiliki tahapan yang pada akhirnya memunculkan
rencana aksi, seperti tahap aktivasi hingga tahap pelaporan. Seluruh tahapan yang berdurasi enam minggu ini berprinsip pada partisipatoris, berdasarkan bukti, berorientasi pada pengurangan risiko bencana, pemenuhan hak dasar, transparansi dan akuntabel. Melalui PDNA, beberapa sektor yang menjadi target program pada rehab-rekon antara lain perumahan, infrastruktur umum, ekonomi produktif, sosial, dan lintas sektor. Sementara itu, Ina PDRI merupakan pendekatan untuk mengukur tingkatan rehabrekon pasca bencana pada periode waktu tertentu. Ina PDRI diharapkan mampu untuk mengukur perubahan dinamis
aspek pokok penghidupan pada tingkat keluarga, komunitas, atau individu. Di samping itu, pendekatan ini mampu untuk memastikan bahwa program rehab-rekon dapat meningkatkan daya lenting pasca bencana. Secara konkret, BNPB berbagi pengalaman mengenai perangkat PDNA dan Ina PDRI melalui studi kasus rehabrekon pascabencana erupsi Merapi di Yogyakarta. Pada akhir pertemuan, BNPB mengundang para delegasi yang tergabung dalam kelompok kerja rehabrekon untuk berkunjung ke masyarakat Pager Jurang yang telah mendapatkan manfaat program rehab-rekon pascabencana erupsi Merapi 2010 lalu. (PHI)
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
39
D
emikian kesimpulan utama dalam acara “Konsultasi Nasional tentang Target dan Indikator terkait PRB dalam SDGs” pada Kamis, 27 Agustus 2015 di Jakarta. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan didukung oleh Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SCDRR) II United Nations Development Programme (UNDP) dengan dihadiri 36 orang peserta dari
40 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
kementerian/lembaga, lembaga non pemerintah, dan lembagalembaga internasional terkait. Selain PRB, kesimpulan yang lain adalah target dan indikator PRB dalam tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan haruslah sesuai dengan kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah, tindakan-tindakan nyata dalam menjalankan PRB, dan dukungan lembaga-lembaga non pemerintah baik di tingkat
nasional maupun internasional kepada Pemerintah Indonesia dalam menjalankan SDGs berprespektif PRB. Kesimpulan tersebut dibacakan menjelang berakhirnya kegiatan oleh Malikah Amril, koordinator kegiatan konsultasi nasional dari UNDP. Kepala Bidang Data Pusat Data Informasi dan Humas (Pusdatinmas) BNPB, Agus Wibowo dalam kata sambutannya pada saat pembukaan mengatakan, “Kegiatan ini
FOKUS BERITA
Target dan Indikator
PRB dalam SDGs Pengurangan risiko bencana (PRB) menjadi salah satu pendekatan penting dalam implementasi pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals / SDGs) di Indonesia. Tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan tidak dapat tercapai tanpa adanya PRB.
merupakan kelanjutan dari serangkaian kegiatan diskusi di daerah dengan satuan kerja perangkat daerah atau SKPD dan di pusat dengan kementerian lembaga atau K/L terkait bidang PRB. Pertemuan hari ini merupakan final diskusi dari hasil-hasil penyusunan target dan indikator terkait PRB dalam SDGs. Hasil akhir diskusi mengenai target dan indikator PRB dalam SDGs ini akan dibawa dalam pertemuan Persatuan BangsaBangsa pada September 2015
di New York, Amerika Serikat mendatang.” Acara konsultasi nasional ini diisi dengan dua kali paparan materi, diskusi umum, dan masukanmasukan dari K/L terkait. Paparan materi pertama dilakukan oleh: 1. Sanny Jegillos (Senior Adviser DRR and Recovery – UNDP Bangkok Regional Hub) dan Yuichi Ono (IRIDes Tohoku University) mempresentasikan “Global Centre for Disaster Statistics”.
2. Agus Wibowo (Kepala Bidang Data Pusdatinmas BNBP) mempresentasikan “Hasil Kajian Indikator Pengurangan Risiko Bencana dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)”. 3. Malikah Amril (UNDP) sebagai moderator. Paparan materi kedua dilakukan oleh: 1. W a h y u n i n g s i h D a r a j a t i (Direktur Bidang Lingkungan Hidup Bappenas/Kementerian GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
41
PPN) mempresentasikan “Perkembangan Terakhir Tujuan dan Sasaran SDGs di Tingkat Global serta Masukan terhadap Hasil Kajian”. 2. Y o h p y W a r d a n a (Deputi Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri) mempresentasikan “Posisi Indonesia dalam Negoisasi Indikator-Indikator Sasaran SDGs dan Masukan terhadap Hasil Kajian” 3. Sugeng Triutomo (Planas PRB dan mantan Deputi Bidang Kesiapsiagaan dan Pencegahan BNPB) mempresentasikan “Penyusunan Standar Pelayanan Minimum Penanggulangan Bencana”. 4. Valentinus Irawan (Analis manajemen bencana UNDP di BNPB) – sekaligus moderator – mempresentasikan “Beberapa Catatan dari Kajian”. Mengapa Indonesia menyusun target dan indikator terkait PRB dalam SDGs? Hal ini berhubungan dengan akan berakhirnya Tujuantujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/
MDGs) dan Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action/HFA) pada tahun 2015. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saat ini tengah mendorong negara-negara anggota untuk mengembangkan kerangka-kerangka penerusnya. Indonesia menjadi salah satu negara utama yang terpilih untuk memimpin proses penyusunan agenda pembangunan pasca-2015, yang disebut SDGs. Presiden Indonesia sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, bersama Presiden Liberia Johnson Sirleaf dan PM Inggris David Cameron, menjadi anggota tim pengarah penyusunan SDGs. Sementara itu dalam hal mencari keterkaitan antara SDGs dan Kerangka Aksi Sendai (Sendai Framework for Disaster Risk Reduction/ SFDRR), Indonesia juga telah dipilih menjadi satu dari lima negara yang diminta untuk mengujicobakan target dan indikator PRB dalam SDGs dan SFDRR. Dari serangkaian kegiatan dalam rangka penyusunan target dan indikator PRB dalam SDGs, baik di Bengkulu, Yogyakarta, Kupang dan Jakarta telah memilih fokus
terhadap 2 Sasaran dari 2 Tujuan, antara lain: 1. T u j u a n 1 : M e n g a k h i r i kemiskinan dalam segala bentuknya di manapun. Sasaran 1.5: sampai dengan tahun 2030 membangun ketangguhan kaum miskin dan rentan, dan mengurangi keterpaparan serta kerentanan mereka terhadap kejadian ekstrem terkait iklim serta guncangan dan bencana ekonomi, sosial dan lingkungan lainnya. 2. Tujuan 13: Melaksanakan tindakan yang serius untuk memerangi perubahan iklim dan dampak-dampaknya. Sasaran 13.1: memperkuat ketangguhan dan kapasitas adaptif terhadap ancamanancaman iklim dan bencana alam di semua negara. Pemilihan tujuan dan sasaran tersebut didasarkan pada pertimbangan tentang kebutuhan nyata yaitu terkait dengan kemiskinan serta bahaya bencana iklim dan bencana alam serta kemampuan untuk melakukan kajian dari segi sumberdaya dan waktu. Banyak masukan bermaksud baik dari para narasumber maupun peserta konsultasi nasional ini terhadap target dan indikator terkait PRB dalam SDGs yang sudah dihasilkan di atas. Menurut Yohpy Wardana, Indonesia berperan penting dalam proses penyusunan SDGs di tingkat global. Indonesia terutama sekali menjembatani antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang dalam menggoalkan target-target pembangunan berkelanjutan yang lebih realistis. Namun demikian masih ada beberapa
42 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
permasalahan yang belum selesai, misalkan mengenai isu perubahan iklim, implementasi di tingkat nasional, dan lain-lain. Bagi Wahyuningsih Darajati, yang biasa dipanggil dengan nama Bu Ning, agenda SDGs ini jangan hanya dipandang sebagai arahan global saja tapi agar dilihat sebagai semacam cambuk untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang arahannya sudah ada dalam rencana pembangunan nasional. Bu Ning terlibat aktif dalam implementasi MDGs dan proses penyusunan SDGs. Target-target MDGs yang sudah tercapai akan terus dilakukan dan dijaga pelaksanaannya, sedangkan target-target MDGs yang belum tercapai akan dimasukkan ke dalam SDGs. Saat ini Sekretariat MDGs sedang mempersiapkan peta jalan untuk implementasi SDGs di Indonesia. Peserta dari Direktorat Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan bahwa target dan indikator terkait PRB dalam SDGs ini banyak data yang mengambil sumber data statistik dari BPS. Namun demikian tidak semua data bisa disediakan oleh BPS itu sendiri dan mesti disediakan oleh kementerian/lembaga yang bersangkutan (walidata). Selain itu beberapa indikator terkait dengan indeks akan mengalami kesulitan sehubungan dengan ketersediaan datanya. Selama ini data BPS diperoleh dengan cara survei dan sensus dalam waktu-waktu tertentu, sehingga perlu diperhatikan mengenai periodisitas dan tema-tema datanya.
Valentinus Irawan dari UNDP, yang menggawangi proses penyusunan target dan indikator terkait PRB dalam SDGs ini mengatakan bahwa indikator yang disusun jangan terlalu banyak karena akan menyulitkan diri sendiri dalam implementasinya. Target dan indikator yang dihasilkan dalam proses ini bukanlah sebagai “keputusan politis” pemerintah Indonesia; bukan berarti bahwa Indonesia akan menggunakannya sebagai indikator untuk mengukur kemajuan, tetapi lebih sebagai contoh proses bagaimana Indonesia dapat mengembangkan beberapa indikator terkait PRB dalam SDGs. Ada beberapa hal yang perlu dibahas lagi dengan lebih mendalam seperti: 1. Bagaimana ke depan BNPB dapat mengembangkan indikator-indikator PRB dalam kerangka SDGs yang dapat diterima oleh semua K/L? 2. Bagaimana memadukan pelaporan SFDRR ke dalam pelaporan SDGs? 3. Bagaimana UNDP dapat berkontribusi lebih lanjut dalam pengembangan
indikator PRB tersebut, baik dalam kerangka SDGs maupun SFDRR? Untuk lebih menyempurnakan target dan indikator terkait PRB dalam SDGs, Valentinus Irawan mengusulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Perlu ada kajian lebih terinci tentang ketersediaan data dan keekonomisan biaya pengumpulan data serta kapasitas pemerintah pusat dan daerah untuk melakukannya. 2. Beberapa data seperti data kajian pascabencana (post disaster need assesment/ PDNA), probabilistik risk membutuhkan survei tambahan, sehingga butuh sumber daya tambahan untuk pemerintah daerah terutama untuk slow-onset disaster. 3. Dalam pengembangan indikator kelak perlu mempertimbangkan tingkat kemampuan pemerintah daerah yang bervariasi dan jangan sampai menjadi beban bagi pemerintah daerah. (DP) GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
43
LIPUTAN KHUSUS
Pasca Bencana Tohoku
Dari Reruntuhan Menuju Hidup Baru Masyarakat Minamisanriku Gempabumi yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2011, pukul 14.46 waktu setempat, menjadi mimpi buruk bagi masyarakat yang hidup sepanjang pesisir pantai sebelah timur laut Jepang.
Proses rehabilitasi dan rekonstruksi Kota Minamisanriku pasca tsunami 2011.
44 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
K
ekuatan gempabumi yang begitu dahsyat atau dikenal dengan Tohoku Earthquake memberikan luka yang begitu dalam bagi masyarakat yang kehilangan anggota keluarga dan harta benda. Pusat gempabumi berada pada kedalaman 32 km dan berjarak 70 km di timur Semenanjung Oshika, Tohoku. Lebih dari 20.000 warga meninggal dunia dan hilang pasca tsunami tersebut. Saat ini mereka masih dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi untuk kehidupan yang baru. Salah satu wilayah yang terdampak adalah Kota Minamisanriku. Empat puluh lima tahun berselang, masyarakat Minamisanriku mengalami tsunami hebat dengan ketinggian gelombang laut 20 meter. Mereka tidak menyangka infrastruktur dinding penahan atau sea wall terlewati begitu saja oleh gulungan air laut setelah gempabumi 9 Skala Richter (SR) mengguncang. Masyarakat setempat juga tidak menyangka ketinggian tsunami mencapai tempat evakuasi yang telah mereka siapkan sebelumnya. Sebagian mereka pun lari ke tempat yang lebih tinggi, yaitu Sekolah Dasar Okawa, salah satu bangunan di ketinggian 20 meter. Pada ketinggian itu pun reruntuhan berbagai benda masih terbawa oleh kuatnya tsunami. Minamisanriku merupakan kota kecil di pinggiran Jepang yang berada pada wilayah administrasi Prefecture Miyagi, Tohoku. Kota yang dikenal dengan industri perikanan mengalami kerusakan hingga 90%. Rumah, bangunan, maupun infrastruktur hancur dan tersapu gelombang laut bersama harta benda lain seperti mobil dan
Bangunan tersisa pasca tsunami 2011.
perahu nelayan. Warga setempat mencatat 1.000 orang dari total populasi 17.500 orang meninggal karena bencana tersebut. Belum lagi sekitar 2.000 orang akhirnya meninggalkan kota itu karena beban mental akibat kehilangan anggota keluarga maupun pekerjaan. Hampir sebagian masyarakat bermatapencaharian di sektor industri perikanan, seperti penangkapan dan pemrosesan ikan mengalami kerugian luar biasa. Namun, sektor kehutanan dan perkebunan tidak mengalami dampak begitu besar. Pasca tsunami, masyarakat memfokuskan pada sektor pariwisata sementara mereka membangun kembali industri yang telah hancur. Tampak di balai kota yang baru, beberapa toko berdinding baja atau kontainer tertata rapi. Masyarakat menjual
beberapa produk seperti suvenir dari masyarakat dan berbagai produk dari industri perikanan setempat. Sebuah kota yang indah di pinggiran pantai, masyarakat Minamisanriku tidak menyangka akan dahsyatnya gempabumi berkekuatan 9 SR. Dalam waktu sekejap, kehidupan masyarakat hancur setelah terjangan menghantam masyarakat yang mayoritas bekerja di sektor budidaya ikan tersebut. Gelombang air laut dengan kecepatan 40 km/jam meratakan bangunan gedung bertingkat dan rumah warga hingga 1 km dari pinggir pantai. Jumlah korban meninggal dan hilang mencapai 20.000 jiwa. Tsunami yang terjadi pada 11 Maret 2011 bukanlah yang pertama terjadi di kota GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
45
berpenduduk sekitar 14.000 jiwa. Tsunami pernah menghantam kota ini pada tahun 1960. Namun saat itu, pusat gempabumi tidak berasal dari wilayah Jepang. Tepatnya terjadi jauh ribuan kilometer, yaitu Valdivia-Chile, dengan kekuatan gempa 9,5 SR. Ketinggian tsunami yang dipicu gempa tersebut menghantam Minamisanriku hingga 7 m. Masyarakat sekitar mengevakuasi diri mereka ke tempat yang lebih tinggi. Tsunami yang pernah menerjang 55 tahun lalu ini mendorong pembangunan dinding penahan tsunami di sekitar pantai dengan ketinggian 5 m.
Kesaksian Warga
Apa yang terjadi pagi itu di luar dugaan masyarakat Minamisanriku. Gempa yang dahsyat membuat Kazumo Goto bergegas menuju sebuah bukit di dekat sekolah Okawa. Dia masih dapat mengingat kejadian beberapa puluh tahun lalu. Kazumo bersama beberapa warga mencapai ke sebuah bukit dan menyaksikan tsunami menghantam bangunan di sepanjang pantai. Pasca kejadian itu, masyarakat selalu menyelenggarakan pelatihan evakuasi ke bukit itu setiap 25 Mei. Warga sebenarnya telah terlatih untuk melakukan pelatihan, antara lain mengetahui di mana harus evakuasi, peralatan yang harus dibawa, dan memasak bersama. Namun tsunami empat tahun lalu lebih dahsyat. “Tsunami mencapai bukit tempat kami dulu menyelamatkan diri. Kemudian kami pun berlari ke tempat yang lebih tinggi”, papar Kazumo. Meskipun Kazumo dan warga yang lain telah mengungsi ke 46 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Warga yang memberikan kesak si an ker usakan Ko ta Mi nam i sanr i ku pasca tsunami.
tempat yang lebih tinggi atau di Sekolah Dasar Okawa, tsunami pun mencapai hingga dinding sekolah itu. Pria yang berumur 80 tahunan itu mengkisahkan bahwa gerbang laut atau watergate tidak mampu memecah tsunami. “Setelah tsunami tahun 1960 dinding penghalau dibangun, namun itu sama sekali tidak berguna saat tsunami 2011”, kata Kazumo sebagai salah satu tokoh masyarakat setempat. Tsunami menerjang hingga menyebabkan 90% perahu nelayan tersapu hingga 1 km ke daratan. Gelombang pasang menuju daratan sekitar 20 menit pasca gempabumi. Empat ratus keluarga yang hidup di pesisir pantai menjadi korban gempabumi dan tsunami. Dua menit pasca gempa, listrik di seluruh kota padam. Salah satu bukti adalah jam dinding yang terpasang di Sekolah Dasar Okawa menunjuk 14.48 waktu setempat. Di balik bencana, fenomena alam ini memberikan sisi positif terhadap lingkungan pantai. Hisako mengatakan
bahwa kondisi pantai yang terkontaminasi telah mengalami perubahan seperti kondisi saat 50 tahun lalu. Menurut Yasuo Katsukura, kualitas air laut pasca tsunami menjadi lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan hasil budidaya laut seperti hasil tiram yang dapat dipanen dalam kurun waktu 6 bulan. Sebelumnya, peternak baru dapat memanen hasil tiram selama dua tahun. Selain itu, kualitas tiram yang lebih baik dengan ciri-ciri ukuran yang lebih besar.
Membangun Harapan Baru Minamisanriku
Sebelum terjadinya gempabumi dan tsunami, populasi berjumlah sekitar 17.000 jiwa. Namun saat ini populasi turun hingga 14.500 jiwa. Turunnya populasi karena sejumlah warga menjadi korban dan sekitar 2.000 jiwa meninggalkan kota. Mereka yang meninggalkan kota karena kehilangan anggota keluarga dan juga pekerjaan. Walikota Minamisanriku Kensato menggambarkan bahwa wilayah administrasi yang dikelola olehnya telah hancur. Perlahan pemerintah setempat membangun kembali
kehidupan masyarakat. Pemerintah merelokasi warga ke tempat yang lebih tinggi, sebagian mereka masih tinggal di rumah transisi atau temporary houses. “Kebijakan pemerintah mengharuskan masyarakat untuk tinggal di wilayah yang lebih tinggi”, jelas Kensato, pria yang selamat meskipun diterjang gelombang air di saat dirinya terus memperingatkan warga untuk mengevakuasi ke tempat yang lebih tinggi. Total pembangunan rumah transisi yang berbentuk apartemen akan berjumlah 28 tower. Jumlah anggaran rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) Minamisanriku mencapai 300 miliar Yen. Berdasarkan kebijakan pemerintah pusat, pemerintah setempat mengharuskan untuk berbagi pembiayaan sebesar 10% dari jumlah anggaran. Namun mengingat jumlah tersebut masih terlalu besar, akhirnya pada Oktober 2011 pemerintah pusat membiayai rehabilitasi dan rekonstruksi Kota Minamisanriku.
Kensato menilai bahwa masih banyak pekerjaan rumah pasca bencana. Pria yang selamat saat bencana terjadi mengatakan bahwa dia ingin menciptakan masyarakat yang lebih tangguh. Masyarakat yang tangguh menjadi kunci dalam penanggulangan bencana. Infrastruktur bukanlah jaminan masyarakat terselamatkan dari bencana. Kensato menjelaskan bahwa ada satu rencana untuk membangun tide wall setinggi 20 meter namun pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk membangunnya. Sementara itu, beberapa kebijakan baru diharapkan terbentuk, seperti pemanfaatan lahan yang dulunya rumah warga akan digunakan sebagai ruang publik. Kensato mengatakan bahwa rekonstruksi kota tetap dilakukan tetapi dengan peninggian daratan. Lokasi kota pinggiran pantai tersebut akan digunakan sebagai tempat komersial dan perkantoran. Satu hal yang masih menjadi perdebatan warga mengenai
pemanfaatan ruang sebagai warisan sejarah atau heritage yang menggambarkan dampak bencana. Warga yang telah kehilangan anggota keluarga merasa keberatan akan pemanfaatan ruang tersebut. Strategi pemerintah setempat untuk membangun kehidupan masyarakat Minamisanriku antara lain dengan membangun kembali industri perikanan dan pariwisata serta tetap mempertahankan sektor kehutanan dan pertanian. Dahulu industri perikanan Kota Minamisanriku terkenal dengan sektor budidaya ikan dan pemprosesan hasil laut. Hingga kini proses rehab-rekon Kota Minamisanriku masih berjalan. Tampak kendaraan dan peralatan berat lalu lalang menata dan membangun kota. Ketinggian kota dan pembangunan jalan telah tampak. Pemerintah dan masyarakat setempat dengan dukungan pemerintah pusat terus menata kehidupan baru Kota Minamisanriku. (PHI)
BELAJAR PROSES PANJANG REHAB-REKON PASCA GEMPABUMI KOBE Tidak sepenuhnya proses rehab-rekon berhasil dengan baik. Sekilas gambaran tersebut dialami masyarakat Kobe, Jepang yang juga mengalami bencana gempabumi 20 tahun lalu. Gempabumi yang dikenal juga sebagai HanshinAwaji Earthquake ini berkekuatan 7.3 SR. Peristiwa mengerikan yang terjadi pada dini hari telah mengguncangkan masyarakat. Data pemerintah setempat mencatat lebih dari 6.000 jiwa meninggal dunia dan 43.000 jiwa terluka. Bencana yang menyebabkan 300 ribu jiwa mengungsi juga merusakkan lebih dari 110 ribu rumah. Masyarakat setempat menceritakan kerusakan bangunan tidak hanya karena guncangan gempa tetapi amukan api yang dipicu oleh rusaknya pipa-pipa gas. Proses rehab-rekon berlangsung selama 10 tahun dengan menghabiskan total anggaran 16,3 triliun yen. Pemerintah setempat menempatkan aspek kesejahteraan, kebudayaan, pembangunan kota, industri, dan manajemen bencana pada program rehab-rekon. Meskipun proses rehab-rekon telah usai, sebagian masyarakat masih mengalami kesulitan untuk mengembalikan perekonomian seperti sebelum terjadi bencana. Faktor yang melatarbelakangi adalah masalah kependudukan. Pasca gempabumi, daya tarik Kobe menurun dan sejumlah masyarakat memilih kehidupan baru di luar Kobe. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk sangat pelan sehingga jumlah penduduk lanjut usia yang masuk dalam kategori tidak produktif lebih banyak dibanding kaum muda.
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
47
S
ecara konkrit, Indonesia berperan dalam berbagai forum internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Organisasi Konferensi Islam (OKI), Gerakan Non-Blok (GNB), dan organisasiorganisasi lain di tingkat international. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai focal point penanggulangan bencana memiliki mandat untuk melakukan koordinasi dan upaya secara terencana, terpadu dan menyeluruh. Di samping itu, BNPB juga melakukan perumusan dan penetapan kebijakan
48 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
penanggulangan bencana serta penanganan pengungsi secara efektif dan efisien. Salah satunya adalah kebijakan terkait hubungan kerjasama internasional di bidang sosial, yang terwujud dalam komitmen kemanusiaan. Komitmen ini merupakan refleksi solidaritas yang ingin ditunjukkan Indonesia terhadap negara lain yang terdampak bencana dan membutuhkan bantuan internasional. Indonesia melalui BNPB telah menunjukkan komitmen kemanusiaan dengan memberikan bantuan kemanusiaan terhadap negaranegara yang dilanda bencana, seperti banjir ekstrim Pakistan (2010), gempabumi Haiti
(2010), topan Haiyan di Filipina (2013), topan Pam di Vanuatu (2015). Pada April 2015 ini, Indonesia juga memberikan bantuan kemanusiaan terhadap masyarakat Nepal yang terdampak gempabumi dahsyat. Gempabumi berkekuatan 7,8 SR terjadi pada pukul 11:56 NST (waktu setempat) pada Sabtu, 25 April 2015, dengan episenter sekitar 29 km dari timur-tenggara Lamjung, Nepal, dan pusat gempa di kedalaman sekitar 15 km. Gempabumi juga dirasakan di beberapa wilayah seperti Tiongkok dan Bangladesh. Berdasarkan data Pemerintah Nepal, korban meninggal per 2 Mei 2015 berjumlah 6.204 jiwa, sementara itu 13.923 jiwa mengalami luka-
LIPUTAN KHUSUS
Bantuan Kemanusiaan
Indonesia untuk Gempabumi Nepal Negara Indonesia memiliki kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Kebijakan tersebut teraktualisasi melalui keterlibatan dan peran sebagai bagian dari komunitas masyarakat internasional.
luka. Jumlah korban meninggal tertinggi tercatat di wilayah Sindhupalchowk, Kathmandu dan Nuwakot.
Proses Keberangkatan
Merespon kejadian gempabumi Nepal, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memerintahkan pengiriman bantuan kemanusiaan satu hari pascabencana. Menindaklanjuti hal itu, BNPB bersama Kementerian/Lembaga dan lembaga non-pemerintah menggelar rapat koordinasi pada Senin, 27 April 2015, di Graha BNPB. Hasil rapat menyebutkan Pemerintah Indonesia akan mengirimkan bantuan senilai US$ 1 juta. Selain itu, lembaga non-pemerintah dan lembaga
kemanusiaan lain di Indonesia juga akan mengirimkan bantuan senilai US$ 1 juta sehingga total bantuan Indonesia senilai US$ 2 juta. BNPB membentuk Tim Kemanusiaan Republik Indonesia untuk Nepal yang diberangkatkan pada 29 April 2015. Keberangkatan tim ini menggunakan pesawat TNI AU B 737-400. Keberangkatan rombongan pertama dilepas oleh Kepala BNPB, Syamsul Maarif yang dihadiri oleh perwakilan kementerian/lembaga. Tim yang dipimpin oleh Direktur Tanggap Darurat BNPB Junjungan Tambunan mendarat di Bandara I n t e r n a s i o n a l Tr i b h u va n , Kathmandu pada 30 April 2015. Tim yang berjumlah 24 orang
terdiri dari dokter ahli anastesi, bedah, perawat dan apoteker. Keberangkatan tim kedua pada 1 Mei 2015. Selain personil, Tim ini juga bantuan logistik dan peralatan kemanusiaan seberat 37 berupa : • Bantuan BNPB (tenda keluarga 100 unit, tenda pengungsi 3 unit, lauk pauk 2.000 buah dan kantong mayat 2.000 buah) • Bantuan Kementerian Kesehatan (MP-ASI 1 paket, kantong mayat 500 buah, obat spesifik 1 paket, obat pelayanan dasar 1 paket) • Bantuan Kementerian Sosial (selimut 4.500 potong) • Bantuan dari Rumah Zakat (kornet kambing 250 dus) • Bantuan PKPU (kantong GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
49
• • • •
mayat 100 buah, masker 48 dus, selimut bayi 30 buah, kantong mayat 14 buah) Bantuan Dompet Dhuafa (kantong mayat 50 buah) Bantuan Yayasan Covernik (Solar Lite 25 unit, saringan air siap minum 50 unit). Bantuan HIPMI (selimut 500 buah) Bantuan MDMC (selimut 49 dus).
Sesuai rencana, bantuan kemanusiaan berupa bahan kebutuhan dasar dan peralatan yang tidak terangkut dengan penerbangan pertama akan dikirim mengunakan pesawat kargo Boeing 737 milik Cardig Air. Logistik tersebut akan diberangkatkan pada 4 Mei 2015 dan akan tiba di Bandara Tribhuvan International Airport Katmandhu Nepal tanggal 5 Mei 2015.
Sekretaris Utama BNPB, Dody Ruswandi mengatakan dalam pelepasan Tim Kemanusiaan Indonesia di Bandara Soekarno Hatta pada 1 Mei 2015 bahwa bantuan ini dapat membantu mengurangi penderitaan rekanrekan maupun saudara-saudara di Nepal. Tim ini ditugaskan bergabung dengan tim bantuan internasional yang ada di Nepal dan telah dipersiapkan untuk menghadapi situasi yang ekstrim di sana. ”Tim yang diberangkatkan ini merupakan tim terbaik yang telah dipilih oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas kemanusiaan,” kata Dody Ruswandi. Direktur Tanggap Darurat BNPB Junjungan Tambunan Selaku Komandan Tim Indonesia Peduli Nepal menegaskan bahwa kerja tim sangat diutamakan
dalam misi kemanusiaan ini dan semua yang berada di dalam tim ini merupakan orang-orang yang memiliki kapasitas dalam penanggulangan bencana. Ia mengingatkan semua anggota tim mengenai arahan Deputi Penanganan Darurat, Tri Budiarto bahwa perbedaan, komitmen dan kekurangan menjadi pengikat dalam bekerja. Sementara itu, Wakil Komandan Tim Indonesia Peduli Nepal Kolonel Senmart Tonda menegaskan untuk tidak berbuat hal yang memalukan nama Indonesia, jangan menyakiti hati masyarakat Satungal. “Kebersamaan kita di sini merupakan rencana Tuhan, tolong jaga semua atas nama Indonesia,” tuturnya. Ia menyatakan bahwa tim Indonesia harus saling melengkapi karena membawa nama Indonesia bukan organisasi, kementerian atau militer. (AYU)
Daftar Jumlah Korban Jiwa akibat Gempa Bumi Nepal
No
Daerah Terdampak
1
Dolakha
2
Sindhupalchok
3
Meninggal
Luka-Luka
Terdampak Laki-laki
Perempuan
Kerusakan Rumah
72
248
113.152
133.646
4.968
3.788
3.726
125.241
136.777
39.494
Rasuwa
446
752
20.726
21.198
8.000
4
Kavre
365
1.161
221.570
198.251
6.325
5
Lalitpur
186
3.239
51.303
83.690
16.294
6
Bhakthapur
305
734
126.174
131.092
9.000
7
Kathmandu
1.211
6.669
330.564
352.274
17.750
8
Nuwakot
881
1.062
84.701
93.350
30.000
9
Sindhuli
11
-
62.611
67.996
3.180
10
Ramechhap
11
Dhading
12
Makawanpur
13
Gorkha
14
Okhaldhunga
50 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
32
54
89.419
92.054
24.300
715
700
162.688
174.620
20.000
34
-
72.805
77.714
363
410
2.139
42.813
47.214
36.226
45
-
-
-
7.568
8.501
20.484
1.503.767
1.609.876
223.468
KEGIATAN TIM INDONESIA PEDULI NEPAL •
Mendirikan tenda pengungsi/ ruang belajar darurat di Desa Balaju pada 3 Mei 2015. Tenda tersebut difungsikan sebagai tempat pengungsian 53 jiwa atau 8 KK dan juga difungsikan sebagai ruang kelas belajar sekolah Asha Vidyashram School yang melayani 5 kelas dengan jumlah siswa 70 orang.
•
Pada 6 Mei 2015 dilaksanakan pemberian bantuan makanan dan logistik di Desa Cithlang dan Desa Kirtipur. Penyerahan simbolis dilaksanakan oleh Duta Besar RI untuk Banglades Iwan Wiranataatmadja dan didampingi oleh Ketua Tim Indonesia Peduli Nepal Junjungan Tambunan dan Wakil Komandan Kolonel Senmart Tonda beserta rombongan.
•
Desa Cithlang sebanyak 426 paket lauk pauk, 1 tenda pengungsi dan 270 lembar selimut.
•
Desa Kirtipur Sebanyak 720 paket tambahan gizi, 240 paket lauk pauk dan 100 lembar selimut tanggal 2 Mei 2015.
•
Bantuan Medis di Kantipur General and Dental Hospital berupa penanganan korban Gempa sebanyak
•
Rumah sakit Lapangan di Desa Satungal dengan memberikan pelayanan kesehatan terhadap 1.298 orang selama 4 hari.
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
51
LIPUTAN KHUSUS
KOMITMEN BNPB Mengelola Dana Penanggulangan Bencana Secara Profesional
Penyelenggaraan penanggulangan bencana membutuhkan kualitas kerja, transparansi dan akuntabilitas. Transparansi merupakan elemen dasar dalam kerangka menghindari perbuatan melawan hukum yang dapat mengakibakan kerugian Negara. Oleh karena itu percepatan penerapan sistem pengendalian internal yang efektif.
P
engendalian tersebut dilakukan melalui proses integral pada kegiatan secara terus menerus oleh seluruh pimpinan dan pegawai untuk memberikan keyakinan yang memadai tercapainya tujuan melalui kegiatan yang efektif dan efisien. Beberapa aspek yang menjadi ukuran yaitu keandalan laporan keuangan, pengelolaan aset yang tertib dan ketaatan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Latar belakang ini yang mendorong Inspektorat Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyelenggarakan pertemuan koordinasi pengawasan antara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat provinsi, kabupaten dan kota di wilayah Timur
52 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Indonesia pada 12 Agustus 2015. Dalam sambutan pembukaan, Inspektur Utama BNPB, Bintang Susmanto mengatakan bahwa penanggulangan bencana harus dilakukan secara tertib, transparansi dan akuntabel. Menurut Bintang Susmanto, tertib yaitu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan didokumentasikan dengan rapi. Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan penanggulangan bencana, baik keuangan maupun kinerja, dilakukan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan. Laporan yang dilaporkan paling lambat tiga bulan setelah masa tanggap darurat dinyatakan selesai harus memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas. Transparansi bertujuan sebagai keterbukaan informasi kepada publik. “Akuntabilitas yaitu memberikan jawaban atas
semua kejadian sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada stakeholders”, tambah Inspektur Utama. Bintang mengatakan bahwa 70 persen temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang perlu ditindaklanjuti terdapat di BPBD. "Meskipun 70 persen temuan tersebut di daerah, munculnya tetap di laporan BNPB. Ini disebabkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) berada di pusat. Mengingat 70 persen tindak lanjut harus dilakukan daerah, kami menjemput bola dengan menyelenggarakan pertemuan regional di Indonesia bagian barat, tengah, dan timur", jelas Pejabat Eselon I di hadapan peserta BPBD. Pertemuan tersebut bertujuan untuk mempercepat dan mengaudit hasil temuan BPK dan Aparat Pemeriksa Internal Pemerintah (APIP) yang ditindaklanjuti sesuai saran.
Sekitar 70 persen dana Anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di BNPB dialokasikan ke daerah, berupa dana bantuan melalui BPBD. "Untuk prabencana ada dana kontijensi, saat darurat ada dana siap pakai, sedangkan pascabencana ada dana bantuan sosial. Totalnya lebih dari Rp 4 triliun per tahun," papar Bintang Susmanto. Pihak BNPB berharap pengelolaan dana tersebut dilakukan secara transparan dan akuntabel oleh BPBD.
Penanggulangan Bencana “Tanpa Bencana”
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menekankan keberadaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Perwakilan BPKP Wilayah Sulawesi Selatan Deni Suardini, penyaluran dan pengelolaan dana saat tanggap darurat sebaiknya menggunakan sistem ini. Deni Suardini menambahkan bahwa komitmen penerapan SPIP yang efektif oleh BNPB dan BPBD dapat mewujudkan instansi yang
terpercaya dalam penanganan bencana "tanpa bencana“. Salah satu kunci keberhasilan penerapan SPIP yang efektif melalui pengelolaan yang berlandaskan sikap professional. Dalam rangka merealisasikan hal tersebut, perubahan-perubahan yang mendasar harus dilakukan, antara lain perlu perubahan mindset dan kultur, tindakan nyata dimulai dari sekarang dan selamanya berdasarkan budaya kerja dan nilai-nilai yang dianut. Berbicara mengenai sistem, komponen dalam sistem tersebut, yaitu peran aparat atau APIP dalam pengawasan intern atas ketaatan, kehematan, efesiensi dan efektivitas pencapaian tujuan (assurance activities); memberikan peringatan dan meningkatkan efektivitas manajemen resiko (anti - corruption activities); serta memberikan masukan yang dapat memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola (consulting activities) dalam penganggulangan bencana. Di sisi lain, keselarasan tujuan serta komitmen dari semua
komponen instansi pemerintah; dengan internalisasi tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih yang efektif, seperti perbaikan secara terus menerus dan penerapan sistem reward and punishment yang jelas. Upaya perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan handal (good governance and clear goverment), perlu juga diperbaiki faktor sumber daya manusianya, baik dari segi kualitas, integritas maupun keserasiannya. Menurut Bintang Susmanto, sebaik apapun sistem yang dibangun, apabila sumber daya manusianya tidak berkualitas dan tidak didukung profesionalisme dan integritas yang tinggi, sistem tersebut bagaikan hiasan belaka. BNPB mengundang Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, BPKP, dan BPBD di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota se-Sulawesi Selatan. Selain pembahasan secara umum mengenai pertanggungjawaban keuangan dan administrasi. BNPB juga menyelenggarakan diskusi panel dengan BPBD yang dihadiri lebih dari 40 peserta. (ADI) GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
53
TEROPONG
Sejarah panjang bangsa Indonesia sampai sekarang ini tidak terlepas dari kejadian bencana yang selalu terjadi dan memberikan ancaman. Letusan gunungapi, gempabumi, tsunami, banjir, tanah longsor dan bencana lainnya hampir selalu menjadi berita yang baru di media massa.
J
enis musim yang terjadi di Indonesia sedikit banyak b e r p e n ga r u h terhadap jenis bencana yang terjadi, ketika musim penghujan beberapa wilayah sering terjadi banjir dan tanah longsor, sedangkan jika musim kemarau kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan selalu melanda. Secara garis besar bencana di Indonesia didominasi oleh hidrometeorologi, namun jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan, bencana geologi lebih besar dampaknya
54 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
dibandingkan hidrometeorologi.
dengan
Hingga pertengahan tahun 2015, lebih dari 1.118 kejadian bencana terjadi di Indonesia. Ini artinya bahwa rata-rata dalam satu bulan terjadi 124 kali bencana atau 4 kejadian setiap hari. Sungguh ancaman yang sangat nyata melihat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa. Kajian penduduk terpapar bencana alam menunjukkan bahwa lebih dari 97% persen penduduk Indonesia tinggal di daerah rawan bencana. Penduduk terpapar paling banyak adalah
gempabumi yang mencapai 148 juta jiwa atau 62,4% dari jumlah penduduk Indonesia. Tanah longsor, banjir dan puting beliung hampir setiap tahun mendominasi bencana yang terjadi. Tanah longsor dan puting beliung banyak terjadi memasuki musim pancaroba/ peralihan, tanah longsor yang biasa terjadi secara tiba-tiba sering menimbulkan korban jiwa. Alat peringatan dini akan bahaya longsor memang beberapa sudah dipasang oleh pemerintah, namun luasnya daerah rawan dan cakupan alat yang terbatas
Semester Pertama
Tanah Longsor
Mendominasi Bencana menyebabkan belum semua daerah yang rawan tersedia alat ini. Mengenai korban meninggal dan hilang sampai pertengahan tahun 2015 tercatat 141 orang akibat bencana. Tanah longsor merupakan jenis bencana yang paling banyak menyebabkan korban ini, dengan rata-rata setiap 4 kali kejadian ada satu korban meninggal. Hal ini berbeda dengan bencana banjir dan puting beliung yang juga kerap terjadi namun tidak begitu banyak menyebabkan korban meninggal dan hilang. GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
55
Grafik Kejadian Bencana dan Korban Meninggal dan Hilang
56 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Bencana acap kali tidak hanya menyebabkan korban namun juga kerusakan baik itu rumah maupun infrastruktur. Lebih dari 9 ribu rumah mengalami kerusakan akibat bencana dari JanuariJuli baik itu rumah rusak berat, sedang maupun ringan. Pada sisi yang lain, bencana juga merusak 208 unit fasilitas pendidikan, 77 unit fasilitas peribadatan dan 18 unit fasilitas kesehatan. Geliat gunungapi aktif juga terjadi di tahun 2015 ini, mulai dari Gunung Sinabung yang masih terus meletus, Gunung Raung pada saat lebaran Idul Fitri dan Gunung Gamalama. Letusan Gunung Raung dan Gamalama sempat mengganggu penerbangan di wilayah sekitarnya. Jadwal penerbangan terpaksa dibatalkan menyusul abu vulkanik yang dapat membahayakan penerbangan. Letusan ini menyebabkan kerugian ekonomi dalam hal penerbangan dan pariwisata, mengingat bandara Ngurah Rai di Bali juga mengalami sistim buka tutup. Penutupan bandara ini juga mengakibatkan terganggunya mudik lebaran masyarakat dengan angkutan pesawat terbang. Masyarakat yang sejatinya ingin merayakan lebaran di kampung, tidak bisa terlaksana karena penutupan bandara. Memasuki pertengahan tahun ini, musim kemarau sudah mulai melanda beberapa wilayah di Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah merilis bahwa kemarau tahun ini dipengaruhi oleh El Nino sehingga kemungkinan awal musim penghujan mengalami kemunduran dari tahun-tahun sebelumnya. Fenomena ini
perlu mendapatkan perhatian mengingat kemarau selalu menyebabkan kekeringan dan sering kali menimbulkan kebakaran lahan dan hutan. Wilayah-wilayah yang kesulitan air atau menggantungkan air pada tadah hujan kemungkinan besar akan sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah maupun pihak swasta. Kebakaran hutan dan lahan selalu menimbulkan dampak yang begitu besar. Asap yang dihasilkan sangat mengganggu penglihatan dan jarak pandang menjadi terbatas. Gangguan asap lainnya adalah jadwal penerbangan yang terhambat karena faktor jarak pandang dan jika angin bertiup sangat kencang asap biasanya sampai ke negara tetangga. Wilayah yang sering terjadi kebakaran lahan dan hutan di musim kering adalah Sumatera dan Kalimantan. Sebagian besar Nusa Tenggara dan Jawa selalu mengalami
kekeringan di musim kemarau. Di Pulau Jawa sebagai sentra pertanian nusantara, maka ancaman kekeringan menjadi sangat serius karena menyebabkan tanaman pertanian menjadi puso. Kegagalan panen di sentra pertanian dapat menyebabkan ketahanan pangan dalam negeri menjadi goyah. Beberapa langkah dapat diambil untuk melakukan pencegahan kekeringan seperti hujan buatan, pembuatan sumur ataupun pengaliran air dari sungai melalui pompanisasi. Kecenderungan kejadian bencana biasanya akan mengalami penurunan di pertengahan tahun, namun memasuki musim penghujan kejadian akan meningkat seiring dengan intensitas hujan yang semakin sering. Semester pertama tahun 2015 sudah banyak terjadi bencana, ratarata dalam setahun selama satu dekade ini, bencana bisa terjadi lebih dari 1.200 kejadian. (SPT) GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
57
TEROPONG
Pemantauan
Media
Mengapa Diperlukan?
Keterlibatan media massa dalam penanggulangan bencana di Indonesia kini semakin meningkat. Fungsi media massa untuk memberikan berita yang aktual telah didukung dengan kemajuan teknologi informasi. Media dapat dengan cepat menyampaikan berita kepada masyarakat bahkan dalam hitungan detik setelah terjadinya bencana.
P
emberitaan b e n c a n a merupakan topik yang dianggap penting dan memiliki nilai informasi tinggi, bahkan media seringkali menempatkan berita bencana sebagai topik utama dan headline pemberitaan. Media massa juga terbukti mampu memberikan
58 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
dampak yang positif bagi penanggulangan bencana. Melalui pemberitaannya, media misalnya menarik perhatian dan memunculkan sikap solidaritas masyarakat untuk penggalangan dana kemanusiaan. Kekuatan pemberitaan bencana juga mampu menjadi penghubung antara korban bencana yang terpisah dengan keluarga mereka.
Misalnya satu cerita yang menyentuh hati tentang korban tsunami Aceh yang akhirnya bertemu dengan orang tuanya setelah 10 tahun terpisah. Pertemuan Arif Pratama (16) korban tsunami Aceh dengan orang tuanya tak lepas dari bantuan media massa. Kisah pertemuan itu berawal dari tayangan berita di TV nasional, saat sebuah TV berita nasional menayangkan wawancara
langsung dengan orang tua Arif. Seorang warga yang menonton tayangan tersebut melihat ada kemiripan antara sosok orang tua itu dengan Arif yang setiap hari lewat di depan warung internet miliknya. Setelah menunjukkan tayangan itu kepada Arif, Arif meyakini bahwa orang itu adalah orang tua kandungnya. Dengan bantuan seorang wartawan TV Arif dipertemukan dengan
keluarganya. Pertemuan yang membahagiakan dan mengharukan itu akhirnya mempersatukan kembali Arif dengan keluarganya, setelah terpisah sejak tsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004. Terlepas dari sisi positif media massa, terdapat sisi lain dari pemberitaan media yang justru dapat memicu distorsi. Tidak
dapat dipungkiri bahwa media berkompetisi untuk mengejar rating dan keuntungan. Dengan alasan itu maka media lebih memilih berita yang dianggap memiliki nilai jual tinggi dan mampu untuk dipasarkan. Pemberitaan bencana yang dibungkus kesedihan dan kepiluan korban bencana dianggap sesuai dengan selera pemirsa, pendengar, dan pembacanya. Padahal dengan GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
59
menampilkan gambar-gambar yang mengekspos penderitaan media telah melanggar etika jurnalistik. Dalam upaya mengejar rating pula, media massa dituntut untuk selalu menjadi yang pertama dalam memberitakan bencana sehingga media pun mengutamakan kecepatan daripada keakuratan berita. Seringkali ditemukan berita bencana dengan data yang berbeda antara satu media dengan media lainnya. Pada konteks bencana, kesalahan informasi justru merupakan bencana komunikasi. Sebagaimana kerap kita
60 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
saksikan di media massa, upaya mengejar kecepatan berita justru memicu kecerobohan dalam peliputan dan pemberitaan hingga menimbulkan korban jiwa. Dalam kasus pemberitaan Gunung Sinabung, wawancara dengan sejumlah warga yang mengetahui peristiwa tewasnya 17 orang akibat terkena awan panas pada 1 Februari 2014, menunjukkan adanya distorsi informasi di media massa. Warga mengatakan pemberitaan di media beberapa hari sebelum jatuhnya korban ikut membuat banyak orang mengira situasi gunungapi itu telah kondusif,
sehingga warga boleh mendekati pusat erupsi. Warga mengatakan mereka membaca running text di televisi yang menyatakan bahwa: “Situasi di Sinabung makin kondusif, sebagian pengungsi dibolehkan pulang.” Intonasi pemberitaan di beberapa surat kabar juga mengesankan penurunan aktivitas Sinabung. Akibatnya muncul persepsi warga bahwa desa terdampak sudah dapat dikunjungi, padahal kondisi gunungapi saat itu masih berbahaya. Di sisi lain, media cenderung lebih sedikit memberitakan soal bencana ketika tidak ada
bencana. Jarang ditemukan berita pada masa prabencana yang memberikan informasi pendidikan dan pengetahuan mengenai kebencanaan. Setidaknya fakta tersebut ditemukan dalam analisis media monitoring BNPB yang telah dilakukan sejak Februari 2014.
Memantau Media
Tak dapat dipungkiri, media massa berperan besar dalam pembentukan opini masyarakat (McCombs dan Donald Shaw, 1972). Ketika media massa memilih topik dan menampilkannya secara berulang-ulang, masyarakat
bahkan pemerintah akan menjadi akrab dengan topik tersebut , sehingga ada perhatian dan kesan mengenai kepentingan topik itu. Dalam hal itu, lembaga di bidang penanggulangan bencana bisa menggunakan media untuk meningkatkan cakupan (coverage) maupun jangkauan (outreach) informasi bencana yang dibutuhkan masyarakat, khususnya pada fase prabencana sebagai bentuk pendidikan publik. Untuk mendorong frekuensi pemberitaan tentang bencana di media massa, lembaga penanganan bencana dapat
menyuplai informasi dari berbagai unit kerja terkait sebagai asupan bahan liputan bagi media pada masa pra dan pascabencana. Lembaga penanganan bencana juga dapat berperan dalam membentuk media massa menjadi media yang mengkomunikasikan materi pengurangan risiko bencana. Selain itu, lembaga penanganan bencana dapat meningkatkan peran media dalam mendiseminasikan informasi tentang pengurangan risiko bencana secara bertanggung jawab. Di sisi lain, mengingat media menyimpan potensi distorsi,
Template media monitoring BNPB yang dua kali dalam sehari disampaikan kepada para pejabat terkait
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
61
Ilustrasi keluaran analisis hasil media monitoring BNPB
lembaga penanganan bencana juga tetap perlu mewaspadainya. Di sini fungsi media monitoring menjadi penting untuk pemantauan distorsi pemberitaan. Media monitoring secara singkat dapat diartikan sebagai proses pengawasan dan pemantauan media massa untuk mengetahui, mencegah, dan mengantisipasi distorsi dan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Kegiatan media monitoring sebenarnya telah dikenal sejak tahun 1880an. Pada masa itu, media monitoring hanya dikenal sebagai proses kliping terhadap artikel, berita, dan naskah berita di media cetak. Masuk pada abad ke-21 kegiatan media monitoring semakin mudah karena munculnya berbagai media online dan media sosial seperti facebook, twitter, blog dan sebagainya. 62 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Pergerakan informasi yang begitu cepat di dunia online memaksa sejumlah lembaga untuk melakukan pemantauan berita sebagai suatu strategi komunikasi untuk mengetahui bagaimana organisasinya dibicarakan di publik. Di BNPB sendiri, media monitoring telah dilakukan sejak setahun terakhir. Laporan hasilnya diberikan kepada para pemimpin lembaga ini sebanyak dua kali dalam sehari, yaitu pagi hari pukul 08.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB. Media yang dipantau bukan sembarang media, melainkan 10 media online yang cukup berpengaruh di Indonesia. Media monitoring BNPB ini bertujuan untuk mengetahui pemberitaan terkait bencana alam dan BNPB di media massa, baik secara positif maupun negatif. Dengan memantau pemberitaan secara konsisten,
maka segala permasalahan, isi-isu dan distorsi yang berkembang di masyarakat dapat diketahui dan direspons dengan cepat. Tidak hanya itu, dengan media monitoring BNPB dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakan masyarakat mengenai lembaganya serta memahami lebih jauh tentang harapan masyarakat dalam penanggulangan bencana. Hasil pemantauan berita sejauh ini menunjukkan adanya pola pemberitaan bencana di media massa yang cenderung meningkat ketika bencana terjadi di kota-kota besar, terutama di wilayah Jabodetabek. Ketika bencana dengan skala besar terjadi di kota kecil, peliputan media relatif tidak sebesar apabila kejadiannya di kota besar. Informasi yang tersedia bagi publik menjadi minim dan luput dari perhatian pemerintah dan
masyarakat di kota lain. Kondisi minim informasi ini dapat diduga turut menyebabkan lambatnya respons dalam sejumlah kasus bencana di kota kecil. Seperti sebuah pemberitaan dalam media monitoring dengan judul yang menyayat hati, yang ditemukan dalam media online Kompas, tanggal 20 Oktober 2014. Pemberitaan berjudul “Kekeringan, Ratusan Warga di TTS Minum Air Tapak Kaki Ternak” itu terjadi di Desa Hoi, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Akibat bencana kekeringan, sebanyak 283 kepala keluarga mengalami krisis air bersih dan terpaksa mengonsumsi air dari kubangan bekas tapak kaki
ternak milik mereka. Kubangan air yang sudah tercampur zat e.coli itu menjadi satu-satunya sumber air yang dekat dengan permukiman warga. Akibatnya mereka terpaksa harus berbagi air dengan ternak mereka seperti kuda, sapi, kambing dan babi. Sumber air bersih pun jaraknya sangat jauh dari permukiman warga, dengan debit air yang sangat terbatas. Masalah kekeringan di wilayah itu sudah menjadi masalah tahunan sehingga seharusnya semua pihak khususnya pemerintah sudah mengetahui persis daerahdaerah mana saja yang harus diperhatikan kebutuhan air bersihnya. Namun, nyatanya hingga kini masyarakat masih terus menderita karena harus mengkonsumsi air yang tidak
layak dan membuat sebagian besar masyarakat terserang berbagai penyakit. Membiarkan masalah ini terus berlanjut sama dengan membiarkan masyarakat di desa kecil itu terus menderita. Dalam kasus ini, media monitoring dapat berperan untuk menyampaikan informasi penting tersebut kepada lembaga penanggulangan bencana dan pihak-pihak terkait untuk segera merepons kebutuhan yang mendesak di lokasi bencana yang belum tersentuh bantuan. Lebih jauh lagi, peran media monitoring tidak hanya sebagai alat perekam atau pencatat kejadian bencana di Indonesia, namun dapat menciptakan diskursus untuk pengurangan risiko bencana. (DLA)
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
63
PROFIL
Sarjana Kulit
di Bidang Bencana
64 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
SUNARDI Direktur Logistik
Kedeputian Bidang Logistik dan Peralatan
GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
65
S
osok bapak satu anak ini terlihat bersahaja dan rendah hati. Menjabat sebagai Direktur Logistik pada Kedeputian Logistik dan Peralatan BNPB. Sunardi anak seorang petani dari Klaten, Jawa Tengah ini pernah bercita-cita menjadi pengusaha untuk dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Baginya menjadi pengusaha adalah perbuatan mulia yang dapat menghidupi orang banyak. Lulus pendidikan Akademi Teknik Kulit Yogyakarta milik Kementerian Perindustrian
66 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
dan melanjutkan di Sekolah Tinggi Manajemen Industri Kementerian Perindustrian, yang ketika itu ada program industrial manajemen setingkat S2 yang menyiapkan tenaga industri bekerjasama dengan Amerika. Menantangnya untuk menjadi pengusaha kecilkecilan, mulai dari buka warung usaha kulit bersama ikatan alumni akademi kulit sampai membuat sepatu wanita dilakoninya, untuk menggapai hasrat sebagai pengusaha. Namun ternyata nasib berbicara lain, tahun 1980 berawal dari coba-coba, Sunardi akhirnya menjadi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Perindustrian. 19 tahun sudah ia berkarir di Kementerian Perindustrian, kemudian berlabuh ke Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra) pada tahun 1999 dan sempat pula bergabung di Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) pada tahun 2001. Dari 7 (tujuh) orang yang melamar ke Menko Kesra dan yang menerima panggilan hanya Sunardi dan berhasil lolos seleksi masuk ke Kemenko Kesra. “Kala itu saya mengalami empat kepemimpinan Menteri di Kemenkokesra. Mulai dari Har yono Suyono, Hamzah
Memetakan sumber daya manusia, logistik dan peralatan bukan hanya bicara sumberdaya yang ada di BNPB/BPBD tetapi juga sumberdaya yang ada di gudang-gudang Kementerian/Lembaga lainnya termasuk sumber daya yang ada di dunia dan masyarakat. Semua hal tersebut diartikan dalam segitiga biru yakni pemerintah, dunia usaha dan masyarakat perlu dipetakan. Karena itu, menjadi kekuatan Indonesia dalam menghadapi bencana.
Haz, Basri Hasanuddin dan Jusuf Kalla, yang paling berkesan bagi saya adalah pada zaman Jusuf Kalla dengan kese derhanaannya dalam memimpin”, kenangnya.
pada tahun 2004, membuat parlemen membentuk UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 dan membentuk BNPB pada tahun 2008 sebagai pengganti dari Bakornas PB” ucapnya.
Bakornas PB
Berkar ya di BNPB yang merupakan lembaga baru setingkat menteri, Sunardi menduduki pangkat Eselon 3 sebagai Kasubdit Kesehatan dan Air Bersih, kemudian diangkat menjadi eselon 2 di Direktorat Pemulihan dan Peningkatan Fisik di Kedeputian Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Nasib berbicara lain, selang 7 (tujuh) bulan, penyuka olahraga renang ini berkarir di Direktorat
Tak lama berselang pindah ke Sekretariat Bakornas Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), yang semula hanya memiliki 15 orang pegawai menjadi 69 orang pegawai dan Sunardi termasuk di dalamnya. Menjabat sebagai Kasubag Kerjasama Antarlembaga, kemudian Kasubag di Biro Perencanaan. “Triger bencana tsunami Aceh
Logistik dan Peralatan sebagai Direktur Logistik hingga saat ini. Saat menjadi Direktur Logistik, kiprah Sunardi mulai terlihat. Fungsi BNPB sebagai Koordinasi, Komando dan Pelaksana diterapkan dalam kinerjanya. Memetakan sumber daya manusia, logistik dan peralatan bukan hanya bicara sumberdaya yang ada di BNPB/BPBD tetapi juga sumberdaya yang ada di gudang-gudang Kementerian/ Lembaga lainnya termasuk sumber daya yang ada di dunia dan masyarakat. Semua hal tersebut diartikan dalam segitiga biru yakni pemerintah, dunia usaha dan masyarakat GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
67
68 |
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Dikala Bencana Dikala Bencana Aku Ada disana… DIkala Bencana Aku Datang Pertama… Dikala Bencana Aku Beraksi Nyata… DIkala Bencana Kuselamatkan Korbannya… Reff. Kubangun Semangatku, Kumantapkan Langkahku, Tulus Ikhlas Paling Lambat Pulangku...
perlu dipetakan. “Karena itu, menjadi kekuatan Indonesia dalam menghadapi bencana” ungkapnya. Program andalan di dunia logistik terus dikembangkan, antara lain Forum Logistik Penanggulangan Bencana Indonesia (FORLOG PBI) pada tahun 2014 dengan dunia usaha dan pemerintah dikukuhkan oleh Kepala BNPB di Sentul. Pengadaan sejuta masker dan sebagainya, penggalangan dunia usaha untuk terlibat dan berperan aktif ketika ada bencana, antara lain dengan Supply Chain Indonesia (SCI), Asosiasi Perusahaan Nasional Pengiriman Jasa Express Barang Indonesia (Asperindo), Asosiasi Logistik Forwarder Indonesia (ALFI), dan Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) dan sebagainya. “Melalui FORLOG
PBI akan kita galang kerjasama bersama asosiasi-asosiasi untuk memperkuat rantai pasak logistik bencana, untuk itu perlu dikembangkan pola-pola kemitraan yang kondusif, mudah dan tidak birokratif” ucapnya.
Hobi Menyanyi
Dunia bencana yang dilakoninya menggugah musikalitas Sunardi dengan menciptakan lagu berdasarkan pengalamannya menangani bencana. Semua berawal dari ketidaksengajaan saat mengikuti Training Micro Credit di Bangladesh. Saat itu hari terakhir perpisahan, setiap peserta diminta unjuk kebolehan dalam bidang seni salah satunya bernyanyi. Dari 26 negara peserta, juara pertama adalah Sunardi. Menyanyikan lagu Bangladesh “Green” dengan nada Surabaya oh…Surabaya….
“Berawal dari situlah saya suka mencoba membuat lagu. Saat acara Bakornas PB di Istana Cipanas sempat juga saya menyanyikannya” kenangnya sembari menyanyikan lagu yang diciptakan 2 tahun lalu antara lain lagu Dikala Bencana menjadi andalannya. Sudah 6 (enam) lagu yang diciptakan penyuka nasi pecel ini, antara lain 1.) Dikala Bencana, 2.) BPBD, 3.) BNPB, 4.) Era Tangguh Bencana, 5.) Negeri Rawan Bencana, 6.) Relawan Indonesia. Pesannya pada generasi muda yang akan meneruskan BNPB kedepan, “Anak muda hendaknya memiliki semangat, dan disiplin tinggi, kerja keras serta berdaya saing tinggi.” (ACU). GEMA BNPB AGUSTUS 2015 |
69
SNAPSHOOT
Penyerahan relokasi huntap pengungsi Sinabung tahap pertama
70 |
Penyerahan Lisensi sertifikasi dari BNSP ke LSP PB BNPB di INA DRTG Sentul
PIT Riset Kebencanaan 2015 di UGM Yogyakarta
Pelantikan Dharma Wanita Persada BNPB Periode 2014-2019
Bimtek Data,Informasi dan Humas BPBD se-Provinsi Jawa Barat
GEMA BNPB AGUSTUS 2015
Diterbitkan oleh: Pusat Data Informasi dan Humas BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA Gedung GRAHA BNPB Jl. Pramuka Kav. 38 Jakarta 13120 Telp. : 021-21281200 Fax. : 021-21281200 Website : www.bnpb.go.id Email :
[email protected] Facebook : www.facebook.com/infobnpb Twitter : http://twitter.com/BNPB_Indonesia Youtube : http://www.youtube.com/user/BNPBIndonesia
ISSN 2088-6527